Riset
Politik Identitas dan
Mitos Pemilih Rasional*
Burhanuddin Muhtadi
Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Direktur Indikator Politik Indonesia
Abstrak
Perilaku memilih merupakan gejala yang kompleks. Keputusan memilih
ditentukan oleh banyak faktor. Seorang calon yang berasal dari kelompok
identitas primordial tertentu belum tentu dapat menarik suara mayoritas di
kelompoknya sendiri. Hal ini bisa terjadi karena, selain faktor identitas, pemilih
juga mempertimbangkan faktor-faktor lain, terutama kualitas personal calon.
Intinya, dinamika politik lokal seringkali membuka ruang mobilisasi politik
identitas. Secara umum, penelitian ini telah menemukan bukti empiris bahwa
agama dan etnis yang menjadi bahan bakar politik identitas merupakan faktor
yang penting dalam pemilihan kepala daerah.
Kata Kunci : Politik identitas, politik lokal, politik elektoral, Ormas Islam,
Pilkada
Koran San Francisco Chronicle memasang headline bertajuk “Bradley Win
Projected” pada 3 November 1982, sehari setelah pemilihan Gubernur California,
Amerika Serikat. Keberanian San Francisco Chronicle mengumumkan
Tom Bradley —eks Walikota Los Angeles berkulit hitam yang popular dan
maju sebagai Gubernur dari Partai Demokrat— sebagai pemenang sebelum
penghitungan resmi diumumkan memang bukan tanpa alasan. Survei-survei
dan exit poll juga memprediksi Tom Bradley bakal memenangi pemilu dengan
selisih besar. Hasil resmi menunjukkan sebaliknya. George Deukmejian, calon
dari Partai Republik yang berkulit putih, yang justru menjadi pemenang.
Charles Henry (1983) menemukan faktor ras di balik kekalahan Bradley. Banyak
warga California yang keberatan memilih Bradley karena ia berkulit legam. Ahli
survei mengenangnya sebagai Bradley effect, ketika warga kulit putih saat disurvei
menyembunyikan antipatinya kepada Bradley karena takut dituding rasis.
*
Tulisan ini adalah pengembangan dari kolom penulis bertajuk “Mitos Pemilih Jakarta Rasional?” yang dimuat
Majalah Tempo pada 27 Februari 2017 dan “Ahok’s satisfied non-voters: an anatomy” (Mietzner dan Muhtadi)
yang dimuat New Mandala, 5 Mei 2017.
68
Burhanuddin Muhtadi
Sebagian kalangan menduga Bradley effect terjadi dalam pemilihan gubernur di
DKI Jakarta pada 2017 lalu. Mereka mengaitkan dengan prediksi sebagian survei
yang menunjukkan kemenangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Argumen
mereka sebagian responden mengaku ke surveyor bakal memilih Ahok, tapi pas
di Hari H mereka urung memilih Ahok karena faktor agama dan etnik. Namun
jika Bradley effect benar terjadi di Jakarta, mengapa sebagian lembaga survei
sukses memprediksi Ahok unggul, meski selisih suara dengan Anies Baswedan
tak selebar yang mereka prediksi?
Beberapa pihak yang menduga Bradley effect mungkin terjadi di Jakarta biasanya
menyebut dua hipotesis. Pertama, kesenjangan (gap) antara tingkat kepuasan
kinerja (approval rating) dan elektabilitas Ahok terjadi jauh sebelum kasus
Al-Maidah meledak. Survei Indikator Politik Indonesia pada Januari 2016
menunjukkan 74 persen warga puas atas kinerja Ahok, tapi “hanya” 48 persen
yang sudi memilihnya. Pada survei Indikator Mei-Juni 2016, approval rating
Ahok mencapai 76 persen, tapi kedipilihannya “hanya” 53 persen. Sebelum
insiden pidato Ahok mengenai Al-Maidah 51, selalu ada gap antara yang puas
dengan tingkat kedipilihan Ahok. Dengan kata lain, tidak seluruh yang puas
atas kinerja Ahok sebagai petahana berkenan memilihnya. Survei eksperimen
Indikator pada Januari 2016 juga menemukan etnis dan agama merupakan
faktor yang dipertimbangkan penduduk dalam menentukan pilihan. Desain
eksperimen juga memberi informasi berharga bahwa “kesamaan agama” lebih
dipertimbangkan dibanding “kesamaan etnis”.
Pidato kontroversial Ahok tentang Al-Maidah 51 pada 27 September 2016
membuka kotak pandora dan menjustifikasi apa yang selama ini disimpan
rapat-rapat di bawah telapak meja. Intinya, sebelum muncul penantang secara
definitif pun politik identitas diam-diam sudah bekerja. Mereka mengakui
Ahok sudah bekerja baik, tapi hati mereka sulit menerima karena dia dianggap
sebagai representasi yang liyan (representation of “the Others”)—meminjam istilah
Christoffanini (2003). Ahok menyandang dua lapis minoritas sekaligus:
Kristen dan Tionghoa. Jangankan di kalangan Muslim konservatif, di sebagian
kalangan moderat pun terbersit kekhawatiran bahwa naiknya Ahok menjadi
sinyal dominasi minoritas yang sebelumnya dianggap sudah merajai ekonomi
dan kini merambah ke politik. Ketika Ahok meroket, ada perasaan di sebagian
kalangan bahwa domain politik yang dianggap menjadi kaveling eksklusif
mereka terancam. Inilah yang dalam literatur post-kolonial disebut stereotip,
yakni “a preconceived and oversimplified idea of the characteristics which typify a person,
situation, etc. an attitude based on such a preconception” (Felsenstein, 1995: 11).
