Agama, Budaya dan Perubahan Sosial Perspektif Pendidikan
Islam di Aceh
Sri Astuti A. Samad
UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Indonesia
Email: srihumairah1982@yahoo.co.id
Abstrak
Agama dan budaya di Aceh merupakan dua entitas yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Agama menjadi warna bagi budaya,
sebaliknya praktek-praktek budaya mengakomodasi agama secara
begitu kental. Sehingga agama menjadi sebagai way of life yang
mengkristal dalam sistem, pranata dan struktur sosial yang pada
gilirannya terwujud menjadi world view (pandangan hidup). Begitu
pula dalam pendidikan yang menjadi basisnya adalah dayah
(pesantren) yang berfungsi sebagai; transmisi ilmu-ilmu Islam;
pemeliharaan tradisi keislaman; dan reproduksi ulama. Kemudian
meunasah yang berfungsi selain sebagai tempat pendidikan agama
terutama pendidikan agama bagi anak (Quran) juga sebagai tempat
ibadah, tempat pertemuan dan masyarakat gampong, pengajian ilmu
agama bagi orang tua, pusat kegiatan sosial keagamaan, tempat
penyelesaian konflik dan sengketa. Konflik yang berkepanjangan
antara GAM dan pemerintah Indonesia dan musibah tsunami telah
membawa perubahan sosial masyarakat Aceh, tetapi karena basis
pendidikan Islam yang kuat maka kohesi dan integrasi sosial tetap
terbangun dengan baik.
Kata kunci: Agama, Budaya, Perubahan Sosial, Pendidikan Islam
Pendahuluan
Islam merupakan identitas masyarakat Aceh sangat mengental
ketika mencapai kejayaannya, khususnya pada abad ke-17.1 Agama
tersebut menjadi pengikat bagi keragaman latar belakang suku bangsa,
ras, dan bahasa. Karena seperti diketahui bahwa pada masa kejayaan
berbagai bangsa datang dan menjadi tujuan imigrasi ke Aceh. Tercatat
dari India, Persia, Arab (khususnya pesisir pantai timur Aceh) Cina
(wilayah Tengah) dan Eropa (wilayah Aceh Jaya). Suku bangsa inilah
yang kemudian bermetaformosa menjadi bangsa Aceh hari ini, dalam
_____________
1Otto
Syamsuddin Ishak, Aceh Pasca Konflik: Kontestasi Tiga Varian Nasionalisme,
Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013. h. 96.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
23
sebuah ikatan agama: Islam yang berbahasa dan berbudaya Aceh. Jadi
dapat dikatakan bahwa Aceh merupakan bangsa yang baru muncul
sekitar abad ke 11-13, pada masa kesultanan Peureulak, Aceh Timur dan
Samudra Pasai, Aceh Utara yang kemudian berlanjut pada masa
Kesultanan Aceh Darussalam dengan Banda Aceh sebagai ibu kotanya.
Terkait dengan karakteristik orang Aceh, Irwan Abdullah seorang
antropolog kelahiran Aceh Utara mengatakan bahwa melihat posisi
geografis dan historis pada masa kesultanan Iskandar Muda (1607-1675
M) melakukan ekspansi ke wilayah Barat Sumatera, maka Aceh
merupakan daerah modal yang penting dalam konstelasi sosial ekonomi
dan politik nasional. Berdasarkan kondisi semacam ini dapat disebutkan
paling tidak, beberapa karakteristik orang Aceh.2
Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat dimana agama dan adat
menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial, sebagaimana disebutkan
dalam dalam hadih maja (pepatah) yaitu;
Adat bak Poe Teumeureuhom,
Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana.
Hal ini dapat diartikan, poteumeurehom (kekuasaan eksekutif-sultan), Syiah
Kuala (yudikatif-ulama),3 Putroe Phang (legislatif), Laksamana (pertahanantentara). Juga Hukom ngon Adat lagee zat ngon sipheut” (hukum [agama] dan
adat bagai zat dan sifat, tak dapat dipisahkan).4
Sisi kehidupan sosial budaya Aceh dibangun atas dasar agama dan
adat ini yang membentuk suatu sumber dalam penataan sosial yang
berlangsung di Aceh. Keberadaan ulama merupakan manifestasi dari
adanya pilar agama dan adat yang perannya sangat penting sepanjang
sejarah di Aceh. Sehingga Islam merupakan way of life dan menjadi
_____________
2Irwan
Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, h. 129.
3Daniel
Djuned, Syariat Bagaimana Yang Mesti Diaplikasikan? Dalam Fairus M.
Nur Ibr, Syari’at di Wilayah Syariat: Pernik-Pernik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda
Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002, h. 72.
4Moehammad
Husein, Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, 1970, h. 1.
24
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
fondamen budaya adat Aceh yang memiliki daya juang untuk
menjangkau masa depan.
Kedua, orang Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan
pembenaran historis pada masa Perang Aceh, sejak maklumat perang
disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Keberanian dalam berjuang
memperlihatkan kesetiaan pada cita-cita dan pemimpin yang adil, suatu
sifat yang diutamakan dalam masyarakat Aceh. Patriotisme orang Aceh,
misalnya diakui oleh banyak orang Barat, Zentgraaff, seorang penulis
Belanda mengatakan;
“Yang sebernarnya adalah orang-orang Aceh, baik pria maupun
wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk
sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional dan
agama mereka. Di antara pejuang itu terdapat banyak sekali pria
dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa; mereka tidak
kalah gagahnya dari pada tokoh-tokoh terkenal kita”.
Ketiga, orang Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri
yang tinggi disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai orang Aceh.
Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan hikayat yang terus
menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Hikayat yang
menceritakan kejayaan Aceh dan keberhasilan perang melawan Belanda.
Demikian juga tempat-tempat bersejarah dan peninggalan budaya telah
ikut mendorong kebanggaan dan rasa percaya diri yang tinggi pada orang
Aceh.
Keempat, orang Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivitas. Hal
ini tampat dari kebiasaan orang Aceh untuk berkumpul, dari fenomena
warung kopi, saling kunjung, kenduri, serta upacara-upacara yang
melibatkan banyak orang. Dalam kumpulan semacam ini, sosialisasi nilai
keacehan dan identitas bersama dibangun, tumbuh melalui keseniankesenian. Seudati, Saman, Debus, dan berbagai tarian Aceh menegaskan
ritme yang berorientasi kolektivitas tersebut.
