BAB I
PENDAHULUAN
Emfisema merupakan tanda dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
selain bronkitis kronik. Definisi emfisema menurut gambaran radiologik yaitu suatu
keadaan di mana paru lebih banyak berisi udara, sehingga ukuran paru bertambah,
baik anterior-posterior maupun ukuran paru secara vertikal kearah diafragma.
Menurut WHO pada tahun 2002, PPOK (emfisema paru dan bronkitis kronik)
menempati urutan ke-5 sebagai penyebab utama kematian di dunia1. Di China, PPOK
(emfisema paru dan bronkitis kronik) menempati urutan kedua sebagai penyebab
utama kematian1.
Menurut CDC pada tahun 2011, 4.7 juta orang di Amerika Serikat terdiagnosa
dengan emfisema paru. Angka prevalensi yang terjadi yaitu 20.2 per 1000 orang.
Lebih dari 90% kasus emfisema merupakan orang dengan umur lebih dari 45 tahun.
Pada tahun 2011, diperkirakan 3.8 juta etnik non-Hispanic whites (23.9 per 1000
orang) terdiagnosa emfisema paru dibandingkan dengan perkiraan non-Hispanic
blacks yaitu 489.000 (17.9 per 1000 orang)2.
Di Indonesia tidak ada data akurat tentang prevalensi PPOK. Pada Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, asma, bronkitis kronis dan emfisema
menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke -6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Respirasi dan Gambaran Normal Radiologi Sistem
Respirasi4,5,6
2.1.1 Anatomi Sistem Respirasi4
Saluran pernafasan terdiri atas saluran pernafasan bagian atas, mulai dari
lubang hidung sampai trakea, dan saluran pernafasan bagian bawah, yang terletak
di dalam dada, dan meliputi trakea, pohon bronkial dan paru-paru4.
Gambar 2.1.15
Anatomi Sistem Respirasi
A. Saluran Pernafasan; B. Pembesaran alveolus di terminal akhir saluran
pernafasan
Paru-paru berbentuk kerucut sesuai ruangan yang digambarkan oleh rongga
pleura, kecuali recessus costodiafragmaticus dan recessus costomediastinalis. Tiap
paru memiliki alas dan puncak, permukaan kostal dan medial, tepi anterior dan
inferior, dan sebuah hilus (tempat masuk bagi pembuluh darah, saraf, dan
komponen bronkial pada permukaan medial)4.
Alas paru cekung dan sesuai bentuk kubah diafragma. Kubah kanan diafragma
terletak lebih tinggi (setinggi pertengahan ruas punggung kedelapan) daripada
kubah kiri diafragma (setinggi cakram antara ruas punggung kedelapan dan
kesembilan). Karena itu paru kanan lebih pendek daripada paru kiri. Karena
2
jantung menemppati posisi sedikit di sebelah kiri garis tengah, maka alas paru
kanan lebih lebar daripada alas paru kiri. Puncak paru membentuk kubah paru
yang menonjol di atas iga pertama dan klavikula, dibawah fasia penutup otot di
leher (m. scalenus).
Pada sisi kanan jantung, lengkung V. azygos melintas dari sisi posterior ke sisi
anterior akar paru kanan, untik bermuara ke dalam v. cava superior. Pada sisi kiri
jantung, lengkung aorta melintas dari sisi anterior ke sisi posterior akar paru kiri.
Sebuah pandangan radiografik dada lateral memperlihatkan akar paru yang
radioopak di tengah-tengah lapangan jaringan paru radiolusen.
Paru kanan yang lebih lebar dan lebih pendek dari paru kiri mempunyai 3
lobus yang jelas. Lobus ini dibatasi oleh dua fissure. Fissura obliqus memisahkan
lobus superior dari lobus inferior. Fissura ini melintas dari permukaan posterior
sepanjang letak iga keenam. Lobus superior paru dibagi-bagi lagi oleh suatu fisura
horizontalis. Paru kiri memiliki 2 lobus yang dapat dibedakan dengan jelas, yaitu
lobus superior dan lobus inferior. Kedua lobus ini terpisah oleh suatu fisura
obliqus yang sesuai dengan letak pada paru kanan. Tetapi jarang ditemukan lobus
superior paru kiri juga memiliki fisura horizontalis, hal ini merupakan
perbedaannya. Ciri pembeda yang lain yaitu pada paru kiri ada incisura cardiaca
yang tampak jelas pada permukaan medial. Paru kiri tidak memilki lobus medius,
tetapi lobus superiornya memiliki proyeksi semu lidah yang dinamakan lingual.
2.1.2 Gambaran Normal Radiologi Sistem Respirasi6
Pada posisi PA akan terlihat gambaran trakea di midline. Batas kanan dari
trake terdapat sebuah garis tipis yang disebut garis paratrakea kanan. Jika garis ini
menghilang atau menebal meenggambarkan adanya lymphadenopathy. Garis
paratrakea kanan ini akan berlanjut ke inferior dengan gambaran opak kecil berbentuk
konveks berkedudukan di bagian konkaf yang dibentuk oleh pertemuan trakea dan
bronkus utama kanan. Gambaran opak itu dibentuk oleh vena azygos, dilihat berakhir
kedepan dari bronkus utama kanan dan menuju ke vena cava superior. Vena cava
superior terlihat gambaran garis lurus yang berlanjut ke inferior dengan batas kanan
jantung. Batas kanan jantung dibentuk oleh atrium kanan. Hilus kanan sekitar
pertengahan diafragma dan apex paru-paru. Hilus kanan dibentuk oleh bronkus utama
kanan dan arteri pulmonalis kanan, dan pembagian lobus paru kanan. Batas kiri
mediastinum dapat dilihat 3 gambaran konveks. Gambaran konveks yang paling
3
superior yaitu lengkung aorta yang dibentuk oleh arcus aorta. Aorta descendens dapat
dilihat kearah bawah dari gambaran konveks superior dan membentuk garis ke kiri
dari tulang belakang. Garis ini dapat dikaburkan dengan massa mediastinum posterior
atau dengan gambaran patologi di lobus inferior paru kiri. Gambaran konveks yang
kedua lebih bervariasi dan dibentuk oleh arteri pumonalis utama. Terdapat hilus kiri di
posterior dari gambaran konveks ini dan meluas ke lateral. Hilus kiri berisi oleh
bronkus kiri utama dan arteri pulmonalis kiri dan pembagian lobus utama. Gambaran
konveks yang paling besar dan paling inferior merupakan batas jantung kiri. Batas
jantung kiri dibentuk oleh ventrikel kiri, kecuali di dalam kasus dimana ventrikel
kanan membesar. Tambahan atrium kiri terletak di batas jantung kiri atas tidak dapat
terlihat kecuali terdapat pembesaran.
Gambar 2.1.26
Anatomi Thorax Posisi PA pada gambaran X-Ray Thorax
1. Tepi kanan jantung; 2. Tepi kiri jantung; 3. Hilus kanan; 4. Hilus kiri; 5. Arcus
aorta; 6. Trakea; 7. Vena azygos
Pada posisi lateral, caput humeri dapat terlihat sebagai gambaran opak yang
berbentuk bulat diproyeksikan diatas apeks paru-paru. Gambaran caput humeri ini
tidak boleh salah diartikan dengan massa abnormal. Trakea akan terlihat sebagai
struktur udara di dada bagian atas dan berada di tengah-tengah antara dinding anterior
dan posterior. Aspek posterior dari arkus aorta dibentuk oleh gambaran konveks
4
posterior ke trakea. Jika trakea diikuti kearah inferior mengarah ke karina dimana
bronkus utama kanan dan bronkus utama kiri berakhir sebagai gambaran lusen yang
berbentuk bulat. Arteri pulmonalis utama membentuk gambaran opak posterior dan
sedikit kearah posterior ke karina. Arteri pulmonalis kanan membentuk gambaran
opak anterior dan sedikit kearah inferior ke karina. Batas jantung posterior dibentuk
oleh atrium kiri superior dan dan ventrikel kiri inferior. Ventrikel kanan membentuk
batas jantung anterior. Arteri pulmonalis utama membentuk gambaran opak yang
berbentuk konveks berlanjut ke batas jantung kanan atas.
