[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Spiritualitas Tanpa Tuhan, Mungkinkah

2009, Jurnal Transformasi STT Inti Bandung

Pendahuluan Penolakan terhadap eksistensi Tuhan telah dimulai jauh sebelum abad-17, namun intensitasnya semakin kuat dirasakan sejak abad 17 sampai saat ini. Penolakan ini dapat terlihat dari kategori-kategori berikut: Pertama, Kategori kejahatan dan penderitaan. Beberapa orang telah menolak keberadaan Tuhan, karena adanya kejahatan dan penderitaan di dunia ini yang terus berlangsung. Biasanya keberatan mereka adalah sama seperti yang dipertanyakan oleh Fyodor Dostoevski, yaitu: How it is possible for an all-powerful, all good God to permit suffering in the world? (Gould, 1985: 489). B.C. Johnson mengatakan karena ada kejahatan dan penderitaan, maka, '…God Cannot be all good and (by implication) that the God of traditional theism is incoherent' (Lawhead, 2003: 106). Kedua, Kategori kebebasan manusia. Percaya kepada Tuhan menghambat kebebasan manusia. Sebab "jika Tuhan tidak ada segalanya mungkin" demikian dikatakan Dostoevski. Jean Paul Sartre berkata, karena manusia bebas, maka Allah tidak boleh ada. Jika ada Allah, maka manusia tidak memiliki kebebasan. Mengapa? Karena Allah telah mentakdirkan manusia itu dari awalnya, sehingga manusia tidak bebas atau tidak dapat memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan dirinya. Dengan demikian, manusia hanya dapat mengembangkan eksistensinya saja. (Lihat Sartre, 1966:559-711). Ketiga, kategori IPTEK. Ilmu pengetahuan modern menolak adanya pengalaman tentang Tuhan. Hal ini dapat terlihat dari penolakan David Hume terhadap Tuhan. Ia tidak percaya adanya Allah, karena Ia tidak dapat dibuktikan secara empiris atau secara pengalaman. Sebab, sumber pengetahuan baginya adalah dari kesan ke gagasan dan bukan sebaliknya. Contoh, ketika saya melihat tempat tidur di kamar, maka itu adalah kesan dan ketika membuka mata, maka dikepala saya ada imajinasi tentang kamar saya. Hal itu merupakan representasi atau wakil dari kesan saya. Demikian halnya mengenai Allah, Ia tidak dapat dibuktikan dengan kesan manusia. Ia tidak dapat diraba, dilihat dan diobservasi oleh manusia. Oleh sebab itu, Ia tidak ada, tidak dapat untuk dibuktikan. Manusia hanya dapat memperoleh gagasan mengenai-Nya. Namun gagasan tanpa kesan adalah suatu kebohongan dan itu hanyalah ilusi atau imajinasi saja. Hume mengatakan, Thus when we affirm, that God is existent, we simply form the idea of such a being, as he is represented to us; nor is the existence,

Spiritualitas Tanpa Tuhan, Mungkinkah? Oleh Aripin Tambunan Pendahuluan Penolakan terhadap eksistensi Tuhan telah dimulai jauh sebelum abad-17, namun intensitasnya semakin kuat dirasakan sejak abad 17 sampai saat ini. Penolakan ini dapat terlihat dari kategori-kategori berikut: Pertama, Kategori kejahatan dan penderitaan. Beberapa orang telah menolak keberadaan Tuhan, karena adanya kejahatan dan penderitaan di dunia ini yang terus berlangsung. Biasanya keberatan mereka adalah sama seperti yang dipertanyakan oleh Fyodor Dostoevski, yaitu: How it is possible for an all-powerful, all good God to permit suffering in the world? (Gould, 1985: 489). B.C. Johnson mengatakan karena ada kejahatan dan penderitaan, maka, ‘…God Cannot be all good and (by implication) that the God of traditional theism is incoherent’ (Lawhead, 2003: 106). Kedua, Kategori kebebasan manusia. Percaya kepada Tuhan menghambat kebebasan manusia. Sebab “jika Tuhan tidak ada segalanya mungkin” demikian dikatakan Dostoevski. Jean Paul Sartre berkata, karena manusia bebas, maka Allah tidak boleh ada. Jika ada Allah, maka manusia tidak memiliki kebebasan. Mengapa? Karena Allah telah mentakdirkan manusia itu dari awalnya, sehingga manusia tidak bebas atau tidak dapat memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan dirinya. Dengan demikian, manusia hanya dapat mengembangkan eksistensinya saja. (Lihat Sartre, 1966:559-711). Ketiga, kategori IPTEK. Ilmu pengetahuan modern menolak adanya pengalaman tentang Tuhan. Hal ini dapat terlihat dari penolakan David Hume terhadap Tuhan. Ia tidak percaya adanya Allah, karena Ia tidak dapat dibuktikan secara empiris atau secara pengalaman. Sebab, sumber pengetahuan baginya adalah dari kesan ke gagasan dan bukan sebaliknya. Contoh, ketika saya melihat tempat tidur di kamar, maka itu adalah kesan dan ketika membuka mata, maka dikepala saya ada imajinasi tentang kamar saya. Hal itu merupakan representasi atau wakil dari kesan saya. Demikian halnya mengenai Allah, Ia tidak dapat dibuktikan dengan kesan manusia. Ia tidak dapat diraba, dilihat dan diobservasi oleh manusia. Oleh sebab itu, Ia tidak ada, tidak dapat untuk dibuktikan. Manusia hanya dapat memperoleh gagasan mengenai-Nya. Namun gagasan tanpa kesan adalah suatu kebohongan dan itu hanyalah ilusi atau imajinasi saja. Hume mengatakan, Thus when we affirm, that God is existent, we simply form the idea of such a being, as he is represented to us; nor is the existence, 1 which we attribute to him, conceiv’d by a particular idea, which we join to the idea of his other qualities, and can again separate and distinguish from them ( 2003: 65). Keempat, kategori materialistik yang memandang dunia sebagai materi, sehingga tidak ada tempat untuk Tuhan di alam semesta. Buchner, seorang pendekar materialism Jerman mengatakan, ‘That matter is the ultimate principle of life’ mengapa ia mengatakan hal tersebut, karena materi itu abadi, ia mengatakan: ‘Both matter and energy cannot be destroyed, both have existed from the beginning of time. No God, then, is needed to explain the structure and the origin of the universe (Mayer, 1951: 492). Kelima, kategori Tuhan itu hanya dapat didalilkan namun tidak dapat dipertunjukkan kehadiran-Nya. Comte-Sponville1 mengatakan keberadaan Tuhan hanya bisa didalilkan namun tak dapat dipertunjukkan. Kehadiran-Nya adalah objek keimanan, bukan pengetahuan (penolakan terhadap argumentasi ontologis tentang keberadaan Tuhan yang telah dilakukan oleh Anselmus pada abad 11) (Ibid., 93). Itulah sebabnya Ia percaya bahwa Tuhan itu tidak ada, paling tidak dalam hidup ini (2007: 80). Mengapa? Karena ia tidak memiliki cukup bukti, apakah Tuhan itu ada atau tidak ada (Ibid.,86). Keenam, kategori kekecewaan melihat sikap-sikap orang Kristen dan teologi yang berkembang. Ludwig Andreas Feurbach yang banyak mempengaruhi Marx, Freud, dan Nietzsche, mengatakan, I have changed over from theology to philosophy, no salvation without philosophy. Mengapa ia mengutarakan hal ini adalah karena ia kecewa dengan teologi yang pada waktu itu dipengaruhi oleh dua aliran yakni, teologi ortodoks dan teologi liberal. Di mana teologi ortodoks pada waktu itu terlibat peperangan dengan rasionalisme dan teologi liberal yang mencoba menyesuaikan diri dengan filsafat yang mengambil bahan dasarnya dari filsafat Hegel, (Fattah, 2004: 57). Kemudian ia mengembangkan filsafatnya mengenai Tuhan, ia mengatakan bahwa manusialah yang menciptakan Allah dengan mengeluarkan sifat-sifat manusia ke luar dari dirinya, menjadi satu pribadi yang mandiri dan kemudian menyembahnya dan menyebutnya sebagai Allah. Dengan menyebut Allah sebagai mahatahu, manusia sebenarnya hanya memenuhi dambaannya untuk bisa mengetahui segala sesuatu, dengan mengatakan Allah ada di mana-mana, manusia ingin memenuhi keinginannya agar tidak terikat pada ruang, dan dengan mengatakan Allah itu kekal, manusia sebenarnya ingin memenuhi keinginannya untuk tidak terikat oleh waktu. Feurbach menamakan ini sebagai proyeksi manusia (Sudarminta & Tjahjadi, 2008: 146). Jika pendapat Feurbach demikian, tidak heran, Montaigne mengatakan, ”mahluk yang bernama manusia itu agaknya gila. Ia mustahil dapat menciptakan seekor ulat sekalipun, tapi ia menciptakan lusinan Tuhan.” 1 Ia adalah seorang Filsuf terkemuka Prancis. Ia pernah menjadi professor filsafat di Universitas Sorbonne, Paris. Ia penganut Kristen Khatolik hingga berusia 18 tahun, dan kemudian berubah menjadi seorang ateis dan menolak disebut sebagai seorang agnostik (tidak membenarkan maupun menyangkal keberadaan Tuhan). 2 Cara penjagalan Tuhan seperti tersebut di atas, telah usang dan klasik. Kini muncul paradigma baru pembunuhan Tuhan yang sangat cantik, yang memainkan perannya dengan tetap mampu memiliki spiritualitas sekalipun tanpa Tuhan. ComteSponville mempeloporinya, ia mengatakan ‘manusia dapat hidup tanpa agama, tetapi tidak bisa hidup tanpa spiritualitas’ Spiritualitas yang dimaksudkannya adalah spiritualitas tanpa Tuhan. Mungkinkah hal tersebut dapat dilakukan manusia? Sebelum membahas hal tersebut, hendaklah terlebih dahulu di bahas, apakah Tuhan itu ada? Dan apakah spiritualitas itu? Apakah Tuhan Itu Ada? Pada topik ini, saya tidak akan mencoba untuk memberikan argumentasiargumentasi klasik untuk membuktikan adanya Tuhan. Seperti, argumentasi ontologis2, argumentasi sebab pertama3, argumentasi hukum alam4, argumentasi rancangan5, dan argumentasi moral6. Karena hal tersebut telah dibahas para pemikir terdahulu seperti Anselmus, Thomas Aquinas dan Agustinus. Pertanyaan pertama yang perlu diajukan untuk menjelaskan topik ini adalah, dapatkah Tuhan di nalar? Jika dapat sejauhmana? Dapatkah Tuhan menjadi objek bagi manusia? Sama seperti alam semesta yang dibuat menjadi objek bagi manusia. Bagaimana jika ternyata objek tersebut (Tuhan) melampaui otak manusia, sehingga manusia tidak dapat mendefinisikannya dengan baik; apakah manusia akan berkata, Tuhan itu tidak ada? Tuhan itu ilusi? Tuhan itu hanya proyeksi manusia? Apakah karena manusia tidak dapat memikirkan tindakan-tindakan yang dilakukan Tuhan, sehingga membolehkan manusia untuk berkata Tuhan itu tidak ada? Apakah karena manusia dapat memikirkan (menalar) Tuhan, sehingga dapat berkata Tuhan itu ada? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, marilah terlebih dahulu dilihat definisi Tuhan, sekalipun Tuhan tidak dapat didefinisikan manusia dengan baik. Hal tersebut karena pengetahuan dan pengalaman manusia yang tidak lengkap, baik akan alam semesta yang dapat dijadikan objek oleh manusia, maupun akan Allah, yang seharusnya menjadi subjek dan bukannya objek bagi manusia. Sekalipun dalam keterbatasan itu, baiklah diambil definisi Tuhan yang telah dilakukan oleh ComteSponville. Comte-Sponville memberikan defenisi tentang Tuhan ialah Zat yang kekal abadi, yang Gaib dan Mahasempurna (yang Mahamelihat dan Mahatinggi di alam semesta), yang Mahakuasa dan atas kehendak-Nya menciptakan alam semesta ini. Dia diakui 2 Tuhan didalilkan sebagai wujud Yang Mahatinggi, Wujud Yang Sempurna. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memiliki sebab, dan jika itu terus ditelusuri, maka akan sampai kepada sebab pertama. Dan penyebab pertama itu adalah Tuhan. 4 Tuhan yang menempatkan hukum-hukum-Nya di alam, sehingga alam ada dalam keadaan yang demikian, seperti misalnya, hokum gravitasi.. 5 Argumentasi rancangan: Ada satu perancang dunia, yang merancang dunia ini sedemikian rupa agar manusia dapat tinggal di dalamnya. 6 Argumentasi moral sangat beragam, salah satunya adalah tidak akan ada benar atau salah, jika Tuhan tidak ada. 3 3 Mahasempurna dan Mahapengasih, Mahatahu dan Mahakuasa, Mahapencipta, yang Ia sendiri tidak diciptakan (2007: 79-80). Mahaadil, Jika dilihat dari definisi tersebut, maka seharusnya Tuhan tidak dapat di nalar manusia. Mengapa? Karena Mahasempurna, Pencipta alam semesta. Dengan demikian, definisi tersebut telah menunjukkan bahwa Allah melampaui akal manusia, Allah itu universal dan manusia berdiri sebagai partikular. Jika Tuhan tidak dapat dinalar manusia, harus bagaimanakah manusia untuk dapat memahami-Nya. Barangkali salah satu pertanyaan di atas yang perlu diajukan kembali yaitu, sejauhmana manusia dapat mengenal (menalar) Allah? Maka jawabnya adalah sejauh Tuhan menyatakan diri-Nya kepada manusia. Jika Tuhan tidak menyatakan diri-Nya kepada manusia, maka tidak ada yang dapat diketahui manusia mengenai Allah. Bagaimana Allah menyatakan diriNya kepada manusia? Sudah barang tentu lewat wahyu (penyataan Allah). Itulah sebabnya, mau tidak mau manusia siapapun ia, harus menerima adanya wahyu. Bagaimana seandainya jika Tuhan tidak ada? Maka tidak perlu ada definisi tentang Tuhan. Betul, tetapi, apakah dengan tidak membuat definisi tentang Tuhan, maka dapat dikatakan Tuhan tidak ada? Jika demikian, berarti Tuhan ada ataupun tiada adalah soal pengakuan manusia. Pada hal eksistensi 7 Tuhan tidak bergantung kepada pengakuan manusia. Eksistensi Tuhan bergantung (berada) pada diri-Nya sendiri. Diakui atau tidak diakui manusia, Tuhan itu tetap eksis (berada). Darimana manusia dapat mengetahuinya? Dari sifat pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia (dalam hal ini, semua penemuan-penemuan ilmiah) hanya bersifat percikan-percikan kebenaran. Jika demikian berarti ada satu Kebenaran Tunggal yang bukan percikan kebenaran tetapi Kebenaran itu sendiri. Jadi dari Kebenaran inilah muncul seluruh percikan-percikan kebenaran (penemuan-penemuan ilmiah) manusia. Dengan demikian, kebenaran itu sendiri sudah ada, sekalipun diakui atau tidak diakui manusia. Sebab kebenaran itulah yang terus diupayakan manusia untuk diketahuinya, namun manusia tidak dapat mencapainya (hanya dapat mencapai percikan-percikan kebenaran saja). Sampai ketika kebenaran itu sendiri menyatakan diri-Nya kepada manusia, barulah pengetahuan manusia lengkap terhadap kebenaran tersebut. Siapakah Kebenaran tersebut? Sesuatu yang berpribadikah? Atau sesuatu materi? Jika ia materi seperti misalnya alam semesta, maka pertanyaan yang diajukan bukanlah, ‘siapakah’, tetapi ‘apakah’. Karena pertanyaan ‘siapakah’, ditujukan kepada suatu pribadi. Jadi apakah Kebenaran itu materi? Jika Kebenaran itu materi, maka ia adalah allah. Dan jika ia adalah materi, maka terbuka kemungkinan untuk semua wujud materi menjadi allah. Bukan saja alam semesta, tetapi bisa yang lain, seperti: pohon, otak manusia, dan hewan. Bila hal-hal tersebut dapat jadi allah, maka itu semua tidak berpribadi. Dengan demikian derajatnya lebih rendah dari manusia; sebab manusia berpribadi. Jadi kesimpulannya, tidak mungkin allah itu adalah materi yang 7 Sama seperti eksistensi manusia, tidak bergantung pada orang lain atau lingkungan di mana ia berada. Tetapi bergantung pada dirinya sendiri –jika terlalu berlebihan untuk mengatakan eksistensi manusia bergantung pada Tuhan. 