Skip to main content
Aripin Tambunan
  • Bandung
    Indonesia
  • 0811210324
The aim of this research was to highlight the importance of internalizing Christian religious doctrine in strengthening Christian identity, due to the declining faith among Indonesian Christian youth, which was reflected in the increasing... more
The aim of this research was to highlight the importance of internalizing Christian religious doctrine in strengthening Christian identity, due to the declining faith among Indonesian Christian youth, which was reflected in the increasing number of members exiting from the church. Therefore, this research attempted to strengthen the identity of Indonesian Christian youth by developing what is termed the Moses internalization model. Social research methods and hermeneutics were used in order to achieve appropriate results. The results could be used to develop the Moses internalization model in order to teach Christian religious doctrine to young Indonesians in churches and schools, thereby strengthening their level of identity. The paper demonstrates the centrality of the example posed by Moses which serves as an internalization process, which has four stages. The first is doctrinal information, the second stage comprises doctrinal application exercises or training, the third is identity formation, and the fourth stage is the crystallization and strengthening of identity. Moses informed the Israelites through doctrines that God is One and God is God. The people were to fear the Lord and keep all the given statutes and commandments. They were taught to love the Lord God with all their heart, soul, and strength (Deuteronomy 6:4-5). The model or framework of Moses for a Christian’s identity can be applied to pastoral ministry. This model is thus is offered as a support for pastors in the important aspect of forging and internalizing strong Christian identities in their adherents.
Sasaran (goal) dari penelitian ini, ingin mengokohkan dimensi pendidikan Kristen secara holistic. Sedangkan Konteks (needs) dari penelitian ini, ingin menjawab permasalahan pelaksanaan pendidikan Kristen yang lebih mengutamakan pengajaran... more
Sasaran (goal) dari penelitian ini, ingin mengokohkan dimensi pendidikan Kristen secara holistic. Sedangkan Konteks (needs) dari penelitian ini, ingin menjawab permasalahan pelaksanaan pendidikan Kristen yang lebih mengutamakan pengajaran doktrin dari pada karakter. Untuk mencapai sasaran dalam konteks tersebut, perlu dikembangkan kembali model pendidikan Kristen era reformasi. Dengan metode penelitian kritik sosial. Metode kristik sosial (Anderson dan Moore, 1992) dipergunakan untuk melihat pengambaran sosial dalam pendidikan Kristen pada masa kini dan Hermeneutik dipergunakan untuk menelaah teks-teks Alkitab yang berhubungan dengan Pendidikan Kristen. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran tentang pelaksanaan pendidikan Kristen yang holistic, yang dapat dilakukan dalam empat tahap yaitu, doctrinal information, doctrinal application exercises, become an identity, Crystallization of identity.
The goal of this research is to strengthen the holistic dimension of Christian education. Thecontext (needs) of this research is to answer the problem of Christian education implementation which prioritizes teaching doctrine rather than... more
The goal of this research is to strengthen the holistic dimension of Christian education. Thecontext (needs) of this research is to answer the problem of Christian education implementation which prioritizes teaching doctrine rather than building character. To achieve the target in this context, it is necessary to redevelop the Christian education model in the Reformation era with the research method of social criticism. The social critical method (Anderson and Moore, 1992) is used to see the social description in Christian education today, and Hermeneutics is used to examine biblical texts related to Christian education. The results of this study contribute some ideas about the implementation of holistic Christian education, which can be carried out in four stages, namely, doctrinal information, doctrinal application exercises, becoming an identity, and Crystallization of identity.
Had you thought the existence of variety of humankind in this earth? The variety of humankind has a nature that completely different from its original nature. This variety is a result of an evolution that come from the tradition human to... more
Had you thought the existence of variety of humankind in this earth? The variety of humankind has a nature that completely different from its original nature. This variety is a result of an evolution that come from the tradition human to become the Homo Ingenium Praeter Impius. This process have been not completed in perfect up today, although it have been started from the early of modern century up today. There will be need a more dozen years to reach its perfection. This process will be perfected. When the systems, which is applying in society up today, continually directed to ward the values or truths that they are contained in empiricism, nihilism, positivism and pragmatism and they are maintained continuously. Thus these systems have an important role to accelerate the evolution process occur.The birth of this Homo Ingenium Praeter Impius was a consequent as the church refused the knowledge’s in 16-17 centuries, In that time, the church with all its inquisitions can made the vi...
