Tradisi Penganugerahan Ijazah … | 19
TRADISI PENGANUGERAHAN IJAZAH DALAM SISTEM PENDIDIKAN ISLAM:
KAJIAN SELAYANG PANDANG
Mesut Idriz 1) *
Idha Nurhamidah 2) **
1
Department of History and Islamic Civilization
University of Sharjah, United Arab Emirates
2 Program
Studi Sastra Inggris
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang
* E-mail: idhanurhamidah@unissula.ac.id
Abstract
The current article aimed at presenting an overview of types, requirements and procedures of
certification in Islam education for the students who have passed the examination in order for
countries outside United Arab Emirates. Core materials on the subject were compiled from various
resources to guarantee the validity of the information. It turned out that there were a number of
concepts of certification pertinent to etymology and practices. One distinctive issue of
certification was that, in Islam education, certification was attached to the authority of professor
or sheikh, not the institution, and the government has no right whatsoever with respect to
certification. This, in fact, differentiates certification in Islam World from that practiced in the
West.
Keywords: Certificate, Certification, Etymological Concept, Islam Education System
Abstrak
Dalam Sistem Pendidikan Islam, terdapat tradisi pengijazahan bagi para mahasiswa yang
dinyatakan lulus. Makalah ini menyajikan selayang pandang jenis-jenis, syarat-syarat serta
prosedur pengijazahan agar informasi tentang sistem pengijazahan tersebut dapat disebar
luaskan ke luar negara Uni Emirat Arab. Materi dalam makalah ini merupakan rangkuman sari
yang diambil dari berbagai literatur resmi agar terjamin validitas informasinya. Dalam
pembahasannya, ternyata terdapat beberapa konsep ijazah menurut etimologi dan
prakteknya. Satu butir yang sangat menonjol dalam prosedur pengijazahan adalah bahwa
ijazah dianugrahkan oleh professor, sheikh, ulama, bukan institusi; dan pemerintah tidak
berwenang melakukan intervensi. Disamping itu dalam ijazah disebutkan mengenai mata
pelajaran berikut kitab-kitab yang telah diselesaikan lengkap dengan silsilah
penyampai/perawi yang bermuara pada penulis kitab-kitab tersebut. Hal-hal inilah yang
membedakan sistem pengijazahan dalam Pendidikan Islam dengan Pendidikan Barat.
Kata kunci: Ijazah, Konsep Etimologis, Prosedur, Sistem Pendidikan Islam
PENDAHULUAN
Dalam sistem pendidikan tentunya ada bukti otentik bahwa peserta didik (santri,
siswa, mahasiswa) telah menyelesaikan program studi tertentu. Bukti otentik tersebut
harus dapat diterima secara universal sebagai bukti resmi dan berkekuatan hukum dan
dapat digunakan oleh lulusan (graduate) untuk kepentingan yang berhubungan
Vol. 2, No. 1, Mei 2019
20 | Mesut Idriz & Idha Nurhamidah
dengan kepemilikan bukti otentik tersebut yang berupa ijazah. Namun demikian,
kiranya masih banyak di kalangan masyarakat yang belum memahami bahwa ada
berbagai konsep tentang tentang penganugerahan ijazah.
Dalam artikel ini akan dijelaskan mulai dari konsep ijazah dari Sistem Pendidikan
Islam (SPI) beserta persyaratan untuk mendapatkan, bentuk ujian, usia saat
mendapatkan, peran ijazah, jenis-jenis dan penggolongan ijazah, hingga poin-poin
yang tertuang dalam ijazah. Sebagai pembanding, akan disajikan pula dalam artikel ini
ijazah dalam Sistem Pendidikan Barat (SPB). Dengan demikian, akan tampaklah
perbedaan di antara keduanya.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menyajikan selayang pandang
pengijazahan dalam SPI, agar dapat diketahui secara umum, terutama di negara-negara
di luar Uni Emirat Arab.
METODE
Artikel ini merupakan studi pustaka berupa rangkuman materi dari berbagai
sumber yang relevan untuk pembahasan pengijazahan SPI.
Studi pustaka diawali dengan pembahasan kata ijazah secara etimologi dan
istilah untuk mengetahui beberapa konsep tentang ijazah. Dari makna-makna tersebut,
maka dapat diterapkan makna apa saja yang releven dengan pokok bahasan dalam
makalah ini.
Langkah selanjutnya adalah menampilkan deskripsi pengijazahan dalam SPI
mulai dari persyaratan untuk mendapatkan, bentuk ujian, usia saat mendapatkan,
peran ijazah, jenis-jenis dan penggolongan ijazah, hingga poin-poin yang tertuang
dalam ijazah. Dilanjutkan dengan deskripsi ijazah dalam SPB sebagai pembanding.
Artikel disimpulkan untuk mencari perbedaan signifikan antara pengijazahan pada SPI
dan SPB.
PEMBAHASAN
A. Ijazah dalam Sistem Pendidikan Islam
Secara etimologi, Ibn Manzur, menyebutkan dalam kitabnya Lisan al-Arab
bahwa kata Ijazah bersumber dari bahasa Arab yakni dari kata dasar ajaza yang
bermakna ‘duduk di kursi’(Ibn Manzur, 1990). Sementara, Imam an–Nawawi di
dalam kitabnya at–Taqrib wa at–Taysir li Ma’rifati Sunan al–Bashir al–Nazir
menyatakan bahwa kata dasar Ajaza bermakna ‘air’; yang digunakan untuk
Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Tradisi Penganugerahan Ijazah … | 21
mengairi sawah atau untuk menghilangkan dahaga (bin Said & bin Adam, n.d.).
Sementara itu, al–Fayruzabadi di dalam al–Qamus al–Muhit menyatakan bahwa arti
kata dasar ajaza tersebut adalah mengesahkan atau memberikan hak pada
seseorang (Ābādī, 2007).
Sedangkan secara istilah, ijazah, menurut Ibn Manzur adalah hak yang
diberikan untuk meligitimasi ilmu yang telah dipelajarinya (Ahmad, Kadir, & Hussin,
2016). Imam an-Nawawi menyatakan bahwa pada dasarnya seorang mahasiswa
meminta ijazah dari profesornya untuk menghilangkan dahaganya akan ilmu
pengetahuan. Sedangkan al-Fayruzabadi menambahkan tentang hak yang diberikan
tersebut adalah hak untuk mengajar (Safran, 2018).
Dari ketiga pendapat tersebut diatas, penulis lebih cenderung kepada alFayruzabadi karena lebih relevan dengan tema sentral dalam makalah ini yaitu
bahwa ijazah adalah hak untuk mengajar.
Ijazah sebagai nomina adalah selembar kertas yang berisi informasi tentang:
(1) institusi pengijazah, (2) data pribadi penerima ijazah, dan (3) daftar mata kuliah
yang menunjukan expertise tertentu; sebagaimana yang terjadi di dunia pendidikan
secara umum. Mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi pada fakultas dan program studi
tertentu, saat lulus akan memperoleh selembar ijazah. Ijazah biasanya diberikan
bersamaan dengan selembar transkrip yang berisi informasi tentang daftar mata
kuliah dan nilainya (Sarwanto, 2015).
Namun, pengijazahan dalam konsep SPI adalah pemberian hak untuk
mengajar kepada seseorang yang telah menempuh studi dan dinyatakan lulus dalam
ujian lisan oleh Pengijazah (al–Mujiz), professor, pensyarah, syeikh, guru, dsb
(Makdisi, 1970). Wujudnyapun berbeda dengan yang ada di SPB; yakni berupa buku
yang memuat daftar kitab yang telah dipelajari berikut silsilah perawinya.
B. Pengijazahan dalam SPI
Sesuai ajaran yang dianut oleh kaum muslimin, seseorang yang paling
berwenang untuk menyampaikan ilmu adalah Rasulullah SAW, insan pilihan Allah
yang menerima wahyu melalui malaikat jibril. Ilmu tersebut bersifat pengajaran
untuk mencapai kebahagian hidup baik di dunia maupun di akhirat. Ilmu ini
diajarkan secara lisan oleh Rasulullah SAW kepada para Sahabatnya: Abu Bakar,
Umar, Ustman, dan Ali. Para sahabat kemudian meneruskan ajarannya kepada at–
Vol. 2, No. 1, Mei 2019
22 | Mesut Idriz & Idha Nurhamidah
Taabi’in, lalu at-Taabi’in menyampaikan kepada Tabi’ at–Taabi’in. Demikian
seterusnya hingga sampai kepada para ulama (mufrad) (Syobromalisi, 2011).
Proses ini seperti pada periwayatan sebuah hadist (Nazlianto & Lc, 2018).
Hadist yang berisi Sabda, perbuatan, taqrir dan sifat Rasulullah SAW, atau asSunnah, diperdengarkan, dibaca, dihafal dan dilafalkan dengan keras dan jelas;
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW di hadapan Jibril a.s ketika menerima
wahyu pertama dari Allah di Gua Hira saat beliau sedang berkhalwat.
Pengijazahan sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara lisan
dan tulisan. Namun, berdasarkan sejarah pengijazahan secara lisan lebih banyak
dilakukan dibandingkan secara tulisan (Cochran, 2011).
Sebelum konsepnya berkembang luas, pengijazahan sebenarnya adalah
salah satu metode untuk menentukan kesahihan periwayatan sebuah hadist untuk
dapat diklasifikasikan berdasarkan darajat kepercayaan (thiqah) seseorang perawi
melalui ucapan lisannya (Mohamed & Othman, 2017). Para periwayat hadist
(muhadistin) adalah golongan pertama yang menggunakan istilah ini demi
pemeliharaan ilmu. Mereka jugalah Muslim pertama yang menyadari pentingnya
penulisan ilmu agar dapat digunakan secara luas dalam bidang lain.
Ijazah yang berisi nama-nama lalu dikompilasikan dalam buku atau bentuk
tulisan lain yang mengesahkan pemiliknya dan orang lain setelahnya untuk
kemudian disyahkan oleh al-Mujiz; yang maknanya pemegang ijazah memiliki hak
untuk mengajarkannya kepada orang lain. Ijazah berasosiasi dengan kata sami’ah
dari kata dasar sama’ yang artinya mendengar. Oleh karenanya dalam kurun waktu
selanjutnya dikenal istilah ijazah pendengaran (Ijazat as–Sama’); yaitu ditransfer
dengan metode lisan (Ramli, Ahmad, & Zin, 2017).
Prosedur pengijazahan lisan dilakukan dengan membaca teks secara hafalan.
Proses pembacaan ini sesuai dengan ajaran al – Quran dan al-Hadist. Mendengar dan
membaca saling terkait satu sama lain dan kadang–kadang menjadi berasosiasi
antara qara’ah dan sami’ah.
Informasi dalam ijazat as–Sama’ meliputi: 1) penganugerah atau disebut
Musmi’, 2) pembaca ijazah disebut Qaari’; yakni orang yang menerima ijazah, dan 3)
penulis ijazah atau disebut sebagai kaatib as–sama’, kaatib at – Tabaqah ataupun
mustbit as–Sama’. Pada awal mulanya, ijazah ditulis pada lembar kosong yang
terdapat di dalam kitab yang dipelajari.
Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Tradisi Penganugerahan Ijazah … | 23
Ijazah dalam meriwayatkan al-Hadist berarti memberikan hak kepada
seseorang untuk meriwayatkannya kepada orang lain (Mas‘ud, 1998). Selain
dimaknai sebagai hak untuk meriwayatkan hadist, ijazah juga bisa digunakan untuk
disiplin ilmu lain, seperti: hak untuk mengajar hukum (al–Ijazah li at–Tadris) (Smith
II, 2015) dan fiqih. Demikian juga ilmu-ilmu lain (Makdisi, 1970). Oleh sebab itu S1
Kependidikan di beberapa negara Uni Emirat Arab memberikan gelar akademik
(Lc.) yang berarti licenced (berhak) untuk mengajar. Ijazah untuk mengajar ini
pertama kali dikeluarkan di Baghdad pada awal tahun ke-3 Hijriah. Kemudian, pada
tahun ke-4 menyebar ke seluruh negara Islam.
C. Tahap Ujian Akhir
Ijazah akan dikeluarkan setelah dewan penguji merasa puas dengan
performa mahasiswa melalui ujian lisan (Bahjat & Albidewi, n.d.). Dalam Ujian ini,
mahasiswa diminta memberikan argumentasi untuk mempertahankan sekumpulan
tesis hasil karyanya; apabila terbukti cukup kompeten, ijazah akan dianugerahkan.
Ujian ini meliputi uji penguasaan kitab-kitab yang telah selesai dipelajari oleh
mahasiswa (Bahjat & Albidewi, n.d.). Sebagai contoh, Ibrahim bin Makram al–Shirazi
telah dianugerahi ijazah setelah diuji oleh dua orang professor yang sekaligus
pemberi fatwa dikeluarkannya lisensi untuk mengajar hukum–hakam. Pada waktu
yang sama, yang bersangkutan juga telah diuji penguasaannya oleh beberapa
professor lain yang kitab-kitabnya telah dipelajari oleh calon penerima ijazah.
Perkembangan pengijazahan dalam bidang fiqh ini sepesat bidang hadist.
D. Usia Penerima Ijazah
Berdasarkan ketentuan, sebuah ijazah hanya diberikan kepada mahasiswa
pada usia matang, yakni sekitar usia 30 atau 40 tahun ke atas. Sebagian ulama tidak
memperkenankan untuk menganugerahkan ijazah kepada mahasiswa dalam usia
muda (Laffan, 2004).
Namum demikian Allah terkadang memberikan keistimewaan kepada
hamba-hambaNya yang terpilih. Ulama besar fiqh dari Syria, al–Awza’i, misalnya
telah dapat mengeluarkan fatwanya dalam usia tiga belas tahun. Muslim bin Khalid,
salah seorang ulama besar mazhab as–Syafi’e telah dianugerahi ijazah pada usia
lima belas tahun. Tajud Din as–Subki juga mendapat ijazah untuk mengajar fiqh dan
hak mengeluarkan fatwa pada usia delapan belas tahun, dll. Kemahiran berhujah
Vol. 2, No. 1, Mei 2019
24 | Mesut Idriz & Idha Nurhamidah
dan berargumentasi mereka didukung oleh daya ingat luar biasa. Semua atas
kehendak Allah.
Pada dasarnya wewenang untuk memberikan ijazah dimiliki oleh seseorang
secara pribadi, maknanya seorang profesor atau ulama boleh mengeluarkannya
(Böttcher, 2002). Namun sebagian ulama sangatlah teliti dan tidak mudah dalam
memberikan ijazah. Misalnya seorang ulama fiqh, Abu Ishaq Ibrahim bin Yahya al–
Dimashqi terkenal; sebagai ulama beliau sangat berhati-hati (tegas) sehingga
banyak mahasiswanya mengalami kesulitan dalam mendapatkan ijazah beliau.
Tidak jarang, beliau tega ‘menggagalkan’ mahasiswanya karena dianggap belum
layak. Begitu juga dengan ‘Ustman bin Sa’id Ustman Abu Umar.
Demikian juga sebaliknya, ada juga mahasiswa yang dengan rendah hati
menyatakan bahwa mereka belum mahir dan layak untuk menerima ijazah. Mereka
menyadari betapa berat tanggung jawabnya yang diembannya setelah diberi ijazah.
Seperti pada kasus Ibnu Hubaysh, beliau berkata: “Wahai Tuan, saya tidak layak
menerima ijazah.” Hal itu tak lain hanyalah suatu sikap kehati-hatian atau kerendahhatian.
E. Pengijazahan Sebagai Hak Pribadi
Wewenang untuk memberikan ijazah hanya melekat pada ulama, yaitu
seseorang yang menguasai ilmu agama, terutama kepakaran dalam bidang hukum–
hakam
Islam
atau
seorang
faqih
(jama’–fuqaha’).
Seorang
faqih
yang
menganugerahkan ijazah kepada mahasiswanya, maka pada hakekatnya ulama
tersebut sedang menggunakan hak pribadi yang melekat pada dirinya sebagai
seorang individu; dan tidak sedang mewakili organisasi di bawah fakultas tertentu
sebagaimana yang terjadi di SPB.
Pemerintah dalam hal ini tidak boleh melakukan intervensi. Tiada
seorangpun boleh mendikte mereka dalam urusan pengijazahan. Dengan cara
inilah, nilai-nilai agama dapat ditegakkan. Ilmu berasosiasi dengan kebijaksanaan
ulama bukan pemerintah. Pun bukan oleh universitas atau asosiasinya. Islam tidak
seperti gereja yang tidak memiliki kekuatan bagaikan paderi.
Meski institusi milik para ulama bebas dari campur tangan pemerintah dan
tidak memerlukan izin pemerintah untuk mendirikannya, pemerintah mengatur
agar sebagian saham institusi tersebut dimiliki oleh pemerintah. Sebagai dampak
Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Tradisi Penganugerahan Ijazah … | 25
positifnya jajaran pemerintahan juga berisikan ulama. SPI ini termasuk salah satu
undang-undang yang bersifat individu.
F. Jenis Jenis Ijazah
Ada enam jenis ijazah yang masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:
1. Ijazah Istimewa; Ijazah ini dianugrahkan oleh seseorang kepada orang lain. Ada
empat hal yang tercantum pada ijazah yang paling bergensi ini; 1) nama
pensyarah, 2) nama mahasiswa, 3) nama mata kuliah, dan 4) pengakuan dari
profesor dengan predikat ‘ajaztu’ (Falahi, n.d.)
2. Ijazah Biasa; Ijazah ini juga menyebutkan nama professor, tetapi nama mata
kuliah tidak dinyatakan. profesor akan menyatakan dengan lisan bahwa
mahasiswanya telah mendapat hak untuk mengajar tanpa merinci mata kuliah
atau kitab-kitab yang telah dipelajari.
3. Ijazah Kelompok; nama profesor tercantum, akan tetapi penerimanya
merupakan satu kelompok dan nama mereka tidak dicantumkan. Sebuah hak
diberikan untuk menyampaikan ilmu dalam sesuatu mata kuliah tertentu,
4. Ijazah atas Kitab; Ijazah jenis ini sangat detail. Seorang profesor membuat
pernyataan bahwa mahasiswanya telah selesai mempelajari kitab tertentu dan
telah hafal. Ijazah ini hanya diberikan setelah pelajar tersebut membuktikan
kecakapannya.
5. Ijazah berdasarkan Surat Keputusan; ijazah ini hanya untuk mata kuliah hadist,
diberikan
setelah
seorang
alim
menulis
hadist
tertentu
dan
mempresentasikannya dihadapan kelompok anak didiknya, disertai dengan
‘surat keputusan’ yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah diberi hak
untuk meriwayatkannya kepada orang lain tentang apa yang telah ditulis oleh
profesornya.
6. Ijazah Kehormatan; hanya diberikan kepada dan oleh antar ulama. Diantara
mereka terjadi saling tukar menukar ijazah ini sebagai tanda hormat dan
menghargai jasa mereka; seperti yang terjadi pada professor exchanges.
Benang merah yang dapat ditarik dari masing-masing jenis ijazah di atas
adalah bahwa ijazah bersifat peribadi bukan institusi. Dan inilah keistimewaan dari
pengijazahan dalam SPI (Schmidtke, 2006).
Vol. 2, No. 1, Mei 2019
26 | Mesut Idriz & Idha Nurhamidah
G. Peran Ijazah
Peran ijazah bagi kemajuan mahasiswa masa kini di era kemajuan peradaban
Islam sangatlah penting. Ijazah telah memuat informasi tentang siapa penganugrah
ijazah termasuk ilmu-ilmu yang dipelajari lengkap dengan sanad-sanadnya yang
sampai kepada Rasulullah SAW sehingga dianugerahi hak untuk menurunkan
ilmunya.
Akan sangat sulit untuk melakukan judgement terhadap orang yang tidak
memiliki ijazah. Orang tersebut tidak akan diketahui kemampuannya dan hak-hak
akademik yang melekat pada pofesinya. Ijazah adalah justifikasi keilmuan, yang
secara jelas memberi gambaran tentang apa yang dapat secara akademis dan
profesional dilakukan oleh pemegang ijazah.
H. Penggolongan Ijazah
Sebagaimana telah disebutkan bahwa ada Ijazah Istimewa. Ijazah jenis ini
awalnya hanya diaplikasikan pada ilmu hadist, kemudian disusul oleh bidangbidang lain seperti kaligrafi, tariqah (religious order), sufisme, puisi/sajak,
kesusasteraan, dan sains.
Ijazah dalam bidang kaligrafi yang jenisnya bermacam-macam, diberikan
kepada mahasiswa oleh seseorang profesor yang menyatakan mereka layak untuk
bekerja sebagai penulis khat, penyalin atau pencetak dan kerani, sebagai pejabat
kerajaan (Parvez, n.d.). Beberapa contoh ijazah jenis ini dapat dijumpai Muradi’s Silk
al–Durar fi A’yan al–Thani ‘Ashar dan dalam Ugur Derman’s Hattat Icazetnameleri.
Dahulu, peminat ijazah ini sangat berlimpah karena bisa menjadi pintu untuk
tergabung sebagai pejabat kerajaan; yang saat itu sedang giat-giatnya menyalin
kitab-kitab karena mensin pencetak belum tersedia.
Sementara itu, ijazah dalam bidang tariqah kesufian memiliki cakupan yang
luas; baik dari sudut fisikal maupun spiritual. Ijazah tariqah kesufian secara
spiritual bermakna penunjukkan pengganti sang profesor sebagai syeikh untuk
mengajar kitab–kitab kesufian. Hal ini pernah dilakukan oleh Syeikh ‘Abbas Afandi
kepada Hafiz ‘Umar Afandi dalam tariqah Ummu Sinan, salah satu cabang
Naqshibandiyyah, pada 1321 A.H., di Skopje. Hal ini juga yang terjadi pada Syeikh
Nizamuddin Awliya dari gurunya Syeikh Faridud–Din Gani–Shakar untuk mengajar
kitab Tamhidi karangan Abu Shakur Salimi tentang asas–asas Keimanan.
Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Tradisi Penganugerahan Ijazah … | 27
Pengijazahan di dalam bidang puisi dan sajak juga pernah dilakukan,
misalnya ijazah yang dianugerahkan oleh ‘Ali bin Muhammad bin Mahfuz al–‘Alawi
kepada anaknya Siddiq bin ‘Ali pada 691 A.H berupa lisensi untuk mengajar puisi
‘Umar bin al–Farid. Isi dari ijazah tersebut adalah sebagai berikut:
“Wahai anakku, Siddiq ibn ‘Ali, pelajar yang berilmu, ‘adil dan bersemangat tinggi,
Semoga Allah mengilhamkannya lisensi dan jalan yang lurus untuk diikuti, dan
melindunginya dari kejahatan orang–orang terkutuk dan dari azab siksaan, telah
mempelajari puisi ‘Umar bin al – Farid dari saya kecuali satu puisi yang diawali
dengan : Sa’iq al–Az’an Tatwy al–Bid Tay, maka, dengan ini saya memberi hak
kepadanya untuk membacanya setelah saya sebagaimana saya membacanya
setelah Syeikh Fakhrud–Din al–Iraqi.”
Pada bidang medis, yang mulai diminati pada abad ke-10 M., mewajibkan
seseorang konsultan medis/bakal doktor untuk lulus ujian dan mendapat ijazah
berupa hak praktek. Sebagai contoh ijazah medis ada di dalam kitab Ibn Abi
‘Usaybi’ah’s Tabaqat al – Atibba.
I. Struktur dalam Ijazah
Berikut ini adalah bentuk ijazah yang dikeluarkan oleh sebagian besar SPI.
Ijazah biasanya dimulai dengan: 1) Basmalah, diikuti 2) Hamdalah, dan 3) sholawat
atas Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya adalah 4) Predikat atas keilmuan dan
manfaatnya, diikuti dengan 5) potongan ayat–ayat al–Quran dan Al-Hadist yang
berkaitan dengan manfaat ilmu keilmuan; misalnya “Katakanlah : Adakah sama
orang–orang yang mengetahui dan orang–orang yang tidak mengetahui?”
disambung dengan hadist ”Bila seseorang berjalan untuk mencari ilmu, Allah akan
membuka untuknya salah satu jalan menuju surga”.
Yang ke 6) sanad yang merupakan hal yang sangat diutamakan oleh ulama
Salaf dalam mengkaji ilmu hadist, apakah hadist tersebut benar–benar datang dari
Nabi SAW atau sebaliknya (Alias, Mohamad, Nor, & Saad, 2018). Tidak hanya hadist,
sanad ini lalu diaplikasikan pada bidang–bidang lain dalam rangka menjamin
keaslian, kesahihan dan kualitas ilmu yang disampaikan. Abdullah bin Mubarak
menerangkan “Sanad itu sebahagian dari ad–Deen, sekiranya tidak karena sanad,
tentu semuan orang bisa berbicara apapun sesuai kehendaknya”.
Silsilah penyampai atau perawi suatu ilmu akan kembali kepada Allah;
kecuali ijazah dalam bentuk kitab, silsilah akan berakhir pada penulisnya.
Sementara ijazah ilmu hadist akan bermuara kepada orang yang mengumpulkan
Vol. 2, No. 1, Mei 2019
28 | Mesut Idriz & Idha Nurhamidah
dan menulis hadist tersebut karena hadist–hadist di dalam suatu kitab mempunyai
sebilangan para perawi yang berbeda dan ia akhirnya akan kembali kepada
Rasulullah SAW.
Namun, menuliskan nama semua perawi yang hidup sejak zaman Rasulullah
SAW hingga ke zaman ulama pengumpul hadist itu sulit, sanadnya akan sangat
panjang dan memakan tempat yang banyak jika harus dituliskan dalam ijazah. Oleh
karenanya, terkadang yang tertulis dalam ijazah hanyalah sebagian perawi tanpa
menurunkan kekuatan dari suatu hadist.
Terdapat juga 7) nama pensyarah dan 8) nama pelajar. Dalam hal ini
pensyarah menyebutkan nama pelajar yang diijazahi. 9) Perkembangan akademik
pelajar juga dilampirkan untuk menunjukkan kualitas ilmu seseorang pelajar. Selain
itu, 10) para pensyarah berkesempatan memberikan penghargaan kepada guru
mereka sendiri dengan menyebutkan nasab ilmunya. 11) Nama kitab – kitab dan
subjek yang dipelajari juga dinyatakan dalam ijazah.
Seorang pensyarah akan memberikan 12) wejangan kepada penerima
tentang bagaimana menggunakan ilmu sebaik-baiknya, mengajar muridnya kelak,
berperan sebagai ulama masyarakat, tidak melupakan gurunya dan senantiasa
memohon kepada Allah SWT agar senantiasa diberi kekuatan. Sebagai penutup,
ijazah lazimnya akan diakhiri dengan 13) doa, 14) tanggal dikeluarkannya ijazah
dan 15) pengesahan dari pensyarah disertai tanda tangan atau stempel resmi atau
kedua – duanya.
Untuk (16) nama institusi jarang dituliskan. Kecuali jika diadakan forum
resmi, maka tempat diadakan forum tersebut (universitas) akan dituliskan. Begitu
pula bila nama pensyarah disebut, maka nama universitasnya otomatis tersebut
dalam ijazah.
Hanya dengan cara tersebut, peta geografis Ilmu–ilmu Islam dapat terlihat;
yakni tentang: di mana, kapan, bagaimana proses pembelajaran dan mata pelajaran
apa saja yang dipelajari, serta bagaimana kemajuan sosial dan politiknya sehingga
perkembangan ilmu pengetahuannya tercatat dalam sejarah.
J. Perbedaan Pokok antara Ijazah pada SPI dan SPB
Seperti telah disebutkan dimuka bahwa pengijazahan sudah berkembang di
dunia Pendidikan Islam sejak abad ke-4 A.H (abad ke-10 M). Baru dua abad
Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Tradisi Penganugerahan Ijazah … | 29
kemudian yakni pada abad ke-12, tradisi ini muncul di Latin Barat. Sebagaimana
pengijazahan di dunia SPI, pengijazahan di Latin barat juga bermakna lisensi untuk
mengajar atau licentia docendi. Walaupun menurut George Makdisi, tiadak ada bukti
sejarah yang membuktikan adanya ijazah ini di Greece maupun di Roma. Tidak ada
juga ijazah yang dikeluarkan oleh Kristiani Timur Byzantine yang terkait langsung
dengan pendidikan klasik dari Greece.
Pernyataan mereka tentang telah dikenalnya system ijazah pada abad ke-12
tidak didukung oleh bukti sejarah. Namun hal yang menarik adalah pernyataan dari
Daniel Haneberg, yang telah melakukan kajian terhadap system Pendidikan Islam;
dia menyampaikan” Saya rasa pemberian lisensi yang kita (Barat) miliki itu pada
mulanya bersumber dari sistem Pendidikan Islam”.
George Maksidi menambahkan bahwa tahapan perolehan ijazah dan licentia
docendi menurut tidak jauh berbeda:
From initial training in the literacy arts, to embarking on the long course of study
leading to the mastership, passing through the ranks of scholar (mutafaqqih) and
fellow (faqih), representing the undergraduate and graduate level, assisting the
master as ordinary repetitor (mu’id) or extraordinary docent (mufid), including
the work of building up repertories of disputed questions (masa’il khilafiyah,
quaestiones disputatae), the student practice of quizzing one another
(mudhakarah,collatio), disputing for practice with fellow students, or with masters
in class (munazarah, disputatio), disputation based on the confrontation of
conflicting opinions (khilaf, sic et non), and the mastery of dialectic (jadal,
dialectica), and finally, obtaining the licence to teach (ijazah li at – Tadris, licentia
docendi), and incepting by giving the inaugural lesson or lecture (dars iftitahi,
inceptio).
Satu hal yang perlu dicatat bahwa ijazah telah berkembang lebih dari satu
abad sebelum munculnya licentia docendi. Pada perkembangannya licentia docendi
telah diubah menjadi selembar ijazah. Seperti yang terjadi di Perancis, semula hak
mengajar melekat pada ijazah yang diberikan kepada seseorang setelah menempuh
studi pada sebuah Perguruan Tinggi. Namun kemudian terjadi reformasi
pendidikan pada 1973 dan mencapai puncaknya pada 1976 yang berdampak pada
perubahan licentia docendi tersebut. Hal tersebut tidak pernah terjadi pada ijazah
dalam SPI, kecuali pada tempat-tempat khusus.
Pada dasarnya perbedaan antara ijazah pada SPI dan SPB terletak pada tiga hal:
1. Ijazah SPI bukan wewenang institusi untuk menerbitkannya, melainkan oleh
professor. Tidak ada stempel resmi atau pengesahan dari universitas. Seorang
profesor bertanggung jawab penuh untuk menguji dan mengijazah
Vol. 2, No. 1, Mei 2019
30 | Mesut Idriz & Idha Nurhamidah
mahasiswanya. Dengan cara ini kualitas ilmu tetap terjaga. Sebaliknya pada
SPB, tidak ada ikatan langsung antara professor dan penerima ijazah. Hal ini
bisa menimbulkan masalah bila mahasiswa Perguruan Tinggi membludak yang
berdampak tidak terkontrolnya penguasaan ilmu mahasiswa. Kedekatan antara
profesor dan mahasiswa pada SPB baru terjadi pada level pasca sarjana karena
jumlahnya cenderung lebih sedikit.
2. Ijazah SPI menyebutkan nama mata kuliah (madah), berikut kitab yang telah
dipelajari dan dikuasai beserta keterangan silsilah penyampai yang bermuara
pada penulis kitab. Sementara dalam ijazah SPB, hanya berupa daftar mata
kuliah dan nilai-nilainya.
3. Dari segi wujudnya, ijazah dalam SPI berbentuk buku yang terkadang terdiri
dari 20 halaman atau lebih. Sementara ijazah SPB hanya berupa satu lembar
sertifikat.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Agama Islam adalah agama akhir jaman yang merupakan penutup dan
penyempurna agama-agama samawi sebelumnya. Sistem Pendidikan Islam
memiliki keunikan tersendiri, yang salah satunya adalah adanya tradisi
penganugrahan ijazah (pengijazahan) dari seorang profesor kepada mahasiswanya.
Dikatakan bahwa pengijazahan adalah hak prerogatif profesor yang tidak dapat
diganggu gugat dan bukanlah wewenang institusi untuk menganugerahkan ijazah.
Terntunya penganugrahan ijazah itu dilakukan setelah melalui ujian-ujian tertentu
dan oleh guru dinyatakan lulus. Seorang mahasiswa yang telah memiliki ijazah
berarti yang bersangkutan telah diberi mandat (hak) untuk menyampaikan apa
yang telah dipelajari dari Perguruan Tinggi tertentu.
Telah banyak dijelaskan jenis-jenis dan ragam ijazah termasuk perbedaanperbedaan satu sama lain. Yang perlu dicatat tentang pengijazahan ini adalah bahwa
SPI memiliki tradisi unik, dan sangat berbeda dengan SPB. Semua itu dilakukan demi
menjaga kualitas, kesahihan, ilmu yang dipelajari.
Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Tradisi Penganugerahan Ijazah … | 31
B. Saran
Saran untuk para peneliti dan pemerhati Peradaban Islam adalah bahwa
peneliti di masa mendatang supaya melakukan penelitian menyangkut tradisitradisi lain dalam Islam, misalnya dengan metode etnografi. Hanya setelah
mengetahui akar sebuah tradisi, seseorang bisa berfikir dan bertindak bijak dalam
menyikapi segala hal.
DAFTAR PUSTAKA
Ābādī, A.-F. (2007). al-Qāmūs al-Muḥīṭ. Dār al-Maʿrifah.
Ahmad, M. N., Kadir, M. N. A., & Hussin, H. (2016). Pengaplikasian Kaedah Tafsir alQur’an dengan Qira’at oleh Muhammad Said bin Umar di dalam Tafsir Nurul
Ihsan. AL-TURATH JOURNAL OF AL-QURAN AND AL-SUNNAH, 1(1), 65–73.
Alias, N., Mohamad, K. A., Nor, Z. M., & Saad, N. H. M. (2018). Sanad Qiraat dan Hadis:
Analisa Terhadap Proses Pengijazahan. Maʿālim Al-Qurʾān Wa Al-Sunnah,
14(15).
Bahjat, Y., & Albidewi, I. (n.d.). Redesigning Educational Systems Using IJAZA Structure.
bin Said, K., & bin Adam, J. (n.d.). Corak Tariq Sanad Pengajian Al-Quran di Negeri
Pahang. QURANICA-International Journal of Quranic Research (, 1(1).
Böttcher, A. (2002). Sunni and Shi ‘i Networking in the Middle East. Mediterranean
Politics, 7(3), 42–63.
Cochran, J. A. (2011). Disillusionment with Higher Education in the Middle East and the
United States. In Forum on Public Policy Online (Vol. 2011). ERIC.
Falahi, G. N. (n.d.). Development of Hadith.
Ibn Manzur, M. (1990). Lisan al-‘arab. Beirut: Dar Al-Sadir.
Laffan, M. (2004). An Indonesian community in Cairo: Continuity and change in a
cosmopolitan Islamic milieu. Indonesia, (77), 1–26.
Makdisi, G. (1970). Madrasa and university in the middle ages. Studia Islamica, (32),
255–264.
Mas‘ud, A. (1998). Mahfūz al-Tirmisī (d. 1338/1919): An Intellectual Biography. Studia
Islamika, 5(2).
Mohamed, A., & Othman, F. M. (2017). Penyelesaian Perbezaan Penilaian Pengkritik
Hadith Ke Atas Kredibiliti Perawi: Kajian Ke Atas Perawi Bagi Hadith-Hadith Di
Dalam Kitab Mastika Hadith Jilid 3. AL-TURATH JOURNAL OF AL-QURAN AND ALSUNNAH, 2(1), 65–73.
Vol. 2, No. 1, Mei 2019
32 | Mesut Idriz & Idha Nurhamidah
Nazlianto, R., & Lc, M. A. (2018). ḤADĪTS ZAMAN RASULULAH SAW DAN TATACARA
PERIWAYATANNYA OLEH SAHABAT. Al-Mursalah, 2(2).
Parvez, A. (n.d.). Origination, Development and the Types of Islamic Calligraphy (Khatt
Writing).
Ramli, F. Z. M., Ahmad, M. H. A.-S., & Zin, S. M. M. (2017). Salasilah Sanad Kitab Turath
Hadis Tokoh Ulama Kelantan Tuan Guru Haji Abdullah Lubok Tapah (19332008). HADIS, 1–23.
Safran, A. Bin. (2018). Metodologi A. Mukti Ali Dalam Penafsiran Alqurān: Analisis
Terhadap Kitab Tafsir Alqurān di Nusantara. Jurnal Penelitian Medan Agama.
Sarwanto, S. (2015). Surat Keterangan Pendamping Ijazah Bagi Mahasiswa Lulusan
Pendidikan Fisika dan Tantangan Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. In
PROSIDING: Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika (Vol. 6).
Schmidtke, S. (2006). Forms and functions of ‘licences to transmit’(Ijàzas) in 18thCentury-Iran:’Abd Allàh al-Mùsawì al-Jazà" irì al-Tustarì’s (1112–73/1701–59)
ijàza kabìra. SOCIAL, ECONOMIC AND POLITICAL STUDIES OF THE MIDDLE EAST
AND ASIA, 95.
Smith II, M. V. (2015). Islamic Pedagogy and Critical Thinking: Does Islamic pedagogy
want critical thinkers?
Syobromalisi, F. A. (2011). Membahas kitab tafsir klasik-modern.
Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam