Spiritualitas Tanpa Tuhan,
Mungkinkah?
Oleh
Aripin Tambunan
Pendahuluan
Penolakan terhadap eksistensi Tuhan telah dimulai jauh sebelum abad-17,
namun intensitasnya semakin kuat dirasakan sejak abad 17 sampai saat ini. Penolakan
ini dapat terlihat dari kategori-kategori berikut: Pertama, Kategori kejahatan dan
penderitaan. Beberapa orang telah menolak keberadaan Tuhan, karena adanya
kejahatan dan penderitaan di dunia ini yang terus berlangsung. Biasanya keberatan
mereka adalah sama seperti yang dipertanyakan oleh Fyodor Dostoevski, yaitu: How it
is possible for an all-powerful, all good God to permit suffering in the world? (Gould, 1985:
489). B.C. Johnson mengatakan karena ada kejahatan dan penderitaan, maka, ‘…God
Cannot be all good and (by implication) that the God of traditional theism is incoherent’
(Lawhead, 2003: 106).
Kedua, Kategori kebebasan manusia. Percaya kepada Tuhan menghambat
kebebasan manusia. Sebab “jika Tuhan tidak ada segalanya mungkin” demikian
dikatakan Dostoevski. Jean Paul Sartre berkata, karena manusia bebas, maka Allah
tidak boleh ada. Jika ada Allah, maka manusia tidak memiliki kebebasan. Mengapa?
Karena Allah telah mentakdirkan manusia itu dari awalnya, sehingga manusia tidak
bebas atau tidak dapat memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan dirinya. Dengan
demikian, manusia hanya dapat mengembangkan eksistensinya saja. (Lihat Sartre,
1966:559-711).
Ketiga, kategori IPTEK. Ilmu pengetahuan modern
menolak adanya
pengalaman tentang Tuhan. Hal ini dapat terlihat dari penolakan David Hume
terhadap Tuhan. Ia tidak percaya adanya Allah, karena Ia tidak dapat dibuktikan secara
empiris atau secara pengalaman. Sebab, sumber pengetahuan baginya adalah dari
kesan ke gagasan dan bukan sebaliknya. Contoh, ketika saya melihat tempat tidur di
kamar, maka itu adalah kesan dan ketika membuka mata, maka dikepala saya ada
imajinasi tentang kamar saya. Hal itu merupakan representasi atau wakil dari kesan
saya.
Demikian halnya mengenai Allah, Ia tidak dapat dibuktikan dengan kesan
manusia. Ia tidak dapat diraba, dilihat dan diobservasi oleh manusia. Oleh sebab itu, Ia
tidak ada, tidak dapat untuk dibuktikan. Manusia hanya dapat memperoleh gagasan
mengenai-Nya. Namun gagasan tanpa kesan adalah suatu kebohongan dan itu
hanyalah ilusi atau imajinasi saja. Hume mengatakan, Thus when we affirm, that God is
existent, we simply form the idea of such a being, as he is represented to us; nor is the existence,
1
which we attribute to him, conceiv’d by a particular idea, which we join to the idea of his other
qualities, and can again separate and distinguish from them ( 2003: 65).
Keempat, kategori materialistik yang memandang dunia sebagai materi,
sehingga tidak ada tempat untuk Tuhan di alam semesta. Buchner, seorang pendekar
materialism Jerman mengatakan, ‘That matter is the ultimate principle of life’ mengapa ia
mengatakan hal tersebut, karena materi itu abadi, ia mengatakan: ‘Both matter and
energy cannot be destroyed, both have existed from the beginning of time. No God, then, is
needed to explain the structure and the origin of the universe (Mayer, 1951: 492).
Kelima, kategori Tuhan itu hanya dapat didalilkan namun tidak dapat
dipertunjukkan kehadiran-Nya. Comte-Sponville1 mengatakan keberadaan Tuhan
hanya bisa didalilkan namun tak dapat dipertunjukkan. Kehadiran-Nya adalah objek
keimanan, bukan pengetahuan (penolakan terhadap argumentasi ontologis tentang
keberadaan Tuhan yang telah dilakukan oleh Anselmus pada abad 11) (Ibid., 93). Itulah
sebabnya Ia percaya bahwa Tuhan itu tidak ada, paling tidak dalam hidup ini (2007:
80). Mengapa? Karena ia tidak memiliki cukup bukti, apakah Tuhan itu ada atau tidak
ada (Ibid.,86).
Keenam, kategori kekecewaan melihat sikap-sikap orang Kristen dan teologi
yang berkembang. Ludwig Andreas Feurbach yang banyak mempengaruhi Marx,
Freud, dan Nietzsche, mengatakan, I have changed over from theology to philosophy, no
salvation without philosophy. Mengapa ia mengutarakan hal ini adalah karena ia kecewa
dengan teologi yang pada waktu itu dipengaruhi oleh dua aliran yakni, teologi
ortodoks dan teologi liberal. Di mana teologi ortodoks pada waktu itu terlibat
peperangan dengan rasionalisme dan teologi liberal yang mencoba menyesuaikan diri
dengan filsafat yang mengambil bahan dasarnya dari filsafat Hegel, (Fattah, 2004: 57).
Kemudian ia mengembangkan filsafatnya mengenai Tuhan, ia mengatakan bahwa
manusialah yang menciptakan Allah dengan mengeluarkan sifat-sifat manusia ke luar
dari dirinya, menjadi satu pribadi yang mandiri dan kemudian menyembahnya dan
menyebutnya sebagai Allah. Dengan menyebut Allah sebagai mahatahu, manusia
sebenarnya hanya memenuhi dambaannya untuk bisa mengetahui segala sesuatu,
dengan mengatakan Allah ada di mana-mana, manusia ingin memenuhi keinginannya
agar tidak terikat pada ruang, dan dengan mengatakan Allah itu kekal, manusia
sebenarnya ingin memenuhi keinginannya untuk tidak terikat oleh waktu. Feurbach
menamakan ini sebagai proyeksi manusia (Sudarminta & Tjahjadi, 2008: 146). Jika
pendapat Feurbach demikian, tidak heran, Montaigne mengatakan, ”mahluk yang
bernama manusia itu agaknya gila. Ia mustahil dapat menciptakan seekor ulat
sekalipun, tapi ia menciptakan lusinan Tuhan.”
1
Ia adalah seorang Filsuf terkemuka Prancis. Ia pernah menjadi professor filsafat di Universitas Sorbonne, Paris. Ia
penganut Kristen Khatolik hingga berusia 18 tahun, dan kemudian berubah menjadi seorang ateis dan menolak
disebut sebagai seorang agnostik (tidak membenarkan maupun menyangkal keberadaan Tuhan).
2
Cara penjagalan Tuhan seperti tersebut di atas, telah usang dan klasik. Kini
muncul paradigma baru pembunuhan Tuhan yang sangat cantik, yang memainkan
perannya dengan tetap mampu memiliki spiritualitas sekalipun tanpa Tuhan. ComteSponville mempeloporinya, ia mengatakan ‘manusia dapat hidup tanpa agama, tetapi
tidak bisa hidup tanpa spiritualitas’ Spiritualitas yang dimaksudkannya adalah
spiritualitas tanpa Tuhan. Mungkinkah hal tersebut dapat dilakukan manusia? Sebelum
membahas hal tersebut, hendaklah terlebih dahulu di bahas, apakah Tuhan itu ada?
Dan apakah spiritualitas itu?
Apakah Tuhan Itu Ada?
Pada topik ini, saya tidak akan mencoba untuk memberikan argumentasiargumentasi klasik untuk membuktikan adanya Tuhan. Seperti, argumentasi ontologis2,
argumentasi sebab pertama3, argumentasi hukum alam4, argumentasi rancangan5, dan
argumentasi moral6. Karena hal tersebut telah dibahas para pemikir terdahulu seperti
Anselmus, Thomas Aquinas dan Agustinus.
Pertanyaan pertama yang perlu diajukan untuk menjelaskan topik ini adalah,
dapatkah Tuhan di nalar? Jika dapat sejauhmana? Dapatkah Tuhan menjadi objek bagi
manusia? Sama seperti alam semesta yang dibuat menjadi objek bagi manusia.
Bagaimana jika ternyata objek tersebut (Tuhan) melampaui otak manusia, sehingga
manusia tidak dapat mendefinisikannya dengan baik; apakah manusia akan berkata,
Tuhan itu tidak ada? Tuhan itu ilusi? Tuhan itu hanya proyeksi manusia? Apakah
karena manusia tidak dapat memikirkan tindakan-tindakan yang dilakukan Tuhan,
sehingga membolehkan manusia untuk berkata Tuhan itu tidak ada? Apakah karena
manusia dapat memikirkan (menalar) Tuhan, sehingga dapat berkata Tuhan itu ada?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, marilah terlebih dahulu dilihat
definisi Tuhan, sekalipun Tuhan tidak dapat didefinisikan manusia dengan baik. Hal
tersebut karena pengetahuan dan pengalaman manusia yang tidak lengkap, baik akan
alam semesta yang dapat dijadikan objek oleh manusia, maupun akan Allah, yang
seharusnya menjadi subjek dan bukannya objek bagi manusia. Sekalipun dalam
keterbatasan itu, baiklah diambil definisi Tuhan yang telah dilakukan oleh ComteSponville.
Comte-Sponville memberikan defenisi tentang Tuhan ialah Zat yang kekal abadi,
yang Gaib dan Mahasempurna (yang Mahamelihat dan Mahatinggi di alam semesta),
yang Mahakuasa dan atas kehendak-Nya menciptakan alam semesta ini. Dia diakui
2
Tuhan didalilkan sebagai wujud Yang Mahatinggi, Wujud Yang Sempurna.
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memiliki sebab, dan jika itu terus ditelusuri, maka akan sampai kepada
sebab pertama. Dan penyebab pertama itu adalah Tuhan.
4
Tuhan yang menempatkan hukum-hukum-Nya di alam, sehingga alam ada dalam keadaan yang demikian, seperti
misalnya, hokum gravitasi..
5
Argumentasi rancangan: Ada satu perancang dunia, yang merancang dunia ini sedemikian rupa agar manusia dapat
tinggal di dalamnya.
6
Argumentasi moral sangat beragam, salah satunya adalah tidak akan ada benar atau salah, jika Tuhan tidak ada.
3
3
Mahasempurna dan Mahapengasih, Mahatahu dan Mahakuasa,
Mahapencipta, yang Ia sendiri tidak diciptakan (2007: 79-80).
Mahaadil,
Jika dilihat dari definisi tersebut, maka seharusnya Tuhan tidak dapat di nalar
manusia. Mengapa? Karena Mahasempurna, Pencipta alam semesta. Dengan demikian,
definisi tersebut telah menunjukkan bahwa Allah melampaui akal manusia, Allah itu
universal dan manusia berdiri sebagai partikular. Jika Tuhan tidak dapat dinalar
manusia, harus bagaimanakah manusia untuk dapat memahami-Nya. Barangkali salah
satu pertanyaan di atas yang perlu diajukan kembali yaitu, sejauhmana manusia dapat
mengenal (menalar) Allah? Maka jawabnya adalah sejauh Tuhan menyatakan diri-Nya
kepada manusia. Jika Tuhan tidak menyatakan diri-Nya kepada manusia, maka tidak
ada yang dapat diketahui manusia mengenai Allah. Bagaimana Allah menyatakan diriNya kepada manusia? Sudah barang tentu lewat wahyu (penyataan Allah). Itulah
sebabnya, mau tidak mau manusia siapapun ia, harus menerima adanya wahyu.
Bagaimana seandainya jika Tuhan tidak ada? Maka tidak perlu ada definisi
tentang Tuhan. Betul, tetapi, apakah dengan tidak membuat definisi tentang Tuhan,
maka dapat dikatakan Tuhan tidak ada? Jika demikian, berarti Tuhan ada ataupun
tiada adalah soal pengakuan manusia. Pada hal eksistensi 7 Tuhan tidak bergantung
kepada pengakuan manusia. Eksistensi Tuhan bergantung (berada) pada diri-Nya
sendiri. Diakui atau tidak diakui manusia, Tuhan itu tetap eksis (berada). Darimana
manusia dapat mengetahuinya? Dari sifat pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia
(dalam hal ini, semua penemuan-penemuan ilmiah) hanya bersifat percikan-percikan
kebenaran. Jika demikian berarti ada satu Kebenaran Tunggal yang bukan percikan
kebenaran tetapi Kebenaran itu sendiri. Jadi dari Kebenaran inilah muncul seluruh
percikan-percikan kebenaran (penemuan-penemuan ilmiah) manusia. Dengan
demikian, kebenaran itu sendiri sudah ada, sekalipun diakui atau tidak diakui manusia.
Sebab kebenaran itulah yang terus diupayakan manusia untuk diketahuinya, namun
manusia tidak dapat mencapainya (hanya dapat mencapai percikan-percikan
kebenaran saja). Sampai ketika kebenaran itu sendiri menyatakan diri-Nya kepada
manusia, barulah pengetahuan manusia lengkap terhadap kebenaran tersebut.
Siapakah Kebenaran tersebut? Sesuatu yang berpribadikah? Atau sesuatu
materi? Jika ia materi seperti misalnya alam semesta, maka pertanyaan yang diajukan
bukanlah, ‘siapakah’, tetapi ‘apakah’. Karena pertanyaan ‘siapakah’, ditujukan kepada
suatu pribadi. Jadi apakah Kebenaran itu materi? Jika Kebenaran itu materi, maka ia
adalah allah. Dan jika ia adalah materi, maka terbuka kemungkinan untuk semua
wujud materi menjadi allah. Bukan saja alam semesta, tetapi bisa yang lain, seperti:
pohon, otak manusia, dan hewan. Bila hal-hal tersebut dapat jadi allah, maka itu semua
tidak berpribadi. Dengan demikian derajatnya lebih rendah dari manusia; sebab
manusia berpribadi. Jadi kesimpulannya, tidak mungkin allah itu adalah materi yang
7
Sama seperti eksistensi manusia, tidak bergantung pada orang lain atau lingkungan di mana ia berada. Tetapi
bergantung pada dirinya sendiri –jika terlalu berlebihan untuk mengatakan eksistensi manusia bergantung pada
Tuhan.
4
lebih rendah derajatnya dari manusia, pastilah Allah itu lebih besar dan Agung dari
manusia.
Satu-satunya kemungkinan yang dapat diterima nalar ialah bahwa Kebenaran
itu adalah sesuatu yang berpribadi. Jika Ia sesuatu yang berpribadi, maka
pertanyaannya adalah berpribadi seperti apa? Bagaimana wujud-Nya? Untuk
mengetahui hal ini, manusia sangat terbatas, kecuali Kebenaran itu sendiri datang dan
menyatakan diri-Nya. Jika tidak manusia harus cukup puas dengan menerima
penyataan-Nya lewat wahyu.
Penyataan lewat wahyu ini juga tidak mudah diterima manusia, mengapa?
Karena manusia cenderung hanya mempergunakan rasio saja. Immanuel Kant,
membedakan 4 macam pengetahuan: 1) Yang analitis8 a priori9; 2) Yang sintetis10 a
priori; 3) Yang analitis a posteriori11; 4) Yang sintetis a posteriori. Empat macam
pengetahuan ini semua didasarkan pada rasio, tidak ada satupun kebenaran yang
datang atau dapat diterima jika tidak masuk atau dapat diterima rasio. Hal tersebut
terjadi oleh karena sifat pengetahuan (science) yang mendorong manusia untuk terus
mempergunakan rasio, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat diterima rasio maka
tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Bahkan hukum ini bisa lebih sempit lagi
dengan mengatakan, segala sesuatu yang tidak dapat diindrai, tidak dapat disebut
sebagai kebenaran (empiris). Demikianlah sifat ilmu pengetahuan, ia menjadi ilmu
karena pengetahuan itu telah disistematisasikan, memiliki asumsi, aksioma dan aturan
main, serta cara mendapatkan kebenaran (metodologi) yang jelas.
Kecenderungan ini membuat sisi lain dari akal manusia, yaitu supra rasio
kurang dipergunakan sebagaimana sisi rasio dipergunakan. Pada hal di dalam diri
manusia, ke dua sisi tersebut ada. Filsafat juga mengakui ke dua sisi tersebut, itu
sebabnya di dalam pembagian filsafat ada epistemologi12 dan metafisika13.
Meskipun pada diskusi-diskusi filsafat dunia metafisika terkadang ingin
disingkirkan karena tidak sesuai dengan pemikiran empiris. Tetapi penyingkiran
metafisika, berarti membuang akar filsafat. Descartes dalam Heideger mengatakan,
”Thus the whole of philosophy is like a tree: the roots are metaphysics, the trunk is physics, and
the branches thet issue from the trunk are all the other sciences…”, (1999: 277). Heidegger,
8
pengetahuan analitis merupakan hasil analisa
a priori adalah, pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau yang ada sebelum
pengalaman
10
pengetahuan sintesis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah
11
pengetahuan a posteriori terjadi sebagai akibat pengalaman
12
Epistemologi ialah ilmu yang mempelajari bagaimana orang membenarkan pengetahuan atau keyakinannya.
Jadi, persoalan dalam epistemologi ialah pembenaran atau dapat dikatakan “How do we know we know?”
(bagaimana kita tahu bahwa kita tahu?) Penggunaan sisi rasio.
13
Metafisika membicarakan apa yang ada disamping (meta= disamping) hal-hal fisik. Dan sebenarnya inti filsafat
ialah mencari apa yang ada di balik alam fisik yang kita amati sehari-hari. Berarti penggunaan sisi supra rasio dari
akal.
9
5
mengatakan, “ metaphysics thinks beings as being. Whereever the question is asked what
beings are, being as such are in sight. Metaphysical representation owes this sight to the light of
being” (Ibid).
Jadi jika ada sisi epistemologi dan metafisika, berarti ada sisi rasio dan sisi supra
rasio. Jika ini diakui, maka akan sangat mudah untuk dapat menerima wahyu
(penyataan) dari Sang Kebenaran) tersebut. Penerimaan wahyu ini tentulah harus
mempergunakan sisi supra rasio (iman). Supra rasio bukan berarti tanpa objek,
sehingga ia tidak masuk akal. Filsafat mengenal dua objek, objek kelihatan (fisika) dan
objek tidak kelihatan (metafisika). Objek yang tidak kelihatan (metafisika) diserap oleh
supra rasio (iman) dan objek yang kelihatan (fisika) diserap oleh rasio.
Penggunaan akal seharusnyalah demikian, mengapa? Karena ada keterbatasan
rasio untuk melihat atau mengindrai objek yang tidak kelihatan (metafisika), disinilah
peran supra rasio (iman) mengambil kendali untuk memimpin rasio agar dapat
menyerap objek yang tidak kelihatan tersebut. Tetapi disisi lain, ada kalanya rasio yang
memegang kendali berpikir, karena objek yang ada merupakan objek yang kelihatan
(fisika), yang dapat dengan mudah ditangkap oleh rasio dalam penganalisaannya. Hal
ini jugalah yang ditegaskan oleh Thomas Aquinas yang dikutip oleh Gordon Clark,
dalam penjelasannya tentang relasi antara iman dan rasio yaitu, That faith is the evidence
or conviction of things that appear not. Faith therefore grasps objects that are not evident; what
is evident is grasped by reason (Clark, 1985: 270).
Kesimpulannya, Tuhan itu ada, tetapi harus memahaminya, mengindrainya
lewat supra rasio. Tuhan dikatakan tidak ada oleh sebahagian filsuf, itu dikarenakan
penggunaan sisi rasio saja. Pada hal setiap manusia memiliki sisi yang lain juga yakni,
sisi supra rasio. Karena itu, agar tidak terjadi ekstrim kiri dan kanan, maka baiklah
setiap orang mempergunakan sisi rasio dan supra rasio pada proporsi yang tepat guna.
Apakah Spiritualitas Itu?
Andre Comte-Sponville mengatakan, manusia dapat hidup tanpa agama, tetapi
tidak bisa hidup tanpa spiritualitas. Alasannya, ialah karena spiritualitas adalah
kehidupan roh, dan sekalipun ia seorang ateis tetapi tetap mengakui adanya roh
manusia. Roh manusia inilah yang memungkinkannya untuk tetap bisa memiliki
spiritualitas sekalipun tanpa Tuhan (2007: 15-16). Pengertiannya tentang roh manusia
diambil dari pemahaman Descartes yaitu sesuatu yang berpikir, lalu ia tambahkan
dengan pemahamannya, yaitu yang mampu mencintai, tidak mencintai, yang
merenung, mengingat, mengejek atau bergurau yang kesemuanya itu menyangkut
otak. Tetapi otak tanpa roh, itu hanya organ tubuh semata, sebaliknya roh tanpa otak
tidak akan berarti. Baginya roh bukanlah substansi tetapi lebih tepat suatu fungsi,
kapasitas, tindakan. Dengan demikian apa yang dimaksudkannya tentang spiritualitas
adalah mencakup seluruh kehidupan manusia yang menyangkut otak dan berkaitan
6
dengan kegiatan mental yang dapat dilakukan seseorang tanpa mengakui/ melibatkan
Tuhan. (Ibid., 156-157).
Roh sebagai kapasitas, fungsi atau tindakan, itu bukanlah roh, tetapi jiwa.
Mengapa? Karena manusia diciptakan terdiri dari dua substansi, yaitu tubuh (materi)
dan roh. Tubuh merupakan perangkat keras (hardware) dan roh merupakan perangkat
lunak (software), akibat pertemuan keduanya maka manusia menjadi mahluk hidup.
Sebagai mahluk hidup ia memiliki rasio, kehendak dan emosi, yang muncul
sebagai realitas yang berpotensi ada (posrealitas).14 Rasio, kehendak dan emosi tersebut
adalah jiwa, yang bukan realitas tetapi posrealitas. Sebab realitas sesungguhnya adalah
tubuh dan roh. Itu sebabnya ketika manusia itu mati, maka rohnya kembali kepada
Tuhan, dan tubuhnya kembali ke debu (materi). Jiwa ada dimana? Jiwa sebenarnya
melekat pada roh, namun ia dapat terlihat atau nyata, ketika ada pertemuan antara
tubuh (materi) dengan roh. Jika hanya roh saja tanpa tubuh, maka jiwa tidak terlihat
dengan jelas manifestasinya. Dengan demikian, jiwa merupakan fungsi dari roh, itu
sebabnya ketika tubuh mati, fungsi roh (baca: jiwa) itu serasa lenyap karena ia kembali
kerealitas aslinya yakni roh. Glickman dari Dallas Seminari memberikan perkataan
yang berbeda, namun memiliki makna yang sama yaitu, jiwa adalah ‘tubuh yang diberi
roh’. Pengertian jiwa akan dapat lebih tegas lagi terlihat melalui pendapat William
Dyrness. Ia mengatakan, ‘jiwa adalah individu yang hidup, bukan dalam arti roh yang
tak dapat binasa, melainkan hidup fisik yang konkret dan sarat dengan berbagai
kebutuhan’ (1992: 69).
Jadi jika manusia hanya memiliki jiwa atau roh sebagai kapasitas, fungsi atau
tindakan, maka ini sebenarnya menurunkan derajat manusia ke tingkat yang paling
rendah. Bila pemikiran tersebut diterima, maka manusia dan hewan sama saja, akan
sama-sama menuju ke rumah ketiadaan. Binatang yang dikonsumsi manusia (apakah
ayam, sapi, dll), binatang itu akan menuju kepada ketiadaan, hilang lenyap. Maka
nasib yang sama akan diterima oleh manusia, setelah mati, maka hilang lenyap, masuk
dirumah ketiadaan.
Memang manusia dan hewan memiliki kesamaan yakni, sama-sama mahluk
hidup (Ibr: ‘nepes hayya’ Lihat Kej. 1: 24). Itu sebabnya, manusia memiliki jiwa yang di
dalamnya tercakup, kehendak, emosi, dan rasio, sementara binatang memiliki jiwa
yang di dalamnya tercakup, kehendak, emosi, dan insting. Tetapi manusia dan hewan
juga memiliki perbedaan yang jelas dan signifikan yakni, manusia memiliki roh, dan
hewan tidak. Jadi jiwa hanya menunjukkan sebagai mahluk hidup, karena hidup
14
Posrealitas adalah realitas yang berpotensi ada. Aristoteles menjelaskan ada empat penyebab terjadinya realitas
yang berpotensi ada yaitu: pertama, causa formalis (sebagai penyusun bahan); causa finalis (tujuan yang menjadi
arah suatu wujud); causa effeciens (motor penggerak); causa materialis (bahan dari suatu benda). Bila disesuaikan
dengan rumus Aristoteles tersebut, maka jiwa merupakan realitas yang berpotensi ada, sebab causa materialisnya
adalah tubuh, causa efficiensnya adalah roh, causa formalisnya adalah bentuk manusia; causa finalis adalah manusia
yang memiliki jiwa (emosi, kehendak rasio) (Lihat Copleston, 1993: 306-307).
7
makanya ada jiwa. Jika manusia dan hewan mati, maka jiwa itu lenyap ke realitas
asalnya, sebab ia adalah posrealitas.
Kalau semua manusia akan berlalu kepada ketiadaan, untuk apa memiliki
spiritualitas? Apa gunanya? Apa bedanya di dalam kehidupan ini antara orang yang
sangat spiritual dengan yang sangat lalim? Paling banter orang yang memiliki
spiritualitas yang baik dikenal sebagai orang baik atau saleh dalam hidupnya dan
orang yang tidak memiliki spiritualitas yang baik, dikatakan sebagai orang lalim atau
bejat.
Selanjutnya marilah melihat apa itu spiritualitas? Salah satu dari empat arti
spiritualitas yang diberikan Webster’s adalah, ‘the quality or fact of being spiritual.’ Lalu
apakah spiritual itu, webster’s memberikan dua belas arti, salah satu artinya adalah, ‘of
or pertaining to the spirit as the seat of the moral or religious nature’ (1989:1372). Jika
demikian, maka spiritualitas adalah kualitas atau fakta-fakta dari spiritual, dimana
spiritual sebagai kedudukan dari moral atau natur keagamaan.
Dimanakah tempat bertumbuhnya spiritual itu, sehingga dapat terlihat kualitas
spiritual (spiritualitas) seseorang? Dijiwakah? Atau di roh? Bila di jiwa, maka ia
tercakup pada emosi, kehendak, dan pikiran. Dan yang paling dominan adalah pikiran,
sebab pikiranlah yang mengendalikan emosi dan kehendak (rumusan Plato). Namun
pikiran dapat dipermainkan, seseorang yang melakukan kejahatan dapat membenarkan
tindakannya dengan membuat alasan rasional instrumental. Agar tindakannya yang
jahat tersebut dibenarkan, maka otaknya bekerja sebagai instrumen untuk membuat
alasan yang rasional, sehingga orang lain dapat menerima atau membenarkan
tindakannya yang jahat. Dengan demikian, pikiran atau rasio tidak dapat dipergunakan
sebagai alat ukur untuk spiritualitas (kualitas spiritual) seseorang sebab dapat menipu.
Lebih lanjut, pikiran dapat lenyap. Ketika seseorang mengalami amnesia, maka
kualitas spiritualnya tidak dapat diukur atau dilihat lagi. Apalagi jika ia mati, maka
pikirannya juga lenyap. Dengan demikian, jiwa tidak dapat sebagai tempat untuk
bertumbuhnya spiritual seseorang. Dan seandainya tetap dapat, maka akan ada
binatang-binatang yang memiliki spiritul yang baik, karena binatang juga memiliki
jiwa.
Tempat bertumbuhnya spiritual itu lebih tepat di roh, mengapa? Karena roh
manusia itu merupakan pelita Tuhan yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya (Amsal
20: 27). Itu sebabnya, manusia tidak dapat mendustai hati nuraninya sendiri. Sekalipun
seseorang mempergunakan rasional instrumental untuk membenarkan tindakannya
yang jahat, tetapi hati nuraninya tetap akan berkata-kata bahwa apa yang dilakukannya
jahat. Meskipun hal tersebut hanya sesaat saja, sebab hati nurani tersebut dapat
dibungkam agar diam dan tidak menuduh dirinya jahat. Walaupun dapat dibungkam,
namun hati nurani tersebut tidak dapat di dustai.
Apabila seseorang hendak menyangkal bahwa ia tidak memiliki hati nurani,
maka ia menyangkali keberadaannya sendiri. Dan apabila ia mengakui bahwa, ia
8
memiliki hati nurani, maka ia juga harus mengakui keberadaan roh manusia. Roh
manusia ini, tidak dapat diserap oleh rasio, itu sebabnya harus diserap oleh iman
(supra rasio). Sebab jika rasio formal mau menyerap (mengerti) roh manusia, maka itu
merupakan kemustahilan. Sebab hal itu di atas akal manusia (supra rasio). Akal formal
tidak sanggup menjelaskannya, dan jika akal manusia tidak sanggup menjelaskannya,
bukan berarti keberadaan roh manusia tersebut tidak ada. Itu semua terjadi hanya
karena, salah dalam mempergunakan perangkatnya. Seharusnya mempergunakan
perangkat supra rasio (iman), namun yang digunakan perangkat rasio. Akibatnya,
tidak dapat memahaminya.
Untuk mengukur spiritualitas (kualitas spiritual) seseorang tidak dapat
dilakukan orang lain. Pengukuran itu hanya dapat dilakukan oleh dirinya sendiri,
karena hanya rohnyalah yang tahu, apa yang dilakukannya jahat atau baik. Rohnyalah
yang menyelidiki seluruh motif dari tindakannya, apakah baik atau jahat. Dan Paulus
telah mengutarakan hal ini jauh sebelumnya dengan berkata, ‘siapa gerangan yang
tahu akan manusia selain roh manusia itu sendiri.’ 15Hal ini pun telah diutarakan
Immanuel Kant, bahwa ada pengetahuan terhadap suatu benda yang tidak dapat
diketahui, yang hanya benda itu sendiri yang mengetahuinya das ding an sich, atau thing
in it self. Namun jika manusia hanya memiliki roh sebagai kapasitas, fungsi atau
tindakan, yang berarti jiwa. Maka memang tidak ada yang tersembunyi di dalam diri
manusia itu, sebab manusia itu sama dengan benda atau binatang. Keadaan seperti ini
disebut Hegel dengan perkataan, das wahre ist geis das ganje.
Dengan demikian, mau tidak mau, harus diakui bahwa manusia itu memiliki
roh yang substansi. Hal itulah yang membedakan ia dari binatang, itu sebabnya
manusia tidak dapat dikatakan binatang rasional. Tetapi manusia yang segambar dan
serupa dengan Allah, yang memiliki roh. Memang hal ini sulit untuk diterima bila
seseorang hanya memandang manusia dari sudut materi (manusia sama dengan benda
ataupun binatang).
Merujuk apa yang dikatakan Comte-Sponville di atas, yang mengatakan bahwa
spiritualitas itu menyangkut otak atau kegiatan mental dan dapat dilakukan seseorang
tanpa mengakui/ melibatkan Tuhan. Jika demikian, ukuran spiritualitas itu berarti
otak/ mental seseorang. Dengan kata lain otak adalah tuhan dari spiritualitas yang
demikian. Sebab segala sesuatu diukur dari otak/mental manusia. Jadi bukan berarti
tanpa Tuhan, hanya tuhannya digantikan dengan otak/ mental seseorang.
Tuhan digantikan dengan otak manusia telah sering kali dilakukan manusia.
Mengapa ini terjadi? Ada beberapa penyebab, antara lain: Pertama, tidak pernah hidup
dalam pengalaman dengan Tuhan, sehingga Tuhan tersebut serasa jauh (transenden)
sekali dan tidak dapat dimengerti. Karena tidak dapat dimengerti, maka diciptakanlah
tuhan yang dapat dimengerti seperti cerita dalam kitab Keluaran 32:1-4.
15
Lihat 1 Korintus 2: 11
9
Pada hal Tuhan bukanlah suatu objek untuk akal budi manusia kata Soren
Kierkegaar, melainkan pribadi yang harus dialami dan digumuli. Karena itu
pendekatan terhadap Tuhan melalui akal tidak akan dapat membuat seseorang
mengenal Tuhan. Tetapi pendekatan melalui pengalamanlah yang dapat membuat
seseorang mengenal Tuhan. Karena pengalaman seseorang dengan Tuhan melampaui
defenisi tentang Tuhan. Dengan demikian ia mengatakan, bahwa ‘manusia hanya
sungguh-sungguh mengenal Tuhan, kalau ia berada dalam relasi dengannya.’
Kedua, mengenal Tuhan Hanya dari kata orang (baca: agama), sehingga Tuhan
dikenal secara teori. Akibatnya, jika teori yang ia terima tentang Tuhan tidak rasional,
maka konsep Tuhanpun akan ditolak. Lihat contoh David Hume di atas, menolak
Tuhan karena, Tuhan tidak dapat diterima dalam teori, indra→kesan→gagasan, yang
ia kembangkan.
Tidak jarang terjadi salah tafsir terhadap agama, karena salah menafsirkan
Tuhan yang ada di dalam agama tersebut. Lihat misalnya Nietzsche, dalam
rumusannya tentang tangga besar kekejaman agama. Menurutnya dalam Beyond Good
and Evil, Tangga besar kekejaman agama memiliki banyak anak tangga, tetapi ada tiga
anak tangga yang paling penting yaitu, pertama, Once on a time men sacrificed human
beings to their God, and perhaps just those they loved the best; Finally, what still remained to be
sacrificed; kedua, was it not necessary in the end for men to sacrifice everything comforting,
holy, healing, all hope, all faith in hidden harmonies, in future blessedness and justice? Ketiga,
To sacrifice God for nothingness (1954: 440). Tidak heran jika ia mengatakan, religions are
the business of the mob; after coming in contact with a religious man, I always have to wash my
hands… I Want no “believers” (ibid., 923)
Ketiga, melihat tingkah laku orang-orang yang mengaku percaya pada Tuhan
yang tidak sesuai dengan iman kepercayaannya. Paling banyak orang tersandung dan
menolak Tuhan karena melihat tingkah laku orang-orang yang percaya kepada Tuhan.
Lihat misalnya Marx, ia melihat Kekristenan sebagai ideologi yang melayani penguasa
dimana disetiap sudut dan celahnya menyembunyikan kepentingan borjuis, (Fattah,
2004, 111-119). Maka tidak heran ia mengatakan, agama itu candu bagi masyarakat.
Lalu ia menolak Tuhan, kekristenan, dan menggantikannya dengan materialisme,
dimana agamanya adalah sosialisme.
Spiritualitas Tanpa Tuhan, Mungkinkah?
Melihat pembahasan di atas, maka, spiritualitas tidak mungkin tanpa Tuhan.
