Jurnal Adhyasta Pemilu
ISSN XXXX-XXXX
Vol. 2 No. 1 2019, Hal. 19-33
MONEY POLITICS PADA PEMILU 2019
(Kajian Terhadap Potret Pengawasan dan
Daya Imperatif Hukum Pemilu)
Aminuddin Kasim
Fakultas Hukum Universitas Tadulako
aminkashukum@gmail.com
Supriyadi
Fakultas Hukum Universitas Tadulako
adipandean37@gmail.com
Abstract
The one of legal functions performed by the Election Law is the function of controlling
behavior in the context of social and political life . To carry out this function , the
Election Law formulates imperative norms so that political behavior complies with
election law . The imperative norm is in the form of rules that prohibit money politics
during the campaign , the quiet period and when the ballot takes place . Then, if
there is a violation of the rule of law , the culprit will face legal proceedings to obtain
criminals sanctions in the form of prisons and fines. Identification of the problem in
this research is: why the imperative norms of the Election Law are not effective in
preventing the practice of money politics, and what factors influence the weak power
of the electoral law imperatives so that massive money politics practices occur? That
problem is discussed and analyzed in this article. The author uses normative jurisdiction
research, besides that the writer also uses the imperative theory of Edward A. Ross,
Achmad Ali’s legal function theory and Jimly Asshiddiqie’s law enforcement theory.
From this study the authors found that when the 2019 Concurrent Elections took
place, the imperative norm was not effective in controlling political behavior expected
by the Election Law. The practice of massive money politics took place so that the
process of democracy and the 2019 Simultaneous Elections occurred.
Keywords: election, law, money politics, campaign, criminal sanction
Aminuddin Kasim & Supriyadi
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 19
19
12/12/19 11:36 AM
Abstrak
Salah satu fungsi hukum yang diemban UU Pemilu adalah fungsi pengendalian prilaku
dalam konteks kehidupan sosial dan politik. Dalam menjalankan fungsi itu, UU Pemilu
merumuskan norma imperatif agar prilaku berpolitik bersesuaian dengan aturan hukum
Pemilu. Norma imperatif itu berupa aturan yang melarang politik uang pada saat
kampanye, masa tenang, dan saat pemungutan suara berlangsung. Lalu, jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum itu, maka pelakunya akan berhadapan dengan
proses hukum untuk mendapatkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda.
Identifikasi masalah dalam penelitian ini ialah : mengapa norma imperatif UU Pemilu
tidak berjalan efektif dalam mencegah praktik politik uang, dan faktor apa yang
mempengaruhi lemahnya daya imperatif hukum Pemilu sehingga praktik politik uang
masif terjadi? Masalah itulah yang dibahas dan dianalisis dalam artikel ini. Penulis
menggunakan penelitian yurisdis normatif, selain itu penulis juga menggunakan teori
imperatif Edward A. Ross, teori fungsi hukum Achmad Ali dan teori penegak hukum
Jimly Asshiddiqie. Dari penelitian ini penulis menemukan ketika Pemilu Serentak 2019
berlangsung, norma imperatif tidak efektif berlaku dalam mengendalikan prilaku
berpolitik yang diharapan UU Pemilu. Praktik politik uang masif terjadi sehingga
menondai proses berdemokrasi dan Pemilu Serentak 2019.
Kata Kunci: pemilu, hukum, politik uang, kampanye, sanksi pidana.
1. Pendahuluan
Meski penyelenggaraan Pemilihan
Umum (Pemilu) di Indonesia terutama
Pemilu pasca reformasi ketatanegaraan
di Indonesia (pasca amandemen UUD
1945), selalu sukses dalam mengisi
jabatan Presiden dan Wakil Presiden,
anggota lembaga perwakilan rakyat (DPR
dan DPRD), serta lembaga perwakilan
daerah (DPD), namun penyelenggaraan
Pemilu pasca reformasi ketatanegaraan
juga memiliki catatan noda terkait dengan
adanya praktik politik uang (money
politics).
Setiap agenda Pemilu
diselenggarakan, masalah money politisc
selalu menjadi bahan perbincangan publik
yang melibatkan banyak aktor, seperti:
20
komisioner penyelenggara Pemilu,
komisioner pengawas Pemilu, pegiat
Pemilu, tokoh masyarakat, akademisi,
penegak hukum (polisi dan jaksa), dan
para aktor politik (Caleg, tim sukses, dan
petugas penghubung Parpol). Nalar publik
umumnya sepakat menilai bahwa praktik
money politics merupakan penyakit dan
sekaligus musuh demokrasi. Namun,
ketika tiba masa kampanye dimulai,
para Caleg juga bergerak memanfaatkan
ruang untuk melakukan money politic.
Ironisnya, sebagian warga masyarakat
malah bersikap permisif terhadap praktik
money politics.
Angka-angka mengenai praktik
money politics dari Pemilu ke Pemilu,
kita bisa lacak mulai dari Pemilu 2009,
Jurnal Adhyasta Pemilu
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 20
12/12/19 11:36 AM
meskipun tidak berarti bahwa Pemilu
1999 dan Pemilu 2004 tidak terjadi
praktik money politics. Pada Pemilu 2009,
praktik politik uang tercatat sebanyak 691
kasus. Harus Husen (2014:80), merinci
kasus politik uang itu berdasarkan
tahapan, yakni sebanyak 537 kasus
terjadi pada masa kampanye, 95 kasus
terjadi pada masa tenang, 57 kasus pada
tahapan pemungutan suara. Sementara 2
kasus tidak bersentuhan dengan pemilih
karena terjadi pada masa penetapan
hasil Pemilu. Selanjutnya, pada Pemilu
Legislatif 2014, kasus politik uang masih
mendominasi seluruh jumlah pelanggaran
Pemilu. Berdasarkan catatan Indonesia
Corruption Watch (ICW), praktik politik
uang yang terjadi pada Pemilu Legislatif
2014 tercatat sebanyak 313 kasus (Berita
Hukum Online, 22 April 2014). Modus
praktik politik uang itu serupa dengan
modus praktik politik uang pada Pemilu
2009, yakni dalam bentuk bagi-bagi uang
dan barang.
