Manipulasi Dana Kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
I
Pembiayaan Pemilu
di Indonesia
PEMBIAYAAN PEMILU
DI INDONESIA
VI + 307 Halaman ; 17,5 x 250 cm
ISBN: 978-602-52045-3-1
Editor
Mada Sukmajati dan Aditya Perdana
Diterbitkan:
BAWASLU
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia
Jl. MH. Thamrin No. 14 Jakarta Pusat 10350
Cetakan Pertama Desember 2018
Tim Penyusun
Pengarah
Abhan
Mochammad Afifuddin
Ratna Dewi Pettalolo
Fritz Edward Siregar
Rahmat Bagja
Pembina
Gunawan Suswantoro
Penanggung Jawab
Ferdinand Eskol Tiar Sirait
Masykurudin Hafidz
Ketua
Ilham Yamin
Wakil
Nugroho Noto Susanto
Muhammad Zaid
Muhammad Ihsan
Deytri Aritonang
Eko Agus Wibisono
R. Alief Sudewo
Djoni Irfandi
Editor
Mada Sukmajati dan Aditya Perdana
Penulis
Aditya Perdana
Ahsanul Minan
Arya Budi
August Mellaz
Burhanuddin Muhtadi
Devy Dhian Cahyati
Donal Fariz
Firdaus Ilyas
Fitriyah
Harlitus Berniawan Telaumbanua
Haryanto
Heroik Mutaqin Pratama
Khoirunnisa Nur Agustyati
Laila Kholid Alfirdaus
Mada Sukmajati
M. Afifuddin
Usep Hasan Sadikin
Wegik Prasetyo
Yohan Wahyu
Yonatan Hans Luter Lopo
Yusfitriadi
Diterbitkan oleh
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia
Jl. MH. Thamrin No. 14 Jakarta Pusat 10350
Cetakan Pertama Desember 2018
Kata Pengantar
Abhan
(Ketua Badan Pengawasan Pemilihan Umum Republik Indonesia)
D
i Indonesia sampai saat ini, salah satu topik yang krusial dalam setiap pemilihan
umum (pemilu) adalah menyangkut pembiayaan pemilu. Pembiayaan tersebut
meliputi dimensi penerimaan, pengeluaran dan/atau pengelolaan dana.
Meskipun bukan satu-satunya, pembiayaan pemilu biasanya difokuskan pada
berbagai isu dalam pendanaan kampanye. Isu utama dalam pembiayaan pemilu
dan pendanaan kampanye adalah jaminan dari penegakan prinsip transparansi dan
akuntabilitas. Keduanya akan sangat menentukan penyelenggaraan pemilu yang
berintegritas dan berkeadilan. Tidak saja terjadi di Indonesia, isu ini juga menjadi
isu global yang juga terjadi di negara-negara lain, bahkan di negara-negara dengan
demokrasi yang sudah mapan.
Jaminan penegakan prinsip transparansi dan akuntabilitas masih belum dapat
dilakukan secara sepenuhnya dalam pemilu-pemilu yang sudah diselenggarakan di
negeri ini, baik di pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara langsung,
di pemilihan legislatif (pileg), maupun di pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Secara umum, isu transparansi dan akuntabilitas ini disebabkan oleh setidaknya tiga
faktor, yaitu keterbatasan regulasi yang ada, lemahnya penegakan regulasi, dan masih
lemahnya kemauan politik (political will) dari semua pemangku kepentingan. Isu ini
kemudian membawa berbagai konsekuensi. Dari sisi peserta pemilu, isu ini berdampak
pada ketidaksetaraan antar peserta pemilu dan semakin meningkatnya biaya politik
dalam rangka menjadi seorang wakil rakyat baik di lembaga legislatif maupun lembaga
eksekutif. Dari sisi penyelenggara pemilu, isu ini berdampak pada inefisiensi anggaran
dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk pilkada, meskipun pilkada telah dilakukan
secara serentak. Sedangkan dari sisi pemilih, fenomena maraknya praktek politik uang
juga menjadi isu utama dalam penyelenggaraan setiap pemilu. Buku bunga rampai
I
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
ini hadir untuk mengeksplorasi berbagai isu tersebut.
Menyongsong pemilu serentak 2019, Bawaslu bertekad menegakkan prinsip
transparansi dan akuntabilitas. Sebagai bagian dari tugas dan wewenangnya, Bawaslu
melakukan pengawasan dalam pelaporan dana kampanye yang disampaikan oleh
para peserta pemilu. Bawaslu juga terus berupaya untuk menghilangkan praktikpraktik politik uang di setiap pemilu. Secara umum, fokus kami adalah dalam konteks
kepatuhan, kebenaran, dan juga transparansi dari dana kampanye. Hal ini dilakukan
dengan melakukan pengawasan terkait dengan bagaimana sumber-sumber dana
kampanye tersebut dilaporkan dan penggunaan akun rekening khusus dana kampanye
tersebut dalam melacak penyumbang dana-dana kepada partai politik ataupun para
caleg.
Sedangkan secara khusus, kami memiliki fokus dalam empat strategi pengawasan
dana kampanye. Pertama, pengawasan terhadap Laporan Awal Dana Kampanye
(LADK). Adapun strategi yang dilakukan adalah dengan memastikan adanya
kepatuhan peserta pemilu dalam pelaporan LADK kepada KPU sesuai waktu yang
ditetapkan oleh UU dan memastikan laporan dana kampanye yang disampaikan sesuai
dengan format yang ditetapkan oleh KPU dan ditayangkan di laman resmi KPU dan
papan pengumuman yang ada dengan jelas. Kedua, pengawasan terhadap Laporan
Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Hal ini dilakukan dengan
memastikan LPSDK ini ditulis sesuai dengan format yang telah ditetapkan KPU
dan menyampaikan laporan tersebut di laman website KPU dan papan pengumuman
yang ada. Di samping itu, Bawaslu juga mengecek dan menelusuri sumber sumbangan
yang ada dengan jumlah maksimal yang telah ditetapkan oleh UU. Ketiga, pengawasan
Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dengan melakukan
penelusuran terhadap laporan yang telah disampaikan untuk melihat kesamaan
antara penyumbang yang dilaporkan dengan identitas penyumbangnya. Keempat,
pengawasan terhadap proses audit laporan dana kampanye. Untuk ini, Bawaslu fokus
dalam dua hal, yaitu memastikan Kantor Akuntan Publik (KAP) tidak berafiliasi
dengan partai politik atau caleg tertentu dan juga tidak memiliki cacat integratif
menurut asosiasi. Di samping itu, Bawaslu memperhatikan secara rinci bagaimana
proses audit yang dilakukan oleh KAP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bawaslu dapat melakukan audit investigasi apabila ada hal-hal yang mencurigakan
dalam proses pelaporan dana kampanye tersebut.
Sebagai bagian dari upaya pencegahan terkait pelanggaran dalam pembiayaan
pemilu dan kampanye, Bawaslu merasa sangat terhormat dapat berkontribusi
dalam publikasi buku bunga rampai ini. Sebagian bab dalam buku bunga rampai
ini merupakan hasil riset yang mengandalkan pada data sekunder. Sebagian lain
mengandalkan pada data primer melalui penelitian lapangan. Beberapa bab bahkan
II
Pengantar
merupakan pengembangan dari naskah disertasi para penulisnya. Untuk itu, kami
mengucapkan terima kasih seluas-luasnya kepada para editor dan para penulis yang
telah meluangkan waktunya dalam proses penyusunan buku bunga rampai ini. Kami
juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada para kolega kami yang telah
bersedia untuk menjadi reviewer bagi naskah awal buku ini, yaitu Dr. Andreas Ufen
dari German Institute of Global and Area Studies (GIGA) dan Dr. Leo Agustino dari
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam tataran teoritik, semoga buku bunga rampai ini akan ditindaklanjuti ke
berbagai aktivitas riset dan publikasi terkait dengan tema pembiayaan pemilu oleh
para akademisi. Dalam tataran praktis, semoga buku ini dapat menguatkan minat
dan ketertarikan dari semua pihak dalam ikut serta mengawasi dana kampanye untuk
Pemilu serentak 2019 dan pilkada serentak nanti. Akhirnya, tak ada gading yang tak
retak. Untuk itu, kami menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan
selama memberikan fasilitasi untuk menghantarkan buku bunga rampai ini agar dapat
diakses oleh publik secara luas. Selamat membaca.n
III
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
IV
Daftar Isi
Kata Pengantar
Abhan (Ketua Bawaslu RI)
Daftar Isi
I
V
Bab 1 Pendahuluan: Pembiayaan Pemilu di Indonesia
Mada Sukmajati dan Aditya Perdana
1
Bab 2 Manipulasi Dana Kampanye Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden
Donal Fariz dan Firdaus Ilyas
25
Bab 3 Partai Politik, Sistem Proporsional Terbuka, dan Pembiayaan
Kampanye Pada Pileg 2014
Ahsanul Minan
47
Bab 4 Personal Vote, Candidate-Centered Politics, dan Pembiayaan
Pileg 2014
August Mellaz
73
Bab 5 Komoditas Demokrasi: Efek Sistem Pemilu terhadap Maraknya
Jual Beli Suara
Burhanuddin Muhtadi
95
V
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
Bab 6 Analisis Dana Kampanye Calon Anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD): Kasus di Tujuh Provinsi dalam Pemilu 2014
Aditya Perdana dan Harlitus Berniawan Telaumbanua
119
Bab 7 Pembiayaan Kampanye Calon Usungan Partai Politik
di Pilkada: Kasus Pilkada Kota dan Kabupaten
Madiun 2018
Haryanto, Devy Dhian Cahyati, dan Yonatan Hans Luter Lopo
141
Bab 8 Kampanye Padat Modal oleh Calon Perseorangan:
Studi Kasus Pilkada Kota Madiun 2018
Arya Budi, Mada Sukmajati, dan Wegik Prasetyo
163
Bab 9 Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
Fitriyah dan Laila Kholid Alfirdaus
185
Bab 10 Audit Dana Kampanye Pilkada Serentak 2015 di Indonesia:
Studi Kasus di 11 Kabupaten/Kota
Yusfitriadi
`
203
Bab 11 Politik Anggaran di Pilkada: Studi Perbandingan Besaran
Anggaran Penyelanggaran Pilkada Serentak 2018 Petahana
dan Non-Petahana di 17 Provinsi
Heroik M. Pratama, Khoirrunisa Agustiyati, dan Usep Hasan Sadikin
225
Bab 12 Politik Uang dalam Bingkai Opini Publik
Yohan Wahyu
255
Bab 13 Pengawasan Pembiayaan Pemilu 2019:
Mengatasi Ruang Kosong
M. Afifuddin
279
Biodata Penulis
305
VI
Bab 9
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif*
Fitriyah dan Laila Kholid Alfirdaus
P
embiayaan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat tinggi antara lain
disumbang oleh pembiayaan untuk politik uang. Temuan riset disertasi Muhtadi
(2018) selain menunjukkan praktik jual beli suara sangat masif terjadi dalam
pemilu legislatif 2014 juga hal yang jamak dalam pilkada di Indonesia. Hal
ini membuat calon membuka seluas mungkin sumber pembiayaan, termasuk dari
sumber informal. Merujuk pada artikel Haryanto et.al dalam Bab 7 buku ini yang
dimaksud dengan pembiayaan dari sisi formal adalah pembiayaan yang dilaporkan ke
KPUD; sementara itu pembiayaan dari sisi informal adalah pembiayaan yang tidak
dilaporkan ke KPUD.
Mengacu aturan pilkada pembiayaan kampanye yang formal berasal dari sumber
uang pribadi calon (sejak dalam UU 10/2016 sumber ini eksplisit disebut), sumbangan
partai politik/gabungan partai politik pengusung, dan sumbangan pihak lain yang tidak
mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
Besaran sumbangan dari pihak lain tersebut ada ketentuan batas maksimalnya, tetapi
sumbangan dari uang pribadi calon tidak dibatasi jumlahnya. Semua penerimaan yang
masuk dari sumber yang formal ini ditampung dalam rekening khusus dana kampanye
atas nama pasangan calon yang didaftarkan ke KPUD dan kelak pascapilkada
dilakukan audit atas penerimaan dan pengeluarannya oleh Kantor Akuntan Publik
(KAP) yang resmi ditunjuk oleh KPUD.
*
Artikel ini diambil dari disertasi Fitriyah (2018) dengan judul “Botoh dalam Pilkada: Studi Kasus Dua Daerah di Jawa Tengah.”
Program Doktor Ilmu Sosial-FISIP Universitas Diponegoro.
185
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
Praktik di lapangan baik sumber maupun pengeluaran tidak segaris lurus dengan
aturan. Tulisan Yusfitriadi dalam Bab 11 buku ini setidaknya memberi gambaran
problem pendanaan calon dalam pilkada yang dari sisi audit belum bisa dijangkau. Hal
ini mengisyaratkan ada penerimaan dan pengeluaran yang yang luput dari pantauan
audit tersebut. Studi Yusfitriadi tersebut menemukan tidak semua penerimaan
dan pengeluaran dana kampanye dilaporkan. Sebagai misal, studi Meitzner (2011)
menyebutkan adanya penerimaan pembiayaan kampanye dari para pengusaha yang
tidak tercatat. Selanjutnya dari sisi pengeluaran ada juga yang tidak dilaporkan, politik
uang adalah pengeluaran yang pastinya tidak tercatat oleh karena kategori pengeluaran
yang dilarang. Temuan studi ICW (2016) juga menemukan banyak calon yang
tidak jujur mencantumkan penerimaan dan pengeluaran dari sumber pihak ketiga.
Politik uang kepada pemilih adalah jenis pembiayaan yang dilarang (illegal) dan
termasuk kategori pelanggaran tindak pidana pemilu, namun di lapangan masif terjadi.
Temuan riset disertasi Muhtadi (2018) menyimpulkan politik uang menjadi instrumen
utama mobilisasi elektoral dalam kontes pilkada. Dengan menggunakan data dari
963 survei lokal yang dilakukan oleh lembaga opini publik LSI, Indikator serta oleh
SMRC antara 2006 dan 2015 di 34 provinsi dan 513 kabupaten / kota di seluruh
Indonesia, Muhtadi menemukan empat dari sepuluh orang Indonesia bisa menerima
politik uang, dan dari temuan itu diperlihatkan tingkat penerimaan politik uang lebih
tinggi oleh pemilih di Jawa, khususnya pemilih Jawa Tengah. Studi Muhtadi ini
menguatkan jika politik uang kepada pemilih adalah jenis pembiayaan yang jamak
dikeluarkan dan mengingat besarnya jumlah pemilih, maka politik uang telah
menyumbang biaya tinggi pilkada.
Kebutuhan dana besar khususnya untuk politik uang, mendorong calon untuk
meningkatkan penerimaan dari sumber informal. Studi yang sudah ada menemukan
sumber pembiayaan informal dari pengusaha, semisal rangkaian studi Hidayat (2015)
di sejumlah pilkada gubernur dan tim LIPI (2006; 2007). Rangkaian studinya itu
menemukan shadow state dan informal economy penyelenggaraan pemerintahan daerah
tidak lepas dari adanya sokongan pembiayaan yang diterima calon dari pemodal
pengusaha selama proses pilkada. Berbeda dari studi yang sudah ada, bab ini fokus
pada pembiayaan pilkada informal untuk calon dari sokongan botoh sebagai pembiayaan
alternatif dengan mengangkat kasus pilkada di Jawa Tengah. Pembiayaan alternatif
atau pilihan lain menggambarkan ada sumber-sumber pembiayaan informal, dan
salah satunya adalah dari botoh.
Bagi masyarakat Jawa botoh bukan hal baru, keberadaan botoh sebelumnya sudah
lazim di pilkades (pemilihan pemimpin wilayah tingkat desa). Botoh dalam masyarakat
Jawa lebih dulu dikenal dalam permainan judi dalam pilkades. Sebagai objek taruhan
dalam permainan judi tersebut adalah pemenang pilkades atau selisih perolehan suara
186
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
para calon, yang untuk menang judi botoh menggunakan tak-tik politik uang kepada
pemilih. Botoh diyakini mampu mengatur menang-kalahnya calon untuk objek
taruhan. Dalam perkembangannya botoh masuk pula sebagai pemodal calon pilkades,
pada posisi ini botoh memberi modal biaya politik uang dan pascapilkades mendapat
untung dari modal yang dibayar kembali oleh calon menjadi dua kali lipatnya.
Menariknya, sejak diluncurkannya pilkada langsung 2005 ada fenomena botoh
dalam pilkada kabupaten/kota di Jawa Barat dan di Jawa Tengah (www.gatra.com).
Terkait itu, ada banyak pertanyaan yang perlu dijelaskan disini, seperti apakah ada
koneksitas botoh pilkades dan pilkada, apakah oleh orang yang sama dan menggunakan
pola kerja yang sama. Dalam konteks politik uang untuk strategi pemenangan juga
perlu dijelaskan berapa jumlah modal uang yang dikucurkan botoh kepada calon, kapan
waktu distribusi uangnya kepada pemilih, oleh siapa dan kepada siapa. Pertanyaanpertanyaan ini yang akan dielaborasi dalam artikel ini berdasar data dari wawancara
mendalam dengan seorang botoh dan dua orang calon kepala daerah pengguna jasa
botoh tersebut, setting lokasi di dua daerah (nama daerah disembunyikan) di Jawa
Tengah untuk pilkada tahun 2011.
Politik uang: Mahalnya pembiayaan kampanye pilkada
Harus diakui pilkada langsung berbiaya tinggi. Salah satu komponennya, seorang
calon harus melakukan politik uang kepada pemilih, yang diyakini menjadi senjata
pamungkas agar berpeluang dipilih, artikel Haryanto et.al dalam Bab 7 mengonfirmasi
hal ini. Begitu pula artikel yang ditulis Muhtadi dalam bab 5, sekalipun mengenai pemilu
legislatif, memerkuat ada praktik politik uang kepada pemilih yang dilakukan oleh
calon terlepas dari sisi efektivitasnya dan artikel Wahyu dalam Bab 12 menemukannya
sebagai hal wajar dari prespektif pemilih. Politik uang jamak dilakukan di pemilu,
bahkan oleh Aspinall (2013) politik uang dikatakan sebagai ciri dari politik lokal
di Indonesia. Sistem pilkada yang semakin terinstitusionalisasi melalui perbaikan
regulasi dari waktu ke waktu ini praktiknya belum mampu meminimalkan politik
uang apalagi menghapusnya.
Studi oleh Perludem menemukan ada empat jenis pengeluaran yang menyebabkan
tingginya biaya untuk kontestasi pilkada, yaitu biaya untuk pencalonan kepada partai
politik/gabungan partai politik pengusung, yang popular disebut uang mahar atau
uang sewa perahu, biaya untuk kampanye (spanduk, tim sukses) dan politik pencitraan,
biaya survey elektabilitas disertai konsultasi pemenangan, dan biaya untuk politik
uang kepada pemilih (Anggraini 2011). Seorang calon mengeluarkan biaya tidak
resmi, seperti uang yang disetor kepada partai politik pengusung sebagai mahar
politik dalam proses pencalonan dan pembiayaan untuk politik uang kepada pemilih
agar berpeluang dipilih. Selain jenis pembiayaan yang tidak resmi, seorang calon
187
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
juga menanggung beban pembiayaan yang resmi, yakni semua jenis pengeluaran
yang dibutuhkan dan dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Biaya resmi
tersebut meliputi biaya membentuk tim sukses untuk mesin politik, biaya kampanye
seperti rapat-rapat, alat peraga, mengunjungi pemilih door to door dan biaya membayar
saksi saat pemungutan dan penghitungan suara. Bagi calon yang diusung oleh partai
politik, beban biaya ini semestinya juga ditanggung dari sumbangan partai politik/
gabungan partai politik pengusung, namun acapkali menjadi beban individual calon.
Artikel Haryanto et.al menunjukkan pemasukan dana paling banyak bersumber dari
calon itu sendiri.
Beban calon makin berat dengan minimnya peran partai politik dalam kerjakerja elektoral. Seorang bakal calon setelah ditetapkan secara resmi sebagai calon
oleh KPUD tiga hari setelahnya diperbolehkan melakukan aktivitas kampanye guna
memobilisasi pemilih, peran ini dilakukan oleh tim sukses atau tim informal bentukan
calon. Di lapangan yang riil bekerja menggarap pemilih adalah tim sukses bukan tim
kampanye yang resmi didaftarkan di KPUD. Tim kampanye adalah tim yang formal,
keanggotaannya diisi oleh elit partai politik pengusung, yakni para fungsionaris partai
politik pengusung dan anggota parlemen pusat dan daerah, fokus tim kampanye
pada konsolidasi partai politik dan sebagai juru kampenye saat rapat umum maupun
rapat terbatas. Sifat kerja tim kampanye adalah resmi atau terlapor, seperti kapan
jadwal kampanyenya dan dimana lokasi penyelengaraannya, siapa saja juru kampanye,
berapa jumlah pemilih yang diundang hadir, termasuk berapa biayanya. Sementara,
hampir semua kerja-kerja elektoral di lapangan yang langsung ketemu pemilih adalah
kerja tim sukses yang sifatnya informal dan dari sisi biaya terkait aktivitasnya tidak
semuanya terlaporkan.
Keanggotaan tim sukses ini diisi orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat
yang mewakili komunitasnya di semua tingkatan wilayah administratif, meliputi ulama,
tokoh perempuan, tokoh pemuda, ketua asosiasi pedagang kaki lima dan profesi
informal lainnya, termasuk tokoh kelompok preman juga dirangkul.
Struktur organisasi tim sukses berbentuk piramida dan hirarkis, sebagian anggota
tim sudah direkrut jauh hari sebelum pilkada dan struktur organisasi tim sukses
makin dikuatkan pascapenetapan pasangan calon peserta pilkada. Sebagai posisi
puncak adalah tim sukses tingkat kabupaten yang jumlah anggotanya sekitar 10 orang,
mereka sebagai koordinator kabupaten dan dikenal sebagai tim inti yang punya kontak
langsung dengan calon, orang-orang yang direkrut sebagai konsultan politik masuk
dalam tim ini. Berikutnya secara hirarki disusun para koordinator secara bertingkat,
yakni tingkat kecamatan dengan jumlah personil 2-4 orang, dan tingkat desa dengan
jumlah anggota yang sama besar seperti kecamatan. Paling bawah dari struktur tim
sukses adalah koordinator tingkat tempat pemungutan suara (TPS) atau tingkat rukun
188
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
tetangga (RT), jumlah mereka mengikuti jumlah pemilih. Setiap koordinator TPS/
RT mengawal sekitar 20-25 pemilih yang mereka rekrut dari tetangga sekitarnya.
Tugas utama koordinator TPS/RT merekrut pemilih, merayu (informal campaign),
dan mengawalnya untuk konsisten memilih calon yang didukung serta membagi uang
kepada pemilih (politik uang) untuk hari H-pilkada. Mereka adalah ujung tombak
calon yang mewakili calon dalam berhubungan langsung dengan pemilih dan untuk
kerjanya menerima upah atau uang transport yang dibayarkan saat rapat pembentukan,
koordinasi dan saat pemantapan jelang hari H-pilkada, dengan rata-rata nominal Rp
200 ribu per pembayaran. Personil yang direkrut menjadi koordinator tingkat desa
maupun tingkat TPS/RT umumnya sudah biasa berprofesi sebagai tim sukses dalam
pilkades maupun pemilu. Di desa peran sebagai tim sukses disebut sabet, pecut, atau
jago (Wawancara 2016).
