Gerakan Pemberlakuan Syari’at Islam di Garut:
GERAKAN SUPERFISIAL
NEOFUNDAMENTALISME ISLAM
Moeflich Hasbullah
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Gunung Djati
Gerakan reformasi politik yang telah menumbangkan pemerintahan Orde
Baru Soeharto dari panggung kekuasaannya tahun 1998, telah melahirkan
‘ledakan emosi massa tak terkendali’ yang muncul dalam berbagai luapan eforia.
Ledakan itu terjadi dalam masa transisi pemerintahan dari sistem represifotoriter ke demokratis antara tahun 1998 sampai akhir 2002. Selama Orde Baru,
kemerdekaan berekspresi, beragama dan berbeda pendapat yang alami
terkungkung dalam angkuhnya jargon-jargon ‘bhineka tunggal ika,’ ‘stabilitas
nasional,’ ‘pembangunan ekonomi,’ ‘pancasila,’ ‘dwi fungsi ABRI,‘ dan
sejenisnya. Begitu Orde Baru runtuh, ledakan massa meledak tak terkendali
dalam ruang publik jagat nusantara. Ledakan sosial itu meletus dalam deretan
peristiwa: kerusuhan etnis antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan;
Konflik atas nama agama yang berkepanjangan di Ambon dan Poso;
Pembantaian massal di Situbondo; Penjarahan pusat-pusat kapitalisme
(kerusuhan Mei di Jakarta) sebagai akibat dari ketimpangan kebijakan
pemerintah di bidang ekonomi; Kekecewaan lokal terhadap pemerintah pusat
(Aceh, Riau, Tasikmalaya, Papua) dan sebagainya. Masa transisi yang
meresahkan tersebut relatif mereda sampai akhir tahun 2002, dan sejak itu,
walaupun belum sepenuhnya pulih, kondisi berangsur-angsur kembali ke situasi
normal.
Setelah rentetan peristiwa itu berlalu, muncullah harapan-harapan baru
rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri: demokratisasi politik, perbaikan
ekonomi, pemberantasan korupsi, kebebasan pers, supremasi hukum dan
keadilan sosial, otonomi daerah dan seterusnya. Bagi sebagian kalangan Islam
yang disebut komunitas Islam politik (political Islam) yang berbasis ideologi
Islam, gerakan reformasi dan jatuhnya rezim Soeharto seperti membangkitkan
kenangan memori kolektif mereka yang sudah lama terkuburkan: Negara Islam,
Piagam Jakarta atau pemberlakuan syari’at Islam dalam komunitas Muslim.
Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, yang ditengarai
sebagai “reinkarnasi” dari partai Islam Masyumi tahun 1950-60an, jelas-jelas
mengagendakan diberlakukannya syari’at Islam di Indonesia. Ia bersemangat
akan memperjuangkan kembali Piagam Jakarta agar menjadi bagian dari
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Walaupun dilakukan dengan cara-cara
1
demokratis dan konstitusional, Yusril bertekad tidak akan mundur
memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai hasil dialog antara kelompok
nasionalis dan Islam.1 Tetapi, sampai saat ini, perjuangan itu belum menemukan
hasilnya. Dalam kesempatan besar ketika UUD 1945 diamandemen dalam
Sidang Istimewa MPR tahun 2000 lalu, gagasan pemberlakuan kembali Piagam
Jakarta tidak mendapatkan dukungan luas. Mayoritas fraksi-fraksi dalam sidang
istimewa itu menyatakan keberatannya.
Sebagai memori kolektif yang masih mengendap kuat dalam ingatan dan
alam fikiran kelompok Islam politik, gagalnya memperjuangkan Piagam Jakarta
dalam sidang istimewa MPR, tidak lantas menyurutkan langkah mereka. Di level
grassroot di daerah-daerah, gagasan itu tetap hidup bahkan lebih kondusif untuk
direalisasikan. Diinspirasikan oleh kasus Aceh, beberapa daerah di Indonesia
yang pengaruh Islamnya relatif kuat seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan
Riau muncul ke permukaan dalam bentuk tuntutan penerapan pemberlakuan
syari’at Islam di daerahnya masing-masing. Di Jawa Barat, gagasan
pemberlakuan Syari’at Islam muncul di lima kabupaten: Sukabumi, Cianjur,
Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Gagasan penerapan Syari’at Islam di kabupatenkabupaten ini diperjuangan dalam semangat, volume dan kekuatan yang
berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan sosial, kultur, politik dan
kesiapannya masing-masing. Di Kabupaten Cianjur dan Garut, syari’at Islam
sudah dideklarasikan secara formal, sementara di Sukabumi, Tasikmalaya dan
Ciamis baru berupa gagasan, rencana dan sosialisasi. Diantara lima kebupaten
itu, dari aspek dukungan birokrasi, pemerintahan dan unsur-unsur masyarakat
yang terlibat, nampaknya Kabupaten Garut adalah yang arusnya paling kuat.
Unsur-unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif di kabupaten Garut beriring
bersama sepakat mengusung gagasan penerapan Syari’at Islam.2
Mengenai tuntutan ini, menarik diajukan beberapa pertanyaan. Apakah
tuntutan penegakkan Syari’at Islam di berbagai daerah di Indonesia adalah
aspirasi murni atas dasar kesadaran agama ingin menjalankan sistem hukum
Islam dalam negara kesatuan Republik Indonesia? Apakah penegakkan Syari’at
Islam merupakan aspirasi umat Islam secara keseluruhan atau hanya keinginan
segelintir kelompok elit agama? Bila hanya gagasan kelompok elit, apakah
mereka sungguh-sungguh ingin membawa masyarakat pada penerapan syari’at
Islam dalam kehidupan atau hanya memanfaatkan isu ini untuk kepentingan
posisi dan kekuasaan karena peran mereka yang terpinggirkan? Apakah
kembalinya kepada sistem Islam adalah penolakan terhadap sistem kehidupan
sekuler? Apakah yang mereka fahami dan mereka maksud dengan Syari’at
Islam? Sejauh mana penerapan Syari'at Islam itu telah mampu terealisir dan
dimungkinkan berlaku dalam sistem hukum dan perundang-undangan di
Indonesia? Sejauh manakah masyarakat pendukung Syari'at Islam mengetahui
bahwa Indonesia sudah banyak mengadopsi nilai-nilai hukum Islam sehingga
persoalannya bukan lagi perlunya penerapan syari’at Islam melainkan
komitmen, aplikasi dan tegakknya supremasi hukum? Sejauh manakah struktur
2
sosial di daerah dan struktur kesadaran masyarakat memungkinkan bagi
pelaksanaan Syariat Islam? Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut dari wawancara terhadap tokoh-tokoh masyarakat lewat sebuah
penelitian akan menjadi informasi penting dan berharga untuk mengukur
kesadaran agama, tingkat pemahaman syari’at, partisipasi politik, kemurnian
aspirasi dan kemungkinan pelaksanaan Syari'at Islam di daerah-daerah di
Indonesia.
Penelitian ini mengambil sampel di wilayah Priangan Timur dengan
fokus di Kabupaten Garut.3 Garut menjadi penting karena beberapa
pertimbangan: Pertama, Kabupaten Garut dan Wilayah Priangan Timur secara
umum, sepanjang sejarahnya adalah daerah dengan pergolakan politiknya yang
tinggi dan dikenal sebagai daerah historik pemberontakan Islam sejak
pemberontakan Cimareme (1919), perlawanan KH. Yusuf Taudjiri - Cipari
terhadap Belanda, pemberontakan KH. Zenal Musthofa Singaparna
(Tasikmalaya) terhadap pemerintahan pendudukan Jepang sampai gerakan
DI/TII Kartosuwiryo tahun 1948. Era reformasi, geliat gerakan Islam muncul lagi
dikabupaten ini dengan dideklarasikannya penerapan Syari’at Islam tahun 2002.
Kedua, Garut adalah sebuah kota santri, dengan prosentase penganut Islamnya
hampir 100%, dan ketiga, Garut bisa disebut miniatur Indonesia untuk
keragaman gerakan dan organisasi Islam. Hampir semua gerakan Islam yang
ada di Indonesia terdapat perwakilannya di Garut mulai dari ormas sosial agama
dan pendidikan (NU, Muhammadiyah, Persis), ormas kader (HMI, PMII, IMM,
Anshor), gerakan “sempalan” seperti Ahmadiyah, gerakan eksklusif seperti
Majelis Mujahidin Indonesia dan Ikhwanul Muslimun, gerakan Islam garis keras
semacam FPI dan Lasykar Jihad, Hizbut Tahrir, sampai gerakan bawah tanah
yang misterius seperti DI dan NII. Dalam heterogenitas kelompok Islam seperti
ini, adalah menarik melihat bagaimana persepsi, respon, tanggapan dan
penghayatan serta dukungan mereka terhadap pemberlakuan Syari'at Islam
yang sudah dideklarasikan di Kabupaten Garut. Namun sebelumnya, untuk
melihat gambaran potensi, prospek dan konteks yang akurat dalam memahami
gerakan Syari'at Islam, perlu digambarkan terlebih dahulu profil kontemporer
kabupaten Garut.
Profil Kabupaten Garut
Kondisi Penduduk
Secara historis, kota Garut pernah diwarnai oleh multi-etnis
penduduknya. Sejak awal abad ke-20, kota ini sudah menunjukkan kondisinya
sebagai kota yang dihuni oleh heterogenitas kelompok masyarakat. Sejak masamasa awal abad ke-20, di kota Garut sudah terdapat ragam penduduk yang
datang dari tiga wilayah penting di dunia: Eropa, Cina dan Timur Tengah
(Arab/Pakistan).
Kedatangan bangsa Eropa diawali oleh Belanda sebagai kolonial,
kemudian terdapat juga orang Inggris, Jerman, Itali dan Amerika Serikat. Selain
3
Eropa, masuk juga etnis Cina dan Arab serta Pakistan. Masuknya gelombang
orang asing ini akibat urbanisasi dan kebijakan dibukanya wilayah Priangan oleh
penguasa Balanda untuk kaum imigran asing. Heterogenitas penduduk ini juga
ditunjang oleh dibukanya lahan-lahan perkebunan teh dan dikenalkannya
daerah-daerah pariwisata di wilayah Garut. Sebagai kelompok yang secara sosial
dan politik lebih berpengaruh, membicarakan perkembangan Garut dan
penduduknya pada masa pra kemerdekaan, tidak bisa lepas dari membahas
peranan yang dipegang orang-orang asing ini.
Pada permulaan abad ke-20, orang-orang Inggris, Jerman, Itali, juga
Belanda dan Cina yang ada di Garut membuka usaha-usaha perkebunan karet,
kina dan teh di daerah-daerah seperti Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cikajang,
Cisompet, Cikelet dan Pameungpeuk.4 Kemudian, Belanda membuka lahanlahan untuk usaha-usaha perkebunan teh di lima wilayah yaitu Giriawas,
Cisaruni, Cikajang, Papandayan dan Darajat.5 Perkebunan-perkebunan teh ini,
selain areal ekonomi juga terkenal sebagai tempat rekreasi dan pariwisata yang
indah karena berhawa sejuk. Tempat-tempat pariwisata lain kemudian dibuka
yaitu Kawah Papandayan, Kawah Kamojang, Kawah Manuk, Kawah Talaga
Bodas, Cipanas, Situ Cangkuang dan Situ Bagendit.
Perpaduan antara perkebunan-perkebunan teh yang sejuk dengan
puncak-puncak gunung yang berkawah aman dan berpemandangan indah
membuat pariwisata Garut pada permulaan abad ke-20 terkenal ke seluruh
dunia. Dari informasi yang dikutip Kunto Sofianto dari buku The Garoet Express
and Tourist Guide Geillustreerd Weekblad yang terbit tahun 1923, terlihat nuansa
kemashuran parawisata Garut di dunia internasional. Pada tahun-tahun itu,
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Garut datang dari Amerika,
Inggris, Australia, Belanda dan Jepang. Orang-orang penting dan terkenal di
masanya yang pernah berkunjung ke Garut adalah Raja Leopold dan Astrid,
permaisurinya (tahun 1928). Kemudian beberapa bintang film terkenal seperti
Charlie Chaplin, Renate Muller dan Hans Albers juga pernah datang. Susuhunan
Pakubuwono X juga berkunjung pada tahun 1936 dan menginap di hotel
Papandayan.6
Gelombang orang-orang asing yang datang ke Garut berbeda-beda
waktunya. Dari catatan orang Belanda, kaum imigran Cina diperkirakan sudah
ada sejak tahun 1895. Tapi menurut Sofianto, berdasarkan kelenteng yang ada di
Garut, etnis Cina diperkirakan sudah bermukim sekitar 57 tahun sebelumnya,
mendiami wilayah yang ketika itu terpisah dari kaum pribumi di sekitar
Ciwalen/Sukaregang.7 Masuknya imigran Cina ke Garut ini disebabkan oleh
dibukanya wilayah Priangan (Bandung, Sumedang, Garut, Tasik dan Ciamis)
oleh pemerintah Belanda untuk para pedagang Cina. Mereka datang dari
berbagai tempat yaitu Hakka, Hokkien, Teo Chiu dan Kanton serta Kwangtung.
Pekerjaan mereka pada umumnya berdagang.
Sementara itu, orang-orang Arab yang sudah ada di Nusantara beberapa
abad sebelumnya sudah mempunyai banyak perkampungan yang berbentuk
4
koloni-koloni. Menurut van den Berg, di Pulau Jawa pada masa itu sudah
terdapat enam koloni besar orang-orang Arab yaitu koloni Batavia, Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya dan Sumenep, Madura. Koloni-koloni
ini dibentuk oleh pemerintah Belanda karena setiap tahun jumlah mereka terus
bertambah.8 Imigran Arab ke Pulau Jawa secara besar-besaran datang sekitar
abad ke-19 berasal dari daerah Hadramaut. Tetapi, Berg mencatat, imigran yang
masuk ke Garut ketika itu hanya berjumlah 24 orang dan jumlah ini sedikit
dibandingkan orang-orang Arab yang datang ke daerah-daerah lain di
Nusantara. Kaum imigran Arab ini diperkirakan masuk sekitar tahun 1885,9
kemudian disusul orang-orang Pakistan sekitar 40 tahun kemudian (tahun 1920an) yang berasal dari Punjab. Hampir semua orang Pakistan di Garut, berbaur
dan menikah dengan penduduk setempat dan mata pencaharian mereka pada
umumnya berdagang dengan membuka toko-toko kain/tekstil.
Berbeda dengan orang-orang Arab di tempat lain, dan berbeda dengan
imigran Cina, orang-orang Arab yang masuk ke Garut tidak membentuk koloni
dan tidak hidup secara eksklusif dari penduduk pribumi. Hal ini disebabkan
oleh dua hal: Pertama, jumlah mereka yang sedikit sehingga tidak diperlukan
daerah koloni yang terpisah, kedua, status mereka sebagai Muslim sehingga
merasa tidak ada hambatan psikologis-ideologis. Kesamaan agama bahkan
membuat mereka menyatu, merasa bersaudara dan penduduk pribumi tidak
menganggap mereka sebagai orang asing seperti halnya terhadap bangsa Eropa
dan Cina. Integrasi kultural itu salah satunya itu dibuktikan oleh banyaknya tali
perkawinan antara para pendatang Arab/Pakistan dengan penduduk Garut.
Dari uraian di atas, nampak bahwa jauh sebelum masa kemerdekaan,
Kota Garut, sebuah kota kecil di Priangan Timur sudah berfungsi sebagai kota
heterogen baik secara ras, ertnis, kultur dan agama. Sejak abad ke-19, Priangan
Timur sudah menjadi tempat tujuan berbagai pendatang asing baik bangsa
Eropa sebagai penjajah, orang-orang Arab dan Pakistan yang menyebarkan
Islam, dan etnis Cina yang bermaksud mengembara dan mengembangkan
perdagangan. Kaum pribumi sudah terbiasa dengan heterogenitas kultural.
Selain kehadiran orang-orang asing sebagai pendatang, terdapat
masyarakat Garut sebagai pribumi Sunda. Berbeda dengan penjajah yang
menguasai sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan, berbeda juga dengan etnis
Cina yang hidup eksklusif dan sedikit lebih makmur, penduduk pribumi
berstatus sebagai terjajah, hidup bersahaja dan seadanya. Era pasca kolonial,
terjadi pola relasi yang berbeda antara penduduk pribumi Garut dengan orangorang asing ini. Pasca kemerdekaan, orang-orang Belanda dan bangsa Eropa
lainnya hengkang setelah terusir oleh pekik kemerdekaan, orang-orang Cina
secara kuantitas tidak berkembang di Garut dan tetap hidup eksklusif dalam
komunitas mereka, sementara pendatang Arab dan Pakistan berbaur, menikah
dan menjadi bagian penduduk pribumi.
Kabupaten Garut terbagi ke dalam 31 kecamatan dengan tingkat
perkembangan penduduk cukup pesat terutama setelah era kemerdekaan (lihat
5
tabel 1). Dari data yang terdapat dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie seperti
dikutip Sofianto, jumlah penduduk kota Garut pada tahun 1915 adalah 15.000
orang. Tahun 1930 berkembang menjadi 33.612 orang yang terbagi kepada 31.373
orang penduduk pribumi, 454 orang Eropa dan 1.683 orang etnis Cina.10 Tetapi
65 tahun kemudian (1980), jumlah angka itu melejit menjadi 1.483.035 orang.
Tahun 1990 bertambah lagi menjadi 1.748.616 orang. Tahun 1999 bertambah lagi
menjadi 1.901.462 jiwa dengan komposisi pemeluk Islam sebesar 99,55%, 0,25%
Kristen dan pemeluk agama lainnya 0,20% yang terkonsentrasi di Kecamatan
Garut Kota.11 Kemudian hasil sensus terakhir tahun 2000 tercatat penduduk
Garut bertambah lagi mencapai jumlah 2.051.092 jiwa. Angka-angka itu
menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Garut terus mengalami
peningkatan. Selama kurun waktu 1990-2000, rata-rata perkembangan sebesar
hanya 1,66 persen hampir sama dengan masa perkembangan dekade
sebelumnya yaitu kurun 1980-1990.12
Potensi Ekonomi
Perekonomian kabupaten Garut dikembangkan dari berbagai potensi
seperti sumber daya alam (pertambangan dan pelabuhan laut), industri,
kepariwisataan dan terutama agribisnis. Kabupaten berpenduduk lebih dari 2
juta orang lebih ini menempati urutan kedua di Jawa Barat sebagai sentra
agribisnis setelah kabupaten Bandung. Hasil pertanian Garut yang menjadi
unggulan adalah timun Jepang, paprika (cabe manis), cabe shisito, kapri manis,
tomat cherry, radicchio dan cost lettuce (sejenis salada), kedelai Jepang (edamame),
kentang dll. Selain itu juga, Garut adalah penghasil teh, karet, kelapa sawit dan
kakao (cokelat). Dalam sektor industri, beberapa produk unggulan termashur
juga dihasilkan dari kabupaten ini seperti industri pangan (dodol dan gule
merah aren), industri sandang (kain sutra dan batik Garutan), industri kulit
(penyamakan dan kerajinan kulit), industri kimia (minyak akar wangi dan
minyak cengkeh) dan industri kerajinan umum (bulu mata).
