[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
131 tayangan41 halaman

Encephalitis Viral Akibat Dengue

Laporan kasus ini membahas tentang pasien yang diduga mengalami encephalitis viral akibat infeksi virus dengue. Dokumen ini menjelaskan definisi, epidemiologi, patofisiologi, dan etiologi encephalitis viral termasuk yang disebabkan oleh virus dengue. Juga dibahas temuan virus dengue pada cairan cerebrospinal pasien dan gejala neurologis yang mungkin timbul akibat infeksi tersebut.

Diunggah oleh

windanirmala
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
131 tayangan41 halaman

Encephalitis Viral Akibat Dengue

Laporan kasus ini membahas tentang pasien yang diduga mengalami encephalitis viral akibat infeksi virus dengue. Dokumen ini menjelaskan definisi, epidemiologi, patofisiologi, dan etiologi encephalitis viral termasuk yang disebabkan oleh virus dengue. Juga dibahas temuan virus dengue pada cairan cerebrospinal pasien dan gejala neurologis yang mungkin timbul akibat infeksi tersebut.

Diunggah oleh

windanirmala
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 41

LAPORAN KASUS

ENCEPHALITIS VIRAL SUSPECT ET


CAUSA VIRUS DENGUE

Oleh:
PPDS 1
dr. Winda Nirmala

Pembimbing:
dr. Badrul Munir, Sp.S

LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi dengue adalah penyakit infeksi virus yang paling cepat menyebar di
dunia dengan penyebaran melalui gigitan nyamuk. Dalam waktu lima puluh tahun
terakhir, insiden infeksi dengue meningkat tiga puluh kali dengan peningkatan luas
geografi ke negara-negara baru dan terjadi penyebaran infeksi virus dengue dari
daerah perkotaan ke pedesaan.1 Di Indonesia angka kesakitan demam berdarah
dengue (DBD) terus meningkat dari 0,05 di tahun 1968 menjadi 35,19/100.000
penduduk pada tahun 1998,1,2 namun angka kematian menurun dari 41,3% di
tahun 1968 menjadi 0,86% pada tahun 2008. 3
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi
klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue
= SSD).4 Sejak tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan keterlibatan
beberapa organ vital yang mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau
yang tidak normal (atypical),5 dan sering berakibat fatal. Ada beberapa peneliti
mengklasifikasikan unusual manifestation infeksi virus dengue berupa keterlibatan
susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, infeksi ganda dan
kondisi yang memperberat. Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis
DBD berubah dan bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan.
Insiden dan prevalensi dengue ensefalitis dan bentuk lain dari dengue
neurologis akan bervariasi sesuai dengan tingkat endemik dan epidemi aktivitas
demam berdarah dalam wilayah geografis.yang Dilaporkan insiden ensefalopati
yang merupakan manifestasi neurologi paling sering infeksi virus dengue didapatkan
angkanya bervariasi dari 0,5-20,9%. 7-10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Encephalitis muncul sebagai disfungsi neuropsikologikal difus maupun fokal.


Walaupun biasanya melibatkan parenkim otak saja, encephalitis juga dapat
melibatkan meningen (menginoencephalitis). Dari segi epidemiologi dan
patofisiologi, encephalitis berbeda dari meningitis, walaupun pada evaluasi klinis
2
keduanya dapat muncul, dengan tanda dan gejala inflamasi meningeal.

Encephalitis salah satu manifestasi infeksi virus pada manusia. Banyak


individu yang terjangkit infeksi virus sistemik, hanya beberapa yang mengalami
infeksi simtomatik dari central nervous system (CNS). Virus mempunyai potensial
yang berbeda-beda untuk memproduksi infeksi CNS yang signifikan. Pada beberapa
virus (misalnya mumps), infeksi CNS umum terjadi tetapi relatif ringan. Pada
Japanese encephalitis, penyakit neurologis merupakan fitur klinis dari infeksi
sistemik yang paling menonjol. Contoh lainnya yang umumnya dapat menimbulkan
infeksi tetapi jarang menyebabkan encephalitis adalah virus herpes simplex (HSV).
Virus lainnya yang dapat menyebabkan encephalitis adalah rabies, campak, dan
virus dengue. 2,3

II.2 EPIDEMIOLOGI

Keterlibatan neurologis terjadi pada 4% -5% dari kasus DBD. Kejadian infeksi
dengue pada pasien dengan dugaan sistem saraf (CNS) infeksi sentral tercatat
berkisar dari 4,2% di Vietnam Selatan, 13,5% di Jamaika. Dalam sebuah penelitian
frekuensi dengue ensefalitis antara 401 pasien dengan infeksi sistem saraf pusat
yang diduga virus ditemukan menjadi 6,9%. Manifestasi neurologis lain dari demam
berdarah meliputi; meningits (34%), kejang (11%), acute flaccid paralysis dan
sindrom Guillain-Barré (4%).
II.3 VIRUS DENGUE PADA CSF

Infeksi dengue adalah salah satu dari infeksi arbovirus yang paling umum di
dunia, terdapat pada lebih dari 100 negara. Diperkirakan total 50-100 juta kasus
deman berdarah dan sekitar 250.000-500.000 kasus demam berdarah dengue yang
muncul tiap tahunnya. Infeksi dengue disebabkan oleh empat serotype virus yang
berbeda dan ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Ini menyebabkan baik
infeksi nonsimtomatik atau dua klinis yang berbeda: dengue fever dan/atau dengue
hemorrhagic fever/dengue shock syndrome (DHF/DSS). Reservoir utama virus
dengue adalah manusia, dan umumnya ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti;
pada pemukiman pedesaan, spesies lainnya seperti Aedes albopictus mungkin
berperan dalam menyebarkan penyakit ini. Klinis awal ditandai oleh acute febrile
illness, dengan nyeri kepala, rash makulopapular, nyeri orbita dan sendi,
trombositopenia dan leukopenia yang muncul setelah 2-7 hari masa inkubasi. Gejala
umum DHF/DSS meliputi demam akut, manifestasi perdarahan, trombositopenia,
hemokonsentrasi dan kecenderungan untuk terjadi syok. 3,4

Nyamuk aedes berkembangbiak di air bersih dan jauh dari sinar matahari;
nyamuk betina cenderung menggigit saat siang hari. Meningkatnya frekuensi infeksi
dengue biasanya terjadi pada musim hujan ketika nyamuk mencari tempat yang
terhindar dari hujan dan menyerang rumah-rumah. 4

Demam dengue telah lama dikenal sejak dua dekade sebagai infeksi endemis
yang disebabkan oleh virus dengue. Sebelumnya dikenal sebagai “demam lima
hari”, infeksi dengue mempunyai gejala umumnya seperti acute febrile illness, nyeri
kepala, nyeri sendi dan otot, yang ditemukan dengan infeksi virus yang lain dan
rash.4

Dalam beberapa tahun, terdapat manifestasi yang tidak umum dari infeksi
dengue, termasuk sindroma neurologis. Sanguansermsri et al yang pertama kali
melaporkan kasus ini pada tahun 1976. Sejak saat itu, encephalopathy, myelitis,
GBS dan cranial nerve palsies telah diketahui sebagai manifestai dari infeksi virus
dengue.3
Komplikasi neurologis dapat muncul pada pasien dengan sedikit atau tanpa
gejala infeksi dengue. Rentang usia pasien yang terkena berkisar antara beberapa
bulan hingga 79 tahun, dan lebih sering pada anak-anak. Pada kebanyakan kasus,
manifestasi neurologis muncul antara dua sampai 30 hari setelah onset demam.
Gejala neurologis bermacam-macam dan berhubungan dengan lokasi lesi. Nyeri
kepala, gangguan kesadaran, iritabilitas, insomnia, kejang, dan defisit neurologis
fokal yang berhubungan dengan encephalitis, encephalopathy, dan gambaran
seperti stroke adalah gejala yang paling umum ditemukan selama masa akut infeksi
dengue. Manifestasi neurologis lainnya, seperti defisit motoris dapat muncul pada
infeksi dengue akut pada kasus myelitis dan myositis. 5

II.4 ETIOLOGI

Penyebab encephalitis viral dapat bermacam-macam. Secara umum, virus


penyebab encephalitis viral dibagi menjadi DNA virus dan RNA virus.
Contoh DNA virus:
- Herpes simplex virus (HSV1, HSV2)
- Herpes virus lainnya (HHV6, EBV, VZV, cytomegalovirus)
- Adenovirus (serotype 1, 6, 7, 12,32).

Contoh RNA virus:


- Influenza virus (serotype A)
- Enterovirus (serotype 9, 71)
- Poliovirus
- Measles
- Rubella
- Mumps
- Rabies
- Arbovirus (encephalitis Japanicum B, virus strain La Crosse dari virus
California, virus encephalitis St Louis, virus West Nile, virus choriomeningitis
lymphocytic, virus encephalitis equine Eastern, Western, dan Venezuelan)
- Reovirus (virus demam tick Colorado)
- Retrovirus (HIV)
- Flaviridae virus (virus dengue).7

II.5 PATOFISIOLOGI

Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi


berbagai komponen dari respon imun atau rekasi inflmasi yang terjadi secara
terintegrasi. Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue (DBD) hingga saat ini
masih belum jelas.4 Infeksi primer atau pertama kali pada host tanpa imunitas
biasanya akan menyebabkan demam dengue. Infeksi dengue berikutnya oleh
serotipe yang berbeda akan menyebabkan penyakit yang lebih berat seperti
DBD/DSS.5 Perbedaan klinis antara demam dengue dan demam berdarah dengue
disebabkan oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda. Adanya renjatan pada
demam berdarah dengue disebabkan oleh kebocoran plasma yang diduga karena
proses imunologi, yang tidak didapatkan pada demam dengue. 5 Respon imun yang
diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah :
1) Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosist atau makrofag. Hipotesis ini disebut
antibody dependent enhancement (ADE);
2) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10;
3) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsosnisasi
antibodi. Proses fagositosis menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag;
4) Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.6
Hipotesis secondary heterologous infection menyatakan bahwa DBD terjadi bila
sesorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe berbeda. Terjadinya infeksi yang
berulah menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi. Infeksi virus dengue juga menyebabkan
aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus antibody non netralisasi
sehingga virus bereplikasi di makrofag. Infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma yang mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator
inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang
mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang
3
juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary


heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1. Infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi amnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus
juga terjadi di dalam limfosit yang mengalami transformasi yang juga menghasilkan
peningkatan jumlah virus. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Produksi
kompleks C5b-C9 kemudian memicu reaksi seluler dan merangsang produksi
inflamasi sitokin yang terkait dengan pengembangan DHF / DSS.
Gambar 2.1 Patogenesis Perdarahan pada DBD4

Keadaan syok berat, dalam waktu 24-48 jam volume plasma dapat berkurang
lebih dari 30%. Perembesan plasma terbukti dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga
serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditangani secara adekuat, dapat
menyebabkan asidosis dan anoksia. Peranan tatalaksana syok sangat penting guna
mencegah perburukan. 7

Gambar 2.2 Patogenesis terjadinya syok pada DBD

Tanggapan terhadap infeksi virus dengue menyebabkan terbentuknya


kompleks antigen-antibodi yang mengaktivasi sistem komplemen, sehingga agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah (gambar 2.2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan terjadinya
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin diphosphate), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif atau koagulasi
intravaskular diseminata (KID), sehingga terjadi peningkatan FDP (fibrinogen
degradation product) yang berakibat terjadi penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, meskipun


jumlah trombosit masih cukup namun tidak berfungsi dengan baik. Aktivasi koagulasi
menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan
dinding endotel kapiler. Keadaan perdarahan tersebut akan memperberat syok yang
terjadi.4

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,


meskipun jumlah trombosit masih cukup banyak namun tidak berfungsi dengan baik.
Aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan
oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.6

Mekanisme virus dengue masuk ke dalam sistem saraf pusat di hingga


menjadi berat dan demam berdarah non-berat tidak jelas dipahami. Ini adalah
hipotesis bahwa peningkatan kapiler permeabilitas dan efek dari "badai sitokin"
berperan dalam neuropatologi dari dengue. Adanya proses sekunder akibat
vasculitis yang berakibat ekstravasasi cairan. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya edema serebral dan yang dapat menjelaskan asal usul sakit kepala
berat, selain itu juga ditemukannya hipoperfusi, hyponatremia, kegagalan dan/atau
gagal ginjal.

Salah satu patogenesis teori neurologis dengue mengusulkan derangements


sekunder dan sistemik sebagai penyebab. Onset dini tanda-tanda neurologis dan
gejala pada tahap viremi menunjukkan adanya invasi langsung CNS oleh DENV.
Penelitian menunjukkan bahwa dengan inokulasi intravena dengue berimbas ke
faktor sitotoksik, sehingga menimbulkan adanya kompromi sementara pada
integritas sawar darah otak. Hal ini memungkinkan kebocoran protein dan eritrosit.
Infiltrasi oleh DENV makrofag yang terinfeksi juga telah diusulkan sebagai salah satu
mekanisme langsung invasi CNS.

