Skip to main content
  • A pluridisciplinary researcher, a university lecturer, and a writer. Moonlights as a strategic consultant, business i... moreedit
Case studies of three unions under Federasi SERBUK (FNV Mondiaal Netherland, 2018)
... Sebagai Landasan Pelaksanaan Program Developing Inclusive and Creative Economies, British Council (2019)

as a lead author.
This book is about what is called here as ontoanthropology, an ontological view that places human as the anchor of the existence of everything that is. It is Quentin Meillassoux who tried, and succeeded, in showing how contemporary... more
This book is about what is called here as ontoanthropology, an ontological view that places human as the anchor of the existence of everything that is.

It is Quentin Meillassoux who tried, and succeeded, in showing how contemporary philosophy, while constantly yelling for difference (in any of its forms and manifestations), is actually incessantly repeating one sameness, that is the reinforcement of human correlates as the anchor of its very existence in the first place. But in fact, it is Meillassoux himself--which Alain Badiou deems as a pathbreaker for contemporary philosophy from the mire of postmodernist philosophies--who has not truly able to break out of the imprisonment of humanity's correlates.

Notwithstanding, the philosophical project to reach for the absolute has never been this urgent and so relevant. Never once that the demand for philosophy to go down to earth and to form alliance with other disciplines (economics, socio-anthropologu, theology, biology, physics, mathematics, neurosciences, etc.) has been so insistent like now. With its capacity as an absolute rationality that is capable of cancelling humanity, even ourselves, humans, need philosophy more than ever. For this reason it is not exaggerating that this book ends up with a calling: philosopher all the world, unite!

~ translated from the cover section; the book is written in Indonesian.

Buy the book from, and support progressive publisher: http://cantrikpustaka.com/product/ontoantropologi-fantasi-realisme-spekulatif-quentin-meillassoux/
Buku ini merupakan upaya kritis dan reflektif untuk mencoba memahami praktik dan artikulasi wacana demokrasi di Indonesia, khususnya bagaimana media-massa masuk dan meramaikan praktik pewacanaan tersebut. Kami menyebut fenomena ini... more
Buku ini merupakan upaya kritis dan reflektif untuk mencoba memahami praktik dan artikulasi wacana demokrasi di Indonesia, khususnya bagaimana media-massa masuk dan meramaikan praktik pewacanaan tersebut. Kami menyebut fenomena ini sebagai ‘mediasi-massal demokrasi’. Buku ini berusaha menunjukkan dinamika mediasi-massal demokrasi di Indonesia dengan menunjukkan kontestasi wacana demokrasi yang dihantarkan secara massal oleh media. Wacana demokrasi tersebut, sebagaimana yang akan ditunjukkan buku ini, memiliki dua akar tradisi yang bertentangan dan paradoksal: yaitu tradisi demokratik dan tradisi libertarian. Tradisi libertarian lebih menekankan proses-proses institusi, konstitusi, prosedur, HAM, etika dan moral; sementara tradisi demokratik menjunjung tinggi kritisisme, antagonisme, dan oposisi. Di antara dua pendulum tradisi inilah wacana demokrasi Indonesia berayun-ayun. Tapi, apakah benar pendulum ini berayun-ayun, ataukah ia hanya berhenti di salah satu sisi saja? Jika hanya berhenti di satu sisi saja, mengapa demikian? Mengapa pula berhenti di pendulum yang sisi itu dan bukan lainnya? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang akan dikupas buku ini.
Kedaulatan adalah sebuah paradoks: di satu sisi nampak tak mungkin untuk menjadi benar-benar berdaulat, tetapi di sisi lain ada kerinduan untuk senantiasa menjadi berdaulat. Kedaulatan adalah ironis: demi mencapai perasaan kedaulatan,... more
Kedaulatan adalah sebuah paradoks: di satu sisi nampak tak mungkin untuk menjadi benar-benar berdaulat, tetapi di sisi lain ada kerinduan untuk senantiasa menjadi berdaulat. Kedaulatan adalah ironis: demi mencapai perasaan kedaulatan, negara rela menyakiti diri sendiri maupun negara lain. Kedaulatan senantiasa memiliki dua wajah: wajah muram dan wajah beringas. Studi ini memulai diskusinya dengan mempertanyakan mengapa negara bersikeras mencapai suatu kedaulatan sekalipun hal tersebut mensyaratkan kekerasan, baik pada diri sendiri maupun pada negara lain. Strategi yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan studi ini adalah dengan melacak asal usul kedaulatan negara modern pada Perjanjian Westphalia 1648. Hasil pelacakan tersebut adalah berupa jawaban mengapa kedaulatan akan selalu paradoksal.

Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan melinguistisasi “manusia” dan “negara”, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.

Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya: kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan. Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12. Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom. Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan melanggengkan eksistensi berdaulatnya.

    Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan kontemporer.

Kata Kunci:
Kedaulatan, psikoanalisis, psikogenealogi, fasisme, abyeksi, paradoks kedaulatan, makro-subyektivitas, komoditas kedaulatan.
Kata pengantar untuk buku Ester Pandiangan, Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (EA Books, 2022)
Edisi pra-cetak. Untuk pengutipan, mohon mengacu ke versi terbit yang juga bisa diakses via: https://bit.ly/MajalahBalairung59] Analisis di atas dilandasi dari dua gagasan: pertama, bahwa analisis objektif mengenai medan perjuangan... more
Edisi pra-cetak. Untuk pengutipan, mohon mengacu ke versi terbit yang juga bisa diakses via: https://bit.ly/MajalahBalairung59]

