[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Gerakan Pemberlakuan Syari’at Islam di Garut: GERAKAN SUPERFISIAL NEOFUNDAMENTALISME ISLAM Moeflich Hasbullah Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Gunung Djati Gerakan reformasi politik yang telah menumbangkan pemerintahan Orde Baru Soeharto dari panggung kekuasaannya tahun 1998, telah melahirkan ‘ledakan emosi massa tak terkendali’ yang muncul dalam berbagai luapan eforia. Ledakan itu terjadi dalam masa transisi pemerintahan dari sistem represifotoriter ke demokratis antara tahun 1998 sampai akhir 2002. Selama Orde Baru, kemerdekaan berekspresi, beragama dan berbeda pendapat yang alami terkungkung dalam angkuhnya jargon-jargon ‘bhineka tunggal ika,’ ‘stabilitas nasional,’ ‘pembangunan ekonomi,’ ‘pancasila,’ ‘dwi fungsi ABRI,‘ dan sejenisnya. Begitu Orde Baru runtuh, ledakan massa meledak tak terkendali dalam ruang publik jagat nusantara. Ledakan sosial itu meletus dalam deretan peristiwa: kerusuhan etnis antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan; Konflik atas nama agama yang berkepanjangan di Ambon dan Poso; Pembantaian massal di Situbondo; Penjarahan pusat-pusat kapitalisme (kerusuhan Mei di Jakarta) sebagai akibat dari ketimpangan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi; Kekecewaan lokal terhadap pemerintah pusat (Aceh, Riau, Tasikmalaya, Papua) dan sebagainya. Masa transisi yang meresahkan tersebut relatif mereda sampai akhir tahun 2002, dan sejak itu, walaupun belum sepenuhnya pulih, kondisi berangsur-angsur kembali ke situasi normal. Setelah rentetan peristiwa itu berlalu, muncullah harapan-harapan baru rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri: demokratisasi politik, perbaikan ekonomi, pemberantasan korupsi, kebebasan pers, supremasi hukum dan keadilan sosial, otonomi daerah dan seterusnya. Bagi sebagian kalangan Islam yang disebut komunitas Islam politik (political Islam) yang berbasis ideologi Islam, gerakan reformasi dan jatuhnya rezim Soeharto seperti membangkitkan kenangan memori kolektif mereka yang sudah lama terkuburkan: Negara Islam, Piagam Jakarta atau pemberlakuan syari’at Islam dalam komunitas Muslim. Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, yang ditengarai sebagai “reinkarnasi” dari partai Islam Masyumi tahun 1950-60an, jelas-jelas mengagendakan diberlakukannya syari’at Islam di Indonesia. Ia bersemangat akan memperjuangkan kembali Piagam Jakarta agar menjadi bagian dari Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Walaupun dilakukan dengan cara-cara 1 demokratis dan konstitusional, Yusril bertekad tidak akan mundur memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai hasil dialog antara kelompok nasionalis dan Islam.1 Tetapi, sampai saat ini, perjuangan itu belum menemukan hasilnya. Dalam kesempatan besar ketika UUD 1945 diamandemen dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2000 lalu, gagasan pemberlakuan kembali Piagam Jakarta tidak mendapatkan dukungan luas. Mayoritas fraksi-fraksi dalam sidang istimewa itu menyatakan keberatannya. Sebagai memori kolektif yang masih mengendap kuat dalam ingatan dan alam fikiran kelompok Islam politik, gagalnya memperjuangkan Piagam Jakarta dalam sidang istimewa MPR, tidak lantas menyurutkan langkah mereka. Di level grassroot di daerah-daerah, gagasan itu tetap hidup bahkan lebih kondusif untuk direalisasikan. Diinspirasikan oleh kasus Aceh, beberapa daerah di Indonesia yang pengaruh Islamnya relatif kuat seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Riau muncul ke permukaan dalam bentuk tuntutan penerapan pemberlakuan syari’at Islam di daerahnya masing-masing. Di Jawa Barat, gagasan pemberlakuan Syari’at Islam muncul di lima kabupaten: Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Gagasan penerapan Syari’at Islam di kabupatenkabupaten ini diperjuangan dalam semangat, volume dan kekuatan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan sosial, kultur, politik dan kesiapannya masing-masing. Di Kabupaten Cianjur dan Garut, syari’at Islam sudah dideklarasikan secara formal, sementara di Sukabumi, Tasikmalaya dan Ciamis baru berupa gagasan, rencana dan sosialisasi. Diantara lima kebupaten itu, dari aspek dukungan birokrasi, pemerintahan dan unsur-unsur masyarakat yang terlibat, nampaknya Kabupaten Garut adalah yang arusnya paling kuat. Unsur-unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif di kabupaten Garut beriring bersama sepakat mengusung gagasan penerapan Syari’at Islam.2 Mengenai tuntutan ini, menarik diajukan beberapa pertanyaan. Apakah tuntutan penegakkan Syari’at Islam di berbagai daerah di Indonesia adalah aspirasi murni atas dasar kesadaran agama ingin menjalankan sistem hukum Islam dalam negara kesatuan Republik Indonesia? Apakah penegakkan Syari’at Islam merupakan aspirasi umat Islam secara keseluruhan atau hanya keinginan segelintir kelompok elit agama? Bila hanya gagasan kelompok elit, apakah mereka sungguh-sungguh ingin membawa masyarakat pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan atau hanya memanfaatkan isu ini untuk kepentingan posisi dan kekuasaan karena peran mereka yang terpinggirkan? Apakah kembalinya kepada sistem Islam adalah penolakan terhadap sistem kehidupan sekuler? Apakah yang mereka fahami dan mereka maksud dengan Syari’at Islam? Sejauh mana penerapan Syari'at Islam itu telah mampu terealisir dan dimungkinkan berlaku dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia? Sejauh manakah masyarakat pendukung Syari'at Islam mengetahui bahwa Indonesia sudah banyak mengadopsi nilai-nilai hukum Islam sehingga persoalannya bukan lagi perlunya penerapan syari’at Islam melainkan komitmen, aplikasi dan tegakknya supremasi hukum? Sejauh manakah struktur 2 sosial di daerah dan struktur kesadaran masyarakat memungkinkan bagi pelaksanaan Syariat Islam? Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari wawancara terhadap tokoh-tokoh masyarakat lewat sebuah penelitian akan menjadi informasi penting dan berharga untuk mengukur kesadaran agama, tingkat pemahaman syari’at, partisipasi politik, kemurnian aspirasi dan kemungkinan pelaksanaan Syari'at Islam di daerah-daerah di Indonesia. Penelitian ini mengambil sampel di wilayah Priangan Timur dengan fokus di Kabupaten Garut.3 Garut menjadi penting karena beberapa pertimbangan: Pertama, Kabupaten Garut dan Wilayah Priangan Timur secara umum, sepanjang sejarahnya adalah daerah dengan pergolakan politiknya yang tinggi dan dikenal sebagai daerah historik pemberontakan Islam sejak pemberontakan Cimareme (1919), perlawanan KH. Yusuf Taudjiri - Cipari terhadap Belanda, pemberontakan KH. Zenal Musthofa Singaparna (Tasikmalaya) terhadap pemerintahan pendudukan Jepang sampai gerakan DI/TII Kartosuwiryo tahun 1948. Era reformasi, geliat gerakan Islam muncul lagi dikabupaten ini dengan dideklarasikannya penerapan Syari’at Islam tahun 2002. Kedua, Garut adalah sebuah kota santri, dengan prosentase penganut Islamnya hampir 100%, dan ketiga, Garut bisa disebut miniatur Indonesia untuk keragaman gerakan dan organisasi Islam. Hampir semua gerakan Islam yang ada di Indonesia terdapat perwakilannya di Garut mulai dari ormas sosial agama dan pendidikan (NU, Muhammadiyah, Persis), ormas kader (HMI, PMII, IMM, Anshor), gerakan “sempalan” seperti Ahmadiyah, gerakan eksklusif seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Ikhwanul Muslimun, gerakan Islam garis keras semacam FPI dan Lasykar Jihad, Hizbut Tahrir, sampai gerakan bawah tanah yang misterius seperti DI dan NII. Dalam heterogenitas kelompok Islam seperti ini, adalah menarik melihat bagaimana persepsi, respon, tanggapan dan penghayatan serta dukungan mereka terhadap pemberlakuan Syari'at Islam yang sudah dideklarasikan di Kabupaten Garut. Namun sebelumnya, untuk melihat gambaran potensi, prospek dan konteks yang akurat dalam memahami gerakan Syari'at Islam, perlu digambarkan terlebih dahulu profil kontemporer kabupaten Garut. Profil Kabupaten Garut Kondisi Penduduk Secara historis, kota Garut pernah diwarnai oleh multi-etnis penduduknya. Sejak awal abad ke-20, kota ini sudah menunjukkan kondisinya sebagai kota yang dihuni oleh heterogenitas kelompok masyarakat. Sejak masamasa awal abad ke-20, di kota Garut sudah terdapat ragam penduduk yang datang dari tiga wilayah penting di dunia: Eropa, Cina dan Timur Tengah (Arab/Pakistan). Kedatangan bangsa Eropa diawali oleh Belanda sebagai kolonial, kemudian terdapat juga orang Inggris, Jerman, Itali dan Amerika Serikat. Selain 3 Eropa, masuk juga etnis Cina dan Arab serta Pakistan. Masuknya gelombang orang asing ini akibat urbanisasi dan kebijakan dibukanya wilayah Priangan oleh penguasa Balanda untuk kaum imigran asing. Heterogenitas penduduk ini juga ditunjang oleh dibukanya lahan-lahan perkebunan teh dan dikenalkannya daerah-daerah pariwisata di wilayah Garut. Sebagai kelompok yang secara sosial dan politik lebih berpengaruh, membicarakan perkembangan Garut dan penduduknya pada masa pra kemerdekaan, tidak bisa lepas dari membahas peranan yang dipegang orang-orang asing ini. Pada permulaan abad ke-20, orang-orang Inggris, Jerman, Itali, juga Belanda dan Cina yang ada di Garut membuka usaha-usaha perkebunan karet, kina dan teh di daerah-daerah seperti Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cikajang, Cisompet, Cikelet dan Pameungpeuk.4 Kemudian, Belanda membuka lahanlahan untuk usaha-usaha perkebunan teh di lima wilayah yaitu Giriawas, Cisaruni, Cikajang, Papandayan dan Darajat.5 Perkebunan-perkebunan teh ini, selain areal ekonomi juga terkenal sebagai tempat rekreasi dan pariwisata yang indah karena berhawa sejuk. Tempat-tempat pariwisata lain kemudian dibuka yaitu Kawah Papandayan, Kawah Kamojang, Kawah Manuk, Kawah Talaga Bodas, Cipanas, Situ Cangkuang dan Situ Bagendit. Perpaduan antara perkebunan-perkebunan teh yang sejuk dengan puncak-puncak gunung yang berkawah aman dan berpemandangan indah membuat pariwisata Garut pada permulaan abad ke-20 terkenal ke seluruh dunia. Dari informasi yang dikutip Kunto Sofianto dari buku The Garoet Express and Tourist Guide Geillustreerd Weekblad yang terbit tahun 1923, terlihat nuansa kemashuran parawisata Garut di dunia internasional. Pada tahun-tahun itu, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Garut datang dari Amerika, Inggris, Australia, Belanda dan Jepang. Orang-orang penting dan terkenal di masanya yang pernah berkunjung ke Garut adalah Raja Leopold dan Astrid, permaisurinya (tahun 1928). Kemudian beberapa bintang film terkenal seperti Charlie Chaplin, Renate Muller dan Hans Albers juga pernah datang. Susuhunan Pakubuwono X juga berkunjung pada tahun 1936 dan menginap di hotel Papandayan.6 Gelombang orang-orang asing yang datang ke Garut berbeda-beda waktunya. Dari catatan orang Belanda, kaum imigran Cina diperkirakan sudah ada sejak tahun 1895. Tapi menurut Sofianto, berdasarkan kelenteng yang ada di Garut, etnis Cina diperkirakan sudah bermukim sekitar 57 tahun sebelumnya, mendiami wilayah yang ketika itu terpisah dari kaum pribumi di sekitar Ciwalen/Sukaregang.7 Masuknya imigran Cina ke Garut ini disebabkan oleh dibukanya wilayah Priangan (Bandung, Sumedang, Garut, Tasik dan Ciamis) oleh pemerintah Belanda untuk para pedagang Cina. Mereka datang dari berbagai tempat yaitu Hakka, Hokkien, Teo Chiu dan Kanton serta Kwangtung. Pekerjaan mereka pada umumnya berdagang. Sementara itu, orang-orang Arab yang sudah ada di Nusantara beberapa abad sebelumnya sudah mempunyai banyak perkampungan yang berbentuk 4 koloni-koloni. Menurut van den Berg, di Pulau Jawa pada masa itu sudah terdapat enam koloni besar orang-orang Arab yaitu koloni Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya dan Sumenep, Madura. Koloni-koloni ini dibentuk oleh pemerintah Belanda karena setiap tahun jumlah mereka terus bertambah.8 Imigran Arab ke Pulau Jawa secara besar-besaran datang sekitar abad ke-19 berasal dari daerah Hadramaut. Tetapi, Berg mencatat, imigran yang masuk ke Garut ketika itu hanya berjumlah 24 orang dan jumlah ini sedikit dibandingkan orang-orang Arab yang datang ke daerah-daerah lain di Nusantara. Kaum imigran Arab ini diperkirakan masuk sekitar tahun 1885,9 kemudian disusul orang-orang Pakistan sekitar 40 tahun kemudian (tahun 1920an) yang berasal dari Punjab. Hampir semua orang Pakistan di Garut, berbaur dan menikah dengan penduduk setempat dan mata pencaharian mereka pada umumnya berdagang dengan membuka toko-toko kain/tekstil. Berbeda dengan orang-orang Arab di tempat lain, dan berbeda dengan imigran Cina, orang-orang Arab yang masuk ke Garut tidak membentuk koloni dan tidak hidup secara eksklusif dari penduduk pribumi. Hal ini disebabkan oleh dua hal: Pertama, jumlah mereka yang sedikit sehingga tidak diperlukan daerah koloni yang terpisah, kedua, status mereka sebagai Muslim sehingga merasa tidak ada hambatan psikologis-ideologis. Kesamaan agama bahkan membuat mereka menyatu, merasa bersaudara dan penduduk pribumi tidak menganggap mereka sebagai orang asing seperti halnya terhadap bangsa Eropa dan Cina. Integrasi kultural itu salah satunya itu dibuktikan oleh banyaknya tali perkawinan antara para pendatang Arab/Pakistan dengan penduduk Garut. Dari uraian di atas, nampak bahwa jauh sebelum masa kemerdekaan, Kota Garut, sebuah kota kecil di Priangan Timur sudah berfungsi sebagai kota heterogen baik secara ras, ertnis, kultur dan agama. Sejak abad ke-19, Priangan Timur sudah menjadi tempat tujuan berbagai pendatang asing baik bangsa Eropa sebagai penjajah, orang-orang Arab dan Pakistan yang menyebarkan Islam, dan etnis Cina yang bermaksud mengembara dan mengembangkan perdagangan. Kaum pribumi sudah terbiasa dengan heterogenitas kultural. Selain kehadiran orang-orang asing sebagai pendatang, terdapat masyarakat Garut sebagai pribumi Sunda. Berbeda dengan penjajah yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan, berbeda juga dengan etnis Cina yang hidup eksklusif dan sedikit lebih makmur, penduduk pribumi berstatus sebagai terjajah, hidup bersahaja dan seadanya. Era pasca kolonial, terjadi pola relasi yang berbeda antara penduduk pribumi Garut dengan orangorang asing ini. Pasca kemerdekaan, orang-orang Belanda dan bangsa Eropa lainnya hengkang setelah terusir oleh pekik kemerdekaan, orang-orang Cina secara kuantitas tidak berkembang di Garut dan tetap hidup eksklusif dalam komunitas mereka, sementara pendatang Arab dan Pakistan berbaur, menikah dan menjadi bagian penduduk pribumi. Kabupaten Garut terbagi ke dalam 31 kecamatan dengan tingkat perkembangan penduduk cukup pesat terutama setelah era kemerdekaan (lihat 5 tabel 1). Dari data yang terdapat dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie seperti dikutip Sofianto, jumlah penduduk kota Garut pada tahun 1915 adalah 15.000 orang. Tahun 1930 berkembang menjadi 33.612 orang yang terbagi kepada 31.373 orang penduduk pribumi, 454 orang Eropa dan 1.683 orang etnis Cina.10 Tetapi 65 tahun kemudian (1980), jumlah angka itu melejit menjadi 1.483.035 orang. Tahun 1990 bertambah lagi menjadi 1.748.616 orang. Tahun 1999 bertambah lagi menjadi 1.901.462 jiwa dengan komposisi pemeluk Islam sebesar 99,55%, 0,25% Kristen dan pemeluk agama lainnya 0,20% yang terkonsentrasi di Kecamatan Garut Kota.11 Kemudian hasil sensus terakhir tahun 2000 tercatat penduduk Garut bertambah lagi mencapai jumlah 2.051.092 jiwa. Angka-angka itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Garut terus mengalami peningkatan. Selama kurun waktu 1990-2000, rata-rata perkembangan sebesar hanya 1,66 persen hampir sama dengan masa perkembangan dekade sebelumnya yaitu kurun 1980-1990.12 Potensi Ekonomi Perekonomian kabupaten Garut dikembangkan dari berbagai potensi seperti sumber daya alam (pertambangan dan pelabuhan laut), industri, kepariwisataan dan terutama agribisnis. Kabupaten berpenduduk lebih dari 2 juta orang lebih ini menempati urutan kedua di Jawa Barat sebagai sentra agribisnis setelah kabupaten Bandung. Hasil pertanian Garut yang menjadi unggulan adalah timun Jepang, paprika (cabe manis), cabe shisito, kapri manis, tomat cherry, radicchio dan cost lettuce (sejenis salada), kedelai Jepang (edamame), kentang dll. Selain itu juga, Garut adalah penghasil teh, karet, kelapa sawit dan kakao (cokelat). Dalam sektor industri, beberapa produk unggulan termashur juga dihasilkan dari kabupaten ini seperti industri pangan (dodol dan gule merah aren), industri sandang (kain