[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
KOMPLEKS MINANG Makalah dibacakan dalam Lokakarya Adat Budaya Minangkabau, yang diselenggarakan oleh GEBU Minang pada 23-24 Agustus 2003 di Kampus Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia. Dimuat dalam Melayu; Jurnal Antarbangsa Dunia Melayu, Jilid 1, Bil. 2, Desember 2003. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Amri Marzali KATA PENGANTAR. Makalah ini memperkenalkan satu modal personality yang khas pada Orang Minangkabau, yaitu “gelisah”. Modal personality ini adalah satu konsep antropologi untuk menggambarkan tentang personaliti (kepribadian) yang khas dari satu kumpulan sosial tertentu. Minangkabau kadang-kadang disingkat menjadi Minang saja, tetapi maksudnya adalah sama. Penemuan personaliti yang “gelisah” pada Orang Minangkabau ini adalah hasil dari observasi dalam jangka waktu yang lama terhadap perilaku anggota masyarakat Minangkabau, yang saya lakukan sejak awal tahun 1970-an. Penemuan modal personality khas Minangkabau ini terutama terdorong oleh tulisan Amilijoes Sa’danoer dalam sebuah jurnal beberapa tahun yang lalu. Beliau sudah terlebih dahulu “menemukan” satu personaliti khas lain pada Orang Minangkabau, yaitu “galiah” (cerdik, smart). Dalam makalah ini saya mengaitkan modal personality “gelisah” ini dengan struktur sosial masyarakat Minangkabau yang penuh konstroversi. Struktur sosial yang kontroversial ini, secara tidak sadar, telah mendorong Orang Minangkabau menjadi “gelisah”, untuk terus menerus mencari struktur yang mapan (established structure). ENAM PRINSIP UTAMA ADAT MINANGKABAU. Makalah ini dimulai dengan mengajukan enam prinsip utama adat Minangkabau yang secara tradisional dianggap berlaku pada masyarakat Minangkabau pada suatu masa dahulu. Prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Yang melahirkan anak dan yang punya anak adalah perempuan (ibu/mande); Yang punya kuasa dan wewenang terhadap kaum perempuan dan anak-anak (anak buah) adalah laki-laki (mamak, datuk, penghulu); Keturunan ditarik dan ditelusuri melalui garis perempuan; Anggota kelompok-keturunan (suku, payuang, paruik, kampuang, dan rumah gadang) diangkat atau direkrut melalui garis perempuan; Pewarisan harta pusaka, rumah gadang, gelar, kedudukan dan kekuasaan politik dilaksanakan melalui garis perempuan. Perkawinan eksogami-kelompok (eksogami suku, payuang, atau paruik) adalah satu keharusan. Sebaliknya, perkawinan endogami-kelompok (endogami suku, payuang, atau paruik) adalah incest taboo. Semua prinsip kekerabatan di atas diakui dan dijalankan di Ranah Minang secara konsekwen dan konsisten pada suatu masa dahulu. Orang Minang menyebut norma-norma yang berasal dari prinsip di atas dengan istilah adat. Bila prinsip tersebut tidak ditaati, itu namanya melanggar adat. Sebaliknya bila prinsip tersebut ditaati, itu namanya patuh pada adat. Orang yang beradat harus patuh pada adat. Di bawah ini akan dijelaskan agak lebih rinci satu per satu apa yang dimaksud dengan enam prinsip adat di atas. Prinsip pertama, “Yang melahirkan anak dan yang punya anak adalah perempuan,” nampaknya berlaku universal. Semua masyarakat di dunia mengakui hal ini. Ini bukan khas adat Minangkabau. Perempuan adalah yang mengandung anak, setelah itu melahirkannya, menyusuinya, dan memeliharanya. Karena itu, anak-anak selalu dianggap sebagai milik ibunya. Laki-laki dengan demikian tidak punya anak. Di ranah Minang, prinsip ini sering dipertegas dengan ucapan-ucapan yang sering terdengar dari mulut seorang bapak, “Inyo anak mandenyo”. Prinsip kedua mengatakan bahwa “Yang punya kuasa dan wewenang terhadap kaum perempuan dan anak-anak adalah laki-laki”. Ini nampaknya juga merupakan prinsip yang universal (Fox 1967:31). Di mana-mana di dunia kita melihat kekuasaan berada di tangan laki-laki. Tidak ada masyarakat di mana kaum perempuan menguasai laki-laki dan anak-anak. Dulu pernah diduga bahwa dalam masyarakat-masyarakat tertentu kekuasaan berada di tangan kaum perempuan. Untuk menyebut masyarakat yang seperti ini digunakan istilah matriarchy. Menurut dugaan tersebut, masyarakat Minangkabau adalah matriarchy. Ternyata tidak demikian. Kaum perempuan dan anak-anak di Minangkabau disebut anak buah, atau kamanakan. Bila berhadapan dengan laki-laki dewasa dalam suku, payuang, paruik, atau rumah gadang, yaitu para mamak, datuk, dan penghulu, para anak buah ini adalah dependen. Mereka adalah pihak yang tergantung, yang patuh, yang tunduk, yang diperintah oleh para laki-laki dewasa tersebut. Pada masa kini banyak orang, khususnya apa yang disebut kaum femininist, menghujat dominasi kaum laki-laki ini. Menurut adat Minangkabau, prinsip ini sudah alamiah. Karena itu kaum perempuan dan anak-anak harus menerimanya. Satu pepatah Minangkabau yang memperkuat prinsip ini berbunyi demikian: Nan tuo iyolah kakak Nan cadiak iyolah mamak Jadi bila pada suatu saat seseorang dipanggil kamanakan oleh seorang laki-laki Minangkabau maka bersiaplah untuk tunduk dan mengalah kepada laki-laki tersebut, karena dia merasa dirinya pada peringkat mamak. Karena itu dia adalah orang yang lebih cadiak daripada anda, khususnya dalam berhujjah. Atau, sekurang-kurangnya dia merasa begitu. Prinsip ketiga menyatakan bahwa “Keturunan ditarik melalui garis perempuan.” Yang dimaksud dengan “keturunan” di sini adalah sama dengan “descent” dalam bahasa Inggris. Garis “keturunan” ini sering disimbolkan dengan “darah,” bahwa “keturunan” disalurkan melalui “darah.” Bagi Orang Minangkabau “darah” diturunkan melalui ibu. “Darah” yang mengalir dalam seorang anak adalah “darah” ibunya, bukan “darah” bapaknya. Karena itu anak tersebut adalah “keturunan” ibunya, bukan “keturunan” bapaknya. Di sini kata “keturunan” dan “darah” sengaja diberi tanda kutip, karena dalam kenyataan kedua istilah tersebut sebenarnya adalah bersifat simbolik, bukan menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, menurut ilmu kedokteran, “darah” bapak dan “darah” ibu keduanya mengalir ke tubuh seorang anak. Anak itu adalah keturunan bapak dan ibunya. Prinsip adat di atas disebut dengan istilah matrilineal. Prinsip ini khas pada seluruh masyarakat matrilineal di dunia, termasuk Minangkabau (Schneider & Gough 1973). Prinsip ini tidak diakui oleh Orang Batak yang beradat patrilineal dan Orang Jawa yang beradat bilateral. Bagi Orang Batak, “darah” yang mengalir ke dalam tubuh seorang anak adalah “darah” bapaknya, sementara itu bagi Orang Jawa “darah” itu berasal dari kedua belah pihak bapak dan ibu (Singarimbun 1975; Koentjaraningrat 1984). Sebenarnya, secara biologis Orang Minang mengakui mengalirnya “darah” bapak ke dalam tubuh anak. Pengakuan ini dibuktikan dengan sebutan bako terhadap keluarga bapak. Bako artinya asal atau benih asal. Dengan demikian, bapak adalah benih asal dari seorang anak. Namun pengakuan ini tidak diikuti dengan pengakuan sosial. Sehingga akhirnya Orang Minang “percaya” bahwa hanya darah ibu-lah mengalir ke dalam tubuh seorang anak. Prinsip adat yang keempat mengatakan bahwa “Anggota kelompok-keturunan diangkat atau direkrut melalui garis perempuan.” (Kelompok keturunan yang terbesar di Minangkabau adalah suku, kemudian berturut-turut adalah payuang, paruik, rumah, dan yang terkecil adalah