JURNAL GIZI DAN DIETETIK INDONESIA
Vol. 3, No. 2, Mei 2015: 69-76
Keberhasilan ibu bekerja memberikan ASI eksklusif
Keberhasilan ibu bekerja memberikan ASI eksklusif
Best practice of working mothers in providing exclusive breastfeeding
Intan Agustina Anggraeni1, Detty Siti Nurdiati2, Retna Siwi Padmawati3
ABSTRACT
Background: Indonesia faces double burden of nutritional problems, namely undernutrition and
overnutrition. Exclusive breastfeeding may prevent infants from these kind of malnutritions. Working mothers
are difficult to give exclusive breastfeeding due to some constraints and poor lactation management.
Objectives: To explore the experience of working mothers who succeeded in providing exclusive
breastfeeding.
Methods: This was qualitative study using phenomenology design. It was conducted at Subdistrict of
Sedayu, District of Bantul. Subjects were 13 mothers who purposively selected, work and have been
successful provided exclusive breastfeeding, had children aged 6-24 months. Data were obtained through
in-depth interview to the respondents and observation of lactation facilities at the working place. Data
triangualation was performed through interview with husbands, baby sitters, colleagues and chairman of
mother’s workplace.
Results: Exploration of several information were studied, including intention to give exclusive breastfeeding,
positive attitudes toward exclusive breastfeeding, perceived norms from social references, good selfefficacy, cultural aspect of breastfeeding, skills of lactation management, and environmental constraint
experienced by mother. Intention of mothers during pregnancy was associated with behavior in providing
exclusive breastfeeding. Intention to give exclusive breastfeeding was influenced by positive attitude and
self-efficacy. There was difference in self-efficacy that influenced intention of mothers working in formal and
informal sectors. Working mothers at formal and informal sectors differed in managing lactation. Despite
some constraints and limited facilities mothers kept trying to provide exclusive breastfeeding.
Conclusions: Working mothers have a specific strategy to succeed in providing exclusive breastfeeding.
Education, facilities, and breastfeeding policies in workplace should be given to working mothers.
KEYWORDS: exclusive breastfeeding, intention, lactation management, working mothers
ABSTRAK
Latar belakang: Indonesia menghadapi beban ganda masalah gizi, yakni gizi kurang dan gizi lebih. Salah
satu cara untuk mencegah masalah gizi pada bayi adalah dengan memberikan ASI eksklusif. Ibu yang
bekerja sulit untuk memberikan ASI eksklusif karena kendala yang tidak dapat diatasi dan manajemen
laktasi yang buruk.
Tujuan: Untuk mengeksplorasi pengalaman ibu bekerja di sektor formal dan informal yang sukses
memberikan ASI eksklusif.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian
dilakukan di Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Subjek diambil secara purposive sebanyak 13 orang.
Kriteria inklusi subjek adalah ibu yang bekerja dan berhasil memberikan ASI eksklusif, memiliki anak usia
6-24 bulan dan bersedia menjadi subjek penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam
dengan responden dan observasi fasilitas laktasi di tempat kerja. Triangulasi data dilakukan dengan
mewawancarai suami, pengasuh, rekan kerja, dan pemimpin.
Hasil: Hasil penggalian informasi meliputi intensi ibu dalam memberikan ASI eksklusif, sikap positif
terhadap ASI eksklusif, norma yang dipersepsikan dari lingkungan sosial, efikasi diri yang baik, budaya
1
Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara, Jl. Mayjen Sutoyo No.81 Banjarnegara, e-mail: intanagustinaanggraeni@gmail.com
Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Sardjito, Jl.Kesehatan,Yogyakarta
3
Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada, Jl. Farmako Sekip Utara, Yogyakarta
2
69
70
Intan Agustina Anggraeni, Detty Siti Nurdiati, Retna Siwi Padmawati
menyusui, keterampilan manajemen laktasi, dan hambatan lingkungan yang dialami oleh ibu. Intensi
untuk menyusui eksklusif telah dimiliki oleh ibu sejak hamil. Ibu yang bekerja di sektor formal memiliki
perbedaan dalam melakukan manajemen laktasi dibandingkan dengan ibu yang bekerja di sektor informal.
Ibu mengalami beberapa hambatan dan keterbatasan, namun ibu tetap berjuang untuk memberikan ASI
eksklusif.
Kesimpulan: Ibu bekerja memiliki strategi tertentu untuk mencapai keberhasilan dalam memberikan ASI
eksklusif. Pendidikan, penyediaan fasilitas, dan kebijakan menyusui di tempat bekerja perlu diberikan
kepada ibu bekerja.
