[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Meretas Radikalisme-Ebook.2 bab.pdf

2018, Meretas Radikalisme, Menuju Masyarakat Inklusif

Isu radikalisme dan intolerance bukanlah masala baru dalam ranah pergaulan sosial di Indonesia, karena gejalanya sudah muncul sejak masa-masa awal negeri ini merdeka. Buku ini tidaklah ditujukan untuk menjelaskan eskalasi kasus-kasus intoleransi di Indonesia dari perspektif "teori" kebangsaan. Buku ini lebin dimaksudkan sebagai bahan renungan, mengapa ia sampai terjadi, dan saya berasumsi bahwa masalar laten yang melatar belakanginya terutama adalah karena kelompok dominan dalam masyarakat mesih tidak bisa menerima begitu saja sosok "liyan" sebagai saudara sebangsa. "Liyan" adalah "yang lain", "bukan kita". Sampai saat ini mesih banyak di antara anak bangsa yang menganggap "liyan" itu harus disingkirkan, atau sekurang-kurangnya ditampik keberadaannya.

Meretas Radikalisme, Menuju Masyarakat Inklusif i iii Mukhtar Sarman Meretas Radikalisme, Menuju Masyarakat Inklusif © Mukhtar Sarman, LKiS, 2018 viii + 124 halaman; 12.5 x 19 cm ISBN: Rancang Sampul : Tim Redaksi Penata Isi : Affandi Penerbit: LKiS Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194 Faks.: (0274) 379430 http://www.lkis.co.id e-mail: lkis@lkis.com Anggota IKAPI Cetakan I: Oktober 2018 Percetakan: LKiS Salakan Baru No. 3 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194 e-mail: lkis.printing@yahoo.com iv KATA PENGANTAR I SU INTOLERANSI bukanlah masalah baru dalam ranah pergaulan sosial di Indonesia, karena gejalanya sudah muncul sejak masa-masa awal negeri ini merdeka. Ia sudah mirip dengan penyakit laten yang menahun, yang kadangkala kumat menjadi realitas sosial, dan mengakibatkan friksi di masyarakat, manakala ada momentumnya. Gejala intolerasi yang seringkali muncul di masyarakat adalah berlatar etnis dan agama. Mungkin itulah salah satu sebab mengapa rezim Orde Baru melarang keras ujaran-ujaran yang menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Buku ini tidaklah ditujukan untuk menjelaskan eskalasi kasus-kasus intoleransi di Indonesia dari perspektif “teori” kebangsaan. Buku ini lebih dimaksudkan sebagai bahan renungan, mengapa ia sampai terjadi, dan saya berasumsi bahwa masalah laten yang melatar belakanginya terutama adalah karena kelompok dominan dalam masyarakat masih tidak bisa menerima sosok liyan sebagai saudara sebangsa. Liyan adalah “yang lain”, “bukan kita”. Sampai saat ini masih banyak di antara anak bangsa yang menganggap liyan itu harus disingkirkan, atau sekurang-kurangnya ditampik keberadaannya. v Mukhtar Sarman Dalam penulisan buku ini terus terang saya berhutang pemahaman kepada Bapak Goenawan Mohamad, yang telah menginspirasi saya dalam memahami masalah intoleransi, melalui Catatan Pinggir yang terbit setiap minggu di majalah Tempo. Karena itu, jikalau dalam buku kecil ini sedikit banyak tersirat buah pikiran beliau, saya mohon dimaklumi. Terlalu naif kiranya kalau saya menganggap Pak Goen itu adalah mentor saya, karena saya tidak pernah berdiskusi langsung dengan beliau. Namun untuk mengatakan peran beliau sama sekali tidak ada dalam proses penulisan buku ini, saya kira hal itu adalah kebohongan yang tak termaafkan. Dengan diterbitkannya naskah buku ini tak lupa saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Drs. H. Bambang Heri Purnama, ST, MH (anggota DPR RI dari Kalimantan Selatan), yang telah berkenan mensponsori penerbitan buku ini. Akhir kata, semoga buku kecil ini bermanfaat bagi siapa saja untuk meniti buih intoleransi, yang sering menjadi sebab musabab anak bangsa ini terlibat dalam pertikaian, untuk sesuatu hal yang mungkin dapat diabaikan, sehingga tidak perlu terjadi. Mukhtar Sarman vi DAFTAR ISI Kata Pengantar ~ v Daftar Isi ~ vii Prolog ~ 1 1. Masalah Intoleransi~ 9 2. Banalitas dan Cangkang Radikalisme ~ 29 3. Stigma Tentang Liyan ~ 49 4. Dialektika Intoleransi ~ 67 5. Narasi Kebangsaan untuk Generasi Milenial~ 85 Epilog ~ 107 Bahan Bacaan ~ 117 Tentang Penulis ~ 123 vii Mukhtar Sarman viii PROLOG D ULU, ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar, saya mengidolakan Suma Han si Pendekar Super Sakti, tokoh fiksi dalam cerita silat karya Kho Ping Hoo. Kala itu, imajinasi saya pun melayang ke manamana, menjelajah dunia Kang-ouw di zaman dinasti China kuno ribuan tahun yang lalu. Dalam perjalanan waktu kemudian saya berkenalan pula dengan tokohtokoh lainnya seperti Bu Kek Siansu, yang kesaktiannya diceritakan sudah sampai ke taraf setengah dewa. Saya bahkan bisa hafal di luar kepala kesaktian dan jurus-jurus andalan milik para pendekar di jagad khayal itu, padahal pelajaran sejarah di sekolah belum tentu dapat melekat di benak saya. Semua itu terjadi lantaran saya ikut-ikutan kakak saya yang telah menjadi penggemar berat cerita silat karangan Asmaraman Kho Ping Hoo, yang saban minggu terbit dan baru tamat setelah mencapai puluhan jilid. Jika saya mengenang masa kecil saya di kampung dulu, bukan untuk mengungkapkan bahwa visi tentang hidup dan kehidupan saya dipengaruhi cerita fiksi belaka. Kilas balik itu semata-mata untuk menyatakan bahwa melalui proses literasi, saya memiliki preferensi tentang praksis menjadi seseorang yang punya prinsip, 1 Mukhtar Sarman sebagaimana pendekar tangguh dalam cerita silat. Saya mungkin agak berlebihan, tetapi melalui literasi dari cerita silat itulah saya menyimak mengapa manusia dilarang bersikap tamak dan telengas. Semua itu terpateri di benak saya karena dengan kepiawaiannya bertutur, Kho Ping Hoo “menjelaskan” bahwa pendekar sakti tanpa tanding itu bukanlah seseorang perkasa yang dapat menghabisi lawan-lawannya tanpa berkedip. Bahkan menurut saya, cerita silat rekaan Kho Ping Hoo itu sebenarnya merupakan kisah tentang cinta. Termasuk bagaimana mencintai musuh, karena setahu saya tidak pernah seorang pendekar itu diceritakan sebagai seorang pembunuh yang telengas tanpa ampun. Bahkan mengambil hikmah dari cerita Musashi karya Eiji Yoshikawa, musuh itu sebenarnya adalah guru yang menyaru. Maksudnya, karena ada “musuh” yang ditakuti, seseorang berdaya upaya terus meningkatkan kemampuannya agar jangan sampai dikalahkan musuhnya. Dengan kata lain, cerita fiksi sebenarnya bukan tidak ada manfaatnya, karena ia bisa dijadikan amsal yang berguna untuk memahami hidup dan kehidupan. Dalam cerita fiksi, cinta bisa dijadikan menu utama, bisa juga sekadar bumbu penyedap. Kisah cinta adalah drama kehidupan yang selalu menarik, lantaran di sebaliknya sering menyembul ironi kebencian yang bermula dari rasa marah karena merasa diabaikan atau dikhianati atau lantaran persoalan harga diri yang didramatisir. Seperti kisah Romeo dan Juliet, drama itu diplot dengan akhir cerita yang tragis, karena ada nuansa kebencian yang menyertai kisah cinta mereka. Juga 2 Prolog kisah dibalik konflik berdarah yang penuh keculasan dan bikin “eneg” dalam Games of Thrones, intinya adalah karena persoalan cinta dan benci juga adanya. Bahkan penghancuran semesta, dalam film Avengers: Infinity War garapan Marvel Studios yang bikin mabok jutaan pemirsa, diceritakan bahwa Thanos, sang penghancur, sebenarnya mencintai kehidupan yang tertata dan damai, tetapi menurut versinya sendiri. Mungkin ada yang heran, kenapa saya menggunakan cerita fiksi sebagai rujukan. Saya sebenarnya hanya mencoba mengikuti apa yang dikatakan Gordon Slethaug dalam Beautiful Chaos (2000), bahwa retorika dalam fiksi sering melibatkan ide-ide tentang susunan yang tersembunyi, kesamaan-diri, atau ketidak-linieran kejadian, serta sifat acak yang tak terbatas, dan adanya mekanisme umpan balik dari sebuah pola yang sifatnya holistik. Karena hal itu, imajinasi akan mudah dikompromikan ketika suatu fantasi tidak sesuai dengan nalar, walaupun hal itu bersifat khaotik. Tetapi baiklah kita simak sejarah, yang katanya merupakan sebuah fakta, tetapi saya yakin banyak dipengaruhi fantasi penuturnya. Contohnya adalah sejarah kehidupan Ken Arok. Bukankah sebab musabab Ken Arok ingin menjadi raja, dengan cara yang tak terpuji karena harus membunuh Tunggul Ametung, raja yang sah, adalah lantaran didorong hasrat cintanya kepada Ken Dedes. Kisah Ken Arok jelas menyajikan sebuah hiperbola. Kata orang bijak, hiperbola selalu mengandung dusta yang mengasyikkan, dan kita memaafkannya. 