Abstrak Dari sejak zaman kuno pandangan tentang harkat perempuan telah dimarginalkan, dimulai sejak Yunani kuno pada masa Aristotel hingga abad pertengahan pada masa Thomas Aquinas. Pandangan gereja dan tradisi Yahudi tidak lebih baik,... more
Abstrak Dari sejak zaman kuno pandangan tentang harkat perempuan telah dimarginalkan, dimulai sejak Yunani kuno pada masa Aristotel hingga abad pertengahan pada masa Thomas Aquinas. Pandangan gereja dan tradisi Yahudi tidak lebih baik, perempuan pun tidak mendapat tempat, bahkan dari ke-12 murid Yesus tidak seorang pun perempuan. Memasuki abad ke-18, perlawanan terhadap paham-paham tersebut di atas mulai bermunculan, di awali oleh aktivis sosialis utopis bernama Charles Forier pada tahun 1837. Perlawanan tersebut mencakup diskriminasi sosial, ekonomi, personal, pendidikan, dan kepemimpinan. Kemudian diikuti munculnya gerakan-gerakan feminisme. Perlawanan ini kemudian memasuki tatanan dan hirarki gerejawi, dengan mengangkat teks-teks Alkitab, seperti Galatia 3: 28 yang menyatakan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan; 1 Kor 11: 5 Ayat ini tidak melarang perempuan mengajar dan berkhotbah, asal mereka berdandan dan bertindak dengan sopan, yang dapat diterima oleh adat; Yang mengerucut pada pembuktian di dalam Alkitab, tentang adanya perempuan yang menjadi pemimpin dengan peran sebagai hakim, nabi, dan pelayan jemaat. Kesimpulan yang di dapat dari kajian ini adalah, dari awalnya rancangan Allah (Order of Creation) atas manusia adalah laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sub-ordinat. Penebusan Kristus (Order of Redemption) tidak membatalkannya atau mengesampingkannya (Gal 3: 26-29; Ef 2: 19-22; 5:21). Namun bukan berarti perempuan tidak bisa melayani, tetapi pelayanan mereka sebagai penolong, memberi tumpangan, dan perbuatan lain yang dapat dinikmati oleh orang banyak atau jemaat. Namun meskipun demikian, tampaknya perempuan diijinkan menjadi seorang pemimpin, manakala di sana tidak terdapat laki-laki yang cakap sebagai pemimpin. Artinya ada kasus kekecualian atau kasus khusus dimana perempuan diijinkan untuk menjadi pemimpin jemaat. Kata-kata Kunci: Perempuan, Gembala, Gereja, Teologi, Filsafat, Alkitab Pendahuluan Dari sejak zaman kuno pandangan tentang harkat seorang perempuan sudah sangat tidak berharga, hal ini dapat terlihat dari pemaparan seorang peneliti perempuan di Afrika yang bernama Kasomo Daniel dari departemen Filsafat Agama dan Teologi dari Maseno University, Kenya (2010: 127). Di dalam pemaparannya ia menyatakan, bahwa sejak zaman kuno perempuan telah mendapatkan penolakan harkat dan kesetaraannya dengan laki-laki. Pandangan agama-agama Timur yang menolak perempuan dan menghubungkannya dengan sifat binatang. Di Yunani kuno, di dalam filsafat politik Aristoteles digambarkan hubungan perempuan dan laki-laki sebagai berikut: "The male is by nature superior, and the female inferior; and the one rules, and the other is ruled; this principle, of necessity, extends to all mankind: (1999: I (V), 9). Bahkan dalam tulisannya pada The History of Animal ia mengambarkannya demikian, "As 1
Had you thought the existence of variety of humankind in this earth? The variety of humankind has a nature that completely different from its original nature. This variety is a result of an evolution that come from the tradition human... more
Had you thought the existence of variety of humankind in this earth?
