Referat Tonsilitis Difteriae Caca Dhani
Referat Tonsilitis Difteriae Caca Dhani
Disusun oleh:
Pembimbing :
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas
referat yang berjudul Tonsilitis Difteri. Referat ini merupakan tugas yang wajib
dilaksanakan sebagai syarat lulus selama menjalani kepaniteraan klinis di RSPAD
Gatot Subroto. Referat ini membahas tentang anatomi dan fisiologi tenggorokan,
patofisiologi, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, hingga pencegahan dari
difteri.
Penulis menyadari bahwa ada banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang tepat
maupun kurang berkenan di hati para pembaca, dan penulis juga membuka hati bagi
saran dan masukan yang membangun dari pembaca. Akhir kata, semoga makalah
referat yang penulis susun dapat memberikan manfaat yang berguna bagi pembaca
sekalian.
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, selaput lendir, kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau genitalia.
Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau
mukosa. yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.1
Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membran yang khas
di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak
kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila.
Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang membedakannya dengan
penyebab faringitis membranosa lain.
PEMBAHASAN
Anatomi Tonsil
Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan
sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal
dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap
infeksi. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer.
Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas.
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot
palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian
medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring
superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia
faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam
tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta.
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel Kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini
berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk
masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut
tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin
longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil.4
Gambar 2.1 Cincin Waldeyer
Batas Tonsil
2. Anterior – m. palatoglosus
3. Posterior – m. palatofaringeus
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah.
Pilar posterior adalah otot vertical yang ke atas mencapai palatum mole,
tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding
lateral esophagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior
tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini,
tetapi para klinis menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa
embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil
dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau
terpotongnya pangkal lidah.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu :
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh
A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal.4
Fisiologi Tonsil
T0 : Post Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian (pillar post)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median6
Garis median garis paramedian
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang
terkena infeksi.Berdasarkan berat ringannya penyakit ini dibagi menjadi ::
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari). Penyakit ini dapat
melibatkan hampir semua membran mukosa.7
Epidemiologi
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah
terjadi membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan
menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan
berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk
diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan
yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya
proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak
diberikan.8
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:6
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan
Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran
ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull neck)
atau disebut juga Burgermeester’s hals.
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.
Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.8
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri
dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan
lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.8
Penatalaksanaan
a. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah
masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan
berikut terlaksana:8
Biakan hidung dan tenggorok
Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
b. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.8
Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan
serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-
hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
Khusus
Anti Diphteria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu.
Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes
positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti
diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak
tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000
KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10
hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.
Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
c. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
Reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari atau suntikan selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ adenoidektomi.9,10,11
Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring
dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke
ginjal.6
Prognosis
Prognosis tergantung kepada
Virulensi kuman
Lokasi dan perluasan membrane
Kecepatan terapi
Status kekebalan
Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.
Keadaan umum penderita, misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita
gizi kurang
Ada atau tidaknya komplikasi
Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang
berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan
bisa mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua
kasus difteri respiratorik.12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tonsilitis difteri adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring
yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan pada
anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun
walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini. Meskipun
difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada
yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan
kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora. Dasar dari terapi ini
adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik.
Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C.
diphtheria.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis,
dan perawatan umum.
Daftar Pustaka