[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
KARTINI DAN JUANG LITERASI Dewi Sartika, SE, MM Peneliti Muda pada PKP2A III LAN Aku ingin menulis tentang Kartini bukan karena –kebetulan- dirayakan setiap tahun tanggal 21 April tapi karena Kartini adalah sekian dari sosok pejuang literasi, bahwa Iqro, membaca adalah sebentuk juang membangun peradaban, juang bebas dari feodalisme modern, dan perjuangan dari Habislah Gelap terbitlah Terang , juga bukan karena -kebetulan- tanggal 23 April adalah hari buku dunia (World Book Day) –selain tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Dunia- sehingga akhirnya Kartini dan juang literasi menjadi pilihan judul tulisan ini. Penulis –secara jujur- sangat terinspirasi dari beberapa kutipan Kartini yang penulis dapatkan dari berbagai penelusuran diantaranya : Teruslah bermimpi. Teruslah bermimpi. Bremimpilah selama engkau masih dapat bermimpi. Terkadang kesulitanharus kamu rasakan terlebih dahulu sebelum kebahagiaan yang sempurna dating kepadamu. Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri. Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi untuk menang. Tak peduli seberapa keras kamu mencoba, kamu tak akan pernah bisa menyangkal apa yang kamu rasa. Jika kamu memang berharga di mata seseorang, tak ada alasan baginya untuk mencari seseorang yang lebih baik darimu. Tahukah engkau semboyanku? Aku malu : 2 patah kata yang ringkas. Itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata Aku tidak dapat ! Melenyapkan rasa berani. Kalimat Aku Mau! Mrembuat kit amudah mendaki puncak gunung. Dan siapakah yang lebih banyak berusaha memajukan kesejahteraan budi itu… siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia, ialah Wnaita, Ibu … karena h.aribaan Ibu, itulah manusia mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali Karena kami yakin pengaruh pendidikan besar bagi para wanita, agar wanita lebih cukup melakukan kewajibannya yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya menjadi ibu pendidikan manusia yang pertama-tama. Gadis yang pikirannya mudaj dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya. Kami berikhtiar supaya kami lebih teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Dan siapa yang dapat mebolong dirinya sendiri., akan dapat menbolong oranglain dengan lebih sempurnapula (suratnya kepada Ny. Abendanon, 2 Desember 1902) Agama memang mejauhkan kita dari dosa tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama? Karena ada bunga mati, maka banyaklah buah yang tumbuh. Demikianlaj pula dalam hidup manusioa; karena ada angan-angan muda mati, kadang-kadang timbullah angan-angan lain , yang lebih sempurna yang boleh menjadikannya buah. Ingin sekali saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah. Perubahan akan dating di bumiputera. Jika karena tidak dari kami pasti dari orang lain. Emanispasi telah berkibar di udara. Sudah ditakdirkan. Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita. Semakin adil pertimbangan kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang. Tiada mendendam, itulah bahagia. Suatu saat hubungan berakhir, bukan berarti dua orang berhenti saling mencintai. Mereka hanya berjhenti saling menyakiti. Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharapkah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan Karen ainilah yang akan membaw3a bahagia baginya (Suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901) Tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan, selain menimbulkan senyum di wajah orang lain, terutama wajah yang kita cintai. Sehabis malam gelap gulita, lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam. Aku ingin menjadi wanita hebat tanpa haru asmenyalahi kodrat. "...Kartini tidak punya massa, apalagi uang. Yang dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala-gala perasaannya yang tertekan itu. Dan hasilnya luar biasa, selain melambungkan nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan sampai ke negeri asal dan akar segala kehancuran manusia pribumi..." Berbagai idealisme itu Kartini dapatkan dari kebiasaan membacanya. Jika seorang Kartini saja mampu mengubah dunia dan melanggengkan ingatan kita perubahannya yang mendunia itu apa yang dapat dilakukan dari beribu Kartini- Kartini masa depan? Selayaknya dapatlah bermimpi bahwa bangsa ini akan sejajar dengan Negara maju lainnya. Sebuah pesan untukku dan generasiku kelak budayakan membaca dan menumbuhkan budaya literasi hingga ke generasi selanjutnya. Lemahnya literasi generasi Indonesia menurut data World's Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, ditandai dari peringkat literasi kita berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti! Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika. Fakta ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek dan lima kategori, yaitu, perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer. Sebagian besar masyarakat kita tidak menjadikan membeli buku sebagai prioritas belanja keluarga maupun pribadi, sebagai biang kerok pertama rendahnya literasi kita. Faktor penyebab minimnya minat baca berikutnya adalah kita tidak pernah diperkenalkan kepada buku sejak dini, baik itu oleh orang tua kita di rumah maupun di sekolah oleh para guru kita. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti. Tak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi ditingkat kelima, hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu. Data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia, yang terakhir kali dilakukan pada tahun 2012 menyebutkan hanya 17,66% anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67%. Budaya menonton masyarakat Indonesia yang tinggi, sehingga melemahkan minat membaca dan menulis siswa di Indonesia. Berdasarkan data BPS, jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per hari. Jumlah ini terlalu besar dibanding anak-anak di Australia yang hanya 150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari. Sementara di Kanada 60 menit per hari. Penyebab berikutnya adalah karena pejabat dan birokrat pendidikan tidak paham tentang literasi itu sendiri. Akibatnya, literasi tidak menjadi bagian dari kurikulum, termasuk dalam Kurikulum 2013. Selain itu, diungkap bahwa, untuk meningkatkan budaya literasi, pakar literasi mencontohkan kesuksesan Kota Surabaya. Kota ini memiliki beberapa program untuk meningkatkan minat baca dan tulis masyarakatnya melalui gerakan budaya literasi kota. Program ini menerapkan budaya membaca dan menulis secara berkelanjutan, baik di sekolah, di perguruan tinggi, maupun di masyarakat. Gerakan ini mewajibkan masyarakat, siswa, mahasiswa, dan semua penduduk Surabaya membaca minimal 15 menit dalam sehari. Akhir kata, Kartini yang –saat ini- baru dapat dimaknai anak-anak kita dengan kebaya batik dan sanggulnya, memanggil kita untuk melanjutkan juang literasinya. dengan menemani anak-anak kita ke perpustakaan meminjam buku-buku cerdas, membelikannya buku-buku untuk menumbuhkembangkan minat membacanya, atau menambah anggaran belanja keluarga untuk para bapak buat keluarga terutama buat ibu sebagai madrasah pertama, guru pertama anak-anak. Bagi para pemegang kebijakan membuat inovasi gerakan membaca massal dan berkelanjutan di sekolah, perguruan tinggi dan masyarakat atau membuat gerakan mengurangi menonton TV dan meminimalisir penggunaan gadget. Dan sejatinya semua itu, dapat dimulai dari diri kita sendiri, mulai saat ini dan dari hal terkecil yang dapat kita lakukan untuk memulainya. Salam literasi!