sutra dan batik Garutan), industri kulit (penyamakan dan kerajinan kulit), industri kimia (minyak akar wangi dan minyak cengkeh) dan industri kerajinan umum (bulu mata). Produk pertambangan dan energi dibagi kepada sumber daya logam dan non-logam. Diantaranya batu gunung, tanah urug, batu apung, kaolin, andesit, pasir gunung, belerang, obsidian, emas DMP, batu mulia, batu templek, batu gamping, pasir besi, pasir pantai, gypsum, dan panas bumi sebagai sumber daya energi. Sementara itu, potensi pariwisata yang dimiliki Garut adalah wisata gunung (Gunung Papandayan, Guntur dan Talaga Bodas), wisata air panas (Cipanas), wisata hutan (Hutan Sancang), wisata pantai (Santolo, Sayang Heulang, Ranca Buaya), wisata danau (Candi Cangkuang, Situ Bagendit), wisata purbakala (Candi Cangkuang, Makam Godog) dan geowisata (Curug Orok, Kawah Darajat). Dari beberapa macam potensi ini, sektor yang paling dominan menyumbangkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) kabupaten Garut adalah sektor pertanian, sektor perdagangan dan sektor jasa. Dari ketiga sektor ini, pertanian adalah yang terbesar. Dari tahun ke tahun, kontribusi sektor pertanian meski 6 mengalami fluktuasi tetapi relatif konstan dengan prosentase terbesar. Pada tahun 1993, kontribusinya sebesar 40,08 persen terhadap PAD, kemudian pada tahun 1994 turun menjadi 37,98 persen. Tahun 1995 sebesar turun lagi menjadi 35,79 persen. Tahun 1996 sebesar 32,45 persen. Tahun 1997 sebesar 32,68 persen naik sedikit dari tahun sebelumnya, lalu tahun 1998 melonjak lagi menjadi 38,74 persen dan tahun 1999 turun lagi sedikit menjadi sebesar 34,91 persen. Kontribusi terbesar kedua terhadap PAD diberikan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 27,14 persen, seterusnya diikuti oleh sektor jasa sebesar 15,74 dan kemudian sektor-sektor lain. Dari tabel 3 (lihat lampiran), dijelaskan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap PAD kabupaten Garut. Tahun 2002 kontribusi sektor-sektor seperti pertanian, perdagangan dan jasa mengalami perkembangan lagi walaupun urutan terbesarnya tidak mengalami perubahan. Sektor pertanian masih terbesar dengan menyumbangkan kontribusi 40,96%. Kedua adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 31,12% dan ketiga, sektor jasa sebesar 8,99%.13 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) kabupaten Garut sejak 1994 sampai sebelum krisis moneter dan kejatuhan Orde Baru relatif stabil berkisar antara 6 – 7 persen. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru dan krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan berpengaruh terhadap angka pertumbuhan di kabupaten Garut. Pada tahun 1998, angka tersebut mengalami kebangkrutan sampai mencapai angka jauh dibawah nol (minus) yaitu –11,64 persen. Tahun 1999, walaupun krisis belum juga sembuh, pertumbuhan merangkak lagi mencapai 2,52 persen (lihat tabel 4 di bawah ini). Tabel 4 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Periode 1994-1999 Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi 1994 6,11 % 1995 7,03 % 1996 6,81 % 1997 3,03 % 1998 -11,64 % 1999 2,52 % 2002 0,31 – 0,63% Pada tahun terakhir (2002) laju pertumbuhan tersebut mengalami penurunan kembali. Pada triwulan pertama (Januari – Maret) tahun 2002 turun menjadi 0,63% dari 2,52% di tahun 1999. Triwulan kedua (April – Juni) tahun 2002 mengecil lagi menjadi hanya 0,31%. Penuruan tersebut menurut Kepala Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, Muhammad Koswara, karena adanya penurunan produksi tanaman bahan makanan sehubungan dengan 7 berakhirnya panen raya.14 Tetapi 0,31% tersebut relatif masih terhitung besar karena di hampir semua sektor dalam Nilai Tambah Bruto (NTB) mengalami peningkatan. Sektor industri pengolahan misalnya NTB-nya sebesar Rp. 47.64 miliar, sebelumnya Rp. 46,81 miliar. Sektor listrik, gas dan air bersih sebesar Rp. 4,62 miliar, sebelumnya Rp. 4,56 miliar. Sektor bangunan dan konstruksi sebesar Rp. 54,44 miliar, sebelumnya Rp. 54,01 miliar. Sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 158,42 miliar, sebelumnya Rp. 156,29 miliar. Sektor angkutan dan komunikasi sebesar Rp. 22,14 miliar, sebelumnya Rp. 21,82 miliar. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp. 27,98 miliar, sebelumnya 27, 90 miliar. Sektor jasa-jasa sebesar Rp. 89,44 miliar, sebelumnya Rp. 88,27 miliar. Lengkapnya lihat tabel berikut ini. Tabel 5 Nilai Tambah Bruto (NTB) Kabupaten Garut Menurut Sektor pada Catur Wulan Pertama dan Kedua Tahun 2002  No. Tahun 2002 SEKTOR Catur Wulan I Catur Wulan II 201,61 miliar 198,47 miliar Pertambangan dan Penggalian 1,18 miliar 1,18 miliar 3. Industri Pengolahan 46,81 miliar 47,64 miliar 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 4,56 miliar 4,62 miliar 5. Bangunan/Konstruksi 54,01 miliar 54,44 miliar 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 156,29 miliar 158,42 miliar 7. Angkutan dan Komunikasi 21,82 miliar 22,14 miliar 9. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 27,90 miliar 27,98 miliar Jasa-jasa 88,27 miliar 89,44 miliar 1. Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan 2. 10. Data-data di atas menunjukkan bahwa walaupun angka pertumbuhan mengalami penurunan tetapi laju pertumbuhan sebesar 0,31%, menurut Koswara, terhitung relatif besar apalagi beberapa sektor mengalami peningkatan.15 Misalnya, pertambangan dan penggalian meningkat sebesar 0,39%, industri pengolahan naik sebesar 1,77%, listrik dan air bersih bertambah 1%, bangunan dan konstruksi 0,78%, perdagangan, hotel dan restoran 1,36%, angkutan dan komunikasi 1,48%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 0,30% serta jasa-jasa sebesar 1,33%. Sementara itu laju pertumbuhan ekonomi tahun 1998-1999, berdasarkan sektor-sektor pembangunan dapat dilihat dalam Tabel 6 berikut ini. 8 Tabel 6 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Tahun 1998-1999 Berdasarkan Sektor-sektor Pembangunan TAHUN No. SEKTOR 1998 (%) Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 49,94 3,64 3. Industri Pengolahan 0,77 0,28 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 2,30 6,02 5. Bangunan/Konstruksi 33,58 4,34 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 16,50 1,26 7. Angkutan dan Komunikasi 8,47 0,26 9. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 10. Jasa-jasa 9,99 1999 (%) 1. 5,87 16,75 0,52 0,90 1,41 Dari data-data ekonomi yang dijelaskan diatas, dapat dijelaskan bahwa, pertama, kondisi perekonomian kabupaten Garut merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi propinsial dan nasional. Kondisi perekonomian di daerah sangat tergantung pada perkembangan ekonomi nasional. Minimnya sumber-sumber ekonomi regional yang dapat dijadikan sebagai modal mandiri untuk pembangunan kabupaten agar proses pembangunan tidak bergantung pada pemerintah pusat. Kedua, andalan pembangunan ekonomi Garut lebih pada pertanian (agribisnis). Ekonomi pertanian sebagai tumpuan pembangunan menunjukkan bahwa mayoritas masyarakatnya hidup dalam alam agraris dan mengandalkan roda perekonomiannya pada sektor-sektor ekonomi tradisional (sawah, perkebunan dan pemanfaat lahan lainnya). Kondisi Pendidikan dan Sumber Daya Manusia Banyak kondisi di daerah merupakan refleksi situasi dan kondisi di tingkat nasional. Demikian juga kondisi pendidikan di kabupaten Garut sedikit banyak merupakan refleksi dari kondisi pendidikan di tingkat nasional. Kondisi tersebut adalah rendahnya mutu pendidikan dan rendahnya jumlah lulusan sekolah dari total jumlah penduduk. Menurut Sensus Penduduk Tahun 2000 di Kabupaten Garut, tingkat pendidikan mayoritas penduduk kabupaten tersebut adalah lulusan sekolah dasar (SD) yaitu sekitar 45,94 persen. Yang menamatkan SLTP hanya 10,27 persen, SLTA sebesar 28,28 persen dan mereka yang berhasil menamatkan tingkat perguruan tinggi hanya 1,50 persen dari total penduduk di atas usia lima tahun. Kondisi ini juga dapat terlihat dari data pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan di kabupaten Garut. Dari data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Garut tahun 1999, angkatan terbanyak pencari kerja adalah lulusan SLTA ke bawah. Pencari kerja lulusan SLTA sebanyak 5.385 orang 9 dari total pencari sebanyak 7.551 orang. Disusul lulusan SLTP sebanyak 920 orang, baru kemudian sarjana sebanyak 707 orang, lalu lulusan SD sebanyak 321 orang. Lengkapnya lihat tabel di bawah ini. Tabel 7 Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar di Kantor Depnaker Kabupaten Garut Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 1999 JENJANG PENDIDIKAN SD BANYAK PENCARI KERJA (ORANG) LAKI-LAKI PEREMPUAN 122 199 JUMLAH 321 SLTP 402 518 920 SLTA 3.656 1.729 5.385 D1/AKTA 1 1 6 7 D2/AKTA 2 37 80 117 D3/AKTA 3 53 41 94 S1/SARJANA 447 260 707 JUMLAH 4.718 2.883 5.551 Sumber: Kantor Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Garut Tahun 1999 Jumlah penduduk menurut golongan umur dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan juga menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan di kabupaten Garut. Dari data tahun 1999, penduduk yang berumur antara 25-65 berjumlah 864.182 orang. Dari jumlah 864.182 ini, hanya 9.235 orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi (perguruan tinggi/D IV). Dari jumlah 221.668 orang yang berusia kuliah yaitu antara 19-24, hanya 859 orang yang menyelesaikan perguruan tinggi,16 selebihnya hanya lulusan SD sebanyak 116.010 orang, lulusan SLTP 39.843 orang, lulusan SLTA 44.097 orang dan 16.813 orang tidak menyelesaikan SD. Kemudian dari 276.946 orang yang berusia 7-12 tahun, sudah menamatkan SD terdapat sebanyak 20.139 dan selebihnya yaitu 256.807 tidak dan belum menamatkan SD. Selengkapnya data golongan umur dan tingkat pendidikan dapat diamati dari tabel berikut ini. Tabel 8 Penduduk Berumur 5 Tahun ke Atas menurut Golongan Umur dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Golongan Umur (1) Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tdk/Belum Tamat SD SD SLTP SLTA Diploma I /III Akademi/ D III (2) (3) (4) (5) (6) (7) P.T/ T.T Jumlah D IV (8) (9) (10) 05 – 06 97.382 0 0 0 0 0 0 0 97.382 07 – 12 256.807 20.139 0 0 0 0 0 0 276.946 10 13 – 15 20.793 88.394 14.834 0 0 0 0 0 124.021 16 – 18 9.912 61.230 49.591 9.345 1.232 0 0 0 131.310 19 – 24 16.813 116.010 39.843 44.097 2.101 1.945 859 0 221.668 25 – 64 161.871 498.071 77.446 88.417 6.824 4.318 9.235 0 846.182 65 + 47.502 41.815 2.632 6.906 206 152 162 0 99.375 0 0 0 415 T.T 412 0 0 3 0 Sumber : Sosialisasi Hasil Sensus Penduduk 2000 Kab. Garut, BPS Kab. Garut Penduduk yang menyelesaikan pendidikan tertinggi yang ditamatkan berdasarkan wilayah administrasi (kecamatan) menunjukkan gejala ketidakseimbangan pendidikan dan ketidakmerataan antar daerah. Yang paling banyak menyelesaikan pendidikan dari tamatan SLTP sampai Perguruan Tinggi berada di kecamatan Tarogong, Garut Kota dan Karangpawitan. Dari 1.797.299 orang penduduk kabupaten Garut (tahun 1999) hanya 10.256 orang yang menyelesaikan pendidikan S1. Dari 10.256 orang tersebut, 2.108 orang berada di kecamatan Tarogong, kemudian 1.563 orang berada di kecamatan Garut Kota dan 1.014 orang berasal dari kecamatan Karangpawitan. Sisanya, di 28 kecamatan lainnya, rata-rata hanya terdapat sekitar 300 orang sarjana S1 perkecamatan. Di 12 kecamatan hanya terdapat kurang dari 100 orang sarjana S1 yaitu kecamatan Pamulihan (13 orang), Peundeuy (16), Cibalong (26), Pakenjeng (39), Singajaya (42), Cisompet (45), Talegong (48), Cikelet (52), Banjarwangi (53), Cibiuk (56), Selaawi (76) dan Cisewu (88). Sementara itu, dari 611.492 orang usia SD se kabupaten Garut (1999), jumlah terbanyak yang tidak tamat dan masih sedang belajar di SD adalah di kecamatan dan Cisurupan masing-masing berjumlah 42.087 dan 41.305 anak. Dari 825.659 orang yang hanya tamat SD, jumlah terbanyak di kecamatan Malangbong (44.875 anak), kemudian Samarang dan Tarogong masing-masing 43.529 dan 43.355 anak. Data lengkap tahun 1999 dari masing-masing kecamatan tentang jumlah tamatan SD sampai perguruan tinggi dibandingkan dengan jumlah total penduduk bisa dilihat dalam tabel 9 (lihat lampiran). Rendahnya tingkat pendidikan, menyebabkan Garut menempati posisi di bawah rata-rata kualitas SDM di Jawa Barat. Ukuran untuk mengukur kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari laporan yang diungkapkan oleh Bappeda Jabar, dimuat Harian Pikiran Rakyat 11 September 2002, IPM Jawa Barat tahun 1996 adalah 68,13 dan pada tahun 1999 mengalami penurunan menjadi 64,71. Baik pada tahun 1996 maupun 1999, IPM Garut di bawah rata-rata Jawa Barat tersebut. Tahun 1996 IPM Garut hanya 63,9 dan tahun 1999 61,7. Selain Cirebon (61,6), Indramayu (56,4) dan Kerawang (60,9), seluruh IPM kabupaten di Jawa Barat berada di atas Kabupaten Garut yaitu 63 ke atas.17 Perbandingan lengkap IPM seluruh kabupaten di Jawa Barat lihat tabel 10 (lampiran). Kenyataan tersebut diperburuk lagi oleh data hasil Susenas tahun 1999. Data Susenas menunjukkan bahwa persentase anak usia 6 –15 tahun yang 11 bersekolah di 8 kabupaten se-Indonesia yang bekerjasama dengan UNICEF, Garut memiliki persentase yang paling rendah. Persentase anak (laki-laki dan perempuan) usia 6 – 15 yang melanjutkan sekolah di 8 kabupaten tersebut adalah Pandeglang sekitar 80% perempuan dan 73% laki-laki, Sukabumi sekitar 75% perempuan dan 73% laki-laki, Probolinggo sekitar 78% perempuan dan 76% lakilaki, Lombok Timur sekitar 85% perempuan dan 80% laki-laki, Kota Kupang 95% perempuan dan 95% laki-laki, Bone 80% perempuan dan 75% laki-laki, dan Biak Numfor 90% perempuan dan 89% laki-laki. Sedangkan anak usia 6 – 15 yang melanjutkan sekolah di Garut 38% perempuan dan 40% laki-laki (Lihat tabel 11 dibawah). Tabel 11 Presentase Anak Usia 6-15 yang Bersekolah di 8 Kabupaten Kerjasama UNICEF 100 90 80 70 % 60 Perempuan 50 Laki-laki 40 30 20 10 e Nu mf or Bi ak Bo n Ku pa n g r Ko ta ok Tim u go Lo mb ru t bo lin g Pr o Ga i Su ka bu m Pa n de gla ng 0 Kota Kabupaten Sumber: BPS, SUSENAS 1995-1999 Priangan, 7 Juni 2002 Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas SDM yang ditunjukkan oleh kecilnya prosentase penduduk yang berpendidikan tinggi ini bertolak belakang dengan kuantitas perguruan tinggi yang ada di Garut yang hingga saat ini berjumlah 13 buah (lihat tabel 13). Jumlah ini sebenarnya lebih dari memadai berada dalam satu wilayah kabupaten. Tetapi, karena mayoritas penduduk Garut bekerja sebagai petani dan pedagang (tabel 12) , tampaknya kemampuan mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat tinggi tidak terjangkau. Dari tabel 9 diketahui bahwa jumlah terbesar penduduk Garut hanya menamatkan SD (825.659 orang). Hanya sedikit yang mampu meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Jumlah lulusan SMP berkurang dari jumlah lulusan SD yaitu hanya 184.346, kemudian SLTA hanya 148.768 kemudian sarjana hanya 10.256 dari total penduduk 1.797.299 pada tahun 1999. Dari lulusan S1 yang berjumlah 10.256 orang itu juga tidak semua merupakan lulusan perguruan tinggi di Garut. Jarak antara Garut dengan kota 12 Bandung yang hanya sekitar 50 km, menyebabkan banyak orang tua lebih memilih mengkuliahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi di Bandung yang sudah terkenal seperti ke ITB, UNPAD, IAIN, IKIP (UPI) dan perguruan tinggi lain yang berstatus swasta. Kehidupan Agama dan Sosial Masyarakat Tidak seperti Jakarta dan ibu kota-ibu kota propinsi yang cukup intensif mengalami modernisasi, kota-kota tingkat kabupaten di seluruh Indonesia umumnya tertinggal atau lambat mengalami proses itu. Garut adalah salah satu prototipe kota yang terlambat mengalami proses modernisasi. Kelambatan ini menyebabkan Garut --relatif serupa dengan kota-kota lainnya di Jawa Barat-memiliki lingkungan sosial kultural yang khas. Kekhasan itu adalah pembangunan yang kurang intensif (dibandingkan kota-kota besar) telah menciptakan perubahan sosial, transformasi nilai-nilai, modernisasi dan westernisasi yang setengah-setengah. Di sisi lain, tradisi kehidupan keagamaan yang telah menemukan basis historis dan kulturalnya relatif berhasil mempertahankan citra masyarakat rurban (desa-kota) yang relijius. Walhasil, kebanyakan kota-kota kabupaten di Indonesia tidak termodernisasikan atau terbaratkan sepenuhnya karena harus berhadapan dengan basis relijiusitas masyarakat yang telah mengakar. Di kota-kota kabupaten, umumnya, mudah menemukan bukti-butki adanya pengaruh modernisasi dan westernisasi dalam skalanya yang berbedabeda, tetapi juga tradisionalitas nilai-nilai masyarakat tidak sepenuhnya terhempas dan tersingkirkan ke pojok-pojok sejarah dan sudut-sudut pembangunan. Tarik menarik antara modernisasi yang tidak sepenuh hati dengan tradisionalitas yang masih tegar di wilayah-wilayah rurban di Indonesia ini telah membentuk suatu sub-kultur baru dalam bentuk dislokasi identitas: menjadi kota sepenuhnya (lingkungan sosio-kultur modern) tidak, karena kuatnya lingkung tradisi dan sistem nilai lokal, sepenuhnya tradisional juga tidak, karena modernisasi terlalu kuat dan sedikit banyak telah membawa perubahan terutama dalam cara berfikir dan penggunaan alat-alat produksi. Di beberapa kota kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal sebagai kota-kota santri --umumnya dicirikan oleh mayoritas penduduk Muslim, banyaknya pesantren dan institusi-institusi pendidikan Islam serta kuatnya relijiusitas kultur masyarakat-- pengaruh modernisasi terutama westernisasi umumnya tidak terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh tidak berkembangnya industri hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan pop (pop culture) seperti mall yang lengkap dan megah, bioskop, nite-club, pub, kafe, massages, karaoke, billiard dan lain-lain. Di Garut, sarana hiburan tersebut selain tidak ada yang memadai apalagi megah untuk konsumsi masyarakat, beberapa bioskop misalnya bangkrut dan hanya tersisa satu dua yang tidak terurus dan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas bawah. Oleh 13 modernisasi, sentra-sentra hiburan masyarakat yang bersifat ‘massal’ telah digeser menjadi ‘kolegial’ kemudian ‘individual’ ke rumah-rumah melalui televisi dan terutama VCD. Selain Asia dan Yogya Department Store di Jalan Ahmad Yani dan Jalan Siliwangi (yang juga terhitung kecil untuk ukuran kota besar), mall dan pusat-pusat hiburan modern lainnya tidak ditemukan di Garut. Di sisi lain, diuntungkan oleh lokasinya yang ‘bukan jalan lintas propinsi’ (locked area), suasana dan nuansa relijiusitas Garut nampak cukup terjaga. Selain tidak ditemukannya pusat-pusat hiburan sekuler, saat ini di Garut terdapat 108 Raudlatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942 Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren 18 (dalam tabel 14 hanya daftar 29 pesantren yang terhitung besar). Jumlah lembaga pendidikan Islam ini mungkin tidak yang terbesar dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, tetapi dengan jumlah itu saja Garut sudah lama dikenal sebagai kota santri dengan nuansa relijius yang cukup terasa. Sebaliknya, dari sulitnya ditemukan tempat-tempat hiburan massal yang menyuguhkan nuansa Barat, hampir semua organisasi massa Islam, dari yang terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah), yang radikal dan moderat yang umum dijumpai di tempat-tempat lain di Indonesia (Lasykar Jihad, Front Pembela Islam) sampai gerakan-gerakan “bawah tanah” seperti Ikhwanul Muslimun dan Darul Islam semuanya bisa ditemukan di Garut.19 Kelengkapan adanya ormas-ormas Islam ini menguatkan asumsi kota Garut selama ini sebagai kota pergerakkan dan pemberontakan Islam. Yang fantastis, seperti halnya di daerah-daerah lain di Jawa Barat, relijiusitas masyarakat Garut dicirikan oleh jumlah tempat ibadah yaitu masjid, langgar dan mushalla. Meski tidak mutlak menunjukkan korelasi positif antara jumlah masjid dengan kesalehan (terutama kesalehan sosial) dan relijiusitas penduduknya, pendirian masjid di kalangan masyarakat Muslim selalu merupakan ekspresi religiusitas dan emosi keagamaan umatnya yang dibangun atas kesadaran dan kebutuhan bersama secara bergotong-royong. Dengan demikian, adalah proporsional mengukur tingkat relijiusitas masyarakat diantaranya oleh jumlah rumah ibadah. Hampir semua kecamatan di Kabupaten Garut memiliki masjid, langgar dan mushalla yang ratusan jumlahnya. Kecamatan Garut Kota misalnya memiliki 547 tempat ibadah yang terdiri dari 179 masjid, 266 langgar dan 102 Mushalla. Kecamatan Karangpawitan memiliki 583 buah: 162 masjid, 329 langgar dan 92 mushalla. Kecamatan Samarang memiliki 821 tempat ibadah shalat: 265 masjid, 331 langgar dan 225 mushalla. Bahkan ada yang hampir mencapai 1000 buah (963) yaitu di kecamatan Pakenjeng yang terdiri dari 185 masjid, 341 langgar dan 437 mushalla. Jumlah seluruhnya se-kabupaten Garut adalah 14.240, terdiri dari 3.992 masjid, 6.720 langgar dan 3.528 mushalla.20 Catatan lengkap jumlah rumah ibadah di Kabupaten Garut bisa dilihat dalam tabel 15 (lampiran). 14 Nuansa relijius kota santri ini dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan lambaga dakwah yang ada di Garut. Jumlah lembaga dan organisasi dakwah di sebuah daerah menunjukkan intensitas dakwah di daerah tersebut karena lembaga dakwah hampir dapat dipastikan dibentuk karena motivasi dan semangat keagamaan dan merupakan bentuk murni partisipasi sosial masyarakat (genuine social participation) yang bersifat non-profit dan dikelola secara swadaya masyarakat. Lembaga dakwah yang ada di Garut bisa diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta’lim, remaja masjid dan lembaga pendidikan al-Qur’an. Dari data yang tersedia di Seksi Penerangan Agama Islam Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2001, tercatat bahwa jumlah orwah di Garut ada 364 buah dengan perincian 237 orwah yang terdapat secara nasional, 14 yang khusus tingkat propinsi dan 113 khusus hanya di tingkat kabupaten Garut. Semua kecamatan di kabupaten Garut memiliki perwakilan orwah tingkat nasional (lihat tabel 16). Jumlah majelis ta’lim ada 4.791 kelompok dengan jumlah terbanyak terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu sebanyak 577 kelompok pengajian. Jumlah remaja masjid juga cukup banyak yaitu 722. Dari seluruh kecamatan, jumlah terbanyak organisasi remaja masjid juga sama terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu 162 buah. Jumlah lembaga pendidikan khusus al-Qur’an dari mulai tingkat taman pendidikan (TP) sampai pondok pesantren (PP) berjumlah 430 lembaga dengan total murid keseluruhannya sebanyak 40.083 murid. Jumlah ini merupakan gabungan dari murid Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) sebanyak 22.451, Taman Kanak-kanak al-Qur’an (TKQ) sejumlah 11.304 murid dan santri pondok pesantren al-Qur’an (PPQ) sebanyak 6.327 orang.21 Berbagai data di atas menunjukkan bahwa intensitas kehidupan sosial keagamaan masyarakat kabupaten Garut cukup tinggi dilihat dari kuantitas lembaga keagamaan yang ada seperti pesantren, institusi pendidikan Islam, tempat ibadah dan lembaga dakwah serta majelis ta’lim yang jumlahnya mencapai ratusan di setiap kecamatan. Jumlah penduduk Muslim yang hampir 100 persen di kabupaten Garut menjadi basis tersendiri dari gencarnya usahausaha pengembangan dakwah Islam dan pengembangan jumlah organisasi keagamaan yang cukup banyak berada dalam sebuah kabupaten. Kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan sosial ini membentuk sistem sosial yang religious-base worldview (dunia pandang relijius). Hal ini misalnya terlihat pada upaya menghadirkan agama dalam pemecahan masalah-masalah sosial kontemporer seperti upaya penerapan Syari’at Islam untuk penanganan kasuskasus KKN dan masalah-masalah kerawanan sosial. Masalah kerawanan sosial di Garut terhitung tidak terlalu besar. Ini disebabkan selain lingkungan sosial kultural keagamaan yang relatif kuat, dampak pembangunan, modernisasi dan westernisasi pun terutama pada aspek sosio-kultural masyarakat (transmisi kultur global dan pergaulan metropolis) tidak terlalu besar. Hal-hal yang termasuk kerawanan sosial rata-rata hanya 15 sekitar 5% dari jumlah penduduk. Misalnya jumlah keluarga miskin pada tahun 2002, hanya 98.303 keluarga. Bila dihitung perjiwa dari total penduduk yang berjumlah 2 juta lebih, ini berarti hanya sekitar 5% dari total penduduk Garut. Data-data lain, anak terlantar ada 112.356 jiwa, anak jalanan 314, wanita rawan sosial ekonomi 25.094 orang, korban narkoba 162 orang, wanita tuna susila (WTS) 79 orang, eks-narapidana 504 orang, gelandangan dan pengemis 309 orang.22 Jumlah anak jalanan dan bandar narkoba kebanyakan datang dari luar Garut Kota,23 sementara orang-orang terlantar kebanyakan datang atau dikirim dari luar Garut, seperti Jawa Tengah.24 Latar Belakang Sosial Historis Garut Daerah Pemberontakan Islam Diantara beberapa kota di wilayah Jawa Barat, Garut adalah daerah yang memiliki beberapa peristiwa pergolakan politik yang melibatkan peranan orangorang Islam. Pergolakan itu berbentuk perlawanan terhadap para penguasa kolonial seperti Belanda dan Jepang, dan terhadap pemerintahan sendiri di masa kemerdekaan. Pada zaman kolonial Belanda, meletus sebuah peristiwa pemberontakan yang dikenal dengan peristiwa Pemberontakan Cimareme atau Peristiwa Garut 1919. Peristiwa itu terjadi di Desa Cikendal Leles Garut pada tanggal 7 Juli 1919. Peristiwa tersebut muncul dari kewaspadaan berlebihan pemerintah kolonial Balanda terhadap masyarakat pribumi.25 Pemicu Peristiwa Garut 1919 itu bermula dari sebuah kesewenang-wenangan pemerintah kolonial dalam menetapkan harga hal jual beli hasil panen antara pemerintah dengan masyarakat pribumi. Penetapan harga padi hasil panen yang murah dan merugikan petani yang ditentukan sepihak oleh pemerintah Belanda ditolak oleh Haji Hasan bersama para pengikutnya yang kemudian berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Aqib Suminto mengisahkannya sebagai berikut: Pemerintah kolonial pada masa itu menetapkan bahwa para petani wajib menjual sejumlah tertentu hasil panen padinya kepada pemerintah. Haji Hasan yang memiliki 10 bahu sawah dengan hasil 250 pikul padi, diwajibkan menjual 42 pikul padinya kepada pemerintah, dengan harga f.4,-per pikul. Harga f.4- per pikul menurut laporan pemerintah di Volksraad lebih tinggi daripada harga setempat. Padahal Soerabajaasch Handelsblad, harga padi setempat pada saat itu sudah mencapai f.7,50 per pikul. H. Hasan (selanjutnya disingkat HH) yang setahun sebelumnya dipaksa harus memusnahkannya tanamannya dan menggantinya dengan padi, merasa berkeberatan atas ketentuan ini terutama karena HH menanggung kehidupan 84 orang anggota keluarga. Bukan tentang harga, tapi tentang ketentuan jumlah. Ia hanya menghendaki keringanan dengan hanya menjual 10 pikul.26 Haji Hasan menolak uang muka yang diberikan oleh Wedono Leles -sebagai utusan pemerintah Belanda-- atas harga yang ditetapkan pemerintah. Permohonan peninjauan kembali terhadap perintah penjualan padi pun diajukan 16 secara lisan. Permohonan Haji Hasan tidak digubris, bahkan sikapnya dianggap sebagai pembangkangan. Akhirnya, pada hari Senin tanggal 7 Juli 1919, Residen, Asisten Residen dan Bupati mendatangi desa Cikendal untuk menangkap Haji Hasan dengan rombongan sekitar 40 orang tentara dan 27 orang polisi bersenjata. Dalam suatu dialog yang panas, Haji Hasan menolak perintah agar ikut ke Garut. Bahkan bersama pengikutnya ia masuk ke rumah, menutup pintu dan mengumandangkan zikir bersama sebagai usaha bertahan. Kemudian, rumah tersebut diberondong senjata. Dikabarkan, empat orang meninggal seketika termasuk Haji Hasan dan 19 lainnya luka-luka.27 Berkaitan dengan peristiwa tersebut, juga dikenal seorang ulama pejuang yang kharismatik bernama KH. Yusuf Taujiri (1900–1982) yang kemudian ketokohannya dihormati dan mewarnai sejarah Islam Garut. Yusuf Taujiri, seorang aktifis Sarekat Islam (SI), dipenjara selama dua bulan oleh pemerintah Belanda karena terlibat dalam peristiwa pemberontakan Cimareme 1919. Tahun 1939, ketika SI pimpinan Abikusno Cokrosuyoso memecat Kartosuwiryo, Yusuf bersama Kartosuwiryo mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPK – PSII). Yusuf pun menjadi pemimpin Hizbullah –pasukan gerilya Islam dibawah Masyumi-- cabang Wanaraja. Pada masa revolusi, ia membentuk Lasykar Darussalam yang menjadi salah satu unsur BKR (Badan Keamanan Rakyat). Tetapi kemudian ia bentrok dengan Kartosuwiryo pada saat Kartosuwiryo hendak melaksanakan politik hijrah. Bagi Yusuf, belum saatnya dilakukan hijrah. Pecah dengan Kartosuwiryo, ia mendirikan pesantren Darussalam di Cipari Garut untuk melaksanakan program pendidikan masyarakat. KH. Yusuf Taujiri adalah seorang ulama mandiri yang tegas pendirian. Pesantrennya sering diserang oleh kelompok Darul Islam (DI) karena ia menolak ajakan Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Di sisi lain, Yusuf pun sering mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda dalam beberapa peristiwa.28 Juga dari wilayah Priangan Timur dikenal seorang pejuang melawan pendudukan Jepang yaitu KH. Zaenal Mustofa. Ia memimpin pesantren Sukamanah Tasikmalaya selama 17 tahun (1927-1944) dan banyak melakukan penentangan terhadap pemerintahan pendudukan Belanda dan Jepang. Semasa kecil, ia belajar di beberapa pesantren di daerah Priangan diantaranya Pesantren Sukaraja Garut. Dalam kegiatan dakwahnya, Zaenal Mustofa sering mengungkapkan kritik tajam terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Akibatnya beberapa kali ia merasakan pengapnya ruang penjara di Tasikmalaya, penjara Sukamiskin Bandung dan di Ciamis. Dalam masa kolonial Jepang, kiayi ini adalah penentang keras kewajiban seikerei (menghormat Tenno Heika dengan membungkukkan badan, seperti orang rukuk, ke arah Tokyo). Akibat pembangkangannya ini, pada tanggal 25 Februari 1944, pesantrennya di Sukamanah diserbu oleh tentara Jepang. Kiayi Zaenal melakukan perlawanan dan akhirnya ia tertangkap beserta beberapa pengikutnya, dan ia sendiri dibunuh oleh tentara Jepang di daerah Jakarta.29 17 Yang paling monumental dari sejarah Garut adalah gerakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Peristiwa proklamasi DI/TII atau gerakan Darul Islam di Garut bisa dikatakan “bermula” atau sebagai akibat dari Persetujuan Renville antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik pada bulan Januari 1948. Salah satu bunyi Persetujuan Renville adalah pasukan Republik akan ditarik dari daerah-daerah yang resmi dikuasai Belanda. Ini berarti pasukan Republik harus meninggalkan hampir seluruh Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Ini juga berarti pembatasan wilayah Republik Indonesia di beberapa bagian Jawa termasuk Jawa Barat.30 Bunyi persetujuan itu direspon berbeda oleh dua kelompok pasukan: pasukan tentara resmi Republik tidak punya pilihan kecuali taat terhadap persetujuan karena persetujuan itu dilakukan oleh pemerintah yang sah, termasuk ke dalam pasukan resmi ini adalah Divisi Siliwangi Jawa Barat. Masyumi sebagai partai politik juga mengikuti sikap pemerintah Republik yaitu melaksanakan isi persetujuan. Tetapi, pasukan gerilyanya, yaitu Hizbullah dan Sabilillah –pasukan bersenjata partai besar Islam Masyumi-- menolak persetujuan itu dan enggan mundur dari Jawa Barat. Kartosuwiryo sebagai politisi Masyumi yang juga tidak setuju dengan perjanjian itu, bersama dengan pasukan Hizbullah dan Sabilillah memilih tetap tinggal di Jawa Barat. Menurut keyakinan mereka perjuangan melawan Belanda harus dilanjutkan sehingga tidak ada alternatif lain kecuali tetap tinggal di Jawa Barat dan mengkoordinasikan perlawanan disitu.31 Akibatnya, pasukan tentara Republik termasuk Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat dan hijrah ke Jawa Tengah. Dalam waktu dua bulan, menurut Kahin, sekitar 35.000 pasukan Republik ditarik dari Jawa Barat dan sekitar 4.000 pasukan gerilya –sebagian besar adalah batalyon-batalyon Masyumi— tetap tinggal di Jawa Barat.32 Yang tinggal di Jawa Barat itu adalah pasukan Hizbullah-Sabilillah dan Kartosuwiryo. Situasi ini dimanfaatkan oleh Kartosuwiryo untuk mempersiapkan pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampang - Cisayong. Tidak adanya tentara Republik dan kenyataan bahwa gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah yang paling besar dan kuat, menjadi alasan Kartosuwiryo mempersiapkan pendirian Negara Islam Indonesia. Sebagai tokoh Masyumi dan Partai Sarekat Islam Indonesia yang disegani, Kartosuwiryo kemudian menggabungkan Hizbullah dan Sabilillah menjadi Tentara Islam Indonesia. Langkah-langkah Kartosuwiryo semakin mendapat dukungan karena setahun kemudian ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, mereka menemukan rakyat yang kecewa kepada Republik Indonesia karena melakukan perjanjian Renville. Dari Garut, Darul Islam yang diproklamirkan Kartosuwiryo segera merebak meluaskan konsolidasinya ke seluruh Priangan