[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
68 tayangan37 halaman

DBD

Dokumen tersebut membahas tentang etiologi, epidemiologi, dan patogenesis demam dengue dan demam berdarah dengue. Etiologinya adalah virus dengue yang memiliki 4 serotipe utama dan menular melalui gigitan nyamuk Aedes. Epidemiologinya meningkat sejak tahun 1950-an di berbagai negara termasuk Indonesia. Patogenesisnya terkait hipotesis infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan syok.

Diunggah oleh

bismoo
Hak Cipta
© Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOC, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
68 tayangan37 halaman

DBD

Dokumen tersebut membahas tentang etiologi, epidemiologi, dan patogenesis demam dengue dan demam berdarah dengue. Etiologinya adalah virus dengue yang memiliki 4 serotipe utama dan menular melalui gigitan nyamuk Aedes. Epidemiologinya meningkat sejak tahun 1950-an di berbagai negara termasuk Indonesia. Patogenesisnya terkait hipotesis infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan syok.

Diunggah oleh

bismoo
Hak Cipta
© Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOC, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 37

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Etiologi Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat di temukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia , pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. 1.2 Cara Penularan Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari ( extrinsic incubation period) sebelum ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmision), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan

berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (intrinsik incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. 1.3 Epidemiologi Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter kebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan kematian yang sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100.000

penduduk pada tahu 1969 menjadi berkisar antara 627 per 100.000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang tinggi. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April Mei setiap tahun. 1.4 Patogenesis Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang kontroversif. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teory secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetraliasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

Patogenesis

terjadinya

syok

berdasarkan

hipotesis

terhadap

secondary

heterologus infection yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigenantibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivitas sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivitasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian. Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengan seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratories.

Secondary heterologous dengue infection Replikasi virus Kompleks virus antibodi Aktivasi komplemen Anafilatoksin (C3a, C5a) Permeabilitas kapiler meningkat Kompleks virus antibodi Perembesan plasma hipovolemi syok anoksia Meninggal asidosis komplemen Histamin dalam urin meningkat Anamnestic antibody response

Gambar 1 : Patogenesis terjadinya syok pada DBD


Sumber : Suvatte, 1977

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi, selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADB (adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticuloendothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Secondary heterologous dengue infection Replikasi virus Kompleks Virus antibody Agregasi trombosit Penghancuran Trombosit oleh RES Trombositopenia Aktivasi koagulasi Pengeluaran Platelet factor III Koagulapati Konsumtif Penurunan faktor Pembekuan Aktiva komplemen plasma Anamnestic antibody

Aktivasi faktor Hagemann Sistem Kinin Kinin FDP Meningkat Peningkatan permeabilitas kapiler Syok Anafilatoksin

Gangguan (Fungsi Trombosit)

Perdarahan masif

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD


Sumber : Suvatte, 1977

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

1.5 Strategi Pengobatan Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, transfusi darah, dan obatobatan lain dilakukan atas indikasi yang tepat.

BAB II DEMAM DENGUE (DD) DAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

SPEKTRUM KLINIS Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik ( undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD) Gambar 3 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue Infeksi Virus Dengue Asimtomatik Demam tidak spesifik Perdarahan (-) DD Simtomatik Demam dengue Syok (-) Perdarahan (+) DBD Syok (+) (SSD)

2.1 DEMAM DENGUE Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak, kadangkadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk

makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam halus pada hari ke-6 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan daerah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti: epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, efusi pleura dan asites. 2.2 DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 27 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan , namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrum dan di bawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan pedarahan gusi lebih jarang ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.

Masa kritis dari penyakit pada akhir demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok. Berdasarkan gejalanya, DBD dikelompokkan menjadi 4 tingkatan : Derajat I : demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar. Derajat II : gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi dikulit atau tempat lain. Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah. Derajat IV : syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa, fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. Laboratorium Trombositopeni dan hemokonsentasi merupakan kalangan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hematokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Jumlah hematokrit meningkat paling sedikit 20% di atas rata-rata dengan umur penderita. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemia akibat kebocoran tampak pada biasa ditemukan. Adanya fibinolisis dan gangguan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DPD. Fungsi trombosit juga terganggu asidosis metabolik dan peningkatan BUN.

Ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan beratringannya penyakit. Pada pasien mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral. 2.3 SINDROM SYOK DENGUE (SSD) Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepatlemah, tekanan nadi < 20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadangkadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. Penyulit SSD : penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (overhidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. Defisit Kasus DD/DBD A. Secara Laboratoris 1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue) Apabila, ditemukan demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri kepala, nyeri belakang mata, miagia, artlagia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji H1 1.280 dan atau IgM anti dengue positif atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection.

2. Confirmed DBD (Pasti DBD) Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut: Deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibody > 4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus. B. Secara Klinis 1. Kasus DBD a. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik b. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa : Uji tourniquet positif Petekia, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa, saluran cerna dan tempat bekas suntikan Hematemesis atau melena

c. Trombositopenia < 100.000 / pl d. Kebocoran plasma yang ditandai dengan Peningkatan nilai hematokrit 20% dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin. Peningkatan nilai hematokrit 20% setelah pemberian cairan yang adekuat nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan. 2. SSD Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan: a. Nadi cepat, lemah, tekanan nadi < 20 mmHg perfusi perifer menurun b. Hipotesis, kulit dingin-lembab dan anak tampak gelisah. Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.

BAB III PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan biasa. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristoid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tata laksana DBD dan SSD terletak pada keterampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. 3.1 DEMAM DENGUE(DD) Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam dianjurkan: Tirah baring, selama masih demam Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan Untuk menurunkan suhu menjadi < 390C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/ salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis. Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirup, susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen. pasien

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut, merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera di bawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. 3.2 DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) 1. Ketentuan umum Perbedaan patofisiologik utama antara DD, DBD, SSD dan penyakit lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostatis. Gambaran klinis DBD/dan SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostatis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/ pl atau kurang dari 1-2 trombosit / lpb (rata-rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai

cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terusmenerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/pl. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan SA. 2. Fase Demam Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simpatomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena tidak dapat mengurangi lamanya demam pada DBD. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/ kgBB dalam 4-6 jam pertama. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian sejak awal yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambar derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik

Gambar 4. Tatalaksana Penderita Tersangka Demam Berdarah Dengue Tersangka DBD


Demam Tinggi, mendadak Terus menerus < 7 hari Tidak disertai ISPA Badan lemah/ lesu

Ada kedaruratan
Tanda syok Muntah terus menerus Kejang kesadaran Menurun muntah Darah berak darah

Tidak ada kedaruratan


Periksa uji tourniquet

Uji tourniquet (+) (Rumple leede) Jumlah trombosit > 100.000/ ul Rawat jalan

Uji tourniquet (-) (Rumple leede)

Jumlah trombosit < 100.000/ ul Rawat inap Tata laksana disesuaikan (lihat gambar 3, 4, 5)

Rawat jalan

Minum banyak parasetamol bila perlu, kontrol tiap hari sampai demam turun bila demam menetap periksa Hb, Ht, trombosit

Parasetamol kontrol tiap hari sampai demam mengilang Nilai tanda klinis & jumlah tromboist , Ht, bila masih demam hari sakit ke-3

Bila timbul tanda syok, gelisah, lemah kaki tangan dingin, nyeri perut, berak hitam, kencing berkurang, Hb/ Ht naik dan trombosit turun Segera bawa ke rumah sakit

Gambar 5 Tatalaksana Kasus Tersangka DBD (lanjutan gambar 4) Gejala Klinis : demam 2-7 hari uji tourniquet Positif atau perdarahan spontan Laboratorium : Hematokrit tidak meningkat Trombositopenia (ringan)

Pasien masih dapat minum Beri minum banyak 1-2 liter / hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit. Jenis minuman : air putih, teh manis, sirup, jus buah, sus, oralit. Bila suhu < 38,5 derajat celcius. Beri parasetamol bila kejang beri obat anti konvulsi

Pasien tidak dapat minum Pasien muntah terus menerus

Pasang infus NaCl 0,45% : dekstraso 5% tetesan rumatan sesuai berat badan periksa Hmt, Hb, tiap 6 jam, trombosit tiap 12 jam Monitor gejala klinis dan laboratorium Perhatikan tanda syok. Palpasi hati setiap hari. Ukur diuresis setiap hari. Awasi perdarahan periksa Ht, Hb tiap 6 jam. Trombosit tiap 12 jam

Ht naik dan atau trombosit turun

Perbaikan klinis dan laboratoris

Infus ganti ringer laktat (tetesan disesuaikan, lihat gambar)

Pulang (lihat : Kriteria memulangkan pasien)

Gambar 6 Tatalaksana Kasus DBD Cairan awal


RL / Nacl 0,9% atau RL/ D5%/ NaCl 01,9% + D5% 6-7 ml/ kgBB/jam

Monitor tanda vital / nilai Ht & trombosit tiap 6 jam Perbaikan


Tidak gelisah Nadi kuat Tek. Darah stabil Deuresis cukup ( 1 ml/kgBB/jam) Ht turun (2 x pemeriksaan)

Tidak ada Perbaikan Gelisah }

Distres pernafasan Frek. Nadi naik Ht. Tepat tingi/ naik Tek. Nadi < 20 mmHg Diuresis kurang/ tidak ada

Tanda vital memburuk


Ht meningkat

Tetesan dikurangi Perbaikan

Tetesan dinaikkan 10 ml/kgBB/jam Tidak ada perbaikan

Perbaikan Sesuaikan tetesan

15 ml/kgBB/jam

Tanda vital tidak stabil Diuresis kurang Tanda-tanda syok 3 ml/ kgBB/jam Distres pernafasan Ht naik Ht turun

IVFD stop setelah 24-48 jam Apabila tanda vital/ Ht stabil dan Diuresis cukup

koloid 20-30 ml/kgBB (maksimal 1.500 ml/kali) perbaikan

Transfusi darah 10 ml/ kgBB

Gambar 7 Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue (SSD) SSD Oksigenasi (berikan O2, 2-4 liter/ menit Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis) ringer laktat/ NaCl 0,9% 10-20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit) Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi? Pantau tanda vital tiap 10 menit Catat balans cairan selama pemberian cairan intravena Syok teratasi
Kesadaran membaik nadi teraba kuat.Tekanan nadi > 20 mmHg Tidak sesak nafas/ sianosis Ekstrimitas hangat Diuresis cukup 1 ml/ kgBB/jam

Syok tidak teratasi


Kesadaran menurun Nadi lembut Tekanan nadi < 20 mmHg Distres pernafasan/ sianosis Kulit dingin. Periksa gula darah

Cairan dan tetesan Disesuaikan 10 ml/ kgBB/jam

Lanjutkan cairan 15-20 ml/kgBB/jam Tambahkan koloid/ plasma Dekstran/ FFP 10-20 (max 30) m/kg/BB Koreksi asidosis Evaluasi 1 jam Syok teratasi Syok belum teratasi Ht turun Ht tetap tinggi/ naik koloid

Evaluasi ketat
Tanda vital Tanda perdarahan Diuresis Hb, Ht Trombosit

Stabil dalam 24 jam Tetesan 5 ml/kgBB/jam Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Infus stop tidak melebihi 48 jam

Transfusi darah segar ml/kgBB Dapat diulang sesuai kebutuhan

Gambar 8 Protokol 1 Tersangka Demam Berdarah Dengue Observasi dan Pemberian Cairan di Ruang Observasi
Keluhan DBD : Kriteria WHO Panas 2-7 hari Rumple leede (+) atau Syok (-)
(1)

1 jam sambil menunggu hasil lab

Pemeriksaan Laboratorium Hb Tomb minum banyak

(2) Hb , Ht Tromb .Normal

Hb Ht (Ht Pria) > 45 wanita> 40 tromb


Observasi

Hb / Ht Normal Tromb > 100.000 > 150.000

Hb, Ht Tromb .Normal > 100.000

Hb / Ht Tromb < 150.000

Hb / Ht (n) Tromb N

(2)

PULANG

Observasi

RAWAT

RAWAT

RAWAT

Infus RL 4 jam / kolf

Lihat penatalaksanaan syok


Hb, Ht Tromb < 150.000 Hb, Ht normal Tromb < 100.000

(3)

