Skip to main content
Sejauh ini belum ada kajian yang melihat sisi cerita ikonografis mangkuk Sang Ganapati ini yang ada di Indonesia. Apalagi mengkaji jejak kudapan prasadam pooja yang biasa dilakukan oleh para pengikutNya sebagaimana masih bisa dilihat di... more
Sejauh ini belum ada kajian yang melihat sisi cerita ikonografis mangkuk Sang Ganapati ini yang ada di Indonesia. Apalagi mengkaji jejak kudapan prasadam pooja yang biasa dilakukan oleh para pengikutNya sebagaimana masih bisa dilihat di India saat ini. Meskipun demikian, kajian saya ini bukanlah dari sisi sejarawan ahli sejarah ikonografi, bukan pula seorang arkeolog, hanya pengamat dan penikmat makanan yang kebetulan melihat secuil kudapan yang menarik dari tradisi pesta-pesta di Nusantara yang menghadirkan sesaji kudapan manis dan gurihnya.  Jadi ini adalah catatan awal dari serakan data kudapan tradisional Nusantara yang ternyata ada beberapa macam kudapan yang serupa dengan prasadam (persembahan) untuk puja para Dewa Hindu termasuk untuk Dewa Sri Ganapati. Kudapan itu utamanya adalah kue apem contong daun dan kue cucur, masih ada pula kudapan manis dan gurih lainnya yang sama. Apakah jajanan ini  kemungkinan adalah bagian dari praktik prasadam dikala puja bakti pada Dewa Ganesha di masa lampau? Untuk menjawab ini maka kita hanya bisa merefleksikan seperti apakah tradisi kudapan untuk persembahan puja Ganesha ini di India. Selanjutnya mencari tahu jejak cerita kudapan ini di Indonesia, namun belum membahas sajian kudapan seperti apakah untuk puja pada Ganesha di Indonesia.

Katakunci: Serabi, Appam, Apem, Gandos, Bandros, Ganesa-puja, Jawa-India
----
So far, there has been no study examining the iconographic aspects of the bowl of Lord Ganapati found in Indonesia, especially in investigating the traces of prasadam pooja offerings commonly practiced by His followers as still seen in India today. However, my study is not from the perspective of a historian specializing in iconographic history, nor an archaeologist, but merely an observer and enthusiast of food who happened to notice a glimpse of interesting snacks from the traditional feasts in the archipelago, which present offerings of sweet and savory snacks. This is therefore an initial note on the scattered data of traditional archipelagic snacks, which apparently include several types of snacks similar to prasadam (offerings) for the worship of Hindu deities, including Lord Sri Ganapati. These snacks mainly consist of cone-shaped apem cakes wrapped in leaves and cucur cakes, along with other sweet and savory snacks. Could these snacks possibly be part of the prasadam practice during devotion to Lord Ganesha in the past? To answer this, we can only reflect on what the tradition of snacks for offerings to Lord Ganesha in India might be like. Next, we will investigate the traces of this snack story in Indonesia, but have not yet discussed what kind of snack offerings are used for Ganesha worship in Indonesia.

Keywords: Serabi, Appam, Apem, Gandos, Bandros, Ganesha worship, Javanese-Indian
History of rendang and another popular dishes of Minangkabau in Sumatera Barat Province, Indonesia, noting Portuguese influences. It is a response to Paper of Rahman, F. Tracing the origins of rendang and its development. J. Ethn. Food... more
History of rendang and another popular dishes of Minangkabau in Sumatera Barat Province, Indonesia, noting Portuguese influences. It is a response to Paper  of Rahman, F. Tracing the origins of rendang and its development. J. Ethn. Food 7, 28 (2020). https://doi.org/10.1186/s42779-020-00065-1
Tahukah bedanya Pecel dan Pecak? Samakah Pecel Ayam dan Pecel Lele? Apa hubungan Rujak Cingur dan Pecel Sayur? Kenapa pecel mudah 'selingkuh' dengan kuliner lain? Buku ini akan membawa kita menelusuri etimologi kata pecel dari para tukang... more
Tahukah bedanya Pecel dan Pecak? Samakah Pecel Ayam dan Pecel Lele? Apa hubungan Rujak Cingur dan Pecel Sayur? Kenapa pecel mudah 'selingkuh' dengan kuliner lain? Buku ini akan membawa kita menelusuri etimologi kata pecel dari para tukang pecel masa lampau dalam prasasti dan Kakawin Jawa Kuno, lalu bersama Cebolang menelusuri pecel desa, kampung, dan kota Serat Centhini yang ditulis pada abad 19. Demi menikmati sepincuk pecel beralaskan daun pisang atau jati dari Mbok Pecel keliling dengan bakul rinjing di punggungnya di Stasiun Cornelis Batavia, 1919 hingga disajikan dengan piring plastik di abad 21. Sembari membincang kacang tanah yang menjadi bumbu inti pecel sayuran yang menyehatkan ini

Buku ini sangat cocok bagi mereka yang gemar makan pecel dan gado-gado, sebagai pelengkap pada kecintaan mereka atas kedua hidangan tersebut. Cocok pula bagi masyarakat umum yang ingin tahu kisah unik dan menarik di balik dua hidanga yang sangat populer ini."

Robby Sunata
Penggiat Sejarah, Penggagas Komunitas Sahabat Cagar Budaya Palembang

Kita memiliki pusparagam cita rasa Nusantara, namun miskin akan narasi-narasinya. Setiap santapan sejatinya memiliki narasi yang memperkaya sanubari kita. Berkat pencarian-pencarian seperti kisah dalam buku ini, cita rasa pun bisa mengajarkan kita untuk menginsafi tentang makna dari perjalanan dan perjumpaan damai pada masa silam. Saya pikir, makna inilah yang melahirkan siapa sejatinya orang Indonesia.

Mahandis Yoanata Thamrin
Managing Editor National Geographic Indonesia dan Editor in Chief Intisari

Buku tentang pecel, pecak dan rujak ini sangat menarik, penulis telah mengajak pembaca menelusuri sejarah panjang hidangan yang banyak dinikmati oleh masyarakat mulai dari yang tingkat atas sampai bawah ini. Sejarah menunjukkan adanya akulturasi bahan olahan yang tidak hanya diambil dari Nusantara, tapi juga diperoleh dari negara di luar seperti 'Katjang Tjina'. Pengajar sekolah culinary, Petrini mengatakan, "Food history is as important as a baroque church. Governments should recognize cultural heritage and protect traditional foods." Buku ini telah melaksanakan harapan itu.

Prof. Esther H. Kuntjara, Ph.D.
Founder of the Center for Chinese Indonesian Studies Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Indonesian contemporary Buddhist literature is a reflection individual dhamma experiences in the context of their respective cultural and social settings as a minority in Indonesia. In this case, Buddhist literature reflects the... more
Indonesian contemporary Buddhist literature is a reflection individual dhamma experiences in the context of their respective cultural and social settings as a minority in Indonesia. In this case, Buddhist literature reflects the appreciation of their dhamma in dealing with life problems, both in managing conflict or in efforts to build peace in accordance with their context at the individual and social level. Even though it is imaginative, conflict in literary works not only provides entertainment effects, but also education because of the essence of literature as a work of art that is dulce et utile. This article describes the process of developing conflict, how conflicts occur, what factors influence or hinder conflict, what character needs to be developed to minimize the occurrence of conflict, and how to manage conflict within Indonesian Buddhist individual figures or society who live up to the teachings of the Buddha and local knowledge. The literary works that are the source of the data in this study are ten short stories from antology namely Sihir (Magic, 2015) by Bhante Don Atthapiyo, Menunggu Papa: Kisah Gadis Kecil yang Akhirnya Berdamai dengan Dirinya (The Story of a Little Girl Who Finally Peaceed with Herself, 2015) by Yanah Sucintani, a collection of short stories Asal Usul Pohon Salak (the Origin of the Salak Tree, 2011), and Ketika Metta Memilih (When Metta Chose, 2014) by Hendry Filcozwei Jan. With a qualitative content analysis study approach, it focuses on analyzing formal structures from a narrative perspective. By reconstructing and describing the structure of the narrative based on actions, choices, difficulties, conflicts, complications, resolutions, and developments experienced by the characters, this study shows that Buddhadhamma plays a role in dealing with conflicts. It encourages people to overcome suffering (dukkha) through self-reflection, looking inward. However, conflict transformation requires not only a “search inside”, it needs continuous efforts to train empathy (karuna), non-violence (ahimsa), and creative-wisdom (prajna). Thus, Buddhist literature as a medium of learning, planting Buddhist values can be more effective because it is more concrete, practical, grounded, active, and pleasant. The internalization of Buddhadhamma through this literary work is strategic in its role in developing the character of love of peace and empathy which is a condition for the creation of sustainable internal and external peace to achieve a state of self-harmony
Associated with equality of access to education, religious-affiliated universities, especially the Buddhist universities (PTAB), has a major role in preserving the community's desire to obtain a higher education through direct... more
Associated with equality of access to education, religious-affiliated universities, especially the Buddhist universities (PTAB), has a major role in preserving the community's desire to obtain a higher education through direct participation in the community. Through community participation and the Sangha, Kertarajasa present in its efforts to improve the training of Buddhism ethics, moral, and spiritual in Indonesia, especially in East Java. However, not only material aid that is needed, but rather an increase in student motivation was also essential in developing the quality of education. This paper will discuss the aspects of what's included in the community participation in education and how the participation process was run as the perspective of the alumni and stakeholders from the Kertarajasa Buddhist College (Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa - STABK).

Keywords: community participation, higher education, Buddha, East Java
Research Interests:
Tradisi Jawa suroan adalah tradisi yang juga dilaksanakan pada bulan Suro oleh masyarakat Buddha-Buddo Djawi Wisnu (Theravada) dan Islam Jawa Dusun Kutorejo, Desa Kalipait, Banyuwangi. Pelaksanaan tradisi suroan, yang mulanya berakar dari... more
Tradisi Jawa suroan adalah tradisi yang juga dilaksanakan pada bulan Suro oleh masyarakat Buddha-Buddo Djawi Wisnu (Theravada) dan Islam Jawa Dusun Kutorejo, Desa Kalipait, Banyuwangi. Pelaksanaan tradisi suroan, yang mulanya berakar dari nilai tradisi Islam Kejawen (Solikhin, 2010), di masyarakat Buddo Djawi Wisnu memiliki makna sebagai sarana dan praktik untuk meminta maaf kepada “Ibu Bumi” atas kesalahan yang telah dilakukan selama setahun. Namun, seiring dengan masuknya Buddha Theravada ke dusun ini menumbuhkan pemaknaan baru di masyarakat yang telah pindah ke agama ini menjadi bentuk ritual bakti kepada leluhur dengan mempersembahkan sesajian (pattidāna). Munculnya pemaknaan baru ini menyiratkan adanya perebutan ruang nilai pada tradisi suroan, seiring dengan masuknya ide-ide baru ke masyarakat. Dengan mengkomparasikan makna tradisi suroan bagi masyarakat Buddha-Buddo Djawi Wisnu dan Islam Jawa Dusun Kutorejo penelitian ini menemukan adanya perbedaan dan persamaan dalam memaknai tradisi suroan: perbedaan tradisi suroan antara masyarakat Buddha-Buddo Djawi Wisnu dengan Islam Jawa Dusun Kutorejo terletak pada makna sura dan pelaksanaan tradisi suroan. Sementara itu, persamaannya dapat dilihat pada makna tradisi suroan yang bergeser menjadi tradisi bersama memperingati pergantian tahun. Perubahan makna dan pelaksanaan tradisi suroan seiring kebaruan perspektif ideologi religiusitas yang masuk di masyarakat Dusun Kutorejo yang plural menandai adanya dinamika ruang toleransi yang diperebutkan, bergeser, dan berubah. Hingga sampai tulisan ini dibuat tradisi suroan masih menjadi sacred canopy hidup bersama namun perlahan tengah mengalami segregasi makna dan praktiknya. 
Kata Kunci: Suroan, Buddo Djawi Wisnu, Islam Jawa, Theravada
Research Interests:
buku ini mengulas tentang ritual Buka Luwur Makam Sunan Kudus dari nasi jangkrik yang fenomenal hingga perkembangan inovasi budaya religius masyarakat sekitar makam sunan kudus yang nantinya menjadi acara-acara lainnya yang mendukung... more
buku ini mengulas tentang ritual Buka Luwur Makam Sunan Kudus dari nasi jangkrik yang fenomenal hingga perkembangan inovasi budaya religius masyarakat sekitar makam sunan kudus yang nantinya menjadi acara-acara lainnya yang mendukung ritual  buka luwur secara keseluruhan. artikel pembuka dan penutup yang bercerita tentang relasi tradisi ini dengan trans-islamisme yang hadir di masa lampau menjadi informasi yang menarik dari buku ini.
Research Interests:
Abstrak Obsesi Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) yang ingin menduniakan rasa soto dilegitimasi dengan serangkaian penelitian akademik dan tur seminar untuk mensosialisasikan wacana itu. Sepertinya simpulan dari penelitian akademisi... more
Abstrak Obsesi Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) yang ingin menduniakan rasa soto dilegitimasi dengan serangkaian penelitian akademik dan tur seminar untuk mensosialisasikan wacana itu. Sepertinya simpulan dari penelitian akademisi di seminar Bekraf-UGM 4/09/2017 masih belum serius menerapkan langkah metodologi historiografi yang ketat. Misalnya, temuan tim Prof Murdjiati sepertinya tidak memperhitungkan kapan asal-muasal soto di suatu daerah muncul dan dari pengaruh soto mana dan bumbunya apa? Sehingga temuan 75 macam soto dengan 46 macam bumbu perlu ditelaah ulang. Menghitung banyaknya soto dan resepnya dari googling atau resep yang ada di buku jelas secara metodologis akan menuju simpulan yang menyesatkan karena dalam kaedah studi makanan (food studies) kejelian analisis resep mana yang otentik dari penjaja soto yang legendaris dari muasal soto itu berada [yang seringkali adalah rahasia] akan menjadi rambu-rambu. Apalagi buku-buku resep yang ada dipublikasi biasanya merupakan kreasi dari sang gastronomer/penulis. Sementara pernyataan Fadly Rahman tentang arti asal kata cina soto dari jeroan menyisakan pertanyaan kenapa yang banyak adalah soto berbahan unggas. Makalah ini, selain memaparkan kebaruan historiografi soto, juga membahas kesulitan dan tantangan metodologis dalam menelaah kosmopolitanisme keindonesiaan dari semangkuk soto. Langkah metodologis itu saya lakukan dalam dua langkah yakni: pada bahasan pertama mengenai perspektif teoretis yang saya bangun dan akan diaplikasikan di bahasan kedua.