A. Ketimpangan Penelitian Sastra Penelitian sastra sampai saat ini memang cenderung masih berat sebelah. Maksudnya di beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi sastra orientasi penelitian masih terbatas pada teks sastra. Akibatnya,...
moreA. Ketimpangan Penelitian Sastra Penelitian sastra sampai saat ini memang cenderung masih berat sebelah. Maksudnya di beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi sastra orientasi penelitian masih terbatas pada teks sastra. Akibatnya, hasil penelitian sastra cenderung bersifat deskriptif belaka. Di beberapa sentral penelitian, hasil penelitian pada umumnya masih berkutat pada hal-hal teoritik sastra. Yakni, sebuah wilayah penelitian sastra untuk sastra. Orientasi semacam ini sering dianggap kurang lengkap, karena karya sastra sebenarnya merupakan bahan komunikasi antara pengarang dengan pembaca. Kepincangan penelitian sastra yang terasa sampai saat ini adalah masih jarang peneliti yang berani menerapkan metode eksperimen. Padahal, penelitian yang satu ini sedikit banyak akan melengkapi makna yang selama ini terabaikan. Pemakaian metode ini sekurang-kurangnya akan mampu mengungkap seberapa jauh tanggapan pembaca sastra, sebab pembaca merupakan bagian penting dalam rangka pengembangan sastra ke depan. Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya penelitian sastra akan semakin kurang bermakna. B. Kemiskinan Teori dan Ilmu Sastra Banyak pihak mensinyalir bahwa penelitian sastra kita masih tergolong "ringan" kadar keilmiahanya. Ini ditandai adanya seminar penelitian sastra di berbagai tempat, yang ternyata, tidak atau belum dan kurang memiliki bobot karakteristik penelitian ilmiah. Ini menyebabkan kondisi penelitian sastra sukar dibedakan dari komentar sastra dan atau kritik sastra. Penelitian sastra menjadi sukar dibedakan dari timbangan buku atau karya yang masih ringan bobotnya. Minimnya teori penelitian sastra, sering berakibat "comot sana-sini" dan memungut teori asing yang kurang mengakar pada si pemakai teori. Adopsi teori barat tersebut umumnya disadap mentah-mentah, bahkan kadang-kadang kurang relevan dengan eksistensi sastra kita. Jarang sekali, teori sastra barat yang dikombinasi dengan "teori dalam negeri" yang lebih membumi. Akibatnya, ada "pemaksaan" teori sastra asing yang kurang siap untuk memasuki sastra di Indonesia. Meskipun mengambil teori asing itu sah-sah saja dan tak haram, namun tanpa kecerdasan si pemakai hanya akan "mengotori" penelitian sastra kita. C. Kerancuan Istilah Penelitian Sastra Penelitian sastra sering disejajarkan dengan kajian, telaah, studi dan kritik akademis. Hanya saja yang sedikit berbeda adalah kritik sastra. Sedangkan kajian, telaah dan studi kurang lebih memiliki tujuan yang sama yaitu memahami karya sastra. Beberapa istilah tersebut selalu berusaha mendalami karya sastra menggunakan paradigma pemikiran tertentu. Istilah-istilah di atas akan dilalui melalui "pintu masuk" yang dinamakan memahami sastra. Membaca sastra di berbagai tingkat, ruang, umur, akan berbeda satu sama lain. Karenanya, membaca sastra di Perguruan Tinggi otomatis akan memiliki tekanan yang berbeda dengan membaca sastra di sekolah sebelumnya. Tingkat kecermatan membaca sastra (prosa, puisi, dan drama) di Perguruan Tinggi telah ke arah pemahaman sebagai studi (kritik dan penelitian), sedangkan di sekolah bawahnya lebih cenderung ke apresiasi biasa untuk kenikmatan. • EPISTEMOLOGI PANELITIAN SASTRA A. Seluk beluk Epistemologi Epistemologi bersal dari bahasa Yunani, episteme, artinya pengetahuan dan logos artinya ilmu. Epistomologi adalah dasar-dasar filosofi ilmu pengetahuan. Menurut Foucault (Kurniawan, 2001:36-37) Episteme adalah sistem apriori historis tertentu dalam suatu zaman yang tidak disadari oleh orang-orang pada zxaman itu, tetapi secara tersembunyi menentukan pemikiran, pengamatan, dan pembicaraan mereka. Episteme sebenarnya merupakan sekumpulan relasi yang menyatukan, pada periode tertentu, praktek-praktek diskursif yang memberi kemunculan bentuk-bentuk epistemologi, ilmu-ilmu dan kemungkinan sistem-siste 1