[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
GURU TELADAN (Profesionalitas dan Komitmen Moral Guru) Oleh: Sri Mardiyah, S.Ag Pendahuluan S ebagaimana diketahui bahwa dalam dunia pendidikan, sosok seorang guru adalah jati diri yang menjadi panutan, terutama bagi peserta didik. Bahkan sejak dulu, guru dikenal sebagai sosok pahlawan: pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, yang menjalankan amanatnya tanpa pamrih. Guru juga dikenal dengan banyak julukan: makhluk serbabisa, interpreter (penafsir), artis, kawan, warga negara yang baik, pembangun manusia, pembawa kultur, pioner, reformer terpercaya, soko guru, bhatara guru, ki ajar, ki guru, sang guru, sang ajar, tuan guru, dan sebagainya. Jika dicermati, keseluruhan gambaran tersebut menegaskan sosok guru sebagai representasi dari kedudukan yang sangat mulia, agung, dan terhormat; atribut yang lengkap dengan kebaikan dan menjelma figur uswatun hasanah, walau tidak sesempurna Rasul (Sagala 2009: 36). Ironisnya, seiring perkembangan zaman, dunia pendidikan dihadapkan pada permasalahan yang sedemikian kompleks, termasuk citra negatif guru sebagai pendidik akibat persoalan profesionalisme dan komitmen moral guru. Hal ini terkait dengan satu fenomena yang disoroti oleh Surakhmad (2009: 29-32) bahwa ada proses kejiwaan ketika pendidik (guru) “harus” memilih antara menerapkan pendidikan tanpa menghiraukan landasan filosofisnya, atau mendalami filosofi pendidikan tanpa menghiraukan penerapannya. Menurut Pak Win, panggilan akrab Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.Ed, yang membuat kegagalan pendidikan tidak lain karena pendidikan mati suri. Pendidikan tidak mampu menawarkan masa depan yang mempunyai masa depan. Filosofi pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai proses yang mengantarkan pendidik, misalnya, kepada esensi pendidikan. Padahal, menurut Pak Win, hakikat filosofi pendidikan yang sesungguhnya bukanlah memuaskan manusia (guru, anak didik, praktisi, pemerintah, dan banyak pihak lainnya) sesuai dengan kepentingannya, melainkan untuk membijaksanakan atau mengarifkan. Pada kondisi sekarang, hakikat inilah yang hampir hilang dalam dunia pendidikan, sehingga yang lebih dikedepankan adalah persoalan capaian prestasi kognitif semata, serta cenderung melupakan aspek afektif dan prikomotoriknya. Yang lebih diutamakan adalah hasil, bukan lagi proses dan bagaimana menerapkan hasilnya. Lihat Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.Ed, Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2009), h. 29-65. Sehubungan dengan hal tersebut, Mulyasa (2005: 20) menegaskan bahwa sebagai pendidik, guru harusnya mampu memahami hakikat filosofi pendidikan serta kondisi-kondisi yang memungkinkan dirinya berbuat salah sehingga mampu menggali esensi pendidikan dan menghindari (atau setidaknya memperkecil peluang terjadinya) kesalahan-kesalahan tersebut. Dari pelbagai kasus yang muncul, Mulyasa mencatat, setidaknya ada 7 kesalahan yang sering dilakukan guru, yakni mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, menunggu peserta didik berperilaku negatif, menggunakan destruktif disiplin, mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik, merasa dirinya sosok yang paling pandai di kelas, tidak mampu berlaku adil (diskriminatif), dan sering memaksakan kehendak kepada peserta didik. Sejalan dengan hal di atas, Rusli Rachman (2009: 20-21) menambahkan bahwa pada kenyataannya memang ada sebagian guru yang kurang memiliki rasa tanggung jawab, baik terhadap prestasi akademik anak didik, sikap dan perilaku anak didik, maupun kondisi lingkungan masyarakatnya. Bahkan lebih parahnya, ada guru yang menjadi bagian dari masalah yang terjadi di masyarakat. Yang menyedihkan lagi, sebagian dari mereka tak menyadari kesia-siaan amal dan pengabdian selama menjadi guru akibat perbuatan tidak profesional dan tidak mendasarinya dengan komitmen moral. Untuk itulah, menurut Sagala (2009: 36), banyak pakar kemudian meniscayakan pencarian solusi untuk bisa mengangkat kembali kewibawaan dan nama baik guru. Dengan demikian, guru dapat menghadirkan kembali manfaat keberadaannya, dibutuhkan oleh perserta didik dan masyarakat luas. Dalam konteks inilah, penulis mencoba memotret karakteristik guru teladan sebagai gambaran guru profesional agar bisa memotivasi pencapaian predikat itu. Menelusuri Makna Guru Teladan Secara etimologis, keteladanan, atau sering disebut kepribadian (personality), berarti sifat hakiki individu atau sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dalam praktiknya, istilah kepribadian ternyata mengandung pengertian yang kompleks sehingga para ahli psikologi kesulitan untuk merumuskan definisi tentang kepribadian secara tepat, jelas, dan mudah dimengerti. Jadi, tidak mengherankan jika masing-masing psikolog memiliki definisi yang berbeda. W. Stern, memaknai kepribadian sebagai person, yakni suatu kesatuan yang dapat menentukan diri sendiri dengan merdeka dan mempunyai dua tujuan: mengembangkan diri dan mempertahankan diri. Gordon W. Allport mengartikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Menurut Witherington, kepribadian merupakan keseluruhan tingkah laku seseorang yang diintegrasikan, sebagaimana yang tampak pada orang lain. Kepribadian ini bukan hanya yang melekat pada diri seseorang tetapi lebih merupakan hasil dari suatu pertumbuhan yang lama dalam suatu lingkungan kultural (Naim 2009: 36-37). Reber mengartikan kepribadian sebagai susunan atau kesatuan antara aspek perilaku mental (pikiran, perasaan, dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata) (Syah 1996: 226), yang masing-masing saling berkaitan secara fungsional dalam diri seorang individu sehingga membuatnya bertingkah laku secara khas dan tetap. George Kelly mendefinisikan kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya (Surya 1996: 59). Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa: Kepribadian selalu berkembang (dinamis); Kepribadian merupakan monodualis (dwitungggal) antara jiwa dan tubuh; Kepribadian individu ada di belakang tingkah laku yang khas; Tidak ada seseorang yang mempunyai dua kepribadian; Kepribadian berfungsi untuk beradaptasi terhadap dunia sekitar (eksklusif). Secara umum,, dapat dipahami bahwa kepribadian merupakan suatu totalitas dan kompleksitas psikofisis yang meliputi sifat-sifat pribadi yang khas dan unik dari individu, yang melekat padanya karena berhadapan dengan lingkungan (untuk adaptasi). Adapun cara atau pendapat yang dikemukakan oleh para ahli psikologi untuk menjelaskan mengenai suatu sifat hakiki manusia yang terintegrasi dan tercermin pada tingkah laku dan sikap seseorang disebut teori kepribadian (Naim 2009: 37-38). Demikian halnya dengan guru, sebagai individu, juga memiliki sejumlah ciri dan sifat yang khas. Bagi guru, kepribadian merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya sebagai pengembang sumber daya manusia. Maka dari itu, setiap calon guru dan guru dituntut memahami karakteristik kepribadian dan kompetensi yang harus ada, diperlukan, dan dikembangkan agar mampu menjadi sosok panutan (teladan) bagi para anak didiknya dan masyarakat. Hal ini telah diatur pula secara konstitusional di dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disebutkan bahwa selain berkepribadian Pancasila dan UUD 1945 yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, guru harus memiliki kualifikasi pendidikan dan keahlian yang diperlukan sebagai tenaga pengajar (kompetensi). Pelbagai hal mengenai kompetensi guru dibahas oleh Janawi dalam Kompetensi Guru: Citra Guru Profesional, (Sungailiat: Shiddiq Press, 2007). Lihat juga Janawi, “Kompetensi Kepribadian Guru”, dalam Zaprulkhan (ed.), Pernak-pernik Wacana Baru Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 73-81. Menurut Hamalik (2000: 34), kepribadian guru mempunyai pengaruh langsung dan kumulatif terhadap hidup dan kebiasaan-kebiasaan belajar anak didiknya. Kepribadian di sini meliputi pengetahuan, keterampilan, idealisme, sikap, dan persepsi yang dimiliki guru tentang orang lain (anak didik dan masyarakat). Hamalik juga mengemukakan sejumlah karaktersitik guru yang (biasanya) disenangi oleh anak didik, yakni: (1) demokratis, (2) suka bekerja sama (kooperatif), (3) baik hati, (4) sabar, (5), adil, (6) konsisten, (7) bersifat terbuka, (8) suka menolong, (9) ramah-tamah, (10) suka humor, (11) memiliki beragam minat, (12) menguasai bahan pelajaran, (13) fleksibel, dan (14) menaruh minat yang baik terhadap anak didik. Memperkuat pernyataan Hamalik di atas, Wijaya (1994: 13-21) menambahkan bahwa untuk mencapai keberhasilan proses belajar-mengajar harus didukung dengan kemampuan pribadi guru. Adapun kemampuan tersebut meliputi; (1) kemantapan dan integritas pribadi, (2) peka terhadap perubahan dan pembaruan, (3) berpikir alternatif, (4) bersikap adil, jujur, dan objektif, (5) berdisiplin dalam melaksanakan tugas, (6) ulet dan tekun bekerja, (7) berusaha memperoleh hasil kerja yang sebaik-baiknya, (8) simpatik dan menarik, (9) luwes, (10) bijaksana dan sederhana dalam bertindak, (11) bersifat terbuka, (12) kreatif, serta (13) kewibawaan seorang guru. Jadi, dapat disimpulkan bahwasanya guru teladan adalah sosok guru yang memiliki sejumlah karakteristik khas. Karakteristik khas ini sangat terkait dengan peran dan fungsi guru sebagai pengembang sumber daya manusia sehingga dituntut pula memiliki kemampuan pribadi yang mampu mengembangkan kualitas sumber daya manusia tersebut, baik pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Kompetensi dan Atribusi Guru Teladan Dalam The Professional Teacher (2009: x), yang dikutip Sagala (2009: 21-22), Norlander-Case, Reagen, dan Charles Case mengungkapkan bahwa tugas mengajar merupakan profesi moral yang mesti dimiliki oleh seorang guru. Sejalan dengan hal tersebut, Zakiah Darajat menyatakan bahwa persyaratan seorang guru bukanlah sembarangan sebab di samping harus memiliki kedalaman ilmu pengetahuan dan sehat jasmani, ia juga mesti seorang yang bertakwa kepada Allah dan mempunyai akhlak atau berkelakuan baik (akhlakul karimah). Jadi dapat dipahami bahwa Artinya, kepribadian yang luhur, mulia, dan bermoral adalah syarat krusial bagi seorang guru. Dengan demikian, ia mampu menjadi cermin yang memantulkan semua akhlak mulia dan memberi keteladanan bagi seluruh anak didiknya. Secara sederhana dapat mudah dipahami bahwa guru yang tidak bertakwa sangat sulit atau tidak mungkin bisa menjelmakan anak-anak didiknya orang-orang yang bertakwa kepada Allah. Begitu pula guru yang tidak memiliki akhlak yang mulia atau budi pekerti yang luhur, tidak akan mungkin mampu menjadikan anak-anak didiknya sebagai orang-orang yang berakhlak mulia (Sagala 2009). Padahal, pendidikan moral atau akhlak merupakan tujuan utama dari pendidikan, terutama pendidikan Islam (Munawar-Rachman 2006: 2422). Di sini berlaku sebuah adagium Arab klasik, al-insan la yu'thi illa ma lahu: manusia tidak akan mampu memberi sesuatu kepada orang lain kalau ia sendiri tidak memiliki sesuatu itu sendiri (Madjid 1995: 110; Shihab 2001: 303). Artinya, profesi moral seorang guru meniscayakan ia (mampu) menjadi suri teladan bagi anak-anak didiknya. Sebagai teladan bagi anak didiknya, guru harus memiliki sikap dan kepribadian utuh, bukan kepribadian yang terpecah (split personality), dalam seluruh segi kehidupannya. Oleh karenanya, guru harus selalu (berusaha) memilih, memilah, dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan anak-anak didiknya. Secara umum, Sagala (2009: 34) menyebutkan kompetensi kepribadian yang harus dimiliki seorang guru, yakni meliputi; (1) kemampuan mengembangkan kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, dan (3) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sementara menurut Janawi, kompetensi kepribadian guru meliputi: (1) berjiwa pendidik dan bertindak sesuai dengan norma yang berlaku; (2) jujur, berakhlak mulia dan menjadi teladan; (3) dewasa, stabil, dan berwibaha; (4) memiliki etos kerja, tanggung jawab, dan percaya diri. Ibid. Jadi, dapat dikatakan bahwa kompetensi kepribadian terkait dengan penampilan sosok guru sebagai individu yang mempunyai kedisiplinan, berpenampilan baik, bertanggungjawab, memiliki komitmen, dan menjadi teladan. Di sini, untuk bisa menjadi suri teladan, jabatan guru haruslah menjadi pilihan utama yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, sebagai pilihan kesekian atau bahkan “pelarian”, disebabkan tidak (mungkin) diterima bekerja di tempat lain, atau karena situasi terpaksa. Jika ini yang terjadi, tidak mengherankan apabila guru tersebut memiliki dedikasi yang rendah. Pada konteks ini, yang patut dipahami juga bahwasanya tugas dan tanggungjawab guru bukan sekadar transfer of knowledge --mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik-- tapi juga berkewajiban membentuk watak dan jiwa anak didik dengan berpedoman pada nilai-nilai ajaran agama. Di sini nampak bagaimana kompleksitas tugas dan tanggung jawab guru terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Lihat Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.Ed, Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2009). Lantas muncul pertanyaan, mengapa seorang guru harus menjadi teladan bagi anak didik dan apa pengaruhnya. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwasanya kepribadian guru mempunyai pengaruh langsung dan kumulatif terhadap perilaku anak didik, baik positif maupun negatif. Perilaku yang terpengaruh itu antara lain: kebiasaan belajar, disiplin, hasrat belajar, dan motivasi belajar. Jika kepribadian yang ditampilkan guru dalam mengajar sesuai dengan harapan anak didik, maka mereka akan termotivasi untuk belajar dengan baik, begitu juga sebaliknya. Sehubungan dengan motivasi belajar, Natawidjaya (1988: 22) menunjukkan fenomena yang terjadi di lapangan bahwa masih dijumpai anak didik yang menunjukkan perilaku berikut: (1) membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan PR, dan tidak teratur dalam belajar; (2) sikap yang kurang wajar, seperti menentang, acuh tak acuh, dan berpura-pura; (3) lambat dalam melaksanakan tugas-tugas kegiatan belajar; dan (4) gejala emosional yang kurang wajar, seperti pemurung, pemarah, mudah tersinggung, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Keempat gejala yang ditunjukkan tersebut mengisyaratkan adanya kesulitan belajar pada diri anak didik yang diduga berkaitan erat dengan motivasi belajar yang dimilikinya. Tugas lain dari guru adalah memberikan bimbingan agar anak didik memiliki jiwa dan watak yang baik, mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, mana yang halal dan mana yang haram. Dalam menunaikan tugasnya, seorang guru tidak cukup hanya memberikan bimbingan sebatas kata-kata, melainkan juga dalam bentuk perilaku, tindakan, dan contoh-contoh nyata sehingga mampu memberi motivasi sekaligus teladan bagi anak didiknya. Hal ini penting diterapkan sebab berdasarkan pengalaman para ahli pendidikan, sikap dan tingkah laku seorang guru ini jauh lebih efektif dibanding dengan perkataan semata, apalagi yang tidak dibarengi dengan amal nyata (Natawidjaja 1988: 22). Stephen R. Covey (1997: 11) mengakui nilai signifikansi pengenalan dan pembangunan karakter seorang guru sejak awal, sebelum ia mentransformasikan gagasan-gagasannya kepada anak didik. Covey juga mengakui bahwa karakter seseoranglah yang melakukan komunikasi paling fasih, sehingga mampu memberikan pencerahan bagi siapa pun yang mendengarnya. Di sini Covey mengutip statemen Ralph Waldo Emerson, filosof besar Amerika Serikat abad ke-19, yang sangat terkenal mengenai pengaruh karakter atau kepribadian seseorang, bahwa “Siapa diri Anda sebenarnya terdengar begitu keras di telinga saya sehingga saya tidak dapat mendengar apa yang Anda ucapkan”. Dalam penddikan Islam, jauh sebelumnya, Syaikh Amin al-Kurdi (1998: 48), seorang sufi besar dari Mesir, telah mengikrarkan sebuah prinsip fundamental tersebut dalam bahasa yang impresif: "Setiap kalimat yang keluar dari lubuk hati yang ikhlas, niscaya akan sampai ke dalam hati orang-orang yang mendengarkannya. Namun jika kalimat tersebut hanya keluar dari lisan semata, niscaya kalimat tersebut hanya sampai di telinga orang-orang yang menyimaknya, tidak mampu menembus kalbu mereka". Statemen ini menyiratkan bahwa harus ada keikhlasan dari seorang guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Keikhlasan di sini diartikan bahwa seorang guru mengamalkan apa pun yang akan ia sampaikan kepada murid-muridnya dan menampilkan teladan dalam setiap perilakunya. Dari penggambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa guru teladan atau guru profesional adalah guru yang siap menjadi spritual father bagi anak didiknya. Artinya, guru bertanggung jawab memberikan bimbingan nurani serta akhlak yang tinggi kepada muridnya, yang bersumber dari ketulusan hati. Di sini, guru merasa gembira bersama dengan anak didiknya, selalu berinteraksi dengan mereka, dan selalu memikirkan bagaimana memacu perkembangan pribadi anak didiknya agar tidak mengalami kendala yang bisa menganggu. Guru pun merasa happy dapat menjadi tempat ‘curhat’ sekaligus memberikan ‘obat’ bagi muridnya yang sedang bersedih hati, murung, marah, dan malas belajar. Keteladanan Hakiki Bagaimanakah melihat atau mengukur pengaruh para guru teladan dalam kehidupan mereka? Lalu, apa yang menyebabkan seorang guru mampu memberikan pengaruh yang maksimal terhadap anak didik-anak didiknya? Guna menjawab pertanyaan tersebut, dapat digunakan perpspektif Herbert C. Kelman, salah seorang psikolog sosial ternama, yakni tiga level pengaruh dari seseorang kepada orang lain; ketundukan, inernalisasi, dan identifikasi (Rakhmat 2001: 40-41). Pertama, ketundukan (compliance). Pada tahap ini, pengaruh berada dalam tataran yang paling dangkal. Orang lain patuh kepada seseorang dikarenakan takut kehilangan sesuatu yang sangat menguntungkan atau mengundang sesuatu yang sangat merugikan. Seorang pegawai patuh kepada atasannya karena takut gajinya dipotong. Pengendara kendaraan patuh pada aturan lalu lintas karena takut ditilang oleh polisi. Begitulah seterusnya. Bagi guru, dalam level ini, ia dipatuhi oleh anak didiknya dikarenakan ia takut kepada gurunya. Kedua, internalisasi. Pada tahap ini, pengaruh yang hadir sudah lebih dalam daripada yang pertama. Orang yang mengikuti seseorang karena ia yakin bahwa seseorang yang diikuti itu benar. Misalnya, seorang pasien yang mengikuti nasihat dokternya, mahaanak didik yang melaksanakan instruksi dosennya, santri yang mengamalkan wirid dari kyainya, dan sebagainya. Lantas, mengapa mereka patuh? Hal ini disebabkan semua orang yang diikuti tersebut memiliki otoritas atau semacam keahlian dan apa yang disampaikan diyakini benar. Begitu juga dengan guru, anak didik mematuhi gurunya dikarekana adanya keyakinan bahwa apa yang disampaikan atau yang dicontohkan oleh gurunya itu benar. Ketiga, identifikasi. Pada tahap ini, seseorang yang meneladani orang lain dikarenakan ia membentuk identitas dirinya dengan menisbahkannya kepada seseorang tersebut. Dalam identifikasi, setiap orang berusaha untuk "to be like or actually to be the other person", ia ingin seperti atau betul-betul menjadi “orang lain” tersebut. Anak kecil yang meniru orang tuanya, anak didik yang mencontoh perilaku gurunya, atau para fans fanatik yang mengambil tingkah laku idolanya merupakan contoh-contoh identifikasi. Pada tahap ketiga inilah, keteladanan yang memberikan pengaruh secara maksimal benar-benar teraktualisasikan dalam kehidupan konkret karena pada anak didik telah tumbuh kecintaan terhadap guru mereka. Seorang guru bukan hanya memberikan pengaruh positif (motivasi) terhadap murid-muridnya, tetapi juga mampu memberikan inspirasi positif terhadap mereka. Dengan kata lain, sang guru mampu menumbuhkan keyakinan pada anak didiknya sehinga mereka akan melakukan segala hal yang dinasihatkan oleh guru tersebut. Jadi, keteladanan sejati hanya dapat benar-benar muncul dalam diri seorang anak didik apabila mereka telah mencintai gurunya. Ketika anak didik telah mencintai sang guru dan guru tersebut telah pula mencintai anak didiknya secara tulus, maka identifikasi ini terjadi, yakni anak didik akan melakukan identifikasi terhadap guru mereka. Inilah perspektif atau paradigma keteladanan ideal yang semestinya dimiliki oleh para guru, yakni dengan membentangkan cinta yang tulus kepada semua muridnya dan membuahkan cinta yang jernih pula dari setiap muridnya. Kelas 205 karya Tracy Kidder yang memenangi Pulitzer Prize merupakan salah satu novel yang bisa memberikan gambaran tentang sosok guru teladan. Novel ini diangkat dari pengalaman penulisnya selama 9 bulan di kelas 205 berbagi rasa frustasi, kesepian, dan kerepotan yang harus dialami oleh seorang guru demi kepuasan membantu anak didiknya. “... Sebuah buku yang indah dan penuh perasaan tentang mengajar.”, demikian ulas Gerald Grant, Chicago Tribune. Lihat Tracy Kidder, Kelas 205, (Bandung: Penerbit Qanita, 2005), diterjemahkan dari Among Schoolchildren (Massachussetts: Houghton Miffilin Company, 1989) oleh Lala Herawati Dharma. Kearifan pandangan seperti itulah yang mampu mengubah orang jahat menjadi baik, mengubah seorang kriminal menjadi hamba Tuhan, mengubah seekor srigala liar menjadi jinak, mengubah seekor ulat yang menjijikkan menjelma kupu-kupu nan indah mempesona, atau mengubah iblis menjadi sosok malaikat. Ketulusan paradigma cinta seperti itu pula yang telah mengubah kebodohan Albert Einstein di masa kecil justru menjadi tokoh jenius dunia melalui sosok ibunya, atau membenahi kenakalan seorang pemuda Mahatma Gandhi dengan keagungan cinta ayahnya (Risang Ayu, 2003:202). Begitu pula dengan tokoh-tokoh besar internasional yang sangat popular. Jika Steven R. Covey menjadi salah seorang dari dua puluh lima orang Amerika yang paling berpengaruh menurut majalah Times melalui mandat seorang pemimpin organisasi (Covey 2005: 97), maka Anthony Robbins menjadi seorang motivator internasional yang disegani melalui salah seorang guru sekolahnya (Robbins 2000: 363) dan John C. Maxwell menjadi seorang pembicara motivasi kaliber internasional yang mengarang buku-buku bestseller internasional, lagi-lagi melalui salah seorang gurunya (Maxwell 1996: 53). Sejarah pun telah mencatat bahwa perspektif prospektif-positif itu jugalah yang mampu membenahi Raden Sahid sebagai berandal Loka Jaya menjadi Sunan Kalijaga dengan kebesaran cinta Sunan Bonang (Sobari 1998: 173). Gambaran ini menguatkan bahwa makna seorang guru tidak lagi terbatas hanya secara legal-formal semata, melainkan semua orang yang mampu memberikan cinta dan layak dicintai sekaligus diteladani oleh orang-orang yang mengikuti nasihat-nasihat mereka. Lebih lanjut, penuturan seorang bijak bestari, Santo