Sejalan dengan argumen yang dikemukakan oleh Irwan Abdullah
dapat pula dijelaskan bahwa budaya dan adat Aceh tidak lain adalah
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
25
norma Islam itu sendiri. Antara budaya dan ajaran Islam telah berinteraksi
dan berasimilasi secara harmonis dalam masyakarat Aceh sepanjang
ratusan tahun. Bentuk konkrit adat dan budaya dalam kehidupan
masyarakat Aceh tidak hanya teraplikasi dalam bidang sosial, ekonomi
maupun politik, tetapi juga dalam bidang hukum.
Secara stratifikasi sosial, masyarakat Aceh pada masa lalu dapat
dibagi ke dalam empat kategori: 1) raja atau sultan; 2) uleebalang; 3) ulama;
dan 4) rakyat biasa. Raja atau sultan berasal dari keturunan raja-raja yang
memegang kekuasaan kerajaan. Raja dan keturunannya dianggap sebagai
lapisan elit yang dihormati karena kekuasaan mereka. Hingga sekarang
penghormatan masyarakat kepada keturunan-keturunan raja masih
nampak dalam pergaulan sehari-hari seperti sebutan atau panggilan.
Panggilan yang lazim kepada keturunan raja dalam kehidupan sehari-hari
disebut ampon bila laki-laki, dan cut nyak (cut) bila perempuan. Selain itu,
ada juga yang bergelar Tuanku. Perbedaan-perbedaan yang lain di luar ini
biasanya tidak nampak lagi antara keturunan raja dengan orang biasa.5
Selain itu dalam pranata sosial khususnya sistem ketatanegaraan
masyarakat Aceh mengenal ada gampong, mukim, sagoe dan nanggroe.
Gampong merupakan satuan wilayah paling rendah yang dipimpin oleh
seorang kepala yang disebut geuchik, mukim adalah perpaduan dari
beberapa gampong yang dipimpin oleh imum mukim, sagoe merupakan
wilayah yang lebih diatas lagi (setara dengan kecamatan) yang dikepalai
oleh panglima, kemudian nanggroe yang kendalikan oleh sultan.
Perlu dicatat bahwa dalam setiap wilayah dari yang paling rendah
sampai yang paling tinggi, selalu ada tokoh ulama yang menjadi mitra
pemimpin untuk menjalankan tugas-tugas pemerintah. Mulai dari imam
meunasah, imam gampong, imam kemukiman (qadhi), sampai pada qadhi
malikul adil pada level kesultanan.
_____________
5T.
Ibrahim Alfian, Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh:
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978, h. 150.
26
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
Pada sisi lain budaya atau adat dalam konteks agama merupakan hal
yang sangat penting. Betapa pentingnya budaya dan adat sehingga dapat
dijadikan sebagai hukum sebagaimana dikatakan dalam kaedah ushul
fiqh: ”al-adat al-muhakkamah” (adat dapat dijadikan sebagai hukum). Hal
ini menunjukkan bahwa agama tidak membongsai apalagi mengebiri
budaya dan adat setempat, sebaliknya ia mendapat tempat dan ruang
yang harmonis. Sepanjang budaya dan adat tersebut tidak bertentangan
dengan ruh syari’at. Selain itu, juga kaedah lain; ”al-muhafazah ala al-qadim
al-shalih, wa al-akhzu ala al-qadim al-aslah” (memelihara tradisi lama yang
baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).6
Agama Islam sebagai way of life yang mengkristal dalam budaya dan
adat Aceh nampaknya tidak dapat dibantah. Dalam sistem, pranata dan
struktur sosial cukup menonjol, artinya Islam dijadikan sebagai world view
(pandangan hidup). Misalnya, sistem pemerintah yang paling rendah
adalah gampong yang dipimpin oleh geuchik (kepala desa) yang mengurusi
persoalan pemerintahan. Disamping itu,
ada imum meunasah yang
memimpin semua urusan keagamaan. Sampai saat ini biasa kantor geuchik
dan meunasah selalu berdekatan atau dalam satu kompleks, bahkan
dahulu meunasah juga dijadikan sebagai kantor keuchik.
Ketika daerah lain di Nusantara masih terlelap dengan anismisme,
dinamisme dan kepercayaan Hindu serta Budha, di Aceh telah mendapat
sinar keislaman. Islam menjadi agama mayoritas yang memberikan spirit
dan way of life seluruh masyarakat. Kerajaan Islam pertama di Indonesia
juga muncul di Aceh, yaitu kerajaan Peureulak, Aceh Timur. Di samping
itu kerajaan Aceh Darussalam sebagai kerajaan Islam terbesar ke empat di
dunia Islam, setelah kerajaan Isfahan di Iran, kerajaan Mughal di India,
kerajaan Usmani di Turki. Kerajaan Aceh Darussalam melakukan
hubungan internasional berupa kerjasama ekonomi perdagangan, militer,
_____________
6Rusjdi Ali Muhammad, Peranan Budaya dalam Merajut Kedamaian dan
Silaturrahmi, dalam Darni Daud dkk. (ed), Budaya Aceh, Dinamika Sejarah dan Globalisasi
(Banda Aceh: Unsyiah Press, 2005), h. 341.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
27
pendidikan dan budaya dengan Turki Usmani yang saat itu dianggap
sebagai Negara super power sama dengan Amerika saat ini. Sementara
Aceh dapat dikatakan negara adikuasa di kawasan Asia Tenggara saat itu.
Penegasan Islam sebagai identitas dalam masyarakat Aceh kembali
dikedepankan ditegaskan kembali dalam upaya penerapan syariat Islam,
sejak dekade 1950-an oleh Tgk. Daud Beureueh.7 Ia adalah seorang
pemimpin, ulama, tentara bahkan pernah ditunjuk sebagai Gubernur
Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo oleh Soekarno.
Daud Beureueh menjadi ketua Persatuan Oelama Se-Aceh (PUSA) yang
menjadi gerakan sosial politik dan melakukan perlawan terhadap kaum
aristokrat (ulee balang) yang mencoba melanggengkan status quo sebagai
pemberian dari Belanda. Daud Beureueh justru membela kepentingan
nasional yang kemudian disebut kaum republikan.
Pembahasan
1. Agama dan Budaya Sebagai Identitas Masyarakat Aceh
Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi sistem
yang lain. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, sastra,
lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan
konsep-konsep epistemologi dari sistem pengetahuan masyarakat. Sistem
simbol dan epistemologi juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang
berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial dan
seluruh perilaku sosial.8 Jadi kebudayaan mencakup berbagai aspek
kehidupan, yang meliputi cara-cara berperilaku, kepercayaan, sikap, dan
juga hasil dari kegiatan manusia baik hasil karya akal maupun cita rasa
seni.
