Skip to main content

Ikhsan Darmawan

Research Interests:
Research Interests:
Elektronik voting ( disingkat e-voting ) atau memilih dengan menggunakan bantuan alat elektronik adalahn salah satu cara memilih yang relatif baru dalam kajian kepemiluan. Sampai dengan tahun 2010, menurut ACE Project, sudah ada 43 negara... more
Elektronik voting ( disingkat e-voting ) atau memilih dengan menggunakan bantuan alat elektronik adalahn salah satu cara memilih yang relatif baru dalam kajian kepemiluan. Sampai dengan tahun 2010, menurut ACE Project, sudah ada 43 negara bersentuhan dengan e-voting. Menariknya, ada negara-negara besar dan maju, sperti inggris dan belanda, justru mengalami kegagalan dalampenggunaan e-voting dalam pemilu di negara mereka. Sebaliknya, ada negara "baru" seperti Estonia, justru " berhasil" memakai e-voting dan terus menggunakanya sampai saat ini.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Apa penyebabnya?Bagaimana dengan Indonesia? Apakah sudah pernah ada praktik e-voting dalam ajang pemilihan di Indonesia? Buku ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan runtut dalam bahasa yang mudah dimengerti. Buku memahami E-voting: Berkaca dari pengalaman Negara-Negara lain dan jembrana ( Bali ) ditunjukan untuk membantu pembaca memahami hal-hal dasar dari e-voting dan praktik penerapanya di beberapa Negara.
Research Interests:
Sepuluh tahun lalu, tepatnya tanggal 13 Agustus sampai dengan 16 Agustus 2001 Percik Salatiga menyelenggarakan Seminar Internasional ke dua yang diadakan di Riau. Salah satu pokok bahasan utama adalah tentang Otonomi Daerah yang memang... more
Sepuluh tahun lalu, tepatnya tanggal 13 Agustus sampai dengan 16 Agustus 2001 Percik Salatiga menyelenggarakan Seminar Internasional ke dua yang diadakan di Riau. Salah satu pokok bahasan utama adalah tentang Otonomi Daerah yang memang sedang di mulai. Banyak permasalahan yang saat itu disadari dan dikemukakan yang harus menjadi perhatian pemerintah agar pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut benar-benar dapat mengabdi kepada kepentingan rakyat.

Sepuluh tahun sesudah pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut Percik Salatiga merasa bahwa pelaksanaan Otonomi Daera nampaknya memang bermanfaat bagi kelompok rakyat tertentu di wilayah (kabupaten/kota) tertentu, namun sebagian besar manfaat dari perubahan tersebut lebih menguntungkan sejumlah besar elit politik baik di aras nasional maupun lokal. Dampak yang memang kemudian muncul nampaknya justru memunculkan permasalahan yang bisa berujung (pada jangka panjangnya) pada pengabaian kepentingan rakyat.

Permasalahan-permasalahan yang kemudian muncul itulah yang kemudian Percik angkat sebagai tema Seminar Internasional Ke-11. Tema Otonomi Daerah yang dipakai dalam seminar kali ini yang didasarkan pada permasalahan pelaksanaan Otonomi Daerah selama 10 tahun terakhir tersebut, tetap akan dilihat dari makna keberpihakannya kepada kepentingan rakyat. Dengan demikian tradisi untuk melihat kepentingan rakyat dalam Otonomi Daerah akan kita lanjutkan.

Berdasar pemahaman di atas maka ada empat sub tema utama yang akan digeluti dan semuanya tertuang dalam prosiding "Ada Apa Dengan 10 Tahun Otonomi Daerah?" yaitu: (1) Permasalahan dan Dampak Pemekaran Daerah di Aras Lokal, terkait dengan 10 Tahun Otonomi Daerah, (2) Perkembangan relasi Pusat-Daerah terkait dengan 10 tahun Otonomi Daerah, (3) Permasalahan dan Dampak Pemekaran Daerah di Aras Pusat, dan (4) Telaah Teoretis Relasi Pusat dan Daerah terkait dengan 10 Tahun Otonomi Daerah
Indonesia in the 21st century faces tremendous opportunities as well as challenges. Having made significant progress in its transition to a genuinely democratic system in the past 13 years, this fourth most populous country in the world,... more
Indonesia in the 21st century faces tremendous opportunities as well as challenges. Having made significant progress in its transition to a genuinely democratic system in the past 13 years, this fourth most populous country in the world, Indonesia must continue to address its great diversity, avoiding the many pitfalls that lay ahead. Social justice and rule of law are critical issues that demand the attention of policymakers and intellectuals, all those with an interest in building a prosperous and confident nation ready to take its place as an important power in the world.