Analisis di atas dilandasi dari dua gagasan: pertama, bahwa analisis objektif mengenai medan perjuangan kelas pekerja haruslah dimulai dari analisis modus produksi ketimbang semata-mata kelembagaan legal-formal; dan kedua, bahwa upaya strategisasi pemenangan politik kelas pekerja harus berangkat dari proses produksi di basis material (yaitu proses kerja dan proses valorisasi/penciptaan nilai), ketimbang lagi-lagi aturan ketenagakerjaan. Untuk yang pertama, tulisan ini sudah menjabarkan apa dan bagaimana universitas menjadi sebuah modus produksi, apa komoditasnya, dan bagaimana konstelasi nilai dari komoditas tersebut. Berikutnya juga sudah dijelaskan implikasinya bagi subjek-subjek produsen nilai yang adalah buruh, yang porsi terbesarnya adalah mahasiswa.
Quentin Meillassoux’s breakthrough in relaunching philosophical realism through its speculative project against what he dubs correlationist philosophies provides an excellent opportunity to continue philosophy despite the prevailing... more
Quentin Meillassoux’s breakthrough in relaunching philosophical realism through its speculative project against what he dubs correlationist philosophies provides an excellent opportunity to continue philosophy despite the prevailing postmodernist trend to dismiss the realist philosophical topic: the existence of absolute and objective reality. However, Meillassoux’s philosophical edifice is insufficient to carry on the project due to its problematic postulation of the outside realm, or what he calls the Great Outdoor. The author sees that the recent young tendency in philosophy, called accelerationism, is a promising approach to overcome the deadlock found in Meillassoux. Again, this philosophical tendency still does not have adequate ontological thinking but the potentiality it conceives. It is on this occasion that we introduce Antonio Negri’s ontological thinking, or what we call claustrontology, both as a potential solution to Meillassoux’s deadlock and as ontological underpinning for the young accelerationism.
Dalam debat kali ini, kedua cawapres membicarakan masalah kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, serta sosial dan budaya.
Siapa prekariat di Indonesia? Apakah hanya buruh alih daya dan buruh berupah minimum? Ataukah kita semua? Apa yang mencirikan seorang prekariat? Apakah derajat kerentanan para prekariat adalah sama? Dan seperti apa kira-kira perjuangan... more
Siapa prekariat di Indonesia? Apakah hanya buruh alih daya dan buruh berupah minimum? Ataukah kita semua? Apa yang mencirikan seorang prekariat? Apakah derajat kerentanan para prekariat adalah sama? Dan seperti apa kira-kira perjuangan politik prekariat yang mampu mengevakuasi para pekerja dari kondisi perentanan sistemik?
Secara umum, prekariat banyak diartikan sebagai “pekerja yang tidak menentu”: jam kerjanya, kontrak kerjanya, jaminan kerjanya, lingkup kerjanya. Prekariat merupakan istilah baru yang dipopulerkan oleh Guy Standing dalam bukunya The... more
Secara umum, prekariat banyak diartikan sebagai “pekerja yang tidak menentu”: jam kerjanya, kontrak kerjanya, jaminan kerjanya, lingkup kerjanya. Prekariat merupakan istilah baru yang dipopulerkan oleh Guy Standing dalam bukunya The Precariat: the New Dangerous Class
Mempermasalahkan retorika kemudahan hidup yang dibawa dari narasi teknologis seperti cara di atas adalah cukup untuk mengarahkan perhatian kita akan karakter partikular dan bias dari teknologi—baik fitur material maupun narasi wacananya.... more
Mempermasalahkan retorika kemudahan hidup yang dibawa dari narasi teknologis seperti cara di atas adalah cukup untuk mengarahkan perhatian kita akan karakter partikular dan bias dari teknologi—baik fitur material maupun narasi wacananya. Bias inilah yang memungkinkan apa yang saya sebut teknopolitik kemudahan hidup...
Bisnis mereka bukan sekadar ditopang oleh teknologi digital; bisnis mereka adalah di dunia digital itu sendiri. Dengan kata lain mereka tidak hanya sekedar mendigitalisasi proses bisnis mereka, melainkan mereka berbisnis dengan dan dari... more
Bisnis mereka bukan sekadar ditopang oleh teknologi digital; bisnis mereka adalah di dunia digital itu sendiri. Dengan kata lain mereka tidak hanya sekedar mendigitalisasi proses bisnis mereka, melainkan mereka berbisnis dengan dan dari mendigitalisasi seluruh kehidupan di kolong langit ini
Wanita kaya berumur 20 tahun ini masuk dalam jajaran 100 Wanita Miliarder Swausaha versi majalah Forbes. Ia ditaksir memiliki kekayaan sebanyak $ 900 juta dengan perusahaan Kylie Cosmetics miliknya. Penahbisan ini memicu kontroversi... more
Wanita kaya berumur 20 tahun ini masuk dalam jajaran 100 Wanita Miliarder Swausaha versi majalah Forbes. Ia ditaksir memiliki kekayaan sebanyak $ 900 juta dengan perusahaan Kylie Cosmetics miliknya. Penahbisan ini memicu kontroversi karena khalayak-khususnya di dunia daring...
KONON, Ruang Publik adalah ruang deliberasi, yaitu ruang di mana orang mengartikulasikan kepentingan dan aspirasinya dalam suasana demokrasi. Problemnya kemudian adalah bagaimana mengafirmasi, mengemansipasi, menginklusi, dst., dsb...
bagaimana cara menilai sebuah program tanpa harus terjebak pada pengultusan sosok capres dan ban serepnya?
DILIHAT dari perspektif pekerjaisme (Tronti, dkk), setiap kali ada jenis ekonomi baru yang muncul maka persis di situ kapitalisme menemukan cara baru dalam meredam resistensi pekerja (supresi), sekaligus dalam meringkus lebih banyak lagi... more
DILIHAT dari perspektif pekerjaisme (Tronti, dkk), setiap kali ada jenis ekonomi baru yang muncul maka persis di situ kapitalisme menemukan cara baru dalam meredam resistensi pekerja (supresi), sekaligus dalam meringkus lebih banyak lagi nilai kerja dari sang pekerja (eksploitasi) demi pertambahan profitnya. Oleh karena itu, apabila kita bersepakat bahwa hari-hari ini kita berada pada apa yang disebut-sebut 'ekonomi pengetahuan' (knowledge economy), maka pemetaan cara baru opresi dan supresi pekerja menjadi mutlak dibutuhkan jika kita mendambakan suatu exit strategy dari ini semua.
Artikel ini adalah tentang konsep. Teori bahkan—atau malah filsafat, mengenai geopolitik
Jadi, benar tidaknya suatu sugesti tidak berasal dari kebenaran intrinsik sugesti tersebut, melainkan dari bagaimana ia mampu membuat orang yang disugestikan berkata “this is it” atau “ini gue banget!”; dari bagaimana ia menawarkan suatu... more
Jadi, benar tidaknya suatu sugesti tidak berasal dari kebenaran intrinsik sugesti tersebut, melainkan dari bagaimana ia mampu membuat orang yang disugestikan berkata “this is it” atau “ini gue banget!”; dari bagaimana ia menawarkan suatu sensasi ‘I am in control of my life.’
“Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; padahal yang terpenting ialah mengubahnya” Karl Marx, Tesis-Tesis tentang Feuerbach
Benarkah CU ampuh sebagai alternatif dari sistem keuangan ala kapitalis? Jika tidak, mengapa? Jika ya, apa ukurannya?
