[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Ambiguitas Sejarawan Sejarawan dan Validitas Historiografi Tradisional sebagai Sumber Sumber Sejarah di Nusant Nusantara Moeflich Hasbullah Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung Pikiran Rakyat, 1 Desember 2009 “Penggunaan legenda-legenda legenda lokal kiranya perlu digalakkan karena dalam sejarah seja kebudayaan, yaan, anggapan dan kepercaya kepercayaan yang hidup dalam masyarakat kat juga merupaka merupakan “fakta sejarah” yang mempunyai arti tersendiri, di samping mping kemungkina kemungkinan penggunaannya sebagai bahan perbandingan dan pengkajian yang akan mem memungkinkan ditemukannya kenyataan-kenyataan kenyataan seja sejarah lebih lanjut.” Soemarsaid Moer Moertono (Graaf&Pigeaud (Graaf&Pigeaud, 1985: xvi) “Peneliti yang menggunakan nggunakan sumber sumber-sumber kolonial harus selalu mawas diri terhadap bia bias kolonial dalam sumber yang ia a kaji, sehingga tida tidak tersesat pula mengikuti panda pandangan kolonialis.” (Azyumardi A Azra, 1989: viii) M asyarakat Nusantara terutama masyarakat Sunda mengenal nama Sunan Gunung Djati dan sangat menghormati sosoknya sebagai wali yang penuh kharisma spiritual. Dialah penyebar agama Islam di Tanah Jawa khsusunya di Jawa Barat yang menurunkan raja-raja Cirebon dan Banten. Pendiri Kesultanan Cirebon pada abad ke-15 15 dan leluhur para ulama Sunda. Nama aslinya Syarif Hidayatullah bergelar Susuhunan Djati atau Sunan unan Gunung Djati. Ia bukan orang pertama penyebar Islam di Tatar Sunda, tapi melalui kesultanan Cirebonlah Islam tersebar luas ke seluruh wilayah Jawa Barat. Barat. Pengaruh penyebaran Islamnya sangat besar karena dilakukan melalui dua pendekatan: terhadap kerajaankerajaan Sunda melalui pendekatan struktural: seruan, perluasan pengaruh dan penaklukan politik (Galuh dan Pajajaran). Dan terhadap rakyat melalui 1 pendekatan kultural: pengislaman tokoh yang kemudian diikuti oleh masyarakatnya, perkawinan dengan penduduk setempat, melalui seni terutama cerita-cerita wayang, dakwah dan pendidikan. Para wali di Jawa menggunakan dua metode ini dalam proses Islamisasi abad ke- 15 dan 16. Pendekatan struktural dan kultural inilah yang membuat Islamisasi berlangsung efektif dan diterima secara luas hingga akhirnya Islam menjadi identitas kebudayaan Sunda. Metode dakwah parawali terkenal brilian. Sebagi wali, mereka tahu persis metode yang harus mereka terapkan. Sunan Gunung Djati adalah salah seorang tokoh walisongo. Sosok kewaliannya sangat dihormati dan pengaruhnya sangat besar. Kharisma kewaliannya tetap terasa kuat hingga sekarang atau 400 tahun setelah wafatnya. Makamnya di Gunung Jati Cirebon tetap diziarahi masyarakat dari berbagai penjuru daerah, bahkan paling ramai diantara makam-makam walisongo yang lain. Ada yang karena menghormatinya, mendo’akannya dan yang mengharapkan berkahnya. Kontroversi Riwayat Karena pada abad ke-15 dan 16 di tanah Sunda, dan di Nusantara pada umumnya, belum ada tradisi menulis –apalagi dengan pendekatan ilmiah seperti yang secara naif disyaratkan para sarjana Barat– untuk menjadi sumber terpercaya, karenanya sulit ditemukan sumber primer ilmiah yang menjelaskan asal-usul Sunan Gunung Djati secara pasti. Yang harus difahami, ulama tidak pernah menuliskan aktifitas dakwahnya sendiri, atau menyuruh kepada sekretarisnya, untuk menjadi memoir, agar dikenal apalagi menjadi populer. Itu bukanlah tujuan dan tidak menjadi perhatian ulama. Ulama tidak pernah peduli dengan pencatatan: daerah mana saja yang sudah masuk Islam, kapan tahun masuknya, berapa jumlahnya, apalagi penulisan sejarahnya ilmiah atau tidak. Lain kata, itu urusan dunia yang tidak menjadi perhatian mereka. Karenanya, kalau pun ada, hampir semua cerita, kisah atau sejarah dakwah penyebaran Islam oleh ulama pasti dituliskan oleh orang lain, segenerasi atau tidak. Menuliskannya adalah minat orang lain (biasanya para pembesar atau sastrawan pada zamannya). Itupun, mereka menuliskannya dengan tidak akan menggunakan sumber. Penggunaan sumber adalah tradisi ilmiah ketika menulis sudah menjadi kultur masyarakat. Menulis sejarah lokal di Sunda pada abad ke-18, sumber apa yang mau dikutip? Mereka sendiri adalah penulis-penulis perintis, penulis generasi pertama. Menuliskannya secara ilmiah adalah tugas generasi kemudian, tugas ilmuwan modern yang mulai memberlakukan syarat-syarat ilmiah dalam penulisan sejarah. Begitulah dengan Sunan Gunung Jati. Maka, adalah wajar sejarahnya diliputi kontroversi. Historiografi tradisional Islam Sunda baru bermunculan setelah lama tokoh sentral itu wafat. Sumber tertua tentang sejarah Sunan Gunung Djati yang menceritakan sejarahnya baru ditemukan 152 tahun setelah wafatnya yaitu naskah Carita Purwaka Caruban Nagari ditulis tahun 1720 oleh Pangeran Arya Cerbon. Para sejarawan berbeda pendapat tantang asal-usul pasti Sunan Gunung Djati karena berbagai catatan memberitakannya berbeda-beda. 2 Ditambah masalah kepercayaan pada sumber: ada yang lebih beriman pada berita-berita asing yang ditulis oleh pengembara Purtugis dan Belanda, ada yang percaya pada sumber-sumber lokal yang ditulis oleh penulis pribumi. Tome Pires, pengembara Portugis memang hidup sezaman yaitu tahun 1512–1515 saat melancong ke Asia Tenggara. Ia menyebut-nyebut tentang pendiri Kesultanan Cirebon itu dalam catatan laporan perjalanannya. Selama, laporannya obyektif tentu sangat bagus sebagai bukti sejarah. Tetapi, sebagai orang asing yang sedang melintas ditambah pandangan superioritas ras dan kebudayaan yang tidak bisa dipisahkan dari mentalitas bangsa Eropa, catatan orang asing ini pun tidak bisa dipercaya sepenuhnya: kesimpangsiuran, salah tulis ejaan, ketidakfahaman budaya setempat, belum unsur-unsur subyektifitas agama dan prasangka. Ketidakpercayaan ini bahkan muncul dari sesama orang asing sendiri seperti De Graaf dan Pigeaud, Denys Lombar dan Ricklefs dan lain-lain. Ketika mengutip sumber-sumber Portugis, para sejarawan asing itu sering mengiringinya dengan kalimat “yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya.” Sangat jelas, sumber-sumber asing pun tidak dapat dipercaya begitu saja. Subyektifitas akan tetap menjadi karakteristik dalam penulisan sejarah. Namun, tentu, upaya tetap harus dilakukan untuk menemukan yang paling mendekati. Atas kenyataan ini, Denys Lombard, sejarawan senior Perancis yang sangat tekun dan puluhan tahun mengajar dan mendalami Sejarah Asia Tenggara menganjurkan: “Sejarah Sunan Gunung Djati harus disusun kembali berdasarkan dokumen-dokumen yang kadang kala saling bertentangan” (2005, Jilid II, hal. 394). Hingga tahun 2000, kontroversi ini tidak ada yang menekuni untuk mencari kepastian. Ulasan singkat namun cukup memadai baru dilakukan dalam studi terakhir oleh Dadan Wildan dalam disertasi di Universitas Pajajaran yang kemudian menjadi buku Sunan Gunung Jati: Antara Fiksi dan Fakta (2003). Pada Bab I desertasinya, ia mengulas pendapat-pendapat Hoesein Djajadiningrat tentang Sunan Gunung Djati yang dijadikan rujukan oleh para sarjana kemudian seperti oleh Kern, Barros, Hamka, Saksono, Muhaimin, Nina Lubis dan lain-lain. Wildan sampai pada kesimpulannya bahwa studi Djajadiningrat mengandung kelemahan pokok: mengabaikan atau tidak menggunakan sumber-sumber lokal Cirebon yang sarat dengan nilai historis untuk mengungkap sosok Sunan Gunung Djati. Ironisnya, kelemahan ini dianut oleh para sejarawan terkemuka. De Graaf, Lombard, Ricklefs yang semuanya lebih mempercayai tesis Djajadiningrat tentang Sunan Gunung Djati. Mereka, mengikuti Hoesein, percaya bahwa Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah berasal dari Pasai dan nama-nama Fadhillah Khan, Falatehan dan Tagaril adalah sosok yang sama yaitu Sunan Gunung Djati, yang semua nama-nama itu tidak pernah disebut-sebut dalam sumber lokal Cirebon. Ini tentu saja ironis. Bagaimana sebuah studi dilakukan dengan mengabaikan suara orang-orang setempat? Suara orang-orang terkait? Tapi Nina Lubis mengatakan, “kedua interpretasi ini sah-sah saja dalam ilmu sejarah. Hanya untuk sementara ini, pendapat yang dikemukakan oleh Hoesein Djajadiningrat yang dianggap lebih kuat” (Wildan, 2005: 14). De Graaf pun (1985: 140-141), berusaha membuat sekian argumen untuk mendukung tesis 3 Djajadiningrat dan lebih mempercayai babad-babad Jawa (Tengah dan Timur) daripada sumber-sumber Cirebon. Pembicaraan tentang Sunan Gunung Djati sangat kental diwarnai “pertarungan” antara hegemoni tradisi ilmiah Barat dengan historiografi tradisional. Tradisi ilmiah Barat yang mengabaikan unsur-unsur dan budaya lokal sebenarnya sudah diingatkan oleh wisdom-nya Wilfred Cantwell Smith, penulis sejarah Islam, tentang sebuah keabsahan ilmiah: "Anything that I say about Islam as a living faith is valid only in so far as Muslims can say 'amen' to it" (Apapun yang saya pelajari tentang Islam sebagai sebuah kepercayaan yang hidup, hanyalah sah bila mereka sendiri mengatakan “ya” atas kebenaran studi saya itu). Mengikuti wejangan bijaksana Smith, dengan demikian, sejarah Sunan Gunung Djati justru harus ditulis berdasarkan historiografi tradisional yaitu naskah-naskah pribumi yang kita miliki, yang sarat nilai historis seperti Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda, Sejarah Cirebon dll. Ketika mengantarkan buku karya Graaf dan Pigeaud yang terkenal, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan Abad ke-16, karena mereka adalah sejarawan asing yang mempelopori penggunaan sumber-sumber sejarah lokal, sejarawan ahli Jawa, Soemarsaid Moertono mengatakan: “Penggunaan legenda-legenda lokal kiranya perlu digalakkan karena dalam sejarah kebudayaan, anggapan dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat juga merupakan “fakta sejarah” yang mempunyai arti tersendiri, di samping kemungkinan penggunaannya sebagai bahan perbandingan dan pengkajian yang akan memungkinkan ditemukannya kenyataan-kenyataan sejarah lebih lanjut. ” (Graaf&Pigeaud, 1985: xvi) Walau pun “tidak memenuhi syarat ilmiah,” tentu saja Pangeran Arya, Pangeran Sulendraningrat dan Haji Mahmud Rais menulis sejarah Cirebon justru untuk memberikan informasi kepada kita sebagai anak cucunya agar mengetahui dan menghargai sejarah masa silam Cirebon. Kita sangat yakin mereka menulis tidak untuk tujuan dusta. Ungkapan “sebagai sumber tidak bisa dipercaya” yang banyak ditemukan dalam buku-buku sejarah ilmiah adalah ucapan yang menyakitkan bila orang-orang tua yang justru telah berjasa itu masih hidup dan mendengarnya. Kasus Haji Purwa Kasus menyedihkan tentang perlakuan pada sumber sejarah lokal juga terjadi pada pembahasan tentang Haji Purwa, sosok yang sejauh ini dikenal sebagai orang Islam pertama masuk ke tatar Sunda. Ada problem sikap mental dalam penggunaan sumber sejarah oleh para sejarawan kita. Informasi tentang masuknya Islam pertama kali ke tatar Sunda sejauh ini hanya didapatkan dari dua sumber: sumber asing yang ditulis J. Hageman pada tahun 1867 (abad ke-19) dan sumber lokal yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta dari Cirebon. Nina Lubis (2003, Jilid I: 165) menyebutkan dikenalnya Bratalegawa sebagai orang yang pertama masuk Islam dari Keraton Galuh dengan mengatakan “berdasarkan sumber sejarah lokal yang tidak bisa dipastikan kebenarannya” dengan memberikan catatan kakinya. Tetapi, ketika dicek, di catatan kakinya itu ditulis 4 Hageman, bukan sumber lokal. Tampaknya Nina memposisikan diri sama dengan Hageman yang tidak mempercayai sumber lokal. Pertanyaannya, Hageman hidup Abad ke-19, darimana ia mengetahui adanya Brategawa atau Haji Purwa yang hidup pada abad ke-14? Karena, seperti kata Edi S. Ekadjati (Pikiran Rakyat, 10 Januari 2003), dalam menyebutkan Haji Purwa ini, Hageman tidak menyebutkan sumbernya. Jelas, Hageman tidak mengutip Naskah Pangeran Wangsakerta –naskah yang banyak menceritakan kisah Haji Purwa tapi keasliannya diragukan– karena naskah itu baru ditemukan satu abad kemudian. Masalahnya, derajat kedua sumber itu sama. Hageman bercerita tanpa sumber dan Wangsakerta diragukan. Bila keduanya sama, mengapa Hageman yang tetap harus dikutip dan disebutkan? Mengapa kita tidak terdorong untuk lebih mengangkat sumber lokal, hasil jerih payah sejarawan kita, terutama saat kasusnya seperti itu? Di sisi lain, bila diperdalam, masalah kedua sumber itu berbeda. Hageman orang asing, wajar kalau dia tidak memberikan kesaksian pasti. Andalannya hanyalah dokumen yang dia bisa baca. Tapi Pangeran Wangsakerta –terlepas dari kontroversi keaslian fisik dokumennya– sebagai keluarga Keraton Cirebon tentu banyak tahu tentang sejarah pribumi: ada nilai-nilai, pengalaman, bacaan, catatan, ingatan, penjiwaan dan sebagainya yang dia miliki untuk menuliskan sejarah Jawa Barat. Jadi, Pangeran Wangsakertalah dan sumber-sumber lokal lainnya, yang seharusnya lebih mendapat tempat di mata sejarawan pribumi, bukannya orang asing yang juga sama meragukan. Edi S. Ekadjati juga menyebutkan, sesungguhnya informasi lebih lengkap tentang Haji Purwa terdapat dalam naskah Wangsakerta. Tapi, dalam tulisannya di Pikiran Rakyat itu, Edi tidak mau mengutipnya karena alasan “masih ada yang tidak menerima naskah ini sebagai sumber sejarah.” Tapi, ia mengutip Hageman yang ia katakan: “Tanpa menyebutkan identitas sumbernya, J. Hageman (1867) mengungkapkan bahwa Haji Purwa adalah orang Sunda pertama yang memeluk agama Islam.” Tidak menyebutkan atau tidak ada sumbernya, dalam sejarah adalah tidak ilmiah. Tapi kita mengutip (lebih memilih) Hageman dalam menjelaskan Haji Purwa. Mengapa? Mungkin, mengutip sumber asing nuansanya terasa lebih berbobot dan lebih ilmiah. Lagi-lagi, pertanyaan etis perlu diungkapkan: “Mengapa Naskah Wangsakerta yang lebih lengkap isinya dan karya orang Sunda sendiri tidak dikutip hanya karena dipersoalkan keasliannya dan diragukan sebagai sumber sejarah. Sementara Hageman, yang tidak menyebutkan sumbernya alias tidak ilmiah, tetap harus dikutip? Dalam penulisan sejarah, keukeuh pada sumber primer yang kuat sembari kenyataannya tidak ada, akan membuat kita tidak konsisten. Satu sisi informasi itu terdapat dalam sumber lokal, kita memerlukannya dan terpaksa sering mengutipnya, di sisi lain, kita merasa itu tidak ilmiah. Inskonsistensi ini banyak terjadi. Hampir semua sejarawan menggunakan sumber-sumber lokal yang diklaimnya meragukan dan tidak ilmiah. Mereka terpaksa mengutipnya karena butuh informasinya. Menyebutkan sumber adalah aturan ilmiah seperti yang disabdakan Charles Victor Langlois dan Charles Seignobon: “The historian works with documents … There is no substitute for documents: no documents, no history.” 5 Saat sejarawan ilmiah mengutip sumber-sumber lokal yang dianggapnya tidak ilmiah, tanpa sadar mereka mengikuti prinsip “daripada tidak ada.” Kemudian, pada kenyataannya, dibanding sumber asing, sumber-sumber lokal Cirebon yang ada sekarang, tidak ada yang mengalahkan dalam hal kelengkapan informasinya. Karena ketakberdayaan historis, terpaksa, akhirnya, semua sejarawan (yang meragukan dan tidak menerima) harus mengutipnya ketika membahas Cirebon atau sejarah Islam di Sunda termasuk para sejarawan asing seperti De Graaf, Denys Lombard, Ricklefs dll. Soal kekurangannya (kadang tidak ada angka tahun, informasinya ada yang bertentangan, tanpa sumber, berisi mitos dan legenda dll), ya wajar saja. Dulu memang belum ada aturan menulis ilmiah dan tidak ada sumber-sumber untuk dikutip. Yang harus diingat adalah sumber-sumber asing juga banyak kekurangannya. Semuanya tidak ada yang sempurna. Akhirnya, disini, bukan soal ilmiah-tidaknya, tapi soal “sikap menghargai.” Menurut saya, ini lebih luhur dan mulia dari pada soal keketatan aturan ilmiah.[] 6