The 3rd Yale Indonesia Forum Conference, held in Diponegoro University, July 2010, addressed a variety of critical issues and points of contention related to social justice and the rule of law. This book is the result of the efforts of all participants and contributors, critiquing past errors and pointing optimistically to the future. This collection of papers demonstrates that cooperation and critical engagement between citizens and the democratically elected governmental structures of Indonesia are necessary to address the future challenges of social justice and the rule of law.
Keseluruhan isi buku ini adalah artikel-artikel tentang Pemilukada yang ditulis dan pernah diterbitkan di sejumlah media massa nasional maupun lokal. Buku ini secara garis besar berisi beragam problematika yang selama ini menghinggapi... more
Keseluruhan isi buku ini adalah artikel-artikel tentang Pemilukada yang ditulis dan pernah diterbitkan di sejumlah media massa nasional maupun lokal. Buku ini secara garis besar berisi beragam problematika yang selama ini menghinggapi Pemilukada sekaligus di sebagian besar artikel disertai solusi di bagian akhir artikel.
Adapun masalah-masalah yang penulis angkat dalam buku ini dapat dikelompokkan menjadi empat tema besar: (1) Eksistensi dan Penyelenggaraan Pemilukada; (2) Pencalonan dalam Pemilukada; (3) Kampanye dan Pemilihan dalam Pemilukada; dan (4) Konflik dan Penyelenggara Pemilukada.
Single candidate local election 2015 was happened in three areas: Tasikmalaya Municipality, Blitar Municipality, and Timor Tengah Utara Municipality. In practice, not all people agree with Single Candidate Local Election 2015. In every... more
Single candidate local election 2015 was happened in three areas: Tasikmalaya Municipality, Blitar Municipality, and Timor Tengah Utara Municipality. In practice, not all people agree with Single Candidate Local Election 2015. In every area where it's local election contains of single candidate, there was group of " disagree " which do not agree with Constitutional Court Decision and then they sounded their rights and legitimacy for choice of " disagree ". Nevertheless, in fact, they got different responses with the candidate or " agree " group. This article tries to answer the question: Why did the " disagree " groups not treated equally in three single candidate local elections in 2015? Theoretical framework used in this research is the consequences of electoral laws and relation between democracy and election. This research uses the qualitative approach. Data was collected by using depth interview method in all three areas combined with secondary data from internet. The research result is that the cause of the " disagree " group did not treated equally in single candidate local election is the absence of regulation that can accommodate the problems arise related with single candidate election. As response to that, all three groups of " not agree " in three areas protested the local election bodies. The conclusion of this research is that the phenomenon of not giving space to the " disagree " groups in single candidate local election caused by the regulation that not place " disagree " group as the same and equal stakeholders with candidate in local election. Abstrak Pilkada calon tunggal tahun 2015 terjadi di tiga daerah, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Dalam praktiknya, tidak semua pihak setuju dengan Pilkada calon tunggal tahun 2015. Di tiap daerah yang Pilkadanya terdiri dari calon tunggal, terdapat kelompok " tidak setuju " yang awalnya tidak setuju dengan putusan MK tentang Pilkada calon tunggal lalu mereka menyuarakan kesetaraan hak dan pengakuan untuk pilihan " tidak setuju ". Akan tetapi, pada kenyataannya, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak setara dengan calon atau kelompok " setuju ". Artikel ini berusaha untuk menjawab pertanyaan: Mengapa kelompok " tidak setuju " diperlakukan tidak setara dalam Pilkada calon tunggal di tahun 2015? Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsekuensi dari aturan pemilu dan hubungan antara demokrasi dan pemilu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam di ketiga daerah disertai pengumpulan data-data sekunder dari sumber internet. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa penyebab tidak diakomodirnya kelompok " tidak setuju " di ketiga daerah yang melaksanakan Pilkada calon tunggal di tahun 2015 adalah ketiadaan aturan yang dapat mengakomodir persoalan-persoalan yang muncul terkait Pilkada calon tunggal. Sebagai reaksi dari hal itu, ketiga kelompok " tidak setuju " di ketiga daerah melakukan usaha perlawanan dan protes kepada penyelenggara Pilkada. Simpulan penelitian ini yaitu fenomena tidak diberi ruang yang sama untuk kelompok " tidak setuju " dalam Pilkada calon tunggal disebabkan oleh aturan yang tidak menempatkan kelompok " tidak setuju " sebagai pihak yang sama dan setara dengan calon kepala daerah.
Research Interests:
Research Interests:
This article elaborates the e-voting adoption in village leader elections held in Musi Rawas Regency, South Sumatera, during the period of 2013 to early 2015. This paper aims at answering the question of why the government of Musi Rawas... more
This article elaborates the e-voting adoption in village leader elections held in Musi Rawas Regency, South Sumatera, during the period of 2013 to early 2015. This paper aims at answering the question of why the government of Musi Rawas has adopted e-voting in the village leader elections. More specifically, this paper aims at identifying the motives underlying the policy to adopt e-voting in village leader elections in Musi Rawas. This article is based on the field research held between February and March, 2015. The research employs the qualitative approach. Data is collected through in-depth interview, observation, and news collected from mass media. Interviews were conducted with Regent of Musi Rawas and the other informants that know the problems. Besides that, the research also conducted observation in three villages which held village leader elections with e-voting: Wonokerto Village, Pelawe Village, and BTS Ulu Village. Observation is the mechanism to compare between the information from interview with the empirical practice of e-voting. This article finds out that the first motive of the adoption of e-voting in the village leader election is to reduce violations of procedure. The second motive is to make the elections more efficient in term of time
and money and to make the voters easier to vote. Nevertheless, the Government of Musi Rawas needs to pay attention to the technical aspect in order to make the village leader election is conducted in line with the ideal principle of election.
Research Interests:
Abstrak. Politik Indonesia pasca Orde Baru ditandai oleh banyak perubahan. Salah satunya adalah makin pentingnya peran calon di dalam pemilu. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan kunci: (1) Bagaimana keterlibatan... more
Abstrak. Politik Indonesia pasca Orde Baru ditandai oleh banyak perubahan. Salah satunya adalah makin pentingnya peran calon di dalam pemilu. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan kunci: (1) Bagaimana keterlibatan selebriti dalam Pemilu Legislatif Indonesia pasca Orde Baru? (2) Mengapa ada kecenderungan makin banyak selebriti yang terlibat dalam pemilu legislatif nasional di Indonesia? (3) Apa saja dampak dari keterlibatan selebriti dalam pemilu legislatif nasional Indonesia? Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama bulan April-Mei 2014. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode studi literatur berupa pengumpulan referensi dan data-data sekunder. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif yaitu dengan menggunakan langkah-langkah yaitu analisis reduksi dan analisis penyajian data. Penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama, terdapat perubahan model keterlibatan selebriti dalam Pemilu Legislatif pasca Orde Baru. Kedua, keterlibatan selebriti dalam pemilu disebabkan oleh perubahan dalam sistem pemilu, perubahan dalam perilaku memilih pemilih di Indonesia, dan makin pragmatisnya kebanyakan partai politik. Ketiga, dampak dari keterlibatan selebriti di pemilu Indonesia adalah kepercayaan publik terhadap kompetensi selebriti politisi. Abstract. The politics of post-New Order era is marked by many changes. One of the changes is the more importance of the role of candidate in the election. This research aims to answer three key questions: (1) How is the involvement of celebrities in Indonesia's Legislative Elections in post New Order era? (2) Why there are tendency that many celebrities involved in Indonesia's national elections? (2) What are the impacts of the involvement of celebrities in Indonesia's elections? This research uses qualitative approach. The research was held in April-May 2014. The technique of collecting data is literature study method by collecting reference and secondary data. While the method of data analysis used is qualitative analysis technique which uses the data reduction and data presentation analysis. This study shows that, first, there is change in the model of celebrities' involvement in Indonesia's Legislative Elections. Second, the involvement of the celebrities is caused by the change in the Indonesia legislative election system, the change in the Indonesia's voters voting behavior, and the more pragmatist of most of the political parties. Third, the impact of the involvement of celebrities in Indonesia's elections is on the confidence of the public to the celebrity politicians' competence.
Research Interests:
Research Interests:
Desentralisasi dan pemekaran daerah menjadi salah isu pokok yang mendapat perhatian khusus pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Berkaitan dengan hal it u, salah satu daerah di Papua (lebih tepatnya sekarang ini adalah Provinsi Papua Barat)... more
Desentralisasi dan pemekaran daerah menjadi salah isu pokok yang mendapat perhatian khusus pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Berkaitan dengan hal it u, salah satu daerah di Papua (lebih tepatnya sekarang ini adalah Provinsi Papua Barat) yang merupakan daerah hasil pemekaran daerah adalah Kabupaten Raja Ampat. Pembentukan Kabupaten Raja Ampat merupakan satu hal yang tak terhindarkan. Paling tidak, hal itu didasari oleh kondisi geografis Raja Ampat yang berbentuk kepulauan. Prinsip penataan daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien dengan mendekatkan pelayanan publik ke rakyat menemukan relevansinya di Kabupaten Raja Ampat. Selain itu, sejak disahkannya UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua,
Tanah Papua (untuk dapat menggambarkan pencakupan wilayah Papua Barat setelah resmi berdiri sebagai provinsi sendiri). Secara otomatis, Kabupaten Raja Ampat yang berada di wilayah Provinsi Papua Barat mengalami dampak dari pelaksanaan otonomi khusus. Penelitian ini ingin menjawab permasalahan: Bagaimana dampak pemekaran Kabupaten Raja Ampat dan penerapan otonomi khusus Papua terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat?