Pada Pemilu serentak 2019 (17 April
2019), praktik money politics dalam
bentuk bagi-bagi uang dan barang
(minyak goreng, beras, gula, jilbab) masih
terjadi hampir di semua provinsi dan
kabupaten. Bahkan ada praktik money
politics dalam bentuk membagi-bagi
kupon umroh seperti kasus yang menjerat
Mandala Shoji (Caleg DPR-RI dari PAN)
dan Lucky Andriani (Caleg DPRD DKI dari
PAN). Praktik money politic dilakukan
secara terang-terangan dan terekam
dengan mata telanjang. Tidak terhitung
lagi jumlah video yang beredar di media
sosial terkait dengan praktik money
politics. Praktik money politics pada
Pemilu serentak 2019 sesungguhnya jauh
lebih banyak dan masif jika dibandingkan
dengan praktik money politics yang
terjadi pada Pemilu 2009 dan Pemilu
2014. Namun, karena tidak semua
warga masyarakat melaporkan praktik
money politics itu, sehingga banyak
praktik money politics tidak terdeteksi
oleh jajaran Pengawas Pemilu di semua
daerah. Bahkan banyak praktik money
politics yang terekam lewat video dan
beredar luas di media sosial, namun
tidak kunjung tertangani oleh jajaran
Pengawas Pemilu karena tidak ada warga
masyarakat yang menyampaikan laporan
dugaan pelanggaran.
Data jumlah kasus money politics
yang diterima oleh Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dari Bawaslu Provinsi
dan Kabupaten/Kota tidak sebanyak kasus
money politics yang terjadi pada Pemilu
2009 dan Pemilu 2014. Data Bawaslu
terkait dengan kasus money politics pada
Pemilu 2019 mencatat hanya sebanyak 36
kasus yang telah diputus oleh pengadilan.
Kasus money politics itu tidak hanya
terjadi pada masa kampanye, tetapi juga
terjadi pada masa terlarang kampanye,
yakni pada masa tenang, Satu contoh
kasus money politics yang terjadi pada
masa tenang adalah kasus yang dilakukan
calon anggota DPRD kota Palu dari Partai
Hanura No. Urut 1 di Daerah Pemilihan 3
Kota Palu. Kasus money politics ini telah
dinyatakan terbukti bersalah berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor:
214/Pid.B/2019/PN Pal (Pemilu), serta
dikuatkan dengan putusan banding
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah
(Putusan PT Nomor: 71/Pid.Sus/2019/PT
PAL).
Data dan fakta di atas menunjukkan
bahwa Pemilu selalu ternodai oleh praktik
money politics. Hal ini menyiratkan kesan
bahwa praktik money politics merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Pemilu.
Aminuddin Kasim & Supriyadi
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 21
21
12/12/19 11:36 AM
Kesan ini semakin kuat ketika membuka
catatan noda pada Pemilihan Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah (Pilkada).
Semua Pilkada yang telah berlangsung
selama ini selalui ternodai dengan praktik
money politics.
Mengapa praktik money politics
selalu terjadi saat Pemilu berlangsung?
Kenapa UU Pemilu (UU No.7 Tahun
2017) tidak memiliki daya imperatif
untuk mencegah praktik money politics?
Faktor apa saja yang mempengaruhi
lemahnya daya imperatif UU Pemilu
sehingga praktik money politics selalu
masih terjadi? Permasalahan ini akan
penulis telaah dan analisis dari perspektif
ilmu hukum.
2. Metode Penelitian
Penulisan artikel ini menggunakan
bahan hukum dari peraturan perundangundangan Pemilu, serta teori dan/atau
pendapat para ahli yang berkenaan dengan
fungsi hukum sebagai alat pengendalian
prilaku dalam konteks sosial dan politik,
teori tentang daya imperatif hukum, dan
teori tentang kategori ketaatan seseorang
terhadap hukum. Semua bahan hukum
itu diperoleh dari metode penelitian
kepustakaan. Bahan hukum bersumber
dari buku, artikel dalam jurnal, risalah
putusan dari lembaga peradilan dan
lembaga pengawas Pemilu, dan dokumen
peraturan perundang-undangan.
Lalu, untuk memperdalam
analisis tentang hubungan fungsi hukum
dan daya imperatif hukum terkait dengan
larangan praktik money politics, maka
disajikan data hasil wawancara dengan
puluhan responden yang pernah melihat,
mendengar, bahkan menyaksikan dan/
atau melakukan praktik money politics,
yakni terdiri dari 22 anggota DPRD, 13
22
Caleg tidak terpilih, dan 20 responden
dari unsur warga masyarakat.
3. Perspektif Teori.
Edward A. Ross adalah salah seorang
ahli yang mempopulerkan fungsi hukum
sebagai sarana pengendalian sosial
(social control). Menurut Ross, bahwa
pengendalian sosial mencakup semua
kekuatan yang menciptakan serta
memelihara ikatan sosial. Dalam konteks
ini, Ross menganut teori imperatif dan
menghubungkan fungsi hukum itu dengan
hukum pidana (dalam Soerjono Soekanto,
1981:43-44). Fungsi hukum sebagai sarana
pengendalian sosial dijabarkan oleh
Achmad Ali (1996:98), yakni fungsi hukum
untuk menetapkan tingkah laku mana
yang dianggap merupakan penyimpangan
terhadap aturan hukum, dan apa sanksi
atau tindakan yang dilakukan oleh hukum
jika terjadi penyimpangan tersebut.
Fungsi hukum sebagai sarana
pengendalian sosial (social control)
sesungguhnya bertujuan untuk
menciptakan ketertiban dan keteraturan.