BEBERAPA upaya di kalangan gerakan untuk kembali menjajal koperasi sebagai bentuk pengorganisasian sudah mulai marak bermunculan. Dikatakan ‘kembali menjajal’ karena sebenarnya memang koperasi selama ini sudah terlebih dahulu dianggap... more
BEBERAPA upaya di kalangan gerakan untuk kembali menjajal koperasi sebagai bentuk pengorganisasian sudah mulai marak bermunculan. Dikatakan ‘kembali menjajal’ karena sebenarnya memang koperasi selama ini sudah terlebih dahulu dianggap “sokoguru ekonomi Indonesia”
APAKAH "BEGADANG"? Apakah "malam mingguan"? Apakah keduanya semata-mata aktivitas remeh?
Menyamarkan kenyataan yang tidak berterima di pelataran publik, kemudian membungkusnya dengan idiom dan langgam yang tidak membuat publik berjengit.
Misalnya, pabrik; masyarakat dapat mengakses lahan rampasan tersebut hanya dengan menjadi buruh pabrik upahan, yang mana ia akan bekerja dan menghasilkan komoditas sebagaimana “diminta” pasar, yang hasil keuntungan penjualannya semakin... more
Misalnya, pabrik; masyarakat dapat mengakses lahan rampasan tersebut hanya dengan menjadi buruh pabrik upahan, yang mana ia akan bekerja dan menghasilkan komoditas sebagaimana “diminta” pasar, yang hasil keuntungan penjualannya semakin memperkaya sang perampas lahan. Saya yakin narasi seperti ini tidak asing bagi kita tentunya. Tapi, bagaimana dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI)?
Dalam debat calon wakil presiden yang diselenggarakan tanggal 17 Maret yang lalu, Sandiaga Uno, pasangan dari calon presiden Prabowo Subianto mengatakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dapat menjadi solusi dalam mengatasi... more
Dalam debat calon wakil presiden yang diselenggarakan tanggal 17 Maret yang lalu, Sandiaga Uno, pasangan dari calon presiden Prabowo Subianto mengatakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dapat menjadi solusi dalam mengatasi pengangguran di Indonesia
Kita cenderung mengesensialisasikan istilah infrastruktur ini ke dalam rupa-rupanya seperti jembatan, jalan raya, satelit, gedung, dst. Memang benar ini semua adalah infrastruktur. Namun demikian, jika kita mengacu ke konsepsi... more
Kita cenderung mengesensialisasikan istilah infrastruktur ini ke dalam rupa-rupanya seperti jembatan, jalan raya, satelit, gedung, dst. Memang benar ini semua adalah infrastruktur. Namun demikian, jika kita mengacu ke konsepsi infrastruktur sebagai medium terjadinya sirkulasi dari titik koneksi satu ke titik lainnya, maka sebenarnya konsepsi ini berimplikasi luas
“Saya diundang oleh Kementerian Tenaga Kerja untuk membicarakan dampak revolusi digital pada lapangan pekerjaan. Tapi mereka sepertinya tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0.”
Tulisan ini tidak hendak memberikan evaluasi bagi KS212 ini, tidak pula hendak memberikan komentar terhadap aspek teologis-ekonomis. Poin yang ingin ditekankan oleh tulisan ini adalah bahwa baik even peluncuran maupun eksistensi dari... more
Tulisan ini tidak hendak memberikan evaluasi bagi KS212 ini, tidak pula hendak memberikan komentar terhadap aspek teologis-ekonomis. Poin yang ingin ditekankan oleh tulisan ini adalah bahwa baik even peluncuran maupun eksistensi dari KS212 ini merupakan hal yang penting untuk kita simak, ambil pelajaran, dan bahkan (dengan derajat tertentu) replikasi.
DARI sekian banyak peristiwa yang mewarnai gelombang anti- Trump, ada satu fenomena menarik. Yaitu kembalinya novel George Orwell, 1984, ke jajaran buku terlaris, setidaknya di Amerika Serikat
Tentu saja kita diizinkan berpikir. Sama seperti rezim otoritarian di manapun, berpikir bukanlah sesuatu yang dilarang. Yang dilarang adalah cara berpikirnya, dan juga konten pemikirannya. Lalu seperti apakah pemikiran yang diizinkan... more
Tentu saja kita diizinkan berpikir. Sama seperti rezim otoritarian di manapun, berpikir bukanlah sesuatu yang dilarang. Yang dilarang adalah cara berpikirnya, dan juga konten pemikirannya. Lalu seperti apakah pemikiran yang diizinkan untuk dipikirkan para garda disiplin emosi ini?
PERLUKAH kita meributkan tren melemahnya rupiah terhadap dollar? Bisa ya, bisa tidak. Mungkin tergantung pada banyak hal
Bagi pemalas seperti saya yang "pekerjaan" impiannya adalah tidur, main game dan streaming film (serius, saya menjawab ini setiap kali saya terpaksa ikut psikotes), akan tetapi gagasan “teknologi merebut pekerjaan kita” ini punya makna... more
Bagi pemalas seperti saya yang "pekerjaan" impiannya adalah tidur, main game dan streaming film (serius, saya menjawab ini setiap kali saya terpaksa ikut psikotes), akan tetapi gagasan “teknologi merebut pekerjaan kita” ini punya makna yang teramat sangat positif.
Bagaimana jika ternyata pembacaan objektif dokumen tersebut dengan perspektif pekerja (khususnya pekerjais, workeris) mampu memungut apa yang masih tersisa bagi pekerja untuk diselamatkan, diorganisir, dan dijadikan senjata untuk melawan... more
Bagaimana jika ternyata pembacaan objektif dokumen tersebut dengan perspektif pekerja (khususnya pekerjais, workeris) mampu memungut apa yang masih tersisa bagi pekerja untuk diselamatkan, diorganisir, dan dijadikan senjata untuk melawan balik (dan menang!)
TULISAN ini adalah suatu refleksi awal mengenai posisi, peran dan juga prospek manusia dalam Kapitalisme. Istilah 'manusia' di sini hendak diberi penekanan, sehingga dalam mengujarkannya diharapkan pembaca memberikan kehati-hatian khusus.... more
TULISAN ini adalah suatu refleksi awal mengenai posisi, peran dan juga prospek manusia dalam Kapitalisme. Istilah 'manusia' di sini hendak diberi penekanan, sehingga dalam mengujarkannya diharapkan pembaca memberikan kehati-hatian khusus. Pasalnya, dalam tulisan ini, manusia hendak ditandaskan sebagai 'subjek', bahkan subjek universal. Di sinilah kemudian muncul beberapa problem, seperti antropomorfisme dan antroposentrisme. Memahami problem-problem ini dan – jika mungkin – memecahkannya, sekiranya dapat menjadi modalitas penting untuk memahami di mana dan bagaimana posisi subjek di dalam sejarah panjang mutasi Kapitalisme. Pembahasan akan difokuskan pada pemikiran Karl Marx, khususnya di Economic and Philosophical Manuscript, 3 dan resonansinya dalam pemikiran dari tradisi 'marxis-pekerjais' (marxist-workerist/operaist). 4 Melalui pemikiran pekerjais ini, argumen universalitas manusia-subjek akan diekstrapolasikan ke argumen universalitas pekerja-subjek di dalam kapitalisme. Pemahaman ini pada gilirannya akan memberikan pandangan baru mengenai potensialitas pekerja-subjek dalam mengupayakan perlawanan di dalam dan terhadap kapital. Tulisan ini terbagi ke dalam tiga bagian. Di bagian pertama, penulis membangun argumen spekulatif mengenai manusia sebagai subjek universal. Sekalipun menandaskan universalitas manusia, argumen yang dibangun mampu untuk keluar dari manusia-sentrisme yang dalam tulisan ini disebut narsisisme spesies manusia, sehingga pada gilirannya mampu menyandangkan predikat nir-manusia pada argumen ini. Di bagian ini pula penulis mengusulkan tiga tesis universalitas manusia sebagai suatu subjek. Ketiga tesis inilah yang pada bagian kedua akan diekstrapolasikan untuk pekerja di dalam kapitalisme. Apabila pada bagian sebelumnya klaim yang dibangun adalah " manusia adalah universal, " maka pada bagian kedua ini klaimnya adalah " pekerja adalah universal. " Bagian ketiga adalah upaya untuk menurunkan ketiga tesis spekulatif, yang karenanya aksiomatik, 'pekerja adalah universal' ke ranah teoritik yang akan lebih berguna untuk kerja-kerja di ranah empiris dan praksis. Untuk upaya ini, penulis menggunakan pemikiran Mario Tronti, sebagai salah satu perintis tradisi pekerjais. Namun demikian, karena keterbatasan tempat, pembahasan hanya akan dibatasi pada derivasi tesis pertama saja. Dua tesis universalitas pekerja lainnya akan menjadi porsi pembahasan di kesempatan lainnya.