KATA KUNCI: ASI eksklusif, ibu bekerja, intensi, manajemen laktasi
PENDAHULUAN
Indonesia masih menghadapi beban ganda
masalah gizi yaitu masalah gizi buruk dan gizi
lebih. Berdasarkan hasil Riset kesehatan dasar
(Riskesdas) tahun 2013, jumlah balita dengan
status gizi buruk mencapai 5,7%, gizi kurang 13,9%,
dan gizi lebih 11,9% (1). Masalah gizi pada balita
secara langsung disebabkan oleh faktor asupan
makanan yang tidak sesuai kebutuhan dan infeksi.
Makanan terbaik bagi bayi di awal kehidupannya
adalah air susu ibu (ASI) karena ASI mengandung
zat gizi lengkap dan zat kekebalan yang mampu
melindungi bayi dari risiko penyakit infeksi. World
Health Organization (WHO) merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif selama enam bulan (2).
Pemerintah menargetkan cakupan pemberian
ASI eksklusif sebesar 80%, namun target ini belum
tercapai. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013,
hanya 30,2% bayi usia 6 bulan yang diberi ASI saja
dalam 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan
pralakteal (1). Rendahnya cakupan pemberian ASI
eksklusif menunjukkan bahwa tidak banyak ibu yang
berhasil memberikan ASI eksklusif.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
status pekerjaan ibu sebagai salah satu penghambat
pemberian ASI eksklusif. Penelitian di Vietnam
menunjukkan bahwa ibu yang bekerja memiliki
risiko 14 kali lebih besar tidak memberikan ASI
eksklusif (3). Penelitian yang dilakukan di Jakarta
menunjukkan hanya 32% perempuan pekerja sektor
formal dan 20% perempuan pekerja sektor industri
yang memberikan ASI eksklusif (4).
Bagi ibu bekerja memberikan ASI eksklusif
bukan hal mudah (5). Ibu bekerja perlu memiliki
sikap positif, pengetahuan, keterampilan, komitmen
diri, komunikasi yang terbuka, serta dukungan sosial
dan tempat bekerja agar berhasil memberikan ASI
eksklusif (6). Faktor-faktor yang menyebabkan
kegagalan pemberian ASI eksklusif pada ibu
bekerja antara lain adanya persepsi bahwa ASI tidak
cukup, kurangnya pengetahuan manajemen laktasi
saat bekerja, kurangnya waktu untuk memerah
ASI, fasilitas yang tidak kondusif untuk menyusui
atau memerah ASI, dan tidak ada dukungan dari
pimpinan (4,7,8).
Seorang ibu bekerja akan berhasil memberikan
ASI eksklusif bila memiliki intensi, keterampilan
manajemen laktasi, dan sedikit hambatan lingkungan
(9). Intensi ibu untuk memberikan ASI saat prenatal
berhubungan erat dengan durasi pemberian ASI
(10). Berdasarkan hasil penelitian hanya 32,4% ibu
yang memiliki intensi atau niat menyusui eksklusif
berhasil mewujudkannya (11). Hal ini disebabkan
oleh adanya hambatan yang tidak dapat diantisipasi
serta kurangnya keterampilan yang dimiliki ibu.
Keterampilan manajemen laktasi diperlukan oleh
ibu bekerja untuk mengatur aktivitas menyusui dan
pekerjaan.
Penelitian yang hanya berfokus pada intensi,
motivasi, dan pengetahuan tidak cukup untuk
membantu ibu mengatasi hambatan selama
menyusui dan bekerja (8). Ibu bekerja memerlukan
dukungan, edukasi dan informasi yang konsisten,
realistis, dan evidence-based agar berhasil
memberikan ASI eksklusif (12). Penelitian tentang
pengalaman keberhasilan ibu bekerja dalam
memberikan ASI eksklusif masih terbatas dan
diperlukan untuk memberikan dukungan dan
edukasi kepada ibu menyusui yang bekerja.
Keberhasilan ibu bekerja memberikan ASI eksklusif
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi yang berfokus
pada pengalaman keberhasilan ibu bekerja dalam
memberikan ASI eksklusif yang ditekankan pada
usaha untuk memahami perilaku responden. Tempat
penelitian adalah di Kecamatan Sedayu Kabupaten
Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian dilakukan bersama dengan penelitian
Status Gizi Ibu Hamil dan Baduta di Kecamatan
Sedayu Kabupaten Bantul pada bulan April hingga
Agustus 2014.