The variety of humankind has a nature that completely different from its
original nature. This variety is a result of an evolution that come from the
tradition human to become the Homo Ingenium Praeter Impius. This process have been not completed in perfect up today, although it have been started from the early of modern century up today. There will be need a more dozen years to reach its perfection. This process will be perfected. When the systems, which is applying in society up today, continually directed to ward the values or truths that they are contained in empiricism, nihilism, positivism and pragmatism and they are maintained continuously. Thus these systems have an important role to accelerate the evolution process occur.
The God murder way such that above mentioned is an obsolete and classic. Today there is emerged the most beauty new paradigm to kill God, which played its role with still be able to have the spirituality eventhough without God.... more
The God murder way such that above mentioned is an obsolete and classic. Today there is emerged the most beauty new paradigm to kill God, which played its role with still be able to have the spirituality eventhough without God. Comte-Sponville is the pioneer, he argued that ‘human being can life without the religion, but human being cannot life without spirituality: The spirituality that is designed is the spirituality without the God. Is it possible the human being can be conducted? Be fore to discuss this topic, it is better in advance to discuss is God exist? And what the spirituality is?
Abstraksi Persfektif kerja dalam dunia Yunani kuno, dapat dilihat dari tiga persfektif yaitu, persfektif tradisi, persfektif sofis, dan persfektif filsuf. Persfektif tradisi mengatakan bahwa kerja adalah kehinaan bagi manusia, kerja bagi... more
Abstraksi Persfektif kerja dalam dunia Yunani kuno, dapat dilihat dari tiga persfektif yaitu, persfektif tradisi, persfektif sofis, dan persfektif filsuf. Persfektif tradisi mengatakan bahwa kerja adalah kehinaan bagi manusia, kerja bagi kaum sofis terarah kepada yang penting mendapatkan uang, popularitas dan pujian. Kerja dalam persfektif filsuf, tertuju pada pencapaian kebahagiaan, sehingga manusia ada pada kondisi optimal atau arête. Sumbangsih pemikiran yang paling mempengaruhi kehidupan kekristenan tentang kerja, yang dapat terlihat pengaruhnya sampai kini adalah pembagian dua dunia yaitu: dunia rohani (melakukan kerja yang bersifat rohani seperti: doa, khotbah, menaikkan pujian, puasa) yang bersifat kekal dan lebih tinggi nilainya, daripada dunia profane (melakukan kerja yang bersifat duniawi seperti: kerja kantoran, masak, mencuci, tukang bangunan). kerja bagi seorang Kristen adalah merupakan perwujudan imannya kepada Allah. Bila demikian, maka tidak ada dualisme tentang dunia kerja di dalam kekristenan, satu dunia kerja profan dan satu dunia kerja sakral. Dunia kerja profan adalah dunia kerja sekuler dan dunia kerja sakral adalah dunia kerja yang bercorak rohani. Sebab kerja dalam mandat kerja yang diberikan dalam Kej 1: 28 adalah kerja dalam bentuk holistik yang tidak membedakan dunia kerja sakral dan dunia kerja profan. Pendahuluan Ketika saya diminta untuk menulis artikel ini, beberapa pertanyaan muncul di benak saya. Apakah ada relevansi persfektif kerja dalam dunia Yunani Kuno dengan dunia dimana sekarang saya hidup (postmodern)? Apakah orang-orang yang hidup pada 2400 tahun yang lalu, boleh memberikan sumbangsih pemikiran tentang kerja bagi orang yang hidup di era postmodern ini? Bukankah banyak perbedaan tentang persfektif kerja yang akan terjadi? Seperti, masalah dan tantangan yang dihadapi akan berbeda, dilema moral yang ditimbulkannya juga berbeda, motivasi dan dorongan bekerja juga berbeda. Melihat permasalahan yang demikian, maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah melihat persfektif kerja dalam Yunani Kuno, lalu kemudian persfektif tersebut dilihat dari sudut pandang kekristenan untuk melihat relevansi dan sumbangsih yang dapat diberikan dari bekerja menurut persfektif Yunani kuno. Pada masa Yunani kuno, tepatnya masa pra-Sokratik dan masa Sokratik, ada tiga persfektif tentang berperikehidupan yang menghiasi kehidupan penduduk kota Athena. Pertama, kerja adalah kehidupan yang paling hina bagi manusia. Sebab bekerja merupakan tindasan hidup bagi manusia Yunani. Hal itu disebabkan pemikiran bahwa bekerja bagi seorang merdeka merupakan kehinaan dalam peradaban Yunani klasik. 1 Itu sebabnya yang bekerja 1 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006), hal. 60-61.
Abstraksi: Perubahan social sangat berpengaruh kepada masa depan gereja, pada abad pertengan perilaku social masyarakat dikuasai oleh otoritas gereja dan Aristoteles. Apapun yang dilakukan oleh masyarakat/ seseorang harus sesuai dengan... more
Abstraksi: Perubahan social sangat berpengaruh kepada masa depan gereja, pada abad pertengan perilaku social masyarakat dikuasai oleh otoritas gereja dan Aristoteles. Apapun yang dilakukan oleh masyarakat/ seseorang harus sesuai dengan doktrin gereja, jika tidak, maka inkuisisi gereja akan menghukumnya. Pada abad ini, gereja masih menjadi pemimpin arah zaman. Pada abad modern, terjadi perubahan otoritas. Otoritas dipegang oleh rasio atau intelektual. Jika perilaku masyarakat/ seseorang tidak sesuai dengan kebenaran, maka tidak dapat diterima. Itulah sebabnya teks-teks kitab suci harus disesuaikan dengan rasio, jika teks-teks tersebut berisi mujizat-mujizat, maka harus didemitologisasikan. Mulai dari sini, gereja telah menjadi pengikut zaman, bukan lagi pemimpin zaman. Memasuki posmodernisme, terjadi perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat yakni terjadinya kegandrungan social virtual, hal ini disebabkan berkembangnya teknologi informasi. Kegandrungan social virtual ini masuk ke gereja, sehingga muncul gereja virtual seperti: http://www.lifechurch.tv., gereja Northland di Orlando, Florida, telah memanfaatkan facebook untuk melakukan pelayanan pujian dan penyembahan kepada 500 juta pengguna facebook secara langsung, GKPB FP Bandung telah membuka satelit virtual. Jika perkembangan ini diikuti oleh gereja-gereja lain, bagaimana dengan masa depan gereja? Maka perlu pemikiran ulang tentang gereja (rethinking the church), tentang konsep jemaat, konsep ibadah, konsep misi dan pemuridan, dan konsep pengembalaan, tentu akan berubah? Kata-kata Kunci: Perubahan, gereja, social, virtual, masyarakat, perilaku, jemaat. Pendahuluan Perubahan sosial sangat berpengaruh kepada masa depan gereja, hal ini dapat terlihat di Eropa. Masyarakat Eropa hingga masa abad pertengahan masih tunduk di bawah otoritas gereja, perilaku sosial masyarakatnya dikontrol dan dikuasai oleh gereja. Gereja sebagai pedoman penentu terhadap perilaku di masyarakat, sehingga keadaan sosial masyarakat ditentukan dan diarahkan oleh gereja. Keadaan ini tidak dapat terus dipertahankan, dikarenakan terjadinya pemberontakan intelektual. Pemberontakan intelektual ini terjadi karena pemikiran yang ada hingga abad pertengahan, hanya berdasar pada pemikiran hirarki. Dimulai dari kenyataan yang tertinggi hingga terendah dan metoda hirarkis ini selalu mengacu pada otoritas filsafat Aristoteles dan kitab suci. Pada hal pada kenyataannya, manusia memiliki kemampuan rasio untuk mengembangkan diri dan melepaskan diri dari otoritas gereja. Sebab itu muncul suatu semangat baru yang disebut semangat Renaisans (kelahiran kembali), kelahiran kembali kebudayaan Yunani dan Romawi yang telah dikebumikan oleh masyarakat abad pertengahan dibawah komando gereja. Semangat baru ini mengusung misi pemberontakan intelektual terhadap intelektual abad pertengahan. Seperti yang dilakukan oleh Petrarkha (1304-1374) yang menolak pemikiran Agustinus,
Pendahuluan Penolakan terhadap eksistensi Tuhan telah dimulai jauh sebelum abad-17, namun intensitasnya semakin kuat dirasakan sejak abad 17 sampai saat ini. Penolakan ini dapat terlihat dari kategori-kategori berikut: Pertama, Kategori... more
Pendahuluan Penolakan terhadap eksistensi Tuhan telah dimulai jauh sebelum abad-17, namun intensitasnya semakin kuat dirasakan sejak abad 17 sampai saat ini. Penolakan ini dapat terlihat dari kategori-kategori berikut: Pertama, Kategori kejahatan dan penderitaan. Beberapa orang telah menolak keberadaan Tuhan, karena adanya kejahatan dan penderitaan di dunia ini yang terus berlangsung. Biasanya keberatan mereka adalah sama seperti yang dipertanyakan oleh Fyodor Dostoevski, yaitu: How it is possible for an all-powerful, all good God to permit suffering in the world? (Gould, 1985: 489). B.C. Johnson mengatakan karena ada kejahatan dan penderitaan, maka, '…God Cannot be all good and (by implication) that the God of traditional theism is incoherent' (Lawhead, 2003: 106). Kedua, Kategori kebebasan manusia. Percaya kepada Tuhan menghambat kebebasan manusia. Sebab "jika Tuhan tidak ada segalanya mungkin" demikian dikatakan Dostoevski. Jean Paul Sartre berkata, karena manusia bebas, maka Allah tidak boleh ada. Jika ada Allah, maka manusia tidak memiliki kebebasan. Mengapa? Karena Allah telah mentakdirkan manusia itu dari awalnya, sehingga manusia tidak bebas atau tidak dapat memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan dirinya. Dengan demikian, manusia hanya dapat mengembangkan eksistensinya saja. (Lihat Sartre, 1966:559-711). Ketiga, kategori IPTEK. Ilmu pengetahuan modern menolak adanya pengalaman tentang Tuhan. Hal ini dapat terlihat dari penolakan David Hume terhadap Tuhan. Ia tidak percaya adanya Allah, karena Ia tidak dapat dibuktikan secara empiris atau secara pengalaman. Sebab, sumber pengetahuan baginya adalah dari kesan ke gagasan dan bukan sebaliknya. Contoh, ketika saya melihat tempat tidur di kamar, maka itu adalah kesan dan ketika membuka mata, maka dikepala saya ada imajinasi tentang kamar saya. Hal itu merupakan representasi atau wakil dari kesan saya. Demikian halnya mengenai Allah, Ia tidak dapat dibuktikan dengan kesan manusia. Ia tidak dapat diraba, dilihat dan diobservasi oleh manusia. Oleh sebab itu, Ia tidak ada, tidak dapat untuk dibuktikan. Manusia hanya dapat memperoleh gagasan mengenai-Nya. Namun gagasan tanpa kesan adalah suatu kebohongan dan itu hanyalah ilusi atau imajinasi saja. Hume mengatakan, Thus when we affirm, that God is existent, we simply form the idea of such a being, as he is represented to us; nor is the existence,
Oleh Aripin Tambunan Seharusnya yang patut diperjuangkan perempuan saat ini adalah, melawan sistem pemikiran budaya posmodern yang bersinergi dengan kapitalisme untuk menjadikan perempuan (tubuh, gairah, dan kecantikannya), sebagai barang... more