Gambar 2.1.36
Anatomi Thorax Posisi Lateral pada gambaran X-Ray Thorax
1. Trakea; 2. A. Pulmonalis sinistra; 3. A. Pulmonalis dextra; 4. Ruang
retrosternal; 5. Tepi posterior jantung; 6. Arteri lobus Inferior; Tanda panah
menunjukkan Vena Cava Inferior
2.2
Definisi Emfisema Paru
Emfisema merupakan tanda dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
selain bronkitis kronik. Definisi emfisema menurut gambaran radiologik yaitu
suatu keadaan di mana paru lebih banyak berisi udara, sehingga ukuran paru
bertambah, baik anterior-posterior maupun ukuran paru secara vertikal kearah
diafragma7. Bentuk emfisema yang paling sering ditemui adalah emfisema
sentrilobular. Bentuk emfisema tersebut timbul pada orang yang merokok dan
biasanya terkena pada lobus superior. Emfisema panlobular sering berhubungan
dengan defisiensi alfa-1 antitripsin dan terkena pada lobus inferior. Secara
patologis emfisema merupakan pembesaran ruang udara distal kearah bronkiolus
terminal yang disertai dengan destruksi dari dinding alveolus tanpa jaringan
fibrosis8.
2.3
Epidemiologi Emfisema Paru
Prevalensi emfisema di United States menurut laporan dari The National
Health Interview Survey terdapat 18 kasus per 1000 orang dan terdapat 34 kasus per
1000 orang yang terkena kronik bronkitis8. Di Indonesia tidak ada data akurat tentang
prevalensi PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, asma,
bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan
terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan
angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke
-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia3.
2.4
Patofisiologi Emfisema Paru8
Saat benda asing atau antigen (bahan berbahaya seperti rokok) masuk ke
dalam saluran pernafasan, sel epithelial dan mukosiliar akan terinisiasi dengan
melakukan respon yaitu imunitas sel inflamasi (sel polimorfonuklear, eosinofil,
makrofag, sel limfosit CD 4 positif, sel limfosit CD 8 positif) akan mengangkut
antigen ke bronchial associated lymphatic tissue layer (BALT). Makrofag akan
menghasilkan enzim proteolitik seperti matrix-metalloproteinases (MMPs) yang
dimana akan melakukan destruksi pada pertahanan epitelial di dalam paru-paru.
Selain makrofag, neutrofil juga melepaskan protease dan radikal bebas hidrogen
peroksida yang akan menambah kehancuran epitel (khususnya menekan membran
basal). Limfosit T dari sputum perokok terutama sel CD 8 positif akan melepaskan
faktor-faktor kemotaktik untuk merekrut lebih banyak sel (sitokin pro-inflamasi
yang memperkuat peradangan) dan faktor pertumbuhan yang membuat perubahan
struktural. Peradangan akan bertambah hebat yang disebabkan oleh stress
oksidatif dan produksi protease. Oksidan tersebut dihasilkan oleh asap rokok dan
dilepaskan dari sel-sel inflamasi. Protease diproduksi oleh inflamasi, makrofag,
dan sel-sel epitel.
Proses perbaikan pada remodeling jalan napas akan memperburuk emfisema
karena terdapat proses vascular endothelial growth factor (VEGF) pada sel otot
polos saluran pernafasan dan bertanggung jawab atas neovaskularisasi dan
meningkatkan pola abnormal dari perkembangan fibroblastik. Sehingga
menyebabkan perubahan struktural dari hyperplasia mukus, edema bronkiolus,
dan hipertrofi disertai fibrosis otot polos pada saluran pernafasan perokok.
Gambar 2.4.19
Patofisiologi Emfisema Paru
2.5
Faktor Risiko Emfisema Paru8
Faktor risiko yang berhubungan dengan perkembangan PPOK (emfisema paru
dan bronkitis kronik) yaitu merokok aktif dan pasif, pekerjaan yang berhubungan
dengan asap, paparan asap seperti memasak dengan bahan bakar (kayu, batu bara,
kotoran hewan, dan tanaman), dan ventilasi yang buruk di dalam rumah. Selain
itu, faktor risiko genetik yaitu defisiensi alfa-1 antitripsin juga berhubungan
dengan PPOK (emfisema paru dan bronkitis kronik).
