Sri Rustiyanti, Wanda Listiani (Visualisasi Tando Tabalah...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
p 220 - 228
P-ISSN 0854-3461, E-ISSN 2541-0407
Visualisasi Tando Tabalah Penari Tunggal
dalam Photomotion Pertunjukan Rampak Kelompok Tari Minang
1
Sri Rustiyanti, Wanda Listiani
2
1, 2. Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
Jl. Buahbatu No. 212 Bandung 40265 Jawa Barat Indonesia
E-mail : rustiyantisri@yahoo.com
Pertunjukan tari adakalanya dibawakan oleh penari tunggal atau penari kelompok. Tari tunggal dilakukan
oleh seorang penari memerankan seorang karakter atau tokoh. Bentuk tariannya berdiri sendiri dan tidak ada
kaitannya dengan penampilan tari sebelumnya. Pertunjukan penari tunggal dituntut untuk tampil matang
dan terampil, kemampuan virtuositas karena fokus perhatian yang terpusat pada satu orang saja, tentu saja
berbeda dengan penari kelompok yang dituntut kerampakkan baik dalam garak (bentuk gerak) maupun
garik (rasa gerak). Sifat tari tunggal menjadikan seseorang sebagai subjek sekaligus objek tarian yang
dibawakannya. Adapun tari kelompok merupakan bentuk karya tari yang memerlukan kerja sama antarpenari, karena diperagakan lebih dari satu penari. Gerak penari satu dan penari lain saling berkaitan dan tidak
dapat berdiri sendiri. Keseragaman untuk mencapai keindahan bentuk tari kelompok bukan hal yang mudah.
Adapun hasil penelitian ini, dalam penyajian tari kelompok tando tabalah (identitas pribadi) harus lebur
ditinggalkan dan ditanggalkan egoisme masing-masing pribadi penari.
Kata kunci: tando tabalah, penari tunggal, penari kelompok, photomotion
The Visualisation of Tando Talabah Solo Dancer in Photomotion
of Minang’s Group Performing Dance
Occasionally, dance performance is performed by single dancer or a group dancers. Single dance is
performed by a dancer performing a character of figure. The dance form is standing alone and doesn't have
any relation with previous dance performance. The performance of single dance is required to perform
satisfactorily and should have virtuous skill because the focus is only pointed at one person. It is different
from a group dance that required for being systematic on motion and sense.The characteristic of single
dance makes the dancer as the subject and the object of their performing dance. A group dance is the form
of dance that required teamwork among dancers because it is performed by more than one dancer. The
motion between one dancer and another is related and it cannot be standing alone.The uniformity in achieving the aesthetic in group dance is complicated.The result for this research shows that in group dance
presentation, the personal identity must have dissolved and the egoism should have detached by each
dancer.
Keywords: tando tabalah, Single dancer, Group dancer, photomotion.
Proses Review : 19 April - 4 Mei 2017, Dinyatakan Lolos : 8 Mei 2017
220
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017
I. PENDAHULUAN
Tulisan ini merupakan hasil penelitian Kemenristek
Hibah Kompetensi tahap lanjutan tahun ke-2. Penelitian Kompetensi tahun ke-1 merupakan pengembangan dari temuan penelitian disertasi yaitu
estetika alua patuik raso-pareso (aparapa) yang
diadopsi dari sebuah filosofi Minangkabau. Hasil
penelitian tahun ke-1 mendokumentasikan estetika
alua patuik raso pareso dalam bentuk photomotion
representasi kemiripan figur manusia dalam bentuk
dwimatra (seni rupa 2-dimensi). Dominasi manusia
sebagai subjek foto membedakan jenis photomotion
dengan yang lain. Photomotion memberikan
indikasi personal baik pada pemilik potrait, subjek
potrait maupun fotografer. Personalitas dalam
fotografi menghadirkan ciri khas objek foto sekaligus fotografer. Foto gerak Tari Minang dalam
photomotion tari memiliki daya levitasi visual.
Daya levitasi visual estetika aparapa menarik antusiasme pemandang untuk merangsang pemunculan
baik dalam imajinasi maupun keinginan seseorang
untuk melakukan sesuatu. Photomotion aparapa
mampu memunculkan pikiran, perasaan, dan intuisi
penari sebagai model foto mencapai virtuositas
sehingga daya levitasi visualnya menjadi besar.
Daya hidup visual dari gerak tari akan muncul
ketika gerak dimatikan sementara, gerak tari diberi
jeda, terhenti sesaat. Resonansi imaji aparapa menjadi jelas dalam photomotion tari. Photomotion
menggabungkan kecanggihan teknologi kamera
dan rasa yang muncul dari sebuah gerak penari dan
bidikan fotografer.
Estetika aparapa diadopsi dari kearifan lokal
filosofi alua patuik raso pareso (aparapa). Filosofi
aparapa tersebut menjadi pijakan dalam menetapkan dasar pemikiran untuk menetapkan level kualifikasi kemampuan penari dalam menyajikan sebuah
tarian. Dasar tingkat kesulitan teknik gerak dan
ekspresi Tari Minang dapat diklasifikasikan pada 3
level kualifikasi, yaitu: 1) Tingkat Alua, 2) Tingkat
Patuik, dan 3) Tingkat Raso-Pareso. Keserasian ini
menunjuk pada bentuk tubuh, karakter, ekspresi,
serta berkaitan dengan teknik tari yang tidak lepas
dari unsur-unsur keharmonisan gerak sesuai dengan
bakat tando tabalah (identitas pribadi) penari tunggal dalam photomotion tari rampak kelompok.
