[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Konsep Kaun al-Jami' dan komentar atas hadis kuntu kanzan makhfiyyan1 Refleksi atas puncak ekstase kaum sufi Miftah Fauzi Rakhmat *) Mukadimah: Tragedi Karbala Alkisah, di tengah sahara Karbala yang panas, tampak beberapa tenda dikelilingi oleh ribuan prajurit yang siap untuk bertempur. Mereka datang untuk menghambat laju Imam Husein a.s, cucu Rasulullah saw yang hendak datang ke Kufah, untuk memenuhi undangan penduduk kota itu. Namun, pada kenyataannya utusan Imam Husein a.s, Muslim bin 'Aqil a.s yang telah datang sebelumnya untuk mengecek kebenaran undangan itu dijatuhkan dari atas masjid setelah kepalanya terlebih dahulu dipenggal. Penguasa Kufah waktu itu, Ibn Ziyad telah mendapat perintah dari khalifah, Yazid bin Muawiyyah untuk menghambat segala upaya yang dilakukan oleh pengikut Imam Husein a.s. Maka kafilah Imam Husein a.s pun bermalam di padang Karbela. Beliau berangkat dari Madinah disertai 72 orang kerabat dan para pengikutnya. Penduduk Kufah yang mengundang Imam Husein a.s kini berdiri di pihak lawan siap untuk berperang melawan Imam Husein a.s. Menurut sebuah riwayat, Qulubuhum ma'akum walakin suyufuhum ma'ahum, Hati-hati mereka bersamamu, tetapi pedangpedang mereka bersama mereka (pasukan musuh). Pertempuran pun terjadi. Satu demi satu dari rombongan Imam Husein a.s syahid ditebas pedang ribuan orang musuhnya. Ada satu peristiwa menarik, setiap salah satu dari kafilah Imam Husein a.s yang hendak bertempur, terlebih dahulu dia meminta izin Imam untuk jihad, berperang melawan kezaliman dan kesewenang-wenangan, telah beberapa kali Imam mengizinkan mereka untuk meninggalkannya dan tidak ikut berperang, namun tak satu pun dari mereka yang bersedia meninggalkan Imamnya sendirian, bahkan merupakan satu kebanggaan bagi mereka untuk bisa syahid di pangkuan cucu Rasulullah saw dalam membela dan mempertahankan agamanya. Satu ketika, mungkin ketika hari menjelang 1Hadis qudsi yang terkenal di kalangan 'urafa, bahwa Allah swt berfirman kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'raf fa kholaqtul khalqa likay u'raf, Aku ini adalah perbendaharaan yang tersembunyi, aku ingin diketahui, karena itu aku ciptakan makhluk supaya aku bisa diketahui. 1 petang dan peperangan untuk sementara dihentikan, seorang pengikut Imam datang menemui Imam. Imam memberikan beberapa nasihat kepadanya. Mereka berdiskusi, pembicaraan mereka pun sampai kepada masalah epistemologi Tuhan. Epistemologi Tuhan Al-Ustadz as-Syahid Murtadha Muthahhari dalam salah satu bukunya, Luma'atul Husein, menulis kisah ini, beliau menyimpulkan percakapan Imam dan sahabat beliau itu dengan mengutip sebuah hadis qudsi, Kuntu kanzan makhfiyyan. Hadis ini banyak kita dapati dalam kitab-kitab 'irfan, hadis itu berbunyi kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'raf, fa kholaqtu al-khalqa likay u’raf.... (I was a hidden treasure so I loved/desired to be known, so I created the world in order to be known) Hadis ini mengungkapkan asal usul atau sebab musabab dari penciptaan langit, bumi, alam semesta dan manusia. Bahwa Allah swt menginginkan dirinya untuk dikenal dan diketahui, banyak pembahasan menarik seputar hadis ini yang akan kita bahas kemudian. Tetapi apa yang disebutkan Muthahari dalam bukunya mengenai nasihat Imam Husein a.s adalah bahwa Allah swt menginginkan cerminan dirinya, sehingga Dia bisa melihat diriNya pada selainNya, sehingga Dia bisa melihat perwujudan dari sifatsifatNya dan manifestasi dari asmaNya yang suci. Tuhan cinta akan diriNya, satu-satunya jalan untuk membuktikan kecintaanNya adalah dengan mewujudkannya pada selainNya. Asas ini jugalah yang mungkin mendasari konsep ekstase para sufi. Imam Husein a.s menegaskan bahwa wujud yang bisa dan memiliki potensi untuk menghimpun seluruh sifat dan asma Tuhan adalah manusia. Manusia dikatakan telah mencapai kesempurnaan apabila ia berhasil menyerap seluruh asma dan sifat Tuhan. Setelah manusia sampai pada tahap ini, ia akan hanyut dalam wujud Tuhan, ia akan menyatu dengan wujudNya. Suhrawardi menyebut satu contoh yang disebutnya Mahiyat al-Nur, laksana cahaya lilin, di tengah kegelapan ia kelihatan terang benderang, tetapi ketika cahaya itu didekatkan dengan cahaya matahari, maka cahaya lilin akan melebur di dalam cahaya matahari, cahaya lilin 2 itu ada tapi ia menyatu dalam cahaya matahari, kita tidak akan bisa lagi membedakan yang mana cahaya lilin dan yang mana cahaya matahari. Mereka sudah menyatu. Gradasi Wujud Proses penyerapan sifat Tuhan ini juga disebut proses perwujudan, karena pada hakikatnya wujud itu adalah satu. Wajibul wujud (essential existence) atau Muthlaqul Wujud (absolut existence) hanyalah Tuhan. Wujud yang absolut dan pasti ada, hanyalah wujud Tuhan swt. Ada beberapa konsep dari wujud, ada yang disebut mumthani'ul wujud (impossible existence), yaitu wujud yang mustahil ada, keberadaannya adalah tidak mungkin. Para logikawan menyebutkan Syarikul Bari (sekutu Tuhan) sebagai contohnya. Ada juga yang disebut mumkinul wujud (possible, transient existence), contohnya manusia dan benda-benda lainnya. Manusia dikatakan ada jika ia dinisbahkan pada wujud yang mempunyai intensitas atau manifestasi wujud lebih rendah darinya, demikian pula sebaliknya. Wujud ini bersifat relatif seperti halnya wujud cahaya lilin. Mengapa proses ini disebut sebagai proses perwujudan, karena manusia dengan menyerap sifat dan asma Tuhan, pada hakikatnya ia menyerap wujud Tuhan, ia maju melangkah menuju wujud yang absolut. Sehingga akhirnya ia melebur dalam wujud itu, mungkin inilah yang dikatakan Wahdatul Wujud, seperti pendapat berbagai ahli tashawuf. Namun ada juga yang berpendapat lain. Meminjam tulisan AlUstadz Drs. Jalaluddin Rakhmat M.Sc, Mulla Shadra misalnya, beliau meyakini adanya tasykik atau gradasi wujud, bahwa wujud setiap benda berbeda dengan wujud yang lain, walaupun secara prinsipal adalah sama dihubungkan dengan esensinya. Bagi Mulla Shadra, wujud adalah realitas tunggal tetapi muncul dalam gradasi yang berbeda, seperti contoh Suhrawardi di atas. Semua mawjud ini adalah wujud, tetapi dengan predikat yang berbeda; artinya muncul dalam manifestasi