samande). Prinsip ini memerlukan sedikit penjelasan pendahuluan tentang terori struktur sosial. Bahwa setiap masyarakat nampaknya harus hidup berkelompok-kelompok, agar pertukaran dapat terjadi, baik pertukaran barang maupun pertukaran orang, yang pada gilirannya akan mendorong terjadinya dinamika dalam kehidupan sosial (Mauss 1967). Jika sebuah masyarakat terdiri hanya dari satu kelompok, bagaimana perkawinan akan dilakukan, bagaimana pertukaran akan terjadi? Jadi, tidak salah kalau Tuhan berfirman bahwa Beliau menjadikan manusia berkelompok-kelompok agar mereka berkenalan satu sama yang lain, agar mereka saling bertukar-tukaran satu sama yang lain. Kalau orang Minangkabau mengatakan “darah” turun melalui ibu, sebagaimana disebutkan dalam prinsip adat ketiga, maka fungsi utama dari prinsip ketiga di atas adalah untuk mendukung prinsip adat keempat ini. Kalau satu masyarakat harus terdiri dari beberapa kelompok keturunan, atas dasar apa sebuah kelompok dibentuk? Kriteria apa yang digunakan membentuk kelompok tersebut? Apa syarat bagi seseorang untuk masuk ke dalam kelompok tertentu? Pada Orang Minangkabau, kriteria tersebut adalah ibunya. Seorang anak otomatis masuk ke dalam kelompok ibunya. Kalau kelompok ibunya adalah Caniago, maka anak itu otomatis menjadi anggota kelompok Caniago. Dia berada di luar kelompok bapaknya. Bahkan minta pindah ke kelompok bapaknya pun tidak boleh. Alasannya adalah prinsip adat yang ketiga tadi, bahwa anak itu mewarisi “darah” ibunya. Hal yang sebaliknya berlaku pada masyarakat dengan prinsip adat patrilineal, misalnya pada Orang Batak. Seorang anak Batak, begitu lahir secara otomatis masuk menjadi anggota kelompok bapaknya. Kalau bapaknya Simatupang misalnya, maka anaknya langsung secara otomatis menjadi Simatupang. Selanjutnya adalah prinsip adat yang kelima, yaitu “Pewarisan harta pusaka, rumah gadang, gelar, kedudukan dan kekuasaan politik dilaksanakan melalui garis perempuan.” Ini adalah fungsi penting kedua dari prinsip adat ketiga. Bahwa di dalam kehidupan masyarakat perlu tata tertib politik. Siapa yang berhak menjadi ketua kelompok (penghulu suku, penghulu payuang, penghulu paruik, dst) ? Bagaimana jabatan ketua itu diwariskan? Seterusnya, orang tua tentu punya sawah, ladang, dan rumah. Kepada siapa harta ini diwariskan? Siapa yang berhak mewarisinya? Di Minangkabau, dengan adanya prinsip adat ketiga, bahwa “keturunan ditarik melalui garis perempuan,” maka pewarisan harta ekonomis dan tahta politik pun diselaraskan dengan prinsip tersebut. Pemilikan tanah pusaka, sawah dan ladang, dan rumah gadang diwariskan melalui garis perempuan, dari nenek kepada ibu, dan dari ibu terus kepada anak perempuan. Manakala tahta politik diwariskan kepada kaum laki-laki menelusuri garis perempuan. Jabatan penghulu adalah di tangan saudara laki-laki nenek (datuk/mother’s mother’s brother), yang diturunkan kepada saudara laki-laki ibu (mamak/mother’s brother), seterusnya diturunkan kepada anak laki-laki ibu. Prinsip adat Minangkabau yang terakhir mengatakan bahwa “Perkawinan eksogami-kelompok adalah satu keharusan (eksogami suku, payuang, atau paruik). Sebaliknya, perkawinan endogami-kelompok adalah incest taboo (endogami suku, payuang, atau paruik).” Ini artinya seseorang tidak boleh kawin di dalam kelompok. Sesama anggota kelompok adalah bersaudara, atau berdansanak, karena darah keturunannya sama. Di ranah Minang, kelompok ini bisa suku, bisa payuang, bisa juga paruik, tergantung adat pada masing-masing masyarakat nagari. Di nagari-nagari tertentu, orang tidak boleh kawin dengan anggota satu suku, pada nagari-nagari yang lain boleh dengan