[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
1 PENGGUNAAN DRONE SEBAGAI SENJATA: PERLUNYA PEMBENTUKAN ATURAN MENGENAI DRONE 1 Gerald Alditya Bunga, SH., LL.M2 Abstract In inter-state relation, armed conflict is a matter that may happen and drone is one of equipment used in it. The use of drone is considered more effective because it can reduce the risk of human casualties and can achive the target specified. However, the use of drones as weapon in armed conflict becomes a dilemma because it contradicts with the rules of international humanitarian law and the absence of rules specifically governing the drone. This is a normative research aimed to discuss about why necessary to estabilish a special rule governing the drone. Keywords: Drone, International Humanitarian Law Intisari Dalam hubungan antar negara, konflik merupakan suatu hal yang mungkin terjadi dan seringkali penggunaan kekuatan bersenjata (use of force) merupakan cara yang digunakan untuk menyelesaikannya. Drone merupakan salah satu alat yang digunakan dalam konflik bersenjata. Penggunaan drone dianggap lebih efektif karena dapat mengurangi resiko jatuhnya korban manusia dan dapat mencapai target serangan yang dinginkan. Akan tetapi penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata menjadi sebuah dilema karena bertentangan dengan aturan hukum humaniter internasional dan ketiadaan aturan yang secara khusus mengatur mengenai drone. Penelitian ini dilakukan secara normatif yang bertujuan untuk membahas mengenai mengapa perlu adanya suatu aturan khusus tentang drone. Kata kunci: Drone, Hukum Humaniter Internasional 1 Disampaikan dalam Workshop dan Seminar Hukum Humaniter Internasional di Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Semarang, Tanggal 24-26 Juni 2014 2 Dosen Fakultas Hukum, Bagian Hukum Internasional, Universitas Nusa Cendana, Kupang 2 Latar Belakang Masalah Peralatan bersenjata merupakan salah satu sarana penunjang dalam konflik bersenjata untuk mendapatkan sasaran yang ingin dicapai. Dalam perkembangannya peralatan bersenjata yang dipakai telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa sebelum orang mengenal senjata api, orang masih sangat bergantung pada penggunaan senjata tajam seperti belati/pisau, pedang, tombak, panah, atau kapak. Kemudian dengan ditemukannya senjata api dan teknologi persenjataan semakin berkembang maka orang banyak beralih menggunakan senjata api seperti pistol atau senapan. Hal ini lebih menguntungkan karena dapat melumpuhkan lawan lebih efektif dan lebih banyak. Perkembangan dewasa ini telah membawa kita melihat perkembangan teknologi senjata pada tingkat yang sangat maju. Orang tidak perlu lagi berada dalam arena konflik bersenjata untuk bertempur karena saat ini pertempuran dapat dilakukan dengan menggunakan remote-controlled weapon systems dan robotic weapon systems. Salah satu senjata yang termasuk dalam remote-controlled weapon systems adalah drone atau yang juga dikenal dengan unmanned aerial vehicles, sedangkan contoh senjata yang menggunakan robotic weapon systems adalah senjata penjaga otomatis (automated sentry guns), sensor-fused munitions, dan beberapa kenderaan anti ranjau darat (anti-vehicle landmines).3 Dalam penelitian ini hanya akan dibahas mengenai penggunaan drone dalam konflik bersenjata. Drone pertama kali digunakan oleh pihak militer pada era perang dunia pertama sebagai sarana untuk latihan yang mana pada waktu itu digunakan dalam latihan anti-pesawat terbang. Dalam perkembangannya drone kemudian mulai digunakan dalam perang dunia kedua sebagai peluru kendali. Sedangkan dalam Jakob Kellenberger, “International Humanitarian Law and New Weapon Technologies”, http://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/new-weapon-technologies-statement-2011-09-08.htm, diakses tanggal 15 Mei 2014. 3 3 perang Vietnam dan perang di Bosnia, drone digunakan dalam kegiatan intelejen untuk mengumpulkan informasi dari pihak musuh. Pada tahun 1999 dalam konflik di Kosovo muncul ide untuk mempersenjatai drone dengan senjata dan mengubah fungsinya yang pada waktu itu hanya digunakan sebgaian besar untuk pengumpulan informasi.4 Penggunaan drone dapat ditujukan untuk kegiatan yang tidak ditujukan untuk digunakan sebagai senjata (non-elthal purpose) dan digunakan sebagai senjata (lethal purpose). Contoh penggunaan dalam lingkup non-lethal purpose adalah pengawasan, pengumpulan informasi, pengangkut bantuan kemanusiaan. Contohnya Amerika menggunakan drone untuk mengawasi perbatasnnya dengan Meksiko.5 Ketika dilengkapi dengan roket atau misil maka drone difungsikan sebagai senjata. Pada tahun 2004 drone hanya dimiliki oleh 46 negara tapi pada tahun 2012 jumlah negara yang sudah memiliki teknologi drone berjumlah 76 negara. 