_____________
7Arskal
Salim, Shari’ah from Below In Aceh (1930s-1960s): Islamic Identity and The
to Self Determination with Comparative Reference to the Moro Islamic Liberation Front
(MILF)”, Journal and the Malay World, 32-92, 2004.
8Kuntowijoyo,
28
Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 1999.
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
Kebudayaan juga berarti pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.9 Dengan kata lain bahwa kebudayaan cukup kesemuanya
yang
didapatkan
atau
dipelajari
oleh
manusia
sebagai
anggota
masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari
pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara atau
pola berpikir, merasakan dan bertindak. Seorang yang meneliti
kebudayaan tertentu, akan sangat tertarik oleh obyek-obyek kebudayaan
seperti rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi, dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa adat merupakan bagian yang tercakup dan
tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, ia tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah kehidupan masyarakat secara dinamis. Proses dinamisasi
tersebut pada akhirnya menumbuhkan sebuah bentuk budaya (a form of
culture). Ia adalah perlambang berbagai nilai dan konsep tentang
kehidupan dan alam semesta, sesuai dengan perkembangan pemikiran
dan pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu, adat-istiadat yang sarat
nilai itu perlu dikaji dan dilestarikan agar generasi selanjutnya dapat
mewarisinya secara baik. Transformasi nilai-nilai budaya atau adat
istiadat tersebut mutlak diperlukan, lebih-lebih pada era globalisasi
dewasa
ini,
sebab
nilai-nilai
budaya
dan
adat
istiadat
dapat
terkontaminasi akibat penetrasi budaya asing yang belum tentu sesuai
dengan kondisi sosial keagamaan dan adat istiadat Aceh.10
Jika ditinjau dari perspektif historis telah membuktikan bahwa tidak
sedikit bangsa di dunia yang hilang di atas pentas sejarah oleh karena
tidak dapat mempertahankan diri dari serangan budaya luar atau karena
tidak dapat bangkit dari ketertinggalan.
Kebudayaan suku Inka di
Amerika latin sebagai warisan bangsa Indian (suku asli Amerika) kini
_____________
9Soerjono
Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2005), h. 172.
10Rusdi
Sufy, dkk., Adat-Istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan
Provinsi Aceh Darussalam, 2002, h. 2.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
29
hilang ditelan derasnya hegemoni budaya Barat terutama Spanyol sebagai
bangsa penjajah. Kebesaran peradaban Yunani kini tidak diketahui lagi ke
mana rimbanya. Sebaliknya budaya Jepang dan Cina dapat menjadi
contoh. Jepang berhasil menjadi bangsa yang maju secara ekonomi dan
teknologi dengan tidak meninggalkan budaya yang dikenal dengan
restorasi Meiji. Juga Cina sukses menjadi negara yang disebut sebagai
“Naga Asia” dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Asia
tanpa menafikan budaya dan kulturnya yang telah berumur ribuan tahun
sejak zaman Lao Tse dan Kong Hu Cu. Sepantasnya realitas tersebut
menjadi
cerminan,
tidak
terkecuali
dalam
mempertahankan
dan
mengembangkan budaya Aceh.
Budaya dan adat Aceh tidak lain adalah norma Islam itu sendiri.
Antara budaya dan ajaran Islam telah berinteraksi dan berasimilasi secara
harmonis dalam masyakarat Aceh sepanjang ratusan tahun. Bentuk
konkrit adat budaya dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak hanya
teraplikasi dalam bidang sosial, ekonomi maupun politik, tetapi juga
dalam bidang hukum. Sebagai contoh proses penyelesaian konflik yang
berkembang dalam masyarakat diselesaikan dalam kerangka adat yang
berkoherensi dengan religiusitas masyarakat. Pelaksanaan Sayam, Suloh,
atau pun Peusijuk merupakan proses penyelesaian konflik berbasis budaya
yang sudah lama mengakar dalam masyarakat. Tradisi ini merupakan
proses penyelesaian konflik yang sangat demokratis tanpa terjadinya
pertumpahan darah dan dendam di antara kedua belah pihak yang
berkonflik. Baik konflik vertikal maupun horizontal. Namun proses
penyelesaian konflik yang dilakukan masyarakat secara humanis tersebut
telah banyak ditinggalkan. Politik kekuasaan pemerintahan orde baru
yang mengacu pada proses penyelesaian konflik yang terkadang
menitikberatkan pada kompensasi ekonomi ternyata mengacu pada
proses pengikisan
masyarakat
Aceh.
budaya lokal menjadi ritme dalam sistem budaya
Seperti
dipahami
bahwa
negara
telah
mempertentangkan nilai-nilai budaya material dan non material dalam
30
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
keseluruhan aspek kehidupan bermasyarakat. Pertentangan sipil yang
berkembang di Aceh merupakan bagian proses malintegration dari
pertentangan unsur-unsur budaya material dan non-material. Unsurunsur budaya material berkembang secara linear, sementara unsur-unsur
budaya non material seperti; ide, nilai, adat kebiasaan dan pola-pola
interaksi dalam masyarakat harus terkungkung dalam sentralistik budaya
politik pemerintahan Indonesia.
Padahal jika nilai-nilai lokal seperti sayam, suloh dan peusijuk
diaplikasi
dalam
masyarakat,
maka
konflik
yang
terjadi
dapat
diselesaikan dengan mengedepankan budaya dan adat Aceh. Pada
perspektif ini diperlukan sebuah kesadaran dan kearifan secara kolektif
untuk merevitalisasikan kembali nilai-nilai tersebut. Pada konteks ini juga
secara otomatis mengharuskan sistem dan tatanan pemerintahan model
Aceh harus dikembalikan. Sistem yang dimaksud adalah pemerintahan
gampong yang dipimpin oleh geuchik, mukim oleh kepala mukim sampai
kepada sagoe dan nanggroe. Dengan dilengkapi dengan perangkat seperti
tengku imuem, tuha puet, tuha lapan, haria pekan, panglima laot dan
sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dahulu struktur
pemerintahan Aceh telah tertata dengan begitu baik. Bandingkan dengan
pemerintahan desa yang sentralistik orde baru terbukti melenyapkan
nilai-nilai seperti pemerintahan Nagari di Sumatra Barat, di Sumatera
Utara dan Aceh.
Pada sisi lain, kebudayaan atau secara spesifik karya seni tidak dapat
dipungkiri mampu mengubah kehidupan sosial dan membangkitkan
semangat masyarakat ke arah yang lebih baik. Sejarah telah membuktikan
ketika Aceh berperang melawan Belanda, pejuang Aceh secara gagah
berani bertarung di medan laga terinspirasi oleh Hikayat Perang Sabil.