dan Jawa Barat. Menurut catatan Divisi Siliwangi, pada tahun 1957, Darul Islam Jawa Barat mencapai kekuatannya yang paling besar, terdiri dari 13.129 orang dengan 3000 18 perlengkapan senjata api.33 Berikut ini uraian tentang aktifitas dan pengaruh besar Darul Islam di seluruh Jawa Barat: Antara tahun 1950 dan 1957 kegiatan Darul Islam dilaporkan dari seluruh Priangan. Pasukan Darul Islam beroperasi dari simpang gunung di sebelah barat, dengan ada kalanya masuk ke dalam daerah Banten, sampai Sidareja, melalui perbatassan dengan Jawa Tengah, di timur. Pengaruh Negara Islam Indonesia dan tentaranya terutama kuat terasa di Priangan tenggara, di kabupatenkabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Selama bertahun-tahun mereka menguasai daerah-daerah luas. Tak ada seorang pun prajurit Tentara Republik yang berani mencoba masuk ke dalam apa yang disebut wilayah-wilayah de facto Negara Islam Indonesia ini. Karena kehilangan dukungan Tentara Republik, pegawai negeri dan kepala desa serta para pembantu mereka lari, dengan meninggalkan wilayah mereka diserahkan ke dalam pengawasan mutlak Pemerintahan Sipil Negara Islam Indonesia. Di daerah-daerah yang berbatasan, kepala-kepala desa Republik muncul di desanya hanya waktu siang hari, dan mencari perlindungan ke tempat aman di kota pada malam harinya. Sudah sejak 1956, Negara Islam Indonesia menguasai seperlima Kabupaten Tasikmalaya, yaitu 75 dari semuanya 201 desa seluruhnya atau sebagian dikuasai Darul Islam. Desa-desa ini tempatnya di 4 bagian utama Tasikmalaya yang berbeda-beda – daerah yang mengitari gunung-gunung Cakrabuwana, Talaga Bodas, dan Galunggung di utara: Kawedanaan Cikatomas, dan Karangnunggal, di bujur sangkar yang dibentuk oleh Caikatomas, Salopa, Cibalong, dan Karangnunggal, ke sebelah selatannya; daerah sekitar Manonjaya berbatasan dengan Ciamis di bagian timur Tasikmalaya; dan antara Taraju dan Warungpeuteuy di barat. Di daerah subur Cikatomas pasukan Darul Islam dari batalyon 441 dipimpin Godjim (Gojim), sedangkan daerah ini merupakan pula kedudukan bupati NII Tasikmalaya, Iljas (Ilyas). Dari Kabupaten Ciamis Darul Islam memiliki kira-kira sepertujuhnya di bawah pengawasannya. Inilah yang terkuat di bagian selatan, di Kawedanan Cijulang, kira-kira dari Cigugur ke pantai. Desa Cigugur adalah tempat lahir bupati Darul Islam Ciamis, Affandi, sementara daerah ini dan Cikatomas di sebelahnya di Tasikmalaya berada di bawah jurisdiksi Residen Darul Islam Priangan Timur, Dede Kartamihardja (Dede Kartamiharja). Darul Islam juga kuat di utara, sekitar Gungung Sawal dan antara Ciamis dan Banjar. Di Kabupaten Garut, pasukan Darul Islam terpusat di daerah ketinggian, seperti daerah sekitar Gunung Guntur, mendekati Leles, Baluburlimbangan, Cibatu, Malangbong, dan sekitar Gunung Cikuray. Para gerilyawan Darul Islam menyebut daerah ini daerah Suffah, yang menyatakan bahwa di sini merupakan daerah suci yang telah dibersihkan dari musuh. Kedua daerah menjadi pangkalan untuk melakukan serangan ke Garut. Ada pangkalan kuat Darul Islam yang lain di Priangan Barat, di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Bogor, dan yang membuat bagianbagian tertentu dari daerah-daerah ini sangat tidak aman. Darul Islam menguasai daerah-daerah sekitar Gunung Salak, di selatan Bogor, dan daerah sebelah selatan Cianjur dan antara Gununghalu dan Cililin dekat Bandung. Di daerah yang akhir ini beroperasi salah seorang pemimpin Darul Islam yang paling 19 terkenal dan paling perkasa, Achmad Sungkawa (Akhmad Sungkawa). Pada tahun-tahun pertama sesudah penyerahan kedaulatan, pasukannya —dengan dibantu gerombolan lain seperti Bambu Runcing dan beberapa serdadu Belanda– terlibat dalam pertempuran besar-besaran dengan pasukan Republik. Di sebelah timur Bandung Darul Islam menimbulkan banyak kesulitan sekitar Cicalengka dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja pasukan Darul Islam di daerah ini —yang ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang-- melancarkan tujuh belas serangan, dengan membakar 200 runtah [...] Dampak serangan pasukan Darul Islam memporakporandakan. Angka resmi untuk triwulan terakhir 1951 dan triwulan pertama 1952 menyebut masing-masing 414 dan 428 orang terbunuh, 4.046 dan 3.052 rumah terbakar, dan 6.192 perampokan. Pada triwulan terakhir 1951 orang yang melarikan diri dari rumahnya atau diungsikan berjumlah 52.672, dan kerusakan seluruhnya yang diakibatkan pasukan Darul Islam mencapai Rp.7.339.580. Pada triwulan pertama 1952 Darul Islam mengakibatkan kerugian sebanyak Rp.9.981.366, --dan 11.016 orang difungsikan atau lari dari rumahnya. Dari tahun 1955 sampai 1962 jumlah pengungsi tiap tahun berkisar antaaraa 209.355 dalam 1962 dan 303.764 dalam 1958, dan rata-rata sekitarr 250.000 setahun. Pada 1957 pasukan membunuh 2.447 orang, membakar 17.673 rumah, dan melakukan 102.984 perampokan. Sampai tahun 1961 angka ini turun keras menjadi hanya 500 orang lebih sedikit. Dari tahun 1958 sampai 1960 jumlah rumah yang terbakar adalah antara 10.000 dan 14.000 buah tiap tahun, naik menjadi 18.336 pada tahun 1961 dan menurun jadi 414 pada 1962.34 Dari uraian tentang beberapa gerakan Islam di atas, terlihat bahwa Kabupaten Garut di Priangan Timur memiliki peran historis yang penting dan pengaruhnya yang cukup besar dalam sejarah nasional. Sejak zaman kolonial, beberapa peristiwa pergolakan Islam meletus disitu dan dampaknya telah merambat luas ke daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Gerakan Darul Islam inilah yang paling monumental dalam sejarah Garut. Beberapa studi penting telah dilahirkan dari rahim pergolakan Islam di daerah Garut ini. Diantara yang monumental adalah Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1964); Karl D. Jackson, Traditional authority and national integration: The Darul Islam rebellion in West Java (1971); Hiroko Horikoshi, The Dar-ul-Islam movement in West Java 19481962 (1975), Hiroko Horikoshi, Kiayi dan Perubahan Sosial (1984); Cornelis van Dijk, Rebellion under the banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (1983), Aqib Suminto, Peristiwa Garut 1919: Titik Balik Kejayaan Sarekat Islam (1984), dan masih banyak yang lainnya. Dari uraian di atas dapat ditarik gambaran bahwa Garut adalah kawasan kecil yang sarat dengan sejarah pergolakan Islam. Perlu dilihat adakah keterkaitannya dengan pergolakan Islam dalam kurun modern di daerah itu. Hasil dari proses Islamisasi yang intensif, Garut dikenal sebagai daerah santri dengan lingkungan nilai keagamaan yang relatif kuat. Pasca keruntuhan Orde Baru belakangan ini, muncul kembali semangat gerakan Islam politik yang 20 cukup mengejutkan yaitu dideklarasikannya pemberlakuan Syari’at Islam tanggal 15 Maret 2002 yang lalu. Kendati terdapat faktor-faktor luar yang menjadi background semangat Islam politik itu --seperti demokratisasi yang makin kuat, rendahnya tingkat kepercayaan pada pemerintah, frustrasi sosial politik masyarakat yang luas dan fenomena tuntutan Syari’at Islam di tempattempat lain— adalah perlu melihat faktor-faktor historis dan internal kawasan untuk mendapat gambaran utuh tentang konteks munculnya sebuah ide dan gerakan di sebuah masyarakat. Kemudian, bagaimana background dan situasi kehidupan sosial keagamaan di kabupaten Garut sehingga memuluskan jalan aspirasi pemberlakuan Syari’at Islam. Religiusitas Masyarakat dan Heterogenitas Islam Aspek lain pentingnya kabupaten Garut adalah tingkat relijiusitas kehidupan masyarakat dan heterogenitas kelompok dan aliran Islam yang ada di daerah tersebut. Relijiusitas masyarakat terbentuk dari proses-proses historis dan sosiologis Islam yang berkembang dalam masyarakat. Di sisi lain, Kabupaten Garut juga adalah miniatur dari heterogenitas Islam karena hampir semua kelompok dan organisasi Islam yang hidup di Indonesia terdapat perwakilannya di situ. Berikut ini adalah uraian proses-proses sosiologis terbentuknya relijiusitas masyarakat Garut yang telah membentuk dunia pandangnya tersendiri tentang Islam, masyarakat dan kehidupan nasional. Tidak seperti Jakarta dan kota-kota besar lain yang cukup intensif mengalami modernisasi, mayoritas kota-kota tingkat kabupaten di seluruh Indonesia relatif tertinggal atau lambat mengalami proses itu. Garut adalah salah satu prototipe kota yang terlambat bergumul dengan proses modernisasi tersebut. Kelambatan ini menyebabkan Garut – relatif serupa dengan kota-kota lainnya di Jawa Barat– di satu sisi memiliki lingkungan sosial kultural yang khas. Kekhasan itu adalah pembangunan yang kurang intensif (dibandingkan kotakota besar) telah menciptakan perubahan sosial, transformasi nilai-nilai, modernisasi dan westernisasi yang setengah-setengah. Di sisi lain, tradisi kehidupan keagamaan yang telah menemukan basis historis dan kulturalnya relatif berhasil mempertahankan citra masyarakat rurban (desa-kota) yang relijius. Walhasil, Garut, seperti kebanyakan kota-kota kabupaten di Indonesia, tidak termodernisasikan atau terbaratkan sepenuhnya karena harus berhadapan dengan basis relijiusitas masyarakat yang telah mengakar. Di kota-kota kabupaten, umumnya, mudah menemukan bukti-bukti adanya pengaruh modernisasi dan westernisasi dalam skalanya yang berbedabeda, tetapi juga tradisionalitas nilai-nilai masyarakat tidak sepenuhnya terhempas dan tersingkirkan ke pojok-pojok sejarah dan sudut-sudut pembangunan. Tarik menarik antara modernisasi yang tidak sepenuh hati dengan tradisionalitas yang masih tegar di wilayah-wilayah rurban di Indonesia ini telah membentuk suatu sub-kultur baru dalam bentuk dislokasi identitas: menjadi kota sepenuhnya (lingkungan sosio-kultur modern) tidak, karena 21 kuatnya lingkung tradisi dan sistem nilai lokal, sepenuhnya tradisional juga tidak karena modernisasi telah juga membawa perubahan terutama dalam penggunaan alat-alat komunikasi, informasi dan produksi, dan dalam skala tertentu, perubahan cara berfikir masyarakat. Di beberapa kota kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal sebagai kota-kota santri –umumnya dicirikan oleh banyaknya pesantren, institusi-institusi pendidikan Islam dan menonjolnya relijiusitas kultur masyarakat– pengaruh modernisasi terutama westernisasi umumnya tidak terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh tidak berkembangnya industri hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan pop (pop culture) seperti mall, bioskop, sentra-sentra nite-club, pub, kafe, massages, karaoke, billiard dan lainlain. Di Garut, selain tidak ada yang memadai apalagi megah untuk konsumsi masyarakat modern, beberapa bioskop misalnya bangkrut dan hanya tersisa satu dua yang tidak terurus dan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas bawah. Oleh modernisasi, dalam bentuk alat-alat hiburan elektronik dan audio visual, sentra-sentra hiburan masyarakat yang bersifat ‘massal’ telah digeser menjadi ‘kolegial’ kemudian ‘individual’ ke rumah-rumah melalui televisi dan terutama VCD. Selain Asia dan Yogya Department Store di Jalan Ahmad Yani dan Jalan Siliwangi (yang juga terhitung kecil untuk ukuran kota besar), mall dan pusatpusat hiburan modern lainnya tidak ditemukan di Garut. Di sisi lain, diuntungkan oleh lokasinya yang “bukan jalan lintas utama” propinsi (locked area), suasana dan nuansa relijiusitas Garut nampak cukup terjaga. Selain tidak ditemukannya pusat-pusat hiburan sekuler, sampai tahun 2002, di Garut terdapat 108 Raudlatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942 Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren.35 Sebaliknya, dari sulitnya ditemukan tempat-tempat hiburan massal yang menyuguhkan nuansa Barat, hampir semua organisasi massa Islam, dari yang terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah), yang radikal dan moderat yang umum dijumpai di tempattempat lain di Indonesia (Lasykar Jihad, Front Pembela Islam) sampai gerakangerakan “bawah tanah” seperti Ikhwanul Muslimun dan Darul Islam semuanya bisa ditemukan di Garut.36 Kelengkapan adanya ormas-ormas Islam ini menguatkan asumsi kota Garut selama ini sebagai kota pergerakkan dan pergolakan Islam. Yang fantastis, seperti halnya di daerah-daerah lain di Jawa Barat, relijiusitas masyarakat Garut dicirikan oleh jumlah tempat ibadah yaitu masjid, langgar dan mushalla. Meski tidak mutlak menunjukkan korelasi positif antara jumlah masjid dengan kesalehan (terutama kesalehan sosial) dan relijiusitas penduduknya, pendirian masjid di kalangan masyarakat Muslim selalu merupakan ekspresi religiusitas dan emosi keagamaan umatnya yang dibangun atas kesadaran dan kebutuhan bersama secara bergotong-royong. Dengan demikian, adalah proporsional mengukur tingkat relijiusitas masyarakat diantaranya oleh jumlah rumah ibadah. Hampir semua kecamatan di Kabupaten 22 Garut memiliki masjid, langgar dan mushalla yang ratusan jumlahnya. Kecamatan Garut Kota misalnya memiliki 547 tempat ibadah yang terdiri dari 179 masjid, 266 langgar dan 102 Mushalla. Kecamatan Karangpawitan memiliki 583 buah: 162 masjid, 329 langgar dan 92 mushalla. Kecamatan Samarang memiliki 821 tempat ibadah shalat: 265 masjid, 331 langgar dan 225 mushalla. Bahkan ada yang hampir mencapai 1000 buah yaitu di kecamatan Pakenjeng yang terdiri dari 185 masjid, 341 langgar dan 437 mushalla. Jumlah seluruhnya se-kabupaten Garut adalah 14.240, terdiri dari 3.992 masjid, 6.720 langgar dan 3.528 mushalla.37 Catatan lengkap jumlah rumah ibadah di Kabupaten Garut bisa dilihat dalam tabel 17 dalam lampiran. Nuansa relijius kota santri ini dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan lembaga dakwah yang ada di Garut. Jumlah lembaga dan organisasi dakwah di sebuah daerah menunjukkan intensitas dakwah di daerah tersebut karena lembaga dakwah hampir dapat dipastikan dibentuk karena motivasi dan semangat keagamaan dan merupakan bentuk murni partisipasi sosial masyarakat (genuine social participation) yang bersifat non-profit dan dikelola secara swadaya masyarakat. Lembaga dakwah yang ada di Garut bisa diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta’lim, remaja masjid dan lembaga pendidikan al-Qur’an. Dari data yang tersedia di Seksi Penerangan Agama Islam Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2001, tercatat bahwa jumlah orwah di Garut ada 364 buah dengan perincian 237 orwah yang terdapat secara nasional, 14 yang khusus tingkat propinsi dan 113 khusus hanya di tingkat kabupaten Garut. Semua kecamatan di kabupaten Garut memiliki perwakilan orwah tingkat nasional (lihat tabel 18). Jumlah majelis ta’lim ada 4.791 kelompok dengan jumlah terbanyak terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu sebanyak 577 kelompok pengajian. Jumlah remaja masjid juga cukup banyak yaitu 722. Dari seluruh kecamatan, jumlah terbanyak organisasi remaja masjid juga sama terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu 162 buah. Jumlah lembaga pendidikan khusus al-Qur’an dari mulai tingkat taman pendidikan (TP) sampai pondok pesantren (PP) berjumlah 430 lembaga dengan total murid keseluruhannya sebanyak 40.083 murid. Jumlah ini merupakan gabungan dari murid Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) sebanyak 22.451, Taman Kanak-kanak al-Qur’an (TKQ) sejumlah 11.304 murid dan santri pondok pesantren al-Qur’an (PPQ) sebanyak 6.327 orang.38 Berbagai data di atas menunjukkan bahwa intensitas kehidupan sosial keagamaan masyarakat kabupaten Garut cukup tinggi dilihat dari kuantitas lembaga keagamaan yang ada seperti pesantren, institusi pendidikan Islam, tempat ibadah dan lembaga dakwah serta majelis ta’lim yang jumlahnya mencapai ratusan di setiap kecamatan. Jumlah penduduk Muslim yang hampir 100 persen di kabupaten Garut menjadi basis tersendiri dari gencarnya usahausaha pengembangan dakwah Islam dan pengembangan jumlah organisasi keagamaan yang cukup banyak berada dalam sebuah kabupaten. Kuatnya 23 pengaruh agama dalam kehidupan sosial masyarakat ini diperkuat oleh apa yang disebut sebagai “the network of collective memory,” yaitu jaringan memori kolektif dengan masa lalu berupa hubungan batin atau ikatan psikologis dengan apa yang pernah terjadi di daerah itu dan berfungsi menjadi identitas kelompok masyarakat. Jaringan memori dan identitas kelompok ini membentuk religious-base worldview (dunia pandang relijius). Hal ini misalnya terlihat pada upaya menghadirkan agama dalam pemecahan masalah-masalah sosial kontemporer seperti upaya penerapan Syari’at Islam untuk penanganan kasus-kasus KKN dan masalah-masalah kerawanan sosial. Keberpihakan kepada simbol-simbol keagamaan tampak lebih kuat bila dibandingkan dengan keberpihakan kepada nilai-nilai yang sesungguhnya sejalan dengan agama tetapi tidak menggunakan istilah-istilah agama. Sikap dan kecenderungan seperti ini misalnya nampak ketika mereka berpendapat tentang demokrasi dan proses reformasi. Kendati demokrasi dan reformasi sesungguhnya sejalan dengan semangat Islam yaitu semangat perbaikan kehidupan sosial, kendati perangkat dan pelaksanaan hukum relatif membaik dibandingkan dengan masa Orde Baru, kebebasan berbicara relatif lebih terbuka, kebebasan berpendapat lebih terjamin, hukum positif sudah semakin banyak mengadopsi nilai-nilai agama, suasana politik lebih demokratis dan seterusnya, semuanya ini masih dipandang belum memenuhi aspirasi masyarakat Islam karena tidak dikemas oleh simbol-simbol formal Islam. Gambaran tersebut akan ditemukan dari uraian berikut ini. Gerakan Penerapan Syari’at Islam Mengapa muncul kembali arus idealisasi syariah dalam jagat politik negeri ini? Jawabannya tentu saja adalah sebagai “konsekuensi dari penemuan kembali kebebasan ruang publik, yang memungkinkan pemberontakan gagasangagasan yang ‘terpinggirkan’ (subaltern). Di dalam ruang publik yang demokratis, orang bisa memperjuangkan gagasan atau ideologi apa saja sepanjang dilalui tanpa jalur kekerasan.”39 Tetapi, “penemuan kembali kebebasan ruang publik” ini hanya sebagai medan ekspresi. Energi yang mendorong masuk ke dalam ruang publik itu sendiri adalah persoalan lain, yaitu rasa frustrasi masyarakat atas berbagai persoalan sosial politik ekonomi yang menggumpal dan tak menemukan penyelesaiannya selama kurun Orde Baru. Fenomena psikologis massa itulah yang terlihat di balik deklarasi penerapan Syari’at Islam di Garut. Pemberlakuan Syari’at Islam itu dideklarasikan tanggal 1 Muharram 1423H atau 15 Maret 2002 bertempat di Lapangan Oto Iskandar Dinata dihadiri oleh umat ribuan umat Islam.40 Munculnya semangat menerapkan Syari’at Islam di Garut dipastikan merupakan imbas atau pengaruh dari beberapa daerah yang sudah lebih dulu menyatakan dan sedang memperjuangkan berlakunya Syari’at Islam seperti Aceh, Sulawesi Selatan, Cianjur, Banten dan lainnya.41 Naskah deklarasi ditandantangani oleh Bupati Garut Drs. H. Dede Satibi, Ketua DPRD 24 Drs. Mahyar Swara, SH, dan semua fraksi DPRD yaitu fraksi-fraksi Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Gabungan, TNI, Partai Kesatuan Bangsa (PKB) dan PKP, serta Koordinatror KPSI, KH. Endang Yusuf Djunaedi. Dengan kata lain, unsur-unsur legislatif dan eksekutif menyapakati deklarasi. Kemudian, dalam berita acara serah terima, selain Bupati, Ketua DPRD dan koordinator KPSI, terdapat enam orang saksi yang turut menandatangani yaitu Ahmad Sumargono (PBB), Drs. H. Djohan Jauhari (Praktisi Hukum), Habib Muhammad Rizieq (Front Pembela Islam), Habib Idrus H. Alatas, KH. Muhammad Qudsi (Wakil Ketua PPP Jawa Barat) dan Drs. KH. Asep Saefuddin Musaddad (Ketua FPI Jawa Barat). Deklarasi Pembentukan LP3SyI Berdasarkan teks yang dibacakan tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002, penerapan Syariat Islam di Kabupaten Garut bukan diberlakukannya hukum atau syari’at Islam sejak dideklarasikan, melainkan deklarasi penerapan Syari’at Islam melalui pembentukan Lembaga Pengkajian Penegakkan dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI). Jadi sifatnya tidak langsung. Untuk menuju penerapan Syari’at Islam, dibentuk terlebih dahulu sebuah lembaga yang akan memproses cita-cita itu. Teks naskah pembentukan lembaga inilah yang dibacakan di lapangan Otto Iskandar Dinata- Garut. Bismillahirrahmanirrahim. Raditubillahi rabba, wabil Islamidina, wabi muhammadin nabiya wa rasula bi ara-at min kulli dini yukhalafu dinul Islam SERAYA MEMOHON RAHMAT DAN RIDHA ALLAH SWT. KAMI UMAT ISLAM KABUPATEN GARUT YANG TERGABUNG DALAM BERBAGAI KEKUATAN SOSIAL POLITIK SEPAKAT MENENTUKAN SIKAP UNTUK MENDEKLARASIKAN HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT: PERTAMA, BAHWA SEBAGAI UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN MASYARAKAT GARUT PANGIRUTAN YANG TATA TENGTREM KERTA RAHARJA MENUJU RIDHA ALLAH DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN KETUHNAN YANG MAHA ESA, MAKA PENGAMALAN SYARI’AT ISLAM BAGI PARA PEMELUKNYA MERUPAKAN SUATU KEWAJIBAN. KEDUA, BAHWA PENERAPAN DAN PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI KABUPATEN GARUT MERUPAKAN REALITAS ASPIRASI YANG PERLU DIPERHATIKAN DAN DITINDAKLANJUTI. KETIGA, BAHWA PENYEBARLUASAN DAN PENEGAKKAN SYARIAT ISLAM WAJIB DILAKSANAKAN DENGAN SEBAIK-BAIKNYA DAN PENUH TANGGUNG JAWAB. KEEMPAT, BAHWA UNTUK TERCAPAINYA PENERAPAN DAN PENGAMALAN SYARI’AT ISLAM DI KABUPATEN GARUT, DIPERLUKAN SUATU PROSES PENGKAJIAN YANG MENDALAM SEJALAN DENGAN DINAMIKA PERUBAHAN TATANAN SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT. 25 MAKA UNTUK TERCAPAINYA TUJUAN TERSEBUT DENGAN BERTAWAQAL KEPADA ALLOH SWT, KAMI SEPAKAT MENDEKLARASIKAN “PENEGAKAN DAN PENERAPAN SYARI’AT ISLAM”, MELALUI: LEMBAGA PENGKAJIAN PENEGAKAN DAN PENERAPAN SYARIT ISLAM (LP3SyI) SEMOGA ALLOH SWT MEMBERKATINYA DAN SENANTIASA MENCURAHKAN TAUFIQ DAN HIDAYAHNYA KEPADA KITA SEKALIAN. AMIN. GARUT, 1 MUHARRAM 1423H 15 MARET 2002M Para penggagas menyadari betul bahwa penerapan syari’at atau hukum Islam tidak bisa langsung tapi memerlukan kesiapan, proses, kajian yang mendalam, sosialisasi dan sebagainya. Disepakatinya pembentukan LP3SyI ini merupakan hasil tawar-menawar (bargaining) antara desakan para penggagas dengan pihak penyelenggara pemerintahan Garut. Lembaga ini bertangggung jawab memproses pelaksanaan penerapan Syari’at Islam. Melalui lembaga ini, potensi umat Islam Garut untuk menerapkan syari’at Islam dikaji kemungkinankemungkinannya, langkah-langkahnya, prioritasnya, hambatan-hambatannya dan seterusnya. Tujuan, Sasaran, Tahapan dan Aspek-Aspek Pelaksanaan Syari’at Islam Dalam Format Dasar Pelaksanaan Syari’at Islam, dokumen enam halaman yang dikeluarkan pada bulan Februari 2002/Dzulqaidah1422H, dicantumkan Dasar Hukum, Tujuan dan Fungsi, Aspek-aspek Pelaksanaan Syari’at Islam serta Tahapan Pelaksanaan dan Skala Prioritas. Dasar Hukum terdiri dari tiga hal: (1) Al-Qur’anul Karim dan Assunah Rasul, (2) Aqwalu Fuqaha, dan (3) Lembar Pengesahan dan Kesepakatan 23 Syawal 1422 H (7 Januari 2002) antara KPSI atas nama masyarakat Kabupaten Garut serta seluruh jajaran Pemerintahan Kabupaten Garut (Legislatif dan Eksekutif). Dalam Tujuan dan Fungsi terdapat format dan pola dasar pelaksanaan Syari’at Islam yang bertujuan: A. Mewujudkan Visi Garut yaitu “Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta Raharja menuju Ridha Allah.” B. Mewujudkan visi ke depan yang ingin dicapai dalam masa relatif singkat yaitu masyarakat aman tentram yang islami (Garut Kota Santri). C. Misi yang perlu dilaksanakan antara lain: 1. Peningkatan sumber daya manusia yang berakhlakul karimah. 2. Meningkatkan aktifitas dakwah (pendidikan, penyuluhan dan pengkaderan). 26 3. Penggalian sumber daya alam sebagai wujud syukur nikmat kepada Allah. 4. Pemberdayaan ekonomi melalui Konsep Ekonomi Islam. 5. Penataan manajemen pemerintahan dengan paradigma islami sehingga terwujud pemerintahan Kabupaten Garut yang bersih, berwibawa, dan islami. 6. Mengkaji dan mengembangkan konsep-konsep islami yang bertahap dan berkelanjutan. Tentang Kewajiban dan Sasaran Pelaksanaan Syari’at Islam terdapat lima poin: 1. Setiap pemeluk agama Islam wajib menta’ati, mengamalkan dan melaksanakan syari’at Islam secara kaffah dalam kehidupan seharihari dengan tertib dan sempurna. 2. Kewajiban menta’ati dan mengamalkan syari’at Islam sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari melalui diri pribadi, keluarga, kantor-kantor, masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 3. Institusi masyarakat Muslim dan pemerintahan daerah berkewajiban memajukan keteladanan, mengembangkan dan membina serta mengawasi pelaksanaan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya. 4. Setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di Kabupaten Garut wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam serta menjaga dan menta’ati nilai-nilai kelayakan dan kesopanan dalam ergaulan hidup. 5. Keberadaan agama lain tetap diakui dan pemeluknya dijamin dapat melaksanakan/menjalankan ibadah agamanya, serta siapapun yang berkunjung dan atau singgah di Garut, wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam di Garut. Aspek-aspek yang akan menjadi wilayah penerapan Syari’at Islam akan meliputi bidang-bidang (1) Ubudiyyah, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak, (2) Mu’amalah, yaitu pendidikan, dakwah, ekonomi dan amar ma’ruf nahyi munkar, (3) Ahwalusyahsiyyah, yaitu mabarot, munakahat dan mawaris, (4) Siasah Syar’iyyah, meliputi kemasyarakatan, jinayat dan siasah. Wilayah berikutnya setelah keempat ini akan dikaji dan dikembangkan lebih lanjut oleh Dewan Syari’at. Pedoman Dasar, Kode Etik dan Program Kerja Tujuh bulan kemudian setelah deklarasi, yaitu tanggal 11 Oktober 2002 (4 Sya’ban 1423H), pertemuan LP3SyI menghasilkan tiga buah dokumen yaitu Pedoman Dasar, Kode Etik dan Program Kerja LP3SyI Kabupaten Garut, yang dikerjakan oleh 13 orang tim perumus. Naskah Pedoman Dasar berisi pembukaan dan isi yang terdiri dari IX Bab. Teks naskah deklarasi yang dibacakan tanggal 1 Muharram diletakkan sebagai pembukaan Pedoman Dasar 27 tersebut. Dalam Bab III Pedoman Dasar tentang Tujuan, Tugas dan Wewenang, dijelaskan tujuan menerapkan syari’at Islam di Garut: (1) Mewujudkan Visi Garut yaitu “Garut Pengirutan yang Tata Tengtrem Kerta Raharja” menuju Ridha Allah. (2) Meyakinkan dan mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan syari’at Islam secara kaffah.42 Tentang tugas dijelaskan bahwa tugas LP3SyI ini adalah (1) Mengkaji dan mengembangkan konsep-konsep Islam dengan pendekatan “Bil hikmah wal Maudhatil Hasanah,” (2) Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berakhlakul karimah, Marhamah dan Uswatun Hasanah, (3) Mengelola Sumber Daya Alam sebagai Wujud Syukur atas ni’mat Allah Swt, (4) Menata secara proporsional manajemen pemerintahan dengan paradigma Islam. Dalam Kode Etik dijelaskan landasan moral dan etika yang dipegang oleh lembaga ini. Usaha penerapan syari’at Islam itu sendiri diletakkan dalam prinsip amar ma’ruf nahyi munkar. Prinsip amar ma’ruf nahyi munkar ini diperjuangkan melalui prinsip-prinsip kemerdekaan, independensi, empati, uswatun hasanah, hikmah dan mau’idzah hasanah yang didasarkan atas ayat-ayat Al-Qur’an. Kemerdekaan adalah yaitu perwujudan dari ketauhidan yang total sebagai sikap dasar yaitu bahwa satu-satunya yang mempunyai kekuasaan atas manusia hanyalah Allah SWT; Independensi adalah konsekuensi dan implikasi dari fitrah kekhalifahan yang disandang setiap pribadi dan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT; Empati yaitu kepedulian terhadap realitas hidup umat, merupakan keharusan dari prinsip kekhalifahan manusia yang menyerukan kebenaran ilahiyah; Uswatun Hasanah yaitu amar makruf akan bermakna jika diwujudkan dalam kehidupan nyata, sebaliknya akan tanpa makna jika sekadar sebagai pengetahuan; Hikmah maksudnya lembaga LP3SyI melakukan perannya dengan hikmah dan mengoptimalkan segala sarana dan prasarana termasuk ilmu pengetahaun; Mau’idzoh hasanah yaitu prinsip penyampaian kebenaran ilahiyah dengan cara dialogis dan saling pengertian. Dalam memegang keenam prinsip tersebut dan menjalankan aktifitasnya, LP3SyI memiliki sepuluh kode etik sebagai berikut: (1) Berpedoman kepada Qur’an dan Sunnah, (2) Menjadi teladan dan pengayom bagi umat dan masyarakat, (3) Menjadi hamba Allah yang rabbani, (4) Ikhlas dalam pengabdian, (5) Selalu menjaga tatakrama dan akhlakn Islam, (6) Tawadhu, (7) Berwawasan luas, (8) Bersikap adil, sabar dan istiqamah, (9) Disiplin waktu dan selalu menepati janji, (10) Bersikap Asyida’u alal kufar ruhama’u baenahum. Program kerja LP3SyI dibagi ke dalam lima komisi: Komisi Sosialisasi dan Informasi Syari’at Islam; Komisi Pengkajian dan Analisis Syari’at Islam; Komisi Penegakkan dan Penerapan Syari’at Islam; Komisi Partisipasi Perempuan Muslim dan Komisi Advokasi. Masing-masing komisi memiliki bidang dan program yang sama berupa penyebarluasan informasi tentang LP3SyI dan sosialisasi syari’at Islam seperti ubudiyah (ketauhidan, akhlak, ibadah, fiqhunnisa), muamalah (pendidikan, amar ma’ruf nahi munkar, perekonomian dan perspektif gender dalam Islam), ahwalusyahsiah (keadilan sosial, munakahat dan mawaris), dan siyasah syar’iyah (peranata sosial dan hukum, politik). Berikut 28 ini adalah program dan rencana kegiatan LP3SyI secara keseluruhan, yang pelaksanaannya dibagi-bagi menurut tanggung jawab komisinya masingmasing:  Sosialisasi dan dakwah  Workshop formalisasi syari’at Islam  Meningkatkan pengkajian dan peribadatan perempuan  Penelitian terhadap masalah sosial dan kemasyarakatan  Desiminasi dan upaya penanggulangan masalah sosial kemasyarakatan  Himbauan terhadap masyarakat  Meningkatkan sarana dan prasarana ibadah  Meningkatkan partisipasi ibadah mahdhah  Meningkatkan tali silaturahmi dan kerjasama umat  Memotivasi peningkatan pengetahuan dan wawasan agama dan darigama  Sosialisasi dan dakwah pembentukan keluarga sakinah, mawddah warohmah  Sosialisasi dan dakwah pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah  Berpartisipasi dalam segala bentuk kemunkaran  Sosialisasi dan himbauan secara persuasif mengenai upaya-upaya syari’at Islam dalam hal: 1. Melaksanakan sewa-menyewa (ijarah) 2. Mengfungsikan perbankan (syari’ah) 3. Melaksanakan jual beli (al-buyu’) 4. Menyelesaikan utang piutang (hiwalah) 5. Memberikan pinjaman (a’riah) 6. Mengatur barang temuan (luqathah) 7. Mengatur kerjasama (syirkah) dalam muamalah 8. Memberikan label terhadap makanan (ath’imah) yang halal 9. Mengatur kerjasama kemitraan dalam perdagangan (mudharabah)  Workshop gender dalam perspektif Islam  Advokasi masalah gender  Pendirian lembaga penanggulangan masalah gender dan keluarga  Mengkaji keadilan gender secara proporsionil Islami  Meningkatkan bentuan dan pelayanan sosial terhadap kaum dhu’afa  Meningkatkan tanggung jawab sosial, terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsa, umat dan generasi penerus  Memahami UU No. 7/89 tentang Peradilan Agama & Inpres No. 1/90 tentang kompilasi hukum Islam  Menerapkan kompilasi hukum Islam bagi masyarakat Muslim  Optimalisasi penerapan Inpres No. 1/90  Meningkatkan ukhuwah Islamiyah  Meningkatkan pendidikan baik formal, informal maupun non-formal bagi umat Islam 29  Sosialisasi prinsip-prinsip siasah syar’iah  Mendukung pengusulan hukum pidana Islam kepada pemerintah pusat  Merealisasikan fatwa ulama tentang syariat Islam di daerah  Mengusulkan pada pemerintah pusat dan DPR agar penyusunan KUHP baru bernuansa Indonesia dan Islami  Mendukung pelaksaaan Good Governance  Melayani konsultasi dan bantuan hukum serta pembelaan bagi individu dan keluarga Muslim, organisasi sosial dan masyarakat Muslim. Konflik Internal Menjelang Deklarasi dan Perjalanan LP3SyI Deklarasi Syari’at Islam di Garut dilatarbelakangi oleh adanya dua lapisan sosial masyarakat Islam yang saling berebut pengaruh, yaitu kelompok senior atau elit lokal (golongan tua) dan kelompok aktifis muda.43 Kelompok elit terdiri dari tokoh-tokoh Islam senior yang berada di bawah pengaruh KH. Abdul Halim, Lc. putra kiayi besar kelahiran Garut yaitu Prof. KH. Anwar Musaddad. Abdul Halim (sering disebut dengan Kiayi Cecep) dekat dengan eksponen angkatan 66 dan tokoh-tokoh tua segenerasinya. Pengaruh besar ayahnya dan pendidikan keislamannya dari Madinah membentuk kharismanya sendiri sehingga tokoh-tokoh tua di Garut praktis berada dalam pengaruh Abdul Halim. Ia dan kawan-kawannya mendirikan BKPUI (Badan Koordinasi Persatuan Umat Islam) Garut yang dimaksudkan menyatukan kelompok-kelompok Islam yang ada seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PII, HMI, Syarikat Islam dan lain-lain. Konon, salah satu hasilnya adalah menggolkan Drs. H. Dede Satibi sebagai Bupati Garut Periode 2000 – 2004 sebagai calon dari golongan Islam. Para pendiri BKPUI kemudian mendirikan Dewan Imamah44 yang dipimpin oleh KH. Abdul Halim sendiri. Dewan Imamah ini, seperti BKPUI, berfungsi hanya sebagai badan koordinasi dan silaturrahmi para pemimpin kelompok-kelompok Islam (ormas, parpol, dan komunitas lain) untuk menyatukan umat Islam di Garut. Dewan yang didirikan tahun 2001 ini adalah representasi kelompok senior yang dianggap sebagai kekuatan real politik Islam yang bisa mempengaruhi kebijakan Pemda. Salah satu manfaat dibentuknya Dewan Imamah ini, menurut Giom Suwarsono,45 salah seorang pencetusnya, adalah berhasil membendung kerusuhan, seperti bentrok fisik antara NU dan Muhammadiyah di Yogyakarta tidak berimbas ke Garut karena para tokoh Islam cepat berkumpul untuk mengantisipasi pengaruhnya. Ide dan pembicaraan tentang penerapan Syari’at Islam di Garut sudah terbersit dalam pikiran kelompok senior ini hanya belum menjadi agenda resmi karena masih belum jelas dan belum terpikirkan bagaimana bentuknya. Pada lapisan kedua dibawahnya, ada sekelompok muda Islam yang merupakan aktifis HMI, PII, FPI, Persis, Pemuda Muhammadiyah dan lainnya. Mereka melihat kelompok tua yang tergabung dalam Dewan Imamah ini sering 30 lambat merespon beberapa persoalan umat yang muncul di Garut. Ketika muncul kasus demonstrasi menuntut dicabutnya Perda No. 6 Tahun 2000 tentang perjudian dan prostitusi oleh kelompok sekuler di Universitas Garut (UNIGA), kelompok muda Islam merespon dengan sepakat mengajukan tuntutan penerapan Syari’at Islam di Garut. Kemudian mereka membentuk wadah dengan nama Komite Penegakan Syari’at Islam (KPSI). KPSI terdiri dari gabungan organisasi-organisasi Islam yang ada di Garut yang diwakili oleh tokoh-tokoh mudanya. Melalui sebuah aksi demonstrasi mendesak DPRD Tk. II Kabupaten Garut mereka menuntut pelaksanaan Syari’at Islam. Lewat sebuah dialog yang alot -- sekitar lima jam-- dengan pihak Pemda, DPRD dan partaipartai politik, Pemda dan DPRD akhirnya menyetujui bahkan mendukung usaha pemberlakuan Syari’at Islam. Merasa langkahnya didahului, kelompok Dewan Imamah pada awalnya kurang mendukung tuntutan tersebut. Sebagian organisasi kepemudaan dan ormas-ormas yang ada juga belum mendukung. Merasa belum mendapat dukungan yang luas, KPSI kemudian terus melakukan lobi-lobi dan penekanan yang intensif. Hasilnya, disepakati pembentukan sebuah lembaga baru pada tanggal 18 Februari 2002 bernama Lembaga Pengkajian, Penegakkan dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI) sebagai lembaga kajian dan sosialiasi Syari’at Islam. Lembaga baru ini beranggotakan hampir semua unsur dan golongan masyarakat yaitu ulama 27 orang, komponen umat Islam 20 orang, birokrat/pemerintah 18 orang, pakar praktisi hukum 8 orang, elit Muslim non-ulama 16 orang dan unsur wanita 5 orang. Melihat ragam keanggotaannya, LP3SyI merupakan lembaga yang dibentuk sebagai wadah musyawarah atau kompromi antara jajaran pemerintah, kelompok Islam, tokohtokoh masyarakat dan berbagai unsur lainnya untuk mencari jalan keluar dari desakan dan tuntutan pemberlakuan Syari’at Islam.46 Lembaga LP3SyI ini disepakati diketuai oleh ketua umum MUI Kabupaten Garut. Jadi, Koordinator LP3SyI adalah ketua MUI ex-officio yaitu Kiayi Cecep Abdul Halim. Dalam perjalannya, posisi koordinator ex-offico ini menjadi problem tersendiri. Kiayi Cecep sebelumnya adalah figur yang mengetuai berbagai jabatan: Ketua Dewan Imamah, Ketua MUI, Ketua Perguruan Tinggi Musaddadiyah, Ketua BAZIS dan kemudian ditambah Koordinator LP3SyI. Berbagai jabatan ketua ditangannya ini, dalam pandangan tokoh-tokoh Islam Garut, membuat langkahnya tidak efektif dan organisasiorganisasi tersebut mandeg serta tidak berjalan. Demikian juga jabatannya sebagai Koordinator LP3SyI. Setelah dua tahun proklamasi, LP3SyI praktis belum melakukan gerakan apa-apa. Bidang-bidang yang telah dibentuk di bawah koordinator, selam dua tahun, tidak berfungsi secara siginifikan. Yang menarik, rupanya kharisma kiayi ini mengalahkan semua ketidakpuasan tokohtokoh yang ada termasuk para pencetus gerakan Syari’at Islam. Walaupun LP3SyI tidak berjalan, tidak seorangpun yang berani angkat bicara mempersoalkan posisinya. Umumnya, tokoh-tokoh Islam hanya berbicara 31 dibelakang. Kalaupun aspirasi kekecewaan ini sampai kepada Abdul Halim tidak sampai menggeser posisinya. Stagnasi lembaga ini tampaknya dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, kekecewaan Abdul Halim bahwa deklarasi penerapan Syari’at Islam bukan merupakan hasil gerakan kelompok tuanya menjadi ganjalan psikologis tersendiri baginya. Abdul Halim memanfaatkan kekecewaannya itu untuk tidak bersemangat dan sungguh-sungguh memproses penerapan Syari’at Islam. Kedua, keragaman latar belakang pengurus LP3SyI dengan berbagai kepentingannya membuat lembaga ini tidak berjalan sesuai harapan. Ketiga, karena memang ketiadaan konsep dan kebingungan langkah bagaimana ide penerapan syari’at Islam tersebut harus realisasikan. Buktinya, dana yang disediakan oleh Bupati sebesar 100 juta pertahun tidak dipakai. Pada dua tahun pertama sejak disetujui oleh Pemda Garut, dana itu hangus karena ketiadaan program yang diajukan oleh LP3SyI. Tahun ketiga (2004) dana itu baru akan dimanfaatkan melalui ajuan program-program simbolisasi. Tapi juga tampak sekali kecenderungan kuat pertimbangan pengajuan program itu lebih oleh fikiran bahwa dana akan habis lagi kalau tidak dipakai. Melihat lambannya gerakan LP3Syi ini dan tidak produktif Abdul Halim sebagai koordinatornya tampaknya membenarkan kecurigaan para anggota KPSI sejak awal bahwa pembentukan LP3SyI ini sebagai jalan kompromi, lembaga musyawarah untuk mencari jalan keluar antara mereka yang mendesak pelaksanaan syari’at dengan yang kontra. Setelah dua tahun berjalan, semangat kelompok penggagasnya memang masih tampak terpelihara, tetapi kegiatan yang mampu mereka lakukan sejauh ini hanya rapat dan pertemuan. Tema-tema pertemuan pun tidak ada yang menyentuh pembahasan tentang hal-hal yang lebih substansial seperti keadilan sosial, kedilan hukum, kesejahteraan ekonomi, penanganan korupsi dan lain-lain. Tetapi lebih pada rencana penerapan simbolsimbol sebagai bagian dari sosialisasi seperti pemakaian busana muslimah di sekolah-sekolah umum, pemasangan rambu-rambu peringatan, pemasangan kaligrafi di berbagai sudut kota yang menyiratkan nuansa Islam serta himbauan memakai busana muslimah bagi para karyawati di kantor-kantor, pemberlakuan shalat berjamaah dan pembudayaan ucapan salam. 32 Pro Kontra Formalisasi Islam Deklarasi sebagai wujud formalisasi Syari’at Islam ini tentu tak lepas dari sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat Islam Garut sendiri. Kelompok pendukung adalah mayoritas.47 Mereka adalah para tokoh yang berafiliasi ke MUI, tokoh-tokoh Muhammadiyah, Persis, kiayi pesantren, mantan aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII), Front Pembela Islam (FPI) Garut, Dewan Imamah, HMI, PSII/SI, pengelola sekolah tinggi Musaddadiyah48 dan lain-lain. Dukungan tersebut tidak atas nama organisasi, melainkan sebagai sikap pribadi/individu. Sementara itu, kelompok yang tidak mendukung sebagian dari pihak birokrasi,49 kelompok NU Gus Dur,50 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tokoh independen dan kelompok minoritas. Kelompok pendukung menyandarkan aspirasi dan argumen mereka pada beberapa landasan. Pertama adalah demokrasi. Demokrasi memungkinkan untuk memperjuangkan pemberlakuan Syari’at Islam karena demokrasi merupakan sebuah ruang publik yang bercirikan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Penggunaan jargon demokrasi ini menemukan legitimasi dan penguatannya bahwa pemberlakuan Syari’at Islam merupakan aspirasi mayoritas yaitu umat Islam Garut. Demokrasi menekankan suara mayoritas. Ketika aspirasi Syari’at Islam dihubungkan dengan demokrasi, hampir semua pendukung menyatakan hal itu sebagai perwujudan dan ekspresi berdemokrasi. Bahkan sebagian mereka menantang agar pemerintah mewujudkan demokrasi secara konsisten. Para penentang aspirasi penegakkan Syari’at Islam, di mata mereka, adalah orang-orang yang tidak mengerti hakikat demokrasi. Kedua, jaminan konstitusi nasional. Para inisiator dan perintis gerakan Syari'at Islam di Garut menyandarkan perjuangan pemberlakuan Syari’at Islam pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama dijamin melaksanakan ajaran agamanya menurut faham dan kepercayaannya masing-masing. Melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen, dengan demikian, dijamin negara. Melaksanakan ajaran Islam bagi Muslim berarti melaksanakan Syari’at Islam. Maka, pemerintah wajib mendukung ide Syari’at Islam. Tidak perlu ada yang ditakuti dan dipersoalkan, apalagi Syari’at Islam diterapkan hanya bagi kalangan Muslim. Kemudian seperti dijelaskan seorang praktisi hukum, sebenarnya Syari’at Islam sudah dilaksanakan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dalam Islam dikenal ahkamul ibadah (ibadah sehari-hari), ahkamul munakahah (hukum keluarga dan perkawinan -- UU Perkawinan Tahun 1974), ahkamul muamalah, dan ahkamul madaniyah. Selain itu, untuk ahkamul mawaris sekarang sudah ada UU Th. 78. Pembagian waris sekarang diatur secara Islam oleh UU Peradilan Agama. Jadi, Syari’at Islam sebenarnya sudah banyak yang dilaksanakan dalam kehidupan umat Islam sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menghalangi. Deklarasi Syari’at Islam hanya kelengkapan untuk melaksanakan aspek-aspek lain yang belum dilaksanakan.51 Masih berkenaan dengan jaminan konstitusi, pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 33 Seorang praktisi hukum yang mantan aktifis PII, pengurus Golkar dan Ketua Kosgoro, mengutip ucapan pakar hukum Bismar Siregar yang menyatakan bahwa persepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pandangan umat Islam adalah Allah SWT. Konsekuensi logisnya, bila terdapat produk perundang-undangan yang bertentangan dengan ajaran dan perintah Tuhan Yang Maha Esa atau dengan hukum Tuhan (Allah), maka produk itu batal demi hukum.52 Ketiga, Syari’at Islam diharapkan sebagai jawaban atas kemandulan hukum sekuler (hukum positif atau hukum nasional) dalam pemberantasan KKN, mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan menegakkan keadilan sosial di Indonesia. Sebagian kalangan Muslim, sudah kehilangan kepercayaan dan harapannya pada hukum nasional akan mampu memecahkan masalah-masalah hukum, keadilan dan menciptakan moral serta akhlak bangsa. Bagi mereka, kejahatan, korupsi, kemaksiatan, pelacuran, penyelewengan jabatan dan kekuasaan, narkoba, perjudian dan lainnya dirasakan tidak pernah surut seiring dengan perkembangan zaman bahkan semakin lama semakin menguat dalam lingkungan sosial umat Islam Indonesia. Di sisi lain, tidak ada upaya dari para pemimpin bangsa untuk memberikan contoh akhlak mulia, kejujuran, hidup sederhana, berpihak pada kebenaran, menegakkan keadilan serta tegas terhadap kemungkaran dan seterusnya. Fenomena seperti ini memunculkan rasa frustrasi masyarakat. Hukum yang ada dianggap bukannya memecahkan masalah-masalah tersebut, bahkan menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Suasana seperti inilah yang kemudian mendesak sekelompok orang untuk kembali kepada ajaran-ajaran dasar agama, termasuk hukum Tuhan dalam pengertiannya yang harfiah dan tekstual. Walaupun belum ada presedennya di zaman modern, lari kepada Syari’at Islam sebagai sandaran ideal akhirnya tak terhindarkan. Dalam hal ini, sikap kembali kepada Syari’at Islam adalah sebuah bentuk partisipasi, kepedulian dan tanggung jawab moral-sosial dalam rangka turut memecahkan masalah-masalah kehidupan bersama menuju kehidupan yang adil dan makmur. Keempat, harapan bahwa deklarasi akan memberikan penguatan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dalam level individu Muslim terutama dalam kehidupan masyarakat Islam. Menyadari penegakkan Syari’at bukan hal yang mudah walaupun dalam level individu, sebagian pendukung akhirnya mengharapkan peran minimal dari pemberlakuan Syari’at yaitu sebagai penguat pelaksanaan ajaran Islam oleh pemeluknya. Walaupun tidak dalam perannya yang memaksa, Syari’at Islam yang diberlakukan secara formal minimal akan berperan sebagai “pengingat” dan “pencipta suasana” bahwa orang sedang hidup dalam masyarakat yang menerapkan Syari’at Islam dan seseorang harus menyesuaikan diri dalam lingkungan masyarakat tersebut. Deklarasi di Garut merupakan penguatan terhadap keinginan luhur masyarakat untuk melaksanakan Syari’at Islam secara kaffah. Sementara itu, pandangan kontra datang dari beberapa orang yang tidak larut dalam gema dan gaung formalisasi Syari’at Islam. Kelompok ini berusaha 34 kritis, melihat beberapa kelemahan dari semangat populer dan arus massa tersebut dan melihat persoalan dari perspektif lain. Aktifis PMII kabupaten Garut, Lukman Hakim melihat beberapa kelemahan dalam deklarasi Syari’at Islam. Pertama, konsep yang digodok belum selesai-selesai dan banyak yang bentrok. Ini artinya, tidak didasari konsep yang matang, dengan kata lain, hanya didasari semangat saja. Kedua, Kesan politisnya kental sekali. Menurut Lukman, sebelum deklarasi, partai-partai politik disodori tanda tangan, angket yang disebarkan pertanyaannya pada setuju dan tidak. “Saya sendiri setuju, tapi kan persoalannya bukan setuju dan tidak. Kami sebagai generasi muda Islam lebih memilih berada diluar arus saja, karena ketika gagal dapat menginventarisir masalahnya dengan obyektif.” Kesan politis ini dibuktikan bahwa deklarasi tersebut menghadirkan Ahmad Sumargono dan ketua FPI Habib Riziek. Menurutnya, mestinya dicari orang netral dan seluruh lapisan masyarakat diundang semua. Dengan hadirnya dua tokoh partai tersebut, semakin kuat anggapan kelompok lain terhadap apa yang ingin dicapai dalam deklarasi itu. Mereka sendiri yang membuat kesan ini dipolitisir, walaupun mungkin gerakan itu sebetulnya murni. Ketiga, kita lebih menekankan pada nilai keislaman, bukan formalitas. Hukum itu tidak hanya berlaku di Garut saja. Apakah di luar Garut misalnya boleh tidak berkerudung? Islam itu lebih kepada penanaman nilai bukan paksaan. Ketika seseorang sudah Islami ia akan taat dimanapun berada. Kalau diundang-undangkan secara struktural begini berarti masuk dalam sebuah kepentingan kekuasaan.53 Bagi yang lain, deklarasi atau formalisasi Syari’at dikhawatirkan akan merusak citra Islam sendiri. Bagi KH. Mahdi Munawar, Ketua DPC NU Garut, dilihat dari sejarahnya, Rasulullah tidak melakukan deklarasi dulu, melainkan perilakunya dulu bukan simbolnya. Melihat kondisi zaman, diperlukan sikap arif. Lebih baik Islam disuguhkan kepada masyarakat seperti menu makanan. Kita suguhkan Islam itu yang disukai orang bukan yang menakutkan orang.54 Makanya bagi perintis beberapa perguruan tinggi swasta di Garut ini, pendeklarasian Islam itu tidak perlu. Allah mendeklarasikan Islam itu ketika sudah selesai: “Innaddiina ‘indallahil Islam” (sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam). Dideklarasikan itu setelah terbukti kebaikannya. Zaman Nabi, keunggulannya sudah dibuktikan oleh Rasulullah. Buat kita, kata Mahdi, yang tidak memiliki kapasitas seperti Rasulullah, ada ultimatum dari Nabi bahwa jika kalian (shababat) meninggalkan 10% saja dari ajaranku kalian akan celaka. Tapi di akhir zaman, jika umatku mampu melaksanakan 10% saja dari ajaranku itu sudah bagus. Bila melihat ke negara-negara Timur Tengah, kiayi yang Kepala Madrasah Aliyah 2 Garut itu juga meragukan Syari’at Islam telah benar-benar berjalan di Arab Saudi atau di Pakistan. Deklarasi di Garut, baginya, satu sisi merupakan kompensasi dari kondisi-kondisi masa lalu, di sisi lain, mungkin imbas dari pengaruh-pengaruh luar seperti adanya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir padahal gerakan itu tidak pernah berhasil. Bila dilihat keberhasilan 35 dakwah masa lalu, tidak ada deklarasi oleh para wali, tetapi hasilnya 90% bangsa Indonesia adalah muslim. Para ulama dulu menanamkan kultur yang bernilai Islami, mendorong, memotivasi suasana sehingga belajar dan menggali Islam itu enak dan indah. Itulah rahmatan lil ‘alamin. Kalau hukum dulu ya... menakutkan. Al-Qur’an itu bukan hukum tapi sumber hukum, harus dikelola dengan ushul fiqh, setelah itu baru jadi fiqh. Fiqh itu dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kondisi. Contoh, shalat itu wajib, tapi baru jam 11.00, ya tidak bisa, kondisinya belum memungkinkan. Deklarasi, bagi kiayi itu, bukan penyelesaian. Kalau ada masalah, Islam mengajarkan musyawarah. Membimbing masyarakat sesungguhnya bisa dilakukan dengan cara yang indah, kalau perlu jangan sampai diketahui orang bahwa ia sedang ditegor. Deklarasi itu dengan kata lain tidak nyunnah (mengikuti Sunnah Nabi), Islam mengajarkan kalau ada masalah pecahkan dengan musyawarah bukan dengan deklarasi.55 Kekhawatiran akan merusak citra Islam itu sendiri juga diungkapkan oleh yang lain. Dikhawatirkan penerapan Syari’at Islam akan menghasilkan feedback yang buruk. Kita akan ditertawakan karena tidak akan sanggup melaksanakan Islam secara kaffah. Kewibawaan Syari’at Islam akan jatuh kalau umat Islam bersemangat menerapkan Syari’at Islam sementara mereka sendiri tidak sanggup melaksanaknnya. Karenanya, bagi Sofwy Irvan, mantan aktifis PII dan Direktur PT. Radio Reka Kharisma Swara (REKS), sebuah radio swasta di kota Garut, yang lebih penting sebetulnya adalah menerapkan pedoman hidup Islam (PHI). PHI ini lebih sebagai suatu sikap hidup Muslim. Pedoman itu bisa dilaksanakan bila aparatnya sudah diberikan pengertian-pengertian Islam secara gradual, bertahap. Syari’at kan hukum dan itu harus dijalankan secara utuh. Dari acara Bianglala (acara dialog, masukan dan kritik masyarakat terhadap pengelola pemerintahan Garut) di radio yang diasuhnya, Sofwy mendapatkan kesan masyarakat sangat antusias dengan Syari’at Islam, tetapi mereka ragu bahwa dengan Syari’at, Islam akan tegak. Masyarakat banyak mengharapkan pemberantasan praktek pelacuran, narkoba dan perjudian secara tuntas karena sekarang sudah ditegakkan Syari’at Islam. Kalau kita sendiri tidak sanggup, akhirnya kita jadi malu sendiri. Masyarakat memang tidak punya solusi. Bagi Sofwy lebih baik menjalankan pedoman hidup Muslim.56 Keadilan adalah syarat ditegakkannya hukum. Rasulullah mengatakan kalau Fatimah, anaknya, akan dipotong tangannya kalau mencuri, itu dilaksanakan dalam tatanan masyarakan yang sudah adil. Zaman sahabat, kasus orang yang mencuri dimenangkan dipengadilan karena golongan masyarakat kaya menumpuk kekayaannya dan tidak memberikan sedekah kepada yang miskin. Hukum menjadi tidak berlaku dalam masyarakat yang tidak adil. Bagi mantan pengurus Ikadin yang anggota DPW PAN Jawa Barat ini, masyarakat dan pemerintah belum siap melaksanakan Syari’at Islam. Baik dari aspek konsep, hukum, aparat, jaksa, hakim dan pengacaranya semuanya belum siap. Padahal, ketika penerapan Syari’at dideklarasikan, hukum itu harus dilaksanakan.57 Bagi Sofwy, hukum nasional sudah cukup. Yang penting untuk 36 diprogramkan adalah menegakkan keadilan dan law-enforcement. Pencuri baru dua hari sudah dikeluarkan dan koruptor bisa bebas karena adanya protek yang kuat. Undang-undang yang ada sebetulnya sudah bagus, tapi dalam hal sistem pemilu harus dirubah oleh pemilihan langsung dari tingkat presiden sampai bupati. Desa sudah memberi contoh, aspirasi rakyat tertampung dengan baik. Dari seluruh responden, kelompok yang kontra deklarasi seperti ini adalah minoritas dan tampaknya mereka tidak terlalu bersuara disebabkan beberapa pertimbangan: Pertama, masalahnya sensitif. Karena persoalan sensitif, menunjukkan ketidaksetujuan secara terbuka bisa memunculkan salah faham. Misalnya, kekhawatiran bahwa kadar keislamannya akan dipertanyakan. Padahal, persoalannya adalah perlu tidaknya formalisasi agama. Sensitifitas keagamaan ini mudah muncul dihadapan dua kelompok masyarakat: awam dan mayoritas. Kedua, adanya kompromi dan pergeseran orientasi. Pelaksanaan Syari’at Islam tentu harus konsisten menyangkut seluruh aspek hukum Islam termasuk jinayah seperti hudud, qishash dan rajam yang belum tentu relevan diterapkan untuk kondisi Indonesia sekarang. Tetapi, karena intensifnya dialog antara kelompok KPSI, pemerintah dan DPRD akhirnya disepakati penerapan Syari’at Islam perlu melalui beberapa tahap dan tahapan awal adalah program sosialisasi melalui LP3SyI dan menekankan hal-hal yang sifatnya penyadaran dan ritual. Akhirnya, program yang disepakati bukan deklarasi pemberlakuan Syari’at Islam secara langsung dan total tetapi aspek-aspek ritual dan penyadaran individu terlebih dahulu. Ketiga, kecilnya dukungan. Kecilnya dukungan ini disadari tidak berarti apa-apa untuk mengungkapkan ketidaksetujuan dan sikap kontra, apalagi fokus penerapan Syari’atnya sendiri sudah mengalami pergeseran. Kekecewaan Sosial Politik Yang pertama-tama ditemukan dan nampak di balik ide pemberlakukan Syari’at Islam di Garut adalah kekecewaan dan frustrasi umat Islam terhadap berbagai persoalan sosial-politik-ekonomi yang mendera tanpa reda. Dengan kata lain, bukan sebagai gerakan terprogram yang langkah-langkahnya tersusun jelas, disiapkan secara sistematis dan konsepsional untuk membangun sebuah sistem masyarakat Islam vis a vis sistem sekuler Barat. Syari’at Islam dihadirkan lebih sebagai jawaban tiba-tiba, kata putus atas ketidakmampuan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial kontemporer dalam konteksnya yang relevan. Deklarasi didahulukan, konsep dan kemungkinan pemberlakuannya difikirkan kemudian. Islam sebagai kata putus misalnya terlihat jelas dari trigger awal munculnya ide formalisasi Syari’at seperti diungkapkan Agus. Ide pemberlakukan Syari’at muncul dari rasa kecewa dan pikiran selintas dalam sebuah pertemuan yang kemudian menemukan sambutannya yang luas di masyarakat. Pengalaman aktifis HMI itu memperkuat ekspresi kekecewaannya. Dalam memperjuangkan Syari’at Islam, Agus pernah di interogasi oleh aparat 37 dan diberi peringatan agar Garut jangan sampai menjadi daerah Syari’at Islam. Ia merasa aspirasinya dibungkam. Atas pengalam ini, ia melihat adanya pembusukkan di pihak aparat negara baik di tingkat bupati, TNI, Polri dan para pamong negeri. Kekesalannya juga nampak dari tuduhan bahwa Islam sering dikonotasikan sebagai agama penjahat dan agama teroris, padahal baginya, Islam adalah satu-satunya jawaban bagi segenap krisis multidimensional bangsa. “Islam itu jawaban bukan alternatif. Kalau alternatif berarti ada pilihan yang lain. Contoh bahwa Islam adalah jawaban adalah Iran,” katanya. KH. Endang Yusuf Djunaedi, Lc, pengasuh pondok pesantren AlDjoenaidiyah Cibatu, Ketua Front Pembela Islam (FPI) dan ketua KPSI juga menyiratkan ekspresi kekecewaan ini. “KUHP kita masih produk kolonial. Bila hal ini sudah berubah dan aparatnya juga amanah, maka Insya Allah, pemerintahan pun akan berjalan baik. Dan kalau pemerintahan berjalan baik, maka keinginan untuk menerapkan Syari’at Islam pun, saya kira, tak akan muncul.”58 Rasa kecewa dan tertekan yang lama ini juga dilihat kiayi Mahdi. Lama masyarakat kita ini ditekan sejak dari Orde Lama sampai Orde Baru. Ketika diberi peluang, baru muncul. Perjuangan menegakkan Syari’at seperti ini tidak muncul pada zaman Orde Baru, artinya masyarakat kita tertekan ketika itu. Kemudian sekarang, pemerintah bersifat sekuler, di sisi lain, kita ditekan oleh negara maju karena memiliki utang yang besar. Prioritas dan Orientasi Selama ini dalam wacana keislaman nasional, sering kesulitan menemukan definisi yang seragam apa itu sesungguhnya Syari’at Islam. Lebih sulit lagi bagaimana menempatkan Syari’at Islam dalam konteks hukum nasional. Apakah yang harus diperjuangkan di Indonesia substansinya atau formalitasnya. Dari mana mulainya, apakah di bangun dari kesadaran individuindividu atau sistem yang harus diciptakan terlebih dahulu agar memiliki kemampuan memaksa umat Islam melaksanakan ajarannya secara “kaffah”? Hal ini masih menjadi perdebatan hingga sekarang bahkan ketika penerapan syari’at Islam telah dideklarasikan. Lebih sulit lagi bila motivasi menerapkannya lebih karena kekecewaan sosial politik seperti dijelaskan di atas, yang berakibat pada munculnya pandangan yang berbeda-beda tentang prioritas apa yang mesti didahulukan. Ada dua hal tentang masalah prioritas ini diantara para pendukung Syari’at Islam di Garut. Dalam wacana, perbedaan pandangan tentang prioritas tersebut cukup kuat tetapi tersimpan dalam fikiran masingmasing. Tetapi, dalam praktek, terbentuk kesepakatan untuk memprioritaskan hal-hal yang paling mungkin dulu dilakukan. Didasari oleh kesadaran perlu adanya conditioning sebelumnya dan ketidakmungkinan menerapkan syari’at secara utuh dan terburu-buru, para pendukung formalisasi Syari’at Islam seperti KH. Abdul Halim, Giom Suwarsono, KH. Endang Yusuf, KH. Muhammad Qudsi, Asep Ahmad Hidayat, Djohan Djauhari, Yosep Djauhari, Mahyar Swara, Aceng Zakaria dan lain-lain 38 mempunyai pendapat yang sama bahwa Syari’at Islam mesti dimulai dari yang kecil-kecil dulu, yang sifatnya pribadi, membangun kesadaran, baru akhirnya pelaksanaan secara sosial-politik. Menurut H. Sajidin, Ketua DPC Muhammadiyah Kabupaten Garut, pelaksanaan Syari’at Islam bisa dilakukan dengan bertahap. Pertama, di wilayah individual dulu seperti shalat, zakat, puasa, busana muslimah dan ritual lainnya. Kedua, urusan masyarakat dan pemerintahan seperti pendidikan. Pendidikan ini harus masyarakat dan pemerintah yang melaksanakannya, bukan individu. Ketiga, pelaksanaan hudud atau produk hukum. Ini oleh DPR. Kesadaran atas kesulitan dan kebelumsiapan untuk menerapkan Syari’at ini disadari oleh hampir seluruh pendukungnya. Giom Suwarsono mengatakan bahwa yang paling pokok adalah bagaimana membuat dulu masyarakat Islami. Sebab, hukum itu ada jika ada masyarakat hukum, wilayah hukum dan penguasa hukum. Nah, sekarang Syari’at Islam itu belum punya masyarakat hukum, adalah kenyataan bahwa masyarakat belum faham terhadap hukum Islam. Kalau sudah ada masyarakat, wilayah dan penguasa hukum tersebut baru bisa. Otonomi itu adalah wilayah hukum. Contohnya, Aceh kan bisa.59 Dalam Format Dasar Pelaksanaan Syari’at Islam yang dikeluarkan oleh tim penggagas syari’at Islam Kabupaten Garut disebutkan bahwa pelaksanaan syari’at Islam untuk mencapai masyarakat Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta Rahardja yang Diridhai Allah, akan dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan selama sepuluh (10) tahun berlaku sejak 2002 – 2012 (1422H – 1432H). Jangka sepuluh tahun ini dibagi ke dalam dua periode lima tahun. Pada periode lima tahun pertama, (2002 – 2007) akan diperjuangkan tercapainya wujud Garut yang mandiri, sejahtera dan Islami dan masyarakatnya mempunyai keyakinan yang kuat dan siap melaksanakan syrai’at Islam untuk tahapan selanjutnya. Pada periode lima tahun kedua, akan diperjuangkan tercapainya pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah/seutuhnya. Dalam jangka pendek lima tahun pertama, sebagai landasan pelaksanaan syari’at Islam, terdapat skala prioritas yang akan dicapai sebagai berikut: a. Penataan, pemetaan dan penelitian tentang pengenalan, pemahaman dan pengamalan syari’at Islam di lingkungan masyarakat Muslim. b. Menyusun, menjabarkan dan mensosialisasikan “FORMAT DASAR PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM kepada semua pihak (pemerintah, lembaga-lembaga Islam, Ormas-ormas Islam, LSM-LSM Islam, DKM-DKM dan masyarakat. c. Pelaksanaan publikasi, sosialisasi tentang pencanangan dan pelaksanaan syari’at Islam ke seluruh lapisan masyarakat. d. Pelaksanaan gerakan akhlakul karimah di lingkungan aparatur pemerintahan daerah (keteladanan umara). e. Pelaksanaan gerakan keluarga sakinah dan masyarakat marhamah di masyarakat. 39 f. Optimalisasi penggalian dan pengelolaan dana umat Islam melalui APBD Kabupaten Garut dan pemberdayaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZ) serta Baitul Maal. g. Penataan dan pengembangan pendidikan formal dan non-formal yang bernuansa islami, intensifikasi dakwah Islamiyah dan pelaksanaan amar makruf nahyi munkar secara terpadu. h. Meningkatkan Sumber Daya Manusia islami. i. Penggalian, pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam secara islami. j. Melakukan pengawasan secara kontinue dan intensif, melaksanakan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan. Untuk tercapainya tujuan di lima tahun pertama ini, cakupan pemberlakukan Syari’at Islam di Garut akan difokuskan pada hanya sebatas mendukung dan memperkuat pelaksanaan perda-perda yang melarang kemaksiatan, perjudian, narkoba, VCD porno, membudayakan pembayaran zakat dan lain-lain sesuai dengan kewenangan perda dan perundang-undangan Republik Indonesia.60 KH. Endang Yusuf, ketua FPI kabupaten Garut, menjelaskan bahwa pelaksanaan Syari’at disesuaikan dulu dengan kadar kemampuan masing-masing pihak. “Misalnya, ada sebuah pesantren yang hanya akan bergerak dalam bidang pendidikan, maka buat mereka komitmen pelaksanaan Syari’at Islamnya ya menggarap pendidikan saja. Tapi itu kan tidak cukup, sebab di sisi lain, hal-hal yang merusak masyarakat juga banyak seperti narkoba, kejahatan dan lain-lain, sehingga perlu ada yang melaksanakan juga nahi munkar. Jadi kita membutuhkan sistem.” Di Indonesia, seperti diakui KH. Abdul Halim, untuk penerapan jinayah atau pidana kita harus menunggu waktu yang agak lama. Karenanya yang bisa dilaksanakan di daerah-daerah, khususnya di Garut, hanya melaksanakan tahapan-tahapan seperti pegawai negeri sipil (PNS) memakai busana muslimah, shalat berjamaah, pemisahan antara siswa laki-laki dan perempuan di madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, mudah-mudahan nanti bisa di SMP dan SMU. Dari rapat-rapat yang diselenggarakan LP3SyI disepakati bahwa penerapan Syari’at Islam di Garut dilaksakan dalam berbagai bentuk. Ada yang cukup berbentuk himbauan saja oleh Bupati seperti pemakaian jilbab buat perempuan Muslimah di kantor-kantor, pelaksanaan shalat berjamaah di tempattempat kerja, pengumandangan bacaan Al-Qur’an di rumah-rumah sakit dan penempelan lafadz-lafadz do’a sehingga menciptakan suasana relijius seperti yang sudah dilakukan di rumah sakit Kristen. Ada yang mesti lewat instruksi dan ada yang mesti melalui Perda seperti zakat. Rapat yang diselenggarakan tanggal 16 Juli 2004 di Kantor Kosgoro Garut, dihadiri sekitar 30 orang LP3SyI, akan menawarkan bentuk seragam sekolah SMP dan SMA yang sesuai dengan Syari'at Islam (busana Muslimah) dan kemudian mengajukannya kepada Bupati 40 Garut untuk disahkan dan diinstruksikan pemakaiannya melalui Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Garut.61 Di sisi lain, disadari bersama bahwa Pemerintah Daerah Tingkat II atau pemerintahan tingkat kabupaten tidak memiliki wewenang membuat dan menerapkan peraturan sendiri yang berbeda dengan kabupaten lainnya. Karenanya, para tokoh penerapan Syari’at Islam di Garut seperti KH. Muhammad Qudsi, menggalang lobi dan mencari dukungan ke tokoh-tokoh Islam dari kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat agar Syari’at Islam bisa diterapkan dalam tingkat propinsi. Dalam cita-cita pelaksanaan Syari’at Islam di tingkat propinsi ini, menurut KH. Endang Yusuf, sudah terbentuk jaringan yang luas melalui jaringan ulama. Majalengka misalnya, akan mengundang “tim Garut” untuk mengetahui dan mempelajari bagaimana strategi yang diterapkan di Garut sehingga mampu melahirkan komitmen antara legislatif, eksekutif dan yudikatif mendukung sepenuhnya penerapan Syari’at Islam. Dukungan terhadap Syari’at Islam di Garut, menurut Endang Yusuf, dapat dikatakan paling kuat dibanding dengan daerah lain seperti Cianjur misalnya. Di Cianjur yang mendukung hanya eksekutif, sedang legislatifnya tidak. Hal ini menjadi ganjalan tersendiri. Terbentuknya jaringan ulama ini terlihat dari upaya yang sudah dilakukan KH. Muhammad Qudsi, pimpinan pondok pesantren Suci, Wanaraja Garut. Kiayi Qudsi tidak hanya berjuang untuk penerapan Syari’at Islam di Garut saja. Ia mendatangi DPR untuk mengusulkan perubahan pembukaan dan amandemen UUD 1945, memasukkan Piagam Jakarta dan mengusulkan perubahan pasal-pasal yang dirasakan bertentangan dengan Islam dan aspirasi para ulama. Kiayi Qudsi berhasil membawakan suara dari hampir seluruh kabupaten di Jawa Barat. “Saya sudah membawakan suara para ulama dari Ciamis, Tasik, Garut, Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, DKI Jakarta, Tanggerang, Serang, Kerawang, Bekasi, dan Pandeglang sebanyak 138 ulama, untuk mengajukan perubahan Pembukaan UUD 45 pada 13 Juli 2000. Saya keliling, saya datangi semua kiyai itu.”62 Tapi persoalan sosial masyarakat, sumber daya manusia, tingkat pendidikan dan tingkat pemahaman keagamaan di seluruh kabupaten Garut relatif sama. Misalnya, jumlah Muslim mayoritas tetapi berada dalam pluralitas pemahaman, perbedaan kelompok, perbedaan orientasi politik dan kepentingan. Semua ini tentu berpengaruh pada usaha penerapan Syari’at Islam dan akhirnya, sebagaimana di Garut, fokus dan orientasi mesti diarahkan pada hal-hal yang sifatnya individual dan dakwah penyadaran bukan pemaksaan. Kesulitan-kesulitan teknis tersebut akhirnya menggiring pola penerapan Syari’at Islam dari yang sifatnya struktural ke kultural yaitu penciptaan suasana relijius. Dengan kata lain, akhirnya gerakan penerapan Syari’at Islam di Garut bergeser kepada hal-hal yang sifatnya tidak substansial yaitu berawal atau “berujung” pada sebuah gerakan himbuan moral seperti anjuran pemakaian kerudung dan membiasakan shalat berjamaah di kantor-kantor, tidak berjualan 41 pada saat shalat jum’at dan pada bulan ramadhan, tidak menghiasi obyek-obyek pariwisata dengan service perempuan dan sejenisnya.63 Dengan kata lain, sejauh ini, setelah dua tahun proklamasi penerapan Syari’at Islam di kabupaten Garut, gerakan tersebut masih dan tak lebih dari sekadar ramai-ramai simbolisasi Islam.64 Berujung hanya pada simbolisasi Islam, artinya sebagai sebuah gerakan politik, para pengusung tegaknya syari’at Islam di Indonesia gagal menggapai cita-citanya. Dalam konteks ini, barangkali fenomena gerakan syari’at Islam hanya membenarkan tesis Oliver Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam (1996). Menurut Roy, dewasa ini gerakan Islam politik di negeri-negeri Muslim hanya membawa berbagai perubahan superfisial di bidang hukum dan adat. Islamisme, belakangan telah berubah menjadi tipe neofundamentalisme yang hanya peduli pada penegakkan syari’at tanpa mampu menciptakan bentukbentuk politik yang baru. Islamisme muncul hanya untuk berperan sebagai selubung saja bagi logika politik yang tidak berhasil dijabarkannya.Wallahu a’lam!![] CATATAN KAKI Lihat Situs Tokoh Indonesia. Com. Yusril menyeru, “tidak akan surut sedikit pun dari pendiriannya memperjuangkan Piagam Jakarta secara demokratis dan konstitusional untuk dimasukkan dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sehingga bunyinya menjadi, ‘negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’ 2 Dalam deklarasi penerapan syari’at Islam di Garut yang dibacakan tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002 ketuga unsur kekuatan politik turut menandatangi naskah proklamasi. 3 Garut adalah sebuah kabupaten yang terletak di Priangan Timur Propinsi Jawa Barat, dengan luas areal kira-kira 306.519 Ha (3.065,19 km²) atau sebesar 6,94% dari luas wilayah Jawa Barat. Kabupaten Garut terdiri dari 31 kecamatan (sedang dimekarkan menjadi 37 kecamatan) dan 403 desa. Secara administratif masuk ke wilayah V Priangan. Posisi kabupaten ini, di barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung, di utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, di sebelah Timur dengan Kabupaten Tasikmalaya dan di selatan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. 4 Sulaeman Anggrapraja, Sejarah Garut dari Masa ke Masa, hal. 150. 5 Ibid, hal. 135-136. 6 Kunto Sofianto, Garut Kota Intan. Sejarah Lokal Kota Garut sejak Zaman Kolonial Belanda hingga Zaman Kemerdekaan, Alqaprint Jatinangor Bandung, hal. 16. 7 Ibid, hal. 18. 8 L.W.C van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, INIS, Jakarta, 1989, hal. 72. 9 Ibid, hal. 68 10 Op-cit, hal. 17. 11 Website resmi Pemda Garut: www.garut.go.id 1 42 12 Pertumbuhan cukup tinggi bila melihat perkembangan penduduk per-kecamatan dalam kurun 1990-2000. Kecamatan Karangpawitan misalnya mencapai pertumbuhan sebesar 2,42 persen, Cibalong rata-rata sebesar 2,32 persen, kecamatan Cikajang rata-rata sebesar 2,2 persen dan kecamatan Tarogong serta Bayongbong masing-masing sebesar 2,05 persen (lihat Tabel 2). Sementara itu, tingkat persebaran penduduk juga cukup besar. Besarnya prosentase persebaran ini terjadi ke wilayah-wilayah yang lebih kota karena alasan fasilitas perumahan. Persebaran penduduk yang lebih banyak pada tahun 2000 terjadi di kecamatan Tarogong sebesar 6,50 persen, kecamatan Garut Kota sebesar 5,61 persen, kecamatan Samarang sebesar 5,53 persen, Bayongbong dan Cisurupan masingmasing 5,29 persen. Persebaran penduduk berakibat pada kepadatan penduduk di suatu daerah. Kepadatan penduduk di kabupaten Garut setiap tahunnya mengalami peningkatan dan difasilitasi oleh arus urbanisasi, kepadatan terkonsentrasi di wilayahwilayah perkotaan. Tahun 1980, kepadatan mencapai 496 orang per km², tahun 1990 menjadi 585 orang per km², dan pada tahun 2000 menjadi 686 orang per km². Kecamatan terpadat di kabupaten Garut terdapat di kecamatan Garut Kota dengan penduduk sebanyak 4.830 orang per km² dalam luas wilayah yang hanya 23,81 km². Sementara itu kecamatan Tarogong, daerah pusat pemerintahan kabupaten Garut, berpenduduk 2,205 orang per km² dalam luas wilayah 60,50 km² (lihat Tabel 2). 13 Pikiran Rakyat, 10 September 2002. 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Angka ini kemungkin besar didata hanya dari sarjana yang tinggal di Garut. Sejumlah sarjana asal Garut yang kuliah diluar Garut tidak kembali lagi ke daerah asalnya sehingga jumlah sarjana yang terdata hanya penduduk Garut yang kuliah di Garut dan menetap, ditambah mereka yang kuliah di luar Garut dan setelah sarjana kemudian kembali dan menetap di kota dodol itu. 17 Pikiran Rakyat, 11 September 2002. 18 Wawancara tanggal 16 September 2002 dengan Kasi Pergurais Kandepag Garut, H. Abdul Mu’in, S.Ag. 19 Ada banyak “pintu” untuk bisa masuk ke khususnya dua gerakan yang disebut terakhir, yang di Indonesia cenderung masih tertutup dari akses publik. Dari beberapa responden yang diwawancarai, penulis menemukan dua orang yang menjamin bisa membawa ke kelompok ini. 20 Data Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Agustus 2002. 21 Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Januari 2002. 22 Data Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Kependudukan (Disnakersosbud) Kabupaten Garut, Juli 2002 23 Priangan, 7 Juli 2001 dan Priangan, 12 Juli 2002. 24 Priangan, 9 Juli 2002. 25 Aqib Suminto, ‘Peristiwa Garut 1919, Titik Balik Kejayaan Sarekat Islam,’ Majalah Prisma 11, 1984, hal. 90. 26 Ibid. 27 Ibid, hal. 91. 43 28 Ajip Rosidi dkk, Ensiklopedi Sunda. Alam, Manusia dan Budaya termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, Pustaka Jaya, 2000, hal. 712. 29 Ibid, hal. 713. 30 C. Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Grafiti Pers, Cetakan III 1993, hal. 9. 31 Ibid, hal. 10. 32 Kahin, Nationalism and revolution in Indonesia, Ithaca (New York), Cornel University Press, 1970, hal. 234. 33 Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Aryaguna, Jakarta, 1964. 34 C. Van Dijk, Darul Islam... , hal. 92-95. 35 Wawancara tanggal 16 September 2002 dengan Kasi Pergurais Kandepag Garut, H. Abdul Mu’in, S. Ag. 36 Ada banyak “pintu” untuk bisa masuk ke khususnya dua gerakan yang disebut terakhir, yang di Indonesia cenderung masih tertutup dari akses publik. Dari beberapa responden yang diwawancarai, penulis menemukan dua orang yang bisa membawa ke kelompok ini. 37 Data Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Agustus 2002. 38 Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Januari 2002. 39 Yudi Latif, ‘Kebangunan Romantisisme Syariah,’ Koran Tempo, 21 Maret 2002. 40 Sejauh ini tidak ada angka pasti berapa jumlah orang yang menghadiri deklarasi tersebut. Karenanya kemudian, berbagai informasi dan kesan muncul dari berbagai pihak menggambarkan suasanan deklarasi itu. Kesan yang muncul sangat kuat dipengaruhi oleh posisi seseorang dalam pro-kontra deklarasi Syari’at Islam itu. Misalnya, dari kelompok yang pro, suasana sangat meriah dan yang hadir jumlahnya besar, mencapai ribuan. Sebaliknya menurut kelompok yang kontra, jumlah tidak sampai ribuan hanya ratusan sebab yang hadir hanya sekitar seperempat lapangan alun-alun Garut. Itu pun, tidak berarti semuanya menunjukkan dukungan, massa yang berkerumun itu sebagiannya adalah masyarakat biasa yang ingin menonton suasana deklarasi itu. 41 Menurut cerita Agus Al-Fadz, anggota KPSI, anggota HMI dan saksi deklarasi, munculnya ide Syari’at Islam di Garut sebenarnya dipicu oleh peristiwa sederhana yang terjadi di kampus Universitas Garut (UNIGA). Suatu hari ada demonstrasi menuntut dicabutnya Perda No. 6 tentang larangan perjudian dan prostitusi. Aksi demo itu digelar oleh kelompok GMNI, PRD, PPMG dan dihadiri pasukan para pedagang kaki lima (PKL). Surat tuntutannya ditandatangani oleh Fraksi PDI-P. Para aktifis Islam kemudian merespon aksi itu dengan mengadakan rapat di sekretariat HMI Cabang Garut. Dalam rapat, sebagian ingin mengukuhkan Perda tersebut, sebagian lagi menginginkan langsung melemparkan ide yang lebih besar yang sedang aktual di kalangan umat yaitu Pemberlakuan Syari’at Islam. Gayung bersambut. Setelah sosialisasi, persetujuan datang dari beberapa kalangan Islam lain. Sejak itulah ide Syari’at Islam menggema di Garut. Wawancara tanggal 28 Juni 2002. 42 Deklarasi syari’at Islam tidak otomatis berhubungan dengan gagasan dan cita-cita negara Islam. Kata “negara Islam” atau “Negara Islam Indonesia” (NII) –hampir di semua daerah yang berjuang menerapkan tegaknya syari’at Islam pasca Orde Baru— tidak pernah ditemukan. Ini menunjukkan bahwa kesetiaan masyarakat Islam terhadap 44 Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak tergganggu. Bayangan penerapan Syari’at Islam tidak disertai oleh imajinasi menegasikan dan meniadakan negara Republik Indonesia yang sah. Ini menunjukkan bahwa ide syari’at Islam adalah ide yang muncul dalam konteks yang sudah sangat jauh berbeda dengan ide Negara Islam yang dicetuskan Kartosuwiryo tahun 1940-50an. Berbeda dengan kondisi masa revolusi, ide syariat Islam muncul dalam konteks kehidupan kenegaraan yang sudah kuat. 43 Wawancara dengan Drs. Asep A. Hidayat, 20 Juni 2002. 44 Entah diinspirasikan secara sadar atau tidak, Dewan Imamah ini adalah istilah yang digunakan oleh gerakan Darul Islam (DI) di Garut sebagai kabinet/dewan dalam Negara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Imam. Dewan Imamah ini adalah salah satu institusi selain Majelis Syuro, Dewan Syuro dan Dewan Fatwa dalam Darul Islam. Anggota Dewan Imamah ini bertanggung jawab kepada Imam dan Majelis Syuro. Van Dijk, hal 83-84. 45 Wawancara tanggal 30 Juli 2002. 46 Pada awalnya, kesan yang muncul dari beberapa orang anggota KPSI yang curiga, pembentukan LP3SyI ini dirasakan merupakan penggiringan dan “pengkarantinaan” aspirasi penerapan Syari’at Islam. Hal ini misalnya terlihat dalam naskah proklamasinya yang berbunyi: “Kami sepakat mendeklarasikan penegakkan dan penerapan Syari’at Islam melalui Lembaga Pengkajian Penegakkan dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI) Kabupaten Garut”. Kesan ini diperkuat oleh keanggotaan LP3SyI terlalu beragam termasuk yang tidak berkepentingan. Akhirnya, oleh para pendukung Syari’at Islam yang tergabung dalam KPSI, LP3SyI dirasakan berjalan lamban. Kecurigaan mereka menemukan pembenarannya. Rapat LP3SyI yang membahas struktur kepengurusan, program kerja, pedoman dasar dan lain-lain baru diselenggarakan tujuh bulan kemudian setelah deklarasi yaitu bulan Nopember 2002. Selama dua tahun LP3SyI parktis tidak bergerak menghasilkan kegiatan-kegiatan yang signifikan. Rapat yang merupakan realisasi program yang dirancang tahun 2002 baru diselenggrakan dua tahun kemudian yaitu 16 Juli 2004 tentang usulan seragam sekolah. 47 Pengertian “mayoritas” disini bukan berarti seluruh umat Islam se-Garut, melainkan mayoritas tokoh-tokoh Islamnya. Lebih tepat lagi, mayoritas dari mereka yang dihubungi dan dijadikan sebagai sumber wawancara 48 Keluarga Musaddadiyah ini perlu diberikan catatan. Keluarga kiyai besar ini sangat dihormati oleh masyarakat Islam Garut. Jumlah putra Pak Musaddad sekitar 8 orang. Diantara 8 itu, yang paling menonjol adalah dua orang yaitu KH. Abdul Halim dan KH. Tontowi Musaddad. Yang pertama aktif berperan dalam berbagai kedudukan: Ketua STAIN Musaddadiyah, Ketua MUI Garut, Ketua Dewan Imamah dll, sedangkan yang kedua adalah pengasuh pondok pesantren Al-Wasilah Tarogong. Kedua pribadi ini bertolak belakang pendiriannya dalam hal deklarasi Syari’at Islam. KH. Abdul Halim yang dikenal teguh pendirian sangat mendukung pemberlakuan Syari’at Islam karena baginya merupakan kewajiban yang tidak bisa tawar-tawar. Sementara KH. Tontowi menolak diberlakukan Syari’at Islam secara formal. Bagi Tontowi, penerapan Syari’at Islam tidak bisa dipaksakan dan perlu waktu yang lama untuk menerapkannya agar sesuai dengan kondisi masyarakat. 49Tidak ada data tentang prosentase apalagi jumlah angka dukungan atau penolakan dari mereka yang bekerja di birokrasi pemerintahan Pemda Garut. Bila sikap birokrasi kabupaten diwakili oleh pimpinan tertingginya yaitu Bupati, maka sikap dasar Bupati 45 sendiri --seperti diceritakan seorang responden yang dekat dengan Bupati-- sebenarnya tidak setuju dengan deklarasi. Ia lebih mementingkan substansi ajaran Islam. Penerimaan Bupati terhadap tuntutan Syari’at Islam karena terdesak dan lebih merupakan sikap politik untuk menyahuti aspirasi Islam. Dibentuknya LP3SYI sendiri dianggap sebagai keberhasilan Bupati menuntun para pendukung formalisasi Syari’at Islam pada penerapan tidak langsung. Informasi ini dikuatkan oleh wawancara langsung dengan Bupati dikantornya tanggal 2 Juli 2002. Ia menekankan Syari’at Islam lebih pada pengamalan pribadi dulu dan proses penyadaran masyarakat bukan pada formalisasi. 50 Menurut responden Asep Ahmad Hidayat, dosen IAIN Sunan Gunung Djati Bandung yang mantan pengurus PB. PII dan anggota KPSI, dalam konteks penerapan Syari’at Islam, NU di Garut terbagi kepada dua kelompok yaitu “NU Garut” dan “NU Gus Dur.” NU Garut adalah kelompok NU yang pandangannya sesuai dengan mainstream umat Islam Garut, mereka inilah yang mendukung Syari’at Islam. Sedangkan NU Gus Dur diklaimkan kepada tokoh-tokoh NU yang beraliansi, dekat atau memiliki pandanganpandangan yang serupa dengan Gus Dur. Mereka ini menolak formalisasi Syari’at Islam di Garut. 51 Wawancara dengan Drs. Djohan Djauhari, SH tanggal 25 Juni 2002. 52 Wawancara dengan Drs. Yosep Djuanda, SH tanggal 5 Juli 2002. 53 Wawancara tanggal 3 Juli 2002. 54 Wawancara tanggal 2 Juni 2002. 55 Ibid. 56 Wawancara tanggal 28 Juni 2002. 57 Wawancara tanggal 28 Juni 2002. 58 Lalu KH. Endang mencontohkan buruknya aparat pemerintah dengan kasus yang terjadi di Depag Garut soal pemotongan dana kesejahtreraan guru. “Dari pemerintah sudah turun BKG (Biaya Kesejahteraan Guru) sekian milyar, saat guru sedang sekarat menunggu perbaikan nasib, uang itu malah sampai sekarang belum dibagikan atau belum sampai ke bawah. Sebagian ada yang sudah dibagikan tetapi mengalami pemotongan. Semestinya setiap guru menerima Rp. 450.000 (Rp. 75.000/bulan x 6 bulan), tapi hanya menerima Rp. 380.000. Nah, ini Departemen Agama tapi kok seperti ini, gimana ini? Hal ini disebabkan oleh akidah aparat kita yang lemah. Kalau akidahnya kuat mereka, Insya Allah, mereka tidak akan berani memotong yang bukan haknya, mengambil hak orang lain dsb.” 59 Wawancara dengan Giom Suwarsono tanggal 30 Juli 2002. 60 Wawancara dengan Asep A. Hidayat, 20 Juni 2002. 61 Menjadi anggota LP3SYI tampaknya tidak berarti memiliki ide yang sama atau selalu terjadi kesepakatan bulat tentang sebuah keputusan. Rapat itu misalnya diwarnai pro kontra kecil tentang perlunya pakaian sekolah ditekankan. Beberapa peserta rapat merasa tidak terlalu penting menekankan pakaian, yang lebih penting adalah substansinya yaitu perbaikan akhlak di kalangan pelajar. Seragam hanyalah formalitas. Tapi, dominasi orang tua (senioritas) dalam rapat sangat tampak. Yosep Jauhari sebagai pemimpin rapat selalu mengarahkan rapat pada kesepakatan. 62 Wawancara tanggal 4 Juli 2002. 63 Sejak dideklarasikan, Bupati Garut mengeluarkan himbauan agar para karyawati Pemda memakai kerudung saat kerja di kantor dan ini sudah berjalan hingga sekarang. Yang menarik adalah di tempat pariwisata seperti Cipanas Garut. Menyadari sulitnya – 46 paling tidak hingga saat ini-- memisahkan antara parawisata dengan praktek-praktek prostitusi, di Cipanas –salah satu primadona pariwisata Garut—yang bisa dilakukan hanya menghimbau agar perempuan-perempuan pemuas syahwat tidak berkeliaran, agar lebih tertib, dan tetap menjaga hak privacy para tamu yang membawa pasangannya. 64 Bahkan hanya untuk simbolisasi Islam pun, sampai sekarang belum nampak hasilnya. Suasana Kota dan Kabupaten Garut tahun 2002 dengan tahun 2004 tidak ada perkembangan apa-apa dalam hal simbol-simbol Islam, tidak terlihat adanya simbolsimbol (berupa tulisan, peringatan, ganmbar-gambar dll) yang meriah yang menandakan bahwa Garut sekarang sedang dalam proses memberlakukan syari’at Islam. 47