(4) Hb, Ht normal Tromb, normal

Hb, Ht Tromb, normal

PULANG

Observasi

RAWAT

RAWAT

Infus RL 4 jam / kolf

(4) Hb, Ht normal Tromb, normal

Hb, Ht Tromb, normal

Hb, Ht normal Tromb < 100.000

RAWAT RAWAT

RAWAT

Catatan : 1. * Tatalaksana pasien dengan syok lihat protokol 5 2. Observasi monitor keadaan umum, nadi, pernafasan, diuresis, minimal tiap 4 jam. 3. Pulang Bila hemodinamik baik Bila keadaan memburuk segera kembali ke puskesmas / RS Kontrol ke poliklinik dalam waktu 1 x 24 jam (periksa darah perifer lengkap)

Gambar 9 Protokol 2 DBD Dewasa Tanpa Perdarahan & Tanpa Syok Observasi dan Pemberian Cairan di Ruang Rawat KASUS DBD Perdarahan spontan masif (-) syok (-) Hb, Ht Normal Trombosit > 100-150.000
- Infus RL 4 jam/ kolf - Hb, Ht Trombo tiap 24 jam

Hb, Ht Normal/ meningkat Trombo > 100.000


- Infus RL 4 jam/ kolf - Hb, Ht Trombo tiap 12 jam

24 jam

Hb, Ht Normal Trombosit normal 24 jam stabil

Hb, Ht Normal Trombosit > 100-150.000 - Infus RL 4 jam/ kolf - Hb, Ht Trombo tiap 12 jam

Hb, Ht Normal Trombosit > 100.000 - Infus RL 4 jam/ kolf - Hb, Ht Trombo tiap 12 jam

Klinis kian memburuk Tek. Darah turun, nadi naik, diuresis turun - Infus RL 4 jam/ kolf - Pertimbangan cairan koloid maks 1-1-5 liter/ 24 jam (lihat protokol DBD dengan syok)

Hb, Ht, Trombo normal Hemodinamik baik (24 jam) stabil PULANG 1. Catatan : pulang Bila pasien tidak demam, hemodinamik baik Bila keadaan pasien memburuk harus segera kembali keperawatan Kontrol poliklinik 1 x 24 jam kemudian (periksa darah parefer lengkap) 2. 1 (satu) kolf Ringer laktat (RL) = 500 ml

3. RL 4 jam / kolf = 40 tts/ mnt

Protokol 2 DBD tanpa Perdarahan Masif dan Syok Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif patekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi (ringan) dan tanpa syok di ruang rawat, pemberian cairan Ringer laktat merupkan pilihan pertama. Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%. Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat perinfus sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infus dapat dikurangi dan diberikan cairan infus sampai dengan 2.000 cc/24 jam. Jumlah cairan infus yang diberikan harus diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewas dengan kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien dengan kelainan jantung/ ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan elektrokardiografi merupakan salah satu standar prosedur operasional yang harus dilakukan. Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai turun pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih dari 50.000/pl maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai dikurangi. Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/ pl, sedangkan untuk pasien DBD dewasa dengan jumlah trombosit berkisar 100.000-150.000/pl, pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan dan jumlah urin dilakukan

setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus lebih diperketat. Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena penanganan pasien DSS lebih sulit, dan disertai dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin dan tampak pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam. Gejala di atas merupakan tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut. Tanda-tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dan kecil. Apabila didapatkan tandatanda tersebut pengobatan syok harus segera diberikan. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/Jam) dengan jumlah trombosit < 100.000/pl Pengawasan langsung, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular diseminata (KID) pasien DBD dengan trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit. Pasien dapat dipulang apabila: 1. Keadaan umum/ kesadaran dan hemodinamik baik, serta tidak demam. 2. Pada umumnya Hb, Ht dan jumlah trombosit dalam batas normal serta stabil dalam 24 jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit belum mencapai normal (di atas 50.000) pasien sudah dapat dipulangkan. Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya atau trombosit belum dalam batas normal, maka diminta kontrol di poliklinik dalam waktu 1 x 24 jam atau bila kemudian keadaan umum kembali memburuk agar segera di bawa ke UGD kembali.

Gambar 10 Protokol 3 DBD dengan perdarahan spontan/ masif tanpa syok Observasi dan pemberian cairan di ruang rawat Kasus DBD Dewasa - Perdarahan spontan, masif, syok (-)

- Epistaksis tidak terkendali - Hematemasis melena/ hematoskesia - Perdarahan otak

- Infus RL 4 jam/ kolf - Darah perifer lengkap - Hematasis

KID (+) - Infus RL 4 jam kolf - Heparinsiasi - Transfusi komponan darah o FFP-Tr (Trombo < 100.000) o PRC (Hb < 10 gram %) o Hb , Ht Trombo Tiap 4-6 jam o Ulang Hemostasis 24 jam kemudian Catatan : 1 kolf Ringer laktat (RL) = 500 ml

KID (-) - Infus RL 4 jam kolf - Transfusi komponan darah PRC (Hb < 10 gram%) - Hb, Ht Trombo tiap 4-6 jam - Ulang hemostasis 24 jam kemudian

Protokol 3 DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematematis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuna), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan ringer laktat tetap keadaan seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml setiap 4 jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin. Pemeriksaan Hb, Ht dan tromosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembeuan (PT dan PTT yang memanjang). Packed Red Cell (PRC) diberikan bilai nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl disertai atau tanpa KID. Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase di ulang 24 jam kemudian, sedangkan pada kasus, tanpa KID pemeriksaan hemostase dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD dengan gejala-gejala tersebut di atas, apabila dijumpai di Puskesmas perlu dirujuk dengan infus. Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5 liter/24 jam. Bila tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.

Gambar 11 Protokol 4 Penatalaksanaan DBD Dewasa Dengan syok dan perdarahan spontan DBD derajat III/IV Perdarahan spontan, masif
Epistaksis tidak terkendali Perdarahan otak Hematemesis

Oksigen 2-4 liter/ menit RL 20 ml/kgBB/jam : 30-120 menit Darah perifer lengkap Analisa gas darah Hemostasis

TD nadi diuresis Cairan koloid (plasma ckpander) 10-20 mlkgBB/hari tetesan cepat Max 1 : 1,5 L/ 24 jam RL 4-6 jam / kolf ?? 4 jam / kolf, bila masuk 1 liter ?? 6 jam/ kolf, bila masuk 1,5 liter koloid Bila perlu beri inotropik (+) (Dopamin/dobutamin/epinephrin)

TD sistolik ( > 100 mmHg)

RL 10 ml/kgBB/jam (60-120)

TD, nadi (normal), Diuress

Infus RL 4 jam/ kolf

KID (= DIC) positif - Heparinisasi - Transfusi komponen darah ?? FFP ?? PRC (Hb < 10 g%) ?? TC (Tromb < 100.000) - Hb. Ht Trombo tiap 4-6 jam - Ulangi hemotosis 24 jam kemudian. Keterangan : FFP : Fresh Frozen Plasma PRC : Packed Red Call TC : Thrombocyte concentrate

KID (= DIC) positif - Heparinisasi - Transfusi komponen darah ?? FFP ?? PRC (Hb < 10 g%) ?? TC (Tromb < 100.000) - Hb. Ht Trombo tiap 4-6 jam - Ulangi hemotosis 24 jam kemudian.

Protokol 4 DB dengan svok dan perdarahan spontan Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan pengobatan SSD yang tidak adekuat. Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama yang sebaiknya diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa. Pilihan lainnya adalah NaCl 0,9%. Selain resusitasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-4 liter/ menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit natrium, kalium, klorida serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infus cepat/ guyur) dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor 12), dievaluasi selama 30-120 menit. Syok sebaliknya dapat diatasi segera/ secepat mungkin dalam waktu 30 menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien membaik, kesadaran/ keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam. Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya dapat dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan klinis stabil, maka pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam. Pengawasan dini kemungkinan terjadi syok berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30% dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dn koloid dengan perbandingan 4 : 1 atau 3 : 1 sedangkan bila nilai Ht kurang dari 20 % hendaknya diberikan transfusi sel darah merah (packed red cells).

Apabila pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata syok masih tetap masih belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan koloid. Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel darah merah. Cairan koloid diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang tidak mempengaruhi/ mengganggu mekanisme pembekuan darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-5000 ml dalam 24 jam. Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangannya yaitu: 1. Dekstran 2. Gelatin 3. Hydroxy ethyl starch (HES) Dekstran Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskuler oleh karena akan menarik cairan ekstravaskuler. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10% dekstran 40 dipertahankan selama 3,5-4,5 jam. Kedua larutan tersebut dapat mengganggu mekanisme pembekuan darah dengan cara mengganggu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/ 24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien dengan KID. Gelatin Haemasel dan gelanfundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanisme pembekuan darah.

Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5 ; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonomik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonoik dan hiponkotik. Efek volume 6% 10% HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selaam 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500 cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain ringer laktat juga dapat diberikan obat-obatan vasopressor seperti dopamin, dobutamin, atau epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID, maka heparin dan transfusi kompunen darah diberikan sesuai dengan indikasi seperti tersebut diatas. Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam . Pemeriksaan hemostatis ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam kemudian sejak dimulainya pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa KID, pemeriksan hemostasis ulangan hanya dilakukan bila masih terdapat perdarahan. Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.

Gambar 12 Protokol 5 Penatalaksanaan DBD Dewasa Dengan Syok Tanpa Perdarahan DBD Std III/IV/syok tanpa pendarahan spontan
- Oksigen 2-4 liter/ menit - Infus RL 20 ml/kgBB/jam - Periksa darah perifer lengkap - Analisa gas darah - Hemotasis

TD nadi diuresis Cairan koloid (plasma ekpander) 10-20 ml/kgBB/hari tetesan cepat Max : 500 ml/ 2 jam

TD sistolik (100 mmHg)

RL 10 ml/kgBB/jam (60-120) 1-1,5 liter / 24 jam

RL 4-6 jam/kolf Bila perlu vasopressor (Dopamin/Dobutamin/Epineprin) Hb, Ht, Tromb, Tiap 6 jam (pasca syok)

TD, Nadi (normal) diuresis

RL 4 jam / kolf Hb, Ht, Tromb 6 jam (pasca syok)

Protokol 5 DBD dewasa dengan syok tanpa perdarahan Pada prinsipnya pelaksanaan protokol 5 ini sama dengan protokol 4 hanya pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium (Hb, Ht, trombosit) perlu dilakukan secara teliti dan seksama untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi disertai dengan KID, maka pemberian heparin dapat diberikan seperti pada protokol 4. Tetapi bila tidak didapatkan tanda-tanda perdarahan, walaupun hasil pemeriksaan hemostasis menunjukkan adanya KID, maka heparin tidak diberikan, kecuali bila ada perkembangan ke arah perdarahan.

BAB V TRANSFUSI TROMBOSIT

Seseorang yang menderita demam berdarah mengalami perubahan permeabilitas pembuluh darah. Dinding pembuluh darah penderita menjadi mudah ditembus cairan tubuh. Aklbatnya air dari pembuluh darah akan masuk ke dalam jaringan. Pembuluh darah pun menjadi kekurangan oksigen. Bila berlanjut penderita bisa mengalami syok, yang bisa mengiringi pasien ke arah kematian. Dalam kasus ini, mengatasinya bukan dengan transfusi darah atau komponen darah, khususnya trombosit. Pasien cuma mengalami kekurangan cairan sehimgga penanganannya dengan memberikan infus cairan elektrolit. Cairan ini berfungsi untuk mengencerkan darah sehingga darah tidak pekat dan oksigen mudah dialirkan. Komponen darah yang bertugas mengalirkan oksigen itu adalah eritrosit. Sementara trombosit sebagai pencegah pendarahan, leukosit umtuk pertahanan hidup dan plasma untuk pembekuan darah. Demam berdarah juga bisa menyebabkan penurunan jumlah trombosit dalam darah. Penurunan trombosit ini biasanya terjadi pada hari ke 4-5. penurunan berlangsung 3-4 hari. Namun jumlah trombosit akan meningkat kembali setelah pasien diberi cairan dalam jumlah yang cukup. Dan setelah sembuh jumlah trombosit darah bisa normal kembali dengan cepat. Dengan demikian transfusi trombosit tidak diperlukan. Resiko yang muncul dari penurunan trombosit memang tergantung pada tingkat keparahan penurunannya. Bila jumlah trombosit kurang dari 60.000, pasien mempunyai resiko terjadinya pendarahan. Kurang dari 20.000 resikomya berupa pendarahan tibatiba. Lebih rendah dari 50.000 resiko paling tinggi yakni pendarahan otak. WHO menyatakan transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/Jam) dengan jumlah trommbosit < 100.000/pl Pengawasan langsung, dengan atau tanpa koagulasi

intravaskular diseminata (KID) pasien DBD dengan trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sugianto D, Tatang K Samsi,Hansa Wulur, Sefanya Adirgunarsa, GB.Jennings dari UPF Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara RS Sumber Waras Jakarta, dilaporkan bahwa untuk menaikkan jumlah trombosit umumnya diberikan konsentrat trombosit, akan tetapi pemberian tersebut tidak selalu mempercepat kenaikan jumlah trombosit. Tidak semua pengidap demam berdarah dengue memerlukan transfusi trombosit. Ada beberapa pendapat para pakar hematologi, tentang indikasi transfusi trombosit. Transfusi harus dilakukan berdasarkan indikasi klinis, yaitu bila terjadi perdarahan (kebocoran plasma) 1 cc/kgBB menurut dr.Leonard Nainggolan SpPd dari divisi Penyakit infeksi dan tropis Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RSCM. Sedangkan menurut Prof.Dr.Karmel Tambunan SpPd ahli hematologi, pemberian transfusi trombosit tanpa indikasi klinis dapat berdampak kontraindikasi berupa trombositopenia, karena adanya proses autoimun pada tubuh yang justru membuat jumlah trombosit semakin cepat berkurang. Dalam kondisi tersebut, dapat muncul reaksi alergi dan dapat pula menimbulkan pendarahan di otak. Transfusi memang bisa menyelamatkan, tetapi tidak sepenuhnya aman karena mengandung resiko. Dari hasil riset di Amerika Serikat tahun 1983-1996 menunjukkan transfusi darah beresiko menularkan hepatitis B (perbandingannya 1:63.000), hepatitis C(1:103.000) dan HIV (1:676.000). Prof Dr.Zubairi Djoerban SpPd KHOM ketua divisi hematologi dan Onkologi Medik Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia dalam simposium mini Penanganan Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Komplikasi Berat Beresiko Kematian, menjelaskan bahwa meskipun jumlah trombosit pasien DBD kurang dari 50.000,bila kondisi tenang dan tidak ditemukan gejala perdarahan , tidak perlu transfusi trombosit. Jika transfusi trombosit harus diberikan, bisa ditempuh dengan mengambil trombosit dari satu orang pendonor (trombopheresis), tidak dianjurkan dari trombosit darah segar yang berasal dari 10-20 orang pendonor. Indikasi sehingga transfusi trombosit patut diberikan diantaranya adalah bila terjadi perdarahan hebat yang terlihat

melalui muntah darah, buang air besar darah. Perdarahan dalam tubuh pasien bisa dilihat dari pantauan jumlah hemoglobin (Hb) yang terus menurun atau meningkatnya hemokonsentrasi. Beberapa jenis obat, secara umum,juga tidak dianjurkan diberikan kepada pasien DBD bila tidak ada alasan atau indikasi kuat, seperti aspirin, antibiotik, steroid, tranexamic acid (transamin), vitamin K, dan carbazochrome (adona). Memasukkan pipa nasogastrik untuk menghentikan perdarahan dan mengubah kecepatan pemberian cairan secara drastis termasuk hal-hal yang jarang dilakukan pada pasien DBD. Waktu yang tepat untuk pemberian transfusi trombosit, tergantung pengalaman dokter itu sendiri. Prinsipnya harus observasi secara kontinue perkembangan pasien.

DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005. 2. Gubler DJ. Kuno G. Dengue and dengue hemorrhagic fever. New York: CAB International; 1997. 3. Hendarwanto. Dengue. dalam : Noer HMS, Waspadji S. Rachman M, et al. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1996. Hlm 417-26. 4. Nimmannitya S. Dengue and dengue hemorrhagic fever. dalam : Cook GC. Mansons Tropical Disease. London: WB Saunders co. 1996. hlm 721-9. 5. Zulkarnain I. Penatalaksanaan demam berdarah dengue pada dewasa di RSCM. dalam: Hadinegoro SR, Demam berdarah dengue. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. hlm 150-66.

REFERAT

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

Pembimbing : Dr. Sediono, Sp.PD, KGer, Sp.KP Penyusun : Bening Larasati Kusmarini 030.04.042

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSPAU dr.ESNAWAN ANTARIKSA PERIODE 18 APRIL 2011 25 JUNI 2011 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Anda mungkin juga menyukai