Hikayat tersebut adalah karya sastra Teungku Chik Pante Kulu. Hikayat
ini menceritakan pejuang yang syahid akan mendapatkan Ainul
Mardiyah, seorang putri nan cantik jelita, sang bidadari syurga. Contoh
lain yang dapat disebutkan sebuah novel berjudul ”Uncle Tom’s Cabin”,
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
31
karya Harriet Becher Stowe ini terbukti membantu menghapuskan
perbudakan kaum Negro (keturunan Afro-Amerika) Amerika Serikat.
Demikian pula novel ”Two Years Before The Mast” mampu membantu
pemerintah memperbaiki kehidupan kaum pelaut Amerika, dan novelnovel Charles Dickens yang banyak mendorong pemerintah Inggris
mengeluarkan undang-undang yang memperbaiki kaum buruh.11 Hal
tersebut membuktikan bahwa karya sastra baik novel, syair, esai dan
berbagai karya sastra lainnya mampu membentuk gerakan sosial ke arah
mobilitas budaya. Untuk mengembangkan karya-karya semacam ini salah
satu jalannya adalah melalui media cetak maupun eletronik, media akan
mampu faktor penentu dalam melestarikan nilai-nilai-nilai seni termasuk
kesenian Aceh, bahkan pada tingkat tertentu mampu membentuk opini
publik.
Budaya dan adat dalam konteks agama merupakan hal yang sangat
penting. Betapa pentingnya budaya dan adat sehingga dapat dijadikan
sebagai hukum sebagaimana dikatakan dalam kaedah ushul fiqh: ”al-adat
muhakkamah” (adat dapat dijadikan hukum). Hal ini menunjukkan bahwa
agama tidak membongsai apalagi mengebiri budaya dan adat setempat,
sebaliknya ia mendapat tempat dan ruang yang harmonis. Sepanjang
budaya dan adat tersebut tidak bertentangan dengan ruh syari’at.
Oleh karena itu revitalisasi budaya Aceh tidak dapat ditawar lagi.
Jika upaya pelestarian budaya tidak dilakukan secara sistematis dan
konsisten, maka dikhawatirkan akibat hempasan dari arus budaya luar
yang sangat besar dewasa ini, nilai-nilai budaya kita akan mengalami
degradasi, pergeseran, perubahan, bahkan akan hilang di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini dapat dikatakan sebagai tantangan yang cukup
realistis. Sebelum kondisi tersebut terjadi, sejak dari awal para leluhur
telah mengigatkan dalam sebuah hadih maja Aceh: “Matee aneuk meupat
jeurat, gadoh adat pat tamita." (meninggal anak jelas pusaranya, hilang adat
_____________
11Yakob
Sumardjo, Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya, 1982,
h. 54.
32
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
kemana hendak dicari). Ungkapan ini bukan hanya slogan puitis yang indah
semata dan kosong nilai, namun hal itu merupakan suatu pernyataan
yang sarat makna dan nilai filosofis yang perlu dipikirkan dan
direnungkan. Penguatan identitas budaya sebagai modal dalam proses
mobilitas sosial merupakan syarat mutlak, agar berjalan secara simultan
dan berkesinambungan.
Menurut Darwis A. Sulaiman bahwa budaya Melayu-Aceh adalah
budaya Melayu yang terdapat dalam masyarakat Aceh, yang memiliki
identitas sebagai berikut:12 Pertama, identitasnya yang utama Islami,
artinya ruh atau nafas dari budaya Melayu-Aceh ialah Islam. Ruh atau
nafas Islam itu terdapat dalam berbagai aspek kebudayaan, terutama
dalam adat Aceh dan dalam kesenian Aceh tradisional. Sesuai dengan
budaya Islam yang egaliter, demokratis, mementingkan rasio dan
mementingkan keseimbangan nilai-nilai (individual dan sosial; material
dan spiritual; rasional, emosional dan spiritual), maka dalam budaya
Melayu-Aceh terkandung ciri-ciri seperti religius, rasionalitas, demokratis,
kebersamaan, dan keterbukaan. Ciri-ciri tersebut jelas terlihat dalam seni
tari tradisional Aceh, yaitu:
a. Bernafaskan Islam; terlihat misalnya dalam tema dan ungkapanungkapan yang dinyatakan oleh penari, dan juga dalam pemisahan
antara laki-laki dan perempuan dalam menari. Ada tarian yang
hanya dibawa oleh penari laki-laki dan oleh penari perempuan saja.
b. Bersifat kerakyatan (demokratis); tumbuh daripada kehidupan
rakyat sehari-hari seperti kehidupan bertani, menangkap ikan dan
lain-lain, dan bukan dari kehidupan raja-raja atau keraton.
c. Bersifat kolektif (mementingkan kebersamaan); tidak ada tari Aceh
yang dibawakan oleh satu orang, semuanya oleh kelompok.
_____________
12Darwis A. Sulaiman, Identitas dan Pluralisme Budaya Melayu-Aceh, Makalah
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bersama
Pemerintah Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, pada tanggal 29-31 Juli 2004.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
33
d. Bersifat
dinamik
(keterbukaan);
gerak
tari
pada
umumnya
menggunakan badan seluruhnya, cepat dan bersemangat.
e. Musik menyatu dengan tari; yang dominan adalah musik vokal yang
dinyatakan dalam bentuk pantaun atau syair yang menyatu dengan
gerak tari.
Kedua, identitasnya yang kedua ialah Melayu karena Aceh adalah
Melayu, dan karena itu pula maka budaya Aceh disebut juga budaya
Melayu-Aceh. Ketiga, identitas budaya Melayu-Aceh yang ketiga ialah
Keacehan, karena ia memiliki kekhasan dan keragamannya sendiri, yaitu
dalam hal watak karakter manusia Aceh, bahasa Aceh, adat Aceh, dan
kesenian Aceh, yang semuanya itu sebagai hasil dari pengaruh
lingkungan geografis dan sejarah yang panjang dari masyarakatnya.
Ketiga macam identitas budaya Melayu-Aceh itu menunjukkan
bahwa antara Aceh, Melayu, dan Islam tidak dapat dipisahkan. Aceh
adalah Melayu, Aceh dan Melayu adalah Islam. Bila dianalogikan budaya
Melayu-Aceh dengan sebatang pohon, maka Islam adalah rohnya pohon
itu, Melayu adalah akarnya, sedangkan batang, cabang, ranting, daun,
bahkan bunga dan buahnya adalah keacehan. Apakah “pohon” budaya
Melayu-Aceh itu akan kokoh batang dan rantingnya, apakah daundaunnya akan hijau dan rimbun, serta apakah buahnya ranum dan
bunganya berwarna warni, adalah tergantung kepada apakah dalam
upaya menumbuhkan pohon itu ruhnya tetap Islam, akarnya tetap
Melayu, dan pohonnya tetap terdiri dari nilai-nilai keacehan.