2.6
Klasifikasi Emfisema Paru7
Emfisema dapat dibedakan menjadi 2 yaitu emfisema obstruktif dan emfisema
non-obstruktif. Emfisema obstruktif terdiri atas akut, kronik, dan bullous.
Emfisema non-obstruktif terdiri dari emfisema kompensasi dan emfisema senilis
(postural).
I.
Emfisema lobaris
Emfisema lobaris biasanya terjadi pada bayi baru lahir dengan
kelainan tulang rawan, bronkus, mukosa bronkial yang tebal, sumbatan
mukus (mucous plug), penekanan bronkus dari luar oleh anomali
pembuluh darah. Gambaran radiologiknya berupa bayangan radiolusen
pada
bagian
paru
yang
bersangkutan
dengan
pendorongan
mediastinum kearah kontra-lateral.
Gambar 2.6.110
Kongenital Emfisema Lobaris
II.
Emfisema hipertrofik kronik
Emfisema hipertrofik kronik terjadi sebagai akibat komplikasi
penyakit paru seperti asma bronkial yang parah, bronkiektasis,
peradangan paru yang berat, pneumoconiosis ganas, dan tuberkulosis.
Gambaran
radiologic
menunjukkan
peningkatan
aerasi
dan
penambahan ukuran toraks yang biasanya hanya terjadi pada satu sisi.
Sering ditemukan bleb dan bulla yang berupa bayangan radiolusen
tanpa struktur jaringan paru.
III.
Emfisema bulla
Bulla merupakan emfisema vesikuler setempat dengan ukuran
antara 1-2 cm atau lebih besar, yang kadang-kadang sukar dibedakan
dengan pneumotoraks. Penyebabnya sering tidak diketahui, tapi
dianggap sebagai akibat suatu penyakit paru yang menyebabkan
penyumbatan seperti bronkiolitis atau peradangan akut lainnya dan
perangsangan/ iritasi gas yang terhisap. Sering faktor penyebabnya
sudah tidak tampak lagi, tetapi akibatnya adalah emfisema bulla yang
tetap atau bertambah besar. Gambaran radiologic berupa suatu kantong
radiolusen di perifer lapangan paru, terutama bagian apeks paru dan
bagian basal paru di mana jaringan paru normal sekitarnya akan
terkompresi sehingga menimbulkan keluhan sesak nafas.
Gambar 2.6.2
Emfisema Bulla
IV.
Emfisema kompensasi
Keadaan
ini
merupakan
usaha
tubuh
secara
fisiologik
menggantikan jaringan paru yang tidak berfungsi (atelektasis) atau
mengisi toraks bagian paru yang terangkat pada pneumoektomi.
V.
Emfisema senilis
Emfisema senilis merupakan akibat proses degeneratif orang tua
pada kolumna vertebra yang mengalami kifosis di mana ukuran
anterior-posterior toraks bertambah sedangkan tinggi toraks secara
vertkal tidak berubah, begitu pula bentuk diafragma dan peranjakan
diafragma tidak berubah. Keadaan ini akan menimbulkan atrofi septa
alveolar dan jaringan paru berkurang dan akan diisi oleh udara
sehingga secara radiologik tampak toraks yang lebih radiolusen,
corakan bronkovaskular yang jarang dan difragma yang normal.
Gambar 2.6.3
Emfisema Senilis pada Pasien Umur 88 Tahun
Klasifikasi emfisema menurut patologi morfologi terdiri dari 3 tipe yaitu
sentrilobular / sentriasinar emfisema, panlobular / panacinar emfisema, dan
paraseptal emfisema. Sentriasinar emfisema merupakan bentuk tersering pada
emfisema paru yang berlokasi di proximal dari bronkiolus dengan destruksi fokal
dan ditemukan di bagian atas zona paru-paru. Sentrilobular / sentriasinar
emfisema berhubungan dengan merokok dan inhalasi debu7.
