Tim Peneliti
BKKBN
PROVINSI
GORONTALO
2013
Prof. Dr. Ramli Utina, M.Pd
Dr. Dewi Wahyuni K. Baderan,M.Si
1
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN………………………………………...
………...
1.1 Latar Belakang
……………………………………………
1.2 Perumusan Masalah
………………………………………
1.3 Tujuan Analisis
…………………………………………...
1.4 Manfaat ………………………………………………….
BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL DAN
KERANGKAPEMIKIRAN………………………………..……
2.1
2.1
.1
2.1
.2
2.1
.3
2.2
Landasan Konseptual..…………………………………..
Pengertian Kependudukan.................................................
Pertumbuhan Penduduk.....................................................
1
1
11
11
12
14
14
14
24
Daya Dukung Lingkungan Hidup………………………..
15
Kerangka Pemikiran…..………………………………...
18
BAB III
METODE ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN…………
3.1 Desain Analisis………………………………………….
3.2 Teknik Analisis.................................................................
3.3 Populasi dan Sampel........................................................
3.4 Penentuan Lokasi.............................................................
3.5 Pengumpulan Data...........................................................
3.6 Pengolahan dan Analisi Data........................................
3.7 Definisi Operasional..........................................................
22
22
23
23
24
25
26
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................
29
BAB V
4.1
Analisis Perkembangan Situasi Kependudukan…..….
29
4.2
Analisis Isu Kependudukan yang Menjadi Fokus Kajian ...
43
4.3
Prakiraan Dampak……………………………………….
74
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI…………………………...
84
2
5.1
5.2
Simpulan ……………………………………..………….
Rekomendasi……………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….......
84
86
89
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia, sejak awal berada di muka bumi ini telah berinteraksi
dengan lingkungannya. Aktivitas hidup manusia akan terpenuhi dengan
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam di sekitarnya. Bumi merupakan
lingkungan tempat manusia melakukan aktivitas, keberadaan bumi terus
melakukan proses secara alamiah dari hasil aktivitas manusia. Kebutuhan manusia
makin meningkat sehingga dukungan terhadap kebutuhan ini membutuhkan
sumber daya dan teknologi, namun kenyatannya perkembangan teknologi telah
memberikan dampak terhadap lingkungan yang makin memprihatinkan.
Masalah lingkungan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan
sangat erat hubungannya dengan masalah kependudukan dalam konteks penduduk
dan pembangunan. Dalam hal ini, kerusakan lingkungan tidak hanya sebagai
akibat dari bertambahnya penduduk serta meningkatnya kebutuhan hidup manusia
(Mantra, 2000). Aktivitas lain yang saling memberikan benang merah terhadap
kerusakan lingkungan adalah pertambahan penduduk, walaupun bukanlah satusatunya penyebab rusaknya lingkungan.
Keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan ini mengundang empati dan
simpati dari masyarakat dunia untuk memperbaikinya. Implementasi dari resolusi
Stockholm adalah dibentuknya badan khusus yang membidangi permasalahan
lingkungan oleh PBB yang dikenal dengan United Nations Environmental
Programs (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya. Secara kasat mata peran
4
dari organisasi ini banyak memberikan program terhadap penyelamatan terhadap
lingkungan.
Namun, setelah satu setengah dasa warsa setelah dicetuskannya resolusi
Stockholm tahun 1987, salah satu Komisi Dunia yang membidangi Lingkungan
Hidup dan Pembangunan PBB melaporkan dalam hasil temuannya (Our Common
Future) mengidentifikasi sejumlah gejala global yang mengancam eksistensi bumi
(Astawa, 1999), di antaranya yang sangat dikhawatirkan adalah rusaknya lapisan
ozon, pemanasan global, hujan asam, dan pencemaran air laut oleh bahan
berbahaya beracun (B3). Ancaman terhadap existensi bumi itu bisa terjadi karena
gejolak filsafat manusia yang diterapkan hingga dewasa ini pada kehidupan nyata
(Chiras, dalam Astawa, 1999), di antaranya: (a) filsafat biological imperialism dan
ajaran relegi yang menganjurkan beranak pinak tanpa batas; (b) filsafat I versus
not I dan tumbuhnya frontier mentality; (c) falsafah membangun dengan
mengembangkan ilmu dan teknologi yang makin besar dan canggih; (d) falsafah
bahwa manusia ada di atas alam dengan kemampuan berfikirnya dan anggapan
bahwa sumber alam di bumi tidak terbatas, berlimpah; (e) falsafah ekonomi
(bermodal minimal untuk meraih keuntungan maksimal dalam tempo yang
sesingkat mungkin).
Pada tahun 1991, tercatat manusia yang memerlukan lahan (tanah), air dan
udara di bumi ini untuk hidup telah mencapai jumlah 5,2 miliar. Jumlah manusia
penghuni planet bumi pada tahun 1998 berjumlah 6,8 miliar, dan pada tahun 2000
mencapai 7 miliar. Kalau pertumbuhan penduduk tetap dipertahankan seperti
sekarang, menurut Paul R. Ehrlich, 900 tahun lagi (tahun 2900) akan ada satu
5
biliun orang di atas planet bumi ini atau 1700 orang permeter persegi. Kalau
jumlah ini diteruskan sampai 2000 atau 3000 tahun kemudian, berat jumlah orang
yang ada sudah melebihi berat bumi itu sendiri.
Sensus penduduk yang dilakukan tahun 2010 di Indonesia menunjukkan
bahwa laju pertumbuhan penduduk melebihi program dan proyeksi nasional yaitu
sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49% per
tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun maka setiap tahunnya
akan terjadi pertambahan penduduk sekitar 3,5 juta lebih. Hasil ini memberikan
gambaran bahwa, jika di tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6
juta jiwa maka di tahun 2011 bertambah 3,5 juta, maka sekarang jumlah penduduk
Indonesia sebesar 241 juta jiwa. Bila laju pertumbuhan tidak ditekan atau dicegah
maka jumlah penduduk Indonesia pada 2045 dapat mencapai 450 juta jiwa, hal ini
berarti satu dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia. Apabila pertumbuhan
penduduk terus bertambah, sementara laju pertumbuhan ekonomi berjalan
lamban, maka kemiskinan makin bertambah dan akan mempengaruhi kehidupan
sosial lainnya. Untuk itu diperlukan upaya dan langkah konkret guna menghindari
terjadinya ledakan penduduk di masa yang akan datang.
Pertumbuhan penduduk dewasa ini mengalami pertumbuhan relatif cepat,
yang berimplikasi pada kondisi biofisik lingkungan, permasalahan ekonomi,
kesenjangan sosial dan ketersediaan lahan yang cukup untuk menopang
kesejahteraan hidup manusia. Sementara lahan yang tersedia bersifat tetap dan
tidak bertambah sehingga menambah beban lingkungan. Daya dukung alam
ternyata makin tidak seimbang dengan laju tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup
6
penduduk. Aktivitas seperti eksplorasi dan eksploitasi sistematis terhadap sumber
daya alam dan lingkungan secara terus menerus dilakukan dengan alasan faktor
ekonomi dan sosial.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan dapat memberikan
kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Namun, ternyata harus dibayar mahal
untuk sebuah kepentingan perorangan. Berbagai kepentingan atas pengelolaan
lingkungan telah memberikan dampak negatif terhadap kelestarian biofisik
lingkungan. Pertumbuhan industri, pemukiman penduduk dan pengelolaan lahan
untuk kepentingan perusahaan terbukti telah mengakibatkan erosi tanah dan
pencemaran limbah pada tanah, air dan pencemaran udara.
Populasi penduduk yang besar merupakan kekuatan sumber daya manusia
yang dapat memasuki berbagai pasar kerja guna mendorong percepatan
perkenomian dan pembangunan daerah. Tetapi peningkatan populasi penduduk ini
pun jika tidak dikendalikan bagaikan pisau yang kedua sisinya tajam dan melukai.
Di satu sisi populasi penduduk yang besar memerlukan ketersediaan pangan,
lahan untuk perumahan dan fasilitas kesehatan, sementara di lain pihak
ketersediaan pangan dan perumahan membutuhkan lahan yang luas. Penduduk
juga membutuhan ketersediaan air yang cukup dan memenuhi kesehatan,
sementara jumlah penduduk dengan aktivitasnya yang tinggi juga menghasilkan
buangan dan sampah. Sampah dan limbah hasil buangan dari aktivitas penduduk
jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang
berdampak balik pada kesehatan lingkungan penduduk.
7
Pertambahan penduduk juga menyebabkan kebutuhan alat tranportasi dan
arus mobilitas manusia meningkat, serta kebutuhan energi seperti minyak bumi
meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran udara dan membuat
persediaan minyak bumi makin menipis, sehingga kebutuhan udara bersih pun
akan menjadi hal yang langka untuk di temui di perkotaan. Akibat kumulatif dari
kerusakan lingkungan menimbulkan bencana banjir dan kekeringan, kelangkaan
air bersih, peningkatan suhu atmosfir bumi, terganggunya habitat flora dan fauna,
penyebaran penyakit, pemusnahan sumber daya alam atau daya dukung dan
kehancuran kehidupan itu sendiri.
Untuk itu telah dilakukan kajian tentang dampak pertumbuhan penduduk
terhadap daya dukung lingkungan. Studi ini dilakukan di dua daerah di Provinsi
Gorontalo yaitu Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Gambaran
terhadap ke dua daerah ini akan dijabarkan secara rinci sesuai hasil temuan
peneliti di lapangan dan melalui data sekunder. Hasil sensus penduduk tahun 2010
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Gorontalo telah mencapai 180.127
jiwa dari sejumlah 1.040.164 jiiwa penduduk Provinsi Gorontalo. Dilihat dari
penyebaran penduduk antar kota/kabupaten, konsentrasi penduduk berada di Kota
Gorontalo (2000 jiwa/km2) yang hanya memiliki luas wilayah sebesar 0,5% dari
luas provinsi Gorontalo. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2011, tiga
kecamatan dari sembilan kecamatan di Kota Gorontalo yang padat penduduknya
berturut Kecamatan Kota Selatan 8.520 orang/km2, Kota Tengah 5.803 orang/km2,
dan Kecamatan Dungingi 5.253 orang/km2. Laju pertumbuhan penduduk per
tahun Kota Gorontalo mencapai 3,35%, angka tertinggi di Kecamatan Dungingi
8
6,67%, kemudian Kecamatan Kota Tengah 5,34% dan Kecamatan Sipatana
4,10%. Untuk daerah Kabupaten Bone Bolango jumlah penduduk berdasarkan
hasil pendataan Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Bone Bolango
Tahun 2011 adalah 152.763 jiwa yang tersebar di 17 kecamatan, keadaan
penduduk tahun 2011 telah mengalami kenaikan, dimana jumlah penduduk pada
tahun 2010 sebesar 141.915 jiwa.
Konsentrasi penduduk yang tinggi di sejumlah permukiman Kota
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, menimbulkan berbagai persoalan.
Secara fisik masyarakat harus hidup berimpitan di lahan sempit, bantaran sungai,
dipinggiran kawasan hutan dengan sanitasi lingkungan yang terbatas. Jumlah
penduduk yang makin meningkat akan berdampak negatif pada lingkungan hidup,
diantaranya makin berkurangnya lahan produktif seperti sawah dan perkebunan
karena lahan tersebut telah beralih fungsi menjadi pemukiman.
Pertambahan penduduk akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan air
bersih, sementara ruang terbuka hijau sebagai area tangkapan air makin sempit
akibat perluasan permukiman dan pembangunan fasilitas lain menyebabkan
persediaan air bersih menurun. Aktivitas penduduk di area permukiman padat
berakibat pada peningkatan laju produksi dan tumpukan sampah sehingga
merugikan bagi kesehatan penduduk, terjadinya pencemaran air dan udara sekitar.
Uraian di atas menunjukkan berbagai dampak kepadatan penduduk
terhadap daya dukung lingkungan hidup, dapat dijelaskan sebagai berikut:
9
1. Berkurangnya Ketersediaan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Meningkatnya jumlah penduduk sementara luas lahan tidak bertambah
menyebabkan tingkat kepadatan makin tinggi. Kepadatan penduduk dapat
mengakibatkan tanah pertanian makin berkurang karena dialihkan guna
pemukiman penduduk. Permasalahan utama dalam pembangunan sebuah kota
adalah penataan kawasan hutan kota atau Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil
ruang terbuka hijau. Proporsi luas lahan terbangun di Kota Gorotalo melonjak
tajam selama 3 tahun terakhir sejak Gorontalo menjadi Provinsi. Kota
Gorontalo yang dahulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi
wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 50
persen. RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu
wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik,
introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang
dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan,
kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan.
2. Kebutuhan Udara Bersih dan Pencemaran Udara
Setiap makluk hidup membutuhkan oksigen untuk pernapasan. Demikian pula
manusia sebagai makluk hidup juga membutuhkan oksigen untuk kehidupanya.
Manusia memperoleh oksigen yang dibutuhkan melalui udara bersih, udara
yang tidak tercemar dan terjaga dengan baik. Pembatasan terhadap sistem
pembakaran mesin kendaraan bermotor merupakan salah satu permasalahan
pembangunan kota. Penerapan emisi gas kendaraan bermotor harus dibuatkan
10
dalam regulasi atau Peraturan Daerah (Perda) kota untuk meminimalisir
pencemaran udara.
3. Manajemen Keterpaduan Kawasan DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan yang membentuk dan
berpengaruh terhadap tatanan suatu lingkungan. Manajemen DAS lebih
ditekankan pada pengelolaan kawasan hulu dan hilir daerah aliran sungai.
Kawasan hulu identik dengan kawasan hutan, dan kawasan hilir identik dengan
muara sungai. Daerah Kota Gorontalo membentang dua Daerah Aliran Sungai
yaitu DAS Bone dan DAS Bolango. Kawasan hulu ke dua DAS terdapat di
kawasan hutan Kabupaten Bone Bolango. Untuk kawasan hilir terdapat di
muara sungai di Kota Gorontalo. Hutan di kawasan Kabupaten Bone Bolango
setiap tahun dibuka untuk kepentingan hidup manusia untuk dijadikan lahan
pertanian, pemukiman dan pertambangan emas liar. Meningkatnya jumlah
penduduk akan diiringi pula dengan meningkatnya penggunaan sumber alam
hayati. Salah satu penyebab rusaknya kawasan hulu dan hilir DAS adalah
faktor kepentingan manusia pada lahan.
4. Ketersediaan Air Bersih dan Pencemaran air
Air merupakan kebutuhan mutlak makhluk hidup, akan tetapi air yang
dibutuhkan manusia sebagai mahluk hidup adalah air bersih. Air bersih
digunakan untuk kebutuhan penduduk atau rumah tangga sehari-hari. Air
bersih merupakan air yang memenuhi syarat kualitas yang meliputi syarat
fisika ,kimia dan biologi. Syarat kimia yaitu air yang tidak mengandung zat-zat
kimia yang membahayakan kesehatan manusia, syarat fisika yaitu air tetap
11
jernih (tidak berubah warna), tidak berasa dan tidak berbau. Syarat biologi
yaitu air tidak mengandung mikrooganisme atau kuman-kuman penyakit.
Namun, hal terpenting dari air adalah pemeliharaan sumber-sumber air untuk
ketersediaan jangka panjang.
Dampak negatif dari kepadatan penduduk adalah adanya pencemaran di badan
sungai dan sumber-sumber air. Pencemaran sering diakibatkan aktivitas
manusia yang menggunakan sungai sebagai tempat aktivitas keseharian seperti,
mandi, cuci kain dan buang hajat. Buangan akibat aktivitas penduduk
menyebabkan kandungan bahan terlarut tertentu dalam air seperti deterjen
hingga bakteri penyebab penyakit seperti E.coli. Dampak negatif lainnya yaitu
aktivitas kawasan hulu seperti pertambangan emas liar yang sering
menggunakan bahan mercuri (Hg) untuk pengolahan hasil tambang. Aktivitas
ini masih bersifat tradisional sehingga peluang untuk mencemari lingkungan
sangat besar.
5. Penyebab Banjir
Penataan sistem perkotaan harus terintegrasi dan terencana. Salah satu faktor
penataan sistem perkotaan adalah jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang
sangat besar dapat memberikan berbagai dampak pada daya dukung dan daya
tampung kota. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Daya tampung
lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk menampung dan menyerap
zat energi dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan di dalamnya.
Kepadatan penduduk sering berdampak negatif terhadap sistem drainase
12
perkotaan. Penduduk kota menggunakan drainase tidak sesuai peruntukannya,
drainase sering menjadi tempat pembuangan sampah. Akibatnya aliran air
tersumbat dan sebagai biang jentik nyamuk. Di beberapa badan jalan menutup
drainase, atau perluasan pekarangan oleh perumahan penduduk. Saat musim
hujan drainase tersebut akan meluap sehingga banjir tidak dapat dihindari.
Faktor-faktor yang menyebabkan banjir adalah akibat aktivitas manusia
diantaranya
penggundulan
hutan,
pembuangan
sampah
sembarangan,
tertutupnya tanah perkotaan dengan beton dan aspal dan rusaknya tanggul
sungai. Banjir sering terjadi saat musim hujan ketika curah hujan tinggi, dan
dapat merusak saluran irigasi, jembatan, jalan, rumah penduduk dan areal
pertanian.
6. Penumpukan Sampah dan Limbah Rumah Tangga
Produksi sampah kota yang sangat besar dengan kondisi sampah yang belum
terpilah membawa dampak terjadinya banjir disetiap musim hujan. Fasilitas
sampah yang menjadi salah satu penentu penataan kota adalah ketersediaan
tempat sampah dan tempat pembuangan akhir (TPA). Sampah yang dihasilkan
dalam kawasan kota dapat dipilah sesuai dengan bentuk pemilahannya.
Pengelolaan sampah 3 R (reduce dengan cara mengurangi volume sampah),
reuse (menggunakan kembali sampah tanpa perubahan bentuk untuk kegiatan
lain yang bermanfaat) dan recycle (mendaur ulang sampah menjadi benda
lain), sering menjadi salah satu cara untuk mengurangi sampah mulai dari
sumbernya.
13
B. Perumusan Masalah
Dampak yang ditimbulkan oleh kepadatan penduduk secara merata
terdistribusi di semua daerah. Masalah yang sedang dihadapi oleh daerah pada
prinsipnya tentang kepadatan penduduk, kondisi sosial, peningkatan ekonomi dan
kerusakan lingkungan. Dalam kajian ini akan menjelaskan permasalahan yang
terjadi di Provinsi Gorontalo yaitu masalah dampak kependudukan terhadap
kondisi biofisik lingkungan.
Adapun permasalahan dalam kajian ini adalah sebagai berikut;
1. Berkurangnya ketersediaan lahan dan ruang terbuka hijau (RTH)
2. Kebutuhan udara bersih dan pencemaran udara
3. Manajemen keterpaduan kawasan DAS
4. Ketersediaan air bersih dan pencemaran air
5. Penyebab banjir
6. Penumpukan sampah dan limbah rumah tangga
C. Tujuan Analisis
1. Tujuan Umum
Tujuan umum kajian ini adalah menciptakan keseimbangan antara
lingkungan hidup dengan aktivitas penduduk itu sendiri, sehingga penduduk yang
berada di Provinsi Gorontalo bukan hanya mampu memiliki perilaku yang
berwawasan kependudukan tetapi juga memiliki prilaku yang berwawasan
lingkungan, berkarakter lingkungan, dan memilki integritas yang tinggi terhadap
berbagai permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh laju pertambahan
penduduk.
14
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan dampak dari fenomena kepadatan terhadap ketersediaan
lahan di Provinsi Gorontalo.
b. Mengkaji dan melakukan pengukuran terhadap pencemaran udara akibat
adanya aktivitas penduduk Provinsi Gorontalo.
c. Mengkaji dan menganalisis secara kualitatif fenomena solusi terhadap
pengelolaan manajemen DAS terintegrasi.
d. Mengkaji dan melakukan pengukuran terhadap pencemaran air dan
ketersediaan air bersih bagi penduduk di Provinsi Gorontalo
e. Mengkaji fenomena penyebab banjir untuk wilayah Provinsi Gorontalo.
f. Menjelaskan dan memberikan solusi terhadap permasalahan sampah di di
Provinsi Gorontalo.
D. Manfaat
Lingkup kajian ini adalah dampak yang ditimbulkan akibat kepadatan
penduduk terhadap kondisi biofisik lingkungan. Olehnya kajian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran dan manfaat tentang dampak kepadatan penduduk
terhadap kondisi biofisik lingkungan, sebagai berikut:
1. Menjadi barometer dan pertimbangan terhadap pengambilan kebijakan
terhadap permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya ledakan penduduk.
2. Memberikan gambaran terhadap kondisi daerah saat ini terkait dengan
kepadatan penduduk. Pemerintah daerah lebih dini dapat mengantisipasi
akibat ledakan penduduk untuk tahun kedepan dengan pertimbangan
kondisi lingkungan.
15
3. Temuan dalam kajian ini masih bersifat terbuka terhadap fenomena
kondisi lingkungan akibat adanya kepadatan penduduk. Di harapkan akan
ada kajian lanjutan yang lebih spesifik dengan menerapkan atau
menghasilkan model untuk mengantisipasi kepadatan penduduk.
16
BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Landasan Konseptual
2.1.1. Pengertian Kependudukan
Menurut Philip M. Hauser dan Duddley Duncan (dalam Mantra, 2000),
demografi adalah ilmu yang mempelajari jumlah, persebaran, teritorial, komposisi
penduduk dan perubahan serta sebab-sebabnya yang biasa timbul karena
kelahiran, kematian, migrasi, dan mobilitas sosial. Demografi terbagi menjadi
demografi
murni
dan
ilmu
kependudukan.
Demografi
murni
hanya
mendeskripsikan atau menganalisis variabel-variabel demografi, sedangkan ilmu
kependudukan
mempelajari
tentang
hubungan-hubungan
antara
variabel
demografi dan variabel sistem lain. Analisis kependudukan bertujuan untuk
menerangkan informasi dasar tentang distribusi penduduk, karakteristik, dan
perubahan-perubahannya, serta sebab-sebab perubahan dari faktor dasar tersebut
dan menganalisa segala konsekuensi yang mungkin terjadi di masa depan sebagai
hasil dari perubahan tersebut (Thomlinson, 1965 dalam Mantra, 2000).
2.1.2. Pertumbuhan Penduduk
Penduduk merupakan unsur penting dalam usaha untuk meningkatkan
produksi dan mengembangkan kegiatan ekonomi. Penduduk memegang peranan
penting karena menyediakan tenaga kerja, tenaga ahli, tenaga usahawan yang
diperlukan untuk menciptakan kegiatan ekonomi. Di samping itu, pertambahan
jumlah penduduk mengakibatkan bertambah dan makin kompleksnya kebutuhan
17
(Yakin, 1997). Pertumbuhan penduduk suatu daerah dipengaruhi oleh fertilitas,
mortalitas dan migrasi. Apabila angka fertilitas lebih besar daripada angka
mortalitas, maka pertumbuhan penduduk menjadi positif. Begitu juga dengan
migrasi, apabila nilai migrasi masuk lebih besar daripada nilai migrasi keluar,
maka pertumbuhan penduduk menjadi positif.
Peningkatan
jumlah
penduduk
akan
menyebabkan
terjadinya
pengangguran, meningkatnya penggunaan sumber daya alam, peningkatan standar
hidup akan meningkatkan lebih tinggi lagi kebutuhan sumber daya alam baik yang
dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Makin banyak
penghasilan, manusia akan semakin banyak membeli, menggunakan dan
membuang sumber daya alam. (Soerjani, dkk, 1987). Jumlah penduduk yang terus
meningkat serta belum tertibnya pelaksanaan tata guna lahan menyebabkan
tekanan terhadap pemanfaat lahan makin besar. Kompetisi diantara berbagai
kepentingan terhadap lahan makin ketat. Atas nama pembangunan seringkali
(lahan) pertanian yang menjadi korban atau dikorbankan.
2.1.3. Daya Dukung Lingkungan Hidup
Lingkungan terdiri atas komponen biotik (hidup) dan abiotik (tak hidup).
Jika komponen biotik berada dalam komposisi yang proporsional antara tingkat
trofik dengan komponen abiotik yang mendukung kehidupan komponen biotik, lingkungan
tersebut berada dalam keseimbangan atau stabil. Menurut Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam
18
itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.
Daya dukung lingkungan menurut Odum (1971) merupakan jumlah
populasi organisme yang kehidupannya dapat didukung oleh suatu kawasan atau
ekosistem. Definisi Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain,
dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energy dan/atau komponen
lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Daya dukung lingkungan atau carrying capacity, meliputi; (1) Jumlah
organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan, (2) Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut, (3) Jumlah makhluk hidup yang
dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam periode jangka panjang tanpa
membahayakan lingkungan tersebut, (4) Jumlah populasi maksimum dari
organisme khusus yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak
lingkungan tersebut, (5) Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi
dari suatu kelompok manusia di bawah angka yang diperkirakan akan meningkat,
dan di atas angka yang diperkirakan untuk menurun yang disebabkan oleh
kekurangan sumber daya, (6) Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap
kelompok manusia dalam sebuah lingkungan tempat tinggal disebabkan oleh jenis
makanan, tempat tinggal, dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan
tempat tinggal tersebut.
19
Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk
melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Menurut Caughley
(1979), daya dukung dibagi menjadi dua tipe, yaitu daya dukung ekologi dan daya
dukung ekonomi. Daya dukung ekologi menjelaskan ukuran herbivora dan populasi tanaman
yang dapat dicapai secara alami apabila keduanya dibiarkan berinteraksi tanpa ada
intervensi manusia. Sementara itu, daya dukung ekonomi menjelaskan suatu
kesetimbangan yang ditimbulkan oleh kelestarian pemanenan populasi herbivora.
Daya dukung ekologis merupakan landasan bagi optimalisasi habitat dalam
menghasilkan produksi. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup
terbagi menjadi dua komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity)
yang meliputi unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumberdaya hayati
maupun non hayati, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia serta kapasitas
tampung limbah (assimilative capacity).
Permasalahan lingkungan telah ada sejak manusia ada di bumi. Oleh sebab
itu, faktor yang sangat penting dalam permasalahan lingkungan hidup adalah
besarnya populasi manusia. Pertumbuhan populasi manusia yang cepat
menyebabkan kebutuhan akan pangan, bahan bakar, tempat pemukiman, dan lain
kebutuhan serta limbah domestik juga bertambah dengan cepat.
Pertumbuhan populasi manusia telah mengakibatkan perubahan yang besar
dalam lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan hidup menjadi besar karena
kemajuan teknologi. Akan tetapi yang harus diingat bahwa teknologi bukan saja
20
dapat merusak lingkungan, melainkan diperlukan juga untuk mengatasi masalah
lingkungan hidup. Pertumbuhan populasi manusia menyebabkan timbulnya
permasalahan lingkungan, seperti: kerusakan hutan, pencemaran, erosi, dan lainlain karena manusia selalu berinteraksi (inter-related) dengan makhluk hidup
lainnya dan benda mati dalam lingkungan. Ini dilakukan manusia untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam upaya mempertahankan jenis dan
keturunannya.
Pemenuhan
kebutuhan
manusia
dapat
terpenuhi
karena
adanya
pemanfaatan lingkungan yang berbentuk pengelolaan lingkungan hidup. Melalui
pengelolaan lingkungan hidup, terjadi hubungan timbal balik antara lingkungan
biofisik dengan lingkungan sosial. Ini berarti sudah berkaitan dengan konsep
ekologi, terutama tentang konsep hubungan timbal balik (inter-related) antara
lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Dengan demikian apabila
membicarakan lingkungan hidup, maka konsep ekologi akan selalu terkait
sehingga permasalahan lingkungan hidup adalah permasalahan ekologi.
2.2. Kerangka Pemikiran
Dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan wilayah, terdapat 3
(tiga) pilar utama, yaitu faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor daya dukung
lingkungan fisik. Interaksi antara ketiga aspek ini selanjutnya akan mengakibatkan
dampak dan perubahan terhadap pembangunan. Kecenderungan perubahan
lingkungan sering diakibatkan aktivitas masyarakat yang tidak memperhatikan
daya dukung lingkungan dan mempunyai pola yang dinamis dan kecepatan
perubahan yang berbeda-beda di setiap tempat dan lokasi, bergantung pada faktor-
21
faktor yang dominan menjadi penyebab terjadinya perubahan kondisi biofisik
lingkungan di suatu wilayah. Beberapa dampak dari mobilitas penduduk
diantaranya adalah faktor biofisik wilayah, faktor sosial dan kebutuhan ekonomi.
Pertumbuhan penduduk menuntut ketersediaan lahan untuk permukiman,
dan fasilitas social dan fasilitas lingkungan lain seperti bangunan, jalan, drainase.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan ruang terbuka, jika tidak maka
terjadi perubahan peruntukan lahan seperti persawahan, perkebunan, pegunungan,
bantaran kali dan pesisir. Tidak jarang kita melihat bangunan rumah penduduk di
bantaran kali, di tebing yang curam, bahkan menutup permukaan saluran air
irigasi dan drainase sebagai bentuk perluasan pekarangan rumah.
Pertumbuhan penduduk menyebabkan pula peningkatan aktivitas social
ekonomi, mengakibatkan penggunaan barang peralatan kebutuhan hidup sehingga
yang terjadi adalah penumpukan sampah dan barang sisa (buangan limbah) jika
sampah tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, jika terjadi musim hujan maka
area resapan tidak mampu menampung air permukaan, sementara saluran air
tertutup oleh bangunan penduduk, saluran menyempit dan tersumbat oleh sampah.
Daya dukung lingkungan hidup seharusnya menjadi salah satu
pertimbangan terpenting dalam penataan ruang, baik dalam penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun dalam evaluasi pemanfaatan ruang.
Pengintegrasian pertimbangan daya dukung lingkungan hidup diperlukan dalam
penataan ruang agar alokasi pemanfaatan ruang sesuai dengan kondisi dan
kapasitas sumber daya wilayah. Dengan demikian, suatu kawasan dapat
ditentukan layak untuk pembangunan berbasis kawasan, misalnya cocok untuk
22
pertanian tetap dipertahankan untuk berlangsungnya kegiatan pertanian, sehingga
ketahanan pangan dapat dijaga dan kerusakan tanah akibat pembukaan lahan yang
tidak sesuai dengan peruntukannya dapat dicegah. Berbagai bentuk kerusakan dan
bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan lingkungan yang timbul
akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan
hidup.
Hal
ini
umumnya
timbul
akibat
pertumbuhan
penduduk
atau
perkembangan aktifitas manusia yang melampaui kemampuan lingkungan yang
mendukungnya.
Banjir di Kota Gorontalo yang sering terjadi merupakan salah satu
indikator yang mengarah kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan lahan
dengan daya dukung lingkungan hidup. Ketersediaan lahan untuk ruang terbuka
hijau di daerah Kota Gorontalo akan akan berfungsi sebagai daerah resapan air,
pengendali luapan air penyebab banjir, selain penyerap gas-gas buangan yang
sangat membantu dalam mengatasi pencemaran udara.
Penataan sistem drainase yang terintegrasi akan mencegah terjadinya
banjir dan meminamalisir terjadinya penumpukan sampah serta terjadinya
pencemaran air. Masalah di atas memberikan dampak terhadap kebutuhan
penduduk di wilayah lain, karena itu perlu upaya dan solusi terhadap tingkat
kepadatan penduduk.
Permasalahan serupa sudah sering terjadi di Kabupaten Bone Bolongo dan
kabupaten lainnya, walaupun dampak yang ditimbulkan belum mengindikasikan
dampak negative. Pencemaran yang terjadi di sungai Bone dan sungai Bolango
akibat aktifvitas penduduk di kawasan hulu sebagai salah satu penyebab yang
23
ditimbulkan.
Adapun kerangka pemikiran dalam kajian ini disajikan pada
Gambar 2.1.
Kualitas
Penduduk
Pertumbuhan
Penduduk
Kuantitas
Penduduk
Pembangunan
Daerah
Kehidupan
Sosial
Solusi Terhadap
Dampak Lingkungan
Dampak
Kebutuhan
Ekonomi
Kondisi
Lingkungan
Variabel Lingkungan
1. Berkurangnya
Ketersediaan Lahan dan
Ruang Terbuka Hijau
(RTH)
2. Kebutuhan Udara Bersih
dan Pencemaran Udara
3. Manajemen Keterpaduan
Kawasan DAS
4. Ketersediaan Air Bersih
dan Pencemaran air
5. Penyebab Banjir
6. Penumpukan Sampah dan
Limbah Rumah Tangga
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
24
BAB III
METODE ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN
3.1. Desain Analisis
Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Maksud kajian ini untuk memberikan penjelasan dan uraian
berdasarkan data dan informasi tentang kepadatan penduduk dan dampaknya
terhadap daya dukung lingkungan suatu wilayah. Metode deskriptif diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan subjek
dan/atau objek penelitian yang berdasarkan fakta yang ada dan usaha
mengemukakan hubungannya satu dengan yang lain, ini dilakukan untuk
mengetahui kondisi biofisik lingkungan penduduk secara menyeluruh akibat
adanya aktifitas masyarakat. Dari hasil pendataan dilakukan analisis untuk
pemecahan masalah yang ditimbulkan serta menguji konsep solusi yang relevan
untuk pemanfaatan yang merespon permasalahan lingkungan.
Kajian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama pengumpulan data
primer dan sekunder; tahap kedua analisis data kuantitatif dan kualitatif.
Pemilihan setting atau latar penelitian adalah; a) penjajakan lapangan, b) setting
penelitian di tempat yang dikenal baik.
Tipe kajian ini adalah suatu studi kasus tentang dampak kepadatan
penduduk terhadap kondisi biofisik lingkungan yaitu mengkaji seberapa besar
dampak yang akan ditimbulkan terhadap keberadaan suatu lingkungan akibat
adanya ledakan penduduk di suatu daerah. Menetapkan dan menerapkan suatu
solusi untuk pembentukan dan pengembangan kawasan, sehingga perlu dikaji
25
mengenai dukungan dari peraturan perundangan, kondisi biogeofisik, sosial
ekonomi, dan persepsi masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggalnya,
stakeholder terkait dan masyarakat sekitar sebagai pengambil kebijakan dan
pemakai jasa lingkungan dapat merumuskan skala prioritas penanganan terhadap
dampak.
3.2. Teknik Analisis
1.
Sumber data kuantitatif berupa catatan hasil observasi, dan dokumendokumen terkait permasalahan kependudukan dan dampaknya terhadap faktor
biofisik lingkungan hidup. Data yang diperoleh di analisis menggunakan
teknik sederhana seperti tabulasi silang dan scoring data, kemudian dianalisis
secara kualitatif untuk setiap data temuan.
2.
Sumber data kualitatif berupa transkrip interviu mendalam (depth interview)
dan dokumen tertulis yang diperoleh dari dinas dan instansi terkait yang
memiliki hubungan erat dengan kajian penelitian. Data yang diperoleh
dianalisis kembali secara deskriptif. Hasil dari temuan ini dapat dijadikan
solusi terhadap permasalahan.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut Sukmadinata
(2009) dalam penelitian populasi dibedakan menjadi 2, yaitu: populasi secara
26
umum dan populasi target (target population). Populasi target adalah populasi
yang menjadi sasaran keterbelakukan kesimpulan penelitian kita.
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi, dan secara nyata diteliti dan ditarik kesimpulan. Kajian dengan
menggunakan sampel lebih menguntungkan dibandingkan dengan penelitian
menggunakan populasi, karena kajian dengan menggunakan sampel lebih
menghemat biaya, waktu dan tenaga Menurut (Sukmadinata, 2009). Langkah awal
yang harus ditempuh dalam menentukan sampel adalah membatasi jenis populasi
atau menentukan populasi target. Penentuan sampel bersifat purposif, dengan
memperhatikan ciri-ciri tertentu dari informan. Namun peneliti menambahkan
teknik Snowball dalam mendapatkan informasi dari sampel yang diinginkan.
Dalam kajian ini yang menjadi populasi target adalah data kependudukan
dan dampaknya terhadap kondisi biofisik lingkungan di wilayah Provinsi
Gorontalo, sedangkan sampel kajian di wilayah Kota Gorontalo dan Kabupaten
Bone Bolango.
3.4. Penentuan Lokasi
Seperti yang dijelaskan pada bab 1, kajian ini dilaksanakan di dua daerah
Provinsi Gorontalo yaitu Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Alasan
dipilihnya dua daerah sebagai lokasi kajian karena pertumbuhan di Kota
Gorontalo sebagai ibukota Provinsi banyak mengalami perkembangan terutama
pertumbuhan penduduk. Untuk Kabupaten Bone Bolango merupakan daerah yang
berbatasan langsung dengan Kota Gorontalo sehingga memberikan dampak
terhadap perkembangan penduduk, hal ini dapat dilihat dari trend peningkatan
27
penduduk dalam data Daerah Dalam Angka (DDA). Analisis secara deskriptif
akan memberikan satu solusi tentang pola penanganan kepadatan penduduk
terhadap kondisi biofisik lingkungan.
3.5. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dapat digolongkan dalam data primer dan data
sekunder.
a.
Data primer diperoleh dari informan yang berada di instansi pemerintah
daerah. Data primer yang berhubungan dengan kajian kondisi biofisik
lingkungan, kehidupan sosial dan kebutuhan ekonomi masyarakat diperoleh
dari pengisian kuisioner, wawancara mendalam dan observasi serta
pengamatan langsung di lapangan. Metode pengumpulannya menggunakan
alat perekam dan dokumentasi.
b.
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yang terlibat dalam lingkup
kajian, yaitu Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi
(BALIHRISTI) Provinsi Gorontalo, BLH Bone Bolango, BLH Kota
Gorontalo, Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, BPS Kota Gorontalo, BPS
Bone Bolango, BPS Provinsi Gorontalo, Dinas Tata Kota Gorontalo, Bappeda
Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Data yang dikumpulkan
berupa data a) kondisi biofisik lingkungan; potensi fisik, ketersediaan lahan,
tingkat pencemaran dan biotik lainnya b) kehidupan sosial; aktivitas seharihari dan dampak kepadatan penduduk, c) kebutuhan ekonomi; pendapatan
dan tingkat kebutuhan. Data lain yang diperoleh dari data statistik serta
28
penelitian terdahulu merupakan data sekunder yang mendukung untuk
membuat deskripsi.
3.6. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data tersebut yang
disesuaikan dengan kebutuhan analisis. Data kualitatif berupa transkrip interview
mendalam (depth interview) dan dokumen yang diperoleh dari dinas dan instansi
terkait yang memiliki hubungan erat dengan kajian yang dilakukan. Data yang
diperoleh diedit, dikategorikan sesuai dengan kebutuhan analisis, kemudian
digambarkan dengan menggunakan analisis deskriptif.
Data kuantitatif berupa catatan hasil observasi dan dokumen-dokumen
terkait permasalahan kependudukan dan dampaknya terhadap faktor biofisik
lingkungan hidup. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik scoring
dan ditampilkan dalam bentuk tabulasi silang, kemudian dianalisis secara
kualitatif untuk setiap data temuan.
3.7. Definisi Operasional
1. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk yang hidup dalam satuan
luas suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
2. Kependudukan adalah hal ikhwal yang berkaitan dengan jumlah, ciri
utama, pertumbuhan, persebaran, mobilitas penyebaran, kualitas kondisi
kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, agama
serta lingkungan penduduk.
29
3. Ledakan penduduk adalah keadaan penduduk dengan laju pertumbuhannya
cepat sebagai akibat dari tingkat kelahiran yang tinggi sedangkan tingkat
kematian menurun secara tajam. Ledakan penduduk dapat membawa
akibat komplek, seperti tumbuhnya ekonomi, standar hidup menurun,
terjadi pengangguran, berbagai fasilitas hidup menurun dan timbulnya
krisis lingkungan.
4. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya
5. Dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh
suatu kegiatan.
6. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk
hidup, zat, energy, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau
berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses
alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukannya.
7. Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga
untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian, barang
rusak atau bercacat dalam pembikinan (manufaktur) atau materi
berkelebihan atau ditolak atau buangan.
30
8. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah sungai yang dipisahkan dari
daerah lain oleh pemisah topografi berupa punggung bukit dimana air
hujan yang jatuh dalam wilayah tersebut mengalir dan meresap menuju ke
suatu sungai dan bermuara di laut.
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Perkembangan Situasi Kependudukan
4.1.2. Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Pada prinsipnya kemajuan suatu Negara ditentukan oleh pembangunan
yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan
banyak di pengaruhi oleh pertumbuhan penduduk. Hal tersebut mengundang
pertanyaan
apakah
yang
dimaksud
dengan
pembangunan
berwawasan
kependudukan. Secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari pembangunan
berwawasan
kependudukan
mengandung
dua
makna
yaitu,
pertama,
pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada.
Penduduk menjadi objek dan subjek yang harus dilibatkan secara langsung dalam
proses pembangunan. Makna kedua adalah pembangunan yang menitik beratkan
kemampuan atau skill sumberdaya manusia. Pembangunan yang lebih
menekankan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dibandingkan
dengan pembangunan infrastruktur semata.
Pembangunan berwawasan kependudukan identik dengan pembangunan
manusia seutuhnya, hal ini sudah lama menjadi program pemerintah namun,
memiliki bentuk dan format lain. Pelaksanaan pembangunan kependudukan masih
mengalami banyak hambatan dan rintangan dalam pelaksanaannya. Hambatan
sering diakibatkan oleh sistem perencanaan yang kurang matang dan terprogram
dengan baik. Sarana dan prasarana penunjang dalam rangka pembangunan
berwawasan kependudukan belum mendukung terciptanya lingkungan yang
32
lestari.
Pembangunan
untuk
kepentingan
masyarakat
sudah
saatnya
diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dengan sebuah perencanaan yang
teringrasi. Kebutuhan pokok manusia dalam suatu pembangunan adalah
ketersediaan kebutuhan pokok, kehidupan sosial yang aman, fasilitas yang
tercukupi dan lingkungan hidup yang berimbang. Indikator keberhasilan ekonomi
harus dirubah dari sekedar GNP atau GNP per kapita menjadi aspek kesejahteraan
atau memakai terminologi UNDP adalah HDI (Human Development Index).
Memang
dengan
mempergunakan
strategi
pembangunan
berwawasan
kependudukan untuk suatu pembangunan ekonomi akan memperlambat tingkat
pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
maksimal perlu adanya keterlibatan semua stakeholder untuk mencapai
pembangunan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable). Sebaliknya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan membawa pada peningkatan
ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberialisasi yang terlalu cepat
memang akan meningkatkan efisiensi dan pruduktivitas namun sekaligus juga
meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur. Konsekwensi dari
pembangunan suatu daerah adalah daya dukung lingkungan hidup.
Selama
ini
Indonesia
mengabaikan
pembangunan
berwawasan
kependudukan dan lingkungan hidup. Hal ini tidak lain karena keinginan
pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi sangat tinggi.
Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pembangunan
nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan yaitu
33
pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan
senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional.
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat
potensi penduduk serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada
nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Jika
dikaitkan dengan krisis ekonomi dewasa ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas
dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan
dan lingkungan hidup. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada
situasi/kondisi
ataupun
potensi
kependudukan
yang
ada
menyebabkan
pembangunan ekonomi tersebut mejadi sangat rentan terhadap perubahan. Belum
terjadi strategi pembangunan yang serius berorientasi pada aspek kependudukan
selama ini.
4.1.2. Pertumbuhan Penduduk Indonesia
Menurut sensus penduduk yang telah dilaksanakan, jumlah penduduk
Indonesia adalah 97,09 juta jiwa (1961), 119,21 juta jiwa (1971), 147,49 juta jiwa
(1980), 179,29 juta jiwa (1990), dan 204,3 juta jiwa (1997). Dari jumlah tersebut
terlihat bahwa jumlah penduduk dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan. Peningkatan tersebut dinamakan pertumbuhan. Pertumbuhan
penduduk pada periode tahun 1961-1971 adalah 2,10%, 1971-1980 adalah 2,32%,
1980-1990 adalah 1,98% per tahun, dan 1990-2000 adalah 1,7%. Kenaikan yang
terjadi pada periode 1971-1980 disebabkan oleh jumlah kelahiran yang tinggi,
sedangkan penurunan yang terjadi pada periode 1980-1990 dan 1990-2000
disebabkan oleh jumlah kelahiran yang semakin berkurang. Mengapa dari tahun
34
1980 angka kelahiran penduduk Indonesia semaking berkurang. Pertumbuhan
Penduduk Negara-Negara di ASEAN disajikan pada Tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1. Pertumbuhan Penduduk Negara-negara di ASEAN
No.
Negara
Pertumbuhan (%)
1.
Kamboja
2.9
2.
Laos
2.8
3.
Brunei
2.3
4.
Philippines
2.3
5.
Malaysia
2.2
6.
Myanmar
1.9
7.
Indonesia
1.7
8.
Vietnam
1.6
9.
Singapore
1.1
10.
Thailand
1.1
Sumber: World Population Data Sheet
Meskipun angka pertumbuhan penduduk Indonesia menduduki urutan ke
tujuh setelah Myanmar, namun karena jumlah penduduk yang besar maka
pertumbuhan 1,7% masih tergolong tinggi. Pertumbuhan penduduk di Indonesia
tidak di ikuti dengan program untuk menekan angka kelahiran. Program Keluarga
Berencana (KB) yang di lakukan oleh BKKBN pada masa orde lama slogan dua
anak sudah cukup bukan merupakan program utama lagi dari pemerintah pusat.
4.1.3. Kepadatan Penduduk Indonesia
Kepadatan penduduk berhubungan dengan persebarannya pada wilayahwilayah tertentu. Hal tersebut karena kepadatan penduduk adalah jumlah
35
penduduk dibandingkan luas wilayah pada suatu tempat, yaitu jumlah penduduk
tiap satu km2 atau tiap satu mil. Dengan demikian, ada daerah yang berpenduduk
padat dan ada yang jarang.
Di antara negara-negara ASEAN, Singapura merupakan negara yang
paling padat penduduknya, yaitu mencapai 14.425 orang per-mil. Negara yang
paling jarang penduduknya adalah Brunei Darussalam, yaitu 147 orang per-mil.
Pada peringkat berapa kedudukan Indonesia di antara negara-negara ASEAN.
Kepadatan Penduduk ASEAN Tahun 1997 disajikan pada Tabel 4.2 sebagai
berikut.
Tabel 4.2. Kepadatan Penduduk ASEAN Tahun 1997
No.
Negara
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Singapore
Philippines
Vietnam
Thailand
Indonesia
Myanmar
Malaysia
Kamboja
Brunei
Laos
Luas Areal (mil)
240
115.120
125.670
197.250
705.190
253.880
126.850
68.150
2.030
89.110
Kepadatan
(orang/mil2)
14.425
638
598
305
290
184
166
164
147
57
Sumber : World Population Data Sheet
Ternyata, jika dibandingkan dengan luas wilayah yang ada, Indonesia
tidak termasuk negara yang padat penduduknya, kepadatannya mencapai 290
orang per-mil2 atau 181 orang per-km2(1 mil = 1,6 km). Bandingkanlah dengan
negara lain di ASEAN, Indonesia berada pada urutan ke lima setelah Singapore,
Philipina, Vietnam dan Thailand.
36
Masalah kepadatan penduduk Indonesia adalah persebarannya yang tidak
merata di seluruh daerah. Ada wilayah yang padat dan ada yang jarang
penduduknya. Pulau Jawa memiliki luas kurang lebih 132.187 km2 dengan
jumlah penduduk 107.573.859 orang, sehingga pulau Jawa merupakan pulau
terpadat yaitu 184 jiwa per km2.
Persebaran penduduk yang tidak merata ini menyebabkan pada daerah
yang jarang penduduknya kekayaan sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya menjadi kurang termanfaatkan karena kekurangan sumber daya
manusia untuk mengelolanya. Sebaliknya, pada daerah yang padat penduduknya,
terjadi
kelebihan
sumberdaya
manusia
sehingga
terjadi
pengangguran,
pemukiman kumuh, dan kemiskinan. Hal ini disebabkan sumber daya alam di
dalamnya tidak dapat lagi mendukung kehidupan penduduknya yang sudah
melebihi kapasitas daya dukungnya. Kepadatan penduduk di Indonesia menurut
pulau disajikan pada Tabel 4.3 sebagai berikut.
Tabel 4.3. Kepadatan Penduduk Indonesia Menurut Pulau
No. Pulau
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sumatera
Jawa
Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua
7.
Indonesia
Luas (km2)
473,606
132,187
88.488
539.460
189.216
496.486
1.919.443
Kepadatan Penduduk Per-Km2
1971
1985
1990
2000
44
69
77
576
755
184
75
106
115
10
14
17
45
61
86
4
6
7
62
85
93
Sumber : World Population Data Sheet
37
4.1.4. Dampak Kepadatan Populasi
Kepadatan penduduk di suatu daerah sering ditentukan oleh kualitas dan
kuantitas sumberdaya manusianya. Kualitas sumberdaya manusia Indonesia, yang
merupakan indikator kualitas penduduk Indonesia yang ditunjukkan oleh Human
Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dilihat
dari tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan penduduk. Hasil analisis
Human Development Report (HDR) tahun 2001, Indonesia menduduki urutan 109
dari 174 negara di dunia dalam hal sumber daya manusia. Hal ini menunjukkan
masih rendahnya kualitas penduduk Indonesia dibandingkan dengan negara lain di
dunia. Namun peningkatan HDR Indonesia 10 tahun terakhir mengalami
peningkatan dalam hal pelayanan kesehatan dan pendidikan. Program untuk
menekan kepadatan penduduk masih banyak mengalami kendala. Dampak
kepadatan penduduk ini menyebabkan daya dukung lingkungan semakin
berkurang. Daya dukung lingkungan semakin banyak mengalami kerusakan tanpa
ada upaya rehabilitasi. Ancaman yang ditimbulkan dari kepadatan penduduk
terhadap tekanan pada daya dukung lingkungan seperti:
a. Kekurangan kebutuhan pokok
Kebutuhan pokok manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan sandang,
pangan dan papan. Kekurangan kebutuhan pokok ini berdampak pada kualitas
sumberdaya manusia. Dengan bertambahnya jumlah populasi manusia atau
penduduk, maka jumlah kebutuhan makanan juga semakin banyak. Jika
kebutuhan makanan ini semakin banyak maka kebutuhan sumberdaya alam
semakin terkuras. Bila hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi
38
pangan, maka dapat terjadi kekurangan pangan. Dampak dari kekurangan pangan
akan berpengaruh pada kualitas kesehatan penduduk. Menjaga keseimbangan
lingkungan seperti sumberdaya alam untuk pembangunan manusia seutuhnya.
b. Kebutuhan air bersih
Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk hidup. Siklus hdirologi air
dibentuk oleh lingkungan yang lestari. Air bersih merupakan air yang memenuhi
kualitas dan layak untuk dikonsumsi meliputi syarat fisika, kimia, dan biologi.
Syarat fisika yaitu air tetap jernih, tidak ada rasa, dan tidak berbau. Syarat kimia
yaitu air tidak mengandung zat-zat kimia yang membahayakan kesehatan
manusia. Syarat biologi yaitu air tidak mengandung mikroorganisme atau kumankuman penyakit. Menjaga sumber-sumber air yang dibentuk oleh lingkungan akan
memberikan manfaat terhadap manusia. Salah satu upaya untuk menjaga sumber
air dengan mengurangi dan mencegah pencemaran air.
c. Kebutuhan udara bersih
Kebutuhan udara atau oksigen (O2) bagi manusia merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia. Pencemaran udara bersih berarti tidak tercemar,
sehingga kualitas udara terjaga dengan baik. Dengan udara yang bersih akan
diperoleh pernapasan yang sehat. Di daerah yang padat penduduknya maka
kebutuhan udara bersih juga meningkat. Bila udara bersih di suatu lingkungan
padat penduduk tidak terpenuhi maka menurunkan tingkat kesehatan seseorang
atau masyarakat, khususnya timbulnya penyakit saluran pernapasan. Pencemaran
udara sering di akibatkan dari sisa pembakaran kenderaan bermotor.
39
d. Berkurangnya ketersediaan lahan
Tingkat kepadatan penduduk membutuhkan lahan sebagai tempat tinggal.
Kepadatan penduduk dapat mengakibatkan tanah pertanian berkurang, ruang
terbuka hijau dan pembangunan sarana prasarana atau fasilitas umum sering
terabaikan karena digunakan untuk pemukiman penduduk. Masalah ketersediaan
lahan menjadi persoalan di kawasan perkotaan. Ketersediaan lahan di wilayah
perkotaan mempunyai hubungan erat dengan ruang terbuka hijau. Keberadaan
RTH di wilayah perkotaan memberikan rasa nyaman dan lestari bagi kehidupan
perkotaan.
e. Kondisi lingkungan terancam
Meningkatnya jumlah penduduk diiringi pula dengan meningkatkan
penggunaan sumber daya alam hayati. Adanya pembukaan hutan secara liar untuk
dijadikan tanah pertanian atau untuk mencari hasil hutan sebagai mata
pencaharian penduduk membawa akibat rusaknya ekosistem hutan tersebut. Di
daerah yang padat penduduknya seperti kota-kota besar, jumlah kendaraan
bermotor semakin meningkat. Gas sisa pembakaran kendaraan bermotor
menyebabkan pencemaran udara. Dengan semakin bertambahnya populasi
manusia, maka kebutuhan manusia pun semakin tinggi. Untuk memenuhi
kebutuhan manusia itu, berbagai industri dibangun. Tetapi sering limbah industri
yang mengandung racun menyebabkan pencemaran lingkungan.
40
f. Terbatasnya ruang gerak
Di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, umumnya rumahrumah penduduk saling berdekatan atau berhimpitan. Keadaan ini menyebabkan
terbatasnya ruang gerak. Terbatasnya ruang gerak sering menimbulkan
pemukiman kumuh sehingga daerah atau kawasan itu sebagai penyebab rusaknya
system drainase. Lahan semakin sempit dan sampah semakin menumpuk.
4.1.5. Gambaran Umum Lokasi Kajian
a. Kota Gorontalo
Kota Gorontalo merupakan ibukota Provinsi Gorontalo memiliki luas
wilayah 64,79 Km² atau sekitar 0,53% dari luas Provinsi Gorontalo. Dalam tahun
2011-2012 curah hujan di Kota Gorontalo tercatat sekitar 11 mm sampai 266 mm
per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, suhu udara di Gorontalo rata-rata pada
siang hari 32 derajat Celcius, sedangkan pada malam hari 23 derajat Celcius.
Kelembaban udara relatif tinggi dengan rata-rata 79,9%. Secara geografis wilayah
Kota Gorontalo terletak antara 000 28' 17" - 000 35' 56" Lintang Utara (LU) dan
1220 59' 44" - 1230 05' 59" Bujur Timur (BT) dengan batas-batas sebagai berikut:
Batas Utara
: Kecamatan Bulango Utara Kabupaten Bone Bolango
Batas Timur
: Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango
Batas Selatan : Teluk Tomini
Batas Barat
: Kecamatan Telaga, Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo
41
Kota Gorontalo terdiri dari 9 Kecamatan yang meliputi 50 kelurahan, yaitu ;
1. Kec. Kota Barat
: 7 Kelurahan
2. Kec. Kota Selatan
: 5 Kelurahan
3. Kec. Hulonthalangi
: 5 Kelurahan
4. Kec. Dungingi
: 5 Kelurahan
5. Kec. Kota Timur
: 6 Kelurahan
6. Kec. Dumbo Raya
: 5 Kelurahan
7. Kec. Kota Utara
: 6 Kelurahan
8. Kec. Sipatana
: 5 Kelurahan
9. Kec. Kota Tengah
: 6 Kelurahan
Jumlah penduduk Kota Gorontalo setiap tahun mengalami perubahan, dari
tahun 2004 sejumlah 148.080 jiwa dengan luas wilayah sebesar 64.79 Km2
sehingga kepadatan penduduk menjadi 2.286 jiwa/Km2. Pada tahun 2005
berjumlah 156.39 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 2.414 jiwa/Km2. Pada
tahun 2006 jumlah penduduk berjumlah 158.36 jiwa dengan kepadatan penduduk
sebesar 2.444 jiwa/Km2. Pada tahun 2007 jumlah penduduk di Kota Gorontalo
sebesar 162.325 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.505 jiwa/Km2, dan pada
tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 165.175 jiwa dengan kepadatan penduduk
mencapai 2.549 jiwa/Km2.
Pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan, pada tahun 2009
jumlah penduduk Kota Gorontalo sebesar 181.102 jiwa dengan kepadatan
penduduk mencapai 2.759 jiwa/Km2, tahun 2010 naik menjadi 184.185 jiwa
dengan kepadatan penduduk mencapai 2.842 jiwa/Km2 dan untuk tahun 2011
42
jumlah penduduk Kota Gorontalo sebesar 194.153 jiwa dengan kepadatan
penduduk mencapai 2.996 jiwa/Km2. Umumnya wilayah Kota Gorontalo
merupakan dataran yang diliputi areal persawahan yang luasnya makin berkurang,
kemudian areal permukiman dan infrastruktur perekonomian dan pusat
pemerintahan kota dan provinsi, dan sebagian pegunungan dan pesisir. Di Kota
Gorontalo bermuara dua buah sungai utama yaitu muara Sungai Bone dan Sungai
Bolango, daerah hulu kedua sungai ini berada di wilayah Kabupaten Bone
Bolango.
Peta wilayah Kota Gorontalo disajikan pada Gambar 4.1 sebagai
berikut.
Gambar 4.1. Peta administrasi Kota Gorontalo
43
b. Kabupaten Bone Bolango
Kabupaten Bone Bolango merupakan kabupaten pemekaran dari
Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Kabupaten Bone Bolango dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003 dan resmi berdiri pada tanggal
16 Mei 2003. Kabupaten Bone Bolango memiliki luas wilayah 1.984,54 Km² atau
16,24 % dari total luas Provinsi Gorontalo. Wilayah Kabupaten Bone Bolango
terletak pada 09⁰ - 01⁰15’ Lintang Utara dan 121⁰84 - 123⁰26’ Bujur Timur.
Jumlah penduduk Kabupaten Bone Bolango berdasarkan hasil pendataan Dinas
Catatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Bone Bolango Tahun 2011 adalah
152.763 jiwa yang tersebar di 17 Kecamatan, keadaan penduduk tahun 2011 ini
telah mengalami kenaikan dari jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 141.915
jiwa. Batasan administrasi Kabupaten Bone Bolango adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara
: berbatasan dengan Kecamatan Atinggola Kabupaten
Gorontalo Utara dan Kabupaten Bolaang Mongondow.
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow.
Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow.
Sebelah Barat
:
berbatasan dengan Kecamatan Telaga, Kota Utara dan Kota
Timur.
Kabupaten Bone Bolango memiliki 17 kecamatan, yaitu:
1. Bone,
11. Kabilabone
2. Boneraya,
12. Suwawa
3. Bonepantai,
13. Suwawa Selatan
4. Botupingge,
14. Suwawa Tengah
44
5. Bulango Selatan,
15. Suwawa Timur
6. Bulango Timur,
16. Tapa
7. Bulango Ulu,
17. Tilongkabila
8. Bulango Utara,
9. Bulawa,
10. Kabila,
Wilayah Kabupaten Bone Bolango disajikan pada Gambar 4.2 sebagai
berikut.
Gambar 4.2. Peta administrasi Kabupaten Bone Bolango
Pada umumnya wilayah lahan Kabupaten Bone Bolango merupakan
dataran memanjang dan berbentuk pegunungan dengan ketinggian dari permukaan
laut di atas 1500 m yaitu sebagian daerah Kecamatan Bone, Bone Raya, Bulawa,
Suwawa dan Kecamtan Bulango Ulu. Sebagian besar wilayah Kabupaten Bone
Bolango berada pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut dan daerah
45
ketinggian 500 m dari permukaan laut berada pada wilayah Kecamatan Suwawa
Tengah, Botupingge dan Kabila. Kondisi tersebut memperlihatkan kemiringan
lereng yang cukup variatif yang dipengaruhi oleh sifat fisik dari litologi penyusun
yang dikontrol oleh struktur patahan/sesar. Berdasarkan struktur geologi wilayah
Kabupaten Bone Bolango sebagian besar memiliki struktur jenis batuan breksi,
tuf, tuf lapili, lava andesit, sampai basal. Di sekitar Daerah Aliran Sungai,
terutama di Kecamatan Suwawa, Kabila dan Botupingge memiliki jenis batuan
batu lempung kelabu, batu pasir berbutir halus dan kasar serta kerikir.
4.2. Analisis Isu Kependudukan yang Menjadi Fokus Kajian
4.2.1. Berkurangnya Ketersediaan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Ruang Terbuka Hijau (RTH) memiliki peranan yang sangat penting dalam
pembangunan di suatu wilayah baik itu tingkat provinsi, kota dan kabupaten.
Untuk mewujudkan hal ini, maka tiga pilar utama yakni, ekonomi, lingkungan,
dan sosial harus saling bersinergis. Menurut Gunadi (1995) istilah Ruang Terbuka
(open space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. Ruang
terbuka sangat berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di
sekitar bangunan dan merupakan kebalikan dari ruang dalam (interior space) di
dalam bangunan. Adapun definisi tentang ruang luar, adalah ruang terbuka yang
sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu dan digunakan secara
intensif, seperti halaman rumah, halaman sekolah, lapangan olahraga, dan taman
bermain. Adapun untuk zona hijau, seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau
danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/jejaring listrik
tegangan tinggi dan simpul kota (nodes) berupa ruang taman rumah, taman
46
lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan seterusnya.
Zona hijau inilah yang kemudian kita sebut Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Selanjutnya pengertian RTH adalah bagian dari ruang terbuka yang
merupakan salah satu bagian dari ruang-ruang di suatu kota yang biasa menjadi
ruang bagi kehidupan manusia dan mahkluk lainnya untuk hidup dan berkembang
secara berkelanjutan. Ruang terbuka hijau dapat dipahami sebagai ruang atau
lahan yang belum dibangun atau sebagian besar belum dibangun di wilayah
perkotaan yang mempunyai nilai untuk keperluan taman dan rekreasi; konservasi
lahan dan sumber daya alam lainnya; atau keperluan sejarah dan keindahan
(Green, 1959). Ruang terbuka hijau merupakan sarana dan prasarana fasilitas
umum yang sengaja dibangun oleh pemerintah daerah untuk menambah akses
kepada masyarakat. Penting untuk disediakan di dalam suatu kawasan karena
dapat memberikan dampak positif berupa peningkatan kualitas lingkungan
sekitarnya dan menjadi pertimbangan penting dalam menentukan tata guna lahan
di suatu kota (Keeble, 1959). Menurut Permendagri No.1 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, RTH kawasan perkotaan
merupakan bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya,
ekonomi dan estetika.
Berdasarkan definsi dan fungsinya, maka penyediaan RTH di wilayah
perkotaan sangat esensial dalam membangun suatu kota sehat. Keberadaan suatu
RTH sebagai ruang terbuka yang bebas dan dilengkapi dengan elemen-elemen
47
“hijau” seperti pepohonan dapat meningkatkan kesehatan warga kota, baik secara
jasmani (fisik) maupun rohani (jiwa).
Gambaran penjelasan
di
atas mengisyaratkan betapa pentingnya
keberadaan RTH bagi suatu kota. Penyediaan dan pembuatan RTH untuk wilayah
Kota Gorontalo atau Kabupaten Bone seharusnya bukan merupakan tanggung
jawab pemerintah semata. Penyediaan taman kota, jalur hijau, dan lainnya dapat
melibatkan pihak swata dalam pembangunannya. Hal lain terkait dengan
penyediaan RTH dapat diawasi dan dijaga dengan melibatkan kesadaran
penduduk perkotaan akan pentingnya fungsi dan nilai estetika RTH.
Pembangunan yang sedang dilakukan di Kota Gorontalo sangat perlu
menyediakan ruang terbuka yang sudah direncanakan melalui RTRW Kota
Gorontalo. Adanya peningkatan jumlah penduduk Kota Gorontalo sebagai ibu
Kota Provinsi Gorontalo maka, sudah waktunya perencanaan pembangunan
fasilitas umum lebih diutamakan. Membangun dengan memasukkan variabel
kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi RTH akan sangat membantu dan
penting dalam membangun kota sehat.
Hasil pemantauan dan kunjungan lapangan yang dilakukan di beberapa
titik objek penelitian di Kota Gorontalo, sudah tersedia atau dibangun ruang
terbuka hijau dan fasilitas umum lainnya. Tugas yang saat ini dilakukan oleh
pemerintah Kota Gorontalo adalah melakukan sosialisasi mengenai penyediaan,
pemanfaatan, dan pengawasan RTH di tingkat masyarakat. Selain itu,
pembentukan dan pelestarian komunitas hijau juga penting dalam rangka
membangun gaya hidup sehat masyarakat di Kota Gorontalo. Dukungan dari
48
pemerintah dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan sosial dan
penyusunan regulasi yang mengatur tentang RTH di wilayah Kota Gorontalo,
bentuk dukungan ini diantaranya dengan memberi insentif bagi masyarakat atau
pihak swasta agar menyediakan RTH di halaman/lahan miliknya sendiri. Reward
terhadap pengawasan dan pembuatan RTH bagi kepentingan umum akan menjadi
pendorong setiap anggota masyarakat untuk lebih inovatif.
Ruang terbuka hijau yang tersedia di Kota Gorontalo tersebar di beberapa
kecamatan seperti yang disajikan dalam tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4. Ruang Terbuka Hijau di Kota Gorontalo
No
Jenis
RUANG TERBUKA HIJAU
Lokasi
Luas
Satuan
Kepemilikan
RTH PUBLIK
1
2
3
4
5
Obyek Wisata Bersejarah
Hutan Kota
Jalur Hijau Jalan
Lapangan Olah Raga
a. Lapangan Buladu
b. Lapangan Bulotadaa Barat
c. Lapangan Padebuolo
d. Lapangan Nani Wartabone
e. Lapangan Taruna Remaja
f. Lapangan Liluwo
Taman Kota
Kelurahan Dembe 1
Kel Tenilo, Buliide,
Pilolodaa,
Lekabalo, Dembe 1
Sepanjang jalan John
Ario Katili
dan Jusuf Dali
Kel. Buladu
Kel. Bulotadaa Barat
Kel. Padebuolo
Kel. Limba U II
Kel. Tenda
Kel. Liluwo
Tersebar mulai dari
batas kota
hingga ke pusat kota
TOTAL RTH PUBLIK
RTH PRIVAT
Taman
Sekolah,
Pekarangan rumah tinggal/
Perkantoran dan
Perkantoran
Kampus UNG
TOTAL RTH
Sumber; BLH Kota Gorontalo, 2012
1
1,16
996,32
Ha
Pemerintah
Gorontalo
Pemerintah
Gorontalo
Kota
Pemerintah
Gorontalo
Kota
Pemerintah
Gorontalo
Kota
Pemerintah
Gorontalo
Kota
Kota
Ha
1,96
Ha
6,94
0,87
0,64
0,87
1,13
1,65
0,63
Ha
Ha
Ha
Ha
Ha
Ha
Ha
2,22
1014,39
Ha
Ha
14,27
Ha
1028,66
Ha
Pribadi
Institusi
dan
49
Dari Tabel 4.4. tentang ruang terbuka hijau yang terdapat di Kota
Gorontalo, mengisyaratkan bahwa telah ada upaya dari pemerintah kota untuk
membangun dan menyediakan RTH. Taman kota dengan luas sebesar 2,22 hektar
dapat menciptakan keindahan, kenyamanan, keamanan, dan kesehatan bagi
penggunannya. Selain itu, taman kota Gorontalo dapat difungsikan sebagai paruparu kota, pengendali iklim mikro, konservasi tanah dan air, dan habitat berbagai
flora dan fauna. Pepohonan yang ada dalam taman kota tersebut dapat
memberikan berbagai manfaat seperti, penyerap karbon (CO2), keindahan,
penangkal angin, dan penyaring cahaya matahari. Taman kota juga berperan
sebagai sarana pengembangan budaya kota, pendidikan, dan pusat kegiatan
kemasyarakatan.
Taman dan lingkungan perkantoran dan gedung komersial juga terlihat
pada Tabel 4.4 yakni terdapat pada RTH privat yakni pekarangan rumah tinggal
dan perkantoran seluas 14,27 hektar. Taman lingkungan perkantoran dan gedung
komersial merupakan taman dengan klasifikasi
yang lebih kecil dan
diperuntukkan bagi kebutuhan terbatas/pengunjung. Kawasan perkantoran yang
ada di Kota Gorontalo membutuhkan RTH pekarangan untuk tempat upacara, olah
raga, area parkir, sirkulasi udara, keindahan dan kenyamanan waktu istrahat
belajar atau bekerja.
Hutan kota merupakan RTH yang berperan ganda bagi lingkungan hidup.
Menurut PP No. 63 Tahun 2002, hutan kota berupa suatu hamparan lahan yang
tumbuh pohon-pohon yang rapat di dalam suatu wilayah perkotaan baik pada
tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat
50
yang berwenang. Presentase luas hutan paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan
dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat dengan luas minimal sebesar 0,25
hektar dalam suatu hamparan yang kompak (hamparan yang menyatu). Bila di
lihat dari Tabel 4.4 hutan kota di Kota Gorontalo dengan luas sebesar 996,32
hektar, berarti telah melebihi ketentuan dari PP No. 63 Tahun 2002.
Hutan kota memberikan berbagai fungsi diantaranya sebagai daerah
resapan air, dapat menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik
kota, memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, dan dapat
mendudukung pelestarian keanekaragaman hayati. Hutan kota juga dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti olah raga, rekreasi, pariwisata alam,
pendidikan, penelitian dan pengembangan, pelestarian plasma nutfah, dan budaya
hasil hutan bukan kayu. Hal ini dapat dilakukan selama tidak mengganggu fungsi
hutan kota.
Lapangan olah raga juga merupakan RTH karena berfungsi sebagi wadah
olah raga, tempat bermain, sarana interaksi dan sosialisasi, pertemuan, serta untuk
meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya. Lapangan olah raga di Kota
Gorontalo digunakan untuk berbagai aktivitas olah raga seperti sepak bola dan
atletik. Luas RTH lapangan olah raga sebesar 6,94 hektar. Sementara jalur hijau
jalan merupakan RTH yang terdapat di jalur jalan di sepanjang jalan John Ario
Katili dan Jusuf Dali seluas 1,96 hektar yang memiliki fungsi utama sebagai
pelindung atau budidaya.
Fasilitas umum seperti ruang terbuka hijau ini telah memberikan dampak
positif terhadap pertumbuhan penduduk di Kota Gorontalo. Namun jika dilihat
51
penyebaran dan jumlah penduduk Kota Gorontalo yang terus mengalami kenaikan
maka dampak yang timbul adalah makin berkurangnya luas RTH. Dari data di
atas, penduduk pada tahun 2004 sejumlah 148.080 jiwa dengan luas wilayah
sebesar 64.79 Km2 sehingga kepadatan penduduk menjadi 2.286 jiwa/Km2.
Kenaikan ini dapat dilihat dari tahun ketahun, dan data terakhir pada tahun 2011
jumlah penduduk Kota Gorontalo menjadi sebesar 194.153 jiwa dengan kepadatan
penduduk mencapai 2.996 jiwa/Km2..
Kenaikan jumlah penduduk ini harus segera diantisipasi oleh pemerintah
daerah kota Gorontalo. Perlu adanya sosialisasi dan regulasi tentang pengelolaan
dan pengawasan terhadap RTH. Pada titik-titik pengamatan yang dilakukan di
lokasi perlu adanya aturan untuk penggunaan fasilitas pendukung ruang terbuka
hijau. Dari perbandingan luas total RTH dengan luas kawasan kota Gorontalo,
dapat dikatakan cukup berimbang dengan pertumbuhan penduduk, dimana Kota
Gorontalo memiliki RTH privat seluas 14,27 hektar dan RTH publik seluas
1014,39 hektar. RTH untuk kota Gorontalo dibangun dengan mengacu pada
Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No.26 Tahun 2007 bahwa Ruang
Terbuka Hijau (RTH) minimal mencapai 30 persen dari wilayah kota (20 persen
untuk RTH publik dan 10 persen untuk RTH privat). Sebelum UU ini keluar,
Mendagri juga sudah menelurkan Permendagri No.1 Tahun 2007 yang mengatur
RTH lebih kecil yakni 20 persen.
Akan tetapi, khusus untuk jalur hijau bantaran sungai Bolango, sungai
Tamalate dan sungai Bone perlu adanya penertiban dan aturan untuk
pembangunan kawasan permukiman. Pembangunan kawasan permukiman di
52
sepanjang jalur hijau kawasan sungai selain merusak ruang terbuka hijau, juga
mengancam jiwa yang berada di kawasan tersebut. Pemilihan jenis pohon yang
ditanam di kawasan bahu (pinggiran) jalan pun harus lebih selektif, hal ini untuk
menghindari bahaya terhadap pejalan kaki dan pengguna jalan lainnya.
Lain halnya dengan Kabupaten Bone Bolango yang memiliki luas kawasan
hutan yang cukup luas dan jumlah kepadatan penduduk yang belum tinggi.
Keberadaan kawasan hutan ini menjadikan kabupaten Bone Bolango merupakan
daerah hijau. Namun, saat ini terdapat konflik pemanfaatan sumberdaya alam
(emas) antara masyarakat penambang dengan pihak pengelola kawasan Taman
Nasional Bogani-Nani Wartabone. Konflik ini berpengaruh terhadap keberadaan
hutan sebagai kawasan hijau yang ada di Kabupaten Bone Bolango.
Taman nasional atau kawasan konservasi yang diatur dalam UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, hanya diperuntukkan sebagai kawasan penyangga
kehidupan karena dapat difungsikan sebagai penyimpan sumberdaya air,
penghasil O₂, dan kawasan penelitian. Kenyataannya sebagian kawasan sudah
dimasuki penduduk dan bermukim serta melakukan aktivitas penambangan emas
liar. Pasca tahun 2010 melalui usulan perubahan RTRW lebih kurang 15.000 ha
kawasan Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone diubah statusnya menjadi
Hutan Produksi Terbatas. Data luas kawasan hutan yang menjadi RTH di
Kabupaten Bone Bolango seperti pada Gambar 4.3. berikut :
53
RTH di Wilayah Kabupaten Bone Bolango
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
LUAS (ha)
PERSENTASE
0
Taman
Nasional
(TN)
Hutan
Lindung
(HL)
Hutan
Produksi
Terbatas
109,49
25,45
4,917
Areal
Luas
Hutan
Penggunaan Kawasan
Produksi
Lain
Hutan
2,807
45,342
58,23750306
13,53680202
2,615342064
1,49303745624,1173154
188,006
100
Gambar 4.3. Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Bone Bolango
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa kawasan hutan di Kabupaten Bone
Bolango memiliki luas 188.006 ha. Luas ini cukup mendukung Kabupaten Bone
Bolango untuk tetap mempertahankan RTH sebagai paru-paru Bone Bolango.
Selain itu di wilayah Kabupaten Bone Bolango memiliki danau Perintis sebagai
daerah tangkapan air, daerah terbuka hijau dan sebagai asset daerah untuk
pengembangan pariwisata.
Pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Bone Bolango banyak
dipengaruhi oleh migrasi penduduk yang berasal dari Provinsi Sulawesi Utara
seperti Kabupaten Bolaang Mongondow, migrasi atau perpindahan penduduk ini
banyak dipengaruhi oleh keberadaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh
Kabupaten Bone Bolango. Migrasi menyebabkan terbukanya kawasan hutan yang
merupakan kawasan hijau untuk daerah Kabupaten Bbone Bolango. Angka laju
kelahiran juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh. Penduduk Bone
54
Bolango bersifat homogen karena masih memiliki keterkaitan darah yang cukup
dekat satu sama lain.
4.2.2. Kebutuhan Udara Bersih dan Pencemaran Udara
Kebutuhan udara bersih adalah udara yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup di muka bumi, udara yang mengandung oksigen (O2) yang
dibutuhkan untuk proses fisiologis dan biologis secara alamiah. Planet bumi pada
prinsipnya kaya akan Oksigen (O2) namun keberadaan oksigen ini harus tetap
dijaga dan dipelihara terkait kebersihanya. Dengan menjaga kualitas udara di
planet bumi ini maka secara tidak langsung kita peduli akan kehidupan yang
berkelanjutan.
Dalam kehidupan kita sekitar 99% udara yang kita hirup adalah gas
nitrogen (N2) dan oksigen (O2). Kita juga menghirup gas lain dalam jumlah yang
sangat sedikit, dalam gas tersebut termasuk gas pencemar. Di daerah perkotaan
yang ramai, gas pencemar berasal dari asap kendaraan, gas buangan pabrik,
pembangkit tenaga listrik, asap rokok dan sebagainya yang erat hubungannya
dengan aktivitas kehidupan manusia.
Dalam lapisan atmosfer bumi banyak terdapat gas yang melapisi bumi dan
terbagi dalam beberapa lapisan. Lapisan troposfer (tebalnya 17 Km di atas
permukaan bumi) mengandung udara yang kita hirup yaitu 78% nitrogen (N2),
21% oksigen (O2) dan sisanya gas argon <1% dan CO2 0,035%. Terdapat juga uap
air (H2O) sekitar 0,01% di daerah subtropis dan sekitar 5% di daerah tropis yang
lembab.
55
Bahan kimia di udara yang berpengaruh negatif pada makhluk hidup
dikategorikan sebagai pencemar udara. Banyak jenis pencemar udara, tetapi yang
penting ada 5 jenis yaitu:
-
Ozone (O3)
-
Oksida karbon (CO, CO2)
-
Oksida belerang (SO2, SO3)
-
Oksida nitrogen (NO, NO2, N2O)
-
Partikel (debu, asam, timbal, pestisida dsb.)
Masing-masing bahan pencemar udara tersebut diklasifikasikan sebagai
pencemar udara primer (misalnya SO2) dan sekunder (misalnya H2SO4). Bahan
pencemar udara tersebut melayang di udara selama beberapa waktu bergantung
dari diameter partikelnya. Partikel yang sangat halus berbahaya pada kehidupan
karena dapat meresap paru dan juga pembawa substansi toksik penyebab kanker.
Bahan pencemar dan partikel debu di udara ini menjadi salah satu masalah
yang terjadi di daerah perkotaan, tidak terkecuali di Kota Gorontalo. Kepadatan
penduduk dengan tingkat kebutuhan yang makin meningkat menyebabkan daerah
kota Gorontalo semakin ramai. Jumlah penduduk kota Gorontalo selain
mempunyai pekerjaan tetap seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan swasta tetapi
memiliki sampingan seperti usaha transportasi yang disebut Bentor (bendi-motor).
Jenis bentor yang berada di Kota Gorontalo dan seluruh wilayah di Provinsi
Gorontalo disajikan pada gambar 4.4. sebagai berikut.
56
Gambar 4.4. Kendaraan bermotor di kota Gorontalo
Gambar 4.4. Model Bentor di Gorontalo
Dari Gambar 4.4 di atas, Kota Gorontalo belum termasuk kota yang padat
akan kenderaan bermotor seperti kota-kota besar yang berada di wilayah
Indonesia. Namun fenomena kendaraan bermotor seperti bentor yang merupakan
angkutan umum hasil modifikasi penduduk Gorontalo, ternyata tingkat pembelian
motor untuk wilayah Kota Gorontalo sangat tinggi (hasil wawancara dengan salah
satu showroom sepeda motor). Setelah dilakukan pengamatan dan survey ternyata
sepeda motor ini dijadikan alat transportasi bentor. Pengambilan dengan system
kredit dengan uang muka rendah ini memicu masyarakat untuk membeli dan
menjadikannya bentor. Selain itu tidak sedikit bentor yang menggunakan mesin
keluaran tahun 1980 hingga 1990, mesin yang demikian menghasilkan emisi gas
buang (karbon) yang tinggi. Menurut hasil pendataan dan survey lapangan,
diperoleh jumlah kenderaan bermotor khusus yang beroperasi di Kota Gorontalo
kurang lebih 100 ribu unit terdiri dari bentor, motor dan mobil.
Mobilitas penduduk yang besar dengan menggunakan moda transportasi
kendaraan bermotor yang padat di perkotaan telah mengakibatkan emisi gas
57
buang kendaraan bermotor yang tinggi ke udara, selain partikel debu. Dengan
banyaknya alat transportasi kendaraan bermotor di Kota Gorontalo menyebabkan
terganggunya kualitas udara.
Tetapi pencemaran udara yang terjadi di kota Gorontalo bukan hanya
berasal dari kendaraan bermotor tetapi dari hasil pembakaran sampah di tempattempat tertentu. Pembakaran sampah sering terlihat di lingkungan pasar
tradisional dan terminal. Akibatnya kualitas udara khususnya di wilayah Kota
Gorontalo cenderung terganggu. Data yang diperoleh, pada prinsipnya
pencemaran udara belum melewati batas ambang baku mutu, tetapi data ini bukan
menjadi patokan akan bersihnya udara di Kota Gorontalo. Perlu adanya
pengawasan dan pengukuran setiap 2 tahun sekali untuk mengetahui tingkat
pencemaran di Kota Gorontalo. Data yang di peroleh melalui Balihristi Gorontalo
seperti yang disajikan pada Tabel 4.5. sebagai berikut.
Tabel 4.5 Kualitas Udara di wilayah Kota Gorontalo
Titik Pantau
Kantor Pemukiman Pasar Terminal
Walikota
Awara
Sentral
1942
No
Parameter
Baku
Mutu
1
SO₂
900 µg/m³
45
22
45
42
2
CO
30000
µg/m³
9873
4216
19265
8226
3
NO₂
400 µg/m³
21.6
16.8
21.6
18.4
4
O₃
235 µg/m³
58
36
97
39
Sumber : Balihristi, 2011
Dari Tabel 4.5 di atas memberikan gambaran bahwa walaupun terjadi
peningkatan penduduk dari tahun ke tahun di Kota Gorontalo tetapi belum
memberikan dampak negatif terhadap kualitas udara di wilayah Kota Gorontalo.
58
Namun, pemerintah Kota Gorontalo harus melakukan upaya pembatasan
kepemilikan kenderaan bermotor bagi setiap penduduk yang berada di Kota
Gorontalo. Pembatasan ini untuk menghindari peningkatan jumlah penduduk,
yang diikuti dengan kepemilikan kendaraan bemotor untuk 1 jiwa akan lebih dari
satu kendaraan bermotor.
Selain itu perlu pengendalian pengambilan pasir gunung dari beberapa
lokasi tebing di Kota Gorontalo. Kegiatan ini selain menyebabkan erosi sehingga
berakibat banjir, juga meningkatnya partikel debu yang mengganggu pernapasan.
Upaya ini harus dibuatkan regulasi dan pengawasannya.
Kondisi wilayah Kota Gorontalo tidak jauh berbeda dengan Kabupaten
Bone Bolango. Kondisi geografis dan letak kedua daerah yang berbatasan,
menjadikan kabupaten Bone Bolango adalah daerah yang lebih dekat dengan
akses informasi tentang ibukota provinsi Gorontalo. Tingkat pencemaran masih
banyak di pengaruhi oleh sisa pembakaran kendaraan bermotor. Hasil pengukuran
yang dilakukan Balihristi Provinsi Gorontalo terhadap parameter SO2, CO, NO2
dan O₃ dengan mengambil titik pengukuran berada di Kawasan kantor Bupati
Bone Bolango, Desa Oluhuta dan Desa Bubeya disajikan pada Tabel 4.6 sebagai
berikut.
59
Tabel 4.6. Kualitas Udara di Kabupaten Bone Bolango
No Parameter
1
SO₂
2
CO
3
NO₂
4
O₃
Baku
Mutu
900
µg/m³
30000
µg/m³
400
µg/m³
235
µg/m³
Kantor
Bupati
Titik Pantau
Desa
Oluhuta
Desa
Bubeya
26
52
27
10836
8228
8428
45.9
24.22
17.9
39
97
78
Sumber: Balihristi, 2011
Dari Tabel 4.6. di atas diperoleh hasil yang beragam tetapi tidak menonjol
untuk satu titik pantau dari setiap parameter. Penyebab lain pencemaran udara di
kabupaten Bone Bolango adalah pembakaran jerami sisa hasil panen di kawasan
pertanian. Kabupaten Bone Bolango sendiri memiliki areal pertanian yang cukup
luas. Fenomena pembakaran Jerami Hasil Panen seperti terlihat pada Gambar 4.5.
sebagai berikut.
Gambar 4.5. Pembakaran Jerami di Persawahan
Dari Gambar 4.5 di atas seharusnya pembakaran jerami tidak perlu
dilakukan oleh para petani, sebab hal inilah yang dapat menimbulkan pencemaran
60
udara, mengurangi jarak pandang serta mengganggu pernapasan dan kesehatan
mata penduduk. Dari hasil pengamatan di lapangan, sebagian luas kabupaten
Bone Bolango memiliki daerah persawahan yang cukup luas tersebar di beberapa
kecamatan seperti Kecamatan Kabila, Tapa dan Suwawa. Adanya pertambahan
penduduk di Kabupaten Bone Bolango menyebabkan meningkatnya aktivitas
masyarakat, pembukaan kawasan hutan yang diikuti dengan pembakaran lahan
untuk pemukiman dan ladang sehingga menyebabkan kualitas udara di wilayah
Kabupaten Bone Bolango terganggu. Luas lahan terutama areal persawahan di
Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo makin menyempit akibat
pembangunan gedung baik oleh instansi pemerintah, fasilitas umum maupun
permukiman penduduk.
4.2.3. Manajemen Keterpaduan Kawasan DAS
Dalam pengelolaannya, daerah aliran sungai (DAS) hendaknya dipandang
sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat, sehingga pengelolaan DAS yang bijak
hendaklah didasarkan pada hubungan antara kebutuhan manusia dan ketersediaan
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengelolan dan pengawasan
sumberdaya alam merupakan tugas masyarakat yang bermukim di suatu wilayah.
Sumberdaya alam merupakan kebutuhan pokok manusia dan menjadi suatu
keharusan untuk menjaganya, manakala sumberdaya tersebut tidak lagi
mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah maka
dampaknya akan kita rasakan.
Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah sering menimbulkan dampak
negative terhadap lingkungan biofisik ekosistem DAS. Jika ekosistem DAS
61
terganggu maka sumberdaya akan berkurang dan tidak mencukupi kebutuhan
manusia. Pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaikbaiknya dari segi ukuran fisik, teknis, ekonomi, sosial budaya maupun keamanankemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS
melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan.
Kota Gorontalo diapit oleh dua DAS besar yang ada di Provinsi Gorontalo.
Pertama, DAS Bolango yang menjadi batas topografi antara Kota Gorontalo dan
Kabupaten Gorontalo melintasi 3 (tiga) daerah yaitu Kabupaten Bone Bolango,
Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo. Kedua, DAS Bone yang bermuara di
Kota Gorontalo (teluk Tomini) dengan kawasan hulu yang terdapat di Kabupaten
Bone Bolango. Pertumbuhan penduduk di kota Gorontalo membutuhkan areal
untuk permukiman dan fasilitas umum lainnya. Penduduk lebih memilih untuk
membangun kawasan pemukiman di jalur hijau dan bantaran sungai,
menyebabkan terganggunya jalur hijau bantaran sungai Bone dan sungai Bolango.
Aktivitas lain yang dilakukan masyarakat terhadap sungai adalah tempat
MCK, dan membuang sampah ke badan sungai. Sungai dipandang sebagai tempat
yang gratis dan mudah untuk membuang sampah rumah tangga. Hal ini dapat
menimbulkan tercemarnya air sungai dan rusaknya ekosistem sungai. Demikian
halnya dengan aktivitas pembangunan gedung dan sarana lain yang banyak
menggunakan material batuan dan pasir yang berasal dari sungai Bone dan
Bolango. Pengerukan pasir di badan sungai mengakibatkan kekeruhan air,
meluasnya bantara kali dan berakibat meluasnya areal banjir.
62
Manajemen pengelolaan DAS untuk wilayah kota Gorontalo harus
terintegrasi dan terencana serta melibatkan semua stakeholder, berbasis
kepentingan masyarakat umum. Tujuan dalam pengelolaan DAS ialah
mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan
kemampuanya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam dan yang
berkembang menurut waktu. Dalam ungkapan “sesuai dengan kemampuannya”
tersirat pengertian selaras dan
lestari. Ungkapan “manfaat lengkap” dan
“kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang menurut
waktu” mengisyaratkan bahwa (1) hasil keluaran DAS tidak boleh tunggal, akan
tetapi harus terdiri atas berbagai hasil luaran yang optimum, dan (2) rencana
pengelolaan harus bersifat lentur (flexible) yang berisi sejumlah alternatif.
Peta daerah aliran sungai Bone-Bolango yang mengapit wilayah Kota
Gorontalo disajikan pada Gambar 4.6 sebagai berikut;
Sumber; Data dimodifikasi dari temuan Asda Rauf (2012)
Gambar 4.6. Peta Kawasan DAS Bone Bolango
63
Dari hasil analisis Gambar 4.6 di atas, rencana pengelolaan DAS Bone dan
DAS Bolango dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan pengelolaan hulu
mencakup seluruh daerah tadah atau daerah kepala sungai. Satuan pengelolaan
hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Di wilayah
Kota Gorontalo kondisi DAS Bone telah mencapai titik jenuh dalam menampung
kapasitas air hujan. Rusaknya jalur hijau kawasan sungai Bone akibat aktivitas
penduduk menyebabkan terjadinya abrasi tepi sungai.
Bagian hilir sungai Bone yang bermuara di Teluk Tomini terjadi
pendangkalan akibat muatan sedimen yang dibawa dari kawasan dan akibat
aktivitas masyarakat. Kawasan hilir sungai Bone yang merupakan wilayah
estuaria (tempat memijah dan bertelur ikan) sudah terganggu, akibat lain dari
pendangkalan bagian hilir sungai Bone adalah aktivitas bongkar muat kapal laut
terganggu. Hal ini terbukti di lapangan banyak kapal yang akan merapat atau
bersandar di pelabuhan hanya ketika air pasang. Aktivitas yang terjadi di muara
Sungai Bone disajikan pada Gambar 4.7 sebagai berikut.
Sumber; http://www.google.co.id/search?q=peta+das+bone+bolango
Gambar 4.7. Aktivitas Yang Terjadi Di Muara Sungai Bone
64
Tujuan pengelolaan DAS Bone bagian hilir adalah: a) mencegah atau
mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan sehingga tidak merusak
dan menurunkan kemampuan lahan. b) memperbaiki pengaturan (drainage) lahan
untuk kawasan pemukiman. (3) meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber
air tersediakan. (4) meliorasi tanah, termasuk memperbaiki daya tanggap tanah
terhadap pengairan, dan jika perlu juga reklamasi tanah atas tanah-tanah garaman,
alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah.
Wilayah Kabupaten Bone Bolango merupakan kawasan hulu DAS Bone
dan DAS Bolango. Keterpaduan manajemen pengelolaan daerah aliran sungai
Bone-Bolango seharusnya terintegrasi antara dua wilayah yaitu Kabupaten Bone
Bolango dan Kota Gorontalo. Kawasan hulu sungai merupakan sumber penyedia
air dan oksigen. Untuk mengantisipasi aktivitas yang dilakukan penduduk di
sepanjang jalur hijau sungai Bone dan Bolango, maka pemerintah Kabupaten
Bone Bolango perlu mengontrol aktivitas yang dilakukan penduduk.
Keterpaduan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai harus dilaksanakan
melalui
pendekatan
ekosistem,
sehingga
membawa
implikasi
dalam
penanganannya yang mengharuskan adanya keterpaduan dalam pengelolaan.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara terpadu (Ahmadjayadi, 2001) adalah :
a. Terdapat keterkaitan berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumber
daya alam dan pembinaan aktifitas manusia dalam penggunaannya.
b. Melibatkan berbagai disiplin ilmu
c. Melibatkan berbagai sektor.
65
Sistem pengelolaan sumber DAS dalam rangka desentralisasi yang
utuh dan bulat pada daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada perencanaan secara
bottom up. Perencanaan ini bertitik tolak dari peran serta stakeholder dalam forum
koordinasi perencanaan, pengaturan pembangunan dan perlindungan dan
perlindungan sumberdaya air di wilayah sebagai berikut:
1. Tingkat Masyarakat
a. Persepsi masyarakat terhadap DAS sebagai suatu system (keterkaitan
antara bagian hulu dan bagian hilir)
b. Peran serta masyarakat dalam proses pelestarian sumber daya alam dan
pengelolaan sumber daya air.
c. Hak dan kewajiban dan pemerintah (daerah dan pusat) dalam
pengelolaan sumber daya air.
2. Tingkat Kabupaten/Kota
a. Instansi atau leading sector yang dianggap kompeten dalam
pengelolaan DAS.
b. Model kelembagan dan bentuk peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS
c. Tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan DAS
d. Pengelolaan DAS lintas daerah/kabupaten
e. Penyelenggaraan operasional pengelolaan DAS
3. Tingkat Provinsi
a. Instansi yang dianggap kompeten dalam pengelolaan DAS
66
b. Model kelembagaan dan bentuk peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS
c. Tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan DAS
d. Pengelolaan DAS lintas daerah dan provinsi
e. Penyelenggaraan pengelolaan DAS dari aspek manajemen seperti
(perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/pengendalian, monitoring dan
evaluasi)
Upaya untuk mencegah banjir yang sering terjadi di kota Gorontalo
dengan membuat kanal adalah langkah awal untuk mengatur system pengairan di
sepanjang sungai Bone dan sungai Tamalate. Menurut Roy & Arora (1973)
faktor-faktor yang berdaya (affect) atas program pengelolaan daerah tadahan atau
DAS hulu ialah (1) bentuk dan luas daerah tadahan, (2) lereng dan timbulan
makro (3) keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4) intensitas,
jangka waktu curah hujan (5) rupa dan mutu vegetasi penutup, (6) penggunaan
lahan terkini.
Perlakuan terhadap DAS Bone dan Bolango di bagian hulu merupakan
bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS, karena hal itu akan
menentukan keuntungan yang dapat diperoleh atau kesempatan yang terbuka
dalam pengelolaan DAS hilir. Fenomena yang terjadi di kawasan hulu DAS Bone
adalah pembukaan lahan akibat meningkatnya jumlah penduduk yang masuk
dalam kawasan hutan. Aktivitas yang dilakukan penduduk seperti; membuat
pemukiman permanen, pembukaan lahan pertanian dan penambangan emas liar
secara tradisonal. Dampak yang timbul akibat aktivitas masyarakat ini adalah
67
terbukanya kawasan, rusaknnya system hidrologi air dan terjadi pencemaran di
badan sungai akibat penambangan emas liar yang menggunakan logam berat
mercury (Hg). Pengelolaan DAS hulu sungai Bone akan menentukan seberapa
besar dampak yang akan ditimbulkan di bagian hilir sungai wilayah kota
Gorontalo. Aktivitas penduduk yang membuka lahan dikawasan hulu DAS Bone
disajikan pada Gambar 4.8 berikut;
Sumber: Penelitian tim UNG, 2008
Gambar 4.8. Aktivitas Yang Berlangsung Di Bagian Hulu DAS Bone
Aktivitas pada gambar 4.8 di atas berlangsung hingga saat ini, bahkan
sudah menjadi konflik yang berdampak pada kondisi sosial, kebutuhan ekonomi
dan kelestarian lingkungan.
4.2.4. Ketersediaan Air Bersih dan Pencemaran air
Air adalah zat atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang
diketahui sampai saat ini di bumi. Tubuh manusia terdiri dari 55% sampai 78%
air, tergantung dari ukuran tubuh. Ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan
68
sehari-hari merupakan masalah yang sering dihadapai oleh setiap manusia, baik
pada musim penghujan maupun musim kemarau. Ketersediaan sumber air sangat
sulit, warga perkotaan memperoleh air bersih lebih bergantung pada PDAM
daripada mata air alami atau warga memperoleh dengan membeli air.
Sulitnya sumber air di daerah tertentu dapat juga disebabkan kondisi fisik
wilayahnya berupa perbukitan dengan batuan yang keras, batu cadas, sehingga
tidak mudah bagi penduduk untuk membuat sumur. Air dari mata air mengandung
unsur-unsur kimia seperti Na, Mg, Ca, Fe, O2, selain itu air sering mengandung
bakteri/mikroorganisme lainnya. Air yang mengandung bakteri/ mikroorganisme
tidak dapat langsung digunakan sebagai air minum, tetapi harus diprosses atau
direbus terlebih dahulu.
Peningkatan kuantitas air adalah syarat kedua setelah kualitas, karena
semakin maju tingkat hidup seseorang makin meningkat pula kebutuhan air
(Totok, 2004). Untuk itu, berbagai lembaga di pedesaan telah mengelola sumber
mata air dengan cara dibuatkan bak penampungan air yang kemudian dialirkan ke
rumah penduduk.
Ada tiga sumber air yang paling banyak ditemukan, yakni air permukaan,
air tanah dan air hujan. Pertama; air permukaan adalah air hujan yang mengalir di
permukaan bumi. Pada umumnya air permukaan ini mendapat pengotoran selama
pengalirannya, misalnya oleh lumpur, batang-batang kayu, daun-daun, dan
sebagainya. Air permukaan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama,
yaitu: 1) perairan tergenang, dan 2) badan air mengalir. Kedua; air tanah
merupakan air yang berada di bawah permukaan tanah. Air tanah merupakan
69
sumber utama, tapi bukan satu-satunya sumber air minum karena itu kelayakan air
tanah tersebut menjadi persoalan utama. Air tanah adalah air yang keluar dengan
sendirinya kepermukaan tanah. Mata air yang berasal dari tanah dalam, hampir
tidak terpengaruh oleh musim dan kuantitas/ kualitasnya sama dengan keadaan air
dalam (Sutrisno, 2004). Ketiga; air hujan berupa hasil proses alami melalui siklus
hidrologi air, baik melalui proses infiltrasi secara langsung maupun tidak langsung
dari ais sungai, danau rawa, dan genangan air lainnya. Pada saat infiltrasi ke
dalam tanah, air permukaan mengalami kontak dengan mineral-mineral yang
terdapat di dalam tanah dan melarutkannya, sehingga kualitas air mengalami
perubahan karena terjadi reaksi kimia. Kadar oksigen yang masuk ke dalam tanah
menurun, digantikan oleh karbondioksida yang berasal dari proses biologis, yaitu
dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam air tanah.
Penduduk Kota Gorontalo lebih banyak bergantung pada penyediaan air
bersih dengan menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Tetapi
untuk wilayah tertentu, penduduk masih menggunakan sumur gali dan sumur
suntik. Ketersediaan air bersih utamanya untuk kebutuhan air minum di wilayah
Kota Gorontalo sudah menjadi kebutuhan pokok. Pengelolaan air bersih yang
dilakukan PDAM sering tidak mampu melayani seluruh jumlah penduduk Kota
Gorontalo.
Hasil observasi lapangan di beberapa tempat di wilayah kota Gorontalo
mengeluhkan tentang sistem pelayanan PDAM. Pada hari-hari tertentu air dari
PDAM tidak mengalir karena kapasitas (beban puncak) pemakain yang terlalu
banyak. Pada tahun 90an, pelayanan PDAM untuk penduduk Kota Goorntalo
70
masih mencukupi, tetapi mulai pada tahun 2000 hingga saat ini pelayanan air
bersih sering dikeluhkan. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa faktor
kepadatan penduduk yang menyebabkan ketersediaan air bersih dibatasi. Terjadi
peningkatan jumlah permohonan untuk dapat menggunakan jasa PDAM.
Alternatif lain yang dilakukan oleh penduduk kota Gorontalo dengan
memasang sumur suntik. Konsekwensi dari pemasangan sumur suntik dengan
menggunakan mesin pompa air yang terhubung dengan aliran listrik, sehingga
berdampak pada tagihan listrik makin meningkat. Alternatif yang sangat
sederhana dengan dampak atau konsekwensi sangat kecil yaitu dengan membuat
sumur gali.
PDAM kota Gorontalo sendiri menggunakan sungai Bone sebagai sumber
pemasuk air. Kehawatiran yang di keluhkan oleh penduduk kota Gorontalo adalah
pencemaran yang terjadi di sungai Bone akibat adanya aktivitas penambangan
emas liar di wilayah hulu sungai Bone. Pertambangan emas liar ini dikelola oleh
masyarakat dengan menggunakan mercury (Hg).
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Balihristi (2009) terhadap indeks
pencemar, kualitas air di sepanjang hulu hingga hilir sungai Bone berada pada
status tercemar ringan, hal ini sebagaimana diatur dalam PP Nomor 82 Tahun
2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pemantauan terhadap parameter fisik dan biologi air sungai Bone menunjukan
bahwa pH berada pada taraf ringan kriteria mutu air kelas I dan II (7,25).
Demikian halnya konsentrasi yang terukur pada titik sampling BOD (0,63 mg/l),
Chemical Oxygen Demand (COD) 0.58 mg/l, konsentrasi zat padat (Total
71
Suspended Solid) tergolong rendah 13 mg/l, NO2 <0.01, NO3 (nitrat) 0.33 ml/g
dan NH3, 0.05 persen. Konsentrasi fecal coli dan total coliform air masih
tergolong rendah. Status Mutu Air Di Provinsi Gorontalo disajikan pada Tabel 4.7
dan 4.8 sebagai berikut;
Tabel 4.7. Status Mutu Air di Provinsi Gorontalo
No
Lokasi Sampling
Status Mutu
Kelas 1
Kelas 2
1 Bagian Hulu
Cemar Ringan
Cemar Ringan
2 Bagian Tengah
Cemar Ringan
Cemar Ringan
3 Bagian Hilir
Cemar Sedang
Cemar Ringan
1 Bagian Hulu
Cemar Ringan
Cemar Ringan
2 Bagian Tengah
Cemar Ringan
Cemar Ringan
3 Bagian Hilir
Cemar Ringan
Cemar Ringan
1 Bagian Hulu
Cemar Ringan
Cemar Ringan
2 Bagian Tengah
Cemar Ringan
Cemar Ringan
3 Bagian Hilir
Cemar Sedang
Cemar Ringan
1 Bagian Hulu
Cemar Ringan
Cemar Ringan
2 Bagian Tengah
Cemar Ringan
Cemar Ringan
3 Bagian Hilir
Cemar Sedang
Cemar Ringan
Kualitas Air Sungai Paguyaman
Kualitas Air Sungai Bone
Kualitas Air Sungai Buladu
Kualitas Air Sungai Taluduyunu
Sumber : Balihristik Provinsi Gorontalo, 2012
72
Tabel 4.8. Hasil Uji Kualitas Air Sungai Bolango
HASIL UJI KUALITAS AIR SUNGAI BOLANGO
(Peraturan Pemerintah No : 82 /2001)
Bagian ; Hilir
No Parameter
Satuan
No Parameters
Units
A.
B.
Hasil
Batas Maksimum yg diperbolehnkan Spesifikasi Metode
Pemeriksaan
Maximum Limit
Test Result
Class I Class II Class III Class IV
Method Spesification
FISIKA / PHYSICAL
1 Daya hantar listrik /Conduktivity
2 Zat Padat Terlarut / Total Dissolved Solid
uS/Cm
74
(-)
(-)
(-)
(-)
Pemuaian
mg/l
410
1000
1000
1000
2000
Gravimetrik
3 Zat Padat Tursuspensi / Total Suspended Solid
mg/l
27
50
400
400
400
Gravimetrik
KIMIA / CHEMICAL
1 DO / Dissolved Oxygen
2 BOD / Biological Oxygen Demand
mg/l
5.41
6
4
3
0
Winkler
mg/l
1.08
2
3
6
12
Winkler
3 COD / Chemical Oxygen Demand
4 Raksa / Merqury (Hg)
mg/l
2.69
10
25
50
100
Titrimetri
mg/l
<0.001
0.001
0.002
0.002
5 Amoniak / Ammonia as N
6 Nitrat / Nitrate as N
mg/l
0.15
0.5
(-)
(-)
(-)
Kolorimetrik
mg/l
0.38
10
10
10
20
Kolorimetrik
7 Nitrit / Nitrite as N
mg/l
<0.01
0.06
0.06
0.06
(-)
APHA (Section 4500-NO2-B),2005
8 pH
9 Phospor / Phospor (P)
-
7.25
6-9
6-9
6-9
6-9
SNI 06 -6989,11 2004
mg/l
<0.15
(-)
(-)
(-)
(-)
Kolorimetrik
mg/l
9.93
400
(-)
(-)
(-)
mg/l
<0.01
0.03
0.03
0.03
1
APHA (Section 4500-SO42-E),2005
2
APHA (Section 4500-SO4 -E),2005
12 Phenol / Fenolik
13 Minyak & Lemak / Oil & Grease
mg/l
<0.1
1
1
1
(-)
Kolorimetrik
mg/l
<0.1
1000
1000
1000
(-)
Gravimetrik
14 Deterjen ./ Detergent (LAS)
mg/l
<0.1
200
200
200
(-)
Kolorimetrik
10 Sulfat / Sulfate (SO4)
11 Timbal / Lead (Pb)
3
0.005 Atomisasi
Sumber : Balihristi, Profil Sungai Gorontalo, 2008
Lain halnya dengan penduduk Kabupaten Bone Bolango, dimana sebagian
masyarakatnya lebih banyak menggunakan air yang bersumber dari sumur gali.
Pengguna air PDAM kurang lebih 685 dari jumlah penduduk kabupaten Bone
Bolango. Untuk wilayah tertentu seperti kecamatan Kabila, Kecamatan Tapa dan
Suwawa sebagian masyarakatnya menggunakan air PDAM. Perkembangan
jumlah penduduk dan peningkatan ekonomi yang terjadi di kabupaten Bone
Bolango memicu meningkatnya permintaan pemasangan jasa PDAM. Konsumsi
air minum di Kabupaten Bone Bolango disajikan pada Tabel 4.9 sebagai berikut.
73
Tabel 4.9 Jenis Penggunaan Air di Kabupaten Bone Bolango
Jenis Penggunaan Air
Perusahaan air minum
Air Tanah
Air Sungai
Air Hujan
Air Kemasan
Mata air
dan lainnya
Prosentase (%)
68
20
3
0.5
7
1.2
0.3
100
%
%
%
%
%
%
%
%
Sumber; BLH-SLHD Bone Bolango, 2012
Pemerintah Kabupaten Bone Bolango lebih memprioritaskan penanganan
dan rehabilitasi sumber-sumber mata air untuk keberlanjutan siklus hidrologi air.
Tekanan penduduk yang setiap tahun meningkat akan menuntut ketersediaan air
bersih yang cukup banyak. Hasil pengukuran yang dilakukan di sungai Bone
disajikan pada tabel 4.10 sebagai berikut;
Tabel 4.10. Hasil Pengukuran Kualitas Air Sungai Bone
Sat
mg/L
Baku
Mutu
200
Hasil
Analisa
80
-
6.0-9.0
8,15
Tembaga (Cu)
mg/L
2
0,0340
4
Seng (Zn)
mg/L
5
0,0440
5
Kromium Val 6
mg/L
1
0,0475
6
Kadmin (Cd)
mg/L
0,1
0,0135
7
Raksa (Hg)
mg/L
0,005
0,0008
8
Timbal (Pb)
mg/L
1
0,0091
9
Arsen (As)
mg/L
0,5
0,0056
10
Nikel
mg/L
0,5
0,2120
No
1
Parameter
TSS
2
pH
3
Metode Pengujian
SNI.06-6989.32004
SNI.06-6989.112004
SNI.06-6989.62009
SNI.06-6989.72009
SNI.6989-53-2010
Limit
Detection
0,0080
0,0072
SNI.06-6989.162009
SNI.06-2462-1991
0,0039
SNI.06-6989.82009
-
0,0056
0,0007
SNI.06-6989.182009
Sumber: Mahmud (dalam BLH-SLHD Bone Bolango, 2012)
74
Dari Tabel 4.10 di atas dapat dilihat bahwa kualitas air sungai Bone sudah
tercemar walaupun angka atau nilai yang terukur belum tercemar berat. Penyebab
tercemarnya sungai Bone banyak diakibatkan adanya aktivitas penambangan emas
liar yang menggunakan zat kimia (Hg) untuk memproses bijih emas. Pencemaran
air akibat aktivitas PETI disajikan pada Gambar 4.9. sebagai berikut.
Sumber : Foto Sukirman Rahim, 2012
Gambar 4.9. Kondisi Badan Air Akibat Aktivitas PETI
4.2.5. Penyebab Banjir
Banjir setiap tahun terjadi, penanganan banjir masih belum optimal.
Pengendalian banjir (flood control) seperti pada awalnya kemudian disebut
mitigasi banjir (flood mitigation) masih relatif sama dengan tambahan perhatian
untuk kegiatan non-struktural, dan terakhir ini disebut pengelolaan banjir (flood
management) dengan melihat lebih menyeluruh dan menekankan pentingnya
penanganan non-struktural dan social. Namun semuanya relatif masih
berkonsentrasi di sungai dengan mengaggap bahwa kalau banjir masalah
utamanya adalah di sungai.
75
Debit banjir (Q) dari waktu ke waktu meningkat terus besarannya dengan
besaran curah hujan (R) yang relatif sama. Kalaupun besaran curah hujan lebih
besar maka debitnya juga lebih besar daripada debit sebelumnya untuk curah
hujan yang sama. Daerah genangan semakin dalam atau tinggi dan semakin
meluas. Daerah yang sebelumnya tidak tergenang sejak beberapa tahun lalu
tergenang. Relatif tiap tahun ada daerah baru yang tergenang. Artinya bahwa debit
banjir dengan periode ulang (return period) 10 tahun (Q10) atau 25 tahun (Q25)
atau 50 tahun (Q+) dianggap sama saat ini dan disaat nanti. Malah dianggap 10,
25, 50 tahun depan debitnya masih sama dengan hasil hitungan hari ini, karena
curah hujan dengan periode ulang 10 tahun (R10) atau 20 tahun (R20) atau 50 tahun
(R50) memang masih relatif sama. Pendapat ini sangat keliru.
Daerah Kota Gorontalo merupakan daerah yang memiliki dataran rendah.
Dengan intensitas hujan yang tinggi sering mengakibatkan wilayah Kota
Gorontalo mengalami peningkatan debit air yang tinggi sehingga menyebabkan
banjir. Letak dan kondisi topografi wilayah Kota Gorontalo diapit oleh tiga DAS
dengan sungai terbesar yaitu sungai Bone, sungai Bolango dan Tamalate. Daya
tampung ketiga sungai yang berlebihan sering menimbulkan genangan dan banjir
di beberapa wilayah kecamatan di Kota Gorontalo. Penyebab lain dari banjir di
Kota Gorontalo adalah sistem drainase yang kurang baik.
Kita menyadari bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk maka
kebutuhan akan tempat tinggal meningkat terus sehingga pembangunan
perumahan meningkat. Lahan-lahan telah dijadikan pembangunan perkantoran
atau pusat kota dan prasarana lain seperti jalan dan lain-lain. Temuan di beberapa
76
titik pantau Kota Gorontalo, lahan telah dijadikan perumahan, telah dilakukan
tutupan perumahan atau perkerasan beton atau aspal/jalan. Penutupan lahan
dengan beton menyebabkan semakin kecil jumlah luasan lahan tempat
meresapnya air (infiltrasi) sehingga imbuhan air tanah (groundwater recharge)
semakin mengecil dan aliran limpasan air permukaan atau run off (RO) semakin
meningkat terus dari waktu ke waktu. Banjir di Kota Gorontalo sudah merupakan
hal yang biasa ketika musim penghujan tiba, seperti yang terlihat dalam Gambar
4.10.
Gambar 4.10 Bancana Banjir yang Sering Terjadi di Kota Gorontalo
Pemerintah Kota Gorontalo harus lebih memprioritaskan penanganan
masalah banjir dengan menyiapkan sistem drainase perkotaan. Penyediaan sistem
drainase tersebut harus dibebankan kepada pengembang perumahan. Sampai saat
ini program pemerintah Provinsi Gorontalo dalam hal penanganan banjir relatif
diarahkan ke sungai dengan melakukan pelebaran sungai, pembangunan tanggul
atau meninggikan tanggul, perkuatan tebing, membangun bendungan/waduk, dan
membuat banjir kanal (floodway). Program ini merupakan salah satu upaya yang
77
dilakukan oleh pemerintah daerah selain melakukan sosialisasi tentang
keberadaan lingkungan sekitar.
4.2.6. Penumpukan Sampah dan Limbah Rumah Tangga
Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan gaya hidup
masyarakat telah meningkatkan jumlah timbulan sampah, jenis, dan keberagaman
karakteristik sampah. Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap berbagai jenis
bahan pokok dan hasil teknologi serta meningkatnya usaha atau kegiatan
penunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga memberikan kontribusi yang
besar terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan. Meningkatnya
volume timbulan sampah memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah yang
tidak mempergunakan metode dan teknik pengelolaan sampah yang ramah
lingkungan selain akan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
juga akan sangat mengganggu kelestarian fungsi lingkungan baik lingkungam
pemukiman, hutan, persawahan, sungai dan lautan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa
kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh,
dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: 1)
sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa
sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk
seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3) sampah
yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan,
78
seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat
kimia dan agen penyakit yang berbahaya.
Kota Gorontalo merupakan daerah penghasil sampah relative tinggi.
Jumlah penduduk dan pola konsumsi sangat berpengaruh terhadap penumpukan
sampah di Kota Gorontalo. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanjung kramat
yang selama ini di gunakan oleh warga atau penduduk Kota Gorontalo.
Pemandangan yang sering kita lihat di sudut-sudut Kota Gorontalo banyak terjadi
penumpukan sampah hasil aktivitas masyarakat. Hasil pemantauan yang
dilakukan di wilayah Kota Gorontalo penumpukan terjadi di pasar Sentral, pasar
harian seperti pasar Liluwo, pasar 45, dan pasar Talumolo. Sudut lain yang terjadi
penumpukan sampah seperti pemukiman perumnas Pulubala, perumahan Awara
Karya dan perumahan Civica.
Berdasarkan catatan Badan Lingkungan Hidup Kota Gorontalo pada Juli
hingga pertengahan Agustus 2012 terjadi peningkatan 560 kubik sampah per hari.
Padahal menurut catatan tahun sebelumnya jumlah kapasitas sampah yang
diangkut berkisar 400 kubik per hari. Pemerintah Kota Gorontalo telah
menyediakan sarana angkutan sampah kurang lebih 15 unit truk . Selain fasilitas
kendaraan pemerintah juga merekrut tenaga cleaning service (pasukan kuning).
Penyediaan fasilitas dan tenaga ini menurut BLH kota masih kurang dan belum
mampu melayani wilayah Kota Gorontalo secara keseluruhan. Untuk mendukung
fasilitas tersebut pemerintah kota menyediakan tempat pembuangan sampah
sementara (TPS) di beberapa titik Kota Gorontalo. Titik-titik TPS tersebut seperti
79
di lokasi Gelael, SMP 2 Kota Gorontalo, Mall Gorontalo, dan belakang pasar
Sentral.
Data yang di peroleh dari BLH Kabupaten Bone Bolango bahwa timbunan
sampah di wilayah tersebut terbilang tinggi. Hasil pemantauan yang di lakukan di
beberapa tempat wilayah kabupaten Bone Bolango, penumpukan sampah banyak
terdapat di pasar, sekolah dan instansi pemerintah. Data timbunan sampah
menurut kecamatan di Kabupaten Bone Bolango disajikan pada tabel 4.11.
Tabel 4.11. Timbunan Sampah Menurut Kecamatan Di Kabupaten Bone Bolango
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Kecamatan
Tapa
Bulango Utara
Bulango Selatan
Bulango Timur
Bulango Ulu
Kabila
Botupinggi
Tilongkabila
Suwawa
Suwawa Selatan
Suwawa Timur
Suwawa Tengah
Bone Pantai
Kabila Bone
Bone Raya
Bone
Bulawa
Jumlah
Titik Timbunan
Sampah
1718
1733
2428
1249
903
5251
1399.5
4142.3
2672
1199
1644.5
1429
2444
2443.8
1469
2168.5
1190.8
35484.4
Sumber: BLH Bone Bolango, 2012
Dari Tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa kecamatan yang memiliki
timbunan sampah tertinggi adalah kecamatan Tilongkabila (4142.4) dan
kecamatan Bulango Ulu yang memiliki timbunan sampah paling sedikit.
80
4.3. Prakiraan Dampak
Berdasarkan analisis pada fokus kajian di atas, dapat diidentifikasi
beberapa komponen yang akan menimbulkan perubahan mendasar (dampak
positif/negatif besar dan penting) terhadap sejumlah komponen lingkungan hidup
di Provinsi Gorontalo. Persebaran penduduk yang tidak merata memberikan
dampak akan kesenjangan sosial, tidak meratanya pembangunan ekonomi, dan
perubahan kualitas lingkungan di wilayah Provinsi Gorontalo. Peningkatan
populasi penduduk akan menyebabkan kerusakan biofisik lingkungan karena
semakin bertambah populasi manusia maka kebutuhan terhadap sumberdaya alam
hayati dan non hayati akan semakin meningkat pula.
Meningkatnya
pertumbuhan
penduduk
di
Provinsi
Gorontalo
menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau seperti areal hutan dan taman
yang berubah peruntukannya menjadi pemukiman, pertanian, perkebunan, dan
lain sebagainya. Hal ini juga memberikan dampak terutama bagi daerah-daerah di
kabupaten lainnya di Provinsi Gorontalo seperti halnya di Kabupaten Pohuwato
terjadi perambahan lahan hutan mangrove untuk pertambakan udang, demikian
halnya penggunaan lahan di pesisir Danau Limboto untuk permukiman penduduk,
bahkan perairan umum danau Limboto telah dikapling secara perorangan.
Akibat dari pemanfaatan ruang terbuka hijau untuk pembangunan telah
berdampak pada kerusakan kawasan konservasi yang ada di wilayah ini, hingga
ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati. Pertambahan penduduk dan
peningkatan konsumsi sumberdaya alam akan berdampak pada penyusutan luasan
ekosistem hutan mangrove secara dramatis. Pembukaan hutan dataran rendah
81
yang berada di Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Boalemo untuk perkebunan
kelapa sawit merupakan contoh perubahan habitat yang berdampak menurunkan
keanekaragam hayati.
Pengelolaan sumber daya alam (mineral) yang tidak ramah lingkungan
seperti Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) yang menyebabkan sungai-sungai
di Provinsi Gorontalo tercemar akibat kandungan merkuri (Hg) dari penambangan
emas tersebut, seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Gorontalo Utara
(Buladu) dan Kabupaten Bone Bolango. Bila lingkungan mengalami kerusakan
akibat kegiatan produksi, maka lingkungan tidak lagi dapat memberikan daya
dukung secara penuh dan berakibat sistem tidak akan dapat berlangsung secara
berkesinambungan. Sumber daya perikanan misalnya, akibat pertumbuhan
penduduk maka daya dukung Danau Limboto dengan sumber perikanannya
terancam punah. Mengeksplorasi secara besar-besaran berbagai ikan di Danau
Limboto menyebabkan punahnya spesies ikan tertentu.
Dengan bertambahnya penduduk perubahan lain yang bersumber dari
rusaknya kondisi biofisik lingkungan hidup di Provinsi Gorontalo berdampak
pada meningkatnya masalah kesehatan. Kondisi Kota Gorontalo dengan masalah
lingkungan hidup yang kompleks menimbulkan penyakit. Makin banyak
penduduk terpusat di Kota Gorontalo menyebabkan meningkatnya polusi,
melebihi kemampuan usaha manusia maupun alami dalam membersihkan air dan
udara. Debu dan akibat-akibat sampingan lain dari pembakaran berhubungan
langsung dengan penyakit dan kematian. Diare dan influensa adalah penyakit
yang terindikasi mendominasi penyebab kematian di Provinsi Gorontalo.
82
Komponen-komponen
lingkungan
yang
akan
terkena
dampak
negatif/positif akibat adanya kepadatan penduduk yang perlu dikelola dan
dirumuskan upaya penanggulangannya adalah sebagai berikut:
1. Lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
a.
Jenis dan sumber dampak penting
Akibat dari meningkatnya jumlah penduduk maka jenis dampak penting yang
perlu dikelola adalah lahan yang digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau.
Sumber dampak adalah kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan ruang
terbuka hijau.
b.
c.
Dampak positif yang akan di timbulkan, adalah;
Sebagai paru-paru kota,
Jalur hijau untuk menyerap karbon dan menghasikan oksigen
Penyerap dan penyimpan cadangan air tanah
Memberikan nilai estetika
Tersedianya fasilitas umum untuk tempat rekreasi.
Sarana olah raga dan kebugaran
Dampak negatif yang akan timbul jika tidak tersedia ruang terbuka hijau, atau
tidak di kelola secara baik, adalah;
Mengurangi penyerapan karbon dioksida dari polusi udara dan
pemanasan permukaan bumi
Mengurangi daerah penyerapan dan penyimpan cadangan air tanah
Dapat merusak tatanan dan pemandangan sudut kota
Menimbulkan gangguan sosial dan keamanan
83
d.
Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;
Membuat regulasi tentang penggunaan atau pemanfaatan
Melakukan sosialisasi dan pendekatan sosial di masyarakat tentang
fungsi RTH.
Berkoordinasi dengan semua pihak untuk selalu mengawasi dan
menjaga fungsi dan manfaat RTH.
2. Kebutuhan Udara dan Pencemaran Udara
a.
Jenis dan sumber dampak penting
Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi tingkat kebutuhan udara
di suatu lingkungan, maka jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah
timbulnya persepsi negatif dan postif masyarakat terhadap tingkat kebutuhan
dan pencemaran udara. Sumber dampak adalah kebutuhan udara dan
penyebab terjadinya pencemaran udara .
b.
c.
Dampak positif yang akan di timbulkan;
Lingkungan akan menjadi sehat
Tidak akan menimbulkan penyakit pada paru.
Melakukan aktivitas dengan santai dan tidak terganggu
Siklus atau pertukaran udara akan berjalan normal
Dapat terdeteksi dengan jelas jenis pencemaran udara
Dampak negatif yang akan timbul jika terjadi pencemaran udara, adalah;
Menimbulkan penyakit dan gangguan saluran pernapasan
84
d.
Siklus atau pertukaran udara tidak akan normal
Menimbulkan gangguan sosial dan keamananan
Akan memberikan rasa tidak nyaman bagi lingkungan sekitar
Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;
Melakukan pengukuran kualitas udara minimal setiap 3 bulan
Membuat program penanaman pohon di lingkungan masing-masing
untuk menyerap karbon atau jenis pencemar lainnya..
Berkoordinasi dengan semua pihak untuk selalu mengawasi dan menjaga
akan bahaya pencemaran udara.
Melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakat akan manfaat dari udara
bersih.
3. Manajemen Keterpaduan Kawasan Daerah Aliran Sungai
a.
Jenis dan sumber dampak penting
Manajemen keterpaduan Daerah Aliran Sungai untuk mengatur tatanan
kehidupan masyarakat agar peningkatan jumlah penduduk tidak akan
mempengaruhi kualitas suatu lingkungan, maka jenis dampak penting yang
perlu dikelola adalah timbulnya persepsi negatif dan postif masyarakat
terhadap penggunaan lahan tidak sesuai fungsinya. Sumber dampak adalah
penggunaan lahan oleh pemerintah dan masyarakat terhadap kawasan Daerah
Aliran Sungai.
b.
Dampak positif yang akan di timbulkan;
Memberikan rasa aman dan nyaman di masyarakat
Penggunan lahan akan jelas sesuai fungsi dan manfaatnya.
85
Ekosistem aliran sungai akan bersih dan terjaga hari kawasan hulu
sampai hilir.
c.
Penggunaan kawasan sungai sebagai pengelola jasa PDAM akan terjaga.
Dampak negatif yang akan timbul jika DAS tidak di kelola secara terpadu,
adalah;
Penggunaan lahan yang tidak terkendali, sehingga memberi dampak
ikutan berikut;
Permukiman di bantaran sungai, terjadi pelebaran arus aliran sungai
Penyebab terjadinya banjir karena kapasitas sungai yang tidak mampu
menampung debit air hujan.
Menimbulkan ganggunya ekosistem sungai
Menimbulkan abrasi tepi sungai
Sungai akan menjadi mata pencaharian bahan galian C oleh masyarakat.
Memberikan rasa tidak aman akan kualitas air minum yang digunakan
oleh jasa PDAM.
d.
Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;
Koordinasi secara terpadu dan terprogram antara kawasan hulu dan hilir.
Rencana peruntukan lahan
Penertiban penggunaan lahan
Membuat aturan dan memberikan sangsi keras terhadap penduduk yang
akan melakukan aktivitas di kawasan sungai.
Mengatur atau menata pemukiman penduduk terhadap lokasi-lokasi yang
rawan akan abrasi tepi sungai
86
Melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakat akan manfaat dari
pengelolan manajemen Daerah Aliran Sungai
4.
Ketersediaan Air Bersih dan Pencemaran Air
a.
Jenis dan sumber dampak penting
Air merupakan kebutuhan pokok setiap manusia karena sepertiga tubuh
manusia dibentuk dan memerlukan air yang bersih. Peningkatan jumlah
penduduk akan mempengaruhi tingkat kebutuhan dan pencemaran air, maka
jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah timbulnya persepsi negatif
dan postif masyarakat terhadap tingkat konsumsi dan pencemaran pada
sumber air. Sumber dampak adalah ketersediaan air bersih dan penyebab
pencemaran air.
b.
c.
Dampak positif yang akan di timbulkan;
Sumber air akan tetap terjaga
Ketersediaan kebutuhan air akan tercukupi
Kebutuhan air dalam tubuh manusia akan terpenuhi (tidak dehidrasi)
Siklus hidrologi air yang terbentuk secara alami akan tetap berlangsung.
Memberikan rasa aman dan nyaman akan kebutuhan air.
Dapat terdeteksi dengan jelas jenis pencemaran air
Dampak negatif yang akan timbul jika tidak tersedia air bersih bahkan terjadi
pencemaran air, adalah;
Dapat menimbulkan dehidrasi (penyakit)
Kehidupan umat manusia akan terganggu dan terancam
87
d.
Siklus hidrologi air akan terganggu
Menimbulkan gangguan sosial dan keamananan
Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;
Menindak tegas terhadap masyarakat atau perusahaan yang melakukan
pencemaran terhadap sumber air bersih
Melakukan pengukuran terhadap kualitas air bersih di lingkungan
masyarakat dan sungai sebagai sumber air untuk jasa PDAM.
Berkoordinasi dengan semua pihak untuk selalu mengawasi dan menjaga
akan bahaya pencemaran air
Perijinan pembuangan limbah cair
Menyiapkan rencana induk yang melibatkan berbagai instansi terkait
dalam hal pengendalian kualitas dan sumber daya air dengan acuan baku
mutu peruntukkannya.
Melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakat akan manfaat dari air.
5. Bahaya Banjir
a.
Jenis dan sumber dampak penting
Kelebihan kapasitas daya tampung air di badan sungai dan tidak berfungsinya
sistem drainase akan menyebabkan banjir untuk kawasan-kawasan yang
memiliki dataran rendah. Banjir akan menimbulkan kerugian ekonomi,
memberikan dampak sosial dan menyisakan atau menimbulkan penyakit
dimasyarakat. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi aktivitas
masyarakat, maka jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah timbulnya
persepsi negatif dan postif masyarakat terhadap bahayanya banjir untuk suatu
88
daerah. Sumber dampak adalah kelebihan kapasitas air yang tidak tertampung
di badan sungai.
b.
Dampak positif yang akan di timbulkan
Dapat terdeteksi secara dini melalui intensitas hujan
Dapat diketahui kawasan yang memiliki sistem drainase yang kurang
baik
c.
d.
Dampak negatif yang akan timbul, adalah;
Kerugian material atau ekonomi masyarakat
Terganggunya kehidupan sosial
Menimbulkan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya
Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;
Membangun kawasan lingkungan yang lebih menyerap aliran permukaan
air.
Menyiapkan pedoman siaga banjir sebagai prosedur baku operasi
pengendalian banjir yang berlaku untuk seluruh instansi terkait
Prediksi Banjir
Melakukan penghijauan dan reboisasi di kawasan hutan atau hulu aliran
sungai
Mengatur tatanan dan perbaikan sistem drainase wilayah.
Menindak tegas terhadap masyarakat atau perusahaan yang melakukan
atau merusak kawasan hutan sesuai aturan yang berlaku
Membuat regulasi daerah tentang penanganan masalah bahaya banjir
Menyediakan anggaran terhadap tanggap darurat
89
Melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakat untuk selalu menjaga
lingkungan tempat hidup.
6. Penumpukkan Sampah dan Limbah Rumah Tangga
a.
Jenis dan sumber dampak penting
Masalah sampah sering diakibatkan oleh aktivitas penduduk, oleh karena itu
penumpukan atau kelebihan sampak sering ditentukan oleh jumlah kepadatan
penduduk di suatu wilayah. Sampah merupakan sisa dari aktivitas masyarakat
yang sudah tidak dapat digunakan kembali. Peningkatan jumlah penduduk
akan mempengaruhi jumlah atau volome sampah, maka jenis dampak penting
yang perlu dikelola adalah timbulnya persepsi negatif dan postif masyarakat
terhadap masalah sampah. Sumber dampak adalah menumpuknya sampah
akibat aktivitas masyarakat.
b.
c.
c.
Dampak positif yang akan di timbulkan
Dapat didaur ulang melalui kegiatan sosial di masyarakat
Memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat tertentu
Dampak negatif yang akan timbul jika sampah tidak di kelola, adalah;
Menimbulkan bau sehingga berpengaruh terhadap kualitas udara
Menimbulkan penyakit menular
Nilai estetika suatu kota atau wilayah akan terganggu
Penyebab tersumbatnya sistem drainase
Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;
Menyediakan TPS dan TPA sampah.
Menyediakan fasilitas tempat sampah di tempat umum.
90
Menindak tegas terhadap masyarakat atau perusahaan yang membuang
sampah sembarangan
Menyediakan sarana dan prasarana penunjang kebersihan kota atau
kabupaten
Melakukan
sosialisasi
melalui
sekolah,
media
dan
lingkungan
masyarakat tentang sampah.
91
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan kajian yang telah dilakukan, dapat di
simpulkan sebagai berikut:
1.
Penyediaan ruang terbuka hijau untuk wilayah Provinsi Gorontalo telah
dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun, beberapa titik lokasi RTH bukan
merupakan milik pemerintah. Untuk mengantisipasi dampak dari kepadatan
penduduk, maka pemerintah Provinsi Gorontalo mengeluarkan regulasi
tentang pengawasan dan pengelolaan RTH. Dampak yang signifikan dialami
oleh kawasan RTH di kabupaten yang berada di Provinsi Gorontalo seperti
Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Gorontalo
Utara, Kabupaten Bualemo dan Kabupaten Pohuwato. Akibat aktivitas di
kawasan hutan untuk pemukiman dan pertambangan emas liar, telah banyak
terjadi pengrusakan dan perubahan status kawasan hutan di Provinsi
Gorontalo.
2.
Pencemaran udara untuk wilayah Provinsi Gorontalo, diakibatkan oleh hasil
pembakaran kendaraan bermotor dan pembakaran sampah di sembarang
tempat. Pencemaran udara di Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten
Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Bualemo dan Kabupaten
Pohuwato dapat diakibatkan oleh pembakaran jerami hasil panen petani,
hingga pembakaran lading di lereng-lereng pegunungan.
92
3.
Manajemen pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Provinsi Gorontalo
seharusnya dilakukan secara terpadu. Hal ini telah dibuktikan berdasarkan
letak topografi dan geografis dari Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone
Bolango yang memiliki tanggung jawab yang sama dalam pengelolaan DAS
Bone dan DAS Bolango. Mengingat letak bagian hulu DAS Bone dan
Bolango berada di kabupaten Bone Bolango dan letak bagian hilir berada di
wilayah Kota Gorontalo, sehingga permasalahan kedua DAS ini juga
berdampak pada 23 anak sungai di Provinsi Gorontalo yang tersebar di
Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Bualemo dan
Kabupaten Pohuwato
4.
Ketersediaan air bersih di Provinsi Gorontalo, umumnya penduduk di daerah
ini selain menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), juga
memperoleh air bersih dari air tanah melalui sumur tradisional dan sumur
suntik. Pencemaran air di sungai Bone akibat aktivitas pertambangan emas
liar yang menggunakan air raksa (Hg), juga terjadi di Kabupaten lain di
Provinsi Gorontalo seperti Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara,
dan Kabupaten Pohuwato yang daerah ini juga memiliki kawasan
penambangan emas tanpa ijin.
5.
Penyebab banjir yang sering terjadi di Provinsi Gorontalo, yaitu letak
topografi yang rendah, system drainase yang kurang baik, penutupan di areal
terbuka yang menggunakan beton, dan kapasitas sungai Bone dan Bolango
yang tidak mampu menampung debit air hujan dengan intensitas tinggi.
93
6.
Penumpukan sampah di Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo diakibatkan
tingginya aktivitas masyarakat dan permukiman. Kapasitas dan fasilitas
pengelolaan sampah yang kurang dan tidak maksimal. Penumpukan sampah
di Gorontalo banyak di temukan di lokasi pasar, tempat umum, sekolah dan
instansi pemerintah.
5.2. Rekomendasi
Hasil analisis dan simpulan di atas harus di tindak lanjuti dengan
memberikan rekomendasi bagi daerah dalam hal penanganan dampak kepadatan
penduduk terhadap kondisi biofisik lingkungan. Rekomendasi ini diharapkan
mampu memberikan solusi untuk dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan
daerah:
1. Untuk mengantisipasi ledakan penduduk di Provinsi Gorontalo, kedepan
pemerintah daerah membuat regulasi yang mengatur tentang kawasan atau
wilayah padat penduduk untuk tidak membangun atau mendirikan
bangunan yang telah ditetapkan sebagai RTH (Ruang Terbuka Hijau).
Pengaturan RTH harus dibangun berdasarkan fungsinya sebagaimana
diatur dalam UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, sebagai berikut:
1)
Fungsi Ekologis
RTH berfungsi ekologis merupakan satu bentuk RTH yang
berlokasi, berukuran dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota
untuk menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik.
Secara Ekologis, RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah,
mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan
94
temperature kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi
ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman
botani, dan sempadan sungai.
2) Fungsi Sosial Budaya
Secara social budaya, RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang
interaksi social dan sarana rekreasi. Bentuk RTH yang berfungsi
social budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga,
kebun raya dan TPU.
3)
Fungsi Arsitektural/Estetika
Secara arsitektural, RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan
kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebunkebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota.
4)
Fungsi Ekonomi
Fungsi secara ekonomi melalui pengusahaan lahan-lahan kosong
menjadi lahan pertanian/perkebunan (urban agriculture) dan
pengembangan sarana wisata hijau perkotaan
yang dapat
mendatangkan wisatawan.
2. Kota Gorontalo dan lima kabupaten di provinsi Gorontalo ini dapat
melakukan koordinasi dan komunikasi secara terintegrasi dalam sistem
perencanaan dalam hal penanganan masalah pengelolaan daerah aliran
sungai secara terpadu.
3. Pengelolaan sumber daya air direncanakan dan dilaksanakan secara
terpadu
(multisektor),
menyeluruh
(hulu-hilir,
kualitas-kuantitas),
95
berkelanjutan (antar generasi), berwawasan lingkungan (konservasi
ekosistem) dengan daerah pengaliran sungai (satuan wilayah hidrologis)
sebagai kesatuan pengelolalan.
4. Mendorong dinas terkait untuk lebih sering melakukan sosialisasi terhadap
pencemaran air dan udara yang dapat membahayakan penduduk dan
menyebabkan penyakit.
5. Menambah fasilitas, sarana dan prasarana pengelolaan sampah mengingat
jumlah penduduk dari tahun ketahun semakin meningkat.
6. Perlu melakukan kajian atau penelitian lanjutan di masing-masing daerah
yang lebih mendalam untuk menjaga dampak dari kepadatan penduduk
terhadap lingkungan dan membangun bekerjasama dengan perguruan
tinggi setempat.
7. Keberlanjutan lingkungan dalam bentuk upaya mengurangi dampak
negatif pembangunan
jangka panjang dengan mempertimbangkan
kelestarian lingkungan.
8. Perlu melakukan pendekatan sistematis dan kausal yang dilaksanakan
secara bersama-sama berdasarkan berbagai dimensi pendekatan analisis
baik dari aspek lingkungan hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi.
Karakteristik penduduk yang dikehendaki perlu serasi dengan usaha-usaha
meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui sosialisasi secara terusmenerus tentang program Keluarga Berencana (KB) sampai ke pelosok
desa di Provinsi Gorontalo.
96
9. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak cukup hanya dengan
pembangunan fisik saja, tetapi dibutuhkan berbagai terobosan dan
langkah-langkah peningkatan, salah satunya adalah peningkatan di bidang
pendidikan. melalui pendidikan berbasis BKKBN ((Bekerja, Kreatif,
Kondusif, Berorientasi Nasional) kita jadikan kunci guna mengentaskan
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Provinsi
Gorontalo, serta menekan laju pertumbuhan penduduk dan pengangguran
di Indonesia dan Provinsi Gorontalo khususnya.
97
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, UF, 1978. Efek Pencemaran Air Tanah terhadap Masyarakat
Perkotaan. Widyapura, XII. Tahun 1978.
Ahmadjayadi, 2001. Butir-butir Penting Untuk Pengelolaan DAS dari Sudut
Pandang Otonomi Daerah. Prosiding Sistem Pengelolaan DAS.
Alegre., J.C, Cassel., D.K, and Makarim., M.K; 1985. Strategies for Reclamation
of Degraded Lands. Tropical Land Clearing fo Sustainable Agriculture.
Isbram Proceedings No.3. Jakarta; pp 45-57.
Astawa, Ida Bagus Made. 1999. “Pengertian Umum Kependudukan dan
Lingkungan Hidup”. Makalah disampikan dalam Diklat PKLH untuk GuruGuru Sekolah (SD-SLTA) bulan Nopember 1999 di Kanwil Depdikbud
Provinsi Bali. Denpasar : Depdikbud Provinsi Bali
Ananta, Aris. 1992. “Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan” dalam Warta
Demografi Tahun XXII Nomor 9. September 1992. Jakarta : LD-FEUI.
Berger. John J; 1988. Environmental Restoration. Science and Strategies for
Restoring the Earth. Island Press; Washington, D.C. Covelo California. pp
214-231.
Biampoen, 1984. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Manusia, Pendekatan
Perencanaan Kota. Makalah Seminar Badan Pembinaan Kesehatan Jiwa
Masyarakat.
Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang tidak Berkelanjutan,
Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana,
Yogyakarta.
BALIHRISTI 2012, Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Gorontalo.
Badan Lingkungan Hidup, Riset, dan Teknologi Provinsi Gorontalo.
BPS 2012, Provinsi Gorontalo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
Gorontalo.
BPS 2012, Kota Gorontalo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo.
BPS 2012, Kabupaten Bone Bolango Dalam Angka, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bone Bolango.
Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi Gorontalo, 2011
BLH 2011, Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bone Bolango Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Bone Bolango.
BLH 2012, Ruang Terbuka Hijau dan Sampah Kota Gorontalo. Badan
Lingkungan Hidup Kota Gorontalo.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bone Bolango, 2011
Cairns Jr., John; 1992. Disturbed Ecosystems as Opportunities for
Research Restoration Ecology. (Ed.) Jordan III., William R; et all. Restoration
Ecology: Synthetic Approach to Ecological Research. Cambridge University
Press. P 307-320.
Hamer., W.I,. 1980. A. Soil Degradation Assessment Methodology. Soil
Conservation Consultant Report. INS/78/006., Technical Note No.7. CRS,
Bogor.
98
Hunter. Jr. 1996. Fundamentals of Conservations Biology. Blackwell Science
Inc. Massachu-setts.
Kondolf., C. Mathias; 1988. Hydrologic and Channel Stability Consideration in
Stream Habitat Restoration. (ed) Berger., John J. Environmental Restoration;
Science and Strategies for Restoring the Earth. Island Press Washington DC.
Covelo, California
Manan. Safei; 1976. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. pp 134.
Mantra, Ida Bagoes, 2000. Demografi Umum. Yogyakarta : Putaka Pelajar.
Odum, 1971, Fundamentals of Ecology. Third edition. WB. Saunders Company.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 tentang Rung Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan.
Soerjani M, Ahmad R.,Munir R., 1987. Sumberdaya Alam dan Kependudukan
dalam Pembangunan, Penerbit Universitas Indonesia.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Yakin Addinul, 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Penerbit.
CV.Akademika Presindo
99