[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2014: PENDIDIKAN ITU (HARUS) MENYENANGKAN 1 Oleh : Ade Hidayat, M.Pd.2 Pendidikan itu menyenangkan dan harus membahagiakan. Kalimat ini penulis ambil untuk menjadi dasar refleksi hari Pendidikan Nasional 2014. Ini juga kata yang menjadi resume terpendek yang mewakili makna pendidikan yang diusung oleh Thomas Amstrong (2011), penulis buku best seller berjudul The Best School. Dan bila tidak menyenangkan maka bukanlah disebut pendidikan. Maka waspadalah, apabila sekolah, ruang kelas, guru, dan bahan ajar tidak lagi menyenangkan dan membahagiakan, ini berarti bagi para peserta didik, pendidikan tidak lebih sekedar “mimpi buruk”. Suatu saat ibu dari Albert Einsten begitu gusar melihat anaknya terusterusan berjibaku dengan laboratorium dan segala hal kesibukannya. Sang penemu teori relativitas itu disarankan ibunya untuk rehat melepas penat mengambil istirahat setelah seharian belajar di laboratoriumnya. Ia pun mengangguk menuruti saran sang ibu sambil beranjak masuk lagi ke laboratorium. Belajar baginya tak ada penat. Belajar baginya bermain. Bermain itu belajar. Setuju? Atau barangkali pendidikan kita masih belum saja sepakat dengan kalimat tadi. Dunia pendidikan saat ini menurut Amstrong berkubu secara massif pada wacana prestasi akademik. Hanya sedikit sekolah yang berhaluan pada wacana perkembangan manusia. Padahal, pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya mendukung perkembangan manusia seutuhnya dari berbagai sisi tumbuh kembangnya. Tidak ada yang salah dengan wacana prestasi akademik, hanya saja meniadakan aspek-aspek perkembangan manusia lainnya. Dalam pendidikan yang berwacana perkembangan manusia tujuannya mengungkap atau membuka melejitkan potensi yang terdapat dalam diri manusia. Juga mengurai, membuka, dan membebaskan manusia dari keterkungkungan, kerumitan, atau rintangan. Mengakomodasi Perkembangan Anak Kata “perkembangan” menunjukkan proses yang tengah berlangsung, sesuatu yang terjadi dalam waktu tertentu. Sehingga dalam pendidikan yang 1 mengusung perkembangan manusia seutuhnya, akan menitik beratkan pada proses yang memediasi dua kondisi pra dan pasca belajar, bukan pada hasil akhir. Belajar benar-benar sebuah petualangan. Menjelajah medan yang sebelumnya tidak dikenal, mencoba hal-hal baru, serta menikmati prosesnya. Antusias saat memulainya, mempertahankan semangat dalam perjalanan, dan cepat bangun saat jatuh ke lubang. Merasakan pahitnya kegagalan tanpa meratap dan berputus asa, mengecap manisnya keberhasilan dan merayakan apapun wujud kesuksesannya. Belajar yang bermakna petualangan menyiratkan upaya membimbing, agar peserta didik mencoba, merasakan, dan akhirnya tahu, bukan hanya kata guru dan buku. sebuah petualngan dengan kegembiraan di dalamnya. Di sanalah pendidikan begitu menyenangkan. Belajar atau Bermain? Ya, belajar dan bermain. Acap kali dua kata itu diberi makna sempit, bahkan sering kita “mempermusuhkan” dua kata yang sebenarnya begitu akrab bagi jiwa alamiah manusia. “Ayo cepat belajar, jangan banyak main!”, demikian sebagian guru atau orang tua memerintahkan anaknya. Tampaknya, sebagian kita terkecoh dengan dua istilah tersebut, belajar menghalangi kesenangan bermain, dan bermain mengganggu belajar. Padahal kalau kita amati, manusia pada dasarnya mahkluk yang suka permainan, filsuf bilang manusia itu homo ludens, makhluk bermain. Politisi bermain kebijakan, pedagang bermain pemasaran, musisi bermain musik. Orang dewasa bermain, hanya kosakatanya menjadi lain: bekerja. Tengoklah, otak anak begitu cekatan menyerap suatu hal yang ia anggap permainan yang membuat ia nyaman dan gembira, artinya anak begitu cepat belajar pada apa yang disenanginya. Alamiahnya, belajar yang efektif ada dalam kondisi psikologis anak sedang bermain. Pertanyaan berikutnya, apakah belajar yang dialami para peserta didik kita selama ini seperti itu? Manusia itu Unik Manusia diciptakan unik. Pendidikan yang nyaman untuk diselami pastinya yang menghargai keunikan tiap peserta didik dengan segala ragam minat, aspirasi, kapasitas, rintangan, temperamen, dan latar belakang mereka. Keunikan 2 pribadi menjadi kerangka pertumbuhan peserta didik untuk menghadapi tantangan hidup dan kemajuan zaman. Standar “satu ukuran untuk semua” memang memberikan kemudahan pihak stakeholder pendidikan dalam menjalankan tugasnya, akan tetapi subjek utama pendidikan yaitu peserta didik tidak mendapatkan haknya berdasarkan keunikan dirinya dengan tidak diberikannya pilihan bermakna yang menunjang perkembangan optimal dirinya. Imbasnya dalam aplikasi metode penilaian kemajuan peserta didik bersifat normatif, artinya dalam membandingkan kinerja akademik peserta didik dalam tes standar dengan kelompok peserta didik yang melakukan tes pada masa sebelumnya. Hasil tes kelompok peserta didik sebelumnya dijadikan ukuran sehingga kelompok tersebut dianggap sebagai perwakilan perilaku “normal”, padahal belum tentu secara kualitas. Seyogyanya pendidikan bersifat ipsatif, artinya “dari diri”. Praktiknya membandingkan kinerja peserta didik mas kini dengan kinerja sebelumnya. Artinya pendidikan menghargai keunikan tiap diri sembari itu tetap memacu kemajuan di tiap proses perkembangannya Di titik itu tugas stakeholder pendidikan yang tak banyak disentuh dan seringkali dihindari karena kerumitannya dan tetap memakai standar “tak manusiawi”. Akan tetapi, di lain pihak bagi peserta didik, bagaimana menyenangkan apabila dipaksa memakai “pakaian” bukan dengan ukurannya sendiri? Tujuan Akhir Pendidikan Tujuan pendidikan yang mengusung perkembangan manusia seutuhnya bertujuan akhir pada pendewasaan dan kebahagiaan. Pendewasaan artinya kematangan diri dengan tuntasnya tugas-tugas perkembangan dan pertumbuhan multi dimensi manusia seutuhnya baik dari segi intra personal, sosial dan spiritual yang mencakup kearifan, integritas, kreatifitas, aktualisasi diri, karakter, pikiran terbuka, kemurahan hati, individualitas dan keimanan transendental. Kebahagiaan disini bukanlah arti kondisi emosional subjektif layaknya anak memakan permen. Kaisar Roma, Marcus Aurelius berpendapat bahwa kebahagiaan dan ketidakbahagiaan “binatang sosial-rasional” itu tidak bergantung pada yang dirasakannya, tetapi pada yang dilakukannya; begitu kebajikan dan kejahatannya 3 bukan berada dalam perasaannya, melainkan perbuatannya. Kebahagiaan datang dari hasil perbuatan, bukan perkataan, dan dari menjalaani kehidupan sepenuhnya. Begitu pula kebahagiaan tidak bergantung pada kekayaan materi ataupun prestasi lahiriah. Hendry van Dyke mengungkapkan dengan indah bahwa “kebahagiaan itu berada di dalam batin dan bukan di luar; jadi kebahagiaan tidak bergantung pada apa yang kita miliki, tetapi pada siapa diri kita”. Pendidikan yang sebenarnya pastinya memfasilitasi pertumbuhan manusia seutuhnya meskipun dihadapkan pada rintangan dan tantangan, namun tetap dapat menemukan kepuasan mendalam dari kejadian-kejadian hidupnya. Nel Noddings berungkap “Para pemikir besar mengaitkan kebahagiaan dengan beberapa kualitas seperti kehidupan intelektual yang kaya, hubungan antarmanusia yang baik, kecintaan terhadap rumah dan tempat yang dihuni, karakter yang baik, rasa kekeluargaan dan pengasuhan yang baik, spiritualitas, dan pekerjaan yang dicintai”. Makna belajar jauh lebih luas dari sekedar menamatkan unit demi unit kurikulum, tidak hanya menyelesaikan target materi yang digariskan dinas pendidikan. Hal utama yang harus dibangun adalah kecintaan terhadap hal yang dipelajari, yang mesti diasah adalah kemampuan dasar untuk belajar (learning how to learn) dan menjadikan belajar sebagai panduan menghadapi kehidupan nyata. Seorang anak jika memiliki hasrat dan kecintaan pada belajar—apapun bidangnya—akan mampu menyingkap khasanah kehidupan dengan kemampuannya sendiri. Jadilah ia individu mandiri, yang bisa bertahan, bahkan berprestasi di zaman yang melampaui zaman guru-guru dan orang tua yang mendidik dan mengasuhnya. Jadi bisa disimpulkan, pintar atau cerdas sejatinya adalah kecintaan seseorang kepada belajar, bukan tinggi rendahnya skor IQ, besar kecilnya nilai tes potensi akademik, angka raport yang mentereng, atau semacamnya. Kembali mengingatkan, sekali lagi, pendidikan itu (harus) menyenangkan. Kembalikan pendidikan pada “khittah-nya” agar anak mengenal dunianya, bukan 4 malah menjadi “penjara” yang mengekang dan mengerdilkan potensi anak. Selamat hari Pendidikan Nasional 2014.*** ______________________ 1 Tulisan dimuat di Harian Kabar Banten, 6 Mei 2014 2 Dosen FKIP Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) Banten 5