Teología islámica

Nama Penerbit : Walisongo Press Tahun Terbit : 2009 Jumlah Halaman : 1-142 hlm Secara etimologis, istilah teologi berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. D.S. Adam memberikan batasan pengertian teologi merupakan disiplin yang membahas mengenai Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia,1 sedangkan Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menjelaskan bahwa teologi adalah pengetahuan ketuhanan mengenai sifat-sifat Allah dan agama terutama berdasar pada kitab-kitab Suci.2 Melihat akar katanya, istilah teologi sebenarnya bukan berasal dari Islam, namun istilah teologi tersebut bukan sesuatu yang baru dalam khazanah pemikiran Islam sekarang. Hal ini bisa dilacak pada masa di mana Islam mengalami perkembangan intelektual yang cukup signifikan melalui gerakan penerjemahan berbagai karya-karya monumental Yunani. Teologi adalah sebuah ilmu dengan bidang pengkajian tertentu yaitu Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan manusia. Diketahui bahwa penggunaan istilah teologi sebagai pengganti ilmu kalam tidak lain hanya merupakan pengulangan sejarah. oleh karena itu, membicarakan masalah teologi dalam Islam berarti adalah membicarakan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan

El presente artículo va a tener como protagonista un elemento que, dentro de la Historia del Arte y hasta hace muy poco tiempo, se había considerado simple decoración. Sin embargo, la cúpula de mocárabes tiene que ver con la idea de la Creación, la creación desde un punto de vista intelectual, biológico, atómico, accidental y que es llevada a
cabo por Dios (Allah). La idea de Dios es el Islam, por tanto, está implícita en esa
cúpula de mocárabes, tan sugerente y atractiva en espacios como la Alhambra de
Granada. No obstante, la cúpula de mocárabes se relaciona con esta idea de Dios creador a partir del s. X, en un contexto bagdadí. Es en Bagdad donde se desarrollan las ideas del `asharismo, que vamos a analizar a continuación. Va por delante mi homenaje a los profesores Juan Carlos Ruiz Souza y Susana Calvo Capilla1. Sus trabajos desarrollados en este aspecto son sumamente interesantes y son la principal bibliografía para este estudio.

Seperti yang kita ketahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, bersifat universal, dan berlaku sampai hari kiamat. Berbeda hal nya dengan agama-agama yang datang sebelum Islam, seperti Yahudi atau Nasrani. Agama-agama tersebut tidak bersifat universal dan hanya berlaku ketika nabi atau rasul yang membawa agama tersebut masih hidup. Universal disini maksudnya bahwa agama tersebut tidak dikhususkan bagi suatu kaum, misalkan agama Yahudi yang dikhususkan untuk bani Israel saja, tetapi diperuntukkan bagi seluruh umat manusia seperti agama Islam.
Agama Islam dibawa oleh Muhammad ibn Abdullah, nabi terakhir yang diutus Allah SWT tepatnya di kota Makkah¬. Tetapi sayangnya, sang pembawa agama Islam – nabi Muhammad SAW–  tersebut hanya diberi umur 63 tahun. Sehingga jika timbul suatu permasalahan khususnya dalam hal akidah tidak bisa langsung menanyakannya kepada sang nabi , maka dari itulah beberapa puluh tahun setelah kematian nabi Muhammad SAW muncul satu persatu berbagai macam aliran-aliran teologi Islam yang biasa disebut dengan Ushuluddin atau Ilmu Kalam. Diantara aliran ilmu kalam tersebut adalah aliran Mu’tazilah.
Pada makalah ini Saya akan membahas tentang aliran mu’tazilah tersebut. Supaya memberikan pemahaman kepada pembaca apa yang dimaksud aliran mu’tazilah? Bagaimana latar belakang terbentuknya aliran tersebut? Dan seperti apakah ajaran-ajaran dalam aliran tersebut? Semuanya akan dibahas satu persatu dalam makalah ini yang tentu masih banyak kekurangan dan kami berharap makalah ini bisa dipelajari dan berguna bagi pembaca sekalian.