Untuk mewujudkan tujuan ini, maka
hukum menetapkan pedoman dan
petunjuk tentang bagaimana berprilaku
dalam masyarakat, bagaimana prilaku
yang baik dan bagaimana prilaku yang
tercela atau terlarang. Jadi, hukum
merumuskan norma yang berisi perintah
(gebod), dan larangan (verbod). Bagi
Soedjono Dirjosisworo (2010:154),
memformulasikan semua itu sebagai
salah satu fungsi hukum. Dari tiga fungsi
hukum yang dikemukakan beliau, salah
satu diantaranya adalah fungsi hukum
sebagai alat ketertiban dan keteraturan.
Berbeda dengan Soedjono
Dirjosisworo, Jimly Asshiddiqie
menggunakan konsep “penegakan hukum”
Jurnal Adhyasta Pemilu
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 22
12/12/19 11:36 AM
untuk menjelaskan soal berfungsinya
norma-norma hukum sebagai pedoman
berprilaku. Menurut Jimly Asshiddiqie
(2010:1), penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Dalam konteks penyelenggaraan
Pemilu, UU Pemilu mengemban fungsi
hukum sebagai sarana pengendalian
prilaku berpolitik dan sekaligus sebagai
sarana untuk mewujudkan ketertiban
dan keteraturan dalam konteks berpolitik.
Dalam UU Pemilu (UU No. 7 Tahun
2017), banyak sekali norma yang berisi
pedoman atau petunjuk tentang cara
berprilaku dalam berpolitik. Dalam UU
Pemilu juga berisi sejumlah larangan
(norma imperatif) terkait dengan prilaku
berpolitik, serta norma ancaman sanksi
pidana (penjara dan denda), dan bahkan
sanksi administratif bagi mereka yang
sudah terbukti secara hukum melanggar
larangan atau menyimpang dari UU
Pemilu.
Praktik money politics adalah salah
satu prilaku berpolitik yang dilarang
(tercela) dalam proses penyelenggaraan
Pemilu. Hal itu terbaca dalam Pasal
280 ayat (1) huruf j UU Pemilu, yang
menyebutkan bahwa pelaksana, peserta,
dan tim kampanye Pemilu dilarang
menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya kepada peserta kampanye.
Lalu, Pasal 284 UU Pemilu mempertegas
larangan money politics tersebut, sebagai
berikut:
Dalam hal terbukti pelaksana dan
tim kampanye Pemilu menjanjikan
atau memberikan uang atau materi
lainnya sebagai imbalan kepada peserta
Kampanye Pemilu secara langsung atau
tidak langsung untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan
memilih Peserta Pemilu dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya
tidak sah;
c. memilih Pasangan Calon tertentu;
d. memilih Partai Politik Peserta Pemilu
tertentu; dan/atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu,
dljatuhi sanksi sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini.
Fungsi UU Pemilu sebagai sarana
pengendalikan prilaku berpolitik tidak
hanya berlaku pada masa kampanye,
tetapi juga berlaku pada masa tenang.
Penyelenggaraan Pemilu pada masa
tenang, terdapat norma imperatif untuk
menjaga ketertiban dan keteraturan
Pemilu, yakni dirumuskan dalam Pasal
278, sebagai berikut:
(1) Masa Tenang sebagaimana dimaksud
dalam pasar 276 berlangsung selama
3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan
suara.
(2) Selama Masa Tenang sebagaimana
d i m a ks u d d a l a m ’ Pa s a l 2 7 6 ,
pelaksana, peserta, dan/atau tim
Kampanye Pemilu Presiden dan wakil
Presiden dilarang menjanjikan atau
memberikan imbalan kepada pemilih
untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. memilih Pasangan Calon;
c. memilih Partai Politik Peserta
pemilu terttentu;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota; dan/atau
e. memilih calon anggota DPD
tertentu.
Aminuddin Kasim & Supriyadi
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 23
23
12/12/19 11:36 AM
Dalam Pemilu 2019 yang lalu, fungsi
UU Pemilu sebagai saranat pengendalian
perilaku berpolitik maupun sebagai
sarana dalam mewujudkan ketertiban
dan keteraturan berpolitik, tampak tidak
berjalan secara maksimal. Praktik money
politics yang terjadi pada masa kampanye
dan masa tenang telah menabrak
larangan (verbod) dalam Pasal 280 ayat
(1) huruf j, Pasal 284, dan Pasal 278 ayat
(2) UU Pemilu. Mengapa hal itu bisa
terjadi?
Menurut Achmad Ali (1996:100),
bahwa terlaksana atau tidak terlaksananya
fungsi hukum sebagai alat pengendalian
sosial, ditentukan oleh dua hal, yaitu: (a)
faktor norma hukumnya sendiri, dan (b)
faktor pelaksana (orang) hukumnya. Lalu,
pertanyaan berikutnya adalah: siapakah
yang dimaksud subjek “pelaksana hukum?
Dengan merujuk pada pendapat Jimly
Asshiddiqie tentang konsep penegakan
hukum, maka subjek “pelaksana (orang)
hukum” mencakup pengertian yang luas.
Lebih jelasnya pendapat beliau, sebagai
berikut:
Ditinjau dari sudut subjeknya,
penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subjek yang luas dan dapat pula
diartikan sebagai upaya penegakan
hukum oleh subjek dalam arti yang
terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu
melibatkan semua subjek hukum
dalam setiap hubungan hukum.
Siapa saja yang menjalankan aturan
normatif atau melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan
hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi
subjeknya itu, penegakan hukum
24
itu hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu
untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu,
apabila diperlukan, aparatur penegak
hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa (Jimly
Asshiddiqie, 2010:1).
Dengan merujuk pada pendapat Jimly
Asshiddiqie tentang konsep penegakan
hukum di atas, maka subjek “pelaksana
hukum” dalam konteks penyelenggaraan
Pemilu tentu tidak hanya anggota Badan
Pengawas Pemilu pada semua tingkatan
dan anggota KPU pada semua tingkatan,
polisi, jaksa, dan hakim, serta advokat.
Akan tetapi semua subjek (orang) yang
terkena dan terikat dengan aturan
larangan praktik money politics. Subjek
yang dimaksud bisa jadi anggota tim
sukses calon peserta Pemilu, anggota
pelaksana kampanye, dan/atau calon
anggota legislatif (Caleg).
