[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
SINKRONISASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA (COVID 19) Dewi Sartika, SE., MM Peneliti Muda pada Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Diantara sekian bencana nasional yang pernah melanda negeri ini, pandemik Corona Virus Disease 2019 atau disingkat Covid19 yang paling menyedot perhatian, sumber daya serta menjadi menu perbincangan hangat di berbagai kalangan dari Presiden sampai rakyat jelata. Banyak hal yang dapat dicermati diantaranya, pertama, kebijakan pembatasan wilayah. Usulan pembatasan wilayah DKI Jakarta –yang ditolak pemerintah pusat awalnya- juga dilakukan beberapa daerah sebutlah diantaranya Makassar, Balikpapan, Samarinda, dan sebagainya. (Semoga) ini (tidak) menandai gejala tidak sinkronnya kebijakan nasional (pusat) dengan kebijakan daerah. Kedua, yang menjadi perhatian atau pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana kewenangan dan regulasi dalam hal penanggulangan bencana. Meski awalnya menolak, Menteri Kesehatan RI akhirnya menerima usulan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam penetapan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 6 April 2020. Dengan pertimbangan terbesar bahwa daerah tersebut menjadi episentrum tersebar persebaran Covid19. Tindakan tegas ini sudah tepat untuk mencegah penyebaran wabah Covid19. Mengutip pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana RI bahwa negara wajib melindungi rakyat dan tumpah darah Indonesia karena keselamatam rakyat adalah hukum tertinggi. Prinsip tersebut –kerap disebut sebagai Caesarismus- dari pendapat tokoh filsuf Romawi dan ahli hukum yaitu Marcus Tullius Cicero (106-43SM) yaitu Salus Populi Suprema Lex Esto (kesehatan, kesejahteraan rakyat hendaknya menjadi hukum tertinggi). Tidak hanya itu, Princeps Legitus Salutus Est, pemimpin yang melegitimasi penjaminan perwujudan kesehatan, keselamatan, kesejahteraan, kemakmuran rakyat (Kuncahyono, 2020). PSBB diatur setidaknya melalui dua peraturan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 (PP 21) tentang PSBB, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB. Dari pasal yang termuat dalam aturan di atas, yang paling krusial terkait pelaksanaan PSBB adalah Pasal 13 yang terdiri dari 11 ayat sebagai berikut: (1) Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum; d. pembatasan kegiatan sosial dan budaya; e. pembatasan moda transportasi; dan f. pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan. (2) Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selama masa inkubasi terpanjang dan dapat diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran. (3) Peliburan sekolah dan tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi kantor atau instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya. (4) Pembatasan kegiatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang dilakukan di rumah dan dihadiri keluarga terbatas, dengan menjaga jarak setiap orang. (5) Pembatasan kegiatan keagamaan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan, dan fatwa atau pandangan lembaga keagamaan resmi yang diakui oleh pemerintah. (6) Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam bentuk pembatasan jumlah orang dan pengaturan jarak orang. (7) Pembatasan tempat atau fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikecualikan untuk: a. supermarket, minimarket, pasar, toko atau tempat penjualan obat-obatan dan peralatan medis kebutuhan pangan, barang kebutuhan pokok, barang penting, bahan bakar minyak, gas, dan energi; b. fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas lain dalam rangka pemenuhan pelayanan kesehatan; dan c. tempat atau fasilitas umum untuk pemenuhan kebutuhan dasar penduduk lainnya termasuk kegiatan olah raga. (8) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan dengan tetap memperhatikan pembatasan kerumunan orang serta berpedoman pada protokol dan peraturan perundang-undangan. (9) Pembatasan kegiatan sosial dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan dalam bentuk pelarangan kerumunan orang dalam kegiatan sosial dan budaya serta berpedoman pada pandangan lembaga adat resmi yang diakui pemerintah dan peraturan perundang-undangan. (10) Pembatasan moda transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dikecualikan