[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Islam Dan Modernisme

Islamuna: Jurnal Studi Islam

ISLAM DAN MODERNISME Sholeh Suaidi1 Abstrak: Modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk ditentang kalau masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah agama universal yang tidak akan membelenggu manusia untuk bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada Islam. Dalam Islam yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di mana faktor yang paling menonjol adalah sekularisme, sebab sekulraisme selalu berkaitan dengan ateisme dan sekularisme itulah sumber segala imoralitas. Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan dengan ajaran agama Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk menundukkan segala tingkah laku kepada kalkulasi dan pertimbangan akal. Rasionalisasi pada selanjutnya akan mendorong ummat Islam untuk bisa bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang dikecam dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah esensi yang bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam. Kata kunci: islam, modern, modernism, modernisasi Pendahuluan Sebagaimana yang diyakini oleh banyak pakar, bahwa dunia ini tanpa terkecuali sedang mengalami the grand process of modernization. Menurut ajaran Islam, perubahan adalah bagian dari sunnatullâh dan merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Maka suatu kewajaran, jika manusia, kelompok masyarakat dan lingkungan hidup mengalami perubahan. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Scott Gordon tentang progress, di mana segala sesuatu 1 Penulis adalah mahasiswa Program Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan. Sholeh Suaidi itu mengalami evolusi, perpindahan atau perubahan. “All must change, to something new and to something strange.2 Modernisasi selalu melibatkan globalisasi dan berimplikasi pada perubahan tatanan sosial dan intelektual, karena dibarengi oleh masuknya budaya impor ke dalam masyarakat tersebut. Menurut Boeke, ketika budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan model antagonistik, tetapi unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi dan digantikan oleh unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur impor. Biasanya, unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh masyarakat tradisional.3 Selain masuknya budaya asing, globalisasi juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan sekularisasi. Globalisasi dan sekularisasi seakanakan merupakan satu paket yang terjadi di dunia Barat dan Timur. Konsekuensinya, ajaran dan dogmatisme agama, termasuk Islam, yang semula sakral sedikit demi sedikit mulai dibongkar oleh pemeluknya, yang pandangannya telah mengalami perkembangan mengikuti realitas zaman. Agama pada dataran itu pun akhirnya menjadi profan, sehingga sangat tepat jika munculnya modernisasi seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial, sebuah perubahan penting dari struktur sosial (pola-pola perilaku dan interaksi sosial).4 Perubahan itu berbentuk, antara lain; perubahan tatanan hubungan tradisional antara masyarakat, pemerintah dan agama, di mana masyarakat sakral-integralis, yang sebelumnya diatur oleh sistem-sistem religiopolitik, bergerak menuju transformasi baru sebagai masyarakat pluralis non-sakral. Dari kenyataan seperti itu, dalam era modern umat Islam sering dihadapkan pada sebuah tantangan, di antaranya adalah menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna menghadapi 2 Scott Gordon, The History and Philosophy of Social Science (New York: Routledge, 1991), 148-154. 3 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3IS, 1999), 10. 4 Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 4. 50 Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 Islam dan Modernisme modernisasi dalam kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemikiran. 5 Pengertian Islam dan Modernisasi Sebelum mengulas lebih lanjut tentang Islam dan modernisasi ini, terlebih dahulu akan dijelaskan apa itu Islam dan apa pula modernisasi. Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman, yang berarti “patuh, tunduk, menyerah.6 Sedangkan Islam menurut istilah adalah tunduk dan patuh kepada apa yang telah dibawa oleh Nabi saw. Adapun modernisasi, menurut Nurcholis Madjid adalah rasionalisasi, yaitu usaha untuk merasionalkan atau membuat masuk akal, bukan westernisasi.7 Nurcholis Madjid sebagai seorang sarjana muslim yang dididik di dalam ilmu-ilmu keislaman, berusaha untuk memberi “jawaban Islam” terhadap masalah modernisasi. Inti jawabannya tercakup dalam kesimpulan sikapnya: “Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah Westernisasi, sebab kita menolak Westernisme. Dan Westernisme yang kita maksudkan itu ialah suatu total way of life, di mana factor yang paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya”.8 Selanjutnya ia juga menjelaskan kenapa ia menolak sekularisme, karena kaitannya dengan atheisme. Atheisme adalah puncak sekularisme, sekularisme itulah sumber segala imoralitas.9 Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dengan begitu, berarti modernisasi adalah proses perombakan cara berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional. Kegunaanya ialah 5 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991), 8. 6 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 654. 7 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), 17. 8 Ibid., 18. 9 Ibid., 18. Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 51 Sholeh Suaidi untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan tidak lain ialah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. 10 Modernisasi juga dapat diartikan dalam kerangka-kerangka tingkat industrialisasi, walaupun hal ini sering diikuti oleh suatu pengamatan bahwa, jika inilah conditio sine qua non, ia bukanlah kebenaran yang menyeluruh.11 Kita kembali kepada permasalahan, apakah Islam harus dimodernkan atau modern diIslamkan? Islam harus menyadari akan toleransi dan pluralitas sebagai nilai-nilai modern dan bahwa keduanya merupakan bagian dari tantangan modernitas, maka apakah pendakwah Islam sanggup merekonstruksi ajaran Islam sehingga mampu memberikan peluang bagi berlangsungnya perubahan dalam berapa orientasi keagamaan dan kulturalnya, seperti yang dianut oleh tanggapanya terhadap tantangan waktu dan tempat, dan adaptasinya terhadap lingkungan temporal dan parsial yang berbeda-beda. Nurcholis Madjid pernah mengomentari Islam dan tantangan modernitas. Dalam pandangannya al-Quran menunjukkan bahwa risalah Islam, karena universalitasnya dapat diadaptasikan dengan lingkungan kultural manapun termasuk lingkungan masyarakat perkotaan modern, kemampuan Islam mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan kebudayaan modern diakui oleh sejumlah ilmuwan sosial. Salah satunya adalah Ernest Gellne yang menegaskan bahwa Islam dapat dimodernisasi, dan upaya modernisasi itu dapat dilakukan serentak dengan upaya pemurniannya. Modernisasi diupayakan berlangsung tanpa merusak keaslian dan otensitasnya sebagai agama wahyu.12 Sebaliknya ada pula yang menolak pemodernan Islam. Sebab modernisasi merupakan pemberontakan radikal dalam melawan agama serta nilai-nilai spritual yang terkandung di dalamnya. Pemberontakan ini 10 Ibid., 172. Mustafa O, Attir dkk, Directions of Changes, Terj. Hartono Hadikusumo, Sosiologi Modernisasi, Cet.I. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1989), 179. 12 Kahmad, Sosiologi, 204. 11 52 Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 Islam dan Modernisme menghasilkan gerakan renaissains di Eropa, khususnya filsafat politiknya Machiavelli yang jahat dan hanya menurutkan hawa nafsunya belaka.15 lebih dari itu, ada mengatakan Islam akan hancur kalau tidak mau berdamai dengan hidup modern. Oleh karenanya umat Islam harus menyesuaikan diri dengan pemerintahan sekuler dan menganggap syari‟ah sudah ketinggalan zaman dan kosepnya mengenai hukum lebih rendah bila dibandingkan dengan hukum Barat.13 Karakteristik Modernisme Modernitas sendiri dicirikan oleh tiga hal, 14 yaitu:subjektifitas, kritik dan kemajuan. Dengan konsep subjektifitas memaksudkan bahwa manusia harus menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas. Dengan paham inilah maka abad modern ditandai oleh menyeruaknya paham-paham antroposentrisme. Nilai-nilai yang sifatnya antroposentris ini tidak lain adalah antitesis dari nilai-nilai lama yang sifatnya teosentris. Dalam ranah sosial, salah satu implikasi yang nyata kuatnya unsur subyektifitas dalam kehidupan modern adalah munculnya individualisme. Individualisme akhirnya juga sekaligus menjadi ciri khsusus dari kehidupan modern. Sebuah masyarakat apabila sudah menginjak atau memasuki rimba raya modernitas maka pola kehidupannya cenderung individualistik. Ini tentu berbeda dengan pola kehidupan tradisionalteosentris yang di dalamnya, unsur-unsur sosialis, masih sangat kental. Jadi dalam konteks ini, modernitas bisa berarti lahirnya otonomi dan independensi manusia dari sesamanya dalam kehidupan. Subjektifisme atau individualisme ini menjadi ciri khas modern, secara simbolik ditandai dengan digaungkannya semboyan cogito ergo sum oleh Descartes. Descartes sendiri dinobatkan sebagai bapak filsafat modern. Dalam hal ini eksistensi manusia ditentukan unsur aku. Ada tidaknya manusia sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh eksisnya aku sebagai sebagai subyek berpikir. Cogito (aku berpikir) sendiri ini tidak ditemukan dengan deduksi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi. Tetapi Cogito ditemukan lewat pikiran kita sendiri, sesuatu yang dikenali melalui dirinya sendiri, tidak melalui kitab suci, dongeng, pendapat 13 Margaret Marcus, Islam and Modernisme, terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, Islam dan Modernisme (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 39. 14 Prodoyo, Skulerisasi dalam Polemik (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafika, 1993), 40. Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 53 Sholeh Suaidi orang, prasangka dan seterusnya.15 Hal ini menandakan bahwa modernitas sangat mengagung-agungkan konsep subyektifisme dan individualisme. Subyek telah menjadi sedemikian sentralnya dalam kehidupan, sehingga menjadi basis kesadaran seseorang tentang keberadaanya. Selanjutnya aspek lainnya adalah kritik. Kritik ini juga masih dalam pengertian subyektifitas tersebut, sejauh dihadapkan pada otoritas.16 Asumsi dasar modernisme rasionalitas. Dimensi rasionalitas dalam kerangka kritis ini secara konkrit terreflkesi dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Modernitas berasumsi bahwa knowledge is power. Dengan semangat kritis ini modernitas mempunyai ambisi untuk mendekonstruksi paham-paham tradisional yang dianggapnya menyesatkan, penuh dengan takhayul, mitos, kejumudan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, misi utama modernisme adalah mendobrak tradisi lama yang penuh mitologi dan takhayyul tersebut untuk digantikan dengan tradisi baru yang berbasis rasionalitas dan ilmu pengetahuan ilmiah, menggantikan mitos dengan logos. Dalam rangka demitologisasi inilah, akal secara penuh difungsikan sebagai panglima untuk mendobrak paham lama yang berada di bawah rezim agama (gereja) dan mencoba bereksperimen menemukan tradisitradisi baru lewat metode ilmiah. Dari sini, munculnya Galileo, yang menemukan kebenaran lewat sains, adalah kemenangan akal atas wahyu, maka selanjutnya akal yang diterapkan dalam masalah manusia ini adalah landasan modernitas.17 Modernisasi dan Perubahan Sosial Dalam teori modernisasi, Tipps menyebutkan teori dikotomi. Tipe teori ini adalah adanya proses transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Jadi ada dikotomi antara masyarakat tradisional dan modern. Menurut Herbert Spencer, masyarakat adalah sebuah organisme – sesuatu yang hidup-. Dengan kata lain, masyarakat selalu mengalami pertumbuhan, perkembangan dan perubahan. Munculnya modernisasi seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial, sebuah perubahan penting 15 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), 39. Ibid., 4. 17 A. Apter, Politik, 46. 16 54 Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 Islam dan Modernisme dari struktur sosial (pola-pola perilaku dan interaksi sosial).18 Dan sebaiknya kita melihat perubahan sosial sebagai sesuatu yang melekat pada sifat sesuatu, termasuk di dalam sifat kehidupan sosial. Ketika berbicara mengenai alam fisik, sejarah manusia atau intelektualitas manusia, kita menemukan bahwa tidak ada yang tetap, melainkan segala sesuatu selalu bergerak, dan berubah keadaannya. Realitas tidak statis, seperti yang diamati oleh filusuf Yunani kuno, Heraclitus, bahwa semua makhluk senantiasa mengalir, terus-menerus berubah, terus-menerus tercipta dan lenyap. 19 Sebagaimana juga yang diungkap oleh Ibnu Khaldun tentang teori siklus peradaban, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, selalu terjadi perpindahan gaya hidup, dari nomadic ke arah sedentary. 20 Atau seperti yang dikatakan oleh Toynbee bahwa perpindahan (mutation) dari masyarakat primitif ke arah masyarakat beradab (civilized), atau dari kondisi yang statis ke arah dinamis, adalah suatu hal yang natural dalam sejarah peradaban kemanusiaan. 21 Perubahan itu dilalui dengan tiga proses: pertama, masa nomadic/badâwah. Yaitu sebuah bentuk kehidupan yang dialami oleh kaum nomad di padang pasir, kaum Barbar di pegunungan, atau kaum Tartar di padang rumput. Kedua, masa pembentukan organisasi (al „umrân). Yaitu sebuah masa untuk membentuk suatu kekuatan dalam bentuk ikatan (organisasi). Keiga, masa peradaban (civilization). Sebua masa yang penuh dengan gaya hidup yang mewah, penuh dengan seni, pemikiran yang terbuka, bahkan sekuler, materialistik. 22 Sebagai contoh semenjak Orde Baru (1965), Indonesia menghadapi peningkatan ekonomi dan modernisasi, dengan ditandai oleh masuknya beberapa bentuk produk multi-nasional seperti Pizza Hut, Mc Donald‟s, Wendy‟s, ke wilayah ibukota, yang berimplikasi pada adanya 18 Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (terj.) Alimandan SU (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 4. 19 Ibid., 10. 20 Roshental, Ibnu Khaldun, The Muqaddimah, an Introduction to History (Princeton: Princeton University Press, 1989), 122. 21 Toynbee, a Study of History (New York: Oxford University Press, 1947), 50. 22 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, x. Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 55 Sholeh Suaidi perubahan.23 Beberapa kalangan muda memakai pakaian jeans, pergi ke diskotik, dan meminum minuman beralkohol, karena mereka memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang modern, Barat. 24 Dan untuk saat ini, kita akan menemukan hal-hal tersebut di beberapa tempat di dunia ini. Semua itu terjadi dengan cepat karena arus globalisasi. Dengan globalisasi, modernisasi yang dimunculkan oleh bangsa-bangsa Barat diserap dengan cepat oleh bangsa-bangsa Asia. Benjamin Barber menyatakan bahwa McWorld merupakan penjajah kultural. Ia akan menghancurkan segala bentuk kultur lokal dan merubah menjadi tatanan pertokoan baru yang disebut dengan Mall. 25 Perubahan itu juga terjadi dalam bidang pemikiran (intelektual). Sebagai contoh bahwa abad modern ditandai oleh kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, positivisme dari dogmatisme agama pada abad ke-17. Metode ilmiah yang berwatak rasional dan empiris telah mengantarkan kehidupan manusia pada suasana modernisme.26 Jadi masyarakat modern secara intelektual adalah masyarakat rasional, didasarkan pada ilmu dan teknologi yang logis dan empiris. Memang perubahan terjadi di mana-mana dalam kehidupan sosial sepanjang masa. Terkadang ia terjadi secara tiba-tiba dan cepat, yaitu ketika sistem suatu pemerintahan dihancurkan oleh revolusi dan digantikan oleh sistem baru. Terkadang perubahan juga terjadi secara lamban, yaitu ketika anggota masyarakat itu yang melakukannya secara perlahan. 27 Agama dan Kehidupan Modern Berbicara tentang peranan agama dalam kehidupan modern, biasanya dihubungkan dengan konotasi modernitas yang mengalami-atau malah menderita-ekses. Ekses itu adalah akibat dominasi ilmu dan teknologi 23 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious identity Construction (A Dessertation for the Degree Doctor of Philosophy in Arizona State University, 1997), 7. 24 Ibid. 25 Ibid. 26 F.B. Burnhan (ed.) Postmodernism Theology (Sanfrancisco: Heper & Row Publisher, 1989), ix. 27 Akbar S. Ahmed, Toward Islamic Anthropology; Definition, Dogma, dan Direction (USA: New Era Publications, 1986), 13. 56 Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 Islam dan Modernisme yang, menurut Ashadi Siregar hanya mampu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan–suatu pernyataan bersifat karikatural. Kepentingan serta urusan ilmu dan teknologi ialah obyektivitas. Dengan sendirinya objektivitasme itu akan sering berbenturan dengan subjektivitasme, sehingga, sebagaimana halnya dengan mesin yang tanpa perasaan, mengingkari perseorangan (depersonalization) berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization) dan mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan (alienation). Ilmu dan teknologi bersangkutan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan nilainya, sehingga disebut saja profan atau duniawi. Dan keprofanan berada dalam posisi antagonis dengan kesakralan atau rasa kesucian tersebut tadi. 28 Namun tidak bisa disangkal bahwa agama akan tetap berperan. Sebab, manusia selalu concerned tentang nasibnya-artinya, tentang kedudukan dan peranannya di dalam alam raya, bagaimana ia mempertahankan kedudukan itu, dan bagaimana pula ia memenuhi peranan tersebut. Semua masyarakat manusia mengembangkan jenis alat-alat tertentu untuk mengatasi masalah ini–alat-alat untuk mengerahkan ide-ide dan emosi-emosinya serta untuk membina sikap-sikap batin, pola-pola kepercayaan dan perilaku dalam hubungannya dengan konepsi mereka tentang nasib mereka. Jadi agama benar-benar merupakan sesuatu yang vital, tidak hanya bagi perseorangan, tapi juga untuk masyarakat, maka ia dituntut untuk memiliki tiga hal. Ia harus merupakan suatu way of life yang dapat dirasakan secara mendalam oleh pribadi–apa yang hendak dilakukan oleh seseorang dalam kesendiriannya sebagai suatu way of life bersama yang didasarkan pada pendekatan spritual dan emosional tertentu, kepercayaan-kepercayaan tertentu, pedoman-pedoman tertentu dalam bidang nilai, dan sikap-sikap tertentu dalam menghadapi nasib manusia. Dan sebagaimana sekarang ini pun telah ada masyarakatmasyarakat agama atau jama‟ah-jama‟ah, maka demikian pula agama di masa mendatang memerlukan organisasi sendiri sebagi rangkanya. Dan ini lah yang sering hilang di masa lalu akibat pertentangan antara dasardasar pemikiran relegius dan ilmiah– masyarakat agama dan kehidupan 28 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), 124. Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 57 Sholeh Suaidi individu orang–orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan masyarakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran, moral, dan perasaan. Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebenarnya senantiasa berkembang. Sedangkan dalam setiap perkembangan, tentu berarti terdapat perubahan. Maka, keagamaan harus mampu menampung perubahan masyarakat (social change).29 Perspektif Islam terhadap Modernisasi Agama Islam, bagi kita, merupakan keyakinan. Bagi bangsa Indonesia, secara empiris, Islam merupakan bagian agama terbesar rakyat. Karena itu, sikap-sikap yang diterbitkan atau disangka diterbitkan oleh agama Islam, akan mempunyai pengaruh besar sekali bagi proses perubahan sosial. Bagi perubahan sosial, peranan Islam akan diwujudkan dalam dua sikap: menopang atau merintangi. Hal ini bergantung pada pengikutnya.30 Penting bagi kita untuk memahami betapa lebarnya kesenjangan antara pendidikan dan pendidikan sekuler di Mesir berikut konsekuensi-konsekuensinya yang sangat jauh jangkauannya. Hal ini tidak hanya menempatkan suatu sekolah dalam posisi berlawanan dengan sekolah lainnya dan suatu universitas-universitas lainnya: tetapi juga, lebih dari pada faktor mana pun, mendorong timbulnya perpecahan dikalangan umat muslim, yang terutama tampak di kota-kota besar, yang menempatkan kelompok ortodoks dalam posisi berlawanan dengan kelompok “yang dibaratkan” dalam hampir semua kegiatan social maupun intlektual, dalam cara berpakaian, sikap hidup, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, hiburan, sastra, dan bahkan dalam percakapan mereka.31 Kenyataan tentang adanya kesenjangan dan perlunya diakhiri kesenjangan inilah yang mendorong timbulnya modernisme dalam Islam. Pada saat yang sama, ia menampilkan pengertian-pengertian dilema kejahatan di mana gerakan pembaharuan itu dipaksa masuk. Di satu pihak, dalam upaya menuju formulasi prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran 29 Ibid., 125-126. Madjid, Islam, 235. 31 Gibb, Aliran-Aliran, 73. 30 58 Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 Islam dan Modernisme Islam yang modern, para pembaharu itu hanya menjangkau sebagian besar kalangan terpelajar, tidak menyentuh rakyat kebanyakan. Karena itu pengaruh mereka jauh lebih besar dikalangan umat Muslim terpelajar di luar kelompok ahli-ahli agama (ulama). 32 Intinya adalah, Islam mengutuk taqlid secara membabi buta (mengikuti pendapat yang tidak kritis) dalam masalah keyakinan dan pengamalan kewajiban-kewajiban agama secara mekanik. Islam membangunkan akal dari tidurnya dan menyaringkan suaranya untuk menentang prasangka-prasangka orang yang bodoh, sembari menegaskan bahwa manusia tidak dicipta untuk dibelenggu tetapi secara fitri dia harus membimbing dirinya sendiri dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan, yaitu ilmu tentang alam semesta dan pengetahuan tentang hal-hal yang sudah berlalu. Islam menjauhkan kita dari keterikatan secara eksklusif kepada segala sesuatu. Ia menunjukkan kepada kita bahwa kenyataan yang ada, dari segi waktunya, lebih dulu sampai kepada kita tidak merupakan bukti pengetahuan atau ketinggian akal fikiran, bahwa para nenek moyang dan keturunannya memiliki kemampuan intelektual dan kemampuankemampuan alami yang sama. 33 Jadi ia melepaskan diri dari semua rantai yang mengikatnya, membebaskannya dari taqlid buta yang telah memperbudaknya, dan mengembalikan kewenangan kepadanya untuk mengambil keputusan sendiri sesuai dengan penilaian dan kebijakannya sendiri, namun demikian, ia wajib berkhidmat dihadapan Allah sendiri dan berhenti pada batas-batas yang ditetapkan agama; tetapi dalam batasbatas ini tidak ada penghalang bagi kegiatannya dan juga tidak ada pembatasan terhadap berbagai macam spekulasi yang dapat dikemukakan atas tanggung jawabnya. 34 Penutup Sebenarnya modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk ditentang kalau masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah agama universal yang tidak akan membelenggu manusia untuk 32 Ibid., 74. Muhammad „Abduh, Risalah Tauhid, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris: tp, 1925), 107. 34 Ibid., 108. 33 Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 59 Sholeh Suaidi bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada Islam. Dalam Islam yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di mana faktor yang paling menonjol adalah sekularisme, sebab sekulraisme selalu berkaitan dengan ateisme dan sekularisme itulah sumber segala imoralitas. Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan dengan ajaran agama Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk menundukkan segala tingkah laku kepada kalkulasi dan pertimbangan akal. Rasionalisasi pada selanjutnya akan mendorong ummat Islam untuk bisa bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang dikecam dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah esensi yang bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.*** Daftar Pustaka Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid. Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq. Paris: t.t.p, 1925. Al-Asy‟ari, Abu Hasan. Hu¡n al-¦amidiyah. Mesir: Dar al-Fikr, 1996. Attir, Mustafa, dkk. Directions of Changs. Terj. Hartono Hadikusumo. Sosiologi Modernisasi. Cet. I. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989. Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Cet. 5. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000. Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan keIndonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan , 1998. Marcus, Margaret. Islam and Modernism. Terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni. Islam dan Modernisme. Surabaya: Usaha Nasional, 1981. Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. 60 Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 Islam dan Modernisme Nashir, Haedar. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban- Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan,dan Kemodernan, cet. Ke-2, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 61