M I QOT
Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
Daftar Isi
Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan tentang Tuhan
Hadis Purba
209-226
Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut al-Ghazâlî
M. Yasir Nasution
227-241
Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf
Said Aqil Siradj
242-257
Philosophical Arguments of Bodily Resurrection: Reconsidering Mullâ
Shadrâ’s Eschatological Thought
Saleh P. Daulay
258-275
Hermeneutika Fazlur Rahman: Upaya Membangun Harmoni Teologi,
Etika, dan Hukum
Syamruddin
276-294
Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
Suaidi Asyari
295-313
Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
Rozalinda
314-330
Dilema Skim Murabahah pada Perbankan Syariah
Syukri Iska
331-349
Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM pada Masa Rasulullah SAW.
Ikhwan
350-371
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Hudûd dan HAM: Artikulasi Penggolongan Hudûd Abdullahi Ahmed
an-Na`im
Dedy Sumardi
372-390
Fatwa of the Council of the Indonesian Ulama on Golput (Vote Abstention):
A Study of Contemporary Islamic Legal Thought in Indonesia, 2009
Bahrul Ulum
391-406
Islam, Etnisitas dan Politik Identitas: Kasus Sunda
Abdul Syukur
407-426
PERSPEKTIF ANAK JALANAN MUSLIM DI KOTA MEDAN
TENTANG TUHAN
Hadis Purba
Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371
e-mail: hadispurba_62@yahoo.com
Abstrak: Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki fitrah bertuhan dan
memerintahkan mereka senantiasa konsisten dengan fitrahnya, dan hal ini tidak
terkecuali dengan anak jalanan. Sebagai generasi penerus Islam, idealnya anak jalanan
harus konsisten dengan fitrahnya, yaitu meyakini keberadaan, keesaan dan sifatsifat-Tuhan. Tulisan ini berupaya meneliti tingkat keberagamaan anak jalanan
Muslim di kota Medan. Penelitian kualitatif deskriptif ini membuktikan bahwa
kendati masih mengakui eksistensi Tuhan, mayoritas anak jalanan Muslim tidak
pernah memikirkan dan bahkan ada yang meragukan keberadaan Tuhan dan sifatsifatnya karena dianggap tidak membantu meminimalkan penderitaan yang mereka
alami. Beribadah dan berdoa adalah perkerjaan sia-sia sekaligus merepotkan, karena
tidak menghasilkan uang dan kesenangan. Kondisi ini semakin memprihatinkan
tatkala masyarakat Islam tidak memberikan pembinaan keagamaan kepada mereka.
Abstract: The Perspective of Street Child on God in the City of Medan.
According to Islamic teaching, every man naturally believes in the divine will that
directs them to be consistent with this nature, and in this respect, the case of
street child is not an exception. This writing attempts to study the rate of religiosity
of Muslim street child in Medan city. This qualitative and descriptive study reveals
that although still believe in the existence of God, the majority of the children never
think and some even doubt the existence of God and His Characteristics due to
the assumption that they have never benefited from his grace in minimizing the
problems being faced. Ritual and prayers cause a fuss and considered to be useless
acts because it produced neither money nor happiness, and worse still, the Muslim
community did not provide religious guidance for them.
Kata Kunci: anak jalanan Muslim, Tuhan, kota Medan
Pendahuluan
Setiap orang menginginkan seorang anak sebagai pelanjut keturunan dan penyambung
209
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
cita-cita mereka. Namun, tercapai atau tidak tercapainya suatu cita-cita perjuangan orang
tua sangat tergantung pada anak mereka, dan kualitas anak-anak mereka sebagai penerus
cita-cita perjuangan tersebut.1 Anak-anak yang mampu melanjutkan cita-cita orang tua,
bahkan cita-cita suatu bangsa, adalah anak yang memiliki sumber daya bersaing yang tinggi
seperti berbadan sehat dan kuat, terampil, berpendidikan, bercita-cita tinggi, berakhlak mulia,
taat kepada peraturan Allah SWT. dan rasul-Nya, serta memahami Tuhan sebagai pencipta
segala keberadaan.2 Untuk memperoleh generasi seperti itu, maka negara, masyarakat dan
orangtua harus menjamin terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan anakanaknya, serta memberikan perhatian, perlindungan, pendidikan dan memenuhi kebutuhan
spiritual anak-anak tersebut secara utuh, seimbang dan berkesinambungan.
Meskipun perlindungan anak sudah diatur dalam bentuk Undang-Undang, dan
pendidikan anak telah diatur dan diprogramkan oleh pemerintah melalui program wajib
belajar 9 tahun, realitas menunjukkan bahwa tidak semua orang tua mempersiapkan
anak-anak mereka dengan baik. Banyak orang tua, baik secara sengaja maupun tanpa sadar,
telah menjadikan anak-anak mereka sebagai pekerja, bahkan anak jalanan. Buktinya adalah
banyaknya anak-anak yang mengisi setiap sudut persimpangan jalan dan traffic light.
Masalah krusial bagi mereka yang hidup di jalanan ini adalah mereka yang tergolong
usia muda. Seharusnya, mereka tidak berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi
mereka harus membekali diri mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan untuk
masa depan mereka. Sebab, mereka adalah harapan bangsa. Karena itu, idealnya mereka
harus diberikan berbagai kemampuan, baik kemampuan fisik maupun psikis/spiritual.
Semestinya, mereka mengeyam pendidikan terlebih dahulu dan menggapai cita-citanya,
tanpa harus berjuang memperoleh rezeki. Kenyataan bahwa semua ini tidak bisa mereka
dapatkan, maka anak jalanan selalu berpikir economic oriented (berorientasi kepada pencarian
harta), tanpa memikirkan aspek-aspek lain seperti aspek mental spiritual.
Munculnya kelompok anak jalanan di kalangan masyarakat, selain disebabkan oleh
faktor problema kehidupan sosial seperti keadaan ekonomi, pendidikan, dan keluarga,
juga sangat dimungkinkan dilatari oleh faktor pandangan mereka tentang Tuhan. Sebab,
teologi berfungsi sebagai pemberi arah dan alat kontrol kehidupan manusia. Artinya,
seseorang akan menghindarkan diri dari menjadi anak jalanan, apabila mereka memiliki
perspektif yang benar tentang Tuhan. Jadi, perspektif seorang anak jalanan akan dapat
menjadi faktor untuk terjun menjadi anak jalanan.
Selanjutnya, pengalaman hidup menjadi anak jalanan dan kondisi lingkungan akan
dapat mempengaruhi perspektif mereka tentang Tuhan itu. Dengan demikian, perspektif
tentang Tuhan, dan status sosial menjadi anak jalanan memiliki hubungan timbal balik.
Karena itu, masalah ini sangat menarik untuk dikaji dalam penelitian ini.
Syahminan Zaini, Arti Anak bagi Seorang Muslim (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.), h. 10.
Ibid.
1
2
210
Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
Secara teoretis, Islam menginformasikan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan
fitrah. Salah satu fitrah manusia tersebut adalah fitrah bertuhan. Fitrah bertuhan ini telah
diinformasikan al-Qur an dalam berbagai ayat, antara lain:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. alRûm/30: 30)
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku
ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (Q.S. al-A râf/
7: 172)
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT. menciptakan manusia secara
sempurna, dan manusia lahir dalam keadaan fitrah. Allah SWT. menghendaki agar manusia
tetap selalu berada pada fitrahnya. Fitrah dimaksud antara lain adalah fitrah beragama
dan bertuhan. Fitrah bertuhan, dengan mematuhi segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya, sudah merupakan perjanjian antara manusia dengan Tuhan, ketika ruh
manusia masih berada di alam lauh al-mahfûzh.
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,
yaitu beragama Islam. Dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dalam bab al-Janâ iz, disebutkan:
3
Sesungguhnya Abû Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda bahwa
setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanya-lah yang menjadikannya
seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi.
Muhammad ibn Ismâ îl Abû Abd Allâh al-Bukhârî al-Ja fî, Shahîh al-Bukhârî, ditahqîq oleh
Mushthafa Dîb al-Bigâ, Juz V (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), h. 143.
3
211
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Dengan demikian, setiap manusia memiliki naluri beragama dan ketuhanan. Dalam
perjalanan hidupnya, setiap manusia akan selalu membutuhkan dan memiliki ketergantungan
kepada-Nya. Perilaku ini sudah merupakan fitrah bagi semua manusia, tanpa kecuali. Akan
tetapi, fitrah bertuhan pada manusia sering mendapat gangguan dan rintangan, sehingga
fitrah tersebut semakin menipis, berkurang, rusak, bahkan menyimpang. Dalam konteks
inilah diyakini bahwa anak jalanan, sebagai manusia, memiliki naluri ketuhanan tersebut.
Meskipun setiap manusia memiliki fitrah bertuhan, tidak semua fitrah tersebut berkembang secara baik dan benar, sehingga terjadi penyelewengan terhadap fitrah tersebut.
Dalam konteks ini perlu disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang memberikan pengaruh
terhadap fitrah bertuhan dalam diri manusia, antara lain adalah lingkungan sosial, keadaan
ekonomi keluarga, dan pendidikan. Semua faktor ini membuat setiap manusia memiliki
perbedaan keyakinan tentang Tuhan, dan cara berinteraksi dengan-Nya. Sebab itulah,
banyak sekali corak pemahaman manusia tentang konsep Tuhan. Sepanjang sejarah, ada
beberapa jenis kepercayaan manusia kepada Tuhan, antara lain adalah Dinamisme, Animisme,
Politeisme, Henoteisme, Monoteisme Deisme, Monoteisme Teisme, Ateisme, dan Agnostisisme.4
Setiap paham ini memiliki konsep berbeda tentang Tuhan.
Tidak setiap manusia memang belum tentu memiliki status sosial yang tinggi,
sebab ternyata sebagian manusia menyandang status sosial yang rendah, misalnya anak
jalanan. Para ahli telah banyak membahas masalah anak jalanan ini. Dari satu sisi, ada
beberapa istilah yang kerap digunakan untuk menunjuk kepada makna anak jalanan
seperti tekyan, kere, gelandangan, anak mandiri, dan anak 505. Untuk anak jalanan berjenis
kelamin perempuan, mereka sering disebut ciblek. Semua istilah ini menjadi istilah umum
bagi penyebutan anak jalanan.
Ada banyak definisi tentang anak jalanan. Anak jalanan biasa diartikan sebagai
mereka yang menghabiskan sebagian atau semua waktunya untuk mencari nafkah di
jalanan;5 atau kelompok anak yang tidak memiliki tempat tinggal, dan tempat tinggal
mereka adalah alam terbuka, tidak memiliki hubungan dengan keluarga lagi, dan berkeliaran di berbagai tempat seperti pertokoan, stasiun, terminal, kolong jembatan dan
taman kota;6 atau pekerja informasi yang mana mereka bekerja di jalanan; 7 atau anak
yang kegiatannya menyatu dengan jalanan kota;8 atau seseorang yang berumur di bawah
18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan mela-
Lihat Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973); Joesoef Sou yb,
Perkembangan Teologi Modern (Medan: Rimbow, t.t.).
5
Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, Laporan Pemetaan dan Survei Anak Jalanan di
Kodya Semarang (Semarang: Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, 1999).
6
Surya Mulandar (ed.), Dehumanisasi Anak Marginal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan
(Bandung: Akatiga, 1996).
7
Ibid.
8
Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, Laporan Pemetaan.
4
212
Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
kukan berbagai kegiatan tertentu untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan
hidupnya.9 Dengan demikian, anak jalanan telah dipahami secara bervariasi, meskipun
semua arti tersebut memiliki hakikat yang sama.
Usia anak-anak jalanan relatif sangat muda. Batasan usia seseorang dikatakan
anak jalanan adalah di bawah 16 tahun.10 Ada pula pendapat bahwa batas usia anak jalanan
adalah usia di bawah 18 tahun.11 Dengan demikian, jika seorang anak jalanan telah berusia
di atas 18 tahun, maka ia tidak dikatakan sebagai anak jalanan lagi.
Dari sisi lain, para ahli telah melakukan pengelompokan terhadap anak jalanan.
Ditinjau dari segi hubungan anak-anak jalanan dengan keluarganya, Sudarajat membagi
anak jalanan menjadi dua kategori, yaitu anak jalanan yang tumbuh di jalanan (children
of the street), dan anak-anak yang ada di jalanan (children on the sreet). Anak jalanan yang
tumbuh di jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh hidupnya di jalanan,
tidak memiliki rumah dan tidak pernah kontak dengan keluarganya. Umumnya mereka
berasal dari keluarga berkonflik, dan jumlah mereka sekitar 10-15 % dari jumlah anak jalanan.
Sedangkan anak-anak yang ada di jalanan adalah anak-anak yang berada sesaat di jalanan.
Anak-anak dari kategori ini dibagi menjadi dua, yaitu kelompok anak dari luar kota,
dan kelompok anak yang sesaat di jalan, dan masih tinggal bersama orang tua. Jumlah
anak-anak dari kategori kedua ini adalah 40-44 % dari jumlah anak jalanan.
Ditinjau dari segi kepentingan, anak jalanan dikelompokkan menjadi empat kelompok.
Pertama, anak yang berada di jalanan disebabkan karena mereka tidak memiliki pilihan,
karena tidak memiliki orang tua maupun keluarga asuh, sehingga mereka harus mempertahankan hidup dengan mencari nafkah di jalanan. Kelompok ini disebut Anak Tanpa
Pilihan. Kedua, anak berada di jalanan karena desakan ekonomi keluarga, di mana anak
harus ikut menopang ekonomi keluarga. Kelompok ini disebut Anak Penopang Keluarga.
Ketiga, anak berada di jalanan karena kondisi yang kurang menguntungkan, yang antara
lain karena mendapat tekanan dari orang tua dan sarana penghidupan kurang memadai.
Kelompok ini disebut Anak Kondisi Keadaan. Keempat, anak berada di jalanan karena hobi
dan senang mencari uang yang akan dipergunakan untuk membeli sesuatu. Kelompok
ini disebut Anak Iseng di jalanan.
Banyak ahli telah meneliti tentang faktor-faktor penyebab kemunculan anak jalanan.
Menurut Munandar, ada sejumlah penyebab dari fenomena anak yang bekerja antara
lain adalah tekanan ekonomi keluarga, dipaksa orang tua, diculik dan terpaksa bekerja
oleh orang yang lebih dewasa, asumsi bahwa dengan bekerja bisa digunakan sebagai sarana
bermain, dan pembenaran budaya bahwa sejak kecil anak harus bekerja.12 Dewan Nasional
Odi Salahuddin, Anak Jalanan Perempuan (Semarang: Yayasan Setara, 2000), h. 6.
Mulandar (ed.), Dehumanisasi Anak Marginal, h. 34.
11
Salahuddin, Anak Jalanan Perempuan, h. 6.
12
Mulandar (ed.), Dehumanisasi Anak Marginal, h. 177.
9
10
213
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa faktor-faktor penyebab anak
turun ke jalan adalah kemiskinan keluarga, kesibukan orang tua, penolakan masyarakat
karena cacat atau anak haram, rumah tangga yang berkonflik, dan salah satu atau kedua
orang tua meninggal dunia. Menurut Whitemole dan Sutini bahwa sebab-sebab dan latar
belakang dari anak jalanan adalah terkait dengan masalah ekonomi sehingga anak terpaksa
ikut membantu orang tua, hubungan dalam keluarga tidak harmonis, orang tua menjadikan
anak sebagai sumber ekonomi, anak-anak mengisi peluang-peluang ekonomi jalanan
secara individual maupun kelompok, dan adanya pihak yang mengorganisir anak-anak
sebagai pekerja jalanan.13 Sedangkan menurut Salahuddin, faktor penyebab kemunculan
anak jalanan adalah kekerasan dalam keluarga, dorongan keluarga, impian kebebasan,
ingin memiliki uang sendiri dan pengaruh teman.14 Namun, banyak pihak meyakini bahwa
kemiskinan adalah faktor utama pendorong kemunculan anak jalanan.
Setiap individu dan kelompok manusia biasanya memiliki karakter tertentu. Dalam
konteks anak jalanan ini, menurut Odi Salahuddin, ada enam ciri anak jalanan, yaitu cepat
tersinggung, mudah putus asa, tidak terbuka dan cepat murung, butuh kasih sayang, perbedaan
latar belakang keluarga, suku dan agama, masih sangat labil, dan mereka memiliki suatu
keterampilan.15 Umumnya, setiap anak jalanan memiliki watak seperti ini.
Anak jalanan, sebagai salah satu bentuk status sosial dalam masyarakat, memiliki
pengalaman hidup secara silih berganti. Terkadang, mereka akan senang dan bahagian,
karena memperoleh rezeki di luar harapannya. Namun terkadang, batin mereka menderita
dan tersiksa, karena dihina oleh masyarakat, atau bahkan cemburu dengan anak-anak lain
yang hidup mewah dan mendapatkan kasih dan sayang dari orang tua mereka. Tentunya,
status sosial yang mereka miliki ini akan mempunyai hubungan dengan terbentunya perspektif
tentang Tuhan dalam diri mereka.
Sebagai sebuah karya ilmiah akademik, penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama,
mengetahui faktor-faktor penyebab seseorang menjadi anak jalanan. Kedua, mengetahui
kegiatan dan pengalaman hidup anak jalanan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Ketiga mengetahui pandangan mereka tentang tuhan, baik keberadaan maupun sifat-sifatNya. Keempat, mengetahui interaksi mereka dengan Tuhan. Kelima, mengetahui pembinaan
keagamaan dari berbagai pihak terhadap anak jalanan tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, di mana data atau informasi
Bandingkan Sri Sanituti Hariadi dan Bagong Suyanto (ed.), Anak Jalanan di Jawa Timur:
Masalah dan Upaya Penanganannya (Jawa Timur: BK3ES-Depsos Tk. 1 Jawa Timur, 1999); Irwanto,
et al, Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta-Surabaya-Medan (PKPM Atmajaya dan Unicef).
14
Salahuddin, Anak Jalanan Perempuan, h. 11.
15
Ibid., h. 8.
13
214
Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
yang diperoleh kemudian dideskripsikan secara mendalam sehingga muncul makna yang
hakiki. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan yang
berkaitan dengan perspektif anak jalanan tentang Tuhan, baik secara sosiologis, psikologis
dan kultural. Pendekatan ini dipilih karena belum diketahui secara mendalam tentang
perspektif anak jalanan mengenai Tuhan. Penelitian ini diyakini akan mampu mengumpulkan
data dan menyesuaikan dengan konteks.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti berperan sebagai instrumen kunci. Peneliti mengamati
secara berulang dan mencatat data secara teliti dan sistematis, serta menganalisis data
tersebut secara induktif. Karena itu, dalam penelitian ini, setiap perilaku anak jalanan
dideskripsikan sehingga ditemukan makna dari suatu temuan.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti berusaha memahami makna perilaku manusia
secara murni dalam situasi tertentu. Karena itu, penelitian kualitatif memiliki tiga pola
yaitu: 1) berbentuk siklus yaitu prosesnya dapat dilakukan berulang-ulang, 2) membuat
catatan mengenai data, dan 3) menganalisis data yang dikumpulkan. Karena itu, dalam
penelitian kualitatif, peneliti harus berpartisipasi dengan subjek penelitian. Sehubungan
dengan keterlibatan peneliti sebagai partisipan, teknik yang digunakan untuk menghayati
sistem makna (meaning system) antara lain adalah dengan melalui pengamatan berperan
serta (partisipant observation), yaitu suatu pengamatan yang peneliti terlibat dalam penelitian
itu. Pemahaman terhadap makna perilaku anak jalanan tentang Tuhan diposisikan sebagai
objek dan subjek yang memerlukan keterlibatan langsung seorang peneliti. Demikian
juga implikasi yang ditimbulkan dari anak jalanan, baik secara historis, sosiologis, psikologis
dan kultural, memungkinkan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif.
Adapun subjek penelitian ini adalah 6 orang anak jalanan Muslim di kota Medan,
dengan usia antara 7 sampai 15 tahun, dan sudah terjun ke jalanan minimal 2 tahun,
dengan rincian sebagai berikut: Pertama, 3 orang dari kelompok anak-anak yang seluruh
waktunya berada di jalanan (children of the street), dan tidak memiliki hubungan dengan
keluarganya. Ketiga subjek ini masing-masing diberi kode COFS-1, COFS-2, dan COFS-3.
Kedua, 3 orang dari kelompok anak jalanan yang melakukan aktifitas di jalanan (children
on the street), tetapi mereka masih mempunyai hubungan dengan keluarganya. Ketiga
subjek ini masing-masing diberi kode CONS-1, CONS-2, dan CONS-3.
Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini menggunakan tiga teknik. Pertama,
melakukan wawancara mendalam dengan anak jalanan dengan usia 7-15 tahun. Kedua,
melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Sosial kota Medan.
Ketiga, pengkajian dokumen, yaitu mendapatkan data mengenai jumlah anak jalanan di
kota Medan.
Untuk memperkuat kesahihan data, penelitian ini menggunakan teknik versi Lincoln
dan Guba, yaitu keterpercayaan (credibility), bisa ditransfer (transferability), bisa dipegang
kebenarannya (dependability) dan bisa dikonfirmasikan (confirmability). Agar temuan dan
interpretasi penelitian ini dapat terpercaya, maka dilakukan sejumlah cara yaitu 1) keikut215
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
sertaan peneliti dalam aktifitas anak jalanan dilaksanakan dengan tidak tergesa-gesa,
2) ketekunan pengamatan terhadap aktivitas anak jalanan, 3) melakukan triangulasi,
yaitu informasi yang diperoleh dari beberapa sumber diperiksa silang antara data wawancara
dengan data pengamatan, dan sumber informasi yang diperoleh dari seorang informan
akan dibandingkan dengan informasi dari informan lain, 4) mendiskusikan dengan teman
sejawat yang tidak berperan serta dalam penelitian, 5) analisis kasus negatif, yaitu menganalisis dan mencari kasus yang menyanggah temuan penelitian, sehingga tidak ada
lagi bukti lain yang menolak temuan hasil penelitian, dan 6) pengujian ketepatan referensi
terhadap data temuan dan interpretasi. Kemudian, peneliti akan semaksimal mungkin
mendeskripsikan latar penelitian secara detail agar dapat menjadi acuan bagi karakteristik
latar penelitian lain yang sejenis untuk membantu menjamin tingkat transferability.
Agar data penelitian ini dapat diandalkan (dependability), maka diusahakan semaksimal
mungkin untuk konsisten dalam keseluruhan proses penelitian. Setiap aktivitas akan
dicatat dalam bentuk memo untuk membantu proses analisis data. Kamera akan digunakan
sebagai alat bantu mengumpulkan data, sedangkan alat perekam akan digunakan sebagai
alat bantu dalam menjamin keterandalan dan untuk menghindari bias interpretasi. Selain
itu, aktifitas cross-checking dan triangulasi akan digunakan dalam proses analisis data
untuk membantu usaha menjamin tingkat confirmability.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan data
sesuai dengan tujuan dan kedalaman yang menjadi fokus penelitian ini. Untuk selanjutnya,
deskripsi data tersebut akan diinterpretasikan secara lebih mendalam lagi. Metode penelitian
seperti ini diharapkan bisa menjadi cara jitu dalam memahami perspektif anak jalanan
tentang Tuhan.
Hasil dan Pembahasan
Subjek penelitian ini adalah 6 orang anak jalanan yang beragama Islam, yang
terdiri atas 3 orang dari kelompok Children on the Street, yaitu anak-anak jalanan yang
memiliki keluarga di Medan, dan 3 orang dari kelompok Children of the Street, yaitu anakanak jalanan yang tidak lagi memiliki keluarga di Medan. Anak-anak jalanan dari kelompok
pertama diberi kode CONS, dan anak-anak jalanan dari kelompok kedua diberi kode COFS.
Faktor-Faktor Penyebab Menjadi Anak Jalanan
CONS 1 adalah anak berusia sekitar 12 tahun. Ia masih memiliki kedua orang tua,
dan anak keempat dari enam orang bersaudara. Saudara tertuanya adalah perempuan
dan telah menikah, saudara keduanya juga perempuan namun tidak diketahui keberadaannya. Saudara ketiganya adalah lelaki dan tidak memiliki pekerjaan tetap, sedangkan
saudara kelima masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), dan saudara terakhir masih
berusia 3 tahun. Menurut informasi darinya, ayahnya tidak memiliki pekerjaan, dan suka
216
Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
mabuk-mabukan. Sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai tukang cuci tetangganya. Karena
penghasilan ayahnya tidak ada, dan gaji ibunya tidak mencukupi kebutuhan keluarga,
maka ia dipaksa ayahnya berjualan. Jika ia menolak dan pendapatannya kurang, maka
ayahnya sering marah-marah dan terkadang memukulinya. Karena itulah, akhirnya CONS
1 menjadi anak jalanan.
CONS 2 adalah anak berusia sekitar 15 tahun, dan seorang yatim. Ibunya adalah
seorang guru honor di sebuah SD swasta. Ia adalah anak pertama dari 4 bersaudara.
Adik-adiknya masih sekolah dibangku SD. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan
lalu lintas ketika membawa truk pengangkutan ke Jakarta sekitar 2 tahun lalu. Sejak itu
ibunya menjadi tulang punggung keluarga dengan gaji cukup kecil. Sebagai anak pertama,
ia harus membantu ibunya, dan karena tidak memiliki kemampuan tertentu, ia menjadi
anak jalanan.
CONS 3 adalah seorang anak berusia sekitar 9 tahun, anak pertama dari 3 bersaudara. Adik keduanya berusia 6 tahun dan adik bungsunya berusia 4 tahun. Ia sudah
3 tahun menjadi anak jalanan. Ibunya telah meninggal 3 tahun lalu, dan ayahnya telah
menikah lagi. Ibu tirinya suka memarahi bahkan memukulinya. Kondisi keluarga seperti
itu membuatnya tidak tahan di rumah, dan karena itulah ia mulai menjadi anak jalanan.
COFS 1 adalah anak berumur 8 tahun, seorang anak tunggal, tetapi tidak pernah
mengenal ayahnya. Dari pengakuannya, ia tertinggal di sebuah bus ketika masih balita.
Ia tidak mengetahui secara pasti alasannya, apakah sengaja atau tidak ditinggal ibunya.
Menurutnya, ia sudah ada di persimpangan lampu merah di Aksara (Medan), karena
supir bus menurunkannya. Kini, ia tidak mengetahui posisi ibunya dan dari mana asalnya.
Namun, ia masih sangat ingat wajah ibunya, dan meyakini tetap bisa mengenalinya
ketika bertemu lagi.
COFS 2 adalah seorang anak dari Nias berusia sekitar 13 tahun. Sekitar 5 tahun
lalu, rumahnya terbakar dan peristiwa kebakaran ini membuat fisiknya cacat terbakar.
Ia menjadi anak jalanan karena terpisah atau mungkin sengaja ditinggal orang tuanya.
Dari pengakuannya, ia merasa sangaja dibuang oleh orang tuanya karena dianggap
sebagai beban keluarga. Ia terpisah dari kedua orang tuanya ketika orang tuanya hendak
pindah ke tempat lain. Kini, ia tidak mengetahui keberadaan keluarganya. Akhirnya,
terpaksa ia menjadi anak jalanan, tanpa orang tua dan keluarga.
COFS 3 adalah seorang anak berusia 16 tahun. Ia adalah anak pertama dari empat
bersaudara. Ayahnya adalah seorang buruh di perkebunan kelapa sawit. Ia sudah menjadi
anak jalanan selama 7 tahun. Awalnya, ia tinggal bersama orang tuanya di Riau. Ekonomi
keluarganya serba kekurangan. Ketika berhenti sekolah dan menjadi pengangguran, ia
berteman dengan anak jalanan di daerahnya, sehingga ia terbiasa hidup di jalanan. Pada
suatu sore, ketika ia pulang dari jalanan, tanpa sengaja ia melihat sepatu tetangganya di
teras rumah, dan tanpa berpikir panjang, ia mengambil sepatu itu dan menjualnya. Beberapa
hari kemudian, tetangga tersebut mengetahui bahwa sepatu itu dicuri olehnya. Sebab itu,
217
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
orang tuanya marah dan memukulinya karena dianggap telah membuat malu keluarga.
Karena peristiwa ini, ia pergi dari rumah tanpa tujuan dan akhirnya ia pergi ke Medan menjadi
anak jalanan.
Berdasarkan informasi dari anak-anak jalanan tersebut, bisa disimpulkan bahwa
mayoritas anak menjadi anak jalanan disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang
lemah. Akibatnya, sebagian mereka terpaksa/dipaksa bekerja, dibuang dan diusir ke jalanan.
Sebagian kecil disebabkan oleh kondisi keluarga yang tidak harmonis. Karena tidak betah
di rumah, akhirnya mereka memilih hidup di jalanan. Kenyataan ini ikut menguatkan
pendapat para peneliti lain bahwa anak-anak menjadi anak jalanan dikarenakan oleh
faktor ekonomi dan keharmonisan keluarga.
Aktivitas dan Pengalaman Anak Jalanan
CONS 1 menjadi anak jalanan dengan berjualan rokok dan minuman gelas dalam
bentuk gendongan. Ia berjualan setelah pulang sekolah, dan pulang ke rumah setelah pukul
20.00 WIB. Penghasilannya setiap berjualan sekitar 25 sampai 40 ribu rupiah. Sebenarnya,
penghasilan tersebut masih kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena uang
tersebut sering digunakan oleh ayahnya untuk mabuk-mabukan.
CONS 2 menjadi anak jalanan karena gaji ibunya tidak mencukupi kebutuhan seharihari. Ia menjadi penjual asongan seperti rokok, aqua, permen dan tisu. Menurutnya, berjualan
adalah perbuatan lebih terpuji dari mengamen atau mengemis, meskipun ia pernah meminjam
gitar milik temannya sesama anak jalanan untuk mengamen. Hal itu dilakukannya karena
ia memiliki bakat memainkan musik dan menyanyi, sehingga terkadang ia ingin menyalurkan bakat tersebut. Pada awal menjadi anak jalanan, ia lebih suka menjadi pengamen,
namun ibunya melarang. Pendapatannya sehari-harinya adalah antara 30 sampai 40
ribu rupiah. Sebanyak 20 ribu rupiah dari pendapatannya diberikan kepada ibunya, 10
ribu rupiah digunakan sebagai pengeluaran selama di jalan, dan 10 ribu rupiah ditabung.
Ia punya cita-cita, jika tabungannya sudah banyak, maka ia menggunakannya sebagai
modal untuk memiliki kios lengkap dengan barang-barang jualan, menjadi pedagang
sukses, sehingga dapat membantu semua adiknya untuk melanjutkan sekolah.
CONS 3 menjadi anak jalanan karena kondisi keluarga tidak harmonis. Ia menjadi
seorang pengemis, karena tidak memiliki kemampuan apapun untuk mendapatkan uang
sebagai biaya hidup di jalanan. Ia sangat jarang pulang ke rumah, dan selalu tidur di
pelataran toko. Pada awal menjadi anak jalanan, ia selalu dimintai uang oleh seniornya
di jalanan dengan alasan untuk uang keamanan atau uang sewa tempat tidur di pelataran
toko tersebut. Karena sudah dianggap anak lama di jalanan, kini ia tidak pernah dimintai
uang lagi oleh seniornya, namun malah ikut memintai uang kepada para juniornya.
COFS 1 adalah seorang anak tanpa orang tua di kota Medan. Ia menjadi seorang
pengamen. Ia mengamen bersama seorang anak seusianya, dan mereka berada di bawah
218
Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
koordinasi seniornya di jalanan. Sebagian pendapatan mereka diberikan kepada seorang
senior, dan mereka hanya diberikan sebesar 5 sampai 10 ribu rupiah sehari. Jika pendapatan
kurang, maka ia harus berkongsi bersama temannya untuk membeli satu nasi bungkus
dan dimakan bersama-sama. Pada malam hari, ia tidur di pelataran toko di sekitar Aksara
(Medan). Menurut pengakuannya, ia sering mendapat perlakuan kasar dari para seniornya
seperti dipukul, dibentak bahkan disodomi.
COFS 2 menjadi anak jalanan karena ditinggal oleh kedua orang tuanya. Di jalanan,
ia berperan sebagai seorang pengamen. Ia malu menjadi pengemis, sebab menurutnya,
mengamen lebih baik dari mengemis, meski ia tidak memiliki suara yang bagus. Pendapatannya sehari-hari adalah 10-15 ribu rupiah. Pendapatan ini hanya cukup untuk makan
sehari saja, karena itu keesokan hari ia harus mengamen lagi untuk mencari rezeki hanya
sekadar untuk makan.
COFS 3 menjadi anak jalanan karena pergi dari rumah setelah dimarahi dan dipukul
kedua orang tua, karena telah mencuri barang milik tetangganya. Ia menjadi pengamen
bersama sejumlah temannya dan bertugas sebagai pemain gitar. Penghasilannya seharihari mencapai 15 sampai 25 ribu rupiah, dan penghasilan ini dibagi dua dengan temannya.
Dengan demikian, pada umumnya anak-anak jalanan tersebut lebih banyak memilih
pekerjaan sebagai pengamen untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menyanyikan
lagu dengan nada dan lirik seadanya. Mereka tidak mengandalkan lagu-lagu terbaik masa
kini. Alat musik yang mereka pakai juga sangat sederhana. Meski sebagian mereka sudah
memiliki gitar, namun mereka belum mahir memainkan gitar. Alat musik khas hanya
berupa kerincingan, sebuah alat musik yang terbuat dari tutup botol, atau botol aqua yang
diisi batu dan pasir.
Beberapa pendengar terkadang memberikan uang antara Rp. 500,- dan Rp. 1000,kepada mereka, tetapi sebagian pendengar sama sekali tidak berkenan memberikan uang.
Bahkan sebagian pendengar melontarkan kata-kata kasar seperti anak gembel. Fakta
ini sebenarnya lumrah, karena seperti dikatakan Khairul Amri, bahwa kehidupan publik
yang lebih mapan sulit sekali meyakini bahwa orang-orang jalanan seperti anak jalanan
bisa berlaku jujur dan bertindak benar.16 Banyak orang menganggap orang-orang jalanan
sebagai sampah bahkan kriminal. Harus diakui bahwa sebenarnya ini adalah salah satu
bentuk penderaan dan penghakiman sekaligus penzaliman terhadap anak-anak jalanan.
Pandangan Anak Jalanan Terhadap Tuhan
Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui bahwa Tuhan itu ada. Apapun status
sosial seseorang, namun sorang tersebut tetap memiliki fitrah bertuhan. Anak jalanan,
Khairul Amri, et al., Mencari Keadilan dalam Sistem Pengadilan Anak (Kisah Aneka Berkonflik dengan Hukum) (Medan: Pusaka Indonesia, 2004), h. 21.
16
219
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
sebagai salah satu status sosial dalam masyarakat, juga memiliki fitrah tersebut, dan
penelitian ini menemukan bahwa anak-anak jalanan mempercayai keberadaan Tuhan,
meskipun mereka memiliki perbedaan konsep tentang-Nya.
Subjek penelitian ini mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Mereka menyatakan bahwa
Tuhan itu ada di langit. Alasannya adalah karena setiap orang selalu berdoa menengadahkan
tangan ke atas menghadap langit. Akan tetapi diketahui bahwa kepercayaan anak jalanan
terhadap adanya Tuhan hanyalah karena doktrin semata. Fakta ini terlihat dari jawabanjawaban atas pertanyaan tentang keberadaan Tuhan tersebut.
CONS 1, CONS 3, COFS 1 dan COFS 3, misalnya, mengakui bahwa Tuhan itu ada, dan
Dia berada di langit. Namun mereka sama sekali tidak pernah memikirkan keberadaan
Tuhan itu, bagaimana adanya Tuhan, dan mengapa Dia harus ada. Mereka hanya mengakui
bahwa Tuhan itu ada, tetapi memikirkan dan peduli apakah Tuhan itu bersifat Pengasih
(al-Rahmân), Penyayang (al-Rahîm) dan Adil (Adl). Bagi mereka, mengetahui hal tersebut
tidak penting, tetapi uang lebih penting dari-Nya. Mereka meyakini bahwa mereka akan
bisa bertahan hidup dengan uang, tetapi tanpa uang, mereka tidak akan mungkin bisa hidup.
Dari pengakuan ini bisa disimpulkan bahwa mereka adalah kelompok manusia yang
mempercayai Tuhan karena doktrin, karena sejak kecil telah didoktrin oleh orang tua
dan masyarakat bahwa Tuhan itu ada, meski mereka tidak memahami alasan dan maksud
bahwa Tuhan itu ada.17
Namun demikian, ada beberapa temuan menarik tentang pandangan anak jalanan
lain tentang Tuhan. CONS 2, misalnya, mengakui bahwa Tuhan itu ada, Dia ada di langit,
dan kadang-kadang Tuhan turun ke bumi karena Dia memiliki rumah di bumi ini. Maksud
Tuhan memiliki rumah di bumi adalah masjid. Keyakinan ini ia peroleh dari pernyataan
para penceramah di berbagai pengajian bahwa mesjid adalah bait Allâh (rumah Allah),
dan bila setiap orang ingin berjumpa dengan-Nya, maka mereka harus menunaikan salat
ke mesjid.
CONS 2 meyakini bahwa Tuhan itu memiliki sifat Pengasih, Penyayang dan Adil
terhadap para hamba-Nya. Ia mempunyai pandangan cukup baik tentang sifat Keadilan,
Pengasih dan Penyayang Tuhan, bahwa setiap orang yang berbuat baik pasti akan dibalas
Tuhan dengan kebaikan dan akan mendapat pahala, sehingga mereka akan hidup senang.
Ia meyakini bahwa setiap orang yang berusaha pasti akan diberikan Tuhan jalan keluar
dari penderitaan hidup. Ia juga berpendapat bahwa penderitaan dan kemiskinan yang
sekarang dialami manusia adalah sebuah ujian dari Tuhan, karena itu setiap manusia harus
tabah dan sabar menjalaninya. Karena, suatu saat nanti Allah akan memberikan jalan
keluar, asalkan mereka terus berusaha untuk mengubah kehidupan yang mereka jalani.
COFS 3 memiliki pandangan lain lagi. Ia memang mengakui bahwa Tuhan itu ada.
Tetapi menurutnya, keberadaan Tuhan itu sama dengan ketiadaan Tuhan itu sendiri. Baginya,
Lihat Agus Mustofa, Bersatu Dengan Allah (Surabaya: Fatma Press, 2005), h. 5.
17
220
Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
Tuhan memang benar-benar ada, namun apa yang dilakukan Tuhan ketika melihat hambahamba-Nya menderita seperti dirinya. Adakah Tuhan memberikan pertolongan kepadanya
ketika ia mengalami kesulitan hidup? Apakah Tuhan pernah memperhatikan kehidupannya
saat ini? Apakah Tuhan memberikan jalan hidup lain yang lebih mudah dari yang dijalaninya
saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul dalam pikirannya, sehingga membuatnya
menjadi ragu jika Tuhan itu bersifat Pengasih, Penyayang dan Adil. Pandangan COFS 3 ini
bisa dikategorikan sebagai kelompok skeptisis yaitu orang-orang yang ragu tentang keberadaan
Tuhan sebagai Zat yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Adil. Tentu saja, pandangan
ini muncul sebagai akibat dari kerasnya kehidupan jalanan yang telah dialaminya.
Berbeda dengannya, CONS 1, CONS 3, COFS 1 dan COFS 2 memang mengakui bahwa
Tuhan itu ada, namun mereka tidak memedulikan diri untuk memikirkan eksistensi Tuhan.
Karena itu, keempat anak jalanan ini dapat dikelompokkan sebagai golongan agnostisis
(tidak mengetahui keberadaan Tuhan). Paham agnostisis adalah paham yang mengakui
dan percaya kepada adanya Tuhan, tetapi tidak tahu siapa dan bagaimana sifat-sifat-Nya.
Bagi agnostisis, Tuhan itu ada, tetapi tidak bisa diketahui di mana, apakah Dia satu atau
lebih, apakah Dia baik atau buruk, Maha Mengetahui atau tidak, Maha Penyayang atau tidak18
Sekali lagi, situasi dan kondisi jalanan sangat memengaruhi pola pikir mereka tentang
Tuhan ini.
Beberapa penelitian mendukung kesimpulan ini bahwa anak jalanan tidak memiliki
pemikiran konkret dan logis tentang keberadaan Tuhan, karena kondisi kehidupan mereka
tidak mendukung untuk itu. Bagaimana mungkin mereka sempat memikirkan Tuhan,
sementara mereka sendiri tidak sempat memikirkan kehidupan masa depannya. Mereka
tidak pernah memikirkan kenapa mereka harus menjalani hidup sebagai anak jalanan.
Bagi mereka, hidup harus diterima apa adanya, tanpa harus dipertanyakan mengapa, bagaimana, dan apa sesungguhnya di balik semua ini. 19
Anak-anak jalanan ini memang tidak memikirkan bagaimana sifat-sifat Tuhan itu,
namun mereka mengakui bahwa Tuhan umat Islam berbeda dengan Tuhan agama-agama
lain seperti Tuhan agama orang Kristen, Hindu, dan Buddha. Mereka menyatakan bahwa
Tuhan orang Islam adalah Allah, sedangkan Tuhan orang Kristen adalah Yesus. Sebab itulah,
setiap agama memiliki Tuhan masing-masing.
Keyakinan bahwa setiap umat beragama memiliki Tuhan masing-masing ini mirip
dengan paham Henoteisme, yaitu paham yang meyakini bahwa agama mereka memiliki
satu Tuhan, sedangkan agama-agama lain memiliki Tuhan lain.20 Paham anak jalanan ini
tentu saja muncul dari kurangnya pendidikan agama mereka, selain karena kondisi sosial
jalanan itu sendiri.
Harun Nasution, Falsafat Agama, h. 24.
Ibid., h. 31.
20
Amri et al., Mencari Keadilan, h. 19.
18
19
221
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Interaksi Anak Jalanan Dengan Tuhan
Interaksi dengan Tuhan dipahami sebagai beribadah dan berdoa kepada Tuhan
sebagai bentuk upaya berkomunikasi dengan-Nya. Karena itu, maksud interaksi anak
jalanan dengan Tuhan adalah bagaimana anak jalanan beribadah dan berdoa kepadaNya. Bentuk ibadah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah salat dan puasa.
Sebab, menurut hukum Islam, ibadah lain seperti zakat dan haji belum dibebankan
kepada anak jalanan, karena mereka belum baligh. Dengan demikian, interaksi mereka
dengan Tuhan hanya dilihat dari tiga aspek yaitu salah, puasa dan doa.
Dalam konteks ini ditemukan bahwa lima dari enam anak jalanan tersebut mengaku
tidak pernah melaksanakan salat, puasa dan berdoa. CONS 1, CONS 3, COFS 1, COFS 2 dan
COFS 3 mengaku tidak pernah salat, puasa dan berdoa kepada Tuhan. Mereka menyatakan
bahwa jangankan berinteraksi dengan Tuhan, bahkan untuk memikirkan sifat Pengasih,
Penyayang dan Adil Tuhan pun mereka tidak pernah. Bagi mereka, memikirkan Tuhan,
apalagi berinteraksi dengan-Nya adalah sesuatu yang merepotkan, dan tidak menghasilkan
apapun. Mereka lebih suka mengamen dan berjualan sehingga bisa mendapatkan uang
daripada salat, karena ibadah salat menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan
uang.
CONS 1 mengaku bahwa ia pernah mengetahui bacaan dan tata cara salat, tetapi
kini ia sudah lupa, karena tidak pernah mempraktikkannya lagi. Sedangkan CONS 3,
COFS 1, COFS 2 dan COFS 3 sama sekali tidak pernah mengetahui bacaan dan tata cara salat,
karena mereka tidak pernah memperoleh pelajaran itu.
COFS 3 memiliki pendapat yang cukup memprihatinkan. Ia menyatakan bahwa salat
dan doa adalah perbuatan sia-sia dan tidak mendatangkan manfaat apapun kepadanya.
Ia juga mengaku tidak pernah merasakan sifat kasih, sayang dan adil Tuhan. Ia bahkan
pernah menyatakan bahwa daripada diajak salat, lebih baik ia diberikan uang rokok saja,
karena salat tidak ada arti baginya.
Dengan demikian, pola pikir anak-anak jalanan ini sangat pragmatis. Anak-anak
jalanan ini hanya akan melaksanakan suatu pekerjaan, apabila pekerjaan tersebut
mendatangkan hasil dan memberikan kesenangan kepada mereka. Sebab itulah, mereka
lebih tertarik mengikuti kebaktian agama Kristen daripada melaksanakan salat, karena
mengikuti kebaktian bisa memperoleh nasi bungkus, sedangkan salat sama sekali tidak
mendatangkan hasil dan kesenangan apapun kepada mereka. Menurut mereka, salat malah
bisa menghabiskan waktu mereka yang seharusnya bisa digunakan untuk mencari uang.
Akan tetapi, hanya satu anak jalanan melaksanakan ibadah dan doa tersebut, yaitu
CONS 2. Ia menyatakan bahwa ia selalu mengerjakan salat fardhu dan ibunya selalu
memerintahkannya untuk salat. Ia biasa mengerjakan salat Magrib dan Isya`, sedangkan
salat Subuh, Zuhur dan Asar jarang dikerjakannya. Ia jarang salat Subuh karena ia malas
bangun pagi, sedangkan waktu Zuhur dan Asar sedang berada di jalanan. Ia juga mengaku
222
Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
bahwa ia selalu mengerjakan salat Jum at. Setiap selesai salat Jum at, ia mengaku selalu
berdoa kepada Tuhan agar diberikan kemurahan rezeki, diberikan kekuatan menghadapi
penderitaan hidup, dan diberikan kesehatan dan keselamatan. Ia mengaku bahwa setiap
bulan Ramadan ia selalu melaksanakan ibadah puasa, meski terkadang tidak penuh sebulan.
Kondisi jalanan yang terik dan panas membuatnya tidak puasa secara penuh selama
sebulan. Ia juga mengaku bahwa ketika berdoa dengan tulus selesai salat, ia merasa
dagangannya laris terjual. Karena itu, ia sangat yakin bahwa kelak ia akan menjadi seorang
pedagang sukses. Dengan demikian, CONS 2 lebih memiliki sikap religius dibandingkan
teman-teman sesama anak jalanan.
Sikap religius CONS 2 ini tidak terlepas dari pengaruh orang tuanya. Ibunya adalah
seorang guru agama di sekolah swasta, dan selalu mengingatkannya untuk melaksanakan
salat dan selalu berdoa. Melalui ibunya, ia meyakini bahwa penderitaan yang sedang
melanda keluarganya saat ini adalah cobaan dan ujian dari Tuhan. Jika sabar dan selalu
berdoa, ia yakin bahwa Tuhan akan mengeluarkan keluarganya dari penderitaan tersebut.
Ia meyakini bahwa penderitaan yang dialami oleh keluarganya bukanlah karena mereka
dihinakan oleh Tuhan. Sebaliknya, orang-orang kaya yang memperoleh karunia dari
Tuhan tidak selamanya menunjukkan bahwa Tuhan memuliakan mereka. Ia mengemukakan
contoh orang kaya tetapi tidak dimuliakan Tuhan seperti pejabat korupsi, bandar judi
dan germo yang menjual anak gadis tidak berdosa. Tampaknya, peran ibu CONS 2 sangat
penting bagi pembentukan watak religiusnya sebagai anak jalanan.
Semua ini mengindikasikan bahwa mayoritas anak jalanan sangat jauh dari sifat
religius seperti percaya akan keberadaan dan sifat kasih, sayang dan adil Tuhan. Karena
itulah, sangat wajar jika banyak anak jalanan kerap melakukan perilaku menyimpang
seperti main kartu, sodomi, mengonsumsi narkoba, dan minuman keras. Tentu saja, perilaku
ini adalah wujud dari konmpensasi atas kekecewaan, kegagalan dan tekanan hidup
yang mereka alami. Intinya, mereka melakukan berbagai perilaku menyimpang untuk
melupakan sementara waktu semua kesulitan hidup mereka.21 Setelah selama seharian
beraktivitas untuk mencari uang, mereka menghabiskan waktu malam mereka dengan
melakukan berbagai perbuatan tersebut, sedangkan mereka mulai beristirahat menjelang
Subuh.
Pembinaan Keagamaan terhadap Anak Jalanan
Dari aspek agama, mayoritas anak jalanan di kota Medan beragama Islam. Sebagian
dari mereka beragama Kristen, Hindu dan Buddha. Bila dipersentasekan, 70 % anak jalanan
beragama Islam. Namun demikian, pembinaan keagamaan anak-anak jalanan Muslim
ini sungguh memprihatinkan.
Bandingkan dengan penelitian Katimin, Moralitas Anak Jalanan di Kota Medan: Studi
Kasus SKA-PKPA Medan (Medan: PUSLIT IAIN-SU, 2005), h. 43.
21
223
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Berbeda dengan anak-anak jalanan Muslim, anak-anak jalanan yang beragama Kristen
selalu mendapat pembinaan keagamaan dan bimbingan kebaktian dari pengembang
agama Kristen. Menurut keterangan CONS 2, bahwa setiap hari Rabu, anak-anak jalanan
yang beragama Kristen selalu diajak oleh dua orang pemuda Kristen untuk mengikuti
kebaktian dan bimbingan rohani. Setelah acara kebaktian dan bimbingan rohani tersebut,
kedua pemuda Kristen tersebut memberikan nasi bungkus kepada para anak jalanan yang
mengikuti acara kebaktian. Kegiatan kebaktian ini ternyata telah menarik perhatian anakanak jalanan Muslim.
Sebaliknya, anak-anak jalanan Muslim sama sekali tidak pernah mendapat pembinaan
keagamaan dari individu-individu maupun kelompok-kelompok Muslim. Sebab itulah,
pemahaman keagamaan mereka cukup memprihatinkan. Lebih ironi lagi, tidak jarang
anak-anak jalanan Muslim mengikuti pembinaan keagamaan dari pihak Gereja.
Menurut keterangan CONS-2, bahwa ia tidak pernah mengikuti acara kebaktian
tersebut, karena ia adalah seorang Muslim dan kebaktian adalah acara agama Kristen.
Tetapi menurut informasi darinya, banyak teman-temannya sesama anak jalanan yang
beragama Islam mengikuti acara kebaktian tersebut. Alasannya cukup sederhana, namun
rasional menurut mereka, yaitu mereka akan mendapatkan nasi bungkus setelah mengikuti
acara kebaktian tersebut. Jika tidak mengikutinya, dan tetap bertahan di jalanan, belum
tentu mereka akan mendapat uang untuk membeli nasi bungkus. Faktor ekonomi inilah
menjadi alasan kuat bagi anak-anak jalanan Muslim tersebut mengikuti acara kebaktian
dan bimbingan rohani tersebut.
Seorang anak jalanan Muslim, yaitu COFS-2, menyatakan bahwa ia pernah mengikuti
acara kebaktian dan bimbingan rohani agama Kristen. Namun, ia tidak memperhatinkan
isi ceramah, sebab yang ada dalam pikirannya hanya untuk mendapatkan nasi bungkus
secara gratis. Dengan nasi bungkus itu, ia bisa makan dengan nyaman sampai kenyang.
Berbeda dengan kesehariannya, ia harus mencari makan siang sendiri dengan susah payah,
dan ia pun harus berbagi dua dengan temannya sesama anak jalanan, karena uang mereka
tidak mencukupi untuk membeli dua nasi bungkus.
Dalam konteks ini, jika anak-anak jalanan Muslim hanya sekadar mengikuti kebaktian
dan bimbingan rohani dari agama Kristen, dan perilaku tersebut, menurut pengakuan
mereka, tidak mempengaruhi keyakinannya sendiri, namun kelak hal tersebut bisa
menjadi masalah besar. Tidak mungkin prosesi agama Kristen tersebut tidak memberikan
pengaruh kepada mereka, sekecil apa pun itu. Tidak mustahil, ketika anak-anak tersebut
sudah dewasa, mereka akan berpindah agama, karena merasakan bahwa pihak Gereka
selalu memberikan perhatian serius kepada mereka. Prediksi ini seharusnya menjadi perhatian
umat Islam, khususnya institusi-institusi keagamaan Islam seperti ormas-ormas Islam
seperti Muhammadiyah, al-Washliyah, Nahdlatul Ulama, dan Ittihadiyah, serta Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
224
Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian terdahulu, bisa disimpulkan bahwa ada beberapa faktor penyebab
seorang anak menjadi anak jalanan di kota Medan. Mayoritas anak menjadi anak jalanan
lebih disebabkan oleh masalah ekonomi keluarga, dan karena faktor ekonomi inilah
mereka dipaksa/terpaksa bekerja, diusir, dan dibuang oleh orang tua kandungnya sendiri.
Mayoritas anak jalanan di kota Medan adalah beragama Islam.
Dari penelitian ini diketahui bahwa anak-anak jalanan Muslim di kota Medan masih
meyakini bahwa Tuhan itu ada, meskipun kepercayaan tersebut hanyalah karena doktrin
semata. Namun perspektif mereka tentang Tuhan tidaklah sama. Mayoritas anak jalanan
meyakini bahwa Tuhan itu ada, namun mereka sama sekali tidak pernah memikirkan
keberadaan, apalagi sifat-sifat-Nya. Seorang anak bahkan ragu terhadap eksistensi-Nya,
sebagai akibat dari ketiadaan pertolongan-Nya terhadap penderitaan hidupnya. Namun
seorang anak berpendapat bahwa Tuhan itu ada, dan Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang
dan Maha Adil, dan keyakinan ini kebetulan diperoleh dari orang tuanya. Selain itu, anakanak jalanan ini sepakat bahwa setiap umat beragama memiliki Tuhan masing-masing,
dan Tuhan dari tiap-tiap agama tersebut berbeda satu sama lain.
Berkaitan dengan interaksi anak jalanan dengan Tuhan, diketahui bahwa mayoritas
anak jalanan tersebut tidak pernah beribadah dan berdoa. Sebab menurut mereka, ibadah
dan doa adalah perbuatan sia-sia dan merepotkan, karena keduanya tidak pernah mendatangkan
hasil dan kesenangan kepada mereka. Ibadah dan doa malah akan menghabiskan waktu
mereka mencari uang. Fakta ini lebih diperparah oleh kenyataan bahwa tidak ada seorang
pun dari anak jalanan ini mengetahui apalagi menghapal bacaan dan tata cara salat.
Kendati begitu, hanya ada satu orang anak jalanan saja melaksanakan ibadah salat dan
puasa, serta doa, sebab orang tuanya adalah seorang guru agama dan selalu memerintahkannya beribadah dan berdoa. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa mayoritas anak
jalanan ini masih jauh dari pandangan dan perilaku religius.
Namun demikian, anak-anak jalanan Muslim tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya
karena berpandangan dan bersikap seperti itu. Pandangan dan perilaku mereka sebenarnya
disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah ketiadaan pembinaan keagamaan
dari lembaga-lembaga Islam. Berbeda dengan anak-anak jalanan yang beragama Kristen,
karena mereka selalu mendapatkan pembinaan keagamaan dari pihak Gereja. Bahkan
kegiatan kebaktian Gereja ini ternyata mampu menarik simpati sebagian besar anak jalanan
Muslim, sebab kegiatan ini memberikan keuntungan kepada mereka, sekecil apapun
keuntungan itu. Fakta ini sungguh ironi, mengingat mayoritas penduduk kota Medan
adalah pemeluk agama Islam.
Seperti telah dikemukakan bahwa kekeliruan pandangan anak jalanan tentang Tuhan
adalah sebagai akibat dari tidak adanya perhatian dan pendidikan, pengaruh lingkungan
dan kondisi hidup yang serba kekurangan, serta hidup dalam kondisi gersang dan keras,
maka dipandang perlu menyampaikan beberapa saran. Pertama, hendaknya masyarakat
225
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
jangan memandang sinis dan mendiskreditkan anak-anak jalanan seperti pelaku kriminal.
Perilaku positif dari masyarakat akan memberikan pengaruh kepada anak-anak jalanan
menjadi dalam membentuk jiwa dan kepribadian yang mulia mereka. Apalagi ditambah
dengan adanya partisipasi masyarakat dalam membantu meringankan beban hidupnya.
Kedua, hendaknya pihak pemerintah lebih memaksimalkan pelaksanaan program pembinaan
anak jalanan, dan program tersebut hendaknya dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan. Ketiga, hendaknya organisasi-organisasi sosial non-pemerintah ikut
memberikan kontribusi yang jelas dalam menanggulangi anak-anak jalanan. Berbagai
organisasi tersebut janganlah menjadikan anak jalanan sebagai objek dan alasan untuk
mendapatkan bantuan dana dari berbagai pihak. Pernyataan ini didukung oleh fakta
bahwa banyak anak jalanan menyadari bahwa mereka telah dijadikan objek/alasan oleh
banyak pihak untuk meraup keuntungan besar, tanpa ada kontribusi signifikan bagi
anak-anak jalanan tersebut. Keempat, hendaknya lembaga-lembaga Islam menyadari
salah satu masalah besar umat Islam ini, dan mulai mengarahkan perhatian dan program
kerjanya kepada pembinaan kehidupan beragama anak jalanan. Hal ini penting, karena
banyak lembaga-lembaga agama non-Islam sudah sejak lama menjadikan anak jalanan
sebagai bagian dari sasaran pengembangan ajaran agama mereka.
Pustaka Acuan
Amri, Khairul, et al. Mencari Keadilan dalam Sistem Pengadilan Anak (Kisah Aneka Berkonflik
dengan Hukum). Medan: Pusaka Indonesia, 2004.
Hariadi, Sri Sanituti, dan Bagong Suyanto (ed.). Anak Jalanan di Jawa Timur: Masalah
dan Upaya Penanganannya. Jawa Timur: BK3ES-Depsos Tk. 1 Jawa Timur, 1999.
Irwanto, et al. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta-Surabaya-Medan. PKPM Atmajaya
dan Unicef, t.t.
Al-Ja fî, Muhammad ibn Ismâ îl Abû Abd Allâh al-Bukhârî. Shahîh al-Bukhârî, ditahqîq
oleh Mushthafa Dîb al-Bigâ, Juz V. Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987.
Katimin. Moralitas Anak Jalanan di Kota Medan: Studi Kasus SKA-PKPA Medan. Medan:
PUSLIT IAIN-SU, 2005.
Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah. Laporan Pemetaan dan Survei Anak Jalanan di
Kodya Semarang. Semarang: Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, 1999).
Mulandar, Surya (ed.). Dehumanisasi Anak Marginal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan.
Bandung: Akatiga, 1996.
Mustofa, Agus. Bersatu Dengan Allah. Surabaya: Fatma Press, 2005.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Sou yb, Joesoef. Perkembangan Teologi Modern. Medan: Rimbow, t.t.
Salahuddin, Odie. Anak Jalanan Perempuan. Semarang: Yayasan Setara, 2000.
Zaini, Syahminan. Arti Anak bagi Seorang Muslim. Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.
226
TELAAH SIGNIFIKANSI KONSEP MANUSIA
MENURUT AL-GHAZÂLÎ
M. Yasir Nasution
Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara
Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan 20371
e-mail: nasution_my@yahoo.com
Abstrak: Al-Ghazâlî lahir pada masa kejayaan pemikiran rasional Islam klasik abad
ke-10. Setelah melakukan serangkaian petualangan intelektual—yang pada titik
tertentu membawanya ke titik krisis mental—ia menjadi salah seorang pemikir
multi disiplin yang berpengaruh sangat luas. Artikel ini berargumentasi bahwa
pemikirannya tentang spiritualisme memiliki potensi besar untuk menjawab berbagai
pertanyaan yang menghantui kehidupan manusia modern. Lebih khusus, penulis
berpendapat bahwa manusia modern sangat membutuhkan teori al-Ghazâlî yang
memadukan indera, akal, dan intuisi sebagai sumber pengetahuan yang absah. Teori
ini dapat menyediakan dasar epistemologi yang kokoh sekaligus satu cara yang berimbang
dalam melihat hidup manusia.
Abstract: An Analysis of the Significance of al-Ghazâlî’s Concept of
Men. Born at the heyday of Islamic classical rationalism of the tent century, and
after going through series of intellectual adventures that at points bring him to
mental breakdown, al-Ghazâlî established himself as an Islamic polymath of
towering influence. The present article argues that his thought on spiritualism is
of great potential in answering the many questions faced by modern man. More
specifically, our present author is of the opinion that modern man is in dear need
of al-Ghazâlî’s theory of integrating senses, reason, and intuition as equally
legitimate sources of knowledge. This theory could provide not only a sound
epistemological basis but also a balanced way of perceiving human life.
Kata Kunci: Al-Ghazâlî, spiritualitas, epistemologi, manusia, tasawuf
Pendahuluan
Al-Ghazâlî (1058-1111 M) secara populis lebih dikenal melalui buku-bukunya yang
bercorak tasawuf1 dan untuk tingkatan tertentu popularitasnya menonjol karena kritiknya
1
Bukunya yang lebih banyak dibaca di pesantren-pesantren adalah Ihya‘ ‘Ulûm al-Dîn dan
227
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
terhadap sejumlah proposisi-proposisi metafisik para filosof Muslim,2 seperti Ibn Sînâ dan
al-Fârâbî. Di samping itu, ia juga dipandang sebagai pelanjut teologi Asy‘arî.3 Sebab itu,
al-Ghazâlî dalam gambaran masyarakat pada umumnya adalah seorang figur sufi yang
anti filsafat dan penjaga paham teologi yang bercorak fatalistik. Berpijak pada gambaran
seperti inilah, tampaknya, al-Ghazâlî dituduh sebagai biang kemunduran umat Islam
pada zaman sesudahnya; setidak-tidaknya dianggap memengaruhi kesadaran umat yang
menyebabkannya terbelakang.4
Tuduhan itu memang bukan tanpa alasan. Tasawuf mempunyai potensi membuat
orang meninggalkan dunia karena asyik dengan Tuhan. Kritiknya yang keras terhadap
sejumlah pemikiran filosof dapat menyebabkan orang takut berfilsafat; dan teologi Asy‘arî
yang sudah mulai bersifat dinamis di tangan al-Baqillânî dan al-Juwainî kembali bersifat
fatalistik pada buku-buku teologi al-Ghazâlî. Di samping itu, al-Ghazâlî, didukung oleh faktorfaktor historis “terlanjur” menjadi besar. Ia dipandang sebagai “benteng” Islam (hujjat alIslâm),5 yang menyelamatkannya dari pengaruh unsur-unsur pemikiran luar yang dapat
merusak. Ia bahkan pernah disebut sebagai Muslim terbesar sesudah Nabi Muhammad.6
Kharisma al-Ghazâlî yang demikian besar dihubungkan dengan gambaran kesufian, anti
filsafat, dan teologi fatalistiknya, dapat merupakan alasan yang kuat untuk menujukan
tuduhan tersebut kepadanya.
Meskipun demikian, agaknya, kurang tepat apabila segi-segi tertentu dari pemikirannya
yang diasumsikan memengaruhi umat dijadikan dasar untuk menilainya sebagai penyebab
kemunduran umat. Dengan cara seperti itu, seseorang dapat terjerumus ke dalam kesadaran
a historis memahami figur-figur sejarah dan pemikiran-pemikiran mereka. Dengan cara
itu, seseorang seperti mencabut al-Ghazâlî dari konteks zamannya atau memandang pikiranpikirannya sebagai akhir dari proses pemikiran yang berkembang, yang harus diikuti.
Cara yang lebih tepat barangkali adalah meletakkan pikiran-pikirannya pada arus
pemikiran zamannya untuk seterusnya merekonstruksi pikiran-pikirannya itu menjadi
satu sistem dan mencari bagian paling substansial yang dianggap mendasari atau sekurangkurangnya memengaruhi keseluruhan pemikirannya. Dengan cara demikian lebih mudah
dilihat signifikansi pemikirannya pada zaman yang senantiasa berubah. Tulisan ini tidak
akan mengadakan rekonstruksi pemikiran al-Ghazâlî, tetapi membatasi diri pada usaha
melihat signifikansi konsep manusianya dalam dunia modern. Sebab, konsep manusia
Minhaj al-’Âbidîn, termasuk syarah Ihya‘ ‘Ulûm al-Dîn, yaitu Ithaf al-Sadat al-Muttaqîn oleh alZubaidî, yang corak tasawufnya sangat menonjol.
2
Hal ini dilakukannya terutama melalui buku Tahafut al-Falâsifah.
3
Bukunya yang lebih populer dalam hal ini adalah al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd.
4
Di Indonesia, tokoh yang secara terus terang menyatakan tuduhan ini adalah Sutan Takdir
Ali Syahbana.
5
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 34.
6
William Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazâlî (London: George Allen and
Unwin Ltd., 1953), h. 14.
228
M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali
dianggap sebagai bagian paling substansial dari sistem pemikiran seseorang. Menurut Ernst
Cassirer, ia adalah pusat yang tetap dan tidak tergeser dari semua pemikiran filosofis.7 Sebab
itu, segala persoalan yang dihadapi umat manusia selalu dapat dirujuk inti permasalahannya
pada konsep tentang manusia.
Ditemukan dua aspek pemikiran al-Ghazâlî tentang konsep manusia yang berkaitan
dengan persoalan manusia modern, yaitu aspek epistemologi dan aspek orientasi hidup.
Kedua aspek ini mengandung muatan spiritualitas yang jelas, yang mungkin dapat memberi
sumbangan bagi perkembangan epistemologi dan pemenuhan diri manusia modern.
Abad modern adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan
yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Penemuan metode ilmiah yang
berwatak empiris dan rasional8 secara menakjubkan membawa kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang luar biasa. Industri dan berbagai macam penemuan ilmu pengetahuan
membawa kemudahan-kemudahan hidup, membuka wawasan kehidupan baru, dan
melahirkan pola pemikiran baru, yang disebut modernisme. Modernisme ditandai dengan
rasionalisme, kemajuan, dan sekularisme.9 Bersamaan dengan itu, pengetahuan yang
tidak didasarkan pada ukuran-ukuran ilmiah dan nilai-nilai religius tidak mendapatkan
apresiasi yang memadai.
Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan.10
Timbul berbagai kritik dan usaha pencarian baru. Manusia membutuhkan pola pemikiran
baru yang diharapan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Kritik terhadap modernisme
dan usaha pencarian ini sering disebut pascamodernisme atau neomodernisme. Fenomena
spiritualitas tampak muncul pada pascamodernisme. Dari sudut pemunculan spiritualisme
inilah terbuka jalan yang mudah melihat signifikansi konsep manusia al-Ghazâlî. Seperti
dikemukakan di atas, signifikansi itu dihubungkan dengan dua aspek penting konsep manusia,
yaitu aspek epistemologi dan aspek orientasi hidup.
Epistemologi al-Ghazâlî
Al-Ghazâlî lahir pada tahun 450 H./1058 M. di Thus, salah satu kota di Khurasan yang
penduduknya sangat heterogen, baik dari segi paham keagamaan maupun dari segi suku
bangsa.11 Hidup di lingkungan keluarga agamis dan miskin, tetapi dengan kesungguhannya
ia dapat mempelajari bermacam-macam ilmu yang berkembang pada masanya.
7
Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 3.
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 10.
9
Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam (London-New York: Routledge, 1992), h. 29.
10
Hanna Djumhana Bastaman, “Dimensi ‘Spiritualitas’ dalam Teori Psikologi,” dalam Ulumul
Qur’an, Nomor 4, Vol. V, Tahun 1994, h. 16.
11
Al-Subkî, Thabaqat al-Syafi‘iyah al-Kubrâ, Juz IV (Mesir: Mushthafa al-Bâbî al-Halâbî, t.t.),
h. 102.
8
229
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Ia belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain pada Ahmad al-Radzkanî di Thus dan
pada al-Ismâ‘ilî di Jurjan. Pada tahun 473 H., ia pergi ke Naisabur untuk belajar di madrasah
al-Nizhamiyah, dan mempelajari ilmu kalam dan logika dari al-Juwainî.12
Apabila diperhatikan, bidang-bidang ilmu yang diperolehnya sampai meninggalnya
al-Juwainî tahun 478 H, terdiri atas bidang-bidang yang secara metodologis berbeda.
Ilmu fiqih dan ushul fiqih adalah ilmu-ilmu yang dirancang untuk kepentingan pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam secara formal, dan pendekatannya, jelas, sangat formalistis. Ilmu
kalam bertujuan untuk menanamkan dasar-dasar akidah dan sekaligus mempertahankannya.
Pendekatannya, meskipun senantiasa menggunakan Kitab Suci dan Hadis sebagai
rujukan, adalah bersifat rasional. Artinya, akal-lah pada praktiknya yang menjadi kriteria
kebenaran dalam memahami makna ayat-ayat Kitab Suci dan Hadis tersebut dalam banyak
hal. Selain ilmu kalam, ia juga belajar logika, yang tidak diragukan lagi rasionalitasnya.
Apabila cerita yang dikutip oleh Sulaimân Dunia dari Zwemer bahwa al-Ghazâlî telah
belajar tasawuf sebelumnya dari Yûsuf al-Nassaj,13 adalah benar, maka sampai di sini alGhazâlî sudah mempelajari setidak-tidaknya tiga sistem pemahaman keagamaan yang
tidak saja berbeda, tetapi juga secara metodologis bertentangan, yaitu yang formalistis,
yang rasional dan yang intuitif.
Selanjutnya, setelah Nizham al-Mulk mengangkatnya menjadi tenaga pengajar di
madrasah al-Nizhamiyah Baghdad pada tahun 484 H., al-Ghazâlî memperdalam pengetahuannya tentang filsafat yang sedikit banyaknya telah diperolehnya dari al-Juwainî.14
Setelah mempelajari ilmu-ilmu ‘aqliyat, al-Ghazâlî mempunyai kecenderungan
yang sangat rasional. Dalam buku-buku yang ditulisnya sebelum ia mengasingkan diri
dengan cara hidup sufi antara tahun 488 H dan 499 H., kecenderungan itu sangat terasa.
Di dalam Mi`yar al-‘Ilm yang diperkirakan ditulisnya sebelum tahun 488 H., ia menegaskan
bahwa tujuan buku itu, yang isinya sebenarnya adalah logika, adalah antara lain untuk
memberitahu cara berpikir dan menalar.15 Ini menunjukkan kecenderungannya yang
khusus terhadap logika. Di dalam al-Iqtishâd fî al-I’tiqad, ia memperlihatkan ketergantungan
syara‘ terhadap akal. Ada proposisi-proposisi yang keberadaan syara‘ tergantung kepadanya,
yaitu proposisi yang hanya diperoleh dengan akal, seperti adanya Tuhan.16
Penempatan kedudukan akal yang tinggi ini kemudian mengalami kegoncangan.
Al-Ghazâlî mengalami kesangsian (al-syak). Kelihatannya, kesangsian al-Ghazâlî berpangkal
dari keragaman pengetahuan yang dimilikinya yang masing-masing mempunyai ukuran
12
‘Abd al-Rahman Badâwî, Muallafat al-Ghazâlî (Damaskus: al-Majlis al-A’la li Ri‘âyat alFunûn, 1961), h. 4-5.
13
Sulaimân Dunia, Al-Haqîqat fî Nazhar al-Ghazâlî (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1971), h. 19.
14
Ahmad Fu‘ad al-Ahwanî, dalam ‘Abd al-Karîm ‘Utsman, Sîrah al-Ghazâlî (Damaskus:
Dâr al-Fikr, t.t.), h. 19.
15
Al-Ghazâlî, Mi’yar al-‘Ilm (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1960), h. 59.
16
Al-Ghazâlî, Al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd (Kairo: Muhammad ‘Alî Shubaih, 1962), h. 107.
230
M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali
kebenaran sendiri. Menurutnya, kebenaran itu adalah satu, sumbernya adalah al-fithrah
al-ashliyah. Sebab, berdasarkan hadis Nabi, setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, yang
membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi adalah kedua orang tuanya.17
Artinya, pengetahuan yang diajarkan orang tua atau guru itu adalah sesuatu yang datang
kemudian dan menyebabkan keragaman dan pertentangan. Pengetahuan yang diperoleh
melalui taklid yang didasari oleh talqin mengandung pertentangan dan perbedaan-perbedaan.
Karena itu, ia merasa perlu mencari hakikat fithrah ashliyah dan membedakannya dari
akidah-akidah yang datang kemudian serta memisahkan yang benar dari yang salah
dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh secara taqlid itu. Dalam kenyataannya,
membedakan yang salah dari yang benar, orang-orang juga berbeda pendapat. Karena
itu, ia merasa perlu mengetahui hakikat segala sesuatu. Segala sesuatu, dilihat dari satu
segi, adalah fakta objektif; tetapi dari sudut manusia, segala sesuatu merupakan ide-ide
pada diri subjek (pengetahuan). Sebab itu, al-Ghazâlî menyimpulkan bahwa ia harus
mulai dari hakikat pengetahuan. Sesuai dengan titik tolaknya semula, yaitu kebenaran,
maka pengetahuan yang dicarinya adalah pengetahuan yang diyakininya benar (al-‘ilm
al-yaqîn). Tingkat kebenarannya tidak mengandung keraguan atau kemungkinan tersalah
sama sekali, seperti kebenaran pengetahuan sepuluh lebih banyak daripada tiga. Tingkat
kebenaran seperti itulah, selanjutnya, dicobanya untuk menjadi ukuran pengetahuanpengetahuan yang dimilikinya.18
Setelah memperhatikan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya, al-Ghazâlî
merasa bahwa pengetahuan-pengetahuan itu tidak mencapai tingkat kebenaran dan keyakinan
seperti di atas, kecuali (mungkin) yang tergolong al-hissiyat (yang diperoleh melalui indera)
dan al-dharuriyyat (yang sifatnya a priori dan aksiomatis).19 Sebab, kedua jenis pengetahuan
ini tidak berasal dari orang lain, tetapi berasal dari diri subjek sendiri (al-Ghazâlî).
Ketika menguji pengetahuan inderawi, al-Ghazâlî melihat bahwa pengetahuan itu
tidak terlepas dari kemungkinan tersalah. Akal, ternyata dapat membuktikan kesalahankesalahan inderawi. Bayang-bayang benda yang dalam pandangan mata, diam, ternyata
dengan pengamatan dan eksperimen, akal menyimpulkan bahwa bayang-bayang itu bergerak.20
Dengan demikian, kepercayaannya kepada pengetahuan inderawi hilang. Kepercayaan
selanjutnya tertumpu pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal, seperti pengetahuan
aksiomatis yang sifatnya a priori, sebab, akal telah berhasil memperlihatkan kelemahan
indera.
Kepercayaan terhadap akal goncang kembali ketika ia memikirkan apa dasar yang
membuat akal dipercaya. Kalau ada dasar yang membuat akal dipercaya, maka dasar itulah
sesungguhnya yang lebih dipercaya, sebagaimana halnya akal menjadi dasar kepercayaan
17
Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl (Kairo: Silsilat al-Tsaqafat al-Islâmiyah, 1961), h. 7.
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
18
231
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
terhadap indera. Ketidakjelasan adanya dasar yang lebih tinggi daripada akal tidak mesti
menunjukkan kemustahilannya.21 Dasar itu, semestinya, ada, sebab, kalau tidak ada, maka
tidak ada alasan untuk mempercayai akal. Kalau akal tidak dipercaya, segala penge-tahuan
tidak dapat dipercaya lagi. Kelihatannya, ada alasan lain yang membuat kepercayaannya
kepada akal goncang. Ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber
pengetahuannya, ternyata, menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan,
yang sulit diselesaikan dengan akal. Akal pada dirinya seperti membenarkan pandanganpandangan yang bertentangan itu. Dengan akal saja takafu’ al-adillat (antinomi) bisa terjadi.22
Seperti disebut di atas, yang dicarinya adalah al-‘ilm al-yaqîn yang tidak mengandung
pertentangan pada dirinya. Pada akal ia tidak menemukannya.
Kemungkinan adanya sumber pengetahuan suprarasional itu diperkuatnya dengan
adanya pengakuan para sufi bahwa pada situasi-situasi (ahwal) tertentu, mereka melihat
hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran akal, dan dengan hadis yang menyatakan
bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mereka mati.23 Berdasarkan pengakuan
para sufi dan hadis ini, ada situasi di luar situasi normal, yang kesadaran manusia lebih
tajam padanya. Dengan mengemukakan pengakuan para sufi dan hadis tersebut, ia
berhadapan dengan dua kemungkinan tentang ada atau tidaknya sumber pengetahuan
yang lain itu di dunia ini. Kalau benar pengakuan para sufi, maka sumber pengetahuan
suprarasional iu terdapat di dunia ini; tetapi kalau tidak, sumber pengetahuan itu diperoleh
hanyalah sesudah mati. Di sinilah al-Ghazâlî mengalami puncak kesangsiannya. Ia tidak
mempunyai sumber pengetahuan yang dapat dipercayainya lagi untuk menemukan
jalan keluar, sebab, ia telah menyangsikan segalanya, taqlid, indera dan akal.
Menurut pengakuannya, hampir dua bulan ia mengalami kekacauan psikologis tanpa
kemampuan menyelesaikannya.24 Hanya dengan cahaya (nûr) yang diberikan Tuhan
dengan tiba-tiba ke dalam hatinya, ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan yang a priori yang bersifat aksiomatis itu kembali. Kebenaran pengetahuan itu
tidak diperolehnya melalui argumentasi yang terurai (al-adillat al-muharrarat), tetapi
melalui nûr yang disebutnya sebagai kunci ma‘rifat, dan merupakan makna dari al-syarah
yang terdapat dalam ayat 125 surat al-An‘âm.25
Hal yang ingin dikemukakannya dengan menceritakan proses kesangsian ini adalah
bahwa al-dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap
pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan yang lebih tinggi
kebenarannya adalah yang diperoleh melalui nûr yang dilimpahkan Tuhan ke dalam hati
manusia.
21
Ibid.
Al-Farisi, dalam ‘Abd al-Karîm Utsman, Sîrah al-Ghazâlî, h. 45.
23
Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, h. 10-11.
24
Ibid.
25
Ibid.
22
232
M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali
Sumber pengetahuan tertinggi itu disebutnya juga al-nubuwwat, yang pada nabinabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham. Ia menegaskan bahwa
al-nubuwwat tidak dapat dimengerti dan dibuktikan dengan akal. Ia berusaha mendekatkan
pengertian al-nubuwwat dengan jalan memperlihatkan kasus-kasus yang menunjukkan
bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan langsung tanpa memperoleh bantuan
indera dan argumen ‘aqli. Hakikat al-nubuwwat tidak dapat digambarkan, sebab, ia hanya
dapat dimengerti melalui pengalaman langsung.26
Dalam buku-bukunya yang ditulis sesudah ia memasuki kehidupan sufi, indera dan
akal tidak dikesampingkan sama sekali kedudukannya sebagai sumber-sumber pengetahuan,
tetapi diletakkan di bawah al-nubuwwat. Urutan sumber-sumber pengetahuan, dengan
demikian, berdasarkan tingkat kepercayaan kepadanya adalah al-nubuwwat (wahyu pada
nabi-nabi, ilham pada wali-wali), akal, dan indera.
Setelah menemukan ketenangan psikologis dan merasa ada sumber pengetahuan
di atas akal, yaitu nûr yang dilimpahkan Tuhan secara langsung ke dalam hatinya, ia mulai
memperhatikan aliran-aliran yang populer pada masanya, berdasarkan kategorisasi yang
dilakukannya seperti disebut di atas, yaitu mutakallimun, para filosof, bathiniyah, dan para
sufi. Menurutnya, kebenaran tidak mungkin keluar dari salah satu yang empat ini.27
Ilmu Kalam, menurutnya, dimaksudkan untuk mempertahankan akidah ahl al-sunnah
dari gangguan ahl al-bid‘ah. Dalam beberapa hal ilmu kalam berusaha mencari hakikat
itu, tetapi karena keterbatasannya maka hasilnya tidak sempurna dan tidak dapat menyelesaikan perbedaan yang membingungkan itu.28 Karena itu, ia tidak puas dengan ilmu kalam.
Para filosof, menurutnya, berdasarkan pandangan mereka terhadap Tuhan, terdiri atas
tiga golongan, yaitu materialis (al-dahriyun), naturalis (al-thabi‘iyûn), dan teis (al-ilâhiyûn).29
Yang secara khusus dibahasnya dan dikritiknya adalah golongan ketiga dari para
filosof, yaitu al-ilâhiyûn. Sebab, yang berkembang di dunia Islam pada umumnya, menurutnya,
adalah ajaran-ajaran dari golongan ini melalui filosof-filosof Islam seperti Ibn Sînâ (w.
1037 M) dan al-Fârâbî (w. 950 M). Bidang pengetahuan mereka secara garis besar terdiri
atas enam bidang, yaitu matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika. Ia menilai
keseluruhan bidang pengetahuan para filosof dikelompokkan kepada tiga kategori, yaitu
kufr, bid’ah, dan yang tidak harus diingkari.30 Kategori terakhir ini terdiri atas matematika,
logika, fisika, politik, dan etika; sedangkan yang termasuk ke dalam dua kategori pertama
pada umumnya adalah metafisika. Jelasnya, yang menyebabkan kufr itu adalah pandangan
mereka dalam bidang metafisika, yaitu bahwa yang diberi ganjaran di akhirat adalah jiwa
26
Ibid., h. 49-50.
Ibid., h. 13.
28
Ibid., h. 15.
29
Watt, The Faith and Practice of al-Ghazâlî, h. 30.
30
Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, h. 20.
27
233
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
manusia saja; bahwa Tuhan hanya mengetahui universal; dan bahwa alam ini bersifat
qadim.31 Menjadikan filsafat sebagai jalan mengetahui kebenaran metafisik tidak dapat
diterimanya, karena hal itu membawa banyak pertentangan.
Keterangan dan penilaiannya yang disebutkan di atas adalah terhadap pengetahuanpengetahuan tertentu yang terdapat di kalangan filosof, bukan terhadap filsafat sebagai
cara untuk menemukan kebenaran (pengetahuan).
Terhadap bathiniyah, kritiknya yang paling pokok adalah mengenai otoritas imam
yang ma’shum sebagai sumber kebenaran. Al-Ghazâlî sependapat dengan mereka bahwa
pemberi informasi (mu‘allim) itu perlu bersifat ma‘shum, tetapi hanya terbatas pada tingkat
Nabi; sesudah Nabi orang tidak memerlukan imam yang ma‘shum lagi, sebab Tuhan melalui
Kitab Suci telah memberi kepada manusia ukuran (mîzan) dan alat untuk mengetahui
kebenaran.32 Kesimpulannya tentang bathiniyah ialah bahwa sistem pemahaman ini
tidak memenuhi harapannya karena bathiniyah mengesampingkan daya manusia untuk
menemukan kebenaran. Di sini taqlid menjadi hal yang sangat penting, sedangkan taqlid
membawa keragaman dan pertentangan.
Pada ilmu kalam, al-Ghazâlî melihat kemandulan metodologi, kalau yang hendak
dicari adalah hakikat-hakikat, sebab, ilmu ini tidak dipersiapkan untuk itu. Pada filsafat
ia melihat ketidaklengkapan metodologi menyebabkan inkoherensi, karena, filsafat hanya
mengandalkan akal semata. Pada bathiniyah ia melihat kekeliruan, karena dengan konsep
al-ta‘lim, peran pengalaman, pengamatan, dan akal manusia sebagai alat-alat menemukan
sendiri kebenaran dengan kitab suci sebagai pedoman, diabaikan, sehingga pengetahuan
tidak diperoleh manusia dengan sendirinya.
Dalam tasawuf, cara yang ditempuh untuk menemukan hakikat, menurut alGhazâlî, terdiri atas dua tahap, yaitu tahap ilmu dan tahap amal. Ilmu yang dimaksud
dalam hal ini adalah pengetahuan tentang konsep-konsep dan langkah-langkah yang
harus ditempuh di dalam tasawuf, seperti zuhd, faqr, tawakkul, mahabbah, ma‘rifah, dan
sebagainya. Selain itu, diharuskan pula mengetahui syari’at, ilmu-ilmu ‘aqliyah dan keimanan
yang kuat terhadap tiga dasar keimanan.33 Yang dimaksud dengan amal adalah mengalami
secara langsung konsep-konsep dan langkah-langkah yang harus dilalui itu. Ilmu dan amal
menjadi menyatu. Kelihatannya, ia menganggaap bahwa pada sistem-sistem pemahaman
lainnya ada keterpisahan antara ilmu dan amal, khususnya pada falsafat dan ilmu kalam.
Kesan ini terlihat pada pernyataannya bahwa para sufi adalah arbab al-ahwâl (orangorang yang memiliki pengalaman langsung),34 bukan ashab al-aqwâl (orang-orang yang
berbicara). Dalam tasawuf pencarian hakikat tidak akan tercapai dengan pengetahuan
saja, tetapi selain itu, harus dengan pengalaman langsung.
31
Ibid.
Al-Ghazâlî, Al-Qishthas al-Mustaqîm (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970), h. 18.
33
Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, h. 42.
34
Ibid., h. 43.
32
234
M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali
Ketika ia menguji tasawuf, ia pada dasarnya tidak mengalami kesulitan tentang validitas
sumber pengetahuan yang digunakan tasawuf, sebab sebelumnya ia telah yakin adanya
intuisi (al-dzauq) sebagai sumber pengetahuan di atas akal. Akhirnya melalui pengalaman
tasawufnya secara langsung, ia menemukan apa yang dicarinya.
Dari uraian tentang kesangsian al-Ghazâlî ini kelihatan bahwa akal dan al-dzauq
merupakan persoalan yang penting. Keduanya adalah merupakan daya-daya terpenting
dalam diri manusia.
Pemenuhan Diri
Manusia, pada hakikatnya, mempunyai kecenderungan yang inheren pada dirinya
untuk mencapai sesuatu yang secara moral diyakininya baik. Dengan ungkapan lain dikatakan
bahwa manusia senantiasa berada dalam perjalanan eskatalogis menuju keutamaan moralitas.
Moralitas, selanjutnya, dijadikan ukuran kesempurnaan manusia. Karena itu, moralitas
adalah masalah paling sentral dalam semua agama.
Moralitas tergolong kategori nilai.35 Agama-agama pada umumnya mengakui adanya
nilai-nilai yang bersifat mutlak dan objektif, terutama dalam hal moralitas. Sebab, semua
agama mengakui bahwa manusia dengan segala kemampuannya tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dalam hal moralitas.36 Ketidakmampuan inilah yang menjadi
dasar pikiran perlunya petunjuk dari Tuhan melalui rasul-rasul dan kitab-kitab suci.
Pemenuhan diri yang dimaksud di sini adalah upaya penyempurnaan diri sesuai
dengan tuntutan moralitas itu. Dalam sejarah pemikiran Islam, konsep pemenuhan diri
ini lebih jelas kelihatan di kalangan filsuf dan sufi daripada di lingkungan mutakallimun
dan fukaha. Sebab mutakallimun dan fukaha tidak berorientasi kepada hakikat manusia
(ontologi), sedangkan hakikat manusia merupakan persoalan yang sangat mendasar
dalam moralitas. Ada kaitan yang konsisten antara hakikat manusia dan tujuan hidupnya.
Menurut al-Ghazâlî, manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda, yaitu tubuh
yang bersifat materi dan jiwa yang bersifat immateri (al-nafs). Hakikat manusia adalah
al-nafs.37 Sebab, substansi inilah yang membedakannya dari seluruh yang ada38.
Manusia, sebenarnya mempunyai tiga tingkatan al-nafs, yaitu al-nafs al-nabatiyat
(jiwa vegetatif), al-nafs al-hayawaniyat (jiwa sensitif) dan al-nafs al-insâniyat atau disebutnya
35
James Hasting (ed.), Encyclopaedia of Religion and Ethics, vol. V (New York: Charles
Scribner’s Sons, t.t.), h. 584.
36
Muhammad Abul Quasem, The Recitation and Interpretation of the Qur‘an (London:
Kegan Paul International, 1982), h. 9.
37
Al-Ghazâlî, Ma‘arij al-Quds fî Madârij Ma‘rifat al-Nafs (Kairo: al-Jundi, 1968), h. 19, 24.
38
Al-Ghazâlî, Mîzân al-’Amal (Kairo: Dâr al-Ma‘arîf, 1961), h. 209-210. Hakikat pada umumnya
diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan sesuatu, menjadi dirinya sendiri. Lihat Murad Wahbah,
et. al., al-Mu‘jam al-Falsafi (Kairo: al-Tsaqafat al-Jadîdah, 1971), h. 84, 201.
235
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
juga dengan al-nafs al-nathiqat (jiwa rasional). Yang membedakan manusia dari segala
yang ada adalah al-nafs al-nathiqat.39
Al-nafs al-nathiqat mempunyai dua sisi. Sisi yang berorientasi ke badan dan berfungsi
sebagai pengatur badan disebutnya al-‘aql al-‘amali (akal praktis) dan sisi yang berorientasi
ke atas40 yang berfungsi sebagai penyempurna substansinya sendiri dinamakannya al‘aql al-‘ilmi (akal teoritis). Al-nafs selain mempunyai fungsi intelektual (nathiqah), juga
mempunyai fungsi intuitif (al-dzauq).41
Al-Nafs sebagai hakikat manusia mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan
tubuh. Al-nafs tidak berada di dalam kontinum ruang dan waktu, bersifat immaterial,
berada dalam kekekalan dan mempunyai kemampuan menangkap hal-hal yang abstrak.