10
Gambar 2.6.48
Emfisema sentrilobular
Panlobular atau panasinar emfisema merusak seluruh alveolus dan sering
ditemukan di bagian bawah dari paru-paru. Panlobular emfisema sering ditemukan
karena defisiensi alfa-1 antitripsin.
Gambar 2.6.58
Emfisema Panlobular
Paraseptal emfisema yang dikenal sebagai emfisema asinar distal berkaitan
dengan struktur saluran pernafasan distal, duktus alveolus, dan sakus alveolus.
Proses yang terjadi berlokalisasi di septum paru-paru atau pleura.
11
Gambar 2.6.68
Emfisema paraseptal
2.7
Gambaran Radiologi Emfisema Paru
Gambaran foto X-ray pada emfisema yaitu paru-paru overexpanded,
diafragma mendatar di bawah iga anterior 6, pada posisi lateral terdapat
peningkatan ruang udara retrosternal, pada lapang paru terdapat tanda vaskular
yang berkurang, peningkatan diameter antero-posterior rongga dada (pada
beberapa kasus disertai dengan kifosis dan sternum yang melengkung kearah
anterior), formasi bulla (bulla terlihat seperti dinding tipis yang berisi rongga
udara / cavities), dan hipertensi a. pulmonal (arteri pulmonal utama yang
menonjol).
Gambar 2.7.110
Tanda gambaran radiologik konvensional : Diafragma mendatar
12
Gambar 2.7.210
Tanda gambaran radiologik konvensional : Sudut antara diafragma dan dinding
anterior thorax 90o
Gambar 2.7.310
Tanda gambaran radiologik konvesional : Ruang retrosternal > 2.5 cm
13
Gambar 2.7.410
Tanda gambaran radiologik konvesional : Formasi bulla
Gambar 2.7.56
Gambaran Radiologi Emfisema Paru Posisi PA
Paru-paru overexpanded
Narrow mediastinum
Tanda panah : Fraktur iga 7 yang telah sembuh
14
Gambar 2.7.66
Gambaran Radiologi Emfisema Paru Posisi Lateral
2.8
Diafragma mendatar
Pembesaran ruang retrosternal
Tanda dan Gejala Emfisema Paru8
Kebanyakan orang terlambat mengenali tanda dan gejala emfisema paru
karena biasanya banyak orang yang mengabaikan tanda dan gejala yang dimulai
secara bertahap dan bertahun-tahun. Biasanya muncul pada dekade kelima dengan
batuk produktif atau nyeri pada dada akut. Gejala emfisema paru yang paling
signifikan yaitu dispneu dan terdapat wheezing. Pada pemeriksaan fisik, inspeksi
didapatkan pursed lips breathing, takipnea, penggunaan otot-otot bantuan
pernafasan selama proses eksaserbasi, dada berbentuk barrel chest, sela iga
melebar, sternum menonjol, retraksi intercostal saat inspirasi. Pada palpasi
didapatkan vokal fremitus melemah. Pada perkusi didapatkan hipersonor, hepar
terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, dan letak diafragma rendah. Pada
auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler normal atau melemah, ronkhi,
wheezing pada saat inspirasi dan ekspirasi, ekspirasi memanjang, bunyi jantung
terdengar jauh. Pada stadium akhir emfisema dapat terjadi sianosis, peningkatan
tekanan vena jugularis, atrofi otot tungkai, dan edema perifer karena adanya
hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
15
2.9
Tatalaksana Emfisema Paru8
Tatalaksana Emfisema Paru Farmakologik
I.