Pada Pemilu 2019 lalu, masih banyak
Caleg yang terjerat kasus praktik money
politisc. Adanya praktik money politics
ini jelas menunjukkan bahwa tingkat
ketaatan hukum sebagian Caleg terhadap
larangan praktik money politisc, dinilai
masih rendah. Lalu, bagaimana dengan
Caleg yang tidak melakukan praktik
money politics? Dapatkah kita menyebut
bahwa Caleg yang tidak melakukan
praktik money politics adalah Caleg yang
memiliki ketaatan hukum terhadap aturan
larang money politics?
Jawaban atas pertanyaan di atas,
dapat dijelaskan lewat teori tentang
kategori ketaatan hukum. Menurut
Herbert C. Kelman (dalam Achmad Ali,
Jurnal Adhyasta Pemilu
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 24
12/12/19 11:36 AM
1998:193 dan (Soerjono Soekanto, 1988:
50), ketaatan seseorang terhadap aturan
hukum dibedakan atas tiga kategori,
yaitu:
a. Ketaatan yang bersifat compliance,
yaitu jika seseorang taat terhadap
suatu aturan hukum hanya karena dia
takut terkena sanksi;
b. Ketaatan yang bersifat identification,
yaitu jika seseorang taat terhadap
suatu aturan hukum hanya karena dia
takut hubungan baiknya rusak dengan
seseorang; dan
c. Ketaatan yang bersifat internalization,
yaitu jika seseorang taat terhadap
suatu aturan hukum karena benarbenar dia merasa bahwa aturan
hukum itu sesuai dengan nilai-nilai
intristik yang dianutnya.
Soal ketaatan seseorang terhadap
aturan hukum terkait larangan praktik
money politics dalam UU Pemilu,
sesungguhya tidak terlepas dari etika
berpolitik dan moral. Idealnya, seorang
Caleg sudah harus menahan diri untuk
tidak melakukan praktik money politics
pada masa kampanye atau masa tenang.
Sebab Caleg adalah calon wakil rakyat
yang kelak duduk di tempat terhormat
(lembaga perwakilan rakyat) dan selalu
diperlakukan secara terhormat jika
terpilih melalui proses Pemilu. Oleh
karena itu, dari perspektif etika politik dan
moral, Caleg yang terlibat praktik money
politics, sesungguhnya tidak pantas duduk
ditempat terhormat apabila berusaha
meraih suara pemilih dengan cara-cara
yang tidak terhormat (tercela) dimata
publik.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Gambaran Umum Kasus Money
Politic di Sulawesi Tengah.
Sejak Pemilu 2019 berlangsung
(17 April 2019) hingga menjelang
akhir Juli 2019, sudah lebih dari 20
warga masyarakat yang sempat penulis
wawancarai terkait dengan praktik
money politics yang terjadi pada masa
kampanye dan masa tenang pada Pemilu
2019 yang lalu. Mereka berasal dari
beberapa desa/kelurahan dalam wilayah
hukum yang berbeda (Kabupaten Sigi,
Kota Palu, dan Kabupaten Donggala).
Hasil wawancara mengungkapkan bahwa
mereka tidak hanya mendengar adanya
praktik money politics, tetapi juga
menyaksikan dan bahkan menikmati
praktik money politics itu.
Praktik money politics diwujudkan
dalam bentuk bagi-bagi uang (paling
sedikit Rp.50.000,00.- dan paling banyak
Rp100,000,-), serta barang berupa: beras,
gula, indomie/supermie, kain sarung,
busana muslim (kebanyakan jilbab), sabun
deterjen, dan sebagainya. Ironisnya, ada
3 orang diantara 20 orang yang pernah
diwawancarai mengaku pernah menerima
uang dan bahan makanan dari 3 Caleg
yang berbeda dan dari partai berbeda..
Praktik money politics sebagian besar
terjadi di lokasi pengungsian korban
gempa, likuifaksi, dan tsunami yang
pernah terjadi pada tanggal 28 September
2018 lalu.
Hasil wawancara juga terungkap
bahwa ada 9 Caleg dari partai berbeda
yang pernah melakukan praktik money
politics, tidak ada seorang pun Caleg
yang terlapor ke lembaga Pengawas
Pemilu, apalagi diproses hukum sampai
di pengadilan. Hal ini terkomfirmasi dari
data Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah.
Aminuddin Kasim & Supriyadi
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 25
25
12/12/19 11:36 AM
Dari sebanyak 23 kasus pelanggaran
tindak pidana Pemilu, kasus praktik
money politisc hanya tercatat 6 kasus,
yakni: 2 kasus terjadi di kota Palu, 1 kasus
terjadi di Kabupaten Buol, 2 kasus terjadi
di Kabapaten Sigi, dan 1 kasus terjadi
di Kabupaten Tojo Una-Una. Sementara
13 kasus pidana lainya adalah terkait
dengan penggunaan fasilitas ibadah (5
kasus), penggunaan ijazah palsu (7 kasus),
keterlibatan kepala desa dalam kampanye
(3 kasus), dan manipulasi suara (1 kasus).
4.2 Lemahnya Daya Imperatif dan
Penegakan UU Pemilu
Praktik money politics yang terjadi
pada masa kampanye dan masa tenang
pada Pemilu 2019, jelas menunjukkan
bahwa fungsi UU Pemilu sebagai sarana
pengendalian prilaku berpolitik dan/
atau fungsi normatif dalam menciptakan
ketertiban dan keteraturan dalam
berpolitik, tampaknya belum berjalan
secara efektif. Menurut Tim Peneliti
Perludem (Titi Anggraini, dkk, 2011:
128), bahwa problema utama soal politik
uang adalah apakah tetentuan yang ada
sudah memadai untuk mengawasi dan
menangani politik uang.
Norma imperatif dalam UU Pemilu
tidak hanya terbaca dalam Pasal 278
ayat (2), Pasal 280 ayat (1) huruf j, dan
Pasal 284, tetapi juga terbaca dalam Pasal
521 dan Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2).