Oleh Aripin Tambunan Seharusnya yang patut diperjuangkan perempuan saat ini adalah, melawan sistem pemikiran budaya posmodern yang bersinergi dengan kapitalisme untuk menjadikan perempuan (tubuh, gairah, dan kecantikannya), sebagai barang komoditi maupun metakomoditi. Pendahuluan Di dalam budaya postmodern, khususnya posmodernisme dekonstruktif (deconstructive postmodernism), segala bentuk otoritas tidak lagi berlaku. Wacana kebebasan mendominasi aspek pemikiran maupun aspek perilaku yang memunculkan paradigma-paradigma baru di dalam berkehidupan. Apa yang tadinya disebut rasa malu, rasa berdosa, rahasia (ruang private), dan religius, kini telah digantikan dengan sebutan baru, rasa kewajaran (normal) bukan malu dan berdosa, materialitas merupakan hal yang wajar, ketelanjangan (obscenity) menjadi milik publik, dan sekularitas adalah tujuan tertinggi dari kehidupan. Pemikiran posmodernisme dekonstruktif ini berdampak kepada sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Sebagian kaula muda menyambutnya karena mendapatkan kebebasan dari pengekangan terhadap hasratnya (seks) dan norma-norma yang berlaku, para kapitalis menyambutnya dengan sangat sukacita. Sebab dengan situasi seperti itu akan lebih muda untuk mendapatkan tambahan komoditi yang akan dijual ataupun tambahan komoditi yang dipergunakan untuk menjual komoditi-komoditi lainnya (metakomoditi). 1 Pengaruh postmodern dekonstruktif ini mempengaruhi pola pikir dan perilaku sebagian perempuan. Hal tersebut menyebabkan sebagian perempuan terjatuh dari harkatnya yang punya kemuliaan dan hormat, menjadi suatu komoditi yang memiliki nilai guna, nilai tukar, dan nilai tanda. Nilai gunanya: perempuan dapat menjadi karyawan, prostitusi, dan pelayan; nilai tukarnya, gadis model, gadis peraga, dan hostess; nilai tandanya, erotic magazine, erotic art, majalah porno, erotic film, dan erotic photo graphy. 2 Sekalipun perempuan telah terperosok ke dalam permainan budaya postmodern ini, para pejuang feminis tetap masih berkutat pada dua bidang berikut ini: pertama, tuntutan kesamaan hak atau kesetaraan, untuk mendapatkan hak pilih (feminisme gelombang pertama); kedua, 1 Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta: jalasutra, 2004), hal. 389. 2 Ibid., hal. 380.
Pendahuluan Dua kemalangan yang terjadi pada dunia kekristenan menyangkut tema di atas, pertama, ada orang yang beriman dan mau melayani tetapi tidak terdidik dengan baik, sehingga berpotensi besar untuk mengajarkan ajaran yang berbeda... more
Pendahuluan Dua kemalangan yang terjadi pada dunia kekristenan menyangkut tema di atas, pertama, ada orang yang beriman dan mau melayani tetapi tidak terdidik dengan baik, sehingga berpotensi besar untuk mengajarkan ajaran yang berbeda dari Alkitab. Dengan kata lain ia mengajarkan ajaran sesat tanpa bermaksud menyesatkan. Dan bila seseorang memegang prinsip ini, maka alat ukur untuk mengukur seseorang layak melayani adalah kemauan dan bukannya kemampuannya. Dan akibatnya muncul orang yang beriman namun buta pendidikan, pada hal Alkitab sangat menekankan pendidikan. Hal itu dapat terlihat dalam kitab Amsal, dan yang lebih tegas dapat terlihat dalam, Ulangan 6: 4-7, yaitu "... haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." Kedua, ada yang berpikir pendidikan teologi lebih utama daripada iman, itu sebabnya ia akan terus mengejar pendidikan, tanpa memperhatikan garis pemisah tentang pendidikan tersebut. Apakah masih berdasarkan Alkitab atau berdasarkan filsafat dan sains. Dan karena ia terlalu mengagungkan filsafat dan sains, maka ia mulai menghina Alkitab, dan berkata "Alkitab perlu direkonstruksi, tidak dapat diterima rasio." Pada