Sedangkan tubuh berada dalam kontinum ruang dan waktu, bersifat materi dan tidak
mempunyai daya apapun. Karena itu, al-Ghazâlî menyatakan bahwa al-nafs adalah prinsip
penggerak bagi tubuh.42 Gerak di sini tidak hanya berarti gerak fisik, tetapi bermakna
aktivitas, termasuk di dalamnya aktivitas mengetahui. Pengetahuan manusia terhadap
objek-objek material diperoleh karena al-nafs. Tanpa al-nafs, tubuh manusia tidak ada
bedanya dengan benda-benda mati (al-jamad).43 Perbedaan sifat-sifat dasar antara alnafs dan tubuh terjadi karena keduanya berasal dari dunia yang berbeda; al-nafs berasal
dari ‘alam al-amr (disebutnya juga ‘alam al-‘aqli, ‘alam al-a‘la, ‘alam al-malakut), dan tubuh
berasal dari ‘alam al-khalq (disebutnya juga ‘alam al-hiss, ‘alam al-sufla, ‘alam al-mulk).44
Pandangan tentang adanya dua dunia yang berbeda naturnya (thabi‘at) sekaligus
menunjukkan perbedaan dalam kualitasnya. ‘Alam al-amr lebih tinggi tingkatnya daripada
‘alam al-khalq. Ini berarti bahwa al-nafs lebih tinggi daripada tubuh. Selanjutnya, klasifikasi
ini membawa al-Ghazâlî kepada kesimpulan yang menempatkan tubuh hanya bermakna
secara instrumental. Yang bermakna instrinsik pada dirinya hanyalah al-nafs. Asumsi
yang mendasari ini adalah bahwa kesempurnaan mutlak adalah Tuhan. Tuhan adalah
wujud immaterial, tidak berada dalam kontinum ruang dan waktu dan berada dalam
keabadian. Substansi yang paling dekat kepada kenyataan ini hanyalah al-nafs.
Menempatkan al-nafs sebagai hakikat manusia dan memandang daya-daya intelektual
dan intuitif sebagai daya-dayanya yang terpenting menyebabkan al-Ghazâlî melihat
kesempurnaan intelektualitas dan intuisi sebagai kriteria utama kesempurnaan manusia.
Diri manusia dianggap penuh apabila intelektualitas dan intuisinya mencapai kesem-
39
Ibid., h. 27.
Al-Ghazâlî, Mîzân al-’Amal, h. 204-205.
41
Al-Ghazâlî, Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz VIII (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h. 14.
42
Ibid., h. 291.
43
Al-Ghazâlî, Mîzân al-’Amal, h. 209-210.
44
Al-Ghazâlî, Misykat al-Anwâr (Kairo: Maktabat al-Jundi, 1970), h. 26; al-Ghazâlî, Ma’ârij alQuds, h. 23.
40
236
M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali
purnaan. Pemenuhan diri, dengan demikian, adalah peningkatan fungsi intelektualitas
dan intuitif sesuai dengan perannya masing-masing.
Peningkatan ini tidak hanya dilakukan dengan peningkatan kemampuan saja. Bersamaan dengan itu, pembersihan diri dari pengaruh-pengaruh negatif kehidupan material
harus dihindari. Artinya, tuntutan-tuntutan hidup material harus diletakkan sebagai alat
yang menunjang kesempurnaan diri.
Pembersihan diri yang pertama tentunya adalah dari pengaruh-pengaruh negatif
kehidupan material, yang di dalam istilah tasawuf disebut al-zuhd. Tetapi, pembersihan
diri yang sesungguhnya adalah meninggalkan segala bentuk ma‘shiat. Ma‘shiat sering
berasal dari pengaruh-pengaruh kehidupan material. Sebab, segala kegiatan ma‘shiat
bermula dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan badani. Pemenuhan kebutuhan badani
harus dilakukan dengan menempatkannya sebagai instrumen bagi pemenuhan kebutuhan
al-nafs dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan syara‘.45
Pembersihan diri ini disebutnya juga dengan al-takhliyat, yaitu mengosongkan
diri dari sifat-sifat tercela. Pengosongan ini sekaligus berlanjut dengan pengisian kembali
dengan sifat-sifat terpuji yang disebutnya dengan al-tahliyat. Al-Takhliyat dan al-tahliyat
dilakukan dengan latihan yang panjang. Apabila dengan latihan ini al-nafs mencapai
tingkat tertentu di mana keinginan untuk selalu mengarah kepada Tuhan mencapai kestabilannya,
al-nafs disebutnya al-nafs al-muthmainnat.46 Al-nafs yang selalu dalam perjuangan menentukan
orientasi kepada Tuhan atau kepada tuntutan-tuntutan badani disebutnya al-nafs allawwamat. Al-nafs yang lebih rendah adalah selalu berorientasi kepada tuntutan-tuntutan
badani.47 Dengan latihan yang terus-menerus, al-nafs al-muthmainnat, setelah melalui
fase al-takhliyat dan al-tahliyat, mencapai tingkat al-tajalli. Pada tingkat ini pengetahuanpengetahuan abstrak dan informasi-informasi tentang dunia gaib terbuka kepada al-nafs.
Manusia pada tingkatan ini telah mencapai kesempurnaanya.48
Pembersihan diri ini merupakan penanaman kesadaran moral. Latihan yang panjang
itu akhirnya akan melahirkan kesadaran moral yang sangat dalam. Al-Ghazâlî senantiasa
menekankan keharusan mempedomani syara‘ dalam kegiatan pembersihan diri. Sebab,
menurutnya, manusia dengan sendirinya tidak mampu mengetahui baik dan buruk secara
praktis. Akal manusia hanya mampu mengetahui baik dan buruk secara universal (kulli).49
Pemenuhan diri ini diperlukan karena merupakan tuntutan hakikat manusia. Hakikat
45
Al-Ghazâlî, Ma‘ârij al-Quds, h. 99.
Ibid., h. 20; al-Ghazâlî, Ihya‘ ‘Ulûm al-Dîn, Juz VIII (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h. 7.
47
Ibid.
48
Pengertian konsep-konsep al-tahliyat, al-takhliyat, dan al-tajalli dapat dilihat pada al-Ghazâlî,
Al-Imla’ fî Isykalat al-Ihyâ‘ (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h. 9.
49
Al-Ghazâlî, Ma‘ârij al-Quds, h. 65.
46
237
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
manusia mengandung kecenderungan secara fithri untuk tauhîd.50 Tauhîd adalah pengetahuan
yang lebih sempurna tentang Tuhan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pemenuhan diri menurut al-Ghazâlî mencakup
penajaman daya-daya al-nafs, terutama fungsi intelektual dan intuitifnya, peningkatan
kesadaran moral, dan ketaatan kepada ajaran-ajaran syara‘. Dengan demikian, al-Ghazâlî
telah membuat satu kombinasi kreatif antara filsafat, tasawuf dan syari‘at. Ketiganya ditempatkan sebagai unsur-unsur yang bersifat komplementer untuk membentuk satu integralitas
dalam pribadi seorang Muslim yang sempurna.
Modernisme dan Kritik Pascamodernisme
Abad modern dimulai dengan revolusi ilmu pengetahuan. Revolusi ilmu pengetahuan
ditandai dengan kemenangan Rasionalisme dan Empirisme dari dogmatisme agama di
Barat.51 Perpaduan Rasionalisme dan Empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan
apa yang disebut metode ilmiah. Dengan metode ilmiah, kebenaran pengetahuan hanya
diukur dengan kebenaran koherensi dan kebenaran korespondensi.52 Pengetahuan diakui
dari sudut ilmiah apabila secara logika bersifat koheren (runtut) dengan kebenaran sebelumnya
dan didukung oleh fakta empiris (koresponden).
Kepercayaan yang sangat tinggi terhadap metode ilmiah yang demikian tampaknya
membawa kesadaran yang kurang atau bahkan tidak apresiatif terhadap pengetahuan
yang berada di luar lingkup pengujian metode ilmiah, termasuk pengetahuan dan nilainilai religius.53 Ilmu betul-betul bersifat sekular sekular, dan manusia pun hanya diperhitungkan
dari sudut biologis dan fisiologisnya. Ilmu-ilmu pengetahuan yang lahir dari penerapan metode
ilmiah ini demikian pesatnya dan memberikan kepada manusia pengetahuan yang semakin
tajam tentang alam semesta. Manusia semakin sempurna menaklukkan dan mengolah
alam untuk tujuan memperoleh kemudahan dalam kehidupan. Hubungan ilmu pengetahuan
dengan nilai-nilai, terutama yang berasal dari agama, pada tingkat yang ekstrim dianggap
bersifat kontradiktif; sekurang-kurangnya ilmu pengetahuan terbebas dari nilai dalam
arti menyeluruh.54 Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kerangka berpikir keilmuan
manusia modern berusaha melepaskan diri dari dimensi spiritual. Kesadaran manusia digiring
ke arah yang sekular.
50
Al-Ghazâlî, Mîzân al-’Amal, h. 335.
F. B. Burnham (ed.), Postmodern Theology (San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1989),
51
h. ix.
52
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, h. 11-12.
Lihat misalnya pernyataan Betrand Russel mengenai kehidupan sesudah mati, dalam
Bertrand Russel, Religion and Science (London: Oxford University Press, t.t.), h. 142; T.G. Masaryk,
Modern Man and Religion (Westport-Connecticut: Greenwood Press, Publishers, 1970), h. 55.
54
Dari pandangan inilah muncul semboyan “ilmu untuk ilmu”.
53
238
M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali
Sebenarnya modernisme dengan segala cirinya adalah refleksi kritis terhadap kerangka
berfikir dan kesadaran abad-abad pramodern yang bercorak otoritarianisme.55 Refleksi
kritis ini muncul ketika kerangka berpikir dan kesadaran yang bercorak otoritarianisme
dirasakan tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh ummat
manusia. Demikian juga halnya dengan kerangka berpikir keilmuan dan kesadaran modernisme,
ketika dirasakan kelemahan-kelemahannya dan dampak-dampak negatif yang dibawanya
kembali muncul kritik-kritik terhadapnya.
Secara umum, yang dirasakan sebagai kelemahan pola berpikir keilmuan modern
adalah kepercayaannya yang berlebihan terhadap akal dengan mengenyampingkan dimensi
spiritual dan nilai-nilai keagamaan.56 Pertimbangan nilai dalam rangka pengembangan dan
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mendapat tempat yang sewajarnya.
Akibatnya, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam banyak hal tidak menyelesaikan persoalan
kehidupan, bahkan membawa persoalan baru yang lebih serius. Dalam hal kesadaran
manusia modern, yang dirasakan kelemahanya adalah rapuhnya pegangan moral dan
hilangnya orientasi hidup yang bermakna. Tujuan hidup terbatas pada pencapaian sasaransasaran yang bersifat material dan duniawi. Keadaan ini membawa manusia kepada keterasingan,
frustasi, dan kehampaan eksistensial.57
Metode ilmiah yang sama sekali bebas nilai dan kesadaran manusia yang terlepas
dari dimensi spiritual terbukti tidak membawa kebahagian dalam kehidupan manusia.
Bersamaan dengan kritik-kritik itu timbul pula revisi dalam bentuk merelatifkan
keabsolutan yang selama ini dinisbahkan kepada metode ilmiah, sekaligus berupaya membuka
jalan bagi masuknya nilai-nilai ketuhanan dan dimensi spiritual ke dalam dasar ontologi
dan dasar aksiologi keilmuan. Bahkan ada yang melihat bahwa nilai-nilai dapat masuk ke
dalam proses metodologi keilmuan. Metode ilmiah tidak dapat lagi dipertahankan bersifat
netral dalam arti yang mutlak.
Dalam hal kesadaran manusia secara praktis timbul gejala pencarian makna hidup
dan upaya pemenuhan diri pada kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas.
Organized religion tidak selamanya dapat memenuhi harapan. Sebab itu, bermunculan kecenderungan untuk kembali kepada orisinalitas (fundamentalis), kharisma yang menentukan
(cults), dan fenomena-fenomena yang luar biasa (magic).
Keberagamaan manusia pascamodern cenderung bersifat pencarian pribadi.58 Sudah
tentu, ini selamanya tidak membawa hasil yang positif. Sejumlah kelompok keagamaan
sempalan menunjukkan gejala-gejala yang negatif, bahkan bukan tidak mungkin dalam
55
Otoritarianisme selanjutnya dapat dilihat pada G.T.W. Patrick, Introduction to Philosophy
(London: George Allen and Unwin Ltd., t.t.), h. 327-329.
56
Masaryk, Modern Man and Religion.
57
Bergin, “Psikoterapi dan Nilai-Nilai Religius,” h. 5.
58
Ahmed, Postmodernism and Islam, h. 10.
239
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
hal seperti ini terjadi manipulasi keadaan dengan maksud mengambil keuntungan dari
kehausan manusia-manusia yang kehilangan pegangan dan orientasi hidup itu.
Berbeda dengan kritik modernisme terhadap kerangka berpikir keilmuan dan kesadaran
pramodern, kritik pascamodernisme terhadap kerangka berpikir keilmuan dan kesadaran
manusia modern lebih merupakan revisi penyempurnaan ketimbang penghancuran. Kritik
pascamodernisme tidak menghilangkan rasionalitas dan tidak mengalihkan perhatian
manusia dari fenomena material ke dunia spiritual, tetapi melengkapi rasionalitas dengan
dasar-dasar filosofi yang memuat pandangan dunia59 dan moralitas keagamaan.
Penutup
Dari uraian tentang epistemologi al-Ghazâlî di atas, tampak jelas bahwa pengamatan
dan akal tidak dapat diandalkan sebagai dasar kebenaran pengetahuan secara mutlak.
Ada daya lain di dalam diri manusia untuk menangkap pengetahuan tertentu yang lebih
tinggi dengan sifat dan ukuran-ukurannya sendiri, yaitu intuisi (al-dzauq). Al-Ghazâlî tidak
mengabaikan pengamatan dan akal, tetapi meletakkannya sesuai dengan watak masingmasing secara proporsional. Apabila dilihat dalam konteks modernisme dan pasca modernisme,
signifikansi epistemologi al-Ghazâlî adalah pada penempatan ketiga daya itu secara proporsional
sesuai dengan wataknya masing-masing, dan hubungan antara satu dan lainnya yang
bersifat komplemeter. Ini membawa konsekuensi keharusan adanya landasan teologis
dan moral bagi ilmu pengetahuan.
Dari segi kesadaran manusia, dengan mudah dapat dilihat signifikansi pemikiran alGhazâlî. Manusia modern membutuhkan pegangan moral dan makna hidup. Al-Ghazâlî
menawarkannya dalam bentuk pemenuhan diri yang diuraikan di atas, yaitu dengan meningkatkan fungsi daya-daya yang ada pada diri manusia dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dari pembahasan tentang epistemologi al-Ghazâlî dan pandangannya tentang
orientasi hidup dihubungkan dengan konteks zamannya, kedua aspek pemikiran itu
mempunyai signifikansi dengan kebutuhan perkembangan epistemologi dan kesadaran
pasca-Modernisme.
Pustaka Acuan
‘Abd al-Rahman Badâwî. Muallafat Al-Ghazâlî. Damaskus: al-Majlis al-A’la li Ri‘ayat alFunûn, 1961.
Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam. London-New York: Routledge, 1992.
59
Huston Smith, Postmodernism and World’s Religion (Makalah, disampaikan pada Inaugural
Symposium: Islam and the Challenge of Modernity, ISTAC Kuala Lumpur, 1-5 Agustus 1984, h. 9.
240
M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali
Bastaman, Hanna Djumhana. “Dimensi ‘Spiritualitas’ dalam Teori Psikologi,” dalam Ulumul
Quran, Nomor 4, Vol. V, 1994.
Burnham, F. B. (ed.). Postmodern Theology. San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1989.
Cassirer, Ernst. Manusia dan Kebudayaan, terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta:
Gramedia, 1987.
Dunia, Sulaimân. Al-Haqîqah fî Nazhar al-Ghazâlî. Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1971.
Al-Ghazâlî. Al-Imla‘ fî Isykalat al-Ihyâ’. Beirut: Dâr al-Fikr, 1980.
Al-Ghazâlî. Al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd. Kairo: Muhammad ‘Alî Shubaih, 1962.
Al-Ghazâlî. Al-Munqidz min al-Dhalâl. Kairo: Silsilah al-Tsaqafat al-Islâmiyah, 1961.
Al-Ghazâlî. Al-Qishthas al-Mustaqîm. Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970.
Al-Ghazâlî. Ihyâ‘ ‘Ulûm al-Dîn, vol. VIII. Beirut: Dâr al-Fikr, 1980.
Al-Ghazâlî. Ma‘ârij al-Quds fî Madârij Ma‘rifat al-Nafs. Kairo: al-Jundi, 1968.
Al-Ghazâlî. Mi’yar al-’Ilm. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1960.
Al-Ghazâlî. Misykat al-Anwâr. Kairo: Maktabat al-Jundi, 1970.
Al-Ghazâlî. Mîzân al-’Amal. Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1961
Hasting, James, (ed.). Encyclopaedia of Religion and Ethics, Vol. V. New York: Charles
Scribner’s Sons, t.t.
Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Masaryk, T.G. Modern Man and Religion. Westport-Connecticut: Greenwood Press,
Publishers, 1970.
Patrick, G. T. W. Introduction to Philosophy. London: George Allen and Unwin Ltd., t.t.
Quasem, Muhammad Abul. The Recitation and Interpretation of the Qur‘an. London: Kegan
Paul International, 1982.
Russel, Bertrand. Religion and Science. London: Oxford University Press, t.t.
Smith, Huston. Postmodernism and World’s Religion. Makalah, disampaikan pada
Inaugural Symposium: Islam and the Challenge of Modernity, ISTAC Kuala Lumpur,
1-5 Agustus 1984.
Al-Subkî. Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubrâ, Juz IV. Mesir: Mushthafa al-Bâbî al-Halabi, t.t.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia, 1983.
‘Utsman, ‘Abd al-Karîm. Sîrah al-Ghazâlî. Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t.
Wahbah, Murad, et al. Al-Mu’jam al-Falsafi. Kairo: al-Tsaqafat al-Jadidah, 1971.
Watt, W. Montgomery. The Faith and Practice of al-Ghazâlî. London: George Allen and
Unwin Ltd., 1953.
241
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
MEMBANGUN TATANAN SOSIAL MELALUI MORALITAS
PEMBUMIAN AJARAN TASAWUF
Said Aqil Siradj
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 117, Surabaya, 60237
e-mail: said_aqil_sirodj@yahoo.com
Abstrak: Perkembangan dunia kontemporer memperlihatkan kecemasan global
umat manusia. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak jarang
manusia Modern melakukan hal-hal yang membahayakan kemanusiaan secara
umum. Islam, dengan pandangan batiniahnya, menempatkan manusia sebagai
makhluk Ilahiyah yang memiliki fungsi menjelmakan cahaya Ketuhanan di dalam
kehidupan. Tulisan ini berusaha memperlihatkan bahwa pembumian ajaran-ajaran
sufistik merupakan langkah signifikan dalam mengarahkan tatanan kehidupan dunia
yang ramah, anggun dan penuh rahmat bagi sekalian alam. Penulis menyimpulkan
bahwa bertasawuf pada hakikatnya adalah aktivitas berupa kesadaran manusia yang
paling dalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya,
yang terilhami oleh kualitas asmâ‘ dan shifat Allah dan kemudian terwujud dalam
perilaku sosialnya.
Abstract: Developing Social Order through the Morality of the Application
of Tasawuf Teachings. The rapid development of contemporary world results
in global anxiety of humankind. With the prosperity of scince and technology, modern
man has often performed actions that are against humanity in general. Islam with
its esoteric perspective places man as godly creature functioning to existentiate the
light of the Divine in life. In this writing is it is attempted to show that the application
of sufistic teachings is a significant step in directing a friendly and peaceful life of the
world order, merciful of God necessary for the whole creatures. The author concludes
that in reality, applying tasawuf is an activity that reflect man’s deep consciousness
of his relationship with God, the environment and his fellow man inspired by the
quality of the names and character of God which are then persevered in the social
activities.
Kata Kunci: tasawuf, ‘irfani, moralitas, dzawq
Pendahuluan
Mencermati perkembangan Islam saat ini tampaknya begitu lekat dengan konflik sosial
242
Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial
bertabur kekerasan, sehingga seakan mengantarkan pada kita sebuah kesimpulan ekstrim
bahwa Islam tidak lagi mampu melahirkan masyarakat yang harmonis, apalagi kreatif. Ajaran
Islam yang secara substansi semestinya adalah kumpulan doktrin yang mendamaikan
digeser menjadi ajakan kekerasan. Islam yang secara hermeneutis adalah kumpulan teks
yang membebaskan bermetamorfosis menjadi gumpalan yang rigid.
Ironisnya, penghayatan Islam yang demikian justru telah menginspirasi pandangan
general tentang Islam, khususnya bagi non Muslim Barat, misalnya tulisan utama The New
York Times yang berjudul “Seeing Green: The Red Menace is Gone. But Here’s Islam” (Momok
Hijau: Bahaya Merah telah Berlalu. Tetapi Sekarang Islam).1 Pesan yang terdapat di dalam
tulisan tersebut adalah “Islam itu berbahaya.”
Hal itu memunculkan keprihatinan umat Islam, sebab bagaimanapun Islam bukanlah
reprentasi kekerasan, dan bukan pula berposisi vis-à-vis dengan non Muslim. Melainkan
bagaimana Islam dengan moralitasnya mampu memberi cahaya damai di tengah-tengah
masyarakat yang plural. Karenanya, demi membungkam sekaligus mencerahkan terhadap
pandangan tentang Islam yang dangkal itu, maka pemahaman Islam perlu dikembalikan
pada penilaian yang subtantif. Yakni diperlukan penyegaran pada tingkat keberagamaan
yang lebih bersifat mendalam dan peresapan. Karena itu, tawaran tasawuf merupakan
representasinya. Dengan cara bertasawuf memberikan keniscayaan dalam melihat ajaran
Islam secara seimbang, harmonis. Dan dari berbagai tepian sehingga tidak merusak tatanan
kosmis yang seimbang dan harmonis ini.
Dari persoalan tersebut, tulisan ini mengangkat nilai-nilai tasawuf sebagai tawaran
yang diharapkan mampu bersenyawa dengan realitas sosial melalui spiritualitas agar
memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan
batin, yang pada gilirannya nanti berperan sebagai arsitektur dalam tatanan sosial melalui
moralitasnya.
Menakar Epistemologi Tasawuf
Epistemologi Barat modern tidak dapat dilepaskan dari sejarah manusia tiga abad
terakhir ini, yang disebut dengan renaissance. Rene Descartes (1596-1650) sumber idenya
telah menformulasikan sebuah prinsip, cogito ergo sum (aku berpikir, karena itu aku ada).2
1
Dilansir Bruce B. Lawrence dari The New York Times Week in Review (21 Januari 1996).
Lihat Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tungggal: Melepaskan Islam dari Kekerasan, terj. Harimukti
Bagoes Oka (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 9.
2
Menurut Descartes (1596-1649), adalah keliru jika dikatakan bahwa kebenaran dapat
dicapai dengan sesuatu yang sudah pasti dan tidak dapat diganggu gugat. Menurutnya, untuk
mencapai kebenaran, seseorang harus melepaskan diri dari segala macam prasangka, termasuk
prasangka yang berupa keyakinan dari dogma-dogma agama. Sebagai gantinya, ia harus menggunakan rasio dan pengetahuan berdasarkan fakta. Lihat Horald Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj.
M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 78.
243
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Dengan prinsip ini, Descartes yang dikenal sebagai bapak rasionalisme telah menjadikan
rasio sebagai satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Pandangan ini terinspirasi
oleh ide Plato (427-347SM) yang beranggapan, pengalaman indera tidak mampu memberikan
pengetahuan yang pokok karena sifatnya yang berubah-ubah.
Sedang pandangan lain, bertolak belakang dengan pandangan di atas, diadopsi dari
Aristoteles (384-322SM) yang beranggapan bahwa realitas sebenarnya adalah sesuatu
yang dapat diindera, bukan diidea. Pandangan ini kemudian memunculkan John Locke
(1632-1704) dengan penegasannya bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman
atau empiris. Dalam perkembangannya, ide empiris ini dikembangkan oleh Thomas Hobbes
(1588-1679), G. Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1779) yang kemudian
diintroduksi oleh Auguste Comte (1798-1857) menjadi teori positivistik. Dalam pengertian
positivistik ini maka kebenaran adalah yang tampak, sedang gejala-gejala di luar fakta
adalah tertolak.3 Pandangan yang saling berlawanan antara rasionalisme dan empirisme
tersebut menemukan sintesisnya melalui teori kritisme yang digagas oleh Immanuel
Kant (1804). Menurut pandangannya suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat
dicari hanya pada kekuatan akal ilmiah sendiri melainkan justru membuka diri terhadap
realitas empirik.4
Dalam garis besarnya, epistemologi yang berkembang di dunia Barat secara teoretik
menampilkan tiga pola yang berbeda; pertama, teori korespondensi, yakni kebenaran
atau keadaan benar itu berupa kesesuaian (korespondensi) arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau fakta.5 Dapat pula dikatakan,
bahwa teori dalam kebenaran ini dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif.6
Kedua, teori konsistensi atau koherensi, yakni suatu putusan adalah benar apabila putusan
itu konsisten (consistent) dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu diterima dan
ketahui benarnya. Putusan yang benar adalah suatu yang saling berhubungan (coherent)
secara logis dengan putusan-putusan yang lainnya yang relevan. Dengan demikian, putusan
yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan.
Dengan kata lain kebenaran adalah kecocokan (truth is consistency).7 Ketiga, teori pragmatis,
yakni benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-semata bergantung berfaedah
tidak ucapan, dalil, atau teori tersebut untuk bertindak dalam penghidupannya. Dengan
kata lain, baik teori, hipotesis atau idea adalah benar apabila ia membawa kepada akibat
yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis.
3
Ibid., h. 256.
CA. Van Peusen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 86.
5
Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Jogjakarta: Tiara Wacana,
2004), h. 242-243.
6
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 19.
7
Ibid., h. 24.
4
244
Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial
Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi,
kebenaran ialah apa saja yang berlaku (works).8
Teori korespondesi yang dekat dengan mazhab realisme menempatkan kebenaran
yang diraih tergantung pada realitas objektif. Dengan titik tolak yang demikian, terdapat
keberatan terhadap teori korespondensi, yakni mengabaikan kebenaran di balik realitas
objektif seperti kebenaran dalam peristiwa fenomena alam fatamorgana. Sedang teori
konsistensi atau koherensi yang berkembang di bawah pengaruh Georg Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831) yang didukung mazhab idealisme menempatkan kebenaran subjektivitas,
yakni kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran pengetahuannya tanpa memandang keadaan riil peristiwa-peristiwa. Dengan kata lain, manusia
adalah ukuran segala-galanya.9 Kebenaran yang demikian bagi Suhrawardî tetap tidak
akan dapat mencapai kebenaran secara keseluruhan, karena ada kebenaran yang tidak
dapat dicapai seperti tidak mampu menjelaskan selurus eksistensi di luar pikiran seperti
soal warna, rasa, dan bayangan. Di saat yang sama teori konsistensi atau koherensi yang
menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring
pada proses tanpa akhir. Adapun teori pragmatisme yang menempatkan kebenaran disandarkan
pada kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruh yang
memuaskan (satisfactory consequences) pada gilirannya menghadirkan kritik terhadap
kebenaran teori tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Pierce, bahwa “suatu ide tidaklah
disebut benar karena memuaskan, ia dikatakan memuaskan karena ia benar.”10
Konsepsi-konsepi sumber pengetahuan di atas merupakan representasi dasar epistemologi
yang berkembang di dunia Barat. Karakteristik epistemologi yang dilahirkan hanya berkisar
pada segala sesuatu yang dapat diserap pancaindera dan alat bantu belaka. Hal tersebut
membenarkan penegasan Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah
tidak mungkin, karena tidak disandarkan kepada pancaindera.11 Masih menurutnya, dalam
metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam
matematika, fisika, dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan
metafisika sebagai “a transcendental illusion” (ilusi transenden). Masih menurutnya lagi,
metaphysical assertion are without epistemological value (pernyataan-pernyataan metafisika
tidak memiliki nilai epistemologis).12 Kesimpulan dari epistemologi Barat yang demikian
itu hanya kisaran dunia objektif dengan penekanan akal (rasio) dari pada alam perasaan
(intuisi). Padahal sebenarnya masih banyak realitas lain yang memerlukan penelitian lebih
mendalam sebagai upaya untuk mengungkapkan selubung misteri yang tidak semata-mata
mampu diserap akal (rasio) maupun indera.
8
Ibid., h. 26-27.
Ibid., h. 24-25.
10
Ibid., h. 30.
11
Justus Harnock, Kant’s Theory of Knowledge, trans. M. Holmes H (London: Macmillan, 1968),
h. 142-145.
12
Ibid.
9
245
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Sementara itu dalam Islam, dengan bersandar pada Rasullah SAW. sebagai suri tauladan
bagi seluruh manusia, telah ditegaskan bahwa pusat eksistensi manusia yang menentukan
kualitas berpusat pada qalb (kalbu). Jika epistemologi Barat sebagai pengetahuan mengedepankan akal, maka sebenarnya telah membatasi potensi kecerdasan manusia hanya
pada kecerdasan intelektual semata. Definisi cerdas dan berpikir manusia hanya dibatasi
oleh bekerjanya simpul-simpul saraf di otak berdasarkan premis-premis logika yang telah
dijadikan postulat sebagai kebenaran. Padahal dalam diri manusia terdapat kalbu sebagai
anggota rohani yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui kalbu, jiwa rasional
(al-nafs al-nathîqah) dapat membedakan antara kebenaran (haqq) dengan kepalsuan (bathil).13
Abû Hamid al-Ghazâlî dalam karya monumentalnya Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn menjelaskan
bahwa qalb (kalbu) adalah sarana pengetahuan intuitif (ma‘rifah), bukan indera atau akal.14
Selanjutnya, ia menggambarkan kalbu sebagai sarana ma‘rifah sebagaimana dalam bentuk
cermin, yakni pengetahuan yang muncul adalah pantulan gambaran realitas yang terdapat
di dalamnya. Dengan demikian jika cermin kalbu itu tidak bersih, maka ia tidak akan
memantulkan realitas-realitas pengetahuan. Menurutnya, yang membuat cermin kalbu
tidak bening adalah hawa nafsu tubuh, di sisi lain ketaatan kepada Allah SWT. dan keberpalingan dari tuntutan hawa nafsu, justru akan membuat kalbu menjadi bening dan terang.15
Kemampuan mengolah kalbu inilah yang kemudian melahirkan realitas intuisi (intuision)
dalam menjamah kebenaran (truth). Para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa
yang mendalam (dzawq) yang bertalian dengan perspektif batin. Dengan kata lain, pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan dan dipatrikan pada
kalbu seseorang sehingga tersingkap sebagian rahasia dan tampak sebagai realitas. Dengan
kata lain perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis sebagaimana
pengetahuan rasional, melainkan dengan jalan kesalehan (baca: sufi), karena seseorang
memiliki kebeningan kalbu sehingga menghasilkan wawasan spiritual yang prima.
Proses sampainya qalb (kalbu) pada cahaya Tuhan terkait erat dengan konsep takhalli,
tahalli dan tajallî. Dalam kondisi takhallî seseorang mengosongkan diri dari akhlak yang
tecela dan perbuatan maksiat melalui taubat, dilanjutkan dengan tahallî di mana seseorang
menghiasi perilakunya dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah yang kemudian mengantarkan kepada kondisi tajallî di mana terbukanya hijab sehingga tampak jelas baginya
cahaya Tuhan. Menurut Douglas V. Seere, dalam pengetahuan yang demikian, seseorang
berada dalam kondisi yang amat sadar tentang kehadiran Yang Maha Riil (The condition
of being over whelmingly aware of the presence of the Ultimity Real). Masih menurutnya, intuisi
dalam mistik (sufi) memiliki implikasi yang lebih jauh, mungkin dapat menjelma menjadi
persatuan aku dengan Tuhan pribadi (ittihâd) ataupun kesadaran kosmis (wahdat al-wujûd).16
13
S.M.N. al-Attas, The Concept Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), h. 14.
Abû Hâmid al-Ghazâlî, Ihyâ‘ ‘Ulûm al-Dîn (Kairo: Musthafâ Bâbî al-Halâbî, t.t.), h. 3.
15
Ibid., h. 12-13.
16
Douglas V. Seere, “Mysticism,” dalam Hand Book of Christion Theology (New York: World,
1958), h. 371-372.
246
14
Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial
Dengan membandingkan karakteristik epistemologi di atas, maka dapatlah disimpulkan
bahwa pandangan ilmiah yang ditawarkan oleh epistemologi Barat tampak sekali bersifat
distorsif, dan dengan sendirinya terlindas oleh pandangan progresif tasawuf yang mampu
memberikan makna mendalam tentang realitas. Misal dalam memandang alam semesta
(kosmos) akan berkesimpulan realitas bukanlah satu-satunya, melainkan tanda-tanda
dari “realitas sejati” yang ada di balik fenomena positif. Dengan kata lain, kosmos adalah
cerminan “realitas sejati”. Karena itu kosmos berfungsi sebagai tanda-tanda eksistensi
Tuhan. Pandangan progresitas tersebut menemukan dasarnya dalam hhadis qudsi yang
sering dikutip para sufi ketika menyelami realitas sejati, sebagaimana firman-Nya, “kuntu kanzan
makhfîyan fa`ahbabtu ‘an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa fabî ‘arafûnî” (Aku adalah khazanah
yang tersembunyi, dan Aku ingin diketahui, karena itu Aku menciptakan makhluk agar Aku
diketahui).
Berangkat dari pandangan tersebut, para sufi memandang kosmos adalah tajallî
(penampakan, representasi) dari Tuhan. Mereka berkesimpulan bahwa ada kaitan yang
erat antara makhluk dengan Sang Khalik. Kaitan erat ini termanifestasi dalam konsep
bahwa kosmos (alam semesta) beserta seluruh isinya dan apa saja yang berkaitan dengannya,
tak lain adalah tajallî dari Allah. Dengan kata lain, realitas sejati yang bersifat spiritual telah
diberikan bentuk ragawi oleh kosmos. Tegasnya, realitas samawi adalah tak berwujud dan
bersifat spiritual, dan bumi memberinya bentuk ragawi. Analoginya, “ruh” tidak bisa berbuat
banyak tanpa badan dan raga, yang berfungsi sebagai wahana atau sarana.
Progresivitas epistemologi tasawuf di atas juga selaras dengan titah al-Qur’an dalam
berbagai ayat yang mengajak manusia agar menggunakan kemampuan dirinya untuk
mengamati dan merenungkan segala peristiwa yang terjadi dalam kosmos ini, bahkan
tentang hal ihwal dirinya sendiri.17 Karena di dalamnya terkandung bukti-bukti yang kuat
dan meyakinkan tentang adanya Allah pencipta jagad raya. Jadi dalam epistemologi tasawuf,
realitas dan kebenaran bukanlah semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan
manusia dalam sejarah dan sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam
epistemologi Barat mengenai dunia yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Bagi
tasawuf realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia
yang tampak dan tidak tampak.
Sayangnya, tawaran epistemologi yang progresif tersebut oleh sebagian umat Islam
kini justru sulit untuk dijamah, sebaliknya mereka hanya memandang realitas sejati
sekadar dipahami sebagai simbol lalu dianggap seperti “patung” indah yang tak boleh disentuh
tangan sejarah. Di sisi lain, cara pandang epistemologi Barat, khususnya positivistik yang
jelas-jelas tidak mampu memberikan nilai rasionalitas terhadap ajaran-ajaran agama
justru ditampilkan dalam memahami ajaran-ajaran agama Islam, sebagaimana pandangan
‘skripturalisme’ yang menempatkan asumsi; “semakin harfiah seseorang memahami sabda
17
Q.S. al-Fushilât/41: 53; Q.S. al-Kahfi/18: 51; Q.S. al-Rûm/30: 8; dan Q.S. Yâsin/36: 36.
247
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Tuhan, semakin dekat orang tersebut kepada kehendak-Nya; semakin ia asyik dan sembrono
dalam penafsiran non literal, maka semakin jauh ia dari kehendak-Nya”. Asumsi ini dengan
sendirinya mengeliminasi konteks yang tak terbatas sebagai realitas lain tertutup akibat
berdasar pada teks yang terbatas.
Cara pandang tersebut identik dengan positivistik yang telah disinggung sebelumnya.
Dalam praktiknya, aktualisasi cara pandang tersebut mengantarkan pada pemerkosaan
nilai-nilai substansi agama ke dalam bingkai, meminjam bahasa Abou El Fadl, otoritarianisme,
yakni “tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam
sebuah penetapan makna, dan kemudian menyajikan penetapan tersebut sebagai sesuatu
yang pasti dan absolut, dan menentukan.”18 Alhasil, akses terhadap kerangka kerja yang
demikian senyatanya mengarah pada keyakinan absolutisme yang tidak kenal kompromi,
yakni tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang
realitas plural sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.
Bertasawuf sebagai Sandaran Cermin Tuhan
Sebagaimana paparan singkat di atas bahwa epistemologi tasawuf telah menyandarkan
pada ma‘rifah (intuisi) untuk menggapai hakikat-hakikat batin yang tidak tercapai kesempurnaannya hanya oleh berpikir yang bekerja hanya pada simpul-simpul saraf di otak. Adapun
puncak dari bertasawuf dengan sarana ma`rifah-nya adalah menyadarkan manusia bahwa
dirinya adalah merupakan manifestasi Tuhan. Semboyannya adalah; “awal kesempurnaan
adalah ma`rifat tentang manusia, sedangkan ma’rifat Allâh adalah puncaknya”.19 Tegasnya,
ma`rifat adalah sarana sampai pada keyakinan atas kesadaran penyatuan manusia dengan
Tuhan.
Kondisi seperti itu disebut dengan fanâ’. Dalam pengertiannya, fanâ’ adalah bergantinya
sifat-sifat kemanusian dengan sifat ketuhanan. Untuk memudahkan pengertian esensi fanâ’
ada baiknya mengetahui penjelasan tipologi al- fanâ’ ’an al-nafs secara ringkas dari alQusyayri, “Ketika sufi fanâ’ dari diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran kesadarannya terfokus
pada sifat-sifat Tuhan, maka dia baqa’ dalam penghayatan alam ghaib (kasyf al-hijâb), lalu
ketika sufi fanâ’ dari penghayatan sifat-sifat Tuhan, maka dia baqa’ dalam penyaksian Tuhan
(ma‘rifat Allâh), dan ketika pada puncak ma‘rifah, maka sufi mengalami fanâ’ al-fanâ.20
Kondisi fanâ’ tersebut yang mengantarkan Abû Yazid al-Bustâmî (364 H/877 M)
sebagai tokoh pencetus paham ittihâd. Ke-fanâ’-an telah membawa al-Bustâmî kepada
18
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (England:
Oneworld Publications, 2003), h. 92.
19
Said Aqil Siradj, Ma‘rifatullah: Pandangan Agama-Agama, Tradisi dan Filsafat (Jakarta:
éLSAS, 2003), h. 13-14.
20
Abu Qasim al-Qushayri, al-Risâlah al-Qushayriyah, diedit oleh Abd Qadir Mahmud (Kairo:
Dâr al-Kutub al-Hadithah, 1974), h. 231.
248
Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial
ittihâd. Fana’ sendiri merupakan pra kondisi menuju ittihâd. Kesadaran yang terserap dan
luluh ke dalam kesadaran serba Tuhan inilah yang merepresentasikan ittihâd. Ketika ittihâd,
sufi menyadari suatu wujud (Tuhan), sehingga dapat terjadi tukar peran antara sufi dan
Tuhan; salah satu darinya dapat memanggil yang lain dengan kata-kata “Yâ anâ” (Hai aku).
Dalam teks Arabnya kata-kata tersebut berbunyi, “fa yaqûlu al-wâhidu lil al-‘âkhiri yâ anâ”
(maka yang satu kepada yang lainnya mengatakan aku). Kondisi semacam ini pernah
dialami oleh al-Bustâmî. Ungkapan yâ anâ yang dimaksud bukan al-Bustâmî itu sendiri, melainkan
ia telah bersatu batin dan ruhnya dengan Tuhan melalui ke-fanâ’-an. Ungkapan al-Bustâmî
dalam kondisi seperti itu disebut syathahât, yakni ekspresi pikiran dan cita rasa yang
berkecamuk dalam hati para sufi. Ekspresi itu bersifat bebas dan spontan tanpa tunduk
terhadap wilayah murâqabah atau aturan. Singkat kata, mentrasfer isyarat–dari batin
ke zahir– dengan ucapan.21 Dengan demikian syathahât adalah ungkapan perasaan ego
bahwa ia adalah Allah dan Allah adalah ego, sehingga berdiri di ambang kesatuan.
Fanâ’ juga mengantarkan al-Husain ibn Manshûr al-Hallâj (244/858-309H/921M)
kepada paham hulûl. Tuhan, menurut al-Hallaj, adalah Yang Maha Cinta dan Kasih, cintakasih terhadap diri-Nya sendiri menjadi `illah (sebab) adanya semua makhluk, termasuk
Adam (manusia) sebagai ciptaan-Nya paling sempurna karena pada diri-Nyalah Tuhan
muncul dengan sîrah-Nya (gambarNya).22 Atas dasar ini al-Hallâj menyakini bahwa dalam
diri Tuhan ada natur kemanusiaan yang disebut nâsût, dan pada diri manusia ada natur
ketuhanan yang dia sebut lâhût. Dengan demikian, al-Hallâj mengakui eksistensi dualisme.
Tuhan selain memiliki natur lahut sekaligus juga natur nâsût, begitu pula manusia, selain
mempunyai unsur nasut sekaligus unsur lâhût. Dengan kerangka pemikiran inilah persatuan
antara sufi dan Tuhan dapat terjadi. Meski demikian persatuan figuratif dalam hulûl masih
mengakui “perbedaan” dan “pemisahan” ruh Tuhan dengan ruh sufi. Dengan demikian
pernyataan “Ana al-Haqq” (Aku Yang Maha Mutlak) tidak dapat dipandang sebagai ucapan
al-Hallâj untuk mengekspresikan diri sebagai al-Haqq (Tuhan); dengan kata lain, “Ana alHaqq” sama sekali tidak berkonotasi pada pengakuan diri al-Hallaj sebagai Tuhan. Bahkan
al-Hallaj sendiri secara tegas menolak adanya anggapan bahwa dirinya adalah identik
dengan Tuhan, sebagai dalam ungkapannya; “anâ sirr al-haqq mâ al-haqq anâ bal anâ haqq
fafarriq baynanâ” (Aku adalah rahasia yang Maha Mutlak dan bukanlah yang Maha Mutlak
itu aku. Aku hanya suatu yang Mutlak, maka bedakanlah antara kami).
Representasi dari dua tokoh sufi di atas terkait implentasi ma`rifat-nya, tak pelak
menimbulkan kontroversi yang tidak pernah ada habisnya. Komentar pedas dengan
sendirinya hadir mengiringi baik ditujukan langsung kepada dua tokoh tersebut maupun
21
Muhammad ‘Abîd al-Jâbirî, Naqd al-‘Aql al-‘Arabî, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyah
Naqdiyah li Nazm al-Ma‘rifah fî al-Thaqâfah al-‘Arabah (Beirut: Markaz al-Thaqafî al-‘Arabî, 1993),
h. 288.
22
‘Abd al-Qâdir Mahmûd, al-Falsafah al-Sûfiyah fî al-Islâm (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1967),
h. 361.
249
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
kalangan sufi pada umumnya, sebagaimana komentar Ibn al-Jauzi, “kaum sufi menamai
ilmu mereka dengan ilmu batin dan menganggap ilmu syariat sebagai ilmu zahir. Mereka
ini berada pada posisi bid’ah. Kasyf adalah omong kosong. Orang-orang zindiq tidak berani
menolak syariat sebelum datang kaum sufi. Mereka datang dalam bentuk orang-orang
lancang. Allah pasti mendengar orang-orang yang kosong dari kepastian. Mereka ini
hanyalah sekelompok orang zindiq.23 Ibn Taimiyyah juga mengomentari tentang praktik
tasawuf khususnya Ibn ‘Arabî (dibahas kemudian) dengan komentarnya bahwa suatu
paham yang mengatakan makhluk bagian dari Khaliq adalah kekufuran yang nyata.
Hal ini merupakan ucapan musuh-musuh Allah; dari kaum Kristen, kelompok Rafidhah
radikal dan sufi-sufi bodoh. Barang siapa menyakininya maka ia kafir. Orang mukmin
yang ma`rifat terhadap Allah SWT. dan mencintai-Nya memang memiliki derajat-derajat
qurb dan keyakinan yang nyaris tidak bisa diungkapkan dan terdeteksi dengan ma`rifat
yang benar. Allah adalah Allah, dan hamba adalah hamba. Di dalam Zat-Nya tidak ada
secuil pun makhluk-Nya, dan di dalam makhluk-Nya tidak ada secuil pun Zat-Nya. Tidak
seorang pun yang ma`rifat kepada Allah menyakini inkarnasi Rabb di dalam dirinya atau
makhluk lain dan tidak pula bersatu dengannya.24
Komentar Ibn Taimiyyah tersebut mendapakan kritikan balik dari Mahmûd al-Ghurab
dalam Syarh al-Kalimât al-Shûfiyah. Menurutnya, Ibn Taimiyyah menyalahkan Ibn ‘Arabî
hanya bersandar pada pemahaman dari tulisan-tulisan Ibn ‘Arabî bukan dari pemahamannya
terhadap Ibn ‘Arabî itu sendiri, meskipun tak menembus kejiwaan Ibn ‘Arabî secara paripurna.
Masih menurutnya, “orang yang memahami perkataan belum tentu memahami yang berkata,
tapi orang yang memahami yang berkata sudah tentu memahami perkataan”. Dengan
demikian, kritikan sangat pedas Ibn Taimiyah tersebut didorong oleh ketidakmengertiannya
terhadap Ibn ‘Arabî sebagai seorang sufi yang berbicara atas nama ahli ma‘rifat.
Bagaimana dengan Abû Hâmid al-Ghazâlî? Tokoh sufi besar ini mampu melakukan
reapproachement terhadap kontroversi tasawuf pendahulunya dengan Islam yang berorientasi syari’ah, yakni dengan meminimalisir konflik dan mendamaikan keduanya.
Menurut Abû al-‘Ala ‘Afifi, ketika menyelami Misykat al-Anwâr, karya al-Ghazâlî memberi
gambaran sikap final al-Ghazâlî terkait dengan masalah-masalah yang telah dibahasnya
dalam karya-karyanya terdahulu. Dalam kitab tersebut ia berani dengan terang-terangan
mengungkapkan apa yang tidak berani diungkapkannya dalam karya-karyanya terdahulu.
Dalam kitab ini ia dekat dengan doktrin wahdah al-wujûd. Ia memandang bahwa tidak
ada yang ada sebenarnya dalam wujud kecuali Tuhan, karena wujud segala sesuatu selain
Dia adalah pinjaman atau berasal dari Dia; wujud pinjaman apa pun berada pada hukum
atau sifat apa yang tiada. Karena itu alam pada hakikatnya tidak mempunyai wujud.25
23
Siradj, Ma‘rifatullah, h. 30-31.
Ibid., 62-63.
25
Abû al-‘Ala ‘Afifî, “Tasdîr ‘Âmm,” dalam Abû Hâmid al-Ghazâlî, Misykat al-Anwâr (Kairo:
al-Dâr al-Qawmiyah, 1964), h. 7.
24
250
Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial
Bagi al-Ghazâlî, wujud adalah cahaya dan ketiadaan adalah kegelapan. Yang paling
berhak memiliki nama cahaya adalah “sumber” cahaya itu sendiri, “cahaya pertama,” “cahaya
yang sebenarnya,” “Cahaya Terjauh dan Tertinggi,” yang tiada cahaya di atasnya dan darinya
turun cahaya kepada selainnya, Yaitu Allah. Nama cahaya untuk selain “Cahaya Pertama” adalah
kiasan belaka, karena segala sesuatu selain Dia, bila dilihat dari dirinya, tidak mempunyai
cahaya sama sekali. Cahaya pada segala sesuatu itu adalah pinjaman dari sesuatu yang
lain. Cahaya yang sebenarnya adalah Dia yang di tangan-Nya penciptaan dan perintah,
dan Dia adalah yang pertama memberi cahaya dan menjaga keberlangsungannya. Tidak
sesuatu pun berbagi dengan Dia hakikat nama ini dan tidak pula kepemilikannya kecuali
kiasan. Alam (kosmos) atau “apa yang selain Allah” pada dirinya adalah ketiadaan belaka
dan wujud hakiki hanyalah Allah sebagaimana cahaya hakiki hanyalah Allah.26
Sementara itu wacana tentang manusia selaku tempat manifestasi Tuhan menjadi
tuntas di tangan Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî melalui penegasan paham wahdah al-wujûd. Baginya,
wujud Allah adalah satu dalam Diri-Nya, tetapi muncul melalui tajallî sebagai beragam
benda eksisten. Dengan kata lain, “wujud” disifatkan kepada Allah dari segi ketiadataraanNya, dan “eksistensi” disifatkan kepada-Nya dari segi keserupaan-Nya. Pada yang pertama,
Dzat Allah tidaklah terketahui dan tak terjangkau–Yang Wajib Wujud melalui Diri-Nya.
Pada yang kedua, Allah memanifestasikan Diri-Nya dalam “eksistensi menurut bentuk”
(al-wujûd al-shûrî)- Nafas al-Rahman, yang “mengambil” bentuk seluruh benda eksisten
di kosmos.
Ia yang ingin memasuki Allah hendaklah meninggalkan akalnya dan berpegang
kepada syari’at, karena Allah tidaklah menerima pembatasan (taqyîd), di mana akal
adalah terbatas. Milik-Nyalah tajallî dalam setiap bentuk sebagaimana “Dia menyusunmu
sesuai dengan bentuk apa pun yang Dia kehendaki” (Q.S. al-Infithâr/82:8). Maka segala
puji hanyalah milik Allah yang telah menyusun manusia menurut bentuk tertentu yang
tidak membatasi dan tidak pula menentukan-Nya di dalam bentuk tersebut. Sebaliknya,
kujadikan bagi-Nya apa yang memang milik-Nya sesuai pemberitahuan-Nya bahwa hal
tersebut memang milik-Nya, yaitu tahawwul-Nya dalam bentuk-bentuk. Maka tiada yang
“mengukur Allah dengan sebenar-benar ukuran-Nya” (Q.S. al-Anfâl/6: 91) kecuali Allah.
Ia yang puas bersama Allah dalam apa yang Dia telah mensifati Diri-Nya dengannya
pasti tidak akan membiarkan dirinya diatur oleh akalnya sendiri dari segi Kedirian-Nya.
Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.
Al-Haqq memiliki dua keterkaitan kepada wujud, yaitu keterkaitan-Nya kepada Yang
Wajib Wujud dari Diri, dan keterkaitannya kepada “eksistensi menurut bentuk”. Dialah
yang bertajalli di dalamnya kepada para makhluk-Nya, karena mustahil bagi-Nya untuk
bertajalli dalam “Yang Wajib Wujud dari Diri”, karena manusia tidaklah memiliki mata
yang dapat memahaminya. Baik dalam keadaan eksistensi maupun noneksistensi manusia,
26
Ibid., h. 54-55.
251
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
manusia tetap menjadi entitas yang kepadanya penguatan diberikan. Karena aturan posibilitas
tidak pernah meninggalkan manusia, maka ia tidak pernah melihat-Nya kecuali melalui diri
manusia itu–apa yang diberikan oleh realitas manusia. Maka tajallî-Nya pasti terjadi di dalam
“eksistensi menurut bentuk”, sebagai yang menerima tahawwul dan pergantian.27
Allah adalah Satu dalam Diri-Nya, sedangkan tajallî mengambil bentuk dari “yang
banyak”. Pluralitas manifestasi adalah kembali kepada nama-nama Ilahi – yang “satu”
dan “banyak” di saat yang sama. Ibn ‘Arabî menunjukkan hal ini ketika menafsirkan surat
al-Ikhlâsh ayat pertama: “Dialah Allah Yang Satu”(Q.S. al-Ikhlâsh/112: 1), menunjuk kepada
ahadiyyat al-ahad (Unitas Yang Satu), sedangkan ayat kedua: “Allah Maha Tempat Bergantung”
(Q.S. al-Ikhlâsh/112: 2), menunjuk kepada fakta bahwa seluruh “hal banyak” adalah kembali
kepada nama-nama dan bergantung kepadanya.
Inilah yang kemudian mengantarkan Ibn ‘Arabî memiliki pandangan bahwa Allah
merangkum sifat tanzîh (ketakterbandingan) dan tasybîh (keserupaan dan kedekatan).
Pengejawantahan dari kedua sifat tersebut bisa diringkas oleh dua istilah kunci dalam al-Qur’an;
hamba (‘abd) dan wakil (khalîfah). Sifat tanzîh Allah, menjadikan manusia dan makhluk
lainnya adalah hamba-hamba-Nya dan harus tunduk pada kehendak-Nya. Akan tetapi, berkenaan dengan sifat tasybîh, manusia mempunyai peran yang harus dimainkan, di mana
manusia diciptakan dalam citra Allah yang semua kualitas-kualitas Allah dapat ditemukan
dalam dirinya. Karena itulah, manusia bisa menjadi wakil (khalifah) Allah di muka bumi.
Dari konsep tasybîh di atas, maka secara mendasar menempatkan manusia sebagai
cerminan Tuhan adalah bermoral, sebab bagaimana pun, hanya dalam diri manusia menurut
definisi di atas citra Tuhan akan terefleksikan secara penuh. Konsepsi inilah yang dikembangkan
para sufi yang mengisyaratkan hubungan yang begitu dekat antara manusia dengan Tuhan.
Sementara itu di luar konsepsi tersebut, menganggap hubungan manusia dengan Tuhan
bersifat formal dan berjarak; hubungan kaku antara yang superior dan yang inferior. Tuhan
harus ditakuti dan ketakutan akan balasan Tuhan yang menentukan kesalehan sejati, inilah
konsepsi yang dibangun di atas pandangan normatif.
Tasawuf sebagai Arsitektur Moral dalam Membangun Tatanan Sosial
Berbicara tentang watak manusia, Thomas Hobbes (1588-1679) dengan teorinya
mengemukakan bahwa sifat dasar manusia adalah “homo homoni lupus” (manusia yang
satu adalah serigala buat manusia yang lain) atau bellum monium coatra amnes (the war
of all against: perang semua lawan semua). Teori Hobbes ini menunjukkan bahwa manusia
dalam keadaan alamiahnya hanya ingin menaklukkan manusia lain. Hampir senada dengan
Hobbes, tokoh yang mendewakan kematian Tuhan yakni Friedrich Nietzsche (1844-1900)
27
Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî, Al-Futûhât al-Makkiyah, Vol. III (Kairo: al-Hay’ah al-Misriyah
al-’Âmmah li al-Kitâb, 1972), 515.33, 516.14.
252
Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial
berpandangan, “kehendak berkuasa adalah realitas sejati dan fitrah manusia”.28 Artikulasi
sifat dasar manusia yang seperti itu menarasikan akan keharusan semua orang menjadi tuan
(baca: yang berkuasa). Ini artinya manusia berlomba dan bersaing meraih kekuasaan. Yang
pada gilirannya, berbentur dan saling menjatuhkan tidak dapat dihindari, dan yang menang
dalam pertarungan itu hanyalah siapa yang kuat.
Pemaknaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah gerakan pemikiran yang
disebut dengan renaissance. Ciri yang menonjol adalah pandangannya yang antroposentrik,
yakni meletakkan otonomi manusia di atas segalanya. Kehidupan manusia ditandai dengan
sikap materialistik, sekularistik yang tidak memperhatikan dan memedulikan kehidupan
batin (esoteris). Meminjam bahasa Alasdair Macintyre (1921) manusia sekadar dimengerti
semata-mata faktual.29 Akibatnya interaksi sosial yang dihasilkan oleh nilai norma esoteris
dalam arti moral yang melekat pada diri manusia tercabut.
Pemaknaan manusia yang distorsif tersebut sudah pasti memberikan efek terhadap
tercabutnya moral. Oleh karenanya pemahaman manusia yang demikian, jelas bukan
sebuah pilihan untuk mengawal tatanan sosial dalam kehidupan. Sadar akan keberadaan
sisi moral dalam diri manusia, Francis Fukuyama dalam karya fenomenalnya The Great
Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social Order menyebutkan, “manusia
pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memiliki kemampuan bawaan untuk mengatasi masalah kerja sama sosial dan menciptakan aturan moral guna mengendalikan pilihan
individu. Tanpa harus didesak manusia akan menciptakan ketertiban dengan sendirinya
begitu ia memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari dan bersinggungan dengan orang lain.”30
Pendirian ini menegaskan bahwa manusia tidak hanya secara fitrah bermoral akan tetapi
dengan moralitasnya manusia mampu menciptakan serangkaian norma informal pemberi
teladan yang digunakan bersama dalam mewujudkan tatanan sosial. Tentu saja pemaknaan bahwa manusia secara fitrah bermoral sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari
unsur agama. Sebab bagaimana pun dalam konsepsi religius, agama merupakan fitrah
yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya sebagaimana terekam
dalam pernyataan dan kesaksian manusia sebelum hadir di muka bumi, bahwa akan menjadikan Tuhan sebagai Rabb, sebagai Tuhan yang menciptakan, memelihara, menguasai,
mengatur kehidupan di alam semesta ini.31
28
Friedrich Nietzsche membagi manusia menjadi dua katagori: yaitu masyarakat elit yang
kemudian disebut dengan tuan dan masyarakat yang disebut budak. Nietzsche menghubungkan
“kehendak berkuasa” hanya pada manusia dalam katagori tuan atau disebutnya sebagai manusia
“Superman”. Manusia katagori ini mempunyai kekuatan untuk meraih kekuasaan dan menindas
orang lain. Lihat Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Filsafat: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke19 (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 198.
29
Frans Magnis Suseno, Etika Abad ke-20: 12 Teks Kunci (Yogjakarta: Kanisius, 2006), h. 209.
30
Francis Fukuyama, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, terj. Masri Maris
(Jakarta: Gramedia Pustaka bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Jakarta Freedom Institute,
2005), h. 7 dan 285.
31
Q.S. al-A’râf/7: 172; Q.S. al-Rûm/30: 30.
253
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Konsepsi bahwa secara fitrah manusia bermoral merupakan kenyataan yang tidak
bisa dilepaskan dari agama seperti paparan di atas, mulanya tidak dipahami dengan baik
oleh tokoh sosiolog kenamaan Emile Durkheim (1858-1917). Dengan kata lain, ekspresi
moral mengalami penyempitan makna dalam pemahaman positivistik Durkheim. Menurutnya,
institusi-institusi moral adalah sesuatu yang eksternal, objektif dan mengikat. Di mata
Durkheim yang positivistik, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara kekangan moral
dan kekangan fisik. Namun komitmen positivistik Durkheim ini menurut Talcott Parsons
(1937) mengalami pergeseran teoretis ketika melakukan studi terhadap agama dalam
karya The Elementary Forms of Religion Life, Durkheim menyebutkan tatanan moral
eksternal –kesadaran kolektif– telah menjadi bagian subjektivitas individu via mekasnisme
ritual religius.32 Pergeseran teoretis Durkheim ini dapat dipahami sebagai gerak teoretis
yang melepaskan diri dari reduksionisme positivistik menuju telaah yang lebih apresiatif
terhadap arti penting ritual religius dalam organisasi sosial dan menuju pada satu kesadaran
bahwa cara pandang positivistik bukanlah alat ukur yang tepat untuk menentukan rasionalitas
agama.
Dengan menyadari arti penting peran agama dalam memberi pancaran aura terhadap
moral, terekam dalam jejak perjalanan intlektual-spiritual al-Ghazâlî yang telah menemukan kebenaran hakiki setelah menempuh jalan sufisme. Bagi al-Ghazâlî, sufisme telah
membebaskan dahaga dan krisis intlektualnya yang bersifat metodologi (manhajî), sekaligus
memberikan kecerahan akan krisisnya spiritual (psikologis), hal itu menjadikannya sangat
mengapresiasi sufisme melalui ungkapannya: “Perjalanan sufi merupakan perjalanan
terbaik, jalannya adalah jalan benar, dan akhlaknya adalah akhlak yang paling bersih”.33
Ungkapan tersebut memberikan inspirasi dan peluang yang cukup besar bahwa tasawuf
dapat dijadikan sebagai arsitek untuk menciptakan tatanan sosial.
Dalam konteks menjadikan tasawuf sebagai arsitek tatanan sosial, perlu kiranya
seseorang untuk kembali memahami konsep “manusia sebagai manifestasi Tuhan” khususnya
dari Ibn ‘Arabî yang merupakan sufi agung dari Murcia, Andalusia (Spanyol). Menurut
Ibn ‘Arabî, sebagaimana telah dsinggung sebelumnya, realitas alam semesta dengan berbagai
varian dan kemajemukannya ini merupakan bukti ke-Maha-Esa-an Tuhan. Fenomenafenomena di alam kosmos, merupakan penampakan (tajjalî) dari nama-nama dan sifatsifat Tuhan. Dalam ke-Maha-Esa-an-Nya, menurut pandangan Ibn ‘Arabî, Tuhan melihat
32
Sumbangan Durkheim tentang tatanan sosial menurut Talcott Parsons (1937) terbagi
dalam dua fase. Fase pertama, yang terdapat dalam karya The Division of Labour in Society, Durkheim
menempatkan sumber-sumber stabilitas sosial dalam seperangkat aturan obyektif yang terdapat
diluar individu. Pada fase kedua, dalam The Elementary Forms, tatanan sosial mulai mendapatkan
akarnya dalam subyektivitas internal individual. Maka makna aturan mengalami perubahan dari
ekternal dan obyektif menjadi internal dan subyektif. Lihat: Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial:
Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologi-Ideologi
Kontemporer, terj. Inyiak Ridwan Munir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 86-87.
33
Abû Hâmid al-Ghazâlî, al-Munqiz min al-Dhalâl (Istambul: Hakekat Kitabevi, 1983),
h. 32.
254
Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial
diri-Nya yang immateri, sekaligus memperkenalkan diri-Nya. Maka, muncullah asmaasma dan sifat-sifat-Nya.
Asma dan sifat tersebut masih belum bisa dikenal, masih suram, sehingga diperlukan
penjernih. Mula-mula alam semesta, binatang, dan malaikat diproyeksikan sebagai cerminan
Tuhan. Namun, semuanya belum menjadi cerminan Tuhan yang tepat. Setelah hadirnya
Adam (manusia), barulah Tuhan bisa melihat forma atau bentuk-Nya secara tepat. Oleh
karenanya, setiap gerak-gerik manusia pada hakikatnya merupakan pancaran diri-Nya.
Tasawuf dengan akhlaq (ihsân) merupakan puncak subtansi keislaman. Seorang sufi
sejati pasti akan bertemu dalam satu poros hakiki, meminjam filsafat Ibn ‘Arabî, yang
disebut dengan wahdah al-wujûd. Titik temu inilah yang semestinya harus dikembangkan
untuk membangun solidaritas di antara umat yang kosmopolit berdasarkan kesamaan
moral (akhlak), dan bukan sebaliknya dengan mencari-cari perbedaan-perbedaan apalagi
perbedaan kecil yang hampir pasti dimiliki semua orang sebagai bentuk keanekaragaman.
Keanekaragaman sendiri bagi Ibn ‘Arabî, tidak dilihatnya sebagai sebuah sumber
keraguan atau kesusahan. Berlawanan dengan itu, ia menganggap hal ini sebagai salah
satu dari banyak tanda-tanda bahwa rahmat Tuhan mendahului kemurkaan-Nya, yang
membimbing kepada kebahagiaan paripurna setiap makhluk. Karenanya ia menulis, “karena
Tuhan adalah akar dari semua perbedaan kepercayaan di alam semesta, dan karena inilah
Dia yang membawa kesempurnaan eksistensi setiap hal di alam semesta dalam sebuah
susunan yang tak dimiliki oleh apapun juga, setiap orang akan berakhir dengan rahmatNya”.34
Uraian di atas menunjukkan bahwa pesan-pesan dalam tasawuf memiliki potensi
kreatif sebagai arsitek dalam merancang kehidupan dengan mengimplementasikannya
melalui dua dimensi yang saling beriringan. Yakni implementasi moral yang memiliki oreintasi
keilahian yang diterjemahkan dan dikaitkan dengan orientasi praktis untuk menciptakan
kedamaian di antara manusia. Dalam kondisi seperti ini, maka ketika individu melakukan
suatu kebaikan moral dalam komunitas, ia tidak semata-mata hanya merasakan sebagai
tuntutan hukum normatif dengan segala sanksi yang mengiringinya, tapi juga menghayati sebagai kebaikan yang berasal dari semangat intuisinya. Dengan kata lain adalah
menghayati norma-norma dengan seluruh jiwanya sebagaimana ia menghayati ajaran
agamanya yang bergetar karena tengah merasakan hidup bersama dalam kesatuan Tuhan.
Sampai di sini, bertasawuf sesungguhnya bukan suatu penyingkapan yang pasif atau
apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, nilai-nilai tasawuf memiliki kemampuan
untuk mengatasi masalah kerja sama sosial dan menciptakan aturan moral guna mengendalikan pilihan individu. Tanpa harus didesak seorang (baca: sufi) akan menciptakan
ketertiban dengan sendirinya begitu ia bersinggungan dengan orang lain. Dengan begitu,
bagi seorang sufi, ikhtiar tidak menjadinya prinsip teologis statis. Tetapi, pembumian norma34
Ibn ‘Arabî, al-Futuhât al-Makiyah, vol. III, h. 465.23.
255
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
norma kolektif dalam bermasyarakat ini disadur dari pesan-pesan moral substansial ajaran
nilai-nilai tasawuf.
Penutup
Dalam implementasinya, nilai-nilai tasawuf menempatkan manusia sebagai wakil
(khalîfah) dan pusat kesadaran di bawah cahaya keilahian. Hal itu tidak lepas dari konsepsi
sufi bahwa manusia bertindak selaku realitas perantara dalam eksistensi tempat Allah
berinteraksi dengan kosmos secara langsung yang mengembang kualitas yang melekat
pada sifat-sifat Allah. Karenanya, bertasawuf pada hakikatnya menyangkut aktivitas berupa
kesadaran manusia paling dalam perihal relasi manusia dengan Tuhan, lingkungan dan
sesamanya yang terilhami oleh kualitas asma dan sifat Allah, yang kemudian terwujud
dalam tingkah laku sosialnya. Dengan begitu, bertasawuf bukan suatu penyingkapan yang
pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial, sebaliknya pengenjawantahannya adalah
bagaimana pemahaman atas kualitas ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan untuk
mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas “kebumiannya.” Dari Tuhan menuju
bumi, dari zat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari
sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berpikir manusia, dari keabadian
Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan.35 Kondisi itu menempatkan pancaran keilahian menjadi tidak ternafikan dalam
konteks penajaman realitas kemanusiaan. Dengan bahasa lain, bertasawuf sejatinya membimbing manusia ke dalam harmoni dan kedamaian total. Interaksi kaum sufi dalam
semua kondisi adalah dalam harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya
tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal.
Pustaka Acuan
Al-Attas, S.M.N. The Concept Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1991.
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Kairo: Musthafâ Bâb al-Halibî, t.t.
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid. Al-Munqidh min al-Dhalâl. Istanbul: Hakekat Kitabevi, 1983.
El Fadl, Khaled Abou. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. England:
Oneworld Publications, 2003.
‘Afîfî, Abû al-‘Alâ. “Tasdîr ‘Âmm,” dalam Abû Hâmid al-Ghazâlî. Mishkat al-Anwâr. Kairo:
al-Dâr al-Qawmîyah, 1964.
35
Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development (Kairo: Egyptian
Associated Company, 200), h. 11.
256
Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial
Fukuyama, Francis. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, terj. Masri
Maris. Jakarta: Gramedia Pustaka bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika
Jakarta Freedom Institute, 2005.
Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Egyptian
Associated Company, 2000.
Harnock, Justus. Harnock, Kant’s Theory of Knowledge, trans. M. Holmes H. London: Macmillan,
1968.
Husserl, Edmund. Ideas: General Introduction to Pure Phenomenologi. New York: Collier
Books, 1962.
Ibn ‘Arabî, Muhy al-Dîn. Al-Futûhât al-Makkiyah, Vol. III. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyah al’Âmmah li al-Kitâb, 1972.
Al-Jâbirî, Muhammad ‘Abîd. Naqd al-‘Aql al-’Arabî, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah
Tahlîlîyah Naqdiyah li Nazm al-Ma‘rifah fî al-Thaqâfah al-‘Arabah. Beirut: Markaz
al-Tsaqafî al-Arabî, 1993.
Khun, Thomas S. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: the University of Chicago, t.t.
Lawrence, Bruce B. Islam Tidak Tungggal: Melepaskan Islam Dari Kekerasan, terj. Harimukti
Bagoes Oka. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Mahmûd, ‘Abd al-Qâdir. Al-Falsafah al-Sûfiyah fî al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1967.
Peusen, CA. Van. Susunan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia, 1989.
Al-Qushayriyah, Abû Qâsim. al-Risâlah al-Qushayriyah, diedit oleh ‘Abd al-Qâdir Mahmûd.
Kairo: Dâr al-Kutûb al-Hadîtsah, 1974.
Seere, Douglas V. “Mysticism” dalam Hand Book of Christion Theology New York: World, 1958.
Siradj, Said Aqil. Ma’rifatullah: Pandangan Agama-Agama, Tradisi dan Filsafat. Jakarta:
éLSAS, 2003.
Suseno, Frans Magnis. 13 Tokoh Filsafat: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogjakarta:
Kanisius, 1998.
Suseno, Frans Magnis. Etika Abad ke-20: 12 Teks Kunci. Yogjakarta: Kanisius, 2006.
Titus, Horald. Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Turner, Bryan S. Agama dan Teori Sosial: Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi
Tuhan di antara Gelegar Ideologi-Ideologi Kontemporer, terj. Inyiak Ridwan Munir.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
257
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
PHILOSOPHICAL ARGUMENTS FOR BODILY RESURRECTION:
Reconsidering Mullâ Shadrâ’s Eschatological Thought
Saleh P. Daulay
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jl. Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat, Jakarta, 15419
e-mail: salehpd@gmail.com
Abstrak: Argumen Filosofis Kebangkitan Jasmani: Mengkaji Ulang
Pemikiran Eskatologi Mullâ Shadrâ. Selain meneliti tentang makna kematian,
hakikat ruh, bukti adanya kehidupan setelah mati, eskatologi juga mengkaji tentang
kebangkitan ruh dan jasmani. Berkenaan dengan ruh, hampir seluruh filosof Muslim
menyepakati tentang adanya kebangkitan ruh. Sementara terkait dengan jasmani,
sebagian filosof mengatakan akan dibangkitkan dan sebagian yang lain berpendapat
tidak mungkin dibangkitkan. Berbeda dengan para filosof essensialis sebelumnya,
Mullâ Shadrâ yang menganut aliran eksistensialis menyatakan bahwa sebagaimana
ruh, jasmani manusia pun akan ikut dibangkitkan di hari kemudian. Shadrâ berargumen
melalui pendekatan filsafat eksistensialis yang bertumpu pada prinsip harakah aljauhariyah (trans-substantial motion). Melalui pendekatan ini, Shadrâ berhasil membuktikan secara filosofis tentang keharusan kebangkitan ruh dan jasmani secara
bersamaan di hari kemudian.
Abstract: Apart from investigating the meaning of death, reality of soul, proof of
life after death, eschatology also studies the sole bodily resurrection. With regard
to soul, almost all Muslim philosophers agree on soul resurrection, but they differ
however, as far as the body is concerned. Different to the previous essensialists
philosophers, Mullâ Shadrâ who adhered to existentialist school argued that as the
case of soul, man’s body itsel would be similarly resurrected in the hereafter. Shadrâ
supported his argument by existensialist philosophy approach leaned on the principle
of trans-substantial motion. Through this approach, Shadrâ succeeded philosophically
in proofing the necessity of soul and bodily resurrection simultaneously in the hereafter.
Key Words: eschatology, soul, body, mabda‘, ma‘ad, resurrection
Introduction
The issues of eschatology and the afterlife have always generated a great deal of speculation.
People speculate on when it will happen, how it is going to be done, how it is going to affect
258
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
them, and if such things really will occur or not. This issue is a very important dimension
in all religions, especially Islam. According to Islam, human life has no meaning without
resurrection. How can there be purpose if people are born, live, and die and are not judged
for their deeds? How can there be justice if everybody is treated in the same way?
To believe in the “last day” is a fundamental instrument of Islamic faith. In Islam,
human and cosmic histories have an end just as they have a beginning. The word ma’âd
(“return” or “place of return”) and mabda` (“origin” or “place of origin”) are keywords used
to talk about the end and the beginning of human life. The concept of ma‘âd is closely
bound to the concept of mabda` (“origin” or “place of origin”).1 The topic of “the origin and
the return” covers everything that connects to a human’s effort in achieving his suitable
place in creation or reaching his perfection, whether moral, spiritual, or intellectual.2
Unlike the problem of the origin, the problem of the return is much more controversial
and has been studied since the early times of Islam. This topic is not only found in the works
of Muslim theologians but also in the works of Muslim philosophers. There are several
issues that frequently appear in their works such as the meaning of death, the nature of
the human soul, the evidence of afterlife, the eschatological process, spiritual resurrection,
and bodily resurrection. Of these issues, spiritual resurrection and bodily resurrection
are the most studied by Muslim philosophers. Interestingly, all Muslim philosophers agree
as to what is called spiritual resurrection.
However, the Muslim philosophers’ agreement on spiritual resurrection was not
followed by an agreement on the issue of bodily resurrection. This issue brought to a head
a conflict between Islamic speculative theology (kalâm) and philosophy. In a broad sense,
there are two major points of view about this topic. Firstly, there are those who believe that
there is only a spiritual resurrection. Secondly, there are those who affirm that there is a
spiritual and bodily resurrection in the world to come. Such a problem needs to be resolved
by doing some philosophical investigation on the issue. Mullâ Shadrâ’s philosophical
thought is a good source to begin with. There is no doubt that Mullâ Shadrâ has made a great
contribution to the development of Islamic philosophy. His inquiries on Islamic philosophy
are believed to be the most systematic that have ever existed.
1
The origin and the return are two major issues in Islamic cosmology. On the whole, Islamic
cosmology deals with three main issues which are the problem of origin, meaning, and destiny.
Cognizance of the origin and the return is the only way to earn the meaning. Cognizance of the
origin is built on the proposition “Allah is the origin of all becoming and motion”, while cognizance
of destiny is based on the proposition “everything returns to Allah”. For further information on
this topic, see Idris Samawi Hamid, Islam Dynamic: The Cosmology and Spirituality of Walayah
(New York: State University of New York Press, 2008), p. 133.
2
William C. Chittick, Islamic Spirituality Foundations, edited by Seyyed Hossein Nasr (New
York: Crossroad, 1987), p. 378.
259
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
The Soul-Body Problem in Shadrâ’s Philosophy
The discussions regarding the soul-body problem may be tracked back to the early
period of philosophical inquiry.3 Based on historical sources, there were only two well-known
theories regarding the soul-body problem. One upheld the theory of dualism, and the other
took one of two antagonistic positions: idealism or materialism. Plato and Aristotle were
predecessors to these two opposing views which later on became known as the dualistic
and monistic views of man.
Plato, and many other ancient philosophers, held a dualist view of soul and body.
He considered the soul to be an immaterial reality independent of matter, which existed
before the body and joined it when the body was well disposed to receive the soul. In their
outlooks, the soul would accompany the body as long as the latter had necessary power.
In this theory, the soul is regarded as the essential part, the essence of the self, which
constitutes the mental life of the self and survives the dissolution of the body.4
Aristotle and his followers considered the soul to be the form of a being that defines
or expresses the being’s modes of behavior in the public world. In his elucidation of the
relation between the soul and body, he argued that the former was related to the latter as
was a form to a matter. It is not dualistic, but in fact, the body is also the very instrument
of the soul, for matter is merely potency and exists only in so far as it is necessary for the
realization of a form, whereas, the soul is inevitably bound up with the body, and can have
no life apart from it. In this sense, Aristotle considered the soul and the body as the two united,
but separated in substance. For him, the soul can be known only through the functions
of the body. Its capacity to receive the soul gives the body its nature and existential constitution,
and it becomes a tool by which the soul goes on to act, that is, the soul gives life, actuality,
and form to the body and is in fact tied and connected to the body. Without the soul, man’s
body is lifeless, and man is not man.5
Mullâ Shadrâ, however, introduced a third theory. His theory of the soul can be
regarded as a kind of synthesis of Plato and Aristotle theories. In his view, despite what
3
Concepts of the soul vary from one religious tradition to another, and from one philosophical
system to another. In some systems the term is almost synonymous with ‘spirit’; in others, the
term virtually overlaps with ‘mind’. Some thinkers envisage the soul as existing independently
of the body; other atheistic or empiricist thinkers reject both the credibility and intelligibility of
the notion. Daniel Dennett, a contemporary atheistic philosopher, for instance, argues against philosophers of mind who still believe that human consciousness arises from an immaterial substance like
a rational soul. As an atheistic philosopher, Dennett consistently rejects the Cartesian dualistic
model which holds that mind is a nonphysical substance. Instead, he proposes the Darwinian
materialism model which holds that human are complex machines, and the mind is just the
motion of brain cells and neurological processes. To be more details, see Daniel C. Dennett, Breaking
the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (New York: Viking, 2006), p. 302-306.
4
Anthony C. Thiselton, A Concise Encyclopedia of the Philosophy of Religion (Oxford: Oneworld,
2002), p. 288.
5
Ibid., p. 289.
260
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
had been said by Plato, the soul is corporeal when it comes into being. It is as if oozes from
the body and then makes a form for itself. Also, contrary to what the Aristotle and peripatetic
philosophers believed, the soul is not a stationary and motionless substance, but a substance
which is essentially an outcome of motion, and has motion in itself. At the same time,
Mullâ Shadrâ accepted the definition of the soul provided by the peripatetic philosophers
who define the soul as an immaterial substance, indivisible in its essence, and not of the
same kind as material things. In its earthly or temporal plane of existence, the soul originated
with the body, and has an essential and natural unity with that body, and cannot be escaped
on this existential level. The connection between the soul and its body is similar to the
connection between form and matter in that the two are mutually dependent upon each
other for their own realization.6
The soul, as defining form for the matter of the body, represents the body’s final perfection
and, Shadrâ says, is like its very “being” (wujûd), while the body is the soul’s “existence or
existentiation” (maujûdiyyah); that is, the body facilitates the soul’s individuated and distinct
existence apart from the undifferentiated wujûd of the Intellect, just as the soul individuates
and distinguishes the body from undifferentiated matter. The body is moreover the means
through which the privative soul can reach its own perfection, although Shadrâ cautions
that the body should not be understood merely as an “instrument” at the disposal of the soul,
as most previous philosophers have argued, for the connection between the soul and the
body is stronger and more essential than the relationship between an agent and the instrument
of his action.7
Through the process of trans-substantial motion, the soul traverses through the various
levels or stations of being until it finally attains complete independence of all matter and
potentiality and is capable of enjoying immortal life. According to the nature of soul and
its various levels or stations, Shadrâ writes:
The human soul has many levels and stations, from the beginning of its generation to
the end of its goal; and it has certain essential states and modes of being. At first, it is a
corporeal substance. Then it gradually becomes more and more intensified and develops
through the different stages of its natural constitution until it subsists by itself and
moves from this world to the other world, and so returns to its Lord. Thus, the soul is
originated in a corporeal state, but endures in a spiritual state. The first thing to be
generated in its state is a corporeal power; next is a natural form, then the sensible
soul with its levels, then the cogitative and recollective; and then the rational soul.8
6
Sayyid Muhammad Khamenei, The Passions of the Soul in the Metamorphosis of Becoming,
edited by Anna-Teresa Tymieniecka (London: Kluwer Academic Publisher, 2003), p. 18.
7
Maria Massi Dakake, “The Soul as Barzakh: Substantial Motion and Mullâ Shadrâ’s Theory
of Becoming,” in The Muslim World, vol. 94, p. 107.
8
James Winston Morris, The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of
Mullâ Shadrâ (Princeton: Princeton University Press, 1981), p. 131-132.
261
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Mullâ Shadrâ delineates the various stages of the development of the human soul from
the vegetative soul (al-nafs al-nabâtiyyah) to the animal soul (al-nafs al-hayawâniyyah),
and to the rational soul (al-nafs al-nâthiqah) with its practical intellect (al-‘aql al-‘amali) and
theoretical intellect (al-nafs al-nazhâri) and to the subsequent stages of the development
of the theoretical intellect from the intellect in potentiality (al-‘aql bi al-quwwah) to the
intellect in actuality (al-‘aql bi al-fi‘il) which finally achieves union with the Active Intellect
(al-‘aql al-fa‘âl).9 Shadrâ identifies the Active Intellect with the Holy Spirit (al-rûh alquds) or archangel Gabriel who is the Angel of Revelation in Islam. In order to attain the highest
level of unity with the Active Intellect, human needs the Divine aid and grace.10
In addition to such process, Shadrâ contends that at each stage of its journey of becoming
or ascent from a lower and less intense mode of being to a higher and more intense mode
of being, the soul acquires a new set of faculties commensurable to its particular level or
mode of being. To illustrate, as a mineral, it has the faculty of preserving its form. As a
plant, it possesses the faculties of breeding, growth and the transformation of foreign substances
into its own form. Then, as an animal it develops the faculties of motion and various forms
of desire and the external senses. As a higher animal, the inner faculties of memory and
imagination are added to its present set of faculties. Finally, as a human being, the five
inner faculties are developed. These are the faculties of the perception of forms (hiss almusytarak), the apprehension (wahm) which perceives meanings, fantasy (khayyâl) which
preserves forms, memory (dzâkirah) which preserves meanings and the faculties of imagination
and thought. Mullâ Shadrâ contends that throughout these various stages of development,
it is the one single soul which is involved. The faculties are not things added to the soul, rather
they are the potential aspects of the soul becoming actualized.11
Turn to the distinction between the soul and the body, Mullâ Shadrâ sometimes refers
to the capacity of the soul and the body to acquire forms and to deal with them independently.
Following Ibn Sînâ and Suhrawardî, he maintains that the body can bear only one form
or quality at a time; and, if it looses a quality, it cannot regain it without an external cause.
But the soul can independently preserve, remember and reproduce any intelligible fort
at any time. It is like a board containing various sciences and knowledge of innumerable
objects. He also argues that man is capable of conceiving universals and intelligible forms
which cannot be formed in the body. This is because the body is infinitely divisible; whereas
an intelligible form is indivisible.
9
In some extends, the development of the soul from an inanimate thing to vegetation,
and then to animality and humanity are similar to the developments produced by heat in coal
and iron. When iron is initially heated, it may be likened to the origins of vegetative life, when
iron turns to hot red, it can be compared with the origins of animal life, and when iron is burned,
it is like the origins of the rational faculty. The phenomenon is the same; it takes, however, various
developmental forms. To be more details, see Khamanei, The Passions, p. 20.
10
Zailan Moris, Revelation, Intellectual Intuition and Reason in the Philosophy of Mullâ Shadrâ
(London: Routledge, 2003), p. 156.
11
Ibid., p. 106.
262
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
Continuing his argument, Mullâ Shadrâ maintains that another evidence for duality
of the soul and the body is their “opposite directions” in the process of development. While
continuous and intense intellectual activities eventually lead the body to weakness, which
may end in death and dissolution, they produce mental perfection and intellectual maturity.
It is evident that it would be impossible for the same thing to be the cause of both the
perfection and the destruction of a thing at the same time. Therefore, the soul or the mind
is something other than the body. This is similar to what is offered in the classical argument
in the Peripatetic tradition. They argue that intensive sense-perception eventually weakens
the body, while intellectual activity brings the mind to maturity.12
In spite of this eagerness to prove a clear duality of the soul and the body, Mullâ Shadrâ
attempts to show that an intimate and metaphysical link exists between them. He goes
so far as to assert that the body and the soul are two levels of one existent. The body is the
state or stage of hardness and heaviness for that being, whereas the soul constitutes a degree
of lightness and subtlety. Here, one may ask how these two distinct existents come to be so
intimately linked together. Leaving it unanswered, saying that it is a divine secret, Mullâ
Shadrâ nevertheless gives an example. He states that just as the material of the wick gets
ready to accept fire and then gradually becomes red and bright until it becomes luminous
and burning, so the human sperm gets physically ready to accept the rational soul, which
is a spark from heaven and then develops until it unites with the Active Intellect. As we
shall see, Mullâ Shadrâ attempts to demonstrate that although the soul is an immaterial
being, and quite distinct from body, its creation is based on a corporeal origination.13
Having said that, Shadrâ demonstrates that to prove the existence of the soul, one is
not required to prove a being other than that of the body, for both of them (body and soul)
exist through the same existence. Evidently, the body exists, and thus the existence of the
soul is proved as well, for the soul is a faculty in the body. Thus, at the beginning of the origination
of the soul and the body, the being of the soul is not separated from that of the body. It is like
the existence of the accident, which is same as the existence of the substance in which the
former is realized. The only difference is that once the substance is destroyed, the accident
is destroyed as well; but when the body is destroyed, the soul will not perish, for the way
in which the soul grows and perfects itself is other than the way of the body. Their beings are
united in origination; in terms of substance, however, the change into two parallel beings.14
Another issue that is related to the soul is whether it has an eternal pre-existence (qadím),
or whether it is created in time (hadits) just like the body. Moreover, if it is said to be a created
existence, one may ask again whether the soul joins the body as a physical thing, which
12
Abbas Ali Shameli, “A Comparative Study Concerning the Soul-body Problem in the
Philosophical Psychology of Mullâ Shadrâ (1571-1640) and Ibn Sînâ (980-1037)” (Thesis,
McGill University: Canada, 1995), p. 40.
13
Ibid., p. 41.
14
Khamanei, The Passions, p. 19.
263
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
then changes into an incorporeal existent, or it joins the body as a created incorporeal thing.
Dealing with this issue, Mullâ Shadrâ maintains that the soul is physical only in its createdness
(huduts) but changes gradually into immaterial quiddity after it has been created in the body.15
He argues that it is impossible for the soul to be eternal, since then it must pre-exist either
in form of the soul or the intellect (‘aql). If it pre-exists in the form of the soul, it must be
inactive (mu`awwal) waiting to connect to a body. If it rather pre-exists as an intellect,
how can it bear any new accident when it is actual, without having any potentiality. In
addition to this notion, Shadrâ argues that if the soul existed before the body, then there
would have to be either a plurality of souls or one soul. The plurality of the souls, he claims,
is impossible since in their prior existence they are immaterial and since matter is the
individuating principle, these souls cannot be many. However, the supposition of one
soul is equally impossible. In this sense, we cannot say that the soul of an individual like
Joseph would be identical with soul of an individual like Salomon. If, then, in the supposed
prior existence there can be neither a plurality of souls nor one soul, the prior existence
of the soul to the body is impossible. Thereby, the soul cannot exist before the body but
must exist with body.16
In line with this argument, Shadrâ explicitly writes in Kitâb al-’Arsyiyyah:
The soul of Adam has a form of existence preceding the body, without this entailing the
transmigration of souls, and without necessitating the pre-eternity of the (individual)
soul, which is the well-known view of Plato. This (mode of pre-existence) does not require
a multiplicity of individuals of a single species or their differentiation without reference
to any matter or (material) preparedness; nor does it entail the soul’s being divided
after having been one, in the manner of continuous quantities; nor does it presume
the soul’s inactivity before (being connected with) bodies. Rather, soul’s pre-existence
is as we have indicated and explained in our commentary on Hikmat al-Ishrâq in a way
that cannot be surpassed.17
In addition to soul-body problem, Shadrâ Shadrâ avoids the dualism of his Platonic
and Isyrâqi predecessors, who would see the body as dark, dead, lifeless matter, or as something
that imprisons the soul. Rather, for Shadrâ, the body has an organic connection with the soul
until the moment of death, which can be viewed as positive and nurturing, rather than simply
limiting and inhibitive. He admits that the soul initially depends upon the body for the
15
In Kitâb ‘Arshiyya, Shadrâ summarized this ideas by saying that the soul originates as
body but subsists as spirit; jasmâniyyat al-huduth rûhâniyyat al-baqâ. In the beginning, the
soul is connected with the body and is a corporeal substance, however, through the process of
trans-substantial motion, the soul becomes gradually intensified and its mode of existence or
being is likewise transformed until it attains independence from the body and finally subsists
as spirit and returns to its Lord. For further information on this topic, see Mullâ Shadrâ, Kitab
al-’Arsyiyyah (Beirut: Mu’assasah al-Tarikh al-‘Arabi, 2000), p. 33.