6 Sebagian besar negara ini menggunakan drone untuk pengawasan, kegiatan intelejen, dan dalam operasi kemanusiaan. Negara menggunakan drone sebagai senjata (diperlengkapi dengan senjata) hanya 5 negara saja yakni Israel, Inggris, Amerika Serikat, Cina, dan Iran.7 Akan tetapi dengan perkembangan tekonologi yang sangat pesat saat ini, terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi negara-negara lain untuk menggunakan drone sebagai senjata. Dalam penelitian ini hanya akan difokuskan mengenai penggunaan drone sebagai senjata. Penggunaan drone sebagai senjata banyak dilakukan oleh Amerika di beberapa negara seperti Yaman, Pakistan dan Somalia. Council on Foreign Relation 4 Benjamin Medea, 2012, Drone Warefare, Killing By Remote Control, Or Books, New York, hlm.1315. 5 Ibid. hlm.15. 6 US Government Accountability Office , july 2012, “Non-proliferation: Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exports”, http://www.gao.gov/assets/600/593131.pdf, diunduh tanggal 8 Juni 2014, hlm.101. 7 Ulrike Esther Franke, “Drone Strikes, and US Policy: The Politics of Unmanned Aerial Vehicles”, Parameters, Vol 44, No.1, Spring 2014.hlm.121. 4 (CFR) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2012 hingga 2012 telah terjadi 411 serangan drone di Yaman, Pakistan dan Somalia. The New America Foundation menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2010 terjadi peningkatan penggunaan drone. Pada tahun 2007 terjadi 4 serangan, tahun 2008 terjadi 36 serangan, tahun 2009 terjadi 54 serangan, dan tahun 2010 terjadi 122 serangan.8 Hal ini menunjukan bahwa dalam konflik bersenjata saat ini drone menjadi salah satu pilihan senjata yang dianggap dapat membawa hasil yang signifikan. Namun dalam penggunaan drone sebagai senjata tidak didasari pada suatu aturan khusus yang mengtur mengenai drone. Melihat akan hal ini maka penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana penggunaan drone selama ini dan bagaimana aturan hukum yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai senjata, khususnya dalam prespektif hukum humaniter internasional. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian normativ yang mengkaji peraturan-peraturan internasional yang berkaitan dengan penelitian ini yak ni mengenai penggunaan drone sebagai senjata dan juga menggunakan bahan-bahan sekunder lainnya seperti tulisan para ahli dan sarjana yang dimuat dalam buku, jurnal, dan laporan-laporan ilmiah lainnya, atau laaporan dari suatu badan tertenteu yang berkaitan dengan penelitian ini. Pembahasan Pembatasan Penggunaan Senjata Pada prinsipnya penggunaan senjata antar negara dilarang dalam hukum internasional. Pasal 2 ayat (4) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa: “all members of the United Nations shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or 8 Heather Hurlburt, “Battlefield Earth”, Democracy, No.31, Winter 2014, hlm.62. 5 political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.” Dalam pasal ini digunakan terminologi all members yang berarti bahwa aturan ini tidak hanya mengikat bagi negara-negara anggota saja. Berdasarkan putusan International Court of Justice (ICJ) dalam kasus Nicaragua vs Amerika Serikat bahwa Pasal 2 ayat (4) merupakan hukum internasional kebiasaan (customary international law) yang diterapkan kepada semua negara bukan hanya kepada negara anggota.9 Dari Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB dapat dilihat bahwa ada larangan secara tegas untuk tidak mengunakan atau bahkan ancaman penggunaan kekerasan yang mana melanggar intergritas teritorial atau kebebasan politik dari suatu negara, atau cara-cara lain yang bertentangan dengan tujuan PBB. Dengan demikian dapat dilihat bahwa PBB tidak menghendaki adanya penggunaan kekuatan bersenjata untuk menekan negara lain, bahkan dalam bentuk yang lebih rendah dari itu yakni dalam bentuk ancaman kekerasan. Pelarangan penggunaan kekerasan (penggunaan kekuatan senjata) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) dapat dimaknai bahwa baik penggunaan kekerasan itu dalam skala besar seperti dalam perang atau tidak, tetap bertentangan dengan ketentuan pasal ini. Namun dalam pasal ini tidak melarang penggunaan tekanan politik atau ekonomi kepada negara lain. Dalam Pasal 2 ayat (4) juga