[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Tim Peneliti BKKBN PROVINSI GORONTALO 2013 Prof. Dr. Ramli Utina, M.Pd Dr. Dewi Wahyuni K. Baderan,M.Si 1 DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………... ………... 1.1 Latar Belakang …………………………………………… 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………… 1.3 Tujuan Analisis …………………………………………... 1.4 Manfaat …………………………………………………. BAB II LANDASAN KONSEPTUAL DAN KERANGKAPEMIKIRAN………………………………..…… 2.1 2.1 .1 2.1 .2 2.1 .3 2.2 Landasan Konseptual..………………………………….. Pengertian Kependudukan................................................. Pertumbuhan Penduduk..................................................... 1 1 11 11 12 14 14 14 24 Daya Dukung Lingkungan Hidup……………………….. 15 Kerangka Pemikiran…..………………………………... 18 BAB III METODE ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN………… 3.1 Desain Analisis…………………………………………. 3.2 Teknik Analisis................................................................. 3.3 Populasi dan Sampel........................................................ 3.4 Penentuan Lokasi............................................................. 3.5 Pengumpulan Data........................................................... 3.6 Pengolahan dan Analisi Data........................................ 3.7 Definisi Operasional.......................................................... 22 22 23 23 24 25 26 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 29 BAB V 4.1 Analisis Perkembangan Situasi Kependudukan…..…. 29 4.2 Analisis Isu Kependudukan yang Menjadi Fokus Kajian ... 43 4.3 Prakiraan Dampak………………………………………. 74 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI…………………………... 84 2 5.1 5.2 Simpulan ……………………………………..…………. Rekomendasi…………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………....... 84 86 89 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia, sejak awal berada di muka bumi ini telah berinteraksi dengan lingkungannya. Aktivitas hidup manusia akan terpenuhi dengan memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam di sekitarnya. Bumi merupakan lingkungan tempat manusia melakukan aktivitas, keberadaan bumi terus melakukan proses secara alamiah dari hasil aktivitas manusia. Kebutuhan manusia makin meningkat sehingga dukungan terhadap kebutuhan ini membutuhkan sumber daya dan teknologi, namun kenyatannya perkembangan teknologi telah memberikan dampak terhadap lingkungan yang makin memprihatinkan. Masalah lingkungan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sangat erat hubungannya dengan masalah kependudukan dalam konteks penduduk dan pembangunan. Dalam hal ini, kerusakan lingkungan tidak hanya sebagai akibat dari bertambahnya penduduk serta meningkatnya kebutuhan hidup manusia (Mantra, 2000). Aktivitas lain yang saling memberikan benang merah terhadap kerusakan lingkungan adalah pertambahan penduduk, walaupun bukanlah satusatunya penyebab rusaknya lingkungan. Keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan ini mengundang empati dan simpati dari masyarakat dunia untuk memperbaikinya. Implementasi dari resolusi Stockholm adalah dibentuknya badan khusus yang membidangi permasalahan lingkungan oleh PBB yang dikenal dengan United Nations Environmental Programs (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya. Secara kasat mata peran 4 dari organisasi ini banyak memberikan program terhadap penyelamatan terhadap lingkungan. Namun, setelah satu setengah dasa warsa setelah dicetuskannya resolusi Stockholm tahun 1987, salah satu Komisi Dunia yang membidangi Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB melaporkan dalam hasil temuannya (Our Common Future) mengidentifikasi sejumlah gejala global yang mengancam eksistensi bumi (Astawa, 1999), di antaranya yang sangat dikhawatirkan adalah rusaknya lapisan ozon, pemanasan global, hujan asam, dan pencemaran air laut oleh bahan berbahaya beracun (B3). Ancaman terhadap existensi bumi itu bisa terjadi karena gejolak filsafat manusia yang diterapkan hingga dewasa ini pada kehidupan nyata (Chiras, dalam Astawa, 1999), di antaranya: (a) filsafat biological imperialism dan ajaran relegi yang menganjurkan beranak pinak tanpa batas; (b) filsafat I versus not I dan tumbuhnya frontier mentality; (c) falsafah membangun dengan mengembangkan ilmu dan teknologi yang makin besar dan canggih; (d) falsafah bahwa manusia ada di atas alam dengan kemampuan berfikirnya dan anggapan bahwa sumber alam di bumi tidak terbatas, berlimpah; (e) falsafah ekonomi (bermodal minimal untuk meraih keuntungan maksimal dalam tempo yang sesingkat mungkin). Pada tahun 1991, tercatat manusia yang memerlukan lahan (tanah), air dan udara di bumi ini untuk hidup telah mencapai jumlah 5,2 miliar. Jumlah manusia penghuni planet bumi pada tahun 1998 berjumlah 6,8 miliar, dan pada tahun 2000 mencapai 7 miliar. Kalau pertumbuhan penduduk tetap dipertahankan seperti sekarang, menurut Paul R. Ehrlich, 900 tahun lagi (tahun 2900) akan ada satu 5 biliun orang di atas planet bumi ini atau 1700 orang permeter persegi. Kalau jumlah ini diteruskan sampai 2000 atau 3000 tahun kemudian, berat jumlah orang yang ada sudah melebihi berat bumi itu sendiri. Sensus penduduk yang dilakukan tahun 2010 di Indonesia menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk melebihi program dan proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49% per tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun maka setiap tahunnya akan terjadi pertambahan penduduk sekitar 3,5 juta lebih. Hasil ini memberikan gambaran bahwa, jika di tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa maka di tahun 2011 bertambah 3,5 juta, maka sekarang jumlah penduduk Indonesia sebesar 241 juta jiwa. Bila laju pertumbuhan tidak ditekan atau dicegah maka jumlah penduduk Indonesia pada 2045 dapat mencapai 450 juta jiwa, hal ini berarti satu dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia. Apabila pertumbuhan penduduk terus bertambah, sementara laju pertumbuhan ekonomi berjalan lamban, maka kemiskinan makin bertambah dan akan mempengaruhi kehidupan sosial lainnya. Untuk itu diperlukan upaya dan langkah konkret guna menghindari terjadinya ledakan penduduk di masa yang akan datang. Pertumbuhan penduduk dewasa ini mengalami pertumbuhan relatif cepat, yang berimplikasi pada kondisi biofisik lingkungan, permasalahan ekonomi, kesenjangan sosial dan ketersediaan lahan yang cukup untuk menopang kesejahteraan hidup manusia. Sementara lahan yang tersedia bersifat tetap dan tidak bertambah sehingga menambah beban lingkungan. Daya dukung alam ternyata makin tidak seimbang dengan laju tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup 6 penduduk. Aktivitas seperti eksplorasi dan eksploitasi sistematis terhadap sumber daya alam dan lingkungan secara terus menerus dilakukan dengan alasan faktor ekonomi dan sosial. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Namun, ternyata harus dibayar mahal untuk sebuah kepentingan perorangan. Berbagai kepentingan atas pengelolaan lingkungan telah memberikan dampak negatif terhadap kelestarian biofisik lingkungan. Pertumbuhan industri, pemukiman penduduk dan pengelolaan lahan untuk kepentingan perusahaan terbukti telah mengakibatkan erosi tanah dan pencemaran limbah pada tanah, air dan pencemaran udara. Populasi penduduk yang besar merupakan kekuatan sumber daya manusia yang dapat memasuki berbagai pasar kerja guna mendorong percepatan perkenomian dan pembangunan daerah. Tetapi peningkatan populasi penduduk ini pun jika tidak dikendalikan bagaikan pisau yang kedua sisinya tajam dan melukai. Di satu sisi populasi penduduk yang besar memerlukan ketersediaan pangan, lahan untuk perumahan dan fasilitas kesehatan, sementara di lain pihak ketersediaan pangan dan perumahan membutuhkan lahan yang luas. Penduduk juga membutuhan ketersediaan air yang cukup dan memenuhi kesehatan, sementara jumlah penduduk dengan aktivitasnya yang tinggi juga menghasilkan buangan dan sampah. Sampah dan limbah hasil buangan dari aktivitas penduduk jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berdampak balik pada kesehatan lingkungan penduduk. 7 Pertambahan penduduk juga menyebabkan kebutuhan alat tranportasi dan arus mobilitas manusia meningkat, serta kebutuhan energi seperti minyak bumi meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran udara dan membuat persediaan minyak bumi makin menipis, sehingga kebutuhan udara bersih pun akan menjadi hal yang langka untuk di temui di perkotaan. Akibat kumulatif dari kerusakan lingkungan menimbulkan bencana banjir dan kekeringan, kelangkaan air bersih, peningkatan suhu atmosfir bumi, terganggunya habitat flora dan fauna, penyebaran penyakit, pemusnahan sumber daya alam atau daya dukung dan kehancuran kehidupan itu sendiri. Untuk itu telah dilakukan kajian tentang dampak pertumbuhan penduduk terhadap daya dukung lingkungan. Studi ini dilakukan di dua daerah di Provinsi Gorontalo yaitu Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Gambaran terhadap ke dua daerah ini akan dijabarkan secara rinci sesuai hasil temuan peneliti di lapangan dan melalui data sekunder. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Gorontalo telah mencapai 180.127 jiwa dari sejumlah 1.040.164 jiiwa penduduk Provinsi Gorontalo. Dilihat dari penyebaran penduduk antar kota/kabupaten, konsentrasi penduduk berada di Kota Gorontalo (2000 jiwa/km2) yang hanya memiliki luas wilayah sebesar 0,5% dari luas provinsi Gorontalo. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2011, tiga kecamatan dari sembilan kecamatan di Kota Gorontalo yang padat penduduknya berturut Kecamatan Kota Selatan 8.520 orang/km2, Kota Tengah 5.803 orang/km2, dan Kecamatan Dungingi 5.253 orang/km2. Laju pertumbuhan penduduk per tahun Kota Gorontalo mencapai 3,35%, angka tertinggi di Kecamatan Dungingi 8 6,67%, kemudian Kecamatan Kota Tengah 5,34% dan Kecamatan Sipatana 4,10%. Untuk daerah Kabupaten Bone Bolango jumlah penduduk berdasarkan hasil pendataan Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Bone Bolango Tahun 2011 adalah 152.763 jiwa yang tersebar di 17 kecamatan, keadaan penduduk tahun 2011 telah mengalami kenaikan, dimana jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 141.915 jiwa. Konsentrasi penduduk yang tinggi di sejumlah permukiman Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, menimbulkan berbagai persoalan. Secara fisik masyarakat harus hidup berimpitan di lahan sempit, bantaran sungai, dipinggiran kawasan hutan dengan sanitasi lingkungan yang terbatas. Jumlah penduduk yang makin meningkat akan berdampak negatif pada lingkungan hidup, diantaranya makin berkurangnya lahan produktif seperti sawah dan perkebunan karena lahan tersebut telah beralih fungsi menjadi pemukiman. Pertambahan penduduk akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan air bersih, sementara ruang terbuka hijau sebagai area tangkapan air makin sempit akibat perluasan permukiman dan pembangunan fasilitas lain menyebabkan persediaan air bersih menurun. Aktivitas penduduk di area permukiman padat berakibat pada peningkatan laju produksi dan tumpukan sampah sehingga merugikan bagi kesehatan penduduk, terjadinya pencemaran air dan udara sekitar. Uraian di atas menunjukkan berbagai dampak kepadatan penduduk terhadap daya dukung lingkungan hidup, dapat dijelaskan sebagai berikut: 9 1. Berkurangnya Ketersediaan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Meningkatnya jumlah penduduk sementara luas lahan tidak bertambah menyebabkan tingkat kepadatan makin tinggi. Kepadatan penduduk dapat mengakibatkan tanah pertanian makin berkurang karena dialihkan guna pemukiman penduduk. Permasalahan utama dalam pembangunan sebuah kota adalah penataan kawasan hutan kota atau Ruang Terbuka Hijau (RTH). Gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil ruang terbuka hijau. Proporsi luas lahan terbangun di Kota Gorotalo melonjak tajam selama 3 tahun terakhir sejak Gorontalo menjadi Provinsi. Kota Gorontalo yang dahulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 50 persen. RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. 2. Kebutuhan Udara Bersih dan Pencemaran Udara Setiap makluk hidup membutuhkan oksigen untuk pernapasan. Demikian pula manusia sebagai makluk hidup juga membutuhkan oksigen untuk kehidupanya. Manusia memperoleh oksigen yang dibutuhkan melalui udara bersih, udara yang tidak tercemar dan terjaga dengan baik. Pembatasan terhadap sistem pembakaran mesin kendaraan bermotor merupakan salah satu permasalahan pembangunan kota. Penerapan emisi gas kendaraan bermotor harus dibuatkan 10 dalam regulasi atau Peraturan Daerah (Perda) kota untuk meminimalisir pencemaran udara. 3. Manajemen Keterpaduan Kawasan DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan yang membentuk dan berpengaruh terhadap tatanan suatu lingkungan. Manajemen DAS lebih ditekankan pada pengelolaan kawasan hulu dan hilir daerah aliran sungai. Kawasan hulu identik dengan kawasan hutan, dan kawasan hilir identik dengan muara sungai. Daerah Kota Gorontalo membentang dua Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Bone dan DAS Bolango. Kawasan hulu ke dua DAS terdapat di kawasan hutan Kabupaten Bone Bolango. Untuk kawasan hilir terdapat di muara sungai di Kota Gorontalo. Hutan di kawasan Kabupaten Bone Bolango setiap tahun dibuka untuk kepentingan hidup manusia untuk dijadikan lahan pertanian, pemukiman dan pertambangan emas liar. Meningkatnya jumlah penduduk akan diiringi pula dengan meningkatnya penggunaan sumber alam hayati. Salah satu penyebab rusaknya kawasan hulu dan hilir DAS adalah faktor kepentingan manusia pada lahan. 4. Ketersediaan Air Bersih dan Pencemaran air Air merupakan kebutuhan mutlak makhluk hidup, akan tetapi air yang dibutuhkan manusia sebagai mahluk hidup adalah air bersih. Air bersih digunakan untuk kebutuhan penduduk atau rumah tangga sehari-hari. Air bersih merupakan air yang memenuhi syarat kualitas yang meliputi syarat fisika ,kimia dan biologi. Syarat kimia yaitu air yang tidak mengandung zat-zat kimia yang membahayakan kesehatan manusia, syarat fisika yaitu air tetap 11 jernih (tidak berubah warna), tidak berasa dan tidak berbau. Syarat biologi yaitu air tidak mengandung mikrooganisme atau kuman-kuman penyakit. Namun, hal terpenting dari air adalah pemeliharaan sumber-sumber air untuk ketersediaan jangka panjang. Dampak negatif dari kepadatan penduduk adalah adanya pencemaran di badan sungai dan sumber-sumber air. Pencemaran sering diakibatkan aktivitas manusia yang menggunakan sungai sebagai tempat aktivitas keseharian seperti, mandi, cuci kain dan buang hajat. Buangan akibat aktivitas penduduk menyebabkan kandungan bahan terlarut tertentu dalam air seperti deterjen hingga bakteri penyebab penyakit seperti E.coli. Dampak negatif lainnya yaitu aktivitas kawasan hulu seperti pertambangan emas liar yang sering menggunakan bahan mercuri (Hg) untuk pengolahan hasil tambang. Aktivitas ini masih bersifat tradisional sehingga peluang untuk mencemari lingkungan sangat besar. 5. Penyebab Banjir Penataan sistem perkotaan harus terintegrasi dan terencana. Salah satu faktor penataan sistem perkotaan adalah jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang sangat besar dapat memberikan berbagai dampak pada daya dukung dan daya tampung kota. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk menampung dan menyerap zat energi dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan di dalamnya. Kepadatan penduduk sering berdampak negatif terhadap sistem drainase 12 perkotaan. Penduduk kota menggunakan drainase tidak sesuai peruntukannya, drainase sering menjadi tempat pembuangan sampah. Akibatnya aliran air tersumbat dan sebagai biang jentik nyamuk. Di beberapa badan jalan menutup drainase, atau perluasan pekarangan oleh perumahan penduduk. Saat musim hujan drainase tersebut akan meluap sehingga banjir tidak dapat dihindari. Faktor-faktor yang menyebabkan banjir adalah akibat aktivitas manusia diantaranya penggundulan hutan, pembuangan sampah sembarangan, tertutupnya tanah perkotaan dengan beton dan aspal dan rusaknya tanggul sungai. Banjir sering terjadi saat musim hujan ketika curah hujan tinggi, dan dapat merusak saluran irigasi, jembatan, jalan, rumah penduduk dan areal pertanian. 