PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.
1 Maret 2021
EFEKTIVITAS DAN PEMANFAATAN KINA DALAM PENANGANAN
PENYAKIT MALARIA TAHUN 1989-2000 DI PULAU JAWA-BALI
Anggie Restiani C. S1, Ratu Husmiati dan Nur’aeni Marta2.
Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur.
Email: anggierest@gmail.com
Abstract: This research isstudy about how quinine had become the main drug in the treatment of
malaria which then after several centuries of malaria parasite resistance to the substances
contained in quinine made the author interested in researching further about how the effectiveness
and utilization of quinine in the treatment of malaria in 1989 -2000 on the islands of Java and
Bali. The research method used in this study is a historical research method by going through the
stages of Heuristics, Verification, Interpretation and Historiography which are written in
descriptive narrative form. The population of this study is the number of malaria sufferers in
Indonesia. And the samples were malaria sufferers on the island of Java-Bali. The results of the
research that has been carried out are that the function of the content in quinine compounds to
date has remained the same, only because of the revolution in the metabolic system of the
plasmodium parasite that causes malaria, most of which have immunity to the compounds
contained in quinine or commonly called resistance, its effectiveness is not again considered as
good and resulted in a decrease in its utilization in the treatment of malaria, especially in Java
and Bali where the implementation of programs and malaria prevention were carried out
intensively.
Keywords: Quinine Effectiveness, Quinine Utilization, Malaria.
Abstrak: Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana kina sempat menjadi obat utama dalam
penanganan malaria yang kemudian setelah beberapa abad ditemukan adanya resistensi parasit
malaria terhadap zat yang terkandung dalam kina membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih
jauh mengenai bagaimana efektivitas dan pemanfaatan kina dalam penanganan malaria pada tahun
1989-2000 di pulau Jawa dan Bali. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian sejarah dengan melalui tahapan-tahapan yakni Heuristik, Verifikasi, Interpretasi
dan Historiografi yang penulisannya dalam bentuk deskriptif naratif. Populasi penelitian ini adalah
jumlah penderita malaria di Indonesia. Dan sampelnya ialah penderita malaria di pulau Jawa-Bali.
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan ialah fungsi dari kandungan dalam senyawa kina hingga
saat ini tetaplah sama, hanya karena adanya revolusi dari sistem metabolisme parasit plasmodium
penyebab penyakit malaria yang pada sebagian wilayah telah memiliki kekebalan terhadap
senyawa yang terkandung di dalam kina atau biasa disebut resistensi, membuat efektivitasnya
tidak lagi dianggap sebagus dahulu dan mengakibatkan pemanfaatannya dalam penanganan
penyakit malaria pula mengalami penurunan terutama di wilayah Jawa dan Bali dimana
pelaksanaan program pemberantasan dan pencegahan malaria dilakukan secara intensif.
Kata Kunci: Efektivitas Kina, Pemanfaatan Kina, Penyakit Malaria.
PENDAHULUAN
Malaria ialah penyakit parasitik yang dicirikan oleh adanya demam,
menggigil dan anemi. Menurut sejarah kata “malaria” berasal dari bahasa Italia
yang terdiri dari dua suku kata, “mal” dan “aria” yang berarti udara yang jelek
(Hippocrates, 460-370 SM). Dalam sejarah peradaban umat manusia, penyakit
30
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
malaria disebabkan oleh parasit plasmodium tersebut merupakan penyakit yang
cukup banyak mengakibatkan penderitaan dan kematian sampai saat ini.
Malaria disebabkan oleh parasit yang dipindahkan dari seorang penderita ke
orang lain melalui gigitan nyamuk Anopheles yang telah terinfeksi Plasmodium.
Ada empat jenis macam plasmodium yang paling sering dijumpai sebagai
penyebab malaria dan di teliti, yakni plasmodium falciparum, plasmodium vivax,
plasmodium malariae dan plasmodium ovale. Plasmodium falciparum dan
plasmodium vivax adalah yang paling sering menyebabkan kasus malaria di
Indonesia.
Malaria berpotensi menjadi wabah yang mematikan. Banyaknya terjadi
kasus kematian akibat malaria menyebabkan penyakit ini tidak bisa dianggap
sepele. Di wilayah kepulauan Indonesia sendiri, penyakit malaria tersebar di
seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda, dan dapat berjangkit di
daerah dengan ketinggian sampai 1800 dpl.
Obat anti malaria yang pertama kali ditemukan ialah kinin yang berasal dari
tanaman Kina. Kina sejak dahulu dikenal sebagai obat penyembuh demam
malaria, karena tanaman ini mengandung alkaloid kuinolin (quinoline) yang
dianggap beracun namun berfungsi untuk menekan pertumbuhan parasit
plasmodium penyebab malaria.
Kina (Cinchona spp.) merupakan tanaman obat berupa pohon yang berasal
dari Amerika Selatan di sepanjang pegunungan Andes yang meliputi wilayah
Venezuela, Colombia, Equador, Peru sampai Bolivia. Daerah tersebut meliputi
hutan-hutan pada ketinggian 900-3.000 mdpl. Tanaman kina diperkirakan
ditemukan pada abad ke 17.
Penggunaannya untuk mengobati malaria sangat terkenal di dunia, terutama
sejak abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20. Kina sempat menjadi obat
utama dalam penanganan malaria yang kemudian setelah beberapa abad
ditemukan adanya resistensi parasit malaria terhadap zat yang terkandung dalam
kina di beberapa wilayah di Indonesia.
METODE
31
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah.
Sesuai dengan kaidah metode penelitian sejarah, penulis mencoba melakukan
penelitian dengan melalui lima tahapan, antara lain: pemilihan topik, heuristik,
verifikasi, interpretasi, dan penulisan sejarah (Kuntowijoyo, 2013).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian sejarah dengan melalui tahapan-tahapan yakni Heuristik, Verifikasi,
Interpretasi dan Historiografi yang penulisannya dalam bentuk deskriptif naratif.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan ialah document records, yakni
menelaah catatan dokumen atau data-data yang sudah ada sebelumnya. Populasi
dalam penelitian ini adalah jumlah penderita malaria di Indonesia. Dan sampelnya
ialah penderita malaria di pulau Jawa-Bali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil deskripsi data dan pembahasan hasil penelitian
mengenai Efektivitas dan pemanfaatan kina dalam penanganan penyakit malaria
tahun 1989 sampai 2000 di Pulau Jawa-Bali didapatkan hasil bahwa adanya
kenaikan angka kasus malaria mulai pada tahun 1997 akibat semakin meluasnya
resistensi terhadap obat penanganan malaria yaitu kina dan klorokuin di beberapa
wilayah di Indonesia, salah satunya Jawa dan Bali.
Hal ini mengakibatnya penggantian terapi pengobatan malaria yang
sebelumnya mengandalkan penggunaan kina dan klorokuin dengan Artemisinin-
based Combine Therapy atau terapi berbasis kombinasi artemisinin sebagai
pengobatan lini utama dalam penanganan malaria yang terbukti saat itu lebih
efektif dalam mengatasi penyakit malaria. Program pengobatan malaria dengan
menggunakan metode pengobatan terapi berbasis kombinasi artemisinin pun
diterapkan pula di wilayah Jawa dan Bali.
Penggunaan kina dalam mengatasi malaria pun sudah dialihkan menjadi
pilihan pengobatan lini kedua akibat pengaruh obatnya dalam menangani efek
demam dan kesakitan yang dialami akibat malaria yang cenderung lebih lamban
dibandingkan dengan menggunakan terapi pengobatan berbasis artemisinin dan
juga beberapa obat-obatan anti malaria lainnya berdasarkan beberapa penelitian.
32
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
Hal ini juga yang membuat terapi pengobatan malaria dengan kina tidak lagi
menjadi andalan.
Sampai saat ini penggunaan kina dalam penanganan penyakit malaria
hanya diberikan pada beberapa kondisi tertentu, seperti pada kasus malaria
dengan komplikasi (berat) akibat plasmodium falciparum, kasus malaria berat
akibat plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin, dan juga kasus
malaria tanpa komplikasi akibat plasmodium falciparum pada ibu hamil.
Fungsi dari kandungan dalam senyawa kina hingga saat ini tetaplah sama,
hanya karena adanya revolusi dari sistem metabolisme parasit plasmodium
penyebab penyakit malaria yang pada sebagian wilayah telah memiliki kekebalan
terhadap senyawa yang terkandung di dalam kina, membuat efektivitasnya tidak
lagi dianggap sebagus dahulu dan mengakibatkan pemanfaatannya pula
mengalami penurunan.