dan kondisi yang berbeda. Semua wujud itu adalah satu, satu realitas tetapi dengan berbagai tingkat intensitas dan 3 manifestasi. Gradasi ini tidak terdapat pada mahiyyah (esensi) melainkan pada wujud atau eksistensi2. Konsep wahdatul wujud (the unity of existence) bersumber dari ajaran Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibn 'Arabi (wafat 638 H/1240 M). Ajaran teosofi Ibn 'Arabi didasarkan atas dasar yang telah dibangun oleh sufi-sufi terdahulu, namun sedikit mempunyai kelebihan yaitu dengan adanya sebuah konsep pemikiran tentang sebuah sistem yang dipenuhi oleh ide-ide kompleks yang mengekspresikan teofani universal pada seluruh tingkatan mawjud (eksistensi).3 Konsep Kaun al-Jami' (Insan Kamil) Kita kembali pada pembahasan semula, bahwa Imam Husein a.s menyebutkan manusia sebagai makhluk dan wujud yang bisa menyerap seluruh asma dan sifat Tuhan swt. Wujud yang demikian disebut Kaun al-Jami' atau Insan Kamil. Imam Husein a.s juga menyebutkan cara lain ataupun mungkin juga bisa disebut satu-satunya jalan untuk mengenal dan menyerap wujud Tuhan, yaitu dengan mengenal Kaun al-Jami', manusia yang telah sampai pada tahapan kesempurnaan, dia yang telah dianugrahkan oleh Allah swt kemampuan untuk menyerap sifatNya. Dalam hal ini, Imam Husein a.s menyebut Rasulullah saw dan Ahli Baytnya yang suci sebagai contohnya. Bukankah Allah telah menghapus seluruh kenistaan dari mereka yang merupakan penghalang dari proses penyerapan asma dan sifat Tuhan. Bukankah mereka telah terjaga dari dosa dan alpa. Pembahasan seputar kema'shuman atau keterpeliharaan Rasulullah saw dan keluarga beliau yang suci bukan lagi masalah yang harus dipertanyakan. Proses untuk mengenal Tuhan bisa dilakukan dengan mengenal para kekasih Tuhan, mereka yang telah menyerap sifat dan asma Tuhan. Kaun dalam istilah para sufi berarti seluruh mawjud yang ada pada alam semesta ini. Sedangkan Kaun al-Jami' berarti Insan Kamil yang merupakan perwujudan dari seluruh sifat Tuhan. 2Jalaluddin Rakhmat, "Hikmah Muta'aliyah, filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd", Al-Hikmah No.10, Yayasan Muthahhari, Bandung. 1993 3Carl W. Ernest, Words of Ecstasy in Sufism, hal 22. S.Abdul Majeed & Co. In association with State University of New York, Kuala Lumpur, Malaysia, 1994. 4 Berbagai pandangan dan definisi tentang kesempurnaan manusia (Insan Kamil) Insan kamil banyak didefinisikan secara beragam oleh para cendekiawan baik muslim maupun non-muslim. Di bawah ini beberapa definisi dari mereka tentang insan kamil yang dikutip oleh Murtadha Muthahhari: a. Insan Kamil fisikal dan duniawi Insan Kamil yang dimaksud adalah manusia yang sukses dalam kehidupan duniawi mereka, dan berhasil mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan atau manfaaat dari alam natural ini. Pendapat ini ditentang dengan keras oleh Muthahhari. b. Insan Kamil metafisikal dan ukhrawi Jika pada pendapat pertama kesempurnaan manusia didasarkan atas hal-hal yang bersifat riil dan material, maka pendapat kedua ini mengungkapkan hal yang sebaliknya. Kesempurnaan manusia dalam hal ini dihubungkan dengan dunia metafisikal, sejauh mana kita di dunia ini, mempersiapkan bekal untuk alam nanti, atau sejauh mana kita berhubungan dengan alam itu. Pendapat ini juga dikritik oleh Muthahhari, di sini kita tidak mungkin untuk membahas seluruh pembahasan mengenai Insan Kamil dengan terperinci, hanya garis besarnya yang akan kita tulis. c. Insan Kamil Gnostisis Definisi Insan Kamil yang satu ini diberikan oleh para 'arif dan sufi. Para sufi memandang kesempurnaan manusia dari sejauh mana mereka mengindera atau memahami hakikat dan realitas sebuah wujud (being), Insan Kamil versi ini, adalah orang yang telah berhasil mengindera hakikat seluruh mawjud yang ada secara universal. 5 d. Insan Kamil Filosofis Pendapat para filosof hampir mirip dengan pendapat para sufi, bedanya yang diambil menjadi kerangka acuan bukanlah hakikat sebuah benda, melainkan seberapa jauh kita mampu mengambil hikmah (sophia, wisdom) dan pelajaran dari seluruh mawjud di alam semesta ini. Bukankah menurut Al-Quran, "Barang siapa yang mengambil hikmah, maka sesungguhnya dia telah mengambil kebaikan yang banyak"4 e. Insan Kamil Hinduisme Pandangan lain mengenai kesempunaan manusia, dikemukakan oleh Mahatma Ghandi dalam salah satu bukunya berjudul, Inilah madzhabku, dalam buku itu Ghandi menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kekuatan perasaannya (affection, feeling), sejauh mana dia bisa mencurahkan perasaannya yang dilandasi oleh rasa kasih dan sayang. Insan Kamil versi ini, adalah seorang manusia yang berhasil mengungkapkan sebanyak-banyaknya perasaan cinta dan kasihnya pada mawjud lain. Agama Hindu adalah agama yang didasarkan atas cinta dan kasih sayang terhadap seluruh mawjud di alam semesta ini. f. Insan Kamil estetis dan keindahan Pendapat ini menerangkan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada keindahan. Keindahan yang dimaksud bukanlah keindahan jasmaniyah, melainkan lebih bersifat ruhiyyah. g. Insan Kamil kapabilitas dan kekuatan Definisi terakhir ini, yang lebih banyak kita temukan di dunia kita sekarang ini, terlebih di dunia Barat. Orang-orang yang berpendapat demikian menganggap bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kekuatan jasmaniyah dan fisikal mereka. Lima pendapat sebelumnya, menganggap bahwa kesempurnaan manusia tidak terletak pada 4Surat Al-Baqoroh:269 6 sesuatu yang materialis, tetapi pendapat terakhir ini lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat materialis, demikian pula pendapat yang pertama5. Syair Syah Waliyullah Ni'matullahi Syah Waliyullah Ni'matullahi salah seorang penyair Iran yang terkenal dalam bidang tashawuf dan memiliki banyak puisi dalam bidangnya itu, dalam salah satu syairnya menyebutkan arti dari pada Kaun al-Jami' atau Insan Kamil, dia berkata: Kaun al-Jami', perwujudan dari Dzat dan Sifat Bayangan dari Yang Haq, mentari kaa'inat Syah Ni'matullah bermaksud menegaskan bahwa wujud atau kaun, sama seperti cahaya. Di kegelapan yang tidak ada cahaya sedikitpun tidak akan terlihat satu bendapun, ini berarti ketiadaan. Setelah pada ruang