Infeksi virus dengue pada CNS dibuktikan dengan adanya antigen virus dan
RNA DENV pada jaringan otak dan sampel CSF. Masuknya virus ke otak sepertinya
muncul melalui infiltrasi dari makrofag yang terinfeksi. Hubungan antara faktor virus
dan neuropathogenesis dijelaskan oleh Bordignon et al. Ia menulis bahwa mutan
DENV-1 menyebabkan leptomeningitis ekstensif dan encephalitis pada tikus.
Hipotesisnya adalah virus mutan mempresentasikan neurotropism, menembus
blood brain barrier. Bukti lain dari neurotropism DENV adalah ditemukannya sintesis
intrathecal dari antibodi spesifik pada pasien dengan myelitis dengue. 5

Jalur masuk virus ke CNS dapat melalui jalur hematogen maupun neuronal.
Penyebaran hematogen adalah yang paling umum dan dapat menyebabkan
gangguan blood-brain barrier. Setelah digigit oleh nyamuk dengan replikasi virus
lokal pada kulit, viremia transien menyebabkan penyebaran pada sistem
reticuloendothelial, dan juga otot. Dengan berlanjutnya replikasi virus, viremia
sekunder menyebabkan infeksi pada organ lainnya, termasuk CNS. Pada
encephalitis viral akut, inflamasi kapiler dan endothelial dari pembuluh darah kortikal
merupakan penemuan patologis, muncul umumnya pada grey matter atau grey
white junction. Infiltrasi perivaskular limfotik menyebabkan baik transfer pasif dari
virus di sepanjang endothelium pada junctions pinositotik dari pleksus koroid atau
replikasi virus aktif pada sel kapiler endothel. Seiring berkembangnya penyakit,
astrocytosis dan gliosis menjadi penemuan histopathologikal yang paling menonjol.
Bentuk histopathologikal yang unik yaitu inklusi intranuklear Cowdry type A dan
Negri bodies yang berhubungan dengan infeksi yang disebabkan oleh virus herpes
dan virus rabies.2

Ketika virus menembus blood-brain barrier, virus masuk sel neural, dengan
mengganggu fungsi sel, kongesti perivaskular, perdarahan, dan respon inflamasi
difus yang mempengaruhi gray matter. 1
II.6 MANIFESTASI KLINIS

Infeksi virus dengue biasanya ditandai oleh nyeri kepala, lesi kemerahan
pada kulit, dan manifestasi perdarahan. Kriteria klinis diagnosa DHF berdasarkan
WHO sebagai berikut:

1) Onset akut demam, terus menerus selama 2-7 hari


2) Manifestasi perdarahan yang dibuktikan dengan tes torniquet yang positif
atau adanya ptekiae, purpura, ecchymosis, epistaxis, perdarahan gusi,
hematemesis atau melena
3) Pembesaran liver
4) Shock, dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya pulse
pressure hingga 20 mm atau kurang, hipotensi, keringat dingin.
5) Bukti laboretorium dengan adanya trombositopenia hingga kurang dari
80.000, dengan peningkatan hematokrit sehingga terjadi hemokonsentrasi
pada lebih dari 20% fase akut.

Diagnosa DHF dibuat bila terdapat 2 atau lebih manifestasi klinis dengan
trombositopenia dann hemokonsentrasi.4,6

Gejala utama encephalitis dengue meliputi nyeri kepala, kejang, dan gangguan
kesadaran. Gejala tipikal seperti nyeri otot, rash dan perdarahan terdapat pada
kurang dari 50% kasus encephalitis. Solomon et al mengatakan bahwa dengue
harus dipertimbangkan sebagai penyebab semua pasien encephalitis pada area
endemik, tanpa memperhatikan ada atau tidaknya gejala umum. 6

Kriteria untuk encephalitis dengue meliputi:

1) Demam
2) Gejala akut keterlibatan cerebral
3) Munculnya antibodi IgM anti-dengue atau material genomik dengue pada
serum dan/atau cairan cerebrospinal
4) Eksklusi penyebab lain dari encpehalitis viral dan encephalopathy.

Hasil MRI dapat bervariasi. MRI mungkin normal, tetapi dapat terlihat
perdarahan, edema cerebral, dan kelainan pada basal ganglia, hipokampus, dan
thalamus. MRI kepala juga dapat menunjukkan perluasan lesi yang melibatkan
diencephalon, cerebellum, thalamus, dan regio temporal medial pada kedua sisi. 5

II.7 DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis melalui pemeriksaan laboratorium yang cepat dan


akurat sangat penting dalam tatalaksana klinis, surveillans, penelitian, dan uji klinis
vaksin.12

II.7.1 Isolasi virus

Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur
sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). Pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya dapat dilakukan pada enam hari
pertama demam.12

II.7.2 Deteksi antigen IgM dan IgG

Untuk mendeteksi antibodi (IgM dan IgG) penggunaan ELISA (Enzyme-


Linked Immunosorbent Assay) merupakan cara yang paling banyak digunakan, cara
ini memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. 13 Serum antibodi IgM
dapat dideteksi dengan tingkat sensitivitas 96% dan tingkat spesifisitas 97%.
Sementara IgG muncul dengan titer yang rendah pada awal gejala dan meningkat
secara perlahan pada akhir minggu pertama dari onset penyakit. 14,15

IgM anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat terdeteksi
pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah hari ke sembilan puluh. Pada
infeksi dengue primer, IgG anti dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan
IgM anti dengue, namun pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti
dengue bertahan lama dalam serum. Kinetik NS1 antigen virus dengue dan IgG
serta IgM anti dengue, merupakan petunjuk dalam menentukan jenis pemeriksaan
dan untuk membedakan antara infeksi primer dengan infeksi sekunder. 13

II.7.3 Deteksi Antigen NS1 (Non-struktural 1)


Protein ini muncul saat awal gejala dan dapat bertahan hingga hari ke-14
setelah infeksi. Pemeriksaan antigen ini memiliki tingkat sensitivitas 90% dan
spesifisitas 100%.16

II.7.4 RT-PCR (Reverse Transcription followed by Polimerase Chain Reaction)

RT-PCR merupakan bagian dari test asam nukleat. Cara ini juga dapat
digunakan untuk mendeteksi materi genetik dari virus dengue. Cara ini diperkirakan
memiliki tingkat sensitivitas lebih baik dari isolasi virus pada kultur sel. Tingkat
sensitivitasnya dapat mencapai 93% hingga 100%, tergantung pada jenis serotip
yang diperiksa.16

II.7.5 Pemeriksaan Laboratorium pada Encephalitis dengue

Encephalitis dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transaminase


(SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang. Ensefalitis dengue dapat dijumpai virus
dengue atau dari jaringan otak.16

II.7.6 Pemeriksaan Imaging

Imaging kepala dilakukan pada pasien yang dicurigai dengan encephalitis


akut dan biasanya mendahului investigasi lainnya. Magnetic resonance imaging
adalah modalitas pilihan pada encephalitis akut, walaupun mungkin lebih mudah
untuk dilakukan tomogram yang lebih cepat dan lebih mudah pada pasien yang tidak
kooperatif. Karakteristik dari imaging mungkin dapat membantu mencari tahu
etiologi. MRI merupakan pilihan imaging dan harus dipertimbangkan sebagai suatu
yang darurat.EEG mungkin membantu membedakan diagnosa encephalitis dengan
encephalopathy. Beberapa perubahan EEG mungkin relatif spesifik.