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
69
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
Kemungkinan kedua yang bisa mengonfirmasi Bradley effect adalah faktor agama
yang diduga memiliki efek elektoral yang tak sekecil yang diprediksi sebagian
kalangan. Eep Saefullah Fatah misalnya, menyimpulkan agama bukanlah
faktor utama pilkada Jakarta dengan bersandar pada alasan bahwa sebagian
besar responden memilih bukan berdasarkan agama. Dengan bersandar pada
temuan exit poll yang digelar PolMark, Eep mengatakan hanya 22 persen warga
Jakarta yang memilih Anies-Sandi karena kesamaan agama. Artinya, kata Eep
lebih lanjut, 36 persen pemilih Anies-Sandi memilih bukan karena faktor
agama (Kompas.com, 22/4/2017).104 Tapi, perlu diingat, pertanyaan seperti ini
sebenarnya rentan terdistorsi social desirability bias, yakni alasan memilih karena
faktor agama dianggap secara normatif atau politik “kurang elok” (politically
incorrect). Sebaliknya, memilih berdasarkan program terlihat lebih intelek. Bisa
jadi, ketika ditanya secara langsung, responden menyembunyikan pilihan karena
diam-diam mengakui bahwa pilihan atas dasar tersinggung ucapan Ahok soal
Al-Maidah mungkin kurang “heroik”.
Analisis regresi logistik multinomial berdasar data longitudinal yang dimiliki
Indikator misalnya, menyediakan jawaban lain dengan mengestimasi signifikansi
sebuah variabel independen setelah dikontrol oleh variabel-variabel yang lain.
Hasilnya, kasus Al-Maidah terbukti terus membayangi elektabilitas Ahok. Ini
menjelaskan mengapa Anies paling banyak mendapat aliran suara pemilih
mengambang (undecided voters). Intinya, Bradley effect bisa jadi membuat pemilih
enggan menyatakan secara terbuka pilihan ke lawan Ahok. Pada saat survei
mereka menyembunyikan jawabannya, atau mereka yang awalnya menyatakan
memilih Ahok karena prestasi kerjanya berubah pikiran ketika berada di bilik
suara mengingat latar belakang primordialnya yang berbeda dengan mayoritas
warga.
Politik Identitas dalam Kontestasi Elektoral
Secara teoretik, banyak faktor yang menjelaskan elektabilitas pasangan calon
kepala daerah, di antaranya model sosiologis, psikologis, dan rational choice
atau pilihan rasional. Inti dari model sosiologis adalah kesamaan karakteristik
sosial menentukan pilihan politik. Variabel sosiologis yang diyakini sebagai
prediktor adalah agama, etnik, usia, gender, pendidikan dan pendapatan
(Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet, 1944; Berelson, Lazarsfeld dan McPhee,
1954). Sebagai elemen penting dalam pembelahan sosial, agama dipercaya
mempengaruhi perilaku pemilih. Lipset dan Rokkan (eds.), dalam Party Systems
104 Lebih jauh, baca “Konsultan Bantah Anies-Sandi Menang Pilkada karena Isu Primordial”, https://megapolitan.
kompas.com/read/2017/04/22/15170591/konsultan.bantah.anies-sandi.menang.pilkada.karena.isu.primordial
70
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
Burhanuddin Muhtadi
and Voter Alignments: Cross-National Perspectives (1967) misalnya, mengatakan ada
korelasi signifikan antara afialiasi keagamaan dengan dukungan atas partaipartai konfesional di Eropa. Samuel Barnes (1974) juga menemukan bukti
hubungan agama dengan perilaku pemilih di Italia. Arend Lijphart (1977)
dalam Religious vs. Ethnic vs. Class Voting: The ‘Crucial Experiment’, menemukan
bahwa dibanding variabel bahasa dan kelas sosial, agama lebih berpengaruh
dalam menentukan pilihan partai di Belgia, Kanada, Afrika Selatan dan Swiss.
Studi Norris dan Inglehart (2004), dalam Sacred and Secular: Religion and Politics
Worldwide juga mengonfirmasi pengaruh agama dalam memilih.Intinya, model
sosiologis ini kerap disebut sebagai pengejawantahan politik identitas dalam
perilaku elektoral.
Adapun model psikologis menyatakan bahwa preferensi politik tidak
ditentukan oleh variabel sosiologis demografis, tapi oleh faktor-faktor
psikologis. Ukurannya adalah kedekatan dengan partai atau partisanship
pengusung kandidat. Meskipun kedua kubu ini bertolak belakang, baik model
sosiologis maupun psikologis sama-sama mengasumsikan bahwa isu atau
program dalam kampanye bukan sebagai variabel penting. Sebaliknya, model
pilihan rasional (rational choice) justru mengandaikan pentingnya program atau
isu-isu teknokratik dalam menjelaskan elektabilitas calon. Dalam studi perilaku
pemilih, evaluasi atas kinerja petahana adalah salah satu ukuran seberapa jauh
model pilihan rasional bekerja. Kepuasan terhadap kinerja petahana menjadi
dasar reward and punishment (Downs, 1957; Fiorina, 1981). Ukuran lainnya
adalah retrospeksi egosentrik dan sosiotropik. Ukurannya adalah retrospeksi
egosentrik dan sosiotropik. Selain itu, elektabilitas calon juga bisa ditentukan
oleh kualitas personal calon seperti persepsi pemilih apakah calon jujur/bersih
dari korupsi, mampu memimpin, perhatian terhadap rakyat, ramah dan santun,
tegas dan berwibawa, pintar atau berwawasan dan berpenampilan menarik
(Bean dan Mughan, 1989; Liddle dan Mujani, 2007; Miller dan Shanks, 1996).
Hasil pilkada DKI Jakarta 2017 memunculkan debat sejauhmana rasionalitas
pemilih bekerja dalam menjelaskan perilaku pemilih. Menurut data
longitudinal Indikator Politik Indonesia, rata-rata kepuasan publik terhadap
Ahok mencapai 73,4 persen. Jika benar warga Jakarta rasional, seharusnya
Ahok minimal mengantongi suara 70 persen sesuai dengan proporsi warga
yang puas terhadap kinerjanya, tapi di putaran kedua Ahok-Djarot kalah telak
dan hanya mengantongi suara sebesar 42 persen. Dengan kata lain, perolehan
suara pasangan calon di Jakarta tidak bisa dijelaskan semata-mata oleh faktor
rasionalitas.
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
71
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
Tabel 1: Alasan Memilih di Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua
Inilah anomali politik elektoral. Pada umumnya terdapat korelasi yang sangat
konsisten dan kuat antara kinerja petahana dengan tingkat kedipilihan. Secara
rasional, warga mengakui kinerja Ahok dalam mengatasi banjir dan masalah
sampah, meningkatkan pelayanan di kantor-kantor pemerintahan dan lain-lain.
Meski masih belum puas dalam mengatasi kemacetan, warga juga melihat usaha
konkret pemerintah provinsi dalam membangun sarana transportasi massal.
Kekuatan Ahok-Djarot dalam aspek rasional juga diperkuat oleh performa
mereka yang selalu dinilai terbaik dalam debat cagub-cawagub menurut
persepsi publik. Pada survei Indikator awal Februari 2017, pada kelompok yang
menonton acara debat cagub-cawagub, dukungan Ahok-Djarot signifikan lebih
tinggi dibanding pada kelompok pemilih yang tidak menonton acara debat.
Data exit poll Indikator putaran kedua juga menunjukkan bahwa warga yang
memilih Ahok-Djarot sebagian besar karena faktor “sudah ada bukti hasil
72
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
Burhanuddin Muhtadi
kerjanya” (32 persen), “berpengalaman di pemerintahan” (17 persen) atau
“orangnya jujur bersih dari korupsi” (12 persen) (Tabel 1).105
Namun keunggulan Ahok pada aspek rasional tidak diikuti pada dimensi
emosional. Ucapan kontroversial Ahok tentang Al-Maidah berpengaruh
signifikan terhadap keputusan memilih pasangan calon gubernur-wakil
gubernur. Pidato tersebut makin menambah antipati Ahok yang notabene berasal
dari agama dan etnik minoritas. Mayoritas warga memutuskan pilihannya
berdasarkan kesamaan agama. Apalagi, blunder tersebut diikuti dengan
“polemik” dengan KH Ma’ruf Amin dalam persidangan turut meningkatkan
kembali ketersinggungan pemilih Muslim. Survei Indikator pada Februari 2017,
proporsi pemilih yang mengatakan Ahok menistakan agama dalam kasus AlMaidah 51 meningkat menjadi 57 persen dibanding pada Januari yang “hanya”
47 persen. Permintaan maaf dan tangis haru Ahok dalam pembukaan sidang
kasus penodaan agama yang sempat menurunkan tensi kemarahan publik
kembali meningkat tajam pasca-perdebatan dengan KH Ma’ruf di pengadilan.
Anatomi Pemilih Puas Tapi Tak Memilih
Meskipun Ahok kalah pada saat pencbolosan putaran kedua, 72 persen warga
Jakarta masih mengaku puas atas kinerjanya. Namun, tingginya approval rating
Ahok tidak otomatis mengangkat elektabilitasnya. Hal ini menjadi bukti bahwa
“kepala” dan “hati” sebagian warga Jakarta terbelah. Mereka mengakui kinerja
petahana baik, tetapi hati mereka sulit menerima Ahok. Inilah yang disebut
George Orwell sebagai gejala doublethink yang dalam konteks ini dipahami
sebagai “kemampuan seseorang untuk memercayai dua hal yang bertolak
belakang secara bersamaan tanpa merasa bersalah atau tidak nyaman (disonansi
kognitif)” (Alifia, 2016). Untuk itu penting membahas profil pemilih doublethink
yang puas tapi tidak memilih Ahok ini karena menunjukkan menguatkan
politik identitas dalam politik elektoral kita.
Data exit poll yang digelar Indikator Politik Indonesia, pemilih yang puas
terhadap kinerja Ahok tapi tidak memilihnya mencapai 30,1 persen dari
105 Mengingat tulisan ini banyak mengacu hasil exit poll Indikator yang diselenggarakan pada Pilkada Jakarta putaran
kedua tanggal 19 April 2017, maka saya akan mengulas metodologinya secara lengkap. Populasi exit poll adalah
pemilih yang datang ke TPS dalam putaran kedua. Sampel dipilih dengan metode stratified two-stage random
sampling. Stratifikasi dilakukan dengan mengelompokkan TPS menurut wilayah (kecamatan atau kelurahan).
Langkah pertama: Di masing-masing wilayah dipilih TPS sebagai primary sampling unit secara random dengan
jumlah proporsional. Langkah kedua: Di masing-masing TPS terpilih, dipilih dua orang pemilih yang baru keluar
dari TPS pada waktu yang ditentukan secara acak. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh
pewawancara yang telah dilatih. Responden yang berhasil diwawancarai sebanyak 798, response rate 99,75
persen. Dengan jumlah sampel sebanyak itu, toleransi kesalahan +_3,5 persen pada tingkat derajat kepercayaan 95
persen.
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
73
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
total pemilih (Grafik 1). Dua kelompok lainnya tidak terlalu menarik diulas:
41,5 persen pemilih yang puas terhadap kinerja Ahok dan dengan suka cita
mau memilihnya. Kelompok ini termasuk kalangan non-Muslim dan Muslim
pluralis yang tidak melihat agama dan etnik Ahok sebagai pertimbangan
utama dalam memilih. Kelompok pemilih sebesar 26,4 persen yang tidak puas
terhadap performa Ahok dan karenanya tidak bersedia memilihnya juga tidak
mengagetkan. Kategori ini mencakup Muslim konservatif yang sejak awal
antipasti kepada Ahok dan warga Jakarta yang menolak kebijakan penggusuran,
proyek reklamasi atau kebijakan pemerintah Jakarta lainnya yang memantik
respon negatif.
