[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Scanned by CamScanner Politik Uang dan Pilkada Dian Permata1 Abstraksi 1. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi. Indikator sukses atau tidak sebuah pemilu ditentukan oleh tiga hal penting. Proses penyelenggaraannya, aturan hukum, dan penegakan hukum. Pada proses penyelenggaraannya adalah pesertanya, tahapannya, logistik, dan distribusi, serta pemantau dan partisipasi masyarakat. Mengenai aturan hukumnya adalah bagaimana seluruh aturan dilaksanakan, menyangkut sistem pemilu, serta metode pemilihan, metode pencalonan, pemberian suara, serta metode penetapan pemenangnya. Sedangkan terkait penegakan hukumnya adalah bagaimana seluruh aturan pemilu itu dilaksanakan dengan baik dan konsisten tanpa pandang bulu. Satu komponen penting untuk keberhasilan pemilu juga ditentukan oleh peran penyelenggara pemilu yang profesional dan berwibawa. Sehingga mampu membangun demokrasi yang lebih berkualitas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu dan didukung oleh jajaran sampai tingkat yang paling bawah melalui Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dituntut agar mampu mewujudkan kepastian hukum, tertib hukum, keterbukaan, profesional, jujur dan adil berdasarkan hukum dan etika dengan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas. Penyelenggara pemilu juga berkewajiban untuk menjaga dan melindungi hak-hak politik dan kedaulatan rakyat untuk menyalurkan hak pilihnya dalam setiap pelaksanaan pemilu2. Sebagai sebuah mekanisme, pemilu diharapkan dapat dilaksanakan secara bebas dan setara (free and fair). Dimana sistem pemilu menjamin hak individu dan adanya sistem kontrol bagi menajemen pelaksanaan pemilu. Sukses dari pemilu kemudian ditentukan oleh penerimaan dari seluruh partisipan pemilu (partai politik dan kandidat) secara bulat (legitimate) dan mengikat (binding)3. Dalam pelaksanaanya, pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Pemilu yang dinilai sebagai pesta demokrasi rupanya belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena, di dalam proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi kecurangan yang dilakukan oleh para peserta pemilu. Salah satu kecurangan pemilu adalah adanya praktik politik uang. Karena itu, tidak bisa dipungkiri, tantangan besar demokratisasi di Indonesia adalah merebaknya politik uang dalam setiap pelaksanaan pemilu. Di beberapa daerah fenomena ini terlihat dan dilakukan terbuka secara kasat mata. Baik itu dilakukan oleh kandidat maupun tim suksesnya. Larry Diamond (2003: 16-17) memberikan sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang dia sebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy). 1 Penulis adalah Peneliti Senior di Founding Fathers House (FFH) dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) http://setkab.go.id/evaluasi-penyelenggaraan-pileg-dan-pilpres-contoh-kasus-sulawesi-tenggara/. Diakses 20 November 2016 3 Ethical Principle 1, Ethical and Professionals Administration of Elections, IDEA International, 1996 2 Indikatornya dalam demokrasi yang belum matang seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan. Penyelenggara pemilu berupaya melokalisir praktik politik uang. Sanksi pidana sudah menunggu bagi pelaku. Kendati demikian, Dalam pelbagai laporan di media massa dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), praktik politik uang masih kerap terjadi. Bahkan, sejumlah kalangan menilai bahwa hampir semua pemilihan politik di semua wilayah dan tingkatan sudah teracuni virus praktik politik uang. 2. Rumusan Masalah Bagaimana persepsi dan reaksi masyarakat DKI Jakarta atas terjadinya praktik politik uang pada pemilu yang dilakukan peserta pemilu? 3. Metodelogi Penelitian 3.1. Populasi dan Objek Penelitian Populasi dalam penelitian adalah seseorang yang memiliki hak suara atau politik. Seperti sudah berusia 17 tahun ke atas atau sudah pernah menikah. 3.2. Sampel dan Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan tehnik pencuplikan secara rambang berjenjang (multi stage random sampling). Jumlah sampel penelitian ini adalah 400 responden. Margin of error ± 4.9 persen. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen. (Aropi, 2009: 69-70) N = Z². p (1-p) E² Z = Nilai table z dengan tingkat kepercayaan 95% P = Variasi dari populasi dalam proporsi E = Sampling error yang dikehendaki 3.3. Distribusi Sampel Responden 2000 responden sampel responden didistribusikan kelima (5) kotamadya di Provinsi DKI Jakarta. Pembagian jumlah sampel responden ditentukan berdasarkan jumlah pemilik hak pilih disetiap kecamatan menurut yang dikeluarkan oleh KPU Pusat. 3.4. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan daya dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara tatap muka dan mendalam4 dengan bantuan kuisioner. 3.5. Tehnik Analisis Data Tehnik analisis data yang digunakan adalah tehnik analisis statistic dengan memanfaatkan software SPSS. 3.6. Locus dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan diilaksanakan pada 9 Mei – 9 Juni 2012 di lima (5) Kotamadya di Provinsi DKI Jakarta 4. Tinjauan Pustaka 4.1. Uang dan Politik Politik dan uang merupakan pasangan yang sangat sulit dipisahkan. Aktivitas politik memerlukan uang (sumber daya) yang tidak sedikit, terlebih dalam kampanye pemilu. Terdapat empat faktor dalam kampanye pemilu, yaitu kandidat, program kerja dan isu kandidat, organisasi kampanye (mesin politik) dan sumber daya (uang). Akan tetapi uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh; tanpa uang maka ketiga faktor lainnya menjadi sia-sia. Seorang pakar politik mengatakan: “Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it” (Uang saja tidak cukup, tapi uang sangat berarti bagi keberhasilan kampanye 5. Uang adalah sumber utama bagi kekuatan politik dalam memenangkan kekuasaan atau tetap mempertahankan kekuasaan. Uang dalam politik merupakan hal yang instrumental. Kegunaanya terletak pada bagaimana ia digunakan untuk memeroleh pengaruh politik dan mendapatkan kekuasaan. Karakteristik uang memberikan kemudahan. Uang dapat diubah ke berbagai macam sumber daya. Sebaliknya, berbagai macam sumber daya dapat diubah ke dalam uang. Uang juga dapat membeli barang, keahlian, dan layanan. Sebaliknya juga demikian. Barang-barang, layanan, dan keahlian dapat dinilai dengan sejumlah uang. Tentu saja pemilik uang akan memunyai pengaruh politik bagi. 4.2. Politik Uang Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan 4 Wawancara mendalam (depth interview) merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti melakukan kegiatan wawancara tatap muka secara mendalam dan terus-menerus (lebih dari satu kali) untuk menggali informasi dari responden (Kriyantono, 2009:63) 5 Jacobson seperti yang dikutip oleh Fahmy Bado & Lucky Djani. 2010. Korupsi Politik di Indonesia, Jakarta, Indonesia Corruption Watch gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan6. Istilah politik uang ialah menggunakan uang untuk memengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini uang dijadikan alat untuk memengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan7. Dengan adanya politik uang maka putusan yang dihasilkan tidaklah lagi berdasarkan realita mengenai baik tidaknya keputusan tersebut. Melainkan semata-mata didasarkan oleh kehendak si pemberi uang. Karena yang bersangkutan sudah merasa diuntungkan. Politik uang (money politics) dapat diartikan sebagai upaya memengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilhan umum suatu Negara (Ismawan, 1999:5). 4.2.1. Bentuk Politik Uang A. Uang Uang adalah sumber daya yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Ia menjadi acuan bagi setiap transaksi atau manuver Individual dan sebagai alat tukar menukar. Uang merupakan faktor utama yang berguna untuk mendongkrak personal seseorang, sekaligus untuk mengendalikan wacana strategis terkait dengan sebuah kepentingan politik dan kekuasaan. Karena dasarnya, politik adalah seni. Dimana seseorang leluasa memengaruhi dan memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya pada pihak lain melalui berbagi sarana, termasuk uang (Nugraha, 2001:95). Hermawan Sulistiyo (2000:20) mengatakan, uang salah satu modal politi. Uang merupakan salah satu alat yang digunakan untuk menghasilkan kekuasaan politik, ini terjadi di Indonesia. Sehingga, perputaran untuk mendapatkan suara terbanyak maka uang dijadikan sebagai kebutuhan dasar sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan dalam meraih kekuasaan. B. Fasilitas Umum Para peserta pemilu menggunakan beragam cara untuk meraih simpati masyarakat atau pemilih. Gerakan tebar pesona dan tarik simpatis salah satunya. Saat masa perhelatan kontestasi pemilu, pemberian fasilitas- fasilitas umum juga dilakukan. Seperti memberikan semen, pasir, dan lainnya. Tujuannya untuk memanfaatkan masalah pembangunan yang belum selesai di dibangun di sebuah daerah. 6 7 https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang. Diakses 18 Desember 2016 Ebin Danius, Politik Uang dan Uang Rakyat, Universitas Halmahera, 1999, dalam www.uniera.ac.id/pub/1/1/ Parsudi Suparlan (1992) mengatakan, sejatinya tidak ada pemberian (hibah) yang sifatnya cuma-cuma. Karena, segalanya bentuk pemberian pada dasarnya akan selalu diikuti dengan sesuatu pemberian kembali berupa imbalan dalam bentuknya yang beragam. Karena itu, yang terjadi bukanlah sebatas pemberian dari seseorang kepada orang lain. Melainkan suatu sistem tukar menukar pemberian yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok yang saling member, dimana pihak penerima akan berusaha mengimbanginya. Ramlan Surbakti mengatakan, dalam pemilukada, politik uang memiliki varian yang lebih kompleks, yaitu berupa8: a. Untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa perahu” 9, baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar. b. Calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Syamsuddin Haris mengatakan, parpol dalam mengusung calon di pilkada lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang bersangkutan. Dalam rekrutmen, lebih terkesan para sang calon yang membutuhkan “perahu” parpol10. Ketika pemilihan Gubernur Riau misalnya, seorang kandidat harus menyediakan “uang pinangan” sedikitnya Rp 400 juta per kursi demi mendapatkan “perahu”. Menurut Wahyudi Kumorotomo, cara yang digunakan dalam melakukan politik uang yaitu dalam pilkada langsung ada beragam. Seperti pembayaran tunai dari tim sukses calon tertentu kepada konstituen yang potensial, sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang telah mendukungnya, atau sumbangan wajib yang disyaratkan oleh suatu parpol kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota. Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya 11. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin meningkat, dan ongkos demokrasi semakin tinggi. Bukan hanya terjadi dalam pemilukada saja, bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik politik uang di masyarakat telah berlangsung 8 Ramlan Surbakti, Kompas, 2 April 2005 dalam Luthfi J. Kurniawan, Peta Korupsi di Daerah, (MCW and Yappika, 2006), h. 229 Sewa perahu adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyatakan harga yang dibayar agar dapat dicalonkan oleh suatu parpol 10 Syamsuddin Haris, Kecenderungan Pencalonan dan Koalisi Pilkada, 30 November 2006 dalam www.komunitasdemokrasi. or.id/article/pilkada dalam Fitriyah, “Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013 11 Wahyudi Kumorotomo, “Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung” 9 dari pemilu ke pemilu. Hal itu biasa dilakukan oleh para kandidat maupun parpolnya dengan beragam cara, baik dengan cara konvensional berupa pemberian berbentuk uang, baik itu sedekah yang biasa dikenal dengan serangan fajar maupun transportasi kampanye, pemberian sembako seperti beras, minyak dan gula kepada masyarakat, pemberian dalam barang seperti alat ibadah, fasilitas sosial, pemberian kupon yang akan diuangkan pasca pemilu dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya kepada peserta pemilu yang bersangkutan. Praktik politik uang ini banyak dilakukan oleh peserta pemilu. Ironisnya, praktik ini tidak tersentuh oleh penegakan hukum akibat sebagian masyarakat menganggap sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan banyak anggota masyarakat menganggap politik uang sebagai rejeki musiman yang sayang ditolak. Politik uang tumbuh subur. Ini karena didukung kecenderunganan masyarakat yang permisif. Selain itu, mengganggap politik uang sebagai biaya ganti rugi dari para kontesta. Alasannya, pada hari pemilihan mereka tidak pergi bekerja, ke ladang ataupun sawahnya. Sehingga politik uang dianggap sebagai kesempatan mendapatkan rejeki. 4.2.2. Penyebab Politik Uang Ada dua (2) subjek yang menyebabkan terjadinya praktik politik uang. Pertama, peserta pemilu (calon presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif). Kedua, masyarakat sebagai pemilih. Salah satu alasan mengapa para peserta pemilu melakukan politik uang adalah mereka takut kalah bersaing dengan peserta pemilu lainnya. Bagi peserta pemilu yang baru pertamakali ikut kontestasi pemilu maka ia masih mencari bentuk pola pemberian politik uang kepada pemilih. Sedangkan peserta pemilu yang pernah ikut dalam kontestasi sebelumya dan ia terpilih atau menang maka ia lebih ahli dalam politik uang. Alasan lainnya adalah adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para peserta pemilu yang kemudian hari menjadi calon pemimpin. Hal ini memberikan efek negatif bagi para peserta pemilu. Untuk mengatasi masalah tersebut, para pesera pemilu memilih jalan singkat menghambur-hamburkan uang yang dibagikan kepada pemilih. Harapannya, simpati pemilih didapat para peserta pemilu. Pada proses ini maka masyarakat merasa berhutang budi pada para peserta pemilu yang memberikan uang tersebut. Ada beberapa faktor mengapa banyak rakyat yang terlibat dalam politik uang, antara lain pertama, masyarakat miskin. Angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjan. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Politik uang pun menjadi ajang para rakyat untuk berebut uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima yaitu, tindakan suap dan jual beli suara yang jelas melanggar hukum. Yang terpenting adalah mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik.Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik. Itu semua bias disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia. Sehingga ketika ada pesta politik, seperti pemilu, masyarakat tersebut akan bersikap acuh dengan pemilu. Tidak mengenal partai, tidak masalah.Tidak tahu calon anggota legislatif, tidak masalah. Bahkan mungkin, tidak ikut pemilu pun tidak masalah.Kondisi seperti ini menyebabkan maraknya politik uang. Rakyat yang acuh dengan pemilu dengan mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu.Politik uang pun dianggap tidak masalah bagi mereka. Mereka tidak akan berpikir jauh ke depan bahwa uang yang diberikan itu suatu saat akan 'ditarik' kembali oleh para caleg yang nantinya terpilih menjadi anggota legislatif. Mereka tidak menyadari adanya permainan politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri. Ketiga, kebudayaan. Saling memberi dan jika mendapat rejeki, tidak boleh ditolak. Begitulah ungkapan yang nampaknya telah melekat dalam diri bangsa Indonesia.Uang dan segala bentuk politik uang dari peserta pemilu dianggap sebagai rejeki bagi masyarakat yang tidak boleh ditolak. Dan karena sudah diberi, secara otomatis masyarakat harus memberi sesuatu pula untuk peserta pemilu, yaitu dengan memilih, menjadi tim sukses, bahkan ikut menyukseskan politik uang demi memenangkan peserta pemilu tersebut. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai ungkapan terimakasih dan rasa balas budi masyarakat terhadap caleg yang memberi uang. Dalam hal ini kebudayaan yang sejatinya bersifat benar dan baik, telah melenceng dan disalahartikan oleh masyarakat.Saling memberi tidak lagi dalam hal kebenaran melainkan untuk suatu kecurangan. Masyarakat tradisional yang masih menjunjung tinggi budaya ini menjadi sasaran empuk bagi para caleg untuk melakukan politik uang tanpa dicurigai. 