MENTALITAS DAMAI SISWA DAN PERATURAN SEKOLAH
BERBASIS PESANTREN
Ade Hidayat1, Ilfiandra2, dan Sunaryo Kartadinata2
1
Universitas Mathla’ul Anwar Banten
2
Universitas Pendidikan Indonesia
email: adehidayat@ejournal.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menggali fakta-fakta kondisi damai yang dialami para
siswa dalam lingkungan sekolah berbasis pesantren, baik positif maupun negatif dan
mengungkapkan mentalitas mereka dihadapkan dengan peraturan sekolah. Penelitian
dilakukan di Madrasah Aliyah (Mualimin) Pesantren Persatuan Islam (PPI) 76 Tarogong
Garut. Metode yang digunakan adalah metode naratif berdasarkan data-data yang
dikumpulkan dengan teknik kuesioner, wawancara, dan studi literatur yang menggunakan
analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sinergitas peraturan sekolah, muatan
kurikulum, para pendidik, sarana dan prasarana, serta elemen internal lain dari sekolah
berbasis pesantren tersebut membangun satu keutuhan kondisi atmosfer kehidupan sarat
damai yang cukup signifikan bagi para siswa, baik individual maupun komunal. Fondasi
spiritual dan keagamaan dalam pendidikan memiliki struktur yang kokoh dalam menyusun
pilar kedamaian dalam diri siswa. Internalisasi kesadaran fungsi dan tugas manusia serta
pedoman berkehidupan yang diajarkan agama (Islam) sangat menopang terbentuknya harmoni
sikap siswa terhadap peraturan sekolah yang kokoh, yaitu terhindar dari mental disiplin yang
rapuh dan ragawi semata.
Kata kunci: mentalitas damai, pesantren, peraturan sekolah
STUDENTS’ PEACEFUL MENTALITY
AND PESANTREN-BASED SCHOOL RULES
Abstract
This study was aimed at eliciting facts of peaceful conditions experienced by students
in the environment of Pesantren-based schools, positively and negatively, and revealing the
students’ mentality in the face of the school rules. The study was done in Madrasah Aliyah
(Mualimin) Pesantren Persatuan Islam (PPI) 76 Tarogong, Garut. The study used the narrative
method based on the data collected by questionnaires, interviews, observation, and literature
study using interactive analyses. Findings show that the synergy of school rules, curriculum
contents, teachers, facilities and infrastructures, and other internal elements of the pesantrenbased school actualized a unified peaceful life atmosphere which is significant for students,
individually or communally. The spiritual and religious foundation of the education has
a solid structure in building pillars of peacefulness within the students. Internalization of
awareness towards human roles and duties and life guidelines taught by Islamic teaching
scaffolds the formation of the strong harmony between students’ attitudes and school rules,
preventing students from discipline mentality that is weak and superficial.
Keywords: peaceful mentality, pesantren, school rules
111
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
PENDAHULUAN
Salah satu kebutuhan psikologis
manusia adalah rasa damai, baik dalam
hubungan keluarga, antarkelompok,
masyarakat, maupun dalam lingkup
antarnegara. Secara individual, manusia
pun mencari damai dalam dirinya sendiri,
baik secara psikologis maupun spiritual
(Mujidin, 2005, p. 59). Berdasarkan
justifikasi egoistiknya, manusia secara
mendasar mencintai kedamaian. Pada diri
setiap individu manusia terdapat kepribadian
damai yang perlu dikembangkan.
Damai, kedamaian, atau perdamaian
dapat diartikan bermacam-macam.
Kedamaian sebagai suatu kondisi adanya
harmoni, aman, serasi, adanya saling
pengertian, suasana yang tenang, dan
ketiadaan kekerasan (Webel, 2007, pp.
6-7). Secara ontologis, damai tidak hanya
persoalan definisi melainkan pada “esensi”.
Antitesis damai bukanlah konflik, meskipun
keduanya bukan antagonis.
Kedamaian dapat diusahakan melalui
pendidikan (Kartadinata, 2014, p. 3).
Peserta didik perlu dibekali oleh berbagai
pengetahuan tentang keadaan bangsanya
sejak dini sehingga pendidikan merupakan
perantara yang tepat untuk menumbuhkan
bermacam sikap yang mendukung
tercapainya perdamaian. Kedamaian erat
kaitannya dengan kesehatan psikologis
(Christie, Wagner, & Winter, 2001, p. 2).
Kondisi kesehatan fisik dan psikologis
yang optimal terbentuk jika aspek-aspek
kepribadian berintegrasi dalam suatu jalinan
harmonis. Kebermaknaan hidup ditemukan
ketika seseorang menjalani aktivitas dan
perencanaan yang sesuai dengan nilai dan
komitmen serta kepribadian diri (McGregor
& Little, 1998).
Pada diri remaja terdapat satu kebutuhan
untuk menemukan kebermaknaan hidup
(meaningful life). Agama dan pendidikan
merupakan lembaga kehidupan yang
112
memuat banyak prinsip yang menyiratkan
kebermaknaan hidup yang salah satunya
yaitu kedamaian. Idealisme kedamaian
atau cinta damai merupakan nilai utama
dalam setiap agama. Semua doktrin agama
senantiasa mencita-citakan kedamaian,
kebahagiaan bagi semua penganut, dan
manusia secara umum, baik secara vertikal
maupun horizontal, kebahagiaan batin
(spiritual) maupun lahir. Hal yang sama
juga terjadi dalam pendidikan karena agama
dan pendidikan memiliki nilai universalitas
yang searah dalam membimbing kehidupan
manusia.
Miniatur konsep pembangunan tumbuh
kembang manusia yang diregulasi oleh
pendidikan dan agama ada dalam kehidupan
pesantren. Pesantren merupakan lembaga
formal kultural yang menjadikan pendidikan
dan agama bersinergi membentuk generasi
manusia terdidik. Pesantren bermisikan
pembimbingan dan pengajaran pada remaja
sehingga tumbuh kembang mereka dapat
terarah menjadi pribadi yang berketuhanan
dan berkemanusiaan. Artinya, terdapat
dua arah hubungan interaksi yang diatur
di dalamnya, yaitu hubungan spiritual dan
hubungan sosial.
Pesantren di Indonesia menjadi
tradisi dan memiliki “daya tarik”, karena
menyampaikan pelajaran agama dengan
serius (Sarbiran, 2004). Materi-materi
keilmuan pesantren yang lebih berpusat pada
pengasahan moralitas (akhlak), pemahaman
keagamaan dan penggiatan ibadah (fikih),
dan pembenahan keyakinan (akidah)
menunjukkan bahwa kehadiran pesantren
adalah dalam rangka pemapanan tradisi
adi luhung (Bruinessen, 1995, p. 17).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan
berbasis agama (Islam) adalah lembaga
pendidikan yang mentransformasi ilmu, nilai
normatif, konsep universal kemanusiaan,
tata cara berkehidupan yang benar, baik
secara spiritual maupun sosial, dan makna
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
kebermanfaatan hidup dengan pengukuhan
tujuan hidup yang benar dalam diri.
