Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2018, Theconversation.com
Siapa prekariat di Indonesia? Apakah hanya buruh alih daya dan buruh berupah minimum? Ataukah kita semua? Apa yang mencirikan seorang prekariat? Apakah derajat kerentanan para prekariat adalah sama? Dan seperti apa kira-kira perjuangan politik prekariat yang mampu mengevakuasi para pekerja dari kondisi perentanan sistemik?
Vol 7 No 4, Oktober - Desember
BERHENTI DAN MELIHAT2019 •
Memasuki tahun 2019, melalui setiap edisi newsletter kami ingin mengundang para pembaca untuk turut bergerak dan berjalan mengikuti setiap langkah yang kami ambil dalam mempersiapkan perhelatan Biennale Jogja Equator #5. Ajakan ini semata-mata kami lakukan untuk mendekatkan para pembaca dengan proses kerja kami sampai perhelatan Biennale Jogja Equator #5 dapat terlaksana. Atas usaha dari setiap individu yang terlibat dalam tim kerja, pada tanggal 20 Oktober 2019 kemarin, Biennale Jogja Equator #5 akhirnya dibuka. Setelah banyak bergerak, rasanya ditengah antusiasme dan kesibukan selama acara berlangsung, berhenti menjadi satu hal yang penting untuk dilakukan. Berhenti dan diam seringkali membuat kita kemudian melihat hal-hal yang luput dari pandangan. Kesempatan untuk berhenti yang pertama ditawarkan dari kegiatan lokakarya dan simposium publik yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta, bertajuk “As We Are Together: Rethinking Artists/Curators Initiatives In Art Ecosystem Of Southeast Asia”. Menawarkan sebuah ruang diskusi untuk mempertemukan para pekerja seni di Asia Tenggara— yang mungkin akan jarang terjadi, walaupun secara geografis lokasinya berdekatan. Diawali dengan tulisan Kinan Aji Nurdiansyah yang menyampaikan sebuah laporan singkat mengenai diskusi yang terjadi pada simposium publik. Sedangkan Eliesta Handitya, melalui tulisannya menyampaikan analisa lebih lanjut terkait dengan isuisu yang diangkat saat lokakarya berlangsung. Karya-karya seniman yang terlibat dalam Biennale Jogja Equator #5 pun menjadi dorongan untuk berpikir lebih lanjut mengenai masalah yang ada di sekitar kita. Bagas Nugroho mengajak kita untuk duduk dan melihat perjalanan Moelyono berkarir sebagai seniman— bagaimana ia merefleksikan pengalaman berkeseniannya yang bersinggungan dengan represi dari pemerintah. Sedangkan, di Thailand hal yang serupa juga terjadi, di mana Kiki Pea menuliskan cerita mengenai Pisitakun Kuntalaeng yang menggunakan karyanya sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Pengalaman yang lebih personal kami coba hadirkan melalui tulisan Harmantyo Pradigto Utomo, salah satu anggota Studio Malya. Ia menghadirkan sudut pandang lain dalam melihat persiapan intens Studio Malya menjelang biennale. Terkait dengan isu kerja yang seringkali disamarkan melalui “semangat kolektif”, terutama untuk kerja lembur— yang akhirnya menjadikan diri mereka sebagai subjek pinggiran. Lalu, Irfan Darajat hadir untuk menawarkan kacamata lain dalam melihat Biennale Jogja Equator #5, yaitu melalui pendekatan suara. Ia melihat pameran kali ini sebagai perkampungan yang padat suara, di mana ada suara-suara yang terbungkam dalam arus kekuasaan dan kesempatan ini semua dicoba untuk diketengahkan. Melalui berhenti, besar harapan bahwa langkah ini dapat dilihat sebagai suatu pijakan awal untuk memulai sesuatu yang baru. Bagi kami sendiri, semoga setelah berhenti dan melihat apa yang tersembunyi, kami dapat lanjut bergerak untuk mempersiapkan diri lebih baik di tahun berikutnya. Terima kasih dan selamat membaca. Salam, Tim Redaksi
2021 •
Ekonomi gig, sebagai bentuk ekonomi yang menekankan pada upah berdasarkan jumlah barang/jasa yang diselesaikan, kini semakin banyak diperbincangkan. Di satu sisi, banyak yang menyanjung ekonomi gig sebagai ekonomi masa depan, karena telah mampu menyerap jutaan tenaga kerja, memberi mereka fleksibilitas, dan menunjang pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, ekonomi gig telah berkontribusi pada kerentanan kerja, karena ketiadaan perlindungan sosial dan kepastian pendapatan bagi para pekerjanya. Kerentanan tersebut memungkinkan untuk terjadi, karena mereka diklasifikasikan sebagai kontraktor independen dengan hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja buruh-pengusaha. Dampaknya, pekerja gig menjadi belum menikmati perlindungan kerja berupa upah minimum, jam kerja 40 jam/minggu, hak berserikat, hak libur, dan jaminan sosial sebagaimana yang diterima pekerja dalam hubungan kerja buruh-pengusaha. Sementara itu, hubungan kemitraan berjalan dengan tidak adil, karena setiap keputusan dilakukan sepihak oleh perusahaan platform, sehingga merugikan pekerja gig. Dalam buku ini, kami mengurai persoalan yang terjadi dalam ekonomi gig di Indonesia. Buku ini menyajikan analisis tentang belum tercapainya kondisi kerja layak dan adil bagi pekerja gig, baik yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, kurir, musisi, buruh jahit, dan pekerja kreatif. Persoalan tersebut dianalisis dari kacamata yang beragam, dari pendekatan ekonomi politik, regulasi, budaya kritis, hingga kekuasaan. Buku ini menjadi bacaan awal yang penting untuk memahami beragam persoalan di ekonomi gig dan bagaimana untuk mendorong terwujudnya kerja layak dan adil bagi pekerja gig.