Walaupun tes laboratorium tetap menjadi alat diagnostik utama, imaging


otak dapat memberikan tambahan informasi. MRI merupakan modalitas pilihan bila
dibandingkan dengan CT. MRI menunjukkan definisi yang lebih luas dari substansi
otak seperti visualisasi superior pada fossa posterior. Di samping menyingkirkan
differensial diagnosis, temuan umum meliputi cerebral edema, perubahan white
matter, dan kemudian terjadi nekrosis dan atrofi otak. Infark atau perdarahan juga
mungkin dapat terlihat. Rusaknya blood brain barrier mungkin terlihat sebagai
penyengatan pada MRI dengan kontras gadolinium. MRI pada dengue encephalitis
dapat ditemukan gambaran area hiperintens pada globus pallidus, lesi pada
hipokampus, lobus temporal, pons, dan spinal cord.

II.7.7 Pemeriksaan Lumbal Pungsi

Hal ini merupakan bagian penting dari investigasi encephalitis dan


seharusnya menjadi langkah logis berikutnya setelah dilakukan neuroimaging
dengan hasil yang dianggap aman. Ketika ditemukan abnormalitas cerebrospinal
fluid dari meningoencephalic syndrome, perubahan dalam cairan cerebrospinal
biasanya tidak spesifik dan mungkin kurang membantu dalam menentukan etiologi
suatu penyakit. Cairan cerebrospinal pada encephalitis viral menunjukkan pleositosis
limfositik.Cairan otak pada encephalitis virus umumnya menunjukkan pleositosis
limfositik dengan kadar glukosa normal dan mungkin terdapat sedikit peningkatan
protein. Profil cairan cerebrospinal pada encephalitis viral akut sulit dibedakan
dengan meningitis aseptik. Pleositosis cairan cerebrospinal (>5 limfosit/mm3)
terdapat pada >95% kasus encephalitis viral akut.

Lumbal pungsi harus ditunda apabila ditemukan:

- Meningkatnya tekanan intrakranial pada hasil MRI


- Apabila pasien mempunyai status epileptikus konvulsif
- Sesaat setelah kejang general
- Apabila terdapat koagulopati atau trombositopenia berat.

Tabel 2.1 Analisis dan interpretasi pemeriksaan Cairan Serebrospinal14

II.7.8 Electroencephalography (EEG)


EEG sangat direkomendasikan pada setiap kasus yang dicurigai sebagai
encephalitis akut karena akan sangat membantu untuk membedakan enceephalitis
fokal dengan encephalopathy general. EEG menunjukkan gelombang berbentuk
difus, bihemispheric lambat, sebagai contoh, gelombang lambat trifasik pada
encephalopathy. EEG dapat abnormal pada herpes simplex encephalitis, walaupun
perbedaan mungkin tidak spesifik (melambat) dengan lebih terlihat perubahan
karakteristik (periode 2-3 Hz epileptiform periodik yang berasal dari lobus temporal).

II.8 DIAGNOSIS BANDING

II.8.1 Encephalopathy

Munculnya tanda-tanda demam tidak cukup untuk membuat diagnosa


encephalitis karena encephalopathy mungkin dipresitipasi dengan infeksi sistemik
atau sepsis tanpa inflamasi serebral (septic encephalopathy). Cerebral malaria
adalah contoh dari encephalopathy infektif, bukan merupakan encephalitis yang
sebenarnya. Gejala neurologis dari malaria cerebral diakibatkan oleh hipoksemia
otak dan komplikasi metabolik (hipoglikemia dan asidosis) yang diakibatkan oleh
parasitemia berat dari sel darah merah yang diinfeksi oleh Plasmodium falciparum
yang mengakibatkan oklusi kapiler.

II.8.2 Perdarahan Intra Serebral

Mekanisme yang mengakibatkan perdarahan intraserebral pada infeksi


dengue sebagian besar terkait dengan gangguan hemostasis: trombositopenia,
pemanjangan clotting times dengan atau tanpa disseminated intravascular
coagulation, atau kegagalan organ multipel dan sindrom kebocoran kapiler. Kondisi
terkait lainnya mungkin termasuk lesi langsung pada jaringan (ensefalitis) dan
vaskulopati.16

II.9 TATALAKSANA

Penanganan kasus DBD yang utama adalah tindakan promotif dan preventif
karena secara kuratif tidak ada perawatan khusus untuk demam berdarah,
pengobatannya hanya bersifat simptomatis dan suportif. Obat-obatan diberikan
untuk meringankan demam dan rasa sakit. Penderita sebaiknya segera dirawat, dan
terutama dijaga jumlah cairan tubuhnya. Terapi yang dapat diberikan diantaranya
antipiretik, surface cooling dan antikonvulsan.5

II.9.1 Tatalaksana Encephalitis Dengue

Saat ini tidak ada agen antiviral yang tersedia untuk mengatasi infeksi virus
dengue. Maka dari itu, manajemen berupa terapi suportif. Pada kasus yang lebih
ringan, obat-obatan antipiretik dan cairan per-oral mungkin membantu. Derivat
acetyl-salicylic dan obat-obatan non-steroidal anti-inflamasi harus dihindari.
Manajemen komplikasi perdarahan harus ditangani secara konservatif. Diperlukan
manajemen yang tepat untuk cairan intravena, transfusi darah atau platelet
dibutuhkan hanya apabila terjadi perdarahan hebat.

Pada pasien dengan dengue berat dan gejala kebocoran plasma, resusitasi
cairan sangatlah penting, dengan monitor ketat volume cairan untuk mencegah
overload cairan. Cairan isotonik kristaloid harus digunakan, dengan cairan koloid
untuk pasien dengan gejala syok dan untuk pasien yang tidak berespon dengan
terapi kristaloid.

Penanganan syok perlu dilakukan simultan mulai dari ABC hingga resusitasi
cairan untuk meningkatkan preload yang diberikan secara cepat dan kurang dari
sepuluh menit. Resusitasi cairan paling baik dilakukan pada tahap syok hipovolemik
kompensasi, sehingga mencegah terjadinya syok dekompensasi dan ireversibel.
Setiap pasien tersangka demam dengue juga DSS sebaiknya dirawat di tempat
terpisah dengan pasien penyakit lain. Tata laksana pada demam berdarah dengue
atau DBD dengan syok adalah:
1) Perhatikan ABC
2) Pemberian cairan
3) Koreksi keseimbangan asam-basa
4) Beri darah segar bila ada perdarahan hebat. 12
Pasien DSS perlu diobservasi ketat terhadap kemungkinan terjadinya
perburukan. Observasi meliputi pemeriksaan tiap jam terhadap keadaan umum,
nadi, tekanan darah, suhu dan pernapasan, serta HGB dan HCT setiap 4-6 jam
pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam. Pemantauan platelet
tiap 12 jam, dan pemantauan keseimbangan cairan dan produksi urin. Terapi untuk
dengue shock syndrome (DSS) bertujuan untuk mengembalikan volume cairan
intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan pemberian
segera cairan intravena. Jenis cairan yang dapat diberikan yakni cairan kristaloid
(dekstrosa, ringer laktat, atau normal salin) yang dapat diikuti dengan pemberian
cairan koloid sesuai dengan derajat DBD pasien. 11

Gambar 2.4. Bagan Protokol Demam Berdarah Dengue Derajat III dan IV
Gambar 2.5 Bagan Protokol Penanganan DSS

Untuk terapi suportif pasien dengan manifestasi neurologis, penyebab dasar


yang mungkin seperti perdarahan intrakranial, gagal liver, hiponatremia,
hipokalemia, atau asidosis metabolik yang harus disingkirkan dan apabila mungkin,
dikoreksi.

Manajemen encephalitis dengue tetap suportif dan harus menyertakan hidrasi


yang adekuat, nutrisi, monitor kesadaran, dan pemeliharaan saluran nafas. Kejang
simptomatis harus diterapi dengan obat anti kejang non-hepatotoxic. Kejang
dikontrol dengan fenitoin intravena.

Manajemen umum encephalitis viral meliputi monitoring dan maintanance


airway dan oksigenasi adekuat, hidrasi, dan nutrisi. Kejang dapat dikontrol dengan
obat anti-epilepsi, dan peningkatan tekanan intrakranial dengan elevasi kepala,
pemberian manitol, dan steroid. Apabila terdapat kemungkinan infeksi bakteri maka
sebaiknya diberikanantibiotik empiris.
Management spesifik encephalitis viral membutuhkan terapi antiviral.
Administrasi empiris acyclovir direkomendasikan pada pasien dengan gejala
encephalitis. Tidak ada terapi antiviral khusus untuk dengue.

Pemberian acyclovir (10 mg/kg setiap 8 jam selama 14-21 hari) terbukti lebih
efektif bila dibandingkan vidarabine (15mg/kg/hari) dalam meningkatkan tingkat
keselamatan. Acyclovir merupakan terapi yang aman pada encephalitis viral.
Acyclovir mempunyai waktu paruh yang relatif singkat pada plasma dan diberikan
secara intravena 10mg/kg setiap 8 jam pada orang dewasa (dosis harian total 30
mg/kg). Lebih dari 80% acyclovir di sirkulasi diekskresikan di urin, gangguan renal
dapat mempercepat presipitasi toksiksitas acyclovir dan dosis therapeutik harus
disesuaikan dengan klirens ginjal.

Pada pasien dengan hydrocephalus dengan peningkatan tekanan intrakranial,


manajemen meliputi terapi demam dan nyeri, kontol batuk, dan pencegahan kejang
dan hipotensi sistemik. Pada pasien stabil, mengelevasi kepala dan memonitor
status neurologis biasanya cukup membantu. Ketika manuver agresif diindikasikan,
penggunaan awal diuretik (misalnya furosemide 20 mg IV, mannitol 1 g/kg IV)
mungkin berguna dalam menjaga volume sirkulasi. Dexamethasone 10 mg IV dalam
6 jam membantu mengatasi edema yang mengelilingi space-occupying lesions.
Hiperventilasi (tensi arterial CO2 [PaCO2] 30 mm Hg) mungkin menyebabkan
disporposi penurunan dalam cerebral blood flow (CBF), tetapi ketika mengontrol
ICP dalam dasar emergensi. Monitor ICP intraventricular masih kontroversial.
Beberapa penulis percaya bahwa edema fokal dengan tekanan gradien antara lobus
temporal dan ruang subtentorial biasanya tidak terdeteksi oleh monitor dan
merupakan kegagalan deteksi yang dapat menyebabkan kesalahan.

II.10 PROGNOSIS

Pada encephalitis dengue sebagian pasien akan pulih seperti semula,


sedangkan sisanya akan mengalami gejala sisa seperti kejang. Encephalitis dengue
yang disertai gejala neurologis membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama.
Kelemahan dapat terjadi pada pasien dengan kelumpuhan saraf. 21
Mortalitas encephalitis dengue yang pernah dilaporkan di Denmark adalah
sebesar 22% dari jumlah keseluruhan pasien yang didiagnosis. Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Pakistan, di dapatkan sebanyak 20% kematian pasien
yang didiagnosis dengan ensefalopati dengue dan 5% kematian pasien dengan
perdarahan intaserebral.21
BAB III

LAPORAN KASUS

III.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. UK

Umur : 24 tahun

Pekerjaan : Guru

Status perkawinan : Belum kawin

Alamat : Pasuruan

Tanggal MRS : 2 April 2017

No. Rekam Medik : 11332353

III.2 ANAMNESIS

a. Keluhan Utama : Demam

b. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien dikonsulkan TS Psikiatri dengan demam disertai kaku-kaku
pada tubuh. Pasien dikeluhkan demam ±14 hari SMRS, demam tinggi
terus menerus, hanya turun sebentar bila minum obat. Nyeri kepala (+)
sejak 16 hari SMRS. Pasien juga dikeluhkan gelisah, suka marah-marah,
dan teriak-teriak ±10 hari SMRS. Pasien juga suka bicara sendiri dan
tertawa sendiri.
Tidak didapatkan keluhan mual, muntah, kejang, lemah setengah
badan, tebal setengah badan, geringgingan setengah badan, pelo, merot,
penurunan kesadaran, gangguan BAK maupun gangguan BAB.

c. Riwayat Penyakit Dahulu:


Sebelumnya pasien dirawat di RSUD Pasuruan dengan diagnosa
demam berdarah (±4 hari SMRS di RSSA), saat itu trombosit pasien
87.000. Kemudian pasien dirujuk ke RSSA karena pasien suka marah-
marah dan bicara melantur.

Riw. sakit serupa sebelumnya : disangkal

Riw. infeksi sebelumnya (batuk, pilek, nyeri tenggorokan, diare) : -

Riw. Hipertensi: disangkal

Riw. Diabetes Mellitus: disangkal

Riw. trauma : disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga yang mempunyai penyakit/keluhan serupa.
Riwayat gangguan jiwa pada keluarga disangkal.
e. Riwayat Pengobatan:
Pasien dirawat di RSUD Pasuruan selama 4 hari dan diberikan obat
penurun panas serta infus.

III.3 PEMERIKSAAN KLINIS

a. Vital sign

Tensi = 120/80 Nadi = 80x/menit

RR = 20x/menit Tax = 37.8ºC

b. Status Interna

Kepala : An -/-, ict -/-

Thorax : Cor = S1S2 tunggal, reg, murmur (-)

Pulmo = SDV +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : supel, BU (+), pembesaran liver (+)

Ext : oedema
c. Status Neurologis

 GCS 445 (kesadaran berubah), Fungsi luhur : sulit dievaluasi,


Meningeal sign: kaku kuduk (+), kernig -/-, brudzinski I-IV (-)

 N. Cranialis :

N. I Anosmia -, hiposmia -

N. II Visus : ODS > 2/60 Funduskopi : dbn

N. III, IV, dan VI PBI Ø 3mm/3mm, RC +/+, RK +/+, ptosis -/-,


Gerakan bola mata :

N. V Dalam batas normal

N. VII Dalam batas normal

N. VIII Tidak diperiksa

N. IX, X Dalam batas normal

N. XI Dalam batas normal

N. XII Dalam batas normal

 Motorik : Tonus ↑/↑

N/ N

Kekuatan : 5 / 5

5/5

Atrofi : -

 Sensorik : Protopatik : sulit dievaluasi

Propioseptik : sulit dievaluasi


 Ref. fisiologis : BPR +3/+3 Ref. patologis: B -/- H -/-

TPR +2/+2 C -/- T -/-

KPR +2/+2 O -/- G -/-

APR +2/+2 S -/-

 ANS : inkontinensia urin dan alvi (-), retensi urin dan alvi (-).

 Cerebellar sign: dismetria -/-, disdiadokokinesia -/-, intention tremor,


tes romberg (-)

III.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

d. Laboratorium :

DL = 13,2/8770/39,5%/237.000

GDS = 90

Ur/Cr = 26/0,85

SGOT/SGPT = 119/147

Na/K/Cl = 143/3,71/108

IgM/IgG anti dengue = +/-

e. Radiologi : CXR: Cor dan pulmo dalam batas normal

CT Scan kepala dengan dan tanpa kontras:

- Saat ini tidak tampak lesi patologis intraparenkim otak


- Sinusitis kronis maxillaris kanan

III.5 DIAGNOSIS

f. Diagnosis klinis:
- Wanita, usia 24 tahun
- Gradual Decrease of Conciousness
- Subakut febris
- Subakut cephalgia
- Hipertonus upper extremity
- Kaku kuduk (+)
g. Diagnosa Topis: meningen-encephalon
h. Diagnosa Etiologis: Susp. ME viral
i. Diagnosa Banding: ME bacterial
j. Diagnosa Sekunder: Dengue Fever

2. Planning Diagnosis
a. CT scan kepala + kontras
Hasil CT scan dengan dan tanpa kontras

Kesimpulan:
- Saat ini tidak tampak
- Sinusitis kronis maxillaris kanan

b. Lumbal pungsi bila tidak ada kontraindikasi

Analisa Cairan LCS LCS 1 LCS 2 Nilai Normal


Makroskopik
 Warna Merah Merah
 Bekuan Negatif Negatif
 Kejernihan Keruh Keruh
Mikroskopik
 Eritrosit 80000 65000
cell/µL cell/µL
 Lekosit 126 cell/µL 82 cell/µL Dewasa: <3
 PMN sel 60 % 53 % Normal >75%
 MN sel 40 % 47 % MN
Kimia
 Protein 211,3 mg/dL 285 mg/dL Dewasa: <45
 Glukosa 71 mg/dL 70 mg/dL Dewasa: 40-
70
 LDH 126 IU/L 107 IU/L ≤10 % kadar
LDH serum
Tes Khusus
 Nonne Positif Positif
 Pandy Positif Positif
Glukosa darah 90 mg/dL

3. Planning Terapi
a. Inj. Dexamethasone 3x5 mg tapp off
b. PO: acyclovir 5x800 mg
Pasien akan diraber jika keluarga pasien dan TS Psikiatri setuju.

4. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
04/03/17 - GCS: 445 1. Susp. ME - Inj.
TD: 130/80 viral dd bakteri Dexamethasone
N: 88 2. Dengue fever 3x5 mg
RR: 18 - PO acyclovir
Tax: 37.5 5x800 mg
05/03/17 - GCS: 445 1. Susp. ME - IVFD NaCl
TD: 130/80 viral dd bakteri 0.9% 20 tpm
N: 84 2. Dengue fever - Inj.
RR: 20 Dexamethasone
Tax: 37.3 2x5 mg
PO:
- acyclovir 5x800
mg
- clozapine
3x12.5 mg
THD 3x2 mg
06/03/17 GCS:445 1. Susp. ME - IVFD NaCl
TD: 120/70 viral dd bakteri 0.9% 20 tpm
N: 84 2. Dengue fever - Inj.
RR: 20 Dexamethasone
Tax: 36.7 1x5 mg
PO:
- acyclovir 5x800
mg
- clozapine
3x12.5 mg
- THD 3x2 mg
07/03/17 Bicara GCS: 456 1. Susp. ME - IVFD NaCl
melantur (kesadaran viral dd bakteri 0.9% 20 tpm
berubah) 2. GMO PO:
TD: 130/90 - acyclovir 5x800
N: 89 mg
RR: 20 - clozapine
Tax: 36.5 3x12.5 mg
- THD 3x2 mg
08/03/17 Pasien GCS: 456 1. Susp. ME - IVFD NaCl
marah- (kesadaran viral dd bakteri 0.9% 20 tpm
marah berubah) 2. GMO - Inj. Zyprexa
dan TD: 130/80 5mg IM (k/p
bicara N: 80 gelisah)
melantur RR: 20 PO:
Tax: 36.5 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine
12.5mg – 12.5mg
– 25mg
- THD 3x2 mg
09/03/17 Pasien GCS: 456 1. Susp. ME - IVFD NaCl
gelisah, (kesadaran viral dd bakteri 0.9% 20 tpm
teriak- berubah) 2. GMO - Inj. Zyprexa
teriak, TD: 110/70 5mg IM (k/p
sulit tidur N: 84 gelisah)
RR: 20 PO:
Tax: 37.3 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine
12.5mg – 12.5mg
– 25mg
- THD 3x2 mg
10/03/17 Pasien GCS: 456 1. ME viral - IVFD NaCl
sudah (kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
mulai berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
tenang, TD: 120/80 3. Transaminitis 5mg IM (k/p
cukup N: 80 gelisah)
tidur RR: 18 PO:
Tax: 37.5 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine
12.5mg – 12.5mg
– 25mg
- THD 3x2 mg
11/03/17 - GCS: 456 1. ME viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 110/80 3. Transaminitis 5mg IM (k/p
N: 100 gelisah)
RR: 24 PO:
Tax: 36 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine
12.5mg – 12.5mg
– 25mg
- THD 3x2 mg
12/03/17 - GCS: 456 1. ME viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 120/70 3. Transaminitis 5mg IM (k/p
N: 85 gelisah)
RR: 19 PO:
Tax: 37.4 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine
12.5mg – 12.5mg
– 25mg
- THD 3x2 mg
13/03/17 Bicara GCS: 456 1. ME viral - IVFD NaCl
melantur, (kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
nyeri berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
perut TD: 110/80 3. Transaminitis 5mg IM (k/p
N: 90 gelisah)
RR: 20 PO:
Tax: 37.7 - acyclovir 5x800
mg
- fluoxetine 10mg
–0–0
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 3x2 mg
- Paracetamol
3x500 mg bila
Tax > 37.5˚C
14/03/17 GCS: 456 1. ME viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. GMO 0.9% 20 tpm
berubah) - Inj. Zyprexa
TD: 120/90 5mg IM (k/p
N: 88 gelisah)
RR: 20 PO:
Tax: 36.3 - acyclovir 5x800
mg
- fluoxetine 10mg
–0–0
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- Paracetamol
3x500 mg bila
Tax > 37.5˚C
15/03/17 - GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME viral - Inj. Zyprexa
TD: 130/80 3. Transaminitis 5mg IM (k/p
N: 90 gelisah)
RR: 20 PO:
Tax: 36.7 - acyclovir 5x800
mg
- fluoxetine 10mg
–0–0
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- Paracetamol
3x500 mg bila
Tax > 37.5˚C
16/03/17 Bicara GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
melantur (kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME viral - Inj. Zyprexa
TD: 130/100 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 90 gelisah)
RR: 20 PO:
Tax: 36.5 - acyclovir 5x800
mg
- fluoxetine 10mg
–0–0
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- Paracetamol
3x500 mg bila
Tax > 37.5˚C
17/03/17 - GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME viral - Inj. Zyprexa
TD: 120/80 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 84 gelisah)
RR:20 PO:
Tax: 36.5 - acyclovir 5x800
mg
- fluoxetine 10mg
–0–0
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- Paracetamol
3x500 mg bila
Tax > 37.5˚C
18/03/17 - GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME viral - Inj. Zyprexa
TD: 120/80 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 80 gelisah)
RR: 20 PO:
Tax: 36.5 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 1x1mg
- Risperidone
2x0.5mg
19/03/17 - GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 110/70 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 84 gelisah)
RR: 20 PO:
Tax: 36.3 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 1x1mg
- Risperidone
2x0.5mg
20/03/17 GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 110/80 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 88 gelisah)
RR: 18 PO:
Tax: 36.5 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 1x1mg
- Risperidone
2x0.5mg
21/03/17 - GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 110/70 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 82 gelisah)
RR: 18 PO:
Tax: 36.5 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 1x1mg
- Risperidone
2x0.5mg
22/03/17 - GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 120/70 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 84 gelisah)
RR: 19 PO:
Tax: 36.6 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 1x1mg
- Risperidone
2x0.5mg
23/03/17 - GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 110/80 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 85 gelisah)
RR: 18 PO:
Tax: 36.5 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 1x1mg
- Risperidone
2x0.5mg
24/03/17 GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 120/70 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 84 gelisah)
RR: 19 PO:
Tax: 36.6 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 1x1mg
- Risperidone
2x0.5mg
25/03/17 - GCS: 456 1. ME Viral - IVFD NaCl
(kesadaran 2. Delirium dt 0.9% 20 tpm
berubah) ME Viral - Inj. Zyprexa
TD: 110/70 3. Transaminitis 10mg IM (k/p
N: 86 gelisah)
RR: 10 PO:
Tax: 36.7 - acyclovir 5x800
mg
- clozapine 0 –
12.5mg – 25mg
- THD 1x1mg
- Risperidone
2x0.5mg
BAB IV
PEMBAHASAN

IV.1 Penegakan Diagnosis


Encephalitis dengue merupakan salah satu komplikasi dari demam berdarah
dengue yang tidak lazim. Gejala yang timbul pada encephalitis dengue yaitu berupa
demam tinggi, gejala akut keterlibatan cerebral, munculnya antibodi IgM anti-dengue
atau material genomik dengue pada serum dan/atau cairan cerebrospinal. Pada
pemeriksaan penunjang dapat dijumpai peningkatan kadar transaminase
(SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang. Pada pasien terjadi nyeri kepala dan
gangguan kesadaran. Dari pemeriksaan penunjang terdapat penigkatan SGOT dan
SGPT, antibodi IgM anti-dengue yang positif, dan peningkatan protein serta kadar
glukosa yang normal pada lumbal pungsi pada pasien.

Encephalitis terkait infeksi virus dengue hanya bersifat sementara. Setelah


kondisi vital pasien stabil, encephalitis akan menghilang. Untuk memastikan
terjadinya encephalitis terkait virus dengue, infeksi virus dengue harus diatasi
terlebih dahulu.
Pada anamnesis pasien didapatkan bahwa terdapat keluhan demam tinggi,
nyeri sendi, dan juga pasien dikeluhkan suka marah-marah dan berbicara sendiri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali per
menit, respirasi 20 kali permenit, dan suhu axilla 37.8˚C. Adanya subfebris pada
pasien menandakan gejala infeksi, didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium
berupa peningkatan kadar SGOT dan SGPT yang signifikan serta antibodi IgM anti-
dengue yang positif, mengindikasikan bahwa pasien terinfeksi virus dengue. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan ditemukan pembesaran liver pada perkusi abdomen,
peningkatan tonus pada ekstremitas atas, kaku kuduk, dan perubahan kesadaran
serta perilaku mengindikasikan bahwa terjadi keterlibatan meningo-encephalon dan
infeksi virus dengue.
Pada anamnesis demam berdarah dengue biasanya ditemukan demam 2-7
hari yang timbul mendadak tinggi, terus menerus, dan bifasik, manifestasi
perdarahan baik spontan seperti peteki, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan
gusi, hematemesis, dan atau melena maupun uji tourniquet positif, nyeri kepala,
myalgia, atralgia, nyeri retro orbital, dijumpai kasus DBD di lingkungan sekitar.
Pasien memiliki riwayat demam sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
muncul mendadak dan tinggi terus menerus. Demam sempat turun dengan obat
penurun panas, namun naik kembali. Keluhan ini sesuai dengan salah satu kriteria
klinis DBD yaitu demam mendadak tinggi dan terus menerus yang terjadi 2-7 hari
dimana demam yang terjadi pada penderita DBD merupakan gejala sistemik yang
diakibatkan pelepasan mediator-mediator inflamasi terhadap viremia. Pada saat
pasien MRS di RSSA, demam sudah tidak terlalu tinggi (subfebris) dengan
temperatur axilla 37.8˚C karena pasien sebelumnya telah dirawat di RSUD Pasuruan
dan mendapatkan terapi antipiretik injeksi, serta rehidrasi.
Pemeriksaan penunjang merupakan salah satu cara dalam membantu
menegakkan diagnosis demam berdarah dengue dimana jenis pemeriksaan
penunjang yang sering dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan serologi. Untuk menegakkan kriteria demam berdarah dengue, pada
pemeriksan penunjang harus memenuhi kriteria trombositopenia dan peningkatan
hematokrit ≥20%. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap yang
pertama saat awal masuk ke RSUD Pasuruan, didapatkan bahwa trombosit pasien
76.000 sel/mm3dan hematokrit 40,6%.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien
didiagnosis dengan suspek encephalitis dengue. Hal ini dilihat dari anamnesis
pasien yaitu pasien mengeluhkan demam yang tidak kunjung mereda, disertai
dengan nyeri kepala, nyeri sendi, dan juga pasien dikeluhkan keluarganya suka
bicara sendiri dan suka marah-marah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu
subfebris, pembesaran liver pada perkusi, kaku kuduk, peningkatan tonus pada
ekstremitas atas, serta peningkatan refleks fisiologis pada tendon biceps kanan dan
kiri. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan trombositopenia, peningkatan kadar
SGOT dan SGPT, serta antibodi IgM anti dengue yang positif, serta peningkatan
protein serta kadar glukosa yang normal pada lumbal pungsi pasien.

IV.2 Penatalaksanaan
Pada encephalitis dengue dapat ditemukan demam, gejala akut keterlibatan
cerebral, munculnya antibodi IgM anti dengue atau material genomik dengue pada
serum dan/atau cairan cerebrospinal. Tatalaksana encephalitis dengue meliputi
pemberian acyclovir dan terapi supportif. Pemberian acyclovir (10 mg/kg setiap 8
jam selama 14-21 hari) terbukti lebih efektif bila dibandingkan vidarabine
(15mg/kg/hari) dalam meningkatkan tingkat keselamatan. Acyclovir merupakan
terapi yang aman pada encephalitis viral. Acyclovir mempunyai waktu paruh yang
relatif singkat pada plasma dan diberikan secara intravena 10mg/kg setiap 8 jam
pada orang dewasa (dosis harian total 30 mg/kg). Lebih dari 80% acyclovir di
sirkulasi diekskresikan di urin, gangguan renal dapat mempercepat presipitasi
toksiksitas acyclovir dan dosis therapeutik harus disesuaikan dengan klirens ginjal.

Pada pasien ini, diberikan terapi per oral acyclovir 5x800 mg selama 21 hari,
dengan tambahan terapi supportif lainnya seperti infus NaCl 0,9% 20 tetes per
menit, clozapine 12,5 mg - 12,5 mg – 25 mg, THD 2 x 2 mg. Selain itu, pasien harus
terus dipantau vital sign, warning sign, dan balance cairan serta melakukan
pemeriksaan darah lengkap untuk memantau trombosit dan hematokrit setiap 12
jam.
BAB V
KESIMPULAN

Pasien perempuan, usia 24 tahun ini merupakan rujukan dari RSUD


Pasuruan dengan diagnosis dengue fever dan gangguan mental organik. Pasien
datang ke UGD RSSA dikeluhkan pasien suka marah-marah dan suka berbicara
sendiri 4 hari sejak demam.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya demam subfebris, pembesaran
liver, kaku kuduk, peningkatan tonus pada ekstremitas atas, serta peningkatan
refleks fisiologis pada tendon biceps kanan dan kiri.
Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan kimia darah. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya
trombositopenia dan antibodi IgM anti dengue yang positif.
Diagnosis pada pasien ini, yaitu suspek encephalitis dengue karena pada
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang sesuai dengan tanda
dan gejala pada encephalitis dengue.
Untuk tatalaksanaanya, pasien diberikan obat antiviral acyclovir 5x800 mg
selama 21 hari, dengan tambahan terapi supportif lainnya seperti infus NaCl 0,9%
20 tetes per menit, clozapine 12,5 mg - 12,5 mg – 25 mg, THD 2 x 2 mg . Rencana
monitoring pada pasien, yaitu monitoring darah lengkap, tanda vital, balance cairan,
dan produksi urin.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Dengue guidelines for diagnosis, treatment prevention and control.


New edition 2009.
2. Sumarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Buku ajar
infeksi & Pediatri Tropis edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2011; 155-81.
3. Karyanti MR, Hadinegoro SR. Perubahan epidemiologi demam berdarah
dengue di Indonesia. Sari Pediatri 2011; 10: 424-32.
4. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak edisi 2. Jakarta, EGC
2008; 122-49.
5. Solomon T, Dung NM, Vaughn DW, Kneen R, Thao LT, Raengsakulrach B,
dkk. Neurological manifestations of dengue infection. Lancet 2012; 355: 1053-
9.
6. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Guidelines for dengue hemorrhagic fever
case management. WHO collaborating centre for case management of
Dengue DHF/DSS and Queen Sirikit National Institute of Child Health
(Children’s Hospital). Bangkok medical publisher 2014.
7. Cam BV, Fonsmark L, Hue NB, Phuong NT, Poulsen A, Heegaard ED.
Prospective case-control study of encephalopathy in children with dengue
hemorrhagic fever. Am J Trop Med Hyg 2011; 65: 848-51.
8. Mendez A, Gonzalez G. Abnormal clinical manifestations of dengue
hemorrhagic fever in children. Biomedica 2012;26:61-70.
9. Hendarto S, Hadinegoro SR. Dengue encephalopathy. Acta Paediatr Jpn
1992; 34:350-7. 10. Deen J, Harris E, Wills B. The WHO dengue classification
and case definitions: time for a reassessment. Lancet 2011;368:170-3.
10. Tripathi P, Kumar R, Tripathi S, Tambe J, Venkatesh V. Descriptive
epidemiology of dengue transmission in Uttar Pradesh. Indian Pediatr J
2012;45:315-8.

11. Varatharaj, A. Encephalitis in the clinical spectrum of dengue infection. United


Kingdom; Neuropathology Group Oxford University; 2010; 585-591.
12. Rahadinegoro, SR, Ismoedijanto M dan Alex C. Pedoman diagnosis dan tata
laksana infeksi virus dengue pada anak. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014.
13. Kamath, SR and Ranjit, S. Clinical features, complications and atypical
manifestations of children with severe forms of dengue hemorrhagic fever in
South India. Indian Journal of Pediatrics vol 73. Pg 889-95. 2006.
14. Sohler MP, Rosadas C, Castro MJC. Neurological complications in dengue
infection: a review for clinical practice. Rio de Janiero. 2013: 71(9-B): 667-
671.
15. Varma C, Bhat RY. 2013. Meningitis as primary presentation of dengue
infection. Manipal, Karnataka, India. 2013; 3(1): 39.
16. Sanchez,et al. Cerebellar hemorrhage in a patient during the convalescent
phase of dengue fever. J Stroke. 2014 ;3 : 202–204.Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4200593/ pada 9 September
2015.
17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi penatalaksanaan kejang
demam. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016;1:1-2.
18. Lardo, S. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit. Sub
SMF/ Devisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD
Gatot Subroto, Jakarta. Indonesia. CDK-208/vol.40 no 9,th. 2013.
19. Sumamemo SP, Herry G, Sri RS, Hindra IS, editors. 2010. Edisi ke-2. Buku
ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
20. Kalayanaroo S. Clinical manifestations and management of
dengue/DHF/DSS. Tropical Medicine and Health. 2011;39(4):83-87.
21. Tropical Medicine and Health Vol. 39 No. 4 Supplement, 2011. The Japanese
Society of Tropical Medicine. Review TMH Clinical Manifestations and
Management of Dengue/DHF/DSS.

Anda mungkin juga menyukai