Al-Ghazālī merupakan seorang cendiakawan Islam yang hidup di era kegemilangan Islam. Sebaris dengan tokoh-tokoh ilmuan yang lahir di era emas ini, al-Ghazālī telah menguasai pelbagai disiplin dan cabang ilmu seperti ilmu kalam, falsafah dan taṣawwuf. Sebagai seorang penulis yang prolifik, beliau telah menulis hampir 400 buah karya dalam pelbagai bidang. Oleh kerana ketokohan dan keilmuan tersebut, kajian mengambil inisiatif untuk membentangkan pengalaman keilmuan beliau yang telah dinukilkan di dalam sebuah autobiografi unik bertajuk al-Munqidh min al-Ḍalāl. Kajian ini merupakan kajian kepustakaan analisis kandungan terhadap autobiografi tersebut dan beberapa karya-karya lain yang ditulis oleh al-Ghazālī. Selain itu, kajian-kajian lain yang mengkaji pemikiran al-Ghazālī juga akan dirujuk. Kajian mendapati bahawa al-Munqidh merupakan sebuah tulisan yang signifikan bagi golongan pendidik dalam memahami tujuan profesion mereka serta panduan dalam mengahadapi cabaran-cabaran dalam dunia pendidikan.

Las nuevas generaciones hispanohablante están padeciendo un sinfín de dilemas, además de los psicosociales, lo esta siendo su perfilación ideológica y los recursos que la nutren. Tanto las generaciones descendientes como los nuevos conversos están siendo presa del utilitarismo. Por un lado los que pretenden imponer una ideología ajena, otros los que pretenden arrancarles la fe o desacreditar su ideología, y otros los recién postulados ahora que pretenden el adoctrinamiento escolar para imponer su propio idealismo instrumentalizado a sus propios fines. Urge, por tanto, ofrecer un análisis de los textos que se disponen en español, aquellos que están siendo fuente nutriente de la población, y que son otros de los oficiales que manejan las instituciones. Por ello, el presente documento intenta abordar las últimas tres traducciones del Qurán al Español, que son las más difundidas entre la población, hechas por hispanohablante recién conversos, es decir, no son hechas ni por clérigos ni por traductores ni orientalistas profesionales, y que están arraigando el ensanchamiento entre las comunidades sociales, regando el enfrentamiento y sirviendo cada vez más al des-entendimiento y la confrontación. A la vez de formular duras criticas a las traducciones existentes, y poner en evidencia las intuiciones políticas y la intencionalidad minuciosa que se esta imponiendo, el cual podría traducirse, sin lugar a duda, en instrumento de amenaza híbrida que urge formar una doctrina uniforme e iniciar un proceso colegial para una traducción uniforme del Qurán, que llene ese enorme vacío, y sacie las necesidades sociales e institucionales. Además de poner en evidencia lo desafortunadas que son estas versiones, desacreditándolas y luchar contra su difusión, ya que jurídicamente no existe otro instrumento de juicio ni censura.

Buku ini membahas tentang teologi Islam transformatif yang dimana mungkin dapat dipahami bahwa di dalam buku ini kita akan mempelajari terkait perubahan-perubahan teologi Islam dengan berbagai paradigma yang menjadi faktor perubahan tersebut. Mungkin dalam buku ini bisa dikatakan bahwa penulis mengemasnya dengan gaya penulisan yang cukup detail dengan pembahasan yang akan dihubungkan dengan pembahasan terkait teologi dan humanisme. Pada bab awal kita akan dihadapkan dengan pembahasan terkait struktur keberagamaan masyarakat, kemudian bahasan terkait teologi dan pembahasan terkait transformasi. Dijelaskan bahwa struktur keberagamaan masyarakat sendiri itu terdiri dari tiga unsur utama, yaitu kepercayaan yang membentuk sistem keyakinan, pemujaan yang membentuk sistem peribadatan, dan perilaku yang membentuk sistem tata nilai. Kemudian tiga unsur tersebut melahirkan disiplinnya masing-masing dalam Islam, yaitu dari sistem kepercayaan yang memunculkan disiplin Kalam (teologi Islam), sistem pemujaan yang memunculkan disiplin Fiqh (hukum Islam), dan sistem tata nilai yang memunculkan disiplin Tasawuf (etika Islam). Dari ketiga unsur tersebut dinyatakan bahwa sistem kepercayaan menjadi yang paling sentral dan signifikan. Hal ini dikarenakan hakekat beragama hanya menjadi mungkin sebab hal yang paling utama dalam agama adalah keyakinan terkait Tuhan. Dari sistem kepercayaan inilah sistem pemujaan dan sistem tata nilai muncul dalam rangka melengkapi dan