6. Penumpukan Sampah dan Limbah Rumah Tangga Produksi sampah kota yang sangat besar dengan kondisi sampah yang belum terpilah membawa dampak terjadinya banjir disetiap musim hujan. Fasilitas sampah yang menjadi salah satu penentu penataan kota adalah ketersediaan tempat sampah dan tempat pembuangan akhir (TPA). Sampah yang dihasilkan dalam kawasan kota dapat dipilah sesuai dengan bentuk pemilahannya. Pengelolaan sampah 3 R (reduce dengan cara mengurangi volume sampah), reuse (menggunakan kembali sampah tanpa perubahan bentuk untuk kegiatan lain yang bermanfaat) dan recycle (mendaur ulang sampah menjadi benda lain), sering menjadi salah satu cara untuk mengurangi sampah mulai dari sumbernya. 13 B. Perumusan Masalah Dampak yang ditimbulkan oleh kepadatan penduduk secara merata terdistribusi di semua daerah. Masalah yang sedang dihadapi oleh daerah pada prinsipnya tentang kepadatan penduduk, kondisi sosial, peningkatan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Dalam kajian ini akan menjelaskan permasalahan yang terjadi di Provinsi Gorontalo yaitu masalah dampak kependudukan terhadap kondisi biofisik lingkungan. Adapun permasalahan dalam kajian ini adalah sebagai berikut; 1. Berkurangnya ketersediaan lahan dan ruang terbuka hijau (RTH) 2. Kebutuhan udara bersih dan pencemaran udara 3. Manajemen keterpaduan kawasan DAS 4. Ketersediaan air bersih dan pencemaran air 5. Penyebab banjir 6. Penumpukan sampah dan limbah rumah tangga C. Tujuan Analisis 1. Tujuan Umum Tujuan umum kajian ini adalah menciptakan keseimbangan antara lingkungan hidup dengan aktivitas penduduk itu sendiri, sehingga penduduk yang berada di Provinsi Gorontalo bukan hanya mampu memiliki perilaku yang berwawasan kependudukan tetapi juga memiliki prilaku yang berwawasan lingkungan, berkarakter lingkungan, dan memilki integritas yang tinggi terhadap berbagai permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh laju pertambahan penduduk. 14 2. Tujuan Khusus a. Menjelaskan dampak dari fenomena kepadatan terhadap ketersediaan lahan di Provinsi Gorontalo. b. Mengkaji dan melakukan pengukuran terhadap pencemaran udara akibat adanya aktivitas penduduk Provinsi Gorontalo. c. Mengkaji dan menganalisis secara kualitatif fenomena solusi terhadap pengelolaan manajemen DAS terintegrasi. d. Mengkaji dan melakukan pengukuran terhadap pencemaran air dan ketersediaan air bersih bagi penduduk di Provinsi Gorontalo e. Mengkaji fenomena penyebab banjir untuk wilayah Provinsi Gorontalo. f. Menjelaskan dan memberikan solusi terhadap permasalahan sampah di di Provinsi Gorontalo. D. Manfaat Lingkup kajian ini adalah dampak yang ditimbulkan akibat kepadatan penduduk terhadap kondisi biofisik lingkungan. Olehnya kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan manfaat tentang dampak kepadatan penduduk terhadap kondisi biofisik lingkungan, sebagai berikut: 1. Menjadi barometer dan pertimbangan terhadap pengambilan kebijakan terhadap permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya ledakan penduduk. 2. Memberikan gambaran terhadap kondisi daerah saat ini terkait dengan kepadatan penduduk. Pemerintah daerah lebih dini dapat mengantisipasi akibat ledakan penduduk untuk tahun kedepan dengan pertimbangan kondisi lingkungan. 15 3. Temuan dalam kajian ini masih bersifat terbuka terhadap fenomena kondisi lingkungan akibat adanya kepadatan penduduk. Di harapkan akan ada kajian lanjutan yang lebih spesifik dengan menerapkan atau menghasilkan model untuk mengantisipasi kepadatan penduduk. 16 BAB II LANDASAN KONSEPTUAL DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Landasan Konseptual 2.1.1. Pengertian Kependudukan Menurut Philip M. Hauser dan Duddley Duncan (dalam Mantra, 2000), demografi adalah ilmu yang mempelajari jumlah, persebaran, teritorial, komposisi penduduk dan perubahan serta sebab-sebabnya yang biasa timbul karena kelahiran, kematian, migrasi, dan mobilitas sosial. Demografi terbagi menjadi demografi murni dan ilmu kependudukan. Demografi murni hanya mendeskripsikan atau menganalisis variabel-variabel demografi, sedangkan ilmu kependudukan mempelajari tentang hubungan-hubungan antara variabel demografi dan variabel sistem lain. Analisis kependudukan bertujuan untuk menerangkan informasi dasar tentang distribusi penduduk, karakteristik, dan perubahan-perubahannya, serta sebab-sebab perubahan dari faktor dasar tersebut dan menganalisa segala konsekuensi yang mungkin terjadi di masa depan sebagai hasil dari perubahan tersebut (Thomlinson, 1965 dalam Mantra, 2000). 2.1.2. Pertumbuhan Penduduk Penduduk merupakan unsur penting dalam usaha untuk meningkatkan produksi dan mengembangkan kegiatan ekonomi. Penduduk memegang peranan penting karena menyediakan tenaga kerja, tenaga ahli, tenaga usahawan yang diperlukan untuk menciptakan kegiatan ekonomi. Di samping itu, pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan bertambah dan makin kompleksnya kebutuhan 17 (Yakin, 1997). Pertumbuhan penduduk suatu daerah dipengaruhi oleh fertilitas, mortalitas dan migrasi. Apabila angka fertilitas lebih besar daripada angka mortalitas, maka pertumbuhan penduduk menjadi positif. Begitu juga dengan migrasi, apabila nilai migrasi masuk lebih besar daripada nilai migrasi keluar, maka pertumbuhan penduduk menjadi positif. Peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya pengangguran, meningkatnya penggunaan sumber daya alam, peningkatan standar hidup akan meningkatkan lebih tinggi lagi kebutuhan sumber daya alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Makin banyak penghasilan, manusia akan semakin banyak membeli, menggunakan dan membuang sumber daya alam. (Soerjani, dkk, 1987). Jumlah penduduk yang terus meningkat serta belum tertibnya pelaksanaan tata guna lahan menyebabkan tekanan terhadap pemanfaat lahan makin besar. Kompetisi diantara berbagai kepentingan terhadap lahan makin ketat. Atas nama pembangunan seringkali (lahan) pertanian yang menjadi korban atau dikorbankan. 2.1.3. Daya Dukung Lingkungan Hidup Lingkungan terdiri atas komponen biotik (hidup) dan abiotik (tak hidup). Jika komponen biotik berada dalam komposisi yang proporsional antara tingkat trofik dengan komponen abiotik yang mendukung kehidupan komponen biotik, lingkungan tersebut berada dalam keseimbangan atau stabil. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam 18 itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Daya dukung lingkungan menurut Odum (1971) merupakan jumlah populasi organisme yang kehidupannya dapat didukung oleh suatu kawasan atau ekosistem. Definisi Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energy dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Daya dukung lingkungan atau carrying capacity, meliputi; (1) Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang dapat didukung oleh suatu lingkungan, (2) Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut, (3) Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam periode jangka panjang tanpa membahayakan lingkungan tersebut, (4) Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut, (5) Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok manusia di bawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan di atas angka yang diperkirakan untuk menurun yang disebabkan oleh kekurangan sumber daya, (6) Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah lingkungan tempat tinggal disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal, dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut. 19 Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Menurut Caughley (1979), daya dukung dibagi menjadi dua tipe, yaitu daya dukung ekologi dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologi menjelaskan ukuran herbivora dan populasi tanaman yang dapat dicapai secara alami apabila keduanya dibiarkan berinteraksi tanpa ada intervensi manusia. Sementara itu, daya dukung ekonomi menjelaskan suatu kesetimbangan yang ditimbulkan oleh kelestarian pemanenan populasi herbivora. Daya dukung ekologis merupakan landasan bagi optimalisasi habitat dalam menghasilkan produksi. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi dua komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) yang meliputi unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumberdaya hayati maupun non hayati, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia serta kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Permasalahan lingkungan telah ada sejak manusia ada di bumi. Oleh sebab itu, faktor yang sangat penting dalam permasalahan lingkungan hidup adalah besarnya populasi manusia. Pertumbuhan populasi manusia yang cepat menyebabkan kebutuhan akan pangan, bahan bakar, tempat pemukiman, dan lain kebutuhan serta limbah domestik juga bertambah dengan cepat. Pertumbuhan populasi manusia telah mengakibatkan perubahan yang besar dalam lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan hidup menjadi besar karena kemajuan teknologi. Akan tetapi yang harus diingat bahwa teknologi bukan saja 20 dapat merusak lingkungan, melainkan diperlukan juga untuk mengatasi masalah lingkungan hidup. Pertumbuhan populasi manusia menyebabkan timbulnya permasalahan lingkungan, seperti: kerusakan hutan, pencemaran, erosi, dan lainlain karena manusia selalu berinteraksi (inter-related) dengan makhluk hidup lainnya dan benda mati dalam lingkungan. Ini dilakukan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam upaya mempertahankan jenis dan keturunannya. Pemenuhan kebutuhan manusia dapat terpenuhi karena adanya pemanfaatan lingkungan yang berbentuk pengelolaan lingkungan hidup. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, terjadi hubungan timbal balik antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Ini berarti sudah berkaitan dengan konsep ekologi, terutama tentang konsep hubungan timbal balik (inter-related) antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Dengan demikian apabila membicarakan lingkungan hidup, maka konsep ekologi akan selalu terkait sehingga permasalahan lingkungan hidup adalah permasalahan ekologi. 2.2. Kerangka Pemikiran Dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan wilayah, terdapat 3 (tiga) pilar utama, yaitu faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor daya dukung lingkungan fisik. Interaksi antara ketiga aspek ini selanjutnya akan mengakibatkan dampak dan perubahan terhadap pembangunan. Kecenderungan perubahan lingkungan sering diakibatkan aktivitas masyarakat yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan mempunyai pola yang dinamis dan kecepatan perubahan yang berbeda-beda di setiap tempat dan lokasi, bergantung pada faktor- 21 faktor yang dominan menjadi penyebab terjadinya perubahan kondisi biofisik lingkungan di suatu wilayah. Beberapa dampak dari mobilitas penduduk diantaranya adalah faktor biofisik wilayah, faktor sosial dan kebutuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk menuntut ketersediaan lahan untuk permukiman, dan fasilitas social dan fasilitas lingkungan lain seperti bangunan, jalan, drainase. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan ruang terbuka, jika tidak maka terjadi perubahan peruntukan lahan seperti persawahan, perkebunan, pegunungan, bantaran kali dan pesisir. Tidak jarang kita melihat bangunan rumah penduduk di bantaran kali, di tebing yang curam, bahkan menutup permukaan saluran air irigasi dan drainase sebagai bentuk perluasan pekarangan rumah. Pertumbuhan penduduk menyebabkan pula peningkatan aktivitas social ekonomi, mengakibatkan penggunaan barang peralatan kebutuhan hidup sehingga yang terjadi adalah penumpukan sampah dan barang sisa (buangan limbah) jika sampah tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, jika terjadi musim hujan maka area resapan tidak mampu menampung air permukaan, sementara saluran air tertutup oleh bangunan penduduk, saluran menyempit dan tersumbat oleh sampah. Daya dukung lingkungan hidup seharusnya menjadi salah satu pertimbangan terpenting dalam penataan ruang, baik dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun dalam evaluasi pemanfaatan ruang. Pengintegrasian pertimbangan daya dukung lingkungan hidup diperlukan dalam penataan ruang agar alokasi pemanfaatan ruang sesuai dengan kondisi dan kapasitas sumber daya wilayah. Dengan demikian, suatu kawasan dapat ditentukan layak untuk pembangunan berbasis kawasan, misalnya cocok untuk 22 pertanian tetap dipertahankan untuk berlangsungnya kegiatan pertanian, sehingga ketahanan pangan dapat dijaga dan kerusakan tanah akibat pembukaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat dicegah. Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini umumnya timbul akibat pertumbuhan penduduk atau perkembangan aktifitas manusia yang melampaui kemampuan lingkungan yang mendukungnya. Banjir di Kota Gorontalo yang sering terjadi merupakan salah satu indikator yang mengarah kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan lahan dengan daya dukung lingkungan hidup. Ketersediaan lahan untuk ruang terbuka hijau di daerah Kota Gorontalo akan akan berfungsi sebagai daerah resapan air, pengendali luapan air penyebab banjir, selain penyerap gas-gas buangan yang sangat membantu dalam mengatasi pencemaran udara. Penataan sistem drainase yang terintegrasi akan mencegah terjadinya banjir dan meminamalisir terjadinya penumpukan sampah serta terjadinya pencemaran air. Masalah di atas memberikan dampak terhadap kebutuhan penduduk di wilayah lain, karena itu perlu upaya dan solusi terhadap tingkat kepadatan penduduk. Permasalahan serupa sudah sering terjadi di Kabupaten Bone Bolongo dan kabupaten lainnya, walaupun dampak yang ditimbulkan belum mengindikasikan dampak negative. Pencemaran yang terjadi di sungai Bone dan sungai Bolango akibat aktifvitas penduduk di kawasan hulu sebagai salah satu penyebab yang 23 ditimbulkan. Adapun kerangka pemikiran dalam kajian ini disajikan pada Gambar 2.1. Kualitas Penduduk Pertumbuhan Penduduk Kuantitas Penduduk Pembangunan Daerah Kehidupan Sosial Solusi Terhadap Dampak Lingkungan Dampak Kebutuhan Ekonomi Kondisi Lingkungan Variabel Lingkungan 1. Berkurangnya Ketersediaan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) 2. Kebutuhan Udara Bersih dan Pencemaran Udara 3. Manajemen Keterpaduan Kawasan DAS 4. Ketersediaan Air Bersih dan Pencemaran air 5. Penyebab Banjir 6. Penumpukan Sampah dan Limbah Rumah Tangga  Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 24 BAB III METODE ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN 3.1. Desain Analisis Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Maksud kajian ini untuk memberikan penjelasan dan uraian berdasarkan data dan informasi tentang kepadatan penduduk dan dampaknya terhadap daya dukung lingkungan suatu wilayah. Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan subjek dan/atau objek penelitian yang berdasarkan fakta yang ada dan usaha mengemukakan hubungannya satu dengan yang lain, ini dilakukan untuk mengetahui kondisi biofisik lingkungan penduduk secara menyeluruh akibat adanya aktifitas masyarakat. Dari hasil pendataan dilakukan analisis untuk pemecahan masalah yang ditimbulkan serta menguji konsep solusi yang relevan untuk pemanfaatan yang merespon permasalahan lingkungan. Kajian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama pengumpulan data primer dan sekunder; tahap kedua analisis data kuantitatif dan kualitatif. Pemilihan setting atau latar penelitian adalah; a) penjajakan lapangan, b) setting penelitian di tempat yang dikenal baik. Tipe kajian ini adalah suatu studi kasus tentang dampak kepadatan penduduk terhadap kondisi biofisik lingkungan yaitu mengkaji seberapa besar dampak yang akan ditimbulkan terhadap keberadaan suatu lingkungan akibat adanya ledakan penduduk di suatu daerah. Menetapkan dan menerapkan suatu solusi untuk pembentukan dan pengembangan kawasan, sehingga perlu dikaji 25 mengenai dukungan dari peraturan perundangan, kondisi biogeofisik, sosial ekonomi, dan persepsi masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggalnya, stakeholder terkait dan masyarakat sekitar sebagai pengambil kebijakan dan pemakai jasa lingkungan dapat merumuskan skala prioritas penanganan terhadap dampak. 3.2. Teknik Analisis 1. Sumber data kuantitatif berupa catatan hasil observasi, dan dokumendokumen terkait permasalahan kependudukan dan dampaknya terhadap faktor biofisik lingkungan hidup. Data yang diperoleh di analisis menggunakan teknik sederhana seperti tabulasi silang dan scoring data, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk setiap data temuan. 2. Sumber data kualitatif berupa transkrip interviu mendalam (depth interview) dan dokumen tertulis yang diperoleh dari dinas dan instansi terkait yang memiliki hubungan erat dengan kajian penelitian. Data yang diperoleh dianalisis kembali secara deskriptif. Hasil dari temuan ini dapat dijadikan solusi terhadap permasalahan. 3.3. Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut Sukmadinata (2009) dalam penelitian populasi dibedakan menjadi 2, yaitu: populasi secara 26 umum dan populasi target (target population). Populasi target adalah populasi yang menjadi sasaran keterbelakukan kesimpulan penelitian kita. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi, dan secara nyata diteliti dan ditarik kesimpulan. Kajian dengan menggunakan sampel lebih menguntungkan dibandingkan dengan penelitian menggunakan populasi, karena kajian dengan menggunakan sampel lebih menghemat biaya, waktu dan tenaga Menurut (Sukmadinata, 2009). Langkah awal yang harus ditempuh dalam menentukan sampel adalah membatasi jenis populasi atau menentukan populasi target. Penentuan sampel bersifat purposif, dengan memperhatikan ciri-ciri tertentu dari informan. Namun peneliti menambahkan teknik Snowball dalam mendapatkan informasi dari sampel yang diinginkan. Dalam kajian ini yang menjadi populasi target adalah data kependudukan dan dampaknya terhadap kondisi biofisik lingkungan di wilayah Provinsi Gorontalo, sedangkan sampel kajian di wilayah Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. 3.4. Penentuan Lokasi Seperti yang dijelaskan pada bab 1, kajian ini dilaksanakan di dua daerah Provinsi Gorontalo yaitu Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Alasan dipilihnya dua daerah sebagai lokasi kajian karena pertumbuhan di Kota Gorontalo sebagai ibukota Provinsi banyak mengalami perkembangan terutama pertumbuhan penduduk. Untuk Kabupaten Bone Bolango merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Gorontalo sehingga memberikan dampak terhadap perkembangan penduduk, hal ini dapat dilihat dari trend peningkatan 27 penduduk dalam data Daerah Dalam Angka (DDA). Analisis secara deskriptif akan memberikan satu solusi tentang pola penanganan kepadatan penduduk terhadap kondisi biofisik lingkungan. 3.5. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dapat digolongkan dalam data primer dan data sekunder. a. Data primer diperoleh dari informan yang berada di instansi pemerintah daerah. Data primer yang berhubungan dengan kajian kondisi biofisik lingkungan, kehidupan sosial dan kebutuhan ekonomi masyarakat diperoleh dari pengisian kuisioner, wawancara mendalam dan observasi serta pengamatan langsung di lapangan. Metode pengumpulannya menggunakan alat perekam dan dokumentasi. b. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yang terlibat dalam lingkup kajian, yaitu Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi (BALIHRISTI) Provinsi Gorontalo, BLH Bone Bolango, BLH Kota Gorontalo, Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, BPS Kota Gorontalo, BPS Bone Bolango, BPS Provinsi Gorontalo, Dinas Tata Kota Gorontalo, Bappeda Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Data yang dikumpulkan berupa data a) kondisi biofisik lingkungan; potensi fisik, ketersediaan lahan, tingkat pencemaran dan biotik lainnya b) kehidupan sosial; aktivitas seharihari dan dampak kepadatan penduduk, c) kebutuhan ekonomi; pendapatan dan tingkat kebutuhan. Data lain yang diperoleh dari data statistik serta 28 penelitian terdahulu merupakan data sekunder yang mendukung untuk membuat deskripsi. 3.6. Pengolahan dan Analisis Data Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data tersebut yang disesuaikan dengan kebutuhan analisis. Data kualitatif berupa transkrip interview mendalam (depth interview) dan dokumen yang diperoleh dari dinas dan instansi terkait yang memiliki hubungan erat dengan kajian yang dilakukan. Data yang diperoleh diedit, dikategorikan sesuai dengan kebutuhan analisis, kemudian digambarkan dengan menggunakan analisis deskriptif. Data kuantitatif berupa catatan hasil observasi dan dokumen-dokumen terkait permasalahan kependudukan dan dampaknya terhadap faktor biofisik lingkungan hidup. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik scoring dan ditampilkan dalam bentuk tabulasi silang, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk setiap data temuan. 3.7. Definisi Operasional 1. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk yang hidup dalam satuan luas suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. 2. Kependudukan adalah hal ikhwal yang berkaitan dengan jumlah, ciri utama, pertumbuhan, persebaran, mobilitas penyebaran, kualitas kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, agama serta lingkungan penduduk. 29 3. Ledakan penduduk adalah keadaan penduduk dengan laju pertumbuhannya cepat sebagai akibat dari tingkat kelahiran yang tinggi sedangkan tingkat kematian menurun secara tajam. Ledakan penduduk dapat membawa akibat komplek, seperti tumbuhnya ekonomi, standar hidup menurun, terjadi pengangguran, berbagai fasilitas hidup menurun dan timbulnya krisis lingkungan. 4. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya 5. Dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. 6. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energy, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. 7. Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian, barang rusak atau bercacat dalam pembikinan (manufaktur) atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan. 30 8. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah sungai yang dipisahkan dari daerah lain oleh pemisah topografi berupa punggung bukit dimana air hujan yang jatuh dalam wilayah tersebut mengalir dan meresap menuju ke suatu sungai dan bermuara di laut. 31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Perkembangan Situasi Kependudukan 4.1.2. Pembangunan Berwawasan Kependudukan Pada prinsipnya kemajuan suatu Negara ditentukan oleh pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan banyak di pengaruhi oleh pertumbuhan penduduk. Hal tersebut mengundang pertanyaan apakah yang dimaksud dengan pembangunan berwawasan kependudukan. Secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari pembangunan berwawasan kependudukan mengandung dua makna yaitu, pertama, pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada. Penduduk menjadi objek dan subjek yang harus dilibatkan secara langsung dalam proses pembangunan. Makna kedua adalah pembangunan yang menitik beratkan kemampuan atau skill sumberdaya manusia. Pembangunan yang lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur semata. Pembangunan berwawasan kependudukan identik dengan pembangunan manusia seutuhnya, hal ini sudah lama menjadi program pemerintah namun, memiliki bentuk dan format lain. Pelaksanaan pembangunan kependudukan masih mengalami banyak hambatan dan rintangan dalam pelaksanaannya. Hambatan sering diakibatkan oleh sistem perencanaan yang kurang matang dan terprogram dengan baik. Sarana dan prasarana penunjang dalam rangka pembangunan berwawasan kependudukan belum mendukung terciptanya lingkungan yang 32 lestari. Pembangunan untuk kepentingan masyarakat sudah saatnya diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dengan sebuah perencanaan yang teringrasi. Kebutuhan pokok manusia dalam suatu pembangunan adalah ketersediaan kebutuhan pokok, kehidupan sosial yang aman, fasilitas yang tercukupi dan lingkungan hidup yang berimbang. Indikator keberhasilan ekonomi harus dirubah dari sekedar GNP atau GNP per kapita menjadi aspek kesejahteraan atau memakai terminologi UNDP adalah HDI (Human Development Index). Memang dengan mempergunakan strategi pembangunan berwawasan kependudukan untuk suatu pembangunan ekonomi akan memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimal perlu adanya keterlibatan semua stakeholder untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable). Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberialisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan pruduktivitas namun sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur. Konsekwensi dari pembangunan suatu daerah adalah daya dukung lingkungan hidup. Selama ini Indonesia mengabaikan pembangunan berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup. Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pembangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan yaitu 33 pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi dewasa ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan dan lingkungan hidup. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan ekonomi tersebut mejadi sangat rentan terhadap perubahan. Belum terjadi strategi pembangunan yang serius berorientasi pada aspek kependudukan selama ini. 4.1.2. Pertumbuhan Penduduk Indonesia Menurut sensus penduduk yang telah dilaksanakan, jumlah penduduk Indonesia adalah 97,09 juta jiwa (1961), 119,21 juta jiwa (1971), 147,49 juta jiwa (1980), 179,29 juta jiwa (1990), dan 204,3 juta jiwa (1997). Dari jumlah tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dinamakan pertumbuhan. Pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1961-1971 adalah 2,10%, 1971-1980 adalah 2,32%, 1980-1990 adalah 1,98% per tahun, dan 1990-2000 adalah 1,7%. Kenaikan yang terjadi pada periode 1971-1980 disebabkan oleh jumlah kelahiran yang tinggi, sedangkan penurunan yang terjadi pada periode 1980-1990 dan 1990-2000 disebabkan oleh jumlah kelahiran yang semakin berkurang. Mengapa dari tahun 34 1980 angka kelahiran penduduk Indonesia semaking berkurang. Pertumbuhan Penduduk Negara-Negara di ASEAN disajikan pada Tabel 4.1 sebagai berikut. Tabel 4.1. Pertumbuhan Penduduk Negara-negara di ASEAN No. Negara Pertumbuhan (%) 1. Kamboja 2.9 2. Laos 2.8 3. Brunei 2.3 4. Philippines 2.3 5. Malaysia 2.2 6. Myanmar 1.9 7. Indonesia 1.7 8. Vietnam 1.6 9. Singapore 1.1 10. Thailand 1.1 Sumber: World Population Data Sheet Meskipun angka pertumbuhan penduduk Indonesia menduduki urutan ke tujuh setelah Myanmar, namun karena jumlah penduduk yang besar maka pertumbuhan 1,7% masih tergolong tinggi. Pertumbuhan penduduk di Indonesia tidak di ikuti dengan program untuk menekan angka kelahiran. Program Keluarga Berencana (KB) yang di lakukan oleh BKKBN pada masa orde lama slogan dua anak sudah cukup bukan merupakan program utama lagi dari pemerintah pusat. 4.1.3. Kepadatan Penduduk Indonesia Kepadatan penduduk berhubungan dengan persebarannya pada wilayahwilayah tertentu. Hal tersebut karena kepadatan penduduk adalah jumlah 35 penduduk dibandingkan luas wilayah pada suatu tempat, yaitu jumlah penduduk tiap satu km2 atau tiap satu mil. Dengan demikian, ada daerah yang berpenduduk padat dan ada yang jarang. Di antara negara-negara ASEAN, Singapura merupakan negara yang paling padat penduduknya, yaitu mencapai 14.425 orang per-mil. Negara yang paling jarang penduduknya adalah Brunei Darussalam, yaitu 147 orang per-mil. Pada peringkat berapa kedudukan Indonesia di antara negara-negara ASEAN. Kepadatan Penduduk ASEAN Tahun 1997 disajikan pada Tabel 4.2 sebagai berikut. Tabel 4.2. Kepadatan Penduduk ASEAN Tahun 1997 No. Negara 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Singapore Philippines Vietnam Thailand Indonesia Myanmar Malaysia Kamboja Brunei Laos Luas Areal (mil) 240 115.120 125.670 197.250 705.190 253.880 126.850 68.150 2.030 89.110 Kepadatan (orang/mil2) 14.425 638 598 305 290 184 166 164 147 57 Sumber : World Population Data Sheet Ternyata, jika dibandingkan dengan luas wilayah yang ada, Indonesia tidak termasuk negara yang padat penduduknya, kepadatannya mencapai 290 orang per-mil2 atau 181 orang per-km2(1 mil = 1,6 km). Bandingkanlah dengan negara lain di ASEAN, Indonesia berada pada urutan ke lima setelah Singapore, Philipina, Vietnam dan Thailand. 36 Masalah kepadatan penduduk Indonesia adalah persebarannya yang tidak merata di seluruh daerah. Ada wilayah yang padat dan ada yang jarang penduduknya. Pulau Jawa memiliki luas kurang lebih 132.187 km2 dengan jumlah penduduk 107.573.859 orang, sehingga pulau Jawa merupakan pulau terpadat yaitu 184 jiwa per km2. Persebaran penduduk yang tidak merata ini menyebabkan pada daerah yang jarang penduduknya kekayaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya menjadi kurang termanfaatkan karena kekurangan sumber daya manusia untuk mengelolanya. Sebaliknya, pada daerah yang padat penduduknya, terjadi kelebihan sumberdaya manusia sehingga terjadi pengangguran, pemukiman kumuh, dan kemiskinan. Hal ini disebabkan sumber daya alam di dalamnya tidak dapat lagi mendukung kehidupan penduduknya yang sudah melebihi kapasitas daya dukungnya. Kepadatan penduduk di Indonesia menurut pulau disajikan pada Tabel 4.3 sebagai berikut. Tabel 4.3. Kepadatan Penduduk Indonesia Menurut Pulau No. Pulau 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sumatera Jawa Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua 7. Indonesia Luas (km2) 473,606 132,187 88.488 539.460 189.216 496.486 1.919.443 Kepadatan Penduduk Per-Km2 1971 1985 1990 2000 44 69 77 576 755 184 75 106 115 10 14 17 45 61 86 4 6 7 62 85 93 Sumber : World Population Data Sheet 37 4.1.4. Dampak Kepadatan Populasi Kepadatan penduduk di suatu daerah sering ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sumberdaya manusianya. Kualitas sumberdaya manusia Indonesia, yang merupakan indikator kualitas penduduk Indonesia yang ditunjukkan oleh Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dilihat dari tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan penduduk. Hasil analisis Human Development Report (HDR) tahun 2001, Indonesia menduduki urutan 109 dari 174 negara di dunia dalam hal sumber daya manusia. Hal ini menunjukkan masih rendahnya kualitas penduduk Indonesia dibandingkan dengan negara lain di dunia. Namun peningkatan HDR Indonesia 10 tahun terakhir mengalami peningkatan dalam hal pelayanan kesehatan dan pendidikan. Program untuk menekan kepadatan penduduk masih banyak mengalami kendala. Dampak kepadatan penduduk ini menyebabkan daya dukung lingkungan semakin berkurang. Daya dukung lingkungan semakin banyak mengalami kerusakan tanpa ada upaya rehabilitasi. Ancaman yang ditimbulkan dari kepadatan penduduk terhadap tekanan pada daya dukung lingkungan seperti: a. Kekurangan kebutuhan pokok Kebutuhan pokok manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan sandang, pangan dan papan. Kekurangan kebutuhan pokok ini berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Dengan bertambahnya jumlah populasi manusia atau penduduk, maka jumlah kebutuhan makanan juga semakin banyak. Jika kebutuhan makanan ini semakin banyak maka kebutuhan sumberdaya alam semakin terkuras. Bila hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi 38 pangan, maka dapat terjadi kekurangan pangan. Dampak dari kekurangan pangan akan berpengaruh pada kualitas kesehatan penduduk. Menjaga keseimbangan lingkungan seperti sumberdaya alam untuk pembangunan manusia seutuhnya. b. Kebutuhan air bersih Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk hidup. Siklus hdirologi air dibentuk oleh lingkungan yang lestari. Air bersih merupakan air yang memenuhi kualitas dan layak untuk dikonsumsi meliputi syarat fisika, kimia, dan biologi. Syarat fisika yaitu air tetap jernih, tidak ada rasa, dan tidak berbau. Syarat kimia yaitu air tidak mengandung zat-zat kimia yang membahayakan kesehatan manusia. Syarat biologi yaitu air tidak mengandung mikroorganisme atau kumankuman penyakit. Menjaga sumber-sumber air yang dibentuk oleh lingkungan akan memberikan manfaat terhadap manusia. Salah satu upaya untuk menjaga sumber air dengan mengurangi dan mencegah pencemaran air. c. Kebutuhan udara bersih Kebutuhan udara atau oksigen (O2) bagi manusia merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pencemaran udara bersih berarti tidak tercemar, sehingga kualitas udara terjaga dengan baik. Dengan udara yang bersih akan diperoleh pernapasan yang sehat. Di daerah yang padat penduduknya maka kebutuhan udara bersih juga meningkat. Bila udara bersih di suatu lingkungan padat penduduk tidak terpenuhi maka menurunkan tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat, khususnya timbulnya penyakit saluran pernapasan. Pencemaran udara sering di akibatkan dari sisa pembakaran kenderaan bermotor. 39 d. Berkurangnya ketersediaan lahan Tingkat kepadatan penduduk membutuhkan lahan sebagai tempat tinggal. Kepadatan penduduk dapat mengakibatkan tanah pertanian berkurang, ruang terbuka hijau dan pembangunan sarana prasarana atau fasilitas umum sering terabaikan karena digunakan untuk pemukiman penduduk. Masalah ketersediaan lahan menjadi persoalan di kawasan perkotaan. Ketersediaan lahan di wilayah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan ruang terbuka hijau. Keberadaan RTH di wilayah perkotaan memberikan rasa nyaman dan lestari bagi kehidupan perkotaan. e. Kondisi lingkungan terancam Meningkatnya jumlah penduduk diiringi pula dengan meningkatkan penggunaan sumber daya alam hayati. Adanya pembukaan hutan secara liar untuk dijadikan tanah pertanian atau untuk mencari hasil hutan sebagai mata pencaharian penduduk membawa akibat rusaknya ekosistem hutan tersebut. Di daerah yang padat penduduknya seperti kota-kota besar, jumlah kendaraan bermotor semakin meningkat. Gas sisa pembakaran kendaraan bermotor menyebabkan pencemaran udara. Dengan semakin bertambahnya populasi manusia, maka kebutuhan manusia pun semakin tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan manusia itu, berbagai industri dibangun. Tetapi sering limbah industri yang mengandung racun menyebabkan pencemaran lingkungan. 40 f. Terbatasnya ruang gerak Di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, umumnya rumahrumah penduduk saling berdekatan atau berhimpitan. Keadaan ini menyebabkan terbatasnya ruang gerak. Terbatasnya ruang gerak sering menimbulkan pemukiman kumuh sehingga daerah atau kawasan itu sebagai penyebab rusaknya system drainase. Lahan semakin sempit dan sampah semakin menumpuk. 4.1.5. Gambaran Umum Lokasi Kajian a. Kota Gorontalo Kota Gorontalo merupakan ibukota Provinsi Gorontalo memiliki luas wilayah 64,79 Km² atau sekitar 0,53% dari luas Provinsi Gorontalo. Dalam tahun 2011-2012 curah hujan di Kota Gorontalo tercatat sekitar 11 mm sampai 266 mm per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, suhu udara di Gorontalo rata-rata pada siang hari 32 derajat Celcius, sedangkan pada malam hari 23 derajat Celcius. Kelembaban udara relatif tinggi dengan rata-rata 79,9%. Secara geografis wilayah Kota Gorontalo terletak antara 000 28' 17" - 000 35' 56" Lintang Utara (LU) dan 1220 59' 44" - 1230 05' 59" Bujur Timur (BT) dengan batas-batas sebagai berikut: Batas Utara : Kecamatan Bulango Utara Kabupaten Bone Bolango Batas Timur : Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango Batas Selatan : Teluk Tomini Batas Barat : Kecamatan Telaga, Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo 41 Kota Gorontalo terdiri dari 9 Kecamatan yang meliputi 50 kelurahan, yaitu ; 1. Kec. Kota Barat : 7 Kelurahan 2. Kec. Kota Selatan : 5 Kelurahan 3. Kec. Hulonthalangi : 5 Kelurahan 4. Kec. Dungingi : 5 Kelurahan 5. Kec. Kota Timur : 6 Kelurahan 6. Kec. Dumbo Raya : 5 Kelurahan 7. Kec. Kota Utara : 6 Kelurahan 8. Kec. Sipatana : 5 Kelurahan 9. Kec. Kota Tengah : 6 Kelurahan Jumlah penduduk Kota Gorontalo setiap tahun mengalami perubahan, dari tahun 2004 sejumlah 148.080 jiwa dengan luas wilayah sebesar 64.79 Km2 sehingga kepadatan penduduk menjadi 2.286 jiwa/Km2. Pada tahun 2005 berjumlah 156.39 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 2.414 jiwa/Km2. Pada tahun 2006 jumlah penduduk berjumlah 158.36 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 2.444 jiwa/Km2. Pada tahun 2007 jumlah penduduk di Kota Gorontalo sebesar 162.325 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.505 jiwa/Km2, dan pada tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 165.175 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 2.549 jiwa/Km2. Pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kota Gorontalo sebesar 181.102 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 2.759 jiwa/Km2, tahun 2010 naik menjadi 184.185 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 2.842 jiwa/Km2 dan untuk tahun 2011 42 jumlah penduduk Kota Gorontalo sebesar 194.153 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 2.996 jiwa/Km2. Umumnya wilayah Kota Gorontalo merupakan dataran yang diliputi areal persawahan yang luasnya makin berkurang, kemudian areal permukiman dan infrastruktur perekonomian dan pusat pemerintahan kota dan provinsi, dan sebagian pegunungan dan pesisir. Di Kota Gorontalo bermuara dua buah sungai utama yaitu muara Sungai Bone dan Sungai Bolango, daerah hulu kedua sungai ini berada di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Peta wilayah Kota Gorontalo disajikan pada Gambar 4.1 sebagai berikut. Gambar 4.1. Peta administrasi Kota Gorontalo 43 b. Kabupaten Bone Bolango Kabupaten Bone Bolango merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Kabupaten Bone Bolango dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003 dan resmi berdiri pada tanggal 16 Mei 2003. Kabupaten Bone Bolango memiliki luas wilayah 1.984,54 Km² atau 16,24 % dari total luas Provinsi Gorontalo. Wilayah Kabupaten Bone Bolango terletak pada 09⁰ - 01⁰15’ Lintang Utara dan 121⁰84 - 123⁰26’ Bujur Timur. Jumlah penduduk Kabupaten Bone Bolango berdasarkan hasil pendataan Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Bone Bolango Tahun 2011 adalah 152.763 jiwa yang tersebar di 17 Kecamatan, keadaan penduduk tahun 2011 ini telah mengalami kenaikan dari jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 141.915 jiwa. Batasan administrasi Kabupaten Bone Bolango adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara dan Kabupaten Bolaang Mongondow. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Telaga, Kota Utara dan Kota Timur. Kabupaten Bone Bolango memiliki 17 kecamatan, yaitu: 1. Bone, 11. Kabilabone 2. Boneraya, 12. Suwawa 3. Bonepantai, 13. Suwawa Selatan 4. Botupingge, 14. Suwawa Tengah 44 5. Bulango Selatan, 15. Suwawa Timur 6. Bulango Timur, 16. Tapa 7. Bulango Ulu, 17. Tilongkabila 8. Bulango Utara, 9. Bulawa, 10. Kabila, Wilayah Kabupaten Bone Bolango disajikan pada Gambar 4.2 sebagai berikut. Gambar 4.2. Peta administrasi Kabupaten Bone Bolango Pada umumnya wilayah lahan Kabupaten Bone Bolango merupakan dataran memanjang dan berbentuk pegunungan dengan ketinggian dari permukaan laut di atas 1500 m yaitu sebagian daerah Kecamatan Bone, Bone Raya, Bulawa, Suwawa dan Kecamtan Bulango Ulu. Sebagian besar wilayah Kabupaten Bone Bolango berada pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut dan daerah 45 ketinggian 500 m dari permukaan laut berada pada wilayah Kecamatan Suwawa Tengah, Botupingge dan Kabila. Kondisi tersebut memperlihatkan kemiringan lereng yang cukup variatif yang dipengaruhi oleh sifat fisik dari litologi penyusun yang dikontrol oleh struktur patahan/sesar. Berdasarkan struktur geologi wilayah Kabupaten Bone Bolango sebagian besar memiliki struktur jenis batuan breksi, tuf, tuf lapili, lava andesit, sampai basal. Di sekitar Daerah Aliran Sungai, terutama di Kecamatan Suwawa, Kabila dan Botupingge memiliki jenis batuan batu lempung kelabu, batu pasir berbutir halus dan kasar serta kerikir. 4.2. Analisis Isu Kependudukan yang Menjadi Fokus Kajian 4.2.1. Berkurangnya Ketersediaan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang Terbuka Hijau (RTH) memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan di suatu wilayah baik itu tingkat provinsi, kota dan kabupaten. Untuk mewujudkan hal ini, maka tiga pilar utama yakni, ekonomi, lingkungan, dan sosial harus saling bersinergis. Menurut Gunadi (1995) istilah Ruang Terbuka (open space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. Ruang terbuka sangat berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan dari ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Adapun definisi tentang ruang luar, adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu dan digunakan secara intensif, seperti halaman rumah, halaman sekolah, lapangan olahraga, dan taman bermain. Adapun untuk zona hijau, seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/jejaring listrik tegangan tinggi dan simpul kota (nodes) berupa ruang taman rumah, taman 46 lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan seterusnya. Zona hijau inilah yang kemudian kita sebut Ruang Terbuka Hijau (RTH). Selanjutnya pengertian RTH adalah bagian dari ruang terbuka yang merupakan salah satu bagian dari ruang-ruang di suatu kota yang biasa menjadi ruang bagi kehidupan manusia dan mahkluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan. Ruang terbuka hijau dapat dipahami sebagai ruang atau lahan yang belum dibangun atau sebagian besar belum dibangun di wilayah perkotaan yang mempunyai nilai untuk keperluan taman dan rekreasi; konservasi lahan dan sumber daya alam lainnya; atau keperluan sejarah dan keindahan (Green, 1959). Ruang terbuka hijau merupakan sarana dan prasarana fasilitas umum yang sengaja dibangun oleh pemerintah daerah untuk menambah akses kepada masyarakat. Penting untuk disediakan di dalam suatu kawasan karena dapat memberikan dampak positif berupa peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan menjadi pertimbangan penting dalam menentukan tata guna lahan di suatu kota (Keeble, 1959). Menurut Permendagri No.1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, RTH kawasan perkotaan merupakan bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Berdasarkan definsi dan fungsinya, maka penyediaan RTH di wilayah perkotaan sangat esensial dalam membangun suatu kota sehat. Keberadaan suatu RTH sebagai ruang terbuka yang bebas dan dilengkapi dengan elemen-elemen 47 “hijau” seperti pepohonan dapat meningkatkan kesehatan warga kota, baik secara jasmani (fisik) maupun rohani (jiwa). Gambaran penjelasan di atas mengisyaratkan betapa pentingnya keberadaan RTH bagi suatu kota. Penyediaan dan pembuatan RTH untuk wilayah Kota Gorontalo atau Kabupaten Bone seharusnya bukan merupakan tanggung jawab pemerintah semata. Penyediaan taman kota, jalur hijau, dan lainnya dapat melibatkan pihak swata dalam pembangunannya. Hal lain terkait dengan penyediaan RTH dapat diawasi dan dijaga dengan melibatkan kesadaran penduduk perkotaan akan pentingnya fungsi dan nilai estetika RTH. Pembangunan yang sedang dilakukan di Kota Gorontalo sangat perlu menyediakan ruang terbuka yang sudah direncanakan melalui RTRW Kota Gorontalo. Adanya peningkatan jumlah penduduk Kota Gorontalo sebagai ibu Kota Provinsi Gorontalo maka, sudah waktunya perencanaan pembangunan fasilitas umum lebih diutamakan. Membangun dengan memasukkan variabel kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi RTH akan sangat membantu dan penting dalam membangun kota sehat. Hasil pemantauan dan kunjungan lapangan yang dilakukan di beberapa titik objek penelitian di Kota Gorontalo, sudah tersedia atau dibangun ruang terbuka hijau dan fasilitas umum lainnya. Tugas yang saat ini dilakukan oleh pemerintah Kota Gorontalo adalah melakukan sosialisasi mengenai penyediaan, pemanfaatan, dan pengawasan RTH di tingkat masyarakat. Selain itu, pembentukan dan pelestarian komunitas hijau juga penting dalam rangka membangun gaya hidup sehat masyarakat di Kota Gorontalo. Dukungan dari 48 pemerintah dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan sosial dan penyusunan regulasi yang mengatur tentang RTH di wilayah Kota Gorontalo, bentuk dukungan ini diantaranya dengan memberi insentif bagi masyarakat atau pihak swasta agar menyediakan RTH di halaman/lahan miliknya sendiri. Reward terhadap pengawasan dan pembuatan RTH bagi kepentingan umum akan menjadi pendorong setiap anggota masyarakat untuk lebih inovatif. Ruang terbuka hijau yang tersedia di Kota Gorontalo tersebar di beberapa kecamatan seperti yang disajikan dalam tabel 4.4 berikut: Tabel 4.4. Ruang Terbuka Hijau di Kota Gorontalo No Jenis RUANG TERBUKA HIJAU Lokasi Luas Satuan Kepemilikan RTH PUBLIK 1 2 3 4 5 Obyek Wisata Bersejarah Hutan Kota Jalur Hijau Jalan Lapangan Olah Raga a. Lapangan Buladu b. Lapangan Bulotadaa Barat c. Lapangan Padebuolo d. Lapangan Nani Wartabone e. Lapangan Taruna Remaja f. Lapangan Liluwo Taman Kota Kelurahan Dembe 1 Kel Tenilo, Buliide, Pilolodaa, Lekabalo, Dembe 1 Sepanjang jalan John Ario Katili dan Jusuf Dali Kel. Buladu Kel. Bulotadaa Barat Kel. Padebuolo Kel. Limba U II Kel. Tenda Kel. Liluwo Tersebar mulai dari batas kota hingga ke pusat kota TOTAL RTH PUBLIK RTH PRIVAT Taman Sekolah, Pekarangan rumah tinggal/ Perkantoran dan Perkantoran Kampus UNG TOTAL RTH Sumber; BLH Kota Gorontalo, 2012 1 1,16 996,32 Ha Pemerintah Gorontalo Pemerintah Gorontalo Kota Pemerintah Gorontalo Kota Pemerintah Gorontalo Kota Pemerintah Gorontalo Kota Kota Ha 1,96 Ha 6,94 0,87 0,64 0,87 1,13 1,65 0,63 Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha 2,22 1014,39 Ha Ha 14,27 Ha 1028,66 Ha Pribadi Institusi dan 49 Dari Tabel 4.4. tentang ruang terbuka hijau yang terdapat di Kota Gorontalo, mengisyaratkan bahwa telah ada upaya dari pemerintah kota untuk membangun dan menyediakan RTH. Taman kota dengan luas sebesar 2,22 hektar dapat menciptakan keindahan, kenyamanan, keamanan, dan kesehatan bagi penggunannya. Selain itu, taman kota Gorontalo dapat difungsikan sebagai paruparu kota, pengendali iklim mikro, konservasi tanah dan air, dan habitat berbagai flora dan fauna. Pepohonan yang ada dalam taman kota tersebut dapat memberikan berbagai manfaat seperti, penyerap karbon (CO2), keindahan, penangkal angin, dan penyaring cahaya matahari. Taman kota juga berperan sebagai sarana pengembangan budaya kota, pendidikan, dan pusat kegiatan kemasyarakatan. Taman dan lingkungan perkantoran dan gedung komersial juga terlihat pada Tabel 4.4 yakni terdapat pada RTH privat yakni pekarangan rumah tinggal dan perkantoran seluas 14,27 hektar. Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial merupakan taman dengan klasifikasi yang lebih kecil dan diperuntukkan bagi kebutuhan terbatas/pengunjung. Kawasan perkantoran yang ada di Kota Gorontalo membutuhkan RTH pekarangan untuk tempat upacara, olah raga, area parkir, sirkulasi udara, keindahan dan kenyamanan waktu istrahat belajar atau bekerja. Hutan kota merupakan RTH yang berperan ganda bagi lingkungan hidup. Menurut PP No. 63 Tahun 2002, hutan kota berupa suatu hamparan lahan yang tumbuh pohon-pohon yang rapat di dalam suatu wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat 50 yang berwenang. Presentase luas hutan paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat dengan luas minimal sebesar 0,25 hektar dalam suatu hamparan yang kompak (hamparan yang menyatu). Bila di lihat dari Tabel 4.4 hutan kota di Kota Gorontalo dengan luas sebesar 996,32 hektar, berarti telah melebihi ketentuan dari PP No. 63 Tahun 2002. Hutan kota memberikan berbagai fungsi diantaranya sebagai daerah resapan air, dapat menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, dan dapat mendudukung pelestarian keanekaragaman hayati. Hutan kota juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti olah raga, rekreasi, pariwisata alam, pendidikan, penelitian dan pengembangan, pelestarian plasma nutfah, dan budaya hasil hutan bukan kayu. Hal ini dapat dilakukan selama tidak mengganggu fungsi hutan kota. Lapangan olah raga juga merupakan RTH karena berfungsi sebagi wadah olah raga, tempat bermain, sarana interaksi dan sosialisasi, pertemuan, serta untuk meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya. Lapangan olah raga di Kota Gorontalo digunakan untuk berbagai aktivitas olah raga seperti sepak bola dan atletik. Luas RTH lapangan olah raga sebesar 6,94 hektar. Sementara jalur hijau jalan merupakan RTH yang terdapat di jalur jalan di sepanjang jalan John Ario Katili dan Jusuf Dali seluas 1,96 hektar yang memiliki fungsi utama sebagai pelindung atau budidaya. Fasilitas umum seperti ruang terbuka hijau ini telah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan penduduk di Kota Gorontalo. Namun jika dilihat 51 penyebaran dan jumlah penduduk Kota Gorontalo yang terus mengalami kenaikan maka dampak yang timbul adalah makin berkurangnya luas RTH. Dari data di atas, penduduk pada tahun 2004 sejumlah 148.080 jiwa dengan luas wilayah sebesar 64.79 Km2 sehingga kepadatan penduduk menjadi 2.286 jiwa/Km2. Kenaikan ini dapat dilihat dari tahun ketahun, dan data terakhir pada tahun 2011 jumlah penduduk Kota Gorontalo menjadi sebesar 194.153 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 2.996 jiwa/Km2.. Kenaikan jumlah penduduk ini harus segera diantisipasi oleh pemerintah daerah kota Gorontalo. Perlu adanya sosialisasi dan regulasi tentang pengelolaan dan pengawasan terhadap RTH. Pada titik-titik pengamatan yang dilakukan di lokasi perlu adanya aturan untuk penggunaan fasilitas pendukung ruang terbuka hijau. Dari perbandingan luas total RTH dengan luas kawasan kota Gorontalo, dapat dikatakan cukup berimbang dengan pertumbuhan penduduk, dimana Kota Gorontalo memiliki RTH privat seluas 14,27 hektar dan RTH publik seluas 1014,39 hektar. RTH untuk kota Gorontalo dibangun dengan mengacu pada Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No.26 Tahun 2007 bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal mencapai 30 persen dari wilayah kota (20 persen untuk RTH publik dan 10 persen untuk RTH privat). Sebelum UU ini keluar, Mendagri juga sudah menelurkan Permendagri No.1 Tahun 2007 yang mengatur RTH lebih kecil yakni 20 persen. Akan tetapi, khusus untuk jalur hijau bantaran sungai Bolango, sungai Tamalate dan sungai Bone perlu adanya penertiban dan aturan untuk pembangunan kawasan permukiman. Pembangunan kawasan permukiman di 52 sepanjang jalur hijau kawasan sungai selain merusak ruang terbuka hijau, juga mengancam jiwa yang berada di kawasan tersebut. Pemilihan jenis pohon yang ditanam di kawasan bahu (pinggiran) jalan pun harus lebih selektif, hal ini untuk menghindari bahaya terhadap pejalan kaki dan pengguna jalan lainnya. Lain halnya dengan Kabupaten Bone Bolango yang memiliki luas kawasan hutan yang cukup luas dan jumlah kepadatan penduduk yang belum tinggi. Keberadaan kawasan hutan ini menjadikan kabupaten Bone Bolango merupakan daerah hijau. Namun, saat ini terdapat konflik pemanfaatan sumberdaya alam (emas) antara masyarakat penambang dengan pihak pengelola kawasan Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone. Konflik ini berpengaruh terhadap keberadaan hutan sebagai kawasan hijau yang ada di Kabupaten Bone Bolango. Taman nasional atau kawasan konservasi yang diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hanya diperuntukkan sebagai kawasan penyangga kehidupan karena dapat difungsikan sebagai penyimpan sumberdaya air, penghasil O₂, dan kawasan penelitian. Kenyataannya sebagian kawasan sudah dimasuki penduduk dan bermukim serta melakukan aktivitas penambangan emas liar. Pasca tahun 2010 melalui usulan perubahan RTRW lebih kurang 15.000 ha kawasan Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone diubah statusnya menjadi Hutan Produksi Terbatas. Data luas kawasan hutan yang menjadi RTH di Kabupaten Bone Bolango seperti pada Gambar 4.3. berikut : 53 RTH di Wilayah Kabupaten Bone Bolango 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 LUAS (ha) PERSENTASE 0 Taman Nasional (TN) Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi Terbatas 109,49 25,45 4,917 Areal Luas Hutan Penggunaan Kawasan Produksi Lain Hutan 2,807 45,342 58,23750306 13,53680202 2,615342064 1,49303745624,1173154 188,006 100 Gambar 4.3. Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Bone Bolango Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa kawasan hutan di Kabupaten Bone Bolango memiliki luas 188.006 ha. Luas ini cukup mendukung Kabupaten Bone Bolango untuk tetap mempertahankan RTH sebagai paru-paru Bone Bolango. Selain itu di wilayah Kabupaten Bone Bolango memiliki danau Perintis sebagai daerah tangkapan air, daerah terbuka hijau dan sebagai asset daerah untuk pengembangan pariwisata. Pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Bone Bolango banyak dipengaruhi oleh migrasi penduduk yang berasal dari Provinsi Sulawesi Utara seperti Kabupaten Bolaang Mongondow, migrasi atau perpindahan penduduk ini banyak dipengaruhi oleh keberadaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Kabupaten Bone Bolango. Migrasi menyebabkan terbukanya kawasan hutan yang merupakan kawasan hijau untuk daerah Kabupaten Bbone Bolango. Angka laju kelahiran juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh. Penduduk Bone 54 Bolango bersifat homogen karena masih memiliki keterkaitan darah yang cukup dekat satu sama lain. 4.2.2. Kebutuhan Udara Bersih dan Pencemaran Udara Kebutuhan udara bersih adalah udara yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di muka bumi, udara yang mengandung oksigen (O2) yang dibutuhkan untuk proses fisiologis dan biologis secara alamiah. Planet bumi pada prinsipnya kaya akan Oksigen (O2) namun keberadaan oksigen ini harus tetap dijaga dan dipelihara terkait kebersihanya. Dengan menjaga kualitas udara di planet bumi ini maka secara tidak langsung kita peduli akan kehidupan yang berkelanjutan. Dalam kehidupan kita sekitar 99% udara yang kita hirup adalah gas nitrogen (N2) dan oksigen (O2). Kita juga menghirup gas lain dalam jumlah yang sangat sedikit, dalam gas tersebut termasuk gas pencemar. Di daerah perkotaan yang ramai, gas pencemar berasal dari asap kendaraan, gas buangan pabrik, pembangkit tenaga listrik, asap rokok dan sebagainya yang erat hubungannya dengan aktivitas kehidupan manusia. Dalam lapisan atmosfer bumi banyak terdapat gas yang melapisi bumi dan terbagi dalam beberapa lapisan. Lapisan troposfer (tebalnya 17 Km di atas permukaan bumi) mengandung udara yang kita hirup yaitu 78% nitrogen (N2), 21% oksigen (O2) dan sisanya gas argon <1% dan CO2 0,035%. Terdapat juga uap air (H2O) sekitar 0,01% di daerah subtropis dan sekitar 5% di daerah tropis yang lembab. 55 Bahan kimia di udara yang berpengaruh negatif pada makhluk hidup dikategorikan sebagai pencemar udara. Banyak jenis pencemar udara, tetapi yang penting ada 5 jenis yaitu: - Ozone (O3) - Oksida karbon (CO, CO2) - Oksida belerang (SO2, SO3) - Oksida nitrogen (NO, NO2, N2O) - Partikel (debu, asam, timbal, pestisida dsb.) Masing-masing bahan pencemar udara tersebut diklasifikasikan sebagai pencemar udara primer (misalnya SO2) dan sekunder (misalnya H2SO4). Bahan pencemar udara tersebut melayang di udara selama beberapa waktu bergantung dari diameter partikelnya. Partikel yang sangat halus berbahaya pada kehidupan karena dapat meresap paru dan juga pembawa substansi toksik penyebab kanker. Bahan pencemar dan partikel debu di udara ini menjadi salah satu masalah yang terjadi di daerah perkotaan, tidak terkecuali di Kota Gorontalo. Kepadatan penduduk dengan tingkat kebutuhan yang makin meningkat menyebabkan daerah kota Gorontalo semakin ramai. Jumlah penduduk kota Gorontalo selain mempunyai pekerjaan tetap seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan swasta tetapi memiliki sampingan seperti usaha transportasi yang disebut Bentor (bendi-motor). Jenis bentor yang berada di Kota Gorontalo dan seluruh wilayah di Provinsi Gorontalo disajikan pada gambar 4.4. sebagai berikut. 56 Gambar 4.4. Kendaraan bermotor di kota Gorontalo Gambar 4.4. Model Bentor di Gorontalo Dari Gambar 4.4 di atas, Kota Gorontalo belum termasuk kota yang padat akan kenderaan bermotor seperti kota-kota besar yang berada di wilayah Indonesia. Namun fenomena kendaraan bermotor seperti bentor yang merupakan angkutan umum hasil modifikasi penduduk Gorontalo, ternyata tingkat pembelian motor untuk wilayah Kota Gorontalo sangat tinggi (hasil wawancara dengan salah satu showroom sepeda motor). Setelah dilakukan pengamatan dan survey ternyata sepeda motor ini dijadikan alat transportasi bentor. Pengambilan dengan system kredit dengan uang muka rendah ini memicu masyarakat untuk membeli dan menjadikannya bentor. Selain itu tidak sedikit bentor yang menggunakan mesin keluaran tahun 1980 hingga 1990, mesin yang demikian menghasilkan emisi gas buang (karbon) yang tinggi. Menurut hasil pendataan dan survey lapangan, diperoleh jumlah kenderaan bermotor khusus yang beroperasi di Kota Gorontalo kurang lebih 100 ribu unit terdiri dari bentor, motor dan mobil. Mobilitas penduduk yang besar dengan menggunakan moda transportasi kendaraan bermotor yang padat di perkotaan telah mengakibatkan emisi gas 57 buang kendaraan bermotor yang tinggi ke udara, selain partikel debu. Dengan banyaknya alat transportasi kendaraan bermotor di Kota Gorontalo menyebabkan terganggunya kualitas udara. Tetapi pencemaran udara yang terjadi di kota Gorontalo bukan hanya berasal dari kendaraan bermotor tetapi dari hasil pembakaran sampah di tempattempat tertentu. Pembakaran sampah sering terlihat di lingkungan pasar tradisional dan terminal. Akibatnya kualitas udara khususnya di wilayah Kota Gorontalo cenderung terganggu. Data yang diperoleh, pada prinsipnya pencemaran udara belum melewati batas ambang baku mutu, tetapi data ini bukan menjadi patokan akan bersihnya udara di Kota Gorontalo. Perlu adanya pengawasan dan pengukuran setiap 2 tahun sekali untuk mengetahui tingkat pencemaran di Kota Gorontalo. Data yang di peroleh melalui Balihristi Gorontalo seperti yang disajikan pada Tabel 4.5. sebagai berikut. Tabel 4.5 Kualitas Udara di wilayah Kota Gorontalo Titik Pantau Kantor Pemukiman Pasar Terminal Walikota Awara Sentral 1942 No Parameter Baku Mutu 1 SO₂ 900 µg/m³ 45 22 45 42 2 CO 30000 µg/m³ 9873 4216 19265 8226 3 NO₂ 400 µg/m³ 21.6 16.8 21.6 18.4 4 O₃ 235 µg/m³ 58 36 97 39 Sumber : Balihristi, 2011 Dari Tabel 4.5 di atas memberikan gambaran bahwa walaupun terjadi peningkatan penduduk dari tahun ke tahun di Kota Gorontalo tetapi belum memberikan dampak negatif terhadap kualitas udara di wilayah Kota Gorontalo. 58 Namun, pemerintah Kota Gorontalo harus melakukan upaya pembatasan kepemilikan kenderaan bermotor bagi setiap penduduk yang berada di Kota Gorontalo. Pembatasan ini untuk menghindari peningkatan jumlah penduduk, yang diikuti dengan kepemilikan kendaraan bemotor untuk 1 jiwa akan lebih dari satu kendaraan bermotor. Selain itu perlu pengendalian pengambilan pasir gunung dari beberapa lokasi tebing di Kota Gorontalo. Kegiatan ini selain menyebabkan erosi sehingga berakibat banjir, juga meningkatnya partikel debu yang mengganggu pernapasan. Upaya ini harus dibuatkan regulasi dan pengawasannya. Kondisi wilayah Kota Gorontalo tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Bone Bolango. Kondisi geografis dan letak kedua daerah yang berbatasan, menjadikan kabupaten Bone Bolango adalah daerah yang lebih dekat dengan akses informasi tentang ibukota provinsi Gorontalo. Tingkat pencemaran masih banyak di pengaruhi oleh sisa pembakaran kendaraan bermotor. Hasil pengukuran yang dilakukan Balihristi Provinsi Gorontalo terhadap parameter SO2, CO, NO2 dan O₃ dengan mengambil titik pengukuran berada di Kawasan kantor Bupati Bone Bolango, Desa Oluhuta dan Desa Bubeya disajikan pada Tabel 4.6 sebagai berikut. 59 Tabel 4.6. Kualitas Udara di Kabupaten Bone Bolango No Parameter 1 SO₂ 2 CO 3 NO₂ 4 O₃ Baku Mutu 900 µg/m³ 30000 µg/m³ 400 µg/m³ 235 µg/m³ Kantor Bupati Titik Pantau Desa Oluhuta Desa Bubeya 26 52 27 10836 8228 8428 45.9 24.22 17.9 39 97 78 Sumber: Balihristi, 2011 Dari Tabel 4.6. di atas diperoleh hasil yang beragam tetapi tidak menonjol untuk satu titik pantau dari setiap parameter. Penyebab lain pencemaran udara di kabupaten Bone Bolango adalah pembakaran jerami sisa hasil panen di kawasan pertanian. Kabupaten Bone Bolango sendiri memiliki areal pertanian yang cukup luas. Fenomena pembakaran Jerami Hasil Panen seperti terlihat pada Gambar 4.5. sebagai berikut. Gambar 4.5. Pembakaran Jerami di Persawahan Dari Gambar 4.5 di atas seharusnya pembakaran jerami tidak perlu dilakukan oleh para petani, sebab hal inilah yang dapat menimbulkan pencemaran 60 udara, mengurangi jarak pandang serta mengganggu pernapasan dan kesehatan mata penduduk. Dari hasil pengamatan di lapangan, sebagian luas kabupaten Bone Bolango memiliki daerah persawahan yang cukup luas tersebar di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Kabila, Tapa dan Suwawa. Adanya pertambahan penduduk di Kabupaten Bone Bolango menyebabkan meningkatnya aktivitas masyarakat, pembukaan kawasan hutan yang diikuti dengan pembakaran lahan untuk pemukiman dan ladang sehingga menyebabkan kualitas udara di wilayah Kabupaten Bone Bolango terganggu. Luas lahan terutama areal persawahan di Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo makin menyempit akibat pembangunan gedung baik oleh instansi pemerintah, fasilitas umum maupun permukiman penduduk. 4.2.3. Manajemen Keterpaduan Kawasan DAS Dalam pengelolaannya, daerah aliran sungai (DAS) hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat, sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada hubungan antara kebutuhan manusia dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengelolan dan pengawasan sumberdaya alam merupakan tugas masyarakat yang bermukim di suatu wilayah. Sumberdaya alam merupakan kebutuhan pokok manusia dan menjadi suatu keharusan untuk menjaganya, manakala sumberdaya tersebut tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah maka dampaknya akan kita rasakan. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah sering menimbulkan dampak negative terhadap lingkungan biofisik ekosistem DAS. Jika ekosistem DAS 61 terganggu maka sumberdaya akan berkurang dan tidak mencukupi kebutuhan manusia. Pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaikbaiknya dari segi ukuran fisik, teknis, ekonomi, sosial budaya maupun keamanankemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan. Kota Gorontalo diapit oleh dua DAS besar yang ada di Provinsi Gorontalo. Pertama, DAS Bolango yang menjadi batas topografi antara Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo melintasi 3 (tiga) daerah yaitu Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo. Kedua, DAS Bone yang bermuara di Kota Gorontalo (teluk Tomini) dengan kawasan hulu yang terdapat di Kabupaten Bone Bolango. Pertumbuhan penduduk di kota Gorontalo membutuhkan areal untuk permukiman dan fasilitas umum lainnya. Penduduk lebih memilih untuk membangun kawasan pemukiman di jalur hijau dan bantaran sungai, menyebabkan terganggunya jalur hijau bantaran sungai Bone dan sungai Bolango. Aktivitas lain yang dilakukan masyarakat terhadap sungai adalah tempat MCK, dan membuang sampah ke badan sungai. Sungai dipandang sebagai tempat yang gratis dan mudah untuk membuang sampah rumah tangga. Hal ini dapat menimbulkan tercemarnya air sungai dan rusaknya ekosistem sungai. Demikian halnya dengan aktivitas pembangunan gedung dan sarana lain yang banyak menggunakan material batuan dan pasir yang berasal dari sungai Bone dan Bolango. Pengerukan pasir di badan sungai mengakibatkan kekeruhan air, meluasnya bantara kali dan berakibat meluasnya areal banjir. 62 Manajemen pengelolaan DAS untuk wilayah kota Gorontalo harus terintegrasi dan terencana serta melibatkan semua stakeholder, berbasis kepentingan masyarakat umum. Tujuan dalam pengelolaan DAS ialah mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuanya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam dan yang berkembang menurut waktu. Dalam ungkapan “sesuai dengan kemampuannya” tersirat pengertian selaras dan lestari. Ungkapan “manfaat lengkap” dan “kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang menurut waktu” mengisyaratkan bahwa (1) hasil keluaran DAS tidak boleh tunggal, akan tetapi harus terdiri atas berbagai hasil luaran yang optimum, dan (2) rencana pengelolaan harus bersifat lentur (flexible) yang berisi sejumlah alternatif. Peta daerah aliran sungai Bone-Bolango yang mengapit wilayah Kota Gorontalo disajikan pada Gambar 4.6 sebagai berikut; Sumber; Data dimodifikasi dari temuan Asda Rauf (2012) Gambar 4.6. Peta Kawasan DAS Bone Bolango 63 Dari hasil analisis Gambar 4.6 di atas, rencana pengelolaan DAS Bone dan DAS Bolango dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadah atau daerah kepala sungai. Satuan pengelolaan hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Di wilayah Kota Gorontalo kondisi DAS Bone telah mencapai titik jenuh dalam menampung kapasitas air hujan. Rusaknya jalur hijau kawasan sungai Bone akibat aktivitas penduduk menyebabkan terjadinya abrasi tepi sungai. Bagian hilir sungai Bone yang bermuara di Teluk Tomini terjadi pendangkalan akibat muatan sedimen yang dibawa dari kawasan dan akibat aktivitas masyarakat. Kawasan hilir sungai Bone yang merupakan wilayah estuaria (tempat memijah dan bertelur ikan) sudah terganggu, akibat lain dari pendangkalan bagian hilir sungai Bone adalah aktivitas bongkar muat kapal laut terganggu. Hal ini terbukti di lapangan banyak kapal yang akan merapat atau bersandar di pelabuhan hanya ketika air pasang. Aktivitas yang terjadi di muara Sungai Bone disajikan pada Gambar 4.7 sebagai berikut. Sumber; http://www.google.co.id/search?q=peta+das+bone+bolango Gambar 4.7. Aktivitas Yang Terjadi Di Muara Sungai Bone 64 Tujuan pengelolaan DAS Bone bagian hilir adalah: a) mencegah atau mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan sehingga tidak merusak dan menurunkan kemampuan lahan. b) memperbaiki pengaturan (drainage) lahan untuk kawasan pemukiman. (3) meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber air tersediakan. (4) meliorasi tanah, termasuk memperbaiki daya tanggap tanah terhadap pengairan, dan jika perlu juga reklamasi tanah atas tanah-tanah garaman, alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah. Wilayah Kabupaten Bone Bolango merupakan kawasan hulu DAS Bone dan DAS Bolango. Keterpaduan manajemen pengelolaan daerah aliran sungai Bone-Bolango seharusnya terintegrasi antara dua wilayah yaitu Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Kawasan hulu sungai merupakan sumber penyedia air dan oksigen. Untuk mengantisipasi aktivitas yang dilakukan penduduk di sepanjang jalur hijau sungai Bone dan Bolango, maka pemerintah Kabupaten Bone Bolango perlu mengontrol aktivitas yang dilakukan penduduk. Keterpaduan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai harus dilaksanakan melalui pendekatan ekosistem, sehingga membawa implikasi dalam penanganannya yang mengharuskan adanya keterpaduan dalam pengelolaan. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara terpadu (Ahmadjayadi, 2001) adalah : a. Terdapat keterkaitan berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembinaan aktifitas manusia dalam penggunaannya. b. Melibatkan berbagai disiplin ilmu c. Melibatkan berbagai sektor. 65 Sistem pengelolaan sumber DAS dalam rangka desentralisasi yang utuh dan bulat pada daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada perencanaan secara bottom up. Perencanaan ini bertitik tolak dari peran serta stakeholder dalam forum koordinasi perencanaan, pengaturan pembangunan dan perlindungan dan perlindungan sumberdaya air di wilayah sebagai berikut: 1. Tingkat Masyarakat a. Persepsi masyarakat terhadap DAS sebagai suatu system (keterkaitan antara bagian hulu dan bagian hilir) b. Peran serta masyarakat dalam proses pelestarian sumber daya alam dan pengelolaan sumber daya air. c. Hak dan kewajiban dan pemerintah (daerah dan pusat) dalam pengelolaan sumber daya air. 2. Tingkat Kabupaten/Kota a. Instansi atau leading sector yang dianggap kompeten dalam pengelolaan DAS. b. Model kelembagan dan bentuk peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS c. Tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan DAS d. Pengelolaan DAS lintas daerah/kabupaten e. Penyelenggaraan operasional pengelolaan DAS 3. Tingkat Provinsi a. Instansi yang dianggap kompeten dalam pengelolaan DAS 66 b. Model kelembagaan dan bentuk peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS c. Tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan DAS d. Pengelolaan DAS lintas daerah dan provinsi e. Penyelenggaraan pengelolaan DAS dari aspek manajemen seperti (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/pengendalian, monitoring dan evaluasi) Upaya untuk mencegah banjir yang sering terjadi di kota Gorontalo dengan membuat kanal adalah langkah awal untuk mengatur system pengairan di sepanjang sungai Bone dan sungai Tamalate. Menurut Roy & Arora (1973) faktor-faktor yang berdaya (affect) atas program pengelolaan daerah tadahan atau DAS hulu ialah (1) bentuk dan luas daerah tadahan, (2) lereng dan timbulan makro (3) keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4) intensitas, jangka waktu curah hujan (5) rupa dan mutu vegetasi penutup, (6) penggunaan lahan terkini. Perlakuan terhadap DAS Bone dan Bolango di bagian hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS, karena hal itu akan menentukan keuntungan yang dapat diperoleh atau kesempatan yang terbuka dalam pengelolaan DAS hilir. Fenomena yang terjadi di kawasan hulu DAS Bone adalah pembukaan lahan akibat meningkatnya jumlah penduduk yang masuk dalam kawasan hutan. Aktivitas yang dilakukan penduduk seperti; membuat pemukiman permanen, pembukaan lahan pertanian dan penambangan emas liar secara tradisonal. Dampak yang timbul akibat aktivitas masyarakat ini adalah 67 terbukanya kawasan, rusaknnya system hidrologi air dan terjadi pencemaran di badan sungai akibat penambangan emas liar yang menggunakan logam berat mercury (Hg). Pengelolaan DAS hulu sungai Bone akan menentukan seberapa besar dampak yang akan ditimbulkan di bagian hilir sungai wilayah kota Gorontalo. Aktivitas penduduk yang membuka lahan dikawasan hulu DAS Bone disajikan pada Gambar 4.8 berikut; Sumber: Penelitian tim UNG, 2008 Gambar 4.8. Aktivitas Yang Berlangsung Di Bagian Hulu DAS Bone Aktivitas pada gambar 4.8 di atas berlangsung hingga saat ini, bahkan sudah menjadi konflik yang berdampak pada kondisi sosial, kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. 4.2.4. Ketersediaan Air Bersih dan Pencemaran air Air adalah zat atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui sampai saat ini di bumi. Tubuh manusia terdiri dari 55% sampai 78% air, tergantung dari ukuran tubuh. Ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan 68 sehari-hari merupakan masalah yang sering dihadapai oleh setiap manusia, baik pada musim penghujan maupun musim kemarau. Ketersediaan sumber air sangat sulit, warga perkotaan memperoleh air bersih lebih bergantung pada PDAM daripada mata air alami atau warga memperoleh dengan membeli air. Sulitnya sumber air di daerah tertentu dapat juga disebabkan kondisi fisik wilayahnya berupa perbukitan dengan batuan yang keras, batu cadas, sehingga tidak mudah bagi penduduk untuk membuat sumur. Air dari mata air mengandung unsur-unsur kimia seperti Na, Mg, Ca, Fe, O2, selain itu air sering mengandung bakteri/mikroorganisme lainnya. Air yang mengandung bakteri/ mikroorganisme tidak dapat langsung digunakan sebagai air minum, tetapi harus diprosses atau direbus terlebih dahulu. Peningkatan kuantitas air adalah syarat kedua setelah kualitas, karena semakin maju tingkat hidup seseorang makin meningkat pula kebutuhan air (Totok, 2004). Untuk itu, berbagai lembaga di pedesaan telah mengelola sumber mata air dengan cara dibuatkan bak penampungan air yang kemudian dialirkan ke rumah penduduk. Ada tiga sumber air yang paling banyak ditemukan, yakni air permukaan, air tanah dan air hujan. Pertama; air permukaan adalah air hujan yang mengalir di permukaan bumi. Pada umumnya air permukaan ini mendapat pengotoran selama pengalirannya, misalnya oleh lumpur, batang-batang kayu, daun-daun, dan sebagainya. Air permukaan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu: 1) perairan tergenang, dan 2) badan air mengalir. Kedua; air tanah merupakan air yang berada di bawah permukaan tanah. Air tanah merupakan 69 sumber utama, tapi bukan satu-satunya sumber air minum karena itu kelayakan air tanah tersebut menjadi persoalan utama. Air tanah adalah air yang keluar dengan sendirinya kepermukaan tanah. Mata air yang berasal dari tanah dalam, hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kuantitas/ kualitasnya sama dengan keadaan air dalam (Sutrisno, 2004). Ketiga; air hujan berupa hasil proses alami melalui siklus hidrologi air, baik melalui proses infiltrasi secara langsung maupun tidak langsung dari ais sungai, danau rawa, dan genangan air lainnya. Pada saat infiltrasi ke dalam tanah, air permukaan mengalami kontak dengan mineral-mineral yang terdapat di dalam tanah dan melarutkannya, sehingga kualitas air mengalami perubahan karena terjadi reaksi kimia. Kadar oksigen yang masuk ke dalam tanah menurun, digantikan oleh karbondioksida yang berasal dari proses biologis, yaitu dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam air tanah. Penduduk Kota Gorontalo lebih banyak bergantung pada penyediaan air bersih dengan menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Tetapi untuk wilayah tertentu, penduduk masih menggunakan sumur gali dan sumur suntik. Ketersediaan air bersih utamanya untuk kebutuhan air minum di wilayah Kota Gorontalo sudah menjadi kebutuhan pokok. Pengelolaan air bersih yang dilakukan PDAM sering tidak mampu melayani seluruh jumlah penduduk Kota Gorontalo. Hasil observasi lapangan di beberapa tempat di wilayah kota Gorontalo mengeluhkan tentang sistem pelayanan PDAM. Pada hari-hari tertentu air dari PDAM tidak mengalir karena kapasitas (beban puncak) pemakain yang terlalu banyak. Pada tahun 90an, pelayanan PDAM untuk penduduk Kota Goorntalo 70 masih mencukupi, tetapi mulai pada tahun 2000 hingga saat ini pelayanan air bersih sering dikeluhkan. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa faktor kepadatan penduduk yang menyebabkan ketersediaan air bersih dibatasi. Terjadi peningkatan jumlah permohonan untuk dapat menggunakan jasa PDAM. Alternatif lain yang dilakukan oleh penduduk kota Gorontalo dengan memasang sumur suntik. Konsekwensi dari pemasangan sumur suntik dengan menggunakan mesin pompa air yang terhubung dengan aliran listrik, sehingga berdampak pada tagihan listrik makin meningkat. Alternatif yang sangat sederhana dengan dampak atau konsekwensi sangat kecil yaitu dengan membuat sumur gali. PDAM kota Gorontalo sendiri menggunakan sungai Bone sebagai sumber pemasuk air. Kehawatiran yang di keluhkan oleh penduduk kota Gorontalo adalah pencemaran yang terjadi di sungai Bone akibat adanya aktivitas penambangan emas liar di wilayah hulu sungai Bone. Pertambangan emas liar ini dikelola oleh masyarakat dengan menggunakan mercury (Hg). Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Balihristi (2009) terhadap indeks pencemar, kualitas air di sepanjang hulu hingga hilir sungai Bone berada pada status tercemar ringan, hal ini sebagaimana diatur dalam PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pemantauan terhadap parameter fisik dan biologi air sungai Bone menunjukan bahwa pH berada pada taraf ringan kriteria mutu air kelas I dan II (7,25). Demikian halnya konsentrasi yang terukur pada titik sampling BOD (0,63 mg/l), Chemical Oxygen Demand (COD) 0.58 mg/l, konsentrasi zat padat (Total 71 Suspended Solid) tergolong rendah 13 mg/l, NO2 <0.01, NO3 (nitrat) 0.33 ml/g dan NH3, 0.05 persen. Konsentrasi fecal coli dan total coliform air masih tergolong rendah. Status Mutu Air Di Provinsi Gorontalo disajikan pada Tabel 4.7 dan 4.8 sebagai berikut; Tabel 4.7. Status Mutu Air di Provinsi Gorontalo No Lokasi Sampling Status Mutu Kelas 1 Kelas 2 1 Bagian Hulu Cemar Ringan Cemar Ringan 2 Bagian Tengah Cemar Ringan Cemar Ringan 3 Bagian Hilir Cemar Sedang Cemar Ringan 1 Bagian Hulu Cemar Ringan Cemar Ringan 2 Bagian Tengah Cemar Ringan Cemar Ringan 3 Bagian Hilir Cemar Ringan Cemar Ringan 1 Bagian Hulu Cemar Ringan Cemar Ringan 2 Bagian Tengah Cemar Ringan Cemar Ringan 3 Bagian Hilir Cemar Sedang Cemar Ringan 1 Bagian Hulu Cemar Ringan Cemar Ringan 2 Bagian Tengah Cemar Ringan Cemar Ringan 3 Bagian Hilir Cemar Sedang Cemar Ringan Kualitas Air Sungai Paguyaman Kualitas Air Sungai Bone Kualitas Air Sungai Buladu Kualitas Air Sungai Taluduyunu Sumber : Balihristik Provinsi Gorontalo, 2012 72 Tabel 4.8. Hasil Uji Kualitas Air Sungai Bolango HASIL UJI KUALITAS AIR SUNGAI BOLANGO (Peraturan Pemerintah No : 82 /2001) Bagian ; Hilir No Parameter Satuan No Parameters Units A. B. Hasil Batas Maksimum yg diperbolehnkan Spesifikasi Metode Pemeriksaan Maximum Limit Test Result Class I Class II Class III Class IV Method Spesification FISIKA / PHYSICAL 1 Daya hantar listrik /Conduktivity 2 Zat Padat Terlarut / Total Dissolved Solid uS/Cm 74 (-) (-) (-) (-) Pemuaian mg/l 410 1000 1000 1000 2000 Gravimetrik 3 Zat Padat Tursuspensi / Total Suspended Solid mg/l 27 50 400 400 400 Gravimetrik KIMIA / CHEMICAL 1 DO / Dissolved Oxygen 2 BOD / Biological Oxygen Demand mg/l 5.41 6 4 3 0 Winkler mg/l 1.08 2 3 6 12 Winkler 3 COD / Chemical Oxygen Demand 4 Raksa / Merqury (Hg) mg/l 2.69 10 25 50 100 Titrimetri mg/l <0.001 0.001 0.002 0.002 5 Amoniak / Ammonia as N 6 Nitrat / Nitrate as N mg/l 0.15 0.5 (-) (-) (-) Kolorimetrik mg/l 0.38 10 10 10 20 Kolorimetrik 7 Nitrit / Nitrite as N mg/l <0.01 0.06 0.06 0.06 (-) APHA (Section 4500-NO2-B),2005 8 pH 9 Phospor / Phospor (P) - 7.25 6-9 6-9 6-9 6-9 SNI 06 -6989,11 2004 mg/l <0.15 (-) (-) (-) (-) Kolorimetrik mg/l 9.93 400 (-) (-) (-) mg/l <0.01 0.03 0.03 0.03 1 APHA (Section 4500-SO42-E),2005 2 APHA (Section 4500-SO4 -E),2005 12 Phenol / Fenolik 13 Minyak & Lemak / Oil & Grease mg/l <0.1 1 1 1 (-) Kolorimetrik mg/l <0.1 1000 1000 1000 (-) Gravimetrik 14 Deterjen ./ Detergent (LAS) mg/l <0.1 200 200 200 (-) Kolorimetrik 10 Sulfat / Sulfate (SO4) 11 Timbal / Lead (Pb) 3 0.005 Atomisasi Sumber : Balihristi, Profil Sungai Gorontalo, 2008 Lain halnya dengan penduduk Kabupaten Bone Bolango, dimana sebagian masyarakatnya lebih banyak menggunakan air yang bersumber dari sumur gali. Pengguna air PDAM kurang lebih 685 dari jumlah penduduk kabupaten Bone Bolango. Untuk wilayah tertentu seperti kecamatan Kabila, Kecamatan Tapa dan Suwawa sebagian masyarakatnya menggunakan air PDAM. Perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan ekonomi yang terjadi di kabupaten Bone Bolango memicu meningkatnya permintaan pemasangan jasa PDAM. Konsumsi air minum di Kabupaten Bone Bolango disajikan pada Tabel 4.9 sebagai berikut. 73 Tabel 4.9 Jenis Penggunaan Air di Kabupaten Bone Bolango Jenis Penggunaan Air Perusahaan air minum Air Tanah Air Sungai Air Hujan Air Kemasan Mata air dan lainnya Prosentase (%) 68 20 3 0.5 7 1.2 0.3 100 % % % % % % % % Sumber; BLH-SLHD Bone Bolango, 2012 Pemerintah Kabupaten Bone Bolango lebih memprioritaskan penanganan dan rehabilitasi sumber-sumber mata air untuk keberlanjutan siklus hidrologi air. Tekanan penduduk yang setiap tahun meningkat akan menuntut ketersediaan air bersih yang cukup banyak. Hasil pengukuran yang dilakukan di sungai Bone disajikan pada tabel 4.10 sebagai berikut; Tabel 4.10. Hasil Pengukuran Kualitas Air Sungai Bone Sat mg/L Baku Mutu 200 Hasil Analisa 80 - 6.0-9.0 8,15 Tembaga (Cu) mg/L 2 0,0340 4 Seng (Zn) mg/L 5 0,0440 5 Kromium Val 6 mg/L 1 0,0475 6 Kadmin (Cd) mg/L 0,1 0,0135 7 Raksa (Hg) mg/L 0,005 0,0008 8 Timbal (Pb) mg/L 1 0,0091 9 Arsen (As) mg/L 0,5 0,0056 10 Nikel mg/L 0,5 0,2120 No 1 Parameter TSS 2 pH 3 Metode Pengujian SNI.06-6989.32004 SNI.06-6989.112004 SNI.06-6989.62009 SNI.06-6989.72009 SNI.6989-53-2010 Limit Detection 0,0080 0,0072 SNI.06-6989.162009 SNI.06-2462-1991 0,0039 SNI.06-6989.82009 - 0,0056 0,0007 SNI.06-6989.182009 Sumber: Mahmud (dalam BLH-SLHD Bone Bolango, 2012) 74 Dari Tabel 4.10 di atas dapat dilihat bahwa kualitas air sungai Bone sudah tercemar walaupun angka atau nilai yang terukur belum tercemar berat. Penyebab tercemarnya sungai Bone banyak diakibatkan adanya aktivitas penambangan emas liar yang menggunakan zat kimia (Hg) untuk memproses bijih emas. Pencemaran air akibat aktivitas PETI disajikan pada Gambar 4.9. sebagai berikut. Sumber : Foto Sukirman Rahim, 2012 Gambar 4.9. Kondisi Badan Air Akibat Aktivitas PETI 4.2.5. Penyebab Banjir Banjir setiap tahun terjadi, penanganan banjir masih belum optimal. Pengendalian banjir (flood control) seperti pada awalnya kemudian disebut mitigasi banjir (flood mitigation) masih relatif sama dengan tambahan perhatian untuk kegiatan non-struktural, dan terakhir ini disebut pengelolaan banjir (flood management) dengan melihat lebih menyeluruh dan menekankan pentingnya penanganan non-struktural dan social. Namun semuanya relatif masih berkonsentrasi di sungai dengan mengaggap bahwa kalau banjir masalah utamanya adalah di sungai. 75 Debit banjir (Q) dari waktu ke waktu meningkat terus besarannya dengan besaran curah hujan (R) yang relatif sama. Kalaupun besaran curah hujan lebih besar maka debitnya juga lebih besar daripada debit sebelumnya untuk curah hujan yang sama. Daerah genangan semakin dalam atau tinggi dan semakin meluas. Daerah yang sebelumnya tidak tergenang sejak beberapa tahun lalu tergenang. Relatif tiap tahun ada daerah baru yang tergenang. Artinya bahwa debit banjir dengan periode ulang (return period) 10 tahun (Q10) atau 25 tahun (Q25) atau 50 tahun (Q+) dianggap sama saat ini dan disaat nanti. Malah dianggap 10, 25, 50 tahun depan debitnya masih sama dengan hasil hitungan hari ini, karena curah hujan dengan periode ulang 10 tahun (R10) atau 20 tahun (R20) atau 50 tahun (R50) memang masih relatif sama. Pendapat ini sangat keliru. Daerah Kota Gorontalo merupakan daerah yang memiliki dataran rendah. Dengan intensitas hujan yang tinggi sering mengakibatkan wilayah Kota Gorontalo mengalami peningkatan debit air yang tinggi sehingga menyebabkan banjir. Letak dan kondisi topografi wilayah Kota Gorontalo diapit oleh tiga DAS dengan sungai terbesar yaitu sungai Bone, sungai Bolango dan Tamalate. Daya tampung ketiga sungai yang berlebihan sering menimbulkan genangan dan banjir di beberapa wilayah kecamatan di Kota Gorontalo. Penyebab lain dari banjir di Kota Gorontalo adalah sistem drainase yang kurang baik. Kita menyadari bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan tempat tinggal meningkat terus sehingga pembangunan perumahan meningkat. Lahan-lahan telah dijadikan pembangunan perkantoran atau pusat kota dan prasarana lain seperti jalan dan lain-lain. Temuan di beberapa 76 titik pantau Kota Gorontalo, lahan telah dijadikan perumahan, telah dilakukan tutupan perumahan atau perkerasan beton atau aspal/jalan. Penutupan lahan dengan beton menyebabkan semakin kecil jumlah luasan lahan tempat meresapnya air (infiltrasi) sehingga imbuhan air tanah (groundwater recharge) semakin mengecil dan aliran limpasan air permukaan atau run off (RO) semakin meningkat terus dari waktu ke waktu. Banjir di Kota Gorontalo sudah merupakan hal yang biasa ketika musim penghujan tiba, seperti yang terlihat dalam Gambar 4.10. Gambar 4.10 Bancana Banjir yang Sering Terjadi di Kota Gorontalo Pemerintah Kota Gorontalo harus lebih memprioritaskan penanganan masalah banjir dengan menyiapkan sistem drainase perkotaan. Penyediaan sistem drainase tersebut harus dibebankan kepada pengembang perumahan. Sampai saat ini program pemerintah Provinsi Gorontalo dalam hal penanganan banjir relatif diarahkan ke sungai dengan melakukan pelebaran sungai, pembangunan tanggul atau meninggikan tanggul, perkuatan tebing, membangun bendungan/waduk, dan membuat banjir kanal (floodway). Program ini merupakan salah satu upaya yang 77 dilakukan oleh pemerintah daerah selain melakukan sosialisasi tentang keberadaan lingkungan sekitar. 4.2.6. Penumpukan Sampah dan Limbah Rumah Tangga Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat telah meningkatkan jumlah timbulan sampah, jenis, dan keberagaman karakteristik sampah. Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi serta meningkatnya usaha atau kegiatan penunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan. Meningkatnya volume timbulan sampah memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah yang tidak mempergunakan metode dan teknik pengelolaan sampah yang ramah lingkungan selain akan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan juga akan sangat mengganggu kelestarian fungsi lingkungan baik lingkungam pemukiman, hutan, persawahan, sungai dan lautan. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: 1) sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, 78 seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya. Kota Gorontalo merupakan daerah penghasil sampah relative tinggi. Jumlah penduduk dan pola konsumsi sangat berpengaruh terhadap penumpukan sampah di Kota Gorontalo. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanjung kramat yang selama ini di gunakan oleh warga atau penduduk Kota Gorontalo. Pemandangan yang sering kita lihat di sudut-sudut Kota Gorontalo banyak terjadi penumpukan sampah hasil aktivitas masyarakat. Hasil pemantauan yang dilakukan di wilayah Kota Gorontalo penumpukan terjadi di pasar Sentral, pasar harian seperti pasar Liluwo, pasar 45, dan pasar Talumolo. Sudut lain yang terjadi penumpukan sampah seperti pemukiman perumnas Pulubala, perumahan Awara Karya dan perumahan Civica. Berdasarkan catatan Badan Lingkungan Hidup Kota Gorontalo pada Juli hingga pertengahan Agustus 2012 terjadi peningkatan 560 kubik sampah per hari. Padahal menurut catatan tahun sebelumnya jumlah kapasitas sampah yang diangkut berkisar 400 kubik per hari. Pemerintah Kota Gorontalo telah menyediakan sarana angkutan sampah kurang lebih 15 unit truk . Selain fasilitas kendaraan pemerintah juga merekrut tenaga cleaning service (pasukan kuning). Penyediaan fasilitas dan tenaga ini menurut BLH kota masih kurang dan belum mampu melayani wilayah Kota Gorontalo secara keseluruhan. Untuk mendukung fasilitas tersebut pemerintah kota menyediakan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) di beberapa titik Kota Gorontalo. Titik-titik TPS tersebut seperti 79 di lokasi Gelael, SMP 2 Kota Gorontalo, Mall Gorontalo, dan belakang pasar Sentral. Data yang di peroleh dari BLH Kabupaten Bone Bolango bahwa timbunan sampah di wilayah tersebut terbilang tinggi. Hasil pemantauan yang di lakukan di beberapa tempat wilayah kabupaten Bone Bolango, penumpukan sampah banyak terdapat di pasar, sekolah dan instansi pemerintah. Data timbunan sampah menurut kecamatan di Kabupaten Bone Bolango disajikan pada tabel 4.11. Tabel 4.11. Timbunan Sampah Menurut Kecamatan Di Kabupaten Bone Bolango No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Kecamatan Tapa Bulango Utara Bulango Selatan Bulango Timur Bulango Ulu Kabila Botupinggi Tilongkabila Suwawa Suwawa Selatan Suwawa Timur Suwawa Tengah Bone Pantai Kabila Bone Bone Raya Bone Bulawa Jumlah Titik Timbunan Sampah 1718 1733 2428 1249 903 5251 1399.5 4142.3 2672 1199 1644.5 1429 2444 2443.8 1469 2168.5 1190.8 35484.4 Sumber: BLH Bone Bolango, 2012 Dari Tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa kecamatan yang memiliki timbunan sampah tertinggi adalah kecamatan Tilongkabila (4142.4) dan kecamatan Bulango Ulu yang memiliki timbunan sampah paling sedikit. 80 4.3. Prakiraan Dampak Berdasarkan analisis pada fokus kajian di atas, dapat diidentifikasi beberapa komponen yang akan menimbulkan perubahan mendasar (dampak positif/negatif besar dan penting) terhadap sejumlah komponen lingkungan hidup di Provinsi Gorontalo. Persebaran penduduk yang tidak merata memberikan dampak akan kesenjangan sosial, tidak meratanya pembangunan ekonomi, dan perubahan kualitas lingkungan di wilayah Provinsi Gorontalo. Peningkatan populasi penduduk akan menyebabkan kerusakan biofisik lingkungan karena semakin bertambah populasi manusia maka kebutuhan terhadap sumberdaya alam hayati dan non hayati akan semakin meningkat pula. Meningkatnya pertumbuhan penduduk di Provinsi Gorontalo menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau seperti areal hutan dan taman yang berubah peruntukannya menjadi pemukiman, pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya. Hal ini juga memberikan dampak terutama bagi daerah-daerah di kabupaten lainnya di Provinsi Gorontalo seperti halnya di Kabupaten Pohuwato terjadi perambahan lahan hutan mangrove untuk pertambakan udang, demikian halnya penggunaan lahan di pesisir Danau Limboto untuk permukiman penduduk, bahkan perairan umum danau Limboto telah dikapling secara perorangan. Akibat dari pemanfaatan ruang terbuka hijau untuk pembangunan telah berdampak pada kerusakan kawasan konservasi yang ada di wilayah ini, hingga ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati. Pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi sumberdaya alam akan berdampak pada penyusutan luasan ekosistem hutan mangrove secara dramatis. Pembukaan hutan dataran rendah 81 yang berada di Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Boalemo untuk perkebunan kelapa sawit merupakan contoh perubahan habitat yang berdampak menurunkan keanekaragam hayati. Pengelolaan sumber daya alam (mineral) yang tidak ramah lingkungan seperti Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) yang menyebabkan sungai-sungai di Provinsi Gorontalo tercemar akibat kandungan merkuri (Hg) dari penambangan emas tersebut, seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Gorontalo Utara (Buladu) dan Kabupaten Bone Bolango. Bila lingkungan mengalami kerusakan akibat kegiatan produksi, maka lingkungan tidak lagi dapat memberikan daya dukung secara penuh dan berakibat sistem tidak akan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Sumber daya perikanan misalnya, akibat pertumbuhan penduduk maka daya dukung Danau Limboto dengan sumber perikanannya terancam punah. Mengeksplorasi secara besar-besaran berbagai ikan di Danau Limboto menyebabkan punahnya spesies ikan tertentu. Dengan bertambahnya penduduk perubahan lain yang bersumber dari rusaknya kondisi biofisik lingkungan hidup di Provinsi Gorontalo berdampak pada meningkatnya masalah kesehatan. Kondisi Kota Gorontalo dengan masalah lingkungan hidup yang kompleks menimbulkan penyakit. Makin banyak penduduk terpusat di Kota Gorontalo menyebabkan meningkatnya polusi, melebihi kemampuan usaha manusia maupun alami dalam membersihkan air dan udara. Debu dan akibat-akibat sampingan lain dari pembakaran berhubungan langsung dengan penyakit dan kematian. Diare dan influensa adalah penyakit yang terindikasi mendominasi penyebab kematian di Provinsi Gorontalo. 82 Komponen-komponen lingkungan yang akan terkena dampak negatif/positif akibat adanya kepadatan penduduk yang perlu dikelola dan dirumuskan upaya penanggulangannya adalah sebagai berikut: 1. Lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) a. Jenis dan sumber dampak penting Akibat dari meningkatnya jumlah penduduk maka jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah lahan yang digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau. Sumber dampak adalah kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan ruang terbuka hijau. b. c. Dampak positif yang akan di timbulkan, adalah;  Sebagai paru-paru kota,  Jalur hijau untuk menyerap karbon dan menghasikan oksigen  Penyerap dan penyimpan cadangan air tanah  Memberikan nilai estetika  Tersedianya fasilitas umum untuk tempat rekreasi.  Sarana olah raga dan kebugaran Dampak negatif yang akan timbul jika tidak tersedia ruang terbuka hijau, atau tidak di kelola secara baik, adalah;  Mengurangi penyerapan karbon dioksida dari polusi udara dan pemanasan permukaan bumi  Mengurangi daerah penyerapan dan penyimpan cadangan air tanah  Dapat merusak tatanan dan pemandangan sudut kota  Menimbulkan gangguan sosial dan keamanan 83 d. Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;  Membuat regulasi tentang penggunaan atau pemanfaatan  Melakukan sosialisasi dan pendekatan sosial di masyarakat tentang fungsi RTH.  Berkoordinasi dengan semua pihak untuk selalu mengawasi dan menjaga fungsi dan manfaat RTH. 2. Kebutuhan Udara dan Pencemaran Udara a. Jenis dan sumber dampak penting Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi tingkat kebutuhan udara di suatu lingkungan, maka jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah timbulnya persepsi negatif dan postif masyarakat terhadap tingkat kebutuhan dan pencemaran udara. Sumber dampak adalah kebutuhan udara dan penyebab terjadinya pencemaran udara . b. c. Dampak positif yang akan di timbulkan;  Lingkungan akan menjadi sehat  Tidak akan menimbulkan penyakit pada paru.  Melakukan aktivitas dengan santai dan tidak terganggu  Siklus atau pertukaran udara akan berjalan normal  Dapat terdeteksi dengan jelas jenis pencemaran udara Dampak negatif yang akan timbul jika terjadi pencemaran udara, adalah;  Menimbulkan penyakit dan gangguan saluran pernapasan 84 d.  Siklus atau pertukaran udara tidak akan normal  Menimbulkan gangguan sosial dan keamananan  Akan memberikan rasa tidak nyaman bagi lingkungan sekitar Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;  Melakukan pengukuran kualitas udara minimal setiap 3 bulan  Membuat program penanaman pohon di lingkungan masing-masing untuk menyerap karbon atau jenis pencemar lainnya..  Berkoordinasi dengan semua pihak untuk selalu mengawasi dan menjaga akan bahaya pencemaran udara.  Melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakat akan manfaat dari udara bersih. 3. Manajemen Keterpaduan Kawasan Daerah Aliran Sungai a. Jenis dan sumber dampak penting Manajemen keterpaduan Daerah Aliran Sungai untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat agar peningkatan jumlah penduduk tidak akan mempengaruhi kualitas suatu lingkungan, maka jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah timbulnya persepsi negatif dan postif masyarakat terhadap penggunaan lahan tidak sesuai fungsinya. Sumber dampak adalah penggunaan lahan oleh pemerintah dan masyarakat terhadap kawasan Daerah Aliran Sungai. b. Dampak positif yang akan di timbulkan;  Memberikan rasa aman dan nyaman di masyarakat  Penggunan lahan akan jelas sesuai fungsi dan manfaatnya. 85  Ekosistem aliran sungai akan bersih dan terjaga hari kawasan hulu sampai hilir.  c. Penggunaan kawasan sungai sebagai pengelola jasa PDAM akan terjaga. Dampak negatif yang akan timbul jika DAS tidak di kelola secara terpadu, adalah;  Penggunaan lahan yang tidak terkendali, sehingga memberi dampak ikutan berikut;  Permukiman di bantaran sungai, terjadi pelebaran arus aliran sungai  Penyebab terjadinya banjir karena kapasitas sungai yang tidak mampu menampung debit air hujan.  Menimbulkan ganggunya ekosistem sungai  Menimbulkan abrasi tepi sungai  Sungai akan menjadi mata pencaharian bahan galian C oleh masyarakat.  Memberikan rasa tidak aman akan kualitas air minum yang digunakan oleh jasa PDAM. d. Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;  Koordinasi secara terpadu dan terprogram antara kawasan hulu dan hilir.  Rencana peruntukan lahan  Penertiban penggunaan lahan  Membuat aturan dan memberikan sangsi keras terhadap penduduk yang akan melakukan aktivitas di kawasan sungai.  Mengatur atau menata pemukiman penduduk terhadap lokasi-lokasi yang rawan akan abrasi tepi sungai 86  Melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakat akan manfaat dari pengelolan manajemen Daerah Aliran Sungai 4. Ketersediaan Air Bersih dan Pencemaran Air a. Jenis dan sumber dampak penting Air merupakan kebutuhan pokok setiap manusia karena sepertiga tubuh manusia dibentuk dan memerlukan air yang bersih. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi tingkat kebutuhan dan pencemaran air, maka jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah timbulnya persepsi negatif dan postif masyarakat terhadap tingkat konsumsi dan pencemaran pada sumber air. Sumber dampak adalah ketersediaan air bersih dan penyebab pencemaran air. b. c. Dampak positif yang akan di timbulkan;  Sumber air akan tetap terjaga  Ketersediaan kebutuhan air akan tercukupi  Kebutuhan air dalam tubuh manusia akan terpenuhi (tidak dehidrasi)  Siklus hidrologi air yang terbentuk secara alami akan tetap berlangsung.  Memberikan rasa aman dan nyaman akan kebutuhan air.  Dapat terdeteksi dengan jelas jenis pencemaran air Dampak negatif yang akan timbul jika tidak tersedia air bersih bahkan terjadi pencemaran air, adalah;  Dapat menimbulkan dehidrasi (penyakit)  Kehidupan umat manusia akan terganggu dan terancam 87 d.  Siklus hidrologi air akan terganggu  Menimbulkan gangguan sosial dan keamananan Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;  Menindak tegas terhadap masyarakat atau perusahaan yang melakukan pencemaran terhadap sumber air bersih  Melakukan pengukuran terhadap kualitas air bersih di lingkungan masyarakat dan sungai sebagai sumber air untuk jasa PDAM.  Berkoordinasi dengan semua pihak untuk selalu mengawasi dan menjaga akan bahaya pencemaran air  Perijinan pembuangan limbah cair  Menyiapkan rencana induk yang melibatkan berbagai instansi terkait dalam hal pengendalian kualitas dan sumber daya air dengan acuan baku mutu peruntukkannya.  Melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakat akan manfaat dari air. 5. Bahaya Banjir a. Jenis dan sumber dampak penting Kelebihan kapasitas daya tampung air di badan sungai dan tidak berfungsinya sistem drainase akan menyebabkan banjir untuk kawasan-kawasan yang memiliki dataran rendah. Banjir akan menimbulkan kerugian ekonomi, memberikan dampak sosial dan menyisakan atau menimbulkan penyakit dimasyarakat. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi aktivitas masyarakat, maka jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah timbulnya persepsi negatif dan postif masyarakat terhadap bahayanya banjir untuk suatu 88 daerah. Sumber dampak adalah kelebihan kapasitas air yang tidak tertampung di badan sungai. b. Dampak positif yang akan di timbulkan  Dapat terdeteksi secara dini melalui intensitas hujan  Dapat diketahui kawasan yang memiliki sistem drainase yang kurang baik c. d. Dampak negatif yang akan timbul, adalah;  Kerugian material atau ekonomi masyarakat  Terganggunya kehidupan sosial  Menimbulkan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;  Membangun kawasan lingkungan yang lebih menyerap aliran permukaan air.  Menyiapkan pedoman siaga banjir sebagai prosedur baku operasi pengendalian banjir yang berlaku untuk seluruh instansi terkait  Prediksi Banjir  Melakukan penghijauan dan reboisasi di kawasan hutan atau hulu aliran sungai  Mengatur tatanan dan perbaikan sistem drainase wilayah.  Menindak tegas terhadap masyarakat atau perusahaan yang melakukan atau merusak kawasan hutan sesuai aturan yang berlaku  Membuat regulasi daerah tentang penanganan masalah bahaya banjir  Menyediakan anggaran terhadap tanggap darurat 89  Melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakat untuk selalu menjaga lingkungan tempat hidup. 6. Penumpukkan Sampah dan Limbah Rumah Tangga a. Jenis dan sumber dampak penting Masalah sampah sering diakibatkan oleh aktivitas penduduk, oleh karena itu penumpukan atau kelebihan sampak sering ditentukan oleh jumlah kepadatan penduduk di suatu wilayah. Sampah merupakan sisa dari aktivitas masyarakat yang sudah tidak dapat digunakan kembali. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi jumlah atau volome sampah, maka jenis dampak penting yang perlu dikelola adalah timbulnya persepsi negatif dan postif masyarakat terhadap masalah sampah. Sumber dampak adalah menumpuknya sampah akibat aktivitas masyarakat. b. c. c. Dampak positif yang akan di timbulkan  Dapat didaur ulang melalui kegiatan sosial di masyarakat  Memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat tertentu Dampak negatif yang akan timbul jika sampah tidak di kelola, adalah;  Menimbulkan bau sehingga berpengaruh terhadap kualitas udara  Menimbulkan penyakit menular  Nilai estetika suatu kota atau wilayah akan terganggu  Penyebab tersumbatnya sistem drainase Melakukan rencana pengelolaan dan pengawasan melalui;  Menyediakan TPS dan TPA sampah.  Menyediakan fasilitas tempat sampah di tempat umum. 90  Menindak tegas terhadap masyarakat atau perusahaan yang membuang sampah sembarangan  Menyediakan sarana dan prasarana penunjang kebersihan kota atau kabupaten  Melakukan sosialisasi melalui sekolah, media dan lingkungan masyarakat tentang sampah. 91 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan kajian yang telah dilakukan, dapat di simpulkan sebagai berikut: 1. Penyediaan ruang terbuka hijau untuk wilayah Provinsi Gorontalo telah dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun, beberapa titik lokasi RTH bukan merupakan milik pemerintah. Untuk mengantisipasi dampak dari kepadatan penduduk, maka pemerintah Provinsi Gorontalo mengeluarkan regulasi tentang pengawasan dan pengelolaan RTH. Dampak yang signifikan dialami oleh kawasan RTH di kabupaten yang berada di Provinsi Gorontalo seperti Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Bualemo dan Kabupaten Pohuwato. Akibat aktivitas di kawasan hutan untuk pemukiman dan pertambangan emas liar, telah banyak terjadi pengrusakan dan perubahan status kawasan hutan di Provinsi Gorontalo. 2. Pencemaran udara untuk wilayah Provinsi Gorontalo, diakibatkan oleh hasil pembakaran kendaraan bermotor dan pembakaran sampah di sembarang tempat. Pencemaran udara di Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Bualemo dan Kabupaten Pohuwato dapat diakibatkan oleh pembakaran jerami hasil panen petani, hingga pembakaran lading di lereng-lereng pegunungan. 92 3. Manajemen pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Provinsi Gorontalo seharusnya dilakukan secara terpadu. Hal ini telah dibuktikan berdasarkan letak topografi dan geografis dari Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yang memiliki tanggung jawab yang sama dalam pengelolaan DAS Bone dan DAS Bolango. Mengingat letak bagian hulu DAS Bone dan Bolango berada di kabupaten Bone Bolango dan letak bagian hilir berada di wilayah Kota Gorontalo, sehingga permasalahan kedua DAS ini juga berdampak pada 23 anak sungai di Provinsi Gorontalo yang tersebar di Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Bualemo dan Kabupaten Pohuwato 4. Ketersediaan air bersih di Provinsi Gorontalo, umumnya penduduk di daerah ini selain menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), juga memperoleh air bersih dari air tanah melalui sumur tradisional dan sumur suntik. Pencemaran air di sungai Bone akibat aktivitas pertambangan emas liar yang menggunakan air raksa (Hg), juga terjadi di Kabupaten lain di Provinsi Gorontalo seperti Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, dan Kabupaten Pohuwato yang daerah ini juga memiliki kawasan penambangan emas tanpa ijin. 5. Penyebab banjir yang sering terjadi di Provinsi Gorontalo, yaitu letak topografi yang rendah, system drainase yang kurang baik, penutupan di areal terbuka yang menggunakan beton, dan kapasitas sungai Bone dan Bolango yang tidak mampu menampung debit air hujan dengan intensitas tinggi. 93 6. Penumpukan sampah di Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo diakibatkan tingginya aktivitas masyarakat dan permukiman. Kapasitas dan fasilitas pengelolaan sampah yang kurang dan tidak maksimal. Penumpukan sampah di Gorontalo banyak di temukan di lokasi pasar, tempat umum, sekolah dan instansi pemerintah. 5.2. Rekomendasi Hasil analisis dan simpulan di atas harus di tindak lanjuti dengan memberikan rekomendasi bagi daerah dalam hal penanganan dampak kepadatan penduduk terhadap kondisi biofisik lingkungan. Rekomendasi ini diharapkan mampu memberikan solusi untuk dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan daerah: 1. Untuk mengantisipasi ledakan penduduk di Provinsi Gorontalo, kedepan pemerintah daerah membuat regulasi yang mengatur tentang kawasan atau wilayah padat penduduk untuk tidak membangun atau mendirikan bangunan yang telah ditetapkan sebagai RTH (Ruang Terbuka Hijau). Pengaturan RTH harus dibangun berdasarkan fungsinya sebagaimana diatur dalam UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, sebagai berikut: 1) Fungsi Ekologis RTH berfungsi ekologis merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota untuk menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik. Secara Ekologis, RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan 94 temperature kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, dan sempadan sungai. 2) Fungsi Sosial Budaya Secara social budaya, RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi social dan sarana rekreasi. Bentuk RTH yang berfungsi social budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya dan TPU. 3) Fungsi Arsitektural/Estetika Secara arsitektural, RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebunkebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. 4) Fungsi Ekonomi Fungsi secara ekonomi melalui pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. 2. Kota Gorontalo dan lima kabupaten di provinsi Gorontalo ini dapat melakukan koordinasi dan komunikasi secara terintegrasi dalam sistem perencanaan dalam hal penanganan masalah pengelolaan daerah aliran sungai secara terpadu. 3. Pengelolaan sumber daya air direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu (multisektor), menyeluruh (hulu-hilir, kualitas-kuantitas), 95 berkelanjutan (antar generasi), berwawasan lingkungan (konservasi ekosistem) dengan daerah pengaliran sungai (satuan wilayah hidrologis) sebagai kesatuan pengelolalan. 4. Mendorong dinas terkait untuk lebih sering melakukan sosialisasi terhadap pencemaran air dan udara yang dapat membahayakan penduduk dan menyebabkan penyakit. 5. Menambah fasilitas, sarana dan prasarana pengelolaan sampah mengingat jumlah penduduk dari tahun ketahun semakin meningkat. 6. Perlu melakukan kajian atau penelitian lanjutan di masing-masing daerah yang lebih mendalam untuk menjaga dampak dari kepadatan penduduk terhadap lingkungan dan membangun bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat. 7. Keberlanjutan lingkungan dalam bentuk upaya mengurangi dampak negatif pembangunan jangka panjang dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan. 8. Perlu melakukan pendekatan sistematis dan kausal yang dilaksanakan secara bersama-sama berdasarkan berbagai dimensi pendekatan analisis baik dari aspek lingkungan hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi. Karakteristik penduduk yang dikehendaki perlu serasi dengan usaha-usaha meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui sosialisasi secara terusmenerus tentang program Keluarga Berencana (KB) sampai ke pelosok desa di Provinsi Gorontalo. 96 9. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak cukup hanya dengan pembangunan fisik saja, tetapi dibutuhkan berbagai terobosan dan langkah-langkah peningkatan, salah satunya adalah peningkatan di bidang pendidikan. melalui pendidikan berbasis BKKBN ((Bekerja, Kreatif, Kondusif, Berorientasi Nasional) kita jadikan kunci guna mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Gorontalo, serta menekan laju pertumbuhan penduduk dan pengangguran di Indonesia dan Provinsi Gorontalo khususnya. 97 DAFTAR PUSTAKA Achmadi, UF, 1978. Efek Pencemaran Air Tanah terhadap Masyarakat Perkotaan. Widyapura, XII. Tahun 1978. Ahmadjayadi, 2001. Butir-butir Penting Untuk Pengelolaan DAS dari Sudut Pandang Otonomi Daerah. Prosiding Sistem Pengelolaan DAS. Alegre., J.C, Cassel., D.K, and Makarim., M.K; 1985. Strategies for Reclamation of Degraded Lands. Tropical Land Clearing fo Sustainable Agriculture. Isbram Proceedings No.3. Jakarta; pp 45-57. Astawa, Ida Bagus Made. 1999. “Pengertian Umum Kependudukan dan Lingkungan Hidup”. Makalah disampikan dalam Diklat PKLH untuk GuruGuru Sekolah (SD-SLTA) bulan Nopember 1999 di Kanwil Depdikbud Provinsi Bali. Denpasar : Depdikbud Provinsi Bali Ananta, Aris. 1992. “Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan” dalam Warta Demografi Tahun XXII Nomor 9. September 1992. Jakarta : LD-FEUI. Berger. John J; 1988. Environmental Restoration. Science and Strategies for Restoring the Earth. Island Press; Washington, D.C. Covelo California. pp 214-231. Biampoen, 1984. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Manusia, Pendekatan Perencanaan Kota. Makalah Seminar Badan Pembinaan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta. BALIHRISTI 2012, Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Gorontalo. Badan Lingkungan Hidup, Riset, dan Teknologi Provinsi Gorontalo. BPS 2012, Provinsi Gorontalo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo. BPS 2012, Kota Gorontalo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo. BPS 2012, Kabupaten Bone Bolango Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone Bolango. Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi Gorontalo, 2011 BLH 2011, Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bone Bolango Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bone Bolango. BLH 2012, Ruang Terbuka Hijau dan Sampah Kota Gorontalo. Badan Lingkungan Hidup Kota Gorontalo. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bone Bolango, 2011 Cairns Jr., John; 1992. Disturbed Ecosystems as Opportunities for Research Restoration Ecology. (Ed.) Jordan III., William R; et all. Restoration Ecology: Synthetic Approach to Ecological Research. Cambridge University Press. P 307-320. Hamer., W.I,. 1980. A. Soil Degradation Assessment Methodology. Soil Conservation Consultant Report. INS/78/006., Technical Note No.7. CRS, Bogor. 98 Hunter. Jr. 1996. Fundamentals of Conservations Biology. Blackwell Science Inc. Massachu-setts. Kondolf., C. Mathias; 1988. Hydrologic and Channel Stability Consideration in Stream Habitat Restoration. (ed) Berger., John J. Environmental Restoration; Science and Strategies for Restoring the Earth. Island Press Washington DC. Covelo, California Manan. Safei; 1976. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. pp 134. Mantra, Ida Bagoes, 2000. Demografi Umum. Yogyakarta : Putaka Pelajar. Odum, 1971, Fundamentals of Ecology. Third edition. WB. Saunders Company. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 tentang Rung Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Soerjani M, Ahmad R.,Munir R., 1987. Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Penerbit Universitas Indonesia. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yakin Addinul, 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Penerbit. CV.Akademika Presindo 99