Gambar 1. Struktur Organisasi Tim Sukses
(Penghubung Calon dan Pemilih)
Sumber: Olahan data berdasarkan hasil wawancara
Gambar struktur organisasi tim sukses di atas menunjukkan jika tim sukses lah
yang terhubung langsung dengan pemilih, sedangkan peran partai politik sebagaimana
pengakuan informan terbatas pada konsolidasi internal partai politik (Wawancara
2016). Pengamatan di lapangan memang menunjukkan peran partai politik dalam
pilkada besar selama proses pencalonan, namun setelah calon resmi ditetapkan
KPUD fungsi elektoral menjadi tanggungan kerja pribadi calon yang bersangkutan.
189
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
Studi Choi (2009) pun menemukan meski posisi partai politik sangat penting, namun
pilkada telah membuat partai politik lemah dalam beberapa hal, antara lain dalam
mengawal suara pemilih. Studi Buehler (2007) menemukan dalam pilkada fungsi
partai politik mengalami pelemahan dan sebaliknya peran calon yang signifikan.
Bertumpunya aktivitas elektoral ini pada calon berkorelasi dengan pembiayaannya,
yang juga melekat sebagai beban pribadi calon yang bersangkutan, calon dengan
demikian membentuk, mengendalikan sekaligus membiayai kerja tim suksesnya
sebagai mesin politik.
Ragam pengeluaran memunculkan total angka fantastis pembiayaan pilkada yang
jadi tanggungan seorang calon dan jika dibandingkan, angkanya jauh melampaui nilai
kekayaan calon sebagaimana tertuang dalam laporan kekayaan (LHKPN) para calon.
Besaran modal ekonomi calon sebagaimana yang terlaporkan jauh lebih kecil dari
total pembiayaan pilkada. Sebagai misal, Kajian KPK (2016) menunjukkan rata-rata
jumlah harta para pasangan calon yang maju di Pilkada 9 Desember 2015 adalah Rp
13.410.575.802. Sementara hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa
untuk menjadi walikota/bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp 20 milyar- Rp 30
milyar rupiah dan untuk menjadi gubernur berkisar Rp 20 milyar-Rp 100 miliar (www.
ti.or.id.). Di lapangan tidak mudah mendapatkan informasi valid tentang besaran
biaya yang riil dikeluarkan calon, akan tetapi informasi dari banyak sumber perkiraan
besaran biaya calon yang menang sebagaimana hasil kajian Litbang Kemendagri
tersebut.
Meskipun tidak tersedia data resmi, namun dari jenis-jenis pengeluaran calon,
tidak bisa dibantah bahwa komponen politik uang kepada pemilih menyumbang
pengeluaran terbesar dari total pengeluaran calon dalam pilkada, yakni besarannya
berkorelasi dengan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT). Semakin besar
jumlah pemilihnya semakin mahal pilkada, komponen ini juga bergantung pada harga
pasar suara yang tegantung pula pada harga suara yang ditawarkan oleh calon pesaing.
Perbedaan tahun pilkada juga berkorelasi dengan makin tingginya harga suara per
pemilih. Sebagai misal, studi ini menemukan harga suara per pemilih sebesar Rp
10 ribu untuk Pilkada 2011 dan menjadi Rp 25 ribu di Pilkada 2015 (Wawancara
2016). Studi Djani (2014) menemukan pemilih tidak hanya berkontribusi pada pilihan
strategi politik uang yang ditempuh calon untuk memenangkan pilkada, tetapi pemilih
juga ikut mendikte besaran harga suara per pemilih. Pendek kata, politik uang dalam
pemilu yang jamak dilakukan tidak hanya karena semata keinginan calon sebagai
strategi menarik suara pemilih tetapi juga atas permintaan pemilih (Fionna 2014).
Politik uang (vote buying) massif dilakukan dan faktor penting dalam pemenangan
seorang calon dalam pilkada bisa dilihat dalam beberapa studi. Studi Suaib dan Zuada
(2015) di Pemilu Legislatif Kendari Tahun 2014 dan Pilkada Konawe Selatan Tahun
190
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
2015 menemukan ada korelasi yang signifikan antara politik uang dan perilaku pemilih.
Studi Nurdin (2014) di Pilkada Banten menemukan politik uang memiliki efek positif
pada keputusan pemilih untuk mendukung yang memberi uang, dan Studi Sahab (2010)
menemukan mayoritas pemilih memilih calon atas dasar pertimbangan keuntungan
material, siapa calon yang memberi uang itulah yang dipilih. Studi Muhtadi dalam
bab 5 di buku ini menemukan bahwa pengaruh elektoral politik uang dalam pemilu
2014 “hanya” 10.2%. Namun, sebagaimana yang ia laporkan terlepas efek elektoral
politik uang terlihat kecil, banyak caleg bersikeras menempuh taktik politik uang. Salah
target sasaran dan perilaku malpraktik timses (rent-seeking behavior) disinyalir mengurangi
efektivitas politik uang di lapangan.
Studi ini menemukan kebutuhan dana untuk politik uang dalam jumlah besar
namun disertai kepastian pengaruh elektoralnya yang menjadi pertimbangan calon
menggandeng botoh dalam pilkada. Pengakuan informan dengan menggandeng
botoh ia tidak hanya mampu menutup kebutuhan dana untuk politik uang, tetapi juga
mendapat mesin politik baru, botoh melakukan survey sehingga punya data akurat
kepada pemilih mana dan berapa rupiah yang didistribusikan, dan botoh mengawal
uang sampai kepada pemilih, kerja botoh lebih memastikan politik uang akan efektif
(Wawancara 2015).
Sumber pembiayaan pilkada alternatif
Biaya pilkada ini praktiknya menjadi beban calon secara individual, meski dalam
regulasi disebut ada sumber dana dari sumbangan partai politik serta sumbersumber perorangan dan pihak ketiga (badan usaha/swasta). Kebutuhan pembiayaan
mendorong calon kemudian (aktif) mencari sumber-sumber pendanaan informal,
karena tidak semua pembiayaan bisa ditutup oleh uang pribadi ataupun uang resmi
lainnya. Pada saat yang bersamaan, ada aktor-aktor ekonomi yang berminat menjadi
pemodal calon, yang ini jamak sudah dilakukan oleh pengusaha (Mietzner 2011).
Peran sebagai pemodal tidak hanya ada pada pengusaha namun dalam konteks
masyarakat Jawa ada pemodal pilkades yang bertransformasi sebagai pemodal pilkada,
mereka dikenal dengan sebutan botoh.
Kesenjangan antara kebutuhan dan kemampuan calon dalam pembiayaan pilkada
menjadi ladang bisnis baru bagi botoh yang sebelumnya sudah berpengalaman
menjalankan bisnis pemodal di pilkades. Botoh bukanlah entitas baru dalam lanskap
politik Indonesia, botoh adalah aktor yang lazim ada dalam pilkades, yang awal mula
penyebutannya untuk menunjuk bandar judi dan aktivitas perjudian. Botoh dalam
pilkades punya sebutan beragam, misalnya disebut gentho untuk wilayah Banyumas
(Rakhmawati, 2008), yang dalam pilkades memainkan peran penting dalam mengatur
pemenang pilkades untuk kepentingan judi semata.
191
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
Di masyarakat Jawa, profesi botoh ini barangkali sama tuanya dengan politik uang.
Penelitian Kana (2001) menemukan masyarakat desa sudah biasa menerima pemberian
dari calon kepala desa dan dimaknai sebagai tali asih. Politik uang dengan demikian
berkelindan dengan tradisi, sehingga dianggap wajar. Pada saat perhelatan pilkades,
pemberian uang kepada pemilih tidak hanya dilakukan oleh calon, tetapi oleh orang di
luar calon yang disebut botoh. Botoh tersebut punya kepentingan untuk memenangkan
calon yang ia dukung dalam taruhan karena ia sedang berjudi dan yang dijadikan obyek
judi adalah pemenang pilkades (Halili 2009).
Botoh ini awalnya dikenali oleh masyarakat sebagai bandar/pejudi, mereka bisa
datang dari sekitar desa yang sedang pilkades (Halili 2009). Namun ada juga botoh
yang penduduk desa yang bersangkutan, bahkan botoh dari dalam desa dianggap
lebih berbahaya karena ia sangat kenal situasi desanya (Rakhmawati 2008). Sesuai
dengan identitasnya sebagai pejudi, dalam pilkades botoh punya tujuan untuk judi,
untuk itu mereka melakukan sejumlah aktivitas untuk memenangkan calon yang
dijadikan objek judinya. Salah satu strateginya adalah dengan politik uang kepada
pemilih. Dalam konteks ini botoh bermain dengan atau tanpa pernah terjalin hubungan
dengan calon, mereka ini melakukan politik uang dalam aktivitas perjudian semata
untuk keuntungan ekonomi pribadinya, lepas dari kepentingan lain-lain (Halili 2009).
Botoh yang awalnya pejudi dalam pilkades, kemudian dalam perkembangannya ada
yang bergeser sebagai pemodal calon. Pergeseran ini terjadi karena ada permintaan
pasar, kebutuhan calon untuk politik uang tidak lagi bisa dipenuhi calon dari sumber
keuangan pribadi, kerabat, serta karena perkawanan. Dengan demikian dalam pilkades
botoh bisa sebagai pejudi atau sebagai pemodal. Dua tipe botoh ini secara bergantian bisa
diperankan oleh orang yang sama, kadang seorang botoh sebagai pemodal calon dan
dikesempatan lain sebagai pejudi (Wawancara 2016). Kedua peran ini hanya dibedakan
pada posisi botoh dalam tim calon, apakah ia ada di luar tim calon, pada posisi ini botoh
tidak harus melakukan kontak-kontak untuk berhubungan dengan calon, botoh jenis
ini adalah pejudi. Ataukah botoh membuat kontrak informal dengan salah seorang
calon untuk memodali biaya politik uang sekaligus ikut mengawal pemenangannya.
Jenis ini adalah botoh sebagai pemodal.
Cara kerja botoh dalam pilkades, apakah pada posisi sebagai pejudi ataukah pemodal
tidak ada perbedaan. Prinsipnya, baik sebagai pejudi ataupun sebagai pemodal botoh
melakukan aktivitas elektoral, seperti melakukan survei untuk memetakan kekuatan
calon, melakukan penggiringan opini pemilih dan memobilisasi pemilih dengan taktik
politik uang. Botoh bekerja secara tersembunyi, antara lain dengan cara menyamar
sehingga tidak mudah dikenali oleh penduduk desa. Pola baku yang dilakukan
botoh apapun perannya dalam pilkades sebagai berikut: Botoh mengawali kerjanya di
pilkades dengan melakukan survey untuk memetakan kekuatan para calon kepala
192
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
desa, ini dilakukan jauh hari sebelum pemungutan suara, durasi waktu sekitar 3 bulan
di lapangan dan survei dilakukannya berulang 2-3 kali. Untuk itu botoh masuk desa
dengan membawa serta timnya (tim survei), dikenal dengan sebutan ceker, mereka
ini yang bertugas memetakan kekuatan suara setiap calon.
Jika sebagai pejudi, maka botoh mencari lawan taruhan dan data hasil survei
menjadi dasar untuk permainan judi, termasuk untuk menarik minat botoh lain yang
mau titip uang kepadanya untuk modal judi, para penitip punya kewajiban memberi
upah (fee) sebesar 5-20%. Obyek taruhan judi adalah pemenang pilkades, dan ada
variasi model taruhannya. Ada glek-glekan atau taruhan tentang siapa calon yang
menang. Selain glek-glekan ada ngepur, taruhan menggunakan selisih suara calon.
Dalam ngepur mereka bertaruh selisih suara antara calon yang menang dengan calon
peringkat berikutnya. Variasi ngepur, jika calon lebih dari dua, maka obyek taruhan
adalah selisih suara dari gabungan para calon yang kalah dilawankan dengan suara
calon yang menang. Dalam hal sebagai pemodal, botoh punya kesepakatan dengan
calon untuk memodali biaya politik uang. Jika calon menang, maka pasca pilkades
calon berkewajiban mengembalikan modal sebesar dua kali lipat dari jumlah uang
yang dipinjam. Sebaliknya, kewajiban mengembalikan modal kepada botoh gugur
jika calon kalah (Wawancara 2016). Sebagai pemodal, jika calon menang maka botoh
akan menerima keuntungan berlipat, namun jika calon kalah ia kehilangan seluruh
modalnya. Pola ini sesungguhnya menyerupai permainan judi, bedanya sebagai
pemodal botoh tidak melawan botoh lain dalam maen (judi). Model pengembalian
modal botoh bergantung kesepakatan, berupa uang tunai dengan cara dicicil ataupun
hak menggarap tanah bengkok milik kepada desa terpilih.
Bagaimana botoh hadir dalam pilkada? Sejumlah studi mengidentifikasi keberadaan
botoh dalam pilkada, maupun dengan gampang kabar botoh ini bisa diikuti dari
pemberitaan media cetak dan media daring. Isi berita tersebut mengenai potensi
botoh dalam pilkada, yang umumnya dicurigai sebagai ancaman bagi demokrasi
pilkada. Studi ini menemukan ada migrasi botoh pilkades ke pilkada. Botoh pilkades
bertransformasi menjadi botoh pilkada sudah berlangsung sejak pilkada langsung
digelar pada tahun 2005, aktornya sama dan mereka mengadopsi strategi yang lazim
dipakai dalam pilkades untuk memenangkan calon yang didukung. Sejak ada pilkada
langsung botoh menemukan arena bermain yang baru yang punya kemiripan dengan
arena lama.
Pilkada langsung dibaca botoh sebagai pilkades dengan area yang lebih luas, karena
sama-sama melibatkan pemilih yang biasa mereka garap dalam pilkades. Botoh pilkades
punya pengalaman panjang dan biasa sebagai pemain di banyak desa yang sedang
pilkades, termasuk merambah pilkades di luar daerah. Sepanjang ada informasi
perhelatan pilkades mereka berdatangan mengadu peruntungan, mereka berjejaring
193
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
sehingga mudah menerima informasi. Terdapatnya kemiripan antara pilkades dan
pilkada langsung yang melibatkan pemilih menjadikan pilkada sebagai pasar baru
bagi botoh. Pilkada langsung sejak Tahun 2005 ditandai sebagai momentum untuk
botoh masuk pilkada. Simak keterangan seorang botoh berikut ini:
Mayoritas botoh mulai di tingkat desa. Diawali dari pilkades. Botoh itu kan mulai dari
kecil, dari tingkat dusun, dukuh kemudian desa. Saya kalau di botoh memang mulai
Tahun 1996 dari pilkades. Tahun 2005 itu ada pilkada itu saya memulai walaupun
saya waktu itu masih di dalam kabupaten saya sendiri (Wawancara 2016).
Migrasi botoh ini tentu diikuti dengan sejumlah perubahan cara kerja mereka.
Lingkup daerah pemilihan (dapil) pilkada adalah satu kabupaten/kota (pilkada bupati/
walikota) atau gabungan banyak desa. Sedangkan lingkup dapil pilkades sangat
kecil, satu desa, oleh karenanya botoh pilkades telah melakukan beberapa modifikasi
ketika masuk arena pilkada. Misalnya, survei botoh yang dikerjakan oleh ceker untuk
pilkades dilakukan secara sensus kepada semua pemilih tetapi untuk pilkada sudah
menggunakan sampel, misalnya setiap desa hanya diambil 100 pemilih. Karena
wilayah geografisnya luas maka botoh yang bermigrasi adalah botoh dengan modal besar
dan cara-cara yang dipakai lebih modern, seperti digunakannya teknologi informasi
(IT) dan media sosial sebagai bagian dari strateginya, meski demikian sebagian besar
cara-cara lama tetap dipertahankan atau masih memiliki kemiripan dengan polanya
dalam pilkades.
Jika dalam pilkades sebutan botoh dengan luwes dipakai untuk menunjuk pejudi
dan pemodal, serta seorang botoh dengan mudah berganti peran, maka dalam pilkada
situasinya berbeda. Peran botoh dalam pilkada lebih tepat dilekatkan pada botoh sebagai
pemodal. Peran pemodal dimainkan oleh botoh pilkades dengan modal besar atau
bandar. Sementara botoh dengan modal kecil tetap sebagai pejudi di pilkada, para
pejudi hanya bermain di sebagian kecil wilayah, arena permainan judi ini tidak melebar,
mereka bermain sporadis di tingkat desa atau paling luas kecamatan. Hal yang lain
yang berbeda dari pilkades, sebagai pejudi dalam pilkada mereka tidak melakukan
aktivitas elektoral. Sebagai pejudi mereka hanya aktif jelang hari pemungutan suara,
mereka menggali informasi dari banyak sumber tentang siapa calon yang diprediksi
unggul, mereka lebih mengandalkan insting dan berspekulasi. Unsur spekulasi ini
lekat dengan konsep judi (Haryanto 2003). Model-model taruhan yang mereka pakai
dalam pilkada adalah yang lazim dalam pilkades, yakni menang-kalah (glek-glekan) dan
selisih suara (ngepur) (Wawancara 2016).
Pilkada melibatkan pemilih dalam jumlah besar dan karenanya memerlukan modal
untuk biaya politik uang dalam jumlah besar pula. Oleh sebab itu, botoh tidak lagi
194
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
kerja tunggal sebagai bandar seperti saat pilkades. Dalam pilkada botoh bermain tim/
grup, kumpulan pemodal besar-kecil dan di antara mereka ada pembagian peran.
Setiap grup ada pemain inti, dikenali sebagai botoh operator lapangan, ia yang riil
di lapangan, menampung modal dan mengendalikan kerja ceker, anak buahnya yang
melakukan kerja sebagai surveyor, botoh ini juga rutin melakukan kontak langsung
dengan calon untuk konsolidasi menyikapi data hasil surveinya.
Gambar 2. Struktur Grup/Tim Botoh
Sumber: Olahan data berdasarkan hasil wawancara
Dalam grup ada beberapa botoh yang hanya menyetor modal besar, mereka ini
tidak terlibat langsung di lapangan, hanya titip modal kepada botoh operator lapangan.
Botoh operator lapangan ini juga ikut menyetor modal pribadi dan menampung
titipan modal dari botoh anggota grupnya, atas jasa ini memeroleh fee. Para ceker juga
ikut titip modal, tentu dalam nominal kecil, jutaan rupiah sementara botoh menyetor
dalam milyar rupiah. Keterlibatan ceker ikut titip uang kepada botoh operator lapangan
sekaligus menjadikan mereka loyal karena ada pertaruhan uang pribadinya. Tim/
grup botoh ini tidak selalu permanen, orang-orang yang tergabung dalam satu tim/
grup botoh bisa berganti-ganti antara pilkada satu dan lainnya. Wilayah operasi mereka
luas, tidak hanya beroperasi di Jawa Tengah tetapi di provinsi lain, juga di luar
Jawa. Latar belakang botoh sebagai pemodal pilkada ini beragam, ada politisi dan
di antaranya sekarang berstatus anggota DPRD, pedagang, kontraktor dan profesi
terhormat lainnya, dari profesinya ini botoh membangun jejaring, mereka juga aktif
di sejumlah organisasi sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan. Mereka ini sebagai
botoh lebih dikenali dari nama paraban (nama alias) dan saat kerja di lapangan mereka
menyembunyikan identitas dengan menggunakan nama samaran. Sedangkan ceker
adalah masyarakat biasa, mereka adalah pedagang kecil dan penyedia jasa keliling
yang lazim dijumpai di desa.
Botoh yang menjadi informan misalnya, punya partner pemodal empat orang
195
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
pengusaha. Pihak penyetor modal ini tidak turun lapangan, mereka memercayakan
hartanya pada botoh yang operator lapangan. Mereka ini mau memodali calon
karena kalkulasi menangguk keuntungan dari hasil survei botoh. Pemodal yang titip
modal akan dikenai fee sebesar 10% dari total uang yang dititipkan untuk memodali
calon. Sementara kepada ceker, anak buahnya di lapangan botoh tidak mengambil fee
untuk mengikat kesetiaan (Wawancara 2016). Komitmen antara sesama botoh untuk
membangun “konsorsium” modal ini dilakukan berbasis pada kepercayaan (trust)
karena relasi yang sudah lama terbangun.
Sebagai pemodal pilkada maka botoh punya kesepakatan dengan salah seorang
calon. Botoh tidak selalu punya relasi dengan calon, bahkan acapkali antara calon
dan botoh baru kenal satu sama lain saat pertemuan yang pertama kali. Relasi botoh
dan calon terbangun berkat jasa perantara yang punya relasi dengan botoh maupun
calon karena perkawanan ataupun pekerjaan. Peran perantara penting oleh karena
profesi sebagai botoh bersifat tersembunyi (underground). Oleh sebab itu, faktor jaringan
juga bagian dari modal sosial botoh. Botoh sangat hati-hati dan berhitung untung-rugi
sebelum menyetujui memodali calon. Botoh sebelum menemui calon yang berminat
sudah punya informasi reputasi calon dan punya kalkulasi kekuatan calon yang
bersangkutan. Botoh bisa mengukur kekuatan calon dengan melakukan uji petik
pemilih di beberapa lokasi, dengan pengalamannya tidak sulit baginya untuk membuat
perkiraan potensi calon. Begitu pula nantinya kepastian jadi-tidaknya botoh memodali
biaya politik uang calon bergantung pada peluang calon untuk menang.
Kesepakatan antara botoh dan calon terbangun setelah melalui suatu proses tatap
muka para pihak. Setiap pertemuan terbatas antara botoh, calon dan tim inti calon.
Pada pertemuan pertama sudah diawali dengan pembicaraan tentang kebutuhan
biaya politik uang untuk menang, botoh dengan cakap menjelaskan besaran biaya
untuk politik uang berbasis jumlah pemilih. Botoh menghitung biaya politik uang
dari total perkiraan pemilih yang hadir dikalikan harga pasar suara pemilih. Botoh
siap dengan dana yang dibutuhkan tetapi juga memastikan kemampuan keuangan
calon, sebagian biaya politik uang tetap ditanggung oleh calon. Untuk itu, botoh
juga harus berkeyakinan calon yang didukung punya kemampuan finansial yang
memadai, termasuk untuk sharing pembiayaan politik uang, biasanya beban biaya
politik uang fifty-fifty. Jika total kebutuhan politik uang sebesar Rp11 milyar, maka
masing-masing pihak menanggung Rp 5,5 milyar. Kompoisi sharing modal ini bisa
berubah bergantung pada situasi akhir, dimungkinkan botoh menyetor modal lebih
besar atau sebaliknya. Semakin besar potensi calon menang, semakin besar pula
tawaran modal yang diberikan oleh botoh.
Pascakesepakatan kerjasama botoh-calon, botoh bersama tim (ceker) turun lapangan
melakukan survey ke pemilih. Apa yang dikerjakan botoh di lapangan menyerupai
196
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
cara kerja lembaga riset opini, namun disertai komitmen memberi pinjaman
modal. Oleh sebab itu botoh pilkada menolak jika aktivitasnya disebut sebagai judi,
ia membedakan pekerjaannya dari pejudi karena pejudi tidak “berkeringat”. Botoh
lebih memilih menyamakan aktivitasnya dalam pilkada seperti pemain saham. Simak
pernyataan seorang botoh, menurutnya:
Botoh itu bukan judi, kami kerja dan ada risiko rugi, seperti orang main saham bisa
untung dan bisa pula rugi. Uang kami hilang kalau calonnya kalah. Kami kerja
keras di lapangan juga keluar modal dan juga risiko, termasuk risiko kekerasan
fisik dari pihaklawan (Wawancara 2016).
Komitmen kerjasama botoh dengan calon juga berbasis kepercayaan (mutual trust)
karena umumnya komitmen tersebut tidak tertulis atau tercatat dalam dokumen resmi,
kalaupun tertulis hanya berupa selembar kuitansi untuk setiap transaksi tanpa meterai,
sehingga tidak punya kekuatan hukum jika ada pihak yang ingkar (Wawancara 2016).
Sama seperti pola pemodal dalam pilkades, atas modal yang diterima dari botoh,
maka calon punya kewajiban mengembalikan dua kali lipatnya. Sebaliknya jika calon
kalah, maka kewajiban pengembalian modal menjadi gugur. Format pengembalian
modal sesuai kesepakatan, bisa dengan cara dicicil dalam rentang waktu tertentu.
Dalam bisnis botoh faktor kepercayaan (trust) menjadi modal dasar sebagaimana yang
berlaku umum di dunia bisnis. Reputasi serta “nama baik” sebagai botoh ini mereka
pelihara dengan bekerja profesional dan tidak menipu, reputasi nama baik ini mereka
jaga termasuk dalam bisnis keseharian mereka di luar pilkada. Sebaliknya botoh juga
memelajari reputasi calon yang dibantunya sebelum membangun kesepakatan.
Dalam bisnis permodalan ini, botoh juga menunjukkan hanya punya motif
keuntungan ekonomi semata. Ia hanya mau mendanai calon yang menurut hasil
surveinya punya peluang besar terpilih. Dalam konteks ini, sesungguhnya botoh tidak
memodali sembarang calon. Ia selektif hanya mendanai calon yang diunggulkan
pemilih berdasar pantauan hasil surveinya. Oleh sebab itu keputusan pasti, apakah
botoh akan riil mengucurkan uang sebagai modal politik uang, dilakukan setelah
survei botoh yang terakhir, sekitar satu-dua minggu sebelum hari pemungutan suara.
Jika hasil survei menunjukkan elektabilitas calon ternyata jeblok, maka calon akan
ditinggalkan. Seorang informan, ia mantan calon kepala daerah, menilai botoh dalam
pilkada sesungguhnya bertindak sangat profesional. Menurutnya:
Botoh itu profesional, cara kerjanya sangat terstruktur, bisa dikatakan
mirip konsultan politik. Botoh menggunakan hasil surveinya untuk melakukan
kerja pemenangan, mulai dari menyusun isu atau tema, menyusun struktur
197
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
(tim sukses), sampai dengan melakukan eksekusi akhir (politik uang) untuk
pemenangan (Wawancara 2015).
Botoh dengan demikian bertindak rasional (rational action), dengan maksud mendapat
keuntungan finansial. Untuk itu botoh tidak sembarangan memodali calon, hampir
pasti ia hanya memodali calon yang ia tahu punya peluang dan dipastikan olehnya
untuk menang. Botoh mengukur peluang menang-tidaknya calon dengan melakukan
survei. Simak juga keterangan informan lainnya.
Botoh memulainya dengan survei yang dikerjakan ceker untuk tahu peluang menangtidaknya calon, dari surveinya mereka bisa membuat kalkulasi besaran money-politics
dan suara di daerah mana yang akan digarap (Wawancara 2016).
Surveyor botoh dikenal dengan sebutan ceker. Mereka adalah aktor yang juga
memiliki pengalaman melakukan pekerjaan serupa sejak di pilkades. Oleh karenanya
ceker mengenal dengan baik kebiasaan penduduk desa. Ceker bertugas mendata
preferensi pemilih dengan bertanya langsung ke pemilih (door to door). Ceker juga
mencari informasi lain-lain, seperti jenis bantuan yang diinginkan pemilih, persepsi
pemilih tentang calon, dan faktor-faktor yang bisa memengaruhi pilihan pemilih, serta
memastikan besaran politik uang per pemilih. Guna mendapatkan data akurat ceker
akan menginap dan berdomisili sementara di desa-desa lokasi kerjanya. Ceker bekerja
untuk botoh, dalam tim botoh posisi mereka adalah anak buah. Biaya operasional ceker
di lapangan ditanggung oleh botoh, selanjutnya semua biaya lapangan akan ditagihkan
kepada calon yang menggunakan jasa botoh. Kehadiran ceker di lapangan tidak mudah
dikenali, saat di lapangan mereka hadir dalam ragam profesi, seperti sebagai pedagang
sayur, tengkulak, jasa servis kasur atau jok kursi. Sebagian dari mereka memang
berprofesi seperti perannya, sebagian yang lain memang menyamar, mereka ini melalui
pelatihan sebelum terjun ke lapangan (Wawancara 2016).
Botoh dan calon bisa kerjasama dipertemukan oleh kepentingan masing-masing
dalam pilkada. Keduanya adalah aktor rasional ekonomi. Ciri rasional ekonomi
botoh tergambar dari dasar pertimbangan botoh dalam memberi modal kepada
calon, yaitu dengan memilih calon berpeluang menang. Pihak calon juga punya
pertimbangan rasional ekonomi dalam memilih menggunakan jasa botoh, yaitu botoh
mampu menyediakan uang tunai yang dibutuhkan untuk pembiayaan politik uang dan
botoh sekaligus menyediakan data survey dan mesin politik yang mampu mengawal
pemenangannya. Selain itu bagi calon, botoh jika tidak dirangkul berisiko membantu
calon pesaing yang kuat, sehingga potensial sebagai ancaman (Wawancara 2015).
Bahwa motif botoh murni rasional ekonomi diperkuat oleh fakta, meski secara pribadi
198
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
botoh punya afiliasi dengan partai politik tertentu, saat kerja menjalankan perannya
sebagai botoh, ia lepas baju partai politiknya. Ia hanya komitmen untuk keuntungan
ekonomi dengan mengambil manfaat jika calonnya menang.
Pada hitungan kurang dari dua minggu maka botoh sudah punya data kandidat
kuat pemenang pilkada. Manakala calon yang didukung berdasar survey ternyata
kalah, maka botoh urung untuk melanjutkan komitmen meminjami modal. Tetapi
jika berpeluang menang maka uang yang dijanjikan kepada calon akan dikucurkan.
Botoh akan menyerahkan uang yang dijanjikan kepada calon sudah dalam bentuk uang
pecahan rupiah, sehingga siap didistribusikan. Botoh ikut memastikan politik uang
hanya didistribusikan kepada pemilih potensial, yakni pendukung (pemilih mantap),
pemilih bimbang (swing voters), dan yang belum membuat keputusan. Pemilih yang
sudah pasti di pihak lawan ditinggalkan. Selanjutnya botoh akan mengawal proses
distribusi politik uang untuk dipastikan sampai kepada pemilih, botoh akan mengawasi
kerja tim sukses calon di desa, yakni para koordinator tingkat TPS/RT, mereka ini
yang langsung mendistribusikan uang ke pemilih. Pengawasan oleh botoh ini tidak
disadari oleh tim sukses calon karena dikerjakan ceker secara tersembunyi. Kerja
botoh ini, yakni berbekal data hasil survei disertai pengawalan dalam distribusinya
menjadikan politik uang yang menggunakan jasa botoh lebih tepat sasaran dan lebih
terukur.