Grafik 1: Tiga Tipologi Pemilih Jakarta
Secara analitik, dua kelompok terakhir ini kurang menarik diulas karena
pilihan electoral mereka selaras dengan penilaian terhadap kinerja petahana,
terlepas dari fakta bahwa kepuasan atau ketidakpuasan mereka juga dipengaruhi
oleh faktor agama atau pertimbangan primordial lainnya.106 Selain itu, kedua
kelompok —baik yang puas dan memilih Ahok atau mereka yang tidak puas
dan tidak sudi memilihnya—bukanlah penentu hasil akhir pilkada DKI
Jakarta. Sebaliknya, blok pemilih yang puas tapi tidak memilih Ahok, secara
elektoral, sangat krusial. Jika mereka lebih mengedepankan “kepala” (baca:
rasionalitasnya ketimbang identitasnya), maka Ahoklah yang akan memenangi
laga. Sebaliknya, jika mereka lebih mengikuti kata “hati” (baca: aspek emosional
dan primordialnya ketimbang kinerja positif Ahok sebagai petahana), maka
Anieslah yang unggul. Oleh karena itu, sub-bagian ini kan mengulas anatomi
106 Data exit poll menunjukkan hampir seluruh pemilih non-Muslim Jakarta yang menggunakan hak suaranya pada
putaran kedua menyatakan“sangat puas” atau “cukup puas” atas kinerja Ahok, dan “hanya” 67 persen Muslim yang
“sangat atau cukup puas.”
74
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
Burhanuddin Muhtadi
pemilih yang mengalami doublethink ini, termasuk mengeksplorasi latar belakang
demografi dan sikap keberagamaan mereka.
Hasil exit poll Indikator menemukan jenis pemilih yang puas tapi enggan
memilih Ahok hampir seluruhnya beragama Islam (99 persen). Suku Betawi,
Sunda, dan Minang lebih potensial mengalami doublethink. Dari segi usia,
mereka kebanyakan datang dari pemilih muda (di bawah usia 26 tahun) dan
tua (di atas 55 tahun). Dilihat dari latar belakang sosial ekonomi, kelompok
pemilih jenis ini sekilas datang dari kalangan menengah ke bawah dan mayoritas
tinggal di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Meski karakteristik mereka ini
cukup berbeda dengan sosio-demografi pemilih Ahok, secara umum informasi
mengenai demografi mereka tak terlalu banyak membantu menjelaskan sikap
dan perilaku mereka mengapa mereka puas tapi enggan memilih Ahok.
Perbedaan antara kelompok pemilih yang puas dan memilih Ahok, puas tapi
tidak memilih, dan tidak puas dan tidak memilih makin kentara jika kita tilik
dari sikap dan pandangan keagamaan mereka. Di kalangan pemilih yang puas
tapi tidak memilih Ahok, 54,5 persen menjadikan agama sebagai pertimbangan
utama dalam memilih; jauh lebih besar dari proporsi rata-rata warga Jakarta
yang menjadikan agama sebagai konsideran dalam mencoblos (34,9 persen)
(lihat Tabel 1). Selain faktor agama, tak ada alasan lain memilih Anies-Sandi
yang signifikan; warga yang memilih pasangan tersebut karena dianggap mampu
“membawa perubahan” hanya10 persen.
Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas warga Jakarta sangat religius: 83 persen
mengaku “selalu” atau “cukup sering” mempertimbangkan perintah atau
nilai-nilai agama ketika membuat keputusan penting. Di antara mereka yang
“selalu/sangat sering” menjadikan agama sebagai pedoman hidupnya, 42,7
persen responden mengaku puas tapi tidak memilih Ahok. Sementara, blok
pemilih yang tidak puas dan enggan memilih Ahok jauh lebih religius: 62,2
persen mengaku menjadikan agama sebagai kompas hidupnya. Menariknya,
pemilih yang puas dan memilih Ahok tak sesaleh kelompok pemilih lainnya.
Demikian juga dengan pemilih Muslim yang merasa bagian dari ormas Islam
maupun bukan, sebagian besar masuk kategori pemilih yang puas tapi tidak
memilih Ahok, atau bahkan tak puas dan tidak memilihnya. Ini menunjukkan
kemarahan pemilih Muslim merata di semua kalangan, termasuk di khalayak
warga NU yang selama ini dikesankan lebih moderat ketimbang warga ormas
Islam lain.
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
75
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
Tabel 2: Nilai-nilai Agama dan Ormas Islam Berdasar Kinerja
dan Pilihan Gubernur
Vonis “menista agama” terbukti memiliki konsekuensi elektoral yang sangat
negatif bagi Ahok-Djarot. Di kalangan pemilih yang puas tapi mengurungkan
niatnya memilih Ahok, 73,5 persen menganggap pidato Ahok tersebut sebagai
penistaan (Tabel 3). Ini berarti mereka mengabaikan alasan rasional sematamata karena terluka atas pernyataan Ahok dalam kasus Al-Maidah. Insiden
yang mengharu-biru jagat politik Indonesia pada 2016-2017 tersebut membuat
merekaenggan menerjemahkan apresiasi atas kinerja Ahok dalam bentuk
dukungan elektoral. Bahkan di basis anti-Ahok, yakni mereka yang tidak puas
dan tak sudi memilih, hampir seluruhnya menilai pidato Ahok soal Al-Maidah
sebagai penodaan agama. Ini bukti bahwa Al-Maidah adalah motor utama di
balik kemenangan Anies. Sebaliknya, di kelompok pemilih loyal Ahok yang
puas dan memilihnya, mayoritas menilai ucapan Ahok tidak menista agama.
Hasil putaran kedua ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa aspek rasionalitas tak
seluruhnya bisa menjelaskan perilaku pemilih.
Dilihat dari afiliasi politik, Tabel 3 menunjukkan bahwa 45,7 persen pemilih
yang puas tapi tidak memilih Ahok berasal dari warga Jakarta yang mencoblos
pasangan Jokowi-Ahok pada pilkada 2012. Terbukti insiden Al-Maidah
melucuti sikap partisan mereka. Pemilih Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli solid
menjadi pendukung kelompok anti-Ahok. Pola yang sama terjadi di kalangan
pemilih Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta dalam pilpres 2014. Benar
76
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
Burhanuddin Muhtadi
bahwa sebagian pemilih lama Jokowi-Ahok dan Jokowi-Kalla masih loyal
terhadap Ahok, tapi mereka tak lagi nyaman karena mobilisasi politik identitas
pasca-kasus Al-Maidah. Basis utama kelompok yang tidak puas terhadap kinerja
Ahok dan pemilih Anies berasal dari pendukung Prabowo-Hatta. Tapi proporsi
pemilih Jokowi-Kalla yang bocor ke Anies terhitung signifikan, terlepas dari
kepuasan mereka terhadap petahana.
Tabel 3:Kasus Al-Maidah dan Pilihan Elektoral di Pilkada 2012
dan Pilpres 2014
Segmen pemilih yang puas tapi tidak memilih Ahok ini sebenarnya sudah
terdeteksi sebelum meledaknya kasus Al-Maidah. Pada survei Indikator Mei
and Juni 2016, beberapa bulan sebelum kasus ini meledak pada September,
27,1 persen warga Jakarta mengaku puas terhadap Ahok tapi sulit memilihnya
di pilkada. Profil demografi mereka mirip dengan hasil exit poll, dan saat itu
72 persen responden yang masuk kategori puas tapi tak memilih menyatakan
“sangat atau cukup setuju” dengan pernyataan bahwa “seorang pemimpin harus
memiliki agama yang sama dengan saya.” Dengan kata lain, bahkan sebelum AlMaidah meledak pun, Ahok sudah menghadapi ancaman kekalahan karena
politik identitas.
Ini bukan berarti kasus Al-Maidah tidak berkontribusi terhadap kekalahan
dramatis Ahok. Kasus ini menaikkan segmen pemilih yang puas tapi tidak
memilih dari 27,1 persen di Mei-Juni 2016 menjadi 30,1 persen pada April
2017. Selain itu, mobilisasi Islamis pasca-pidato kontroversial tersebut juga
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
77
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
memberi bahan bakar bagi penurunan citra Ahok di mata warga Jakarta.
Kelompok pemilih yang puas dan bersedia memilih Ahok turun signifikan dari
49,4 persen di Juni 2016 menjadi 41,5 persen di hari pemilihan. Sedangkan
basis anti-Ahok yang tak puas dan tak memilihnya naik dari 18,7 persen ke
26,4 persen pada periode yang sama. Ini sekali lagi bukti keras bahwa politik
identitas yang berbasis primordial berperan penting dalam menentukan hasil
akhir di pilkada Jakarta.
Politik Identitas di Indonesia
Jika politik identitas berbasis agama menjadi prediktor yang signifikan dalam
pilkada Jakarta, bagaimana dengan wilayah lain di Indonesia? Bagaimana pula
dengan efek etnik dalam menjelaskan perilaku pemilih, mengingat politik
identitas bukan hanya dipicu oleh kesamaan agama tapi bisa saja karena
kesamaan etnik? Indonesia adalah negara yang terdiri dari ratusan suku, namun
studi selama ini menunjukkan lemahnya faktor kesukuan dalam menjelaskan
politik elektoral (Aspinall, 2011; Liddle dan Mujani, 2007). Secara nasional,
banyak ahli yang telah menyatakan bahwa efek etnik kecil dalam menjelaskan
hasil pemilu legislatif dan pemilu presdien (Liddle and Mujani 2010; Mujani et
al., 2011). Mujani dan kawan-kawan (2011) juga lama menegaskan minimnya
efek agama dalam pemilu presiden sejak 2004. Meskipun politik identitas
bukan faktor yang relevan secara nasional, efek politik primordial di tingkat
lokal masih sedikit yang kita ketahui.
Untuk itu, di bagian akhir tulisan ini saya akan menyajikan hasil analisis
berdasarkan survei-survei lokal yang representatif di lima provinsi yang
heterogen, baik secara etnik maupun agama, yakni Sumatera Utara, DKI
Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara and Maluku (Tabel 4 dan 5). Berbeda
dengan pembahasan Jakarta di atas yang hanya berdasarkan pada Pilkada 2017
saja, pada bagian ini saya akan membahas dinamika politik identitas dengan
membandingkan dari pilkada ke pilkada, dengan pasangan calon (paslon) yang
berbeda-beda.
Dalam kasus Jakarta misalnya, saya akan menyajikan hasil analisis berdasarkan
Pilkada Jakarta tahun 2012. Jadi kita bisa memperoleh gambaran menyeluruh
kapan politik identitas bekerja dan kapan tidak. Metodologi yang digunakan
adalah multi-stage random sampling. Jumlah sampel bervariasi antara 800 to 1000
respondendi setiap provinsi. Toleransi kesalahan (margin of error) dengan asumsi
simple random sampling sampel 800 responden sebesar +- 3,5 persendan +- 3,1
78
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
Burhanuddin Muhtadi
persen untuk sampel sebanyak 1000 responden pada tingkat derajat kepercayaan
95 persen. Wawancara dilakukan secara tatap muka oleh tim pewawancara yang
sudah terlatih. Data yang dianalisis berdasarkan survei-survei yang dilakukan
beberapa minggu sebelum pilkada, sehingga diasumsikan pemilih sudah
mengetahui identitas etnik dan agama masing-masing calon gubernur dan wakil
gubernur.
Tabel 4: Komposisi Etnik di Tiap Provinsi (%)
Tabel 4 di atas menunjukkan tak ada satupun suku yang dominan di lima
wilayah yang distudi. Selain multi-etnik, komposisi agama juga lebih beragam.
Pemeluk non-Islam di lima provinsi tersebut lebih besar dari rata-rata nasional.
Bahkan di Sulawesi Utara, Kristen Protestan adalah mayoritas. Di Maluku,
warga terbelah antara Muslim yang mencapai 50,6 persen dibanding Kristen
yang total mencapai 48,2 persen. Di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat,
meskipun Muslim adalah mayoritas, proporsi warga yang menganut agama
selain Muslim tidaklah kecil. Jadi kelima provinsi tepat untuk dipilih sebagai
studi kasus untuk menguji seberapa kuat pengaruh politik identitas dalam
menjelaskan pilihan politik di tingkat lokal.