Pemilihan subjek penelitian dilakukan
menggunakan metode purposive sampling. Subjek
utama terdiri dari 7 orang ibu bekerja formal dan
6 orang ibu bekerja informal. Sebagai triangulasi
dilakukan wawancara kepada 4 orang suami, 4
orang pengasuh anak, 1 orang rekan kerja, dan 2
orang pimpinan kerja.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam dan observasi. Wawancara mendalam
dilakukan kepada informan utama dan informan
pendukung. Informan utama adalah ibu bekerja
yang berhasil memberikan ASI eksklusif. Informan
pendukung adalah suami, pengasuh anak, rekan kerja,
dan pimpinan kerja. Wawancara mendalam digunakan
dengan tujuan mengeksplorasi pengalaman ibu
bekerja yang berhasil memberikan ASI eksklusif.
Observasi dilakukan terhadap keberadaan dan kondisi
fasilitas menyusui di tempat bekerja.
HASIL
Pekerjaan ibu dalam penelitian ini bervariasi
antara lain: asisten apoteker di rumah sakit,
karyawan bagian human resources development
(HRD) di sebuah pabrik, guru bimbingan belajar,
asisten dosen, sales promotion girl (SPG), tukang
cuci, dan wirausaha. Sebagian besar ibu pekerja
sektor informal memiliki usaha sendiri seperti
berdagang dan beternak. Usia ibu berkisar antara
22-36 tahun, berpendidikan mulai dari sekolah
dasar sampai perguruan tinggi, dan memiliki 1-3
orang anak.
Sebagian besar ibu pekerja sektor informal
kembali bekerja setelah bayi berusia diatas enam
71
bulan. Ibu pekerja sektor formal sebagian besar
kembali bekerja sebelum bayi berusia enam bulan.
Intensi dalam memberikan ASI eksklusif
Intensi untuk memberikan ASI eksklusif
sebagian besar telah dimiliki ibu sejak hamil. Tidak
terdapat perbedaan yang berarti antara intensi
ibu pekerja sektor informal dan formal. Intensi ibu
untuk memberikan ASI eksklusif timbul setelah
mendapatkan informasi dan pengetahuan dari
pertemuan KP (kelompok pendukung) ibu, pelatihan
pemberian ASI eksklusif, buku panduan kehamilan,
tenaga kesehatan, dan internet.
Ibu yang memiliki intensi kuat mengatakan
bahwa sejak hamil atau sebelum hamil sudah
berniat untuk memberikan ASI eksklusif seperti
kutipan berikut,
“Sejak hamil ini prinsipku sudah harus ASI
eksklusif tidak boleh ditambahin apapun.” (Ibu
bekerja formal, fulltime, pendidikan rendah)
Adanya intensi yang kuat selanjutnya juga
diwujudkan dengan upaya yang dilakukan ibu dalam
mengatasi masalah yang mungkin mengakibatkan
kegagalan pemberian ASI eksklusif. Masalah
tersebut meliputi tidak dapat melakukan inisiasi
menyusu dini (IMD), bayi kuning, ibu sakit, bayi
hanya mau minum dengan dot, dan ASI tidak segera
keluar setelah melahirkan. Salah satu ibu yang
mengalami kondisi bayi tidak mau menyusu tetap
berusaha memberikan ASI eksklusif dengan cara
diperah seperti kutipan berikut:
“Jadi malah lebih berat kan kemarin. Dia
nggak mau nenen langsung maunya pakai
dot. Kalau malem saya tiga jam sekali tetep
bangun mompa. Meskipun nggak diminum
saat itu tapi mompa terus. Itu sebelum enam
bulan memang dia maunya sudah pakai
dot terus tapi eksklusif. Makanya kan tetep
mompa nanti jam tujuh, jam sepuluh, jam satu
trus jam setengah empat terus mompa.” (Ibu
bekerja formal, fulltime, pendidikan tinggi).
Dua orang ibu meskipun telah memiliki intensi
untuk memberikan ASI eksklusif saat hamil namun
memberikan makanan pralakteal karena ASI tidak
72
Intan Agustina Anggraeni, Detty Siti Nurdiati, Retna Siwi Padmawati
segera keluar setelah melahirkan. Rasa kasihan
kepada bayi membuat orang tua panik dan berinisiatif
memberikan makanan pralakteal berupa air putih
dan susu formula meskipun petugas kesehatan tidak
menyarankan hal tersebut. Setelah ASI keluar ibu
menghentikan pemberian makanan pralakteal dan
hanya memberikan ASI saja sampai bayi berusia
enam bulan. Kondisi serupa sebenarnya juga
dialami oleh ibu lain. Peraturan rumah sakit yang
melarang pemberian susu formula dan dukungan
petugas kesehatan yang mendorong ibu untuk
tetap menyusui bayi membuat makanan pralakteal
tidak diberikan. Kondisi psikologis ibu yang tenang
dan hisapan bayi sangat membantu memperlancar
sekresi ASI.
