[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
185 tayangan23 halaman

Tonsilitis: Penyebab dan Epidemiologi

Teks tersebut membahas tentang tonsilitis difteri yang merupakan infeksi akut pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini menghasilkan eksotoksin yang menyebabkan terbentuknya membran pada tonsil dan gejala sistemik. Tonsilitis difteri ditularkan melalui kontak langsung dan tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat di beberapa negara berkembang.

Diunggah oleh

dewi
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
185 tayangan23 halaman

Tonsilitis: Penyebab dan Epidemiologi

Teks tersebut membahas tentang tonsilitis difteri yang merupakan infeksi akut pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini menghasilkan eksotoksin yang menyebabkan terbentuknya membran pada tonsil dan gejala sistemik. Tonsilitis difteri ditularkan melalui kontak langsung dan tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat di beberapa negara berkembang.

Diunggah oleh

dewi
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 23

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari

Waldeyer Ring. yang terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam

rongga mulut yaitu tonsil faringeal, tonsil palatina, tonsil lingual, dan tonsil tuba

eustachius. Jaringan limfoid dari Waldeyer Ring mengandung limfosit sel-B,

limfosit sel-T, dan beberapa sel plasma mature. Jaringan ini terutama terlibat

dalam imunitas sekretori dan mengatur produksi imunoglobulin.1,2

Salah satu jenis tonsilitis adalah tonsilitis membranosa. Penyakit yang

termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa yaitu tonsilitis difteri, tonsilitis

septik, angina plaut vincent dan penyakit kelainan darah. Difteri adalah infeksi

akut yang terjadi secara lokal pada membrana mukosa atau kulit, yang disebabkan

oleh basil Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri gram positif fakultatif

anaerob yang ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada

tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh

eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.3

Corynebacterium diphtheria ditularkan melalui rute aerosol, terutama

kontak dekat. Masa inkubasi nya 2-5 hari, namun penyakit bisa berkembang

selama 10 hari setelah paparan. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak

berusia <10 tahun walaupun orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Di daerah beriklim sedang, difteri terjadi sepanjang tahun tetapi paling umum

selama bulan-bulan musim dingin. Perkembangan vaksin difteri antitoksin dan


toksoid difteri menyebabkan difteri di negara-negara Barat sudah jarang

ditemukan. Insiden puncak tahunan adalah 191 kasus per 100.000 populasi di

Amerika Serikat pada tahun 1921 dan sejak 1980 angka insidennya turun menjadi

<5 kasus. 2,4


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI TONSIL

Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid, masing masing

terletak di dalam cekungan di dinding lateral oropharynx di antara arcus

palatoglossus dan palatopharyngeus. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa,

dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam pharynx.

Permukaannya berbintik-bintik disebabkan oleh banyaknya muara kelenjar yang

terbuka ke crypta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh

capsula fibrosa. Capsula ini dipisahkan dari musculus constrictor pharyngis

superior oleh jaringan areolar longgar, vena palatina externa berjalan turun dari

palatum mo1le di dalam jaringan ikat longgar untuk bergabung dengan plexus

venosus pharyngeus. Bagian lateral musculus constrictor pharyngis superior

terdapat musculus styloglossus, lengkung arteri facialis dan arteri carotis interna.5

Waldeyer Ring terdiri dari tonsil palatine, tonsil faring atau adenoid,

jaringan limfoid yang mengelilingi lubang tuba eustachia di dinding lateral


nasofaring, tonsil lingual di pangkal lidah, dan jaringan limfoid yang menyebar ke

seluruh faring, khususnya di belakang pilar faring posterior dan sepanjang dinding

faring posterior. Tonsil palatine terdiri dari jaringan limfoid yang terletak di antara

lipatan palatoglosus (pilar tonsilar anterior) dan lipatan palatofaringeal (pilar

tonsilar posterior). Jaringan limfoid ini dipisahkan dari otot-otot faring di

sekitarnya oleh kapsul fibrosa yang tebal.6

Vaskularisasi Tonsil

Tonsil mendapatkan suplai dari 5 arteri yaitu:

a. Arteri tonsillar cabang dari arteri facialis

b. Arteri pharyngeal ascending cabang dari arteri carotis externa

c. Arteri palatina ascending cabang dari arteri facialis

d. Arteri linguae dorsal cabang dari arteri lingual

e. Arteri palatina descending cabang dari arteri maxillaris

B.