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Raja Ampat dengan menggunakan beberapa metode, seperti wawancara mendalam, observasi langsung, dan pengunaan data sekunder. Teknik penarikan sampel untuk informan adalah dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasca pemekaran daerah, dapat dikatakan bahwa Kabupaten Raja Ampat adalah daerah yang pembangunannya paling terdepan jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi Papua Barat yang juga termasuk dalam kategori daerah hasil pemekaran daerah. Selain itu, Pemerintah Daerah Raja Ampat juga mengeluarkan kebijakan khusus, yaitu pemberian dana sebesar Rp 150 juta per kampung per tahun untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan di kampung, yang terinspirasi dari kebijakan pemberian dana otonomi khusus di seluruh tanah Papua sebesar Rp 100 juta per distrik (kecamatan). Hanya saja, perlu dicatat bahwa proses pembangunan yang selama ini dilakukan di Kabupaten Raja Ampat yang cenderung melakukan pemekaran kampung, perlu ditinjau ulang. Pasalnya, jika kembali kepada prinsip dasar desentralisasi dan pemekaran daerah, yakni efisien dan efektif,
Kabupaten Sragen merupakan salah satu kabupaten yang menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Pertama, Kabupaten Sragen sampai tahun 2008 telah meraih sejumlah penghargaan... more
Kabupaten Sragen merupakan salah satu kabupaten yang menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Pertama, Kabupaten Sragen sampai tahun 2008 telah meraih sejumlah penghargaan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, Kabupaten Sragen termasuk salah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang telah berhasil mengembangkan jaringan e-government sampai ke tingkat desa. Paper ini merupakan studi pendahuluan mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Sragen dengan menggunakan e-government. Pembahasan paper ditekankan pada substansi, implementasi, dampak, dan faktor pendukung keberhasilan dari kebijakan e-government di Kabupaten Sragen.
Regional autonomy has been held more or less in ten years. Along that time, there are many policies has been made and implemented. For example, there are some areas that have been “success areas”. The other thing that tend to be negative... more
Regional autonomy has been held more or less in ten years. Along that time, there are many policies has been made and implemented. For example, there are some areas that have been “success areas”. The other thing that tend to be negative is the existence of many new autonom area and the absence of area integration. The next negative thing is that there are many conflicts happen in the implementation of Local Leader Election (Pemilukada). This paper try to evaluate the implementation of regional autonomy in Indonesia. More specific, this paper attempt to describe the successfulness and problems that happened in last ten years. On the last section, writer offer some ideas of solution in order to re-arrange the policy of local autonomy in the future.
Local elections in Indonesia have been held more or less in five years. Since they were held, there are many problems faced. First, it is the amount of local election expenditures. Second, the massiveness of conflict happened. To solve... more
Local elections in Indonesia have been held more or less in five years. Since they were held, there are many problems faced. First, it is the amount of local election expenditures. Second, the massiveness of conflict happened.
To solve the problems of the local election expenditures, what the local expenditures definition must be clarified. After it is clear, the solutions for them can be found. 
Same with the expenditures of the local elections, what the conflict were, must be defined first. After that, the alternative of solutions to solve the conflict problems, in order to minimize the number of conflicts, can be described.
One of concerns under the implementation of direct local election is the raising of conflict intensity. There are conflicts in the local election in Yogyakarta Municipality and Jepara Region. The conflicts are about: (1) Whether the... more
One of concerns under the implementation of direct local election is the raising of conflict intensity. There are conflicts in the local election in Yogyakarta Municipality and Jepara Region.  The conflicts are about: (1) Whether the local election held or not especially because there is situation that there is only a couple of candidate registered, and (2) if the local election held,  when will it be held.
This thesis tries to answers two questions: (1) How the conflict resolution in Yogyakarta Municipality and Jepara Region’s local election held?, (2) What is the form of conflict resolution used in Yogyakarta Municipality and Jepara Region’s local election? The result of this research is that method of conflict resolutions that used in Yogyakarta’s municipality’ local election are conciliation and arbitration. On the other side, the method of conflict resolutions that used in Jepara Region’s local election are conciliation, mediation, and arbitration.