Produk pertambangan dan energi dibagi kepada sumber daya logam dan
non-logam. Diantaranya batu gunung, tanah urug, batu apung, kaolin, andesit,
pasir gunung, belerang, obsidian, emas DMP, batu mulia, batu templek, batu
gamping, pasir besi, pasir pantai, gypsum, dan panas bumi sebagai sumber daya
energi. Sementara itu, potensi pariwisata yang dimiliki Garut adalah wisata
gunung (Gunung Papandayan, Guntur dan Talaga Bodas), wisata air panas
(Cipanas), wisata hutan (Hutan Sancang), wisata pantai (Santolo, Sayang
Heulang, Ranca Buaya), wisata danau (Candi Cangkuang, Situ Bagendit), wisata
purbakala (Candi Cangkuang, Makam Godog) dan geowisata (Curug Orok,
Kawah Darajat).
Dari beberapa macam potensi ini, sektor yang paling dominan
menyumbangkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) kabupaten Garut adalah sektor
pertanian, sektor perdagangan dan sektor jasa. Dari ketiga sektor ini, pertanian
adalah yang terbesar. Dari tahun ke tahun, kontribusi sektor pertanian meski
6
mengalami fluktuasi tetapi relatif konstan dengan prosentase terbesar. Pada
tahun 1993, kontribusinya sebesar 40,08 persen terhadap PAD, kemudian pada
tahun 1994 turun menjadi 37,98 persen. Tahun 1995 sebesar turun lagi menjadi
35,79 persen. Tahun 1996 sebesar 32,45 persen. Tahun 1997 sebesar 32,68 persen
naik sedikit dari tahun sebelumnya, lalu tahun 1998 melonjak lagi menjadi 38,74
persen dan tahun 1999 turun lagi sedikit menjadi sebesar 34,91 persen.
Kontribusi terbesar kedua terhadap PAD diberikan oleh sektor perdagangan,
hotel dan restoran sebesar 27,14 persen, seterusnya diikuti oleh sektor jasa
sebesar 15,74 dan kemudian sektor-sektor lain. Dari tabel 3 (lihat lampiran),
dijelaskan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap PAD
kabupaten Garut. Tahun 2002 kontribusi sektor-sektor seperti pertanian,
perdagangan dan jasa mengalami perkembangan lagi walaupun urutan
terbesarnya tidak mengalami perubahan. Sektor pertanian masih terbesar
dengan menyumbangkan kontribusi 40,96%. Kedua adalah sektor perdagangan,
hotel dan restoran sebesar 31,12% dan ketiga, sektor jasa sebesar 8,99%.13
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) kabupaten Garut sejak 1994 sampai
sebelum krisis moneter dan kejatuhan Orde Baru relatif stabil berkisar antara 6 –
7 persen. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru dan krisis ekonomi nasional yang
berkepanjangan berpengaruh terhadap angka pertumbuhan di kabupaten Garut.
Pada tahun 1998, angka tersebut mengalami kebangkrutan sampai mencapai
angka jauh dibawah nol (minus) yaitu –11,64 persen. Tahun 1999, walaupun
krisis belum juga sembuh, pertumbuhan merangkak lagi mencapai 2,52 persen
(lihat tabel 4 di bawah ini).
Tabel 4
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut
Periode 1994-1999
Tahun
Laju Pertumbuhan Ekonomi
1994
6,11 %
1995
7,03 %
1996
6,81 %
1997
3,03 %
1998
-11,64 %
1999
2,52 %
2002
0,31 – 0,63%
Pada tahun terakhir (2002) laju pertumbuhan tersebut mengalami
penurunan kembali. Pada triwulan pertama (Januari – Maret) tahun 2002 turun
menjadi 0,63% dari 2,52% di tahun 1999. Triwulan kedua (April – Juni) tahun
2002 mengecil lagi menjadi hanya 0,31%. Penuruan tersebut menurut Kepala
Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, Muhammad Koswara, karena
adanya penurunan produksi tanaman bahan makanan sehubungan dengan
7
berakhirnya panen raya.14 Tetapi 0,31% tersebut relatif masih terhitung besar
karena di hampir semua sektor dalam Nilai Tambah Bruto (NTB) mengalami
peningkatan. Sektor industri pengolahan misalnya NTB-nya sebesar Rp. 47.64
miliar, sebelumnya Rp. 46,81 miliar. Sektor listrik, gas dan air bersih sebesar Rp.
4,62 miliar, sebelumnya Rp. 4,56 miliar. Sektor bangunan dan konstruksi sebesar
Rp. 54,44 miliar, sebelumnya Rp. 54,01 miliar. Sektor perdagangan, hotel dan
restoran sebesar Rp. 158,42 miliar, sebelumnya Rp. 156,29 miliar. Sektor
angkutan dan komunikasi sebesar Rp. 22,14 miliar, sebelumnya Rp. 21,82 miliar.
Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp. 27,98 miliar,
sebelumnya 27, 90 miliar. Sektor jasa-jasa sebesar Rp. 89,44 miliar, sebelumnya
Rp. 88,27 miliar. Lengkapnya lihat tabel berikut ini.
Tabel 5
Nilai Tambah Bruto (NTB) Kabupaten Garut Menurut Sektor
pada Catur Wulan Pertama dan Kedua Tahun 2002
No.
Tahun 2002
SEKTOR
Catur Wulan I
Catur Wulan II
201,61 miliar
198,47 miliar
Pertambangan dan Penggalian
1,18 miliar
1,18 miliar
3.
Industri Pengolahan
46,81 miliar
47,64 miliar
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih
4,56 miliar
4,62 miliar
5.
Bangunan/Konstruksi
54,01 miliar
54,44 miliar
6.
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
156,29 miliar
158,42 miliar
7.
Angkutan dan Komunikasi
21,82 miliar
22,14 miliar
9.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
27,90 miliar
27,98 miliar
Jasa-jasa
88,27 miliar
89,44 miliar
1.
Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan
2.
10.
Data-data di atas menunjukkan bahwa walaupun angka pertumbuhan
mengalami penurunan tetapi laju pertumbuhan sebesar 0,31%, menurut
Koswara, terhitung relatif besar apalagi beberapa sektor mengalami
peningkatan.15 Misalnya, pertambangan dan penggalian meningkat sebesar
0,39%, industri pengolahan naik sebesar 1,77%, listrik dan air bersih bertambah
1%, bangunan dan konstruksi 0,78%, perdagangan, hotel dan restoran 1,36%,
angkutan dan komunikasi 1,48%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
sebesar 0,30% serta jasa-jasa sebesar 1,33%.
Sementara itu laju pertumbuhan ekonomi tahun 1998-1999, berdasarkan
sektor-sektor pembangunan dapat dilihat dalam Tabel 6 berikut ini.
8
Tabel 6
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Tahun 1998-1999
Berdasarkan Sektor-sektor Pembangunan
TAHUN
No.
SEKTOR
1998 (%)
Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan
2.
Pertambangan dan Penggalian
49,94
3,64
3.
Industri Pengolahan
0,77
0,28
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih
2,30
6,02
5.
Bangunan/Konstruksi
33,58
4,34
6.
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
16,50
1,26
7.
Angkutan dan Komunikasi
8,47
0,26
9.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
10.
Jasa-jasa
9,99
1999 (%)
1.
5,87
16,75
0,52
0,90
1,41
Dari data-data ekonomi yang dijelaskan diatas, dapat dijelaskan bahwa,
pertama, kondisi perekonomian kabupaten Garut merupakan sub-sistem dari
sistem ekonomi propinsial dan nasional. Kondisi perekonomian di daerah sangat
tergantung pada perkembangan ekonomi nasional. Minimnya sumber-sumber
ekonomi regional yang dapat dijadikan sebagai modal mandiri untuk
pembangunan kabupaten agar proses pembangunan tidak bergantung pada
pemerintah pusat. Kedua, andalan pembangunan ekonomi Garut lebih pada
pertanian (agribisnis). Ekonomi pertanian sebagai tumpuan pembangunan
menunjukkan bahwa mayoritas masyarakatnya hidup dalam alam agraris dan
mengandalkan roda perekonomiannya pada sektor-sektor ekonomi tradisional
(sawah, perkebunan dan pemanfaat lahan lainnya).
Kondisi Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Banyak kondisi di daerah merupakan refleksi situasi dan kondisi di
tingkat nasional. Demikian juga kondisi pendidikan di kabupaten Garut sedikit
banyak merupakan refleksi dari kondisi pendidikan di tingkat nasional. Kondisi
tersebut adalah rendahnya mutu pendidikan dan rendahnya jumlah lulusan
sekolah dari total jumlah penduduk.
Menurut Sensus Penduduk Tahun 2000 di Kabupaten Garut, tingkat
pendidikan mayoritas penduduk kabupaten tersebut adalah lulusan sekolah
dasar (SD) yaitu sekitar 45,94 persen. Yang menamatkan SLTP hanya 10,27
persen, SLTA sebesar 28,28 persen dan mereka yang berhasil menamatkan
tingkat perguruan tinggi hanya 1,50 persen dari total penduduk di atas usia lima
tahun. Kondisi ini juga dapat terlihat dari data pencari kerja berdasarkan tingkat
pendidikan di kabupaten Garut. Dari data yang diperoleh dari Departemen
Tenaga Kerja Kabupaten Garut tahun 1999, angkatan terbanyak pencari kerja
adalah lulusan SLTA ke bawah. Pencari kerja lulusan SLTA sebanyak 5.385 orang
9
dari total pencari sebanyak 7.551 orang. Disusul lulusan SLTP sebanyak 920
orang, baru kemudian sarjana sebanyak 707 orang, lalu lulusan SD sebanyak 321
orang. Lengkapnya lihat tabel di bawah ini.
Tabel 7
Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar di Kantor Depnaker Kabupaten Garut
Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 1999
JENJANG PENDIDIKAN
SD
BANYAK PENCARI KERJA (ORANG)
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
122
199
JUMLAH
321
SLTP
402
518
920
SLTA
3.656
1.729
5.385
D1/AKTA 1
1
6
7
D2/AKTA 2
37
80
117
D3/AKTA 3
53
41
94
S1/SARJANA
447
260
707
JUMLAH
4.718
2.883
5.551
Sumber: Kantor Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Garut Tahun 1999
Jumlah penduduk menurut golongan umur dan pendidikan tertinggi
yang ditamatkan juga menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan di kabupaten
Garut. Dari data tahun 1999, penduduk yang berumur antara 25-65 berjumlah
864.182 orang. Dari jumlah 864.182 ini, hanya 9.235 orang yang pernah
mengenyam pendidikan tinggi (perguruan tinggi/D IV). Dari jumlah 221.668
orang yang berusia kuliah yaitu antara 19-24, hanya 859 orang yang
menyelesaikan perguruan tinggi,16 selebihnya hanya lulusan SD sebanyak
116.010 orang, lulusan SLTP 39.843 orang, lulusan SLTA 44.097 orang dan 16.813
orang tidak menyelesaikan SD. Kemudian dari 276.946 orang yang berusia 7-12
tahun, sudah menamatkan SD terdapat sebanyak 20.139 dan selebihnya yaitu
256.807 tidak dan belum menamatkan SD. Selengkapnya data golongan umur
dan tingkat pendidikan dapat diamati dari tabel berikut ini.
Tabel 8
Penduduk Berumur 5 Tahun ke Atas menurut Golongan Umur
dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Golongan
Umur
(1)
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Tdk/Belum
Tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Diploma
I /III
Akademi/
D III
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
P.T/
T.T
Jumlah
D IV
(8)
(9)
(10)
05 – 06
97.382
0
0
0
0
0
0
0
97.382
07 – 12
256.807
20.139
0
0
0
0
0
0
276.946
10
13 – 15
20.793
88.394
14.834
0
0
0
0
0
124.021
16 – 18
9.912
61.230
49.591
9.345
1.232
0
0
0
131.310
19 – 24
16.813
116.010
39.843
44.097
2.101
1.945
859
0
221.668
25 – 64
161.871
498.071
77.446
88.417
6.824
4.318
9.235
0
846.182
65 +
47.502
41.815
2.632
6.906
206
152
162
0
99.375
0
0
0
415
T.T
412
0
0
3
0
Sumber : Sosialisasi Hasil Sensus Penduduk 2000 Kab. Garut, BPS Kab. Garut
Penduduk yang menyelesaikan pendidikan tertinggi yang ditamatkan
berdasarkan wilayah administrasi (kecamatan) menunjukkan gejala
ketidakseimbangan pendidikan dan ketidakmerataan antar daerah. Yang paling
banyak menyelesaikan pendidikan dari tamatan SLTP sampai Perguruan Tinggi
berada di kecamatan Tarogong, Garut Kota dan Karangpawitan. Dari 1.797.299
orang penduduk kabupaten Garut (tahun 1999) hanya 10.256 orang yang
menyelesaikan pendidikan S1. Dari 10.256 orang tersebut, 2.108 orang berada di
kecamatan Tarogong, kemudian 1.563 orang berada di kecamatan Garut Kota
dan 1.014 orang berasal dari kecamatan Karangpawitan. Sisanya, di 28
kecamatan lainnya, rata-rata hanya terdapat sekitar 300 orang sarjana S1
perkecamatan. Di 12 kecamatan hanya terdapat kurang dari 100 orang sarjana S1
yaitu kecamatan Pamulihan (13 orang), Peundeuy (16), Cibalong (26), Pakenjeng
(39), Singajaya (42), Cisompet (45), Talegong (48), Cikelet (52), Banjarwangi (53),
Cibiuk (56), Selaawi (76) dan Cisewu (88). Sementara itu, dari 611.492 orang usia
SD se kabupaten Garut (1999), jumlah terbanyak yang tidak tamat dan masih
sedang belajar di SD adalah di kecamatan dan Cisurupan masing-masing
berjumlah 42.087 dan 41.305 anak. Dari 825.659 orang yang hanya tamat SD,
jumlah terbanyak di kecamatan Malangbong (44.875 anak), kemudian Samarang
dan Tarogong masing-masing 43.529 dan 43.355 anak. Data lengkap tahun 1999
dari masing-masing kecamatan tentang jumlah tamatan SD sampai perguruan
tinggi dibandingkan dengan jumlah total penduduk bisa dilihat dalam tabel 9
(lihat lampiran).
Rendahnya tingkat pendidikan, menyebabkan Garut menempati posisi di
bawah rata-rata kualitas SDM di Jawa Barat. Ukuran untuk mengukur kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari
laporan yang diungkapkan oleh Bappeda Jabar, dimuat Harian Pikiran Rakyat 11
September 2002, IPM Jawa Barat tahun 1996 adalah 68,13 dan pada tahun 1999
mengalami penurunan menjadi 64,71. Baik pada tahun 1996 maupun 1999, IPM
Garut di bawah rata-rata Jawa Barat tersebut. Tahun 1996 IPM Garut hanya 63,9
dan tahun 1999 61,7. Selain Cirebon (61,6), Indramayu (56,4) dan Kerawang
(60,9), seluruh IPM kabupaten di Jawa Barat berada di atas Kabupaten Garut
yaitu 63 ke atas.17 Perbandingan lengkap IPM seluruh kabupaten di Jawa Barat
lihat tabel 10 (lampiran).
Kenyataan tersebut diperburuk lagi oleh data hasil Susenas tahun 1999.
Data Susenas menunjukkan bahwa persentase anak usia 6 –15 tahun yang
11
bersekolah di 8 kabupaten se-Indonesia yang bekerjasama dengan UNICEF,
Garut memiliki persentase yang paling rendah. Persentase anak (laki-laki dan
perempuan) usia 6 – 15 yang melanjutkan sekolah di 8 kabupaten tersebut adalah
Pandeglang sekitar 80% perempuan dan 73% laki-laki, Sukabumi sekitar 75%
perempuan dan 73% laki-laki, Probolinggo sekitar 78% perempuan dan 76% lakilaki, Lombok Timur sekitar 85% perempuan dan 80% laki-laki, Kota Kupang 95%
perempuan dan 95% laki-laki, Bone 80% perempuan dan 75% laki-laki, dan Biak
Numfor 90% perempuan dan 89% laki-laki. Sedangkan anak usia 6 – 15 yang
melanjutkan sekolah di Garut 38% perempuan dan 40% laki-laki (Lihat tabel 11
dibawah).
Tabel 11
Presentase Anak Usia 6-15 yang Bersekolah di 8 Kabupaten
Kerjasama UNICEF
100
90
80
70
%
60
Perempuan
50
Laki-laki
40
30
20
10
e
Nu
mf
or
Bi
ak
Bo
n
Ku
pa
n
g
r
Ko
ta
ok
Tim
u
go
Lo
mb
ru
t
bo
lin
g
Pr
o
Ga
i
Su
ka
bu
m
Pa
n
de
gla
ng
0
Kota Kabupaten
Sumber: BPS, SUSENAS 1995-1999
Priangan, 7 Juni 2002
Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas SDM yang ditunjukkan oleh
kecilnya prosentase penduduk yang berpendidikan tinggi ini bertolak belakang
dengan kuantitas perguruan tinggi yang ada di Garut yang hingga saat ini
berjumlah 13 buah (lihat tabel 13). Jumlah ini sebenarnya lebih dari memadai
berada dalam satu wilayah kabupaten. Tetapi, karena mayoritas penduduk
Garut bekerja sebagai petani dan pedagang (tabel 12) , tampaknya kemampuan
mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat tinggi tidak
terjangkau. Dari tabel 9 diketahui bahwa jumlah terbesar penduduk Garut hanya
menamatkan SD (825.659 orang). Hanya sedikit yang mampu meneruskan ke
jenjang yang lebih tinggi. Jumlah lulusan SMP berkurang dari jumlah lulusan SD
yaitu hanya 184.346, kemudian SLTA hanya 148.768 kemudian sarjana hanya
10.256 dari total penduduk 1.797.299 pada tahun 1999.
Dari lulusan S1 yang berjumlah 10.256 orang itu juga tidak semua
merupakan lulusan perguruan tinggi di Garut. Jarak antara Garut dengan kota
12
Bandung yang hanya sekitar 50 km, menyebabkan banyak orang tua lebih
memilih mengkuliahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi di Bandung yang
sudah terkenal seperti ke ITB, UNPAD, IAIN, IKIP (UPI) dan perguruan tinggi
lain yang berstatus swasta.
Kehidupan Agama dan Sosial Masyarakat
Tidak seperti Jakarta dan ibu kota-ibu kota propinsi yang cukup intensif
mengalami modernisasi, kota-kota tingkat kabupaten di seluruh Indonesia
umumnya tertinggal atau lambat mengalami proses itu. Garut adalah salah satu
prototipe kota yang terlambat mengalami proses modernisasi. Kelambatan ini
menyebabkan Garut --relatif serupa dengan kota-kota lainnya di Jawa Barat-memiliki lingkungan sosial kultural yang khas. Kekhasan itu adalah
pembangunan yang kurang intensif (dibandingkan kota-kota besar) telah
menciptakan perubahan sosial, transformasi nilai-nilai, modernisasi dan
westernisasi yang setengah-setengah. Di sisi lain, tradisi kehidupan keagamaan
yang telah menemukan basis historis dan kulturalnya relatif berhasil
mempertahankan citra masyarakat rurban (desa-kota) yang relijius. Walhasil,
kebanyakan kota-kota kabupaten di Indonesia tidak termodernisasikan atau
terbaratkan sepenuhnya karena harus berhadapan dengan basis relijiusitas
masyarakat yang telah mengakar.
Di kota-kota kabupaten, umumnya, mudah menemukan bukti-butki
adanya pengaruh modernisasi dan westernisasi dalam skalanya yang berbedabeda, tetapi juga tradisionalitas nilai-nilai masyarakat tidak sepenuhnya
terhempas dan tersingkirkan ke pojok-pojok sejarah dan sudut-sudut
pembangunan. Tarik menarik antara modernisasi yang tidak sepenuh hati
dengan tradisionalitas yang masih tegar di wilayah-wilayah rurban di Indonesia
ini telah membentuk suatu sub-kultur baru dalam bentuk dislokasi identitas:
menjadi kota sepenuhnya (lingkungan sosio-kultur modern) tidak, karena
kuatnya lingkung tradisi dan sistem nilai lokal, sepenuhnya tradisional juga
tidak, karena modernisasi terlalu kuat dan sedikit banyak telah membawa
perubahan terutama dalam cara berfikir dan penggunaan alat-alat produksi.
Di beberapa kota kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal
sebagai kota-kota santri --umumnya dicirikan oleh mayoritas penduduk
Muslim, banyaknya pesantren dan institusi-institusi pendidikan Islam serta
kuatnya relijiusitas kultur masyarakat-- pengaruh modernisasi terutama
westernisasi umumnya tidak terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh
tidak berkembangnya industri hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan
pop (pop culture) seperti mall yang lengkap dan megah, bioskop, nite-club, pub,
kafe, massages, karaoke, billiard dan lain-lain. Di Garut, sarana hiburan tersebut
selain tidak ada yang memadai apalagi megah untuk konsumsi masyarakat,
beberapa bioskop misalnya bangkrut dan hanya tersisa satu dua yang tidak
terurus dan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas bawah. Oleh
13
modernisasi, sentra-sentra hiburan masyarakat yang bersifat ‘massal’ telah
digeser menjadi ‘kolegial’ kemudian ‘individual’ ke rumah-rumah melalui
televisi dan terutama VCD. Selain Asia dan Yogya Department Store di Jalan
Ahmad Yani dan Jalan Siliwangi (yang juga terhitung kecil untuk ukuran kota
besar), mall dan pusat-pusat hiburan modern lainnya tidak ditemukan di Garut.
Di sisi lain, diuntungkan oleh lokasinya yang ‘bukan jalan lintas propinsi’
(locked area), suasana dan nuansa relijiusitas Garut nampak cukup terjaga. Selain
tidak ditemukannya pusat-pusat hiburan sekuler, saat ini di Garut terdapat 108
Raudlatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah
Tsanawiyah (MTs), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942 Madrasah Diniyah (MD) dan
515 pesantren 18 (dalam tabel 14 hanya daftar 29 pesantren yang terhitung besar).
Jumlah lembaga pendidikan Islam ini mungkin tidak yang terbesar
dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, tetapi dengan
jumlah itu saja Garut sudah lama dikenal sebagai kota santri dengan nuansa
relijius yang cukup terasa.
Sebaliknya, dari sulitnya ditemukan tempat-tempat hiburan massal yang
menyuguhkan nuansa Barat, hampir semua organisasi massa Islam, dari yang
terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah), yang radikal dan moderat yang
umum dijumpai di tempat-tempat lain di Indonesia (Lasykar Jihad, Front
Pembela Islam) sampai gerakan-gerakan “bawah tanah” seperti Ikhwanul
Muslimun dan Darul Islam semuanya bisa ditemukan di Garut.19 Kelengkapan
adanya ormas-ormas Islam ini menguatkan asumsi kota Garut selama ini sebagai
kota pergerakkan dan pemberontakan Islam.
Yang fantastis, seperti halnya di daerah-daerah lain di Jawa Barat,
relijiusitas masyarakat Garut dicirikan oleh jumlah tempat ibadah yaitu masjid,
langgar dan mushalla. Meski tidak mutlak menunjukkan korelasi positif antara
jumlah masjid dengan kesalehan (terutama kesalehan sosial) dan relijiusitas
penduduknya, pendirian masjid di kalangan masyarakat Muslim selalu
merupakan ekspresi religiusitas dan emosi keagamaan umatnya yang dibangun
atas kesadaran dan kebutuhan bersama secara bergotong-royong. Dengan
demikian, adalah proporsional mengukur tingkat relijiusitas masyarakat
diantaranya oleh jumlah rumah ibadah. Hampir semua kecamatan di Kabupaten
Garut memiliki masjid, langgar dan mushalla yang ratusan jumlahnya.
Kecamatan Garut Kota misalnya memiliki 547 tempat ibadah yang terdiri dari
179 masjid, 266 langgar dan 102 Mushalla. Kecamatan Karangpawitan memiliki
583 buah: 162 masjid, 329 langgar dan 92 mushalla. Kecamatan Samarang
memiliki 821 tempat ibadah shalat: 265 masjid, 331 langgar dan 225 mushalla.
Bahkan ada yang hampir mencapai 1000 buah (963) yaitu di kecamatan
Pakenjeng yang terdiri dari 185 masjid, 341 langgar dan 437 mushalla. Jumlah
seluruhnya se-kabupaten Garut adalah 14.240, terdiri dari 3.992 masjid, 6.720
langgar dan 3.528 mushalla.20 Catatan lengkap jumlah rumah ibadah di
Kabupaten Garut bisa dilihat dalam tabel 15 (lampiran).
14
Nuansa relijius kota santri ini dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan
lambaga dakwah yang ada di Garut. Jumlah lembaga dan organisasi dakwah di
sebuah daerah menunjukkan intensitas dakwah di daerah tersebut karena
lembaga dakwah hampir dapat dipastikan dibentuk karena motivasi dan
semangat keagamaan dan merupakan bentuk murni partisipasi sosial
masyarakat (genuine social participation) yang bersifat non-profit dan dikelola
secara swadaya masyarakat.
Lembaga dakwah yang ada di Garut bisa diklasifikasikan kepada empat
jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta’lim, remaja masjid
dan lembaga pendidikan al-Qur’an. Dari data yang tersedia di Seksi Penerangan
Agama Islam Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2001, tercatat bahwa
jumlah orwah di Garut ada 364 buah dengan perincian 237 orwah yang terdapat
secara nasional, 14 yang khusus tingkat propinsi dan 113 khusus hanya di
tingkat kabupaten Garut. Semua kecamatan di kabupaten Garut memiliki
perwakilan orwah tingkat nasional (lihat tabel 16). Jumlah majelis ta’lim ada
4.791 kelompok dengan jumlah terbanyak terdapat di kecamatan Karangpawitan
yaitu sebanyak 577 kelompok pengajian. Jumlah remaja masjid juga cukup
banyak yaitu 722. Dari seluruh kecamatan, jumlah terbanyak organisasi remaja
masjid juga sama terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu 162 buah.
Jumlah lembaga pendidikan khusus al-Qur’an dari mulai tingkat taman
pendidikan (TP) sampai pondok pesantren (PP) berjumlah 430 lembaga dengan
total murid keseluruhannya sebanyak 40.083 murid. Jumlah ini merupakan
gabungan dari murid Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) sebanyak 22.451,
Taman Kanak-kanak al-Qur’an (TKQ) sejumlah 11.304 murid dan santri pondok
pesantren al-Qur’an (PPQ) sebanyak 6.327 orang.21
Berbagai data di atas menunjukkan bahwa intensitas kehidupan sosial
keagamaan masyarakat kabupaten Garut cukup tinggi dilihat dari kuantitas
lembaga keagamaan yang ada seperti pesantren, institusi pendidikan Islam,
tempat ibadah dan lembaga dakwah serta majelis ta’lim yang jumlahnya
mencapai ratusan di setiap kecamatan. Jumlah penduduk Muslim yang hampir
100 persen di kabupaten Garut menjadi basis tersendiri dari gencarnya usahausaha pengembangan dakwah Islam dan pengembangan jumlah organisasi
keagamaan yang cukup banyak berada dalam sebuah kabupaten. Kuatnya
pengaruh agama dalam kehidupan sosial ini membentuk sistem sosial yang
religious-base worldview (dunia pandang relijius). Hal ini misalnya terlihat pada
upaya menghadirkan agama dalam pemecahan masalah-masalah sosial
kontemporer seperti upaya penerapan Syari’at Islam untuk penanganan kasuskasus KKN dan masalah-masalah kerawanan sosial.
Masalah kerawanan sosial di Garut terhitung tidak terlalu besar. Ini
disebabkan selain lingkungan sosial kultural keagamaan yang relatif kuat,
dampak pembangunan, modernisasi dan westernisasi pun terutama pada aspek
sosio-kultural masyarakat (transmisi kultur global dan pergaulan metropolis)
tidak terlalu besar. Hal-hal yang termasuk kerawanan sosial rata-rata hanya
15
sekitar 5% dari jumlah penduduk. Misalnya jumlah keluarga miskin pada tahun
2002, hanya 98.303 keluarga. Bila dihitung perjiwa dari total penduduk yang
berjumlah 2 juta lebih, ini berarti hanya sekitar 5% dari total penduduk Garut.
Data-data lain, anak terlantar ada 112.356 jiwa, anak jalanan 314, wanita rawan
sosial ekonomi 25.094 orang, korban narkoba 162 orang, wanita tuna susila
(WTS) 79 orang, eks-narapidana 504 orang, gelandangan dan pengemis 309
orang.22 Jumlah anak jalanan dan bandar narkoba kebanyakan datang dari luar
Garut Kota,23 sementara orang-orang terlantar kebanyakan datang atau dikirim
dari luar Garut, seperti Jawa Tengah.24
Latar Belakang Sosial Historis Garut
Daerah Pemberontakan Islam
Diantara beberapa kota di wilayah Jawa Barat, Garut adalah daerah yang
memiliki beberapa peristiwa pergolakan politik yang melibatkan peranan orangorang Islam. Pergolakan itu berbentuk perlawanan terhadap para penguasa
kolonial seperti Belanda dan Jepang, dan terhadap pemerintahan sendiri di masa
kemerdekaan. Pada zaman kolonial Belanda, meletus sebuah peristiwa
pemberontakan yang dikenal dengan peristiwa Pemberontakan Cimareme atau
Peristiwa Garut 1919. Peristiwa itu terjadi di Desa Cikendal Leles Garut pada
tanggal 7 Juli 1919. Peristiwa tersebut muncul dari kewaspadaan berlebihan
pemerintah kolonial Balanda terhadap masyarakat pribumi.25 Pemicu Peristiwa
Garut 1919 itu bermula dari sebuah kesewenang-wenangan pemerintah kolonial
dalam menetapkan harga hal jual beli hasil panen antara pemerintah dengan
masyarakat pribumi. Penetapan harga padi hasil panen yang murah dan
merugikan petani yang ditentukan sepihak oleh pemerintah Belanda ditolak oleh
Haji Hasan bersama para pengikutnya yang kemudian berkembang menjadi
gerakan pemberontakan. Aqib Suminto mengisahkannya sebagai berikut:
Pemerintah kolonial pada masa itu menetapkan bahwa para petani wajib
menjual sejumlah tertentu hasil panen padinya kepada pemerintah. Haji Hasan
yang memiliki 10 bahu sawah dengan hasil 250 pikul padi, diwajibkan menjual
42 pikul padinya kepada pemerintah, dengan harga f.4,-per pikul. Harga f.4- per
pikul menurut laporan pemerintah di Volksraad lebih tinggi daripada harga
setempat. Padahal Soerabajaasch Handelsblad, harga padi setempat pada saat itu
sudah mencapai f.7,50 per pikul. H. Hasan (selanjutnya disingkat HH) yang
setahun sebelumnya dipaksa harus memusnahkannya tanamannya dan
menggantinya dengan padi, merasa berkeberatan atas ketentuan ini terutama
karena HH menanggung kehidupan 84 orang anggota keluarga. Bukan tentang
harga, tapi tentang ketentuan jumlah. Ia hanya menghendaki keringanan dengan
hanya menjual 10 pikul.26
Haji Hasan menolak uang muka yang diberikan oleh Wedono Leles -sebagai utusan pemerintah Belanda-- atas harga yang ditetapkan pemerintah.
Permohonan peninjauan kembali terhadap perintah penjualan padi pun diajukan
16
secara lisan. Permohonan Haji Hasan tidak digubris, bahkan sikapnya dianggap
sebagai pembangkangan. Akhirnya, pada hari Senin tanggal 7 Juli 1919, Residen,
Asisten Residen dan Bupati mendatangi desa Cikendal untuk menangkap Haji
Hasan dengan rombongan sekitar 40 orang tentara dan 27 orang polisi
bersenjata. Dalam suatu dialog yang panas, Haji Hasan menolak perintah agar
ikut ke Garut. Bahkan bersama pengikutnya ia masuk ke rumah, menutup pintu
dan mengumandangkan zikir bersama sebagai usaha bertahan. Kemudian,
rumah tersebut diberondong senjata. Dikabarkan, empat orang meninggal
seketika termasuk Haji Hasan dan 19 lainnya luka-luka.27
Berkaitan dengan peristiwa tersebut, juga dikenal seorang ulama pejuang
yang kharismatik bernama KH. Yusuf Taujiri (1900–1982) yang kemudian
ketokohannya dihormati dan mewarnai sejarah Islam Garut. Yusuf Taujiri,
seorang aktifis Sarekat Islam (SI), dipenjara selama dua bulan oleh pemerintah
Belanda karena terlibat dalam peristiwa pemberontakan Cimareme 1919. Tahun
1939, ketika SI pimpinan Abikusno Cokrosuyoso memecat Kartosuwiryo, Yusuf
bersama Kartosuwiryo mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran Partai Sarekat
Islam Indonesia (KPK – PSII). Yusuf pun menjadi pemimpin Hizbullah –pasukan
gerilya Islam dibawah Masyumi-- cabang Wanaraja. Pada masa revolusi, ia
membentuk Lasykar Darussalam yang menjadi salah satu unsur BKR (Badan
Keamanan Rakyat). Tetapi kemudian ia bentrok dengan Kartosuwiryo pada saat
Kartosuwiryo hendak melaksanakan politik hijrah. Bagi Yusuf, belum saatnya
dilakukan hijrah. Pecah dengan Kartosuwiryo, ia mendirikan pesantren
Darussalam di Cipari Garut untuk melaksanakan program pendidikan
masyarakat. KH. Yusuf Taujiri adalah seorang ulama mandiri yang tegas
pendirian. Pesantrennya sering diserang oleh kelompok Darul Islam (DI) karena
ia menolak ajakan Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Di
sisi lain, Yusuf pun sering mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda
dalam beberapa peristiwa.28
Juga dari wilayah Priangan Timur dikenal seorang pejuang melawan
pendudukan Jepang yaitu KH. Zaenal Mustofa. Ia memimpin pesantren
Sukamanah Tasikmalaya selama 17 tahun (1927-1944) dan banyak melakukan
penentangan terhadap pemerintahan pendudukan Belanda dan Jepang. Semasa
kecil, ia belajar di beberapa pesantren di daerah Priangan diantaranya Pesantren
Sukaraja Garut. Dalam kegiatan dakwahnya, Zaenal Mustofa sering
mengungkapkan kritik tajam terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Akibatnya beberapa kali ia merasakan pengapnya ruang penjara di Tasikmalaya,
penjara Sukamiskin Bandung dan di Ciamis. Dalam masa kolonial Jepang, kiayi
ini adalah penentang keras kewajiban seikerei (menghormat Tenno Heika dengan
membungkukkan badan, seperti orang rukuk, ke arah Tokyo). Akibat
pembangkangannya ini, pada tanggal 25 Februari 1944, pesantrennya di
Sukamanah diserbu oleh tentara Jepang. Kiayi Zaenal melakukan perlawanan
dan akhirnya ia tertangkap beserta beberapa pengikutnya, dan ia sendiri
dibunuh oleh tentara Jepang di daerah Jakarta.29
17
Yang paling monumental dari sejarah Garut adalah gerakan DI/TII
pimpinan Kartosuwiryo. Peristiwa proklamasi DI/TII atau gerakan Darul Islam di
Garut bisa dikatakan “bermula” atau sebagai akibat dari Persetujuan Renville
antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik pada bulan Januari
1948. Salah satu bunyi Persetujuan Renville adalah pasukan Republik akan
ditarik dari daerah-daerah yang resmi dikuasai Belanda. Ini berarti pasukan
Republik harus meninggalkan hampir seluruh Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah
dan sebagian Jawa Timur. Ini juga berarti pembatasan wilayah Republik
Indonesia di beberapa bagian Jawa termasuk Jawa Barat.30 Bunyi persetujuan itu
direspon berbeda oleh dua kelompok pasukan: pasukan tentara resmi Republik
tidak punya pilihan kecuali taat terhadap persetujuan karena persetujuan itu
dilakukan oleh pemerintah yang sah, termasuk ke dalam pasukan resmi ini
adalah Divisi Siliwangi Jawa Barat. Masyumi sebagai partai politik juga
mengikuti sikap pemerintah Republik yaitu melaksanakan isi persetujuan.
Tetapi, pasukan gerilyanya, yaitu Hizbullah dan Sabilillah –pasukan bersenjata
partai besar Islam Masyumi-- menolak persetujuan itu dan enggan mundur dari
Jawa Barat. Kartosuwiryo sebagai politisi Masyumi yang juga tidak setuju
dengan perjanjian itu, bersama dengan pasukan Hizbullah dan Sabilillah memilih
tetap tinggal di Jawa Barat. Menurut keyakinan mereka perjuangan melawan
Belanda harus dilanjutkan sehingga tidak ada alternatif lain kecuali tetap tinggal
di Jawa Barat dan mengkoordinasikan perlawanan disitu.31
Akibatnya, pasukan tentara Republik termasuk Divisi Siliwangi harus
meninggalkan Jawa Barat dan hijrah ke Jawa Tengah. Dalam waktu dua bulan,
menurut Kahin, sekitar 35.000 pasukan Republik ditarik dari Jawa Barat dan
sekitar 4.000 pasukan gerilya –sebagian besar adalah batalyon-batalyon
Masyumi— tetap tinggal di Jawa Barat.32 Yang tinggal di Jawa Barat itu adalah
pasukan Hizbullah-Sabilillah dan Kartosuwiryo. Situasi ini dimanfaatkan oleh
Kartosuwiryo untuk mempersiapkan pembentukan Negara Islam Indonesia
(NII) yang kemudian diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949 di Desa
Cisampang - Cisayong. Tidak adanya tentara Republik dan kenyataan bahwa
gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah yang paling besar dan kuat, menjadi alasan
Kartosuwiryo mempersiapkan pendirian Negara Islam Indonesia. Sebagai tokoh
Masyumi dan Partai Sarekat Islam Indonesia yang disegani, Kartosuwiryo
kemudian menggabungkan Hizbullah dan Sabilillah menjadi Tentara Islam
Indonesia. Langkah-langkah Kartosuwiryo semakin mendapat dukungan karena
setahun kemudian ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, mereka
menemukan rakyat yang kecewa kepada Republik Indonesia karena melakukan
perjanjian Renville.
Dari Garut, Darul Islam yang diproklamirkan Kartosuwiryo segera
merebak meluaskan konsolidasinya ke seluruh Priangan dan Jawa Barat.
