0 ratings0% found this document useful (0 votes) 317 views24 pagesHarun Nasution - Mu'tazilah
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, 
claim it here.
Available Formats
Download as PDF or read online on Scribd
OpaPerpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Nasution, Harunb, 1919-
Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa/dan/perbandingan/Harun Nasution,—
Cet. 5.— Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
xvi, 156 hlm.; 22 em,
ISBN 979-8034-79-1.
1. Teologi Islam. I. Judul 297.2
Teologi Islam
© Hak terjemahan bahasa Indonesia pada
Cetakan 2016
Penulis: Prof. Dr. Harun Nasution
Dicetak oleh: Penerbit Universitas Indonesia (UL-Press)
Penerbit: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Ji, Salemba 4, Jakarta 10430, Telp. 319-35373; Fax. 319-30172
Website: hitp://uipress.ui.ac.id. email: penerbit.uipress@gmail.comBAB V
KAUM MU’TAZILAH
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-
persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah,
Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka
mendapat nama “kaum rasionalis Islam.”
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama
Muttazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku
“Im al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn
*Ata’ serta temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah.
Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-
Basri di Mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya
mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagai-
mana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang
kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri
masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan
mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di
antara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian ia berdiri
dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di
mesjid; di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa
ini Hasan al-Basri mengatakan: ”Wasil menjauhkan diri dari kita
(@tazala’ anna).” Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata
al-Syahrastani, disebut kaum Mu’ tazilah.”)
Menurut al-Baghdadi, Wasil dan temannya “Amr Ibn ’Ubaid Ibn
Bab diusir oleh Hasan al- Basri dari majlisnya karena adanya
pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang
berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan
mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mv’ tazilah karena
mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang soal orang
yang berdosa besar. Menurut mereka orang serupa ini tidak mukmin
  
 
  
1) Lihat al-Milal, /48.
40Kaum Mu'tazilah 41
dan pula tidak kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang
pemberian nama Mu’ tazilah kepada golongan ini.)
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut
bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Mesjid
Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr ibn "Ubaid yang disangkanya
adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu
bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat
itu, sambil berkata: "Ini kaum Mu’ tazilah.” Semenjak itu, kata Tasy
Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’ tazilah.»
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak
mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian
paham antara Wasil dan ’Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri
dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (al-
manzilah bain al-manzilatain).? Menurut versi ini mereka disebut
kaum Mu'tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar
jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Di samping keterangan-keterangan klasik ini, ada teori baru yang
dimajukan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah terdapat
sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum
timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Kalau itu
dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak
mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di
zaman “Usman Ibn ’Affan dan ‘Ali Ibn Abi Talib. Mereka men-
jauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai. Golongan
yang menjauhkan diri ini memang dijumpai di dalam buku-buku
sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut bahwa sewaktu Qais Ibn
Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari ’Ali Ibn Abi Talib,
ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan
satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila
Kharbita).” Dalam suratnya kepada khalifah, Qais menamai mereka
 
2) Lihat al-Farg, 20 dan 21,
3) Dikutip dari Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Im al-Kalam, Kairo, 1969 him. 75.
4) Dikutip dari Ibid, 76.
5) Lihat Fajr al-Islam, him. 290 dst.
6) Tarikh, IV, 442.42 Teologi Islam
"mu tazilin”.” Kalau al-Tabari menyebut nama "Mu'tazilin”, Abu
al-Fida, memakai kata “al-Mu’tazilah” sendiri.®
Jadi kata-kata “i’tazala” dan “mu ’tazilah” telah dipakai kira-kira
seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam
erti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik
yang ada di zaman mereka.”
Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai
corak politik. Dan dalam pendapat Ahmad Amin, Mu'tazilah kedua,
yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga mempunyai corak
politik, karena mereka, sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah,
juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan ‘Usman, ’Ali,
Mu’awiah dan sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa
Mu’ tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalannya teologi dan
falsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.
C.A. Nallino, seorang Orientalist Itali mempunyai pendapat yang
hampir sama dengan Ahmad Amin, Berdasarkan pada versi Mas'udi
tersebut sebelumnya, ia berpendapat bahwa nama Mu'tazilah sebe-
namya tidak mengandung arti "memisahkan diri dari umat Islam
lainnya,” sebagai yang terkandung dalam versi yang diberikan al-
Syahrastani, al-Bahdadi dan Tasy Kubra Zadah. Tetapi sebaliknya,
nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka, menurut versi
Mas’udi, merupakan golongan yang berdiri netral di antara Khawarij,
yang memandang Usman, *Ali, Mu’awiah dan orang berdosa besar
lainnya kafir, dan Murji'ah, yang memandang mereka tetap mukmin.
Oleh karena itu, Nallino berpendapat bahwa golongan Mu‘tazilah
kedua mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu'tazilah
pertama."” Lebih lanjut ia mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah
kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama.!
Tetapi teori ini dibantah oleh “Ali Sami al-Nasysyar dengan
mengemukakan argumen bahwa ada di antara Khalifah-khalifah Bani
Umayyah yang menganut paham Mu’tazilah. Bani Umayyah
termasuk dalam salah satu golongan yang bertentangan dengan kaum
 
 
 
 
 
 
  
 
 
