Scanned by CamScanner
Politik Uang dan Pilkada
Dian Permata1
Abstraksi
1. Latar Belakang
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi.
Indikator sukses atau tidak sebuah pemilu ditentukan oleh tiga hal penting. Proses
penyelenggaraannya, aturan hukum, dan penegakan hukum. Pada proses penyelenggaraannya
adalah pesertanya, tahapannya, logistik, dan distribusi, serta pemantau dan partisipasi
masyarakat. Mengenai aturan hukumnya adalah bagaimana seluruh aturan dilaksanakan,
menyangkut sistem pemilu, serta metode pemilihan, metode pencalonan, pemberian suara,
serta metode penetapan pemenangnya. Sedangkan terkait penegakan hukumnya adalah
bagaimana seluruh aturan pemilu itu dilaksanakan dengan baik dan konsisten tanpa pandang
bulu.
Satu komponen penting untuk keberhasilan pemilu juga ditentukan oleh peran
penyelenggara pemilu yang profesional dan berwibawa. Sehingga mampu membangun
demokrasi yang lebih berkualitas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara
pemilu dan didukung oleh jajaran sampai tingkat yang paling bawah melalui Panitia
Pemungutan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dituntut agar mampu mewujudkan kepastian
hukum, tertib hukum, keterbukaan, profesional, jujur dan adil berdasarkan hukum dan etika
dengan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas. Penyelenggara pemilu juga
berkewajiban untuk menjaga dan melindungi hak-hak politik dan kedaulatan rakyat untuk
menyalurkan hak pilihnya dalam setiap pelaksanaan pemilu2.
Sebagai sebuah mekanisme, pemilu diharapkan dapat dilaksanakan secara bebas dan
setara (free and fair). Dimana sistem pemilu menjamin hak individu dan adanya sistem
kontrol bagi menajemen pelaksanaan pemilu. Sukses dari pemilu kemudian ditentukan oleh
penerimaan dari seluruh partisipan pemilu (partai politik dan kandidat) secara bulat
(legitimate) dan mengikat (binding)3.
Dalam pelaksanaanya, pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Pemilu yang dinilai
sebagai pesta demokrasi rupanya belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi yang
sesungguhnya. Karena, di dalam proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi kecurangan
yang dilakukan oleh para peserta pemilu. Salah satu kecurangan pemilu adalah adanya
praktik politik uang.
Karena itu, tidak bisa dipungkiri, tantangan besar demokratisasi di Indonesia adalah
merebaknya politik uang dalam setiap pelaksanaan pemilu. Di beberapa daerah fenomena ini
terlihat dan dilakukan terbuka secara kasat mata. Baik itu dilakukan oleh kandidat maupun
tim suksesnya. Larry Diamond (2003: 16-17) memberikan sinyalemen yang tidak jauh
berbeda. Ada fenomena yang dia sebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy).
1
Penulis adalah Peneliti Senior di Founding Fathers House (FFH) dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)
http://setkab.go.id/evaluasi-penyelenggaraan-pileg-dan-pilpres-contoh-kasus-sulawesi-tenggara/. Diakses 20 November 2016
3
Ethical Principle 1, Ethical and Professionals Administration of Elections, IDEA International, 1996
2
Indikatornya dalam demokrasi yang belum matang seperti di Indonesia, politik uang
dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan.
Penyelenggara pemilu berupaya melokalisir praktik politik uang. Sanksi pidana sudah
menunggu bagi pelaku. Kendati demikian, Dalam pelbagai laporan di media massa dan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), praktik politik uang masih kerap terjadi. Bahkan,
sejumlah kalangan menilai bahwa hampir semua pemilihan politik di semua wilayah dan
tingkatan sudah teracuni virus praktik politik uang.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana persepsi dan reaksi masyarakat DKI Jakarta atas terjadinya praktik politik uang
pada pemilu yang dilakukan peserta pemilu?
3. Metodelogi Penelitian
3.1. Populasi dan Objek Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah seseorang yang memiliki hak suara atau politik.
Seperti sudah berusia 17 tahun ke atas atau sudah pernah menikah.
3.2. Sampel dan Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan tehnik pencuplikan secara rambang berjenjang (multi
stage random sampling). Jumlah sampel penelitian ini adalah 400 responden. Margin of
error ± 4.9 persen. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen. (Aropi, 2009: 69-70)
N = Z². p (1-p)
E²
Z = Nilai table z dengan tingkat kepercayaan 95%
P = Variasi dari populasi dalam proporsi
E = Sampling error yang dikehendaki
3.3. Distribusi Sampel Responden
2000
responden
sampel
responden didistribusikan kelima (5)
kotamadya di Provinsi DKI Jakarta.
Pembagian jumlah sampel responden
ditentukan berdasarkan jumlah pemilik
hak pilih disetiap kecamatan menurut
yang dikeluarkan oleh KPU Pusat.
3.4. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan daya dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara tatap
muka dan mendalam4 dengan bantuan kuisioner.
3.5. Tehnik Analisis Data
Tehnik analisis data yang digunakan adalah tehnik analisis statistic dengan
memanfaatkan software SPSS.
3.6. Locus dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan diilaksanakan pada 9 Mei – 9 Juni 2012 di lima (5)
Kotamadya di Provinsi DKI Jakarta
4. Tinjauan Pustaka
4.1. Uang dan Politik
Politik dan uang merupakan pasangan yang sangat sulit dipisahkan. Aktivitas
politik memerlukan uang (sumber daya) yang tidak sedikit, terlebih dalam kampanye
pemilu. Terdapat empat faktor dalam kampanye pemilu, yaitu kandidat, program kerja
dan isu kandidat, organisasi kampanye (mesin politik) dan sumber daya (uang). Akan
tetapi uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh; tanpa uang maka ketiga faktor
lainnya menjadi sia-sia. Seorang pakar politik mengatakan: “Money is not sufficient, but
it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have
impact on election results and campaign cannot be run without it” (Uang saja tidak
cukup, tapi uang sangat berarti bagi keberhasilan kampanye 5.
Uang adalah sumber utama bagi kekuatan politik dalam memenangkan
kekuasaan atau tetap mempertahankan kekuasaan. Uang dalam politik merupakan hal
yang instrumental. Kegunaanya terletak pada bagaimana ia digunakan untuk memeroleh
pengaruh politik dan mendapatkan kekuasaan.
Karakteristik uang memberikan kemudahan. Uang dapat diubah ke berbagai
macam sumber daya. Sebaliknya, berbagai macam sumber daya dapat diubah ke dalam
uang. Uang juga dapat membeli barang, keahlian, dan layanan. Sebaliknya juga
demikian. Barang-barang, layanan, dan keahlian dapat dinilai dengan sejumlah uang.
Tentu saja pemilik uang akan memunyai pengaruh politik bagi.
4.2. Politik Uang
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap
seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun
supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.
Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah
bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau
bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang
dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan
4
Wawancara mendalam (depth interview) merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti melakukan kegiatan wawancara tatap muka
secara mendalam dan terus-menerus (lebih dari satu kali) untuk menggali informasi dari responden (Kriyantono, 2009:63)
5
Jacobson seperti yang dikutip oleh Fahmy Bado & Lucky Djani. 2010. Korupsi Politik di Indonesia, Jakarta, Indonesia Corruption Watch
gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka
memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan6.
Istilah politik uang ialah menggunakan uang untuk memengaruhi keputusan
tertentu, dalam hal ini uang dijadikan alat untuk memengaruhi seseorang dalam
menentukan keputusan7. Dengan adanya politik uang maka putusan yang dihasilkan
tidaklah lagi berdasarkan realita mengenai baik tidaknya keputusan tersebut. Melainkan
semata-mata didasarkan oleh kehendak si pemberi uang. Karena yang bersangkutan
sudah merasa diuntungkan.
Politik uang (money politics) dapat diartikan sebagai upaya memengaruhi perilaku
orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang
sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu bisa
terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilhan
umum suatu Negara (Ismawan, 1999:5).
4.2.1. Bentuk Politik Uang
A. Uang
Uang adalah sumber daya yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Ia
menjadi acuan bagi setiap transaksi atau manuver Individual dan sebagai alat
tukar menukar. Uang merupakan faktor utama yang berguna untuk
mendongkrak personal seseorang, sekaligus untuk mengendalikan wacana
strategis terkait dengan sebuah kepentingan politik dan kekuasaan. Karena
dasarnya, politik adalah seni. Dimana seseorang leluasa memengaruhi dan
memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya pada pihak lain melalui
berbagi sarana, termasuk uang (Nugraha, 2001:95).
Hermawan Sulistiyo (2000:20) mengatakan, uang salah satu modal politi.
Uang merupakan salah satu alat yang digunakan untuk menghasilkan
kekuasaan politik, ini terjadi di Indonesia. Sehingga, perputaran untuk
mendapatkan suara terbanyak maka uang dijadikan sebagai kebutuhan dasar
sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan dalam meraih kekuasaan.
B. Fasilitas Umum
Para peserta pemilu menggunakan beragam cara untuk meraih simpati
masyarakat atau pemilih. Gerakan tebar pesona dan tarik simpatis salah
satunya. Saat masa perhelatan kontestasi pemilu, pemberian fasilitas- fasilitas
umum juga dilakukan. Seperti memberikan semen, pasir, dan lainnya.