Menurut catatan Divisi Siliwangi, pada tahun 1957, Darul Islam Jawa Barat
mencapai kekuatannya yang paling besar, terdiri dari 13.129 orang dengan 3000
18
perlengkapan senjata api.33 Berikut ini uraian tentang aktifitas dan pengaruh
besar Darul Islam di seluruh Jawa Barat:
Antara tahun 1950 dan 1957 kegiatan Darul Islam dilaporkan dari seluruh
Priangan. Pasukan Darul Islam beroperasi dari simpang gunung di sebelah barat,
dengan ada kalanya masuk ke dalam daerah Banten, sampai Sidareja, melalui
perbatassan dengan Jawa Tengah, di timur. Pengaruh Negara Islam Indonesia
dan tentaranya terutama kuat terasa di Priangan tenggara, di kabupatenkabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Selama bertahun-tahun mereka
menguasai daerah-daerah luas. Tak ada seorang pun prajurit Tentara Republik
yang berani mencoba masuk ke dalam apa yang disebut wilayah-wilayah de facto
Negara Islam Indonesia ini. Karena kehilangan dukungan Tentara Republik,
pegawai negeri dan kepala desa serta para pembantu mereka lari, dengan
meninggalkan wilayah mereka diserahkan ke dalam pengawasan mutlak
Pemerintahan Sipil Negara Islam Indonesia. Di daerah-daerah yang berbatasan,
kepala-kepala desa Republik muncul di desanya hanya waktu siang hari, dan
mencari perlindungan ke tempat aman di kota pada malam harinya.
Sudah sejak 1956, Negara Islam Indonesia menguasai seperlima
Kabupaten Tasikmalaya, yaitu 75 dari semuanya 201 desa seluruhnya atau
sebagian dikuasai Darul Islam. Desa-desa ini tempatnya di 4 bagian utama
Tasikmalaya yang berbeda-beda – daerah yang mengitari gunung-gunung
Cakrabuwana, Talaga Bodas, dan Galunggung di utara: Kawedanaan Cikatomas,
dan Karangnunggal, di bujur sangkar yang dibentuk oleh Caikatomas, Salopa,
Cibalong, dan Karangnunggal, ke sebelah selatannya; daerah sekitar Manonjaya
berbatasan dengan Ciamis di bagian timur Tasikmalaya; dan antara Taraju dan
Warungpeuteuy di barat. Di daerah subur Cikatomas pasukan Darul Islam dari
batalyon 441 dipimpin Godjim (Gojim), sedangkan daerah ini merupakan pula
kedudukan bupati NII Tasikmalaya, Iljas (Ilyas).
Dari Kabupaten Ciamis Darul Islam memiliki kira-kira sepertujuhnya di
bawah pengawasannya. Inilah yang terkuat di bagian selatan, di Kawedanan
Cijulang, kira-kira dari Cigugur ke pantai. Desa Cigugur adalah tempat lahir
bupati Darul Islam Ciamis, Affandi, sementara daerah ini dan Cikatomas di
sebelahnya di Tasikmalaya berada di bawah jurisdiksi Residen Darul Islam
Priangan Timur, Dede Kartamihardja (Dede Kartamiharja). Darul Islam juga kuat
di utara, sekitar Gungung Sawal dan antara Ciamis dan Banjar.
Di Kabupaten Garut, pasukan Darul Islam terpusat di daerah ketinggian,
seperti daerah sekitar Gunung Guntur, mendekati Leles, Baluburlimbangan,
Cibatu, Malangbong, dan sekitar Gunung Cikuray. Para gerilyawan Darul Islam
menyebut daerah ini daerah Suffah, yang menyatakan bahwa di sini merupakan
daerah suci yang telah dibersihkan dari musuh. Kedua daerah menjadi
pangkalan untuk melakukan serangan ke Garut.
Ada pangkalan kuat Darul Islam yang lain di Priangan Barat, di
Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Bogor, dan yang membuat bagianbagian tertentu dari daerah-daerah ini sangat tidak aman. Darul Islam menguasai
daerah-daerah sekitar Gunung Salak, di selatan Bogor, dan daerah sebelah
selatan Cianjur dan antara Gununghalu dan Cililin dekat Bandung. Di daerah
yang akhir ini beroperasi salah seorang pemimpin Darul Islam yang paling
19
terkenal dan paling perkasa, Achmad Sungkawa (Akhmad Sungkawa). Pada
tahun-tahun pertama sesudah penyerahan kedaulatan, pasukannya —dengan
dibantu gerombolan lain seperti Bambu Runcing dan beberapa serdadu Belanda–
terlibat dalam pertempuran besar-besaran dengan pasukan Republik. Di sebelah
timur Bandung Darul Islam menimbulkan banyak kesulitan sekitar Cicalengka
dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja pasukan Darul Islam di daerah ini —yang
ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang-- melancarkan tujuh belas serangan,
dengan membakar 200 runtah [...]
Dampak serangan pasukan Darul Islam memporakporandakan. Angka
resmi untuk triwulan terakhir 1951 dan triwulan pertama 1952 menyebut
masing-masing 414 dan 428 orang terbunuh, 4.046 dan 3.052 rumah terbakar, dan
6.192 perampokan. Pada triwulan terakhir 1951 orang yang melarikan diri dari
rumahnya atau diungsikan berjumlah 52.672, dan kerusakan seluruhnya yang
diakibatkan pasukan Darul Islam mencapai Rp.7.339.580. Pada triwulan pertama
1952 Darul Islam mengakibatkan kerugian sebanyak Rp.9.981.366, --dan 11.016
orang difungsikan atau lari dari rumahnya. Dari tahun 1955 sampai 1962 jumlah
pengungsi tiap tahun berkisar antaaraa 209.355 dalam 1962 dan 303.764 dalam
1958, dan rata-rata sekitarr 250.000 setahun. Pada 1957 pasukan membunuh 2.447
orang, membakar 17.673 rumah, dan melakukan 102.984 perampokan. Sampai
tahun 1961 angka ini turun keras menjadi hanya 500 orang lebih sedikit. Dari
tahun 1958 sampai 1960 jumlah rumah yang terbakar adalah antara 10.000 dan
14.000 buah tiap tahun, naik menjadi 18.336 pada tahun 1961 dan menurun jadi
414 pada 1962.34
Dari uraian tentang beberapa gerakan Islam di atas, terlihat bahwa
Kabupaten Garut di Priangan Timur memiliki peran historis yang penting dan
pengaruhnya yang cukup besar dalam sejarah nasional. Sejak zaman kolonial,
beberapa peristiwa pergolakan Islam meletus disitu dan dampaknya telah
merambat luas ke daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Gerakan Darul Islam
inilah yang paling monumental dalam sejarah Garut. Beberapa studi penting
telah dilahirkan dari rahim pergolakan Islam di daerah Garut ini. Diantara yang
monumental adalah Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1964); Karl D.
Jackson, Traditional authority and national integration: The Darul Islam rebellion in
West Java (1971); Hiroko Horikoshi, The Dar-ul-Islam movement in West Java 19481962 (1975), Hiroko Horikoshi, Kiayi dan Perubahan Sosial (1984); Cornelis van
Dijk, Rebellion under the banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (1983), Aqib
Suminto, Peristiwa Garut 1919: Titik Balik Kejayaan Sarekat Islam (1984), dan masih
banyak yang lainnya.
Dari uraian di atas dapat ditarik gambaran bahwa Garut adalah kawasan
kecil yang sarat dengan sejarah pergolakan Islam. Perlu dilihat adakah
keterkaitannya dengan pergolakan Islam dalam kurun modern di daerah itu.
Hasil dari proses Islamisasi yang intensif, Garut dikenal sebagai daerah santri
dengan lingkungan nilai keagamaan yang relatif kuat. Pasca keruntuhan Orde
Baru belakangan ini, muncul kembali semangat gerakan Islam politik yang
20
cukup mengejutkan yaitu dideklarasikannya pemberlakuan Syari’at Islam
tanggal 15 Maret 2002 yang lalu. Kendati terdapat faktor-faktor luar yang
menjadi background semangat Islam politik itu --seperti demokratisasi yang
makin kuat, rendahnya tingkat kepercayaan pada pemerintah, frustrasi sosial
politik masyarakat yang luas dan fenomena tuntutan Syari’at Islam di tempattempat lain— adalah perlu melihat faktor-faktor historis dan internal kawasan
untuk mendapat gambaran utuh tentang konteks munculnya sebuah ide dan
gerakan di sebuah masyarakat. Kemudian, bagaimana background dan situasi
kehidupan sosial keagamaan di kabupaten Garut sehingga memuluskan jalan
aspirasi pemberlakuan Syari’at Islam.
Religiusitas Masyarakat dan Heterogenitas Islam
Aspek lain pentingnya kabupaten Garut adalah tingkat relijiusitas
kehidupan masyarakat dan heterogenitas kelompok dan aliran Islam yang ada di
daerah tersebut. Relijiusitas masyarakat terbentuk dari proses-proses historis dan
sosiologis Islam yang berkembang dalam masyarakat. Di sisi lain, Kabupaten
Garut juga adalah miniatur dari heterogenitas Islam karena hampir semua
kelompok dan organisasi Islam yang hidup di Indonesia terdapat perwakilannya
di situ. Berikut ini adalah uraian proses-proses sosiologis terbentuknya
relijiusitas masyarakat Garut yang telah membentuk dunia pandangnya
tersendiri tentang Islam, masyarakat dan kehidupan nasional.
Tidak seperti Jakarta dan kota-kota besar lain yang cukup intensif
mengalami modernisasi, mayoritas kota-kota tingkat kabupaten di seluruh
Indonesia relatif tertinggal atau lambat mengalami proses itu. Garut adalah salah
satu prototipe kota yang terlambat bergumul dengan proses modernisasi
tersebut. Kelambatan ini menyebabkan Garut – relatif serupa dengan kota-kota
lainnya di Jawa Barat– di satu sisi memiliki lingkungan sosial kultural yang khas.
Kekhasan itu adalah pembangunan yang kurang intensif (dibandingkan kotakota besar) telah menciptakan perubahan sosial, transformasi nilai-nilai,
modernisasi dan westernisasi yang setengah-setengah. Di sisi lain, tradisi
kehidupan keagamaan yang telah menemukan basis historis dan kulturalnya
relatif berhasil mempertahankan citra masyarakat rurban (desa-kota) yang
relijius. Walhasil, Garut, seperti kebanyakan kota-kota kabupaten di Indonesia,
tidak termodernisasikan atau terbaratkan sepenuhnya karena harus berhadapan
dengan basis relijiusitas masyarakat yang telah mengakar.
Di kota-kota kabupaten, umumnya, mudah menemukan bukti-bukti
adanya pengaruh modernisasi dan westernisasi dalam skalanya yang berbedabeda, tetapi juga tradisionalitas nilai-nilai masyarakat tidak sepenuhnya
terhempas dan tersingkirkan ke pojok-pojok sejarah dan sudut-sudut
pembangunan. Tarik menarik antara modernisasi yang tidak sepenuh hati
dengan tradisionalitas yang masih tegar di wilayah-wilayah rurban di Indonesia
ini telah membentuk suatu sub-kultur baru dalam bentuk dislokasi identitas:
menjadi kota sepenuhnya (lingkungan sosio-kultur modern) tidak, karena
21
kuatnya lingkung tradisi dan sistem nilai lokal, sepenuhnya tradisional juga
tidak karena modernisasi telah juga membawa perubahan terutama dalam
penggunaan alat-alat komunikasi, informasi dan produksi, dan dalam skala
tertentu, perubahan cara berfikir masyarakat.
Di beberapa kota kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal
sebagai kota-kota santri –umumnya dicirikan oleh banyaknya pesantren,
institusi-institusi pendidikan Islam dan menonjolnya relijiusitas kultur
masyarakat– pengaruh modernisasi terutama westernisasi umumnya tidak
terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh tidak berkembangnya industri
hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan pop (pop culture) seperti mall,
bioskop, sentra-sentra nite-club, pub, kafe, massages, karaoke, billiard dan lainlain. Di Garut, selain tidak ada yang memadai apalagi megah untuk konsumsi
masyarakat modern, beberapa bioskop misalnya bangkrut dan hanya tersisa satu
dua yang tidak terurus dan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas bawah.
Oleh modernisasi, dalam bentuk alat-alat hiburan elektronik dan audio visual,
sentra-sentra hiburan masyarakat yang bersifat ‘massal’ telah digeser menjadi
‘kolegial’ kemudian ‘individual’ ke rumah-rumah melalui televisi dan terutama
VCD. Selain Asia dan Yogya Department Store di Jalan Ahmad Yani dan Jalan
Siliwangi (yang juga terhitung kecil untuk ukuran kota besar), mall dan pusatpusat hiburan modern lainnya tidak ditemukan di Garut.
Di sisi lain, diuntungkan oleh lokasinya yang “bukan jalan lintas utama”
propinsi (locked area), suasana dan nuansa relijiusitas Garut nampak cukup
terjaga. Selain tidak ditemukannya pusat-pusat hiburan sekuler, sampai tahun
2002, di Garut terdapat 108 Raudlatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah
Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942
Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren.35 Sebaliknya, dari sulitnya
ditemukan tempat-tempat hiburan massal yang menyuguhkan nuansa Barat,
hampir semua organisasi massa Islam, dari yang terbesar di Indonesia (NU dan
Muhammadiyah), yang radikal dan moderat yang umum dijumpai di tempattempat lain di Indonesia (Lasykar Jihad, Front Pembela Islam) sampai gerakangerakan “bawah tanah” seperti Ikhwanul Muslimun dan Darul Islam semuanya
bisa ditemukan di Garut.36 Kelengkapan adanya ormas-ormas Islam ini
menguatkan asumsi kota Garut selama ini sebagai kota pergerakkan dan
pergolakan Islam.
Yang fantastis, seperti halnya di daerah-daerah lain di Jawa Barat,
relijiusitas masyarakat Garut dicirikan oleh jumlah tempat ibadah yaitu masjid,
langgar dan mushalla. Meski tidak mutlak menunjukkan korelasi positif antara
jumlah masjid dengan kesalehan (terutama kesalehan sosial) dan relijiusitas
penduduknya, pendirian masjid di kalangan masyarakat Muslim selalu
merupakan ekspresi religiusitas dan emosi keagamaan umatnya yang dibangun
atas kesadaran dan kebutuhan bersama secara bergotong-royong. Dengan
demikian, adalah proporsional mengukur tingkat relijiusitas masyarakat
diantaranya oleh jumlah rumah ibadah. Hampir semua kecamatan di Kabupaten
22
Garut memiliki masjid, langgar dan mushalla yang ratusan jumlahnya.
Kecamatan Garut Kota misalnya memiliki 547 tempat ibadah yang terdiri dari
179 masjid, 266 langgar dan 102 Mushalla. Kecamatan Karangpawitan memiliki
583 buah: 162 masjid, 329 langgar dan 92 mushalla. Kecamatan Samarang
memiliki 821 tempat ibadah shalat: 265 masjid, 331 langgar dan 225 mushalla.
Bahkan ada yang hampir mencapai 1000 buah yaitu di kecamatan Pakenjeng
yang terdiri dari 185 masjid, 341 langgar dan 437 mushalla. Jumlah seluruhnya
se-kabupaten Garut adalah 14.240, terdiri dari 3.992 masjid, 6.720 langgar dan
3.528 mushalla.37 Catatan lengkap jumlah rumah ibadah di Kabupaten Garut bisa
dilihat dalam tabel 17 dalam lampiran.
Nuansa relijius kota santri ini dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan
lembaga dakwah yang ada di Garut. Jumlah lembaga dan organisasi dakwah di
sebuah daerah menunjukkan intensitas dakwah di daerah tersebut karena
lembaga dakwah hampir dapat dipastikan dibentuk karena motivasi dan
semangat keagamaan dan merupakan bentuk murni partisipasi sosial
masyarakat (genuine social participation) yang bersifat non-profit dan dikelola
secara swadaya masyarakat.
Lembaga dakwah yang ada di Garut bisa diklasifikasikan kepada empat
jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta’lim, remaja masjid
dan lembaga pendidikan al-Qur’an. Dari data yang tersedia di Seksi Penerangan
Agama Islam Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2001, tercatat bahwa
jumlah orwah di Garut ada 364 buah dengan perincian 237 orwah yang terdapat
secara nasional, 14 yang khusus tingkat propinsi dan 113 khusus hanya di
tingkat kabupaten Garut. Semua kecamatan di kabupaten Garut memiliki
perwakilan orwah tingkat nasional (lihat tabel 18). Jumlah majelis ta’lim ada
4.791 kelompok dengan jumlah terbanyak terdapat di kecamatan Karangpawitan
yaitu sebanyak 577 kelompok pengajian. Jumlah remaja masjid juga cukup
banyak yaitu 722. Dari seluruh kecamatan, jumlah terbanyak organisasi remaja
masjid juga sama terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu 162 buah.
Jumlah lembaga pendidikan khusus al-Qur’an dari mulai tingkat taman
pendidikan (TP) sampai pondok pesantren (PP) berjumlah 430 lembaga dengan
total murid keseluruhannya sebanyak 40.083 murid. Jumlah ini merupakan
gabungan dari murid Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) sebanyak 22.451,
Taman Kanak-kanak al-Qur’an (TKQ) sejumlah 11.304 murid dan santri pondok
pesantren al-Qur’an (PPQ) sebanyak 6.327 orang.38
Berbagai data di atas menunjukkan bahwa intensitas kehidupan sosial
keagamaan masyarakat kabupaten Garut cukup tinggi dilihat dari kuantitas
lembaga keagamaan yang ada seperti pesantren, institusi pendidikan Islam,
tempat ibadah dan lembaga dakwah serta majelis ta’lim yang jumlahnya
mencapai ratusan di setiap kecamatan. Jumlah penduduk Muslim yang hampir
100 persen di kabupaten Garut menjadi basis tersendiri dari gencarnya usahausaha pengembangan dakwah Islam dan pengembangan jumlah organisasi
keagamaan yang cukup banyak berada dalam sebuah kabupaten. Kuatnya
23
pengaruh agama dalam kehidupan sosial masyarakat ini diperkuat oleh apa
yang disebut sebagai “the network of collective memory,” yaitu jaringan memori
kolektif dengan masa lalu berupa hubungan batin atau ikatan psikologis dengan
apa yang pernah terjadi di daerah itu dan berfungsi menjadi identitas kelompok
masyarakat.
Jaringan memori dan identitas kelompok ini membentuk religious-base
worldview (dunia pandang relijius). Hal ini misalnya terlihat pada upaya
menghadirkan agama dalam pemecahan masalah-masalah sosial kontemporer
seperti upaya penerapan Syari’at Islam untuk penanganan kasus-kasus KKN dan
masalah-masalah kerawanan sosial. Keberpihakan kepada simbol-simbol
keagamaan tampak lebih kuat bila dibandingkan dengan keberpihakan kepada
nilai-nilai yang sesungguhnya sejalan dengan agama tetapi tidak menggunakan
istilah-istilah agama. Sikap dan kecenderungan seperti ini misalnya nampak
ketika mereka berpendapat tentang demokrasi dan proses reformasi. Kendati
demokrasi dan reformasi sesungguhnya sejalan dengan semangat Islam yaitu
semangat perbaikan kehidupan sosial, kendati perangkat dan pelaksanaan
hukum relatif membaik dibandingkan dengan masa Orde Baru, kebebasan
berbicara relatif lebih terbuka, kebebasan berpendapat lebih terjamin, hukum
positif sudah semakin banyak mengadopsi nilai-nilai agama, suasana politik
lebih demokratis dan seterusnya, semuanya ini masih dipandang belum
memenuhi aspirasi masyarakat Islam karena tidak dikemas oleh simbol-simbol
formal Islam. Gambaran tersebut akan ditemukan dari uraian berikut ini.
Gerakan Penerapan Syari’at Islam
Mengapa muncul kembali arus idealisasi syariah dalam jagat politik
negeri ini? Jawabannya tentu saja adalah sebagai “konsekuensi dari penemuan
kembali kebebasan ruang publik, yang memungkinkan pemberontakan gagasangagasan yang ‘terpinggirkan’ (subaltern). Di dalam ruang publik yang
demokratis, orang bisa memperjuangkan gagasan atau ideologi apa saja
sepanjang dilalui tanpa jalur kekerasan.”39 Tetapi, “penemuan kembali
kebebasan ruang publik” ini hanya sebagai medan ekspresi. Energi yang
mendorong masuk ke dalam ruang publik itu sendiri adalah persoalan lain, yaitu
rasa frustrasi masyarakat atas berbagai persoalan sosial politik ekonomi yang
menggumpal dan tak menemukan penyelesaiannya selama kurun Orde Baru.
Fenomena psikologis massa itulah yang terlihat di balik deklarasi penerapan
Syari’at Islam di Garut.
Pemberlakuan Syari’at Islam itu dideklarasikan tanggal 1 Muharram
1423H atau 15 Maret 2002 bertempat di Lapangan Oto Iskandar Dinata dihadiri
oleh umat ribuan umat Islam.40 Munculnya semangat menerapkan Syari’at Islam
di Garut dipastikan merupakan imbas atau pengaruh dari beberapa daerah yang
sudah lebih dulu menyatakan dan sedang memperjuangkan berlakunya Syari’at
Islam seperti Aceh, Sulawesi Selatan, Cianjur, Banten dan lainnya.41 Naskah
deklarasi ditandantangani oleh Bupati Garut Drs. H. Dede Satibi, Ketua DPRD
24
Drs. Mahyar Swara, SH, dan semua fraksi DPRD yaitu fraksi-fraksi Golongan
Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Fraksi Gabungan, TNI, Partai Kesatuan Bangsa (PKB) dan
PKP, serta Koordinatror KPSI, KH. Endang Yusuf Djunaedi. Dengan kata lain,
unsur-unsur legislatif dan eksekutif menyapakati deklarasi. Kemudian, dalam
berita acara serah terima, selain Bupati, Ketua DPRD dan koordinator KPSI,
terdapat enam orang saksi yang turut menandatangani yaitu Ahmad Sumargono
(PBB), Drs. H. Djohan Jauhari (Praktisi Hukum), Habib Muhammad Rizieq
(Front Pembela Islam), Habib Idrus H. Alatas, KH. Muhammad Qudsi (Wakil
Ketua PPP Jawa Barat) dan Drs. KH. Asep Saefuddin Musaddad (Ketua FPI Jawa
Barat).
Deklarasi Pembentukan LP3SyI
Berdasarkan teks yang dibacakan tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret
2002, penerapan Syariat Islam di Kabupaten Garut bukan diberlakukannya
hukum atau syari’at Islam sejak dideklarasikan, melainkan deklarasi penerapan
Syari’at Islam melalui pembentukan Lembaga Pengkajian Penegakkan dan
Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI). Jadi sifatnya tidak langsung. Untuk menuju
penerapan Syari’at Islam, dibentuk terlebih dahulu sebuah lembaga yang akan
memproses cita-cita itu. Teks naskah pembentukan lembaga inilah yang
dibacakan di lapangan Otto Iskandar Dinata- Garut.
Bismillahirrahmanirrahim.
Raditubillahi rabba, wabil Islamidina, wabi muhammadin nabiya wa rasula bi ara-at min kulli dini
yukhalafu dinul Islam
SERAYA MEMOHON RAHMAT DAN RIDHA ALLAH SWT. KAMI UMAT ISLAM KABUPATEN
GARUT YANG TERGABUNG DALAM BERBAGAI KEKUATAN SOSIAL POLITIK SEPAKAT
MENENTUKAN SIKAP UNTUK MENDEKLARASIKAN HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT:
PERTAMA, BAHWA SEBAGAI UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN MASYARAKAT GARUT
PANGIRUTAN YANG TATA TENGTREM KERTA RAHARJA MENUJU RIDHA ALLAH
DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN
KETUHNAN YANG MAHA ESA, MAKA PENGAMALAN SYARI’AT ISLAM BAGI PARA
PEMELUKNYA MERUPAKAN SUATU KEWAJIBAN.
KEDUA, BAHWA PENERAPAN DAN PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI KABUPATEN
GARUT MERUPAKAN REALITAS ASPIRASI YANG PERLU DIPERHATIKAN DAN
DITINDAKLANJUTI.
KETIGA, BAHWA PENYEBARLUASAN DAN PENEGAKKAN SYARIAT ISLAM WAJIB
DILAKSANAKAN DENGAN SEBAIK-BAIKNYA DAN PENUH TANGGUNG JAWAB.
KEEMPAT, BAHWA UNTUK TERCAPAINYA PENERAPAN DAN PENGAMALAN SYARI’AT
ISLAM DI KABUPATEN GARUT, DIPERLUKAN SUATU PROSES PENGKAJIAN YANG
MENDALAM SEJALAN DENGAN DINAMIKA PERUBAHAN TATANAN SOSIAL DAN
BUDAYA MASYARAKAT.
25
MAKA UNTUK TERCAPAINYA TUJUAN TERSEBUT DENGAN BERTAWAQAL KEPADA
ALLOH SWT, KAMI SEPAKAT MENDEKLARASIKAN “PENEGAKAN DAN PENERAPAN
SYARI’AT ISLAM”, MELALUI:
LEMBAGA PENGKAJIAN PENEGAKAN DAN PENERAPAN
SYARIT ISLAM (LP3SyI)
SEMOGA ALLOH SWT MEMBERKATINYA DAN SENANTIASA MENCURAHKAN TAUFIQ
DAN HIDAYAHNYA KEPADA KITA SEKALIAN. AMIN.
GARUT, 1 MUHARRAM 1423H
15 MARET 2002M
Para penggagas menyadari betul bahwa penerapan syari’at atau hukum Islam
tidak bisa langsung tapi memerlukan kesiapan, proses, kajian yang mendalam,
sosialisasi dan sebagainya. Disepakatinya pembentukan LP3SyI ini merupakan
hasil tawar-menawar (bargaining) antara desakan para penggagas dengan pihak
penyelenggara pemerintahan Garut. Lembaga ini bertangggung jawab
memproses pelaksanaan penerapan Syari’at Islam. Melalui lembaga ini, potensi
umat Islam Garut untuk menerapkan syari’at Islam dikaji kemungkinankemungkinannya, langkah-langkahnya, prioritasnya, hambatan-hambatannya
dan seterusnya.
Tujuan, Sasaran, Tahapan dan Aspek-Aspek Pelaksanaan Syari’at Islam
Dalam Format Dasar Pelaksanaan Syari’at Islam, dokumen enam
halaman yang dikeluarkan pada bulan Februari 2002/Dzulqaidah1422H,
dicantumkan Dasar Hukum, Tujuan dan Fungsi, Aspek-aspek Pelaksanaan
Syari’at Islam serta Tahapan Pelaksanaan dan Skala Prioritas. Dasar Hukum
terdiri dari tiga hal: (1) Al-Qur’anul Karim dan Assunah Rasul, (2) Aqwalu
Fuqaha, dan (3) Lembar Pengesahan dan Kesepakatan 23 Syawal 1422 H (7
Januari 2002) antara KPSI atas nama masyarakat Kabupaten Garut serta seluruh
jajaran Pemerintahan Kabupaten Garut (Legislatif dan Eksekutif). Dalam Tujuan
dan Fungsi terdapat format dan pola dasar pelaksanaan Syari’at Islam yang
bertujuan:
A. Mewujudkan Visi Garut yaitu “Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta
Raharja menuju Ridha Allah.”
B. Mewujudkan visi ke depan yang ingin dicapai dalam masa relatif singkat
yaitu masyarakat aman tentram yang islami (Garut Kota Santri).
C. Misi yang perlu dilaksanakan antara lain:
1. Peningkatan sumber daya manusia yang berakhlakul karimah.
2. Meningkatkan aktifitas dakwah (pendidikan, penyuluhan dan
pengkaderan).
26
3. Penggalian sumber daya alam sebagai wujud syukur nikmat kepada Allah.
4. Pemberdayaan ekonomi melalui Konsep Ekonomi Islam.
5. Penataan manajemen pemerintahan dengan paradigma islami sehingga
terwujud pemerintahan Kabupaten Garut yang bersih, berwibawa, dan
islami.
6. Mengkaji dan mengembangkan konsep-konsep islami yang bertahap dan
berkelanjutan.
Tentang Kewajiban dan Sasaran Pelaksanaan Syari’at Islam terdapat lima
poin:
1. Setiap pemeluk agama Islam wajib menta’ati, mengamalkan dan
melaksanakan syari’at Islam secara kaffah dalam kehidupan seharihari dengan tertib dan sempurna.
2. Kewajiban menta’ati dan mengamalkan syari’at Islam sebagaimana
dimaksud di atas dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari melalui
diri pribadi, keluarga, kantor-kantor, masyarakat dan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Institusi masyarakat Muslim dan pemerintahan daerah berkewajiban
memajukan keteladanan, mengembangkan dan membina serta
mengawasi pelaksanaan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya.
4. Setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di Kabupaten Garut
wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam serta menjaga dan
menta’ati nilai-nilai kelayakan dan kesopanan dalam ergaulan hidup.
5. Keberadaan agama lain tetap diakui dan pemeluknya dijamin dapat
melaksanakan/menjalankan ibadah agamanya, serta siapapun yang
berkunjung dan atau singgah di Garut, wajib menghormati
pelaksanaan Syari’at Islam di Garut.
Aspek-aspek yang akan menjadi wilayah penerapan Syari’at Islam akan
meliputi bidang-bidang (1) Ubudiyyah, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak, (2)
Mu’amalah, yaitu pendidikan, dakwah, ekonomi dan amar ma’ruf nahyi munkar,
(3) Ahwalusyahsiyyah, yaitu mabarot, munakahat dan mawaris, (4) Siasah
Syar’iyyah, meliputi kemasyarakatan, jinayat dan siasah. Wilayah berikutnya
setelah keempat ini akan dikaji dan dikembangkan lebih lanjut oleh Dewan
Syari’at.
Pedoman Dasar, Kode Etik dan Program Kerja
Tujuh bulan kemudian setelah deklarasi, yaitu tanggal 11 Oktober 2002 (4
Sya’ban 1423H), pertemuan LP3SyI menghasilkan tiga buah dokumen yaitu
Pedoman Dasar, Kode Etik dan Program Kerja LP3SyI Kabupaten Garut, yang
dikerjakan oleh 13 orang tim perumus. Naskah Pedoman Dasar berisi
pembukaan dan isi yang terdiri dari IX Bab. Teks naskah deklarasi yang
dibacakan tanggal 1 Muharram diletakkan sebagai pembukaan Pedoman Dasar
27
tersebut. Dalam Bab III Pedoman Dasar tentang Tujuan, Tugas dan Wewenang,
dijelaskan tujuan menerapkan syari’at Islam di Garut: (1) Mewujudkan Visi
Garut yaitu “Garut Pengirutan yang Tata Tengtrem Kerta Raharja” menuju
Ridha Allah. (2) Meyakinkan dan mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan
syari’at Islam secara kaffah.42 Tentang tugas dijelaskan bahwa tugas LP3SyI ini
adalah (1) Mengkaji dan mengembangkan konsep-konsep Islam dengan
pendekatan “Bil hikmah wal Maudhatil Hasanah,” (2) Meningkatkan Sumber Daya
Manusia yang berakhlakul karimah, Marhamah dan Uswatun Hasanah, (3) Mengelola
Sumber Daya Alam sebagai Wujud Syukur atas ni’mat Allah Swt, (4) Menata
secara proporsional manajemen pemerintahan dengan paradigma Islam.
Dalam Kode Etik dijelaskan landasan moral dan etika yang dipegang oleh
lembaga ini. Usaha penerapan syari’at Islam itu sendiri diletakkan dalam prinsip
amar ma’ruf nahyi munkar. Prinsip amar ma’ruf nahyi munkar ini diperjuangkan
melalui prinsip-prinsip kemerdekaan, independensi, empati, uswatun hasanah, hikmah
dan mau’idzah hasanah yang didasarkan atas ayat-ayat Al-Qur’an. Kemerdekaan
adalah yaitu perwujudan dari ketauhidan yang total sebagai sikap dasar yaitu
bahwa satu-satunya yang mempunyai kekuasaan atas manusia hanyalah Allah
SWT; Independensi adalah konsekuensi dan implikasi dari fitrah kekhalifahan
yang disandang setiap pribadi dan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah
SWT; Empati yaitu kepedulian terhadap realitas hidup umat, merupakan
keharusan dari prinsip kekhalifahan manusia yang menyerukan kebenaran
ilahiyah; Uswatun Hasanah yaitu amar makruf akan bermakna jika diwujudkan
dalam kehidupan nyata, sebaliknya akan tanpa makna jika sekadar sebagai
pengetahuan; Hikmah maksudnya lembaga LP3SyI melakukan perannya dengan
hikmah dan mengoptimalkan segala sarana dan prasarana termasuk ilmu
pengetahaun; Mau’idzoh hasanah yaitu prinsip penyampaian kebenaran ilahiyah
dengan cara dialogis dan saling pengertian. Dalam memegang keenam prinsip
tersebut dan menjalankan aktifitasnya, LP3SyI memiliki sepuluh kode etik
sebagai berikut: (1) Berpedoman kepada Qur’an dan Sunnah, (2) Menjadi teladan
dan pengayom bagi umat dan masyarakat, (3) Menjadi hamba Allah yang
rabbani, (4) Ikhlas dalam pengabdian, (5) Selalu menjaga tatakrama dan akhlakn
Islam, (6) Tawadhu, (7) Berwawasan luas, (8) Bersikap adil, sabar dan istiqamah,
(9) Disiplin waktu dan selalu menepati janji, (10) Bersikap Asyida’u alal kufar
ruhama’u baenahum.
Program kerja LP3SyI dibagi ke dalam lima komisi: Komisi Sosialisasi
dan Informasi Syari’at Islam; Komisi Pengkajian dan Analisis Syari’at Islam;
Komisi Penegakkan dan Penerapan Syari’at Islam; Komisi Partisipasi Perempuan
Muslim dan Komisi Advokasi. Masing-masing komisi memiliki bidang dan
program yang sama berupa penyebarluasan informasi tentang LP3SyI dan
sosialisasi syari’at Islam seperti ubudiyah (ketauhidan, akhlak, ibadah,
fiqhunnisa), muamalah (pendidikan, amar ma’ruf nahi munkar, perekonomian
dan perspektif gender dalam Islam), ahwalusyahsiah (keadilan sosial, munakahat
dan mawaris), dan siyasah syar’iyah (peranata sosial dan hukum, politik). Berikut
28
ini adalah program dan rencana kegiatan LP3SyI secara keseluruhan, yang
pelaksanaannya dibagi-bagi menurut tanggung jawab komisinya masingmasing:
Sosialisasi dan dakwah
Workshop formalisasi syari’at Islam
Meningkatkan pengkajian dan peribadatan perempuan
Penelitian terhadap masalah sosial dan kemasyarakatan
Desiminasi dan upaya penanggulangan masalah sosial kemasyarakatan
Himbauan terhadap masyarakat
Meningkatkan sarana dan prasarana ibadah
Meningkatkan partisipasi ibadah mahdhah
Meningkatkan tali silaturahmi dan kerjasama umat
Memotivasi peningkatan pengetahuan dan wawasan agama dan
darigama
Sosialisasi dan dakwah pembentukan keluarga sakinah, mawddah
warohmah
Sosialisasi dan dakwah pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah
Berpartisipasi dalam segala bentuk kemunkaran
Sosialisasi dan himbauan secara persuasif mengenai upaya-upaya
syari’at Islam dalam hal:
1. Melaksanakan sewa-menyewa (ijarah)
2. Mengfungsikan perbankan (syari’ah)
3. Melaksanakan jual beli (al-buyu’)
4. Menyelesaikan utang piutang (hiwalah)
5. Memberikan pinjaman (a’riah)
6. Mengatur barang temuan (luqathah)
7. Mengatur kerjasama (syirkah) dalam muamalah
8. Memberikan label terhadap makanan (ath’imah) yang halal
9. Mengatur kerjasama kemitraan dalam perdagangan (mudharabah)
Workshop gender dalam perspektif Islam
Advokasi masalah gender
Pendirian lembaga penanggulangan masalah gender dan keluarga
Mengkaji keadilan gender secara proporsionil Islami
Meningkatkan bentuan dan pelayanan sosial terhadap kaum dhu’afa
Meningkatkan tanggung jawab sosial, terhadap diri, keluarga,
masyarakat, bangsa, umat dan generasi penerus
Memahami UU No. 7/89 tentang Peradilan Agama & Inpres No. 1/90
tentang kompilasi hukum Islam
Menerapkan kompilasi hukum Islam bagi masyarakat Muslim
Optimalisasi penerapan Inpres No. 1/90
Meningkatkan ukhuwah Islamiyah
Meningkatkan pendidikan baik formal, informal maupun non-formal
bagi umat Islam
29
Sosialisasi prinsip-prinsip siasah syar’iah
Mendukung pengusulan hukum pidana Islam kepada pemerintah
pusat
Merealisasikan fatwa ulama tentang syariat Islam di daerah
Mengusulkan pada pemerintah pusat dan DPR agar penyusunan
KUHP baru bernuansa Indonesia dan Islami
Mendukung pelaksaaan Good Governance
Melayani konsultasi dan bantuan hukum serta pembelaan bagi
individu dan keluarga Muslim, organisasi sosial dan masyarakat
Muslim.
Konflik Internal Menjelang Deklarasi dan Perjalanan LP3SyI
Deklarasi Syari’at Islam di Garut dilatarbelakangi oleh adanya dua
lapisan sosial masyarakat Islam yang saling berebut pengaruh, yaitu kelompok
senior atau elit lokal (golongan tua) dan kelompok aktifis muda.43 Kelompok elit
terdiri dari tokoh-tokoh Islam senior yang berada di bawah pengaruh KH. Abdul
Halim, Lc. putra kiayi besar kelahiran Garut yaitu Prof. KH. Anwar Musaddad.
Abdul Halim (sering disebut dengan Kiayi Cecep) dekat dengan eksponen
angkatan 66 dan tokoh-tokoh tua segenerasinya. Pengaruh besar ayahnya dan
pendidikan keislamannya dari Madinah membentuk kharismanya sendiri
sehingga tokoh-tokoh tua di Garut praktis berada dalam pengaruh Abdul Halim.
Ia dan kawan-kawannya mendirikan BKPUI (Badan Koordinasi Persatuan Umat
Islam) Garut yang dimaksudkan menyatukan kelompok-kelompok Islam yang
ada seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PII, HMI, Syarikat Islam dan lain-lain.
Konon, salah satu hasilnya adalah menggolkan Drs. H. Dede Satibi sebagai
Bupati Garut Periode 2000 – 2004 sebagai calon dari golongan Islam. Para pendiri
BKPUI kemudian mendirikan Dewan Imamah44 yang dipimpin oleh KH. Abdul
Halim sendiri. Dewan Imamah ini, seperti BKPUI, berfungsi hanya sebagai
badan koordinasi dan silaturrahmi para pemimpin kelompok-kelompok Islam
(ormas, parpol, dan komunitas lain) untuk menyatukan umat Islam di Garut.
Dewan yang didirikan tahun 2001 ini adalah representasi kelompok senior yang
dianggap sebagai kekuatan real politik Islam yang bisa mempengaruhi kebijakan
Pemda. Salah satu manfaat dibentuknya Dewan Imamah ini, menurut Giom
Suwarsono,45 salah seorang pencetusnya, adalah berhasil membendung
kerusuhan, seperti bentrok fisik antara NU dan Muhammadiyah di Yogyakarta
tidak berimbas ke Garut karena para tokoh Islam cepat berkumpul untuk
mengantisipasi pengaruhnya. Ide dan pembicaraan tentang penerapan Syari’at
Islam di Garut sudah terbersit dalam pikiran kelompok senior ini hanya belum
menjadi agenda resmi karena masih belum jelas dan belum terpikirkan
bagaimana bentuknya.
Pada lapisan kedua dibawahnya, ada sekelompok muda Islam yang
merupakan aktifis HMI, PII, FPI, Persis, Pemuda Muhammadiyah dan lainnya.
Mereka melihat kelompok tua yang tergabung dalam Dewan Imamah ini sering
30
lambat merespon beberapa persoalan umat yang muncul di Garut. Ketika
muncul kasus demonstrasi menuntut dicabutnya Perda No. 6 Tahun 2000
tentang perjudian dan prostitusi oleh kelompok sekuler di Universitas Garut
(UNIGA), kelompok muda Islam merespon dengan sepakat mengajukan
tuntutan penerapan Syari’at Islam di Garut. Kemudian mereka membentuk
wadah dengan nama Komite Penegakan Syari’at Islam (KPSI). KPSI terdiri dari
gabungan organisasi-organisasi Islam yang ada di Garut yang diwakili oleh
tokoh-tokoh mudanya. Melalui sebuah aksi demonstrasi mendesak DPRD Tk. II
Kabupaten Garut mereka menuntut pelaksanaan Syari’at Islam. Lewat sebuah
dialog yang alot -- sekitar lima jam-- dengan pihak Pemda, DPRD dan partaipartai politik, Pemda dan DPRD akhirnya menyetujui bahkan mendukung usaha
pemberlakuan Syari’at Islam. Merasa langkahnya didahului, kelompok Dewan
Imamah pada awalnya kurang mendukung tuntutan tersebut. Sebagian
organisasi kepemudaan dan ormas-ormas yang ada juga belum mendukung.
Merasa belum mendapat dukungan yang luas, KPSI kemudian terus melakukan
lobi-lobi dan penekanan yang intensif. Hasilnya, disepakati pembentukan
sebuah lembaga baru pada tanggal 18 Februari 2002 bernama Lembaga
Pengkajian, Penegakkan dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI) sebagai lembaga
kajian dan sosialiasi Syari’at Islam. Lembaga baru ini beranggotakan hampir
semua unsur dan golongan masyarakat yaitu ulama 27 orang, komponen umat
Islam 20 orang, birokrat/pemerintah 18 orang, pakar praktisi hukum 8 orang, elit
Muslim non-ulama 16 orang dan unsur wanita 5 orang. Melihat ragam
keanggotaannya, LP3SyI merupakan lembaga yang dibentuk sebagai wadah
musyawarah atau kompromi antara jajaran pemerintah, kelompok Islam, tokohtokoh masyarakat dan berbagai unsur lainnya untuk mencari jalan keluar dari
desakan dan tuntutan pemberlakuan Syari’at Islam.46
Lembaga LP3SyI ini disepakati diketuai oleh ketua umum MUI
Kabupaten Garut. Jadi, Koordinator LP3SyI adalah ketua MUI ex-officio yaitu
Kiayi Cecep Abdul Halim. Dalam perjalannya, posisi koordinator ex-offico ini
menjadi problem tersendiri. Kiayi Cecep sebelumnya adalah figur yang
mengetuai berbagai jabatan: Ketua Dewan Imamah, Ketua MUI, Ketua
Perguruan Tinggi Musaddadiyah, Ketua BAZIS dan kemudian ditambah
Koordinator LP3SyI. Berbagai jabatan ketua ditangannya ini, dalam pandangan
tokoh-tokoh Islam Garut, membuat langkahnya tidak efektif dan organisasiorganisasi tersebut mandeg serta tidak berjalan. Demikian juga jabatannya
sebagai Koordinator LP3SyI. Setelah dua tahun proklamasi, LP3SyI praktis
belum melakukan gerakan apa-apa. Bidang-bidang yang telah dibentuk di
bawah koordinator, selam dua tahun, tidak berfungsi secara siginifikan. Yang
menarik, rupanya kharisma kiayi ini mengalahkan semua ketidakpuasan tokohtokoh yang ada termasuk para pencetus gerakan Syari’at Islam. Walaupun
LP3SyI tidak berjalan, tidak seorangpun yang berani angkat bicara
mempersoalkan posisinya. Umumnya, tokoh-tokoh Islam hanya berbicara
31
dibelakang. Kalaupun aspirasi kekecewaan ini sampai kepada Abdul Halim
tidak sampai menggeser posisinya.
Stagnasi lembaga ini tampaknya dipengaruhi beberapa faktor. Pertama,
kekecewaan Abdul Halim bahwa deklarasi penerapan Syari’at Islam bukan
merupakan hasil gerakan kelompok tuanya menjadi ganjalan psikologis
tersendiri baginya. Abdul Halim memanfaatkan kekecewaannya itu untuk tidak
bersemangat dan sungguh-sungguh memproses penerapan Syari’at Islam.
Kedua, keragaman latar belakang pengurus LP3SyI dengan berbagai
kepentingannya membuat lembaga ini tidak berjalan sesuai harapan. Ketiga,
karena memang ketiadaan konsep dan kebingungan langkah bagaimana ide
penerapan syari’at Islam tersebut harus realisasikan. Buktinya, dana yang
disediakan oleh Bupati sebesar 100 juta pertahun tidak dipakai. Pada dua tahun
pertama sejak disetujui oleh Pemda Garut, dana itu hangus karena ketiadaan
program yang diajukan oleh LP3SyI. Tahun ketiga (2004) dana itu baru akan
dimanfaatkan melalui ajuan program-program simbolisasi. Tapi juga tampak
sekali kecenderungan kuat pertimbangan pengajuan program itu lebih oleh
fikiran bahwa dana akan habis lagi kalau tidak dipakai.
Melihat lambannya gerakan LP3Syi ini dan tidak produktif Abdul Halim
sebagai koordinatornya tampaknya membenarkan kecurigaan para anggota KPSI
sejak awal bahwa pembentukan LP3SyI ini sebagai jalan kompromi, lembaga
musyawarah untuk mencari jalan keluar antara mereka yang mendesak
pelaksanaan syari’at dengan yang kontra. Setelah dua tahun berjalan, semangat
kelompok penggagasnya memang masih tampak terpelihara, tetapi kegiatan
yang mampu mereka lakukan sejauh ini hanya rapat dan pertemuan. Tema-tema
pertemuan pun tidak ada yang menyentuh pembahasan tentang hal-hal yang
lebih substansial seperti keadilan sosial, kedilan hukum, kesejahteraan ekonomi,
penanganan korupsi dan lain-lain. Tetapi lebih pada rencana penerapan simbolsimbol sebagai bagian dari sosialisasi seperti pemakaian busana muslimah di
sekolah-sekolah umum, pemasangan rambu-rambu peringatan, pemasangan
kaligrafi di berbagai sudut kota yang menyiratkan nuansa Islam serta himbauan
memakai busana muslimah bagi para karyawati di kantor-kantor, pemberlakuan
shalat berjamaah dan pembudayaan ucapan salam.
32
Pro Kontra Formalisasi Islam
Deklarasi sebagai wujud formalisasi Syari’at Islam ini tentu tak lepas dari sikap
pro dan kontra di kalangan masyarakat Islam Garut sendiri. Kelompok
pendukung adalah mayoritas.47 Mereka adalah para tokoh yang berafiliasi ke
MUI, tokoh-tokoh Muhammadiyah, Persis, kiayi pesantren, mantan aktifis
Pelajar Islam Indonesia (PII), Front Pembela Islam (FPI) Garut, Dewan Imamah,
HMI, PSII/SI, pengelola sekolah tinggi Musaddadiyah48 dan lain-lain. Dukungan
tersebut tidak atas nama organisasi, melainkan sebagai sikap pribadi/individu.
Sementara itu, kelompok yang tidak mendukung sebagian dari pihak birokrasi,49
kelompok NU Gus Dur,50 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tokoh
independen dan kelompok minoritas.
Kelompok pendukung menyandarkan aspirasi dan argumen mereka
pada beberapa landasan. Pertama adalah demokrasi. Demokrasi memungkinkan
untuk memperjuangkan pemberlakuan Syari’at Islam karena demokrasi
merupakan sebuah ruang publik yang bercirikan kebebasan berekspresi dan
menyatakan pendapat. Penggunaan jargon demokrasi ini menemukan legitimasi
dan penguatannya bahwa pemberlakuan Syari’at Islam merupakan aspirasi
mayoritas yaitu umat Islam Garut. Demokrasi menekankan suara mayoritas.
Ketika aspirasi Syari’at Islam dihubungkan dengan demokrasi, hampir semua
pendukung menyatakan hal itu sebagai perwujudan dan ekspresi berdemokrasi.
Bahkan sebagian mereka menantang agar pemerintah mewujudkan demokrasi
secara konsisten. Para penentang aspirasi penegakkan Syari’at Islam, di mata
mereka, adalah orang-orang yang tidak mengerti hakikat demokrasi.
Kedua, jaminan konstitusi nasional. Para inisiator dan perintis gerakan
Syari'at Islam di Garut menyandarkan perjuangan pemberlakuan Syari’at Islam
pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama
dijamin melaksanakan ajaran agamanya menurut faham dan kepercayaannya
masing-masing. Melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen, dengan demikian,
dijamin negara. Melaksanakan ajaran Islam bagi Muslim berarti melaksanakan
Syari’at Islam. Maka, pemerintah wajib mendukung ide Syari’at Islam. Tidak
perlu ada yang ditakuti dan dipersoalkan, apalagi Syari’at Islam diterapkan
hanya bagi kalangan Muslim. Kemudian seperti dijelaskan seorang praktisi
hukum, sebenarnya Syari’at Islam sudah dilaksanakan dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. Dalam Islam dikenal ahkamul ibadah (ibadah sehari-hari),
ahkamul munakahah (hukum keluarga dan perkawinan -- UU Perkawinan Tahun
1974), ahkamul muamalah, dan ahkamul madaniyah. Selain itu, untuk ahkamul
mawaris sekarang sudah ada UU Th. 78. Pembagian waris sekarang diatur secara
Islam oleh UU Peradilan Agama. Jadi, Syari’at Islam sebenarnya sudah banyak
yang dilaksanakan dalam kehidupan umat Islam sehingga tidak ada alasan bagi
pemerintah untuk menghalangi. Deklarasi Syari’at Islam hanya kelengkapan
untuk melaksanakan aspek-aspek lain yang belum dilaksanakan.51 Masih
berkenaan dengan jaminan konstitusi, pembukaan UUD 1945 menyatakan
bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
33
Seorang praktisi hukum yang mantan aktifis PII, pengurus Golkar dan Ketua
Kosgoro, mengutip ucapan pakar hukum Bismar Siregar yang menyatakan
bahwa persepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pandangan umat Islam adalah
Allah SWT. Konsekuensi logisnya, bila terdapat produk perundang-undangan
yang bertentangan dengan ajaran dan perintah Tuhan Yang Maha Esa atau
dengan hukum Tuhan (Allah), maka produk itu batal demi hukum.52
Ketiga, Syari’at Islam diharapkan sebagai jawaban atas kemandulan
hukum sekuler (hukum positif atau hukum nasional) dalam pemberantasan
KKN, mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan menegakkan
keadilan sosial di Indonesia. Sebagian kalangan Muslim, sudah kehilangan
kepercayaan dan harapannya pada hukum nasional akan mampu memecahkan
masalah-masalah hukum, keadilan dan menciptakan moral serta akhlak bangsa.
Bagi mereka, kejahatan, korupsi, kemaksiatan, pelacuran, penyelewengan
jabatan dan kekuasaan, narkoba, perjudian dan lainnya dirasakan tidak pernah
surut seiring dengan perkembangan zaman bahkan semakin lama semakin
menguat dalam lingkungan sosial umat Islam Indonesia. Di sisi lain, tidak ada
upaya dari para pemimpin bangsa untuk memberikan contoh akhlak mulia,
kejujuran, hidup sederhana, berpihak pada kebenaran, menegakkan keadilan
serta tegas terhadap kemungkaran dan seterusnya. Fenomena seperti ini
memunculkan rasa frustrasi masyarakat. Hukum yang ada dianggap bukannya
memecahkan masalah-masalah tersebut, bahkan menjadi bagian dari masalah itu
sendiri. Suasana seperti inilah yang kemudian mendesak sekelompok orang
untuk kembali kepada ajaran-ajaran dasar agama, termasuk hukum Tuhan
dalam pengertiannya yang harfiah dan tekstual. Walaupun belum ada
presedennya di zaman modern, lari kepada Syari’at Islam sebagai sandaran ideal
akhirnya tak terhindarkan. Dalam hal ini, sikap kembali kepada Syari’at Islam
adalah sebuah bentuk partisipasi, kepedulian dan tanggung jawab moral-sosial
dalam rangka turut memecahkan masalah-masalah kehidupan bersama menuju
kehidupan yang adil dan makmur.
Keempat, harapan bahwa deklarasi akan memberikan penguatan
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dalam level individu Muslim terutama dalam
kehidupan masyarakat Islam. Menyadari penegakkan Syari’at bukan hal yang
mudah walaupun dalam level individu, sebagian pendukung akhirnya
mengharapkan peran minimal dari pemberlakuan Syari’at yaitu sebagai penguat
pelaksanaan ajaran Islam oleh pemeluknya. Walaupun tidak dalam perannya
yang memaksa, Syari’at Islam yang diberlakukan secara formal minimal akan
berperan sebagai “pengingat” dan “pencipta suasana” bahwa orang sedang
hidup dalam masyarakat yang menerapkan Syari’at Islam dan seseorang harus
menyesuaikan diri dalam lingkungan masyarakat tersebut. Deklarasi di Garut
merupakan penguatan terhadap keinginan luhur masyarakat untuk
melaksanakan Syari’at Islam secara kaffah.
Sementara itu, pandangan kontra datang dari beberapa orang yang tidak
larut dalam gema dan gaung formalisasi Syari’at Islam. Kelompok ini berusaha
34
kritis, melihat beberapa kelemahan dari semangat populer dan arus massa
tersebut dan melihat persoalan dari perspektif lain. Aktifis PMII kabupaten
Garut, Lukman Hakim melihat beberapa kelemahan dalam deklarasi Syari’at
Islam. Pertama, konsep yang digodok belum selesai-selesai dan banyak yang
bentrok. Ini artinya, tidak didasari konsep yang matang, dengan kata lain, hanya
didasari semangat saja. Kedua, Kesan politisnya kental sekali. Menurut Lukman,
sebelum deklarasi, partai-partai politik disodori tanda tangan, angket yang
disebarkan pertanyaannya pada setuju dan tidak. “Saya sendiri setuju, tapi kan
persoalannya bukan setuju dan tidak. Kami sebagai generasi muda Islam lebih
memilih berada diluar arus saja, karena ketika gagal dapat menginventarisir
masalahnya dengan obyektif.” Kesan politis ini dibuktikan bahwa deklarasi
tersebut menghadirkan Ahmad Sumargono dan ketua FPI Habib Riziek.
Menurutnya, mestinya dicari orang netral dan seluruh lapisan masyarakat
diundang semua. Dengan hadirnya dua tokoh partai tersebut, semakin kuat
anggapan kelompok lain terhadap apa yang ingin dicapai dalam deklarasi itu.
Mereka sendiri yang membuat kesan ini dipolitisir, walaupun mungkin gerakan
itu sebetulnya murni. Ketiga, kita lebih menekankan pada nilai keislaman, bukan
formalitas. Hukum itu tidak hanya berlaku di Garut saja. Apakah di luar Garut
misalnya boleh tidak berkerudung? Islam itu lebih kepada penanaman nilai
bukan paksaan. Ketika seseorang sudah Islami ia akan taat dimanapun berada.
Kalau diundang-undangkan secara struktural begini berarti masuk dalam
sebuah kepentingan kekuasaan.53
Bagi yang lain, deklarasi atau formalisasi Syari’at dikhawatirkan akan
merusak citra Islam sendiri. Bagi KH. Mahdi Munawar, Ketua DPC NU Garut,
dilihat dari sejarahnya, Rasulullah tidak melakukan deklarasi dulu, melainkan
perilakunya dulu bukan simbolnya. Melihat kondisi zaman, diperlukan sikap
arif. Lebih baik Islam disuguhkan kepada masyarakat seperti menu makanan.
Kita suguhkan Islam itu yang disukai orang bukan yang menakutkan orang.54
Makanya bagi perintis beberapa perguruan tinggi swasta di Garut ini,
pendeklarasian Islam itu tidak perlu. Allah mendeklarasikan Islam itu ketika
sudah selesai: “Innaddiina ‘indallahil Islam” (sesungguhnya agama yang diridhai
di sisi Allah adalah Islam). Dideklarasikan itu setelah terbukti kebaikannya.
Zaman Nabi, keunggulannya sudah dibuktikan oleh Rasulullah. Buat kita, kata
Mahdi, yang tidak memiliki kapasitas seperti Rasulullah, ada ultimatum dari
Nabi bahwa jika kalian (shababat) meninggalkan 10% saja dari ajaranku kalian
akan celaka. Tapi di akhir zaman, jika umatku mampu melaksanakan 10% saja
dari ajaranku itu sudah bagus.
Bila melihat ke negara-negara Timur Tengah, kiayi yang Kepala
Madrasah Aliyah 2 Garut itu juga meragukan Syari’at Islam telah benar-benar
berjalan di Arab Saudi atau di Pakistan. Deklarasi di Garut, baginya, satu sisi
merupakan kompensasi dari kondisi-kondisi masa lalu, di sisi lain, mungkin
imbas dari pengaruh-pengaruh luar seperti adanya gerakan Ikhwanul Muslimin
di Mesir padahal gerakan itu tidak pernah berhasil. Bila dilihat keberhasilan
35
dakwah masa lalu, tidak ada deklarasi oleh para wali, tetapi hasilnya 90% bangsa
Indonesia adalah muslim. Para ulama dulu menanamkan kultur yang bernilai
Islami, mendorong, memotivasi suasana sehingga belajar dan menggali Islam itu
enak dan indah. Itulah rahmatan lil ‘alamin. Kalau hukum dulu ya... menakutkan.
Al-Qur’an itu bukan hukum tapi sumber hukum, harus dikelola dengan ushul
fiqh, setelah itu baru jadi fiqh. Fiqh itu dalam pelaksanaannya harus sesuai
dengan kondisi. Contoh, shalat itu wajib, tapi baru jam 11.00, ya tidak bisa,
kondisinya belum memungkinkan. Deklarasi, bagi kiayi itu, bukan penyelesaian.