menekankan bahwa bentuk ancaman penggunaan kekerasan (threat of use of force) merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal ini. Contohnya pada Tahun 1994 artileri dan tank milik Irak ditempatkan di sekitar perbatasan Irak dan Kuwait dengan posisi mengarah ke Kuwait dalam dalam jangkuan tembak ke sana beserta amunisi yang berada dalam kondisi siap tembak. Kondisi ini dinyatakan oleh Inggris sebagai ancaman terhdap Kuawait dan melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.10 9 D. J. Harris, 2004, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, London: Sweet & Maxwell, hlm.889 10 D J. Harris, Ibid, hlm.891 6 Pelarangan penggunaan kekuatan bersenjata antar negara-negara anggota PBB juga kembali ditegaskan dalam 1965 Declaration on The Inadmissibility of Intervention in The Domestic Affairs of States and The Protection of Their Independence and Sovereignty. Dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata untuk tujuan intervensi ke negara lain dilarang untuk dilakukan.11 Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa dalam kerangka PBB penggunaan kekuatan bersenjata terhadap suatu negara tidak dapat diterima dan dilarang penggunaannya. Jelas dipahami dari penjelasan di atas bahwa penerapan suatu kekerasan bersenjata antar negara dilarang oleh Piagam PBB, namun demikian ada keadaankeadaan tertentu yang mana negara diperbolehkan untuk menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara lain. Keadaan-keadaan yang dimaksud adalah tindakan bela diri (self defence) dari suatu negara, penggunaan kekuatan bersenjata yang dilakukan berdasarkan otorisasi dari Dewan Keamanan (DK) PBB, dan penggunaan kekuatan bersenjata dalam wilayah suatu negara yang mana sudah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari negara yang bersangkutan. Hak bela diri (self defense) diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB yang mana memungkinkan untuk dilaksanakan secara sendiri (individual self defence) atau berkelompok (collective sefl defence). Bela diri hanya dimungkinkan ketika suatu negara mengalami serangan bersenjata sehingga harus mempertahankan diri dari serangan tersebut. Dengan kata lain negara tersebut harus terlebih dahulu diserang. Penggunaan kekuatan bersenjata untuk membela diri ini hanya dapat dilaksanakan sampai DK PBB mengambil alih situasi untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengunaan kekuatan bersenjata yang dilakukan oleh suatu negara untuk bela diri harus dihentikan sesegera mungkin ketika DK PBB telah bertindak di wilayah tersebut. Tindakan bela diri yang 11 Pasal 1 1965 Declaration on The Inadmissibility of Intervention in The Domestic Affairs of States and The Protection of Their Independence and Sovereignty 7 dilaksanakan tersebut, baik secara individu maupun berkelompok, harus dilaporkan kepada DK PBB sesegera mungkin begitu dilaksanakan. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Daniel Webster, pada tahun 1982 mengatakan bahwa bela diri diperkenankan ketika tindakan tersebut bersifat seketika, besar, dan tidak ada pilihan lain, serta tidak ada waktu untuk membahasnya kembali.12 Hal ini didsarkan pada pemikiran bahwa ketika diserang maka suatu negara harus bertindak seketika untuk melindungi kepentingannya dan tidak ada waktu untuk meminta perstujuan dari dunia internasional. Penggunaan kekuatan bersenjata juga dimungkinkan dalam hal tindakan tersebut dilakukan atas otorisasi dari DK PBB. Pasal 43-50 Piagam PBB memungkinkan dilaksanakannya tindakan yang demikian. Setiap negara anggota PBB dapat diminta oleh DK PBB untuk menyediakan pasukan bersenjata untuk digunakan dalam suatu konflik bersenjata dengan tujuan mengembalikan perdamaian dan kemanan internasional di wilayah tersebut. Namun tindakan yang demikian harus dilaksanakan dengan adanya otorisasi dari DK PBB. Suatu negara tidak dibenarkan untuk melakukan penggunaan kekuatan bersenjata kepada negara lain secara unilateral. Dalam konteks Somalia misalnya pasukan multinasional diberikan diberikan otorisasi oleh DK PBB untuk memberantas piracy jure gentium dan armed robbery at sea yang terjadi di perairan Somalia dan perairan lepas pantai Somalia. Otoritas ini diberikan berdasarkan Resolusi DK PBB seperti yang tercakup dalam Pasal 7 Resolusi DK PBB 1816 (2008)13, Pasal 10 Resolusi DK PBB 1846 (2008)14, Pasal 6 12 Philip C. Jessup, 2012, A Modern Law of Nation, (terjemahan), Nuansa, Bandung, hlm.194. United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1816 (2008) Adopted by the Security Council http://daccess-ddsat its 5902nd meeting on 2 June 2008“, [online] ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/361/77/PDF/N0836177.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni 2014) 14 United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1846 (2008) Adopted by the Security Council http://daccess-ddsat its 6026th meeting, on 2 December 2008”, [online] ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/630/29/PDF/N0863029.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni 2014). 13 8 Resolusi DK PBB 1851 (2008)15, Pasal 7 Resolusi DK PBB 1897 (2009)16, dan Pasal 7 Resolusi DK PBB 1950 (2010)17, yang mana mengizinkan negara-negara dan organisasi regional serta internasional yang bekerjasama dengan Transitional Federal Government (TFG), dalam menjalankan operasi penanganan piracy jure gentium dan armed robbery, dapat memasuki perairan tertorial Somalia, dan mengambil tindakan atas kejahatan tersebut, seperti tindakan yang dilakukan terhadap pembajakan yang dilakukan di laut lepas. Penggunaan kekuatan bersenjata di wilayah suatu negara juga dimungkinkan ketika negara yang bersangkutan memberikan persetujuan untuk melakukan hal itu di wilayahnya. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa negara memiliki kedaulatan di dalam batas-batas wilayah yang tunduk pada kedaulatannya. Salah satu contoh penggunaan kekuatan bersenjata dalam koteks ini adalah intervensi militer yang dilakukan oleh Perancis ke Mali untuk membantu pemerintahan Mali dalam menumpas gerakan separatis yang terjadi di negara tersebut. Intrvensi yang dilakukan Perancis tersebut dilakukan atas permintaan dari pemerintah Mali yang disampaikan melalui presiden Mali, Dioncounda Traore.18 Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata juga harus didasarkan pada ketiga pertimbangan tersebut. Oleh karenanya dalam pembahasan selanjutnya akan coba dianalisis apakah penggunaan drone sebagai senjata yang United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1851 (2008) Adopted by the Security Council http://daccess-ddsat its 6046th meeting, on 16 December 2008”, [online] ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/655/01/PDF/N0865501.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni 2014). 16 United Nations, 2009, “Security Council, Resolution 1897 (2009) Adopted by the Security Council http://daccess-ddsat its 6226th meeting, on 30 November 2009”, [online] ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N09/624/65/PDF/N0962465.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni 2014). 17 United Nations, 2010, “Security Concil, Resolution 1950 (2010) Adopted by the Security Council at its 6429th meeting, on 23 November 2010 “, [online] http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N10/649/02/PDF/N1064902.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni 2014). 18 “Perancis Menyerang Dari Udara dan Darat”, Kompas, 13 Januari 2013, (online) http://www.internasional.kompas.com/read/2013/01/13/02401043/Perancis.Menyerang.dari.Udara.da n.darat, diakses tanggal 6 Juni 2014. 15 9 dilakukan selama ini sudah dilakukan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dijelaskan diatas atau tidak. Penggunaan Drone Dalam Konflik Bersenjata Sejak insiden 9/11, Amerika Serikat telah menyatakan perang melawan terror (war on terror). Pada tahun 2001 kongres Amerika Serikat telah memberikan otorisasi bagi presiden Amerika Serikat untuk menggunakan segala kekuatan yang diperlukan untuk melawan bangsa-bangsa (nations), organisasi-organisasi (Organizations), atau orang-orang (persons) yang ditetapkan telah merencenakan, mengotrisasi, melakukan, atau memberi bantuan dana bagi serangan teroris yang terjadi pada tanggal 11 September 2001, atau mengamankan orang atau organisasi tersebut untuk mencegah tindakan terorisme terhadap Amerika Serikat. Otorisasi untuk menggunakan kekuatan militer yang diberikan kongres kepada presiden ini tidak memiliki batasan waktu, lokasi dan target.19 Berdasarkan hal ini maka dimulailah perang terhadap terror yang mana pelaksanaannya sampai melintas batas suatu negara, dan di dalamnya juga melibatkan penggunaan drone yang telah dipersenjatai untuk menghancurkan target-target yang telah ditentukan. Penggunaan drone oleh Amerika Serikat meningkat sejak terjadi insiden 9/11. Di Pakistan, serangan oleh Amerika Serikat meningkat dari 4 serangan yang terjadi tahun 2007 menjadi 122 serangan pada tahun 2010. Kalau dijumlah dengan serangan drone di Somalia dan Yaman