untuk: a. moda transpotasi penumpang baik umum atau pribadi dengan memperhatikan jumlah penumpang dan menjaga jarak antar penumpang; dan b. moda transpotasi barang dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. (11) Pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dikecualikan untuk kegiatan aspek pertahanan dan keamanan dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan kPPPeutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan, serta mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan tetap memperhatikan pembatasan kerumunan orang serta berpedoman kepada protokol dan peraturan perundang-undangan. Bertolak dari sejarah wabah yang pernah terjadi di zaman Nabi yaitu wabah demam, wabah kusta atau sejenis lepra yang menular dan mematikan serta belum diketahui obatnya. Beberapa kebijakan Rasulullah diantaranya anjuran untuk isolasi, "Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat." (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Saat ini lebih dikenal dengan social distance, yakni pembatasan kontak fisik dan interaksi untuk memutus rantai penyebaran wabah Covid-19, dengan menjauhi kerumunan, jaga jarak, dan di rumah saja. Ini diterapkan bukan hanya pada muamalah seperti pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pemerintahan, dan sebagainya yang langsung berhubungan dengan sesama manusia, tetapi juga dalam ibadah. Mengingat kondisi terkini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memfatwakan shalat berjamaah di masjid boleh diganti dengan salat di rumah. Shalat Jumat pun boleh diganti dengan salat Zhuhur di rumah guna menghindari wabah penyakit. Inilah yang kemudian dalam hadis yang dijadikan kaidah fikih, yakni la dharara wala dhirar; 'tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat' (HR Ibn Majah dan Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn 'Abbas), dijadikan pedoman untuk menghindari mudarat yang lebih besar. Tidak hanya itu, membangun kesadaran bergaya hidup sehat dan higienis, “Kesucian itu sebagian dari iman.” Di antara cara menjaga kesucian adalah mencuci tangan dan menjaga wudhu. “Barang siapa tertidur dan di tangannya terdapat lemak (kotoran bekas makanan) dan dia belum mencucinya, lalu dia tertimpa oleh sesuatu, janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.” (HR Abu Daud). Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang dari kalian berwudhu, hendaklah memasukkan air ke dalam hidung, kemudian menyemburkannya. Siapa saja yang ber-istijmar (bersuci menggunakan batu), hendaklah mengganjilkan. Dan, jika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah mencuci kedua (telapak) tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana tiga kali. Maka, sesungguhnya seseorang dari kalian tidak mengetahui ke mana tangannya bermalam." (HR Bukhari). Selain upaya preventif diatas juga upaya kuratif jika tertimpa sakit yaitu dengan aktif berobat. "Aku pernah berada di samping Rasulullah SAW. Lalu, datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, 'Wahai, Rasulullah, bolehkah kami berobat?' Beliau menjawab, 'Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab, Allah tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.' Mereka bertanya, 'Penyakit apa itu?' Beliau menjawab, 'Penyakit tua.'" (HR Ahmad, Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi). (Subarkah, 2020) Pentingnya konsep isolasi diri atau karantina dalam pencegahan penularan wabah ini diperkuat hadits lain yang berbunyi: “Jangan kalian terus-menerus melihat (mendekat) orang yang mengidap penyakit judzam,”(HR. Ibnu Majah). Bahwa bakteri atau virus penyebab kusta itu ternyata mudah menular antar manusia, juga sudah menjadi alasan Nabi Muhammad memperingatkan umatnya tidak berdekatan dengan orang yang sedang terjangkiti, bahkan mendatangi suatu wilayah yang sedang terkena wabah. Ini mirip dengan metode karantina yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit. “Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti satu negeri, maka janganlah kalian menuju ke sana. Namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya,”(HR. Bukhari-Muslim). Penerjemahan implementatif konsep diatas diantaranya dilakukan negara-negara di dunia dalam menyikapi Covid-19 yaitu prinsip isolasi; pembatalan segala