Kalau ada masalah, Islam mengajarkan musyawarah. Membimbing masyarakat
sesungguhnya bisa dilakukan dengan cara yang indah, kalau perlu jangan
sampai diketahui orang bahwa ia sedang ditegor. Deklarasi itu dengan kata lain
tidak nyunnah (mengikuti Sunnah Nabi), Islam mengajarkan kalau ada masalah
pecahkan dengan musyawarah bukan dengan deklarasi.55
Kekhawatiran akan merusak citra Islam itu sendiri juga diungkapkan
oleh yang lain. Dikhawatirkan penerapan Syari’at Islam akan menghasilkan
feedback yang buruk. Kita akan ditertawakan karena tidak akan sanggup
melaksanakan Islam secara kaffah. Kewibawaan Syari’at Islam akan jatuh kalau
umat Islam bersemangat menerapkan Syari’at Islam sementara mereka sendiri
tidak sanggup melaksanaknnya. Karenanya, bagi Sofwy Irvan, mantan aktifis PII
dan Direktur PT. Radio Reka Kharisma Swara (REKS), sebuah radio swasta di
kota Garut, yang lebih penting sebetulnya adalah menerapkan pedoman hidup
Islam (PHI). PHI ini lebih sebagai suatu sikap hidup Muslim. Pedoman itu bisa
dilaksanakan bila aparatnya sudah diberikan pengertian-pengertian Islam secara
gradual, bertahap. Syari’at kan hukum dan itu harus dijalankan secara utuh. Dari
acara Bianglala (acara dialog, masukan dan kritik masyarakat terhadap pengelola
pemerintahan Garut) di radio yang diasuhnya, Sofwy mendapatkan kesan
masyarakat sangat antusias dengan Syari’at Islam, tetapi mereka ragu bahwa
dengan Syari’at, Islam akan tegak. Masyarakat banyak mengharapkan
pemberantasan praktek pelacuran, narkoba dan perjudian secara tuntas karena
sekarang sudah ditegakkan Syari’at Islam. Kalau kita sendiri tidak sanggup,
akhirnya kita jadi malu sendiri. Masyarakat memang tidak punya solusi. Bagi
Sofwy lebih baik menjalankan pedoman hidup Muslim.56
Keadilan adalah syarat ditegakkannya hukum. Rasulullah mengatakan
kalau Fatimah, anaknya, akan dipotong tangannya kalau mencuri, itu
dilaksanakan dalam tatanan masyarakan yang sudah adil. Zaman sahabat, kasus
orang yang mencuri dimenangkan dipengadilan karena golongan masyarakat
kaya menumpuk kekayaannya dan tidak memberikan sedekah kepada yang
miskin. Hukum menjadi tidak berlaku dalam masyarakat yang tidak adil. Bagi
mantan pengurus Ikadin yang anggota DPW PAN Jawa Barat ini, masyarakat
dan pemerintah belum siap melaksanakan Syari’at Islam. Baik dari aspek
konsep, hukum, aparat, jaksa, hakim dan pengacaranya semuanya belum siap.
Padahal, ketika penerapan Syari’at dideklarasikan, hukum itu harus
dilaksanakan.57 Bagi Sofwy, hukum nasional sudah cukup. Yang penting untuk
36
diprogramkan adalah menegakkan keadilan dan law-enforcement. Pencuri baru
dua hari sudah dikeluarkan dan koruptor bisa bebas karena adanya protek yang
kuat. Undang-undang yang ada sebetulnya sudah bagus, tapi dalam hal sistem
pemilu harus dirubah oleh pemilihan langsung dari tingkat presiden sampai
bupati. Desa sudah memberi contoh, aspirasi rakyat tertampung dengan baik.
Dari seluruh responden, kelompok yang kontra deklarasi seperti ini
adalah minoritas dan tampaknya mereka tidak terlalu bersuara disebabkan
beberapa pertimbangan: Pertama, masalahnya sensitif. Karena persoalan sensitif,
menunjukkan ketidaksetujuan secara terbuka bisa memunculkan salah faham.
Misalnya, kekhawatiran bahwa kadar keislamannya akan dipertanyakan.
Padahal, persoalannya adalah perlu tidaknya formalisasi agama. Sensitifitas
keagamaan ini mudah muncul dihadapan dua kelompok masyarakat: awam dan
mayoritas. Kedua, adanya kompromi dan pergeseran orientasi. Pelaksanaan
Syari’at Islam tentu harus konsisten menyangkut seluruh aspek hukum Islam
termasuk jinayah seperti hudud, qishash dan rajam yang belum tentu relevan
diterapkan untuk kondisi Indonesia sekarang. Tetapi, karena intensifnya dialog
antara kelompok KPSI, pemerintah dan DPRD akhirnya disepakati penerapan
Syari’at Islam perlu melalui beberapa tahap dan tahapan awal adalah program
sosialisasi melalui LP3SyI dan menekankan hal-hal yang sifatnya penyadaran
dan ritual. Akhirnya, program yang disepakati bukan deklarasi pemberlakuan
Syari’at Islam secara langsung dan total tetapi aspek-aspek ritual dan
penyadaran individu terlebih dahulu. Ketiga, kecilnya dukungan. Kecilnya
dukungan ini disadari tidak berarti apa-apa untuk mengungkapkan
ketidaksetujuan dan sikap kontra, apalagi fokus penerapan Syari’atnya sendiri
sudah mengalami pergeseran.
Kekecewaan Sosial Politik
Yang pertama-tama ditemukan dan nampak di balik ide pemberlakukan
Syari’at Islam di Garut adalah kekecewaan dan frustrasi umat Islam terhadap
berbagai persoalan sosial-politik-ekonomi yang mendera tanpa reda. Dengan
kata lain, bukan sebagai gerakan terprogram yang langkah-langkahnya tersusun
jelas, disiapkan secara sistematis dan konsepsional untuk membangun sebuah
sistem masyarakat Islam vis a vis sistem sekuler Barat. Syari’at Islam dihadirkan
lebih sebagai jawaban tiba-tiba, kata putus atas ketidakmampuan menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial kontemporer dalam konteksnya yang relevan.
Deklarasi didahulukan, konsep dan kemungkinan pemberlakuannya difikirkan
kemudian.
Islam sebagai kata putus misalnya terlihat jelas dari trigger awal
munculnya ide formalisasi Syari’at seperti diungkapkan Agus. Ide
pemberlakukan Syari’at muncul dari rasa kecewa dan pikiran selintas dalam
sebuah pertemuan yang kemudian menemukan sambutannya yang luas di
masyarakat. Pengalaman aktifis HMI itu memperkuat ekspresi kekecewaannya.
Dalam memperjuangkan Syari’at Islam, Agus pernah di interogasi oleh aparat
37
dan diberi peringatan agar Garut jangan sampai menjadi daerah Syari’at Islam.
Ia merasa aspirasinya dibungkam. Atas pengalam ini, ia melihat adanya
pembusukkan di pihak aparat negara baik di tingkat bupati, TNI, Polri dan para
pamong negeri. Kekesalannya juga nampak dari tuduhan bahwa Islam sering
dikonotasikan sebagai agama penjahat dan agama teroris, padahal baginya,
Islam adalah satu-satunya jawaban bagi segenap krisis multidimensional bangsa.
“Islam itu jawaban bukan alternatif. Kalau alternatif berarti ada pilihan yang
lain. Contoh bahwa Islam adalah jawaban adalah Iran,” katanya.
KH. Endang Yusuf Djunaedi, Lc, pengasuh pondok pesantren AlDjoenaidiyah Cibatu, Ketua Front Pembela Islam (FPI) dan ketua KPSI juga
menyiratkan ekspresi kekecewaan ini. “KUHP kita masih produk kolonial. Bila
hal ini sudah berubah dan aparatnya juga amanah, maka Insya Allah,
pemerintahan pun akan berjalan baik. Dan kalau pemerintahan berjalan baik,
maka keinginan untuk menerapkan Syari’at Islam pun, saya kira, tak akan
muncul.”58 Rasa kecewa dan tertekan yang lama ini juga dilihat kiayi Mahdi.
Lama masyarakat kita ini ditekan sejak dari Orde Lama sampai Orde Baru.
Ketika diberi peluang, baru muncul. Perjuangan menegakkan Syari’at seperti ini
tidak muncul pada zaman Orde Baru, artinya masyarakat kita tertekan ketika itu.
Kemudian sekarang, pemerintah bersifat sekuler, di sisi lain, kita ditekan oleh
negara maju karena memiliki utang yang besar.
Prioritas dan Orientasi
Selama ini dalam wacana keislaman nasional, sering kesulitan
menemukan definisi yang seragam apa itu sesungguhnya Syari’at Islam. Lebih
sulit lagi bagaimana menempatkan Syari’at Islam dalam konteks hukum
nasional. Apakah yang harus diperjuangkan di Indonesia substansinya atau
formalitasnya. Dari mana mulainya, apakah di bangun dari kesadaran individuindividu atau sistem yang harus diciptakan terlebih dahulu agar memiliki
kemampuan memaksa umat Islam melaksanakan ajarannya secara “kaffah”? Hal
ini masih menjadi perdebatan hingga sekarang bahkan ketika penerapan syari’at
Islam telah dideklarasikan. Lebih sulit lagi bila motivasi menerapkannya lebih
karena kekecewaan sosial politik seperti dijelaskan di atas, yang berakibat pada
munculnya pandangan yang berbeda-beda tentang prioritas apa yang mesti
didahulukan. Ada dua hal tentang masalah prioritas ini diantara para
pendukung Syari’at Islam di Garut. Dalam wacana, perbedaan pandangan
tentang prioritas tersebut cukup kuat tetapi tersimpan dalam fikiran masingmasing. Tetapi, dalam praktek, terbentuk kesepakatan untuk memprioritaskan
hal-hal yang paling mungkin dulu dilakukan.
Didasari oleh kesadaran perlu adanya conditioning sebelumnya dan
ketidakmungkinan menerapkan syari’at secara utuh dan terburu-buru, para
pendukung formalisasi Syari’at Islam seperti KH. Abdul Halim, Giom
Suwarsono, KH. Endang Yusuf, KH. Muhammad Qudsi, Asep Ahmad Hidayat,
Djohan Djauhari, Yosep Djauhari, Mahyar Swara, Aceng Zakaria dan lain-lain
38
mempunyai pendapat yang sama bahwa Syari’at Islam mesti dimulai dari yang
kecil-kecil dulu, yang sifatnya pribadi, membangun kesadaran, baru akhirnya
pelaksanaan secara sosial-politik.
Menurut H. Sajidin, Ketua DPC Muhammadiyah Kabupaten Garut,
pelaksanaan Syari’at Islam bisa dilakukan dengan bertahap. Pertama, di wilayah
individual dulu seperti shalat, zakat, puasa, busana muslimah dan ritual lainnya.
Kedua, urusan masyarakat dan pemerintahan seperti pendidikan. Pendidikan ini
harus masyarakat dan pemerintah yang melaksanakannya, bukan individu.
Ketiga, pelaksanaan hudud atau produk hukum. Ini oleh DPR. Kesadaran atas
kesulitan dan kebelumsiapan untuk menerapkan Syari’at ini disadari oleh
hampir seluruh pendukungnya. Giom Suwarsono mengatakan bahwa yang
paling pokok adalah bagaimana membuat dulu masyarakat Islami. Sebab,
hukum itu ada jika ada masyarakat hukum, wilayah hukum dan penguasa
hukum. Nah, sekarang Syari’at Islam itu belum punya masyarakat hukum,
adalah kenyataan bahwa masyarakat belum faham terhadap hukum Islam. Kalau
sudah ada masyarakat, wilayah dan penguasa hukum tersebut baru bisa.
Otonomi itu adalah wilayah hukum. Contohnya, Aceh kan bisa.59
Dalam Format Dasar Pelaksanaan Syari’at Islam yang dikeluarkan oleh
tim penggagas syari’at Islam Kabupaten Garut disebutkan bahwa pelaksanaan
syari’at Islam untuk mencapai masyarakat Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta
Rahardja yang Diridhai Allah, akan dilaksanakan secara bertahap dan
berkelanjutan selama sepuluh (10) tahun berlaku sejak 2002 – 2012 (1422H –
1432H). Jangka sepuluh tahun ini dibagi ke dalam dua periode lima tahun. Pada
periode lima tahun pertama, (2002 – 2007) akan diperjuangkan tercapainya
wujud Garut yang mandiri, sejahtera dan Islami dan masyarakatnya mempunyai
keyakinan yang kuat dan siap melaksanakan syrai’at Islam untuk tahapan
selanjutnya. Pada periode lima tahun kedua, akan diperjuangkan tercapainya
pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah/seutuhnya.
Dalam jangka pendek lima tahun pertama, sebagai landasan pelaksanaan
syari’at Islam, terdapat skala prioritas yang akan dicapai sebagai berikut:
a. Penataan, pemetaan dan penelitian tentang pengenalan, pemahaman
dan pengamalan syari’at Islam di lingkungan masyarakat Muslim.
b. Menyusun, menjabarkan dan mensosialisasikan “FORMAT DASAR
PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM kepada semua pihak
(pemerintah, lembaga-lembaga Islam, Ormas-ormas Islam, LSM-LSM
Islam, DKM-DKM dan masyarakat.
c. Pelaksanaan publikasi, sosialisasi tentang pencanangan dan
pelaksanaan syari’at Islam ke seluruh lapisan masyarakat.
d. Pelaksanaan gerakan akhlakul karimah di lingkungan aparatur
pemerintahan daerah (keteladanan umara).
e. Pelaksanaan gerakan keluarga sakinah dan masyarakat marhamah di
masyarakat.
39
f. Optimalisasi penggalian dan pengelolaan dana umat Islam melalui
APBD Kabupaten Garut dan pemberdayaan Badan Amil Zakat, Infaq
dan Shadaqah (BAZ) serta Baitul Maal.
g. Penataan dan pengembangan pendidikan formal dan non-formal yang
bernuansa islami, intensifikasi dakwah Islamiyah dan pelaksanaan
amar makruf nahyi munkar secara terpadu.
h. Meningkatkan Sumber Daya Manusia islami.
i. Penggalian, pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam secara
islami.
j. Melakukan pengawasan secara kontinue dan intensif, melaksanakan
evaluasi secara berkala dan berkesinambungan.
Untuk tercapainya tujuan di lima tahun pertama ini, cakupan
pemberlakukan Syari’at Islam di Garut akan difokuskan pada hanya sebatas
mendukung dan memperkuat pelaksanaan perda-perda yang melarang
kemaksiatan, perjudian, narkoba, VCD porno, membudayakan pembayaran
zakat dan lain-lain sesuai dengan kewenangan perda dan perundang-undangan
Republik Indonesia.60 KH. Endang Yusuf, ketua FPI kabupaten Garut,
menjelaskan bahwa pelaksanaan Syari’at disesuaikan dulu dengan kadar
kemampuan masing-masing pihak. “Misalnya, ada sebuah pesantren yang hanya
akan bergerak dalam bidang pendidikan, maka buat mereka komitmen
pelaksanaan Syari’at Islamnya ya menggarap pendidikan saja. Tapi itu kan tidak
cukup, sebab di sisi lain, hal-hal yang merusak masyarakat juga banyak seperti
narkoba, kejahatan dan lain-lain, sehingga perlu ada yang melaksanakan juga
nahi munkar. Jadi kita membutuhkan sistem.” Di Indonesia, seperti diakui KH.
Abdul Halim, untuk penerapan jinayah atau pidana kita harus menunggu waktu
yang agak lama. Karenanya yang bisa dilaksanakan di daerah-daerah,
khususnya di Garut, hanya melaksanakan tahapan-tahapan seperti pegawai
negeri sipil (PNS) memakai busana muslimah, shalat berjamaah, pemisahan
antara siswa laki-laki dan perempuan di madrasah Tsanawiyah dan Aliyah,
mudah-mudahan nanti bisa di SMP dan SMU.
Dari rapat-rapat yang diselenggarakan LP3SyI disepakati bahwa
penerapan Syari’at Islam di Garut dilaksakan dalam berbagai bentuk. Ada yang
cukup berbentuk himbauan saja oleh Bupati seperti pemakaian jilbab buat
perempuan Muslimah di kantor-kantor, pelaksanaan shalat berjamaah di tempattempat kerja, pengumandangan bacaan Al-Qur’an di rumah-rumah sakit dan
penempelan lafadz-lafadz do’a sehingga menciptakan suasana relijius seperti
yang sudah dilakukan di rumah sakit Kristen. Ada yang mesti lewat instruksi
dan ada yang mesti melalui Perda seperti zakat. Rapat yang diselenggarakan
tanggal 16 Juli 2004 di Kantor Kosgoro Garut, dihadiri sekitar 30 orang LP3SyI,
akan menawarkan bentuk seragam sekolah SMP dan SMA yang sesuai dengan
Syari'at Islam (busana Muslimah) dan kemudian mengajukannya kepada Bupati
40
Garut untuk disahkan dan diinstruksikan pemakaiannya melalui Departemen
Pendidikan Nasional Kabupaten Garut.61
Di sisi lain, disadari bersama bahwa Pemerintah Daerah Tingkat II atau
pemerintahan tingkat kabupaten tidak memiliki wewenang membuat dan
menerapkan peraturan sendiri yang berbeda dengan kabupaten lainnya.
Karenanya, para tokoh penerapan Syari’at Islam di Garut seperti KH.
Muhammad Qudsi, menggalang lobi dan mencari dukungan ke tokoh-tokoh
Islam dari kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat agar Syari’at Islam bisa
diterapkan dalam tingkat propinsi. Dalam cita-cita pelaksanaan Syari’at Islam di
tingkat propinsi ini, menurut KH. Endang Yusuf, sudah terbentuk jaringan yang
luas melalui jaringan ulama. Majalengka misalnya, akan mengundang “tim
Garut” untuk mengetahui dan mempelajari bagaimana strategi yang diterapkan
di Garut sehingga mampu melahirkan komitmen antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif mendukung sepenuhnya penerapan Syari’at Islam. Dukungan
terhadap Syari’at Islam di Garut, menurut Endang Yusuf, dapat dikatakan paling
kuat dibanding dengan daerah lain seperti Cianjur misalnya. Di Cianjur yang
mendukung hanya eksekutif, sedang legislatifnya tidak. Hal ini menjadi ganjalan
tersendiri.
Terbentuknya jaringan ulama ini terlihat dari upaya yang sudah
dilakukan KH. Muhammad Qudsi, pimpinan pondok pesantren Suci, Wanaraja
Garut. Kiayi Qudsi tidak hanya berjuang untuk penerapan Syari’at Islam di
Garut saja. Ia mendatangi DPR untuk mengusulkan perubahan pembukaan dan
amandemen UUD 1945, memasukkan Piagam Jakarta dan mengusulkan
perubahan pasal-pasal yang dirasakan bertentangan dengan Islam dan aspirasi
para ulama. Kiayi Qudsi berhasil membawakan suara dari hampir seluruh
kabupaten di Jawa Barat. “Saya sudah membawakan suara para ulama dari
Ciamis, Tasik, Garut, Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, DKI
Jakarta, Tanggerang, Serang, Kerawang, Bekasi, dan Pandeglang sebanyak 138
ulama, untuk mengajukan perubahan Pembukaan UUD 45 pada 13 Juli 2000.
Saya keliling, saya datangi semua kiyai itu.”62 Tapi persoalan sosial masyarakat,
sumber daya manusia, tingkat pendidikan dan tingkat pemahaman keagamaan
di seluruh kabupaten Garut relatif sama. Misalnya, jumlah Muslim mayoritas
tetapi berada dalam pluralitas pemahaman, perbedaan kelompok, perbedaan
orientasi politik dan kepentingan. Semua ini tentu berpengaruh pada usaha
penerapan Syari’at Islam dan akhirnya, sebagaimana di Garut, fokus dan
orientasi mesti diarahkan pada hal-hal yang sifatnya individual dan dakwah
penyadaran bukan pemaksaan.
Kesulitan-kesulitan teknis tersebut akhirnya menggiring pola penerapan
Syari’at Islam dari yang sifatnya struktural ke kultural yaitu penciptaan suasana
relijius. Dengan kata lain, akhirnya gerakan penerapan Syari’at Islam di Garut
bergeser kepada hal-hal yang sifatnya tidak substansial yaitu berawal atau
“berujung” pada sebuah gerakan himbuan moral seperti anjuran pemakaian
kerudung dan membiasakan shalat berjamaah di kantor-kantor, tidak berjualan
41
pada saat shalat jum’at dan pada bulan ramadhan, tidak menghiasi obyek-obyek
pariwisata dengan service perempuan dan sejenisnya.63 Dengan kata lain, sejauh
ini, setelah dua tahun proklamasi penerapan Syari’at Islam di kabupaten Garut,
gerakan tersebut masih dan tak lebih dari sekadar ramai-ramai simbolisasi
Islam.64
Berujung hanya pada simbolisasi Islam, artinya sebagai sebuah gerakan
politik, para pengusung tegaknya syari’at Islam di Indonesia gagal menggapai
cita-citanya. Dalam konteks ini, barangkali fenomena gerakan syari’at Islam
hanya membenarkan tesis Oliver Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam
(1996). Menurut Roy, dewasa ini gerakan Islam politik di negeri-negeri Muslim
hanya membawa berbagai perubahan superfisial di bidang hukum dan adat.
Islamisme, belakangan telah berubah menjadi tipe neofundamentalisme yang
hanya peduli pada penegakkan syari’at tanpa mampu menciptakan bentukbentuk politik yang baru. Islamisme muncul hanya untuk berperan sebagai
selubung saja bagi logika politik yang tidak berhasil dijabarkannya.Wallahu
a’lam!![]
CATATAN KAKI
Lihat Situs Tokoh Indonesia. Com. Yusril menyeru, “tidak akan surut sedikit pun dari
pendiriannya memperjuangkan Piagam Jakarta secara demokratis dan konstitusional
untuk dimasukkan dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sehingga
bunyinya menjadi, ‘negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban
Menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’
2 Dalam deklarasi penerapan syari’at Islam di Garut yang dibacakan tanggal 1 Muharram
1423/15 Maret 2002 ketuga unsur kekuatan politik turut menandatangi naskah
proklamasi.
3 Garut adalah sebuah kabupaten yang terletak di Priangan Timur Propinsi Jawa Barat,
dengan luas areal kira-kira 306.519 Ha (3.065,19 km²) atau sebesar 6,94% dari luas
wilayah Jawa Barat. Kabupaten Garut terdiri dari 31 kecamatan (sedang dimekarkan
menjadi 37 kecamatan) dan 403 desa. Secara administratif masuk ke wilayah V Priangan.
Posisi kabupaten ini, di barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Bandung, di utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, di sebelah Timur dengan
Kabupaten Tasikmalaya dan di selatan berbatasan langsung dengan Samudera
Indonesia.
4 Sulaeman Anggrapraja, Sejarah Garut dari Masa ke Masa, hal. 150.
5 Ibid, hal. 135-136.
6 Kunto Sofianto, Garut Kota Intan. Sejarah Lokal Kota Garut sejak Zaman Kolonial Belanda
hingga Zaman Kemerdekaan, Alqaprint Jatinangor Bandung, hal. 16.
7 Ibid, hal. 18.
8 L.W.C van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, INIS, Jakarta, 1989, hal. 72.
9 Ibid, hal. 68
10 Op-cit, hal. 17.
11 Website resmi Pemda Garut: www.garut.go.id
1
42
12 Pertumbuhan cukup tinggi bila melihat perkembangan penduduk per-kecamatan
dalam kurun 1990-2000. Kecamatan Karangpawitan misalnya mencapai pertumbuhan
sebesar 2,42 persen, Cibalong rata-rata sebesar 2,32 persen, kecamatan Cikajang rata-rata
sebesar 2,2 persen dan kecamatan Tarogong serta Bayongbong masing-masing sebesar
2,05 persen (lihat Tabel 2). Sementara itu, tingkat persebaran penduduk juga cukup besar.
Besarnya prosentase persebaran ini terjadi ke wilayah-wilayah yang lebih kota karena
alasan fasilitas perumahan. Persebaran penduduk yang lebih banyak pada tahun 2000
terjadi di kecamatan Tarogong sebesar 6,50 persen, kecamatan Garut Kota sebesar 5,61
persen, kecamatan Samarang sebesar 5,53 persen, Bayongbong dan Cisurupan masingmasing 5,29 persen. Persebaran penduduk berakibat pada kepadatan penduduk di suatu
daerah. Kepadatan penduduk di kabupaten Garut setiap tahunnya mengalami
peningkatan dan difasilitasi oleh arus urbanisasi, kepadatan terkonsentrasi di wilayahwilayah perkotaan. Tahun 1980, kepadatan mencapai 496 orang per km², tahun 1990
menjadi 585 orang per km², dan pada tahun 2000 menjadi 686 orang per km². Kecamatan
terpadat di kabupaten Garut terdapat di kecamatan Garut Kota dengan penduduk
sebanyak 4.830 orang per km² dalam luas wilayah yang hanya 23,81 km². Sementara itu
kecamatan Tarogong, daerah pusat pemerintahan kabupaten Garut, berpenduduk 2,205
orang per km² dalam luas wilayah 60,50 km² (lihat Tabel 2).
13 Pikiran Rakyat, 10 September 2002.
14 Ibid.
15 Ibid.
16 Angka ini kemungkin besar didata hanya dari sarjana yang tinggal di Garut. Sejumlah
sarjana asal Garut yang kuliah diluar Garut tidak kembali lagi ke daerah asalnya
sehingga jumlah sarjana yang terdata hanya penduduk Garut yang kuliah di Garut dan
menetap, ditambah mereka yang kuliah di luar Garut dan setelah sarjana kemudian
kembali dan menetap di kota dodol itu.
17 Pikiran Rakyat, 11 September 2002.
18 Wawancara tanggal 16 September 2002 dengan Kasi Pergurais Kandepag Garut, H.
Abdul Mu’in, S.Ag.
19 Ada banyak “pintu” untuk bisa masuk ke khususnya dua gerakan yang disebut
terakhir, yang di Indonesia cenderung masih tertutup dari akses publik. Dari beberapa
responden yang diwawancarai, penulis menemukan dua orang yang menjamin bisa
membawa ke kelompok ini.
20 Data Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut,
Agustus 2002.
21 Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut,
Januari 2002.
22 Data Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Kependudukan (Disnakersosbud) Kabupaten
Garut, Juli 2002
23 Priangan, 7 Juli 2001 dan Priangan, 12 Juli 2002.
24 Priangan, 9 Juli 2002.
25 Aqib Suminto, ‘Peristiwa Garut 1919, Titik Balik Kejayaan Sarekat Islam,’ Majalah
Prisma 11, 1984, hal. 90.
26 Ibid.
27 Ibid, hal. 91.
43
28 Ajip Rosidi dkk, Ensiklopedi Sunda. Alam, Manusia dan Budaya termasuk Budaya Cirebon
dan Betawi, Pustaka Jaya, 2000, hal. 712.
29 Ibid, hal. 713.
30 C. Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Grafiti Pers, Cetakan III 1993, hal. 9.
31 Ibid, hal. 10.
32 Kahin, Nationalism and revolution in Indonesia, Ithaca (New York), Cornel University
Press, 1970, hal. 234.
33 Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Aryaguna, Jakarta, 1964.
34 C. Van Dijk, Darul Islam... , hal. 92-95.
35 Wawancara tanggal 16 September 2002 dengan Kasi Pergurais Kandepag Garut, H.
Abdul Mu’in, S. Ag.
36 Ada banyak “pintu” untuk bisa masuk ke khususnya dua gerakan yang disebut
terakhir, yang di Indonesia cenderung masih tertutup dari akses publik. Dari beberapa
responden yang diwawancarai, penulis menemukan dua orang yang bisa membawa ke
kelompok ini.
37 Data Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut,
Agustus 2002.
38 Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut,
Januari 2002.
39 Yudi Latif, ‘Kebangunan Romantisisme Syariah,’ Koran Tempo, 21 Maret 2002.
40 Sejauh ini tidak ada angka pasti berapa jumlah orang yang menghadiri deklarasi
tersebut. Karenanya kemudian, berbagai informasi dan kesan muncul dari berbagai
pihak menggambarkan suasanan deklarasi itu. Kesan yang muncul sangat kuat
dipengaruhi oleh posisi seseorang dalam pro-kontra deklarasi Syari’at Islam itu.
Misalnya, dari kelompok yang pro, suasana sangat meriah dan yang hadir jumlahnya
besar, mencapai ribuan. Sebaliknya menurut kelompok yang kontra, jumlah tidak sampai
ribuan hanya ratusan sebab yang hadir hanya sekitar seperempat lapangan alun-alun
Garut. Itu pun, tidak berarti semuanya menunjukkan dukungan, massa yang
berkerumun itu sebagiannya adalah masyarakat biasa yang ingin menonton suasana
deklarasi itu.
41 Menurut cerita Agus Al-Fadz, anggota KPSI, anggota HMI dan saksi deklarasi,
munculnya ide Syari’at Islam di Garut sebenarnya dipicu oleh peristiwa sederhana yang
terjadi di kampus Universitas Garut (UNIGA). Suatu hari ada demonstrasi menuntut
dicabutnya Perda No. 6 tentang larangan perjudian dan prostitusi. Aksi demo itu digelar
oleh kelompok GMNI, PRD, PPMG dan dihadiri pasukan para pedagang kaki lima
(PKL). Surat tuntutannya ditandatangani oleh Fraksi PDI-P. Para aktifis Islam kemudian
merespon aksi itu dengan mengadakan rapat di sekretariat HMI Cabang Garut. Dalam
rapat, sebagian ingin mengukuhkan Perda tersebut, sebagian lagi menginginkan
langsung melemparkan ide yang lebih besar yang sedang aktual di kalangan umat yaitu
Pemberlakuan Syari’at Islam. Gayung bersambut. Setelah sosialisasi, persetujuan datang
dari beberapa kalangan Islam lain. Sejak itulah ide Syari’at Islam menggema di Garut.
Wawancara tanggal 28 Juni 2002.
42 Deklarasi syari’at Islam tidak otomatis berhubungan dengan gagasan dan cita-cita
negara Islam. Kata “negara Islam” atau “Negara Islam Indonesia” (NII) –hampir di
semua daerah yang berjuang menerapkan tegaknya syari’at Islam pasca Orde Baru—
tidak pernah ditemukan. Ini menunjukkan bahwa kesetiaan masyarakat Islam terhadap
44
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak tergganggu. Bayangan penerapan
Syari’at Islam tidak disertai oleh imajinasi menegasikan dan meniadakan negara
Republik Indonesia yang sah. Ini menunjukkan bahwa ide syari’at Islam adalah ide yang
muncul dalam konteks yang sudah sangat jauh berbeda dengan ide Negara Islam yang
dicetuskan Kartosuwiryo tahun 1940-50an. Berbeda dengan kondisi masa revolusi, ide
syariat Islam muncul dalam konteks kehidupan kenegaraan yang sudah kuat.
43 Wawancara dengan Drs. Asep A. Hidayat, 20 Juni 2002.
44 Entah diinspirasikan secara sadar atau tidak, Dewan Imamah ini adalah istilah yang
digunakan oleh gerakan Darul Islam (DI) di Garut sebagai kabinet/dewan dalam Negara
Islam Indonesia yang dipimpin oleh Imam. Dewan Imamah ini adalah salah satu institusi
selain Majelis Syuro, Dewan Syuro dan Dewan Fatwa dalam Darul Islam. Anggota
Dewan Imamah ini bertanggung jawab kepada Imam dan Majelis Syuro. Van Dijk, hal
83-84.
45 Wawancara tanggal 30 Juli 2002.
46 Pada awalnya, kesan yang muncul dari beberapa orang anggota KPSI yang curiga,
pembentukan LP3SyI ini dirasakan merupakan penggiringan dan “pengkarantinaan”
aspirasi penerapan Syari’at Islam. Hal ini misalnya terlihat dalam naskah proklamasinya
yang berbunyi: “Kami sepakat mendeklarasikan penegakkan dan penerapan Syari’at
Islam melalui Lembaga Pengkajian Penegakkan dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI)
Kabupaten Garut”. Kesan ini diperkuat oleh keanggotaan LP3SyI terlalu beragam
termasuk yang tidak berkepentingan. Akhirnya, oleh para pendukung Syari’at Islam
yang tergabung dalam KPSI, LP3SyI dirasakan berjalan lamban. Kecurigaan mereka
menemukan pembenarannya. Rapat LP3SyI yang membahas struktur kepengurusan,
program kerja, pedoman dasar dan lain-lain baru diselenggarakan tujuh bulan kemudian
setelah deklarasi yaitu bulan Nopember 2002. Selama dua tahun LP3SyI parktis tidak
bergerak menghasilkan kegiatan-kegiatan yang signifikan. Rapat yang merupakan
realisasi program yang dirancang tahun 2002 baru diselenggrakan dua tahun kemudian
yaitu 16 Juli 2004 tentang usulan seragam sekolah.
47 Pengertian “mayoritas” disini bukan berarti seluruh umat Islam se-Garut, melainkan
mayoritas tokoh-tokoh Islamnya. Lebih tepat lagi, mayoritas dari mereka yang
dihubungi dan dijadikan sebagai sumber wawancara
48 Keluarga Musaddadiyah ini perlu diberikan catatan. Keluarga kiyai besar ini sangat
dihormati oleh masyarakat Islam Garut. Jumlah putra Pak Musaddad sekitar 8 orang.
Diantara 8 itu, yang paling menonjol adalah dua orang yaitu KH. Abdul Halim dan KH.
Tontowi Musaddad. Yang pertama aktif berperan dalam berbagai kedudukan: Ketua
STAIN Musaddadiyah, Ketua MUI Garut, Ketua Dewan Imamah dll, sedangkan yang
kedua adalah pengasuh pondok pesantren Al-Wasilah Tarogong. Kedua pribadi ini
bertolak belakang pendiriannya dalam hal deklarasi Syari’at Islam. KH. Abdul Halim
yang dikenal teguh pendirian sangat mendukung pemberlakuan Syari’at Islam karena
baginya merupakan kewajiban yang tidak bisa tawar-tawar. Sementara KH. Tontowi
menolak diberlakukan Syari’at Islam secara formal. Bagi Tontowi, penerapan Syari’at
Islam tidak bisa dipaksakan dan perlu waktu yang lama untuk menerapkannya agar
sesuai dengan kondisi masyarakat.
49Tidak ada data tentang prosentase apalagi jumlah angka dukungan atau penolakan dari
mereka yang bekerja di birokrasi pemerintahan Pemda Garut. Bila sikap birokrasi
kabupaten diwakili oleh pimpinan tertingginya yaitu Bupati, maka sikap dasar Bupati
45
sendiri --seperti diceritakan seorang responden yang dekat dengan Bupati-- sebenarnya
tidak setuju dengan deklarasi. Ia lebih mementingkan substansi ajaran Islam. Penerimaan
Bupati terhadap tuntutan Syari’at Islam karena terdesak dan lebih merupakan sikap
politik untuk menyahuti aspirasi Islam. Dibentuknya LP3SYI sendiri dianggap sebagai
keberhasilan Bupati menuntun para pendukung formalisasi Syari’at Islam pada
penerapan tidak langsung. Informasi ini dikuatkan oleh wawancara langsung dengan
Bupati dikantornya tanggal 2 Juli 2002. Ia menekankan Syari’at Islam lebih pada
pengamalan pribadi dulu dan proses penyadaran masyarakat bukan pada formalisasi.
50 Menurut responden Asep Ahmad Hidayat, dosen IAIN Sunan Gunung Djati Bandung
yang mantan pengurus PB. PII dan anggota KPSI, dalam konteks penerapan Syari’at
Islam, NU di Garut terbagi kepada dua kelompok yaitu “NU Garut” dan “NU Gus Dur.”
NU Garut adalah kelompok NU yang pandangannya sesuai dengan mainstream umat
Islam Garut, mereka inilah yang mendukung Syari’at Islam. Sedangkan NU Gus Dur
diklaimkan kepada tokoh-tokoh NU yang beraliansi, dekat atau memiliki pandanganpandangan yang serupa dengan Gus Dur. Mereka ini menolak formalisasi Syari’at Islam
di Garut.
51 Wawancara dengan Drs. Djohan Djauhari, SH tanggal 25 Juni 2002.
52 Wawancara dengan Drs. Yosep Djuanda, SH tanggal 5 Juli 2002.
53 Wawancara tanggal 3 Juli 2002.
54 Wawancara tanggal 2 Juni 2002.
55 Ibid.
56 Wawancara tanggal 28 Juni 2002.
57 Wawancara tanggal 28 Juni 2002.
58 Lalu KH. Endang mencontohkan buruknya aparat pemerintah dengan kasus yang
terjadi di Depag Garut soal pemotongan dana kesejahtreraan guru. “Dari pemerintah
sudah turun BKG (Biaya Kesejahteraan Guru) sekian milyar, saat guru sedang sekarat
menunggu perbaikan nasib, uang itu malah sampai sekarang belum dibagikan atau
belum sampai ke bawah. Sebagian ada yang sudah dibagikan tetapi mengalami
pemotongan. Semestinya setiap guru menerima Rp. 450.000 (Rp. 75.000/bulan x 6 bulan),
tapi hanya menerima Rp. 380.000. Nah, ini Departemen Agama tapi kok seperti ini,
gimana ini? Hal ini disebabkan oleh akidah aparat kita yang lemah. Kalau akidahnya
kuat mereka, Insya Allah, mereka tidak akan berani memotong yang bukan haknya,
mengambil hak orang lain dsb.”
59 Wawancara dengan Giom Suwarsono tanggal 30 Juli 2002.
60 Wawancara dengan Asep A. Hidayat, 20 Juni 2002.
61 Menjadi anggota LP3SYI tampaknya tidak berarti memiliki ide yang sama atau selalu
terjadi kesepakatan bulat tentang sebuah keputusan. Rapat itu misalnya diwarnai pro
kontra kecil tentang perlunya pakaian sekolah ditekankan. Beberapa peserta rapat
merasa tidak terlalu penting menekankan pakaian, yang lebih penting adalah
substansinya yaitu perbaikan akhlak di kalangan pelajar. Seragam hanyalah formalitas.
Tapi, dominasi orang tua (senioritas) dalam rapat sangat tampak. Yosep Jauhari sebagai
pemimpin rapat selalu mengarahkan rapat pada kesepakatan.
62 Wawancara tanggal 4 Juli 2002.
63 Sejak dideklarasikan, Bupati Garut mengeluarkan himbauan agar para karyawati
Pemda memakai kerudung saat kerja di kantor dan ini sudah berjalan hingga sekarang.
Yang menarik adalah di tempat pariwisata seperti Cipanas Garut. Menyadari sulitnya –
46
paling tidak hingga saat ini-- memisahkan antara parawisata dengan praktek-praktek
prostitusi, di Cipanas –salah satu primadona pariwisata Garut—yang bisa dilakukan
hanya menghimbau agar perempuan-perempuan pemuas syahwat tidak berkeliaran,
agar lebih tertib, dan tetap menjaga hak privacy para tamu yang membawa pasangannya.
64 Bahkan hanya untuk simbolisasi Islam pun, sampai sekarang belum nampak hasilnya.
Suasana Kota dan Kabupaten Garut tahun 2002 dengan tahun 2004 tidak ada
perkembangan apa-apa dalam hal simbol-simbol Islam, tidak terlihat adanya simbolsimbol (berupa tulisan, peringatan, ganmbar-gambar dll) yang meriah yang menandakan
bahwa Garut sekarang sedang dalam proses memberlakukan syari’at Islam.
47