EKSISTENSI `URF PADA PERUBAHAN
QAWL AL-SYĀFI`Ī (TELA`AH TERHADAP HUKUM
MUNĀKAHĀT)
Muhamad Harun∗
Abstract:
`Urf as one of the methods istinbāţ there is no law in the legal
constructs formulated by al-Syāfi`ī the book of al-treatise.
However, the phenomenon of change qawl al-Syāfi`ī of qawl
qadim to Jadid not based on texts which have implications for
the interpretation of the existence of two `Urf; `Urf effect or no
effect on these changes. In the case of the existence of the field
of `Urf Munākahāt apparently only affects the order tanfīz.
While in the process of change qawl al-Syāfi`ī remains influential
in the texts. So it is understandable, why not include the al-`Urf
Syāfi`ī on istinbāţ methods besides legal interpretation that` Urf
effect on qawl change must be understood in the context of
tanfīz.
` ا ﻟ ﻌ ﺮ ف و أ ﺳ ﻠ ﻮ ب و ا ﺣ ﺪ ﻟ ﻠ ﺤ ﻜ ﻢ ﻏﯿﺮ ﻣﻮﺟﻮدة ﻓﻲ ﻗ ﺎ ﻧ ﻮ ن ا ﻟ ﺒ ﻨ ﻰ اﻟﺘﻲ ﺻﺎﻏﮭﺎ:ﻣﻠﺧص
ﻟ ﻜ ﻦ ظﺎھﺮة ﺗﻐﯿﺮ اﻟﻘﻮل اﻟﻤﻔﯿﺪ اﻟﻘﻮل اﻟﻤﻔﯿﺪ ﺷ ﺎ ﻓ ﻌ ﻲ. ﺷ ﺎ ﻓ ﻌ ﻲ ﻋ ﻠ ﻰ ﻗ ﻨ ﺎ ة ا ط ﺮ و ﺣ ﺔ
. اﻟﻘﺪﯾﻢ إ ﻟ ﻰ اﻟﺠﺪﯾﺪ ﻻ ﯾﻘﻮم ﻋﻠﻰ ﻧ ﺎ ش ﺗ ﻮ ر ط اﺛﻨﯿﻦ ﻣﻦ اﻟﺘﻔﺴﯿﺮات ﻟ ﻮ ﺟ ﻮ د ` ا ﻟ ﻌ ﺮ ف
ﻓ ﻲ ﺣ ﺎ ﻟ ﺔ و ﺟ ﻮ د ﻣ ﺠ ﺎ ل ا ﻟ ﺰ و ا ج وﯾﺒﺪو. ` أ ﺛ ﺮ ا ﻟ ﻌ ﺮ ف أ و أي ﺗﺄﺛﯿﺮ ﻋﻠﻰ ھﺬه اﻟﺘﻐﯿﯿﺮات
أ ن ﺗ ﺆ ﺛ ﺮ ﻓ ﻘ ﻂ ﻋ ﻠ ﻰ ` ا ﻟ ﻌ ﺮ ف ﺣ ﻔ ﺎ ظ ﻋ ﻠ ﻰ ا ﻟ ﻨ ﻈ ﺎ م ﺑﯿﻨﻤﺎ ﻓﻲ ﻋﻤﻠﯿﺔ اﻟﺘﻐﯿﯿﺮ ﯾﺒﻘﻰ ا ﻟ ﻘ ﻮ ل
.اﻟﻤﻔﯿﺪ ﺷ ﺎ ﻓ ﻌ ﻲ ﺗﺄﺛﯿﺮا ﻓﻲ ﻧ ﺎ ش
Kata Kunci: kebebasan beragama, demokrasi, hak azasi manusia
Kata kunci: `urf, qawl qadīm, qawl jadīd
Secara hirarki, proses penetapan hukum Islam pertama mengacu
kepada Alqur`an lalu kepada Sunnah sebagai sumber kedua.
Pengacuan kepada sunnah dilakukan ketika ketetapan tentang
suatu kasus tidak diatur dalam Alqur`an atau ketika ketetapan
Alamat Koresponden Penulis email: muhharunzamzam@yahoo.co.id.
71
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
Alqur`an masih global (Hasan 1994: 40) Namun ketika timbul
permasahan yang ketentuan hukumnya belum diatur baik dalam
Alqur`an maupun sunah, maka jalan yang harus ditempuh adalah
melakukan ijtihad. Langkah ini telah mendapatkan justifikasi dari
Rasulullah saw ketika Muaz ibn Jabal yang diutus sebagai
Gubernur Yaman melontarkan ide ini (Al-Syajastanī t.t: 303).
Ijtihad sebagai metode istinbāţ hukum dapat berbentuk qiyas,
ijmak, `urf, maslahah atau istihsān.
Al-Syāfi`ī sebagai salah satu tokoh dari empat imam
mazhab, didalam al-Risālah-nya menempatkan Alqur`an dan
Sunah sebagai sumber hukum yang pertama dan kedua.
Sedangkan qiyas dan ijmak masing-masing sebagai metode istinbāţ
hukum yang ketiga dan keempat.
Ada hal yang menarik ketika mencermati al-Syāfi`ī, baik
sebagai seorang Ushūly maupun Faqih. Sebagai seorang Ushūly
pada kitab metodologi hukumnya (al-Risālah) al-Syāfi`ī tidak
membicarakan `urf sebagai metode istinbāţ hukumnya, namun
ketika sebagai Faqih ternyata pada produk-produk hukumnya, -Perubahan qawl qadīm ke jadīd -- tampaknya ada urusan `urf
(Nasution 1998: 188).
Ada dua pendapat yang yang berbeda tentang perubahan
qawl al-Syāfi`ī, bagi Said (1995: 78-79) perubahan tersebut bukan
berdasarkan `urf Mesir. Namun bagi al-Damsyiqī (t.t: 68) dan
Ali Hasballah (1972: 13) perubahan tersebut dipengaruhi oleh
kondisi m.asyarakat. -- urf -- Mesir
Dari pemaparan di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk
melihat bagaimana sesungguhnya keberadaan `urf pada
perubahan qawl al-Syāfi`ī dari qadīm ke jadīd. Mengingat luasnya
permasalahan fiqh, maka tulisan ini akan difokuskan pada bidang
munākahāt (perkawinan).
Selintas tentang al-Syāfi`ī dan Pemikiran Hukumnya
Muhammad ibn Idris al-Syāfi`ī (selanjutnya disebut al-Syāfi`ī)
lahir pada bulan Rajab tahun 150 H/757 M (al-Syāfi`ī 1983:6).
72
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
Tempat kelahirannya adalah Gażżah dibesarkan di Asqalan yang
mayoritas penduduknya orang-orang Yaman (al-Syarbasī
1991:141). Al-Syāfi`ī dari nashab ayahnya (Idris) adalah keturunan
Quraisy, karena silsilahnya sampai ke Abdul Manaf ibn Quraisy
(al-Razī t.t: 13). Adapun dari ibunya (Fatimah) menurut
pendapat yang masyhur ia keturunan al-Azdi (al-Razī t.t: 6).
Sebagai seorang Imam pada diri al-Syāfi`ī terkumpul dua
corak fiqh yang ada pada saat itu yaitu corak ahli hadis dan rakyu.
Ahli hadis adalah corak fiqh yang lebih condong banyak
menggunakan hadis daripada rasio. Corak ini didapat oleh alSyāfi`ī baik dari ulama-ulama Makkah seperti Muslim ibn Khalik
al-Zinjī (w. 197 M) dan Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H) maupun
dari ulama Madinah seperti Malik ibn Anas (w. 179 H) seorang
tokoh ahli Hadis. Adapun corak ahli rakyi adalah corak fiqh yang
lebih dominan menggunakan rasio daripada hadis. Corak fiqh ini
didapat oleh al-Syāfi`ī dari Muhammad Hasan al-Syaibanī (w.
189 H). Dengan terjadinya komunikasi ilmiah dengan alSyaibanī, al-Syāfi`ī yang telah mempunyai bekal corak fiqh ahli
hadis mengolah lalu meletakkan dasar-dasar dan merumuskan
kaidah-kaidah sehingga ulama mengakuinya (Amin t.t: 220)
Identitas al-Syāfi`ī sebagai tokoh imam mazhab yang
berbeda dengan dua corak fiqh yang ada pada saat itu mulai
tampak ketika ia kembali ke Makkah selama sembilan tahun
setelah berguru dari al-Syaibanī. Fase ini merupakan fase
kemandirian al-Syāfi`ī sebagai seorang imam (Zahrah t.t J.II:
230). Kembalinya al-Syāfi`ī ke Irak (tahun 195 H) untuk kedua
kalinya merupakan fase kematangan mazhabnya. Pada fase ini ia
mengkolerasikan pendapat-pendapat yang ada, menyaring
pendapat yang berkait dengan pendapatnya, jika tidak ditemukan
ia mengeluarkan pendapat sendiri (Talibi 1983: 26) Pada tahun
199 H, al-Syāfi`ī kembali ke Makkah, lalu ke Irak untuk
beberapa bulan, setelah itu pergi ke Mesir dan wafat di sana pada
tahun 204 H yang bertepatan dengan 820 M (Zahrah t.t: 240241).
73
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
Corak fiqh al-Syāfi`ī berbeda dengan kedua corak fiqh
pendahuluannya, ia hadir sebagai penengah (Abitrer). Ia tetap
berpegang kepada hadis tetapi tidak melupakan ra’yi. Ia
memegangi hadis tetapi tidak mensyaratkan kesesuaian dengan
amal penduduk Madinah, bahkan ia menerima hadis ahad yang
mencapai derajat sahīh dan harus Iţţiśāl (al-Syāfi`ī 1983 J VIII:
591) Ia juga menerima ra’yi tetapi tidak setuju dengan
penggunaan nalar yang bebas seperti Istihsan (al-Syāfi`ī 1309:
507). Bagi al-Syāfi`ī setiap masalah harus diselesaikan
berdasarkan kepada Al-Qur`an, Sunnah, Ijmak, Qiyas (al-Syāfi`ī
1309: 39)
Menurut al-Syāfi`ī, bahasa Al-Qur’an adalah, Bahasa
Arab oleh karena itu penguasaan terhadap bahasa arab itu
merupakan suatu keniscayaan bagi orang yang ingin
mengistinbatkan hukum (al-Syāfi`ī 1309: 50). Sifat pernyataan
umum dalam bahasa Arab, bagi al-Syāfi`ī, tidak selalu bermakna
umum, tetapi terkadang bermakna khusus dan terkadang juga
bermakna umum sekaligus khusus. Dalam konteks ini al-Syāfi`ī
(1309: 53-790) mengkategorikan pernyataan Al Qur`an menjadi
6 yaitu :
1. Pernyataan umum dengan maksud umum (Q.S al-Zumar:
62).
2. Pernyataan umum dengan maksud umum dan khusus. Lafal
al-nash pada Q.S. al-hujurat: 13 bermakna umum berlaku
untuk semua manusia dan makna khusus yaitu hanya bagi
mereka yang bertakwa yang mulia.
3. Pernyatan umum dengan maksud khusus. Lafal al-nash pada
Q.S al-Haj: 73 yaitu hanya manusia yang menyembah Allah.
4. Pernyataan ﻛﺎﻧﺖ ﻇﺎﳌﺔmenjelaskan kata ﻗرﯾﺔ. sehingga makna
kata pada Q.S. al-Anbiya: 11 adalah penduduk desa, bukan
desa. Ini merupakan contoh dari pernyataan menjelaskan arti
dari suatu kata.
5. Pernyataan yang menjelaskan arti implisit seperti pada kata
اﻟﻘري ةdan اﻟﻌﲑpada Q.S. Yunus: 82 dipahami sebagai
74
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
penduduk desa dan anggota kafilah. Makna-makna ini
dipahami dari makna implisit dari kata-kata tersebut.
6. Pernyataan umum di-tahşīş oleh sunah. Ketentuan Q.S. alNisa: 11-12 di-tahşīş oleh sunnah bahwa agama (Bukhari
1981: 11) dan pembunuh (Ibnu Majah t.t: 913) adalah
penghalang mendapat waris.
Mengenai sunnah sebagai sumber hukum kedua, bagi alSyāfi`ī sunnah Mutawatir tidak perlu dipermasalahkan karena
kesahīhannya tidak diragukan. Pemikirannya ini dapat dipahami
dari pembagian ilmu yang diskemakannya yaitu Ilmu `Ammah dan
Khaşşah (al-Syāfi`ī, 1309: 357-359). Adapun hadis ahad, ia
menerimanya sebagai sumber istinbāţ apabila memenuhi
persyaratan ke-sahīh-an hadis antara lain ittişāl , perawinya tsiqqah,
bukan mudallis, perawi memahami makna hadis, menguasai katakata yang dapat mengubah makna hadis, hadis tersebut tidak
berlawanan dengan riwayat dari orang-orang yang diyakini ketsiqoh-an dan adalah-nya (Al-Syāfi`ī 1309: 370-372).
Hadis mursal ditolak oleh al-Syāfi`ī, kecuali dari Sa’ad ibn
Musayyab (W. 944). Syarat ini disebabkan karena ia menekankan
hanya hadis mursal dari tabi`in besar yang sering bertemu dengan
sahabat yang dapat diterima (al-Syāfi`ī 1983 J. VIII: 465).
Apabila diikuti pemikiran al-Syāfi`ī tentang ijmak, maka
secara praktis ijmak baginya tidak mungkin terjadi pada masa
yang akan datang. Ijmak bagi al-Syāfi`ī tidak lain adalah suatu
kesepakatan antara ahli ilmu tentang suatu masalah yang tidak
seorangpun dari mereka yang menyanggahnya dan itu
merupakan hujjah (al-Syāfi`ī 1983 J.VIII: 293) Jika pernyataan ini
dikorelasikan dengan contoh yang diberikan oleh al-Syāfi`ī
seperti sholat Zuhur empat rakaat, khomr adalah haram, maka
logis jika rumusan ijmak-nya terdapat kata “tidak seorangpun
dari mereka yang ada penyanggahnya” karena ketentuan kedua
masalah tersebut ditetapkan oleh nashh. Dengan demikian,
kesepakatan (ijmak) dimotivasi oleh ketentuan nashh, sehingga
keberadaan ijmak tidak lebih sekedar sebagai penguat.
75
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
Ketidakmungkinan terjadi ijmak diperkuat dengan dengan
pernyataan “ijmak" hanya berkisar pada hukum fardu dan dasar
(al-Syāfi`ī 1983 J. VIII: 292).
Konsistensi al-Syāfi`ī untuk berpegang pada substansi
nash, tidak hanya dibuktikannya pada konsep ijmak sebagai dalil
istinbāţnya, tetapi juga pada konsep qiyas-nya. Bagi al-Syāfi`ī
(1309: 477), semua kejadian ada hukumnya, jika hukum itu
disebutkan, maka diikuti, jika tidak disebutkan maka harus dicari
petunjuknya yang mengacu kepada ketentuan hukum tersebut
dengan cara ijtihad dan ijtihad itu adalah qiyas.
Berdasarkan pernyataan al-Syāfi`ī ini, maka ulama
Syāfi`īyah mendefinisikan qiyas, seperti al-Ghażāli. (1971: 18), alAmīdī (t.t. J III: 170). Dari rumusan-rumusan tersebut,
konstruksi rukun qiyas adalah aşl, far`u, hukum aşl, dan illat. Dari
rumusan rukun ini terlihat jelas, hukum dari suatu masalah yang
baru (far`u) tidak boleh terlepas dari muatan nash (aşl) dengan
syarat illat-nya sama.
Adapun tentang kebenaran yang diperoleh dari qiyas, bagi
al-Syāfi`ī adalah kebenaran relatif, tidak mengikat orang lain,
hanya mengikat bagi yang menemukannya (al-Syāfi`ī 1309: 378379). Dari sini dapat dipahami, sesungguhnya melalui konsep
qiyas, ia menginginkan terjadinya dinamisasi hukum Islam
dengan tetap berlandaskan pada substansi nash.
Tawaran al-Syāfi`ī tentang qiyas dapat dipahami sebagai
penolakannya terhadap konsep istihsan. Ia memandang istihsān
tidak lebih dari talazzuh, mengikuti hawa nafsu (al-Syāfi`ī 1309:
507). Penggunaan istihsān hanya memberi peluang bagi ahli pikir
yang tidak berkompeten untuk menetapkan hukum (al-Syāfi`ī
1983 J. VIII: 316 dan al-Syāfi`ī 1309: 504-505) oleh karena hal
itulah, ia menolak istihsān.
Selintas tentang `Urf
Secara etimologis, `urf berarti sesuatu yang diketahui. Sedangkan
makna terminologis `urf adalah perbuatan umum suatu kaum
76
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
baik berbentuk lisan maupun perbuatan (Sinah t.t: 8). Adapun
dasar legalitas `urf menjadi metode istinbāţ hukum adalah Q.S alA`raf : 199
ﺧذي اﻟﻌﻔوى وأﻣر ﺑﺎﻟﻌرف واﻋرض ﻋن اﻟﺟﺎھﻠﯾن
Al-Qarāfī (w. 684 H) menginterpretasi lafaz `urf pada ayat
di atas dengan kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku dalam
muamalat manusia (al-Qarāfī 1344. J III:149) Sedangkan alQurtubī (w. 671 H) menafsirkan `urf dengan suatu kebiasaan
yang baik yang diterima oleh akal dan jiwa terhadapnya.
Adapun dasar legalitas dari hadis adalah:
ﻓﻣﺎ رأي اﻟﻣﺳﻠﻣون ﺣﺳﻧﺎ ﻓﮭو ﻋﻧد ﷲ ﺣﺳن
(Hanbal, t.t J.I: 397).
`Urf menurut ulama uşūl al-fiqh dibedakan dalam tiga
sudut pandang yaitu dari segi objek, cakupan dan keabsahan.
Dari sisi objek adalah `urf lafzi dan fi`li, dari sisi cakupan adalah
`urf `ām dan khāş sedangkan dari sisi keabsahan adalah `urf sahīh
dan fasīd (Sinah t.t: 16)
`Urf lafzi hanya dipahami pada makna yang jelas, bukan
makna bahasa. Lafal dābbah harus dipahami dengan makna kuda,
Makna `urf, bukan aneka jenis binatang, makna bahasa (al-Jidi
1987: 95-96). Adapun `urf fi`li adalah kebiasaan komunitas
masyarakat yang berkenaan dengan perbuatan biasa-biasa, dan
hukum perdata (al-Jidī 1987: 97). Tombak dan pedang menjadi
hak suami, bantal dan kasur menjadi hak istri merupakan solusi
yang diberikan adat `urf fi`li pada konflik suami istri (al-Zarqa
1967 J.II: 847)
`Urf `ām menurut ibn Abidin sebagaimana diinformasikan
oleh al-Jidī (1987: 98) adalah suatu aktivitas yang menjadi
kebiasaan umum penduduk baik kebiasaan itu bersifat lama
maupun baru. Praktik muamalat merupakan salah satu contoh
`urf ini. Berbeda dengan `urf `ām, ada praktek kebenaran yang
hanya berlaku pada satu negeri atau tempat atau komunitas saja,
ini disebut `urf khas (al-Jidi 1987: 148). Penundaan sebagian
77
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
pembayaran oleh klien pada pembela merupakan suatu praktek
yang telah terbiasa terjadi dikalangan praktisi hukum.
Mencermati contoh `urf, khas dan `ām di atas, tranformasi
`urf menjadi suatu aktivitas yang legal dalam hukum Islam
tampaknya dimotivasi oleh hukum pengecualian, seperti praktek
muamalat adalah hukum pengecualian dari jual beli ideal yang
mengharuskan ijab kabul dalam transaksi.
Praktek kebiasaan dalam masyarakat tidak semuanya
bermuatan positif. Dalam konteks inilah `urf dari sisi keabsahan
dipilah menjadi dua yaitu sahīh dan fasīd. Untuk mengkategorikan
suatu kebenaran menjadi `urf sahīh. Para fuqaha sebagaimana
diinformasikan oleh Abū Zahrah (t.t: 217) memformulasikan
syarat-syarat `urf sahīh yaitu:
1. `Urf berlaku umum (ittirad) dan merupakan kebiasaan
(Ghalabah)
2. `Urf tidak bertentangan dengan nash
3. `Urf tidak bertentangan dengan pernyataan yang jelas (tasrih)
4. `Urf telah ada sebelum penetapan hukum.
Apabila keempat unsur syarat di atas ada pada suatu kebiasaan
baik dari sisi obyek maupun cakupan maka kebiasaan tersebut
dapat menjadi landasan penetapan hukum dan kebiasaan seperti
ini disebut `urf sahīh. Namun jika keempat unsur tersebut di atas
tidak terdapat pada suatu kebiasaan, maka kebiasaan tersebut
tidak dapat dijadikan landasan penetepan hukum dan kebiasaan
ini disebut `urf fasīd.
Tinjauan kasus
1. Mahar rusak sebelum diserahkan oleh suami.
Suami tetap harus mengganti mahar yang rusak selama
mahar tersebut belum diserahkan kepada isteri, karena mahar
tersebut masih dalam tanggung jawab suami. Terjadinya
kerusakan mahar di tangan suami menyebabkan hak isteri untuk
memiliki mahar yang rusak tersebut gugur, tetapi kerusakan
tersebut tidak membatalkan pernikahan. Ini berarti pernikahan
78
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
tersebut dilakukan tanpa mahar, oleh karena itu mahar harus
tetap diberikan suami (al-Nawawī t.t J.16: 343).
Permasalahan yang timbul adalah dengan apakah mahar
yang rusak itu harus diganti? Menurut qawl qadīm, suami harus
mengembalikan yang serupa dengan benda yang rusak tersebut
jika ada yang serupa. Jika benda yang serupa ternyata tidak
ditemukan, maka suami harus mengembalikan dengan harga
benda tersebut menurut harga pasaran tertinggi sejak saat aqad
sampai saat rusak atau hilang. Dalam hal ini al-Syāfi`ī
menyatakan “dikembalikan kepada ganti benda itu, karena benda
yang rusak itu merupakan benda yang wajib diserahkan dan tidak
gugur penyerahan itu dengan adanya kerusakan benda tersebut".
Dalam hal ini al-Syirāzī (t.t: 57) menginformasikan pendapat alSyāfi`ī tersebut sebagai berikut:
.ﻟم ﯾﻛن ﻣﺛل وﺟﺑت ﻗﯾﻣﺗﮫ اﻛﺛر ﻣﺎﻛﺎﻧت ﻣن ﺣﯾن اﻟﻌﻘد اﻟﻰ إن ﺗﻠف ﻛﺎﻟﻣﻐﺻوب
Menurut qawl jadīd, suami harus mengganti dengan mahar
miśil (al-Syāfi`ī 1983 J.5: 65), karena ia merupakan pengganti
yang jelas untuk mahar yang rusak sebelum diserahkan dan
kesulitan untuk mengembalikan benda yang rusak atau yang
hilang itu. Isteri tidak dapat minta ganti dikembalikan
keperawanannya dengan terjadinya kerusakan mahar, karena
menurut syara` hal itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
Berdasarkan hal ini, isteri hanya dapat menuntut suami dengan
sesuatu yang menjadi pengganti hilangnya keperawanan tersebut
(Nawawī t.t J.18: 344)
Untuk sampai ke mahar miśil, al-Syāfi`ī menggunakan
pemikiran analogis kepada kasus jual beli yang dilakukan secara
barter. Seorang membeli kuda dengan baju sebagai alat
pembayaran. Baju sebagai alat pembayaran belum diserahkan
oleh pembeli kepada pedagang. Namun kuda yang telah diterima
oleh pembeli rusak atau hilang. Solusinya adalah pembeli harus
mengganti dengan seharga kuda, bukan dengan seharga baju.
79
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
Ada dua istilah yang dipergunakan oleh al-Syāfi`ī dalam
qawl jadīd yaitu ﺑدل اﻟﻣﻌوضdan ﺑدل اﻟﻌوض
ﻓوﺟب اﻟرﺟوع اﻟﻰ اﻟﻣﻌوض ﻻ اﻟﻰ ﺑدل اﻟﻌوض
(Nawawī t.t J.18 :344)
Kalau kasus di atas dimasukkan dalam ungkapan ini,
maka yang berposisi sebagai اﻟﻌوضadalah seharga baju dan
اﻟﻣﻌوضadalah seharga kuda.
Istilah di atas kalau digunakan istilah “ganti” sebagai arti
dasar dari kata ﻋوضdan ﺑدلkemudian dikaitkan dengan kasus
jual beli di atas, maka ungkapan اﱃ ﺑدل اﻟﻌوضberarti “kepada
pengganti harga”, karena baju sebagai harga. Ungkapan اﻟﻣﻌوض
“ اﻟﻰ ﺑدلkepada pengganti barang” bukan kepada ganti harga.
Berdasarkan pendekatan ini, menurut qawl jadīd yang
wajib dibayarkan pada kasus di atas bukan ganti benda yang
yang rusak, seperti perspektif qawl qadīm dan bukan pula harga
benda yang rusak. Jadi yang harus diganti adalah sesuatu yang
menempati posisi ﺑدل اﻟﻣﻌوضyaitu mahar miśil. Kalau begitu
mahar miśil adalah sesuatu yang menjadi harga barang.
Dari pemaparan di atas terlihat al-Syāfi`ī menggunakan
qiyas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa al-Syāfi`ī
memilih mahar miśil sebagai ﺑدل اﻟﻣﻌوض. Jika nash yang
merupakan landasannya sebagai jawaban pertanyaan tersebut.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah bukankah masalah
substansi pengertian mahar miśil lebih berorientasi kepada
kebiasaan dan adat istiadat. Dapat diduga dengan mahar miśil
pada suatu keluarga atau daerah berbeda dengan keluarga atau
daerah lain. Dengan demikian, kendatipun produk hukum alSyāfi`ī di atas berdasarkan nash dan qiyas, tampaknya pernyataan
sebagian pakar tentang adanya pengaruh ``urf dapat diduga
dalam kaitan ini. Kalau begitu bagaimana sesungguhnya
pengaruh `Urf dalam ijtihad al-Syāfi`ī. Selain kasus di atas, ada
beberapa kasus yang solusinya dengan mahar miśil untuk versi
qawl jadīd.
80
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
2. Mahar musamma sebagai `iwad.
Jika pada kasus khulu` mahar yang telah diterima oleh isteri, yang
akan dijadikan `iwad hilang di tangan istri, atau `iwad itu berubah
atau ternyata bukan milik istri, maka ada dua qawl al-Syāfi`ī
dalam menyelesaikan kasus ini. Dalam konteks ini al-Syirazī (t.t:
73) menyatakan “Menurut qawl jadīd, suami dapat menuntut
isteri dengan mahar miśil. Adapun menurut qawl qadīm, isteri
menggantinya dengan mahar musamma. Penyelesaian kasus ini
seperti kasus mahar (yang rusak di tangan suami).
Di dalam al-Umm, al-Syāfi`ī (1983 J.5: 217) menyatakan:
“kalau wanita ber-khulu` dari laki-laki dengan binatang atau
pakaian lalu binatang itu mati atau pakaian itu rusak maka suami
menuntut istrinya menurut mahar miśil-nya”. Di tempat lain ia
(1983 J 5: 223) menetapkan “jika `iwad dari istri itu adalah
hamba, tetapi ternyata ia merdeka atau cuka ternyata arak, maka
suami menuntut ganti ‘‘iwad tersebut dengan mahar miśilnya”.
Di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhażżāb dinyatakan,
eksistensi ‘iwad tersebut telah diketahui oleh kedua belah pihak,
suami isteri, karena ‘iwad tersebut dimiliki isteri dengan akad
pernikahan. Implikasi dari ini jika ‘iwad tersebut dari bendabenda haram yang tidak sah diperjualbelikan, maka ‘iwad tersebut
gugur dan talak jatuh, serta suami dapat menuntut mahar miśil
perempuan itu (al-Nawawī t.t J.17: 28). Dengan demikian jika
talak jatuh, khulu` juga jatuh. Dalam hal ini menurut al- Syāfi’ī
(1983 J.5 : 215), kalau khulu` jatuh dengan sesuatu yang tidak
patut diperjualbelikan maka talakpun jatuh dan laki-laki
menuntut wanita itu dengan mahar miśil-nya.
Keputusan al-Syāfi`ī di atas dan pernyataannya
“sebagaimana pernyataan kami tentang mahar” dapat diartikan
bahwa penyelesaian kasus tersebut sama dengan penyelesaian
kasus mahar yang akan diserahkan oleh suami hilang di
tangannya. Implikasinya adalah selain penyelesaiannya seperti
kasus di atas untuk versi qawl jadīd, juga untuk versi qawl qadīm,
isteri harus mengganti `iwad, mahar yang dijadikan `iwad, yang
81
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
sama jika ada yang serupa. Namun, jika tidak ditemukan yang
serupa ia harus mengganti dengan harga termahal semenjak
harga saat aqad sampai harga saat pada kejadian tersebut.
3. `Iwad yang aib, cacat
Apabila ada aib, cacat pada `iwad suami diperbolehkan untuk
menolak `iwad tersebut, karena pada umumnya aqad itu
menghendaki terbebas dari aib. Jika suami mentalak isterinya
atas dasar tebusan baju, atau suami berkata: “jika engkau berikan
baju ini, maka engkau akan tertalak”. Lalu isteri memberikan
baju tersebut dan ternyata terdapat aib pada baju itu. Dalam
kondisi ini, suami dapat menuntut isterinya dengan mahar miśil
sebagai gantinya, ini adalah qawl jadīd. Adapun menurut qawl
qadīm suami dapat minta ganti baju tersebut dalam keadaan baik
(al-Nawawī t.t J.17: 24).
Begitu juga dengan hamba yang diberi sifat tertentu oleh
suami sebagai `iwad, tetapi setelah diberikan oleh isteri ternyata
hamba tersebut mempunyai aib, tidak sesuai dengan sifat-sifat
yang ditetapkan oleh suami, maka qawl jadīd menetapkan suami
menuntut mahar miśil sebagai ‘iwad tersebut. Sedangkan menurut
qawl qadīm suami menuntut ganti hamba tersebut karena hamba
tersebut merupakan sesuatu yang jelas dengan sebab adanya
talak. Penolakan dilakukan karena aqad, khulu’, yang terjadi itu
bukan berdasarkan pada benda, sebagai ‘iwad yang jelas.
Demikian juga dengan talak,. Atas dasar itu, suami menuntu
`iwad ,`ain, sesuai dengan sifat pada tanggungan atau jaminan (alNawawī t.t J.17: 25).
Keputusan al-Syāfi`ī pada qawl qadīm ini berpijak kepada
pendapat qadīmnya pada masalah mahar yang rusak di tangan
suami sebelum diserahkan kepada isteri. Kerusakan tersebut
menyebabkan hak isteri untuk memiliki `iwad yang rusak itu
gugur (al-Nawawī t.t J.16: 343), tetapi dikarenakan mahar yang
rusak itu merupakan benda yang wajib diserahkan dan kewajiban
itu tidak gugur dengan adanya kerusakan tersebut, maka
82
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
dikembalikan, diputuskan kepada ganti benda tersebut (alSyirazī t.t : 57).
Di sini terlihat konsistensi al-Syāfi`ī dalam
keputusannya.`Iwad yang tidak memenuhi kriteria, persyaratan
yang telah disebutkan harus diganti dengan `iwad yang
memenuhi kriteria tersebut.
4. Khulu’ dua orang isteri dengan `iwad 1000.
‘Talaklah kami dengan 1000 dirham”, lalu suami menjawab:
“kamu berdua tertalak”. Menurut al-Syāfi`ī, pernyataan khulu’
dan jawaban dari kedua belah pihak di atas berimplikasi pada
jatuhnya talak terhadap kedua isteri tersebut. Permasalahan yang
timbul kemudian adalah tentang penyebutan nilai nominal 1000
dirham tersebut.
Ada dua pandangan terhadap penyebutan 1000 dirham
tersebut.
a) Jika dianggap sah penyebutan tersebut, maka `iwad 1000
dirham itu dibagi atas mereka menurut kadar mahar miśil
masing-masing (al-Nawawī t.t J.17: 28), Al-Syāfi`ī (1983 J. 5:
217) memberikan penjelasan bahwa setiap isteri itu sebagian
seribu menurut kadar mahar miśil masing-masing.
Seandainya mahar miśil dari salah satu keduanya adalah 100
dirham, maka sebagian 1000 yang harus dibayarnya adalah
sepertiga seribu dirham (1/3 x 1000 dirham). Jika mahar
miśil isteri yang lainnya adalah 200 dirham maka ia harus
membayar dua pertiga seribu dirham (2/3 x dirham).
b) Jika penyebutan tersebut dianggap tidak sah, maka ada dua
pendapat al-Syāfi`ī. Menurut qawl qadīm, suami dapat
menuntut kedua isteri sebagai pengganti seribu dirham.
Dikarenakan masing-masing isteri mempunyai mahar miśil,
maka setiap isteri membayar setengah dari mahar miśil
masing-masing. Jadi menurut qawl ini,karena `iwad 1000
dirham tidak sah, maka masing-masing isteri harus
menggantinya dengan setengah dari mahar miśil masing83
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
masing. Sedangkan menurut qawl jadīd, suami dapat
menuntut masing-masing isteri dengan mahar miśil mereka
masing-masing (al-Nawawī t.t J.17: 29). Ini berarti tiap-tiap
dari seorang isteri yang ber-khulu` membayar mahar miśil
masing-masing kepada suami mereka. Jika qawl qadīm
merupakan kebalikan dari qawl jadīd, maka masing-masing
dari isteri membayar setengah dari mahar miśil masingmasing.
Berdasarkan penjelasan di atas, kalau mahar miśil dari
salah satu isteri 100 dirham, maka ia harus membayar 100
dirham. Begitu pula isteri yang lain, jika mahar miśil-nya 200
dirham berarti ia harus membayar 200 dirham. Berbeda dengan
qawl jadīd ini, maka menurut qawl qadīm bagi isteri yang mahar
miśil-nya 100 dirham, ia harus membayar 50 dirham sedangkan
pembayaran 100 dirham harus dilakukan oleh isteri yang satunya
yang mahar miśil-nya 200 dirham.
5. Haid terputus tanpa diketahui penyebab.
Tidak ada revisi pendapat al-Syāfi`ī untuk perhitungan waktu
minimal bagi wanita yang berhaid normal. Secara umum wanita
beriddah paling sedikit 32 hari dan ditambah satu saat waktu.
Seandainya wanita ditalak pada waktu suci, maka waktu suci itu
adalah masa quru’ pertama, kemudian wanita tersebut haid selama
1 hari, lalu suci 15 hari. Masa ini disebut masa quru’ kedua.
Setelah haid 1 hari, lalu suci kembali selama 15 hari. Ini adalah
masa quru’ ketiga (al-Syirazī t.t: 143).
Kalau dicermati penjelasan di atas, tampaknya yang
dimaksud dengan ﺳﺎﻋﺔ, satu waktu tertentu, dapat diartikan
minimal satu jam sehari, beberapa hari yang kurang dari 15 hari
dari sisa waktu sucinya setelah ditalak.
Talak
Suci (Saat tertentu)
Quru’ I
Haid (1 Hari)
Suci (15 hari)
Quru’ II
Haid (1 hari)
Suci (15 hari)
Quru’ III
84
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
Seandainya talak wanita tersebut jatuh setelah 14 hari 23
jam dari masa sucinya. Ini berarti masa sucinya 1 jam. Masa 1
jam inilah yang dimaksud dengan satu waktu. Jadi jumlahnya
minimal iddah wanita adalah 32 hari 1 jam.
Talak
Suci (1 jam)
1 jam
Quru’ I
Haid (1 hari)
Suci (15 hari)
16 hari
Quru’ II
Haid (1 hari)
Suci (15 hari)
16 hari
Quru’ III
Jumlah
32 hari 1 jam
3 Quru’
Selanjutnya dapat diprediksi paling lama waktu minimal
beriddah. Jika ditalak 1 hari setelah suci, sisa waktu sucinya
Adalah 14 hari. Maka waktu iddah bagi wanita tersebut adalah 32
hari + 14 hari = 46 hari.
Talak
Haid (1 hari)
Haid (1 hari)
Suci (14 hari)
Suci (15 hari)
Suci (15 hari)
Jumlah
14 hari
16 hari
16 hari
46 hari
Quru’ I
Quru’ II
Quru’ III
3 Quru’
Bagi wanita yang mempunyai quru’ tetapi haidnya
terputus dan penyebabnya diketahui, seperti sakit atau menyusui
maka menurut al-Syāfi`ī iddahnya tetap dengan quru’ dengan
terlebih dahulu menunggu hilang penyebabnya sehingga kembali
darah haid tersebut (al-Nawawī t.t J.18: 135). Jadi, jika wanita
tersebut sakit yang menyebabkan terputus haidnya, maka
ditunggu sampai ia sembuh. Setelah itu dihitung iddah-nya
dengan quru’, 3 quru’ jika ia menyusui, dihitung iddah-nya dengan
quru’ setelah habis masa menyusui.
Revisi terhadap pendapat al-Syāfi`ī dilakukan olehnya
terhadap penyebab terhentinya haid tidak diketahui bagi wanita
yang mempunyai quru’.
Dalam hal ini al-Syirāzī (t.t.: 143) menginformasikan:
85
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
ﻓﺎل ﻓﻲ اﻟﻘدﯾم ﺗﻣﻛث اﻟﻰ ان ﺗﻌﻠم:ﻓﺈن إ رﺗﻔﻊ ﺑﻐﯾر ﺳﺑب ﻣﻌروف ﻓﻔﯾﮫ ﻗوﻻن
وﻗﺎل ﻓﻲ اﻟﺟدﯾد.ﺑراءة رﺣﻣﮭﻣﺎ ﺛم ﺗﻌﺗد ﻋدة اﻷﯾﺳﺔ ﻷن اﻟﻌدة ﺗراد اﻟﺑراءة
.ﺗﻣﻛث اﻟﻠﻰ ان ﺗﯾﺎس ﻣن اﻟﺣﯾض ﺛﻣﺗﻌﺗد ﻋدة اﻷﯾﺳﺔ
Dari informasi di atas dapat dipahami bahwa menurut
qawl qadīm, iddah wanita tersebut dihitung seperti wanita yang
tidak berhaid lagi dengan terlebih dahulu rahim wanita tersebut
diyakini telah benar-benar bersih. Adapun keputusan hasil
revisinya adalah menunggu wanita tersebut berputus asa
terhadap kedatangan haidnya, setelah itu dihitung iddah-nya
dengan iddah wanita yang tidak berhaid lagi.
Ada dua pendapat untuk mengetahui bersih tidak rahim
wanita.
Pertama;
waktu
yang
dipergunakan
untuk
mengkategorikan rahim bersih adalah 9 bulan, karena pada
umumnya, menurut kebiasaan, wanita hamil selama 9 bulan dan
dengan waktu itu diketahui rahim bersih. Kedua; waktu tersebut
adalah 4 tahun. Argumentasi yang diberikan oleh al-Syāfi`ī
adalah seandainya dibolehkan memendekkannya waktu untuk
mengetahui rahim bersih secara zahir, maka dibolehkan
memendekkan dengan masa haid satu kali saja, karena dengan
waktu tersebut dapat diketahui rahim bersih secara zahir. Tetapi
untuk mengetahui rahim bersih secara yakin maka wajib
dipegangi waktu hamil yang terpanjang yaitu selama 4 tahun.
Setelah diketahui rahim bersih, baik melalui perhitungan 9 bulan
maupun 4 tahun maka dihitung iddah-nya dengan 3 bulan (alSyirāzī t.t.: 143).
Dasar hukum iddah 3 bulan ini adalah riwayat Said ibn
Musayyab yang mengabarkan bahwa ibn Umar menetapkan “jika
wanita ditalak sedangkan haidnya hilang, maka iddah-nya 9 bulan
untuk hamilnya dan 3 bulan untuk iddah-nya. Eksistensi waktu 9
bulan yang mengawali tersebut sebagaimana dijelaskan dalam alMajmu’ Syarh al-Muhażżāb, bukanlah masa iddah, tetapi untuk
mengetahui bahwa ia bukanlah wanita yang punya quru’ (alNawawī t.t J.18: 136). Ini artinya waktu total iddah wanita
86
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
tersebut adalah 9 bulan ditambah 3 bulan, sebagaimana
dipaparkan di atas.
Seperti juga cara mengetahui rahim, untuk mengetahui
kapan masa putus asa wanita terhadap kedatangan haidnya juga
ada dua pendapat. Pertama; perhitungan masa tersebut
berdasarkan masa putus asa, kebiasaan yang terjadi pada,
kerabatnya. Kedua; perhitungan didasarkan kepada masa putus
asa wanita pada umumnya yaitu 62 tahun. Penentuan usia 62
tahun ini lebih disebabkan tidak ada kepastian tentang masa itu
(al-Nawawī t.t J.18 : 136).
Eksistensi `Urf pada Perubahan Qawl al-Syāfi`ī
Kalau diperhatikan kasus-kasus yang perubahannya diduga kuat
berdasarkan `urf, ternyata dasar-dasar perubahannya tetap berada
dalam frame nash. Mahar miśil yang merupakan solusi versi qawl
jadīd pada empat permasalahan yang telah dipaparkan dimuka
adalah contoh yang berlandaskan qiyas. Tampaknya qiyas yang
digunakan adalah qiyas mukhil, karena kedua kasus tersebut, aşl
dan furu’; mempunyai illat yang sama yaitu rusak atau hilang.
Namun ada tokoh-tokoh Syāfi`īyah yang menyatakan `urf
berperan dalam penetapan hukum. Di antara argumentasi
tentang keabsahan penggunan `urf adalah pemahaman tentang
ketetapan Rasulullah saw tergolong fatwa selama tidak ada
ketegasan bahwa ketetapan itu merupakan keputusan.
Pemahaman seperti ini berdasarkan pemahaman masyarakat,`urf.
Selain itu, Abū Hisain al-Basrī menyatakan dari dua
bentuk adat, berupa `āmalī dan lafzī, hanya adat lafzī yang berupa
perkataan umum untuk pengertian terbatas dapat membatasi
ungkapan nash. Secara pendekatan bahasa, lafal dābbah bermakna
mencakup aneka jenis binatang. Namun pengertian umum ini
dibatasi dengan arti dalam perspektif adat, atau `urf lafzī, yaitu
kuda. Ketika ada ungkapan nash yang mengandung lafal ini, arti
yang harus diberikan adalah arti berdasarkan adat atau `urf yaitu
kuda (al-Zarqa 1967: 847).
87
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
Dari pandangan Syāfi’īyah tersebut, terlihat bahwa pada
tataran landasan istinbāţ eksistensi `urf ternyata hanya sebagai alat
atau pisau analisis untuk memahami dasar istinbāţ tersebut.
Dalam hal inilah al-Ghāzali dengan contoh yang diberikan
bahwa air sebagai pembasuh bejana yang dijilat anjing
memberikan ketegasan bahwa `urf mempunyai peranan yang
signifikan dalam memahami nash. Jadi jelas `urf berpengaruh
dalam memahami nash. Dengan demikian dasar hukum istinbāţ
tetap nash.
Rasulullah saw. pernah memutuskan bahwa pernikahan
Barru binti Wasiq tanpa mas kawin, lalu suaminya tersebut
meninggal adalah berdasarkan mas kawin wanita-wanita di
negerinya ( al-Syāfi`ī J.5 : 74). Keputusan ini mengindikasikan
bahwa kadar mas kawin tergantung pada kebiasaan tempat dan
waktu kasus tersebut terjadi. Dengan kata lain penerapan mahar
miśil pada suatu tempat akan berbeda dengan tempat dan waktu
yang lain. Kalau begitu, keputusan al-Syāfi`ī yang berupa mahar
miśil dalam versi qawl jadīd memang berdasarkan pada paradigma
yang dibuatnya yaitu qiyas. Namun ketetapan tersebut
mempunyai korelasi dengan `urf pada tataran pelaksanaan.
Pelaksanaan berapa lama waktu berputus asa bagi
seorang wanita terhadap kedatangan haidnya pada versi qawl
jadīd adalah sarat dengan pengaruh `urf. Kalau diikuti standar
waktu yang ditetapkan pada pendapat pertama yaitu berdasarkan
kebiasaan masa putus asa keluarganya, dapat diduga akan ada
perbedaan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain.
Perbedaan kebiasaan tersebut akan terlihat lebih jelas pada
tataran skala yang lebih besar, seperti pendapat kedua yaitu masa
putus asa wanita di alam ini. Ketetapan 62 tahun yang diambil
karena ketidakpastian masa tersebut mengimplikasikan bahwa
pada usia tersebut pada umumnya wanita berputus asa terhadap
kedatangan haidnya.
88
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
Dari uraian tersebut, pada tataran istinbāţ hukum, `urf
tidak mempunyai pengaruh, tidak berposisi sebagai dalil. Namun
`urf mempunyai pengaruh pada tataran operasional.
Adanya pengaruh pada tataran operasional ini diakui oleh
Izzal al-Dīn `Abd al-Salam (t.t.: 121) memberikan contoh,
interpretasi bahwa izin yang diberikan oleh seorang wanita
kepada walinya untuk menikahkan dirinya berkaitan dengan
kafaah dan mahar yang patut diterimanya yaitu mahar miśil adalah
berdasarkan `urf.
Seorang wali mempertimbangkan faktor kafaah dan
mahar miśil yang akan diberikan oleh calon suami untuk wanita,
kendatipun faktor-faktor itu tidak disebutkan dalam izin
tersebut, merupakan pengaruh `urf.
Pemikiran di atas masih berada pada kerangka semangat
konsep `urf dalam perspektif cakupan khas. Dari perspektif ini,
suatu kebiasan selama tidak bertentangan dengan nash atau
semangat nash tetap tergolong sebagai sesuatu yang absah.
Keberagaman berpakaian yang tidak diatur oleh nash dan tidak
menyalahi nash tetap diakui untuk diberlakukan. Terlebih lagi,
dalam perspektif istinbāţ hukum, bagi sesuatu yang telah diatur
oleh nash. Dengan kata lain, pemberlakuan `urf pada tataran
tanfiz, operasional akan lebih absah pada kasus mempunyai dasar
istinbāţ dibandingkan dengan sesuatu keputusan hukum yang
semata-mata didasarkan kepada `urf. Justifikasi terhadap
pengaruh 'urf pada tataran tanfiz juga diberlakukan dari sisi
persyaratan `urf sahih. `Urf mempunyai pengaruh manakala
memang ada secara umum, (ittirad) dan merupakan suatu
kebiasaan (Ghalabah), selain itu ia juga telah ada sebelum hukum
ditetapkan. Sesuatu akan menempati posisi mahar miśil hanya
dapat diterima manakala sesuatu itu memang telah dikenal secara
umum, dan merupakan kebiasaan, disamping ia telah ada
sebelum sesuatu itu dijustifikasi sebagai mahar miśil. Begitu juga
dengan waktu berputus asa bagi wanita terhadap kedatangan
haidnya.
89
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
Dapat ditegaskan di sini, bahwa secara subtansial
eksistensi `urf berpengaruh pada tataran tanfiz berkaitan erat
dengan konsep `urf baik dari perspektif cakupan maupun
persyaratan keabsahan suatu `urf.
Penutup
Dari uraian di atas terlihat bahwa `urf hanya mempunyai
pengaruh pada tataran operasional. Dengan demikian yang
dimaksud oleh beberapa pakar bahwa `urf merupakan salah satu
faktor penyempurnaan qawl al-Syāfi`ī -khususnya dalam bidang
munākahāt- tampaknya hanya dapat diterima pada konteks ini,
bukan pada konteks sebagai dalil atau dasar istimbāţ hukum. Ini
merupakan suatu konsistensi al-Syāfi`ī terhadap paradigma
hukum yang dibuatnya, sehingga merupakan hal- yang sangat
logis apabila al-Syāfi`ī tidak memasukkan `urf dalam skema dalil
istinbāţ hukumnya, seperti yang tertera dalam kitab metodologi
hukumnya, ar-Risālah.
Daftar Pustaka
Abū Sinah, Ahmad Fahmi, al-`Urf wa al-`Ādah fi Ra`y al-Fuqahā;
(Mesir: Dār al- Fikri al-`Arabi, t.t)
Abū Yusuf, Kitab Kharaj, (Kairo: t.p, 1320 H)
Abū Zahrah, Muhammad, al-Syāfi`ī Hayātuh wa `Asruh wa Fiqhuh
(t.k Dār al-Fikr al-`Arabi, 1984)
--------, Tārikh Mażāhib Islāmīyah, Tārikh, (Kairo: Dār al-Fikr al`Arabi, t.t) J. II
--------, Uşūl al -Fiqh, (Kairo: Dār al-Fikr al-`Arabi, t.t)
`Ajjaj, Muhammad Khatib, Sunnah Qabl at-Tadwin, (Beirut: Dār
al-Fikr al-`Arabi, 1963)
Al-`Arabi, Abi Bakar ibn, al-Ahkām Alquran, Tahqiq Ali AlBajari, (t.k: al-Halabī, t.t) J. III
Al-Amidī, Syaif al-Dīn, al-Ahkām fi Uşūl al-Ahkām, (Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyah, t.t) J. III
90
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
Al-`Aziz, Umar `Abd, Silm al-Wuşūl li ilm al-Wuşūl, (t.k.:Dār alMa'arif, 1956), cet. I
Ali, K., Studies in Islāmic History, (New Delhi: Idara-I Adahiyat-I
Delhi, 1980)
Amin, Ahmad, Duhā al-Islām, t.k.: Dār al-Kitab Al-`Arabi, t.t.)
---, Fajr al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,
1973), J. III.
Anas , Mālik ibn, al-Muwaţţa`, (Beirut: Dār al-Fikr, 1989),cet.I
Al-Bajurī, Ibrahim, Hāsyiah Syaikh Ibrahim al-Bajurī, (Mesir :
Mustafa al-Bābī al-Halabī wa Auladuh, 1343 H)
Beik, Khudri, Tārikh al-Islām, (Beirut: Dār al-Fikr, 1967)
Bukhari, `Abd al-Aziz, Kasyf al-Asrār fī Uşūl al-Bazdawī, (Beirut:
Dār al-Fikr, 1981) J. VII
al-Bustamī, Muhammad Said, Gerakan Pembaharuan Agama:
Antara Modernisme dan Tajdiduddīn, (Bekasi: PT. Wacana
Lazuardi Amanah, 1995)
Damsyiqī, Taqi al-Dīn Abi Bakr ibn Muhammad al-Husainī,
Kifayāh al-Akhyār, (Bandung: Ma`arif, t.t) J.I
Dahlawī, Wali Allāh, Hujjah al_Bāligah, Vol. I (Kairo: Dār alTuras, 1185)
Dimyatī, Abi Bakr bin Muhammad Syata, Hāsyiah I`ānah alTālibīn, (t.k: Dār al-Fikr, t.t), J.I
Gazālī, Abi Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad, alMustafā fi Ilm Uşūl (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t)
---, al-Iqtisad fi 'I'tiqād, Ed. Dr. Ibrahim Agah Cabukca and Dr
Husseyn Attay, (Ankara: Ankara university, 1962)
---, Syifa' al-Galīl fi Bayān al-Syabah wa al-Mukhil wa al-Masalik alTa'lil, (Bagdad: al-Irsyad,1971)
Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad Imām Ahmad ibn Hanbal, (t.k.: alMaimunah, t.t.)
Hasaballāh, Ali, Uşūl Tasyrī Islāmi , (Mesir: Dār al-Ma`ārif, 1972)
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. (Bandung:
Pustaka, 1994)
91
AN NISA'A, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2014 : 71 – 94
Hasan, Hasan Ibrahim, Tārikh al-Islām al-Siyāsi wa al-Dīnī wa alSaqafī, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah)
Hasb Allāh, Alī, al-Tasyrī` al-Islām, (Kairo: Dār al-Ma'arif, 1964)
--------, Uşūl al - Tasyrī`, (Mesir: Dār al-Ma'arif, 1971)
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, (t.k.: Maktabah Tijriah, t.t.)
Ibn Mājah, Sunan ibn Mājah, (t.t), J. II.
Imām al-Haramain, al-Burhān fi Uşūl al -Fiqh, (Qatr: Syaikh alKhalifah ibn al-Sāni, 1399), J. II.
al-Jidī, Umar `Abd al-Karim, al-`Urf wa al-Amal fi Mażhabah alMālik wa Mafhūm laday `Ulamā al-Magribi, (al-Magribi:
Matba`ah al-Muhammadiyah,1987)
al-Jurjānī, Abi Hasan Alī, al-Ta`rifat, (t.k: Dār al-Tunisiyah, 1971)
al-Juwainī, al-Waraqāt pada Ahmad Khatib, al-Nafāhāt ala Syarh
al-Warāqāt, (Singapura: al-Haramain, t.t)
Al-Kalabī, `Abd Allāh Muhammad ibn Jizī, al-Tasīl lī Ulūm alTanzīl, (Mesir. Al-Tijariyah al-Kubra, 1355 hlm), J.II
Al-Tabarī, Abū Ja`far Muhammad ibn Jarir, Kitāb Jami` al-Bayān
`an Ta`wil al-qur`ān, (Mesir: al-Halabī, 1954), J.IX.
Al-Khalaf, `Abd Wahab, ilm Uşūl al-Fiqh, (Kairo:t.p 1965), cet.
VII
Al-Khatib, al-Syaikh Muhammad al-Syarbainī, Mugnī al-Muhtaj ila
Ma`rifah Ma`anī Alfaz al-Minhaj, (Makkah al-Mukarramah:
Dār al-Kutub al-`Arabiyah al-Kubra, t.t.)
Māwardī, Adab al-Qādī, (Bagdad: Matba`ah al-Irsyad, 1971), J.I.
Mutahhari, Murtada, Prinsip-prinsip al-Ijtihad Antara Sunnah
dan Syi`ah , (Jakarta : Pustaka Hidayah , 1990)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
(Jakarta : U.I . Press, 1985),J. I.
----,Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandīngan , (
Jakarta : U.I. Press, 1986)
Nasution, Lahmuddin, "Qawl Qadīm dan Qawl Jadīd
Muhammad ibn Idris al-Syāfi`ī (w, 204): Suatu studi
Tentang Dinamika Hukum Islam Dalam Mazhab alSyāfi`ī dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum
92
EKSISTENSI URF PADA PERUBAHAN QAWL…, MUHAMMAD HARUN
Islam", Disertasi pada PPs IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta 1998.
Nawawī, Abī Zakarīyā Muhy al-Dīn ibn Syarif, Majmu’ Syarh
al-Muhażżāb, (t.k.,: Dār al-Fikr, t.t.) J.16, 17 dan 18.
ūbī,
Abi `Abd Allāh, al-Jāmī al-Ahkām Alqur`an, (Mesir: Dār
Qurţ
al-Kutub, 1960)
Rāzī, Fakhr al-Dīn, al-Mansul fi Ilmu Uşūl , (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.t.)
Sajastānī, Abī Dāud Sulaiman ibn al-Asy`as, Sunan Abī Daud,
(Mesir: Syirkah Maktabah wa al-Matba`ah al-Babī alHalabī, 1952), J. III.
Syahrastāni, Kitab al-Milal wa an-Nihal, Ed. Mahammad Ibn Fath
Allah al-Badran, (Kairo: t.p., 1951, hlm. 370)
Syaibānī, Siyār al-Kabīr, j. I. Hlm.194, 198. J. II, J. IV.
Syalabī, Ahmad Mustafā, Mausū’āt al-Tārikh al-Islāmi wa alHadarah al-Islāmīyah, (Kairo: Maktabah al-Nahdah alMisriyah, 1978), J. III.
---------, Uşūl Fiqh al -Islāmi, (Beirut: Dār al-Nahdah alMisriyah,1986)
Taimiyah, Ahmad ibn `Abb Halim ibn, al-Fatawā al-Kubrā,
(Beirut: Dār al-Ma`rifah li al-Tibāah wa al-Nasr, t.t.), J.
III.
Zaidan, Jurji, History of Islāmic Civilization, (New Delhi: Kitab
Bhavan, 1978)
al-Zarqa`, Mustafa Ahmad, al-Madkhal fi Fiqhi al-`Am, (Damsyik:
alf Ba, 1967), J. III.
al-Zuhailī, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmi Wa Adillatuh, (Damsyik: Dār
al-Fikr, 1989)
---------, Uşūl al -Fiqh al-Islāmi, (Damsyik: Dār al-Fikr, 1986), J. II.
93