Ibu yang pada awalnya tidak memiliki intensi
untuk memberikan ASI eksklusif menyatakan bahwa
akan menyusui eksklusif bila ASI-nya mencukupi.
Jika sudah kembali bekerja dan ASI tidak cukup,
maka susu formula akan diberikan. Adanya masalah
kesehatan pada bayi dan dokter memberikan
nasehat untuk melanjutkan pemberian ASI eksklusif,
menyebabkan ibu berniat memberikan ASI eksklusif.
Ibu lain mengungkapkan bahwa ketika anak berusia
lima bulan pernah dicoba diberikan susu formula
karena ASI perah hanya sedikit, namun bayi menolak
sehingga baru disusui setelah ibu pulang bekerja.
Beberapa budaya menyusui yang ada di
sekitar ibu seperti kepercayaan menyusui dari satu
payudara karena salah satu payudara dianggap
menghasilkan ASI yang pahit dan kepercayaan bayi
lahir menangis minta makan tidak mempengaruhi
intensi ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
Sikap, norma yang dipersepsikan, efikasi diri
dan budaya dalam memberikan ASI eksklusif
Ibu bekerja yang berhasil memberikan
ASI eksklusif memiliki sikap positif terhadap ASI
eksklusif. Sikap positif yang dilandasi keyakinan
terhadap manfaat ASI yaitu hemat biaya, praktis,
dan membuat anak tidak mudah sakit mendorong
intensi ibu untuk memberikan ASI eksklusif, seperti
kutipan berikut:
“Ya itu, tahu keuntungannya. Kan ASI eksklusif
salah satunya untuk kekebalan itu trus untuk
kecerdasan otaknya juga. Ya mudah-mudahan
untuk investasi jangka panjang lah”. (Ibu
bekerja formal, parttime, pendidikan tinggi).
Sikap negatif yang dilandasi keyakinan
terhadap kerugian pemberian ASI tidak dimiliki
oleh ibu. Kekhawatiran perubahan bentuk tubuh,
rasa malu untuk menyusui di tempat umum, dan
kerepotan memerah ASI tidak dirasakan oleh ibu.
Sebagian besar ibu mengatakan bahwa
pemberian ASI eksklusif belum menjadi norma di
lingkungan keluarga dan tetangga terutama bagi
ibu yang bekerja. Ibu yang bekerja di sebuah pabrik
juga mengungkapkan bahwa menyusui eksklusif
belum menjadi kebiasaan bagi pekerja perempuan
di tempatnya bekerja. Meskipun norma yang
dipersepsikan dari lingkungan sosial bertentangan
dengan pemberian ASI eksklusif, ibu tidak terpengaruh
dan tetap memberikan ASI eksklusif.
Beberapa hal yang membuat ibu memiliki
efikasi diri akan berhasil memberikan ASI eksklusif
adalah jumlah ASI yang mencukupi dan anak yang
tidak rewel. Ibu pekerja sektor informal merasa yakin
berhasil memberikan ASI eksklusif karena memilih
kembali bekerja setelah anak berusia enam bulan,
sehingga tidak menyulitkan pemberian ASI eksklusif.
Sementara itu, ibu yang bekerja formal merasa yakin
bisa memberikan ASI eksklusif karena mendapat
dukungan dari suami, rekan kerja, dan pimpinan.
Keterampilan manajemen laktasi
Ibu dalam penelitian ini telah melakukan
upaya-upaya untuk menunjang keberhasilan
memberikan ASI eksklusif dimulai saat kehamilan,
sebelum kembali bekerja, dan saat bekerja.
Ibu yang bekerja di sektor formal dan informal
memiliki persamaan dalam melakukan persiapan
pemberian ASI eksklusif saat hamil. Beberapa ibu
melakukan persiapan dengan merawat payudara
yaitu dengan membersihkan, menarik puting, dan
memijat payudara agar ASI segera keluar setelah
melahirkan. Ibu lain mengonsumsi sayuran seperti
daun katuk dan air rebusan kacang hijau yang
dipercaya dapat memperbanyak ASI. Salah satu
ibu pekerja sektor formal mempersiapkan peralatan
untuk memerah ASI seperti pompa ASI dan botol
Keberhasilan ibu bekerja memberikan ASI eksklusif
kaca karena akan segera kembali bekerja setelah
cuti melahirkan.
Sebagian besar ibu pekerja sektor informal
memilih untuk tidak bekerja setelah melahirkan.