FISIOLOGI TONSIL
Jaringan limfoid secara kolektif adalah jaringan yang memproduksi,

menyimpan, atau memproses limfosit. Jaringan-jaringan ini mencakup sumsum

tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil, adenoid, apendiks, dan agregat

jaringan limfoid di lapisan dalam saluran cerna yang dinamai bercak Peyer atau

Gut-Associated Lymphoid Tissue (GALT).7

Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:8

a. Memberikan kekebalan lokal

b. Sebagai mekanisme pengawasan sehingga seluruh tubuh siap untuk

pertahanan.

C. HISTOLOGI

.Tonsila palatina yang berpasangan merupakan agregat nodulus limfoid

yang terletak di rongga mulut. Tonsila palatina tidak dibungkus oleh kapsul

jaringan ikat. Akibatnya, permukaan tonsila palatina dilapisi oleh epitel berlapis

gepeng tanpa lapisan tanduk yang juga melapisi bagian mulut lainnya. Masing-

masing tonsila memiliki alur-alur yang dalam yaitu kriptus tonsil (cripta tonsillae)

yang juga dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.12

Sel-sel epitel khusus memfagosit antigen bakteri dan kemudian

mensekresinya ke dalam rongga interstisial, tempat diendositosis oleh sel limfoid.

Epitel juga berisi sel limfosit T dan sel limfosit B yang teraktivasi, yang

mensekresi antibodi.13 Di bawah epitel dalam jaringan ikat terdapat banyak

nodulus limfoid yang tersebar di sepanjang kriptus tonsil. Nodulus limfoid sering

menyatu dengan yang lain dan biasanya memperlihatkan pusat germinal yang

berwarna lebih muda. Di bawah tonsila palatina terdapat jaringan ikat padat dan
membentuk kapsul. Dari kapsul terbentuk jaringan ikat trabekula dengan

pembuluh darah. Jaringan ikat ini meluas ke arah permukaan tonsil di antara

nodulus-nodulus limfoid. Di bawah kapsul jaringan ikat terdapat potongan serat

otot rangka.12

(Histologi Tonsil)

D. DEFINISI TONSILITIS DIFTERI

Tonsillitis Difteri adalah infeksi akut pada tonsil yang disebabkan oleh

Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob, yang

ditandai oleh terbentuknya eksudat berbentuk membran pada tempat infeksi dan

diikuti gejala umum yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.

Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari

penderita.3,9

E. EPIDEMIOLOGI

Difteri tetap endemik di beberapa negara pada tahun 1970an, dengan tingkat

kejadian yang dilaporkan lebih 1,0 per juta penduduk Alaska, Arizona, Montana,
New Mexico, South Dakota, dan Washington, sebagian besar infeksi ini dikaitkan

dengan vaksinasi lengkap. Di Amerika Serikat, saat ini terjadi secara sporadis,

sebagian besar terjadi di antara penduduk asli Amerika, tunawisma kelompok

sosioekonomi rendah, dan pecandu alkohol. Di Amerika sejak pengenalan dan

meluasnya penggunaan toksoid difteri pada tahun 1920, difteri telah terkontrol

dengan baik, dengan kejadian sekitar 1000 kasus setiap tahunnya. Sejak 1980

infeksi difteri pada orang yang diimunisasi telah menurun <5 kasus per 100.000

penduduk. Orang yang belum pernah diimunisasi atau yang tidak lengkap

imunisasinya merupakan kelompok yang berisiko infeksi.3

Di RS.dr.M.Jamil Padang selama 3 tahun (1990-1992) ditemukan 48 kasus,

sedangkan di RS dr.Wahidin Ujung Pandang didapatkan 39 kasus selama 3 tahun

(1987-1989). Imunisasi berpengaruh besar terhadap angka kematian. Sebagian

besar kematian terjadi pada hari ke 3-4, karena asfiksia akibat infeksi membran

faring atau karena miokarditis. Pada keadaan sepsis, mortalitas mencapai 30-40%.

Berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan kejadian difteri pada laki-laki atau

perempuan. Bayi rentan terhadap penyakit ini pada usia 5-12 bulan. Setelah

kekebalan yang berasal dari ibu berkurang. 3 Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan

penurunan cakupan imunisasi DPT, kondisi ini diikuti peningkatan jumlah kasus

difteri pada tahun 2010-2012. Cakupan imunisasi tahun 2012 dari subdit

imunisasi menunjukkan peningkatan, demikian pula hasil Riskesdas tahun 2013.

Hal ini diikuti penurunan jumlah kasus difteri pada tahun 2013 yaitu dari 1192

kasus menjadi 713 kasus.14


Individu dengan titer antitoksin> 0,01 unit / mL berisiko rendah terkena

penyakit difteri. Dalam populasi di mana mayoritas individu memiliki titer

antitoksin pelindung, tingkat carier untuk strain toksigenik dari Corynebacterium

diphtheriae berkurang dan risiko difteri di antara individu yang rentan juga

berkurang. Namun demikian, individu dengan titer nonprotektif dapat tertular

difteri melalui perjalanan atau pajanan pada individu yang baru saja kembali dari

daerah penyakit ini endemik.4

F. ETIOLOGI

Penyebab tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Basil ini

merupakan bakteri gram-positif pleomorfik tersusun berpasangan, tidak bergerak,

tidak membentuk spora (kapsul), aerobik dan dapat membentuk eksotoksin.

Difteri dapat berupa toksigenik (penghasil toksin) atau non-toksigenik. Non-

toksigenik biasanya menyebabkan bentuk penyakit ringan tanpa kerusakan organ

utama. Corynebacterium diphteriae hidup di saluran nafas bagian atas yaitu

hidung, faring dan laring.2,3,10


G. PATOGENESIS

Toksin difteri diproduksi oleh strain toksigenik Corynebacterium

diphtheriae, yang merupakan faktor virulensi utama dalam klinis penyakit. Toksin

disintesis dalam bentuk prekursor, dilepaskan sebagai asam amino 535, protein

rantai tunggal dan memiliki LD50 ∼100 ng/kgBB. Toksin diproduksi di lesi

pseudomembran dan masuk ke dalam aliran darah, kemudian didistribusikan ke

semua sistem organ.4

Pasien yang terinfeksi dan karier dapat menularkan Corynebacterium

diphtheriae langsung melalui droplet pernapasan, sekret nasofaring dan secara

tidak langsung melalui debu, baju, ataupun benda yang terkontaminasi.

Corynebacterium diphtheriae dalam hidung atau mulut, berkembang pada sel

epitel mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil, kadang-kadang ditemukan

pada kulit dan konjungtiva atau genital. Basil ini kemudian menghasilkan

eksotoksin yang dilepaskan oleh endosom sehingga menyebabkan reaksi inflamasi

lokal selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis.3

Secara in vitro, toksin dapat dibagi menjadi dua rantai setelah pencernaan

dengan serin protease yaitu N-terminal fragmen A dan C-terminal fragmen B.

