Meretas Radikalisme,
Menuju Masyarakat Inklusif
i
iii
Mukhtar Sarman
Meretas Radikalisme, Menuju Masyarakat Inklusif
© Mukhtar Sarman, LKiS, 2018
viii + 124 halaman; 12.5 x 19 cm
ISBN:
Rancang Sampul : Tim Redaksi
Penata Isi : Affandi
Penerbit:
LKiS
Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul
Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 387194
Faks.: (0274) 379430
http://www.lkis.co.id
e-mail: lkis@lkis.com
Anggota IKAPI
Cetakan I: Oktober 2018
Percetakan:
LKiS
Salakan Baru No. 3 Sewon Bantul
Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 387194
e-mail: lkis.printing@yahoo.com
iv
KATA PENGANTAR
I
SU INTOLERANSI bukanlah masalah baru dalam
ranah pergaulan sosial di Indonesia, karena gejalanya
sudah muncul sejak masa-masa awal negeri ini
merdeka. Ia sudah mirip dengan penyakit laten yang
menahun, yang kadangkala kumat menjadi realitas sosial,
dan mengakibatkan friksi di masyarakat, manakala ada
momentumnya. Gejala intolerasi yang seringkali muncul
di masyarakat adalah berlatar etnis dan agama. Mungkin
itulah salah satu sebab mengapa rezim Orde Baru
melarang keras ujaran-ujaran yang menyinggung SARA
(suku, agama, ras, dan antar golongan).
Buku ini tidaklah ditujukan untuk menjelaskan
eskalasi kasus-kasus intoleransi di Indonesia dari
perspektif “teori” kebangsaan. Buku ini lebih dimaksudkan
sebagai bahan renungan, mengapa ia sampai terjadi,
dan saya berasumsi bahwa masalah laten yang melatar
belakanginya terutama adalah karena kelompok dominan
dalam masyarakat masih tidak bisa menerima sosok
liyan sebagai saudara sebangsa. Liyan adalah “yang lain”,
“bukan kita”. Sampai saat ini masih banyak di antara anak
bangsa yang menganggap liyan itu harus disingkirkan,
atau sekurang-kurangnya ditampik keberadaannya.
v
Mukhtar Sarman
Dalam penulisan buku ini terus terang saya berhutang
pemahaman kepada Bapak Goenawan Mohamad, yang
telah menginspirasi saya dalam memahami masalah
intoleransi, melalui Catatan Pinggir yang terbit setiap
minggu di majalah Tempo. Karena itu, jikalau dalam
buku kecil ini sedikit banyak tersirat buah pikiran beliau,
saya mohon dimaklumi. Terlalu naif kiranya kalau saya
menganggap Pak Goen itu adalah mentor saya, karena
saya tidak pernah berdiskusi langsung dengan beliau.
Namun untuk mengatakan peran beliau sama sekali tidak
ada dalam proses penulisan buku ini, saya kira hal itu
adalah kebohongan yang tak termaafkan.
Dengan diterbitkannya naskah buku ini tak lupa
saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
kepada Bapak Drs. H. Bambang Heri Purnama, ST, MH
(anggota DPR RI dari Kalimantan Selatan), yang telah
berkenan mensponsori penerbitan buku ini.
Akhir kata, semoga buku kecil ini bermanfaat bagi
siapa saja untuk meniti buih intoleransi, yang sering
menjadi sebab musabab anak bangsa ini terlibat dalam
pertikaian, untuk sesuatu hal yang mungkin dapat
diabaikan, sehingga tidak perlu terjadi.
Mukhtar Sarman
vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ~ v
Daftar Isi ~ vii
Prolog ~ 1
1. Masalah Intoleransi~ 9
2. Banalitas dan Cangkang Radikalisme ~ 29
3. Stigma Tentang Liyan ~ 49
4. Dialektika Intoleransi ~ 67
5. Narasi Kebangsaan untuk Generasi Milenial~ 85
Epilog ~ 107
Bahan Bacaan ~ 117
Tentang Penulis ~ 123
vii
Mukhtar Sarman
viii
PROLOG
D
ULU, ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar,
saya mengidolakan Suma Han si Pendekar Super
Sakti, tokoh fiksi dalam cerita silat karya Kho
Ping Hoo. Kala itu, imajinasi saya pun melayang ke manamana, menjelajah dunia Kang-ouw di zaman dinasti
China kuno ribuan tahun yang lalu. Dalam perjalanan
waktu kemudian saya berkenalan pula dengan tokohtokoh lainnya seperti Bu Kek Siansu, yang kesaktiannya
diceritakan sudah sampai ke taraf setengah dewa. Saya
bahkan bisa hafal di luar kepala kesaktian dan jurus-jurus
andalan milik para pendekar di jagad khayal itu, padahal
pelajaran sejarah di sekolah belum tentu dapat melekat di
benak saya. Semua itu terjadi lantaran saya ikut-ikutan
kakak saya yang telah menjadi penggemar berat cerita
silat karangan Asmaraman Kho Ping Hoo, yang saban
minggu terbit dan baru tamat setelah mencapai puluhan
jilid.
Jika saya mengenang masa kecil saya di kampung
dulu, bukan untuk mengungkapkan bahwa visi tentang
hidup dan kehidupan saya dipengaruhi cerita fiksi
belaka. Kilas balik itu semata-mata untuk menyatakan
bahwa melalui proses literasi, saya memiliki preferensi
tentang praksis menjadi seseorang yang punya prinsip,
1
Mukhtar Sarman
sebagaimana pendekar tangguh dalam cerita silat. Saya
mungkin agak berlebihan, tetapi melalui literasi dari
cerita silat itulah saya menyimak mengapa manusia
dilarang bersikap tamak dan telengas. Semua itu
terpateri di benak saya karena dengan kepiawaiannya
bertutur, Kho Ping Hoo “menjelaskan” bahwa pendekar
sakti tanpa tanding itu bukanlah seseorang perkasa
yang dapat menghabisi lawan-lawannya tanpa berkedip.
Bahkan menurut saya, cerita silat rekaan Kho Ping Hoo
itu sebenarnya merupakan kisah tentang cinta. Termasuk
bagaimana mencintai musuh, karena setahu saya tidak
pernah seorang pendekar itu diceritakan sebagai seorang
pembunuh yang telengas tanpa ampun. Bahkan mengambil
hikmah dari cerita Musashi karya Eiji Yoshikawa, musuh
itu sebenarnya adalah guru yang menyaru. Maksudnya,
karena ada “musuh” yang ditakuti, seseorang berdaya
upaya terus meningkatkan kemampuannya agar jangan
sampai dikalahkan musuhnya. Dengan kata lain, cerita
fiksi sebenarnya bukan tidak ada manfaatnya, karena
ia bisa dijadikan amsal yang berguna untuk memahami
hidup dan kehidupan.
Dalam cerita fiksi, cinta bisa dijadikan menu
utama, bisa juga sekadar bumbu penyedap. Kisah cinta
adalah drama kehidupan yang selalu menarik, lantaran
di sebaliknya sering menyembul ironi kebencian yang
bermula dari rasa marah karena merasa diabaikan
atau dikhianati atau lantaran persoalan harga diri yang
didramatisir. Seperti kisah Romeo dan Juliet, drama itu
diplot dengan akhir cerita yang tragis, karena ada nuansa
kebencian yang menyertai kisah cinta mereka. Juga
2
Prolog
kisah dibalik konflik berdarah yang penuh keculasan dan
bikin “eneg” dalam Games of Thrones, intinya adalah
karena persoalan cinta dan benci juga adanya. Bahkan
penghancuran semesta, dalam film Avengers: Infinity
War garapan Marvel Studios yang bikin mabok jutaan
pemirsa, diceritakan bahwa Thanos, sang penghancur,
sebenarnya mencintai kehidupan yang tertata dan damai,
tetapi menurut versinya sendiri.
Mungkin ada yang heran, kenapa saya menggunakan
cerita fiksi sebagai rujukan. Saya sebenarnya hanya
mencoba mengikuti apa yang dikatakan Gordon Slethaug
dalam Beautiful Chaos (2000), bahwa retorika dalam
fiksi sering melibatkan ide-ide tentang susunan yang
tersembunyi, kesamaan-diri, atau ketidak-linieran
kejadian, serta sifat acak yang tak terbatas, dan
adanya mekanisme umpan balik dari sebuah pola yang
sifatnya holistik. Karena hal itu, imajinasi akan mudah
dikompromikan ketika suatu fantasi tidak sesuai dengan
nalar, walaupun hal itu bersifat khaotik.
Tetapi baiklah kita simak sejarah, yang katanya
merupakan sebuah fakta, tetapi saya yakin banyak
dipengaruhi fantasi penuturnya. Contohnya adalah
sejarah kehidupan Ken Arok. Bukankah sebab musabab
Ken Arok ingin menjadi raja, dengan cara yang tak terpuji
karena harus membunuh Tunggul Ametung, raja yang
sah, adalah lantaran didorong hasrat cintanya kepada
Ken Dedes. Kisah Ken Arok jelas menyajikan sebuah
hiperbola. Kata orang bijak, hiperbola selalu mengandung
dusta yang mengasyikkan, dan kita memaafkannya.
3
Mukhtar Sarman
Hal itu terjadi karena sejarah yang tak bisa diverifikasi
kebenarannya selalu menyimpan penangkal. Tokoh
“baik” tidak sepenuhnya suci murni. Apalagi ketika
menyangkut cinta.
Cinta tentu saja bukan hanya tentang hubungan
lelaki dan wanita. Cinta bukan hanya persoalan
ingin memiliki seseorang. Dalam arti luas, cinta bisa
menyangkut komunitas, bangsa, dan negara. Pada frasa
kekuasaan, kata cinta bisa juga dilekatkan; walaupun
pada galibnya, untuk itu yang dipahami oleh orang awam
adalah nafsu ingin berkuasa. Dengan kata lain, cinta itu
niscaya multi-wajah, dan multi-tafsir, tergantung pada
konteksnya, dan siapa yang melakukan tafsir. Cinta
pada harta. Cinta pada kekuasaan. Dan lain-lain. Cinta
kepada kekuasaan, misalnya, biasanya diidentifikasi
nafsu berkuasa, suatu hasrat terpendam yang kemudian
bisa menggelagak, sampai ke taraf tak terbatas. Ia bisa
menyangkut kisah tentang syahwat yang dimiliki oleh
seseorang, yang sedang menghitung peluangnya untuk
mempengaruhi atau menguasai orang lain. Ia juga bisa
menyangkut kisah tentang semangat pantang menyerah,
kerja keras, harga diri, martabat, kebanggaan, sebagai
latar agar destinasi yang ingin dituju melalui penyaluran
hasrat ingin berkuasa itu jadi bermakna.
Masalahnya kemudian adalah, cinta yang bernuansa
negatif itu bisa bermuara pada kebencian dan hal-hal
yang sifatnya merusak. Hitler tega memerintahkan
pembantaian kaum Yahudi, sebagai solusi terakhir untuk
memurnikan bangsa Arya yang diimpikannya. Presiden
4
Prolog
Suharto, pada awal masa Orde Baru, menjadikan PKI dan
semua anasir-anasirnya sebagai “musuh negara”, yang
dianggap tidak layak hidup di muka bumi Indonesia,
sehingga berakibat jatuhnya korban ribuan jiwa rakyat
Indonesia yang dituduh sebagai kader dan antek PKI.
Padahal, sangat boleh jadi yang disebut “antek PKI” itu
adalah orang yang sama sekali tidak tahu menahu soal
ideologi komunisme, karena yang bersangkutan hanya
seorang petani miskin buta huruf yang tinggal jauh di
udik.
Pembantaian manusia itu dianggap sesuatu
“normal” ketika seseorang, yang kebetulan punya kuasa
mendiktekan kebenaran dan menafsirkan sesuatu
ideologi, memposisikan dirinya berseberangan dengan
sesuatu liyan, terlepas dari apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan liyan tersebut. Mungkin liyan itu
memang sesuatu hal yang nyata, tetapi bukan mustahil
hanya imajinasi yang sulit dipahami dan diindentifikasi,
bak sosok hantu belau.
Liyan atau “yang lain” sesungguhnya merupakan
muradif dari bahasa Inggris “the Other”, digunakan
untuk mengidentifikasi sesuatu entitas yang “bukan kita”.
Ada juga yang menyebut liyan berasal dari bahasa Jawa,
liya, yang berarti “lain” atau “berbeda”. Dari manapun
asal-usul istilah tersebut, liyan berarti sesuatu yang
dianggap “asing”, karena “kita” belum mengenal atau
tidak ingin mengenalnya. Masalahnya, karena tidak ingin
mengenalnya, secara apriori di bawah sadar kita lalu
muncul penolakan terhadap “yang lain” itu. Ia dihindari.
5
Mukhtar Sarman
Boleh jadi pula ia dimusuhi. Mungkin karena ia dianggap
“hantu” yang menakutkan. Atau sejenis penyakit menular
yang sangat berbahaya.
Sekarang, ketika semua orang nyaris sepakat untuk
mengidentifikasikannya sebagai zaman Google yang
tidak ada lagi pembatas yang menghalangi tersebarnya
informasi, “hantu” liyan rupanya tetap saja menyusup
dalam benak sejumlah orang, dan muncul sebagai
sesuatu yang menakutkan serta dipercaya bisa merusak
tatanan sosial, ideologi, atau keyakinan beragama
yang suci. Adanya kelompok-kelompok fanatik, yang
ditengarai suka memantik api perpecahan bangsa,
boleh jadi menganggap bahwa liyan itu adalah sesuatu
yang perlu diberangus. Gejala tersebut, suka atau tidak
suka, merupakan realitas sosial yang nyata. Repotnya,
munculnya satu kelompok fanatik selalu dibarengi
munculnya kelompok lain, yang tak kalah fanatiknya,
sebagai antihero. Sedangkan justifikasi tentang “hantu”
liyan itu bermacam ragam, tergantung isu dan suasana
politik yang sedang berkembang; misalnya, isu koruptor,
pengedar narkoba, kelompok teroris lokal yang diduga
berafiliasi dengan ISIS, atau tentang LGBT, bahkan
mungkin kelompok Ahmadiyah. Barangkali ada isu
yang memang patut dianggap sebagai benar-benar perlu
dicermati dengan seksama, dan dijadikan musuh kita
bersama. Tetapi jangan-jangan isu dimaksud hanya
sekadar “hantu” yang tidak kasat mata karena memang
tidak jelas, dan tidak penting, untuk disikapi secara serius.
6
Prolog
Pertanyaannya, mengapa kita sekarang ini cenderung
gampang terjebak pada keasyikan memperbincangkan
berbagai isu tak penting, yang cenderung merusak
tatanan sosial, atau bisa memantik perpecahan. Diamdiam, kalangan awam lebih percaya pada berita-berita
negatif yang dirilis oleh sumber yang tidak kredibel,
daripada fakta yang disampaikan oleh lembaga-lembaga
resmi. Apalagi jikalau beritanya menyangkut kasus-kasus
intoleransi berbau SARA. Padahal apabila kasus-kasus
intoleransi mengalami eskalasi menjadi konflik sosial
yang diikuti dengan munculnya kelompok radikal, maka
alamat akan runyam masa depan negara bangsa ini.
7
Mukhtar Sarman
8
1
MASALAH INTOLERANSI
“Segala-galanya adalah baik, sebagaimana keluar dari
tangan Sang Pencipta; tapi segala-galanya menjadi
memburuk dalam tangan manusia”
Jean-Jacques Rousseau
I
NTOLERANSI adalah suatu gejala sosial yang
berkecenderungan tidak adanya rasa hormat terhadap
perbedaan, baik perbedaan itu karena dialaskan pada
status sosial ekonomi, asal-usul etnis, maupun lantaran
perbedaan agama. Intoleransi juga bisa dimaknai sebagai
tiadanya tenggang rasa dalam kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa yang plural.
Jikalau ditelisik dengan seksama berbagai kasus
persekusi di Indonesia karena isu intoleransi, paling
tidak, ada dua faktor sebab mengapa ia bisa terjadi.
Pertama, karena kesenjangan sosial ekonomi yang makin
tajam dan berjarak, sehingga ada kelompok yang merasa
terpinggirkan, kemudian menaruh rasa curiga dan iri
hati terhadap kelompok yang lebih makmur hidupnya.
Biasanya kelompok yang terpinggirkan itu merasa hidup
ini tidak adil, dan sebab-sebab ketidakadilan itu bisa saja
dialamatkan ke pihak penguasa sebagai biang masalah.
9
Mukhtar Sarman
Kedua, akibat dari lingkungan sosial politik yang tidak
kondusif bagi kelangsungan hidup kelompok orang
tertentu. Lingkungan sosial politik dimaksud bisa berupa
friksi laten karena interaksi sosial yang bermasalah
antar kelompok warga masyarakat; bisa juga diciptakan
oleh sebuah rezim otoriter yang menutup peluang
adanya perbedaan pandangan politik. Bagi sekelompok
orang tertentu, boleh jadi rezim yang berkuasa itu
tidak mendukung keyakinan ideologis yang mereka
yakini. Biasanya korban dari rezim otoriter dipersekusi
tanpa mengetahui apa kesalahan yang diperbuatnya,
atau dizalimi secara sewenang-wenang, dan tentu saja
akhirnya menimbulkan amarah terpendam yang akan
meledak di kemudian hari, apabila ada pemantiknya.
Amarah memang sulit dipahami tanpa menelisik
latar
belakangnya.
Untunglah
Pankaj
Mishra
memberikan petunjuk melalui bukunya, Age of Anger
(2017). Menurut Mishra, semua orang ingin melupakan
krisis yang menimpa, dan mengharapkan sesuatu yang
dapat menghibur hatinya, termasuk cinta, rasa keadilan,
modernisasi, ideologi, dan agama. Tetapi kenyataannya
semua harapan yang dijanjikan itu buntung. Akibatnya,
rasa kesal, cemburu, curiga, meruyak menjadi aksi
kekerasan, berupa intimidasi atau bahkan teror kepada
pihak tertentu. Teror, yang biasanya dilakukan oleh
kelompok radikal, mungkin tidak mengubah keadaan,
dan rasa frustrasi masyarakat terus berlanjut dan
menumpuk-numpuk. Ketika rasa frustrasi sudah ke taraf
mengendap di bawah sadar, semua hal bisa dijadikan
alasan untuk melampiaskannya, termasuk kepada
10
Masalah Intoleransi
Pemerintah yang dianggap tidak becus menghadirkan
keadilan dan kemakmuran bagi segenap rakyat.
Faktor kesenjangan sosial sebagai pemantik
intoleransi sebenarnya merupakan hal yang klasik, dialami
oleh banyak negara, dan biasanya akan selesai masalahnya
apabila negara tersebut telah menjadi adil dan makmur.
Tapi masalahnya, kapan suatu negara itu mencapai
kondisi adil dan makmur? Dalam proses mencapai
kondisi tersebut, apakah yang (perlu) didahulukan adalah
aspek keadilan, ataukah yang lebih penting perubahan
yang (harus) terjadi adalah mengutamakan kemakmuran
bangsa, yakni pertumbuhan ekonomi nasional yang
berorientasi pada produk-produk yang dapat dihasilkan
oleh anak bangsa.
Dalam buku “Belajar Dari China” (2004), I
Wibowo, sang penulis buku tersebut, menyatakan bahwa
Pemerintah China mempunyai satu impian besar tentang
kejayaan. Kejayaan yang digambarkan adalah China akan
mengulang kembali era keemasan dinasti-dinasti kuno.
Mereka berharap satu saat China akan kembali seperti era
Dinasti Han dengan jalur sutranya atau Dinasti Yuan di
bawah Kaisar Kubilai Khan. Tetapi, China tidak berpikir
tentang penaklukan seperti di masa lampau. China
berpikir bagaimana menjadi kaya dan unggul, mengubah
diri dari masyarakat miskin menjadi salah satu kekuatan
ekonomi besar dan, bahkan, terkuat di dunia. Mimpi
tersebut tidak hanya tertanam pada generasi muda
terpelajar, tetapi juga merasuk pada benak para petani
tua di desa.
11
Mukhtar Sarman
Kita melihat fakta, bahwa negeri Tirai Bambu yang
menganut ideologi komunisme itu akhirnya menerapkan
dua sistem dalam mengelola ekonomi negara, yakni
kapitalisme dan sosialisme. Pada bulan Februari 1982,
Deng Xiaoping, sebagai pemimpin China kala itu, secara
resmi menyatakan bahwa RRC menganut “yi guo liang
zhi” (“Satu Negara Dua Sistem”) dalam rangka memacu
pertumbuhan ekonomi negara (lihat Tse-Hei Lee,
et.al., China’s Rise to Power). Provinsi-provinsi yang
sejatinya merupakan kota-kota industri dan pelabuhan
besar, seperti Shenzhen, Shanghai, dan Guangzhou,
dibiarkan menganut sistem ekonomi kapitalis, untuk
menangkap peluang ekonomi pasar global. Dengan dua
sistem tersebut, China dapat mengkapitalisasi besarnya
jumlah penduduk serta pemuda-pemuda terpelajar dan
terampil untuk menghasilkan berbagai macam produk,
mulai dari yang remeh temeh, seperti jarum jahit dan
peniti, hingga produk berteknologi tinggi seperti kapal
induk dan pesawat tempur yang memiliki kemampuan
siluman. Kendati dalam negara diterapkan dua sistem
yang berbeda, dan sistem dimaksud sangat ekstrem
perbedaannya, hal itu rupanya tidak menjadi masalah.
Barangkali karena kebijakan tersebut lahir dari atas (top
down), dari petinggi Partai Komunis China sendiri, maka
pemerintahan di bawahnya yang juga merupakan elite
partai komunis umumnya manut saja. Kemungkinan
lain karena tabiat bangsa China, yang dipengaruhi oleh
Konfusionisme, yakni selalu mengamalkan hidup yang
harmonis, termasuk mengutamakan harmoni dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
12
Masalah Intoleransi
Bagaimana dengan kita di Indonesia? Kalau boleh
jujur, rasanya tidak ada ghirah, bahwa kita ingin menjadi
bangsa yang unggul suatu saat nanti, entah kapan, dan
unggul di bidang apa saja. Tiadanya ghirah itu mungkin
lantaran Indonesia baru “ada” sekitar 70 tahun, sehingga
sebagai bangsa barangkali belum begitu solid untuk
menunjukkan eksistensinya; sedangkan kerajaankerajaan masa lalu yang konon pernah jaya di tanah
Nusantara tidaklah cukup membekas dalam ingatan
kolektif bangsa Indonesia sekarang ini, sebagai rujukan
yang ideal.
Kita sebagai entitas bangsa, memang direpotkan
oleh kesulitan mencari identitas yang dapat disepakati
bersama. Bahkan untuk menyepakati konsep NKRI, yang
berasas Bhinneka Tunggal Ika. Benedict Anderson dalam
Imagined Communities (1991), sudah mensinyalir hal
itu. Kata Anderson, konsep bangsa itu sebenarnya hanya
ungkapan dari suatu imajinasi tentang suatu komunitas
besar, yang tidak alami, umumnya adalah produk masa
kini, dan ia diciptakan sebagai pengalaman kolektif
tentang ruang dan waktu yang tidak linear. Negara pun,
dulu, dibayangkan sebagai suatu kesepakatan bersama
dari sejumlah orang tentang wilayah, sebagai teritorial
imajiner tentang kedaulatan bangsa. Anderson saya kira
benar sekali, apalagi kini batas-batas suatu negara sudah
semakin tak jelas ketika dunia maya menjadi keniscayaan
kehidupan sehari-hari setiap orang dalam berinteraksi
dengan dunia nyata. Setiap anak bangsa memiliki
imajinasi tentang peran fungsionalnya masing-masing,
tetapi tidak selalu menyadari bahwa masing-masing orang
13
Mukhtar Sarman
lain di sekitarnya adalah liyan yang harus mereka kenali.
Ketidaksadaran bahwa dirinya sebenarnya bergantung
pada orang lainnya itu, menyebabkan masing-masing
orang bisa membawa perilaku sendiri-sendiri, yang
belum tentu sesuai dengan tujuan hidup bersama sebagai
suatu bangsa.
Itulah yang terjadi pada sebagian dari kita. Sebagian
besar generasi tua cenderung tidak mampu memberikan
contoh teladan bagaimana elan vital sebagai bangsa
pejuang, seperti yang diidamkan oleh Bung Karno, yakni
mampu mengamalkan prinsip “berdikari” alias berdiri
di atas kaki sendiri. Dalam konteks kehidupan masa
kini, barangkali maksudnya adalah, kita harus mampu
menghasilkan sendiri produk-produk yang dibutuhkan
untuk hidup layak, dan bahkan kalau perlu mampu
menghasilkan produk untuk tujuan ekspor. Sedangkan
generasi muda, yakni kaum muda terpelajar berusia
produktif, banyak di antaranya yang justru mengamalkan
pola hidup konsumtif, terutama untuk memiliki barangbarang impor, dan barang-barang mewah yang mahal
tetapi kurang fungsional semata-mata lantaran terpukau
pada mereknya.
Fakta menunjukkan, bangsa Indonesia umumnya
tidak malu untuk menunjukkan diri sebagai bangsa
yang konsumtif, baik dalam hal gaya hidup di dalam
negeri maupun ketika menunjukkan gaya belanja saat
mereka berkunjung ke luar negeri. Orang Indonesia
yang melakukan kunjungan wisata ke Eropa Barat telah
dikenal sebagai pembelanja yang boros, seakan-akan
14
Masalah Intoleransi
mereka merupakan warga dari negara petro dollar
yang berkelimpahan uang dollar AS. Bahkan, menurut
Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies
(ASITA), peziarah dari Indonesia terkenal paling royal
belanja di Yerusalem, dalam rangka ziarah ke Masjid Al
Aqsa, karena rata-rata mereka bisa menghabiskan US$
3000 hingga US$ 4000 atau Rp 41,8 juta hingga Rp 55,8
juta per orang (Kompas, 2/6/2018).
Fakta lain, berdasarkan laporan yang dilansir App
Annie 2017, ternyata Indonesia adalah merupakan salah
satu pengguna aplikasi mobile paling aktif di dunia.
Indonesia berada di jajaran teratas, bersaing dengan
negara-negara yang sudah lebih maju seperti Tiongkok,
India, Brazil dan Korea Selatan. Masalahnya adalah,
penggunaannya di Indonesia ditengarai lebih banyak
bukan untuk tujuan produktif, yang bernilai manfaat
bagi peningkatan kualitas SDM atau untuk mendukung
perbaikan tingkat kesejahteraan. Sebagai contoh,
dalam masyarakat umum di segala lapis sangat lazim
penggunaan gawai untuk berkomunikasi, akan tetapi
ketika menyangkut penggunaan aplikasi media sosial
justru seringkali kebablasan. Pemerintah sebenarnya
tidak perlu risau dengan penggunaan aplikasi media
sosial itu, andaikata penggunanya benar-benar rasional
menggunakannya untuk tujuan fungsional. Tetapi
yang terjadi adalah, banyak pengguna aplikasi justru
terperangkap pada penggunaan media sosial yang salah
arah. Mereka gemar memproduksi dan menyebarluaskan
hoax serta berita bohong, mungkin sekadar iseng, padahal
ujung-ujungnya hanya menambah masalah publik. Hal
15
Mukhtar Sarman
itu terjadi lantaran pengguna media sosial di Indonesia
umumnya adalah follower, dan tidak punya kemampuan
kreatif untuk menggali potensi diri yang berguna bagi
kemaslahatan bangsa.
Korban dan Stigma Pengucilan
Pengucilan, yang merupakan bentuk lain dari aksi
atau tindakan penindasan, bullying, perundungan,
persekusi, dan lain-lain istilah yang serupa, sesungguhnya
memposisikan seseorang sebagai obyek inferior, yang
tak berdaya, yang terpojokkan, sehingga barangkali
lebih tepat apabila yang bersangkutan kemudian disebut
sebagai “korban”. Korban kerapkali tidak bisa diposisikan
sebagai subyek yang merdeka, melainkan obyek yang
menderita, dan tak berdaya.
Pengucilan biasanya dilakukan oleh penguasa, atau
kelompok mereka yang merasa berkuasa, kelompok
mayoritas, atau kelompok dominan. Karena itu,
pengucilan bisa terjadi dalam skala mini, atau perorangan;
tapi bisa juga terjadi dalam skala gigantis, menyangkut
kelompok masyarakat atau golongan. Apapun skalanya,
aksi pengucilan selalu dimaknai negatif, dan “korban”nya diduga akan mengalami trauma
Pengucilan yang dilakukan terhadap seorang anak
remaja miskin di lingkungan sekolah yang didominasi
anak-anak orang kaya, misalnya, boleh jadi akan
mempengaruhi kehidupan anak remaja itu selanjutnya.
Dia menjadi dendam pada orang kaya, tanpa harus pilihpilih. Dia mungkin menyadari bahwa dirinya liyan di
antara orang-orang kaya, dan boleh jadi akan berusaha
16
Masalah Intoleransi
menjadi orang kaya juga, atau karena tidak berhasil jadi
kelompok yang dibenci itu lalu menganggap mereka
sebagai musuh.
Pengucilan dalam skala mini, dan menyangkut
individu, biasanya bersifat kasuistis dan secara sosial
dapat diabaikan, karena jarang berdampak luas terhadap
aspek kemanusiaan. Tapi apa jadinya ketika pengucilan itu
dilakukan oleh penguasa suatu rezim terhadap seseorang
atau golongan minoritas, yang dianggap “bersalah”
hanya lantaran memiliki keyakinan politik yang berbeda
dengan penguasa. Itulah yang terjadi pada tahanan
politik, di mana saja, dan pada zaman apa saja. Seperti
yang dialami oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan
Indonesia penerima banyak penghargaan internasional,
bahkan pernah diusulkan untuk menerima hadiah Nobel
sastra.
Pramoedya Ananta Toer, adalah figur kontroversial
dalam jagad sastra di Indonesia, yang semasa hidupnya
selalu dilekatkan status, mungkin lebih tepat stigma,
bahwa dia adalah propagandis ajaran-ajaran MarxismeLeninisme dan Komunisme, walaupun hal itu tidak
pernah diakui oleh yang bersangkutan. Membaca buah
pikiran Pram dalam sejumlah karya sastranya, jelas
sekali menunjukkan bahwa sastrawan yang satu ini
punya pemikiran yang radikal. Karena pemikirannya
yang radikal, seringkali mengeritik penguasa, Pram sejak
zaman pra kemerdekaan telah mengalami persekusi
oleh pihak penguasa. Tercatat, dia mengalami ditahan
selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada
17
Mukhtar Sarman
Orde Lama, serta merasakan ditahan selama 14 tahun
sebagai tahanan politik, tanpa proses pengadilan, oleh
rezim Orde Baru. Tapi kalau kita baca dengan seksama
karya masterpiece-nya yang berjudul Bumi Manusia,
Pram melalui tokoh rekaannya Nyai Ontosoroh, justru
lebih menunjukkan dirinya adalah penutur sejarah yang
piawai menggambarkan suasana zaman kolonial yang
sungguh tidak adil bagi kaum pribumi. Bahkan dalam
sejumlah karyanya yang lain, Pram malah menunjukkan
bahwa sesungguhnya dia menginginkan anak bangsa ini
memupuk rasa nasionalismenya. Jadi apa yang salah, dan
tidak dapat dipahami, pada diri Pramoedya Ananta Toer?
Mengapa dia harus dikucilkan? Ataukah karena dia terlalu
vulgar menunjukkan kinerja pamong praja yang tidak
beres dalam novelnya yang berjudul Korupsi, sehingga
dia lalu dianggap menyebarluaskan paham intoleran, dan
menjadi alasan pengucilan oleh rezim Soekarno, kala itu?
Pada umumnya aksi pengucilan itu terjadi karena
ada pihak yang kebetulan berkuasa, atau punya kekuatan
sebagai kelompok mayoritas, tidak memahami sesuatu
entitas, sehingga menganggapnya sebagai liyan yang
berbahaya, atau menakutkan, dan pantas disingkirkan.
Barangkali saya keliru, tetapi dalam pengamatan saya,
hal itu pula yang terjadi pada kasus pengucilan dengan
latar belakang penafsiran agama. Misalnya, pengucilan
terhadap golongan Ahmadiyah di Indonesia. Dalam hal
itu, setiap orang yang diidentifikasi sebagai golongan
Ahmadiyah, tanpa kecuali, dianggap layak dikucilkan oleh
mereka yang tidak dapat menerima eksistensi golongan
tersebut. Celakanya adalah apabila mereka yang merasa
18
Masalah Intoleransi
berhak untuk mengucilkan itu merupakan kelompok
mayoritas. Kelompok mayoritas tersebut merasa paling
berhak untuk menghakimi bahwa kelompok Ahmadiyah
itu merupakan aliran sesat, sehingga dianggap tidak
berhak hidup di Indonesia. Lalu lahirlah stigma. Dan
stigma itulah yang menimpa kelompok penganut
Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB, yang digeruduk
oleh sekelompok massa anti-Ahmadiyah pada hari
ketiga Ramadhan 2018, karena alasan yang sebenarnya
remeh-temeh, konon sebagai buah dari perkelahian
anak-anak pengajian, tetapi dengan akibat enam buah
rumah penganut Ahmadiyah dirusak oleh massa yang
terprovokasi (BBC Indonesia, 28 Mei 2018).
Sebenarnya pengucilan atas nama agama ini bukan
suatu hal yang baru dalam riwayat kehidupan beragama.
Dalam agama Kristen, praktik yang dikenal dengan istilah
ekskomunikasi (excommunication) yang disandarkan
pada asas celaan (anathema) ini adalah hukuman
terberat yang dijatuhkan Gereja kepada seseorang yang
melakukan dosa tertentu yang sangat berat, misalnya
karena tidak patuh kepada otoritas Magisterium Gereja.
Hukum pengucilan itu menjadi otoritas Gereja, dan
sebenarnya tidak semua orang dapat mengamininya.
Contohnya, Maharaja Frederick II dihukum pengucilan
oleh Paus Gregorius IX, karena dianggap melanggar
sumpahnya sebagai tentara salib, ketika masa Perang
Salib Kelima (1217–1221). Tetapi benarkah Frederick
II melanggar sumpahnya, ataukah karena ada faktor
politik lain yang melatarbelakanginya? Hal itulah yang
19
Mukhtar Sarman
didiskusikan Andrew Jotischky dalam Crusading and the
Crusader States (2017).
Perlunya diskusi tentang tindakan pengucilan
bukan semata-mata untuk menguji kebenaran dari
tindakan tersebut. Diskusi lebih dimaksudkan untuk
mendudukkan persoalannya secara proporsional, dan
melihat masalahnya secara adil, dari sudut pandang
kedua pihak, antara korban dan pihak yang melakukan
persekusi. Ambil contoh misalnya pengucilan terhadap
kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Mengapa kelompok
yang melakukan persekusi merasa berhak untuk menilai
penganut Ahmadiyah itu sesat, dan pantas dikucilkan?
Apa dasar hukumnya? Kalau dasar hukumnya adalah
Kitab Suci, siapakah yang membuat tafsirnya? Orang
yang percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa, dan sekaligus
Maha Penyayang, niscaya mengakui bahwa Tuhan tidak
akan “membiarkan” seseorang sampai menganut agama
yang “salah”. Apa sulitnya sih bagi Tuhan untuk membuat
setiap manusia di muka bumi hanya menganut satu agama,
sebagai kepercayaan tunggal umat manusia? Janganjangan antar umat beragama itu merasa “paling benar”
sendiri, dan menjadi ekslusif, lantaran karena tafsir yang
dibuat oleh elite agama, dan tafsir itu sebenarnya tidak
ada teksnya dalam kitab suci agama yang bersangkutan.
Keyakinan Fanatik dan Radikalisme
Fanatisme sebenarnya lahir dari kejumudan pikiran.
Fanatisme tidak membuka ruang untuk adanya dialog.
Fanatisme tidak tertarik untuk mengakui perbedaan
sebagai sunnatullah. Padahal karena perbedaan itu
20
Masalah Intoleransi
adalah sunnatullah, maka sebuah keniscayaan pula
apabila terjadi keragaman dalam segala hal, misalnya
kebiasaan, gaya hidup, kultur, dan bahkan kepercayaan
agama. Sehingga sebagaimana tulis George Santayana
dalam Life of Reason pada awal abad duapuluh, fanatisme
ibarat "melipatgandakan usaha Anda ketika Anda
lupa tujuan Anda". Kelompok fanatik sebenarnya lupa
bahwa tujuan manusia bermasyarakat dan berbangsa
adalah untuk saling kenal-mengenal, bukan untuk saling
meniadakan eksistensi orang lainnya. Ketika sudah saling
kenal-mengenal, maka tahap selanjutnya boleh jadi
adalah munculnya rasa maklum, bahwa dirinya berbeda
dan membutuhkan bantuan orang lain untuk menjamin
eksistensi dirinya. Bukannya bingung sendiri dengan
pertanyaan, mengapa harus saling kenal-mengenal
dengan orang lain yang tidak sama kultur, etnis dan
agamanya.
Pada tahap selanjutnya, laku fanatik bisa saja
melahirkan sikap radikal. Radikal, berasal dari kata radix
(bahasa Latin, yang artinya akar pohon, sebagai kiasan
dari sesuatu untuk berpegang kuat), adalah paham atau
aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik dengan cara drastis. Mereka yang
radikal cenderung memaksakan keyakinannya yang
bersifat eksklusif kepada orang lain. Orang-orang radikal
biasanya tidak sabar dengan perubahan yang sifatnya
perlahan, karena mereka berpikir atas dasar imajinasi
“kondisi yang seharusnya”, bukan situasi yang senyatanya
ada. Kecenderungan seperti itu menyebabkan terjadinya
salah kaprah bagi kalangan awam, seakan-akan orang
21
Mukhtar Sarman
yang radikal diasumsikan sama dengan orang yang
idealis. Padahal orang yang idealis adalah orang yang
berpikir dan bertindak berdasarkan visi yang ideal, dan
karena itu tidak sama dengan orang yang tidak sabaran
melihat hasil perubahan seperti yang diimajinasikannya
sendiri.
Masalah intoleransi yang terjadi dalam masyarakat
pada umumnya dipahami sebagai akibat lebih lanjut dari
munculnya paham-paham radikal. Seolah-olah mereka
yang terpapar radikalisme selalu menjadi “pelaku”, dan
bukannya “korban”. Padahal dalam realitasnya tidaklah
selalu demikian.
Ambil contoh penduduk Palestina yang tinggal di
Jalur Gaza. Barangkali semua kita akan sepakat, bahwa
mereka umumnya menjadi kelompok radikal karena
saban hari disuguhi kekerasan akibat tindakan represif
tentara Israel yang menindas warga Palestina, karena
ingin mengusir warga Palestina dari daerah tersebut.
Padahal dalam sejarahnya, warga Palestinalah yang
menerima pelarian warga Yahudi yang terusir dari
daratan Eropa kala Perang Dunia II. Dengan kata lain,
warga Palestina dapat dikatakan sebagai penduduk asli
Jalur Gaza, sebelum negara Israel diproklamasikan.
Dalam kasus radikalisme yang menjamur di Palestina,
tidak jelas lagi siapa yang jadi “korban”, karena masingmasing pihak menunjukkan sikap radikal.
Sebaliknya kelompok-kelompok yang ramai
menyuarakan “bela Palestina”, tetapi hanya berorasi
melalui pengeras suara di depan publik di Jakarta, juga
22
Masalah Intoleransi
menampilkan diri seperti laiknya kaum radikal. Paling
tidak, mereka menunjukkan sikap tidak kompromi
terhadap penindasan warga Palestina di Jalur Gaza.
Tetapi benarkah kelompok demonstran yang rajin
berorasi di depan publik Jakarta itu adalah kelompok
radikal, sebagaimana pejuang Palestina? Belum tentu.
Ke-”radikal”-an kelompok ini akan teruji apabila tanpa
pikir panjang yang bersangkutan pergi ke Jalur Gaza, dan
ikut berjuang angkat senjata bersama warga Palestina di
sana.
Ketika fanatisme berkawin dengan radikalisme,
maka boleh jadi lahirlah berbagai kerunyaman. Contohnya
adalah kemunculan kaum teroris, yang mengamalkan
laku terorisme. Mereka bukan hanya sekadar mengancam,
untuk menekan pihak lain agar menuruti kehendaknya,
tetapi juga ingin meniadakan eksistensi pihak lain yang
tidak sepaham dengan dirinya. Prinsipnya, yang paling
benar adalah pola pikir dan preferensi yang dimilikinya.
Tidak peduli bahwa preferensinya itu sungguh tidak sesuai
dengan akal sehat. Tidak peduli bahwa preferensinya
itu adalah refleksi dari suatu keyakinan yang membabibuta. Misalnya keyakinan bahwa melakukan teror dalam
bentuk bom bunuh diri, yang ditujukan pada sasaran
“orang kafir”, adalah tindakan jihad, dan pelakunya bisa
dikategorikan sebagai mati syahid.
Bunuh diri, seperti disebutkan dalam kitab suci,
adalah tindakan yang pasti membawa pelakunya ke
pintu neraka. Padahal jihad adalah istilah dalam agama
(Islam) yang merujuk pada tindakan seseorang yang ihlas
mengorbankan segala kepentingan dirinya, termasuk
23
Mukhtar Sarman
hidupnya sendiri, demi untuk memperjuangkan agama,
yang dipercaya akan menghantarkan seseorang ke pintu
sorga. Tafsir terhadap lema jihad tersebut ada yang
memaknainya sebagai “perang”, atau angkat senjata,
melawan kaum kafir. Tapi persoalannya, perang terhadap
apa? Orang kafir itu siapa?
Menurut definisi Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme, lembaga yang berwenang menangani
masalah radikalisme di Indonesia, kelompok radikal
itu sebenarnya dapat diklasifikasikan sebagai kelompok
radikal dalam sikap, dan radikal dalam tindakan.
Kelompok pertama adalah yang terpapar paham
radikalisme, misalnya paham-paham yang bersumber
pada tafsir kaku terhadap dogma agama. Orang yang
bersangkutan, sedikit-sedikit menyatakan dosa dan kafir
atas sesuatu perbuatan atau tindakan orang lain. Namun
pernyataan-pernyataan ekstrem tersebut paling banter
hanya menimbulkan dampak keresahan bagi pihak lain
yang dituduhnya berdosa atau kafir. Kelompok kedua
adalah perkembangan lebih lanjut dari sekadar bersikap
ekstrem. Kelompok ini dapat dianggap sebagai “kader
teroris”, ketika mereka telah mempraktikkan paham
yang diyakininya, antara lain dengan menjaga jarak
dengan pihak lain yang tidak sepaham dengan mereka,
dan hidup dalam pergaulan eksklusif. Pada tataran aksi
yang lebih ekstrem, mereka boleh jadi bermaksud ingin
memberangus pihak lain yang dianggapnya pengikut
thoghut. Jikalau ada momentum, besar kemungkinan
mereka siap untuk jadi martir, dan melakukan tindakan
yang berdampak teror bagi masyarakat lain di sekitarnya.
24
Masalah Intoleransi
Kalau ditelisik lebih jauh, nampaknya praksis
beragama yang berorientasi pada sikap merasa paling
benar dan paling suci adalah titik pangkal masalah. Tidak
ada satu pun ayat dari kitab suci yang menganjurkan
pembunuhan kepada massa yang tidak berdosa, tetapi
dalam kenyataannya atas nama pemahaman agama
yang sempit bisa saja sekelompok orang melakukan hal
itu dengan penuh hidmat. Memang ada beberapa ayat
dalam al-Qur’an yang dapat dikategorikan sebagai “ayat
perang”, lantaran diturunkannya ayat tersebut kala umat
Islam sedang menghadapi perang dengan kaum musyrik.
Tetapi kalau kita baca Sirah Nabawiyah, teladan yang
diberikan oleh Muhammad Rasulullah sangat jelas
menunjukkan betapa beliau mengutamakan soft power
untuk mengajak kaum kafir Quraish agar percaya kepada
Allah subhanahu wa ta’ala. Tutur kata Rasullullah
diceritakan sangat lembut menyentuh nurani, dan itupun
seringkali tidak menggetarkan hati kaum kafir Quraish,
tetapi juga tidak menyebabkan Nabi menjadi putus
harapan dan lalu berucap kasar.
Itulah sebabnya, agak sulit dipahami tingkah polah
sekelompok orang yang mengatasnamakan agama,
seraya menyerukan nama Tuhan, dan mengenakan
segala simbol agama beserta pernak-perniknya, tetapi
meluapkan amarah dan melontarkan caci-maki kepada
seseorang yang dianggap “menista agama”, bahkan
menyebutnya kafir, padahal belum terbukti yang
bersangkutan benar-benar menista agama, dan yang
lebih parah lagi adalah, orang tersebut justru adalah
saudara sebangsa sendiri. Mereka yang mengaku pembela
25
Mukhtar Sarman
agama itu mungkin merupakan kelompok fanatik, tetapi
apa haknya untuk mencap seseorang kafir, misalnya.
Saya teringat wejangan seorang Kiyai, saya lupa kapan
hal itu disampaikan, ketika beliau menafsirkan surat alMaidah ayat 8, yang berbunyi: “…. Jangan sekali-sekali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. ……”. Dan dia menambahkan,
seyogyanya sebagai orang yang bertaqwa, tidak mudah
bagi seseorang itu untuk mengumbar rasa bencinya
dengan menyebut seseorang lainnya sebagai pendosa
atau kafir. Untuk menyebut seseorang itu berdosa,
atau kafir, sebenarnya bukanlah wilayahnya manusia,
melainkan yuridiksi Tuhan. Karena Tuhan adalah Yang
Maha Berkuasa atas hal-hal kekal, termasuk sorga.
Perihal status “orang kafir” ini akhirnya menjadi
hal yang serius. Sejak zaman behaula, sebutan itu
melekat pada orang-orang lain yang tidak disukai oleh
kelompok agama dominan. Seperti diceritakan Michael
York dalam Pagan Ethics (2015), ketika agama Kristen
mulai menguasai Eropa, para pemuka agama Kristen
menyatakan bahwa penganut agama pagan adalah
kelompok kafir yang wajib diperangi. Para penyembah
berhala itu adalah kelompok sesat yang tidak layak hidup
di muka bumi. Lantaran karena pernyataan tersebut,
terjadilah perburuan terhadap pengikut agama pagan.
Untuk menjustifikasi perburuan, atau lebih tepatnya
pembantaian pengikut agama pagan, mereka kerapkali
diberi stempel sebagai pengikut setan dan para tukang
sihir, sehingga pantas dimusnahkan dengan cara apapun.
26
Masalah Intoleransi
Kasus yang terjadi di Eropa berabad-abad silam
itu rupanya mewarnai kehidupan beragama zaman
sekarang di republik ini. Ada kelompok penganut agama
yang merasa dirinya paling benar dan paling berhak atas
sorga. Masalahnya, kelompok ini rupanya alergi betul
dengan kelompok penganut agama lain yang berbeda
dengan mereka. Kelompok penganut agama yang terlalu
fanatik dengan agamanya ini seolah-olah mengalami
paranoid, sehingga bukan hanya gerah, tapi sudah ke
taraf ingin meniadakan kelompok lain yang tidak sealiran
dengan mereka. Mereka seolah-olah merasa sebagai
“wakil Tuhan”, sehingga merasa paling berhak untuk
menentukan siapa saja yang boleh hidup tenteram di
muka bumi ini.
Padahal, dan inilah yang menjadi pokok
masalahnya, ada tengarai bahwa kelompok fanatik
tersebut memusuhi siapa saja, termasuk memusuhi
pemerintah yang memangku kekuasaan negara. Visi
mereka bukan semata-mata karena niat pemurnian
agama, melainkan punya latar belakang politik, sehingga
lebih tepat disebut “kuasi-agama”. Bahkan karena
didorong oleh semangat ingin mengambil alih kekuasaan,
tindakan terorisme mereka halalkan. Mereka tidak
peduli aksinya dianggap biadab dan tidak dibenarkan
agama, sejauh dibenarkan keyakinan agama. Karena
yakin berada di jalan yang benar, mereka radikal dalam
beragama. Dan karena keyakinannya tersebut, mereka
sangat bersemangat memperjuangkan terbentuknya
suatu sistem pemerintahan berdasarkan hukum-hukum
agama, dan bukan sistem lain, termasuk demokrasi, yang
27
Mukhtar Sarman
mereka anggap sebagai sistem kafir. Seperti disinyalir
oleh Frederick Clarkson dalam Eternal Hostility, gejala
radikalisme agama itu muncul di mana-mana, termasuk
di AS. Tetapi lantaran AS itu adalah negara sekuler,
radikalisme agama di sana tidak mendapat lahan subur
untuk berkembang.
Di Indonesia, kelompok radikal ini semakin hari
rupanya semakin banyak penggemarnya. Penggemar
bukan berarti protagonis. Penggemar itu umumnya
hanya ikut-ikutan dan tidak paham substansi masalah
yang sebenarnya. Tetapi para penggemar itu pula yang
paling lantang, dan paling kasar, dalam menyatakan
sikap permusuhan. Sebagian di antaranya kemudian
melakukan baiat dengan pemimpin ISIS (Islamic State
in Irak and Syria), dan membangun sel-sel jaringan
kelompok radikal di dalam negeri. Sebagian lagi pergi
ke luar negeri ikut bergabung dan berperang bersama
dengan ISIS, untuk memperjuangkan berdirinya Daulah
Islamiyah, memerangi penguasa kafir yang menerapkan
hukum jahiliah. Celakanya adalah, begitu kembali ke
tanah air, justru mereka berniat memerangi bangsa dan
negeri sendiri, antara lain dengan melakukan teror bom
dengan sasaran tempat-tempat ibadah, dan simbolsimbol negara.
28
2
BANALITAS DAN CANGKANG
RADIKALISME
Mereka yang paling radikal mendukung revolusi akan
menjadi kelompok paling konservatif sehari setelah
revolusi terjadi.
Hannah Arendt
M
ENGAPA orang bisa berubah menjadi radikal?
Mungkin ada yang terheran-heran, orang
yang punya track record sebagai “orang biasabiasa” saja, tiba-tiba diketahui menjadi radikal, baik
dalam pemikiran maupun tindakan. Barangkali agak di
luar nalar orang banyak, kalau sekiranya seseorang yang
diketahui berpendidikan tinggi, punya pekerjaan mapan,
memiliki riwayat keluarga yang harmonis, ternyata
bisa terlibat dalam jaringan terorisme. Radikalisme
rupanya bagaikan virus yang tidak kasat mata, yang bisa
menginfeksi siapa saja, dan nampaknya belum ditemukan
“vaksin” yang efektif untuk menangkalnya secara dini.
Kalau radikalisme itu dianalogikan dengan virus,
kita dapat membayangkannya sebagai suatu entitas
yang hidup. Dalam dunia medis, istilah virus biasanya
merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel
29
Mukhtar Sarman
eukariota. Virus sering diperdebatkan statusnya sebagai
makhluk hidup karena ia tidak dapat menjalankan
fungsi biologisnya secara bebas jika tidak berada
dalam sel inang. Virus adalah parasit mikroskopik yang
menginfeksi sel organisme biologis. Virus bersifat parasit
obligat, hal tersebut disebabkan karena virus hanya dapat
bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi
dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus
tidak memiliki perlengkapan seluler untuk bereproduksi
sendiri.
Material hidup, adalah kata kuncinya. Virus hanya
dapat bereproduksi dalam material hidup. Demikian pula
dengan paham radikal, ia hanya bisa bereproduksi dalam
material hidup, yakni manusia normal, dan masyarakat
yang juga normal. Normal adalah istilah untuk sehat, tidak
sakit, dan bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak
mungkin radikalisme, sebagai virus, (mau) bereproduksi
pada diri seseorang sudah sakit sebelumnya. Karena
itu barangkali suatu simplifikasi berlebihan apabila ada
yang menganggap radikalisme itu dapat menyergap
seseorang karena orang tersebut sebenarnya sudah
sakit secara sosial. Seseorang menjadi radikal niscaya
melalui proses panjang. Seorang radikal dalam tataran
pemikiran, belum tentu akan jadi teroris. Kalau sampai
jadi teroris, maka boleh jadi yang bersangkutan telah
mengalami suatu “pencerahan”, atau apapun istilahnya,
yang mengakibatkan dia sampai mengambil kesimpulan
bahwa hidupnya telah selesai untuk dirinya sendiri.
30
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
Pengalaman hidup bisa mengubah mindset
seseorang, sehingga memicu dirinya bertransformasi
menjadi orang yang berbeda. Kesulitan hidup sering
dijadikan alasan pula untuk punya preferensi yang
bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan
preferensi sebelumnya. Tetapi yang paling berperan
penting sebenarnya adalah proses literasi. Literasi, atau
proses mengenali suatu ide, bisa membuat seseorang
sadar dan menyadari posisi perannya dalam dunia
ide dan dunia aksi. Secara umum, literasi disetarakan
dengan hasil dari proses pendidikan. Dengan asumsi
tersebut, dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi,
diperkirakan menjadi cangkang yang paling potensial
untuk menyebarkan dan menyemai paham radikalisme.
Tapi, benarkah dugaan itu? Kapan hal itu bisa terjadi?
Hal itulah yang tak mudah untuk dijelaskan. Seperti
halnya penyakit di sebuah tubuh yang nampak sehat
walafiat, ia tidak mungkin terdeteksi kalau tidak dipindai
dengan seksama. Padahal untuk memastikan telah
tersemaikannya paham radikalisme di suatu lembaga
pendidikan tinggi, atau belum, sebenarnya lebih sulit
lagi pendeteksiannya. Pasalnya, di dunia perguruan
tinggi adalah perkara lazim dilakukannya diskusi tentang
pemikiran-pemikiran radikal yang berkaitan dengan
ideologi, isme, atau sekadar teori baru, dan itu perlu
dilakukan untuk menghasilkan akademisi dan ilmuwan
yang kritis.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa orang yang
mempelajari suatu paham radikal, dalam rangka proses
literasi, belum tentu menjadi radikal karenanya.
31
Mukhtar Sarman
Tersebab Banalitas
Banalitas berasal dari bahasa Prancis, ban, yang
artinya “dangkal”. Dalam filsafat sosial, istilah banalitas
digunakan untuk mengidentifikasi adanya tafsir yang
dangkal atas sesuatu entitas, sehingga berakibat pada
“kehampaan makna”. Meminjam penjelasan Walter
Benjamin dalam The Arcades Projects, apabila ia
menyangkut persepsi seseorang, maka sifat banal itu
selanjutnya dapat memicu perilaku dan tindakan sesuai
dengan persepsi yang dibangun dari hasil pemahamannya
tersebut.
Istilah banalitas itu menjadi populer di kalangan
akademisi ilmu sosial politik tatkala Hannah Arendt
menggunakannya dalam Eichmann in Jerussalem: a
Report on the Banality of Evil (1963). Buku tersebut
merupakan refleksi Arendt ketika mengikuti persidangan
Otto Adolf Eichmann, seorang penjahat perang dengan
tuduhan sebagai pelaku genosida terhadap kelompok
Yahudi Jerman. Dalam pengamatan Arendt, banalitas
yang ditunjukkan Eichmann adalah, dia sama sekali
tidak menunjukkan rasa bersalah atas tindakannya yang
dianggap orang-orang sebagai kejahatan kemanusiaan.
Eichmann seolah-olah pergi ke tiang gantungan
dengan penuh kehormatan dan kebanggaan. Bahkan
dengan konyol dia menolak kap hitam untuk menutupi
kepalanya, sebagaimana lazimnya perlakuan kepada
setiap terpidana yang akan dihukum gantung. Semua
tindakan itu, menurut Arendt, adalah suatu refleksi
berpikir yang sembrono dan menggelikan, walau tidak
32
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
identik dengan kebodohan. Dan itulah bentuk banalitas
yang diperagakan secara kasat mata di depan khalayak
oleh seorang elite, artinya orang pilihan, dalam struktur
partai Nazi Jerman.
Konsep banalitas menjadi menarik ketika dikaitkan
masalah etika, atau lebih tepatnya masalah moral
politik. Moral politik acapkali hanya dianggap sebagai
persoalan filosofis, karena secara empirik sulit diukur
indikator dan validitasnya. Faktanya, berbagai sistem
moral mustahil dapat diperbandingkan atau dievaluasi
secara diferensial. Meminjam refleksi Bauman dalam
Modernity and the Holocaust, kebutuhan yang dilayani
oleh masing-masing sistem lahir di dalam masyarakat
tempat sistem bersarang. Pada setiap masyarakat harus
ada satu sistem moral, bukan substansi norma-norma
moral masyarakat tertentu yang kebetulan diberlakukan
untuk mempertahankan kesatuannya. Bila moralitas
dianggap sebagai konsekuensi bermasyarakat, atau
produk masyarakat, maka perilaku moral menjadi
sinonim dari penyesuaian sosial (social conformity)
dan ketaatan pada norma-norma yang dijalankan oleh
mayoritas. Karena kesadaran demikian mendorong
Bauman untuk berargumentasi bahwa “faktor-faktor
yang bertanggung jawab atas kehadiran kapasitas moral
harus dicari di dalam yang sosial, atau dalam konteks
sosial, tetapi pemunculan perilaku bermoral bukanlah
akibat dari kehadiran agensi yang merupakan konteks
kemasyarakatan.”
33
Mukhtar Sarman
Selaras dengan argumentasi Bauman itu, fokus
analisis Levinas dalam Ethics as First Philosophy
menggarisbawahi bahwa konsep subyektivitas dipahami
dalam pengertian etika. Simpul dari yang subyektif itu
dipertautkan dalam etika yang dipahami sebagai sebuah
pertanggungjawaban. Dan pertanggungjawaban itu
dideskripsikan sebagai “struktur subyektivitas esensial,
dan fundamental”. Namun hubungan pertanggung
jawaban etika yang menyusun keberadaan manusia
diakui Levinas menjadi buntu ketika sosialitas meluas
melampaui interaksi tatap muka. Karena dalam
pandangannya, setelah ada lebih dari dua orang
yang terlibat, maka hubungan etika berubah dan
menjadi politis. Dalam sebuah “tatanan sosiopolitis
yang mengorganisasi kelangsungan hidup kita” inilah
moralitas, dalam pengertian “sederet peraturan yang
berhubungan dengan perilaku sosial dan kewajiban
kewargaan”, mulai berlaku. Levinas berargumen bahwa
etika, yakni sensitivitas subyek terhadap panggilan
subyek lain, “menjadi moralitas dan mengeraskan
kulitnya begitu kita bergerak memasuki dunia politik
pihak ketiga yang impersonal, seperti halnya dunia
birokrasi pemerintahan.” Atau merujuk pada argumen
Bauman, isu penting moral politik itu harus dipahami
dalam konteks sosial, tidak soal pada masyarakat mana
ia mesti diletakkan, karena ia merupakan realitas yang
bukan produk masyarakat.
Mungkin tidak terlalu tepat, tetapi saya kira
radikalisme selalu bersentuhan dengan politik,
dan jaringan terorisme akan sangat jelas peta jalan
34
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
kekerasannya apabila dicermati dari perspektif kekuasaan
politik. Sebagai contoh, apa yang ingin diperjuangkan
oleh kelompok teroris dalam jaringan ISIS, tidak lain
adalah ingin membangun kekuasaan politik global di
bawah satu sistem kekhilafahan. Pemimpin jaringan ISIS
menanamkan ideologi dalam benak para pengikutnya,
bahwa sistem demokrasi untuk menata kelola
pemerintahan itu adalah sistem thogut, tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah Islam. Pola pemikiran semacam
itu tentu saja tidak dapat diterima oleh kelompok
mainstream, yang mengagungkan sistem demokrasi, dan
boleh jadi akan mengecamnya sebagai sebuah pemikiran
yang dangkal, dan menyesatkan.
Radikalisme yang menolak gagasan demokratisasi
politik, dalam berbagai levelnya, sebenarnya merupakan
sebuah pertunjukan para aktor yang tak mudah
diverifikasi, divalidasi dan dikonfirmasikan apa dan
mengapa mereka sampai melakukan tindakannya yang
bersifat banal. Meminjam istilah Jean-Luc Marion,
ia berkaitan dengan intuisi yang ada di benak para
pelaku, dan ekses dari fenomena itu baru bisa ditangkap
ketika sudah sampai ke taraf jenuh. Namun demikian,
meminjam analogi David Matza dalam Becoming Deviant,
radikalisme semacam itu bukan tidak mungkin untuk
ditengarai sejak masih berupa gejala (symptom), ibarat
menengarai pengaruh mariyuana terhadap perilaku para
penggunanya. Paling tidak, benih-benih radikalisme itu
mestinya dapat diperiksa dalam cangkang-cangkang yang
merupakan jaringan tempat dimana semangat melakukan
35
Mukhtar Sarman
perlawanan, atas nama keadilan dan kesucian perjuangan
itu, disemai, dipupuk dan disirami setiap saat.
Kesulitan memahami tindakan banal dan
mendeskripsikan apa itu banalitas politik dalam konteks
radikalisme seringkali terbentur pada ketidakjelasan
penilaian “benar” dan “salah” yang berkaitan dengan
kejahatan politik. Persis seperti deskripsi Arendt, bahwa
politik yang jahat niscaya berkaitan dengan sesat pikir
yang jahat, tetapi kejahatan dalam konteks politik
dikatakannya bukan karena adanya orang-orang yang
berhati jahat, melainkan karena hilangnya kemampuan
mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat sistemik dan
mengakar sebagai perilaku kolektif. Kejahatan bukan
hanya masalah moralitas, tetapi juga masalah absennya
kemampuan berpikir rasional, kritis, dan berlandaskan
hati nurani sebelum bertindak atas nama orang banyak.
Hal itu ditegaskan pula oleh Richard Bernstein dalam
The Banality of Evil Reconsidered, bahwa kejahatan yang
didasari oleh kedangkalan berpikir adalah suatu kondisi
dimana kejahatan terjadi pada skala masif, dipraktikkan
sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, dan sistematis,
namun celakanya nyaris sama sekali tidak melibatkan
rasa bersalah.
Ciri khas dari teroris yang melakukan tindakan
nekad adalah tipikal dari sifat-sifat banal tersebut.
Rasionalitas yang Dipaksakan
Tindakan mengorbankan diri sendiri, misalnya
melakukan aksi bom bunuh diri, yang sering dilakukan
oleh para teroris, kadangkala sulit dipahami orang
36
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
awam. Salah satu pertanyaan yang tidak masuk akal
orang awam adalah, sepadankah pelaku teror itu sampai
harus mengorbankan dirinya sendiri, padahal apa yang
dilakukannya belum tentu berpengaruh terhadap tujuan
yang ingin dicapai. Logika apa yang digunakan oleh
pelaku bom bunuh diri?
Secara normatif, pada dasarnya setiap orang itu
rasional. Masalahnya adalah ketika seseorang tergoda
untuk memaksakan rasionalitasnya sendiri saja sehingga
lalu terjebak pada kondisi rasionalitas yang dipaksakan.
Rasionalitas yang dipaksakan, yang diasumsikan bisa
menyebabkan irrasionalitas, bukan hanya menyangkut
kemampuan nalar yang mandiri, tetapi juga dipengaruhi
oleh pengalaman hidup seseorang, yang menyebabkan
seseorang memiliki preferensi unik tentang sesuatu hal,
dan sayangnya salah kaprah. Rasionalitas dipaksakan ini
dapat dioperasionalkan dalam sejumlah indikator yang
lebih terukur, yaitu: (a) segala sesuatu selalu harus dilihat
dari perspektif rasionalitas, dan seseorang yang terjebak
pada rasionalitas dipaksakan akan memaksakan nalarnya
sendiri untuk menjustifikasi tindakannya; (b) ukuran
kebenaran adalah fakta empiris yang masuk akal, dan
seseorang yang terjebak pada rasionalitas dipaksakan
akan memaksakan kebenaran empiris yang diyakininya
saja meskipun hal itu bertentangan dengan norma
sosial; dan (c) setiap kejadian harus merujuk pada pola
logika sebab akibat, dan seseorang yang terjebak pada
rasionalitas yang dipaksakan akan memaksakan pola
tersebut untuk menjelaskan setiap persoalan, temasuk
37
Mukhtar Sarman
yang menyangkut hal-hal abstrak, seperti implikasi
pelanggaran norma sosial.
Meskipun tiga indikator itu berbeda fungsi, tetapi
sesungguhnya ketiga unsur pendukung komponen
kesalahkaprahan itu bisa saling berkait-kelindan untuk
menentukan bagaimana pandangan dunia (world view)
seseorang. Subyek mandiri bisa saja mengalami kesilauan
emosional sesaat, yang berakibat pada tumpulnya
budiluhurnya, sehingga menyebabkan yang bersangkutan
tidak peka dengan kepentingan orang lain. Karena
antara lain faktor kesilauan emosional sesaat itu pula,
seseorang bisa keliru memahami substansi suatu entitas,
sehingga ketika bertindak seolah-olah merefleksikan
nilai esensialnya padahal tidak, dan lalu menunjukkan
“kehampaan makna” dari tindakan yang diperbuatnya.
Apa yang dilakukan seseorang yang terjebak dalam
kehampaan makna itu tidak lain adalah gambaran
dari sebuah kebebalan. Ada kalanya kebebalan dan
ketidakpekaan sosial juga bisa menimpa seseorang
lantaran terjebak dalam rasionalitas yang dipaksakan, dan
lalu mengandaikan tidak pentingnya nilai-nilai normatif
yang sudah ada sebagai referensi sosial. Atau bahkan
tidak sudi berpikir barang sejenak untuk merefleksikan
nilai manfaat dari tindakan yang dilakukannya. Padahal,
meminjam penjelasan Chatel dan Soulet (2004),
bagaimanapun juga suatu tindakan sosial itu mestinya
didasarkan pada hasil interaksi yang berkaitan dengan
pemahaman seseorang tentang mekanisme sosialisasi
dirinya di suatu ranah tertentu. Atau dalam deskripsi
38
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
Baumeister dalam Meaning of Life, hal itu pula yang
menjadi sebab mengapa banalitas juga bisa dikaitkan
dengan ketidakmampuan subyek memahami substansi
kehidupan sebagai sejumlah kejadian yang integratif,
yang dalam kategori unsur banalitas di sini dimaksudkan
sebagai kebebalan yang menunjukkan tidak berfungsinya
budiluhur seseorang.
Di sisi lain, dalam tata kehidupan sosial modern yang
penuh konflik kepentingan, dan juga sebagai ekses dari
praktik politik pragmatis di panggung kekuasaan, cukup
lazim terjadi tidak begitu jelasnya perbedaan normatif
antara hal yang benar dan hal yang tidak benar, antara
pengecualian dan aturan. Tiadanya perbedaan antara
pengecualian dan aturan itu merujuk pada ontologi
negatif dari teori kekuasaan berdaulat (sovereignty
power) sebagaimana dipahami oleh Agamben, dan
disebutnya sebagai “bare-life” (kehidupan telanjang).
Saya ingin menggambarkan hal itu dengan istilah “zona
buram”.
Ibarat sebuah cermin, zona buram itu mengandaikan
cermin yang kotor dan penuh debu sehingga kehilangan
kemampuannya untuk memberikan daya pantul. Karena
itu zona buram tidaklah serupa dengan “wilayah abuabu” yang biasanya digunakan untuk menunjukkan
percampuran antara hal-hal yang baik dan hal-hal
yang buruk. Zona buram adalah wilayah yang tidak
jelas warnanya dan cenderung memberi kesan kusam.
Zona buram memungkinkan terjadinya perubahan
sikap dan perilaku para aktor, termasuk tentunya orang
39
Mukhtar Sarman
sebelumnya “biasa-biasa” saja secara dramatis menjadi
radikal. Zona buram juga dapat menjustifikasi “pola
balas dendam yang tersembunyi”, atau dalam istilah
Scott (1985) “perlawanan kaum lemah”, sebagai tindakan
rasional untuk membayar kekalahan atau penipuan yang
diterimanya dari kelompok lain yang lebih kuat. Zona
buram dapat menjadi pintu masuk untuk menjustifikasi
suatu tindakan yang secara konseptual dinilai haram,
tetapi kemudian tiba-tiba dianggap sebagai sesuatu yang
halal untuk dilakukan. Dengan kata lain, zona buram
dapat menyebabkan dis-orientasi etis bagi pelaku suatu
tindakan sosial, dan ia dapat menjustifikasi perilaku
banal sebagai tindakan rasional.
Walaupun masih agak spekulatif, saya yakin bahwa
pelaku terorisme tidak terlepas dari komplikasi moral
yang disebabkan dia terperangkap zona buram semacam
itu. Persoalannya adalah, yang bersangkutan boleh jadi
tidak menyadari bahwa dia sedang terperangkap.
Prakondisi Radikalisme
Radikalisme, sebagai wujud dari banalitas, sebaiknya
dipahami dalam konteks bagaimana tindakan politik
yang diperagakan oleh para pelaku, sebagai suatu akibat.
Pendekatan kontekstual semacam itu dilakukan Michael
Billig, ketika mencoba memaknai banalitas yang berkaitan
dengan identitas kebangsaan. Dalam pengamatan Billig
(2005), sebuah rezim sangat mungkin mengalami waham
dalam memahami kekuasaan politik yang dimilikinya,
dan kemudian penguasa rezim itu dengan sekehendak
hati menafsirkan “kebenaran” dari hegemoni politik yang
40
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
dibangunnya, dan bahkan “menyalahgunakan” tafsir
atas identitas kebangsaan, untuk kepentingan politiknya.
Contohnya adalah faktor pemicu Perang Malvinas, antara
Inggris dan Argentina. Karena itu Billig cenderung
sepakat dengan Arendt, dan mendeskripsikan banalitas
(dalam konteks politik) sebagai suatu kesalahkaprahan
(dalam memaknai kekuasaan) yang telah “merasuk”
dalam memori kehidupan sehari-hari masyarakat, dan
karena itu kehadirannya kemudian seolah-olah tidak
membahayakan.
Saya kira Arendt, dan tentu saja Billig, tidak
sepenuhnya benar dan lalu dapat diaminkan begitu saja.
Menurut saya, banal dan banalitas bukanlah perbuatan
itu sendiri, tetapi sifat negatif yang dikandung dari
perbuatan tersebut. Banalitas politik sebenarnya berbeda
makna substantifnya dengan kejahatan politik, meskipun
dua hal itu bisa saja saling berhubungan. Banalitas politik,
dalam kasus tertentu, bisa dimaknai sebagai faktor
sebab, sedangkan kejahatan politik adalah akibatnya;
tetapi pada umumnya, banalitas politik lebih merupakan
“variabel-antara” dari suatu kejadian atau tindakan
yang menggambarkan kebusukan politik. Sungguhpun
demikian, tetap saja dibutuhkan justifikasi moralitas
agar suatu tindakan politik banal bukan dianggap sebagai
sebuah kejahatan. Justifikasi itu penting, karena apabila
secara kasat mata suatu tindakan dapat dinilai tidak
sesuai dengan kaidah moral sosial niscaya akan ditolak
masyarakat, padahal setiap tindakan yang berorientasi
politik niscaya butuh dukungan masyarakat untuk
kepentingan pembenaran.
41
Mukhtar Sarman
Karena banalitas tindakan sosial adalah sebuah
anomali yang berkaitan dengan proses nalar dan
kemampuan seseorang menimbang nilai-nilai moral, maka
penting sekali dipahami apa saja komponen-komponen
yang memungkinkan kehadirannya. Tanpa bermaksud
menutup peluang atas identifikasi sejumlah komponen
lain yang relevan, izinkanlah saya mengusulkan komponen
utama yang diasumsikan paling menentukan kehadiran
tindakan banal itu, yakni: (a) adanya kesalahkaprahan
dalam memaknai substansi suatu entitas kehidupan, dan
(b) terjadinya krisis nilai-nilai yang mengatur tertib sosial.
Komponen banalitas yang pertama, yakni adanya
kesalahkaprahan memaknai substansi suatu entitas
kehidupan, terdiri dari unsur-unsur: (1) kebebalan, (2)
sesat pikir, dan (3) rasionalitas dipaksakan. Sedangkan
komponen banalitas yang kedua, yakni terjadinya krisis
nilai-nilai yang mengatur tertib sosial, terdiri dari unsurunsur: (1) ketekoran moral, (2) krisis legitimasi, dan (3)
adanya zona buram.
Meminjam definisi Lars Svenson (2001), kebebalan
adalah sifat yang merefleksikan kebodohan (stupidity),
tetapi bukan menunjukkan ketidakmampuan menilai, yang
secara teknis berarti bodoh. Kebebalan lebih menyangkut
perilaku seseorang yang sukar mengerti pendapat orang
lain, cenderung memaksakan pendapatnya sendiri,
dan keras kepala atas keyakinannya. Bahkan kebebalan
kadangkala merupakan buah dari sifat dasar seseorang
yang egoistik, dan selalu merasa benar sendiri. Karena itu
kategori kebebalan bisa dioperasionalkan dalam sejumlah
42
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
indikator yang lebih terukur, yaitu: (a) cenderung curiga
atas setiap informasi baru yang diterima dari orang lain,
dan tingkat kecurigaan itu menentukan tingkat kebebalan
seseorang; (b) terlalu percaya secara berlebihan dengan
kebenaran pendapat sendiri, dan karena itu cenderung
sukar menerima pendapat yang berbeda dari orang lainnya;
dan (c) tidak peduli dengan substansi, dimana kelemahan
dalam hal itu menyebabkan seseorang abai terhadap
detil dan lalu menjadi ceroboh, yang tatkala menjadi
kumulatif menggambarkan kebodohan-kebodohan yang
tak termaafkan.
Mengikuti logika Aristotelian, secara generik
sesat pikir (logical fallacy) adalah kekacauan logika
yang disebabkan oleh sejumlah argumentasi yang tidak
disusun dengan logika yang benar sehingga menghasilkan
kesimpulan yang menyesatkan. Sesat pikir bisa terjadi
karena seseorang salah kaprah dalam memindai kebenaran
suatu hal, dan tidak ada koreksi dari pihak lain kecuali
diri yang bersangkutan. Karena itu sesat pikir bukan
sekadar menyangkut keyakinan seseorang atas kebenaran
pendapatnya sendiri, tetapi juga berkaitan dengan tingkat
kemampuan seseorang dalam menerima koreksi dari
pihak lain.
Pada sisi lain, ketekoran moral (moral deficit)
adalah kondisi seseorang yang berada dalam situasi
ketidakcukupan syarat untuk berperilaku sesuai dengan
moralitas sosial yang berlaku, sehingga kemudian
cenderung menghalalkan kebohongan dalam tindakan
sosialnya. Menghalalkan kebohongan adalah kata
43
Mukhtar Sarman
kuncinya, karena bisa saja yang bersangkutan tidak
melakukan kebohongan, kalau mau. Karena itu ketekoran
moral bukanlah kecacatan moral (moral defect) yang
menyebabkan seseorang menjadi telengas, kejam atau
tidak berperikemanusiaan. Tindakan yang didasarkan
pada ketekoran moral dan kecacatan moral itu hampir
pasti buruk, dan karena itu mungkin bisa dikategorikan
sebagai perbuatan dosa, tetapi ketekoran moral boleh
jadi lebih tepat hanya dimasukkan dalam kategori “dosa
ringan”.
Sejatinya ada banyak hal yang bisa dikaitkan dengan
ketekoran moral, namun hal terpenting yang berkaitan
dengan kehadiran banalitas sebagai bentuk krisis nilainilai barangkali hanya ada dua unsur lainnya, yakni:
krisis legitimasi dan adanya kondisi zona buram.
Pada masyarakat tradisional yang terikat dengan
norma-norma sosial, diam-diam nilai-nilai moralitas
sosial itu sangat ketat mengatur perilaku sosial warga
masyarakatnya. Dalam perkembangan kemudian, nilainilai moralitas sosial itu boleh jadi melunak dan sejak
itu pula akan muncul sikap permisif, dan lalu warga
masyarakat menjadi semakin individualistik. Adanya
pelunakan nilai-nilai moralitas sosial dan semakin
individualistiknya warga masyarakat menyebabkan
pudarnya norma sosial sebagai faktor pengatur perilaku
individu dalam interaksi sosialnya; dan hal itu lebih lanjut
bisa berakibat pada semakin tidak pedulinya orang per
orang atas pelanggaran etika yang dilakukan oleh orang
lainnya. Dengan kata lain muncullah gejala permisifisme
44
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
sosial. Meminjam dialektika Habermas (1992),
permisifisme sosial itu boleh jadi merupakan hulu dari
kondisi psiko-sosial yang disebut “krisis legitimasi”. Krisis
legitimasi merupakan situasi dimana warga masyarakat
kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya atau
lembaga-lembaga publik yang mengatur tertib sosial.
Tingkat krisis akan lebih tinggi jika persoalan-persoalan
dalam kehidupan bermasyarakat tidak bisa dengan segera
diatasi. Krisis legitimasi itu muncul jika harapan-harapan
yang ada di benak masyarakat tidak bisa dipenuhi,
baik oleh sejumlah nilai yang sudah tersedia, atau oleh
penghargaan yang sengaja diciptakan secara sistematis
dan menyesuaikan dengan sistem yang ada.
Pertautan kondisional antara krisis legitimasi dan
adanya kondisi zona buram memberikan situasi yang
kondusif bagi ketekoran moral, dan ketika situasi tersebut
bertaut dengan komponen-komponen kesalahkaprahan
aktor, maka lengkaplah prakondisi kehadiran banalitas
dalam tindakan sosial seseorang. Akan tetapi, sebuah
tindakan politik yang dapat dikategorikan “banal”
tidaklah dipersyaratkan harus selalu memenuhi semua
komponen kehadiran banalitas tindakan sosial. Ada
kalanya tindakan politik banal itu terutama hanya dipicu
oleh sesat pikir aktor dan adanya krisis legitimasi, dan
unsur-unsur lainnya tidak terlalu signifikan. Atau bisa
saja terjadi suatu tindakan politik banal itu hadir karena
dominannya unsur kebebalan yang disertai dengan
kondisi zona buram dalam masyarakat. Dengan kata lain,
banalitas politik, apapun wujudnya, ada dan hadir sebagai
sebuah fenomena sosial, karena memang ada faktor yang
45
Mukhtar Sarman
menjustifikasinya. Contohnya, adanya obsesi sejumlah
orang yang ingin mendirikan khilafah di Indonesia,
dan memulainya dengan membuat semacam organisasi
masyarakat, tetapi untuk menjamin eksistensi organisasi
tersebut harus mendapatkan izin resmi dari Kementerian
Hukum dan HAM. Pola pikir yang ingin membongkar
sistem pemerintahan, tapi sekaligus mengakui (walaupun
terpaksa) perangkat pemerintahan yang ada, bukan
hanya menunjukkan ambivalensi, tetapi juga adalah
bentuk banalitas politik.
Dari perspektif ontologis, banalitas politik
itu selanjutnya dapat dimaknai sebagai bentuk
kesalahkaprahan subyek dalam memaknai nilai-nilai
yang melekat pada konsep “kekuasaan”, dan bagaimana
seharusnya kekuasaan itu diperoleh atau dipergunakan.
Yang dimaksud “kekuasaan” (power) di sini merujuk
pada konsepsi yang Arendt (1972), bahwa kekuasaan
adalah kapasitas kolektif yang muncul di antara banyak
orang ketika mereka bertindak bersama-sama; dan
karena itu “kekuasaan” adalah milik kelompok, yang
akan menghilang ketika kelompok itu juga menyebar
atau tercerai berai. Kekuasaan hanya ada sebagai potensi
sampai dibangkitkan oleh orang yang bertindak seiring
untuk mencapai tujuan bersama. Karena itu ketika
konsep kekuasaan dimaksudkan sebagai kekuasaan
politik (political power), yakni kekuasaan untuk
melakukan sesuatu tindakan secara bersama, atau suatu
tindakan politik yang direncanakan secara bersama,
maka ia menghasilkan pemahaman tentang tindakan
bersama yang seragam (common action) yang dilakukan
46
Banalitas dan Cangkang Radikalisme
oleh banyak individu yang saling berinteraksi dalam
sebuah struktur yang diikat secara timbal balik dengan
norma-norma, penghargaan, dan rasa kesetaraan, atau
kesepakatan dan konsensus yang didasarkan pada
prinsip “semata-mata untuk kepentingan kelompok yang
bersepakat” (as an end in itself for all parties), seperti
dijelaskan oleh Dana Villa (1993).
Orang-orang radikal, yang mengalami proses
pematangan paham radikalnya dalam cangkang
radikalisme, boleh jadi akan memaknai “jalan perjuangan”
dengan pemahaman seperti itu. Pada awalnya, mereka
yang hanya bermodalkan fanatisme mungkin diberi
“pencerahan” bahwa ideologi mereka sudah benar. Dalam
rangka membangun jejaring yang solid, mereka pun
disadarkan bahwa mereka tidaklah sendiri, tapi punya
saudara seperjuangan di mana-mana, walaupun masingmasing berada dalam sel-sel yang terpisah, bahkan
secara personal mungkin tidak saling mengenali. Tujuan
kelompok tidak diformulasikan sebagai penggabungan
tujuan orang per orang, tetapi merupakan tujuan bersama
untuk kepentingan bersama, yang telah dikonsepkan oleh
pendiri kelompok.
Melalui pembinaan lebih lanjut dalam cangkang
radikalisme, entah melalui kamp latihan yang terpencil,
atau lembaga pendidikan yang eksklusif, atau barangkali
cuma dalam pertemuan-pertemuan rutin melalui
khalaqah, para pihak yang terlibat dalam sel-sel jaringan
membangun soliditas yang kokoh, dan menjadikan
anggota yang baru menjadi semakin militan. Mereka
47
Mukhtar Sarman
membentuk jaringan, dan tidak setiap jaringan itu jelas
strukturnya. Itulah sebabnya, jaringan terorisme yang
melibatkan orang-orang radikal, tidak mudah terdeteksi
aktivitas dan keberadaannya. Karena itu pula kelompok
teroris yang perjuangannya didasarkan oleh ghirah
ingin membangun sesuatu tatanan baru tidak mesti
menampilkan diri sebagai sebuah organisasi formal.
Sebagai contoh, kelompok teroris yang perjuangannya
dilandasi ide agama, perintah untuk melakukan aksi
bom bunuh diri bisa saja bukan berupa selembar surat
keputusan dengan stempel basah, melainkan cukup
hanya berupa perintah lisan dari orang diakuinya sebagai
imam, dan pasti akan ditaati dengan sepenuh hati.
Kelompok terorisme semacam ini tentu saja lebih sulit
untuk dihadapi, dilawan, dan dideteksi, dibanding dengan
misalnya kelompok teroris yang keberadaannya dilandasi
oleh alasan-alasan rasional untuk meningkatkan posisi
tawar ekonomi.
48
Mukhtar Sarman
ii