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
79
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
Tabel 5: Afiliasi Agama di Tiap Provinsi (%)(Sensus BPS 2010)
Untuk mengetahui signifikansi efek etnis dan agama dalam menjelaskan
elektabilitas pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di lima provinsi di
atas, saya membuat dua jenis analisis: analisis bivariat dan multivariat dengan
menggunakan model logistik (biner atau multinomial). Dalam analisis bivariat,
variabel yang diuji hanya etnis atau agama. Saya mengetes apakah kesamaan
agama atau etnik antara pemilih dengan calon gubernur atau wakil gubernur
memiliki dampak elektoral atau tidak. Sedangkan dalam analisis multivariat,
variabel etnis dan agama tersebut dikontrol dengan faktor-faktor lain yang
biasanya menjadi prediktor dalam menjelaskan perilaku memilih, seperti
agama, gender, usia, desa-kota, tingkat pendidikan, kepuasan terhadap kinerja
petahana, party ID, kualitas personal calon, dan sosialisasi calon. Kepuasan
terhadap petahana diukur melalui seberapa puas responden terhadap kinerja
petahana. Kualitas personal diuji dengan menanyakan kepada responden
apakah para calon yang berlaga di pilkada dianggap jujur atau bersih dari
korupsi, perhatian kepada rakyat, tegas atau berwibawa, dan mampu memimpin
atau tidak. Terakhir, variabel sosialisasi diukur sejauhmana responden terekspos
media sosialisasi atau kampanye para calon, entah itu melalui bertemu langsung,
poster, spanduk dan lain-lain.
Mari kita mulai pembahasan dari Sulawesi Utara. Tiga paslon gubernur dan
wakil gubernur maju bertarung dalam pilkada 2015: Paslon Olly Dondokambey
dan Steven Kandouw sama-sama Kristen Protestan dan keduanya bagian dari
suku mayoritas Minahasa. Paslon Maya Rumantir dan Glenny Kairupan juga
orang asli Minahasa, tapi Maya beragama Katolik yang jumlahnya sedikit di
80
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
Burhanuddin Muhtadi
Sulawesi Utara berpasangan dengan Glenny yang beragama Protestan dan
berlatar belakang militer. Adapun paslon Benny Mamoto dan David Bobihoe
memiliki latar belakang etnik dan agama yang berbeda: Benny adalah Kristen
Minahasa, sedangkan David adalah Gorontalo Muslim.
Analisis bivariat menunjukkan bahwa factor etnik memiliki efek signifikan
dalam menjelaskan elektabilitas ketiga paslon di Sulawesi Utara pada pilgub
2015. Namun, ketika saya masukkan seluruh variable kontrol, koefisien etnik
kehilangan signifikansinya (0,05). Sebaliknya, afiliasi agama paslon dan kualitas
personalnya memainkan peran yang signifikan dalam menentukan hasil akhir
pilkada. Analisis multivariat berdasarkan sigi jelang pemilihan gubernur di
Sulawesi Utara tahun 2010 menunjukkan pola yang sama: efek suku terhadap
pilihan hilang setelah dikontrol variabel-variabel lainnya, sedangkan efek agama
tetap signifikan. Variabel dependennya adalah pilihan pasangan calon dengan
reference category pilihan pada Benny-David. Analisis regresi logistik multinomial
menunjukkan bahwa pemilih Kristen cenderung lebih memilih Olly-Steven
dan Maya-Glenny dibanding Benny-David, terlepas dari kondisi gender, desakota, usia, pendidikan, evaluasi atas kinerja pemerintah, penilaian terhadap
kualitas calon, maupun identitas partainya.
Tidak signifikannya etnik ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa seluruh
calon gubernur yang maju pada pilkada Sulawesi Utara berasal dari suku
Minahasa. Selain itu, sebagaimana dijelaskan di Tabel 4 di atas, komposisi
etnik di provinsi ini relative tidak terlalu imbang. Meskipun banyak sekali etniketnik kecil seperti Sangir, Bolang Mangandow, etnik Minahasa terlalu dominan
(45 persen). Hal ini berbeda dengan agama; meski Kristen Protestan mayoritas,
jumlah Muslim cukup signifikan di provinsi ini. Apalagi David Bobihoe
merupakan satu-satunya calon (baca: calon wakil gubernur) yang beragama
Muslim.
Kalimantan Barat menunjukkan pola yang mirip dengan Sulawesi Utara: efek
agama jauh lebih kuat dan konsisten dibanding etnik dalam menjelaskan
pilihan. Pada pilkada 2012 di Kalimantan Barat, sebagian besar calon gubernur
yang berlaga menggandeng pasangan dari suku yang berbeda (Dayak dan Melayu,
atau Dayak dan Tionghwa), kecuali Morkes Effendi dan Burhanuddin Rasyid
yang keduanya berasal dari Melayu Muslim. Calon petahana saat itu, Cornelis,
Katolik Dayak, berpasangan dengan Christiandy, Tionghwa Protestan. Paslon
ini memakai strategi lama dengan memaksimalkan dukungan dari kalangan
Kristen yang mencapai 35 persen dari populasi pemilih Kalimantan Barat.
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
81
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
Suara Islam, meskipun dominan, terbelah karena diperebutkan tiga paslon
lainnya.
Analisis bivariat lagi-lagi menunjukkan hubungan yang signifikan antara
faktor etnik dengan elektabilitas paslon. Namun korelasi dua variabel ini
ternyata semu: efek etnik mengendur setelah dikontrol variabel-variabel
lainnya. Menariknya, efek agama tetap signifikan menjelaskan pilihan di
pilkada Kalimantan Barat tahun 2012, terlepas dari kondisi gender, desakota, usia, pendidikan, evaluasi atas kinerja pemerintah, penilaian terhadap
kualitas calon, maupun identitas partainya. Dalam analisis regresi multinomial,
reference category-nya adalah elektabilitas Cornelis-Christiandy. Pemilih Muslim,
apapun etniknya, cenderung memilih tiga paslon lainnya yang beragama
Muslim ketimbang Cornelis-Christiandy. Sebaliknya, pemilih Kristen-Katolik
solid memilih Cornelis-Christiandy. Kuatnya efek agama dibanding etnik juga
terjadi di pilkada tahun 2007 di Kalimantan Barat. Paslon Cornelis-Christiandy
juga memonopoli dukungan suara Kristen dibanding tiga paslon lainnya yang
memperebutkan pangsa pasar yang sama: Muslim. Perbedaannya, pada tahun
2012, selain efek agama, penilaian terhadap performa Cornelis sebagai petahana
juga berpengaruh signifikan terhadap keputusan memilih calon gubernur-wakil
gubernur.
Di pilkada Maluku tahun 2013, dua paslon maju ke putaran kedua: Said
Assagaf dan Eti Sahuburua versus Abdullah Vanath dan Martin Maspaitella.
Assagaf adalah seorang Muslim dan wakil gubernur petahana, sedangkan
pasangannya (Eti) beragama Christian dan berasal dari Ambon. Assagaf adalah
keturunan Arab, tapi keluarganya lama berdomisili di Pulau Banda dan Ambon.
Dia menikah dengan seorang perempuan asal Sulawesi, sehingga membantu
Assagaf dalam menarik simpati dari warga Sulawesi yang tinggal di Maluku
(dikenal dengan akronim BBM: Bugis, Butondan Makassar), yang menguasai
sendi perekonomian di provinsi ini. Sementara Abdullah Vanath adalah bupati
dua periode di Seram Bagian Timur, sedangkan Marthin Maspaitella adalah
tokoh intelektual muda Kristen asli dari kota Ambon.
Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan hasil yang konsisten: efek
etnik dan agama sama-sama menentukan hasil pilkada di Maluku pada 2013.
Menariknya, analisis regresi multivariat menunjukkan bahwa dibanding
Abdullah, Assagaf sedikit lebih sukses menggaet dukungan dari pemilih Muslim.
Padahal keduanya sama-sama beragama Islam dan sama-sama menggandeng
pasangan beragama Kristen. Bisa jadi faktor keturunan Arab membantu Assagaf
82
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
Burhanuddin Muhtadi
dalam menarik simpati pemilih Muslim. Di samping itu, variabel kedekatan
terhadap partai-partai pengusung paslon, penilaian terhadap kualitas personal
calon, dan sosialisasi kampanye juga signifikan menjelaskan perilaku pemilih
di Maluku. Namun demikian, kepuasan terhadap kinerja Assagaf sebagai wakil
gubernur tidak signifikan mempengaruhi elektabilitas paslon. Pada pilkada
Maluku di 2008, pengaruh etnik sangat terbatas. Sebaliknya, faktor agama
justru berpengaruh signifikan.
Di Sumatera Utara, lima paslon gubernur dan wakil gubernur bertarung di
Pilkada 2013. Effendi Simbolonyang berlatar Kristen dan Batak Toba meminang
Jumiran Abdi yang Muslim dari suku Jawa. Gus Irawan Pasaribu yang merupakan
Batak Muslim berpasangan dengan Sukirman Muslim keturunan Jawa. Penjabat
gubernur sementara Gatot Pujo Nugroho sendiri seorang keturunan Jawa yang
mengajak seorang birokrat asli Melayu,Tengku Erry Nuradi. Meski berasal dari
suku yang berbeda, keduanya beragama Muslim. Demikian pula dengan paslon
Chairuman Harahap dan Fadly Nurzal yang berasal dari latar belakang etnik
berbeda tapi sama-sama Muslim. Sebaliknya, paslon Amri Tambunan dan RE
Nainggolan sama-sama orang Batak Toba, tapi keduanya memiliki identitas
agama yang berbeda.
Analisis bivariat menunjukkan hubungan signifikan antara etnik dengan
elektabilitas calon. Demikian juga variabel agama. Namun ketika diuji melalui
analisis regresi multinomial dengan elektabilitas Gatot-Tengku sebagai reference
category, efek etnik memiliki pengaruh yang terbatas pada pilkada 2013. Faktor
etnik hanya berpengaruh signifikan jika dibandingkan dengan Gus IrawanSukirman, sementara dibanding paslon lainnya tidak signifikan. Pemilih Jawa
cenderung memilih Gatot-Tengku ketimbang Gus Irawan-Sukirman. Sebaliknya,
pemilih Batak Toba cenderung memilih Gus Irawan-Sukirman dibanding
Gatot-Tengku. Adapun faktor agama juga hanya berpengaruh signifikan dalam
menjelaskan elektabilitas Gatot-Tengku versus Amri-Rustam dan antara GatotTengku versus Effendi-Jumiran. Intinya, pemilih Muslim cenderung memilih
pasangan Gatot-Tengku ketimbang paslon Amri-Rustam dan Effendi-Jumiran.
Sebaliknya, umat Kristiani cenderung memilih Amri-Rustam dan EffendiJumiran dibanding Gatot-Tengku. Ini karena Effendi dan Rustam adalah
seorang Kristiani, sedangkan Gatot seorang Muslim. Efek agama kurang
berpengaruh dalam menjelaskan elektabilitas paslon Gatot-Tengku dibanding
paslon Chairuman-Fadly dan Gus Pasaribu-Sukirman karena ketiga paslon
berlatar belakang agama yang sama (Muslim). Pada pilgub 2008, efek etnik juga
terbatas. Namun demikian, pengaruh agama signifikan menjelaskan perilaku
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
83
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
pemilih pada saat itu, tergantung komposisi agama paslon masing-masing. Efek
agama muncul ketika paslon dibandingkan paslon lain yang berbeda agama.
Studi kasus terakhir yang kita uji adalah pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Dua
paslon bertarung pada saat itu. Pertama, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli yang
sama-sama berasal dari Betawi. Fauzi adalah gubernur petahana yang meminang
Nachrowi, mantan jenderal. Sedangkan lawannya adalah Joko Widodo (Jokowi)
yang asli dari Jawa dan berpasangan dengan politisi yang berlatar belakang
Kristen Tionghwa,Ahok. Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan
pengaruh etnik signifikan menjelaskan elektabilitas paslon. Pemilih Jawa and
China cenderung memilih Jokowi-Ahok dibanding Fauzi-Nachrowi. Sebaliknya,
pemilih Betawi cenderung memilih Fauzi-Nachrowi dibanding Jokowi-Ahok.
Tapi etnik bukanlah satu-satunya faktor determinan. Pengaruh usia, tingkat
pendidikan, kepuasan terhadap kinerja Fauzi sebagai petahana, kualitas personal
calon dan sosialisasi juga signifikan menjelaskan perilaku pemilih warga Jakarta
pada 2012. Semakin muda pemilih dan semakin tinggi tingkat pendidikan
mereka, maka semakin cenderung memilih Jokowi-Ahok. Selain itu, semakin
tidak puas mereka terhadap kinerja Fauzi dan semakin baik citra personal
Jokowi, maka pemilih cenderung memilih Jokowi ketimbang Fauzi. Begitu
juga sebaliknya. Uniknya, pengaruh suku yang sangat dominan menjelaskan
pilihan warga Jakarta pada Pilkada 2012 dan Pilkada 2007 (Prasetyawan, 2014)
hilang tertelan faktor agama pada pilkada terakhir di 2017, sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Pada pilkada 2007 dan 2012, agama tak pernah menjadi
prediktor yang signifikan di Jakarta.
Agama merupakan faktor yang penting dalam pemilihan gubernur dan wakil
gubernur, khususnya ketika ada perbedaan agama antar paslon. Ini terlihat
di Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara. Studi ini
menunjukkan kecenderungan pemilih untuk memilih calon yang agamanya
sama dengan mereka. Pengaruh agama dalam politik elektoral di tingkat
lokal terlihat sangat meyakinkan. Dalam analisis multivariat, faktor agama
tetap signifikan ketika dikontrol oleh faktor-faktor lain (etnis, gender, desakota, umur, tingkat pendidikan, evaluasi atas kinerja pemerintah, identitas
partai, maupun penilaian terhadap kualitas calon). Pada Pilkada Jakarta 2007
dan 2012, efek agama tidak signifikan. Namun hal tersebut tidak otomatis
membatalkan efek agama dalam politik elektoral. Pada saat itu tidak ada
perbedaan agama antar calon gubernur dan tidak ada insiden Al-Maidah,
sehingga tidak memungkinkan bagi munculnya efek agama. Jika muncul paslon
84
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
Burhanuddin Muhtadi
yang beragama berbeda (cross-religious pairs), sebagian besar pemilih cenderung
melihat agama calon gubernur ketimbang identitas primordial pasangannya.
Faktor etnis juga penting, tetapi pengaruhnya memiliki keterbatasan, terutama
ketika dikontrol oleh faktor-faktor lain. Di Maluku, ketika dikontrol oleh faktorfaktor lain, pengaruh etnis tetap signifikan. Namun di banyak kasus, pengaruh
etnis menjadi tidak signifikan ketika dikontrol oleh faktor-faktor lain. Secara
umum, efek agama jauh lebih kuat dan konsisten ketimbang etnik. Pengaruh
etnik tetap signifikan jika para paslon yang berlaga berasal dari agama yang
sama, seperti Pilkada Jakarta tahun 2007 dan 2012 dan Pilkada Maluku 2013.
Di Pilkada Jakarta tahun 2012, Fauzi Bowo dan Jokowi sama-sama Muslim,
sehingga mobilisasi identitas yang coba digunakan di putaran kedua saat itu
kurang berpengaruh. Ketika perbedaan agama tak bisa dieksploitasi, perbedaan
etnik bisa dimobilisasi untuk mendapatkan keuntungan elektoral. Dengan
demikian, efek agama dan etnik bersifat dinamis, tergantung konteks sosialpolitik dan kondisi persaingan dan latar belakang primordial paslon.
Penutup
Secara umum, penelitian ini telah menemukan bukti empiris bahwa agama
dan etnis yang menjadi bahan bakar politik identitas merupakan faktor yang
penting dalam pemilihan kepala daerah. Saya juga sudah membuktikan bahwa
politik identitas sudah lama terjadi di tingkat lokal, jauh sebelum kasus Pilkada
Jakarta 2017. Politik identitas bekerja terutama ketika komposisi etnik dan
agama suatu wilayah tidak terlalu timpang dan tergantung identitas primordial
para paslon yang bertarung. Calon yang berasal dari kelompok agama dan suku
mayoritas punya modal yang lebih baik dalam berkompetisi dibanding calon
yang berasal dari kelompok minoritas. Ini menjelaskan mengapa Ahok kalah di
Pilkada Jakarta tahun 2017, meskipun approval rating-nya tinggi. Namun paslon
dari kelompok agama atau etnik minoritas bisa menang jika lawannya yang
berasal dari kelompok mayoritas terbelah. Ini terjadi di Kalimantan Barat ketika
Cornelis sukses mengalahkan para kompetitornya di 2007 and 2012. Suara
Muslim yang mayoritas terbagi ke tiga paslon, sedangkan Cornelis memobilisasi
basis non-Muslim dari suku Dayak dan China yang selama ini termarginalkan
oleh etnik Melayu yang Muslim.
Perilaku memilih merupakan gejala yang kompleks. Keputusan memilih
ditentukan oleh banyak faktor. Seorang calon yang berasal dari kelompok
identitas primordial tertentu belum tentu dapat menarik suara mayoritas di
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018
85
Politik Identitas dan Mitos Pemilih Rasional
kelompoknya sendiri. Hal ini bisa terjadi karena, selain faktor identitas, pemilih
juga mempertimbangkan faktor-faktor lain, terutama kualitas personal calon.
Intinya, dinamika politik lokal seringkali membuka ruang mobilisasi politik
identitas. Pilkada Jakarta hanya sedikit contoh di mana perilaku pemilih bukan
semata-mata didasarkan pada rasionalitas pemilih. Jika pemilih Jakarta rasional,
seharusnya kepuasan terhadap kinerja petahana diterjemahkan dalam bentuk
pilihan. Apalagi warga Jakarta memiliki modal rasionalitas yang lebih baik
ketimbang wilayah lain dilihat dari tingkat pendidikan dan pendapatan serta
akses terhadap informasi. Ternyata kinerja baik saja tak cukup mengantarkan
pada kemenangan. Tentu naif berharap kontestasi elektoral kita akan sepi dari
mobilisasi politik identitas berbasis isu-isu abad pertengahan. Tapi ikhtiar kita
tak boleh berhenti dalam mendorong calon pejabat publik agar berorientasi
program dan memakai pendekatan rasional dalam meyakinkan pemilih []
86
MAARIF Vol. 13, No. 2 — Desember 2018