Skip to main content
Dewi  Sartika
  • Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
  • 081346645642
Indonesian Village Law No. 6/2014 mandates the village to be a self-governing community and local self-government. Based on the law, the village government conducts governmental administrative business, local development, fosters village... more
Indonesian Village Law No. 6/2014 mandates the village to be a self-governing community and local self-government. Based on the law, the village government conducts governmental administrative business, local development, fosters village society, and empowers local people. Organizational and human resource capacity become prerequesites to conduct the tasks. This paper aims to investigate any problems and possible solutions to strengthen village capacity in order to achieve the village's law vision. This research was conducted in Kutai Kartanegara (Kukar) Regency, Indonesia. It used a qualitative approach and the data were collected in several ways, i.e. focus group discussions, interviews, secondary data, and observations. The study showed that village governments have no authority to design their own organizations because the designs are prepared by central and local governments in detail. Moreover, the lack of competence among village government staff and financial dependency also makes village governments rely on
The era of information disclosure is characterized by increasingly sophisticated information technology and well-educated society. That matter has implications for the demands of increasing the quality of public services managed by the... more
The era of information disclosure is characterized by increasingly sophisticated information technology and well-educated society. That matter has implications for the demands of increasing the quality of public services managed by the government, amid the limitations of the budget, human resources, institutions, and governance. This research encourages the development of the state administration innovation system (SINAGARA) to leverage the performance of regional government. The ways can be taken is to establish an innovation implementation unit/task force where the Regional Research & Development Agency as the leading sector, provide incentives for tasks unit Innovators and innovator agents and encourage innovation-based budgeting. The importance of building a state administration innovation system (SINAGARA) for regional governments-by utilizing developing information technology-is an indicator of regional head and high leadership performance, and optimizing the role of regional government as the leading sector of development the state administration innovation system.
ABSTRAK Perubahan Inflasi dan Nilai Tukar Mata Uang dan Suku Bunga Bebas Risiko serta lndeks Syariah terhadap Kinerja Reksa Dana Syariah (PNM Syariah). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membuktikan pengaruh... more
ABSTRAK



Perubahan  Inflasi dan  Nilai  Tukar Mata  Uang  dan  Suku  Bunga  Bebas Risiko serta lndeks Syariah  terhadap Kinerja Reksa  Dana Syariah (PNM Syariah). Penelitian  ini bertujuan untuk  menganalisis dan  membuktikan  pengaruh  perubahan tingkat  inflasi, tingkat  perubahan  nilai tukar (kurs) Rupiah,  tingkat suku bunga bebas risiko dan  indeks Syariah  terhadap  (peningkatan) kinerja reksa  dana  Syariah  (PNM Syariah) terhadap  kinerja Reksa  Dana  Syariah selama  periode  Januari  2002 sampai Desember 2007. Tujuan lainnya adalah untuk menganalisis dan membuktikan apakah indeks Syariah memiliki  faktor dominan  terhadap kinerja reksa dana Syariah tersebut. Metode        analisis        yang        dipakai        adalah      regresi        linier      berganda. Tiga  variabel  bebas yang  diuji  adalah  perubahan  tingkat  inflasi,  perubahan tingkat nilai  tukar,  BI  Rate  atau  tingkat  suku  bunga  bebas  risiko,  dan  Index  Syariah. Berdasarkan basil analisis regresi  tinier berganda  menunjukkan bahwa  sekitar  99,2% variansi  dari kinerja reksa  dana  Syariah  (PNM  Syariah)  dijelaskan dengan  signifikan oleh -secara bersama-sama- variabel  perubahan tingkat  intlasi, tingkat perubahan nilai tukar  (kurs)  Rupiah,  tingkat  suku  bunga  bebas  risiko  dan  indeks  Syariah,  Sisanya, 0,8% dijelaskan oleh variabel  lain di luar model  ini. Selama  periode  Januari  2002  sampai  Desember  2007,  (peningkatan) kinerja  reksa daaa  Syariah  (PNM Syariah) sangat dipengaruhi  oleh  :    tingkat  inflasi  sebesar  7,950, artinya,  setiap kenaikan  1 % naiknya  tingkat inflasi  akan meningkatkan kinerja reksa dana  Syariah  (PNM  Syariah)  sebesar  7,950  ;  pengaruh  negatif dan tidak signifikan.  tingkat nilai  tukar sebesar  30;399;  artinya  setiap  kenaik.an  I%  exchange  rate akan menurunkan kinerja reksa dana  Syariah sebesar 30,399, dengan  asumsi variabel bebas
lainnya konstan ;  dan  kinerja harga  saham  di Jakarta  Islamic Index  sebagal  proksi lndeks  Syariah,  besamya pengatuh  mencapai  4,553,  artinya,  setiap  kenaikan  1 %; naiknya irllteks Syariah akan meningkatkan kinerja reksa dana Syariah (PNM Syariah) sebesar  4,553, derigan asumsi  variabel  bebas  lainnya konstan  ;  bi rate sebesar  0,661, artinya,  setiap  kenaikan  BI rate  1 % akan  mempengaruhi kinerja  reksa dana  sebesar 0,661,  asumsi variabel bebas lainnya konstan.

ABSTRACT
The Change  of Inflation  Rate and  Exchange  Rate and  Free Risk Interest Rate  and  Syariah  Index  to  Performance  Syariah  Mutual  Fund  (PNM Syariah). The objective of this research is to analysis and to prove influence  ofthe change from inflation  rate,  exchange  rate,  bi rate and  Syariah  Index  to performance of Syariah mutual fund, over period January 2002 until Desember 2007.  In addition, the purpose of this study is also to analysis  and prove that Syariah Index have dominant  factor to performance of Syariah mutual fund. The  approach  used  in  this  study  is  multiple  tinier  regression  model.  Three independent variables which are tested are  the change of inflation rate, echange rate, free risk  interest rate and Syariah  Index.  Applying  Ordinary  Least Square  (OLS) to the data, the result  shows  that  about  99,2%  of the  variation  in  the performance of Syariah  mutual  fund  (PNM  Syariah)  is explained  significantly by    the  change  of inflation  rate, echange  rate, free risk interest rate and Syariah  Index simultaneously.  The  other,  about  0,8o/o,  is explained  by  other  variables  which  excluded  from  this model. Over the period of the study, inflation  rate have a noteworthy effect, i.e. about 7,950, to performance ofSyariah mutual fund (PNM Syariah). It means that ifthe proportion of inflation rate goes up by 1 %, on average, performance of Syariah mutual fund goes up by about  7,950.  Others,  exchange  rate have  negative  effect  but not significance about  30,399.  It means  that  if the  proportion  of exchange  rate  goes  up by  1%,  on average;  performance of Syariah  mutual  fund goes down  by about  30;399,  BI Rate have noteworthy effect,  i.e. 0,661, means that if the proportion of BI Rate goes up by
10%,  on average,  performance  of Syariah  mutual  fund  (PNM  Syariah)  goes  up by about  6,61. At last; Syariah  Index  have 4,553  explains  that if the proportion Syariah Index  goes up 1 %, on average,  performance of Syariah mutual  fund (PNM Syariah) goes up by about 4,553.

Besides, based on the result of partial test, it shows that there is a significance effect inflation rate and Syariah Index. It is proved by the parameter of a significance effect inflation rate and Syariah Index which has a positive sign. It means that  inflation rate and Syariah Index is good indicator for performance of Syariah mutual fund (PNM Syariah). Contradictive with free risk interest rate and exchange rate not more significance to  performance of Syariah mutual  fund (PNM Syariah). It is proved by the parameter of significance effect BI Rate and exchange rate  has a negative sign.
Terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menimbulkan pro kontra terkait pegawai honorer yang telah lama mengabdi tapi tak kunjung diangkat sebagai ASN. Desakan revisi UU ASN terus mencuat bahkan... more
Terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menimbulkan pro kontra terkait pegawai honorer yang telah lama mengabdi tapi tak kunjung diangkat sebagai ASN. Desakan revisi UU ASN terus mencuat bahkan sampai terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang telah merepresentasikan pengangkatan honorer dengan formasi khusus. Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan honorer kategori 1 (K1) –berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara- Reformasi Birokrasi (Permen PAN-RB) Nomor 5 Tahun 2010- adalah tenaga honorer yang pembiayaan honornya dibiayai langsung oleh APBN/APBD yang bekerja terhitung mulai tanggal (TMT) 1 Januari 2005 secara terus menerus, dan berpeluang tinggi langsung diangkat menjadi PNS. Berbeda dengan honorer kategori 2 (K2) yang diangkat per 1 Januari 2005 tetapi tidak dibiayai oleh APBN/APBD, harus melalui tes seleksi CPNS, sedangkan honorer kategori 3 (K3)/ non kategori adalah tenaga honorer yang diangkat selepas kurun 2005-2008. (www.kaskus.co.id). Kelahiran PP 49/2018 ini mengakomodir penerimaan honorer tanpa seleksi CAT (Computer Assisted Test ) yang lazim ditempuh CPNS pada umumnya, sejak moratorium PNS dari honorer setelah pengangkatan sebanyak 900 ribu orang jalur K1 tahun 2005 dan 200 ribu dari jalur K2 pada tahun 2012. Sehingga total sudah hampir 1 juta atau 25 persen dari total PNS 4,3 juta orang (mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 056 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil). Saat ini jumlah eks tenaga honorer K2 yang terdata di Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebesar 438.590 orang. Hanya saja, eks tenaga honorer K2 yang memenuhi kualifikasi untuk mendaftar CPNS hanya 13.347 orang. Tahun ini pemerintah membuat lowongan CPNS sebanyak 238.015 kursi. Dari jumlah itu, 51.271 kursi untuk instansi pusat dan 186.744 kursi untuk instansi daerah
Jelang pemilihan presiden 2019 menjadi marak berita terkait kedua paslon. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat penyebaran kabar bohong atau hoaks akan semakin meningkat jelang Pilpres 2019. Berdasarkan data Mafindo selama... more
Jelang pemilihan presiden 2019 menjadi marak berita terkait kedua paslon. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat penyebaran kabar bohong atau hoaks akan semakin meningkat jelang Pilpres 2019. Berdasarkan data Mafindo selama tiga bulan terakhir,  hoaks politik paling banyak dibandingkan isu lainnya. Mafindo mencatat terdapat 230 hoaks yang terklarifikasi sebagai disinformasi selama periode Juli-September 2018. Rinciannya, hoaks pada Juli 2018 sebanyak 65 konten, Agustus 2018 sebanyak 79 konten, dan meningkat menjadi 107 konten pada September 2018. Sarana yang paling banyak digunakan untuk menyusun hoaks itu, yakni narasi dan foto (50,43%), narasi (26,96%), narasi dan video (14,78%), dan foto (4,35%). Dari jumlah tersebut, hoaks paling banyak disebarkan di Facebook (47,83%), Twitter (12,17%), Whatsapp (11,74%), dan Youtube (7,83%). (https://katadata.co.id/berita/2018/10/16/mafindo-catat-hoaks-politik-merajalela-jelang-pilpres-2019). Kembali pada kemampuan sebagai penyimak berita untuk melakukan check and re-check.  Tidak hanya berharap publik pintar bermedia akan tetapi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sejatinya berperan sebagai perekat dan pemersatu bangsa, ASN dituntut mampu berseimbang dalam berinformasi.
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara mengamanahkan bahwa untuk menjalankan tugas dan fungsinya, seorang pegawai ASN harus memiliki kompetensi baik kompetensi teknis, manajerial juga sosial kultural. Kompetensi sosial kultural merupakan... more
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara mengamanahkan bahwa untuk menjalankan
tugas dan fungsinya, seorang pegawai ASN harus memiliki kompetensi baik
kompetensi teknis, manajerial juga sosial kultural. Kompetensi sosial kultural
merupakan kompetensi baru dalam Undang-Undang ASN yang dapat diukur dari
pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan
budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan. Pada prakteknya sudah ada
beberapa kebijakan yang mengakomodir pelaksanaan kompetensi sosial kultural.
Salah satunya kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
dengan nama kompetensinya yaitu kompetensi kepekaan sosial. Meski memiliki
perbedaan nama, namun secara substansi kompetensi sosial kultural dan kompetensi
kepekaan sosial memiliki arti yang hampir sama. Penelitian ini telah mengidentifikasi
potensi nilai-nilai sosial kultural yang ada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara untuk
dijadikan kompetensi sosial kultural serta menganalisis strategi pengembangan
kompetensi sosial kultural di daerah. Menggunakan metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui diskusi terbatas dan wawancara, diperoleh hasil analisis
bahwa aspek historis, pluralis dan tantangan pembangunan daerah sangat
mempengaruhi pembentukan nilai-nilai sosial kultural. Ada banyak nilai yang
teridentifikasi, nilai-nilai tersebut kemudian diklasifikasikan secara spesifik dan
general. Tujuannya agar dapat dibuat skala prioritas nilai-nilai apa saja yang dapat
dijadikan kompetensi sosial kultural dan berlaku pada skala daerah/spesifik, mana
pula nilai-nilai sosial kultural di daerah yang dapat diaplikasikan secara
general/nasional. Terkait kebutuhan pengembangan, pada kedua lokus didapati
bahwa tingkat kebutuhannya sangat tinggi akibat heterogenitas yang ada di kedua
daerah tersebut. Untuk strategi pengembangannya, daerah berharap ada standar
baku pelaksanaan sebagai parameter yang dapat diukur dalam rangka meningkatkan
kompetensi aparatur negara