Ibu kembali bekerja setelah merasa anak cukup
umur untuk ditinggal atau diajak bekerja. Upaya
yang dilakukan ibu agar ASI lancar dan mencukupi
kebutuhan bayi adalah dengan rutin mengonsumsi
jamu menyusui yang disebut “uyup-uyup”, sayursayuran hijau seperti daun katuk, serta madu.
Sebelum kembali bekerja atau saat cuti melahirkan,
beberapa ibu pekerja sektor formal mencari
informasi tentang cara memerah dan menyimpan
ASI kepada ahli gizi, dokter, bidan atau artikel di
internet, mencoba memompa ASI, membuat stok
ASI perah, dan melatih anak minum ASI perah
sebagai persiapan saat harus kembali bekerja.
Ibu pekerja sektor informal yang kembali
bekerja sebelum anak berusia enam bulan memilih
untuk membawa anak ke toko (tempat usaha).
Setiap kali menangis atau setiap dua jam, bayi
akan disusui oleh ibunya, sedangkan ibu yang
bekerja di sektor formal baik fulltime maupun
parttime memberikan ASI perah saat bekerja dan
meninggalkan anak. Frekuensi dan waktu memerah
yang dilakukan berbeda-beda antara ibu yang satu
dengan yang lain. Ibu yang bekerja parttime hanya
memerah ASI di rumah dan tidak pernah memerah
di tempat kerja karena waktu kerja yang pendek.
Ibu yang bekerja fulltime memerah ASI sebelum
berangkat kerja, saat istirahat, dan sebelum
pulang bekerja. Saat ibu bekerja, pengasuh anak
di rumah bertugas untuk memberikan ASI perah
kepada bayi.
Hambatan lingkungan
Ibu dalam penelitian ini merasa tidak memiliki
hambatan selama memberikan ASI eksklusif.
Beberapa hal mungkin menjadi hambatan namun
dapat diatasi. Hambatan tersebut terutama terkait
dengan ketersedian fasilitas, jarak tempat kerja,
dan jam kerja.
Dua orang ibu yang tidak memiliki lemari es
di rumah untuk menyimpan ASI perah mengatasi
hambatan tersebut dengan mengatur waktu untuk
memerah, meminta tolong petugas kebersihan
73
untuk mengantar ASI perah serta menitipkan ASI
perah di lemari es tetangga. Keterbatasan fasilitas
tidak menghentikan upaya untuk memberikan ASI
eksklusif seperti penuturan berikut:
“Awalnya itu penuh perjuangan pokoknya.
Di sini nggak ada kulkas, saya nggak punya
kulkas. Trus awalnya nyimpen ASI itu cuma
kalau pagi sebelum kerja mompa, nanti jam
10 mompa lagi. Trus sekitar jam 11 itu tak
suruh nganter (ASI perah) bawa pulang, nanti
istirahat itu saya mompa lagi buat agak sore,
trus agak sore jam tiga itu nganter lagi. Habis
itu akhirnya tak titipkan (kulkas) tetangga.”(Ibu
bekerja formal, fulltime, pendidikan tinggi)
Berdasarkan hasil wawancara, hanya satu
orang ibu yang bekerja di sebuah rumah sakit
pemerintah yang mengatakan telah disediakan
fasilitas ruang menyusui untuk karyawan, sedangkan
ibu lain tidak memiliki tempat khusus untuk memerah
ASI. Ruangan yang dimanfaatkan ibu untuk memerah
ASI adalah ruang meeting, ruang brankas, atau ruang
penyimpanan barang. Karena kebijakan khusus yang
mengatur jam kerja untuk ibu menyusui tidak ada, maka
ibu berusaha memperoleh waktu untuk memerah ASI
pada saat jam kerja dengan mengomunikasikan pada
pimpinan dan rekan kerja. Jarak tempat kerja yang
jauh menyebabkan ibu tidak dapat pulang menyusui,
namun tetap dapat memberikan ASI karena sudah
memiliki simpanan ASI perah yang diperah saat jam
istirahat.
Salah satu ibu yang bekerja di rumah sakit
memiliki sistem jam kerja shift, dengan jumlah jam
kerja pada shift malam mencapai dua belas jam.
Hal ini tidak menjadi hambatan karena adanya
kebijakan pemberian shift pagi sampai bayi berusia
empat bulan bagi ibu menyusui. Ibu juga merasa
lebih senang bekerja saat shift malam karena dapat
menemani anak pada pagi hari.
Pada kelompok ibu pekerja sektor formal,
hanya satu orang yang memiliki fasilitas dan
kebijakan khusus untuk ibu menyusui. Berdasarkan
hasil wawancara mendalam dan observasi, ibu
yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah
telah memiliki lingkungan kerja ramah laktasi.
Rumah sakit tersebut telah memberikan hak dan
dukungan kepada karyawan wanita untuk dapat
74
Intan Agustina Anggraeni, Detty Siti Nurdiati, Retna Siwi Padmawati
memberikan ASI eksklusif. Fasilitas dan dukungan
yang diberikan berupa edukasi tentang ASI eksklusif
kepada karyawan, ruang menyusui dan freezer,
serta kebijakan khusus bagi ibu menyusui.
Ruang menyusui yang ada di rumah sakit
dapat digunakan oleh pengunjung maupun karyawan
untuk menyusui atau memerah ASI. Berdasarkan
hasil observasi, ruang menyusui tersebut terletak di
dalam ruang poli anak dengan ukuran ruangan lebih
kurang 4 x 5 m2. Ruangan tersebut cukup luas dan
nyaman, terdapat sebuah sofa, empat buah kursi
rapat, empat buah poster menyusui, satu buah kipas
angin, dan satu freezer.
Kebijakan untuk ibu menyusui ditetapkan
berdasarkan surat edaran dari direktur rumah sakit
tentang izin menyusui. Izin menyusui tersebut
diberikan tiga puluh hari setelah masa cuti melahirkan.
Pada awalnya, izin menyusui diberlakukan sampai bayi
berusia enam bulan namun hal tersebut dinilai kurang
efektif. Selama izin menyusui tersebut, ibu diberikan
jam kerja mulai pukul 08.00 sampai pukul 12.00 agar
memiliki waktu lebih banyak untuk menyusui di rumah.
Aturan jam kerja shift selama izin menyusui dapat
diatur sesuai kebijakan masing-masing bagian.
Ibu lain yang bekerja di sektor formal
menyatakan tempat bekerjanya belum memiliki
fasilitas dan kebijakan khusus ibu menyusui.
Meskipun belum ada fasilitas khusus dan kebijakan
tertulis, izin untuk memerah ASI dan menggunakan
ruangan kosong untuk memerah ASI diberikan
setelah ibu mengomunikasikan hal tersebut kepada
pimpinan dan rekan kerja
BAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perilaku pemberian ASI eksklusif sesuai dengan
intensi ibu. Jika ibu memiliki intensi kuat dan dapat
mengatasi hambatan, maka ASI eksklusif berhasil
diberikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya yang menunjukkan bahwa intensi
berhubungan signifikan dengan perilaku pemberian
ASI eksklusif setelah dikontrol dengan status
pernikahan, umur, dan tingkat pendidikan (13).
Ibu bekerja yang berhasil memberikan ASI
eksklusif memiliki sikap positif karena mempercayai
manfaat ASI terutama bagi bayi. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian-penelitian terdahulu
bahwa ibu memiliki sikap positif karena mempercayai
ASI dapat meningkatkan imunitas bayi serta
ASI lebih murah daripada susu formula (12,14).
Kepercayaan akan manfaat ASI terbentuk karena
ibu memiliki pengetahuan dari petugas kesehatan,
buku, internet atau berdasarkan pengalaman.
Peningkatan sikap positif dan penurunan sikap
negatif dapat meningkatan cakupan pemberian
ASI eksklusif (15). Pendidikan tentang manfaat ASI
penting diberikan guna meningkatkan sikap positif.
Bila ibu telah memiliki sikap positif maka intensi
untuk memberikan ASI eksklusif juga meningkat.
Pendidikan yang difokuskan pada peningkatan
sikap positif perlu diberikan terutama di awal
kehamilan.
Dalam penelitian ini norma yang dipersepsikan
dari lingkungan ibu cenderung tidak sesuai dengan
perilaku pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian yang memberikan
intervensi promosi ASI eksklusif dengan norma
subjektif yang berasal dari lingkungan sosial tidak
berbeda antara kelompok eksperimen dan kontrol
(16).
Efikasi diri merupakan merupakan faktor
yang paling kuat berhubungan dengan intensi
dan durasi pemberian ASI (17). Dalam penelitian
ini, diperoleh beberapa hal yang membuat ibu
memiliki efikasi diri sehingga berhasil memberikan
ASI eksklusif yaitu persepsi ASI yang cukup, bayi
yang tidak rewel, belum kembali bekerja, dan
dukungan sosial. Faktor jumlah ASI dan kondisi
bayi seringkali mempengaruhi keputusan ibu untuk
tetap memberikan ASI eksklusif atau memberikan
makanan tambahan (18). Pada ibu yang bekerja
informal, efikasi diri untuk memberikan ASI eksklusif
adalah karena ibu belum kembali bekerja selama
pemberian ASI eksklusif sehingga dengan mudah
bayi dapat disusui. Kesempatan untuk selalu berada
di rumah merupakan situasi yang membuat ibu
merasa mampu memberikan ASI eksklusif (14).
Dukungan dari suami, rekan kerja, dan pimpinan
membuat ibu pekerja sektor formal merasa yakin
dapat memberikan ASI eksklusif. Bantuan suami
di rumah, sikap rekan kerja, dan pimpinan yang
Keberhasilan ibu bekerja memberikan ASI eksklusif
memberikan waktu untuk memerah memudahkan
ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
Di masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta
kegagalan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi
oleh budaya dan kepercayaan seperti memberikan
ASI hanya dari payudara sebelah kiri, hubungan
seksual mempengaruhi kualitas ASI, membuang
kolostrum karena kotor, dan bayi lahir menangis
karena meminta makan (19). Berdasarkan hasil
penelitian ini, meskipun masih ada budaya dan
kepercayaan di sekitar ibu seperti pemberian air
gula tajin pada bayi, bayi menangis karena ingin
makan, dan membuang kolostrum karena dianggap
susu basi tidak mempengaruhi intensi ibu untuk
tetap memberikan ASI eksklusif.
Ibu yang bekerja di sektor formal dan informal
melakukan upaya yang berbeda untuk menunjang
keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Perbedaan
tersebut terutama disebabkan perbedaan waktu
kembali bekerja. Ibu pekerja sektor informal kembali
bekerja setelah anak berumur lebih dari enam
bulan dan membawa anak saat bekerja sehingga
menyusui dapat dilakukan setiap saat, sedangkan
ibu pekerja sektor formal memberikan ASI perah
karena tidak dapat menyusui saat bekerja. Sesuai
hasil penelitian di New Zealand, ibu bekerja yang
memberikan ASI berusaha untuk menyeimbangkan
peran sebagai pekerja dan sebagai ibu dengan
membuat stok ASI dan menjaga suplai ASI (20).
Intensi untuk memberikan ASI eksklusif
tidak dapat terwujud bila ibu bekerja tidak mampu
mengatasi hambatan yang berasal dari lingkungan
di sekitar ibu. Dalam penelitian ini, Ibu dapat
mengatasi hambatan karena mampu mengatur
waktu dengan baik antara aktivitas memerah dan
pekerjaan.
Hanya satu tempat kerja yang mendukung
dan memberikan fasilitas untuk karyawan yang
menyusui yaitu ibu yang bekerja di sebuah rumah
sakit pemerintah. Dukungan tersebut dimulai
dengan memberikan edukasi ASI eksklusif bagi
karyawan, penyediaan ruang menyusui dan
freezer, kebijakan ijin menyusui selama satu bulan,
serta pengaturan jam kerja shift bagi ibu menyusui.
Ijin menyusui dan pengaturan jam kerja shift ini
tidak diberlakukan hingga bayi berusia enam bulan,
75
sehingga dapat memberikan kesempatan kepada
ibu menyusui untuk lebih leluasa memberikan ASI
eksklusif.
Implementasi kebijakan dan dukungan bagi
ibu menyusui dapat dituangkan dalam bentuk tempat
kerja ramah laktasi. Konsep tempat kerja ramah
laktasi dapat disesuaikan dengan kemampuan
sumber daya dan finansial perusahaan. Komponen
dari kebijakan tempat kerja ramah laktasi meliputi
ruang atau fasilitas menyusui, kebijakan tertulis
dari perusahaan (dukungan terhadap pemberian
ASI di tempat kerja, cuti melahirkan sesuai UU,
terpenuhinya waktu istirahat yang memungkinkan
ibu untuk memerah atau menyusui), edukasi laktasi
di tempat kerja (21). Tujuan diberlakukannya
tempat kerja ramah laktasi adalah semua pihak
di perusahaan dapat menyadari dan mendukung
pemberian ASI eksklusif, memudahkan akses, dan
menjamin hak ibu bekerja untuk memberikan ASI
eksklusif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Ibu bekerja berhasil memberikan ASI eksklusif
karena memiliki intensi untuk memberikan ASI
eksklusif sejak hamil, sikap positif terhadap manfaat
ASI, efikasi diri yang baik, dapat melakukan
manajemen laktasi, dan mampu mengatasi
hambatan. Norma yang dipersepsikan dan budaya
yang tidak sesuai dengan perilaku pemberian ASI
eksklusif tidak merubah intensi ibu.
Tenaga kesehatan dan konselor laktasi
hendaknya dapat memberikan edukasi kepada ibu
hamil yang menitikberatkan pada peningkatan sikap
dan efikasi diri agar ibu hamil memiliki intensi yang
kuat untuk memberikan ASI eksklusif. Tempat kerja
diharapkan dapat mewujudkan kebijakan tempat
kerja ramah laktasi dengan memberikan edukasi,
fasilitas ruang menyusui, dan kebijakan tertulis bagi
ibu menyusui.
RUJUKAN
1. Kemenkes. Riset kesehatan dasar 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kemenkes RI; 2013.
76
Intan Agustina Anggraeni, Detty Siti Nurdiati, Retna Siwi Padmawati
2. World Health Organization. Global strategy
for infant and young child feeding. Geneva:
WHO,UNICEF; 2013.
3. Dearden K.A, Quan le N, Do M, Marsh DR,
Pachon H, Schroeder DG, Lang TT. Work
outside the home is the primary barrier to
exclusive breastfeeding in rural Vietnam:
insights from mothers who exclusively breastfed
and worked. Food and Nutrition Bulletin 2002;
23 Suppl 4:101-8.
4. Basrowi R. Pemberian ASI eksklusif pada
perempuan pekerja sektor formal [Tesis]
Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012.
5. Gatrell CJ. Secrets and lies: Breastfeeding and
professional paid work. Social Sciences and
Medicine 2007; 65:393-404.
6. Hirani, SAA; Karmaliani, R. The experiences
of urban, professional women when combining
breastfeeding with paid employment in Karachi,
Pakistan: a qualitative study. Women and Birth
2013; 26:147–51.
7. Riordan J. Breastfeeding and Human Lactation.
Boston: Jones and Bartlett Publishers; 2010.
8. Glenn JS. Knowledge, perceptions, and
attitudes of managers, coworkers, and employed
breastfeeding mothers. American Association
of Occupational Health Nurses Journal 2008;
56(10):423-31.
9. Fishbein M, Cappela JN. The role of theory in
developing effective health communications.
Journal of Communication 2006; 56:S1–S17
10. DiGirolamo A, Thompson A, Martorell R, Fein S,
Strawn LG. Intention or experience? predictors
of continued breastfeeding. Health Education &
Behavior 2005; 32(2):208-26.
11. Perrine CG, Scanlon KS, Li R, Odom E,
Laurence M, Strawn G. Baby-friendly hospital
practices and meeting exclusive breastfeeding
intention. Pediatrics 2012; 130(1):1-7.
12. Moore ER, Coty MB. Prenatal and postpartum
focus groups with primiparas: breastfeeding
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
attitudes, support, barriers, self-efficacy, and
intention. Journal of Pediatric Health Care 2006;
20(1):35-46.
Bai YK, Middlestadt SE, Joanne Peng CY, Fly
AD. Predictors of continuation of exclusive
breastfeeding for the first six months of life.
Journal Human Lactation 2010; 26(1):26-34.
Bai YK, Middlestadt SE, Joanne Peng CY, Fly
AD. Psychosocial factors underlying the mother’s
decision to continue exclusive breastfeeding for
6 months: an elicitation study. J Hum Nutr Diet
2002; 22:134-40.
Mutuli LA, Walingo MK, Othuon LA. Psychosocial
factors influencing breastfeeding behavior
of mothers attending home-based clinics in
the Western Kenya. International Journal
of Multidisciplinary Educational Research
2012;1(1):45-54.
Ryser FG. Breastfeeding attitudes, intention and
initiation in low income women: the effect of the
best start program. Journal Human Lactation
2004; 20(3):300-5.
DeJager E, Broadbent J, Tyszkiewicz MF, Helen
S. The role of psychosocial factors in exclusive
breastfeeding to six months postpartum.
Midwifery 2013; 07(008):1-10.
McInnes RJ, Hoddinott P, Britten J, Darwent K,
Craig LCA. Significant others, situations and
infant feeding behaviour change processes:
a serial qualitative interview study. BMC
Pregnancy and Childbirth 2013; 13(114):1-13.
Widaningsih. Faktor penentu pemberian ASI
eksklusif pada pengguna kontrasepsi hormonal
dan non hormonal. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta; 2013
Payne D, Nicholls DA. Managing breastfeeding
and work: a Foucauldian secondary analysis.
Journal of Advanced Nursing 2009; 66(8):1810–
18.
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).
Lingkungan kerja ramah laktasi, pedoman untuk
perusahaan; 2012.