4 lebih rendah derajatnya dari manusia, pastilah Allah itu lebih besar dan Agung dari manusia. Satu-satunya kemungkinan yang dapat diterima nalar ialah bahwa Kebenaran itu adalah sesuatu yang berpribadi. Jika Ia sesuatu yang berpribadi, maka pertanyaannya adalah berpribadi seperti apa? Bagaimana wujud-Nya? Untuk mengetahui hal ini, manusia sangat terbatas, kecuali Kebenaran itu sendiri datang dan menyatakan diri-Nya. Jika tidak manusia harus cukup puas dengan menerima penyataan-Nya lewat wahyu. Penyataan lewat wahyu ini juga tidak mudah diterima manusia, mengapa? Karena manusia cenderung hanya mempergunakan rasio saja. Immanuel Kant, membedakan 4 macam pengetahuan: 1) Yang analitis8 a priori9; 2) Yang sintetis10 a priori; 3) Yang analitis a posteriori11; 4) Yang sintetis a posteriori. Empat macam pengetahuan ini semua didasarkan pada rasio, tidak ada satupun kebenaran yang datang atau dapat diterima jika tidak masuk atau dapat diterima rasio. Hal tersebut terjadi oleh karena sifat pengetahuan (science) yang mendorong manusia untuk terus mempergunakan rasio, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat diterima rasio maka tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Bahkan hukum ini bisa lebih sempit lagi dengan mengatakan, segala sesuatu yang tidak dapat diindrai, tidak dapat disebut sebagai kebenaran (empiris). Demikianlah sifat ilmu pengetahuan, ia menjadi ilmu karena pengetahuan itu telah disistematisasikan, memiliki asumsi, aksioma dan aturan main, serta cara mendapatkan kebenaran (metodologi) yang jelas. Kecenderungan ini membuat sisi lain dari akal manusia, yaitu supra rasio kurang dipergunakan sebagaimana sisi rasio dipergunakan. Pada hal di dalam diri manusia, ke dua sisi tersebut ada. Filsafat juga mengakui ke dua sisi tersebut, itu sebabnya di dalam pembagian filsafat ada epistemologi12 dan metafisika13. Meskipun pada diskusi-diskusi filsafat dunia metafisika terkadang ingin disingkirkan karena tidak sesuai dengan pemikiran empiris. Tetapi penyingkiran metafisika, berarti membuang akar filsafat. Descartes dalam Heideger mengatakan, ”Thus the whole of philosophy is like a tree: the roots are metaphysics, the trunk is physics, and the branches thet issue from the trunk are all the other sciences…”, (1999: 277). Heidegger, 8 pengetahuan analitis merupakan hasil analisa a priori adalah, pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau yang ada sebelum pengalaman 10 pengetahuan sintesis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah 11 pengetahuan a posteriori terjadi sebagai akibat pengalaman 12 Epistemologi ialah ilmu yang mempelajari bagaimana orang membenarkan pengetahuan atau keyakinannya. Jadi, persoalan dalam epistemologi ialah pembenaran atau dapat dikatakan “How do we know we know?” (bagaimana kita tahu bahwa kita tahu?) Penggunaan sisi rasio. 13 Metafisika membicarakan apa yang ada disamping (meta= disamping) hal-hal fisik. Dan sebenarnya inti filsafat ialah mencari apa yang ada di balik alam fisik yang kita amati sehari-hari. Berarti penggunaan sisi supra rasio dari akal. 9 5 mengatakan, “ metaphysics thinks beings as being. Whereever the question is asked what beings are, being as such are in sight. Metaphysical representation owes this sight to the light of being” (Ibid). Jadi jika ada sisi epistemologi dan metafisika, berarti ada sisi rasio dan sisi supra rasio. Jika ini diakui, maka akan sangat mudah untuk dapat menerima wahyu (penyataan) dari Sang Kebenaran) tersebut. Penerimaan wahyu ini tentulah harus mempergunakan sisi supra rasio (iman). Supra rasio bukan berarti tanpa objek, sehingga ia tidak masuk akal. Filsafat mengenal dua objek, objek kelihatan (fisika) dan objek tidak kelihatan (metafisika). Objek yang tidak kelihatan (metafisika) diserap oleh supra rasio (iman) dan objek yang kelihatan (fisika) diserap oleh rasio. Penggunaan akal seharusnyalah demikian, mengapa? Karena ada keterbatasan rasio