Bronkodilator
Bronkodilator bekerja dengan cara dilatasi saluran pernafasan dan
mengurangi resistensi aliran udara. Obat ini hanya mengurangi gejala
simtomatik saja tetapi tidak mengubah progesifitas penyakit atau
mengurangi mortalitas.
a. Bronkodilator short-acting
Terdapat 2 kelas bronkodilator yang bersifat short-acting yaitu beta2agonis dan agen antikolinergik. Beta2-agonis menstimulasi beta2adrenergik reseptor sehingga akan meningkatkan cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) dan menyebabkan bronkodilatasi. Pemakaian
secara inhalasi lebih dipilih karena dapat meminimalisasikan efek
samping sistemik. Dimana efek samping yang dapat terjadi yaitu
takikardia dan tremor. Meskipun jarang, tetapi efek samping yang
dapat terjadi yaitu aritmia kardiak. Agen antikolinergik akan memblok
M2 dan M3 kolinergik reseptor dan menghasilkan bronkodilatasi.
Agen antikolinergik ini relative aman untuk digunakan. Efek samping
yang dapat terjadi yaitu mulut kering, rasa metalik, gejala prostat.
b. Bronkodilator long-acting
Jika obat short-acting
tidak membuat perubahan, pasien harus
diberikan bronkodilator long-acting. Contoh obat long-acting betaagonists yaitu salmeterol, formoterol, arformoterol, da indacaterol.
Dosis yang biasa dipakai yaitu 2 kali sehari, kecuali indacaterol
diberikan 1 kali sehari. Oral phosphodiesterase inhibitors seperti
teofilin juga merupakan long acting bronchodilation, walaupun
penggunaan obat ini terbatas. Selain itu, terdapat pilihan lain yaitu
dengan memakai long acting muscarinic agents seperti tiotropium.
c. Phosphodiesterase inhibitors
Phosphodiesterase inhibitors meningkatkan intraselular cAMP dan
menyebabkan bronkodilatasi. Teofilin merupakan phosphodiesterase
inhibitor nonspesifik dan sekarang penggunaannya terbatas. Teofilin
memiliki efek samping ke kardiak. Obat ini digunakan untuk pasien
dengan PPOK yang sulit terkontrol atau untuk individu yang tidak
16
dapat menggunakan agen inhalasi. Generasi kedua yaitu Roflumilast
dan cilomilast (penghambat PDE-4 selektif). Obat ini menyebabkan
reduksi dari proses inflamasi (makrofag dan limfosit CD8 +) pada
pasien PPOK. Obat ini efektif digunakan jika dosis yang berikan yaitu
2 kali sehari.
II.
Terapi antiinflamasi
Terapi antiinflasi merupakan tugas penting dalam patogenesis PPOK.
Penggunaan obat steroid oral untuk eksaserbasi akut direkomendasikan.
Tetapi penggunaan obat steroid oral pada PPOK kronik yang stabil tidak
direkomendasikan, karena dapat memberikan efek samping. Kortikosteroid
inhalasi memiliki efek samping yang terbatas dan hanya sedikit yang
terabsorbsi.
NSAID
seperti
cromolyn
dan
nedocromil
tidak
memperlihatkan kemanjuran pada terapi PPOK. Kortikosteroid inhalasi
tidak direkomendasikan sebagai monoterapi, tetapi harus ditambahkan
dengan regimen yang sudah termasuk brokodilator long-acting.
III.
Antibiotik
Pada pasien PPOK, infeksi kronik atau kolonisasi pada saluran
pernafasan bagian bawah pada umumnya terdapat kuman S pneumoniae,
H influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Pasien dengan penyakit berat
memilki prevalensi yang lebih tinggi pada organism Gram-negative seperti
Pseudomonas. Penggunaan antibiotik untuk terapi eksaserbasi akut sangat
membantu. Penggunaan antibiotik yang paling berguna bagi pasien dengan
kondisi eksaserbasi diikuti dengan 2 karakteristik dari peningkatan
dispnea, produksi sputum, dan sputum purulen (criteria The Winnipeg).
Tidak ada bukti yang menunjang pemakaian antibiotik berkelanjutan atau
sebagai profilaksis dapat mencegah eksaserbasi.
IV.
Agen Mukolitik
Pada pasien PPOK, sekresi kental dari paru berisi mukus yang berasal
dari glikoprotein dan leukosit yang berasal dari DNA. Agen mukolitik
dapat mengurangi kekentalan sputum dan meningkatkan pembersihan
sekresi. Meskipun agen mukolitik menunjukkan pengurangan batuk dan
17
ketidaknyamanan
bagian
dada
depan,
agen
mukolitik
ini
tidak
memperlihatkan perbaikan dari dispnea dan fungsi dari paru-paru.
Tatalaksana Emfisema Paru Non-Farmakologik7
Tatalaksana emfisema paru non-farmakologik yang sering digunakkan yaitu
operasi reduksi volume paru-paru. Untuk operasi digunakan CT-scan yang
berguna sebagai pemeriksa ketepatan tingkat keparahan dan distribusi penyakit,
mengetahui presentasi kuantitas dari residual paru yang sehat, mengidentifikasi
kondisi yang dapat mengecualikan tatalaksana operasi seperti karsinoma
bronkogenik.
18
BAB III
KESIMPULAN
Emfisema merupakan tanda dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) selain bronkitis kronik. Definisi emfisema menurut gambaran radiologik
yaitu suatu keadaan di mana paru lebih banyak berisi udara, sehingga ukuran paru
bertambah, baik anterior-posterior maupun ukuran paru secara vertikal kearah
diafragma. Menurut WHO pada tahun 2002, PPOK (emfisema paru dan bronkitis
kronik) menempati urutan ke-5 sebagai penyebab utama kematian di dunia. Di
China, PPOK (emfisema paru dan bronkitis kronik) menempati urutan kedua
sebagai penyebab utama kematian. Faktor risiko yang berhubungan dengan
perkembangan PPOK (emfisema paru dan bronkitis kronik) yaitu merokok aktif
dan pasif, pekerjaan yang berhubungan dengan asap, paparan asap seperti
memasak dengan bahan bakar (kayu, batu bara, kotoran hewan, dan tanaman),
ventilasi yang buruk di dalam rumah, dan defisiensi alfa-1 antitripsin. Klasifikasi
emfisema menurut etiologi dibagi menjadi 2 yaitu obstruktif dan non-obstruktif.
Emfisema obstruktif dibagi menjadi akut, kronik, dan bullous. Emfisema nonobstruktif dibagi menjadi kompensasi dan senilis. Klasifikasi emfisema menurut
patologi morfologi terdiri dari 3 tipe yaitu sentrilobular / sentriasinar emfisema,
panlobular / panacinar emfisema, dan paraseptal emfisema. Gambaran foto X-ray
pada emfisema yaitu paru-paru overexpanded, diafragma mendatar di bawah iga
anterior 6, pada posisi lateral terdapat peningkatan ruang udara retrosternal, pada
lapang paru terdapat tanda vaskular yang berkurang, peningkatan diameter anteroposterior rongga dada (pada beberapa kasus disertai dengan kifosis dan sternum
yang melengkung kearah anterior), formasi bulla (bulla terlihat seperti dinding
tipis yang berisi rongga udara / cavities), dan hipertensi a. pulmonal (arteri
pulmonal utama yang menonjol). Tatalaksana emfisema dibagi menjadi
farmakologik dan non-farmakologik. Tatalaksana emfisema farmakologik dapat
diberikan bronkodilator, antiinflamasi, antibiotik, dan agen mukolitik. Talaksana
emfisema non-farmakologik yaitu operasi reduksi volume paru-paru.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Chronic Respiratory Disease.
2. Trends in COPD (chronic bronchitis and emphysema) Morbidity and
Mortality. American lung association: 2013.
3. PPOK Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia: 2003.
4. Basmajian J.V., Slonecker, C.E. Grant Anatomi Klinik. Edisi XI.
5. Sherwood, L. Human Physiology. Edisi VII. 2010.
6. Lisle D.A. Imaging for Students. 2 nd Edition. New York: Hodder Headline
Group; 2001.
7. Rasad S. Radiologi Diagnostik. Edisi II: 2015.
8. Boka
K.
Emphysema.
2014.
Available
from
http://emedicine.medscape.com/article/298283-overview
9. Wong
E.
Pathogenesis
of
COPD.
2014.
Available
from
Available
from
http://www.pathophys.org/copd/copd-2/
10. Khan
N.A.
Emphysema
Imaging.
2016.
http://emedicine.medscape.com/article/355688-overview
20