Selanjutnya konsep aparapa ditransformasikan
dalam budaya visualisasi tando tabalah (identitas
pribadi) penari tunggal dalam photomotion tari
rampak kelompok. Konsep ini merupakan gerakan
improvisasi (spontanitas yang mampu mengendalikan ruang dan waktu), gerak yang selalu ada peluang untuk berkembang, gerak yang tidak pernah
selesai, gerak yang selalu berproses, dan gerak yang
berulang-ulang yang kemudian menjadi gerak milik
sendiri. Groteks garik garinyiek sebagai sebuah
estetika memiliki unsur yaitu pitunggue, membumi,
dan dekat dengan alam. Pencapaian seorang penari
diharapkan memiliki ‘tubuh groteks garik
garinyiek’. Eksplorasi bakat gerak yang dilakukan
merupakan gerak corporal acrobatic (gerakan
hebat dan yang mengagumkan berkenaan dengan
ketangkasan tubuh), corporal impulses (gerakan
atas desakan hati), virtuositas (kematangan teknik
gerak yang luar biasa), dan improvisatif (kepekaan
reflektivitas, spontanitas yang terlatih mampu mengendalikan ruang dan waktu). Tujuan penelitian ini
mengimplementasikan estetika aparapa dalam
photomotion penari kelompok. Perbedaan jumlah
penari menentukan konsep visual photomotion. Hal
ini dikarenakan penari tunggal bergerak dengan
kesendirian dan virtuositas-nya, sedangkan penari
kelompok bergerak dengan kerampakan dalam satu
rasa dan satu bentuk.
Photomotion ragam gerak tubuh secara rampak
kelompok yang umumnya menggabungkan ratusan
frame gambar dalam satu cerita film bergerak dan
disajikan dalam potongan-potongan sequence foto
agar keindahan gerak aparapa foto bisa lebih
dinikmati. Penelitian kompetensi ini merupakan
gabungan seni plastis dan visual yang tidak hanya
menampilkan esensi eidetik (gambaran bentuk
imajinatif) semata, tetapi juga imaji kinetik dari
momen gerak tari yang didasarkan pada khazanah
tradisi Minang, terutama dalam kematangan
aparapa. Pada batas-batas tertentu, photomotion
ini memberikan gambaran kualitas kepenarian yang
dapat dilihat dari pose, ekspresi, dan equilibrium
harmoni dari sistem ketubuhan dari estetika sebuah
local genius di Sumatra Barat. Photomotion, secara
harfiah terbangun dari dua kata yaitu photo (foto)
yang berarti gambar yang dihasilkan dari proses
fotografis dan motion berarti gerakan/bergerak.
Teknik ini secara prinsip menggunakan foto-foto
atau frame by frame foto. Hasilnya selain didapatkan gambar diam foto-foto, sekaligus dapat juga
221
Sri Rustiyanti, Wanda Listiani (Visualisasi Tando Tabalah...)
dihasilkan film yang dibuat oleh gabungan foto-foto
yang saling berhubungan satu sama lainnya. Hasilnya bisa saja menjadi sehalus sebuah film, tergantung banyaknya foto yang digabungkan dalam satu
detik. Gerakannya patah-patah, tetapi menjadi
sebuah pilihan yang tepat apabila digunakan untuk
menganalisis gerak objeknya, karena objek tidak
bergerak begitu cepat tapi terlihat seperti ada jeda di
setiap gerakannya.
Oleh karena itu photomotion, dipilih untuk menganalisis estetika aparapa. Gerak-gerak tarian
Minang direkam, dengan beragam sudut pengambilan, bisa seluruh badan atau closeup, bisa high
angle, eye level atau low angle sehingga gesture,
mimik dari para penari bisa terekam begitu detil dan
halus. Cahaya selalu menjadi media yang abadi bagi
fotografi. Karenanya seorang fotografer sejatinya
menggunakan kuasa melihatnya, agar dapat membekukan cahaya ke dalam citra. Kamera pun menjadi medium mempersatukan antara subjek dan
mata. Fotografi sebagai salah satu media, dipercaya
mampu merekam beragam realitas. Realitas sebuah
pertunjukan seni tidak terkecuali, oleh karena itu
ekplorasi gerak tari yang begitu dinamis mampu
direkam baik oleh fotografi.Teknik fotografi yang
digunakan bisa dipakai untuk merekam gerak-gerak
tari, langkah demi langkah, bisa dibuat beku gerakannya atau dibuat blur. Salah satu teknik yang
sering digunakan dalam merekam gerak adalah
dengan teknik photomotion.
Paradigma baru dalam proses kreatif yang terus
memberikan perubahan bentuk, terungkap dalam
aliran in and out actions yang diciptakan oleh tubuh
dan berbagai ekspresivitas seni yang lain. Lebih
jauh estetika aparapa sebagai konsep ternyata
memiliki benang merah fenomena global yang
sudah mulai dirintis dan memperlihatkan apa yang
disebut dengan demokratisasi seni. Realitas fiksi
keseharian menjadi sangat abu-abu, sekaligus batas
genre seni yang satu dengan yang lain juga menjadi
lebur dan mengristal dalam sebuah pertunjukan.
Perpaduan dalam tari dan galeri photomotion,
misalnya, bisa menjadi sebuah struktur yang secara
sistemik mampu menyemaikan gagasan sebagai
inkubator inovasi dalam proses kreatif berkesenian.
Di sini terjadi pembentukan ataupun penciptaan,
gagasan, potensi, kapasitas, serta ketrampilan,
teknik dan kepekaan interdisiplin bidang apapun
serta gagasan besar dalam cakupan silang budaya.
222
MUDRA Jurnal Seni Budaya
II. METODE
Penelitian ini adalah bersifat kualitatif, dengan
demikian dasar yang dipakai untuk analisisnya
adalah data, di mana kehadiran data harus ditempatkan sebagai sebuah totalitas (Soedarsono, 1999:
8-12). Sebuah bentuk penelitian kualitatif, data
yang diperlukan dari berbagai sumber itu pun
adalah berbentuk data kualitatif. Salah satu sifat
dari data kualitatif adalah bahwa data itu merupakan
data yang memiliki kandungan yang kaya, yang
multi-dimensional, dan kompleks. Sebuah data
kualitatif ibarat sebuah ‘teka-teki’ atau sebuah ‘misteri’. Dalam menebak teka-teki itu selalu harus
mengarah untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’,
dan bukan sekadar menjawab pertanyaan ’apa’
(Ibid, 1999: 46). Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif analisis. Data yang diperoleh
seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil
pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan,
dari semua data dan informasi yang diperlukan
berkenaan dengan pertanyaan apa, mengapa, dan
bagaimana untuk mengungkap proses bukan
semata-mata mengungkap hasil suatu kegiatan.
Pertanyaan tersebut menuntut gambaran nyata
tentang kegiatan, prosedur, alasan-alasan, dan interaksi yang terjadi dalam konteks koreografi
bagaimana ekspresi seorang penari baik tunggal
maupun kelompok pada saat virtuositas penari yang
diamati dari perspektif budaya visualisasi photomotion. Proses itu berlangsung secara alamiah dibiarkan terjadi tanpa intervensi peneliti, sebab proses
yang terkontrol akan menggambarkan keadaan
mendekati objek yang sebenarnya. Peneliti akan
mentransformasikan data menjadi informasi makna
yang telah diperoleh. Makna suatu proses dimunculkan konsep-konsepnya untuk membuat prinsip
bahkan teori sebagai suatu temuan atau hasil penelitian ini.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada dasarnya penari tunggal terkait dengan
kreativitas eksplorasi tubuh dalam pengembaraan
dan penciptaan tari. Kemampuan penari tunggal
seperti, di antaranya corporal impulses, corporal
acrobatic, corporal instinc semestinya telah mencapai puncak virtuositasnya. Eksplorasi penari tunggal dalam aktivitas raga adalah penggalian potensi
nurani manusiawi dan potensi murni lingkungan
serta sarana dengan sentuhan estetika, yang hasil
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Volume 32, Nomor 2, Mei 2017
eksplorasinya masih melintasi tahap penjejakan
alternatif untuk divisualisasikan dalam photomotion
tari rampak kelompok. Awal sentuhan yang dilakukan adalah dengan penumbuhan kesadaran atas
potensi murni dari daya pesona, daya ungkap, dan
daya jangkau. Ketiga potensi murni tersebut tidak
membutuhkan bakat apresiasi untuk memilikinya,
sebab sudah ada sebelumnya. Kemurnian potensi
seperti inilah yang jadi orientasi utama dari sebuah
eksplorasi tubuh. Keterpaduan dari keindahan yang
tertangkap inderawi dengan topangan nalar melalui
pelebaran yang sistematis inilah sebagai awal langkah dari sebuah eksplorasi diri dan nilai kemanusiaan serta alam, berproses jadi satu dalam sifat
tando tabalah (identitas pribadi).
Sebuah karya tari lahir disebabkan adanya ide atau
gagasan yang muncul atas pemikiran dari penata
tari dalam menciptakan sebuah tarian.
Ide, isi, atau gagasan ialah bagian dari tari yang
terlihat, yang merupakan hasil pengaturan unsurunsur psikologis dan pengalaman emosional
(Murgiyanto, 1982:23). Berdasarkan pernyataan
tersebut, kemampuan penari untuk menciptakan
tumbuh dalam
dan merealisasikan ide yang
benaknya untuk diwujudkan di ruang publik. Karya
tari adalah hasil dari sebuah proses penciptaan,
melalui kreativitas tersebut seniman dapat mentransformasikan pengalaman batinnya ke dalam
sebuah karya seni yang akan dikomunikasikan
kepada orang banyak. “Seniman adalah seorang
pengumpul kesan-kesan, seorang super sensitive
yang terlatih dalam mengamati benda dan
peristiwa-peristiwa di sekelilingnya yang oleh
kebanyakan orang tidak diperhatikan (Murgiyanto,
2004: 49).
Tabel 1. Perbandingan Gerak Bentuk (Garak) dan Gerak Rasa (Garik)
No.
Nama Gerak
1
Rantak Kudo
Gerak Bentuk
(Garak)
Alua, Patuik
2
Pitunggua tangah
Alua, Patuik
Raso Pareso
3
Tupai bagaluik
Alua, Patuik
Raso Pareso
4
Langkah injak baro
Alua, Patuik
Raso Pareso
5
Pancuang ateh bawah
Alua, Patuik
Raso Pareso
6
Sambah bumi
Alua, Patuik
Raso Pareso
7
Galitiak tangan
Alua, Patuik
Raso Pareso
8
Silek balabeh tagak alif
Alua, Patuik
Raso Pareso
9
Bungo ateh
Alua, Patuik
Raso Pareso
10
Sambah
Alua, Patuik
Raso Pareso
bumi
dan
sambah
Gerak Rasa
(Garik)
Raso Pareso
penonton
11
Alang tabang
Alua, Patuik
Raso Pareso
12
Fleksi bawah
Alua, Patuik
Raso Pareso
13
Oyak kanan dan oyak kiri
Alua, Patuik
Raso Pareso
14
Tagaik itiak
Alua, Patuik
Raso Pareso
15
Rotasi Putaran
Alua, Patuik
Raso Pareso
16
Sudueng
Alua, Patuik
Raso Pareso
20
Allau
Alua, Patuik
Raso Pareso
21
Tangkok
Alua, Patuik
Raso Pareso
22
Sijundai
Alua, Patuik
Raso Pareso
223
Sri Rustiyanti, Wanda Listiani (Visualisasi Tando Tabalah...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Sri Rustiyanti, Wanda Listiani (Visualisasi Tando Tabalah...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
budaya dan suku bangsa pendukungnya. Modus
stilisasi semacam ini sudah mengandung komentar
atau sikap yang jelas dari budaya atau (suku) bangsa
pemiliknya. Situasi berubah sesuai dengan perkembangan budaya tuntutan zaman atau sejarah: ketika
sekelompok manusia berpindah tempat atau meniti
waktu. Maka wajar jika tari Minangkabau tahun
1950-an sangat berbeda dengan tari Minangkabau
kontemporer yang ada saat ini. Demikian juga, tari
Jawa awal abad ke-20 berbeda dengan tari Jawa
awal abad ke-21. Bahkan, bagi para ahli, tak sulit
menemukan beda antara tari Jawa gaya Surakarta
dan gaya Yogyakarta dari kurun waktu yang sama.
Dengan uraian ini ingin ditegaskan bahwa rasa
keindahan itu berbeda dari satu zaman ke zaman
yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, dan
dari satu budaya ke budaya lain, sekalipun ada
elemen atau aspek-aspeknya yang berlaku universal. Stilisasi berbeda sesuai dengan perbedaan
waktu dan tempat. Akan tetapi dari sudut pandang
estetika pertunjukan, setiap stilisasi menuntutkejelasan bentukdan kaitan atau dukungannya
terhadap citra yang hendak diwujudkan. Stilisasi
gerak yang jelas dan konsisten akan menghasilkan
style atau gaya pertunjukan tari yang terkait dengan
daerah budaya, kurun waktu, atau pribadi penata
tari. Mengutip Lincoln Kirstein (via Cohen, 1968:
87), tarian yang disajikan di atas panggung profesional haruslah ‘theatrically legible’. Tuntutan ini
dipenuhi dengan stilisasi: “The purely natural
gesture has sufficient meaning for the performer,
but for the audience its fails to establish a theatrically perceivable image.”
Tubuh Kekuatan Inspirasi dan Sumber
Eksplorasi
Gerakan tari membangkitkan rasa keindahan
karena dirancang tidak hanya sekadar menghadirkan gerak maknawi. Oleh karena alat ungkapnya
adalah tubuh manusia, maka sejak lama keindahan
badani atau sensuous beauty menjadi salah satu
daya pikat berbagai jenis tarian. Menurut Holt ciri
khusus tarian Indonesia adalah terikat dengan tanah
dan tidak menjauhinya. Posisinya duduk, berlutut,
membungkuk ataupun setengah bungkuk (LIPI,
1984: 117). Hal ini dapat dilihat dari gerak
pemotretan terhadap Alfyanto, Dadan, Oneng,
Komalasari, dan Yeni Yunita. Dari beberapa karya
foto hasil bidikan pada adegan-adegan tertentu,
secara corporal impulses tanpa disadari ataupun
disadari dengan kreatif,
224
ada beberapa ciri garik garinyiak yang memberikan
kesan sekilas tetapi membekas dalam pengamatan
terhadap gerak tersebut, seperti loncatan tinggi
dengan kaki membuka lebar kemudian jatuh ke
bawah dengan tempo cepat dan langsung berdiri,
badan melayang dengan lembut dalam tempo cepat
rebah ke bawah, angkatan kaki yang ringan walau
posisi kaki pitunggue (disebut juga kuda-kuda).
Pembentukan kedua kaki ditekuk baik dalam
pitunggue tengah, kanan, kiri, belakang atau,
pitunggue depan harus kuat dalam sikap berdiri.
Oleh karena itu ciri-ciri tari Minang penggunaan
istilah pitunggue, karena silatnya ditikberatkan
pada bagian bawah) putaran badan dengan kaki
sebagai sumbu (poros) maupun putaran badan yang
hanya diikuti bahu dan kepala dengan gerak sentak
yang mengejutkan, gerak rantak kaki yang cepat,
padat, dan kuat. Ragam gerak dalam tari Minang
bersumber dari pencak silat (Murgiyanto, 1991:
274) atau dengan kata lain Alfyanto dkk. mempunyai kemampuan untuk ‘bermain’ dengan elemenelemen yang familiar dan menatanya secara tidak
familiar dengan menarik, yang cukup memberikan
sumber inspirasi dalam bereksplorasi.
Gaya tari Minang pada umumnya ‘menapak ke
bumi’. Artinya, konsep tarian itu dipola untuk
ditarikan dengan tancapan kaki pitunggue yang kuat
dan lutut merendah. Jarang sekali ditemukan angkatan kaki secara berlama-lama dan jika gerakan itu
diulang, pengulangan tidak dalam intensitas yang
tinggi. Kalaupun ada, gerakan mengangkat kaki itu
(kiri atau kakan), biasanya hanya terjadi dalam
hitungan detik. Jika kaki itu diangkat, penari selalu
dengan segera menginjakkan kakinya kembali ke
‘bumi’. Misalnya pada gerak angkatan kaki sabetan
dalam tari Jawa atau jangkung ilo dalam tari Sunda.
Tancapan kaki, atau dalam istilah geraknya disebut
pitunggue, adeg-adeg, atau kuda-kuda, dalam
Pencak Silat, justru dijadikan salah satu ukuran
baik-tidaknya kriteria seorang penari. Fenomena ini
tidak saja terdapat di dalam tarian Minang, Jawa,
dan Sunda, akan tetapi juga banyak ditemukan
dalam tarian di belahan dunia lainnya, terutama di
Asia, lebih khusus lagi di Asia Tenggara. Berbeda
dengan balet yang gerak kakinya lebih terkesan
mengambang dan senantiasa meringankan tubuhnya seperti ingin terbang. Tumpuan tubuh
penarinya berada pada ujung jari-jari kaki. Tarian di
Indonesia, berat tubuh penari justru bertumpu di
telapak kaki, kiri atau kanan, atau kedua-duanya.
Sri Rustiyanti, Wanda Listiani (Visualisasi Tando Tabalah...)
budaya dan suku bangsa pendukungnya. Modus
stilisasi semacam ini sudah mengandung komentar
atau sikap yang jelas dari budaya atau (suku) bangsa
pemiliknya. Situasi berubah sesuai dengan perkembangan budaya tuntutan zaman atau sejarah: ketika
sekelompok manusia berpindah tempat atau meniti
waktu. Maka wajar jika tari Minangkabau tahun
1950-an sangat berbeda dengan tari Minangkabau
kontemporer yang ada saat ini. Demikian juga, tari
Jawa awal abad ke-20 berbeda dengan tari Jawa
awal abad ke-21. Bahkan, bagi para ahli, tak sulit
menemukan beda antara tari Jawa gaya Surakarta
dan gaya Yogyakarta dari kurun waktu yang sama.
Dengan uraian ini ingin ditegaskan bahwa rasa
keindahan itu berbeda dari satu zaman ke zaman
yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, dan
dari satu budaya ke budaya lain, sekalipun ada
elemen atau aspek-aspeknya yang berlaku universal. Stilisasi berbeda sesuai dengan perbedaan
waktu dan tempat. Akan tetapi dari sudut pandang
estetika pertunjukan, setiap stilisasi menuntutkejelasan bentukdan kaitan atau dukungannya
terhadap citra yang hendak diwujudkan. Stilisasi
gerak yang jelas dan konsisten akan menghasilkan
style atau gaya pertunjukan tari yang terkait dengan
daerah budaya, kurun waktu, atau pribadi penata
tari. Mengutip Lincoln Kirstein (via Cohen, 1968:
87), tarian yang disajikan di atas panggung profesional haruslah ‘theatrically legible’. Tuntutan ini
dipenuhi dengan stilisasi: “The purely natural
gesture has sufficient meaning for the performer,
but for the audience its fails to establish a theatrically perceivable image.”
Tubuh Kekuatan Inspirasi dan Sumber
Eksplorasi
Gerakan tari membangkitkan rasa keindahan
karena dirancang tidak hanya sekadar menghadirkan gerak maknawi. Oleh karena alat ungkapnya
adalah tubuh manusia, maka sejak lama keindahan
badani atau sensuous beauty menjadi salah satu
daya pikat berbagai jenis tarian. Menurut Holt ciri
khusus tarian Indonesia adalah terikat dengan tanah
dan tidak menjauhinya. Posisinya duduk, berlutut,
membungkuk ataupun setengah bungkuk (LIPI,
1984: 117). Hal ini dapat dilihat dari gerak
pemotretan terhadap Alfyanto, Dadan, Oneng,
Komalasari, dan Yeni Yunita. Dari beberapa karya
foto hasil bidikan pada adegan-adegan tertentu,
secara corporal impulses tanpa disadari ataupun
disadari dengan kreatif,
MUDRA Jurnal Seni Budaya
ada beberapa ciri garik garinyiak yang memberikan
kesan sekilas tetapi membekas dalam pengamatan
terhadap gerak tersebut, seperti loncatan tinggi
dengan kaki membuka lebar kemudian jatuh ke
bawah dengan tempo cepat dan langsung berdiri,
badan melayang dengan lembut dalam tempo cepat
rebah ke bawah, angkatan kaki yang ringan walau
posisi kaki pitunggue (disebut juga kuda-kuda).
Pembentukan kedua kaki ditekuk baik dalam
pitunggue tengah, kanan, kiri, belakang atau,
pitunggue depan harus kuat dalam sikap berdiri.
Oleh karena itu ciri-ciri tari Minang penggunaan
istilah pitunggue, karena silatnya ditikberatkan
pada bagian bawah) putaran badan dengan kaki
sebagai sumbu (poros) maupun putaran badan yang
hanya diikuti bahu dan kepala dengan gerak sentak
yang mengejutkan, gerak rantak kaki yang cepat,
padat, dan kuat. Ragam gerak dalam tari Minang
bersumber dari pencak silat (Murgiyanto, 1991:
274) atau dengan kata lain Alfyanto dkk. mempunyai kemampuan untuk ‘bermain’ dengan elemenelemen yang familiar dan menatanya secara tidak
familiar dengan menarik, yang cukup memberikan
sumber inspirasi dalam bereksplorasi.
Gaya tari Minang pada umumnya ‘menapak ke
bumi’. Artinya, konsep tarian itu dipola untuk
ditarikan dengan tancapan kaki pitunggue yang kuat
dan lutut merendah. Jarang sekali ditemukan angkatan kaki secara berlama-lama dan jika gerakan itu
diulang, pengulangan tidak dalam intensitas yang
tinggi. Kalaupun ada, gerakan mengangkat kaki itu
(kiri atau kakan), biasanya hanya terjadi dalam
hitungan detik. Jika kaki itu diangkat, penari selalu
dengan segera menginjakkan kakinya kembali ke
‘bumi’. Misalnya pada gerak angkatan kaki sabetan
dalam tari Jawa atau jangkung ilo dalam tari Sunda.
Tancapan kaki, atau dalam istilah geraknya disebut
pitunggue, adeg-adeg, atau kuda-kuda, dalam
Pencak Silat, justru dijadikan salah satu ukuran
baik-tidaknya kriteria seorang penari. Fenomena ini
tidak saja terdapat di dalam tarian Minang, Jawa,
dan Sunda, akan tetapi juga banyak ditemukan
dalam tarian di belahan dunia lainnya, terutama di
Asia, lebih khusus lagi di Asia Tenggara. Berbeda
dengan balet yang gerak kakinya lebih terkesan
mengambang dan senantiasa meringankan tubuhnya seperti ingin terbang. Tumpuan tubuh
penarinya berada pada ujung jari-jari kaki. Tarian di
Indonesia, berat tubuh penari justru bertumpu di
telapak kaki, kiri atau kanan, atau kedua-duanya.
225
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Volume 32, Nomor 2, Mei 2017
keturunan dan faktor lingkungan berinteraksi terus
menerus dalam membentuk perkembangan dan
kepribadian seseorang (Davidoff, 1988: 81).
Gambar 1. Proses Pemotretan , Fotografer : Andang
Iskandar
Gambar 2. Hasil Pemotretan, Fotografer : Andang Iskandar
Menurut Bakhtin, bahwa tubuh sebagai sesuatu
yang terbuka dan belum selesai, terus-menerus
berubah dan diperbaharui; tubuh adalah sebuah
citraan yang dinamis. Tubuh grotesk adalah ‘daging
sebagai tempat berproses’. Tubuh tidak dipahami
sebagai sesuatu yang individual melainkan sesuatu
yang universal (Derks, [t. t]: 83). Dalam proses
koreografi sering kali identitas suatu karya dipengaruhi oleh faktor lingkungan maupun sarana.
Tetapi bagaimana pun besarnya pengaruh lingkungan, ciri-ciri pribadi khususnya pribadi koreografernya akan nampak pada koreografinya.
Dalam proses ini tak dapat dipungkiri adanya laku
kreatif yang seringkali bersifat misterius, di mana
kegiatan kreatif itu pada dasarnya bersifat subjektif
dan pribadi (Hadi, 1996: 39). Meskipun tampil
sebagai individu namun tetap mempunyai latar
belakang keluarga dan lingkungan yang ikut terlibat
menentukan apa yang terjadi sekarang ini. Hal ini
sesuai dengan konsep psikologi tentang interaksi
terus menerus antara keturunan dan lingkungan
yangdikemukakan oleh Donald Heb, bahwa faktor
226
Meditasi adalah konsentrasi pada diamnya diri
sendiri, atau pada jiwa diri sendiri, atau pada kebenaran yang lebih tinggi, yakni nama-nama dan
sifat-sifat Allah (Muthahhari, 1995:127). Selanjutnya, dalam buku Rumi, Menatap Sang Kekasih,
Will Johnson secara jeli memandang bahwa:
Untuk menjadi penari sejati, Anda harus menjadi
sadar sedekat-dekatnya dengan tubuh Anda,
merasakan setiap bagian kecil beserta semua
cara bagaimana bagian itu ingin bergerak. Ketika
kita ingin menahan bagian kecil tubuh kita,
secara efektif kita menumpulkan kesadaran kita
atas sensasi-sensasi tubuh. Ketika kita pasrah
pada arus sensasi tubuh yang ingin mengalir
melalui kita seperti air melalui sebuah pintu air,
tubuh mungkin secara spontan mulai bergerak dan
menari, karena memang begitulah cara alami
untuk mengekspresikan kenikmatan yang nyata.
Seorang penari benar-benar menjadikan tubuh nya
sebagai teman, hingga setiap bagian dan bidang
yang kecil, tidak ada yang terlewat, tidak pula
seutas serat otot, tidak juga satu sensasi,
tidak pula satu gerakan; inilah persahabatan sejati
(2003:87-88).
Seorang penata tari berkarya untuk memenuhi desakan batin dan menciptakan wujud-wujud baru yang
merupakan hasil tanggapannya yang khas terhadap
pengalaman hidup. Sementara satu sisi naluriah
manusia memaksa orang bertahan untuk menjadi
bagian penting dari budaya sendiri dan memelihara
tradisi, sisi lainnya mengajak manusia membongkar
bentuk-bentuk budaya yang mapan untuk menemukan cara-cara mengungkapkan pengalaman hidup
dengan cara baru. Bagaimana seorang penata tari
mengembangkan potensi kreatifnya dipengaruhi
oleh lingkungan di mana ia tinggal dan interaksinya
dengan dunia di sekitarnya. Dalam hidupnya, secara
terus-menerus manusia silih berganti menghadapi
dunia lahir dan dunia batin. Penyerapan elemen dari
luar tubuh bukan hanya dilakukan untuk mengonsumsi kebutuhan dasar hidup seperti udara dan
nutrisi untuk bertahan hidup, tetapi juga masukan
sensoris atau inderawi. Masukan-inderawi (visual,
aural, tactile, dan kinestetic) membantu kita menghayati dunia sekitar: alam, benda-benda, manusia,
dan peristiwa. Masukan inderawi menstimulasi
alam batin yang mendorong kita untuk bertindak.
Sri Rustiyanti, Wanda Listiani (Visualisasi Tando Tabalah...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Melalui proses penyerapan semacam inilah manusia
memperkaya pengalamannya dan melalui proses
mengungkapkan kembali, manusia mengekspresikan penemuan-penemuannya.
dan antisipasi pada apa yang (akan) terjadi di antara
mereka.
Aliran masukan-inderawi yang tak pernah putus
dari dunia luar membuat orang merasa perlu
memadu dan menata elemen-elemen atau fragmen
pengalaman yang ditemuinya dalam kehidupan
sehari-hari yang terpisah-pisah ke dalam hubungan
yang saling menunjang dan bermakna. Proses inilah
yang disebut simbolisasi, yaitu penataan secara
runtut pengalaman-pengalaman manusia. Potensi
kreatif yang dimiliki oleh setiap orang dan kebutuhan setiap manusia akan bentuk merupakan faktor
utama terwujudnya sebuah bentuk seni. Kemampuan kreatif setiap orang harus dihargai dan dikembangkan melalui kegiatan yang mandiri (yang arah
dan keberhasilannya ditentukan oleh pelakunya
sendiri) di dalam sebuah suasana yang suportif dan
non-judgmental.
Berawal dari sebuah aistanomai 'saya menyadari
sesuatu' yang mengangkat filosofi Minang aparapa
untuk menjadi sebuah konsep estetik tari Minang,
karena pada dasarnya konsep estetik sebagai ilmu
dapat terwujud sebagai proses, aktivitas rasional,
dan aktivitas kognitif. Estetika aparapa berkaitan
dengan nilai-nilai tertentu. Nilai yang dimaksud
adalah dalam upaya mencari suatu kelayakan
(feasible: able to become fact). Oleh karena itu,
dalam kreativitas penciptaannya bersendi pada: (1)
keindahan (beauty); (2) kebaikan (good); serta (3)
kebenaran (truth). Estetika dipandang sebagai suatu
filsafat yang ditempatkan pada titik dikotomis
antara realitas dan abstrak, juga antara keindahan
dan makna. Fenomena visual dalam konteks penelitian ini adalah mengacu pada konsep estetik dalam
konteks transendental (kebenaran, kebaikan, dan
keindahan), artinya konsep yang diadopsi dari
kearifan lokal dalam masyarakat Minangkabau
yaitu filosofi aparapa. Kebenaran perilaku yang
berdasarkan pada konsep nilai-nilai budayanya
merupakan suatu kebaikan yang akan menghasilkan
keindahan dalam tatanan keselarasan dan harmoni.
Ragam gerak yang yang dipilih sebagai model
untuk analisis tidak hanya pada sekedar hiasan keindahan gerak belaka (tangibel), namun ia dapat diterjemahkan, sekaligus merupakan simbol atau
lambang yang bermakna mendidik (intangibel),
dan dapat
menjadi teladan dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat adat di Minangkabau.
Di dalam tari, praktik improvisasi digunakan untuk
berbagai tujuan, yang terpenting adalah sebagai
langkah atau tahap penting di dalam proses kreativitas penciptaan karya tari. Tetapi pada umumnya
disetujui bahwa untuk dapat berjalan dengan baik,
improvisasi tari menuntut kelenturan dan kekuatan
baik mental maupun fisikal. Sejak tahun 1970-an,
sejumlah penari Amerika menggunakan gerakgerak improvisasi sebagai alternatif dari pre-set
koreografi. Ann Halprin dan Yvonne Rainer adalah
dua contohnya. Tetapi pengembang gagasan improvisasi sebagai suatu bentuk tari yang paling dikenal
adalah Steve Paxton dkk. yang menemukan contact
improvisation. Dalam kontak-improvisasi, sensing
(kepekaan indera) menjadi tumpuan/ motivasi gerak
penari menggantikan preset intention (tujuan yang
ditentukan sebelumnya). Hasil yang hendak dicapai
adalah menemukan gerak-gerak yang bebas dari
konvensi atau aturan yang ada. Sikap dan kondisi
fisik yang baik menjadi prasyarat untuk menghindari cedera dan mencapai hasil yang diinginkan.
Saling percaya dan menyadari posisi masingmasing sangat perlu untuk melakukan kontakimprovisasi dengan aman. Di samping itu inwardfocus atau fokus ke dalam adalah salah satu ciri
kontak-improvisasi. Jika dalam pertunjukan biasa
kita melakukan sesuatu untuk penonton, para penari
dalam kontak improvisasi memusatkan perhatiannya pada hubungan
IV. SIMPULAN
Secara keseluruhan dalam pengkajian analisis
gerak, desain yang sering digunakan yaitu: desain
lengkung, desain lurus, desain sudut, desain
kontras, desain simetri, dan desain asimetri.
Adapun gesture yang sering melekat pada gerak
galombang randai yaitu gesture sosial dan gesture
fungsional. Pencak silat menjadi sumber estetika
aparapa yang banyak menggunakan gerak serang
tangkis (gesture fungsional) untuk mempertahankan diri, untuk penghormatan atau upacara
(gesture ritual), dan untuk menggambarkan
ekspresi (gesture emosional), akan tetapi di samping itu bentuk gerak juga merupakan realitas yang
mudah dipahami (gesture sosial) dalam kehidupan
sehari-hari.
227
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Analisis gerak, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tentang tanda dan struktur tanda (semiotika)
yang membangunnya. Semiotika bentuk gerak
sebagai sebuah tanda yang dapat ditangkap oleh
penulis baik sebagai fungsi semiotik parodi maupun
fungsi metafora dalam seni. Rasa keindahan timbul
karena peran dari panca indra, yang memiliki
kemampuan untuk menangkap rangsang dari luar
dan meneruskannya ke dalam, hingga rangsangan
itu diolah menjadi kesan. Kesan itu dilanjutkan
lebih jauh ke tempat tertentu di mana perasaan bisa
menikmatinya. Penangkapan kesan dari luar, yang
menimbulkan nikmat-indah terjadi melalui dua dari
lima jenis panca indra kita, istilah dalam ilmu seni,
yakni melalui mata dan telinga baik secara langsung
maupun tidak langsung diterima menjadi sebuah
sensasi-persepsi-impresi-emosi-interpretasidan
ekspresi.
DAFTAR RUJUKAN
Carter, Curtis L. 2000 “Improvisation in Dance.
”Journal of Aesthetics and Art Criticism 58:2,
Spring.
Cohen, Selma Jean. 1968 “A Prolegomenon to an
Aesthetic of Dance,” dalam Lee A. Jacobus, ed.,
Aesthetics and the Arts. New York: McGraw-Hill.
Davidoff, Linda L. 1988 Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Derks, Will. [t. th. ] “Tubuh Liar: Realisme Grotesk
dalam Cerita Melayu”, dalam Kalam: Menguak
Tubuh. Jakarta: Yayasan Kalam.
Krasner, Jon.
2008. Motion Graphic Design :
Applied History and Aesthetics. Oxford : Focal
Press
LIPI. 198 Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri bekerja sama dengan
Penerbit Alumni.
Murthada Muthahhari 2014 Falsafah Kenabian,
Monoteisme, Teoretis. Jogyakarta: Rausyanfikr
228
Volume 32, Nomor 2, Mei 2017
R. M. Soedarsono 2004 Seni Pertunjukan Dari
Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2002 Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
1999 Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan &
Seni Rupa. Bandung: MSPI.
1991 “Seni diIndonesia: Kontinuitas dan Perubahan”. Terjemahan. Art in Indonesia: Continuitas
and Change, ClaireHolt. Yogyakarta: ISI Yogyakarta.
Sal Murgiyanto 2004 Mencermati Seni Pertunjukan: Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum. Surakarta: Kerjasama Ford Foundation& Program
Pascasarjana ISI Surakarta.
1991 “Minangkabau Dance Redefined: 1968
–1971”, dalam Disertasi Moving Between Unity
and Diversity, Four Indonesian Choreographers.
New York: New York University.
1982
Penata Tari
Muda.
Harapan/Dewan Kesenian.
Jakarta:
PT
Y. Sumandiyo Hadi 1996 Aspek-aspek Dasar Koreografi Kelompok. Yogyakarta: Manthili.