The Law of State Civil Apparatus mandates Civilian Personel to possess the competencies of
technical, managerial, and socio-cultural in carrying out their duties and functions. Sociocultural
is a new competence introduced in the Law of State Civil Apparatus that could be
measured from work experience related to the society in terms of religion, ethnicity and culture
in improving national vision. In practice, there were already policies to accommodate the
implementation of socio-cultural competence. One of these policies was made by the Provincial
Government of Jakarta, namely competence of social sensitivity. Although it has a different
name, the competence of socio-cultural and the competence of social sensitivity have the same
meaning in substance. This research has identified the potential for socio-cultural values that
exist in the region of Aceh and North Sumatra to be indicated as socio-cultural competence, and
then to do an analysistoward the development strategy of socio-cultural competence in the
region. By using qualitative methodand data collection through focus group discussions and
interviews, the results of analysis showed that the historical aspects, pluralist and challenges of
regional development had greatly influenced the formation of socio-cultural values. There was a
lot of value identified which then classified specifically and in general. The purpose was to made
a priority scale of values that can be used as a socio-cultural competence in a scale of
local/specific, which then can be applied generally or nationally. In relation to the needs of
development, both locus show that the level of needs was very high due to the heterogeneity
exists in both regions. For its development strategy, the regions expect standard
implementation as a parameter to be measured in order to improve the competence of the civil
apparatus.
Research Interests:
Research Interests:
The regional enterprise which is the local government company is wholly or mainly derived from separated capital region. There are currently two mainstream paradigms (whose capital) in the management of regional enterprises. On one side,... more
The regional enterprise which is the local government company is wholly or mainly derived from separated capital region. There are currently two mainstream paradigms (whose capital) in the management of regional enterprises. On one side, the region is one of the main instruments of Corporate Government in order to optimize local resources into investments that can increase revenue (profit) for regional own revenue. On the other side, the role of government as a public servant (public service) requires the regional enterprise not only for profit per se, but more expected to be a medium in order to carry out government functions and public services to accelerate the development process. Regional Enterprise Warehousing and Business Miscellaneous (PD PAU) Samarinda was originally formed to perform a warehousing arrangement spread into the region in the middle of town, but in the course of subsequent, PD PAU had disoriented businesses and financial crisis, making PD PAU verge of bankruptcy with some complexity issues. In order to save the business of PD PAU, several steps can be taken by the City Government of Samarinda to restructure the PD PAU, requiring policy measures for restructuring efforts, such as reformulation of business vision, management restructuring, verification of balance sheet, business relations expansion, and addition of new capital. ABSTRAK Perusahaan daerah (PD) adalah perusahaan yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari keka yaan daerah yang dipisahkan. Saat ini terdapat dua arus utama paradigma (mainstream) dalam pengelolaan PD, di satu sisi, PD merupakan salah satu instrumen pemerintah dalam rangka mengoptimalkan sumber daya lokal menjadi investasi yang dapat meningkatkan pemasukan (profit) bagi pendapatan asli daerah (PAD) setempat. Di sisi lain, peran pemerintah sebagai pelayan masyarakat (public service) menuntut agar PD tidak hanya mengejar profit semata, tetapi lebih diharapkan supaya menjadi medium pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan kepada publik dan mengakselerasi proses pembangunan. Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (PD PAU) Kota Samarinda, awalnya dibentuk untuk melakukan penataan pergudangan yang tersebar di tengah kota menjadi satu kawasan. Dalam perjalanan, PD PAU mengalami disorientasi bisnis dan krisis finansial sehingga menjadikan PD PAU diambang kebangkrutan dengan sejumlah kompleksitas permasalahan. Dalam rangka me-nyelamatkan bisnis PD PAU, langkah yang dapat dilakukan pemerintah Kota Samarinda adalah dengan melakukan penyehatan di tubuh PD PAU sehingga diperlukan langkah-langkah kebijakan penyehatan usaha, diantaranya adalah dengan merumuskan ulang visi bisnis, melakukan restrukturisasi manajemen pengelolaan, verifikasi neraca keuangan, membangun relasi bisnis, dan penambahan modal baru. Kata kunci: Perusahaan daerah (PD), Pergudangan dan aneka usaha, Penyehatan perusahaan, Pendapatan asli daerah (PAD), Bisnis
Research Interests:
This study aims to determine the approaches used and the driving factors of the bureaucratic reforms implemented in Tanah Bumbu Regency. Direct data collection was conducted in March 2014. The in-depth interviews carried out to the main... more
This study aims to determine the approaches used and the driving factors of the bureaucratic reforms implemented in Tanah Bumbu Regency. Direct data collection was conducted in March 2014. The in-depth interviews carried out to the main respondent: the public and the government, in order to obtain complete and balanced overview of the performance of local governments. In addition, the approach used is library research, by collecting/studying secondary data: books, journals, research results, proceedings, and other information that support this study. The results of this study showed that at the beginning of the reform, Regent of Tanah Bumbu implement a model of power-coercive known as " Ilahiyah Management " to encourage discipline of the apparatus. Leadership models of the new regent, just continue the model (Ilahiyah Management) with normative-re-educative approach: an attempt to maintain the system continues to run well, and be awork culture of the apparatus. Furthermore, another factor that drives the success of reforms in Tanah Bumbu is reformist leadership factors that focus on: Education, Health, and Infrastructure, known as Tri Dharma Development.
This study aims to describe the competence development of civil servants in East Kalimantan Provincial Government based on Law Number 5 Year 2014 and the factors that influence it. With qualitative descriptive method, secondary data is... more
This study aims to describe the competence development of civil servants in East Kalimantan Provincial Government based on Law Number 5 Year 2014 and the factors that influence it. With qualitative descriptive method, secondary data is collected through library research. Result of the research is the comparison of the personnel posture, senior officer ratio based on gender, and the accomodation of the local people which is still relatively small; Competence development is still considered to be the domain of BKD and has not become a priority of regional government needs based on regional content. Competency development is still constrained by the lack of budget and managerial staff, the existence of inconsistent central policies that can not be followed by the region. Assessment is recomended toward the competencies which is relevant and required for senior leader level in order to arrange developed standards of managerial and socio-cultural competence. Competence development is not only concerned with the priority of accomodating local people to be apparatus, but also the vision of regional development. Capacity building should be based on the agency's key strategic objectives and performance indicators. Dynamic leadership regeneration is needed as well as competency mapping with respect to gender sensitivity and priority of local people / regional content. Thus, innovative laboratories are required in each region to make change project of every high-level leader sustainable.
Research Interests:
Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif gender pada pemerintah... more
Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif
gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif,
dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi.
This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural
positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada
jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi
gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN
dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan
pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu
Research Interests:
Managing human resources personnel is one of the areas of change bureaucratic reform. Thereby improving the quality of civilian state apparatus becomes the main focus in structuring human resource roadmap. The problems identified in the... more
Managing human resources personnel is one of the areas of change bureaucratic reform. Thereby improving the quality of civilian state apparatus becomes the main focus in structuring human resource roadmap. The problems identified in the capacity building of the state civil servants apparatus world class include the need for socio-cultural competence on the state civil apparatus, in particular acting as a high chief or the decision maker in each organization unit. Policy analysis is trying to formulate the dimensions of socio-cultural competence of personnel, which dielborasi of a series of panel discussions with experts, in order to form leaders of character dynamic, adaptive and acceptable in the administration of public services and governmental affairs. Where the results of the discourse can be seen that the formulation of job competency standards can be done through several aspects; (1) Categorizing the level of competency based on relevance. (2) Preparation of standards of competence should consider the development vision of the head of government. (3) The competency standards prepared by considering the purpose of implementation, the executing agency, strength of character, competence, environment and culture, community, quality of service, mental revolution, integration competency standards with ASN management, intelligence and balance. ABSTRAK Penataan sumber daya manusia aparatur merupakan salah satu dari area perubahan reformasi birokrasi. Karenanya upaya peningkatan kualitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi fokus utama dalam roadmap penataan SDM aparatur. Problematika yang teridentifikasi dalam peningkatan kapasitas pegawai ASN berkelas dunia diantaranya adalah perlunya kompetensi sosio kultural pada ASN, khususnya pemangku jabatan pimpinan tinggi sebagai pengambil kebijakan dalam unit organisasinya masing-masing. Analisis kebijakan ini mencoba merumuskan formulasi kompetensi sosio kultural aparatur, yang dielaborasi dari serangkaian
Research Interests:
This study describes and analyzes about influence of organizational innovation to the performance of the organization, a case study on the public authorities and the Center for the Study of Education and Training Aparatus III National... more
This study describes and analyzes about influence of organizational innovation to the performance of the organization, a case study on the public authorities and the Center for the Study of Education and Training Aparatus III National Institute Public Administration Samarinda. In the previous study Muhammad Abdiaziz Sidow and Ali Yassin Sheikh Ali in 2014 has been researching the three dimensions of organizational innovation that administrative innovaton, technological innovation and strategies innovation, and the effect of its application to the performance of the organization. The research instrument was tested using Cronbach's alpha to test the reliability and consistency of the answer, while the descriptive is used to describe the characteristics of the respondents, and correlation analysis (regression) to examine the relationship between variables and hypotheses.By using cross sectional, data collection was conducted against 41 employees PKP2A III LAN in Samarinda, East Kalimantan province. Data collection was conducted in November 2014 and were analyzed using SPSS version 21. The results showed that technological innovation has the most important influence on organizational performance (β=0.348, α = 0.863), followed by administrative innovation (β=0.326, α = 0.879), then innovation strategy (β=0.318, α = 0.834). Therefore, a need for such an organization to believe that these factors need to be increased in order to improve organizational performance in the future.
Research Interests:
Research Interests:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengembangan kompetensi Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 serta faktor yang mempengaruhinya. Dengan metode deskriptif... more
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengembangan kompetensi Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 serta faktor yang mempengaruhinya. Dengan metode deskriptif kualitatif, data sekunder dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan. Hasil penelitian adalah perbandingan antara postur kepegawaian, rasio Pimpinan Tinggi (pimti) berdasar gender, dan akomodir putra daerah yang masih tergolong kecil; layanan publik menunjukkan inovasi pelayanan publik telah berjalan dengan lebih baik ditandai dengan reformasi pada sistem pelayanan publik. Pengembangan kompetensi masih dianggap menjadi ranah BKD dan belum menjadi prioritas kebutuhan pemerintah daerah berbasis regional content, pengembangan kompetensi masih terkendala dengan minimnya anggaran dan tenaga pengelola, adanya kebijakan pusat yang inkonsisten yang tidak mampu diikuti oleh daerah. Direkomendasikan assesment terhadap kompetensi yang dianggap relevan dan dibutuhkan oleh pimti, untuk selanjutnya disusun standar kompetensi manajerial dan sosio kultural. Pengembangan kompetensi tidak hanya memperhatikan prioritas putra daerah, juga visi pengembangan daerah. Penguatan kapasitas sebaiknya didasarkan pada sasaran strategis dan indikator kinerja utama instansi. Perlu dilakukan regenerasi kepemimpinan yang dinamis, pemetaan kompetensi dengan memperhatikan kepekaan gender dan prioritas putra daerah/regional content secara tepat sasaran. Perlu dibuat laboratorium inovasi di setiap daerah sebagai proyek perubahan berkelanjutan setiap pimpinan tinggi di unit kerjanya.
This study describes and analyzes about influence of organizational innovation to the performance of the organization, a case study on the public authorities and the Center for the Study of Education and Training Aparatus III National... more
This study describes and analyzes about influence of organizational innovation to the performance of the organization, a case study on the public authorities and the Center for the Study of Education and Training Aparatus III National Institute Public Administration Samarinda. In the previous study Muhammad Abdiaziz Sidow and Ali Yassin Sheikh Ali in 2014 has been researching the three dimensions of organizational innovation that administrative innovaton, technological innovation and strategies innovation, and the effect of its application to the performance of the organization. The research instrument was tested using Cronbach's alpha to test the reliability and consistency of the answer, while the descriptive is used to describe the characteristics of the respondents, and correlation analysis (regression) to examine the relationship between variables and hypotheses.By using cross sectional, data collection was conducted against 41 employees PKP2A III LAN in Samarinda, East Kalimantan province. Data collection was conducted in November 2014 and were analyzed using SPSS version 21. The results showed that technological innovation has the most important influence on organizational performance (β=0.348, α = 0.863), followed by administrative innovation (β=0.326, α = 0.879), then innovation strategy (β=0.318, α = 0.834). Therefore, a need for such an organization to believe that these factors need to be increased in order to improve organizational performance in the future.
Akhir kata, Kartini yang –saat ini- baru dapat dimaknai anak-anak kita dengan kebaya batik dan sanggulnya, memanggil kita untuk melanjutkan juang literasinya. dengan menemani anak-anak kita ke perpustakaan meminjam buku-buku cerdas,... more
Akhir kata, Kartini yang –saat ini- baru dapat dimaknai anak-anak kita dengan kebaya batik dan sanggulnya, memanggil kita untuk melanjutkan juang literasinya.  dengan menemani anak-anak kita ke perpustakaan meminjam buku-buku cerdas, membelikannya buku-buku untuk menumbuhkembangkan minat membacanya, atau menambah anggaran belanja keluarga untuk para bapak buat keluarga terutama buat ibu sebagai madrasah pertama, guru pertama anak-anak. Bagi para pemegang kebijakan membuat inovasi gerakan membaca massal dan berkelanjutan di sekolah, perguruan tinggi dan masyarakat atau membuat gerakan mengurangi menonton TV dan meminimalisir penggunaan gadget. Dan sejatinya semua itu, dapat dimulai dari diri kita sendiri, mulai saat ini  dan dari hal terkecil yang dapat kita lakukan untuk memulainya. Salam literasi!
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan bagian dari manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk meningkatkan kompetensi aparatur di lingkungan instansi pemerintah. Sejak pertama kali masuk dalam... more
Pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi Aparatur Sipil Negara
(ASN) merupakan bagian dari manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN)