untuk melihat atau mengindrai objek yang tidak kelihatan (metafisika), disinilah peran supra rasio (iman) mengambil kendali untuk memimpin rasio agar dapat menyerap objek yang tidak kelihatan tersebut. Tetapi disisi lain, ada kalanya rasio yang memegang kendali berpikir, karena objek yang ada merupakan objek yang kelihatan (fisika), yang dapat dengan mudah ditangkap oleh rasio dalam penganalisaannya. Hal ini jugalah yang ditegaskan oleh Thomas Aquinas yang dikutip oleh Gordon Clark, dalam penjelasannya tentang relasi antara iman dan rasio yaitu, That faith is the evidence or conviction of things that appear not. Faith therefore grasps objects that are not evident; what is evident is grasped by reason (Clark, 1985: 270). Kesimpulannya, Tuhan itu ada, tetapi harus memahaminya, mengindrainya lewat supra rasio. Tuhan dikatakan tidak ada oleh sebahagian filsuf, itu dikarenakan penggunaan sisi rasio saja. Pada hal setiap manusia memiliki sisi yang lain juga yakni, sisi supra rasio. Karena itu, agar tidak terjadi ekstrim kiri dan kanan, maka baiklah setiap orang mempergunakan sisi rasio dan supra rasio pada proporsi yang tepat guna. Apakah Spiritualitas Itu? Andre Comte-Sponville mengatakan, manusia dapat hidup tanpa agama, tetapi tidak bisa hidup tanpa spiritualitas. Alasannya, ialah karena spiritualitas adalah kehidupan roh, dan sekalipun ia seorang ateis tetapi tetap mengakui adanya roh manusia. Roh manusia inilah yang memungkinkannya untuk tetap bisa memiliki spiritualitas sekalipun tanpa Tuhan (2007: 15-16). Pengertiannya tentang roh manusia diambil dari pemahaman Descartes yaitu sesuatu yang berpikir, lalu ia tambahkan dengan pemahamannya, yaitu yang mampu mencintai, tidak mencintai, yang merenung, mengingat, mengejek atau bergurau yang kesemuanya itu menyangkut otak. Tetapi otak tanpa roh, itu hanya organ tubuh semata, sebaliknya roh tanpa otak tidak akan berarti. Baginya roh bukanlah substansi tetapi lebih tepat suatu fungsi, kapasitas, tindakan. Dengan demikian apa yang dimaksudkannya tentang spiritualitas adalah mencakup seluruh kehidupan manusia yang menyangkut otak dan berkaitan 6 dengan kegiatan mental yang dapat dilakukan seseorang tanpa mengakui/ melibatkan Tuhan. (Ibid., 156-157). Roh sebagai kapasitas, fungsi atau tindakan, itu bukanlah roh, tetapi jiwa. Mengapa? Karena manusia diciptakan terdiri dari dua substansi, yaitu tubuh (materi) dan roh. Tubuh merupakan perangkat keras (hardware) dan roh merupakan perangkat lunak (software), akibat pertemuan keduanya maka manusia menjadi mahluk hidup. Sebagai mahluk hidup ia memiliki rasio, kehendak dan emosi, yang muncul sebagai realitas yang berpotensi ada (posrealitas).14 Rasio, kehendak dan emosi tersebut adalah jiwa, yang bukan realitas tetapi posrealitas. Sebab realitas sesungguhnya adalah tubuh dan roh. Itu sebabnya ketika manusia itu mati, maka rohnya kembali kepada Tuhan, dan tubuhnya kembali ke debu (materi). Jiwa ada dimana? Jiwa sebenarnya melekat pada roh, namun ia dapat terlihat atau nyata, ketika ada pertemuan antara tubuh (materi) dengan roh. Jika hanya roh saja tanpa tubuh, maka jiwa tidak terlihat dengan jelas manifestasinya. Dengan demikian, jiwa merupakan fungsi dari roh, itu sebabnya ketika tubuh mati, fungsi roh (baca: jiwa) itu serasa lenyap karena ia kembali kerealitas aslinya yakni roh. Glickman dari Dallas Seminari memberikan perkataan yang berbeda, namun memiliki makna yang sama yaitu, jiwa adalah ‘tubuh yang diberi roh’. Pengertian jiwa akan dapat lebih tegas lagi terlihat melalui pendapat William Dyrness. Ia mengatakan, ‘jiwa adalah individu yang hidup, bukan dalam arti roh yang tak dapat binasa, melainkan hidup fisik yang konkret dan sarat dengan berbagai kebutuhan’ (1992: 69). Jadi jika manusia hanya memiliki jiwa atau roh sebagai kapasitas, fungsi atau tindakan, maka ini sebenarnya menurunkan derajat manusia ke tingkat yang paling rendah. Bila pemikiran tersebut diterima, maka manusia dan hewan sama saja, akan sama-sama menuju ke rumah ketiadaan. Binatang yang dikonsumsi manusia (apakah ayam, sapi, dll), binatang itu akan menuju kepada ketiadaan, hilang lenyap. Maka nasib yang sama akan diterima oleh manusia, setelah mati, maka hilang lenyap, masuk dirumah ketiadaan. Memang manusia dan hewan memiliki kesamaan yakni, sama-sama mahluk hidup (Ibr: ‘nepes hayya’ Lihat Kej. 1: 24). Itu sebabnya, manusia memiliki jiwa yang di dalamnya tercakup, kehendak, emosi, dan rasio, sementara binatang memiliki jiwa yang di dalamnya tercakup, kehendak, emosi, dan insting. Tetapi manusia dan hewan juga memiliki perbedaan yang jelas dan signifikan yakni, manusia memiliki roh, dan hewan tidak. Jadi jiwa hanya menunjukkan sebagai mahluk hidup, karena hidup 14 Posrealitas adalah realitas yang berpotensi ada. Aristoteles menjelaskan ada empat penyebab terjadinya realitas yang berpotensi ada yaitu: pertama, causa formalis (sebagai penyusun bahan); causa finalis (tujuan yang menjadi arah suatu wujud); causa effeciens (motor penggerak); causa materialis (bahan dari suatu benda). Bila disesuaikan dengan rumus Aristoteles tersebut, maka jiwa merupakan realitas yang berpotensi ada, sebab causa materialisnya adalah tubuh, causa efficiensnya adalah roh, causa formalisnya adalah bentuk manusia; causa finalis adalah manusia yang memiliki jiwa (emosi, kehendak rasio) (Lihat Copleston, 1993: 306-307). 7 makanya ada jiwa. Jika manusia dan hewan mati, maka jiwa itu lenyap ke realitas asalnya, sebab ia adalah posrealitas. Kalau semua manusia akan berlalu kepada ketiadaan, untuk apa memiliki spiritualitas? Apa gunanya? Apa bedanya di dalam kehidupan ini antara orang yang sangat spiritual dengan yang sangat lalim? Paling banter orang yang memiliki spiritualitas yang baik dikenal sebagai orang baik atau saleh dalam hidupnya dan orang yang tidak memiliki spiritualitas yang baik, dikatakan sebagai orang lalim atau bejat. Selanjutnya marilah melihat apa itu spiritualitas? Salah satu dari empat arti spiritualitas yang diberikan Webster’s adalah, ‘the quality or fact of being spiritual.’ Lalu apakah spiritual itu, webster’s memberikan dua belas arti, salah satu artinya adalah, ‘of or pertaining to the spirit as the seat of the moral or religious nature’ (1989:1372). Jika demikian, maka spiritualitas adalah kualitas atau fakta-fakta dari spiritual, dimana spiritual sebagai kedudukan dari moral atau natur keagamaan. Dimanakah tempat bertumbuhnya spiritual itu, sehingga dapat terlihat kualitas spiritual (spiritualitas) seseorang? Dijiwakah? Atau di roh? Bila di jiwa, maka ia tercakup pada emosi, kehendak, dan pikiran. Dan yang paling dominan adalah pikiran, sebab pikiranlah yang mengendalikan emosi dan kehendak (rumusan Plato). Namun pikiran dapat dipermainkan, seseorang yang melakukan kejahatan dapat membenarkan tindakannya dengan membuat alasan rasional instrumental. Agar tindakannya yang jahat tersebut dibenarkan, maka otaknya bekerja sebagai instrumen untuk membuat alasan yang rasional, sehingga orang lain dapat menerima atau membenarkan tindakannya yang jahat. Dengan demikian, pikiran atau rasio tidak dapat dipergunakan sebagai alat ukur untuk spiritualitas (kualitas spiritual) seseorang sebab dapat menipu. Lebih lanjut, pikiran dapat lenyap. Ketika seseorang mengalami amnesia, maka kualitas spiritualnya tidak dapat diukur atau dilihat lagi. Apalagi jika ia mati, maka pikirannya juga lenyap. Dengan demikian, jiwa tidak dapat sebagai tempat untuk bertumbuhnya spiritual seseorang. Dan seandainya tetap dapat, maka akan ada binatang-binatang yang memiliki spiritul yang baik, karena binatang juga memiliki jiwa. Tempat bertumbuhnya spiritual itu lebih tepat di roh, mengapa? Karena roh manusia itu merupakan pelita Tuhan yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya (Amsal 20: 27). Itu sebabnya, manusia tidak dapat mendustai hati nuraninya sendiri. Sekalipun seseorang mempergunakan rasional instrumental untuk membenarkan tindakannya yang jahat, tetapi hati nuraninya tetap akan berkata-kata bahwa apa yang dilakukannya jahat. Meskipun hal tersebut hanya sesaat saja, sebab hati nurani tersebut dapat dibungkam agar diam dan tidak menuduh dirinya jahat. Walaupun dapat dibungkam, namun hati nurani tersebut tidak dapat di dustai. Apabila seseorang hendak menyangkal bahwa ia tidak memiliki hati nurani, maka ia menyangkali keberadaannya sendiri. Dan apabila ia mengakui bahwa, ia 8 memiliki hati nurani, maka ia juga harus mengakui keberadaan roh manusia. Roh manusia ini, tidak dapat diserap oleh rasio, itu sebabnya harus diserap oleh iman (supra rasio). Sebab jika rasio formal mau menyerap (mengerti) roh manusia, maka itu merupakan kemustahilan. Sebab hal itu di atas akal manusia (supra rasio). Akal formal tidak sanggup menjelaskannya, dan jika akal manusia tidak sanggup menjelaskannya, bukan berarti keberadaan roh manusia tersebut tidak ada. Itu semua terjadi hanya karena, salah dalam mempergunakan perangkatnya. Seharusnya mempergunakan perangkat supra rasio (iman), namun yang digunakan perangkat rasio. Akibatnya, tidak dapat memahaminya. Untuk mengukur spiritualitas (kualitas spiritual) seseorang tidak dapat dilakukan orang lain. Pengukuran itu hanya dapat dilakukan oleh dirinya sendiri, karena hanya rohnyalah yang tahu, apa yang dilakukannya jahat atau baik. Rohnyalah yang menyelidiki seluruh motif dari tindakannya, apakah baik atau jahat. Dan Paulus telah mengutarakan hal ini jauh sebelumnya dengan berkata, ‘siapa gerangan yang tahu akan manusia selain roh manusia itu sendiri.’ 15Hal ini pun telah diutarakan Immanuel Kant, bahwa ada pengetahuan terhadap suatu benda yang tidak dapat diketahui, yang hanya benda itu sendiri yang mengetahuinya das ding an sich, atau thing in it self. Namun jika manusia hanya memiliki roh sebagai kapasitas, fungsi atau tindakan, yang berarti jiwa. Maka memang tidak ada yang tersembunyi di dalam diri manusia itu, sebab manusia itu sama dengan benda atau binatang. Keadaan seperti ini disebut Hegel dengan perkataan, das wahre ist geis das ganje. Dengan demikian, mau tidak mau, harus diakui bahwa manusia itu memiliki roh yang substansi. Hal itulah yang membedakan ia dari binatang, itu sebabnya manusia tidak dapat dikatakan binatang rasional. Tetapi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah, yang memiliki roh. Memang hal ini sulit untuk diterima bila seseorang hanya memandang manusia dari sudut materi (manusia sama dengan benda ataupun binatang). Merujuk apa yang dikatakan Comte-Sponville di atas, yang mengatakan bahwa spiritualitas itu menyangkut otak atau kegiatan mental dan dapat dilakukan seseorang tanpa mengakui/ melibatkan Tuhan. Jika demikian, ukuran spiritualitas itu berarti otak/ mental seseorang. Dengan kata lain otak adalah tuhan dari spiritualitas yang demikian. Sebab segala sesuatu diukur dari otak/mental manusia. Jadi bukan berarti tanpa Tuhan, hanya tuhannya digantikan dengan otak/ mental seseorang. Tuhan digantikan dengan otak manusia telah sering kali dilakukan manusia. Mengapa ini terjadi? Ada beberapa penyebab, antara lain: Pertama, tidak pernah hidup dalam pengalaman dengan Tuhan, sehingga Tuhan tersebut serasa jauh (transenden) sekali dan tidak dapat dimengerti. Karena tidak dapat dimengerti, maka diciptakanlah tuhan yang dapat dimengerti seperti cerita dalam kitab Keluaran 32:1-4. 15 Lihat 1 Korintus 2: 11 9 Pada hal Tuhan bukanlah suatu objek untuk akal budi manusia kata Soren Kierkegaar, melainkan pribadi yang harus dialami dan digumuli. Karena itu pendekatan terhadap Tuhan melalui akal tidak akan dapat membuat seseorang mengenal Tuhan. Tetapi pendekatan melalui pengalamanlah yang dapat membuat seseorang mengenal Tuhan. Karena pengalaman seseorang dengan Tuhan melampaui defenisi tentang Tuhan. Dengan demikian ia mengatakan, bahwa ‘manusia hanya sungguh-sungguh mengenal Tuhan, kalau ia berada dalam relasi dengannya.’ Kedua, mengenal Tuhan Hanya dari kata orang (baca: agama), sehingga Tuhan dikenal secara teori. Akibatnya, jika teori yang ia terima tentang Tuhan tidak rasional, maka konsep Tuhanpun akan ditolak. Lihat contoh David Hume di atas, menolak Tuhan karena, Tuhan tidak dapat diterima dalam teori, indra→kesan→gagasan, yang ia kembangkan. Tidak jarang terjadi salah tafsir terhadap agama, karena salah menafsirkan Tuhan yang ada di dalam agama tersebut. Lihat misalnya Nietzsche, dalam rumusannya tentang tangga besar kekejaman agama. Menurutnya dalam Beyond Good and Evil, Tangga besar kekejaman agama memiliki banyak anak tangga, tetapi ada tiga anak tangga yang paling penting yaitu, pertama, Once on a time men sacrificed human beings to their God, and perhaps just those they loved the best; Finally, what still remained to be sacrificed; kedua, was it not necessary in the end for men to sacrifice everything comforting, holy, healing, all hope, all faith in hidden harmonies, in future blessedness and justice? Ketiga, To sacrifice God for nothingness (1954: 440). Tidak heran jika ia mengatakan, religions are the business of the mob; after coming in contact with a religious man, I always have to wash my hands… I Want no “believers” (ibid., 923) Ketiga, melihat tingkah laku orang-orang yang mengaku percaya pada Tuhan yang tidak sesuai dengan iman kepercayaannya. Paling banyak orang tersandung dan menolak Tuhan karena melihat tingkah laku orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Lihat misalnya Marx, ia melihat Kekristenan sebagai ideologi yang melayani penguasa dimana disetiap sudut dan celahnya menyembunyikan kepentingan borjuis, (Fattah, 2004, 111-119). Maka tidak heran ia mengatakan, agama itu candu bagi masyarakat. Lalu ia menolak Tuhan, kekristenan, dan menggantikannya dengan materialisme, dimana agamanya adalah sosialisme. Spiritualitas Tanpa