[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
UNTUK KALANGAN SENDIRI DINAMIKA KEILMUAN DI ACEH A. ACEH DALAM BINGKAI SEJARAH Prolog Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat di Indonesia maupun di dunia Internasional pada masa yang lalu, saat ini, atau mungkin masa yang akan datang. Perkembangan sejarah dan peradaban suku bangsa Aceh pun menjadi perhatian para ahli sejarah, karena suku Aceh memiliki keunikan tersendiri, terutama banyaknya integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya terjadilah suatu etnik Aceh. Aceh dalam sejarahnya yang panjang juga memiliki dinamika, pasang surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan. Negeri yang berada di ujung pulau Sumatera, menurut komentar-komentar pengkaji memiliki masyarakat yang unik, misalnya disebutkan berani, ulet, tanpa mengenal menyerah dan sebagainya. Namun dalam sisi lain, masyarakat atau orang Aceh cenderung familier, mudah dalam bergaul dengan siapa saja. Kalau pada era kesultanan Aceh begitu terkenal pada bangsabangsa di timur dan Barat, hal itu tidak terlepas sifatnya yang ramah dan amat menghormati yang terjadi pada zaman kesultanan. Hanya saja dalam istilah yang berbeda, yaitu dalam 1 tamu. Kalaulah sekarang ini setiap Negara lebih tergiur dengan investor asing, demikian juga Dengan memiliki sifat ramah dalam menerima tamu dan ditambah sumber daya alam yang melimpah hingga sekarang ini, Aceh dikenal secara mendunia. Ditambah lagi prahara kehidupan masyarakat Aceh akibat konflik berkepanjangan serta gempa dan tsunami yang melanda bumi Aceh. Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page kerjasama perdagangan. Dalam hal ini Aceh begitu dikenal di dunia Internasional. UNTUK KALANGAN SENDIRI a. Sejarah Bangsa Aceh 1. Sejarah dan perkembangan suku Bangsa Aceh Suku bangsa Aceh merupakan salah satu suku yang tergolong kedalam etnik Melayu. Di samping itu etnik Aceh juga di identikkan dengan Arab, Cina, Eropa dan Hindustan(India). Aceh sejak dulu telah mempunyai kontak dagang dengan bangsa asing terutama dari India, Timur Tengah dan Cina. Realitas tersebut menurut hemat penulis karena letaknya yang strategis dengan jalur pelayaran Internasional serta berdekatan dengan lautan Indian dan selat malaka. Keberadaan suku bangsa Aceh di ujung pulau sumatera menjadi perhatian para saudagar yang menggunakan laut sebagai jalan transportasi di selat malaka.1Kehadiran para saudagar tersebut dari hari ke hari di Aceh semakin bertambah, sehingga pada waktu tertentu mereka menetap di Aceh. Kehadiran mereka terjadi dari dua gelombang. Periode pertama merupakan suku melayu lama, mereka hidup di daerah pesisir Aceh. Kedua suku melayu baru. Kedatangan suku melayu baru membuat para suku melayu lama lebih senang menetap di pedalaman karena mereka enggan menerima pembaruan sehingga mereka menetap di daerah dataran tinggi. Sehubungan dengan suku bangsa Aceh Zainuddin mengatakan: Bangsa Aceh Pahang menurut ethnologie, ada hubungan dengan bangsa Phonesia dan Baylonia dan Bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.2 2. Asal Usul Sebutan Aceh Hampir semua sejarawan kawasan Asia Tenggara memberi pendapat bahwa sulit mendapatkan sumber yang akurat mengenai asal nama Aceh. Di dalam sejarah kedah, Marong Mahawangsa, (+ th. 1220 M = 517 H) Aceh sudah tersebut sebagai suatu negeri di pesisir pulau perca (Sumatera).3 Menurut Zainuddin, sesudah + 400M, Sumatera Utara dinamai orang Arab: Rami(Ramni)4, oleh orang Tionghoa disebut Lan-li, lanwu-li, Nanwu-li dan Nan-poli. Jang sebenarnya sebutan Atjeh Lam Muri, oleh sejarah Melaju: Lambri (Lamiri) dan oleh Marco 1 A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta: Yayasan obor, 2003), hal.6 Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan :Pustaka Iskandar Muda,1961), hal. 15. 3 M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah, (Banda aceh: Yayasan PeNA, 2008), hal. 5. 4 Ramni = Kampung Pandee sekarang. 2 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Sakai Djakun, Semang(orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan 2 termasuk dalam ke dalam rumpun bangsa melaju,jaitu bangsa-bangsa Mante(Bante), Lanun, UNTUK KALANGAN SENDIRI polo Lambri. Sesudah kedatangan portugis, nama Lambri tak disebut-sebut lagi, melainkan hanya Achem. Orang Portugis dan Italia biasanya mengatakan Achem, Achen, Acen dan orang Arab menjebutkan lagi Asji, atau djuga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis Frantjis mengatakan Achem, Achen, Achin, Acheh, orang Inggeris menjebut: Atcheen, Acheen, Achin, achirnya orang Belanda menjebutkan Atjeh. Orang Atjeh sendiri mengatakan “Atjeh”, begitu pula nama daerah ini tersebut dalam tarich Melaju.5 Cerita asal nama Aceh banyak ragamnya, diantaranya yaitu cerita pusaka (mythe) anak negeri tentang nama Aceh adalah sebagai berikut: sebuah kapal dari Gudjarat di India kabarnya tiba di sungai Tjidaih (baca: Tjeudaih= cantik). Anak-anak kapal yang naik ke darat menuju kampong pandee, tiba-tiba kehujanan di tengah mereka berteduh dibawah pohon yang rindang dan berseru-seru memuji daun-daun kaju itu “Atja, Atja, Atja”. Kemudian di Pidie kapal itu berjumpa dengan sebuah perahu di sungai Tjidaih. Mereka bertanya: apakah perahu itu ada mengunjungi kampong pandee? Hal mana diiakan dan anak-anak kapal itu berseru: Atja, Atja, Atja, yang kemudian berubah menjadi Atjeh.6 3. Sejarah masuknya Islam di Aceh Dalam pembicaraan tentang sejarah Islam di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang negara di semenanjung Melayu umumnya. Atas dasar ini maka julukan serambi Makkah yang disandangnya tidaklah berlebihan. Untuk itu pembicaraan tentang sejarah Islam di Indonesia, maka Aceh menempati posisi perdana dan strategis. Masuknya Islam di Aceh mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi penyebaran Islam di Nusantara. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Islam pertama kali masuk ke Nusantara bermula di Aceh, yaitu abad pertama dan kedua Hijriah atau abad 7M. 7 Islam datang pertama kali di Indonesia melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh saudagar-saudagar Arab. Ketka awal-awal kedatangannya itu, Islam hanya sebagai kegiatan dakwah dan belum muncul sebuah kekuatan politik. Lama kemudian baru muncul sebagai 5 Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan :Pustaka Iskandar Muda,1961), hal. 23. A. Rani Usman, Sejarah Perdaban Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 20 7 Nasruddin Baidan, Perkembangan afsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), hal. 32 6 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page sejarah Islam di Indonesia khususnya, dan dengan Malaysia, Thailand, Brunei, dan negara- 3 sangat penting, karena Aceh merupakan wilayah yang tidak bisa dipisahkan dalam setting UNTUK KALANGAN SENDIRI sebuah kekuatan politik, yakni dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di sekitar wilayah Aceh.8 Sebelum nama “Aceh” lahir sebagai sebuah kerajaan Islam, terdapat 6 daerah terpenting di ujung Sumatera, yaitu: 1) Kerajaan perlak 2) Kerajaan samudera pasai 3) Kerajaan teumiang 4) Kerajaan pidie 5) Kerajaan indera purba 6) Kerajaan indera jaya Dalam perkembangan selanjutnya, keenam kerajaan diatas disatukan menjadi daerah Aceh oleh sultan Husain Syah yang memerintah Aceh Darussalam pada 870-885 H/14651480 M. pada masa inilah Aceh menjadi satu agama, satu bangsa, dan satu negara. Hingga dengan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman gemilangnya.9 Penyatuan dan pembentukan kerajaan Aceh Darussalam ini digerakkan oleh Sultan Ali Mughaiyat syah yang terkenal sebagai pemersatu Aceh yang sangat gagah dan berani. Kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan jaya di bumi Aceh, khususnya Kerajaan Aceh 4 b. Hukum di Aceh Tanah Rencong, Daerah Modal, bumi gajah Putih, dan Naggroe Aceh Darussalam, mulai dari kerajaan Islam di peureulak, kerajaan Isalam samudera Pasai dan lain-lainnya mengambil Islam sebagai dasar negara10. Sedangkan sumber hukumnya dengan jelas dan tegas berkiblat kepada al-Qur‟an , Hadis, Ijma‟, dan Qiyas.11 Dalam melaksanakan hukum, Kanun al-Asyi menjelaskan bahwa”Ulama dengan rais tidak boleh jauh dan bercerai. Sebab, jikalau bercerai dengan rais niscaya binasalah negeri. Barang siapa mengerjakan hukum Allah dan meninggalkan adat maka bersalah dengan dunianya. Dan barang siapa mengerjakan adat dan meninggalkan hukum Allah, maka 8 M. Solihin, Melacak pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 20 A. Hasyimi, Sejarah Islam Masuk dan Berkembangnya di Indonesia, (Bandung: al-Ma‟arif, 1993), hal. 330 10 Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah Etnografi Kekerasan di Aceh, (Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2003), hal. 85 11 A. Hasyimi, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 14. 9 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Darussalam, yang pada saat ini disebut sebagai serambi Makkah, Bumi Iskandar Muda, UNTUK KALANGAN SENDIRI berdosalah dengan Allah. 12 Hal ini sesuai dengan sebuah hadih maja atau pepatah Aceh yang berbunyi: Adat Bak Po Teumereuhôm Hukôm Bak Syiah Kuala Kanun Bak Putroe Phang Reusam Bak Lakseumana c. Sistem Pemerintahan Aceh Untuk bahan perbandingan antara system pemerintahan Aceh zaman dahulu dengan sekarang, maka penulis mencoba membandingkan secara sistematis berdasarkan data yang diperoleh. Karena ada dua system yang tercatat dalam beberapa dokumen yaitu Kerajaan Aceh Darussalam(KAD) dan Nanggroe Aceh Darussalam(NAD). 1. Sistem Pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam Dilihat dari struktur dan susunan sistem kepengurusan dan kepemerintahan di Aceh, sistem kepengurusan kerajaan Aceh terdiri dari beberapa tingkat, yaitu13: a) Tingkat pusat Kepengurusan kerajaan Aceh pada tingkat pusat diketuai oleh b) Tingkat nanggroe Tingkat negeri ini terdiri dari beberapa buah mukim yang disatukan dan dinamakan nanggroe. Sistem kepengurusan di tingkat ini adalah:  Uleebalang, bertugas sebagai pengurus negeri dan juga sebagai panglima tentara yang menjalankan titah Sultan yang berkenaan dengan adat dan agama yakni hokum Islam. Cara pelantikan Uleebalang adalah secara turun-temurun dengan mendapat surat pelantikan dari Sultan. Dan   12 13 keturunan bangsawan ini digelari Teuku atau Ampon. Imeum Keuchik Hasanuddin Yusuf Adan, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal. 78. Hasanuddin Yusuf Adan, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal. 61 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page menteri dan ketua-ketua jabatan yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. 5 seorang sultan. Sultan memiliki kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh memteri- UNTUK KALANGAN SENDIRI c) Tingkat mukim Mukim adalah gabungan dari beberapa buah gampoeng yang ditandai oleh sebuah mesjid. Oaring-orang dari beberapa gampoeng yang tergabung dalam lingkungan mesjid ini berada dibawah kekuasaan seorang penguasa agama yang disebut imam. Karena pengaruhnya sangat kuat di kalangan masyarakat, maka peranan imam berubah menjadi pemimpin atau ketua mukim. d) Tingkat gampoeng Sistem pemerintahan tingkat ini adalah sistem pemerintahan yang terletak di tingkat paling kecil dan bawah sekali. Kadang-kadang ia terbentuk dari seuneubok14. Sistem pemerintahan gampong adalah:  Keuchik, yaitu orang yang mengetuai pemerintahan gampong.  Waki keuchik, wakil kepala kampong yang dinamakan waki.  Teungku menasah, mengurusi urusan agama seperti: nikah, talak, fasakh, rujuk, kematian dengan pengetahuan keuchik.  Ureueng tuha, yang bertugas bersama-sama imeum menasah membantu keuchik. terletak dekat dengan benteng atau istana. Daerah ini dipanggil juga sebagai bibeueh. Gampong-gampong yang berstatus daerah bibeueh adalah:  Gampong kandang, tempat tinggal hamba raja  Gampong meureuduwati, tempat tinggal pegawai raja  Gampong jawa dan gampong keudah, tempat tinggal saudagar-saudagar asing  Gampong pante pirak dan gampong neusu, tempat tinggal tentara sultan atau militer 14 Seunuebok yaitu daerah tanah baru yang didirikan oleh orang yang terpaksa keluar dari gampong karena terlalu penuh atau disebabkan alas an-alasan lain. Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Daerah ini diurus oleh sultan. Daerah tanah bebas dianggap istimewa karena 6 e) Tingkat daerah-daerah tanah bebas UNTUK KALANGAN SENDIRI 2. Sistem Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam Sistem pemerintahan zaman Kerajaan Aceh Darussalam Nampak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan pada masa Nanggroe Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam (KAD) merupakan sebuah Negara merdeka, bebas dan berdaulat, sementara Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan sebuah provinsi dan bagian terkecil dari Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah provinsi, NAD tidak bebas mengatur dan mengurus dirinya karena terhalang oleh peraturan Indonesia, namun hanya diberi wewenang untuk mengatur diri dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan keuangan, perundang-undangan, keamanan, dan hubungan luar negeri dan politik. Hal ini sebagaimana disahkannya Undang-undang RI No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan UU RI No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai NAD.15 Sebagai sebuah provinsi dalam Negara Indonesia, NAD hanya mempunyai pemerintahan Gampong sebagai tingkat pemerintahan terendah, pemerintahan mukim sebagai tingkat kedua di atas Gampong, pemerintahan Sagoe Cut (Kecamatan) sebagai level ketiga di atas Gampong , pemerintahan sagoe/ Banda (kabupaten/Kota) sebagai itu berada di bawah kekuasaan NKRI dan di urus dengan UU Indonesia. 7 tingkat keempat dan pemerintah Nanggroe (Provinsi) sebagai tingkat tertinggi. Semua Suku Bangsa Aceh terdiri dari suku Melayu lama(tua), melayu baru(muda), Mante, Lanun, Sakai Djakun, Semang, Aceh di identikkan dengan Arab, Cina, Eropa dan Hindustan(India). Islam masuk ke Aceh yaitu abad pertama dan kedua Hijriah atau abad 7 M. Aceh mengambil Islam sebagai dasar negara. Sedangkan sumber hukumnya dengan jelas dan tegas berkiblat kepada al-Qur‟an , Hadis, Ijma‟, dan Qiyas. Perbedaan antara KAD dengan NAD terletak pada dua sisi. Pertama, KAD merupakan sebuah negara besar, berdaulat, berpengaruh, dan kuat. Sementara NAD hanya sebuah wilayah kecil yang bersifat Provinsi dalam pasungan NKRI. Dalam hal ini NAD tidak bias melakukan hal-hal yang penting kecuali menunggu dan menjalankan perintah serta arahan dari Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Kedua, penghuni KAD merupakan sebuah bangsa yang bertamaddun tinggi lagi 15 Hasanuddin Yusuf Adan, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal.85 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Epilog UNTUK KALANGAN SENDIRI kuat yang beragama Islam sehingga dikenal seluruh pelosok dunia. Sedangkan NAD hanya sebuah suku yang tidak bebas dan tidak berdaya untuk membebaskan diri dari pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak terlalu dikenal di tingkat Internasional, kecuali selama terjadinya konflik berkepanjangan. B. PEMETAAN KEILMUAN DAN PERKEMBANGANNYA Prolog Aceh negerinya para aulia, Aceh daerah Serambi Makkah. Kawasan yang terletak di ujung utara pulau Sumatra ini telah dikenal dalam sejarah sejak berabad-abad yang lampau. Dari sini telah banyak lahir ulama-ulama yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara. Sebelum beranjak lebih jauh, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu definisi keilmuan itu sendiri. Keilmuan berasal dari kata Ilmu, ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu 16, sedangkan keilmuan sendiri adalah apa yang berkenaan dengan pegetahuan yang bersifat ilmiah.17 Masyarakat Aceh pra-Islam adalah penganut agama Hindu, di mana unsur perkembangan peradaban masyarakatnya. Kerajaan dan agama Hindu yang menjadi anutan mayoritas masyarakat berubah drastis setelah penguasa memeluk agama Islam. Islam sedikit demi sedikit berkembang di pulau-pulau di sekitarnya sehingga seluruh Nusantara. Sampai abad ke 18 M hampir semua masyarakat di kepulauan Nusantara telah memeluk agama Islam.18Perubahan ini berpengaruh besar dalam bidang keilmuan yang berkembang di Aceh, terutama studi mengenai ilmu-ilmu keislaman. Tradisi keilmuan yang berlandaskan Islam telah dimulai sejak ± abad 14 M, menurut catatan Marco Polo ketika berkunjung ke Kesultanan Samudra Pasai (Pase) pada tahun 1345 M, disebutkan bahwa para Sultan menaruh perhatian besar terhadap kajian Islam 16 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. (2005), hal 423 17 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar..., hal 424 18 Tim Penulis IAIN Ar-Raniry. Pengantar EditorEnsiklopedi Pemikiran Ulama Aceh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press. (2004), hal. xi Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page wilayah Barat pulau Sumatra pada awal milenium kedua telah memberikan arah baru dalam 8 mistisme/mitos banyak beredar di dalam tradisi-tradisi mereka. Adapun kedatangan Islam di UNTUK KALANGAN SENDIRI atau masalah-masalah keagamaan. Hubungan antara penguasa dan Ulama benar-benar terjalin dengan baik.19 Namun sayangnya penulis tidak menemukan data mengenai perkembangan keilmuan pada masa tersebut, baik tokoh-tokohnya maupun karya-karya yang pernah dihasilkan. Pengaruh sastra kuno melayu tetap kental dalam beberapa karya-karya keilmuan yang berkembang sekitar abad ke 17 M. Pada Abad ke 17 M, Aceh menerima dan menampung limpahan pengarang dan pemikir. Ada yang berasal dari Sumatra, ada lagi yang datang dari India mengikuti jejak kaum dagang.20 Pada zaman keemasan Aceh ini, di bawah sultan-sultannya yang perkasa, banyak guru-guru berdatangan untuk menetap dan memberikan pelajaran di Aceh. Aceh menjadi pusat pengkajian Islam dan dari sini banyak muncul tulisan-tulisan mengenai ajaran agama. Bustanussalatin menceritakan bahwa sejak masa pemerintahan Sultan Ali Ri‟ayat Syah (1568 M -1575 M) sampai pada masa Sultan Iskandar Tsani memerintah (1636 M 1641 M), para cerdik pandai ulama dari Makkah, Gujarat, Yaman, dan dari Aceh sendiri diterima dan dilindungi oleh para sultan sehingga keilmuan keislaman sangat maju di masa itu.21 atau ulama yang memilki peran penting dalam pengembangannya. Tidak hanya berupa studi keislaman, tapi juga studi-studi pengetahuan umum lainnya. Aktifitas Keilmuan di Aceh mengalami kemajuan dan kemunduran seiring dengan bergulirnya waktu. Namun perhatian terhadap studi keislaman tetap terus berlanjut hingga sekarang. 19 Lihat TH. Thalhas. Pengantar Tim Penyusun Tafsir Pase. Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Quran Pase. (2001), hal vi 20 Denys Lombard. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. (2007), hal. 212 21 Umar, Muhammad. Peradaban Aceh (Tamaddun). Banda Aceh: Yayasan Busafat. (2006), hal. 44 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page dapat dipetakan dengan mengklasifikasi bidang-bidang kajian yang ditelaah oleh para ilmuan 9 Tradisi keilmuan yang berkembang di Aceh sejak masa kerajaan/kesultanan UNTUK KALANGAN SENDIRI a. Pemetaan Keilmuan di Aceh Berbicara mengenai ilmu, secara garis besarnya dibedakan kepada dua bahagian, yaitu ilmu keruhaniaan atau agama dan ilmu duniawi. Keduanya saling berkaitan erat, seorang ilmuwan besar di zamannya yaitu Albert Einstein pernah berkata, “Ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.”22 Adapun tadisi keilmuan yang ada di Aceh sejak beberapa abad yang lampau, lebih terfokus kepada tradisi keilmuan mengenai pengetahuan agama Islam, adapun ilmuilmu lainnya seperti ilmu politik, yang pernah termaktub dalam kitab Tajus Salatin (Mahkota Raja-Raja) karya Bukhari Al-Jauhary juga tidak terlepas dari tuntunan ajaran agama Islam. Berikut ini pengklasifikasian ilmu pengetahuan yang ada di Aceh menurut bidangnya masing-masing: 1. Studi Islam: Aqidah, Tauhid, Fiqh, Tasawuf, Tafsir, Hadits, Ilmu Mantiq, dan lain-lain. 2. Studi Pengetahuan Umum: Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, Ilmu Sejarah, Ilmu b. Perkembangan Keilmuan di Aceh Keilmuan yang sangat berkembang di Aceh ialah keilmuan keislaman, di 10 Falak (Astronomi), Ilmu Kedokteran, dan lain-lain. sumbangsih mereka berupa pengajaran dan pendidikan serta menulis kitab-kitab yang sangat bermamfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini tidak terlepas daripada dukungan yang diberikan oleh penguasa kepada para Ulama sejak berabad-abad yang lalu. Di mulai dari ± abad ke-14 M para Sultan yang berkuasa memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada Ulama untuk menyebar luaskan agama Islam serta menjadikan Aceh sebagai pusat studi agama Islam. Istana adalah pusat pengkajian keilmuan keislaman di masa kesultanan dulu.Bahkan di dalam istana kesultanan diadakan halaqah atau majlis pengajian, muzakarah atau diskusi keagamaan, dan Sultan ikut serta di dalamnya.23 22 Jujun S. Suriasumantri. Thesis Hari Ini. Bogor: Bulletin KAMI, (Agustus, 1966), dikutip dari bahan kopian Mata Kuliah Filsafat Ilmu semester III, Dosen Pembimbing: Fuad Ramli, M. Hum, hal 4 23 TH. Thalhas. Pengantar Tim Penyusun Tafsir Pase. Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Quran Pase. (2001), hal vi Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page mana para cerdik cendikia Ulama yang berdatangan ke Aceh telah memberikan UNTUK KALANGAN SENDIRI Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, Aceh mengalami masa keemasannya sekitar abad ke-17 M, di mana banyak para pemikir dan pengarang yang menetap di Aceh di bawah perlindungan penguasa. Nuruddin Ar-Raniry dalam kitab Bustanus Salatin, yaitu sebuah kitab yang banyak berisikan mengenai sejarah Kerajaan Aceh Darussalam sejak awal berdirinya sampai masa Iskandar Tsani menyebutkan beberapa ulama yang pernah menetap di Aceh, antara lain:24 1. Muhammad Azhari yang bergelar Syaikh Nuruddin bermazhab Syafi‟i dari Makkah pada saat Sultan Ali Ri‟ayat Syah (1568 M - 1575 M) memerintah dan beliau mengajarkan ilmu ma‟qulat. 2. Syaikh Abdul Khair Ibnu Hajar dari Makkah, ahli dalam ilmu fiqh, pada zaman Sultan Alaudin Manshur Syah Perak Ibn Sultan Ahmad (1579 M -1586 M) memerintah. 3. Syaikh Muhammad Yamani dan Syaikh Muhammad Jailani Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Hamid al-Raniri dari Gujarat yang mengajarkan ilmu mantik dan ilmu bayan badi juga di zaman Sultan Alaudin Manshur Syah Perak Ibn Sultan Ahmad. M -1636 M), dan 5. Nuruddin Ibnu „Ali Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Hamid Ar-Raniri yang datang dari Gujarat dan atas perintah Sultan Iskandar Tsani (1636 M -1641 M) menulis kitab Bustanus Salatin. Selain nama-nama ulama yang telah disebutkan di atas, masih banyak tokohtokoh lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam khazanah keilmuan di Aceh seperti Hamzah Al-Fanshuri, tokoh tasawuf yang hidup semasa dengan Syamsuddin AsSumatrani. Bukhari al-Jauhari yang mengarang kitab Tajus Salatin pada tahun 1603 M. Syaikh Abdurrauf As-Singkili yang menjadi mufti kerajaan Aceh di zaman Sultanah Safiatuddin, dan tokoh-tokoh lainnya. 24 Umar, Muhammad. Peradaban Aceh ..., hal. 44 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Sultan Alauddin Riayat Syah (1588 M -1604 M) dan Sultan Iskandar Muda (1607 11 4. Syaikh Syamsuddin Ibnu Abdullah As-Samatrani dari Pasai semasa pemerintahan UNTUK KALANGAN SENDIRI Namun sejalan dengan mundurnya kerajaan Aceh dalam dua abad berikutnya (abad 18 dan 19), istana tidak lagi menjadi pusat kebudayaan dan pusat studi agama Islam. Akan tetapi daerah yang berada di ujung utara pulau Sumatra ini, sebagai tempat pertama Islam mengkosolidasi diri di Nusantara, ajaran Islam tetap berpengaruh besar terhadap rakyatnya.25 Aqidah/Tasawuf Secara umum Aqidah yang dianut oleh orang-orang Aceh adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal-Jama‟ah. Walaupun ada sebagian sumber yang mengatakan bahwa penyebaran Islam di Aceh diawali oleh ulama-ulama yang bermazhab Syi‟ah dari Yaman dan Persia. Bisa jadi berita itu benar, tapi seiring dengan berjalannya waktu, mazhab yang kemudian berkembang luas adalah mazhab syafi‟i yang berakidah ahlus sunnah wal jama‟ah. Aqidah adalah pengetahuan yang sangat penting diketahui oleh seorang muslim, sehingga di setiap jenjang pendidikan dasar di Aceh, ilmu Tauhid menjadi ilmu yang wajib diajarkan kepada para santri. Aqidah Ahlussunnah yang umumnya diajarkan di pesantren-pesantren atau dayah salafi di Aceh berpahamkan Asy-„Ariyyah As- Masa-il wa al-Shifat al Wajibah li Rabb al-Ardh wa as-Samawat karya Abdurrauf AsSingkili, Mudharul Ajla IIa Rutbaitil A'lakarya Jalaluddin Tursany, Risalah Masail Muhtadihi ikhwanil Mubtadikarya Daud Rumy yang masih sering dipakai sebagai kitab dasar pengenalan Islam bagi para para santri, dll. Kemudian adanya perkembangan Tasawuf di Aceh dapat dilihat dari banyaknya tarekat/suluk yang ada di Aceh serta peninggalan-peninggalan kitab yang dikarang oleh para ulama. Perkembangan Tasawuf di Aceh telah dimulai sejak awal mulanya Islam masuk ke daerah ini. Menurut teori yang dikemukakan oleh A.H. Johns dari penelitian yang dilakukannya, Islam masuk bukan hanya karena faktor perdagangan, juga 25 26 Lihat Umar, Muhammad. Peradaban Aceh ..., hal. 45 Aceh Pedia. Pemikir Islam dari Aceh. http://acehpedia.org/Pemikir_Islam_dari_Aceh. (diakses pada tanggal 4 Maret 2012) Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page antaranya:26Darul Faraidl bi Syarhil'Aqaid karya Nuruddin Ar-Raniry, Bayan Agmad al- 12 Sanusiyyah. Karya-karya ulama Aceh mengenai ilmu tauhid sangat banyak, di UNTUK KALANGAN SENDIRI dipengaruhi oleh para sufi pengembara yang datang dan menetap di Aceh menyebarluaskan Islam dengan karakteristik sufi yang kental.27 Adapun ajaran tasawuf yang berkembang di Aceh dan tercatat dalam sumbersumber yang dapat penulis temukan, diwakili oleh empat tokoh ulama yang memiliki pengaruh besar di zaman mereka masing-masing dan sesudahnya, yaitu: a. Hamzah Al-Fanshuri Beliau berasal dari Barus atau dikenal juga dahulunya dengan kota Farus. Tidak diketahui secara pasti tentang tahun kelahiran dan kematiannya, tapi diperkirakan sekitar tahun 1630-an, semasa dengan Syamsuddin As-Sumatrani.28 Beliau adalah pengikut tarekat Qadiriyah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Paham wujudiyah dan ittihadyang beliau anut, mendapat tentangan keras dari salah seorang ulama yang datang kemudian, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry. Akan tetapi harus diakui, bahwa beliau adalah salah satu tokoh sufi besar di masanya. Beberapa karya ilmiah beliau mengenai sufistik di antaranya ialah Asrarul ‘Arifin fi bayaani ‘Ilmis Suluki wat Tauhid, Syarbul ‘Asyiqiin, Al-Muhtadi, dan Ruba’i Hamzah Syaikh Hamzah Al-Fansuri juga diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya. Beliau dianggap sebagai peletak dasar kesustraan 13 Al-Fansuri.29 maupun prosa yang pastinya telah menarik perhatian sarjana banyak sarjana Barat maupun sarjana setempat.30 b. Syamsuddin As-Sumatrani Syamsuddin As-Sumtrani atau Syamsuddin Pasai adalah penerus paham sufi Hamzah Al-Fanshuri. Beliau diriwayatkan hidup antara tahun 1575-1630 M, dan pernah menjadi penasihat kerajaan di bawah pemerintah Sultan Iskandar Muda. Beberapa karyanya ialah sebagai berikut:31 JauharAl-Haqaiq, Risalat Al-Bayyin Mulahazat Al- 27 Lihat Solihin. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: Grafindo. (2005), hal. 25 Lihat Solihin. Melacak Pemikiran Tasawuf..., hal. 31 29 Lihat Solihin. Melacak Pemikiran Tasawuf..., hal. 32 30 Lihat Sri Mulyati. Tasawuf Nusantara. Jakarta: Kencana. (2006), hal. 75-77 31 Lihat Sri Mulyati. Tasawuf Nusantara..., hal. 80 28 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page melayu. Karya-karya beliau sangat identik dengan bahasa sastra, baik itu berupa syair UNTUK KALANGAN SENDIRI Muwahhidin ‘ala Al-Mulhid fidzikrillah, Kitab Al-Halaqah wa Nur Al-Daqaiq,Mir’atul Iman. c. Nuruddin Ar-Raniry Di bidang Tasawuf, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang hidup pada masa Sultan Iskandar Tsani adalah pengembang tarekat Rifa‟iyyah di Aceh. Karya-karya beliau dalam bidang tasawuf di antara lain Nubzah Fi Dakwazil Mada Shahibin (menolak Wihdatul Wujud), Hilluz Zil (membahas Ketuhanan dan menolak Wihdatul Wujud), Syifaul Qulub,Fathul Mubin'AIaI Mulihidin, Tambihul Awamili fi Tahqiqil Kalami fi Nawafil, Rahiqul Muhammadiyah fi Thariqish Shufiyah, dan lain-lain. d. Abdurrauf As-Singkili Syaikh Abdurrauf As-Singkili atau dikenal juga dengan Tgk. Syiah Kuala hidup di masa Sultanah Safiatuddin, pengganti Sultan Iskandar Tsani. Beliau adalah pengembang tarekat sekte Syattariah yang kemudian berkembang di Sumatra Barat hingga Sumatra Selatan. Di antara karya-karya beliau di bidang Tasawuf ialah Daqaiq al-Huruf, Tanbih al-Masyi, dan Umdat al-Muhtajin fi Waslak al-Mufradin.32 Muhammad bin Ahmad Khatib, dan juga Syeikh Abuya Muda Wali yang mendirikan Pesantren di Labuhan Haji, Aceh Selatan. Fiqh Terdapat sebuah ungkapan di Aceh yang mengatakan Ilmu Tauhid itu ibarat sebuah kebun, Ilmu fiqh adalah tanaman-tanaman di dalamnya, dan tasawuf adalah pagar yang mengelilingi kebun tersebut. Ungkapan tadi merupakan simbol di mana ketiga ilmu di atas ialah ilmu-ilmu yang sangat penting dipelajari oleh setiap masyarakat, maka karena itu tidak heran perkembangan terhadap ketiganya sangat pesat di Aceh dan terus dikaji sampai saat ini. 32 Lihat Abudin Nata. Akhlak Tasawwuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. (2007), hal. 98 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page sesudahnya seperti Syeikh Abdullah Al- Asyi, Syeikh Muhammad Zein, Syeikh 14 Perkembangan Tasawuf selanjutnya diteruskan oleh ulama-ulama yang datang UNTUK KALANGAN SENDIRI Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara‟ yang bersifat furu‟iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang didapat dari dalil-dalil syara‟ yang spesifik.33 Semenjak dahulu, tidak hanya di Aceh, telah lahir ribuan kitab yang bertemakan masalah-masalah fiqhiyyah. Hal ini dikarenakan fiqh adalah cabang ilmu yang berhubungan langsung dengan muamalah/praktek kehidupan sehari-hari manusia, di mana bisa saja keadaan sosial antara satu tempat jauh berbeda dengan tempat yang lainnya, sangat tergantung kepada lingkungan, tempat, dan waktu, sehingga terbentuklah rumusan hukum-hukum fiqh yang beragam macamnya. Adapun mazhab atau aliran fiqh yang berkembang di Aceh pada umumnya adalah fiqh mazhab syafi‟i. Berikut ini beberapa karya Ulama Aceh mengenai fiqh: 1. Ash-Shiratul Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry 2. Mir’atul Thullab fi Tahsli Ma’rifat Ahkamil Syar’iyyah lilmalikul wahhab (Cermin bagi Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh pada Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara‟ Allah) karya Abdurrauf As-Singkili pada tahun ± 1663M. 3. Safinatul Hukkam fi Takhlisil Khassam, artinya Bahtera Segala Hukum pada masa kerajaan Sultan Alauddin Johan Syah Ibn Sultan Ahmad Syah (1735-1760).34 Sebenarnya masih banyak kitab-kitab fiqh yang dikarang oleh ulama Aceh, namun dikarenakan keterbatasan penulis, penulis tidak bisa menghimpun data-data mengenai kitab-kitab fiqh yang muncul pada abad-abad setelahnya. Akan tetapi pastinya, hukum Syari‟ah atau fiqh terus dikaji sampai sekarang baik di tingkat pengajian-pengajian desa sampai tingkat perguruan tinggi. Tafsir Tafsir adalah adalah ilmu yang membahas semua aspek yang berhubungan dengan penafsiran Al-Qur‟an. Mulai dari sejarah turun Al-Qur‟an, sebab-sebab turunnya, qiraat, 33 34 Lihat Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. (2010), hal. 5 Umar, Muhammad. Peradaban Aceh ..., hal. 44 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Muhammad Kamaluddin Ibn Kadhi Khatib Tursani, ditulis pada tahun 1740, dalam 15 Menyelesaikan Segala Orang yang berkhasumat, karangan Jalaluddin Ibn Syaikh UNTUK KALANGAN SENDIRI kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir, bentuk penafsiran, metodelogi tafsir, corak penafsiran dan sebagainya.35 Perhatian terhadap perkembangan Tafsir di Aceh tidak seperti di bidang fiqh atau tasawuf, tidak banyak data yang penulis temukan mengenai perkembangan keilmuan di bidang ini. Walau di dayah-dayah salafi ilmu ini juga diajarkan, tapi tidak terlalu mendalam. Sebelumnya penafsiran Al-Quran hanya dibahas dalam mengkaji suatu masalah, seperti yang dilakukan oleh Hamzah Fanshuri, Syamsuddin As-Sumatrani dan Ar-Raniry yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an mengenai teori wujudiah. Namun penafsiran yang bercorak sufi ini masih belum dikhususkan dalam satu kitab tertentu. Baru dimulainya ditulisnya sebuah kitan tafsir ketika Syaikh Abdul Rauf AsSingkili mengarang sebuah kitab tafsir yang bernama Turjuman al-Mustafid dalam bahasa Arab-Melayu. Tafsir ini mengacu kepada tafsir Baidawi36, berbentuk ra‟yu, menggunakan metode tahlili, dan bercorak umum. Yang dimaksud dengan bercorak umum di sini ialah tafsir ini tidak cenderung kepada suatu bidang saja seperti fiqh, tasawuf, adabul ijtima‟i, lughawi dan sebagainya, melainkan penafsirannya mencakup semua bidang tersebut tersebut tidak dikaji di dayah-dayah salafi yang ada di Aceh saat ini. Tafsir yang biasanya dikaji ialah seperti Tafsir Jalalain dan Ibnu Katsir. Mungkin ini disebabkan karena dalam mengkaji ilmu agama ada kencendrungan untuk mengkaji langsung sumber yang berasal dari arab daripada mengkaji kitab lokal. Selanjutnya kepenulisan kitab tafsir di Aceh mengalami kemandekan dalam kurun waktu yang cukup panjang, sampai setelah kemerdekaan Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy menulis kitab tafsir Al-Bayan dan An-Nur dalam bahasa Indonesia latin sekitar tahun 1950-an samapai 1970-an. Kemudian Tafsir Pase yang disusun oleh Bale Kajian Tafsir Al-Quran Pase berkisar antara tahun 1998-2001. 35 36 Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (2005), hal. 67 Nashruddin Baidan. Perkembangan Tafsir Al-Quran di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai. (2003), hal. 66 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Namun sepanjang pengetahuan penulis, kitab tafsir klasik Turjuman al-Mustafid 16 sesuai dengan kandungan ayat yang ditafsirkan. UNTUK KALANGAN SENDIRI Hadits Ulumul hadits, adalah salah satu kajian yang sangat penting dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam. Akan tetapi sebagaimana ilmu tafsir, perkembangan ilmu-ilmu hadits di Aceh tidak sepopuler ilmu fiqh dan aqidah/tasawuf. Walaupun Ilmu Hadits tetap dipelajari di pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah keagamaan lainnya, namun penulisan kitab hadits sangat jarang kita temukan. Berikut ini data kitab hadits abad klasik yang penulis dapatkan: 1. Syarh Latif Arba’in Hadisan li al-Imam an-Nawawiyy (Syarah Terperinci Kitab Arba’in An-Nawawi) karya Abdurrauf as-Singkili37 2. Al-Mawaiz al-Baidah (Petuah-Petuah Berharga) karya Abdurrauf as-Singkili, dan38 3. 400 Hadits Shahih karya Abdullah al-Asyi pada masa Sultan Alaidin Jauharul Alam Syah (1795-1823).39 Ilmu Mantiq Ilmu Mantiq atau dikenal juga dengan ilmu logika termasuk ilmu yang wajib tauhid, nahwu, dan pelajaran tingkat dasar lainnya, baru santri memasuki pembelajaran ilmu Mantiq. Sejak awal mula berkembangnya pendidikan pesantren/dayah di Aceh 17 dipelajari di pesantren-pesantren. Setelah santri menamatkan kitab-kitab dasar fiqh, dipelajari sampai sekarang di samping ilmu-ilmu lainnya seperti fiqh, tafsir, hadits dan sebagainya. Ilmu Politik Sebuah karya monumental di bidang ini pernah lahir di Aceh berabad-abad yang lalu, tepatnya ketika Sultan Iskandar Muda memerintah pada tahun 1603 M. Mahkota Segala Raja atau Tajussalatin adalah sebuah kitab yang berisikan pedoman tentang seni 37 Sri Mulyati. Tasawuf Nusantara..., hal. 105 Sri Mulyati. Tasawuf Nusantara..., hal. 105 39 Aceh Pedia. Pemikir Islam dari Aceh. http://acehpedia.org/Pemikir_Islam_dari_Aceh. (diakses pada tanggal 4 Maret 2012) 38 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page sampai sekarang ini, Ilmu Mantiq adalah salah satu kurikulum pendidikan yang terus UNTUK KALANGAN SENDIRI memerintah yang diperuntukkan bagi penguasa dengan berpegang teguh pada ajaran agama Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadits.40 Kitab Tajussalatin sangat kental dengan bahasa-bahasa sastra sehingga oleh para peneliti kitab ini juga dikategorikan sebagai kitab yang mengandung nilai sastra yang tinggi disamping nilai-nilai moral yang dikandung di dalamnya.41 Sayangnya seiring dengan kemunduran yang dialami Kerajaan Aceh kitab-kitab seperti semakin jarang ditulis dan dikaji, adapun dewasa ini ilmu politik yang berkembang adalah warisan masa kolonial Belanda dahulu, bukan lagi bersumberkan pada ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Ilmu Sejarah Kitab sejarah klasik Aceh yang paling terkenal adalah Busnatussalatin karya Nuruddin Ar-Raniry.Kemudian pada abad modern ini perhatian terhadap sejarah juga masih diminati, salah satu kitab sejarah yang paling sering dijadikan referensi pada saat ini ialah kitab/buku Aceh Sepanjang Abad karangan Muhammad Sa‟id. Ilmu Falak di bidang ilmu falak sudah sangat jarang ditemui, bahkan di Aceh sendiri bisa dikatakan langka. Akan tetapi beberapa kurun waktu sebelumnya, Ilmu Falak adalah ilmu yang 18 Berbicara mengenai Ilmu falak atau astronomi, memang di masa ini keilmuan awam pun perlu akan ilmu ini, di mana dengan ilmu falak inilah mereka menentukan arah kiblat, waktu-waktu untuk shalat, waktu untuk bercocok tanam, melaut, menetukan arah, dan sebagainya. Penulis menemukan data satu contoh kitab Ilmu Falak yang ditulis oleh Ulama Aceh, Syaikh Abbas Kuta Karang yang hidup di masa Sultan Alaidin Ibrahim Mansyur Syah (1857 M - 1870 M) dengan judul Sirajul Zalam fi Ma'rifati Sa'adi Wal Nahas.42 40 Tim IAIN Ar-Raniry. Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh 2. Banda Aceh: Ar-Raniry Press. (2005), hal. 5 Tim IAIN Ar-Raniry. Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh 2..., hal. 9 42 Aceh Pedia. Pemikir Islam dari Aceh. http://acehpedia.org/Pemikir_Islam_dari_Aceh. (diakses pada tanggal 4 Maret 2012) 41 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page sangat penting untuk dipelajari. Bukan hanya oleh para cendikia, bahkan masyarakat UNTUK KALANGAN SENDIRI Ilmu Kedoteran, Matematika, Fisika, dan lain-lain Ilmu-ilmu ini kurang berkembang di Aceh, walaupun tetap dipelajari dalam jenjang-jenjang pendidikan umum/non-salafi namun tidak seperti studi-studi pengetahuan Islam. Mungkin dikarenakan adanya paradigma bahwa ilmu-ilmu umum yang bersifat duniawi seperti ini hanya sebatas fardhu kifayah, lantas tidak wajib dipelajari oleh semua individu. Wallahu a’lam. C. PARTISIPASI ULAMA, UMARA, DAN MASYARAKAT Prolog Kesultanan Aceh Darussalam, sebuah nama yang satu masa dulu pernah berdiri sebaris dengan kuasa-kuasa besar dunia seperti kerajaan Islam Turki „Utsmaniyah. Jika Persia terkenal dengan pertarungan agama dan falsafah yang bervariasi, Roma dengan kemewahan hidup atau lebih cocok disebut peradaban materil, Greek atau Yunani dengan lautan khurafat dan dongengan, maka Aceh Darussalam juga memiliki sisi-sisi menonjol yang terlihat seperti halnya peradaban Islam di masa kegemilangan „Abbasiyah.43 Kesultanan berkuda, dan pasukan meriam, prajurit, dan sebagainya. Selain unsur di atas, unsur keilmuan juga tidak terlepas dari megahnya sesebuah peradaban, seperti halnya perkembangan keilmuan di masa keemasan „Abbasiyah. Perkembangan keilmuan ditandai dengan hasil buah tangan para cendekiawan Islam kesultanan Aceh seperti Hamzah Fansuri dengan Asyrab al-Asyiqin, Syamsuddin Sumatrani dengan karyanya Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri dengan Bustanus Salatin, dan Turjumanul Mustafid buah tangan Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Perkembangan keilmuan di kerajaan Aceh Darussalam setidaknya berkembang dengan interaksi tiga aktor. Pertama, ulama sebagai gudang ilmu yang memainkan peran menyebarkan ilmu-ilmu kepada masyarakat baik ukhrawi maupun duniawi. Kedua, umara selaku kepala negara menggunakan kuasanya untuk mengisi minda 43 Dr. Muhammad Sa‟id Ramadan al-Buti, Fiqh Sirah, Jil. I, (terj.) Mohd Darus Sanawi „Ali, Cet. Terbaru, (Selangor: Dewan Pustaka Fajar, 2008), hal. 25&26 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page sebagai tameng di bagian perairan, angkatan darat yang terdiri dari pasukan gajah, pasukan 19 Aceh terlihat rapi dimobilisasi dengan beberapa sisi seperti armada laut yang bertindak UNTUK KALANGAN SENDIRI rakyat agar tidak terperosok di dunia gelap kejahilan. Ketiga, masyarakat yang dahagakan ilmu serta keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Berangkat dari poin-poin di atas, timbul beberapa pertanyaan. Pertama, mengapa tiga aktor ini begitu kental dalam memainkan peran masing-masing. Kedua, apakah bentuk partisipasi mereka terhadap perkembangan keilmuan di Aceh. Tujuan penulisan ini adalah untuk melihat, mengapa tiga aktor ini begitu kental memainkan peran masing-masing serta bentuk partisipasi mereka dalam perkembangan keilmuan di Aceh. a. Penghancuran Peradaban Aceh Apabila berbicara tentang peradaban, maka tidak akan terlepas dari dua hal yaitu naik serta turunnya sesebuah peradaban. Aceh turut melalui hal yang sama. Aceh mengalami 10 peristiwa yang menyebabkan naik dan turunnya peradaban Aceh, bermula tahun 1509 sampai 1999. Peristiwa pertama, serangan Portugis ke atas Aceh pada tahun 1509. Kedua, masuknya Belanda ke Aceh pada tahun 1873. Ketiga, sewaktu penguasaan Belanda ke atas Aceh mulai melemah masuk pula Jepang ke Aceh. Keempat, terjadi perang yang disebut dengan Medan Area. Kelima, meletus Perang Cumbok. Keenam, ketidakadilan pemerintah pusat menyebabkan kecemburuan sosial yang mendalam bagi rakyat Aceh lalu terjadilah gejolak sosial yang sangat meluas dan ditandai dengan 20 perang saudara yaitu DI/TII. Ketujuh, pemberontakan PKI pada tahun 1965. Kedelapan, Militer) di Aceh pada tahun 1989. Kesepuluh, malapetaka pasca reformasi dan DOM atau pelanggaran HAM yang mengorbankan tokoh-tokoh Aceh.44 Penulis hanya akan membahas tentang peristiwa pertama dan kedua. 1. Penghancuran Peradaban Aceh Kali Pertama Pada peristiwa pertama, Portugis menyerang Aceh baik di Aceh Besar, Pidie maupun Pasai. Aceh dapat mengalahkan penyerangan Portugis, dikepalai oleh seorang wanita, yaitu Keumala Hayati. Pada saat melawan Portugis, ratusan ribu cendikiawan, ulama, remaja, penguasa syahid. Berangkat dari peristiwa ini maka terciptalah wilayah janda yang ditinggal mati suami, sehingga banyak anak yatim. 44 Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Intergrasi dan Konflik, Ed. I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 114 - 133 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page timbulnya Aceh Merdeka. Kesembilan, pemerintah melakukan DOM(Daerah Operasi UNTUK KALANGAN SENDIRI Dari peristiwa ini juga terbentuknya laskar inong Balee. Penyerangan bangsa asing terhadap Aceh ketika itu menyebabkan masyarakat Aceh berjihad mempertahankan kedaulatan dan agama sekaligus menjaga agar peradaban agama tidak hancur. Dampak dari masuknya bangsa asing terlihat pada perubahan sosial yang luarbiasa. Dari kedamaian menjadi kekacauan, kesejahteraan menjadi sengsara, kecerahan menjadi kebodohan. Meskipun Portugis menyerah kalah, peradaban mulai porakperanda. Peradaban mulai porakperanda disebabkan banyak meninggalnya manusia, banyak fasilitas gedung sekolah hangus dibakar, banyak khazanah yang musnah, baik lenyap maupun dibakar. Melihat kepada penghancuran peradaban dan budaya ini, Aceh bangkit kembali membangun peradabannya ditunjangi oleh ketigatiga aktor yang telah disebut sebelumnya. Setelah itu, kondisi Aceh mulai membaik. Petinggi Aceh yang tersisa bersama masyarakat mulai menyusun atur kembali system pemerintahan, pendidikan, perekonomian, sosial budaya dan keagamaan. Peradaban ini mulai mencari jati dirinya kembali dan hasilnya, Aceh mulai bersanding dengan peradaban dunia lainnya seperti kerajaan Inggris, Belanda dan khilafah Islam Turki. Belanda dengan ambisinya tersendiri. Pada tahun 1873, Belanda mendarat di Aceh dan bermulalah penghancuran peradaban ke atas Aceh sekaligus mengisyaratkan sinyal muqaddimah bagi peristiwa kedua. 2. Penghancuran Peradaban Aceh Kali Kedua Pada peristiwa kedua, Aceh „dikunjungi‟ oleh Belanda. Sebelum memasuki Aceh, Belanda sudah lebih dulu menduduki wilayah di Nusantara terutama Pulau Jawa. Dengan bermotifkan ekonomi, kemudian meluas sampai soal politik dan agama. Rakyat Aceh sudah pasti tidak dapat menerima perlakuan Belanda. Belanda mengambil inisiatif untuk menyerang Aceh buat pertama kali. Orang Aceh mempersiapkan pasukan, baik wanita maupun pria sehingga semuanya tidak mau tunduk kepada pemerintah Belanda. Akibat dari peristiwa ini maka bermulalah penghancuran budaya Aceh babak kedua. Kondisi ekonomi, kebudayaan, di Aceh tidak berjalan sebagaimana sediakala. Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page mata yang melirik. Aceh menikmati peradabannya sekitar 3 abad, lalu singgah pula 21 Sudah menjadi sunnah, apabila jayanya suatu peradaban maka akan ada mata- UNTUK KALANGAN SENDIRI Belanda menguasai sistem politik dan ekonomi sehingga masyarakat Aceh tidak dapat berbuat banyak. Belanda bertindak sebagai aktor yang mengkontrol ekonomi, pendidikan, agama dan kesenian supaya ketenteraman Belanda tidak diganggu gugat. Namun demikian, obor jihad masyarakat Aceh bersama penguasa pada saat tersebut mampu menghalau imperialisme Belanda yang kemudiannya mengakibatkan peradaban Aceh mengalami kemunduran. Dengan melihat kepada jatuh bangkitnya Aceh dalam kedua peristiwa di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa ketiga-tiga aktor ini berpartisipasi dalam perkembangan keilmuan di Aceh karena ingin menata kembali peradaban yang suatu masa pernah dinikmati bersama. Apabila suatu peradaban berdiri kokoh, maka tanah tersebut akan menjadi tumpuan musafir yang tidak hanya membawa benefit dari sudut ekonomi, malah mereka turut bermusafir bersama ilmu-ilmu yang mereka peroleh di tanah air sendiri. Perlu digaris bawahi, kebangkitan tradisi intelektual di kerajaan Aceh sangat terkait dan berjalan seiring dengan kebangkitan dan perkembangan Aceh sebagai kerajaan.45 zaman keemasan Aceh, antaranya ditandai dengan karya al-Raniri yaitu Bustan alSalatin di masa pemerintahan Iskandar Tsani. Ketika pemerintahan terganggu oleh 22 Argumen ini dikuatkan dengan bertambahnya khazanah keilmuan ketika meskipun masih berjalan dalam level yang rendah. Buktinya, selama abad kedelapanbelas, 11 penulis menghasilkan 18 karya religius. Antaranya, Jalal al-Din bin Muhammad bin Kamal al-Din. Sedangkan pada abad kesembilanbelas, hanya ada 5 penulis. Antaranya Abbas ibn Muhammad al-Ashi yang produktif menulis enam judul buku, dan Abdullah bin Isma‟il al-Ashi menyusun kamus Arab-Turki-MelayuAceh yang dicetak di Mekah(1900).46 45 46 Prof. Dr. Amirul Hadi, MA, Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Ed. I, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 169 R. Michael Feener, Patrick Daly, Anthony Reid, Memetakan Masa Lalu Aceh, Judul Asli(Mapping The Acehnese Past), Penerjemah: Supardi Asmorobangun, Ed. I, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), hal. 56 & 59 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page pertikaian kekuasaan, suhu aktifitas literatur keilmuan Islam mulai mendingin, UNTUK KALANGAN SENDIRI b. Partisipasi Ulama, Umara, Dan Masyarakat Terhadap Perkembangan Keilmuan 1. Ulama Ulama, jamak dari kata ‘alim berarti seorang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas, dan dalam tingkatan tertinggi. Dalam hal ini siapa yang mempunyai ilmu pengetahuan yang berada di tingkatan tertinggi bisa disebut ulama. Namun demikian, istilah ‘ilm awalnya dispesifikasikan sebagai pengetahuan tentang hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan yang menghasilkan hukum positif dan teologi.47 Dengan kata lain, ulama sudah pasti seorang muslim yang terdidik dalam ilmu pengetahuan tentang ajaran Islam. Di dalam konteks Aceh, ulama terbagi kepada beberapa kriteria. Pertama, ulama adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama Islam, yang diperoleh melalui pendidikan dayah, minimal ilmu yang dimilikinya cukup untuk menjadi imeum meunasah. Pemimpin dayah atau orang yang tidak memimpin dayah tetapi diakui oleh masyarakatnya sebagai ulama karena pengaruh yang dimilikinya juga termasuk di dalam kriteria ini.48 Kedua, ulama adalah orang yang memiliki ilmu agama dan umum, tahu isu semasa, mengamalkannya dan kemudian mengajarkan partisipasi ulama berdasarkan 2 kriteria yang telah disebut sebelumnya. Pertama, meunasah dan dayah merupakan lembaga-lembaga yang memiliki fungsi strategis dalam perkembangan keilmuan. Meunasah dimonitor oleh Teungku Meunasah untuk mengajar al-Qur‟an, mendidik anak laki-laki dalam usia kurang dari 10 tahun, baik praktek shalat, doa, pengetahuan dasar agama maupun pendidikan akhlak. Sedangkan dayah pula merupakan lembaga dan tempat penggemblengan manusia untuk memprodukkan teungku dan ulama dan setingkat lebih tinggi fungsinya berbanding meunasah.49 47 M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Cet. I, (Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004), hal. 21 48 Menurut M. Gade Ismail berdasarkan tulisan M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik,… hal. 22 49 Dr. Misri A. Muchsin, Potret Aceh dalam Bingkai Sejarah, Cet. I, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), hal. 37 & 38 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Bagi membahas masalah partisipasi ulama, penulis akan membedakan antara 23 serta mendakwahkan kepada orang lain dan menjadi contoh bagi orang lain. UNTUK KALANGAN SENDIRI Selanjutnya, akan dibahas ulama berdasarkan kriteria kedua. Pada pembahasan ini, ianya akan lebih terfokus pada ulama di masa kesultanan. Ulama pada masa kesultanan begitu gemar menulis dan memiliki hasrat yang tinggi untuk menghasilkan karya tulis sebagai warisan intelektual bagi generasi akan datang. Hal ini dibuktikan dengan karya monumental masing-masing ulama yang ditinggalkan mereka, baik yang masih ada maupun yang sudah lenyap. Antaranya Hamzah Fansuri beserta tulisannya Asyrab al-Asyiqin, Syamsuddin Sumatrani beserta karyanya Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri dengan Bustanus Salatin, dan Turjumanul Mustafid buah tangan Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Selain dari peran mereka yang produktif dengan literaturnya masing-masing, mereka juga mempunyai peran lain. Ulama berperan dalam menyebar dan menyekat suatu ajaran dengan wewenang penguasa. Buktinya, ketika al-Sumatrani menjabat sebagai qadhi sultan (Qadhi Malik al-„adil) di masa Sultan Iskandar Muda, keberadaan ajaran wahdat al-wujud cepat berkembang dan meluas. Perkembangannya baru agak terhambat dengan adanya sangkalan dan gugatan dari al-Raniri, yang pada gilirannya sekaligus pelarangan dari Sultanah Tajul „Alam Safiat al-Din. Tidak hanya Begitulah partisipasi ulama dalam perkembangan keilmuan di Aceh. Mereka tidak hanya mentarbiyah dari bawah(melalui meunasah dan dayah), bahkan bisa menentukan bentuk tarbiyah melalui jalan penguasa. 2. Umara Umara, pemimpin, atau penguasa tidak kalah pentingnya dalam membangun suatu peradaban yang kokoh. Mengapa dikatakan demikian? Dalam hal perkembangan keilmuan di Aceh, terdapat 3 elemen penting yang menjadi fondasi utama dalam perkembangan keilmuan. Kerajaan (pusat kekuasaan) merupakan satu dari bagian elemen tersebut. 50 Dr. Misri A. Muchsin, Potret Aceh dalam Bingkai Sejarah,… hal. 52 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page tasawuf yang satu ini.50 24 pelarangan, bahkan ratu memberantas dengan membakar buku-buku pegangan aliran UNTUK KALANGAN SENDIRI Penguasa beserta „bahtera‟ yang mereka monitor memainkan peran penting dalam membangun peradaban ini. Ketika siyasah mereka mencapai tahap yang memuaskan, maka rakyat akan menikmati kehidupan yang sejahtera. Sumber alam yang melimpah, proses perdagangan yang berjalan lancar, kedatangan migran luar sekaligus membuka pintu politik supaya melebar ke belahan dunia yang lainnya. Siyasah yang memuaskan itu tidak hanya dari sudut yang telah disebutkan, malah unsur kekuatan atau militer juga turut memainkan peran yang tidak kurang pentingnya. Umara berpartisipasi dalam perkembangan keilmuan dapat dilihat pada beberapa hal. Pertama, dalam bidang sosial budaya dan agama, Sultan Iskandar Muda giat mengembangkan agama Islam di Kerajaan Aceh Darussalam. Di mana-mana ia memerintahkan mendirikan masjid dan rumah ibadat umat Islam. Di antaranya yang terbesar adalah masjid Baiturrahman. Sultan selalu menganjurkan rakyatnya memeluk agama Islam dengan sempurna. Ia juga mengeluarkan aturan agar orang tidak melanggar ajaran agama.51 Kedua, Iskandar Muda serius dalam memberikan pendidikan kepada rakyat di Terdapat perpustakaan yang terbagi kepada dua tempat yaitu perpustakaan kerajaan dan perpustakaan Baiturrahman. Pada hari Jumat pula, ia dikelilingi oleh para ulama dan berdiskusi mengenai masalah keagamaan, sosial, ekonomi, dan bahkan politik usai pelaksanaan shalat Jumat di masjid. Ini mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda adalah sosok yang cinta kepada ilmu pengetahuan. Ketiga, perhatian sultan yang besar terhadap ilmu pengetahuan mendorong berkembangnya berbagai disiplin ilmu. Sultan memerintahkan para ulama untuk menulis berbagai kitab yang menjadi pegangan bagi rakyat dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan. Kitab Shirat al-Mustaqim sebagai contoh, ditulis oleh Nuruddin al-Raniri atas perintah Sultan Iskandar Muda 51 Ridzwan Azwad, Drs. Fauzi Ismail, M.Si, Dr. Azman Ismail, MA, Drs. Rusdi Sufi, MA, Dr. Misri A. Muchsin, MA, Drs. Anwar Yoesoef, M.Si, Prof. Dr. Syahrizal, MA, Drs. Arifin Gapi, Prof. Darwis A. Soelaiman, MA, Ph.D, Aceh Bumi Iskandar Muda, Cet. I, (NAD: Pemerintah Provinsi, 2008), hal. 192 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page diskusi(mubahasah, muhadharah, mujadalah) dan sultan turut serta di dalamnya. 25 Aceh dan ianya terlihat pada perhatiannya. Ia memfasilitasi tempat-tempat UNTUK KALANGAN SENDIRI dan kitab Mir’at al-Thullab adalah kitab yang ditulis oleh Syeikh Abdurrauf asSingkili atas perintah Sultanah Tajul „Alam Safiyatuddin Syah.52 Perlu diketahui bersama, ilmu pengetahuan yang berkembang ketika itu bukan hanya ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti ekonomi, pertanian, pertukangan, teknik, hukum, social dan bahkan ilmu politik atau siyasah. Perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan ini sangat mungkin dikarenakan berbagai ahli ilmu datang ke Aceh. Aceh sebagai pusat perdagangan dan pusat keilmuan pada ketika itu tidak mungkin dikenal sekiranya umara atau penguasa tidak memainkan perannya dengan baik dan tidak bijak mengatur langkah pengurusan ke atas negeri ini. 3. Masyarakat Perkembangan keilmuan di Aceh tidak terlepas dari partisipasi masyarakat. Terdapat beberapa tulisan yang menyebutkan tentang partisipasi masyarakat, dan tulisan tersebut mendokong bahwa masyarakat turut berpartisipasi dalam perkembangan keilmuan di Aceh. menuntut ilmu terletak di meunasah yang ada di setiap gampong. Tempat ini juga lazim digunakan sebagai tempat berkumpul, baik atas urusan resmi ataupun tidak 26 Dalam perkembangan keilmuan, pusat berkumpulnya masyarakat guna berjamaah dan tempat pengajian. Ruangan ini juga terkadang digunakan sebagai tempat penginapan penduduk serta tamu laki-laki dewasa. Ini membuktikan bahwa masyarakat memanfaatkan meunasah sebagai pusat pengajian. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak, malah ia juga turut berfungsi sebagai tempat pengkajian masalah keagamaan bagi orang-orang tua gampong yang disebut meudrah. Untuk kajian meudrah, masyarakat yang terdiri dari orang-orang tua ini mendatangkan ulama dari luar gampong sebagai nara sumber dan dipercayai cukup mendalam ilmu pengetahuan ke-Islamannya.53 52 53 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda(1607-1636), ter. Winarsih Arifin, Cet. II, (Jakarta: KPG, 2007), hal. 226 Ridzwan Azwad, Drs. Fauzi Ismail, M.Si, Dr. Azman Ismail, MA, Drs. Rusdi Sufi, MA, Dr. Misri A. Muchsin, MA, Drs. Anwar Yoesoef, M.Si, Prof. Dr. Syahrizal, MA, Drs. Arifin Gapi, Prof. Darwis A. Soelaiman, MA, Ph.D, Aceh Bumi Iskandar Muda,… hal. 194 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page rasmi. Selain itu, ia juga berfungsi sebagai tempat kegiatan keagamaan, seperti shalat UNTUK KALANGAN SENDIRI Selain memanfaatkan meunasah sebagai pusat keilmuan, masyarakat juga berkuasa ke atas suatu hal. Teungku meunasah yang mengurus seluruh kegiatan keagamaan di gampong dipilih oleh masyarakat gampong. Ia dipilih oleh masyarakat karena pertimbangan memiliki pengetahuan agama yang memadai dan mampu mengajarkan al-Qur‟an serta pengetahuan agama praktis lainnya kepada masyarakat. Apabila anak-anak sudah mampu membaca al-Qur‟an dan melaksanakan beberapa praktek ibadah yang diperoleh di meunasah, maka mereka dapat melanjutkan tingkat pendidikan ke strata yang lebih tinggi yaitu rangkang atau dayah. Rangkang kebiasaannya dibangun seperti rumah kecil di hampir setiap masjid. Rangkang ini dibangun oleh masyarakat gampong dalam satu wilayah mukim tertentu, yang terletak di sekeliling masjid. Pengelola rangkang adalah teungku yang telah memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dari rangkang. Selain dari dua hal di atas, terdapat hal yang perlu diketahui tentang rangkang atau dayah. Rangkang atau dayah umumnya dibangun di atas tanah wakaf. Terkadang tanah-tanah wakaf ini diwakafkan oleh masyarakat yang terdiri dari orang-orang kaya. Tidak hanya tanah yang mereka wakafkan, bahkan bangunan dayah juga turut mereka sejak usia empat tahun diajar mengaji al-Qur‟an. Khusus anak laki-laki, dalam usia kurang dari 10 tahun harus tidur di meunasah untuk dididik dan di ajarkan mengaji oleh teungku meunasah. Pembinaan anak dalam bentuk ini sangat efektif dampaknya dan ianya menjadi batu loncatan untuk melanjutkan pengajian ke strata yang lebih tinggi(dayah).55 Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat begitu concern terhadap pendidikan. Masyarakat Aceh menanamkan di dalam minda mereka dan dijadikan sebagai mindset mereka bahwa, pendidikan harus diserap seawal tingkat anak-anak, 54 55 Ridzwan Azwad, Drs. Fauzi Ismail, M.Si, Dr. Azman Ismail, MA, Drs. Rusdi Sufi, MA, Dr. Misri A. Muchsin, MA, Drs. Anwar Yoesoef, M.Si, Prof. Dr. Syahrizal, MA, Drs. Arifin Gapi, Prof. Darwis A. Soelaiman, MA, Ph.D, Aceh Bumi Iskandar Muda,… hal. 195 Muhammad Thalal, Fauzi Saleh, Jabbar Sabil, Kalam Daud, Samsul Bahri, Ismail Muhammad, Mulyadi Nurdin, Ayyub AR, Fuad Ramly, Firdaus M. Yunus, Ismail, Nab Bahany AS, Anton Widyanto, Hardiansyah, Ikhram M. Amin, Imran Muhammad, Jamaluddin Thayyib, Syamsuar Basyariah, Ruslan, Ulama Aceh dalam Melahirkan Human Resource, Cet. I, (Banda Aceh: Yayasan Aceh Mandiri, 2010), hal. 14 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page Berdasarkan satu sumber, dalam tradisi pendidikan di Aceh, anak-anak 27 wakafkan untuk keperluan pendidikan Islam.54 UNTUK KALANGAN SENDIRI baik anak laki-laki maupun perempuan. Jika anak laki-laki menuntut ilmu dengan teungku meunasah, maka anak-anak perempuan berguru dengan istri teungku meunasah yang disebut tengku di rumoh.56 Epilog Dari penulisan yang telah penulis tampilkan sebelumnya, maka penulis berkesimpulan bahwa: 1. Motivasi ulama, umara, dan masyarakat berpartisipasi dalam perkembangan keilmuan di Aceh adalah untuk menata kembali sistem kehidupan atau peradaban yang suatu masa dulu pernah mereka nikmati. 2. Ulama berpartisipasi melalui 2 cara. Pertama, mereka berpartisipasi dengan cara mendidik masyarakat dari bawah melalui jalan bawah yaitu meunasah, dayah, dan atau rangkang. Kedua, mereka berpartisipasi melalui jalan atas yaitu melalui penguasa dan ini lebih terfokus pada ulama di masa kesultanan. 3. Umara berpartisipasi dengan jalan penstabilan negeri supaya perjalanan peradaban tidak tergelincir dari landasannya. Selain tumpuan kepada social dan keagamaan, memerintahkan supaya ulama kesultanan untuk menulis beberapa karya yang dianggap penting untuk dijadikan pegangan. 28 umara juga memfasilitasi kebutuhan pendidikan seperti perpustakaan. Umara juga sebagai pusat ilmu di gampong. Masyarakat juga berperan dalam memilih sosok penyampai ilmu di meunasah. Selain itu, masyarakat turun menyumbangkan harta dalam membangunkan pusat-pusat ilmu untuk kepentingan pendidikan Islam. 56 Ridzwan Azwad, Drs. Fauzi Ismail, M.Si, Dr. Azman Ismail, MA, Drs. Rusdi Sufi, MA, Dr. Misri A. Muchsin, MA, Drs. Anwar Yoesoef, M.Si, Prof. Dr. Syahrizal, MA, Drs. Arifin Gapi, Prof. Darwis A. Soelaiman, MA, Ph.D, Aceh Bumi Iskandar Muda,… hal. 197 Media belajar untuk kalangan Sendiri https://sufyanilyas.wordpress.com Page 4. Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengimarahkan meunasah yang dikenal