Penyakit Malaria
Malaria merupakan penyakit parasitik yang dicirikan oleh adanya demam,
menggigil dan anemi. Penyakit ini ialah penyakit menular yang diakibatkan oleh
gigitan nyamuk Anopheles yang telah terinfeksi oleh parasit dari genus
Plasmodium yang termasuk dalam kelompok protozoa. Penyakit malaria termasuk
penyakit yang ikut bertanggung jawab terhadap tingginya mortality rate di banyak
negara. Diperkirakan sekitar 1,5 juta sampai 2,7 juta jiwa melayang setiap
tahunnya akibat menderita penyakit malaria. Komponen epidemiologi malaria
terdiri dari agent malaria atau penyebab malaria yaitu parasit Plasmodium spp.
Lalu host malaria atau perantara malaria, yang terdapat dua jenis yaitu manusia
sebagai host intermediate atau sementara karena tidak terdapat adanya
perkembangbiakan secara seksual dan nyamuk sebagai host definitive atau tetap
dikarenakan terjadinya perkembangbiakan secara seksual. Kemudian yang
terakhir yaitu lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia dan
nyamuk vektor malaria.
Penyebab penyakit malaria adalah parasit dari genus Plasmodium melalui
perantaraan tusukan nyamuk Anopheles spp yang kemudian hidup dan
33
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Umumnya terdapat empat
macam jenis parasit malaria yang paling banyak dikenal dan diteliti yakni:
1. Plasmodium falciparum yang mengakibatkan malaria falciparum atau
malaria tertiana yang maligna (ganas) atau dikenal dengan nama lain
sebagai malaria tropika yang menyebabkan demam setiap hari.
2. Plasmodium vivax ialah plasmodium yang mengakibatkan malaria vivax
atau disebut juga malaria tertian benigna (jinak).
3. Plasmodium malariae yang mengakibatkan malaria kuartana atau malaria
malariae.
4. Plasmodium ovale, plasmodium jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya
banyak di Afrika dan Pasifik Barat, mengakibatkan malaria ovale.
Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas beberapa serangan
demam dengan interval tertentu yang diselingi oleh suatu periode dimana
penderita bebas sama sekali dari demam. Gejala klinis malaria antara lain, sebagai
berikut:
1. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
2. Nafsu makan menurun.
3. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
4. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan
Plasmodium falciparum.
5. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
6. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan.
7. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang
menonjol adalah mencret (diare) dan pucat karena kekurangan darah
(anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari daerah
malaria.
Di Indonesia, umumnya jenis parasit plasmodium yang paling sering
ditemukan menjadi penyebab penyakit malaria ialah plasmodium falciparum dan
plasmodium vivax. Sedangkan plasmodium malariae hanya ditemukan di wilayah
Nusa Tenggara Timur dan plasmodium ovale ditemukan di wilayah Papua.
Malaria ditularkan ke penderita dengan masuknya parasit plasmodium melalui
34
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
gigitan nyamuk betina Anopheles yang spesiesnya dapat berbeda dari satu daerah
dengan daerah lainnya. Penularan malaria dapat juga terjadi dengan transmisi
parasit bentuk aseksual melalui transfusi darah, suntikan atau melalui plasenta
dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya (malaria kongenital).
Kondisi Malaria di Jawa-Bali 1989-2000
Di Indonesia sendiri terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38000 kasus
kematian setiap tahunnya. Diperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di
daerah yang berisiko tertular malaria, 167 kabupaten/ kota di Indonesia
merupakan wilayah endemis malaria. Situasi malaria dalam 10 tahun di Jawa -
Bali yang meningkat dari 0,21 % pada tahun 1989 menjadi 0,81 % pada tahun
2000, serta peningkatan API (Annual Parasite Incidence, angka kejadian penyakit
parasite tahunan yang dihitung per-1000 penduduk) yang terlihat dengan nyata
sejak tahun 1997-1998. Angka API tinggi didapatkan di beberapa propinsi seperti
Jawa Tengah (4,1‰) dan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta (14,3‰).