Tujuan pendidikan nasional seperti
diamanatkan oleh UUD 1945 adalah peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak
mulia para peserta didik yang dalam hal ini
adalah seluruh warga negara yang mengikuti
proses pendidikan di Indonesia (Marzuki,
Murdiono, & Samsuri, 2011). Oleh karena
itu, pendidikan yang membangun nilainilai moral atau karakter di kalangan siswa,
seperti dilakukan pesantren harus selalu
mendapatkan perhatian dan dukungan.
Secara umum Dhofier (1983, p. 41)
mengemukakan bahwa pondok pesantren
dikategorikan menjadi dua model, yaitu
pondok pesantren tradisional (salafiyah)
dan pondok pesantren modern (khalafiyah).
Pesantren tradisional mengajarkan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai
inti pendidikannya, tanpa mengenalkan
pengajaran pengetahuan umum. Metode
pengajaran di pondok pesantren tradisional
menggunakan sistem bandongan (kelompok)
dan sorogan (individual). Adapun pesantren
modern telah memasukkan pengajaran
pengetahuan umum dalam madrasah/
sekolah yang dikembangkan atau membuka
sekolah atau madrasah (formal) di dalam
lingkungan pesantren, dengan metode
pembelajaran menggunakan sistem klasikal.
Penelitian ini dilakukan di pesantren
modern yang di dalamnya terdapat aturan
sebagai sekolah/madrasah yang secara
formal diterapkan. Sekolah sebagai wadah
siswa memperluas sikap, keterampilan,
dan pengetahuan dapat berperan dalam
menciptakan kehidupan yang rukun
dan damai. Namun, tidak sedikit kasus
kekerasan, bullying, tawuran, dan kasus
yang menimbulkan ketidaknyamanan
fisik dan psikologis lainnya justru terjadi
di lingkungan sekolah (Hidayati, 2012, p.
41). Permasalahan-permasalahan tersebut
merupakan “pekerjaan rumah” bagi semua
kalangan yang berkecimpung di dunia
pendidikan, mulai dari siswa, guru, orang
tua, dan lingkungan masyarakat di sekitar
sekolah. Untuk itu, setiap sekolah harus
memiliki peraturan yang dijadikan pedoman
untuk bertingkah laku bagi semua yang
terlibat di dalamnya, yaitu tata tertib atau
peraturan sekolah.
Sekolah merancang segenap aturan
yang diaplikasikan bagi seluruh warga
sekolah, terutama bagi peserta didik (siswa/
santri). Fungsi peraturan sekolah antara lain
untuk menciptakan kedisiplinan, melatih
tanggung jawab, mengefektifkan kegiatan
belajar-mengajar, memperkuat peran pelajar,
melatih kejujuran, melatih kemandirian,
melatih keterampilan sosial, menghilangkan
kecemburuan sosial, meningkatkan rasa
kebersamaan, dan menjaga kenyamanan dan
kedamaian lingkungan. Tata tertib sekolah
merupakan salah satu alat pendidikan
preventif (pencegahan) yang bertujuan
untuk menjaga agar hal-hal yang dapat
menghambat atau mengganggu kelancaran
proses pembelajaran dapat dihindarkan
(Munib, 2004, p. 46).
Peraturan sekolah yang ada di Madrasah Aliyah Pesantren Persatuan Islam
76 Tarogong Garut (selanjutnya disebut MA
PPI 76) selain bertujuan untuk membangun
suasana belajar yang nyaman dan kondusif
sesuai yang diharapkan semua pihak juga
bertujuan dalam rangka pembelajaran
untuk menjalankan cara berkehidupan
sesuai dengan ajaran Islam. Peraturan
pesantren meliputi peraturan di kelas/
sekolah dan peraturan di asrama, khususnya
bagi santri yang bermukim. Di setiap hari
Sabtu, pesantren tersebut menggelar apel/
upacara pagi, yang berisi baiat atau ikrar
sumpah para santri untuk melakukan
sejumlah perilaku hal baik dan untuk tidak
melakukan beberapa perilaku yang tidak
baik berdasarkan ajaran Alquran dan sunah.
Berikut kalimat baiat tersebut.
113
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
Saya berjanji pada ustazku.
Saya akan menaati ustazku.
Saya akan berbuat baik pada kedua
orang tuaku.
Saya akan bersungguh-sungguh
dengan penuh keikhlasan.
Saya tidak akan berdusta.
Saya tidak akan bertengkar.
Saya tidak akan mencela seseorang.
Saya akan membaca Alquran setiap
hari.
Saya tidak akan merokok.
Saya tidak akan menampakkan perhiasanku kecuali yang biasa tampak.
Saya akan meninggalkan kejelekan
yang tampak dan yang tidak tampak.
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dialah (Allah) yang
keempatnya.
Dan tiada pembicaraan lima orang
melainkan Dialah yang keenamnya.
Dan tiada pula pembicaraan antara
jumlah yang kurang dari itu atau lebih
banyak melainkan Dia akan bersama
mereka di mana pun mereka berada.
(Daerobi, 2010).
Baiat di atas berfungsi sebagai
dasar dari peraturan pesantren yang lebih
memberikan penguatan dan penyerapan
ke dalam diri santri dengan diikrarkan
sepekan sekali sebagai bagian Islamic
character building yang bersifat pengikat
dan pengingat bagi kehidupan keseharian
santri baik di lingkungan sekolah maupun
di luar sekolah, baik dalam KBM maupun
di luar KBM. Rangkaian peraturan tersebut
bagi pesantren merupakan optimalisasi
peraturan yang sifatnya tidak hanya
otoritatif, namun hendak memberikan
internalisasi kesadaran dalam keseharian
santri secara menyeluruh.
Pola interaksi dengan pemisahan kelas
berdasarkan jenis kelamin pun merupakan
ciri khas pesantren, termasuk di pesantren
114
PPI 76 ini. Pola yang telah diberlakukan
berpuluh tahun ini memiliki landasan aturan
yang sangat kuat baik berdasarkan agama
maupun secara psikologis. Muatan pelajaran
yang memberikan fokus berimbang antara
pelajaran agama dan pelajaran umum
memberikan kontribusi positif dalam
pembelajaran dan penggemblengan
diri santri. Semua rangkaian aturan dan
muatan studi yang unik dari pesantren
memberikan satu diferensiasi sentuhan
tertentu pada output pendidikan. Selain
itu, elemen sekolah lainnya seperti tenaga
kependidikan serta sarana dan prasarana
pun berkontribusi tidak sedikit terhadap
kondisi kedamaian santri. Dalam hal
kekurangan, perlu diper-baiki oleh lembaga
demi introspeksi dan perbaikan mutu
pendidikan yang lebih baik.
Berdasarkan latar belakang di atas,
penelitian ini difokuskan pada dua hal.
Pertama, latar belakang pemikiran (mindset)
damai siswa di sekolah berbasis pesantren.
Kedua, mentalitas siswa dihadapkan dengan
peraturan sekolah berbasis keagamaan.
METODE
Penelitian dilaksanakan di Madrasah
Aliyah (Mualimin) Pesantren Persatuan
Islam Nomor 76 Tarogong Garut (MA PPI
76). Karakteristik MA PPI 76 merupakan
sekolah formal tingkat menengah atas
yang menerapkan dua kurikulum, yaitu
kurikulum sekolah formal dan kurikulum
pesantren. Jika menilik karakteristik
pesantren dari Dhofier (1983, p. 41) MA
PPI 76 termasuk pada kategori pesantren
modern. MA PPI 76 adalah sekolah atau
madrasah (formal) di dalam lingkungan
pesantren yang menggunakan sistem
klasikal dalam proses pembelajaran.
Subjek yang diteliti berasal dari kelas
XI (sebelas) sebanyak 58 siswa dari total
keseluruhan berjumlah 175 siswa kelas XI.
Responden yang dipilih sebanyak 27 laki-
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
laki dan 31 perempuan. Subjek penelitian
dipilih dengan menggunakan nonprobability
sampling, yakni dengan teknik purposive
sampling untuk memilih subjek yang
relevan dengan penelitian atau tujuan
penelitian dengan memperhatikan ciri-ciri
dan karakteristik populasi (Arikunto, 2002).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui teknik naratif.
Studi naratif dipilih karena kemampuannya
untuk memahami identitas dan pandangan
dunia seseorang dengan mengacu pada
cerita-cerita (narasi) yang didengar ataupun
dituturkan dalam aktivitas sehari-hari
(Webster & Mertova, 2007, pp. 14-15).
Perspektif naratif (narrative perspective)
mengarahkan individu untuk memaknai
hidupnya dengan bercerita (Winslade &
Monk, 2008, p. 4).
Individu dengan perspektif naratif tidak
diposisikan sebagai masalah. Perspektif
naratif mewujudkan komitmen untuk
mendengarkan itikad terbaik individu. Hal
ini lebih baik dibandingkan tergesa-gesa
dalam membuat asumsi sisi buruk dari
individu tersebut, bahkan memosisikan
sebagai agen moral. Perspektif naratif
menghindari deficit thinking (Winslade &
Williams, 2012, p. 17) yang memosisikan
individu dengan pengalaman sempitnya,
padahal setiap orang memiliki deskripsi
yang kompleks dan tidak tunggal.
Penelitian dilakukan dengan tiga
tahapan utama, yaitu tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporan. Tahap
perencanaan terdiri atas beberapa langkah:
mengidentifikasi dan merumuskan
masalah; menetapkan desain penelitian;
menyusun jadwal kegiatan penelitian;
studi pendahuluan; dan menentukan objek
penelitian. Tahap pelaksanaan melakukan
dua langkah, yaitu pengumpulan dan
menganalisis data. Pengumpulan data
menggunakan kuisioner, wawancara,
dan studi literatur. Langkah selanjutnya
adalah menganalisis data, dimulai dari
mengorganisasi dan mentranskripsikan data,
kemudian dianalisis secara naratif. Tahap
pelaporan dilakukan untuk kepentingan
publikasi.
Data yang dikumpulkan adalah
data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui teknik kuesioner
dan wawancara yang dilakukan dengan
responden penelitian. Data sekunder
diperoleh melalui penelusuran literatur dan
data-data yang terkait dengan penelitian
ini. Untuk memberikan panduan dalam
pengumpulan data di lapangan, disusun
pedoman studi lapangan seperti dalam
Tabel 1.
Teknik analisis data mengikuti model
analisis interaktif yang terdiri atas tiga
komponen alur kegiatan yang terjadi
bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan (Miles
& Huberman, 1992, pp. 16-18). Ketiga
komponen tersebut diterapkan secara
interaksi, baik antarkomponen maupun
dengan proses pengumpulan data dalam
proses siklus.
Hasil pengumpulan data dari observasi, wawancara, dan dokumen direduksi
terlebih dahulu. Reduksi data lebih bersifat
menyeleksi kumpulan data karena data
dan sajian data dilakukan dalam proses
pengumpulan data. Setelah pengumpulan
data berakhir, kemudian dilakukan
penarikan kesimpulan dari hasil seleksi
data dan sajian data (Sutopo, 2002, p. 88).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara umum, kondisi damai yang dirasakan
siswa di kelas cukup signifikan karena
sebagian besar responden menyatakan
merasakan kedamaian di kelas dan di
sekolah mereka. Beberapa faktor yang
mendukung terwujudnya kondisi damai
yang dirasakan responden adalah pertama,
115
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
Tabel 1
Pedoman Studi Lapangan
No
Aspek
Fokus Studi
1 Unit analisis
Individu/siswa, dokumen peraturan sekolah
2 Fokus kajian
Sekolah/kelas damai (peaceable school/classroom)
3 Teknik
Naratif/cerita
4 Prosedur studi - Memilih satu kelas yang ditelah ditentukan
- Meminta siswa menuliskan cerita otentik/riil yang terkait
dengan dengan masalah kedamaian yang mereka alami
selama berada di kelas atau sekolah
- Narasi/cerita yang ditulis oleh siswa memuat unsur waktu,
tempat, dan alur cerita yang bersifat sekuensial dan kronologis
- Panjang narasi sedikitnya 500 kata
- Cek silang cerita dengan observasi dan wawancara
- Observasi dilakukan terhadap situasi pembelajaran untuk
mengekplorasi perilaku otentik siswa dalam konteks indikator kelas yang damai dan pemahaman pada peraturan sekolah
- Untuk mendapatkan pola dan kecenderungan siswa yang
relatif menetap tentang iklim kelas yang damai observasi
dilakukan pada beberapa kegiatan KBM
- Protokol observasi berbentuk time and motion history untuk
merekam perilaku siswa yang merefleksikan indikator kelas
damai
- Wawancara dilakukan dengan lima wakil siswa/santri yang
mengisi kuisioner untuk menggali perspektif siswa tentang
pentingnya kelas yang damai, ciri-ciri kelas yang damai,
tanggung jawab siswa dalam membangun kelas yang damai,
prospek kelas yang damai di masa depan
5 Analisis data
- Analisis interaktif
6 Interpretasi data - Refleksi personal, kajian teori, dan riset terdahulu
Sumber: Webster dan Mertova (2007, p. 111)
hubungan interpersonal dengan teman.