Fragmen B berikatan dengan reseptor pada permukaan sel pejamu yang rentan,

dan sifat proteolitiknya memotong lapisan membran lipid sehingga membantu

fragmen A masuk ke sel pejamu. Selanjutnya akan terjadi peradangan dan

destruksi sel epitel yang akan diikuti nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk

fibrin yang kemudian di infiltrasi oleh sel darah putih, akibatnya terbentuk patchy

exudat yang pada awalnya dapat terkelupas.3,4


Temuan patologis khas dari difteri yaitu ulkus mukosa dengan lapisan

pseudomembran yang terdiri dari pita dalam dari fibrin dan pita luminal dari

neutrofil. Pada keadaan lebih lanjut toksin yang diproduksi lebih banyak sehingga

daerah nekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa yang

terdiri dari jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel eritrosit, yang

berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sulit terkelupas, kalau di paksa

akan menimbulkan perdarahan. Ulkus mukosa terjadi akibat nekrosis yang

diinduksi toksin pada epitel disertai edema, hiperemia, dan kongesti vaskular pada

basis submukosa. Eksudat fibrinosupuratif dari ulkus berkembang menjadi

pseudomembran. Ulkus dan pseudomembran dapat meluas dari faring bronkus.

Membran yang membentang dan mengelupas dapat menyebabkan obstruksi jalan

napas yang fatal.3,4

H. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi infeksi Corynebacterium diphtheriae dipengaruhi oleh lokasi

anatomi infeksi, status imun host, serta produksi dan distribusi sistemik dari

toksinnya.6 Onset gejala difteri umumnya memiliki masa inkubasi 2-5 hari

(kisaran 1-10 hari).3,10

Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu:


1) Gejala awalnya bersifat umum yaitu pasien mengeluh nyeri

tenggorokan, demam ringan, anoreksia, nyeri menelan, malaise, dan nyeri

kepala.2,9,10

2) Gejala lokal. Dalam 1-2 hari tonsil membengkak ditutupi bercak putih

kotor/putih kelabu yang makin lama makin meluas dan bersatu

membentuk membran semu yang mudah berdarah. Membran ini dapat

meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan

dapat menyumbat saluran napas. Pada perkembangan penyakit ini bila

infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak

sedemikian besarnya sehingga timbul bull neck atau disebut juga

Burgermeester’s hals.1,2,9,11

(Tonsilar Diphteriae)

( Bull Neck )
3) Gejala akibat eksotoksin. Gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin

dan luas membran. Eksoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Pada kasus ringan, membran akan

terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai

penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus berat, dapat terjadi

kegagalan pernapasan dan sirkulasi, paralisis palatum molle, disertai

kesukaran menelan dan regurgitasi, pada ginjal menyebabkan albuminuria.

Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.2,9

I. DIAGNOSIS

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis

serta pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan laboratorium C.diphteriae

diisolasi baik dalam media kultur atau mengidentifikasi tokksinnya. Diagnosa

awal cepat (presumtive diagnosis) dapat dilakukan dengan pewarnaan gram

dimana akan ditemukan bakteri berbentuk batang, gram positif, tidak berkapsul

dan tidak bergerak. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikassi secara

flourescent antibody technique, tetapi untuk ini diperlukan seorang ahli.3,9

Diagnosis pasti dengan isolasi C.diphteriae dengan pembiakan pada media

Loeffler atau dengan media baru Amies dan Stewart dilanjutkan dengan tes

toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).9 Pemeriksaan toksin

bertujuan untuk menentukan adanya produksi toksin oleh C.diphteriae.

Dikerjakan secara invitro dengan melakukan tes elek dan polimerase pig
inoculation kemudian mendeteksi pembentukan sebuah garis pada kertas filter

yang diresapi dengan antitoksin dan kemudian diletakkan di atas kultur agar dari

organisme yang diuji. Pemeriksaan serum terhadap antibodi untuk toksin difteri

juga dapat dilakukan dengan Schick test.3 Prinsip kerja Schick test adalah dengan

menyuntikkan toksin difteri di bawah kulit tangan. Dilakukan dengan

menyuntikkan 0,1 mL antitoksin difteri dalam larutan garam fisiologis 1:1000

secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm. Bila

positif antitoksin difteri diberikan secara desensitisasi. Bila hasil negatif,

antitoksin difteri diberikan sekaligus secara intravena.9

J. DIAGNOSIS BANDING

1) Bacterial pharyngitis.