Hoax, di luar dari apa dan siapa yang mendalanginya, adalah manifestasi dari perlawanan atas kapitalisasi informasi. Alih-alih memberantas, barangkali yang kita butuhkan adalah merehabilitasi hoax.
Research Interests:
Dari sekian banyak yang mampu dan sempat saya baca mengenai diskusi dan seliweran opini mengenai hoax, ada satu hal yang membuat saya sangat terganggu: yaitu bahwa banyak orang yang terganggu dengan hoax. Tulisan ini mencoba memaparkan... more
Dari sekian banyak yang mampu dan sempat saya baca mengenai diskusi dan seliweran opini mengenai hoax, ada satu hal yang membuat saya sangat terganggu: yaitu bahwa banyak orang yang terganggu dengan hoax. Tulisan ini mencoba memaparkan alasan di balik ketergangguan saya tersebut.  Untuk ini, perbincangan saya bagi ke dalam tiga bagian besar: pertama-tama saya akan memetakan kecenderungan opini dan perspektif di seputar dan terhadap hoax; kedua, saya mencoba mendiskusikan hoax dari perspektif yang relatif belum banyak dipakai dalam melihat kasus ini: neuropsikologi. Dua pembahasan ini akan saya paparkan dalam tulisan ini. Tulisan kedua saya akan membicarakan poin ketiga, yakni implikasi dari telaah singkat neuropsikologis yang telah saya kemukakan serta sebuah usulan untuk merehabilitasi hoax. Ya, Anda tidak sedang salah membaca: merehabilitasi hoax.
Research Interests:
Kita sudah sering mendengar mengenai proses kreatif dalam proses desain. Kita juga sudah kenyang dengan wacana mengenai hak kekayaan intelektual. Bahkan, kita juga mungkin sudah sering mendengar dan mengutarakan sendiri betapa aspek... more
Kita sudah sering mendengar mengenai proses kreatif dalam proses desain. Kita juga sudah kenyang dengan wacana mengenai hak kekayaan intelektual. Bahkan, kita juga mungkin sudah sering mendengar dan mengutarakan sendiri betapa aspek kreatif adalah hal yang tak ternilai dari suatu kerja desain. Lalu apa yang belum banyak kita dengar?
Pada Hari Buruh 1 Mei lalu, ada satu topik menyempil yang cukup viral, yaitu tentang ‘buruh desain’. Seorang kartunis asal Semarang, melalui akun Instagram Gumpnhell, membagikan ilustrasi kartunnya berjudul “1 Mei, Demo Buruh Desain” yang... more
Pada Hari Buruh 1 Mei lalu, ada satu topik menyempil yang cukup viral, yaitu tentang ‘buruh desain’. Seorang kartunis asal Semarang, melalui akun Instagram Gumpnhell, membagikan ilustrasi kartunnya berjudul “1 Mei, Demo Buruh Desain” yang
menggambarkan suasana ketika ratusan pekerja desain melakukan demo di jalanan. Gambar ini cukup menyentak mereka yang tidak terlibat dalam keseharian serta merasakan asam garam dan drama kehidupan pekerja desain. Pasalnya, melalui media massa di Indonesia yang juga berkisar pada industri kreatif, dengan para pekerja desain tersebut turut terhitung di dalamnya, tampak berkesan “baik-baik saja.”
Dengan sekadar berbagi saja tidak akan menyelesaikan masalah. Karena, yang menjadi masalah justru adalah apakah yang kita lakukan bisa balik mengerdilkan ekonomi berbagi ala kapitalisme atau tidak. Berkoperasi itu satu hal, namun... more
Dengan sekadar berbagi saja tidak akan menyelesaikan masalah. Karena, yang menjadi masalah justru adalah apakah yang kita lakukan bisa balik mengerdilkan ekonomi berbagi ala kapitalisme atau tidak. Berkoperasi itu satu hal, namun berkoperasi yang mampu mentransformasikan kapitalisme itu jelas hal yang sama sekali berbeda. Selama koperasi tidak mampu menjawab tantangan transformatif ini, ia hanya akan menjadi salah satu menu santapan kapitalisme. Kolektivitas koperasi adalah hal yang sangat digemari kapitalisme. Itulah nasib koperasi di tangan kapitalisme: jika bukan sebagai alibi, ia adalah ban serep.
An attempt at constructing a model to understand and to map out the contemporary diagram of biopolitics in the aftermath of crisis. By this, I seek to tease out the novelty of the new diagram of biopolitics that slowly-but-surely emerges... more
An attempt at constructing a model to understand and to map out the contemporary diagram of biopolitics in the aftermath of crisis. By this, I seek to tease out the novelty of the new diagram of biopolitics that slowly-but-surely emerges in the post-crisis world (by crisis I refer to the precise event of global financial crisis of 2008). The novel biopolitical diagram concerned is what will be named as the financialisation of biopower. If the modern gesture of financialisation  was one towards the financialisation of every aspect of life,  then the new one, I argue, is the financialisation of the power to sustainably financialise every aspect of life. While the former implies only the present or short-term concern, the latter accentuates a long-term future, even permanent, ambition. In what follow I will elaborate on the idea.
Research Interests:
Penelitian ini berangkat dari sebuah paradoks dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia hari-hari ini: maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya... more
Penelitian ini berangkat dari sebuah paradoks dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia hari-hari ini: maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya opini publik tentang demokrasi yang belum benar-benar diimplementasikan, bahkan tidak sedikit yang secara pesimis menilainya sebagai kegagalan. Jadi, di satu sisi terdapat surplus media, dan di sisi lain terdapat defisit demokrasi. Kenyatan inilah yang disebut sebagai ‘paradoks demokratisasi di era media baru’. Paradoks ini akan berubah menjadi suatu anomali saat ia dibenturkan dengan teori klasik yang menekankan peran media sebagai pilar keempat demokrasi (setelah eksekutif, legistlatif dan yudikatif). Media, diyakini menjadi prasyarat mutlak sekaligus indikator penting bagi terselenggaranya demokrasi. Dengan latar belakang teoritik seperti ini, dengan demikian penelitian ini mengajukan pertanyaan, “mengapa di era keterbukaan informasi dimana hampir seluruh orang dapat mengartikulasikan pendapatnya secara bebas melalui media, malah muncul wacana defisit demokrasi?”