maka dalam rentang waktu 2002 hingga 2012 terdapat total 411 serangan, yang mana menimbulkan korban jiwa sebanyak 3.430 orang, dan 401 diantaranya adalah masyarakat sipil.20 Data ini sendiri didapat dari lembaga nonpemerintah, yakni Council on Foreign Relation, bukan dari pemerintah Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan pemerintah Amerika Serikat tidak pernah mengeluarkan pertanggung jawaban resmi kepada publik mengenai jumlah serangan drone yang 19 20 Heather Hurlburt, Op.cit,hlm.58 Ibid, hlm.62 10 telah dilakukan, terhadap siapa serangan tersebut dilakukan, siapa yang melakukan, siapa-siapa saja yang dimasukan dalam daftar target, dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari serangan yang dilakukan.21 Salah satu serangan drone oleh Amerika Serikat yang paling menjadi bahan perdebatan adalah serangan terhadap Al-Awlaqi di Yaman. Dia dianggap sebagai pemimpin operasi luar dari jaringan Al-Qaeda di Jazirah Arab. Dia menjadi salah satu target utama dari pemerintah Amerika Serikat dan juga dimasukan dalam daftar target serangan drone sebagaimana yang dinyatakan dalam memo yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat, namun tidak dipublikasikan secara resmi kepada publik. Memo ini dibocorkan oleh Koran New York Times edisi 8 Oktober 2011.22 Serangan ini sendiri menimbulkan beberapa persoalan antara lain, tidak jelas apakah telah ada persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah Yaman atau tidak, tidak adanya otorisasi dari DK PBB, dan bagaimana keterlibatan Amerika dalam konflik tersebut. Baik pemerintah Yaman maupun pemerintah Amerika Serikat tidak pernah memberikan pernyataan resmi apakah serangan drone yang menewaskan Al-Awlaqi telah disetujui perintah Yaman atau tidak. Petunjuk yang muncul bersumber dari kawat diplomatic yang dibocorkan Wilkileaks bahwa Presiden Yaman Saat itu telah meberikan persetujuan bagi Amerika Serikat untuk meluncurkan misil di wilayahnya dalam upaya melawan teroris. Dalam bocoran tersebut disebutkan bahwa Presiden Yaman mengatakan kepada perwakilan Amerika Serikat bahwa: “I have given you an open door on terrorism, so I am not responsible.”23 Jika bocoran dari wilkileaks ini benar maka serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dapat dipandang legal, 21 Loc.cit Robert M. Chesney,” Beyond The Battlefield, Beyond Al Qaeda: The destabilizing legal architecture Of counterterrorism”, Michigan Law Review, Vol.112, No.163, hlm.217. 23 Arabella Thorp, “Drone attacks and the killing of Anwar al-Awlaqi: legal issues”, 20 Desember 2011, (online) http://www.parliament.uk/briefing-papers/SN06165/drone-attacks-and-the-killing-ofanwar-alawlaqi-legal-issues, diakses tanggal 6 Juni 2014, hlm.9. 22 11 namun jika tidak maka hal ini adalah tindakan illegal yang melanggar kedaulatan Yaman dan bertentangan dengan hukum internasional. Dalam serangan tersebut juga tidak ditemukan adanya Resolusi DK PBB yang secara spesifik mendasari serangan itu. Memang sejak tahun 1999 DK PBB telah mengeluarkan serangkaian resolusi yang berkaitan dengan pembekuan asset-aset yang berkaitan dengan Al-Qaeda, larangan bepergian dan embargo senjata, namun tidak disebutkan secara spesifik mengenai penggunaan kekuatan bersenjata dalam hal ini.24 Resolusi DK PBB 1373 (2001) menyatakan bahwa negara-negara dapat mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melawan tindakan-tindakan terorisme. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang luas yang mana bisa saja negara akan melakukan tindakan represif seperti penggunaan drone dalam menyerang orang yang masuk daftar target, atau juga bisa ditafsirkan bahwa orang yang dicurigai sebagai teroris harus dibawa ke dalam proses peradilan, yang mana akan lebih sejalan dengan tujuan Piagam PBB yang menghendaki agar menghindari penggunaan kekuatan bersenjata dalam bentuk apapun, dan menghormati hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Penggunaan drone sebagai senjata dilakukan melalui tiga cara yakni: sebagai bantuan udara bagi pasukan di darat, melakukan patroli di udara untuk mencari akitivitas-aktivitas yang mencurigakan, dan melakukan targeted killing terhadap militant yang dicurigai (suspected militans).25 Pengoperasian penggunaan drone yang dilaksanakan dengan menggunakan metode targeted killing menempatkan seseorang yang telah ditargetkan untuk diserang oleh drone ditujukan untuk dibunuh. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang dianut dalam hukum humaniter internasional. Seharusnya tujuanya adalah untuk melemahkan bukan membunuh. 24 25 Loc.cit Benjamin Medea,Op.cit,hlm.18. 12 Terlebih dahulu harus diupayakan untuk menangkap, kalau tidak bisa baru kemudian dilukai, kalu juga tidak bisa maka bisa dibunuh. Jatuhnya korban dalam hal ini harus ditekan seminimal mungkin. Pengunaaan drone menganut metode targeted killing sehingga suatu target operasi dari drone tujuannya adalah dihancurkan. Selain itu, Targeted killing juga dapat dipandang menghilangkan hak seseorang untuk dapat membela diri dalam sebuah proses hukum yang sah, karena seseorang yang dianggap bersalah dan menjadi target operasi dari drone tidak ditujukan untuk ditangkap dan diadili. Proses penilaian bersalah atau tidak dirinnya telah dilakukan oleh pemerintah tanpa melalui sebuah proses peradilan. Pengaturan Penggunaan Drone Penggunaan drone sebagai senjata merupakan konsekuensi dari berkembangnya teknologi yang begitu pesat saat ini. Namun saat ini tidak ada satu aturan internasional yang secara khusus mangatur mengenai penggunaan drone baik untuk digunakan sebagai senjata maupun tidak. Meskipun demikian hukum humaniter internasional secara fleksibel bisa diterapkan pada perkembangan teknologi senjata yang sangat maju sekalipun hal ini didasarkan pada Pengaturan dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I tahun 1977 yang menyatakan bahwa: “In the study, development, acquisition or adoption of a new weapon, means or method of warfare, a High Contracting Party is under an obligation to determine whether its employment would, in some or all circumstances, be prohibited by this Protocol or by any other rule of international law applicableto the High Contracting Party.” Dengan demikian dapat dilihat bahwa aturan hukum internasional mencakup semua perkembangan teknologi persenjataan, karena dalam pengembangan senjata atau metode berperang, negara memiliki kewajiban untuk menyesuaikan agar perkembangannya tidak bertentangan dengan hukum humaniter internasional. Kewajiban hukum yang termuat dalam Pasal 36 tidak hanya berlaku bagi para pihak dalam perjanjian saja tapi semua negara yang mengembangkan persenjataan dan 13 metode berperang.26 Namun pengaturan dalam Pasal ini tidak secara spesifik menyatakan mengenai bagaimana penentuan legalitas dari suatu senjata atau metode dan cara berperang yang harus dilaksanakan. Selain itu aturan dalam Pasal 36 ini hanya mengatur ketentuan secara umum saja tidak secara spesifik mengatur mengena teknologi atau metode berperang tertentu. Kekosongan ini juga diakui oleh Jakob Kellenberger, presiden ICRC, yang menyatakan bahwa : ”applying pre-existing legal rules to a new technology raises the question of whether the rules are sufficiently clear in light of the technology's specific – and perhaps unprecedented - characteristics, as well as with regard to the foreseeable humanitarian impact it may have. In certain circumstances, States will choose or have chosen to adopt more specific regulations.”27 Harus diakui bahwa aturan yang telah ada sebelumnya mungkin saja tidak cukup untuk mengikuti perkembangan teknologi secara spesifik dan juga dampak yang bisa ditimbulkan dari perkembangan tersebut. Oleh karenanya negara didesak untuk bisa membuat aturan yang lebih spesifik mengenai perkembangan teknologi senjata yang dibuat. Termasuk dalam hal ini adalah mengenai penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata. Pada tahun 1999, dalam 27th International Conference of the Red Cross and Red Crescent, negara-negara didorong untuk menetapkan suatu mekanisme dan prosedur untuk menentukan apakah penggunaan senjata, baik yang mereka temukan, produksi atau kembangkan, sesuai dengan aturan hukum humaniter internasional atau tidak. Dalam pertemuan tersebut negara-negara juga didorong untuk mempromosikan pertukaran informasi dan transparansi mengenai mekanisme, prosedur dan evaluasi ICRC, “A Guide to the Legal Review of New Weapons, Means and Methods of Warfare: Measures to Implement Article 36 of Additional Protocol I of 1977”, International Review of the Red Cross, Vol.88, No.864, Desember 2006, hlm.933. 27 Jakob Kellenberger,“International Humanitarian Law and New Weapon Technologies”, http://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/new-weapon-technologies-statement-2011-09-08.htm, diakses tanggal 15 Mei 2014. 