[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
121 tayangan20 halaman

Referat Tonsilitis Difteriae Caca Dhani

Referat ini membahas tentang tonsilitis difteri. Tonsil merupakan bagian dari cincin Waldeyer yang berperan dalam pertahanan terhadap infeksi. Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae yang menyebabkan pembentukan membran pada tonsil. Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi seperti gagal jantung dan harus didiagnosa dan diobati segera. Vaksinasi diperlukan untuk mencegah terjadinya difteri

Diunggah oleh

Lorenzia Wijaya
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
121 tayangan20 halaman

Referat Tonsilitis Difteriae Caca Dhani

Referat ini membahas tentang tonsilitis difteri. Tonsil merupakan bagian dari cincin Waldeyer yang berperan dalam pertahanan terhadap infeksi. Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae yang menyebabkan pembentukan membran pada tonsil. Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi seperti gagal jantung dan harus didiagnosa dan diobati segera. Vaksinasi diperlukan untuk mencegah terjadinya difteri

Diunggah oleh

Lorenzia Wijaya
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 20

REFERAT TONSILITIS DIFTERI

Disusun oleh:

Lorenzia Wijaya 11.2018.131

Dhanny Sutrisna 11.2018.213

Pembimbing :

Dr. Bayu Lesmono, Sp THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT

RSPAD GATOT SOEBROTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA


WACANA

Periode: 21 OKTOBER – 23 NOVEMBER 2019


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas
referat yang berjudul Tonsilitis Difteri. Referat ini merupakan tugas yang wajib
dilaksanakan sebagai syarat lulus selama menjalani kepaniteraan klinis di RSPAD
Gatot Subroto. Referat ini membahas tentang anatomi dan fisiologi tenggorokan,
patofisiologi, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, hingga pencegahan dari
difteri.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada konsulen kami yang


telah memberikan pengajaran yang tak ternilai. Terima kasih dr. Bayu Lesmono,
Sp.THT atas bimbingannya dalam pembuatan referat yang berjudul Tonsilitis
Difteri ini.

Penulis menyadari bahwa ada banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang tepat
maupun kurang berkenan di hati para pembaca, dan penulis juga membuka hati bagi
saran dan masukan yang membangun dari pembaca. Akhir kata, semoga makalah
referat yang penulis susun dapat memberikan manfaat yang berguna bagi pembaca
sekalian.

Jakarta, 28 Oktober 2019

Tim Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, selaput lendir, kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau genitalia.
Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau
mukosa. yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.1
Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membran yang khas
di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak
kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila.
Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang membedakannya dengan
penyebab faringitis membranosa lain.

Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, yaitu dengan


angka kematian sekitar 10%. Faring merupakan daerah tersering untuk infeksi ini.
Penyakit ini lebih banyak terjadi pada individu yang tidak diimunisasi atau
imunisasi yang tidak adekuat. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri
tenggorokan. Di samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia. Difteri
merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru
lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan
hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang
mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. 2

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-


kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak
terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan
angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal
jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan
yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis. 3
BAB II

PEMBAHASAN

Anatomi Tonsil

Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan
sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal
dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap
infeksi. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer.
Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas.
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot
palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian
medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring
superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia
faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam
tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta.
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel Kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini
berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk
masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut
tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin
longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil.4
Gambar 2.1 Cincin Waldeyer

Batas Tonsil

1. Lateral – m. konstriktor faring superior

2. Anterior – m. palatoglosus

3. Posterior – m. palatofaringeus

4. Superior – palatum mole

5. Inferior – tonsil lingual

Gambar 2.2 Batas Tonsil

Gambar 2.3 Anatomi tonsil


Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah.

Pilar posterior adalah otot vertical yang ke atas mencapai palatum mole,
tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding
lateral esophagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior
tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini,
tetapi para klinis menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil.

Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa
embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil
dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau
terpotongnya pangkal lidah.

Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu :

1. A. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.


Palatina asenden.
2. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.
3. A. Lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.
4. A. Faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh
A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal.4

Gambar 2.4. Vaskularisasi tonsil

Aliran getah bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
M.Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N.IX).5

Gambar 2.5 Persarafan tonsil

Fisiologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2%


dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada
tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat
sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit
dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil
merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu :
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.
Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan
patogen, selanjutnya mentranspor ke sel limfoid.
Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun.
Pada usia lebih dari 60 tahun, Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali
pada semua kompartemen tonsil.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon
imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang
merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak
hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk
komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi
tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respon
imun tonsila palatina tahap II terjadi setelah antigen melalui epitel kripta dan
mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Respon imun berikutnya
berupa migrasi limfosit.
Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahawa migrasi limfosit
berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV (high endothelial
venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.
Ukuran Tonsil

T0 : Post Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian (pillar post)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median6
Garis median garis paramedian

Gambar 2.6. Ukuran Tonsil


Definisi

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphteriae. Infeksi biasnya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
local dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme pada tempat infeksi.

Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang
terkena infeksi.Berdasarkan berat ringannya penyakit ini dibagi menjadi ::

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.

2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding


belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari). Penyakit ini dapat
melibatkan hampir semua membran mukosa.7

Epidemiologi

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun


secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas. Umumnya
masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang
tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens
menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering
terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin
ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan
terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan
imunisasi.7
Etiologi

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil


gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang
mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae
berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.8
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang.
Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan
dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.8

Patofisiologi

Kuman masuk melalui mukosa/ kulit, melekat serta berbiak pada


permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan
dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin
yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting
dalam menimbulkan efek toksik pada sel.8
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam
suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses
ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan
toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.8
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan
sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel
akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai C

Manifestasi Klinis
Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah
terjadi membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan
menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan
berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk
diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan
yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya
proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak
diberikan.8
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:6
 Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan
 Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran
ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull neck)
atau disebut juga Burgermeester’s hals.

Gambar 2.8. Pseudomembran yang mudah berdarah


Gambar 2.9. Bull Neck Difteri

 Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.
Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.8
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri
dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan
lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.8
Penatalaksanaan
a. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah
masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan
berikut terlaksana:8
 Biakan hidung dan tenggorok
 Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
 Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
 Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
 Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
 Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
 Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).

b. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.8
 Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan
serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-
hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
 Khusus
Anti Diphteria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu.
Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes
positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti
diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak
tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000
KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10
hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.
Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
c. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
Reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari atau suntikan selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ adenoidektomi.9,10,11
Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring
dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke
ginjal.6

Prognosis
Prognosis tergantung kepada
 Virulensi kuman
 Lokasi dan perluasan membrane
 Kecepatan terapi
 Status kekebalan
 Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.
 Keadaan umum penderita, misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita
gizi kurang
 Ada atau tidaknya komplikasi
Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang
berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan
bisa mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua
kasus difteri respiratorik.12
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tonsilitis difteri adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring
yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan pada
anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun
walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini. Meskipun
difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada
yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan
kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora. Dasar dari terapi ini
adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik.
Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C.
diphtheria.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis,
dan perawatan umum.
Daftar Pustaka

1. Adams, GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. BOIES :


Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Enam. EGC: Jakarta.2017.
2. . GP Notebook. Complications of Tonsillar Diphtheriae
http://www.gpnotebook.co.uk/simplepage.cfm?ID=1745223704&linkI
D=12516&cook=no
3. . Diphtheria: Division of Bacterial and Mycotic Diseases (US CDC).
Tersedia di http://www.rightdiagnosis.com/artic/diphtheria_dbmd.htm.
4. Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC
: Jakarta. 2017.
5. Snell R. Clinical anatomy by regions. Edisi ke-9. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2017.h.541-8.
6. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. Edisi ke-7.
Canada: Brooks/Cole; 2010.h.139-41.
7. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher.
Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. 2007: 222
8. Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang.
2011.
9. Doerr S. Diphtheria. Available at: http://www.emedicinehealth.com
/diphtheria/page9_em.htm
10. Biofarma. Serum Anti Difteri. Available at:
http://www.biofarma.co.id/index. php/detil/items/serum-anti-
diptheri.html.
11. RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and Ilness
Information. Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at:
http://www.rxmed.com
12. American Academy of Pediatrics. Red book: 2016 Report of the
Commitee on Infectious Diseases. 27th ed. American Academy of
Pediatrics; 2016.

Anda mungkin juga menyukai