Penelitian ini menggunakan analisis simtom-wacana psikoanalisis Jacques Lacan untuk memecahkan permasalahan ini. Teori ini melihat prilaku subyek, dalam hal ini, partisipasi demokrasi sebagai sebentuk upaya untuk memenuhi hasratnya. Akibatnya, pemenuhan hasratlah yang menjadi utama, ketimbang tindakan partisipasi tersebut. Untuk memperoleh hasrat ini, subyek tidak perlu benar-benar berpartisipasi, ia cukup hanya perlu merasakan sensasi berpartisipasi. Sensasi inilah yang sebenarnya ia cari melalui tindakan yang ia kira partisipasi demokrasi—nyatanya, tidak ada yang terjadi secara kongkrit di lapangan. Adalah media baru yang mampu mengkondisikan kesalah-mengiraan ini, sehingga ia mampu menjebak energi-energi partisipasi subyek di dalam sirkuit medianya dengan cara terus menerus memproduksi sensasi partisipasi demokrasi.

Untuk menunjukkan ini, penelitian akan melakukan evaluasi pada partisipasi masyarakat melalui media dengan menganalisis 1000 buah “kicauan” (tweet) masyarakat di sekitar Pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua, melalui platform mikro-blog Twitter. Pola dominan hasrat akan dipetakan sebarannya, untuk kemudian ditunjukkan sensasi partisipasi demokrasi seperti apa yang diproduksinya. Penelitian ini akan diakhiri dengan menyimpulkan apa artinya temuan-temuan ini bagi konsep dan praktik partisipasi demokrasi di era media baru.
Tentang tren transformasi pengorganisasian ekonomi politik internasional hari-hari ini.
Apa dampak krisis finansial yang diderita Amerika Serikat (AS) pada 2008 silam terhadap ekonomi dunia? Umumnya, jawaban terhadap pertanyaan ini berkisar pada instabilitas makroekonomi, efek penularan (contagious effect) krisis dan naiknya... more
Apa dampak krisis finansial yang diderita Amerika Serikat (AS) pada 2008 silam terhadap ekonomi dunia? Umumnya, jawaban terhadap pertanyaan ini berkisar pada instabilitas makroekonomi, efek penularan (contagious effect) krisis dan naiknya Republik Rakyat Cina (RRC). Lebih dari ketiga genre argumentasi ini, dengan berangkat dari perspektif politik ekonomi, tulisan ini mencoba membangun suatu hipotesis yang mampu menunjukkan suatu dampak yang lebih mendalam: yaitu suatu perubahan fundamental dalam paradigma penataan ekonomi global. Untuk sampai kepada hipotesis ini, tulisan ini pertama-tama menunjukkan dimensi global dari postur ekonomi  AS, untuk kemudian menunjukkan bagaimana krisis yang dialaminya pun menjadi berdimensi global pula. Kemudian tulisan ini mengelaborasi bagaimana upaya AS untuk memitigasi dan memulihkan diri dari krisis berdampak pada pergeseran paradigma penataan ekonomi global. Data-data yang digunakan adalah data-data publik mengenai indikator-indikator ekonomi makro yang disediakan oleh World Bank, WTO, IMF dan UNCTAD. Di bagian akhir, klaim ini diuji dengan mengangkat studi kasus program Aid for Trade oleh World Trade Organization. Tulisan diakhiri dengan diskusi mengenai implikasi temuan dan beberapa simpulan teoritik maupun praktis untuk memahami transformasi kapitalisme global.
Artikel ini berusaha menyusun pemahaman awal mengenai fenomena baru ini dengan melihat pengguna media sosial Facebook dan Twitter. Tujuan umum tulisan ini adalah untuk menyejarahkan fenomena “publikasi privasi” dalam bentang darat media... more
Artikel ini berusaha menyusun pemahaman awal mengenai fenomena baru ini dengan melihat pengguna media sosial Facebook dan Twitter. Tujuan umum tulisan ini adalah untuk menyejarahkan fenomena “publikasi privasi” dalam bentang darat media baru. Menyejarahkan yang kami maksud di sini adalah upaya untuk mensituasikan kemunculan fenomena ini dalam konteks sosial yang lebih luas, untuk kemudian menyarikan implikasi sosialnya. Secara spesifik, kami akan mensituasikan fenomena tersebut dalam kapitalisme neoliberal, terutama dalam bagaimana ia menciptakan semacam subjektivitas yang berguna untuk menguatkan dan mengasingkan sistem dalam kehidupan sehari-hari dan, dalam pembahasan kita, dalam kapitalisme komunikatif kita hari ini. Pembaca juga mesti menyadari bahwa diskusi kita bukan hanya untuk mendeskripsikan situasi, namun yang lebih penting juga untuk menyudi kemungkinan-kemungkinan mengubahnya.
[P]emerintah masih cenderung melihat angkatan kerja produktif ini (jika bukan seluruh rakyatnya) semata-mata sebagai tubuh-tubuh yang harus dioptimalkan energi vitalitasnya untuk meningkatkan performa ekonomi nasional. ... Dengan melihat... more
[P]emerintah masih cenderung melihat angkatan kerja produktif ini (jika bukan seluruh rakyatnya) semata-mata sebagai tubuh-tubuh yang harus dioptimalkan energi vitalitasnya untuk meningkatkan performa ekonomi nasional. ... Dengan melihat dari perspektif kreativitas, sebenarnya ada dua bonus demografi lainnya yang berpotensi dipetik Indonesia. Sebut saja “bonus demografi kreatif.”
Tulisan singkat ini hendak memberikan problematisasi lebih mendalam terhadap rencana kerja pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK di bidang hubungan internasional dan politik luar negeri (polugri). Secara umum, metode... more
Tulisan singkat ini hendak memberikan problematisasi lebih mendalam terhadap rencana kerja pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK di bidang hubungan internasional dan politik luar negeri (polugri). Secara umum, metode pembahasan saya sederhana. Saya hendak membenturkan gagasan Poros Maritim ini dengan janji Jokowi-JK akan suatu polugri “demi kesejahteraan masyarakat” yang “mengabdi pada kepentingan nasional.” (Rangkuman dan saripati dari politik luar negeri Jokowi-JK saya lampirkan di Lampiran 1).Tidak hanya itu, di dalam debat Pilpres ketiga, dijanjikan pula bahwa doktrin ini mampu membawa Indonesia sebagai “pemenang dalam pertarungan global abad 21.” Dua problem sentral yang hendak saya soroti: lingkungan strategis (lingstra)7 pertarungan global abad ke 21 dan keberpihakan polugri. Klaim umum saya: pertama, bahwa doktrin Poros Maritim didasarkan pada pembacaan lingstra yang relatif bermasalah dan anakronis; kedua, bahwa keberpihakan polugri Poros Maritim masih berupa retorika belaka yang secara idiologis tidak didasarkan pada pemikiran yang berpihak pada rakyat. Di bagian akhir, tulisan ini mencoba menyajikan beberapa formulasi tantangan bagi Jokowi-JK, dan juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang percaya dan berkomitmen mengawal Polugri Poros Maritim ini.
Artikel ini mencoba menarik apresiasi terhadap teori dan filosofi Jean Baudrillard keluar dari kubangan nihilisme naïf yang merebak di kalangan penstudi dan pembaca Baudrillard, terutama di Indonesia. Repetisi melelahkan akan... more
Artikel ini mencoba menarik apresiasi terhadap teori dan filosofi Jean Baudrillard keluar dari kubangan nihilisme naïf yang merebak di kalangan penstudi dan pembaca Baudrillard, terutama di Indonesia. Repetisi melelahkan akan konsep-konsep seperti simulakra, simulasi dan hiper-realitas nampaknya telah mendiskreditkan konsep Baudrillard yang lain – yaitu reversibilitas, misalnya – yang menurut penulis memiliki potensi perlawanan terhadap ketiga konsep sebelumnya. Artikel ini mencoba mengangkat konsep reversibilitas, dan bagaimana ia berimplikasi bagi pemahaman kita baik tentang semesta realitas maupun filsafat Baudrillard sendiri. Kesemuanya ini demi menyudahi dan melawan euforia selebrasi pseudo-liberal posmodernisme, atau yang disebut Baudrillard sebagai orgy. Ya, posmodernitas adalah sebuah orgy.
Argumentasi penulis ada dua. Pertama, penulis berpendapat bahwa gagasan ‘kedaulatan modern’ bersumber dari gagasan ‘subyektivitas modern’: “batas kedaulatan” paralel dengan “citra keutuhan tubuh (gestalt)”; “kedaulatan kedalam” paralel... more
Argumentasi penulis ada dua. Pertama, penulis berpendapat bahwa gagasan ‘kedaulatan modern’ bersumber dari gagasan ‘subyektivitas modern’: “batas kedaulatan” paralel dengan “citra keutuhan tubuh (gestalt)”; “kedaulatan kedalam” paralel dengan “otoritas ego dan rasio atas tubuh”; dan “kedaulatan keluar” paralel dengan gagasan “kedewasaan subyek yang otonom dan independen” –atau dalam bahasa Psikoanalisis Sigmund Freud, Oedipus. Kedua, sama seperti gagasan subyek-gegar (barred-subject) Psikoanalisis, negara dengan demikian senantiasa mengalami gegar-kedaulatan. Kegegaran ini membuat pemerintah (“ego”-nya negara) untuk melakukan “manipulasi” demi menutupi kegegarannya, sekalipun itu membawa penderitaan (suffering) baginya.
This paper serves as introductory note to what I argue in my book (Asal Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikorfasis Bernegara [Origin of Sovereignty: Psychogenealogical tracing of microfascist desire of the state]) to... more
This paper serves as introductory note to what I argue in my book (Asal Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikorfasis Bernegara [Origin of Sovereignty: Psychogenealogical tracing of microfascist desire of the state]) to be the 'sovereignty logic' of Westphalian Sovereign State (i.e. modern state) and my method in coining it up, that is what I call psychogenalogy.
TULISAN Bung Ferdiansyah Rivai yang agonistik nan pesimis penting untuk ditanggapi, namun bukan untuk membalikkan drama bung Rivai menjadi suatu pertunjukkan sukacita penuh dengan optimisme à la Mario Teguh. Tujuan saya melakukan ini ada... more
TULISAN Bung Ferdiansyah Rivai yang agonistik nan pesimis penting untuk ditanggapi, namun bukan untuk membalikkan drama bung Rivai menjadi suatu pertunjukkan sukacita penuh dengan optimisme à la Mario Teguh. Tujuan saya melakukan ini ada dua: 1) untuk menantang ke-realistis-an pendekatan realisme negara-sentris bung Rivai itu sendiri; 2) untuk menguji ke-realistis-an kita semua dalam melihat ‘realitas,’ dalam hal ini realitas hubungan internasional. Untuk menunjukkan ini, saya memilih untuk masuk dari sendi-sendi konseptual tulisan bung Rivai.
"Penelitian ini berangkat dari sebuah paradoks dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia hari-hari ini: maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya... more
"Penelitian ini berangkat dari sebuah paradoks dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia hari-hari ini: maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya opini publik tentang demokrasi yang belum benar-benar diimplementasikan, bahkan tidak sedikit yang secara pesimis menilainya sebagai kegagalan. Jadi, di satu sisi terdapat surplus media, dan di sisi lain terdapat defisit demokrasi. Kenyatan inilah yang disebut sebagai ‘paradoks demokratisasi di era media baru’. Paradoks ini akan berubah menjadi suatu anomali saat ia dibenturkan dengan teori klasik yang menekankan peran media sebagai pilar keempat demokrasi (setelah eksekutif, legistlatif dan yudikatif). Media, diyakini menjadi prasyarat mutlak sekaligus indikator penting bagi terselenggaranya demokrasi. Dengan latar belakang teoritik seperti ini, dengan demikian penelitian ini mengajukan pertanyaan, “Mengapa di era keterbukaan informasi dimana hampir seluruh orang dapat mengartikulasikan pendapatnya secara bebas melalui  media, malah muncul wacana defisit demokrasi?”

Penelitian ini menggunakan analisis simtom-wacana psikoanalisis Jacques Lacan untuk memecahkan permasalahan ini. Teori ini melihat prilaku subyek, dalam hal ini, partisipasi demokrasi sebagai sebentuk upaya untuk memenuhi hasratnya. Akibatnya, pemenuhan hasratlah yang menjadi utama, ketimbang tindakan partisipasi tersebut. Untuk memperoleh hasrat ini, subyek tidak perlu benar-benar berpartisipasi, ia cukup hanya perlu merasakan sensasi berpartisipasi. Sensasi inilah yang sebenarnya ia cari melalui tindakan yang ia kira partisipasi demokrasi—nyatanya, tidak ada yang terjadi secara kongkrit di lapangan. Adalah media baru yang mampu mengkondisikan kesalah-mengiraan ini, sehingga ia mampu menjebak energi-energi partisipasi subyek di dalam sirkuit medianya dengan cara terus menerus memproduksi sensasi partisipasi demokrasi.

Untuk menunjukkan ini, penelitian akan melakukan evaluasi pada partisipasi masyarakat melalui media dengan menganalisis 1000 buah “kicauan” (tweet) masyarakat di sekitar Pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua, melalui platform mikro-blog Twitter. Pola dominan hasrat akan dipetakan sebarannya, untuk kemudian ditunjukkan sensasi partisipasi demokrasi seperti apa yang diproduksinya. Penelitian ini akan diakhiri dengan menyimpulkan apa artinya temuan-temuan ini bagi konsep dan praktik partisipasi demokrasi di era media baru.
"

And 25 more

Tiga hal yang saya mau saya soroti .. : pertama, imperialisme sebagai sumber misteri politik internasional; kedua, hubungan intim antara sistem persenjataan (sebagai alat manuver geopolitik) sebagai modus penjarahan dan dinamika di lini... more
Tiga hal yang saya mau saya soroti .. : pertama, imperialisme sebagai sumber misteri politik internasional; kedua, hubungan intim antara sistem persenjataan (sebagai alat manuver geopolitik) sebagai modus penjarahan dan dinamika di lini modus produksi; ketiga, politik internasional sebagai bagian perjuangan kelas pekerja.
Tulisan ini merupakan ungkapan keberatan saya terhadap pandangan materialisme. Beberapa alasan akan dikemukakan pada bagian berikutnya. Terlebih, penekanan akan diberikan pada implikasi-implikasi filosofis (dan teologis) dan politis dari... more
Tulisan ini merupakan ungkapan keberatan saya terhadap pandangan materialisme. Beberapa alasan akan dikemukakan pada bagian berikutnya. Terlebih, penekanan akan diberikan pada implikasi-implikasi filosofis (dan teologis) dan politis dari keberatan tersebut.
Quentin Meillassoux's breakthrough in relaunching philosophical realism through its speculative project against what he dubs correlationist philosophies is an excellent opportunity to continue philosophy despite the prevailing... more
Quentin Meillassoux's breakthrough in relaunching philosophical realism through its speculative project against what he dubs correlationist philosophies is an excellent opportunity to continue philosophy despite the prevailing postmodernist trend to dismiss the realist philosophical topic: the existence of absolute and objective reality. However, Meillassoux's philosophical edifice is insufficient to carry on the project due to its problematic postulation of the outside realm, or what he calls the Great Outdoor. The author sees that the recent young tendency in philosophy, called Accelerationism, has a promising approach to overcome the deadlock found in Meillassoux. But then again, this philosophical tendency still does not have adequate ontological thinking albeit the potentiality it conceives. It is on this occasion that we introduce Antonio Negri's ontological thinking, or what we call claustrontology, as both potential solution to Meillassoux's deadlock and as ontological underpinning for the young Accelerationism.
Research Interests:
Pada 2013 lalu, diluncurkan bibel psikiatri dunia teranyar: Diagnostic & Statistical Manual (DSM) of Mental Disorders ke-V. Dikatakan bibel, karena hampir seluruh praktisi kesehatan jiwa (psikiater, psikoterapis, support group, dst.)... more
Pada 2013 lalu, diluncurkan bibel psikiatri dunia teranyar: Diagnostic & Statistical Manual (DSM) of Mental Disorders ke-V. Dikatakan bibel, karena hampir seluruh praktisi kesehatan jiwa (psikiater, psikoterapis, support group, dst.) menggunakan DSM sebagai pedomannya dalam mendiagnosis. Berbeda dari sebelumnya, DSM-V kali ini mengundang banyak kontroversi terutama dalam upayanya memahami variasi gangguan kejiwaan yang dianggap malah berakibat melabeli orang normal sebagai sakit jiwa. Tulisan ini akan memaparkan garis besar kontroversi tersebut dan memberikan komentar dari sudut pandang psikoanalisis. Berbeda dari psikoanalis pada umumnya yang ikut mengutuk, saya malah mengusulkan untuk merayakan DSM-V dengan argumen sederhana: semakin banyak yang dilabeli sakit jiwa, semakin rezim normalitas nampak sakit secara kejiwaan.
Research Interests:
Having a dramatic life is one thing, but making it public is completely another thing that attracts further analysis. Everybody surely has drama – personal story, misery, happiness, sadness, romance and erotica. People also share these... more
Having a dramatic life is one thing, but making it public is completely another thing that attracts further analysis. Everybody surely has drama – personal story, misery, happiness, sadness, romance and erotica. People also share these stories to others, ones with a qualified proximity. But telling these stories randomly, in public, without a definite knowledge as to the audience: this is historically a new phenomena. The present article endeavors at making an account of this new phenomena by using Indonesian Facebook and Twitter users. It begins firstly by observing the noisy dynamics inside the two platforms and figuring out a kind of subject defined by its dramatic activity. This activity is what will be called dramatization. Jacques Lacan’s theory of desire and sublimation will serve as lenses to further elaborate the concept of dramatization. It will argue that dramatization is a specific mode of desiring in our present new media era. Second section extrapolates from Michel Foucault’s genealogy of neoliberalism an hypothesis that dramatization being a further consequence of late neoliberal-capitalist democracy (NCD). Particular attention is given to the notion of ‘privatization’ which serves as the activity of neoliberal homo economicus. Third section tries to see dramatization as a kind of work, done by a kind of labor, producing a kind of value, paid by a kind of wage, and thereby forming a new kind of class: the dramatic class. Putting the discussion in the affective turn in social theory, the dramatic class is populated by people whose affective capacity being expropriated by the Capital through the complex constellation of new media technology. Dramatic class does not have autonomy of affect, it has only artificial freedom of affect inside the circuit built by the complex algorithm of new media. We, the authors, hope that the last section may provide a useful concluding discussion as to many implications of the thesis, and how to redirect our affective capacity through new media’s architecture to dramatically bring about conclusive drama to the neoliberal-capitalist system.
It is widely accepted among scholars dealing with the dynamics of Southeast-Asian (SEA) international relations that the prevalent strategy among SEA nations to cope with the alleged global power transition, viz., the rise of China... more
It is widely accepted among scholars dealing with the dynamics of Southeast-Asian (SEA) international relations that the prevalent strategy among SEA nations to cope with the alleged global power transition, viz., the rise of China vis-à-vis the relative decline of the US, is that of strategic hedging. By the latter, one generally refers to the strategic move to balance the influence of the two great powers by enmeshing them to the internal dynamics of the region. As a concept, hedging enjoys both policy and academic reception. This paper distances itself from this conviction and instead sets out to inquire into the continuing relevance, if ever, of this concept in the wake of what will be advanced here as the ‘monetary geopolitics hypothesis’. In so doing, it focuses on the maneuvers done by the side of China and the SEA strategic policy responses towards it.
Apa dampak krisis finansial yang diderita Amerika Serikat (AS) pada 2008 silam terhadap ekonomi dunia? Umumnya, jawaban terhadap pertanyaan ini berkisar pada instabilitas makroekonomi, efek penularan (contagious effect) krisis dan naiknya... more
Apa dampak krisis finansial yang diderita Amerika Serikat (AS) pada 2008 silam terhadap ekonomi dunia? Umumnya, jawaban terhadap pertanyaan ini berkisar pada instabilitas makroekonomi, efek penularan (contagious effect) krisis dan naiknya Republik Rakyat Cina (RRC). Lebih dari ketiga genre argumentasi ini, dengan berangkat dari perspektif politik ekonomi, tulisan ini mencoba menunjukkan suatu dampak yang lebih mendalam: yaitu suatu perubahan fundamental dalam paradigma penataan ekonomi global. Untuk mengelaborasi argumentasi ini, tulisan ini pertama-tama menunjukkan dimensi global dari postur ekonomi  AS, untuk kemudian menunjukkan bagaimana krisis yang dialaminya pun menjadi berdimensi global pula. Kemudian tulisan ini mengelaborasi bagaimana upaya AS untuk memitigasi dan memulihkan diri dari krisis berdampak pada pergeseran paradigma penataan ekonomi global. Terkait upaya ini penulis memobilisasi teori siklus akumulasi profit/kapital dan didukung oleh teori akumulasi finansial. Data-data yang digunakan adalah data-data publik mengenai indikator-indikator ekonomi makro yang disediakan oleh World Bank, WTO, IMF dan UNCTAD. Di bagian akhir, argumentasi ini diuji dengan mengangkat studi kasus program Aid for Trade oleh World Trade Organization. Tulisan diakhiri dengan diskusi mengenai implikasi temuan dan beberapa simpulan teoritik maupun praktis.
Saya hendak memulai diskusi kita pada pertanyaan yang sedikit puitik, namun relevan: masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial hari-hari ini? Frustrasi. Kata ini saya kira paling cocok untuk mendeskripsikan gejala psikis... more
Saya hendak memulai diskusi kita pada pertanyaan yang sedikit puitik, namun relevan: masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial hari-hari ini? Frustrasi. Kata ini saya kira paling cocok untuk mendeskripsikan gejala psikis yang ditampakkan  para aktivis kebanyakan hari ini. Di satu sisi mereka ingin memerjuangkan ide-ide besar transformasi, pergerakan, dan/atau perlawanan. Namun di sisi lain, semakin mereka mendalami dan serius terhadap itu semua, semakin pula kerentanan (sosial, ekonomi, politik) hidup meliputi mereka. ... Yang memfrustrasikan adalah bahwa para aktivis ini tahu betul bahwa kerentanan kehidupan yang menguras nafas hidup mereka adalah akibat dari sesuatu yang ingin mereka transformasikan dan/atau lawan. Satu hal yang ingin saya soroti yang menjadi salah satu akibat dari pemfrustrasian ini, yaitu korupsi. .. korupsi menjadikan aktivis agen penghancur dari aktivisme itu sendiri.
Apa dampak krisis finansial yang diderita Amerika Serikat (AS) pada 2008 silam terhadap ekonomi dunia? Umumnya, jawaban terhadap pertanyaan ini berkisar pada instabilitas makroekonomi, efek penularan (contagious effect) krisis dan... more
Apa dampak krisis finansial yang diderita Amerika Serikat (AS) pada 2008 silam terhadap ekonomi dunia? Umumnya, jawaban terhadap pertanyaan ini berkisar pada instabilitas makroekonomi, efek penularan (contagious effect) krisis dan bangkitnya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang dipasangkan dengan kemunduran Amerika Serikat. Lebih dari ketiga genre argumentasi ini, dengan berangkat dari perspektif politik ekonomi, diskusi ini mencoba menawarkan suatu  pandangan yang mampu menunjukkan suatu dampak yang lebih mendalam: yaitu suatu perubahan fundamental dalam paradigma penataan ekonomi global. Untuk mengelaborasi pandangan ini akan ditunjukkan: pertama, dominasi akumulasi kapital finansial global dan apa artinya krisis 2008-2012 yang melanda AS dan Eropa bagi dominasi ini; kedua, dimensi global dari model pertumbuhan ekonomi AS secara otomatis membuat krisis yang dialaminya pun menjadi berdimensi global pula, baik dari segi politik ekonomi bahkan geopolitik. Lebih spesifiknya, dimensi global ini akan dikaitkan dengan tingginya kesaling-terkaitan makroekonomi antara model pertumbuhan AS dengan Tiongkok yang muncul bahkan tanpa secara sadar diinisiasi keduanya. Dunia, mau tidak mau, harus menerima kenyataan Chimerica – China-America – sebagai faktor yang membuat dunia berputar; ketiga, elaborasi beralih ke bagaimana upaya AS untuk memitigasi dan memulihkan diri dari krisis berdampak pada pergeseran paradigma penataan ekonomi global. Diskusi akan ditutup dengan paparan implikasi temuan dan beberapa simpulan teoritik maupun praktis untuk memahami transformasi sistem ekonomi global dari perspektif model dan strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini, dan terutama di era pemerintahan Joko Widodo.
Tentang kejanggalan dalam prilaku dan argumen para pro-kenaikan BBM. Tentang bagaimana dukungan terhadap Jokowi hanya merupakan manifestasi pelepasan tanggung jawab kelas menengah yang egois dan sibuk meniti karir dan drama kehidupannya.... more
Tentang kejanggalan dalam prilaku dan argumen para pro-kenaikan BBM. Tentang bagaimana dukungan terhadap Jokowi hanya merupakan manifestasi pelepasan tanggung jawab kelas menengah yang egois dan sibuk meniti karir dan drama kehidupannya. Tentang bahwa adalah mungkin untuk menolak kenaikan BBM dengan mengonfrontir argumen tipikal pro-kenaikan - pemborosan, pengalihan sektor produktif, salah sasaran, dst.
Tulisan singkat ini hendak memberikan problematisasi lebih mendalam terhadap rencana kerja pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK di bidang hubungan internasional dan politik luar negeri (polugri). Bahkan, secara lebih... more
Tulisan singkat ini hendak memberikan problematisasi lebih mendalam terhadap rencana kerja pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK di bidang hubungan internasional dan politik luar negeri (polugri). Bahkan, secara lebih spesifik, tulisan ini akan fokus pada doktrin polugri “Poros Maritim” untuk kemudian mencoba menunjukkan keterbatasan, kontradiksi internal dan tantangan bagi Jokowi-JK apabila visi-misi dan janji kampanye mereka hendak ditunaikan melalui doktrin ini. Secara umum, metode pembahasan saya sederhana. Saya hendak membenturkan gagasan Poros Maritim ini dengan janji Jokowi-JK akan suatu polugri “demi kesejahteraan masyarakat” yang “mengabdi pada kepentingan nasional.” Tidak hanya itu, di dalam debat Pilpres ketiga, dijanjikan pula bahwa doktrin ini mampu membawa Indonesia sebagai “pemenang dalam pertarungan global abad 21.” Dua problem sentral yang hendak saya soroti: lingkungan strategis (lingstra)  pertarungan global abad ke 21 dan keberpihakan polugri. Klaim umum saya: pertama, bahwa doktrin Poros Maritim didasarkan pada pembacaan lingstra yang relatif bermasalah dan anakronis; kedua, bahwa keberpihakan polugri Poros Maritim masih berupa retorika belaka yang secara idiologis tidak didasarkan pada pemikiran yang berpihak pada rakyat. Di bagian akhir, tulisan ini mencoba menyajikan beberapa formulasi tantangan bagi Jokowi-JK, dan juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang percaya dan berkomitmen mengawal Polugri Poros Maritim ini.
‘the problem is not why people revolt, but why they don’t.’ Bahkan, di Anti-Oedipus, keduanya juga terpusingkan dengan teka-teki ‘why do people desire their own repression?’
Hak Untuk Malas–diksusi ini bertujuan untuk mengajak penonton mempertanyakan kembali hakikat kerja. Selama ini pekerja-pekerja rentan lekat dengan dengan wacana “produktif”, yang tanpa sadar semakin melanggengkan praktik-praktik... more
Hak Untuk Malas–diksusi ini bertujuan untuk mengajak penonton mempertanyakan kembali hakikat kerja. Selama ini pekerja-pekerja rentan lekat dengan dengan wacana “produktif”, yang tanpa sadar semakin melanggengkan praktik-praktik eksploitatif terhadap pekerja itu sendiri.