yang gelap gulita itu diterangi oleh seberkas cahaya, maka akan tampak kilauan-kilauan cahaya menyibak ruangan itu, seketika itu juga kita akan melihat berbagai benda ada di sekelilingnya. Demikian pula wujud. Sesuatu itu akan ada, setelah ia menyerap sifat yang ada. Dengan menyebut mentari kaa'inat (bentuk jamak dari ka'in -ka'in adalah bentuk subjek dari kaun) Syah Ni'matullah telah merumuskan sebuah sillogisme logika, reductio ad absurdum, antara cahaya dan wujud. Matahari, di dalam tata surya kita, adalah sumber cahaya. Sesuatu akan berubah dari ketiadaan atau kegelapan setelah mendapat cahaya. Kaun al-Jami' adalah wujud yang telah menyerap cahaya mentari alam semesta. Pada bait selanjutnya, dia berkata: Dari satu sisi, ia adalah imkan dari sisi yang lain ia adalah wujub Jika suatu benda tersinari oleh seberkas cahaya, maka menurut Syah Ni'matullah, benda itu memiliki dua sisi, ada satu sisi yang membelakangi cahaya, dan ada sisi lain yang menghadap cahaya. Bagi wujud, sisi yang membelakangi cahaya adalah wujud yang imkan (Mumkinul wujud) Sementara sisi yang menghadap cahaya 5Semua definisi tentang Insan Kamil ini dibahas Muthahhari dalam bukunya, Takamul-e Ijtima'iye Insan, hal 127-162, Intisharat-e Shadra, Qum, 1367 HS (1989 M). Muthahhari juga membandingkan seluruh definisi itu dengan ajaran agama Islam. 7 adalah sisi yang mengarah menuju wujud yang absolut (Wajibul wujud). Telah kita bahas sebelumnya, arti dan definisi dari mumkinul wujud dan wajibul wujud. Pada penggalan kedua dari bait ini dia berkata: Ia menjadi syahadah setelah lepas dari dunia ghaib dan hampa Menurut Syah Ni'matullah, wujud berasal dari ketiadaan, yang dilukiskannya dengan dunia ghaib dan hampa. Di dalam bahasa Arab, syahadah berarti keberadaan atau sesuatu yang terang, jelas dan bisa dilihat, sementara para 'arif justru mendefinisikan syahadah sebagai dunia fatamorgana, yang berarti ketiadaan, bukan berarti ada.6 Wahdatul wujud akhir perjalanan Kaun al-Jami' Pada akhir puisinya Syah Ni'matullah berkata: Surah dan ma'na menyatu lahir dan batin melebur Bergabung makhluk dan diri dalam satu bagai sebuah cahaya yang memancar Tujuh samudra, hanyalah satu tetes dari mangkukNya Ruh Qudsi pun meronta dari tegukannya7 Puisi di atas, mungkin bermaksud untuk menjelaskan konsep wahdatul wujud8, sebagai akhir perjalanan dari Kaun al-Jami'. Ketika akhirnya, ia menyatu dan melebur, bagaikan cahaya-cahaya kecil yang didekatkan dengan cahaya yang lebih besar, cahaya itu akan menyatu dan melebur, menjadi satu cahaya. Wahdatul wujud yang dimaksud disini adalah sebuah keadaan, atau sebuah usaha dan perjalanan manusia dalam menuju Tuhannya, saat-saat ketika sampai kepada Tuhan itulah yang dikatakan wahdatul wujud, boleh jadi hal ini akan menimbulkan kerancuan pada istilah itu dan 6Dr. Sayyid Ja'far Sajjadi, Farhang-e Istilahat-e 'Irfani, hal 512. Kitabkhaneh Thahuri, Tehran, 1991 hal 672 8Konsep Wahdatul Wujud yang digunakan bukanlah konsep Mulla Shadra r.a yang meyakini bahwa wahdatul wujud adalah berarti kesatuan dalam esensi. 7ibid 8 akan terjadi salah paham dengan istilah wahdatul wujud yang dipakai di dalam filsafat, namun entah kita beri nama apa keadaan itu, yaitu keadaan ketika manusia sampai kepada Tuhannya, mungkin kata "puncak ekstase" adalah kata yang tepat, namun kata ini tidak menjelaskan secara keseluruhan keadaan fana' (annihilation) yang menimpa seorang 'asyiq (pecinta) atau hamba Tuhan tersebut, karena ketika seorang sufi telah fana, dia telah berada dalam sebuah kondisi yang baqo' (subsistensi)9. Locus classicusnya perbandingan anihilasi dengan subsistensi adalah ayat Al-Quran yang berbunyi, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajhu Robbika yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan"10 Tujuh samudra hanyalah satu tetes dari mangkukNya Ruh Qudsipun meronta dari tegukannya Bait yang terakhir pada puisi Syah Ni'matullah ini, mungkin menjelaskan kekuatan dan ketidak terbatasan Tuhan, bahwa ketika Kaun al'Jami' menyatu dan melebur, ia telah bergabung dengan ketidak terbatasan, dengan sesuatu tanpa batas, yang digambarkannya dalam bait ketika tujuh samudra yang mahaluas ini hanyalah satu tetes dari mangkukNya, yang entah bagaimana besarnya, Wallohu 'alam. Puncak Ekstase para sufi Situasi fana atau ekstase sudah sering dialami oleh para sufi, hal itu mereka jelaskan dalam buku dan karya-karya mereka. Banyak sekali tokoh tashawuf, para saliksalik terkenal, mereka yang telah melakukan perjalanan menuju Tuhan, sejak Ibn 'Arabi di Andalusia, Mawlana Jalaluddin Rumi di Persia sampai Syaikh Hamzah Fansuri di tanah melayu. Karya-karya mereka melahirkan kiat-kiat baru dalam cara mengenal dan mencintai Tuhan, lewat karya-karya mereka jugalah kita bisa mengetahui seberapa dalam kecintaan mereka terhadap Tuhan, sejauh apakah cinta mereka tercurahkan. Pengekspresian cinta mereka, mereka tuangkan ke dalam buku. Karena itu, bahasa 9Faith and Practice of Islam, Three Thirteenth Century Sufi Texts, translated, introduced, and annotated by William C. Chittick. hal 248. S. Abdul Majeed & Co. In association with Probus Publishing Company. Kuala Lumpur. 1994 10Surat Ar-Rohman:26-27 9 menjadi hal yang penting, bahasa adalah jalan untuk menyalurkan rasa cinta yang menggebu di dalam hati mereka, baik ke dalam buku maupun untuk disampaikan kepada murid-murid mereka, bahasa-bahasa pasaran seringkali tidak mencerminkan isi hati mereka, karenanya mereka mencari jalan lain, mereka menyalurkan kecintaan mereka lewat puisi-puisi mereka. Berangkat dari hal itu, kita menemukan bahwa puisi-puisi mereka sangat indah, menarik dan menyimpan sejuta khazanah ilmu dan perbendaharaan cinta Tuhan. Karya-karya terkenal seperti Matsnawi-nya Rumi, Mantiq-at-Tayr-nya 'Attar, Rubay'iatnya Khayyam, Asrar al-'Arifin-nya Fansuri, dan banyak karya-karya lain menunjukkan dengan jelas kepada kita, akan kecintaan mereka yang sangat dalam dan terpendam di dalam hati mereka, ingin sekali rasanya mereka tumpahkan rasa cinta yang menggelora di dalam dada mereka, namun hanya lewat bahasa adalah tidak mungkin, bahasa sangat terbatas, walau bahasa puitis sekalipun yang menjadi pelarian mereka, karenanya seringkali mereka menyepi, menangis dan duduk merenung, seringkali mereka fana dalam kecintaan kepada Tuhan. Fana menurut Syaikh Hamzah Fansuri, adalah penafian diri, fana berarti mengenal diri sejati11, diri yang seringkali terlupakan oleh hingarbingarnya dunia. Setelah sampai pada tahap ini, seorang 'ashiq (pecinta dan kekasih Allah) akan melebur dalam wujud Tuhan, ia akan menyatu dengan wujudNya, inilah wahdatul wujud versi tashawuf, inilah puncak ekstase kaum sufi. Mengapa kondisi seperti ini diberi nama wahdatul wujud versi tashawuf? Karena dari banyak hadis-hadis dan ucapan-ucapan mutiara dari para awliya Allah dan sufi-sufi terkenal, jelas-jelas mencerminkan hal itu, ungkapan seperti Anal Haqqnya Mansur AlHallaj (wafat 309 H/922 M), atau sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu alMa'ali 'Abdullah ibn Muhammad al-Miyanji al-Hamadani, seorang sufi terkenal yang lebih sering disebut dengan Ayn al-Qudat al-Hamadani (wafat 525 H/1131 M) yang menyebutkan bahwa Allah swt berfirman, "Ana Ahmad bila mim (I am Ahmad without M)"12 Aku adalah Ahmad tanpa M. Kata Ahmad tanpa "m" berarti ahad, yang berarti 11Abdul Hadi W.M, "Syeikh Hamzah Fansuri", Ulumul Qur`an No.4, vol V, 1994. W. Ernest, Words of Ecstasy in Sufism, hal 76. S.Abdul Majeed & Co. In association with State University of New York, Kuala Lumpur, Malaysia, 1994. 12Carl 10 satu. Ahmad tak lain adalah nama lain dari Rasulullah saw, hal ini menunjukkan bahwa Allah swt memanifestasikan dirinya dalam diri Rasulullah saw. Inilah tajalli (divine manifestation) atau teofani. Kisah Al-Hallaj dan sufi-sufi ekstatis lainnya Ketika seorang salik (pengembara yang berusaha berjalan menuju Tuhan) sampai pada tahap ini, tahap ketika dia tidak melihat siapapun kecuali Tuhan, maka pada saat itu kemana saja dia memandang yang tampak hanyalah wajah Allah swt, fa aynama tuwallu wujuhakum, fa tsamma wajhullah, kemanapun kau memandang, di sana akan tampak wajah Allah swt. (Q.S 2:115). William C Chittick, seorang ilmuwan barat yang menggeluti bidang tashawuf dan filsafat Islam, mengutip salah satu syair Ibn 'Arabi (wafat 638 H/1240), dalam bukunya Ibn al-'Arabi's Metaphysics of imagination The Sufi Path of Knowledge: My eyes have never gazed on other than His face My ears have never heard on other than His words13 Mungkin, inilah yang dialami oleh Mansur al-Hallaj, ketika dia mengatakan Anal Haqq, akulah al-Haqq. Menurut Injil, Yesus Kristus pun ternyata mengakui hal ini, ketika dia menyebutkan bahwa dia adalah the Way, the Truth and the Life (sang Jalan, kebenaran dan kehidupan)14, Yesus Kristus sudah menjadi perwujudan dan manifestasi dari Tuhan di muka bumi ini. Demikian pula Al-Hallaj, dia sudah tidak melihat wujud lain selain wujud Tuhan, bahkan dia tidak melihat wujudnya sama sekali, dia sudah melebur dengan wujud Tuhan, karenanya tidak ada sesuatupun yang dia lihat selain wujud Tuhan. Dalam salah satu syairnya Al-Hallaj berkata, I am He whom I love, and He whom I love is I: We are two spirits dwelling in one body. 13William 14Karen Chithik, Sufi Path of Knowledge hal 84. State University of New York Press, New York 1989. Amstrong, A History of God, hal 263. Mandarin Paperbacks, London 1994. 11 If thou seest me, thou seest Him, And if thou seest Him, thou seest us both.15 Atau dalam salah satu suratnya yang ditujukan pada salah seorang muridnya, AlHallaj menulis "Dengan Nama Allah, Sang Pengasih, Sang Penyayang, yang memanifestasikan dan mentajallikan DiriNya pada setiap benda atau siapa saja yang diinginiNya...."16 I am dan You are Al-Hallaj banyak mengekspresikan keadaan yang menimpanya pada banyak ucapannya, seperti "Is it You or I?... so take away by Your Grace, my I am from in between" atau dalam sebuah puisinya yang lain, Is it You or I ? That would be two gods in me; far, far be it from You to assert duality! The "He-ness" that is Yours is in my nothingness forever; my "all" added to your "All" would be a double disguise. But Where is Your essence, from my vantage point when I see You, since ny essence has become plain in the place where I am not? And where is Your face? It is the object of my gaze, whether in my inmost heart or in the glance of my eye, Between You and me, there is an "I am" that 15ibid, dikutip dari Nicholson, The Mystics of Islam. W. Ernest, Words of Ecstasy in Sufism, hal 64. S.Abdul Majeed & Co. In association with State University of New York, Kuala Lumpur, Malaysia, 1994, mengutip dari Al-Husayn ibn Mansur. Akhbar alHallaj. Recueil d'oraisons et d'exhortations du martyr mystique del'Islam. Diedit dan diterjemahkan oleh Luois Massignon dan Paul Kraus. Etudes Musulmanes, IV. 3rd ed. Paris, 1957. 16Carl 12 battles me, so take away, by Your Grace, this "I am" from in between17. Kata "I am" yang dikonfrontasikan dengan "You are" jelas-jelas menunjukkan adanya dua wujud, hal ini sangat dibenci oleh Al-Hallaj, dia menginginkan tidak adanya jurang yang memisahkan dia dengan kekasihnya. Dalam sebuah anekdot diceritakan ketika seorang sufi yang telah meninggal datang di pintu gerbang keagungan Tuhan dan jalan menuju surga yang kekal, sang sufi pun tanpa banyak kisah, mengetuk pintu itu. Dari balik pintu terdengar suara bertanya, "Siapakah itu?" Sang sufi pun menjawab, "Ana (aku)", namun pintu tak dibuka-buka, kembali suara itu terdengar dan menanyakan hal yang sama, sang sufi pun menjawab hal yang sama, keadaan yang sama pun terulang kembali. Hal ini berlangsung sampai tiga kali, hingga kali ke-empat, ketika suara itu kembali bertanya, "Siapakah itu?" Sang sufi dengan tenang dan pasti, karena yakin akan jawaban yang dia berikan menjawab, "Anta (anda)", lalu pintu pun terbuka dan sang sufi melangkah dengan tenang ke dalam. Dengan jawaban itu, sang sufi tahu bahwa dia sudah berada di pintu gerbang keagungan Tuhan, tak pantas lagi dia mengatakan ada dirinya dan ada diri di belakang pintu, semua diri sudah menjadi satu, hanya ada satu diri, yaitu diri Tuhan, yang disimbolkan berada di belakang pintu. Ketika Al-Hallaj meneriakkan Anal Haqq, dia menunjukkan bahwa Tuhan bukanlah sebuah realitas yang objektif, melainkan subyektif. Sesaat sebelum tali gantungan dikalungkan pada leher Al-Hallaj, sejenak Al-Hallaj memandang ke arah 17ibid. hal 28, mengutip dari Ruzbihan Baqli Shirazi, Sharh-e Shathiyat. hal 266, editor Henry Corbin. Bibliotheque Iranienne, 12. Tehran, 1966. 13 khalayak ramai lalu berdoa, "Tuhanku, inilah hamba-hambamu, berkumpul untuk siap menggantungku, ampuni dan kasihanilah mereka, karena seandainya mereka tahu apa yang kualami, seandainya Kau berikan kepada mereka sesuatu yang telah Kau limpahkan padaku, niscaya mereka tidak akan melakukan hal ini kepadaku, dan jika aku tidak tahu apa yang kualami, jika Kau tersembunyi untukku sebagaimana Kau tersembunyi dari mereka, niscaya aku tidak akan mengalami nasib ini." Di antara yang dinisbatkan pada Sufi Al-Hallaj meninggal dalam keyakinannya. Semasa hidupnya, dia sering dikafirkan banyak orang. Lama sesudah kematiannya, Al-Hallaj pun masih ramai dikafirkan orang, nasib yang sama dialami oleh Ibn 'Arabi, Ayn al-Qudat dan beberapa orang sufi terkenal lainnya. Alasannya hanya satu, orang-orang tidak tahu apa yang telah dialami oleh sufisufi itu, ilmu mereka belum sampai kesana. Mereka belum sampai pada tahap yang telah dialami oleh para sufi. Maka para sufi pun meninggal dalam keyakinannya, dan tetap tidak merubah pendirian mereka, karena mereka tidak akan pernah melupakan dan tidak ingin untuk melupakan kenikmatan yang mereka peroleh ketika sampai pada tahap itu, tahap dimana mereka bersatu dengan Tuhan mereka, tahap dimana mereka melebur dalam wujud Tuhan. Al-Hallaj pun sering dalam surat yang sama yang dia tulis untuk muridnya, mendoakan supaya muridnya mengalami nasib yang sama dengan apa yang dia alami, yaitu sampai pada realitas kekafiran yang sebenarnya, entah Al-Hallaj menggunakan istilah ini karena sering dikecam kafir oleh banyak orang, atau memang menjadi kafir adalah salah satu jalan yang harus dilalui oleh para sufi. Dalam suratnya itu Al-Hallaj menulis, .....May God veil you from the exterior of the religious law, and may He reveal to you the reality of infidelity (Haqiqat al-Kufr). For the exterior of the religious law is a hidden idolatry, while the reality of infidelity is a manifest gnosis (Ma'rifah jalliyah)18 18Carl W. Ernest, Words of Ecstasy in Sufism, hal 64 14 Menurut Al-Hallaj, untuk menjadi seorang 'arif sejati kita harus menjadi kafir terlebih dahulu, kita belum betul-betul beriman kepada Tuhan sebelum kita menjadi kafir, tentu saja kafir yang dimaksud adalah kafirnya para sufi, bukan kata kafir yang berlawanan dengan iman dan dalam konteks akidah agama. Dalam ucapannya yang lain Al-Hallaj berkata, "Kekafiran dan iman berbeda dalam kata, namun satu dalam realitas, tidak ada perbedaan dalam realitas antara keduanya"19. Inilah coincidentia oppositorum, yaitu sebuah dualisme transendens yang hanya bisa terjadi ketika seseorang sudah sampai pada Dzat Tuhan (Divine Essence), hakikat atau realitas transendens itu sendiri. Konon kabarnya, pernah salah seorang teman Al-Hallaj, Ibn Fatik melihat AlHallaj berdiri dengan kepala di bawah seraya berkata, "Wahai Kau yang telah memanifestasikan diriMu kepadaku, Kau gabungkan diriMu dengan diriku, sehingga aku menyangkal keberadaanMu..." Ketika dia selesai berbicara, dia melihat Ibn Fatik berdiri di depannya, dan mengajaknya untuk duduk. Al-Hallaj pun berkata, "Anakku, sebagian orang bersaksi akan kekafiranku, dan sebagian lagi menganggapku seorang yang suci (wali). Mereka yang bersaksi terhadap kekafiranku, lebih dekat kepadaku dan kepada Allah swt dari mereka yang menganggapku orangsuci" Mendengar ini, Ibn Fatik bertanya, "Guru, mengapa demikian?" Al-Hallaj menjawab, "Mereka yang memandang aku sebagai orang suci, berbuat demikian karena pandangan baik mereka terhadapku, sedangkan mereka yang mengkafirkanku, berlaku demikian karena kecintaan dan rasa ingin membela mereka yang dalam terhadap agama mereka (Ta'assuban li-dinihim), dan mereka yang mencintai agama mereka, lebih dekat kepada Allah dari pada mereka yang mempunyai pandangan baik terhadap seseorang" Lalu dia memandang wajah Ibn Fatik dan berkata, "Ibrahim! Apa yang akan kau lakukan, jika kau melihatku digantung, dibunuh atau dibakar? Karena hari itu akan menjadi hari yang paling bahagia seumur hidupku!"20 19ibid, 20ibid, hal 65. hal 67 15 Al-Hallaj tidak hanya senang dikafirkan orang, dia malah berusaha supaya orangorang mengkafirkannya, hal ini jelas terlihat ketika dia berkata, "I become infidel to God's religion, and infidelity is my duty, because it is detestable to Muslims"21 Konsep Al-Hallaj tentang kekafiran (infidelity) banyak dilanjutkan oleh sufi-sufi sesudahnya, dari Ruzbihan Al-Baqli sampai 'Ayn al-Qudat Hamadani, Ayn al-Qudat Hamadani dalam salah satu syairnya berkata, O infidelity! The Magians have a certain glory from you, and from your traceless beauty they have a certain perfection. But they are not infidels; infidelity is a far path. Alas! how can they imagine what infidelity is?22 Ruzbihan al-Baqli menggunakan kata kafir sebagai sebuah hubungan dualisme yang penting antara makhluk dan khaliq, menurutnya alasan terbesar dari pengakuan kafir seorang sufi adalah rasa cinta. Dia juga menambahkan bahwa Takfir (pengkafiran) adalah sebuah mirror image dari Tawhid. Untuk menjadi seseorang yang mengikrarkan tawhid, kita harus mengkafirkan dan menolak selainNya. Dua gerakan transendens inilah yang disebut Ruzbihan sebagai cinta. Dua gerakan ini bisa dikomparasikan dengan dua gerakan jiwa, dalam katharsis, atau "penyucian"nya Plato. Plato mengatakan bahwa jiwa dalam satu sisi, harus menyerupai Tuhan, sedapat mungkin, dan dalam sisi yang lain jiwa pun harus memisahkan dirinya dari tubuh, juga sedapat mungkin.23 Lebih lanjut mengenai kafirnya para sufi, Ruzbihan berkata, "Whoso likens God to anything is unfaithful, in this path, my soul, at first all infidelity is faith, and in the end all unity is idolatry. What is the faithful one's condition? To be an infidel within himself. 21Al-Husayn ibn Mansur. Akhbar al-Hallaj. Recueil d'oraisons et d'exhortations du martyr mystique del'Islam, diterjemahkan oleh Annemarie Schimmel, Al-Halladsch, Martyrer der Gottesliebe, hal 101, Cologne, 1968. Ayn al-Qudat pun dalam bukunya, Tamhidat mengungkapkan perasaanya yang sama ketika dia berkata dalam bahasa Farsi, kafir shudam atau kafartu (I become infidel), Tamhidat, hal 215 no. 275. 22Ayn al-Qudat, Tamhidat, hal 210 No. 270. Editor: 'Afif 'Usayran. Intisharat- e Daneshgah-e Tehran, 695. Tehran 1966. 23Carl W. Ernest, Words of ecstasy in Sufism, hal 88. 16 What is the infidel's condition? To desire faith in infidelity. Infidelity and religion both are following in Your path, crying He alone, He has no partner"24 Inilah di antara yang dinisbatkan pada sufi. Hadis Kuntu Kanzan.... Adapun mengenai hadis Kuntu kanzan makhfiyyan, Kita bisa menelaah hadis ini dari dua segi, pertama, dari segi periwayatan dan sanad hadis tersebut. Apakah hadis itu termasuk hadis qudsi?, ataukah terdapat di dalam kitab-kitab hadis baik kitab Ahlus Sunnah maupun Syiah. Apakah sanadnya hanya berdalil pada segi ke'irfanannya saja, dan berhubungan hanya dengan masalah-masalah 'irfan, pembahasan ini membutuhkan tempat tersendiri yang harus kita bahas. Kedua, dengan jalan diroyah. Apakah tafsir dari hadis ini?, dan apa yang dimaksud oleh para 'arif dengannya?. Najmuddin Kubra Khuyuqi diriwayatkan sebagai orang pertama yang meriwayatkan hadis ini, dan Ibn al'Arabi adalah orang yang menafsirkannya pertama kali, lalu disyarahi oleh Mirza Musa seorang mujtahid yang juga ahli di bidang kedokteran. Beberapa catatan syarah atau komentar terhadap hadis ini juga diketemukan tanpa nama penulis yang jelas25. Komentar atau syarah yang ada di hadapan anda sekarang ini, sebagian besar bahannya bersumber dari jurnal tiga bulanan Sophia Perennis- The Bulletin of Iranian Academy of Philosophy26. Komentar ini ditemukan dan diedit oleh seorang filusuf Iran, Muhammad Taqi Daneshpajuh di perpustakaan Institut Fanco-Iranien, tertanggal tahun 857 H, diduga penulisnya adalah Najmuddin Dayah Razi27, Muhammad Taqi menyebutkan alasan mengapa dia mengedit dan menerbitkannya sebagai dasar kecintaannya dan rasa tertariknya terhadap hadis ini, dia ingin para pecinta 'irfan pun mengambil manfaat dari syarah ini. Komentar itu berbentuk tanya jawab yang bisa 24Ruzbihan 25Fehres Baqli Shirazi. Sharh-e Shathiyat. Editor: Henry Corbin. Bibliotheque Iranienne, 12. Tehran, 1966. nuskhehhoye khatiye Farsi hal 1229, Fehres Donesygoh jilid 3 hal 469, Astan-e Ridhawi (a.s) jilid 5 hal 106 26Sophia Perennis, The Bulletin of Iranian Academy of Philosophy, Volume III, Number 1, Spring 1977, Tehran, Iran. 27Najmuddin Dayah Razi adalah penulis kitab sufi terkenal, Mirshad al-'ibad. 17 mengasah intelegensia kita dan memancing rasa ingin tahu yang lebih dalam. Di bawah ini sebagian dari komentar yang ditulis olehnya: Syarh (komentar) atas hadis Kuntu Kanzan... Bismillahir rohmanir rohim Wa bihi nasta'in Qola Allah ta'ala: Kuntu kanzan makhfiyyan qabla ijad al-'alam wal adam. Fa ahbabtu an u'raf, fa kholaqtul khalqa likay u'raf. Allah yang Mahatinggi berfirman: Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi sebelum terciptanya alam dan insan. Aku ingin diketahui, karenanya kuciptakan makhluk supaya aku bisa diketahui. 1. Allah Mahasuci yang tersembunyi, dari siapa atau apakah Dia tersembunyi? Jika ia tersembunyi dari diriNya sendiri, maka sifat Jahil akan ada pada diri Allah, Mahasuci Allah dari sifat yang demikian. Dan jika Dia tersembunyi dari selainNya, bukankah tiada sesuatu yang ada selainNya, tidak ada makhluk yang sudah Dia ciptakan, karenanya dari siapa atau apakah Dia tersembunyi? Ungkapan ini hanya sebuah kiasan, dalam artian bahwa Tuhan tahu terhadap DzatNya dari dzatNya sendiri, tetapi tidak diketahui dari atau pada selain dzatNya. Ketidaktahuan dan ketidak nampakan Tuhan ini diibaratkan sebagai ketersembunyian. Atau lebih jelas lagi hadis tadi bisa ditafsirkan sebagai berikut, Kuntu kanzan fil azal, kuntu 'arifan bi dzati fi dzati, wa lam yakun syaiun mawjudan hatta ya'rafu dzati bi dzati, fi dzati. Aku ini adalah perbendaharaan azali, Aku tahu dzatKu dalam dzatKu, dan belum ada satu benda pun yang ada sehingga bisa mengenali dzatKu dengan dzatKu, di dalam dzatKu. Inilah yang dimaksud dengan ketersembunyian dzat Allah yang Mahamulia. 2. Bukankah Dzat Allah yang Mahatinggi selamanya menghendaki untuk diketahui, sebagaimana firmannya, faahbabtu an u'raf ...maka aku ingin diketahui, dan bukankah dengan kesempurnaan ilahiyyah dan kekuatan Allah yang sempurna, 18 Tuhan bisa dengan segera, bahkan pada saat itu juga, ketika Dia menginginkannya, Dia menciptakan makhluk supaya Dirinya bisa diketahui dari selainnya, lalu mengapa ada selang waktu untuk menciptakan alam semesta ini? Ketahuilah, bahwa masalah ini benar-benar masalah yang sulit. Tidak ada jawaban yang layak untuk masalah ini, tetapi seorang muhaqqiq pernah berkata: Sebagaimana Tuhan menghendaki penciptaan alam semesta ini supaya diriNya bisa diketahui, kehendak ini adalah kehendak ta`ani yaitu kehendak yang dijalankan secara perlahan dalam aspek ilahiyyah, bukankah Fa'il atau subyek memiliki alternatif, bukankah Dia memiliki otoritas untuk melakukan dan untuk tidak melakukan apa-apa yang diinginkannya, sebagaimana dinyatakanNya ...Yaf'alu ma yasya`u wa yahkumu ma yurid, Dia melakukan apa yang dikehendakiNya dan mengukuhkan apa yang diinginkanNya. Semua yang dilakukannya berdasarkan hikmatnya. Penundaan dalam penciptaan makhluk bukan dikarenakan keterbatasan kekuatan Tuhan melainkan sebuah hikmat yang hanya layak diperuntukkan untukNya (La'iq al-Wahiyyah). 3. Bukankah tujuan Allah Sang Pencipta dari penciptaan alam ini adalah supaya keseluruhan AsmaNya yang mulia yang mencerminkan kesempurnaan Dia bisa Dia dapati dan Dia saksikan pada Kaun al-jami'', yaitu makhluk yang bisa menyerap seluruh Asma Tuhan, dan bukankah Kaun al-Jami' itu adalah manusia, lalu mengapa manusia tidak diciptakan terlebih dahulu dari seluruh alam ini, mengapa manusia diciptakan setelah alam semesta ini tercipta, Bukankah Tuhan menginginkan untuk segera diketahui? Tidakkah Tuhan menginginkan adanya Kaun al-Jami' dengan segera? apakah maksud dari penundaan penciptaan manusia? Alam semesta adalah alat bagi manusia untuk menuju kesempurnaan, lewat alam inilah manusia bisa mencapai kesempurnaan. Karena itu alam diciptakan terlebih dahulu daripada manusia. Alam juga adalah peti harta, sementara manusia adalah hartanya, dan kalau peti tidak ada maka dimana harta bisa berada. Seorang muhaqqiq berkata: Keseluruhan mawjud pada alam semesta ini, baik mawjud-mawjud dari alam sughra (mikrokosmos) maupun alam kubra (makrokosmos) adalah satu ikatan, dan 19 manusia adalah kalbu dan batinnya ikatan ini. Karenanya haruslah ada bentuk lahiriah dari mawjud sehingga kalbu bisa disimpan di dalamnya. Alam semesta bagaikan sebuah kerang mutiara di lautan kekuatan ilahi, dan manusia ibarat mutiara di dalamnya. Tanpa kerang bagaimana mutiara bisa terbentuk. 4. Mengapa Nabi Adam a.s diciptakan lebih dahulu daripada Nabi Muhammad saw, bukankah Rasulullah saw adalah puncak daripada kesempurnaan? Bukankah hal itu berarti Kaun al-Jami' yang pertama telah terwujud? Lalu mengapa Kaun alJami' ini tidak diciptakan pertama kali? Dan apa tujuan diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir? Nabi Muhammad saw dari aspek arti dan ke-ruh-an diciptakan lebih dahulu dari Nabi Adam a.s bahkan dari segala sesuatu, sebagaimana bunyi sebuah hadis dari Rasul yang mulia, Awwalu ma kholaqo ta'ala ruhi, Sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Dia yang Mahatinggi adalah ruhku. Tetapi dari segi sosok dan bentuk lahiriah, dari aspek perwujudannya secara empiris, penundaan ini disebabkan oleh karena Adam a.s adalah kerang mutiara dari wujud Ahmad saw yang merupakan mutiara tersebut. Hikmat dari hal ini mengharuskan adanya wujud kerang yang bisa menyimpan mutiara di dalamnya. Lalu proses penyempurnaan bagaikan permulaan dari awal hingga akhir, atau dari lembah hingga puncak. Demikian pula Nabi Adam a.s adalah awal dari kesempurnaan dan Rasul adalah akhir dari kesempurnaan itu. Tentu saja awal lebih dahulu daripada akhir. Lalu Nabi Muhammad saw adalah penampakan dari dzat Tuhan, sementara Nabi Adam adalah perwujudan dari sifat-sifat dan asma Tuhan. Tuhan yang Mahamulia dari segi amal, mendahulukan penciptaan batin dzat atas perwujudan lahiriah dari sifat-sifatnya, sementara dari segi wujud Dia menciptakan penampakan sifatNya lalu menuju batin dari dzat tersebut. Karena Nabi Adam a.s adalah penampakan sifat-sifat Tuhan, maka ia diciptakan terlebih dahulu. Nabi Adam a.s adalah cahaya pintu gerbang Istana Ilahi, sementara Nabi Muhammad saw adalah puncak sinar dan cahaya yang menerangi , Nabi Adam a.s adalah sosok dari diri Nabi Muhammad saw, sementara Nabi Muhammad saw adalah arti dari wujud Nabi Adam a.s. 20 5. Setelah kita ketahui hikmat dari penciptaan alam semesta dan manusia, sebab dari terbentuknya isi langit dan bumi, dari yang paling rendah hingga yang paling mulia adalah supaya Tuhan bisa menyaksikan diriNya dari selainNya, dan supaya perbendaharaan pengetahuan azali bisa nampak dalam wujud makhlukmakhlukNya; lalu untuk apa kefanaan, ketiadaan, kemusnahan dan kehancuran? Apakah semua itu ada? Fana dan tiada bukanlah dari hakikat (reality), dzat (substance), mahiyyat (esence), ataupun ma'lumat (known facts), melainkan hanya merupakan gambaran. Karena imajinasi dari sebuah gambar, ukuran dari sebuah bentuk dan karakteristik dari sebuah rupa adalah untuk kesempurnaan manusia. Pada hakikatnya fana dan tiada tidak bisa digambarkan. Banyak pendapat para muhaqqiq mengenai hal ini. Sebetulnya pembahasan mengenai hal ini, memerlukan tempat tersendiri. Buku-buku filsafat sudah banyak yang membahasnya.28 6. Karena pada hakikatnya Dzat Tuhan adalah Esa, dan ketunggalan atau ke-esaan adalah atributNya. Lalu untuk apa adanya berbagai macam Suwar (Bentuk jamak dari surah/form yang berarti bentuk)? Suwar adalah perwujudan dari sifat-sifat Dzat Tuhan Yang Mahamulia, keanekaragaman dalam sifat adalah rasional. Adanya berbagai macam suwar dihubungkan dengan aneka sifat Tuhan, bukan dengan dzat Tuhan. 7. Pemuliaan terhadap manusia, seperti yang tercantum dalam Al-Quran Wa laqod karamna bani Adam29, dan telah kami muliakan Bani Adam, berdasarkan surah (form) ataukah berdasarkan ma'na (meaning)30? Tidak mungkin berdasarkan 28Untuk keterangan lebih lanjut, para pembaca bisa merujuk pada buku Keadilan Ilahi karya Murtadha Muthahhari, Mizan. 29Surat Al-Israa':70 30Penggunaan surah (form) dan ma'na (meaning) pada konteks ini jangan disalahartikan dengan penggunaan kata yang sama pada konteks yang berbeda, seperti kata surah yang merupakan lawan kata dari maddah atau hayula' (matter) dalam bahasa hilomorfisme atau hilozoisme yang banyak digunakan oleh para filosof Islam dan pengikut ajaran Aristoteles (Aristotelian). Dalam konteks yang pertama ma'na dihubungkan dengan esensi atau prinsip, dan surah dengan substansi, yang merupakan aspek reseptif dan material sebuah benda; sementara pada konteks yang kedua, surah diartikan sebagai form tetapi dalam artian khusus para Aristotelian dan Thomistic, karena itu surah adalah esensi dan prinsip yang sama sekali bertentangan dengan kutub materi. Mengenai pendapat Jalaluddin Rumi tentang arti-arti ini, silakan merujuk pada buku Sayyid Husein Nasr, Jalaluddin Rumi - Supreme Poet and Sage. 21 surah, karena firman Allah yang lain berbunyi, Khuliqol insanu dha'ifa31, diciptakanNya manusia dalam keadaan yang lemah. Tidak mungkin juga dari segi ma'na, sebagaimana firman Allah, Innahu kana zhuluman jahula32, sesungguhnya manusia itu adalah makhluk yang zalim dan jahil. Manusia adalah makhluk yang mulia bila ditinjau dari keseluruhan wujudnya, tidak berdasarkan hanya kepada surah saja, ataupun hanya kepada ma'na. Keseluruhan wujud manusia adalah penampakan dari seluruh alam semesta dan mata cahaya dari seluruh cahaya-cahaya Ilahi. Atau bisa juga dikatakan bahwa kemuliaan manusia didasarkan atas kemanusiaannya, karena arti daripada insani atau kemanusiaan adalah ruh qudsi (ruh yang suci). Ruh manusia adalah mawjud yang paling dekat dengan Tuhan swt. Wa kullu ma huwa aqrabu billah, huwa akramu wa asyrafu min jami'i khalqillah, dan segala sesuatu yang lebih dekat dengan Allah swt, maka dia akan menjadi lebih mulia dan lebih utama dari makhluk-makhluk Tuhan yang lainnya. 8. Menurut penjelasan anda tadi, kemuliaan manusia dikarenakan kedekatannya dengan Allah swt, akramiyyatnya dikarenakan aqrabiyyatnya. Apa yang menjadikan manusia dekat dengan Tuhan, apa sebab kedekatan manusia dengan Tuhan? Manusia dekat dengan Tuhan dari beberapa segi: Pertama, bahwa sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah swt dari pancaran cahaya ilahiNya adalah ruh manusia, sebagaimana sabda Nabi saw, dan setelah itu semua makhluk-makhluk lain diciptakanNya dari ruh ini. Tentu saja yang pertama kali ada lebih dekat dari yang sesudahnya. Kedua, makhluk-makhluk itu diciptakan Dia yang Haq dengan perantara ruh tersebut, sedangkan ruh tadi tanpa perantara. Juga jelas bahwa yang tidak memiliki perantara lebih dekat daripada yang memiliki perantara. Ketiga, makhluk-makhluk itu diciptakan dengan kata perintah "Kun", sedangkan ruh manusia tercipta dari sebuah fermentasi Ilahiah, yang terdiri dari dua sifat, Jalal 31Surat 32Surat An-Nisaa':28 Al-Ahzab:82 22 (Yang Mahatinggi) dan Jamal (Yang Mahaindah). Jalal dan Jamal adalah sifat-sifat yang sering dikemukakan oleh para sufi ketika mereka membahas masalah wujud33, sementara menurut Dr. Sayyid Ja'far Sajjadi dari Iran dalam kamus istilah tashawufnya, Jalal diartikan dengan ketertutupan Yang Haq dari pandangan makhlukNya dan kekuatan Tuhan yang Mahadahsyat, dia juga menyebut arti lain dari Jalal yang sedikit banyak muncul dalam istilah-istilah kaum sufi, yaitu penampakan kebesaran ma'syuq (Sang Kekasih -dalam hal ini Tuhan-), bahwa Dia melebihi 'asyiqNya dalam segala hal. Hal ini juga mengukuhkan bahwa manusia atau si pecinta adalah orang yang lemah, tak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara Jamal didefinisikan sebagai Penampakan kesempurnaan ma'syuq terhadap 'asyiq, arti yang hampir sama dengan Jalal, definisi-definisi ini adalah istilah yang lazim digunakan di dalam kitab-kitab tashawuf. Lain dengan apa yang sering digunakan oleh kebanyakan orang lainnya. Menurut Syah Ni'matullah Jamal berarti tajalli (perwujudan) Tuhan untuk Dia sendiri, beliau menyebut sifat Jalal sebagai Jamal al-Muthlaq (Jamal yang sempurna).34 Dari semua penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa penciptaan makhlukmakhluk didasarkan atas qudrah (kekuatan) Tuhan, sementara ruh manusia tercipta dari kehendakNya, hal ini menyimpulkan bahwa manusia diciptakan tanpa melalui proses, sedangkan makhluk-makhluk lain diciptakan dalam satu proses tertentu35, dengan kata lain terdapat perbedaan yang besar antara Amr (kata perintah) yang mendasari penciptaan manusia dengan Fi'il (kata kerja) yang mendasari penciptaan makhluk-makhluk lain. Keempat, Alam Kubra diciptakan hanya dalam enam hari, sedangkan penciptaan ruh manusia mencapai waktu empatpuluh hari lamanya. Dan semakin lama proses penciptaan dalam martabat ilahiyyah mencerminkan kesempurnaan wujud dan kemuliaan makhluk ini. 33Abdul Hadi W.M, "Syaikh Hamzah Fansuri", Ulumul Qur'an No.4, Vol V, tahun 1994 Sayyid Ja'far Sajjadi, Farhang-e Istilahat-e 'Irfani, hal 289. Kitabkhaneh Thahuri Tehran, 1991 35Hal ini tidak membatasi kekuatan dan kesempurnaan Tuhan dalam menciptakan makhlukNya, dengan adanya suatu proses bukan berarti Tuhan tidak mampu untuk melakukannya tanpa proses, sekali lagi ini adalah sebuah hikmat yang hanya layak untukNya, bukankah Tuhan yahkumu ma yasya`u wa yaf'alu ma yurid. Wallahu a'`amu bish showab. 34Dr. 23 9. Allah yang Mahakuasa menciptakan alam ini supaya asma dan sifat ilahiyyahNya tercermin pada selainNya, dengan sifat yang manakah Dia menciptakan alam ini? Dia menciptakan alam semesta ini dengan sifat JamalNya, Tashodumul jalal wal jamal fa gholabal jamal 'alal jalal, terjadi kolisi antara sifat jamal dan jalal, lalu jamal mengalahkan jalal. Apakah mungkin terjadi pertentangan atau perseteruan antara sifatsifat Tuhan? Jawabannya tentu saja, ya, sebagaimana bunyi sebuah hadis qudsi, ...sabaqot rohmati 'ala ghadhabi, rahmatKu mendahului ghadhabKu (amarahKu), di dalam hadis itu dijelaskan ketika rahmat Tuhan mendahului amarah dan adzab Tuhan, mungkin ketika Tuhan melihat manusia dan dunia yang sudah dipenuhi dengan kenistaan dan angkara murka, ingin sekali rasanya Tuhan menimpakan dan menurunkan adzabNya pada makhlukNya itu, namun kasih sayang dan rahmat Tuhan telah mendahului amarahnya, sehingga Tuhan tidak menghukum hambaNya dengan segera. 10. Darimanakah ruh manusia berasal, apakah berasal dari cahaya dzat Tuhan ataukah dari sifat Tuhan? Sebagian 'urafa mengatakan berasal dari cahaya dzat, sementara yang lainnya berpendapat bahwa ia bersumber dari sifat Jalal dan Jamal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatb al-Aqtab Najm al-Kubro dari Sayyidil 'Arifin Abi Bakr al-Wustho, "Tashodumu sifatul jalal wal jamal, fatawallada minhumar ruh" Terjadi kolisi antara sifat jalal dan jamal, lalu lahirlah dari keduanya ruh manusia. Wallohu a'lamu bishowab Wa ilaihi al-marja'u wa al-ma`ab 24 Penutup: Meleburlah bagai setetes air di lautan Saya yakin berbagai pertanyaan muncul dalam benak anda, biarkan pertanyaanpertanyaan itu mengganggu anda sehingga anda akan berusaha untuk mencari jawabannya, biarkan tangan anda meraup setetes air dari samudra hikmat ilahi, berikanlah pada jiwa anda yang gersang. Biarkan tangan anda menggapai secercah cahaya ruhani, terangilah diri anda dengannya. Marilah kita memulai untuk menjadi "kafir" bagai para sufi, meniti langkah mereka dan berekstase seperti mereka. Konon kabarnya, setetes air yang jatuh ke lautan, ketika dia bergabung ke laut itu, ia lebih senang memandang dirinya sebagai lautan bukan sebagai tetesan kecil air yang jatuh ke lautan., jangan biarkan keinginan untuk mengetahui dan mengenal Tuhan lebih baik hilang dari hati anda. Barangsiapa yang mencari dan melangkah menuju Tuhan, Tuhan akan melangkah lebih dekat lagi mendekatinya, marilah kita ayunkan langkah kaki kita sekarang juga, meniti jalan para sufi, menjatuhkan diri ke dalam lautan wujud yang maha luas. Bukankah telah kami lapangkan dadamu, dan kami hilangkan bebanmu, yang memberatkan punggungmu. Telah kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai dengan satu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Hendaknya, hanya pada Tuhanmulah kamu berharap. (Q.S 94:1-8) ***** 25