Tujuannya untuk memanfaatkan masalah pembangunan yang belum selesai di
dibangun di sebuah daerah.
6
7
https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang. Diakses 18 Desember 2016
Ebin Danius, Politik Uang dan Uang Rakyat, Universitas Halmahera, 1999, dalam www.uniera.ac.id/pub/1/1/
Parsudi Suparlan (1992) mengatakan, sejatinya tidak ada pemberian (hibah)
yang sifatnya cuma-cuma. Karena, segalanya bentuk pemberian pada dasarnya
akan selalu diikuti dengan sesuatu pemberian kembali berupa imbalan dalam
bentuknya yang beragam. Karena itu, yang terjadi bukanlah sebatas
pemberian dari seseorang kepada orang lain. Melainkan suatu sistem tukar
menukar pemberian yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok yang
saling member, dimana pihak penerima akan berusaha mengimbanginya.
Ramlan Surbakti mengatakan, dalam pemilukada, politik uang
memiliki varian yang lebih kompleks, yaitu berupa8:
a. Untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa perahu” 9, baik yang dibayar
sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah
sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas
sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi
tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar.
b. Calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent,
akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang
memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga
jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan undang-undang.
Syamsuddin Haris mengatakan, parpol dalam mengusung calon di
pilkada lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang
bersangkutan. Dalam rekrutmen, lebih terkesan para sang calon yang
membutuhkan “perahu” parpol10. Ketika pemilihan Gubernur Riau misalnya,
seorang kandidat harus menyediakan “uang pinangan” sedikitnya Rp 400 juta
per kursi demi mendapatkan “perahu”.
Menurut Wahyudi Kumorotomo, cara yang digunakan dalam
melakukan politik uang yaitu dalam pilkada langsung ada beragam. Seperti
pembayaran tunai dari tim sukses calon tertentu kepada konstituen yang
potensial, sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang telah
mendukungnya, atau sumbangan wajib yang disyaratkan oleh suatu parpol
kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri
sebagai bupati atau wali kota.
Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian
hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian
semen di daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya 11. Politik uang dan
pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin meningkat, dan
ongkos demokrasi semakin tinggi.
Bukan hanya terjadi dalam pemilukada saja, bahkan sudah menjadi
rahasia umum bahwa praktik politik uang di masyarakat telah berlangsung
8
Ramlan Surbakti, Kompas, 2 April 2005 dalam Luthfi J. Kurniawan, Peta Korupsi di Daerah, (MCW and Yappika, 2006), h. 229
Sewa perahu adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyatakan harga yang dibayar agar dapat dicalonkan oleh suatu parpol
10
Syamsuddin Haris, Kecenderungan Pencalonan dan Koalisi Pilkada, 30 November 2006 dalam www.komunitasdemokrasi. or.id/article/pilkada
dalam Fitriyah, “Fenomena Politik Uang dalam Pilkada” (Makalah), 2013
11
Wahyudi Kumorotomo, “Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”
9
dari pemilu ke pemilu. Hal itu biasa dilakukan oleh para kandidat maupun
parpolnya dengan beragam cara, baik dengan cara konvensional berupa
pemberian berbentuk uang, baik itu sedekah yang biasa dikenal dengan
serangan fajar maupun transportasi kampanye, pemberian sembako seperti
beras, minyak dan gula kepada masyarakat, pemberian dalam barang seperti
alat ibadah, fasilitas sosial, pemberian kupon yang akan diuangkan pasca
pemilu dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka
memberikan suaranya kepada peserta pemilu yang bersangkutan.
Praktik politik uang ini banyak dilakukan oleh peserta pemilu.
Ironisnya, praktik ini tidak tersentuh oleh penegakan hukum akibat sebagian
masyarakat menganggap sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan banyak
anggota masyarakat menganggap politik uang sebagai rejeki musiman yang
sayang ditolak.
Politik uang tumbuh subur. Ini karena didukung kecenderunganan
masyarakat yang permisif. Selain itu, mengganggap politik uang sebagai biaya
ganti rugi dari para kontesta. Alasannya, pada hari pemilihan mereka tidak
pergi bekerja, ke ladang ataupun sawahnya. Sehingga politik uang dianggap
sebagai kesempatan mendapatkan rejeki.
4.2.2. Penyebab Politik Uang
Ada dua (2) subjek yang menyebabkan terjadinya praktik politik uang.
Pertama, peserta pemilu (calon presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif).
Kedua, masyarakat sebagai pemilih. Salah satu alasan mengapa para peserta
pemilu melakukan politik uang adalah mereka takut kalah bersaing dengan
peserta pemilu lainnya.
Bagi peserta pemilu yang baru pertamakali ikut kontestasi pemilu maka ia
masih mencari bentuk pola pemberian politik uang kepada pemilih. Sedangkan
peserta pemilu yang pernah ikut dalam kontestasi sebelumya dan ia terpilih atau
menang maka ia lebih ahli dalam politik uang.
Alasan lainnya adalah adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para
peserta pemilu yang kemudian hari menjadi calon pemimpin. Hal ini memberikan
efek negatif bagi para peserta pemilu. Untuk mengatasi masalah tersebut, para
pesera pemilu memilih jalan singkat menghambur-hamburkan uang yang
dibagikan kepada pemilih. Harapannya, simpati pemilih didapat para peserta
pemilu. Pada proses ini maka masyarakat merasa berhutang budi pada para
peserta pemilu yang memberikan uang tersebut.
Ada beberapa faktor mengapa banyak rakyat yang terlibat dalam politik
uang, antara lain pertama, masyarakat miskin. Angka kemiskinan di Indonesia
cukup tinggi. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjan.
Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan menekan sebagian
masyarakat untuk segera mendapat uang. Politik uang pun menjadi ajang para
rakyat untuk berebut uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak
memikirkan konsekuensi yang akan diterima yaitu, tindakan suap dan jual beli
suara yang jelas melanggar hukum. Yang terpenting adalah mereka mendapat
uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik.Tidak semua
orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari
politik. Itu semua bias disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik
di sekolah-sekolah atau masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap
politik di Indonesia. Sehingga ketika ada pesta politik, seperti pemilu, masyarakat
tersebut akan bersikap acuh dengan pemilu. Tidak mengenal partai, tidak
masalah.Tidak tahu calon anggota legislatif, tidak masalah.
Bahkan mungkin, tidak ikut pemilu pun tidak masalah.Kondisi seperti ini
menyebabkan maraknya politik uang. Rakyat yang acuh dengan pemilu dengan
mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu.Politik uang pun dianggap
tidak masalah bagi mereka. Mereka tidak akan berpikir jauh ke depan bahwa uang
yang diberikan itu suatu saat akan 'ditarik' kembali oleh para caleg yang nantinya
terpilih menjadi anggota legislatif. Mereka tidak menyadari adanya permainan
politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri.
Ketiga, kebudayaan. Saling memberi dan jika mendapat rejeki, tidak boleh
ditolak. Begitulah ungkapan yang nampaknya telah melekat dalam diri bangsa
Indonesia.Uang dan segala bentuk politik uang dari peserta pemilu dianggap
sebagai rejeki bagi masyarakat yang tidak boleh ditolak. Dan karena sudah diberi,
secara otomatis masyarakat harus memberi sesuatu pula untuk peserta pemilu,
yaitu dengan memilih, menjadi tim sukses, bahkan ikut menyukseskan politik
uang demi memenangkan peserta pemilu tersebut. Hal itu semata-mata dilakukan
sebagai ungkapan terimakasih dan rasa balas budi masyarakat terhadap caleg yang
memberi uang.
Dalam hal ini kebudayaan yang sejatinya bersifat benar dan baik, telah
melenceng dan disalahartikan oleh masyarakat.Saling memberi tidak lagi dalam
hal kebenaran melainkan untuk suatu kecurangan. Masyarakat tradisional yang
masih menjunjung tinggi budaya ini menjadi sasaran empuk bagi para caleg untuk
melakukan politik uang tanpa dicurigai.
4.2.3. Dampak Politik Uang
Secara langsung dampak politik uang akan melatih masyarakat untuk
bertindak curang. Suara hari nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni
dapat dibeli demi kepentingan. Ini berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari
dalam praktik politik uang. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek
eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.
Pemilu tidak lagi berdasarkan prinsip bebas dan jujur. Pemilu tidak lagi
bebas, artinya pilihan seseorang tidak lagi sesuai dengan keinginannya. Seseorang
mendapat tekanan dan paksaan untuk memilih caleg. Pemilu, tidak lagi jujur,
artinya telah terjadi kecurangan dalam pemilu dengan cara membeli suara. Jika
dibiarkan, praktik politik uang akan mengendap dan melekat dalam diri bangsa
Indonesia. Praktik politik uang ini berakibat pada pencitraan yang buruk serta
terpuruknya partai politik. Dan Indonesia akan semakin jauh dari sebutan Negara
Demokrasi12.
4.3. Persepsi
Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam
merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung
pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah
memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya
mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi
adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui
beberapa hal melalui panca inderanya.
Sugihartono, dkk (2007: 8) mengemukakan, persepsi adalah kemampuan otak
dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk
ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam
penginderaan. Ada yang memersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif
maupun persepsi negatif yang akan memengaruhi tindakan manusia yang tampak atau
nyata.
Bimo Walgito (2004: 70) mengatakan, persepsi merupakan suatu proses
pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme
atau individu. Sehingga, menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang
tergabung dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh
individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon
dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal
tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu
tidak sama, maka dalam memersepsikan sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan
berbeda antar individu satu dengan individu lain.
Setiap orang memunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan
cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor.
Diantaranya yakni pengetahuan, pengalaman, dan sudut pandangnya. Persepsi juga
bertautan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang
berbeda-beda dengan menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk
menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun negatif ibarat file yang sudah tersimpan
rapi di dalam alam pikiran bawah sadar kita. File itu akan segera muncul ketika ada
stimulus yang memicunya, ada kejadian yang membukanya. Persepsi merupakan hasil
kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi,
2006: 118).
Jalaludin Rakhmat (2007: 51) menyatakan, persepsi adalah pengamatan tentang
objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan Suharman (2005: 23) menyatakan, persepsi
merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh
melalui sistem alat indera manusia. Katadia, ada tiga aspek di dalam persepsi yang
dianggap relevan dengan kognisi manusia. Pencatatan indera, pengenalan pola, dan
perhatian.
12
http://www.hukumpedia.com/hasunachan/sebab-akibat-politik-uang-pada-pemilu. Diakses 19 Desember 2015
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa persepsi
merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang
terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam
lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.
4.3.1. Syarat Terjadinya Persepsi
Sunaryo (2004: 98) syarat-syarat terjadinya persepsi adalah sebagai berikut:
1. Adanya objek yang dipersepsi
2. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan
dalam mengadakan persepsi.
3. Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus
4. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang
kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.
4.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Miftah Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
seseorang adalah sebagai berikut;
1. Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka,
keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik,
gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.
2. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh,
pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan,
pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek.
Bimo Walgito (2004: 70) faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat
dikemukakan beberapa faktor, yaitu:
1. Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.
Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat
datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai
syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.
2. Alat indera, syaraf dan susunan syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, di
samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan
stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai
pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan motoris
yang dapat membentuk persepsi seseorang.
3. Perhatian
Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya
perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam
rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau
konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu
sekumpulan objek.
Faktor-faktor tersebut menjadikan persepsi individu berbeda satu sama
lain dan akan berpengaruh pada individu dalam mempersepsi suatu objek,
stimulus, meskipun objek tersebut benar-benar sama. Persepsi seseorang atau
kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun
situasinya sama. Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaanperbedaan individu, perbedaan- perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam
sikap atau perbedaan dalam motivasi. Pada dasarnya proses terbentuknya persepsi
ini terjadi dalam diri seseorang, namun persepsi juga dipengaruhi oleh
pengalaman, proses belajar, dan pengetahuannya.
4.3.3. Proses Persepsi
Miftah Thoha (2003: 145), proses terbentuknya persepsi didasari pada
beberapa tahapan. Pertama, stimulus atau rangsangan. Terjadianya persepsi diawali
ketika seseorang dihadapkan pada suatu stimulus atau rangsangan yang hadir dari
lingkungannya. Kedua, registrasi. Dalam proses registrasi, suatu gejala yang
nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang
berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat mendengarkan
atau melihat informasi yang terkirim kepadanya. Kemudian mendaftar semua
informasi yang terkirim kepadanya tersebut.
Ketiga, interprestasi. Interprestasi merupakan suatu aspek kognitif dari
persepsi yang sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang
diterimanya. Proses interprestasi bergantung pada cara pendalamannya, motivasi
dan kepribadian seseorang.
5. Hasil Penelitian
5.1. MengujiKualitas Data dengan BPS
Untuk menguji kualitas proporsionalitas responden maka peneliti menggunakan
instrumen pembanding dari Badan Pusat Statistik (BPS) yakni soal jumlah jenis kelamin.
Data yang diperoleh peneliti, sebaran repponden laki-laki 50 persen dan perempuan 50
persen. Perbandingan sebaran sampel responden dalam penelitian ini dengan
perbandingan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin data BPS masih dalam
toleransi Margin of Error yang telah ditentukan sebelumnya sebesar ± 2.19 persen.
KATEGORI
SAMPEL (n=2000)
MEI - JUNI 2012
2009
2008
50.00
50.00
49.01
50.99
49.10
50.90
JENIS KELAMIN (%)
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
DATA BPS
5.2. Demograpi Umur Responden
Dari hasil penelitian, 2000 responden dapat
dimasukkan ke dalam beberapa golongan kategori
umur. Kategori umur 15-19 tahun sebesar 3.10
persen. 20-24 tahun 6 persen. 25-29 tahun 8.8 persen.
30-34 tahun 10.90 persen35-39 tahun 14.2 persen. 4044 tahun 14.6. 50-54 tahun 11 persen. 55-59 tahun 6.1
persen. 60-64 tahun 7.20 persen. 65 tahun ke atas 5.1
persen.
KATEGORI UMUR
15 – 19 Tahun
20 – 24 Tahun
25 – 29 Tahun
30 – 34 Tahun
35 – 39 Tahun
40 – 44 Tahun
45 – 49 Tahun
50 – 54 Tahun
55 – 59 Tahun
60 – 64 Tahun
>65 Tahun
SAMPEL (%)
3.10
6.00
8.80
10.90
14.20
14.60
13.10
11.00
6.10
7.20
5.10
5.3. Demograpi Pendidikan Responden
Dari hasil penelitian, 2000
responden dapat dimasukkan ke dalam
beberapa golongan jenjang pendidikan.
Tidak pernah sekolah sebesar 1.8
persen. Pernah sekolah SD, tapi tidak
tamat 2. Tamat SD 14 persen. Pernah
sekolah SLTP, tapi tidak tamat 1.7
persen. Tamat SLTP 14.9 Pernah
sekolah SLTA, tapi tidak tamat 1.8
persen. Tamat SLTA 48 persen. Tamat
program diploma atau sarjana muda 1.6
persen. Pernah kuliah, tapi tidak tamat
5.8 persen. Tamat program sarjana
strata satu 7.4 persen. Tamat program
pasca sarjana 1persen.
JENJANG PENDIDIKAN
SAMPEL (%)
Tidak pernah sekolah
Pernah sekolah SD, tapi tidak tamat
Tamat SD
Pernah sekolah SLTP, tapi tidak tamat
Tamat SLTP
Pernah sekolah SLTA, tapi tidak tamat
Tamat SLTA
Tamat program diploma (sarjana muda)
Pernah kuliah, tapi tidak tamat
Tamat program sarjana (S-1)
Tamat program pasca sarjana (S-2/S-3)
1.80
2.00
14.00
1.70
14.90
1.80
48.00
1.60
5.80
7.40
1.00
5.4. Demograpi Pekerjaan Responden
Dari
hasil
penelitian,
2000
responden dapat dimasukkan ke dalam
beberapa jenis pekerjaan.PNS sebesar 4
persen. Pensiunan PNS/ TNI/ Polri sebesar
3.4 persen. Pegawai BUMN/BUMD 0.8
persen. Pegawai swasta 29 persen. Petani
0.1 persen. Nelayan 0.2 persen. Pengusaha
1.3 persen.
Wirausaha atau warung atau kios
13.7 persen. Pedagang kecil atau pedagang
keliling atau asongan atau kaki lima atau
ojek 5.4 persen. Ibu rumah tangga 32
persen. Pelajar atau mahasiswa 3.4 persen.
Pengangguran atau tidak bekerja 4.2 persen.
Pekerjaan lainnya 2.6 persen.
JENIS PEKERJAAN
SAMPEL (%)
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Pensiunan (PNS/TNI/Polri)
Pegawai BUMN/BUMD
Pegawai Swasta
Petani
Nelayan
Pengusaha
Wirausaha kecil (warung/Kios)
Pedagang kecil/pedagang
keliling/asongan/K-5/ojek/supir
angkot
Ibu rumah tangga
Pelajar/mahasiswa
Pengangguran/tidak bekerja
Pekerjaan lainnya
4.00
3.40
0.80
29.00
0.10
0.20
1.30
13.70
5.40
32.00
3.40
4.20
2.60
5.5. Pemilih Menerima atau Menolak Uang atau Sembako atau Bentuk Lainnya?
Dalam riset, peneliti menggali pertanyaan tentang politik uang dengan
menggunakan metode pertanyaan tertutup. Bentuk pertanyaan sebagai berikut: Apakah
Bapak/Ibu/Saudara (B/I?S) akan menerima atau menolak pemberian uang atau sembako
atau barang lainnya dari para calon gubernur-wakil gubernur atau tim sukses kepada
pemilih? Jawaban yang didapat, 52.4 persen menerima. 35.1 menolak. 12.6 tidak
menjawab atau tidak tahu.
5.6. Alasan Menerima Uang atau Sembako atau Bentuk Lainnya
Responden ditanyakan dengan menggunakan metode pertanyaan terbuka. Pertanyaan ini
hanya
diberikan
kepada
responden yang menerima saja.
Sejumlah
jawaban
yang
diberikan dikelompokan oleh
peneliti berdasarkan kesamaan
jabawan
diantara
para
responden.
Jawaban
yang
didapat, 32.5 persen karena
rejeki tidak boleh ditolak. 9.4
persen untuk keperluan seharihari. 5.7 persen terima asalkan
tanpa syarat. 1.9 karena
memberikan apresiasi terhadap
yang memberikan. 1.8 persen
untuk menambah uang dapur atau sembako. 47.9 persen tidak menjawab atau tidak tahu.