esai esai sastra dan kajian budaya / cultural studies
Kongres Kebudayaan Desa
Kewargaan (Citizenship): Pola Relasi Baru Warga dan Negara2020 •
Gilang Mahadika yang berjudul “Meninjau Ulang Niat Pemerintah Memperbaiki Kehidupan Masyarakat Dataran Tinggi” kaya akan sumber pustaka mengenai bagaimana secara historis negara selama ini mengabaikan pedesaan di dataran tinggi. Pengabaian ini membuat negara seperti tidak pernah hadir dalam komunitas-komunitas di dataran tinggi dan pegunungan. Gilang mengkritik bahwa sekalinya pemerintah hadir dalam mengupayakan pembangunan di dataran tinggi, justru tidak menghadirkan solusi, melainkan memunculkan masalah baru bagi penduduk setempat. Beragam agenda pembangunan daerah tertinggal oleh pemerintah perlu melandaskan kembali pada konteks sejarah ekonomi dan sosial budaya yang ada di masyarakat, tidak sekadar mencerabut masyarakat dari akar tradisi atau budayanya.
Disinformasi Digital, Populisme dan Solusi Jurnalisme
DEMOKRASI DAMAI ERA DIGITAL2019 •
Revolusi digital telah mendorong demokratisasi dan perubahan sosial di banyak negara. Di Indonesia, Internet membantu jejaring aktivis untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi terkait upaya penggulingan Soeharto di akhir 1990-an. Penggunaan media sosial secara strategis untuk protes-protes kolektif, dibarengi dengan aksi-aksi riil lainnya telah menggerakkan protes global konektif dan menimbulkan gelombang perubahan, seperti Musim Semi Arab, Occupy Wall Street, Los Indignados, Movement for Black Lives, Zapatista dan Gerakan 19 April di Nikaragua. Internet, terutama melalui Google, Facebook, Instagram, dan Twitter juga dituding menggelar karpet merah bagi Donald Trump melenggang ke Gedung Putih, dan menjerumuskan warga Inggris dalam referendum untuk memilih keluar dari Uni Eropa (Brexit). Disinformasi politik di ranah digital, terutama melalui media sosial, dijadikan alat oleh sebagian kelompok untuk meraih suara populis di tengah lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap kelompok elit. Bagaimana disinformasi politik (juga misinformasi) pada era digital dikaitkan dengan politik populis? Bagaimana tawaran solusi dari ranah jurnalisme?
2017 •
Ekstrakurikulab Festival (Guidebook)
(2016) Festival Ekstrakurikulab @ Gudang Sarinah Ekosistem - Guidebook2016 •
Pustaka Agraria Indonesia (Sebuah Kerja Pendahuluan) Konferensi Tenurial
Pesan-Pesan Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), Gerpolek dan Indonesia Menggugat2017 •
Finsensius Yuli Purnama, Effy Paud, Masduki Baseran, Rino F E B R I A N N O Boer, Hasyim Widhiarto, Irwan Irs, Hasmah Zanuddin, Dadi Ahmadi, Sri Sediyaningsih, Heintje Hendriek Daniel Tamburian, Endah Murwani, Yesi Puspita, Nieke Monika, Yuli Widya Madala Surabaya, Djudjur Luciana, Nina Widyawati, Damayanti Wardyaningrum, Wirawan Respati, Eki Baihaki, Rahmat Edi Irawan Rei, Choirul Fajri, Indiwan seto wahjuwibowo, Irwansyah Irwansyah, Dorien Kartikawangi, Suzy Azeharie, Yohanes Krisnawan, Sevly Putri, Melati Putri, inong suraya
2021 •
Jurnal Socius: Journal of Sociology Research and Education
Arena Produksi Kultural Kerajinan Kulit di Surakarta Dalam Tren Ekonomi KreatifJURNAL IMAJI, Institut Kesenian Jakarta
Film Konten Idam Pica dengan Visual Dokumentasi, Animasi, dan Live ActionPusat Sejarah dan Etika Politik
Pengajaran Sejarah Lokal sebagai Counter Wacana Ekstremisme Global di Indonesia (Studi Kasus di Dua Tempat)2018 •
SAINS, FILSAFAT, AGAMA, PANDEMI sebuah diskursus pemikiran
Diskursus Sains, filsafat, dan agama2020 •
Jurnal Inovasi Ilmu Sosial dan Politik (JISoP)
Framing Mass Hysteria Covid-19 dalam Berita Tempo dan DetikxMakalah Kongres Bahasa Indonesia X
Makalah Kongres Bahasa Indonesia X 2013. Subtema: 4 Bahasa Indonesia dan Industri Kreatif2013 •