16
Shameli, “A Comparative,” p. 42.
17
Morris, The Wisdom, p. 140.
264
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
manifestation of its faculties. However, the soul eventually becomes independent of the
body, such that the body’s passing away does not harm the soul, nor does it in any way
compromise those faculties of the soul once facilitated by the body—such as the senses.
For Shadrâ, those senses continue on the psychic plane, even after the death of the body. Thus,
Shadrâ takes the position that the pleasures and torments of the next life will be experiences
purely on the psychic level—not on the physical level as asserted by most Ash‘arite theologians,
nor on a purely intellectual level, as asserted by many Islamic philosophers.
Shadrâ’s Philosophical Reflection on Bodily Resurrection
As we have seen in the above discussion, Shadrâ’s theory of the soul and its
transformation is characterized above all by the notion of fluidity and the rejection of
any notion of ontological divisibility or discontinuity for the soul in its many faculties
and levels of existence. He mentions that in the process of the soul’s realization of higher
states, and at every progressive stage, the soul’s wujûd becomes “another wujûd.” This
new “wujûd” is not really “new” in the sense of being created at every point of progress.
Rather, for Shadrâ, all of the levels of wujûd are integrally related to one another such
that, as we have seen, the relationship between the higher and lower intensities or degrees
of wujûd is precisely the relationship of the cause to its effect. The lesser intensities of
wujûd are contained within and emanate from the higher, just as the effect is contained
within and emanates from its cause. The movement through higher and higher intensities
of wujûd is ultimately nothing more than a re-integration of the lower levels of wujûd
within the higher ones from which they had originally emerged.18
Accordingly, Mullâ Shadrâ avoids the transmigration of the soul.19 In line with his
theory of trans-substantial motion, he argues that the process of human becoming is an
irreversible progress and cannot be seen as a movement from a more perfect or developed
to a less perfect and undeveloped rank of existence. A being, like a human soul in a developed
human body, is not expected to take an animal body, which is less perfect than a human
body and is at a lower rank of being. In other words, demotion in trans-substantial change
is not only absurd but impossible.20 However, Shadrâ realizes that the human souls that
achieve perfection are very extremely few in number. The vast majorities of individual
souls are imperfect and have not accomplished the highest level of intellectual perfection
18
Dakake, “The Soul,” p. 122.
Shadrâ’s denial of the transmigration of the soul is surrounded by certain serious problems,
some of which arise from religious texts and others from certain philosophic views concerning
the destiny of undeveloped human soul. Among the religious difficulties are statements in the
Qur’an that a group of people, because of their bad deeds, were changed into monkeys and pigs
by God. The problem is that religious text seemingly recognizes the transmigration of the human
souls with another body. To be more details, see Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullâ Shadrâ
(Albany, NY: State University of New York Press, 1975), p. 248.
20
Ibid.
19
265
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
which is united to the Active Intellect. Elsewhere in Kitâb al-‘Arshiyyah, Shadrâ also rejects
Aristotle’s and Alexander Aphrodisias’s21 thought which asserts that only the intellect in
man to be immortal and therefore only that part of the human soul which has become
actualized in the intelligible world to survive death. The question is how Shadrâ solve this
problem?
Mullâ Shadrâ’s treatment of this matter takes the middle position between the views
of those who believe in the survival of the intellect after death, and those who accept the
survival of the body as well. According to Shadrâ, Alexander Aphrodisias was wrongly to
suppose that there exist only two kinds of worlds: the world of material bodies and the
world of intellects. Consequently, there is no place for imperfect souls which have no
become fully actualized. In response to this supposition, Shadrâ asserts that there is an
imaginal world22 which is intermediate between the spiritual and sensible worlds. All the
souls which have not attained perfection or unity with the Active Intellect will be placed
in the intermediate world. In Kitâb al-’Arsyiyyah, Shadrâ explicitly writes:
But it is not like that (Shadrâ is referring to Aphrodisias’s supposition). Instead, there
is another world of being, alive and sensible (mahsûsah) by essence, unlike this (physical)
world—a world that is perceived by these true (inner) senses (al-hawâs haqíqah), not
by these transient external ones (al-hawâs al-dzâhirah). That world is divided into a
sensible Paradise (al-jannah al- mahsûsah) containing the felicities of the blessed (na‘ím
al-su‘adâ), including food, drink, marriage, sensual desire and all that could delight
the soul and give pleasure to the eyes; and a sensible Hell (nâr mahsûsah) containing
the punishments of the wretched (‘adzâb al-‘asyqiyâ`), including hellfire, torments,
serpents and scorpions. If this imaginal world did not exist, what Alexander Aphrodisias
mentioned would be undeniably true and that would mean that the Sacred Laws
(syar‘iyyah) and divine books (al-kutub al-ilâhiyyah) were lying when they maintained
the resurrection (ba’ats) for everyone.23
21
Alexander Aphrodisias (Iskandar Afradisy) is one of Neo-Platonic commentators whose
works were very popular among Muslim philosophers. His commentaries were translated into
Arabic along with the actual Aristotelean corpus. They contained some controversial issues
among Islamic, Jewish, and Latin Christian philosophers. For further information, see Moris,
Revelation, p. 149.
22
The central importance of the imaginal world in Islamic metaphysical discourse was
brought out for the first time by Ibn ‘Arabi and then Suhrawardî. Mullâ Shadrâ expands the
metaphysics of this world and brings out its epistemological, eschatological, and cosmological
significance in a masterly way. By definition, the imaginal world is the intermediate world
residing ontologically between the physical and the purely intellectual. In Shadrâ’s philosophy,
the exposition of the imaginal world was integrated with his general ontology which are the
unity of existence (wahdat al-wujûd), primacy of existence (awalat al-wujûd), and gradation
of existence (tashkík al-wujûd). For further information, see Seyyed Hossein Nasr, Islamic
Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), p. 230.
23
Shadrâ, Kitab al-’Arsyiyyah, p. 44.
266
Spiritual World
Imaginal World
Sensible World
The world of intellects
Trans‐substantial motion
Trans‐substantial motion
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
Physical world
According to such ideas, the bodies of the undeveloped souls, the souls that have
committed sins, deteriorate at the time of death and are not reassembled as before. In order
to survive physically, they create a material body for themselves by externalizing their inner
psychic states in the form of a body in the imaginal world, where all psychic states and
dispositions are transformed into concrete images. It is in the imaginal world that the
souls will experience certain eschatological events described in the Qur’an and the Hadith.24
Shadrâ’s classification on spiritual, imaginal, sensible worlds can be illustrated as follows:
In addition to such description, there are two essential themes largely discussed in
the Kitâb al-’Arsyiyyah which are related to the issue of resurrection: (1) the nature of the
human soul and its incredible potentiality, and (2) the immortality of the imaginative
power of the human soul. According to the nature of human soul, Shadrâ asserts that
the human soul is the conjunction of the terminal point of the sensible world and the initial
point of the spiritual world. It has capacity to of having control over the sensible world and
the capacity of entering into the spiritual world. For this notion, Shadrâ writes:
The human soul is the fastest of all generated things so far as its changes in the physical,
psychic, and intellective modalities of being. In the initial stages of its fundamental generated
of nature, the soul is the ending of the sensible world (nihâyat al-‘âlam al-mahsûsah)
and the starting of the spiritual world (bidâyat al-‘âlam al-rûhâniyyah). It is the greatest
gateway to God (bâb allah al-a‘lâm), through which one can be brought to the Highest
Kingdom (al-malakût al-A‘lâ). However, it also has all of the gates to the Hell. It is the
separator standing between this world (al-dunyâ) and the other world (al- âkhirâh)
because it is the form (shûrah) of every potency (quwwâh) in this world and the matter
(mâddah) for every form in another world. Thus, the soul is the junction of the two seas
24
Rahman, The Philosophy, p. 248.
267
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
of corporeal and spiritual things; its being the last of the corporeal realities is a sign
of its being the first of the spiritual ones.25
On the immortality of the imaginative power (quwwâh khayyâliyyah) of the human
soul, Shadrâ contends that it is a substance which is independent of the sensible world;
it is immaterial and immortal and it does not die when the body dies. Though the imaginative
power is of a substance which is independent of the sensible world, it is not without
connection to it. Shadrâ asserts that the imaginative power is not totally independent of
the worlds of generated being (kawnain) which are this world and the next world. If the
imaginative power were to be totally independent of both worlds, then it would be pure
intellect (‘aql) or spirit. In Kitâb al-’Arsyiyyah, Shadrâ states:
In man, the imaginal power is a substance which is independent of this world (jawhar
mujarrad), that is, the world of physical beings (al-akwân al-tabi‘iyyah), the motions
(harakah), and transformations of the material things. We set forth decisive proofs
about this matter in our book al-Asfâr al-Arba‘ah. But this power is not totally independent
of generated being (al-kawnain), since in that case it would have to be pure intellect
(‘aql) and object of intellection (ma‘qûl).26
For Shadrâ, the imaginative power belongs to or is a part of the imaginal world. The
imaginative power has it locus in the human soul. The relation between the imaginative
power and the soul is not in the manner is not something inhering in another thing but
in the way an act is related to its agent. The fundamental role of imaginative power is to
perceive the imaginal forms.27 The complete manifestation of the imaginal forms and the
imaginative power will be experienced fully after death when the soul is separated from
the body. In the posthumous state, the individual will perceive the full manifestation and
intensity of the imaginal forms and come to realize that the sensible forms of the material
world are weaker and less real, relative to the imaginal forms. According to such ideas,
Shadrâ says:
The complete manifestation of these forms and the perfection of these forms and the
perfection of the power of their being occur only after death. This is true to such a degree
that compared to the forms man will see after death, the forms he sees in this world are
like dreams. This is why the Commander of the truly faithful (Imam Ali) said: “Mankind
25
Shadrâ, Kitâb al-’Arsyiyyah, p. 42-43.
Ibid., p. 36.
27
The imaginal form is a level of being which is higher and more intense than that of the sensible
world. The imaginal form is a kind of phantom image with objective existence or reality. For majority
of the people, the imaginal forms are hidden from them and if manifested in the dream state are
often weak due to their souls’ immense attachment with the body. According to Mullâ Shadrâ,
the degree of manifestation (zuhûr) or hiddennesss (khifâ’) and intensity (shadda) or weakness (da’ íf)
of the imaginal form which are perceived by the imaginative power is dependent on the strength
of the imaginative power itself. To be more details, see Shadrâ, Kitab al-’Arsyiyyah, p. 37.
26
268
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
are sleeping; when they die, they awaken.” Then the unseen becomes immediate vision.
This is the secret of the return and the resurrection of the body.28
In observing Imam ‘Ali’s Hadith which is stated above, Shadrâ contends that the
natures of forms in the Afterlife, while resembling the imaginal forms experienced in
our dream state or in mirrors in this life, are not essentially the same. The existence of
things in the Afterlife, although resembling the existence of forms which people see in
sleep or in a mirror in one respect, are not so in actuality. This is due to the fact that in the
Afterlife, the things people see and experience are imaginal representations of the fruits
of their actions in this world. But those forms which appear to us in sleep are not real in
the way the images we experience in our waking state are, nor are they real in the way
the forms presented to us in the Afterlife will be. Because of these considerations, Shadrâ
goes on to say that the existent form which appears in sleep and in the mirror is an impotent
thing whose appearance is pure fancy. Dreams imaginally represent to the dreamer the
contents of his conscience.
The same idea holds true for objects reflected in mirrors. The reflection of an object
in a mirror is not the object itself. At the same time, it does capture something of the true nature
of the object placed before the mirror. If it were otherwise, people would not, for example,
brush their hair in front of mirrors, nor would they rely upon them for any representations
of reality. The forms people receive in their dreams and in mirrors are therefore both real and
unreal. In the Afterlife, those things which are the imaginalizations of our actions in this
world, or, rather, the things which are represented to us as the physical manifestations of
our deeds here on earth, also reflect something of the reality with which we were engaged
in the previous world. On the other hand, these forms are not simply representations, as are
the objects reflected in mirrors or those images produced in dreams. They are more real than
either of these, since these forms belong to a different order of reality.29
The question is how are those forms represented to us in the Afterlife? To this question,
Shadrâ states that when the soul is separated from the body, it carries along with itself
the perceiving form which enables it to perceive sensible things through its inner sense
(hissi al-bâthin). Therefore, although at death the soul is separated from the body and the
external senses, the soul continues to perceive forms through its inner senses. At the same
time, the imaginative power will originate imaginal forms by its own volition (irâdah).
Concerning the origination of the form, Shadrâ states that it can be created by an individual
either with the appropriate material or without the presence of the necessary materials. He
supports this notion by giving the example of God’s creation of the planets and heavenly
bodies which are created from nothing. In his interpretation, the term ibda‘ which is used
28
Ibid.
Mohammed Rustom, “Psychology, Eschatology, and Imagination in Mullâ Shadrâ Shirazi’s
Commentary on the Hadith of Awakening,” in Islam & Science, Vol. XXXII, p. 10.
29
269
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
by many philosophers refers to God’s act of creating or originating something from nothing.
In Shadrâ’s account, the soul is endowed by God with a similar power to originate forms
from nothing. The imaginal forms which are originated from nothing by the human soul
exist in the soul. For Shadrâ, these imaginal forms, once again, are more substantial,
more firmly established and permanent in their reality than material forms which are
constantly changing and being regenerated.30
Based on such reflective thoughts, Shadrâ rejects the transmigrationists’s claims
which state that the union of the soul with the body in the hereafter is religiously supported,
and since the body will be resurrected is not the same body to which the soul was related
in its earthly existence, it clearly implies some kind of transmigration of the soul. To this
claim, Shadrâ replies that that body, being a symbolic expression of the soul’s inner states,
has no potentialities like the earthly body and possesses no existence of its own. It is a
mere symbol of the soul and is related to the soul as a reflection or a shadow; it has no
independent status or nature of its own. The opponent can say that the statements of the
Qur’an apparently say that the body in hereafter will be the same earthly body and not a
merely symbolic one. Shadrâ admits that this is so but adds that that body will have the
same form as this earthly body and not the matter of the earthly body. Even in this earthly
body, its identity is preserved by its form not by its matter, which is continuously changing.
The body of a human at any given moment in this life is really its identical form plus an
indeterminate matter. In the hereafter, this body will be pure physical form without
matter—but that physical form will preserve the identity of this body.31
The complete arguments of Mullâ Shadrâ concerning the necessity and the possibility
of bodily resurrection could be found in Kitâb al-‘Arsyiyyah. At the beginning of his second
illumination about the true reality of the return and the manner of the bodily resurrection,
he provides seven philosophical premises which are consistent with our previous
discussion. The seven premises32 can be summarized as follows:
1. The subsistence of everything is by virtue of its form, not is matter. In this sense, the
form is the actual ground of its quiddity, the completion of its reality, and the source
of its ultimate differentia. Thus, although we suppose that form to be separate from
its matter, the thing itself would remain regardless of that separation.
2. The individual identity of things is independent on their particular matter. According
to Mullâ Shadrâ, the individual identity of a thing is an expression for its particular mode
of being, whether it is material or separate from matter. For instance, Zayd is possible
30
Moris, Revelation, p. 162.
Rahman, The Philosophy, p. 249.
32
Shadrâ claims that his arguments on bodily resurrection were built upon the divine book
(al-kitâb al-ilâhiyyah) and philosophical reflections. At the beginning of his arguments, he
quotes some verses of the Holy Qur’an which are related to necessity of bodily resurrection. To
see the full version of his argumentations, see Morris, The Wisdom, p. 153-157.
31
270
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
to change in position, quantity, qualities, and location in time and space; however, he
is still precisely as Zayd.
3. The being remains one throughout the stages of its transformation, and that higher
level of being subsume the lower. In order to achieve perfection, individual being always
changes and transforms to a higher level of its position. The individuation of a being
is an aspect which is continually transformed and intensified in its substantiality
through a continuous motion with the property of continuous unity. Since it is one in
continuity, it is also one with respect to its being and its individuation.
4. The soul originates forms of being by pure intention, without material preparedness.
Without any association with a material container, location and preparedness, the
forms may occur by immediate creation thorough the conceptions and formative directions
of the maker (God). The forms subsist through the soul and exist in the domain of the soul.
5. The imaginal power of the soul is a substance essentially separate from the body. As
has been mentioned, the imaginal power in man is a substance whose being is actually
and essentially separate from this sensible body and physical frame. The imaginal
power remains regardless the collapse and decline of the bodily frame. The separation
of soul and body does not penetrate to its essence and its perceptions.
6. The soul’s perceptions are essentially of its own world, only accidentally related to
physical forms. The soul’s perceptions, whether in this world or in the other world, are
not things separate from his essence and different from his individuation. Its perception
only exists in his essence, not in something else. The need of material things in perceiving
imaginal forms of the soul is only at the very beginning of the development of sensation.
Thus, in the state of separation between soul and body, there is nothing to prevent the
soul from perceiving all that it perceives and senses in this life.
7. The soul can directly affect the body. The soul can directly cause external affects. In this
case, Shadrâ points out some example in our daily lives. For him, frightened, embarrassing,
and excitement of something are examples of how soul can directly affect our bodies.
Having provided the philosophical argumentations of the necessity of the bodily
resurrection, Shadrâ goes on to discuss the difference in mode of being between bodies
in this world and those of the world to come. In Kitâb al-’Arsyiyyah, he presents six
aspects of those differences:
1. Everybody in the other world is animated and alive, whereas in our world, there are
bodies deprived of life and consciousness, and where living bodies never have more
than an accidental and ephemeral life. In his own words, Shadrâ writes:
…everybody in the other world possesses the spirit of life, and indeed is living by
its very essence; one cannot even conceive of a body there not having life. That is quite
different from this world, where there are many bodies that do not possess life and
271
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
consciousness—and even in those that do have life, their life is something that occurs
to them accidentally and is added to them.33
2. The bodies of this world receive their souls at the end of a process that makes them fit to
receive them, whereas the souls of the other world produce their own bodies in accordance
with their own needs. In his own words, Shadrâ states:
…the bodies in this world are receptive to their souls by way of their material
preparedness, while souls in the other world make their own bodies, by way of
immediate affirmation. Here, bodies and materials gradually ascend, according
to their states of preparedness and transformations, until they attain to the ranks
of souls. But in the other world, the command of creation and life descends from
souls into bodies.34
3. In this world, the potentiality is chronologically antecedent to an actuality, while the
actuality is ontologically antecedent to potentiality. In the other world, the potentiality
is chronologically and ontologically antecedent to actuality. In Kitâb al-’Arsyiyyah, Shadrâ
explicitly explains, “…in this world, potentiality precedes actuality in time, while the
actuality is prior to the potentiality in essence. But there, the potentiality is prior to the
actuality both in essence and in being.”35
4. In this world, the actuality is nobler than potentiality because it is its fulfillment, whereas
in the other world, the potentiality is nobler than the actuality since it is that which produces
the actuality. In Kitâb al-’Arsyiyyah, Shadrâ states, “Here, actuality is more exalted than
potentiality since it is the end (the final cause) of the potentiality. But there, potentiality is
more exalted than actuality, since it is the potentiality that actually makes the actuality.”36
5. Bodies and volume are in finite in the other world since they originate from the imaginations
and perceptions of souls, which are both infinite. According to this view, Shadrâ writes:
The bodies and objects of the other world are infinite, according to the number of
conceptions and perceptions of souls. It is because the proofs for the finitude of
(physical) dimensions do not apply to that world, but only within the confines and
dimensions of material things. Nor (despite the unlimited number of bodies) is
there any crowding or interference between things in the other world. And nothing
there is in a direction “inside” or “outside” of anything else.37
6. The bodies of the other world and all of its marvels exist through a single being since
each of them encompasses these things as a support from God. In his own words,
Shadrâ asserts:
33
Shadrâ, Kitâb al-’Arsyiyyah, p. 54.
Ibid.
35
Ibid.
36
Morris, The Wisdom, p. 165.
37
Shadrâ, Kitâb al-’Arsyiyyah, p. 54.
34
272
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
…the bodies of the other world and all of its marvels, including the gardens, rivers,
chambers, dwellings, palaces, pure companions, houris, and all of the other attendants,
servants, slaves, and retinues of the people of Paradise—all of these exist though a
single being, which is the being of each man among the people of blessedness. This
is because each of them encompasses these things as a support from God and lodging
from the Forgiving, the Merciful.38
In addition to such argumentations, Shadrâ also discusses three more topics which
are related to the issue of bodily resurrection. The first issue is concerning the true nature of
the other world of the soul. The second issue is concerning of his refutation to those who deny
the Return and the resurrection of the body. The third issue is concerning what survives of the
parts of a man in the other world. I will not go further on to talk about these issues since they
have been discussed intensely prior to this section. It seems to me that what we have discussed
so far is enough to know Shadrâ’s very basic philosophical reflection on bodily resurrection.
Conclusion
The issue of eschatology and the afterlife is a fundamental instrument of Islamic faith.
In the history of Islamic philosophy, there are many Muslim philosophers who have tried
to provide the philosophical arguments regarding the necessity of spiritual and bodily
resurrection. Of those philosophers, Mullâ Shadrâ (1572-1640) provides the most plausible
arguments that we can study today. Mullâ Shadrâ begins his argument by examining the
fundamental meaning of reality. In doing so, he turned his philosophy from the primary
of essence (ashalah al-mâhiyah) to primacy of existence (ashalah al-wujûd).
Based on his principle of the primacy of existence, Shadrâ goes on to next principle
which is called al-harakah al-jawhâriyyah (trans-substantial motion). According to this
principle, all existents in the world of nature are essentially transformable, and changeable,
and all their parts are continually in the process of creation and extinction. This is what
it is called the philosophy of becoming. In line with such notion, Mullâ Shadrâ asserts that
the process of human becoming is an irreversible progression and cannot be seen as a
movement from a more perfect or developed to a less perfect and undeveloped rank of
existence. A being, like a human soul in a developed human body, is not expected to take
an animal body, which is less perfect than a human body and is at a lower rank of being. In
other words, demotion in trans-substantial change is not only absurd but impossible. However,
Shadrâ realizes that the human souls that achieve perfection are very extremely few in
number. The vast majorities of individual souls are imperfect and have not accomplished
the highest level of intellectual perfection which is united to the Active Intellect. In response
to such fact, Mullâ Shadrâ asserts that there is an imaginal world which is intermediate
38
Ibid., p. 55
273
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
between the spiritual and sensible worlds. All the souls which have not attained perfection
or unity with the Active Intellect will be placed in the intermediate world.
In his effort to prove the necessity of bodily resurrection, Shadrâ introduces the
imaginative power (quwwâh khayyaliyah) which is a substance, immaterial, immortal,
independent of the sensible world, and does not die when the body dies. The fundamental
role of imaginative power is to perceive the imaginal forms. According to Shadrâ, when
the soul is separated from the body, it carries along with itself the perceiving form which
enables it to perceive sensible things through it inner sense (hissi al-bathin). At the same
time, the imaginative power will originate imaginal forms by its own volition. These imaginal
forms are more substantial, more firmly established and permanent in their reality than
material forms which are constantly changing and being regenerated.
With regard to such ideas, the body which will be resurrected in the afterlife is a
kind of symbolic expression of the soul’s inner state. That is why it has no potentialities like
the earthly body and it possesses no existence of its own. However, the body will have the
same form as this earthly body and not the matter of the earthly body. For Shadrâ, even in
this earthly body, its identity is preserved by its form, not by its matter. In this sense, body
of a human in this life is really its identical form plus an indeterminate matter. So, in the
hereafter, this body will be pure physical form without matter—but that physical form
will preserve the identity of this body.
References
Chittick, William C. “Eschatology,” in Seyyed Hossein Nasr (ed.), Islamic Spirituality Foundations.
New York: Crossroad, 1987.
Dakake, Maria Massi. “The Soul as Barzakh: Substantial Motion and Mullâ Shadrâ’s
Theory of Becoming.” in The Muslim World, Vol. 94, 2004.
Dennett, Daniel C. Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon. New York: Viking,
2006.
Hamid, Idris Samawi. Islam Dynamic: The Cosmology and Spirituality of Walayah. New
York: State University of New York Press, 2008.
Khamenei, Sayyid Muhammad. “Phenomenology of Soul in Mullâ Shadrâ’s School,” in
Anna-Teresa Tymieniecka (ed.). The Passions of the Soul in the Metamorphosis of
Becoming. London: Kluwer Academic Publisher, 2003.
Moris, Zailan. Revelation, Intellectual Intuition and Reason in the Philosophy of Mullâ Shadrâ.
London: Routledge, 2003.
Morris, James Winston. The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of Mullâ
Shadrâ. Princeton: Princeton University Press, 1981.
Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the
Land of Prophecy. Albany: State University of New York Press, 2006.
274
Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection
Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mullâ Shadrâ. Albany, NY: State University of New
York Press, 1975.
Rustom, Mohammed. “Psychology, Eschatology, and Imagination in Mullâ Shadrâ Shirazi’s
Commentary on the Hadith of Awakening,” in Islam & Science, 2007.
Shadrâ, Mullâ. Kitab al-‘Arsyiyyah. Beirut: Mu’assasah al-Tarikh al-‘Arabi, 2000.
Shameli, Abbas Ali. A Comparative Study Concerning the Soul-body Problem in the
Philosophical Psychology of Mullâ Shadrâ (1571-1640) and Ibn Sînâ (980-1037).
Thesis. McGill University: Canada, 1995.
Thiselton, Anthony C. A Concise Encyclopedia of the Philosophy of Religion. Oxford: Oneworld,
2002.
275
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN:
Upaya Membangun Harmoni Teologi, Etika, dan Hukum
Syamruddin
Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim
Jl. K.H. Ahmad Dahlan 94 Kecamatan Suka Jadi, Pekanbaru, 28129
e-mail: mukhtarsyah@yahoo.co.id
Abstrak: Tulisan ini mencoba mendiskusikan teori hermeneutika yang ditawarkan
oleh Fazlur Rahman mencakup kritik Rahman terhadap teori sebelumnya, baik tradisional
maupun kontemporer. Penulis menemukan bahwa Rahman menekankan pentingnya
memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Rahman
juga membedakan antara hukum umum (prinsip) dan hukum temporal, dan menekankan
pentingnya mempertimbangkan konteks untuk memahami al-Qur’an secara tepat.
Penulis berargumen bahwa tujuan akhir teori Rahman adalah untuk membangun
harmonisasi tiga aspek ajaran Islam dalam ranah hukum, etika dan hukum yang harus
saling mendukung antara satu sama lain, yang didasarkan pada tiga prinsip dasar
tatanan hubungan manusia yakni egalitarianisme, keadilan dan konsultasi mutual.
Abstract: Fazlur Rahman’s Hermeneutics: An effort to Build Harmony
Between Theology, Ethics and Law. This paper attempts to discuss the hermeneutical
theory proposed by Fazlur Rahman. It includes therefore the discussion of Rahman’s
critique on the existing theories both traditional and contemporary ones. The author
finds that Rahman emphasizes the importance of understanding al-Qur’an integrally
as a single whole. He also distinguishes between general laws and temporary laws as
well as stresses the importance of considering context to understanding al-Qur’an
correctly. The author argues that the ultimate purpose of the theory is to build a harmony
among three aspects of Islamic teaching: law, ethics, and theology, each of which
has to support one another. In addition, there are three principles on which laws on
human relation have to be built, namely egalitarianism, justice, and mutual consultation.
Kata Kunci: Al-Qur’an, hermeneutika, Fazlur Rahman, penafsiran
Pendahuluan
Ada tiga hal yang membedakan teori hermeneutika Fazlur Rahman dibandingkan
dengan teori pemikir (scholars, ‘ulamâ`) lainnya. Pertama, perbedaan pendekatan dalam kajian.
Konsep umum menggunakan pendekatan parsial/atomistik (juz‘î), sementara Rahman
276
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
menggunakan pendekatan holistik (kullî). Dengan kata lain, salah satu ciri hermeneutika
Fazlur Rahman adalah pemahaman al-Qur’an secara keseluruhan (holistik). Rahman menyatakan, “satu bagian al-Qur’an menafsirkan bagian yang lain” atau “sekian bagian yang ada
dalam al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain” (al-Qur’an yufassiru ba‘dhuhu ba‘dhan).1
Kedua, perbedaan penemuan Rahman dengan ulama lain dan merupakan kunci
dasar hermeneutika Rahman adalah, beliau membedakan nash menjadi dua kelompok,
yakni hukum umum di satu sisi dan hukum temporal di sisi lain. Sementara ulama pada
umumnya tidak membedakan hal tersebut. Ketiga adalah penekanan Rahman tentang
pentingnya memahami konteks untuk memahami al-Qur’an. Dalam satu kesempatan Rahman
menjelaskan, “pada kenyataannya al-Qur’an adalah seperti ujung gunung es, di mana
sembilan persepuluh yang terendam di bawah air dan hanya sepersepuluh yang terlihat.”2
Rahman yang penekanannya pada pemahaman al-Qur’an secara holistik (kullî) menempatkan teorinya sebagai pendekatan holistik (kullî). Demikian pula penekanan Rahman
pada pentingnya memahami konteks untuk memahami al-Qur’an menempatkannya sebagai
seorang kontekstualis. Tamara Sonn menyatakan, metode yang ditawarkan oleh Fazlur
Rahman untuk mencapai pemahaman yang tepat dari prinsip Islam adalah salah satu
kontribusi Rahman paling signifikan dan sangat mempengaruhi pemikiran dunia Islam.3
Tulisan ini mencoba menjelaskan teori hermeneutika Rahman. Setelah pendahuluan
diikuti dengan deskripsi kritik Rahman terhadap teori sebelumnya, baik tradisional maupun
kontemporer. Pada bagian berikutnya merupakan deskripsi tentang penekanan Rahman
terhadap pentingnya memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan dan menjadi satu kesatuan
yang utuh, dan merupakan ciri pertama hermeneutika Rahman. Bahasan diikuti dengan
penjelasan tentang pembedaan antara hukum umum (prinsip) dan hukum temporal.
Bahasan kemudian dilanjutkan dengan karakter ketiga, pentingnya memahami konteks
untuk memahami al-Qur’an.
Kritik Rahman tentang Metode Tafsir
Fazlur Rahman adalah seorang filosof Pakistan, pendidik dan pembaharu Islam
terkemuka. Rahman lahir di Pakistan pada 1919, dan memperoleh gelar master dalam
bahasa Arab dari Universitas Punjab, Lahore, pada tahun 1942, dan gelar doktor dalam
Filsafat Islam dari Oxford University pada tahun 1949. Beliau juga menjadi Dosen di
Studi Persia dan Filsafat Islam di Universitas Durham Institut Agama Islam 1958-1961,
dan pernah berkunjung ke Pakistan sebagai profesor di Pusat Penelitian Institut Agama
1
Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur’an,” dalam Afkar Inquiry: Magazine of Events and
Ideas, May 1986, h. 45.
2
Ibid, h. 46.
3
Tamara Sonn, “Fazlur Rahman’s Islamic Methodology,” dalam Muslim World, No. 81, No.34 (July-October, 1991), h. 213.
277
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Islam 1961-1962. Ia meninggalkan Pakistan karena kritik dan pemikirannya yang reformis,
ia kemudian diangkat menjadi Visiting Profesor di University of California, Los Angles,
pada musim semi 1969. Pada musim gugur dia pergi ke Universitas Chicago dan diangkat
sebagai Profesor Pemikiran Islam. Meskipun awalnya Rahman mencapai ketenaran internasional
di bidang filsafat, dengan publikasi Avicenna’s Psychology (1952), Prophecy in Islam (1958)
dan Avicenna’s De Anima (1959), dia terkenal karena karya rintisannya di dalam hermeneutika
Islam. Rahman meninggal dunia pada bulan Juli 1988.4
Fazlur Rahman yang tercatat sebagai sarjana pertama secara sistematis memperkenalkan penafsiran holistik, tidak secara eksplisit menyebut teorinya ‘holistik’. Dalam
satu kesempatan Rahman menyebutnya sebagai pendekatan sejarah, dan dalam artikel
yang sama disebutkan pendekatan sosiologis.5 Sedangkan di kertas lain disebut sebagai teori
hermeneutis.6 Bahkan Abdullah Saeed menyebut Rahman sebagai seorang kontekstualis.7
Untuk menempatkan konsep Fazlur Rahman dengan benar, adalah penting untuk
memahami komentar dan kritik Rahman terhadap teori-teori sebelumnya. Rahman mengkritik
metode penafsiran klasik dan pertengahan yang menggunakan pendekatan atomistik, yaitu
memahami atau menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat. Terkait dengan kritiknya tersebut,
Rahman menyatakan:
The classical and medieval commentators of the Qur’an have treated the Qur’an verse
by verse; although sometimes they give cross-references to other verses of the Qur’an
while commenting upon a verse, this has not been done systematically. The Qur’an commentaries
therefore do not yield an effective ‘weltanschauung’ that is cohesive and meaningful for
4
Tamara Sonn, “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World,
diedit oleh John L. Esposito (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995) III: 408; Donald
L. Berry, “Fazlur Rahman: A Life in Review,” dalam The Shaping of An American Islamic Discourse, diedit
oleh Earle H. Waugh and Frederick M. Denny (Atlanta and Georgia: Scholars Press, 1998), h.
37-48.
5
Fazlur Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives,” International
Journal of Middle Eastern Studies, Vol. I (1970), h. 329-330. Dalam bahasa Rahman, “a sober
and honest historical approach must be used for finding the meaning of the Qur’anic text. The
metaphysical aspect of Qur’anic teaching may not lend itself very easily to historical treatment,
but the sociological part certainly will”. Ibid., h. 329; “difficulties and difference of interpretation
will undoubtedly also on this sociological approach, but it is the only approach that can also lead
to satisfactory solutions”. Ibid., h. 330.
6
Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 45. Dalam bahasa Rahman, “Nevertheless
there is a dire need for a hermeneutical theory that will help us understand the meaning of the
Qur’an as a whole so that both the theological section of the Qur’an and its ethical and ethicolegal parts become a unified whole”. Ibid.; Selanjutnya dikatakan, “But the method of Qur’anic
hermeneutics I am talking about is concerned with an understanding of its message that will enable
those who have faith in it and want to live by its guidance - in both their individual and collective
lives - to do so coherently and meaningfully”. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982), h. 4.
7
Abdullaah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London
& New York: Routledge, 2006), h. 3, 6, 128.
278
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
life as a whole”.8 Artinya, para penafsir klasik dan pertengahan menafsirkan al-Qur’an
ayat demi ayat. Walaupun kadang-kadang mufasir menghubungkan pembahasan dengan
ayat lain, namun dilakukan bukan secara sistematis. Akibatnya, tafsiran al-Qur’an tidak
menghasilkan ‘weltanschauung’ yang efektif, kohesif dan bermakna bagi kehidupan dalam
segala aspek.
Di tempat lain Rahman menulis, “there was a general failure to understand the
underlying unity of the Qur’an, coupled with a practical insistence upon fixing on the words
of various verses in isolation. The result of this “atomistic” approach was that laws were
often derived from verses that were not at all legal in intent”.9 Artinya, ‘‘ada kegagalan
umum dalam memahami kesatuan al-Qur’an, ditambah dengan desakan praktis memahami
ayat al-Qur’an secara terpisah. Hasil pendekatan ‘atomistik’ ini sering mengambil dan
menetapkan hukum dari ayat-ayat yang sebenarnya bukan bermuatan hukum”. Menurut
Rahman, al-Qur’an sendiri menegaskan secara jelas bahwa al-Qur’an adalah sumber
ajaran yang sangat terintegrasi dan kohesif:
The contention that certainty belongs not to the meanings of particular verses of the
Qur’an and their content but to the Qur’an as a whole, that is, as a set of coherent principles
or values where the total teaching will converge, might appear shocking to many
Muslims who have been for centuries habituated to think of the laws of the Qur’an in
a discrete, atomistic, and totally unintegrated manner (even though the Qur’an loudly
proclaims that it is a highly integrated and cohesive body of teaching).10 Artinya, bahwa
kepastian bukan dari ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an melainkan isi al-Qur’an secara
keseluruhan. Prinsip atau nilai koheren ini mungkin mengejutkan banyak muslim
karena telah berabad-abad terbiasa memahami al-Qur’an secara terpisah-pisah (atomistik),
dan benar-benar tidak terintegrasi, meskipun al-Qur’an tegas menyatakan bahwa alQur’an adalah sumber ajaran yang sangat terintegrasi dan kohesif.
Salah satu contoh akibat negatif dari penggunaan pendekatan atomistik, pada saat
yang sama menunjukkan pentingnya pemahaman yang koheren, adalah dalam hukum
pembunuhan. Al-Qur’an memberikan dua kemungkinan hukuman bagi pembunuh,
yakni membayar diyat atau dibunuh (qishas), dengan menambahkan bahwa memberikan
ampunan lebih baik. Menurut Rahman, semua ahli hukum menyimpulkan bahwa pembunuhan
masuk ke dalam kejahatan pribadi, yang karenanya hukumannya tergantung pada keluarga
yang ditinggalkan, apakah pembunuh akan diampuni, membayar diyat, atau dihukum
bunuh. Padahal al-Qur’an menetapkan prinsip yang lebih umum bahwa, ‘seseorang yang
membunuh orang lain di bumi tanpa alasan atau bukan masa perang, seakan ia telah
membunuh semua umat manusia’ (sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Mâ`idah/5:
8
Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 45.
Rahman, Islam and Modernity, h. 2-3.
10
Ibid., h. 20.
9
279
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
32). Dari hal ini jelas bahwa pembunuhan lebih merupakan kejahatan (pidana) umum
ketimbang pidana pribadi.11 Sebaliknya, pidana pencurian adalah kejahatan pribadi.12
Kritik lain dari Rahman terhadap pendekatan klasik dan pertengahan dalam studi
Islam adalah kurang atau tidak memperhatikan konteks dan sejarah al-Qur’an, hanya
berkonsentrasi pada teks al-Qur’an. Secara keseluruhan, Rahman menyebutkan bahwa
ada tiga kelemahan pendekatan klasik dan pertengahan, yaitu: (1) Perhatian yang tidak
cukup terhadap latar belakang historis pewahyuan al-Qur’an, (2) Berkonsentrasi pada
teks al-Qur’an, dan (3) Atomistik dalam memahami al-Qur’an.
Rahman setuju dengan pentingnya memahami bahasa; gaya, idiom, dan kiasan,
seperti yang ditekankan ulama Klasik dan Pertengahan (bahkan beberapa pemikir kontemporer).
Namun kepentingan analisis bahasa ini hanya untuk memahami teks al-Qur’an. Dalam
ungkapan Rahman, “bahasa penting untuk memahami teks al-Qur’an, namun ada kebutuhan
mendesak terhadap hermeneutis yang akan membantu kita memahami al-Qur’an sebagai
keseluruhan, sehingga bagian teologis al-Qur’an, bagian etika, dan bagian hukum, menjadi
satu kesatuan yang utuh”.13
Rahman juga menyatakan, ‘‘Jika kita perhatikan, al-Qur’an tidak memberikan banyak
prinsip umum. Sebagian besar isi al-Qur’an memberikan solusi atau keputusan atau hukum
terhadap masalah konkret yang muncul ketika itu. Tetapi seperti telah saya katakan,
jawaban-jawaban terhadap kasus-kasus konkret tersebut menyediakan alasan-alasan,
baik secara eksplisit ataupun implisit. Alasan-alasan di balik solusi atau keputusan atau
hukum tersebut dapat disimpulkan dan dirumuskan menjadi prinsip-prinsip umum”.14
Dalam setidaknya tiga dari tulisan-tulisannya,15 Rahman menekankan tiga unsur dalam
pendekatannya, yaitu: konteks ayat-ayat (konteks teks), susunan gramatikal teks, dan
menjadikan semua teks al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai ‘weltanschauung’.
Kritik lain dari Rahman terhadap metode klasik adalah penggunaan qiyas, istihsân,
mashlahah mursalah, dharûrat, nâsikh-mansûkh, marhalîyah, serta ‘âmm dan khashsh. Kritiknya
terhadap qiyas, istihsân, mashlahah mursalah, dan dharûrat adalah standar penggunaan
yang subjektif. Kadang menggunakan standar sempit dan dangkal sedangkan pada saat
lain menggunakan standar mendalam. Adapun terhadap konsep pembatalan (nâsikhmansûkh), Rahman melihat lebih sebagai dasar keyakinan bahwa konteks yang berbeda
menghasilkan hukum yang berbeda, bukan ada ayat yang membatalkan ayat lain. Sedangkan
11
Ibid., h. 144; Rahman., h. 46.
Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 46.
13
Ibid., h. 45.
14
Rahman, Islam and Moderntiy, h. 20.
15
Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: Bibliothca Islamica, 1980); Rahman., “Some
Key Ethical Concepts of the Qur’an,” dalam Journal of Religious Ethics, Vol. XI, No. 2 (1983), h.
170-185; Rahman., “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man,” dalam Islamic Studies,
Vol. VI, No. 1 (1967), h. 1-19.
12
280
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
konsep ‘âmm dan khashsh menurut Rahman bahwa aturan umum (‘âmm) menjadi lebih
mendasar, dan karenanya putusan-putusan spesifik (khashsh dimasukkan di bawah ketentuan
umum.16 Oleh karena itu, Rahman memegang teori al-‘ibratu bi ‘umûm al-lafzh lâ bi
khushûsh al-sabab bukan al-‘ibratu bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafzh.
Berkenaan dengan teori hermeneutik, Rahman menawarkan dua langkah utama
dalam menerapkan metodenya, yang terkenal disebut ‘gerakan ganda’. Langkah pertama
adalah bergerak dari kasus konkret/khusus/spesifik/temporal17, yang ditetapkan al-Qur’an
untuk menemukan prinsip umum. Sementara langkah kedua adalah bergerak dari prinsip
umum kembali ke kasus khusus. Baik untuk menemukan prinsip-prinsip umum dari jawaban
spesifik al-Qur’an maupun ketika menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjawab
atau menyelesaikan kasus-kasus khusus, adalah perlu memperhitungkan kondisi sosial
yang relevan (konteks). Rahman menulis:
Dalam membangun atau menetapkan hukum dan institusi Islam sejati dan layak, harus
ada gerakan ganda: Pertama, kita harus bergerak dari kasus konkret yang diselesaikan alQur’an dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang relevan pada waktu itu, untuk
menetapkan prinsip-prinsip umum yang di atasnya seluruh ajaran menyatu. Kedua, dari
prinsip umum tersebut harus ada gerakan kembali ke legislasi khusus masa sekarang,
juga dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang diperlukan dan relevan dengan
kondisi dan tuntutan sekarang.18
Gerakan pertama dari dua gerakan tersebut terdiri dari dua langkah. Langkah pertama
adalah memahami makna pernyataan yang diberikan dengan cara memahami situasi
historis dari masalah, yang terhadap masalah tersebut jawaban diberikan. Langkah kedua
adalah menggeneralisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menempatkannya sebagai
tujuan umum yang bersifat sosial-moral.19 Rahman mengatakan tentang pentingnya teori
hermeneutis, ‘‘ada kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan membantu
kita memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga bagian teologis al-Qur’an, etika alQur’an, dan hukum al-Qur’an, menjadi satu kesatuan yang utuh”.20
Karakteristik teori hermeneutik Rahman, oleh karena itu, ada tiga. Pertama, penekanannya
pada kebutuhan untuk memahami al-Qur’an dalam kesatuan secara keseluruhan (satu
kesatuan). Kedua, membedakan antara hukum umum dan hukum khusus (hukum temporal),
yang di banyak tempat disebut etis dan ethico-hukum. Ketiga, pentingnya pemahaman
latar belakang dan konteks historis untuk memahami al-Qur’an. Bagian berikut merupakan
16
Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 49.
Empat istilah untuk menunjukkan maksud sama, yakni hukum konkret, hukum khusus,
hukum spesifik, hukum temporal. Semua dimaksudkan untuk menunjukkan subjek sama, sebagai
lawan dari hukum umum (prinsip).
18
Rahman, Islam and Modernity, h. 20.
19
Ibid., h. 6.
20
Rahman, “Interpreting the Qur’an”, h. 45.
17
281
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
penjelasan tentang gerakan ganda hermeneutika Rahman; bagaimana kaitannya dengan
pemahaman al-Qur’an sebagai satu kesatuan, membedakan antara hukum umum dan hukum
khusus atau hukum temporal, dan hubungannya dengan pentingnya pemahaman konteks
untuk memahami al-Qur’an.
Memahami al-Qur’an sebagai Satu Kesatuan
Label yang sama untuk sebutan memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan (pendekatan
holistik) adalah induktif dan integratif (al-istiqrâ’i). Rahman tidak menyebut teorinya
dengan pendekatan ‘holistik’, melainkan ia menyebutnya teori hermeneutis,21 bahkan
sebelumnya disebut teori atau pendekatan historis, atau pendekatan sosiologis.22 Rahman
misalnya menyatakan, “ada kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan
membantu kita memahami makna al-Qur’an secara keseluruhan, sehingga aspek teologis
al-Qur’an, aspek etika, dan aspek hukum menjadi satu kesatuan yang utuh”.23
Pendekatan holistik yang diajukan Rahman berbeda dengan pendekatan tematik
yang diusulkan oleh beberapa sarjana, seperti Amin al-Khuli, al-Farmawî, Bint al-Syâthi‘,
Shahrûr, Nashr Hamid Abû Zayd dan lain-lain. Namun, baik pendekatan tematik maupun
holistik sama-sama menekankan perlunya pendekatan induktif atau lintas referensial
(al-manhaj al-istiqrâ’i),24 yakni menghubungkan seluruh ayat yang membahas masalah
atau subjek yang sama.
Al-Ghazâlî (w. 505/1111) adalah sarjana pertama yang memperkenalkan pendekatan
induktif dalam bukunya al-Mustashfâ min ‘ilm al-Ushûl. Sarjana lain yang memperkenalkan
pendekatan serupa adalah al-Syâthibî (w. 790/1388), yang menawarkan pendekatan
integral, dan menyatakan bahwa ‘‘satu bagian al-Qur’an menafsirkan yang lain” atau
‘‘bagian-bagian yang berbeda dalam al-Qur’an menjelaskan satu sama lain” (al-Qur`ân
yufassiru ba‘duhu ba‘dhan), sebuah prinsip yang sudah ada sejak zaman sahabat. Al-Syâthibî,
seorang ulama terkenal dari mazhab Mâliki, dalam bukunya Al-Muwâfaqât, mengulangi
tentang pentingnya pendekatan induktif dalam tafsir. Bagi Al-Syâthibî penggunaan pendekatan
induktif ini merupakan bagian dari konsep bahwa kalam Allah merupakan kalam satu kesatuan
(kalâmun ilâhiyun huwa kalâmun wâhidun).25
21
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay” dalam Approaches
to Islam in Religious Studies, diedit oleh Richard C. Martin (Tucson: The University of Arizona Press,
1985), h. 198; Idem., Islam and Modernity, h. 5.
22
Rahman, “Islamic Modernism,” h. 330. Tamara Sonn meletakkan teori Fazlur Rahman sebagai
‘historicism,’ sama dengan Mohamad Arkoun (seorang sarjana dari Algeria) dan ‘Abdullah alNaim (seorang sarjana dari Tunisia). Sonn, “Fazlur Rahman’s, h. 227.
23
Rahman, “Interpreting the Qur’an”, h. 45.
24
Sahiron Syamsuddin, “An Examination of Bint Bint al-Syâthi‘’s Method of Interpreting
the Qur’an” (Montreal: MA. Thesis, McGill University, 1998), h. 20, 44.
25
Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, diedit oleh Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd
al-Hâmid (Kairo: Maktabat wa Mathba‘at Muhammad ‘Alî Shâbih wa Awlâdih, 1969), h. 284.
282
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
Demikian juga pendekatan induktif ini diletakkan oleh Ibn Taimîyah (d.728/1328)
dan al-Zarkashî sebagai metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an.26 Namun demikian,
penerapan pendekatan induktif ini belum ditemukan dalam kitab ‘ulamâ` (sarjana) brilian
ini. Rahman, oleh karena itu, mencoba merumuskan metode tersebut secara sistematis dan
menerapkannya dalam menanggapi isu-isu kontemporer. Rahman menyatakan bahwa
seluruh elemen teorinya telah ada sejak zaman sahabat, bahkan sejak Nabi Muhammad
SAW. Apa yang baru dari Rahman adalah merumuskannya untuk menjadi suatu metode
sistematis. Dalam ungkapan Rahman, pendekatan yang dianjurkan di sini adalah baru
meskipun, seperti yang saya katakan sebelumnya, seluruh materinya sudah ada sejak lama.
Unsur baru dari yang ditawarkan hanya terdiri dari konsep, mempelajari al-Qur’an secara
keseluruhan (total) dan spesifik, dan melakukannya secara sistematis sesuai dengan urutan
sejarah (kronologi), bukan menafsirkan ayat demi ayat atau surah demi surah dengan
memisahkannya (terisolasi) dari latar belakang (historical background/sha‘n al-nuzûl).27
Rahman menekankan pentingnya memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan.
Beberapa kutipan tentang masalah ini telah disebutkan sebelumnya dalam hubungannya
dengan kritik terhadap metode klasik dan modern. Pada saat yang sama Rahman mengusulkan
pendekatan holistik, dan bahkan berpendapat bahwa al-Qur’an itu sendiri tegas menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan sumber ajaran yang terintegrasi dan kohesif.28 Demikian
juga al-Qur’an harus dipahami dengan latar belakang historisnya. Dengan kata Rahman,
‘‘bagian dari tugas memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya lengkap dengan latar belakangnya. Latar belakang langsung adalah kegiatan
Nabi Muhammad sendiri dan perjuangannya yang berlangsung selama sekitar dua puluh
tiga tahun di bawah bimbingan dari al-Qur’an”.29 Karena itu jelas bahwa selain menekankan
pentingnya memahami al-Qur’an secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Rahman
menekankan pentingnya memahami latar belakang dan konteks untuk memahami al-Qur’an.
Memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan menyatukan aspek teologi, etika,
dan hukum, muncul ketika Rahman mengkritik modernis dengan mengatakan, ‘‘modernis
hanya sedikit berusaha memperlakukan al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan merumuskan
pandangan dunia sebagai langkah pertama, kemudian menyusun etika dan akhirnya
menetapkan hukum dan/atau aturan dan/atau undang-undang”.30 Rahman, oleh karena
itu, ingin menghubungkan dan membuat satu kesatuan dari tiga aspek yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam, yang merupakan hasil dialog antara Nabi Muhammad dan
26
Taqi al-Dîn Ibn Taimîyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr (Beirût: Dâr Ibn Hazm, 1994),
h. 93; dan Muhammad ibn ‘Abdillâh al-Zarkashî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, diedit oleh
Muhammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm (Kairo: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabîya, 1957), h. 175.
27
Rahman, Islam and Modernity, h. 145.
28
Ibid., h. 20.
29
Rahman, “Interpreting the Qur’an”, h. 45.
30
Fazlur Rahman, “Islam: Legacy and Contemporary Challenge”, dalam Islamic Studies, 19,
4 (1980), h. 244.
283
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Jibrîl, yaitu iman (teologi, dalam arti pandangan dunia), Islam (undang-undang dan/
atau hukum dan/atau aturan), dan ihsan (etika). Rahman berupaya untuk membangun
hubungan harmoni dan koheren antara tiga aspek dari ajaran Islam tersebut. Berdasarkan
teori ini, etika berasal dari undang-undang dan/atau hukum dan/atau aturan sebagai hasil
dari generalisasi. Generalisasi, yang berarti dari khusus ke umum ini merupakan langkah
pertama dari teori hermeneutika Rahman. Selain itu, etika ini juga disebut sebagai tujuan,
objektif, dan nilai dari undang-undang dan/atau hukum dan/atau aturan.
Etika bagi Rahman merupakan nilai tertinggi dari prinsip umum, dasar al-Qur’an.
Sebelum sampai pada level tertinggi ini, dimulai dari prinsip yang lebih rendah, dengan
cara melakukan generalisasi dari atau berdasarkan pada sejumlah undang-undang dan/
atau hukum dan/atau aturan dalam al-Qur’an. Misalnya, kesetaraan dan keadilan merupakan prinsip tertinggi dalam hubungan manusia. Prinsip ini merupakan hasil generalisasi
dari beberapa prinsip yang lebih rendah yang ada di bawahnya, yang mengatur hubungan
antara manusia, yang ditemukan dengan melakukan generalisasi terhadap undangundang dan/atau hukum dan/atau aturan yang lebih rendah, yang mengatur hubungan
antara manusia. Akhirnya, prinsip terendah ditemukan berupa prinsip hubungan antara
suami dan istri, juga dengan cara melakukan generalisasi dari undang-undang dan/
atau hukum dan/atau aturan khusus yang mengatur hubungan suami dan istri.
Prinsip hubungan antara suami dan istri ini juga merupakan hasil generalisasi dari
sejumlah undang-undang dan/atau hukum dan/atau aturan antara suami dan istri. Undangundang dan/atau hukum dan/atau aturan dimaksud adalah hukum yang diberikan alQur’an tentang hak dan tanggung jawab antara suami dan istri, tentang status poligami,
status mahar, dan lain-lain dalam kehidupan rumah tangga. Dengan kata lain, apa yang
disebut prinsip terdiri dari berbagai tingkatan. Maka prinsip yang paling tinggi itulah yang
disebut etika. Etika sebagai prinsip tertinggi dinyatakan Rahman ketika mengkritik penggunaan
qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dharuri, ‘âmm dan khâshsh. Dalam ungkapan Rahman:
Dalam rangka memperbaiki sempitnya qiyas, para ulama merumuskan prinsip-prinsip
lain di luar qiyas berupa mashlahah dan istihsan yang umumnya berarti keadilan hukum
dan kepentingan orang banyak (publik). Mereka misalnya mendefinisikan istihsan,
sebagai prinsip yang lebih tinggi dari qiyas yang akan digunakan dalam kasus di mana
qiyas tidak dapat menyelesaikan. Mashlahah didefinisikan sebagai kepentingan umum.
Demikian pula, konsep darurat disusun untuk menciptakan fasilitas bagi kewenangan
pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipandang perlu demi kepentingan masyarakat (orang banyak atau publik). Jika fukaha telah menetapkan prinsip
secara sistematis dengan menggali illat hukum dari al-Qur’an dan prinsip-prinsip tersebut
telah disusun secara hierarki dari yang lebih umum kepada yang lebih spesifik, dari
yang lebih mendasar ke kurang mendasar. Maka mereka mestinya bisa menempatkan
prinsip-prinsip yang lebih rendah di bawah prinsip-prinsip yang lebih tinggi. Sayang,
apa yang dilakukan bukannya melakukan kegiatan yang sistematis seperti itu, mereka
malah menetapkan prinsip keadilan (istihsan), prinsip kepentingan umum (mashlahah
284
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
mursalah) dan prinsip kebutuhan (dharurat), yang menurut sifatnya prinsip-prinsip
tersebut tidak mesti sejalan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam al-Qur’an
atau sunah nabi. Karena itu hasilnya malah saya takut melahirkan kekacauan.31
Berdasarkan berbagai tingkatan prinsip dan contoh-contoh yang dikutip Rahman,
pemahaman al-Qur’an sebagai keseluruhan dan satu kesatuan, dimulai dengan memahami
satu subjek atau tema tertentu. Hasil penggunaan pendekatan tematik dalam memahami subjek
tertentu tersebut kemudian digunakan untuk memahami subjek lain dengan metode serupa.
Akhirnya, semua subjek dalam al-Qur’an; teologi, etika dan hukum, dibangun menjadi satu
sebagai keseluruhan dan kesatuan. Karena itu ada hubungan dan kesamaan antara pendekatan
tematik dan holistik, meskipun ada perbedaan, yang dapat diketahui persamaan dan perbedaannya lebih jelas dengan menggambarkan penerapan pendekatan tematik berikut.
Amin al-Khûllî (1895-1966), yang secara umum diakui sebagai sarjana Muslim
pertama pada abad kedua puluh yang menekankan pentingnya pendekatan tematik dalam
memahami al-Qur’an, tidak menulis definisi pendekatan ini. Dia memang menekankan
pentingnya memahami dua sisi dari al-Qur’an dalam rangka memahami al-Qur’an secara
sempurna, yakni: arti (ma‘na) dan tujuan (aghrâd) ayat-ayat al-Qur’an.32 Al-Khûllî bersikeras
bahwa ada dua bidang utama pengetahuan (dirâsât) yang dibutuhkan agar memungkinkan
pemahaman yang tepat terhadap al-Qur’an, yaitu: (1) Pemahaman al-Qur’an sendiri
(dirâsât fî al-Qur’ân), dan (2) Pemahaman konteks atau latar belakang al-Qur’an (dirâsât mâ
haul al-Qur’an). Wilayah pertama meliputi kata-kata (mufradât) al-Qur’an dan struktur
(murakkabât) bahasa al-Qur’an,33 sedangkan pengetahuan tentang konteks atau latar
belakang al-Qur’an terdiri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan awal Arab
(al-bî’ah al-mâdîah), dan bî’ah al-ma‘nawîyah Arab, di mana situasi al-Qur’an diturunkan.34
Jadi, sosiologi masyarakat Muslim asli sangat penting untuk memahami latar belakang
Kitab Suci (haul al-Qur’an).35
Penerapan pendekatan tematik, menurut al-Khûllî, melibatkan pertama: (1) Mengambil
kasus/subjek tertentu (maudhû‘ al-wâhid), kemudian (2) Menemukan seluruh ayat yang
berbicara subjek tersebut dalam seluruh al-Qur’an dari awal sampai akhir, dan terakhir
(3) Memahami hubungan antara ayat-ayat (sâbiqihâ wa lâhiqihâ) ketika membahas subjek.
Karena itu, al-Khûllî menekankan pentingnya pemahaman mulâbisât, munâbisât, dan
asbâb al-nuzûl,36 sebelum membahas masalah secara tematis atau kasus per kasus.37
31
Rahman, “Interpreting the Qur’an”, h. 48.
Amîn al-Khûlî, Manâhij Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab (t.t.p.:
Al-Hai’ah al-Mishriyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1995), h. 232.
33
Ibid., h. 238.
34
Ibid., h. 235.
35
Ibid., h. 240.
36
Ibid., h. 232.
37
Ibid., h. 233.
32
285
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Singkatnya, prosedurnya adalah sebagai berikut: (1) Mengumpulkan ayat tentang topik
bahasan, kemudian (2) Menghubungkan semua ayat sebagai suatu kesatuan, dan (3)
Mengatur hubungan ayat sesuai dengan implikasi dari topik.
Binti al-Shâthi‘, murid (dan kemudian istri) al-Khûlî, yang juga menyukai pendekatan
tematik (maudhû‘ al-wâhid), juga tidak memberikan definisi metode ini. Untuk memahami
posisi dia, perlu memahami responsnya terhadap metode tafsir klasik pertengahan (salaf),
yakni empat hal: (1) Di dalamnya masuk unsur-unsur asing, seperti Israilîyat (Yahudi-Kristen),
(2) Menampilkan kecenderungan sektarian atau tendensius (al-ta‘milât al-‘ashâbiya); (3)
Memaksakan penafsiran; (4) Tidak memahami kekhasan retorika al-Qur’an dan sering
mengabaikan keajaibannya (i‘jâz al-Qur’an).38
Sebagai gantinya, Binti al-Shâthi‘ menawarkan metode interkonektif (cross
referensial), seperti metode yang ditawarkan guru dan suaminya, al-Khûlî. Tetapi dia
membuat tiga poin dalam teoretis. Pertama, menekankan pentingnya arti leksikal dari
setiap kata al-Qur’an. Pengakuan terhadap arti asli dari sebuah kata, tentu saja, dapat membantu penafsir memahami makna (al-ma‘na al-murâd) dalam konteks teks. Kedua, menekankan
pada keterlibatan dan keterikatan seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
topik yang dibahas. Dengan prinsip ini berarti al-Qur’an diberikan kewenangan untuk
berbicara tentang al-Qur’an sendiri dan oleh al-Qur’an sendiri, yang dengan metode itu
dapat menghasilkan penafsiran yang objektif. Ketiga, dalam upaya memahami kata-kata
dan konsep al-Qur’an, perlu ada kesadaran tentang konteks tekstual khusus (al-siyâq
al-khâshsh) dan konteks tekstual umum (al-siyâq al-‘âmm).39
Binti al-Shâthi‘ juga mengkritik penggunaan tafsir surah demi surah yang banyak
digunakan penafsir kontemporer. Tawaran yang diberikan lagi-lagi tafsir interkonektif. Karena
itu, di samping mengkritik mufasir Klasik dan Pertengahan, Binti al-Shâthi‘ juga menolak pendekatan tafsir surah demi surah yang banyak digunakan ilmuwan kontemporer. Sebaliknya,
dia menyarankan pendekatan tematik. Dalam tafsir yang ditawarkan, di samping Binti al-Shâthi‘
berkonsentrasi pada kata-kata, kalimat dan struktur al-Qur’an, juga berusaha menanggalkan
pemahaman yang bersumber dari luar al-Qur’an. Penjelasan al-Qur’an harus didasarkan pada
teks al-Qur’an itu sendiri, berdasarkan bacaan dalam teks, bukan tanpa dan/atau di luar
teks al-Qur’an. Baginya di antara masalah interpretasi adalah memurnikan dari gagasan non
Islam dan/atau non Qur’ani. Dia memberikan kritik keras terhadap penafsiran yang bersifat
mistis dan filosofis, yang menurut dia sebagian besar didasarkan pada ajaran-ajaran di
luar al-Qur’an. Hal penting lain yang ditekankan oleh Binti al-Shâthi‘ adalah perlunya
pemahaman konteks dalam memahami teks al-Qur’an. Baginya, untuk memahami teks
al-Qur’an dengan benar membutuhkan pemahaman konteks, baik mikro maupun makro.
38
Binti al-Shâthi‘, al-Qur`an wa Tafsîr ‘Ashr (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1970), h. 24-32; Syamsuddin
Sahiron, An Examination of Binti al-Shâthi‘’s Method, h. 10.
39
Binti al-Shâthi‘, al-Tafsîr al-Bayânî, I: 10, dan II:7, Sahiron, An Examination of Binti alShâthi‘’s Method, h. 48.
286
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
Al-Farmâwî, penafsir lain yang juga dipengaruhi al-Khûlî, adalah sarjana pertama
yang mencoba mendefinisikan dan merumuskan metodologi tematik secara sistematis,
baik tematik berdasarkan subjek maupun tematik berdasarkan surah dari al-Qur’an.
Tematik berdasarkan surah dilakukan dengan berkonsentrasi atau menekankan pada
surah tertentu dari al-Qur’an. Idenya adalah bahwa setiap surah mempunyai penekanan
pada subjek tertentu meskipun di dalamnya membahas topik berbeda-beda, dan semua
ayat dalam surah tersebut berkaitan dengan subjek utama. Demikian pula, ayat lain yang
terkait dengan topik utama dari surah-surah lain, juga harus disertakan dalam pembahasan,
yang tujuannya adalah untuk menemukan koheren dengan tema bahasan. Karena itu,
ayat dalam surah dan ayat-ayat terkait lainnya dari surah-surah lain digunakan dan dibahas
secara koheren.
Sementara tematik berdasarkan subjek dapat dilakukan dengan mengumpulkan
semua ayat yang relevan dengan subjek bahasan dari awal sampai akhir al-Qur’an, dan
kemudian memahaminya secara kronologis, sehingga ditemukan pemahaman yang komprehensif terhadap topik bahasan. Singkatnya, tafsir tematik dapat dikelompokkan menjadi
dua, yakni berdasarkan surah demi surah dari al-Qur’an, dan subjek atau masalah tertentu.40
Berdasarkan definisi tersebut, ada beberapa langkah yang harus diikuti dalam menggunakan pendekatan tematik berdasarkan subjek. Pertama, mengumpulkan seluruh ayatayat yang terkait dengan topik atau subyek bahasan. Kedua, menghubungkan seluruh ayat
secara bersama-sama, koheren, dan tidak terpisah. Dalam membuat hubungan harus diletakkan
ayat-ayat dalam urutan kronologis berdasarkan urutan wahyu. Langkah terakhir, semua
ayat harus dipahami lengkap dengan memahami konteks (asbâb al-nuzûl), serta dalam
sinaran tradisi Nabi (Sunnah).41
Apa yang dapat disimpulkan dengan membandingkan antara pendekatan tematik
dan holistik. Pertama, keduanya sama-sama menyadari pentingnya pemahaman terhadap
konteks historis, dan mengklasifikasikan konteks tersebut menjadi dua jenis. Pertama,
peristiwa penyebab turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl) sebagai konteks mikro (microsituation).
Kedua, sosio-historis Arab sebagai konteks makro (macrosituation). Namun demikian, Rahman
lebih menekankan pentingnya makro dibandingkan dengan al-Khûllî.
Kedua, baik pendekatan tematik mapun holistik sama-sama menekankan perlunya
pendekatan lintas-referensial atau induktif. Ini berarti semua ayat al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad yang membahas topik bahasan sama, harus dipahami secara induktif,
integratif, dan berkorelasi secara keseluruhan dan kesatupaduan.
Perbedaan dasar antara pendekatan tematik berdasarkan subjek, dan pendekatan
holistik, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam tematik hanya konsentrasi
40
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta:
Rajawali Pers, 1996), h. 35-36.
41
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‘an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat
(Bandung: Mizan, 1996), h. 74.
287
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
pada satu topik tertentu dari al-Qur’an, sedangkan dalam holistik masih diteruskan dengan
langkah selanjutnya untuk membangun hubungan yang harmonis antara tiga aspek ajaran
Islam; teologis, etika dan hukum.
Karena itu, apa yang ditemukan dengan menggunakan pendekatan tematik barulah
satu langkah tertentu dari pendekatan holistik, yang bertujuan untuk menemukan prinsip
tertentu pada subjek tertentu tersebut. Sebagai contoh, untuk menemukan prinsip hak
dan tanggung jawab antara istri dan suami dalam hidup keluarga, adalah akhir untuk
pendekatan tematik, sedangkan untuk pendekatan holistik baru satu langkah, dan harus
diikuti dengan langkah berikutnya, yakni menemukan prinsip yang lebih tinggi, yaitu
prinsip hubungan antara istri dan suami, dan kemudian dilanjutkan lagi dengan langkah
selanjutnya, yaitu untuk menemukan prinsip hubungan antara pria dan wanita, sampai
ditemukan prinsip hubungan antara sesama manusia. Akhirnya, ditemukan hubungan
yang harmonis antara aturan/hukum/undang, etika, dan teologi.
Perbedaan antara Hukum Umum (Prinsip) dan Hukum Temporal
Pembedaan antara hukum umum dan hukum temporal oleh Rahman ditemukan
dalam berbagai tulisannya. Sebagai contoh, seperti dinyatakan sebelumnya, Rahman menyatakan,
‘‘ada kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan membantu kita memahami
isi al-Qur’an secara keseluruhan, sehingga bagian teologis, etis, dan ethico-hukum al-Qur’an,
dapat dibangun menjadi suatu kesatuan yang utuh”.42 Dalam pernyataan ini, ditemukan
istilah etika untuk menunjukkan hukum umum dan istilah ethico-hukum untuk menunjukkan
hukum temporal.
Rahman juga menyatakan, “Jika kita melihat al-Qur’an tidak banyak ditemukan
hukum umum (prinsip). Sebagian besar isi al-Qur’an memberikan jawaban atau solusi
atau keputusan terhadap masalah-masalah konkret. Tetapi, seperti telah saya katakan,
solusi terhadap masalah konkret tersebut menyediakan hukum umum sebagai prinsip, baik
secara eksplisit maupun implisit”.43 Kutipan ini menyatakan prinsip umum atau hukum
umum (general principle, general law) di satu sisi, dan solusi atau aturan atau hukum temporal
(solution, ruling, temporal law) di sisi lain. Masih ditemukan di beberapa tempat untuk menunjukkan
istilah yang sama.
Kaitannya dengan pengelompokan nash tersebut, al-Haddâd membedakan antara
(1) Prinsip atau norma universal yang kekal, seperti kredo persatuan, persyaratan etika,
keadilan dan kesetaraan, yang berlaku pada semua keadaan dan di semua tempat, dan
(2) Hukum temporal yang tergantung pada kontinjensi manusia dan konteks sosial, terutama
yang berkaitan dengan kondisi Jahiliyah (pra Islam) periode Arab.44 Al-Haddâd menambahkan
42
Ibid., h. 45.
Rahman, Islam and Moderntiy, h. 20.
44
Al-Thâhir al-Haddâd, terj. M. Adib Bisri, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat (Jakarta:
43
288
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
bahwa untuk memahami al-Qur’an lebih baik, adalah dengan memahami konteks historis.
Demikian pula, Asghar Ali Engineer membedakan antara normatif dan kontekstual. Sebagaimana
dalam tulisannya:
Kita harus memahami bahwa ada normatif serta kontekstual dalam al-Qur’an. Apa keinginan
Allah dinyatakan, dan demikian pula apa realitas empiris di dalam masyarakat juga
disebutkan. Al-Qur’an sebagai sebuah Kitab Suci menunjukkan tujuan dengan ungkapan
‘harus dan/atau seharusnya’, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris dengan
menyatakan ‘keadaannya adalah”’. Kemudian dialektika antara kedua normatif dan
kontekstual berlangsung. Sehingga pada saatnya ketika situasi konkret telah kondusif
akan ada penerimaan terhadap nilai normatif. Upaya ke arah penerimaan normatif
setidaknya selalu diupayakan agar lebih dekat untuk diterima.45
Selanjutnya, Ismail Faruqi memberikan nama berbeda untuk menunjukkan substansi
sama, yakni: etika dan kasuistik-cosmis;46 John L. Esposito dengan ethico-religius dan sosioekonomi;47 Abdul Aziz Sachedina dengan norma tebal dan tipis;48 Masdar F. Mas‘udi menggunakan
istilah ushul fiqih, yakni qath‘î dan muhkamat untuk normatif, serta zanni dan juz’îyah
untuk hukum temporal (kontekstual).49 Karakteristik masing-masing kemudian dijelaskan
lebih lanjut oleh Masdar F. Mas‘udi: karakteristik nash normatif, bahwa kontennya bersifat
universal, prinsip, dasar, dan tidak bergantung pada konteks tertentu; waktu, tempat, situasi,
dan semacamnya. Karakteristik nash temporal, di sisi lain, bahwa konten dinyatakan secara
rinci, dapat berlaku dan dilaksanakan secara langsung, dan pelaksanaannya tergantung
pada konteks: waktu, tempat, situasi dan semacamnya. Boleh juga dikatakan bahwa hukum
temporal kental dengan budaya Arab masa Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, hukum
temporal berlaku dalam kehidupan sehari-hari masa Nabi Muhammad SAW.
Abdullah Saeed menetapkan hierarki hukum (nilai) dari al-Qur’an lebih jauh menjadi
lima tingkatan, yaitu: (1). Nilai wajib, (2). Nilai fundamental, (3). Nilai protectional, (4).
Nilai implementational, dan (5). Nilai pembelajaran.50 Adapun aplikasi atau praktik gerakan
Pustaka Pirdaus, 1972), h. 6; Norma Salem, “Islam and the Status of Women in Tunisia”, dalam
Muslim Women, diedit oleh Freda Hussain, h. 144.
45
Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (Lahore, Karachi, Islamabad, Peshawar:
Vanguard Books (PVT) Ltd., 1992), h. 10-11. Lihat teks hampir sama Asghar Ali Engineer, “Islam
The Status of Women and Social Change,” dalam Problems of Muslim Women in India, diedit oleh
Asghar Ali Engineer (Bombay: Orient Longman Limited, 1995), h. 10.
46
Isma‘il Ragi al-Faruqi, “Towards a New Methodology for Qur’anic Exegesis,” Islamic Studies,
Vol. 1, No. 1 (March 1962), h. 41.
47
John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (Syracuse: Syracuse University Press,1982),
h. 107.
48
Abdulaziz Sachedina, ‘The Role of Islam in Public Square: Guidance or Governance?.
Makalah disampaikan dalam Public lecture in Leiden University by ISIM, Desember, 2003.
49
Masdar F. Mas‘udi, Islam & Hak-hak Reproduksi Perempuan, Cet. II (Bandung: Mizan, 1997),
h. 29-30.
50
Saeed, Interpreting the Qur‘an, h. 132-133.
289
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
pertama dari teori gerakan ganda Rahman (double movements), dari khusus untuk umum,
diterapkan pada nash ethico-hukum, hukum temporal, keputusan spesifik, jawaban sederhana
yang diberikan al-Qur’an. Tujuan dari generalisasi dimaksud adalah untuk merumuskan
hukum umum, prinsip, sasaran, tujuan, nilai (maqâshid).
Signifikansi Pemahaman Konteks dalam Memahami al-Qur’an
Kunci penting ketiga dari hermeneutika Rahman adalah pentingnya pemahaman
konteks historis untuk memahami teks al-Qur’an. Dalam ungkapan Rahman misalnya:
‘‘sebenarnya al-Qur’an adalah seperti ujung gunung es, sembilan persepuluh yang terendam
di bawah air dan hanya sepersepuluh darinya yang terlihat”.51 Beberapa kutipan tentang
masalah ini telah dikutip di atas dalam kaitannya dengan kritik Rahman terhadap pendekatan
lain. Menurut Rahman, untuk memahami makna dan seluruh al-Qur’an adalah dengan
cara mempelajari situasi historis dan masalah yang menjadi respons ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan mengutip Rahman:
Kita harus memahami kepentingan atau makna dari pernyataan yang menjadi respons
al-Qur’an, dengan cara mempelajari situasi historis pernyataan atau mempelajari masalah
yang menjadi objek jawaban. Tentu saja, mempelajari konteks mikro ini sebelum mempelajari
konteks makro (macrosituation), yakni konteks masyarakat, agama, adat, dan lembaga
yang hidup di seluruh Arabia, khususnya di sekitar Makkah, tempat turunnya wahyu.52
Rahman berpendapat bahwa bagian dari tugas pemahaman pesan al-Qur’an sebagai
satu kesatuan adalah mempelajari lengkap dengan latar belakangnya.53 Latar belakang
yang dimaksud adalah karir dan perjuangan Nabi Muhammad yang berlangsung selama
dua puluh tiga tahun di bawah bimbingan al-Qur’an.54 Juga relevansi lingkungan Arab dalam
hubungan pra Islam dan awal periode Islam, termasuk adat dan sosial, kelembagaan, ekonomi,
dan politik, peran penting suku Quraisy dan cara hidup orang Arab. Memahami semua ini,
menurut Rahman, adalah suatu usaha untuk memahami pesan al-Qur’an secara keseluruhan.
Rahman menyatakan:55
Dalam seluruh proses hermeneutika ini harus memperhatikan tujuan ajaran al-Qur’an
sebagai keseluruhan, sehingga masing-masing makna yang diberikan dapat dipahami,
masing-masing hukum dapat diucapkan, dan masing-masing tujuan dapat dirumuskan,
dan akan koheren dengan unsur lain. Al-Qur’an sebagai keseluruhan benar-benar menanamkan
sikap yang pasti terhadap hidup dan benar-benar memiliki weltanschauung konkret,
51
Ibid., h. 46.
Ibid., h. 6.
53
Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 45.
54
Ibid., h. 45.
55
Ibid., h. 45-46.
52
290
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
demikian juga dengan demikian dapat menyatakan bahwa ajaran al-Qur’an tidak
ada kontradiksi di dalamnya, tetapi koheren secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.56
Di tempat lain Rahman menjelaskan bahwa proses reformasi yang dilakukan Muhammad
terhadap kehidupan sosial dalam al-Qur’an dikembangkan melalui dua prinsip, yaitu:
(1) Prinsip berangsur-angsur, dan (2) Prinsip memahami konteks historis. Arti dari reformasi
berangsur-angsur, bahwa sebelum memperkenalkan perubahan sosial, lebih dahulu dasarnya
dipersiapkan. Sedangkan maksud memahami konteks adalah apa yang lebih populer dengan
peristiwa yang menjadi sebab turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl dan asbâb al-wurûd).57
Pemikir lain yang sama-sama menekankan pentingnya memahami konteks untuk
memahami al-Qur’an adalah ‘Izzu al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm (577-660/1181-1262), dan
berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan dalam keadaan sangat beragam dan selama
lebih dari dua puluh tahun. Karena itu, dalam kondisi turun seperti ini tidak mungkin
kontinuitas dan koherensi (irtibât).
Tahir al-Haddâd adalah sarjana lain yang berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan
sebagai respons langsung terhadap masalah-masalah yang muncul di masa Nabi Muhammad
SAW.58 Karena itu, al-Qur’an lebih dari sebuah buku etika daripada buku undang-undang.
Maka solusi yang diberikan muncul dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Namun karena
ketidakmungkinan untuk melakukannya karena pada saat yang sama al-Qur’an harus
relevan dengan masalah perlu ditemukan prinsip umum sebagai norma universal nanti.
Memahami konteks historis al-Qur’an bagi Rahman, pertama untuk menemukan
prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai. Dengan kata lain, dalam hukum tertentu selalu
ada ada prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai. Karena itu, ada dua cara untuk menemukan prinsip menurut Rahman. Pertama, ditemukan dengan memahami konteks dan
latar belakang historis dari teks al-Qur’an. Kedua, ditemukan berdasarkan putusan-putusan
spesifik dengan melakukan generalisasi. Dalam melakukan generalisasi dari aturan-aturan
khusus, harus dipahami sesuai dengan konteks.59
Prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai harus dipertahankan dari waktu ke waktu,
dari satu tempat ke tempat lain dan selamanya, yaitu bersifat universal. Konsep dasar prinsip,
rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai ini sepintas sama dengan ‘illat dalam qiyas al-Syâfi‘î,
yang terdiri dari tiga unsur, yaitu; hukum asal dinyatakan dalam teks nash (al-Qur’an dan
sunnah Nabi Muhammad SAW.), hukum baru sebagai jawaban terhadap masalah kontemporer
(furû‘), dan rasio logis (‘illah), sebagai dasar untuk menyamakan hukum antara apa yang
disebutkan dalam nash dan terhadap masalah kontemporer.
56
Rahman, Islam and Modernity, h. 6.
Ibid., h. 16-17.
58
Al-Haddâd, Wanita dalam Masyarakat, h. 5.
59
Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 49.
57
291
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Karena itu, ada kesamaan antara konsep universal Rahman berupa prinsip, rasio
logis, objektif, tujuan, dan nilai, dengan ‘illah dalam qiyas. Namun, ada perbedaan, dan Rahman
mengkritik teori qiyas. Al-Syâfi‘î menemukan ‘illat (alasan di balik hukum) dengan berkonsentrasi pada teks nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.), sementara
Rahman menemukannya melalui penggalian rasio logis (‘illah al-hukm) dari hukum alQur’an dan mensistematis prinsip-prinsip tersebut secara hierarkis.60
Penutup
Setidaknya ada tiga perbedaan mendasar antara teori Rahman dan teori hermeneutika
lainnya. Pertama, Rahman menekankan pemahaman al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan
keseluruhan. Kedua, Rahman bergantung pada pembedaan antara hukum umum dan
hukum temporal (hukum temporal merupakan jawaban terhadap pertanyaan atau masalah
yang muncul). Ketiga, Rahman menekankan pentingnya pemahaman konteks untuk memahami al-Qur’an.
Memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan keseluruhan berarti bahwa tiga
aspek ajaran Islam dihubungkan dan dibangun menjadi satu bangunan yang saling terkait
secara koheren dan harmonis. Tiga aspek ajaran Islam dimaksud adalah iman (teologi,
pandangan dunia), ihsan (etika), dan Islam (undang-undang, aturan, atau hukum). Dengan
kata lain, Rahman berusaha membangun hubungan yang harmonis dan koheren antara
ketiga aspek ajaran Islam, lewat generalisasi terhadap hukum temporal untuk membangun
hukum umum (prinsip), dengan menggunakan pendekatan tematik, intertekstual). Dari
beberapa prinsip dalam satu level kemudian digeneralisir lagi menjadi satu prinsip yang
lebih tinggi, dan kemudian lebih lanjut dengan prinsip yang lebih tinggi berikutnya, sampai
ditemukan prinsip tertinggi, berupa monoteisme dalam teologi, kesetaraan dan keadilan
dalam membangun hubungan antara sesama manusia, dan musyawarah (syûrâ) dalam
memutuskan masalah yang dihadapi. Membangun hubungan harmoni dan koheren antara
ketiga aspek ajaran Islam adalah tujuan akhir dari teori hermeneutika Rahman. Prinsipprinsip umum kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer.
Tujuan memahami konteks historis al-Qur’an, bagi Rahman, adalah untuk menemukan
prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai, yang selalu ada dalam dan di belakang hukum
temporal. Prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai ini dicapai dengan memahami latar
belakang teks (konteks). Kesimpulan penting lain, bahwa ada hubungan erat antara teori
hermeneutik dan pendekatan tematik, terutama dalam kaitannya dengan mencari prinsip
umum (generalisasi) dari hukum-hukum temporal dalam suatu subjek tertentu atau dalam
tingkat prinsip tertentu. Perbedaannya adalah bahwa dalam tematik lebih terkonsentrasi
pada suatu topik tertentu, sedangkan holistik memberikan perhatian lebih untuk membangun hubungan harmonis antara aspek teologis, etika dan hukum.
60
Ibid., h. 48.
292
Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman
Selain itu, ada kesamaan antara teori Rahman dan qiyas al-Syâfi‘î, sama-sama menyetujui
adanya substansi hukum pada satu sisi dan hukum temporal pada sisi lain. Substansi hukum
ada dari satu tempat ke tempat lain, dan selamanya, sementara hukum temporal hanya
berlaku untuk waktu tertentu atau tempat (konteks tertentu). Perbedaannya terletak pada
cara menemukannya. Bagi Rahman didapatkan dengan mendialogkan teks dan konteks,
sedangkan bagi al-Syâfi‘î ditemukan dengan konsentrasi melihat teks, dan melakukan
rasionalisasi. Dengan perbedaan ini adalah mungkin untuk menyimpulkan bahwa Rahman
berafiliasi dengan realisme, dan al-Syâfi‘î dengan idealisme.
Pustaka Acuan
Berry, Donald L. “Fazlur Rahman: A Life in Review,” dalam The Shaping of An American
Islamic Discourse, diedit oleh Earle H. Waugh dan Frederick M. Denny. Atlanta and
Georgia: Scholars Press, 1998.
Engineer, Asghar Ali. The Rights of Women in Islam. Lahore, Karachi, Islamabad, Peshawar:
Vanguard Books (PVT) Ltd., 1992.
Engineer, Asghar Ali. “Islam The Status of Women and Social Change,” dalam Problems
of Muslim Women in India, diedit oleh Asghar Ali Engineer. Bombay: Orient Longman
Limited, 1995.
Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. Syracuse: Syracuse University Press, 1982.
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta:
Rajawali Pers, 1996.
Al-Faruqi, Isma‘il Raji`. “Towards a New Methodology for Qur’anic Exegesis,” dalam Islamic
Studies, Vol. 1, No. 1. Maret, 1962.
Al-Haddâd, al-Thâhir. Wanita dalam Masyarakat, terj. M. Adib Bisri. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1972.
Ibn Taimîyah, Taqi al-Dîn. Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr. Beirût: Dâr Ibn Hazm, 1994.
Al-Khûlî, Amîn. Manâhij Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab. t.tp.: AlHai’ah al-Mishriyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1995.
Mas‘udi, Masdar F. Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Cet. 2. Bandung: Mizan, 1997.
Rahman, Fazlur. “Interpreting the Qur’an,” dalam Afkar/Inquiry, May 1986.
Rahman, Fazlur. “Islam: Challenges and Opportunities”, Islam: Past Influence and Present
Challenge, diedit oleh Alford T. Welch dan Pierre Cachia. Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1979.
Rahman, Fazlur. “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives,” dalam
International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. I. 1970.
Rahman, Fazlur. “The Concept of Hadd in Islamic Law,” Islamic Studies, Vol. IV 1965.
Rahman, Fazlur. “Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: Sheikh Yamani
on ‘Public Interest’ in Islamic Law,” International Law and Politics, Vol. XII. 1979.
293
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago
& London: The University of Chicago Press, 1982.
Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliothca Islamica, 1980.
Rahman, Fazlur. “Some Key Ethical Concepts of the Qur’an,” dalam Journal of Religious
Ethics, Vol. XI, No. 2, 1983.
Rahman, Fazlur. “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man,” Islamic Studies,
Vol. VI, No. 1 (1967), h. 1-19.
“Review Essay” dalam Approaches to Islam in Religious Studies, diedit oleh Richard C.
Martin Tucson: The University of Arizona Press, 1985).
“Review Essay”, dalam Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.
Chicago: The University of Chicago Press, 1982.
Sachedina, Abdulaziz. “The Role of Islam in Public Square: Guidance or Governance?” Makalah
disampaikan dalam Public lecture in Leiden University by ISIM, Desember, 2003.
Saeed, Abdullaah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London &
New York: Routledge, 2006.
Salem, Norma. “Islam and the Status of Women in Tunisia”, dalam Muslim Women, diedit
oleh Freda Hussain.
Al-Syâthibî, Ibrâhîm ibn Mûsâ. al-Muwâfaqât, ed. Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hâmid.
Kairo: Maktabat wa Mathba‘at Muhammad ‘Alî Shâbih wa Awlâdih, 1969.
Al-Shâthi‘, Binti. al-Qur’ân wa Tafsîr ‘Ashr. Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1970.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat.
Bandung: Mizan, 1996.
Sonn, Tamara. “Fazlur Rahman” dalam John L. Esposito (ed.). The Oxford Encyclopedia
of the Modern Islamic World. New York, Oxford: Oxford University Press, 1995.
Sonn, Tamara. “Fazlur Rahman’s Islamic Methodology,” dalam Muslim World, No. 81, No.
3-4, July-October, 1991.
Syamsuddin, Sahiron. “An Examination of Bint Bint al-Syâthi’s Method of Interpreting
the Qur’an”. Thesis, Montreal: McGill University, 1998.
Al-Zarkashî, Muhammad ibn ‘Abdillâh. al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, diedit oleh Muhammad
Abû al-Fadhl Ibrâhîm. Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabîya, 1957.
294
GERAKAN PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM
DI INDONESIA
Suaidi Asyari
Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura, Jambi, 36124
e-mail: sudi531@yahoo.co.uk.
Abstrak: Cepatnya perubahan yang terjadi di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan
di era globalisasi ini seringkali tidak seimbang dengan upaya pembaharuan pemikiran
di kalangan umat Islam. Tampaknya, hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa karyakarya pemikiran ulama masa lalu dianggap sakral, sudah menjawab setiap tantangan
yang ada sepanjang sejarah umat Islam dan karena itu dianggap final. Karenanya,
setiap upaya untuk mengkritisinya dianggap sebagai “makar akademis” dan pelakunya
bahkan dapat dituduh murtad. Akhirnya, timbul kekhawatiran di kalangan praktisi
akademis untuk melakukan pembaharuan yang berakibat pada stagnasi pemikiran.
Tulisan ini adalah sebuah upaya untuk mendiskusikan problem-problem pembaruan
pemikiran Islam di Indonesia lebih detail dan upaya-upaya solutif terhadap problemproblem tersebut.
Abstract: Islamic Thought Reform Movement in Indonesia: From Part
of Problem to be Part of Solution. The rapid development of social life in
the era of globalization has often been run unparallel with the effort for thinking
reform within the Muslim community. It appears that this may have arisen from the
belief that the works of the past scholars of Islam are regarded to be sacred, capable
of responding to any challenges in the span of the history of Muslim community and
thus regarded final. Similarly, any attempt to criticize such views is seen as an academic
assault the actor of whom may be accused of doing an act of apostasy. At the end, this
lead to anxiety within the academicians to carry out reform that would have a logical
consequence of thinking to be stagnant. This essay is an attemp to discuss the problems
of Islamic thought reform in Indonesia in details as well as find solution to such problems.
Kata Kunci: pembaharuan pemikiran Islam, Indonesia
Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi kelesuan pembaharuan pemikiran Islam
di Indonesia yang luar biasa. Para aktivis pembaharu terlihat sangat khawatir untuk mengemukakan gagasan barunya. Tulisan-tulisan di media masa berkaitan dengan pembaharuan
295
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
sudah jarang muncul.1 Diskusi-diskusi hanya dilakukan di ruang terbatas dan monolog
serta homogen. Meskipun di sana sini terlihat ada gejala pemikiran umat Islam tertentu
yang muncul melalui media khutbah misalnya, tetapi terkesan berjalan di tempat atau
bahkan mundur beberapa langkah. Upaya kelembagaan juga dilakukan seperti apa yang
dilakukan apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama melalui Annual Conference of
Islamic Studies.2 Tetapi hal ini pun tidak luput dari tantangan yang disebutkan di atas. Salah
satu contohnya adalah gagalnya Nasr Abu Zayd untuk menghadiri acara penting tersebut
ketika dilaksanakan di Riau dan pada seminar internasional Islam, Democracy and Good
Governance in Indonesia yang dilakasanakan oleh IAIN Riau pada tanggal 21-24 November
2007 dan Seminar Internasional dengan tema Muslim Intelectuals as Agents of Change oleh
UNISMA Malang pada tanggal 27-29 November 2007 di Batu Malang. Pada saat itu, dari
berbagai media diketahui bahwa penyebab gagalnya Nasr Abu Zayd menghadiri kedua
acara tersebut, meskipun yang bersangkutan sudah sampai di Indonesia, adalah akibat
adanya tekanan dari gerakan anti pembaharuan Islam oleh sejumlah gerakan Islam.3
Munculnya gagasan-gasan lama untuk mengembalikan kehidupan umat Islam ke
abad-abad yang silam adalah pertanda jelas tantangan pembaharuan dalam Islam itu.4
Mengapa semua ini terjadi? Apa penyebab utamanya? Apa kemungkinan akibatnya bagi
masa depan Islam yang semakin hari semakin berat tantangan yang dihadapinya? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu barangkali akan lebih baik untuk dibicarakan logika
mengapa terjadi benturan dalam lalu lintas pemikiran yang bermuara kepada kelesuan,
pemandegan, stagnansi pembaharuan pemikiran saat ini. Seseorang atau sekelompok
orang yang mempunyai aktivitas membangun pemikiran dan mengkritisi sebuah wacana
tidak ubahnya seperti seseorang yang sedang menggunakan jalan raya (ruang publik).
Ada begitu banyak orang yang simpang siur menggunakan jalan raya sesuai dengan
asal dan tujuan serta kepentingannya masing-masing. Karena begitu banyak pengguna
jalan, maka diperlukan seperangkat aturan atau rambu-rambu atau setidaknya etika, sehingga
setiap orang bisa mengguna jalan dengan baik, aman bagi dirinya dan bagi orang lain. Dia
1
Lihat misalnya opini-opini yang muncul di harian Kompas, Media Indonesia, Republika, dan
lain-lain terbitan tiga tahun terakhir ini di bandingkan dengan masa-masa setelah kejatuhan Orde
Baru.
2
Salah satu publikasi dari proceeding annual conference ini lihat misalnya, Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam, Proceeding the 9th Annual Conference on Islamic Studies 2009, Surakarta: 2009.
Meskipun secara umum harus diappresiasi bahwa annual conference ini adalah salah satu upaya
wahana bagi pembaharuan pemikiran dalam Islam di Indonesia, akan tetapi dari segi siapa yang
diundang untuk berbicara terlihat tidak begitu representative. Karena relatif mereka adalah orangorang yang belum mempunyai reputasi yang luas. Dari sekitar 50 paper yang disajikan, tidak
sampai 10 persen pembicaranya yang sudah mempunyai pengaruh di mata akademisi Indonesia.
3
Lihat misalnya komentar Henri Shalahuddin, “Pembelokan Makna ACIS,” dalam http://
insists.multiply.com/., diunduh tanggal 12 Maret 2011.
4
Hal ini khususnya apabila dikaitkan dengan gerakan-gerakan anti bid’ah yang menghambat
munculnya pemikiran-pemikiran yang mengkritisi pendapat para pemikir (ulama) masa lalu.
296
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
bisa sampai kepada titik yang ditujunya dan orang lain tidak merasa terganggu untuk mencapai
titik yang dia tuju baik sama atau berbeda dengan tujuan pengguna jalan lainnya.
Sesungguhnya, untuk berangkat dari satu titik menuju ke titik lain di setiap jengkal
bumi dengan menggunakan kendaraan, seseorang harus menggunakan jalan yang juga
digunakan oleh orang lain. Pada umumnya, jalan raya yang digunakan oleh publik yang
beragam mempunyai peraturan dalam menggunakannya untuk menciptakan keselamatan
bagi pengguna jalan itu sendiri. Meskipun jalan yang hanya digunakan oleh kalangan
terbatas mungkin tidak diperlukan adanya aturan, karena potensi terjadinya tabrakan
tidak terlalu signifikan atau dikhawatirkan, tetapi tetap saja diperlukan etika penggunaan
ruang publik. Artinya, peraturan atau rambu-rambu dibuat untuk menghindari adanya
pengguna jalan yang mengambil jalur orang lain dengan arah yang berlawanan atau semaunya
saja.
Pertama, di setiap negara di dunia ini ada peraturan yang mengharuskan bahwa
seorang yang mengendarai kendaraan, baik roda dua atau roda empat dan seterusnya,
harus menggunakan lajur sebelah kiri di sejumlah negara dan lajur sebelah kanan di sejumlah
negara lainnya. Ketentuan ini berlaku permanen dan bersifat umum, terkecuali dalam kondisi
yang sangat darurat. Di negara-negara Eropa dan Australia serta negara yang pernah
dijajah oleh Inggris, pengendara menggunakan lajur kiri. Sementara di Amerika, mereka
menggunakan lajur kanan. Siapapun yang menggunakan lajur yang berlawanan akan
berpotensi kuat menciptakan kecelakaan yang bisa membahayakan dirinya dan orang
lain yang berlawanan arah.
Kedua, meskipun seseorang menggunakan lajur yang sama, ketika dia harus mendahului orang lain dengan menggunakan kecepatan yang lebih dari orang yang akan
didahuluinya, maka dia harus menggunakan rambu-rambu dengan lampu sign-nya. Ini
dilakukan ketika berada pada kondisi jalan yang memungkinkan seperti jalan lurus dan
tidak ada pengendara yang berada dari arah yang berlawanan. Pengendara yang ada di
depannya harus memberinya jalan selama itu memungkinkan. Tidak ada alasan bagi pengguna
jalan yang untuk lamban menghambat dan tidak memberikan ruang bagi pengemudi lain
yang ingin sampai lebih cepat ke tempat tujuannya.
Ketiga, meskipun seseorang boleh menggunakan kecepatan tingggi untuk sampai
pada tujuan yang ditujunya, pengendara yang bersangkutan tidak boleh menggunakan
jalan semaunya, misalnya melebihi kecepatan yang dibolehkan, atau mengemudikan
kendaraan dengan zig-zag yang berpotensi kuat terjadinya kecelakaan atau setidaknya
mengkhawatirkan orang lain. Karena itu, di setiap negara, ada ketentuan kecepatan tertentu
di jalan raya (tol atau high way). Tidak boleh terlalu cepat, karena berpotensi kecelakaan
seperti menabrak kendaraan di depannya atau tidak boleh terlalu lambat, karena menghambat
orang lain yang ingin lebih cepat. Jika seorang pengemudi tidak bisa menjalankan kendaraannya dengan cepat sesuai aturan kecepatan yang ada di jalan tol, maka pengemudi tersebut
dipersilakan menggunakan jalan biasa.
297
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Keempat, semakin banyak kendaraan, maka jalan yang digunakan juga seharusnya
semakin diperlebar atau peraturan penambahan kendaraan yang diperketat. Keduanya
ini dilakuan untuk menghindari kemacetan. Akibat langsung dari kemacetan merupakan
penghambat orang untuk mempercepat sampainya pengendara pada tujuannya. Sementara
akibat tidak langsung munculnya penyakit stress, dan bahkan bisa dimanfaatkan oleh
pihak ketiga seperti pelaku kriminal di jalan raya.
Demikian juga halnya dengan aktivitas pemikiran, di mana seseorang yang menyampaikan sebuah wacana, pemikiran atau merespons pemikiran orang lain, sesungguhnya
dia sedang menggunakan ruang publik yang juga digunakan oleh orang lain. Seabstrak
apapun pemikiran itu, ketika ia memasuki ruang publik karena ia ditulis, dibaca, didengar
dan disampaikan oleh atau kepada orang lain, maka ia akan bersentuhan dengan pemikiran
orang lain, baik yang sependapat maupun yang tidak sependapat. Ada lalu lintas abstrak
ibarat jalan raya tadi. Sesungguhnya, keruwetan arus lalu lintas pemikiran jauh melebihi
arus lalu lintas pengguna jalan raya di atas tadi. Karena secara kuantitas, hampir semua orang
mempunyai potensi aktif untuk menyampaikan gagasannya. Sementara, kendaraan bermotor di jalan raya hanya dimikili oleh kalangan terbatas saja. Dapat diasumsikan potensi
tabrakan pemikiran jauh lebih besar dari pada tabrakan di jalan raya.
Meskipun dengan argumen demokrasi bahwa setiap orang bebas menyatakan pendapatnya, tetapi apabila pendapat itu jelas akan berdampak negatif bagi kehidupan orang banyak,
maka penyampaian pendapat seperti itu harus ada etika atau rambu-rambu. Dia juga
harus memperhatikan rambu-rambu atau etika menggunakan ruang publik untuk itu.
Jika tidak, maka hal yang sama yang tidak diinginkan dengan pengguna jalan di atas
juga bisa terjadi, seperti tabrakan pemikiran. Rambu-rambu pengguna ruang publik ini
seharusnya adalah rambu yang dibuat bersama dan untuk kepentingan bersama. Bukan
rambu yang dibuat sekelompok orang terbatas yang hanya menguntungkan sekelompok
orang dan merugikan atau bahkan menakutkan bagi orang lain. Jika orang-orang yang
berpotensi baik untuk menyampaikan dan mengembangkan wacana pemkiran dalam
rangka memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan merasa ketakutan menggunakan
ruang publik di atas, maka terjadilah kelesuan pemikiran.
Inilah yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir. Ada sekelompok orang
yang ingin menggunakan dan menyampaikan gagasan pemikiran pembaharuan tanpa
batas (semaunya mungkin?) di satu pihak. Ada juga orang yang membuat rambu-rambu
dan etika pengguna ruang publik ini semaunya juga. Ada sekelompok orang yang membuat
rambu-rambu sendiri, yang tujuan mungkin saja baik, tetapi cara dan rambu-rambu yang
dibuat tidak adil, karena merugikan pihak lain. Sebagai contoh adalah penghalalan darah
orang tertentu setelah yang terakhir ini menyampaikan gagasan pemikirannya.
Kebebasan seseorang menyampaikan pendapat tanpa batas yang disebutkan di
298
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
sini dalam konsep Isaiah Berlin5 disebut dengan negative liberty (kebebasan negatif). Menurut
Berlin, ada dua konsep kebebasan yaitu kebebasan positif (positive liberty) dan kebebasan
negatif (negative liberty). Negative liberty adalah kebebasan yang dinikmati seseorang
untuk melakukan apa saja yang dia kuasa dan inginkan untuk melakukannya, tanpa ada
hambatan dan aturan dari orang lain. Ringkasnya, negative liberty adalah kebebasan semaunya
untuk berbuat tanpa aturan. Sedangkan positive liberty merupakan kebebasan yang bisa
dinikmati seseorang untuk mengekspresikan dirinya dalam berbuat dan menyampaikan
pendapat demi kemaslahatan publik dengan mengikuti aturan, sehingga kebebasan ini
betul-betul demi kemaslahatan, kebaikan atau kepentingan orang banyak. Ringkasnya,
positive liberty adalah kebebasan di mana seseorang bebas untuk memaksimalkan potensi
yang ada pada dirinya untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan rambu-rambu.6
Negative liberty, baik digunakan dalam ruang publik kongkrit seperti jalan raya di
atas, maupun dalam ruang publik abstrak seperti pemikiran yang menjadi fokus tulisan ini,
sama-sama berpotensi bagi terciptanya tabrakan atau setidaknya ketidaknyamanan publik.
Karena itulah perlu ada rambu-rambu atau etika di mana seseorang harus membatasi
diri ketika ruang publik yang dia pakai dengan kebebasan yang dia nikmati berpotensi
menciptakan ketidaknyamanan bagi pengguna ruang publik lainnya. Meskipun demikian,
ini tidak bisa diartikan pembatasan kebebasan berpikir, tetapi lebih tepat dan dapat diartikan
sebagai pengaturan lalu lintas ruang berpikir yang dapat diistilahkan dengan ruang bagi
positive liberty.
Alternatif Logika Pembaharuan Pemikiran dalam Islam
Menarik mengutip dua pendapat tokoh berikut. David Dean Commins berkata “return
to the Quran and the Sunnah, and understand them as the pious forefathers had. Call Muslims
to act according to their religion’s teachings. Warn Muslims against polytheism in its various
forms. Revive free Islamic thought within the bounds of Islamic principles. Set up an Islamic
society and implement God’s law on earth.”7 Ziauddin Sardar berkata “all reformist work must
start with recognition of the world as it is. We must see and understand the world as it exists and
not as we would like it to be. Only when we appreciate the true dimensions of contemporary
reality can we contemplate reforms that will create the world we want.”8
Dua kutipan di atas merepresentasikan dua pilihan yang telah dilakukan seorang
5
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press: 1969)
Untuk lebih lanjut lihat Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University
Press: 1969); Ian Carter, “Positive and Negative Liberty,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Edisi Spring 2003).
7
David Dean Commins, Islamic Reform: Politics and Social Change in Late Ottoman Syria
(New York, Oxford: Oxford University Press, 1990), h. vii.
8
Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader (London:
Pluto Press, 2003), h. 106.
6
299
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
pemikir pembaharu dalam Islam. Pilihan pertama apa yang mungkin disebut dengan.
Sedangkan dari kutipan kedua dapat disebut reform or Islamisation, therefore, cannot be
undertaken in isolation.9
Dalam kaitannya dengan arti penting adanya keragaman pemikiran dalam umat
Islam, Ziauddin Sardar menyatakan:
Ciri ketiga dunia kita adalah keragaman yang adalah esensi kelangsungan hidup. Bertentangan dengan mitos Darwin, bukan yang terkuat yang bertahan hidup, tetapi mereka
yang menggunakan pluralitas berarti. Monokultur mendominasi, mengisolasi, mengasingkan, megurangi dan akhirnya melahirkan diri kematian dengan keseragaman.
Analogi ini paling jelas ditunjukkan dalam pertanian: terlalu berat ketergantungan
pada tanaman tunggal berakhir di kelaparan; monokultur memiliki masa depan yang
terbatas. Namun banyaknya tanaman menghasilkan kelimpahan. Demikian pula, masyarakat plural memiliki kesempatan yang lebih tinggi kelangsungan hidup budaya dan
biasanya berkembang.10
Cukup jelas apa yang dimaksudkan oleh Sardar di atas, bahwa beragamnya pemikiran
dalam sebuah masyarakat akan menyebabkan masyarakat bisa dinamis dan bertahan lama.
Karena itu, untuk menjadikan Islam sebagai rahmat li al‘âlamîn, membuktikan universalitas
sistem nilainya, serta menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi yang sekarang bergerak super cepat, maka kontinuitas pembaharuan
pemikiran berbagai aspek oleh pemikir dari berbagai latar belakang berbeda dalam Islam
adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh ada tawar menawar, harga mati. Segala
upaya untuk menggagalkannya dapat dianggap sebagai tindakan yang merusak makna
hakiki kehadiran Islam sebagai agama rahmat li al-‘âlamîn ini. Ada fakta bahwa sebagian
besar masyarakat Muslim berpendidikan rendah adalah kelompok yang sangat rentan
menjadi korban dari arus negatif globalisasi. Bagi umat Islam yang masih mementingkan
agama sebagai pedoman utama dalam hidupnya, globalisasi bisa menjadi batu ujian yang
sangat berat. Karena, melalui arus globalisasi bisa mengalir berbagai budaya yang bisa bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Fakta lain adalah legasi sejarah bahwa pada kurun tertentu dari perjalanan sejarah
Islam, umat Islam hanyut dalam taklid halal-haram oriented, ketimbang aspek pengembangan
pemikiran. Setiap ada persoalan yang muncul masyakat Islam, dibiasakan merespons dengan
melihat apa hukumnya, apakah halal atau haram. Bukan pertanyaan seperti mengapa dilakukan seperti yang dilihat, bukan dengan cara lain yang lebih progresif. Adanya periode
tertentu dari sejarah Islam yang terlalu menekankan fiqih sebagai jawaban terhadap sebagian
besar aspek kehidupan, telah memformat cara pikir umat Islam seperti itu. Di samping itu,
tentu saja anggapan pintu ijtihad telah ditutup dan kampanye anti bid’ah adalah faktor
9
Ibid., h. 107.
Ibid.
10
300
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
lain yang tidak boleh dianggap kecil tanggungjawabnya terhadap petaka ketertinggalan
Islam dari peradaban lain atau mungkin lebih tepat ketertinggalan Muslim dari nilainilai Islami dalam kehidupannya. Kembali mewabahnya gerakan anti pembaharuan di
berbagai negara Islam, baik melalui lembaga pendidikan maupun kegiatan-kegiatan dakwah
lainnya, jika tidak diimbangi oleh adanya keberanian untuk mengimbanginya, akan bisa
berdampak besar bagi kelesuan kemandulan pemikiran dalam Islam. Lambat laun di suatu
masa yang akan datang akan bisa memunculkan adanya generasi yang pemikirannya
diamputasi, sebagaimana pengalaman sejarah pasca munculnya pendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup.
Akan tetapi, apa saja yang harus diperbaharui, sejauh mana hal itu dapat dilakukan
serta bagaimana cara terbaik untuk memperbaharuinya adalah ruang yang amat luas dan
mungkin tidak bertepi. Di sinilah sebenarnya, letak batu sandung besar penghambat gerakan
pembaharuan pemikiran di dunia Islam, khususnya di Indonesia dewasa ini.
Dalam komunitas umat Islam saat ini, ada bukti yang jelas bahwa di satu pihak ada
keinginan luhur untuk memperluas ruang gerak bagi pemikiran Islam demi penyelarasan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan super Modern ini. Di samping tentu saja dalam rangka
menghadapi kelesuan dan kemandulan internal sebagaimana disebutkan di atas. Namun
di pihak lain, ada kekhawatiran yang luar biasa bahwa jika pembaharuan pemikiran dijalankan
tanpa kendali (partner?), maka ia bisa keluar dari koridor yang mungkin bukan merupakan
tujuan gerakan pembaharuan. Sulit untuk disangkal bahwa liberalisasi pemikiran “absolut”
telah menjadi salah satu batu sandung besar yang seakan sekarang membuat gerakan
pemikiran seperti terhenti.11
Namun liberalisasi “absolut” ini pun tidak boleh dijadikan satu-satunya kambing
hitam, tanpa adanya pemikiran rigid yang ada pada sudut “absolut” lain, yaitu sikap anti
pembaharuan. Hasil pemikiran fiqih, misalnya, sudah dianggap sesuci al-Qur’an, tidak
bisa diganggu gugat lagi. Karena itu, tidak boleh dikaji apalagi dikritisi untuk diberi pendapat baru terhadap sebuah masalah yang belum ada jawaban tuntas dalam karya-karya
fiqih Klasik. Terlepas dari ketidakmampuan, kemalasan semata atau apakah karena alasan
keyakinan tertentu, sikap sebagian ulama dan pemikiran Muslim yang antipati terhadap
gagasan pembaharuan adalah kutub lain dari penghambat gerakan pembaharuan saat ini.
Di samping itu, perlu juga dicatat bahwa pada dalam sejumlah perguruan tinggi Islam
di Indonesia, seperti UIN, IAIN, STAIN atau universitas Islam lainnya, juga terlihat adanya
semacam disorientasi mahasiswa dalam mengambil program Sarjana (S1) Magister (S2)
atau program Doktor (S3), yaitu pragamatis dan akademis instan. Tentu saja, harus diakui
11
Dalam berbagai disuksi mata kuliah “Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam
(PPMDI) dengan mahasiswa S2 di PPs IAIN STS Jambi, seringkali muncul kritik bahwa gerakan
pemikiran yang mengkritisi keberadaan al-Qur’an atau ayat-ayatnya merupakan gerakan
pemikiran “liberalisasi absolut” yang dicurigai untuk mengkritisi Islam itu sendiri, bukan pemahaman atau tafsiran terhadap kita sucinya.
301
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
bahwa problem ini tidak hanya problem perguruan tinggi agama Islam saja. Gelar magister
dikejar bukan lagi untuk kepentingan keilmuan, tetapi lebih banyak untuk kepentingan
pangkat, jabatan atau status sosial lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan
supaya para guru atau dosen harus memperoleh sertifikat magister sebagai salah satu syarat
untuk meningkatkan karir mengajar mereka. Demikian juga sejumlah calon atau anggota
legislatif dan eksekutif yang tujuannya jauh sekali dari kepentingan akademis. Kehadiran
mahasiswa pragmatis dan instan ini sungguh telah mengganggu idealisme akademis di
sejumlah perguruan tinggi Islam. Selain itu, adanya sebagian dosen berlatar belakang
pendidikan Malaysia dan Timur Tengah dengan gagasan salafiyah radikalnya, juga sering
menjadi penghambat munculnya gagasan pemikiran pembaharuan, karena dianggap
menyimpang dari Islam. Akibatnya, pemikiran pembaharuan tidak lagi menjadi sesuatu
yang menarik untuk dilirik. Bahkan mungkin bisa dianggap mereka sebagai suguhan basi
yang perlu disingkirkan. Gerakan pembaharuan pemikiran Islam dianggap sebagai bagian
dari problem, bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi umat.
Sejarah pembaharuan pemikiran di dunia Islam (Arab, Mesir, India, Turki, Iran,
Indonesia, Syria dan Tunisia) telah bergulir sejak abad 18 atau awal abad 19. Di tanah Arab
ditandai dengan gerakan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan semangat pemurnian
akidahnya. Gerakan pemurnian ini merupakan respon ‘Abd al-Wahhab terhadap realitas
umat Islam yang menurutnya bertentangan dengan Islam yang pahaminya.12
Kemudian, di Mesir dilanjutkan dengan trio al-Afghanî-Muhammad ‘Abduh-Rasyid
Ridhâ. Gerakan Pan-Islamisme yang diusung al-Afghanî merupakan responsnya terhadap
dominasi Eropa di satu pihak, dan melemahnya persatuan umat Islam di pihak lain. Sementara,
’Abduh mengambil langkah pemurnian yang juga digabungkan dengan pembaharuan
sistem pendidikan di Universitas al-Azhar.13 Hal ini bergulir ke berbagai negara Islam lain
sampai beberapa dekade belakangan ini. Sebagian dari gerakan pembaharuan ini dapat
dikatakan bukanlah bersifar refleksi-inisiatif murni yang muncul atas penggalian terhadap
sumber Islam, yakni al-Qur’an.
Di Indonesia, gerakan pembaharuan Islam secara kelembagaan atau organisasi
keagamaan sudah dimulai sejak pergantian abad 20 ke abad 21 yang lalu. Salah satu
organisasi yang paling berjasa dalam hal ini adalah Muhammadiyah yang didirikan pada
tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah memulai pembaharuannya dengan
mendirikan sekolah-sekolah. Tetapi perkembangan terakhir menunjukkan bahwa peran
pemikir muda Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang amat besar bagi pembaharuan pemikiran di Indonesia.
Sedangkan gerakan pembaharuan pemikiran secara perorangan dan signifikan
baru dimulai pada pertengahan kedua dari abad ke 20. Nama-nama yang perlu disebutkan
12
Commins, Islamic Reform, h. 34.
Indira Falk Gesink, Islamic Reform And Conservatism: Al-Azhar And The Evolution of
Modern Sunni Islam (London-New York: I.B. Tauris Publishers, 2010).
13
302
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
di antaranya Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Munawir Sjazali, dan Abdurrahman Wahid.14
Namun, sesungguhnya gerakan pemikiran yang menjadi pemicu utama gerakan pembaharuan
belakangan ini adalah muara dari tragedi 9/11 2002, pengebomam World Trade Center
(WTC), yang melenyapkan ribuan masyarakat sipil tidak berdosa. Gerakan Islam teroris
telah dianggap satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap petaka kemanusiaan itu.
Ada paksaan untuk memilih “you are either with us or with our enemy, the terorists” kata
George W. Bush. Tentu saja tidak dapat dipungkiri adanya kesadaran kolektif, baik dari
luar Islam maupun dari dalam Islam sendiri, bahwa ada persoalan dalam masyarakat
Islam dalam memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam yang mereka yakini.
Mengapa Islam yang salah satu pengertiannya “damai” bisa menjadi begitu brutal?. Islam
yang begitu luwes dan lapang, mengapa seringkali dia menjadi begitu rigit dan sempit.
Nilai Islam yang universal telah dijadikan mentalitas ghetto-parochialis (mentalitas sempit
yang hanya senang berdiskusi dan bergaul dengan komunitas terbatas yang mempunyai
gagasan tunggal saja).
Gerakan pemikiran yang diusung oleh sejumlah aktivis pemikiran Islam di Indonesia
belakang ini, seperti Islam Progresif, JIL (Jaringan Islam Liberal), the Wahid Institute,
JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan saudara-saudaranya, berawal
dari respons terhadap adanya gerakan-gerakan yang membela Islam dengan mentalitas
di atas, setelah kran demokrasi dibuka lebar pasca kejatuhan rezim Soeharto dengan Orde
Barunya. Dorongan untuk melakukan gerakan juga diperkuat oleh faktor eksternal, ketika
terjadi kritik terhadap Islam pasca tragedi pengeboman World Trade Center 2001 di Amerika.
Bahwa masing-masing gerakan ini menggunakan nama dan lembaga yang berbeda adalah
persoalan pilihan saja. Dengan kata lain, pendirian gerakan-gerakan pembaharuan ini
lebih banyak bersifat reaktif-responsif vis-à-vis reflektif-kontemplatif. Salah satu watak
gerakan pemikiran reaktif-responsif adalah mudahnya muncul kejenuhan atau kelambanan,
ketika terjadi kurangnya aksi berlawanan atau kurangnya daya respon dari masyarakat luas.
Ketika gerakan pembaharuan pemikiran ini menampakkan dirinya secara terangterangan sebagai respons terhadap mentalitas ghetto dan rigid Islam radikal, maka reaksi
balik dengan perlawanan sengit bahkan brutal muncul. Fatwa menghalalkan darah pengusung
gerakan pembaharuan adalah bentuk kekesalan yang telah mencapai puncaknya. Contoh
yang paling tepat untuk hal ini adalah fatwa yang dikeluarkan oleh pihak yang menghalalkan
darah Ulil Absar Abdalla pada tahun 2004. Bentuk kekesalan ini juga ditunjukkan dengan
cara penghinaan terhadap pembicara tertentu di ruang publik atau di sejumlah forum
ilmiah. Jadi, ada aksi, reaksi serta reaksi kembali. Di sini terlihat relatif jelas bahwa yang
terjadi adalah permusuhan akademis (untuk tidak mengatakan permusuhan sesungguhnya),
14
Dalam pengertian yang lebih luas, sebenarnya ada banyak nama tokoh dan organisasi
Islam yang juga memberikan kontribusi penting dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam
di Indonesia, namun untuk menyesuaikan dengan tema tulisan ini, maka nama-nama di atas ini
dianggap lebih relevan untuk dimasukkan.
303
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
bukan partner akademis. Perlu juga dimasukkan di sini adalah adanya sejumlah Islam
yang sesungguhnya tidak mau memikirkan Islam (dengan bertaklid buta terhadap hasil
pemikiran ulama Klasik), tetapi selalu memusuhi orang-orang yang berusaha berpikir
sesuatu tentang Islam. Mengiringi peristiwa ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri
mengeluarkan fatwa haramnya sejumlah gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia,
termasuk apa yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla.15
Menurut Ziauddin Sardar dalam Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin
Sardar Reader, setiap gerakan pembaharuan seharusnya dimulai dengan pengakuan terhadap
dunia sebagaimana adanya, tidak sebagaimana yang diinginkan. Hanya dengan merekognisi
dimensi sesungguhnya dari realitas kontemporer sebuah masyarakat, barulah seorang
pembaharu dapat mengkontemplasikan pembaharuan yang akan menciptakan dunia
sebagaimana yang diinginkan.16 Meskipun ada kesan agak terlambat, beberapa tema workshop
yang pernah dilakukan bisa dilihat sebagai pengakuan terhadap realitas as it is itu. Ini
merupakan pertanda adanya kemajuan yang sangat berarti dan sangat penting bagi
keberlanjutan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Secara implisit, diketahui bahwa para pengusung gerakan pembaharuan di Indonesia melalui network LSAF, Yayasan Paramadina, the Wahid Institut, Jaringan Islam Liberal
(JIL) dan Rahima,17 menyadari adanya problem yang sedang dihadapi oleh gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Pertama, kesadaran bahwa gerakan pembaharuan
pemikiran Islam di Indonesia sedang mengalami stagnansi. Kedua, perlu ada upaya untuk
menjawab pertanyaan mengapa terjadi stagnansi?. Ketiga, langkah atau solusi apa yang
dapat dilakukan untuk mengatasi stagnansi itu? Keempat, siapa saja atau jaringan mana
saja yang mungkin dapat dilibatkan untuk mencari solusi terhadap problem tersebut? Serta
pertanyaan lain sebagai turunan dari pertanyaan-pertanyaan ini.
Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan ini, akan dielaborasi lebih lanjut problem-problem
yang dihadapi oleh gerakan pembaharuan pemikiran Islam di atas. Problem-problem ini
juga berdasarkan pada asumsi bahwa gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
disadari sedang mengalami stagansi atau lebih tepat time out, setelah mendapat tantangan
sengit, baik dari gerakan yang berseberangan maupun dari masyarakat luas yang mendukung gerakan yang berseberangan itu. Dari elaborasi ini, tulisan ini juga akan berusaha
untuk menawarkan solusi alternatif untuk memecahkan kebekuan gerakan pembaharuan
pemikiran di Indonesia.
15
Tentang aksi dan reaksi terhadap fatwa ini, lihat Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi
Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 2010), h. 5-12. Buku ini membahas dengan mendalam tentang problem yang dihadapi
oleh perkembangan pemikiran Islam dari perspektif pelakunya dalam dekade terakhir di Indonesia.
16
Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, h. 106.
17
Charles Kurzman (ed.). Liberal Islam: A Sourcebook (Oxford and New York: Oxford University
Press, 1998).
304
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
Berbagai Problem Pembaharuan Pemikiran
Jika sebuah gerakan pembaharuan diandaikan sebagai obat terhadap sebuah penyakit,
maka diagnosa terhadap penyakit apa yang sedang diderita pasien menjadi sangat penting
dan harus dilakukan dengan cara akurat. Hal ini dilakukan supaya menghindari mengobatan yang salah terhadap penyakit yang sesungguhnya diderita pasien. Pengakuan terhadap
adanya penyakit setelah didiagnosa dan adanya keinginan untuk sembuh merupakan sesuatu
yang lebih penting lagi. Dari sinilah titik tolak yang lebih jelas terhadap keberlanjutan
pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu penguraian problemnya dan mendiskusikan
serta menindaklanjuti solusi yang mungkin ditawarkan.
Problem Definisi dan Orientasi
Problem pertama dalam pembaharuan pemikiran di dunia Islam adalah problem
definisi kedirian gerakan pembaharuan pemikiran itu sendiri, atau lebih tepatnya batasan
wilayah kerja pembaharuan sejauh hubungannya dengan al-Qur’an atau dalam batas
tertentu juga sunnah Nabi Muhammad SAW. Maksudnya, terlihat adanya kekaburan
antara penafsiran dan mempertanyakan eksistensi dari kedua atau sebagian dari konten
sumber sakral dan utama dalam Islam itu. Ada perbedaan yang sangat jelas antara pembaharuan
terhadap Islam itu sendiri dengan pembaharuan pemikiran tentang Islam, dalam hal ini
penafsiran terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Di dunia Barat-Kristen, ketika terjadi kritik keras dari gerakan sekularisme, penafsiran
maupun eksistensi sumber dan konten keduanya menjadi sasaran dan wilayah kerjanya,
tidak terbatas pada wilayah penafsiran saja. Kemenangan gagasan sekularisme dalam
banyak wilayah kehidupan publik tidak lagi hanya menambah sistem nilai gereja yang
ada, tetapi menggantinya. Substansi sistem nilai dari Injil dan gereja digantikan dengan
sistem nilai sekuler. Gereja, kitab suci dan para gerejawan secara perlahan dimarjinalkan
dari kehidupan publik, atau setidaknya distigmatisasi di ruang publik yang menyebabkannya sering lumpuh tidak berkutik lagi.
Sementara, di dalam atau terhadap kedua sumber sakral itu (al-Qur’an dan Hadis)
dan apa yang dapat atau harus diperbaharui adalah problem kedua terpenting yang perlu
didudukkan dalam rangka memperkecil resistensi dari gerakan anti pembaharuan yang
bermuara pada stagnansi tersebut. Dengan teori hudud-nya (keterbatasan), Muhammad
Shahrur menghimbau dengan nyaring para intelektual Islam pendukung gerakan pembaharuan untuk membuka ruang penafsiran setiap ayat al-Qur’an dengan mengabaikan
istilah ayat-ayat qath‘iyyah yang selama ini diyakini oleh sebagian besar mufassir. Semua
ayat al-Qur’an terbuka untuk ditafsirkan. Namun pada saat yang sama, Shahrur juga
mengingatkan bahwa kerja pembaharuan ini dilakukan dalam batas wilayah penafsiran,
bukan menggugat eksistensi teks al-Qur’an. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan
305
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
apa yang dilakukan oleh Irsyad Manji dengan The Trouble with Islam-nya.18 Manji di sejumlah
tempat secara jelas menggugat eksistensi ayat-ayat al-Qur’an. Hal seperti ini juga kelihatannya telah menginspirasi sebagian aktivis pembaharuan pemikiran di Indonesia.
Gerakan-gerakan yang disebutkan terakhir ini lebih tepat disebut sebagai gerakan
pembaharuan terhadap “Islam” itu sendiri, karena esensi dari sakralitas Islam terdapat
pada kitab sucinya, al-Qur’an. Di sinilah diperlukan diskusi tentang definisi dan batasan
pembaharuan ini. Jika yang dikritik adalah keberadaan “Islam” itu sendiri, bukan pemahaman
terhadapnya atau terhadap kitab sucinya, maka inilah salah satu faktor munculnya resistensi
keras dari sejumlah gerakan dalam Islam. Jika upaya pembaharuan yang dilakukan bertujuan
untuk menggantikan Islam dengan “nilai-nilai kebebasan liberal dan sekuler” mutlak, yang
bermuara pada menggantikan Islam dengan “sistem,” “nilai” atau “keyakinan” lain, ini bukan
tujuan dari diskusi dalam tulisan ini.
Problem definisi ini juga bisa dilihat dari perspektif “modernization” versus “revivalization”,
pembaharuan modernis versus pembaharuan kembali.19 Modern reformis lebih banyak
diinspirasi oleh Europeanisasi atau Westernisasi murni. Meskipun banyak dinilai yang
dibawa gerakan ini dapat dijustifikasi oleh al-Qur’an sebagai huda, namun pelabelan gerakan
yang Eurocentrisme atau Westernisme itu sangat sering menjadi persoalan. Pelabelan
ini telah menyebabkan pengabaian terhadap substansi pembaharuan dan sangat pentingnya
konten gerakan yang dilakukan bagi perbaikan umat Islam secara keseluruhan. Bukankah
lebih baik kebebasan tanpa batas itu tidak perlu diberi embel-embel “Islam”. Sebab penggunaan
Islam bisa merupakan plat form yang membatasi ruang gerak kebebasan berpikir.
Termasuk problem besar dalam definisi ini adalah orientasi atau tujuan gerakan
pembaharuan. Sebagian gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia saat ini
dapat dikatakan sporadis, responsif dan reaktif, ketika gerakan-gerakan itu secara eksplisit
sebagai upaya untuk menjadi lawan tanding dari gerakan radikal dalam Islam. Bahkan
lebih problematis lagi, ketika gerakan itu hanya merupakan respons terhadap pemikiran
sempit seorang tokoh Islam radikal. Gerakan pembaharuan tidak didasarkan nilai-nilai
Islam universal yang berawal dari problem masyarakat Islam dalam konteks lebih luas sebagai
warga masyarakat peradaban global. Ringkasnya, sebagian dari gerakan pembaharuan
pemikiran di dunia akademis Islam tidak ubahnya seperti hulu sungai tanpa muara. Tidak
ada tujuan akhir yang jelas dan secara definitif reachable (dapat terjangkau dan terukur),
dapat dicapai dengan cara dalam batas tertentu untuk target-target tertentu.
18
Irsyad Manji, The Trauble with Islam (Australia: Random House, 2003).
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism, edited
by Ebrahim Moosa (Oxford: One-world Publications, 2000); John O. Voll, “Renewal and Reform in
Islamic History.” In Voices of Resurgent Islam, edited by John L. Esposito, 32–47 (New York: Oxford
University Press, 1983); Seyyed Vali Reza Nasr, Mawdudi and The Making of Islamic Revivalism (New
York dan Oxford: Oxford University Press, 1996); Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940:
A Sourcebook (Oxford and New York: Oxford University Press, 2002).
19
306
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
Problem Pendekatan
Bagaimana cara memperbaharui serta apa tujuan pembaharuan dalam Islam adalah
problem berikutnya yang perlu didiskusikan dari waktu ke waktu. Yang lebih diperlukan
dalam pembaharuan pemikiran adalah diskusi bukan debat kusir, seperti perebutan
pengaruh publik sebelum Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Diskusi dapat di-follow-up
sampai sebuah gagasan dapat menciptakan perubahan sosial lebih luas. Diskusi bisa bermuara
pada kesepakatan atau kesalingmengertian antara peserta diskusi. Meskipun tidak harus
selalu terjadi kesepakatan. Sebaliknya, debat hampir selalu bermuara pada upaya mempertahankan diri atau apoligistik, ketimbang melihat kebenaran sebuah pemikiran. Pihak
yang kalah dan lemah argumen dalam sebuah diskusi bisa saja bergabung dan mendukung
argumen yang lebih unggul dan rasional. Sebaliknya, dalam sebuah debat, pihak yang menang
bisa mengeliminasi pihak yang kalah sampai pada pengambil-alihan keberpihakan audiens
yang tadinya lebih banyak berlaku pasif.
Dalam sebuah perdebatan, pada umumnya yang lebih jernih mengambil kesimpulan
adalah pendengar. Sedangkan dalam diskusi, baik partner diskusi maupun pendengar
sama-sama bisa mengambil kesimpulan yang jernih. Di samping itu, dalam sebuah debat
yang dicari adalah keunggulan sepihak untuk mengalah pihak lain yang bermuara pada ujung
yang berbeda. Sedangkan dalam sebuah diskusi, fokus utama adalah mencari titik temu.
Meskipun ada kalanya titik temu itu sendiri adalah kesepakatan untuk berbeda pendapat.
Ciri lain dari debat adalah mempunyai keterbatasan waktu apabila sudah ada pihak
yang lebih unggul atau memang masing-masing sepakat untuk mengakhiri. Sedang
diskusi bisa saja menjadi sebuah serial yang berkembang sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
Dalam sebuah debat, audiens lebih banyak sebagai pendengar pasif yang bisa terpengaruh
untuk mengambil sikap meskipun isu yang diperdebatkan bisa saja merupakan kepentingan
mereka. Sedangkan dalam sebuah diskusi, audiens bisa terlihat secara aktif baik topik yang
didiskusikan bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka atau tidak. Salah satu
etika diskusi adalah mengakui keunggulan argumen partner dikusi, apabila didukung
oleh argumen dan fakta yang kuat. Hal ini jarang terjadi dalam sebuah perdebatan.
Fenomena debat antara pengusung pembaharuan Islam dan penolaknya dalam
wacana pembaharuan pemikiran di Indonesia kelihatannya diilhami oleh apa yang terjadi
di sebagian besar negara Barat yang sekarang sekuler ketika mereka dulu mengalahkan
argumen Gereja yang menguasai ruang publik. Apa yang terjadi di dunia Barat se yang
dapat disaksikan pada hari ini adalah marginalisasi agama dari ruang publik, sampai
akhirnya ruang publik hanya diisi oleh sekularisme murni. Agama menjadi sesuatu yang
aneh yang seharusnya perlu masuk penangkalan, namun didesak sedemikian rupa,
sehingga harus mencari tempat keluar dari wilayahnya.
Jika sebagian besar pendekatan yang digunakan debat disebabkan oleh pengaruh
tertentu, baik apa yang terjadi antara pihak Gereja dan sekularis di Barat maupun pengaruh
pendekatan Timur Tengah masih dapat ditolerir, maka sebagian dari pendekatan yang
307
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
digunakan di Indonesia tidak jauh beda dari UFC (Ultimate Fighting Championship) yang
sering bermuara pada kuncian mati, sehingga pihak yang kalah bertekuk lutut sampai tidak
bisa berbuat apa-apa dalam sebuah forum. Padahal seharusnya, tidak ada istilah menang
mutlak dalam sebuah pertarungan pemikiran. Karena, kebenaran pemikiran bersifat relatif
yang sangat tergantung pada situasi ruang dan waktu.
Stagnasi gerakan pemikiran beberapa tahun terakhir ini bisa dilihat dalam konteks
ini, ketika gerakan yang berlawanan mendapat applous yang semakin kuat dan tempat
yang semakin luas dalam masyarakat. Jika gerakan pembaharuan pemikiran mendapat
giliran ketika vendulum sejarah lebih mendekatinya suatu saat nanti, maka tidak tertutup
kemungkinan apa yang dilakukan oleh penentang pembaharuan ini menjadi watak gerakan
pembaharuan juga.
Problem Penamaan Gerakan
Salah satu problem lain yang memperlambat pengaruh pembaharuan pemikiran
dan menyempitnya ruang publik yang dapat digunakan adalah pekerjaan rumah yang
belum sepenuhnya selesai, yaitu antara substansi dan formalitas. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengingatkan para pengusung Islamis
untuk tidak terlalu terfokus pada simbol “Islam” dan mengabaikan substansi. Ajaran moralitas
tidak perlu diberi nama apapun, termasuk juga moralitas berbasis Islam, jika ia mau dijadikan
moralitas universal. Sebenarnya, jika pengusung gerakan pembaharuan pemikiran bisa
mengoreksi diri, maka apa yang diingatkan kedua tokoh pemikir ini terhadap gerakan
yang berseberangan dengan “Islamis” juga bisa dijadikan salah satu hal yang perlu direnungkan.
Sebagian penyebab munculnya resistensi, seperti dikemukakan di atas adalah kesalahpahaman yang muncul akibat simbol formalitas penamaan gerakan, seperti kata “liberal”.
Seringkali sesungguhnya, ada substansi yang bisa dijadikan titik temu. Sudah sejak zaman
penjajahan dulu, istilah “liberal” menghadapi problem di Indonesia. Meskipun sebagian
besar masyarakat Muslim Indonesia yang “terdidik” ada yang sudah dapat mengabaikan
nama-nama asing yang bisa diidentikkan apa yang pernah dilakukan penjajah dulu. Seringkali
sebuah gerakan dukungan atau penolakan sesungguhnya tidak terlalu besar, tetapi kemudian
mendapat dukungan semakin besar dari masyarakat hanya karena hal yang tidak substantif
itu, yaitu karena nama yang tidak familiar di tengah masyarakat. Mengapa sejumlah nama
jurnal yang menyuarakan suara “liberal,” tapi dengan nama lebih ke-Arab-an tidak mendapat penolakan sebesar “liberal” belakangan ini, barangkali adalah contoh terbaik untuk
direnungkan.
Siapa saja bisa berargumen bahwa apalah arti sebuah nama. Namun, ketika sebuah
nama yang betul-betul merupakan refleksi dari apa yang menjadi spirit dari sebuah gerakan
pemikiran, maka sesungguhnya nama itu adalah gerakan itu sendiri. Mengapa sejumlah
gerakan pembaharuan dalam Islam menggunakan istilah seperti pembaharuan kembali
ke al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad, seperti yang pernah dilakukan oleh Muhammadiyah,
308
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
padahal tidak jarang juga membawa sistem nilai yang sesungguhnya bermuara dari Barat,
tetapi mendapat dukungan luas?.
Jawaban yang dekat adalah karena sedalam-dalam atau sekeras-keras kritik diajukan
terhadap sebuah realitas, namun muaranya akan tetap mempertahankan Islam (al-Qur’an
dan Hadis Nabi Muhammad SAW.) Yang akan ditinggalkan atau dipinggirkan adalah
tafsir atau pemahaman dan praktik keislaman yang diyakini tidak sesuai dengan tujuan
utama Islam diturunkan sebagai sebuah agama yang mempunyai misi universal.
Problem Spirit
Motivasi dan semangat yang melatar belakangi sebuah gerakan atau karya pemikiran
pembaharuan bisa dilihat sebagai sebuah pedang bermata dua, bisa berdampak positif
dan negatif. Jika seorang pembaharu dilatarbelakangi oleh “paksaan” agenda dari luar,
maka ini bisa bermuara pada menyenangkan orang lain dan “dimusuhi” orang Muslim
sendiri. Meskipun di sini bisa terjadi perdebatan panjang. Namun, seringkali terlihat kegiatan
gerakan pembaharuan ketika motivasi tidak murni kepentingan internal Islam, setidaknya
ada alasan untuk dicurigai. Salah contoh bisa dikemukan, ketika sebuah gagasan pembaharuan yang lebih sering disuarakan di hadapan audiens non-Muslim. Pada hal yang
perlu diperbaharui adalah realitas yang ada dalam tubuh Islam. Di sinilah sering muncul
tuduhan bahwa seolah gerakan pembaharuan merupakan agen luar yang dimasukkan
ke Islam, sebuah tuduhan yang tidak selamanya atau belum tentu benar sama sekali.
Problem lain yang bisa diasosiasikan dengan sikap dan karakter ini adalah apa yang
disebut Ziauddin Sardar sebagai ghetto mentality, yaitu sebuah mentalitas senang berkumpul
dengan orang-orang yang satu gagasan saja tanpa kritik. Ghetto mentality sesungguhnya bukan
penyakit dari pengusung Islam radikal saja, tetapi juga secara tidak sadar merupakan
mentalitas dari pengusung sejumlah gerakan pembaharuan. Upaya yang dilakukan JIL dengan
melaksanakan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi untuk diskusi tematis sangat
perlu diapresiasi. Namun, hal ini perlu dikembangkan dengan melibatkan gerakan serupa
yang lebih luas dengan mengikutsertakan gerakan yang berbeda pada saat yang sama.
Ketika animo masyarakat tidak besar terhadap kegiatan ini, maka pertanyaan “mengapa”
sangat perlu untuk diajukan, untuk selanjutnya dicari jalan keluarnya melalui self-critics.
Tidak malah menyerah dengan kenyataan dan bertahan pada cara yang tadinya tidak
mendapat respons baik dari masyarakat, seperti yang terjadi sejak lebih kurang tiga tahun
terakhir ini.
Problem Keterbatasan Ruang dan Waktu untuk Gagasan Besar
Ketidakarifan atau mungkin keterpaksaan penggunaan ruang dan waktu sempit
yang tidak seimbang dengan besar atau beratnya gagasan atau isu yang menjadi fokus
wacana juga merupakan problem dan penghambat berjalannya pemikiran pembaharuan
309
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
di Indonesia. Seringkali pengusung pemikiran pembaharuan menggunakan ruang yang
terbatas, seperti koran, talkshow baik TV maupun radio dan diskusi lepas, dibandingkan
dengan penulisan sebuah buku yang “tuntas” ketika mendiskusikan isu-isu berat yang
membutuhkan ruang yang memuaskan untuk menuntaskan sebuah topik pembicaraan.
Seringkali pengusung pembaharuan pemikiran tidak sepenuhnya menyadari sudah masuk
ke dalam skenario kerja jurnalis yang sering lebih mengutamakan popularitas dibandingkan
menuntaskan pemahaman.
Salah satu contoh terakhir adalah apa yang dilakukan oleh Teater Hutan Kayu satu
hari setelah workshop “Menata Kembali Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia.” Pada
diskusi serial JIL ini, Ulil Absar Abdalla menyampaikan papernya dengan judul “Doktrindoktrin yang kurang perlu dalam Islam”. Pada dasarnya, apa yang disampaikan Ulil
dalam paper (pokok pikiran)-nya itu tidak begitu jauh dengan dengan kampanye anti
bid’ah ala gerakan “salafi”. Tapi, dasar pemikiran yang disampaikan Ulil yang melandasi
pemikirannya itu tidak dimuat dalam pokok pikirannya itu. Padahal, sebelas poin yang
disampaikan Ulil adalah isu-isu yang sangat memerlukan landasan pemikiran yang kuat.20
Karena itu, sangat perlu disertai dalam pokok pikirannya itu, tidak dimuat secara terpisah.
Demikian juga, sejumlah gagasan gerakan pembaharuan pemikiran yang pernah disampaikan
Ulil sebelumnya seperti tentang haji, jilbab dan sebagainya. Argumen-argumen yang bersumber
dari ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis Nabi Muhammad SAW yang sering dijadikan alasan
oleh penantang pembaharuan pemikiran dalam Islam sama sekali tidak disentuh oleh
Ulil. Sebagai contoh argumen bahwa Nabi Muhammad adalah nabi penutup (khatam
al-nabiyyîn) berdasarkan Q.S. al-Ahzab/33: 40. Sekiranya Ulil bisa membahas lebih jauh
tentang tafsiran khatam al-nabiyyîn, maka tentu akan terjadi diskusi dan adu argumen.
Ketika Ulil menyatakan kurang perlunya doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi
terakhir/penutup dalam Islam, sehingga memungkinkan penganut Islam tertentu, seperti
Ahmadiyah, berhak hidup di Indonesia, tidak begitu kuat ketika argumen yang mendukung
doktrin ini tidak secara tuntas dijelaskan. Demikian juga doktrin-doktrin lain yang disampaikan
oleh Ulil dalam pokok pikirannya tentang “Doktrin yang tidak perlu dalam Islam” itu.
Terlalu sempit ruang yang disediakan untuk gagasan atau isu-isu yang sangat penting
dan besar itu.
Problem Kelembagaan
Meskipun masih memerlukan data dan kajian lebih lanjut, namun dari berbagai
diskusi lepas dan korespondensi dengan berbagai teman, baik dalam maupun manca negara,
dapat dikatakan bahwa faktor kelembagaan merupakan salah satu problem dalam pem-
20
Untuk lebih jelasnya tentang pokok-pokok pemikiran Ulil Abashar ini, lihat “Doktrindoktrin yang Kurang Perlu dalam Islam”, disampaikan pada Dikuski serial JIL (Jaringan Islam
Leberal”, Teather Hutan Kayu, Jakarta tanggal 30 Desember 2010.
310
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
baharuan pemikiran di Indonesia.21 Pertama, bahwa keberadaan dari sejumlah gerakan
pembaharuan pemikiran di Indonesia yang berbasis Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang sebagaian besar pendanaan programnya tergantung pada penyandang dana,
baik dalam maupun luar negeri, kemungkinan bagian dari penyebab lain tidak stabilnya
perjalanan gerakan pembaharuan pemikiran yang dilakukan. Sebagai LSM, setidaknya
ada empat faktor yang menentukan perjalanannya; adanya Sumber Daya Manusia, adanya
program, adanya dana untuk menjalankan program dan adanya penyandang dana baik
yang bersifat permanen maupun yang bersidat indisentil. Terlepas apakah dapat dibuktikan
atau tidak, keberadaan sejumlah LSM berlabel Islam yang dibiayai luar negeri atau penyandang
dana tertentu dari dalam negeri, sudah lama dicurigai mempunyai tujuan dan agenda yang
“dipesan,” bukan egenda murni sebagai refleksi dari analisa problem masyarakat. Kedua,
keberadaan LSM gerakan pemikiran Islam yang terkadang terlihat kasat mata berhubungan
dengan lembaga-lembaga politik praktis juga dianggap bahwa LSM terkait sebenarnya
mempunyai kepentingan-kepentingan praktis dan instan. Itulah salah satu sebab lain yang
terkadang membuat idealisme gerakan pembaharuannya berjalan tersendat-sendat.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka langkah prioritas dalam menata kembali pembaharuan
pemikiran dalam Islam Indonsia sebagai bagian terhadap kontribusi global adalah dengan
menjadikan gerakan pembaharuan sebagai gerakan membangun “peradaban masyarakat
universal” berbasis nilai-nilai yang bersumber dari Islam. Hal ini dilakukan atas pertimbangan
keyakinan universalitas nilai-nilai Islam. Dengan demikian, ghetto mentality yang menyebabkan nilai Islam menjadi sempit, bringas, radikal, termasuk teror fisik maupun mental,
dapat dihindari melalui perbaikan agenda dan perubahan pendekatan. Respons-respons
sporadis terhadap gerakan yang berseberangan akan lebih baik dialihkan pada perhatian
terhadap masyarakat luas, di mana gerakan yang berseberangan seringkali memperoleh
dukungan. Menggunakan ruang publik dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh publik
luas sebagaimana yang digunakan oleh gerakan anti-pembaharuan menjadi hal yang
sangat perlu dipertimbangkan kembali. Dalam konteks inilah, kesan elitis gerakan pembaharuan
pemikiran di Indonesia harus melihat situasi dan kondisi. Meskipun kesan elit dan arogansi
akademis perlu dipertahankan pada saat tertentu, namun ada situasi dan kondisi tertentu
di mana gerakan pembaharuan harus menanggalkan keelitisannya.
Namun perlu diingat, bahwa gagasan dan perjalanan globalisasi saat ini hampir
tidak memungkinkan adanya satu kontributor tunggal untuk membangun peradaban
universal, tidak juga Barat yang sudah sangat maju itu.
21
Salah satu korespondensi penting dalam tulisan ini adalah dengan Mun’im A. Asirry yang
sependapat dalam hal ini. Hal ini didukung oleh perbandingan yang dia buat antara Indonesia
dan di Amerika.
311
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Dalam gagasan membangun peradaban (atau lebih tepatnya meneruskan) bangunan
pondasi kemanusian global, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama,
sifat gerakan yang permanen, terus menerus dan menyeluruh. Artinya, para pengusung
dan pejuang pembaharuan pemikiran Islam sangat dituntut untuk mendata problem
masyarakat, membangun atau mencari teori untuk mengatasinya, serta melibatkan perorangan atau lembaga tertentu dalam mengatasi problem terkait. Kedua, program dan
tema-tema gerakan disesuaikan dengan problem masyarakat yang diperoleh dari hasil penelitian tentang realitas kehidupan masyarakat.
Dalam konteks semua inilah, membangun kerja sama yang “permanen” dengan lembaga
perguruan tinggi menjadi sangat penting, dan mungkin niscaya. Lembaga peguruan tinggi
adalah lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengantisipasi dan merekayasa
perubahan sosial. Rekayasa perubahan sosial ini salah satu titik temu antara gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang ada di luar kampus. Namun dalam membangun kerjasama
dengan perguruan tinggi, tentu ada persyaratan-persyaratan awal yang harus dipenuhi
dan disepakati. Karena bagaimanapun perguruan tinggi tentu dalam hal ini mempunyai
posisi bargaining yang lebih besar, karena ia bersifat permanen. Di sinilah perlu untuk diambil
langkah-langkah mengantisipasi, menghindari dan mengatasi problem-problem yang disebutkan
di atas.
Pekerjaan menata kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
ini tidak mudah, tetapi jika pemikiran adanya stagnansi gerakan pemikiran di Indonesia
dibenarkan, dan upaya untuk mengatasinya disepakati, maka pokok-pokok pikiran di atas
menjadi sangat perlu dijadikan salah satu pintu masuk mengatasi stagnansi itu.
Pustaka Acuan
Berlin, Isaiah. Four Essays on Liberty. Oxford: Oxford University Press: 1969.
Carter, Ian. “Positive and Negative Liberty,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
Spring 2003.
Commins, David Dean. Islamic Reform: Politics and Social Change in Late Ottoman Syria.
New York, Oxford: Oxford University Press, 1990.
Gesink, Indira Falk. Islamic Reform And Conservatism: Al-Azhar And The Evolution of Modern
Sunni Islam. London-New York: I.B. Tauris Publishers, 2010.
Kurzman, Charles (ed.). Liberal Islam: A Sourcebook. Oxford and New York: Oxford
University Press, 1998.
Kurzman, Charles. Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook. Oxford and New York:
Oxford University Press, 2002.
Nasr, Seyyed Vali Reza. Mawdudi and the Making of Islamic Revivalism. New York dan
Oxford: Oxford University Press, 1996.
312
Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
Rahman, Fazlur. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism, edited
by Ebrahim Moosa. Oxford: One-world Publications, 2000.
Sardar, Ziauddin. Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader.
London: Pluto Press, 2003.
Shalahuddin, Henri. “Pembelokan Makna ACIS,” dalam http://insists.multiply.com/.
Voll, John O. “Renewal and Reform in Islamic History,” In John L. Esposito (ed.), Voices of
Resurgent Islam. New York: Oxford University Press, 1983.
313
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
EFEK GANDA PENGELOLAAN WAKAF UANG
Rozalinda
Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol
Jl. Mahmud Yunus, Lubuk Lintah, Padang, 25153
e-mail: roza_linda32@yahoo.com
Abstrak: Selama ini pemanfaatan wakaf cenderung tidak produktif dan mengabaikan kemungkinan potensi untuk kesejahteraan umum. Tulisan ini mendiskusikan
perubahan dan implikasi yang timbul dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor
41 tahun 2004 tentang Wakaf. Penulis mengemukakan bahwa wakaf uang dapat berperan dalam menunjang proses pembangunan secara menyeluruh, baik pembangunan
sumber daya manusia, maupun ekonomi dan sosial. Investasi wakaf uang dapat
disalurkan untuk membantu biaya operasional lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan dan sosial. Di sinilah wakaf uang berperan sebagai salah satu sumber pendanaan
alternatif untuk peningkatan kesejahteraan umat. Menurut penulis, introduksi UndangUndang ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif.
Abstract: The Multiplier Effects of Currency Endowment Management.
The employment of wakaf or endowment thus far tends to be unproductive disregarding
the possibility of its potential for the public interest. This writing discusses changes
and implication brought by the introduction of Regulation No. 41/2004 concerning
Wakaf. The author maintains that currency endowment may function to supporting
the process of development throroughly, both in human resources and social economy.
Currency endowment investment may be distributed as a mean of assisting operational
funding of educational, health and social institutions. It is on this that currency
endowment plays the role as an alternative financial resource for the betterment
of social prosperity. According to the author, the introduction of this regulation
would become an avenue for empowering endowment productively.
Kata Kunci: wakaf uang, ekonomi umat, UU No. 41/2004
Pendahuluan
Selama ini, peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan
ekonomi umat, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan ibadah, pendidikan,
dan pemakaman semata, kurang mengarah pada pengelolaan wakaf produktif. Dengan
diaturnya wakaf uang dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sektor
314
Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
wakaf dapat lebih difungsikan ke arah peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi umat.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan
wakaf secara produktif sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif
dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.
Dalam undang-undang ini, konsep wakaf mengandung dimensi yang sangat luas.
Wakaf mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang
penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial
keagamaan, tetapi juga untuk pemberdayaan ekonomi umat. Formulasi hukum yang demikian,
jelas menunjukkan adanya suatu perubahan yang sangat revolusioner dalam wakaf.
Pengesahan undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan
kesejahteraan umum. Meningkatkan peran wakaf tidak hanya sebagai pranata keagamaan
saja, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan kesejahteraan
umum. Dari sini nampak jelas bagaimana kepentingan kesejahteraan sosial sangat kuat
memengaruhi proses regulasi di bidang perwakafan. Semangat pemberdayaan potensi
wakaf secara produktif dan profesional yang dikumandangkan undang-undang wakaf
ini adalah untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia di bidang ekonomi, pendidikan,
kesehatan, maupun bidang sosial keagamaan lainnya.
Dengan dikembangkannya wakaf uang, akan didapat sejumlah keunggulan, di
antaranya adalah: Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang
memiliki dana terbatas sudah bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu
menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf
uang akan memudahkan wakif untuk berwakaf. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset
wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa dimanfaatkan dengan membangun gedung
atau sarana lain yang lebih produktif untuk kepentingan umat. Ketiga, dana wakaf uang
juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya sangat
kekurangan. Pada gilirannya umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia
pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang
semakin lama semakin terbatas. Keempat, dana wakaf uang bisa memberdayakan usaha
kecil. Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha dan bagi hasilnya
digunakan untuk kepentingan sosial.1
Ini membuktikan bahwa pengelolaan wakaf uang memiliki nilai ekonomi yang
strategis. Tidak ditentukannya batasan dan kadar wakaf dalam perspektif fiqih memberi
kesempatan kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi umat,
tanpa harus menunggu menjadi kaya terlebih dahulu. Karena itu, seorang wakif dapat
saja mewakafkan uangnya kapan saja dan dalam jumlah berapa saja. Berbeda dengan
zakat yang ditentukan jumlah dan kadarnya, wakaf uang merupakan perbuatan sunat
yang batas dan jumlahnya dibebaskan bagi wakif untuk mengeluarkannya seperti halnya
1
Isbir, “Wakaf Tunai,” http://www.bimasislam.depag.go.id, 19 Desember 2007, 10.53 WIB.
315
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
sedekah. Seharusnya konsep ini dapat menjadi spirit keagamaan yang mendorong masyarakat
untuk berwakaf sesuai dengan kemampuannya sehingga jumlah wakif akan terus bertambah
dan jumlah dana wakaf yang terhimpun pun meningkat. Dari keunggulan wakaf uang
tersebut, jelas pengelolaan wakaf uang menjadi sangat penting karena sarat dengan dimensi
ekonomi yang memberikan pengaruh terhadap penciptaan keadilan distributif dan keadilan
sosial.
Muatan Ekonomi dalam Wakaf Uang
Pengelolaan wakaf uang sangat strategis dan dapat digunakan untuk pembangunan
ekonomi umat. Dari perspektif ekonomi, menurut Duddy Roesmara Donna dan Mahmudi
dalam The Dynamic Optimization of Cash Waqf Management: an Optimal Control Theory
Approach, wakaf dapat dilihat sebagai simpanan dan investasi secara bersamaan. Wakaf
dari sudut pandang ekonomi bisa dikatakan sebagai instrumen saving sekaligus prosperity
(kemakmuran), yakni sebagai dana yang potensial untuk diinvestasikan dalam asset
produktif yang dapat memberikan hasil atau pendapatan. Ini yang dikatakan dengan wakaf
uang mengombinasikan tindakan saving dan investasi secara bersamaan. Wakaf dapat
juga diperlakukan sebagai investasi yang memberikan pengembalian investasi yang dapat
digali untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Dari perspektif ini, wakaf dapat dilihat
sebagai sarana untuk menciptakan multiplier effects (efek ganda) baik dari sisi ekonomi
maupun sosial. Dengan melaksanakan wakaf, berarti wakif mengorbankan kesempatan
konsumsi hari ini dan secara berbarengan meletakkannya sebagai investasi yang dapat
meningkatkan akumulasi modal sosial dalam ekonomi untuk tujuan peningkatan pelayanan
sosial dan pendapatan masa yang akan datang.2 Wakaf uang, dipandang sebagai salah
satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak
lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu merupakan modal yang siap
dijadikan sebagai alat produksi.
Sejalan dengan itu, dalam Islam, perilaku konsumsi seseorang dimodifikasi dengan
mempertimbangkan karakteristik konsumsi berdasarkan ketentuan syariah. Dengan adanya
pengeluaran wakaf uang, pola konsumsi masyarakat (wakif) akan berubah ke arah pola
konsumsi produktif. Uang yang diwakafkan akan lebih bermanfaat secara ekonomis kepada
mustahik karena oleh nazir wakaf diinvestasikan untuk kegiatan-kegiatan produktif, misalnya
disalurkan sebagai modal kerja bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dengan
skema mudhârabah atau musyârakah.
Jika potensi wakaf uang dalam meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi
dapat diwujudkan, lebih lanjut potensi ini akan mampu menjaga stabilitas politik. Investasi
dana wakaf melalui sektor ril akan mengarah pada keseimbangan antara uang wakaf
2
Duddy Roesmara Donna dan Mahmudi, “The Dynamic of Cash Waqf Management an Optimal
Control Theory Approach,” http://psekp.ugm.ac.id, h. 2, Diunduh 18 Juni, 2007, 13.07 WIB.
316
Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
yang terhimpun dan sektor ril yang membutuhkan talangan dana. Hasil dari pengelolaan
dana wakaf, dapat menjaga stabilitas politik akibat ketidakmampuan pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi, yakni dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat
dari peningkatan pendapatan dan tersedianya lapangan kerja. Keadaan ini akan dapat
mengurangi beban APBN pemerintah karena tingginya angka kemiskinan.3
Di samping itu, wakaf dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan
menyediakan pelayanan sosial yang paling esensial tanpa dana dari pemerintah. Karena
itu, menurut Murat Cizakca, Dosen Fakultas Administrasi Bisnis Universitas Bahcesehir
Turki, pemerintah dapat menggunakan instrumen wakaf untuk menyelesaikan masalah
defisit anggaran dan mengurangi utang negara.4
Gagasan wakaf uang yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan melalui pembentukan
Sosial Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang dikemas dalam mekanisme
instrumen Cash Waqf Certificate telah memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi
masalah kesejahteraan sosial di negeri ini. Model wakaf uang adalah sangat tepat untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial. Ia juga mampu mengatasi krisis ekonomi seperti yang
telah dibuktikan di Bangladesh. Model wakaf uang juga bisa mengalahkan kontroversi
seputar policy pemerintah pada UKM yang belum mengena sasaran dan menyentuh inti
permasalahan. Wakaf uang sangat potensial untuk menjadi sumber pendanaan abadi
guna melepaskan bangsa dari jerat utang dan ketergantungan pada luar negeri.5
Menurut Ahmad Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Jamal, peranan wakaf dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi masyarakat dapat dilihat dari beberapa segi, yakni: 1) melalui simpanan
wakaf yang ditujukan untuk melayani proyek-proyek pembangunan, akan tercapai kekuatan
finansial baru yang menyokong perekonomian negara. Aset-aset wakaf itu adalah kebutuhan
finansial yang tetap eksis dan selalu membantu ekonomi negara; 2) membantu pendirian
infrastruktur; 3) memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengurangi
pengangguran; 4) berpartisipasi dalam menambah gerakan bisnis di masyarakat.6
Adapun peranan wakaf uang dalam pemberdayaan ekonomi umat dapat dilihat
pada dua hal, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemeratan pertumbuhan ekonomi.
3
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Islam dan Penyelengaraan Haji
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta:
t.t., 2005), h. 111.
4
Murat Cizakca, “Awqaf in History and its Implications for Modern Islamic Economic,”
dalam Islamic Economic Studies Vol. 6 No. 1 November 1998 (Jeddah: Islamic Research and
Training Institution (IRTI) Islamic Development Bank (IDB), h. 44.
5
Mustafa Edwin Nasution, “Wakaf Tunai dan Sektor Volunter: Strategi untuk Mensejahterakan
Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri,” Makalah disampaikan dalam
Seminar Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial, Jakarta: 10 November 2001.
6
Ahmad Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî fî al-Tanmiyah
al-Iqtishâdiyah al-Mu‘âshirah (Kairo: Dâr al-Salâm, 2007), h. 135.
317
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi
Wakaf uang yang digunakan untuk investasi bisnis ternyata mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu mentransformasikan tabungan masyarakat
menjadi modal investasi. Hal ini dapat digambarkan melalui ilustrasi berikut ini.7 Jika ada
20 juta umat Islam Indonesia dari 210 juta umat Islam Indonesia mewakafkan uangnya
sebesar Rp50.000,00 maka dalam hitungan sederhana akan diperoleh dana sebesar 1 triliun
rupiah. Dana wakaf itu siap untuk diinvestasikan. Jika dana itu dititipkan di bank syari‘ah
dengan bagi hasil 10% pertahun, pada akhir tahun sudah ada dana segar yang siap dimanfaatkan sebesar 100 miliyar rupiah. Perhitungan ini baru untuk satu kali wakaf, lantas bagaimana kalau umat Islam Indonesia yang mewakafkan uangnya sekitar 100 juta orang
dan dilakukan secara berulang-ulang untuk beberapa periode, karena wakaf dapat dilakukan
kapan saja. Tentulah dana wakaf itu akan terkumpul dalam jumlah yang besar dan sangat
potensial untuk menjadi sumber dana investasi bagi pengembangan ekonomi umat.
Berdasarkan ilustrasi di atas, bila 100 milyar rupiah sebagai hasil dari menginvestasikan
dana wakaf 1 triliun rupiah, maka betapa banyak orang miskin akan mendapatkan manfaat
dari dana tersebut melalui modal kerja. Sekian ribu anak yatim dan panti asuhan dapat
disantuni, sekian puluh sekolah dapat diperbaiki, sekian balai kesehatan dapat didirikan
dan sekian pedagang dan petani kecil dapat diberikan modal kerja. Wakaf uang tidak hanya
bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga mampu menciptakan
pemerataan pendapatan terutama bagi masyarakat yang semula tidak memiliki peluang
usaha menjadi mendapat peluang usaha, dan bagi masyarakat yang semula tidak mempunyai pendapatan menjadi memiliki pendapatan.
Melihat fenomena kemiskinan hari ini, wakaf uang sangatlah prospektif untuk
membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Harta wakaf yang diinvestasikan
dalam usaha bagi hasil (mudhârabah) membantu masyarakat yang kekurangan modal
atau belum punya usaha untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Kemudian, pendapatan
bagi hasilnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam melakukan pengelolaan ini,
nilai uang yang diwakafkan harus tetap utuh jumlahnya, sedangkan yang disampaikan
kepada mawqûf ‘alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang tersebut. Seperti yang
dinyatakan Dian Masyita et al., dana wakaf uang dapat menjadi dana pengurangan kemiskinan
di Indonesia terutama melalui program micro finance. Perusahaan mikro dapat menjalankan
usaha secara optimal setelah dibiayai.8 Di sinilah wakaf uang itu dapat menghapuskan
kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Wakaf uang menawarkan peluang untuk membantu masyarakat dalam mening7
Departemen Agama RI, Wakaf Tunai, h. 106.
Dian Masyita, et al., “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of the Alternative
Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia,” makalah disampaikan pada The 23rd
International Conference of the System Dynamics Society Massachussets Institute of Technology
(MIT), Boston, Juli 17-21, 2005, h. 27.
8
318
Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
katkan pendapatan dari bagi hasil yang diperolehnya. Lebih lanjutnya tentunya pendapatan
ini memberi dampak positif bagi perubahan kehidupan ekonomi masyarakat. Apalagi
investasi dana wakaf yang disalurkan diberikan dalam bentuk dana bergulir yang dijadikan
modal usaha bagi masyarakat lainnya secara berkelanjutan. Betapa banyak masyarakat
yang dapat diberdayakan kehidupan ekonominya dan betapa banyak masyarakat yang
dapat menikmati manfaat investasi wakaf uang, sungguh suatu instrumen keuangan
Islam yang sangat potensial.
Wakaf merupakan instrumen finansial Islam yang memiliki keterkaitan langsung
secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan ekonomi, seperti
pemberdayaan ekonomi umat, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Dengan demikian wakaf sesungguhnya memiliki peranan yang cukup besar
dalam mewujudkan tata sosial yang berkeadilan. Dalam jangkauan yang lebih luas, kehadiran wakaf uang dapat dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
di bidang ekonomi, terutama sekali jika wakaf dikelola dengan manajemen yang rapi, teratur dan profesional disertai kualitas para pengelolanya.
Pemeratan Pertumbuhan Ekonomi
Wakaf uang sering dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf
menjadi lebih produktif. Uang wakaf dapat digunakan sebagai modal yang siap untuk diproduktifkan. Salah satu kelebihan wakaf uang adalah pemberian peluang bagi penciptaan
investasi di bidang ekonomi, termasuk bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial.
Wakaf dalam bentuk ini lebih meluas sifatnya, dari pada sekadar benda bergerak yang lainnya.9
Melalui wakaf uang (cash waqf) aset-aset wakaf yang ada, seperti tanah kosong
yang tidak produktif, dapat dimanfaatkan untuk pembangunan toko atau rumah sewa ataupun
diolah menjadi lahan pertanian. Lahan tersebut dapat dikelola secara mudhârabah atau
ijârah kemudian hasilnya dapat disalurkan kepada mawqûf ‘alaih. Dengan potensi dana
yang cukup besar pada contoh perhitungan di atas, cara pengelolaan dana wakaf seperti
ini dapat mengatasi masalah pengangguran. Orang yang tidak mempunyai pekerjaan
yang tetap atau kekurangan dana dalam berusaha dapat mengatasi masalahnya dengan
mendapat pembiayaan dana dari lembaga wakaf yang ada. Seperti yang telah dibuktikan
Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhu‘afa, lembaga ini menyalurkan dana wakaf
produktifnya kepada usaha kecil menengah yang tersebar di Indonesia, baik dalam sektor
perdagangan, perkebunan maupun peternakan.
Menurut al-Jamal, wakaf dapat mengatasi stagnasi (kelesuan) ekonomi. Wakaf memiliki
peran efektif dalam menekan unsur-unsur produktivitas yang terabaikan, memiliki kemampuan
9
http://www.halalguide.info, “Wakaf Produktif,” 6 Juni, 2007, 18.54 WIB.
319
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
maksimal dalam memerangi pengangguran, serta punya pengaruh jelas dalam pengalokasian
pendapatan dan kekayaan. Usaha wakaf dalam pembangunan dan pemusatan eksperimen
di bidang tersebut secara terus menerus membuat lembaga-lembaga wakaf berkembang
menjadi suatu sistem yang bisa menghadapi krisis. Wakaf memenuhi standar stabilitas
moneter minimal untuk beberapa bidang pembangunan sosial. Memelihara stabilitas moneter
dari fluktuasi pendanaan pemerintah yang terkadang menghadapi krisis karena minimnya
pendanaan atau meningkatnya pembelanjaan karena biaya tidak terduga.10 Dengan demikian
wakaf merupakan payung pelindung dari fluktuasi dan badai ekonomi.
Investasi wakaf sebetulnya memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan
investasi lain. Pertama, investasi wakaf walaupun ditujukan pada sektor produktif yang
dapat mendatangkan keuntungan secara pasti (provitable). Namun, pengembangan wakaf
tidak didasarkan pada target pencapaian keuntungan bagi pemodal saja, tetapi lebih
mengedepankan unsur birr (kebajikan). Keunikan inilah yang membedakan investasi
wakaf dengan investasi di sektor pemerintah (public sector) maupun sektor swasta (private
sector). Begitu uniknya sektor ini, Monzer Kahf memasukkan wakaf sebagai sektor ketiga
(third sector).11 Kedua, aset yang diwakafkan harus terus terpelihara dan berkembang. Hal
ini nampak dengan adanya larangan terhadap pengurangan aset wakaf dan membiarkannya terlantar tanpa dimanfaatkan.
Menurut al-Jamal, seperti halnya zakat, wakaf dapat membantu setiap orang untuk
berkesempatan mengolah aset-aset produktif serta mengoperasikan kemampuan yang
terabaikan, sehingga pengangguran dapat dihilangkan secara bertahap. Di mana semua
individu menjadi orang yang produktif.12 Ini berarti wakaf dapat mengentaskan pengangguran.Wakaf berpartisipasi aktif dalam memperbaiki ekonomi dan sosial dan masalah
pengangguran. Karena itu, harta wakaf bisa dieksploitasi dalam skala besar sehingga bisa
diberikan subsidi, penyediaan kesempatan kerja, dan penyediaan lembaga-lembaga pelatihan
kewirausahaan.
Penciptaan Keadilan Distributif
Dalam sejarahnya, substansi wakaf uang sebenarnya telah lama muncul. Bahkan,
dalam kajian fiqih klasik seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqih muamalah dalam
perspektif maqâshid syarî‘ah yang bermuara pada mashlahah al-mursalah, termasuk upaya
mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.
Wakaf uang adalah salah satu sumber pendanaan alternatif untuk program penang-
10
Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 165.
Monzer Kahf, “Financing the Develpoment of Awqaf Property,” makalah disampaikan pada
Seminar Development of Awqaf (Kuala Lumpur 2-4 Maret 1998), h. 8-9.
12
Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 135.
11
320
Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
gulangan kemiskinan.13 Dengan menggalang dana wakaf uang dari orang-orang yang mampu,
yang mempunyai kesadaran dan kepedulian sosial yang tinggi memberikan peluang
kepada masyarakat untuk mendapatkan dan meningkatkan pendapatan. Wakaf yang terhimpun, dikelola secara produktif, kemudian keuntungannya disalurkan sebagai modal
usaha kepada orang-orang yang kekurangan modal. Dari wakaf uang ini betapa banyak
petani dan pedagang kecil yang mendapat tambahan modal usaha, betapa banyak orang
yang hidup di bawah garis kemiskinan dapat merasakan manfaatnya.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa wakaf memberi banyak manfaat bagi
kehidupan masyarakat baik sosial maupun ekonomi. Dari perspektif sosial, wakaf dapat
digunakan sebagai sarana untuk mengurangi kemiskinan, kontrol dan keharmonisan
kehidupan sosial, serta meningkatkan perpaduan sosial. Wakaf dapat menghindari jarak
kelas sosial antara orang kaya dan miskin karena orang yang mampu secara sukarela membagikan kekayaan mereka pada orang yang kurang mampu. Dana yang disalurkan ke
lembaga pengelola wakaf dikelola secara produktif, yang kemudian surplus pengelolaannya disalurkan kepada orang-orang yang kekurangan modal usaha. Dengan demikian,
seperti yang ditegaskan Duddy Roesmara Donna dan Mahmudi, produktivitas wakaf akan
memicu terciptanya keadilan sosial yang dengan segera dapat menciptakan dukungan
bagi kemakmuran masyarakat.14 Di sini terlihat adanya bentuk distribusi pendapatan dari
pihak yang mempunyai pendapatan yang lebih kepada pihak yang berpendapatan rendah.
Dari efek distribusi pendapatan ini jelas akan membuat pemerataan pendapatan secara adil.
Inilah yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis
yang memberikan kebebasan kepada setiap individu dalam kegiatan ekonomi tanpa batas.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, individu mempunyai kuasa penuh terhadap hartanya dan
bebas menggunakan sumber-sumber ekonomi menurut cara yang dikehendaki. Prinsip
kebebasan mutlak ini menurut Afzalurrahman dalam Economic Doctrines of Islam, ternyata
menimbulkan ketimpangan ekonomi, membawa pada rusaknya keseimbangan dalam distribusi
kekayaan di tengah masyarakat. Individu yang memiliki modal lebih besar akan menikmati
hak kebebasan yang lebih baik dan mendapatkan hasil yang maksimal.15 Kondisi ini praktis
membawa masyarakat kepada dua kelas, yaitu kelas hartawan dan kelas miskin. Kelas
hartawan menguasai seluruh sumber-sumber produksi dan dapat bertindak sekehendak
13
Selama ini, dana pengentasan kemiskinan bersumber antara lain dari 1) Pemerintah pusat,
yang disalurkan melalui departemen-departemen dan pemerintah daerah (pemda). 2) Pihak
luar negeri, yang disalurkan melalui pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan
ada yang disalurkan secara langsung kepada pihak yang membutuhkan. 3) Perusahaan swasta,
yang disalurkan melalui badan-badan amal, yayasan-yayasan, CSR. 4) Masyarakat, dikumpulkan
melalui BAZIS (Badan Amal Zakat, Infak dan Sedekah) berupa zakat, infak dan sedekah masyarakat.
Masyita, et al., “A Dynamic Model for Cash Waqf Management, h. 27.
14
Donna dan Mahmudi, The Dynamic Optimization.
15
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin (Yogyakarta: Darma
Bakti Wakaf, 1985), h. 4-5.
321
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
hatinya dan memanfaatkan sumber-sumber produksi untuk kepentingan pribadinya.
Keadaan ini menutup peluang bagi kelas miskin untuk memperoleh bagian dari sumbersumber produksi kecuali hanya untuk memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
minimal guna mempertahankan kelangsungan hidup sehari-hari yang diperoleh dari jasa
melayani kepentingan kaum hartawan.
Untuk mengurangi beban pemerintah dan rakyat, model wakaf uang sangat tepat
dalam bentuk melancarkan ketersumbatan fungsi financial intermediary. Terjadinya arus
lancar (cash flow) penyaluran dana ke seluruh anggota masyarakat. Sebagaimana disebutkan
al-Qur’an terhadap pelarangan konsentrasi kekayaan pada segelintir anggota masyarakat
(dûlah bain al-aghniyâ’) serta resistensi terhadap status idle (menganggur) bagi segenap
sumber daya dan aset yang bertentangan dengan konsep produksi perspektif ekonomi Islam.
Melalui wakaf uang akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih
luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat sosial (social benefit).
Sejalan dengan ini, menurut Habib Ahmed dalam Role of Zakat and Awqaf in Poverty
Alleviation, dana wakaf juga dapat diberikan sebagai pinjaman kepada masyarakat yang
kurang mampu. Seperti halnya zakat, wakaf dapat digunakan untuk pembiayaan sektor
mikro. Keuntungan dari wakaf pun di samping sedekah dapat juga digunakan untuk pembiayaaan produktif sektor mikro.16 Wakaf uang yang dinvestasikan dalam format mudhârabah
dapat membangkitkan pendapatan dari investasi yang digunakan untuk tujuan sukarela.
Porsi bagi hasil untuk fund manager setelah dikurang biaya operasional dapat disalurkan
untuk kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum dhuafa melalui wasiat
wakif ataupun tanpa wasiatnya.
Dimensi Sosial dalam Wakaf Uang
Instrumen wakaf yang ditawarkan Islam merupakan perwujudan dari aspek moral
yang menekankan kepada nilai keadilan yang salah satu bentuknya terlihat pada keadilan
sosial ekonomi. Konsep keadilan sosial ekonomi dalam perspektif Islam, didasarkan pada
ajaran persaudaraan yang melampaui batas-batas geografis, suku, agama, dan ras. Hal
ini dapat menciptakan hubungan antara sesama manusia hidup berdampingan secara
damai dan bersahabat. Tentunya ini dapat diartikan sebagai bentuk dari universalitas
Islam sebagai rahmat bagi semua umat (rahmatan lil ‘âlamîn). Keadilan sosial ekonomi
(economic social justice) mengandung pengertian bahwa Islam sangat menekankan
persamaan manusia (egalitarianisme) dan menghindarkan segala bentuk kepincangan
sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi, seperti eksploitasi, keserakahan, konsentrasi
harta pada segelintir orang, dan lain-lain.
16
Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jedah: Islamic Research
and Training Institution, Islamic Development Bank, 2004), h. 127.
322
Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
Inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis,17
akibat dari prinsip kebebasan mutlaknya ternyata menimbulkan ketimpangan ekonomi
dalam masyarakat. Kondisi ini praktis membuat jurang yang dalam antara orang kaya
dan orang miskin. Kesenjangan sosial tersebut mengakibatkan nilai-nilai persaudaraan,
tolong-menolong tidak lagi berharga dan tidak dipedulikan masyarakat.
Untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi di dalam masyarakat, instrumen wakaf
merupakan salah satu jawabannya. Wakaf dapat menjadi penunjang pembangunan ekonomi
masyarakat. Karena di dalam instrumen wakaf, tercipta semangat tolong menolong (ta‘âwun)
dan mengandung unsur pemenuhan kewajiban individu untuk diberikan kepada masyarakat. Terciptanya keadilan sosial ekonomi akan dapat menghindarkan manusia dari
kesenjangan-kesenjangan di antara sesamanya. Salah satunya adalah kesenjangan pendapatan dalam masyarakat.
Menurut al-Jamal, wakaf adalah salah satu bentuk jaminan sosial yang efektif dan
sarana yang manjur untuk memerangi sikap konsumtif yang berlebihan. Wakaf juga
dianggap sebagai penopang solidaritas sosial, dan salah satu media untuk mengatasi
masalah kemiskinan di dalam masyarakat. Wakaf, shadaqah jâriyah yang selalu mengalirkan
pahalanya kepada wakif, menjalankan sebuah peranan yang besar di bidang solidaritas
sosial dalam masyarakat Islam, multi-aspek dan multi-dimensi. Ungkapan ini merupakan
wujud nyata dari semangat solidaritas sosial yang secara hakiki digarap Islam dari dalam
diri manusia, serta menjadikannya sebagai sistem sosial yang terpenting. Solidaritas yang
terpusat pada wakaf dianggap lebih maju dibanding dengan sistem jaminan sosial yang
banyak dipraktikkan pada masa sekarang ini. Sebab wakaf adalah kebajikan dan shadaqah
mâliyah yang dilakukan oleh orang kaya dan memberi kemudahan untuk para fakir, miskin
dan orang lemah, demi mengharap pahala di sisi Allah SWT.18
Wakaf merupakan pondasi yang didasari oleh kebajikan. Dalam sejarah peradaban
Islam, Rasulullah adalah orang pertama yang memberikan contoh terbaik bagi umatnya
untuk hal tersebut. Ia mewakafkan tujuh kebun yang diwasiatkan oleh seorang Yahudi
yang bernama Mukhairiq. Ini merupakan wakaf pertama dari kalangan non-Muslim.
Rasullullah kemudian mewakafkan sebagian hasilnya untuk kepentingan umat Islam.19
Aspek-aspek kebaikan, serta jaminan sosial yang muncul dari wakaf dalam masyarakat
Islam sangat banyak. Di antaranya, wakaf diperuntukkan bagi anak terlantar dan anak yatim,
serta untuk menjaga orang lumpuh, orang buta, orang jompo dan orang lemah.20 Wakaf
17
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, h. 2; Abû al-A‘la al-Maudûdî, Dasar-dasar Ekonomi
dalam Islam dan Berbagai Sistem Masa Kini, terj. Abdullah Suhaili (Bandung: Al-Ma’arif, 1984),
h. 7.
18
Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 159.
19
Lihat Monzer Kahf, Al-Waqf al-Islâmî Tathawwaruh, Idâratuh, Tanmiyatuh (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 2000), h. 19-22.
20
Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 160.
323
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
dalam sejarah Islam memainkan peranan yang penting dalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat.
Wakaf ditujukan untuk mendukung kebutuhan masyarakat miskin atau kebutuhan
yang lebih luas seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, penelitian ilmiah, perpustakaan,
perlindungan lingkungan hidup, fasilitas umum pembiayaan bisnis, dan sebagainya.21
Di antara efek yang ditumbuhkan wakaf adalah berupa good deed effect, yakni efek yang
berkaitan dengan moral. Orang-orang yang menyalurkan wakaf adalah orang-orang yang
sangat konsern dengan kemakmuran orang-orang yang ada di sekitarnya. Seperti yang
dikemukakan M.A. Mannan, motivasi konsumsi ini digerakkan oleh motivasi berbuat
amal saleh (good deed). Pembelanjaan hasil wakaf mempunyai implikasi good deed effect,
yakni sekali sumbangan diserahkan, sumbangan tersebut dianggap sebagai amal baik.
Kepuasaan seseorang dengan memberikan sumbangan tersebut tidak tergantung dari
hasil materi yang diperolehnya. Akan tetapi sangat tergantung pada banyaknya manfaat
yang dapat diperoleh dengan memberikan sumbangan tersebut.22
Misalnya wakaf yang disalurkan untuk pembangunan fasilitas rumah sakit, berapa
banyak manfaat yang dihasilkan dengan membangun rumah sakit yang dapat memberikan
layanan kesehatan kepada fakir miskin, ketimbang membangun gedung pertunjukan
seni. Apalagi Islam menyarankan agar seseorang selalu menafkahkan harta yang sangat
dicintainya di jalan kebaikan (Q.S. Âli ‘Imrân/3: 92). Dengan ungkapan lain, motivasi
utama seseorang untuk berderma adalah karena motivasi agama. Survei yang dilakukan
PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) tahun 2000 di 11 kota besar di Indonesia menemukan bahwa ajaran agama sangat dominan (99%) memengaruhi seseorang
untuk berderma.23
Wakaf uang membuka peluang penciptaan investasi di bidang keagamaan,
pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari masyarakat dapat dimanfaatkan melalui
penukaran sertifikat wakaf uang, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan
wakaf uang tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai keperluan yang beragam, seperti
pemeliharaan harta wakaf yang ada.24 Wakaf uang pun dapat mengubah paradigma
masyarakat yang memandang bahwa kewajiban wakaf hanya atas orang kaya saja. Wakaf
uang dapat dilakukan oleh semua elemen masyarakat, karena sertifikat wakaf uang dapat
21
Donna dan Mahmudi, The Dynamic Optimization of Cash Waqf Management, h. 2.
M.A. Mannan, Cash-Waqf Certificat Global Opportunity for Developing the Social Market in
21st Century Voluntary Sector Banking, Proceeding of the Third Harvard University Forum on Islamic
Finance, Cambridge, Massachussets, Harvard University, 30 September-2 Oktober 1999, h. 250.
23
Zaim Saidi dan Hamid Abidin, Menjadi Bangsa Pemurah Wacana dan Praktek Kedermawanan
Sosial di Indonesia (Jakarta: PIRAC, 2004), h. 79.
24
M.A. Mannan, “Mobilization Efforts Cash Waqf Fund at Local, National and International
Levels for Development of Social Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishment of World
Sosial Bank,” makalah disampaikan dalam International Seminar on Awqaf 2008; Awqaf: The Sosial
and Economic Empowerment of the Ummah, Malaysia, 11-12 Agustus 2008, h. 8.
22
324
Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
dibuat dalam pecahan yang lebih kecil. Ini berarti masyarakat luas dapat berpartisipasi
dalam pembangunan sosial.
Menurut M.A. Mannan, unsur esensial wakaf berupa keputusan penahanan diri dari
menggunakan aset milik yang disertai dengan penyerahan kepada kemaslahatan publik
menyiratkan tujuan pemanfaatannya secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat
luas secara permanen dan kontiniu, seperti doktrin amal jariah. Untuk menjembatani konsep
tersebut, model Cash Waqf Certificate dianggap sangat tepat dalam mewujudkan kesejahteraan
sosial dan membantu merangsang pertumbuhan ekonomi di tingkat masyarakat bawah.
Belajar dari negara Bangladesh, melalui Sosial Investment Bank Limited (SIBL), Bangladesh
menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam
bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial melalui mekanisme produk funding
baru berupa sertifikat wakaf uang (Cash Waqf Certificate). Dalam instrumen keuangan
baru ini, sertifikat wakaf uang merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan
bisnis. Penerapan instrumen sertifikat wakaf uang ini mampu menjadi salah satu alternatif
sumber pendanaan sosial.25 Hal itulah yang telah dibuktikan Tabung Wakaf Indonesia
(TWI) dengan mengerahkan dana wakaf dari masyarakat untuk dikelola secara produktif
yang kemudian hasilnya disalurkan untuk layanan kesehatan dan pendidikan.
Adapun dimensi sosial yang termuat dalam wakaf dapat dilihat dari terciptanya sarana
layanan sosial, sarana pendidikan, dan layanan kesehatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara komprehensif.
Layanan Sosial
Para ahli sejarah menyebutkan, seperti yang dikutip al-Jamal dalam Daur Nizhâm
al-Waqf al-Islâmî fî al-Tanmiyah al-Iqtishâdiyah al-Mu‘âshirah, Shalah al-Dîn al-Ayyûbi
membuat saluran air yang mengalirkan susu dan air gula di salah satu gerbang benteng
di Damaskus didanai dari wakaf. Ada juga wakaf untuk penginapan bagi para tamu, wakaf
untuk melunasi utang-utang orang yang kesulitan, wakaf untuk pinjaman lunak (qardh
al-hasan), serta wakaf untuk menyediakan benih pertanian dan irigasi. Di Mekah juga
dibangun saluran air yang berasal wakaf Sayyidah Zubaidah, istri Hârun al-Rasyîd, yang
dikenal dengan ‘Ain Zubaidah (Mata Air Zubaidah).26 Semua wakaf dan lembaga kebajikan
sosial yang muncul menunjukkan peranan besar yang diemban oleh wakaf di bidang pengamanan sosial dan pengentasan kemiskinan.
Sayyid Quthb (w. 1966), pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan komprehensif
dalam bukunya Al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah fî al-Islâm, seperti yang dikutip Umer Chapra berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya,
25
Ibid., h. 7-8.
Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 160.
26
325
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
termasuk wakaf, bukan sebatas teori utopis belaka, melainkan kajiannya berangkat dari
fakta sejarah peradaban Islam. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang,
kebajikan, keadilan, dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan
tidak mampu, antara kelompok yang kaya dan miskin, antara individu dan masyarakat,
antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia. Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan sejarah
Islam.27
Sebagai contoh, sepenggal fragmen sejarah solidaritas sosial di kalangan Sahabat
seperti Abû Bakar Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân dan ‘Alî ibn Abî Thâlib.
Di antara impelementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan
awal Islam telah dibuktikan ‘Umar ibn al-Khaththâb sebagai warga sederhana bersedia
secara ikhlas atas petunjuk Nabi Muhammad SAW. untuk mewakafkan satu-satunya
aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat.
‘Usman ibn ‘Affân juga membeli sumur dan mewakafkannya untuk kepentingan kaum
muslim.28 Quthb menawarkan sebuah tantangan bagi umat Islam untuk mengulang
pengalaman sejarah dalam mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal
populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika, Pakistan dan Indonesia. Menurutnya, hal
itu sangat potensial memberi kontribusi bagi kesejahteraan sosial secara luas.29
Layanan Kesehatan
Adapun wakaf yang berhubungan dengan layanan kesehatan, al-Jamal memaparkan
bahwa wakaf telah memberikan kontibusi positif di seluruh negeri Islam, misalnya dalam
bentuk pembangunan rumah sakit, laboratorium, dan gaji para dokter dan pembantunya
dan pelayanan kesehatan bersumber dari wakaf. Dengan wakaf universitas kedokteran
dan pengembangan studi farmasi dan kimia pun telah didirikan. Para peneliti telah membuktikan bahwa banyak dari pusat-pusat pelayanan kesehatan dan rumah rumah sakit
yang tersebar di seluruh kota dan negeri Islam ditopang oleh wakaf. Rumah sakit umum
pertama dalam sejarah Islam seperti di al-Bimaristan dan di Baghdad pada masa Harun
al-Rasyid dibangun dari wakaf. Rumah sakit istri khalifah al-Muqtadir Billah, yang dinamakan
dengan Rumah Sakit al-Sayyidah yang dibuka pada 1 Muharram 203 H pun dibangun dari
harta wakaf.30
Di Mesir rumah sakit pun banyak dibangun dengan harta wakaf, seperti rumah sakit
yang didirikan oleh al-Fath ibn Khafan, pada masa Dinasti Abbasiyah al-Mutawakkil ‘Alallah,
27
Muhammad Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, terj. Ikhwan
Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 58.
28
Kahf, Al-Waqf al-Islâmî, h. 19-22.
29
Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, h. 58
30
Ibid., h. 149-150.
326
Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
rumah sakit yang didirikan oleh Ahmad bin Thulân, demikian juga rumah sakit yang
dibangun oleh Shalahuddin al-Ayyubi dibiayai dari wakaf. 31
Sarana Pendidikan
Di samping itu, wakaf uang juga dapat disalurkan untuk membantu lembaga pendidikan
yang selalu kekurangan biaya operasional, melalui pemberian beasiswa kepada peserta
didik dan insentif untuk pengelola sekolah. Profit dari wakaf uang dapat membantu bagi
pendirian ataupun operasionalisasi lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit, termasuk
masjid, dan lembaga sosial lainnya. Dengan adanya lembaga yang konsern terhadap pengelolaan wakaf uang, kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang
mendera bangsa akan lebih signifikan, seperti yang sudah dicapai oleh Wizârat al-Awqâf
kerajaan Yordania dari pengembangan wakaf dapat: 1) Membuka lembaga pendidikan
tinggi seperti Fakultas Dakwah, Syariah dan Ushuluddin; 2) Mendirikan beberapa lembaga
pendidikan di Amman dan Yerussalem, Junain, Khalil dan Qalqiliyyah; 3) Mendirikan
53 tempat belajar al-Qur’an dan Hadis; 4) Mengalokasikan dana wakaf pada madrasah,
rumah yatim piatu; 5) Mendirikan percetakan mushaf al-Quran; 6) Mendirikan 250 perpustakaan mesjid; dan 7) Memberikan beasiswa untuk belajar di Universitas Yordan.32
Sama halnya yang dilakukan Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, yang telah berusia
lebih dari 1.000 tahun terkenal dengan wakafnya yang teramat besar. Bukan hanya wakaf
tanah, gedung dan lahan pertanian, tetapi juga wakaf uang. Dengan wakaf yang amat besar
itu, Universitas mampu membiayai operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa
bergantung pada pemerintah maupun pembayaran SPP siswa dan mahasiswanya.33 Bahkan,
universitas ini mampu memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru
dunia selama berabad-abad. Hampir sekitar 300 sekolah dasar di Jazirah Shaqliyah (Sicilia)
seluruhnya merupakan harta wakaf, dan seluruh studi dibiayai dari pendapatan wakaf.
Kemudian, beberapa universitas terkemuka, di antaranya Universitas Qarawiyyin di Fes,
Marokko, Universitas al-Azhar di Kairo, Universitas-universitas Nizhamiyah dan Mushtanshiriyah
di Baghdad didirikan dengan harta wakaf. 34
Di Indonesia, wakaf sebagai sarana penopang lembaga pendidikan sudah dibuktikan
oleh beberapa yayasan yang konsern melakukan pengelolaan wakaf produktif, seperti
31
Amin, Al-Awqâf wa al-Hayât, h. 155-156; Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 150.
Uswatun Hasanah, “Pemanfaatan Wakaf di Yordania,” dalam Modal No. 19/II-Mei 2004.
33
Pada tahun 1961, Pemerintah Mesir di bawah kepemimpinan Presiden Abdul Nasser, melakukan
nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta wakaf al-Azhar. Al-Azhar pun kemudian dijadikan
bagian struktur negara, anggarannya ditetapkan dan diberikan oleh negara. Lihat Azyumardi
Azra, “Memotret Filantropi di Indonesia,” pengantar dalam buku Zaim Saidi dan Hamid Abidin, Menjadi
Bangsa Pemurah Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia (Jakarta, Piramedia, 2004),
h. vii-viii.
34
A-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 143.
32
327
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
yang dilakukan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia dan Pondok Pesantren Gontor.
TWI pun menyalurkan dana wakaf uang yang diperuntukkan bagi pendidikan gratis di
Smart Ekselensia Indonesia. Ini berarti bahwa wakaf tidak hanya untuk penyediaan bangunanbangunan universitas-universitas dan sekolah-sekolah, tetapi juga menyediakan sarana dan
prasana belajar mengajar, perpustakaan, asrama, beasiswa bagi para pelajar, termasuk gaji
guru.
Penutup
Dari bukti-bukti di atas jelaslah bahwa harta wakaf sangat berperan dalam membangun
pendidikan dan menyemarakkan gerakan ilmiah dalam peradaban Islam. Sejarah banyak
menyebutkan kebesaran dan kekaguman pada kaum Muslim seperti Shalah al-Dîn alAyyûbi, yang mengulurkan bantuan untuk pembangunan sekolah-sekolah di seluruh kota.35
Tidak mengherankan jika M.A. Mannan menegaskan bahwa wakaf uang berfungsi
sebagai investasi yang strategis untuk menghapus kemiskinan dan menangani ketertinggalan
di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan riset.36 Dengan ikut serta dalam program
ini, menurut pendiri Sosial Investment Bank Ltd. (SIBL) Bangladesh itu, seseorang telah
memberikan kontribusi tidak hanya bagi pengembangan operasional social capital market,
tetapi juga di bidang investasi sosial permanen. Dana yang terhimpun dari wakaf uang
diinvestasikan sehingga dapat memberikan jaminan sosial dan ekonomi kepada masyarakat
secara keseluruhan. Wakaf uang yang sudah dikenal sejak zaman Usmaniyah tersebut, merupakan inovasi dalam keuangan publik Islam (Islamic Public Finance). Tergalinya potensi
dana wakaf yang dahsyat ini sangat diharapkan mensejahterakan masyarakat secara terkoordinasi, sinergis, sitematis, dan profesional. Di samping itu, tantangan integritas amanah
dan kepercayaan (trust) bagi pengelolaan dana sosial (volunteer) menjadi pemikiran bersama
untuk mewujudkan bentuk yang fit and proper bagi penerapan konsepnya.
Dengan demikian wakaf uang terbukti dapat dijadikan sebagai penunjang proses
pembangunan secara menyeluruh, baik dalam pembangunan sumber daya manusia, maupun
dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Melalui investasi wakaf uang di sektor riil,
wakaf dapat mewujudkan keadilan distributif di tengah masyarakat. Wakaf uang dapat
dijadikan instrumen penanganan masalah perekonomian negara dengan menciptakan
pemerataan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi masyakarat melalui pembiayaan
micro finance. Di samping itu wakaf uang mampu meningkatkan kualitas sumber daya insani
dengan menciptakan keadilan sosial bidang pengadaan sarana layanan sosial, layanan
kesehatan, dan pendidikan.
35
Amin, al-Awqâf wa al-Hayât, h. 234-235; Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h.
143.
36
Mannan, Mobilization, h. 9; Masyita et al., A Dynamic Model for Cash Waqf Management.
328
Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
Pustaka Acauan
Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin. Yogyakarta: Darma
Bakti Wakaf, 1985.
Ahmed, Habib. Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation. Jeddah: Islamic Research
and Training Institution, Islamic Development Bank (IDB), 2004.
Amîn, Muhammad Muhammad. al-Awqâf wa al-Hayât al-Ijtimâ‘iyah fî Mishr. Kairo: Dâr
al-Nahdhah al-‘Arabiyah al-Qahirah, t.t.
Azra, Azyumardi. “Memotret Filantropi di Indonesia,” dalam Zaim Saidi dan Hamid
Abidin. Menjadi Bangsa Pemurah Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di
Indonesia. Jakarta, Piramedia, 2004.
Chapra, Muhammad Umer. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, terj.
Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Cizakca, Murat. “Awqaf in History and Its Implications for Modern Islamic Economic,”
Islamic Economic Studies, Vol. 6 No. 1 November 1998. Jedah: Islamic Research and
Training Institution (IRTI) Islamic Development Bank (IDB).
Cizakca, Murat. “Incorporated Cash Waqfs: Islamic Non-Bank Financial Instruments
from the Past to the Future?,” dalam Cash Waqf and Benefits for Future Generations,
Incef the Global University Islamic Finance, www.mcizakca.com/publications.htm,
Diunduh 29 Juli 2009, 15.38 WIB.
Departemen Agama RI. Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Islam dan Penyelengaraan Haji Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf, 2005.
Departemen Agama RI. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Jakarta:
t.p., 2007.
Donna, Duddy Roesmara dan Mahmudi. The Dynamic Optimization of Cash Waqf Management:
an Optimal Control Theory Approach, http://psekp.ugm.ac.id, h 2, Diunduh 18 Juni,
2007, 13.07 WIB.
Hasanah, Uswatun. “Pemanfaatan Wakaf di Yordania,” Majalah Modal No. 19/II-Mei 2004.
http://www.halalguide.info. “Wakaf Produktif,” Diunduh 6 Juni, 2007, 18.54 WIB.
Isbir, “Wakaf Tunai” http://bimasislam.depag.go.id, Diunduh 19 Desember 2007, 10.53 WIB.
Al-Jamâl, Ahmad Muhammad ‘Abd al-`Azhim. al-Waqf al-Islâmî fi al-Tanmiyah al-Iqtishâdiyah
al-Mu`âshirah. Kairo: Dâr al-Salâm, 2007.
Kahf, Monzer. “Financing the Development of Awqaf Property,” makalah disampaikan
pada Seminar Development of Awqaf, Kuala Lumpur 2-4 Maret 1998.
Kahf, Monzer, Al-Waqf al-Islâmî Tathawwaruh, Idâratuh, Tanmiyatuh, Damaskus: Dâr alFikr, 2000.
Mannan, Muhammad Abdul, Cash-Waqf Certificate Global Opportunity for Developing the
Social Market in 21st-Century Voluntary Sector Banking, Proceeding of the Third Harvard
329
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
University Forum on Islamic Finance, Cambridge, Massachussets, Harvard University,
30 September-2 Oktober 1999.
Mannan, Muhammad Abdul, Mobilization Efforts Cash Waqf Fund at Local, National and
International Levels for Development of Social Infrastructure of the Islamic Ummah
and Establishment of World Social Bank, makalah disampaikan dalam International
Seminar on Awqaf 2008; Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah,
Malaysia, 11-12 Agustus 2008.
Masyita, Dian, et al. “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative
Instruments for The Poverty Alleviation in Indonesia,” makalah disampaikan pada
The 23rd International Conference of The System Dynamics Society Massachussets
Institute of Technology (MIT), Boston, Juli 17-21, 2005.
Al-Maudûdî, Abû al-A’la. Dasar-dasar Ekonomi dalam Islam dan Berbagai Sistem Masa
Kini, terj. Abdullah Suhaili. Bandung: Al-Ma‘arif, 1984.
Nasution, Mustafa Edwin. Wakaf Tunai dan Sektor Volunter: Strategi untuk Mensejahterakan
Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Utang Luar Negeri, Makalah disampaikan
dalam Seminar Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: 10 November 2001.
Saidi, Zaim dan Hamid Abidin. Menjadi Bangsa Pemurah Wacana dan Praktek Kedermawanan
Sosial di Indonesia. Jakarta: PIRAC, 2004.
330
DILEMA SKIM MURÂBAHAH PADA
PERBANKAN SYARIAH
Syukri Iska
! ""
# $ % &
Abstrak: '()(*+,+-+. /(,01*213+. /(,2+.-+. )4+,5+3 0(,10+*+ 65 .(7+,+8
.(7+,+ 91):5* /+6+ 2(2(,+/+ 6(-+6( 0(,+-35, 056+- 6+/+0 65/1.7-5,5; <+*1. 65
2+:5- /(,01*213+. 0(,)(210 2+.- )4+,5+3 )(,5.7 65-,505- 3+.4+ )(-+6+, 7+.05 =2+>1
6(.7+. -:+5* 2+3?+ 2+.- 5.5 *(.7+*25: 2(2(,+/+ -@.)(/ 6+,5 6+,5 2+.- -@.A(.)5@.+:
-(*165+. *(.77+.05-+..4+ 6(.7+. 565@*8565@* 4+.7 +6+ /+6+ B5C53 *1âmalah.
Tulisan ini memaparkan penjelasan terhadap pertanyaan tentang keberadaan bank
syariah dengan merujuk pada skim murâbahah, bagaimana perasaan dan perbedaan
antara kedua sistem Islam dan konvensional, serta implikasi sistem perbankan
Islam dalam transaksi ekonomi yang menyeluruh. Penulis berargumen bahwa kendati
skim murâbahah bukan merupakan instrumen ideal untuk mencapai tujuan riil ekonomi
Islam, skim murâbahah ini ternyata mengandung banyak persoalan, terutama kalau
dilihat dalam perspektif syariah secara puristik ataupun menurut paradigma tentang
bank.
Abstract: The Dilemma of Murabahah Skim in Shari a Banks. The
flourishing development of Shari a Banks especially in Islamic countries for the
last few decades are undeniable. However, despite such tremendous development
it has often been criticized for being only changing suit claiming that it has taken
some conventional system concepts which are then modified in acoordance with
idioms found in Islamic jurisprudence discourse. This paper then sheds some
lights on some questions of the existence of Shari a Banks with specific reference
to murâbahah skim, how the two system similar to or different from each other,
as well as the implication of the Islamic banking system in the general economic
transaction. The author argues that although the murâbahah skim is not an ideal
instrument in achieving the real objective of Islamic economy, its domination as
an important skim, however, seems to be in dilemmatic position between the
pragmatic demands of the need of pure Shari a laws as a genuine reference and
the role of banks should fulfil.
Kata Kunci: perbankan syariah, murâbahah, ekonomi Islam
MIQOT FGHI JJJF KGI L MNHOPQRSRTURV LWXX
Pendahuluan
YZ[Z\]^]_]` aZ^_Z\b]`c]` [d[eZ\ Z_f`f\d g[h]\ []]e d`d i]a]e id[]`id`c_]`
iZ`c]` [d[eZ\ Z_f`f\d _]ade]hd[ j]`c eZh]k h]\] kdila \Z`cd[d _Zblelk]` Z_f`f\d
\][j]^]_]e il`d]m YZ[Z\]^]_]` del eZ^hdk]e iZ`c]` ]i]`j] _ZnZ`iZ^l`c]` j]`c []`c]e
hl]^ bd][] a]i] aZh]_l Z_f`f\d id \]`] al` bZ^]i] l`el_ bZ^e^]`[]_[d iZ`c]` hZ\b]c]o
hZ\b]c] _Zl]`c]` [j]^d]kp b]d_ b]`_ \]lal` `f`ob]`_m YZnZ`iZ^l`c]` del id ]`e]^]`j]
ide]`i]d iZ`c]` bZ^id^d`j] b]`_ob]`_ [j]^d]k qIslamic bankingr id \]`]o\]`]p b]d_ id
`Zc]^]o`Zc]^] [Z_lhZ^ [ZaZ^ed s\Z^d_] tZ^d_]e i]` td`c]al^]p \]lal` id `Zc]^]o`Zc]^]
g[h]\ ]e]l `Zc]^] j]`c bZ^aZ`ilil_ \]jf^de][ ul[hd\p [ZaZ^ed g`if`Z[d]m vd g`if`Z[d]
[]\a]d []]e d`d eZh]k bZ^id^d w qZ\a]er b]`_ l\l\ [j]^d]kp bZ^alhlkoalhlk b]`_ _f`xZ`[df`]h
j]`c \Z\dhd_d l`de l[]k] [j]^d]k qdual banking systemr i]` bZ^]el[o^]el[ b]`_ aZ\bd]j]]`
^]_j]e [j]^d]k qyz{trm
|]\l` id b]hd_ aZ^el\blk]` aZ^b]`_]` [j]^d]k j]`c aZ[]e i]` \Z`ccZ\bd^]_]`
eZ^[Zblep [Z^d`c \l`nlh aZ^[aZ_ed} \d^d`c j]`c \Z`j]e]_]` b]k~] b]`_ [j]^d]k edi]_
hZbdk k]`j] [Z_]i]^ c]`ed b]l i]^d b]`_ _f`xZ`[df`]hm tedc\] `Zc]ed} eZ^[Zble bd[]
[]] \l`nlh _]^Z`] _Zedi]_a]k]\]` l\]e g[h]\ eZ`e]`c b]`_ [j]^d]kp ]e]l bd[] lc]
[ZeZh]k \Z\]`i]`c bZbZ^]a] d`id_]ef^ a]i] b]`_ [j]^d]k j]`c \Z\]`c eZ^_Z[]` c]`ed
b]lm s^ed`j]p ]i] bZbZ^]a] _f`[Za j]`c a]i] i][]^`j] id]\bdh i]^d b]`_ _f`xZ`[df`]hp
_Z\lid]` idc]`ed `]\]`j] iZ`c]` didf\odidf\ j]`c ]i] a]i] }ddk \l]\]h]km
tZ]lk \]`] _ZbZ`]^]` [d`j]hZ\Z` eZ^[Zble eZ`el`j] \Z\blelk_]` _]d]` i]`
aZ\bl_ed]` hZbdk ]lkm |]\l` eZ^hZa][ i]^d del [Z\l]p ]_]` id]`c_]e [Zbl]k aZ^[f]h]`
[]]p j]_`d \][]h]k [_d\ murâbahah j]`c eZh]k \Z`]id [_d\ difh] b]cd b]`_ [j]^d]k
id \]`] al` bZ^]i]p edi]_ eZ^_Znl]hd id g`if`Z[d]p _Z`i]ed bl_]` \Z^la]_]` d`[e^l\Z`
diZ]h l`el_ \Z`n]a]d ell]` ^ddh Z_f`f\d g[h]\m
t_d\ murâbahah eZh]k \Z`cl][]d ^]e]o^]e] i]^d efe]h e^]`[]_[d id b]`_ [j]^d]km
YZ`]a] d`d j]`c hZbdk bZ[]^ ul`c_d` _]^Z`] ]h][]` a^]c\]ed[p j]_`d _]^Z`] [_d\ d`d
\Z\dhd_d ^d[d_f j]`c a]hd`c ^Z`i]k idb]`id`c_]` iZ`c]` [_d\o[_d\ j]`c h]d`p [ZaZ^ed
mudhârabahm s_]` eZe]ad id b]hd_ if\d`][d eZ^[Zblep [_d\ murâbahah d`d eZ^`j]e] \Z`c]`il`c
b]`j]_ aZ^[f]h]`p eZ^le]\] d_] idhdk]e i]h]\ aZ^[aZ_ed} [j]^d]k [Zn]^] al^d[ed_ ]e]lal`
\Z`l^le a]^]idc\] eZ`e]`c b]`_m vd []]e [ZaZ^ed d`dh]k eZ^hdk]e b]k~] [_d\ murâbahah
bZ^]i] i]h]\ `l]`[] i]` [l][]`] idhZ\]ed[m
Pengertian Murâbahah
Murâbahah, bZ^][]h i]^d _]e] ribh j]`c bZ^]^ed aZ^e]\b]k]`m tZn]^] [ZiZ^k]`]
murâbahah id\]_`]d [Zb]c]d [l]el aZ`l]h]` b]^]`c [Zk]^c] b]^]`c eZ^[Zble ide]\b]k
_Zl`el`c]` j]`c id[Za]_]edm ud[]h`j]p [Z[Zf^]`c \Z\bZhd b]^]`c _Z\lid]` \Z`l]h`j]
U NV HPVOî, Lisân al- Arab, Juz II (Beirut: Dâr al-Shadr, t.t.), h. 443.
DDE
Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah
¡ ¢ £ ¤¥¦
murâbahah § ¡ ¨ ¥ ¨
¦ ¥¡©
¡ ¦ ¦ ¦ ¦ ¥¡¢ murâbahah
¥¢ ¦ ¥ ¡§ ¨¥ ¨ ¡ ¡ ¨
¡ ¦ §¨ ¦ ¨ ¡ ¦
¥ª «¨ ¬¨ ¥ §¨ ¨ ¡¥¥
®¥¦ murâbahah ¡¨ ¡ ¨
¨ ¡¥ ¥¦ ¯¦ §§ ¡§ ¦ ¬¦
¦ ¯ ¤¯ ¥ ¥§ ¡¨ ¡§ ¥
¦ § ¥ §¦ ° ¡ ¡
¨ ¦ §¨ ± «§
¥§ ¨ ¦ ¨ ¥ ¦ ¦¢ ¨ § ¨ ¦¡
¡ ¨ ¦ ¢ ¦ ¥ ¨ ¨ ¡§ ¥¡
¡ ¥¯ ¨ ¨ ¡§ ¦²
³¥¥ murâbahah ¢ ¡¨ ¥¯ ¥ ¯ ´
µ¢ ¯ § ¥¯ ¢ ¢ ¥ ¡
§ ¨¦ ¨¥ ¤¥¨ ¶·¸ ¦ ¯ ¥ murâbahah,
¯ § ¨ ¹ bay bi tsaman ajilº¢ ¦ » ¥ ¬¨
¼ ¶·¸ ¡ ¥¨¦ ¶ ¡ ¥¦ ¦ °¦´
¬¨ £ ½§¨ ¶¨¨ ´¤¾î bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Ibn Abidîn, Radd al-Mukhtâr alâ al-Ardh al-Mukhtâr, Juz IV (t.tp.: t.p., t.t), h. 19.
Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Juz II (Kairo: Syarikah
Maktabah wa Mathba ah Musthafa al-Bâbî al-Halâbî wa Auladih, 1981), h. 210.
4
Ibid., h. 293. Menurut Ab. Mumin Ab. Ghani, Sistem Kewangan Islam dan Pelaksanaannya
di Malaysia (Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 1999), h. 410 yang dikutipnya
dari al-Madkhal al-Fiqh al- Âmm karya al-Zarqa`, cara jual beli Murâbahah ini tergolong dalam
kategori Buyâ` al-Amânah. Dalam kitab tersebut diungkapkan bahwa Bay itu terbagi kepada
dua kategori, pertama, Bay al-Musawwamah, yaitu harga jual tidak dikaitkan dengan harga
pembelian barang, dan masing-masing pihak bebas melakukan tawar menawar terhadap harga
barang tersebut. Kedua, Bay al-Amânah, yaitu penentuan harga jual barang terikat dengan harga
pembelian barang dan harus menyampaikannya kepada si pembeli. Salah satu bentuknya adalah
murâbahah. Lihat al-Zarqa`, al-Madkhal al-Fiqh al- Âmm (al-Fiqh al-Islâmi fî Tsawbih al-Jadîd,
Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1968), h. 377.
5
Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, Juz II, h. 213.
6
Muhammad Idrîs al-Syâfi î, al-Umm, Juz III (Beirut: Dâr al-Ma rifah, 1973), h. 39.
7
Abû Bakr Ibn Mas ûd Al-Kasânî, al-Badâ i wa al-Shana i fî Tartîb al-Syara i, Juz VII (Beirut:
Dâr al-Kitab al-Arabî, t.t.), h. 3200.
2
3
MIQOT ÁÂÃÄ ÅÅÅÁ ÆÂÄ Ç ÈÉÃÊËÌÍÎÍÏÐÍÑ ÇÒÓÓ
8
Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan; (salah satunya) jual beli secara tangguh....
ÔÕÖÕ ×ØÕØ ØÕÙÚÕÛÜ ÝÞßÞÖà× áÕâ×ã äÕå æçâfi î secara khusus mengatakan bahwa
jual beli murâbahah itu boleh, kendati tanpa memperkuat dalilnya dengan nashsh, melainkan
menyamakannya dengan jual beli tangguh sebagaimana ungkapan hadis di atas.9 Imam
Malik mendasari murâbahah dengan amalan penduduk Madinah. Imam Syâfi î tanpa teks
syariah, namun secara jelas mengungkapkan Jika seseorang menunjukkan suatu barang
kepada orang lain dan berkata, belikan barang (seperti) ini untukku dan aku akan memberimu
keuntungan sekian, lalu orang itu pun membelinya, maka jual beli ini adalah sah. 10
Bagaimana halnya dengan biaya lain akibat dari transaksi jual beli murâbahah ini?
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hal itu. Ulama mazhab Maliki membolehkan
biaya-biaya yang langsung terkait ataupun tidak terkait langsung dengan transaksi jual
beli tersebut, dibebankan kepada harga jual barang. Sedangkan ulama mazhab Syâfi î
membolehkan pembebanan biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual
beli, kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya.
Begitu juga biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan
sebagai komponen biaya.11
Ulama mazhab Hanafi membolehkan pembebanan biaya-biaya yang secara umum
timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun tidak dibolehkan terhadap biaya-biaya yang
memang semestinya dikerjakan oleh si penjual,12 kecuali pembeli membenarkannya.13
Adapun ulama dari mazhab Hanbali menyatakan bahwa semua biaya langsung ataupun
tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan
kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.14 Mazhab Maliki membagi
biaya pembelanjaan tambahan itu kepada tiga kategori. Kategori pertama adalah semua
pembelanjaan yang boleh dicampurkan kepada harga biaya dan ia menjadi dasar untuk
perhitungan keuntungan yaitu pembelanjaan yang secara langsung memberikan pengaruh
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz II (Kairo: Mathba ah Dâr Ihya` al-Kutub al-Arabiyah,
t.t.), h. 768.
9
Lihat al-Kasânî, al-Badâ i wa al-Shana i, Juz VII, h. 3192.
10
Al-Syâfi î, al-Umm, Juz III, h. 33.
11
Al-Syarbînî, Mughni al-Muhtâj alâ Ma ârif Ma âni Alfâzh al-Minhâj (Kairo: Syarikah
Maktabah wa Mathba ah Musthafa al-Bâbî al-Halâbî wa Awladih, 1958), h.78.
12
Burhan al-Dîn al-Marghinânî, al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtadi, Juz III (Kairo:
Syarikah Maktabah wa Mathba ah Musthafa al-Bâbî al-Halâbî wa Auladih, t.t.), h. 56; alKasânî, al-Badâ i wa al-Shana i, Juz VII, h. 3199.
13
Abd al-Rahmân al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh alâ al-Madzâhib al-Arba ah, Juz II (Bairut: Dâr
Ihya` al-Turats al-Arabi, 1986), h. 280.
14
Manshûr bin Yûsuf al-Bahûtî, Kasyf al-Qinâ an Matîn al-Iqnâ (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982),
h. 234; Abû Muhammad bin Ahmad Ibn Qudamah, al-Mughnî, Juz IV (Riyadh: Riasah Idârah
al-Buhuts al- Ilmiyyah wal al-Ifta wa al-Da wah wa al-Irsyâd, 1401 H), h. 201.
8
¿¿À
Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah
êëìíîí ïíðíñòó ôëîõíö ìë÷ïëøíñùííñ úíñò ïûøëü îýþí÷ìõðêíñ îëñòíñ üíðòí ïýíúí ÿëÿíìý
ÿýîíê ïûøëü îýùíîýêíñ îí íð ìëðüýÿõñòíñ êëõñÿõñòíñ úíýÿõ ìë÷ïëøíñùííñ úíñò ÿýîíê ÷ë÷ïëðý
ìëñòíðõü øíñò õñò ÿëðüíîíì ïíðíñò ýÿõ ÿëÿíìý ÿëðìíê í îýøíêõêíñ êíðëñí ìëñùõíø ÿýîíê
÷í÷ìõ ÷ëøíêõêíññúí ëñîýðýö ëìëðÿý ïýíúí ìëñòíñòêõÿíñ íÿíõ ìëñúý÷ìíñíñó ôëÿýòíö
ìë÷ïëøíñùííñ úíñò ÿýîíê ïûøëü îý÷í õêêíñ êë îíøí÷ ìëñëñÿõíñ üíðòí ìëñùõíøíñ îíñ
ÿýîíê ïûøëü ùõòí îýùíîýêíñ îí íð ìëðüýÿõñòíñ êëõñÿõñòíñö úíýÿõ ìë÷ïëøíñùííñ úíñò ÿýîíê
÷ë÷ïëðý ìëñòíðõü ìíîí ïíðíñò ýÿõ îíñ ýí ÿýîíê ïý í îýøíêõêíñ ëñîýðý ûøëü ìëñùõíøó
íðý ìëðïëîííñ ìëñîíìíÿ îý íñÿíðí õøí÷í ÷íüíï ÿëð
ëïõÿö ÿëðøýüíÿ íîíñúí êë í÷ííñ
úíñò îíìíÿ îýìíüí÷ýö úíêñý ÷ëðëêí í÷í í÷í ÿýîíê ÷ë÷ïûøëüêíñ ìë÷ïëïíñíñ ïýíúí
ÿýîíê øíñò õñò ïýøí ÿýîíê ÷ëñí÷ïíü ñýøíý ïíðíñòó
õíø ïëøý îëñòíñ ïëñÿõê murâbahah ýñý îíìíÿ îíøí÷ ïëñÿõê ìë
íñíñö úíñò îýý ÿýøíüêíñ
ûøëü ÷í÷ úâfi î dengan al-amr bi al-syirâ`. Juga dapat disamakan dengan Bay bi Tsaman
16
`Ajil atau Bay Mu`ajjal (jual beli yang barangnya diserahkan segera dan pembayarannya
ditangguhkan atau dilakukan secara berangsur).17 Jadi, murâbahah merupakan salah satu
bentuk jual beli yang dihalalkan. Untuk itu pada dasarnya, ia harus sesuai dengan rukun
dan syarat jual beli, seperti barang yang diperjualbelikan itu adalah barang yang sudah
jelas adanya. Kendati ada juga persyaratan tersendiri dalam murâbahah ini, di antaranya:
1. Penjual harus menyatakan modal sebenarnya dari barang tersebut;
2. Harus ada persetujuan kedua belah pihak yang bertransaksi tentang kadar keuntungan
yang ditetapkan sebagai kelebihan terhadap harga modal;
3. Seandainya kadar harga modal barang yang disampaikan tidak sesuai dengan yang
sebenarnya, maka si pembeli boleh membatalkan kontrak tersebut.18
Transaksi Murâbahah di Perbankan Syariah
Seperti di perbankan syariah lain,19 transaksi murâbahah merupakan suatu transaksi
terbesar di perbankan syariah Indonesia, karena dipandang sebagai transaksi yang memiliki
tingkat risiko teringan dibandingkan dengan yang lain, seperti mudhârabah.20 Secara umum,
skema penerapan murâbahah dalam perbankan syariah antara bank dengan nasabah
adalah:
Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, Juz II, h. 214; al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh alâ al-Madzâhib
al-Arba ah, Juz II, h. 279.
16
Al-Syâfi î, al-Umm, Juz III, h. 39.
17
Kedua jenis jual beli tersebut termasuk ke dalam kategori jual beli utang bertangguh (Bay
bi Dayn Mu ajjal), sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Arabi dalam Ahkâm al-Qur ân, Juz I
(Kairo: Îsa al-Bâbî al-Halâbî wa Syurakah, 1967), h. 241.
18
Lihat Ibn Qudamah, al-Mughnî, Juz IV, h. 200 dan 206-207.
19
Pembiayaan murâbahah pada Dubai Islamic Bank mencapai 82% dan pada IDB mencapai
73%, silahkan lihat Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: a Study the Prohibition of
Riba and its Contemporary Interpretation (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 78.
15
èèé
MIQOT
!"!#!$ %!&' ()()*+,-!& #!*!&' .!/!&' -) #!&- ,&/,- ()+!-,-!& /*!&"!-"0 murâbahah1
2
!"!#!$ ()&3)+!"-!& "4)"050-!"0 #!*!&' %!&' .04)*+,-!&&%! -)4!.! #!&-1
6 7!&- ()+!-,-!& 4)()"!&!& #!*!&' /)*")#,/ -)4!.!
8 7!&- ()+!-,-!& 4)(#!%!*!& ")9!*! /,&!0 -)4!.!
supplier;
supplier;
: ;)/)+!$ 0/, supplier/#!&- ()&%)*!$-!& #!*!&' /)*")#,/ -)4!.! &!"!#!$1
<
!"!#!$ ()+!-,-!& 4)(#!%!*!& ")9!*! /,&!0 !/!, 9090+!& -)4!.! #!&-
=!*0 "-)(! .0 !/!"> /)*+0$!/ #!$?! #!&- ")9!*! +!&'",&' ()(#)+0 #!*!&' -)4!.!
supplier .!& ()&%)*!$-!&&%! -)4!.! &!"!#!$ =!+!( *)!+0/!"&%!> #!&- ")*0&' ()?!-0+-!&
-)4!.! &!"!#!$ ,&/,- ()+!-,-!& /*!&"!-"0 .)&'!& supplier. @-!& /)/!40> #!'!0(!&!
4,&> 4)*!& #!&- !.!+!$ ")#!'!0 4).!'!&' #!*!&'> .!& .0.!"!*0 0/,+!$ #!&- ()&.!4!/-!&
-),&/,&'!& A)!+0/!" ")4)*/0 0/, !'!- /)*!"! *!&9,> #!$?! 4!.! 4*0&"04&%! 5,&'"0 #!&#,-!&+!$ 4).!'!&' #!*!&'> ()+!0&-!& 4)&%).0! 3!"! .!+!( ()(#)*0-!& 5!"0+0/!" 4)(#0!%!!&>
!/!, .!+!( (!-&! ,(,(> #!&- ")#!'!0 4)&'$0(4,& .!& 4)&%!+,* .!&! BintermediaryC
!(,& -)&%!/!!&&%!> "-0( murâbahah 0&0+!$ %!&' /)*#)"!*
D)&0" #!*!&' %!&' .04)*3,!+#)+0-!& .!+!( /*!&"!-"0
murâbahah
0&0 !.! %!&'
#)*#)&/,- -E&",(/05> ")4)*/0 ,&/,- -)&.!*!!& #)*(E/E*> *,(!$ .!& ")#!'!0&%! @.!
3,'! .!+!( #)&/,- 4*E.,-/05> ")4)*/0 %!&' 4)*&!$ .0+!-,-!& E+)$ "!+!$ "!/, #!&- "%!*0!$
.0 F&.E&)"0!> .!+!( 4)(#)+0!& ()"0&G()"0& ,&/,- 4!#*0-> -!4!+ /E&'-!&' .!*0 H$0&!>
()"0& 4)(#,!/ (!-!&!& !%!(> 4)&'')(,-!& +)(#,>IJ .!& ")#!'!0&%! =!+!( !-/0K0/!"
3,!+ #)+0 .)&'!& 9!*! ()?!-0+-!& -)4!.! &!"!#!$ ,&/,- ()(0+0$ #!*!&' %!&' .00&'0&-!&
.!& /)(4!/ 4)(#)+0!&&%!> .0")#,/ .)&'!& "0"/)( !-!. wakâlah L0$!- #!&- ")/)*,"&%!
!-!& ()(0&/! invoice B5!-/,*C ")#!'!0 #,-/0 4)(#)+0!& #!*!&' /)*")#,/ II
@-!. wakâlah .0+!-,-!& ")#)+,( #)*+!-,&%! !-!. murâbahah ")9!*! 5E*(!+ ;)#)+,(
!-!. 5E*(!+ 0/, .0+!-"!&!-!&> 4)*+, .0!.!-!& 4)(#09!*!!& !?!+ !&/!*! &!"!#!$ .)&'!&
40$!- #!&- /)&/!&' -,!+050-!"0> $!*'! #!*!&' .!& -)(,&'-0&!& &0+!0 mark-up&%! %!&'
.!4!/ .0*,&.0&'-!&IM ;)/)+!$ ()&9!4!0 -)")4!-!/!&> &!"!#!$ %!&' ()?!-0+0 40$!- #!&-
NOPQRR RSRT TURS UTSRV URTR WRT RWR RVXRS S murâbahah V UR T TR
S XRVY RUR U RVS XRRZ
N[\R ]R]RVQRR UVYRV R RZ RVY WVTR R RZ RT RVS XRRZ^ URV RVS _YR
WVRZ VR]RSRV murâbahah W UST` UVYRV VTS S mudhârabah^ VRV WVRVY
TURS UR
NNaSRU wakâlah U RSSRV ZRVXR RSRU murâbahah T_RU^ SRVR RVS RYR
WV_R XRVY TVTVXR ZR T RZ S RRVY T WVZVXR^ R RZ Z U_R SWRUR
WVRVY UVYRV RSRU murâbahah bZRT PXS cSR^ RT bRYR dRVSRV PXRRZ UR R
e T fVRVYSRR^ UR R Jurtnal Ilmiah Syariah (Juris) Pgac hRTRVYSR^
i^ j
k
NlaSRU wakâlah URRSRV `RT]R P fmc jPfmcjc j UVXRTRSRV Z^
RY VZ STVTRV URV XRRTXRRT XRVY T RZ UTTRWSRV^ WT RRVY RTR _S
XRVY U]RS SRV T ZR _ R Z WZRS XRVY ]RS ^ URV TVTVXR ZR R UVYRV
SWRSRTRV TVTRVY _S XRVY U]RS SRV TT hURRSRV `RT]R P fmc njP
àêÚÎÜÍ ÆØÎÏî ïÍÕÓÒÏ àÎÍÒ Murabahah ðÏ×Ï ðÓÜÐÏÑÎÏÑ àêÏÜÍÏÙ
qrqs tutvuwx vqyqsz {u{|qx }uszqs ~utvxqyqqs }qs ru{u~qrqqs ru}|q vuwq ~xqr
uy}q{qyrqs call memo qq| invoice qsz }x{uyqrqs wu ~usqv|sz qrqs }xv|q vuyxq qqyq
~utvuwxqs {uqyq ytqw {u~uyx usx{ vqyqsz qyzq vqyqsz }qs sxwqx mark-upsq qsz
}xuq~rqs }xx{xwqrqs |zq }qwqt yqs{qr{x x| }uszqs tqyzxs qq| ru|s|szqs vqsr
}x {qt~xsz q}q |zq |qsz t|rq urbûn
xrq }xuwxx sq{rq yqs{qr{x qq| qrq} murâbahah ~q}q {qwq {q| qsr qyxq }x
s} su{xq tqrq |twq ~utvxqqqs murâbahah xqwq qyzq vqyqsz }x supplier, }xqtvq
tqyzxs }qs }xr|yqszx |qsz t|rq urbûn qw xsx tutvuyxrqs ru{qs vqq qrq} murâbahah
x| }x~uyx|szrqs uyq}q~ |twq ~utvxqqqs vqsr v|rqs uyq}q~ qyzq vqyqsz {uxszzq
{|rqy tutvu}qrqssq }uszqs {x{ut ~uyvqsrqs r sus{x sqw us}qx }xvqsq {qq
}xtxsqrqs rwqyxxrq{x ru~q}q ~xqr vqsr {qyxq uy{uv| qwq {u yqsz rqyqqssq
tusqqrqs vqq ~uyx|szqs qrq} murâbahah uq~ uyq}q~ qyzq vqyqsz }x ~q{qy
}xqtvq }uszqs tqyzxs qwq|~|s q}q |qsz t|rq qq| |yv|s. uvuyq}qqs |qsz t|rq
tus|y| rqyqqssq x}qr qrqs tusz|yqszrqs qyzq |qw uyx|szqs tqyzxs qq|
mark-up vuy}q{qyrqs ru~q}q {x{q ~utvxqqqs qyzq vqyqsz qqw }xr|yqszx |qsz t|rq
qsz }xwqr|rqs {uqyq xsuysqw szrq~qs uyqrxy xsxwq qsz tutv|q ~uyx|szqssq
{qtq }uszqs vqsr r sus{x sqw
uvqzqx zqtvqyqs ~us|wx{ tuszut|rqrqs vus|r ~uyx|szqs ~utvxqqqs murâbahah
qsz }xqtvxw }qyx {uv|q sq{rq qrq} murâbahah ~q}q {qwq {q| vqsr {qyxq }qwqt
~utvxqqqs ~utvuwxqs vqqs vqsz|sqs y|tq
¡¢¡ £¤¥¦§ ¨¦©¤¡ª«
¬
¨ ®¯¯°°°°°°±² ³¨¦«´´¦«¨«µ
¬
¨ ®º¯°°°°°°±² ³¨¦«´´¦«¨«µ
¤
Self Financing¶·¸¤¹«
»
¼¦©¤¡ª« ½«§
¬
¨ ¾°°°°°°°±²
¿
À¸´¡« ª«´ ¿¡Á¦¨§Â¡
¬
¨ ¾°°°°°°°±²
¦
À§Á¡©¹© ¼¦©¤¡ª«
¬
¨ ®Ã°°°°°°°±²
qszrq tq{q qsz }xqtvxw |s|r tq{q qsz{|yqs xqwq v|wqs qq| {uwqtq
q|s }uszqs sxwqx tqyzxs }x~uyx|szrqs ~uyq|{ ~uy q|s
qyx zqtvqyqs vus|r yqs{qr{x }x qq{ tqyzxssq }x~uyx|szrqs vuy}q{qyrqs
ÄÅÆÇÆÈÇÉÊÊÊË ÌÍÎÏ ÐÏÑÎ ÒÓÔÏÎÍÕÎÏÑ ÎÓÖÏ×Ï ÑÏØÏÐÏÙ ÚÑÛÚÎ ÖÓÒÐÓÕÍÏÑ ÐÏÜÏÑÝË ÏÎÏ× ÌÚÏÕ ÐÓÕÍ
murâbahah ÙÏÜÚØ ×ÍÕÏÎÚÎÏÑ ØÓÛÓÕÏÙ ÐÏÜÏÑÝ ØÓÞÏÜÏ ÖÜÍÑØÍÖ ÒÓÑÌÏ×Í ÒÍÕÍÎ ÐÏÑÎß àÍÕÏÙÎÏÑ ÕÍÙÏÛ
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, á×ÍØÍ âÓãÍØÍ äÏÙÚÑ ÉÊÊåß
æçèÏÔÏÑÞÏÜÏ ×ÓÑÝÏÑ ×ÚÏ éÜÏÑÝ ÖÓÝÏÔÏÍ ÐÏÑÎ ØêÏÜÍÏÙ êÏÑÝ ÐÓÜÐÓ×ÏË ×ÏÑ ÖÓÑÝÏÕÏÒÏÑ
ÓÒÖÍÜÍÎ ØÓÐÏÝÏÍ ÑÏØÏÐÏÙ ×Í ØÏÕÏÙ ØÏÛÚ ÐÏÑÎ ØêÏÜÍÏÙß
æëèÏÔÏÑÞÏÜÏ ×ÓÑÝÏÑ ØÓéÜÏÑÝ ÖÍÒÖÍÑÏÑ ØÏÕÏÙ ØÏÛÚ ÐÏÑÎ ØêÏÜÍÏÙß
æìIbidß
æíIbid.
oop
MIQOT
óôõö ÷÷÷ó øôö ù úûõüýþÿ ÿÿ ù
= Rp. 70 juta), bukan
kepada nilai objek pembiayaan (10 % x Rp. 199 juta x 10 tahun = Rp. 199 juta). Pada hal
dalam jual beli, keuntungan atau margin itu diperhitungkan kepada nilai harga barang
di pasar, bukan diperhitungkan dari kadar dana bank yang digunakan dalam biaya pembelian
barang tersebut. Inilah yang memberikan kesan tidak adanya perbedaan perhitungan
kelebihan peminjaman uang pada bank konvensional yang perhitungannya berdasarkan
kepada kadar pinjaman, dan inilah yang terkategori riba.
Berdasarkan ilustrasi di atas, sesuai dengan aturan syariahnya, jumlah margin adalah
Rp. 199 juta. Karena adanya urbun dari nasabah sebesar Rp. 129 juta, maka jumlah margin
tersisa adalah Rp. 70 juta. Untuk itu jumlah uang yang akan diangsur oleh nasabah
adalah margin sisa ditambah jumlah pembiayaan dari bank (Rp. 70 juta + Rp. 70 juta =
Rp. 140 juta). Setelah dilakukan perhitungan syariah, terlihat bahwa nilai nominal utang
nasabah yang akan diangsur selama 10 tahun terlihat sama dengan pola perhitungan pertama
yang disinyalir sama dengan perhitungan bank konvensional di atas, namun dasar perhitungan marginnya berbeda, yakni pola konvensional diperhitungkan kepada nilai pembiayaan bank, sedangkan pola syariah perhitungan margin kepada nilai harga barang awal
di pasar (nilai objek pembiayaan).
Dalam bentuk lain, sistem perhitungan yang dilakukan sesuai dengan hakikat akad
murâbahah, yaitu jual beli barang yang harganya terdiri dari harga pembelian di pasaran
ditambah dengan margin dan dibayar secara angsur atau tunai. Berarti, perhitungan margin
itu harus diperhitungkan kepada Rp. 199 juta, yaitu 10 % x Rp. 199 juta x 10 tahun = Rp.
199 juta (sebagaimana telah diilustrasikan juga di atas). Bagaimana dengan keuntungan
bank akibat dari pembiayaan sebanyak Rp. 70 juta itu? Pertanyaan yang sama juga akan
muncul, bagaimana dengan uang muka atau urbûn dari penabung sebanyak Rp. 129
juta itu, apakah penabung akan mendapat pembagian keuntungan? Kedua-duanya tentu
akan mendapat perhitungan keuntungan.
Dengan demikian margin sebanyak Rp. 199 juta itu dibagi secara proporsional antara
bank dan penabung, akibat dari keikutsertaan dana pembiayaan dari kedua belah pihak.
Tampaknya, telah terjadi dua akad, yaitu adanya musyârakah dalam akad murâbahah, atau
murâbahah wa musyârakah. Walaupun dalam perhitungannya agak sulit, namun pihak
bank akan menerima hal yang sama dengan perhitungan yang lazim dilakukan, seperti
yang berlaku pada contoh di atas. Pihak nasabah sendiri, secara riil tidak akan menerima
nominal keuntungan tersebut, karena pembagiannya ditempatkan untuk membayar angsuran
kepada bank saja. Dengan demikian, dalam akad tersebut telah terlaksana hakikat murâbahah
yang sebenarnya dan terbukti berbeda secara signifikan dengan sistem peminjaman uang
yang ada pada bank konvensional.
Persoalan riil yang ada pada bank syariah, sebagaimana ditemukan di atas, kalau
dibiarkan terus oleh pihak perbankan syariah, dikhawatirkan akan semakin memperkuat
adanya sinyalemen atau penilaian negatif masyarakat yang memandang bahwa tidak
ññò
Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah
!"! #$%&$"!!' !'(!%! )*)($+ &!', )-!%*!. "$'/!' &!', ,0'1$')*0'!23 4$%!#! ,$($'(5!'
+!%/*' !(!5 ,$5'(5'/!' #$'65!2!' &!%!'/7 "!' !#! -!'/ +$'"!)!%* #$%.*(5'/!' '*2!*
+!%/*' ($%)$&5(8
9$'5%5( #*.!, &!', )-!%*!. &!.:! ,!"!% ,$5'(5'/!' !(!5 mark-up -!'/ "*&$&!',!'
&$%/!'(5'/ ,$#!"! &$%!#! 2!+! +!)! !'/)5%!' -!'/ "**'/*',!' !(!5 "*)$#!,!(* "$'/!'
#$'!&5'/3 ;%(*'-!7 .!%/! &!%!'/ !,!' )$+!,*' (*'//* ,!%$'! +!)! #$+&!-!%!' !'/)5%!'<
,%$"*( -!'/ )$+!,*' 2!+!3 ;#! -!'/ "*2!,5,!' 02$. &!', )-!%*!. "* !(!) ($'(!'/ #$%&$"!!'
.!%/! 65!2 &!%!'/ "$'/!' (%!')!,)* murâbahah *'* *!2!. :!6!% ,!%$'! &$%&$"!'-! +!)!
#$+&!-!%!' !(!5 !'/)5%!'3 =!2 *'* ($2!. &$%2!,5 #!"! )$25%5. #$%&!',!' )-!%*!.7 ,!%$'!
>!%! )$#$%(* *(52!. -!'/ "!#!( +$+#$%2*.!(,!' .!,*,!( "!' #%*')*# )$&5!. &!',3 ?$%)0!2!''-!7
&!/!*+!'!,!. @)2!+ +$+!'"!'/ #$%&$"!!' .!%/! 65!2 &!%!'/ ,!%$'! #$%&$"!!' +!)!
!'/)5%!' #$+&!-!%!' ($%)$&5(8
A$>!%! 6$2!) BsyarîhC !2DE5%!' "!' A5''!. (*"!, #$%'!. +$'//!%*),!' ,$($'(5!'
.5,5+ ($'(!'/ .!%/! ,%$"*( -!'/ 2$&*. (*'//* "!2!+ 65!2 &$2* ,!%$'! #$+&!-!%!' -!'/
"*(5'"!7 ,$>5!2* #$'"!#!( #!%! F5,!.! ,2!)*, "!' 52!+! ,0'($+#0%$%3 ?!%! F5,!.! )$#$%(*
@+!+ 9!2*, "!' @+!+ A-âfi î, tidak setuju dengan harga kredit yang lebih tinggi dibandingkan
harga pembayaran tunai, walaupun para pengikut mazhab Syâfi î membolehkannya.28
Ketidakbolehan menaikkan harga barang karena masa ialah karena masa bukanlah
uang atau objek yang dapat menjadi nilai acuan kenaikan dalam suatu utang. Faqih mazhab
Hanafi, Imam al-Syaibânî, sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah Saeed, tidak menyetujui
penjualan dengan harga lebih murah untuk tunai dan lebih mahal untuk kredit. Seperti
juga pendapat al-Râzî yang mengomentari mengenai ayat-ayat riba, menolak anggapan
bahwa masa yang diberikan untuk pembayaran dapat menjadi acuan bagi kenaikan harga,
sebab masa bukanlah barang atau sesuatu yang ditunjuk, untuk dijadikan nilai acuan.29
Seorang ulama Arab Saudi, Abd Allah ibn Baz, dalam fatwanya dan Rafiq al-Mishrî
dalam pembahasannya yang agak berani menjelaskan bahwa pembayaran tunda dimana
tambahan diberikan karena penundaan pembayaran tersebut, maka berarti utang sama
dengan bunga. Menurutnya lebih jauh, bunga ini mencerminkan perbedaan antara harga
tunai dengan harga kredit.30
Pada masa ini pun, para pemerhati murâbahah seperti al-Kaff berpendapat bahwa
kenaikan harga karena masa ialah riba. Council of Islamic Ideology (CII) Pakistan menyatakan
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, h. 78. Lihat lebih jauh al-Syâfi î, al-Umm,
Juz III, h. 31-35; Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Authâr, Juz V (Kairo: Maktabah al-Da wah
al-Islâmiyyah, t.t.), h. 152.
29
Ibid., h. 80-81; al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, Juz VII (Kairo: al-Matba ah al-Bahiyyah, 1938),
h. 97.
30
Ibid., h. 82; Kuwait Finance House, al-Fatâwâ al-Syar iyyah fî al-Masâ il al-Iqtishâdiyyah,
Kuwait: KFH, 1985-1986 & 1986-1987, dan al-Mishr, Masraf al-Tanmiyyat al-Islâmiy (Beirut:
Mu assasat al-Risâlah, 1997), h. 195.
28
MIQOT
JKLM NNNJ OKM P QRLSTUVWVXYVZ P[\\
]^_`^ abc^de^f gefdahf gefiej a^cbf^ k^g]^_^f l^fd mhkbchg^ nbfoe^j m^j^g oe^j ]bjh
mbfd^f nbg]^l^c^f kefm^ pl^hke qb]^d^h nbfdd^fkh kbfdd^fd g^q^ nbg]^l^c^f l^fd
mh]bcha^f efkea nbg]bjhrs qb_hfdd^ k^g]^_^f qbg^i^g hfh m^n^k gbflbcen^h ch]^t uv
w^j^g qhqh n^fm^fd l^fd ]bc]bm^s ]b]bc^n^ ej^g^ m^f n^a^c _eaeg xqj^g gbfdbgea^a^f
]^_`^ nbc]bm^^f _^cd^ ]^c^fd kef^h mbfd^f ^fdqec^f mh]yjb_a^ft wh ^fk^c^fl^ nbfm^n^k
ej^g^ g^z_^] {^f]^jhs x]f ^j|}^llhgs l^fd gbfd^k^a^f abkha^ qbqbyc^fd gbfoe^j qbqe^k e
mbfd^f _^cd^ qbc^keq ]hj^ mh]^l^c kefm^s ^k^e mbfd^f _^cd^ jhg^ neje_ ]hj^ mh]^l^c kef^hs
g^a^ khm^a ^m^ _^c^g m^j^g _^j hfhtu~ ha^ qbgbfo^a ^`^j qh nbfoe^j gbfd^k^a^f ]^_`^
h^ ^a^f gbfoe^j ]^c^fd mbfd^f _^cd^ qbah^f m^f qbah^f efkea acbmhks khm^a ^m^ g^q^j^_
m^j^g _^j hfhtuu
m^ ]b]bc^n^ _^j l^fd m^n^k mho^mha^f m^q^c ab]yjb_^f _^cd^ l^fd jb]h_ khfddh
^ah]^k nbg]^l^c^f kefm^ ^k^e ^fdqec
^t hm^a ^m^ q^kenef kbaq|kbaq ql^ch^_ l^fd gbj^c^fdfl^t
]t m^fl^ nbc]bm^^f ^fk^c^ e^fd l^fd kbcqbmh^ qba^c^fd mbfd^f l^fd kbcqbmh^ mh g^q^
m^k^fds qbnbckh l^fd mha^k^a^f yjb_jî al-Khafîf, seorang faqih kontemporer,
kebiasaannya
uang yang dibayarkan kontan mempunyai nilai yang lebih tinggi dari uang yang diberikan
pada masa datang .
c. Kenaikan harga ini bukan sebagai akibat penjelasan tunda pembayaran. Ini berarti
tidak sama dengan riba yang diharamkan al-Qur an.
d. Kenaikan harga dikenakan saat penjualan, bukan setelah penjualan berlaku.
e. Kenaikan harga disebabkan oleh faktor-faktor yang memengaruhi pasar, seperti permintaan
dan penawaran, naik turunnya daya beli dan nilai uang sebagai akibat inflasi dan deflasi.
f. Pedagang sedang melakukan suatu aktivitas dagang yang produktif. 34
g. Rafiq al-Mishrî menambahkan bahwa penjual boleh menetapkan harga berapa pun yang
dikehendakinya, sebagaimana dikatakannya, Penjual pada prinsipnya, bebas untuk
menetapkan harga barang-barangnya. Jika harga-harga ini terlalu tinggi, pembeli boleh
memilih untuk membelinya atau mencari pengganti, atau penjual lain yang sesuai. 35
Dalam versi lain, Warkum Sumitro mengemukakan bahwa ada beberapa konsep
yang menjadi dasar penghitungan mark-up pada bank syariah, yaitu:
Ibid., h. 81. Dikutipnya dari al-Kaff, Does Islam Assign Any Value, dan CII., Consolidated
Recommendations on the Islamic Economic System (Islamabad: Council of Islamic Ideology,
1983).
32
Syauqy Ismâ îl Syihata, Nazhariyyat al-Muhâsabah al-Mâliyyah min Mandûrin Islâmi
(Kairo: al-Zahra li al-I lam al-Arabi, 1987), h. 104.
33
Syaukânî, Nail al-Authâr, Juz V, h. 152.
34
Syihata, Nazhariyyat al-Muhâsabah, h. 104-107.
35
Al-Mishrî, Masraf al-Tanmiyyat al-Islâmi, h. 187.
31
GHI
Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah
mark-up
¡
¡ ¢
£
¡ ¤ ¢¥
¡ ¡ ¡ ¤ ¢¥ ¦
¢ §
§ £
time value of money ¨©
ª «
¬ «
® ¨ ¡
¡ ¡ «
£
® § ¢
¢ ¡ ¡® ¯
¡ ª
§
¡ °
±²³´µ¶·¸ ¹·¸º»µ¼½ Azas-azas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait: Bamui, Takaful
¾¿´¶´µ»´À Á´Â´Ãµ´ÄºÅƼ Çȵɴƴ½ ÊËËÌͽ ÎÏ ÐÑÏ
±ÒÓÉÔ´»Î Õ´¸¼Æ´µ´Å½ ÉÈÖ´×´º¸´Å´ ƺ¶·»ºØ ¼ÙÈÎ ÓƺԴµ¸´Å½ ¸ÈÅÆÈĺźɺ¶´Å time value
dan Pasar Modal Syariah
of money ÆÈÅ×´Å A dollar today is worth more than a dollar in the future, because a dollar today
can be invested to get a return . Úź ·״ ¸ÈÅ´ƺ ´É´É ØÈÅÈ»´Ø´Å Ö·Å×´ Ø´Æ´ ִŶ ¶¼ÅÛÈÅɺ¼Å´ÙÏ
ÜÈÅ·µ·» ÓƺԴµ¸´Å½ ÆÈĺźɺ ºÅº »ºÆ´¶ ´¶·µ´» ¶´µÈÅ´ ÉÈ»º´Ø ºÅÛÈÉ»´Éº ÉÈٴٷ ¸È¸Ø·ÅÝ´º ¶È¸·Å×Þ
¶ºÅ´Å ·Å»·¶ ¸ÈÅÆ´Ø´» ·Å»·Å×, µ·×º ´»´· »ºÆ´¶ ·Å»·Å× »ºÆ´¶ µ·×º. Ú»· ÉÈÖ´ÖÅÝ´ Æ´Ù´¸ »È¼µº ¶È·´Å×´Å
¾financeͽ ÉÈٴٷ ƺ¶ÈÅ´Ù ÆÈÅ×´Å risk-return relantionship ¾Î·Ö·Å×´Å ´Å»´µ´ µºÉº¶¼ Æ´Å ØÈÅ×ȸִٺ´Å
¸¼Æ´ÙÍ. ߺδ» ÓƺԴµ¸´Å½ Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan ¾¿´¶´µ»´À Á´Â´Ãµ´ÄºÅƼ Çȵɴƴ½
ÊËËàͽ ÎÏ áÐàâ Ç´ÅÆ´Å×´Å Ù´ºÅ Ö´ÎÔ´ time value of money ¾ÅºÙ´º ·´Å× ÆºØÈÅ×´µ·Îº ¼ÙÈÎ Ô´¶»·Í ºÅº
¸ÈÅ´ƺ Æ´É´µ Øȵٷ ´Æ´ÅÝ´ Ö·Å×´½ ÆÈÅ×´Å Øȵ»º¸Ö´Å×´Å Ö´ÎÔ´ źٴº $ 1.000 hari ini tidak akan
sama dengan $ 1.000 sepuluh tahun ke depan. Atau dengan pertanyaan boleh dijawab dengan
konsep tersebut, manakah yang perlu dipertimbangkan $ 1.000 hari ini dengan $ 2.000 sepuluh
ke depan. James C. Horne & John M. Wachowicz, Fundamentals of Financial Management (New
Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River, 1998), h. 36.
MIQOT
æçèé êêêæ ëçé ì íîèïðñòóòôõòö ì÷øø
ùúûüýüþÿ ü ü þÿùþÿ úúü üÿü þýþÿ úþùþ ùþþû þÿþ úúùþþÿ úÿùþþ ùü ýþþÿþÿ
þþ þûþ ûþ þ úÿþÿ üþ þ þþ þ þ þÿ ùüúþÿýþÿ ýúþùþ þþ þ ú ú
þûþ ûþ þ þüýü ûúûúýþÿ üþ þüþ þ þÿ úýþüþÿ þüý þÿ ÿ
âfi î membolehkan
pembebanan biaya yang timbul dalam suatu transaksi jual beli, kecuali biaya gaji pegawai
sendiri karena hal itu termasuk dalam keuntungannya. Begitu juga halnya dengan biayabiaya yang tidak menambah nilai barang, tidak boleh dimasukkan sebagai biaya.38 Ulama
mazhab Hanafi membolehkan pembebanan biaya-biaya yang timbul dalam suatu transaksi
jual beli, namun tidak membolehkan pembiayaan yang semestinya dikerjakan oleh si penjual.39
Sedangkan ulama Madzhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya baik langsung maupun
tidak langsung boleh dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dijelaskan
kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai jual barang tersebut. 40
ùúÿþÿ þÿ þý ü þ úü ûþÿ üùþý þÿ ÿ
þûþ ûþ þ
Perbedaan pendapat seperti di atas, tampaknya tetap menjadi pilihan bahwa harga
jual dengan kredit memang harus berbeda dengan tunai. Dengan dasar perbedaan pembiayaan
tersebut dianggap mempunyai tingkat kemudaratan teringan, dibandingkan alasan melarang
oleh sebahagian ulama, yang itu pun ternyata berada pada ranah khilâfiyyah. Kenapa tidak
didasarkan pada kaedah:
41
Pada dasarnya segala bentuk mu amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
42
Kemudaratan yang besar dapat dihilangkan dengan cara (melaksanakan) kemudaratan
yang ringan.
Persoalan lain adalah, kenaikan harga dikarenakan mengangsur dan berdasarkan
kepada perbedaan biaya operasional, maka muncul logika lain dan juga menjadi dasar bagi
Warkum Sumitro sebagaimana tertuang di atas, yakni tentunya harus juga berpengaruh,
seandainya terjadi percepatan untuk melunasinya sebelum berakhirnya masa angsuran.
Artinya, bagi penabung yang ingin melunasi sisa angsuran sebelum jatuh tempo, maka
harga barang seharusnya disesuaikan dengan perhitungan masa yang masih tersisa. Jadi
kalau kenaikan itu dibatasi 10 persen pertahun, maka angsuran berkurang sebesar persentase
yang masih ada tersebut. Namun dalam kenyatannya pada bank syariah, percepatan pelunasan
Al-Syarbainî, Mughni al-Muhtâj, h. 78.
Al-Kasânî, Bada i wa Shana i,, h. 223
40
Al-Buhuti, Kasyf al-Qinâ an Matn al-Iqnâ , h. 234; Karim, Bank Islam, h. 114.
41
Abd al-Hamid Hakim, al-Bayân (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 198.
42
Ali Ahmad al-Nadâwî, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah (Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1986), h. 276.
38
39
ãäå
Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah
! !" ! " #$ % ""# #
!#$ &' # !#! # !#! " #$ (
# '"!# ! ) # ! % !*+, -#$ '!
% "# ' $ ") !##$ &' "# ""'* .#
" " % '#! (# /$ ( !
# %#% ' ' ! "%* ++
0#% ! )$ 1 " % ")# # !#% %
!#' " % # " # % ""'* 2
! 3 2-4* #&% 1"" 5ârî dan Muslim dari
Abû Hurairah:
45
Menunda pembayaran bagi orang yang mampu ialah kezaliman.
Kesimpulannya, tingginya harga barang karena lamanya masa mencicil, atau dalam
istilah lain, kenaikan itu akan berbeda karena perbedaan masa angsuran. Berbedanya masa
angsuran akan meningkatkan tambahan biaya oleh bank, sehingga akan memengaruhi harga
barang. Sekiranya nasabah mempercepat pelunasan, tentunya biaya yang digunakan oleh
bank akan berkurang, dan sangat tepat kalau juga memberikan akibat kepada berkurangnya
utang. Namun itu bukanlah menjadi logika lebih jauh bagi bank syariah.
Di sanalah perbedaan antara meminjam uang kepada bank konvensional (akadnya
utang piutang) dengan membeli barang kepada bank syariah (akadnya jual beli). Pada akad
jual beli, kalau telah disepakati harga barangnya sekian, tidak bisa lagi dilakukan perubahan
harga di belakang hari, kendati membedakan harga tunai dengan kredit didasarkan kepada
perbedaan biaya operasional dan percepatan pelunasan mengakibatkan terjadinya pengurangan biaya. Sedangkan pada bank konvensional, jumlah utang memang didasarkan
secara eksplisit kepada bunga yang diperhitungkan dengan masa/tempo.
Dengan demikian, agar benar-benar terlihat perbedaan antara skim yang ada pada kedua
bank tersebut, dalam sistem akuntansinya bank syariah tidak dapat memilah secara jelas
bahwa setiap kali angsurannya akan ada gambaran terpisah antara angsuran harga pokok
barang dengan angsuran margin, bagaikan pada konvensional ada pengelompokan antara
Wawancara dengan dua pegawai bank syariah berbeda.
Wawancara dengan salah seorang pegawai bank syariah, menyatakan bahwa pada hakikatnya
pihak bank tidak menginginkan penabung itu untuk menyegerakan pelunasan, karena akan dikhawatirkan penabung tersebut akan berpindah ke bank lain, akibat percepatan mengakhiri interaksi.
Penulis juga tidak mendalami lebih jauh apa yang dimaksudkan, kecuali prinsip bank tidak ingin
agar penabung menyegerakan pelunasan angsuran sebelum masa yang disepakati.
45
Imam al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, bab Matl al-Ghanî Dzulm, no. hadis. 2225, Juz VIII,
Maktabah Shamilah: CD Room, h. 238; al-Kahlany, Subul al-Salam, Juz III (Bandung: Dahlan, t.t.),
h. 61.
43
44
MIQOT
89:; <<<8 =9; > ?@:ABCDEDFGDH >IJJ
KLMNOPKL OQKLM RSLMKL TOLMKU VLQOW XQO YOMKZ [\]K ^XQOLMKL KLMNOPKL RSLMKL KLOXQKN_`
[KRK TKLW NaKPXK^Z RK]Kb W\LQSWN XQOZ bSLYKRX QXRKW OPMSLU_c dSTK]XWLaK [KRK TKLW W\LeSLNX\LK]Z
[X^KW TKLW [OLaK WS[SLQXLMKL RSLMKL [\]K KLOXQKN XLXZ RK]Kb W\LQSWN aKLM NKbKZ aKWLX
[SPfS[KQKL [S]OLKNKLU
gK]KO TSMXQOZ K[K ]KMX aKLM bSLYKRX RKNKP OLQOW [SP^XQOLMKL bKPMXLZ NS]KXL bKNKh
iSPRKNKPWKL jKjKLfKPK RSLMKL NK]K^ NS\PKLM [SMKjKX TKLW NaKPXK^Z ]SbTKMK aKLM TSPk
jSLKLM bSP[SP^XQOLMWKL LX]KX mark-up QSP^KRK[ TKPKLM [KRK KWKR murâbahah [KRK TKLW
NaKPXK^ XQO XK]K^ W\bXNX [SLM^XQOLM YKbXLKL RKL KNSQ lAsset Liability CommitteeZ mnopqU
dS[SPQX [KRK TKLW W\LeSLNX\LK]Z mnopZ aKLM QSPRXPX RKPX RXPSWQOP OQKbK RKL [KPK bKLKYSP
WOLfX aKLM KWQXr RK]Kb WPSRXQ RKL XLeSNQKNXU mnop bSbX]XWX jSjSLKLM bSbTOKQ WS[OQONKL
RKL bSLMKQOP KNSQ RKL YKbXLKLZ NQPKQSMX ^KPMK KQKN [XLYKbKL l[SbTXKaKKLqZ bSbTOKQ fKPK
[SLMKQOPKL RKLKkRKLK RKL bSLSLQOWKL [X]X^KL OLQOW K]\WKNX [XLYKbKL l[SbTXKaKKLqZ
NSPQK bSLaONOL action plan TSPRKNKPWKL NSTKT TSP]KWOLaK eKPXKNXU _s
VLQOW bSb[SP^XQOLMWKL bKPMXL KQKO mark-up ^KPMK TKPKLMZ [KRK TKLW NaKPXK^ TXKNKLaK
bSLMMOLKWKL ROK TSLQOWt bSLYKRXWKL TOLMK TKLW W\LeSLNX\LK] NSTKMKX OWOPKL lbenchmarkq,
RKLuKQKO QXLMWKQ bKPMXL aKLM RXQSQK[WKL \]S^ TKLW NaKPXK^ ]KXL NSTKMKX [SNKXLMU _v wK]
XLX NSNOKX RSLMKL QS\PX aKLM RXWSbOWKWKL \]S^ mRXjKbKL mU gKPXbZxy TK^jK mnop TKLW
NaKPXK^ bSbX]XWX KfOKL RK]Kb [SP^XQOLMKL bKPMXLZ RX KLQKPKLaK XK]K^z
KU dOWO TOLMK PSPKQK [SPTKLWKL W\LeSLNX\LK]U {XLMWKQ NOWO TOLMK PSPKQK [SPTKLWKL
W\LeSLNX\LK]Z RXWSLK] [O]K RSLMKL XNQX]K^ Inderect Competitor s Market Rate l|o}~qZ
KQKO QXLMWKQ PSPKQK NOWO TOLMK TSTSPK[K TKLW W\LeSLNX\LK] KQKO [KRK TKLW W\LeSLNX\LK]
QSPQSLQOZ aKLM RK]Kb bONaKjKPK^ mnop RXQSQK[WKL NSTKMKX WS]\b[\W [SNKXLMZ KQKO
[SNKXLM QSPRSWKQ QXRKW ]KLMNOLMU
TU }KPMXL PKQKkPKQK [SPTKLWKL NaKPXK^U {XLMWKQ bKPMXL PKQKkPKQK [SPTKLWKL NaKPXK^
aKLM RXWSLK] [O]K RSLMKL Direct Competitor s Market Rate lo}~qZ KQKO QXLMWKQ bKPMXL
PKQKkPKQK TSTSPK[K [SPTKLWKL NaKPXK^ aKLM RXQSQK[WKL \]S^ mnop NSTKMKX [SNKXLM
]KLMNOLMU K]Kb bKWLK ]KXLZ QXLMWKQ bKPMXL WSOLQOLMKL TKLW NaKPXK^ aKLM RXQSQK[WKL
RK]Kb bONaKjKPK^ mnop NSTKMKX [SNKXLM ]KLMNOLM aKLM QSPRSWKQU
fU {KPMSQ TKMX ^KNX] TKMX [SLKTOLMU KLM RXbKWNORWKL XK]K^ QKPMSQ TKMX ^KNX] W\b[SQXQXr aKLM
EDA E@H 9HEA 99 EDFA AA ED 9HEA FHA EDFA
@H@; A AH9E9 Jual Beli Murabahah 9H HDEE >II ; JJ;
HDEA @AE G EHA DH:A DDA GA EA: @@ A DA
DG@ HD FDHD FD GA EA: GDEH : HEEA F@Hâbahah
terjadi. Namun penerimaan bagi hasil, semakin lama akan menurun kalau bank tidak melakukan
ekspansi lebih jauh dengan murâbahah yang lain.
48
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 138; Zainul Arifin,
Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: Alvabet, 2002), h. 152-153.
49
Wawancara dengan dua orang pegawai bank syariah berbeda.
50
Karim, Bank Islam, h. 280-281.
677
Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah
¡ ¢£ ¤ ¥¤¦¥£ §¨¡£ ¤ £¨¢ ¤ ¢ £ £¨¦© ªExpected Competitive Return
for Pelaburs «¬®¯°
± ² ³
³ ¤© £¨´¥ ¡£ ¤ µ´¨ § ¤£ ³ ¤© §¨¡£ ¦ ¤ ´ ¤©¶¥¤© ¨¤© ¤ ¥¢ ³
¥¤¦¥£
·¨·¢¨¡µ´¨ ¤ ¢ £ £¨¦© ±
¨± ² ³
³ ¤© £¨´¥ ¡£ ¤ µ´¨ § ¤£ ³ ¤© ¦ £ ´ ¤©¶¥¤© §¨¡£ ¦ ¤ ¨¤© ¤ ¥¢ ³
¥¤¦¥£ ·¨·¢¨¡µ´¨ ¤ ¢ £ £¨¦© ±
¯¶´ · ¢ ¶ ¡¤³ ¦ £ ·¨·§¨¡£ ¤ § ¦ ¶ ¤ ³ ¤© £ £¥ ´ · ¢¨¤¨¤¦¥ ¤ ¡©
§ ¡ ¤©± ¸¡¦¤³ ¹ ¯¶´ · ¶ ¤© ¦ ·¨·§¨¡£ ¤ £¨§¨§ ¶ ¤ ¤ ·¨¤© ¡© ¶¶¦¨· µ¢¨¡ ¶ ¢ ¶ ¡
§¨§ ¶¹ ¶¨§ © · ¤ ¶ ³ ¤© ¡º ³ ¦£ ¤ µ´¨ ´· ¢¨¡ º¹ £¨»¥ ´ ´¼½ ¶â î, dari Anas:
51
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata: Harga pernah naik dengan mendadak di Madinah
pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat berkata: Ya Rasulullah! Tentukan harga untuk
kita. Rasulullah menjawab: Allah sesungguhnya ialah penentu harga, penahan dan pencurah
serta pemberi rezki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari
kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.
Ada orang beranggapan bahwa apabila harga yang ditentukan oleh penjual itu
berpuluh-puluh kali lipat, berarri menzhalimi pembeli. Artinya, menurut mereka penentuan
harga yang sesuai dengan Islam ialah yang tidak boleh berlipat ganda. Hal ini susah dipahami,
karena tidak ada ketentuan dalam Islam yang menggariskan demikian. Kecuali halnya harga
yang berlipat ganda tersebut disebabkan karena penimbunan barang yang berpengaruh
terhadap kelangkaan barang di pasaran. Secara rasional ialah harga barang yang sangat
tinggi, akan memengaruhi daya beli masyarakat. Kalau peminat sebuah barang tidak ada
atau sedikit karena harga yang mahal, sudah dapat dipastikan harga akan turun. Cara seperti
inilah yang diterapkan pada sistem ekonomi modern masa sekarang. Namun Islam semenjak
lama menggariskan bahwa harga barang dibiarkan ditentukan oleh pasar. Ini berarti cara
bank syariah menentukan harga barang yang dijual dalam transaksi murâbahah misalnya,
dengan mengambil perhitungan dari berbagai hal sebagaimana juga diperkuat oleh Adiwarman
di atas, telah sesuai dengan ajaran Islam.
Bagaimana seandainya terjadi penyalahgunaan uang oleh penabung, sebagai wakil
bank, yang sudah disepakati semula untuk pembelian barang kemudian dialihkan tanpa
sepengetahuan pihak bank, maka pihak bank tidak dapat mengantisipasinya. Karena tidak
Al-Kahlani, Subul al-Salâm, Juz III, h. 25.
51
MIQOT
ÁÂÃÄ ÅÅÅÁ ÆÂÄ Ç ÈÉÃÊËÌÍÎÍÏÐÍÑ ÇÒÓÓ
ÔÕÔ Ö×ØÔ ÙÔÚÛ ÕÔÖÔÜ ÝÞÝÔÚÜÔß ÖÞÚÔàßÚÛ áÞâßÔØã äãáÔ àßáÜã ÖÞÝàÞØãÔÚ àÔåÔÚÛ ÜÞåæÞàßÜ
ÕãæÞåÔçáÔÚ áÞÖÔÕÔ ÖãçÔá àÔÚáè éê
ëÞáãåÔÚÙÔ àÞåØÔáß ÜßÚÛÛÔáÔÚ ÕÔØÔÝ ÖÞÝàÔÙÔåÔÚ ÔÚÛæßåÔÚì áÔåÞÚÔ áÞÜãÕÔáÝÔÝÖßÔÚ
ÖÞÚÔàßÚÛì ÝÔáÔ äÔØÔÚ áÞØßÔå ÙÔÚÛ àãÔæÔ ÕãØÔáßáÔÚ ×ØÞç àÔÚá æÙÔåãÔç ãÔØÔç ÕÞÚÛÔÚ ÝÞÝí
ÖÞåàÔçÔåßã ÔáÔÕ ÔÜÔß ÝÞÝÖÞåÖÔÚäÔÚÛ ÝÔæÔ ÔÚÛæßåÔÚì æÞçãÚÛÛÔ ÚãØÔã æÞÜãÔÖ ÔÚÛæßåÔÚ
ÝÞÚäÔÕã ØÞàãç áÞâãØì ÜÔÚÖÔ ÖÞÚÔÝàÔçÔÚ çÔåÛÔ àÔåÔÚÛèéî ïÔåÔ æÞÖÞåÜã ãÜß äÞØÔæ æÔÚÛÔÜ æÞæßÔã
ÕÞÚÛÔÚ ÖåãÚæãÖ ÝßÔÝÔØÔç ÕÔØÔÝ ðæØÔÝì áÔåÞÚÔ ÔÕÔÚÙÔ æãñÔÜ ÝÞÚ×Ø×ÚÛ ò
ta âwunó àÔÛã
ÖÞÚÔàßÚÛ ÙÔÚÛ æÞÕÔÚÛ ÕÔØÔÝ áÞæßæÔçÔÚè ôáÔÚ ÜÞÜÔÖã ÔÖÔàãØÔì ÖÞÚÔàßÚÛ ÕÞÚÛÔÚ æÞÚÛÔäÔ
ÝÞÝÖÞåØÔÝàÔÜ ÔÜÔß ÝÞÚßÚÕÔíÚßÚÕÔ ÖÞÝàÔÙÔåÔÚì ÖÔÕÔçÔØ ãÔ ÝÔÝÖß ÝÞØßÚÔæãÚÙÔì
ÝÔáÔ ÖÞÚÔàßÚÛ ÔáÔÚ ÕãáÞÚÔáÔÚ ÕÞÚÕÔ æÞæßÔã ÙÔÚÛ ÕãæÞÖÔáÔÜãè õÞÚÕÔ ÙÔÚÛ ÕãÝÔáæßÕì
æÞàÔÛÔãÝÔÚÔ ÙÔÚÛ ÜÞåÝßÔÜ ÕÔØÔÝ â×ÚÜ×ç ÚÔæáÔç ÔáÔÕ ÖÔÕÔ àÔÚá æÙÔåãÔçì ×ØÞç ÖãçÔá
àÔÚá æÙÔåãÔç ÕãäÔÕãáÔÚ æÞàÔÛÔã ÕÔÚÔ æ×æãÔØè éö
õÞÚÕÔ ãÚã ÕãáåãÜãá ×ØÞç ôàÕßØØÔç ëÔÞÞÕ ÕÔØÔÝ àßáßÚÙÔì æÞÖÞåÜã äßÛÔ ÖÞÚßØãæ ØÔãÚÚÙÔè
÷ÞÚßåßÜ ÝÞåÞáÔì æÔÚáæã ÔÜÔß ÕÞÚÕÔ ÝÞÚÛÛÔÝàÔåáÔÚ áÞåßÛãÔÚ ÙÔÚÛ ÕãÕÞåãÜÔ ×ØÞç àÔÚ á
ÔáãàÔÜ ÜãÕÔá ÕãàÔÙÔåÚÙÔ ßÜÔÚÛ ÜÞÖÔÜ øÔáÜßè ùÔÚá æÙÔåãÔç ÝÞØãçÔÜ ÔÕÔÚÙÔ ÜãÚÛáÔÜ ØÔàÔ
æÞâÔåÔ Ú×åÝÔØ ÕÞÚÛÔÚ ÔÕÔÚÙÔ æÔÚáæã ÕÞÚÕÔ ÜÞåæÞàßÜè ëÞçãÚÛÛÔ çÔØ ãÚã æÔÝÔ æÔäÔ ÕÞÚ
ÛÔÚ
ÜßäßÔÚíÜßäßÔÚ ÖåÔáÜãæ æÔÚáæã àßÚÛÔ ÕÔØÔÝ àÔÚá á×ÚúÞÚæã×ÚÔØì áÞÜãáÔ ßÜÔÚÛ ÜãÕÔá ÕãàÔÙÔåáÔÚ
ÜÞÖÔÜ øÔáÜßè éé
ûåãÜãáÔÚ ÖÔåÔ ÖÔáÔå ãÚãì ÜãÕÔá åÞØÞúÔÚ ÕÞÚÛÔÚ ñÔáÜÔ ÙÔÚÛ ÔÕÔ Õã ÖÞåàÔÚáÔÚ æÙÔåãÔç
ðÚÕ×ÚÞæãÔè ëÔÚáæã ÕÞÚÕÔ ÙÔÚÛ ÕãÜÞåÔÖáÔÚ ÕÔØÔÝ ÜåÔÚæÔáæã murâbahah ÙÔÚÛ æÞÚÛÔäÔ ØÔØÔã
ÝÞÝàÔÙÔåáÔÚ ÔÚÛæßåÔÚÚÙÔì ÜãÕÔá ÕÔÖÔÜ ÕãæÔÝÔáÔÚ ÕÞÚÛÔÚ Ö×ØÔ æÔÚáæã àßÚÛÔ ÙÔÚÛ
ÔÕÔ Õã àÔÚá á×ÚúÞÚæã×ÚÔØè ùÞàÞåÔÖÔ ÔØÔæÔÚÚÙÔ Õã ÔÚÜÔåÔÚÙÔü
Ôè õÞÚÕÔ ÜÞåæÞàßÜ ÜãÕÔá ÕãÝÔÚñÔÔÜáÔÚ æÞàÔÛÔã àÔÛãÔÚ ÖÞÚÕÔÖÔÜÔÚ àÔÚáì áÞâßÔØã ÕãÝÔÚí
ñÔÔÜáÔÚ ßÚÜßá ÔáÜãúãÜÔæ æ×æãÔØý
àè ëÔÚáæã ÕãÝÔáæßÕáÔÚ ØÞàãç àÞåæãñÔÜ ÝÞÚÕãÕãá ÕÔÚ ÖÞÚâÞÛÔçÔÚ ßÚÜßá ÝÞÚÛÔÚÜãæãÖÔæã
áÞåßÛãÔÚ ÖÔÕÔ àÔÚáì æÞàÔÛÔã ØÞÝàÔÛÔ ÖÞÚÛçãÝÖßÚ ÕÔÚÔ ÖßàØãá òõÔÚÔ þãçÔá ûÞÜãÛÔóè
ÿÖÔÙÔ ÖÞÚâÞÛÔçÔÚ ÜÞåçÔÕÔÖ áÞÝßÕÔåÔÜÔÚ ÕÔØÔÝ ðæØÔÝ ÕÔÖÔÜ ÕãØÔÚÕÔæáÔÚ áÞÖÔÕÔ
áÔÞÕÔç sadd al-dzarî ah.é
Ñ Í É
Ibid.
ÂÑ
Í Ê Ð Î ÑÊ ÐÍÑÐÍÄ
Ibid.
ÍÍ Islamic Banking and Interest,
Islamic Banks Practices in Murâbahah, Ï
Ä Ò Aqd Bai al-Murâbahah, Â ÏÏÍ
ÊÎÏ Ê ÃÏ ÎÍÏÊÑ Í ÂÂÏÊ
Ã
ÎÃÏ Ê ÐÉ ÌÐÊ ÓËÇÒ ÑÍ ÓÄ
Sadd al-dzarî ah ÊÏ ÎÉ ÎÍÐ Ê ÎÉÉ ÏÍÂÍ istinbâth
ÐÍÉ ÏÍÉÉ Ã Ñ ÍÑÊ ÎÍÎÉÉ ÍÑÉÎ Ä Ê Ãî
É ÉÏ ÃÏ ÎÃÏ Í
Hasballah, Ushûl al-Tasyri
al-Islâm (Mesir: Dâr al-Ma ârif, 1971), h. 319, dan kitab-kitab ushul fiqih lainnya. Dalam konteks
di atas, sanksi denda dimaksudkan sebagai upaya menutup jalan agar jangan timbulnya kerugian
bagi bank dan penabung, akibat kelalaian pembayaran angsuran dengan sengaja.
¾¿À
Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah
"#$#% &'()&'*+,- $#,./ 0#.1 %'.2#3, *(,+,*#. $'4,5 2#65 +'(5#3#& 4#.* )0#(,#5
3#$#% %'.2#$#.*#. #*#3 murâbahah ,., ,#$#5 *'7'.3'(6.1#. &,5#* 4#.* %'$#*)#.#*#.
#*#3 ,., 5#.0# 3#(, ),), *'%63#5#./ #+#6 #3#.0# #*#3 wakâlah 0#.1 3,*8.3,),*#.9 :,5#*
4#.* )0#(,#5 $'4,5 +'(1#%4#( )'4#1#, 8(1#.,)#), &'%4,#0# 46*#. &'.26#$ 4#(#.1/ ;#$#6&
3#$#% +(#.)#*),
6.
murâbahah/ 4#.* 5#(6) 4'(&'(#. )'4#1#, &'.26#$9 :'.,$#,#. ,., %6.76$/
*#('.# 4#.* +,3#* %'%'1#.1 4#(#.1 3#. +,3#* 261# %'.1#%4,$ (,),*8 3, #+#).0#9 "'.1#.
%'%#.3#.1 4#.* )0#(,#5 # ),), ,.,/ *'7'.3'(6.1#. )'4#1,#. 8(#.1 %'.,$#, +,3#* #3#
4'3#.0# 3'.1#. 4#.* *8.<'.),8.#$/ #1#*.0# 3#&#+ 3,4'.#(*#. 261#9 =#1#,*#. &'.,$#,#.
>436$$#5 ?#''3 0#.1 %'.0#+#*#. 4#5;# %')*,&6. murâbahah 3, #;#$.0# )'4#1#, *8.+(#*
26#$ 4'$,/ .#%6. )'4'.#(.0# ,., )'2'.,) &'%4,#0##. 4'(3#)#(*#. *'6.+6.1#. 0#.1 3,+'+#&*#.
3, %6*#/ 0#.1 +,3#* 2#65 4'(4'3# 3'.1#. &'%4,#0##. 4'(3#)#(*#. 46.1# +'+#&9
@A
Penutup
"#(, 6(#,#. 3, #+#)/ +'($,5#+ 4#5;# 4'+#&# 3,$'%#+,).0# 4#.* )0#(,#5 3#$#% %'.'(#&*#.
)*,%
murâbahah ,.,/ #.+#(# +6.+6+#. ,.1,. 4'(#3# 3#$#% .6#.)# )0#(,#5 B)$#% )'7#(#
%6(.,/ )'5,.11# +'('$,%,.,( &'()'&), %,(,.1 )'*#3#( 1#.+, 4#26/ 3'.1#. +6.+6+#. &(#1%#+,)
%'
&#)#( 3#. ('#$,+) )6%4'( 3#0# %#.6),# 4#.*9 ",$'%# +'()'46+ #*#. +'('$'%,.,( *#$#6 &'.1C
#;#)#. 3#(, "';#. :'.1#;#) ?0#(,#5 +'(5#3#& &'$#*)#.##. )*,% 3, $#&#.1#. 4,)# $'4,5
8&+,%#$ $#1,/ 3#. *'%#6#. 3#(, &(#*+,), 6.+6* +,3#* 5#.0# %'%#.3#.1 3#(, )'1, *'&(#*+,)#.
3#. *'%63#5#. )'%#+#/ %'$#,.*#. 4#1#,%#.# %'.'%&#+*#. &#(#3,1%# )0#(,#5 ,., %'.2#3,
$#.3#)#. 6+#%# 3#$#% )'+,#& +(#.)#*), 0#.1 #3# 3, &'(4#.*#. )0#(,#59
Pustaka Acuan
>49 D5#.,/ >49 E6%,.9
Sistem Kewangan Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia. F6#$#
G6%&6(H I#4#+#. F'%#26#. B)$#% E#$#0),#/ JKKK9
>(,-,./ L#,.6$9
Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. I#*#(+#H >$<#4'+/ MNNM9
>$C=#56+,9 E#.)56( 4,. Oûsuf. Kasyf al-Qinâ
1982.
an Matn al-Iqnâ , Juz. III. Beirut: Dâr al-Fikr,
Mohammed. Islamic Banks Practices in Murâbahah, Makalah di Abu Dabi, 18-20 Maret
1989.
Hakim Abd al-Hamid. al-Bayân. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Hasballah. Alî. Ushûl al-Tasyri al-Islâm. Mesir: Dâr al-Ma ârif, 1971.
Himpunan Fatwa Dewan Syari ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006.
Horne, James C. & Wachowicz, John M. Fundamentals of Financial Management, New Jersey:
Prentice Hall, Upper Saddle River, 1998.
Saeed, Islamic Banking and Interest, h. 92.
57
!
MIQOT
STUV WWWS XTV Y Z[U\]^_`_ab_c Ydee
fgh igjkîn.
Radd al-Mukhtâr ala al-Ardh al-Mukhtâr, Juz IV. t.tp.: t.p., t.t.
Ibn Arabi. Ahkâm al-Qur ân, Juz I, Kairo: Îsa al-Bâbî al-Halabi wa Syurakah, 1967.
Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Juz II. Kairo: Mathba ah Dâr Ihya al-Kutub al- Arabiyah, t.t.
Ibn Manshur, al-Afriqy. Lisân al-Arab, Juz II. Beirut: Dâr al-Sadr, t.t.
Ibn Qudamah, Abû Muhammad bin Ahmad. al-Mughny, Juz.IV. Riyadh: Riasah Idarah
al-Buhuts al- Ilmiyyah wal al-Ifta` wa al-Da wah wa al-Irsyâd, 1401 H.
Ibn Rusyd, Abû al-Wâlid Muhammad. Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid,
Juz II. Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba ah Musthafa al-Bâbî al-Halabi wa
Auladih, 1981.
Imam al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, Juz VIII, Maktabah Shamilah: CD Room.
Iska, Syukri. Dilematis Lembaga Perbankan Syariah Dalam Kultur Minangkabau , dalam
Jurnal Ilmiah Syariah (Juris), STAIN Batusangkar, Vol. 5, No. 1/2006.
Al-Jaziri, Abd al-Rahman, Kitâb al-Fiqh alâ al-Madzhâhib al-Arba ah, Juz II, Bairut: Dâr
Ihya` al-Turats al-Arabî, 1986.
Al-Kaff. Does Islam Assign Any Value, dan CII., Consolidated Recommendations on the Islamic
Economic System. Islamabad: Council of Islamic Ideology, 1983.
Al-Kahlany. Muhammad ibn Ismâ îl Subûl al-Salâm, Juz III. Bandung: Dahlan, t.t.
Karim, Adiwarman A. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006.
Al-Kasânî, Abû Bakr Ibn Mas ud. al-Badâ i wa al-Shanâ i fî Tartîb al-Syarâ i, Juz VII. Beirut:
Dâr al-Kitab al-Arabî, t.t.
Kasmir. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: RajaGrafindo, 2003.
Kuwait Finance House. al-Fatâwâ al-Syar iyyah fî al-Masâil al-Iqtishâdiyyah. Kuwait: KFH,
1985-1986 & 1986-1987.
Al-Marghinani, Burhan al-Dîn. al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtady. Juz III. Kairo:
Syarikah Maktabah wa Mathba ah Musthafa al-Bâbî al-Halabî wa Auladih, t.t.
Al-Misr. Masraf al-Tanmiyyat al-Islâmiy. Beirut: Mu assasat al-Risalah, 1997.
Al-Nadawi, Alî Ahmad. al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah. Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1986.
Al-Râzî, Abû Abd Allâh Muhammad Fakhr. al-Tafsîr al-Kabîr, Juz VII. Kairo: al-Matba ah
al-Bahiyyah, 1938.
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study the Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretation. Leiden: E.J. Brill, 1996.
Al-Syâfi î, Muhammad Idrîs. al-Umm, Juz. III. Beirut: Dâr al-Ma rifah, 1973
Al-Syarbini, Muhammad al-Khatib. Mughni al-Muhtâj alâ Ma arif Ma âni Alfazh al-Minhâj.
Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba ah Musthafa al-Bâbî al-Halabi wa Awladih, 1958.
Al- Syaukânî, Muhammad. Nail al-Authâr, Juz. V. Kairo: Maktabah al-Da wah al-Islamiyyah,
t.t.
PQR
Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah
opqrstsu opsvwp xyz{îl.
Nazhariyyat al-Muhâsabah al-Mâliyyah min Mandûrin Islâmi,
Kairo: al-Zahra li al-I lam al-Arabi, 1987
Sumitro, Warkum. Azas-azas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait: Bamui, Takaful
dan Pasar Modal Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Wiroso. Jual Beli Murâbahah. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Al-Zarqa. al-Madkhal al-Fiqh al- Âm, Juz I (al-Fiqh al-Islâmi fi Tsawbih al-Jadîd), Beirut:
Dâr al-Fikr, 1968.
lmn
MIQOT
PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM
PADA MASA RASULULLAH SAW.
Ikhwan
¡¡ ¢£¤£
¥¦ §¡ ¨© ª« ª© ¬© ®¯°¯±
²³¡´ µ¶¡£·y££¦¸£¦
Abstrak: ¹ºº» º¼ ½¾½ ¿ºº ºÀºº¾ Áº º¿ºº» ½¾Â»ºÂºº¾ ¼»º¿º½ úÄ
ź ƺ¾º ÇÃÅÆÈ yº¾Â ½¼ ½¾Â»ºÂºº¾ ¼»º¿º½ ºÂººÉ À漃 ºÄºÉ ļ¾º¾
¿º¾ »º¼º ˺¿º ºº º ¹ÅÌ ¾¿ ½¾ÂºÄº¾ ¼»º¿º½ ½º¾Âºº¾ ¾ ¿º½º¼
¾Àº¿ ¾½º ºÂ ½¾ÂºÄº¾ ÃÅÆ ½º¿º ºº ĺº¾Â ºº ¼º¾ ¾É ½¾
º»º ¼¾¼º¾Â ½¾Âº¿º¾ ÃÅÆ ¿ ¿ºº ¼ ½º¿º¾ Áº ¿º¾ ¾Â
¿¾¼Íĺ ¾¼Ä ¿º¾ ĺ¾ ½¾yºº¾ ĺĺ ½º¾Âºº¾ ÃÅÆ
˾ ¾Äº¾ º»Êº ½¾yºº¾ ĺ ½º¾Âºº¾ »ºÄ ºº º¾º
¿ºÄº¾ºÄº¾ ¿¾Âº¾ ¼Âº ¼¿ ˼ººÉ ¼¿ ½Äºº ºº ¿ ½¾Âº¿º¾
yº¾Â ¿ºÄ» ¿¾Âº¾ Ľ¼º¾ »ºÄ οºÉ ¼¿ ½Äºº ºº ¿ ½¾Âº¿º¾
yº¾Â ¿ºÄ» ¿¾Âº¾ ishlâh ǽ¿ººº¾È Î¼ÂºÉ ¼¿ ½¾Â¾Âĺ½º¾ ľºº¾
¿º¾ ľº ½ºº ½»ºÄÉ ¼º¾½º º ½ ½Äºº ¿ ½¾Âº¿º¾
AbstractÏ The Settlement of Human Right Violation Case in the Time
of Prophet pbh о Í ¼» ºÑ ½¾Ñ½ Í ÁºÑ Һѻ¾Â ¼»
ѾѾ ¾ ¼» ½¼Ñ¼¾ Í »º¾ »¼ ʻѻ ¾Ñ¿ ºÍº¿¾Â ¾É
ÍÉ ¾¼Ñ¼É ¿Ñ¾¿º¾¼ º¾¿ ½¾ ú¾ »¼ Ó¾Ñ ºÊ ¾ÍѾ¼
¿¾Â ¼» ¼ Í ¼» ˽»¼ ºy Ñ º Ñ Í ¾½º¼¾ Í ¼» Ѿ¼
½ Á¾ ¼» ºy ¼» º¼» ¿Ñ »º¾ ¼» Ѽ Í À¼Ñ ¾ ÁºÑ
y¼ Í À¿Ñº¼ º¾¿ ¿¾¼Íy ¼» Í º¾¿ Ñ»º¾ Í Ñº Í »º¾ »¼
Ó¾Ñ ¼¼¾¼ Ò» º¼» ;¿ ¼»º¼ ¿½¼ ¼¼¾¼ º Ѻ¿ ¼
º ¾ ¼» ¾º ¼Âº¼¾ y ¾Â¾Â ¼» Ѻ ¼ ¼» Ѽ ʻѻ ¼»¾ ÍÊ¿
y ¼» ¿Ñ¾ y ¼» À¿Â ѾѺ¼¾ Á¾ º¿¿¼¾É ¼ ºy º ¼¼¿
y ѾѺ¼¾ Í ¼» ½º¼ ʼ»¼ ; ¼» Ѻ ¼ ¼» Ѽ
Kata KunciÔ
ÕÖ×ÖØ ÙÚÛÜØÝ ÞßÛÜàááÜâÜà ãäåÝ æÜÚÖÛÖÛÛÜÕ çäèé
Pendahuluan
yÜàá íìÛÜ×Ö×Üà íÜÛÜØ âÜàá×Ü ÞßâÛìàíÖàáÜà ÕÜ× ÜÚÜÚì ØÜàÖÚìÜ
íì ÜàëÜâÜàyÜ ÜíÜÛÜÕ ØßàáÖÚÖëÝ ØßàáÜíìÛìÝ íÜà ØßàyßÛßÚÜì×Üà ×ÜÚÖÚî×ÜÚÖÚ ÞßÛÜàááÜâÜà
êÚÜÕÜ ëßâÞßàëìàá
|}~
Q4Gh3;D C?;j?1?:353; A3:0: C?13;@@383; 2-> C3/3 >3:3 J3:010113G H-kP
òóô óõóõö ÷óøùõöóú ûüóyó ýþÿõö ó üÿþþøö õþüþÿö üþøööôóø üþøyùùòóø óø üþ÷ýùóóø
üþÿóùÿóøüþÿóùÿóø þøóø óô
õóõö
óøùõöó
öóô óüó ÷þöøùøö òóô óõóõö
÷óøùõöó õþ óÿó ýóöô óø ÷óôõö÷ó óøüó öýóÿþøö þøóø üþøþôóóø ÿþüÿþõö óó÷
ýþøùô üþ÷ýþÿöóø õóøôõö òùôù÷ ÷þóùö þ÷ýóó üþÿóöóøú þøyþþõóöóø ôóõùõ üþóøóÿóø
òóô óõóõö ÷óøùõöó õþ óÿó óö óø ýþÿóóý õþÿó üþøþÿóüóø õóøôõö òùôù÷ ýóö üþóôùøyó
óüó ÷þøóö üþøööôóø òùôù÷ yóø ýóöô ýóö ÷óõyóÿóôó ö õó÷üöø óüó ÷þøö÷ýùôóø
þ þô þÿó ôþüóó üþóôùøyó óø þ þô óôù ýóö ÿóø yóø ýþÿøöó ÷þóôùôóøøyóú þ÷ùó
ùüóyó üþÿöøùøóø òóô óõóõö ÷óøùõöó yóø ýþÿõö ó ÿþüÿþõö þÿõþýù òóøyó óüó öóôùôóø
õþ óÿó ýóöô óø ýþøóÿ ÷þóùö üÿõþõ ýþÿüþÿôóÿó ö üþøóöóøú
þóôõóøóóø üþÿóöóø óó÷ ÿóøôó üþøþóôóø óø üþÿöøùøóø òóô óõóõö ÷óøùõöó
þóò ö÷ùóö õþóô ýþÿóôòöÿøyó þÿóø ùøöó ö ÷óøó üþ÷ýùøùòóø ÷óõó üþ÷þÿôõóóø
üþ÷ùõøóòóø þøöõ óø óöøøyó yóø öóôùôóø þò þÿ÷óø öóöö þò
ööþÿ øþÿøóõöøó
International Military Tribunal
óòôó÷óò
ö ùÿþ÷ýþÿ ÷ùóö ôýþÿ ú
óÿó üþöøö öóôó þóò ÷þóôùôóø ôþóòóóø üþÿóø
war crime
ôþóòóóø
crimes against humanity óø ôþóòóóø þÿòóóü üþÿó÷óöóø
crimes against peace ú óó üþÿôþ÷ýóøóø õþóøùøyó üþøóöóø öøö öþÿùõôóø þò üþ÷þÿöøóò
óòôó÷óò
ööþÿ øþÿøóõöøó yóø õó÷ó
þüùýöô þþÿóõö þÿ÷óøú þ÷þøóÿó öù
ùó ööÿöôóø ö ôy ùøùô ÷þøóöö üþóøóÿóø òóô óõóõö ÷óøùõöó yóø öóôùôóø
þÿòóóü ôþ÷óøùõöóóø
þò üóÿó üþ÷ö÷üöø þüóøú
óó óòùø ! "" ÷þ÷ýþøùô þøóöóø øþÿøóöøó
International Tribunal
ùøùô ýþôóõ #ùõóöó ùøó ÷þøóöö ÿóøÿóø yóø ýþÿóøùø óóý óóõ þÿóö
øyó üþóøóÿóø õþÿöùõ þÿòóóü òùôù÷ òù÷óøöþÿ óó÷ öóyóò ýþôóõ #ùõóöó õþóô
$
óòùø ú óÿó þÿóôó óøóÿó óöø ýóø
öùöøö
óøö
ÿþõöþø þÿýöó öôó óöøö
%þüóó ó û÷ù÷
ö þö
þüùö þÿóøó
ÿþõöþø #ùõóöó
öóø
þøþÿö #ùõóöó ÿóùý
øôóóø "þÿõþøóó #ùõóöó óø &óô üöôö
'
þøþÿö óó÷ þþÿö þÿýöó ú þøóöóø öøö ùó ÷þøóöö
öóø "óýö üþ÷ö÷üöø
üþ÷ýþÿøóô þÿýöó%ÿóõöó õþÿó ÷þ÷ýùÿù üþ÷ö÷üöø üþ÷ýþÿøóô þÿýöó"õøöó óóø
%óÿózö óø óô
óó
óö ú
öóø "óýö óôòöÿøyó þóõ ýùøùò öÿö óó÷ õþ óòóøóø üóó
óÿþ ())* óø ýóø
óòóøóø üóó
óÿþ ())*ú
ö þö
ùó þóõ ôóÿþøó õþÿóøóø óøùø óó÷
+
,-./01 23456 7380/3 90:3;<383= >?;@3/515 A3:0:BA3:0: C?13;@@383; 234 -:3:5 >3;0:53D
C?;@31363; E?.?83F3 9?@383= >34313G F3/3 H?65;38 93:5I;31 J3;K3;@3; L;/3;@BL;/3;@
<?;<3;@ C?;@3/513; 234 -:3:5 >3;0:53 MN3438<3D O58?4<I83< N?;/?831 20406 /3; C?80;/3;@B0;/3;@3;
O?F38<?6?; 20406 /3; C?80;/3;@B0;/3;@3; JPQP= RS T?.80385 UVVVW= GP RP
X H<3<0<? IY <G? Q;<?8;3<5I;31 Z85.0;31 YI8 TI86?8 [0@I:13\53= -/IF<?/ U] >3y R^^_ 3:
-6?;/?/ R_ >3y R^^`P
aObI4I HI?@53;<I= L:3G3 0;<04 >?;@?;31 C?;@3/513; 2->= >34313G C?13<5G3; 2-> .3@
5
c31I; 23456 /3; 23456 -/ 2IK /5 2I<?1 H3;<543 dBRV 9IF?6.?8 UVVR MN3438<3D O?F38<?6?;
A?G34563; /3; 2-> JPQP= UVVRW= GP USBUeP
fgC?6.3;<35 >0:156 EI:;53 Z?h3: /5 H?1=i /3136
ïðñ
Indopos
MN3438<3= RU >38?< UVVSWP
MIQOT
opqr ssso tpr u vwqxyz{|{}~{ u
y
y y
y
y y ¡ ¢ £ ¤
¥ ¦ § £ ¥ ¨
y
©ªªªªª «
¬
¤ ¤
®¯ y y °¤
y ¨
y
¡ y
y
±
² °¤
y
°¤ ® °
«« ¨
°¤ y ¨ ¢
y
°¤ °
¤ ° ¨
y ¡
°¤ y
y y
° ¡y
z
¨ y
y °¤ ¢y y
y ³
°¤ y
´ °¤
y °¤
y µ¶ §
³·
°¤ ¢ y
§ y y
¸¹º»¼»w»{ p½ »¾{ ¿À»{À¼»xpÀ¼q Áx~wÀ¼q ½p ÂüÀļŠÆÆǹr
ȹÉ{ÀʼÄxq¼À ɼqxÀÊ Ë̾xÍŠļq¼} Gatra Îv¼Ì¼»¼Å uÆ v¼Àw¼x uÏÅ ¾r ÐÆyÇÑ ºp{Êx¼À»pÅ
ÒÓ|¼¾¼ wÀ»wÌ Ô{ÀÊ{À¼q É{ÀʼÄxq¼ÀÅÍ ¾r uÕyuÖ
×ؼwļ tw|¼À»¼¼Å ÒÔ{ÀʼÄxqx Ù¼|w|ÅÍ ¾r u
lmn
#%79 : ; ) % &<4
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
ÜÝÞßÝàáÜÝÞßÝà âãäãå æç èßéêÝ ëççç ìíÝìßÝà îßï ðñßñò óßÝêñòß äíäêßì ÞíôòÝòñò
yßÝà õêïêö ÷ßòï ìíÝìßÝà öíøßÝààßåßÝ éßï ßñßñò äßÝêñòßù yßòìêú
ûíìòßö öíå÷êßìßÝ ñíãåßÝà ßìßê ñíïíøãäöãï ãåßÝà ìíåäßñêï ßößåßì Ýíàßåßù ÷ßòï ÞòñíÝàßüß
äßêöêÝ ìòÞßï ÞòñíÝàßüß ßìßê ïíøßøßòßÝù
yßÝà ñíõßåß äíøßýßÝ éêïêä äíÝàêåßÝàòù
äíÝàéßøßÝàòù äíä÷ßìßñòù ÞßÝ ßìßê äíÝõß÷êì éßï ßñßñò äßÝêñòß ñíãåßÝà ßìßê ñíïíøãäöãï
ãåßÝà yßÝà ÞòüßäòÝ ãøíé êÝÞßÝàáêÝÞßÝà òÝò ÞßÝ ìòÞßï äíÝÞßößìïßÝ ßìßê ÞòïéßýßìòåïßÝ
ìòÞßï ßïßÝ äíäöíåãøíé öíÝyíøíñßòßÝ éêïêä yßÝà ßÞòø ÞßÝ ÷íÝßå ÷íåÞßñßåïßÝ äíïßÝòñäí
éêïêä
yßÝà ÷íåøßïêþ ÿ
ßñßø ë ßÝàïß
þ
óíÝêåêì ÞíôòÝòñò òÝòù öíøßÝààßåßÝ éßï ßñßñò äßÝêñòß ßÞßøßé ñíìòßö öíå÷êßìßÝ yßÝà
äíåêàòïßÝ éßï ßñßñò äßÝêñòß yßÝà ÞòüßäòÝ ãøíé ÜÝÞßÝàáÜÝÞßÝà âãäãå æç èßéêÝ ëçççþ
íåòÝõòßÝ éßï ßñßñò äßÝêñòß yßÝà ÞòüßäòÝ ìíåñí÷êì Þòßìêå Þßøßä ÷ß÷
ößñßø ç ñßäößò ößñßø
yßÝà äíøòöêìò éßï éòÞêöù éßï ÷íåïíøêßåàß ÞßÝ äíøßÝüêìïßÝ ïíìêåêÝßÝù éßï äíÝàíäá
÷ßÝàïßÝ Þòåòù éßï äíäöíåãøíé ïíßÞòøßÝù éßï ßìßñ ïí÷í÷ßñßÝ öåò÷ßÞòù éßï ßìßñ åßñß ßäßÝù éßï
ßìßñ ïíñíüßéìíåßßÝù éßï ìêåêì ñíåìß Þßøßä öíäíåòÝìßéßÝù éßïáéßï ýßÝòìßù ÞßÝ éßïáéßï ßÝßïþ
íôòÝòñò Þò ßìßñ äíÝyí÷êìïßÝ ÷ßéýß ñê÷üíï öíøßïê öíøßÝààßåßÝ éßï ßñßñò äßÝêñòß
Þßößì ÷íåêöß òÝÞòòÞê ßìßê ñíïíøãäöãï ãåßÝà yßÝà ñíõßåß ÷íåñßäßáñßäß äíøßïêïßÝ
ñêßìê öíøßÝààßåßÝ éßï ßñßñò äßÝêñòßþ
íÝßä÷ßéßÝ ïßìßáïßìß
ìíåäßñêï ßößåßì Ýíàß åß
. äíåêößïßÝ ñêßìê öíÝíïßÝßÝ ÞßÝ öíåéßìòßÝ ïéêñêñ ïßåíÝß ñíõßåß ôßïìêßøù öíøßÝààßåßÝ
éßï ßñßñò äßÝêñòß ÷ßÝ ßï ÞòøßïêïßÝ ãøíé ßößåßì Ýíàßåßþ
íÝíïßÝßÝ òÝò äíåêößïßÝ ñßøßé
ñßìê õòåò ïéßñ ïßñêñ öíøßÝààßåßÝ éßï ßñßñò äßÝêñòßþ âêßÝñß ïéêñêñ òÝò ãøíé ößåß ßéøò Þòñí÷êì
ñí÷ßàßò ñßøßé ñßìê ÷íÝìêï ïéêñêñ Þßåò ïíüßéßìßÝ öãøòìòï ÿpolitical crimes þ
íüßéßìßÝ öãøòìòï
Þßößì Þò÷íÞßïßÝ ïíößÞß ïíüßéßìßÝ äíøßýßÝ öíÝàêßñß ÿ crimes against the govermentù
ñíöíåìò öíä÷íåãÝìßïßÝù ÞíäãÝñìåßñò òøíàßøù ìíåãåòñäíù àíåßïßÝ ñê÷íåñòôù ÞßÝ ïíüßéßìßÝ
ßÝà ÞòøßïêïßÝ ãøíé öíÝàêßñß ÿcrimes by government, state crimes, political policing, governmental
crimesù ñíöíåìò öíøßÝààßåßÝ éêïêä ãøíé ßößåßì öíäíåòÝìßéù äòøòìíåù òÝìíøòüíÝþ íøßÝààßåßÝ
éßï ßñßñò äßÝêñòß ìíåäßñêï ïí Þßøßä ïßìíàãåò ïíÞêß Þßåò ïíüßéßìßÝ öãøòìòïþ
éßï ßñßñò äßÝêñòß äíäöêÝ ßò ÝêßÝñß ïéêñêñù
íøßÝààßåßÝ
ßïÝò öíÝßøßéàêÝßßÝ ïíïêßñßßÝ Þßøßä
ßåìò öíøßïê ÷íå÷êßì Þßøßä ïãÝìíïñ öíäíåòÝìßéßÝ ÞßÝ Þòôßñòøòìßñò ãøíé ïíïêßñßßÝ öíäíåòÝìßé
ÿcommitted within
a govermental context and facilitated by governmental powerþ
ßéïßÝù
ÞòïßìßïßÝ üêàß ÷ßéýß öíå÷êßìßÝ äíøßÝààßå éßï ßñßñò äßÝêñòß ÞòøßïêïßÝ Þßøßä ïíåßÝàïß
ßìßê Þòñíåìßò ßñãñòßñò ÞíÝàßÝ ñìßìêñ öíäíåòÝìßéßÝ ÿwithin or in association with governmental
statusþ
ßÞß ïíÝ ßìßßÝÝ ßù öíøßÝààßåßÝ éßï ßñßñò äßÝêñòß êäêäÝ ß ÞòøßïêïßÝ ãøíé
ßößåßì Ýíàßåßù ìíåêìßäß äòøòìíåþ
! " #$ %
&' ( )* +,+ !- ./ 01 2333"
%4 54 '1 6% '7 8 6%
% ' '1 1 ' % ' 4 '1 % '
ÚÛÚ
MIQOT @ABC DDD@ EAC F GHBIJKLMLNOLP FQRR
STUVVWXWU YTZW[\]Z ^WZ] ^T_]U]`] ^] WYW`a yW[U]b c^WU Y]^W[ dTU^WeWY[WU WYWf
^][\WgWY]Z[WU Y]^W[ W[WU dTdeTZhXT\ eTUiTXT`W]WU \f[fd iWUV W^]X ^WU jTUWZ jTZ^W`WZ[WU
dT[WU]`dT \f[fd iWUV jTZXW[fka dTZfeW[WU l]Z] [\W` XW]U ^WZ] eTXWUVVWZWU mnop qT[\Wr
gWY]ZWU ]U] j]`W ^]`TjWj[WU hXT\ [TXTdW\WU eTZWYfZWU eTZfU^WUVrfU^WUVWU ^WU j]`W
sfVW [WZTUW eTUVWZf\ eTXW[f eTXWUVVWZWU \W[ W`W`] dWUf`]Wp tTjWVW]dWUW ^]`]UiWX]Za
WeWZWY UTVWZW W^WXW\ e]\W[ iWUV eWX]UV jTZeTXfWUV ^WU eWX]UV `TZ]UV dTXW[f[WU eTXWUVVWZWU
mnoa `TdTUYWZW dTZT[W dTd]X][] [T[fW`WWU iWUV ^WeWY ^]`TXTgTUV[WU fUYf[ dTdr
eTUVWZf\] eZh`T` ^WU \W`]X eTZ`]^WUVWUp
u] ^WXWd vU^WUVrvU^WUV whdhZ xy YW\fU xzzz YTUYWUV STUVW^]XWU mno ^]`TjfY[WU
jW\gW STUVW^]XWU mno \WUiW jTZYfVW` ^WU jTZgTUWUV dTdTZ][`W ^WU dTdfYf` eTZ[WZW
eTXWUVVWZWU \W[ W`W`] dWUf`]W iWUV jTZWY {eW`WX |}a iW]Yf [TsW\WYWU VTUh`]^W {genocide}
^WU [TsW\WYWU YTZ\W^We [TdWUf`]WWU {crimes againts humanity} {eW`WX ~r}p qTsW\WYWU
VTUh`]^W W^WXW\ `TY]We eTZjfWYWU iWUV ^]XW[f[WU ^TUVWU dW[`f^ fUYf[ dTUV\WUlfZ[WU
WYWf dTdf`UW\[WU `TXfZf\ WYWf `TjWV]WU [TXhdeh[ jWUV`Wa ZW`a [TXhdeh[ TYU]`a [TXhdeh[
WVWdWa ^TUVWU lWZW dTdjfUf\ WUVVhYW [TXhdeh[ dTUVW[]jWY[WU eTU^TZ]YWWU _]`][
WYWf dTUYWX iWUV jTZWY YTZ\W^We WUVVhYWrWUVVhYW [TXhdeh[ dTUl]eYW[WU [hU^]`] [T\]^feWU
[TXhdeh[ iWUV W[WU dTUVW[]jWY[WU [Tdf`UW\WU `TlWZW _]`][ jW][ `TXfZf\ WYWf `TjWV]WUUiW
dTdW[`W[WU Y]U^W[WUrY]U^W[WU iWUV jTZYfsfWU dTUlTVW\ [TXW\]ZWU ^] ^WXWd [TXhdeh[
WYWf dTd]U^W\[WU `TlWZW eW[`W WUW[rWUW[ ^WZ] [TXhdeh[ YTZYTUYf [T [TXhdeh[ XW]U
{eW`WX }p
tT^WUV[WU [TsW\WYWU YTZ\W^We [TdWUf`]WWU W^WXW\ `WXW\ `WYf eTZjfWYWU iWUV
^]XW[f[WU `TjWVW] jWV]WU ^WZ] `TZWUVWU iWUV dTXfW` WYWf `]`YTdWY][ iWUV ^][TYW\f] jW\gW
`TZWUVWU YTZ`TjfY ^]Yfsf[WU `TlWZW XWUV`fUV YTZ\W^We eTU^f^f[ `]e]Xp WUV ^]dW[`f^
^TUVWU `TZWUVWU iWUV ^]Yfsf[WU `TlWZW XWUV`fUV YTZ\W^We eTU^f^f[ `]e]X W^WXW\ `fWYf
ZWUV[W]WU eTZjfWYWU iWUV ^]XW[f[WU YTZ\W^We eTU^f^f[ `]e]X `TjWVW] [TXWUsfYWU [Tj]sW[WU
eTUVfW`W WYWf [Tj]sW[WU iWUV jTZ\fjfUVWU ^TUVWU hZVWU]`W`]p qTsW\WYWU YTZ\W^We
[TdWUf`]WWU ^WeWY jTZfeW eTdjfUf\WU eTdf`UW\WUa dTX]efY] eTZjfWYWU iWUV
dTU]djfX[WU eTU^TZ]YWWU iWUV ^]XW[f[WU ^TUVWU `TUVWsWa WUYWZW XW]U jTZfeW eTZjfWYWU
dTUV\WdjWY eTdW`h[WU jWZWUV dW[WUWU ^WU hjWYrhjWYWU iWUV ^WeWY dTU]djfX[WU
eTdf`UW\WU eW^W `TjWV]WU eTU^f^f[ eTZjf^W[WUa YTZdW`f[ eTZ^WVWUVWU dWUf`]Wa
[\f`f`UiW eTZ^WVWUVWU gWU]YW ^WU WUW[rWUW[ eTUVf`]ZWU WYWf eTd]U^W\WU eTU^f^f[
`TlWZW eW[`W iW]Yf eTd]U^W\WU hZWUVrhZWUV `TlWZW eW[`W ^TUVWU lWZW eTUVf`]ZWU WYWf
Y]U^W[WU eTdW[`WWU iWUV XW]U ^WZ] ^WTZW\ ^] dWUW dTZT[W jTZYTdeWY Y]UVVWX `TlWZW
`W\a YWUeW ^]^W`WZ] WXW`WU iWUV ^]]]U[WU hXT\ \f[fd ]UYTZUW`]hUWX eTZWdeW`WU [TdTZr
^T[WWU WYWf eTZWdeW`WU [TjTjW`WU _]`][ XW]U `TlWZW `TgTUWUVrgTUWUV iWUV dTXWUVVWZ
{W`W`rW`W`} [TYTUYfWU eh[h[ \f[fd ]UYTZUW`]hUWX eTUi][`WWUa iW[U] ^TUVWU `TUVWsW
^WU dTXWgWU \f[fd dTU]djfX[WU [T`W[]YWU WYWf eTU^TZ]YWWU iWUV jTZWYa jW][ _]`][ dWfefU
dTUYWXa YTZ\W^We `ThZWUV YW\WUWU WYWf `T`ThZWUV iWUV jTZW^W ^] jWgW\ eTUVWgW`WU
eTZ[h`WWUa eTZjf^W[WU `T[`fWXa eTXWlfZWU `TlWZW eW[`Wa eTdW[`WWU [T\Wd]XWUa eTdWU^fXWU
WYWf `YTZ]X]`W`] `TlWZW eW[`W WYWf jTUYf[rjTUYf[ [T[TZW`WU `T[`fWX XW]U iWUV `TYWZW eTUVr
=>?
á°¼¾ª«Á ׫y³¬ª¨ª« Ī¬¹¬ ׳ª«··ª¯ª« ÓÒÜ ×ª©ª ܪ¬ª ƪ¬¹³¹³³ª¼ ÅÒÖº
y y
y y
y
y
y
y y
z
z
Pertama
¡widespread¢ ¡systematic¢ y
Kedua y y
y
£ £ y y
¡knowledge of
the attack¢ ¡specific intent¢ £y
y
y
y
¤
y ¡perpetrator¢
¡precise details¢
¥
¦
Pertama Kedua
y y
§¨©ª«ª ¬®ª¯ª °±«²«¬¨±«ª³´ §µ¶ª·¨ª« ¬§¯¸¨ ¨¸¹ ¸¨©ª° ©¨¸µ¹°ª«º »¨«©ª° §¨©ª«ª §±³¨¸¨° ¼ª«yª
©¨ª¯ª¼°ª« °§ª©ª °½ª¼ª¸ª« µ³ª¾ª« «·ª¯ª¿§µ¯¨«¸ª¼ yª«· ¬ª¼º À¨¼ª¸ ª«¸ª¯ª ³ª¨«Á Âú Ī«¸¯
©ª« źƺ Ũª«¸¹¯¨´ Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya´ Ǹº È Éʪ°ª¯¸ªÁ Ÿ±¯¨ª
˯ªÌ¨°ª´ ÍÎÎÍÏ´ ¼º ÍÐÎÑ Ò«©¨ Óªµzª¼´ Asas-Asas Hukum Pidana´ Ǹº Í Éʪ°ª¯¸ªÁ ƨ«°ª Ǩ§¸ª´
ÔÕÕÐÏ´ ¼º ÔÎÍ ©ª« Ö¨¯½±«± ׯ±©½±©¨°±¯±´ Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia´ Ǹº Ø ÉÙª«©¹«·Á
¯¬®±´ ÔÕÚÕϺ
Ûܹ³ª©¨´ ÝĽª¼ª¸ª« ¸¯¼ª©ª§ ĵª«¹¬¨ªª«´ ܪ°ª³ª¼ ©¨¬ªµ§ª¨°ª« §ª©ª ׳ª¸¨¼ª« ÓÒÜ
¶ª·¨ Óª°¨µ ©ª« Óª°¨µ Ò© Ó±® ©¨ Ó±¸³ Ū«¸¨°ª ʪ°ª¯¸ª Þ ß±§µ¶¯ ÍÎÎÔ Éʪ°ª¯¸ªÁ ৪¯¸µ«
ļª°¨µª« ©ª« ÓÒÜ Æºáº´ ÍÎÎÔÏ´ ¼º Èâãº
MIQOT çèéê ëëëç ìèê í îïéðñòóôóõöó÷ íøùù
úûúüýþýýÿ ýÿý ûýúü ûüý ýý úÿûúþ ûûÿý ýÿ ýÿ ýýü ýþýþ û
úûúüýþýýÿ ûûÿý Ketiga ú ý ýúýÿ ýú ûûû ûÿyûûþýýÿ üúü yýÿ
ý ýÿ ûÿý úýûÿý úûúüýþýýÿ ýýü ûÿýü ûýúü Keempat ýúüúýÿ þûýý ýýÿ
ý þüýü þûýÿýÿ ûüýþ ýýü þþûýú yýÿ üüúýÿ úûý ý ûÿ ü üú þ úûý
ÿ ú üþüþ üÿüú ûýÿýýÿ ýú ýþýþ ýÿüþý ûý ûý ýþýÿ þûýÿüÿyý úüþúýÿ
úûý ý úýþüþúýþüþ yýÿ ûûÿü úûýúûý úýþüþ ûýÿýýÿ ýú ýþýþ ýÿüþý
ûþûü
Kasus-Kasus Pelanggaran HAM
ý ûúþýþ ýÿ ûÿûýý ýÿ û ý ý ûýý úýþüþ yýÿ ûÿý ýÿúý
úû ûý ýÿ þý ý ý ýþý ý ýÿ ûýý ýý úýúý ý þ ýÿ þûýý
ûüúýÿ ûûýý úýþüþ yýÿ ûûÿü þûýýÿ ýýü þûüü úûý úýþüþ ûýÿýýÿ
ýú ýþýþ ýÿüþý þûýýýÿý ûþûü ýýþ ýÿýý úýþüþ yýÿ ýý úýûúýÿ
þûýý úýþüþ ûýÿýýÿ ýú ýþýþ ýÿüþý ý ýý þûýý ûúü
Kasus Zubair bin Awwâm
âm
dan seorang Ansar. Seorang sahabat dari kalangan Ansar menggugat Zubair kepada
Rasulullah SAW. karena Zubair dianggap telah menahan dan merugikan haknya atas air
dan pengairan, padahal hak tersebut merupakan hak umum yang mesti dijamin untuk
setiap orang. Peristiwa ini termaktub dalam hadis berikut:
ýþüþ ÿ ý ýý ûþûÿúûýýÿ ýú ûÿýýÿ ýýü ýþ ýÿýý üý ÿ
Hadis yang berasal dari Yûsuf, dari al-Laits, dari Ibn Shihâb, dari Urwah, dari Abdillâh
Ibn Zubair r.a. bahwa sesungguhnya seorang dari golongan Ansar berperkara dengan Zubair
di hadapan Rasulullah SAW. mengenai aliran air (irigasi) di Harrah. Orang Ansar tersebut
berkata: Alirkanlah air itu! Zubair menolak. Mereka lalu bersengketa di hadapan Rasulullah
SAW. Rasulullah SAW. bersabda: Pakailah air itu hai Zubair, lalu alirkan ke tetanggamu!
äåæ
Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.
Orang Ansar tersebut marah dan berkata: Mentang-mentang Zubair anak bibimu. Rona
muka Rasulullah SAW. berubah mendengar ucapan tersebut. Lalu beliau bersabda kepada
Zubair sekali lagi: Pakailah air itu hai Zubair, lalu alirkan ke tetanggamu! Zubair berkata:
Saya menduga ayat ini (Maka demi Tuhanmu, mereka belumlah beriman sehingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan) turun berkenaan
dengan peristiwa tersebut !"#$# %&'(ârî).10
Dari segi materi yang dipersengketakan, kasus ini dapat dipandang sebagai pelanggaran
hak asasi manusia karena hak atas kebutuhan pokok merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang mesti diakui dan dihormati. Namun, para ahli masih berbeda pendapat
apakah kasus ini memenuhi kriteria dan unsur tindak pelanggaran hak asasi manusia
(al-mazhâlim) sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sebagian
ahli berpendapat bahwa kasus ini termasuk kasus kezaliman penguasa terhadap rakyat
dari sudut pandang bahwa Zubair bin Awwâm adalah kerabat dekat Nabi SAW. yang
merupakan penguasa ketika itu. Zubair adalah anak dari Shafiyah binti Abdul Muthalib,
bibi kandung Nabi SAW. Dari garis ayah, silsilah Zubair bertemu pula dengan silsilah Nabi
SAW. pada kakek mereka Qusay bin Kilab.11 Dengan demikian, terdapat salah satu unsur
dan kriteria tindakan pelanggaran hak asasi manusia, yakni pelaku tindak pelanggaran
hak asasi manusia adalah orang yang memiliki kekuasaan atau pengaruh, baik karena
memiliki sendiri kekuasaan tersebut maupun sebagai efek dari hubungan dekat dengan
penguasa. Realitas ini menyebabkan terpenuhi unsur atau kriteria lain dari tindak
pelanggaran hak asasi manusia, yakni adanya kekhawatiran kasus tersebut tidak dapat
diselesaikan secara adil karena pengaruh dan kekuasaan pelaku bisa mempengaruhi
proses dan keputusan yang dihasilkan oleh pengadilan yang mengadili kasus tersebut.
Sementara itu, sebagian ahli yang lain mengisyaratkan bahwa kasus ini bukan tindak
pelanggaran hak asasi manusia sebab Zubair bin Awwâm bukanlah penguasa dan bukan
pula kerabat dekat seorang penguasa. 12 Dengan demikian, dia tidak memiliki cukup
pengaruh untuk mempengaruhi proses dan hasil persidangan di pengadilan.
Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, secara faktual kasus ini memenuhi
sebagian dari kriteria tindak pelanggaran hak asasi manusia. Pertama, obyek sengketa adalah
hak pengairan yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak umum yang dimiliki setiap orang
dan mesti dilindungi. Dalam konteks kasus ini, sahabat dari kalangan Ansar merasa haknya
atas pengairan tidak terpenuhi dan terlindungi, dihalangi oleh Zubair yang kebetulan memiliki
kebun di bagian atas atau bagian hulu dari kebunnya. Kedua, kekhawatiran adanya intervensi
Muhammad bin Ismâ îl Abû Abdillâh al-Bukhârî, Shahîh al- Bukhârî, Cet. 3, juz II (Beirût:
Dâr Ibn Katsîr, 1987), h. 832
11
Abî al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Mawardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa
al-Wilâyah al-Dîniyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1380 H/1960 M), h. 75.
12
Nâshir ibn Âqil ibn Jâbir al-Thârifî, al-Qadhâ fî Âhdi Umar ibn al-Khaththâb (Jeddah:
Dâr al-Madanî, 1986), h. 563.
10
MIQOT ,-./ 000, 1-/ 2 34.567898:;8< 2=>>
?@A BCAD@EFG HCHF@I@@A ?@J@K H@IFI LAL ?CKLHL@A MCJ@I KCADLAD@N GFOFAD@A HCHCJF@ED@@A
@AN@E@ PFO@LE ?@A Q@OL RSTU y@AD @H@A KCAD@?LJL H@IFI NCEICOFNU VCHG@W@NLE@A NCEICOFN
ICX@E@ D@KOJ@AD ?LFADH@BH@A ICA?LEL YJCG I@G@O@N SAI@E HCNLH@ KCA?CAD@E HCBFNFI@A
Q@OL RSTU y@AD OCJFK KCKCAFGL HCLADLA@AAy@Z L@ OCEH@N@ HCB@?@ Q@OL RSTU[ Mentangmentang Zubair anak bibimuU \X@B@A NCEICOFN KCADLA?LH@ILH@A HCXFELD@@A ?@A HCHG@W@ NLE@A
I@G@O@N ?@EL H@J@AD@A SAI@E NCEICOFN O@GW@ Q@OL RSTU NCJ@G KCADCJF@EH@A HCBFNFI@A
y@AD KCKLG@H ?@A NL?@H @?LJZ W@J@FBFA ICIFADDFGAy@ Q@OL RSTU NCJ@G OCEJ@HF @?LJ
?@A KCKOCELH@A HCBFNFI@A y@AD OCA@EU
]CIHLBFA H@IFI LAL KCAD@A?FAD KF@N@A BCJ@ADD@E@A G@H @I@IL K@AFIL@ ?@A
KCKCAFGL OCOCE@B@ HELNCEL@ NLA?@H BCJ@ADD@E@A G@H @I@IL K@AFIL@Z NCN@BL OCJFK ?@B@N
KCADD@KO@EH@A IF@NF BEYICI BCAyCJCI@L@A H@IFI G@H @I@IL K@AFIL@ ICX@E@ JCADH@BZ JF@IZ
?@A KCAyCJFEFGU ^@J LAL H@ECA@ IL_@N H@IFIAy@ y@AD HCXLJZ G@Ay@ KCJLO@NH@A ?F@ LA?L`L?FZ
?@A BYHYH K@I@J@G y@AD NL?@H HYKBJCHI ?@A NL?@H NCEJ@JF BCANLADU aYANYGbXYANYG H@IFI
OCELHFN ?@B@N KCW@HLJL O@D@LK@A@ BCAyCJCI@L@A H@IFI BCJ@ADD@E@A G@H @I@IL K@AFIL@
?@J@K ICM@E@G BCE@?LJ@A cIJ@KU
Kasus Khâlid ibn al-Walîd
]@I@J@G BYHYH B@?@ H@IFI LAL @?@J@G NLA?@H@A BCKOFAFG@AZ BCAD@AL@y@@AZ ?@A
HCz@JLK@A J@LAAy@ y@AD ?LJ@HFH@A YJCG VGâlid bin Walîd dan pasukannya terhadap penduduk
Bani Jadzîmah yang jelas-jelas melanggar bagian terpenting dari hak asasi manusia. Peristiwa
ini dapat dirujuk antara lain pada hadis berikut.
Hadis diterima dari Mahmûd, dari Abd al-Razzâq, dari Ma mar. Disampaikan juga dari Nu aim,
dari Abdillâh, dari Ma mar, dari al-Zuhrî, dari Sâlim, dari bapaknya yang berkata bahwa
Nabi SAW. mengutus Khâlid bin al-Walîd kepada Bani Jadzîmah dan Khâlid lalu mendakwahi
mereka untuk memeluk Islam. Orang-orang Jadzîmah belum biasa mengucapkan aslamna
(kami telah masuk Islam), lalu mereka menjadikan ungkapan shaba na, shaba na sebagai
gantinya. (Mendengar ungkapan tersebut) Khâlid membunuh sebagian mereka, menawan, dan
membagikan tawanan kepada masing-masing pasukan Islam. Berselang sehari, Khâlid memerintahkan
)*+
Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.
pasukan Islam membunuh tawanan mereka masing-masing. Maka saya (ayah Sâlim) berkata:
Demi Allah, saya tidak akan membunuh tawanan saya dan sahabat-sahabat saya juga tidak
akan membunuh tawanan mereka. Sampai kami menemui Nabi SAW. dan menyampaikan
peristiwa tersebut. Lalu Nabi SAW. mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, Ya Allah,
aku berlepas tangan kepada-Mu atas apa yang diperbuat Khâlid. Ungkapan tersebut diulangi
Nabi SAW. sampai dua kali ghij klmnopqârî, al-Nasâ`î, Ahmad, dan Ibn Hibbân).13
Kasus Khâlid berawal dari kebijakan Nabi SAW. setelah pembebasan kota Mekkah
untuk mengirim beberapa detasemen ke berbagai penjuru jazirah Arab untuk misi dakwah,
bukan dalam rangka operasi militer. Di antaranya adalah satu detasemen di bawah pimpinan
Khâlid ibn Walîd yang dikirim ke wilayah Tihamah bawah, daerah yang dihuni antara
lain oleh Bani Jadzîmah. Ketika kabilah Bani Jadzîmah melihat kedatangan detasemen
pimpinan Khâlid bin Walîd, mereka langsung bersiaga dan menyiapkan senjata untuk
mempertahankan diri. Melihat gelagat demikian, Khâlid berkata: Letakkan senjata kalian!
Orang banyak telah memeluk Islam. Jahdam, salah seorang Bani Jadzîmah, mengingatkan
kaumnya: Celakalah kalian hai Bani Jadzîmah! Orang ini adalah Khâlid! Demi Allah,
jika kalian meletakkan senjata, pasti dia menawan dan membunuh kalian. Demi Allah, Aku
tidak akan pernah meletakkan senjata. Beberapa orang kabilah Bani Jadzîmah memegangi
Jahdam dan melucuti senjatanya sambil berkata: Hai Jahdam, apakah kamu ingin menumpahkan
darah kami? Sungguh orang banyak telah masuk Islam, meletakkan senjata, menghentikan
perang, dan hidup aman . Ketika kabilah Bani Jadzîmah telah meletakkan senjata, atas
perintah Khâlid, tangan mereka diikat ke belakang pundak. Khâlid kemudian menghunuskan
pedangnya kepada mereka sehingga ada yang terbunuh. Salah seorang Bani Jadzîmah
berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. di
Madinah. Nabi SAW. langsung melakukan penyelidikan dan bertanya kepada orang yang
melaporkan, Adakah orang yang menentang tindakan Khâlid tersebut? Orang tersebut
menjawab: Ya, seorang yang berkulit putih dan bertinggi badan sedang, tapi orang itu kemudian
diam setelah dihardik oleh Khâlid. Tindakan Khâlid juga ditentang oleh orang yang berbadan
tinggi kurus. Silahkan cek kepada keduanya . Setelah diselidiki diketahui bahwa yang menentang
tindakan Khâlid tersebut adalah Abdullah bin Umar bin Khathab dan Sâlim bekas budak
Abû Hudzaifah.14
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz IV, h. 1577. Hadis yang sama atau hampir sama dapat
ditemukan didalam Shahîh al-Bukhârî, juz VI, h. 2628; Al-Nasâ î, Sunan al-Nasâ î, juz VIII (Halb:
Maktab al-Mathbû ât al-Islamiyyah, 1406 H/1986 M), h. 236; Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad
bin Hanbal, juz II (Mesir: Muassasah Qurthubah, t.t.), h. 150 dan Muhammad ibn Hibbân al-Taimimî,
Shahîh Ibn Hibbân, juz XI, Cet. 2, (Beirût: Mu assasah al-Risâlah, 1414 H/1993 M), h. 53. Pemaparan
lebih lengkap kasus Khâlid dapat dilihat pada: Abd al-Malik Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah,
Tahqîq Thâhâ Abd al-Raûf Sa îd, juz. V, Cet. 1 (Beirût: Dâr al-Jail, 1411), h. 93-102.
14
Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz. V, h. 93-96 dan Ibn Hajar Al-Asqalânî, Fath alBârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Tahqîq Muhammad Fu ad Abd al-Bâqî, juz VIII (Beirût: Dâr alMa rifah, t.t.), h. 58
13
def
MIQOT uvwx yyyu zvx { |}w~ {
y
¡âlib dan bersabda: Hai Alî, pergilah ke Bani Jadzîmah! Teliti dengan seksama kasus mereka
dan adili perbuatan jahiliyah ini di bawah wewenangmu!. Alî r.a. lalu berangkat dengan
membawa banyak harta yang diberikan Nabi SAW. Alî mengadili kasus tersebut dan memutuskan
memberikan diyat (denda) atas setiap kerugian darah (nyawa) dan harta Bani Jadzîmah
sehingga harta yang dibawanya hanya tersisa sedikit. Lalu Alî bertanya: Hai Bani Jadzîmah,
masih adakah darah dan harta yang belum dibayar diyatnya? Mereka menjawab: Tidak
ada. Alî lalu berkata: Sisa harta ini aku berikan kepada kalian sebagai bentuk kehati-hatian
Rasulullah SAW. atas apa yang beliau tidak ketahui dan kalian juga tidak mengetahuinya.
Alî kemudian pulang ke Madinah dan melaporkan tugasnya kepada Rasulullah SAW.
Nabi SAW bersabda: Engkau telah bertindak tepat dan baik. Setelah itu Nabi SAW. berdiri
menghadap kiblat, menengadahkan kedua tangan sehingga kelihatan ketiaknya, dan berdoa:
Ya Allah, aku berlepas tangan kepada-Mu atas apa yang diperbuat Khâlid bin Walîd.
Ungkapan tersebut diulangi Nabi SAW. sampai dua kali. 15
Kasus Khâlid bin Walîd ini dapat dan tepat disebut sebagai contoh kasus tindak pidana
pelanggaran hak asasi manusia, termasuk jika ditinjau dari kaca mata hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang sekalipun. Beberapa unsur dan kriteria
utama pelanggaran hak asasi manusia telah terpenuhi pada kasus ini.
Pertama, adanya perbuatan pidana yang dilakukan secara sengaja dan melanggar
hak asasi manusia. Dalam konteks kasus ini, hak asasi yang dilanggar adalah hak yang
berkaitan dengan jiwa dan harta karena telah terjadi pembunuhan dan perampasan atau
perusakan harta secara semena-mena.
Kedua, perbuatan pidana dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang yang
berstatus sebagai aparat negara. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, aparat negara
disebut secara khusus di dalam definisi tindak pelanggaran hak asasi manusia karena mereka,
secara faktual, merupakan pihak yang sering terlibat dalam berbagai tindak pelanggaran
hak asasi manusia. Pada kasus di atas, pelakunya adalah Khâlid dan pasukannya yang notabene
adalah aparat pemerintah karena sedang mengemban mandat dan tugas khusus dari
Nabi SAW., kepala negara dan kepala pemerintahan Islam ketika itu. Jadi, pada peristiwa
tersebut telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam arti pelaku berbuat kejahatan
dalam konteks pemerintahan dan menggunakan fasilitas kekuasaan pemerintah (committed
within a govermental context and facilitated by governmental power). Dengan demikian, kasus
ini dapat digolongkan al-mazhâlim dalam hukum Islam atau apa yang disebut para ahli
hukum umum sebagai kejahatan yang dilakukan oleh penguasa (crimes by goverment,
state crimes, political policing, govermental crimes) dan merupakan salah satu bentuk dari
kejahatan politik. Kasus Khâlid, dengan melihat kedudukannya sebagai panglima perang,
h. 58
Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz. V, h. 96 dan al-Asqalânî, Fath al-Bârî, juz VIII,
15
rst
Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.
¥¦§¨ ©ª©«ª¬¦¨® ¨¯§§¨«¨¯ °¨¯ ª±ª¯°ª¬¦¯§¨¯ ¦©¦© ²¨³´¨ ¨«¨¬¨® ©µ¶µ®ª¬ ©ª¬¦«¨¨¯
«µ³¨ y¨¯§ «¨¶µ¯§ ²¨¯y¨ ®ª¬¶µ²¨® °¨¶¨© «ª¶¨¯§§¨¬¨¯ ³¨ ¨·¨·µ ©¨¯¦·µ¨¸
¹ª®µ§¨º ¨·¦· ¹³âlid tersebut tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak mem-
peroleh penyelesaian hukum yang adil dan benar karena pelaku pelanggaran hak asasi
manusia memiliki kekuasaan yang dapat mempengaruhi proses dan hasil persidangan.
Pada kasus di atas, kekhawatiran tidak adanya penyelesaian hukum yang adil bisa terjadi
jika kasus tersebut hanya diselesaikan melalui pengadilan khusus dalam internal detasemen
pimpinan Khâlid bin Walîd karena adanya pengaruh kuat Khâlid sebagai pimpinan
detasemen. Kekhawatiran tersebut juga masih ada, minimal pada diri korban, jika kasus
diselesaikan melalui mekanisme hukum dan pengadilan biasa mengingat besarnya pengaruh
dan kekuasaan yang dimiliki Khâlid sebagai salah seorang panglima pasukan Islam
ternama, meskipun kekhawatiran semacam itu terlalu berlebihan mengingat keluhuran
budi pekerti Nabi SAW. dan para sahabat ketika itu yang tidak mungkin berlaku zalim hanya
karena membela sahabat yang bersalah.
Keempat, kasus Khâlid dapat dikelompokkan sebagai pelanggaran hak asasi
manusia yang berat mengingat tindakan tersebut dilakukan secara sadar terhadap penduduk
sipil dan telah memenuhi kriteria bersifat meluas dan sistematis. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, pelanggaran hak asasi manusia berat memiliki ciri khas yaitu suatu serangan
bersifat meluas dan sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipil. Di samping itu,
harus ada pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari
atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap
penduduk sipil.16 Tindak pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Khâlid dan pasukannya
jelas bersifat meluas karena sasarannya adalah seluruh warga Bani Jadzîmah, kecuali
wanita, anak-anak, dan orang tua. Perbuatan tersebut juga dilakukan secara sistematis,
dalam makna dilaksanakan secara terencana dan teratur. Khâlid dan pasukannya juga
menyadari bahwa sebagian besar warga Bani Jadzîmah berstatus sipil, bukan kombatan
yang boleh diperangi. Meskipun sebagian ada yang berupaya mengangkat senjata, tetapi
akhirnya mereka meletakkan senjata setelah diperintahkan Khâlid dan dibujuk sebagian
warga Bani Jadzîmah.
Rasulullah SAW. memberikan respon yang cepat dan tepat terhadap kasus Khâlid
bin Walîd tersebut. Nabi SAW. langsung membentuk tim khusus, yaitu Alî bin Abî Thâlib
dan para pembantunya, yang diberikan kewenangan besar dan luas untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka penyelesaian kasus. Langkah pertama yang
dilaksanakan adalah melakukan upaya-upaya investigasi (penyelidikan dan penyidikan)
yang dapat dilihat dari tindakan Nabi SAW. untuk mengorek keterangan dari pelapor dan
melakukan cek silang dengan para saksi lain yang melihat langsung peristiwa. Nabi SAW.
juga menasehati Alî untuk meneliti kasus tersebut secara seksama sebelum mengadili dan
Muladi, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, h. 3.
16
¢£¤
MIQOT ¾¿ÀÁ ¾ ÿÁ Ä ÅÆÀÇÈÉÊËÊÌÍÊÎ ÄÏÐÐ
ÑÒÓÔÕÑÖ×Ø ÙÒÚÛÜÛÝÕÓÞ ß×ÓàÕÙÕÓ ×ÓáÒÝÜ×ÔÕÝ× ÝÕÓÔÕÜ à×ÚÒâØÛÙÕÓ ÕÔÕâ ãÕÙÜÕäãÕÙÜÕ yÕÓÔ ÖÒâä
ÙÕ×ÜÕÓ àÒÓÔÕÓ ÚÒâ×ÝÜ×åÕ àÕÚÕÜ ÜÒâÛÓÔÙÕÚ ÝÒæÕâÕ çÒâÓ×è àÕÓ ÑÕÙÝ×ÑÕØÞ éÒâàÕÝÕâÙÕÓ ãÕÙÜÕä
ãÕÙÜÕ ÜÒâÝÒÖÛÜê Ü×ÓàÕÙÕÓäÜ×ÓàÕÙÕÓ ÝÒØÕÓçÛÜÓyÕ àÕÚÕÜ à×ÕÑÖ×Ø ÝÒæÕâÕ ÜÒÚÕÜê ëÖçÒÙÜ×ãê àÕÓ
Ö×çÕÙÝÕÓÕÞ
ìÕÓÔÙÕè ÙÒàÛÕ yÕÓÔ à×ØÕÙÛÙÕÓ ÕàÕØÕè ÑÒÓÔÛÓÔÙÕÚÙÕÓ ÙÕÝÛÝ ÝÒæÕâÕ ëÖçÒÙÜ×ãê ÜÒØ×Ü×ê
Õà×Øê àÕÓ Ö×çÕÙÝÕÓÕÞ ßÛÔÕÝ ÚÒÓÔÛÓÔÙÕÚÕÓ ÙÒÖÒÓÕâÕÓ ÜÒâÝÒÖÛÜ à×ÝÒâÕèÙÕÓ íÕÖ× îïðÞ ÙÒÚÕàÕ
ñïØî, seorang sahabat yang terkenal cerdas, jujur, adil, dan berani. Dengan kualitas dan kapasitas
yang dimilikinya, Alî berhasil mengungkapkan kasus secara transparan, objektif, jujur,
dan adil yang dapat dibuktikan dengan diterimanya keputusan yang ditetapkan secara
baik oleh berbagai pihak. Nabi SAW. sendiri tidak segan-segan memberikan pujian terhadap
hasil kerja Alî tersebut.
Langkah ketiga yang diambil adalah melakukan upaya-upaya rekonsiliasi. Inti dari
rekonsiliasi adalah pengakuan kesalahan, pemaafan, dan upaya menetralisir dampak negatif
kasus yang terjadi melalui upaya perdamaian, rehabilitasi, kompensasi, dan sebagainya.
Rekonsiliasi sangat dibutuhkan karena tidak mungkin seluruh kasus dan aspek pelanggaran
hak asasi manusia bisa terselesaikan lewat mekanisme pengadilan semata, apalagi pada
kasus-kasus yang sulit dan komplit. Pengadilan juga tidak bisa secara maksimal menyembuhkan
semua duka batin dan luka sosial yang timbul sebagai dampak negatif dari peristiwa tindak
pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks ini, rekonsiliasi merupakan mekanisme
alternatif dan komplementer bagi pengadilan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak
asasi manusia secara lebih komprehensif.
Upaya rekonsiliasi pada kasus Khâlid bin Walîd terlihat jelas pada upaya Nabi Muhammad
SAW. dan Alî mengungkapkan secara jernih dan terbuka semua fakta dan kebenaran
sekitar peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut. Nuansa rekonsiliasi juga
terlihat jelas pada keputusan pengadilan yang dihasilkan, yakni penerapan sanksi hukum
berupa denda darah dan ganti rugi harta. Upaya rekonsiliasi semakin kentara ketika Alî
memberikan kelebihan harta dari sisa pembayaran diat dan ganti rugi kepada warga Bani
Jadzîmah sebagai bentuk perwujudan sikap hati-hati (ihtiyâth). Pemberian kelebihan harta
memang dinyatakan Alî sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyâth) agar tidak ada denda atau
ganti rugi yang terluputkan karena keterbatasan informasi, tetapi pada sisi lain pemberian
itu dapat pula dipandang sebagai bentuk kompensasi agar pihak-pihak yang dirugikan lebih
mudah memaafkan, menghapuskan dendam, dan melupakan peristiwa pahit yang telah terjadi.
Dengan demikian, kasus Khâlid bin Wâlid dan pasukannya telah menggambarkan
secara relatif lebih utuh dan lengkap bagaimana kebijakan dan mekanisme penyelesaian
kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pelanggaran hak asasi manusia berat,
pada sistem peradilan Islam di masa Nabi SAW. Kasus ini, pada kadar dan tingkatan tertentu,
bisa dijadikan contoh dan yurisprudensi bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak
asasi manusia, termasuk oleh lembaga-lembaga yang berwenang dewasa ini.
»¼½
Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.
Kasus Sawad bin Ghaziyyah
ôõö÷ø÷øøõù úûüý þÿ õ ùõyõ õøõõ õ ÿøõ ÷þ÷ õö÷öõö÷ö øõõ õ
ùõ õöõöÿ õ÷öÿõ yõ öõ õ þÿ öõõ þþõÿ ÷õ yøöõÿõ õö÷öõö÷ö
øõõ õ ùõ õöõöÿ yõ öÿ õþyõ ÿø ö þÿ õö÷ö úõõ ÿ ùõzÿyyõùý þÿõ õ
õ õ ôõö÷ø÷øøõù ø÷ ÷öõ õ ÿöõ õ õ öõùõ õþyõ öþõ õ þõõ ôõö÷ø÷øøõù
õ þ õ yõ ÿ ÿöyõ õþ ø÷ ÷ö õ õ õý þÿõ øõþÿ úõõ
ÿ ùõzÿyyõù yõ õõ ø ø÷õ õ ÿöõ ôõö÷ø÷øøõù ÷ö÷õ þ õ yõ
õ õ ÿ þõõyõ þõõ ø÷õÿ ÷þ úõõ ö õyõ ÿ ÿþõù Luruskan
barisanmu, hai Sawadý úõõ õõ Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku,
padahal engkau diutus dengan membawa kebenaran dan keadilaný Aku mesti menuntut
qishâsh kepadamu. ôõö÷ø÷øøõù øõø÷ ÷õ õõÿõ öùÿõ þ øÿùõþ ÷þyõ õ öõ õ
Silakan, balaslah aku! Melihat hal itu, Sawad lalu memeluk dan mencium perut Rasulullah
SAW.17
Kasus Sawad di atas dapat saja dipandang tidak terlalu berarti sebagai yurisprudensi
mengingat unsur material (al-rukn al-mâdî) yang hanya berupa kasus pemukulan. Namun,
pada kasus tersebut terdapat beberapa unsur yang memenuhi kriteria tindak pelanggaran
hak asasi manusia di samping mengandung beberapa pelajaran berharga yang penting
bagi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia. Pada kasus tersebut terdapat unsur
pelanggaran hak asasi manusia, meskipun hanya dalam bentuk yang ringan dan tidak membahayakan. Memukul orang tanpa hak dan alasan yang dibenarkan dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran terhadap hak pemeliharaan diri/jiwa (hifz al-nafs) dalam tingkatan
tahsinî (tingkat pelengkap dan penyempurna). Dengan demikian, orang yang merasa teraniaya
dan dirugikan berhak untuk menuntut keadilan dan penjatuhan hukuman kepada pelaku
pemukulan. Dari sisi unsur moral (al-rukn al-adabî), kasus ini juga memenuhi kriteria
tindak pelanggaran hak asasi manusia mengingat pelaku kasus pemukulan adalah aparat
negara, dalam hal ini Rasulullah SAW. sendiri yang berkedudukan sebagai kepala negara
dan panglima pasukan Islam ketika itu.
Kasus Sawad di atas memberikan gambaran betapa Islam menghormati dan melindungi
hak asasi manusia. Sekecil apapun pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, layak mendapat perhatian dan penyelesaian yang semestinya. Kasus tersebut juga menunjukkan
nilai-nilai persamaan di dalam Islam bahwa setiap orang memiliki hak dan kedudukan
yang sama di hadapan hukum dan proses peradilan.
Masih banyak kasus lain yang bernuansa pelanggaran hak asasi manusia pernah
terjadi dan diselesaikan oleh Nabi SAW. Misalnya Nabi SAW. pernah memecat al-Ala ibn
al-Hadramî, pejabat negara yang bertugas di Bahrain, setelah Nabi SAW. menerima informasi
yang dapat dipercaya dari Abd al-Qaits tentang penyelewengan kekuasaan yang dilakukan
Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, juz III, h. 174.
17
òóò
MIQOT !"#$%&%'(%) *++
,-./0-,12 345,6,7 6,8978y,: ;,57 30<2 =486,86>,9 055,8 758 3,/7?2 @A B,CDC.>,CDC y,86
?7E,E,F>,8 ?7 ,9,C ?7E,8?,86 GD>DE =4H,>7-7 D89D> =4866,=5,F>,8 5,6,7=,8, =49I?4
?,8 =4>,87C=4 E48y4-4C,7,8 >,CDC.>,CDC E4-,8666,8 J,> ,C,C7 =,8DC7, E,?, =,C, ;,57
30<2
Format dan Mekanisme Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM
K8?,86.K8?,86 ;I=IF LM N,JD8 LOOO 9489,86 P486,?7-,8 Q0R =48y4?7,>,8
976, =4>,87C=4 E48y4-4C,7,8 >,CDC E4-,866,F,8 J,> ,C,C7 =,8DC7, y,86 54F,9: y,>87
=4-,-D7 P486,?7-,8 Q,> 0C,C7 R,8DC7,: =4-,-D7 P486,?7-,8 Q,> 0C,C7 R,8DC7, 0? QIG:
?,8 =4-,-D7 BI=7C7 B4548,F,8 ?,8 S4>I8C7-7,C72 R,C786.=,C786 =4>,87C=4 ?7E4FD89D>>,8
?,8 ?7C4CD,7>,8 ?486,8 >,F,>94F7C97> >,CDC y,86 94FT,?72 B,CDC y,86 94FT,?7 C494-,J 94F.
5489D>8y, P486,?7-,8 Q,> 0C,C7 R,8DC7, ?7C4-4C,7>,8 I-4J P486,?7-,8 Q,> 0C,C7 R,8DC7,
C4CD,7 ?486,8 94=E,9 >4?D?D>,88y,2 34?,86>,8 >,CDC y,86 94FT,?7 C454-D= 94F5489D>
P486,?7-,8 Q,> 0C,C7 R,8DC7, ?,E,9 ?7E4F7>C, ?,8 ?7ED9DC I-4J P486,?7-,8 Q,> 0C,C7
R,8DC7, 0? QIG ,9,D =484=EDJ =4>,87C=4 E4F?,=,7,8 ?,8 F4>I8C7-7,C7 =4-,-D7 BI=7C7
B4548,F,8 ?,8 S4>I8C7-7,C72 UIF=,9 ?,8 =4>,87C=4 E48y4-4C,7,8 >,CDC E4-,866,F,8
Q0R 787 ,>,8 ?7-7J,9 F4-4V,8C78y, ?486,8 y,86 ,?, ?7 ?,-,= JD>D= WC-,=2
X,F7 GI89IJ >,CDC ?,8 ,8,-7C7C y,86 94-,J ?7>4=D>,>,8 ?7 ,9,C: ?,E,9 ?7>49,JD7 5,JH,
C4CD866DJ8y, >,CDC.>,CDC y,86 =4=48DJ7 C45,67,8 ,9,D C4-DFDJ >F794F7, E4-,866,F,8
J,> ,C,C7 =,8DC7, C45,6,7=,8, ?7,9DF JD>D= W8?I84C7, 94-,J 94FT,?7 C4T,> =,C, ,H,- WC-,=2
B,CDC.>,CDC 94FC45D9 ?7-,>D>,8 I-4J ,E,F,9 E4=4F789,J ,9,D >4F,5,98y, ?,8 C4G,F, >JDCDC
5,8y,> =4-75,9>,8 >,-,86,8 =7-794F C45,6,7=,8, >4G48?4FD86,8 D=D= E,?, >,CDC.>,CDC
E4-,866,F,8 J,> ,C,C7 =,8DC7, ?4H,C, 7872 Y-4J C45,5 79D: E48,86,8,8 >,CDC GD>DE CD-79
>,F48, E,F, E4-,>D =4=7-7>7 >4>D,C,,8 ?,8 E486,FDJ y,86 ?,E,9 =4=E486,FDJ7 EFIC4C
?,8 J,C7- E486,?7-,82
P,F, E4=7=E78 WC-,=: C4T,> =,C, ;,57 30<2: 94-,J 54FDE,y, =48y4-4C,7>,8 >,CDC.
>,CDC E4-,866,F,8 J,> ,C,C7 =,8DC7, ?486,8 5,7> ?,8 ,?7-2 X,F7 GI89IJ >,CDC y,86 ?7E,E,F>,8
?7 ,9,C: ?,E,9 ?7>49,JD7 5,JH, E48y4-4C,7,8 E4F>,F, E4-,866,F,8 J,> ,C,C7 =,8DC7, E,?,
E4F,?7-,8 WC-,= ?7-,>D>,8 ?486,8 976, =49I?4 ,9,D =4>,87C=42
P4F9,=,: =4-,-D7 EFIC4C 54FE4F>,F, ?7 E486,?7-,8 y,86 ?7,>J7F7 ?486,8 >4ED9DC,8
J,>7=2 R49I?4 787 94F-7J,9 E,?, >45,8y,>,8 GI89IJ >,CDC: C4E4F97 >,CDC ZD5,7F 578 0HHâm.
Meskipun lembaga dan mekanisme yang dijalankan belum sempurna seperti pada peradilan
moderen, tetapi prosedur penyelesaian perkaranya dapat diurut dan dikonstruksikan kembali.
Proses perkara biasanya dimulai dari pengaduan, tuntutan, atau gugatan dari pihak korban.
Kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan perkara, meskipun
ketiga proses itu terkadang sulit dibedakan dan dipisahkan. Selanjutnya, hakim mengadili
Muhammad Abd al-Rahmân al-Bakr, al-Sulthah al-Qadhâ iyyah wa al-Syakhshiyyah alQâdhî, (t.tp.: al-Zahrâ` li al-Alam al-Arabî, 1408/1988), h.526.
18
Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.
^_` abacbdef_` ghihj_` cbd^_j_df_` k_fi_lk_fi_ y_`m ibdh`mf_g ^e ^_n_a gbdje^_`m_`
h`ihf fbah^e_` ^en_fj_`_f_` obfjbfhjepq
rbis^b y_`m gbdi_a_ e`et g_^_ gde`jeg`y_t j_a_ ^b`m_` gb`ybnbj_e_` f_jhj gbn_`ml
m_d_` u_f _j_je a_`hje_ ^e vb`m_^en_` w_f xj_je r_`hje_ ^e y`^s`bje_t c_ef y_`m cbdjek_i
gbda_`b` a_hgh` x^lwszq vbdcb^__``y_ u_`y_ ibdnbi_f g_^_ c_^_` gbn_fj_`_ ^_` _jgbf
ibf`ejt ^_` eih {_|_d f_db`_ gbdcb^__` z_a_` ^_` jejiba uhfhaq
}b^h_t abn_nhe abf_`ejab cbdgbdf_d_ ce_j_ y_`m ^e_fuede ishlâh odbfs`jene_jet gbd^_a_e_`p
^e _`i_d_ g_d_ geu_f jbcbnha u_fea ab`|_ihuf_` ghihj_`q rbis^b jbgbdie e`e ibdneu_i g_^_
f_jhj ~_{_^ ce` u_zeyy_uq rbis^b fb^h_ e`e abaenefe fbj_a__` ^b`m_` y_`m ^eg_f_e
snbu vb`m_^en_` w_f xj_je r_`hje_ y`^s`bje_t fuhjhj`y_ ^_n_a a_j_n_u gbd^_i_q ~bc_m_el
a_`_ ^e_ihd g_j_n `^_`ml`^_`m sasd _uh` t fsdc_` gbn_`mm_d_` u_f
_j_je a_`hje_ ^_g_i abagbdsnbu fsagb`j_jet dbjieihjet ^_` dbu_cenei_jeq _n_a ghihj_`
vb`m_^en_` w_f xj_je r_`hje_ Ad Hoc Jakarta Pusat i_`mm_n xmhjihj t r_|bnej
y_`m ^efbih_e x`^e ~_aj_` m_`dst ab`bi_gf_` c_u{_ fsdc_` gbn_`mm_d_` u_f _j_je
a_`hje_ cbd_i _`|h`mgdesf cbdu_f ab`^_g_i fsagb`j_jeq }sagb`j_je g t aene_d
^ecbdef_` fbg_^_ fsdc_` _i_hgh` _une {_dej fsdc_`q vbdcb^__``y_t vb`m_^en_` w_f
xj_je r_`hje_ y`^s`bje_ u_`y_ cej_ ab`bd_gf_` abis^b e`e g_^_ i_i_d_` gbd^_i_t ie^_f
cej_ g_^_ a_j_n_u ge^_`_q ~bab`i_d_ uhfha yjn_a ^_g_i |hm_ ab`bd_gf_` abis^b e`e g_^_
f_jhj ge^_`_ y_`m ab`y_`mfhi u_f gbdsd_`m_`t jbgbdie gbdf_d_ qishâsh-diyatq
}biem_t abn_nhe gb`mh`mf_g_` fbcb`_d_` ^_` gbd^_a_e_` oishlâhpt i_`g_ abn_nhe
gdsjbj cbdgbdf_d_ ^e gb`m_^en_`q rbis^b e`e ^eibd_gf_` g_^_ f_jhj }uâlid bin Walîd sebagaimana
terlihat dari langkah dan proses yang ditempuh, yakni investigasi, pengungkapan faktafakta sekitar kasus secara obyektif dan transparan, upaya mewujudkan perdamaian, yang
kemudian dilanjutkan dengan pembayaran diyat dan pemberian kompensasi. Sebagaimana
metode kedua, metode ini hanya dapat dipakai pada perkara yang menyangkut hak perorangan dan perkara perdata.
Metode ketiga ini tidak ada padanannya pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, tetapi dapat dikatakan sama dengan metode penyelesaian perkara pelanggaran hak
asasi manusia pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang khusus diperuntukkan
bagi kasus yang terjadi sebelum pemberlakuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dari berbagai metode penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dipakai
di dalam sejarah peradilan Islam, metode ishlâh (rekonsiliasi,perdamaian) memiliki tempat
istimewa. Metode ini cukup sering digunakan, bahkan pada kasus pelanggaran hak asasi
Awalnya, permohonan kompensasi diajukan juga oleh 85 orang korban Tanjungpriok
lewat Yayasan Penerus Bangsa pimpinan Syarifuddin Rambe, tetapi ditolak karena telah melakukan
islah dengan pihak TNI yang diwakili Try Sutrisno. Mereka telah menerima uang, beasiswa, dan
truk saat islah tahun 2001. Hukum Online.Com Majlis Kabulkan Pemberian Kompensasi Korban
Tanjung Priok, Jakarta, 21 Agustus 2004.
19
[\]
MIQOT ¡¢¢
£¤¥¦§¨¤ y¤¥© ª«¬¤® §«¯«¬¨ °¤§¦§ ±²âlid bin Walîd. Metode ini terbukti cukup berhasil menye-
lesaikan perkara secara lebih baik dan menyeluruh. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika
perdamaian mendapat apresiasi yang sangat positif di dalam hukum Islam.
Ishlâh atau shulhu secara bahasa berarti memutuskan atau menyelesaikan sengketa.
Sedangkan secara istilah, ishlâh bermakna perjanjian untuk mengakhiri permusuhan
antara pihak-pihak bersengketa.20 Karena sifatnya positif dan bermanfaat, ishlâh sangat
dipuji dan dianjurkan oleh Islam dalam berbagai bidang kehidupan, seperti firman Allah
di dalam Q.S. al-Baqarah/2: 228:
Dan suaminya berhak merujuki (isteri)-nya dalam masa
menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah .. . Pada ayat ini, rujuk
disebut ishlâh karena menghilangkan kerusakan hubungan rumah tangga akibat perceraian.
Ishlâh juga dianjurkan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana
firman Allah di dalam Q.S. al-Hujarât/49: 9: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang
mukmin berperang maka damaikanlah (ishlâh) antara keduanya . .
Hukum Islam membolehkan penyelesaian perkara melalui ishlâh asalkan pada perkara
yang dibolehkan, memenuhi kriteria keadilan, tidak bertentangan dengan syara , dan
dapat diterima semua pihak. Ishlâh semacam ini dinamakan ishlâh yang adil. Sedangkan
ishlâh yang bertentangan dengan ketentuan syara , seperti menghalalkan yang haram,
mengharamkan yang halal, meninggalkan yang wajib, menzalimi pihak yang lemah,
tidak dibenarkan dan ditolak oleh hukum Islam. Ishlâh kategori kedua ini disebut ishlâh
mardûd.21 Penyelesaian perkara melalui ishlâh hanya boleh dilakukan pada perkara hak
manusia (perorangan),22seperti tindak pidana qishâsh-diyat dan pekara perdata, sebab
masalah-masalah tersebut merupakan perwujudan hak perorangan. Ishlâh tidak boleh
dilakukan pada wilayah hak Allah atau masyarakat, seperti pada perkara hudûd. Dasar
hukum kebolehan penyelesaian perkara qishâh-diyat melalui ishlâh antara lain sebagai
berikut. Allah berfirman di dalam Q.S. al-Baqarah/2: 178:
Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1403/1983), h. 305 dan Badr alDîn Syaddad, Dalâil al-Ahkâm, juz III (Beirût: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1991), h. 147.
21
Ibn Qudamah al-Maqdisî, al-Mughnî, (Beirût: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1994), h. 177.
22
Para ulama membagi hak kepada tiga kelompok. Pertama, hak Allah murni, yaitu perbuatan
yang dimaksudkan untuk memenuhi hak Allah (masyarakat umum). Di sini tidak ada pilihan lain
dan mesti dijalankan. Kedua, hak manusia murni, yakni perbuatan untuk memenuhi hak manusia.
Di sini ada pilihan untuk menjalankan atau tidak. Ketiga, hak Allah lebih kuat, disamakan dengan
hak Allah murni. Keempat, hak manusia lebih kuat, disamakan dengan hak manusia murni. Klasifikasi
ini biasa disederhanakan menjadi hak Allah dan hak manusia. Lihat: Abd al-Wahâb Khallâf, Ilmu
Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da wah al-Islâmiyah, 1376 H/1956 M), h. 210-216.
20
Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orangorang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
¶·¸¹ º»¼½ ¸¾¿À·¸Á·Â
Hadis dari Ahmad bin Sa îd al-Dârimî yang berasal dari Habbân, yakni Ibn Hilâl, dari
Muhammad bin Râsyid, dari Sulaimân bin Mûsâ dari Amru bin Syu aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, urusannya terserah kepada para wali terbunuh. Jika mereka menginginkan, mereka
dapat menuntut pembunuhan balasan (qishâsh). Jika wali terbunuh mau memaafkan, mereka
berhak mengambil diyat, yakni 30 hiqqah, 30 jiz ah, dan 40 khilfah (100 ekor unta). Apa saja
yang mereka perdamaikan (ishlâh), maka adalah untuk mereka. Hal itu ditujukan untuk
menguatkan atau meninggikan akal ÃĽŽ ·ÆÇȹ¿É¹Ázî).23
Jika tercapai ishlâh, dalam arti wali korban memaafkan pelaku, maka gugur hukuman
qishâsh bagi pelaku. Sebagai gantinya, wali korban berhak menerima diyat darah dengan
jumlah dan perincian sebagaimana tercantum di dalam hadis atau yang senilai. Kalau wali
korban sepakat memaafkan juga diyat tersebut, maka gugur pula hukuman diyat bagi korban.
Meskipun begitu, belum berarti pelaku bebas dari segala hukuman. Ada kemungkinan penguasa
atau hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa ta zir sebagai upaya perlindungan
terhadap hak Allah (hak masyarakat). Menurut sebagian ulama, seperti Imam Mâlik, alLaits, dan ahli fiqih Madinah, pelaku pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh wali korban
masih dapat dijatuhi hukuman ta zir oleh hakim berupa 100 kali cambukan dan penjara
satu tahun. Pendapat ini didasarkan kepada riwayat dari Umar bin Khathâb. Kebijakan
ini dapat diterapkan karena yang dapat digugurkan oleh pemaafan atau ishlâh hanyalah
hak perorangan, seperti hukuman qishâsh dan diyat. Sedangkan hak Allah (hak masyarakat)
Muhammad bin Îsya Abû Îsya al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Tahqîq Ahmad Muhammad
Syâkir, dkk, juz IV (Beirût: Dâr al-Ihyâ` al-Turâts al-Arabî, t.t.) h.11.
23
³´µ
MIQOT ÍÎÏÐ ÑÑÑÍ ÒÎÐ Ó ÔÕÏÖ×ØÙÚÙÛÜÙÝ ÓÞßß
àá àâãâä åáæàâç èáàâæâ åáàâç àâèâå àáéêéêëçâæ ìíîáæééâ àâèâå àáïêðêàçâæ àíæéâæ èíæíåâèâæ
îêçêäâæ ta zir çíèâàâ èíãâçêñòó ôíäíæåâëâ áåêõ ìíöâéáâæ êãâäâ ãâáæ yâæé åíëàáëá àâëá
÷äâä âãøôyâùáúî, Ahmad, dan Ishâq berpendapat kalau wali korban telah memaafkan pelaku
pembunuhan sengaja, maka ia terbebas dari segala hukuman dan tidak ada keharusan
bagi penguasa atau hakim untuk menerapkan hukuman tambahan berupa ta zir. Sementara
itu, Abû Tsaur berpendapat bahwa penguasa atau hakim berwenang memberikan hukuman
pengajaran sekadar yang diperlukan apabila pelaku pembunuhan adalah orang yang
terkenal dengan kejahatannya (residivis).Menanggapi perbedaan pendapat tersebut, Ibn
Rusyd menyatakan bahwa pendapat yang membebaskan terpidana setelah pemaafan lebih
kuat sebab penetapan hukuman mesti melalui tauqîf (penjelasan syara ), sementara tidak
ditemukan tauqîf pada masalah ini. Pendapat yang membolehkan penambahan hukuman
ta zir setelah pemaafan hanya didasarkan kepada riwayat yang lemah. 25
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa penyelesaian perkara yang berada
di wilayah hak perorangan dapat dilakukan melalui mekanisme perdamaian atau ishlâh,
termasuk di antaranya perkara qishâsh-diyat. Dengan demikian, perkara-perkara pelanggaran
hak asasi manusia juga bisa diselesaikan dengan mekanisme perdamaian atau ishlâh asalkan
perkara-perkara tersebut menyangkut hak perorangan, bukan hak Allah atau hak masyarakat.
Di samping itu, perdamaian atau ishlâh tersebut mesti dijalankan berdasarkan prinsipprinsip keadilan, ketulusan, kebenaran, dan tidak bertentangan dengan aturan syara .
Jika diteliti lebih jauh, penyelesaian perkara melalui mekanisme ishlâh bukan hanya
sekedar dibolehkan, melainkan juga dipuji dan dianjurkan. Kesan tersebut dapat dilihat
dari ayat al-Qur an dan hadis yang menjadi dasar hukum pembolehan ishlâh. Pada Q.S.
al-Baqarah/2: 178, Allah SWT. menyatakan bahwa pemaafan dan pembayaran diyat secara
baik (yakni ishlâh) pada kasus pembunuhan merupakan keringanan (takhfîf) dan rahmat
dari Allah. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian perkara pembunuhan
melalui ishlâh merupakan sesuatu yang positif dan terpuji. Pada hadis riwayat al-Tirmidzî
di atas, Rasulullah SAW. menyatakan bahwa salah satu hikmah dari penyelesaian perkara
pembunuhan melalui ishlâh adalah untuk menguatkan atau meninggikan akal (
), dalam makna pengutamakan pertimbangan akal sehat dan kemaslahatan yang
lebih besar. Penyelesaian perkara melaluiishlâh atau perdamaian memang lebih mengedepankan
aspek rasionalitas dari pada aspek emosi yang sangat mungkin ketika itu diliputi oleh perasaan
marah, sakit hati, kekecewaan mendalam, dan bahkan dendam.
Pujian Nabi SAW. tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian perkara melalui mekanisme
Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, Bidâyah alMujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, jilid II (Semarang: Thâhâ Putra, t.t.), h. 303; Ahmad Fathî Bahnasî, al-Siyâsah al-Jinâ iyyah fî al-Syarî ah al-Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Dâr al- Urûbah,
1357 H/1965 M), h.190 dan Abd al-Qadîr`Audah, al-Tasyrî al-Jinâ`i al-Islâmî: Muqâranah bi alQanûn al-Wad i (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992), h. 773.
25
Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, jilid II, h. 303.
24
ÊËÌ
Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.
þÿ ÿ þ ÿ y ÿ ÿ ÿ
ÿþÿ ÿ þ ÿÿ ÿ ÿ
ÿÿ ÿ ÿ qishâsh diyat ÿ þÿ þÿ
ÿ ÿÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿþ ÿ þÿ y ÿ ÿ
þÿ þ ÿ þÿ ÿ y ÿ þ
y þÿÿ ÿ ÿ þÿþÿ y ÿ
þÿ ÿ ÿ ÿ y ÿ ÿ ÿ
þ ÿ
Hadis disampaikan oleh Mahmûd bin Ghailân dan Yahya bin Mûsâ, keduanya menerima dari
al-Walîd bin Muslim, dari al-Auzâ î, dari Yahya bin Abî Katsîr, dari Abû Salamah, dari Abû Hurairah
yang berkata bahwa ketika Allah menaklukkan Makkah bagi Rasulullah, Rasulullah berdiri
di hadapan orang banyak, memuji dan memuliakan Allah, kemudian bersabda: Barangsiapa
mempunyai keluarga yang dibunuh, ia boleh memilih yang terbaik dari dua pertimbangan,
yakni memaafkan (dalam riwayat lain: menerima diyat) atau menuntut hukuman mati
(qishâsh). Pada bab ini ada juga riwayat lain melalui Wa`il bin Hujrin, Anas, Abî Syuraih Khuwailid
bin Amru ârî, Muslim, al-Tirmidzî, Abî Dâud al-Nasâ`î, Ibn Mâjah, dan Ahmad).26
Penyelesaikan melalui ishlâh menghasilkan berbagai manfaat. Ishlâh adalah hasil
kompromi sehingga lebih mudah diterima, menghapus dendam, dan tidak ada pihak yang
merasa dikalahkan. Ishlâh lebih dapat menuntaskan masalah secara adil dan bermartabat,
sebab ishlâh tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum, tetapi juga aspek kemanusian,
seperti masa depan korban dan keluarga, perbaikan hubungan silaturahim, dan sebagainya.
Ishlâh memungkinkan korban atau wali/ahli waris menerima denda/kompensasi sehingga
membantu secara ekonomis dan psikologis. Sementara pelaku berkesempatan bertobat
dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, ishlâh dikatakan mendatangkan rahmat, berkah,
dan dianjurkan Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, jilid IV, h. 21. Hadis dengan redaksi matan yang hampir sama
terdapat pada Shahîh al-Bukhârî, jilid I dan II, h. 53 dan 857, Shahîh Muslim, jilid II, h. 988, Sunan
Abî Dâud, jilid IV, h. 172, Sunan al-Nasâ i, jilid VIII, h. 38, Sunan Ibn Mâjah, jilid II, h. 876, dan
Musnad Ahmad, jilid II, h. 238.
26
ûüý
MIQOT
#$%& '''# ($& ) *+%,-./0/12/3 )455
Penutup
6789 :;<=7>7?7@ A9 7B7? A7:7B A9C;B7>D9 =7>E7 C7?D?FC7?D? :;G7@HH787@ >7C 7?7?9
<7@D?97I A;@H7@ C89B;897FC89B;897 ?;=7H79<7@7 A9B;@BDC7@ A9 A7G7< :;87BD87@ :;8D@A7@HF
D@A7@H7@ J@AK@;?97I B;G7> :;8@7> B;8L7A9 A7@ A9?;G;?79C7@ :7A7 ?9?B;< :;87A9G7@ ?;L7C <7?7
M7=9 NOPQ R;@y;G;?797@ C7?D? :;G7@HH787@ >7C 7?7?9 <7@D?97 A9G7C?7@7C7@ A;@H7@ B9H7
<;BKA;Q PertamaI <;BKA; =;8:;8C787 =97?7 A9 :;@H7A9G7@ y7@H A97C>989 A;@H7@ C;:DBD?7@ >7C9<Q
KeduaI <;BKA; =;8:;8C787 =97?7 A9 :;@H7A9G7@ y7@H A97C>989 A;@H7@ ishlâh S:;8A7<797@TQ
KetigaI <;BKA; :;@HD@HC7:7@ C;=;@787@ A7@ 8;CK@?9G97?9 :787 :9>7CI B7@:7 <;G7GD9 :8K?;?
=;8:;8C787 A9 :;@H7A9G7@Q
U;BKA; y7@H A97C>989 :;8A7<797@ G;=9> A9>;@A7C9 A7@ A9:DL9 A9 A7G7< >DCD< J?G7<I
?;:7@L7@H <;@y7@HCDB <7?7G7> >7C :;8K87@H7@Q U;BKA; y7@H :;8B7<7 A7@ C;AD7I ?;V787
D<D<I <;<9G9C9 C;?7<77@ A;@H7@ <;BKA; :;@y;G;?79C7@ :;8C787 :7A7 R;@H7A9G7@ W7C
O?7?9 U7@D?97 A9 J@AK@;?97I <;?C9:D@ =;8=;A7 A7G7< 8D7@H G9@HCD: :;8C787 y7@H A7:7B
A9?;G;?79C7@Q N;A7@HC7@ <;BKA; C;B9H7 ?;L7G7@ A;@H7@ y7@H A9G7C?7@7C7@ XK<9?9 X;=;@787@
A7@ Y;CK@?9G97?9I A;@H7@ 8D7@H G9@HCD: :;8C787 y7@H LDH7 =;8=;A7Q
Pustaka Acuan
O=û
Dâud, Sulaimân bin al-Asyats al-Sijistânî al-Azadî. Sunan Abî Dâud, ditahqîq oleh
Muhammad Muhyî al-Dîn Abd al-Hamîd. Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
Ahmad ibn Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. Mesir: Muassasah Qurthubah, t.t.
Al-Asqalânî, Ibn Hajar. Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, ditahqîq oleh Muhammad
Fu ad Abd al-Bâqî. Beirût: Dâr al-Ma rifah, t.t.
Audah, Abd al-Qadîr. al-Tasyrî al-Jinâ i al-Islâmî: Muqâranah bi al-Qanûn al-Wad i. Beirut:
Muassasah al-Risâlah, 1992.
Al-Bahnasî, Ahmad Fathî. al-Siyâsah al-Jinâ iyyah fî al-Syarî ah al-Islâmiyyah. Kairo:
Maktabah Dâr al- Urûbah, 1357 H/1965 M.
Al-Bakr, Muhammad Abd al-Rahmân. al-Sulthah al-Qadhâ iyyah wa al-Syakhshiyyah alQâdhî. t.tp.: al-Zahrâ` li al-Alam al-Arabî, 1408/1988.
Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ îl Abû Abdillâh. Shahîh al- Bukhârî. Beirût: Dâr Ibn Katsîr,
1408/1987.
Pengadilan Paling Akhir , dalam Gatra. Jakarta, 29 Januari 2000.
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Majlis Kabulkan Pemberian Kompensasi Korban Tanjung Priok , dalam Hukum Online.Com
Jakarta, 21 Agustus 2004.
Ibn Hibbân, Muhammad al-Taimimî. Shahîh Ibn Hibbân. Beirût: Mu assasah al-Risâlah,
1414 H/1993 M.
Ibn Hisyâm, Abd al-Malik. al-Sîrah al-Nabawiyyah, Tahqîq Thâhâ Abd al-Raûf Sa îd. Beirût:
Dâr al-Jail, 1411.
!"
Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.
]^_ `âjah, Muhammad bin Yazîd Abû
Abdillâh. Sunan Ibni Mâjah, Tahqîq Muhammad
Fu âd Abd al-Bâqî. Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
Ibn Qudamah al-Maqdisî. al-Mughnî. Beirût: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1994.
Ibn Rusyd, Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Bidâyah
al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid. Semarang: Thâhâ Putra, t.t.
Pembantai Muslim Bosnia Tewas di Sel, dalam Indopos, Jakarta, 12 Maret 2006.
Kanter, EY. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Jakarta: Storia Grafika , 2002.
Khallâf, Abd al-Wahâb. Ilmu Ushûl al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da wah al-Islâmiyah,
1376 H/1956 M.
Al-Mâwardî, Abî al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Habîb. al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa
al-Wilâyah al-Dîniyyah. Beirût: Dâr al-Fikr, 1380 H/1960 M.
Muladi. Kejahatan terhadap Kemanusiaan , Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM
bagi Hakim dan Hakim Ad Hoc di Hotel Santika Jakarta 7 Nopember 2001. Jakarta:
Departemen Kehakiman dan HAM R.I., 2001.
Muladi. Prospek Pengaturan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia , Makalah
pada Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM. Jakarta, 16
Februari 2000.
Al-Naisabûrî, Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî. Shahîh Muslim, Tahqîq
Muhammad Fu âd Abd al-Bâqî. Beirût: Dâr al-Ihyâ` al-Turats al-Arabî, t.t.
Al-Nasâ î, Sunan al-Nasâ î. Halb: Maktab al-Mathbû ât al-Islamiyyah, 1406 H/1986 M.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda. Mengadili Kasus-Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia:
Pengalaman Beberapa Negara , Makalah pada Seminar Nasional Rancangan UndangUndang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Direktorat Jenderal Hukum
dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan R.I., 16
Februari 2000.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco, 1989.
Sâbiq, al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirût: Dâr al-Fikr, 1403/1983.
Soegianto, Djoko. Usaha untuk Mengenal Pengadilan HAM , Makalah Pelatihan HAM bagi
Calon Hakim dan Hakim Ad Hoc di Hotel Santika4-10 Nopember2001. Jakarta: Departemen
Kehakiman dan HAM R.I., 2001.
Statute of the International Tibunal for Former Yugoslavia, Adopted 25 May 1993 as Amended
13 May 1998.
Statute of the International Tibunal for Rwanda, 1994.
Syaddad, Badar al-Dîn. Dalâil al-Ahkâm. Beirût: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1991.
Al-Thârifî, Nâshir ibn Âqil ibn Jâbir. al-Qadhâ fî Âhdi Umar ibn al-Khaththâb. Jeddah: Dâr
al-Madanî, 1986.
Al-Tirmidzî, Muhammad bin Îsya Abû Îsya al-Tirmidzî. Sunan al-Tirmidzî, Tahqîq Ahmad
Muhammad Syâkir, et al. Beirût: Dâr al-Ihyâ` al-Turâts al-Arabî, t.t.
Z[\
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
HUDÛD DAN HAM: ARTIKULASI
PENGGOLONGAN HUDÛD ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM
Dedy Sumardi
Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry
Jl. Ibn Sina Darussalam Banda Aceh, 23111
e-mail: dedyfasyarar@yahoo.co.id
Abstrak: Hudûd adalah ancaman hukuman yang ditegaskan al-Qur’an dan Sunnah
berdasarkan teori hukuman yang menganut aspek reformasi. Penggolongan hudûd
ke dalam enam macam merupakan hasil ijtihad fukaha yang bersifat tekstual, dan
nash sebagai sumber pengambilan hudûd masih diperdebatkan. Sehingga muncul reaksi
pemikir hukum Islam Modern, terutama penerapan hukuman hudûd dalam konteks
negara-bangsa berbenturan dengan prinsip penologis dan keuniversalan norma HAM.
Tulisan ini mengkaji pemikiran an-Na’im dalam upaya menemukan kesesuaian antara
syarî‘ah dan HAM. Hasil penelitian menunjukkan titik temunya adalah membatasi
penerapan hudûd ke dalam empat jenis, sesuai dengan prinsip ayat Makkiyah yang
mengandung nilai mashlahah terealisir dalam teori naskh.
Abstract: Punishment and Human Rights: The Articulation of Abdullahi
Ahmed an-Na’im’s Categorization of Hudûd. Hudûd is an offence for which
punishment prescribed by the Qur’an and Sunnah based on the theory of punishment
constituting reformation aspect. The classification of hudûd into six categories is
the product of literal legal deduction of Islamic jurisprudents, and that the legal argument
for hudûd is still debatable which lead to reactions of modern Islamic legal thinkers,
especially on the application of hudûd in the context of those countries which are
against penological principles and the universality of human right norms. This article
studies the thoughts of an-Na’im in an attempt to seek confirmity between syarî‘ah.
This research reveals that the meeting point between the two would be the
restriction of the application of hudûd into four types, in line with the prinples of
Meccan verses bearing public interest values realized in the theory of abrogation.
Kata Kunci: hudûd, HAM, mashlahah
Pendahuluan
Dalam kajian fiqih klasik, hudûd merupakan ancaman hukuman yang telah ditetapkan
bagi pelaku kejahatan. Para pelaku kejahatan diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman
372
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
yang telah ditetapkan secara tegas dalam al-Qur’an dan Hadis sebagai hak Allah tanpa ada
upaya pertimbangan bagi pihak korban untuk meringankan, mengurangi atau melebihkan
jumlah hukuman yang telah ditetapkan, apalagi menggantikannya dengan hukuman
lain.1 Dari segi kuantitas, para ahli hukum Islam membagi kejahatan yang tergolong ke
dalam jarîmah al-hudûd kepada enam macam, yaitu pidana zinâ, sarîqah (pencurian), qadzf
(tuduhan zina), syurb al-khamr (minuman khamar), hirâbah (perampokan/pengacau
keamanan), dan riddah (murtad).2
Keenam jenis kejahatan di atas adalah bentuk formulasi hukum yang dihasilkan
dari ijtihad para ulama, yang kelihatan bersifat literalis dalam memahami aturan-aturan yang
terdapat dalam nash. Baik al-Qur’an maupun Sunnah sendiri tidak membuat pembagian
atas jenis-jenis hudûd ke dalam enam jenis. Jenis-jenis hudûd ini dibuat belakangan oleh
para ulama untuk keperluan pemahaman dan penafsiran al-Qur’an sekaligus untuk
pengembangan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya. Karena itu, di kalangan para ahli
sendiri terdapat perbedaan dalam menentukan dasar pengelompokan jenis-jenis hudûd.
Pada tahap pelaksanannya, jenis-jenis hudûd sarat dengan berbagai sanggahan karena
terdapatnya sebagian nash-nash yang dijadikan sumber pengambilan hudûd masih diperselisihkan di kalangan ulama. Dampak paling nyata dari sanggahan ini adalah ketika
jenis-jenis hudûd ini dipantulkan kepada norma-norma hak asasi manusia (selanjutnya
disebut HAM) melahirkan benturan dengan prinsip penologis3 dan keuniversalan norma
HAM.4 Benturan tersebut dapat dicermati pada sifat dasar dan watak dari hukuman yang
menurut prinsip penologis memberi kesan diskriminatif. Pandangan di atas muncul karena
dominannya bentuk-bentuk hukuman fisik atau badan pada semua jenis hukuman hudûd
yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Hadis, seperti hukum potong tangan untuk pidana
pencurian, cambuk dan dilempari dengan batu (rajam) untuk pidana zina, disalib dan
hukuman mati untuk pidana perampokan/ pengacau keamanan.
Tidak heran jika pada masa sekarang muncul upaya modifikasi hukum walaupun
1
A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. 2 (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1997), h. 25.
2
Muhammad ‘Ata Alsid Sidahmad, Islamic Kriminal Law: The Hudud (First Published in
Malaysia, 1995), h. 58-71; Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuh, Cet. 4, Juz VII
(Dimasyq: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2002), h. 5276.
3
Dalam bahasa Indonesia istilah penologis diartikan dengan ilmu pidana, yaitu suatu cabang
ilmu yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan
tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Sudarsono, Kamus Hukum,
Cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h. 170.
4
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia karena martabatnya, dan
bukan karena pemberian masyarakat atau negara. Dalam hak-hak itu terumus segi-segi kehidupan
seseorang yang tidak boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Oleh karena itu hak asasi
manusia merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis,
kultural dan ideologis yang akan menindasnya apabila tidak dibendung. Franz Magnis Suseno,
Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 40.
373
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
interpretasi yang dilakukan tetap terikat pada hasil ijtihad ulama terdahulu. Secara teoretis
kajian terhadap paradigma dan teori hudûd di atas bertolak dari pandangan dasar tentang
kemanusiaan. Tujuan kajian ini sendiri adalah untuk melahirkan suatu konsep hudûd yang
dapat diterapkan di tengah masyarakat. Sedangkan secara praktis, perhatian utama penjatuhan
hukuman hudûd adalah pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang orientasi
keadilan sosial, membebaskan manusia dan masyarakat dari ketidakadilan dan penindasan.
Refleksi hukum hudûd seperti ini kemudian diimplementasikan ke dalam masyarakat
modern agar dapat memotivasi terjadinya keadilan.
Mencermati persoalan yang timbul di seputar reinterpretasi terhadap jenis-jenis
hudûd dan problematika penerapannya, maka di antara tokoh yang menawarkan solusi
bagi pemecahan persoalan di atas adalah Abdullahi Ahmed an-Na‘im (selanjutnya disebut
an-Na‘im). Baginya, penggolongan jenis hukum hudûd yang ditegaskan dalam al-Qur’an
secara rinci adalah dibatasi pada empat jenis kejahatan, yaitu pencurian, perampokan,
zinâ dan qadzf.5 Sedangkan pelanggaran terhadap minuman khamar dan riddah adalah
jenis pelanggaran yang disepakati oleh para ahli hukum awal yang tidak mempunyai landasan
hukum dalam al-Qur’an, karena hanya bersumberkan pada al-Hadîs semata. Karena itu
sangat memungkinkan bagi hakim untuk menetapkan hukuman terhadap dua jenis kejahatan
(yang diistilahkan an-Na`im dengan “pelanggaran”) di atas menurut kebijaksanaannya
sendiri (ta‘zîr), baik dalam bentuk menambah, mengurangi atau menghapuskan jumlah
hukumannya.6
Seperti pidana riddah, menurut an-Na‘im, penetapannya ke dalam jenis-jenis hudûd
dianggap melanggar hak asasi kebebasan beragama karena al-Qur’an tidak menetapkan
hukuman apa pun bagi pelaku riddah. Penggolongan riddah sebagai hukuman hadd yang
bisa dihukum mati hanya merujuk kepada Sunnah.7 Ia juga menyatakan bahwa al-Qur’an
memiliki otoritas dalam menetapkan aturan hukum lebih tinggi. Di samping itu hadishadis yang menjelaskan pidana mati tersebut terkait dengan situasi tertentu, maksudnya
hanya terbatas pada pelaku riddah yang memerangi Islam.8
Karena itu untuk menyingkirkan pelanggaran terhadap HAM, konsep hukum riddah
dan semua konsekuensi perdata dan pidananya harus dihapuskan. Sedangkan otoritas
sunnah yang menunjukkan kecenderungan pada konsekuensi pidana dan konsekuensi
lainnya terhadap orang murtad dapat dijadikan sebagai suatu hukum peralihan.9
5
Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right,
and International Law (Syracuse University Press, 1996), h. 108.
6
Ibid.
7
M. A. Nasif, al-Tâj al-Jam‘i li al-Ushul, edisi IV (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.),
h. 18.
8
Kedudukan ini telah dijelaskan oleh Muhammad ‘Abduh dan M. Rasyîd Ridâ dalam Tafsîr
al-Manâr, Jilid V (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 327.
9
An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 109.
374
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
Mengingat polemik yang muncul seputar persoalan hudûd, agaknya gagasan yang
dikemukakan oleh an-Na`im di atas perlu dikaji dan diuji kebenarannya. Temuannya agar
dapat dijadikan sebagai tawaran alternatif bagi kebekuan penerapan hukum pidana Islam.
Pemikiran ini menarik untuk diangkat karena di satu pihak an-Na`im membagi hudûd ke
dalam empat jenis, sedangkan fukaha10 umumnya membagi kepada enam jenis. Kajian
ini sendiri dibatasi hanya pada pengelompokan yang ditawarkannya dalam kerangka
konstitusional hukum pidana modern berpedoman pada sistem negara bangsa (nation
state). Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan, terlihat bahwa masalah pokok
yang menjadi objek tulisan ini adalah mengapa an-Na`im berbeda dengan fukaha dalam
menetapkan jenis-jenis hudûd dan implikasi teori hudûd an-Na’im dalam kaitannya
dengan norma-norma HAM.
Pembahasan tentang hudûd dalam pandangan an-Na’im merupakan kajian yang
amat dibutuhkan dalam konteks sekarang sehingga penilaian terhadap hukum Islam
yang dianggap kejam dan melanggar HAM dapat dinetralisir. Di sisi lain menemukan dampak
teori hudûd an-Na`imdalam kaitannya dengan penerapan hukum pidana Islam dengan
konsep universal HAM. Dengan demikian, ini akan menambah kejelasan antara hukum
“pidana syariah” dan hukum “pidana fiqh” di satu sisi serta “hukum pidana” yang ideal di
sisi lain guna diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern yang cenderung
menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.
Hudûd: Problem Definisi
Secara khusus an-Na’im dalam karyanya tidak membuat rumusan yang jelas mengenai
definisi hudûd yang sesungguhnya. Namun demikian bukan berarti an-Na’im tidak menyinggung
sama sekali pandangannya mengenai definisi hudûd. Jika dicermati secara mendalam,
ketika dia menguraikan pandangannya berkenaan dengan persoalan hudûd akan dapat
diketahui bagaimana sesungguhnya konsep hudûd yang ditawarkannya. Bagi an-Na`im
kendatipun konsep hudûd berasal dari al-Qur’an, tetapi masih memunculkan problem definisi
yang serius.11 Karenanya, tidak berarti dapat diterima begitu saja sebab memungkinkan
untuk ditelaah dan dicermati secara mendalam. Terutama sebagaimana tercantum dalam
surat al-Thalâq/65: 1 dan al-Nisâ’/2: 14.
Kata hudûd adalah bentuk jama’ dari kata hadd, yang artinya batas (limit), batasan
atau faktor yang membatasi. Dalam yurisprudensi Islam, istilah hadd digunakan untuk
hukuman yang membatasi tindakan kejahatan, dan ia disebut hudûd.12 Penggunaan
10
Pengertian fukaha dalam tulisan ini mengacu kepada ulama mazhab sunni yang empat
yaitu mazhab Hanafî, Mâlikî, Syâfi‘î dan Hanbalî. Pemilihan keempat mazhab ini didasarkan atas
kepopuleran dan banyaknya sumber rujukan yang ditulis oleh ulama masing-masing mazhab
ataupun oleh tokoh-tokoh lain yang membahas pemikiran mereka.
11
An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 109 .
12
Ibn Mandzûr, Lisân al-`Arab, Juz III (Bairut: Dâr al-Fikr, 1999), h. 140.
375
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
bentuk jama` (hudûd) mengindikasikan bahwa hadd (batas) yang ditentukan oleh Allah
berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan tersebut
sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Dalam mengomentari surat al-Thalâq/65: 1 dan al-Nisâ’/65: 14 di atas, Muhammad
Syahrûr memberikan analisis terutama pada ayat 14 surat al-Nisâ’, kalimat
mempunyai makna melanggar batas-batas (hukum)-Nya. Menurut Syahrûr, penggalan
ayat ini menegaskan bahwa perbuatan maksiat (menolak untuk mengerjakan) dapat
dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya., tetapi pelanggaran batasan hukum hanya terjadi
pada Tuhan saja, karena otoritas penentuan hukum syarî’ah yang terus berlaku selamalamanya hanya milik Allah saja.13
Dalam kajian fiqih al-jinâyah, para fukaha mengartikan hudûd sebagai ‘uqûbah
muqaddarah, yaitu ancaman hukuman yang kadar dan jenis hukuman telah ditetapkan
dalam al-Qur’an, baik perbuatan maupun perkataan.14 Dalam penjabarannya, istilah ‘uqûbah
muqaddarah, kemudian menjadi istilah teknis ketika menjelaskan hukuman-hukuman
yang berkaitan dengan pelanggaran jinâyah. Kewenangan dalam ’uqûbah muqaddarah
hanyalah Allah. Oleh karena itu hudûd dikatakan sebagai hak Allah yang tidak ada kewenangan bagi hakim mengurangi apalagi menambah jenis hukuman. Di samping itu,
konsep hudûd yang dirumuskan oleh fukaha ini didasarkan pada penggunaan sunnah
dan tradisi yang ada selalu dijadikan salah satu pertimbangan hukum tentang otentisitas
dan penafsiran tradisi yang relevan. Kondisi ini sebagai justifikasi fukaha dalam merumuskan
hudûd menjadi ‘uqûbah muqaddarah.
Pemahaman seperti ini berbeda dengan makna dasar hudûd sebagaimana disebutkan
dalam al-Qur’an. Dasarnya term hudûd jamak dari hadd yang terdapat dalam kedua ayat
di atas menengarai bahwa konsep hudûd yang disebutkan dalam al-Qur’an berarti batasan
hukum yang ditentukan Allah dan tidak boleh dilanggar. Menurut al-Na‘îm, batasanbatasan hukum terhadap pelanggaran yang secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an
terbatas kepada empat jenis kejahatan, yaitu sarîqah, hirâbah, zinâ dan qadzf, karena
hanya itulah pelanggaran-pelanggaran yang hukumannya disebut dalam nash al-Qur’an
dengan jelas dan rinci.15 Argumen yang sama juga diungkapkan oleh Imâm al-Raghîb alIshfahânî mendefinisikan hudûd menurut makna leksikal al-Qur’an sekaligus menegaskan
keempat jenis kejahatan yang ditegaskan dalam al-Qur’an sebagaimana dipaparkan anNa’im.16
13
Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ`ah Mu`asharah (Kairo: Sinâ li al-Nasyr
wa al-Ahallî, 1992), h. 452.
14
‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’îy al-Islâmî: Muqâranah bi al-Qânûn al-Wadh’îy,
Jilid I (Bairût: Muassasah al-Risâlah, 1997), h. 207.
15
An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 108.
16
Al-Raghîb al-Ashfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’an (Bairût: Dâr al-Ma’rifah, 1986),
h. 192-193.
376
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
Sedangkan sunnah yang dijadikan fukaha dalam menetapkan jenis hukuman yang
termasuk ke dalam jarîmah al-hudûd hanya berlaku pada “kondisi tertentu”.17 Hal ini didasarkan
pada asas kepastian hukum secara tegas dalam jarîmah al-hudûd, mengharuskan “kondisi
tertentu” direkomendasikan demi pertanggungjawaban pidana. Seperti terlihat pada
jarîmah syurb al-khamr dan riddah, baik al-Qur’an maupun Sunnah tidak menyebutkan
hukuman secara khusus. Ini terlihat dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama
terhadap banyaknya aspek pelanggaran yang memasukkan jumlah cambukan tertentu
sebagai hukuman. Asumsi ini sebagai alasan an-Na`im menolak menggolongkan kedua
jarîmah ini ke dalam hudûd.18
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hudûd yang dimaksudkan an-Na`im
adalah pelanggaran yang ditegaskan secara rinci dalam al-Qur’an saja. Sedangkan sunnah
menjelaskan hukuman pelanggaran yang disebutkan dalam al-Qur’an berlaku pada situasi
tertentu, misalnya penjelasan Sunnah mengenai pelanggaran syurb al-khamr dan riddah.
Asumsi seperti ini didasarkan kepada “otoritas penentuan hukum syarî`ah” semata-mata
adalah kewenangan Allah. Terkait dengan asumsi di atas, an-Na’im bukan tidak menerima
keabsahan sunnah Nabi dalam jarîmah al-hudûd, ia mengakui sunnah juga memiliki
fungsi dalam menjelaksan nash-nash al-Qur’an, tetapi khusus berlaku pada kasus-kasus
tertentu yang relatif erat kaitannya dengan kondisi pada saat itu saja. Kajian terhadap
kasus-kasus jinâyah yang mendapat legitimasi dari sunnah dalam pandangan an-Na’im
perlu diberikan pemahaman yang utuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang
berhubungan dengan dinamika perkembangan masyarakat pada saat hukum itu diformulasikan
menjadi hukum yang mengikat. Ketentuan hukum yang berasal dari Nabi SAW bersifat
temporal (marhalî) sesuai dengan hikmah adanya Sunnah untuk ditaati di satu sisi, dan
posisi Nabi sebagai teladan untuk berijtihad dalam lingkup batasan ketentuan Allah yang
disesuaikan dengan kondisi objektif yang hidup dalam sejarah peradaban umat manusia.
Kriteria Hudûd
An-Na’im membuat kriteria hudûd berbeda dengan kriteria yang ditetapkan oleh
fukaha. Menurutnya, dalam jarîmah al-hudûd terdapat hak yang harus dilindungi untuk
kepentingan masyarakat. Ditinjau dari segi kepemilikan, hak dapat dibagi kepada hak
Allah dan hak hamba.
Haqq Allâh (Hak Allah)
Menurut pandangan an-Na’im, yang dimaksud dengan hak Allah sama halnya
seperti pemahaman ulama mengenai hak Allah yang terdapat dalam jarîmah al-hudûd.
17
An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 110.
Ibid. h. 108.
18
377
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Hak ini merupakan salah satu hak yang harus dilaksanakan tanpa ada seorang pun yang
dapat menggugurkannya, mengingat hak Allah disebut hak masyarakat. Dalam fiqh aljinâyat, yang menjadi hak Allah adalah hukuman yang ditetapkan berdasarkan kepentingan
masyarakat atau disebut juga hak negara/hak umum. Hukuman yang menjadi hak Allah
tidak dapat digugurkan oleh pihak yang dirugikan (keluarga korban), karena hukuman
ini ditetapkan untuk ke-mashlahat-an masyarakat (berlaku umum), bukan ke-mashlahatan individu. Seperti hukuman bagi pencuri tidak gugur dengan pengampunan korban atau
damai dengan pelaku pencuri setelah perkara itu sampai ke hakim. Begitu pula dalam kasus
zina, tidak gugur hadd zina dengan pengampunan suami atau lainnya atau kerelaan istri.19
Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran terhadap hak Allah diterapkan
hanya sekali saja terhadap dosa yang dilakukan berulang-ulang. Sekalipun berzina atau
mencuri dilakukan berulang-ulang, tidak dihukum berkali-kali, karena tujuan dari hukuman
adalah al-zajr (peringatan) dan al-rad` (menakuti) dan dapat dicapai tujuannya dengan
sekali hukuman.20 Kewenangan pelaksanaan hukuman ini adalah hakim, sebagai pelajaran
(ta’dîb) bagi yang melanggarnya demi mencegah kekacauan dan sekaligus pemberi hukuman
terhadap suatu kejahatan.21
Haqq al-Âdami (Hak Hamba)
Hak manusia yaitu hukuman yang menyangkut dengan kepentingan individu (berlaku
khusus) dan dapat digugurkan oleh pihak yang dirugikan (keluarga korban) atau oleh
pemerintah.22 Atas dasar ini, menurut Ibrahim Hosen, jarîmah al-qishâsh dan jarîmah aldiyât tidak termasuk kepada jarîmah al-hudûd. Alasannya kedua jarîmah di atas dapat
digugurkan oleh pihak yang dirugikan.23
Pada hakikatnya hak ini bertujuan untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi
manusia. Hak ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Hak manusia yang
bersifat umum seperti menjaga (menyediakan) sarana kesehatan, menjaga ketentraman,
melenyapkan tindakan kekerasan (pidana), dan tindakan-tindakan lain yang dapat merusak
tatanan masyarakat pada umumnya. Adapun hak yang bersifat khusus, seperti menjamin
hak milik seseorang, hak istri mendapat nafkah dari suaminya, hak ibu memelihara anaknya
dan hak bapak menjadi wali anak-anaknya, dan hak berusaha (berikhtiar) dan lain-lain
yang bersifat untuk kepentingan pribadi (individu). Mengenai hak manusia ini seseorang
19
Ibid.
Syams al-Dîn al-Sarakhsî, Kitâb al-Mabsûth, Juz IX (Bairût: Dâr al-Ma‘rifah, 1998), h. 185.
21
Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz IV, h. 2845.
22
Ahmad Fathi Bahnisi, Nazhariyyât fî al-Fiqh al-Jinâ‘î al-Islâmî (Kairo: al-Syirkah al‘Arabiyyah, 1963), h. 55.
23
Ibrahim Hossen, “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam: Reinterpretasi terhadap
Pelaksanaan Aturan,” dalam Jamal D. Rahman (ed.), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali
Yafie (Bandung: Mizan, 1997), h. 93.
20
378
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
boleh menggugurkan haknya, memaafkannya dan mengubahnya, dan boleh pula mewariskannya kepada ahli waris. Di sini tampak adanya kebebasan berbuat dan bertindak atas
dirinya sendiri. Termasuk pula hak asasi seperti hak hidup, merdeka, bertempat tinggal,
mengeluarkan pendapat dan pikiran, terjaga kemuliaannya.24
Pada umumnya hak hamba tidak terdapat di dalam jarîmah al-hudûd, melainkan
jarîmah al-qishâsh dan jarîmah al-ta’zîr. Khususnya pada jarîmah al-qadzf dicambuk 80
kali bagi orang yang menuduh (mahdzûf), terdapat dua hak yang harus dilindungi, yaitu
hak Allah (menjaga kemuliaan manusia dan mencegah kerusakan di muka bumi) dan
hak hamba (haqq al-mahdzûf) berupa penolakan kejahatan dituduh kepadanya untuk
menjaga kemuliaan diri. Dari sinilah an-Na’im menilai bahwa dalam jarîmah al-hudûd
terutama pada jarîmah al-qadzf hak hamba merupakan hak paling dominan daripada hak
Allah. Dengan demikian hak hamba harus dilindungi karena ia termasuk ke dalam HAM.
Implikasi Hudûd dalam Norma HAM
Sejumlah teks syarî‘ah yang berbenturan dengan HAM merupakan teks yang
menurut ulama selama ini termasuk kategori qath‘î. Dalam tulisan ini dikemukakan
beberapa contoh kasus yang diangkat an-Na’im berkaitan dengan pelanggaran konsep
universal HAM PBB. Di antara contoh alternatif mengenai penerapan syarî‘ah Islam yang
dianggap berbenturan dengan konsep HAM adalah yang terjadi di Sudan selama Presiden
Numeiri menjabarkan program Islamisasi pada 1983-1985 dan hukuman hadd yang dirancang
oleh Hassan Turabi pada 1991.25 Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam bahasan studi
ini adalah kebebasan beragama dan hak-hak perempuan. Kesemuanya ini akan dipaparkan
beriringan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right.
Hudûd dan Kebebasan Beragama
Kesan yang sering dimunculkan ke permukaan ketika membahas persoalan kebebasan
beragama adalah toleransi terhadap perbedaan agama dan menyerahkan kepada mereka
yang akan memilih agama apa saja sesuai dengan kehendaknya tanpa memandang perbedaan
jenis kelamin, warna kulit, suku dan ras. Para fukaha sepakat bahwa salah satu konsep tujuan
dari maqâshid al-syarî‘ah sebagai benih lahirnya konsep HAM dalam Islam adalah kewajiban
memelihara agama dari orang yang ingin menyelewengkannya, atau mempermainkannya,
memaksa memeluknya atau berusaha mengeluarkannya (memurtadkannya). Hal ini diakui
oleh fukaha dengan menetapkan adanya batasan (hukuman dan sanksi) murtad sebagai
24
Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, h. 2845.
Mayer, Ambiguitas An-Na’im, h. 41-68.
25
379
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
bagian dari syarî’at tanpa mempertimbangkan apakah dalil-dalil yang dijadikan dasar
tersebut telah sesuai dengan prinsip kebebasan beragama.26
Kesepakatan (ijmâ`) ulama mengatakan bahwa orang murtad harus dibunuh bahkan
dipaksa dengan segenap kekuatan untuk kembali kepada Islam, atau diberlakukan hukuman
mati jika ia tetap menolak untuk kembali kepada Islam. Pertimbangan ulama adalah demi
menjaga agama dari usaha-usaha pelecehan yang dianggap sebagai sumber pembentukan
dan tegaknya kedaulatan umat Islam.
Bagi an-Na’im ketetapan hukum bunuh bagi orang murtad adalah salah satu bentuk
pelanggaran terhadap norma-norma HAM pasal 18 dan 19 DUHAM yang menganut prinsip
kebebasan dalam hal memilih keyakinan dan agamanya tanpa ada paksaan dan kebebasan
mengemukakan pendapat.27
Contoh kasus yang dikedepankan an-Na’im adalah vonis hukuman mati yang
diberikan kepada gurunya Mahmûd Muhammad Thâha dengan tuduhan murtad akibat
ide-ide yang dilontarkannya. Kasus ini terjadi di saat pemerintahan Sudan dipegang oleh
Presiden Ja`far Numeiri yang didampingi wakilnya Hasan al-Turâbî. Pengadilan Sudan
yang ditangani oleh hakim al-Kabasyî mengeksekusi Thâha yang ketika itu berumur 79
tahun tanpa ada gugatan dari Wakil Presiden. 28
Kasus serupa juga dialami oleh tokoh muslim kontemporer Nashîr Hamîd Abû Zayd
yang telah dituduh dan divonis murtad. Bahkan salah seorang menuntut untuk dilakukan
perceraian dengan istrinya karena alasan murtad. Kasus yang menimpa Nashîr Hamîd
Abû Zayd ini membuat ia hijrah ke Eropa bersama Mohammad Arkoun dan menjadi penasehat
bidang penerbitan Ensiklopedi Barat berkaitan dengan al-Qur’an serta menerima tawaran
dari Universitas Leiden Belanda.29
Dua contoh kasus murtad di atas menunjukkan bahwa pemaksaan dalam beragama
sama halnya dengan sebuah penegasan bahwa dalam Islam terdapat pemberangusan
terhadap kebebasan berakidah dan pemasungan terhadap HAM. Memperkuat argumentasinya, an-Na’im mengutip sejumlah ayat al-Qur’an yang tidak mendukung kebebasan beragama
26
Q.S. al-Baqarah ayat 256.
Pasal 18 DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) menyatakan setiap orang berhak
untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau
kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dalam bentuk beribadat
dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik sendiri
maupun tersendiri. Serta Pasal 19 menyatakan setiap orang berhak untuk bebas berpendapat
dan menyatakan pendapatnya. Baik itu meliputi kebebasan untuk memiliki pendapat-pendapat
tanpa campur tangan pihak orang lain dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi
dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun dan dengan tanpa memandang batas-batas.
28
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Pangabean, Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia
Hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), h. 179.
29
Thaha Jabir al-Ilwany, Tidak Ada Paksaan dalam Islam, terj. A. Fuad Mukhlis (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 11.
27
380
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
dan bertentangan dengan prinsip HAM adalah surat al-Taubah/9: 11-12, 29 dan 36.
Dalam hal penyebaran Islam, ayat ini menawarkan tiga pilihan, yaitu: (1) Masuk Islam,
(2) Keharusan membayar jizyah30 jikalau tidak mau masuk Islam, (3) Perang sebagai
pilihan terakhir apabila kedua tawaran di atas tidak diindahkan. Aspek kedua dari ayat
ini mengandung perlakuan diskriminasi bagi non-muslim dan ini tidak saja membatasi
kebebasan beragama, tetapi membatasi kemerdekaaan dan persamaan hak sebagai warga
negara yang dapat digolongkan pelanggaran prinsip HAM.
Adanya keharusan memilih salah satu dari tiga pilihan di atas, bagi an-Na’im ayat ini
merupakan ayat yang tidak toleran terhadap kebebasan beragama. Padahal terdapat ayatayat lain yang bersifat toleran dalam beragama (al-Baqarah/2: 256). Ayat ini memberikan
kebebasan kepada seseorang untuk menentukan pilihannya dalam memilih agama apa
saja yang dia kehendaki, tanpa ada unsur paksaan dari siapa pun. Bagi al-Na‘îm, sekalipun
ayat ini turun pada masa Madinah awal, tetapi ia dapat saja dipandang sebagai ayat-ayat
Makkiyah dengan kandungan isi ayat menekankan toleransi.
Pandangan serupa juga dilontarkan oleh M. Quraish Shihab. Ia mengatakan bahwa
hukum bunuh bagi orang murtad sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial setiap masyarakat.
Dalam al-Qur’an tidak ditemukan indikasi keharusan menjatuhkan hukuman bunuh bagi
orang murtad. Kalaupun ada hadis-hadis yang membicarakan tentang hukuman seperti
itu, semata-mata hanyalah kebijaksanaan di dalam menata suatu masyarakat.31 Boleh
jadi berlaku dalam masyarakat tertentu, tetapi tidak berlaku di dalam masyarakat yang
lain. Sekalipun hukum bunuh berasal dari kebijakan Rasul, harus diperhatikan dalam
konteks bagaimana kebijakan itu dianjurkan, apakah dalam konteks sebagai Rasul, sebagai
pemberi fatwa, sebagai hakim yang menetapkan putusan atau sebagai pemimpin suatu
masyarakat yang arah kebijaksanaannya akan terjadi perbedaan disebabkan perbedaan
kondisi suatu masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikatakan ‘Âbid al-Jâbirî, di mana kondisi
hukum bagi orang murtad dalam ajaran Islam tidaklah ditentukan oleh otoritas kebebasan,
kebebasan beragama, melainkan ditentukan oleh otoritas apa yang sekarang disebut dengan
pengkhianatan negara atau menyulut perang melawan masyarakat dan negara.32 Dalam
kondisi seperti ini, bagi al-Jâbirî pembicaraan mengenai isu-isu tentang HAM dan kebebasan
beragama lebih cenderung kepada kebebasan beragama secara individu dan tidak memasukkan
kebebasan mengkhianati negara, masyarakat dan agama, kebebasan merampok dan merampas
30
Abdullahi Ahmed An-Na’im, “Toward an Islamic Reformatioan: Islamic Law in History
and Society Today,” dalam Norani Othman (ed.), Shari’a Law and The Modern Nation-State: A
Malaysian Symposium (Kuala Lumpur: Friedrich-Naumann-Stiftung, 1994), h.17.
31
Muhammad Quraish Shihab, “Wawasan al-Qur’an Tentang Kebebasan Beragama,” dalam
Komaruddin Hidayat (ed.), Passing Over: Melintas Batas Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1999), h. 190.
32
Muhammad Abid al-Jabiri, Syura: Tradisi Partikularitas Universalitas, terj. Mujiburrahman
(Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 131.
381
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
apa yang dimiliki orang lain. Hukum bunuh bagi orang murtad dalam pandangan ulama
fiqih bukanlah semata-mata dikarenakan melanggar kebebasan beragama (pindah agama).
Hukum bunuh tersebut ditujukan kepada orang murtad di samping pindah agama sekaligus
melakukan pengkhianatan kepada agama dan negara serta membuat konspirasi dengan
musuh.
Hudûd dan Kesetaraan Jender
Kasus hukum yang dikemukakan an-Na`im dianggap diskriminatif dalam upaya
penegakan HAM adalah kesaksian bagi wanita dalam masalah pidana zina (surat al-Nûr/
24: 4). Di sini kesan diskriminasi didasarkan atas jenis kelamin, merupakan pelanggaran
terhadap HAM yang tidak dapat dipertahankan lagi pada saat ini.33 Berkenaan dengan
kesaksian, apakah wanita dapat dijadikan saksi hanya dalam bidang perdata saja atau
lebih luas lagi. Para ulama baik di kalangan Syâfi’iyah, Hanafiyah, Mâlikiyah maupun
Hanabilah berpendapat, sekalipun dalam redaksi berbeda, bahwa kesaksian wanita hanya
terbatas pada masalah-masalah perdata, tidak dalam masalah-masalah pidana.34 Khusus
ulama Syâfi’iyah sama sekali menolak kesaksian wanita dalam masalah pidana zina.35 Ini
terlihat dari perkataan Syâfi’î yang kemudian diikuti oleh pengikutnya, bahwa tidak
diterima kesaksian wanita dalam masalah hudûd, perwalian, wasiat, serta tidak pula
dalam bidang yang bukan bersifat harta benda.36
Penolakan ini tidak hanya ketika wanita memberi kesaksian tersebut tanpa lakilaki melainkan juga bersama laki-laki. Ketentuan ini juga berlaku pada pidana zina yang
menjadi bagian pidana hudûd.37 Ulama Syâfi’iyah berpendapat bahwa saksi dalam kasus
pidana zina haruslah mencapai empat orang laki-laki saja, sedangkan kasus pidana selain
zina, mereka menetapkan jumlah saksi itu haruslah dua orang laki-laki. Dengan demikian
terlihat bahwa ulama Syâfi’iyah telah mensyaratkan saksi dalam kasus pidana haruslah
laki-laki.38
Gambaran seperti di atas menunjukkan salah satu bentuk diskriminasi terhadap
hak-hak perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Kesaksian perempuan berbeda dengan
laki-laki yaitu dua perempuan sama halnya dengan kesaksian seorang laki-laki. Pembedaan
33
An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 25-26.
Ibn Ruysd, Bidâyah al-Mujtahid Wa Nihâyah al-Muqtashid, terj. Drs. Imam Ghazali
Said Juz II (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t.), h. 384.
35
‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’îy al-Islâmî, Jilid II, h. 481.
36
‘Abd Allâh Muhammad ibn Idrîs al-Syâfi’î, Al-Umm, Juz VII (Bairût: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 50.
37
Muhammad Atha al-Sayyid Sid Ahmad, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami (Malaysia: Pustaka
Negara Malaysia, 1995), h. 148.
38
Al-Syairazî, Al-Muhadzdzab, Juz II (Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), h. 333.
34
382
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
berdasarkan jenis kelamin inilah yang dimaksudkan an-Na`im dengan bias gender dan
dianggap bertentangan dengan pasal 1 dan 2 Deklarasi HAM Universal.39
Bagi an-Na’im pasal ini problematis dan dilematis karena aturan syarî‘ah secara
tegas membedakan perempuan dengan laki-laki dalam beberapa bidang kehidupan,
termasuk dalam jarîmah al-hudûd. Ini berarti bahwa hak-hak perempuan lebih terbatas
dibandingkan dengan laki-laki. Hak menjadi saksi hanya terbatas pada kasus perdata saja,
yaitu dalam hal penetapan jumlah saksi (surat al-Baqarah/2: 282) satu berbanding dua,
apabila dibandingkan dengan laki-laki (satu orang laki-laki berbanding dua orang
perempuan). Ayat ini menunjukkan bahwa syarî‘ah menginginkan kesaksian dua orang
perempuan sama halnya menempati kedudukan satu orang laki-laki dengan pertimbangan
perempuan itu salah atau lupa. Inilah alasan yang diberikan al-Qur’an ketika jumlah saksi
antara perempuan dan laki-laki dua banding satu. Hal senada diungkapkan oleh al-Sarakhsî,
pada dasarnya perempuan tidak dapat diterima untuk memberikan kesaksian disebabkan
oleh berbagai kekurangan yang mereka miliki, baik dari segi akalnya maupun agamanya.
Mereka mudah sesat, pelupa, cepat terpedaya serta cenderung memperturutkan hawa
nafsunya. Kendati demikian al-Sarakhsi mengakui bahwa keabsahan kesaksian wanita
dalam hal-hal yang tidak diketahui oleh laki-laki adalah suatu pengecualian (istitsnâ),
karena laki-laki tidak mengetahui hal tersebut, jadi tidak ada jalan lain kecuali menerima
kesaksian wanita.40
Aturan syarî‘ah Islam yang bias gender ini umumnya didasarkan atas legitimasi alQur’an dan Sunnah, kelihatan cenderung menyudutkan kaum perempuan sebagaimana
dipaparkan dalam ayat dan hadis di atas.41 Penilaian terhadap ayat tersebut mengisyaratkan
kepada kekhawatiran seorang perempuan melakukan kesalahan atau lupa dalam memberikan
kesaksian. Apalagi dalam masalah hudûd sangat diperlukan ketelitian dan kehati-hatian.
Walaupun penilaian di atas hanya sebatas kehati-hatian, dalam pandangan ‘Âbid alJâbirî, sifat salah dan lupa bukanlah watak mendasar bagi perempuan, melainkan sematamata sangat terkait dengan kondisi sosial dan pendidikan yang ditempuhnya.42
39
Pasal 1 Deklarasi HAM berkaitan dengan hak-hak perempuan adalah: “Semua orang dilahirkan
merdeka dan sama dalam martabat dan hak-haknya. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani,
dan sebaiknya bertindak terhadap sesamanya dalam semangat persaudaraan.” Sedangkan pasal
2: “Setiap orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi
ini tanpa perbedaan apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, tahanan
politik atau paham yang lain, nasional atau asal usul sosial, hak milik, kelahiran ataupun status
yang lain.”
40
Al-Sarakhsî, Al-Mabsûth, Juz XVI (Bairût: Dâr al-Maktab al-Ilmiyah, 1993), h. 142.
41
Disinyalir bahwa al-Qur’an tidak terlepas dari bias gender mengingat ia turun di tengahtengah masyarakat Arab yang patriarkhi, masyarakat yang didominasi oleh kekuasaan laki-laki.
Dalam budaya Arab, kedudukan perempuan sangat rendah, bahkan diangap suatu aib sehingga kehadiran
perempuan dapat dijadikan alasan menguburnya hidup-hidup. Azyumardi Azra, “Ketentuan
Fiqh tentang Gender,” dalam Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), h. 125-130.
42
Al-Jabiri, Syura: Tradisi Partikularitas, h. 333.
383
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa penolakan ulama Syâfi’iyah terhadap
kesaksian wanita dalam jarîmah al-hudûd adalah segi kejiwaan wanita. Selain itu, faktor
waktu, tempat dan kultur di mana mereka memformulasikan fiqih itu sendiri sangat mempengaruhi pola ijtihad mereka. Pada zaman mereka wanita lebih banyak aktif dalam rumah
tangga dan mendidik anak sehingga kemungkinan menyaksikan tindak pidana sangat
sulit, apalagi masalah tindak pidana ini sangat berhubungan dengan kehormatan seseorang
yang hampir dikatakan tidak ditemukan atau disaksikan, kalaupun ini terjadi orang
lebih memilih diam atau tidak membawa kasus tersebut ke pengadilan karena hal ini
merupakan masalah yang memalukan. Jika asumsi ini diterima, inilah sebagai suatu
alasan mengapa para ulama sangat jarang membicarakan tentang masalah ini, tetapi
tidak tertutup kemungkinan terjadi dalam suatu masyarakat pada waktu tertentu mengingat
pola kehidupan modern yang telah memengaruhi kehidupan manusia.
Oleh karenanya apa yang diungkapkan al-Jâbirî ke-mashlahat-an dan kondisi sosial
merupakan sesuatu yang berada di balik hukum atau ruh syarî’ah.43 Ini dapat dirujuk
pada kebijakan ‘Umar ibn al-Khaththâb ketika ia tidak membagikan tanah pertanian Irak
kepada para tentara, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an. Pertimbangan ke-mashlahatan yang dapat dipahami dari kasus ini adalah tidak membaginya kepada para tentara
melainkan membiarkan tanah tersebut berada di tangan pemiliknya dan memungut pajak
darinya.44 Pendapat senada juga diungkapkan oleh al-Syawkânî dengan mengutip pendapat
Imâm Ahmad bin Hanbal serta Abû Bakr al-Jashshash.45
Untuk itu, an-Na’im menilai bahwa ke-mashlahat-an itu ada di setiap tradisi masyarakat.
Kata al-Na`îm, konsep mashlahah lebih potensial untuk direformasi. Dalam hal ini ia
mengutip teori al-Ghazâlî (1058-1111 M) tentang maqâshid al-syar`î sebagai pertimbangan
bagi masalah kemanusiaan, meliputi pemeliharaan lima hal, yaitu: agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.46 Dalam konteks ini an-Na’im juga setuju dengan teori yang menyatakan
bahwa sejauh bukan menyangkut ibadah ritual, mashlahah dapat menentukan hukum
bahkan melampaui nash al-Qur’an dan Sunnah, juga ijmâ’ ketika diketahui ada ke-mashlahatan umum.47 Menurut teori ini mashlahah lebih penting dan bila perlu dapat mengabaikan
43
Ibid. h. 135.
Muhammad Baltâjî, Manhâj ‘Umar bin al-Khaththâb fî Tasyrî’ (Kairo: Maktabah al-Syabâb,
1998), h. 140.
45
Muhammad ibn ’Alî al-Syawkînî, Nayl al-Awthâr, Jilid VII (Bairût: Dâr al-Jayl, t.t.), h. 268.
46
An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 25-26.
47
Ibrahim Hosen “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam” dalam Kontekstualisasi
Ajaran Islam (Jakarta: IPHI/Paramadina, 1995), h. 254-262.
44
384
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
teks.48 Dengan kata lain, sesuatu yang manshûsh belum tentu bernilai qath‘î, sebagaimana
dikatakan Masdar F. Mas’udi, yang qath‘î adalah mashlahah itu sendiri.49
Mencermati dan menelaah uraian di atas, berdasarkan data-data yang diperoleh
dapat dikatakan bahwa pendapat an-Na’im yang keberatan menerima kesaksian wanita
di bidang perdata saja, dan bukan di bidang pidana bukanlah sesuatu hal yang baru dan
asing dalam khazanah pemikiran Islam, melainkan telah dibicarakan oleh para ulama
terdahulu. Perlu ditegaskan bahwa yang dikatakan baru dalam pemikiran an-Na`im adalah
ketika dia mengaitkan kasus di atas dengan menyebutnya sebagai bagian dari bentuk
pelanggaran HAM. Jika diteliti lebih lanjut pendapat ulama terdahulu ditemukan bahwa
Ibn Hazm menerima kesaksian wanita dalam berbagai hal, termasuk bidang pidana.50
Sejalan dengan pendapat di atas, Muhammad al-Ghazâlî memberi komentar terhadap
pendapat yang menolak kesaksian wanita bahwa timbul penyimpangan dalam pemikiran
muslim yang sama sekali menjauhkan kaum wanita dari kesempatan memberikan kesaksiannya dalam berbagai bidang peradilan menyangkut masalah qishâsh dan tindak
pidana yang bersangkutan dengan nyawa dan kehormatan manusia.51
Uraian di atas menunjukkan beberapa contah kasus di mana mayoritas ulama menggolongkannya ke dalam jarîmah al-hudûd yang oleh an-Na`im dianggap diskriminatif sekaligus
bertentangan dengan HAM. Dari uraian di atas persoalan yang menjadi perhatian utama
gagasan al-Na`îm, adalah: Pertama, keinginannya mengurangi jumlah kasus yang termasuk
hudûd, yaitu dari enam menjadi empat seperti sirqah, zinâ, hirâbah, qadzf. Sedangkan yang
lainnya dikarenakan ketidaktegasan dalil Sunnah yang menunjukkan hukuman bagi
pelaku kejahatan tersebut maka an-Na`im memasukkannya ke dalam jarîmah al-ta’zîr.
Kedua, keinginan untuk meminimalkan sanksi hukumnya. Sanksi hudûd yang disebutkan
dalam al-Qur’an dipahami sebagai sanksi maksimal yang kejam dan mengurangi kehormatan
atas martabat kemanusiaan, maka dalam praktiknya perlu diringankan (diminimalkan).
Karena ayat-ayat yang mengaturnya cukup tegas, dan tidak ada cara yang sah untuk
meniadakan hukum tersebut dan paling mungkin adalah membatasi pemberlakuannya.
Di samping jenis-jenis hudûd di atas, persoalan selanjutnya yang menjadi perbincangan an-Na’im adalah berkenaan dengan sanksi hukum hudûd yang tercantum dalam
al-Qur’an dan hadis adalah hukuman maksimal yang kejam dan mengurangi kehormatan
atas martabat kemanusiaan. Oleh karena itu batas maksimal hukuman ini sudah seharusmya
48
Dalam sebuah kaidah fiqh ditegaskan: “Jika kemaslahatan bertentangan dengan teks maka
yang diambil adalah kemaslahatan karena ia merupakan dasar lahirnya teks itu. Masdar F. Mas’udi
“Meletakkan Kembali Mashlahat Sebagai Acuan Syarî‘ah,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. VI, No. 3,
1995, h. 94-99.
49
Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 20-21.
50
Ibnu Hazm, Al-Muhallâ, Juz IX (Mesir: Idârât al-Thaba’ah al-Munîriyyah, 1351), h. 195-196.
51
Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung:
Mizan, 1998), h. 76.
385
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
dilakukan upaya pembatasan penerapan hukuman maksimal menjadi hukuman minimal.
Hukuman maksimal yang dimaksudkan oleh an-Na’im adalah seperti hukuman potong
tangan bagi pelaku pencurian, hukuman rajam bagi pezina muhshan dan cambuk bagi
pezina ghayr muhshan.
Pandangan an-Na’im di atas sejalan dengan teori limit/batas (nazhariyyât al-hudûd)
Muhammad Syahrûr yang memiliki batas atas (al-hadd al-a’lâ) dan batas bawah (alhadd al-adna).52 Dalam kasus pencurian yang menjadi batas atas adalah hukuman potong
tangan sehingga tidak boleh memberikan hukuman yang melebihi dari itu. Sedangkan
batas bawah adalah hukuman lebih rendah selain potong tangan sesuai dengan kadar barang
yang dicuri.53 Baik an-Na’im maupun Syahrûr sama-sama menginginkan diterapkannya
hukuman minimal, bukan hukuman maksimal. Jika hukuman minimal diterapakan seperti
kasus di atas, menurut ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah tidak dinamakan jarîmah al-hudûd, melainkan
perbuatan ta’zîr yang seharusnya dikenakan hukuman hadd. Akan tetapi karena perbuatan itu tidak memenuhi persyaratan untuk dihukum hadd, maka yang demikian itu
digolongkan sebagai perbuatan ta’zîr yang berkaiatan dengan hudûd.54
Lebih lanjut an-Na’im mengatakan hukuman yang terkandung di dalam jarîmah
al-hudûd secara manusiawi hukuman-hukuman yang bersifat fisik seperti potong tangan
bagi pencuri dan lemparan batu hingga mati bagi pelaku zina adalah hukuman terlalu
kejam dan tidak manusiawi.55 Ditinjau dari perspektif HAM versi Barat, hudûd merupakan
contoh hukuman yang menyalahi aturan, larangan atas perlakuan atau hukuman yang
merendahkan martabat manusia.56 Kesan mengerikan dari potong tangan dan kaki, penyaliban,
hukuman mati dan dera adalah ciri khas hukuman syarî‘ah yang harus diterapkan ketika
terjadi pelanggaran hudûd.
Bahkan Fazlur Rahman memberi komentar bahwa hukuman potong tangan itu
sangat mengerikan dan sadis. Padahal hukuman potong tangan ini bukan berasal dari ajaran
Islam melainkan lahir dalam tradisi masyarakat Arab sebelum Islam.57 Bagi Rahman
52
Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’an, h. 453-454.
M. Amin Abdullahi, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada
Fiqh Kontemporer,” dalam M. Amin Abdullahi et al., Mazhab Jogja (Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002),
h. 136.
54
‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’îy al-Islâmî, Juz I, h.133.
55
Lampiran Pasal 5 Deklarasi Universal dan Pasal 7 Perikatan Hak-Hak Politik dan Sipil;
An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 113.
56
Mayer, Ambiguitas An-Na’im., h. 53.
57
Hukuman potong tangan merupakan pilihan yang paling rasional disaat itu yang berdampak
pada melindungi eksistensi masyarakat karena tidak ada lagi batas-batas, pagar dan harta simpanan,
dengan pertimbangan; Pertama untuk menghentikan sama sekali kemungkinan mengulangi pencurian.
Kedua, untuk memberikan tanda pada seorang yang pernah mencuri agar ia dikenal dan orang berhatihati padanya. Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan, h. 167.
53
386
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
ayat
(faqtha`û aydiyahumâ) ditafsirkannya sebagai perintah menghalangi
tangan-tangan pencuri untuk mencuri, yaitu dengan cara perbaikan ekonomi.58
Kendati demikian bagi umat Islam, hukuman hudûd diyakini sebagai sesuatu yang
patut dan akan mencapai ke-mashlahat-an individual dan sosial yang muncul dari aspek
retribusi dan deterrence, karena ketentuan hukuman tersebut adalah ketetapan Tuhan.
Ditinjau dari segi sistem, hukum pidana Islam lebih kuat mengadopsi aspek balasan/ganti
rugi (retribusi) dan penjeraan (deterrence) jika di bandingkan dengan sistem pidana lain.59
Islam memandang sifat penjeraan merupakan hal yang paling utama dalam pemberian hukuman. Pandangan seperti ini dapat ditelusuri pendapat ulama berkaitan dengan
tujuan dijatuhkannya hukuman. Karena pandangan seperti inilah al-Mâwardî mendefinisikan
hudûd sebagai “hukuman pencegahan” yang diciptakan oleh Tuhan untuk mencegah manusia
melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang-Nya dengan mengesampingkan
apa yang diperintahkan-Nya.60 Sifat penjeraan dalam teori hukuman dalam Islam, baik
penjeraan terhadap pelaku kejahatan maupun masyarakat. Aspek inilah yang menjadi
argumen mayoritas para ulama mendukung pandangan teori penjeraan sebagai motivasi
di balik ketetapan Tuhan tentang hukuman hadd.
Mencermati argumen di atas, an-Na’im menilai pentingnya sifat rasional dalam
pemberian hukuman yang lain selain dua aspek retribusi dan deterrence sebagaimana
disebutkan pada penjelasan sebelumnya. Perhatian an-Na’im mengarah kepada sifat reformasi
(reformation) dari suatu hukuman pidana.61 Bagi para kriminolog reformasi itu sendiri
lebih sinonim dengan arti “pengobatan” (cure). Kecenderungan ini lebih didasarkan pada
suatu pemikiran bahwa orang yang melakukan tindak kriminal tidak lagi tepat dipandang
sebagai “orang yang jelek” akan tetapi “orang yang sakit”. Penekanan pada aspek reformasi
ini mewarnai sistem hukum pidana yang berlaku di hampir semua negara Barat.
Dri kenyataan di atas tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran an-Na`im
lebih banyak dipengaruhi oleh teori hukuman yang berlaku di dunia Barat. Ia mengadopsi
metode kerangka keilmuan Barat. Dengan cara pandang seperti ini, an-Na`im memandang
Islam sebagai konsep legal, sehingga apa yang tertuang secara tegas dan eksplisit di dalam
nash (manshush) dinilai prinsip dan bernilai qath‘î. Di sini an-Na’im terlalu simplistis dalam
memandang syarî‘ah seakan identik dengan ‘uqûbah, dan ‘uqûbah identik dengan syarî‘ah
sehingga dengan mereformasi masalah ‘uqûbah sama halnya seperti mereformasi syarî‘ah.
Untuk menepis kegelisahan an-Na’im di atas, dalam sistem syarî‘ah ada hierarki pada
tingkat tertinggi yaitu mashlahah, kemudian ‘adâlah (keadilan), kulliyah al-khamsah,
58
Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka Salman, 1984), h. 330.
Mohammad S. El-Awa, Punishment in Islamic Law (Budianapoliss: American Trust Publiations,
1982), h. 30.
60
‘Alî bin Muhammad bin Habîb al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Shulthâniyyah, Cet. 2 (Mesir:
Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1996), h. 221.
61
An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 112.
59
387
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
maqâshid al-syarî‘ah dan baru uqubah. Jika argumen ini diterima, hemat penulis Islam itu
harus dipandang sebagai ajaran ethic, yaitu sebagai suatu sistem etika kehidupan dalam
segala bidang yang bernilai mashlahah. Dalam konteks ini pada dasarnya yang dikembangkan
dalam sistem syarî‘ah bukanlah aspek tanzîr, yaitu hal-hal yang menakut-nakuti melainkan
aspek tabsyîr, ajaran yang membahagiakan dan mensejahterakan.
Penutup
Berdasarkan pandangan al-Na‘îm, hudûd adalah hukuman yang secara tegas
terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang didasarkan pada teori hukuman yang menganut
aspek reformasi. Karena itu, jenis-jenis hudûd yang diakui keabsahannya secara tegas
disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis adalah empat jenis kejahatan yaitu qadzf, zinâ,
sariqah, dan hirâbah. Sedangkan jarîmah al-khamr dan riddah -yang menurut fukaha
termasuk dalam kategori hudûd- digolongkan ke dalam jarîmah al-ta‘zîr atau apa yang
disebutnya sebagai hukum peralihan.
Penolakan an-Na’im terhadap kedua jarîmah yang disebutkan terakhir mengingat
nash-nash yang menjelaskan hukumannya tidak disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an,
melainkan hanya sebatas hukuman moral saja. Penjatuhan hukuman tersebut merupakan
kebijakan penguasa yang disebut dengan siyâsah syar‘iyyah. Akan tetapi ketegasan hukumannya
diperoleh dalam hadis Nabi yang statusnya masih diperselisihkan oleh para ulama dari
segi keotentikannya. Di samping itu juga rasionalisasi teori hukuman dalam jarimah hudûd
di kalangan fukaha hanya berdasarkan aspek retribusi (balasan) dan deterrence (penjeraan).
Sedangkan an-Na`im cenderung melihat aspek reformasi yang umumnya digunakan dalam
sistem hukum pidana yang berlaku di negara-negara Barat.
Untuk menjembatani ketimpangan di atas maka an-Na’im mengkombinasikan hukum
pidana Islam sekaligus memberi penghormatan kepada standar HAM internasional dengan
cara membatasi pemberlakuan hudûd dibangun atas dasar aturan-aturan hukum yang
termuat dalam ayat-ayat periode Makkah yang menghargai persamaan dan perbedaan
sasarannya (khitabnya). Di sini an-Na’im menjadikan konsep mashlahah sebagai landasan
dalam mencari titik temu antara syarî‘ah dan HAM. Bentuk mashlahah diperolehnya dalam
teori nasakh terbalik yang dielaborasi dari gurunya Mahmûd Thâha. Melalui teori nasakh
ini seluruh ayat Madaniyah dan norma hukum yang diatur dalam syarî‘ah berlawanan
bagi penegakan HAM, dinyatakan tidak berlaku (mansûkh). Sebagai penggantinya adalah
dengan cara mengaktualisasikan ayat-ayat Makkiyah yang bersifat universal dan toleran
sesuai dengan prinsip HAM.
Apa yang diinginkan an-Na’im adalah upaya memikir ulang (rethinking) bangunan
hukum pidana Islam disesuaikan dengan norma-norma HAM dan lingkungan masyarakat
modern yang plural dan terdiri dari berbagai nilai kultural yang dianut. Solusi yang ditawarkannya senantiasa umat Islam siap untuk mendesakralisasikan hukum Islam dan membawanya sesuai dengan alur sejarah peradaban umat manusia.
388
Dedy Sumardi: Hudud dan HAM
Pustaka Acuan
‘Abduh, Muhammad dan M. Rasyîd Ridhâ. Tafsîr al-Manâr, Jilid V. Kairo: Dâr al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t.
Abdullah, M. Amin. “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqih, dan Dampaknya
pada Fiqih Kontemporer, dalam M. Amin Abdullah (et al.) Mazhab Jogja. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Press, 2002.
Ahmad, Muhammad Atha al-Sayyid Sid. al-Tasyrî‘ al-Jinâ‘iy al-Islâmi. Malaysia: Pustaka
Negara Malaysia, 1995.
Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Pangabean. Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia
Hingga Nigeria. Jakarta: Alvabet, 2004.
Al-Ashfahânî, Al-Raghîb. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Bairût: Dâr al-Ma`rifah, 1986.
‘Awdah, ‘Abd al-Qâdir. al-Tasyrî’ al-Jinâ’îy al-Islâmî: Muqâranah bi al-Qânûn al-Wadh`îy,
Jilid I. Bairût: Muassasah al-Risâlah, 1997.
Azra, Azyumardi. “Ketentuan Fiqih tentang Gender,” dalam Islam Substantif. Bandung:
Mizan, 2000.
Bahnisî, Ahmad Fathi. Nazhariyyât fî al-Fiqih al-Jinâ‘î al-Islâmî. Kairo: al-Syirkah al-‘Arabiyyah,
1963.
Baltâjî, Muhammad. Manhâj ‘Umar bin al-Khaththâb fî Tasyrî’. Kairo: Maktabah al-Syabâb,
1998.
Djazuli, A. Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. 2. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1997.
El-Awa, Mohammad S. Punishment in Islamic Law. Budianapoliss: American Trust
Publication, 1982.
Al-Ghazâlî, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung:
Mizan, 1998.
Hazm, Ibn. Al-Muhallâ, Juz IX. Mesir: Idârât al-Thaba’ah al-Munîriyyah, 1351.
Hosen, Ibrahim. “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam
Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta: IPHI/Paramadina, 1995.
Hosen, Ibrahim. “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam: Reinterpretasi terhadap
Pelaksanaan Aturan,” dalam Jamal D. Rahman (ed.). Wacana Baru Fiqih Sosial: 70
Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: Mizan, 1997.
Al-Ilwany, Thaha Jabir. Tidak Ada Paksaan dalam Islam, terj. A. Fuad Mukhlis. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005.
Al-Jabiri, Muhammad Abid. Syura: Tradisi Partikularitas Universalitas, terj. Mujiburrahman.
Yogyakarta: LkiS, 2003.
Al-Mâwardî, ‘Alî bin Muhammad bin Habîb. al-Ahkâm al-Shulthâniyyah, Cet. 2. Mesir:
Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1996.
Mandzûr, Ibn. Lisân al-‘Arab, Juz III. Bairut: Dâr al-Fikr, 1999.
389
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Mas’udi, Masdar F. Agama Keadilan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Mas’udi, Masdar F. “Meletakkan Kembali Mashlahat Sebagai Acuan Syarî‘ah,” dalam
Ulumul Qur’an, Vol. VI No. 3, t.t.
An-Na‘im, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right,
and International Law. Syracuse: University Press, 1996.
An-Na‘im, Abdullahi Ahmed. “Toward an Islamic Reformatioan: Islamic Law in History
and Society Today,” dalam Norani Othman (ed.). Shari’a Law and The Modern NationState: A Malaysian Symposium. Kuala Lumpur: Friedrich-Naumann-Stiftung, 1994.
Nasif, M. A.. al-Tâj al-Jâm‘i li al-Ushûl, ed. IV. Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka Salman, 1984
Ibn Rusyd. Bidâyah al-Mujtahid Wa Nihâyah al-Muqtashid, Juz II, terj. Drs. Imam Ghazali
Said. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t.
Al-Sarakhsî, Syams al-Dîn. Kitâb al-Mabsûth, Juz IX. Bairût: Dâr al-Ma‘rifah, 1998.
Al-Sarakhsî. Al-Mabsûth, Juz XVI. Bairût: Dâr al-Maktab al-Ilmiyah, 1993.
Al-Syâfi‘î, ‘Abd Allâh Muhammad ibn Idrîs. Al-Umm, Juz VII. Bairût: Dâr al-Fikr, t.t.
Al-Syairazî. Al-Muhadzdzab, Juz II. Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.
Al-Syawkânî, Muhammad ibn ’Alî. Nayl al-Awthîr, Jilid VII, h. 268.
Shihab, Muhammad Quraish. “Wawasan al-Qur’an Tentang Kebebasan Beragama,”
dalam Komaruddin Hidayat (ed.). Passing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Sidahmad, Muhammad ‘Ata Alsid. Islamic Kriminal Law: The Hudud. Malaysia: t.p., 1995.
Sudarsono. Kamus Hukum, Cet. 2. Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
Suseno, Franz Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 1986.
Syahrûr, Muhammad. al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ’ah Mu‘asharah. Kairo: Sinâ li al-Nasyr
wa al-Ahallî, 1992.
Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqih al-Islâmî wa Adillatuh, Cet. 4, Juz VII. Dimasyq: Dâr al-Fikr alMu‘âshir, 2002.
390
FATWA OF THE COUNCIL OF THE INDONESIAN ULAMA
ON GOLPUT (VOTE ABSTENTION):
A Study of Contemporary Islamic Legal Thought
in Indonesia, 2009
Bahrul Ulum
Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura, Jambi, 36124
e-mail: irul70@yahoo.com
Abstrak: Fatwa MUI Tentang Golput, Studi Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia, 2009. Isu tentang golput (golongan putih) merupakan fenomena baru
dalam pemilihan umum di Indonesia yang banyak mengundang kontroversi. Sekalipun
pemerintah telah meyakinkan untuk melaksanakan pemilihan umum yang aman, jujur
dan adil, tampaknya golput mengarah pada sebuah gerakan yang dapat menggagalkan
Pemilu 2009. Tulisan ini mengkaji fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2009
tentang pengharaman golput. Penulis mengemukakan bahwa fatwa ini telah mengundang
kritikan dan mempertanyakan otoritas MUI. Sementara pihak yang medukung menganggap fatwa ini sebagai langkah cerdas dalam rangka meningkatkan peran serta pemilih
sebagai sarana meningkatkan pembangunan bangsa. Penulis menyimpulkan bahwa
fatwa ini mencerminkan pergulatan pemikiran hukum Islam dengan konteks sosialpolitik yang terus menjadi wacana sepanjang sejarah Islam di Indonesia.
Abstract: The issue of vote abstention is a new phenomenon in Indonesia general
election that appeals to controversy. Although the government has assured that
the general election to be conducted fair, just and peacefull, it seemed that vote abstention
tended to transform into a movement that would threaten the 2009 general election.
This paper studies the fatwa of the Indonesian Council of Ulama (MUI) of 2009 on
the prohibition of vote abstention. The author maintains that this fatwa has led
to criticism and questioned the authority of MUI. Those who support, however, considered
this fatwa as brilliant move to boost voters’ participant in improving the national
development. The author concludes that this fatwa reflects the dynamics of Islamic
legal thought in the socio-political context that would become a discourse in the
Islamic history in Indonesia.
Kata Kunci: Islamic law, fatwa, council of Indonesian ulama, democracy.
391
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Background
Golput which literally means “white group” or vote abstention in general election is
not a new phenomenon in Indonesian political arena. However, since the Council of Indonesian
Ulama (known and abbreviated as MUI) issued a legal opinion (fatwa) on the unlawfulness
of golput1 at a national meeting of the MUI in Padangpanjang, many parties had showed
their objections and criticisms. Not only did those criticisms come from an individual but also
from the mainstream of Islamic organizations, i.e. Nahdlatul Ulama (NU)2 and Muhammadiyah.
A democratic system provides room for the citizens either to use their rights or not
and the case of the nonvoting of the citizen is not an exception. According to Komaruddin
Hidayat, in reality nonvoting is found everywhere in the world. There is no election where
all people participate, not even in the United States. In this state, the voters are not more
than 60%.3
Indeed, as members of the nation, the MUI felt responsible and would participate
in social development. Exercising Islamic legal thought is one of the efforts the MUI could
do. Indeed, the role of MUI is important and Muslim people have received its benefit and
observe what are recommended by the MUI. For example, in case of halal food, the fatwa
is really helpful for Muslim in consuming food, and therefore no objection is heard to
address against the MUI concerning this matter.
The fatwa on nonvoting, however, was different. By issuing fatwa forbidding nonvoting,
the MUI had entered a complicated case. There was a rumor that the MUI had got involved
in political arena. In this case, the MUI’s fatwa was tested by the social phenomena whether
it is still appropriate or not. Tobe responsible for issuing fatwa is not always compatible
to social need, and this demonstrated the effectiveness of Islamic law.
Historical Background of MUI
Majelis Ulama Indonesia or the Indonesian Council of Ulama (MUI) is an Islamic
organization founded on 7 of Rajab 1395 H, or 26th of July 1975 in Jakarta, as a meetingpoint for Muslim leaders, especially as a counterpart for the government in its dealings
with the Muslim community.4
At the beginning of its inception, the MUI had at least three main responsibilities:
first, to issue fatwa and give advice on religious and social affairs to the government as well
1
The writer will use the term “nonvoting” instead of “golput” in the next pages.
See for example www,nuonline.com, Accessed March 11, 2009.
3
Komaruddin Hidayat, “Memahami Fatwa MUI” in http://www.uinjkt.ac.id, Accessed March
12, 2009.
4
See Darul Aqsa et.al., Islam in Indonesia: A Survey of Events and Developments from 1988
to March 1993, (Jakarta: INIS, 1995), p. 197.
2
392
Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput
as to the Muslim community, as a part of amar ma’ruf nahi munkar (commanding right
deeds and forbidding wrong deeds); secondly, to strengthen the ukhuwah Islamiah (Muslim
brotherhood) and to keep and enhance the interreligious harmony in the framework of
maintaining national unity and integrity; third, to represent the Muslim community in
the interfaith dialog; and fourth, to bridge the ulamas and the government, and became
the interpreter between the government and the religious community and vice versa in
order to make the national development be successful.5
The MUI has a special commission called the Commission of Fatwa is whose responsibility
is to issue fatwa to unify public opinion among Muslim community and give advices to
the government of Islamic legal regulation to be considered in the formulation of certain
policies. At the time of its creation in 1975 the the Commission had seven members but
because of deaths and changes, the numbers can fluctuate; every five years the composition
of the Commission is renewed through a recruitment. Today, this Commission is headed
by K.H.Ma’ruf Amin.
The meetings of the Commission are convened as the need arises or when the MUI
is aksed by the public or the government for its opinion on certain issues of Islamic law.
Such meetings are generally attended by, in a part from to the chairman and members of
the Commission, invited outsiders consisting of independent ulama and scholars in secular
sciences relevant to the subject under discussion. To issue a fatwa the Commission normally
needs one meeting but, on occasion, a fatwa may need up to six meetings; on the other
occasion the meeting may produce several fatwas as in the case of vasectomy, tubectomy,
and cornea donation.6
As long as the issuance of fatwa is concerned, the MUI has divided the fatwas based
on their respective fields, ranging from the religious matter to science and technology
issues. Part One concerns on ritual issues which constitute fatwa on zakat (alms), fatwa on
praying together with other religious adherences and fatwa on the beginning of Ramadhan,
Syawal/‘Idul Fithr and ‘Idul Adha; Part Two deals with Religious Understanding and Sects
which constitute fatwas on Ahmadiyah Qadiyan, Syiah, Secularism, Pluralism, and Liberalism;
Part Three concerns Social issues which comprises fatwas on death sentence, corruption,
Muslim’s attendance at Christmas celebration and fatwas on pornography and porn action,
and Part Four deals with Science and Technology that constitute fatwas on mechanical
slaughtering of animal, vasectomy and tubectomy, and fatwa on cornea donation.7
5
Azyumardi Azra et.al, Ensiklopedi Islam, vol. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002),
p. 123. See also Muhammad Atho Mudzhar, Fatwas of the Council of Indonesian Ulama: A Study
of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), p. 54. Compare with Nurhadi,
“Muslims’ Participation in Christmas Celebrations: A Critical Study on the Fatwa of the Council of
Indonesian Ulama,” al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 40, No 2 (July-December 2002),
p. 284.
6
Mudzhar, Fatwas of the Council, p. 68-69.
7
See www.mui.or.id, Accessed March, 2009.
393
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
The drawing up and issuance of the fatwas are carried out by the MUI usually follows
the mechanism of legal reasoning (instimbath) which is the combination of the text and
the context. The legal reasoning applied by the MUI in stating the status of nonvoting can
be traced back to the issuance procedures of the fatwas available in the Guidline of Issuing
the Fatwas of the MUI (Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia) Number:
U-596/MUI/X/1997. It is mentioned in Chapter 2 about General Bases of Issuing the
Fatwas (Dasar-Dasar Umum Penetapan Fatwa) that:
1. Each decree of the Fatwa must have reference to the Qur’an and the Tradition of Prophet
Muhammad which is truswarthy, and it is not contrary to the benefit of the community.
2. If they are not found in the Qur’an and the Tradition as mentioned in chapter 2 point
1, the decree of the Fatwa should not be contrary to the consensus (ijmâ‘ ), the analogy
(qiyâs) and other legal bases such as istihsân (preference), mashâlih mursalah (the
interest of Muslim community), and sadd az-zarî‘ah (preventing harm).
3. Prior to the issuance of the decree it is suggested to consider legal arguments included
other arguments used by those with different opinion.8
Furthermore, in chapter 3 about the Issuance Procedures of the Fatwas (Prosedur
Penetapan Fatwa) said that:
1. Each problem addressed to the commission has to be studied thoroughly by the members
of the commission or by special team not less than one week before being brought to the
meeting.
2. As to the fixed matter (qath‘iy), the commission should deliver as it is, and the fatwa is
automatically abrogated after being known to have bases in the Qur’an and the Tradition.
3. As to the controversial issue (khilâffiyah) among the mazhabs, the commission should
declare the tarjih (the strongest opinion) after considering fiqih muqâran (comparative
law) by using the method of comparative jurisprudence (ushûl al-fiqih al-muqâran)
relevant to the effort of finding the strongest opinion (tarjîh).9
Given the guidelines elaborated above, the MUI appears to seek to implement what
Mu’az bin Jabal had explained when he was sent by the Prophet to Yemen. The Prophet
asked: “On what base will you decide the law?” Mua’az replied: “On the Book of Allah. If
I don’t find in the Qur’an, then I will decide on the Tradition of the Prophet. And if I don’t find
in the Tradition, then I will exercise my personal legal reasoning as well as I could.” Prophet
Muhammad was reported to agree with his opinion.10
In Islam, especially in Sunni circle, it is only proper that system of legislation resembles
8
See www.mui.or.id, Accessed Maret 11, 2009.
Ibid.
10
Muchammad Ichsan dan M.Endrio Susilo, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif,
(Yogyakarta: LabHukman UII, 2006), p. 51.
9
394
Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput
the system used by Mu’az bin Jabal above, opened with the Qur’anic bases followed by relevant
Hadits/Tradition, Ijmâ‘ (consensus) and qiyâs (legal reasoning). Exercising Islamic legal
thought, the MUI tends to follow this common procedure.
The Fatwa on Golput
It is not surprising that the role of Muslim community in making democracy come
to realize in Indonesia is amazing. Not only are they majority, but as Muslims, they also
have successfully show a fantastic attitude in implementing democracy. In line with this
phenomenon, Chairman of Central Muhammadiyah, Dr. Din Syamsuddin said that Islam
had played significant role in enhancing democracy in Indonesia. He further added in
confident that “..democracy in Indonesia will not run well without participation of Muslim
community.” He delivered this statement in a seminar held by the Commission of Uni-Europa
(UE) entitled “Indonesian Perspective: Pluralism and Democracy” in Brussel, Belgium.11
The role of Islam in strengthening democracy in Indonesia has been done in various
ways. Among others are by stating that both democracy and Islamic values are compatible,
through judicial and legal reforms, encouraging management of good government, empowering
bases of culture, promoting interfaith and interculture dialogues, and exercising general
election.
The success of Indonesian Muslims in conducting democracy was performed in the
2004 General Election that Jimmy Carter, a former President of the United State (19771981) had to deliver his appreciation saying “A hisotorical milestone for us, this general
election is also an important step for democracy in the whole world. Indonesian people
are showing us dramatical example of a peacefull political shifting, and firmly negating
the claim that Muslim community are antidemocratic.”12 This amazing success, however,
was not authomatically followed by the up-coming general election in 2009 because of
the phenomena of skepticism among the people seeing all candidates. This skepticism
cristilized and formed a massive movements of abstention.
The phenomena of vote abstention can be traced back to Soeharto’s era, when the
credibility of the election (and therefore his reelection every five years) depended on votes.
Soeharto’s political legitimacy hinged on how many people voted. Intimidation and use of force
was the rule, so much so that in 1993, East Timor, then under Indonesian military rule, officially
recorded a 105 percent turnout.
Knowing his obsession with the number, Soeharto’s critics as far back as 1971
began a civil disobedience movement to encourage people to vote with their feet, or to
11
Kapangi.com, “Din: Islam Telah Mainkan Peran Penting Majukan Demokrasi Indonesia” dalam
http://www.kapanlagi.com, Accessed July 18, 2010.
12
Gatra, No. 1-2 Tahun XI, 27 November 2004, p. 10.
395
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
spoil their ballots as opposed to Golkar, Soeharto’s political machinery that helped secure
his five-yearly reelections until 1998.
Soeharto has long gone from politics, golput or nonvoters continue to enjoy
legitimacy today, more than it deserves. Once again, this turnout became phenomena at
the Guvernor Election in West and Central Java where the nonvoters gained victory. In
the West Java Governor Election, the couple had (Ahmad Heryawan and Dede Yusuf)
successfully earned 7.3 million votes, while the nonvoters were 10 million. In addition,
the nonvoters also won in Central Java. Given this situation, not only were the government
and politicians but all-Madura MUI concerned that the later declared a fatwa forbidding
golput or vote abstention. Golput was equalized with consuming pork or drinking wine,
or even doing adultery. 13
Facing the 2009 general election, vote abstention became one of the hot news in
mass media. Although this case was not a new phenomenon in Indonesian political arena
as mentioned above, however since Abdurrahman Wahid (Gus Dur) encouraged the public
to boycott the 2009 general election in protest over his party’s difficulties with recognition,
many more parties had felt worried and considered that it was not natural anymore. The
MUI was one of the parties who felt fear with this situation of scepticism. In addition,
their fear was based on the increasingly low participation at local elections in the past year,
ranging from 40 to 60 percent, and at the growing skepticisms about the political parties
and the way the 2009 general elections were being conducted. People’s Consultative Assembly
speaker Hidayat Nur Wahid had asked MUI to prohibit nonvoting fearing that Gus Dur’s
statement will influence the grassroot. Wahid argued then that a fatwa against nonvoting
could boost voter turnout in the 2009 elections.
Being profoked with Gus Dur’s statement to boycott the general election and in
answering Hidayat Nur Wahid’s invitation, the MUI launched a fatwa prohibiting
nonvoting as a result of a national meeting of the MUI in Padangpanjang, West Sumatera
in January 2009. The meeting was led by Chairman of Commission A of Fatwa session,
K.H Ma’ruf Amin and Dr. H.M Masyhuri Na’im, as the Vice-Chairman. The meeting was
composed of 115 teams of formulation, represented by Drs. Sholihudin Al-Aiyub M. Si.,
as a secretary, Dr. H. Fuad Amsyari (member), Drs. H. Slamet Efendi Yusuf M.Si. (member),
K.H. Drs. Abdusshomad Buchori (member), K.H. Maman Abdurrahman (member), K.H.
M. Jarir (member), dan K.H. Dani Hamdani (member).14
According to MUI General Secretary Ahmad Rofiq, the fatwa was launched just to
show that MUI is participating in improving society. Besides, the fatwa was issued in response
to a question posed by members of the general public.15
13
Slamet Widodo, “Fatwa Golput; Surga Dunia atau Surga Akhirat? in www.slametwidodo.com,
Accessed April 15, 2009.
14
www.mui.or.id, Accessed11 Maret 2009.
15
“MUI: Vote abstention fatwa is non-binding” accessed in www.thejakartapost.com. See
396
Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput
By 26th of January 2009 / 29 of Muharram 1430 H, the Commission succesfully declared
a fatwa forbiding golput (nonvoting) in the general election, on the bases of arguments that:
1. General Election in Islamic view is a way to elect a leader (president) and a vice-leader
who are eligible to make common good come to realize based on people’s aspiration
and the nation’s need.
2. Electing a Leader is compulsory in order to establish imamah (leadership) and imarah
(state) in common life.
3. Imamah and imarah in Islam need certain conditions suitable to the Islamic provisions
so that people’s benefit may come to realize.
4. Electing a Leader who believes in and fears of God, honest (shiddiq), accountable
(amanah), active and aspirative (tabligh), inteligent (fathonah) and struggles for the
sake of Muslim people, is compulsory (wajib).
5. Electing a Leader who does not fulfill the above conditions as mentioned in point 4 or
rejecting to caste a vote while he/she knows that there is a candidate who fulfils the
conditions, is unlawful (haram).16
Based on the above concerns, the MUI finally recommended that:
1. Muslims elect their leaders and representatives who are eligible to carry out the amar
makruf nahi munkar.
2. The Government sosializes the general election to stimulate people’s participation so
that their rights might be fulfilled.17
The declaration of the fatwa on the unlawfulness of golput can be viewed as a brave
step taken by the MUI. This is due to the reason that the MUI as a religious organization
has gone far beyond their formally religious authority. Besides, the MUI will be accused of
having conspiracy with the ruling government or with certain political party after issuing
the fatwa, though initially the declaration of it had nothing to do with this background.
In fact, after the fatwa was issued, many parties considered that the MUI had gone too
far without authority to declare golput as forbidden. In such a case, the MUI seemed to
be very confused and undecided in accomodating the hopes of either the political parties,
Islamic organizations, the govermnment of the lay community.
In issuing the fatwa on the unlawfulness of golput, the MUI based their arguments
from the Qur’an, hadits, and the saying of Companions as well as the ulamas. The following
are the arguments of the fatwa by the MUI:
also Wiwit R Fatkhurrahman, “Fatwa Haram Golput, Efektifkah?” in http://wiwitfatur.wordpress.com, Accessed March 20, 2009.
16
www.mui.or.id, Accessed March 12, 2009.
17
Ibid.
397
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
1. Qur’an al-Nisâ‘/4: 59:
“O you who believe! Obey Allah and obey the Apostle and those in authority from among
you”.
2. Hadits of the Prophet P. B.U. H:
“From Abdullah bin Amr bin ‘Auf al-Muzani, from his father, from his grandfather, the
Messenger of Allah P.B.U.H said: “an Agreement is concluded among Muslim people, except
the agreement in prohibiting the lawfulness and permitting the unlawfulness”. (Narrated
by At-Tirmidzi).
3. Hadits of the Prophet P. B.U. H:
“Whoever dies and has never given his/her oath (baiat), then he/she dies in ignorance
(jahiliyah)”. (Narrated by Bukhari).
4. Hadits of the Prophet P. B.U. H:
“Whoever chooses a leader while he/she knows that there is another one who is more
qualified and has broader comprehension on the Book of Allah and His Prophet’s Tradition,
then he/she has betrayed his God, His Messenger, and the believers”. (Narrated by AtThabrani).
5. The saying of Abu Bakar, when he delivered his first speech rightly after he was elected
to be Khalifah:
“O people, whenever I am doing good, please help me, but when I am committing bad things
please remind me …please obey me as long as I command you in obeying God, and ignore me
if I ask you to do bad things”.
6. The saying or Umar when he was elected to be Khalifah:
“Whoever among all of you sees me in astray, then please take me to the right path …”.
7. Al-Mawardi’s argument in his Al-Ahkam as-Sulthaniyah, page 3:
“Leadership (al-imamah) is a place to replace the Prophet in keeping the religion and managing
the world, and according to the consensus (ijma) electing one who can take this position
is compulsory”.
8. Al-Mawardi’s opinion in his Al-Ahkam as-Sulthaniyah, page 4:
“If electing leadership is compulsory, then it’s (level of) compulsory is fardhu kifayah
(communal obligation) as in jihad and pursuing knowledge. In this case, if there is one who
is qualified (deserves) to uphold leadership (imamah), the others have no obligation to
do so. If there is no one who can uphold it, two parties are elected among the community;
one party is those who have the authority to elect (ahlul ikhtiyar), the other one is the
candidate of the leaders (ahlul imamah) until one leader is elected”.
9. Ibn Taimiyah’s opinion in his Al-Siyasah al-Syar’iyah :
“It is important to note that the existence of power in order to manage community’s affairs
is compulsory in Islamic religion without which Islamic religion and the world will not stand.
398
Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput
Indeed, the descent of Adam will not be able to accomplish their duties without organization
as they need each other, and in an organization there needs a leader”.18
The overall legal arguments drawn by the MUI basically state the obligation to obey
the leaders and the necessity to uphold the imamah (leadership). In this matter, the normative
arguments used by the MUI are thematical. That means, the MUI, in the process of elucidating,
followed the regular procedure by referring to Qur’anic verses, Hadits, the saying of the
Companion, and the saying of ulamas respectively relevant to the same topic.
Nevertheless, the normative arguments used by the MUI, are weak to some extent.
First, none of the the arguments, especially the Qur’anic verse and the Hadits, directly talks
about the status of nonvoting judged unlawful by the MUI. In the other word, the MUI referred
to the above arguments to judge the nonvoting unlawful just by analogy (qiyas).19 Second,
there are many other verses, hadits, the saying of the Companions and the ulamas which
might be contrary to the above conclusion.
It is also interesting to note that the fatwa didn’t refer to the view of four mazhabs
(Islamic schools of law). It has been recognized that the four mazhabs, very especially of
Syafi’i, held firmly by the mainstream Muslims in Indonesia, let alone Nahdhatul Ulama.20
The fact that the MUI didn’t adopt any of the four mazhabs demonstrated that the fawa
may not be acknowledged by such mainstream Muslims as Nahdhatul Ulama.
Responses to the Fatwa
The issuance of the fatwa on the unlawfulness of the nonvoting by the MUI had led
to controversy among the community. In some internet sites, the writer found that most
people, including Muslim intellectuals, did not support the issuance of the fatwa. Some
rejected the idea of the fatwa and even delivered bitter remarks on it. Only few who considered
the fatwa was necessary to enhance the process of democracy and good politics in Indonesia.
Even two biggest Muslim organizations in Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) and
Muhammadiyah, are included those who had different stance from the MUI’s.
According to Hasyim Muzadi, in Indonesia many problems may cause people do
18
Ibid.
In Sunni circle, qiyas is used both as a method as well as a source. Qiyas is used to solve
legal problem through analogical reasoning. For further discussion about qiyas, see Ali Hasbullah,
Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy, (Kuwait: Dar al-Ma’arif, no year), p.128-133.
20
In 1926 the NU in its first congress issued a fatwa stating that for present-day Muslims the
adoption of the four Sunni mazhabs was obligatory (wajib); otherwise people could go astray.
The fatwa added that, for the members of the NU, the Syafi’i school was the appropriate of the
four Sunni mazhabs. See Atho Muzhar, fatwas, p.79-80. About NU, see also my work, and Bahrul
Ulum, Bodohnya NU apa NU Dibodohi, Jejak Langkah NU di Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong
Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), p.56.
19
399
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
not cast their votes in general election. This because some people are too busy thinking
of their food. Besides, no candidates are attracting so that people are being so skeptic. Therefore,
whether or not people using their rights to vote do not matter. Hasyim, however, reminds
if the nonvoting has been a movement asking people not to participate in the poll, that is
a crime which is untrue.21
Din Syamsuddin, Central Chariman of Muhammadiyah, reminded that all ulamas
be wiser and should always pay attention the people’s condition. In the case of nonvoting,
he said that not all these matters can be related to Islamic law, between halal (permissible)
and haram (forbidden)”. Another Muhammadiyah figur, Bahtiar Effendi, Chairman of the
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat (the Institution of Wisdom and
Public Policy of National Leadership) of Muhammadiyah, said “It is better that the MUI withdraws
the fatwa of golput”.22
In line with those opinions mentioned above, a member of Hizbut Tahrir Indonesia
also launched his comment. In an Islamic site, responses of Hizbut Tahrir Indonesia were
published especially in the form of paper by Muhammad Ismail Yusanto, the Spokesman
of Hizbut Tahrir Indonesia. This paper seemed to have been prepared specially to counter
the MUI’s fatwa. The argument by Hizbut Tahrir Indonesia, however, appeared to be much
more ideologic.23 In other words, Hizbut Tahrir Indonesia criticized the idea of the fatwa
because of the MUI’s stance which was in line with – or supported – secular leadership by
launching a fatwa asking people to participate in democracy. Indeed, secular system, according
to Hizbut Tahrir Indonesia, is forbidden in Islamic view. So, if the fatwa had been to forbid
nonvoting in order to elect “Muslim leader”,24 Hizbut Tahrir Indonesia would have never
launched their criticism.
A month earlier before Hizbut Tahrir Indonesia launched the criticism, Drs. K.H.
Yakhsyalloh Mansur, M.A., Mudir ‘Am (General Director) Pesantren Al-Fatah Bogor had
published his comment at the same site. Yakhsyalloh Mansur seemed too much moderate
21
“Hasyim Muzadi: Golput Tak Perlu Diharamkan,” in http://www.surya.co.id. Accessed
March 18, 2009.
22
Shodiq, “Ternyata Banyak Ormas Islam Menentang Fatwa MUI perihal Hukum Golput/Rokok”
dalam http://shodiq.com, / Accessed February 20, 2009.
23
Muhammad Ismail Yusanto, “Tanggapan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap Fatwa MUI
tentang Golput” in http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca. Accessed March
15, 2009.
24
By “Muslim leader”, it means that a leader with Islamic vision and agenda, particularly
in establish Islamic state. In Indonesian history, all presidents are Muslims in religion. However, to
Hizbut Tahrir, to be Muslim in religion is not enough. Muslim has to be kaffah (all-Islam), not
only by religion but also – and most important – by ideology, especially the readiness to established
Khilafah (International Islamic state) and refer the Qur’an and the Hadits as the only foundations
of the Constitution.
400
Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput
and logic in using argument. Yakhsyalloh Mansur reminded all ulamas not to be easy to
issue a fatwa for it would be questioned before Allah.25
A political observer and former Rector of UIN Jakarta, Azyumardi Azra, who, according
to the writer, was predicted to have different opinion from the MUI’s,26 in this chance showed
his agreement and expressed his support on the decision of the Forum Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa se-Indonesia III. According to Azra, by issuing fatwa on the unlawfulness of the
nonvoting, that would help Muslims to have such a sense of religious responsibility that
participate in the poll is compulsory that needs to be observed. So, from the perspective
of the implementation of the general election, this is a very good way. Furthermore, the
increasing percentage of the political particiapation was also significant in order to
enhance democracy in demokrasi. He also added that the MUI’s fatwa was issued for the
sake of Indonesian interest in general. Therefore, according to him, this summon of the
fatwa has to be observerd and followed-up by any religious figures in Indonesia. 27
Although Azra admitted that it was permissible to issue a fatwa, he also warned
that the fatwa had to be kept away from political consumtion, by which it became nothing
more than an order of certain candidate or party. He added that the MUI’s fatwa was not
authomatically binding. Every one has the right to follow or not. He further said that the
term “haram” had to be understood as a religious advice and not a binding. Besides, in
Indonesia the institution of fatwa did not solely become the authority of the MUI.”28
By his opinion above, Azyumardi Azra, seems to find a moderat way between the
idea of supporting and the neglecting the fatwa. In this case, he appears to be more realistic
seeing the fact that participation in the 2009 general election was very important as a means
to find a qualified leader.29
Of the pro parties, Partai Keadilan Sejahtera (Prosperous Justice Party) or PKS is the
most vocal party to support the fatwa. It is understood that from the very beginning, the
top leader of PKS, Hidayat Nur Wahid was the one who firstly launched the idea to forbid
the nonvoting, as mentioned above. In the other sides, Badan Pelaksana Pemenangan
Pemilu (Bapilu)/the Winning Team of PKS, Muhamad Razikun, said:
“The fatwa forbidding the nonvoting will indeed influence the number of nonvoters.
25
Yakhsyalloh Mansur, “Fatwa MUI tentang Tidak Ikut PEMILU; Dipaksakan dan Kontraproduktif”
in http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca. Accessed March 17, 2009.
26
To the writer’s understanding, Azyumardi Azra, is one of Muslim intellectuals in Indonesia who inclines to “liberal” view, the attitude that the MUI has always delivered severe
criticism. To some degrees, the MUI even declares this view as misleading and, therefore, has
to be forbidden. For further information about the fatwa on liberal view, see www.mui.or.id. Accessed
March 11, 2009.
27
“Hasyim, golput, Accessed March 18, 2009.
28
Ibid.
29
Ibid.
401
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
If it was previously predicted that the number of nonvoters would increase ranging
from 35 percent in 2004 general election to about 55-60 percent in 2009 general election,
then the existence of the MUI’s fatwa will possibly help to reduce the number of the
nonvoters at least equal with the 2004 general election.”30
In the context of democracy, the existence of the vote abstention or nonvoters a
part of democracy and it is a legal choice. In the context of benefit, however, the citizens
have to participate in order to elect the best leader, said Razikun. He added:
“If people find none of the candidates is qualified, then in Islamic legal theory it can
be learned that one has to choose anyway a leader who has least weakness,…The
fatwa might be a spirit or support for the nation and the process of democracy, so that
te number of nonvoters will be reduced athough many people have been disappointed
with the political system as well as the political attitude in Indonesia”.31
The same call came from the members of PKS in America and Canada who completely
support the MUI’s decision to issue a fatwa forbidding the nonvoting. The members of
PKS view the fatwa as a smart action taken by the MUI. Muhammad Yusuf Efendi, Chairman
of Pusat Pelayanan dan Informasi (Center of Service and Information) of PKS America
and Canada, in San Francisco, California, for example, has been reported to have said that
“the fatwa made by the MUI on the unlawfulness of the nonvoting is a smart action in
order to ask all people of Indonesia to build the Indonesian people together.”32
According to Yusuf, one of the significant prerequisites to recover the condition of
the Indonesian people is through the participation of all citizens to buid the country,
included in electing the people’s representative and the leaders of the country. Yusuf also
stated that the Ijtima’ of the MUI was important to take into account in order to make
the 2009 General Election success. He saw that the government have allocated very much
fund only to build this country. Therefore, he suggested that it was not wise to waste it
(by not participating in the poll). Besides, the general election was a good chance for
Indonesian people to revive from their crisis.33
At the end of his massage, Yusuf also said that peple who live in America would like
to see the glory and the development of Indonesia. Hopingly he said:
“Therefore, we, members of PKS of the United States are determined to struggle and
30
Administrator, “PKS Berharap MUI Keluarkan Fatwa Haram Golput” in http://pk-sejahtera.
de/index.php?option=com. Accessed March 18, 2009.
31
Ibid.
32
“PIP PKS Amerika Dukung Fatwa MUI” in www.suaramerdeka.com, Accessed March 11,
2009.
33
Ibid.
402
Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput
participating in developing the nation from outside, and I hope my brothers in Indonesia
will revive and unite answering this tone of resurgence.”34
Full support by PKS towards the MUI’s fatwa has rised suspicious among the people.
Although it is not easy to prove whether or not the PKS has vested interest behind this
issuance of the fatwa, at least the PKS as the solid party will lose vote if the general election
was proved to fail. That means the PKS would get benefit from the fatwa.
In the another side, no less than the General Elections Commission (KPU) had appealed
to the public to ignore those growing skeptical opinions and to take part in the nation’s
periodic democratic exercises in electing their leaders. The commission, as are those who
are obsessed with numbers, fear that Indonesia’s nascent democracy will be undermined
if voter turnout falls below a certain percentage.
In other words, the KPU measures its success on this magic number. The PKS, however,
have their own reason for seeing a high number: A lost vote is a wasted vote. Hence, the
MUI is now recruited into their campaign to force or intimidate people into voting, lest they
earn God’s wrath.35
The Implication of the Fatwa to the Indonesian Democracy
As mentioned above, the issuance of the fatwa was hoped to increase the participantion
in the 2009 General Election. The number of participation, however, was difficult to measure
wheter or not it had relation with the fatwa or not. Acording to Azyumardi Azra, it was
not easy to determine the impact of the fatwa in decreasing the number of the nonvoters.
What was more obvious was that there were Muslims who were happy to obey and follow
the MUI’s fatwa, and there were some others who felt free to decide themselves whether
or not they follow the fatwa.36 Azyumardi was not sure whether or not the number of participants
in the poll had significant relation with the issuance of the fatwa.
Azyumardi, however, would prefer to see the positive sides of the fatwa in the context
of developing and enhancing democracy in Indonesia. By the fatwa, Muslim people would
have such a spiritual sense that participating in the poll was religious. He also asserted
that the elected government would not be powerfull and credible if there were more people
became nonvoters. The reason was simple, the elected government was not based on the
majority.37
34
Ibid.
www.thejakartapost.com, Accessed March 10, 2010.
36
Kurniasih Budi, “Fatwa Haram Golput Dinilai Dongkrak Partisipasi Pemilih” in http://
www.tempointeraktif.com, Accessed February 11, 2009.
37
Ibid.
35
403
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
As long as the impact of the fatwa is concerned, so far we do not have any information
concerning the impact of the fatwa with the participation of the voters. It was clear, however,
that the 2009 General Election had been criticized by many observers as the worst in performace.
In fact, this has nothing to do with the fatwa. Besides, there are other factors that make
people to be nonvoters because of technical factor, for example.
Another reason why the fatwa seemed to have no significant impact to the constituents
was that of constitutional reason. Voting in Indonesia, like in most democracies, is voluntary.
There should be no legal consequences if people don’t vote, unlike in Australia or in
Singapore where voting is mandatory. The flipside of this is that abstaining is a right that is
protected by the Constitution.
At last, the 2009 General Election had successfully brought Susilo Bambang Yudoyono
as the President and Budiono as the Vice-President. We can say conclude that the democracy
was success at this time through a process of General Election in good quality. The general
election is said to be in good quality whenever the process and the outcome are also good.
The process is good when the general election run democratically, trustful and fair, peace
and smooth. The outcome is considered good when the general election bring about
people’s representative and national leader who were deemed capable of bringing people
to prosperity and high status before international people.38
Given the elaboration above, the role of the MUI’s fatwa in reducing the number of
nonvoters is lest significant, except for those who initially introduced and supported the
fatwa, such as the PKS members. For the later, the MUI’s fatwa is of course a moral as well
as religious encouragement. The number of voters seems to be much more influenced by
the level of their education and maturity, socialization from the KPU, and political as well
as moral will of the government rather than a fatwa.
Conclusion
It is understood that fatwa is one of a legal opinion exercise. In case of the fatwa forbidding
nonvoting, the MUI appeared to have been confused and undecisived facing the dillemas
whether to maintain good relationship with the government or being accepted by the Muslim
community39 and, therefore, seemed to be opportunist.
Declaring fatwa forbidding the nonvoting was a brave step in the situation of
preparing the 2009 General Election for some reasons. First, nonvoting was of political
affairs regulated in constitution. By issuing fatwa demonstrated the MUI’s involvement
in the political arena which is definitely in contradiction with its mission as a religious
38
Rozali Abdullah, “Sistem Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Ditinjau dari Sudut
Pandang Demokrasi,” in Journal Konstitusi, vol. II No. 1, June 2009, p. 12-13.
39
This conclusion is partly inspired by Mudzhar, fatwas, p. 68.
404
Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput
body. Second, the fatwa is of Islamic in nature but seemed to summon all people including
non-Muslim. Then, how could the later observe it? Third, from the argument used by the
MUI, it was inferred that the fatwa was not produced by serious scrutiny.
From the elaboration above, some important point have to be taken into consideration.
First, the MUI has to be able to separate between religious matters and political affairs,
though Islam doesn’t separate both in conscept. But in dealing with social matters it has
to be so. Thus, for the first, the MUI can use the term “halal (permissible) and haram (forbidden),
while for the later, the MUI has to use the term “should”, “it is better,” or “it is recommended/
suggested”, etc., instead of halal-haram. Objectivication40 is much better and saver to
implement facing social or worldly problems.
Second, issuing fatwa needs not only a highly qualified understanding of Islamic
law, but also an accommodation with the spirit of modernity combined with a modern
scientific approach and profound research methodology. Therefore, the MUI has to be more
accommodative in order to produced objective and inclusive fatwa.
In addition, in order to increase public participation at the polls the government needs
to reform the political parties and the way elections are organized. In case of politics, fatwa
should works nothing more than just a moral force. Therefore it is perhaps more appropriate
to use the term “reccommendation” rather than stating “halal-haram.”
References
Abdullah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Jalan: Respons Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Administrator. “PKS Berharap MUI Keluarkan Fatwa Haram Golput” in http://pk-sejahtera.de/
index.php?option=com. Accessed March 18 2009.
Abdullah, Rozali. “Sistem Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Ditinjau dari Sudut
Pandang Demokrasi,” in Journal Konstitusi 2:1, 2009.
Aqsa, Darul, et al. Islam in Indonesia: A Survey of Events and Developments from 1988 to
March 1993. Jakarta: INIS, 1995.
Azizy, Qodri. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-Modern.
Jakarta: Teraju, 2003.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam, 5 vols., Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Baso, Ahmad. “Problem Islam dan Politik Perspektif Kritik Nalar Arab Muhammad Abid
al-Jabiri,” in Tashwirul Afkar 4:1, 1989.
40
”Objectivication” was introduced by Kuntowijoyo, meaning a value-based rational
implementation of Islam. Objectivication is not to practice Islam as it is. It is to adjust Islam with
social situation but still refers to the fundamental root of Islam. This is especially true in socialpolitical affairs. For further information see Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika, (Jakarta: Teraju, 2004), p. 64-70
405
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Burhani, Ahmad Najib. “Ulama Dalam Perubahan Sosial,” in Gong Mahasiswa 7:V, 1996.
Coulson, Noel J. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1961.
Fatkhurrahman, Wiwit R. “Fatwa Haram Golput, Efektifkah?” in http://wiwitfatur.wordpress.com, Accessed March 20, 2009.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: the University of Chicago Press, 1976.
Hasbullah, Ali. Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy. Kuwait: Dar al-Ma’arif, nd.
Hidayat, Komaruddin. “Memahami Fatwa MUI,” in http://www.uinjkt.ac.id-/index.php/category-table/525-memahami-fatwa-mui.html.
Hooker, M.B. Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. Jakarta: Teraju,
2002.
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta: Teraju,
2004.
Kurniasih, Budi. “Fatwa Haram Golput Dinilai Dongkrak Partisipasi Pemilih,” in http://
www.tempointeraktif.com, Accessed February 11, 2009.
Mansur, Yakhsyalloh. “Fatwa MUI tentang Tidak Ikut PEMILU; Dipaksakan dan Kontraproduktif,”
in http://www.eramuslim.com /suara-kita/suara-pembaca. Accessed March 17, 2009.
Mufrodi, Ali. “Peranan Ulama dalam Masa Orde Baru: Studi tentang Perkembangan Majelis
Ulama Indonesia,” Disertasi: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
1994.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Mudzhar, Mohammad Atho’. Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic
Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993.
Muzadi, Hasyim. “Golput Tak Perlu Diharamkan,” in http://nasional.kompas.com, Accessed
July 25, 2010.
Nurhadi. “Muslims’ Participation in Christmas Celebrations: A Critical Study on the Fatwa
of the Council of Indonesian Ulama,” in al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 40:2,
2002.
Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Islamabad: Islamic Research Institute, 1965.
Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: the University of Chicago Press, 1979.
Shodiq, “Ternyata Banyak Ormas Islam Menentang Fatwa MUI perihal Hukum Golput/
Rokok” in http://shodiq.com, Accessed February, 2009.
Ulum, Bahrul. Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, Jejak Langkah NU di Era Reformasi: Menguji
Khittah, Meneropong Paradigma Politik. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.
Widodo, Slamet. “Fatwa Golput; Surga Dunia atau Surga Akhirat?,” in www.slametwidodo.
com, Accessed April 15, 2009.
Yusanto, Muhammad Ismail. “Tanggapan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap Fatwa MUI
tentang Golput,” in http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca, Accessed
March 15 2009.
406
ISLAM, ETNISITAS, DAN POLITIK IDENTITAS:
Kasus Sunda
Abdul Syukur
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Jl. Raya Cipadung, No. 105, Cibiru, Bandung, 10614
e-mail: abdul_syukur05@yahoo.com
Abstrak: Dalam kerangka pemikiran struktural-fungsional masyarakat digambarkan
terdiri dari sejumlah struktur yang memiliki fungsi sendiri sehingga menciptakan
equilibrium yang harmonis berdasarkan solidaritas sosial yang dibangun oleh nilai
dan norma kolektif. Begitu pula masyarakat Sunda terikat oleh nilai budaya bersama
yang diwariskan secara turun temurun. Mayoritas orang Sunda beragama Islam,
yang mengindikasikan bahwa budaya masyarakat Sunda bersumber dari, atau sesuai
dengan, nilai-nilai ajaran Islam, sehingga melahirkan ungkapan bahwa “Sunda adalah
Islam.” Kenyataan adanya kelompok yang bukan Muslim tetapi mereka masih bagian
dari dan mengaku sebagai orang Sunda menunjukkan keterbatasan model pemikiran
di atas. Tulisan ini berupaya membahas wacana “Sunda adalah Islam” dengan menggunakan teori identitas sebagai suatu kategori etnik, problematika dan implikasi
yang mungkin ditimbulkannya.
Abstract: Islam, Ethnicity and the Politics of Identity: The Sundanese
Case. In the framework of structural-functionalist thought, society is depicted to
constitute from structures belonging to separate function that create harmonious
equilibrium based on social solidarity founded in collective norms and values.
Accordingly, the Sundanese community is also bound by their communal cultural
values received through their ancestors. The majority of the Sundanese are Muslims
which indicate that their social culture originates from, or in line with, the values
of Islamic teachings that led to the expression that “Sunda is Islam”. The fact that
there exist groups of Sundanese who are non-Muslim but they still belong to and
convicted to be Sundanese show the shortcomings of the above-mentioned model
of thought. This writing is an attempt to discuss “Sunadanese Is Islam” discourse
by utilizing identity theory as an ethnic category, problems and implication that
minght be drawn there in.
Kata Kunci: antropologi, Sunda, Islam, etnisitas, politik identitas
407
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Pendahuluan
Sebagian orang memahami bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu dan
mereka membentuk masyarakat melalui ikatan kontrak sosial. Emile Durkheim (18581917)1 justru memandang bahwa tidak ada individu yang lahir dari belah batu dan terasing
dari masyarakat. Sebaliknya, setiap individu lahir dari sebuah keluarga dan besar di tengahtengah masyarakat. Konsekuensi metodologis dari pandangan Durkheim ini ialah bahwa
setiap penelitian sosial harus meletakkan perhatiannya pertama-tama pada masyarakat,
yaitu adanya fakta-fakta sosial yang mengikatnya dan bersifat memaksa kepada setiap
individu tersebut. Sebagai contoh, individu yang lahir dari orang-orang Sunda akan diperkenalkan dan dipaksa untuk berbicara bahasa Sunda, berperilaku menggunakan standar
norma dan etika masyarakat Sunda, dan jika kebetulan orang tuanya beragama Islam, maka
ia akan diperkenalkan tentang agama Islam dan diajari melaksanakan ajaran-ajaran agama
Islam sebagaimana yang dipeluk oleh kedua orang tuanya dan masyarakat di sekitarnya.
Dalam konteks agama Islam, apa yang dikatakan Durkheim di atas mengingatkan
kepada sabda Nabi Muhammad SAW. yang mengatakan bahwa “Setiap anak lahir dalam
keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani,
atau Majusi.” Sekalipun Rasulullah menyatakan hal tersebut dalam konteks agama,
tetapi boleh jadi yang dimaksud beliau mencakup wilayah yang lebih luas, yaitu aspek-aspek
budaya lainnya seperti bahasa dan norma.
Mengapa masyarakat terintegrasi? Terhadap pertanyaan ini, Durkheim menjelaskan
bahwa suatu masyarakat terintegrasi karena pada setiap masyarakat terdapat fakta-fakta
sosial yang berfungsi mengikat setiap individu yang menjadi anggota ke dalam masyarakat
tersebut. Fakta sosial ini dapat berupa aturan-aturan, norma-norma, dan tradisi yang secara
kolektif berlaku atau dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan (conscience collective).
Selanjutnya, fakta-fakta sosial ini menjadi semacam pegangan hidup bersama, dan karena
menjadi pegangan bersama maka ia memiliki sifat memaksa. Artinya, setiap individu harus
berperilaku sesuai dengan aturan dan norma-norma yang terdapat pada masyarakatnya.
Karena kalau tidak demikian, maka ia akan menghadapi sanksi atau ancaman hukuman
dari masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi individu yang
ingin selamat dan memperoleh rasa aman kecuali tetap bergabung dengan masyarakat dan
mengikuti aturan-aturan dan norma-norma yang ada yang dipaksakan oleh masyarakat
tersebut.
Herbert Spencer (1820-1903)2 mengidentikkan masyarakat dengan suatu organisme.
Sebagai sebuah organisme, masyarakat terdiri dari bagian-bagian di mana setiap bagian
1
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman, Cet. 1 (Yogyakarta: Qalam,
2001), h. 158.
2
Paul Buhanan and Mark Glazer (ed.), High Points in Anthropology (New York: Alfred A.
Knopf, 1988), h. 7.
408
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
memiliki fungsi tersendiri. Apabila setiap bagian yang masing-masing membangun struktur
sosial berfungsi dengan baik, maka secara otomatis struktur-struktur itu akan membentuk
bangunan masyarakat yang utuh. Sebaliknya, apabila ada bagian atau struktur sosial yang
tidak berfungsi dengan baik, maka ia akan menjadi beban atau bahkan penyakit bagi masyarakat yang bersangkutan, sehingga akibat yang paling buruk yang mungkin terjadi adalah
bagian tersebut harus diamputasi. Pandangan Spencer dan Durkheim ini kemudian melahirkan
sebuah teori, yang dalam Sosiologi dan Antropologi dikenal dengan teori StrukturalFungsionalisme.
Terdapat sebuah ungkapan di kalangan masyarakat Sunda yang menyatakan bahwa
“Sunda adalah Islam,” sebuah ungkapan yang, kurang lebih maknanya sama, juga dapat
ditemukan di kalangan orang-orang Melayu,3 Minang, dan juga Aceh. Akan tetapi, identifikasi
demikian ternyata bukan tanpa masalah, karena identifikasi tersebut berimplikasi, paling
tidak, pada kesimpulan sederhana tapi menyesatkan bahwa orang Sunda pasti beragama
Islam. Di lain pihak, kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua orang Sunda beragama
Islam.
Identitas adalah konstruksi sosial, yaitu bahwa identitas dikonstruksi oleh masyarakat
dan dalam proses ini berkaitan erat dengan pemilahan siapa aku dan siapa kamu, siapa kita
(we) dan siapa mereka (them).4 Dengan kata lain, pengkonstruksian identitas ini menyangkut
proses inklusi-eksklusi. Dalam konteks ini, identifikasi “Sunda adalah Islam” dapat berarti
bahwa orang Sunda harus beragama Islam dan seperti dikemukakan Ekadjati,5 akan menjadi
aneh apabila ada orang Sunda yang tidak beragama Islam. Pertanyaannya kemudian
adalah bagaimana dengan orang-orang Sunda yang beragama selain agama Islam, apakah
dengan begitu berarti mereka sudah tidak menjadi orang Sunda lagi? Pertanyaan selanjutnya
adalah adakah makna di balik pernyataan atau ungkapan tersebut, apa yang melatarbelakanginya, dan tujuan apa kira-kira yang hendak dicapainya.
Dengan latar belakang masalah di atas, maka tulisan ini akan membahas pertamatama tentang arti dari pernyataan “Sunda adalah Islam,” alasan-alasan yang menyertainya,
dan upaya-upaya politik mempertahankannya. Selanjutnya, akan dibahas tentang masalah
Sunda itu sendiri sebagai suatu kategori “etnik,” problematika dan implikasi yang mungkin
ditimbulkannya. Konsekuensi dari identifikasi semacam itu sangat luar biasa, karena secara
logika berarti bahwa orang Sunda harus beragama Islam dan bahwa orang Sunda yang tidak
memeluk agama Islam bukanlah orang Sunda, dan ini berarti adanya eksekusi terhadap
3
Jacob Sumardjo, “Islam dan Sunda dalam Mitos: Pandangan Manusia Sunda Masa Kini
Hubungannya dengan Islam,” dalam dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda
(Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010),
h. 122.
4
Fiona Bowie, The Anthropology of Religion (Oxford: Blackwell Publishers, 2001), h. 71.
5
Edi S. Ekadjati, “Islam: Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda,” dalam Moeflich
Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas
Islam Negri Sunan Gunung Djati, 2010), h. 81.
409
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
orang-orang Sunda lainnya. Terakhir, dalam kaitannya dengan aspek-aspek sejarah, geografis,
serta budaya tersebut kemudian akan dibahas relevansi pernyataan “Sunda adalah Islam”
dalam konteks hubungan antar etnik di Indonesia.
Seperti Gula dengan Manisnya
Istilah lain yang memiliki pengertian yang sama dengan ungkapan “Sunda adalah
Islam” adalah perumpamaan yang populer dalam bahasa Sunda bahwa orang Sunda dan
agama Islam itu ibarat gula jeung peueutna, yaitu seperti gula dengan rasa manisnya. Ungkapan
ini memberikan pengertian bahwa hubungan antara orang-orang Sunda dengan Islam
sangatlah erat, sehingga bahkan karena eratnya, keduanya tidak dapat dipisahkan lagi, karena
meskipun tidak setiap yang manis itu gula, tetapi tidak ada gula yang rasanya tidak manis.
Terkait dengan ungkapan “Sunda adalah Islam” di atas, Kahmad, dalam makalahnya
yang berjudul “Agama Islam dan Budaya Sunda,”6 mengatakan bahwa antara kebudayaan
Sunda dengan ajaran agama Islam memang sulit dipisahkan. Hal ini karena, menurut Kahmad,
orang-orang Sunda dapat menerima dengan mudah ajaran-ajaran agama Islam. Penerimaan
Islam dengan mudah oleh orang-orang Sunda ini selain dimungkinkan oleh adanya cara
dakwah Islam yang telah disampaikan melalui pendidikan ketimbang penaklukan, juga
karena karakter agama Islam yang tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda,
yaitu bersifat sederhana, dan Islam yang masuk ke tataran Sunda telah dibungkus oleh
kebudayaan Timur yang tidak asing lagi bagi orang-orang Sunda. Karena itu, proses Islamisasi
masyarakat Sunda dapat berjalan dengan mulus dan lancar. Dengan kata lain, meskipun
agama Islam berasal dari luar, tetapi karena unsur-unsurnya terdapat kesesuaian, maka
Islam dapat diterima dengan kedua belah tangan terbuka oleh orang-orang Sunda, sehingga
terjadilah proses asimilasi dan akulturasi antara berbagai budaya yang membungkus Islam
dengan nilai-nilai budaya lokal Sunda. Umpamanya, sekalipun secara tradisi masyarakat
Sunda masih melaksanakan upacara-upacara adat seperti babarit (upacara kehamilan)
empat bulan atau tujuh bulan, memperingati kematian tiga hari (tiluna), tujuh hari (tujuhna),
empat puluh hari (matang puluh), seratus hari (natus), dan seterusnya, tapi upacara-upacara
tradisional tersebut telah dipadukan dengan doa-doa yang bersumber pada ajaran agama
Islam. Karena telah terjadi perpaduan antara ajaran Islam dan nilai-nilai budaya Sunda itulah,
maka kini antara keduanya sulit untuk dipisahkan, ibarat gula jeung peueutna (gula dengan
manisnya).
Alwasilah,7 membuat rincian tentang nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan
6
Disajikan pada International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese
Values yang diselenggarakan oleh CESRAS (Centre for the Study of Religion and Society) UIN Sunan
Gunung Djati, Bandung, kerjasama dengan The Catholic University of America, The Islamic College,
dan MIZAN tanggal 9 Januari 2009.
7
Chaedar Alwasilah, “Islamic Thoughts and Sundanese Values,” makalah disampaikan
pada acara International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values,
410
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
Sunda yang ditemukan dalam peribahasa, idiom-idiom, ungkapan-ungkapan yang populer
di kalangan masyarakat Sunda, yaitu:
1. Manusia harus memiliki tujuan yang mulia dalam kehidupannya.
2. Manusia adalah bagian kecil dari alam semesta, karena itu harus melestarikan alam
dan jangan merusaknya supaya mendapat keuntungan daripadanya.
3. Manusia harus menyadari dan belajar dari alam, masyarakat, dan Tuhan.
4. Manusia memerlukan guru yang mengajari mereka tentang yang baik dan yang buruk.
5. Manusia harus belajar dari, terutama, orang tua dan kemudian dari orang lain.
6. Manusia harus menjaga dan menghormati nilai-nilai yang ada yang masih relevan
sebagai petunjuk.
7. Manusia harus mencontoh orang tua dan leluhur dalam melakukan tradisi, sehingga
orang tua harus memberikan contoh sebagai model perilaku yang baik.
8. Manusia harus memperhatikan kearifan-kearifan tradisional dalam menghadapi masa
yang akan datang.
9. Manusia harus ingat pada kehidupan setelah mati.
10. Manusia harus saling menghormati, melaksanakan etika, bicara dan berperilaku sopan
dan ramah.
11. Manusia harus melindungi yang lemah secara ekonomi, berpihak pada yang benar,
dan bertindak tegas.
12. Manusia dianugrahi kekuatan oleh Tuhan, sehingga mereka harus tunduk kepada-Nya.
13. Manusia harus memiliki sifat-sifat ikhlas, sabar, cerdas, jujur, waspada, dan mental
bertanggung jawab.
14. Manusia harus memperlihatkan sikap siger tengah (tidak bersikap keterlaluan).
15. Manusia harus memiliki sifat-sifat ideal seperti hurip (penuh semangat), waras (sehat fisik),
cageur (sehat mental), bageur (baik pada sesama), bener (benar), pinter (pintar), ludeung
(berani), silih asah (saling mengingatkan), silih asih (saling mencintai), dan silih asuh
(saling menjaga).
Menurut Alwasilah, nilai-nilai budaya Sunda sebagaimana yang diungkapkannya
di atas ternyata sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Keterkaiatan erat antara agama Islam dengan budaya Sunda ini bahkan mengantarkan
Ekadjati8 kepada kesimpulan yang dinyatakan secara mencolok dalam judul tulisannya
yaitu “Islam: Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda.” Kesimpulan demikian diperoleh
Ekadjati berdasarkan alasan adanya fakta bahwa sementara orang-orang Sunda dapat
diselenggarakan oleh CESRAS (Centre for the Study of Religion and Society) UIN Sunan Gunung
Djati, Bandung, kerjasama dengan The Catholic University of America, The Islamic College, dan
MIZAN, 9 Januari 2009.
8
Ekadjati, Islam: Agama Pilihan Utama, h. 81.
411
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
dengan mudah menerima agama Islam, tetapi ternyata tidak demikian halnya terhadap
agama-agama yang lain. Hal ini dibuktikan ketika kolonial Barat memperkenalkan agama
Nasrani kepada mereka, tetapi mereka tetap tidak tergoda.
Kesimpulan Ekadjati di atas tampaknya diperkuat oleh bukti adanya laporan yang
merupakan hasil analisis para misionaris Belanda, J. Verhoeven, yang membandingkan
antara karakter orang-orang Sunda dan orang Jawa, dan P.N. Gijsman. Menurut Verhoeven,
orang-orang Jawa dalam keberagamaan memang kurang taat, namun dalam hal bekerja
mereka termasuk orang-orang yang rajin dan ulet. Sebaliknya, orang-orang Sunda termasuk
orang-orang yang malas bekerja, namun dalam hal keberagamaan mereka adalah orangorang yang taat. Karena ketaatannya kepada agama Islam itulah, maka orang-orang Sunda
sangat antusias untuk melaksanakan ibadah haji dan masyarakat Sunda termasuk salah
satu kelompok yang mengirim rombongan jemaah haji yang terbanyak. Gijsman, bahkan,
mengatakan bahwa Islam bagi masyarakat Sunda sudah bukan lagi hanya sekedar bungkus,
tapi sudah menjadi jiwa dalam tata perilaku dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Karena
itu, para misionaris Belanda tersebut sampai kepada kesimpulan bahwa Kristenisasi di
kalangan masyarakat Sunda sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin.9
Contoh lain adalah Gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin Sekar Marijan Kartosuwiryo,
menjadikan basis gerakannya di tatar Sunda, yaitu di Garut. Kartosuwiryo adalah orang
Jawa yang menikah dengan gadis dari Kecamatan Malangbong, Garut. Ia kemudian berhasil
menyebarkan pengaruhnya hampir di seluruh wilayah Priangan. Keberhasilan gerakan
Katosuwiryo erat kaitannya dengan fakta bahwa masyarakat Sunda, khususnya Priangan,
adalah orang-orang yang memiliki semangat keagamaan yang kuat yang menginginkan
tegaknya syariat Islam. Salah satu indikatornya adalah bahwa pada Pemilu tahun 1955,
dua partai yang berlandaskan agama Islam, yaitu Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama
(NU), memperoleh suara yang sangat signifikan di Priangan dibandingkan dengan partaipartai lainnya. Amin Mudzakkir dalam tulisannya berjudul Islam Priangan: Pergulatan
Identitas dan Politik Kekuasaan, dengan mengutip Herbert Feith (1999: 97), mengemukakan
tabel perbandingan perolehan suara antara lima partai besar di Priangan sebagai berikut:10
Partai
Suara Parlemen
Konstituante
Perbedaan
PNI
1. 541. 927
1. 586. 507
+44. 580
Masyumi
1. 844. 442
1. 761. 406
- 83. 036
NU
673. 466
692. 755
+19. 289
PKI
755. 643
827. 858
+72. 215
PSII
393. 174
384. 790
- 8. 384
9
De Nederlandse Zendings-Vereniging in West Java 1858-1963, doc. 97, h. 208 dan doc. 48,
P.N. Gijsman, h. 144-5.
10
http://penelitianku.wordpress.com/2009/03/04/islam-priangan-pergulatan-identitasdan-politik-kekuasaan.
412
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
Pada masa sekarang, khususnya masa reformasi dan sejalan dengan kebijakan otonomi
daerah (Otda), ekspresi keberagamaan masyarakat Sunda yang kuat itu di beberapa daerah
dinyatakan dalam bentuk dibuatnya Peraturan Daerah (Perda). Dua daerah yang sangat
bersemangat mengekspresikan agama Islam dalam bentuk penegakkan syariat Islam lewat
Perda tersebut, menurut Mudzakkir, adalah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya.
Di Cianjur, Wasidi Swastomo, sejak proses pengajuan calon Bupati, merupakan satusatunya calon yang secara terbuka menjanjikan akan memberlakukan “syariat Islam.”
Ketika akhirnya ia terpilih menjadi Bupati Cianjur untuk periode 2001-2006, maka pada
1 Muharram 1422/26 Maret 2001, ia pun memenuhi janjinya dengan mendeklarasikan
“Gerbang Marhamah” (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Kemudian,
melalui SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 Wasidi membentuk Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Islam (LPPI) yang beranggotakan tokoh-tokoh kiai dan aktivis politik Muslim
dan bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan “syariat Islam” di Cianjur.
Langkah selanjutnya, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001 yang berisi
petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah. Materi-materi itu mencakup
(1) Membiasakan/membudayakan salat berjamaah terutama pada saat jam kerja (zuhur
berjamaah); (2) Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah
setiap rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja,
majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan lingkungan yang Islami dan
kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswah al-hasanah).
Bupati Cianjur berikutnya, Tjetjep Muhtar Sholeh, memberi dukungan terhadap
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah yang diajukan
oleh Bupati Wasidi sebelumnya. Maka, Raperda Gerbang Marhamah disetujui menjadi
Perda No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Menyusul penetapan Perda No.3/2006 tentang
Gerbang Marhamah, Bupati pun mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan
Perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian
Pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur
No.2/2007 tentang pemasangan papan visi dan misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan
pengajian/tadarus al-Qur’an.
Di Kabupaten Tasikmalaya, sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap
Pemerintah Daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan pembangunan,
kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa “syariat
Islam” ke dalam renstra. Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati
dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Akan tetapi, terdapat bagian yang kontroversial
dalam Perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan, yaitu adanya pencantuman
visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan
Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada
tahun 2010”. Sekalipun begitu, Bupati Tasikmalaya tetap mengeluarkan Surat Edaran No.
451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan sebagai
413
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
bentuk realisasi dari visi Kabupaten Tasikmalaya yang religius/Islami tersebut. Dalam
perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang
dalam Perda No. 13/2001, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No. 13/
2003 di mana visi Kabupaten Tasikmalaya mengalami sedikit perubahan, namun masih
tetap mempertahankan nuansa ke-Islam-an, menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami
sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agribisnis di
Jawa Barat tahun 2010”. Dikaitkan dengan visi Kabupaten Tasikmalaya yang tercantum
dalam renstra, yaitu sebagai kabupaten yang “religius/Islami,” maka peraturan-peraturan
tersebut dipandang sebagai “Perda Syariat.” Tetapi dengan peraturan-peraturan semacam
itu, maka kemudian dapat dipertanyakan bahwa apakah dengan demikian Kabupaten Cianjur
dan Kabupaten Tasikmalaya mencerminkan keterkaitan antara ajaran agama Islam dengan
nilai-nilai budaya Sunda? Atau justru sebaliknya, hal itu mencerminkan bahwa terdapat
kesenjangan antara orang-orang Sunda di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya
dengan ajaran Islam, sehingga mereka harus disatukan (atau: dipaksa bersatu!) lewat perdaperda tersebut.
Mana yang Sunda?
Di antara etnik-etnik yang ada di Indonesia, etnik Sunda merupakan etnik nomor
dua terbesar setelah etnik Jawa. Menurut Wikipedia, jumlah etnik Sunda adalah 31 juta dan
mayoritas orang Sunda beragama Islam. Menurut Sensus Penduduk tahun 2000 jumlah
pemeluk agama Islam di Jawa Barat sebanyak 37.606.317 yang, seperti dikatakan Kahmad,
membentuk 98% dari seluruh penduduk Jawa Barat yang beretnik Sunda. Persoalannya
sekarang adalah apakah dengan begitu dapat dikatakan bahwa Jawa Barat merepresentasikan etnik Sunda dan bahwa “Sunda adalah Islam”? Karena, Wikipedia tidak hanya menempatkan etnik Sunda secara geografis di daerah Jawa Barat, tetapi juga di Banten dan Jakarta.
Persoalan selanjutnya adalah manakah dan siapakah yang dimaksud dengan “Sunda”?
Sebelum memisahkan diri dan menjadi provinsi sendiri tahun 2000, Banten memang
merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat, sehingga dapat dimengerti pernyataan bahwa
mayoritas etnik Sunda terdapat di Jawa Barat. Sekalipun telah terpisah dari provinsi Jawa
Barat, tetapi karena di Banten sendiri terdapat komunitas yang mengaku dirinya sebagai
orang Sunda, maka dapat dimengerti kalau orang Sunda tidak hanya terdapat di Jawa
Barat, tetapi juga di Banten. Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak di Banten, misalnya, adalah komunitas warisan dari Kerajaan Sunda,
yaitu Pakuan Pajajaran, yang mengasingkan diri bersamaan dengan terjadinya proses
Islamisasi di tanah Sunda.11 Desa Kanekes terdiri dari 3 kampung utama yang terletak di
11
Dadan Wildan, “Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.),
Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Sunan
Gunung Djati, 2010), h. 86-87. Bandingkan dalam Harian Pikiran Rakyat (26 Maret 2003).
414
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
daerah Baduy Dalam (Kajeroan), yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, dan 28 kampung
lainnya serta 8 kampung babakan (pemekaran) yang tersebar di wilayah Baduy Luar
(Panamping, Pasisian).12
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya orang-orang Sunda bertempat
tinggal di Pulau Jawa bagian barat, tetapi mengidentikan Jawa Barat (termasuk Banten)
dengan Sunda tidaklah tepat. Karena ternyata pada umumnya penduduk di pantai utara
daerah Jawa Barat maupun Banten berasal dari dan menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi. Sebaliknya, dapat ditemukan komunitas Sunda di bagian barat provinsi
Jawa Tengah, seperti di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes. Selain itu, Jakarta,
yang dikatakan dalam Wikipedia juga sebagai daerah yang secara dominan etnik Sunda,
beserta kota-kota besar lainnya di Jawa Barat dan Banten sekarang cenderung dihuni
oleh penduduk campuran dari berbagai etnik.
Identifikasi Sunda dengan bahasa pun bukan tanpa masalah. Hasbullah pernah
mengungkapkan keluhannya tentang adanya dampak dari kehidupan multi-etnik di kotakota besar seperti di atas terhadap penggunaan bahasa Sunda di tanah Sunda. Menurutnya,
terdapat kecenderungan di mana orang-orang Sunda di kota-kota besar, khususnya di
Jawa Barat, lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi daripada
menggunakan bahasa Sunda. Disebutkan bahwa dengan alasan gengsi dan takut dianggap
tidak modern, maka keluarga orang-orang Sunda pun kini tidak suka lagi menggunakan
bahasa Sunda dalam percakapan dengan anak-anak mereka, sehingga kemudian anakanak mereka pun canggung berbahasa Sunda dan lebih memilih menggunakan bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi dengan teman-temannya. Selanjutnya, dikatakan bahwa
mereka lebih merasa akrab memanggil “papih-mamih,” “papah-mamah,” “ayah-ibu,” kepada
kepada orang tuanya dari pada memanggil mereka dengan sebutan “abah-ambu,” “emaapa” atau “indung-bapa.”13
Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi selain menyebabkan globalisasi
yang menjadikan ruang menjadi sempit dan waktu menjadi pendek juga menyebabkan
terjadinya deteritorialisasi. Seperti dikemukakan di atas, mengidentifikasi Jawa Barat dan
Banten dengan Sunda selain bermasalah karena secara geografis Jawa Barat dan Banten
tidak hanya dihuni oleh orang-orang Sunda, juga banyak orang-orang Sunda sekarang tidak
lagi terkungkung oleh batas-batas geografis. Dapat juga ditemukan orang-orang Sunda
di Jawa bagian Tengah maupun Timur, di Sumatra, Kalimantan, bahkan di Papua dan di
luar negri. Seperti kebanyakan etnik lainnya, mereka pun rata-rata mengaku beragama Islam.
12
A. Suhandi Sam, et al., Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah, 1986), h. 10.
13
Moeflich Hasbullah, “Islam, Sunda dan Tantangan Modernitas” dalam Moeflich Hasbullah
(ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri
Sunan Gunung Djati, 2010), h. 127.
415
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Tetapi apakah karena pengakuan mereka beragama Islam lantas dapat secara sederhana
dikatakan bahwa “Sunda adalah Islam”?
Bagaimana pun angka 98% yang menyatakan bahwa penduduk Jawa Barat
beragama Islam, seperti yang dikatakan Kahmad,14 atau, sebagaimana dikatakan Ekadjati
bahwa 95% orang Sunda menganut agama Islam,15 tetap menyisakan ruang kemungkinan
bagi adanya orang-orang Sunda yang memeluk agama di luar Islam. Baik Kahmad maupun
Ekadjati, begitu juga penulis dan peneliti tentang Sunda lainnya, mengakui bahwa di samping
Islam, yang dipeluk secara mayoritas, juga terdapat agama-agama lain yang menjadi anutan
orang-orang Sunda. Sunda Wiwitan, yaitu agama karuhun (nenek moyang) masyarakat
Sunda, misalnya, masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Sunda. Begitu pun sebagian
masyarakat Sunda di Cideres (Majalengka) dan Cikembar (Sukabumi) menganut agama
Katolik dan Protestan. Bahkan, penganut Kebatinan atau Penghayat Kepercayaan pun
dapat ditemukan dalam masyarakat Sunda Cigugur (Kuningan) dan Ciparay (Bandung).
Fakta-fakta di atas memperlihatkan betapa problematis dalam mengidentifikasi yang
namanya “Sunda.” Secara geografis, Jawa Barat dan Banten tidak lagi dihuni oleh manusia
Sunda, dan orang-orang Sunda sudah tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis. Begitu
pula dalam perspektif bahasa. Sekalipun di daerah-daerah yang relatif homogen orangorang Sunda masih menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi, tetapi di daerahdaerah urban sudah banyak yang tidak bisa berbahasa Sunda lagi. Pelajaran bahasa Sunda
di sekolah-sekolah kurang diminati, apalagi oleh anak-anak yang dilahirkan dari proses
perkawinan etnik campuran (anomali). Lantas, bagaimanakah dengan identifikasi bahwa
“Sunda adalah Islam”?
Sunda: Antara Pajajaran, Majapahit, Banten dan Cirebon
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pengkonstruksian identitas berkaitan erat
dengan proses inklusi-eksklusi. Ini berarti pula bahwa identitas merupakan aspek relasional,
yaitu terjadi dalam hubungan dan interaksi sosial di mana suatu kelompok sosial akan mengidentifikasi dirinya dalam hubungannya dengan kelompok atau golongan lain (others),
sehingga masing-masing saling mengidentifikasi. Proses pengidentifikasian ini terjadi
dalam situasi dan kondisi tertentu. Dengan kata lain, pengkonstruksian identitas dilakukan
secara kontekstual sehingga apabila situasi dan kondisi berubah, maka otomatis konstruksi
identitas pun akan mengalami perubahan.16 Sekalipun hubungan dan interaksi sosial meng14
Dadang Kahmad, “Agama Islam dan Budaya Sunda,” makalah disampaikan pada acara
International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values, 9 Januari 2009;
Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati, 2010).
15
Ekadjati, Islam: Agama Pilihan Utama, h. 81.
16
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives (London:
Pluto Press, 1995), h. 62.
416
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
andaikan keseimbangan, tetapi kenyataan sering kali memperlihatkan adanya ketidaksetaraan. Dalam hal ini, maka hubungan antar kelompok sosial kerap ditandai oleh adanya
persaingan, kontestasi, resistensi, dan bahkan konflik.
Secara historis, Pajajaran adalah kerajaan Sunda terakhir dengan rajanya yang
terkenal yaitu Prabu Siliwangi. Namun cikal bakal kerajaan ini adalah Kerajaan Sunda
di Pakuan (Bogor) dan Kerajaan Galuh di Kawali (Ciamis) yang dipersatukan di bawah
kekuasaan Rakeyan Jamri, pewaris tahta Kerajaan Galuh, yang menikah dengan Tejakencana,
Putri Mahkota Kerajaan Sunda, dan berkuasa antara tahun 723-732 dengan ibukotanya
di Kawali (Ciamis). Di bawah kekuasaan Sri Baduga Maharaja yang berkuasa antara tahun
1482-1521, ibukota kerajaan dipindahkan ke Pakuan (Bogor). Menurut prasasti Batutulis,
Sri Baduga Maharaja, yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi, mendirikan parit
sebagai benteng pertahanan mengelilingi ibukota kerajaan. Karena Pakuan, ibukota
Kerajaan Sunda, ini berada sejajar dengan dua buah sungai, yaitu Ciliwung dan Cisadane,
maka nama kerajaan pun berubah menjadi Pakuan Pajajaran. Karena itu, kerajaan ini
sering disebut Kerajaan Pakuan atau, lebih dikenal lagi, Kerajaan Pajajaran.
Selain memindahkan ibukota dari Kawali ke Pakuan dan membangun benteng pertahanan
yang kuat, Prabu Siliwangi juga berhasil mengonsolidasikan kekuasaan dan keamanan.
Di bawah kekuasaannya pula masyarakat Sunda dapat merasakan kesejahteraan dan
menikmati kemakmuran, sehingga zaman Siliwangi kerap dianggap sebagai zaman keemasan
Kerajaan Sunda Pajajaran. Karena alasan itu pulalah, Prabu Siliwangi mendapat tempat
istimewa di hati sebagian masyarakat Sunda.
Akan tetapi, sejarah Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran bukanlah awal dan akhir cerita.
Sebelumnya telah bertahta raja-raja lain dengan riwayatnya sendiri. Prabu Maharaja Lingga
Buana naik tahta di kerajaan Sunda Galuh di Kawali (Ciamis) pada tahun 1340. Meskipun
menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Parwa II Sarga 3, terdapat hubungan
darah antara Kerajaan Sunda Galuh dan Kerajaan Majapahit, sehingga raja-raja Majapahit
enggan untuk menaklukan kerajaan Sunda, tetapi ambisi Patih Gajahmada dari Kerajaan
Majapahit untuk menyatukan kedua kerajaan di Pulau Jawa tersebut telah membawa orang
Sunda kepada perasaan malu dan terhina serta memandang dengan sebelah mata terhadap
orang-orang Jawa. Ketika Raja Hayamwuruk (berkuasa 1350-1389) dari Majapahit menyatakan keinginannya untuk mempersunting Dyah Pitaloka alias Citraresmi, putri Maharaja
Lingga Buana dari Kerajaan Sunda Galuh, kesempatan ini dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya oleh Patih Gajahmada. Dengan tipu dayanya Maharaja Lingga Buana beserta keluarga
kerajaan tidak menanti kedatangan Hayamwuruk yang akan mempersunting putrinya,
melainkan mereka berangkat mengantarkan Sang Putri ke Majapahit. Akan tetapi, sebelum
sampai di ibukota kerajaan Majapahit, rombongan Kerajaan Sunda Galuh tersebut beristirahat dan mendirikan perkemahan, yaitu di daerah Bubat, sambil menunggu waktu
pernikahan dan jemputan dari Majapahit.
Rombongan dari Majapahit memang datang, tetapi bukan untuk menjemput Sang
417
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Putri dan keluarganya dari Kerajaan Sunda Galuh. Pada kesempatan itu, malahan Gajahmada
menyampaikan tuntutan kepada Kerajaan Sunda Galuh untuk takluk kepada Majapahit,
dan alih-alih Dyah Pitaloka akan dijadikan permaisuri ia dianggap sebagai upeti atas
takluknya Kerajaan Sunda Galuh tersebut. Merasa dipecundangi, maka keluarga Kerajaan
Sunda Galuh tersebut menolak tuntutan Gajahmada, dan ketika Gajahmada dan pasukannya
melakukan penyerangan, maka keluarga Kerajaan Sunda Galuh pun, meski pada akhirnya
kalah dan luluh lantak, mengadakan perlawanan.17 Dyah Pitaloka sendiri, demi mempertahankan
harga diri dan kehormatan keluarga, melakukan tindakan bunuh diri. Itulah sebabnya,
maka nama Gajahmada, yang dalam buku-buku sejarah dikatakan sebagai pemersatu
kepulauan Nusantara dengan Sumpah Palapanya yang terkenal, dimasukan ke dalam
daftar hitam dalam memori masyarakat Sunda, sehingga tidak ada yang namanya Jl.
Gajahmada di wilayah orang-orang Sunda.
Kerajaan Pajajaran bukanlah satu-satunya kerajaan Sunda yang pernah berdiri di
tanah Sunda. Ia hanyalah satu mata rantai dari rangkaian panjang sejarah kerajaan-kerajaan
yang pernah ada yang bermuara pada Kerajaan Tarumanegara yang didirikan oleh Purnawarman pada pertengahan abad 5 M. dan kerajaan ini masih berdiri hingga abad 7 M.18 Pada
tahun 670, Tarusbawa, raja ke-13 yang naik tahta tahun 669 menggantikan mertuanya,
mengganti nama Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda. Setelah itu kerajaan ini pun
mengalami pasang surut. Terpecah menjadi Kerajaan Sunda di Pakuan (Bogor) dan Galuh
di Kawali (Ciamis); bersatu kembali di bawah kekuasaan Rakeyan Jamri yang dikenal
sebagai prabu Harisdarma atau Sanjaya; berganti-ganti ibukota kerajaan dari Galuh ke
Pakuan atau sebaliknya. Mengalami masa kejayaan dan keemasan di bawah Sri Baduga
Maharaja alias Prabu Siliwangi yang bertahta dari 1482-1521 dan menjadi raja pertama
dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya menderita
kehancuran sejak masa Prabu Surawisesa Jayaperkosa alias Ratu Sang Hyang sampai
Raja Mulya alias Prabu Surya Kencana, yang dalam Carita Parahyangan dikenal sebagai Nusa
Mulya, yang bertahta dari 1567-1579.
Patut dikemukakan di sini bahwa sebagai pewaris dan penerus tradisi Tarumanegara,
Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi sendiri pada dasarnya adalah kerajaan dan raja
Hindu di mana Purnawarman menganggap dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu. Atau,
paling tidak perpaduan antara kepercayaan lokal, Sunda Wiwitan, dengan agama Hindu
dan Buddha. Kalau Kerajaan Sunda Galuh ditaklukan oleh Majapahit yang sama-sama
kerajaan Hindu, maka Pajajaran mengalami kekalahan oleh rangkaian serangan dari Kesultanan
Banten dan Cirebon yang Islam. Kesultanan Banten dan Cirebon adalah perpanjangan
tangan dari Kerajaan Islam Demak yang kemudian menjadi dua pusat kekuasaan Islam
di Jawa Barat. Karena itu, mengiringi kekalahan Kerajaan Pajajaran oleh Kesultanan Banten
17
George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, terj. Winarsih Partaningrat Arifin (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), h. 320.
18
Ibid., h. 88.
418
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
maka proses Islamisasi di wilayah Pajajaran pun semakin intens, sehingga akhirnya rakyat
Pajajaran menerima dan menjadikan Islam sebagai agama anutan mereka. Meskipun
rakyat Pajajaran telah menganut agama Islam, akan tetapi kenangan tentang Prabu Siliwangi
dan Kerajaan Pajajaran sebagai raja dan kerajaan Sunda tampaknya sulit dihapuskan dari
memori kolektif orang-orang Sunda. Karena itu, menarik dikemukakan di sini apa yang
dikatakan oleh Wibisana tentang ambivalensi orang-orang Sunda, bahwa sesungguhnya
“junjungan orang Sunda sampai saat ini sebenarnya ada dua, yakni Nabi Muhammad
(bila mereka menempatkan diri sebagai umat Islam) dan Prabu Siliwangi (bila mereka
sedang menyadari kesundaannya).”19
Menurut hikayat Carita Parahyangan, ketika kerajaan Pajajaran mengalami kemunduran dan kemudian hancur oleh kekuatan Banten yang Islam, ibukota kerajaan sudah
tidak lagi bertempat di Pakuan, melainkan di Pulasari, Pandeglang atau di Keduhejo, Kecamatan
Menes. Rakyat kerajaan Pajajaran yang tidak mau menerima agama Islam yang didakwahkan
oleh kesultanan Banten inilah yang di kemudian hari menjadi bagian dari orang-orang
Sunda dan dikenal sebagai orang-orang Baduy, dan mereka tetap mempertahankan kepercayaan
lama dan tradisi leluhur Pajajaran yang kemudian disebut mereka sebagai Agama Sunda
Wiwitan.
Wildan, mengutip Djatisunda (1992:2-3), mengatakan bahwa orang-orang Baduy
menyebut orang-orang Sunda yang beragama Islam sebagai “Sunda Eslam,” yang berarti
bahwa sekalipun berbeda agama tetapi secara etnik mereka menganggapnya tidak ada
perbedaan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang benar demikian adanya?
Bowie mengatakan bahwa batas-batas identitas bersifat contested, yaitu bahwa penarikan
batas-batas dilakukan dalam hubungan kontestasi antara berbagai kelompok sosial. Selain
ini, bahwa orang-orang Baduy menyebut orang-orang Sunda Priangan sebagai Urang Wetan
(Orang Timur). Ini berarti bahwa boleh jadi mereka menganggap orang-orang Sunda
Priangan, seperti mereka, sebagai sama-sama orang Sunda. Tetapi istilah “Urang Wetan”
bukanlah ungkapan biasa yang tanpa makna. Istilah “Urang Wetan” merupakan stereotype
yang dibuat orang Sunda Baduy yang dikenakan terhadap Sunda Priangan untuk membedakan bahwa secara kultural mereka berbeda. “Urang Wetan” berarti orang-orang Sunda
yang berada timur (mencakup Bandung, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur,
Sukabumi, dan Bogor) di mana mereka telah mengalami dominasi Majapahit-Hindu dan
Mataram-Islam dan, karena itu, budaya mereka telah dipengaruhi kebudayaan Jawa.
Kalau orang Sunda Baduy masih mempertahankan cara bercocok tanam padi huma
(berladang), maka orang Sunda Priangan dengan cara bersawah; kalau orang Sunda Baduy
dalam pergaulan sosial masih memperlihatkan sikap egaliter, maka orang Sunda Priangan
lebih bersifat feodal.
19
Wahyu Wibisana, “Pengaruh Islam terhadap Budaya Sunda (Catatan Perbandingan dan
Pencerahan,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab
dan Humaniora, Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati, 2010), h. 95.
419
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Adanya proses Islamisasi tatar Sunda yang dilakukan oleh kesultanan Banten dan
kesultanan Cirebon sebagai perpanjangan tangan Demak dan Mataram Islam yang berakibat pada terjadinya “Jawanisasi” terhadap kebudayaan Sunda diakui oleh Kahmad. Ia
mengemukakan contoh pengaruh kebudayaan Jawa terhadap kebudayaan Sunda tersebut,
selain dalam hal bertani dan pergaulan sosial di atas, juga ditunjukkan oleh adanya undakusuk (tatakrama) dalam bahasa Sunda yang mengindikasikan feodalisme dalam sistem
sosial masyarakat Sunda. Undak-usuk dalam bahasa Sunda merupakan pengaruh dari
tatakrama bahasa kromo-inggil (ditujukan kepada priyayi) dan ngoko (ditujukan kepada
masyarakat biasa) sehingga dalam bahasa Sunda pun dikenal bahasa Sunda lemes (halus)
yang ditujukan kepada para menak (priyayi) dan bahasa Sunda kasar yang ditujukan kepada
masyarakat biasa.
Berharap pada Provinsi Pasundan
Masa reformasi adalah masa euforia kebebasan. Dengan alasan demokratisasi maka
rakyat bebas mengemukakan pendapat dan menyatakan kehendaknya. Hal ini didukung
oleh kebijakan pemerintah sendiri dengan mengeluarkan kebijakan Otonomi Daerah (Otda)
untuk mengurangi beban kerja pemerintah pusat dan membaginya dengan pemerintah
daerah. Sejalan dengan kebijakan Otda dan kebebasan menyatakan kehendak, maka inisiatif
pemekaran wilayah atau daerah pun bermunculan, baik di tingkat provinsi, kabupaten/
kota, bahkan sampai ke tingkat desa.
Di Jawa Barat, salah satu daerah yang berusaha memisahkan diri dan membentuk
provinsi sendiri terpisah dari Jawa Barat adalah Banten, yang sebelumnya dikenal sebagai
Keresidenan Banten yang mencakup 3 kabupaten (Serang, Pandeglang dan Lebak) dan
satu kota Cilegon. Dengan alasan menuntut realisasi janji pemerintah masa Presiden
Soekarno dan kurangnya perhatian dari pemerintah provinsi Jawa Barat, maka akhirnya
pada tahun 2000 Banten pun berdiri menjadi provinsi sendiri.
Wacana pemekaran dan pembentukan provinsi dan kabupaten baru menjadi fenomena
umum pasca Reformasi, dan pemekaran wilayah Jawa Barat dengan pembentukan provinsi
baru yaitu provinsi Banten merupakan proses pemekaran yang terjadi pada masa-masa
awal sekali. Pemisahan Banten dari provinsi Jawa Barat sangat melukai perasaan orangorang Sunda, khususnya di Priangan, bukan hanya karena pemerintah provinsi Jawa Barat
telah berusaha memberikan perhatian yang lebih dengan melakukan pembangunan
untuk kemajuan Banten, melainkan lebih disebabkan oleh faktor sentimen etnisitas di mana
Banten dan Jawa Barat sama-sama daerah mayoritas etnik Sunda. Dalam konteks hubungannya
dengan etnik Jawa perpisahan Banten dengan Jawa Barat menjadi pukulan tersendiri dan
menorehkan rasa malu berikutnya pada sejarah orang-orang Sunda. Memang di kalangan
etnik Jawa pun terdapat desakan di beberapa daerah untuk membentuk provinsi sendiri
terpisah dari provinsi-provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sudah ada, seperti provinsi
Banyumas, Daerah Istimewa Surakarta, provinsi Muria Raya, provinsi Jawa Utara, dan
420
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
provinsi Madura. Tetapi hal itu hanya menjadi wacana yang sampai sekarang tidak pernah
terjadi.
Setelah Banten memisahkan diri, sebagian orang Sunda berusaha memunculkan
lagi isu ke-Sunda-an. Dengan mengemukakan alasan bahwa provinsi Jawa Barat sekarang
tidak lagi berada di bagian barat Pulau Jawa dan mengenang kembali nama “Pasundan”
pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), mereka pun mengajukan untuk mengganti
nama provinsi Jawa Barat menjadi provinsi Pasundan. “Pasundan” berarti hal-hal yang
berkaitan dengan Sunda dan, karena itu, dengan nama “Pasundan” diharapkan memberikan
kesan khusus terhadap orang lain yang mendengarnya. Seperti nama “Priangan” atau
“Parahyangan” yang menyiratkan tentang keindahan alam tatar Sunda sebagai tempat
bersemayamnya para dewa (hyang) yang hidup di alam surgawi.
“Pasundan” memang pernah menjadi nama dari sebuah negara bagian dari Republik
Indonesia Serikat (RIS), yaitu “Negara Pasundan.” “Negara Pasundan” adalah bentukan
Belanda pada tanggal 24 April 1948 yang secara historis dianggap sebagai upaya Belanda
untuk memecah belah Indonesia. Karena itu, ketika “Negara Pasundan” didirikan, masyarakat
Sunda terpecah. Sementara orang-orang Sunda Priangan menerima, tetapi orang-orang
Sunda Banten menolaknya. Ketika Presiden Soekarno mengembalikan bentuk negara federasi
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Banten mendukung kebijakan politik
tersebut. Itulah sebabnya Presiden Soekarno merasa “berutang budi” dan berjanji kepada
Banten untuk menjadikannya sebuah provinsi. Dalam pandangan orang Sunda Banten,
keinginan orang-orang Sunda Priangan mengambil kembali nama “Pasundan” sebagai
nama provinsi Jawa Barat dengan merujuk kepada sejarah “Negara Pasundan” justru
menyiratkan sejarah kelam Sunda itu sendiri.
Provinsi Pasundan memang kemudian tidak terwujud. Tetapi tidak teralisasinya
provinsi Pasundan ternyata bukan karena bercermin pada sejarah masa lalu, melainkan
karena adanya resistensi dari Cirebon. Keresidenan Cirebon yang mencakup Ciayumajakuning
(Kota dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indaramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten
Kuningan) menolak adanya usaha penggantian nama provinsi Jawa Barat menjadi provinsi
Pasundan, dan seandainya usaha tersebut terus dilakukan maka mereka mengancam akan
memisahkan diri dan membentuk provinsi sendiri. Sekalipun telah membentuk presidium
dan pembentukan provinsi Cirebon telah dideklarasikan, namun kemudian provinsi itu
ternyata tidak terbentuk, begitu pula provinsi Pasundan.
Masyarakat di Wilayah Cirebon, khususnya Kota dan Kabupaten Cirebon serta Kabupaten
Indramayu, kebanyakan adalah orang-orang Jawa. Karena itu, sekalipun Cirebon terletak
di Jawa Barat yang didominasi oleh orang-orang Sunda, tetapi bagi orang-orang Cirebon
nama “Pasundan” dianggap terlalu eksklusif. Selain itu, sebagai salah satu pusat penyebaran
agama Islam di Jawa Barat Cirebon memiliki kebanggaan tersendiri dan ini menjadi bagian
dari alat bagi orang-orang Jawa Cirebon untuk bernegosiasi dalam kancah wacana pembentukan provinsi Pasundan.
421
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Di lain pihak, gagalnya pembentukan provinsi Cirebon ternyata bukan karena gagalnya
penggantian nama provinsi Pasundan, sehingga orang-orang Cirebon merasa masih
terakomodasi dalam provinsi Jawa Barat. Sebagaimana diberitakan dalam Berita Cirebon,
gagalnya pembentukan provinsi Cirebon ternyata lebih disebabkan adanya penolakan untuk
bergabung dari Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka.20 Meski alasan yang
dikemukakan Yudi Budyana, Ketua DPRD Kuningan, bahwa penolakan Kabupaten
Kuningan bukan karena perbedaan kultur, melainkan terlalu dini, emosional, dan cenderung
mengandung muatan politik dari pihak-pihak yang kecewa, tetapi tampaknya nuansa
perbedaan etnik dan budaya tetap berperan. Mayoritas penduduk Kabupaten Kuningan
dan Kabupaten Majalengka adalah etnik Sunda. Sementara itu, masyarakat di Kota dan
Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu didominasi oleh etnik Jawa. Orang-orang
Jawa di Wilayah Cirebon sendiri sebenarnya berada di persimpangan jalan, karena meski
mereka Jawa tetapi kultur dan bahasa Jawa mereka ternyata sangat berbeda dengan
kultur dan bahasa Jawa daerah lainnya.21 Mereka tampaknya menyadari hal itu. Karena
itu, mereka lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai “orang Cirebon” dari pada sebagai
orang Jawa, sehingga dalam Sensus Penduduk Tahun 2000 terdapat kategori kelompok
etnik “Cirebon.”22
Nasib Orang yang Tidak Putus Dirundung Malang
Apabila, seperti dikemukakan Wildan di atas, orang-orang Sunda Baduy yang mempertahankan Agama Sunda Wiwitan masih menganggap orang-orang Sunda yang beragama
Islam sebagai sama-sama orang Sunda, tetapi mengapa orang-orang Sunda yang beragama
Islam mengidentifikasi “Sunda” dengan “Islam”?
Seperti dikemukakan di atas, secara kuantitas etnik Sunda adalah etnik nomor dua
terbesar. Sekalipun demikian, jarang orang-orang Sunda yang muncul dalam percaturan
sosial dan politik Indonesia. Dalam kaitannya dengan masalah ini menarik untuk disimak
apa yang dikatakan Hasbullah dalam tulisannya di atas bahwa sejarah Sunda adalah sejarah
kekalahan:
Secara historis, sejarah Sunda –dibandingkan dengan Jawa misalnya- adalah sejarah
yang kalah. Kerajaan-kerajaan Sunda seperti Tarumanegara, Galuh, Pajajaran dan
Sumedang Larang, adalah kerajaan-kerajaan lokal dan tidak ekspansionis sehingga
tidak memiliki supremasi besar seperti luasnya pengaruh dan banyaknya taklukan
kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Sunda adalah taklukan kerajaan Majapahit, Mataram
20
Berita Cirebon, 10 Maret 2009 dan 19 Agustus 2009.
Seorang teman dari Solo pernah menceritakan pengalamannya ketika ia bertandang ke
Cirebon. Ia mengatakan bahwa ia merasa asing dan ketika berkomunikasi, ia tidak mengerti sama
sekali bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang-orang Cirebon.
22
Leo Suryadinata, et al., Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political
Landscape (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), h. 7.
21
422
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
dan Demak. Identitas asli kebudayaan Sunda pun karam dalam hegemoni kebudayaan
yang lebih besar seperti Jawa, Islam dan Barat.23
Dari pernyataan Hasbullah di atas maka dapat dikatakan bahwa, kecuali orangorang Baduy yang dianggap sebagai pewaris dan penerus budaya Sunda Pajajaran dengan
agama Sunda Wiwitannya, orang-orang Sunda pada umumnya mengalami kehilangan
identitas setelah mengalami penaklukan yang terus menerus oleh kerajaan-kerajaan Jawa
sejak sebelum zaman Majapahit, Banten dan Cirebon. Penaklukan oleh Demak dan Mataram
Islam memang membawa dampak pada diperkenalkannya agama Islam pada masyarakat
Sunda sehingga terjadi proses Islamisasi Sunda. Akan tetapi, seperti dikatakan Kahmad,
Islamisasi Sunda ini ternyata tidak lepas dari proses Jawanisasi sehingga secara kultural
budaya Sunda pun mengalami “kontaminasi.”
Kekalahan secara politik dan budaya masa silam ini berakibat pula pada kalahnya
orang-orang Sunda masa kini dalam konteks percaturan politik-kekuasaan nasional.
Pada masa kolonial Bandung pernah menjadi semacam kawah candradimuka bagi orangorang yang aktif dalam bidang politik. Dari sinilah lahir tokoh-tokoh kaliber nasional, bahkan
internasional, seperti Soekarno, M. Natsir, dan lain-lain. Ironisnya, Soekarno sendiri adalah
orang Jawa, sedangkan M. Natsir berasal dari Sumatra.24 Bandung sendiri, bersama-sama
dengan Garut, Tasikmalaya, dan Sukabumi, kini hanya melahirkan artis-artis25 dan hanya
menjadi salah satu pusat seni dan mode.
Setelah Pajajaran tidak dapat diharapkan, diperkenalkannya Islam sepertinya membawa angin segar bagi masyarakat Sunda yang ingin mempertahankan identitasnya. Dalam
hal ini, Islam menjadi alternatif untuk membangun kembali budaya Sunda, sehingga Islam
menjadi sumber rujukan dalam merajut kembali nilai-nilai budaya Sunda yang telah “terkontaminasi.” Dengan dijadikannya Islam sebagai sumber rujukan, maka akan memberikan
ciri tersendiri bagi budaya Sunda dan dapat membedakannya dari budaya Jawa yang
sarat dengan kepercayaan dan tradisi mistiknya.
Memang Islam masuk ke masyarakat Sunda lewat penaklukan oleh kerajaan-kerajaan
Jawa, dan mayoritas masyarakat Jawa menganut agama Islam. Tetapi Islam yang masuk
ke Jawa dan diterima oleh masyarakat Jawa mengalami proses Jawanisasi dalam pengertian
disaring dan disesuaikan dengan kebudayaan Jawa. Dalam terminologi antropologi, Islam
yang masuk ke Jawa lebih bersifat asimilatif di mana Islam mengalami proses adaptasi
terhadap kebudayaan Jawa. Orang Jawa lebih bangga dengan budayanya, sehingga para
wali yang menyebarkan agama Islam pun harus menyesuaikan diri terhadap alam pemikiran
23
Hasbullah, “Islam, Sunda dan Tantangan Modernitas,” h. 128.
Pada masa kemerdekaan orang-orang Sunda yang pernah naik ke panggung kekuasaan
tingkat nasional di antaranya adalah Ali Sadikin, Umar Wirahadikusumah, Ginanjar Kartasasmita,
Agum Gumelar, Mochtar Kusumaatmaja, dan Rachmat Witoelar.
25
Seperti penyanyi dangdut Elvi Sukaesih, Rhoma Irama, Dessy Ratnasari, Nike Ardila,
Iwa Kusuma, dan Evie Tamala.
24
423
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
orang Jawa. Sehingga, sekalipun para wali rata-rata berasal dari kalangan orang Jawa
dan orang Jawa yang beragama Islam lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang
Sunda, tetapi tidak pernah muncul di kalangan masyarakat Jawa ungkapan yang membanggakan bahwa “Jawa adalah Islam”. Di kalangan masyarakat Jawa justru lebih terkenal
istilah “Kejawen” yang merupakan bentuk tradisi di mana berbagai kepercayaan yang diterima
diramu dalam bingkai budaya Jawa. Dengan demikian, identifikasi budaya dan etnik Sunda
dengan Islam, maka orang-orang Sunda dapat membedakan dirinya dengan etnik dan
budaya Jawa.
Penutup
Dalam karangka pemikiran Struktural-Fungsional masyarakat digambarkan sebagai
terdiri dari sejumlah struktur yang memiliki fungsi sendiri sehingga menciptakan equilibrium
yang harmonis. Supaya tercipta masyarakat yang harmonis, maka setiap individu anggota
masyarakat diharapkan dan diharuskan menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai, normanorma dan aturan yang menjadi pegangan bersama, dan demi terciptanya masyarakat yang
seimbang dan harmonis nilai dan norma-norma tersebut tidak hanya harus disosialisasikan
melainkan juga harus dipaksakan, karena pelanggaran terhadap norma dan aturan bersama
akan merusak ikatan solidaritas sosial. Dari kacamata ini maka perubahan budaya dan
perubahan sosial merupakan sesuatu “haram.”
Menjaga dan mempertahankan kebudayaan suatu masyarakat tidak lepas dari peranan
para elit masyarakat yang bersangkutan. Di tangan para elit inilah suatu tindakan atau
perbuatan yang dilakukan anggota masyarakat dinilai sebagai sesuai atau tidak dengan
kebudayaan mereka. Sebagai organisme masyarakat mengalami perkembangan. Kontak
antara budaya, yang terjadi lewat individu maupun kelompok-kelompok sosial, memungkinkan terjadinya perubahan kebudayaan suatu masyarakat. Tetapi tetap saja di tangan
para elit inilah unsur-unsur budaya yang masuk disaring, diolah, ditolak atau ditetapkan
untuk menjadi bagian dari kebudayaannya. Dengan kata lain, perubahan diterima selagi
tidak membuat struktur sosial yang lebih besar mengalami perubahan radikal. Itulah sebabnya
pendekatan Struktural-Fungsional kerap dianggap sebagai pendekatan yang mendukung
status quo.
Dalam konteks hubungan antara Islam dan Sunda, pernyataan “Sunda adalah Islam”
dapat dikatakan sebagai upaya dari sekelompok elit orang Sunda dalam mengkonstruksi
identitas etnik Sunda, yaitu dengan membedakannya dari budaya etnik Jawa, di satu
pihak; dan mengidentikkan Sunda dengan Islam, di pihak lain. Sejarah kekalahan etnik Sunda
yang terus menerus oleh kekuatan etnik Jawa memberikan pelajaran kepada elit-elit Sunda
untuk menarik batas yang tegas dengan mengidentikkan Sunda dengan Islam.
Mereka menyaring, mengolah, menolak dan menegaskan unsur-unsur budaya apa
saja yang harus menjadi identitas Sunda. Dengan mengolah, menolak atau membuat penegasan
424
Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas
terkait kebudayaan Sunda sama artinya dengan mereka mempertahankan statusnya sebagai
kalangan elit, sedangkan status sosial kelompok elit pada suatu masyarakat tertentu adalah
status istimewa yang berimplikasi pada hak-hak yang juga istimewa. Terkait dengan perilaku
para elit Sunda di atas serta implikasinya maka seolah diingatkan oleh Henley dan Jamie
Davidson26 yang mengatakan bahwa dalam melihat gerakan kebangkitan masyarakat
adat dewasa ini harus diperhatikan sejauh mana mereka yang berbicara atas nama komunitas
adat mewakili warga komunitasnya, karena bisa jadi gerakan ini hanya menjadi tunggangan
politik segelintir orang demi mengejar dan mempertahankan kekuasaan atau kepentingan
pribadi. Dengan nada yang sama di sini bisa juga ditanya apakah dalam identifikasi Sunda
dengan Islam atau pemberlakuan Perda Syariat di beberapa kabupaten di Jawa Barat
merepresentasikan kehendak masyarakat Sunda atau jangan-jangan sekedar tunggangan
politik para elit Sunda untuk mempertahankan status quo demi kekuasaan dan kepentingan
pribadi belaka.
Pustaka Acuan
Alwasilah, Chaedar. “Islamic Thoughts and Sundanese Values,” makalah disampaikan pada
acara International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values,
9 Januari 2009.
Bowie, Fiona. The Anthropology of Religion. Oxford, Blackwell Publishers, 2001.
Buhanan, Paul and Mark Glazer (ed.). High Points in Anthropology. New York: Alfred A. Knopf,
1988.
Coedes, George. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, terj. Winarsih Partaningrat Arifin.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.
End, TH. Van Den (ed.). De Nederlandse Zendings-Vereniging in West Java 1858-1963, Uitgave
Van De Raad Voor De Zending der Ned. Herv. Kerk, De Zending Der Gereformeerde Kerken
in Nederland En De Gereformeerde Zendingsbond in De Ned. Herv. Kerk, 1991.
Ekadjati, Edi S. “Islam, Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda,” dalam Moeflich
Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010.
Eriksen, Thomas Hylland. Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives. London:
Pluto Press, 1995.
Hasbullah, Moeflich. “Islam, Sunda dan Tantangan Modernitas,” dalam Moeflich Hasbullah
(ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010.
Henley, David dan Jamie Davidson. “Pendahuluan: Konservatisme Radikal-Aneka Pajah
26
David Henley dan Jamie Davidson, “Pendahuluan: Konservatisme Radikal-Aneka Wajah
Politik Adat,” dalam David Henley, et al. (peny.), Adat dalam Politik Indonesia, terj. Emilius Ola
Kleden dan Nina Dwisasanti (Jakarta: Yayasan Obor, 2010), h. 6.
425
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Politik Adat,” dalam David Henley, et al. (peny.). Adat dalam Politik Indonesia, terj.
Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti. Jakarta, Yayasan Obor, 2010.
Http://penelitianku.wordpress.com/2009/03/04/islam-priangan-pergulatan-identitasdan-politik-kekuasaan/
Kahmad, Dadang. “Agama Islam dan Budaya Sunda,” makalah disampaikan pada acara
International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values, 9
Januari 2009.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Sam, A. Suhandi, et al. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986.
Sumardjo, Jakob. “Islam dan Sunda dalam Mitos: Pandangan Manusia Sunda Masa
Kini Hubungannya dengan Islam,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah
Islam Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati, 2010.
Suryadinata, Leo, et al., Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political
Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003.
Wibisana, Wahyu. “Pengaruh Islam terhadap Budaya Sunda (Catatan Perbandingan dan
Pencerahan,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung:
Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010.
Wildan, Dadan. “Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda,” dalam Studi Sejarah Islam
Sunda, dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung: Fakultas
Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010.
426
Kontributor
Volume XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Hadis Purba
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Master of Arts
(MA) di bidang Pendidikan Islam dari IAIN Sumatera Utara, Medan.
M. Yasir Nasution
Dosen Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Doktor dalam bidang
Pengkajian Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Said Aqil Siradj
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Memperoleh gelar Master of
Arts (MA) dan Doktor dalam bidang Tasawuf dari Universitas Ummul Qura, Madinah.
Saleh P. Daulay
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Memperoleh
gelar Magister Agama (M.Ag.) dalam bidang Pemikiran Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Master of Arts (MA) dalam bidang Filsafat dari Universitas Indonesia dan Colorado
State University, USA., sedangkan gelar Doktor dalam bidang Pemikiran Islam diperoleh
dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Syamruddin
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru. Memperoleh gelar Magister
Agama (M.A.g) dalam bidang Tafsir dari UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru dan Doktor
dalam bidang yang sama dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
Suaidi Asyari
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Memperoleh gelar Master
of Arts (MA) dalam bidang Islamic Studies dari McGill University, dan Ph.D dari University
of Melbourne, Australia, serta Doktor dalam bidang Sejarah dan Peradaban Islam dari
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
427
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
Rozalinda
Dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol, Padang. Memperoleh gelar Magister Agama
(M.Ag.) dalam bidang Ilmu Syari’ah dan gelar Doktor dalam bidang Ekonomi Islam dari
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Syukri Iska
Dosen jurusan Syariah STAIN Batusangkar. Memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag.)
dalam pengkajian Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan gelar Ph.D di bidang
Studi Keuangan Islam jurusan Shari‘a and Management, Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
Ikhwan
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol, Padang. Memperoleh gelar Magister Agama
(M.Ag.) dan Sarjana Hukum (SH) Universitas Andalas, Padang, serta Doktor dalam bidang
Hukum Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dedy Sumardi
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Meraih gelar Magister Agama (M.Ag.)
dari IAIN Ar-Raniry dalam bidang Fiqih Modern.
Bahrul Ulum
Dosen Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Memperoleh gelar Magister
Agama (M.Ag.) dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kandidat Doktor pada program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Abdul Syukur
Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.
Memperoleh gelar Master of Arts (MA) bidang Religious Studies dari School of Oriental and
African Studies, University of London, Inggris dan Doktor bidang Antropologi dari Universitas
Indonesia.
428
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada mitra bestari/penyunting
ahli dalam proses penerbitan MIQOT Volume XXXV Nomor 2, Juli-Desember 2011 atas kontribusi
mereka dalam mereview dan mengomentari artikel-artikel dalam edisi ini.
Mereka adalah:
1. Prof. Dr. Hasan Bakti Nasution, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan)
2. Prof. Dr. Amroeni Drajat, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan)
3. Prof. Dr. Sofyan Safri Harahap (Universitas Tri Sakti, Jakarta)
4. Prof. Dr. Ramli Abdul Wahid, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan)
5. Prof. Dr. Gunaryo, MA (Institut Agama Islam Negeri Wali Songo, Semarang)
6. Prof. Dr. Amiur Nuruddin, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan)
7. Prof. Dr. Syafrinaldi, MA (Universitas Islam Riau, Pekan Baru)
8. Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan)
9. Dr. Sahiron Syamsuddin, MA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
429
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
INDEKS PENULIS
MIQOT Vol. XXXV No. 1 dan 2 Tahun 2011
No
Penulis
Judul Tulisan
Halaman
1
Abd Mukhsin
Pergeseran Sikap Hakim Pengadilan Agama di
Kota Medan dalam Penetapan Ahli Waris
Pengganti Sebelum dan Sesudah KHI
142-161
2
Abdul Syukur
Islam, Etnisitas dan Politik Identitas: Kasus Sunda
408-427
3
Bahrul Ulum
Fatwa of the Council of the Indonesian Ulama
on Golput (Vote Abstention): A Study of
Contemporary Islamic Legal Thought in
Indonesia, 2009
391-407
4
Dedy Sumardi
Hudûd dan HAM: Artikulasi Penggolongan
Hudûd Abdullahi Ahmed an-Na’im
372-390
5
Faisar Ananda Arfa
Islam dan Etika Pluralisme
94-112
6
Hadis Purba
Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan
Tentang
Tuhan
t
209-226
7
Hamidah
Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid–
KH. Abdurrahman Wahid: Memahami
Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam
78-93
8
Ikhwan
Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM pada
Masa Rasulullah SAW.
350-371
9
Jumino Suhadi
Methapor as a Stylistic Divice of Islamic Teaching
187-202
10
L. Hidayat Siregar
Tarekat Naqsyabandiyah Syaikh Abdul Wahab
Rokan: Sejarah, Ajaran, Amalan dan Dinamika
Perubahan
59-77
11
M. Yasir Nasution
Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut
al-Ghazâlî
227-241
12
Mhd. Asaad
Peningkatan Peranan Perbankan Syariah untuk
Pembiayaan Usaha Pertanian
113-127
13
Muhibbuthabry
Peran LPTK dalam Pembentukan Tenaga
Profesional Berbasis Syariat Islam di Aceh
174-186
14
Muzakkir
Relevansi Ajaran Tasawuf pada Masa Modern
430
37-58
Indeks Penulisan
15
Ridwan Nurdin
Pengelolaan Zakat di Aceh Pasca Deklarasi
Syariat Islam
128-141
16
Rozalinda
Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang
314-330
17
Saleh P. Daulay
Philosophical Arguments of Bodily Resurrection:
Reconsidering Mullâ Shadrâ’s Eschatological
Thought
258-274
18
Said Aqil Siradj
Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas
Pembumian Ajaran Tasawuf
242-257
19
Suaidi Asyari
Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di
Indonesia: From Part of Problem to be Part of
Solution
295-313
20
Syamruddin
Hermeneutika Fazlur Rahman: Upaya Membangun
Harmoni Teologi, Etika dan Hukum
275-294
21
Syukri Isyka
Dilema Skim Murâbahah pada Perbankan Syariah
331-349
22
Tajul Arifin
The Application of Capital Punishment: An
Analisys of the Social Impact in Saudi Arabia
and the United States
162-173
23
Wan Jamaluddin Z.
Russian Scholars and the Qur’ân: Historical
Perspective of the Development of Russian
Orientalists in the 19-20th Centuries
26-36
24
William R. Darrow
Recent Trends in Historical and Literary Study
of the Qur’ân
1-25
431
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
M I QOT
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
Petunjuk Pengiriman Naskah
1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan
atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain;
2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran
tokoh;
3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab;
4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman;
5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah:
a. Judul;
b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail;
c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal
abstrak memuat 80-100 kata;
d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep;
e. Pendahuluan;
f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan);
g. Penutup;
h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk);
6. Sistematika resume hasil penelitian adalah:
a. Judul;
b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail;
c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak
memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian;
d. Kata kunci, antara 3-7 konsep;
e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan
penelitian
f. Metode;
g. Hasil dan pembahasan;
h. Kesimpulan dan saran;
i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk);
7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan
catatan kaki serta pustaka acuan;
8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman;
432
Petunjuk Pengiriman Naskah
9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis,
atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com;
10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut:
= اa
= خkh
= شsy
= غgh
=نn
=بb
=دd
= صsh
=فf
=وw
=تt
= ذdz
= ضdh
=قq
=ﻩh
= ثts
=رr
= طth
=كk
’=ء
=جj
=زz
= ظzh
=لl
= يya
=حh
=سs
`=ع
=مm
Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut:
â = a panjang, seperti, al-islâmiyah
î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah
û = u panjang, seperti al-dustûr
Kata-kata yang diawali dengan alif lam (Çá baik alif lam qamariyah maupun alif lam
syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti
al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah.
11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah.
12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil
dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau
dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara
untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî,
Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl.
13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan:
a. Catatan kaki (foot note)
1
Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min
al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548.
2
Ibid.
3
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78.
4
Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.
5
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.
6
Ibid, h. 224.
433
MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
b. Pustaka Acuan
Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, juz IV. Kairo: t.p., t.t.
Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001.
14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk
oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk
melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari
atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan
secara tertulis;
15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan
melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah;
16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software
komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang
dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya,
menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut;
17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi
pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima
nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua)
eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan
penulis.
434