Jurnal Riset Agama
Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
DOI: 10.15575/jra.v1i3.15596
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jra
Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok Pesantren
Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
Muhammad Rifqi Hadziqi
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin,
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
rifqihadzieq99@gmail.com
Abstract
Traditional ceremonies and traditions that contain values and
norms in society, are a form of culture. In the Cikalama
community, there is a Ngabungbang tradition. The purpose of this
paper is to answer the problems that are the subject of the
research: 1) the Ngabungbang Tradition at Pondok Pesantren
Cikalama; 2) The procession of the implementation of the
Ngabungbang tradition at the Pondok Pesantren Cikalama; and 3)
Sutan Takdir Alisjhabana's cultural philosophy analysis of the
Ngabungbang tradition at the Pondok Pesantren Cikalama. This
research is a field research, with this research is a qualitative
descriptive method, and the theory of cultural philosophy of
Sutan Takdir Alisjahbana as a knife of analysis. The findings in
this research are firstly, Ngabungbang is a tradition to have a good
relationship with God, the Prophet, ancestors, as well as with the
supernatural powers that he believes in, and is defined as a
pilgrimage to the graves of ancestors who contributed to the
spread of Islam. Second, the procession of implementing the
Ngabungbang tradition is carried out in several stages, namely,
reading sholawat and dhikr, listening to advice from the
organizers and finally waiting for the prayer to be awarded.
Third, the analysis of the dominant values of STA shows that the
style/character/character of the culture in the Ngabungbang
tradition is an expressive culture.
Keywords: Cultural Philosophy; Pesantren Cikalama; Tradisi
Ngabungbang.
Abstrak
Upacara adat dan tradisi yang mengandung nilai dan norma
dalam masyarakat, merupakan salah satu wujud kebudayaan.
Pada masyarakat Cikalama terdapat tradisi Ngabungbang.
Tujuan tulisan ini ialah untuk menjawab permasalahan yang
menjadi pokok bahasan penelitian: 1) Tradisi Ngabungbang di
Pondok Pesantren Cikalama; 2) Prosesi pelaksanaan tradisi
324
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama; dan 3) Analisis
filsafat kebudayaan Sutan Takdir Alisjhabana terhadap tradisi
Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama. Penelitian ini
merupakan penelitian lapangan, dengan metode deskriptif
kualitatif, dan teori filsafat kebudayaan Sutan Takdir
Alisjahbana sebagai pisau analisis. Temuan dalam riset ini ialah
pertama, Ngabungbang merupakan tradisi untuk berelasi baik
dengan Tuhan, Nabi, leluhur, maupun dengan kekuatan ghaib
yang diyakininya, dan diartikan berziarah ke makam leluhur
yang berjasa dalam penyebaran agama Islam. Kedua, prosesi
pelaksanaan tradisi ngabungbang dilakukan beberapa tahap
yaitu, membacakan sholawat dan dzikir, mendengarkan
wejangan (nasehat) dari pihak penyelenggara dan terakhir
menanti turunnya do’a yang akan diijazahkan. Ketiga, analisis
nilai-nilai dominan Sutan Takdir Alisjahbana menunjukkan
bahwa corak/watak/karakter kebudayaan dalam tradisi
Ngabungbang termasuk kebudayaan ekspresif.
Kata kunci: Filsafat kebudayaan; Pesantren Cikalama; Tradisi
Ngabungbang.
Pendahuluan
Masyarakat dan budaya layaknya dua sisi pedang yang saling terkait
dan terikat (Alfan, 2013: 54). Menurut Koentjoroningrat, ada tiga wujud
kebudayaan, pertama, sebagai ide atau gagasan, nilai, dan norma secara
kolektif yang hidup di masyarakat, serta memberi jiwa bagi masyarakat.
Kedua, sebagai konsep sistem sosial untuk berinteraksi antar masyarakat.
Ketiga, sebagai benda-benda yang merupakan hasil karya manusia
(Surjawa, 1999: 10-12).
Upacara adat dan tradisi yang mengandung nilai dan norma dalam
masyarakat, merupakan salah satu wujud kebudayaan. Di mana nilai dan
norma tersebut dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat. Di Indonesia
banyak sekali wujud kebudayaan, dalam bentuk tradisi atau semacam
ritual-ritual yang bernuansa religi atau agama. Masyarakat Indonesia dari
dulu hingga hari ini masih banyak yang percaya pada hal-hal atau bendabenda yang dianggap memiliki kekuatan gaib, seperti batu, pohon, keris,
pedang, dan lainnya. Sehingga dari kepercayaan tersebut manusia mesti
menjalin hubungan yang baik dengan alam, yaitu dengan mengadakan
upacara simbolik, membacakan do’a, serta memberikan sesaji (Jamil, 2000:
54).
Islam adalah agama yang lentur dan dapat menyesuaikan ajaranya,
dengan kondisi suatu masyarakat di daerah tertentu. Dengan
325
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
kelenturannya tersebut Islam dapat diterima dengan mudah oleh
masyarakat Indonesia (Soehadha, 2013: 15-16). Khususnya di pulau Jawa,
Islam dibawa oleh para wali dengan cara dan pendekatan yang halus,
merupakan contoh pendekatan Islam melalui memasukan nilai-nilai ajaran
Islam dalam unsur-unsur budaya lokal. Hal tersebut dilakukan agar
masyarakat dapat dengan mudah menerima ajaran Islam serta dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan. Masyarakat Jawa Barat misalnya,
dikenal sebagai masyarakat yang religius dan patuh dalam menjalakan
ajaran Islam. Hal tersebut dapat terlihat dengan banyaknya tempat ibadah
(Langgar), dan pondok pesantren di setiap pemukiman warga. Selain itu
masyarakat di Jawa Barat, masih menjunjung tinggi nila-nilai kebersamaan,
kerukunan, maupun kekerabatan. Jika melihat akan hal tersebut, maka
tidak heran jika masih banyak kebudayaan-kebudayaan lokal yang
mengandung nilai-nilai Islam dan masih terus dilestarikan, salah satu
contohnya adalah tradisi Ngabungbang.
Tradisi Ngabungbang adalah suatu tradisi keagamaan yang muncul
dari dorongan manusia untuk melakukan berbagai hal yang memiliki
tujuan untuk berelasi dengan dunia gaib (kelakuan keagamaan). Semua
fenomena alam yang mereka saksikan, seperti gunung, batu, sungai, laut,
dan angin yang sesekali mengganggu kehidupan manusia. Menurutnya,
semua menifestasi alam tersebut memiliki roh, misalnya roh nenek moyang
yang selalu hadir mengamati mereka.
Ngabungbang merupakan tradisi yang ada di beberapa wilayah di
Jawa Barat. Yang dimaksud Ngabungbang ialah “cicing di luar wawangunan
bari teu sare sapeuting jeput, utamana dina tempat anu aya karamatan nu
dilaksanakeun dina malam caang bulan ka 14.” Artinya diam di luar bangunan
dengan bergadang semalaman terutama di tempat yang dianggap keramat
dan dilaksanakan setiap malam purnama ke-14 (Nalurita, 2013: 2).
Tradisi ini mulai tergerus zaman, sehingga tidak banyak orang yang
mengetahuinya. Terlebih hanya sebagian daerah tertentu saja di Jawa Barat
yang mengenal tradisi ini, dan setiap daerah mempunyai corak masingmasing terkait ritual Ngabungbang itu sendiri, yaitu dilakukan dengan cara
yang berbeda-beda walaupun pada pemaknaannya ada kemiripan dalam
mendefinisikan tradisi tersebut.
Adapun tradisi Ngabungbang yang dimaksud dalam tulisan ini ialah
yang dilakukan di pondok pesantren Cikalama Sindangpakuon Sumedang.
Tradisi Ngabungbang di pondok pesantren Cikalama hanya dilaksanakan
sekali dalam setahun. Secara historis tradisi Ngabungbang berasal dari
Karahayuan Limbangan yang diijazahkan pada bulan Maulud, yang kini
dikenal denga istilah Ngabungbang. Melaksanakan Ngabungbang diartikan
juga sebagai memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Yang
dimaksud Ijazah Karahayuan (keselamatan) dalam prosesi ini ialah
merupakan kalimat turun-temurun yang dianggap sakral sehingga tidak
326
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
bisa didokumentasikan baik dalam bentuk tulisan maupun media. Bacaan
atau amalan yang dibacakannya yaitu seperti, sholawat, wirid, bahasa
Sunda buhun, dan bahasa wali (Arab) (Fauzi, 2021: 7:16).
Dalam konteks masyarakat muslim pedesaan, ritual keagamaan
merupakan entitas yang takterpisahkan dengan identitasnya. Pupuhu
masyarakat baik ajengan, wali, kiai selaku memegang otoritas keagamaan
senantiasa memelihara budaya sebagai media penyaluran doktrin Islam
(Albustomi, 2019).
Tradisi Ngabungbang dilaksanakan pada malam bulan purnama, atau
pada tanggal 14 Maulud / 14 Rabi’ul Awal. Warga yang mengikuti tradisi
ini berkumpul di halaman luar ponpes Cikalama pada tengah malam
tepatnya pukul 24:00 untuk membaca suatu amalan atau wirid atau ijazah.
Kalimatnya berupa hafalan dengan menggunakan bahasa Sunda kuno dan
mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu tidak boleh ditulis maupun
direkam, harus dibaca di luar ruangan, tidak boleh dibacakan oleh wanita
haid, dipimpin pertama kali oleh perempuan, harus mempunyai wudhu,
dan harus diikuti sebanyak tujuh kali secara berturut-turut. Seseorang yang
mampu menghafal ijazah tersebut dipercaya akan mendapat suatu
kebaikan dan terlindung dari hal-hal buruk, misalnya dibaca ketika
menyembuhkan orang sakit dan dalam keadaan kesusahan (Fauzi, 2021:
7:16).
Untuk memperkaya dan memperjelas posisi tulisan ini, peneliti
sajikan beberapa penelitian sebelumnya untuk membantu peneliti dalam
menentukan langkah-langkah sistematis dari teori yang akan digunakan,
sehingga penulis dapat dengan tepat menggunakan analisis teori pada
objek yang akan diteliti. Berikut beberapa riset sebelumnya yang patut
untuk diulas.
Darajat (2020) menulis “Pendidikan Karakter dalam Tradisi
Ngabungbang Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.” Temuan penelitian
ini menunjukkan bahwa tradisi Ngabungbang mampu mewujudkan nilainilai pendidikan karakter seperti religius, toleransi, kejujuran, kreatif,
komunikatif, tanggung jawab, dan cinta tanah air. Selain itu dalam tradisi
tersebut juga terdapat nilai-nilai pendidikan karakter Sunda “tri-SILAS”
atau tiga prinsip yakni, silih asih, silih asah, dan silih asuh (Darajat, 2020:
137-142).
Octaviani (2020) menulis “Upacara Ngabungbang Pada Masyarakat
Cikalama Sindangpakuon Cimanggung Sumedang Tahun 2020.“ Temuan
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi upacara Ngabungbang,
sebuah do’a Karahayuan, yang diartikan sebagai simbol sosial bagi mereka
yang bergabung dalam kegiatan tersebut. Tujuan Ngabungbang adalah
berziarah ke makam leluhur yang berjasa dalam penyebaran ajaran Islam
di
Sindangpakuon
dan
sekitarnya,
membacakan
puji-pujian,
327
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
mendengarkan wejangan (nasehat) dari pihak penyelenggara dan menanti
turunnya do’a yang akan diijazahkan (Octaviani, 2020).
Gunaepi (2020) membahas “Analisis Tradisi Ngabungbang di Hulu
Citarum (Studi Fenomenologi Tradisi Ngabungbang sebagai Wujud
Kearifan Lokal Masyarakat Kertasari di Hulu Citarum).“ Temuan
penelitian ini menjelaskan bahwa tradisi ngabungbang merupakan proses
menyucikan diri, baik fisik maupun batin. Bagi masyarakat Hulu Citarum
tradisi ini sudah menjadi warisan para leluhur yang senantiasa harus
dilestarikan (Gunaepi, 2020).
Beberapa studi di atas, mengulas tradisi Ngabungbang dengan
berbagai perspektifnya. Terlepas ada persamaan dalam hal metodologi dan
lainnya, namun tulisan ini akan membahas tradisi tersebut dalam tinjauan
filsafat kebudayaan Sutan Takdir Alisjhabana. Kebudayaan menurut
Alisjhabana adalah ciptaan khas manusia yang lahir dari akal budi, insting,
pikiran, perasaan, kemauan, dan fantasi manusia. Kebudayaan diciptakan
manusia sebagai sebab akibat dari transendensi (pengatasan) manusia atas
alam. Kebudayaan suatu bangsa memiliki watak dan karakter yang khas,
yang terletak pada nilai-nilai (values) paling dominan yang dijunjung tinggi
oleh bangsa tersebut. Nilai-nilai dominan tersebut ialah:
Pertama, nilai seni dan agama. Nilai seni (estetik) ialah nilai dominan
yang menekankan pada keindahan, yang mengungkap diri dalam dunia
sekitar. Sementara nilai religius merupakan nilai dominan yang
menekankan pada keterhubungan antara diri dan kekuatan misterius adialamiah yang menakjubkan, tapi sekaligus menegangkan di alam yang juga
penuh misteri. Nilai religius adalah nilai yang menekankan pada
pentingnya eksistensi Sang Kudus (the holiness).
Kedua, nilai ilmu (sains), teknologi, dan ekonomi. Nilai teoritis dan
teknologi merupakan nilai dominan yang menekankan pada pengetahuan
obyektif untuk mengidentifikasi hal-hal dan kejadian-kejadian di sekitar
tempat hidup manusia. Sedangkan nilai ekonomis yaitu nilai dominan
yang
mengutamakan
pemanfaatan
lingkungan
dan
efisiensi
pemanfaatannya untuk melestarikan dan menikmati hidup.
Ketiga, nilai kekuasaan (power) dan solidaritas. Nilai kekuasaan adalah
nilai dominan yang menekankan pada ambisi untuk menguasai orang lain
dalam kuasa vertikal (hirarki antara atasan-bahawahan). Dan nilai
solidaritas adalah nilai dominan yang menekankan keutamaan percitaan,
persahabatan, gotong royong (mutual help) dalam kuasa horisontal (sejajar
antara kekasih, sahabat, dan warga negara) (Alisjahbana, 1986: 278).
Ketiga nilai-nilai dominan tersebut akan menentukan corak, watak,
atau karakter khas suatu kebudayaan. Dengan demikian, dalam batas-batas
tertentu teori nilai-nilai dominan Alisjhabana ini akan digunakan untuk
menganalisi tradisi Ngabungbang yang ada di Pondok Pesantren Cikalama
Sumedang, agar bisa melihat secara utuh, mendalam, dan objektif.
328
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
Tujuan penelitian ini untuk menjawab beberapa permasalahan yang
dijadikan pokok pembahasan, yakni meliputi: 1) Tradisi Ngabungbang di
Pondok Pesantren Cikalama; 2) Prosesi pelaksanaan tradisi Ngabungbang di
Pondok Pesantren Cikalama; dan 3) Analisis filsafat kebudayaan Sutan
Takdir Alisjhabana terhadap tradisi Ngabungbang di Pondok Pesantren
Cikalama.
Manfaat hasil penelitian ini untuk menambah dan memperluas
khazanah keilmuan, terkhusus mengenai tradisi yang bercorak keislaman
di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin. Dengan adanya
hasil penelitian ini, penulis berharap agar bisa mengajak masyarakat
merawat tradisi-warisan leluhur bangsa, khususnya tradisi lokal.
Berangkat dari uraian diatas, penelitian ini berusaha menyusun
bangunan penelitian yang berupa; rumusan, pertanyaan dan tujuan
penelitian (Darmalaksana W. , 2020). Rumusan masalah dalam penelitian
ini sebagaimana yang tertera dalam abstraksi yaitu tradisi ijazah pada
prosesi ngabungbang di pondok pesantren Cikalama, prosesi ijazah pada
tradisi ngabungbang, dan analisis filsafat kebudayaan Sutan Takdir
Alisjahbana terhadap tradisi ijazah pada prosesi ngabungbang di pondok
pesantren Cikalama. Penelitian ini bertujuan menjawab rumusan masalah
yang sebelumnya telah peneliti paparkan.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif
kualitatif, yaitu metode yang digunakan untuk melakukan penelitian pada
suatu kondisi masyarakat, maupun sistem suatu pemikirannya, maupun
suatu peristiwa yang terjadi saat ini. Metode ini bertujuan untuk
menjelaskandan menggambarkan, suatu fenomena dengan cara yang
sitematis, faktual, serta akurat (Sugiyono, 2014: 207).
Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh langsung dari sumber pertama, yaitu masyarakat, tokoh
adat, dan pimpinan Pondok Pesantren Cikalama. Sementara data sekunder
adalah data pendukung atau data tambahan yang diperoleh dari sumbersumber yang berkaitan dengan pembahasan penelitian yang akan
dilakukan, seperti buku, jurnal, skripsi, artikel, dan karya ilmiah lainnya
(Saifuddin, 2016: 60).
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling (sampling bertujuan). Teknik ini merupakan teknik
penentuan informan melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tersebut dilakukan seperti menentukan informan atau
seseorang yang dianggap paling mengetahui tentang apa yang akan
dibutuhkan dalam penelitian, atau seseorang tersebut merupakan
penguasa atau seseorang yang memiliki posisi tertentu, sehingga akan
329
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
memudahkan peneliti untuk menjelajahi, atau memperoleh data dari objek
ata situasi yang akan diteliti (Sugiyono, 2014: 208).
Adapun waktu dan tempat dalam penelitian ini, yaitu di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dan dilakukan dari bulan Juni sampai
Oktober 2021. Penelitian ini dilakukan pada 4 orang informan yaitu: Rd.
Fegi Muhammad Husen Mahali Fauzi (Pimpinan Pondok Pesantren
Cikalama Sumedang), Aden Babam (sekretaris Pondok Pesantren
Cikalama), Habib Djati Cakra Nugraha (Sejarawan dan budayawan Desa
Limbangan), dan Febrianti (masyarakat Pondok Pesantren Cikalama).
Hasil dan Pembahasan
Tradisi Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama
Penelaahan tradisi Ngabungbang seyogianya dilihat secara kesejarahan
yang telah mengakar lama di masyarakat Cikalama. Adapun tradisi yang
telah mengakar di masyarakat diarakhan pada fakta-fakta kesejarahan
yang menunjukan adanya acuan (referensi) yang ditunjukan para
pendahulu masyarakat di suatu tempat yang dilakukan secara turuntemurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Madriani, 2021).
Secara historis tradisi Ngabungbang ada sejak abad 18 M dan di abad
19 M mulai dikenal masyarakat, khususnya di kalangan ulama dan santri
(Nugraha, 2021: 7:21). Tradisi Ngabungbang adalah suatu teradisi
keagamaan yang muncul dari dorongan manusia untuk melakukan
berbagai hal yang memiliki tujuan untuk berelasi dengan dunia gaib
(kelakuan keagamaan). Awalnya dulu ada seorang wali yang dijuluki
Eyang Salinggih Ibrahim, dan memiliki nama asli Raden Pringga Kusumah.
Beliau adalah orang yang menyiarkan Islam di daerah Limbangan. Eyang
Salinggih awalnya bertapa di Gunung Galunggung selama 7 tahun, dengan
tujuan untuk beruzlah (Babam, 2021: 7:16).
Adapun tujuan uzlah tersebut ialah: 1) Untuk mengasingkan diri dari
keramaian, agar dapat menjalankan ibadah secara khidmat dan tenang; dan
2) Untuk pengharapan agar ia dan kelurga memperolah keselamatan baik
di dunia maupun akhirat.
Seraya perjalanan pertapaannya, Eyang Salinggih didatangi oleh
seorang perempuan tepat jam 12 malam dan memberikan sebuah do’a,
yang mana do’a tersebut dikenal sebagai do’a “Karahayuan Limbangan” dan
sampai hari ini selalu dibacakan dalam tradisi Ngabungbang.
Dalam pengertiannya Ngabungbang berasal dari bahasa sanskerta
yakni, Ngabingbing yang memiliki arti membimbing. Sementara, secara asal
katanya Ngabungbang berasal dari kata bungbang yang artinya germeulap,
terang, dian atau pelita, dalam bahasa Sundanya memiliki arti caang mabrak.
Namun, secara umum Ngabungbang dapat diartikan sebagai tradisi
berziarah malam hari pada bulan purnama (Babam, 2021: 7:16).
1.
330
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
Pada konteks Ngabungbang di pesantren Cikalama adalah untuk
berziarah ke makam-makam para leluhur yang dianggap sebagai cikal
bakal penduduk setempat dan berjasa dalam meyiarkan ajaran Islam di
daerah tersebut. Selain itu, tujuan Ngabungbang ialah untuk bermunajat
pada Allah serta mengingat kematian (dizkrul maut) agar manusia selalu
ingat kemana ia akan pulang.
Ngabungbang juga memiliki makna lain, yaitu sebagai penghormatan
mereka terhadap jasa-jasa leluhur. Hal tersebut, terbukti dengan adanya
makam mama Cikalama atau Syekh Abdul Jalil yang berada di daerah
Cikalama Desa Sindangpakuon, yang menjadi salah satu tempat dalam
proses upacara Ngabungbang. Oleh penduduk setempat, Ngabungbang
selalu dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh ilmu dari para leluhur.
Melalui tradisi ini, banyak orang yang berdatangan ke desa Sindangpakuon
untuk mengikuti prosesi Ijazah dalam upacara Ngabungbang, dengan
maksud agar memperoleh ilmu Karahayuan. Hal tersebut, seperti yang
disampaikan oleh pimpinan pesantren Cikalama sebagai berikut:
Jadi, melalui tradisi Ngabungbang ini, banyak warga atau masyarakat yang
datang berduyun-duyun ingin mengikutinya, dengan harapan mereka bisa
memperoleh karamat dari para leluhur. Karamat karahayuan itu berisi do’ado’a dan mantra-mantra yang sebagaiannya terdiri dari kalimatullah seperti
Asmaul Husna dan diakhiri kalimat tahlil (Babam, 2021: 7:16).
Untuk mendapatkan ilmu tersebut masyarakat harus mengikuti
serangkaian kegiatan dan tindakan yang membutuhkan kekuatan,
ketekunan, dan kesabaran. Masyarakat yang ikut upacara ini, dituntut
untuk mempunyai keyakinan yang kuat dan ilmu pengetahuan yang
mumpuni. Selebihnya akan penulis paparkan di point prosesi pelaksanaan
Ngabungbang.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa Ngabungbang
dalam bahasa Sanskerta memiliki arti ngabingbing. Semua keinginan dan
harapan jama’ah diungkapkan dalam prosesi upacara Ngabungbang.
Upacara tersebut dilaksanakan setiap tahun pada malam bulan purnama
14 Maulid (Rabi’ul Awal). Menurut masyarakat bulan tersebut penuh
dengan rahmat, sebab pada bulan ini Nabi Muhammad SAW dilahirkan.
Selain itu, bulan ini juga merupakan waktu yang baik untuk menyerap
ilmu, dan bulan purnama yang penuh itu melambangkan ilmu yang akan
diperoleh juga penuh. Keyakinan terhadap waktu dan bulan tersebut akan
memberikan hasil yang baik, dan di bulan Maulud tersebut banyak orang
yang bertapa (Mustafa, 1996: 232).
Sebelum rangkaian prosesi upacara dilaksanakan, para jama’ah
dianjurkan untuk berziarah terlebih dahulu ke makam-makam tokoh
penyebar ajaran Islam khususnya di Sumedang. Adapun tempat-tempat
331
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
tersebut di antaranya: 1) Makam Syekh Abdul Jalil di Cikalama desa
Sindangpakuon; 2) Makam Girilaya Pasirnanjung Cimanggung; 3) Makam
Bangkir di Sindanggalih Cimanggung; 4) Makam Haruman di Limbangan
Garut; dan 5) Makam Mama Cibalampu di kecamatan Cibalampu.
Jika kelima makam terebut dikunjungi, maka nuansa prosesi upacara
pun akan terasa lebih lengkap. Kendati demikian, karena faktor waktu dan
lain hal, hal tersebut tidak menjadi anjuran mutlak bagi masyarakat yang
hendak mengikuti tradisi ini. Kebanyakan dari mereka adalah para kiai dan
santri, namun ada juga dari kalangan petani, pedagang, pegawai negeri,
maupun pelajar. Usia tua dan muda tak mejadi hambatan untuk mengikuti
tradisi ini, dengan catatan sudah baligh (Babam, 2021: 7:16).
Dalam rangkaian upacara Ngabungbang, terdapat dua pihak yang
berkaitan langsung dengan proses acara, yakni jama’ah dan penyelenggara.
Jama’ah ialah orang-orang yang mengikuti upacara Ngabungbang,
sementara penyelenggara adalah sesepuh desa atau tokoh adat, dalam hal
ini adalah keluarga Kiai Raden Yuyu Yusup, anak-anak dan saudaranya.
Kiai Raden Yuyu Yusup adalah tokoh adat sekaligus ulama yang pertama
kali mengenalkan tradisi Ngabungbang di wiliyah Sumedang (Babam, 2021:
7:16).
2.
Prosesi Pelaksanaan Tradisi Ngabungbang di Pondok Pesantren
Cikalama
a) Tahapan Pelaksanaan Tradisi Ngabungbang
Pelaksanaan tradisi upacara Ngabungbang terpusat di Rt 03 Cikalama
Desa Sindangpakuon Kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang.
Terdapat beberapa tahapan dalam pelaksanaan tradisi upacara
Ngabungbang, pertama, bimbingan dan dzikir; kedua, wejangan (nasihatnasihat); dan Ketiga, adalah tahapan puncak yaitu pemberian hadiah atau
“ijazah”. Sebelum mengikuti rangkaian upacara tersebut, para jama’ah
dianjurkan untuk berwudhu terlebih dahulu, agar diri mereka dalam
keadaan suci dan lebih baik dalam niat ataupun pelaksanaannya (Babam,
2021: 7:16).
Ketika sudah memasuki waktu pelaksanaan acara ini, banyak jama’ah
yang berdatangan dari berbagai daerah, mereka harus sudah di tempat
sebelum waktu maghrib, bahkan ada dari mereka yang datang lebih awal
agar bisa mengikuti acara tersebut. Sebelum upacara dimulai, jama’ah
berkumpul untuk mempersiapkan hal-hal apa saja yang harus
dilaksanakan dalam prosesi Ngabungbang tersebut. Seperti yang
disampaikan oleh Skretariat Pondok Pesantren Cikalama berikut:
Sebelum prosesi upacara Ngabungbang, itu biasanya jama’ah dikumpulkan
terlebih dahulu untuk diberikan arahan dan mempersiapkan langkah-langkah
apa saja yang harus dilakukan nanti. Arahan itu ya berisi wejangan-wejangan
332
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
seputar tata cara mengikuti upacara ini gimana, dan wejangan tersebut
disampaikan langsung oleh pihak keluarga Kiyai Raden Yuyu Yusup sebagai
penyelenggara acara (Babam, 2021: 7:16).
Kegiatan ini dimulai setelah waktu isya, acara diawali dengan
pembacaan sholawat-sholawat dan dzikir, yang dilakukan berasama-sama
oleh pemimpin dan para jama’ah. Kemudian, dilanjutkan dengan
penyampaian wejangan-wejangan filosofis tentang nasehat-nasehat yang
berkaitan dengan kehidupan dan hal-hal baik sesuai ajaran Islam. Di tahap
kedua ini, para jama’ah dilarang melakukan hal-hal lain yang dapat
mengganggu dan merusak acara sakral tersebut. Sebaliknya, para jama’ah
diwajibkan untuk bisa serius dan khusyu dalam mendengarkan dan
membacakan kalimatullah tersebut.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa peserta jama’ah
Ngabungbang ini tidak dibatasi oleh jenis kelamin, hanya saja dalam usia
batas untuk mengikuti upacara ini harus sudah baligh. Baligh dalam artian
sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Awalnya tradisi Ngabungbang dilakukan oleh 7 orang di Cikalama,
namun seiring berjalannya waktu peserta jama’ahnya semakin bertambah,
terakhir prosesi upacara pada 30 Otober 2020 jama’ahnya kurang lebih ada
4000 orang. Hal ini dituturkan oleh pimpinan Pondok Pesantren Cikalama
berikut:
Awalnya yang menjalankan tradisi Ngabungbang di Cikalama ini hanya 7
orang, tapi dari tahun ke tahun alhamdulillah jama’ahnya terus bertambah.
Terakhir di tahun 2020 lalu, itu ada sekitar 4000 jama’ah yang mengikuti
upacara ini. Dan jama’ah itu tidak hanya dari warga sini saja, dari luar daerah
juga sangat banyak. Oleh karena itu seketika tempat ini manjadi sesak, sampe
tidak ada tempat yang kosong (Fauzi, 2021: 7:16).
Selanjutnya tahapan terakhir atau acara inti, dilaksanakan pada pukul
24:00, pada jam ini akan diberikan sebuah do’a atau disebut “Ijazah” yang
diberikan oleh Ibu Hajah Ndeh Sa’adah. Beliau merupakan kakak dari
ketua Pondok Pesantren Cikalama yakni Kiai Raden Yuyu Yusup. Do’a
tersebut bukan sembarang do’a, do’a ini merupakan mantra-mantra yang
terdiri dari rangkaian kata-kata bahasa kuno yang tak mudah dimengerti
begitu saja oleh orang awam. Dalam pemberian ijazah tersebut terdapat
catatan khusus dan sejumlah syarat yang harus dipatuhi dan dipenuhi oleh
para jama’ah. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan
kesakralan serta faedah dari tradisi upacara Ngabungbang. Berikut beberapa
syarat yang harus dipenuhi dan dipatuhi: 1) Tidak boleh ditulis; 2) Tidak
333
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
boleh direkam; dan 3) Hanya boleh dibacakan di lapangan (bukan di
ruangan) dengan secara khidmat (Fauzi, 2021: 7:16).
Selain itu, do’a ini hanya berlaku sampai batas jam 4 sore keesokan
harinya. Dalam hal ini, peneliti menemukan kesulitan untuk memperoleh
data otentik terkait ijazah (do’a/mantra) yang dibacakan dalam prosesi
upacara Ngabungbang, karena alasan tersebut. Terlebih lagi sejauh
informasi yang peneliti temukan, do’a atau mantra ini hanya boleh
dibacakan (diijazahkan) pada malam tersebut, yakni malam 14 Maulud tepat
pukul 24:00.
Setelah rangkaian acara dilakukan, acara kemudian diakhiri dengan
jamuan yang telah disediakan oleh penyelenggara acara. Adapun dana
yang digunakan untuk jamuan itu, diperoleh dari sumbangan-sumbangan
warga Cikalama dan para jama’ah. Sumbangan tersebut tidak hanya
berupa uang saja, namun ada juga yang berupa makanan, dan lain-lain
Setelah acara jamuan selesai, mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
Terkait dengan keampuhan dari do’a dan mantra-mantra tersebut,
bagi orang-orang yang meyakini dan mengamalkannya dampaknya sangat
terasa begitu nyata. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Pondok
Pesantren Cikalama berikut:
Mantra dan do’a dari ijazah ini manfaatnya sangat nyata sekali, banyak para
jama’ah yang telah mengalaminya. Misalnya di tahun 1990 itu pernah ada
kecelakaan mobil Bus di daerah Nagreg, dan itu semua penumpangnya hampir
meninggal, tapi ada beberapa orang yang selamat seperti Raden Hasan beliau
itu dulu lurah di desa Sindanggalih, dan termasuk saya juga penumpang Bus
itu yang selamat tanpa luka sedikit pun. Kemudian, sesepuh pondok pesantren
yaitu Kiai Raden Yuyu Yusup juga pernah mengalami kecelakaan mobil mini
Bus di Garut, tapi alhamdulillah beliau selamat dan sampai hari ini masih
sehat wal’afiat. Menurut beliau, keselamatan tersebut adalah wasilah dan
berkah dari mantra dan do’a yang telah diijazahkan. Dan masih banyak lagi
testimoni-testimoni dari para jama’ah lainnya. Namun, do’a ini tidak boleh
dijadikan sebagai kesombongan, sebab bisa menghilangkan wasilah dan
keberkahannya. Intinya do’a atau suatu amalan ini bertujuan untuk memohon
perlindungan dari Allah (Babam, 2021: 7:16).
Dalam penguasaan ilmu tersebut, setiap jama’ah harus sabar, tekun,
dan memiliki keyakinan yang kuat, sebab untuk penguasaan ilmu yang
utuh jama’ah harus datang dan mengikuti upacara Ngabungbang ini selama
7 (tujuh) kali berturut-turut. Jika ada satu tahun saja yang terlewat, maka
jama’ah harus mengulanginya lagi dari awal. Dan bagi jama’ah yang telah
berhasil mengikuti selama 7 (tujuh) kali berturut-turut, tidak ada kewajiban
lagi baginya untuk mengikuti upacara di tahun berikutnya, hal tersebut
tergantung pada jama’ah itu sendiri.
334
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
Dari ulasan di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa tujuan dan motif
dari tradisi upacara Ngabungbang ini ialah selain untuk menghormati para
leluhur dengan cara berziarah kemakam-makamnya, juga untuk menjalin
silaturahmi dengan para alumni santri pondok pesantren Cikalama,
ataupun para murid atau siswa yang mengabdi di pondok pesantren
tersebut, dan masyarakat. Selain itu, juga untuk menambah amalan-amalan
atau do’a untuk selalu mengingat pada Allah, Rasullullah SAW, para
sahabat, dan juga ulama-ulama. Dan tentunya yang sangat diharapkan
adalah memperoleh keberkahan dari amalan-amalan do’a atau mantra
yang telah diijazahkan.
a) Mantra Ijazah dan Do'a pada Upacara Ngabungbang
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, tujuan para jama’ah
yang mengikuti tradisi Ngabungbang ini adalah untuk memperoleh ilmu
Karahayuan Limbangan. Yang mana dalam perwujudannya berupa
rangkaian kalimat do’a dan mantra-mantra yang menarik untuk dicermati.
Do’a yang diajarkan dihafalkan dan dipahami pada pukul 24:00 atau yang
disebut dengan Ijazah, merupakan percampuran antara ajaran leluhur
dalam bahasa Sunda buhun dan ajaran Islam dalam bahasa Arab. Adapun
yang dimaksud ajaran leluhur ialah ajaran leluhur di tanah Sunda
khususnya di Sumedang, ajaran tersebut mencakup hampir semua
kebutuhan hidup agar mendapatkan kesejahteraan, misalnya dalam
berdagang, pertanian, menolak balak, penyembuhan penyakit, dan lain
sebagainya.
Isi do’a yang dibaca dalam tradisi upacara Ngabungbang antara lain: 1)
Hadiahan; 2) Keselamatan; 3) Do’a mustajab pada Allah SWT; dan 4) Do’a
(mantra) yang tak boleh diungkapkan sedikitpun kecuali dalam prosesi tersebut
(Fauzi, 2021: 7:16).
Kepercayaan terhadap mantra-mantra (do’a) yang terdiri dari
rangkaian bahasa leluhur (sunda buhun) dan diakhiri dengan rangkaian
bahasa Arab. Hal tersebut menunjukkan adanya perpaduan unsur-unsur
Islam dan tradisi peninggalan para leluhur Sunda. Adapun terkait
kebenaran dan keampuhan mantra dan do’a-do’a tersebut, kembali pada
keyakinan masing-masing. Menurut Frazer dalam Koentjaraningrat, segala
tindakan atau kegiatan yang disandarkan pada kekuatan alam, termasuk
dalam sesuatu yang disebut magis (Koentjaraningrat, 1990: 232).
Keyakinan para jama’ah pada umumnya sangat mengharapkan
keampuhan mantra yang diijazahkan tersebut, untuk melindungi diri dan
kehidupannya. Mereka yakin do’a Karahayuan Limbangan ini dibuat oleh
para leluhur sesuai dengan keyakinan dan kekeramatannya. Pengertian
kramat sendiri jika ditinjau dari artinya ialah mulia atau luhur budinya. Hal
335
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
tersebut menunjukkan bahwa keyakinan pada do’a masih mempunyai
kekuatan.
Menurut hemat peneliti, terkait do’a ini dapat dipahami sebab situasi
masyarakat yang bersifat religius dan bercorak magis. Jadi, do’a ini
memiliki kedudukan dan sakralitas yang tinggi bagi mereka yang benarbenar meyakininya. Hal tersebut dapat dipahami sebab dalam masyarakat
yang religius, kesaktian menjadi tolak ukur kepemimpinan seseorang.
Terbukti dari tokoh Syekh Abdul Jalil hinggan anak cucunya sangat
terkenal dan disegani di desa ini. Jika ditelaah lagi, kesaktian tersebut
merupakan peninggalan dari masa pra Hindu, yakni kepercayaan
dinamisme yang mengajarkan adanya kekuatan dari benda-benda yang
diciptakan oleh orang yang mempunyai kekeramatan. Keyakinan dan
kepercayaan tersebut, sampai saat ini masih dipelihara dan banyak
ditemukan di berbabgai masyarakat muslim di Indonesia. Namun, bertolak
dari kepercayaan dinamisme tersebut dalam masyarakat muslim di
pesantren Cikalama do’a atau mantra ini tidak boleh dijadikan sesuatu hal
atau benda yang harus disembah dan dipuja-puja secara berlebihan, hal ini
terbukti dengan adanya peraturan atau pantangan tidak boleh ditulis
ataupun direkam sebagaimana yang telah diulas di atas.
Jika ditelaah lagi lebih dalam, dapat dikatakan juga bahwa sebenarnya
keberadaan do’a atau mantra ini sebenarnya merupakan produk Islam.
Sebab semua ini hanya persoalan bahasa, Islam tidak melarang berdo’a
umatnya berdo’a dengan bahasa apa saja dalam hal ini termasuk bahasa
daerah (Sunda).
3.
Analisis Filsafat Kebudayaan Sutan Takdir Alisjhabana terhadap
Tradisi Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama
Sutan Takdir Alisjahbana atau sering dikenal dengan inisial STA, ia
lahir pada tanggal 11 Februari 1908, di Natal, Mandailing Sumatra Utara.
Beliau meninggal di Jakarta pada 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. STA
merupakan filsuf kebudayaan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia.
Ia juga merupakan salah satu pendiri Universitas Nasional (UNAS) Jakarta
(Abidin, 2021: 3).
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, kebudayaan menurut
Alisjhabana adalah ciptaan khas manusia yang lahir dari akal budi, insting,
pikiran, perasaan, kemauan, dan fantasi manusia. Kebudayaan diciptakan
manusia sebagai sebab akibat dari transendensi (pengatasan) manusia atas
alam. Kebudayaan suatu bangsa memiliki watak dan karakter yang khas,
yang terletak pada nilai-nilai (values) paling dominan yang dijunjung tinggi
oleh bangsa tersebut. Kaitannya dalam hal ini, nilai-nilai dominan dalam
tradisi upacara Ngabungbang ialah sebagai berikut:
a) Nilai Seni dan Agama
336
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
Seperti yang telah disinggung di awal, bahwa nilai seni (estetik)
merupakan nilai yang menekankan pada keindahan, yang mengungkap
diri dalam dunia sekitar. Dalam konteks tradisi Ngabungbang yang
menunjukkan nilai keindahan tentu tidak merujuk pada suatu benda
ataupun hasil karya, melainkan lebih pada keindahan suasana
kebersamaan dalam prosesi upacara Ngabungbang. Dan nilai-nilai
kebersamaan tersebut lebih dominan pada nilai sosial, dan selebihnya akan
peneliti ulas di point nilai solidaritas.
Kemudian nilai religius ialah nilai yang menekankan pada
keterhubungan antara diri dan kekuatan misterius adi-alamiah yang
menakjubkan, tapi sekaligus menegangkan di alam yang juga penuh
misteri. Nilai religius adalah nilai yang menekankan pada pentingnya
eksistensi Sang Kudus (the holiness) (Alisjahbana, 1986: 278).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa di Cikalama
terdapat tokoh agama yakni Syekh Abdul Jalil yang sangat dihormati dan
dijaga eksistensinya. Hal tersebut terlihat pada tiap tanggal 14 Maulud
masyarakat selalu berdatangan berduyun-duyun untuk berziarah pada
makam beliau. Selain untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad
SAW, masyarakat juga sangat menantikan turunnya do’a atau mantra dari
Ijazah dan mengharapkan berkahnya dari do’a atau mantra tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya keterhubungan antara masyarakat yang
menjalankan tradisi ini dengan Nabi Muhammad SAW juga dengan para
leluhurnya melalui kekuatan do’a atau mantra (magis) yang mereka yakini.
Dalam hal ini, pandangan Islam terhadap tradisi ini, tidak
melarangnya dan sangat mendukung, sebab selain masyarakat yang
menjalankannya mengerti dan paham akan agama juga tidak ada
penyelewengan dalam hal akidah. Justeru nilai-nilai agama yang
terkandung di dalam tradisi tersebut sangat bermanfaat dan memberikan
energi positif bagi setiap jama’ah yang mengikutinya. Hal yang
menguatkan lainnya adalah terlihat dari do’a-do’a yang dibacakan, seperti
hadiahan, keselamatan, dan do’a mustajab pada Allah SWT (Fauzi, 2021:
7:16). Bagi mereka (para peziarah) yang menyakininya secara psikologis
mereka merasa memperoleh ketenangan, dan secara spiritual mereka
merasa terhubung dengan para leluhur salah satunya yaitu Syekh Abdul
Jalil.
b) Nilai Ilmu (Sains), Teknologi, dan Ekonomi
Nilai teoritis dan teknologi merupakan nilai dominan yang
menekankan pada pengetahuan obyektif untuk mengidentifikasi hal-hal
dan kejadian-kejadian di sekitar tempat hidup manusia. Pada konteks
tradisi Ngabungbang yang dimaksud ilmu di sini tentu bukan ilmu
pengetahuan dalam bidang sains atau teknologi, akan tetapi ilmu
337
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
pengetahuan tentang agama dan budaya. Hal tersebut terlihat dari
keterangan dari slah satu jama’ah berikut:
Nilai yang terkandung dari Ngabungbang ini sangat positif, selain untuk
melestarikan budaya warisan nenek moyang, juga sebagai sarana
untuk menuntut ilmu agama, apalagi faedah dari ilmu ini (Karahayuan
Limbangan) diyakini dapat melindungi diri kita dari segala bahaya
(Febrianti, 2021: 7:17).
Sementara nilai ekonomis ialah nilai dominan yang mengutamakan
pemanfaatan lingkungan dan efisiensi pemanfaatannya untuk
melestarikan dan menikmati hidup. Dalam hal ini, seperti yang telah diulas
sebelumnya, bahwa tradisi upacara Ngabungbang merupakan salah satu
acara yang setiap tahunnya selalu dipadati orang pengunjung atau jama’ah.
Hal ini memberikan peluang usaha dan mendukung perekonomian
masyarakat sekitar, seperti memasang kotak amal dan berjualan makanan
(bakso, batagor, bakso tahu, mie ayam, gorengan, dan lain-lain) pakaian
muslim (baju koko laki-laki, celana komprang, gamis, jilbab, dan lain-lain),
ataupun mainan anak-anak dan lain-lainnya. Keuntungan yang diperolah
pedagang dalam semalam itu bisa dua kali lipat dari biasanya, dan hasil
dari sumbangan kotak amal tersebut dapat digunakan untuk kepentingan
mesjid (Babam, 2021: 7:16). Dan hal tersebutlah yang nampaknya telah
menjadikan tradisi Ngabungbang semakin diminati olah masyarakat setiap
tahunnya, dan jumlah jama’ahnya pun selalu bertambah.
c)
Nilai Kekuasaan (Power) dan Solidaritas
Nilai kekuasaan adalah nilai dominan yang menekankan pada ambisi
untuk menguasai orang lain dalam kuasa vertikal (hirarki antara atasanbahawahan). Dalam tradisi Ngabungbang nilai kekuasaan tidak menjadi
nilai-nilai dominan, sebab dalam prosesi pelaksanaannya relasi antara
pemimpin acara dan jama’ah tidak dibedakan kedudukannya sebagaimana
dalam struktur organisasi. Relasi pemimpin dan jama’ah hanya bersifat
sementara selama acara tersebut saja, setelahnya akan berelasi seperti biasa.
Selanjutnya, nilai solidaritas adalah nilai dominan yang menekankan
keutamaan percintaan, persahabatan, gotong royong (mutual help) dalam
kuasa horisontal (sejajar antara kekasih, sahabat, dan warga negara)
(Alisjahbana, 1986: 278). Masyarakat Cikalama termasuk masyarakat yang
sosialnya sangat baik, terbukti dengan sesamanya, sikap gotong royong
yang masih tinggi dan terpelihara, serta masih semarak jika di kampung
tersebut diadakan kegiatan yang bersifat sosial. Selain itu proses
penyesuaian yang terjadi pada warga ini juga didukung oleh watak warga
desa yang mau bekerja sama. Apalagi di antara warga yang ikut
Ngabungbang terlihat kebersamaanya baik dari persiapan acara, maupun di
338
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
akhir acara dengan memberikan sumbangan makanan ataupun uang demi
kelancaran dan kekhidmatan acara tersebut.
Hal menguatkan lainnya ialah masyarakat Cikalama merupakan
masyarakat yang bersifat purity (taqlid), dalam artian mereka menjalankan
syari’at agama hanya terbatas pada apa yang disampaikan oleh kiai atau
ulama yang ada di daerahnya. Sehingga, mereka sangat mendukung
adanya kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang telah menjadi tradisi dan
warisan nenek moyang masyarakat Cikalama Sindangpakuon. Nilai
solidaritas yang hidup di masyarakat Cikalama ialah keharmonisan dan
menghindari konflik. Hal tersebut diwujudkan melalui sikap saling
menghargai dan menghormati baik yang mengikuti tradisi Ngabungbang
ataupun tidak.
Berdasarkan analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa Ngabungbang
di Cikalama merupakan tempat atau ajang pertemuan orang-orang dari
daerah, profesi, golongan yang dapat memberikan berbagai kemungkinan
antara lain: 1) Terjadi interaksi antar sesama pengunjung dan implikasinya
adalah saling tukar menukar informasi mengenai berbagai hal, baik asalusul, pekerjaan atau kesulitan hidup serta keberuntungan hidup dan lain
sebagainya yang pernah terjadi; 2) Antar sesama pengunjung memiliki
perasaan yang sama, senasib dan setujuan; dan 3) Dengan adanya informasi
dari mulut kemulut mengakibatkan kedudukan Ngabungbang di Cikalama
semakin kuat. Akan tetapi dengan adanya tujuan Ngabungbang yang
mengharapkan sesuatu dari do’a Ngabungbang tersebut, membuat
kecenderungan perilaku yang jauh dari hakikat berziarah yang
sesungguhnya.
Meski demikian, keberadaan Ngabungbang di Cikalama mampu
memberikan perasaan optimis, tenang dan tentram bagi mereka yang
mengikuti dan tergabung di dalamnya.
d) Representasi Corak/Watak/Karakter dalam Tradisi Ngabungbang
Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, bahwa menurut Sutan
Takdir Alisjahbana ketiga nilai-nilai dominan tersebut akan menentukan
corak/watak/karakter khas dalam suatu kebudayaan. Watak atau karakter
kebudayaan tersebut ialah: 1) Kebudayaan ekspresif, yaitu kebudayaan
yang mementingkan ungkapan perasaan dan emosi; 2) Kebudayaan
progresif, yaitu kebudayaan yang mementingkan kemajuan; dan 3)
Kebudayaan organisasional, yakni kebudayaan yang mengutamakan
organisasi politik dan solidaritas sosial (Alisjahbana, 1988: xxv).
Berdasarkan analisis ketiga nilai-nilai dominan di atas, maka tidak
berlebihan jika peneliti simpulkan bahwa corak/watak/karakter
kebudayaan
dari
tradisi
Ngabungbang
termasuk
dalam
corak/watak/karakter kebudayaan ekspresif. Hal ini tentu ditunjukkan
bahwa tradisi upacara Ngabungbang merupakan ungkapan perasaan atau
339
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
ekspreasi masyarakat untuk berelasi baik dengan Tuhan, Nabi, leluhur,
maupun dengan kekuatan ghaib yang diyakininya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, telah dihasilkan beberapa
kesimpulan. Pertama, secara historis upacara Ngabungbang telah ada sejak
abad ke 18-19 Masehi, dibawa oleh seorang wali yang bernama Eyang
Salinggih Ibrahim yang bertapa di Gunung Galunggung selama 7 tahun, di
tengah pertapaan pada tanggal 14 Maulud tepatnya pada pukul 24.00,
beliau dihampiri seorang perempuan dan mengijazahkan sebuah do’a,
yang dikenal dengan do’a Karahayuan. Kebiasaan Ngabungbang ini
diartikan sebagai simbol sosial bagi mereka yang bergabung dalam
kegiatan tersebut, yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu, juga
mengikuti tata cara tertentu. Tujuan Ngabungbang adalah berziarah ke
makam leluhur yang berjasa dalam penyebaran Agama Islam di
Sindangpakuon dan sekitarnya. Kedua, prosesi pelaksanaan tradisi
ngabungbang dilakukan beberapa tahap yaitu, membacakan sholawat dan
dzikir, mendengarkan wejangan (nasehat) dari pihak penyelenggara dan
menanti turunnya do’a yang akan diijazahkan. Ketiga, analisis nilai-nilai
dominan STA menunjukkan bahwa corak/watak/karakter kebudayaan
dalam tradisi Ngabungbang termasuk kebudayaan ekspresif. Hal tersebut,
ditunjukkan bahwa tradisi ini merupakan ungkapan perasaan atau
ekspreasi masyarakat untuk berelasi baik dengan Tuhan, Nabi, leluhur,
maupun dengan kekuatan ghaib yang diyakininya.
Demikian ulasan peneliti terkait “Tradisi Ijazah dalam Upacara
Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama Sumedang dalam perspektif
Filsafat Kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana.” Temuan-temuan dalam
penelitian ini memiliki kemungkinan untuk salah. Dengan perkataan lain,
argumen-argumen penulis tentang tradisi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama, perlu untuk dikaji ulang dalam kajian-kajian
selanjutnya. Setidaknya tulisan ini dapat menjadi stimulus untuk
mengundang penulis selanjutnya untuk melahirkan sebuah karya yang
labih baik.
Daftar Pustaka
Albustomi, A. G. (2019). Pemahaman Teologi Islam Masyarakat Tentang
Peran Ulama. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam.
Alfan, M. (2013). Filsafat Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setia.
Alisjahbana, S. T. (1986 : 278). Antropologi Baru. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Alisjahbana, S. T. (1988 : 722). Socio-cultural Development in Global and
National Perspective and Its Impacts. Majalah Bulanan Ilmu dan
Budaya, Tahun 10, No. 10/Juli 1988: Universitas Nasional.
Alisjahbana, S. T. (1988 : 25). Kebudayaan sebaga Perjuangan: Perkenalan
340
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, suntingan Ignas Kleden
et.al.,. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Azwar, S. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Basuki, S. (2010 : 93). Metode Penelitian. Jakarta: Penaku.
Darmalaksana, W. (2020). Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan
Studi Lapangan. . Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
Diyanti. (2021, Mei 28). Bagaimana Prosesi Tradisi Ngabungbang? (Rifqi,
Pewawancara)
Gunaepi, D. (2020). Analisis Tradisi Ngabungbang di Hulu Citarum (Studi
Fenomenologi Tradisi Ngabungbang sebagai Wujud Kearifan Lokal
Masyarakat Kertasari di Hulu Citarum). Universitas ARS.
Jamil, A. (2000). Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Madriani, R. (2021). Living Teologi Tradisi Tolak Bala Bepapas pada
Masyarakat Desa Parit Setia Kecamatan Jawai Kabupaten Sambas
Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin .
Masykur, A. R. (2013). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: IRCiSoD.
Nalurita, G. (2013 : 2). Fungsi Ronggeng Ibing Dalam Upacara. Neliti, 2.
Octaviani, S. S. (2020). Upacara Ngabungbang Pada Masyarakat Cikalama
Sindangpakuon Cimanggung Sumedang Tahun 2020. Bandung: UIN
Bandung.
Soehadha, M. (2016). Tauhid Budaya: Strategi Sinergitas Islam dan Budaya
Lokal dalam Perspektif Antropologi Islam. Tarjih, 15-16.
Sugiyono. (2014 : 207-208). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R &
D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2014). Metode Penlitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.
Sujarwa. (1999). Manusia dan Fenomena Budaya Menuju Perspektif Moralitas
Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syarbini, A. (2011). Islam dan Kearifan Lokal (Local Wisdom). Annual
Conference On Islamic Studies, 170.
341
Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3 (Desember 2021): 324-342
Muhammad Rifqi Hadziqi/Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok
Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan
342