Sebab spiritualitas tanpa Tuhan, itu berarti spiritualitas tanpa roh. Jika diakui adanya
roh manusia (dalam hal ini roh yang substansi, bukan yang fungsi/ mental atau jiwa),
maka spiritualitas harus berkaitan dengan Tuhan (Ber-Tuhan). Mengapa? Karena roh
manusia datang dari Tuhan. Manusia tidak bisa hadir di dunia ini, tanpa adanya roh
yang dihembuskan kepadanya. Sebab tidak ada satu materipun di dunia ini yang dapat
menjadikan dirinya sendiri menjadi mahluk hidup, paling banter materi berubah
menjadi energy (E=MC2). Atau sejauh ilmu pengetahuan yang ada sekarang, tidak
10
dapat menciptakan materi menjadi mahluk hidup. Dengan demikian, harus ada roh
yang menghidupkan materi (tubuh) agar dapat menjadi mahluk hidup (manusia).
Jika harus ada roh yang menghidupkan materi agar dapat menjadi mahluk
hidup, maka terbuka pemikiran adanya dunia roh. Kecuali jika, ilmu pengetahuan telah
menunjukkan bahwa materi dapat menjadi mahluk hidup tanpa harus ada roh. Bila
diterima adanya dunia roh, maka terbuka pemikiran tentang adanya Roh Pencipta dari
roh-roh tersebut. Jika roh yang menghidupkan materi tersebut berasal dari Roh
Pencipta, yakni Tuhan, maka spiritualitas haruslah ber-Tuhan; tidak mungkin tanpa
Tuhan.
Keunggulan Spiritualitas Ber-Tuhan
Beberapa keunggulan spiritualitas ber-Tuhan dapat dipaparkan sebagai berikut:
Pertama, Ada patokan yang jelas bagi spiritualitas itu sendiri. Patokan ini tentu
didasarkan pada sifat hukum moral Allah,16 bukan pada sifat hukum moral manusia
ataupun tempat di mana manusia berada. Dengan demikian, ukuran spiritualitas
seseorang harus diukurkan berdasarkan sifat hukum moral Allah tersebut.
Kedua, Memungkinkan adanya pembedaan yang jelas antara orang yang
memiliki spiritualitas yang baik dengan yang tidak memiliki spiritualitas. Baik ketika
hidup di dunia ini, maupun nanti di dunia yang akan datang.17
Ketiga, spiritualitas haruslah memiliki satu pribadi yang dipuja, disembah,
ditakuti, dan dihormati, sebagai tempat landasan dan acuan terhadap ukuran
spiritualitas itu sendiri. Jika tidak ada satu pribadi yang demikian, maka spiritualitas
itu menjadi absurd dan tak bermakna. Itulah sebabnya, Tuhan yang harus ditempatkan
sebagai patokan dan acuan spiritualitas, agar spiritualitas itu menjadi jelas dan
bermakna.
Kesimpulan
Spiritualitas tidak mungkin tanpa Tuhan, sebab tidak akan ada ukuran atau
patokan yang jelas terhadap spiritualitas jika tanpa Tuhan. Dan tidak ada gunanya
seseorang memiliki spiritualitas di dunia ini, jika tanpa Tuhan, karena antara orang
16
Apa sifat hukum moral Allah ini, dapat dilihat pada Aripin Tambunan, Masyarakat dan Kota dalam Perspektif
Teosofi, Jurnal Transformasi 4 (1): 45-60.
17
Jika adanya dunia yang akan datang ditolak, maka harus ditolak juga adanya dunia roh. Jika dunia roh ditolak,
maka manusia sebagai mahluk hidup yang dapat berpikir, dll., juga harus ditolak.Dengan demikian, penolakan
terhadap dunia yang akan datang, berarti penolakan terhadap eksistensi manusia sebagai mahluk hidup yang
rasional.
11
yang memiliki spiritualitas yang baik dengan yang tidak baik, tidak ada bedanya.
Semuanya akan berakhir di rumah ketiadaan dan tidak ada bedanya dengan binatang.
Daftar Pustaka
Clark, Gordon H.,
1985 Thales To Dewey, Maryland: The Trinity Foundation
Comte-Sponville, Andre, (terj. Ully Tauhida)
2007 Spiritualitas Tanpa Tuhan, Jakarta: Pustaka Alvabet.
Copleston, Frederick,
1993
A History of Philosophy, New York:--
Dyrness, William,
1992 Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas
Fattah, Damanhuri,
2004 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Jogyakarta: Panta Rhei Books
Gould, James A., (ed)
1985 Classic Philosophical Questions, Colombus: Charles E. Merrill Publishing
Heidegger, Martin, (edited William McNeill),
1999 Pathmarks, Melbourne: Cambridge University Press.
Hume, David, (Edited John P Wright, etc)
2003 A treatise of Human Nature, Michigan: Everyman
Lawhead, William F.,
2003 Philosophical Questions, New York: McGraw Hill
12
Mayer, Frederick,
1951 A History of Modern Philosophy, New York: American Book Company.
Nietzsche, Friedrich,
1954 The Philosophy of Nietzsche, New York: The Modern Library.
Sartre, Jean-Paul,
1966 Being and Nothingness, Washington Square Press.
Sudarminta, J., & Tjahjadi, Lili,
2008 Dunia Manusia dan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius
Webster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of The English Language, New york: Portland
House, 1989.
13