Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2016, Muhammad Dera Purdiansyah
Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Pernyataan tersebut dapat dijadikan indikator untuk menilai perbuatan itu baik atau buruk sehingga dapat dilatarbelakangi sesuatu yang mutlak dan relatif. Baik dan buruk memang sangat menarik untuk diperbincangkan, mengingat bahwasanya manusia diciptakan dalam keadaan baik, bersih, dan suci. Akan tetapi, pada kenyataannya kini banyak terlihat manusia yang memiliki sifat buruk, terlihat baik diluar tetapi buruk di dalam. Bahkan saat ini banyak terjadi perbuatan buruk yang dilakukan manusia secara terang – terangan. Hal ini tentu menjadi banyak perbincangan di kalangan masyarakat mengenai sifat dari manusia yang dulu kala dikenal dengan kebaikan, kini seolah teracuni sesuatu yang mengakibatkan maraknya kejahatan di setiap kalangan dan kegiatan dimanapun, kapanpun, dan dilakukan oleh siapapun. Kini, siapapun dapat menjadi korban dari sifat buruknya manusia. Sifat buruk terhadap manusia, terhadap hewan, terhadap tumbuhan, terhadap lingkungan, bahkan untuk saat ini manusia tidak memiliki rasa malu berbuat buruk terhadap Allah SWT. Pernyataan – pernyataan tersebut perlu dicarikan jawaban dan dapat dijadikan rumusan masalah sehingga para pembaca menilai sesuatu itu baik atau buruk memiliki indikator yang pasti. Pembicaraan mengenai baik dan buruk penting karena dua alasan. Pertama, persoalan ini menjadi pembahasan utama ilmu akhlak sekaligus menjadi inti keberagaman seseorang. Kedua, mengetahui pandangan Islam tentang persoalan ini di tengah maraknya berbagai kejadian dari sifat manusia yang memperbincangkan persoalan ini.
Al-Qur'an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan , an-naas , al-basyar , dan banii Aadam. Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-nawsyang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia. Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Penggunaan istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur'an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta)dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35. Manusia dalam pandangan al-Qur'an bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa. Al-Qur'an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia,yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif). Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
three decades ago, philosophy as an object of investigation was still unlawful religiously among the santris and even among some Muslim university students in Indonesia. That is no longer the case now. Following the coming of some open-minded religious discourses in the country especially that which was brought about by a well-known scholar named Harun Nasution, the study of philosophy became lawful and even promising. This paper speaks about this phenomenon by looking at the evolution of the study of philosophy –especially the philosophy of science-in the academic study in Indonesia. Within the framework of evolution theory, the paper also tries to discuss how the study of this science evolves from a sheer Western-based study to include the Qur'anic perspective of it. This paper itself is a study of the Qur'anic perspective concerning the philosophy of science. And by doing that, it tries to show that this kind of study has become a trend in academic circle in Indonesia. Keyword: knowledge, philosophy of science, epistemology Pendahuluan Katakanlah: " Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). 1 Ayat ini menggambarkan betapa luas kandungan ilmu-ilmu yang diturunkan Allah baik yang terdapat dalam ayat-ayat Qur'aniah maupun dalam ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama dan para filosof muslim sejak zaman dahulu menjadikan al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan. Para filosof muslim telah mengajukan berbagai argumen bahwa al-Qur'an bukan hanya tidak bertentangan tetapi justru sesuai dengan konsep-konsep pemikiran filsafat, bahkan ia menjadi sumber berbagai ilmu pengetahuan. 2 Dengan demikian, tulisan ini akan mengkaji konsep ilmu dalam al-Qur'an ditinjau dari sudut pandang filsafat. Kerangka yang dipakai untuk menganalisis tema ini adalah kerangka pemikiran filsafat. Dalam paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalam tiga dimensi, yaitu: pertama, dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut teori ilmu pengetahuan, yaitu metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar, 3 kedua, dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang objek kajian ilmu pengetahuan, atau hakikat segala yang menjadi kajian ilmu, 4 dan ketiga, dimensi aksiologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang tujuan dan nilai guna serta nilai manfaat ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan teori nilai. 5 Bertitik tolak dari kerangka teori di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.
2018
A. Al-Qur'an Suroh Al-Baqoroh 30-37 Dengan dua ayat berturut-turut, yaitu ayat 28 dan 29 perhatian kita Insan ini disadarkan oleh Tuhan. Pertama, bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal dari mati,dia hidupkan kembali.Kemudian Dia matikan, setelah itu akan dihidupkanNya kembali untuk memperhitungkan amal. Bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal seluruh isi bumi telah disediakan untuk kamu. Lebih dahulu persediaan untuk menerima kedatanganmu di bumi telah disiapkan, bahkan dari amar perintah kepada ketujuh langit sendiri. Kalau demikian adanya, pikirkanlah siapa engkau ini. Buat apa kamu diciptakan. Kemudian datanglah ayat khalifah.
itu bersekutu".1 Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama' ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama' ushul adalah anatara lain: Menurut Ibn Al-Hajib dalam kitab Syarah Al-Mufasshal2 : اﻟﻠﻐﺔ ﺗﻠﻚ اﻫﻞ ﻋﻨﺪ اﻟﺴﻮأ ﻋﻠﻰ دﻻﻟﺔ اواﻛﺜﺮ ﻣﺨﺘﻠﻔﻴﻦ ﻣﻌﻨﻴﻴﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﺪال اﻟﻮاﺣﺪ اﻟﻠﻔﻆ " Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut " Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh: اﻟﺒﺪل ﺳﺒﻴﻞ ﻋﻠﻰ اﻟﺤﺪود ﻣﺨﺘﻠﻔﺔ اﻓﺮادا ﻳﺘﻨﺎول ﻟﻔﻆ " Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian". Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya.3 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa musytarak adalah suatu lafadz yang memiliki 2 arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan arti ini dan itu. B. Sebab-sebab Lafadz menjadi Musytarak Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa Arab sangat banyak sekali, namun ulama' ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
2013
This paper describes the concept of humans in the Qur'an that were examined by the method of thematic(maudhui). Subject matter includes concepts and functions of human beings, both as individuals and communities. Searching the nature of man is not only based on subjective view, which resulted in the issue of human nature becomes blurred. As a result of the creation work, the issue should not be studied apart from the human point of view of its creators to acquire comprehensive knowledge. If this is accepted-examine the human perspective on its creator-the only way to get to know who the man was referring to the divine revelation, so that the answer can be found. To this effect, certainly not enough to simply refer to one or two verses, but it should refer to all the verses of the Koran (or at least the primary verses) that talks about the issues, the learning context, respectively, and for the affirmation-kind of Prophet explanation, or facts that have been scientifically established. This way are known in the Qur'an disciplines as maudhuiy methods (thematic) Keywords: The Human, the Qur'an, thematic method ABSTRAK Tulisan ini menjelaskan tentang konsep manusia dalam Al-Qur'an yang dikaji dengan metode tematik (maudhui). Pokok pembahasan meliputi konsep dan fungsi manusia, baik sebagai individu maupun komunitas. Pencarian hakekat manusia tidak hanya bertumpu pada pandangan yang subjektif, yang mengakibatkan persoalan hakekat manusia menjadi kabur. Sebagai hasil karya cipta, semestinya persoalan manusia dikaji tidaklah terlepas dari sudut pandang penciptanya untuk memperoleh pengetahuan yang komprehensif. Jika cara ini diterima-mengkaji manusia dalam perspektif penciptanya-maka satu-satunya jalan untuk mengenal siapa manusia adalah merujuk pada wahyu Ilahi, agar jawabannya dapat ditemukan. Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan hanya merujuk kepada satu atau dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua ayat Alquran (atau paling tidak ayat-ayat pokok) yang berbicara tentang masalah yang dibahas, dengan mempelajari konteksnya masing-masing, dan mencari penguat-penguatnya baik dari penjelasan Rasul, maupun hakikat-hakikat ilmiah yang telah mapan. Cara inilah yang dimaksud dalam disiplin ilmu Alquran dengan metode maudhuiy (tematik). Kata kunci: Manusia, Al-Qur'an, metode tematik PENDAHULUAN Selain Tuhan, pembahasan tentang manusia merupakan obyek yang selalu banyak dibahas dalam setiap kesempatan maupun dimensi. Setiap disiplin ilmu pun pada hakikatnya juga mempelajari dimensi-dimensi tertentu dari manusia. Psikologi membahas alam pikiran
Arabian Journal of Geosciences, 2019
Proceedings of the International Conference on Business Excellence
Pessoa Plural—A Journal of Fernando Pessoa Studies, 2023
Military Review, 2024
33-я годовщина КОМРАТСКОГО ГОСУДАРСТВЕННОГО УНИВЕРСИТЕТА СБОРНИК СТАТЕЙ, 2024
SSRN Electronic Journal, 2010
Canadian Journal of Chemistry, 2000
The Journal of Clinical Pharmacology, 2019
Academia Biology, 2024
Seibutsu Butsuri, 2013
Sakarya University Journal of Computer and Information Sciences
Journal of Scientific Computing, 2010
Turkish journal of urology, 2020
International Journal of Dairy Science, 2011