 
7) Ibid., 1V, 554.
8) Lihat Fajr al-Islam, 290,
9) Cf golongan Murji’ah, supra, hlm. 20
10) Lihat "Abd al-Rahman Badawi, al-Turas al-Yunani Fi al-Hadarah al-tslamiah
(selanjutnya disebut al-Turas), Kairo, 1965, him. 185.
11) Wbid,,.191Kaum Mu'tazilah 43
Khawarij dan yang dipandang oleh kaum Mu’ tazilah sebagai
berdosa besar dan akan kekal dalam neraka. Dengan demikian,
bagaimana Khalifah dari Bani Umayyah, tanya al-Nasysyar, dapat
menjadi pengikut bagi golongan yang memandang dirinya berdosa
besar dan akan kekal dalam neraka?!
Al-Nasysyar selanjutnya berpendapat bahwa nama Mu"tazilah
betul timbul dalam lapangan pertentangan-pertentangan politik
Islam terutama antara ‘Ali dan Mu’awiyah tetapi nama itu tidak
dipakai untuk satu golongan tertentu. Argumentasi yang dimajukan
al-Nasysyar ialah bahwa kata-kata i’tazala dan al-Mu’tazilah
terkadang dipakai untuk orang yang menjauhkan diri dari pepe-
rangan-peperangan, orang yang menjauhkan diri dari °Ali dan se-
bagainya. Orang yang demikian pada hakikatnya menjauhkan diri
dari masyarakat umum dan memusatkan pemikiran pada ilmu
pengetahuan dan ibadat. Di antara orang-orang yang serupa ini ter-
dapat dua orang dari cucu-cucu Nabi yaitu Abu Hasyim, "Abdullah
dan al-Hasan Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah. Dan Wasil mem-
punyai hubungan erat dengan Abu Hasyim, Jadi menurut al-Nasysyar,
golongan Mu’tazilah kedua timbul dari orang-orang yang meng-
asingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadat, dan bukan dari
golongan Mv'tazilah yang dikatakan merupakan aliran politik.'?
Untuk mengetabui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan se-
benarnya memang sulit. Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi
belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa nama
Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan libe-
ral dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-
Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah
itu telah pula terdapat Kata tazala, al-Mu’tazilah. Tetapi apa
hubungan yang terdapat antara Mu’tazilah pertama dan Mu’ tazilah
fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan kepastian.
Selanjutnya siapa sebenamya yang memberikan nama Mu'tazilah
kepada Wasil dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang
mengatakan golongan lawanlah yang memberikan nama itu kepada
mereka. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu’ta-
  
 
 
 
 
 
  
 
12) Al-Nasysyar, Nasyah al-Firkr al-Falsafi Fi al-Islam (selanjutnya disebut
Nasy'ah), Kairo, 1966 jilid 1, him. 427.
13) Ibid., 429 dan 430,44 Teologi Isam
zilah itu sendiri, akan kita jumpai di sana keterangan-keterangan
yang dapat memberi kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang mem-
berikan nama itu kepada golongan mereka; atau sekurang-kurangnya
mereka setuju dengan nama itu. Al Qadi ‘Abd al-Jabbar, umpamanya
mengatakan bahwa kata-kata i’tazala yang terdapat dalam al-Qur’an
mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar dan dengan
demikian kata Mu'tazilah mengandung arti pujian." Selanjutnya ia
menerangkan adanya hadis Nabi yang mengatakan bahwa umat akan
terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik
dari seluruhnya ialah golongan Mu'tazilah.'? Bahkan menurut Ibn al-
Murtada kaum Mu'tazilah sendirilah, dan bukan orang lain yang
memberikan nama itu kepada golongan mereka.”
Dengan demikian mereka tidak memandang nama Mu'tazilah
itu sebagai nama ejekan. Selain dengan nama Mu'tazilah golongan
ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Mereka sendiri selalu
menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-AdI dalam arti golongan
yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahl al-Tauhid wa
al-'Adl, golongan yang mempertahankan Keesaan murni dan Ke-
adilan Tuhan. Lawan mereka memakai nama-nama seperti al-Qa-
dariah, karena mereka, menganut paham free will dan free act; al-
Mu'attilah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mem-
punyai sifat dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan;
dan Wa'idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman
Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patwh, pasti dan tak boleh
tidak akan menimpa diri mereka.
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang yang
pertama membina aliran Mu'tazilah adalah Wasil Ibn Ata’, Sebagai
dikatakan al-Mas'udi, ia adalah, Syaikh al-Mu'tazilah wa gadil-
muha, yaitu kepala dan Mu'tazilah yang tertua. Ia lahir tahun
81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar
pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah, kemu-
dian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri.
Ajaran pertama yang dibawa Wasil tentulah paham al-manzilah
bain al-manzilatain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi
 
14) Dikutip dari Nasy'ah, him, 430/31
15) Ibid,
16) Lihat Fi ‘itm al-Kalam, 75/6.
17) Lihat Phi.Kaum Mu'tazilah 45
menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir,
sebagai disebut kaum Khawarij, dan bukan pula mukmin sebagai
dikatakan Murji‘ah, tetapi fasig yang menduduki posisi di antara
posisi mukmin dan posisi kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Wasil,
merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan
kepada fasig, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tak pula
dapat diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar, ia masih
mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.
Orang serupa ini, kalau meninggal dunia tanpa tobat, akan kekal
dalam neraka; hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari
siksaan yang diterima kafir. Demikianlah pendapat dan argumen yang
dimajukan Wasil sebagai diterangkan oleh al-Syahrastani."®)
Ajarannya yang kedua adalah paham gadariah yang dianjurkan
oleh Ma’bad dan Ghailan. Tuhan, kata Wasil bersifat bijaksana dan
adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim. Tidak mungkin
Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang ber-
tentangan dengan perintah-Nya. Dengan demikian manusia sendirilah
sebenamya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya,
iman dan kufur-nya, kepatuhan dan tidak kepatuhannya pada Tuhan.
Atas perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan. Dan
untuk terwujudnya perbuatan-perbuatan itu Tuhan memberikan daya
dan kekuatan kepadanya. Tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah
pada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai
daya dan kekuatan untuk berbuat." Wasil kelihatannya memperoleh
paham ini dari Ghailan melalui Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Mu-
hammad al-Hanafiah. Bahkan menurut al-Nasysyar ada kemungkinan
bahwa Wasil pernah berjumpa dengan Ghailan sendiri.2?
Ajaran Wasil yang ketiga mengambil bentuk peniadaan sifat-
sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan
sebenamya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar
zat.) Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan. Ajaran ini,
18) Lihat al-Milal, 1/48,
19) hid, 47.
20) Nasy’ah, 435
21) Zat di sini dipakai bukan dalam arti yang dikenal di dalam bahasa Indonesia
yaitu benda materi, tetapi dalam arti aslinya yang dipakai di dalam bahasa
Arab, yaitu esensi.46 Teologi Islam
 
sebagai dikatakan al-Syahrastani,? belum matang dalam pemikiran
Wasil, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikutnya,
setelah mereka mempelajari filsafat Yunani.
Paham peniadaan sifat ini kelihatannya berasal dari Jahm, karena
Jahm, menurut al-Syahrastani,”» berpendapat bahwa sifat-sifat yang
ada pada manusia tak dapat diberikan kepada Tuhan, Karena itu akan
membawa kepada anthropomorphism yang disebut dalam istilah Arab
al-tajassum atau al-tasybih. Tetapi, berlainan dengan kaum Mu’-
tazilah, Jahm masih memberi sifat berkuasa, berbuat dan mencipta
pada Tuhan. Sebagai seorang yang menganut paham jabariah atau
fatalisme, Jahm melihat bahwa hanya Tuhan yang berkuasa, berbuat
dan mencipta. Manusia tak mempunyai daya apa-apa.
Di atas telah disebut bahwa kaum Mu’tazilah juga memper-
bincangkan soal-soal yang ada hubungannya dengan politik. Wasil
berpendapat bahwa di antara kedua golongan yang bertentangan
umpamanya ’Ali dan pengikut-pengikutnya di satu pihak dan
Mu’awiyah serta pengikut-pengikutnya di lain pihak, mesti ada yang
salah. Tetapi pihak mana yang betul-betul salah dan menjadi fasiq,
ia tak tahu. Dengan kata lain, kesucian masing-masing pihak telah
diragukannya. Dengan demikian ia tak dapat menerima mereka men-
jadi saksi. Jika sekiranya salah satu dari pihak *Ali dan salah satu
dari pihak Mu’awiyah datang untuk menjadi saksi, keduanya akan
ia tolak; karena ia yakin bahwa salah satu dari mereka fasiq. Tetapi
kalau kebetulan kedua orang yang datang untuk menjadi saksi itu
berasal dari satu pihak saja, mereka ia terima.?
Demikianlah ajaran-ajaran yang ditinggalkan Wasil. Dua dari
ajaran-ajaran tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-
sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Usul al-
Khamsah atau pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya ialah al-'adl;
keadilan Tuhan, al-wa'd wa al wa’id, janji baik dan ancaman dan
al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, memerintah orang
untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalan-
kan, kalau perlu dengan kekerasan.
   
 
22) AL-Milal, 1/46.
23) AL-Milal, I, 86.
24) Lihat a-Farg, 120Kaum Mu'tazilah 47
Menurut al-Malatti’ Wasil mempunyai dua murid penting yang
masing-masing bernama Bisyr Ibn Sa’id dan Abu ‘Usman al-Za’ fa-
rani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, Abu al-Huzail
Al Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil.
Bisyr sendiri kemudian menjadi pemimpin Mu’tazilah cabang
Baghdad.
Abu al-Huzail tetap di Basrah dan menjadi pemimpin kedua
dari Cabang Basrah setelah Wasil. Ia lahir di tahun 135 H dan wafat
di tahun 235 H dan banyak berhubungan dengan filsafat Yunani.
Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk
menyusun dasar-dasar Mu'tazilah secara teratur. Pengetahuannya
tentang logika membuat ia menjadi pendebat mahir dalam melawan
golongan Majusi, Manicheist, atheist dan sebagainya.
Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan nafy al-Sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurat paham
Wasil, kepada Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai
wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat
Tuhan bersifat gadim maka apa yang melekat pada zat itu bersifat
gadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat gadim.
Ini menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan.*
Karena yang boleh bersifat gadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain,
kalau ada sesuatu yang bersifat gadim, maka itu mestilah Tuhan. Oleh
karena itu, untuk memelihara murninya tauhid atau Kemahaesaan
Tuhan, Tuhan tak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti di
atas.
Tetapi Tuhan menyebut diri-Nya dalam al-Qur’an mempunyai
sifat-sifat. Bagaimana menyesuaikan isi wahyu dengan logika di atas?
Abu al-Huzail mencoba membawa penyelesaian. Tuhan menurut Abu
al-Huzail, betul mengetahui tetapi bukan dengan sifat, malahan
mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah
zat-Nya. Teks yang dipakai Abu al-Huzail menurut al-Syahrastani
adalah:
 
 
 
Gece. Se Sees ace
mic SE - a *
a3 ANss cle Me SG ehh oh
25) Lihat Nasy’ah, 437.
26) Lihat al-Milal, 1/46,
27) Lihat ibid., 49. Teks y
 
iiberikan al-Asy'ari, lihat Magatat 1/225.48 Teologi Islam
Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya. Tuhan Maha-
kuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zat-Nya. Tuhan
Mahabijaksana, dengan kebijaksanaan dan kebijaksanaan-Nya adalah
zat-Nya.
Dengan jalan ini Abu al-Huzail mencoba mengatasi persoalan
adanya Tuhan lebih dari satu kalau dikatakan Tuhan mempunyai
sifat yang berwujud sendiri di luar zat Tuhan. Dengan membuat
sifat Tuhan adalah zat Tuhan, persoalan adanya yang gadim selain
dari Tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang dimaksud
kaum Mu"tazilah dengan nafy al-sifat.
Selanjutnya Abu al-Huzail berpendapat bahwa manusia dengan
mempergunakan akalnya, dapat dan wajib mengetahui Tuhan. Oleh
karena itu, kalau manusia lalai dalam mengetahui Tuhan, ia wajib
diberi ganjaran. Manusia juga mengetahui yang baik dan yang buruk;
oleh Karena itu ia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik,
seperti bersikap adil dan berkata benar, dan wajib menjauhi perbuat-
an-perbuatan buruk, seperti berdusta dan bersikap zalim2®’ Dalam hal
ini Abu al-Huzail kelihatannya dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang
mengagungkan kekuatan akal, sehingga manusia dengan perantaraan
akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan dan dapat membedakan
perbuatan-perbuatan baik dari perbuatan-perbuatan buruk tanpa
adanya dan turunnya wahyu dari Tuhan.
Tuhan menciptakan manusia bukan karena Ia berhajat pada
» mereka, tetapi Karena hikmat lain. Dan Tuhan tidak menghendaki
kecuali hal-hal yang bermanfaat bagi manusia.) Dari sini timbullah
satu ajaran lain yang penting dalam aliran Mu’tazilah yaitu paham
al-salah wa al-aslah, dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik
bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Tuhan sebenarnya
dapat bertindak zalim dan berdusta terhadap manusia, tetapi mustahil
Tuhan berbuat demikian. Perbuatan demikian mengandung arti tidak
baik, dan Tuhan sebagai zat yang Mahasempurna tidak bisa berbuat
yang tidak baik. Perbuatan-Nya semuanya wajib bersifat baik.
Demikianlah beberapa dari ajaran-ajaran yang dibawa Abu al-
Huzail yang ada hubungannya dengan pembahasan ini.
 
28) Lihat al-Milal, 1/52.
29) Magalat, cetakan kedua, Kairo 1969, 11/249.Kaum Mw'tazilah 49
Salah seorang dari murid Abu al-Huzail, yang kemudian menjadi
pemuka Mu’tazilah, bernama Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani al-
Nazzam. Ja lahir di Basrah tahun 185 H dan meninggal dalam usia
muda di tahun 221 H. Literatur mengenai al-Nazzam memberikan
gambaran tentang dirinya sebagai orang yang mempunyai kecerdasan
yang lebih tinggi besar dari gurunya Abu al-Huzail. [a juga banyak
mempunyai hubungan dengan filsafat Yunani.
Dalam membahas soal keadilan Tuhan, Abu al-Huzail ber-
pendapat bahwa Tuhan berkuasa untuk bersikap zalim, tetapi mustahil
Tuhan bersikap zalim, karena itu membawa kepada kurang sempur-
nanya sifat Tuhan. Al-Nazzam, berlainan dengan gurunya, berpen-
dapat bahwa bukan hanya mustahil bagi Tuhan bersikap zalim,
bahkan Tuhan tidak berkuasa untuk bertindak zalim. ”Tuhan tidak
dapat dikatakan mempunyai qudrah untuk berbuat yang salah dan
jahat; perbuatan demikian tidak termasuk dalam kekuasaan Tuhan.”
Alasan yang dimajukan al-Nazzam ialah bahwa kezaliman hanya
dilakukan oleh orang yang mempunyai cacat dan berhajat atau oleh
orang yang tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Tidak mempunyai
pengetahuan dan berhajat adalah sifat bagi yang tidak kekal, dan
Tuhan Mahasuci dari sifat-sifat yang demikian.*” Oleh karena itu al-
Nazzam berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dan tidak sanggup
berbuat yang tidak baik; dan seterusnya wajib bagi Tuhan untuk
berbuat hanya yang baik bagi manusia, yaitu apa yang disebut dalam
istilah Mu’tazilah al-salah wa al-aslah, sehingga ia berpendapat
bahwa Tuhan tak berkuasa untuk mengeluarkan orang yang telah
menjadi ahli surga dari surga dan memasukkan orang yang bukan
ahli neraka ke dalam neraka; dan pula Tuhan tak berkuasa untuk
mengurangi kesenangan ahli surga, atau menambah siksaan ahli
neraka.*
Mengenai mu’jizat ia berpendapat bahwa al-Qur’an dalam gaya
dan bahasa tidak merupakan mu’jizat; al-Qur’an merupakan mu’ jizat
hanya dalam isi. Jika sekiranya Tuhan tidak mengatakan bahwa tidak
ada manusia yang akan sanggup membuat karangan seperti al-Qur’an,
mungkin akan ada manusia, kata al-Nazzam, yang akan dapat mem-
 
30) Al-Milal, 54.
31) Lihat Nasy'ah, 555.
32) Lihat al-Farg, 133.50 Teologi Islam
buat karangan yang lebih bagus dari al-Qur’an dalam gaya dan
susunan bahasa.*) Dengan demikian kebenaran Nabi Muhammad
dibuktikan oleh isi al-Qur’an mengenai kabar serta cerita umat yang
lampau dan mengenai kabar-kabar tentang yang gaib dan yang tak
dapat dilihat dan bukan oleh susunan dan bahasa al-Qur’an.
Seperti Abu al-Huzail, ia juga berpendapat bahwa Tuhan tanpa
adanya wahyu, dapat diketahui manusia dengan perantaraan kekuatan
akal. Demikian pula halnya dengan perbuatan buruk dan perbuatan
baik.”
Sebagai dikatakan, kaum Mutazilah berpendapat bahwa al-
Qur’an yang dalam istilah teologi disebut Kalam Allah, bukan gadim
atau kekal, tetapi hadis dalam arti baru dan diciptakan Tuhan. Al-
Nazzam memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan
kalam atau sabda Tuhan. Kalam adalah suara yang tersusun dari
huruf-huruf dan dapat didengar.*» Suara bersifat baru, bukan bersifat
kekal dan adalah ciptaan Tuhan. Inilah yang dimaksud kaum
Mu’tazilah dengan al-Qur’an diciptakan dan bukan kekal.
Seorang pemimpin Mu’ tazilah lain ialah Mu‘ammar Ibn ’Abbad
yang hidup semasa dengan Abu al-Huzail dan al-Nazzam. Menurut
pendapatnya, yang diciptakan Tuhan hanyalah benda-benda materi;
adapun al-a’rad atau accidents adalah kreasi benda-benda materi itu
sendiri, dalam bentuk natur seperti pembakaran oleh api dan
pemanasan oleh matahari atau dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti
antara gerak dan diam, berkumpul dan berpisah yang dilakukan oleh
binatang.*® Ini menggambarkan paham naturalisme atau kepercayaan
pada hukum alam yang memang terdapat dalam kalangan Mu‘tazilah.
Kepercayaan pada hukum alam ini juga terdapat dalam tulisan-
tulisan "Amr Ibn Bahr Abu ‘Usman al-Jahiz (w. 256 H) satu pemuka
lain dari Mu’tazilah. Sesuai dengan paham kaum naturalis ia ber-
pendapat bahwa tiap-tiap benda materi mempunyai naturnya masing-
masing. Dengan demikian perbuatan-perbuatan jasmani manusia
menurut pendapatnya timbul sesuai dengan kehendak natur, sehingga
manusia sebenarnya tidak bebas kecuali dalam menentukan kemauan
33) Lihat al-Milal, /57 dan al-Farg, 143.
34) Lihat al-Milal, 58.
35) Lihat magalat, 1/245.
36) Lihat al-Milal, 166.Kaum Mu'tazilah 51
dan kehendaknya.*? Suatu paham yang terdapat dalam ajaran deter-
minisme.
Di antara pemimpin-pemimpin yang sama kemasyhurannya
dengan Wasil, Abu al-Huzail dan al-Nazzam ialah Abu ’Ali Muham-
mad Ibn *Abd al-Wahhab al-Jubba’i (w. 295 H) dan anaknya Abu
Hasyim ’Abd al-Salam (w. 321 H). Mereka juga berpendapat bahwa
yang disebut Kalam atau sabda Tuhan tersusun dari huruf dan suara.
Tuhan disebut Mutakallim dalam arti menciptakan kalam. Mutakallim
tidak mengandung arti sesuatu yang berbicara.*” Juga mereka ber-
pendapat bahwa Tuhan tak akan dapat dilihat manusia dengan mata-
kepalanya di akhirat.”’ Daya untuk berbuat sesuatu telah ada di dalam
diri manusia sebelum perbuatan dilakukan; dan daya itu merupakan
sesuatu di fuar tubuh yang baik lagi sehat.“? Mengetahui Tuhan serta
bersyukur kepada-Nya dan mengetahui perbuatan baik dan perbuatan
buruk adalah wajib bagi manusia dalam arti kewajiban-kewajiban
yang dipaksakan akal (wajibat ‘agliah). Oleh sebab itu mereka
mengakui adanya apa yang disebut ajaran-ajaran akal (syari'ah
‘agliah). Ajaran-ajaran yang dibawa Nabi-nabi (syari’ah Nabawiah)
perlu untuk mengenal besarnya balasan- dan hukuman terhadap
perbuatan-perbuatan manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui
bahwa orang yang patuh pada Tuhan akan mendapat upah dan bahwa
orang yang melawan Tuhan akan memperoleh hukuman. Tetapi
berapa besarnya upah atau hukuman itu diketahui manusia hanya
melalui wahyu.*?
Mengenai peniadaan sifat Tuhan, al-Jubba’i berpendapat bahwa
Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan
hidup melalui esensi-Nya; dalam teks Arabnya disebut:
ANS iG SATE
Dengan demikian Tuhan, untuk mengetahui, tidak perlu pada sifat
37) Lihat Ibid., 75.
38) Lihat Jbid., 81/2.
39) Lihat Ibid, 82.
40) Lihat Jbid.,
41) Lihat Ibid,52 Teologi Islam
mengetahui dan pula tidak pada keadaan mengetahui. Adapun bagi
anaknya Abu Hasyim, Tuhan mengetahui melalui keadaan me-
ngetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hal (stare).
Sekianlah mengenai pemimpin-pemimpin penting dari Mu’ta-
zilah cabang Basrah. Mu’tazilah cabang Bagdad, seperti telah dike-
mukakan tadi di atas dibentuk oleh Mu’ammar Ibn ’Abbad, yang
pendapatnya telah kita singgung pula.
Salah seorang pemuka Mu'tazilah Bagdad adalah Abu Musa
al-Murdar (w. 226 H). Menurut al-Syahrastani ia dengan kuat mem-
pertahankan pendapat bahwa al-Qur’an tidak bersifat gadim, tetapi
diciptakan Tuhan; dan memandang orang yang mengatakan al-Qur’an
gadim menjadi kafir, karena dengan demikian orang serupa itu telah
membuat yang bersifat gadim menjadi dua.” Dengan kata lain, orang
yang demikian, menurut al-Murdar telah menduakan Tuhan. Selanjut-
nya ia juga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan-
lah diciptakan Tuhan tetapi diwujudkan oleh manusia sendiri. Ia juga
an bahwa Tuhan tak dapat dilihat manusia dengan mata
kepalanya.*?
Hisyam Ibn ’Amr al-Fuwati, seorang pemimpin lain dari cabang
Bagdad, mengatakan bahwa surga dan neraka belum mempunyai
wujud sekarang karena masa memasuki surga atau neraka belum
tiba. Dengan demikian adanya surga dan neraka sekarang tak ada
faedahnya.*
Pemimpin-pemimpin lain ialah Abu al-Husain al-Khayyat
(w. 300 H) dan Sumamah Ibn Asyras (w. 213 H). Yang tersebut
terakhir ini berpendapat bahwa daya berbuat bagi manusia terdapat
dalam tubuh manusia sendiri, yaitu tubuh yang baik dan sehat lagi
tidak mempunyai cacat.*” Dengan demikian daya itu tidak merupakan
sesuatu di luar tubuh manusia. Ia juga berpendapat bahwa manusia
melalui akalnya, berkewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui
perbuatan baik serta perbuatan buruk, sebelum wahyu turun.*)
 
42) Lihat Ibid.
43) Lihat Ibid.
44) Ibid., 69.
45) Lihat Ibid.
46) Lihat Ibid., 73,
47) Lihat Ibid., 71
48) Lihat, Ibid.Kaum Mu'tazilah 53
Al-Khayyat, dalam membahas soal sifat, mengatakan bahwa
kehendak bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan pula
Tuhan berkehendak bukan melalui zat-Nya. Jika dikatakan Tuhan
berkehendak, itu berarti bahwa Ia mengetahui, berkuasa dan tidak
dipaksa melakukan perbuatan-perbuatan-Nya. Dan kalau disebut
Tuhan menghendaki perbuatan-perbuatan-Nya, itu berarti bahwa Ta
menciptakan perbuatan-perbuatan itu sesuai dengan pengetahuan-Nya.
Dan jika selanjutnya disebut bahwa Tuhan menghendaki perbuatan-
perbuatan hamba-Nya, maka yang dimaksud ialah Tuhan meme-
rintahkan supaya perbuatan-perbuatan itu dilakukan. Dan arti Tuhan
mendengar adalah Tuhan mengetahui apa yang dapat didengar;
demikian pula Tuhan melihat berarti Tuhan mengetahui apa yang
dapat dilihat. Inilah interprestasi al-Khayyat tentang peniadaan sifat-
sifat Tuhan.
Demikianlah uraian mengenai beberapa pemimpin-pemimpin
Mu’tazilah serta pendapat-pendapat mereka mengenai persoalan-
persoalan teologi. Seolah-olah dapat dirasakan, pemikiran-pemikiran
yang mereka utarakan, banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Di atas telah disinggung sedikit tentang al-Usul al-Khamsah atau
lima ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum Mu‘ tazilah. Menurut
al-Khayyat,” orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut
Mu’tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima
dasar itu. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar
tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah. Al-Usul
al-Khamsah, sebagai dijelaskan oleh pemuka-pemuka Mu'tazilah
sendiri, diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar,
sebagai berikut:
al-Tawhid, al-'Adl, al-Wa'd wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Man-
zilatain dan al-'Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.
Dengan demikian ajaran-ajaran dasar yang terpenting bagi
mereka ialah al-Tawhid atau Kemahaesaan Tuhan. Tuhan dalam
paham mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan meru-
pakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh
49) Lihat /bid., 78.
50) Kitab al-Intisar (selanjutnya disebut al-Intisar), Beirut, 1957, him. 93.54 Teologi Islam
karena itu mereka menolak paham anthropomorphisme. Anthro-
pomorphisme sebagai diketahui menggambarkan Tuhan dekat menye-
rupai makhluk-Nya. Selanjutnya mereka juga menolak beatific vi-
sion, yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata-
kepalanya. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul, tidak mungkin
ada pada makhluk-Nya ialah sifat gadim®" dalam arti tidak mem-
punyai permulaan. Dan oleh karena itu tidak ada yang lain selain
dari Allah yang bisa bersifat gadim. Hanya zat Tuhan yang boleh
gadim. Paham ini, sebagai dilihat sebelumnya,” mendorong kaum
Mv’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan; yaitu sifat-sifat yang
mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa
Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan bagi
mereka tetap Mahatahu, Mahakuasa, Mahahidup, Maha mendengar,
Maha melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan
oleh zat Tuhan. Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi
Tuhan. Selanjutnya kaum Mu’ tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke
dalam dua golongan :
1. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah
dan
2. Sifat-sifat_ yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang
disebut sifat fi’liah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat_yang mengandung arti
hubungan antara Tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak (al-
iradah), sabda (kalam) keadilan (al-'adl), dan sebagainya. Yang
disebut sifat esensi umpamanya, wujud (al-wujud), kekekalan di masa
lampau (al-gidam), hidup (al-hayah), kekuasaan (al-qudrah).
Dengan demikian yang dimaksud kaum Mu’tazilah dengan
peniadaan sifat-sifat Tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang
disebut golongan lain sifat, sebagai esensi Tuhan, dan sebagian lain
sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan. Paham ini timbul karena ke-
inginan mereka untuk menjaga murninya Kemahaesaan Tuhan, yang
disebut tanzih dalam istilah Arab.
51) Lihat ‘Abd al-Jabbar Ahmad, Syarh al-Usul al-Khamsah (selanjutnya disebut
al-Usul), Kairo, 1965, him. 196. Dan karena sifat ini yang betul-betul ada
hanya pada Tuhan dan tidak pada selain Tuhan, maka ’ Abd al-Jabbar senantiasa
memakai kata al-Qadim, dan bukan kata-kata lain sebagai designatie Tuhan
52) Supra, him. 41 dan 43.Kaum Mu'tazilah 55
Ajaran dasar kedua, al-’adl ada hubungannya dengan al-tawhid
Kalau dengan al-tawhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri
Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-'adl mereka
ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan
makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil; Tuhan tidak bisa
berbuat zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan kata
lain, kalau al-tawhid membahas keunikan diri Tuhan, al-’adl mem-
bahas keunikan perbuatan Tuhan.
Kalau disebut Tuhan adil, maka itu, kata ‘Abd al-Jabbar, berarti
bahwa semua perbuatan Tuhan bersifat baik; Tuhan tidak berbuat
buruk, dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakan-Nya.”
Dengan demikian Tuhan tidak berdusta, tidak bersikap zalim, tidak
menyiksa anak-anak orang-orang polytheist lantaran dosa orang tua
mereka, tidak menurunkan mu’jizat bagi pendusta dan tidak memberi
beban yang tak dapat dipikul manusia. Selanjutnya itu berarti bahwa
Tuhan memberi daya kepada manusia untuk dapat memikul beban-
beban yang diletakkan Tuhan atas dirinya, menerangkan hakikat
beban-beban itu, dan memberi upah atau hukuman atas perbuatan-
perbuatan manusia. Dan kalau Tuhan memberi siksaan, maka siksaan
itu adalah untuk kepentingan dan maslahat manusia; karena kalau
siksaan diturunkan bukan untuk kepentingan dan maslahat manusia,
Tuhan dengan demikian akan melalaikan salah satu kewajiban-Nya.*?
Tuhan, dalam paham kaum Mu’tazilah, tidak berbuat buruk,
bahkan menurut salah satu golongan, tidak bisa (Ja yagdir) berbuat
buruk (gu/m) karena perbuatan yang demikian timbul hanya dari
orang yang bersifat tidak sempurna.*?) Dan Tuhan bersifat Mahasem-
purna.
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Ekspresi yang demikian,
menurut kaum Mu’tazilah belum cukup untuk mengekspresikan Ke-
mahabaikan Tuhan. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa wajib
bagi Tuhan untuk mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik
untuk manusia.*? Satu ajaran lain yang dekat hubungannya dengan
paham al-salah dan al-astah ini ialah paham uf atau rahmat Tuhan.
  
53) Al-Usul, 132.
54) Ibid., 153.
55) Ibid., 313.
56) Supra, 44.56 © Teologi Islam
Tuhan wajib menurunkan Iizf bagi manusia.5”) Yang dimaksud
dengan Iuif ialah semua hal yang akan membawa manusia kepada
ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat. Dengan
demikian Tuhan berkewajiban umpamanya mengirim Rasul atau Nabi
untuk membawa petunjuk bagi manusia.*’ Pengiriman Rasul erat
hubungannya dengan al-Qur’an, dan oleh karena itu soal keadilan
Tuhan memperbincangkan apakah al-Qur’an, sebagai kalam dan
sabda Tuhan bersifat kekal atau bersifat baru. Seperti diketahui per-
soalan ini membawa pertentangan sengit dalam sejarah teologi Islam
antara kaum Mu’tazilah dengan lawan-lawan mereka.
Selanjutnya soal keadilan Tuhan menimbulkan persoalan tentang
perbuatan manusia. Apakah perbuatan manusia diwujudkan Tuhan
atau diwujudkan manusia itu sendiri? Sudah jelas bahwa paham
pertama yang disebut fatalisme atau jabariah tidak sesuai dengan
paham keadilan Tuhan. Menurut paham ini manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan. Segala perbuatannya
telah ditentukan dari semenjak azal. Dengan kata lain kalau seorang
melakukan perbuatan buruk, itu ia lakukan bukan atas kemauannya
sendiri tetapi ia lakukan karena terpaksa. Tidaklah dapat Tuhan
disebut adil, sekiranya Ia menghukum orang yang berbuat buruk
bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas paksaan dari luar dirinya.
Oleh karena itu kaum Mu’tazilah mengambil paham gadariah. Paham
inilah yang sesuai dengan paham keadilan Tuhan.
Ajaran dasar ketiga, janji dan ancaman, al-wa'd wa al-wa’id,
merupakan lanjutan dari ajaran dasar kedua di atas. Tuhan tidak
akan dapat disebut adil, jika Ia tidak memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat
buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi
hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana di-
janjikan Tuhan,
Ajaran dasar keempat, al-manzilah bain al-manzilatain, posisi
menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan
keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih
percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi bukanlah muk-
min, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin,
 
 
 
 
57) Al-Usul, 518 dst.
58) Ibid. 563 dst.Kaum Mu'tazilah = 57
ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia se-
benarnya tak mesti masuk neraka. la seharusnya ditempatkan di luar
surga dan di luar neraka. Inilah sebenarnya keadilan. Tetapi karena
di akhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pem-
buat dosa besar, harus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini.
Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan paham Mu’ tazilah
tentang iman. Iman bagi mereka, digambarkan, bukan hanya oleh
Kuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan.
Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena
itu tak dapat masuk surga. Tempat satu-satunya ialah neraka. Tetapi
tidak adil kalau ia dalam neraka mendapat siksaan yang sama berat
dengan kafir. Oleh karena itu pembuat dosa besar, betul masuk
neraka, tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan. Inilah menurut
Mu‘tazilah, posisi menengah antara mukmin dan kafir, dan itulah
pula keadilan.
Ajaran dasar kelima, perintah berbuat baik dan larangan berbuat
jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja,
tetapi juga oleh golongan umat Islam lainnya. Perbedaan yang
terdapat antara golongan-golongan itu adalah tentang pelaksanaannya.
Apakah perintah dan larangan cukup dijalankan dengan penjelasan
dan seruan saja, ataukah perlu diwujudkan dengan paksaan dan
kekerasan? Kaum Khawarij, seperti dilihat, memandang bahwa untuk
itu perlu dipakai kekerasan. Kaum Mutazilah berpendapat kalau
dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan.
Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan
dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.
Demikianlah uraian sekadarnya tentang pemuka-pemuka kaum
Mu" tazilah, pendapat-pendapat mereka dan ajaran-ajaran dasar Mu’ta-
zilah
Kaum Mu’tazilah, sebagai disebut dalam Bab I, telah tak mem-
punyai wujud, kecuali dalam sejarah. Aliran Mu'tazilah masih
dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari Islam dan dengan
demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di
Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu ‘tazilah
dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebe-
naran yang diperoleh dengan perantaraan rasio. Sebagai diketahui
kaum Mu’tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga
memakai ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi untuk memperta-58. Teologi Islam
hankan pendirian mereka.
Kaum Muttazilah tak disukai Karena sikap mereka memakai
kekerasan dan menyiarkan ajaran-ajaran mereka di permulaan abad
ke-9 Masehi. Kesalahpahaman terhadap aliran Mu’tazilah timbul,
karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi di dalam
perguruan-perguruan Islam, kecuali mulai dari permulaan abad ke-
20 ini; dan itupun hanya di perguruan-perguruan tertentu seperti al-
Azhar di Kairo. Yang banyak dibaca selama ini hanyalah buku-buku
teologi yang dikarang oleh pengikut-pengikut al-Asy’ari dan al-
Maturidi; dan sebagai Iawan dari Mu‘ tazilah, tulisan-tulisan mereka
tentang ajaran-ajaran Mu’tazilah tidak selamanya bersifat objektif.
Bahkan di antara pengarang-pengarang itu ada yang tak segan-segan
mencap kaum Mu’tazilah sebagai golongan kafir. Al-Baghdadi,
umpamanya, menyebut mereka golongan tersesat (firag al-dalal),
dan selalu memakai kata bid’ah, fadihah (perbuatan yang mema-
lukan) dan dalalah (kesesatan) dalam menggambarkan ajaran-ajaran
Mu'tazilah.® Kata takfir (memandang kafir) juga selalu dipakai.°?
Tetapi atas pengaruh Jamaluddin Afgani dan Syekh Muhammad
"Abduh, sebagai dua pemimpin modernisme yang utama dalam
Islam, keadaan di atas telah mulai berubah. Telah ada pengarang-
pengarang, bahkan alim ulama yang mulai membela kaum Mu’-
tazilah. Al-Nasysyar, Guru Besar Falsafat Islam di Universitas
Alexandria umpamanya, menulis tentang al-Nazzam:
Kebanyakan pemikir Ahli Sunnah menyerang al-Nazzam, dan
menganggapnya sebagai seorang atheis besar. Ia mereka gambarkan
sebagai orang yang tenggelam dalam maksiat. Kita tidak bisa cepat-
cepat percaya pada tuduhan-tuduhan serupa ini. Kaum Mu'tazilah
terkenal sebagai orang-orang zahid, bertakwa, dan banyak beribadat.”
Ia sendiri berpendapat bahwa al-Nazzam adalah orang lurus serta
benar (sadiq) yang banyak usahanya dalam membela Islam.“
59) Lihat al-Farg, 114.
60) Lihat umpamanya Ibid., 122 dst.
61) Lihat umpamanya /bid. 142, dan 143
62) Nasy'ah, 1/582.
63) dbid., S83.Kaum Mu'tazilah 59
Ahmad Mahmud Subhi, Dosen Falsafat Islam di Universitas
Alexandria, menerangkan bahwa paham yang mengatakan al-i'tizal
sama artinya dengan perpecahan (insyigag = schism) timbul sesudah
abad ke-4 H.°? "Tetapi dalam penyelidikan-penyelidikan baru yang
diadakan tidak kita jumpai alasan-alasan kuat untuk membenarkan
pendapat lawan-lawan Mu'tazilah, dan kebanyakannya dari golongan
Asy’ariah, bahwa al-i'tizal berarti perpecahan (schism) dari aliran
Ahli Sunnah dan Jama’ah.®
Ahmad Amin sendiri berpendapat bahwa kaum Mu'tazilah
golongan Islam yang pertama memakai senjata yang dipergunakan
lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan Mate-
rialist dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam di
permulaan kerajaan Bani Abbas. Mereka, demikian Ahmad Amin,
mempunyai kegiatan yang besar sekali dalam melawan musuh-musuh
Islam. Selanjutnya ia mengatakan bahwa sebenarnya hanya
merekalah yang memikul beban itu.” Hanya Allahlah yang menge-
tahui bahaya apa yang akan menimpa umat Islam jika sekiranya
kaum Mu’tazilah tidak membela Islam di waktu itu. "Dalam
pendapat saya, malapetaka terbesar yang menimpa umat Islam ialah
lenyapnya kaum Mu’tazilah."® "Sekiranya ajaran-ajaran kaum
Mu’tazilah dijalankan sampai hari ini, kedudukan umat Islam dalam
sejarah akan berlainan sekali dengan kedudukan mereka sekara’
Sikap lekas menyerah (pada nasib) membuat umat Islam lemah:
paham fatalisme melumpuhkan mereka, sedang sikap tawakal mem-
buat mereka senantiasa dalam keadaan statis.”
Dari kalangan alim ulama, Syekh Muhammad Yusuf Musa, dari
al-Azhar, dalam uraiannya mengenai kaum Mu'tazilah dan kaum
Asy’ariah, mengeluarkan pendapat-pendapat yang mengandung nada
setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah tersebut, terutama ketika
membicarakan paham gadariah Mu’tazilah dan paham kash kaum
 
  
  
64) Fi ‘Ihn al-Kaalam, 77.
65) Ibid, 74.
66) Fajr al-Islam, 299-300.
67) Duha al-Islam, 11/206,
68) Ibid.,
69) Ibid., 111/207.
70) tbid., 1/70.60 Teologi Islam
Asyariah.”” Paham kemerdekaan manusia dalam kemauan dan
perbuatan yang dikandung ajaran qadariah dari kaum Mu'tazilah,
dengan sendirinya membawa kepada paham dibatasinya kekuasaan
mutlak Tuhan. Dalam menanggapi ini Syekh Muhammad Yusuf
Musa menulis :
*Menurut pendapat kami Tuhan yang kemauan dan kekuasaan-Nya
dibatasi oleh orang lain, adalah Tuhan yang lemah, Dan sebaliknya
Tuhan yang kemauan dan kekuasaan-Nya bersifat mutlak tanpa
mengindahkan peraturan dan hikmah, adalah Tuhan yang bersifat
despot yang tak membawa kebaikan bagi alam. Dengan demikian
Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan mestilah Tuhan yang dengan
kemauan-Nya sendiri membatasi kemauan dan kekuasaan-Nya secara
bijaksana. Tuhan demikianlah yang betul-betul adil.”
Seorang ulama lain, Syekh Muhammad Ahmad Abu Zahrah,
yang namanya cukup terkenal bukan hanya di Mesir saja tetapi juga
di dunia Islam lainnya, menjelaskan bahwa pertentangan-pertentangan
teologi, yang terdapat dalam Islam tidaklah mengenai inti dan dasar
dari ajaran-ajaran Islam. Tegasnya pertentangan-pertentangan itu
tidaklah mengenai keesaan Tuhan, kerasulan Nabi Muhammad,
keadaan al-Qur’an, wahyu yang diturunkan Allah SWT, rukun-rukun
Islam dan sebagainya, tetapi hanya mengenai hal-hal yang tak men-
jadi rukun atau dasar dalam Islam.”
Yang dimaksud oleh Abu Zahrah ialah bahwa pertentangan-
pertentangan itu tidak berkisar sekitar usul atau dasar-dasar iman
dalam Islam yang membuat seseorang kafir kalau tidak lagi percaya
kepada dasar-dasar itu. Pertikaian hanyalah mengenai furu' atau
perincian yang tidak menyebabkan sescorang menjadi kafir kalau
pahamnya dalam hal ini berlainan dengan paham orang lain. Dalam
uraian ini Abu Zahrah secara implicit menolak tuduhan orang bahwa
aliran Mu’tazilah adalah aliran kafir yang menyeleweng dari Islam.
Bahkan dalam uraiannya mengenai ajaran-ajaran kaum Mu’ tazilah
ia dengan tegas menyatakan bahwa ajaran-ajaran itu tidak membuat
71) Al-Qur’an wa al-Falsafah, Kairo, 1966, hin, 98 dst.
72) Ibid, 133.
73) Al-Mazahib, 13.Kaum Mu'tazilah 61
mereka keluar dari Islam.” Seperti Anmad Amin, Abu Zahrah juga
mengakui dan menghargai jasa-jasa kaum Mu’tazilah dalam membela
Islam terhadap serangan-serangan dari luar yang terjadi di zaman
mereka,”
Seorang ulama lain lagi, Syekh ’Ali Mustafa al-Ghurabi, Guru
Besar di Fakultas Syari’ah di Mekkah menulis:
“Dari uraian ringkas ini, dapatlah diketahui ajaran-ajaran dasar kaum
Mu'tazilah dalam lapangan teologi Islam. Jika sekiranya tidak
ditakdirkan Tuhan bahwa kaum Mu’ tazilah bangkit untuk membela
Islam, ‘7m al-Kalam dengan kekayaannya yang besar itu tidak muncul:
dan kita tidak akan sanggup, membela Islam dari serangan-serangan
orang luar. Terhadap usaha-usaha kaum Mu’tazilah yang patut
disyukuri itu, kita hanya dapat berdo’a semoga Allah SWT memberi
mereka upah atas jasa-jasa mereka tehadap Islam, dan selanjutnya
semoga Allah memaafkan kesalahan-kesalahan (al-zallat) yang mereka
Jakukan. Penuh harapan saya agar para alim-ulama, yang mempunyai
keikhlasan terhadap agama Islam, berusaha menimbulkan kembali
peninggalan-peninggalan berharga dari golongan umat Islam yang telah
dilupakan ini.”
 
  
Di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknik
sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu'tazilah yang bersifat rasional itu
telah mulai timbul kembali di kalangan umat Islam terutama di
kalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai
paham-paham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’ tazilah.
Mempunyai paham-paham yang demikian tidaklah membuat mereka
keluar dari Islam.
74) Ibid., 222, dan 227/8.
75) Ibid., 218 dan 22;
76) Tarikh al-Firag, 263.