La Galigo studies

Selama tiga ratus tahun, antara 1300-1600, dua kerajaan berpenutur Makassar berkembang di sudut baratdaya provinsi Sulawesi Selatan, kini terletak di Kabupaten Jeneponto. Sekarang wilayah ini menjadi salah satu bagian termiskin dari provinsi ini dan sangat mungkin senantiasa mengalami tantangan klimatologis. Hanya sedikit yang diketahui dari kerajaan-kerajaan yang kurang dikenal dan lumayan kecil ini, namun kami berpendapat bahwa, tanpa penggalian arkeologis berskala besar sekali pun, masih memungkinkan untuk membangun sebuah gambaran mengenai sejarah dua kerajaan tersebut. Di antara sumber-sumber utama yang tersedia adalah lontraq, naskah tulis dalam aksara lokal, kini ditulis di atas kertas, baik dalam Bahasa Bugis maupun Makassar; kunjungan ke tempat-tempat yang disebutkan dalam naskah; tradisi lisan yang masih bertahan di Jeneponto; dan informasi yang utamanya dibeberkan oleh para penjarah kuburan. Seluruh bukti menunjuk pada fakta bahwa pada abad ke 14, permukiman petani yang bertebaran di deretan lembah di tepi empat sungai utama telah bergabung untuk membentuk empat unit pemerintahan kecil. Perkembangan ini terkait dengan persebaran dan intensifikasi pertanian padi basah yang berlangsung secara terorganisir. Pada abad ke 15, unit-unit pemerintahan kecil yang terpusat di Sungai Topa dan Allu bergabung menjadi Kerajaan Bangkala, sedangkan unit-unit pemerintahan di Sungai Tamanroya dan Jeneponto membentuk Kerajaan Binamu.

Esai ini akan menelusuri organisasi politik masyarakat Bugis dari abad ke-14 hingga 16. Sumber-sumbernya berasal dari beragam teks historis berbahasa Bugis, yang dituliskan  pada kertas Eropa abad ke-19 dan 20, menggunakan aksara pribumi berakar India, merekam informasi dari sekitar tahun 1300-an.

Salah satu soal utama dalam histroriografi awal Sulawesi Selatan ialah perbedaan penggambaran Kerajaan Cina, sebuah kerajaan Bugis kuna, dalam sumber sejarah dan sastra. Dalam sumber sejarah, Cina nyaris tak tampak; dalam sumber sastra kerajaan ini ternyata besar. Artikel ini memanfaatkan silsilah-silsilah dan geografi wilayah Bugis untuk merekonstruksi luas bentangan Cina dan tetangganya di utara, Luwu, sebagai dua bagian yang saling melengkapi dalam sebuah kerajaan yang diperintah oleh satu kelompok kekerabatan dari leluhur yang sama. Pemahaman baru ini membutuhkan kami menimbang ulang asal mula kerajaan-kerajaan Bugis yang muncul lebih belakangan seperti Bone, Soppeng, dan Wajo. Hal ini menantang kami untuk melihat Luwu bukan sebagai tanah asal peradaban Bugis, tetapi sebagai bagian dari satu kompleks ekonomi dan politik yang berfokus di kawasan persawahan subur di selatan Danau Tempe.

Para penulis menjelaskan dua arca yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, berasal dari abad ke 10 atau 11, ditemukan di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Kami juga menjelaskan sebuah lonceng kecil yang disebut berasal dari penggalian di pantai selatan provinsi itu. Menurut kami, ketiga benda ini bukan barang impor melainkan dicetak secara lokal dengan meniru model-model dari Jawa yang lebih terperinci. Kami berpendapat bahwa nilai penting tiga benda perunggu ini jauh melampaui makna intrinsiknya, sebab pembuatan benda-benda ini mengisyaratkan adanya sebuah transfer gagasan dan praktik agama dari Jawa Timur pada sekitar tahun 1000 M. Hipotesis seperti ini sesuai dengan peralihan dari penguburan dengan menanggalkan otot dari tulang jenazah menjadi kremasi oleh orang Makassar, yang berlangsung di sekitar masa yang sama.

This article aims to observe ancient Bugis legal elements (Adat) that are preserved in La Galigo tradition from South Sulawesi. Known famously as old Bugis literary heritage, La Galigo has been explored by both local and foreign scholars from different views to understand the history, political and cultural development in South Sulawesi based on its texts. Although the Bugis people have a specific lontaraq tradition which records legal tradition and becomes the source of their adeq or customary law, La Galigo which is originally regarded as sacred text for royal-descendants and entertainment for public might contains rich unexplored materials that might directly or indirectly related to the fundamental norms of Adat-law. This article discusses an effort to trace Adat in the sense of Bugis legal tradition within La Galigo texts (sureq). La Galigo tradition is hypothetically believed to be older than lontaraq texts, thus it might contain materials that will later be developed as the source of Adat-law. The second part of this article discusses the norms and values inside La Galigo that is named Adeq Pangngala. In order to search the traces of Adat within La Galigo, the author uses the translation work of NBG 188 Volume and a work by Fachruddin Ambo Enre entitled “Ritumpanna Welenrenge”. This article consults those texts and analyses them using Adat-law perspective. The findings lead us to a conclusion that: La Galigo, although not considered as Adat-law texts, acts as cultural foundation for early Bugis civilization which also set the ground formation of its customary law. Secondly, the article concludes that the concepts of Adeq Pangngala and Adeq within lontaraq tradition are distant from each other in term of their legal orientation and development.

SG Davies - Journal of Southeast Asian Studies, 2015
Abstract In 2010, La Galigo, a Bugis mythological epic describing the founding of the human
world, was included in UNESCO's Memory of the World register. This accolade again
brought La Galigo into the international spotlight, as had occurred when Robert Wilson's ...