BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
Waldeyer Ring. yang terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal, tonsil palatina, tonsil lingual, dan tonsil tuba
eustachius. Jaringan limfoid dari Waldeyer Ring mengandung limfosit sel-B,
limfosit sel-T, dan beberapa sel plasma mature. Jaringan ini terutama terlibat
dalam imunitas sekretori dan mengatur produksi imunoglobulin.1,2
Salah satu jenis tonsilitis adalah tonsilitis membranosa. Penyakit yang
termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa yaitu tonsilitis difteri, tonsilitis
septik, angina plaut vincent dan penyakit kelainan darah. Difteri adalah infeksi
akut yang terjadi secara lokal pada membrana mukosa atau kulit, yang disebabkan
oleh basil Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri gram positif fakultatif
anaerob yang ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada
tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh
eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.3
Corynebacterium diphtheria ditularkan melalui rute aerosol, terutama
kontak dekat. Masa inkubasi nya 2-5 hari, namun penyakit bisa berkembang
selama 10 hari setelah paparan. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak
berusia <10 tahun walaupun orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
Di daerah beriklim sedang, difteri terjadi sepanjang tahun tetapi paling umum
selama bulan-bulan musim dingin. Perkembangan vaksin difteri antitoksin dan
toksoid difteri menyebabkan difteri di negara-negara Barat sudah jarang
ditemukan. Insiden puncak tahunan adalah 191 kasus per 100.000 populasi di
Amerika Serikat pada tahun 1921 dan sejak 1980 angka insidennya turun menjadi
<5 kasus. 2,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI TONSIL
Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid, masing masing
terletak di dalam cekungan di dinding lateral oropharynx di antara arcus
palatoglossus dan palatopharyngeus. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa,
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam pharynx.
Permukaannya berbintik-bintik disebabkan oleh banyaknya muara kelenjar yang
terbuka ke crypta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh
capsula fibrosa. Capsula ini dipisahkan dari musculus constrictor pharyngis
superior oleh jaringan areolar longgar, vena palatina externa berjalan turun dari
palatum mo1le di dalam jaringan ikat longgar untuk bergabung dengan plexus
venosus pharyngeus. Bagian lateral musculus constrictor pharyngis superior
terdapat musculus styloglossus, lengkung arteri facialis dan arteri carotis interna.5
Waldeyer Ring terdiri dari tonsil palatine, tonsil faring atau adenoid,
jaringan limfoid yang mengelilingi lubang tuba eustachia di dinding lateral
nasofaring, tonsil lingual di pangkal lidah, dan jaringan limfoid yang menyebar ke
seluruh faring, khususnya di belakang pilar faring posterior dan sepanjang dinding
faring posterior. Tonsil palatine terdiri dari jaringan limfoid yang terletak di antara
lipatan palatoglosus (pilar tonsilar anterior) dan lipatan palatofaringeal (pilar
tonsilar posterior). Jaringan limfoid ini dipisahkan dari otot-otot faring di
sekitarnya oleh kapsul fibrosa yang tebal.6
Vaskularisasi Tonsil
Tonsil mendapatkan suplai dari 5 arteri yaitu:
a. Arteri tonsillar cabang dari arteri facialis
b. Arteri pharyngeal ascending cabang dari arteri carotis externa
c. Arteri palatina ascending cabang dari arteri facialis
d. Arteri linguae dorsal cabang dari arteri lingual
e. Arteri palatina descending cabang dari arteri maxillaris
B.
FISIOLOGI TONSIL
Jaringan limfoid secara kolektif adalah jaringan yang memproduksi,
menyimpan, atau memproses limfosit. Jaringan-jaringan ini mencakup sumsum
tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil, adenoid, apendiks, dan agregat
jaringan limfoid di lapisan dalam saluran cerna yang dinamai bercak Peyer atau
Gut-Associated Lymphoid Tissue (GALT).7
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:8
a. Memberikan kekebalan lokal
b. Sebagai mekanisme pengawasan sehingga seluruh tubuh siap untuk
pertahanan.
C. HISTOLOGI
.Tonsila palatina yang berpasangan merupakan agregat nodulus limfoid
yang terletak di rongga mulut. Tonsila palatina tidak dibungkus oleh kapsul
jaringan ikat. Akibatnya, permukaan tonsila palatina dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng tanpa lapisan tanduk yang juga melapisi bagian mulut lainnya. Masing-
masing tonsila memiliki alur-alur yang dalam yaitu kriptus tonsil (cripta tonsillae)
yang juga dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.12
Sel-sel epitel khusus memfagosit antigen bakteri dan kemudian
mensekresinya ke dalam rongga interstisial, tempat diendositosis oleh sel limfoid.
Epitel juga berisi sel limfosit T dan sel limfosit B yang teraktivasi, yang
mensekresi antibodi.13 Di bawah epitel dalam jaringan ikat terdapat banyak
nodulus limfoid yang tersebar di sepanjang kriptus tonsil. Nodulus limfoid sering
menyatu dengan yang lain dan biasanya memperlihatkan pusat germinal yang
berwarna lebih muda. Di bawah tonsila palatina terdapat jaringan ikat padat dan
membentuk kapsul. Dari kapsul terbentuk jaringan ikat trabekula dengan
pembuluh darah. Jaringan ikat ini meluas ke arah permukaan tonsil di antara
nodulus-nodulus limfoid. Di bawah kapsul jaringan ikat terdapat potongan serat
otot rangka.12
(Histologi Tonsil)
D. DEFINISI TONSILITIS DIFTERI
Tonsillitis Difteri adalah infeksi akut pada tonsil yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob, yang
ditandai oleh terbentuknya eksudat berbentuk membran pada tempat infeksi dan
diikuti gejala umum yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.
Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari
penderita.3,9
E. EPIDEMIOLOGI
Difteri tetap endemik di beberapa negara pada tahun 1970an, dengan tingkat
kejadian yang dilaporkan lebih 1,0 per juta penduduk Alaska, Arizona, Montana,
New Mexico, South Dakota, dan Washington, sebagian besar infeksi ini dikaitkan
dengan vaksinasi lengkap. Di Amerika Serikat, saat ini terjadi secara sporadis,
sebagian besar terjadi di antara penduduk asli Amerika, tunawisma kelompok
sosioekonomi rendah, dan pecandu alkohol. Di Amerika sejak pengenalan dan
meluasnya penggunaan toksoid difteri pada tahun 1920, difteri telah terkontrol
dengan baik, dengan kejadian sekitar 1000 kasus setiap tahunnya. Sejak 1980
infeksi difteri pada orang yang diimunisasi telah menurun <5 kasus per 100.000
penduduk. Orang yang belum pernah diimunisasi atau yang tidak lengkap
imunisasinya merupakan kelompok yang berisiko infeksi.3
Di RS.dr.M.Jamil Padang selama 3 tahun (1990-1992) ditemukan 48 kasus,
sedangkan di RS dr.Wahidin Ujung Pandang didapatkan 39 kasus selama 3 tahun
(1987-1989). Imunisasi berpengaruh besar terhadap angka kematian. Sebagian
besar kematian terjadi pada hari ke 3-4, karena asfiksia akibat infeksi membran
faring atau karena miokarditis. Pada keadaan sepsis, mortalitas mencapai 30-40%.
Berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan kejadian difteri pada laki-laki atau
perempuan. Bayi rentan terhadap penyakit ini pada usia 5-12 bulan. Setelah
kekebalan yang berasal dari ibu berkurang. 3 Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan
penurunan cakupan imunisasi DPT, kondisi ini diikuti peningkatan jumlah kasus
difteri pada tahun 2010-2012. Cakupan imunisasi tahun 2012 dari subdit
imunisasi menunjukkan peningkatan, demikian pula hasil Riskesdas tahun 2013.
Hal ini diikuti penurunan jumlah kasus difteri pada tahun 2013 yaitu dari 1192
kasus menjadi 713 kasus.14
Individu dengan titer antitoksin> 0,01 unit / mL berisiko rendah terkena
penyakit difteri. Dalam populasi di mana mayoritas individu memiliki titer
antitoksin pelindung, tingkat carier untuk strain toksigenik dari Corynebacterium
diphtheriae berkurang dan risiko difteri di antara individu yang rentan juga
berkurang. Namun demikian, individu dengan titer nonprotektif dapat tertular
difteri melalui perjalanan atau pajanan pada individu yang baru saja kembali dari
daerah penyakit ini endemik.4
F. ETIOLOGI
Penyebab tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Basil ini
merupakan bakteri gram-positif pleomorfik tersusun berpasangan, tidak bergerak,
tidak membentuk spora (kapsul), aerobik dan dapat membentuk eksotoksin.
Difteri dapat berupa toksigenik (penghasil toksin) atau non-toksigenik. Non-
toksigenik biasanya menyebabkan bentuk penyakit ringan tanpa kerusakan organ
utama. Corynebacterium diphteriae hidup di saluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring.2,3,10
G. PATOGENESIS
Toksin difteri diproduksi oleh strain toksigenik Corynebacterium
diphtheriae, yang merupakan faktor virulensi utama dalam klinis penyakit. Toksin
disintesis dalam bentuk prekursor, dilepaskan sebagai asam amino 535, protein
rantai tunggal dan memiliki LD50 ∼100 ng/kgBB. Toksin diproduksi di lesi
pseudomembran dan masuk ke dalam aliran darah, kemudian didistribusikan ke
semua sistem organ.4
Pasien yang terinfeksi dan karier dapat menularkan Corynebacterium
diphtheriae langsung melalui droplet pernapasan, sekret nasofaring dan secara
tidak langsung melalui debu, baju, ataupun benda yang terkontaminasi.
Corynebacterium diphtheriae dalam hidung atau mulut, berkembang pada sel
epitel mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil, kadang-kadang ditemukan
pada kulit dan konjungtiva atau genital. Basil ini kemudian menghasilkan
eksotoksin yang dilepaskan oleh endosom sehingga menyebabkan reaksi inflamasi
lokal selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis.3
Secara in vitro, toksin dapat dibagi menjadi dua rantai setelah pencernaan
dengan serin protease yaitu N-terminal fragmen A dan C-terminal fragmen B.
Fragmen B berikatan dengan reseptor pada permukaan sel pejamu yang rentan,
dan sifat proteolitiknya memotong lapisan membran lipid sehingga membantu
fragmen A masuk ke sel pejamu. Selanjutnya akan terjadi peradangan dan
destruksi sel epitel yang akan diikuti nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk
fibrin yang kemudian di infiltrasi oleh sel darah putih, akibatnya terbentuk patchy
exudat yang pada awalnya dapat terkelupas.3,4
Temuan patologis khas dari difteri yaitu ulkus mukosa dengan lapisan
pseudomembran yang terdiri dari pita dalam dari fibrin dan pita luminal dari
neutrofil. Pada keadaan lebih lanjut toksin yang diproduksi lebih banyak sehingga
daerah nekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa yang
terdiri dari jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel eritrosit, yang
berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sulit terkelupas, kalau di paksa
akan menimbulkan perdarahan. Ulkus mukosa terjadi akibat nekrosis yang
diinduksi toksin pada epitel disertai edema, hiperemia, dan kongesti vaskular pada
basis submukosa. Eksudat fibrinosupuratif dari ulkus berkembang menjadi
pseudomembran. Ulkus dan pseudomembran dapat meluas dari faring bronkus.
Membran yang membentang dan mengelupas dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas yang fatal.3,4
H. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi infeksi Corynebacterium diphtheriae dipengaruhi oleh lokasi
anatomi infeksi, status imun host, serta produksi dan distribusi sistemik dari
toksinnya.6 Onset gejala difteri umumnya memiliki masa inkubasi 2-5 hari
(kisaran 1-10 hari).3,10
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
1) Gejala awalnya bersifat umum yaitu pasien mengeluh nyeri
tenggorokan, demam ringan, anoreksia, nyeri menelan, malaise, dan nyeri
kepala.2,9,10
2) Gejala lokal. Dalam 1-2 hari tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor/putih kelabu yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk membran semu yang mudah berdarah. Membran ini dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan
dapat menyumbat saluran napas. Pada perkembangan penyakit ini bila
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga timbul bull neck atau disebut juga
Burgermeester’s hals.1,2,9,11
(Tonsilar Diphteriae)
( Bull Neck )
3) Gejala akibat eksotoksin. Gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin
dan luas membran. Eksoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Pada kasus ringan, membran akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernapasan dan sirkulasi, paralisis palatum molle, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi, pada ginjal menyebabkan albuminuria.
Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.2,9
I. DIAGNOSIS
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis
serta pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan laboratorium C.diphteriae
diisolasi baik dalam media kultur atau mengidentifikasi tokksinnya. Diagnosa
awal cepat (presumtive diagnosis) dapat dilakukan dengan pewarnaan gram
dimana akan ditemukan bakteri berbentuk batang, gram positif, tidak berkapsul
dan tidak bergerak. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikassi secara
flourescent antibody technique, tetapi untuk ini diperlukan seorang ahli.3,9
Diagnosis pasti dengan isolasi C.diphteriae dengan pembiakan pada media
Loeffler atau dengan media baru Amies dan Stewart dilanjutkan dengan tes
toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).9 Pemeriksaan toksin
bertujuan untuk menentukan adanya produksi toksin oleh C.diphteriae.
Dikerjakan secara invitro dengan melakukan tes elek dan polimerase pig
inoculation kemudian mendeteksi pembentukan sebuah garis pada kertas filter
yang diresapi dengan antitoksin dan kemudian diletakkan di atas kultur agar dari
organisme yang diuji. Pemeriksaan serum terhadap antibodi untuk toksin difteri
juga dapat dilakukan dengan Schick test.3 Prinsip kerja Schick test adalah dengan
menyuntikkan toksin difteri di bawah kulit tangan. Dilakukan dengan
menyuntikkan 0,1 mL antitoksin difteri dalam larutan garam fisiologis 1:1000
secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm. Bila
positif antitoksin difteri diberikan secara desensitisasi. Bila hasil negatif,
antitoksin difteri diberikan sekaligus secara intravena.9
J. DIAGNOSIS BANDING
1) Bacterial pharyngitis.
Penyebabnya adalah Streptococcus Grup A, Streptococcus C/G,
Fusobacterium necrophorum. Manifestasi klinis berupa nyeri
tenggorokan, eritema dan edema tonsilofaringeal, eksudat mungkin ada
tetapi tidak ada pseudomembran, demam subfebris, cervical limfadenopati
anterior yang lunak. Pada faringitis streptokokus grup A, ruam
(scarletiniform) atau papillae lidah merah (strawberry tongue) mungkin
ada.10
2) Tonsilitis akut
Tonsilitis akut sering terjadi pada anak-anak, tapi bisa juga pada dewasa.
Jarang terjadi pada bayi dan usia >50 tahun. Penyebab terbanyak adalah
Haemolytic streptococcus. Selain itu penyebab lain dari infeksi bisa
staphylococcus, pneumococcus atau H.influenza. Gejala tonsilitis akut
berupa nyeri tenggorokan, sulit menelan, nyeri di telinga, demam tinggi
(38-40oC). Pada pemeriksaan didapatkan napas bau dan lidah licin,
hiperemis pada palatum dan ovula, tonsil merah dan bengkak, dan kelenjar
jugulodigastric membengkak dan nyeri tekan.8
K. PENATALAKSANAAN
Pengobatan difteri harus segera dimulai meskipun uji konfirmasi belum
selesai karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Perawatan terdiri atas:2
1) Perawatan umum
1. Isolasi semua kasus dan dilakukan tindakan pencegahan universal dari
resiko penularan melalui droplet serta membatasi jumlah kontak
2. Istirahat di tempat tidur, minimal 2-3 minggu
3. Makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan penderita,
kebersihan jalan napas dan pembersihan lendir
Pemeriksaan EKG secara serial 2-3 kali seminggu selama 46 minggu
untuk menegakkan diagnosis miokarditis secara dini. Bila terjadi
miokarditis harus istirahat total ditempat tidur selama 1 minggu. Mobilitas
secara bertahap baru boleh dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara
klinis dan EKG menghilang.
2) Perawatan khusus bertujuan
1. Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri
2. Membunuh basil difteri yang memproduksi toksin
Antitoksin Difteri
Antitoksin difteri merupakan terapi utama, adalah agen spesifik yang
digunakan untuk menetralkan toksin, sehingga mencegah perkembangan
kerusakan organ lebih lanjut. Setiap pasien harus diuji terlebih dahulu untuk
hipersensitivitas dengan tes skin test.10
(Antitoksin Difteri)
Antitoksin difteri memiliki 2 sediaan yaitu 10.000 UI/vial dan 20.000
UI/vial.15 Serum antitoksin difteri harus disimpan pada suhu 2-8 °C tetapi tidak
boleh dibekukan. Sebagian besar produsen menyatakan bahwa vaksin beku harus
dibuang. Antitoksin harus dihangatkan sampai 32-34°C sebelum pemberian.
Dosis Antitoksin Difteri menurut lokasi membran dan lama sakit:
Tipe difteri Dosis (UI) Cara pemberian
Difteri hidung 20.000 IV
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi 80.000 IV
Difteri+penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi 80.000-120.000 IV
dimana saja
Pemberian paling sering dilakukan secara intravena tetapi dapat juga
intramuskular namun hanya pada kasus-kasus ringan sampai sedang. Antitoksin
harus dicampur dengan 250-500 ml saline normal dan diberikan selama 2-4 jam.
Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk pemberian antitoksin. Dosis
berulang antitoksin tidak dianjurkan karena reaksi alergi serius akibat
pembentukan antibodi. 10
Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteri digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari,
dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari), penisilin V
oral 125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous penisilin G (100.000-150.000
U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau penisilin prokain (25.000-
50.000 IU/kgBB/hari dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan selama 14
hari. 9
Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap, pada kasus difteri yang disertai
gejala: 9
- Obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bull neck)
- Bila terdapat penyulit miokarditis
Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi
harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dapat diberikan booster toksoid
difteri. 9
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negative tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100mg/kg/BB/hari oral/iv atau eritromisin
40 mg/kg/BB/hari selama satu minggu. Mungkin perlu dilakukan tonsilektomi. 9
Tonsilektomi16
Tonsilektomi dilakukan dengan indikasi absolut berupa:
Tonsil membesar menyebabkan obstruksi jalan nafas atas
Disfagia berat
Abses peritonsillar tidak responsif terhadap obat
Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam
Indikasi relatif berupa:
Infeksi tonsil terjadi tiga atau lebih per tahun meskipun terapi medis
memadai
Nafas bau yang persisten
Tonsilitis kronis
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai neoplastik
L. KOMPLIKASI 3
Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan virulensi
basil difteri, luas membran yang terbentuk, jumlah toksin yang diproduksi oleh
basil difteri, dan waktu antara mulai timbulnya penyakit sampai pemberian
antitoksin.
Komplikasi difteri adalah sebagai berikut:
1. Karena pembentukan pseudomembran atau aspirasi menimbulkan
kegagalan pernapasan, edema jaringan , dan nekrosis
2. Jantung, Miokarditis, dilatasi jantung dan kegagalan pompa, aneurisme
mikotik,endokarditis
3. Gangguan irama, blok jantung, termasuk disosiasi artioventikular dan
disritmia
4. Pneumoni bakterialis sekunder
5. Disfungsi saraf kranial dan neuropati perifer, kelumpuhan total
6. Neuritis optik
7. Sepstikemia/ syok (jarang)
8. Artritis septik, osteomielitis (jarang)
9. Metastasis infeksi ke tempat yang jauh seperti miokardium, atau SSP
(jarang)
10. Kematian
M. PENCEGAHAN
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak. Pencegahan secara khusus terdiri
dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. 9 Pencegahan yang paling baik adalah
dengan vaksinasi sesuai dengan anjuran inisiatif global pertussis (dibentuk pada
2001) yaitu kelompok kerja yang mempunyai tugas menjalankan iminisasi global
dan pencegahan penyakit pada bayi, remaja, dan dewasa untuk difteri, pertusis
dan tetanus.3
Satu-satunya cara untuk mengendalikan difteri secara efektif adalah
melalui imunisasi. Tujuannya adalah untuk mengimunisasi semua bayi sebelum
mereka kehilangan antibodi ibu mereka, dan kemudian memberikan dosis penguat
untuk meningkatkan dan mempertahankan kekebalan. Vaksin difteri telah
dikombinasikan dengan vaksin pertusis dan tetanus sejak 1940-an sebagai DPT. 10
Setiap bayi (usia 0-11 bulan) wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang
terdiri dari 1 dosis Hepatitis B (usia 0-7 hari), 1 dosis BCG (usia 1 bulan), 3 dosis
DPT-Hepatitis B (usia 2-3-4 bulan), 4 dosis polio (usia 1-2-3-4 bulan), dan 1 dosis
campak (usia 9 bulan).14
Pada orang yang kontak erat dengan penderit difteri terutama yang tidak
pernah / tidak sempurna mendapat imunisasi aktif, dianjurkan pemberian booster
dan melengkapi pemberian vaksin. Selanjutnya diberikan kemoprofilaksis berupa
Penisilin procain 600.000 unitintramuskuler / hari atau Eritromicin 40 mg/kg BB/
hari selama 7-10 hari. Bila pengawasan tidak bisa dilakukan , diberikan antitoksin
10.000 unit intramuscular, kemudian 2 minggu setelah pengobatan dilakukan
kultur untuk memastikan eradikasi c.dyphtheriae.3
N. PROGNOSIS
Prognosis difteri setelah ditemukannya antitoksik difteri dan antibiotik
lebih baik daripada sebelumnya.9 Prognosis tergantung pada: 2
1. Virulensi basil difteri
2. Lokasi dan luas membran yg terbentuk
3. Status kekebalan penderita
4. Cepat lambatnya pengobatan
5. Pengobatan yg diberikan
Secara umum angka kematian penderita difteri 5-10% dimana kematian
tertinggi terjadi pada penderita yang tidak mendapat imunisasi lengkap dan pasien
yang mempunyai kelainan sistemik. Pada difteri dengan keterlibatan jantung
prognosis sangat buruk terutama bila disertai blok atrioventrikular dengan angka
kematian mencapai 60-90%. Pada keadaan sepsis tingkat kematian 30-40%.3
Tingkat kematian yang tinggi di sebabkan oleh difteri jenis
gravis/invasive, bullneck diptheriae. Jenis ini mempunyai angka kematian
mencapai 50%. Difteri laring lebih cepat menyebakan obstruksi saluran nafas, bila
pertolongan tidak cepat dan pengawasan tidak ketat dapat menimbulkan kematian
mendadak. Keterlambatan pengobatan meningkatkan angka kematian menjadi 20
kali lipat, penyebab kematian terbanyak adalah miokarditis. Angka kematian yang
tinggi tejadi pada umur kurang lima tahun dan lebih 40 tahun. Di indonesia angka
kematian penderita difteri di 29 rumah sakit tahun 1969-1970 adalah 11,3%.3
BAB III
KESIMPULAN
Tonsillitis Difteri adalah infeksi akut pada tonsil yang disebabkan oleh
corynebacterium diphtheria. Basil ini merupakan bakteri gram-positif pleomorfik
tersusun berpasangan, tidak bergerak, tidak membentuk spora (kapsul), aerobik
dan dapat membentuk eksotoksin. Corynebacterium diphteriae hidup di saluran
nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Toksin difteri diproduksi oleh
strain toksigenik C.diphtheriae, yang merupakan faktor virulensi utama dalam
klinis penyakit. Toksin diproduksi di lesi pseudomembran dan masuk ke dalam
aliran darah, kemudian didistribusikan ke semua sistem organ.
Angka kematian karena difteri berkisar antara 5-10% lebih tinggi sampai
20% pada anak-anak dengan usia <5tahun dan dewasa >40 tahun. Imunisasi
berpengaruh besar terhadap angka kematian. Berdasarkan jenis kelamin, tidak ada
perbedaan kejadian difteri pada laki-laki atau perempuan. Difteri merupakan
penyakit pada anak-anak, terutama pada usia <12 tahun.
Pasien yang terinfeksi dan karier dapat menularkan C.diptheriae langsung
melalui droplet pernapasan, sekret nasofaring dan secara tidak langsung melalui
debu, baju, ataupun benda yang terkontaminasi. Gejala awalnya bersifat umum
yaitu pasien mengeluh nyeri tenggorokan, demam ringan, anoreksia, nyeri
menelan, malaise, dan nyeri kepala. Gejala lokal berupa tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor/putih kelabu yang makin lama makin meluas dan
bersatu membentuk membran semu yang mudah berdarah. Bila infeksinya
berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya
sehingga timbul bull neck.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis
serta pemeriksaan laboratorium. Antitoksin difteri merupakan terapi utama, adalah
agen spesifik yang digunakan untuk menetralkan toksin, sehingga mencegah
perkembangan kerusakan organ lebih lanjut. Antibiotik diberikan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Dianjurkan pemberian
kortikosteroid pada kasus difteri yang disertai gejala obstruksi saluran napas
bagian atas (dapat disertai atau tidak bull neck) dan bila terdapat penyulit
miokarditis.