5.7. Alasan Menolak Uang atau Sembako atau Bentuk Lainnya?
Responden ditanyakan dengan menggunakan metode pertanyaan terbuka. Pertanyaan ini
hanya diberikan kepada responden yang menolak saja. Sejumlah jawaban yang diberikan
dikelompokan
oleh
peneliti
berdasarkan kesamaan jabawan
diantara
para
responden.
Responden ditanyakan dengan
menggunakan metode pertanyaan
terbuka Jawaban yang didapat, 16.9
persen karena tidak etis/tidak
teladan/tidak bermoral/tidak jujur.
11.2 persen karena merupakn
politik uang atau suap. 3.3 persen
karena harga diri tidak bisa
diperjualbelikan. 1.8 persen karena
masuk kategori perbuatan dosa. 1.5 persen karena tidak yakin dengan janji meeka
selama kampanye. 0.1 persen karena jumlah yang diberikan sedikit.
5.8. Pilihan Uang atau Sembako atau Bentuk Lainnya?
Pertanyaan ini hanya diberikan kepada
responden
yang
menerima
saja.
Responden
ditanyakan
dengan
menggunakan
metode
pertanyaan
tertutup. 88.2 persen memilih uang. 11.8
persen memilih sembako atau lainnya.
5.9. Berapa Besaran Uang Yang dimau?
Responden ditanyakan dengan menggunakan
metode pertanyaan terbuka. Pertanyaan ini
hanya diberikan kepada responden yang
menerima saja. Sejumlah jawaban yang
diberikan
dikelompokan
oleh
peneliti
berdasarkan kesamaan jabawan diantara para
responden. 4.5 persen menjawab 25 ribu
hingga 50 ribu. 16 persen menjawab 51 ribu
hingga 75 ribu. 30.5 persen menjawab 76 ribu
hingga 100 ribu. 23 persen menjawab 101 ribu
hingga 125 ribu. 18 persen menjawab 126 ribu
hingga 150 ribu. 8 persen menjawab di atas
150 ribu.
5.10.
Kelompok Masyarakat Rentan Terkena Politik Uang Berdasarkan gender
Data ini dihasilkan menggunakan metode crosstabulation analyse. Jawaban dari
respoden mengenai gender dan soal apakah respoden akan menerima atau
menolak pemberian
Responden memilih/menolak pemberian sejumlah
uang atau sembako uang/sembako dari para cagub dan cawagub kepada pemilih
atau barang lainnya
Menerima Menolak TT/tidak menjawab
dari
para
calon
Laki-laki
49.3%
37.8%
13.0%
gubernur-wakil
gubernur atau tim
Perempuan
55.6%
32.3%
12.1%
sukses kepada pemilih
disatukan mengunakan software spss. Dari data didapati, perempuan adalah
kelompok masyarakat yang rentan kena godaan politik uang.
5.11.
Kelompok Masyarakat Rentan Terkena Politik Uang Berdasarkan Usia
Data ini dihasilkan
Responden memilih/menolak pemberian sejumlah
menggunakan metode uang/sembako dari para cagub dan cawagub kepada pemilih
crosstabulation
Menerima
Menolak TT/tidak menjawab
analyse. Jawaban dari
56.5%
32.3%
11.3%
respoden
mengenai 15 - 19 th
45.4%
43.7%
10.9%
usia dan soal apakah 20 - 24 th
respoden
akan 25 - 29 th
48.3%
39.2%
12.5%
menerima
atau 30 - 34 th
51.4%
36.7%
11.9%
menolak pemberian
59.9%
28.9%
11.3%
uang atau sembako 35 - 39 th
52.9%
33.0%
14.1%
atau barang lainnya 40 - 44 th
dari
para
calon 45 - 49 th
52.7%
33.2%
14.1%
gubernur-wakil
50 - 54 th
56.1%
33.0%
10.9%
gubernur atau tim
55 - 59 th
51.6%
38.5%
9.8%
sukses kepada pemilih
60 - 64 th
49.0%
35.7%
15.4%
disatukan
42.2%
43.1%
14.7%
mengunakan software 65 th <=
spss.
Dari
data
didapati, usia 35-39 dan 15-19, kelompok masyarakat yang rentan kena godaan
politik uang.
5.12.
Kelompok Masyarakat Rentan Terkena Politik Uang Berdasarkan
Pendidikan
Responden memilih/menolak pemberian sejumlah
uang/sembakodari para cagub dan cawagub kepada
pemilih
Menerima Menolak TT/TJ
Tidak pernah sekolah
71.4%
28.6%
.0%
Pernah sekolah SD, tapi
65.9%
31.7%
2.4%
tidak tamat
Tamat SD
64.3%
23.6%
12.1%
Pernah sekolah SLTP, tapi 50.0%
20.6%
29.4%
tidak tamat
Tamat SLTP
59.1%
28.5%
12.4%
Pernah sekolah SLTA, tapi 55.6%
25.0%
19.4%
tidak tamat
Tamat SLTA
50.6%
37.5%
11.9%
Pernah sekolah
31.3%
40.6%
28.1%
perguruan tinggi, tapi
tidak tamat
Tamat program diploma
44.8%
40.5%
14.7%
(sarjana muda)
Tamat program S-1
35.8%
50.7%
13.5%
Data ini dihasilkan Tamat program
14.3%
76.2%
9.5%
menggunakan metode
pascasarjana (S2/S3)
crosstabulation analyse.
Jawaban dari respoden mengenai pendidikan dan soal apakah respoden akan
menerima atau menolak pemberian uang atau sembako atau barang lainnya dari
para calon gubernur-wakil gubernur atau tim sukses kepada pemilih disatukan
mengunakan software spss. Dari data didapati, masyarakat pendidikan tamat
SLTA ke bawah kelompok masyarakat yang rentan kena godaan politik uang
5.13.
Kelompok Masyarakat Rentan Terkena Politik Uang Berdasarkan
Pekerjaan
Data ini dihasilkan Responden memilih/menolak pemberian sejumlah
menggunakan metode uang/sembako dari para cagub dan cawagub kepada pemilih
crosstabulation
Menerima Menolak TT/TJ
analyse. Jawaban dari PNS
25.9%
58.0% 16.0%
respoden
mengenai
Pensiunan (TNI/Polri/PNS)
40.3%
41.8% 17.9%
pekerjaan dn soal
26.7%
60.0% 13.3%
apakah
respoden BUMN/BUMD
50.6%
38.5% 10.9%
akan menerima atau Pegawai Swasta
.0%
50.0% 50.0%
menolak pemberian Petani
uang atau sembako Nelayan
66.7%
33.3% .0%
atau barang lainnya Pengusaha
46.2%
50.0% 3.8%
dari
para
calon Wirausaha kecil (warung, kios) 54.0%
29.2% 16.8%
gubernur-wakil
Pedagang (kecil,asongan,keliling, 54.1%
34.9% 11.0%
gubernur atau tim
kaki lima), ojek, sopir angkot
sukses kepada pemilih
Ibu Rumah Tangga
57.6%
30.2% 12.2%
disatukan
47.8%
40.6% 11.6%
mengunakan software Pelajar/mahasiswa
61.4%
31.3% 7.2%
spss.
Dari
data Tidak bekerja/menganggur
didapati, Ibu rumah Lainnya
56.6%
26.4% 17.0%
tangga dan pegawai
swasta adalah kelompok masyarakat yang rentan kena godaan politik uang.
6. Kesimpulan
Dari riset disimpulkan, masyarakat sangat permisif sekali dengan politik uang. Itu dapat
dilihat dari jawaban responden. Diantaranya yakni uang yang diberikan para peserta pemilu
atau tim sukses sebagai sebuah rejeki yang tidak ditolak. Selain itu dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-haru terutama dapur. Wanita dan ibu rumah tangga adalah
kelompok yang rentan tergoda bujuk rayu dari peserta pemilu yang menggunakan strategi
politik uang. Untuk kategori usia maka pemilih pemula dikategorikan sebagai kelompok
yang terkena dampak dari politik uang.
6.1. Saran
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memiliki peta jalan soal kampanye
bahaya dari politik uang. Kampanye itu juga harus disesuaikan dengan polo komunikasi
yang berbeda terhadap segmentasi masyarakat yang rentan terhadap politik uang.
7. Pustaka
Aropi, Bagaimana Merancang dan Membuat Survei Opini Publik. Jakarta, 2009
Ebin, Danius, Politik Uang dan Uang Rakyat, Universitas Halmahera. 1999, dalam
www.uniera.ac.id/pub/1/1/
Fahmy Bado & Lucky Djani, Korupsi Politik di Indonesia. Jakarta, Indonesia Corruption Watch,
2010
Fitriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada (Makalah). 2013 dalam
ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/ article, diakses 18 Januari 2015.
Ismawan, Indra, Pengaruh Uang dalam Pemilu. Yogyakarta. Yogyakarta, 1999 : Media Presindo
Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009
Kumorotomo, Wahyudi, Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan
Publik Setelah Pilkada Langsung, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara,
Surabaya, 15 Mei 2009.
Kurniawan, Luthfi J., Peta Korupsi di Daerah, Jakarta: MCW and Yappika, 2006.
Marcin Walecki, Chapter published in Challenging the Norms and Standards of Election
Administration”, IFES, 2007