Fransiskus, berikut dapat memberikan gambaran tambahan mengenai guru teladan, yakni yang mampu memiliki kearifan cinta dan mampu memberikan pengaruh melalui cinta dan dicintai oleh anak-anak didiknya. Saat ada kebencian, maukah engkau membawa segenggam cinta? Ketika ada pelanggaran, sudikah engkau memberi maaf? Sewaktu ada kesalahan, mampukah engkau membawa kebenaran? Tatkala orang-orang tenggelam dalam samudera kesangsian, beranikah engkau menebarkan lentera keyakinan? Saat manusia terperangkap dalam gelapnya kebodohan, sudikah engkau memancarkan lentera kearifan? Saat manusia dirundung kedukaan, maukah engkau menyanyikan sebuah kidung kebahagiaan ‘tuk mengobati duka lara mereka? Dan saat orang-orang larut dalam lembah putus asa dan kehampaan karena terhempaskan kekalahan demi kekalahan, maukah engkau menawarkan sejumput harapan dan kekuatan ‘tuk menggapai kemenangan yang mereka dambakan? (Walsh 1999: 301). Lihat Rosidi, “Guru Teladan dalam Paradigma Pendidikan Islam”, Tawsiyah, Jurnal Sosial Keagaaan Edisi V Tahun 2009, (Bangka: Shiddiq Press) MPenutup Dari uraian di atas, tampak bahwa menjadi guru teladan dalam paradigma Islam memiliki makna yang bukan hanya luas dan legal-formal semata, melainkan juga mempunyai makna kepribadian yang bersifat moral-spiritual sekaligus emosional-intelektual. Seorang guru teladan tidak semata-mata sebagai pengajar yang mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai pendidik yang mentransfer nilai-nilai dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun anak didik dalam belajar. Guru teladan dituntut memiliki kualitas yang sesuai dengan bidang tugas dan peran yang mencakup sebagai perencana (planner), pelaksana (organizer), dan penilai (evaluator) (Makmun 1996: 19). Fakta ini menunjukkan bahwa kehadiran guru teladan dalam dunia pendidikan --terutama yang telah terlembaga secara institusional-formal, tetapi juga umumnya dalam wilayah nonformal-- merupakan sebuah kebutuhan yang sangat krusial. Seorang guru tidak hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam benak anak didik, tetapi juga melatih keterampilan aktual dan menanamkan sikap serta nilai kepada mereka. Dengan demikian, dalam kacamata pendidikan Islam, para murid akan menjadi cerdas secara kognitif dan afektif, sekaligus juga psikomotorik. Berdasarkan penjelasan tersebut, setidaknya dapat mempertegas bahwa tugas seorang guru teladan bukan hanya menyampaikan materi pelajaran, melainkan juga merupakan pembimbing kehidupan bagi anak didik untuk belajar. Hal ini akan tercapai jika guru benar-benar memiliki kepribadian yang utuh, yakni sehat secara fisikal, mental, emosional, intelektual, sekaligus spiritual. Dengan demikian, menjadi guru teladan dan menciptakan keteladanan yang berpengaruh terhadap anak didik merupakan proses panjang sepanjang kehidupan itu sendiri yang seyogyanya dijalani oleh setiap guru dengan keikhlasan yang jernih. Sebagai penutup, apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc. Ed dalam “Melahirkan Kembali Indonesia Raya” atau lebih dikenal dengan sajak “Kandang Ayam” berikut dapat menjadi gambaran dari sekelumit problematika yang dialami guru dan bagaimana harusnya guru sebagai sosok teladan. Melahirkan Kembali Indonesia (Sebuah Litani Litani: senandung kehidupan dan harapan. Lihat Prof. Dr. Winarno Surakhmad, Msc.Ed., Pendidikan Nasional ..., h. xiii-xvi. Buat Guru Bangsa) (DI KELAHIRANNYA) Sampai kemarin, / ketika ... Semua babi rusa, / komodo dan badak cula, hidup terlindung petaka / dalam satu undang-undang; Guruku malang, / sebagai malaikat yang tirakat / hidup penuh hampa: tanpa perlindungan / sepenggal undang-undang. (DI DUNIANYA) Tanpa sebuah kepalsuan / semua guru meyakini / guru artinya ibadah Tanpa sebuah kemunafikan / semua guru berikrar / mengabdi kemanusiaan. Tapi