Dalam Pasal 521 telah ditegaskan sebagai
berikut:
Setiap pelaksana, peserta, dan/
atau tim Kampanye Pemilu yang dengan
sengaja melanggar Larangan pelaksanaan
kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf
g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana
26
dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Lalu, dalam Pasal 523 ditegaskan
sebagai berikut:
(1) Setiap pelaksana, peserta, dan/
atau tim Kampanye Pemilu yang
dengan sengaja menjanjikan atau
memberikan uang atau materi
lainnya sebagai imbalan kepada
peserta Kampanye Pemilu secara
langsung ataupun tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
280 ayat (1) huruf j dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah).
(2) Setiap pelaksana,peserta dan/
atau tim Kampanye Pemilu yang
dengan sengaja pada Masa Tenang
menjanjikan atau memberikan
imbalan uang atau materi lainnya
kepada Pemilih secara langsung
ataupun tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan
denda paling banyak Rp48.000.000,00
(empat puluh delapan juta rupiah).
UU Pemilu tidak hanya mengandalkan
instrumen hukum pidana yang
berbasis pada teori imperatif untuk
mengendalikan prilaku berpolitik dalam
rangka mewujudkan ketertiban dan
keteraturan berpolitik dalam Pemilu,
tetapi juga mengandalkan instrumen
hukum administrasi. Hal ini juga terbaca
dalam ketentuan Pasal 285 UU Pemilu,
sebagai berikut:
Putusan pengadilan yang telah
Jurnal Adhyasta Pemilu
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 26
12/12/19 11:36 AM
memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 280 dan Pasal
284 yang dikenai kepada pelaksana
Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
yang berstatus sebagai calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota digunakan sebagai dasar
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/
Kota untut mengambil tindakan berupa:
a. pembatalan nama calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dari daftar calon
tetap; atau
b. pembatalan penetapan calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagai
calon terpilih.
Idealnya, semua Caleg dari berbagai
Parpol peserta Pemilu sudah harus
menahan diri ketika mengetahui adanya
larangan praktik money politics pada
masa kampanye dan masa tenang (Pasal
278 ayat (2), Pasal 280 ayat (1) huruf j,
dan Pasal 284 UU Pemilu), dan menahan
diri ketika mengetahui adanya ancaman
sanksi pidana (penjaran dan denda) ketika
melanggar larangan praktik money politics
pada masa kampanye dan masa tenang
(Pasal 521 dan Pasal 523 ayat (1) dan
ayat (2) UU Pemilu). Ketaatan terhadap
aturan di atas sudah harus muncul pada
diri pribadi setiap Caleg, sebab jika
larangan money politics itu dilanggar,
maka akan berakibat pada pembatalan
nama Caleg pada Daftar Calon Tetap
DCT) atau pembatalan penetapan calon
anggota lembaga legislatif (DPR, DPD,
DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/
kota) sebagai calon terpilih (Pasal 285
UU Pemilu).
Pe n u l i s te l a h m e wawa n ca ra i
sebanyak 22 (dua puluh dua) anggota
DPRD Kabupaten/Kota (dari Parpol yang
berbeda) setelah usai memberi materi
pembekalan (orientasi) kepada anggota
DPRD dari 11 (sebelas) kabupaten/kota
se-Sulawesi Tengah. Dari hasil wawancara
yang dilakukan pada waktu dan tempat
yang berbeda, semuanya mengakui
bahwa mereka melakukan bagi-bagi
uang kepada pemilih. Sebagian dari
mereka mengaku melakukan pada masa
kampanye, dan ada sebagian dari mereka
mengaku melakukan pada masa tenang.
Lalu, sebagian dari mereka mengaku
hanya membagi-bagi uang kepada pemilih
sebanyak Rp40 juta, sebagian lainnya
mengaku sampai Rp100 juta, bahkan ada
diantara mereka melakukan bagi-bagi
uang sampai Rp200 juta.
Semua anggota DPRD yang pernah
penulis wawancarai mengaku mengetahui
dan menyadari adanya aturan tentang
larangan money politics. Namun, mereka
terpaksa melakukan hal itu (bagi-bagi
uang) karena alasan mempengaruhi
sikap pemilih untuk menjatuhkan pilihan
kepada mereka. Praktik money politics
itu dilakukan secara rapih agar tidak
diketahui Pengawas Pemilu dan sesama
Caleg baik diinternal Parpol maupun
sesama Caleg dari Parpol yang berbeda.
Harus diakui, bahwa masih banyak
Caleg dari berbagai Parpol peserta Pemilu
yang tidak terjerat kasus money politics.
Bagi Caleg yang tidak terjerat kasus money
politics selama penyelenggaraan Pemilu
2019, bisa digolongkan sebagai Caleg
yang memiliki ketaatan terhadap larangan
money politics. Ketaatan mereka terhadap
larangan money politics harus diapresiasi,
sebab mereka mampu menahan diri (self
control) untuk menjaga integritas Pemilu
Aminuddin Kasim & Supriyadi
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 27
27
12/12/19 11:36 AM
dan tidak menodai proses demokrasi
yang berlangsung. Namun demikian, juga
perlu dilacak apakah Caleg yang tidak
melakukan praktik money politics karena
atas dasar kesadaran bahwa praktik
money politics adalah prilaku berpolitik
yang terlarang dan tercela? Sebab,
sampai saat ini belum ada hasil riset yang
mengungkap kategori ketaatan mereka
terhadap aturan mengenai larangan
money politics, sehingga mengundang
pertanyaan: apakah ketaatan mereka
dalam kategori compliance atau dalam
kategori identification atau kategori
internalization?
Selanjutnya, ada sebanyak 13 Caleg
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/
Kota yang tidak terpilih dari beberapa
Parpol peserta Pemilu yang juga sempat
penulis wawancarai. Mereka pada
umumnya mengakui bahwa praktik money
politics pada Pemilu 2019 masif terjadi
di semua lokasi pengungsian korban
bencana gempa, likufaksi dan tsunami.
