[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
257 tayangan15 halaman

Demam Berdarah Dengue

Dokumen tersebut membahas tentang demam berdarah dengue (DBD) yang disebabkan oleh virus dengue. DBD ditandai dengan gejala demam, nyeri otot dan sendi, serta tanda-tanda perdarahan. Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Pada infeksi ulang dengan serotipe yang berbeda, dapat menyebabkan manifestasi klinis yang lebih berat seperti demam berdarah. Patofisiologi DBD meliputi peningk

Diunggah oleh

Dirga Iswara
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOC, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
257 tayangan15 halaman

Demam Berdarah Dengue

Dokumen tersebut membahas tentang demam berdarah dengue (DBD) yang disebabkan oleh virus dengue. DBD ditandai dengan gejala demam, nyeri otot dan sendi, serta tanda-tanda perdarahan. Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Pada infeksi ulang dengan serotipe yang berbeda, dapat menyebabkan manifestasi klinis yang lebih berat seperti demam berdarah. Patofisiologi DBD meliputi peningk

Diunggah oleh

Dirga Iswara
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOC, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 15

Demam Berdarah Dengue

A. Pendahuluan
Demam dengue ( dengue fever, selanjutnya disingkat DF) adalah penyakit
yang terutama terdapat pada anak remaja atau dewasa, dengan tanda-tanda klinis
demam nyeri otot atau dan nyeri sendi yang disertai leucopenia, dengan/tanpa
ruam (rash) dan limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri
pada pergerakan bola mata, rasa mengecap terganggu, trombositopenia ringan dan
bintik-bintik perdarahan (petekie) spontan.
Demam berdarah dengue (dengue hemoragic fever (DHF)) ialah penyakit
yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan
sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniquet akan
positif dengan/tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan seperti
petekie spontan yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epistaksis, hematemesis,
melena, trombositopenia, masa perdarahan dan masa protrombin memanjang,
hematokrit meningkat dan gangguan maturasi megakariosit. Sindrom rejatan
dengue adalah penyakit DHF yang disertai rejatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi

B. Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke 18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokel koorts)1. Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Sejak
tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis
yang berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina1. Dan pada tahun 1954
Qiuntos dan kawan-kawan di Manila menemukan DBD yang menyerang pada
anak-anak2. Kemudian hal ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam,
Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya
dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi1, akan tetapi kepastian
serologik baru diperoleh pada tahun 1972.
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas pejamu, kepadata vektor nyamuk, transmisi virus
dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200
kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa1,3. Insidince rate meningkat
dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27
per 100.000 penduduk1. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh
iklim dan kelembaban udara. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban
tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda
untuk setiap tempat.

C. Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus , famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 . Di Indonesia serotipe
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang
menunjukkan manifestasi klinik yang berat4,5 .Di indonesia vektor utamanya
adala nyamuk Aedes aegypti, di samping itu pula ada nyamuk Aedes albopictus.
Vektor ini bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih dan tawar seperti bak
mandi, drum penampungan air, kaleng bekas, dan lainnya.
D. CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesienesis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang banyak berperan.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period)
sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan berikutnya. Virus
dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian
transmission), namun peranannya dalam virus tidak terlalu penting. Sekali virus
dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Didalam tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Tidak semua orang yang digigit nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus
dengue, akan terserang penyakit demam berdarah. Orang yang mempunyai
kekebalan yang cukup terhadap virus dengue, tidak akan terserang penyakit ini,
meskipun dalam darahnya terdapat virus itu6. Sebaliknya pada orang yang tidak
mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue, dia akan sakit demam
ringan atau bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi disertai perdarahan bahkan
syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya.
Ada 2 teori tentang terjadinya manifestasi yang lebih berat itu yang
dikemukakan oleh pakar demam berdarah dunia.
1. Teori infeksi primer/teori virulensi : yaitu munculnya manifestasi itu
disebabkan karena adanya mutasi dari virus dengue menjadi lebih virulen.
2. Teori infeksi sekunder : yaitu munculnya manifestasi berat bila terjadi infeksi
ulangan oleh virus dengue yang serotipenya berbeda dengan infeksi sebelumnya.
E. PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali mungkin memberi gejala DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi
yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan
tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang
berlainan. Berdasarkan hal ini timbullah yang disebut dengan the secondary
heterologous infection atau the sequential infection hypothesis yang dianut oleh
sebagian besar pakar dewasa ini. Hipotesis ini menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi bila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali, mendapat
infeksi berulang virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu
reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-
antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi.
Terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah dapat
mengakibatkan beberapa hal, yaitu yang pertama, kompleks virus-antibodi akan
mengaktivasi sistem komplemen, yang berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a
dan C5a. C5a menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah
dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang
amat berperan dalam terjadinya renjatan.
Kemudian yang berikutnya yang kedua, timbulnya agregasi trombosit yang
melepaskan ADP akan mengalami kerusakan metamorfosis akan dimusnahkan
oleh sistem retikuloendotelial dengan akibat trombositopenia hebat dan
perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif
(histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler dan
melepaskan trombosit faktor 3 yang merangsang koagulasi intravaskular.
Yang ketiga ialah,terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan
akibat akhir terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses
aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam
pembentukan anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation
product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan
dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.
F. PATOFISIOLOGI
Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan
dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal
seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang
mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-
kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti
pembuluh darah di bawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan DF dengan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler
karena penglepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem
kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Hal ini berakibat
mengurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari saat permulaam demam dan mencapai puncaknya pada saat renjatan.
Pada pasien dengan renjatan berat volume plasma dapat menurun sampai lebih
dari 30 %.
Kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu rongga peritoneum, pleura dan
perikard yang pada autopsi ternyata melebihi jumlah cairan yang telah diberikan
sebelumnya melalui infus. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat dari
kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan,
asidosis metabolik dan kematian.
Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastis setelah
pemberian plasma/ekspander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsi tidak
ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang,
menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional pembuluh darah mungkin
disebabkan mediator farmakologis yang bekerja singkat. Sebab lain kematian
pada DBD adalah perdarahan hebat, yang biasanya timbul setelah renjatan
berlangsung lama dan tidak teratasi. Perdarahan pada DBD umumnya
dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan
sistem koagulasi.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit
muda dalam sum-sum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan
dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Penyidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadinya dalam sistem
retikuloendotelial.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan
sistem koagulasi disebabkan di antaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya
memang terbukti terganggu oleh aktivasi sistem koagulasi. Masalah terjadi
tidaknya DIC pada DBD/DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat,
sejak lama telah menjadi perdebatan.
Telah dibuktikan bahwa DIC secara potensial dapat terjadi juga pada pasien
DBD tanpa renjatan. Dikatakan pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol
dibandingkan dengan perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan
terjadinya asidosis dan renjatan, maka renjatan akan memperberat DIC sehingga
perannya akan menonjol.

G. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis amat bervariasi, dari yang amat ringan (silent dengue
infection) hingga yang sedang seperti DF, sampai ke DBD dengan manifestasi
demam akut, perdarahan serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat
berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari10.
Pada DF, suhu meningkat tiba-tiba, disertai sakit kepala, nyeri yang hebat
pada otot dan tulang (break bone fever), mual, kadang-kadang muntah dan batuk
ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supraorbita atau
retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila tendon dan otot perut
ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva,
lakrimasi dan fotofobia. Otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam
(intial rash) terlihat jelas pada muka dan dada, berlangsung selama beberapa jam
dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien. Ruam berikutnya (terminal rash)
mulai antara hari ke 3-6, mula-mula berbentuk makula-makula besar yang
kemudian timbul bercak-bercak petechiae pada dasarnya. Hal ini terlihat pada
lengan dan kaki, kemudian menjalar cepat ke seluruh tubuh. Pada saat suhu turun
ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang-
kadang terasa gatal.
Pada sebagian pasien ditemukan kurva suhu yang bifasik (saddle back fever).
Pemeriksaan fisis pasien DF hampir tidak ditemukan kelainan. Nadi pasien mula-
mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5.
Bradikardia dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Lidah sering kotor dan kadang-kadang pasien sukar buang air besar,
terkadang dapat diraba pembesaran kelenjar yang konsistensinya lunak dan tak
nyeri. Pada pasien DBD, gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa
petechiae, purpura, ekimosis, hematemesis, melena dan epiktasis. Hati umumnya
membesar dan nyeri tekan, tetapi pembesaran hati tidak sesuai dengan beratnya
penyakit dan tidak dijumpai ikterus.
Beberapa negara dijumpai pula pembesaran limpa pada 4-5 % pasien. Pada
pasien DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang teraba lembab dan dingin,
sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan, dan
kaki serta dijumpai pula penurunan tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi pada
waktu demam atau saat demam turun antara hari ke-3 dan hari ke-7 penyakit. Bila
tatalaksana renjatan tidak sempurna, pasien dapat jatuh kedalam keadaan
irreversible shock.
Pada awal perjalanan penyakit, DBD dapat menyerupai kasus DF dengan
kecenderungan perdarahan dengan satu manifestasi klinis atau lebih, yaitu :
• Uji tourniquet positif
• Petechiae, ekimosis atau purpura
• Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarah gusi)
• Hematemesis atau melena
• Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000 mm3)
• Hemokonsentrasi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dengan
manifestasi satu atau lebih, yaitu :
- Peningkatan hematokrit > 20 % dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin
- Penurunan hematokrit > 20 % setelah mendapatkan pengobatan cairan
- Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia
- Demam pada DBD berlangsung 2-7 hari, kemudian turun secara cepat.
Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi hingga 40ºC dan dapat dijumpai
kejang demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD, oleh
karena fase tersebut merupakan fase kritis pada DBD, oleh karena fase
tersebut dapat merupakan awal penyembuhan tetapi dapat pula sebagai
awal fase syok.

H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
 Trombositopenia
Pada DBD penurunan jumlah trombosit menjadi < 100.000 /mm3 atau
kurang dari 1-2 trombosit /LPB dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada
10 LPB, pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan
hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit < 100.000 /mm3,
biasanya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai ketujuh.
 Kadar hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi selalu dijumpai pada
DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma;
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan Ht secara berkala. Pada umumnya
penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi
dengan peningkatan hematokrit 20 % atau lebih (misalnyadari 35 % menjadi
42 %), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan
plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh
penggantian cairan atau perdarahan.

 Jumlah leukosit
Jumlah leukosit dapat normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi
sel neutrofil.
Pemeriksaan laboratorium lain
• Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara.
• Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan.
• Hemoglobin akan menurun terutama pada perdarahan masif
• Pada sebagian besar kasus, disertai penurunan faktor koagulasi dan fibrinolitik,
yaitu fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII dan antitrombin III.
• Pada kasus berat dijumpai disfungsi hati, dijumpai penurunan kelompok vitamin
K-dependent, protrombin seperti faktor V, VII, IX dan X.
• Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang.
• Penurunan α-antiplasmin (α-plasmin inhibitor) hanya ditemukan pada beberapa
kasus.
- Serum komplemen turun.
- Hipoproteinemia.
- Hiponatremia.
- Serum aspartat aminotransferase sedikit meningkat.
- Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen pada syok
yang berkepanjangan.
- Pada air seni mungkin ditemukan albuminuria ringan13.
Pada pemeriksaan laboratorium sum-sum tulang, pada awal sakit biasanya
hiposelular, kemudian menjadi hiperselular pada hari ke-5 dengan gangguan
maturasi sedangkan pada hari ke-10 biasanya sudah kembali normal untuk semua
sistem
I. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
Kriteria klinis Demam Dengue (DF)
1. Suhu badan yang tiba-tiba meninggi
2. Demam yang berlangsung hanya beberapa hari
3. Kurva demam yang menyerupai pelana kuda
4. Nyeri tekan terutama diotot-otot dan persendian
5. Adanya ruam-ruam pada kulit
6. Leukopenia
Kriteria diagnosis DBD (WHO, 1986)
Kriteria Klinis
a) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari
b) Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji touniquet positif, petechiae,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena
c) Pembesaran hati
d) Syok, ditandai nadi cepat atau lemah serta penurunan tekanan nadi hipotensi,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah

Kriteria Laboratoris
a) Trombositopenia (100.000 /mm3 atau kurang)
b) Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20 % atau lebih,
menurut standar umum dan jenis kelamin

Diagnosis ditegakkan bila didapatkan 2 atau lebih gejala klinis disertai


trombositopenia dengan atau tanpa hemokonsentrasi. Efusi pleura dan atau
hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan
atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, adanya peningkatan hematokrit dan
adanya trombositopenia mendukung diagnosis DBD.
Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis dan
pemeriksaan fisis serta hasil pemeriksaan Hb, Ht, dan jumlah trombosit.
Indikasi rawat penderita DBD dewasa pada seleksi pertama ialah :
1. DBD dengan syok atau tanpa perdarahan
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan :
a) Hb, Ht normal dengan trombositopenia < 100.000 / mm3
b) Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia < 150.000 / mm3
Pada kasus yang meragukan untuk sementara penderita tetap diobservasi di IGD
dengan ajuran minum yang banyak, serta diberikan infus Ringer Laktat sebanyak
500 cc dalam empat jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht, dan
trombosit.
Penderita dirawat apabila didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/ mm3
2. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia kurang dari 150.000 / mm3

J. Derajat Penyakit DBD


Derajat Penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat :
Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji torniquet.
Derajat II : seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain.
Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak
tampak gelisah.
Derajat IV : syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
Adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi membedakan DBD derajat I/II
dengan DF. Pembagian derajat penyakit dapat juga dipergunakan untuk kasus
dewasa.

K. Diagnosis Laboratorium
Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di
laboratorium dengan cara, isolasi virus,deteksi antigen virus atau RNA dalam
serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologik yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yaitu :
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (haemagglutination Inhibition test = HI test)
2) Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test = CF test)
3) Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test)
4) IgM Elisa (Mac Elisa)
5) IgG Elisa

DIAGNOSIS BANDING
1. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri,
virus, atau infeksi parasit, seperti ; demam tifoid, campak, influenza, demam
chikungunya, leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas
disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakti
lain.
2. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC).
Perdarahan sepeti petechiae dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi seperti sepsis, meningitis, menigokokus. Pada sepsis, sejak semula
pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda
infeksi. Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel
polimorfonuklear (pergeseran kekiri pada hitung jenis). Pemeriksaan LED
dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada
meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan
kelainan pada pemeriksaan LCS.
3. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan dibawah kulit.
Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD,
tetapi pada ITP demam cepat menghilang, (pada ITP bisa tidak disertai
demam) tidak disertai leukopenia, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak
dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan
DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal dari pada ITP.
4. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik.pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat
anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sum-sum tulang akan memperjelas
diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul
karena adanya infeksi sekunder. Pada pemeriksaan darah ditemukan
pansitopenia. Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks
dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan
plasma.

L. PENATALAKSANAAN
Pada DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DF bersifat
simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah,
atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Pasien juga sebaiknya diberikan
makan-makanan lunak dengan tinggi kalori dan tinggi protein.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke
3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena.
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu, maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma
yang hilang. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan
untuk kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48
jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan
jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Dan diuresis pasien harus diawasi.
Jenis cairan yang direkomendasikan oleh WHO yaitu :
KRISTALOID
• Larutan Ringer Laktat (RL)
• Larutan Ringer Asetat (RA)
• Larutan Garam faali (GF)
• Dekstrosa 5 % dalam RL (D5/RL)
• Dekstrosa 5 % dalam RA (D5/RA)
• Dekstrosa 5 % dalam ½ larutan garam faali (D5/½ GF)
Catatan : untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran

KOLOID
• Dekstran 40
• Plasma
• Albumin

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/DSS,


maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD
berat. Apabila tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana
pasien akan menjadi semakin kompleks.
Pemberian darah segar dapat diberikan, dimaksudkan untuk mengatasi
pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor
pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk
pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat
dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.

M. PROGNOSIS
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD/DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Dan prognosis DBD akan lebih berat apabila disertai
penyakit lain seperti diabetes, asma bronkhiale, thallasemia, kehamilan, demam
tifoid, bronkopneumonia, kelainan pembekuan darah, DIC dsb.

Anda mungkin juga menyukai