dunianya ... ternyata tuli / setuli batu ... tak berhati. Otonominya, kompetensinya, profesinya / hanya sepuhan pembungkus rasa getir. Tatkala dunianya tidak bersahabat, / tidak mungkin menjadi guru yang Guru, hingga ketika guru syuhada, / tiada tempat di makam pahlawan! (DI HATI KECILNYA) Dengan sikap terbata-bata / Dengan suara tersendat-sendat Dengan hati tersumbat darah / Guru bertanya dalam gumam: Mungkinkah berharap yang terbaik / dalam kondisi yang terburuk? Bolehkah kami bertanya / apa artinya bertugas mulia Ketika kami hanya terpinggirkan / tanpa ditanya tanpa disapa? Kapan sekolah kami / lebih baik dari kandang ayam! Kapan pengetahuan kami / bukan ilmu kadaluarsa! Mungkinkah berharap yang terbaik / dalam kondisi yang terburuk? Kenapa ... ketika orang menangis / kami harus tetap tertawa? Kenapa ... ketika orang berkenyangan / kami harus tetap kelaparan?! Bolehkah kami bermimpi, didengar ketika bicara, / dihargai layaknya manusia, tidak dihalau ketika bertanya? Tidak mungkin berharap yang terbaik / dalam kondisi yang terburuk! (DI BATU NISANNYA) Di sejuta batu nisan guru tua / yang terlupakan oleh sejarah / Terbaca torehan darah kering: “Di sini ... Berbaring seorang guru / semampu ... membaca buku usang sambil belajar ... menahan lapar / hidup sebulan ... dengan gaji sehari” Itulah nisan sejuta guru tua / yang terlupakan oleh sejarah Kematiannya / tidak ditangisi, / tiada bunga, tiada meriam, / tiada doa, tiada ... In memoriam! Tanpa bendera setengah tiang, / Sedetik pun sekolah tidak libur: Hanya seorang guru ... berlalu. seorang guru tua / dari sejuta pelaku sejarah. (DI MATA BANGSANYA) Bangkitlah, bangkitlah guruku / Kehadiranmu tidak tergantikan / Biarlah dunia ini menjadi saksi: Kau bukan guru negeri / Kau bukan guru swasta Kau adalah GURU BANGSA!!! Kalau engkau mau, / kalau saja engkau mau memberikan yang terbaik / dan hanya yang terbaik, ... Kalau saja engkau mau, memanusiakan manusia, / membudayakan bangsa, mengindonesiakan nusantara: satu generasi di tanganmu / seagung sebuah Maha Karya; satu besok menunggumu / indah dari seribu kemarin! DAFTAR PUSTAKA Covey, Stephen R. 1997. 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif (terj. Budijanto). Jakarta: Binarupa Aksara Hamalik, Oemar. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algessindo Janawi. 2007. Kompetensi Guru: Citra Guru Profesional. Sungailiat: Shiddiq Press Kidder, Tracy. 2005. Kelas 205 (terj. Lala Herawati Dharma). Bandung: Penerbit Qanita Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina Makmun, Abin Syamsudin. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyasa, E. 2005. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya Natawidjaja, Rachman. 1988. Peranan Guru dalam Bimbingan. Bandung: Abardin Naim, Ngainum. 2009. Menjadi Guru Inspiratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rachman, Budi Munawar (ed.). 2006. Ensiklopedi Nurcholish Madjid Vol. 3. Jakarta & Bandung: Paramadina & Mizan Rachman, Rusli. 2009. Redupnya Hati Nurani: Catatan Hitam Putih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jogjakarta: AksaraSastra Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Rindu Rasul. Bandung: Rosdakarya Shihab, Quraish. 2001. Secercah Cahaya Ilahi. Bandung: Mizan Surakhmad, Winarno. 2009. Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi (ed. St. Sularto). Jakarta: Penerbit Kompas Surya, Muhammad. 1996. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: IKIP Bandung Syah, Muhibbin. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Walsh, Roger. 1999. Essential Spirituality. Canada: John Wiley & Sons Inc Wijaja, Cece. 1994. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya Zaprulkhan. 2010. Pernak-pernik Wacana Baru Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media