[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Jurnal Adhyasta Pemilu ISSN XXXX-XXXX Vol. 2 No. 1 2019, Hal. 19-33 MONEY POLITICS PADA PEMILU 2019 (Kajian Terhadap Potret Pengawasan dan Daya Imperatif Hukum Pemilu) Aminuddin Kasim Fakultas Hukum Universitas Tadulako aminkashukum@gmail.com Supriyadi Fakultas Hukum Universitas Tadulako adipandean37@gmail.com Abstract The one of legal functions performed by the Election Law is the function of controlling behavior in the context of social and political life . To carry out this function , the Election Law formulates imperative norms so that political behavior complies with election law . The imperative norm is in the form of rules that prohibit money politics during the campaign , the quiet period and when the ballot takes place . Then, if there is a violation of the rule of law , the culprit will face legal proceedings to obtain criminals sanctions in the form of prisons and fines. Identification of the problem in this research is: why the imperative norms of the Election Law are not effective in preventing the practice of money politics, and what factors influence the weak power of the electoral law imperatives so that massive money politics practices occur? That problem is discussed and analyzed in this article. The author uses normative jurisdiction research, besides that the writer also uses the imperative theory of Edward A. Ross, Achmad Ali’s legal function theory and Jimly Asshiddiqie’s law enforcement theory. From this study the authors found that when the 2019 Concurrent Elections took place, the imperative norm was not effective in controlling political behavior expected by the Election Law. The practice of massive money politics took place so that the process of democracy and the 2019 Simultaneous Elections occurred. Keywords: election, law, money politics, campaign, criminal sanction Aminuddin Kasim & Supriyadi 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 19 19 12/12/19 11:36 AM Abstrak Salah satu fungsi hukum yang diemban UU Pemilu adalah fungsi pengendalian prilaku dalam konteks kehidupan sosial dan politik. Dalam menjalankan fungsi itu, UU Pemilu merumuskan norma imperatif agar prilaku berpolitik bersesuaian dengan aturan hukum Pemilu. Norma imperatif itu berupa aturan yang melarang politik uang pada saat kampanye, masa tenang, dan saat pemungutan suara berlangsung. Lalu, jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum itu, maka pelakunya akan berhadapan dengan proses hukum untuk mendapatkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda. Identifikasi masalah dalam penelitian ini ialah : mengapa norma imperatif UU Pemilu tidak berjalan efektif dalam mencegah praktik politik uang, dan faktor apa yang mempengaruhi lemahnya daya imperatif hukum Pemilu sehingga praktik politik uang masif terjadi? Masalah itulah yang dibahas dan dianalisis dalam artikel ini. Penulis menggunakan penelitian yurisdis normatif, selain itu penulis juga menggunakan teori imperatif Edward A. Ross, teori fungsi hukum Achmad Ali dan teori penegak hukum Jimly Asshiddiqie. Dari penelitian ini penulis menemukan ketika Pemilu Serentak 2019 berlangsung, norma imperatif tidak efektif berlaku dalam mengendalikan prilaku berpolitik yang diharapan UU Pemilu. Praktik politik uang masif terjadi sehingga menondai proses berdemokrasi dan Pemilu Serentak 2019. Kata Kunci: pemilu, hukum, politik uang, kampanye, sanksi pidana. 1. Pendahuluan Meski penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia terutama Pemilu pasca reformasi ketatanegaraan di Indonesia (pasca amandemen UUD 1945), selalu sukses dalam mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD), serta lembaga perwakilan daerah (DPD), namun penyelenggaraan Pemilu pasca reformasi ketatanegaraan juga memiliki catatan noda terkait dengan adanya praktik politik uang (money politics). Setiap agenda Pemilu diselenggarakan, masalah money politisc selalu menjadi bahan perbincangan publik yang melibatkan banyak aktor, seperti: 20 komisioner penyelenggara Pemilu, komisioner pengawas Pemilu, pegiat Pemilu, tokoh masyarakat, akademisi, penegak hukum (polisi dan jaksa), dan para aktor politik (Caleg, tim sukses, dan petugas penghubung Parpol). Nalar publik umumnya sepakat menilai bahwa praktik money politics merupakan penyakit dan sekaligus musuh demokrasi. Namun, ketika tiba masa kampanye dimulai, para Caleg juga bergerak memanfaatkan ruang untuk melakukan money politic. Ironisnya, sebagian warga masyarakat malah bersikap permisif terhadap praktik money politics. Angka-angka mengenai praktik money politics dari Pemilu ke Pemilu, kita bisa lacak mulai dari Pemilu 2009, Jurnal Adhyasta Pemilu 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 20 12/12/19 11:36 AM meskipun tidak berarti bahwa Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 tidak terjadi praktik money politics. Pada Pemilu 2009, praktik politik uang tercatat sebanyak 691 kasus. Harus Husen (2014:80), merinci kasus politik uang itu berdasarkan tahapan, yakni sebanyak 537 kasus terjadi pada masa kampanye, 95 kasus terjadi pada masa tenang, 57 kasus pada tahapan pemungutan suara. Sementara 2 kasus tidak bersentuhan dengan pemilih karena terjadi pada masa penetapan hasil Pemilu. Selanjutnya, pada Pemilu Legislatif 2014, kasus politik uang masih mendominasi seluruh jumlah pelanggaran Pemilu. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), praktik politik uang yang terjadi pada Pemilu Legislatif 2014 tercatat sebanyak 313 kasus (Berita Hukum Online, 22 April 2014). Modus praktik politik uang itu serupa dengan modus praktik politik uang pada Pemilu 2009, yakni dalam bentuk bagi-bagi uang dan barang. Pada Pemilu serentak 2019 (17 April 2019), praktik money politics dalam bentuk bagi-bagi uang dan barang (minyak goreng, beras, gula, jilbab) masih terjadi hampir di semua provinsi dan kabupaten. Bahkan ada praktik money politics dalam bentuk membagi-bagi kupon umroh seperti kasus yang menjerat Mandala Shoji (Caleg DPR-RI dari PAN) dan Lucky Andriani (Caleg DPRD DKI dari PAN). Praktik money politic dilakukan secara terang-terangan dan terekam dengan mata telanjang. Tidak terhitung lagi jumlah video yang beredar di media sosial terkait dengan praktik money politics. Praktik money politics pada Pemilu serentak 2019 sesungguhnya jauh lebih banyak dan masif jika dibandingkan dengan praktik money politics yang terjadi pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Namun, karena tidak semua warga masyarakat melaporkan praktik money politics itu, sehingga banyak praktik money politics tidak terdeteksi oleh jajaran Pengawas Pemilu di semua daerah. Bahkan banyak praktik money politics yang terekam lewat video dan beredar luas di media sosial, namun tidak kunjung tertangani oleh jajaran Pengawas Pemilu karena tidak ada warga masyarakat yang menyampaikan laporan dugaan pelanggaran. Data jumlah kasus money politics yang diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dari Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak sebanyak kasus money politics yang terjadi pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Data Bawaslu terkait dengan kasus money politics pada Pemilu 2019 mencatat hanya sebanyak 36 kasus yang telah diputus oleh pengadilan. Kasus money politics itu tidak hanya terjadi pada masa kampanye, tetapi juga terjadi pada masa terlarang kampanye, yakni pada masa tenang, Satu contoh kasus money politics yang terjadi pada masa tenang adalah kasus yang dilakukan calon anggota DPRD kota Palu dari Partai Hanura No. Urut 1 di Daerah Pemilihan 3 Kota Palu. Kasus money politics ini telah dinyatakan terbukti bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor: 214/Pid.B/2019/PN Pal (Pemilu), serta dikuatkan dengan putusan banding Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah (Putusan PT Nomor: 71/Pid.Sus/2019/PT PAL). Data dan fakta di atas menunjukkan bahwa Pemilu selalu ternodai oleh praktik money politics. Hal ini menyiratkan kesan bahwa praktik money politics merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pemilu. Aminuddin Kasim & Supriyadi 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 21 21 12/12/19 11:36 AM Kesan ini semakin kuat ketika membuka catatan noda pada Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Semua Pilkada yang telah berlangsung selama ini selalui ternodai dengan praktik money politics. Mengapa praktik money politics selalu terjadi saat Pemilu berlangsung? Kenapa UU Pemilu (UU No.7 Tahun 2017) tidak memiliki daya imperatif untuk mencegah praktik money politics? Faktor apa saja yang mempengaruhi lemahnya daya imperatif UU Pemilu sehingga praktik money politics selalu masih terjadi? Permasalahan ini akan penulis telaah dan analisis dari perspektif ilmu hukum. 2. Metode Penelitian Penulisan artikel ini menggunakan bahan hukum dari peraturan perundangundangan Pemilu, serta teori dan/atau pendapat para ahli yang berkenaan dengan fungsi hukum sebagai alat pengendalian prilaku dalam konteks sosial dan politik, teori tentang daya imperatif hukum, dan teori tentang kategori ketaatan seseorang terhadap hukum. Semua bahan hukum itu diperoleh dari metode penelitian kepustakaan. Bahan hukum bersumber dari buku, artikel dalam jurnal, risalah putusan dari lembaga peradilan dan lembaga pengawas Pemilu, dan dokumen peraturan perundang-undangan. Lalu, untuk memperdalam analisis tentang hubungan fungsi hukum dan daya imperatif hukum terkait dengan larangan praktik money politics, maka disajikan data hasil wawancara dengan puluhan responden yang pernah melihat, mendengar, bahkan menyaksikan dan/ atau melakukan praktik money politics, yakni terdiri dari 22 anggota DPRD, 13 22 Caleg tidak terpilih, dan 20 responden dari unsur warga masyarakat. 3. Perspektif Teori. Edward A. Ross adalah salah seorang ahli yang mempopulerkan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control). Menurut Ross, bahwa pengendalian sosial mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Dalam konteks ini, Ross menganut teori imperatif dan menghubungkan fungsi hukum itu dengan hukum pidana (dalam Soerjono Soekanto, 1981:43-44). Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial dijabarkan oleh Achmad Ali (1996:98), yakni fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut. Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control) sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Untuk mewujudkan tujuan ini, maka hukum menetapkan pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berprilaku dalam masyarakat, bagaimana prilaku yang baik dan bagaimana prilaku yang tercela atau terlarang. Jadi, hukum merumuskan norma yang berisi perintah (gebod), dan larangan (verbod). Bagi Soedjono Dirjosisworo (2010:154), memformulasikan semua itu sebagai salah satu fungsi hukum. Dari tiga fungsi hukum yang dikemukakan beliau, salah satu diantaranya adalah fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan. Berbeda dengan Soedjono Dirjosisworo, Jimly Asshiddiqie menggunakan konsep “penegakan hukum” Jurnal Adhyasta Pemilu 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 22 12/12/19 11:36 AM untuk menjelaskan soal berfungsinya norma-norma hukum sebagai pedoman berprilaku. Menurut Jimly Asshiddiqie (2010:1), penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, UU Pemilu mengemban fungsi hukum sebagai sarana pengendalian prilaku berpolitik dan sekaligus sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam konteks berpolitik. Dalam UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017), banyak sekali norma yang berisi pedoman atau petunjuk tentang cara berprilaku dalam berpolitik. Dalam UU Pemilu juga berisi sejumlah larangan (norma imperatif) terkait dengan prilaku berpolitik, serta norma ancaman sanksi pidana (penjara dan denda), dan bahkan sanksi administratif bagi mereka yang sudah terbukti secara hukum melanggar larangan atau menyimpang dari UU Pemilu. Praktik money politics adalah salah satu prilaku berpolitik yang dilarang (tercela) dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Hal itu terbaca dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j UU Pemilu, yang menyebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. Lalu, Pasal 284 UU Pemilu mempertegas larangan money politics tersebut, sebagai berikut: Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih Pasangan Calon tertentu; d. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau e. memilih calon anggota DPD tertentu, dljatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Fungsi UU Pemilu sebagai sarana pengendalikan prilaku berpolitik tidak hanya berlaku pada masa kampanye, tetapi juga berlaku pada masa tenang. Penyelenggaraan Pemilu pada masa tenang, terdapat norma imperatif untuk menjaga ketertiban dan keteraturan Pemilu, yakni dirumuskan dalam Pasal 278, sebagai berikut: (1) Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam pasar 276 berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. (2) Selama Masa Tenang sebagaimana d i m a ks u d d a l a m ’ Pa s a l 2 7 6 , pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu Presiden dan wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. memilih Pasangan Calon; c. memilih Partai Politik Peserta pemilu terttentu; d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota; dan/atau e. memilih calon anggota DPD tertentu. Aminuddin Kasim & Supriyadi 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 23 23 12/12/19 11:36 AM Dalam Pemilu 2019 yang lalu, fungsi UU Pemilu sebagai saranat pengendalian perilaku berpolitik maupun sebagai sarana dalam mewujudkan ketertiban dan keteraturan berpolitik, tampak tidak berjalan secara maksimal. Praktik money politics yang terjadi pada masa kampanye dan masa tenang telah menabrak larangan (verbod) dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j, Pasal 284, dan Pasal 278 ayat (2) UU Pemilu. Mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut Achmad Ali (1996:100), bahwa terlaksana atau tidak terlaksananya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, ditentukan oleh dua hal, yaitu: (a) faktor norma hukumnya sendiri, dan (b) faktor pelaksana (orang) hukumnya. Lalu, pertanyaan berikutnya adalah: siapakah yang dimaksud subjek “pelaksana hukum? Dengan merujuk pada pendapat Jimly Asshiddiqie tentang konsep penegakan hukum, maka subjek “pelaksana (orang) hukum” mencakup pengertian yang luas. Lebih jelasnya pendapat beliau, sebagai berikut: Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum 24 itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa (Jimly Asshiddiqie, 2010:1). Dengan merujuk pada pendapat Jimly Asshiddiqie tentang konsep penegakan hukum di atas, maka subjek “pelaksana hukum” dalam konteks penyelenggaraan Pemilu tentu tidak hanya anggota Badan Pengawas Pemilu pada semua tingkatan dan anggota KPU pada semua tingkatan, polisi, jaksa, dan hakim, serta advokat. Akan tetapi semua subjek (orang) yang terkena dan terikat dengan aturan larangan praktik money politics. Subjek yang dimaksud bisa jadi anggota tim sukses calon peserta Pemilu, anggota