Gambar 3. Botoh dan Politik Uang
Keterangan:
: Distribusi uang ke pemilih (politik uang)
: Pengawalan distribusi uang ke pemilih (politik uang)
Sumber: Olahan data berdasarkan hasil wawancara
199
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
Gambar 3. di atas menjelaskan botoh menyetor modal untuk biaya politik uang ke
pemilih sekaligus mengawasi distribusinya, botoh tidak langsung membagi uang ke
pemilih. Dalam hal ini calon melalui tim sukses yang membagi uang kepada pemilih.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Secara umum pilkada di Indonesia berjalan dengan sukses, setidaknya tergambar
dari pernyataan resmi pemerintah setiap usai pilkada digelar (www.tribunnews.com),
namun yang patut disadari dibalik sukses prosedural pemilu, di bawah permukaan
masih ada sejumlah pelanggaran. Politik uang dan ketidakjelasan jumlah uang
yang beredar serta darimana sumbernya adalah jenis pelanggaran yang belum bisa
dihilangkan. Jika ditelusuri asal mulanya, politik uang serta dari mana saja sumber
pembiayaannya terkoneksi dengan pilkades. Belajar dari pilkades, politik uang sudah
ada dalam waktu lama di masyarakat dan diterima sebagai hal wajar. Kewajaran ini
melahirkan politik uang memiliki banyak sebutan di masyarakat, seperti wur-wuran,
dum-duman, tali asih bahkan sedekah, sehingga tidak selalu bermakna negatif dan
karenanya menjadi bagian yang ditunggu dan sebagai tuntutan pemilih saat pilkada.
Politik uang juga diyakini oleh calon sebagai strategi ampuh untuk meraih suara
pemilih, sehingga strategi politik uang ini dilakukan oleh semua calon dalam pemilu.
Tradisi politik uang ini menyumbang besaran biaya pilkada yang tidak bisa ditutup
oleh uang pribadi calon. Seorang calon dalam pilkada praktiknya membiayai hampir
seluruh pembiayaan yang diperlukan dalam pilkada, sedangkan sumber-sumber resmi
yang diijinkan dalam regulasi umumnya tidak efektif. Dari sini lahir potensi bisnis
pemodalan pilkada. Pilkada langsung membuka ruang bagi pemodal lama tingkat
pilkades yang bertrasformasi ke pilkada, atau botoh.
Fenomena botoh menjelaskan adanya skema pembiayaan alternatif pilkada
untuk politik uang kepada pemilih. Pemilih adalah pihak yang juga berkontribusi
menentukan proses transaksi politik uang. Oleh sebab itu penting pula mendidik
pemilih, melalui pendidikan pemilih yang terarah dan berkelanjutan berpotensi
memindahkan “tuntutan” pemilih atas politik uang dalam pilkada menjadi tuntutan
atas pemenuhan janji kampanye calon dalam wujud barang-barang programatik
(programmatic goods). Pergeseran ini diduga akan berkontribusi mengeliminir politik
uang dan karenanya botoh bukan lagi sebagai permintaan pasar dalam pilkada.
Studi ini menjelaskan pada pilkada selain institusi formal, hidup pula institusi
informal botoh dan politik uang. Aturan pilkada yang sudah ada belum efektif
untuk menghapus pelanggaran politik uang serta tidak menjangkau sumber dana
dari botoh yang berkarakter informal. Oleh sebab itu penting pula dilakukan
penguatan institusi formal melalui perbaikan regulasi yang lebih memberi insentif
bekerjanya institusi formal. n
200
Botoh dan Pembiayaan Pilkada Alternatif
Daftar Pustaka
Anggraini, Titi, et.al. 2011. Menata Kembali Pengaturan Pemilukada. Jakarta: Perludem.
Aspinall, Edward. 2013. “Popular Agency and Interests in Indonesia’s Democratic
Transition and Consolidation.” Indonesia (96), hal. 101-121.
Choi, Nankyung. 2009. “Democracy and Patrimonial Politics in local
Indonesia.”Indonesia (88), hal. 131-165.
Djani, Luki. 2014. “Peran Uang dalam Demokrasi Elektoral di Indonesia.” Dalam
Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi. AE Priyono dan
Usman Hamid (eds). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal. 185-200.
Fionna, Ulla. 2014. “Vote-buying in Indonesia’s 2014 Elections: The Other Side of the Coin
: Watching the Indonesian Elections” ISEAS Perspective ( 35): 94-102. Diakses
dari https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2014_35.pdf
Fukuoka, Yuki. 2012. “Politics, Business and the State in Post-Soeharto Indonesia.”
Contemporary Southeast Asia 34 (1), hal. 80-100.
Halili. 2009. “Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa: Studi di Desa
Pakandangan Barat Bluto Sumenep Madura.” Jurnal Humaniora 14( 2), hal.
99-112.
ICW. 2016. “Pengawasan Pemilu Politik Uang dan Dana Kampanye.” Jurnal Pemilu
dan Demokrasi (09), hal. 70-94.
Haryanto. 2003. Indonesia Negeri Judi? Jakarta: Yayasan Khasanah Insan Mandiri.
Kana, Nico L. 2001. “Strategi Pengelolaan Persaingan Politik Elit Desa di Wilayah
Kecamatan Suruh: Kasus Pemilihan Kepala Desa.” Jurnal Renai 1 (2), hal. 5-25.
KPK. 2016. Laporan Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pen da naan Pilkada. Direktorat penelitian dan Pengembangan KPK. Diakses dari http://acch.kpk.g o.id/documents/ 10180/15049/
Laporan+Studi+Potensi+Benturan+Kepentingan+dalam+Pendanaan+ Pilkada.
pdf/ 5992b55a-91ef-4976-bab6-44f54d28baa9.
Mietzner, Marcus. 2011. “Funding Pilkada :Illegal Campaign Financing in
Indonesia’s Local Elections”. Dalam The State And Illegality In Indonesia. Edward
Aspinall and Gerry van Klinken (eds.). Leiden: KITLV Press.
Muhtadi, Burhanuddin. 2018. “Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal
Networks, and Winning Margins.” A PhD thesis for the degree of doctor of
philosophy, The Australian National University.
Nurdin, Ali. 2014. “Vote Buying And Voting Behavior In Indonesian Local
Election: A Case In Pandeglang District.” Global Journal of Political Science and
Administration 2 (3), hal. 33-42.
Rakhmawati, Fijri. 2008. “Pertaruhan dan Politik Uang dan Pertarungan Kekuasaan
Dalam Pelaksanaan Pilkades.” Jurnal Swara Politika 10 (3), hal. 172-181.
201
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
Sahab, Ali. 2012. “Vote Buying dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada): Studi
Kasus Pilkada Surabaya dan Pilkada Kabupaten Blitar Tahun 2010.” Jurnal
Jejaring Administrasi Publik (8), hal. 118- 123.
Suaib, Eka dan La Husen Zuada. 2015. “Fenomena ‘Bosisme Lokal’ Di Era
Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik Nur Alam Di Sulawesi Tenggara.” Jurnal
Penelitian Politik 12(2), hal. 51-69.
www.gatra.com. “Gerilya Bandar Judi Pilkada”. https://www.gatra.com/rubrik/
fokus-berita/177362-gerilya-bandar-judi-pilkada. Diakses 07-12-2015
www.ti.or.id. “Biaya Pilkada Picu Korupsi”. http://www.ti.or.id/index.php/
news/2016/ 09/28/biaya-pilkada-picu-korupsi. Diakses 19/10/2018
www.tribunnews.com. “Tjahjo Sebut Pilkada Serentak 2017 Berjalan Lancar,
Aman dan Sukses. http://www.tribunnews.com/nasional/ 2017/04/24/
tjahjo - sebut-pilkada-serentak-2017-berjalan lancar-aman-dan-sukses. Diakses
19/10/2018.
202
Pembiayaan Pemilu di Indonesia
308