Penyebabnya adalah Streptococcus Grup A, Streptococcus C/G,

Fusobacterium necrophorum. Manifestasi klinis berupa nyeri

tenggorokan, eritema dan edema tonsilofaringeal, eksudat mungkin ada

tetapi tidak ada pseudomembran, demam subfebris, cervical limfadenopati

anterior yang lunak. Pada faringitis streptokokus grup A, ruam

(scarletiniform) atau papillae lidah merah (strawberry tongue) mungkin

ada.10

2) Tonsilitis akut

Tonsilitis akut sering terjadi pada anak-anak, tapi bisa juga pada dewasa.

Jarang terjadi pada bayi dan usia >50 tahun. Penyebab terbanyak adalah

Haemolytic streptococcus. Selain itu penyebab lain dari infeksi bisa


staphylococcus, pneumococcus atau H.influenza. Gejala tonsilitis akut

berupa nyeri tenggorokan, sulit menelan, nyeri di telinga, demam tinggi

(38-40oC). Pada pemeriksaan didapatkan napas bau dan lidah licin,

hiperemis pada palatum dan ovula, tonsil merah dan bengkak, dan kelenjar

jugulodigastric membengkak dan nyeri tekan.8

K. PENATALAKSANAAN

Pengobatan difteri harus segera dimulai meskipun uji konfirmasi belum

selesai karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Perawatan terdiri atas:2

1) Perawatan umum

1. Isolasi semua kasus dan dilakukan tindakan pencegahan universal dari

resiko penularan melalui droplet serta membatasi jumlah kontak

2. Istirahat di tempat tidur, minimal 2-3 minggu

3. Makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan penderita,

kebersihan jalan napas dan pembersihan lendir

Pemeriksaan EKG secara serial 2-3 kali seminggu selama 46 minggu

untuk menegakkan diagnosis miokarditis secara dini. Bila terjadi

miokarditis harus istirahat total ditempat tidur selama 1 minggu. Mobilitas

secara bertahap baru boleh dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara

klinis dan EKG menghilang.

2) Perawatan khusus bertujuan

1. Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri

2. Membunuh basil difteri yang memproduksi toksin


Antitoksin Difteri

Antitoksin difteri merupakan terapi utama, adalah agen spesifik yang

digunakan untuk menetralkan toksin, sehingga mencegah perkembangan

kerusakan organ lebih lanjut. Setiap pasien harus diuji terlebih dahulu untuk

hipersensitivitas dengan tes skin test.10

(Antitoksin Difteri)

Antitoksin difteri memiliki 2 sediaan yaitu 10.000 UI/vial dan 20.000

UI/vial.15 Serum antitoksin difteri harus disimpan pada suhu 2-8 °C tetapi tidak

boleh dibekukan. Sebagian besar produsen menyatakan bahwa vaksin beku harus

dibuang. Antitoksin harus dihangatkan sampai 32-34°C sebelum pemberian.

Dosis Antitoksin Difteri menurut lokasi membran dan lama sakit:


Tipe difteri Dosis (UI) Cara pemberian
Difteri hidung 20.000 IV
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi 80.000 IV
Difteri+penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi 80.000-120.000 IV
dimana saja

Pemberian paling sering dilakukan secara intravena tetapi dapat juga

intramuskular namun hanya pada kasus-kasus ringan sampai sedang. Antitoksin


harus dicampur dengan 250-500 ml saline normal dan diberikan selama 2-4 jam.

Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk pemberian antitoksin. Dosis

berulang antitoksin tidak dianjurkan karena reaksi alergi serius akibat

pembentukan antibodi. 10

Antibiotik

Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi

toksin. Pengobatan untuk difteri digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari,

dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari), penisilin V

oral 125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous penisilin G (100.000-150.000

U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau penisilin prokain (25.000-

50.000 IU/kgBB/hari dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan selama 14

hari. 9

Kortikosteroid

Dianjurkan pemberian kortikosteroid prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2

minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap, pada kasus difteri yang disertai

gejala: 9

- Obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bull neck)

- Bila terdapat penyulit miokarditis

Pengobatan kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan

berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi

harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dapat diberikan booster toksoid

difteri. 9

Pengobatan karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji

Schick negative tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan

yang dapat diberikan adalah penisilin 100mg/kg/BB/hari oral/iv atau eritromisin

40 mg/kg/BB/hari selama satu minggu. Mungkin perlu dilakukan tonsilektomi. 9

Tonsilektomi16

Tonsilektomi dilakukan dengan indikasi absolut berupa:

 Tonsil membesar menyebabkan obstruksi jalan nafas atas

 Disfagia berat

 Abses peritonsillar tidak responsif terhadap obat

 Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam

Indikasi relatif berupa:

 Infeksi tonsil terjadi tiga atau lebih per tahun meskipun terapi medis

memadai

 Nafas bau yang persisten

 Tonsilitis kronis

 Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai neoplastik

L. KOMPLIKASI 3
Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan virulensi

basil difteri, luas membran yang terbentuk, jumlah toksin yang diproduksi oleh

basil difteri, dan waktu antara mulai timbulnya penyakit sampai pemberian

antitoksin.

Komplikasi difteri adalah sebagai berikut:

1. Karena pembentukan pseudomembran atau aspirasi menimbulkan

kegagalan pernapasan, edema jaringan , dan nekrosis

2. Jantung, Miokarditis, dilatasi jantung dan kegagalan pompa, aneurisme

mikotik,endokarditis

3. Gangguan irama, blok jantung, termasuk disosiasi artioventikular dan

disritmia

4. Pneumoni bakterialis sekunder

5. Disfungsi saraf kranial dan neuropati perifer, kelumpuhan total

6. Neuritis optik

7. Sepstikemia/ syok (jarang)

8. Artritis septik, osteomielitis (jarang)

9. Metastasis infeksi ke tempat yang jauh seperti miokardium, atau SSP

(jarang)

10. Kematian

M. PENCEGAHAN

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan

pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak. Pencegahan secara khusus terdiri
dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. 9 Pencegahan yang paling baik adalah

dengan vaksinasi sesuai dengan anjuran inisiatif global pertussis (dibentuk pada

2001) yaitu kelompok kerja yang mempunyai tugas menjalankan iminisasi global

dan pencegahan penyakit pada bayi, remaja, dan dewasa untuk difteri, pertusis

dan tetanus.3

Satu-satunya cara untuk mengendalikan difteri secara efektif adalah

melalui imunisasi. Tujuannya adalah untuk mengimunisasi semua bayi sebelum

mereka kehilangan antibodi ibu mereka, dan kemudian memberikan dosis penguat

untuk meningkatkan dan mempertahankan kekebalan. Vaksin difteri telah

dikombinasikan dengan vaksin pertusis dan tetanus sejak 1940-an sebagai DPT. 10

Setiap bayi (usia 0-11 bulan) wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang

terdiri dari 1 dosis Hepatitis B (usia 0-7 hari), 1 dosis BCG (usia 1 bulan), 3 dosis

DPT-Hepatitis B (usia 2-3-4 bulan), 4 dosis polio (usia 1-2-3-4 bulan), dan 1 dosis

campak (usia 9 bulan).14

Pada orang yang kontak erat dengan penderit difteri terutama yang tidak

pernah / tidak sempurna mendapat imunisasi aktif, dianjurkan pemberian booster

dan melengkapi pemberian vaksin. Selanjutnya diberikan kemoprofilaksis berupa

Penisilin procain 600.000 unitintramuskuler / hari atau Eritromicin 40 mg/kg BB/

hari selama 7-10 hari. Bila pengawasan tidak bisa dilakukan , diberikan antitoksin

10.000 unit intramuscular, kemudian 2 minggu setelah pengobatan dilakukan

kultur untuk memastikan eradikasi c.dyphtheriae.3

N. PROGNOSIS
Prognosis difteri setelah ditemukannya antitoksik difteri dan antibiotik

lebih baik daripada sebelumnya.9 Prognosis tergantung pada: 2

1. Virulensi basil difteri

2. Lokasi dan luas membran yg terbentuk

3. Status kekebalan penderita

4. Cepat lambatnya pengobatan

5. Pengobatan yg diberikan

Secara umum angka kematian penderita difteri 5-10% dimana kematian

tertinggi terjadi pada penderita yang tidak mendapat imunisasi lengkap dan pasien

yang mempunyai kelainan sistemik. Pada difteri dengan keterlibatan jantung

prognosis sangat buruk terutama bila disertai blok atrioventrikular dengan angka

kematian mencapai 60-90%. Pada keadaan sepsis tingkat kematian 30-40%.3

Tingkat kematian yang tinggi di sebabkan oleh difteri jenis

gravis/invasive, bullneck diptheriae. Jenis ini mempunyai angka kematian

mencapai 50%. Difteri laring lebih cepat menyebakan obstruksi saluran nafas, bila

pertolongan tidak cepat dan pengawasan tidak ketat dapat menimbulkan kematian

mendadak. Keterlambatan pengobatan meningkatkan angka kematian menjadi 20

kali lipat, penyebab kematian terbanyak adalah miokarditis. Angka kematian yang

tinggi tejadi pada umur kurang lima tahun dan lebih 40 tahun. Di indonesia angka

kematian penderita difteri di 29 rumah sakit tahun 1969-1970 adalah 11,3%.3


BAB III

KESIMPULAN

Tonsillitis Difteri adalah infeksi akut pada tonsil yang disebabkan oleh

corynebacterium diphtheria. Basil ini merupakan bakteri gram-positif pleomorfik

tersusun berpasangan, tidak bergerak, tidak membentuk spora (kapsul), aerobik

dan dapat membentuk eksotoksin. Corynebacterium diphteriae hidup di saluran

nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Toksin difteri diproduksi oleh

strain toksigenik C.diphtheriae, yang merupakan faktor virulensi utama dalam


klinis penyakit. Toksin diproduksi di lesi pseudomembran dan masuk ke dalam

aliran darah, kemudian didistribusikan ke semua sistem organ.

Angka kematian karena difteri berkisar antara 5-10% lebih tinggi sampai

20% pada anak-anak dengan usia <5tahun dan dewasa >40 tahun. Imunisasi

berpengaruh besar terhadap angka kematian. Berdasarkan jenis kelamin, tidak ada

perbedaan kejadian difteri pada laki-laki atau perempuan. Difteri merupakan

penyakit pada anak-anak, terutama pada usia <12 tahun.

Pasien yang terinfeksi dan karier dapat menularkan C.diptheriae langsung

melalui droplet pernapasan, sekret nasofaring dan secara tidak langsung melalui

debu, baju, ataupun benda yang terkontaminasi. Gejala awalnya bersifat umum

yaitu pasien mengeluh nyeri tenggorokan, demam ringan, anoreksia, nyeri

menelan, malaise, dan nyeri kepala. Gejala lokal berupa tonsil membengkak

ditutupi bercak putih kotor/putih kelabu yang makin lama makin meluas dan

bersatu membentuk membran semu yang mudah berdarah. Bila infeksinya

berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya

sehingga timbul bull neck.

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis

serta pemeriksaan laboratorium. Antitoksin difteri merupakan terapi utama, adalah

agen spesifik yang digunakan untuk menetralkan toksin, sehingga mencegah

perkembangan kerusakan organ lebih lanjut. Antibiotik diberikan untuk

membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Dianjurkan pemberian

kortikosteroid pada kasus difteri yang disertai gejala obstruksi saluran napas
bagian atas (dapat disertai atau tidak bull neck) dan bila terdapat penyulit

miokarditis.

Anda mungkin juga menyukai