hal untuk merekonstruksi Alkitab memerlukan manuskrip 1 asli agar dapat dilakukan perbaikan yang sesuai dengan aslinya. Namun kenyataannya yang asli sudah tidak diketahui keberadaannya, dan yang ada adalah salinan-salinan yang di duga mendekati aslinya. Kemalangan pertama di atas tidak selaras dengan kekristenan, sebab kekristenan adalah agama buku. 2 Artinya, jika seseorang ingin tahu harus bagaimana ia menyembah, harus hidup atau berperilaku sebagai seorang yang beriman kepada Tuhan, maka ia harus melihat/ mempelajari Alkitab, masuk ke dalam pendidikan. Dan bagaimana ia bisa mempelajari Alkitab, jika ia tidak belajar (terdidik) cara mempelajari/ menafsir Alkitab? Bagaimana ia dapat melayani dengan baik, jika ia tidak tahu apa yang harus ia beritakan/ ajarkan. Sebab pengetahuan yang benar terhadap firman Tuhan, akan menghasilkan iman yang benar dan iman yang benar akan menghasilkan tingkahlaku yang benar. Tidak heran, pada masa awal kekristenan, Celsus menuduh, bahwa pengikut-pengikut Kristen adalah orang-orang bodoh, ia mengatakan: 3 Nasihat (orang Kristen) adalah seperti ini. "jangan biarkan orang terpelajar, orang berhikmat, orang yang masuk akal datang mendekat. Karena kesanggupan-kesanggupan demikian kita pandang sebagai kejahatan, tetapi bagi siapapun yang bodoh, yang 1 Lihat, Bart D. Ehrman dalam bukunya, Misquoting Jesus, Jakarta: Gramedia, 2006, tentang bagaimana penyalinan ulang manuskrip-manuskrip pada abad I sampai abad IV. 2 Meminjam istilah yang dipakai oleh Bart D. Ehrman. 3 Ibid., hlm. 30-31.
Pendahuluan Bila dilihat dalam ranah Filsafat, maka persoalan etika sebenarnya telah terlihat nyata dalam kehidupan Yunani klasik. Para sofis telah muncul sebagai ahli pikir yang kritis, namun tidak lagi mengutamakan kebenaran. Bagi... more
Pendahuluan Bila dilihat dalam ranah Filsafat, maka persoalan etika sebenarnya telah terlihat nyata dalam kehidupan Yunani klasik. Para sofis telah muncul sebagai ahli pikir yang kritis, namun tidak lagi mengutamakan kebenaran. Bagi mereka yang terpenting adalah memenangkan perdebatan, itu sebabnya mereka lebih mengembangkan ilmu retorika. Mereka menghantam sendi-sendi moralitas yang ada dengan satu pemikiran moralitas baru dengan berkata, bahwa "baik" dan "buruk" merupakan masalah keputusan bersama daripada suatu aturan abadi. Menurut mereka aturan tidak abadi, apalagi dapat berlaku umum. Itu sebabnya mereka mengeluarkan pemikiran-pemikiran baru, di mana dua orang yang terkenal dari mereka adalah Protagoras, "Manusia adalah ukuran segalanya" (kebenaran relatif, kebenaran tidak lagi tergantung pada isi) dan Georgias, "Kebenaran itu memang sudah tidak ada lagi, (Nihilisme). Bila manusia ukuran segalanya, maka "baik" dan "buruk" pun adalah soal masalah kesepakatan bersama saja, tidak lebih dari itu. Akibatnya norma etika hanya dapat berlaku pada suatu tempat tertentu dengan kesepakatan bersama. Dengan demikian, maka orang-orang yang tinggal di suatu desa yang keseluruhannya mereka memiliki pekerjaan sebagai perampok, akan membuat aturan etika bagi mereka dengan kesepakatan bersama, bahwa barang siapa dapat merampok lebih besar dan sadis, maka ia adalah manusia bermoral dan terhormat. Dan barang siapa yang tidak melakukan perampokan adalah orang yang tidak bermoral. Ukuran moral tergantung dari "siapa" dan "di kelompok mana Anda berdiri sebenarnya. Pemikiran seperti ini mendapat banyak tantangan dari para filsuf sejati yang bukan sofis. Mereka mengeluarkan teori-teori etika, seperti imperatif kategoris, bahwa hukum moral ada di bathin dan sifatnya wajib (Kant), demikian juga dengan etika imperatif tanggungjawab, yang memberikan dalil perlunya tanggungjawab untuk kelangsungan umat manusia dari Hans Jonas 1 , dan etika hukum kodrat (Thomas Aquinas), dimana hidup menurut hukum kodrat bukanlah untuk hidup sesuai dengan peraturan Tuhan. Tetapi memang sesuai dengan hidup yang meski dijalankan manusia. Hal tersebut terjadi karena manusia memiliki hati nurani. 2
Pendahuluan Setelah melihat varietas baru manusia: Homo Ingenium Praeter Impius, yang datang sebagai hasil dari pendidikan modern, maka kini akan diperlihatkan varietas baru manusia: Vir Doctus Et Credit Fortiter Deo. Vir Doctus Et Credit... more
Pendahuluan Setelah melihat varietas baru manusia: Homo Ingenium Praeter Impius, yang datang sebagai hasil dari pendidikan modern, maka kini akan diperlihatkan varietas baru manusia: Vir Doctus Et Credit Fortiter Deo. Vir Doctus Et Credit Fortiter Deo, adalah manusia genius tetapi percaya kepada Tuhan. Varietas ini lahir sebagai hasil ciptaan baru dari Tuhan. Dimanakah kelebihan manusia baru: Homo Ingenium Praeter Impius dibandingkan dengan Vir Doctus Et Credit Fortiter Deo? Bisakah manusia baru, Vir Doctus Et Credit Fortiter Deo, lebih unggul dari Homo Ingenium Praeter Impius? Ataukah sebaliknya yang terjadi? Varietas ini merupakan hasil penciptaan ulang yang dilakukan oleh Tuhan pada manusia lama (keturunan Adam), seperti yang tertulis dalam Efesus 4: 24, 'dan mengenakan manusia baru, 1 yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.' KJV, menterjemahkannya sebagai berikut: And that ye put on the new man, which after God is created in righteousness and true holiness. The Expositor's Bible Commentary, menjelaskan bahwa, righteousness atau δικαιοσυνη (Yun), often stands for the uprightness of those who are made right with God. 2 Jadi perkataan God is created in righteousness and true holiness, dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai, Tuhan menciptakan di dalam keadilan dan kekudusan yang benar. Hal itu berarti manusia baru yang dicipta ulang ini memiliki aspek hukum (keadilan), aspek moral (kekudusan), dan aspek rasio (kebenaran). Ketiga aspek inilah yang membedakan varietas baru ini dengan manusia tradisional dan manusia varietas baru Homo Ingenium Praeter Impius. Perbedaan tersebut digambarkan The Interpreter's Bible, sebagai 'The desires which ruled the old self were deceitful, and brought life to ruin; the righteousness and holiness of the new life are true, and bring life to its true fulfillment.' 3 Jadi varietas baru ini, dapat membawa hidup kepada pemenuhan yang benar dari aspek hukum, aspek moral, dan aspek rasio. 1 Pada surat Efesus dibedakan antara manusia baru (καινὸν ἄνθρωπον) dengan manusia lama (παλαιὸν ἄνθρωπον), perbedaan itu terletak pada siapa yang menguasai. καινὸν ἄνθρωπον dikuasai oleh Tuhan, sementara παλαιὸν ἄνθρωπον dikuasai oleh keinginan-keinginan yang jahat seperti pada (Kolose 3: 5; 3: 8).