Gambar 1
API Malaria di Jawa-Bali 1989-2000
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Sumber: Laporan Subdit. Malaria, Ditjen. P2M&PLP th. 2000
Situasi malaria di Jawa-Bali dapat dijabarkan sebagai berikut : tahun 1963
- 1968 yaitu pada saat dilaksanakan KOPEM (Komando Pembasmian Malaria),
angka kejadian malaria / API hanya 0.1 — 0,16 kasus per 1000 penduduk. Pada
awal Pelita I (tahun 1969) API sebesar 1,27 turun menjadi 0,3 per 1000 penduduk
pada tahun 1988. Kemudian dengan bantuan JICA antara tahun 1989 - 1992 API
turun lagi dari 0,3 menjadi 0,12 per 1000 penduduk. Akan tetapi meningkat
kembali dari 0,08 pada tahun 1996 menjadi 0,3‰. Peningkatan terus berlangsung
sehingga pada tahun 2000 menjadi 0,81 per 1000 penduduk.
35
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
Kebijakan dalam Penanganan Wabah Malaria pada Tahun 1989-2000
Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian akibat malaria pada
tahun 1986 hingga 1995 dilakukan dengan kerjasama antara Pusat Penyakit
Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
RI, melalui program pemberantasan, pengobatan dan pencegahan malaria dengan
kegiatan yang meliputi:
1. Diagnosis dini
2. Pengobatan cepat dan tepat yang disesuaikan dengan ketersediaan obat
anti malaria, jenis dan beratnya malaria, keadaan resisten di daerah
tersebut dan fasilitas laboratorium untuk pemeriksaan darah. Obat-obatan
yang digunakan ialah seperti klorokuin, kina, primakuin, dan sufadoksin-
pirimetamin,
3. Pengamatan secara terus-menerus dan pengendalian vektor, yang
bertujuan untuk memutuskan mata rantai penularan malaria.
Namun mengingat masih cukup besarnya masalah malaria di Indonesia
pada saat itu, maka pada tahun 1997 dilakukan intensifikasi P2 (program
pemberantasan) Malaria.
Kemudian pada bulan Oktober 1998 WHO, World bank, UNDP dan
UNICEF juga mencanangkan suatu gerakan yang berskala dunia untuk
menanggulangi masalah malaria yang disebut dengan Roll Back Malaria (RBM)
dikarenakan kasus malaria dunia pun masih cukup tinggi dan mengkhawatirkan.
Untuk itu dicanangkanlah program Gerakan Berantas Kembali Malaria
(GEBRAK Malaria) pada April 2000 guna mewujudkan gerakan Roll Back
Malaria dari WHO tersebut.
Sejarah Kina
Kina (Cinchona spp.) merupakan tanaman khas yang hidup di wilayah
hutan hujan tropis. Kina dipercaya berasal dari lereng pegunungan Andes sekitar
Venezuela, Peru, Colombia, Ekuador sampai Bolivia di Amerika Selatan. Kina
sejak dahulu dikenal sebagai obat penyembuh demam malaria, karena tanaman ini
36
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
mengandung alkaloid kuinolin (quinoline) yang dianggap beracun namun
berfungsi untuk menekan pertumbuhan parasit plasmodium penyebab malaria.
Kina mengalami banyak pergolakan dalam penggunaannya dalam dunia medis.
Sebelum tahun 1800an, minimnya ketidaktahuan mengenai jenis penyakit demam
yang dapat diobati dengan kina dan proses pengolahannya yang benar
mengakibatkan perdebatan dalam penggunaannya dikalangan para dokter untuk
pengobatan penyakit demam.
Pemisahan kina murni dari kulit cinchona, pada tahun 1820, membuka
kemungkinan baru untuk produksi massal dan konsumsi dari obat populer yang
cocok untuk perawatan demam intermiten (malaria) dan penyakit lain sesuai
dengan dosisnya. Seperti abad ke-19 Kerajaan Eropa diperluas di Afrika dan Asia,
kontrol atas penyakit tropis seperti malaria dipandang sangat penting. Karena itu,
kina dianggap menjadi alat penting bagi pembangunan kekaisaran Inggris,
Prancis, Jerman dan Belanda. Begitu tingginya permintaan terhadap pohon Kina
dan terbatasnya pemasok kina di dunia ini menyebabkan kina hanya bisa dibeli
oleh orang-orang yang mampu membelinya karna harganya yang tinggi. Hal ini
memunculkan keinginan orang Eropa untuk bisa memutus lingkaran dominasi
Amerika Selatan terhadap komoditi ini.
Pemanfaatan kina sebagai obat malaria juga membuat pemerintah Belanda
yang saat itu menduduki wilayah Nusantara ingin membudidayakannya. Kina
mulai ditanam di wilayah Jawa Barat pada tahun 1854. Pada perkembangan
pembudidayaannya, kina yang ditanam di Jawa membuahkan hasil yang baik.
Kina Jawa bahkan sempat memenuhi lebih dari 90% kebutuhan kina dunia sejak
tahun 1890 hingga masa kejayaannya berakhir pada Perang Dunia ke-II saat
Indonesia dijajah Jepang yang membuat sejarah kina Indonesia saat itu mengalami
kemunduran.
Pemanfaatan Kina sebagai Obat Malaria
Obat anti malaria yang pertama kali ditemukan pada tahun 1820 adalah
kinin yang berasal dari tanaman Kina. Senyawa kinin disintesis secara alamiah
dalam kulit batang pohon Kina, pohon yang berasal dari dataran tinggi
Pegunungan Andes di Amerika Selatan. Kina menjadi sangat populer pada abad
37
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
ke-18 sehingga merangsang beberapa peneliti untuk mempelajari beberapa jenis
pohon kina. Pada tahun 1820, dua ahli kimia Perancis, Pierre Pelletier dan Joseph
Caventou, memisahkan senyawa alkaloid kina yakni kinin dan chinchonine dari
kulit batang kina. Satu tahun kemudian, ahli obat Perancis berhasil memurnikan
kinin dan menggunakannya untuk menangani pasien dengan gejala demam.
Hal tersebut memungkinan penggunaan kina secara lebih luas lagi. Kina
pun mulai digunakan secara umum oleh masyarakat dunia, terutama yang tengah
menderita penyakit malaria dan mengakibatkan permintaan dunia terhadap kina
meningkat seiring dengan perluasan kekuasaan Imperium Eropa terhadap
sebagian wilayah-wilayah Asia, Amerika Selatan, dan Afrika yang beriklim
tropis. Efektivitas kulit batang kina dalam mengatasi malaria itu membuat
sejumlah ahli pengobatan dan dokter di Eropa beramai-ramai menggunakannya,
walaupun pada awalnya mereka skeptis terhadap kemampuan kulit batang kina
tersebut.
Efektivitas dan Resistensi Kina dalam Penanganan Malaria
Seiring berjalannya waktu, kini kina tidak lagi dianggap sebagai obat yang
paling efektif dalam mengatasi kesakitan yang ditimbulkan akibat penyakit
malaria. Setelah Perang Dunia II, sebab adanya kelangkaan kembali pasokan kina,
akhirnya metode pengobatan dengan menggunakan kina pun mulai digantikan
oleh obat-obatan sintetis lain yang kandungan dan khasiatnya dibuat serupa
dengan kandungan dan khasiat kina dan tentunya lebih cepat proses
pembuatannya. Lalu ditemukannya resistensi parasit plasmodium terhadap kina di
beberapa wilayah tertentu menyebabkan penggunaan dalam pengobatan malaria
semakin terbatas saja. Beberapa hasil penelitian pun menunjukkan bahwa telah
terjadi resistensi pada plasmodium terhadap beberapa obat, yang diantaranya
terhadap kinin yang berasal dari tanaman kina yang sudah cukup lama telah
digunakan sebagai obat malaria di Indonesia.
Resistensi plasmodium falciparum penyebab malaria terhadap kina di
Indonesia pertama kali dilaporkan di Samarinda, Kalimantan Timur pada kurun
waktu 1997 dan 1998. Kemudian resistensi plasmodium falciparum dan
plasmodium vivax terhadap kina juga ditemukan di wilayah lain seperti Jawa
38
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Irian Jaya pada
tahun-tahun berikutnya. Sejak itu banyak laporan resistensi yang terjadi pada
plasmodium vivax di wilayah Papua Nugini, yang kemudian menyusul laporan
lainnya dari beberapa negara yang umumnya berasal dari Asia Tenggara.
Pada tahun 1997 dilakukan intensifikasi P2 (program pemberantasan)
Malaria. Dengan adanya program P2 tersebut, pemerintah melalui Departemen
Kesehatan RI telah menetapkan penggantian kina dan klorokuin dengan turunan
dari artemisinin. Kebijakan penggantian kina dan klorokuin menggunakan turunan
dari artemisinin itu disebut dengan Artemisinin-Based Combine therapy (ACT/
Terapi berbasis Kombinasi Artemisinin). Hal ini disebabkan karena turunan
artemisinin terbukti lebih efektif mengobati penyakit malaria dibandingkan
dengan kinin yang terkandung dalam tanaman kina.
Program pengobatan malaria dengan menggunakan metode pengobatan
terapi berbasis artemisinin pun diterapkan pula di wilayah Jawa dan Bali. Di
daerah-daerah Jawa-Bali di mana pemberantasan dan pengobatan malaria telah
dilaksanakan secara intensif (termasuk dengan pemberantasan vektor), angka
kejadian penyakit malaria pun masih cukup tinggi. Penggunaan kina dalam
mengatasi malaria pun sudah dialihkan menjadi pilihan pengobatan lini kedua
akibat pengaruh obatnya dalam menangani efek demam dan kesakitan yang
dialami akibat malaria yang cenderung lebih lamban dibandingkan dengan
menggunakan terapi pengobatan berbasis artemisinin dan juga beberapa obat-
obatan anti malaria lainnya berdasarkan beberapa penelitian. Hal ini juga yang
membuat terapi pengobatan malaria dengan kina tidak lagi menjadi andalan.
Penggunaan kina dalam mengatasi malaria yang sudah dilakukan puluhan
tahun dalam jangka panjang diperkirakan membuat parasit plasmodium yang
menjadi penyebab malaria dianggap sudah cukup mengenal karakteristik dalam
kandungan senyawa kina dan menjadi kebal sehingga terbentuklah mekanisme
resistensi sebagian jenis plasmodium terhadap obat olahan kina. Parasit
plasmodium telah menjadi resisten terhadap obat-obatan antimalaria dengan
mengembangkan mekanisme untuk melakukan metabolisme obat.
KESIMPULAN
39
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
Fungsi dari kandungan dalam senyawa kina hingga saat ini tetaplah sama,
hanya karena adanya revolusi dari sistem metabolisme parasit plasmodium
penyebab penyakit malaria yang pada sebagian wilayah telah memiliki kekebalan
terhadap senyawa yang terkandung di dalam kina, membuat efektivitasnya tidak
lagi dianggap sebagus dahulu dan mengakibatkan pemanfaatannya pula
mengalami penurunan.
Hingga saat ini penggunaan obat olahan kina guna menangani malaria
hanya diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Yakni pada pengobatan lini
kedua beberapa kasus, seperti kasus malaria dengan komplikasi (berat) akibat
plasmodium falciparum, kasus malaria berat akibat plasmodium falciparum yang
resisten terhadap klorokuin, dan kasus malaria tanpa komplikasi akibat
plasmodium falciparum pada ibu hamil.
DAFTAR PUSTAKA
Andi, A. A. (2012). Malaria di Indonesia, Tinjauan Aspek Epidemiologis.
Masagena Press.
Goss, A. (2014). Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai
Orde Baru. Komunitas Bambu.
───────────. (2014). Building the World's Supply of Quinine: Dutch
Colonialism and the Origins of a Global Pharmaceutical Industry.
Endevour, Vol 38 No 1.
Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. UI Press.
Hakim, L. (2011). Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator Journal of
Vector-Borne Diseases, 3(2), 53932.
Harijanto, P. N. (2010). Malaria: Dari Molekuler ke Klinis. Edisi 2. EGC.
Kardinan, I. A. (2006). Tanaman Artemisia Penakluk Penyakit Malaria. Balittro
Departemen Pertanian.
40
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No.1 Maret 2021
Kementerian Kesehatan RI. (2008). Info Datin malaria. Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI.
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Tiara Wacana.
Marwoto, H. A. (2003). Peningkatan kasus malaria di Pulau Jawa, Kepulauan
Seribu dan Lampung. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
13(3).
Roersch, A. &. (2014). Science in the service of colonial agro-industrialism: The
case of cinchona cultivation in the Dutch and British East Indies, 1852-
1900. SHPSC, Vol 47.
Rosenthal, P. J. (2001). Antimalarial Chemotherapy, Mechanism of Action,
Resistance, and New Directions in Drug Discovery, Humana Press-
Springer, 15-21.
Suparman, E., & Suryawan, A. (2004). Malaria pada Kehamilan. Maranatha
Journal of Medicine and Health, 4(1), 148312.
Yogyakarta, D. P. (n.d.). Tanaman Kina.
Zein U. (2005). Penanganan Terkini Malaria Falciparum. Divisi Penyakit Tropik
Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU.
41