pelaksana kampanye, dan/atau calon anggota legislatif (Caleg). Pada Pemilu 2019 lalu, masih banyak Caleg yang terjerat kasus praktik money politisc. Adanya praktik money politics ini jelas menunjukkan bahwa tingkat ketaatan hukum sebagian Caleg terhadap larangan praktik money politisc, dinilai masih rendah. Lalu, bagaimana dengan Caleg yang tidak melakukan praktik money politics? Dapatkah kita menyebut bahwa Caleg yang tidak melakukan praktik money politics adalah Caleg yang memiliki ketaatan hukum terhadap aturan larang money politics? Jawaban atas pertanyaan di atas, dapat dijelaskan lewat teori tentang kategori ketaatan hukum. Menurut Herbert C. Kelman (dalam Achmad Ali, Jurnal Adhyasta Pemilu 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 24 12/12/19 11:36 AM 1998:193 dan (Soerjono Soekanto, 1988: 50), ketaatan seseorang terhadap aturan hukum dibedakan atas tiga kategori, yaitu: a. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hukum hanya karena dia takut terkena sanksi; b. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hukum hanya karena dia takut hubungan baiknya rusak dengan seseorang; dan c. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hukum karena benarbenar dia merasa bahwa aturan hukum itu sesuai dengan nilai-nilai intristik yang dianutnya. Soal ketaatan seseorang terhadap aturan hukum terkait larangan praktik money politics dalam UU Pemilu, sesungguhya tidak terlepas dari etika berpolitik dan moral. Idealnya, seorang Caleg sudah harus menahan diri untuk tidak melakukan praktik money politics pada masa kampanye atau masa tenang. Sebab Caleg adalah calon wakil rakyat yang kelak duduk di tempat terhormat (lembaga perwakilan rakyat) dan selalu diperlakukan secara terhormat jika terpilih melalui proses Pemilu. Oleh karena itu, dari perspektif etika politik dan moral, Caleg yang terlibat praktik money politics, sesungguhnya tidak pantas duduk ditempat terhormat apabila berusaha meraih suara pemilih dengan cara-cara yang tidak terhormat (tercela) dimata publik. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Kasus Money Politic di Sulawesi Tengah. Sejak Pemilu 2019 berlangsung (17 April 2019) hingga menjelang akhir Juli 2019, sudah lebih dari 20 warga masyarakat yang sempat penulis wawancarai terkait dengan praktik money politics yang terjadi pada masa kampanye dan masa tenang pada Pemilu 2019 yang lalu. Mereka berasal dari beberapa desa/kelurahan dalam wilayah hukum yang berbeda (Kabupaten Sigi, Kota Palu, dan Kabupaten Donggala). Hasil wawancara mengungkapkan bahwa mereka tidak hanya mendengar adanya praktik money politics, tetapi juga menyaksikan dan bahkan menikmati praktik money politics itu. Praktik money politics diwujudkan dalam bentuk bagi-bagi uang (paling sedikit Rp.50.000,00.- dan paling banyak Rp100,000,-), serta barang berupa: beras, gula, indomie/supermie, kain sarung, busana muslim (kebanyakan jilbab), sabun deterjen, dan sebagainya. Ironisnya, ada 3 orang diantara 20 orang yang pernah diwawancarai mengaku pernah menerima uang dan bahan makanan dari 3 Caleg yang berbeda dan dari partai berbeda.. Praktik money politics sebagian besar terjadi di lokasi pengungsian korban gempa, likuifaksi, dan tsunami yang pernah terjadi pada tanggal 28 September 2018 lalu. Hasil wawancara juga terungkap bahwa ada 9 Caleg dari partai berbeda yang pernah melakukan praktik money politics, tidak ada seorang pun Caleg yang terlapor ke lembaga Pengawas Pemilu, apalagi diproses hukum sampai di pengadilan. Hal ini terkomfirmasi dari data Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah. Aminuddin Kasim & Supriyadi 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 25 25 12/12/19 11:36 AM Dari sebanyak 23 kasus pelanggaran tindak pidana Pemilu, kasus praktik money politisc hanya tercatat 6 kasus, yakni: 2 kasus terjadi di kota Palu, 1 kasus terjadi di Kabupaten Buol, 2 kasus terjadi di Kabapaten Sigi, dan 1 kasus terjadi di Kabupaten Tojo Una-Una. Sementara 13 kasus pidana lainya adalah terkait dengan penggunaan fasilitas ibadah (5 kasus), penggunaan ijazah palsu (7 kasus), keterlibatan kepala desa dalam kampanye (3 kasus), dan manipulasi suara (1 kasus). 4.2 Lemahnya Daya Imperatif dan Penegakan UU Pemilu Praktik money politics yang terjadi pada masa kampanye dan masa tenang pada Pemilu 2019, jelas menunjukkan bahwa fungsi UU Pemilu sebagai sarana pengendalian prilaku berpolitik dan/ atau fungsi normatif dalam menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam berpolitik, tampaknya belum berjalan secara efektif. Menurut Tim Peneliti Perludem (Titi Anggraini, dkk, 2011: 128), bahwa problema utama soal politik uang adalah apakah tetentuan yang ada sudah memadai untuk mengawasi dan menangani politik uang. Norma imperatif dalam UU Pemilu tidak hanya terbaca dalam Pasal 278 ayat (2), Pasal 280 ayat (1) huruf j, dan Pasal 284, tetapi juga terbaca dalam Pasal 521 dan Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2). Dalam Pasal 521 telah ditegaskan sebagai berikut: Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar Larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana 26 dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Lalu, dalam Pasal 523 ditegaskan sebagai berikut: (1) Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). (2) Setiap pelaksana,peserta dan/ atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah). UU Pemilu tidak hanya mengandalkan instrumen hukum pidana yang berbasis pada teori imperatif untuk mengendalikan prilaku berpolitik dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keteraturan berpolitik dalam Pemilu, tetapi juga mengandalkan instrumen hukum administrasi. Hal ini juga terbaca dalam ketentuan Pasal 285 UU Pemilu, sebagai berikut: Putusan pengadilan yang telah Jurnal Adhyasta Pemilu 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 26 12/12/19 11:36 AM memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota untut mengambil tindakan berupa: a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih. Idealnya, semua Caleg dari berbagai Parpol peserta Pemilu sudah harus menahan diri ketika mengetahui adanya larangan praktik money politics pada masa kampanye dan masa tenang (Pasal 278 ayat (2), Pasal 280 ayat (1) huruf j, dan Pasal 284 UU Pemilu), dan menahan diri ketika mengetahui adanya ancaman sanksi pidana (penjaran dan denda) ketika melanggar larangan praktik money politics pada masa kampanye dan masa tenang (Pasal 521 dan Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu). Ketaatan terhadap aturan di atas sudah harus muncul pada diri pribadi setiap Caleg, sebab jika larangan money politics itu dilanggar, maka akan berakibat pada pembatalan nama Caleg pada Daftar Calon Tetap DCT) atau pembatalan penetapan calon anggota lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/ kota) sebagai calon terpilih (Pasal 285 UU Pemilu). Pe n u l i s te l a h m e wawa n ca ra i sebanyak 22 (dua puluh dua) anggota DPRD Kabupaten/Kota (dari Parpol yang berbeda) setelah usai memberi materi pembekalan (orientasi) kepada anggota DPRD dari 11 (sebelas) kabupaten/kota se-Sulawesi Tengah. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda, semuanya mengakui bahwa mereka melakukan bagi-bagi uang kepada pemilih. Sebagian dari mereka mengaku melakukan pada masa kampanye, dan ada sebagian dari mereka mengaku melakukan pada masa tenang. Lalu, sebagian dari mereka mengaku hanya membagi-bagi uang kepada pemilih sebanyak Rp40 juta, sebagian lainnya mengaku sampai Rp100 juta, bahkan ada diantara mereka melakukan bagi-bagi uang sampai Rp200 juta. Semua anggota DPRD yang pernah penulis wawancarai mengaku mengetahui dan menyadari adanya aturan tentang larangan money politics. Namun, mereka terpaksa melakukan hal itu (bagi-bagi uang) karena alasan mempengaruhi sikap pemilih untuk menjatuhkan pilihan kepada mereka. Praktik money politics itu dilakukan secara rapih agar tidak diketahui Pengawas Pemilu dan sesama Caleg baik diinternal Parpol maupun sesama Caleg dari Parpol yang berbeda. Harus diakui, bahwa masih banyak Caleg dari berbagai Parpol peserta Pemilu yang tidak terjerat kasus money politics. Bagi Caleg yang tidak terjerat kasus money politics selama penyelenggaraan Pemilu 2019, bisa digolongkan sebagai Caleg yang memiliki ketaatan terhadap larangan money politics. Ketaatan mereka terhadap larangan money politics harus diapresiasi, sebab mereka mampu menahan diri (self control) untuk menjaga integritas Pemilu Aminuddin Kasim & Supriyadi 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 27 27 12/12/19 11:36 AM dan tidak menodai proses demokrasi yang berlangsung. Namun demikian, juga perlu dilacak apakah Caleg yang tidak melakukan praktik money politics karena atas dasar kesadaran bahwa praktik money politics adalah prilaku berpolitik yang terlarang dan tercela? Sebab, sampai saat ini belum ada hasil riset yang mengungkap kategori ketaatan mereka terhadap aturan mengenai larangan money politics, sehingga mengundang pertanyaan: apakah ketaatan mereka dalam kategori compliance atau dalam kategori identification atau kategori internalization? Selanjutnya, ada sebanyak 13 Caleg DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota yang tidak terpilih dari beberapa Parpol peserta Pemilu yang juga sempat penulis wawancarai. Mereka pada umumnya mengakui bahwa praktik money politics pada Pemilu 2019 masif terjadi di semua lokasi pengungsian korban bencana gempa, likufaksi dan tsunami. Mereka menerima realitas, tidak terpilih sebagai calon anggota DPRD karena alasan tidak memiliki uang banyak untuk mempengaruhi pemilih dengan modus money politics. Jadi, kategori ketaatan mereka terhadap larangan money politics bukan karena takut terkena sanksi pidana (penjara dan denda) termasuk pencoretan nama dari DCT (kategori compliance), juga bukan karena takut hubungan baiknya rusak dengan seseorang (kategori identification), misalnya; sesama Caleg di internal Parpol), lebih-lebih bukan karena alasan bahwa praktik money politics itu bertentangan dengan nilai-nilai intristik yang dianutnya (kategori internalization). Akan tetapi lebih pada faktor kondisi keuangan yang tidak mendukung untuk mempengaruhi pemilih dengan cara 28 money politics. Dengan demikian, faktor kecukupan modal (uang) yang dimiliki Caleg ternyata ikut bicara dan berpengaruh dalam menentukan ketaatan seorang Caleg terhadap aturan hukum Pemilu. Menurut Nur Hidayat Sardini (2011:213), bahwa bagi para calon legislatif, politik uang merupakan alat untuk menaklukkan pilihan bebas masyarakat. Dengan merujuk pada pendapat Jimly Asshiddiqie (2008) tentang lingkup subjek penegakan hukum, maka subjek pelaksana penegakan hukum tentu tidak hanya Parpol, tetapi juga Caleg yang diusung Parpol. Idealnya, setiap aktor politik (Caleg) harus bisa memainkan peran sebagai subjek penegakan hukum guna mewujudkan Pemilu yang berintegritas. Caleg yang tidak melakukan praktik money politics terlepas dari kondisi keuangannya yang tidak terbatas, dapat dikategorikan sebagai Caleg yang memiliki etika politik serta tanggung-jawab hukum dan moral untuk menegakkan aturan hukum Pemilu, khususnya larangan praktik money politics. Sebaliknya, Caleg yang melakukan praktik money politics adalah Caleg yang tidak memiliki etika politik serta tanggung-jawab hukum dan moral untuk menegakkan aturan hukum Pemilu. Hal ini menjadi tanggung jawab Parpol pengusung, sebab UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2011 (UU Parpol) telah menetapkan, bahwa salah satu tujuan Parpol adalah untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 10 ayat (2) huruf c). Lebih dari itu, UU Parpol juga menetapkan tentang fungsi Parpol, yakni melakukan pendidikan politik Jurnal Adhyasta Pemilu 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 28 12/12/19 11:36 AM bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melakukan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender (Pasal 11). Atas dasar itu, Parpol yang mengusung para Caleg-nya dalam Pemilu, ikut bertanggung jawab secara hukum dan moral jika Caleg yang diusungnya menodai Pemilu dengan praktik money politics. Dengan banyaknya Caleg yang terjerat kasus money politics pada Pemilu 2019, menjadi satu penilaian bahwa Parpol telah gagal melakukan pendidikan politik kepada kader-kader yang diusungnya. Hal ini menjadi bahan pembelajaran bagi Parpol guna memperbaiki kualitas Pemilu ke depan (Pemilu 2024). Harus diakui, bahwa selama proses penyelenggaran Pemilu 2019 berlangsung, para pengurus Parpol telah berkali-kali melakukan pertemuan atau rapat tingkat nasional maupun tingkat daerah dengan seluruh kader atau Caleg yang diusungnya. Namun demikian, pertemuan atau rapat-rapat yang diselenggarakan oleh berbagai Parpol selama ini, terkesan minus substansi etika perpolitik santun dan bermoral. Filsuf Immanuel Kant mengajarkan teori imperatif kategoris yang bersandar pada filsafat moral. Bagi Kant, moral adalah bagian dari kekayaan batin manusia yang berlaku universal. Ada perasaan wajib untuk bertindak, sehingga ada kehendak baik yang timbul yang seolah-olah memerintah (imperatif), tetapi tidak memaksa. Postulat rasio praktis Kant tersimpul pada salah satu pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diajukan, yakni; apa yang sebaiknya saya lakukan (dalam Endang Daruni Asdi, 1995). Bagi Kant, moralitas dan juga integritas ditentukan oleh kecakapan akal budi. Dengan menggunakan akal budi, maka individu dapat mengendalikan kehendak bebasnya, lalu menyesuaikan dengan aturan hukum yang telah disepakati (Ahmad Rafsanjani, 2010). Jadi, paksaan untuk tidak melakukan sesuatu yang terlarang menurut hukum seperti larangan praktik money politics, idealnya harus timbul dari kesadaran moral pribadi (perintah yang bersumber dari diri sendiri). Harus diakui, bahwa untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis, beradab, dan berintegritas tanpa noda money politics, tidak cukup hanya bersandar pada kemampuan fungsi hukum beserta kelengkapan norma imperatifnya (ancaman sanksi pidana penjara dan denda, serta sanksi administratif), akan tetapi juga membutuhkan sandaran etika/ moral. Meskipun kaidah hukum dilengkapi dengan sarana pemaksa (imperatif) yang dibentuk lewat otoritas negara, namun kaidah hukum tidak mampu bekerja sendiri untuk mengendalikan prilaku dalam konteks kehidupan sosial, termasuk dalam konteks kehidupan politik. Untuk mewujudkan Pemilu yang bersih dari noda money politics, idealnya harus dimulai dari kesadaran moral pribadi setiap Caleg. Jika Caleg menilai bahwa praktik money politics adalah sesuatu yang terlarang dan tercela, dan ada paksaan dari dalam dirinya untuk tidak melanggar larangan itu, maka harapan untuk mewujudkan Pemilu yang bersih dari noda money politics, masih terbuka lebar. Sebab, ketaatan semua Aminuddin Kasim & Supriyadi 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 29 29 12/12/19 11:36 AM Caleg terhadap aturan larangan money politics sudah masuk pada kategori “internalization”. Jadi, kaidah imperatifnya bersumber dari kesadaran moral pribadi masing-masing Caleg. Selanjutnya, untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam berpolitik, hukum dan etika/moral harus beriringan, bekerja bersama dan saling melengkapi. Jadi, penegakan hukum dalam penyelenggaraan Pemilu, tidak hanya bersandar pada rule of law dan rule of justice, tetapi juga bersandar pada rule of ethics. 4.3 Sikap Pemisif Warga Masyarakat Terhadap Praktik Money Politics. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota, serta Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota telah mengalokasikan anggaran untuk sosialisasi Pemilu kepada warga masyarakat. Dalam proses penyelenggaraan Pemilu 2019, lembagalembaga kepemiluan itu sudah berulang kali menyelenggarakan sosialisasi Pemilu yang melibatkan pengurus dan kader Parpol, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, mahasiswa, dan siswa-siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Soal larangan praktik politik uang adalah salah satu materi sosialisasi. Kalaupun bukan soal politik uang (money politics) yang dijadikan tema sosialisasi Pemilu, namun soal money politics selalu mengemuka pada setiap sesi diskusi pada acara sosialisasi Pemilu. Upaya KPU dan jajarannya serta BAWASLU dan jajarannya dalam mencegah terjadinya praktik money politics, tidak hanya dilakukan melalui sosialisasi di setiap daerah provinsi dan kabupaten/ kota, tetapi juga dilakukan lewat deklarasi dengan memilih slogan “tolak politik 30 uang”, pamflet, spanduk, stiker, media cetak, bahkan lewat media elektronik. Namun demikian, semua cara yang telah ditempuh oleh KPU dan jajarannya serta BAWASLU dan jajarannya untuk mencegah praktik money politics terkesan tidak efektif. Spirit gerakan moral dengan slogan “tolak politik uang” atau slogan “katakan tidak untuk politik uang”, dan lain-lain slogan yang terkait dengan virus money politics, terkesan tidak membuat bergeming para aktor politik (Caleg) yang ikut Pemilu, terutama bagi mereka yang memiliki segudang uang. Dalam kehidupan sosial dan politik, terutama saat Pemilu dan Pilkada berlangsung, selalu muncul anomali. Warga masyarakat cenderung sudah bersikap permisif terhadap praktik money politis, bahkan menanti datangnya praktik money politics itu. Di tengah masifnya sosialisasi “tolak politik uang” pada masa kampanye, dan bahkan pada masa tenang, saat bersamaan juga beredar di berbagai media sosial seperti “whatsapp” (WA) dan “facebook” postingan dalam bentuk gambar dan/atau tulisan yang berisi pesan atau ajakan “siap menerima serangan fajar” Bahkan pernah ada postingan di media sosial yang memasang besarnya tarif money politics. Tarif untuk Caleg DPR sebesar Rp150.000,- tarif untuk Caleg DPRD Provinsi sebesar Rp100.000,, dan tarif untuk Caleg Kabupaten/Kota sebesar Rp50.000,-. Kenapa bisa terjadi anomali ini? Salah satu faktor yang mengkondisikan sikap permisif warga pemilih terhadap praktik money politics adalah kondisi sosial dan ekonomi warga masyarakat pasca terjadinya bencana alam (gempa, likufaksi, dan tsunami). Ketika masa kampanye dimulai hingga pada saat pemungutan Jurnal Adhyasta Pemilu 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 30 12/12/19 11:36 AM suara, masih banyak warga masyarakat korban bencana alam terkonsentrasi di lokasi-lokasi pengungsian. Dalam kondisi yang masih serba kekurangan, mereka selalu menanti datangnya bantuan baik berupa uang maupun barang. Bagi Caleg yang bermodal besar dan bernafsu menjadi anggota DPRD, tentu memanfaatkan momentum itu untuk meraih simpati warga agar memilih Caleg yang memberi bantuan. Menjelang pemungutan suara berlangsung, terkesan sulit dibedakan antara bantuan yang bersifat kemanusiaan dengan money politics. UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017) memang tidak memuat aturan hukum bagi pemilih yang menerima uang dan/ atau barang pada kasus money politics, juga tidak ada aturan hukum terkait pengenaan ancaman sanksi pidana dan/ atau denda bagi pemilih yang menerima uang dan/atau barang pada kasus money politics. Berbeda dengan UU Pemilu, UU Pilkada (UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah kedua kali dengan UU No. 10 Tahun 2016) lebih impresif dalam mengatur subjek pelaku money politics beserta ancaman sanksi pidananya (penjara dan/atau danda). Ketentuan ancaman sanksi pidana dalam UU Pilkada menggunakan frasa “setiap orang” sehingga baik pihak pemberi (pelaku money politics) maupun pemilih yang menerima uang dan/atau barang dalam kasus money politics akan terjerat dengan Pasal 187A UU Pilkada, yakni terkait dengan pelanggaran larangan money politics dalam Pasal 73 ayat (4) UU Pilkada. Jika merujuk pada pendapat Jimly Asshiddiqie terkait dengan cakupan subjek penegak hukum, maka UU Pemilu (UU. No. 7 Tahun 2017), masih memiliki kekurangan, sebab tidak memasukkan setiap orang sebagai subjek penegak hukum. Memang disadari bahwa ketentuan Pasal 187A UU Pilkada juga mengandung kelemahan, sebab warga masyarakat tidak akan berani melaporkan kasus money politics jika dia menerima uang dan/atau barang dari peserta pemilihan dan/atau tim kampanye. Hal ini belajar dari kasus pemilihan kepala daerah di kabupaten Pati pada Pilkada Serentak 2017. Dari 14 kasus money politics yang sementara ditangani oleh Panwas Kabupaten Pati, ada 10 kasus laporan tidak diteruskan penanganannya karena saksi pelapor (penerima politik uang) mencabut laporannya setelah mengetahui bahwa dirinya juga terjerat ketentuan Pasal 187A UU Pilkada (Abhan, dkk, 2017: 79). Kalaupun UU Pemilu ke depan ingin memperkuat daya imperatifnya dalam mencegah praktik money politics, rumusan Pasal 187A UU Pilkada bisa saja diterapkan sepanjang dengan catatan bahwa bagi warga masyarakat yang terlibat praktik money politics (penerima uang dan/atau barang) namun berani melaporkan kasus itu kepada Pengawas Pemilu, perlu dikecualikan dari jeratan sanksi pidana kasus money politics. Penerapan ketentuan semacam itu, selain dapat menstimulasi dan menumbuhkan keberanian warga masyarakat untuk melaporkan kasus money politics, juga mengandung nilai edukasi bagi warga masyarakat agar membiasakan diri untuk tidak terlibat dalam kasus money politics, dan memberi efek jera kepada Caleg yang melakukan money politic. Aminuddin Kasim & Supriyadi 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 31 31 12/12/19 11:36 AM 5. Simpulan Bertolak dari hasil dan pembahan yang ternarasikan di atas, terdapat beberapa catatan sebagai simpulan dari artikel ini. Pertama, bahwa meskipun Pemilu Serentak 2019 telah sukses menyelesaikan semua tahapan Pemilu, namun Pemilu Serentak juga menorehkan catatan noda terkait dengan masif dan banyaknya praktik money politics. Hal ini patut dijadikan pelajaran berharga guna mewujudkan Pemilu yang demokratis dan berintegritas ke depan (Pemilu 2024).. Kedua, banyaknya praktik money politics yang terjadi pada Pemilu Serentak 2019, jelas menunjukkan bahwa penegakan hukum Pemilu belum sesuai yang diharapkan. Sebab, UU Pemilu tidak menggunakan frasa “setiap orang” dalam menjaring pelaku money politics. Ketiga, banyaknya praktik money politics yang 32 terjadi pada Pemilu Serentak 2019, jelas menunjukkan bahwa fungsi UU Pemilu sebagai sarana pengendalian prilaku dalam berpolitik, tampak belum berjalan secara efektif. UU Pemilu belum memiliki daya imperatif yang kuat dalam menekan atau mencegah masifnya praktik money politics. Keempat, Pemilu Serentak 2019 memunculkan anomali. Warga masyarakat (pemilih) cenderung permisif dalam menerima kehadiran praktik money politics. Meskipun banyak warga masyarakat yang menolak, mencela, dan membenci praktik money politics, namun masih ada sebagian warga masyarakat menanti kapan lagi datangnya praktik money politics. Praktik money politics ibarat syair lagu yang pernah dipopulerkan oleh Diana Nasution: dibenci, tapi juga dirindukan (Benci tapi Rindu). Jurnal Adhyasta Pemilu 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 32 12/12/19 11:36 AM DAFTAR PUSTAKA Abhan, dkk, (2017), Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong (Potret Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2017.CV. Rafi Sarana Perkasa,Semarang. Ali, Achmad (1996), Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta. Ali, Achmad (1998), Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, PT. Yasrif Watampone, Jakarta. Anggraini, Titi (2011), Menata Kembali Pengaturan Pemilu Kada, Perludem, Jakarta. Asdi, Endang Daruni (1995), Imperatif Kategoris Dalam Filsafat Moral Immanuel Kant, Artikel dalam Jurnal Filsafat, 23 Nopember 1995, Yogyakarta, hlm. 10-12. Assiddiqie, Jimly (2010), Penegakan Hukum, Makalah, Universitas Indonesia, Jakarta. Dirdjosisworo, Soedjono (2010), Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Husen, Harun (2014), Pemilu Indonesia (Fakta, Angka, Analisis, dan Studi Banding), Perludem, 2014. Rafsanjani, Ahmad (2010), Korupsi dan Moralitas Pemimpin, Opini dalam Harian Pikiran Rakyat, Edisi 10 Desember 2010. Sardini, Nur Hidayat (2011), Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia, Fajar Media Press, Jakarta. Soekanto, Soerjono (1981), Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung. Soekanto, Soerjono (1986), Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung. Dokumen (Hukum) • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. • Putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor: 14/Pid.B/2019/PN Pal (Pemilu), serta dikuatkan dengan putusan banding oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah (Putusan PT Nomor: 71/Pid.Sus/2019/PT PAL). • Data Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu Tahun 2019, Bawaslu RI, Jakarta. • Data Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu 2019, Bawaslu Sulteng, Palu. • Berita Hukum Online, Selasa, 22 April 2014, Kasus Pidana Pemilu di Polri Didominasi Politik Uang, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53563f475f480/kasuspidana-pemilu-di-polri-didominasi-politik-uang/ • http://rumahpemilu.org/perludem-rekomendasikan-perbaikan-penegakan-hukumpidana-pemilu/. Aminuddin Kasim & Supriyadi 01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 33 33 12/12/19 11:36 AM