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang majemuk, oleh karena
orang Aceh sekarang adalah asil dari percampuran dengan pelbagai
bangsa sebagai akibat dari proses sejarahnya yang panjang. Abad demi
abad sejak pemindahan dari daratan benua Asia, nenek moyang orang
Aceh banyak bercampur dengan pendatang, baik dengan penduduk dari
daerah lain di Nusantara maupun dengan bangsa-bangsa lain.
Pada sisi lain, pengaruh Hindu ke Aceh telah lama ada sebelum
datangnya Islam. Kedatangan Islam ke Aceh telah membuat pengaruh di
34
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
Aceh yang memang tidak besar itu menjadi tanpa bekas sama sekali.
Sebaliknya kedatangan Islam ke Aceh telah meninggalkan pengaruh yang
sangat mendalam, dan turut membawa orang Arab, Persia dan Turki ke
Aceh, sehingga karena itu menurut Teungku Kuta Karang, ulama Aceh
yang hidup pada akhir abad ke-18, orang Aceh merupakan campuran
antara orang Asli yang telah disebutkan di atas dengan orang Arab, Parsi
dan Turki. Pendapat tersebut disokong oleh Mohammad Said, ahli sejarah
tentang Aceh dengan menunjukkan pengaruh kerajaan-kerajaan Romawi
dan Phunisia yang besar pada masa lalu yang juga sampai ke Aceh.13
Pengaruh kerajaan Aceh pada abad ke-16 hingga ke-18 yang
menjangkau sampai ke Semenanjung Melayu dan daerah lain di
Indonesia, telah menyebabkan terjalinnya kembali hubungan antara orang
Aceh dengan masyarakat di Semenanjung Melayu semakin luas.
Hubungan Aceh dengan Negeri Kedah misalnya telah berlangsung cukup
lama dan telah terjadi percampuran penduduk yang cukup banyak pula.
Setelah Kedah berada di bawah kekuasaan kerajaan Aceh pada tahun
1619, maka banyak orang Kedah yang datang ke Aceh dan sebaliknya
sehingga di Aceh ada kampung Kedah dan di Kedah ada kampung Aceh.
Tempat-tempat di Negeri Kedah seperti Yan, Sungai Limau, Merbuk,
Sungai Petani, Sala, Kuala Kedah, Alor Setar, Jitra Anglang dan Pulau
Langkawi, banyak terdapat orang Aceh. Kedatangan mereka beramairamai terutama ke Pulau Langkawi dan Yan terjadi ketika Belanda
menguasai bandar-bandar dan peukan (pasar) di Aceh. Kemudian diikuti
dengan kedatangan anak-anak muda Aceh yang suka bertualang.
2. Perubahan Sosial dan Pendidikan Islam
Pesantren dari segi historis tidak hanya identik dengan makna
keislaman,
tetapi
juga
mengandung
makna
keaslian
Indonesia
(indigenous). Sebab lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah
ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha. Sehingga Islam hanya
_____________
13Mohammad
Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1961, h. 23.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
35
meneruskan dan mengislamisasi lembaga pendidikan yang sudah ada.
Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori
pendidikan di Indonesia. Dari makna keaslian inilah sehingga setiap
daerah memiliki nama yang beragam di Aceh disebut dayah, di Sumatra
Barat dinamakan surau, di Jawa pada umumnya disebut pesantren.
Pesantren merupakan pusat persemaian, pengamalan, dan sekaligus
penyebaran ilmu-ilmu keislaman. Lebih khusus lagi ilmu-ilmu keislaman
tradisional yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi
Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada
periode tertentu dalam sejarah Islam, seperti misalnya, periode kaum
salaf, yakni para sahabat Nabi Muhammad saw. dan tabi’in dan tabi’i altabiin.
Dayah dan Meunasah merupakan tempat menimba ilmu dalam bahasa
Aceh yang konon berasal dari bahasa Arab Zawiyah, adalah dua institusi
pendidikan tradisional di Aceh yang banyak melahirkan ulama masa lalu
sampai sekarang. Meunasah dipimpin oleh teungku atau imum meunasah.
Semua ritual keagamaan, mulai dari shalat, pengajaran al-Qur’an dan
musyawarah mengambil tempat di meunasah yang pada umumnya
dilaksanakan oleh teungku meunasah. Adapun dayah dipimpin juga oleh
seorang teungku atau teungku chik yang membimbing dan mengajar murid
atau santri yang datang ke dayah tersebut. Biasanya, dayah pun ikut serta
membimbing masyarakat sekitar dan turut terlibat dalam aktivitas sosial
kemasyarakatan di lingkungannya.14
Di Aceh, meunasah memiliki sejarah panjang sampai saat ini yang
memiliki multi fungsi, adalah cikal bakal madrasah yang ada hari ini.
Meunasah berasal dari kata bahasa Arab “madrasah,” artinya tempat
belajar. Meunasah yang ada di setiap gampong di seluruh Aceh hari ini,
sejak zaman Kerajaan Aceh, digunakan sebagai tempat belajar agama atau
mengaji, sebagai tempat shalat lima waktu, tempat musyawarah, tempat
_____________
14Abidin
Nurdin, Ulama dan Legislasi: Mengkaji Lembaga Ulama, dalam Arskal
Salim dan Adlin Sila (ed), Serambi Mekah Yang Berubah, Jakarta: Alvabet, 2010.
36
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
sebagai tempat untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan lainnya.15
Sekalipun sama-sama menyandang predikat sebagai ulama atau
teungku di mata masyarakat Aceh, ulama yang berada di meunasah dapat
dibedakan dengan ulama yang tinggal di dayah. Teungku di meunasah
biasanya adalah seseorang yang pernah belajar di dayah. Lingkup
pekerjaan dan tanggungjawabnya lebih kecil ketimbang teungku di dayah.
Begitupun, tingkat kealimannya acapkali berada jauh di bawah ulama
dayah, apalagi ulama dayah yang sudah bergelar teungku chik.
Tujuan dari lembaga pendidikan Dayah adalah untuk menghasilkan
orang yang siap menjadi Sultan, Menteri, Qadhi, atau beberapa jenis
kegiatan perkantoran lainnya, disamping untuk menjadi penyebar agama
dan pengajar-pengajar di lembaga-lembaga dayah. Sebagai sebuah sistem
pendidikan Islam di dalam sejarah Aceh, maka pembahasan tentang
dayah mesti diiringi dengan pembicaraan tentang meunasah. Meunasah
selain menjadi pusat perkembangan budaya, ia juga sebagai lembaga
pendidikan masyarakat gampong setingkat sekolah dasar di seluruh Aceh.