Adanya kekompakan, saling menghargai,
minimnya perselisihan membuat sebagian
besar siswa damai berada di sekolah
dan membantu kelancaran proses KBM.
Beberapa responden mengakui hubungan
interpersonal yang harmonis dengan teman
memiliki tingkat pengaruh yang sangat
tinggi dalam menunjang keberhasilan
akademis mereka.
116
Kebersamaan, saling menghargai,
berbagi cerita, kekompakan kelas, tidak
adanya diskriminasi oleh teman sendiri,
minimnya pola pertemanan berdasarkan
pola geng, hinaan dan kebencian ada
namun hanya sesekali, serta konflik yang
tidak berlarut-larut merupakan beberapa
indikator yang muncul dari faktor di atas.
Ini memperkuat sinyalemen bahwa kondisi
yang sarat damai bukan berarti nyaris tanpa
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
adanya konflik, namun kemampuan para
individu untuk menekan potensi konflik
serta mengatasi konflik yang ada sehingga
tidak sampai berkepanjangan dan menyulut
dampak yang lebih besar. Potensi konflik
ditekan untuk melahirkan kesadaran urgensi
memelihara kedamaian. Membangun
kedamaian di sekolah perlu dipahamkan
pada siswa bahwa konflik niscaya ada.
Siswa perlu menyadari bahwa konflik
adalah kesempatan untuk pendewasaan
sikap (Lincoln & Amalee, 2008, p. 129).
Hal penting yang ditekankan adalah
siswa mengetahui sikap terbaik dalam
menghadapi konflik dengan teman, guru,
dan elemen sekolah yang lain.
Kedua, kondisi kebersihan dan
kenyamanan kelas pun menjadi kesadaran
masif akan pengaruhnya pada kondisi
damai yang dirasakan siswa. Kelas yang
bersih, nyaman, fasilitas memadai, tidak
bising, area sekolah yang luas merupakan
sejumlah indikator kondisi kedamaian.
Ketiga, kondisi kelas yang kondusif.
Hampir semua responden menyatakan
kondisi kelas yang dapat membuat damai
pada diri mereka dengan faktor-faktor
pendukung seperti, pemisahan santri
berdasarkan jenis kelamin, peraturan yang
dijalankan secara disiplin, jumlah siswa
yang tidak terlalu padat, dan sebagainya.
Hubungan harmonis dengan guru sebagian
besar sangat baik. Para guru cukup dinilai
kompeten berdasarkan background
pendidikan, pola pengajaran, pemahaman
psikologis peserta didik. Hal penting bagi
para responden adalah cara pengajaran
yang tidak membosankan. Sebagian besar
responden sangat mendapatkan pengaruh
baik positif ataupun negatif dari pola
pengajaran yang menyenangkan dengan
hubungan psikologis yang baik.
Terdapat beberapa hal menarik untuk
diungkap yang menjadi nilai khas pesantren
dalam mendukung terciptanya kondisi
damai pada diri siswa. Pertama, adanya
suatu aturan yang diberlakukan di sekolah.
Jika KBM dimulai atau siswa saling bertemu,
siswa dianjurkan memberikan gesture dan
sapaan yang bermakna damai, semisal,
saling berjabat tangan, menebar senyum,
dan mengucap salam. Dari pertanyaan,
kegiatan apa yang membantumu merasa
damai di kelas/sekolah? Responden W3
menjawab, “Kegiatan yang mendukung
untuk damai di sekolah, seperti kegiatan
ketika masuk kelas dianjurkan berjabat
tangan, menebar senyum dan saling
mengucapkan salam satu sama lain”.
Hal di atas mensinyalir bahwa
gesture sangat berkontribusi menambah
suasana damai antarsiswa. Dalam beberapa
lingkup sosial tertentu, kedamaian dapat
diupayakan di lingkungannya dalam bentuk
“gesture damai” yang sangat sederhana
namun memiliki pengaruh psikologis
yang besar. Gerak pola tangan dan satu
rangkaian wajah tertentu dengan beberapa
potongan kata pendek berisi doa salam
kedamaian, cukup bernilai dan berbobot
padat yang mewakili rasa perdamaian yang
ingin disampaikan individu tanpa banyak
berumbar kata, namun berkesan mendalam
secara interpersonal. Ucapan salam di
lingkungan pesantren telah menjadi kultur
yang kental dan tidak dapat dilepaskan dari
budaya keseharian pesantren.
Kedua, nilai khas kepesantrenan
yang menyentuh pada kondisi inner peace
responden. Pola penghayatan kedamaian
di lingkungan responden cukup banyak
dipengaruhi oleh rutinitas dan kedekatan
individu membaca kitab suci (Alquran),
baik sendiri maupun secara bersamasama, dalam rangka pembelajaran maupun
penghayatan pribadi ketika sendiri.
Beberapa responden mengalami gradasi
kedamaian diri yang sangat signifikan yang
ditopang oleh faktor kedekatan aktivitas
dengan hal yang berkaitan dengan Alquran
117
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
khususnya tilawah yakni membaca Alquran.
Jawaban berbeda disampaikan responden
W2 ketika diajukan pertanyaan yang sama
di atas, yang menjawab: “…bergabung
dengan kegiatan UG (OSIS), membaca
Alquran di tempat sepi, menyibukan diri
dengan hal-hal yang bermanfaat, berusaha
untuk tidak mengusik rasa damai yang
sedang dirasakan orang lain. Insya Allah
hati jadi tenang”.
Pernyataan di atas menegaskan kontribusi pendalaman agama dan Alquran yang
berfungsi sebagai peredam atau kontrol
internal dalam menekan konflik batin dan
kondisi yang mengganggu kedamaian
baik interpersonal maupun intrapersonal.
Sebagian besar responden menyatakan
sangat merasakan bahwa pendalaman
pelajaran agama memberikan kontribusi
positif bagi inner peace responden. Sebagian
lainnya menyatakan pemberian pelajaran
berbasis keagamaan seperti di pesantren
tersebut sangat besar manfaatnya untuk
menata masa depannya. Beberapa di
antaranya pun menyatakan sangat signifikan
mendapatkan pondasi kesadaran memahami
realita, fungsi dan kewajibannya sebagai
siswa dan manusia berdasarkan kontribusi
pemahaman spiritual agamanya.
Ada juga sejumlah responden menyatakan kurang dan tidak merasakan
kedamaian, yakni kurang lebih sepertiga
dari total responden yang disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu faktor pertemanan,
kondisi kelas, dan pengaruh pribadi, serta
pola pengajaran guru. Faktor-faktor yang
lain yaitu individualitas serta egoisme
beberapa siswa, kelas yang gaduh, fasilitas
yang kurang memadai (semisal kantin yang
kurang luas), letak sekolah di pinggir jalan
dan bersebelahan dengan sekolah dasar
(SDIT Persis Tarogong), pelanggaran
aturan sekolah yang dilakukan siswa,
kondisi kelas kotor, kesenjangan sosial
yang menyebabkan rasa minder beberapa
118
siswa, serta perilaku siswa yang kurang
menghargai guru. Faktor lain yang cukup
memperbesar kondisi ketidakdamaian
responden adalah kondisi faktual beberapa
guru yang kurang melakukan pendekatan
psikologis kepada siswa dan hanya berfokus
pada materi pelajaran dan kedisiplinan
yang kurang diimbangi objektivitas dalam
menilai siswa secara mendalam. Satu
misal dari pertanyaan, ceritakan seberapa
baik/buruk hubunganmu dengan guru dan
teman-teman di kelas/sekolah! Responden
W3 menjawab. “Saya lebih (sangat dekat)
dengan teman-teman dibanding dengan
guru. Padahal sebenarnya saya dan temanteman butuh rangkulan (perhatian lebih)
dari guru”.
Berdasarkan analisis, kondisi yang
membuat sebagian besar siswa tidak
merasa damai berdasarkan faktor di atas
dapat diimbangi dengan kemampuan
efikasi diri. Menilik teori Bandura
(1997) bahwa efikasi diri (self-efficacy)
merupakan keyakinan individu mengenai
kemampuan dirinya dalam melakukan
tugas atau tindakan yang diperlukan untuk
mencapai hasil tertentu. Sejumlah jawaban
responden dari kuesioner yang diberikan,
kendati pun para responden mengalami
beberapa faktor yang menyebabkan
berkurang atau terganggunya kondisi
kedamaian, ketika menjawab para responden menjelaskan adanya kesadaran bahwa
segala sesuatu memiliki sisi positif dan
negatif, sisi kemudahan dan kesulitan,
serta senantiasa terdapat pelajaran dari
hal negatif sekalipun. Responden W1
menyatakan kurang merasakan kedamaian
karena ada konflik dengan temannya,
namun ketika pada muara pertanyaan,
kamu merasa bahagia di sekolah ini? Coba
ceritakan suasana hatimu!” Ia menjawab:
“Bahagia sih, walau banyak (hal) yang
kurang damai, namun di baliknya ada
hikmah yang membuat saya jadi terdorong
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
untuk merubah diri saya lebih baik agar
terjadinya damai yang saya harapkan”.
Menimbang hal itu, status tingkat
ketidakdamaian siswa tidak begitu
mengkhawatirkan. Siswa umumnya paham
mengenai tugas, mencapai tujuan, dan
mengatasi hambatan. Beragam cara siswa
dalam mengatasi keadaan tidak damai
dalam dirinya, seperti membaca Alquran,
jalan-jalan keliling sekolah, membaca buku
yang dibawa dari rumah, berdiskusi dengan
teman, curhat dengan guru, berorganisasi,
olahraga yang disukai, dan sebagainya.
Fenomena lain yang terjadi pada
kondisi ketidakdamaian responden adalah
kecenderungan siswa laki-laki yang
lebih rentan merasakan ketidakdamaian
dibandingkan siswa perempuan, yaitu dari
20 responden yang menyatakan kurang/tidak
merasakan kondisi damai, 15 responden
adalah laki-laki padahal sampel yang
diambil berdasarkan jenis kelamin cukup
berimbang secara komposisi. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan hal tersebut
memerlukan penelitian lebih lanjut. Merujuk
pada hasil penelitian dari Gottfredson
dan Hirschi (1990) yang menyebutkan
terdapat perbedaan tingkat self control antara
laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki
memiliki tingkat self control lebih rendah
daripada perempuan sehingga banyak
ditemukan laki-laki melakukan tindakan
negatif dan menyimpang terkait dengan
perilaku kriminal dan kenakalan lainnya.
Self control yang buruk seringkali dikaitkan
dengan adanya tingkat self control yang
rendah. Individu yang memiliki tingkat
kontrol diri rendah cenderung bertindak
impulsif, memilih tugas yang sederhana,
berani mengambil risiko, memilih kegiatan
yang berhubungan dengan fisik, egois, dan
mudah kehilangan kendali, serta emosi
(Gottfredson & Hirschi, 1990).
Shekarkhar dan Gibson (2011)
menyatakan tinggi rendahnya kontrol
diri seseorang tidak ditentukan oleh jenis
kelamin. Rendahnya tingkat self control juga
dipengaruhi oleh faktor luar dari masingmasing diri individu. Shekarkhar dan
Gibson (2011) menilai bahwa Gottfredson
dan Hirschi mengabaikan faktor-faktor
lain yang menyebabkan rendah atau
tingginya tingkat kontrol diri yang dimiliki
oleh individu. Misalnya, ketika individu
memiliki akses yang lebih besar untuk
melakukan tindakan negatif, individu
tersebut cenderung bertindak negatif dan
memiliki self control yang buruk.
Ditinjau dari jenis kelamin, laki-laki
mempunyai karakter bersaing (Relawati,
2011) dan lebih agresif (Taylor, Peplau,
& Sears, 2005) daripada perempuan.
Stereotif menggambarkan perempuan lebih
menerima, pasrah, dan cenderung menerima
ketimbang laki-laki, juga perempuan lebih
memerhatikan kerugian akibat perilaku
agresif (Bettencourt & Miller, 1996).
Berdasarkan pendapat-pendapat
di atas dan berdasarkan analisis faktor
penyebab kerentanan siswa laki-laki dalam
perilaku ketidakdamaian dan kekerasan
didukung beberapa hal. Pola atau cara
berkomunikasi siswa laki-laki lebih terbuka
dibandingkan perempuan, akses dalam
mendapat informasi melalui internet dan
kecenderungan remaja laki-laki menyukai
games atau permainan online berbumbu
kekerasan yang lebih besar dibandingkan
remaja perempuan.