4.2.3. Dampak Politik Uang Secara langsung dampak politik uang akan melatih masyarakat untuk bertindak curang. Suara hari nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi kepentingan. Ini berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktik politik uang. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan. Pemilu tidak lagi berdasarkan prinsip bebas dan jujur. Pemilu tidak lagi bebas, artinya pilihan seseorang tidak lagi sesuai dengan keinginannya. Seseorang mendapat tekanan dan paksaan untuk memilih caleg. Pemilu, tidak lagi jujur, artinya telah terjadi kecurangan dalam pemilu dengan cara membeli suara. Jika dibiarkan, praktik politik uang akan mengendap dan melekat dalam diri bangsa Indonesia. Praktik politik uang ini berakibat pada pencitraan yang buruk serta terpuruknya partai politik. Dan Indonesia akan semakin jauh dari sebutan Negara Demokrasi12. 4.3. Persepsi Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Sugihartono, dkk (2007: 8) mengemukakan, persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang memersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan memengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata. Bimo Walgito (2004: 70) mengatakan, persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu. Sehingga, menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang tergabung dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam memersepsikan sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Setiap orang memunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya yakni pengetahuan, pengalaman, dan sudut pandangnya. Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun negatif ibarat file yang sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar kita. File itu akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya, ada kejadian yang membukanya. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi, 2006: 118). Jalaludin Rakhmat (2007: 51) menyatakan, persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan Suharman (2005: 23) menyatakan, persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia. Katadia, ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan kognisi manusia. Pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian. 12 http://www.hukumpedia.com/hasunachan/sebab-akibat-politik-uang-pada-pemilu. Diakses 19 Desember 2015 Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. 4.3.1. Syarat Terjadinya Persepsi Sunaryo (2004: 98) syarat-syarat terjadinya persepsi adalah sebagai berikut: 1. Adanya objek yang dipersepsi 2. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi. 3. Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus 4. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon. 4.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Miftah Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut; 1. Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi. 2. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek. Bimo Walgito (2004: 70) faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat dikemukakan beberapa faktor, yaitu: 1. Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. 2. Alat indera, syaraf dan susunan syaraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan motoris yang dapat membentuk persepsi seseorang. 3. Perhatian Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu sekumpulan objek. Faktor-faktor tersebut menjadikan persepsi individu berbeda satu sama lain dan akan berpengaruh pada individu dalam mempersepsi suatu objek, stimulus, meskipun objek tersebut benar-benar sama. Persepsi seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun situasinya sama. Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaanperbedaan individu, perbedaan- perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau perbedaan dalam motivasi. Pada dasarnya proses terbentuknya persepsi ini terjadi dalam diri seseorang, namun persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman, proses belajar, dan pengetahuannya. 4.3.3. Proses Persepsi Miftah Thoha (2003: 145), proses terbentuknya persepsi didasari pada beberapa tahapan. Pertama, stimulus atau rangsangan. Terjadianya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu stimulus atau rangsangan yang hadir dari lingkungannya. Kedua, registrasi. Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat mendengarkan atau melihat informasi yang terkirim kepadanya. Kemudian mendaftar semua informasi yang terkirim kepadanya tersebut. Ketiga, interprestasi. Interprestasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya. Proses interprestasi bergantung pada cara pendalamannya, motivasi dan kepribadian seseorang. 5. Hasil Penelitian 5.1. MengujiKualitas Data dengan BPS Untuk menguji kualitas proporsionalitas responden maka peneliti menggunakan instrumen pembanding dari Badan Pusat Statistik (BPS) yakni soal jumlah jenis kelamin. Data yang diperoleh peneliti, sebaran repponden laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen. Perbandingan sebaran sampel responden dalam penelitian ini dengan perbandingan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin data BPS masih dalam toleransi Margin of Error yang telah ditentukan sebelumnya sebesar ± 2.19 persen. KATEGORI SAMPEL (n=2000) MEI - JUNI 2012 2009 2008 50.00 50.00 49.01 50.99 49.10 50.90 JENIS KELAMIN (%) LAKI-LAKI PEREMPUAN DATA BPS 5.2. Demograpi Umur Responden Dari hasil penelitian, 2000 responden dapat dimasukkan ke dalam beberapa golongan kategori umur. Kategori umur 15-19 tahun sebesar 3.10 persen. 20-24 tahun 6 persen. 25-29 tahun 8.8 persen. 30-34 tahun 10.90 persen35-39 tahun 14.2 persen. 4044 tahun 14.6. 50-54 tahun 11 persen. 55-59 tahun 6.1 persen. 60-64 tahun 7.20 persen. 65 tahun ke atas 5.1 persen. KATEGORI UMUR 15 – 19 Tahun 20 – 24 Tahun 25 – 29 Tahun 30 – 34 Tahun 35 – 39 Tahun 40 – 44 Tahun 45 – 49 Tahun 50 – 54 Tahun 55 – 59 Tahun 60 – 64 Tahun >65 Tahun SAMPEL (%) 3.10 6.00 8.80 10.90 14.20 14.60 13.10 11.00 6.10 7.20 5.10 5.3. Demograpi Pendidikan Responden Dari hasil penelitian, 2000 responden dapat dimasukkan ke dalam beberapa golongan jenjang pendidikan. Tidak pernah sekolah sebesar 1.8 persen. Pernah sekolah SD, tapi tidak tamat 2. Tamat SD 14 persen. Pernah sekolah SLTP, tapi tidak tamat 1.7 persen. Tamat SLTP 14.9 Pernah sekolah SLTA, tapi tidak tamat 1.8 persen. Tamat SLTA 48 persen. Tamat program diploma atau sarjana muda 1.6 persen. Pernah kuliah, tapi tidak tamat 5.8 persen. Tamat program sarjana strata satu 7.4 persen. Tamat program pasca sarjana 1persen. JENJANG PENDIDIKAN SAMPEL (%) Tidak pernah sekolah Pernah sekolah SD, tapi tidak tamat Tamat SD Pernah sekolah SLTP, tapi tidak tamat Tamat SLTP Pernah sekolah SLTA, tapi tidak tamat Tamat SLTA Tamat program diploma (sarjana muda) Pernah kuliah, tapi tidak tamat Tamat program sarjana (S-1) Tamat program pasca sarjana (S-2/S-3) 1.80 2.00 14.00 1.70 14.90 1.80 48.00 1.60 5.80 7.40 1.00 5.4. Demograpi Pekerjaan Responden Dari hasil penelitian, 2000 responden dapat dimasukkan ke dalam beberapa jenis pekerjaan.PNS sebesar 4 persen. Pensiunan PNS/ TNI/ Polri sebesar 3.4 persen. Pegawai BUMN/BUMD 0.8 persen. Pegawai swasta 29 persen. Petani 0.1 persen. Nelayan 0.2 persen. Pengusaha 1.3 persen. Wirausaha atau warung atau kios 13.7 persen. Pedagang kecil atau pedagang keliling atau asongan atau kaki lima atau ojek 5.4 persen. Ibu rumah tangga 32 persen. Pelajar atau mahasiswa 3.4 persen. Pengangguran atau tidak bekerja 4.2 persen. Pekerjaan lainnya 2.6 persen. JENIS PEKERJAAN SAMPEL (%) Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pensiunan (PNS/TNI/Polri) Pegawai BUMN/BUMD Pegawai Swasta Petani Nelayan Pengusaha Wirausaha kecil (warung/Kios) Pedagang kecil/pedagang keliling/asongan/K-5/ojek/supir angkot Ibu rumah tangga Pelajar/mahasiswa Pengangguran/tidak bekerja Pekerjaan lainnya 4.00 3.40 0.80 29.00 0.10 0.20 1.30 13.70 5.40 32.00 3.40 4.20 2.60 5.5. Pemilih Menerima atau Menolak Uang atau Sembako atau Bentuk Lainnya? Dalam riset, peneliti menggali pertanyaan tentang politik uang dengan menggunakan metode pertanyaan tertutup. Bentuk pertanyaan sebagai berikut: Apakah Bapak/Ibu/Saudara (B/I?S) akan menerima atau menolak pemberian uang atau sembako atau barang lainnya dari para calon gubernur-wakil gubernur atau tim sukses kepada pemilih? Jawaban yang didapat, 52.4 persen menerima. 35.1 menolak. 12.6 tidak menjawab atau tidak tahu. 5.6. Alasan Menerima Uang atau Sembako atau Bentuk Lainnya Responden ditanyakan dengan menggunakan metode pertanyaan terbuka. Pertanyaan ini hanya diberikan kepada responden yang menerima saja. Sejumlah jawaban yang diberikan dikelompokan oleh peneliti berdasarkan kesamaan jabawan diantara para responden. Jawaban yang didapat, 32.5 persen karena rejeki tidak boleh ditolak. 9.4 persen untuk keperluan seharihari. 5.7 persen terima asalkan tanpa syarat. 1.9 karena memberikan apresiasi terhadap yang memberikan. 1.8 persen untuk menambah uang dapur atau sembako. 47.9 persen tidak menjawab atau tidak tahu. 5.7. Alasan Menolak Uang atau Sembako atau Bentuk Lainnya? Responden ditanyakan dengan menggunakan metode pertanyaan terbuka. Pertanyaan ini hanya diberikan kepada responden yang menolak saja. Sejumlah jawaban yang diberikan dikelompokan oleh peneliti berdasarkan kesamaan jabawan diantara para responden. Responden ditanyakan dengan menggunakan metode pertanyaan terbuka Jawaban yang didapat, 16.9 persen karena tidak etis/tidak teladan/tidak bermoral/tidak jujur. 11.2 persen karena merupakn politik uang atau suap. 3.3 persen karena harga diri tidak bisa diperjualbelikan. 1.8 persen karena masuk kategori perbuatan dosa. 1.5 persen karena tidak yakin dengan janji meeka selama kampanye. 0.1 persen karena jumlah yang diberikan sedikit. 5.8. Pilihan Uang atau Sembako atau Bentuk Lainnya? Pertanyaan ini hanya diberikan kepada responden yang menerima saja. Responden ditanyakan dengan menggunakan metode pertanyaan tertutup. 88.2 persen memilih uang. 11.8 persen memilih sembako atau lainnya. 5.9. Berapa Besaran Uang Yang dimau? Responden ditanyakan dengan menggunakan metode pertanyaan terbuka. Pertanyaan ini hanya diberikan kepada responden yang menerima saja. Sejumlah jawaban yang diberikan dikelompokan oleh peneliti berdasarkan kesamaan jabawan diantara para responden. 4.5 persen menjawab 25 ribu hingga 50 ribu. 16 persen menjawab 51 ribu hingga 75 ribu. 30.5 persen menjawab 76 ribu hingga 100 ribu. 23 persen menjawab 101 ribu hingga 125 ribu. 18 persen menjawab 126 ribu hingga 150 ribu. 8 persen menjawab di atas 150 ribu. 5.10. Kelompok Masyarakat Rentan Terkena Politik Uang Berdasarkan gender Data ini dihasilkan menggunakan metode crosstabulation analyse. Jawaban dari respoden mengenai gender dan soal apakah respoden akan menerima atau menolak pemberian Responden memilih/menolak pemberian sejumlah uang atau sembako uang/sembako dari para cagub dan cawagub kepada pemilih atau barang lainnya Menerima Menolak TT/tidak menjawab dari para calon Laki-laki 49.3% 37.8% 13.0% gubernur-wakil gubernur atau tim Perempuan 55.6% 32.3% 12.1% sukses kepada pemilih disatukan mengunakan software spss. Dari data didapati, perempuan adalah kelompok masyarakat yang rentan kena godaan politik uang. 5.11. Kelompok Masyarakat Rentan Terkena Politik Uang Berdasarkan Usia Data ini dihasilkan Responden memilih/menolak pemberian sejumlah menggunakan metode uang/sembako dari para cagub dan cawagub kepada pemilih crosstabulation Menerima Menolak TT/tidak menjawab analyse. Jawaban dari 56.5% 32.3% 11.3% respoden mengenai 15 - 19 th 45.4% 43.7% 10.9% usia dan soal apakah 20 - 24 th respoden akan 25 - 29 th 48.3% 39.2% 12.5% menerima atau 30 - 34 th 51.4% 36.7% 11.9% menolak pemberian 59.9% 28.9% 11.3% uang atau sembako 35 - 39 th 52.9% 33.0% 14.1% atau barang lainnya 40 - 44 th dari para calon 45 - 49 th 52.7% 33.2% 14.1% gubernur-wakil 50 - 54 th 56.1% 33.0% 10.9% gubernur atau tim 55 - 59 th 51.6% 38.5% 9.8% sukses kepada pemilih 60 - 64 th 49.0% 35.7% 15.4% disatukan 42.2% 43.1% 14.7% mengunakan software 65 th <= spss. Dari data didapati, usia 35-39 dan 15-19, kelompok masyarakat yang rentan kena godaan politik uang. 5.12. Kelompok Masyarakat Rentan Terkena Politik Uang Berdasarkan Pendidikan Responden memilih/menolak pemberian sejumlah uang/sembakodari para cagub dan cawagub kepada pemilih Menerima Menolak TT/TJ Tidak pernah sekolah 71.4% 28.6% .0% Pernah sekolah SD, tapi 65.9% 31.7% 2.4% tidak tamat Tamat SD 64.3% 23.6% 12.1% Pernah sekolah SLTP, tapi 50.0% 20.6% 29.4% tidak tamat Tamat SLTP 59.1% 28.5% 12.4% Pernah sekolah SLTA, tapi 55.6% 25.0% 19.4% tidak tamat Tamat SLTA 50.6% 37.5% 11.9% Pernah sekolah 31.3% 40.6% 28.1% perguruan tinggi, tapi tidak tamat Tamat program diploma 44.8% 40.5% 14.7% (sarjana muda) Tamat program S-1 35.8% 50.7% 13.5% Data ini dihasilkan Tamat program 14.3% 76.2% 9.5% menggunakan metode pascasarjana (S2/S3) crosstabulation analyse. Jawaban dari respoden mengenai pendidikan dan soal apakah respoden akan menerima atau menolak pemberian uang atau sembako atau barang lainnya dari para calon gubernur-wakil gubernur atau tim sukses kepada pemilih disatukan mengunakan software spss. Dari data didapati, masyarakat pendidikan tamat SLTA ke bawah kelompok masyarakat yang rentan kena godaan politik uang 5.13. Kelompok Masyarakat Rentan Terkena Politik Uang Berdasarkan Pekerjaan Data ini dihasilkan Responden memilih/menolak pemberian sejumlah menggunakan metode uang/sembako dari para cagub dan cawagub kepada pemilih crosstabulation Menerima Menolak TT/TJ analyse. Jawaban dari PNS 25.9% 58.0% 16.0% respoden mengenai Pensiunan (TNI/Polri/PNS) 40.3% 41.8% 17.9% pekerjaan dn soal 26.7% 60.0% 13.3% apakah respoden BUMN/BUMD 50.6% 38.5% 10.9% akan menerima atau Pegawai Swasta .0% 50.0% 50.0% menolak pemberian Petani uang atau sembako Nelayan 66.7% 33.3% .0% atau barang lainnya Pengusaha 46.2% 50.0% 3.8% dari para calon Wirausaha kecil (warung, kios) 54.0% 29.2% 16.8% gubernur-wakil Pedagang (kecil,asongan,keliling, 54.1% 34.9% 11.0% gubernur atau tim kaki lima), ojek, sopir angkot sukses kepada pemilih Ibu Rumah Tangga 57.6% 30.2% 12.2% disatukan 47.8% 40.6% 11.6% mengunakan software Pelajar/mahasiswa 61.4% 31.3% 7.2% spss. Dari data Tidak bekerja/menganggur didapati, Ibu rumah Lainnya 56.6% 26.4% 17.0% tangga dan pegawai swasta adalah kelompok masyarakat yang rentan kena godaan politik uang. 6. Kesimpulan Dari riset disimpulkan, masyarakat sangat permisif sekali dengan politik uang. Itu dapat dilihat dari jawaban responden. Diantaranya yakni uang yang diberikan para peserta pemilu atau tim sukses sebagai sebuah rejeki yang tidak ditolak. Selain itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-haru terutama dapur. Wanita dan ibu rumah tangga adalah kelompok yang rentan tergoda bujuk rayu dari peserta pemilu yang menggunakan strategi politik uang. Untuk kategori usia maka pemilih pemula dikategorikan sebagai kelompok yang terkena dampak dari politik uang. 6.1. Saran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memiliki peta jalan soal kampanye bahaya dari politik uang. Kampanye itu juga harus disesuaikan dengan polo komunikasi yang berbeda terhadap segmentasi masyarakat yang rentan terhadap politik uang. 7. Pustaka Aropi, Bagaimana Merancang dan Membuat Survei Opini Publik. Jakarta, 2009 Ebin, Danius, Politik Uang dan Uang Rakyat, Universitas Halmahera. 1999, dalam www.uniera.ac.id/pub/1/1/ Fahmy Bado & Lucky Djani, Korupsi Politik di Indonesia. Jakarta, Indonesia Corruption Watch, 2010 Fitriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada (Makalah). 2013 dalam ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/ article, diakses 18 Januari 2015. Ismawan, Indra, Pengaruh Uang dalam Pemilu. Yogyakarta. Yogyakarta, 1999 : Media Presindo Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 Kumorotomo, Wahyudi, Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabaya, 15 Mei 2009. Kurniawan, Luthfi J., Peta Korupsi di Daerah, Jakarta: MCW and Yappika, 2006. Marcin Walecki, Chapter published in Challenging the Norms and Standards of Election Administration”, IFES, 2007