Di meunasah, anak-anak atau remaja belajar mengaji al-Qur’an dan kitabkitab Jawoe (kitab tentang ajaran agama Islam, bertulisan Arab tetapi
berbahasa Melayu), serta bimbingan akhlak. Dengan kata lain, meunasah
adalah semacam pendidikan tingkat dasar (SD) dalam bidang ilmu
agama. Jika tingkat ini telah diselesaikan, barulah seorang remaja
berangkat untuk menuntut ilmu secara lebih mendalam di dayah.
Kepergian untuk menuntut ilmu ke dayah sering disebut dengan
meudagang, tetapi istilah ini sudah mulai jarang dipakai sejak dasawarsa
terakhir. Orang dewasa yang tidak menuntut ilmu ke dayah juga dapat
menggunakan sarana meunasah sebagai pusat pengajian atau tempat
_____________
15Saifuddin
Dhuhri, Dayah dalam Tiga Phase Perkembangan. Jurnal Sarwah, 2006,
STAIN Malikussaleh Lhokseumawe, h. 151-167.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
37
menemui Teungku Imum (Imam) untuk berkonsultasi berbagai persoalan
keagamaan.16
Meskipun zaman telah jauh berubah, ketiga lembaga tersebut di atas
(meunasah, madrasah dan dayah) tetap eksis dengan perannya masingmasing. Sementara meunasah menjadi lebih berposisi sebagai pusat
perkembangan sosial budaya gampoeng, madrasah menjadi lembaga
pendidikan formal dan berada di bawah pengawasan pemerintah;
sedangkan dayah berperan sebagai lembaga pendidikan keagamaan
nonformal dan bergerak secara swasta.
Melalui lembaga meunasah dan dayah tersebut, jasa dan kontribusi
ulama dalam bidang pendidikan keagamaan orang Aceh sungguh amat
besar. Besarnya kontribusi ulama dalam sejarah pendidikan di Aceh ini
menjadikan mereka sebagai kelompok elit sosial yang sarat dengan
legitimasi. Tidak heran bila pandangan dan kata-kata para ulama atau
teungku dituruti dan ditaati. Sebuah perkara yang telah diputuskan lewat
musyawarah di meunasah yang dipimpin oleh teungku biasanya tidak
mendapatkan perlawanan terbuka dari masyarakat.
Tradisi, sebagai suatu konsep sejarah, dapat dipahami sebagai suatu
paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap
kenyataan. Tradisi dapat pula dilihat sebagai seperangkat nilai dan sistem
pengetahuan yang menentukan sifat dan corak komunitas kognitif. Proses
pembentukannya merupakan suatu proses seleksi yang muncul ketika
cita-cita harus senantiasa berhadapan dengan kenyataan dan di saat
kebebasan harus menemukan modus vivendi dengan keharusan-keharusan
stukturalnya. Di samping itu tradisi dapat pula memberi kesadaran
identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal.
Demikian juga halnya tradisi intelektual Islam Aceh. Ia tidak hanya
sebagai sebuah paradigma kultural atau seperangkat nilai dan sistem
pengetahuan, tetapi juga sebagai kesadaran identitas komunal yang
_____________
16Saifuddin
Dhuhri, Dayah dalam Tiga Phase Perkembangan. Jurnal Sarwah, 2006,
STAIN Malikussaleh Lhokseumawe, h. 151-167.
38
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pewarisan dan
transformasi tradisi tersebut tentunya harus melalui proses seleksi dan
penyesuaian dengan situasi zamannya. Proses pembentukan tradisi
intelektual tersebut dimulai seiring dengan perkembangan sosial, politik,
dan ekonominya.17
Kota-kota di Aceh dalam sejarah menjadi pusat tradisi intelektual
dan pendidikan seperti Bandar Khalifah di Peureulak (Aceh Timur), Pasai
(dalam bahasa Aceh Pasee, Aceh Utara dan Bandar Aceh (Banda Aceh).
Kota-kota ini pusat-pusat intelektual, budaya, ekonomi yang ramai di
datangi oleh berbangsa di dunia. Segera setelah itu kota-kota Melayu
lainnya, dibangun mengikuti model kota yang berkembang di negeri Arab
dan Persia. Kota-kota Islam ini menempatkan istana sebagai bagian
integral dari kehidupan kota. Dengan begitu istana tidak terasing dan
dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat peradaban di
luarnya, seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu
memungkinkan istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat
lewat kehidupan di pesantren dan pusat permukiman para saudagar,
perajin, dan cendekiawan.18
Sejalan dengan itu, tradisi intelektual ini melahirkan karya-karya
ulama, sebagai waratsat al-anbiya’ (penerus para Nabi), mempunyai
tanggung jawab terhadap perkembangan dan keberlangsungan proses
pewarisan dan transmisi ajaran Islam dan ilmu pengetahuan. Upaya
pewarisan ajaran dan ilmu pengetahuan tersebut dilakukan tidak hanya
melalui institusi pendidikan, tetapi juga melalui pena (karya) mereka.
Dalam hal ini, sejumlah karya tulis (kitab), sebagai penopang utama
tradisi keilmuan, mereka hasilkan. Kitab-kitab tersebut ditulis pada abad
X sampai dengan abad XV M. Beberapa karya penting, baik berupa
syarahan (penjelasan), maupun karya baru dengan corak yang sama ditulis
_____________
17Erawadi,
Tradisi, Wacana dan Intelektual di Aceh Abad XVIII dan XIX, UIN Jakarta:
Disertasi, 2009, h. 91.
18Erawadi,
Wacana, Tradisi…, h. 92-93.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
39
sebelum periode tersebut, tetapi sejak akhir abad XV, secara umum,
pemikiran Islam tidak mengalami kemajuan berarti di dunia Islam.19
Sesudah kekhalifahan Islam di Baghdad dapat direbut tentara
Mongol tahun 1258 M, kaum Sufi memainkan peranan sangat penting
untuk memelihara kesatuan masyarakat Islam. Perkembangan ini muncul
akibat dari karakteristik kaum Sufi yang mendukung peranan tersebut.
Hubungan erat antara Syeikh Sufi dan pengikut-pengikutnya, semangat
penyebaran agama, dan basis kerakyatan dari gerakan ini menjadi modal
utama bagi perjuangan tersebut. Sebagian mereka menyebar ke wilayah
yang lebih luas. Perluasan ini menolong untuk mengimbangi salah satu
konsekuensi
dari
runtuhnya
kekhalifahan,
yaitu
penegasan
dari
perpecahan antara negara-negara Islam ke dalam wilayah-wilayah yang
berbahasa Arab, Persia dan Turki. Perjalanan mereka dari satu dunia
Islam ke dunia Islam lainnya, termasuk ke wilayah Nusantara, sekaligus
membawa ide-ide yang melampaui batas-batas wilayah bahasa dan
memelihara adanya perkembangan yang paralel.
Pemikiran ulama Nusantara awal ini diabadikan dalam berbagai
karya tulisnya, khususnya karya keagamaan. Karya ini ditulis oleh
sejumlah ulama Nusantara dari berbagai daerah. Namun khusus karya
abad XVII, semuanya dihasilkan dan berasal dari Kesultanan Aceh. Karyakarya itu menjadi rujukan penting para santri dan pelajar di Nusantara
pada zamannya. Di antara karya keagamaan yang khusus ditulis untuk
masyarakat Nusantara adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fikih berbahasa
Melayu, karangan Nuruddin al-Raniri (w. 1658 M); Mir’at al-Thullab, kitab
fikih karangan Abdurrauf al-Fansuri al-Singkily (w. 1693 M); dan Safinat
al-Najah, kitab fikih karangan Salim ibn Abdullah ibn Sumayr (w. 1854). 20
Pesantren telah membuktikan dirinya sebagai suatu lembaga
pendidikan Islam yang estabilished (mapan). Perubahan-perubahan sosial,
politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain sejauh ini kelihatannya tidak
_____________
40
19Erawadi,
Wacana, Tradisi…, h. 93-94.
20Erawadi,
Wacana, Tradisi…, h. 93-94.
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
begitu banyak berpengaruh terhadap kelanjutan eksistensi pesantren.
Pesantren sejak berdirinya, masa penjajahan, dan dalam zaman
kemerdekaan sekarang ini membuktikan sebagai benteng kultural dan
keagamaan
yang
tangguh.
Lembaga
pendidikan
tersebut
telah
memainkan peranan yang cukup signifikan sebagai agen perubahan (agent
of changes) dan pembangunan masyarakat. Fungsi-fungsi yang diperankan
pesantren seperti dikemukakan oleh Azyumardi Azra ada tiga; 1)
transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam; 2) pemeliharaan tradisi keislaman;
dan 3) reproduksi ulama.21
Peran pesantren dalam konteks transmisi ilmu-ilmu keislaman baik
yang tradisonal maupun yang modern. Yang kemudian juga melahirkan
dua bentuk pesantren; tradisional dan modern atau terpadu. Pesantren
tradisional lebih mengarah pada pengkajian ilmu-ilmu keislaman
tradisional seperti; tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih dan bahasa Arab.
Sedangkan
pesantren
modern
merupakan
pesantren
yang
telah
memadukan ilmu-ilmu keislaman tradisional dengan ilmu-ilmu umum
seperti; bahasa Arab, fisika, kimia, matematika juga sistim pendidikan dan
manajemen kelembagaan yang modern. Dalam proses revitalisasi dan
rekonstruksi kedua jenis pesantren tersebut harus dilibatkan dan menjadi
subyek, tidak hanya menjadi obyek yang terkadang menguntungkan
segelintir orang.
Sedangkan pemeliharaan tradisi keislaman dapat dilihat dari acara
budaya dan syiar Islam misalnya, maulid, tahlilan, haul, zikir, tarekat dan
berbagai macam tradisi keislaman yang memiliki akar yang kuat dalam
masyarakat. Tradisi semacam ini tidak dapat dipungkiri dipelihara dan
dikembangkan oleh pesantren yang ada di wilayah nusantara. Selanjutnya
reproduksi ulama, pesantren terbukti sejak muncul dan berkembangnya
telah melahirkan dan membina serta memberikan ruang yang terbuka
bagi ulama. Cikal bakal sosok ulama lahir dari perut pesantren, sehingga
_____________
21Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
41
antara ulama dan presantren tidak dapat dipisahkan seperti laut dan
gelombang.
Diharapkan pesantren tidak hanya memainkan peranan tersebut di
atas, tetapi juga dapat menjadi pusat penyuluhan kesehatan; pusat
pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaaan; pusat
usaha-usaha penyelematan dan pelestarian lingkungan hidup; dan lebih
penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dalam
konteks terakhir, terlihat semakin banyak pesantren yang terlibat dalam
aktivitas-aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha-usaha
agribisnis yang mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan,
perikanan dan kehutanan; pengembangan industri rumah tangga atau
industri kecil seperti konveksi, kerajinan tangan, pertokoan dan koperasi.
Dapat dikatakan bahwa respon pesantren terhadap modernisasi
pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang
berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup;
pertama, pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan
memasukkan subyek-subyek umum dan vocational; kedua, pembaharuan
metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan; ketiga, pembaharuan
kelembangaan, perubahan manajemen pesantren juga kepemimpinan,
diversifikasi lembaga pendidikan; dan keempat, pembaharuan fungsi. Dari
semula hanya fungsi pendidikan, dikembangkan sehingga juga mencakup
fungsi sosial-ekonomi.
Di samping itu perlu dicatat juga bahwa pendikotomian (pendidikan
umum dan agama) lembaga pendidikan yang selama ini diterapkan
pemerintah perlu direkosntruksi. Dikotomi ini hanya akan melahirkan
intelektual yang pincang; contohnya seorang ulama yang tidak tahu
komputer, atau ahli ekonomi yang tidak mengenal istilah mu’amalah dan
mauzara’ah. Dengan demikian jika Aceh menginginkan adanya perubahan
masyarakat ke arah yang lebih baik maka pendidikan yang integral harus
segera dilakukan. Yakni pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu
keagamaan dan ilmu-ilmu umum. Sehingga pada akhir dengan
42
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
transformasi
intelektual
akan
terjadi
transformasi
sosial
dalam
masyarakat. Perubahan sosial juga tidak akan berjalan tanpa ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sebab ilmu bagaikan cahaya dalam
kegelapan, seperti ruh bagi tubuh.
Kemudian di samping dayah, juga dikenal meunasah yang memiliki
multi fungsi yaitu; Sebagai tempat ibadah, tempat pertemuan dan
masyarakat gampong, tempat pengajian al-Quran bagi anak, pengajian
ilmu agama bagi orang tua, pusat kegiatan sosial keagamaan, tempat
penyelesaian konflik dan sengketa, dahulu sampai saat ini banyak anak
remaja dan pemuda yang laki-laki yang tidur di meunasah. Lebih lanjut
menurut Sabirin bahwa meunasah memiliki fungsi secara lengkap, yaitu, 22
a. Sebagai pusat kegiatan masyarakat;
b. Sebagai pusat kegiatan keagamaan;
c. Sebagai pusat kegiatan pendidikan;
d. Sebagai pusat kegiatan sosial budaya;
e. Sebagai basis ekonomi;
f. Sebagai pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Seiring dengan perubahan sosial, lembaga pendidikan juga terus
melakukan transformasi. Jika dahulu lembaga pendidikan lebih banyak di
dayah dan meunasah, yang kemudian melahirkan ulama-ulama terkenal.
Maka saat ini lembaga pendidikan yang dipengaruhi oleh sistem
pendidikan Barat, sudah mulai berkembang lembaga atau sekolah umum
mulai dari SD, SMP, SMA bahkan sampai ke Universitas. Meskipun
sekolah agama; madrasah, pesantren dan dayah masih tetap eksis.
Madrasah dan pesantren dalam beberapa dekade ini terus
berkembang yang, khusus pesantren ada dikenal dengan pesantren
terpadu untuk membedakannya dengan pesantren salafiyah (tradisional
atau dayah). Pesantren terpadu biasanya memadukan kurikulum agama
dan umum, disamping pelajaran agama para santri juga belajar pelajaran
_____________
22Sabirin,
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal, Banda Aceh: Ar-Raniry
Press. 2012, h. 125.
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
43
umum seperti bahasa Inggris, matematika, sains bahkan teknologi
informasi. Sedangkan kurikulum dayah baru beberapa tahun ini pasca
tsumani
mereka
sudah
mulai
terbuka
dengan
perubahan
dan
perkembangan teknologi dan kemoderenan.
Pada konteks perubahan sosial jika dayah dahulu melahirkan ulama,
maka madrasah dan pesantren cenderung melahirkan intelektual dan
cendikiawan. Meskipun pada beberapa aspek antara ulama dan
intelektual sama, namun dalam banyak hal keduanya juga berbeda.
Intelektual biasanya merupakan alumni Perguruan Tinggi Islam seperti
IAIN atau UIN. Sedangkan ulama biasanya alumni pesantren, atau paling
tidak pernah belajar dari pesantren. Pada perspektif ini juga dayah dan
meunasah
sebagai
basis
pendidikan
Islam
tradisional
di
Aceh
menunjukkan eksistensinya dengan tetap memberikan kontribusi yang
fundamental bagi perubahan sosial keagamaan. Hal ini terlihat pada
kasus konflik yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdekan
(GAM) dan pemerintah Republik Indonesia dan musibah tsunami yang
menelang korban ratusan ribu orang.
Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwa agama dan budaya di Aceh
merupakan dua ranah yang tidak dapat dipisahkan sama lain. Dalam
hadih maja disebutkan bagaikan zat dan sifeut yang saling menyatu.
Agama menjadi warna bagi budaya, sebaliknya praktek-praktek budaya
mengakomodasi agama secara begitu kental. Sehingga agama menjadi
sebagai way of life yang mengkristal dalam sistem, pranata dan struktur
sosial yang pada gilirannya terwujud menjadi world view (pandangan
hidup). Kentalnya warna agama dalam budaya sehingga sampai saat ini
ke dalaman budaya tidak gampang digoyang oleh penetrasi budaya luar.
Sedangkan dalam pendidikan yang menjadi basisnya adalah dayah
(pesantren) yang berfungsi sebagai;
pemeliharaan tradisi keislaman; dan
transmisi ilmu-ilmu Islam;
reproduksi ulama. Kemudian
meunasah yang berfungsi selain sebagai tempat pendidikan agama
44
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017
terutama pendidikan agama bagi anak (Quran) juga sebagai tempat
ibadah, tempat pertemuan dan masyarakat gampong, pengajian ilmu
agama bagi orang tua, pusat kegiatan sosial keagamaan, tempat
penyelesaian konflik dan sengketa. Konflik yang berkepanjangan antara
GAM dan pemerintah Indonesia dan musibah tsunami telah membawa
perubahan sosial masyarakat Aceh, tetapi karena basis pendidikan Islam
yang kuat maka kohesi dan integrasi sosial tetap terbangun dengan baik.
Daftar Pustaka
Abidin Nurdin, Ulama dan Legislasi: Mengkaji Lembaga Ulama, dalam
Arskal Salim dan Adlin Sila (ed), Serambi Mekah Yang Berubah,
Jakarta: Alvabet, 2010.
Arskal Salim, Shari’ah from Below In Aceh (1930s-1960s): Islamic Identity
and The to Self Determination with Comparative Reference to the
Moro Islamic Liberation Front (MILF)”, Journal and the Malay
World, 32-92, 2004.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Daniel Djuned, Syariat Bagaimana Yang Mesti Diaplikasikan? Dalam
Fairus M. Nur Ibr, Syari’at di Wilayah Syariat: Pernik-Pernik Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002.
Darwis A. Sulaiman, Identitas dan Pluralisme Budaya Melayu-Aceh,
Makalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Asosiasi
Tradisi Lisan (ATL) bersama Pemerintah Kota Tanjungpinang,
Kepulauan Riau, pada tanggal 29-31 Juli 2004.
Erawadi, Tradisi, Wacana dan Intelektual di Aceh Abad XVIII dan XIX, UIN
Jakarta: Disertasi, 2009.
Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 1999.
Moehammad Husein, Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, 1970.
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1961.
Otto Syamsuddin Ishak, Aceh Pasca Konflik: Kontestasi Tiga Varian
Nasionalisme, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013.
Rusdi Sufy, dkk., Adat-Istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh:
Kebudayaan Provinsi Aceh Darussalam, 2002.
Dinas
Agama, Budaya… Sri Astuti A. Samad
45
Rusjdi Ali Muhammad, Peranan Budaya dalam Merajut Kedamaian dan
Silaturrahmi, dalam Darni Daud dkk. (ed), Budaya Aceh, Dinamika
Sejarah dan Globalisasi, Banda Aceh: Unsyiah Press, 2005.
Sabirin, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal, Banda Aceh: ArRaniry Press. 2012.
Saifuddin Dhuhri, Dayah dalam Tiga Phase Perkembangan. Jurnal Sarwah,
STAIN Malikussaleh Lhokseumawe, 2006.
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 2005.
T. Ibrahim Alfian, Adat Istiadat Daerah Provinsi Daaerah Istimewah Aceh,
Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah, 1978.
Yakob Sumardjo, Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur
Cahaya, 1982.
46
Jurnal MUDARRISUNA
P-ISSN: 2089-5127
E-ISSN: 2460-0733
Volume 7, Nomor 1,Januari - Juni 2017