Mereka menerima realitas, tidak terpilih
sebagai calon anggota DPRD karena
alasan tidak memiliki uang banyak untuk
mempengaruhi pemilih dengan modus
money politics. Jadi, kategori ketaatan
mereka terhadap larangan money politics
bukan karena takut terkena sanksi pidana
(penjara dan denda) termasuk pencoretan
nama dari DCT (kategori compliance),
juga bukan karena takut hubungan
baiknya rusak dengan seseorang (kategori
identification), misalnya; sesama Caleg di
internal Parpol), lebih-lebih bukan karena
alasan bahwa praktik money politics itu
bertentangan dengan nilai-nilai intristik
yang dianutnya (kategori internalization).
Akan tetapi lebih pada faktor kondisi
keuangan yang tidak mendukung untuk
mempengaruhi pemilih dengan cara
28
money politics. Dengan demikian, faktor
kecukupan modal (uang) yang dimiliki
Caleg ternyata ikut bicara dan berpengaruh
dalam menentukan ketaatan seorang
Caleg terhadap aturan hukum Pemilu.
Menurut Nur Hidayat Sardini (2011:213),
bahwa bagi para calon legislatif, politik
uang merupakan alat untuk menaklukkan
pilihan bebas masyarakat.
Dengan merujuk pada pendapat Jimly
Asshiddiqie (2008) tentang lingkup subjek
penegakan hukum, maka subjek pelaksana
penegakan hukum tentu tidak hanya
Parpol, tetapi juga Caleg yang diusung
Parpol. Idealnya, setiap aktor politik
(Caleg) harus bisa memainkan peran
sebagai subjek penegakan hukum guna
mewujudkan Pemilu yang berintegritas.
Caleg yang tidak melakukan praktik
money politics terlepas dari kondisi
keuangannya yang tidak terbatas, dapat
dikategorikan sebagai Caleg yang memiliki
etika politik serta tanggung-jawab hukum
dan moral untuk menegakkan aturan
hukum Pemilu, khususnya larangan
praktik money politics.
Sebaliknya, Caleg yang melakukan
praktik money politics adalah Caleg
yang tidak memiliki etika politik serta
tanggung-jawab hukum dan moral untuk
menegakkan aturan hukum Pemilu.
Hal ini menjadi tanggung jawab Parpol
pengusung, sebab UU No. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 2 Tahun
2011 (UU Parpol) telah menetapkan,
bahwa salah satu tujuan Parpol adalah
untuk membangun etika dan budaya
politik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara (Pasal 10 ayat
(2) huruf c). Lebih dari itu, UU Parpol
juga menetapkan tentang fungsi Parpol,
yakni melakukan pendidikan politik
Jurnal Adhyasta Pemilu
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 28
12/12/19 11:36 AM
bagi anggota dan masyarakat luas agar
menjadi warga negara Indonesia yang
sadar akan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta melakukan rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan
politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender (Pasal 11). Atas dasar itu,
Parpol yang mengusung para Caleg-nya
dalam Pemilu, ikut bertanggung jawab
secara hukum dan moral jika Caleg yang
diusungnya menodai Pemilu dengan
praktik money politics.
Dengan banyaknya Caleg yang terjerat
kasus money politics pada Pemilu 2019,
menjadi satu penilaian bahwa Parpol
telah gagal melakukan pendidikan politik
kepada kader-kader yang diusungnya. Hal
ini menjadi bahan pembelajaran bagi
Parpol guna memperbaiki kualitas Pemilu
ke depan (Pemilu 2024). Harus diakui,
bahwa selama proses penyelenggaran
Pemilu 2019 berlangsung, para pengurus
Parpol telah berkali-kali melakukan
pertemuan atau rapat tingkat nasional
maupun tingkat daerah dengan seluruh
kader atau Caleg yang diusungnya.
Namun demikian, pertemuan atau
rapat-rapat yang diselenggarakan oleh
berbagai Parpol selama ini, terkesan
minus substansi etika perpolitik santun
dan bermoral.
Filsuf Immanuel Kant mengajarkan
teori imperatif kategoris yang bersandar
pada filsafat moral. Bagi Kant, moral
adalah bagian dari kekayaan batin
manusia yang berlaku universal. Ada
perasaan wajib untuk bertindak, sehingga
ada kehendak baik yang timbul yang
seolah-olah memerintah (imperatif),
tetapi tidak memaksa. Postulat rasio
praktis Kant tersimpul pada salah satu
pertanyaan dari tiga pertanyaan yang
diajukan, yakni; apa yang sebaiknya saya
lakukan (dalam Endang Daruni Asdi,
1995). Bagi Kant, moralitas dan juga
integritas ditentukan oleh kecakapan
akal budi. Dengan menggunakan akal
budi, maka individu dapat mengendalikan
kehendak bebasnya, lalu menyesuaikan
dengan aturan hukum yang telah
disepakati (Ahmad Rafsanjani, 2010).
Jadi, paksaan untuk tidak melakukan
sesuatu yang terlarang menurut hukum
seperti larangan praktik money politics,
idealnya harus timbul dari kesadaran
moral pribadi (perintah yang bersumber
dari diri sendiri).
Harus diakui, bahwa untuk
mewujudkan Pemilu yang demokratis,
beradab, dan berintegritas tanpa noda
money politics, tidak cukup hanya
bersandar pada kemampuan fungsi hukum
beserta kelengkapan norma imperatifnya
(ancaman sanksi pidana penjara dan
denda, serta sanksi administratif), akan
tetapi juga membutuhkan sandaran etika/
moral. Meskipun kaidah hukum dilengkapi
dengan sarana pemaksa (imperatif) yang
dibentuk lewat otoritas negara, namun
kaidah hukum tidak mampu bekerja
sendiri untuk mengendalikan prilaku
dalam konteks kehidupan sosial, termasuk
dalam konteks kehidupan politik.