untuk meningkatkan kompetensi aparatur di lingkungan instansi
pemerintah. Sejak pertama kali masuk dalam organisasi pemerintah,
calon PNS dididik dalam Pelatihan Dasar CPNS untuk mengenalkan
dunia organisasi sektor publik kepada peserta didik. Selanjutnya,
setelah menjadi ASN berbagai upaya meningkatkan kompetensi juga
dilakukan melalui berbagai diklat teknis maupun fungsional.
Sedangkan khusus untuk ASN yang menduduki Jabatan Pimpinan
Tinggi dan Jabatan Administrasi dalam organisasi pemerintah
dilakukan Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) untuk mempersiapkan
mereka menduduki jabatan-jabatan manajerial.
Pelaksanaan diklat diharapkan dapat memberikan perubahan
tidak hanya bagi aparatur tetapi juga bagi organisasi tempat aparatur
bekerja. Lebih dari itu, pelaksanaan diklat bagi ASN diharapkan bisa
memberikan nilai tambah (added value) bagi organisasi yang muaranya
adalah meningkatkan kinerja organisasi dan pelayanan publik. Dalam
dunia pendidikan, ukuran nilai tambah digunakan untuk melihat
keberhasilan lembaga pendidikan dalam melakukan perubahan yang
bisa diprediksi terhadap peserta didik dari kondisi sebelumnya (Hill,
dalam Downes & Vindurampulle, 2007:3).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 mengenai
ASN, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memiliki salah satu fungsi
yaitu penyelenggaraan diklat kompetensi manajerial Pegawai ASN baik
secara sendiri maupun bersama-sama lembaga pendidikan dan
pelatihan lainnya. Dalam Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2017
tentang manajemen Pegawai Negeri Sipil terkait pengembangan ASN,
dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 butir 31 disebutkan bahwa
Lembaga Administrasi Negara yang selanjutnya disingkat LAN adalah
lembaga pemerintah nonkementerian yang diberi kewenangan
melakukan pengkajian dan pendidikan dan pelatihan.
Executive Summary
vi
Dalam rangka menjalankan tugas tersebut, PKP2A III LAN
menyelenggarakan salah satu fungsinya yaitu Penyelenggaraan
Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan, Kepemimpinan, Teknis, dan
Fungsional. Sejak 2014 hingga 2016, PKP2A III LAN, telah
menyelenggarakan Diklatpim Tingkat II, III, dan IV yang masing-masing
ditujukan untuk ASN yang akan atau sudah menduduki jabatan
manajerial yaitu Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (Esselon II), Jabatan
Administrator (Esselon III) dan Jabatan Pengawas (Esselon IV).
Diklatpim tersebut diselenggarakan dengan menggunakan diklatpim
pola baru yaitu berdasarkan Peraturan Kepala LAN No. 18, 19, dan 20
tahun 2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan
Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II, III, IV.
Untuk mengetahui seberapa besar kemanfaatan diklatpim yang
telah diselenggarakan oleh PKP2A III LAN maka perlu dilakukan
pemetaan keberhasilan diklatpim melalui penelusuran (tracer study)
terhadap para alumni yang sudah kembali bekerja di instansinya
masing-masing serta berbagai permasalahan yang mungkin terjadi
pasca diklatpim.
Diklatpim merupakan kewajiban bagi para Pejabat Pimpinan
Tinggi di instansi pemerintah dan PKP2A III LAN sebagai bagian dari
LAN merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk
menyelenggarakan Diklatpim. Oleh karena itu, evaluasi ini merupakan
bagian dari upaya penguatan dan perbaikan penyelenggaraan
diklatpim khususnya pada fase pelaksanaan evaluasi pasca diklat.
Secara lebih rinci, kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi beberapa hal, yaitu:
1. Untuk mengetahui kontinuitas Proyek perubahan alumni PKP2A III
LAN.
2. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan
proyek perubahan alumni PKP2A III LAN.
3. Untuk mengetahui dampak diklatpim terhadap peningkatan
performance alumni PKP2A III LAN.
Untuk mendiskripsikan Kemanfaatan Proyek perubahan diklatpim
yang telah dilakukan oleh alumni PKP2A III LAN bagi unit organisasi
tempat alumni bekerja dan stakeholder.
vii
Kajian ini merupakankajiandeskriptifdenganmenggunakan teknis
analisis kualitatif. Analisis data dilakukan dengan memadukan antara
data survey dan data lapanganyang menjelaskan keberlanjutan proyek
perubahan pasca Diklatpim II, III, dan IV pada PKP2A III LAN. Objek
penelitian ini adalah seluruh alumni diklatpim II, III, IV pada PKP2A III
LAN dari tahun 2014-2016. Lokus penelitian ini secara umum adalah
semua Provinsi/Kabupaten/Kota di mana alumni diklatpim yang
diselenggarakan PKP2A III LAN bekerja. Untuk menjangkau seluruh
alumni tersebut dibantu dengan instrumen kuisioner yang dikirimkan
ke seluruh alumni diklatpim.
Adapun secara khusus lokus pengumpulan data dengan penelitian
lapangan di wilayah Kalimantan yang dipilih berdasarkan ketersediaan
jumlah alumni yang mewakili Diklatpim II, III dan IV, yaitu Provinsi
Kalimantan Timur (Prov. Kaltim, Kota Balikpapan, Kabupaten Berau),
Provinsi Kalimantan Utara (Kabupaten Nunukan) dan Kalimantan
Tengah (Kota Palangkaraya). Kajian ini mempunyai ruang lingkup dan
batasan tertentu agar dalam penyajiannya tidak terlalu melebar, dan
dapat lebih fokus terhadap apa yang dikaji.
Ruang lingkup kajian ini difokuskan pada Alumni Diklatpim II,
III, dan IV PKP2A III LAN dari tahun 2014-2016 yang menggunakan
diklat pola baru. Adapun pembatasan analisis difokuskan pada
kontinuitas dan kemanfaatan proyek perubahan serta performance
alumni pasca diklatpim II, III, IV. Pembatasan analisis ini relatif sesuai
dengan tingkatan evaluasi Kirkpatrick tahap 3 dan 4 yang berguna
untuk menghasilkan informasi yang berfokus pada dampak pelatihan
bagi organisasi yang merupakan kondisi pasca pelatihan.
Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Sebagianbesar alumni diklatpimpada PKP2A III LAN tetap
melanjutkan proyek perubahannya dan sebagian kecil terhenti.
2. Faktor yang mendorong kontinuitas proyek perubahan utamanya
adalah dukungan pimpinan dan proyek perubahan yang
dimasukkan sebagai kegiatan rutin instansi. Faktor yang
menghambat kontinuitas proyek perubahan utamanya adalah
mutasi dan promosi kerja alumni, anggaran dan sumber daya
(sarprasdan SDM)
viii
3. Diklatpim pola baru pada PKP2A III LAN telah berhasil melahirkan
agen-agen perubahan yang memiliki semangat berinovasi dan
berkinerja yang tinggi. Adapun materi diklatpim yang membantu,
menunjang dan mengatasi persoalan yang dihadapi terkait proyek
perubahan pasca Diklatpim terutama materi yang terkait inovasi,
membangun tim efektif, diagnostic-reading, serta bench marking.
4. Kemanfaatan proyek perubahan dinilai dari realisasi kemanfaatan,
cakupan kemanfaatannya, serta gambaran dampak (impact).
Proyek perubahan pada kajian ini memiliki kemanfaatan yang tinggi
ditandai dengan respon positif dari masyarakat, meningkatnya
kepuasan pelayanan publik, serta kinerja aparatur dan organisasi
yang semakin meningkat.
a. realisasi kemanfaatan proyek perubahan meliputi kemudahan
prosedur yang ditawarkan, efisiensi waktu, serta pengurangan
biaya dalam pelayanan publik.
b. Cakupan kemanfaatan proyek perubahan alumni diklatpim
umumnya dirasakan oleh masyarakat luas dan di lingkup
organisasi internal.
c. Dampak yang dirasakan adalah peningkatan ekonomi daerah,
Peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintah daerah, Kualitas
pelayanan publik meningkat dan tercapainya pelayanan publik
yang Murah, Efisien, terukurdan mudah.
Berdasarkan hasil yang didapat dapat direkomendasikan sebagai
berikut :
1. Pemerintah Daerah/Kementerian/Lembaga perlu membuat
kebijakan terkait kontinuitas proyek perubahan. Sebagai contoh :
a. Inovasi/proyek perubahan harus menjadi bagian dari
organisasi dengan melakukan transfer Inovasi/proyek
perubaham dengan dukungan dan komitmen pimpinan
organisasi
b. Instansi Pengelola SDM bertanggung jawab memonitor
kontinuitas proyek inovasi
c. LAN dan Instansi Pengelola SDM perlu menyediakan layanan
pengaduan/konsultasi terkait kontinuitas proyek perubahan
(Hotline service)
i x
2. Instansi Pengelola SDM dapat memberikan rekomendasi kepada
pemda/KL untuk memberikan penghargaan/awards bagi alumni
dan proyek perubahan yang berdampak bagi daerah dan nasional.
3. LAN bersamaPemda/KLmembuat kebijakan/regulasi terkait
sistemmonitoring dan evaluasi yang terintegrasi : sistem Kompetisi
Inovasi Pasca Diklatpim (Sinopadik), Treasure Study Online (TSO).
4. Proyek perubahan harus terintegrasi dengan SIDA, menyesuaikan
dengan kebutuhan inovasi daerah.
5. Instansi Pengelola SDM dapat mendorong munculnya Ikatan Alumni
Pasca Diklatpim.
6. BPSDM/BKPSDM perlu mempertimbangkan atau merekomendasikan
kepada pemerintah daerah untuk memberikan penghargaan/
awards bagi alumni yang proyek perubahannya berjalan dan
menjadi kebijakan yang berdampak di daerahnya karena
bermanfaat baik internal maupun eksternal.
Research Interests:
Executive Summary Peningkatan Kapasitas Desa Terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa harapan sekaligus tantangan baru bagi desa. Ini karena visi UU tersebut mengarahkan desa menjadi sebuah entitas mandiri dengan konsep... more
Executive Summary

Peningkatan Kapasitas Desa

Terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa harapan sekaligus tantangan baru bagi desa. Ini karena visi UU tersebut mengarahkan desa menjadi sebuah entitas mandiri dengan konsep self-governing community dan local self-government. Ini merupakan sebuah cita-cita besar karena pendekatan “membangun desa” pun diubah menjadi “desa membangun”. Artinya bahwa yang biasanya desa sering dipersepsikan entitas yang lemah sehingga negara atau pemerintah perlu membangun desa, maka ke depan harus dibalik menjadi desa membangun negara. Maka untuk mewujudkan cita-cita besar ini, alokasi anggaran untuk desa juga diatur dalam UU ini. Apabila visi UU ini bisa tercapai maka akan menjadi sebuah perubahan besar dalam sejarah pemerintahan desa di Indonesia.

Selanjutnya, tantangan yang dihadapi desa pun tidak sedikit. Selama ini pembahasan tentang desa seringkali dibandingkan dengan kondisi kawasan perkotaan sehingga yang muncul adalah ketimpangan antara desa dan kota baik dari aspek pembangunan fisik maupun sumber daya manusia. Dari aspek fisik, infrastruktur di desa secara umum jauh tertinggal dengan kota. Masyarakat di kota lebih diuntungkan dengan keberadaaan infrastruktur dan berbagai fasilitas pelayanan publik, sedangkan berbagai keuntungan tersebut sedikit sekali yang diperoleh oleh masyarakat di desa. Dilihat dari aspek kemakmuran, data BPS menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan. Sehingga beban pemerintahan desa sangat besar untuk mengejar ketertinggalan atau setidaknya memecahkan permasalahan di desanya sendiri.

Di sisi lain, berbagai upaya pemerintah untuk memajukan desa yang telah berjalan selama ini tidak jarang menghadapi masalah yang tidak ringan, seperti penyimpangan berbagai dana bantuan yang dilakukan oleh aparat di desa, pemerintah daerah, bahkan para pendamping desa. Kajian KPK juga menemukan 14 potensi masalah dalam pengelolaan dana desa yang perlu mendapat perhatian serius dari para penyelenggara pemerintahan desa dan juga pemerintah daerah sebagai pembina desa. Berbagai potensi tersebut tersebar di empat aspek, yaitu regulasi dan kelembagaan, tatalaksana, pengawasan, serta sumber daya manusia.

Mempertimbangkan berbagai peluang dan tantangan yang dimiliki desa tersebut maka kajian ini memfokuskan pada peningkatan kapasitas desa dalam perspektif disiplin Ilmu Administrasi Negara, untuk mewujudkan visi UU Desa yang baru. Penekanan pembahasan kajian ini adalah aspek kelembagaan dan sumber daya manusia desa, terutama sumber daya aparatur desa. Adapun lokus kajian ini adalah beberapa desa di Kabupaten Kutai Kartanegara, yaitu Desa Teluk Dalam, Desa Embalut, Desa Muara Kaman Ulu, Desa Bunga Jadi, Desa Santan Ulu dan Desa Santan Ilir. Desa Teluk Dalam dan Desa Embalut berada di kecamatan Tenggarong Seberang yang merepresentasikan
desa yang berada dekat dengan kawasan perkotaan. Kemudian Desa Muara Kaman Ulu dan Desa Bunga Jadi di kecamatan Muara Kaman merupakan desa-desa yang berada di kawasan hulu. Selanjutnya Desa Santan Ulu dan Desa Santan Ilir berada di kecamatan Marang Kayu merupakan desa-desa yang dekat dengan kawasan pesisir.

Pembahasan dan Hasil
Prinsip desa mandiri untuk mewujudkan self-governing community dan local self-government setidaknya memenuhi prinsip otonomi, subsidiaritas, dan regionalisme. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa dari aspek kelembagaan, desa tidak memiliki kebebasan untuk menentukan struktur organisasinya secara mandiri. Struktur organisasi desa telah ditentukan secara detail oleh pemerintah pusat melalui Permendagri No. 84/2015 dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Perbup Kukar No. 7/2016. Dengan demikian pemerintah desa hanya menerapkan struktur organisasi yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan kabupaten tersebut, baik nomenklatur maupun jumlah jabatannya, berdasarkan klasifikasi masing-masing desa. Absennya independensi yang dimiliki desa dalam merancang struktur organisasinya tidak sejalan dengan prinsip otonomi dan subsidiaritas dalam konsep self-governing community dan local self-government. Karena Permendagri tersebut berlaku di seluruh Indonesia, maka kondisi seperti ini juga terjadi di desa-desa di seluruh Indonesia, tidak hanya di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Di samping itu, kelengkapan perangkat pendukung organisasi pemerintah desa dalam melaksanakan tugas-tugasnya juga masih minim, misalnya Job Description pegawai dan staf dan Standar Operating Procedure (SOP) dalam kegiatan-kegiatan internal maupun
pelayanan publik. Penguatan kapasitas desa dari aspek kelembagaan perlu dilakukan dengan menyiapkan berbagai perangkat pendukung kelembagaan seperti itu untuk memberikan kejelasan dalam pelaksanaan tugas-tugas pegawai.

Dari aspek SDM, desa memerlukan kualitas SDM aparatur desa yang berkompeten baik dalam pengelolaan sumber daya maupun pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan pelayanan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat. Kondisi SDM desa di Kukar sangat beragam dari pendidikan rendah hingga tinggi. Namun secara umum, masih terdapat persoalan kapasitas desa. Minimnya kapasitas aparat desa dalam pengelolaan sumber daya membuka peluang terjadinya pelanggaran. Misalnya kompetensi dalam menyusun rencana kerja/kegiatan, monitoring dan evaluasi kegiatan serta menyusun laporan pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, keberadaan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, baik di kabupaten maupun provinsi, memiliki peran yang penting dalam melakukan pembinaan terhadap desa untuk meningkatkan kompetensi aparat desa dan juga BPD.

Hal yang lebih menonjol dalam upaya mewujudkan self-governing community dan local self-government adalah pendelegasian kewenangan berdasarkan UU No. 6/2014 yang meliputi bidang urusan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembanguan desa, pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat desa. Ini merupakan bentuk implementasi prinsip regionalism, yaitu praktek transfer kekuasaan politik dan ekonomi kepada pemerintahan lokal. Bahkan desa pun memiliki kewenangan membentuk badan usaha sesuai kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Selain itu, pemilihan kepala desa secara langsung yang telah berlangsung selama ini juga menjadi salah satu contoh independensi desa dalam menentukan pemimpinnya.

Dengan demikian, dalam beberapa hal prinsip-prinsip selfgoverning community dan local self-government telah berjalan, namun belum seutuhnya. Karena desa masih mengalami intervensi dari level pemerintah di atasnya, seperti dalam hal penentuan struktur organisasinya. Berbagai keterbatasan yang dimiliki desa sehingga desa masih sangat tergantung dari alokasi anggaran dari pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, minimnya kreatifitas desa dalam menghadapi persoalan dan merespon kondisi lingkungan sekitarnya menjadikan desa secara umum hanya berjalan as usual, tidak ada terobosan untuk merespon kondisi di dalam diri dan di sekitarnya.

Saran Kebijakan
Pertama, mewujudkan desa mandiri perlu dilakukan dengan memberikan kepercayaan yang besar kepada desa dan mengurangi intervensi pusat terhadap hal-hal teknis pelaksanaan kewenangan desa. Oleh karena itu, revisi terhadap Permendagri perlu dilakukan agar lebih mengatur hal-hal yang bersifat umum dan normatif, bukan hal-hal yang bersifat teknis. Kedua, perlunya sinkronisasi kebijakan antar kementerian yang berkaitan dengan desa. Ketiga, penguatan kompetensi SDM desa dan perangkat kelembagaan pemerintah desa untuk mempermudah dan memperjelas pelaksanaan tugas-tugas kewenangan desa. Keempat, mengoptimalkan peran Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten untuk melakukan pembinaan kepada desa dalam mewujudkan desa mandiri serta memberikan kesempatan luas kepada para stakeholders dan organisasi non pemerintah untuk memberikan kontribusi terhadap upaya pemberdayaan desa.
Research Interests:
Managing human resources personnel is one of the areas of change bureaucratic reform. Thereby improving the quality of civilian state apparatus becomes the main focus in structuring human resource roadmap. The problems identified in the... more
Managing human resources personnel is one of the areas of change bureaucratic reform. Thereby improving the quality of civilian state apparatus becomes the main focus in structuring human resource roadmap. The problems identified in the capacity building of the state civil servants apparatus world class include the need for socio-cultural competence on the state civil apparatus, in particular acting as a high chief or the decision maker in each organization unit. Policy analysis is trying to formulate the dimensions of socio-cultural competence of personnel, which dielborasi of a series of panel discussions with experts, in order to form leaders of character dynamic, adaptive and acceptable in the administration of public services and governmental affairs. Where the results of the discourse can be seen that the formulation of job competency standards can be done through several aspects; (1) Categorizing the level of competency based on relevance. (2) Preparation of standards of competence should consider the development vision of the head of government. (3) The competency standards prepared by considering the purpose of implementation, the executing agency, strength of character, competence, environment and culture, community, quality of service, mental revolution, integration competency standards with ASN management, intelligence and balance. ABSTRAK Penataan sumber daya manusia aparatur merupakan salah satu dari area perubahan reformasi birokrasi. Karenanya upaya peningkatan kualitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi fokus utama dalam roadmap penataan SDM aparatur. Problematika yang teridentifikasi dalam peningkatan kapasitas pegawai ASN berkelas dunia diantaranya adalah perlunya kompetensi sosio kultural pada ASN, khususnya pemangku jabatan pimpinan tinggi sebagai pengambil kebijakan dalam unit organisasinya masing-masing. Analisis kebijakan ini mencoba merumuskan formulasi kompetensi sosio kultural aparatur, yang dielaborasi dari serangkaian
Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif gender pada pemerintah... more
Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif
gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif,
dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi.
This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural
positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada
jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi
gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN
dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan
pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu
Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender
Research Interests:
This study aims to describe the competence development of civil servants in East Kalimantan Provincial Government based on Law Number 5 Year 2014 and the factors that influence it. With qualitative descriptive method, secondary data is... more
This study aims to describe the competence development of civil servants in East Kalimantan Provincial Government based on Law Number 5 Year 2014 and the factors that influence it. With qualitative descriptive method, secondary data is collected through library research. Result of the research is the comparison of the personnel posture, senior officer ratio based on gender, and the accomodation of the local people which is still relatively small; Competence development is still considered to be the domain of BKD and has not become a priority of regional government needs based on regional content. Competency development is still constrained by the lack of budget and managerial staff, the existence of inconsistent central policies that can not be followed by the region. Assessment is recomended toward the competencies which is relevant and required for senior leader level in order to arrange developed standards of managerial and socio-cultural competence. Competence development is not only concerned with the priority of accomodating local people to be apparatus, but also the vision of regional development. Capacity building should be based on the agency's key strategic objectives and performance indicators. Dynamic leadership regeneration is needed as well as competency mapping with respect to gender sensitivity and priority of local people / regional content. Thus, innovative laboratories are required in each region to make change project of every high-level leader sustainable.
Research Interests:
This study aims to determine the approaches used and the driving factors of the bureaucratic reforms implemented in Tanah Bumbu Regency. Direct data collection was conducted in March 2014. The in-depth interviews carried out to the main... more
This study aims to determine the approaches used and the driving factors of the bureaucratic reforms implemented in Tanah Bumbu Regency. Direct data collection was conducted in March 2014. The in-depth interviews carried out to the main respondent: the public and the government, in order to obtain complete and balanced overview of the performance of local governments. In addition, the approach used is library research, by collecting/studying secondary data: books, journals, research results, proceedings, and other information that support this study. The results of this study showed that at the beginning of the reform, Regent of Tanah Bumbu implement a model of power-coercive known as " Ilahiyah Management " to encourage discipline of the apparatus. Leadership models of the new regent, just continue the model (Ilahiyah Management) with normative-re-educative approach: an attempt to maintain the system continues to run well, and be awork culture of the apparatus. Furthermore, another factor that drives the success of reforms in Tanah Bumbu is reformist leadership factors that focus on: Education, Health, and Infrastructure, known as Tri Dharma Development.
Terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa harapan sekaligus tantangan baru bagi desa. Ini karena visi UU tersebut mengarahkan desa menjadi sebuah entitas mandiri dengan konsep self-governing community dan local self-government.... more
Terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa harapan sekaligus tantangan baru bagi desa. Ini karena visi UU tersebut mengarahkan desa menjadi sebuah entitas mandiri dengan konsep self-governing community dan local self-government. Ini merupakan sebuah cita-cita besar karena pendekatan " membangun desa " pun diubah menjadi " desa membangun ". Artinya bahwa yang biasanya desa sering dipersepsikan entitas yang lemah sehingga negara atau pemerintah perlu membangun desa, maka ke depan harus dibalik menjadi desa membangun negara. Maka untuk mewujudkan cita-cita besar ini, alokasi anggaran untuk desa juga diatur dalam UU ini. Apabila visi UU ini bisa tercapai maka akan menjadi sebuah perubahan besar dalam sejarah pemerintahan desa di Indonesia. Selanjutnya, tantangan yang dihadapi desa pun tidak sedikit. Selama ini pembahasan tentang desa seringkali dibandingkan dengan kondisi kawasan perkotaan sehingga yang muncul adalah ketimpangan antara desa dan kota baik dari aspek pembangunan fisik maupun sumber daya manusia. Dari aspek fisik, infrastruktur di desa secara umum jauh tertinggal dengan kota. Masyarakat di kota lebih diuntungkan dengan keberadaaan infrastruktur dan berbagai fasilitas pelayanan publik, sedangkan berbagai keuntungan tersebut sedikit sekali yang diperoleh oleh masyarakat di desa. Dilihat dari aspek kemakmuran, data BPS menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan. Sehingga beban pemerintahan desa sangat besar untuk mengejar ketertinggalan atau setidaknya memecahkan permasalahan di desanya sendiri. Di sisi lain, berbagai upaya pemerintah untuk memajukan desa yang telah berjalan selama ini tidak jarang menghadapi masalah yang tidak ringan, seperti penyimpangan berbagai dana bantuan yang dilakukan oleh aparat di desa, pemerintah daerah, bahkan para pendamping desa. Kajian KPK juga menemukan 14 potensi masalah dalam pengelolaan dana desa yang perlu mendapat perhatian serius dari para penyelenggara pemerintahan desa dan juga pemerintah daerah sebagai pembina desa. Berbagai potensi tersebut tersebar di empat aspek, yaitu regulasi dan kelembagaan, tatalaksana, pengawasan, serta sumber daya manusia.
Research Interests:
Executive Summary Belum mengacunya perencanaan kebutuhan pendidikan dan pelatihan pada perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah (khusus untuk ASN di daerah). Pada tahapan instansional, pengembangan sumber daya... more
Executive Summary


