Skip to main content
M Faiz Ubaidillah

    M Faiz Ubaidillah

    Al Azhar Egypt, Theology, Faculty Member
    Research Interests:
    Research Interests:
    Research Interests:
    Pendahuluan Berbicara tentang teologi dan agama berarti membicarakan tentang saudara kandung dari agama itu sendiri, yaitu politik. Bahkan di masa awal kemunculan Islam sebagai agama, Muhamad telah membuat suatu agenda politik untuk... more
    Pendahuluan Berbicara tentang teologi dan agama berarti membicarakan tentang saudara kandung dari agama itu sendiri, yaitu politik. Bahkan di masa awal kemunculan Islam sebagai agama, Muhamad telah membuat suatu agenda politik untuk memperluas kekuasaan Islam setelah terlebih dahulu menaklukan kerajaan Persia dan Romawi. Oleh karena itu, ijtihad Muhamad untuk memadukan idealitas agama dan realitas keduniaan yang tercakup dalam konsep teologinya menjadi suatu modal yang sangat besar bagi para pengikutnya. Selama beberapa abad sejarah telah mencatat, perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Islam sangat dipengaruhi oleh nuansa politik. Telah banyak studi-studi yang dilakukan baik oleh ilmuan muslim maupun non-muslim yang mengkaji lebih dalam mengenai persoalan ini yang kemudian menjelma menjadi suatu konsep baku dalam teologi Islam, yaitu persoalan imâmah atau Khilâfah. Para pemimpin Islam yang memegang peranan politis sekaligus mengemban amanat untuk memelihara tradisi keberagamaan memiliki peranan yang cukup besar dalam mengembangkan Islam dan menjadi tokoh kunci keberhasilan umat Islam. Namun di sisi lain, kekuasaan politik ini juga merupakan biang keladi bagi kehancuran Islam hingga saat ini. Umat Islam yang memang sejak semula tidak memiliki suatu wadah yang dapat menampung dan menyalurkan aspirasi umat Islam secara keseluruhan, ditertawakan oleh Barat dan menjadi terombang-ambing bagai buih di tengah lautan. Harapan akan terbentuknya suatu wadah politik yang dapat menyatukan umat Islam menjadi semakin mustahil terwujud. Kondisi sosio-geografis dimana umat Islam hidup yang tidak beraturan dan tersebar di berbagai penjuru Negara ini semakin tak dapat diwujudkan saat ini, dapat kita temukan adanya suatu semangat dan spirit untuk membangun suatu pemerintahan yang sarat dengan nilai-nilai universal Islam. Konsep teologi (kalam) yang sudah berhasil dimodifikasi oleh para ulama klasik hanya dapat dijumpai di perpustakaan-perpustakaan besar, namun semangatnya lapuk di makan usia. Untuk itu, mengubah mainset demi kemajuan umat ke depan dengan kembali menelaah kajian masa lalu merupakan suatu keniscayaan. Dengan konsep teologi yang sudah mendarah daging dalam pribadinya, Muhamad sebagai pembawa risalah Tuhan berhasil menciptakan suatu pemerintahan di Madinah. Tonggak pemerintahan nabi yang sejatinya menggabungkan nilai-nilai sakralitas agama dan Negara melahirkan suatu generasi peradaban yang cukup berhasil hanya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Namun ketika Muhamad menghadap keharibaan Sang Pencipta, risalah kenabian dan kerasulan serta merta terputus bersamaan dengan telah rampungnya misi wahyu. Bagi sebagian orang, wafatnya Muhamad merupakan suatu bencana besar. Bukan karena terputusnya wahyu yang telah secara sempurna disampaikan kepada umat Islam dan para sahabat yang hidup pada masa itu, akan tetapi lebih pada peristiwa yang sama sekali tidak terpikirkan oleh para sahabat kala itu justru terjadi. Dan dari sinilah teologi universal Islam yang menjadi terpolarisasi dan terpecah sehingga mengakibatkan munculnya aliran dan sekte-sekte Islam yang berbeda-beda. Munculnya Teori Imâmah Secara umum dapat kita jumpai dalam beberapa kitab klasik ber-genre sejarah kerajaan Islam, persoalan kepemimpinan terjadi lantaran adanya perbedaan pendapat mengenai siapa sosok pengganti nabi setelah beliau wafat. Persoalan ini menjadi semakin runcing, terutama tidak adanya wasiat langsung dari nabi mengenai siapa sahabat yang nanti akan memegang tampuk