Untuk mewujudkan Pemilu yang
bersih dari noda money politics, idealnya
harus dimulai dari kesadaran moral
pribadi setiap Caleg. Jika Caleg menilai
bahwa praktik money politics adalah
sesuatu yang terlarang dan tercela, dan
ada paksaan dari dalam dirinya untuk
tidak melanggar larangan itu, maka
harapan untuk mewujudkan Pemilu yang
bersih dari noda money politics, masih
terbuka lebar. Sebab, ketaatan semua
Aminuddin Kasim & Supriyadi
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 29
29
12/12/19 11:36 AM
Caleg terhadap aturan larangan money
politics sudah masuk pada kategori
“internalization”. Jadi, kaidah imperatifnya
bersumber dari kesadaran moral pribadi
masing-masing Caleg.
Selanjutnya, untuk mewujudkan
ketertiban dan keteraturan dalam
berpolitik, hukum dan etika/moral harus
beriringan, bekerja bersama dan saling
melengkapi. Jadi, penegakan hukum
dalam penyelenggaraan Pemilu, tidak
hanya bersandar pada rule of law dan
rule of justice, tetapi juga bersandar pada
rule of ethics.
4.3 Sikap Pemisif Warga Masyarakat
Terhadap Praktik Money Politics.
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/
Kota, serta Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten/Kota telah mengalokasikan
anggaran untuk sosialisasi Pemilu
kepada warga masyarakat. Dalam proses
penyelenggaraan Pemilu 2019, lembagalembaga kepemiluan itu sudah berulang
kali menyelenggarakan sosialisasi Pemilu
yang melibatkan pengurus dan kader
Parpol, tokoh pemuda, tokoh masyarakat,
mahasiswa, dan siswa-siswa Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Soal
larangan praktik politik uang adalah salah
satu materi sosialisasi. Kalaupun bukan
soal politik uang (money politics) yang
dijadikan tema sosialisasi Pemilu, namun
soal money politics selalu mengemuka
pada setiap sesi diskusi pada acara
sosialisasi Pemilu.
Upaya KPU dan jajarannya serta
BAWASLU dan jajarannya dalam mencegah
terjadinya praktik money politics, tidak
hanya dilakukan melalui sosialisasi di
setiap daerah provinsi dan kabupaten/
kota, tetapi juga dilakukan lewat deklarasi
dengan memilih slogan “tolak politik
30
uang”, pamflet, spanduk, stiker, media
cetak, bahkan lewat media elektronik.
Namun demikian, semua cara yang
telah ditempuh oleh KPU dan jajarannya
serta BAWASLU dan jajarannya untuk
mencegah praktik money politics terkesan
tidak efektif. Spirit gerakan moral dengan
slogan “tolak politik uang” atau slogan
“katakan tidak untuk politik uang”, dan
lain-lain slogan yang terkait dengan virus
money politics, terkesan tidak membuat
bergeming para aktor politik (Caleg) yang
ikut Pemilu, terutama bagi mereka yang
memiliki segudang uang.
Dalam kehidupan sosial dan politik,
terutama saat Pemilu dan Pilkada
berlangsung, selalu muncul anomali.
Warga masyarakat cenderung sudah
bersikap permisif terhadap praktik money
politis, bahkan menanti datangnya praktik
money politics itu. Di tengah masifnya
sosialisasi “tolak politik uang” pada
masa kampanye, dan bahkan pada masa
tenang, saat bersamaan juga beredar di
berbagai media sosial seperti “whatsapp”
(WA) dan “facebook” postingan dalam
bentuk gambar dan/atau tulisan yang
berisi pesan atau ajakan “siap menerima
serangan fajar” Bahkan pernah ada
postingan di media sosial yang memasang
besarnya tarif money politics. Tarif untuk
Caleg DPR sebesar Rp150.000,- tarif untuk
Caleg DPRD Provinsi sebesar Rp100.000,, dan tarif untuk Caleg Kabupaten/Kota
sebesar Rp50.000,-. Kenapa bisa terjadi
anomali ini?
Salah satu faktor yang mengkondisikan
sikap permisif warga pemilih terhadap
praktik money politics adalah kondisi sosial
dan ekonomi warga masyarakat pasca
terjadinya bencana alam (gempa, likufaksi,
dan tsunami). Ketika masa kampanye
dimulai hingga pada saat pemungutan
Jurnal Adhyasta Pemilu
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 30
12/12/19 11:36 AM
suara, masih banyak warga masyarakat
korban bencana alam terkonsentrasi di
lokasi-lokasi pengungsian. Dalam kondisi
yang masih serba kekurangan, mereka
selalu menanti datangnya bantuan
baik berupa uang maupun barang.
Bagi Caleg yang bermodal besar dan
bernafsu menjadi anggota DPRD, tentu
memanfaatkan momentum itu untuk
meraih simpati warga agar memilih
Caleg yang memberi bantuan. Menjelang
pemungutan suara berlangsung, terkesan
sulit dibedakan antara bantuan yang
bersifat kemanusiaan dengan money
politics.
UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017)
memang tidak memuat aturan hukum
bagi pemilih yang menerima uang dan/
atau barang pada kasus money politics,
juga tidak ada aturan hukum terkait
pengenaan ancaman sanksi pidana dan/
atau denda bagi pemilih yang menerima
uang dan/atau barang pada kasus money
politics. Berbeda dengan UU Pemilu,
UU Pilkada (UU No. 1 Tahun 2015
sebagaimana telah diubah kedua kali
dengan UU No. 10 Tahun 2016) lebih
impresif dalam mengatur subjek pelaku
money politics beserta ancaman sanksi
pidananya (penjara dan/atau danda).
Ketentuan ancaman sanksi pidana dalam
UU Pilkada menggunakan frasa “setiap
orang” sehingga baik pihak pemberi
(pelaku money politics) maupun pemilih
yang menerima uang dan/atau barang
dalam kasus money politics akan terjerat
dengan Pasal 187A UU Pilkada, yakni
terkait dengan pelanggaran larangan
money politics dalam Pasal 73 ayat (4)
UU Pilkada. Jika merujuk pada pendapat
Jimly Asshiddiqie terkait dengan cakupan
subjek penegak hukum, maka UU Pemilu
(UU. No. 7 Tahun 2017), masih memiliki
kekurangan, sebab tidak memasukkan
setiap orang sebagai subjek penegak
hukum.
Memang disadari bahwa ketentuan
Pasal 187A UU Pilkada juga mengandung
kelemahan, sebab warga masyarakat tidak
akan berani melaporkan kasus money
politics jika dia menerima uang dan/atau
barang dari peserta pemilihan dan/atau
tim kampanye. Hal ini belajar dari kasus
pemilihan kepala daerah di kabupaten Pati
pada Pilkada Serentak 2017. Dari 14 kasus
money politics yang sementara ditangani
oleh Panwas Kabupaten Pati, ada 10 kasus
laporan tidak diteruskan penanganannya
karena saksi pelapor (penerima politik
uang) mencabut laporannya setelah
mengetahui bahwa dirinya juga terjerat
ketentuan Pasal 187A UU Pilkada (Abhan,
dkk, 2017: 79).
Kalaupun UU Pemilu ke depan
ingin memperkuat daya imperatifnya
dalam mencegah praktik money politics,
rumusan Pasal 187A UU Pilkada bisa saja
diterapkan sepanjang dengan catatan
bahwa bagi warga masyarakat yang
terlibat praktik money politics (penerima
uang dan/atau barang) namun berani
melaporkan kasus itu kepada Pengawas
Pemilu, perlu dikecualikan dari jeratan
sanksi pidana kasus money politics.
Penerapan ketentuan semacam itu, selain
dapat menstimulasi dan menumbuhkan
keberanian warga masyarakat untuk
melaporkan kasus money politics, juga
mengandung nilai edukasi bagi warga
masyarakat agar membiasakan diri untuk
tidak terlibat dalam kasus money politics,
dan memberi efek jera kepada Caleg yang
melakukan money politic.
Aminuddin Kasim & Supriyadi
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 31
31
12/12/19 11:36 AM
5. Simpulan
Bertolak dari hasil dan pembahan
yang ternarasikan di atas, terdapat
beberapa catatan sebagai simpulan dari
artikel ini. Pertama, bahwa meskipun
Pemilu Serentak 2019 telah sukses
menyelesaikan semua tahapan Pemilu,
namun Pemilu Serentak juga menorehkan
catatan noda terkait dengan masif dan
banyaknya praktik money politics. Hal ini
patut dijadikan pelajaran berharga guna
mewujudkan Pemilu yang demokratis dan
berintegritas ke depan (Pemilu 2024)..
Kedua, banyaknya praktik money politics
yang terjadi pada Pemilu Serentak 2019,
jelas menunjukkan bahwa penegakan
hukum Pemilu belum sesuai yang
diharapkan. Sebab, UU Pemilu tidak
menggunakan frasa “setiap orang” dalam
menjaring pelaku money politics. Ketiga,
banyaknya praktik money politics yang
32
terjadi pada Pemilu Serentak 2019, jelas
menunjukkan bahwa fungsi UU Pemilu
sebagai sarana pengendalian prilaku
dalam berpolitik, tampak belum berjalan
secara efektif. UU Pemilu belum memiliki
daya imperatif yang kuat dalam menekan
atau mencegah masifnya praktik money
politics. Keempat, Pemilu Serentak
2019 memunculkan anomali. Warga
masyarakat (pemilih) cenderung permisif
dalam menerima kehadiran praktik
money politics. Meskipun banyak warga
masyarakat yang menolak, mencela,
dan membenci praktik money politics,
namun masih ada sebagian warga
masyarakat menanti kapan lagi datangnya
praktik money politics. Praktik money
politics ibarat syair lagu yang pernah
dipopulerkan oleh Diana Nasution:
dibenci, tapi juga dirindukan (Benci tapi
Rindu).
Jurnal Adhyasta Pemilu
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 32
12/12/19 11:36 AM
DAFTAR PUSTAKA
Abhan, dkk, (2017), Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong (Potret Pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati Tahun 2017.CV. Rafi Sarana Perkasa,Semarang.
Ali, Achmad (1996), Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Chandra Pratama, Jakarta.
Ali, Achmad (1998), Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, PT. Yasrif Watampone,
Jakarta.
Anggraini, Titi (2011), Menata Kembali Pengaturan Pemilu Kada, Perludem, Jakarta.
Asdi, Endang Daruni (1995), Imperatif Kategoris Dalam Filsafat Moral Immanuel Kant,
Artikel dalam Jurnal Filsafat, 23 Nopember 1995, Yogyakarta, hlm. 10-12.
Assiddiqie, Jimly (2010), Penegakan Hukum, Makalah, Universitas Indonesia, Jakarta.
Dirdjosisworo, Soedjono (2010), Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Husen, Harun (2014), Pemilu Indonesia (Fakta, Angka, Analisis, dan Studi Banding),
Perludem, 2014.
Rafsanjani, Ahmad (2010), Korupsi dan Moralitas Pemimpin, Opini dalam Harian
Pikiran Rakyat, Edisi 10 Desember 2010.
Sardini, Nur Hidayat (2011), Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia, Fajar
Media Press, Jakarta.
Soekanto, Soerjono (1981), Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung.
Soekanto, Soerjono (1986), Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni,
Bandung.
Dokumen (Hukum)
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
• Putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor: 14/Pid.B/2019/PN Pal (Pemilu), serta
dikuatkan dengan putusan banding oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah (Putusan
PT Nomor: 71/Pid.Sus/2019/PT PAL).
• Data Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu Tahun 2019, Bawaslu RI, Jakarta.
• Data Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu 2019, Bawaslu Sulteng, Palu.
• Berita Hukum Online, Selasa, 22 April 2014, Kasus Pidana Pemilu di Polri Didominasi
Politik Uang, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53563f475f480/kasuspidana-pemilu-di-polri-didominasi-politik-uang/
• http://rumahpemilu.org/perludem-rekomendasikan-perbaikan-penegakan-hukumpidana-pemilu/.
Aminuddin Kasim & Supriyadi
01 JURNAL BAWASLU 2019 CETAK.indd 33
33
12/12/19 11:36 AM