Tuhan, Mungkinkah? Melihat pembahasan di atas, maka, spiritualitas tidak mungkin tanpa Tuhan. Sebab spiritualitas tanpa Tuhan, itu berarti spiritualitas tanpa roh. Jika diakui adanya roh manusia (dalam hal ini roh yang substansi, bukan yang fungsi/ mental atau jiwa), maka spiritualitas harus berkaitan dengan Tuhan (Ber-Tuhan). Mengapa? Karena roh manusia datang dari Tuhan. Manusia tidak bisa hadir di dunia ini, tanpa adanya roh yang dihembuskan kepadanya. Sebab tidak ada satu materipun di dunia ini yang dapat menjadikan dirinya sendiri menjadi mahluk hidup, paling banter materi berubah menjadi energy (E=MC2). Atau sejauh ilmu pengetahuan yang ada sekarang, tidak 10 dapat menciptakan materi menjadi mahluk hidup. Dengan demikian, harus ada roh yang menghidupkan materi (tubuh) agar dapat menjadi mahluk hidup (manusia). Jika harus ada roh yang menghidupkan materi agar dapat menjadi mahluk hidup, maka terbuka pemikiran adanya dunia roh. Kecuali jika, ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa materi dapat menjadi mahluk hidup tanpa harus ada roh. Bila diterima adanya dunia roh, maka terbuka pemikiran tentang adanya Roh Pencipta dari roh-roh tersebut. Jika roh yang menghidupkan materi tersebut berasal dari Roh Pencipta, yakni Tuhan, maka spiritualitas haruslah ber-Tuhan; tidak mungkin tanpa Tuhan. Keunggulan Spiritualitas Ber-Tuhan Beberapa keunggulan spiritualitas ber-Tuhan dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama, Ada patokan yang jelas bagi spiritualitas itu sendiri. Patokan ini tentu didasarkan pada sifat hukum moral Allah,16 bukan pada sifat hukum moral manusia ataupun tempat di mana manusia berada. Dengan demikian, ukuran spiritualitas seseorang harus diukurkan berdasarkan sifat hukum moral Allah tersebut. Kedua, Memungkinkan adanya pembedaan yang jelas antara orang yang memiliki spiritualitas yang baik dengan yang tidak memiliki spiritualitas. Baik ketika hidup di dunia ini, maupun nanti di dunia yang akan datang.17 Ketiga, spiritualitas haruslah memiliki satu pribadi yang dipuja, disembah, ditakuti, dan dihormati, sebagai tempat landasan dan acuan terhadap ukuran spiritualitas itu sendiri. Jika tidak ada satu pribadi yang demikian, maka spiritualitas itu menjadi absurd dan tak bermakna. Itulah sebabnya, Tuhan yang harus ditempatkan sebagai patokan dan acuan spiritualitas, agar spiritualitas itu menjadi jelas dan bermakna. Kesimpulan Spiritualitas tidak mungkin tanpa Tuhan, sebab tidak akan ada ukuran atau patokan yang jelas terhadap spiritualitas jika tanpa Tuhan. Dan tidak ada gunanya seseorang memiliki spiritualitas di dunia ini, jika tanpa Tuhan, karena antara orang 16 Apa sifat hukum moral Allah ini, dapat dilihat pada Aripin Tambunan, Masyarakat dan Kota dalam Perspektif Teosofi, Jurnal Transformasi 4 (1): 45-60. 17 Jika adanya dunia yang akan datang ditolak, maka harus ditolak juga adanya dunia roh. Jika dunia roh ditolak, maka manusia sebagai mahluk hidup yang dapat berpikir, dll., juga harus ditolak.Dengan demikian, penolakan terhadap dunia yang akan datang, berarti penolakan terhadap eksistensi manusia sebagai mahluk hidup yang rasional. 11 yang memiliki spiritualitas yang baik dengan yang tidak baik, tidak ada bedanya. Semuanya akan berakhir di rumah ketiadaan dan tidak ada bedanya dengan binatang. Daftar Pustaka Clark, Gordon H., 1985 Thales To Dewey, Maryland: The Trinity Foundation Comte-Sponville, Andre, (terj. Ully Tauhida) 2007 Spiritualitas Tanpa Tuhan, Jakarta: Pustaka Alvabet. Copleston, Frederick, 1993 A History of Philosophy, New York:-- Dyrness, William, 1992 Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas Fattah, Damanhuri, 2004 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Jogyakarta: Panta Rhei Books Gould, James A., (ed) 1985 Classic Philosophical Questions, Colombus: Charles E. Merrill Publishing Heidegger, Martin, (edited William McNeill), 1999 Pathmarks, Melbourne: Cambridge University Press. Hume, David, (Edited John P Wright, etc) 2003 A treatise of Human Nature, Michigan: Everyman Lawhead, William F., 2003 Philosophical Questions, New York: McGraw Hill 12 Mayer, Frederick, 1951 A History of Modern Philosophy, New York: American Book Company. Nietzsche, Friedrich, 1954 The Philosophy of Nietzsche, New York: The Modern Library. Sartre, Jean-Paul, 1966 Being and Nothingness, Washington Square Press. Sudarminta, J., & Tjahjadi, Lili, 2008 Dunia Manusia dan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius Webster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of The English Language, New york: Portland House, 1989. 13