3 Mukhtar Sarman Hal itu terjadi karena sejarah yang tak bisa diverifikasi kebenarannya selalu menyimpan penangkal. Tokoh “baik” tidak sepenuhnya suci murni. Apalagi ketika menyangkut cinta. Cinta tentu saja bukan hanya tentang hubungan lelaki dan wanita. Cinta bukan hanya persoalan ingin memiliki seseorang. Dalam arti luas, cinta bisa menyangkut komunitas, bangsa, dan negara. Pada frasa kekuasaan, kata cinta bisa juga dilekatkan; walaupun pada galibnya, untuk itu yang dipahami oleh orang awam adalah nafsu ingin berkuasa. Dengan kata lain, cinta itu niscaya multi-wajah, dan multi-tafsir, tergantung pada konteksnya, dan siapa yang melakukan tafsir. Cinta pada harta. Cinta pada kekuasaan. Dan lain-lain. Cinta kepada kekuasaan, misalnya, biasanya diidentifikasi nafsu berkuasa, suatu hasrat terpendam yang kemudian bisa menggelagak, sampai ke taraf tak terbatas. Ia bisa menyangkut kisah tentang syahwat yang dimiliki oleh seseorang, yang sedang menghitung peluangnya untuk mempengaruhi atau menguasai orang lain. Ia juga bisa menyangkut kisah tentang semangat pantang menyerah, kerja keras, harga diri, martabat, kebanggaan, sebagai latar agar destinasi yang ingin dituju melalui penyaluran hasrat ingin berkuasa itu jadi bermakna. Masalahnya kemudian adalah, cinta yang bernuansa negatif itu bisa bermuara pada kebencian dan hal-hal yang sifatnya merusak. Hitler tega memerintahkan pembantaian kaum Yahudi, sebagai solusi terakhir untuk memurnikan bangsa Arya yang diimpikannya. Presiden 4 Prolog Suharto, pada awal masa Orde Baru, menjadikan PKI dan semua anasir-anasirnya sebagai “musuh negara”, yang dianggap tidak layak hidup di muka bumi Indonesia, sehingga berakibat jatuhnya korban ribuan jiwa rakyat Indonesia yang dituduh sebagai kader dan antek PKI. Padahal, sangat boleh jadi yang disebut “antek PKI” itu adalah orang yang sama sekali tidak tahu menahu soal ideologi komunisme, karena yang bersangkutan hanya seorang petani miskin buta huruf yang tinggal jauh di udik. Pembantaian manusia itu dianggap sesuatu “normal” ketika seseorang, yang kebetulan punya kuasa mendiktekan kebenaran dan menafsirkan sesuatu ideologi, memposisikan dirinya berseberangan dengan sesuatu liyan, terlepas dari apa sesungguhnya yang dimaksud dengan liyan tersebut. Mungkin liyan itu memang sesuatu hal yang nyata, tetapi bukan mustahil hanya imajinasi yang sulit dipahami dan diindentifikasi, bak sosok hantu belau. Liyan atau “yang lain” sesungguhnya merupakan muradif dari bahasa Inggris “the Other”, digunakan untuk mengidentifikasi sesuatu entitas yang “bukan kita”. Ada juga yang menyebut liyan berasal dari bahasa Jawa, liya, yang berarti “lain” atau “berbeda”. Dari manapun asal-usul istilah tersebut, liyan berarti sesuatu yang dianggap “asing”, karena “kita” belum mengenal atau tidak ingin mengenalnya. Masalahnya, karena tidak ingin mengenalnya, secara apriori di bawah sadar kita lalu muncul penolakan terhadap “yang lain” itu. Ia dihindari. 5 Mukhtar Sarman Boleh jadi pula ia dimusuhi. Mungkin karena ia dianggap “hantu” yang menakutkan. Atau sejenis penyakit menular yang sangat berbahaya. Sekarang, ketika semua orang nyaris sepakat untuk mengidentifikasikannya sebagai zaman Google yang tidak ada lagi pembatas yang menghalangi tersebarnya informasi, “hantu” liyan rupanya tetap saja menyusup dalam benak sejumlah orang, dan muncul sebagai sesuatu yang menakutkan serta dipercaya bisa merusak tatanan sosial, ideologi, atau keyakinan beragama yang suci. Adanya kelompok-kelompok fanatik, yang ditengarai suka memantik api perpecahan bangsa, boleh jadi menganggap bahwa liyan itu adalah sesuatu yang perlu diberangus. Gejala tersebut, suka atau tidak suka, merupakan realitas sosial yang nyata. Repotnya, munculnya satu kelompok fanatik selalu dibarengi munculnya kelompok lain, yang tak kalah fanatiknya, sebagai antihero. Sedangkan justifikasi tentang “hantu” liyan itu bermacam ragam, tergantung isu dan suasana politik yang sedang berkembang; misalnya, isu koruptor, pengedar narkoba, kelompok teroris lokal yang diduga berafiliasi dengan ISIS, atau tentang LGBT, bahkan mungkin kelompok Ahmadiyah. Barangkali ada isu yang memang patut dianggap sebagai benar-benar perlu dicermati dengan seksama, dan dijadikan musuh kita bersama. Tetapi jangan-jangan isu dimaksud hanya sekadar “hantu” yang tidak kasat mata karena memang tidak jelas, dan tidak penting, untuk disikapi secara serius. 6 Prolog Pertanyaannya, mengapa kita sekarang ini cenderung gampang terjebak pada keasyikan memperbincangkan berbagai isu tak penting, yang cenderung merusak tatanan sosial, atau bisa memantik perpecahan. Diamdiam, kalangan awam lebih percaya pada berita-berita negatif yang dirilis oleh sumber yang tidak kredibel, daripada fakta yang disampaikan oleh lembaga-lembaga resmi. Apalagi jikalau beritanya menyangkut kasus-kasus intoleransi berbau SARA. Padahal apabila kasus-kasus intoleransi mengalami eskalasi menjadi konflik sosial yang diikuti dengan munculnya kelompok radikal, maka alamat akan runyam masa depan negara bangsa ini. 7 Mukhtar Sarman 8 1 MASALAH INTOLERANSI “Segala-galanya adalah baik, sebagaimana keluar dari tangan Sang Pencipta; tapi segala-galanya menjadi memburuk dalam tangan manusia” Jean-Jacques Rousseau I NTOLERANSI adalah suatu gejala sosial yang berkecenderungan tidak adanya rasa hormat terhadap perbedaan, baik perbedaan itu karena dialaskan pada status sosial ekonomi, asal-usul etnis, maupun lantaran perbedaan agama. Intoleransi juga bisa dimaknai sebagai tiadanya tenggang rasa dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang plural. Jikalau ditelisik dengan seksama berbagai kasus persekusi di Indonesia karena isu intoleransi, paling tidak, ada dua faktor sebab mengapa ia bisa terjadi. Pertama, karena kesenjangan sosial ekonomi yang makin tajam dan berjarak, sehingga ada kelompok yang merasa terpinggirkan, kemudian menaruh rasa curiga dan iri hati terhadap kelompok yang lebih makmur hidupnya. Biasanya kelompok yang terpinggirkan itu merasa hidup ini tidak adil, dan sebab-sebab ketidakadilan itu bisa saja dialamatkan ke pihak penguasa sebagai biang masalah. 9 Mukhtar Sarman Kedua, akibat dari lingkungan sosial politik yang tidak kondusif bagi kelangsungan hidup kelompok orang tertentu. Lingkungan sosial politik dimaksud bisa berupa friksi laten karena interaksi sosial yang bermasalah antar kelompok warga masyarakat; bisa juga diciptakan oleh sebuah rezim otoriter yang menutup peluang adanya perbedaan pandangan politik. Bagi sekelompok orang tertentu, boleh jadi rezim yang berkuasa itu tidak mendukung keyakinan ideologis yang mereka yakini. Biasanya korban dari rezim otoriter dipersekusi tanpa mengetahui apa kesalahan yang diperbuatnya, atau dizalimi secara sewenang-wenang, dan tentu saja akhirnya menimbulkan amarah terpendam yang akan meledak di kemudian hari, apabila ada pemantiknya. Amarah memang sulit dipahami tanpa menelisik latar belakangnya. Untunglah Pankaj Mishra memberikan petunjuk melalui bukunya, Age of Anger (2017). Menurut Mishra, semua orang ingin melupakan krisis yang menimpa, dan mengharapkan sesuatu yang dapat menghibur hatinya, termasuk cinta, rasa keadilan, modernisasi, ideologi, dan agama. Tetapi kenyataannya semua harapan yang dijanjikan itu buntung. Akibatnya, rasa kesal, cemburu, curiga, meruyak menjadi aksi kekerasan, berupa intimidasi atau bahkan teror kepada pihak tertentu. Teror, yang biasanya dilakukan oleh kelompok radikal, mungkin tidak mengubah keadaan, dan rasa frustrasi masyarakat terus berlanjut dan menumpuk-numpuk. Ketika rasa frustrasi sudah ke taraf mengendap di bawah sadar, semua hal bisa dijadikan alasan untuk melampiaskannya, termasuk kepada 10 Masalah Intoleransi Pemerintah yang dianggap tidak becus menghadirkan keadilan dan kemakmuran bagi segenap rakyat. Faktor kesenjangan sosial sebagai pemantik intoleransi sebenarnya merupakan hal yang klasik, dialami oleh banyak negara, dan biasanya akan selesai masalahnya apabila negara tersebut telah menjadi adil dan makmur. Tapi masalahnya, kapan suatu negara itu mencapai kondisi adil dan makmur? Dalam proses mencapai kondisi tersebut, apakah yang (perlu) didahulukan adalah aspek keadilan, ataukah yang lebih penting perubahan yang (harus) terjadi adalah mengutamakan kemakmuran bangsa, yakni pertumbuhan ekonomi nasional yang berorientasi pada produk-produk yang dapat dihasilkan oleh anak bangsa. Dalam buku “Belajar Dari China” (2004), I Wibowo, sang penulis buku tersebut, menyatakan bahwa Pemerintah China mempunyai satu impian besar tentang kejayaan. Kejayaan yang digambarkan adalah China akan mengulang kembali era keemasan dinasti-dinasti kuno. Mereka berharap satu saat China akan kembali seperti era Dinasti Han dengan jalur sutranya atau Dinasti Yuan di bawah Kaisar Kubilai Khan. Tetapi, China tidak berpikir tentang penaklukan seperti di masa lampau. China berpikir bagaimana menjadi kaya dan unggul, mengubah diri dari masyarakat miskin menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar dan, bahkan, terkuat di dunia. Mimpi tersebut tidak hanya tertanam pada generasi muda terpelajar, tetapi juga merasuk pada benak para petani tua di desa. 11 Mukhtar Sarman Kita melihat fakta, bahwa negeri Tirai Bambu yang menganut ideologi komunisme itu akhirnya menerapkan dua sistem dalam mengelola ekonomi negara, yakni kapitalisme dan sosialisme. Pada bulan Februari 1982, Deng Xiaoping, sebagai pemimpin China kala itu, secara resmi menyatakan bahwa RRC menganut “yi guo liang zhi” (“Satu Negara Dua Sistem”) dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi negara (lihat Tse-Hei Lee, et.al., China’s Rise to Power). Provinsi-provinsi yang sejatinya merupakan kota-kota industri dan pelabuhan besar, seperti Shenzhen, Shanghai, dan Guangzhou, dibiarkan menganut sistem ekonomi kapitalis, untuk menangkap peluang ekonomi pasar global. Dengan dua sistem tersebut, China dapat mengkapitalisasi besarnya jumlah penduduk serta pemuda-pemuda terpelajar dan terampil untuk menghasilkan berbagai macam produk, mulai dari yang remeh temeh, seperti jarum jahit dan peniti, hingga produk berteknologi tinggi seperti kapal induk dan pesawat tempur yang memiliki kemampuan siluman. Kendati dalam negara diterapkan dua sistem yang berbeda, dan sistem dimaksud sangat ekstrem perbedaannya, hal itu rupanya tidak menjadi masalah. Barangkali karena kebijakan tersebut lahir dari atas (top down), dari petinggi Partai Komunis China sendiri, maka pemerintahan di bawahnya yang juga merupakan elite partai komunis umumnya manut saja. Kemungkinan lain karena tabiat bangsa China, yang dipengaruhi oleh Konfusionisme, yakni selalu mengamalkan hidup yang harmonis, termasuk mengutamakan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 12 Masalah Intoleransi Bagaimana dengan kita di Indonesia? Kalau boleh jujur, rasanya tidak ada ghirah, bahwa kita ingin menjadi bangsa yang unggul suatu saat nanti, entah kapan, dan unggul di bidang apa saja. Tiadanya ghirah itu mungkin lantaran Indonesia baru “ada” sekitar 70 tahun, sehingga sebagai bangsa barangkali belum begitu solid untuk menunjukkan eksistensinya; sedangkan kerajaankerajaan masa lalu yang konon pernah jaya di tanah Nusantara tidaklah cukup membekas dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia sekarang ini, sebagai rujukan yang ideal. Kita sebagai entitas bangsa, memang direpotkan oleh kesulitan mencari identitas yang dapat disepakati bersama. Bahkan untuk menyepakati konsep NKRI, yang berasas Bhinneka Tunggal Ika. Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1991), sudah mensinyalir hal itu. Kata Anderson, konsep bangsa itu sebenarnya hanya ungkapan dari suatu imajinasi tentang suatu komunitas besar, yang tidak alami, umumnya adalah produk masa kini, dan ia diciptakan sebagai pengalaman kolektif tentang ruang dan waktu yang tidak linear. Negara pun, dulu, dibayangkan sebagai suatu kesepakatan bersama dari sejumlah orang tentang wilayah, sebagai teritorial imajiner tentang kedaulatan bangsa. Anderson saya kira benar sekali, apalagi kini batas-batas suatu negara sudah semakin tak jelas ketika dunia maya menjadi keniscayaan kehidupan sehari-hari setiap orang dalam berinteraksi dengan dunia nyata. Setiap anak bangsa memiliki imajinasi tentang peran fungsionalnya masing-masing, tetapi tidak selalu menyadari bahwa masing-masing orang 13 Mukhtar Sarman lain di sekitarnya adalah liyan yang harus mereka kenali. Ketidaksadaran bahwa dirinya sebenarnya bergantung pada orang lainnya itu, menyebabkan masing-masing orang bisa membawa perilaku sendiri-sendiri, yang belum tentu sesuai dengan tujuan hidup bersama sebagai suatu bangsa. Itulah yang terjadi pada sebagian dari kita. Sebagian besar generasi tua cenderung tidak mampu memberikan contoh teladan bagaimana elan vital sebagai bangsa pejuang, seperti yang diidamkan oleh Bung Karno, yakni mampu mengamalkan prinsip “berdikari” alias berdiri di atas kaki sendiri. Dalam konteks kehidupan masa kini, barangkali maksudnya adalah, kita harus mampu menghasilkan sendiri produk-produk yang dibutuhkan untuk hidup layak, dan bahkan kalau perlu mampu menghasilkan produk untuk tujuan ekspor. Sedangkan generasi muda, yakni kaum muda terpelajar berusia produktif, banyak di antaranya yang justru mengamalkan pola hidup konsumtif, terutama untuk memiliki barangbarang impor, dan barang-barang mewah yang mahal tetapi kurang fungsional semata-mata lantaran terpukau pada mereknya. Fakta menunjukkan, bangsa Indonesia umumnya tidak malu untuk menunjukkan diri sebagai bangsa yang konsumtif, baik dalam hal gaya hidup di dalam negeri maupun ketika menunjukkan gaya belanja saat mereka berkunjung ke luar negeri. Orang Indonesia yang melakukan kunjungan wisata ke Eropa Barat telah dikenal sebagai pembelanja yang boros, seakan-akan 14 Masalah Intoleransi mereka merupakan warga dari negara petro dollar yang berkelimpahan uang dollar AS. Bahkan, menurut Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA), peziarah dari Indonesia terkenal paling royal belanja di Yerusalem, dalam rangka ziarah ke Masjid Al Aqsa, karena rata-rata mereka bisa menghabiskan US$ 3000 hingga US$ 4000 atau Rp 41,8 juta hingga Rp 55,8 juta per orang (Kompas, 2/6/2018). Fakta lain, berdasarkan laporan yang dilansir App Annie 2017, ternyata Indonesia adalah merupakan salah satu pengguna aplikasi mobile paling aktif di dunia. Indonesia berada di jajaran teratas, bersaing dengan negara-negara yang sudah lebih maju seperti Tiongkok, India, Brazil dan Korea Selatan. Masalahnya adalah, penggunaannya di Indonesia ditengarai lebih banyak bukan untuk tujuan produktif, yang bernilai manfaat bagi peningkatan kualitas SDM atau untuk mendukung perbaikan tingkat kesejahteraan. Sebagai contoh, dalam masyarakat umum di segala lapis sangat lazim penggunaan gawai untuk berkomunikasi, akan tetapi ketika menyangkut penggunaan aplikasi media sosial justru seringkali kebablasan. Pemerintah sebenarnya tidak perlu risau dengan penggunaan aplikasi media sosial itu, andaikata penggunanya benar-benar rasional menggunakannya untuk tujuan fungsional. Tetapi yang terjadi adalah, banyak pengguna aplikasi justru terperangkap pada penggunaan media sosial yang salah arah. Mereka gemar memproduksi dan menyebarluaskan hoax serta berita bohong, mungkin sekadar iseng, padahal ujung-ujungnya hanya menambah masalah publik. Hal 15 Mukhtar Sarman itu terjadi lantaran pengguna media sosial di Indonesia umumnya adalah follower, dan tidak punya kemampuan kreatif untuk menggali potensi diri yang berguna bagi kemaslahatan bangsa. Korban dan Stigma Pengucilan Pengucilan, yang merupakan bentuk lain dari aksi atau tindakan penindasan, bullying, perundungan, persekusi, dan lain-lain istilah yang serupa, sesungguhnya memposisikan seseorang sebagai obyek inferior, yang tak berdaya, yang terpojokkan, sehingga barangkali lebih tepat apabila yang bersangkutan kemudian disebut sebagai “korban”. Korban kerapkali tidak bisa diposisikan sebagai subyek yang merdeka, melainkan obyek yang menderita, dan tak berdaya. Pengucilan biasanya dilakukan oleh penguasa, atau kelompok mereka yang merasa berkuasa, kelompok mayoritas, atau kelompok dominan. Karena itu, pengucilan bisa terjadi dalam skala mini, atau perorangan; tapi bisa juga terjadi dalam skala gigantis, menyangkut kelompok masyarakat atau golongan. Apapun skalanya, aksi pengucilan selalu dimaknai negatif, dan “korban”nya diduga akan mengalami trauma Pengucilan yang dilakukan terhadap seorang anak remaja miskin di lingkungan sekolah yang didominasi anak-anak orang kaya, misalnya, boleh jadi akan mempengaruhi kehidupan anak remaja itu selanjutnya. Dia menjadi dendam pada orang kaya, tanpa harus pilihpilih. Dia mungkin menyadari bahwa dirinya liyan di antara orang-orang kaya, dan boleh jadi akan berusaha 16 Masalah Intoleransi menjadi orang kaya juga, atau karena tidak berhasil jadi kelompok yang dibenci itu lalu menganggap mereka sebagai musuh. Pengucilan dalam skala mini, dan menyangkut individu, biasanya bersifat kasuistis dan secara sosial dapat diabaikan, karena jarang berdampak luas terhadap aspek kemanusiaan. Tapi apa jadinya ketika pengucilan itu dilakukan oleh penguasa suatu rezim terhadap seseorang atau golongan minoritas, yang dianggap “bersalah” hanya lantaran memiliki keyakinan politik yang berbeda dengan penguasa. Itulah yang terjadi pada tahanan politik, di mana saja, dan pada zaman apa saja. Seperti yang dialami oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia penerima banyak penghargaan internasional, bahkan pernah diusulkan untuk menerima hadiah Nobel sastra. Pramoedya Ananta Toer, adalah figur kontroversial dalam jagad sastra di Indonesia, yang semasa hidupnya selalu dilekatkan status, mungkin lebih tepat stigma, bahwa dia adalah propagandis ajaran-ajaran MarxismeLeninisme dan Komunisme, walaupun hal itu tidak pernah diakui oleh yang bersangkutan. Membaca buah pikiran Pram dalam sejumlah karya sastranya, jelas sekali menunjukkan bahwa sastrawan yang satu ini punya pemikiran yang radikal. Karena pemikirannya yang radikal, seringkali mengeritik penguasa, Pram sejak zaman pra kemerdekaan telah mengalami persekusi oleh pihak penguasa. Tercatat, dia mengalami ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada 17 Mukhtar Sarman Orde Lama, serta merasakan ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik, tanpa proses pengadilan, oleh rezim Orde Baru. Tapi kalau kita baca dengan seksama karya masterpiece-nya yang berjudul Bumi Manusia, Pram melalui tokoh rekaannya Nyai Ontosoroh, justru lebih menunjukkan dirinya adalah penutur sejarah yang piawai menggambarkan suasana zaman kolonial yang sungguh tidak adil bagi kaum pribumi. Bahkan dalam sejumlah karyanya yang lain, Pram malah menunjukkan bahwa sesungguhnya dia menginginkan anak bangsa ini memupuk rasa nasionalismenya. Jadi apa yang salah, dan tidak dapat dipahami, pada diri Pramoedya Ananta Toer? Mengapa dia harus dikucilkan? Ataukah karena dia terlalu vulgar menunjukkan kinerja pamong praja yang tidak beres dalam novelnya yang berjudul Korupsi, sehingga dia lalu dianggap menyebarluaskan paham intoleran, dan menjadi alasan pengucilan oleh rezim Soekarno, kala itu? Pada umumnya aksi pengucilan itu terjadi karena ada pihak yang kebetulan berkuasa, atau punya kekuatan sebagai kelompok mayoritas, tidak memahami sesuatu entitas, sehingga menganggapnya sebagai liyan yang berbahaya, atau menakutkan, dan pantas disingkirkan. Barangkali saya keliru, tetapi dalam pengamatan saya, hal itu pula yang terjadi pada kasus pengucilan dengan latar belakang penafsiran agama. Misalnya, pengucilan terhadap golongan Ahmadiyah di Indonesia. Dalam hal itu, setiap orang yang diidentifikasi sebagai golongan Ahmadiyah, tanpa kecuali, dianggap layak dikucilkan oleh mereka yang tidak dapat menerima eksistensi golongan tersebut. Celakanya adalah apabila mereka yang merasa 18 Masalah Intoleransi berhak untuk mengucilkan itu merupakan kelompok mayoritas. Kelompok mayoritas tersebut merasa paling berhak untuk menghakimi bahwa kelompok Ahmadiyah itu merupakan aliran sesat, sehingga dianggap tidak berhak hidup di Indonesia. Lalu lahirlah stigma. Dan stigma itulah yang menimpa kelompok penganut Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB, yang digeruduk oleh sekelompok massa anti-Ahmadiyah pada hari ketiga Ramadhan 2018, karena alasan yang sebenarnya remeh-temeh, konon sebagai buah dari perkelahian anak-anak pengajian, tetapi dengan akibat enam buah rumah penganut Ahmadiyah dirusak oleh massa yang terprovokasi (BBC Indonesia, 28 Mei 2018). Sebenarnya pengucilan atas nama agama ini bukan suatu hal yang baru dalam riwayat kehidupan beragama. Dalam agama Kristen, praktik yang dikenal dengan istilah ekskomunikasi (excommunication) yang disandarkan pada asas celaan (anathema) ini adalah hukuman terberat yang dijatuhkan Gereja kepada seseorang yang melakukan dosa tertentu yang sangat berat, misalnya karena tidak patuh kepada otoritas Magisterium Gereja. Hukum pengucilan itu menjadi otoritas Gereja, dan sebenarnya tidak semua orang dapat mengamininya. Contohnya, Maharaja Frederick II dihukum pengucilan oleh Paus Gregorius IX, karena dianggap melanggar sumpahnya sebagai tentara salib, ketika masa Perang Salib Kelima (1217–1221). Tetapi benarkah Frederick II melanggar sumpahnya, ataukah karena ada faktor politik lain yang melatarbelakanginya? Hal itulah yang 19 Mukhtar Sarman didiskusikan Andrew Jotischky dalam Crusading and the Crusader States (2017). Perlunya diskusi tentang tindakan pengucilan bukan semata-mata untuk menguji kebenaran dari tindakan tersebut. Diskusi lebih dimaksudkan untuk mendudukkan persoalannya secara proporsional, dan melihat masalahnya secara adil, dari sudut pandang kedua pihak, antara korban dan pihak yang melakukan persekusi. Ambil contoh misalnya pengucilan terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Mengapa kelompok yang melakukan persekusi merasa berhak untuk menilai penganut Ahmadiyah itu sesat, dan pantas dikucilkan? Apa dasar hukumnya? Kalau dasar hukumnya adalah Kitab Suci, siapakah yang membuat tafsirnya? Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa, dan sekaligus Maha Penyayang, niscaya mengakui bahwa Tuhan tidak akan “membiarkan” seseorang sampai menganut agama yang “salah”. Apa sulitnya sih bagi Tuhan untuk membuat setiap manusia di muka bumi hanya menganut satu agama, sebagai kepercayaan tunggal umat manusia? Janganjangan antar umat beragama itu merasa “paling benar” sendiri, dan menjadi ekslusif, lantaran karena tafsir yang dibuat oleh elite agama, dan tafsir itu sebenarnya tidak ada teksnya dalam kitab suci agama yang bersangkutan. Keyakinan Fanatik dan Radikalisme Fanatisme sebenarnya lahir dari kejumudan pikiran. Fanatisme tidak membuka ruang untuk adanya dialog. Fanatisme tidak tertarik untuk mengakui perbedaan sebagai sunnatullah. Padahal karena perbedaan itu 20 Masalah Intoleransi adalah sunnatullah, maka sebuah keniscayaan pula apabila terjadi keragaman dalam segala hal, misalnya kebiasaan, gaya hidup, kultur, dan bahkan kepercayaan agama. Sehingga sebagaimana tulis George Santayana dalam Life of Reason pada awal abad duapuluh, fanatisme ibarat "melipatgandakan usaha Anda ketika Anda lupa tujuan Anda". Kelompok fanatik sebenarnya lupa bahwa tujuan manusia bermasyarakat dan berbangsa adalah untuk saling kenal-mengenal, bukan untuk saling meniadakan eksistensi orang lainnya. Ketika sudah saling kenal-mengenal, maka tahap selanjutnya boleh jadi adalah munculnya rasa maklum, bahwa dirinya berbeda dan membutuhkan bantuan orang lain untuk menjamin eksistensi dirinya. Bukannya bingung sendiri dengan pertanyaan, mengapa harus saling kenal-mengenal dengan orang lain yang tidak sama kultur, etnis dan agamanya. Pada tahap selanjutnya, laku fanatik bisa saja melahirkan sikap radikal. Radikal, berasal dari kata radix (bahasa Latin, yang artinya akar pohon, sebagai kiasan dari sesuatu untuk berpegang kuat), adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara drastis. Mereka yang radikal cenderung memaksakan keyakinannya yang bersifat eksklusif kepada orang lain. Orang-orang radikal biasanya tidak sabar dengan perubahan yang sifatnya perlahan, karena mereka berpikir atas dasar imajinasi “kondisi yang seharusnya”, bukan situasi yang senyatanya ada. Kecenderungan seperti itu menyebabkan terjadinya salah kaprah bagi kalangan awam, seakan-akan orang 21 Mukhtar Sarman yang radikal diasumsikan sama dengan orang yang idealis. Padahal orang yang idealis adalah orang yang berpikir dan bertindak berdasarkan visi yang ideal, dan karena itu tidak sama dengan orang yang tidak sabaran melihat hasil perubahan seperti yang diimajinasikannya sendiri. Masalah intoleransi yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dipahami sebagai akibat lebih lanjut dari munculnya paham-paham radikal. Seolah-olah mereka yang terpapar radikalisme selalu menjadi “pelaku”, dan bukannya “korban”. Padahal dalam realitasnya tidaklah selalu demikian. Ambil contoh penduduk Palestina yang tinggal di Jalur Gaza. Barangkali semua kita akan sepakat, bahwa mereka umumnya menjadi kelompok radikal karena saban hari disuguhi kekerasan akibat tindakan represif tentara Israel yang menindas warga Palestina, karena ingin mengusir warga Palestina dari daerah tersebut. Padahal dalam sejarahnya, warga Palestinalah yang menerima pelarian warga Yahudi yang terusir dari daratan Eropa kala Perang Dunia II. Dengan kata lain, warga Palestina dapat dikatakan sebagai penduduk asli Jalur Gaza, sebelum negara Israel diproklamasikan. Dalam kasus radikalisme yang menjamur di Palestina, tidak jelas lagi siapa yang jadi “korban”, karena masingmasing pihak menunjukkan sikap radikal. Sebaliknya kelompok-kelompok yang ramai menyuarakan “bela Palestina”, tetapi hanya berorasi melalui pengeras suara di depan publik di Jakarta, juga 22 Masalah Intoleransi menampilkan diri seperti laiknya kaum radikal. Paling tidak, mereka menunjukkan sikap tidak kompromi terhadap penindasan warga Palestina di Jalur Gaza. Tetapi benarkah kelompok demonstran yang rajin berorasi di depan publik Jakarta itu adalah kelompok radikal, sebagaimana pejuang Palestina? Belum tentu. Ke-”radikal”-an kelompok ini akan teruji apabila tanpa pikir panjang yang bersangkutan pergi ke Jalur Gaza, dan ikut berjuang angkat senjata bersama warga Palestina di sana. Ketika fanatisme berkawin dengan radikalisme, maka boleh jadi lahirlah berbagai kerunyaman. Contohnya adalah kemunculan kaum teroris, yang mengamalkan laku terorisme. Mereka bukan hanya sekadar mengancam, untuk menekan pihak lain agar menuruti kehendaknya, tetapi juga ingin meniadakan eksistensi pihak lain yang tidak sepaham dengan dirinya. Prinsipnya, yang paling benar adalah pola pikir dan preferensi yang dimilikinya. Tidak peduli bahwa preferensinya itu sungguh tidak sesuai dengan akal sehat. Tidak peduli bahwa preferensinya itu adalah refleksi dari suatu keyakinan yang membabibuta. Misalnya keyakinan bahwa melakukan teror dalam bentuk bom bunuh diri, yang ditujukan pada sasaran “orang kafir”, adalah tindakan jihad, dan pelakunya bisa dikategorikan sebagai mati syahid. Bunuh diri, seperti disebutkan dalam kitab suci, adalah tindakan yang pasti membawa pelakunya ke pintu neraka. Padahal jihad adalah istilah dalam agama (Islam) yang merujuk pada tindakan seseorang yang ihlas mengorbankan segala kepentingan dirinya, termasuk 23 Mukhtar Sarman hidupnya sendiri, demi untuk memperjuangkan agama, yang dipercaya akan menghantarkan seseorang ke pintu sorga. Tafsir terhadap lema jihad tersebut ada yang memaknainya sebagai “perang”, atau angkat senjata, melawan kaum kafir. Tapi persoalannya, perang terhadap apa? Orang kafir itu siapa? Menurut definisi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, lembaga yang berwenang menangani masalah radikalisme di Indonesia, kelompok radikal itu sebenarnya dapat diklasifikasikan sebagai kelompok radikal dalam sikap, dan radikal dalam tindakan. Kelompok pertama adalah yang terpapar paham radikalisme, misalnya paham-paham yang bersumber pada tafsir kaku terhadap dogma agama. Orang yang bersangkutan, sedikit-sedikit menyatakan dosa dan kafir atas sesuatu perbuatan atau tindakan orang lain. Namun pernyataan-pernyataan ekstrem tersebut paling banter hanya menimbulkan dampak keresahan bagi pihak lain yang dituduhnya berdosa atau kafir. Kelompok kedua adalah perkembangan lebih lanjut dari sekadar bersikap ekstrem. Kelompok ini dapat dianggap sebagai “kader teroris”, ketika mereka telah mempraktikkan paham yang diyakininya, antara lain dengan menjaga jarak dengan pihak lain yang tidak sepaham dengan mereka, dan hidup dalam pergaulan eksklusif. Pada tataran aksi yang lebih ekstrem, mereka boleh jadi bermaksud ingin memberangus pihak lain yang dianggapnya pengikut thoghut. Jikalau ada momentum, besar kemungkinan mereka siap untuk jadi martir, dan melakukan tindakan yang berdampak teror bagi masyarakat lain di sekitarnya. 24 Masalah Intoleransi Kalau ditelisik lebih jauh, nampaknya praksis beragama yang berorientasi pada sikap merasa paling benar dan paling suci adalah titik pangkal masalah. Tidak ada satu pun ayat dari kitab suci yang menganjurkan pembunuhan kepada massa yang tidak berdosa, tetapi dalam kenyataannya atas nama pemahaman agama yang sempit bisa saja sekelompok orang melakukan hal itu dengan penuh hidmat. Memang ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang dapat dikategorikan sebagai “ayat perang”, lantaran diturunkannya ayat tersebut kala umat Islam sedang menghadapi perang dengan kaum musyrik. Tetapi kalau kita baca Sirah Nabawiyah, teladan yang diberikan oleh Muhammad Rasulullah sangat jelas menunjukkan betapa beliau mengutamakan soft power untuk mengajak kaum kafir Quraish agar percaya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tutur kata Rasullullah diceritakan sangat lembut menyentuh nurani, dan itupun seringkali tidak menggetarkan hati kaum kafir Quraish, tetapi juga tidak menyebabkan Nabi menjadi putus harapan dan lalu berucap kasar. Itulah sebabnya, agak sulit dipahami tingkah polah sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, seraya menyerukan nama Tuhan, dan mengenakan segala simbol agama beserta pernak-perniknya, tetapi meluapkan amarah dan melontarkan caci-maki kepada seseorang yang dianggap “menista agama”, bahkan menyebutnya kafir, padahal belum terbukti yang bersangkutan benar-benar menista agama, dan yang lebih parah lagi adalah, orang tersebut justru adalah saudara sebangsa sendiri. Mereka yang mengaku pembela 25 Mukhtar Sarman agama itu mungkin merupakan kelompok fanatik, tetapi apa haknya untuk mencap seseorang kafir, misalnya. Saya teringat wejangan seorang Kiyai, saya lupa kapan hal itu disampaikan, ketika beliau menafsirkan surat alMaidah ayat 8, yang berbunyi: “…. Jangan sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. ……”. Dan dia menambahkan, seyogyanya sebagai orang yang bertaqwa, tidak mudah bagi seseorang itu untuk mengumbar rasa bencinya dengan menyebut seseorang lainnya sebagai pendosa atau kafir. Untuk menyebut seseorang itu berdosa, atau kafir, sebenarnya bukanlah wilayahnya manusia, melainkan yuridiksi Tuhan. Karena Tuhan adalah Yang Maha Berkuasa atas hal-hal kekal, termasuk sorga. Perihal status “orang kafir” ini akhirnya menjadi hal yang serius. Sejak zaman behaula, sebutan itu melekat pada orang-orang lain yang tidak disukai oleh kelompok agama dominan. Seperti diceritakan Michael York dalam Pagan Ethics (2015), ketika agama Kristen mulai menguasai Eropa, para pemuka agama Kristen menyatakan bahwa penganut agama pagan adalah kelompok kafir yang wajib diperangi. Para penyembah berhala itu adalah kelompok sesat yang tidak layak hidup di muka bumi. Lantaran karena pernyataan tersebut, terjadilah perburuan terhadap pengikut agama pagan. Untuk menjustifikasi perburuan, atau lebih tepatnya pembantaian pengikut agama pagan, mereka kerapkali diberi stempel sebagai pengikut setan dan para tukang sihir, sehingga pantas dimusnahkan dengan cara apapun. 26 Masalah Intoleransi Kasus yang terjadi di Eropa berabad-abad silam itu rupanya mewarnai kehidupan beragama zaman sekarang di republik ini. Ada kelompok penganut agama yang merasa dirinya paling benar dan paling berhak atas sorga. Masalahnya, kelompok ini rupanya alergi betul dengan kelompok penganut agama lain yang berbeda dengan mereka. Kelompok penganut agama yang terlalu fanatik dengan agamanya ini seolah-olah mengalami paranoid, sehingga bukan hanya gerah, tapi sudah ke taraf ingin meniadakan kelompok lain yang tidak sealiran dengan mereka. Mereka seolah-olah merasa sebagai “wakil Tuhan”, sehingga merasa paling berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh hidup tenteram di muka bumi ini. Padahal, dan inilah yang menjadi pokok masalahnya, ada tengarai bahwa kelompok fanatik tersebut memusuhi siapa saja, termasuk memusuhi pemerintah yang memangku kekuasaan negara. Visi mereka bukan semata-mata karena niat pemurnian agama, melainkan punya latar belakang politik, sehingga lebih tepat disebut “kuasi-agama”. Bahkan karena didorong oleh semangat ingin mengambil alih kekuasaan, tindakan terorisme mereka halalkan. Mereka tidak peduli aksinya dianggap biadab dan tidak dibenarkan agama, sejauh dibenarkan keyakinan agama. Karena yakin berada di jalan yang benar, mereka radikal dalam beragama. Dan karena keyakinannya tersebut, mereka sangat bersemangat memperjuangkan terbentuknya suatu sistem pemerintahan berdasarkan hukum-hukum agama, dan bukan sistem lain, termasuk demokrasi, yang 27 Mukhtar Sarman mereka anggap sebagai sistem kafir. Seperti disinyalir oleh Frederick Clarkson dalam Eternal Hostility, gejala radikalisme agama itu muncul di mana-mana, termasuk di AS. Tetapi lantaran AS itu adalah negara sekuler, radikalisme agama di sana tidak mendapat lahan subur untuk berkembang. Di Indonesia, kelompok radikal ini semakin hari rupanya semakin banyak penggemarnya. Penggemar bukan berarti protagonis. Penggemar itu umumnya hanya ikut-ikutan dan tidak paham substansi masalah yang sebenarnya. Tetapi para penggemar itu pula yang paling lantang, dan paling kasar, dalam menyatakan sikap permusuhan. Sebagian di antaranya kemudian melakukan baiat dengan pemimpin ISIS (Islamic State in Irak and Syria), dan membangun sel-sel jaringan kelompok radikal di dalam negeri. Sebagian lagi pergi ke luar negeri ikut bergabung dan berperang bersama dengan ISIS, untuk memperjuangkan berdirinya Daulah Islamiyah, memerangi penguasa kafir yang menerapkan hukum jahiliah. Celakanya adalah, begitu kembali ke tanah air, justru mereka berniat memerangi bangsa dan negeri sendiri, antara lain dengan melakukan teror bom dengan sasaran tempat-tempat ibadah, dan simbolsimbol negara. 28 2 BANALITAS DAN CANGKANG RADIKALISME Mereka yang paling radikal mendukung revolusi akan menjadi kelompok paling konservatif sehari setelah revolusi terjadi. Hannah Arendt M ENGAPA orang bisa berubah menjadi radikal? Mungkin ada yang terheran-heran, orang yang punya track record sebagai “orang biasabiasa” saja, tiba-tiba diketahui menjadi radikal, baik dalam pemikiran maupun tindakan. Barangkali agak di luar nalar orang banyak, kalau sekiranya seseorang yang diketahui berpendidikan tinggi, punya pekerjaan mapan, memiliki riwayat keluarga yang harmonis, ternyata bisa terlibat dalam jaringan terorisme. Radikalisme rupanya bagaikan virus yang tidak kasat mata, yang bisa menginfeksi siapa saja, dan nampaknya belum ditemukan “vaksin” yang efektif untuk menangkalnya secara dini. Kalau radikalisme itu dianalogikan dengan virus, kita dapat membayangkannya sebagai suatu entitas yang hidup. Dalam dunia medis, istilah virus biasanya merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel 29 Mukhtar Sarman eukariota. Virus sering diperdebatkan statusnya sebagai makhluk hidup karena ia tidak dapat menjalankan fungsi biologisnya secara bebas jika tidak berada dalam sel inang. Virus adalah parasit mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis. Virus bersifat parasit obligat, hal tersebut disebabkan karena virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan seluler untuk bereproduksi sendiri. Material hidup, adalah kata kuncinya. Virus hanya dapat bereproduksi dalam material hidup. Demikian pula dengan paham radikal, ia hanya bisa bereproduksi dalam material hidup, yakni manusia normal, dan masyarakat yang juga normal. Normal adalah istilah untuk sehat, tidak sakit, dan bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak mungkin radikalisme, sebagai virus, (mau) bereproduksi pada diri seseorang sudah sakit sebelumnya. Karena itu barangkali suatu simplifikasi berlebihan apabila ada yang menganggap radikalisme itu dapat menyergap seseorang karena orang tersebut sebenarnya sudah sakit secara sosial. Seseorang menjadi radikal niscaya melalui proses panjang. Seorang radikal dalam tataran pemikiran, belum tentu akan jadi teroris. Kalau sampai jadi teroris, maka boleh jadi yang bersangkutan telah mengalami suatu “pencerahan”, atau apapun istilahnya, yang mengakibatkan dia sampai mengambil kesimpulan bahwa hidupnya telah selesai untuk dirinya sendiri. 30 Banalitas dan Cangkang Radikalisme Pengalaman hidup bisa mengubah mindset seseorang, sehingga memicu dirinya bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Kesulitan hidup sering dijadikan alasan pula untuk punya preferensi yang bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan preferensi sebelumnya. Tetapi yang paling berperan penting sebenarnya adalah proses literasi. Literasi, atau proses mengenali suatu ide, bisa membuat seseorang sadar dan menyadari posisi perannya dalam dunia ide dan dunia aksi. Secara umum, literasi disetarakan dengan hasil dari proses pendidikan. Dengan asumsi tersebut, dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, diperkirakan menjadi cangkang yang paling potensial untuk menyebarkan dan menyemai paham radikalisme. Tapi, benarkah dugaan itu? Kapan hal itu bisa terjadi? Hal itulah yang tak mudah untuk dijelaskan. Seperti halnya penyakit di sebuah tubuh yang nampak sehat walafiat, ia tidak mungkin terdeteksi kalau tidak dipindai dengan seksama. Padahal untuk memastikan telah tersemaikannya paham radikalisme di suatu lembaga pendidikan tinggi, atau belum, sebenarnya lebih sulit lagi pendeteksiannya. Pasalnya, di dunia perguruan tinggi adalah perkara lazim dilakukannya diskusi tentang pemikiran-pemikiran radikal yang berkaitan dengan ideologi, isme, atau sekadar teori baru, dan itu perlu dilakukan untuk menghasilkan akademisi dan ilmuwan yang kritis. Namun demikian, perlu dicatat bahwa orang yang mempelajari suatu paham radikal, dalam rangka proses literasi, belum tentu menjadi radikal karenanya. 31 Mukhtar Sarman Tersebab Banalitas Banalitas berasal dari bahasa Prancis, ban, yang artinya “dangkal”. Dalam filsafat sosial, istilah banalitas digunakan untuk mengidentifikasi adanya tafsir yang dangkal atas sesuatu entitas, sehingga berakibat pada “kehampaan makna”. Meminjam penjelasan Walter Benjamin dalam The Arcades Projects, apabila ia menyangkut persepsi seseorang, maka sifat banal itu selanjutnya dapat memicu perilaku dan tindakan sesuai dengan persepsi yang dibangun dari hasil pemahamannya tersebut. Istilah banalitas itu menjadi populer di kalangan akademisi ilmu sosial politik tatkala Hannah Arendt menggunakannya dalam Eichmann in Jerussalem: a Report on the Banality of Evil (1963). Buku tersebut merupakan refleksi Arendt ketika mengikuti persidangan Otto Adolf Eichmann, seorang penjahat perang dengan tuduhan sebagai pelaku genosida terhadap kelompok Yahudi Jerman. Dalam pengamatan Arendt, banalitas yang ditunjukkan Eichmann adalah, dia sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atas tindakannya yang dianggap orang-orang sebagai kejahatan kemanusiaan. Eichmann seolah-olah pergi ke tiang gantungan dengan penuh kehormatan dan kebanggaan. Bahkan dengan konyol dia menolak kap hitam untuk menutupi kepalanya, sebagaimana lazimnya perlakuan kepada setiap terpidana yang akan dihukum gantung. Semua tindakan itu, menurut Arendt, adalah suatu refleksi berpikir yang sembrono dan menggelikan, walau tidak 32 Banalitas dan Cangkang Radikalisme identik dengan kebodohan. Dan itulah bentuk banalitas yang diperagakan secara kasat mata di depan khalayak oleh seorang elite, artinya orang pilihan, dalam struktur partai Nazi Jerman. Konsep banalitas menjadi menarik ketika dikaitkan masalah etika, atau lebih tepatnya masalah moral politik. Moral politik acapkali hanya dianggap sebagai persoalan filosofis, karena secara empirik sulit diukur indikator dan validitasnya. Faktanya, berbagai sistem moral mustahil dapat diperbandingkan atau dievaluasi secara diferensial. Meminjam refleksi Bauman dalam Modernity and the Holocaust, kebutuhan yang dilayani oleh masing-masing sistem lahir di dalam masyarakat tempat sistem bersarang. Pada setiap masyarakat harus ada satu sistem moral, bukan substansi norma-norma moral masyarakat tertentu yang kebetulan diberlakukan untuk mempertahankan kesatuannya. Bila moralitas dianggap sebagai konsekuensi bermasyarakat, atau produk masyarakat, maka perilaku moral menjadi sinonim dari penyesuaian sosial (social conformity) dan ketaatan pada norma-norma yang dijalankan oleh mayoritas. Karena kesadaran demikian mendorong Bauman untuk berargumentasi bahwa “faktor-faktor yang bertanggung jawab atas kehadiran kapasitas moral harus dicari di dalam yang sosial, atau dalam konteks sosial, tetapi pemunculan perilaku bermoral bukanlah akibat dari kehadiran agensi yang merupakan konteks kemasyarakatan.” 33 Mukhtar Sarman Selaras dengan argumentasi Bauman itu, fokus analisis Levinas dalam Ethics as First Philosophy menggarisbawahi bahwa konsep subyektivitas dipahami dalam pengertian etika. Simpul dari yang subyektif itu dipertautkan dalam etika yang dipahami sebagai sebuah pertanggungjawaban. Dan pertanggungjawaban itu dideskripsikan sebagai “struktur subyektivitas esensial, dan fundamental”. Namun hubungan pertanggung jawaban etika yang menyusun keberadaan manusia diakui Levinas menjadi buntu ketika sosialitas meluas melampaui interaksi tatap muka. Karena dalam pandangannya, setelah ada lebih dari dua orang yang terlibat, maka hubungan etika berubah dan menjadi politis. Dalam sebuah “tatanan sosiopolitis yang mengorganisasi kelangsungan hidup kita” inilah moralitas, dalam pengertian “sederet peraturan yang berhubungan dengan perilaku sosial dan kewajiban kewargaan”, mulai berlaku. Levinas berargumen bahwa etika, yakni sensitivitas subyek terhadap panggilan subyek lain, “menjadi moralitas dan mengeraskan kulitnya begitu kita bergerak memasuki dunia politik pihak ketiga yang impersonal, seperti halnya dunia birokrasi pemerintahan.” Atau merujuk pada argumen Bauman, isu penting moral politik itu harus dipahami dalam konteks sosial, tidak soal pada masyarakat mana ia mesti diletakkan, karena ia merupakan realitas yang bukan produk masyarakat. Mungkin tidak terlalu tepat, tetapi saya kira radikalisme selalu bersentuhan dengan politik, dan jaringan terorisme akan sangat jelas peta jalan 34 Banalitas dan Cangkang Radikalisme kekerasannya apabila dicermati dari perspektif kekuasaan politik. Sebagai contoh, apa yang ingin diperjuangkan oleh kelompok teroris dalam jaringan ISIS, tidak lain adalah ingin membangun kekuasaan politik global di bawah satu sistem kekhilafahan. Pemimpin jaringan ISIS menanamkan ideologi dalam benak para pengikutnya, bahwa sistem demokrasi untuk menata kelola pemerintahan itu adalah sistem thogut, tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Pola pemikiran semacam itu tentu saja tidak dapat diterima oleh kelompok mainstream, yang mengagungkan sistem demokrasi, dan boleh jadi akan mengecamnya sebagai sebuah pemikiran yang dangkal, dan menyesatkan. Radikalisme yang menolak gagasan demokratisasi politik, dalam berbagai levelnya, sebenarnya merupakan sebuah pertunjukan para aktor yang tak mudah diverifikasi, divalidasi dan dikonfirmasikan apa dan mengapa mereka sampai melakukan tindakannya yang bersifat banal. Meminjam istilah Jean-Luc Marion, ia berkaitan dengan intuisi yang ada di benak para pelaku, dan ekses dari fenomena itu baru bisa ditangkap ketika sudah sampai ke taraf jenuh. Namun demikian, meminjam analogi David Matza dalam Becoming Deviant, radikalisme semacam itu bukan tidak mungkin untuk ditengarai sejak masih berupa gejala (symptom), ibarat menengarai pengaruh mariyuana terhadap perilaku para penggunanya. Paling tidak, benih-benih radikalisme itu mestinya dapat diperiksa dalam cangkang-cangkang yang merupakan jaringan tempat dimana semangat melakukan 35 Mukhtar Sarman perlawanan, atas nama keadilan dan kesucian perjuangan itu, disemai, dipupuk dan disirami setiap saat. Kesulitan memahami tindakan banal dan mendeskripsikan apa itu banalitas politik dalam konteks radikalisme seringkali terbentur pada ketidakjelasan penilaian “benar” dan “salah” yang berkaitan dengan kejahatan politik. Persis seperti deskripsi Arendt, bahwa politik yang jahat niscaya berkaitan dengan sesat pikir yang jahat, tetapi kejahatan dalam konteks politik dikatakannya bukan karena adanya orang-orang yang berhati jahat, melainkan karena hilangnya kemampuan mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat sistemik dan mengakar sebagai perilaku kolektif. Kejahatan bukan hanya masalah moralitas, tetapi juga masalah absennya kemampuan berpikir rasional, kritis, dan berlandaskan hati nurani sebelum bertindak atas nama orang banyak. Hal itu ditegaskan pula oleh Richard Bernstein dalam The Banality of Evil Reconsidered, bahwa kejahatan yang didasari oleh kedangkalan berpikir adalah suatu kondisi dimana kejahatan terjadi pada skala masif, dipraktikkan sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, dan sistematis, namun celakanya nyaris sama sekali tidak melibatkan rasa bersalah. Ciri khas dari teroris yang melakukan tindakan nekad adalah tipikal dari sifat-sifat banal tersebut. Rasionalitas yang Dipaksakan Tindakan mengorbankan diri sendiri, misalnya melakukan aksi bom bunuh diri, yang sering dilakukan oleh para teroris, kadangkala sulit dipahami orang 36 Banalitas dan Cangkang Radikalisme awam. Salah satu pertanyaan yang tidak masuk akal orang awam adalah, sepadankah pelaku teror itu sampai harus mengorbankan dirinya sendiri, padahal apa yang dilakukannya belum tentu berpengaruh terhadap tujuan yang ingin dicapai. Logika apa yang digunakan oleh pelaku bom bunuh diri? Secara normatif, pada dasarnya setiap orang itu rasional. Masalahnya adalah ketika seseorang tergoda untuk memaksakan rasionalitasnya sendiri saja sehingga lalu terjebak pada kondisi rasionalitas yang dipaksakan. Rasionalitas yang dipaksakan, yang diasumsikan bisa menyebabkan irrasionalitas, bukan hanya menyangkut kemampuan nalar yang mandiri, tetapi juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup seseorang, yang menyebabkan seseorang memiliki preferensi unik tentang sesuatu hal, dan sayangnya salah kaprah. Rasionalitas dipaksakan ini dapat dioperasionalkan dalam sejumlah indikator yang lebih terukur, yaitu: (a) segala sesuatu selalu harus dilihat dari perspektif rasionalitas, dan seseorang yang terjebak pada rasionalitas dipaksakan akan memaksakan nalarnya sendiri untuk menjustifikasi tindakannya; (b) ukuran kebenaran adalah fakta empiris yang masuk akal, dan seseorang yang terjebak pada rasionalitas dipaksakan akan memaksakan kebenaran empiris yang diyakininya saja meskipun hal itu bertentangan dengan norma sosial; dan (c) setiap kejadian harus merujuk pada pola logika sebab akibat, dan seseorang yang terjebak pada rasionalitas yang dipaksakan akan memaksakan pola tersebut untuk menjelaskan setiap persoalan, temasuk 37 Mukhtar Sarman yang menyangkut hal-hal abstrak, seperti implikasi pelanggaran norma sosial. Meskipun tiga indikator itu berbeda fungsi, tetapi sesungguhnya ketiga unsur pendukung komponen kesalahkaprahan itu bisa saling berkait-kelindan untuk menentukan bagaimana pandangan dunia (world view) seseorang. Subyek mandiri bisa saja mengalami kesilauan emosional sesaat, yang berakibat pada tumpulnya budiluhurnya, sehingga menyebabkan yang bersangkutan tidak peka dengan kepentingan orang lain. Karena antara lain faktor kesilauan emosional sesaat itu pula, seseorang bisa keliru memahami substansi suatu entitas, sehingga ketika bertindak seolah-olah merefleksikan nilai esensialnya padahal tidak, dan lalu menunjukkan “kehampaan makna” dari tindakan yang diperbuatnya. Apa yang dilakukan seseorang yang terjebak dalam kehampaan makna itu tidak lain adalah gambaran dari sebuah kebebalan. Ada kalanya kebebalan dan ketidakpekaan sosial juga bisa menimpa seseorang lantaran terjebak dalam rasionalitas yang dipaksakan, dan lalu mengandaikan tidak pentingnya nilai-nilai normatif yang sudah ada sebagai referensi sosial. Atau bahkan tidak sudi berpikir barang sejenak untuk merefleksikan nilai manfaat dari tindakan yang dilakukannya. Padahal, meminjam penjelasan Chatel dan Soulet (2004), bagaimanapun juga suatu tindakan sosial itu mestinya didasarkan pada hasil interaksi yang berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang mekanisme sosialisasi dirinya di suatu ranah tertentu. Atau dalam deskripsi 38 Banalitas dan Cangkang Radikalisme Baumeister dalam Meaning of Life, hal itu pula yang menjadi sebab mengapa banalitas juga bisa dikaitkan dengan ketidakmampuan subyek memahami substansi kehidupan sebagai sejumlah kejadian yang integratif, yang dalam kategori unsur banalitas di sini dimaksudkan sebagai kebebalan yang menunjukkan tidak berfungsinya budiluhur seseorang. Di sisi lain, dalam tata kehidupan sosial modern yang penuh konflik kepentingan, dan juga sebagai ekses dari praktik politik pragmatis di panggung kekuasaan, cukup lazim terjadi tidak begitu jelasnya perbedaan normatif antara hal yang benar dan hal yang tidak benar, antara pengecualian dan aturan. Tiadanya perbedaan antara pengecualian dan aturan itu merujuk pada ontologi negatif dari teori kekuasaan berdaulat (sovereignty power) sebagaimana dipahami oleh Agamben, dan disebutnya sebagai “bare-life” (kehidupan telanjang). Saya ingin menggambarkan hal itu dengan istilah “zona buram”. Ibarat sebuah cermin, zona buram itu mengandaikan cermin yang kotor dan penuh debu sehingga kehilangan kemampuannya untuk memberikan daya pantul. Karena itu zona buram tidaklah serupa dengan “wilayah abuabu” yang biasanya digunakan untuk menunjukkan percampuran antara hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Zona buram adalah wilayah yang tidak jelas warnanya dan cenderung memberi kesan kusam. Zona buram memungkinkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku para aktor, termasuk tentunya orang 39 Mukhtar Sarman sebelumnya “biasa-biasa” saja secara dramatis menjadi radikal. Zona buram juga dapat menjustifikasi “pola balas dendam yang tersembunyi”, atau dalam istilah Scott (1985) “perlawanan kaum lemah”, sebagai tindakan rasional untuk membayar kekalahan atau penipuan yang diterimanya dari kelompok lain yang lebih kuat. Zona buram dapat menjadi pintu masuk untuk menjustifikasi suatu tindakan yang secara konseptual dinilai haram, tetapi kemudian tiba-tiba dianggap sebagai sesuatu yang halal untuk dilakukan. Dengan kata lain, zona buram dapat menyebabkan dis-orientasi etis bagi pelaku suatu tindakan sosial, dan ia dapat menjustifikasi perilaku banal sebagai tindakan rasional. Walaupun masih agak spekulatif, saya yakin bahwa pelaku terorisme tidak terlepas dari komplikasi moral yang disebabkan dia terperangkap zona buram semacam itu. Persoalannya adalah, yang bersangkutan boleh jadi tidak menyadari bahwa dia sedang terperangkap. Prakondisi Radikalisme Radikalisme, sebagai wujud dari banalitas, sebaiknya dipahami dalam konteks bagaimana tindakan politik yang diperagakan oleh para pelaku, sebagai suatu akibat. Pendekatan kontekstual semacam itu dilakukan Michael Billig, ketika mencoba memaknai banalitas yang berkaitan dengan identitas kebangsaan. Dalam pengamatan Billig (2005), sebuah rezim sangat mungkin mengalami waham dalam memahami kekuasaan politik yang dimilikinya, dan kemudian penguasa rezim itu dengan sekehendak hati menafsirkan “kebenaran” dari hegemoni politik yang 40 Banalitas dan Cangkang Radikalisme dibangunnya, dan bahkan “menyalahgunakan” tafsir atas identitas kebangsaan, untuk kepentingan politiknya. Contohnya adalah faktor pemicu Perang Malvinas, antara Inggris dan Argentina. Karena itu Billig cenderung sepakat dengan Arendt, dan mendeskripsikan banalitas (dalam konteks politik) sebagai suatu kesalahkaprahan (dalam memaknai kekuasaan) yang telah “merasuk” dalam memori kehidupan sehari-hari masyarakat, dan karena itu kehadirannya kemudian seolah-olah tidak membahayakan. Saya kira Arendt, dan tentu saja Billig, tidak sepenuhnya benar dan lalu dapat diaminkan begitu saja. Menurut saya, banal dan banalitas bukanlah perbuatan itu sendiri, tetapi sifat negatif yang dikandung dari perbuatan tersebut. Banalitas politik sebenarnya berbeda makna substantifnya dengan kejahatan politik, meskipun dua hal itu bisa saja saling berhubungan. Banalitas politik, dalam kasus tertentu, bisa dimaknai sebagai faktor sebab, sedangkan kejahatan politik adalah akibatnya; tetapi pada umumnya, banalitas politik lebih merupakan “variabel-antara” dari suatu kejadian atau tindakan yang menggambarkan kebusukan politik. Sungguhpun demikian, tetap saja dibutuhkan justifikasi moralitas agar suatu tindakan politik banal bukan dianggap sebagai sebuah kejahatan. Justifikasi itu penting, karena apabila secara kasat mata suatu tindakan dapat dinilai tidak sesuai dengan kaidah moral sosial niscaya akan ditolak masyarakat, padahal setiap tindakan yang berorientasi politik niscaya butuh dukungan masyarakat untuk kepentingan pembenaran. 41 Mukhtar Sarman Karena banalitas tindakan sosial adalah sebuah anomali yang berkaitan dengan proses nalar dan kemampuan seseorang menimbang nilai-nilai moral, maka penting sekali dipahami apa saja komponen-komponen yang memungkinkan kehadirannya. Tanpa bermaksud menutup peluang atas identifikasi sejumlah komponen lain yang relevan, izinkanlah saya mengusulkan komponen utama yang diasumsikan paling menentukan kehadiran tindakan banal itu, yakni: (a) adanya kesalahkaprahan dalam memaknai substansi suatu entitas kehidupan, dan (b) terjadinya krisis nilai-nilai yang mengatur tertib sosial. Komponen banalitas yang pertama, yakni adanya kesalahkaprahan memaknai substansi suatu entitas kehidupan, terdiri dari unsur-unsur: (1) kebebalan, (2) sesat pikir, dan (3) rasionalitas dipaksakan. Sedangkan komponen banalitas yang kedua, yakni terjadinya krisis nilai-nilai yang mengatur tertib sosial, terdiri dari unsurunsur: (1) ketekoran moral, (2) krisis legitimasi, dan (3) adanya zona buram. Meminjam definisi Lars Svenson (2001), kebebalan adalah sifat yang merefleksikan kebodohan (stupidity), tetapi bukan menunjukkan ketidakmampuan menilai, yang secara teknis berarti bodoh. Kebebalan lebih menyangkut perilaku seseorang yang sukar mengerti pendapat orang lain, cenderung memaksakan pendapatnya sendiri, dan keras kepala atas keyakinannya. Bahkan kebebalan kadangkala merupakan buah dari sifat dasar seseorang yang egoistik, dan selalu merasa benar sendiri. Karena itu kategori kebebalan bisa dioperasionalkan dalam sejumlah 42 Banalitas dan Cangkang Radikalisme indikator yang lebih terukur, yaitu: (a) cenderung curiga atas setiap informasi baru yang diterima dari orang lain, dan tingkat kecurigaan itu menentukan tingkat kebebalan seseorang; (b) terlalu percaya secara berlebihan dengan kebenaran pendapat sendiri, dan karena itu cenderung sukar menerima pendapat yang berbeda dari orang lainnya; dan (c) tidak peduli dengan substansi, dimana kelemahan dalam hal itu menyebabkan seseorang abai terhadap detil dan lalu menjadi ceroboh, yang tatkala menjadi kumulatif menggambarkan kebodohan-kebodohan yang tak termaafkan. Mengikuti logika Aristotelian, secara generik sesat pikir (logical fallacy) adalah kekacauan logika yang disebabkan oleh sejumlah argumentasi yang tidak disusun dengan logika yang benar sehingga menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan. Sesat pikir bisa terjadi karena seseorang salah kaprah dalam memindai kebenaran suatu hal, dan tidak ada koreksi dari pihak lain kecuali diri yang bersangkutan. Karena itu sesat pikir bukan sekadar menyangkut keyakinan seseorang atas kebenaran pendapatnya sendiri, tetapi juga berkaitan dengan tingkat kemampuan seseorang dalam menerima koreksi dari pihak lain. Pada sisi lain, ketekoran moral (moral deficit) adalah kondisi seseorang yang berada dalam situasi ketidakcukupan syarat untuk berperilaku sesuai dengan moralitas sosial yang berlaku, sehingga kemudian cenderung menghalalkan kebohongan dalam tindakan sosialnya. Menghalalkan kebohongan adalah kata 43 Mukhtar Sarman kuncinya, karena bisa saja yang bersangkutan tidak melakukan kebohongan, kalau mau. Karena itu ketekoran moral bukanlah kecacatan moral (moral defect) yang menyebabkan seseorang menjadi telengas, kejam atau tidak berperikemanusiaan. Tindakan yang didasarkan pada ketekoran moral dan kecacatan moral itu hampir pasti buruk, dan karena itu mungkin bisa dikategorikan sebagai perbuatan dosa, tetapi ketekoran moral boleh jadi lebih tepat hanya dimasukkan dalam kategori “dosa ringan”. Sejatinya ada banyak hal yang bisa dikaitkan dengan ketekoran moral, namun hal terpenting yang berkaitan dengan kehadiran banalitas sebagai bentuk krisis nilainilai barangkali hanya ada dua unsur lainnya, yakni: krisis legitimasi dan adanya kondisi zona buram. Pada masyarakat tradisional yang terikat dengan norma-norma sosial, diam-diam nilai-nilai moralitas sosial itu sangat ketat mengatur perilaku sosial warga masyarakatnya. Dalam perkembangan kemudian, nilainilai moralitas sosial itu boleh jadi melunak dan sejak itu pula akan muncul sikap permisif, dan lalu warga masyarakat menjadi semakin individualistik. Adanya pelunakan nilai-nilai moralitas sosial dan semakin individualistiknya warga masyarakat menyebabkan pudarnya norma sosial sebagai faktor pengatur perilaku individu dalam interaksi sosialnya; dan hal itu lebih lanjut bisa berakibat pada semakin tidak pedulinya orang per orang atas pelanggaran etika yang dilakukan oleh orang lainnya. Dengan kata lain muncullah gejala permisifisme 44 Banalitas dan Cangkang Radikalisme sosial. Meminjam dialektika Habermas (1992), permisifisme sosial itu boleh jadi merupakan hulu dari kondisi psiko-sosial yang disebut “krisis legitimasi”. Krisis legitimasi merupakan situasi dimana warga masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya atau lembaga-lembaga publik yang mengatur tertib sosial. Tingkat krisis akan lebih tinggi jika persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat tidak bisa dengan segera diatasi. Krisis legitimasi itu muncul jika harapan-harapan yang ada di benak masyarakat tidak bisa dipenuhi, baik oleh sejumlah nilai yang sudah tersedia, atau oleh penghargaan yang sengaja diciptakan secara sistematis dan menyesuaikan dengan sistem yang ada. Pertautan kondisional antara krisis legitimasi dan adanya kondisi zona buram memberikan situasi yang kondusif bagi ketekoran moral, dan ketika situasi tersebut bertaut dengan komponen-komponen kesalahkaprahan aktor, maka lengkaplah prakondisi kehadiran banalitas dalam tindakan sosial seseorang. Akan tetapi, sebuah tindakan politik yang dapat dikategorikan “banal” tidaklah dipersyaratkan harus selalu memenuhi semua komponen kehadiran banalitas tindakan sosial. Ada kalanya tindakan politik banal itu terutama hanya dipicu oleh sesat pikir aktor dan adanya krisis legitimasi, dan unsur-unsur lainnya tidak terlalu signifikan. Atau bisa saja terjadi suatu tindakan politik banal itu hadir karena dominannya unsur kebebalan yang disertai dengan kondisi zona buram dalam masyarakat. Dengan kata lain, banalitas politik, apapun wujudnya, ada dan hadir sebagai sebuah fenomena sosial, karena memang ada faktor yang 45 Mukhtar Sarman menjustifikasinya. Contohnya, adanya obsesi sejumlah orang yang ingin mendirikan khilafah di Indonesia, dan memulainya dengan membuat semacam organisasi masyarakat, tetapi untuk menjamin eksistensi organisasi tersebut harus mendapatkan izin resmi dari Kementerian Hukum dan HAM. Pola pikir yang ingin membongkar sistem pemerintahan, tapi sekaligus mengakui (walaupun terpaksa) perangkat pemerintahan yang ada, bukan hanya menunjukkan ambivalensi, tetapi juga adalah bentuk banalitas politik. Dari perspektif ontologis, banalitas politik itu selanjutnya dapat dimaknai sebagai bentuk kesalahkaprahan subyek dalam memaknai nilai-nilai yang melekat pada konsep “kekuasaan”, dan bagaimana seharusnya kekuasaan itu diperoleh atau dipergunakan. Yang dimaksud “kekuasaan” (power) di sini merujuk pada konsepsi yang Arendt (1972), bahwa kekuasaan adalah kapasitas kolektif yang muncul di antara banyak orang ketika mereka bertindak bersama-sama; dan karena itu “kekuasaan” adalah milik kelompok, yang akan menghilang ketika kelompok itu juga menyebar atau tercerai berai. Kekuasaan hanya ada sebagai potensi sampai dibangkitkan oleh orang yang bertindak seiring untuk mencapai tujuan bersama. Karena itu ketika konsep kekuasaan dimaksudkan sebagai kekuasaan politik (political power), yakni kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan secara bersama, atau suatu tindakan politik yang direncanakan secara bersama, maka ia menghasilkan pemahaman tentang tindakan bersama yang seragam (common action) yang dilakukan 46 Banalitas dan Cangkang Radikalisme oleh banyak individu yang saling berinteraksi dalam sebuah struktur yang diikat secara timbal balik dengan norma-norma, penghargaan, dan rasa kesetaraan, atau kesepakatan dan konsensus yang didasarkan pada prinsip “semata-mata untuk kepentingan kelompok yang bersepakat” (as an end in itself for all parties), seperti dijelaskan oleh Dana Villa (1993). Orang-orang radikal, yang mengalami proses pematangan paham radikalnya dalam cangkang radikalisme, boleh jadi akan memaknai “jalan perjuangan” dengan pemahaman seperti itu. Pada awalnya, mereka yang hanya bermodalkan fanatisme mungkin diberi “pencerahan” bahwa ideologi mereka sudah benar. Dalam rangka membangun jejaring yang solid, mereka pun disadarkan bahwa mereka tidaklah sendiri, tapi punya saudara seperjuangan di mana-mana, walaupun masingmasing berada dalam sel-sel yang terpisah, bahkan secara personal mungkin tidak saling mengenali. Tujuan kelompok tidak diformulasikan sebagai penggabungan tujuan orang per orang, tetapi merupakan tujuan bersama untuk kepentingan bersama, yang telah dikonsepkan oleh pendiri kelompok. Melalui pembinaan lebih lanjut dalam cangkang radikalisme, entah melalui kamp latihan yang terpencil, atau lembaga pendidikan yang eksklusif, atau barangkali cuma dalam pertemuan-pertemuan rutin melalui khalaqah, para pihak yang terlibat dalam sel-sel jaringan membangun soliditas yang kokoh, dan menjadikan anggota yang baru menjadi semakin militan. Mereka 47 Mukhtar Sarman membentuk jaringan, dan tidak setiap jaringan itu jelas strukturnya. Itulah sebabnya, jaringan terorisme yang melibatkan orang-orang radikal, tidak mudah terdeteksi aktivitas dan keberadaannya. Karena itu pula kelompok teroris yang perjuangannya didasarkan oleh ghirah ingin membangun sesuatu tatanan baru tidak mesti menampilkan diri sebagai sebuah organisasi formal. Sebagai contoh, kelompok teroris yang perjuangannya dilandasi ide agama, perintah untuk melakukan aksi bom bunuh diri bisa saja bukan berupa selembar surat keputusan dengan stempel basah, melainkan cukup hanya berupa perintah lisan dari orang diakuinya sebagai imam, dan pasti akan ditaati dengan sepenuh hati. Kelompok terorisme semacam ini tentu saja lebih sulit untuk dihadapi, dilawan, dan dideteksi, dibanding dengan misalnya kelompok teroris yang keberadaannya dilandasi oleh alasan-alasan rasional untuk meningkatkan posisi tawar ekonomi. 48 Mukhtar Sarman ii