[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
BIOGRAFI SULTAN ISKANDAR MUDA Sultan Iskandar Muda lahir di Banda Aceh pada tahun 1593. Di usianya yang masih tergolong muda, ia telah memperlihatkan kemampuannya dalam memimpin. Saat baru menginjak usia 13 tahun, ia sudah memimpin pasukan Aceh memukul mundur pasukan Portugis yang mencoba mendarat di pantai Aceh. Rupanya maksud kedatangan Portugis adalah ingin mengambil alih dan memonopoli perdagangan lada di Aceh. Setahun kemudian, ia dinobatkan sebagai Sultan Aceh. Ia menggantikan pendahulunya Sultan Ali Riayat Syah yang berkuasa dari tahun 1604-1607 yang juga dikenal dengan sebutan Sultan Muda. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Aceh mengalami masa jaya karena Iskandar Muda melakukan ekspedisi penaklukan ke daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1612, Deli ditaklukan, kemudian menyusul Johor pada tahun 1613. Setahun kemudian Bintan, selanjutnya secara berturut-turut ia berhasil mengalahkan Pahang di tahun 1618, Kedah di tahun 1619, dan Nias di tahun 1624-1625. Wilayah kerajaannya meliputi sebagian besar pantai barat dan pantai timur Sumatera. Beberapa kerajaan di Semenanjung Malaya (Malaysia) juga berada di bawah kekuasaan Aceh. Kutaraja (sekarang Banda Aceh) merupakan bandar transito yang dapat menghubungkan perdagangan ke dunia Barat. Kutaraja menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal asing dari mancanegara untuk membeli lada. Untuk mengusir Portugis dari Malaka, Iskandar Muda memperkuat angkatan perang Aceh, terutama angkatan laut. Ia membangun angkatan perang dengan jalan mempersiapkan anggota-anggota tentara dengan latihan sejak usia muda. Para pemuda dilatih dan diberikan keterampilan militer oleh pelatih-pelatih yang ahli, baik yang didatangkan dari dalam maupun luar negeri terutama dari Turki. Para pemuda hasil pelatihan ini nantinya akan tergabung dalam angkatan perang Aceh yang tangguh. Musuh utama yang dihadapi Iskandar Muda ialah bangsa Portugis yang sejak tahun 1511 sudah menguasai Malaka. Portugis di Malaka merupakan ancaman terhadap Aceh. Sebaliknya, Portugis pun menganggap Aceh sebagai ancaman terhadap monopoli perdagangan yang ingin mereka jalankan di sekitar Selat Malaka. Karena itulah, antara dua kekuasaan ini sering terjadi bentrokan bersenjata. Kapal-kapal Portugis yang berlayar di Selat Malaka sering diserang oleh armada Aceh. Begitu pula sebaliknya. Iskandar Muda sejak awal pemerintahannya telah memilih politik konfrontasi terhadap Portugis. Ia juga tidak memberi toleransi kepada kerajaan yang menjalin hubungan dengan Portugis. Sebagai contoh kerajaan Johor yang diserang sampai dua kali dan dihancurkan meskipun Johor dibantu oleh Portugis. Berbagai peraturan wajib ditaati oleh bangsa-bangsa lain yang datang ke Aceh. Dengan angkatan perangnya, Sultan Iskandar Muda tidak segan-segan melawan dan menumpas kekuatan asing yang berusaha hendak menguasai negerinya. Serangan terhadap Portugis yang berkedudukan di Malaka dilakukan dari tahun 1615 hingga 1629. Serangan pertama pada tahun 1615 mengalami kegagalan. Serangan kedua kembali dilancarkan pada tahun 1629, kali ini dilakukan secara besar-besaran. Pasukan Portugis terkepung dan terancam. Mereka hampir saja menyerah. Akan tetapi pada saat Aceh hampir memetik kemenangan, Portugis banyak mendapat bantuan dari Johor, Pahang, Patani, Goa, dan Indoa sehingga serangan pasukan Sultan Iskandar Muda dapat dipatahkan. Kerajaaan-kerajaan tersebut memang tidak menyenangi Aceh sebab pernah ditaklukan Aceh pada masa sebelumnya. Dengan datangnya pasukan bantuan itu, Portugis menjadi kuat. Armada Aceh terkepung dan akhirnya mengundurkan diri. Setelah mengalami kekalahan yang kedua itu, Sultan Iskandar Muda lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap masalah-masalah dalam negeri. Dalam bidang pemerintahan, Sultan menata wilayahnya yang disebut mukim dengan membagi kerajaan berdasarkan bidang masing-masing. Sistem pemerintahan disempurnakan dan pendidikan agama mendapat prioritas. Demikian pula dalam hal perekonomian rakyat. Peraturan yang menjamin kesejahteraan rakyat disusun seperti dalam bidang perdagangan, perindustrian, pertambangan, pelayaran, pertanian, dan perikanan. Selat Malaka yang dikuasai Aceh merupakan jalan dagang internasional. Pedagang-pedagang Inggris dan Belanda diizinkan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh menurut jangka waktu tertentu dan harus tunduk kepada peraturan yang diberlakukan oleh Aceh. Selain bangsa Inggris dan Belanda, bangsa-bangsa lain yang melakukan hubungan dagang adalah Arab, Persia, Turki, India, Siam, Cina, dan Jepang. Barang-barang ekspor Aceh adalah beras, lada dan timah (dari Perlak dan Pahang), emas, perak (dari Minangkabau), rempah-rempah dari Maluku. Barang-barang yang diimpor dari luar meliputi kain dari Koromandel (India), porselin dan sutera (dari Jepang dan Cina), minyak wangi (dari Eropa dan Timur Tengah). Kapal-kapal Aceh juga terlibat perdagangan dan pelayaran sampai di Laut Merah. Sultan Iskandar Muda juga merupakan sosok pemimpin yang sangat memperhatikan masalah-masalah adat. Sebelum ia berkuasa, khususnya pada abad ke-12 sampai ke-13, pada masa kekuasaan Kerajaan Perlak terjadi permusuhan antara aliran Syi'ah dan aliran Sunnah wal Jama'ah. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dua aliran itu dilindungi sehingga dapat berkembang di seluruh daerah Aceh. Aliran Syi'ah diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama Syamsudin Pasai. Aliran Sunnah wal Jama'ah sepeninggal Sultan Iskandar Muda juga berkembang dengan baik. Tokoh aliran ini adalah Nuruddin Ar Raniri yang terkenal dengan karya tulisnya tentang kerajaan Aceh yang berjudul Bustanussalatin (Taman Raja-Raja) yang berisi pula adat-istiadat Aceh serta ajaran agama Islam. Pada puncak kekuasaannya, hegemoni Aceh baik politik maupun ekonomi meliputi Pedir, Pasai, Aru, Daya, Laba, Singkel, Babak, Pasaman, Tiku, Priaman, dan Padang. Sedangkan para raja muda (vasal) di Semenanjung Malaya adalah Johor, Kedah, Pahang, dan Perlak. Setelah berhasil membawa Aceh ke puncak kejayaan, pada 27 September 1636, Sultan Iskandar Muda meninggal dunia dalam usia 43 tahun. Atas jasa-jasanya kepada negara, Sultan Iskandar Muda dianugerahi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993. BIOGRAFI SULTAN AGENG TIRTAYASA Sultan Ageng Tirtayasa adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten. Beliau berjuang menentang belanda dan VOC, selain itu terkenal juga karena kepiawaiannya dalam mengurus kerajaan beserta rakyatnya seperti dalam urusan kepemerintahan, keagamaan, pengairan, dan hubungan keluar kerajaan. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Banten tahun 1631, beliau adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang) Perjuangan beliau salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten. Peran Sultan Ageng dalam perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten mempunyai kerajaan Islam. Langkah yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi. Kesejahteraan rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana perhubungan. Sultan Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik tetapi juga berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan. Dia juga menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di masyarakat melalui pondok pesantren. Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun bangsanya. Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat visioner, ahli perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan internasional. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan Makasar, Bangka, Cirebon dan Indrapur. Karakter Sultan Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual.  Bagi dia, kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan pemimpin juga tidak kalah penting. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin. Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pahlawan Nasional pada 1 Agustus 1970 dengan dikeluarkannya Keppres No. 45/TK/1970. BIOFRAFI SULTAN AGUNG Sultan Agung Hanyokrokusumo lahir di Yogyakarta tahun 1591. Pada tahun 1613 saat berusia dua puluh dua tahun, putera panembahan Seda Krapyak ini diangkat menjadi raja Kerajaan Mataram. Ia merupakan raja ketiga Kerajaan Mataram Islam. Sultan Agung yang juga merupakan cucu Panembahan Senapati (Danang Sutawijaya) terkenal tangkas, cerdas dan taat menjalankan agama Islam. Sang kakek yang dilahirkan pada tahun 1591 merupakan penegak Dinasti Mataram. Sultan Agung adalah seorang raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Hampir seluruh pulau Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon berhasil ditempatkan di bawah kekuasaan Mataram. Begitu pula dengan daerah pesisir, seperti Surabaya juga berhasil ditaklukannya agar kelak tidak membahayakan kedudukan Kerajaan Mataram. Hubungan baik ia bina dengan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia terutama dalam hal perdagangan. Utusan khusus Kongsi Dagang Hindia Timur Jauh (VOC=Verenigde Oost Indische Compagnie) Dr. H de Haen yang pernah bertemu Sultan Agung menulis: "Pangeran Ingalaga ini adalah seorang yang berada pada puncak kehidupannya, berusia sekitar 20 atau 30 tahun, berbadan bagus. Sejauh penglihatan kami, sedikit lebih hitam dari rata-rata orang Jawa, hidung kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa, dan lamban bila berbicara, berwajah tenang dan bulat, dan tampak cerdas." Ditambahkannya lagi, "Pakaian tidak berbeda dengan pakaian orang-orang Jawa lainnya, dengan kopiah dari kain linen di kepala, dengan kain di badannya yang dilukis dan dibuat di negaranya, berwarna putih-biru, dengan keris di badan bagian depan dan ikat pinggang dari emas yang disebut sabuk. Pada jari-jarinya terlihat cincin dengan banyak intan gemerlapan". Gambaran yang indah itu perlu dijelaskan. Kopiah dari kain linen hampir dapat dipastikan adalah kuluk putih (fez tanpa rumbai-rumbai), yang sejak masuknya agama Islam dipakai oleh mereka yang taat beribadah. Kain yang dilukiskan itu adalah kain  desainerbatik dengan warna putih-biru. Keris masih dipakai di depan dan berbeda dalam perkembangan selanjutnya dimana keris ditaruh di belakang. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kompeni Belanda sudah menguasai beberapa daerah di Indonesia, antara lain Jakarta dan terus berusaha memperluas daerah kekuasannya hingga ke Indonesia bagian timur. Selain VOC, masih ada Kerajaan Banten yang tidak tunduk kepada Mataram. Keadaan itu merupakan bahaya untuk keutuhan dan kebesaran Mataram. Untuk menghadapi bahaya tersebut, langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa adalah dengan menaklukan sejumlah daerah di Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem ditundukkan pada tahun 1616. Pasuruan, menyusul setahun berikutnya. Kemudian Tuban pada tahun 1619, Madura pada tahun 1624, dan Surabaya pada tahun 1625. Dengan keberhasilannya menguasai kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur, intervensi kekuasaan asing untuk sementara dapat dicegah. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak memberontak, dilakukan politik domestifikasi. Seperti saat penaklukan wilayah Madura, pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, diharuskan tinggal di Keraton Mataram oleh Sultan Agung. Di Keraton, Prasena mendapat perlakuan baik dan dikawinkan dengan putri Keraton yang bernama Ratu Ibu. Baru setelah menunjukkan kesetiaan kepada raja, Prasena diperbolehkan memerintah Madura dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat I. Dengan strategi itu, terbina hubungan yang baik dengan berbagai daerah yang telah ditundukkan. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukan itu tidak merasa menjadi "wilayah bawahan" Mataram, melainkan merasa menjadi mitra yang diperhitungkan bahkan terbina hubungan kekeluargaan yang baik. Lewat upaya itu, sebagian wilayah di Pulau Jawa dapat dibina dan disatukan. Untuk menghancurkan kedua musuhnya di Jawa Barat, Sultan Agung menawarkan kerjasama dengan VOC untuk menghancurkan Banten. Dalam rencana Sultan Agung, setelah Banten hancur, barulah kemudian VOC diperangi. Namun tawaran kerjasama itu ditolak oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC pada masa itu. Coen tampaknya mengetahui bila kerajaan Banten sudah dapat dihancurkan, kongsi dagang itu akan menjadi sasaran Sultan Agung berikutnya. Karena itu, VOC tetap memelihara pertentangan dengan kerajaan itu dan memainkan pengaruhnya di setiap pergantian raja. Raja yang pro VOC akan didukungnya dengan membayar imbalan berupa penyerahan sebagian tanah kerajaan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Mendapat penolakan itu, Sultan Agung tidak langsung berputus asa. Ia memperbesar angkatan perang Mataram dan rencana untuk menyerang Belanda di Jakarta pun disusun. Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda. Serangan pertama dilancarkan pada tahun 1628. Sultan Agung mengerahkan sebuah armada yang terdiri atas 59 buah kapal dan pasukan darat berjumlah kurang lebih 20.000 orang. Pasukan tersebut menempuh jalan yang sangat jauh dari  Yogyakarta ke Jakarta. Mereka menyerang benteng Belanda dengan persenjataan tombak dan pedang. Beberapa orang panglima perang turut memimpin antara lain Baurekso dan Tumenggung Suro Agul-agul. Untuk membendung serangan hebat itu, VOC mengerahkan 2.866 serdadu. Dalam pertempuran yang berlangsung siang dan malam itu, Belanda dengan meriam-meriamnya berhasil melawan pasukan Mataram. Serangan pertama itu pun berakhir dengan kegagalan. Untuk kedua kalinya, pada tahun 1629 pasukan Mataram bergerak lagi melalui jalan darat ke Batavia dengan persiapan yang lebih baik. Pasukan-pasukan berkuda dilengkapi dengan gajah-gajah yang mengangkut meriam. Di beberapa tempat seperti Tegal dan Cirebon didirikan gudang-gudang untuk menyimpan bahan makanan. Kota Batavia dikepung dengan ketat. Meriam-meriam Mataram menghujani benteng-benteng Belanda. Pasukan Mataram berhasil merebut Benteng Hollandia tetapi pasukan Sultan Agung tidak berhasil mempertahankan benteng karena pada waktu itu berjangkit wabah penyakit sehingga banyak pasukan Mataram yang terserang wabah dan meninggal dunia. Selain itu, Belanda dapat pula mengetahui tempat-tempat penyimpanan bahan makanan pasukan Mataram, lalu membakarnya. Serangan yang kedua ini pun mengalami kegagalan. Sesudah serangan yang kedua itu, Sultan Agung tidak dapat lagi mengerahkan pasukan untuk menyerang Belanda. Namun, Raja itu tetap tidak mau berdamai dengan Belanda. Ia menutup kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa. Pelabuhan Jepara menjadi satu-satunya bandar yang terbuka bagi dunia dalam perdagangan beras. Ia kembali ke Mataram dan memperkuat pertahanan dalam negeri serta memajukan kemakmuran rakyat. Penutupan kota-kota pelabuhan, seperti Surabaya, Tuban, dan Gresik, menjadikan kerajaan Mataram meninggalkan sifat "agromaritim" (hidup dari hasil pertanian dan perdagangan lewat laut). Kerajaan itu menjadi kerajaan pedalaman yang hidup dari pertanian. Mataram menjadi terpencil karena tidak ada relasi dengan kekuatan-kekuatan lain, selain dengan Belanda. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 setelah berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan. Hingga akhir hayatnya, ia tetap tidak mau berdamai dengan VOC meskipun ada tawaran untuk itu. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, sebelah selatan Yogyakarta. Penggantinya, Sunan Mangkurat I sepeninggal ayahnya segera mengadakan perdamaian dengan Belanda yang menjadikannya bulan-bulanan politik divide et impera ("adu domba", membagi dan menguasai) Belanda. Atas jasa-jasanya kepada negara, Sultan Agung dianugerahi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 106/TK/Tahun 1975, tanggal 3 November 1975. BIOGRAFI FATAHILLAH Fatahillah merupakan tokoh yang dikenal karena mengusir orang-orang dari Bangsa Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama "Jayakarta" yang berarti Kota Kemenangan. Dalam perkembanganya Jayakarta berubah menjadi Jakarta yang merupakan ibu kota negara Indonesia. Nama Fatahillah juga dikenal dengan nama Falatehan. Siapakah tokoh Fatahillah ini sebenarnya, sehingga banyak diabadikan orang di Jakarta, Banten, dan Cirebon. Walaupun ada beberapa pakar sejarah menganggapnya sebagai tokoh mitos atau legenda. Namun ada pula sebagian pakar sejarah mengatakan bila Fatahillah justru sebagai tokoh sejarah. Sampai saat ini Fatahillah masih dianggap sebagai tokoh pendiri kota Jakarta. Menurut penelusuran sejarawan Indonesia bernama Edi Suhardi Ekadjati (1989), nama Fatahillah sama sekali tidak didapatkan dalam babad atau sumber tradisi. Nama Fatahillah justru terdapat dalam jenis sumber modern, seperti buku Geschiedenis van Java (Sejarah Jawa) karya Fruin Mees (1920). Orang pertama yang menyatakan Fatahillah sebagai tokoh sejarah adalah B. Schrieke. Dia mengaitkan tokoh Fatahillah ini dengan sejarah kota Jakarta pada masa awal Islamisasi. Dasar penafsiran Schrieke adalah catatan orang Portugis (1546) tentang Raja Sunda yang bernama Tagaril. Menurutnya, Tagaril merupakan salah tulis dari kata Fagaril. Kata Fagaril sendiri merupakan perubahan dari kata aslinya, yaitu Fatahillah (kemenangan Allah). Pendapat Schrieke ini dibantah oleh Hoessein Djajadiningrat, Guru besar sejarah ini menjelaskan bila kata Faletehan atau Falatehan itu mungkin salah dengar atau salah tulis dari kata Fathan, lengkapnya fathan mubinan (kemenangan yang sempurna). Tokoh ini berperan dalam merebut Sunda Kalapa dari tangan Kerajaan Sunda. Sebagai kesimpulan akhir, menurut Djajadiningrat, nama-nama Faletehan, Fatahillah, Tagaril, dan juga Makdum, Syarif Hidayat(ullah), serta Sunan Gunung Jati adalah tokoh yang identik. “Namanya memang bermacam-macam, tetapi orangnya hanya satu,” jelas Prof Djajadiningrat (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, 1983). Namun kemudian banyak sejarawan, arkeolog, dan filolog menentang teori Djajadiningrat tersebut. Antara lain Ekadjati yang dalam salah satu tulisannya mengatakan Makdum berbeda dengan Sunan Gunung Jati. “Makdum berasal dari Pasai, sedangkan Sunan Gunung Jati berasal dari Arab. Hanya kedudukan dan peranan keduanya sama, yakni sebagai penyebar Islam,” tulisnya (1989, hal. 4). Ada pula yang beranggapan bila Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, kemungkinan besar adalah mertua dari Fatahillah. Latar Belakang Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul Fatahillah. Ada pendapat yang mengatakan bila Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian pergi meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai Portugis. Kemudian Fatahillah pun pergi ke Mekah, lalu ke tanah Jawa, Demak pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Ada pendapat lain yang menjelaskan bahwa Fatahillah ini merupakan putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran. Pendapat lainnya lagi mengatakan bila Fatahillah dilahirkan pada1448, dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara Santang putri raja Pajajaran, Raden Manah Rasa. Namun pendapat-pendapat ini tidak jelas dari tradisi atau sumbernya berasal. Ada pula, sumber sejarah yang mengatakan sebenarnya Fatahillah itu lahir di Asia Tengah (mungkin di Samarqand), kemudian ia menimba ilmu ke Baghdad, dan mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki, sebelum bergabung dengan Kerajaan Demak. Namun pendapat ini juga tidak jelas berasal dari mana. Pada 1972, ditemukan sebuah naskah kuno di Indramayu, sehingga pandangan tentang tokoh Fatahillah mulai berubah. Kitab kuno itu bernama Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis pada 1720, oleh Pangeran Arya Carebon. Namun yang menjadi masalah, masa penulisan kitab itu adalah 200 tahun setelah masa hidup Fatahillah. Kitab itu pun masih diragukan keasliannya oleh banyak pihak karena banyaknya kekeliruan penulisan. Dari sumber Sajarah Banten menyebutkan tokoh Sunan Gunung Jati sebagai seorang yang keramat. Dia datang dari tanah Arab. Ayahnya berasal dari Yamani, sementara ibunya dari Bani Israil. Raja Cirebon saat itu bernama Makdum, berasal dari Pasai (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III dan berbagai buku karangan H.J. de Graaf). Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, tokoh dari Pasai itu bernama Fadhillah Khan, diidentifikasi sebagai Fatahillah. Dia lahir pada 1490. Sementara tokoh Sunan Gunung Jati, nama lain dari Syarif Hidayat, lahir pada 1448 di Mekah dan tiba di Cirebon sekitar 1470. Dengan demikian Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan dua tokoh yang berbeda. Hubungan Sunan Gunung Jati dan Fatahillah Dari Penelitian terakhir menunjukkan Sunan Gunung Jati tidak sama dengan Fatahillah. Sunan Gunung Jati adalah seorang ulama besar dan muballigh yang lahir turun-temurun dari para ulama keturunan cucu Muhammad, Imam Husayn. Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah Musafir besar dari Gujarat, India yang memimpin putra-putra dan cucu-cucunya berdakwah ke Asia Tenggara, dengan Campa (pinggir delta Mekong, Kampuchea sekarang) sebagai markas besar. Salah satu putra Syekh Jamaluddin Akbar (lebih dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar) adalah Syekh Ibrahim Akbar (ayah Sunan Ampel). Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan, orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama). Pada akhir 1990-an, Sultan Sepuh Cirebon pun mengkonfirmasikan perbedaan dua tokoh ini dengan menunjukkan bukti dua buah makam yang berbeda. Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati sebenarnya dimakamkan di Gunung Sembung, sementara Fatahillah (yang menjadi menantu beliau dan Panglima Perang pengganti Pati Unus) dimakamkan di Gunung Jati. Menurut Saleh Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa, Fadhlullah Khan masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyut beliau Zainal Alam Barakat adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat,India. Pandangan sejarawan  yang mengatakan bila Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati mempunyai pengaruh yang amat luas di kalangan sejarawan. Hampir semua kepustakaan yang ada mengenai sejarah Indonesia hingga 1970-an, khususnya sejarah Jakarta, Banten, dan Cirebon, masih menganggap tokoh Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati. Pandangan lain juga pernah mengemuka pada 1968, sebelum ditemukannya kitab Carita Purwaka Caruban Nagari. Adalah seorang filolog, Prof. Slamet Muljana, yang membahasnya dalam sebuah buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (diterbitkan ulang LKiS, 2005). Dia menafsirkan bahwa Fatahillah adalah seorang muslim China yang sebelumnya bernama Toh A Bo alias Pangeran Timur. Pendapatnya itu didasarkan pada data kronik Tionghoa yang berasal dari kelenteng Semarang dan kelenteng Talang (Cirebon). Menurut Muljana, semula Syarif Hidayat Fatahillah adalah panglima tentara Demak. Tokoh ini identik dengan Sunan Gunung Jati. Toh A Bo adalah putra Sultan Trenggana, Tung Ka Lo. “Fatahillah adalah orang kelahiran Demak dan berasal dari bangsawan tinggi, yakni putra Sultan Demak,” kata Muljana Nama Fatahillah kemudian dipakai oleh Toh A Bo ketika dia dinobatkan sebagai Sultan Banten. “Tidak dapat dikatakan dengan pasti kapan Fatahillah menjadi sultan. Yang pasti pada 1552 dia meninggalkan Banten dan menetap di Cirebon serta mendirikan kesultanan Cirebon. Kesultanan Banten dia serahkan kepada putranya, Hasanuddin. Pada 1570 Fatahillah wafat dan dimakamkan di Sembung, Bukit Gunung Jati,” demikian pendapat Muljana. Banyak pakar sampai kini masih menyangsikan tokoh Fatahillah, Faletehan, dan Syarif Hidayat. Benarkah dia seorang tokoh sejarah sekaligus pendiri kota Jakarta dan mengacu pada satu nama yang sama, benarkah dia hanya seorang tokoh fiktif, benarkah dia seorang muslim China, dan berbagai pertanyaan lain masih sulit dijawab kebenarannya. Identifikasi tokoh Fatahillah memang merupakan perdebatan akademis yang belum mencapai titik temu sampai kini. Hal ini tentunya  menjadi rumit karena sumber-sumber yang tersedia masih terbatas. Namun sudah terlanjur, tokoh Fatahillah dipandang sebagai sosok pahlawan sekaligus pendiri kota Jakarta. BIOGRAFI PANGERAN ANTASARI Pangeran Antasari adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dan seorang Sultan Banjar. Beliau lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja. Silsilah Antasari muda bernama Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II. Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi. Pewaris Kerajaan Banjar Tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, Pangeran Antasari juga merupakan pemimpin Suku Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Ngaju, Maanyan, Siang, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito. Perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh Pangeran Antasari Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!” Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi. Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat. Perlawanan terhadap Belanda Padaanggal 25 April 1859 Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Pertempuran demi pertempuranpun terjadi secara terus menerus antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda di beberapa tempat. Dengan persenjataan moderen yang diperoleh dari Batavia, akhirnya pasukan Belanda berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh. Bujukan Belanda agar Pangeran Antasari menyerah tak berhasil, Pangeran Antasari tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861. “...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...” Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda: Antasari dengan anak-anaknya, Demang Lehman Amin Oellah, Soero Patty dengan anak-anaknya, Kiai Djaya Lalana, Goseti Kassan dengan anak-anaknya. Meninggal dunia Pangeran Antasari wafat pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman. Pada tanggal 11 November 1958 atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari yang telah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin. Pangeran Antasari dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968. Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000.