anggota satu suku, tapi tidak boleh dengan sesama payuang, dan seterusnya. Bila dalam prinsip adat yang keempat, kelompok suku, payuang, dan paruik ini disebut sebagai “kelompok keturunan,” karena semua anggotanya merasa satu keturunan, yaitu dari seorang nenek perempuan pada suatu masa dahulu, maka dalam prinsip adat yang keenam, kelompok tersebut dipanggil sebagai “kelompok perkawinan,” karena anggota harus kawin dengan anggota di luar kelompok. Ini hanya semacam istilah teknis saja. Pembaca tidak perlu terlalu dibingungkan dengan perbedaan ini. Terakhir, perlu diingatkan kembali bahwa prinsip adat yang khas matrilineal Minangkabau sebenarnya adalah dari yang nomor tiga sampai nomor enam, karena prinsip adat yang nomor satu dan dua dianggap sebagai prinsip yang berlaku universal. KONTROVERSI MINANG. Masyarakat matrilineal, termasuk Minangkabau, penuh dengan kontroversi-kontroversi struktural. Di satu pihak kontroversi-kontroversi struktural ini dapat membuat masyarakat matrilineal Minangkabau tersebut menjadi dinamis, tapi di pihak lain juga membawa dampak negatif, yaitu tidak pernah mapan dan selalu penuh dengan konflik struktural. Kontroversi struktural ini disebut dengan istilah matrilineal puzzle oleh seorang ahli antropologi Inggris yang terkenal A.I. Richards (1950). Agar terkesan dramatis, untuk kasus Minangkabau, sebut saja kontroversi ini dengan nama kontroversi Minang. Kontroversi pertama yang harus diselesaikan oleh masyarakat matrilineal Minangkabau adalah menyelaraskan prinsip adat ketiga dengan prinsip adat keenam. Yaitu menyelaraskan prinsip keturunan matrilineal dengan prinsip perkawinan eksogami. Ketika seorang perempuan Minangkabau kawin, di mana dia akan tinggal dengan suaminya? Jika dia tetap tinggal di rumah gadang ibunya bersama dengan anggota kelompok payuang-nya, dan sang suami ikut dengan dia di rumah itu, maka saudara laki-lakinya, mamak-nya, dan datuk-nya harus keluar dari rumah itu. Mereka tentu tinggal bersama isteri mereka pula di desa/kampung lain. Namun perempuan itu dan anak-anaknya tetap berada di bawah pengawasan para lelaki kelompok payuang-nya, yaitu datuk atau mamak-nya. Jika begitu, bagaimana kaum laki-laki (datuk dan mamak) tersebut menjalankan kontrol atas kamanakan/anak buah-nya? Mereka tinggal berjauhan rumah. Sebaliknya, kalau perempuan itu keluar dari rumah gadangnya untuk pindah tinggal di rumah gadang suaminya, maka yang tinggal di rumah gadang perempuan itu adalah saudara laki-laki, mamak dan datuk-nya, beserta isteri-isteri dan anak-anak mereka. Cara ini disebut patrilokal. Dengan cara patrilokal ini, timbul pertanyaan, bagaimana pula saudara laki-laki, mamak dan datuk ini akan mengontrol para kemenakan/anak buah-nya yang telah pindah tinggal di kampung lain? Jauh dari desa/kampung tempat laki-laki itu tinggal. Atas kontroversi ini berbagai masyarakat matrilineal mempunyai berbagai solusi. Di Minangkabau solusinya adalah menciptakan adat duolocal dan endogami nagari. Bahwa perempuan tetap tinggal di rumah gadangnya (matrilokal). Pada malam hari suaminya datang mengunjunginya sebagai suami. Pada siang hari, suami itu harus meninggalkan rumah gadang isterinya, untuk kembali ke rumah gadang ibunya, bagi menjalankan kewajiban politik dan ekonominya terhadap ibu, saudara perempuan, dan kemenakannya. Sebaliknya, rumah gadang itu akan didatangi oleh para mamak dan datuk yang akan menjalankan kontrol politiknya atas kamanakan/anak buah-nya di rumah gadang itu. Di lihat dari pihak laki-laki sistem ini namanya duolocal. Dalam sistem ini, setiap laki-laki dewasa tinggal di rumah gadang isterinya pada malam