Minimnya tingkat ketidakdamaian para
responden pun didukung oleh minimnya
tingkat perselisihan yang terjadi di antara
mereka. Responden di kelas ikhwan
(putra) menuturkan bahwa hanya pernah
sekali konflik berupa perkelahian dan
segera diselesaikan dengan musyarawah
antarsiswa yang berselisih di kelas tanpa
melibatkan guru atau pihak sekolah.
Mentalitas adalah keadaan dan
aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan
119
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
berperasaan (Notosoedirjo, 2001, p. 21).
Dalam beberapa kondisi, seorang individu
menghadapi seperangkat aturan yang
dibuat memungkinkan banyak hal terjadi
dalam diri, pikiran, dan perilaku individu
tersebut. Bagi seorang individu yang
telah memiliki kesiapan menjalankan
peraturan dengan baik dan memiliki
kesadaran pentingnya menaati peraturan
serta manfaat aturan tersebut bagi dirinya,
hal itu akan memunculkan gejala mentalitas
individu yang proaktif bagi jalannya
peraturan sekolah tersebut. Namun apabila
sejumlah peraturan tertentu tidak diterima
dengan baik oleh individu disebabkan
oleh ketidaksiapan menjalankan peraturan
yang dinilai negatif bagi dirinya, kurang
memiliki kesadaran, memiliki satu landasan
pemikiran yang keliru, atau rendahnya
tingkat komitmen berperilaku sesuai aturan,
maka dalam posisi ini konsep kedamaian
seringkali disalahkaprahkan sebagai dalih
bagi mentalitas yang kontraproduktif.
Secara mayoritas, mentalitas para responden yang berkaitan dengan pemaknaan
pengalaman damai ketika dihadapkan
dengan peraturan sekolah cukup positif.
Kondisi jiwa individu, harapan, dan konsep
tentang kedamaian didukung oleh beberapa
hal, yakni kondusifnya kelas, kebersihan
kenyamanan dan lengkapnya fasilitas
sekolah, kebersamaan khususnya di antara
siswa, persahabatan yang baik, kesetaraan
keadilan dan tidak adanya diskriminasi oleh
sekolah dan guru, serta saling menghargai.
Mentalitas siswa yang dibangun oleh
stakeholder pendidikan terkait, dalam hal
ini pihak pesantren serta orang tua di rumah
telah cukup berhasil. Adapun presentase
kecil dari responden yang kurang mencapai
standar pencapaian yang diharapkan
dapat disebabkan berbagai faktor yang
memerlukan penelitian lanjutan. Hanya
terdapat beberapa orang saja yang memiliki
konsep damai yang kurang sesuai yang
120
diharapkan bagi sekolah dan pendidikan,
yakni responden yang memiliki pandangan
bahwa aturan sekolah yang dianggap
merepotkan seperti tidak boleh membawa
gadget (smartphone, tablet PC, dsb.),
pelajaran tertentu yang tidak disukai,
muatan hafalan yang terhitung banyak,
tugas PR yang dianggap sulit dan membuat
jenuh. Hal ini diutarakan responden W4
ketika menjawab pertanyaan, kamu merasa
bahagia di sekolah ini? Ia menjawab: “…
tidak terlalu bahagia, (karena) banyak tugas
hafalan dan dituntut untuk menghafal Quran
ditambah peraturan tidak boleh membawa
HP ke sekolah menjadikan (saya) tidak
dapat mencari jawaban atau materi (untuk)
mengerjakan tugas sekolah”.
Ada beberapa responden yang menyatakan merasakan kedamaian disebabkan
oleh faktor kecenderungan pada lawan
jenis yang menjadi faktor motivasi belajar,
merasakan damai ketika mengobrol dengan
teman, jajan atau tidur di waktu KBM.
Responden yang memiliki mentalitas
demikian tersebar pada individu yang
menyatakan merasakan ketidakdamaian
pada individu yang merasakan damai.
Artinya variabel mentalitas dan kedamaian
tidak memiliki hubungan dependensi.
Terlebih lagi kedamaian yang umum
dibahas dalam tulisan ini adalah kondisi
damai faktual yang dirasakan siswa.
Membangun mentalitas terkadang
tampak berbenturan dengan arus pendidikan yang mengutamakan kedamaian. Seolaholah tampak bahwa pendidikan yang hendak
membangun mentalitas menjadikan tempaan
dan rintangan atau zona tidak nyaman
sebagai alat bantunya, sedangkan salah
satu indikator pendidikan kedamaian adalah
zona nyaman, yakni zona kebalikannya.
Secara singkat yang ingin ditekankan
adalah pendidikan secara umum memiliki
tujuan yang secara garis besar menyokong
pembangunan mentalitas yang kuat
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
sekaligus mendukung cita-cita kedamaian
sebagai syarat asasi kehidupan bersosial
yang harmoni. Dalam proses pendidikan,
hendaknya tidak terjadi kesalahan dalam
mengidentifikasi indikator sebagai tujuan
utama. Upaya menciptakan kedamaian
d i s e ko l a h s e ba g a i ba g i a n u pa y a
pencapaian pendidikan hendaknya tidak
lantas memosisikan kedamaian secara
membabi buta sebagai arah utama sehingga
menerjang/melewati batas koridor-koridor
lain dalam pendidikan. Wacana di atas
menganjurkan adanya pembenahan konsep
kedamaian, dan aplikasinya dalam bidang
sosial. Sejumlah kecil jawaban responden
yang memiliki persepsi kurang tepat dalam
memaknai kedamaian karena bersumber
dari mentalitas yang perlu diperbaharui.
Secara fungsional, peraturan sekolah
dirancang salah satunya untuk menciptakan
kehidupan siswa secara disiplin, terarah
mendukung tujuan pendidikan, dan
memberikan nilai serta manfaat positif
khususnya bagi siswa. Namun, hal itu tidak
disadari oleh siswa secara keseluruhan
sehingga siswa hanya merasakan efek
permukaan atau bagi siswa tertentu itu
merupakan efek sampingan bagi kehidupan
secara pribadi. Bagi sebagian besar siswa,
peraturan yang ada dirasakan berfungsi
menertibkan siswa, namun ada beberapa
siswa dalam beberapa peraturan tertentu
yang dirasa membatasi dan mempersulit
siswa. Sebagai contoh pemisahan kelas
berdasarkan jenis kelamin diupayakan
pihak pesantren dalam rangka pengondisian
interaksi siswa yang menghindari sifat
ikhtilat (membaurnya interaksi pergaulan
laki-laki dan perempuan berdasarkan
aturan Islam). Tujuan utamanya semata
pencegahan kemungki nan dampak
pergaulan remaja yang desktruktif, yang
pada masa tersebut remaja menginjak
periode pubertas. Tujuan normatif itu dapat
dengan mudah dipahami oleh semua siswa
karena cara pandang, pola pikir, juga latar
belakang keluarga yang beragam.
Contoh lainnya, sebagian responden
mengeluhkan ruang kantin yang sangat
sempit, padahal secara penyediaan lokasi
dan dana, pesantren mampu memperluas
ruang kantin sesuai harapan mereka.
Beberapa latar belakang yang mendorong
pesantren tidak mengubahnya adalah karena
harapan dan dorongan situasi lingkungan
pesantren yang ingin mendukung atmosfer
budaya ilmiah dan Islami. Area yang
digalakkan untuk diminati para siswa
berkumpul adalah wahana ilmiah seperti
perpustakaan dan wahana olahraga seperti
lapangan futsal dan basket. Pihak pesantren
dengan latar belakang aturan agama sangat
mencegah wahana untuk tempat berkumpulkumpul yang kurang memberikan manfaat
dari sisi pendidikan dan rohani. Hal ini
belum dipahami oleh para responden yang
mengeluhkan kurangnya fasilitas tersebut.
Permasalahan terakhir, beberapa
responden menyebutkan pernah terjadi
protes perwakilan beberapa siswa dan
pengurus RG-UG (OSIS) yang merasa
keberatan terhadap perubahan jadwal pulang
sekolah dari yang sebelumnya pulang pada
pukul 12.00 wib diganti menjadi pukul
14.00 WIB. Lagi-lagi, bagi siswa hal itu
sempat menjadi permasalahan. Perubahan
tersebut bagi pihak pesantren bukan
tanpa tujuan. Efektivitas alokasi jadwal
harian siswa dalam kegiatan pendidikan
dan muatan ganda kurikulum pesantren
menuntut alokasi KBM yang lebih leluasa.
Dari sudut pandang siswa, hal itu memuat
alasan yang lebih egosentris dibandingkan
menimbang manfaat-manfaat yang akan
didapat dari peraturan itu. Akan tetapi,
protes tidak berkepanjangan karena para
siswa akhirnya menerima aturan tersebut.
Peraturan sekolah dengan perbedaan titik
poin kepentingan individual siswa menjadi
akar permasalahan yang umum terjadi di
121
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
beberapa sekolah. Kiranya perlu ada proses
damai untuk memahami peraturan sekolah
yang normatif dengan muatan kepentingan
pribadi siswa.
Suatu hal dinilai baik menurut sekolah
namun belum tentu baik menurut siswa.
Artinya, belum ada proses mensatuarahkan
pemahaman. Sebagian besar siswa
menerima peraturan tersebut dengan
penuh kesadaran bahwa aturan itu demi
kebaikan diri mereka dan semua pihak
sehingga terbangun perilaku disiplin
dalam diri siswa. Kesadaran diri, ketaatan,
dan kesiapan menerima konsekuensi dari
pelanggaran mengantarkan siswa pada
satu keharmonisan, baik internal maupun
eksternal yang berhubungan dengan
pihak sekolah. Sebagian kecil siswa
belum memahami tujuan peraturan dan
manfaatnya. Siswa kelas XI dengan kisaran
usia 16-17 tahun, mulai memiliki landasan
kemandirian berpikir namun terkadang
berada dalam kondisi afektif yang kurang
stabil, bahkan cenderung konfrontatif
dengan aturan sekolah/pesantren. Mereka
memiliki argumen beragam berdasarkan
perspektif dan kepentingan sendiri.
Dengan tingkat mentalitas tersebut, siswa
mendefinisikan kondisi damai dan konsep
kedamaian berdasarkan indikator-indikator
internal yang ada dalam pikiran dan
perasaannya.
Beberapa poin yang kurang memiliki
sudut pandang yang sinkron antara sekolah
dan siswa, semisal proses sosialisasi dan
pemberian pemahaman mendalam pada
diri siswa akan pentingnya aturan yang
berefek positif bagi siswa itu sendiri.
Dalam hal ketaatan pada peraturan sekolah,
Sudrajat (2008, p. 24) menyatakan bahwa
setiap siswa dituntut dan diharapkan
untuk berperilaku setuju dengan aturan
dan tata tertib yang berlaku di sekolah,
namun tetap membutuhkan proses dialog
yang baik sehingga tujuan diadakannya
122
peraturan tersebut dapat tercapai dengan
tepat. Kedamaian diperoleh melalui proses
belajar dengan dialog (Wulandari, 2010).
Dalam hal ini, antara guru dan siswa
dalam posisi yang sama dan saling belajar.
Dialog juga melatih siswa dan guru untuk
saling menghormati karena di dalam dialog
terdapat unsur “mendengarkan dengan
baik” yang kemudian membuka wawasan
siswa dan guru untuk dapat menerima ideide baru.
Peraturan pada hakikatnya mengondusifkan jiwa dan raga, menuju satu kondisi
yang saling memberikan kenyamanan hidup
bersama. Kedamaian bukanlah sebuah
proses instan yang dimulai secara masal
yang diberlakukan dari arah eksternal,
namun kedamaian merupakan satu hal yang
akan tumbuh berakar dari kesadaran dan
kondisi damai dari diri sendiri.
Penyeragaman perilaku siswa berdasarkan harapan sekolah, baik dan lebih
mudah. Esensinya bukan itu, tetapi dengan
menyelami pengalaman hidup bersama
dengan komunitas di dalamnya disertai
adanya aturan yang mengondusifkan
sehingga siswa berhasil mengambil intisari
makna (pemaknaan) yang tersaring dari
semua pengalaman tersebut, dan akhirnya
siswa selain sangat yakin bahwa damai itu
penting, siswa juga memiliki satu paradigma
dan kerangka pikir dan berkarakter yang
paten tentang kondisi damai dan kondisi
nyaman bagi semua yang dapat diterapkan
dalam kehidupan mereka selanjutnya.
Sekolah yang damai adalah sekolah yang
mengedukasi kedamaian secara positif,
bukan sekolah yang memberlakukan hal
normatif semata.
Itikad dan usaha menuju nilai kedamaian yang seperti itulah yang tersimpul
dari pendidikan di sekolah berbasis
keagamaan, seperti pesantren. Pondasi
spiritual dan keagamaan dalam muatan
pendidikan memiliki struktur yang lebih
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
kokoh dalam menyusun pilar kedamaian
dalam diri siswa. Ajaran Islam mencitacitakan suatu masyarakat yang egaliter,
yakni sistem sosial yang didasarkan atas
kesetaraan dan kesederajatan sebagai
makhluk Tuhan (Wahab, 2011).
Internalisasi kesadaran fungsi dan
tugas manusia serta pedoman berkehidupan
yang diajarkan agama sangat menopang
terbentuknya harmoni sikap siswa
terhadap peraturan sekolah yang kokoh.
Spiritualitas yang kuat akan menjadi
pondasi pembangunan mentalitas yang
menghindarkan siswa dari kedisiplinan
yang rapuh dan ragawi semata.
SIMPULAN
Problematika pemeliharaan harmoni
dalam miniatur kehidupan bersosial
pesantren senantiasa ada dan menjadi
tantangan pesantren dalam rangka
mematangkan diri menjadi model sosial
komunal yang handal di peradaban
terkini. Pesantren kokoh dalam pijakan
pada matrik spiritualitas transendennya
berdasarkan Alquran dan Hadis, yang
cabang-cabang dan rantingnya mampu
beradaptasi dan mengakrabi beragam
musim peradaban manusia yang bergilir
tanpa henti. Kedamaian adalah prasyarat,
bukan tujuan kehidupan bersosial. Ketika
tujuan manusia, yakni menjadi khalifah/
wakil Tuhan dalam menggelar peradaban
kehidupan yang berkeadilan tercapai,
kedamaian ada dan terjaga di dalamnya.
Hasil penelitian dan pembahasan
yang sudah dipaparkan memberikan
rekomendasi: pertama, bagi lembaga
pesantren. Penting untuk menghadirkan
lembaga pendidikan yang ramah anak.
Pesantren patut menjadi garda terdepan
hadirnya lembaga pendidikan bermoral
sekaligus ramah anak di Indonesia.
Dalam hal aturan sekolah, penting adanya
sinkronisasi sudut pandang antara sekolah
dan siswa. Ada beberapa tahap yang perlu
dilakukan sebelum diberlakukannya aturan
sekolah, semisal ada proses sosialisasi dan
pemberian pemahaman mendalam pada
siswa mengenai pentingnya aturan yang
berefek positif bagi siswa.
Kedua, bagi pendidik (guru/ustaz).
Berdasarkan temuan penelitian bahwa
sebagian faktor permasalahan kedamaian
pada diri siswa bersumber dari pendidik baik
dari aspek psikologis maupun akademis.
Pendidik dituntut untuk menciptakan
kedekatan psikologis. Hal itu sangat
dibutuhkan oleh siswa selain peran pendidik
lainnya sebagai transmitor pengetahuan dan
nilai yang dituntut juga berkapabilitas dan
profesional.
Ketiga, bagi peneliti lain. Perlu
penelitian yang diperluas, baik dalam
pendekatan penelitian, jumlah dan ragam/
karakteristik sekolah, maupun banyaknya
responden, dalam rangka mengembangkan
lebih jauh karakter damai bagi remaja
secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian:
Suatu pendekatan praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The
exercise of control. New York: W. H.
Freeman and Company.
Bettencourt, B. A. & Miller, N. (1996).
Gender differences in aggression as
a function of provocation: A metaanalysis. Psychological Bulletin, 119,
422-447.
Bruinessen, M. V. (1995). Kitab kuning,
tradisi-tradisi Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan.
Christie, D. J., Wagner, R. V., & Winter,
D. D. (2001). Introduction to peace
psychology. Dalam D. J. Christie, R.
V. Wagner, & D. D. Winter (Eds.),
Peace, conflict, and violence: Peace
123
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
psychology for the 21st century (1-14).
New Jersey: Englewood Cliffs.
Daerobi, A. (2010). Direktori pesantren
persatuan Islam. Bandung: PP Persis
No 1 & 2.
Dhofier, Z. (1983). Tradisi pesantren
studi tentang pandangan hidup kyai.
Jakarta: LP3S.
Gottfredson, M. R., & Hirschi, T. (1990). A
general theory of crime. Stanford, CA:
Stanford University Press.
Hidayati, N. (2012). Bullying pada anak:
Analisis dan alternatif solusi. Insan
14(1), 41-48.
Kartadinata, S. (2014). Pendidikan untuk
kedamaian dan pendidikan kedamaian.
Bandung: UPI Press.
Lincoln, E. & Amalee, I. (2008). Peace
generation: 12 nilai dasar perdamaian.
Bandung: Pelangi Mizan.
Marzuki, Murdiono, M., & Samsuri.
(2014). Pembinaan karakter siswa
berbasis pendidikan agama. Jurnal
Kependidikan, 41(1), 45-53.
McGregor, I., & Little, B. R. (1998).
Personal projects, happiness, and
meaning: On doing well and being
yourself. Journal of Personality and
Social Psychology, 74, 494-512.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992).
Analisis data kualitatif. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Mujidin. (2005). Garis besar psikologi
trans-personal: Pandangan tentang
manusia dan metode penggalian
transpersonal serta aplikasinya
dalam dunia pendidikan. Humanitas:
Indonesian Psychological Journal,
2(1), 54-64.
Munib, A. (2004). Pengantar ilmu pendidikan. Semarang: UPT MKK Unnes.
Notosoedirjo, M. (2001). Kesehatan mental:
konsep dan penerapan. Malang: UMM
Press.
124
Relawati, R. (2011). Konsep dan aplikasi
penelitian gender. Bandung: Muara
Indah.
Sarbiran, S. (2004). Kajian artikel: A comparative study of guru kula and pondok
pesantren educational system. Jurnal
Kependidikan, 34(1), 91-102.
Shekarkhar, Z., & Gibson, C. L. (2011).
Gender, self-control, and offending
behaviors among latino youth. Journal
of Contemporary Criminal Justice,
27(1), 63-80.
Sudrajat, A. (2008). Perkembangan kognitif.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sutopo, H. B. (2002). Metode penelitian
kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O.
(2005). Social psychology (12th ed.).
New York: Pearson Education.
Wahab, R. (2011). Pembelajaran pendidikan
agama Islam dalam mewarnai kualitas
pendidikan di sekolah. Jurnal Kependidikan, 41(2), 144-150.
Webel, C. (2007). Toward a philos ophy a nd m et aps yc holo gy of
peace. Handbook of peace and conflict studies, 3-13.
Webster, L., & Mertova, P. (2007). Using
narrative inquiry as a research method:
An introduction to using critical event
narrative analysis in research on
learning and teaching. New York:
Routledge.
Winslade, J., & Monk, G. (2008). Practicing
narrative mediation: loosening the
grip of conflict. San Francisco, CA:
Jossey-Bass.
Winslade, J., & Williams, M. (2012). Safe
and peaceful school: Addressing
conflict and eliminating violence.
Thousand Oaks, CA: Corwin.
Wulandari, T. (2010). Menciptakan
perdamaian melalui pendidikan
perdamaian di sekolah. Mozaik, 5(1),
68-83.