jenis penerbangan antar negara, anjuran menghindari kontak fisik, dan perjuangan para ilmuwan dalam menemukan anti-virus corona. (Jazuli, 2020) Wabah penyakit juga pernah menyerang di kepemimpinan khalifah Umar ibn Khattab, sampai terbit kebijakan penutupan masjid tahun 18 Hijriyah, pembatalan masuk daerah pandemik di daerah Syargh dekat Syam. Episentrum wabah bernama Amwas terletak antara daerah Ramallah dengan Baitul Maqdis. Wabah ini menewaskan puluhan ribu orang, termasuk para sahabat Rasulullah SAW, di antaranya, Muaz bin Jabal, Suhail bin Amr, Syurahbil bin Hasanah, Abu Jandal bin Suhail. Termasuk dua gubernur Syam juga meninggal berturut-turut. Pertama Abu Ubaidah bin Jarrah yang diminta keluar dari Syam oleh Umar, namun dia enggan pergi menyelamatkan diri, lalu meninggal. Kemudian digantikan oleh Muaz bin Jabal sebagai gubernur dan juga meninggal terkena wabah. Amr bin Ash diangkat sebagai gubernur ketiga oleh Umar bin Khattab yang menelorkan kebijakan menghentikan wabah dengan menyuruh penduduk sehat pergi menyingkir ke bukit-bukit agar tidak bercampur dengan yang sakit. Saat ini, kebijakan itu dinamakan isolasi atau lockdown. Kurang lebih kebijakan Rasulullah SAW yang pernah melarang orang yang akan masuk Madinah dari Bani Tsaqif yang berasal dari Taif karena diantara rombongan itu terdapat pengidap penyakit kusta. Kebiasaan Nabi bersalaman dengan orang-orang yang telah berbaiat kepadanya berbeda untuk satu orang ini dan ia ditahan di luar Madinah. Nabi hanya mengamanatkan pesan kepada temannya bahwa Nabi menerima baiatnya (Rahmadi, 2020). Aktivitas menghindari kontak fisik dengan penderita juga disarankan. "Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa." (HR. Bukhari dan Muslim).  Saat ini, kurang lebih dengan kebijakan mewajibkan masker bagi masyarakat dan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan yang rawan kontak fisik dengan pasien sakit. Memberikan edukasi untuk menciptakan situasi kondusif dilakukan yaitu sabar dan tidak panik.  Sehingga tidak muncul panic buying, mengusir tenaga medis yang merawat pasien sakit, menolak jenazah dan keluarga dari pasien yang meninggal karena wabah dan sebagainya. "Tidaklah seorang hamba yang di situ terdapat wabah penyakit, tetap berada di daerah tersebut dalam keadaan bersabar, meyakini bahwa tidak ada musibah kecuali atas takdir yang Allah tetapkan, kecuali ia mendapatkan pahala seperti orang yang mati syahid." Edukasi sikap optimis, prasangka baik, doa juga digencarkan. "Tidaklah Allah SWT menurunkan suatu penyakit, kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya. (HR. Bukhari). (Oase.id, 2020) Tidak cukup pembatasan wilayah, sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penanggulangan bencana dapat optimal dijalankan. Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa program penanggulangan bencana itu tidak hanya menjadi wewenang tugas tanggung jawab terbatas pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah, tetapi tersebar pada beberapa Organisasi Perangkat Daerah seperti Dinas Satpol PP dan Kebakaran, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas PU dan Penataan Ruang dan OPD lainnya. Sinkronisasi harus dimulai dari rencana kerja, mencocokkannya dengan program penanggulangan bencana sehingga menjadi antisipasi bersama OPD terkait dan tidak kesulitan mencarikan alokasi dana untuk turun ke lapangan. Demikian halnya di kabupaten dan kota yang rawan bencana, apalagi pada situasi pandemik Covid 19 yang telah memakan ratusan ribu jiwa. Kegiatan mitigasi bencana tidak hanya bergantung pada anggaran pemerintah pusat dan provinsi. Misal dapat menggunakan anggaran Dalam Keadaan Darurat (DKD) dengan syarat bukan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya, tidak diharapkan terjadi secara berulang, berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah, dan memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat. Pendanaan keadaan darurat yang belum tersedia anggarannya, dapat menggunakan pos belanja tak terduga. (Elfisha, 2017). Penanggulangan bencana –baik bencana alam maupun bencana sosial- adalah serangkaian upaya yang terdiri penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan atau mengurangi ancaman bencana. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana bertujuan untuk: Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh; Menghargai budaya lokal; Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan; Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut UU No. 24 Tahun 2007, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pemerintah pusat Pemerintah Pusat mempunyai tanggung jawab dan wewenang dalam penanggulangan bencana. Berikut ini tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai UU tersebut, Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum. Pemulihan kondisi dari dampak bencana. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memadai. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai. Pemeliharaan arsip atau dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. Wewenang pemerintah pusat dalam penanggulangan bencana Pemerintah pusat mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, meliputi: Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah. Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan atau pihak-pihak internasional lain; Perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana; Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala nasional. Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab dan wewenang dalam penanggulangan bencana. Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum; Perlindungan masyarakat dari dampak bencana; Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan. Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memadai. Selain tanggung jawab, Pemerintah Daerah juga mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, meliputi: Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah; Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana. Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana denga provinsi dan atau kabupaten atau kota lain; Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya; Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala provinsi, kabupaten atau kota. Dalam menetapkan status dan tingkat bencana nasional dan daerah, pemerintah menggunakan indikator sebagai berikut: Jumlah korban; Kerugian harta benda; Kerusakan prasarana dan sarana; Cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. (Putri, 2020) Meskipun kesadaran bergaya hidup sehat adalah tanggung jawab individu, tetapi juga andil tanggung jawab pemerintah. Dari pemilihan makanan yang sehat, halal, baik, tidak berlebih-lebihan. “Makanlah oleh kalian rezeki yang halal lagi baik yang telah Allah karuniakan kepada kalian” (TQS an-Nahl [16]: 114). Tidak hanya berupa edukasi penjagaan kesehatan warga tetapi juga ayoman perlindungan terutama ketika pandemik atau terjadinya wabah penyakit menular. Misal mewajibkan penggunaan masker, berdiam diri di rumah, isolasi jika pulang dari wilayah terdampak wabah dan sebagainya Semua kebijakan yang diterbitkan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab bersama. Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak mempedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan mempedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat). (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).(Buletin Kaffah, No. 127, 14 Jumada ats-Tsaniyah, 2020). Sembari melakukan semua daya upaya, kita semua tinggal sabar dan berdoa agar musibah ini segera berakhir. Referensi Buletin Kaffah, No. 127, 14 Jumada ats-Tsaniyah, 1441 H-7 Februari 2020 M. (2020). https://mediaumat.news/buletin-kaffah-cara-islam-mengatasi-wabah-penyakit-menular/. Elfisha, M. (2017). https://sumbar.antaranews.com/berita/198126/program-penanggulangan-bencana-antar-opd-harus-sinkron. Jazuli, K. I. (2020). https://disdikdayah.bandaacehkota.go.id/post/covid-19-dan-wabah-penyakit-dalam-sejarah-islam. Kuncahyono, T. (2020). https://bebas.kompas.id/baca/opini/2020/03/24/covid-19-dan-caesarismus/. Oase.id. (2020). https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/VNx4QWDN-lima-cara-rasulullah-menghadapi-wabah-dan-penderita-penyakit-menular. Putri, A. S. (2020). https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/04/160000069/tanggung-jawab-pemerintah-dalam-penanggulangan-bencana?page=all. Rahmadi. (2020). https://langgam.id/mengenang-cara-umar-bin-khattab-melawan-wabah-penyakit-menular/. Subarkah, M. (2020). https://republika.co.id/berita/q7hqrm385/teladan-nabi-muhammad-mencegah-wabah.