hari sebagai “bapak ayam,” dan pada siang hari dia berada di rumah gadang ibunya sebagai “ninik mamak,” di mana ibunya, saudara perempuannya, dan kemenakan-nya tinggal, untuk melaksanakan kekuasaan politik-ekonominya. Tentu saja sistem ini hanya bisa dilaksanakan apabila perkawinan dilakukan antara orang-orang yang tinggal saling berdekatan, yaitu satu kampung atau satu nagari. Demikianlah, dengan adanya adat duolocal ini maka muncul adat ikutannya, yaitu endogami nagari. Orang tidak boleh, atau tidak dihargai, kalau kawin dengan orang yang berasal dari nagari yang lain. Karena, cara perkawinan tersebut berpotensi untuk keluar dari struktur kekerabatan. Adat ini terutama sangat ditekankan terhadap kaum perempuan. Seorang perempuan tidak boleh kawin dengan laki-laki dari nagari lain. Kontroversi Minangkabau kedua adalah perebutan alegiansi (kesetiaan dan tanggung jawab) seorang laki-laki. Kepada siapakah seorang laki-laki dewasa harus setia dan bertanggung-jawab? Kepada kelompok payung-nya (khususnya ibu, saudara perempuan dan kemenakan-nya) atau, sebaliknya, kepada isteri dan anak-anaknya sendiri? Dalam istilah teknis antropologi hal ini disebut perebutan alegiansi seorang laki-laki antara keluarga matrilineal (matrilineal kingroup) melawan keluarga batih (nuclear family). Secara adat, seorang laki-laki adalah milik payuang-nya, karena itu dia harus bertanggung jawab dan setia terhadap anggota keluarga matrilineal-nya dalam segala hal. Sementara itu isteri dan anak-anaknya mempunyai pula mamak sendiri yang akan melindungi mereka. Perebutan alegiansi yang paling dahsyat di Minangkabau biasanya adalah antara ibu dan istri. Sang ibu merasa memiliki anak laki-lakinya baik secara adat maupun secara biologis (prinsip pertama dan kedua). Hanya kepada ibu itulah anak laki-laki itu seharusnya setia dan bertanggung jawab. Hanya kepada ibu itulah anak laki-laki itu seharusnya patuh. Sebaliknya secara psikologis sang isteri dan anak-anak juga merasa memiliki suami dan bapaknya. Namun hak psikologis ini dinafikan dalam adat Minangkabau. Di pihak laki-laki pun terjadi semacam pembelahan jiwa, antara setia dan bertanggung jawab kepada ibu dan saudara-saudara perempuan atau, sebaliknya, kepada isteri dan anak-anak. Kontroversi ini telah menjadi tema utama roman-roman Balai Pustaka karangan penulis Minangkabau pada tahun 1930-an. Kontroversi Minangkabau ketiga adalah tentang pendidikan dan rasa kasih sayang terhadap anak. Karena seorang laki-laki adalah milik keluarga matrilinealnya, maka dia hanya bertanggung jawab terhadap ibu, saudara perempuan dan kamanakan-nya. Adalah kewajiban seorang mamak untuk mendidik dan menyayangi kamanakan-nya. Secara tradisional pepatah asli Minangkabau mestinya tidak berbunyi “anak dipangku, kemenakan dibimbing”, tapi “kemenakan dipangku, kemenakan dibimbing”. Anak dari isterinya (anak kandungnya sendiri) punya mamak sendiri, yang akan bertanggung jawab untuk mendidik dan menyayangi anak tersebut. Setiap anak mempunyai mamak yang menjadi ayah sosial-nya. Jika asumsi ini benar, maka dapat dibayangkan, dalam situasi sosial seperti inilah setiap anak Minangkabau dididik dan disayangi pada masa lalu. Betapa gelisah dan kontroversialnya jiwa mereka ketika dewasa. Mereka mempunyai ayah sosial yang berbeda dari ayah biologis. Ayah biologis adalah bapaknya, sedangkan ayah sosial adalah mamaknya. Secara ideal dan tradisional seorang anak Minang dilindungi, dididik, dan disayangi oleh dua figur laki-laki dewasa, yaitu mamak sebagai ayah sosial dan bapak sebagai ayah biologis. Namun, dalam kenyataan apakah anak-anak itu memperolehnya? Sama sekali tidak. Khususnya pada anak-anak yang meningkat umur remaja, ketika mereka mulai masuk usia mengaji, setelah disunat, yaitu sekitar 7-8 tahun. Pada masa dahulu, anak-anak seumur ini sudah harus keluar dari rumah gadang dan pindah ke surau. Mereka tidak punya tempat lagi di rumah gadang. Mereka dianggap sudah mulai mengerti kehidupan intim suami-isteri. Karena itu tidak pantas lagi bagi mereka untuk tidur di kamar orang tuanya. Kehadiran mereka di rumah gadang akan membuat para urang sumando menjadi duduak tagak kamari bedo, atau risih bahasa Jawanya. Kontroversi ketiga ini juga telah melahirkan banyak konflik struktural antara anak melawan kamanakan dalam memperebutkan harta warisan seorang laki-laki yang baru meninggal di rantau. Kontroversi-kontroversi struktural di atas dapat diperpanjang jika mau. Untuk kepentingan tulisan ini, lebih baik disudahi sampai setakat ini saja dulu. GELISAH MENCARI MINANG. Hidup dalam suasana penuh kontroversial seperti di atas mestinya terasa kurang nyaman. Bagi Orang bukan-Minangkabau yang mengetahui situasi ini, tentu akan bertanya dengan heran, “Kok betah-betahnya Orang Minangkabau hidup dalam suasana seperti itu”? Namun demikian, bagi Orang Minangkabau, suasana seperti itu sudah ada dari dulu, semenjak nenek moyang mereka memilih prinsip matrilineal alih-alih prinsip-prinsip yang lain sebagai norma yang mengatur kehidupan sosial mereka. Prinsip ini sengaja mereka pilih, ketika lingkungan alam dan lingkungan sosial pada waktu itu menuntun mereka ke arah itu. Tidak perlu disesali oleh generasi muda Minangkabau masa kini. Budaya atau adat adalah produk sekelompok manusia, pada suatu zaman tertentu, dalam lingkungan tertentu untuk menyelesaikan masalah sosial mereka pada waktu tersebut. Setiap Orang Minangkabau yang lahir di ranah Minangkabau langsung tercebur ke dalam suasana itu. Orang Minangkabau tersebut tidak merasakan hal-hal yang diceritakan di atas sebagai kontrovesial. Karena semua itu sudah merupakan bagian dari kehidupan sosial yang normal. Bagi mereka, kontroversi struktural tersebut adalah suatu yang normal. Hanya orang luar saja, khususnya para ahli teori antropologi, yang memandang hal-hal di atas kontroversial dan kurang nyaman. Situasi kekurang-nyamanan struktural ini dapat dianalogikan seperti makanan Minang yang bersantan dan pedas. Setiap Orang bukan-Minangkabau yang datang ke Ranah Minang dan makan di restoran Minang tentu akan merasa terkejut dengan pola rasa makanan Minang. Atas situasi itu mereka mungkin bertanya dengan heran, “Kok betah-betahnya makan makanan yang pedas dan bersantan seperti itu setiap hari”? Jawabannya sama seperti di atas. Pedas dan bersantan menurut orang lain, normal menurut Orang Minang. Kontroversi struktural menurut orang lain, normal menurut Orang Minang. Bagaimanapun, situasi ini dapat dianalisis secara kritis. Makanan Bersantan dan Pedas. Pertama mari dibahas dulu masalah makanan Minang yang bersantan dan pedas di atas. Secara biologis semua manusia adalah sama. Mempunyai struktur dan karakter perut yang sama. Akan merasa mual kalau terlalu banyak dirasuki santan, dan akan gelisah kepanasan kalau terlalu banyak dirasuki cabe (lado, chilli). Bagi Orang Minang yang sudah normal dengan jenis makanan yang seperti itu, banyak santan tidak lagi akan membuat perut mereka mual, dan banyak pedas tidak lagi akan membuat perut mereka gelisah kepanasan. Namun demikian satu porsi yang berlebihan dari zat yang dikandung oleh santan dan cabe dalam darah seseorang secara terus menerus tentu akan mempengaruhi pola perilaku orang tersebut. Dari ilmu kedokteran kita belajar bahwa kelebihan alkohol dalam darah seseorang dapat merubah temparemen orang tersebut. Kalau kelebihan itu terjadi terus menerus, lalu pada akhirnya menjadi normal pada diri orang tersebut, maka terbentuklah satu personaliti dan temparemen tertentu pada diri orang tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola makanan Orang Minang itu telah membentuk personaliti dan temparemen tertentu pada Orang Minang. Namun sayang sekali penulis tidak punya ilmu untuk mengatakan personaliti dan temparemen macam apa yang sudah terbentuk oleh pola makanan tersebut, kecuali gelisah dan enerjetik. Gelisah dan enerjetik adalah satu pola perilaku yang khas pada Orang Minang. Sama seperti makanan yang bersantan dan bercabe, zat “kontroversi struktural” dalam kehidupan sosial Minang juga telah masuk ke dalam “darah” Orang Minang. Kontroversi-kontroversi struktural ini secara tidak disadari sedikit demi sedikit telah membentuk personaliti dan temparemen yang khas pada Orang Minang. Salah satu unsur dari personaliti dan temparemen tersebut adalah gelisah mencari. Gelisah mencari bentuk-bentuk struktur yang stabil tidak kontroversial. Namun demikian tidak semua Orang Minang beruntung dalam usaha pencarian ini. Hanya mereka yang merantau yang berpotensi untuk memperolehnya. Mereka yang tinggal di kampung akan tetap hidup normal di dalam akuarium yang bersuasana sosial kontroversi struktural dan makanan bersantan yang pedas. Lebih jauh, ternyata hasil pencarian dari jiwa yang gelisah ini tidak seragam. Struktur yang stabil yang ditemukan Tan Malaka berbeda dari struktur yang stabil yang ditemukan Hatta, dan berbeda lagi dari yang ditemukan Hamka. Demikianlah seterusnya. Adalah menarik kalau membaca cerita bagaimana Mohamad Natsir pada awalnya menemukan Islam. Tidak dari sumber buku-buku agama Islam, tapi dari sumber-sumber berbahasa Belanda. Bagaimanapun jiwa Natsir yang gelisah itu sudah menemukan satu bentuk struktur yang mapan dan stabil bagi dirinya, yaitu Islam. Juga menarik untuk memperhatikan nama anak-anak muda Minang masa kini. Aneh-aneh bunyinya. Terbentuk dari komposisi-komposisi baru. Apakah ini merupakan produk dari jiwa yang gelisah mencari sesuatu yang baru ? Di Minangkabau, pergi merantau disebut pergi “mancari.” Ternyata “mancari” di sini tidak terbatas pengertiannya pada “mancari pitih” (mencari duit) semata, tapi juga termasuk mencari struktur yang mapan dan stabil. Sebagian menemukan struktur tersebut dengan cara beristeri orang lain (bukan-Minang), sebagian lain dalam bentuk punya toko besar dan kaya raya di rantau orang, ada pula dalam bentuk menjadi profesor di perguruan tinggi. Namun demikian, menurut pengamatan umum, meskipun sebagian mereka sudah menemukan struktur yang mapan dan stabil di rantau, ternyata personaliti dan temparemen Minang mereka yang gelisah tidak pernah hilang. Karena porsonaliti dan temparemen itu sudah lama terbentuk dan terbenam ke dalam diri mereka. Sudah menjadi bagian yang mapan dari struktur personaliti mereka. Bagian dari struktur personaliti Minang. Meskipun Orang bukan-Minang menuduh bahwa kondisi gelisah mencari itu tidak nyaman, sebagaimana mereka menuduh bersantan dan pedasnya masakan Minang, namun bagi Orang Minang kondisi itu adalah normal. Tidak ada yang aneh dengan karakter yang gelisah mencari Minang itu. Itulah Minang. Jika benar demikian adanya, maka ini adalah satu tambahan terhadap personaliti Minang yang pernah dirumuskan oleh almarhum Amilijoes Sa’danoer beberapa tahun yang lalu. Sa’danoer mengatakan bahwa Minang itu adalah galiah (cerdik, licin atau smart). Kalau tidak galiah, tidak Minang. Buktinya, “kalau terhimpit mau di atas, kalau terkurung mau di luar.” Kalau kebetulan tersesat ke pekerjaan kriminal, yang dipilihnya adalah menjadi copet, yang penuh dengan seni dan kecerdikan (Sa’danoer 1983). Kini di sini kita dapat menambahkan satu lagi personaliti Minang, yaitu gelisah mencari suatu struktur yang mapan dan stabil. Gelisah adalah ciri khas Orang Minang. Jika tidak gelisah, tidak Minang. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan personaliti di atas, berikut ini akan diberikan satu perbandingan. Personaliti Minang yang khas di atas bisa dibandingkan dengan personaliti-personaliti khas suku-suku bangsa lain di Indonesia. Dalam satu pertemuan dengan seorang dosen IPB, Said Rusli, dikatakannya bahwa karakter yang khas pada Orang Aceh adalah berani. Kalau tidak berani, itu bukan Orang Aceh. Orang Jawa menghargai kehidupan sosial yang harmoni dan unggah-ungguh. Kalau tidak bisa ber-unggah-unguh, maka itu bukan Jawa. Orang Bugis adalah setia kawan di bawah prinsip “patron-client.” Dan lain-lain. KOMPLEKS MINANG. Dari tadi kita sudah bicara panjang lebar mengenai struktur masyarakat Minangkabau yang penuh dengan kontroversial, sebagai akibat dari adat matrilineal Minangkabau. Kontroversi struktural ini pada gilirannya berimbas balik terhadap personaliti dan temparemen manusia Minang. Membuat mereka gelisah mencari struktur yang mapan dan stabil. Sampai kini makalah ini belum menyinggung hubungan kontroversi struktural ini dengan judul makalah, yaitu kompleks Minang. Kompleks Minang adalah sebuah konsep psikologi. Dalam bahasa Inggris istilah itu menjadi Minangkabau complex. Konsep ini diinspirasikan oleh Oedipus complex, sebuah teori yang terkenal dari Freud. Pada masa kini istilah complex sudah umum digunakan untuk merujuk kepada seperangkat pemikiran-pemikiran emosional (emotional ideas) yang sudah terhapus dari kesadaran minda (conscious mind), namun masih tetap mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam makalah ini konsep tersebut khusus dirujukkan kepada manusia Minang yang tidak lagi hidup dilingkungan suasana kontroversi struktural di ranah Minang. Mereka adalah orang Minang yang hidup di rantau, atau di perkotaan modern di Sumatera Barat. Minangkabau complex, atau kompleks Minang, adalah seperangkat ide-ide emosional yang tidak lagi didukung oleh situasi sosial kontroversi struktural. Meskipun orang Minang modern itu tidak lagi hidup dalam suasana sosial kontroversi struktural, namun mereka masih membawa terus dalam dirinya kompleks Minang. Karena kompleks itu sudah lama mengalir dalam “darah” mereka, sudah menjadi bagian dari personaliti mereka. Kepada mereka yang gelisah mencari Minang itulah istilah ini ditujukan. Kompleks Minang didekap oleh mereka yang terus tiada putus mencari struktur yang stabil dan mapan. Daftar Bacaan. Fox, Robin (1967). Kinship and Marriage. England: Penguin Books Ltd. Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Mauss, Marcel (1967). The Gift (translated by Ian Cunnison). New York: W.W. Norton & Company. Richards, A.I. (1950). “Some Types of Family Structure Amongst the Central Bantu”, dalam A.R. Radcliffe-Brown & Daryl Forde, African Systems of Kinship and Marriage. London: Oxford University Press. Sa’danoer, Amilijoes (1983). “Copet dan Sistem Sosial Minangkabau. Suatu Perbincangan Permulaan”, dalam A.A. Navis (ed), Dialektika Minangkabau Dalam Kemelut Sosial dan Politik. Padang: Genta Singgalang Press. Singarimbun, Masri (1975). Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak. Berkeley USA: University of California Press. Prof. Dr. Amri Marzali. Email: amarzali@yahoo.com PAGE 8