26 14 yang berkaitan dengan penggunaan senjata.28 Masalah transparansi penggunaan drone sebagai senjata menjadi sebuah masalah tersendiri di Amerika Serikat karena penggunaan drone dalam menyerang target-target yang telah ditetapkan tidak disertai dengan pertanggung jawaban kepada publik secara transparan. Publik tidak pernah diberi tahu mengenai siapa-siapa saja yang termasuk dalam target serangan drone dan berapa jumlah serangan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Ketiadaan aturan hukum yang secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone, khususnya yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, membuka peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional ketika drone yang telah dipersenjatai digunakan dalam suatu konflik bersenjata. John Brennan, asisten presiden Amerika Serikat untuk urusan keamanan dalam negeri dan perlawanan terhadap terorisme, menyatakan bahwa setidaknya terdapat 3 alasan hukum penggunaan drone sebagai senjata, yakni: 1. Pemerintah telah memperoleh otoritas kongres pada tahun 2001 tentang penggunaan segala bentuk kekuatan untuk melawan terorisme; 2. Dalam hal otorisasi tidak didapatkan dari kongres, maka metode targeted killing melalui penggunaan drone dijinkan sebagai bentuk pertahanan negara berdasarkan Pasal II Konstitusi Amerika Serikat; 3. Hal ini juga diijinkan sebagai bentuk bela diri (self defense) dalam Hukum Internasional.29 Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa otoritas kongres kepada pemerintah tidak ada batasan waktu, tempat dan target. Jika dikaitkan dengan hak bela diri dari Amerika Serikat akibat dari serangan 9/11 maka hal ini akan menjadi sebuah permasalahan. 28 29 ICRC, Op.cit,hlm.934-935. Heather Hurlburt, Op.cit,hlm.68-69. 15 Dalam melihat hal ini maka akan digunakan pendapat yang diutarakan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, sebagaimana diuraikan diatas, yang menyatakan bahwa suatu tindakan bela diri harus bersifat seketika, besar, dan tidak ada pilihan lain, serta tidak ada waktu untuk membahasnya kembali. Pertama, hak bela diri harus dilaksanakan seketika ketika serangan 9/11 itu terjadi sebagai bentuk perlindungan. Kedua, adanya urgensi dalam kondisi saat itu mebutuhkan tindakan yang cepat untuk dilaksanaka. Kenyataan yang ada, sebagai akibat dari serangan 9/11 Amerika terus melakukan operasi perlawanan terhadap terorisme dari tahun 2001 hingga saat ini, yang mana dinyatakan sebagai bentuk bela diri atas serangan yang terjadi. Dengan demikian alasan penggunaan drone sebagai senjata dalam rangka bela diri tidak dapat dibenarkan. Pelaksanaan metode targeted killing yang diaanggap sah berdasarkan konstitusi Amerika Serikat juga harus dilaksanakan tanpa mengesampingkan hukum humaniter internasional, yang mana menghendaki agar penggunaan senjata untuk membunuh dilaksanakan sebagai upaya terakhir bukan yang pertama dilakukan speerti yang selama ini diterapkan Amerika Serikat. Ketiadaan aturan mengenai penggunaan drone mengikis batasan antara perang dan kondisi damai.30 Hal ini sangat nyata dalam penggunaan drone yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam perang melawan terror. Penggunaan drone sebagai senjata nyata dilakukan namun tidak pernah ada deklarasi perang yang dinyatakan. Heather Hurlburt menyatakan bahwa jika ke depan kita menghadapi ketiadaan aturan mengenai drone dalam skala lokal maupun nasional di Amerika Serikat maka kita menghadapai masa depan tanpa aturan mengenai drone sama sekali.31 Kekawatiran ini berdasar karena sejalan dengan amanat Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977, negara diwajibkan untuk mengatur perkembangan teknologi 30 31 Robert A. Johnson, “ Predicting Future War”, Parameter, Vol.44, No.1, spring 2014, hlm.70. Heather Hurlburt, Op.cit,hlm.62. 16 persenjataan dan metode perang terbaru yang dikembangkannya, dalam hal ini negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone, terutama negara-negara yang menggunakannya sebagai senjata harus merumuskan suatu aturan khusus mengenai penggunaan drone baik sebagai senjata (lethal purpose) maupun yang digunakan untuk kepentingan lainnya (non-lethal purpose). Perumusan aturan hukum mengenai penggunaan drone khususnya yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata menjadi sangat penting saat ini karena perkembangan teknologi saat ini mengarah kepada drone yang bersifat otonom. Artinya tidak lagi diperlukan seseorang untuk mengontrol drone, karena drone akan beroprasi sendiri secara komputerisasi sesuai dengan misi yang telah diprogramkan padanya.32 Memang drone yang bersifat otonomi tidak berarti tidak dapat dioperasikan sesuai dengan prinsip pembedaan dalam hukum humaniter internasional, karena pendeteksian dan pengidentifikasian target akan dilakukan melalui sensor yang mempunyai kemampuan untuk membedakan antara target militer dan bukan target militer,33 namun dengan menggantungkan kuasa untuk membedakan pada mesin sesungguhnya telah menghilangkan unsur kemanusiaan dalam sebuah konflik bersenjata dan berpotensi terjadi machine error yang berakibat fatal dalam konflik bersenjata. Kesimpulan Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini. Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. 32 Benjamin Medea, Op.cit, hlm.40-42. Justin Mcclelland, ” The review of weapons in accordance with Article 36 of Additional Protocol I”, International Review of the Red Cross ,Vol. 85 No 850, Juni 2003, hlm.408-409. 33 17 Penggunaan drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu atura hukum tertentu. Oleh karenanya negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone harus bersepakat untuk menetapkan aturan hukum tersebut, sehingga tidak ada kekosongan hukum dalam pengaturan mengenai penggunaan drone tertuma yang berkaitan dengan penggunaanya sebagai senjata dalam konflik bersenjata. Perumusan aturan hukum ini harus juga memperhatikan hukum humaniter internasional. 18 Daftar Pustaka Thorp Arabella, “Drone attacks and the killing of Anwar al-Awlaqi: legal issues”, 20 Desember 2011, (online) http://www.parliament.uk/briefingpapers/SN06165/drone-attacks-and-the-killing-of-anwar-alawlaqi-legalissues; Chesney Robert M.,” Beyond The Battlefield, Beyond Al Qaeda: The destabilizing legal architecture Of counterterrorism”, Michigan Law Review, Vol.112, No.163; Declaration on The Inadmissibility of Intervention in The Domestic Affairs of States and The Protection of Their Independence and Sovereignty; Franke Ulrike Esther, “Drone Strikes, and US Policy: The Politics of Unmanned Aerial Vehicles”, Parameters, Vol 44, No.1, Spring 2014.hlm.121. Harris D. J., 2004, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, London: Sweet & Maxwell; Hurlburt Heather, “Battlefield Earth”, Democracy, No.31, Winter 2014, hlm.62. ICRC, “A Guide to the Legal Review of New Weapons, Means and Methods of Warfare: Measures to Implement Article 36 of Additional Protocol I of 1977”, International Review of the Red Cross, Vol.88, No.864, Desember 2006; Jessup Philip C, 2012, A Modern Law of Nation, (terjemahan), Nuansa, Bandung; Johnson Robert A., “ Predicting Future War”, Parameter, Vol.44, No.1, spring 2014; Kellenberger Jakob, “International Humanitarian Law and New Weapon Technologies”, http://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/new-weapon-technologiesstatement-2011-09-08.htm; Medea Benjamin, 2012, Drone Warefare, Killing By Remote Control, Or Books, New York; Mcclelland Justin, ” The review of weapons in accordance with Article 36 of Additional Protocol I”, International Review of the Red Cross ,Vol. 85 No 850, Juni 2003; United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1816 (2008) Adopted by the Security Council at its 5902nd meeting on 2 June 2008“, [online] http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/361/77/PDF/N0836177.pdf?OpenElemen t; United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1846 (2008) Adopted by the Security Council at its 6026th meeting, on 2 December 2008”, [online] http://daccess-dds 19 ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/630/29/PDF/N0863029.pdf?OpenElemen t; United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1851 (2008) Adopted by the Security Council at its 6046th meeting, on 16 December 2008”, [online] http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/655/01/PDF/N0865501.pdf?OpenElemen t; United Nations, 2009, “Security Council, Resolution 1897 (2009) Adopted by the Security Council at its 6226th meeting, on 30 November 2009”, [online] http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N09/624/65/PDF/N0962465.pdf?OpenElemen t; United Nations, 2010, “Security Concil, Resolution 1950 (2010) Adopted by the Security Council at its 6429th meeting, on 23 November 2010 “, [online] http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N10/649/02/PDF/N1064902.pdf?OpenElemen t; US Government Accountability Office , july 2012, “Non-proliferation: Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exports”, http://www.gao.gov/assets/600/593131.pdf; “Perancis Menyerang Dari Udara dan Darat”, Kompas, 13 Januari 2013, (online) http://www.internasional.kompas.com/read/2013/01/13/02401043/Perancis .Menyerang.dari.Udara.dan.darat