Belum mengacunya perencanaan kebutuhan pendidikan dan pelatihan pada perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah (khusus untuk ASN di daerah). Pada tahapan instansional, pengembangan sumber daya aparatur tidak berintegrasi dengan perencanaan pembangunan daerah dan rencana strategis yang disusun. Formalitas kepatuhan pada peraturan dalam pengembangan kompetisi bukan berdasarkan pada tuntutan pencapaian rencana strategis. Selain itu, pemahaman parsial dalam pengembangan kompetensi sebatas pendidikan dan pelatihan.
Temuan penelitian Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan III Aparatur (2005 dan 2008), Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (2006), kompetensi dan kinerja aparatur Pemda masih sangat kurang, belum dibuatnya standar kompetensi jabatan, belum disusunnya analisis jabatan, serta kurangnya anggaran dan perhatian Pemda terhadap kegiatan pendidikan dan pelatihan, masih banyak program pengembangan pegawai yang belum berbasis pada kompetensi dan analisis kebutuhan aktual pegawai dan organisasi, masih terdapat kesenjangan antara satu pegawai dengan pegawai lainnya tingkat kompetensi pegawai di lingkungan pemerintah daerah di wilayah Kalimantan baik dilihat dari aspek jenjang pendidikan formal maupun tingkat kompetensi keahlian (fungsional). Kepala Lembaga Administrasi Negara, Agus Dwiyanto (2014) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) permasalahan yang teridentifikasi dalam meningkatkan kapasitas pegawai Aparatur Sipil Negara berkelas dunia , yaitu sebagai berikut : a) wawasan sempit, silo mentality, inward looking, b) standar kompetensi, kode etika dan perilaku tidak jelas, imparsialitas rendah; c) integritas dan disiplin rendah; d) motivasi rendah; dan e) budaya pelayanan rendah.
Permasalahan dan kelemahan diatas menuntut pelaksanaan reformasi khususnya di bidang aparatur negara yang lebih popular disebut dengan reformasi birokrasi. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas Aparatur Sipil Negara menjadi fokus utama dalam roadmap penataan SDM aparatur diantaranya mengidentifikasi kebutuhan kompetensi strategis untuk meningkatkan kapabilitas menjawab kebutuhan global dan domestik; membangun mainstream pengembangan kompetensi dengan menyusun ulang alokasi anggaran untuk pengembangan kompetensi; menyusun standarisasi jabatan dan kompetensi secara nasional; menyusun rencana pengembangan kompetensi kementrian/ lembaga/ daerah; g) pengembangan kompetensi pegawai, ini didasarkan pada manajemen talent inklusif yang merangkum keragaman kultur, tantangan dan kebutuhan daerah yang beragam, dan sebagainya.
Dengan melakukan studi kepustakaan, penyebaran kuesioner, wawancara dan benchmarking implementasi pengembangan kompetensi di berbagai pemerintahan daerah, kajian ini berhasil memetakan kebutuhan kompetensi dan strategi pengembangannya. Kebutuhan kompetensi manajerial yang terpetakan yaitu Strategic Thinking, Integritas, Manajemen Perubahan, Kepemimpinan dengan visi, Inovasi, Pengambilan Keputusan, Kemampuan Pembelajaran, Kemandirian dalam bertindak, Ketahanan Pribadi, Membangun motivasi bawahan, Kerja sama (team building), Komunikasi Lisan, Komunikasi Tertulis, Membangun potensi bawahan, Mengeksekusi tugas, Berorientasi pada pelayanan, Berorientasi pada Kuallitas. Kebutuhan kompetensi sosio kultural yang terpetakan yakni Mengelola Keragaman Lingkungan Budaya, Manajemen Konflik,  Empati Sosial,  Membangun Network Sosial, Kepekaan Gender, dan Kepekaan Difabel. Strategi pengembangan kompetensi manajerial pada pimpinan tinggi diantaranya dengan model benchmarking, model Learning dan pendekatan model Gemba Kaizen. Strategi pengembangan kompetensi sosiokultural pada pimpinan tinggi adalah dengan menggunakan pendekatan model Manajemen Multi Budaya.
Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka direkomendasikan : 1) Dilakukan assesment kepada pemangku jabatan pimpinan tinggi terhadap kompetensi yang dianggap relevan dan dibutuhkan tersebut untuk ditindaklanjuti dengan kegiatan pengembangan kompetensi terkait, 2) Menyusun standar kompetensi manajerial dan kompetensi sosio kultural pemangku jabatan pimpinan tinggi berdasarkan hasil temuan kompetensi yang diperoleh, 3) Pengembangan kompetensi khususnya pimti tidak hanya memperhatikan prioritas putra daerah akan tetapi juga visi pengembangan daerah ke depannya/konteks lokal kedaerahan, penguatan kapasitas pimpinan tinggi-pun sebaiknya didasarkan pada sasaran strategis dan IKU yang telah ditetapkan. 4) Melakukan regenerasi kepemimpinan yang dinamis, pemetaan kompetensi pimti (mapping talent pool), dengan memperhatikan kepekaan gender dan prioritas putra daerah berbasis regiional content dan tepat sasaran sesuai kebutuhan misalnya dengan mengintensifkan sekolah kader dan sebagainya, 5) Membuat laboratorium inovasi di setiap daerah sebagai proyek perubahan berkelanjutan setiap pimti di unit kerjanya, 6) Pelaporan kinerja pimti terkait pengembangan kompetensi dalam Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara, 7) Memasukkan program pengembangan kompetensi ASN khususnya pimti baik manajerial maupun sosiokultural dalam prioritas pembangunan daerah, 8) Strategi pengembangan kompetensi manajerial (Benchmarking, Learning Organization dan Gemba Kaizen) dan kompetensi sosiokultural (Manajemen Multi Budaya) tersebut dapat menggunakan metode diklat, seminar, kursus, magang sebagaimana yang diatur UU ASN No 5 Tahun 2014, 9) Dikarenakan keterbatasan penelitian ini, ke depannya dapat dilakukan kajian sejenis dengan lingkup penelitian yang lebih luas.
Research Interests:
The number of complaints, the slow performance, and the lack of productivity demands the need for a reformed public sector. Reform can be done with social innovation by involving and making citizens as participants and end users. Not only... more
The number of complaints, the slow performance, and the lack of productivity demands the need for a reformed public sector. Reform can be done with social innovation by involving and making citizens as participants and end users. Not only that, fundamentally, changing the role of various stakeholders in the provision of services. Where citizens act to decide themselves and play an active role in making decisions. " Ruslani " Innovation is one of the forms of social innovations based on the problem of limited access to the fulfillment of healthy habitable home ownership for the poor. How the implementation of Ruslani innovation based on the community empowerment done in Samarinda Seberang Sub-District is analyzed in this research. By using a descriptive qualitative method, data collection is conducted through in-depth interviews of key informants selected purposively and by analyzing secondary data documents. The results show that the implementation of Ruslani program has been aligned based on the principle of Law Number 23 of 2014 on Regional Government, according to principles; increased efficiency; improvement of effectiveness; improvement of service quality; no conflict of interest; oriented to the public interest; done openly; fulfill propriety values; can be accounted for the results that are not for self-interest. On the other hand, the Ruslani program has also followed the criteria; relative advantage, compatibility, complexity, trialability, observability, and criteria of service innovation based on the Regulation of Menpan-RB Number 19 of 2016, which in its implementation has introduced a new, productive, impactful and beneficial approach, and the most important thing is this program has running sustainably. Factors supporting and inhibiting innovation based on environmental categories, organizations, and individuals generally do not hinder the implementation of the program.
Research Interests: