Skip to main content
Mukhtar Sarman

    Mukhtar Sarman

    The Government's policy of allocating Village Funds since 2015 is intended to build village infrastructure and the welfare of its people. However, field research reports tend not to show the fact that the target of the Village Fund policy... more
    The Government's policy of allocating Village Funds since 2015 is intended to build village infrastructure and the welfare of its people. However, field research reports tend not to show the fact that the target of the Village Fund policy has been achieved in accordance with the scenario. From a number of success stories that the Village Fund succeeded in building a large number of village infrastructure, it turned out that the Village Fund in general had not been used for the welfare of rural communities. Even though the Village Fund can be directed as an extraordinary basic capital to develop the economic potential of the village.
    The OVOP (One Village One Product) Model is a strategic model for optimizing environmental resources, so as to produce better added value, for example by relying on a superior product in an area as large as a village. This model would be better if mated with the development of 'village-politan', ie an integrated village development strategy based on agricultural products. It is assumed that the Village Fund should be used to develop village- based polices based on the OVOP model, and the intended development is thought to be very prospective in Barito Kuala Regency.

    Keywords: Village Funds, superior products, OVOP models, village-politan.
    Isu radikalisme dan intolerance bukanlah masala baru dalam ranah pergaulan sosial di Indonesia, karena gejalanya sudah muncul sejak masa-masa awal negeri ini merdeka. Buku ini tidaklah ditujukan untuk menjelaskan eskalasi kasus-kasus... more
    Isu radikalisme dan intolerance bukanlah masala baru dalam ranah pergaulan sosial di Indonesia, karena gejalanya sudah muncul sejak masa-masa awal negeri ini merdeka. Buku ini tidaklah ditujukan untuk menjelaskan eskalasi kasus-kasus intoleransi di Indonesia dari perspektif "teori" kebangsaan. Buku ini lebin dimaksudkan sebagai bahan renungan, mengapa ia sampai terjadi, dan saya berasumsi bahwa masalar laten yang melatar belakanginya terutama adalah karena kelompok dominan dalam masyarakat mesih tidak bisa menerima begitu saja sosok "liyan" sebagai saudara sebangsa. "Liyan" adalah "yang lain", "bukan kita". Sampai saat ini mesih banyak di antara anak bangsa yang menganggap "liyan" itu harus disingkirkan, atau sekurang-kurangnya ditampik keberadaannya.
    Berpuasa adalah laku religius yang bisa berbeda-beda penampilannya antar suatu komunitas lainnya. Dalam kaktan itu komunitas orang Banjar memilik adat istiadat yang spesifik, yang barangkali cukup berbeda dengan etnis lainnya di... more
    Berpuasa adalah laku religius yang bisa berbeda-beda penampilannya antar suatu komunitas lainnya. Dalam kaktan itu komunitas orang Banjar memilik adat istiadat yang spesifik, yang barangkali cukup berbeda dengan etnis lainnya di Indonesia. Dari perspektif budaya beragama, berpuasanya orang Banjar, salah satu etnis terbesar di Kalimantan Selatan, dikupas dalam buku kecil ini sebagai refleksi bulan ramadan dari serrano yang rise dental segala kesalahkaprahan yang tampak dalam masyarakat Banjar yang terkenal agamis.
    Research Interests: