•••
i
Prosiding Seminar Nasional
PENGEMBANGAN
PEMBELAJARAN
DAN PENULISAN SEJARAH
KRITIS
Surakarta, 16 November 2017
•••
i
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1 Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2 Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
•••
ii
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN
PENGEMBANGAN DAN PENULISAN SEJARAH KRITIS
Copyright © Sariyatun, dkk. 2018
Penyunting: Sariyatun
Penulis: Sariyatun, dkk
Editor: Renny Pujiartati
Manggara Bagus Wijaya
Layout: Bayu Anggoro
Alfian Singgih
Desain Cover: Taufik Harpan Adila
Cetakan pertama, Maret 2018
Diterbitkan oleh:
Magister Pendidikan Sejarah
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
dan Penerbit Pramudita Press,
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126
Telp. 0271-646994 psw.341
Website: www.tp.fkip.uns.ac.id
Telp. (0271) 669124 ext. 182 | Fax. (0271) 648939
ISBN: 978-602-60035-7-7
hal 535+ xv
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak karya ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa izin dari penerbit.
© All Right Reserved
•••
iii
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
KATA PENGANTAR
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, prosiding seminar nasional ini dapat
diterbitkan. Seminar Nasional bertajuk “Pengembangan Pembelajaran dan Penulisan
Sejarah Kritis” merupakan salah satu bentuk nyata kepedulian Program Studi Magister
Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana UNS dalam mengembangkan budaya riset dan
ide-ide baru dalam ranah pengembangan pembelajaran dan penulisan Sejarah di
Indonesia. Seminar ini mempertemukanpara ahli, akademisi, praktisi dan pemerintah
untuk membicarakan berbagai hasil riset dan mendiskusikankemajuan-kemajuan dalam
dunia riset. Dalam seminar ini berbagai elemen yang terlibat saling berbagiwawasan dan
pengalaman yang dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas keilmuwan para
pesertanya.Dengan demikian, keikutsertaan dalam konferensi ini menjadi hal yang sangat
baik untuk berperan serta dalam memperbaiki kualitas pembelajaran dan penulisan
sejarah di Indonesia.
Pengembangan Pembelajaran dan Penulisan Sejarah Kritis” merupakan seminar
tingkat nasional yang diadakan oleh Program Studi Magister Pendidikan Sejarah,
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS). Seminar ini mempertemukan
akademisi, peneliti, mahasiswa dan pejabat pemerintah untuk mempresentasikan dan
mendengarkan hasil riset yang telah dilakukan dari berbagai elemen di seluruh Indonesia.
Dalam seminar ini akan mempresentasikan hasil riset terkini tentang berbagai
permasalahan, resolusi, ide, dan kreasi dari berbagai elemen dalam ranah pengembangan
pembelajaran dan kepenulisan pada bidang kesejarahan. Hasil seminar ini diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam rangka mendorong lahirnya
generasi-generasi intelektual pengembangan kemajuan pendidikan nasional. Seminar
nasional ini mengundang narasumber berasal dari pakar bidang pendidikan dan sejarah
yaitu: (1) Prof. Dr. Sariyatun, M. Pd, M. Hum; (2) Dr. Agus Mulyana, M.Pd dan (3) Dra.
Willys Sari M.Pd. Semua ini dapat terlaksana tidak lepas dari bantuan semua pihak,
karena itu dalam kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada:
1. Ketua Prodi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret yang telah
memberikan bantuan baik morilmaupun materiil sehingga kegiatan ini dapat
berlangsung dengan baik.
2. Bapak/Ibu dosen Jurusan Sejarah di lingkungan Universitas Sebelas Maret yang telah
mendukung mulai tahap persiapanhingga pelaksanaan seminar internasional.
3. Para peserta yang telah berpartisipasi dalam seminar nasional dan berbagi pengalaman
serta ilmu dalam bentuk artikel ilmiah maupun diskusi sehinggapelaksanaan kegiatan
inilebih dinamis.
4. Semua panitia, termasuk mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Sebelas maret yang
sejak awalberpartisipasi dari persiapan sampai pada pelaksanaan berjalan sesuai
denganrencana.
Kami sangat menyadari bahwa pelaksanaan seminar nasional ini masih banyak
kekuranganya. Oleh karena itu kami atas nama panitia mohon maaf yang
sebesarbesarnyaapabila ada hal-hal yang tidak berkenan, dan besar harapan agar
kegiatanini bermanfaat sertadapat ditindaklanjuti dalam kegatan akademik lain.
Surakarta, Januari 2018
Panitia
•••
iv
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
DAFTAR ISI
Judul .....................................................................................................................
Pengantar ............................................................................................................
Daftar Isi .............................................................................................................
i
iv
v
Pembelajaran Sejarah di Abad Ke-21
Sarityatun ............................................................................................................
1
Model Evaluasi Kreativitas Lomba Kompetensi Peserta Didik SMK
Nursyamsinar Nursiti ........................................................................................
11
Model Pembelajaran Berbasis Nilai Nilai Manuskrip Syech Abduurauf
As-Singkili Untuk Meningkatkan Kesadaran Kesetaraan Gender Siswa
Mawardy As, Ary Putra T ...................................................................................
21
Model Pembelajaran Sejarah Terintegrasi Nilai Tradisi Tunggul Wulung
Untuk Penguatan Jati Diri Bangsa
Lany Susanti ........................................................................................................
31
Penggunaan Media Kreatif Lukis Pasir Sejarah
Riyadi Aris ...........................................................................................................
39
Pengembangan Model dan Metode Pembelajaran Sejarah
Netty Novitasari ...................................................................................................
51
Peranan Media dalam Pembelajaran Sejarah Abad ke-21
Aksa Asnar ..........................................................................................................
59
Membangun Critical Thingking Siswa Melalui Model Pembelajaran
Contextual Teaching and Learning Sebagai Solusi dalam Pembelajaran
Sejarah
Mhd Fadhil Al Hakim, Sariyatun, Sudiyanto .....................................................
71
Analisis Kebutuhan Media pembelajaran Sejarah di SMA Negeri Kota
Samarinda
Jamil, Muhammad Azmi, Muhammad Sopyan .................................................
81
Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Serat
Sabdajati Sebagai Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Fida Indra Fauziyya ............................................................................................
87
Nilai Historis Candi Cetho sebagai Sumber dan Materi pendidikan Budi
Pekerti Berbasis Budaya Lokal
Musa Pelu ............................................................................................................
99
•••
v
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Permainan Tradisional Sebagai Alternatif Games Berbasis Budaya di Era
Terbuka
Suriyanti Siagian ................................................................................................. 107
Pemanfaatan Potensi Sejarah Lokal dalam Penulisan Buku Pelajaran
Sejarah
Hendro Martono .................................................................................................. 121
Revitalisasi Nilai-Nilai Kepemimpinan Ratu Safiatuddin dalam
Pembelajaran Sejarah Untuk Meningkatkan Sikap Emansipasi
Widia Munira, Muhammad Akhyar, Djono ....................................................... 131
Reinvensi Pemikiran Muhammad Azhari Al-Palembani melalui
Pembelajaran Sejarah Reflektif dengan Pendekatan Values Clarification
Technique (VCT): Suatu Kajian Konseptual
Maya Yunita ........................................................................................................ 143
Menumbuhkembangkan Minat Baca Melalui Gerakan Literasi Sekolah
Dalam Pembelajaran Sejarah
Rizqa Ayu Ega Winahyu, S.Pd ........................................................................... 153
Pengembangan Pembelajaran sejarah Melalui Mind-mapping Visitor
untuk Meningkatkan Kemandirian Mahasiswa dalam Menyesuaikan
Tugas Diskusi Kelompok
Hany Nur Pratiwi ................................................................................................ 159
Belajar Sejarah Menyenangkan Kids Jaman Now
Willys Sari Listiyani ............................................................................................ 165
Discovery Learning Dalam Kerangka Pembelajaran Sejarah Humanitarian
Gusti Garnis Sasmita .......................................................................................... 175
Peran Museum Keris Nusantara Sebagai Media Pembelajaran Sejarah
Mpu Tabah Chalifatah Aji .................................................................................. 183
Model Project Based Learning Sebagai Upaya Meningkatkan
Kemampuan Literasi Sejarah Lokal Siswa
Nia Ulfia Krismawati .......................................................................................... 193
Urgensi Pengembangan Model PembelajaranEtnopedagogi Perencanaan
Pembelajaran Sejarah Berbasis Pemikiran Tunggul Wulung Sebagai
Alternatif Solusi Meningkatkan Sikap Kepemimpinan
Reni Dikawati ...................................................................................................... 205
Melatih Siswa Berpikir Kritis dengan Model Pembelajaran Project Based
Learning (Pjbl)
Saifuddin Alif Nurdianto .................................................................................... 213
•••
vi
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pengembangan Media Pembelajaran Sejarah Berbasis Visual Infografis
Taufiq harpan Aldila ........................................................................................... 223
Literasi dan Historiografi Dalam Pembelajaran 350 Tahun di Jajah:
Pembangkit Semangat Patriotisme dan Nasionalisme atau Pembelotan
Sejarah
Gadis Anastasia ................................................................................................... 233
Analisis Pembelajaran Sejarah di Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Yohanis Kristianus Tampani .............................................................................. 239
Toleransi, Pendidikan Multikultural, dan Pembelajaran Sejarah
Yusuf P, Djono, Suryo Ediyono .......................................................................... 247
Pembelajaran Sejarah Dalam Kajian Pedagogi Kritis
Piki Setri Pernantah ............................................................................................ 253
Reorientasi Aksiologi dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Contextual
Teaching And Learning (CTL)
Lila Pangestu Hadiningrum ............................................................................... 261
Internalisasi Wawasan Bahari Dalam Pembelajaran Sejarah di SMK
Pelayaran Rembang
Avif Arfianto Purwoko Utomo ............................................................................ 273
Toleransi dalam Buku Teks Sejarah
Shinta Murti Melida Yashi ................................................................................. 281
Pendidikan Multikultural : Konstruksi Sikap Toleransi Siswa Terhadap
Keberagaman Di Indonesia
Muhammad Sahal ............................................................................................... 289
Manakala “Local Heroes” Masuk Kelas Sejarah
Ganda Febri K ..................................................................................................... 299
Revitalisasi Nilai-Nilai Qanun Aceh dan Sikap Toleransi Dalam Dunia
Pendidikan Masa Kini
Abdul A, Hermanu J, Sudiyanto ........................................................................ 309
Bona Pasogit (Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat
Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)
Tri Pesar Jhon Tuan Panjaitan .......................................................................... 321
Seni Dongkrek & PKI Madiun : Antara Budaya dan Sejarah
Shafirna Amalia .................................................................................................. 345
•••
vii
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Kesenian Didong: Kebudayaan dan Tradisi suku Gayo sebagai Sumber
Penulisan Sejarah
Jona Erwenta, Leo agung, Sunardi ................................................................... 355
Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
Sebagai Alternatif Sumber Belajar Sejarah
Ilham Rohman Ramadhan; Djono; Nunuk Suryani ......................................... 366
Urgensi Nilai Kearifan Lokal Rumah Adat dalam Pembelajaran Sejarah
Mario Yosef, Hermanu, Susanto ........................................................................ 377
Transformasi Nilai-Nilai Wayang beber Pacitan sebagai Strategi
Meningkatkan Ketahanan Local Geneous.
Antar Budiarto .................................................................................................... 385
Arsitektur Rumah Kapitan dalam Bingkai Nilai Nilai Kearifan Lokal
sebagai Alternatif Sumber Belajar Sejarah
Eva Febriana, Sariyatun, Nunuk Suryani ......................................................... 399
Peranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan
Republik Indonesia
Johan Setiawan ................................................................................................... 407
Delta Brantas dalam Narasi Sejarah
Sunariyadi Maskurin .......................................................................................... 419
Historiografi sebagai Media Pembelajaran Nilai-Nilai Multikulturalisme
Y.d Britto Wirajati ............................................................................................... 427
Analisis Wacana: Pendidikan Karakter Dalam Tembang Lir-Ilir Karya
Sunan Kalijaga
Agung Wibowo .................................................................................................... 437
SUKARNO MENGGUGAT (Membongkar Wacana Kediktatoran
Sukarno Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1966)
Sahru Romadloni, I Wayan Pardi ...................................................................... 447
Siger Sebagai Historiografi Kebudayaan Lampung Dan Pendidikan
Karakter.
Hanriki Dongorau, Akhmad Arif M, Cicilia D S .............................................. 455
Integrasi Nilai-Nilai Dharma Gita dalam Pembelajaran Sejarah
Sebagai Strategi Menciptakan Harmoni Sosial Pada Siswa SMA.
I Putu Adi Saputra, Sariyatun, Akhmad Arif Musadad ..................................... 463
Manfaat Pemahaman Sejarah Terhadap Materi dan Nilai-Nilai
Sejarah Lokal
Alfian Singgih Widianto ..................................................................................... 471
•••
viii
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Relief Candi Menggung Dan Plagatan Dalam Pemikiran Sejarah Jawa
Kuno
Bayu Anggoro ...................................................................................................... 478
Willem Iskander: Bapak Pendidikan Mandailing
Kartika Siregar .................................................................................................... 485
Reaktualisasi Manuskrip Jawa Sebagai Sumber Penulisan Sejarah Lokal:
Studi Semiotika Pada Serat Cebolek
Manggara Bagus Wijaya .................................................................................... 493
Konsep Ekosentrisme Dalam Tradisi Wahyu Kliyu (Studi Kasus Tradisi
Wahyu Kliyu Pada Masyarakat Dusun Kendal, Desa Jatipuro, Kecamatan
Jatipuro, Kabupaten Karanganyar)
Watsiqotul Mardliyah .......................................................................................... 499
Membentuk Kesadaran Budaya Melalui Pembelajaran Sejarah Berbasis
Nilai-Nilai Seni Turonggo Yakso
Nenin Al Alaz ...................................................................................................... 507
Penerapan Model Student Teams Achievement Division (STAD) Pada
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Ais Mujiyanti ...................................................................................................... 519
•••
ix
PEMBELAJARAN SEJARAH DI ABAD KE-21
Oleh
Prof. Dr. Sariyatun, M.Pd., M.Hum
Program Studi Magister Pendidikan Sejarah UNS
email: sari_fkip_uns@yahoo.co.id
ABSTRAK
Abad ke 21 merupakan abad yang penuh tantangan dan ketidakpastian,
sehingga dibtuhkan serangkaian keterampilan khsus untuk bisa tetap
bertahan-dan disinilah kemudian peran dunia pendidikan sebagai media
untuk membekali peserta didik dengan berbagai keterampilan hidup
menjadi sangat penting. Pembelajaran sejarah sebagai salah mata
pelajaran wajib dalam kurikulum nasional juga mengemban tugas tersebut
sehingga juga menjadi penting untuk melakukan berbagai terobosan,
dimana salah satunya adalah dengan mengembangkan pembelajaran
sejarah kritis atau pembelajaran sejarah dengan paradigma pedagogi kritis.
Melalui pembelajaran sejarah kritis, pembelajaran sejarah tidak hanya
tentang menghafal nama tokoh, peristiwa, tempat tahun kejadian di masa
lalu, tetapi juga tentang berbagai permasalahan sosial yang sedang
dihadapi. Karena itu, maka berbagai kompetensi kunci kehidupan abad 21
seperti pemecahan masalah, berpikir kritis-analistis, kreatifitas, kerja tim,
manajemen kerja, kemampuan membaca tantangan zaman, dll menjadi
dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah.
Kata kunci:Pembelajaran Sejarah, Ketarampilan Abad 21, Pedagogi Kritis.
A. Pendahuluan:
Sekarang ini kita sedang hidup di abad 21, sebuah masa dimana laju
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, infomasi, dan komunikasi melaju
dengan sangat cepat. Cepatnya laju perkembangan IPTEK tersebut kemudian juga
berdampak pada berbagai aspek lain dalam kehidupan manusia, yakni berupa
semakin kompetitifnya persaingan, baik persaingan antar individu ataupun
persaingan antar bangsa. Abad 21 juga sering disebut sebagai abad pengetahuan
atau knowledge age, yakni sebuah masa dimana pengetahuan menjadi basis utama
dalam pemenuhan berbagai kebutuhan kehidupan manusia, baik pada bidang
ekonomi dan industri, pemberdayaan masyarakat dan pendidikan, dan lain
sebagainya.
Penelitian yang dilakukan oleh Redecker dkk (2011:12) mengidentifikasi
enam tantangan utama di abad 21, yakni: 1) integrasi multikultural untuk
mengakomodasi perubahan demografi dan imigrasi; 2) mengurangi jumlah
masyarakat yang putus sekolah; 3) memperkuat potensi setiap individu untuk
mengembangkan ekonomi cerdas pengetahuan dan inovasi; 4) mempercepat
transisi dari dunia pendidikan menuju dunia kerja; 5) memfasilitasi kembali
kesempatan masuk ke dunia kerja untuk menghindari pengangguran yang
berkepanjangan; 6) berfokus pada pengembangan kembali kemampuan permanen
•••
1
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
yang menjadikan seluruh warga negara terhadap keterampilan-keterampilan baru
yang dibutuhkan dan dengan cepat merespon perubahan lingkungan dunia kerja.
Untuk bisa bertahan di tengah kompleksitas dan rumitnya kehidupan di abad
21 dan juga berbagai tantangan sebagaimana diseutkan di atas, maka ada beberapa
kopetensi yang harus dimiliki. Wagner (2010) berpendapat bahwa ada tujuh
kompetensi dan keterampilan yang penting untuk dikuasai di abad ke-21 ini,
yakni: 1) pemikiran kritis dan pemecahan masalah; 2) kolaborasi dan
kepemimpinan; 3) ketangkasan dan kemampuan beradaptasi; 4) inisiatip dan
kewiraswastaan; 5) komunikasi lisan dan tulisan yang efektif; 6) mengakses dan
menganalsis informasi; dan 7) keingintahuan dan imajinasi.
Lebih lanjut, Trilling & Hood (1999:8) mengidentifikasi tujuh keterampilan
kunci di abad 21 beserta komponen-komponennya sebagai berikut:
Table 1. Tujuh Keterampilan Kunci untuk Bertahan di Abad pengetahuan:
Component Skills
Seven Cs
Pemecahan masalah, penelitian, analisis, manajemen
Critical thinking and doing
kerja, dll.
Menciptakan pengetahuan baru, merancang solusi,
Creativity
kemampuan bercerita, dll.
Kerjasama, negosiasi, kesepakatan, membangun
Collaboration
komunitas, dll.
Across diverse ethnic, knowledge and organizational
Cross-cultural understanding
cultures, dll.
Menyampaikan pesan dan menggunakan media secara
Communication
efektif.
Penggunaan alat informasi dan pengetahuan elektronik
Computing
yang efektif.
Mengelola perubahan, pembelajaran seumur hidup dan
Career and learning selfredefinisi karir.
reliance
Sumber: Trilling & Hood. 1998. Hlm. 8
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis
besar, ada empat hal yang setidaknya harus dimiliki oleh generasi abad ke-21.
Pertama, way of thinking atau terkait dengan bagaimana cara berpikir, yakni
kemampuan berpikir kreatif, kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan,
dan pembelajar. Kedua, way of working atau kemampuan begaimana mereka
harus bekerja. Ketiga, tools for working atau memiliki dan menguasai alat untuk
bekerja. Adapun terkait dengan abad ke-21 ini, maka penguasaan terhadap
teknologi informasi dan komnikasi (ICT) merupakan sebuah keharusan. Keempat,
skills for living in the world, yang meliputi kewarganegaraan, karir, serta
tanggung jawab personal dan sosial.
Berbagai keterampilan seagaimana dibahas di atas merupakan keterampilanketerampilan yang sangat penting untuk dimiliki oleh generasi yang hidup di abad
21. Adapun dalam dalam upaya untuk membekali generasi muda dengan berbagai
keterampilan di atas, maka dunia pendidikan memainkan peran penting dan
strategis. Pendidikan, melalui program-program yang ada harus pekah dan
tanggap dengan kompetensi-kompetensi di atas. Dengan kata lain bahwa
pendidikan harus mampu membekali para peserta diidk dengan kemampuan
berpikir kritis, kreatif, dan menjadi problem solver dari berbagai permasalahan
yang ada. Selain itu, pendidikan juga dituntut untuk mampu melahirkan peserat
•••
2
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
didik yang siap untuk bertarung di tengah ketatnya persaingan dunia kerja. Dan
yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa pendidikan juga dituntut untuk
mampu mempersiapkan para peserta didik untuk menjadi warga negara dunia.
Pembelajaran sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang juga
memainkan peran penting dalam proses membekali siswa dengan beragai
kompetensi di atas. Sebagaimana disebutkan oleh Partnership for 21ST Century
Learning bhawa sejarah merupakan satu diantara sembilan mata pelajaran kunci
dalam pembelajaran abad 21, (P21, 2015:2). Namun, sebagaimana banyak
disinggung dalam berbagai duiskusi dan hasil-hasil riset, bahwa kualitas dari
pembelajaran sejarah di Indonesia hari ini maish banyak mengalami persoalan,
termasuk dalam hal membekali peserta didik dengan berbagai keterampilan
sebagaimana dibahas di awal. Kerana itu, melalui artikel ini penulis akan secara
khsus mendiskusikan tentang bagaimana desain pendidikan secara umum dan
pembelajaran sejarah secara lebih khsus dalam menjawab tantangan keterampilan
abad 21 tersebut.
B. Pembahasan
1. Paradigma Pendidikan Abad 21
Dalam upaya membekali peserta didik dengan berbagai keterampilan abd 21
sebagaimana dibahsa di atas, maka dibutuhkan sebuah desain pendidikan yang
juga sesuai dengan konteks yang ada, yang dalam hal ini adalah kehidupan abad
21. Karena itu, harus dilakukan perubahan paradigma dari pendidikan yang
selama ini berlangsung. Berkenaan dengan hal tersebut, Wagner dkk (2006)
menekankan pada pentingnya pengembangan kurikulum dengan prinsif baru yang
disebut dengan istilah The New 3 Rs (Rigor, Relevance, & Respect). Rigor berarti
bahwa pembelajaran yang dilaksanakan harus bersifat fleksibel, tidak kaku dan
monoton. Relevance berarti bahwa pembelajaran yang dilaksanakan harus
memperhatikan relevansinya dengan dunia nyata dan tuntutan dunia di masa
depan. Dengan kata laian bahwa tujuan dari suatu pembelajaran harus bermula
dari apa yang dibutuhkan oleh siswa, baik kebutuhan dalam menghadapi dunia
kerja ataupun kebuthan lian di luar itu. Adapun respect ialah prinsif yang
berkenaan dengan hubungan interaksi antara guru dan siswa, yakni pola interaksi
yang membina kompetensi akadmeik dan sosial.
Senada dngan pendapat di atas, Prensky (2012) menganjurkan untuk
mengembangkan kurikulum yang berpusat pada siswa dengan komponen The 3
Ps. Ps yang pertama adalah passion, yakni bahwa pendidikan harus mampu
melairkan peserta didik yang memiliki keterampilan-keterampilan khsus yang
membuat peserta didik tersebut berbeda dengan yang lainnya. Ps yang kedua
adalah problem solving atau pemecahan masalah. Maksudnya adalah bahwa
kurikulum harus mengarahkan subjek didik, dalam hal ini siswa untuk memiliki
keterampilan dalam memecahkan masalah. Adapun Ps yang ketiga adalah
producing what is required creativity and skill, yakni bahwa pendidikan harus
mampu memproduksi atau menghasilkan peserta didik yang memiliki
keterampilan dan kreativitas yang edang dibtuhkan oleh dunia kerja atau
masyarakat. Karena itu, pendidikan yang di selenggarakan harus benar-benar
memahamu kebutuhna atau apa yang sedang dibtuhkan di masyarkat. Dengan
begitu, maka lulusan yang dihasilkan kemudian diharapkan akan dapat secara
langsung diserap dalam dunia kerja.
•••
3
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Selain beberapa pendapat di atas, P21 atau Partnership for 21st Century
Learning mengembangkan sebuah framework pembelajaran di abad 21 yang
menuntut peserta didik untuk memiliki keterampilan, pengetahuan dan
kemampuan dibidang teknologi, media dan informasi, keterampilan pembelajaran
dan inovasi serta keterampilan hidup dan karir (P21, 2015). Framework ini juga
menjelaskan tentang keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang harus dikuasai
agar siswa dapat sukses dalam kehidupan dan pekerjaannya. Berikut adalah
framework pembelajaran abad 21 yang dikembangkan oleh P21:
Sumber: P21. 2015. P21 Framework Definitions. Hlm. 1
Berbagai prinsif di atas juga menunrut untuk dilakukan perubahan paradigma
dalam pembelajaran abad 21. Pertama, terkait dengan informasi. Pada abad ke 21
ini, informasi bukanlah sesuatu yang sulit dicari, melainkan tersedia dimana saja
dan kapan saja. Karena itu, pembelajaran haruslah diarahkan untuk mendorong
peserta didik untuk mencari tahu dari berbagai sumber, bukan diberi tahu
sebagaimana pendidikan konvensional. Kedua, dengan semakin pesatnya
perkembangan tekologi informasi, maka pembelajaran harus diarahkan untuk
mampu merumuskan masalah atau menanya, bukan menyelesiakan masalah.
Ketiga, pembelajaran harus diarahkan untuk melatih kemampuan berpikir analistis
(pengambilan keputusan) bukan berpikir mekanistis (rutin). Keempat,
pembelajaran menekankan pada pentingnya kolaborasi dan kerjeasma dalam
menyelesaikan masalah. Beberapa perubahan paradigma ini dapat di lihat pada
table beikut ini:
•••
4
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Tebel 2. Pergeseran Paraidigma Belajar Abad 21:
2. Pembelajaran Sejarah untuk Keterampilan Abad 21:
Sebagai bagian dari pendidikan, pembelajaran sejarah merupakan salah stau
mata pelajaran yang memegang peran penying dalam membakali para peserta
didik dengan serangkaian kompetensi sebagaimana dibahas di atas. Pembelajaran
sejarah, sejatinya memang tidak hanya terkait dengan pengetahuan kesejarahan
seperti nama tokoh, tanggal kejadian, dan peristiwa, tetapi juga terkait dengan
keterampilan berpikir kritis-analitis, berpikir kreatif, dan pemecahan masalah.
Pembelajaran sejarah juga terkait dengan pembentukan karakter peserta didik
sebagai pribadi yang arif dan bijaksana, punya kepedulian terhadap sesama dan
lingkungan, sadar akan perbedaan, serta sadar akan eksistensinya sebagai warga
negara Indonesia.
Namun, dalam realitanya di lapangan, pembelajaran sejarah belum mampu
memberikan sumbangan yang berarti dalam berbagai kompetensi yang
diharapkan. Dalam prakteknya, pembelajaran sejarah yang dilakukan masih
sangat knowledge oriented dan teacher centered, dimana peserta didik dihadapkan
pada kegiatan menghapal, mendengar serta mencatat apa yang dijelaskan oleh
guru. Dengan demikian, maka peserta didik menjadi seperti botol kosong yang
tidak memiliki apa-apa. Karena itu pula, berbagai kompeteni seperti berpikir
kritis-analitis, kemampuan mmecahkan masalah, dan karakter menjadi terabaikan
dalam pembeljara sejarah. padahal, hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat
penting di abad 21 ini.
Karena itu, maka perlu dilakukan perubahan cara pendang dalam
penyelanggaraan pembelajaran sejarah di sekolah, yakni dengan menerapkan
pembelajaran sejarah kritis atau pembelajaran sejarah dengan paradigma pedagogi
kritis. Dalam pandangan pedagogi kritis, pendidikan adalah sebuah proses
penyadaran atau usaha untuk belajar memahami berbagai kontradiksi, hegemoni
dan penindasan, (Freire, 2008:2; Monchinski, 2011:10). McKernan (2013:245)
berargumen bahwa
pedagogi kritis adalah pergerakan yang melibatkan
pembelajaran dan pengajaran sehingga siswa mencapai kesadaran kritis,
kesadaran sosial, dan mampu mengambil tindakan yang tepat dalam melawan
penindasan.
•••
5
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Lebih lanjut, Fobes & Kaufman (2008:26-27) mengidentifikasi empat prinsif
utama pedagogi kritis. Pertama, menghilangkan kontradiksi hubungan antara guru
dan siswa, dimana guru diposisikan sebagai pengajar dan siswa sebagai yang di
ajar, guru menjelaskan dan siswa mendenbarkan, guru tau segalanya dan siswa
tidak tahu apa-apa. Kedua, mengutamakan dialog tentang permasalahan yang
dihadapi. Ketiga, memacu keingintahuan epistimologis atau hal-hal yang sifatnya
mendasar. Keempat, melakukan refleksi dan aksi ke arah transformasi social.
Adapun dalam hubungannya dengan keterampilan abad 21, maka
pembelajaran yang dilaksanakan tidak hanya berorientasi pada masa lalu
melainkan juga masa kini dan persoalan kontemporer. Sebagaimana diungkapkan
oleh Supriatna (2012:122) bahwa pembelajaran sejarah kritis tidak hanya
menonjolkan atau mengagungkan kebesaran masa lalu melainkan juga tentang
kegagalan dan kelemahan bangsa pada masa yang telah dilewati yang harus
diperbaiki pada masa kini. Pembelajaran seperti ini harus dapat memasukkan
semua kelompok masyarakat sebagai tokoh sejarah, termasuk para siswa di
dalamnya. Sejarah tidak hanya menekankan pada perkembangan nasional, tetapi
juga memasukkan isu-isu lokal yang lebih relevan dengan kepentingan siswa.
Pembelajaran sejarah seperti ini dapat disajikan dengan menggunakan beragam
pendekatan dengan cara menjadikan siswa sebagai pembelajar yang aktif
sekaligus sebagai pelaku sejarah pada jamannya, (Supriatna. 2012:122)
Selain itu, dalam upaya pengemabngan praksis pembelajaran sejarah kritis,
perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum pembelajaran sejarah yang berdasar pada
unsure 4 R (richness, recursion, relations, & rigor) yang dikembangkan oleh Doll
dalam bukunya yang berjudul A Post-Modern Perspective on Curriculum. Adapun
penjelasan dari empat unsure tersebut adalah sebagai berikut:
1. Unsur Richness:
Unsur richness merujuk pada kedalaman kurikulum, keragaman makna
dan memberi peluang pada guru dan siswa atau pihak terkait untuk
mengembangkan atau memasukkan beragam interpretasi. Mengakomodasi
beragam interpretasi pendidikan sejarah sebagai materi kurikulum.
Pembelajaran merupakan konteks sosial dan pengetahuan sebagai konstruksi
sosial dan karena itu kurikulum merupakan proses kontekstual sosial.
Pandangan ini memungkinkan guru untuk mengakomodasi keragaman
lingkungan social budaya peserta didik ke dalam ruang kelas untuk memenuhi
unsur recursion, yakni memperkaya kedalaman kurikulum agar tidak terlepas
dari konsteks sosial budaya peserta didik. Selain itu juga menyiratkan agar
guru fleksibel dan terbuka terhadap pengetahuan baru dan bersedia menerima
kritik untuk meninjau kembali sistem pengetahuannya. Dengan demikian
proses pembelajaran sejarah bukan otoritas pengetahuan guru tetapi juga
mempertimbangkan pengalaman sehari-hari guru dan siswa di sekolah.
Selain itu, unsur riechnes juga memungkinkan guru dan siswa berfikir
kritis reflektif melalui berbagai cara untuk memperoleh pemahaman makna
dari berbagai perspektif. Hal ini dapat dilakukan melalui dialog kritis, multi
interpretasi, pembuktian hipotesis dan pola-pola bermain (role playing).
Kegiatan ini dapat diterapkan untuk semua tingkat sekolah. Untuk mencapai
tujuan ini ruang kelas sejarah harus diubah menjadi ruang atau arena
pengambilan keputusan yang melibatkan para siswa dan guru melalui dialog
kritis dan analitis dengan menggunakan bahan tradisional, buku teks, surat dan
•••
6
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
peristiwa kontemporer di lingkungan siswa. Kemampuan untuk menganalisis
peristiwa sejarah maupun peristiwa kontemporer saat ini berdasarkan pada
bukti yang dikumpulkan masing-masing anggota kelas merupakan elemen
dasar dalam pengambilan keputusan.
2. Unsur Recursion:
Setelah unsure kedalaman, maka kurikulum yang dikemangkan juga harus
mempertimbangkan unsure kekayaan. Artinya, pembelajaran sejarah yang
dilangsungkan tidak hanya terbatas pada materi yang ada dalam buku teks
semata, melainkan juga dengan memasukkan pengalaman sosial sebagai
materi pembelajaran sejarah. Prinsip recursion dalam kurikulum sebagai
sebuah praksis memungkinkan isu sosial atau kenyataan-kenyataan hidup
menjadi bagian dari materi pembelajaran sejarah. Karena itu pula,
pembelajaran sejarah tidak berakhir pada tes yang dilaksanakan atau tugastugas dikumpulkan melainkan kegiatan tersebut harus dianggap sebagai awal
untuk refleksi serta memulai dan mengembangkan sesuatu yang baru dalam
praksis kurikulum yang bersifat terbuka.
Kurikulum ini menantang siswa untuk memasuki masalah atau isu-isu
sosial bukan hanya mengamati dari jauh. Karena itu guru harus memulai studi
sosial dengan melibatkan siswa dalam proses ini. Rekursi bertujuan untuk
mengembang-kan
kompetensi
kemampuan
untuk
mengatur,
menggabungkan, bertanya dan melakukan interpretasi secara heuristik. Untuk
memperjelas konsep ini dapat dicontohkan karya Jennifer Terry tentang
historiografi dari kaum lesbian dan gay yang secara subyektif dianggap
sebagai penyimpangan. Hal ini menunjukan bahwa teks-teks sejarah dibangun
dengan menempatkan subyek yang secara normatif dianggap menyimpang.
Dengan menggabungkan analisis kritis dan penyimpangan historiografi, Cary
mengeksplorasi bagaimana konstruksi identitas perempuan dalam era
progresif sebagai ”gadis yang baik” warga negara, anak remaja, peserta didik
lembaga pendidikan dan sosial dalam wacana populis yang eksklusif dan
reduktif. Pelanggaran norma oleh remaja putri dalam perpektif sejarah telah
dikonstruksi sebagai tindakan menyimpang atau amoral. Dalam konteks
kurikulum postmodern perilaku agresif dapat dipahami dan dianalisis sebagai
kecenderungan maskulin.
3. Unsur Relations:
Menurut Doll (1993: 179) prinsip relations merupakan hal penting dalam
kurikulum postmodernism sebagai kurikulum yang bersifat transformatif.
Prinsip relations dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu aspek pedagogi dan
budaya. Secara pedagogis, prinsip relations berkenaan dengan hal-hal yang
ada dalam struktur kurikulum yang berlaku dalam bentuk matrik (matrix) atau
jaringan (network) sehingga isi (contents) kurikulum menjadi kaya. Secara
kultural, prinsip relations berkenaan dengan hubungan kosmologis atau
budaya yang terletak di luar kurikulum yang kemudian membentuk sebuah
matrik yang besar yang melekat di dalamnya. Hubungan tersebut bersifat
dialogis antara dokumen kurikulum (yang berlaku dengan pengalaman
budaya para peserta didik yang tidak tertulis dalam dokumen kurikulum).
•••
7
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Dalam pembelajaran sejarah merujuk pada struktur kurikulum yang
berlaku, materi sejarah telah diberlakukan oleh otoritas pemegang kuasa
dengan nama Pokok Bahasan, Pengalaman Belajar, Standar Isi, Standar
Kompetensi atau Kompetensi Dasar. Dengan prinsip relation materi pelajaran
tersebut menjadi sarana dialog antara guru dan siswa serta antara mereka
dengan isi (contents) kurikulum.
4. Unsur Rigor:
Unsur ke empat dalam pengembangan kurikulum potmodern adalah Rigor
merupakan unsur yang paling penting dari empat kriteria. Kurikulum
transformative dibangun berdasar kualitas “interpretasi dan ketidakpastian”
dalam konteks ini interpretasi untuk memperkaya kurikulum tergantung dari
diskusi kritis dan reflektif antara guru dan peserta didik. Unsur Rigor
diterapkan agar kurikulum transformatif tidak jatuh dalam baik "relativisme
yang berlebihan" atau solipsisme sentimental. Agar rigor dapat memasuki
dunia yang dapat diukur dan dimanipulasi, diperlukan dukungan dari
komunitas yang kritis pula. Konsepsi kurikulum memungkinkan guru dan
peserta didik menciptakan ruang pengetahuan mereka sendiri, meminjam
istilah Pinar (2004) disebut sebagai kurikulum sebagai “currere”. Melalui
diskusi kritis dan reflektif dengan mengacu pada: (1) apa yang dilakukan di
dalam ruang kelas; (2) bagaimana kita berpikir tentang apa yang akan
dilakukan. Hal itu adalah currere dalam arti yang paling jelas sebagai kata
kerja meliputi otobiografi, pengalaman hidup, realitas sosial dan sejarah.
Implikasinya dalam proses belajar dan mengajar bahwa pengajaran harus
menyediakan akses ke berbagai bentuk wacana yang memungkinkan individu
untuk mendefinisikan diri dengan cara aktif dan menentang. Proses
pendidikan dengan pemberdayaan peserta didik menjadikan mereka tidak
hanya belajar tentang materi sejarah tetapi juga juga menjadi orang sukses
yang percaya diri dan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan
Negara. Peserta didik tidak hanya belajar studi literature tetapi juga
menyuarakan pendapat memberikan kontribusi bagi diskusi kelas,
mendapatkan kembali rasa percaya diri, memuaskan kebutuhan dan mencapai
tujuan mereka. Kualitas ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan
abad ke-21. Karena itu kurikulum harus mengarahkan tujuan belajar dan
mengajar melalui suatu kerangka kerja yang koheren dan fleksibel sesuai
dengan kebutuhan siswa yang beragam dan mampu menyesuaikan dengan
perubahan. Kurikulum sekolah abad ke-21 didefinisikan sebagai pengalaman
belajar yang harus diberikan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan.
C. Kesimpulan:
Kompleksitas tantangan di kehidupan abad 21 juga merupakan tantangan bagi
dunia pendidikan secara umum dan pembelajaran sjarah secara lebih khsus.
Karena itu, berbagai kompetensi yang disebut-sebut sebagai kunci sukses dalam
kehidupan abad 21 juga harus menjadi perhatian dunia pendidikan dan
pembelajaran sejarah. Beberapa keterampilan yang perlu dikembangkan dalam
pendidikan di abad 21 tersebut diantaranya adalah Kemampuan memecahkan
masalah, berpikir kritis-analisis, kreatifitas, manajemen kerja, menciptakan
•••
8
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pengetahuan baru, merancang solusi, kerjasama (team work), memahami
perbedaan budaya, kemampuan dalam komunikasi, menguasai ICT, adaptasi
terhadap perubahan, dll.
Untuk mengembangkan keterampilan tersebut, maka perlu dilakukan
perubahan dalam paradigma pendidikan yang selama ini berlangsung. Adapun
untuk pembelajaran sejarah, perlu untuk dikembangkan pembelajaran sejarah
kritis. Untuk mengembangkan pembelajaran sejarah kritis, dapat dilakukan
dengan melakukan rekonstruksi kurikulum yang berdasar pada 4R yang
dikemukakan oleh Doll, yakni richness, recursion, relevance dan rigor. Adapun
implikasinya terhadap praksis pembelajaran sejarah adalah sebagai berikut:
1. Proses belajar dan mengajar bahwa pengajaran harus menyediakan akses
ke berbagai bentuk wacana yang memungkinkan individu untuk
mendefinisikan diri dengan cara aktif dan menantang.
2. Proses pendidikan dengan pemberdayaan peserta didik menjadikan mereka
tidak hanya belajar tentang materi Sejarah tetapi juga juga menjadi orang
sukses yang percaya diri dan mampu memberikan kontribusi masy.
3. Peserta didik tidak hanya belajar studi literature tetapi juga menyuarakan
pendapat memberikan kontribusi bagi diskusi kelas, mendapatkan kembali
rasa percaya diri, memuaskan kebutuhan dan mencapai tujuan mereka.
4. Kurikulum harus mengarahkan tujuan belajar dan mengajar melalui suatu
kerangka kerja yang koheren dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan siswa
yang beragam dan mampu menyesuaikan dengan perubahan.
Daftar Pustaka:
Doll, W. E. (1993). A Post-modern Perspective on Curriculum. New York:
Teachers College Press.
Fobes, C & Kaufman, P. (2008). Critical Pedagogy in the Sociology Classroom:
Challenges and Concerns. Teaching Sociology, 36 (1), 26-33.
Freire, P. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.
McKernen, J.A. (2013). The Origins of Critical Theory in Education: Fabian
Socilism as Social Recostructionism in Nineteenth-Century Britain. British
Journal of Educational Studies, 61 (4), 417-433.
Monchinski, T. (2011). Engaged Pedagogy, Enraged Pedagogy: Reconciling
Politics, Emotion, Religion, and Scince for Critical Pedagogy. Roterdam:
Sense Publishers.
Pinar, W. F. (2004). What is Curriculum Theory. New Jersey, London: Lawrence
Erlbaum Associates Publishers.
Prensky, M. (2012). From Digital Natives to Digital Wisdom: Hopeful Essays for
21st Century Learning. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
P21. (2015). P21 Framwork Definitions. Washington DC: Partnership for 21st
Century Skills.
Redecker, C, dkk. (2011). The Future of Learning: Preparing for Change.
Luxembourg: Publications Office of the European Union.
•••
9
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Supriatna, N. (2012). Penggunaan Konsep Ilmu Sosial dalam Konstruksi
Pembelajaran Sejarah Kritis. PARAMITA: Historical Studies Journal, 17
(1), 122-130.
Trilling, B & Hood, P. (1999). Learning, Technology and Education Reform in
the Knowledge Age. Educational and Technology, 39 (3), 5-18.
Wagner, T. (2010). The Global Avheivement Gap: Why Even Our Best Schools
Don't Teach the New Survival Skills Our Children Need and What We Can
Do About It. New York: Basic Books.
•••
10
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Model Evaluasi Kreativitas Lomba Kompetensi
Peserta Didik SMK
Nursyamsinar Nursiti
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Barat
nursiti_19@yahoo.com
ABSTRAK
Model evaluasi kreativitas sejak lama didominasi oleh tes-tes kemampuan
berpikir kreatif yang dikembangkan maupun diadopsi dari Torrance Tests Of
Creative Thinking. Kelemahan tes ini terutama dalam hal: (1) berbagai jenis tes
kreativitas bertolak dari definisi, konstruk, dan indikator yang berlainan tentang
kreativitas; (2) hasil skor tinggi tes kreativitas belum jaminan memiliki
kemampuan profesional dengan prestasi tinggi; dan (3) sistem penskoran masih
subjektif karena tergantung pertimbangan memberi skor. Penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh derajat kreativitas subjek berdasarkan rumusan “Four P’s of
Creativity“ yaitu:creative person, creative product, creative process, dancreative
press.Penelitian ini masuk dalam penelitian evaluasi. Data dikumpulkan melalui
survei dengan menggunakan tiga alat pengumpul data yaitu: (1) skala untuk
dimensi pribadi dan pendorong kreatif; (2) tes kemampuan berpikir kreatif verbal
untuk dimensi proses kreatif; dan (3) lembar penilaianuntuk dimensi produk
kreatif. Dilihat dari proses pengumpulan data menggunakan pendekatan
retrospective dengan desain ex post facto yaitu, berusaha mengumpulkan data dari
fenomena yang telah muncul tanpa ada intervensi dari peneliti. Subjek penelitian
adalahpeserta Lomba Kompetensi Peserta Didik SMK tingkat Propinsi Jawa Barat
tahun 2016/2017 sebanyak 143 orang, yang tersebar pada 22 sekolah di lima
kabupaten/kota (Kabupaten Majalengka, Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Indramayu).Analisis data menggunakan
software SPSS for Windows 15.0, dan software LISREL 8.71, yang diawali dengan
uji normalitas/linieritas, dan secara multivariat data ditunjukkan normal dan linier.
Validitas konstruk kreativitas termasuk baik berdasarkan nilai muatan faktor
standar ( ) berturut-turut sebesar 0,94; 0,77; 0,98, dan 0,62 (semua ≥ 0,5),
serta nilai t muatan faktor berturut-berturut sebesar 13,42; 9,95; 14,50; dan 7,45
(semua t ≥ 1,96). Reliabilitas konstruknya baik berdasarkan komposit konstruk
( k ) = 0,78 dan ekstrak varian konstruk ( e ) = 0,71.Hasil penelitian ini adalah:
1) Model pengukuran dan model evaluasi kreativitas Lomba Kompetensi Peserta
Didik SMK yang terdiri atas dimensi pribadi, proses, pendorong, dan produk
kreatif cocok dan sesuai digunakan; (2) derajat kreativitas subjek menurut
dimensi-dimensinya berdasarkan kriteria dan norma kategorial masuk dalam
kategori tinggi; dan (3) kualitas interaksi antara anak dengan orang tua dalam
lingkungan keluarga, dan kualitas interaksi antara peserta didik dengan guru di
lingkungan sekolah berkontribusi lebih besar bagi pertumbuhan kreativitas.
Kata kunci: Model evaluasi, model pengukuran, model fit, pribadi kreatif, proses
kreatif, pendorong kreatif, dan produk kreatif.
•••
11
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
A. Pendahuluan
Pendidikan sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan pembangunan suatu
bangsa, sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi bangsa itu
sendiri. Pembangunan yang dilakukan di Indonesia saat ini memerlukan orang
yang mempunyai kemampuan-kemampuan tinggi dalam bidang ilmu dan
teknologi, dan untuk mencapai kemampuan tersebut diperlukan sumber daya
manusia yang cerdas dan kreatif (Toto Kuwato, 1994: 1).
Peranan kreativitas menjadi sangat penting dalam menghadapi persaingan
di era globalisasi saat ini, ketika adanya kesepakatan diberlakukannya AFTA
(Asean Free Trade Area), dan AFLA (Asean Free Labour Area) yang tidak hanya
menuntut kemampuan kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan
interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan lainnya (Pujiati Suyata
dkk, 2005: 1-2). Globalisasi menuntut lembaga pendidikan untuk memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif, di antaranya adalah tenaga kerja yang
profesional dan berkualitas sehingga dapat sebanding dengan kualitas tenaga
kerja asing. Kompetensi yang sepadan dengan kompetensi para tenaga kerja di
luar negeri merupakan salah satu faktor yang penting diperhatikan agar daya saing
global sauatu negara dapat menguat.
Pengembangan kreativitas dari sudut pandang pendidikan paling tidak
mempunyai makna sebagai: Pertama, pada tingkat makro kreativitas itu
merupakan unsur kekuatan sumber daya manusia yang handal untuk
menggerakkan pembangunan melalui perannya dalam penelusuran,
pengembangan, dan penemuan ilmu dan teknologi (IPTEK) yang
termanifestasikan dalam kebudayaan dan peradaban. Kreativitas telah terbukti
sangat membantu usaha pembangunan menjadi lebih progresif, yang dimaknai
bahwa kemajuan suatu bangsa sangat tergantung pada produk kreativitas
warganegaranya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa keberhasilan bangsa
Jepang, bukan karena sumber alamnya yang melimpah, melainkan apa yang
disebut satori, yaitu tingkat kemampuan berpikir kreatif tinggi dalam menghadapi
lingkungan, senang terhadap hal-hal baru dan orisinil, serta semangat bekerja
yang tinggi. Demikian pula halnya Malaysia mengalami kemajuan pembangunan
yang pesat karena pemerintahnya mampu dengan baik mengelola pemikir-pemikir
kreatif (Suharman, 1998: 2).
Persoalan di atas mengisyaratkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di
Indonesia perlu memberikan perhatian yang sungguh-sungguh, terencana, dan
sistematis terhadap upaya pengaktualisasian potensi kreatif peserta didik, di
antaranya dengan cara mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif
bagi pengembangan kreativitas secara optimal. Kedua, pada tingkat mikro,
kebermaknaan kreativitas dikaitkan dengan pendidikan terletak pada hakikat dan
perannya sebagai dimensi yang memberi ciri keunggulan bagi pertumbuhan
manusia yang efektif dan produktif yang wujudnya tampak dalam produk dan
karya-karya kreatif.
Berdasarkan pengamatan selama ini, potensi kreatif belum sepenuhnya
teraktualisasikan dalam berbagai lingkup, satuan, dan kegiatan pendidikan.
Keadaan ini tampak pada beberapa kondisi dan kecenderungan proses
pelaksanaan pendidikan yang: 1) dalam proses pembelajaran belum mendorong
pengembangan potensi diri peserta didik; 2) dalam mengelola respon peserta didik
cenderung bersifat evaluatif; 3) kurang peduli terhadap gagasan-gagasan yang
•••
12
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
orisinal peserta didik; 4) kurang menghargai ide-ide yang imajinatif; 5)
pengkondisian pembelajaran dengan norma perilaku tertentu yang sifatnya
represif dan evaluatif, dan 6) dalam pembelajaran mengutamakan pengembangan
kemampuan otak sebelah kiri (left hemisphere) yang berciri logis, rasional, serta
analitis dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan otak belahan kanan
(right hemisphere) yang mempunyai ciri kreatif, divergen, dan homolistik (Conny
Semiawan, 1999: 25).
Bertolak dari anggapan bahwa kreativitas itu adalah suatu proses dan hasil
belajar yang disengaja, maka berbagai pakar berupaya mengembangkan modelmodel intervensi untuk meningkatkan perilaku kreatif terutama pada adeganadegan di sekolah. Model untuk mengembangkan/meningkatkan kreativitas
didominasi oleh model-model pembelajaran kreatif, dalam bentuk rumusan dan
sasaran kegiatan belajarnya.
Pengembangan model-model pembelajaran kreatif pada umumnya
disesuaikan dengan nama pengembangnya antara lain: 1) Model Struktur Intelek
dari J. P. Guilford, melalui pola berpikir divergen dengan aspek-aspek
kelancaran, kelenturan, keaslian, dan kerincian dalam berpikir dapat dilatih; 2)
Model Talenta Berganda dari Taylor, terutama dalam bidang kreatif-produktif
mengembangkan keterampilan berpikir kreatif; 3) Model Treffinger untuk
mendorong belajar kreatif, yang dalam belajarnya mengunakan fase belajar tiga
tingkat (mulai dari teknik kreatif dasar sampai majemuk); 4) Model Enrichment
Triad dari Renzulli, yang memberi kesempatan pengayaan pengalaman
(menyelidiki masalah nyata), dan menyuguhkan tantangan bagi anak sekaligus
memupuk kreativitas; 5) Model Williams, mengenai perilaku kognitif-afektif di
dalam kelas untuk menumbuhkan sikap-sikap afektif dari unsur kreativitas; dan 6)
Model Pendidikan Integratif dari Clark, mengajukan konsep yang terpadu tentang
kreativitas dan memerlukan perpaduan antara fungsi berpikir, perasaan,
penginderaan, dan intuisi.Namun demikian perkembangan model pembelajaran
kreatif itu, kurang diimbangi dengan model-model penilaian (evaluasinya). Sejauh
ini penilaian mengenai kreativitas didominasi oleh tes-tes kemampuan berpikir
kreatif yang dikembangkan maupun yang diadopsi dari Torrance Tests Of
Creative Thinking (1974: 96). Selain memiliki beberapa kelebihan juga beberapa
kelemahan antara lain: a) berbagai jenis tes kreativitas bertolak dari definisi,
konstruk, dan indikator yang berbeda-beda tentang kreativitas; b) apa yang
diungkap oleh tes sangat peka terhadap hasil belajar; dan c) sistim penyekoran
yang objektif dalam tes pada dasarnya adalah subjektif karena sangat tergantung
atas pertimbangan penyekor.
Berkaitan dengan upaya meningkatkan kreativitas peserta didik SMK,
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan sejak tahun 1992 melaksanakan
Lomba Uji Kompetensi Siswa (LUKS) SMK. Tujuan utama lomba ini adalah
untuk mengukur kualitas kompetensi peserta didik SMK, apakah sudah sesuai
dengan standar dunia usaha/industri. Dalam perjalanannya kegiatan ini banyak
mengalami perkembangan, baik penggunaan istilah lomba (dari Lomba Uji
Kompetensi Peserta Didik, menjadi Lomba Keterampilan Peserta Didik,
selanjutnya Pekan Kompetensi Peserta Didik, Promosi Kompetensi Peserta Didik,
dan Lomba Kompetensi Peserta Didik), maupun bidang lomba yang
dikompetisikan.
•••
13
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Evaluasi (penilaian) yang digunakan pada bidang lomba disesuaikan dengan
kriteria dan standar yang diacu masing-masing lomba. Studi analisis format
penilaian yang digunakan dewan juri pada bidang lomba bahasa dan KIS, di
dalamnya selalu ada komponen penilaian tentang kreativitas, meskipun belum
dilengkapi dengan unsur, indikator atau kriteria-kriteria yang diperlukan dalam
menilai kreativitas. Sehingga pemberian skor kreativitas (yang bobotnya mencapai
15-20 % dari total bobot komponen penilaian suatu bidang lomba) sangat
menyulitkan dewan juri.
Melakukan evaluasi mengenai kreativitas seseorang tidaklah semudah
mengevaluasi prestasi belajarnya, karena kreativitas pada diri seseorang lebih
bersifat laten (dimensi pribadi kreatif, proses kreatif, pendorong kreatif, dan
produk kreatif) sehingga pada pelaksanaannya evaluasi kreativitas dilakukan
melalui pengukuran kreativitas secara tidak langsung, yakni melalui alat ukur
tertentu yang selanjutnya dijustifikasi dengan norma atau kriteria tertentu yang
digunakan bagi kepentingan pengambilan keputusan. Pendekatan yang digunakan
dalam penilaian kreativitas untuk dimensi produk kreatif pada umumnya adalah
dengan analisis objektif dan pertimbangan subjektif.
Pendekatan analisis objektif dimaksudkan untuk melakukan penilaian
secara langsung kreativitas suatu produk berupa benda atau karya-karya kreatif
lain yang dapat diamati wujud fisiknya. Pada prakteknya pendekatan ini sulit
diterapkan dan kurang diminati karena ketidakjelasan rambu-rambu metodologis
tentang makna sesungguhnya penilaian objektif, memiliki kompleksitas yang
tinggi, dan kesulitan mendiskripsikan kualitas produk yang beragam secara
matematis untuk menilai kualitas intrinsik suatu produk atau karya kreatif yang
dihasilkan. Sedangkan pendekatan penilaian kreativitas melalui pertimbangan
subjektif (subjective judgment) diarahkan kepada orang atau produk kreatif.
Dengan kata lain menggunakan pertimbangan subjektivitas penilai (evaluator)
terhadap orang atau produk/karya kreatif.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian evaluasi yang secara sistematik dirancang
untuk menjawab pertanyaan dan menguji atau membuktikan suatu hipotesis.
Menurut Kratchwohl (Nana, 2005:120-121) penelitian evaluasi bersifat hypothesis
driven. Penelitian mencoba menemukan suatu sebab dari sesuatu yang sudah
terjadi, hubungan kausal antar variabel tidak dimanipulasi, dan memfokuskan apa
yang sudah terjadi pada subjek, sehingga digunakan disain penelitian ini adalah
menggunakan penelitian ex post facto.
Subjek penelitian adalah peserta Lomba Kompetesi Peserta Didik SMK
tingkat Propinsi Jawa Barat tahun 2016/2017bidang lomba Bahasa dan Karya
Ilmiah Peserta Didik berjumlah 143 orang, yang tersebar di 22 SMK di lima
kabupaten/kota. Instrumen pengumpul data terdiri atas: 1) skala untuk dimensi
pribadi dan pendorong kreatif, 2) tes kemampuan berpikir kreatif verbal untuk
dimensi proses kreatif, dan (3) lembar penilaian untuk dimensi produk kreatif.
Uji coba skala pribadi dan pendorong kreatif diberikan kepada 80 orang
peserta didik SMK di Kota Cimahi(secara acak) di luar subjek penelitian. Hasil
analisis faktor diperoleh nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin Measure of Sampling)
sebesar 0, 629 (untuk pribadi kreatif) dan 0, 627 (untuk pendorong kreatif) ke-
•••
14
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
duanya cukup baik, sehingga butir-butir pernyataan dapat menjelaskan
pengelompokan indikator-indikator berdasarkan justifikasi teori.
Nilai Chi Square pada Bartlett’s Test of Sphericity sebesar 4608,222 dengan
probabilitas 0,00 (pribadi kreatif) dan 4262,591 dengan probabilitas 0, 00
(pendorong kreatif) ke-duanya signifikan. Jumlah faktor terbentuk ditunjukkan
oleh banyaknya komponen yang ada, sedangkan butir pernyataan pembentuknya
ditunjukkan oleh pengelompokan serta besarnya faktor loading (muatan faktor)
pada setiap butir. Dari hasil pengujian (baik untuk pribadi maupun pendorong
kreatif) ditunjukkan sebanyak 6 faktor terbentuk, dan semuanya memiliki faktor
loading ≥ 0, 3 sehingga valid dalam membentuk faktor.
1. Variabel Penelitian
a. Variabel laten pribadi kreatif dengan variabel manifes yaitu: rasa ingin
tahu, kemauan untuk merespon, keterbukaan terhadap pengalaman,
keberanian mengambil resiko, kepekaan terhadap masalah, dan
kepercayaan diri.
b. Variabel laten proses kreatif dengan variabel manifes yaitu: kelancaran,
keluwesan, keaslian, dan kerincian.
c. Variabel laten pendorong
kreatifdengan variabel manifes yaitu:
partisipasi dan keterlibatan dalam keluarga, keterbukaan sikap orang tua,
kebebasan untuk mengadakan eksplorasi, partisipasi dan kerjasama dalam
KBM, keterbukaan sikap guru, dan kebebasan untuk mengadakan eksplorasi
dan refleksi.
d. Variabel laten produk kreatif dengan variabel manifes yaitu: kebaruan,
keaslian, pemecahan masalah, dan elaborasi dan sintesis.
2. Instrumen Pengumpul Data
Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data pada penelitian
ini terdiri atas: (1) skala, untuk dimensi pribadi dan pendorong kreatif; (2) tes
kemampuan berpikir kreatif verbal, untuk dimensi proses kreatif; dan (3)
lembar penilaian, untuk dimensi produk kreatif.
3. Analisis Data
a. Statistik deskriptif, dengan bantuan software SPSS for Windows
13.0digunakan terutama untuk menganalisis data yang diperoleh dari
biodata responden yaitu: (1) karakteristik biografis (posisi kelahiran,
peringkat atau rangking di kelas) dan (2) karakteristik lingkungan (jumlah
saudara, pendidikan ayah, dan pendidikan ibu).
b. Analisis data kuantitatif, digunakan untuk menganalisis validitas,
reliabilitas, dan uji kecocokan model pengukuran (measurement model) dari
evaluasi kreativitas peserta lomba kompetensi SMK yang dikembangkan.
Instrumen dianalis dengan CFA (Confirmatory Factor Analysis),
menggunakan bantuan software LISREL 8.71 dimana ukuran sampel yang
disarankan untuk penggunaan estimasi Maximum Likelihood adalah sebesar
100 sampai 200 (Imam Ghozali & Fuad, 2005: 36). Analisis dengan
menggunakan CFA dalam penentuan validitas setiap butir masing-masing
instrumen didasarkan pada nilai t (t-value) muatan faktor dengan ketentuan,
apabila nilai t kurang dari ttabel yaitu sebesar 1,96 (pada diagram jalur
menunjukkan warna merah) berarti nomor butir yang bersangkutan
dianggap tidak valid dan harus didrop, sebaliknya kalau lebih besar dari ttabel
•••
15
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sebesar 1,96 (pada diagram jalur menunjukkan warna hitam), maka nomor
butir tersebut dianggap valid. Suatu variabel dikatakan mempunyai validitas
yang baik terhadap variabel latennya, adalah apabila: (a) nilai t muatan
faktornya (loading factors) lebih besar dari nilai kritis (atau ≥ 1,96) dan (b)
muatan faktor standarnya ≥ 0,7 (Wijanto, 2008: 65). Semakin besar nilai t
menunjukkan bahwa nomor butir tersebut semakin baik, begitu juga
sebaliknya. Untuk menguji kecocokan atau kesesuaian antara model teoritis
dengan model dari data empiris, baik model evaluasi maupun model
pengukuran didasarkan pada empat kriteria, yaitu: 1) Statistik Chi-Square;
2) Significance Probability; 3) Root Mean Square Error of Approximation
(RMSEA); dan4) Goodness of Fit Index (GFI). Jöreskog & Sörbom sebagai
pengembang sofware LISREL menetapkan kriteria utama model fit adalah
GFI. Adapun standar uji kecocokan model disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Goodness of fit Indices
Goodness of fit index
Chi-Square
Sig. Probability
RMSEA
GFI
Cut-of Value
Diharapkankecil
0,05
0,08
0,90
Keterangan
Semakin kecil semakin baik
RMSEA < 0,08 adalahgood fit
0,9 ≤GFI <1,00 adalahgood fit
C. Hasil Pembahasan
Model evaluasi kreativitas lomba kompetensi peserta didik SMK dapat
dibagankan seperti Gambar 1.
Kreativitas
Pribadi
Pendorong
Proses
Produk
Model Fit
Model Fit
Model Fit
Model Fit
Skor
Skor
Skor
Skor
Kriteria
Kriteria
Kriteria
Kriteria
Keterangan:Model fit terdiriatasmeasurement model fitdanoverall model fit.
1. Measurement model fit
Validitas konstruk kreativitas adalah baik berdasarkan nilai muatan faktor
standar ( )berturut-turut sebesar 0,94; 0,77; 0,98, dan 0,62 (semua ≥ 0,5),
serta nilai t muatan faktor berturut-berturut sebesar 13,42; 9,95; 14,50; dan 7,45
(semua t ≥ 1,96).
Reliabilitas konstruk kreativitas disimpulkan baik berdasarkan reliabilitas
komposit konstruk ( k ) sebesar 0,78 dan ekstrak varian konstruk ( e ) sebesar
0,71. Rumus-rumus yang digunakan untuk mendapatkan:
• Reliabilitas komposit suatu konstruk ( k )
•••
16
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
( std .loading )
=
( std .loading ) +
2
k
•
; dimana k 0,7
2
j
Ekstrak varian suatu konstruk ( e )
e =
std .loading
std .loading
2
2
+ j
atau e
std .loading
=
N
2
dimana e 0,5
std. Loading = faktor muatan standar
= measurement error dan
N
= banyaknya variabel manifes/indikator dari variabel laten
yang bersesuaian.
2. Overall model fit
Hasil analisis print out software Lisrel 8.71konstruk kreativitas diperoleh
nilai-nilai sebagai berikut: (1) Chi-Square = 0,26 dengan df = 2; (2) P-Value = 0,
87; (3) RMSEA = 0,00; dan (4) GFI = 0,99.
3. Model Pengukuran Konstruk Kreativitas
Persamaan pengukuran untuk konstruk kreativitas menggunakan persamaan
pengukuran second order CFA, dengan persamaan umum: X = x +
(Jöreskog & Sörbom, 1996: 2). Berdasarkan printed ouput hasil analisis skor
konstruk kreativitas dengan menggunakan software LISREL 8.71diperoleh
diagram jalur model pengukuran konstruk kreativitas seperti disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 2
Diagram Jalur Model Pengukuran Konstruk Kreativitas
Berdasarkannilai-nilai measurement model fit dan overall model fit dapat
disimpulkan model sudah fit.
•••
17
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
4. Skor Pribadi, Pendorong, dan Produk Kreatif
Skor-skor dianalisis untuk melihat kecenderungan distribusi data kemudian
dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan, untuk selanjutnya dilakukan
judgment.
Distribusi data (bentuk skor) yang ada, dibagi yang dalam 7 SDi, kemudian
dijadikan 6 kategori dengan kriteria seperti berikut (mengacu kepada standar
norma umum taraf inteligensi):
• Mi - 3,50 SDi < skor <= Mi - 2,33 SDi→ rendah sekali
• Mi – 2,33 SDi < skor <= Mi - 1,17 SDi→rendah
• Mi – 1,17 SDi < skor <= Mi + 0,00 SDi→sedang
• Mi + 0,00SDi < skor <= Mi + 1,17 SDi→cukup
• Mi + 1,17 SDi <skor <= Mi + 2,33 SDi→tinggi
• Mi + 2,33 SDi < skor <= Mi + 3,50 Sdi →sangat tinggi
Keterangan:
Mi= rerata ideal (skor harapan tertinggi + skor harapan terendah)/2 dan
SDi = simpangan baku ideal (skor harapan tertinggi – skor harapan terendah)/7
Tabel 2
Distribusi Kategori Pribadi Kreatif
Kategori
Frekuensi
Persen
Rentang Skor
Sangat rendah
0
0
57 – 86
Rendah
0
0
87 – 114
Sedang
0
0
115 – 143
Cukup
22
18,2
144 – 171
Tinggi
69
57
172 – 199
Sangat Tinggi
30
24,8
200 – 228
Jumlah
121
100
Tabel 3
Distribusi Kategori Pendorong Kreatif
Kategori
Frekuensi Persen
Rentang Skor
Sangat rendah
0
0
58 - 87
Rendah
0
0
88 - 115
Sedang
0
0
116 - 145
Cukup
29
24
146 - 174
Tinggi
72
59,5
175 - 202
Sangat Tinggi
20
16,5
202 - 232
Jumlah
121
100
Tabel 4
Distribusi Kategori Produk Kreatif
Kategori
Frekuensi
Persen
Rentang Skor
Sangat rendah
0
0
0 - 17
Rendah
0
0
18 – 33
Sedang
17
14
34 – 50
Cukup
47
38,1
51 – 67
Tinggi
50
41,3
68 – 83
Sangat Tinggi
7
6,6
84 - 100
Jumlah
121
100
•••
18
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
5. SkorProses Kreatif
Skor mentah (raw score)masing-masing subtes, dikonversikan ke skor skala
(scala score). Skor skala dijumlahkan, kemudian dikonversi untuk mendapatkan
creativity quotient (CQ). Menurut Dedi Supriadi (1994: 28), analog dengan
Intelligence Quotient (IQ). Skor-skor creativity quotient dianalisis untuk melihat
kecenderungan distribusi data kemudian dibandingkan dengan kriteria yang telah
ditetapkan, untuk selanjutnya dilakukan judgment.
Norma umum untuk taraf kreativitas analog dengan inteligensi yaitu norma
Intelligence Structure Test disajikan seperti Tabel 5
Tabel 5
Norma Umum Taraf Kreativitas
Rentang Skor
Kategori
119 – ke atas
Sangat tinggi (very superior)
105 – 118
Tinggi
100 – 104
Cukup
95 – 99
Sedang
81 – 94
Rendah
80 – ke bawah
Rendah sekali
Rentang Skor
119 – ke atas
105 - 118
100 – 104
95 - 99
81 - 94
80 – ke bawah
Jumlah
Tabel 6
Distribusi Kategori Dimensi Proses Kreatif
Frekuensi Persen
Kategori
12
10,2
Sangat tinggi
58
47,4
Tinggi
18
15,3
Cukup
13
10,1
Sedang
20
17
Rendah
0
0
Rendah sekali
121
100
D. Kesimpulan
1. Kualitas interaksi antara anak dengan orang tua dalam lingkungan
keluarga, dan kualitas interaksi antara peseta didik dengan guru di sekolah
berkontribusi lebih besar bagi pertumbuhan kreativitas.
2. Derajat kreativitas dari dimensi pribadi, pendorong, proses, dan produk
kreatif peserta lomba kompetensi peserta didik SMK tingkat Propinsi Jawa
Barat tahun 2016/2017 masuk dalam kategori tinggi.
3. Variabel manifes dimensi pribadi kreatif (rasa ingin tahu, kemauan untuk
merespon, keterbukaan terhadap pengalaman, keberanian mengambil
resiko, kepekaan terhadap masalah, dan kepercayaan diri), dan variabel
manifes pendorong kreatif (partisipasi dan keterlibatan dalam keluarga,
keterbukaan sikap orang tua, kebebasan untuk mengadakan eksplorasi,
partisipasi dan kerjasama dalam KBM, keterbukaan sikap guru, dan
kebebasan untuk mengadakan eksplorasi dan refleksi, mengukur baik
konstruknya.
•••
19
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
4. Variabel manifes dimensi proses kreatif (kelancaran, keluwesan, keaslian,
dan kerincian), dan variabel manifes produk kreatif (kebaruan, keaslian,
pemecahan masalah, serta elaborasi dan sintesis)
mengukur baik
konstruknya.
E. DAFTAR PUSTAKA
Brockman, J. (1993). Creativity. New York: Published by Simon &
Schuster.
Conn, Semiawan dkk. (1984). Memupuk bakat dan kreativitas siswa sekolah
menengah. Jakarta: PT. Gramedia.
DediSupriadi.
(1994).
Bandung: Alfabeta.
Kreativitaskebudayaan&perkembanganiptek.
Jöreskop, K. G., & Sörbom, D. (1996): LISREL 8. User’s reference
guide.Chicago: Scientific Software International.
Madaus, G.F., Scriven, M.S., Stuffebeam, D.L. (1993). Evaluation models,
viewpoints on educational and human services evaluation. Boston:
Kluwer-Nijhoff Publishing.
Nana Syaodih. S. (2005). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Penerbit
PT Remaja Rosdakarya.
Posavac, E. J. & Carey, R. G. (1985). Program evaluation: method and case
study. USA: Prentice-Hall, Inc.
Ruindungan, M. G. (1996). Model bimbingan peningkatan kreativitas siswa
SMU. Disertasi Doktor, tidak diterbitkan, IKIP, Bandung.
S.H. Wijanto. (2008). Structural
8.8.Yogyakarta: GrahaIlmu.
equation
modelingdenganlisrel
Singgih, S. (2003). SPSS Statistik multivariat. Jakarta: PT. Alex Media
Komputindo.
Solimun, M. S. (2001). Structural equation modeling (Sem) and LISREL.
Malang:
Brawijaya.
Stark, J. S. & Thomas, A. (1994). Assessment and program evaluation.
NeedhamHeights: Simon & Schuster Custom Publishing.
Toto Kuwato. (1994). Sex-role dan kreativitas. Disertasi Doktor, Tidak
diterbitkan, Psikologi UGM, Yogyakarta.
Utami Munandar, dkk. (1977). Creativity and Education: A studi of the
relationship between
measures of creative thinking and a number
of educational variables in Indonesien primary and junior secondary
schools. Jakarta: Balitbang, Depdikbud.
•••
20
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI NILAI MANUSKRIP
SYECH ABDURAUF AS-SINGKILI UNTUK
MENINGKATKANKESADARAN KESETARAAN GENDER SISWA
Oleh
Mawardy As Ary Putra T
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UNS
mawardyasaryputra@gmail.com
Abstrak
Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Ruang lingkupnya
mencakup seluruh pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan,
apabila kita mempelajari karya tulis yang membahas pendidikan, baik sains
pendidikan (science of educations) maupun filsafah pendidikan (philoshopy of
educations), maka akan kita temukan berbagai macam pengertian atau uraian yang
beraneka ragam tentang pendidikan.Pendidikan berbasis budaya lokal,
mempunyai peran penting dalam penanaman karakter kepada siswa, hal ini
dikarenakan pendidikan berbasis budaya lokal dapat menggali dan
mengembangkan pendidikan berbasis budaya lokal, salah satunya dengan cara
mengenal tokoh yang berpengaruh pada suatu daerah. Di dalam sebuah
peninggalan ilmu pengetahuan terdapat nilai-nilai kearifan yang bisa diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai kearifan ini tercermin di dalam sebuah
karya dari seorang ulama Aceh yang bernama Syech Abdurrauf as Singkili, yang
kemudian di tulis dalam beberapa kitab Manuskrip yaitu kitab Mir’atul Thulab fi
Tas-hili Ma’ritah Ahkamisy Syar’iyah lil Mulkil Wahhab dan Turjumanul
Mustafid. Untuk itu, dikembangkan suatu model pembelajaran sejarah berbasis
nilai manuskrip Syech Abdurrauf as Singkili. Dengan merancang suatu desain
pembelajaran, sintak pembelajaran dan RPP. Pengembangan ini diharapkan akan
meningkatkan rasa pemahaman dan kesadaran siswa terhadap kesetaraan gender.
Dari nilai nilai yang tertuang dalam manuskrip Syech Abdurrauf As Singkili
diharapkan siswa mampu : mengetahui nilai nilai kearifan sejarah lokal,
mengembangkan pola pemahaman kesadaran kesetaraan gender baik dalam ruang
lingkup sekolah maupun masyarakat, serta meningkatkan kesadaran kesetaran
dalam Islam. Hasil penelitian : n= 28 dan (α) = 0,05,nilai pos-tes sebesar
0,913,Uji T sebesar 2,279, n =200> 0,05,post test 0,430. Terdapat kenaikan
signifikansi dalam penelitian pengembagan model ini, diharapkan dengan model
ini pembelajaran sejarah mampu untuk, mengembangkan kesadaran kesetaraan
gender siswa.
Kata Kunci : Model pembelajaran sejarah, Manuskrip, Syech Abduurauf As
Singkili, Kesadaran kesetaraan Gender.
1. Pendahuluan.
Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Ruang lingkupnya
mencakup seluruh pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan,
apabila kita mempelajari karya tulis yang membahas pendidikan, baik sains
pendidikan (science of educations) maupun filsafah pendidikan (philoshopy of
educations), maka akan kita temukan berbagai macam pengertian atau uraian yang
beranika ragam tentang pendidikan. Pembahsan tersebut pada umumnya berkisar
•••
21
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sekitar dasar dan tujuan pendidikan, proses pendidikan, materi pendidikan, dan
kebijakan kebijakan ideal maupun kebijakan operasional pendidikan.
Dinamika pemahaman pendidikan berproses melalui tiga momen yaitu
momen history, momen refletif, dan momen praktis. Momen history yaitu usaha
merefleksikan pengalaman umat manusia yang bergulat dalam menghidupi
konsep dan praktis pendidikan khususnnya, dalam jatuh bangun mengembangkan
pendidikan berkarakter bagi anak didik sesuai dengan konteks zamannya. Momen
reflektif sebuah moment yang melalui pemahaman intelektualknya manusia
mencoba mendefenisikan pengalamannya mencoba melihat pengalamannya ,
mencoba melihat persoalan metodologi, filosofis, dan prinsipil yang berlaku bagi
pendidikan karakter. Momen praktis, yaitu dengan bakal pemahaman teoritis
konseptual itu, manusia mencoba menemukan secara efektif agar proyek
pendidikan karekter dapat efektif terlaksanan di lapangan ( Koesoma, 2007 : 308
).
Pendidikan dan pengajaran ini merupakan tugas dan kewajiban mulai bagi
insan-insan yang peduli terhadap kualitas anak bangsa. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, berbagai langkah dilakukan oleh dunia pendidikan, terutama terkait
dengan sumber daya manusia yang menangani langsung kegiatan pendidikan dan
pembelajaran, yaitu guru.Guru adalah orang dewasa yang secara sadar
bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik.
Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang
program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta
didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai
tujuan akhir dari proses pendidikan. Pendapat lain menyatakan bahwa guru pada
hakikatnya merupakan tenaga kependidikan yang memikul berat tanggung jawab
kemanusiaan, khususnya berkaitan dengan proses pendidikan generasi penerus
bangsa menuju gerbang pencerahan dalam melepaskan diri dari belenggu
kebodohan (Trianto, 2009:i).
Eksistensi dari seorang tokoh dapat dilihat dari bagaimana Pengaruh tokoh
atau kontribusi tokoh tersebut dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun
kehidupan masyarakat. Dalam arti ada sesuatu yang sangat berguna dari seseorang
tokoh yang menjadi panutan dalam masyarakat, Seperti penngaruh tokoh dalam
perkembangan Islam, atau perkembangan Pendidikan. Dalam hal ini Pernanan
atau Kotribusi yang di lakukan menjadikan tokoh tersebut menjadi orang yang
sangat penting dalam kehidupan seseorang maupun masyarakat.
Dalam pembentukan karakter baik kebudayaan maupun pendidikan harus
saling berkaitan dan saling mendukung. Kebudayaan memiliki nilai nilai budaya
yang berfungsi dan mampu membentuk karate manusia pendukungnya. Para
pendidik harus mampu menggali nilai nilai kebudayaan yang dibutuhkan untuk
membangun karaterter yang dibutuhkan bangsa. Namun yang paling utama
adalah pendidikan harus mampu membentuk kepribadian yang memang keras
untuk memiliki karakter yang baik dan berguna bagi bangsa. Karater yang
dilandasi moral baik. Moral yang diperoleh dari nilai nilai budaya, dan terutama
mendapat dukungan dari ajaran agama dan kepercayaan yang dianut insan
manusia Indonesia (Simanjuntak, 2014 : 20)
Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi dilapangan, saat ini terdapat
kecenderungan bahwa mata pelajaran sejarah kurang diminati peserta didik, hal
ini disebabkan karena guru sejarah masih banyak terfokus pada model
•••
22
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pembelajaran konvensional, kurang ditunjang dengan penggunaan model dan
media pembelajaran yang inovatis, proses pembelajaran sejarah
kurang
menyentuh aspek nilai sosial dan keterampilan sosial, serta selama ini
pembelajaran sejarah cenderung menggunakan kemampuan menghafal mater
pembelajaran. Kurang nya kemampuan guru untuk mengintegrasikan materi
pelajaran melalui kearifan lokal yang ada dilingkungan siswa sehingga guru
kurang dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan siswa. Dan dari
pengamatan tersebut pula penulis melihat masalah masalah yang terjadi di sekolah
yaitu, masih kurangnya pemahaman di lingkungan sekolah akan permasalahan
kesetaraan dalam pendidikan, seperti permasalahan kesetaraan gender atau
kesamaan dalam pembelajaran tanpa harus pilih-pilih jenis kelamin dalam
pembelajaran.
Melalui pengembangan model pembelajaran sejarah diharapkan siswa mampu
memperoleh pengalam secara empirik dan dapat mengaplikasikan nilai nilai yang
didapat didalam mata pelajaran ke dalam kehidupan nyata serta dapat
,melestarikan budaya lokal yang siswa miliki sehingga dapat meningkatkan hasil
hasil belajar dan keterampilan sosial siswa.
Naskah tulisan tangan (manuscript) merupakan salah satu bentuk khazanah
budaya, yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran,
pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat masa lalu. Dibandingkan
dengan bentuk bentuk peninggalan budaya material non-indonesia di Indonesia,
seperti candi, istana, masjid, dan lain lain, jumlah peninggalan budaya dalam
bentuk naskah jelas jauh lebih besar (Ikram 1997 : 24 ).
Kesadaran bahwa manuskrip atau naskah kuno merupakan sumber
pengetahuan yang paling otentik tentang jatidiri umat manusia dan latar budaya
yang dimiliki pendahulunya dapat diwujudkan dalam usaha untuk menjaga,
mengkaji, dan melestarikannya (Jabali, 2010:30). Manuskrip sesungguhnya
adalah tradisi yang hidup di tengah masyarakat yang merefleksikan kemajuan
peradaban (civilization) anak bangsa yang memilikinya. Manuskrip-manuskrip itu
berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, ceritera rakyat (dongeng,
legenda), teknologi tradisional, mantra, silsilah, jimat, syair, politik,
pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, hikayat, dan
sebagainya.
Naskah adalah karangan dengan tulisan tangan yang menyimpan berbagai
ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Baried
dkk., 1994: 55). Kata naskah diambil dari bahasa Arab, yakni kata al-naskhah
yang memiliki padanan bahasa Indonesia berupa kata manuskrip (Fathurahman,
2010:4-5). Kata naskah juga merupakan terjemahan dari kata Latin, yaitu ‘codex‘
(bentuk tunggal; bentuk jamak codies‘) yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi naskah‘bukan menjadi kodeks‘. Kata codex‘ dalam bahasa
Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada
dasarnya kata itu berarti teras batang pohon‘. Kata ‘codex‘ kemudian di berbagai
bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah.
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan beberapa Negara dipastikan
menyimpan koleksi naskah naskah Nusantara, seperti Belanda, Inggris, Malaysia,
Perancis, Jerman, Rusia, Afrika, Selatan, Sri Langka dan dibeberapa Negara yang
lain. Selain itu, tampaknya masih ada lembaga diduga memiliki koleksi naskah
•••
23
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Nusantara, karena pernah mempunyai hubungan sejarah keilmuan seperti
perpustakaan Dar al-Kutub dan perpustakaan al Azhar di Kairo.
Di antara berbagai kategori naskah Nusantara, naskah keagaaman (Islam)
merupakan salah satu katagori naskah yang relative banyak. Hal ini tidak terlalu
menghenrankan, mengngat kenyataan bahwa ketika Islam dengan segala kekayaan
budayanya masuk ke wilayah Nusantara pada umumnya dan wilayah Melayu –
Indonesia pada khususnya, budaya tulis menulis sudah relatif mapan, sehingga
ketika terjadi persentuhan antara Islam dan budaya tulis menulis tersebut, maka
munculah aktifitas penulisan naskah nasakah keagamaan yang memang menjadi
media paling efektif dalam proses transmisi keilmuan Islam tersebut.
Selain itu, banyaknya naskah keagamaan terutama unsur tasawuf juga
kaitannya dengan kenyataan bahwa kebudayaan memiliki bangsa Indonesia
hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi
manusia Indonesia dengan peradaban Islam. Secara keseluruhan merupakan hasil
dari proses akulturasi manusia Indonesia oleh peradaban Islam yang menurut Edi
Sedyawati disebut sebagai satu dari tiga pengalaman besar dalam akulturasi di
Indonesia. (Edi Sedyawati “ Menyikapi Warisan Budaya “ dalam Media
Indonesia, 25 Maret 2000). Apalagi, diketahui bahwa sejak abad ke 13, bangsa
indonesia telah di datangi oleh para ulama sufi yang dalam proses penyebaran
islam banyak pula menghasilkan tulisan, yang kini tersimpan dalam bentuk
naskah, menyangkut ajaran ajaran tasawuf yang mereka sampaikan kepada
masyarakat setempat (Azra 1994:32).
Dalam konteks naskah keagamaan ini, proses transmisi keilmuan seperti telah
disebutkan di atas pada gilirannya membentuk dua kelompok bahasa naskah :
pertama, naskah naskah yang di tulis menggunakan bahasa Arab ; dan kedua,
naskah naskah yang ditulis dalam bahasa daerah. Secara keilmuan naskah nasakah
keagamaan tersebut mengandung bidang yang sangat beragam, seperti fiqih,
tasawuf, tafsir, hadist, dan lain lain.
Di antara bahasa daerah di dua Melayu Indonesia menjadi sarana transmisi
berbagai ajaran ajaran islam melalui naskah naskahnya, bahasa Melayu
merupakan salah satu bahasa yang paling luas pemakainnya. Hal ini
dimungkinkan karena pada abad ke 14 – abad 15 ketika proses islamisasi
berlangsung, bahasa Melayu menjadi bahasa lingua franca di wilayah ini. Selain
bahasa Melayu, bahasa Jawa, juga tidak kalah pentingnya bahasa yang belakangan
banyak memperkaya khazanah keilmuan Islam ketika bahasa ini digunakan untuk
menuliskan ajaran Islam yang semua disampaikan secara lisan (Ikram, 1997:139).
Seiring berjalannya waktu, dan dengan semakin luasnya cakupan wilayah dan
dengan semakin luasnya cakupan wilayah Islamisasi, distribusi naskah nasakah
keagamaa tersebut pun makin luas. Pada gilirannya, ketika naskah naskah tersebut
dibaca, dipahami, dan diresepsi kandungan isisnya oleh masyarakat di berbagai
wilayah, maka muncul pula berbagai bentuk apresiasi dan resepsi dari masyarakat
pembacanya, yang kemudian di tuangkan dalam bentuk penulisan naskah yang
kemudian di tuangkan juga dalam penulisan naskah, yang dalam hal ini disebut
sebagai “ naskah naskah lokal “ untuk membendekan antara naskah naskah yang
dibuat dengan bahasa arab yang diantaranya di tulis dengan ulama non – Melayu
Indonesia dengan naskah naskah yang ditulis menggunakan bahasa daerah.
Naskah nasakah tersebut metupakan khazanah naskah Nusantara. Naskah naskah
•••
24
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
lokal yang di tulis berbagai bahasa daerah seperti, Aceh, Melayu, Jawa, Sunda,
Sasak, dan Wolio (Fathurrahman 2008:18 ).
Adapun kitab yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah kitab
Mir’atul Thulab fi Tas-hili Ma’ritah Ahkamisy Syar’iyah lil Mulkil Wahhab dan
Turjumanul Mustafid. Dua kitab mahakarya Syech Abdurrauf ini merupakan kitab
yang hingga kini menjadi pembelajaran tentang Silam di dunia. Kitab Mir-atul
Thullab terdiri atas 3 bab/pembahasan:
a Hukum Fiqih, baik persoalan muamalah, nikah dan segala permasalahan
keluarga, termasuk didalamnya permasalahan warisan (faraidh: pembagian
harta pusaka), termasuk hukum warisan tanah negara, dan segala hasil bumi
di dalamnya.
b Hukum Ba’i (persoalan jual beli dan segala perkara yang terkandung
di dalamnya, hukum laba dan bunga).
c Hukum Jinayah (penegakan hukum syariat, termasuk di dalamnya hukum
perdata dan kriminal atau permasalahan kontemporer).
Islam adalah sebuah agama yang mengatur hampir keseluruhan permasalahan
hidup manusia. Penafsiran yang dilakukan oleh Abdurrauf dalam Tafsir Tarjuman
al-Mustafid dan Mir’atul Thulab fi Tas-hili Ma’ritah Ahkamisy Syar’iyah lil
Mulkil Wahhabtentang beberapa ayat Gender dianggap perpanjangan tangan
penafsiran klasik (patriarki), hal ini bisa kita lihat dalam menafsirkan ayat-ayat
dengan pemahaman bahwa laki-laki mempunyai hak otoriter terhadap perempuan
pandapat ini bertolak belakang dengan perannya dalam perpolitikan beliau
melakukan kritik-dekontruksi terhadap tradisi yang berkembang dalam hal
kepemimpinan yang lebih mensuperiorkan peran laki-laki dan sebagai bukti
adalah bentuk dukungan yang diberikan oleh Abdurrauf terhadap Sultanah Tajul
Alam Safiatuddin Syah yang ketika itu ditolak kepemimpiannya oleh para ulama
di Aceh dan pada saat itu juga muncul dukungan ulama besar untuk
mendukungnya yakni Syah Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf as-Singkil
sehingga Sultanah semakin kuat dalam perpolitikan. Disini terjadi sebuah
perbedaan pemikiran pada tahapan teologisnormatif dengan realitas faktual
terlihat adanya kontroversi Abdurrauf as-Singkili dalam mengemukakan
pendapatnya dan dampak yang muncul dari hal ini, seakan-akan al-Quran sebagai
grand texs tidak mampu menjawab persoalan realitas yang terjadi. Inilah yang
menjadikan peneliti tertarik untuk menelaah penafsiran ayat gender dalam
Tarjuman al-Mustafid serta menghubungkan pemikiran tersebut dengan realitas
yang ada pada masa Abdurrauf as-Singkili hidup dan mengaplikasikan berbagai
ide-ide gendernya. Apalagi sosok Abdurrauf as-Singkili sebagai Qadhi Malikul
Adil tentu perkataan dan pemikirannya dapat menjadi konsensus dalam
membentuk wacana perkembangan pemikiran terhadap kepemimpinan wanita.
Abdurrauf as-Singkili, sebagai mufasir yang menjadi fokus penelitian ini,
menafsirkan kata "awliya'" dengan "mengimpun (bekerja sama)". Secara
sempurna penafsiran Abdurrauf as-Singkili adalah: Bermula segala mu’min lakilaki dan dan segala mu’min perempuan itu setengah mereka itu menghimpun kan
setengahnya menyuruh mereka itu akan pekerjaan yang baik dan menegah mereka
itu dari pada pekerjaan yang jahat .mereka itulah yang lagi akan dikasihani allah
ta’ala bahwasanya yang amat kuasa tiada dihantarkannya suatu dari pada
memutuskan janjinya lagi hakim tiada dihantarkan suatu melainkan pada
tempatnya .Jika penafsiran Abdurrauf as-Singkili dibandingkan dengan penafsiran
•••
25
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sebelumnya terkait persoalan kepemimpinan, posisi penafsiran Abdurrauf asSingkili merupakan perpanjangan tangan tafsir-tafsir Timur Tengah dengan
pengecualian tafsir Baidhawi dan Jalalain. Pandangan Abdurrauf as-Singkili
terlihat lebih moderat dan toleran, ia tidak meninggalkan penafsiran kata
“awliya”sebagai kata kunci dalam penyamaan hak laki-laki dan perempuan.
Berbeda dengan kedua tafsir (Baidhawi dan Jalalain) yang terlihat tidak terlalu
memperhatikan kata “awliya” dalam penafsirannya. Sehingga fokus penafsiran
keduanya pada persoalan menelaah perbedaan dengan kondisi orang-orang
munafik pada ayat sebelumnya.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Subjek penelitiannya adalah siswa kelas X SMA N 1 Gunung Meriah Kec.
Gunung Meriah, serta guru mata pelajaran sejarah. Dalam hal ini penelitian
berkolaborasi dengan guru dan siswa untuk mengembangkan model pembelajaran
Sejarah berbasis Manuskrip Syech Abdurrauf As Singkili yang telah disesuaikan
dengan standart kopetensi mengenai masuknya islam di nusantara dan kepetensi
dasarnya adalah mengenai kerajaan kerajaan islam di nusantara.
Borg and Gall (2003:569) mendefinisikan penelitian pengembangan sebagai
berikut: Educational Research and development (R & D) is a process used to
develop and validate educational products. The steps of this process are usually
referred to as the R & D cycle, which consists of studying research findings
pertinent to the product to be developed, developing the products based on these
findings, field testing it in the setting where it will be used eventually, and revising
it to correct the deficiencies found in the filed-testing stage. In more rigorous
programs of R&D, this cycle is repeated until the field-test data indicate that the
product meets its behaviorally defined objectives.
Teknik analisis data ini dilakukan untuk menarik kesimpulan tentang data
yang diperlukan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisisi data
kualitatif dengan pendekatan induktif . Maksudnya adalah peneliti memulai
penelitian ini berawal dari faksta bahwa kemampuan peserta didik masih belum
sepenuhnya paham tentang manuskrip Syech Abdurrauf as Singkili. Dengan
demikian diperlukan sebuah teori bahwa pembelajaran sejarah memerlukan sarana
agar hasil yang dicapai dapat maksimal, tidak hanya kemampuan akademik,
melainkan juga kopetensi sosial baik dalam maupun luar sekolah. Dari data yang
diperoleh akan dikelompokan menjadi tiga yaitu (1) data wawancara, (2), arsip
sekolah, dan (3) data kelas.
1. Instrumen Penelitian Pendahuluan
Dalam proses pengumpulan data, peneliti memmbutuhkan beberapa
instrument penunjang, antara lain angket, lembar wawancara, dan lembar
observasi. Untuk menunjang instrument tersebut diperlukan beberapa alat bantu
misalnya kamera / video, alat perekam suara, dan catatan lapangan.
2. Trianggulasi Data.
Menurut Sugiyono (2012:330) trianggulasi diartikan sebagai teknik
pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik
pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Terdapat dua macam
trianggulasi. Pertama, yaitu trianggulasi teknik yang berarti peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data yang berbeda beda untuk mendapatkandata dari sumber
•••
26
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
yang sama. Kedua, trianggulasi sumber yang berarti untuyk mendapatkan data
dari sumber yang berbeda beda dengan teknik yang sama.
3. Hasil Penelitian
Uji kesetaraan, Uji peningkatan dan Uji efektivitas model pembelajaran ini
dilakukan dengan melakukan uji kompetensi di dua kelas berbeda, yaitu kelas
kontrol dan kelas eksperimen. Pembelajaran yang dilakukan di kelas kontrol
menggunakan metode biasa, atau dengan kata lain tidak diberikan perlakuan.
Sementara itu pembelajaran yang dilakukan di kelas eksperimen menggunakan
model pembelajaran sejarah berbasis pemikiran Syech Abdurauf As Singkili yang
telah disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Selain tes
prestasi,uji efektifitas terhadap model juga dilakukan dengan mengukur sikap
siswa melalui angket yang telah disebarkan oleh peneliti dan berkolaborasi
dengan guru.
Adapun syarat- syarat yang digunakan dalam menghitung statistiknya adalah
sebagai berikut:
a) Hipotesis
- Ho : Adanya kesetaraan kemampuan dari nilai prestasi siswa diantara
kelas X IPS 1 dengan kelas X IPS 3.
- H1 : Tidak adanya kesetaraan kemampuan dari nilai prestasi siswa
antara kelas X IPS 1 dengan kelas X IPS 3.
b) Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi α = 0,05
c) Keputusan Uji
- Ho diterima jika signifikansi > 0,05
- Ho ditolak jika signifikansi < 0,05
1) Tes Kognitif
a. Hasil Uji Normalitas
Simpulan dari hasil uji normalitas kelompok kontrol dan kelompok
ekperimen menggunakan SPSS dengan jumlah n= 28 dan (α) = 0,05,
maka diperoleh data sebagai berikut: Hasil uji statistik SPSS dengan
teknik Kolmogorov-Smirnov bahwa pre-tes prestasi kelas eksperimen
memiliki sig 0, 226> 0,05 dan sedangkan hasil pos-tes prestasi kelas
eksperimen memiliki nilai sig 0, 107> 0,05, maka data dari kelompok
eksperimen dapat diartikan berdistribusi normal.
b. Hasil Uji Homogenitas
Dari perhitungan tes of homogeneity of variances diatas, dapat diketahui
nilai sig data pre-tes sebesar 0,000 dan nilai pos-tes sebesar 0,913. Karena
nilai signifikansi lebih kecil dari pada 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa data nilai pre-test dan pos-tes kelas kontrol
dan
eksperimen
adalah homogenitas (lihat lampiran).
c. Hasil Uji T
Dengan SPSS 17 menggunakan Independen T Tes untuk mencari ratarata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontroldan Kelas
Eksperimen Berikut simpulan hasil Ujinya: Analisis Uji dengan SPSS
menggunakan Independen -Sample T Tes untuk mencari rata-rata
sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil
uji statistik diatas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas kontrol
yaitu sebelum perlakuan 51,43 dan setelah perlakuan 58,57 Sedangkan
•••
27
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Uji T sebesar 2,279 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025 maka Ho
ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas kontrol
tidak sama.
2. Uji Peningkatan ( Pre Test Kelas Eksperimen dan Post Tes Kelas Eksperimen.)
a. Hasil Uji Normalitas
Simpulan dari hasil uji normalitas kelompok kontrol dan kelompok
ekperimen menggunakan SPSS dengan jumlah n= 28 dan (α) = 0,05,
maka diperoleh data sebagai berikut: Hasil uji statistik SPSS dengan
teknik Kolmogorov-Smirnov bahwa pre-tes prestasi kelas eksperimen
memiliki sig 0, 200> 0,05 dan sedangkan hasil pos-tes prestasi kelas
eksperimen memiliki nilai sig 0, 77> 0,05, maka data dari kelompok
eksperimen dapat diartikan berdistribusi normal.
b. Hasil Uji Homogenitas
Dari perhitungan tes of homogeneity of variances diatas, dapat diketahui
nilai sig data pre-tes sebesar dan nilai pos-tes sebesar 0,430. Karena nilai
signifikansi lebih kecil dari pada 0,900, maka dapat disimpulkan bahwa
data nilai pre-test dan pos-tes kelas kontrol dan eksperimen adalah
homogenitas .
c. Hasil Uji T
Dengan SPSS 17 menggunakan paired Sample T Tes untuk mencari
rata- rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas control dan Kelas
Eksperimen Berikut simpulan hasil Ujinya: Analisis Uji dengan SPSS
menggunakan Independen -Sample T Tes untuk mencari rata-rata
sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil
uji statistik diatas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas kontrol
yaitu sebelum perlakuan 29,64 dan setelah perlakuan 72,86
Sedangkan Uji T sebesar 0,711 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025
maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas
kontrol tidak sama.
3. Uji Efektivitas
a. Uji Normalitas efektivitas.
Simpulan dari hasil uji normalitas kelompok kontrol dan
kelompok ekperimen menggunakan SPSS dengan jumlah n= 28 dan (α)
= 0,05, maka diperoleh data sebagai berikut: Hasil uji statistik SPSS
dengan teknik Kolmogorov-Smirnov bahwa pre-tes prestasi kelas
eksperimen memiliki sig 0, 625> 0,05 dan sedangkan hasil pos-tes prestasi
kelas eksperimen memiliki nilai sig 0, 085> 0,05, maka data dari
kelompok eksperimen dapat diartikan berdistribusi normal.
b. Hasil Uji Homogenitas
Dari perhitungan tes of homogeneity of variances diatas, dapat
diketahui nilai sig data pre-tes sebesar 0,140 dan nilai pos-tes sebesar
0,480 Karena nilai signifikansi lebih kecil dari pada 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa data nilai pre-test dan pos-tes kelas
kontrol
dan
eksperimen adalah homogenitas.
c. Hasil Uji T
Dengan SPSS 17 menggunakan paired Sample T Tes untuk
mencari rata- rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas control
•••
28
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dan Kelas Eksperimen Berikut simpulan hasil Ujinya: Analisis Uji dengan
SPSS menggunakan Paired -Sample T Tes untuk mencari rata-rata
sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil
uji statistik diatas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas kontrol
yaitu sebelum perlakuan 66,42 dan setelah perlakuan 73,92
Sedangkan Uji T sebesar 0,037 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025
maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas
kontrol tidak sama.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diambil kesimpulan
penelitian terhadap pengembanga model pembalajaran sejarah berbasis manuskrip
Syech Abdurrauf As Singkili utuk kesadaran kesetaraan gender siswa di SMA N 1
Gunung Meriah . peneliti membagi kesimpulan menjadi yaitu ; (1) Hasil
penelitian pendahuluan ; (2) Hasil pengembangan Model ; (3) Saran dengan rinci
sebagai berikut
1. Hasil Penelitian Pedahuluan
Berdasarkan hasil observasi, guru lebih banyak menggunakan ceramah,
sehingga pembelajaran banyak berpusat pada guru ( teacher centered ). Selaian
itu, dalam beberapa pertemuan guru juga mengadaka diskusi atau kerja kelompok
kepada siswa. Namu hal ini masih belum efektif karea belum optimalnya peran
siswa kurang kondusifnya siswa dalam memperhatikan jalannya diskusi.
Adapun tingkan pemahaman kesadaran kesetaraan gender siswa masih
tergolong rendah. Siswa cenderung mengesampingkan nilai nilai kesetaraan
didalam kelas semisal perempuan tidak boleh jadi ketua kelas, pembagian
kelompok masih berbetuk kelompok laki laki dengan laki laki dan perempuan
dengan perempuan saja. Dari hasil angket juga menunjkan bahwa siswa faham
dalam kesetaraan gender namun pada peng-aplikasian-nya masih jauh dari
harapan. Padaha kesetaraan gender sangan bermanfaat tidak hanya dalam
lingkungan sekolah tetapi masyarakat.
Pengetahuan siswa terhadap ulama dari Aceh Singkil yaitu Syech Abdurrauf
As Singkili cukup baik. Dikarenakan beberapa guru sudah mengajari nilai nilai
keraifan lokal terhadap siswa. Apalagi Syech Abdurrauf As Singkili adalah ulama
pertama yang membuat A Quran Arab melayu dan sebagai pendakwah tareqat di
nusantara. Dengan demikian sebagai ulama kharismatik Aceh tentunya tulisan
kitab dari Syech Abdurrauf As Singkili menjadi ilmu bermanfaat terutama
masalah kesetaraan gender.
2. Hasil Pengembangan Model Pembalajaran.
Desain awal pegembangan model pembelajaran sejarah yag disusun oleh
peneliti dan berkolaborasi degan guru. Diharapkan melalui model pembelajaran
sejarah berbasis Nilai nilai Manuskrip Syech Abdurrauf diharapkan mampu
memberi pengetahuan siswa terdahadap kesadaran kesetaraan Gender baik
lingkungan sekolah maupun masyarakat.
Sebelum dilakukan pengembangan terhadap model maka peneliti melakukan
uji validitas instrumen kepada pakar/ahli. Analisis data oleh ahli pembelajaran
adalah berujuan untuk mengetahui kelayakan model yang akan diterapkan dalam
proses pembelajaran. Berdasarkan penilaian dari aspek penilaian teori
•••
29
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pendukung, sintak, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dampak
pengiring, dan pelaksanaan pembelajaran dengan 31 indikator diperoleh hasil
rerata adalah 4,6. ini menunjukan model pembelajaran yang dikembangkan
mempunyai katagori Baik.
Analisis data oleh ahli pembelajaran adalah betujuan untuk mengetahui
RPP yang digunakan layak akan digunakan model yang akan diterapkan
dalam proses pembelajaran. Berdasarkan penilaian dari berbagai aspek di atas
dengan 14 indikator yang ada di dalam format RPP disimpulkan secara umum
instrument bisa digunakan dengan catatan harus direvisi tentang metode yang
digunakan harus disesuaikan lagi. Hasil rerata adalah 4,78.Ini menunjukan
model pembelajaran yang dikembangkan mempunyai katagori sangat Baik
Berdasarkan hasil penilaian di atas, kesimpulan yang diperoleh adalah
materi atau bahan ajar dapat digunakan dengan merevisi bagian- bagian yang telah
ditentukan oleh pakar. Secara umum, kriteria penilaian tersebut dapat dilihat pada
tabel presentase dan diagram hasil uji validasi bahan ajar/ materi yang akan
dijadikan model dalam pembelajaran sejarah. Berdasarkan hasil penilaian yang
telah dilakukan, secara umum soal dapat digunakan tanpa merevisi. Hasil
rerata adalah 4,3. Ini menunjukan soal pembelajaran yang dikembangkan
mempunyai katagori Baik.
•••
30
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH TERINTEGRASI NILAI TRADISI
TUNGGUL WULUNG UNTUK PENGUATAN JATI DIRI BANGSA
Lany Susanti, , Hermanu Joebagio, Sri Yamtinah
Prodi S2 Pendidikan Sejarah UNS Surakarta
lanieysusanti@gmail.com
ABSTRAK
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi mengakibatkan degradasi moral
dalam masyarakat. Generasi muda sangat rentan dengan adanya dampak negatif
dari globalisasi tersebut yang menyebabkan munculnya banyak konflik dalam diri
generasi muda dan lingkungannya. Sikap individualis dan homogen yang
membentuk individu egois dan non toleran yang bertolak belakang bahkan
memudarkan jati diri bangsa Indonesia yang terkenal dengan keramahan,
kesantunan, gotong royong dan toleransi yang tinggi. Penanaman nilai-nilai
sebagai benteng dari dampak globalisasi dapat dilakukan melalui pembelajaran
formal di sekolah salah satunya adalah dengan menggunakan model pembelajaran
yang dapat menumbuhkan jati diri bangsa siswa. Model Pembelajaran teritegrasi
nilai tradisi tunggul wulung merupakan model pembelajaran sejarah yang
didalamnya memuat nilai-nilai sebagai penguat jati diri bangsa siswa. Penelitian
ini merupakan penelitian pengembangan. Model pembelajaran ini memuat nilainilai yang ada pada tradisi tunggul wulung yang dapat menguatkan jati diri bangsa
siswa diantaranya adalah toleransi, gotong royong, kekeluargaan,dan pelestarian
budaya.
Kata Kunci: Model Pembelajaran, Tradisi Tuggul Wulung, Jati Diri Bangsa
A. Pendahuluan
Jati diri bangsa merupakan identitas yang dimiliki oleh suatu bangsa yang
menjadi ciri khusus. Jati diri bangsa merupakan suatu kebanggaan bahkan menjadi
daya tarik tersendiri yang harus tetap dijaga dan dilestarikan secara turun temurun
pada generasi muda penerus bangsa. Jati diri bangsa akan terlihat dalam karakter
bangsa yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur bangsa. Akan tetapi
akhir-akhir ini kita mulai di khawatirkan dengan melemahnya jati diri bangsa
dalam masyarakat salah satunya disebabkan oleh dampak negatif berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan degradasi moral pada
masyarakat. Masyarakat cenderung individualis karena segala sesuatu dapat
dilakukan dengan mudah dan tanpa bantuan orang lain yang pada akhirnya
melunturkan nilai-nilai sosial yang selama ini berkembang dan berlaku di
masyarakat seperti kekeluargaan, gotong royong, dan toleransi. Kearifan lokal
sebagai pusaka budaya memiliki peranan penting sebagai inspirasi dalam
penguatan jati diri atau identitas bangsa. Penguatan jati diri suatu bangsa menjadi
sangat penting pada era globalisasi dengan tujuan agar tidak luntur atau
tercabutnya akar budaya yang diwarisi dari para pendahulu ditengah-tengah
kecenderungan homogenitas kebudayaan sebagai akibat dari globalisasi. Bangsa
Indonesia mewarisi berbagai kekayaan alam, kekayaan hayati dan kekayaan
keragaman sosiokultural. Kekayaan ini merupakan modal dasar yang harus di olah
untuk kesejahteraan warga indonesia. Kearifan lokal merupakan modal budaya
•••
31
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
yang harus dikelola dan dikembangkan yang nantinya akan memperkuat identitas
ke-indonesiaan.
Salah satu cara untuk dapat memperkuat jati diri bangsa adalah melalui
pembelajaran formal di sekolah, penguatan jati diri bangsa sangat penting
dilakukan guna menjaga generasi penerus bangsa ini tidak tergerus jiwa ke
Indonesiaannya akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penanaman dan penguatan jati diri bangsa pada peserta didik harus dilakukan
sejak mereka pada jenjang pendidikan formal karena guru ataupun orang tua dapat
dengan mudah untuk memberikan pengawasan dan nasehat. Sangat penting bagi
kita calon pendidik untuk menciptakan suatu model, media, ataupun alat ntuk
dapat memprermudah proses pembelajaran sehingga tujuan dapat tercapai dan
pembelajaran dapat terlaksana secara efektif. Maka dalam penelitian ini peneliti
melakukan pengembangan model pembelajaran sejarah terintegrasi nilai Tradisi
Tunggul Wulung untuk penguat jati diri bangsa.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan pengembangan atau
RnD. Metode penelitian Kulaitatif dimaksudkan untuk mengetahui nilai-nilai apa
saja yang terdapat pada tradisi tunggul wulung selain itu juga digunakan pada
proses Penelitian pengembangan yaitu pada saat uji coba untuk mendeskripsikan
hasil atau proses uji coba model pembelajaran. Desain penelitian pengembangan
yang digunakan mengacu pada model pada model Borg and Gall. Penelitian dan
pengembangan ini bertujuan menghasilkan model pembelajaran sejarahyang
menggunakan sumber utama berupa Peninggalan Tunggul Wulung.Sehingga hasil
yang akan dihasilkan adalah model pembelajaran sejarah yang terintegrasi nilai
Tradisi Tunggul Wulung untuk penguatan Jati Diri Bangsa.
C. Hasil Dan Pembahasan
Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Melakukan pengumpulan informasi mengenai pembelajaran sejarah dan jati
diri bangsa siswa di beberapa sekolah yang ada di Kabupaten Wonogiri. Pada
penelitian ini dilakukan tiga jenis analisis pendahuluan yaitu sebagai berikut :
a) Studi Lapangan
Penentuan produk yang akan dikembangkan berdasarkan atas
permasalahan dan kebutuhan yang ada di lapangan. Melalui wawancara yang
telah dilakukan pada guru Mata pelajaran sejarah di 8 SMA Negeri di
Kabupaten Wonogiri didapatkan beberapa informasi dan permasalahan
diantaranya adalah mengenai model pembelajaran sejarah yang sering
digunakan guru serta kendala nya, proses pembelajaran yang belum
maksimal, tujuan pembelajaran yang belum tercapai secara penuh, kurang
aktifnya siswa pada saat pembelajaran, adanya perubahan sikap siswa dari
tahun ke tahun yang mengalami penurunan, rasa nasionalisme siswa yang
menurun, kurangnya sikap sosial siswa. Permasalahan yang ada tersebut
dialami oleh 5 dari 8 sekolah yang telah di lakukan studi lapangan.
Wawancara pada siswa juga dilakukan untuk mengetahui seperti apa
proses pembelajaran sejarah di kelas. Rata-rata siswa kurang memahami
materi yang diberikan karena mereka cenderung pasif tidak aktif bertanya dan
berbicara di kelas bahkan diantara mereka merasa bahwa teman yang sering
•••
32
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
bertanya pada guru dianggap mencari perhatian guru, bagi siswa yang aktif
mereka cenderung bersikap individual dalam kelompok diskusi karena
mereka sangat menonjol diantara yang lain, banyak siswa yang tidak
memahami kebudayaan yang ada didaerahnya, selain itu banyak siswa juga
tidak dapat menyebutkan secara urutan dan lambang yang ada pada pancasila.
Selain itu juga dilakukan Observasi pada saat proses pembelajaran
sejarah. Melalui observasi tersebut didapatkan beberapa informasi yang sama
dengan hasil wawancara yang dilakukan pada guru diantaranya adalah siswa
dalam proses pembelajaran cenderung pasif walaupun sudah dilakukan
diskusi karena siswa yang aktif hanya siswa yang berani berbicara dan
memiliki pengetahuan yang lebih dari teman lainnya sedangkan yang lainnya
cenderung pasif, siswa lebih individual dan tidak menghargai pendapat
teman, sebagian siswa kurang memahami identitas bangsa seperti sila dan
lambang dalam pancasila, tidak mengetahui tentang kebudayaan daerah
masing-masing.
b) Studi Literatur
Setelah memperoleh informasi dari hasil wawancara dan observasi.
Selanjutnya dilakukan studi literatur untuk menemukan konsep-konsep
teoritis yang memperkuat suatu produk dan mendapatkan solusi untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada. Studi literatur yang dilakukan
diperoleh hasil bahwa harus adanya inovasi pada pembelajaran sejarah.
Berdasarkan permasalahan yang ada maka inovasi yang dianggap sesuai
adalah pengembangan model pembelajaran yang dapat memperkuat jati diri
bangsa pada diri siswa dengan mengintegrasikan nilai local genius dari
sejarah lokal. Sejarah lokal yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang
mendukung dalam penguatan jati diri bangsa salah satu nya adalah Tradisi
Tunggul Wulung yang ada pada Dusun Jurang Desa Pijiharjo Kecamatan
Manyaran Kabupaten Wonogiri. Nilai dalam Tradisi Tunggul Wulung sangat
banyak di antara nya adalah nilai kekeluargaan, toleransi, tanggung jawab,
religiusitas, kerja sama, gotong royong yang sangat mencerminkan jati diri
bansa Indonesia.
Tahap II : Tahap Pengembangan Model
a) Model Pengembangan (Desain Produk)
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan
ini mengacu pada model Borg and Gall. Penelitian dan pengembangan ini
bertujuan menghasilkan model pembelajaran sejarah yang menggunakan
sumber utama berupa Peninggalan Tunggul Wulung. Penelitian dan
pengembangan model pembelajaran ini bertujuan untuk penguatan Jati Diri
Bangsa.
Dalam pelaksanaan desain penelitian dan pengembangan Borg anda Gall
(1989) terdapat sepuluh langkah sebagai berikut :
(1) Penelitian dan Pengumpulan data (Research and Information Collecting).
Tahap ini mencakup kegiatan studi lapangan, studi literatur, wawancara
dan observasi lapangan yang digunakan untuk mengetahui permasalahan dan
pengukuran kebutuhan dilapangan sebagai dasar dalam pengembangan model
pembelajaran dan meyusun kerangka kerja penelitian dan pengembangan
yang akan dilaksanakan.
(2) Perencanaan (Planning).
•••
33
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Tahapan ini merupakan penyusunan rencana penelitian mencakup
pendefinisian model pembelajaran yang akan dikembangkan, perumusan
tujuan, perkiraan waktu penelitian dan pengembangan, penentuan prosedur
kerja dan bentuk partisipasi yang dibutuhkan dalam penelitian dan
pengembangan, dan uji kelayakan.
(3) Pengembangan draft produk (develop premiliminar for of product).
Tahapan kegiatan pengembangan bentuk awal atau draf awal model
pembelajaran yang akan di uji cobakan, termasuk sarana prasarana, bahan
ajar, instrument penilaian dan lainnya yang dipergunakan dalam uji coba
tersebut.
(4) Uji coba lapangan awal (Preliminary field testing).
Tahap uji coba lapangan produk awal yang dilakukan dengan skala
terbatas pada 2 subjek uji coba di satu sekolah. Pada tahap ini selama uji coba
dilakukan data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, angket. Data
tersebut dianalisis untuk menemukan berbagai kekurangan dan kelemahan.
(5) Merevisi hasil uji coba (Main Product revision).
Merupakan tahap penyempurnaan atau perbaikan draft model
pembelajaran yang sudah di uji cobakan sebelumnya berdasarkan data yang
diperoleh pada tahap uji coba sebelumnya melaui wawancara, observasi dan
angket. Pelaksanaaan tahap ini bisa dilakukan beberapa kali sehingga
memperoleh produk yang lebih baik yang disebut produk utama, yang siap di
uji cobakan kembali dengan skala yang lebih luas.
(6) Uji coba lapangan (Main field testing).
Tahap uji lapangan produk utama pada skala lebih luas pada 4 subjek uji
coba di dua sekolah. Pada tahap ini selain data kualitatif tentang proses
pelaksanaan uji coba lapangan, data secara kuantitatf dari subyek penelitian
(siswa) baik sebelum maupun sesudah proses pengembangan dikumpulkan,
berdasarkan itu hasilnya di evaluasi, dilihat signifikansi peningkatan dan
dibandingkan dengan kelompok lain.
(7) Penyempurnaan produk hasil uji coba (Operational product revision).
Tahapan untuk merevisi atau memperbaiki produk yang telah di
ujicobakan berdasarkan data yang diperoleh secara kuantitatif maupun
kualitatif pada proses uji coba lapangan pada skala luas sehingga diperoleh
produk hipotetis yang siap di validasi.
(8) Uji Pelaksanaan lapangan (Operational field testing).
Tahapan ujicoba mn nnnnnnnn lapangan operasional atau uji empiris
dilakukan pada 6 subjek penelitian di tiga sekolah. Kegiatan ini dilakukan
untuk menguji validitas produk hipotetis. Uji coba lapangan empiris ini dapat
dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen. Pada tahap
ini baik sebelum maupun sesudah pemberian perlakuan, data dari subyek
penelitian pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dikumpulkan
secara kuantitatif, hasilnya di evaluasi dan dibandingkan untuk melihat
kelebihan serta kekurangan, untuk melihat apakah model pembelajaran yang
dikembangkan cukup efektif.
(9) Penyempurnaan produk akhir (Final revisi products).
Tahap revisi akhir pada model pembelajaran yang dihasilkan berdasarkan
masukan uji pelaksanaan lapangan, sehingga diperoleh model pembelajaran
yang siap didesiminasikan.
•••
34
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
(10) Diseminasi dan Implementasi (Dissemination and Implemetation).
Tahap melaporkan produk yang dihasilkan pada pertemuan ilmiah atau
dipublikasikan melalui jurnal ilmiah.
Sukmadinata
(2007:190)
menyederhanakan
model
penelitian
pengembangan Borg and Gall pada 3 tahapan yaitu studi pendahuluan,
pengembangan model dan validasi, Studi pndahuluan meliputi dua kegiatan
yaitu studi kepustakaan dan observasi lapangan. Tahapan pengembangan
terdiri dari 3 kegiatan yaitu penyusunan draf awal, uji coba terbatas dan uji
coba luas. Yang terakhir adalah validasi yang merupakan kegiatan
eksperimen untuk menguji validitas produk yang dihasilkan.
b) Validasi Desain
Validasi desain model pembelajaran yang dikembangkan ini
dirancanakan akan dilakukan validasi oleh 10 orang ahli yaitu ahli model
pembelajaran sejarah, materi pelajaran sejarah tingkat SMA, pendidikan,
evaluasi, sejarah lokal, nasionalisme dengan rincian sebagai berikut:
(1) Ahli Model Pembelajaran Sejarah
Merupakan seseorang yang memahami model pembelajaran sejarah
khususnya model pembelajaran sejarah untuk jenjang pendidikan SMA
dengan latar belakang pendidikan S3 Jurusan Model Pembelajaran. Validasi
ini dilakukan dengan 1orang ahli model pembelajaran sejarah.
(2) Ahli Materi pelajaran Sejarah untuk SMA
Merupakan orang yang memahami materi pembelajaran sejarah khususnya
model pembelajaran sejarah untuk jenjang pendidikan SMA dengan latar belakang
pendidikan minimal S2 ahli ini bisa diambil dari guru mata pelajaran sejarah di
SMA. Validasi ini dilakukan dengan 2 orang ahli materi pelajaran sejarah untuk
SMA pembelajaran sejarah
Validasi desain menggunakan validitas Aiken sebagai berikut (Azwar,
2012:134) :
Dimana:
V
: indeks validitas dari Aiken
ni
: banyaknya penilai (raters) yang memilih kriteria i
c
: banyaknya kategori/criteria
r
: kriteria ke i
ℓo : kategori terendah
n : jumlah seluruh penilai
c) Revisi Desain
Model pembelajaran yang dikembangkan yang telah di validasi desain
oleh para ahli akan mendapatkan masukan serta saran untuk dilakukan
perbaikan terhadap model pembelajaran sebelum dilakukan uji coba produk.
d) Uji Coba Produk
(1) Desain Uji Coba
Berdasarkan langkah metode penelitian dan pengembangan Borg and
Gall, uji coba produk dilakukan dalam 3 tahapan yaitu :
(a) Uji Coba Skala Kecil
Uji coba skala kecil ini dilakukan pada 2 kelas di satu sekolah, yaitu
1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol.
•••
35
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
(b) Uji Coba Skala Menengah
Uji coba skala menengah ini dilakukan pada 4 kelas pada 2 sekolah,
yaitu pada masing-masing sekolah terdapat 1 kelas eksperimen dan 1
kelas kontrol.
(c) Uji Coba Skala Luas
Uji coba skala luas ini dilakukan pada 6 kelas pada 3 sekolah, yaitu
pada masing-masing sekolah terdapat 1 kelas eksperimen dan 1 kelas
kontrol
(2) Subjek Uji Coba
Subjek dalam uji coba penelitian ini dipilih menggunakan teknik
Nonprobability sampling jenis Purposive sampling, yakni pengambilan
sampel dengan pertimbangan tertentu yang memiliki kriteria-kriteria
tertentu berdasarkan tujuan penelitian. Pada penelitian pengembangan ini
produk yang akan dikembangkan adalah model pembelajaran sejarah
yang megintegrasi nilai tradisi tunggul wulung dengan tujuan penguatan
jati diri bangsa. Sampel yang diambil adalah yang memiliki kriteria
sebagai berikut:
(a) Memiliki permasalahan dalam pembelajaran sejarah
(b) Adanya permasalahan jati diri bangsa dalam diri siswa rendah
(c) Kelas yang digunakan sebagai sampel terdiri dari 1 kelas eksperimen
dan kelas kontrol dari masing-masing sekolah
(d) 3 sekolah yang menjadi tempat penelitian memiliki tingkatan
kualitas rendah, sedang dan tinggi.
Subjek penelitian pengembangan ini terdiri atas 6 kelas dari 3
sekolah, masing-masing SMA terdapat 1 kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Ketiga sekolah SMA tersebut telah diambil dengn kualifikasi
sekolah memiliki kualitas atau prestasi tinggi, sedang dan rendah untuk
melihat lebih dalam mengenai efektifitas dari produk yang
dikembangkan, berikut tabel subjek penelitian pengembangan:
Tabel.01: subjek penelitian
Nama
Status Dalam Jumlah
No Kualifikasi
Sekolah
Ekspermen
Kelas
1.
Tinggi
SMA
Kelas
1
Negeri A
Eksperimen
Kelas Kontrol
1
2.
Sedang
SMA
Kelas
1
Negeri B
Eksperimen
Kelas Kontrol
1
3.
Rendah
SMA
Kelas
1
Negeri C
Eksperimen
Kelas Kontrol
1
(3) Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data berupa
data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa nilai hasil
pembelajaran sejarah serta hasil penilaian angket mengenai jati diri
bangsa. Data kualitatif didapatkan dari wawancara, observasi, validasi
•••
36
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
produk dan hasil uji coba produk berupa masukan untuk perbaikan
produk.
Hasil
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh model pembelajaran
ejarah yang terintegrasi nilai tradisi Tunggul Wulung seperti dalam tabel berikut :
Tabel.02 : Tabel Langkah-langkah Model Pembelajaran Sejarah
Terintegrasi Nilai Tradisi Tunggul Wulung
Kegiatan
Deskripsi
Pendahuluan
❖ Mereview materi sebelumnya dan mengaitkannya atau
menyinggung dengan materi baru yang akan dipelajari
❖ Menyampaikan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang
akan dicapai (SFAE)
❖ Menyampaikan tahapan pembelajaran yang akan dilakukan
❖ Menyampaikan garis besar materi pembelajaran yang akan
dipelajari (SFAE)
❖ Membagi kelompok dan nomor pada setiap anggota kelompok
(NHT)
Inti
❖ Memberikan tugas pada masing-masing kelompok untuk
mendiskusikan dan membuat bagan atau peta konsep
mengenai proses masuknya Hindu Buddha di Indonesia dan
bukti-bukti seperti candi ataupun kebudayaan yang masih ada
hingga saat ini (NHT)
❖ Masing-masing kelompok memastikan semua anggota
kelompok memahami materi yang didiskusikan (NHT, dalam
proses ini setiap peserta didik memiliki tanggung jawab
kepada semua anggota kelompok selain itu dapat mempererat
kekeluargaan dan kebersamaan dalam kelompok dengan rasa
peduli)
❖ Memanggil nomor anggota kelompok dari salah satu
kelompok (NHT)
❖ Memberikan kartu pertanyaan pada peserta didik, peserta
didik memilih kartu secara acak (Memilih (VCT) dalam
proses ini peserta didik memiliki tanggung jawab dengan
pilihannya)
❖ Peserta didik menjawab pertanyaan pada kartu dan
menjelaskannya di depan kelas melalui bagan ataupun peta
konsep (Peserta didik memiliki tanggung jawab ubtuk dapat
menyelesaikan tugas yang diperolehnya dengan sebaik
mungkin (SFAE))
❖ Tanya jawab antar kelompok (Menghargai : presenter
menerima masukan dan pertanyaan dari audiens, Berbuat :
presenter menjawab pertanyaan dari audiens, (VCT) Pada
proses ini terjadi timbal balik yang menunjukkan rasa
menghargai, toleransi dan kerja sama dalam kelompok)
❖ Meluruskan ide atau pendapat dari peserta didik dari presenter
ataupun audiens
❖ Menjelaskan materi secara keseluruhan
•••
37
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Penutup
❖ Menyimpulkan hasil diskusi bersama peserta didik (SFAE)
❖ Guru melakukan evaluasi untuk mengukur ketercapaian
tujuan pembelajaran
D. KESIMPULAN
Jati diri bangsa merupakan identitas suatu bangsa yang menjadi kekayaan
kebanggaan tersendiri. Jati diri bangsa akan terlihat dalam karakter bangsa yang
merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur bangsa. Kearifan lokal sebagai
pusaka budaya memiliki peranan penting sebagai inspirasi dalam penguatan jati
diri atau identitas kltural atau bangsa. Penguatan jati diri suatu kelompok etnik
atau bangsa menjadi sangat penting pada era globalisasi dengan tujuan agar tidak
luntur atau tercabutnya akar budaya yang diwarisi dari para pendahulu ditengahtengah kecenderungan homogenitas kebudayaan sebagai akibat dari globalisasi.
Bangsa Indonesia mewarisi berbagai kekayaan alam, kekayaan hayati dan
kekayaan keragaman sosiokultural. Kekayaan ini merupakan modal dasar yang
harus dioleh untuk kesejahteraan warga Indonesia. Kearifan lokal merupakan
modal budaya yang harus dikelola dan dikembangkan yang nantinya akan
memperkuat identitas ke-Indonesiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan:
Bandung PT Remaja Rosdakarya.
Borg, W.R. & Gall, M.D. Gall. 1989. Educational Research: An Introduction, (5th
ed.). New York: Longman.
Azwar (20112). Metode Penelitian. Yogyakarta :P ustaka Pelajar.
•••
38
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PENGGUNAAN MEDIA KREATIF LUKIS PASIR SEJARAH
Aris Riyadi, S.Pd., M.Pd.
PPPPTK PKn dan IPS, Batu, Jawa Timur
ararisriyadi196@gmail.com
ABSTRAK
Mulai lunturnya semangat nasionalisme generasi muda saat ini merupakan
masalah serius yang harus dicari solusinya. Guru harus keratif dan berinovasi
dalam menyampaikan pelajaran sejarah. Untuk itu penulis menciptakan media
pembelajaran baru yang di sebut media "Lukis Pasir Sejarah". Tujuan dari
penelitian ini untuk memaparkan proses penggabungan kreatifiatas seni dan IT
sehingga menghasilkan media pembelajaran IPS sejarah yang menarik dan
menyenangkan.. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
kajian pustaka di mana penulis berusaha mendiskripsikan media lukis pasir
sejarah sekaligus penerapannya di dalam kelas. Hasil dari kreatifitas penerapan
media kratif ini adalah penerapan media Lukis Pasir Sejarah di dalam kelas. Yaitu
guru membuat lukisan pasir diatas meja kaca sambil menceritakan peristiwaperistiwa sejarah diiringi alunan musik. Proses melukis direkam dengan kamera
yang dihubungkan laptop selanjutnya di tayangkan ke layar monitor melalui LCD.
Lukis Pasir Sejarah dapat di saksikan dalam bentuk live maupun pemutaran ulang
dari hasil rekaman video. Selanjutnya secara berkelompok siswa
mempresentasikan isi dari peristiwa sejarah tersebut di depan kelas dan kelompok
lain menanggapi. Implikasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelajaran
Sejarah yang selama dianggap membosankan dapat diubah menjadi pembelajaran
yang menyenangkan dengan media Lukis Pasir Sejarah. Nilai-nilai karakter
semangat kebangsaan dan cinta tanah air dapat dihayati dan disampaikan secara
menarik dan menyenangkan (Joyfull Learning).
Kata Kunci: Media, Kreatif Lukis Pasir, Sejarah
Pendahuluan
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya. Pembentukan karakter bangsa terutama pada pembentukan
semangat nasionalisme adalah hal yang mendesak yang harus dilakukan pada
generasi muda saat ini. Banyak siswa-siswa kita memperoleh penghargaan di
tingkat dunia, namun banyak pula dari mereka yang pulang “membangun” bangsa
lain dengan bekerja, jadi konsultan, di negeri orang dan sejenisnya. Banyak faktor
yang menyebabkan hal tersebut. Mulai dari sikap pemerintah, kepedulian
individu, latar belakang dan motivasi dan masih banyak lagi. Lunturnya semangat
nasionalisme (mencitai bangsa sendiri) semakin terlihat manakala siswa kurang
memahami dan memaknai peristiwa sejarah. Hal ini diperparah pada anggapan
bahwa pembelajaran sejarah adalah pelajaran yang membosankan. Padahal, dalam
pembelajaran sejarah sangat penting artinya bagi generasi muda untuk bagaimana
meneladani apa yang telah di lakukan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan
ini. Bagaimana generasi sekarang mengambil hikmah dari peristiwa masa lalu
untuk mengisi kemerdekaan di masa depan.
•••
39
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Masalah yang ditemukan
Masalah yang ditemukan dilapangan, banyak dijumpai di sekolah-sekolah
pembelajaran IPS utamanya sejarah masih kurang inovatif dan cenderung membosankan.
Akibatnya minat siswa terhadap pembelajaran sejarah saat ini sangat berkurang.
Pemahaman akan peristiwa sejarah yang seharusnya mampu menjadi sauri tauladan
generasi muda tidak dapat tersampaikan. Apalagi untuk memaknai sejarah yang
terkandung didalamnya, tentunya juga akan sulit dilakukan.
Konsep Pemecahan Masalah
Ketika ada acara Indonesia Mencari Bakat (IMB) di salah satu program stasiun
televisi, salah satu kontestan yang bernama Vina Candrawati begitu memukau para
pemirsa dengan mengilustrasikan cerita-cerita menarik melalui Lukisan pasirnya. Karena
penulis seorang pendidik, langsung terlintas dipikiran penulis, apa jadinya jika lukisan
pasir tersebut digunakan pada proses pembelajaran IPS sejarah di kelas. Karena pada
prinsipnya sejarah juga ingin menyampaikan peristiwa-peristiwa sejarah pada siswa.
Dengan inspirasi tersebut dan ditambah dengan sentuhan imajinasi, seni dan teknologi
(IT), maka maka penulis ciptakan media khusus untuk pembelajaran sejarah yang
bernama Media Lukis Pasir Sejarah. Dengan media khusus ini penulis mencoba
mendesain bagaimana pembelajaran sejarah mampu menumbuhkan semangat
nasionalisme, dalam menceritakan kembali peristiwa sejarah dengan penuh penghayatan.
Dengan menggabungkan teknologi (IT) dan sentuhan seni, pembelajaran sejarah akan
lebih menarik, dihayati dan menyenangkan "Joyfull learning".
Pembahasan
Penulis sebagai pendidik memfokuskan pada pembahasan dari sudut pandang
pendidikan. Pada makalah ini penulis akan langsung fokus pada pembahasan tentang
bagaimana penggabungan teknologi (IT) dan kreatifiatas seni mampu menciptakan Media
Pembelajaran IPS Sejarah yang menyenangkan yaitu Media Lukis Pasir Sejarah.
Bagaimanakah penerapan Media Lukis Pasir Sejarah pada proses pembelajaran di kelas
dan sejauh mana hasil yang diperoleh.
Tujuan
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk memaparkan proses penggabungan
teknologi (IT) dan kreatifiatas seni mampu menghasilkan media pembelajaran IPS sejarah
yang menarik dan menyenangkan. Selain itu juga ingin memaparkan penerapan Media
Lukis Pasir Sejarah pada proses pembelajaran di kelas serta hasilnya.
Ruang Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup dalam pembahasan makalah ini adalah meliputi pemanfaatan
teknologi (IT) yang di miliki guru di sekolah dengan daya kreatifitas seni sehingga
menciptakan media belajar yang menyenangkan. Teknologi yang dimaksud adalah
teknologi yang tidak muluk-muluk tetapi alat yang dimiliki guru sehari-hari dalam
melaksanakan pembelajaran di kelas seperti laptop, LCD, audio dan lain-lain yang di
desain secara khusus sehingga mampu menciptakan Media Lukis Pasir Sejarah pada
proses pembelajaran kelas. Sedangkan kreatifitas seni yang dimaksud adalah bagaimana
guru mendekatkan isi materi dengan dunia siswa melalui imajinasi karya seni yang ada,
baik secara mandiri maupun dengan berkolaborasi.
Telaah Pustaka
1. Media Pembelajaran
Pengertian media pembelajaran menurut Oemar Hamalik (1989:12) adalah alat,
media, dan teknik yang digunakan dalam rangka untuk mengefektifkan komunikasi dan
interaksi antara guru dan siswa di dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
•••
40
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Selanjutnya Wibawa (2001:75) memberikan kesimpulan bahwa yang dimaksud media
pembelajaran adalah segala jenis sarana pembelajaran yang digunakan sebagai perantara
dalam proses belajar mengajar baik di dalam kelas maupun diluar kelas dalam rangka
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi guna mencapai tujuan pembelajaran agar
diperoleh hasil seoptimal mungkin.
Adapun ciri – ciri umum media pembelajaran (Oemar Hamalik, 1989:12) adalah
(a) identik artinya suatu benda yang dapat diraba, dilihat, didengar, dan diamati melalui
panca indra, (b) tekanan utama terletak pada hal – hal yang bisa dilihat dan didengar, (c)
digunakan dalam rangka hubungan (komunikasi) dalam pengajaran, antara guru dan
siswa, (d) semacam alat bantu belajar mengajar, baik di luar kelas maupun di dalam kelas,
(e) merupakan suatu alat perantara (medium) media dan digunakan dalam rangka
pendidikan, (f) mengandung aspek sebagai alat dan sebagai teknik yang sangat erat
kaitannya dengan Media mengajar.
Untuk mencapai hasil yang maksimal dan dapat berjalan dengan lancar, disini
terdapat beberapa prinsip yang harus dipahami dalam penggunaan media. Menurut
Arsyad, (2002:10) sedidaknya ada lima yang menjadi titik fokusnya, antara lain; (a)
relevansi media dengan tujuan pembelajaran , (b) alokasi waktu yang tersedia , (c)
bersifat ekonomis, praktis, dan fleksibel, (d) situasi / kondisi sekolah, (e) kemampuan
pemakai dalam hal keilmuan dan teknik mendesain media.
Dengan beberapa pengertian tentang media pembelajaran tersebut dan juga ciri–
ciri umumnya, maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala jenis
sarana pembelajaran yang digunakan sebagai perantara dalam mempermudah tercapainya
tujuan pembelajaran. Media pembelajaran digunakan sebagai perantara guru dalam
menyampaikan materi pelajaran kepada siswa dengan harapan untuk memudahkan
pemahaman siswa terhadap materi yang digunakan. Diharapkan dengan menggunakan
media pembelajaran proses belajar mengajar akan lancar dan dapat mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan.
Berdasarkan prinsip penggunaan media, kiranya jelas sekali bahwa seorang guru
dituntut mempunyai kemampuan mendesain media yang cocok dan pas digunakan dalam
membantu kelancaran proses pembelajaran di kelas. Untuk itu, langkah awal yang harus
diambil adalah menganalisa media dan jenis materi yang akan diajarkan oleh guru sesuai
materi. Kemudian dari setiap pokok bahasan yang ada, nantinya akan didefinisikan
dengan menggunakan media yang cocok dan memadai. Namun demikian, ada satu hal
yang harus selalu diingat oleh guru bahwa tidak semua pokok bahasan harus disampaikan
menggunakan media yang sama, melainkan setiap pokok bahasan mempunyai tingkat
kesulitan yang berbeda sehingga penggunaan medianyapun juga harus disesuaikan.
2. Information Teknology (IT) dalam Pembelajaran.
Teknologi Informasi (TI), atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
Information technology (IT) adalah istilah umum untuk teknologi apa pun yang
membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan
dan/atau menyebarkan informasi. TI menyatukan komputasi dan komunikasi
berkecepatan tinggi untuk data, suara, dan video. Contoh dari Teknologi Informasi bukan
hanya berupa komputer saja, namun perangkat seperti telepon, TV, peralatan rumah
tangga elektronik dan piranti genggam modern (misalnya ponsel), serta penggunaan akses
internet termasuk di dalamnya.Istilah dalam pengertian modern pertama kali muncul
dalam sebuah artikel 1958 yang diterbitkan dalam Harvard Business Review, di mana
penulis Leavitt dan Whisler berkomentar bahwa "teknologi baru belum memiliki nama
tunggal yang resmi. Kita akan menyebutnya teknologi informasi (TI)".
Teknologi Informasi merupakan elemen penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Peranan teknologi informasi pada aktivitas manusia pada saat ini memang
begitu besar. Teknologi informasi telah menjadi fasilitas utama bagi kegiatan berbagai
•••
41
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sektor kehidupan dimana memberikan andil besar terhadap perubahan-perubahan yang
mendasar pada struktur operasi dan manajemen organisasi, pendidikan, trasportasi,
kesehatan dan penelitian. Oleh karena itu sangatlah penting peningkatan kemampuan
sumber daya manusia (SDM), mulai dari keterampilan dan pengetahuan, perencanaan,
pengoperasian, perawatan dan pengawasan, serta peningkatan kemampuan TI para
pimpinan di lembaga pemerintahan, lebih lebih di dunia pendidikan. (Pikiran Rakyat,
2005:Mei).
Perkembangan teknologi informasi (TI) telah memberikan pengaruh terhadap
dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2006),
dengan berkembangnya penggunaan IT ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran
yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja,
(3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5)
dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan
dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, email, dan sebagainya. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui
hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut
(Rosenberg, 2001).
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk mempermudah dalam
pembelajaran maka penggunaan teknologi informasi (IT) sangatlah dibutuhkan.
Begitupun dengan penggunaan media yang penulis ciptakan yaitu media lukis pasir
sejarah. Ketika acara IMB berlangsung, penulis tidak mengetahui bagaimana teknologi
Indosiar yang canggih tersebut digunakan. Penulis hanya memanfaatkan teknologi yang
dipunyai guru di sekolah. Misalnya ada laptop, LCD proyektor dan peralatan audio dan
sejenisnya. Perangkat IT sederhana itulah yang penulis rangkai sedemikian rupa sehingga
menghasilkan Media Lukis Pasir Sejarah. Walaupun dengan perangkat sederhana namun
jika mampu di terapkan oleh guru di kelas akan lebih efektif dalam mempermudah tujuan
pembelajaran, namun sebaliknya dengan teknologi yang canggih namun di sekolah tidak
tersedia maka juga tidak akan berjalan.
3. Sentuhan Seni dalam Pembelajaran
Seni adalah ide, gagasan, persasaan, suara hati, gejolak jiwa, yang diwujudkan
atau di ekspresikan, melalui unsur-unsur tertentu, yang bersifat indah untuk memenuhi
kebutuhan manusia, walaupun banyak juga karya seni yang digunakan untuk binatang. I
Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisan Dasar-dasar Kesenian Bali mengatakan bahwa seni
berasal dari bahasa Sansekerta sani yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan
atau pencarian yang jujur. Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia (1976) yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecapakan
yang luar biasa seperti sajak, lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan
sesuatu yang elok dan indah. Adapun cakupan seni tidak terbatas pada seni rupa atau
lukis saja, namun bisa meliputi seni grafis atau komunikasi visual, desain industri atau
desain produk, desain interior atau arsitektur interior, desain tekstil, seni keramik, seni
patung dan kriya kayu, logam, kulit, keramik, dan akir-akhir ini yang menjadi booming
adalah seni lukis pasir.
Seni memiliki peran sebagai media pendidikan salah satunya yaitu sebagai alat
peraga atau media untuk memperlancar proses belajar supaya lebih mudah
memahaminya. Seni memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang
harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai
multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial,
musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan
kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional.
Pada perkembangan yang lebih modern, seni sangat berfariatif dalam
perkembangan dengan teknologi. Salah satunya adalah seni lukis pasir yang mampu
•••
42
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
mewakili penikmat seni dalam berbagai even intertainmen, baik sebagai media iklan,
dongeng bahkan dakwah. Penulis sebagai pendidik melihat fenomena tersebut sebagai
suatu peluang dalam mendekatkan imajinasi siswa dengan tujuan pembelajaran. Penulis
mengembangkan seni lukis pasir dalam proses pembelajaran di kelas, dengan teknologi
yang dipunyai guru di sekolah. Dengan perangkat IT yang ada dan sentuhan seni dari
guru maka media pembelajaran dengan lukis pasir sejarah dapat diterapkan.
4. Media Lukis Pasir Sejarah.
Medial Lukis Pasir Sejarah merupakan penggabungan antara penggunaan
teknologi (IT) dengan sentuhan imajinasi seni untuk menceritakan peristiwa peristiwa
sejarah perjuangan bangsa Indonesia sehingga dinamakan Media Lukis Pasir Sejarah.
Bentuk media ini didesain khusus agar dapat dipresentasikan dalam proses pembelajaran
di kelas baik oleh siswa maupun guru. Media ini berbasis IT (Information Teknology),
yang dimaksud adalah penerapan pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi yang
dimiliki guru sehari-hari dalam mengajar seperti komputer/laptop, cam/kamera digital,
LCD proyektor maupun Audio Visual. Sedangkan berbasis Seni adalah penggunaan
sentuhan seni lukis pasir yang menggambarkan peristiwa-peristiwa sejarah perjuangan
bangsa agar siswa tertarik dengan pembelajaran sejarah.
Perangkat teknologi yang dimiliki guru seperti Laptop/Komputer digunakan
sebagai alat penyimpan data dan operator IT dengan media Lukis Pasir Sejarah.
Camp/Kamera digunakan sebagai alat perekam ilustrasi lukisan pasir sejarah yang
selanjutnya dapat ditampilkan secara live pada layar monitor di depan kelas maupun
proses editing dengan menggunakan video maker. LCD proyektor digunakan
menampilkan ilustrasi lukis pasir sejarah baik secara live maupun siaran ulang di depan
kelas. Audio/Musik digunakan untuk mengiringi kronologis peristiwa sejarah pada saat
prektek lukis pasir sejarah baik oleh guru maupun saat siswa presentasi. Sedangkan
aplikasi pada proses pembuatan media ini menggunakan aplikasi Video Maker,
PhotoShop dan Paint.
Analisis Pemecahan Masalah
1. Ide Penciptaan Karya
Media ini terinspirasi dari salah satu kontestan acara Indonesia Mencari Bakat
(IMB) di televisi yang bernama Vina Candrawati. Ia begitu memukau para pemirsa
dengan mengilustrasikan cerita-cerita menarik melalui lukisan pasirnya. Karena penulis
seorang pendidik, langsung terlintas dalam pikiran, apa jadinya jika lukisan pasir tersebut
diterapkan dalam proses pembelajaran sejarah di kelas. Karena pada prinsipnya juga
sama, sejarah juga ingin menyampaikan peristiwa sejarah. Jika guru mampu
menyampaikan peristiwa sejarah dengan lukisan pasir di kelas, alangkah menariknya
pembelajaran tersebut. Dan samapi saat ini belum ada di Indonesia yang memanfaatkan
lukisan pasir sebagai media pembelajaran di kelas. Dari ide itulah maka terciptalah Media
Lukis Pasir Sejarah.
•••
43
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pelukis pasir IMB, Vina Candrawati yang menjadi inspirasi
Aris Riyadi dalam menciptakan Media Lukis Pasir Sejarah.
2. Proses Pembuatan Media
Proses pembuatan media lukis pasir sejarah dapat di lakukan jauh sebelum
pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan teknologi yang telah banyak dimiliki
oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari di kelas. Ada beberapa langkah dalam
proses pembuatannya antara lain:
1) Langkah 1: Membuat Box Media
Membuat Box Media meja lukis pasir, dari steroform tebal 5 cm, dengan ukuran meja
75x100 cm. Bahan meja terbuat dari stereform agar lebih ringan dan mudah di pindahpindahkan.
Potong steroform sesuai ukuran.
Pasang Lampu dalam Box.
Gabungkan stereform dengan lem
menjadi bentuk box.
Pasang Kaca bening diatas Box.
Dibawah kaca juga dilapisi kertas,
agar sinar dapar tersebar merata.
Pasang Kertas tipis berwarna putih
diatas Box, dengan tujuan
pengaturan sinar menuju pasir.
2) Langkah 2: Pemasangan Tiang Penyangga dan Kamera
Selain kotak juga diperlukan tiang penyangga untuk tempat kamera yang berfungsi
untuk merekam semua proses pembuatan lukisan pasir sejarah. Posisi camp/kamera
diletakkan persis diatas kotak media, agar ketika proses melukis, kamera dapat
merekam dengan fokus. Perekaman video dikendalikan dari laptop dan di tayangkan
melalui LCD pada layar monitor di depan kelas, sehingga semua siswa dapat melihat
•••
44
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
gambar dengan jelas dan besar. Selain menayangkan secara live/langsung, fungsi
laptop juga untuk menyimpan file video lukisan pasir, agar dapat di putar ulang.
Pasang Tiang penyangga 1,5 m
untuk tempat Camera.
Pasang Camera sesuai Fokus.
3) Langkah 3: Merangkai Alat
Hidupkan lampu di dalam box media dengan aliran listrik. Hubungkan cam/kamera
dengan laptop dan pastikan aplikasi cam telah conec dengan laptopnya. Atur jarak
kamera dengan box media agar posisi gambar tetap fokus. Pasang kabel LCD pada
laptop. Hubungkan pula kabel tape/musik pada laptop. Alat siap digunakan.
Box media dan Cam/kamera dihu
bungkan dengan laptop, dengan
jarak yang sesuai.
4)
LCD proyektor dan Audio/Music
dihubungkan dengan laptop.
PENERAPAN MEDIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Penerapan Media Lukis Pasir Sejarah dalam proses pembelajaran di kelas
terbagi menjadi beberapa langkah berikut ini:
a. Mempersiapkan Alat
Sebelum pelaksanaan pembelajaran, dilakukan persiapan segala perangkat
pembelajaran, mulai dari Silabus, RPP, Lembar Kerja Siswa sampai dengan
mempersiapkan alat Lukis Pasir Sejarah yang akan digunakan.
b. Menjelaskan Skenario Pembelajaran
Agar pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan lancar maka Guru perlu memberikan
penjelasan tentang tema dan skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan. Jika
•••
45
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
skenario pembelajaran telah dipahami oleh semua siswa maka pembelajaran dapat
dimulai.
c. Melukis Pasir Sejarah
Guru membuat lukisan pasir sejarah di atas box media sambil menceritakan peristiwaperistiwa sejarah, diiringi alunan musik yang sesuai. Cara melukisnya dengan
menaburkan pasir diatas box media lalu dibentuk dengan jari maupun cotton bad,
sehingga tergambar peristiwa sejarah. Pola gambar dapat berpedom pada contoh
gambar di internet/buku sejarah maupun daya imajinasi dan seni pelukis. Siswa
mengamati dan menghayati alur cerita sambil membuat catatan-catatan penting.
Contoh peristiwa yang dapat di ilustrasikan antara lain peristiwa Rengasdengklok,
peristiwa pembacaan teks Proklamasi, peristiwa pertempuran 10 November dan
seterusnya. Untuk itu perlu adanya keahlian khusus dalam menggabungkan antara
teknologi IT dengan sentuhan seni dalam mempraktekkan media ini. Namun jangan
kuatir, bagi guru yang tidak ahli dalam menggambar dapat menggunakan file hasil
proses gambar yang telah penulis sediakan. Guru dan siswa tinggal ber ekspresi pada
cerita sejarahnya. Semua proses Lukis pasir sejarah diatas direkam dengan kamera
yang terhubung dengan laptop. Dari laptop selanjutnya di tayangkan ke layar monitor
melalui LCD secara live maupun disimpan dalam bentuk file, untuk ditayangkan
kembali di akhir pembelajaran.
Proses Melukis Pasir Sejarah dengan Tema Peristiwa Pertempuran
10 November di Surabaya di jadikan sebagai Hari Pahlawan.
d. Diskusi Kelompok
Siswa membentuk kelompok-kelompok kecil. Masing-masing kelompok
mendapatkan lembar kerja siswa yang berisi tentang langkah-langkah kegiatan
siswa dalam menanggapi ilustrasi lukisan pasir sejarah yang telah berlangsung.
Dengan buku literatur dan bimbingan guru, siswa memadukan catatan kecil dan
mendiskusikan alur cerita serta menyimpulkan kronologis cerita dalam lembar
kerja. Siswa juga membuat ulasan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam
peristiwa sejarah tersebut.
•••
46
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Siswa menyususn kronologis
peristiwa sejarah, sementara
Guru membimbingnya.
Siswa berdiskusi untuk
menyimpulkan kronologis
peristiwa sejarah.
e. Presentasi Kelompok dan Tanya Jawab
Masing-masing kelompok siswa presentasi di depan kelas dengan menceritakan
kembali kronologis peristiwa sejarah serta mengambil hikmah dari peristiwa
tersebut untuk bekal masa mendatang. Ketika presentasi, kelompok mencoba
membuka file dari laptop untuk menampilkan kembali lukisan pasir sejarah di layar
monitor. Setelah presentasi selesai, kelompok lain diberikan kesempatan untuk
menanggapi presentasi dengan tanya jawab sehingga terjadi komunikasi antara
siswa dengan siswa dan siswa dengan guru.
Kelompok mempresentasikan
hasil diskusi,sementara siswa
lain memutar ulang file video
lukis pasir di laptop.
Setelah presentasi, kelompok
lain memberikan tanggapan
dengan
membuka
tanya
jawab.
f. Kesimpulan dan Refleksi
Hasil presentasi kelompok merupakan argumentasi sementara yang harus di
luruskan dan disimpulkan. Guru membuat kesimpulan dengan cara menceritakan
kronologis peristiwa sejarah dengan menampilkan kembali di layar monitor lukisan
pasir sejarah. Guru juga merefleksi nilia-nilai semangat nasionalisme yang
terkandung dalam peristiwa sejarah tersebut untuk diambil hikmah sebagai bekal
masa mendatang. Diakhir pembelajaran, Guru juga merefleksi bagaimana
kemampuan siswa dalam menyampaiakan kembali kronologi peristiwa sejarah,
serta membuka polling untuk memilih siswa teraktif dalam pembelajaran hari itu.
•••
47
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Guru
menyimpulkan
kronologis
peristiwa
sejarah, dengan memutar
ulang video lukis pasir dari
laptop diiringi musik yang
sesuai.
Hasil Pembelajaran dengan Media Lukis Pasir Sejarah
Krisis kebangsaan yang dialami generasi muda sekarang, yakni kurangnya
menempatkan kepentingan bangsanya dari kepentingan diri sendiri/kelompok, akan dapat
berangsur-angsur teratasi, manakala generasi muda bangsa ini mencintai sejarah
perjuangan bangsa.
Akan sulit bagi siswa jika peristiwa yang mereka sendiri tidak pernah
mengalaminya, harus mereka pahami dengan khayalan belaka dan sederetan huruf-huruf
yang kurang bermakna. Maka sudah selayaknya peristiwa sejarah tersebut, diilustrasikan
dalam bentuk gambar. Dengan melihat lukisan pasir sejarah, siswa akan lebih tertarik dan
menghayati peristiwa. Nilai-nilai karakter bangsa terutama nilai semangat kebangsaan
dan cinta tanah air yang diamanatkan dalam kurikulum 2013 akan dapat tersampaikan.
Melalui Media Pembelajaran Lukis Pasir Sejarah berbasis IT dan Seni, Siswa
memperoleh pengalaman belajar yang menakjubkan, bahwa jika teknologi IT di gabung
dengan seni akan menghasilkan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan (Joyfull
Learning). Siswa juga terlatih berfikir kritis dalam menyikapi peristiwa sejarah untuk
dijadikan bekal masa mendatang. Siswa akan berusaha bekerjasama dengan teman dan
kelompok dalam menyusun peirstiwa sejarah. Agar memperoleh polling terbanyak, siswa
juga berusaha keras untuk berkomunikasi secara aktif melalui kegiatan presentasi dan
tanya jawab. Siswa diberi kesempatan mengembangkan kreatifitasnya, dengan
menceritakan kembali kronologis peristiwa sejarah dengan gaya dan cara mereka sendiri.
Hasil angket yang telah penulis sebarkan pada siswa diakhir pembelajaran menunjukkan
98% siswa menyatakan tertarik, 2 % tidak menjawab. Hasil evaluasi melalui ulangan
harian pun juga menunjukkan adanya ketuntasan belajar secara klasikal mencapai 82%
dari seluruh siswa.
Hasil lukisan pasir sejarah yang telah dibuat di dokumentasikan dalam bentuk file
dan dapat diputar ulang sebagai CD pembelajaran IPS dikelas. Saat ini sudah beberapa
peristiwa sejarah yang telah dibuat. Antara lain peristiwa Rengasdengklok, peristiwa
pembacaan teks Proklamasi, peristiwa kobaran semangat Bung Tomo, pertempuran 10
November di Surabaya. Rencananya penulis akan membuat semua peristiwa sejarah yang
penting di Indonesia dan di buat dalam bentuk CD pembelajaran, agar dapat di gunakan
guru-guru di seluruh Indonesia.
Simpulan dan Rekomendasi
Mulai lunturnya semangat nasionalisme (mencitai bangsa sendiri) pada generasi
muda saat ini merupakan masalah serius yang harus dicari solusinya. Mata pelajaran
sejarah sebagai ujung tombak penanaman sikap nasionalisme sangat berperan penting
dalam membentuk karakter generasi muda. Sebagai solusinya, penulis menciptakan
•••
48
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sebuah media yang menarik dan menyenangkan yang di sebut dengan Media Lukis Pasir
Sejarah. Media ini merupakan penggabungan penggunaan teknologi (IT) dengan
kreatifitas seni. Media ini di buat dengan teknologi yang telah dimiliki guru-guru
disekolah. Dengan meanfaatkan Laptop, LCD, Audio, dan box media lukis pasir, media
ini dapat diterapkan dikelas. Hasil angket setelah pembelajaran juga menunjukkan adanya
ketertarikan siswa terhadap media ini dengan ketuntasan belajar yang signifikan.
Pembelajaran sejarah yang selama dianggap membosankan dapat diubah menjadi
pembelajaran yang menyenangkan. Melalui media ini pula nilai-nilai karakter semangat
kebangsaan dan cinta tanah air dapat dihayati dan disampaikan secara menarik dan
menyenangkan (Joyfull Learning).
Rekomendasi
Apapun disekitar kita apabila guru mau kreatif dan inovatif maka lukisan pasir
yang selama ini untuk hiburan di media televisi, dapat diterapkan dalam pembelajaran
dan menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam memperbaiki permasalahan yang ada di
sekolah. Untuk itu penulis merekomendasikan kepada guru-guru sejarah untuk terus
berinovasi dan berkreasi. Predikat pembelajaran sejarah yang selama ini membosankan
dan tidak diminati siswa akan berubah menjadi pembelajaran yang
menyenangkan.Penulis juga merekomendasikan agar Guru IPS hendaknya senantiasa
selalu mengikuti perkembangan teknologi dan mampu berkolaborasi dengan disiplin ilmu
yang lain (misalnya kemampuan IT dan seni) agar mampu memecahkan permasalahanpermasalahan dilungkup terkecilnya sendiri yakni kelas. Penggunaan Media Lukis Pasir
Sejarah yang berbasiskan IT dan Seni ini tidak hanya sampai disini saja, dengan
simposium guru ini, penulis berharap media yang penulis ciptakan dapat tersosialisasikan
dan sekaligus penyempurnaan dari media ini.
Daftar Rujukan
Ahzar Arsyad, Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Basuki Wibawa,Media Pengajaran. Jakarta: Depdikbud. 2001.
https://www.youtube.com/watch?v=T_RMIL8ZhIY
http://www.arisriyadi.blogspot.com.
http://dictionary.oed.com/, diakses tanggal 20 November 2010Missing or empty
|title= (bantuan)"information technology", Oxford English Dictionary (2 ed.),
Oxford University Press, 1989.
I gusti Bagus Sugirwa, Dasar Dasar Kesenian Bali. Bali: IGB Percetakan Bali, 1957.
Longley, Dennis; Shain, Michael, Dictionary of Information Technology (2 ed.),
Macmillan Press, p. 164, ISBN 0-333-37260-3, 1985.
Oemar Hamalik, Media Belajar dan Kesulitan Belajar. Bandung : Tarsito, 1989.
Poerwadarminta WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1976.
Pikiran Rakyat, 2005. edisi Mei 2005.
Rosenberg. Marc J, Beyond E-Learning – Approaches andTechnologies to Enhance
Organizational Knowledge, Learning, and Performance.Pteiffer. Amerika, 2006.
•••
49
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
50
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PERANAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
ABAD KE-21
Asnar, Aksa
aksa131288@gmail.com
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unmul
ABSTRAK
Terlaksananya pembelajaran dalam kelas dengan baik abad ke-21 ditentukan oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah tersedianya media pembelajaran. Dilihat dari segi
kedudukan, media Pembelajaran memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk
menciptakan proses belajar mengajar. Peristiwa dalam sejarah bisa bawa ke dalam ruang
kelas melalui media pembelajaran, sehingga guru dan siswa bisa menyaksikan dengan
kasat mata melalui perantaraan gambar, potret, slide, dan sejenisnya. Dengan adanya
media, maka posisi guru dalam pembelajaran sejarah bukan lagi sebagai satu-satunya
sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Media pembelajaran sangat membantu dalam
proses pembelajaran sejarah. Oleh karena itu, dengan melihat posisi, fungsi dan peranan
media pembelajaran, maka penerapan dan penggunaan media pembelajaran menjadi
sangat penting untuk mengoptimalkan proses pembelajaran sejarah di berbagai sekolah di
seluruh Indonesia.
Kata Kunci: Fungsi Media, Media Pembelajaran Sejarah,
A. PENDAHULUAN
Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu proses komunikasi, yaitu proses
penyampaian pesan (isi atau materi ajar) dari sumber pesan melalui saluran/media
tertentu ke penerima pesan (siswa/pebelajar atau mungkin juga guru). Penyampaian pesan
ini bisa dilakukan melalui simbol-simbol komunikasi berupa simbol-simbol verbal dan
non-verbal atau visual, yang selanjutya ditafsirkan oleh penerima pesan (Criticos,
1996:67). Adakalanya proses penafsiran tersebut berhasil dan terkadang mengalami
kegagalan. Kegagalan ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya adanya
hambatan psikologis (yang menyangkut minat, sikap, kepercayaan, inteligensi, dan
pengetahuan), hambatan fisik berupa kelelahan, keterbatasan daya alat indera, dan kondisi
kesehatan penerima pesan. Faktor lain yangjuga berpengaruh adalah hambatan kultural
(berupa perbedaan adat istiadat, norma-norma sosial, kepercayaan dan nilai-nilai
panutan), dan hambatan lingkungan yaitu hambatan yang ditimbulkan oleh situasi dan
kondisi keadaan sekitar (Sadiman, dkk, 1990:79).
Untuk mengatasi kemungkinan hambatan-hambatan yang terjadi selama proses
penafsiran dan agar Pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, maka sedapat
mungkin dalam penyampaian pesan (isi/materi ajar) dibantu dengan menggunakan media
Pembelajaran. Dengan memanfaatkan sumber belajar berupa media Pembelajaran, proses
komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar berlangsung lebih efektif dan efisien
(Gagne, 1985:79). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin mendorong usaha-usaha ke
arah pembaharuan dalam memanfaatkan hasil-hasil teknologi dalam pelaksanaan
pembelajaran. Dalam melaksanakan tugasnya, guru (pengajar) diharapkan dapat
menggunakan alat atau bahan pendukung proses Pembelajaran, dari alat yang sederhana
sampai alat yang canggih (sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman). Bahkan
mungkin lebih dari itu, guru diharapkan mampu mengembangkan keterampilan membuat
media Pembelajarannya sendiri. Oleh karena itu, guru (pengajar) harus memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media Pembelajaran, yang meliputi: a,
media sebagai alat komunikasi agar lebih mengefektifkan proses belajar mengajar; b,
fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan; c, hubugan antara metode
mengajar dengan media yang digunakan; d, nilai atau manfaat media dalam
•••
51
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pembelajaran; e, pemilihan dan penggunaan media Pembelajaran; f, berbagai jenis alat
dan teknik media Pembelajaran; dan g, usaha inovasi dalam pengadaan media
pembelajaran (Hamalik, 1994: 65).
Pada kenyataannya bahwa saat ini Indonesia memasuki era informasi yaitu suatu
era yang ditandai dengan makin banyaknya medium informasi, tersebarnya informasi
yang makin meluas dan seketika, serta informasi dalam berbagai bentuk yang bervariasi
tersaji dalam waktu yang cepat. Penyajian pesan pada era informasi ini akan selalu
menggunakan media, baik elektronik maupun non elektronik. Terkait dengan kehadiran
media ini, Dimyati dan Mudjiono menjelaskan bahwa suatu media yang terorganisasi
secara rapi memengaruhi secara sistematis lembaga-lembaga pendidikan seperti lembaga
keluarga, agama, sekolah, dan pramuka. Dari uraian tesebut menunjukkan bahwa
kehadiran media telah memengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem
pendidikan kita, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda (Dimyati dan Mudjiono,
1996:73).
Dengan demikian hasil belajar seseorang ditentukan oleh berbagai faktor yang
memengaruhinya. Salah satu faktor yang ada di luar individu adalah tersedianya media
pembelajaran yang memberi kemudahan bagi individu untuk mempelajari materi
pembelajaran, sehingga menghasilkan belajar yang lebih baik. Selain itu juga gaya belajar
atau learning style merupakan suatu karakteristik kognitif, afektif dan perilaku
psikomotoris, sebagai indikator yang bertindak relatif stabil bagi pebelajar yang merasa
saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar.
Mempelajari sejarah harus dipahami secara menyeluruh dan mendalam. Hal ini
yang menjadikan pelajaran sejarah sangat urgen diajarkan disekolah-sekolah terutama di
sekolah menengah. Siswa diharapkan mampu menguasai semua aspek kesejarahandengan
baik, siswa mampu menjelaskan sejarah berdasarkan kronologisnya, sehingga mereka
mampu mengetahui sebab musabab dari setiap kejadian yang dipelajarinya. Menguasai
materi ajar seperti pada semua pembelajaran sejarah tidaklah semudah yang dibayangkan.
Diperlukan keseriusan dan kemauan yang keras oleh semua stek holder yang ada. Untuk
memperoleh hasil yang maksimal pada proses pembelajaran, semua unsur yang terlibat
didalamnya harus mantap. Mulai dari kesiapan siswa sampai pada kemampuan guru
menyampaikan materinya seperti pada pelajaran sejarah. Dengan demikian, apabila
seorang guru dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan penuh kreativitas seperti
pemanfaatan media pembelajaran yang lebih variatif, maka dapat dipastikan
prosespembelajaran dapat
berjalan dengan lancar (Arfah, 2010: 25).Berdasarkan hal
tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa media pembelajaran sangat membantu
dalam proses pembelajaran sejarah. Oleh karena itu, dengan melihat posisi, fungsi dan
peranan media pembelajaran, maka penerapan dan penggunaan media pembelajaran
menjadi sangat penting untuk mengoptimalkan proses pembelajaran sejarah di berbagai
sekolah di seluruih Indonesia.
B. PEMBAHASAN
PENGERTIAN MEDIA PEMBELAJARAN
Media (bentuk jamak dari kata medium), merupakan kata yang berasal dari bahasa
latin medius, yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’ Arsyad,
2002; (dalam Sadiman, dkk., 1990:57). Oleh karena itu, media dapat diartikan sebagai
perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Media dapat berupa
sesuatu bahan (software) dan/atau alat (hardware). Sedangkan menurut Gerlach dan Ely
(dalam Arsyad, 2002), bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia,
materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini, guru,
teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi seorang siswa
merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan yang disampaikan oleh Gagne
•••
52
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
(1985:77), yang menyatakan bahwa media merupakan berbagai jenis komponen dalam
lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar.
Secara khusus, pengertian media dalam proses pembelajaran cenderung diartikan
sebagai alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan
menyusun kembali informasi visual dan verbal. Media adalah alat bantu apa saja yang
dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pembelajaran (Djamarah,
1994: 137). Sedangkan pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan yang menjadikan
orang atau makhluk hidup belajar (KBBI, 2002: 17). Jadi, media Pembelajaran adalah
media yang digunakan pada proses Pembelajaran sebagai penyalur pesan antara guru dan
siswa agar tujuan Pembelajaran tercapai.
Banyak batasan tentang media, Association of Education and Communication
Technology (AECT) memberikan pengertian tentang media sebagai segala bentuk dan
saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi. Dalam hal ini
terkandung pengertian sebagai medium (Gagne, 1985:52) atau mediator, yaitu mengatur
hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar siswa dan isi
pelajaran. Sebagai mediator, dapat pula mencerminkan suatu pengertian bahwa dalam
setiap sistem Pembelajaran, mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih
dapat disebut sebagai media. Heinich memberikan istilah medium, yang memiliki
pengertian yang sejalan dengan batasan di atas yaitu sebagai perantara yang mengantar
informasi antara sumber dan penerima (Heinich, 1993:99).
Dalam dunia pendidikan, sering kali istilah alat bantu atau media komunikasi
digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah media pendidikan
(Pembelajaran). Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1994:42) bahwa dengan
penggunaan alat bantu berupa media komunikasi, hubungan komunikasi akan dapat
berjalan dengan lancar dan dengan hasil yang maksimal. Batasan media seperti ini juga
dikemukakan oleh Reiser dan Gagne (dalam Criticos, 1996; Gagne, et al., 1988:33), yang
secara implisit menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang digunakan untuk
menyampaikan isi materi Pembelajaran. Dalam pengertian ini, buku/modul, tape recorder,
kaset, video recorder, camera video, televisi, radio, film, slide, foto, gambar, dan
komputer adalah merupakan media Pembelajaran. Menurut National Education
Association -NEA (dalam Sadiman, dkk, 1990:70), media adalah bentuk-bentuk
komunikasi baik yang tercetak maupun audio visual beserta peralatannya.
Berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas, maka dapat
dikatakan bahwa media Pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut software
dan hardware yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber
belajar ke pebelajar (individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar (di dalam/di luar
kelas)menjadi lebih efektif.
KEDUDUKAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Dalam teorinya, Bruner (1966:49) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus
belajar, seperti: enactive (pengalaman langsung), iconic (pengalaman piktorial atau
gambar), dan symbolic (pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan
keterampilan serta perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi
antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya melalui
proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk memahami apa dan bagaimana
mencangkok. Dalam tingkatan pengalaman langsung, untuk memperoleh pemahaman
pebelajar secara langsung mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua,
iconic, pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau
rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa memahaminya
lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan pengalaman melihat orang
mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri.
•••
53
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam proses pembelajaran sebaiknya diusahakan
agar terjadi variasi aktivitas yang melibatkan semua alat indera pebelajar. Semakin
banyak alat indera yang terlibat untuk menerima dan mengolah informasi (isi pelajaran),
semakin besar kemungkinan isi pelajaran tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan
dalam ingatan pebelajar. Jadi agar pesan-pesan dalam materi yang disajikan dapat
diterima dengan mudah (Pembelajaran berhasil dengan baik), maka pengajar harus
berupaya menampilkan stimulus yang dapat diproses dengan berbagai indera pebelajar.
Pengertian stimulus dalam hal ini adalah suatu “perantara” yang menjembatani antara
penerima pesan (pebelajar) dan sumber pesan (pengajar) agar terjadi komunikasi yang
efektif.
Media pembelajaran merupakan suatu perantara seperti apa yang dimaksud pada
pernyataan di atas. Dalam kondisi ini, media yang digunakan memiliki posisi sebagai alat
bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu alat bantu mengajar bagi guru (teaching aids).
Misalnya alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses, dan
menyususn kembali informasi visual atau verbal. Sebagai alat bantu dalam mengajar,
media diharapkan dapat memberikan pengalaman kongkret, motivasi belajar,
mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Sehingga alat bantu yang banyak dan
sering digunakan adalah alat bantu visual, seperti gambar, model, objek tertentu, dan alatalat visual lainnya. Oleh karena dianggap sebagai alat bantu, guru atau orang yang
membuat media tersebut kurang memperhatikan aspek disainnya, pengembangan
Pembelajarannya, dan evaluasinya.
Kedudukan media pengajaran dalam proses belajar mengajar itu memegang
peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses belajar mengajar ditandai
dengan adanya beberapa unsur antara lain: tujuan, bahan, metode, dan alat serta evaluasi.
Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi komunikasi
dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki posisi sentral dalam proses
belajar dan bukan semata-mata sebagai alat bantu. Media Pembelajaran memainkan peran
yang cukup penting untuk mewujudkan kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan efisien.
Dalam posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan apa-apa saja
yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu dilakukan oleh guru (atau
guru melakukannya kurang efisien).
Dengan kehadiran media Pembelajaran maka posisi guru bukan lagi sebagai satusatunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Bahkan pada saat ini media telah
diyakini memiliki posisi sebagai sumber belajar yang menyangkut keseluruhan
lingkungan di sekitar pebelajar.Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman
langsung (kongkret) berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian
melalui benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal
(abstrak). Untuk kondisi seperti inilah kehadiran media Pembelajaran sangat bermanfaat.
Dalam posisinya yang sedemikian rupa, media akan dapat merangsang keterlibatan
beberapa alat indera. Di samping itu, memberikan solusi untuk memecahkan persoalan
berdasarkan tingkat keabstrakan pengalaman yang dihadapi pebelajar.
FUNGSI DAN PERANAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Efektivitas proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh faktor metode dan media
Pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran sejarah. Keduanya saling berkaitan, di
mana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh terhadap jenis media yang akan
digunakan. Dalam arti bahwa harus ada kesesuaian di antara keduanya untuk
mewujudkan tujuan dari Pembelajaran sejarah. Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu
diperhatikan dalam pemilihan media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik
pebelajar, dan tugas atau respon yang diharapkan dari pebelajar (Arsyad, 2002:37).
Sedangkan menurut Criticos (1996:47), tujuan pembelajaran, hasil belajar, isi materi ajar,
rangkaian dan strategi pembelajaran adalah kriteria untuk seleksi dan produksi media.
•••
54
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Dengan demikian, penataan Pembelajaran (iklim, kondisi, dan lingkungan belajar) yang
dilakukan oleh seorang pengajar dipengaruhi oleh peran media yang digunakan.
Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan
minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan
berpengaruh secara psikologis kepada siswa (Hamalik, 1986:57). Selanjutnya
diungkapkan bahwa penggunaan media pembelajaran akan sangat membantu keefektifan
proses pembelajaran dan penyampaian informasi (pesan dan isi pelajaran) pada saat itu.
Kehadiran media dalam pembelajaran sejarah juga dapat membantu meningkatkan
pemahaman siswa, penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan
penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini bahwa fungsi media
adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar.
Fungsi media (media pendidikan) secara umum menurut Sadiman,dkk (1990:35)
adalah sebagai berikut: a, memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual;
b, mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misal objek yang terlalu besar
untuk dibawa ke kelas dapat diganti dengan gambar, slide, dsb., peristiwa yang terjadi di
masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat film, video, fota atau film bingkai; c, meningkatkan
kegairahan belajar, memungkinkan siswa belajar sendiri berdasarkan minat dan
kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif siswa; dan d, memberikan rangsangan yang
sama, dapat menyamakan pengalaman dan persepsi siswa terhadap isi pelajaran.
Unsur metode dan alat atau media merupakan unsur yang tidak bisa dilepaskan dari
unsur lainnya yang berfungsi sebagai cara atau teknik untuk mengantarkan bahan
pelajaran agar sampai kepada tujuan. Dalam pengajaran, tujuan, media atau alat
memegang peranan yang sangat penting, sebab dengan adanya media tersebut bahan
pelajaran dapat dengan mudah dipahami oleh siswa.Sejalan dengan fungsi media
pembelajaran, Sudhana berpendapat:
Ada enam fungsi pokok dari media pengajaran, yaitu, a. Sebagai alat bantu untuk
mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif, b. Salah satu unsur yang harus
dikembangkan guru, c. Penggunaannya integral dengan tujuan dan isi pelajaran,
d.Sebagai alat hiburan untuk menarik minat siswa, d. Untuk mempercepat proses
belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang
diberikan oleh guru, e. Untuk mempertinggi mutu belajar mengajar (Sudhana,
1987:100).
Fungsi media, khususnya media visual juga dikemukakan oleh Levie dan Lentz
dalam Arsyad (2002:57) bahwa media tersebut memiliki empat fungsi yaitu: fungsi
atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris. Dalam fungsi atensi,
media visual dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi
kepada isi pelajaran. Fungsi afektif dari media visual dapat diamati dari tingkat
“kenikmatan” siswa ketika belajar (membaca) teks bergambar. Dalam hal ini gambar atau
simbol visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. Berdasarkan temuan-temuan
penelitian diungkapkan bahwa fungsi kognitif media visual melalui gambar atau lambang
visual dapat mempercepat pencapaian tujuan Pembelajaran untuk memahami dan
mengingat pesan/informasi yang terkandung dalam gambar atau lambang visual tersebut.
Fungsi kompensatoris media Pembelajaran adalah memberikan konteks kepada siswa
yang kemampuannya lemah dalam mengorganisasikan dan mengingat kembali informasi
dalam teks. Dengan kata lain bahwa media Pembelajaran ini berfungsi untuk
mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat dalam menerima dan memahami isi
pelajaran yang disajikan dalam bentuk teks (disampaikan secara verbal). Dengan
menggunakan istilah media Pembelajaran, Sudjana dan Rivai mengemukakan beberapa
manfaat media dalam proses belajar siswa, yaitu:
pertama, dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa karena pembelajaran akan
lebih menarik perhatian mereka; kedua, makna bahan Pembelajaran akan menjadi
lebih jelas sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan terjadinya
•••
55
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
penguasaan serta pencapaian tujuan pembelajaran; ketiga.metode mengajar akan
lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui katakata; dan keempat, siswa lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar,
tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan
langsung, dan memerankan (Sudjana dan Rivai, 1992: 40).
Kehadiran media pembelajaran terutama dalam pembelajaran sejarah sebagai
media antara guru sebagai pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif,
khususnya untuk obyek secara visualisasi. Dalam pembelajaran sejarahmasing-masing
media mempunyai keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang
sesuai dengan karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan pengajar dalam
Pembelajaran. Secara rinci fungsi media memungkinkan siswa menyaksikan obyek yang
ada tetapi sulit untuk dilihat dengan kasat mata melalui perantaraan gambar, potret, slide,
dan sejenisnya mengakibatkan siswa memperoleh gambaran yang nyata (Degeng, 1997:
19).
Menurut Gerlach dan Ely (dalam Arsyad, 2002: 11) ciri media pendidikan yang
layak digunakan dalam pembelajaran, termasuk pembelajaran sejarah adalah
sebagaiberikut; Pertama. Fiksatif (fixative property). Media Pembelajaran mempunyai
kemampuan untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu
peristiwa/objek.Kedua. Manipulatif (manipulatif property). Kejadian yang memakan
waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan
teknik pengambilan gambar time-lapse recording.Ketiga. Distributif (distributive
property). Memungkinkan berbagai objek ditransportasikan melalui suatu tampilan yang
terintegrasi dan secara bersamaan objek dapat menggambarkan kondisi yang sama pada
siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama tentang kejadian itu (Arsyad, 2002:
11).
C. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi dari media pembelajaran
yaitu media yang mampu menampilkan serangkaian peristiwa secara nyata terjadi dalam
waktu lama dan dapat disajikan dalam waktu singkat dan suatu peristiwa yang
digambarkanharus mampu mentransfer keadaan sebenarnya, sehingga tidak menimbulkan
adanya verbalisme. Proses belajar mengajar dapat berhasil dengan baik jika siswa
berinteraksi dengan semua alat inderanya. Guru berupaya menampilkan rangsangan
(stimulus) yang dapat diproses dengan berbagai indera. Semakin banyak alat indera yang
digunakan untuk menerima dan mengolah informasi, semakin besar pula kemungkinan
informasi tersebut dimengerti dan dapat dipertahankan dalam ingatan siswa. Siswa
diharapkan akan dapat menerima dan menyerap dengan mudah dan baik pesan-pesan
dalam materi yang disajikan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dengan penggunaan media pembelajaran
diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih konkret kepada siswa, dan
dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran sebagai contoh yaitu media
pembelajaran komputer interaktif.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arfah, Muhammad. Meningkatkan Kemampuan Menulis Narasi melalui Penggunaan
Media Gambar Siswa Kelas VII SMP Negeri I Majalengka: PTK .Tidak diterbitkan,
2010.
[2] Arsyad, A. Media Pengajaran, edisi 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
[3] Bruner, J. S. Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Harvad University, 1996.
•••
56
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
[4] Criticos, C. 1996. Media Sellection. Plomp, T & Ely, D.P (Eds): International
Encyclopedia of Educational Technology, 2nd ed. UK: Cambridge University Press.
pp. 182 - 185.
[5] Degeng, I.N.S. Strategi Pengajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi.
Malang: IKIP dan IPTDI, 1989a.
[6] Degeng.Nyoman Sudana. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Jakarta: Departemen
P & K Dirjen Dikti, 1989b.
[7] Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
[8] Djamarah. Strategi Belajar Mengajar.Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994
[9] Gagne, R. M. The Condition of Learning and Theory of Instruction, 4thed. New York:
CBS College Publishing, 1985.
[10] Hamalik, O. Media Pendidikan, cetakan ke-7. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bak, 1994.
[11] Heinich, R., Molenda, M., & Russel, J.D. Instructional Media and the New
Technologies of Instruction, 4thed. New York: Macmillan Publishing Company, 1993.
[12] Herianto. Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
[13] Lamudji. Pengaruh Penggunaan OHP terhadap Hasil Belajar Matematikan pada
Siswa Sekolah Menengah Pertama yang Bermotivasi Tinggi dan Rendah. Tesis tidak
diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 2005.
[14] Miarso, Y. Teknologi Komunikasi Pendidikan, Pengertian dan Penerapannya di
Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1984.
[15] Ratnasari. Meningkatkan Hasil Belajar Sejarah Menggunakan Media Gambar Seri
Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Makassar. Skripsi. UNM, 2009.
[16] Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito. Media Pendidikan:
Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, edisi 1. Jakarta: Penerbit CV
Rajawali, 1990.
[17] Sudjana, Nana dan Ibrahim. 2004. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung.
Sinar Baru Algensindo.
[18] Sudjana, N. & Rivai, A. Media Pengajaran. Bandung: Penerbit CV Sinar Baru
Bandung, 1992.
•••
57
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
58
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
MEMBANGUN CRITICAL THINGKING SISWA MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
SEBAGAI SOLUSI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Mhd Fadhil Al Hakim, Sariyatun, Sudiyanto
Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Sejarah
Universitas Sebelas Maret Surakarta
hakimifadhil13@gmail.com
ABSTRAK
Suatu masalah ketika pembelajaran sejarah berlangsung adalah peserta
didik hanya dapat mengetahui isi materi sejarah tanpa memahaminya secara
mendalam, keadaan demikian menjadikan peserta didik kurang mampu untuk
berpikir secara kritis dalam memaknai peristiwa sejarah. Model Contextual
Teaching and Learning adalahhal yang berusaha membangun dalam
meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Model pembelajaran kontekstual tidak bersifat ekslusif akan tetapi
dapat digabung dengan model-model pembalajaran yang lain, misalnya:
penemuan, keterampilan proses, eksperimen, demonstrasi, diskusi, dan lain-lain.
Penerapan kegiatan mengkonstruk atau membangun sendiri pengetahuan pada
siswa, membuat siswa terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis melalui
kegiatan inquiry atau menemukan sendiri masalah, kebebasan bertanya
(questioning), penerapan masyarakat belajar (learning community). Artikel ini
mengkaji tentang bagaimanaModel Contextual Teaching and Learning ini menjadi
solusi untuk membangun kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran
sejarah. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi kepada
beberapa sekolah dan guru sebagai data primer. Data sekunder diambil dari
beberapa jurnal, buku dan beberapa sumber lainnya yang dianggap reliable.
Kata Kunci:Model Contextual Teaching and learning, Critical Thingking,
Pembelajaran sejarah
A. Pendahuluan.
Pendidikan merupakan wahana untuk membangun dan meningkatkan
martabat bangsa. Pendidikan yang baik akan menciptakan manusia yang cerdas,
masyarakat yang berkualitas dan bangsa yang unggul dengan beragam keahlian.
Dengan keunggulan itu dapat mengantarkan bangsa ke dalam kehidupan
bermartabat yang memiliki ciri antara lain maju, makmur dan sejahtera. Hal ini
sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta
bertanggung jawab.
Sejalan dengan tujuan pendidikan di atas, maka perlu dikembangkan
bentuk pembelajaran yang konstruktif yang dilandasi dengan pemahaman tentang
•••
59
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
ilmu pengetahuan dan teknologi serta implikasinya dalam pemahaman tentang
ilmu pengetahuan dan teknologi serta implikasinya dalam kegiatan belajar
mengajar bagi para pengajar di sekolah.Hal ini selain mencapai tujuan pendidikan
juga untuk melihat keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Pada masa sekarang inin dunia pendidikan mulai difokuskan pada suatu
upaya untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan berpikir dari pada hanya
mengajarkan isi dari materi pelajaran. Tujuannya adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan berpikir kritis dalam merespon berbagai informasi yang
diterima akibat derasnya arus globalisasi tersebut.
Berpikir kritis merupakan suatu bentuk berpikir dalam tingkatan yang
lebih tinggi dimana berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir yang terarah
dan jelas, yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,
mengambil keputusan, menganalisis asumsi (Elaine B. Johnson 2011:183).
Dengan kemampuan berpikir kritis yang dimiliki oleh peserta didik, tentu saja
peserta didik akan lebih mudah untuk memikirkan secara mendalam dan sungguhsungguh masalah yang dihadapi peserta didik, masalah kehidupan yang
fundamental khususnya di era Globalisasi.
Di dalam kegiatan belajar mengajar, sejarah merupakan salah satu mata
pelajaran yang diajarkan disekolah-sekolah khususnya sekolah formal. Belajar
sejarah berarti belajar tentang kehidupan atau peristiwa yang terjadi pada masa
lampau. Materi dalam pelajaran sejarah berupa kejadian, kenyataan, atau
aktualisasi dimasa lalu. Tujuannya adalah untuk memahami sebuah hubungan
sebab akibat kehidupan masa lampau. Dengan pemahaman yang dimiliki oleh
siswa terhadap peritiwa sejarah, siswa memperoleh bahan refleksi untuk bertindak
dimasa sekarang dan masa yang akan datang, untuk memahami peristiwa sejarah,
diperlukan kemampuan berpikir kritis.
Pembelajaran sejarah merupakan suatu kegiatan mengembangkan
kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan
keberlanjutan dan berfungsi sebagai saranan untuk menanamkan kesadaran akan
adanya perubahan dalam kehidupan masyarakat melalui dimensi waktu (Djoko
Suryo, 2005:4)
Akhir-akhir ini, upaya menanamkan kemampuan berpikir kritis peserta
didik menjadi popular dalam bidang pendidikan khususnya di Indonesia, namun
gagasan demikian bertolak belakang dengan pelaksanaanya dibanyak sekolah
diberbagai tempat. Dikelas, pembelajaran sejarah oleh peserta didik terkesan
membosankan dan tidak bermakna. Salah satu fenomena yang sering muncul
ketika proses pembelajaran sejarah berlangsung adalah lemahnya daya tarik
peserta didik dalam mengikuti pelajaran sejarah.
Banyak yang berpendapat bahwa sejarah merupakan pendidikan moral dan
nilai. Sejarah membuat masyarakat menjadi bijaksana. Sejarah dapat membantu
melatih negarawan menjadi terampil dan warga negara menjadi cerdas dan
berguna. Sejarah melatih kemampuan mental seperti berpikir kritis serta
menyimpan ingatandan imajinasi.
Persepsi siswa yang menganggap bahwa sejarah merupakan pelajaran
yang membosankan dan tidak menarik karena gurunya hanya menceritakan
peristiwa masa lampau dan menutut siswa untuk menghapal nama dan tahun
sehingga kemampuan siswa hanya sebatas itu. Kemampuan guru dalam yang
terbatas dalam menjelaskan pelajaran sejarah juga menjadi salah satu factor
•••
60
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
lemahnya penguasaan siswa terhadap pelajaran sejarah.Sehingga guru di tuntut
untuk dapat mengembangkan pelajaran yang menarik yang dapat menambah
kegairahan siswa dalam mempelejari sejarah.
R. Boyce dalam Kochar (2008 : 397) , “Guru sejarah harus memiliki
kemampuan untuk merealisasikan kejadian masa lalu pada masa sekarang, harus
memiliki imajinasi yang tinggi serta berbagai jenis pengetahuan yang positif.
Sejarah adalah subjek yang sangat sulit untuk diajarkan.Di tangan seorang guru
yang berkualitas, seperti semua subjek lainnya, sejarah dapat menjadi alat
pendidikan yang nyata.”
Mengingat guru sebagai garda terdepan serta fasilitator dalam
mengakomodir kebutuhan peserta didik untuk menjadi berkualitas, berprestasi,
dan memiliki kemampuan berpikir dan bertindak, maka fenomena pembelajaran
yang terkesan membosankan haruslah menjadi bahan refleksi bagi guru dalam
menggunakan model pembelajaran yang dapat menimbulkan suasana
pembelajaran yang aktif demi tercapainya peserta didik yang berkualitas dan
memiliki kemampuan berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi.
Pengembangan model-model pembelajaran merupakan suatu keniscayaan
yang harus dipersiapkan dan dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran. Guru
merupakan ujung tombak keberhasilan kegiatan pembelajaran di
sekolah/madrasah yang terlibat langsung dalam merencanakan dan melaksanakan
kegiatan pembelajaran. Kualitas pembelajaran yang dilakukan sangat bergantung
pada perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran guru. Tugas guru bukan
semata-mata mengajar (teacher centered), akan tetapi lebih kepada
membelajarkan siswa (student centered).
Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi
yang ada di sekitar individu siswa. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang
diarahkankepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman belajar
yang dirancang dan dipersiapkan oleh guru. Belajar juga dapat dipandang sebagai
proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu yang ada di sekitas siswa.
Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh guru dan siswa. Perilaku guru adalah
membelajarkan dan perilaku siswa adalah belajar. Perilaku pembelajaran tersebut
terkait dengan mendesain dan menerapkan model-model pembelajaran.
Model pembelajaran kontekstual (contekstual teaching and learning) adalah
merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa
untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks
kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga
siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk
mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
B. Metode Penelitian
1. Analisis Pemecahan masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain (Moleong, 2007:6).
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah metode historis atau metode sejarah. Metode sejarah merupakan suatu
•••
61
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
usaha untuk memberikan interpretasi dari bagian trend yang naik turun dari suatu
status keadaan di masa yang lampau untuk memperoleh suatu generalisasi yang
berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan
sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang (Nazir, 2005:48).
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu pengumpulan data
dengan menggunakan buku yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku,
artikel dan situs website yang berkaitan dengan topik pembahasan. Penelitian
kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan bahan-bahan sebagai landasan
teoritis bagi penelitian ini. Umumnya ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia
secara langsung dengan melakukan observasi, namun ilmu sejarah
mempelajarinya dengan menggunakan dokumen. Banyak diantara para ahli
antropologi dan sosiologi mengabaikan bahan sejarah. Mereka tidak mengingat
bahwa sebenarnya sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam tubuh
pengetahuan sejarah dan dokumen-dokumen sebagai bahan utama dari
penelitian sejarah (Koentjaraningrat, 1997:45).
b. Metode Field Research (penelitian lapangan), yaitu untuk mempelajari secara
intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit
sosial atau individu, kelompok, lembaga atau masyarakat yaitu dengan cara :
1. Observasi yaitu metode untuk menganalisis data dengan mengadakan
pencatatan secara sistematis dengan melihat dan mengamati individu atau
kelompok secara langsung.
2. Wawancara. Dalam penelitian ini wawancara merupakan suatu kegiatan
untuk memperoleh hasil penelitian yang dilakukan secara lisan dan
melakukan tanya jawab dengan narasumber. Menurut (Nazir, 2005:194)
walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk Tanya
jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan
data untuk suatu penelitian.
C. Hasil Pembahasan
Sesuai dengan permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang standart proses
pendidikan dasar dan menengah telah mengisyaratkan tentang perlunya proses
pembelajaran yang dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan saintifik atau
ilmiah. Upaya penerpan pendekatan saintifik atau ilmiah dalam proses
pembelajaran ini sering disebut-sebut sebagai ciri khas dan menjadi kekuatan
tersendiri dari keberadaan kurikulum 2013 (kurniasih, 2014:29).
Pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang di rancang sedemikian
rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruk konsep, hukum atau prinsip
melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan
masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis,
mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik
kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang di
“temukan” (Hosnan, 2014:34)
Pada saat penerapannya pendekatan saintifik bertujuan untuk menuntut
peserta didik lebih aktif dalam setiap pembelajaran yang di laksanakan dalam
kelas, sementara guru perannya semakin diperkecil dalam pembelajaran yang di
lakukan karena guru hanya bertugas sebagai fasilitator dalam pembelajaran yang
di lakukan, sehingga peserta didiklah yang harus aktif dalam
•••
62
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pembelajaran.Hosnan (2014:34) menyatakan, penerapan pendekatan saintifik
dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses, seperti mengamati,
mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan dan menyimpulkan.
Bantuan guru dalam penrapan pendekatan ini diperlukan, namun dengan semakin
tingginya jenjang pendikan peserta didik, maka semakin berkuranglah peranan
guru dalam penerapan pendekatan saintifik ini, Sehingga peserta didik di tuntut
untuk lebih aktif.
Dalam penerapan pembelajaran saintifik memiliki karakter yang berbeda
dengan penerapan pembelajaran lainnya, adapaun karakteristik penerapan
pembelajaran saintifik menurut Hosnan (2014:36) adalah:
1. Berpusat pada peserta didik.
2. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep,
hukum atau prinsip.
3. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang
perkembangan intelek, khususnya keterampilan tingkat tinggi peserta
didik.
4. Dapat mengembangkan karakter peserta didik.
1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual.
Contexstual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu sistem
pembelajan dalam pendidikan yang melakukan lebih dari pada sekedar menuntun
para peserta didik dalam belajar. Belajar dengan menggunakan CTL adalah
merupakan sebuah konsep belajar yang didalamnya memuat sebuah proses
pencarian makna lewat konteks oleh individu itu sendiri. Proses pencarian makna
menjadikan proses pembelajaran menjadi hidup. Proses pembelajaran yang hidup
tentunya akan menarik peserta didik untuk aktif dalam belajar. inilah yang
menjadi keistimewaan CTL dalam pembelajaran.
Menurut Elaine B. Johnson (2011:67), bahwa Sistem CTL adalah sebuah
proses pendidikan yang bertujuan menolong para peserta didik melihat makna
didalam materi akademik yang peserta didik pelajari dengan cara menghubungkan
subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya
peserta didik. Dengan merujuk pada proses pencarian makna, dalam CTL guru
berperan sebagai Fasilitator yang membantu peserta didik untuk menemukan
pengetahuannya. Keinginan untuk menemukan makna sangat mendasar dalam diri
manusia. Untuk itu tugas utama pendidik adalah memberdayakan potensi
(keinginan manusia) ini sehingga peserta didik terlatih dalam menangkap makna
dari materi yang diajarkan.
Senada dengan itu, menurut Trianto (2008:10), Contextual Teaching and
Learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong
peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan peserta didik sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.
Langkah-langkah pembelajaran model kontekstual ini di kelas secara garis
besar dapat dijelaskan sebagai berikut (Depdiknas: 2005:10) :
a. Konstruktivisme (Contructivism); Kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Pengetahuan
•••
63
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
b.
c.
d.
e.
f.
g.
terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan
dan kemampuan subjek untuk mengiterpretasi objek tersebut (Wina Sanjaya,
2012:265).
Inkuiri (Inquiry); Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua
topik. Kegiatan inkuri menyarankan sebuah proses pembelajaran yang berbasis
penemuan masalah. Dalam Inkuiri pengetahuan yang diperoleh dari peserta
didik diharapkan bukan dari hasil mengingat sebuah informasi, akan tetapi
merupakan hasil temuan sendiri oleh peserta didik.
Bertanya (Questioning); Kembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan
bertanya. Kegiatan bertanya dimaksudkan untuk mengembangkan rasa ingin
tahu peserta didik. Dengan memberikan berbagai pertanyaan maka peserta
didik diajarkan untuk menggunakan nalar dalam menindaklanjuti informasi
yang masuk. Kegiatan pembelajaran tanpa pertanyaan merupakan sebuah
kegiatan mematikan komunikai (komunikasi satu arah). Jika pembelajaran
merupakan komunikasi satu arah, tentu saja hal itu merupakan kegiatan
transfer ilmu dimana guru sebagai objek pembelajaran dan buka lagi peserta
didik. Dengan demikian peserta didik hanya mendengar materi yang
disampaikan guru.
Masyarakat belajar (Learning Community); Ciptakan ‘masyarakat belajar’
(diskusi dalam kelompok). Hasil temuan peserta didik merupakan yang benar
menurut cara pandang masing-masing peserta didik. akan tetapi, melalui proses
diskusi tersebut yang didalamnya terdapat berbagai macam argumentasi dari
proses penalaran dan kesimpulan. Kebenaran-kebenaran tersebut secara terus
menerus diuji sepanjang diskusi itu berlangsung.
Pemodelan (Modelling); Pemodelan merupakan suatu komponen dalam CTL
dengan menghadirkan model dalam pembelajaran. Memodelkan berarti
pembelajaran terasa dekat dengan realitas. Jika dikatakan lingkungan sebagai
arsitek bangunan otak, maka menghadirkan model dalam pembelajaran
merupakan sebuah upaya memperkaya lingkungan belajar, sehingga
terciptanya suasana belajar yang aktif dan kontekstual yang berpotensi
merangsang otak untuk menyusun suatu pola tertentu untuk memahami sebuah
informasi. Ketika para guru melibatkan murid dalam kegiatan fisik untuk
mendukung suatu pelajaran ,maka peserta didik tersebut kemungkinan besar
untuk mengingat apa yang peserta didik pelajari (Elaine B. Johson, 2009:57).
Refleksi (Reflection); Dengan Refleksi, maka pengalaman belajar peserta didik
akan direnungkan dan kemudian dimasukkan dalam struktur kognif peserta
didik sehingga pada akhirnya akan membentuk pengetahuan baru pada peserta
didik . memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menafsirkan
pengalamannya berarti memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menyimpulkan mengenai pengalaman yang diperoleh dari hasil belajarnya.
Penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).; penilaian autentik mengajak para
peserta didik untuk menggunakan pengetahuan akademik dalam konteks dunia
nyata untuk tujuan yang bermakna serta mempertajam keahlian berpikir dalam
tingkatan yang lebih tinggi saat peserta didik menganalisis, memadukan,
mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi, dan mengikuti hubungan sebab
akibat (Elaine B. Johson, 2011:289).
Jika ketujuh komponen diatas disertakan dalam proses pembelajaran, maka
setiap materi yang disajikan memiliki makna yang berkualitas. Makna yang
•••
64
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
berkualitas adalah makna yang kontekstual, yakni dengan menghubungkan
materi ajar dengan lingkungan personal dan sosial. Kontekstual berarti teralami
oleh peserta didik (Elaine B. Johnson. 2011:20). Dengan demikian penerapan
model CTL ini nantinya akan menciptakan suasana belajar yang menarik dan
berharap mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Dengan mengaitkan materi pelajaran (instructional content) dengan
kontekskehidupan dan kebutuhan siswa akan meningkatkan motivasi
belajarnya serta akanmenjadikan proses belajar mengajar lebih efisien dan
efektif. Pendekatan belajar inidisebut pendekatan kontekstual (contextual
teaching and learning). Proses belajarkontekstual terjadi dalam situasi
kompleks dan hal ini berbeda dengan pendekatanbehaviorist yang lebih
menekankan pada latihan. Menurut Nurhadi dalam Mundilarto(2004: 70)
contextual teaching and learning merupakan konsep belajar mengajaryang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan di kelas
dengansituasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antarapengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupannya
sebagaiindividu, anggota keluarga, dan masyarakat.Pendekatan kontekstual
sebenarnya berakar dari pendekatan konstruktivistikyang menyatakan bahwa
seseorang atau siswa melakukan kegiatan belajar tidak lainadalah membangun
pengetahuan melalui interaksi dan interpretasi dilingkungannya. Pengetahuan
yang berasal dari pengalaman dan konteks dibangunoleh siswa sendiri bukan
oleh guru.
Menurut Priyatni dalam Krisnawati dan Madya (2004: 56) pembelajaran
yangdilaksanakan dengan menggunakan metode kontekstual memiki
karakteristiksebagai berikut:
1) Pembelajaran yang dilaksanakan dalam konteks yang otentik,
artinyapembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam
memecahkanmasalah nyata yang dihadapi.
2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan
tugas tugas yang bermakna.
3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna
kepada siswa.
4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok , berdiskusi, dan
saling mengoreksi.
5) Kebersamaan, kerjasama, dan saling memahami satu dengan yang lain
secara mendalam merupakan aspek pembelajaran yang menyenangkan.
6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif dan
memetingkan kerjasama.
7) Pembelajaran dilaksanakan dengan cara menyenangkan.
2. Implementasi Pembelajaran Kontekstual di Kelas
Pembelajaran berbasis konstekstual dengan sendirinya akan membawa
implikasi implikasi tertentu ketika guru menerapkannya di dalam kelas. Menurut
Zahorik (Nurhadi, 2002: 7) terdapat lima elemen penting yang harus diperhatikan
oleh guru dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu:
➢ Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
•••
65
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
➢ Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge), yaitu dengan cara
memperlajari secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian
memperhatikan detailnya.
➢ Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara
menyusun konsep sementara atau hipotesis, melakukan sharing kepada
orang lain agar mendapat tanggapan atau validasi dan atas dasar tanggapan
itu konsep tersebut direvisi atau dikembangkan.
➢ Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge).
➢ Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan tersebut.
Oleh karena itu, program pembelajaran kontekstual hendaknya:
1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan
kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi
pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum pembelajarannya.
3. Uraikan secara terperinci media dan sumber pembelajaran yang akan
digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang diharapkan.
4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan siswa
dalam melakukan proses pembelajarannya.
5. Rumuskan dan lakukan sistem penilaian dengan memfokuskan pada
kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada saat
berlangsungnya proses maupun setelah siswa tersebut selesai belajar.
3. Kemampuan Berpikir Kritis
a. Definisi Berpikir Kritis
Berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi
informasi dalam memori. Ini sering kali dilakukan untuk membentuk konsep,
bernalar, dan berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan
memecahkan masalah (Santrock,2001: 357). Dalam beberapa tahun terakhir,
“berpikir kritis” telah menjadi suatu istilah yang ‘sangat populer’ dalam dunia
pendidikan. Karena banyak alasan, para pendidik menjadi lebih tertarik
mengajarkan ‘keterampilan-keterampilan berpikir’ dengan berbagai corak
daripada mengajarkan informasi dan isi.
Berpikir kritis menurut Elaine B. Johnson (2007: 183) merupakan sebuah
proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti
memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi,
dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk
berpendapat dengan cara yang terorganisasi. Berpikir kritis merupakan
kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan
pendapat orang lain. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai
pemahaman yang mendalam. Pemahaman membuat kita mengerti maksud di balik
ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari. Pemahaman mengungkapkan makna
di balik suatu kejadian.
Menurut Robert Ennis (Fisher, 2008:4) berpikir kritis ialah pemikiran yang
masuk akal dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan yang
dikerjakan. Reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun, dan hati-hati
terhadap segala alternatif sebelum mengambil keputusan. Jika dikaitkan dengan
•••
66
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
taksonomi Bloom, berpikir kritis didefinisikan sebagai tiga tahapan tertinggi
dalam taksonomi kognitifnya Bloom yang meliputi proses analisis, sintesis dan
evaluasi. Maka, berpikir kritis dalam penelitian ini menggunakan indikator: 1)
kemampuan menganalisis 2) kemampuan mensintesis 3) kemampuan
mengevaluasi.
Berpikir kritis memang sebuah keniscayaan yang mutlak dikuasai oleh
setiap warga negara karena hanya dengan keterampilan berpikir kritis inilah
bangsa yang adil dan beradab bisa terwujud. Masyarakat yang mampu dengan
sehat dan cerdas bersikap kritis terhadap lingkungannya tidak akan mudah
terpengaruh oleh gelombang ketidakpastian ataupun provokasi dari pihak-pihak
yang saling berebut kepentingan. Realitias negara kita saat ini mengindikasikan
kecenderungan mudahnya timbul konflik antar individu, kelompok, atau
golongan, suku, ras, atau bahkan agama yang tersulut hanya karena masalahmasalah sepele. Saat ini, dalam kerangka reformasi nasional dalam berbagai segi
termasuk pendidikan, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat substansial jika
kita mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi akar permasalahan yang
tengah kita hadapi dan mencari serta mengembangkan alternatif pemecahan bagi
permasalahan tersebut.Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
berpikir merupakan suatu proses kerja otak dimana didalamnya menyangkut
tentang suatu proses yang aktif dalam mencoba merumuskan dan mengarahkan
sebuah informasi kepada tujuan tertentu sebagai bentuk respon dari informasi
yang diterima sehingga menjadi suatu gambaran baru (ide) tentang apa yang akan
dituju.
b. Karakteristik Berpikir Kritis
Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan
Brownie (2012 : 15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:
1. Watak (dispositions)
Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis
mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran,
respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan
ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan
berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
2. Kriteria (criteria)
Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau
patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu
untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat
disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria
yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah
berdasarkan kepada relevansi, keakuratan, fakta-fakta, berlandaskan
sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru,
logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
3. Argumen (argument)
Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh
data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan,
penilaian, dan menyusun argumen.
4. Pertimbangan atau pemikiran (reasoning)
•••
67
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Reasoning yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari
satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji
hubungan antara beberapa pernyataan atau data.
5. Sudut pandang (point of view)
Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini,
yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan
kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang
yang berbeda.
6. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria)
Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural.
Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan
keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas tentang pembelajaran kontekstual, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendekatan kontekstual merupakan wahana yang sangat tepat bagi guru untuk
memberdayakan potensi siswa sesuai dengan kebutuhan serta lingkungan
sekolah dan kehidupannya. Model pembelajaran kontekstual tidak bersifat
ekslusif akan tetapi dapat digabung dengan model-model pembalajaran yang
lain, misalnya: penemuan, keterampilan proses, eksperimen, demonstrasi,
diskusi, dan lain-lain. Agar pendekatan kontekstual dapat diimplementasikan
dengan baik, dituntut adanya kemampuan guru yang inovatif, kreatif, dinamis,
efektif dan efisien guna menciptakan pembelajaran yang kondusif.
2. Penggunaan metode pembelajaran dari metode behaviorisme ke metode yang
konstruktivisme dapat mengubah paradigma guru tentang metode
pembelajaran. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya narasumber dalam
pembelajaran dan kegiatan telah beralih menjadi siswa sebagai pusat kegiatan
pembelajaran serta peran guru hanya sebagai motivator dan fasilitator, maka
semangat siswa dapat meningkat dalam hal kemampuan berpikir kritis dengan
menggunakan metode, materi, dan media yang bervariasi.
3. Penerapan kegiatan mengkonstruk atau membangun sendiri pengetahuan pada
siswa, membuat siswa terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis melalui
kegiatan inquiry atau menemukan sendiri masalah, kebebasan bertanya
(questioning), penerapan masyarakat belajar (learning community) yaitu
melatih siswa untuk bekerjasama, sharing idea, saling berbagi pengalaman,
pengetahuan, saling berkomunikasi sehingga terjadi interaksi yang positif antar
siswa dan pada akhirnya siswa terlibat secara aktif belajar bersama-sama.
4. Dalam pembelajaran kontekstual juga terdapat pemberian reward dalam bentuk
pujian, tepuk tangan dan memajang hasil karya siswa untuk meningkatkan
semangat dan tanggung jawab siswa karena hasil karyanya dihargai oleh guru
orang disekitarnya.
Implikasi
Dari hasil analisis dan observasi, diketahui bahwa pembelajaran model
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan solusi dalam model
pembelajaran yang mampu dalam menunjang kemampuan berpikir kritis peserta
didik. untuk itu maka seorang pendidik setidaknya memilih model pembelajaran
•••
68
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
CTL ini. seorang guru juga harus mampu menumbuhkan semangat dan motivasi
siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan
kemampuan guru masing-masing. Dengan memfokuskan pada pembelajaran yang
aktif, maka membuat pembelajaran menjadi menyenangkan, kurangnya rasa
jemuh peserta didik, sehingga akan meningkatkan perhatian dan keseriusan
peserta didik untuk memahami dan memaknai materi yang dibicarakan.
•••
69
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Daftar Pustaka
Browne, Neil M., Pemikiran Kritis; Panduan untuk Mengajukan dan Menjawab
Pertanyaan kritis. Jakarta: Indeks,2012.
Depdiknas,Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning. Jakarta:
Dirjendikdasmen.2005
Fisher,Alec, Berpikir Kritis ; Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga.2008.
Hasan, Hamid,Format Metodologi Pengajaran Sejarah Dalam Transformasi Nilai
Dan Pengetahuan. Yogyakarta: IKIP Yokyakarta,2010.
Hosnan, M.,PendekatanSaintifikdanKontekstualDalamPembelajaran Abad 21.
Bogor: Ghalia Indonesia,2014.
Johnson, Elaine B, Contextual Teaching & Learning ; Menjadikan Kegiatan
Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung : Kaifa
Learning,2011.
Kochhar , S.K., Pembelajaran Sejarah Teaching of History. Jakarta: PT
Grasindo,2008.
Krisnawati, Yulia. & Swarsih, Madya. (2004). Jurnal Penelitian dan Evaluasi:
Pengelolaan
Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Menggunakan Metode Kontekstual di
SLTP N egeri 25 Surabaya. Yogyakarta: PPS UNY.
Nurhadi, Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah. Direktorat Pendidikan
LanjutanPertama,2002.
Santrock, John W,Psikologi Pendidikan (jilid 1).
Jakarta : Salemba
Humanika,2009.
Suryo, Djoko,Paradigma Sejarah di Indonesia dan Kurikulum Sejarah ; dalam
makalah seminar nasional dan temu alumni PPS UNS. Surakarta : PPS
UNS,2005.
Trianto.,Mendesain Pembelajaran Kontekstual (CTL) di Kelas. Jakarta:
Publisher,2008.
•••
70
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
ANALISIS KEBUTUHAN MEDIA PEMBELAJARAN SEJARAH
DI SMA NEGERI KOTA SAMARINDA
Jamil, Muhammad Azmi, dan Muhamad Sopyan
Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Mulawarman
jamil@fkip.unmul.ac.id
ABSTRAK
Pembelajaran sejarah seringkali dianggap membosankan, karena cenderung
monoton dalam pembahasannya, sehingga membuat minat belajar siswa rendah. Salah
satu cara untuk meningkatkan minat belajar siswa melalui penggunaan media
pembelajaran sejarah. Namun, pada kenyataannya media pembelajaran yang digunakan
sebaiknya disesuaikan dengan kondisi di lapangan, sehingga pemanfaatannya menjadi
efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan media
pembelajaran sejarah di SMA Negeri Kota Samarinda. Analisis kebutuhan tersebut
meliputi kondisi lingkungan pembelajaran, proses pembelajaran sejarah dan penggunaan
media pembelajaran sejarah.
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Adapun instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, lembar observasi dan
lembar ceklis. Teknik analisis data yang digunakan adalah Model Analisis Interaktif
(Interactive Analysis Models), yaitu pengumpulan data (data collection), reduksi data
(data reduction), penyajian data (display data), dan penarikan kesimpulan (verification).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang ada di SMA
Negeri Kota Samarinda sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas, diantaranya ruangan
yang dilengkapi dengan sarana penunjang pembelajaran, laboratorium ilmu pengetahuan
dan komputer, akses internet dan sarana-prasarana penunjang lainnya. Dukungan fasilitas
memungkinkan untuk menggunakan media pembelajaran, baik yang berbasis offline,
seperti power point, prezi dan mind mapping, maupun berbasis online seperti Google
Suite dan Edmodo.
Kata Kunci: media pembelajaran, pembelajaran sejarah, Samarinda
A. PENDAHULUAN
Sejarah merupakan mata pelajaran yang dianggap penting oleh
pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan adanya mata pelajaran sejarah di setiap
kurikulum yang berlaku di Indonesia. Meskipun pada kenyataannya, porsi waktu
yang diberikan berbeda-beda dalam penyajiannya di setiap kurikulum.
Nampaknya pemerintah mulai kembali memberikan perhatian penuh terhadap
mata pelajaran sejarah di dalam Kurikulum 2013. Hal ini dapat dilihat dari
pemberian porsi waktu yang dapat lebih banyak dibandingkan kurikulum yang
berlaku sebelumnya.
Kota Samarinda dapat dianggap sebagai jantung dari Propinsi Kalimantan
Timur. Tak dapat dipungkiri, Samarinda didaulat sebagai ibukota dikarenakan
sebagai pusat dari kegiatan pemerintahan dan pendidikan di propinsi ini.
Pendidikan di ibukota dapat dijadikan tolok ukur dalam kemajuan pendidikan di
sebuah propinsi. Dengan kata lain, kemajuan pendidikan di Kota Samarinda
merupakan sebuah cerminan dari pendidikan di Propinsi Kalimantan Timur.
Dengan demikian, sudah semestinya pendidikan di Samarinda menjadi sebuah
prototype dari pendidikan di seluruh propinsi Kalimantan Timur.
•••
71
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Sekolah Menengah Atas Negeri di Samarinda memiliki kebijakan dan ciri
khas yang berbeda satu dengan yang lainnya. Meskipun kurikulum yang
digunakan merujuk kepada peraturan yang berlaku di kementerian terkait, tetapi
kenyataannya terdapat perbedaan dalam proses pembelajaran di lapangan. Hal ini
dikarenakan berbagai faktor, antara lain latar belakang pendidik dan peserta didik,
kondisi lingkungan sekolah dan sarana dan prasarana pendukung proses
pembelajaran di sekolah. Dalam proses pembelajaran, tentunya sarana dan
prasarana menjadi faktor pendukung proses pembelajaran yang memberikan
kontribusi besar dalam keberhasilan tujuan pembelajaran di kelas, salah satunya
adalah media pembelajaran.
Proses pembelajaran sejarah memang tidak hanya melakukan transfer of
knowledge dari pendidik kepada peserta didik saja. Namun, pembelajaran sejarah
juga merupakan transfer of value dari pemahaman seorang pendidik terhadap
peristiwa sejarah yang diajarkan di kelas. Dalam mata pelajaran sejarah, media
pembelajaran dapat dijadikan sebagai perantara untuk menyajikan peristiwa di
masa lalu ke hadapan peserta didik. Pendidik tidak hanya menceritakan sebuah
peristiwa yang terjadi secara verbal, tetapi dengan menggunakan sebuah media
pembelajaran dapat membantu peserta didik dalam memahami sebuah peristiwa
sejarah secara komprehensif. Selain itu, media pembelajaran juga diharapkan
dapat mengurangi kebosanan peserta didik dalam mata pelajaran sejarah.
Penggunaan media pembelajaran sejarah di hadapan peserta didik diharapkan
mampu memberikan kontribusi dalam pemahaman materi yang disajikan sesuai
dengan tujuan pembelajaran.
Secara harfiah, pembelajaran sejarah terdiri dari dua kata, yaitu pembelajaran
dan sejarah. Menurut Majid (2013: 4), istilah pembelajaran bermakna sebagai
upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai
upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian
tujuan yang telah direncanakan. Adapun sejarah menurut Kochhar (2008: 3-5)
pada hakikatnya sejarah adalah sebuah ilmu yang membahas tentang manusia
dalam lingkup ruang dan waktu yang merupakan dialog antara peristiwa masa
lampau dan perkembangan masa depan dengan menjelaskan masa kini. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah adalah kegiatan
pendidik yang menciptakan sebuah situasi yang membuat peserta didik melakukan
kegiatan belajar tentang peristiwa di masa lalu.
Sasaran dalam pembelajaran adalah sesuatu yang ingin dicapai dengan
dilaksanakannya pembelajaran tersebut. Menurut Porda (2009:18), pembelajaran
sejarah memiliki berperan mengaktualisasikan dua unsur, yaitu pembelajaran dan
pendidikan. Unsur pembelajaran yang diaktualisasikan adalah unsur pembelajaran
dan pendidikan intelektual, sedangkan unsur pendidikan yang diaktualisasikan
adalah pembelajaran dan pendidikan moral bangsa yang demokratis dan
bertanggung jawab kepada masa depan. Sasaran umum dalam pembelajaran
sejarah sebagaimana yang dijabarkan oleh Kochhar (2008: 27-38) diantaranya
adalah mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri, memberikan gambaran
yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat, dan menanamkan sikap
intelektual.
Secara etimologis, kata media berasal dari bahasa latin yang merupakan jamak
dari medium yang berarti perantara atau pengantar. Menurut Asosiasi Teknologi
dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication
•••
72
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Technology) di Amerika, media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan
orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Asosiasi Pendidikan Nasional
(National Education Association) mendefinisikan media sebagai bentuk-bentuk
komunikasi, baik tercetak maupun audiovisual, serta peralatannya yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim kepada penerima yang
merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa
sehingga proses belajar terjadi. (Sadiman, dkk, 2009: 6-7). Pembelajaran dapat
didefiniskan sebagai suatu proses interaksi komunikasi antara sumber belajar,
guru dan siswa, baik secara langsung dengan tatap muka maupun tidak langsung
dengan menggunakan media yang telah ditentukan sebelumnya dengan model
pembelajaran tertentu. (Rusman, Kurniawan dan Riyana, 2011: 16). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah sebuah perantara
yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Menurut Kochhar (2008: 214), media pembelajaran adalah perlengkapan yang
menyajikan satuan-satuan pengetahuan melalui stimulasi pendengaran atau
penglihatan atau keduanya untuk membantu pembelajaran. Media tersebut dapat
membuat pengetahuan yang disampaikan menjadi nyata, sehingga mampu
memberikan pengalaman belajar yang nyata, hidup dan vital bagi peserta didik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah sebuah
alat bantu yang memunculkan proses komunikasi antara siswa, guru dan sumber
belajar. Menurut konsep dan kawasan teknologi pendidikan, media termasuk
dalam sumber belajar. Sumber belajar meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik
dan lingkungan sesuai dengan definisi dari kawasan teknologi pendidikan pada
tahun 1977 (Gafur, 2012: 104).
Dilihat dari bentuknya, media dapat dibagi menjadi tiga, yaitu teks, audio dan
visual. Menurut Sadiman, dkk (2009:84), dilihat dari kesiapan pengadaannya
media dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu media jadi yang merupakan
komoditi yang dijual bebas di pasaran dalam keadaan siap pakai (media by
utilization) dan media yang dirancang sesuai dengan kebutuhan (media by design).
Media apabila dipandang sebagai sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu sumber belajar yang direncanakan (learning resources by design) dan
sumber belajar yang digunakan (Gafur, 2012: 104).
Menurut Gerlach & Ely (Arsyad, 2010), tiga ciri utama media yang
merupakan petunjuk ketidakmampuan guru dalam melakukannya, sehingga
menggunakan media adalah fiksaftif, manipulatif, dan distributif. Pertama, ciri
fiksatif menggambarkan kemampuan media dalam merekam, menyimpan,
melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek. Kedua, ciri
manipulatif media adalah kemampuan untuk melakukan transformasi terhadap
suatu kejadian atau objek. Ketiga, ciri distributif media adalah kemampuannya
untuk melakukan transportasi terhadap kejadian atau objek melalui ruang.
Secara umum, Sadiman (2009:17) menjelaskan bahwa media mempunyai
berfungsi untuk memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal,
mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, penggunaan media
pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, dan
memberikan perangsangan dan pemgalaman yang sama. Senada dengan hal
tersebut Hamalik (2010: 65-66) menyatakan bahwa penggunaan media dalam
pembelajaran mampu mengatasi enam aspek yang menghambat proses belajar dan
mengajar, yaitu verbalisme, kekacauan dalam penafsiran, perhatian anak didik
•••
73
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
yang bercabang, kurangnya respon, kurang perhatian, dan keadaan lingkungan
belajar yang tidak menyenangkan.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Adapun
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara,
lembar observasi dan lembar ceklis. Teknik analisis data yang digunakan adalah
Model Analisis Interaktif (Interactive Analysis Models), yaitu pengumpulan data
(data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (display data), dan
penarikan kesimpulan (verification).
C. HASIL
Kondisi Lingkungan Pembelajaran di SMA Negeri Kota Samarinda
Pembelajaran akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh berbagai
sarana fasilitas penunjang dalam suatu pembelajaran Sekolah Menengah Atas
Negeri Kota Samarinda. Sarana yang dimaksud adalah kelengkapan ruang belajar,
ruang praktik atau laboratorium yang dimiliki oleh sekolah seperti laboratorium
IPA, Laboratorium Bahasa, dan Laboratorium Komputer. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 1.
Fasilitas/ Sarana dan Prasarana
No
Nama
Sekolah
Ruang
Kelas
Siswa
Guru
Lab
IPTEK
Perpustakaan
dan
Komputer
8
1
7
1
Akses
Internet
1
2
SMAN 1
SMAN 2
38
30
1039
1137
38
30
3
SMAN 3
28
991
28
5
1
4
SMAN 4
34
1250
34
3
1
5
SMAN 5
30
1058
30
5
1
6
SMAN 6
21
751
21
5
1
7
SMAN 7
21
725
21
2
1
8
9
SMAN 8
SMAN 9
SMAN
10
SMAN
11
SMAN
12
SMAN
13
SMAN
14
19
19
636
621
19
19
3
3
1
1
Ada
Ada
Belum
ada
Ada
Belum
ada
Ada
Tidak
ada
Ada
Ada
36
917
36
6
1
Ada
20
693
20
5
1
Ada
6
155
6
2
1
Ada
15
502
15
0
0
Belum
ada
13
404
13
0
1
Ada
10
11
12
13
14
•••
74
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
15
16
17
SMAN
15
SMAN
16
SMAN
17
8
237
8
3
2
Ada
8
501
8
1
1
Ada
13
422
13
0
0
Ada
338
10544
338
58
16
-
Tabel. 1 Fasilitas SMA Negeri Kota Samarinda
Sumber: Analisis Hasil Penelitian
Dalam menunjang pembelajaran yang efektif diperlukan suatu metode dan
media yang tapat dalam pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah, karena
tidak sesuainya metode dan media pembelajaran menyebabkan suasana
pembelajaran khusunya pembelajaran sejarah menjadi kurang menyenangkan,
siswa kurang termotivasi untuk belajar dan akhirnya menyebakan hasil belajar
siswa menjadi rendah. Oleh karena itu, pemilihan dan penggunaan metode dan
media pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran sejarah dan dukungan
sarana dan prasarana mutlak diperlukan.
Berdasarkan hasil penelitian dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana
penunjang untuk pemilihan dan penggunaan media pembelajaran khususnya
pembelajaran sejarah di SMA Negeri yang ada di Kota Samarinda, sudah cukup
mendukung seperti adanya Laboratorium khusunya laboratorium Komputer,
perpustakaan, ruang kelas yang refresentatif serta berbagai peralatan penunjang
untuk penggunaan media pembelajaran baik yang sifatnya manual/ offline atau
penggunaan media pembelajaran yang berbasis online.
Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri Kota Samarinda
Proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tentunya terlebih dahulu
kita harus mengetahui bahwa suatu pembelajaran, metode dan media yang akan
digunakan tergantung dari tujuan dan karakteristik dari kurikulum yang dijalankan
oleh Sekolah. Berdasarkan kenyataan tersebut di sebagian besar sekolah
menengah atas (SMA) yang ada di Samarinda sudah menerapkan kurikulum 2013
dan beberapa sekolah masih menggunakan Kurikulum Satuan Tingkat
Pendidikan.
Mempelajari Sejarah tidak ada artinya bila tidak disertai akan nilai yang
terkandung, fungsi dan manfaatnya. Selama ini pembelajaran sejarah diidentikkan
dengan pembelajaran yang membosankan di kelas, baik strategi, metode, media
maupun teknik pembelajaran lebih banyak bertumpu pada pendekatan berbasis
guru yang monoton, dan meminimalkan partisipasi siswa. Guru diposisikan
sebagai satu-satunya sumber informasi, siswa dijadikan sebagai obyek sehingga
guru hanya mengajar dengan ceramah dan tanya jawab.
Kenyataan yang sulit dibantahkan bahwa dalam proses pembelajaran
sejarah guru lebih senang menggunakan pembelajaran yang jarang memanfaatkan
media pembelajaran, padahal guru dalam pembelajaran sejarah dalam kurikulum
2013 siswa memerlukan sumber selain yang ada di buku, sumber yang paling
mudah tentunya adalah dari internet.
•••
75
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi permasalahan jika di sekolah
terdapat banyak siswa yang tidak bisa mengakses internet, apalagi ada sekolah
yang tidak mempunyai sarana dan fasilitas internet.
Berdasarkan uraian tersebut, maka media pembelajaran terutama media
pembelajaran yang berbasis teknologi dan online sangat bergantung fasilitas,
sarana dan prasarana yang ada. Dalam menyiapkan media pembelajaran sejarah,
guru mengalami kesulitan apabila tidak didukung oleh sarana dan prasarana
penunjang. Guru sejarah menganggap bahwa sejarah itu unik dan media yang
dibuat tidak mudah untuk ditiru atau dibuatkan miniatur benda peninggalannya.
Menurut mereka, apabila dibuatkan miniature benda peninggalan sejarah dan
bentuknya tidak sesuai dengan aslinya, maka bisa jadi pemahaman siswa menjadi
berbeda. Namun, di sisi lain menyisihkan waktu untuk membawa siswa dibawa ke
obyeknya atau ke museum memerlukan biayayang cukup mahal dan waktu luang
yang banyak.
Berdasarkan keadaan tersebut, guru senantiasa dituntut untuk
memaksimalkan media pembelajaran yang lain sebagai solusi dalam
permasalahan pembelajaran seperti halnya memanfaatkan media gambar, video
dan internet sebagai media pembelajaran sejarah, karena selain lebih mudah
penggunaannya dan dapat menunjukkan bentuk asli suatu obyek benda. Dalam
pembelajaran sejarah, metode dan media yang digunakan tergantung dari tujuan
dan karakteristik dari kurikulum yang dijalankan oleh sekolah. Kebanyakan guru
yang mengajar divkelas masih menggunakan metode ceramah dan tanya jawab
sebagai metode utama, meskipun ada sedikitguru yang sudah menggunakan media
pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sejarah, guru lebih senang
menggunakan
pembelajaran
dan
jarang
memanfaatkan
media
pembelajaran.Padahal, dalam Kurikulum 2013 guru dituntut untuk memandu
siswa dalam menggali sumber belajar selain yang ada di buku.Sumber yang paling
mudah tentunya adalah dari internet, dan perangkat teknologi lainnya.
Media pembelajaran yang berbasis teknologi dan online sangat penting
sekali dalam pembelajaran, apalagi dalam pembelajaran sejarah. Berdasarkan
keadaan tersebut, guru harus senantiasa memaksimalkan media pembelajaran
yang lain sebagai solusi dalam permasalahan pembelajaran seperti halnya
memanfaatkan media gambar, video dan internet sebagai media pembelajaran
sejarah, sebab lebih mudah penggunaannya dan menunjukkan bentuk asli suatu
obyek benda secara nyata.
Kebutuhan Media Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri Kota Samarinda
Kebutuhan media dalam suatu pembelajaran, khususnya pembelajaran
sejarah terdapat beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan. Pertama, situasi dan
kondisi pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran sebaiknya memperhatikan
dengan situasi dan kondisi yang pembelajaran yang ada. Berdasarkan jenis
perilaku dan isi materi, media pembelajaran sejarah sebaiknya disesuaikan dengan
kompetensi yang dikehendaki untuk dikuasai oleh peserta didik. Kompetensi
merupakan standar kemampuan yang harus dikuasai untuk menunjukkan bahwa
hasil mempelajari bidang studi atau mata pelajaran yang berupa penguasaan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus dikuasai siswa, dan menyangkut
isi dan penampilan. Berdasarkan isi materi yang termuat dalam pembelajaran
sejarah, maka sangat dimungkinkan untuk menggunakan media pembelajaran
•••
76
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dalam proses pembelajaran baik yang masih manual dan berbasis offline maupun
media pembelajaran yang berbasis online.
Pengalaman dan kegiatan belajar merupakan aktivitas belajar yang perlu
dilakukan oleh siswa dalam rangka mencapai penguasaan kemampuan dasar dan
materi pembelajaran. Berbagai alternative pengalaman dapat dipilih sesuai dengan
teknis kompetensi serta materi yang dipelajari. Pengalaman belajar yang telah
diidentifikasikan dalam silabus dapat dipakai sebagai acuan dalam
mengembangkan strategi, pendekatan, atau metode pembelajaran bahkan media
apa saja yang sesuai dengan pengalaman belajar yang dimaksud. Untuk itu
pengalaman belajar di dalam kelas dilaksanakan dengan jalan mengadakan
interaksi antara siswa dengan sumber belajar dan media yang sesuai dengan uraian
materi pembelajaran yang telah dirumuskan. Pengalaman di luar kelas dilakukan
dengan jalan mengamati, dan melakukan observasi.
Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa dalam menentukan kebutuhan
media pembelajaran paling banyak ditentukan berdasarkan uraian materi
pembelajaran dan tidak menutup kemungkinan didasarkan juga atas pengalaman
belajar yang biasanya memerlukan sumber belajar ataupun alat bantu
pembelajaran. Hal ini dilakukan berdasarkan atas prinsip relevansi dan konsistensi
antara kompetensi dasar, materi pembelajaran, karakteristik siswa, dan media itu
sendiri. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan media yang dirancang
untuk mencapai kompetensi dasar. Oleh sebab itu, dalam memilih media
pembelajaran perlu memperhatikan kompetensi dasar baik yang berkaitan dengan
standar penampilan yang berdampak pada sarana pencapaian kompetensi dasar.
Penggunaan media dalam suatu pembelajaran tidaklah mudah, karena
harus memperhatikan banyak faktor seperti seberapa besar kegiatan pembelajaran
memerlukan benda nyata, media apa yang paling praktis yang dapat digunakan
sesuai dengan rencana pembelajaran, dan prestasi apa saja yang harus dicapai
dalam menentukan media apa yang tepat digunakan dalam pembelajaran, dan
yang tidak kalah pentingnya adalah sarana dan prasarana sekolah yang ingin
menggunakan media pembelajran tertentu.
Pelaksanaan pembelajaran sejarah yang bersifat unik dari mata pelajaran
lainnya membuat pemanfaatan media pembelajaran sangat diperlukan. Materi
yang seringkali membahas hal-hal yang abstrak di masa lalu, membuat media
pembelajaran sangat diperlukan. Penggunaan media dalam pembelajaran sejarah
harus sesuai dengan karakteristik dan kurikulum yang diterapkan di sekolah. Oleh
karena itu, kurikulum dalam isi dan materi yang ada menentukan media yang
digunakan dalam pembelajaran. Selain kurikulum, jenis perilaku siswa turut
menentukan media pembelajaran yang cocok diterapkan, karena jangan sampai
media yang digunakan tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan siswa dalam
proses pembelajaran sejarah.
D. SIMPULAN
Media pembelajaran pada dasarnya telah dimanfaatkan oleh setiap guru,
khususnya pada pembelajaran sejarah di seluruh SMA Negeri yang ada di Kota
Samarinda. Namun, pemanfaatan media tersebut masih terbatas dikarenakan
sarana dan prasarana penunjang pembelajaran di kelas yang terbatas. Meskipun
sebagian besar sudah memiliki fasilitas laboratorium, tetapi penggunaan fasilitas
tersebut masih terbatas pada mata pelajaran dan jam tertentu saja, sehingga
•••
77
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pemanfaatan failitas tersebut tidak dapat sepenuhnya digunakan untuk
pembelajaran sejarah.
Sebagian besar sekolah sudah memiliki fasilitas internet, sehingga
pembelajaran sejarah di kelas dapat memanfaatkan jaringan internet dalam proses
pembelajaran. Namun, beberapa sekolah, terutama yang berada di daerah
pinggiran kota belum memiliki koneksi internet, sehingga tidak memungkinkan
untuk melaksanakan pembelajaran berbasis online. Beberapa situs yang dapat
digunakan dalam pembelajaran sejarah secara online adalah Edmodo dan Google
Suite. Adapun perangkat lunak yang dapat digunakan dalam membuat media
pembelajaran sejarah secara offline adalah power point, prezi dan mind mapping.
•••
78
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arsyad, A. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
[2] Gafur, A. 2012. Desain Pembelajaran: Konsep, Model dan Aplikasinya
dalam Perencanaan Pelaksanaan Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
[3] Hamalik, O. 2010. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
[4] Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Terj. H. Purwanta dan Yovita
Hardiwati. Jakarta: Grasindo.
[5] Majid, A. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[6] Porda, H., N. P. 2009. Pembelajaran Sejarah. Banjarmasin: C.V. Batur
Raya.
[7] Rusman, Kurniawan, D. dan Riyana, C. 2012. Pembelajaran Berbasis
Teknologi Informasi dan Komunikasi: Mengembangkan Profesionalitas
Guru. Jakarta: Rajawali Pers
[8] Sadiman, A., Rahardjo, R., Haryono, A. dan Rahardjito. 2009. Media
Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta:
Rajawali Pers.
•••
79
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
80
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS
SERAT SABDAJATI SEBAGAI REVITALISASI NILAI-NILAI
KEARIFAN LOKAL
Fida Indra Fauziyyah1, Warto2, Sariyatun3
Department of History Education, Universitas Sebelas Maret
Email: fidafauziyyah80@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah model pembelajaran
sejarah sebagai revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal. Indonesia adalah negara yang
majemuk, yang memiliki 1.340 suku bangsa dan 1.211 bahasa, dan Jawa
merupakan suku terbesar di Indonesia dengan presentase 41%. Salah satu hasil
kebudayaan Jawa adalah kesusasteraan. Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang
ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi
(kakawin). Salah satu bentuknya adalah Serat Sabdajati. Serat Sabdajati
merupakan sebuah serat yang ditulis oleh Pujangga Keraton Surakarta, Raden
Ngabehi Ronggowarsito. Serat Sabdajati mengandung nilai-nilai luhur yang bisa
dijadikan sebagai petuah hidup. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Serat
Sabdajati ini bisa dikategorikan dalam dua hal, yaitu; Pertama, berhubungan
dengan kepercayaan terhadap Tuhan, dan Kedua, berhubungan dengan etika.
Kearifan lokal inilah yang perlu untuk diaktivasi kembali untuk nantinya bisa
diajarkan kepada generasi milenial, khususnya dalam proses pembelajaran
sejarah. Untuk itulah perlu dikembangkan sebuah model pembelajaran yang
berbasis pada kearifan lokal, agar nilai-nilai luhur tersebut bisa diaktualisasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menggunakan metode study pustaka,
yaitu dengan mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan Serat Sabdajati
baik buku, majalah, manuskrip atau dokumen lain yang berhubungan dengan
obyek penelitian, dan kemudian dianalisis melalui pendekatan deskriptif.
Kata Kunci: Serat Sabdajati, kearifan lokal, pembelajaran sejarah.
A. Pendahuluan
Indonesia menghadapi berbagai masalah kompleks yang terkait dengan
pendidikan. Salah satunya adalah pendidikan karakter. Hal ini bisa dilihat dari
masih banyaknya remaja usia sekolah yang melakukan tindakan-tindakan yang
tidak mencerminkan karakter yang baik, misalnya makin meningkatnya tawuran
antar pelajar, pemerasan atau kekerasan (bullying), kecenderungan dominasi
senior terhadap junior, dan penggunaan narkoba (Samani, 2012). Kultur di satuan
pendidikan juga belum mencerminkan napas lingkungan pendidikan, seperti
senioritas, pendisiplinan dengan cara kekerasan, bahkan orientasi sekolah
bermuatan kekerasan masih mudah ditemukan di sejumlah sekolah.
(www.kpai.go.id, akses 4 April 2017)
Pembelajaran yang tidak menanamkan nilai-nilai karakter menjadi salah
satu penyebab semakin buruknya tingkah-laku yang dimiliki para pelajar tersebut.
Untuk itulah, perlu adanya pengembangan pendidikan karakter di sekolah.
Pengembangan karakter suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya
yang selaras dengan karakteristik masyarakat bangsa itu sendiri. Oleh karena itu,
menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis dalam membangun
karakter bangsa. (Wagiran, 2012)
•••
81
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pengembangan karakter yang berbasis pada kearifan lokal perlu untuk
dimasukkan dalam proses pembelajaran, salah satunya pada mata pelajaran
sejarah. Sejarah memiliki peran yang sangat besar,yaitu menyandang sebagai
pembelajaran yang berbasis pada nilai dan karakter. Materi dan proses pendidikan
sejarah dipercaya mampu mengembangkan berbagai aspek potensi kemanusiaan
peserta didik menjadi kualitas yang tercermin dalam kemampuan-kemampuan
mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi-budaya-agama, dan pemanfaatan
teknologi yang bernilai positif bagi kehidupan. (Hasan, Handbook, tanpa tahun)
Pada realitasnya, pembelajaran sejarah yang ada di sekolah masih belum
sesuai dengan harapan. Pembelajaran sejarah di sekolah terlalu menekankan pada
aspek kognitif (pengetahuan), ketimbang aspek afektif (sikap) dan psikomotorik
(keterampilan). Guru sejarah dalam proses pembelajaran di kelas lebih dominan
“mengajar” (transfer of knowledge) ketimbang “mendidik” (transfer of values).
Dengan demikian peserta didik kurang berminat belajar sejarah, sehingga tidak
mampu mengambil nilai-nilai kearifan dari masa lampau dalam meningkatkan
karakter peserta didik itu sendiri. (Wirawan, 2014)
Salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia yang banyak mengandung
nilai-nilai karakter adalah Serat. Serat merupakan salah satu bentuk kesusasteraan
Jawa Kuno yang sarat akan nilai-nilai luhur. Salah satu karya sastra yang ditulis
dalam bentuk serat adalah Serat Sabdajati yang ditulis oleh Raden Ngabehi
Ranggawarsito. Dalam serat tersebut, banyak mengandung pesan dan makna
luhur untuk kita cermati yang nantinya bisa kita aplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Model pembelajaran sejarah yang berpijak pada pendidikan karakter
sangatlah diperlukan. Di sinilah, peran Pascasarjana Pendidikan Sejarah untuk
bisa mengakomodasi kebutuhan peserta didik akan pendidikan karakter tersebut,
dengan menciptakan model pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan nilainilai kearifan lokal. Semakin banyak pengembangan model pembelajaran sejarah
yang terintegrasi dengan budaya lokal, maka semakin baik pula transfer nilai
kepada peserta didik, sehingga dapat menciptakan karakter bangsa yang lebih
kuat.
B. Metodolgi
Penelitian ini menggunakan metode study pustaka, yaitu dengan
mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan model pembelajaran sejarah dan
kearifan lokal, baik dari buku, majalah, manuskrip-manuskrip atau dokumen lain
yang berhubungan dengan obyek penelitian, dan kemudian dianalisis melalui
pendekatan deskriptif. Kemudian dalam penerapan model yang berbasis nilai-nilai
kearifan lokal di sekolah maka bisa menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Grub Investigasi dengan pendekatan VCT (Value Clarification Technique).
C. Pembahasan
Sejarah sering disebut sebagai “ratu” atau “ibu” ilmu-ilmu sosial. Sejarah
juga merupakan dasar kajian filsafat, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan bahkan seni
dan agama/ religi (Kochhar, 2008). Menurut Murtadha Mutahhari (dalam Siska,
2015), sejarah dapat didefinisikan dalam tiga cara, yaitu: 1) Pengetahuan tentang
kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa
lampau dalam kaitannya dengan kejadian-kejadian masa kini. 2) Pengetahuan
•••
82
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau, yang
diperoleh melalui penyelidikan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau.
3) Didasarkan pada pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang
membawa masyarakat bergerak dari satu tahap ke tahap yang lain.
Menurut Hamid Hassan selaku Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013
menyatakan bahwa pendidikan sejarah tidak hanya meninggalkan pemahaman
cerita dan hafalan fakta, akan tetapi juga diperluas menjadi pengetahuan dan
pemahaman mengenai cara berfikir sejarah, keterampilan sejarah, dan eksplorasi
nilai terpilih sebagai pembelajaran di masa depan. Pada penerapannya
pembelajaran sejarah diharapkan dapat membentuk jati diri bangsa melalui
rekonstruksi sejarah nasional dengan menghubungkannya dengan sejarah lokal,
sehingga generasi muda bangsa Indonesia mampu memahami sejarah daerahnya.
Oleh karena itu, pendidikan sejarah memiliki fungsi yang strategis dalam
mengembangkan jiwa dan karakter bangsa dan membangun kehidupan masa
depan yang lebih baik. Sehingga untuk meningkatkan ranah afektif siswa, salah
satu alternatifnya dengan mengembangkan pembelajaran sejarah yang
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal. Siswa tidak hanya menghafal saja,
namun bisa mengambil nilai-nilai yang ada dalam materi pembelajaran sejarah
dan nantinya bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga
diharapkan akan dapat mempengaruhi karakter siswa menjadi lebih baik.
Model dan materi termasuk materi sejarah merupakan dua hal yang saling
berkaitan untuk menciptakan iklim pembelajaran yang hidup. Terlebih lagi dalam
pelajaran sejarah yang materinya adalah masa lalu. Maka sangat diperlukan model
yang dapat “menghidupkan” materi supaya peserta didik antusias dalam belajar.
Ungkapan “banyak jalan menuju Roma” menarik direnungkan. Untuk mencapai
tujuan pembelajaran, banyak jalan yang ditembuh. Dengan kata lain, guru punya
banyak cara yang dapat dipilih dan dilakukan untuk mencapai tujuan (Hamid,
2014).
Untuk mencapai tujuan pembelajaran sejarah tersebut, maka diperlukanlah
model pembelajaran yang menarik, kreatif dan tentu saja berkarakter. Salah satu
cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengekplorasi budaya lokal yang
nantinya bisa dijadikan sebagai model pembelajaran. Budaya lokal yang bisa
dijadikan sebagai model pembelajaran sangatlah banyak, mengingat Indonesia
adalah negara majemuk dengan beragam budaya dan adat istiadat. Salah satu
kearifan lokal yang ada di Indonesia yang banyak mengandung nilai-nilai karakter
adalah Serat. Serat merupakan salah satu bentuk dari kesusastraan Jawa. Serat
adalah karya-karya sastra yang berisi tentang ajaran-ajaran dari leluhur untuk
sebuah kebaikan dan biasanya berbentuk tembang.
Salah satu karya sastra yang ditulis dalam bentuk serat adalah Serat
Sabdajati yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsito. Raden Ngabehi
Ranggawarsito adalah pujangga terkenal dari Kraton Surakarta, beliau dilahirkan
pada 18 Maret 1802. SeratSabdajati ditulis dalam bentuk megatruh yang terdiri
dari 19 gatra (bait). Di dalam SeratSabdajati, banyak mengandung nilai-nilai yang
bisa diambil sebagai proses pembelajaran. Nilai-nilai tersebut dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu ajaran tentang Ketuhanan dan Etika. Ajaran tentang
Ketuhanan diantaranya adalah anjuran untuk percaya kepada Tuhan, ajaran
tentang pertolongan Tuhan, ajaran tentang larangan untuk menyekutukan Tuhan.
Sedangkan ajaran tentang Etika diantaranya adalah ajaran tentang rendah hati,
•••
83
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
mawas diri dan introspeksi serta ajaran tentang kesabaran. (Nurwibowo, Skripsi,
2008).
Serat Sabdajati inilah yang nantinya diekplorasi nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya untuk kemudian nilai-nilai tersebut dimasukkan dalam
pembelajaran dengan suatu pendekatan nilai. Salah satu pendekatan nilai yang
bisa digunakan adalah VCT (Value Clarification Technique). Menurut Adisusilo
(2013: 141) VCT adalah pendekatan pendidikan nilai dimana peserta didik dilatih
untuk menemukan, memilih, menganalisis, memutuskan, mengambil sikap sendiri
nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya.
Tabel 1. Teknik Pendekatan VCT
1. Memilih
1) Memilih dengan bebas
2) Memilih
dari
berbagai
alternatif
3) Memilih
dari
berbagai
alternatif
setelah
mengadakan pertimbangan
tentang berbagai akibatnya
2. Menghargai/
menjunjung
4) Menghargai dan merasa
tinggi
bangga dengan pilihannya
5) Bersedia
mengakui/
menegaskan pilihannya itu
di depan umum
3. Bertindak
6) Berbuat/ berperilaku sesuatu
sesuai dengan pilihannya
7) Berulang-ulang
bertindak
sesuai dengan pilihannya itu
hingga akhirnya merupakan
pola hidupnya
Sumber: Adisusilo (2013:147)
Setelah menentukan pendekatan nilai yang digunakan, kemudian langkah
selanjutnya yang harus dilakukan adalah dengan menentukan metode
pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang bisa diterapkan adalah
metode pembelajaran kooperatif. Terdapat beberapa metode dalam pembelajaran
kooperatif, misalnya metode STAD (Student Teams Achievement division), Jigsaw
(model tim ahli), GI (Group Investigation) dll. Salah satu jenis metode kooperatif
yang bisa dilakukan adalah GI (Group Investigation).
Menurut Slavin (2005: 218-219), dalam GI (Group Investigation), para
murid bekerja melalui enam tahap, yaitu: 1) Mengidentifikasikan topik dan
mengatur murid ke dalam kelompok, 2) Merencanakan tugas yang akan dipelajari,
yaitu para siswa merencanakan bersama mengenai apa yang yang dipelajari,
bagaimana mempelajarinya, siapa melakukan apa, dan untuk tujuan apa
menginvestigasi topik ini, 3) Melaksanakan investigasi, yaitu dengan
mengumpulkan informasi, menganalisis data dan membuat kesimpulan, 4)
Menyiapkan laporan akhir, yaitu anggota kelompok merencanakan apa yang akan
mereka laporkan, dan bagaimana mereka akan membuat presentasi mereka, 5)
Mempresentasikan laporan akhir, 6) Evaluasi, yaitu guru dan murid berkolaborasi
dalam mengevaluasi pembelajaran siswa.
•••
84
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Simpulan
Peran pascasarjana pendidikan sejarah dalam kontribusinya terhadap iptek
yang berpijak pada karakter bangsa, bisa dilakukan dengan menciptakan model
pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal. Budaya
lokal yang bisa digunakan sebagai model pembelajaran sangatlah beragam,
mengingat beragam pula adat istiadat dan budaya yang dimiliki Indonesia. Salah
satu contoh kearifan lokal yang bisa digunakan dalam model pembelajaran adalah
Serat Sabdajati. Nilai-nilai dari Serat Sabdajati tersebut dimasukkan dalam
pembelajaran melalui pendekatan nilai, salah satunya adalah VCT. Sedangkan
metode pembelajaran yang bisa digunakan adalah dengan metode pembelajaran
kooperatif tipe Grub Investigasi.
Daftar Rujukan
Adisusilo, Sutarjo. 2013. Pembelajaran Nilai Karakter konstruktivisme dan VCT
sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Pers.
Hamid, Abdul Rahman. 2014. Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak
Hasan, Hamid. Tanpa tahun. “Problematika Pendidikan Sejarah”. Handbook.
FPIPS-Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Kochhar, S.K. 2008.Pembelajaran Sejarah, Penerjemah Purwanta dan Yovita
Hardiwati. Jakarta: PT Grasindo.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2017. www.kpai.go.id. (diakses tanggal 4
April 2017).
Nurwibowo,Dasid. 2008. “Pesan-Pesan Dakwah Serat Sabdajati (Kajian Teks
Terhadap Buku Lima Karya Pujangga Ranggawarsito Karya Kamajaya)”.
Skripsi. IAIN Walisongo. Semarang.
Samani, M. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Siska, Yulia. 2015. Manusia dan Sejarah (Sebuah Tinjauan Filosofis).
Yogyakarta: Garudhawaca.
Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik. Bandung:
Nusa Media.
Wagiran. 2012. “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu
Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis Budaya).”
Jurnal Pendidikan Karakter, No. 3, pp. 330.
Wirawan, I. k. 2014. “Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran
Sejarah (Studi Kasus pada Peserta Didik di SMA N 1 Marga Tabanan).” eJournal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, Vol. 5, pp.
2.
•••
85
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
86
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
NILAI HISTORIS CANDI CETHO SEBAGAI SUMBER DAN MATERI
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BERBASIS BUDAYA LOKAL
Musa Pelu
Dosen Peneliti Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui nilai-nilai historis candi
Cetho yang mengandung isi atau muatan budi pekerti dalam budaya dan tradisi
lokal yang dapat dipergunakan sebagai sumber dan materi pendidikan budi pekerti
di sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan penelitian selama satu tahun.
Penelitian ini dilakukan secara eksploratif, yang mejadi tekanan adalah: 1). Nilai
budi pekerti dalam latar belakang historis Candi Cetho, 2) Nilai budi pekerti
dalam kebudayaan fisikCandi Cetho, 3) nilai budi pekerti dalam tradisi dan
budaya lokal masyarakat Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho
Penelitian ini merupakan studi eksplorasi yang bersifat deskriptif
kualitatif dengan pendekatan naturalistik dan eksplorasi. Teknik pengumpulkan
data dengan pengamatan langsung (observasi), wawancara mendalam, kajian
arsip, analisis historis, serta FGD. Analisis data digunakan metode analisis isi
(content analysis), yaitu menganalisis isi atau muatan budi pekerti dari nilai
historis candi Cetho yang dapat dijadikan sumber dan materi pendidikan budi
pekerti berbasis budaya lokal di sekolah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) nilai budi pekerti dalam latar
belakang historis Candi Cetho terdiri dari: mengembangkan potensi diri,
mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa keterbukaan, mampu
mengendalikan diri, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, meyakini
adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajarannya, mentaati ajaran
agama. (2) Nilai budi pekerti dalam kebudayaan fisik Candi Cetho terdiri
dari:meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaranya,
mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi,
menumbuhkan kejujuran, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki
rasa tanggung jawab, mampu mengendalikan diri, memiliki sikap saling
menghormati. (3) Nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat
Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho terdiri dari: meyakini
adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaran-Nya, memiliki rasa
tanggung jawab, memiliki kebersamaan dan gotong royong, mentaati ajaran
agama, memiliki rasa malu.
Kata kunci: Candi Cetho, Pendidikan Budi Pekerti, Budaya Lokal
•••
87
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
A. PENDAHULUAN
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang
bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilainilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui
kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah
afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional)
dan ranah skill/ psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data,
mengemukakan pendapat, dan kerja sama) (Zuriah Nurul, 2007).
Pendidikan Budi Pekerti (PBP) diberikan dalam kurikulum sekolah
mengingat semakin meningkatnya perilaku menyimpang di kalangan remaja yang
kebanyakan anak-anak usia sekolah. Penyimpangan-penyimpangan tersebut
merupakan salah satu indikasi bahwa PBP di sekolah belum optimal.
PBP dalam KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) dilaksanakan dengan mengintegrasikan PBP dalam
seluruh mata pelajaran khususnya mata pelajaran Sejarah di SMA dan SMK serta
mata pelajaran IPS Terpadu di SD dan SMP.
Sumber materi pelajaran dan pengayaan (enrichment) materi PBP dalam mata
pelajaran Sejarah salah satunya berasal dari budaya lokal. Basis budaya lokal
dalam PBP ini memiliki beberapa tujuan yang cukup strategis, antara lain: (1) dari
perspektif pendidikan, terutama pendidikan nilai, dengan memanfaatkan budaya
lokal sebagai sumber pembelajaran, maka peserta didik semakin disekatkan
dengan realitas kehidupan sebenarnya. Dengan demikian, peserta didik semakin
didekatkan dengan realitas kehidupan sebenarnya. Dampaknya, peserta didik
memiliki bekal keterampilan sosial, untuk hidup dalam masyarakat yang
sesungguhnya sesuai dengan tujuan pendidikan agar dapat memberikan
keterampilan hidup (life skill), (2) dari perspektif strategi kebudayaan, semakin
meningkatnya pengaruh globalisasi telah mereduksi nilai-nilai budaya lokal
maupun nasional. Budaya lokal memiliki potensi dan peran sebagai budaya
tandingan (counter culture) bagi dominasi budaya global yang dimitoskan sebagai
sesuatu tidak bisa dielekkan, (3) dari perspektif desentralisasi kebudayaan, ketika
budaya nasional sudah semakin tidak berdaya, budaya lokal memiliki potensi
dikembangkan sebagai bagian dari desentralisasi kebudayaan dalam otonomi
daerah (Joko Sutarso dan Bambang Murtiyoso,2008:119).
Candi Cetho merupakan bangunan bersejarah peninggalan Kerajaaan
Majapahit pada masa Raja Brawijaya V (wawancara dengan Bp Cipto, 17 Agustus
2013). Candi Cetho sebagai hasil budaya manusia memiliki banyak sekali maknamakna normatis dan religius yang terkandung dalam struktur fisiknya. Termasuk
tradisi dan adat istiadat yang berlaku pada masyarakat Dusun Cetho sebagai
implementasi dan pengaruh dari makna-makna normatis dan religius dari candi
Cetho tersebut. Makna-makna normatis dan religius serta tradisi masyarakat
Cetho tersebut merupakan potensi nilai yang dapat dijadikan sumber dan meteri
pendidikan budi pekerti.
Berdasarkan pemaparan latar belakang maka dilakukan penelitia terhadap
nilai budi pekerti dalam latar belakang historis Candi Cetho, nilai budi pekerti
dalam kebudayaan fisik Candi Cetho, nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya
lokal masyarakat Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nilai budi pekerti
dalam latar belakang historis Candi Cetho, nilai budi pekerti dalam kebudayaan
•••
88
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
fisik Candi Cetho, nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat
Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho
B. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan kawasan Candi Cetho di Dukuh Cetho, Desa Gumeng,
Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah. Waktu penelitian secara efektif
sekitar 8 bulan, sejak disetujui dan disahkan proposal penelitian sebagai dasar
dalam pelaksanaan penelitian. Jenis penelitian ini adalah studi eksplorasi yang
bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan naturalistik dan eksplorasi.
Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Dusun Cetho dan Pemerintah
Kabupaten Karanganyar, dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Karanganyar. Objek penelitian ini adalah nilai historis Candi Cetho
yang mengandung muatan budi pekerti.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan (1) wawancara mendalam, (2)
pengamatan langsung, dan (3) analisis isi. Teknik sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik purposive dan snowball. Validitas data dilakukan
dengan teknik trianggulasi, recheck dan peerdebriefing. Analisis penelitian
dilakukan dengan teknik interaktif dan motode analisis isi (content analysis).
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Nilai Budi Pekerti dalam Latar Belakang Historis Candi Cetho
Pembangunan Candi Cetho sebagai salah satu hasil budaya manusia
mempunyai faktor- faktor yang melatarbelakanginya, yaitu:
a. Aspek Politik
Candi Cetho dibangun pada tahun 1475 Masehi (Stutterheim terjemahan
Marto Subroto, 1930) pada massa pemerintahan Bhre Kertabhumi atau
Brawijaya V Kerajaan Majapahit dengan ditemukannya lambang Kerajaan
Majapahit (bintang bersegi).
Pembangunan Candi Cetho bertujuan untuk membuat rakyat jelata
tunduk dan patuh pada perintah raja dengan memasukkan nilai-nilai mistis
ke dalam pola kehidupan rakyat Majapahit.
b. Aspek Sosial
Pada saat kekuasaan kerajaan Majapahit berada di tangan Bhre
Kertabhumi atau sekitar tahun 1475 Masehi, agama Islam telah tersebar di
wilayah pesisir nusantara (Slamet Mulyono, 1979: 199). Kedatangan agama
Islam disambut baik oleh rakyat Majapahit. Perkembangan agama Islam
dalam Kerajaan Majapahit membawa pengaruh bagi kestabilan dan
keutuhan wilayah Majapahit yang berakibat lemahnya keyakinan rakyat
Majapahit terhadap Kultus Dewa Raja ini berarti lemah pula kekuasaan
politik Majapahit. Melihat fenomena tersebut, Bhre Kertabhumi berusaha
untuk menghambat meluasnya ajaran agama Islam. Salah satu usaha yang
dilakukannya untuk tetap menjaga masyarakat yang berpola Hinduisme
adalah dengan melalui cara seni budaya, dengan membuat dan melestarikan
tempat-tempat peribadatan yang berlatar belakang unsur-unsur Hinduisme,
seperti Candi Cetho.
c. Aspek Agama
Susunan fisik Candi Cetho menggambarkan perjalanan kehidupan
manusia dan pada teras yang ketiga belas sebagai simbol akhir dari
•••
89
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
perjalanan manusia (wawancara dengan Bp. Cipto, 17 Agustus 2013).
Digambarkan untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus melewati
berbagai macam rintangan dan cobaan dalam kehidupannya. Orang harus
benar-benar bersih dan suci untuk mencapai moksa atau kesejahteraan umat
manusia dalam beragama Hindu.
Latar belakang historis Candi Cetho memiliki nilai-nilai edukatif. Nilai
merupakan standar atau sifat utama yang sudah mendarah daging dan dianggap
penting atau diinginkan menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang
yang menjadi sumber kekuatan seseorang untuk berkehendak dan bersifat
mendalam, serta sering kali sulit untuk dirubah dan dijadikan sebagai patokan
sekaligus sebagai tujuan hidup.
Nilai yang terdapat dalam latar belakang historis Candi Cetho terdiri dari:
mengembangkan potensi diri, yang ditunjukkan Brawijaya V dalam membuat
karya seni budaya religius untuk melegitimasi kekuasaannya dihadapan rakyat
Majapahit; mengembangkan etos kerja dan belajar yang ditunjukkan rakyat
Majapahit selalu mematuhi dan melaksanakan semua perintah dan larangan
raja; keterbukaan, yang ditunjukkan dalam sikap rakyat Majapahit dalam
menerima kedatangan agama Islam; penggendalian diri yang ditunjukkan atas
masuknya Islam dalam kehidupan Kerajaan Majapahit sejak tahun 1448 ketika
majapahit diperintah Kertawijaya melalui cara-cara sembunyi; toleransi, yang
ditunjukkan dalam terbentuknya masyarakat muslim; keyakinan terhadap
Tuhan, yang ditunjukkan dalam sikap keyakinan terhadap Allah;
mengembangkan potensi diri, yang ditunjukkan dalam sikap dalam mencapai
tujuan manusia harus berusaha; bertaqwa kepada Tuhan, yang ditunjukkan
dalam sikap umat Hindu dalam menjalankan ajaran agama untuk mencapai
moksa; keterbukaan, yang ditunjukkan dalam sikap bangsa Indonesia dalam
menerima budaya Hindu yang terlihat dalam struktur bangunan candi.
Nilai-nilai yang terdapat dalam latar belakang historis Candi Cetho
berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia sehingga
nilai-nilai ini mengalami transformasi atau perubahan rupa (bentuk, sifat,
fungsi, dan sebagainya) dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali
unsur-unsurnya (Rustopo, 2007). Nilai yang terdapat dalam latar belakang
histories Candi Cetho yang terdiri dari mengembangkan potensi diri,
mengembangkan etos kerja dan belajar, rasa keterbukaan, mengendalikan diri,
toleransi, yakin terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bertaqwa kepada Tuhan,
memiliki kesesuaian dengan 18 nilai-nilai budi pekerti yang dikemukakan
Depdikbud yang terdiri dari meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan
selalu mentaati ajaran-Nya, mentaati ajaran agama, memiliki dan
mengembangkan sikap toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri,
tumbuhnya disiplin diri, mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa
tanggung jawab, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri,
mampu berpikir positif, mengembangkan potensi diri, menumbuhkan cinta dan
kasih sayang, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa
kesetikawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun,
memiliki rasa malu, menumbuhkan kejujuran, sehingga dapat digunakan
sebagai salah satu pengembangan nilai budi pekerti.
Transformasi atau perubahan nilai dalam latar belakang historis Candi
Cetho sebagai pengembangan nilai budi pekerti dapat di identifikasi nilai budi
•••
90
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pekerti yang terdiri dari: mengembangkan potensi diri, mengembangkan etos
kerja dan belajar, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri,
memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, meyakini adanya Tuhan Yang
Maha Esa dan selalu mentaati ajaranya, mentaati ajaran agama.
2. Nilai Budi Pekerti dalam Kebudayaan Fisik Candi Cetho
Kebudayaan fisik pada Candi Cetho terdiri dari susunan bangunan dan
relief. Candi Cetho mempunyai bentuk dan susunan bangunan yang
menyerupai bangunan Candi Sukuh, yaitu dibangun dalam bentuk teras-teras
bersusun, yang semakin ke belakang semakin ke atas. Jumlah teras pada Candi
Cetho ada 13 buah. Hal ini sesuai dengan mistik orang Jawa yang menganggap
bahwa bilangan ganjil adalah bilangan yang disakralkan dalam kehidupan
religius (wawancara dengan Bp. Cipto, 17 Agustus 2013). Teras-teras ini
disusun berderet dari arah Barat ke Timur dengan pintu masuk di sebelah
Barat, makin ke belakang makin tinggi terasnya dan teras tertinggi (paling
belakang) merupakan teras yang terpenting dan dianggap paling suci. Antara
teras yang satu dengan teras yang lain dihubungkan oleh gapura. Masingmasing halaman teras dipisahkan menjadi dua (kiri dan kanan) oleh jalan
setapak dari teras pertama menuju teras terakhir. Jalan masuk antar teras
dilapisi dengan susunan batuan terutama pada anak tangga dan ambang pintu
masuk. Sedangkan jalan yang membelah setiap teras hanya berupa jalan tanah
kecuali di teras-teras atas yang seluruh permukaan halaman dilapisi susunan
batuan (Observasi 24 Agustus 2013).
Pada teras VII merupakan teras yang terdapat banyak peninggalan baik
berupa gapura, arca maupun bentukan tatanan batu dan prasasti. Teras ini
mempunyai pintu masuk berupa gapura bentar dengan dinding di kirikanannya. Pada sisi kanan gapura terdapat tulisan Jawa kuno. Masing-masing
gapura dihiasi meru yang berjumlah tiga. Sebelum memasuki gapura di sisi
kanan dan kiri anak tangga paling bawah terdapat patung dwarapala. Terdapat
8 buah arca di teras ini yang terletak di belakang gapura VII, di depan gapura
teras VIII dan di belakang fitur. Terdapat juga alas kaki tangga berbentuk kurakura di bawah gapura masuk teras VIII. Di tengah halaman, berurutan dari
depan ke belakang, terdapat fitur yang terbuat dari batu-batu yang disusun
mendatar (rebah) yang membentuk pola tertentu.
Pada Teras XIII merupakan teras yang terakhir dan merupakan teras
paling suci. Pada teras ini terdapat bangunan induk yang berbentuk seperti tugu
atau warga sekitar menyebut stupa (wawancara dengan Bp. Cipto, tanggal 17
Agustus 2013).
Relief yang terdapat dalam Candi Cetho yaitu Relief Sudamala dan
Garudeya. Relief Sudamala menceritakan tentang Sadewa yang telah
membebasan Durga Ra Nini yang dikutuk Hyang Guru, sedangkan relief
Garudeya menceritakan tentang Garudeya yang membebaskan Dewi Winata
atas perbudakan Dewi Kadru (wawancara dengan Bp. Cipto, tanggal 17
Agustus 2013).
Kebudayaan fisik yang terdapat pada Candi Cetho memiliki nilai-nilai
edukatif. Nilai merupakan standar atau sifat utama yang sudah mendarah
daging dan dianggap penting atau diinginkan menurut keyakinan seseorang
atau kelompok orang yang menjadi sumber kekuatan seseorang untuk
•••
91
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
berkehendak dan bersifat mendalam, serta sering kali sulit untuk dirubah dan
dijadikan sebagai patokan sekaligus sebagai tujuan hidup.
Nilai yang terdapat dalam struktur bangunan Candi Cetho yaitu:
keyakinan terhadap Tuhan, yang ditunjukkan dalam bilangan ganjil yang
terdapat dalam jumlah teras Candi Cetho, yaitu 13 buah; religius, yang
ditunjukkan dalam pemujaan Kyai Krincing Wesi dan pemujaan lingga;
toleransi, yang ditunjukkan dalam sikap saling menghormati terhadap
seseorang yang bersemedi di teras X dan XI Candi Cetho.
Nilai yang terdapat dalam relief Sudamala di Candi Cetho yaitu:
religius, yang ditunjukkan sikap Sadewa yang menyerahkan keadaan pada
Hyang Widi dan membebaskan kutukan Durga Ra Nini dan Begawan
Tambapetra; jujur, yang ditunjukkan dalam sikap Sadewa yang tidak sanggup
untuk membebaskan kutukan Durga Ra Nini; kebersamaan dan gotong royong,
yang ditunjukkan dalam sikap Pandawa dalam melawan Kalantaka dan
Kalanjaya; toleransi, yang ditunjukkan dalam sikap Nakula dan Sadewa dalam
menghargai pendapat kakak-kakaknya.
Nilai yang terdapat dalam relief Garudeya di Candi Cetho yaitu:
tanggung jawab, yang ditunjukkan dalam sikap Garudeya dalam mencari Tirta
Amerta; sabar, yangditunjukkan dalam sikap Garudeya yang belum memakan
Wibawasu dan Supratika; saling menghormati, yang ditunjukkan dalam sikap
Garudeya terhadap Dewa Wisnu; kebersamaan dan gotong royong, yang
ditunjukkan dalam sikap kerja sama antara para dewa dan raksasa dalam
menemukan Tirta Amerta.
Nilai-nilai yang terdapat kebudayaan fisik Candi Cetho berkembang
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia sehingga nilai-nilai
ini mengalami transformasi atau perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan
sebagainya) dan atau struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain
dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya
(Rustopo, 2007). Nilai yang terdapat dalam kebudayaan fisik Candi Cetho
terdiri dari keyakinan terhadap Tuhan, religius, toleransi, jujur, kebersamaan
dan gotong royong, tanggung jawab, sabar, saling menghormati, memiliki
kesesuaian dengan 18 nilai-nilai budi pekerti yang dikemukakan Depdikbud
yang terdiri dari meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati
ajaran-Nya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap
toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri,
mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa tanggung jawab,
memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berpikir
positif, mengembangkan potensi diri, menumbuhkan cinta dan kasih sayang,
memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetikawanan, saling
menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa malu,
menumbuhkan kejujuran,sehingga dapat digunakan sebagai salah satu
pengembangan nilai budi pekerti.
Transformasi atau perubahan nilai dalam kebudayaan fisik Candi
Cetho sebagai pengembangan nilai budi pekerti dapat di identifikasi nilai budi
pekerti yang terdiri dari: meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu
mentaati ajaranya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap
toleransi, menumbuhkan kejujuran, memiliki kebersamaan dan gotong royong,
•••
92
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
memiliki rasa tanggung jawab, mampu mengendalikan diri, memiliki sikap
saling menghormati.
3. Nilai Budi Pekerti dalam Tradisi dan Budaya Lokal Masyarakat Dusun
Cetho sebagai Pengaruh Keberadaan Candi Cetho
Dalam kehidupan masyarakat sekitar Candi Cetho, terdapat banyak
tradisi dan budaya lokal yang dilakukan warga Dukuh Cetho akibat pengaruh
keberadaan Candi Cetho, diantaranya yaitu:
a. Upacara Galungan
Upacara Galungan merupakan hari raya umat Hindu untuk
memperingati kemenangan Dharma melawan a-dharma. Hari raya Galungan
jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan. Dharma mengandung
pengertian terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan yang baik.
Masyarakat Dusun Cetho melaksanakan upacara Galungan pada teras ke
sembilan Candi Cetho.
b. Upacara Dawuhan
Upacara Dawuhan biasa dilaksanakan masyarakat Dusun Cetho,
pelaksanaanya diadakan pagi hari setiap hari Sabtu Kliwon bulan Sura
setahun sekali. Upacara ini merupakan upacara persembahan sesaji kepada
sumber air agar ia tidak marah dan tetap memberi kemakmuran pada
masyarakat Dusun Cetho(wawancara dengan Bp. Cipto, tanggal 17 Agustus
2013).
Urut-urutan upacara Dawuhan masyarakat Cetho sebagai berikut:
1) Seluruh kaum laki-laki dewasa berkumpul di sendang dan masingmasing membawa sesaji yang sudah menjadi ketentuan
2) Kepala agama atau Sesepuh Dusun Cetho membakar dupa sambil
membaca mantra-mantra untuk memulai upacara
3) Peserta upacara Dawuhan meditasi sambi berdoa, seperti membaca
mantra berlangsung kurang lebih tiga puluh menit
4) Kepala agama atau Kepala Dusun yang memimpin upacara menyiramkan
air kembang setaman ke dalam sendang
5) Sesaji yang dibawa peserta dimakan bersama-sama di sekitar sendang
dan ada yang dibawa pulang.
c. Upacara Panca Wali Krama
Upacara tersebut dilaksanakan oleh masyarakat hindu di sekitar
candi. Upacara Panca Walikrama
Candi Ceto, merupakan upaya
mengharmoniskan alam semesta, buwana agung, dengan diri manusia,
buwana alit, sekaligus untuk memohon keselamatan dan kerahajengan
negeri ini. Ritual ini dilangsungkan bersamaan dengan upacara Modosiyo,
satu jenis ritual yang dilaksanakan tiap enam bulan di Candi Cetho oleh
warga Hindu Karangayar dan sekitarnya, sebagai ungkapan rasa syukur atas
rahmat yang selama ini diberikan kepada warga sekitar Gunung Lawu. Saat
berlangsung upacara, untuk memudahkan warga meletakkan sesaji, maka
pada tiap teras didirikan tempat sembahyang berbahan bambu. Lewat
upacara seperti ini, tentu diharapkan semua manusia menjadi kembali sadar.
Menyadari siapa dirinya sekaligus mampu memaknai setiap kejadian
sebagai wahana merenung sekaligus melakukan koreksi diri.
•••
93
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
d. Medang Siang
Setiap hari selasa kliwon umat hindu di sekitar Candi Cetho selalu
melakukan “Medang Siang” di dalam komplek Candi Cetho atau berdoa di
Candi Cetho. Upacara tersebut tidak hanya diikuti oleh umat hindu di
sekitar Candi Cetho tetapi juga umat islam, kristen dan yang lainya untuk
melakukan doa bersama di Candi Cetho. Meski yang berdoa di Candi Cetho
adalah dari berbagai umat beragama, mereka berdoanya tetap kepada Tuhan
Nya masing-masing sesuai dengan kepercayaan yang mereka
anut(wawancara dengan Bp. Cipto, tanggal 17 Agustus 2013).
Tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho memiliki nilai-nilai
edukatif. Nilai merupakan standar atau sifat utama yang sudah mendarah
daging dan dianggap penting atau diinginkan menurut keyakinan seseorang
atau kelompok orang yang menjadi sumber kekuatan seseorang untuk
berkehendak dan bersifat mendalam, serta sering kali sulit untuk dirubah dan
dijadikan sebagai patokan sekaligus sebagai tujuan hidup.
Nilai yang terdapat dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun
Cetho yaitu: keyakinan terhadap Tuhan, yang ditunjukkan dalam hari raya
umat Hindu untuk memperingati kemenangan Dharma melawan a-dharma;
tanggung jawab, yang ditunjukkan oleh Umat Hindu yang telah melaksanakan
kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan; keyakinan terhadap Tuhan, yang
ditunjukkan dalam upacara persembahan sesaji kepada sumber air agar ia tidak
marah dan tetap memberi kemakmuran pada masyarakat Dusun Cetho;
kebersamaan dan gotong royong, yang ditunjukkan oleh kaum laki-laki
berkumpul di sendang memakan sesaji bersama-sama; religius, yang
ditunjukkan oleh Kepala agama atau Sesepuh Dusun Cetho yang membaca
mantra-mantra untuk memulai upacara dan peserta upacara Dawuhan meditasi
sambi berdoa; keyakinan terhadap Tuhan, yang ditunjukkan dalam upaya
mengharmoniskan alam semesta, buwana agung, dengan diri manusia, buwana
alit, sekaligus untuk memohon keselamatan dan kerahajengan negeri ini;
memiliki rasa malu, yang ditunjukkan melalui upacara Panca Wali Krama
diharapkan semua manusia menjadi kembali sadar dan melakukan koreksi diri:
religius, yang ditunjukkan atas sikap Umat hindu yang berdoa di Candi Cetho
setiap selasa kliwon; toleransi, yang ditunjukkan sikap umat islam, kristen dan
yang lainya untuk melakukan doa bersama di Candi Cetho sesuai keyakinan
masing-masing
Nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi dan budaya lokal Dusun Cetho
berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia sehingga
nilai-nilai ini mengalami transformasi atau perubahan rupa (bentuk, sifat,
fungsi, dan sebagainya) dan atau struktur gramatikal menjadi struktur
gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsurunsurnya (Rustopo, 2007). Nilai yang terdapat dalam tradisi dan budaya lokal
Dusun Cetho terdiri dari keyakinan terhadap Tuhan, religius, tanggung jawab,
kebersamaan dan gotong royong memiliki rasa malu, toleransi, memiliki
kesesuaian dengan 18 nilai-nilai budi pekerti yang dikemukakan Depdikbud
yang terdiri dari meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati
ajaran-Nya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap
toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri,
mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa tanggung jawab,
•••
94
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berpikir
positif, mengembangkan potensi diri, menumbuhkan cinta dan kasih sayang,
memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetikawanan, saling
menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa malu,
menumbuhkan kejujuran,sehingga dapat digunakan sebagai salah satu
pengembangan nilai budi pekerti.
Transformasi atau perubahan nilai dalam tradisi dan budaya lokal
Dusun Cetho sebagai pengembangan nilai budi pekerti dapat di identifikasi
nilai budi pekerti yang terdiri dari: meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa
dan selalu mentaati ajaran-Nya, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki
kebersamaan dan gotong royong, mentaati ajaran agama, memiliki rasa malu.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Nilai budi pekerti dalam latar belakang historis Candi Cetho terdiri dari:
mengembangkan potensi diri, mengembangkan etos kerja dan belajar,
memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, memiliki dan
mengembangkan sikap toleransi, meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa
dan selalu mentaati ajaranya, mentaati ajaran agama.
2. Nilai budi pekerti dalam Kebudayaan fisik Candi Cetho terdiri dari:
meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaranya,
mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi,
menumbuhkan kejujuran, memiliki kebersamaan dan gotong royong,
memiliki rasa tanggung jawab, mampu mengendalikan diri, memiliki sikap
saling menghormati.
3. Nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho
sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho terdiri dari: meyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaran-Nya, memiliki rasa
tanggung jawab, memiliki kebersamaan dan gotong royong, mentaati ajaran
agama, memiliki rasa malu.
2. Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang diperoleh dapat
diajukan saran sebagai berikut:
1. Bagi guru IPS-Sejarahdi SMP dan SMA untuk dapat memanfaatkan hasil
penelitian ini terkait dengan nilai historis Candi Cetho sebagai sumber dan
materi pendidikan budi budi pekerti dan karakter.
2. Bagi Pemerintah (Depdikbud)di Kabupaten Karanganyar khususnya dan
pemerintah kota dan kabupaten di karesidenan Surakarta pada umumnya,
dapat lebih memanfaatkan budaya lokal sebagai sumber referensi dalam
mensukseskan kurikulum 2013 yang sangat menekankan pada pendidikan
budi pekerti dan karakter, melalui program-program dan kebijaknnya.
•••
95
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid. (2010). Model Penelitian Evaluasi Pendidikan Moral di
Universitas Muslim Indonesia Makasar. Disertasi doctor, tidak diterbitkan,
Universitas Negeri Yogyakarta
Abd.Rahman. (2004). Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipelogi kondisi, Kasus dan
Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Conny Semiawan dkk. (2003). Tata Krama Pergaulan. Jakarta: Balai Pustaka.
Cucu Lisnawati. (2009). Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Budi Pekerti,
dalam Jurnal Pendidikan dan Budaya: Educare, Edisi Agustus.
Dikpora Kota Surakarta. (2009). Pendidikan Budi Pekerti untuk SMP/MTs kelas
VII. Surakarta: Dikpora Kota Surakarta.
Ernan Rustiadi, dkk. (2011). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Franz Magnis Suseno. (1999). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup.
Geertz, Clifford. (1992). Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Goleman, Daniel. (1999). Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Kuntowijoyo. (2000). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Miles & Huberman. (1992). Analisis data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press
Moleong, L. J. (2000). Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya
Mulder, Niels. (1996). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muthohar, M. Aries Muthohar. (2001). Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat. Surabaya: Penerbit SIC.
Noeng Muhadjir. (2011). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Rake Sarasin
Nurul Zuriah. (2007). Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif
Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.
Pemerintah Kota Surakarta. (2004). Pendidikan Budi Pekerti Pada SMP di Kota
Surakarta. Surakarta: Pemerintah Kota Surakarta.
Poerwodarminto. (1984). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Projohutomo. (1953). Kebudayaan Hindu di Indonesia. Jakarta: JB. Wolters
Putnam, R.D. (1993). The Prosperous Community: Social Capital and Public
Life. The American Prospect. Vol.4, No.13.
Slamet Mulyono. (1979). Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara Karya Aksara.
Soekmono. (1981).Pengantar Sejarah Indonesia II. Yogyakarta: Yayasan
Kanisius.
Sri Agus. (2000). Sikap dan Perilaku Masyarakat Surakarta Pasca Kerusuhan
Mei 1989. Surakarta : Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
Stuterheim. (1930). Petunjuk ke Candi Sukuh dan Cetho. Terjemahan Marto
Subroto. Surakarta: De Bloksom.
•••
96
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Sulasmi,S. (2003). Kontribusi Perilaku Kelompok, karakteristik Anggota
Kelompok, dan Kepemimpinan pada Usaha Membangun Kualitas Sinergi.
Disertasi (draf). Bandung: ITB.
Tjakraatmaja, J.H. (2002). Manajemen Transformasi Pengetahuan Dalam Tim
dan Organisasi Belajar. Disertasi. Bandung: ITB.
Udin S. Winataputra dkk. (2011). Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Wojowasito. (1952). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta.
•••
97
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
98
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PERMAINAN TRADISIONAL SEBAGAI ALTERNATIF GAMES
BERBASIS BUDAYA DI ERA TERBUKA
Suriyanti Siagian
Magister Sains Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan
Suriyantisiagian@gmail.com
Abstrak
Permainan tradisional di era terbuka sekarang sedikit demi sedikit mulai
menghilang seiring merebaknya berbagai jenis games berbasis teknologi digital.
Hal ini tentu mengkhawatirkan mengingat permainantradisional seperti
marsimbak, marsimonjab, yeye, dan lainnya mempunyai cukup banyak manfaat
bagi generasi muda. Permainan tradisional sebagai alternatif games berbasis
budaya perlu diupayakan agar generasi masa kini tidak kehilangan akar
budayanya.
Kata kunci: permainan tradisional, games berbasis budaya, akar budaya
A. PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi di zaman modern sekarang telah banyak merubah
perilaku masyarakat Indonesia terutama anak-anak. Permainan tradisional seperti
marsimbak, marsimonjab, yeye‘bermain kelereng’, layangan ‘bermain layanglayang’, egrang, dan lainnya yang dulu sering kita jumpai di setiap sudut
kampung kini tak ada lagi karena tergantikan dengan permainan modern berbasis
hi-tech. Padahal permainan tradisional tersebut memiliki Nilai budaya tinggi dan
bermanfaat bagi perkembangan emosi sekaligus pertumbuhan anak-anak. Hal
menarik dari sejumlah dolanan tradisional diantaranya selalu melahirkan suasana
suka cita, kekompakan dan kerukunan pada anak-anak. Di dalam permainan
tradisional tersebut jiwa anak akan terlihat secara penuh lantaran ada ekspresi dan
luapan natural apa adanya. Suasana suka cita yang dibangun dalam permainan
tradisional melahirkan dan menghasilkan kebersamaan dan keguyuban yang tidak
dimiliki olehberbagai games modern saat sekarang. Baik permainan atau dolanan
tradisional yang menggunakan alat seperti egrang, bentik, bekelan,layangan dan
lainnya maupun tanpa alat seperti marsimbak, marsimonjabdan lainnya tetap saja
memberikan banyak pengaruh positif bagi perkembangan emosi dibanding dengan
berbagai permainan modern yang ada saat sekarang.
Meski berbagai dolanan tradisional berbasis budaya ini ditengarai
memiliki kemanfaatan
dan pengaruh positif bagi perkembangan emosi pada anak, ternyata tidak mudah
mempopularkan
kembali permainan tersebut sebagaimana jaman dulu lantaran jaman sekarang
merebak berbagai games berbasis digital yang dianggap lebih praktis dan modern.
Bagaimanapun kondisinya permainan tradisional yang merupakan warisan luhur
tetap harus diupayakan kelestariannya agar generasi yang akan datang tidak
kehilangan akar budayanya. Permasalahan yang ada sekarang, bagaimana caranya
untuk mempopulerkan kembali permainan tradisional tersebut sebagai salah
satu pilihan games meski kondisi saat ini dikepung dengan berbagai games
berbasis hi-tech. Masalah lain, apa manfaat dari bermain masing-masing dari
permainan tradisional berbasisbudaya tersebut.
•••
99
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
B. PEMBAHASAN
Secara umum dapat didefinisikan bahwa permainan tradisional merupakan
media bermain yang sudah ada sejak jaman dulu dan diwariskan secara turun
temurun kepada generasi berikutnya. Pengertian lain permainan tradisional adalah
permainan yang dimiliki oleh suatu daerah,yang pada umumnya berasal dari latar
belakang, tujuan atau dari legenda yangberkaitan dengan kehidupan sosial. Dalam
konteks ini yang dibicarakan adalah permainan tradisional khususnya yang ada di
daerah Jawa. Aktivitas bermain khususnya bermain permainan tradisional dapat
digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan
tertentu pada anak, semisal kemampuan bersosialisasi dengan orang lain,
kemampuan untuk berperilaku jujur, berkreativitas, mengembangkan daya nalarpikir, bertanggungjawab, dan kemampuan positif lain. Istilah bermain diartikan
sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan mempergunakan atau tanpa
mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian, memberikan informasi,
memberikan kesenangan, dan dapat mengembangkan imajinasi anak. Lain halnya
dengan games berbasis teknologi canggih yang cenderung dimainkan secara
individu akan mempengaruhi aspek sosial emosionalnya. Jika kebablasan
memainkan games dengan menggunakan gadged bias menyebabkan anak bersifat
individualis, tidak mau berbagi dan tidak belajar memahami orang lain dan kurang
atau tidak bisa berempati.
Lebih disayangkan lagi, kini jenis-jenis permainan tradisional tersebut
sudahjarang dimainkan anak-anak pada jaman modern sekarang.Kalaupun masih
ada yangmemainkan permainan tradisional tersebut, jenis permainannya pun
tertentu semisal nekeran karena popular digandrungi anak-anak dan kebanyakan
anak-anak di pedesaan yang memainkannya. Anak-anak jaman sekarang tidak lagi
tertarik dengan permainan-permainan tradisional, mereka lebih memilih
permainan modern yang bentuknya lebih menarik tetapi memiliki manfaat yang
lebih sedikit daripada permainan tradisional.Pada umumnya permainan modern
melatih anak menjadi individualis karena sebagian besar permainan modern hanya
dimainkan oleh satu orang.Selain itu permainan modern juga melatih anak untuk
menjadi konsumtif karena apabila mainan tersebut rusak, mereka harus membeli
mainan baru lagi.Maka, menjadi hal yang cukup menantang pada kondisi saat
sekarang untuk menjadikan permainan tradisional menjadi salah satu pilihan
permainan di jaman permainan yang berteknologi tinggi.Berikut paparannya lebih
lanjut.
1. Mempopulerkan Permainan Tradisional di Era Games Berbasis Hi-Tech
Smartphone, tablet, gadget dan berbagai perangkat canggih lain telah
menjadi bagian hidup dari masyarakat baik di pedesaan terlebih juga di perkotaan.
Sebagaimana yang diberitakan oleh majalah NAKITA (2013: 22), hasil penelitian
di Amerika Serikat menunjukkan anak usia sekolah menghabiskan paling tidak
7,5 jam sehari di depan televisi, komputer, smartphones atau jenis gadged
lainnya. Mereka mengakses gadged di jalan ke sekolah, di ruang tunggu dokter, di
kendaraan atau di tempat umum lainnya. Dari hasil penelitian itu juga terungkap,
di usia prasekolah (3 dan 4 tahun), ketika mereka mampu membaca, saat
bersamaan mereka juga ulai mengoperasikan tablet atau iPad. Kondisi tersebut
juga tidak jauh berbeda dengan anak-anak di Indonesia yang secara otomatis
langsung akrab dengan berbagai games yang bisa dimainkan dari perangkat
•••
100
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
canggih tersebut. Alhasil, tidak heran jika banyak kita temukan anak-anak
Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang tidak tahu apalagi mengenal dengan
adanya games atau permainan tradisional yang merupakan bagian dari budayanya.
Anak-anak jaman sekarang lebih popular dan familiar dengan games berbasis
teknologi canggih ketimbang mengenal budayanya. Pertanyaan selanjutnya, apa
yang bisa kita lakukan untuk mempopulerkan permainan tradisional yang dimiliki
bangsa Indonesia khususnya Jawa di era games online berbasis hi-tech tersebut?
Karena bagaimanapun membutuhkan upaya tersendiri untuk memperkenalkan
permainan tradisional kepada anak-anak generasi masa kini meski serbuan games
dengan teknologi tinggi mengelilingi. Tujuannya agar anak memiliki alternative
permainan lain, sehingga tidak hanya permainan dengan teknologi audio visual
gadged canggih yang mereka ketahui tetapi juga mau memainkan permainan
tradisional yang menjadi bagian dari budaya luhur bangsa. Cara yang bisa
dilakukan untuk mempopulerkan permainan tradisional di era games berbasis hitech diantaranya melalui basis keluarga, masyarakat dan instansi terkait semisal
instansi sekolah yang lebih banyak memiliki kewenangan terkait dengan
penyebaran keilmuan dan kebudayaan. Lebih lanjut akan diuraikan sebagai
berikut.
1) Berbasis Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terkecil yang terdapat beberapa orang
yang masih memiliki hubungan darah (disebut anggota keluarga).Keluarga
sebagai institusi pertama dan utama dalam pembentukan karakter dan kepribadian
anak memegangperanan penting dalam mengenalkan dan mengajarkan
kebudayaan asli Indonesia –dalam hal ini permainan tradisional- kepada anggota
keluarganya.Pempopuleran permainan tradisional ini bisa bermula dari
keluarga.Dalam hal ini, peran orang tua untuk mengenalkannya pada anakanaknya dapat dilakukan secara efektif. Harapannya dengan orang tua berperan
aktif memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anaknya,
keberlangsungan permainan tradisional akan tetap terjaga. Hal yang dapat
dilakukan oleh orang tua kaitannya dengan permainan tradisional ini adalah
dengan mengajarkan pola permainan dan nilai serta manfaat yang terkandung
dalam masing-masing permainan tradisional tersebut.
2) Berbasis Masyarakat
Pempopuleran permainan tradisional berbasis masyarakat dapat dilakukan
dengan memasifkan dan memunculkan grup-grup permainan tradisional yang
berakar dari komunitas masyarakat sehingga kesinambungan keberadaan
permainan tradisional terjaga dari generasi ke generasi (lintas generasi).Hal ini
tidak bisa terlepas dari kekompakan dan kebersamaan masyarakat dalam
mempopulerkan jenis-jenis permainan tradisional yang ada kepada penerus
generasi.Tokoh masyarakat dan pihakpihak yang terkait secara langsung
berkenaan dengan pengembangan kebudayaan daerah dalam bentuk permainan
tradisional memegang peranan yang cukup penting dalam pengupayaannya.Ini
semata-mata karena di masyarakat, para tokoh ataupun
penggerak masyarakat masih menjadi kunci utama dalam pelaksanaan kegiatan
apapun dalam masyarakat.
3) Berbasis Sekolah
•••
101
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pengenalan dan pengajaran permainan tradisional bisa dilakukan melalui
institusi formal yakni sekolah.Karena bagaimanapun, basis sekolah bisa menjadi
pintu utama dalam mengenalkan dan mengajarkan apapun termasuk upaya untuk
memperkenalkan dan mengajarkan budaya daerah yang dimiliki bangsa Indonesia
khususnya dalam bentuk permainan tradisional.
2. Beberapa Jenis Permainan Tradisional dan Manfaatnya
Banyak permainan tradisional yang dimiliki masyarakat Jawa, diantaranya
seperti marsimbak, marsimonjab, yeye, egrang dan lainnya. Berikut akan
dijelaskan mengenai masing-masing
permainan tradisional tersebut beserta manfaatnya.
1) Lompat Tali (Yeye)
Lompat tali adalah permainan tradisional yang populer dimainkan anak
perempuan.tetapi banyak juga anak laki-laki yang bisa memainkan lompat tali
ini.Permainan lompat tali di mainkan oleh minimal tiga anak.Dua anak memegang
tali dan seorang lainnya bermain terlebih dulu.Level ketinggian tali bervariasi,
dimulai dari ketinggian yang rendah kemudian semakin tinggi apabila mampu
melompat melewati tali.
2) Egrang
Egrang merupakan tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam
jarak tertentu di atas tanah.Egrang berjalan adalah egrang yang diperlengkapi
dengan tangga sebagai tempat berdiri, atau tali pengikat untuk diikatkan ke kaki,
untuk tujuan berjalan selama naik di atas ketinggian normal
(http://id.wikipedia.org/wiki/Egrang).Permainan tradisional egrang membutuhkan
peralatan yakni bambu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa digunakan
untuk bermain atau berjalan. Dalam bermain egrang ini bisa dilakukan secara
individu dan bisa juga dilakukan secara berkelompok yang biasanya berlomba
cepat-cepatan untuk mencapai garis
finishyang ditentukan. Permainan egrang membutuhkan keahlian khusus sehingga
diperlukan latihan terlebih dahulu sebelum memainkan atau bertanding dengan
yang lainnya.Selainkan keahlian khusus, diperlukan juga keseimbangan tidak
terjatuh dari egrang tersebut.
•••
102
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
3) Permainan bekel (Marsimbak)
Umumnya dimainkan oleh anak-anak perempuan tapi permainan ini juga bisa
dimainkan oleh anak laki-laki. Bekel merupakan permainan melontarkan bola ke
atas dan menangkapnya kembali.Tetapi pada saat bersamaan harus mengambil
atau mengubah posisi biji-biji yang ada sesuai peraturan tingkat kesulitan yang
dijalankan.Setelah menentukan giliran siapa yang mulai lebih dulu, permainan
dimulai dengan melemparkan bola keatas dan menghamparkan biji.Setelah bola
memantul sekali, bola harus diambil kembali.
Kemudian, pemain harus mengambil satu per satu biji yang terhampar secara
langsung.Setelah terambil semua, biji dihamparkan kembali dan diambil kali ini
sekaligus dua buah biji.Begitu selanjutnya sampai sejumlah biji yang
dimainkan.Setalah mengambil biji secara langsung selesai, maka kini pemain
harus mengubah biji menjadi bentuk tertentu sebelum diambil.Urutan posisinya
adalah pit (bentuk seperti kursi), ro (kebalikan posisi pit), cin (singkatan licin
yaitu posisi miring tanpa ada bintik di permukaan biji) dan peng (singkatan
bopeng yaitu posisi miring dengan ada bintik di permukaan biji).Biji yang
dipergunakan umumnya berjumlah 6 sampai 10 biji.Pemain akan kehilangan
gilirannya apabila bola memantul lebih dari sekali, tidak dapat menangkap bola,
lupa mengubah salah satu biji menjadi posisi tertentu saat sudah mencapai tahap
pit, ro, cin atau peng, atau menyentuh biji lain saat mengambil biji yang harus
diambil. Pemenangnya adalah yang mencapai tahap paling tinggi.
4) Petak Umpet
Satu orang pemain yang kalah akan menutup matanya pada salah satu tempat
yang dianggap sebagai benteng, sementara yang lain mencari tempat untuk
bersembunyi. Setelah menghitung sampai jumlah tertentu, maka mulailah pemain
yang menutup mata tersebut mencari tiap orang yang bersembunyi.Bila telah
menemukan orang yang bersembunyi, pencari ini harus cepat-cepat berlari ke
benteng sambil menyebut nama orang yang ketahuan persembunyiannya. Begitu
juga dengan anak yang ketahuan, karena bila berhasil lebih dulu menyentuh
benteng, maka pada tahap selanjutnya dia tidak akan jaga. Anak lain yang
bersembunyi dapat pula menyentuh benteng agar tidak jaga pada tahap
selanjutnya, asalkan tidak ketahuan dengan pencari.
Setelah semua telah ketahuan persembunyiannya, maka pencari akan menutup
matanya kembali pada benteng dan anak-anak lain membentuk barisan di
belakangnya. Pencari akan menyebut salah satu nomor. Anak yang ada di urutan
nomor yang disebut akan menjadi pihak yang kalah bila tadi dia tidak berhasil
lebih dulu mencapai benteng. Sedangkan bila anak pada urutan yang disebut
ternyata adalah anak yang berhasil mencapai benteng lebih dulu pada saat
ketahuan tempat persembunyiannya, maka si pencari tetap dalam posisi kalah dan
permainan dilanjutkan.
•••
103
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
4) dan lain-lain
Selain dalam bentuk permainan tradisional juga ada pilihan permainan tradisional
yang diwujudkan dalam bentuk tembang dolanan yang juga bisa dijadikan sebagai
alternatif permainan bagi anak-anak jaman sekarang.Contohnya gundul-gundul
pacul,jamuran, padhang mbulan, dan lain sebagainya.Berikut tembang syairnya.
Gundul-gundul pacul..cul, gemelelengan Kepala botak tanpa rambut ibarat
cangkul , besar kepala (sombong, angkuh)’ Nyunggi-nyunggi wakul...kul,
gemelelengan ‘Membawa bakul, dengan gayanya yang besar kepala (sombong,
angkuh)’ Wakul ngglimpang, segane dadi sakratanWakul ngglimpang, segane
dadi sakratan ‘Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan tidak
bermanfaat lagi’ Tembang Gundul-gundul Paculini dinyanyikan dan dimainkan
secara bersamasama, biasanya di pelataran sambil memegang kepala (gundul) dan
bergoyang badannya.Permainan dalam bentuk tembang tersebut menggambarkan
seorang anak yang nakal, bandel, sombong, angkuh, dan tidak bertanggung jawab.
Dia beranggapan bahwa dirinya orang yang paling benar, paling bisa, dan paling
pintar, sehingga dia bersikap sombong, dan tak tahu diri. Akibat dari
kesombongan dan keangkuhannya
itu maka kesejahteraan dan keadilan yang semestinya berhasil diraih akhirnya
menjadi hancur berantakan. Nilai makna yang terkandung bahwasanya sebagai
manusia kita tidak boleh sombong, angkuh dan merasa paling hebat karena dalam
hal ini terlihat bahwa orang yang sombong, angkuh, dan ceroboh akan membawa
kehancuran dan kegagalan, jika dipercaya maka jalankan amanah itu sebaikbaiknya agar membawa kemanfaatan.
Tembang dolanan lain yang biasanya juga dimainkan oleh anak-anak di pelataran
secara bersama-sama pada waktu terang bulan atau bulan purnama adalah
tembang Padhang Mbulan. Berikut syair dan makna yang terkandung di
dalamnya.
C. PENUTUP
Dari paparan di atas atas disimpulkan bahwa cara untuk mempopulerkan
permainan tradisional dapat dilakukan melalui basis keluarga, basis masyarakat
dan basis sekolah. Berikutnya, jenis-jenis permainan tradisional yang memiliki
nilai dan manfaat bagi perkembangan anak diantaranya permainan Marsimbak,
marsimonjab, yeye, egrang dan lainnya.Selain dalam bentuk permainan juga bisa
melalui tembang dolanan yang dimainkan secara bersama-sama.Manfaat dari
permainan tradisional diantaranya melatih kesabaran, kejujuran, konsentrasi,
melatih emosional, bersosialisasi, dan lainnya.
•••
104
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Daftar Pustaka
http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/06/11/memahami-lagu-cublaksuweng-yang-saratmakna564025.html (diakses November 2013).
http://id.wikipedia.org/wiki/Egrang (diakses bulan November 2013)
Mariani, Devi Ari. 2008. Bermain dan Kreativitas Anak pada Usia Dini, (Online),
(http://
deviarimariani.wordpress.com/2008/06/12/bermain-dan-kreativitas-anak-usiadini/, diakses
tanggal 3 November 2013)
Nakita. 2013 (No. 763/th.XV/11-17 November 2013). Meet My New Friend:
Gadget. Jakarta: Kompas Gramedia.
Tim. 2012.Keragaman Bahasa Ibu sebagai Penanda Kebhinekaan Budaya.
Bandung: Penerbit Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat.
•••
105
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
106
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PEMANFAATAN POTENSI SEJARAH LOKAL
DALAM PENULISAN BUKU PELAJARAN SEJARAH
Hendro Martono
SMK Negeri 1 Temanggung
hendromasmarto@gmail.com
Abstrak
Buku pelajaran “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X Semester
1” edisi 2014 maupun “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X” edisi
2016 menyajikan narasi sejarah Mataram Kuno secara sepintas. Sajian ini
dipandang dari sudut kepentingan nasional mungkin dianggap memadai. Akan
tetapi dihadapkan dengan data artefaktual dan tekstual yang tersedia di
Temanggung, narasi sejarah nasional kurang memberi ruang. Masalah yang perlu
dikemukakan bagaimanakah memanfaatkan potensi sejarah lokal dalam penulisan
sejarah yang digunakan dalam pembelajaran?
Makalah ini mengetengahkan gagasan untuk menyediakan suplemen berupa
bahan penulisan sejarah lokal yang dapat dijadikan materi penunjang dalam
pelajaran sejarah. Suplemen dipilih berdasarkan kajian narasi sejarah dalam buku
babon Sejarah Nasional Indonesia (terutama jilid II, edisi 2009), Buku Pelajaran
“Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X” (edisi 2016), dan potensi
kekayaan sejarah lokal khususnya di wilayah Kabupaten Temanggung.
Menggunakan kerangka kedua buku tersebut sebagai perbandingan terdapat
narasi yang rumpang pada materi buku pelajaran. Buku “Sejarah Nasional
Indonesia Jilid II” memuat kerangka penulisan sejarah Mataram Kuno yang
meliputi bidang politik pemerintahan dan keadaan masyarakat. Keadaan
masyarakat mencakupi landasan kosmogonis, struktur birokrasi, sumber
penghasilan kerajaan, ekonomi, hukum, dan kesenian sepanjang 150 halaman
lebih. Buku pelajaran “Sejarah Indonesia Kelas X” hanya memuat narasi
sepanjang 15 halaman.
Pada bagian yang rumpang itulah potensi sejarah lokal Temanggung dapat
dimasukkan. Walaupun tidak dapat selengkap narasi SNI, data tekstual prasasti
dari Temanggung dapatlah mengisi ruang-ruang kosong pada buku pelajaran.
Prasasti-prasasti Mantyasih (907), Rukam (907), dan Wanua Tengah III (908)
menyediakan data cukup memadai. Dengan demikian potensi kekayaan sejarah
lokal Temanggung dapat ditawarkan sebagai alternatif dalam penulisan buku
pelajaran sejarah yang akan digunakan dalam pembelajaran sejarah di wilayah
Kabupaten Temanggung.
Kata kunci : sejarah lokal, penulisan buku pelajaran
A. Latar Belakang Masalah
Konsiderans Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 8
Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan menyatakan
bahwa buku yang digunakan oleh satuan pendidikan baik buku teks pelajaran
maupun buku nonteks pelajaran harus sejalan dengan nilai Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan norma positif yang berlaku
di masyarakat; dan bahwa buku teks pelajaran merupakan perangkat operasional
utama atas pelaksanaan kurikulum; sedangkan buku nonteks pelajaran merupakan
•••
107
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sarana pendukung untuk memfasilitasi pelaksanaan, penilaian, dan pengembangan
pembelajaran bagi peserta didik dan pendidik sehingga harus memenuhi kriteria
buku yang layak digunakan satuan pendidikan.
Buku merupakan salah satu sumber belajar. Buku teks pelajaran khususnya
buku pelajaran sejarah dijadikan sumber belajar untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembelajaran (Permendikbud No 22 Tahun 2016). Keberadaan buku
pelajaran sejarah dengan demikian menjadi salah satu faktor penunjang
keberhasilan kegiatan pembelajaran. Untuk mencapai keberhasilan itu diperlukan
buku pelajaran yang memenuhi syarat atau kriteria tertentu. Misalnya wajib
memenuhi nilai/norma positif yang berlaku di masyarakat, antara lain tidak
mengandung unsur pornografi, paham ekstrimisme, radikalisme, kekerasan,
SARA, bias gender, dan tidak mengandung nilai penyimpangan lainnya
(Permendikbud no. 8 tahun 2016 pasal 2 ayat (2)).
Selain memenuhi nilai/norma positif yang berlaku di masyarakat buku teks
pelajaran maupun buku nonteks pelajaran wajib memenuhi kriteria penilaian
sebagai buku yang layak digunakan oleh satuan pendidikan (Permendikbud no. 8
Tahun 2016 pasal 2 ayat (3)). Kriteria buku teks pelajaran maupun buku nonteks
pelajaran yang layak digunakan oleh satuan pendidikan wajib memenuhi unsur a.
kulit buku; b. bagian awal; c. bagian isi; dan d. bagian akhir. Kulit buku pada
buku teks pelajaran dan buku nonteks pelajaran wajib memenuhi kulit depan
buku, kulit belakang buku, dan punggung buku.
Bagian awal buku pada buku teks pelajaran wajib memenuhi halaman judul,
halaman penerbitan, halaman kata pengantar, halaman daftar isi, halaman daftar
gambar, halaman tabel, dan penomoran halaman. Bagian isi buku pada buku teks
pelajaran wajib memenuhi aspek materi, aspek kebahasaan, aspek penyajian
materi, dan aspek kegrafikaan. Bagian akhir buku pada buku teks pelajaran wajib
memenuhi informasi tentang pelaku perbukuan, glosarium, daftar pustaka, indeks,
dan lampiran.
Buku pelajaran “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X” terbitan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena sudah melalui penilikan Tim
Penelaah dan Tim Penyelia Penerbitan dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Balitbang Kemendikbud dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat fisik buku
seperti kulit depan dan belakang, serta punggung buku. Begitu pun bagian awal
buku seperti halaman judul (ada), halaman penerbitan (ada), halaman kata
pengantar, dan halaman daftar isi, serta penomoran halaman. Hanya halaman
daftar gambar dan halaman tabel yang tidak ada pada buku ini.
Bagian akhir buku sebagaimana keharusan di atas juga dipenuhi buku ini
seperti pelaku perbukuan (dicantumkan profil penulis, penelaah, dan editor),
glosarium, dan daftar pustaka. Sayang buku ini tidak mencantumkan indeks.
Begitu pula, lampiran juga tidak ada. Mungkin karena dianggap tidak diperlukan
sehingga tidak disertakan. Sebenarnya lebih penting indeks dicantumkan, sebab di
samping menyusunnya mudah, juga karena manfaatnya yang memudahkan
pembaca mencari kata-kata yang diperlukan dengan cepat.
Akan halnya bagian isi buku pelajaran, ada keharusan memenuhi aspek
materi, kebahasaan, penyajian materi, dan aspek kegrafikaan. Dari empat
keharusan tersebut tampaknya hanya dua aspek yang dipenuhi, yaitu penyajian
materi dan kegrafikaan. Aspek materi, khususnya yang akan dijadikan fokus
•••
108
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
kajian dalam makalah ini dapat dinyatakan kurang memadai. Begitu pula aspek
kebahasaan berdasarkan telaah sepintas menemukan kesalahan-kesalahan bahasa.
Materi bab II dibagi dalam empat subbab yaitu A) Pengaruh Budaya India;
B) Kerajaan-Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha; C) Terbentuknya Jaringan
Nusantara; dan D) Akulturasi Kebudayaan. Pada bagian subbab B) khususnya
nomor 5 dimuat pembahasan tentang Kerajaan Mataram Kuno yang ternyata
kurang memberi tempat bagi kepentingan pembelajaran sejarah lokal. Mengingat
kekayaan potensi sejarah lokal (dalam hal ini Temanggung), masalah yang perlu
dikemukakan bagaimanakah memanfaatkan potensi sejarah lokal dalam penulisan
sejarah yang digunakan dalam pembelajaran?
B. Pembahasan
Mataram Kuno dalam Buku Pelajaran Sejarah
Buku pelajaran Sejarah Indonesia yang digunakan di SMK Negeri 1
Temanggung, khususnya untuk kelas X adalah “Sejarah Indonesia
SMA/MA/SMK/MAK Kelas X” (Lestariningsih dkk, 2016). Buku tersebut
merupakan edisi gabungan dari dua jilid penerbitan sebelumnya (Lestariningsih
dkk, 2014). Materi yang disajikan masih sesuai dengan Standar Isi
(Permendikbud. No. 24 Tahun 2016 Lampiran 46, hal. 1-2), meskipun belum
dapat mengakomodasi perubahan spektrum kurikulum pendidikan menengah
kejuruan.
Berkaitan dengan keberadaan Temanggung sebagai salah satu entitas daerah
yang menyumbang narasi sejarah, buku pelajaran “Sejarah Indonesia” belum
menyediakan ruang yang cukup. Khusus mengenai materi perkembangan
“Kerajaan Mataram Kuno”, buku pelajaran “Sejarah Indonesia” menyajikan narasi
secara sepintas. Sajian ini dipandang dari sudut kepentingan nasional mungkin
dianggap memadai karena harus berbagi tempat dengan 10 kerajaan lain di tanah
air. Akan tetapi dihadapkan dengan data artefaktual dan tekstual yang tersedia di
Temanggung, narasi dalam buku pelajaran “Sejarah Indonesia” kurang memberi
ruang.
Lebih dari itu uraian dalam buku pelajaran juga mengundang kritik.
Beberapa telaah mengenai isi buku pelajaran yang membahas Kerajaan Mataram
Kuno yang perlu dicermati misalnya pencantuman foto situs Liangan. Keterangan
gambar nomor 2.25 itu hanya tertulis “salah satu situs liangan, sisa peninggalan
Mataram Kuno” (Lestariningsih dkk, 2016: 111). Selain penulisan ejaan yang
tidak diperhatikan, keterangan gambar itu juga tidak lengkap karena hanya
menyebut nama tempat “Liangan”. Peserta didik maupun guru sejarah dari luar
wilayah Temanggung mungkin bingung mencari tempat yang disebut “Liangan”.
Ini sekaligus kerugian bagi Temanggung karena nama “Temanggung” tidak
disebut dalam buku.
Kritik berikutnya terdapat pada halaman yang sama (Lestariningsih dkk,
2016: 111). Paragraf pertama kalimat ke-2 tertulis, “Ada beberapa prasasti yang
berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti
Kalasan, Prasasti Klura (k), Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung”. Penyebutan
empat prasasti sebagai contoh sumber sejarah Mataram Kuno bisa dianggap
kurang memadai, namun dapat juga berarti memberi peluang bagi setiap daerah
untuk memperkaya daftar prasastinya. Klaten, Sleman, Magelang, Banjarnegara,
Wonosobo, di samping Temanggung dapat menambahkan daftar.
•••
109
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Paragraf ketiga pada halaman 112 terdapat kesalahan penulisan yang bisa
dinilai fatal. Kalimatnya tertulis, “Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram
Kuno pada tahun 717 – 780 M”. Jika penulisan ini mencantumkan sumber atau
acuannya
maka
kebenaran
maupun
ketidakbenarannya
dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis. Jika tidak, penulisannya perlu merujuk
pada sumber yang otentik. Prasasti Wanua Tengah III (Kamis Pahing, 1 Oktober
908 M) memberitakan bahwa Rakai Panangkaran naik tahta pada tanggal 4
Oktober 746 M. Jadi, tidak mungkin Sanjaya memerintah sampai tahun 780 M.
Deskripsi berikutnya paragraf pertama pada halaman 114 sebenarnya sudah
mencerminkan kehati-hatian dalam menempatkan keluarga Syailendra yang
beragama Budha dan yang masih beragama Hindu sebagai satu keluarga.
Tegasnya, penulis buku agaknya setuju bahwa di Jawa Tengah hanya ada satu
dinasti yang berkuasa yakni Dinasti Syailendra. Ini sejalan dengan narasi yang
terdapat pada buku babon sejarah nasional (Poesponegoro, Jilid II, 2009: 150)1.
Akan tetapi, penulis buku melakukan kesalahan pada waktu menuliskan soal Uji
Kompetensi nomor 1.
Soal yang ditulis pada bagian uji kompetensi itu tertera, “Carilah dari
kliping koran atau juga dari internet, peninggalan candi-candi pada masa Sanjaya
maupun Syailendra dan ceritakan!” (Lestariningsih dkk, 2016: 119). Kalimat soal
ini selain salah nalar sehubungan dengan susunan kalimatnya, juga menimbulkan
pertentangan pendapat karena menempatkan nama Sanjaya dan Syailendra secara
diametral. Meskipun penghadapan nama “Sanjaya” dan “Syailendra” vis a vis
tidak tepat, kalimat tersebut juga menunjukkan ketidakkonsistenan penulis dalam
mengemukakan konsep sejarah.
Ketidakkonsistenan penulis dalam mengetengahkan konsep “dinasti” juga
tampak pada kalimat, “Candi Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari
Dinasti Syailendra pada abad ke-9” (Lestariningsih dkk, 2016: 115). Penyebutan
dinasti asal bagi raja mengesankan bahwa jika tidak disebut demikian akan
menimbulkan dugaan Samaratungga berasal dari dinasti lain. Padahal dinasti lain
tidak ada, sejauh pendapat yang dikemukakan dalam buku babon sejarah nasional
(SNI).
Catatan berikutnya adalah mengenai nama diri raja. Dalam buku pelajaran
tertulis nama “Pikatan”; “Rakai Pikatan”; dan “Raja Pikatan” (Lestariningsih dkk,
2009: 114); serta “Kayuwangi atau Dyah Lokapala” (Lestariningsih dkk, 2009:
118). Penyebutan nama “Pikatan” atau “Rakai Pikatan” atau “Raja Pikatan”
mengesankan bahwa nama itu adalah nama pribadi raja. Salah kaprah ini ternyata
tidak hanya ada dalam buku ini. Penulis artikel sejarah tentang asal-usul
Temanggung di laman http://temanggungkab.go.id pun menulis kalimat pembuka,
“Sejarah Temanggung selalu dikaitkan dengan raja Mataram Kuno yang bernama
Rakai Pikatan”.
Berdasarkan telaah atas asal-usul “rakai” dan atau “kerakaian” didapat
keterangan bahwa nama “Rakai Pikatan” bukanlah nama pribadi (garbhanama)
ataupun namabhiseka melainkan nama jabatan dan daerah lungguhnya yang
disebut watak. Kartakusuma (1983: 7) yang mengutip Damais menyebutkan ada
52 orang pemegang gelar rakai, 26 di antaranya menjadi penguasa daerah. Di
1)
Meskipun dalam buku SNI telah dinyatakan hanya ada satu dinasti di Jawa Tengah,
gagasan keberadaan dua dinasti masih berkembang. Lihat, misalnya Santiko (2013)
•••
110
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
antara 26 pemegang gelar rakai terdapat nama kerakaian Pikatan, Kayuwangi,
Watuhumalang, Watukura, Panangkaran, Panunggalan, Warak, dan Garung.
Jika “Pikatan”; “Rakai Pikatan”; maupun “Raja Pikatan” bukan
garbhanama, siapakah nama pribadinya? Data prasasti dari Temanggung yakni
Prasasti Wanua Tengah I (Kode D81 di Museum Nasional Jakarta, bertarikh 7
November 863 M) menyebutkan, “//Swasti sakawarsatita 785 jistamasa tithi
pancami krsnapaksa. pa.ka.wr.wara hana yy umahnya tatkala rakai pikatan pu
manuku manusuk sima ri wanua tangngah” (Martono, 2017: 244). Berdasarkan
keterangan tersebut ternyata yang menjabat rakai di Pikatan pada masa itu
bernama Pu Manuku.
Menariknya, nama Pu Manuku lebih dahulu muncul dalam Prasasti
Munduan (Kamis Legi, 21 Januari 807 M). Apakah kedua nama (Pu Manuku)
tersebut berasal dari satu pribadi ataukah dua pribadi namun dengan nama yang
“nunggak semi”, menarik untuk diteliti. Jika selisih masa dua prasasti (Munduan
dan Wanua Tengah 1) tersebut berjangka 56 tahun, mungkinkah orangnya sama?
Yang jelas, ada nama “Pikatan” lain selain Pu Manuku, yakni Sri Maharaja Rakai
Pikatan (dalam Prasasti Mantyasih) atau Rake Pikatan Dyah Saladu (dalam
Prasasti Wanua Tengah III).
Penyebutan “Kayuwangi atau Dyah Lokapala” (Lestariningsih dkk, 2016:
118) sebenarnya juga perlu dibetulkan. Penulisan itu mengesankan seolah-olah
“Kayuwangi” adalah nama lain dari “Dyah Lokapala”. Berdasarkan telaah nama
“Kayuwangi” lebih mungkin menunjuk nama daerah lungguh atau nama watak
(Kartakusuma, 1983: 8).Dengan demikian nama “Dyah Lokapala” itulah yang
menjadi nama pribadi. Ini misalnya dapat dilihat dalam Prasasti Wanua Tengah 3
yang menyebutkan, “…. Mangdiri rake kayuwangi dyah lokapala mataher tan
uwah…” (Kusen, 1989; Boechari, 2012).
Kritik berikutnya tertuju pada deskripsi yang dimuat pada halaman 118.
Tertulis kalimat, “… Tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh
Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah
Balitung…” (Lestariningsih, 2016: 118). Penulisan buku sejarah dalam posisi
sebagai buku pelajaran yang dipakai di seluruh Indonesia benar-benar ceroboh.
Walaupun bukunya terbitan 2016 rupanya belum ada usaha mereviu isi buku
sehingga tetap ada kesalahan yang berulang.
III
Mataram Kuno di Temanggung
Kerajaan Mataram Kuno dibahas secara luas dalam buku Sejarah Nasional
Indonesia (Poesponegoro dkk, 2009, jilid II, edisi pemutakhiran). Berada pada bab
IV dan terbagi dalam tiga subbab mulai dari halaman 113 sampai dengan 278.
Jadi sekitar 165 halaman. Subbab A tentang Wangsa Sailendra dengan
pembahasan meliputi asal-usul Wangsa Sailendra, Kerajaan Ho-ling dan
Kanjuruhan, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, serta Rakai Panangkaran dan
pengganti-penggantinya. Subbab B tentang Wangsa Isana dengan pembahasan
tentang asal-usul Wangsa Isana, Dharmmawangsa Teguh, dan Airlangga. Subbab
C digunakan untuk membahas dimensi sosial yaitu keadaan masyarakat. Keadaan
masyarakat ditinjau dari segi landasan kosmogonis, struktur birokrasi, sumber
penghasilan, ekonomi, hukum, dan kesenian.
Bagian pertama bab IV tersebut, oleh karena mengupas dinamika politik dan
pemerintahan para raja Mataram Kuno, hampir tidak ada tempat bagi
•••
111
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Temanggung untuk turut berbicara. Meskipun begitu karena beberapa sumber
sejarah (prasasti) berasal dari Temanggung mau tidak mau akan menyebutkan
juga nama Temanggung seperti Prasasti Gondosuli 1 dan 2. Demikian pula,
Prasasti Kayumwungan (D27 & D34), Prasasti Mantyasih (D40 dan E19), Prasasti
Tulang Air 1 dan 2 (D7 dan D30), Prasasti Tru i Tpussan 1 dan 2 (D39 dan
D107), Prasasti Alih Tinghal (D83), di samping prasasti koleksi BPCB
Prambanan yakni Prasasti Airpulyan (866 M), Prasasti Rukam (907 M), dan
Prasasti Wanua Tengah 3 (908 M). Tidak kurang dari 24 buah prasasti ditemukan
di Temanggung.
Di samping menggambarkan dinamika politik yang tinggi dalam persoalan
internal istana Mataram Kuno, misalnya soal suksesi, identifikasi tokoh raja-raja
Mataram Kuno sebenarnya juga belum dapat dikatakan memuaskan. Ini
disebabkan oleh keterbatasan sumber data pada periode-periode tertentu, misalnya
sepeninggal Sanjaya dan kemudian Rakai Panangkaran, masa selanjutnya
merupakan masa yang kering data untuk mengetahui lebih banyak tentang Rakai
Panaraban, Rakai Warak, Dyah Gula, dan Rakai Garung.
Bagian kedua dari Bab IV SNI membahas Dinasti Isyana. Meskipun Pu
Sindok masih kerabat istana Mataram Kuno dengan menduduki jabatan Hino dan
Halu, ia dianggap mendirikan kulawangsa baru. Karena periode ini Mataram
berpindah ke Jawa bagian timur yang berarti juga bergesernya pusat
pemerintahan, Temanggung tidak ada lagi dalam diskusi topik ini. Akan menarik
membicarakan bagian ketiga Bab IV ini yaitu tentang keadaan masyarakat. Ini
pun dengan catatan bahwa kajian-kajian tentang landasan kosmogonis juga tidak
akan berkaitan dengan keberadaan Temanggung.
Kabupaten Temanggung mempunyai tempat sendiri dalam khasanah sejarah
nasional. Temanggung menyumbang narasi sejarah sejak masa praaksara hingga
pascakemerdekaan (Wulandari, 2017). Temuan artefak yang mewakili zaman
kebudayaan megalitikum seperti lumpang batu, sarkofagus (Martono, 2017), dan
arca yang bersifat antropomorfis (Suhadi, 2009), terdapat di wilayah Kabupaten
Temanggung. Penemuan nekara perunggu dari Desa Tanurejo Kecamatan Parakan
Kabupaten Temanggung (Poesponegoro dkk, 2009: 298) menegaskan keberadaan
Temanggung dalam panggung sejarah nasional, khususnya dalam periode zaman
praaksara.
Penemuan fragmen tengkorak individu F1 Liangan (menurut kode data
penelitian situs) yang disimpulkan sebagai individu yang diperkirakan berusia
antara 18 dan 22 tahun; kemungkinan berjenis kelamin perempuan; mengalami
caries pada giginya; giginya sudah dipangur; dengan afinitas populasi individu
Liangan F1 berdasarkan penilaian pada karakter morfologi tersebut memiliki ciri
rasial campuran yaitu karakter Mongoloid yang kuat dengan beberapa karakter
Australo-Melanesid Berdasarkan hasil pengelompokan cluster analysis, dapat
diketahui bahwa individu Liangan F1 berada di percabangan antara populasi
Mongoloid di Asia Tenggara Kepulauan dan Daratan, dengan populasi AustraloMelanesoid di Pasifik dan Asia Tenggara Kepulauan (Noerwidi, 2014: 307-311).
Secara umum dapat dinyatakan bahwa persebaran artefak dari masa
praaksara di Temanggung tidak terlalu merata. Temuan-temuan seperti yang
disebutkan di atas baru tercatat di Kecamatan Bansari, Kranggan, Tlogomulyo,
Temanggung, Kandangan, Kedu, dan Bulu. Sarkofagus baru ditemukan di
Kecamatan Kaloran, arca ditemukan di Kecamatan Ngadirejo. Dengan demikian
•••
112
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Temanggung baru 40% yang sudah
diketahui. Keadaannya berbeda dengan peninggalan / artefak dari masa Hindu.
Dari 20 kecamatan di wilayah Kabupaten Temanggung, 18 kecamatan
menyimpan artefak.
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia jika Indonesia dinyatakan
memasuki masa aksara (masa sejarah) pada abad V menyusul penemuan Prasasti
Yupa dari Kutei, Temanggung memasuki masa sejarahnya pada abad IX. Ini
berkat penemuan Prasasti Munduan yang bertarikh Kamis Legi, 21 Januari 807.
Untuk pertama kali termuat dalam prasasti gelar “Rakai”. Pencantuman gelar
rakai pada prasasti ini lebih tua daripada yang diduga oleh Kartakusuma (1983:2)
yang menyebut Prasasti Kayumwungan (Kamis Legi, 26 Mei 824). Nama tokoh
yang memberi perintah penerbitan prasasti adalah Rakai Patapan Pu Manuku
(Kuntayamah, 2009).
Suplemen Sejarah Lokal
Mempertimbangkan kekayaan potensi sejarah lokal di Temanggung akan
menjadi sayang jika tidak dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran sejarah. Dasar
pertimbangannya ada dua, yang pertama, peninggalan purbakala di Temanggung
meskipun sudah banyak yang didaftarkan sebagai benda cagar budaya atau
struktur, bangunan, dan situs cagar budaya namun pengetahuan masyarakat
tentang keberadaannya masih rendah. Sementara benda-benda peninggalan itu
rawan mengalami kerusakan atau bahkan hilang, dan pengetahuan masyarakat
yang masih terbatas jika tidak segera dikenalkan akan semakin jauh jarak antara
masyarakat dan kekayaan sejarah di daerahnya sendiri.
Pertimbangan kedua, sebenarnya pernah muncul gagasan dalam bentuk
konsep tentang prinsip-prinsip pembelajaran sejarah dalam dokumen awal
pemberlakuan Kurikulum 2013. Dalam prinsip-prinsip tersebut dinyatakan :
a) Mengembangkan proses pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan
dan keterampilan di semester awal (pertama dan kedua) sehingga peserta
didik memahami konsep-konsep utama sejarah, menguasai keterampilan
dasar sejarah, dan memantapkan penggunaan konsep utama dan keterampilan
dasar ketika mereka mempelajari berbagai peristiwa sejarah di semestersemester berikutnya (semester ketiga – keenam);
b) Setiap peristiwa sejarah dirancang sebagai kegiatan pembelajaran satu
semester dan bukan kegiatan satu pokok bahasan. Untuk itu maka peserta
didik secara kelompok atau individual dapat memilih mempelajari satu atau
lebih peristiwa sejarah secara mendalam. Hasil pendalaman tersebut
dipaparkan di depan kelas sehingga peserta didik lain memiliki pengetahuan
dan pemahaman peristiwa sejarah lainnya secara garis besar berdasarkan
laporan kelas peserta didik;
c) Proses pembelajaran sejarah memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menggunakan berbagai sumber seperti buku teks, buku referensi, dokumen,
narasumber, atau pun artefak serta memberi kesempatan yang luas untuk
menghasilkan “her or his own histories” (Borries, 2000);
d) Peserta didik diberi kebebasan dalam memilih peristiwa sejarah nasional untuk
setiap strands dan peristiwa sejarah daerah yang terkait dengan strands yang
dibahas. Sejak awal tahun, guru sejarah di SMA/MA, SMK/MAK sudah
harus menentukan berapa banyak peristiwa sejarah tingkat nasional dan
•••
113
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
tingkat daerah yang harus dipelajari peserta didik dalam satu rancangan
keseluruhan pendidikan sejarah.
Pada prinsip yang keempat itulah sebenarnya gagasan ini didasarkan, yaitu
pada topik-topik sejarah nasional, dalam hal ini mengambil topik sejarah Kerajaan
Mataram Kuno, dapat ditambahkan materi sejarah lokal. Ini dapat dimulai dari
pengidentifikasian Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Perlu diketahui bahwa
mulai tahun pelajaran 2017/2018 terjadi perubahan spektrum kurikulum SMK
sehingga mengubah peta pembelajaran sejarah Indonesia. Perubahannya sangat
mendasar karena pembelajaran sejarah Indonesia sebelumnya diberikan dari kelas
X sampai dengan kelas XII dengan total KD sebanyak 28 (8+11+9), sekarang
dipangkas hanya sampai di kelas X meskipun dengan penambahan 1 jam pelajaran
(menjadi 3 x 45 menit) dengan jumlah KD mencapai 13 poin.
•••
114
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Kompetensi Dasar (pengetahuan, KI-3) setelah mengalami perubahan
spektrum dan kemungkinan menambahkan suplemen sejarah lokal Temanggung
dapat diperiksa tabel berikut.
No
Kompetensi Dasar
Suplemen Materi Sejarah Lokal
1 3.1 Memahami konsep dasar sejarah
(berpikir kronologis, diakronik,
sinkronik, ruang dan waktu serta
perubahan dan keberlanjutan)
2 3.2 Menganalisis kehidupan manusia
Kehidupan masa praaksara di
dan hasil-hasil budaya masyarakat Temang-gung berdasarkan temuan
artefak lumpang batu (di
Pra Aksara Indonesia
Temanggung, Bansari, Kranggan,
Kandangan, Tlogomulyo),
sarkofagus (Kaloran), arca
(Ngadirejo), nekara (Tanureja
Bansari)
3 3.3 Menganalisis berbagai teori
Kehidupan masa klasik (Hindutentang proses masuknya agama
Buddha) berdasarkan temuan
dan kebudayaan Hindu dan Buddha benda cagar budaya di 18
serta pengaruhnya terhadap
kecamatan, struktur cagar budaya
kehidupan masyarakat Indonesia
di Bulu dan Ngadirejo, dan situs
(pemerintahan, budaya)
cagar budaya di Ngadirejo di
samping temuan prasasti-prasasti
dari Temanggung
4 3.4 Menganalisis berbagai teori
Persebaran dan perkembangan
tentang proses masuknya agama
Islam di Temanggung berdasarkan
dan kebudayaan Islam serta
temuan benda cagar budaya, dan
pengaruhnya terhadap kehidupan
bangunan cagar budaya
masyarakat Indonesia (ekonomi,
pemerintahan, budaya)
Pengidentifikasian sumber-sumber sejarah, dalam hal ini sejarah Mataram
Kuno, dapat dilakukan dengan membuat dua irisan. Irisan pertama, jika prasastiprasasti Gondosuli, Tulang Air, Tru i Tpussan, Mantyasih, Rukam, dan Wanua
Tengah telah dipakai sebagai referensi dalam penulisan sejarah nasional, sejarah
lokal Temanggung dapat memakai prasasti yang belum digunakan, misalnya
Prasasti Munduan, Prasasti Sucen, Prasasti Tlasri (Vangkud), dan lain-lain. Akan
tetapi cara ini akan berakibat mengesampingkan prasasti-prasasti yang telah
disinggung di atas sedangkan prasasti itu lebih penting.
•••
115
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
No
1
2
3
4
Prasasti
Konteks Politik (Raja naik tahta)
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (716 M)
2. Rakai Panaṅkaran ( 4 Oktober 746 M)
3. Rakai Panaraban ( 6 Maret 784 M)
4. Rakai Warak dyah Manara ( 3 Maret 803 M)
P. Munduan (21-01-807 M)
P. Gondosuli II (823 M)
P. Kayumwungan (26-05-824 M)
P. Gondosuli I (07-05-827 M)
5. Dyah Gula (26 Juli 827 M)
6. Rakai Garuṅ (14 Februari 829 M)
5
6
7
8
9
P. Tru i Tpussan I (11-11-842 M)
P. Tru i Tpussan II (11-11-842 M)
P. Sucen I (19-03-843 M)
P. Sucen II (19-03-843 M)
P. Sucen III (19-03-843 M)
10
11
12
P. Lurah (E14) (850 M)
P. Tulang Air I (15-06-850 M)
P. Tulang Air II (15-06-850 M)
13
14
P. Wanua Tengah I (10-06-863 M)
P. Wanua Tengah II (10-06-863
M)
P. Tlasri (28-06-864 M)
P. Airpulyan (10-10-866 M)
P. Kuncen Wetan (06-12-878 M)
P. Alih Tinghal (883 M)
15
16
17
18
7. Rakai Pikatan dyah Salaḍū (6 Maret 847 M)
8. Rake Kayuwaṅi dyah Lokapāla (27 April
855 M)
9. Dyah Tagwas (17 Februari 885 M)
10. Rake Panumwaṅan dyah Dewendra (25-08885)
11. Rake Gurunwaṅi dyah Bhadra (18 Januari
887)
12. Rakai Wuṅkalhumalaṅ dyah Jǝbaṅ (894 M)
13. Rakai Watukura dyah Balituṅ (10 Mei 898
M)
19
20
21
P. Telahap (11-03-899 M)
P. Mantyasih I (11-04-907 M)
P. Mantyasih II (D.40) (11-04-907
M)
22 P. Mantyasih III (E.19) (11-04907 M)
23 P. Rukam (19-10-907 M)
24 P. Wanua Tengah III (01-10-908
M)
Sumber: Hendro Martono, 2016
•••
116
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Oleh karena itu irisan kedua lebih baik dilakukan, yaitu dengan mengupas
bagian prasasti yang belum dikaji dalam penulisan sejarah nasional. Seperti pada
contoh, buku pelajaran sejarah menitikberatkan penyajian aspek politik dan
budaya, sehingga sejarah lokal dapat mengenalkan aspek lain seperti aspek sosial,
ekonomi, dan budaya. Sebagai ilustrasi, Prasasti Rukam (Senin Pahing, 19
Oktober 907) yang berisi tentang peresmian desa Rukam sebagai desa sima,
dalam perspektif sejarah nasional mungkin hanya akan dilihat dari sisi raja yang
memerintahkan menerbitkan prasasti, siapa pejabat kerajaan yang hadir, dan apa
konteks politiknya bagi raja.
Dalam perspektif sejarah lokal, Prasasti Rukam tidak hanya menarik dari
sisi politik, aspek-aspek lain ternyata juga perlu dipertimbangkan. Misalnya, pada
waktu dilaksanakan upacara penetapan sima tentu selain pejabat kerajaan juga
diundang para pejabat dari tingkat watak maupun wanua. Lebih-lebih juga
diundang para saksi dari desa-desa yang berbatasan (wanua i tpi siring). Dalam
hal ini, penggalian data tentang desa itu ternyata tidak hanya menghasilkan daftar
para pejabat desa namun juga keletakan desa-desa itu.
Kartakusuma (1981: 103-109) dalam upaya melokasikan Desa Rukam (desa
yang dijadikan sima) juga memulai dengan mengidentifikasi desa-desa
perbatasannya. Ada 8 desa perbatasan Desa Rukam, yaitu :1) Desa Patapan; 2)
Desa Pamigaran; 3) Desa Mantyasih; 4) Desa Wanua Galuh; 5) Desa Wunut; 6)
Desa Wuat Gunung; 7) Desa Wungkal Anak; dan 8) Desa Kedu. Berdasarkan
sistem pemukiman yang menganut pola panyatur desa ataupun pangasta desa
maka ke-8 desa perbatasan tersebut termasuk dalam pola pangasta desa.
Berdasarkan pola keletakan desa tersebut, Prasasti Gondosuli memberitakan
bahwa desa-desa perbatasan itu disebut secara berurutan, dan dimulai dari arah
timur kemudian mengikuti pola arah pradaksina. Kartakusuma sampai pada
simpulan bahwa Desa Rukam terletak di antara Desa Kedu dan Desa Mantyasih.
Karena Desa Rukam itu pada dasarnya wanua i Rukam wanua i Jro Kartakusuma
menyimpulkan bahwa pusat kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Dyah
Balitung berada di Kedu.
Aspek lain dari desa-desa yang telah disebut adalah pejabatnya. Disebutkan
dalam prasasti bahwa utusan dari Desa Patapan yang datang adalah seorang
kalima yang bernama Dawa, ayah Dewara. Parujarnya bernama si Hyun, ayah
Mupu. Dari Desa Pamigaran yang datang adalah seorang kalima bernama si
Gahat, ayah Simpuh. Datang bersama si Gahata ini adalah seorang gusti dari Desa
Pamigaran bernama si Siwangita, ayah Satyaka. Dari Desa Mantyasih yang datang
adalah seorang kalima bernama si Punjang, ayah Bahad, bersama gustinya yang
bernama si Kara, ayah Labdha, dan lain-lain (Kartakusuma, 1981:35).
Bahan suplemen yang berbasis sejarah lokal ini apabila telah diterapkan
dalam kegiatan pembelajaran dapat pula dicobakan dalam kegiatan evaluasi.
Dalam dua tahun ini, beberapa soal sejarah yang bersifat lokal telah diujikan
kepada peserta didik. Contoh soal seperti di bawah.
No Kelas
Soal
Kunci
1
X
Indonesia memasuki zaman sejarah (mengenal tulisan) pada abad V.
Temanggung memasuki zaman sejarah pada abad ….
A. ke-5 (403)
B. ke-6 (504)
C. ke-7 (605)
•••
117
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
D. ke-8 (706)
E. ke-9 (807)
Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat
digunakan sumber berupa prasasti. Salah satu prasasti yang berasal
dari Temanggung ialah ….
A.Prasasti Telahap
B.Prasasti Candiroto
C.Prasasti Ngadirejo
D.Prasasti Wonoboyo
E.Prasasti Tlogomulyo
Salah satu raja Mataram Kuno yang diperkirakan berasal dari
Temanggung ialah ….
A.Rakai Pikatan Pu Manuku
B.Rakai Pikatan Dyah Jbang
C.Rakai Pikatan Dyah Saladu
D.Rakai Pikatan Dyah Manara
E.Rakai Pikatan Dyah Dewendra
Salah satu bangunan peninggalan zaman Kerajaan Mataram Kuno
yang masih berdiri tegak di Temanggung ialah ….
A.Candi Pawon
B.Candi Selagriya
C.Candi Pringapus
D.Candi Gandasuli
E.Candi Gedong Songo
Salah satu desa kuno yang disebut dalam prasasti dan desa itu masih
ada hingga sekarang ialah ….
A.Kedu
B.Kaloran
C.Kledung
D.Kranggan
E.Karang Gedong
C. Simpulan dan Saran
Buku pelajaran sejarah terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
memuat standar minimal materi pelajaran sesuai dengan kompetensi dasar yang
telah digariskan. Karena hanya memuat materi minimal, di samping kesalahan
yang memerlukan pembetulan, materi buku tersebut kurang memiliki nuansa
kedaerahan sebagaimana karakteristik buku sebagai buku pelajaran yang berlaku
secara nasional. Oleh sebab itu dimungkinkan untuk menambah materi dalam
bentuk suplemen. Suplemen berasal dari penggalian kekayaan sejarah lokal.
Dalam konteks Temanggung, materi tersebut antara lain dapat mengambil tema
masa Kerajaan Mataram Kuno.
Apabila sejarah lokal selama ini belum mendapat perhatian dari guru,
peserta didik, maupun masyarakat, kini ada kesempatan yang baik untuk
mendekatkan kedua bahan sejarah. Sejarah nasional yang diperkaya dengan
materi sejarah lokal akan semakin mengakrabkan para pihak dalam mempelajari
sejarah. Untuk ukuran daerah-daerah di Pulau Jawa, terdapat buku inventaris
peninggalan kuno di Pulau Jawa karangan Verbeek (1891) yang menarik. Lebih
•••
118
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
khusus, di Jawa Tengah sekurang-kurangnya catatan inventaris peninggalan kuno
tersebut ada di Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Kemudian Semarang, Jepara, dan
Banyumas. Begitu pun eks-Karesidenan Kedu, dan Surakarta. Daftar tersebut
dapat dimanfaatkan untuk menggali potensi sejarah lokal.
Daftar Pustaka
Kartakusuma, Richadiana. 1981. “Prasasti Rukam”. Skripsi. Jakarta: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Kartakusuma, Richadiana. 1983. “Rakai”. Makalah disajikan dalam Pertemuan
Ilmiah Arkeologi III di Ciloto, tanggal 23 s.d. 28 Mei 1983.
Kuntayamah. 2009. “Prasasti Munduan 728 S: Suatu Tinjauan Ulang”. Skripsi.
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Lestariningsih,
Amurwani
Dwi,
dkk.
2016.
Sejarah
Indonesia
SMA/MA/SMK/MAK Kelas X. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Martono, Hendro. 2016. “Membayangkan Temanggung Kuno”. Makalah.
Disajikan dalam seminar sehari dengan tema “Situs Liyangan sebagai
Rumah Peradaban” diselenggarakan atas kerjasama Balai Arkeologi
Yogyakarta dan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga
Kabupaten Temanggung, di Temanggung, 3 November 2016
Martono, Hendro. 2017a. “Peranan Sejarah Lokal dalam Pengembangan Literasi
di Sekolah”. Makalah dalam Seminar Nasional Event Kesejarahan
kerjasama antara Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud dan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Yayasan Cendekia Mandiri, dan Forum
Ikatan Kadang Temanggungan. Temanggung, 2 Oktober 2017.
Martono, Hendro. 2017b. Penelusuran Sumber Sejarah Kuna di Temanggung.
Temanggung: Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud; Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata; Yayasan Cendekia Mandiri, dan Forum Ikatan
Kadang Temanggungan.
Noerwidi, Sofwan. 2014. “Sisa Rangka Manusia dari Situs Permukiman Mataram
Kuna-Liangan, Temanggung Jawa Tengah (Human Skeleton Remain from
LianganSettlement Site of Old Mataram Kingdom, Temanggung, Central
Java)” dalam Abbas, Novida (Ed.). Liangan Mozaik Peradaban Mataram
Kuno di Lereng Sindoro. Yogyakarta: Kepel Press.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 8 Tahun 2016 tentang
Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 22 Tahun 2016 tentang
Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Poesponegoro, Marwati Djoenoed dkk. 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I
Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Poesponegoro, Marwati Djoenoed dkk. 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II
Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Suhadi, Machi dan Kusnin Asa. 2009. “Hasil Penelitian Penyusunan Bahan
Sejarah Budaya Masa Klasik Syailendra-Islam da Kolonial Kabupaten
Temanggung”. Laporan Penelitian. Temanggung: Dinas Kebudayaan,
Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Temanggung.
Wulandari, Triana. 2017. “Peran Temanggung dalam Sejarah Nasional”. Bahan
presentasi. Disampaikan dalam seminar nasional event kesejarahan
•••
119
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
kerjasama antara Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Temanggung, Yayasan
Cendekia Mandiri, dan Forum Ikatan Kadang Temanggungan.
Temanggung, 2 Oktober 2017.
•••
120
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
REVITALISASI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN RATU SAFIATUDDIN
DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH UNTUK MENINGKATKAN
SIKAP EMANSIPASI SISWA
Widia Munira, Muhammad Akhyar, Djono
Magister Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Email: munirawidia@yahoo.com
ABSTRAK
Kepemimpinan tidaklah hanya berguna bagi pemimpin tetapi berguna bagi setiap
orang yang dipimpin. Artinya dengan memahami konsep kepemimpinan dengan
baik, seorang pemimpin akan mampu memimpin dengan baik dan bijaksana serta
menciptakan loyalitas dari rakyat yang dipimpinnya. Ratu Safiatuddin merupakan
seorang perempuan yang pernah bertahta dalam kerajaan Aceh Darussalam.
Safiatuddin menjadi sultanah pada tahun 1641-1675. Selama masa
pemerintahannya tersebut Ratu Safiatuddin berkontribusi dibidang pendidikan
terutama dalam mensejahterakan kaum perempuan di Aceh. Salah satunya dengan
melibatkan kaum wanita dalam administrasi Negara dengan meresposisi jumlah
wanita di parlemen. Untuk itu, mengingat begitu pentingnya nilai-nilai yang
terkandung dalam kepemimpinan Ratu Safiatuddin, maka perlu di revitalisasi
dalam pendidikan, salah satunya dalam pembelajaran sejarah untuk meningkatkan
sikap emansipasi siswa. Tulisan ini bertujuan untuk merevitalisasi nilai-nilai
kepemimpinan Ratu Safiatuddin dalam pembelajaran sejarah ditingkat SMA.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan
data yang dilakukan adalah observasi, kajian pustaka, wawancara mendalam, dan
dokumentasi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa nilai-nilai Kepemimpinan
Ratu Safiatuddin terintegrasi dalam materi pembelajaran sejarah. Nilai-nilai
Kepemimpinan Ratu Safiatuddin penting diintegrasikan dalam pembelajaran
sejarah agar peserta didik tidak kehilangan nilai-nilai emansipasi dalam
kepemimpinan Ratu Safiatuddin serta sebagai langkah untuk merekontruksikan
kembali sejarah Kerajaan Aceh Darussalam pada masa kepemimpinan Ratu
Safiatuddin.
Kata Kunci: Revitalisasi, Kepemimpinan Ratu Safiatuddin, Pembelajaran
Sejarah.
Pendahuluan
Wanita sebagai seorang pemimpin formal pada mulanya banyak yang meragukan
mengingat penampilan wanita yang berbeda dengan laki-laki, tetapi keraguan ini
dapat diatasi dengan keterampilan dan prestasi yang dicapai. Didalam
kepemimpinan baik dilkukan oleh wanita maupun laki-laki memiliki tujuan yang
sama hanya saja yang berbeda dilihat dari segi fisik semata-mata, sebagaimna
dikemukakan Kartono Kartini (2012: 40) bahwa, kepemimpinan adalah bentuk
dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau
mengajak orang lain untuk berbuat yang tepat bagi situasi khusus..
Pemimpin yang memiliki kemampuan khusus dan diakui oleh
kelompoknya termasuk ke dalam pemimpon informal, karena kepemimpinan
tersebut lebih menekankan pada kekhususan tertentu terutama tempat dan
individunya, sehingga seorang peimmpin terjadi atas dasar kemampuan atau
•••
121
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
keahlian tertentu, bukannya atas dasar kemampuan memimpin, misalnya
kelompok wanita yang terampil dalam bidang pembuatan batik, sehingga yang
paling ahli akan menjadi pemimpinnya, begitu pula kelompok wanita yang
bekerja sebagai pembuat kain tenun, maka yang paling terampil akan diangkat
sebagai pemimpin, dan seterusnya.
Pemimpin yang berada pada organisasi formal akan memiliki kekuasaan
manajeman yang didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen pula, sehingga
kekuasaan yang dimilikinya bersiafat institusional dan tidak dihubungkan dengan
sifat-sifat pribadi misalnya, seorang wanita yang menjadi kepala sekolah,
kemudian bawahannya baik guru-guru atau staf tata usaha dan tunduk keapdanya
bukan pada pribadi melainkan pada kepemimpinannya karena ia dapat
mensejajarkn dirinya dengan laki-laki apabila yang bersangkutan memiliki
kebutuhan untuk mencapai prestasi.
Pembelajaran sejarah terutama pembelajaran sejarah nasional adalah salah
satu di antara sejumlah pembelajaran yang terdapat di berbagai tingkat pendidikan
dari sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Pembelajaran sejarah
berfungsi untuk menanamkan semangat berbangsa dan bertanah air. Tugas pokok
sejarah adalah dalam rangka character building siswa. Pembelajaran sejarah akan
membangkitkan kesdaran empati di kalangan peserta didik, yakni empati dan
toleransi terhadap orang lain serta dengan kemmampuan mental dan sosial untuk
mengembangkan imajinasi dan sikap kreatif, inovatif, serta partisipatif (Aman,
2011: 2).
Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang jika diajarkan dengan
benar akan menimbulkan budi pekerti siswa. Belajar sejarah berarti mengajarkan
manusia akan rasa ketidaktahuannya dan keterbatasannya didalam lingkungan
hidep yang begitu luas dan detail. Melalui mata pelajaran sejarah yang
penyajiannya dideskripsikan dalam bentuk peristiwa, kita dapat mengambil
hikmah dari peristiwa tersebut, sehingga dapat kita jdikan bekal yang ampuh
untuk bertindak dihari ini maupun memproyeksikannya dihari yang akan datang.
Dengan demikian, belajar sejarah akan menjadikan seseorang lebih bijak dan lebih
dewasa. Sejarah yang dirangkai kedalam bahan ajar akan menjadi paduan siswa
untuk dipelajaru, sehingga mereka akan merasa lebih dekat terhadap peristiwa
masa lampau dan nilai-nilai kesejarahannya akan menjadi dasar pijakan masa kini
dan masa yang akan datang (Buwang, 2010: 216).
Mata pelajaran sejarah di SMA paling tidak mengandung dua misi yakni
pertama untuk pendidikan intelektual. Kedua, pendidikan nilai, pendidikan
kemanusiaan, pendidikan pembinaan moralitas, jati diri, nasionalisme dan
identitas bangsa. Pendidikan sejarah di SMA lebih menekankan pada perspektif
kritis-logis dengan pendekatan historis-sosiologis (Sayono: 9).
Pembelajaran sejarah dalam proses belajar, memiliki peran penting dan
terlihat jelas bukan hanya sebagai proses transfer ide, akan tetapi juga sebagai
proses pendewasaan peserta didik untuk memahami identitas, jati diri dan
kepribadian bangsa melalui pemahaman terhadap peristiwa sejarah. Pembelajaran
sejarah hendaklah berorientasi pada pendekatan nilai. Menyampaikan fakta yang
memang sangat penting dalam pembelajaran sejarah, akan tetatpi yang tidak kalah
penting adalah bagaimana mengupas fakta-fakta tersebut dan mengambil intisari
nilai yang terdapat di dalamnya sehingga si pembelajar akan menjadi lebih mawas
diri sebagai akibat dari pemahaman nilai tersebut (Susanto, 2014: 56-57).
•••
122
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pengajaran nilai dalam ilmu sejarah melalui proses pemberian nilai
(internalisasi nilai) dengan melalui tahapan yaitu penerimaan nilai, penanggapan
atas nilai, penilaian atas nilai, penghargaan atas nilai, pengorganisasian nilai-nilai
dan pemelukan nilai (karakterisasi nilai). Namun harus diingat mengajarkan nilai
hanya akan berhasil jika di pihak peserta didik (siswa) ada disposisi batin yang
benar, yang anatara lain adalah sikap terbuka dan percaya, jujur, rendah hati,
bertanggungjawab, berniat baik, setia, dan taat melaksanakan nilai-nilai disertai
budi yang ceriah. Nilai-nilai itu tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan masuk
ke hati kita secara lembut ketika hati secara bebas membuka diri (Atmadi, 2000:
38).
Nilai-nilai yang ditumbuh-kembangkan dalam pendidikan nilai akan
menjadi pegangan dan diyakini kebenarannya yang pada akhirnya akan
menentukan sikap, dan sikap akan membentuk tingkah laku seseorang. Untuk
mengetahui nilai-nilai yang diyakini seseorang dan menjadi sikap hidupnya dapat
dilihat melalui indikator yang dapat memeberi petunjuk adanya nilai yang
dimiliki. Oleh J.R. Fraenkel (1973), menyebutkan delapan indikator petunjuk
adanya nilai, yaitu : (1) Tujuan yang dikerjakan (2) Aspirasinya sikapnya (3)
Minatnya (interes) (4) perasaan (feeling) (5) Kepercayaan (belief) (6)
Perbuatannya (7) Kekuatirannya (warries).
Realitas keseharian (zaman modern) mengenai adanya perempuan yang
mampu memerankan fungsi kepemimpinan dalam berbagai sektor kehidupan yang
menandakan adanya potensi yang sama antara laki-laki dan perempuan
sebagaimana adanya laki-laki yang tidak mampu melaksanakan peran
kepemimpinan. Artinya, laki-laki dan perempuan tidak bisa dikatakan memiliki
kelebihan potensi kepemimpinan semata-mata dari jenis kelaminnya saja
(Syarifuddin, 2005: 123).
Salah satu upaya untuk meningkatkan sikap emansipasi adalah melalui
pendidikan. Pendidikan sebagai suatu lembaga yang memiliki kewajiban dan
tanggung jawab untuk turut berpatisipasi dalam usaha meningkatkan sikap
emansipasi dengan cara mengintegrasikannya dalam pembelajaran sejarah, karena
mata pelajaran sejarah dianggap penting sebab melalui pembelajaran ini, peran
seorang tokoh daerah dapat diangkat dan digali kembali.
Aceh merupakan sebuah wilayah yang terletak di ujung Sumatra.Dalam
perjalanan sejarahnya, di kawasan ini terdapat beberapa kerajaan Islam, seperti
Pasai, Pedir (Pidie), Daya, Lamuri dan Aceh Darussalam.Semua kerajaan ini telah
memainkan peran penting dalam bidang sosial, politik, agama dan ekonomi. Hal
ini berbeda dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang memberikan kepada kaum
perempuan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki.
Ratu Safiatuddin merupakan Sultanah perempuan pertama di tahta
Kerajaan Aceh Darussalam.Ia dinobatkan sebagai ratu menggantikan suaminya
Sultan Iskandar Tsani yang memerintah pada tahun 1636-1641. Ratu Safiatuddin
(1641-1675) dalam khasanah sejarah Kerajaan Aceh Darussalam dikenal dengan
nama Sultanah Taju Alam Safiatuddin Syah. Pada saat Ratu Safiatuddin
memerintah kerajaan Aceh Darussalam agama Islam menjadi dasar negara, AlQur’an serta Hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam, maka sesuatu yang
logis kalau kedudukan perempuan disetarakan dengan laki-laki dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Bahkan, dalam Qanun Meukuta Alam
•••
123
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
membolehkan perempuan menduduki segala jabatan dalam lembaga negara,
termasuk Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen).
Menurut Harsja W Bachtiar , Ratu Safiatuddin dikenal sebagai sosok yang
sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh
dan Melayu, dia juga menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu yang
membuktikan dia sangat mencintai ilmu pengetahuan. Tidak heran jika Ratu
Safiatuddin sangat menginginkan kerajaan Aceh Darussalam berkembang dan
maju dengan cara mendorong para ulama untuk terus menerus memperdalam ilmu
pengetahuan dan mengarang berbagai kitab, untuk memajukan rakyat khususnya
yang menyangkut hukum Islam.Selain memperhatikan ilmu pengetahuan,
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin juga memperhatikan pembangunan pertahanan
militer dengan membentuk barisan khusus wanita yang bertugas mengawal istana
sekaligus sebagai pasukan elite kerajaan.Dibandingkan dengan militer, Sultanah
Tajul Alam Safiatuddin lebih fokus pada pembangunan pendidikan, ekonomi, dan
sosial terutama pengembangan agama di Masyarakat.
Nilai-nilai yang diterapkan dalam pembelajaran ini bersumber pada nilainilai kepemimpinan ratu Safiatuddin antara lain: (1) Religius; (2) Integritas; (3)
Bijaksana; (4) Nilai kemasyarakatan; (5) Adil.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif.
Menurut Jane Richie dalam Moleong Laxy (2007: 6), penelitian kualitatif adalah
upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi
konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti. Senada
dengan itu Maleong Laxy sendiri mengemukakan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain.
Metode yang digunakan adalah metode sejarah. Suhartono W.Pranoto
(2006:11), mengemukakan metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan
objek atau dengan kata lain metode merupakan cara untuk berbuat atau
mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Karena
penelitian ini bertujuan merekonstruksi masa lalu, maka metode yang digunakan
metode sejarah. Gilbert J. Garragahan dalam Dudung Abdurrahman (1999:43)
mengemukakan bahwa metodesejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip
sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya
secara kritis dan mengajukan sistesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk
yang tertulis.
Dalam proses pengumpulan data peneliti memperoleh berbagai informasi
terkait objek yang menjadi pembahasan dalam makalah ini. Studi kepustakaan
digunakan terutama untuk memperoleh data-data sekunder seperti buku, jurnal,
majalah dan laporan terkait objek pembahasan. Studi kepustakaan ini dilakukan di
berbagai perpustakaan seperti, Perpustakaan Universitas Sebelas Maret,
perpustakaan FKIP UNS, Monumen Pers, dan ISI Surakarta.
Hasil dan pembahasan
Kepemimpinan Ratu Safiatuddin
Model kepemimpinan Ratu Safiatuddin didorong oleh beberapa faktor. Faktor
tersebut antara lain karena Ratu Safaituddin adalah seornag perempuan yang
dipandang telah sukses dalam memimpin kesultanannya. Semangat bakat yang
•••
124
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dimiliki oleh Ratu Safiatuddin teriuntegrasi dalam model kepemimpinannya,
sehingga model kepemimpinan Ratu Safiatuddin akan dibandingkan dengan faktafakta yang terjadi pada proses kepemimpinan yang dijalankan oleh pemerintah
Aceh saat ini sebagai indikator-indikator untuk mendeteksi pergeseran nilai-nilai
kepemimpinan dalam sejarah perkembangan kepemimpinan di Aceh. Tidak hanya
mengkomparasikan model kepemimpinan Ratu Safiatuddin dengan model
kepemimpinan Aceh saat ini secara akademik, namun terdapat faktor sebab akibat
yang dapat membedakan proses kepemimpinan tersebut dalam meninjau hal-hal
yang bersifat prestasi (A. Hasjmi, 1985: 70).
Kepemimpinan Ratu Safiatuddin sangat penting untuk dipahami oleh
generasi muda terkhususnya siswa yang ada di Aceh karena nilai-nilai yang
terkandung di dalam kepemimpinan Ratu Safiatuddin tersirat banyak makna
kehidupan yang dapat meningkatkan sikap emansipasi siswa untuk diterapkan
dalam kehidupan serta bahan pembelajaran sejarah.
Nilai-nilai dalam Kepemimpinan Ratu Safiatuddin
Berdasarkan uraian diatas, maka nilai-nilai yang terdapat dalam masa
kepemimpinan Ratu Safiatuddin adalah:
a. Religius
Agama sendiri, mengikuti penjelasan intelektual muslim, bukan hanya
kepercayaan kepada yang ghaib dan melaksanakan ritual-ritual tertentu. Agama
adalah keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi
memperoleh ridha Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah
laku manusi dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan
manusia berbudi luhur, ats dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung
jawab pribadi di hari kemudian (Naim, 2012: 123). Model kepemimpinan yang
diterapkan oleh Ratu Safiatuddin adalah model kepemimpinan spritualitas,
artinya bahwa sistem kerajaan yang dianut oleh Ratu Safiatuddin berlandaskan
pada azas-azas ajaran agama sebagai indikator untuk menerapkan kebijakkebijakan terhadap rakyatnya.
Unsur-unsur spritualitas tersebut juga terdapat pada setiap kebijakan atau
qanun yang dirumuskan oleh Ratu Safiatuddin, sehingga segala kreatifitas
kebijaknnya tentang perempuan, militer, ekonomi, budaya di masyarakat Aceh
mengandung makna-makna keagamaan yang diteladani oleh Ratu Safiatuddin.
Proses spritualitas dalam kepemimpinan Ratu Safaituddin tersebut disinyalir
telah tumbuh dan mengkristral dalam tumbuhnya sejak usia mudanya, karena
latar belakang kehidupan Ratu Safiatuddin telah ditanamkan pemahamanpemahaman tentang agama Islam, sehingga pada usia dewasa secara otomatis
teraplikasikan dalam kepribadiannya.
b. Integritas
Prestasi kepemimpinan Ratu Safiatuddin juga terlihat pada perkembangan
dunia pada masa itu, bahwa Ratu Safiatuddin masih mampu untuk memperluas
wilayah kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam, dan kerajaan Aceh Darussalam
pada masa itu sangat disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya di dunia, sehingga
tidak jarang ditemukan argumen para cendiakiawan yang menyatakan bahwa Ratu
Safiatuddin sering disandingkan kesuksesannya dengan Ratu Elizabet yang
memimpin kerajaan Inggris pada masa itu (Muhammad Said, 2002: 192). Pada
masa pemerintahan Ratu safiatuddin, para ulama besar di Aceh menulis dan
•••
125
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
mangabadikan melalui karyanya yang berisikan sebagai pengungkapan rasa
kagumnya atas kesuksesannya yang telah dicapai olah Ratu Safiatuddin.
Kesuksesan Ratu Safiatuddin dalam memimpin juga terlihat adalah pelestarian
perpustakaan kerajaan yang dilakukannya.Syeikh Nuruddin Arraniry juga
menjelaskan kekagumannya terhadap kepribadian
Ratu Safiatuddin yang
dituangkan ke dalam karyanya yang berjudul Bustanul Salatin sebagai berikut (A.
Hasyimi, 1977: 49) : Banda Aceh Darussalam pada masa itu (masa Ratu
Safiatuddin) terlalu makmur, dan makananpun sangat murah, dan segalam
barang sabdanna, dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya dan
tawakkal pada segala barang pekerjaannya, dan sabar pada segala barang
halnya, bagi yang mengerasi segala yang durhaka dan aialah hebat pada segala
kelakuannya dan bijaksana pada segala barang perkataannya, dan lagi halim
perangainya, dan pengasih akan segala rakyatnya dan lagi syafaat akan segala
fakir dan miskin.
c. Bijaksana
Ratu Safiatuddin terkenal dengan kebijaksanaanya dalam melanjutkan
penerapan Qanun Meukuta Alam, berikut adalah poin-poin kesuksesan Ratu
Safiatuddin dalam kepemimpinannya (Ismail Sofya, dkk, 1994: 54).
1. Pengembangan kehidupan beragama dalam konteks sosial.
2. Meningkatkan persatuan rakyat.
3. Menerbitkan mata uang emas secara besar-besaran (dirham), sebagai nilai
tukar yang sah di kawasan kerajaan dan sekitarnya.
4. Mata uang emas (dirham) yang beredar sebelumnya semuanya diturunkan
kadar emasnya dengan cara meleburkan kembali koin emas tersebut
dengan tujuan untuk menertibkan perputaran ekonomi di kawasan kerajaan
sehingga rakyat tidak mengalami tekanan ekonomi secara abstrak.
5. Cap kerajaan Aceh didekorasi dengan bentuk Cap sikureng, yakni
sembilan nama sultan-sultanah kerajaan Darussalam dan tepat ditengahnya
terdapat nama Ratu Safiatuddin.
6. Pembuatan batu nisan Iskandar Muda Thani dengan dilapiskan emas.
7. Dekorasi Mesjid Baiturrahman dengan pernak pernik kerajaan
Darussalam.
8. Mengutip pajak kepada pedagang asing, yang masuk ke wilayah kerajaan
Darussalam sebanyak 5% dari hasil perdagangannya.
9. Segala kebijakan yang berhubungan dengan perdagangan diatur oleh pihak
kerajaan Darussalam.
10. Setiap pedagang yang masuk ke kawasan kerajaan wajib memberi hadiah
kepada sultanah, peristiwa ini dibuktikan dengan redaksi salah satu dari
Qanun Meukuta Alam, adalah sebagai berikut:
Adapun orang luwaran yang Islam lain dari pada bangsa Atjeh seperti
orang Arab, Melayu, dan Djawa atau seumpamanya, masuk ke dalam
Negeri Atjeh Bandar Darussalam pekerjaannya berniaga tetapi ketika
dibaru berdagang ada menghantarkan persembahan kepada raja supayah
boleh kenal dengan raja.
11. Pengelompokkan lembaga-lembaga kerajaan untuk membantu tugas
kerajaan dalam menjalankan misinya, lembaga tersebut diantaranya : Balai
•••
126
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Meukuta Alam, Balai Laksamana, Balai Furdhah, Balai Musyawarah,
Balai Rong Sari dan Balai Majelis Mahkamah.
d. Nilai Kemasyarakatan
Prestasi kepemimpinan Ratu Safiatuddin dapat dipahami melalui
kebijakan tentang adat yang masih berkembang saat ini di Aceh Besar dan
sebagian kota lainnya di Aceh adalah tentang adat pemberian rumah kepada
anak perempuan. Berdasarkan pengalaman bagi masyarakat Aceh, seorang
istri setelah menikah terus dibawa ke rumah suamianya, namun hal itu
dipandang rentan diskriminasi dalam keluarga menurut Ratu Safiatuddin,
sehingga Ratu Safiatuddin membuat kebijakan bahwa setiap masyarakat Aceh
yang hendak menikahkan anak perempuannya harus terlebih dahulu
menyediakan rumah bagi anak perempuannya tersebut dengan alasan sebagai
penghormatan kepada anak perempuan selain sebagai antisipasi persoalan
perceraian dalam keluarga.
Berikut penjelasan undang-undang yang diperintahkan oleh Ratu
Safaituddin tantang kelestarian keluarga:
1. Tiap-tiap orang tua haruslah menyediakan sebuah rumah (seadanya)
kepada anak perempuan jika hendak dipersuamikan.
2. Selain rumah, anak perempuan tersebut harus diberikan sepetak sawah
(umong peunaweu) sebidang kebun dan seutas emas.
3. Suami harus membawa sepetak sawah kepada istrinya dan menjadi hak
milik istrinya.
4. Selama mereka masih hidup rukun dan damai, maka segala harta yang
berasal dari kedua belah pihak akan menjadi milik bersama.
5. Harta kekayaan yang diperoleh selama masa dalam perkawinan menjadi
milik bersama, artinya 50% menjadi milik suami dan 50% menjadi milik
istri.
6. Apabila terjadi perceraian, maka harta-harta bawaan suami harus tinggal
menjadi milik istrinya, sementara harta yang didapatinya selama masa
perkawinan dibawa sebanyak 50%.
7. Selama masa iddah setelah percerian, segala nafkah hidup istri menjadi
tanggungan mantan suami.
Ratu Safiatuddin juga dikenal sebagai ratu yang sangat menjunjung nilai
kebudayaan Adat di Aceh, argumen tersebut dapat dipahami melalui peristiwa
yang terjadi pada masa pemerintahannya yang telah melegalkan kebudayaan
yang berkenaan denga upacara kematian, dengan diawali dengan kematian
suaminya. Sebelum upacara pemakaman berlangsung, terlebih dahulu
dilakukan pawai mengiringi keranda jenazah yang terbuat dari suasa yang
ditutupi dengan kain beludru dan emas menuju tempat pemakaman. Tidak
kurang dari 260 ekor gajah tunggangan untuk diikut sertakan dalam pawai
pergerakan tersebut, semua gajah dibajui dengan beludru dan gading serta
dibelakangnya dipasang anjung empat segi yang sekelilingnya dibalut dengan
emas dan perak.
Deskripsi di atas menjelaskan bahwa Ratu Safiatuddin sangat mencintai
suami dan para rakyatnya serta konsisten dalam menjalankan adat istiadat
yang telah diberlakukan oleh kerajaan, tidak hanya itu, seiring penggiringan
•••
127
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
jenazah Sultan Iskandar Muda pihak kerajaan melakukan kegiatan sedekah
dalam bentuk uang, kepada masyarakat Aceh dengan jumlah yang sangat
besar.
Banyak bentuk kebudayaan yang berkembang pada masa Ratu Safiatuddin
yang cenderung masih dilaksanakan dalam kebudayaan di daerah Aceh Besar,
seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Said bahwa pengaruh kebijakan Ratu
Safiatuddin sulit untuk dilupakan atas sikapnya yang bersungguh-sungguh
mempertahankan kebudayaan ganti tikar atau di Aceh lebih dikenal sebagai
Meutukar Bantai, maksudnya adalah ketika adik atau abang dari seorang
suami yang meninggal akan digantikan oleh adik atau abangnya untuk
mengawini janda yang ditinggal tersebut, perilaku tersebut dilakukan bukan
hanya untuk mempertahankan harta agar tidak jatuh ke tangan orang lain,
namun perilaku tersebut dilakukan untuk mempertahankan nilai-nilai
kekeluargaan yang sudah tertanan di kalangan masyarakat bahwa perempuan
harus dipertimbangkan, termasuk dalam hal kematian dalam tatanan
kekeluargaan seperti yang telah dijelaskan di atas.
e. Adil
Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin telah mengembangkan
Qanun Meukuta Alam mejadi lebih baik, dalam hal ini Ratu Safiatuddin
mengatur tentang dasar negara, sistem pemerintahannya, pembagian
kekuasaan lembaga-lembaga negara dan lain-lainnya (Ali Hasyimi, 1977:
129).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka kerajaan Aceh
Darussalam pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin dan ratu-ratu
sesudahnya adalah sebagai berikut:
Bentuk dan dasar Negara
Qanun Meukuta Alam menetapkan bahwa bentuk negara adalah
kerajaan dan dasar-dasar negara adalah Islam, berikut penjelasan singkat
tentang hal tersebut.
1. Negara berbentuk kerajaan, dimana kepada negara bergelar sultan yang
diangkat secara turun-temurun, dalam keadaan keturuan tertentu tidak
memenuhi syarat-syarat boleh diangkat dari bukan keturunan raja.
2. Kerajaan bernama kerajaan Aceh Darusslam dengan ibu kota negara
Banda Aceh Darussalam.
3. Kepala negara bergelar Sulthan Imam Adil, yang dibantu oleh sekretaris
negara dengan gelar Ratna Setia Kerukun Katobul Muluk
4. Orang kedua dalam kerajaan adalah Qadhi Malikul Adil, dengan empat
orang pembantunya yang bergelar mufti empat
5. Untuk membantu Sulthan dalam menjalankan pemerintahan negara,
kaum menetapkan beberapa penjabat tinggi yang bergelar Wazir.
Kesimpulan dan Saran
Nilai-nilai yang ditumbuh-kembangkan dalam pendidikan nilai akan
menjadi pegangan dan diyakini kebenarannya yang pada akhirnya akan
menentukan sikap, dan sikap akan membentuk tingkah laku seseorang. Untuk
mengetahui nilai-nilai yang diyakini seseorang dan menjadi sikap hidupnya dapat
•••
128
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dilihat melalui indikator yang dapat memberi petunjuk adanya nilai yang dimiliki.
Nilai dalam pembelajaran sejarah proses pemberian nilai (internalisasi nilai)
dengan melalui tahapan yaitu penerimaan nilai, penanggapan atas nilai, penilaian
atas nilai, penghargaan atas nilai, pengorganisasian nilai-nilai dan pemelukan nilai
(karakterisasi nilai). Namun harus diingat mengajarkan nilai akan berhasil jika di
pihak peserta didik (siswa) ada disposisi batin yang benar.
Revitalisasi nilai-nilai kepemimpinan Ratu Safiatuddin penting diintegrasikan
dalam pembelajaran sejarah agar peserta didik tidak kehilangan nilai-nilai
emansipasi dalam kepemimpinan Ratu Safiatuddinserta sebagai langkah untuk
merekontruksikan kembali sejarah Kerajaan Aceh Darussalam pada masa
kepemimpinan Ratu Safiatuddin.
Daftar Rujukan
Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Aman. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2011.
Faisal. Nilai-Nilai Kepemimpinan Tradisional Dalam Komunitas Adat
Kajang. di Sulawesi Selatan. Walasuji, Vol. 6, No. 1, 2015.
Hasyimi, Ali. Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima Perang.
Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
_______. Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pengembangan
Tamaddun Bangsa. Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
_______. Semangat Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
_______. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Ratu. Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2012.
Moleong, Laxy 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Marzuki. Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Ulama Pesantren Di
Aceh. Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh,
AKADEMIKA, Vol. 19, No. 01, 2014
Naim, Ngainun. Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam
Pengembangan Ilmu & Karakter Bangsa. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
2012
Susanto, Heri. Seputar Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Aswaja, 2014.
Syarifuddin, Amir. Meretas kebekuan Ijtihad. Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Wertheim. Gelombang Pasang Emansispasi (terjemahan Ira Armanto).
Garba Budaya, 1976.
•••
129
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
130
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
REINVENSI PEMIKIRAN MUHAMMAD AZHARI AL-PALEMBANI
MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH REFLEKTIF DENGAN
PENDEKATAN VALUES CLARIFICATION TECHNIQUE (VCT): SUATU
KAJIAN KONSEPTUAL
Maya Yunita, Nunuk Suryani, Sariyatun
Pascasarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Anakronisme dalam pembelajaran sejarah menyebabkan kesalahan pemahaman
peserta didik terhadap kondisi faktual dan nilai-nilai yang dapat ditarik dari masa
lampau. Hal ini menjadi tantangan dalam proses pembelajaran sejarah, khususnya
dalam usaha untuk menghadirkan kembali pemikiran, nilai dan konsep di masa
lampau kedalam konteks masa kini. Salah satu upaya untuk meminimalisir
anakronisme dalam pembelajaran sejarahadalah mengembangkan konsep
pembelajaran sejarah reflektif dengan pendekatan Values Clarification Technique
(VCT). Metode yang digunakan adalah kajian literatur (literature review) dengan
mencari dan mendiskusikan literatur yang mencakup pembelajaran reflektif dan
pendekatan VCT sebagai sumber kajian literatur review. Hasil kajian
menghasilkan: (1) pembelajaran reflektif dan pendekatan VCT saling
bersinggungan, pembelajaran reflektif ditujukan untuk memperkuat dan
melahirkan ide atau temuan yang berkaitan dengan kesejarahan dan pendekatan
VCT menekankan internalisasi nilai untuk membantu siswa memilih,
memutuskan dan mengambil sikap terhadap suatu ide atau temuan, (2) kedua
pendekatan tersebut dielaborasikan dan menghasilkan konsepsi dalam bentuk
langkahpembelajaran sejarah melalui tahapan scientific Kurikulum 2013
(apersepsi, mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasi), dan
(3) konsep tersebut digunakan untuk mentransmisikan pemikiran Syeikh
Muhammad Azhari Al-Palembani melalui praktik pembelajaran sejarah. Secara
teoretis, konsepsi langkah pembelajaran tersebut dapat meminimalisir
anakronisme sejarah sekaligus mendorong reinvensi (penemuan kembali) nilainilai di masa lalu yang selaras dengan nilai-nilai masa kini.
Keywords: pembelajaran sejarah, pembelajaran reflektif, pendekatan Values
Clarification Technique (VCT), reinvensi.
•••
131
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PENDAHULUAN
Anakronisme adalah ketidaktepatan dalam menganalisis suatu
peristiwa dan nilai di masa lampau dengan menggunakan asumsi dan
perspektif masa kini (Nunberg, 2013). Salah satu tantangan dalam proses
pembelajaran sejarah adalah menghadirkan kembali pemikiran, nilai, dan
konsep di masa lampau ke dalam konteks masa kini. Tantangan ini
bersumber dari akronisme sejarah yang menyebabkan kesalahan
pemahaman peserta didik terhadap kondisi faktual masa lampau dan nilainilai yang dapat ditarik dari masa lampau (Burston, 1963).
Salah satu bentuk kasus anakronisme dalam pembelajaran sejarah
dapat ditemukan dalam materi yang membahas pemikiran tokoh-tokoh atau
nilai-nilai dari suatu budaya. Dalam membahas pemikiran tokoh-tokoh masa
lampau, peserta didik dan guru cenderung memahami pemikiran masa lalu
dengan asumsi dan persepsi di masa kini. Akibatnya, peserta didik dapat
secara maksimal memahami dan mengambil nilai-nilai dari peristiwa
tersebut. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan suatu konsep
pembelajaran yang dapat meminimalisir anakronisme sejarah. Dengan
melihat kajian dan analisis yang dilakukan para peneliti dan pengembang di
bidang pendidikan sejarah, terdapat dua pendekatan dalam meminimalisir
anakronisme sejarah yaitu interpretasi dan dekonstruksi.
Kajian yang menggunakan pendekatan interpretasi misalnya dilakukan
oleh Pujiartati, Joebagio, dan Sariyatun (2016) yang mengembangkan model
pembelajaran sejarah yang mendorong peserta didik untuk
menginterpretasikan nilai-nilai dari serat Wedhatama. Sementara itu,
pendekatan dekonstruksi dipengaruhi oleh filsafat modernism yang secara
kritis melihat adanya perbedaan suatu nilai masa kini dan masa lalu
(Foucault, 1972). Pendekatan ini juga didasarkan pada sifat ilmiah skeptik
terhadap suatu nilai yang telah mapan dalam masyarakat. Pendekatan
dekonstruksi digunakan dalam kajian Abidin, Joebagio, dan Sariyatun
(2017) dengan mengembangkan model pembelajaran sejarah yang
mendorong peserta didik untuk memahami nilai-nilai asthabrata melalui
pendekatan dekonstruksi dalam pembelajaran sejarah.
Berdasarkan uraian tersebut, fokus dari makalah ini adalah
mengembangkan suatu kajian konseptual mengenai pembelajaran sejarah
reflektif dengan pendekatan nilai, khususnya dalam materi mengenai
pemikiran dan nilai-nilai yang dikembangkan oleh Muhammad Azhari AlPalembani. Tulisan ini menjadi penting sebagai bagian dari upaya
meminimalisir permasalahan anakronisme sejarah dan mendorong reinvensi
melalui pembelajaran sejarah reflektif.
METODE PENELITIAN
Untuk mengembangkan suatu konsep pembelajaran sejarah reflektif,
peneliti melakukan studi literatur (literature review) dengan menekankan
diskusi mengenai perkembangan pendekatan dalam proses pembelajaran
sejarah. Berdasarkan American Psychological Association, penelitian
literaturreview dilakukan dengan melakukan:(1)penelusuranliteratur,(2)
mendiskusikan berbagai teori, pendekatan, dan argumentasi pembelajaran
dari berbagai pakar/ahli pendidikan dan pembelajaran, dan (3)
•••
132
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
menyimpulkan temuan dari proses diskusi literatur ke dalam suatu bentuk
konseptual. Dengan demikian, dalam penelitian ini peneliti mencari dan
mendiskusikan literaturyang mencakup pembelajaran reflektif dan
pendekatan nilai sebagai sumber kajian literatur review.
PEMBAHASAN
1. Pembelajaran Sejarah Reflektif
Pembelajaran reflektif didefinisikan sebagai self-learning yang
melibatkan pengalaman dan kontemplasi diri yang menghasilkan
perubahan persepsi konseptual dari seorang individu (Boyd, 1981).
Boud (1985) menambahkan bahwa pembelajaran reflektif adalah proses
pembelajaran yang mengeksplorasi pengalaman dengan tujuan untuk
mencapai pemahaman baru. Dalam perkembangan selanjutnya,
pembelajaran reflektif tidak hanya melibatkan proses individual saja,
tetapi juga melibatkan proses social yang mendorong peserta didik
secara aktif berelasi dan terbuka dengan peserta didik lain sehingga
menghasilkan transformasi diri dan social dari peserta didik (Brockbank
& McGill, 2007).
Pembelajaran reflektif terdiri dari dua proses yang saling berkaitan
dan berelasi timbal balik satu sama lain: (1) refleksi dan (2) praktik.
Pembelajaran reflektif mendorong peserta didik untuk mengetahui
kelemahan kemampuan dan bagaimana melalui refleksi. Refleksi dapat
didorong oleh beberapa pertanyaan meliputi: awareness, appreciation,
imagine, design and judgement. Refleksi tersebut kemudian digunakan
untuk mengembangkan atau memperbaiki kelemahan yang dimiliki oleh
peserta didik (Ghaye, 2010). Dua proses tersebut dapat dilihat pada
ilustrasi berikut ini:
Pembelajaran Reflektif
Praksis
Refleksi
•••
133
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pada dua proses tersebut terdapat fase-fase pembelajaran yaitu sebagai
berikut: (1) description atau deskripsi mengenai apa yang terjadi; (2) feeling;
(3) evaluation; (4) analysis; (5) conclusion; (6) action. Setidaknya, dalam ke
enam fase tersebut dibutuhkan unsur-unsur relasi (relationship), dialog
(dialogue), kedekatan social (social engagement), dan contoh (modeling).
Selain itu, juga dibutuhkan pembelajaran reflektif idealnya dilakukan dalam
bentuk proses pembelajaran naratif (narrative), interaktif (interactive), media
yang adaptif dan komunikatif (adaptive and communicative media), dan
diskusi (discussion) (Brockbank & McGill, 2007). Manfaat dari pembelajaran
reflektif adalah: (1) affective learning yaitu membantu mempertajam perasaan
dan emosi; (2) cognitive learning yaitu mendorong peserta didik untuk berfikir
secara berbeda dengan pemikiran sebelumnya; (3) positive action learning
yaitu mendorong peserta didik untuk berperilaku positif sesuai dengan etika
dan moral; dan (4) social learning yaitu membantu peserta didik untuk belajar
dari peserta didik yang lain (Ghaye, 2010).
Dalam konteks pembelajaran sejarah, pembelajaran reflektif tidak
terfokus pada peningkatan dan efektifitas praktik. Pembelajaran relfektif
ditujukan untuk memperkuat dan melahirkan (promoting) ide-ide atau temuantemuan berkaitan dengan kesejarahan. Dengan demikian, pembelajaran sejarah
reflektif cenderung menggunakan perspektif transformative (perspective
transformation) dan pengembangan kognitif (cognitive monitoring and
metalearning) (Thorpe, 2000).
Pembelajaran Reflektif dalam Konteks Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah reflektif
Refleksi
Manfaat
masa kini
dan masa
depan
Narasi
sejarah masa
lampau
Refleksi
Pembelajaran sejarah reflektif
2. Pendekatan Value Clarification Technique (VCT)
Teknik Klarifikasi Nilai merupakan salah satu model pembelajaran yang
mengarah pada pembentukan sikap dan nilai tersebut. Teknik klarifikasi nilai
(value clarification technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan
sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan
menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu
persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam
dalam diri siswa (Wina Sanjaya, 2011). Sedangkan menurut Adisusilo (2014)
•••
134
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
menyatakan VCT adalah pendekatan pendidikan nilai di mana peserta didik
dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, memutuskan, mengambil
sikap sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya. Peserta didik
dibantu menjernihkan, memperjelas atau mengklarifikasi nilai-nilai hidupnya,
lewat values problem solving, diskusi, dialog dan presentasi.
Menurut Adisusilo (2014), yang ditekankan dalam klarifikasi nilai
adalah proses pemilihan dan penentuan nilai (the proses of valuing) serta sikap
terhadapnya dan bukan isi nilai-nilai atau daftar nilai-nilai hidup. Juga bukan
untuk melatih peserat didik untuk berproses menghargai dan melaksanakan
nilai-nilai yang dipilih secara bebas. Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pembelajaran VCT adalah suatu teknik pengajaran untuk
membantu siswa memahami dan menganalisis suatu nilai yang baik atau
buruk untuk kemudian mereka dapat memilih, memutuskan, dan mengambil
sikap sendiri berdasarkan nilai-nilai hidup.
Hall dan Simon dalam Adisusilo (2014) menjelaskan ada tiga proses
klarifikasi nilai menurut pendekatan VCT. Adapun proses pelaksanaan dalam
pendekatan VCT sebagai berikut:
Fase Pembelajaran Pendekatan VCT
1. Memilih
1) Memilih dengan bebas
2) Memilih dari berbagai alternatif.
2. Menghargai/menjunj
ung tinggi
3. Bertindak
3) Memilih dari berbagai alternatif setelah
mengadakan pertimbangan tentang berbagai
akibatnya
4) Menghargai dan merasa bahagia dengan
pilihannya
5) Bersedia mengaku / menegaskan pilihannya
itu di depan umum
6) Berbuat/ berperilaku sesuatu sesuai dengan
pilihannya
7) Berulang-ulang bertindak sesuai dengan
pilihannya itu hingga akhirnya merupakan
pola hidupnya
Hall dan Raths, dalam Adisusilo (2014), menjelaskan masing-masing
sub-proses diperjelaskan secara singkat berikut ini:
a. Memilih dengan bebas.Memilih nilai secara bebas berarti bebas dari
segala bentuk tekanan. Lingkungan dapat memaksakan sesuatu nilai pada
seseorang yang sebanarnya tidak disukainya. Adakalanya lingkungan
menuntut kita untuk melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan keyakinan
kita. Hal yang demikian belum merupakan nilai yang sesungguhnya. Nilai
yang sesungguhnya adalah nilai yang kita pilih secara bebas. Karena itu
nilai-nilai yang ditanamkan pada masa kanak-kanan belum merupakan
nilai yang sesungguhnya bagi anak yang bersangkutan; itu baru indikator
•••
135
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
b.
c.
d.
e.
f.
g.
nilai atau benih yang dapat berkembang menajadi nilai yang
sesungguhnya.
Memilih dari berbagai alternatif.Memilih secara bebas mengandaikan ada
berbagai alternatif. Kalau tidak ada alternatif pilihan, maka tidak ada
kebebasan memilih.
Memilih sesudah mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing
alternatif.Memilih nilai berarti menentukan suatu nilai sesudah
mempertimbangkan konsekuensi dari semua alternatif yang ada. Tidak
mengetahui akibat suatu alternatif berarti tidak mengetahui apa yang akan
terjadi dan apa akibatnya; jika demikian seseorang tidak bebas memilih.
Sebaliknya jika seseorang mengetahui akibat-akibat dari alternatif yang
ada, maka dia dapat memilih dengan lebih tepat. Dapat terjadi bahwa
akibat pilihan tidak diketahui sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa tidak
ada pilihan bebas, tetapi apabila orang sudah menyadari akibat-akibat
pilihannya, maka dia harus mempertimbangkan pilihannya kembali.
Menghargai dan senang dengan pilihan yang dibuat.Nilai adalah sesuatu
yang dianggap positif: dihargai, dihormati, dijunjung tinggi, diagungkan,
dipelihara. Nilai membuat orang senang, gembira, bersyukur. Kalau
menentukan pilihannya dan ternyata sesudah melakukan atau mengalami
pilihannya itu dia menjadi gembira atau senang maka dia menemukan nilai
bagi dirinya. Tetapi kalau orang menjadi murung, sedih karena pilihannya,
maka kiranya dia telah keliru dalam menentukan pilihannya. Jadi, kalau
seseorang memilih sesuatu nilai, seharusnya dia merasa bahagia, senang
atas pilihannya, dan memelihara sebagai sesuatu yang berharga baginya.
Bersedia mengakui pilihan di muka umum. Kalau nilai dijunjung tinggi,
dihargai dan membuat orang bahagia atau senang maka orang tentu
bersedia mengakui, menyatakan kepada orang lain. Kalau orang
menjunjung tinggi suatu nilai, maka orang yang bersangkutan bisa
diharapkan akan mengkomunikasikan kepada orang lain.
Berperilaku sesuai dengan pilihan.Agar sesuatu benar-benar merupakan
nilai bagi seseorang, maka sikap hidup, tindakan yang bersangkutan harus
berdasarkan nilai itu; nilai itu harus diwujudkan atau tercermin dalam
sikap dan tingkah lakunya. Dengan klarifikasi nilai, orang dibantu untuk
dapat membedakan apa yang dilakukannya dan apa yang diinginkannya,
dirasakannya atau dipikirkannya. Tindakan seseorang mencerminkan nilai
yang dianut, yang diyakininya; dia bertindak dan mengambil keputusan
sesuai dengan nilainya. Dengan demikian, nilai itu memberikan arah pada
hidupnya. Bobot suatu nilai dapat juga diukur dengan melihat berapa
banyak waktu yang digunakan untuk memperhatikan nilai tertentu, berapa
banyak tenaga yang dicurahkan demi nilai yang dianutnya, dan seberapa
banyak hartanya yang dikorbankan demi nilai yang diyakini.
Berulang-ulang berperilaku sesuai dengan pilihan sehingga terbentuk suatu
pola hidup.Agar sesuatu sungguh-sungguh merupakan nilai bagi
seseorang, maka tindakannya dalam berbagai situasi harus sesuai dengan
•••
136
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
nilai itu. Dia bertindak berdasarkan nilai yang diyakininya, dan ini
berulang-ulang sehingga merupakan pola hidupnya. Dalam tahap ini nilai
bukan saja dipahami, dimengerti (kognitif), diyakini kebenarannya
(afektif), tetapi diwujudkan (psikomotoris) dalam perbuatan atau tindakan
hidup. Jadi ketujuh subproses atau aspek tersebut harus ada agar sesuatu
benar-benar merupakan nilai bagi seseorang. Dengan kata lain, ketujuh
subproses itulah yang dipandang sebagai kriteria untuk menentukan
apakah sesuatu itu merupakan nilai yang sesungguhnya (true value) bagi
orang yang bersangkutan. Kalau ada yang kurang, maka itu belum
merupakn nilai (a value indicator).
Pada prosesnya VCT berfungsi untuk: (1) mengukur atau mengetahui
tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; (2) membina kesadaran siswa
tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif
untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya; dan (3)
menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima
siswa sebagai milik pribadinya (Suryani, 2013).
Berdasarkan paparan deskripsi mengenai VCT diatas kemudian
dielaborasikan dengan pembelajaran sejarah reflektif. Elaborasi ini ditujukan
untuk menghasilkan suatu konsepsi mengenai pembelajaran sejarah reflektif
dengan pendekatan VCT.
3. Pembelajaran Sejarah Reflektif dengan pendekatan VCT
Pembelajaran sejarah reflektif dengan pendekatan VCT secara teoretis
dapat dilakukan. Berdasarkan pada pendekatan dan langkah-langkah
pembelajarannya, pembelajaran sejarah relfektif dan pendekatan VCT saling
bersinggungan. Persinggungan pembelajaran sejarah reflektif dan VCT dapat
dilihat pada table di bawah ini
Persinggungan Pembelajaran Reflektif dan VCT
Pembelajaran Reflektif
VCT
1. Deskripsi
1. Memilih nilai
2. Feeling
3. Evaluation
2. Menghargai/menjunjung tinggi
4. Analyze
nilai
5. Conclusion
3. Bertindak
6. Action
Persinggungan ini memberikan peluang bagi elaborasi pembelajaran
reflektif dan VCT. Peneliti kemudian mengelaborasikan kedua pendekatan
tersebut menjadi konsepsi pembelajaran dalam bentuk langkah pembelajaran
sebagai berikut:
Tabel elaborasi pembelajaran reflektif dan VCT
Elaborasi Pembelajaran
Unsur Reflektif
Unsur VCT
Reflektif dan VCT
•••
137
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tahap Apersepsi
Tahap Mengamati
Tahap Menanya
Tahap Mencoba
Tahap Menalar
Tahap
Mengkomunikasikan
Deskripsi
Feeling
Feeling
Analyze
Evaluation
Conclusion & Action
Memilih nilai
Memilih nilai
Menghargai nilai
Menghargai nilai
Tahap bertindak
Tahap bertindak
Konsep langkah pembelajaran tersebut akan dijabarkan secara lebih
mendalam dalam konteks pembelajaran sejarah dalam materi pemikiran
Muhammad Azhari Al-Palembani.
4. Reinvensi Pemikiran Muhammad Azhari Al Palembani melalui
Pembelajaran Sejarah Reflektif dan pendekatan VCT
Pada bagian ini, konseptualisasi pembelajaran sejarah reflektif dan VCT
yang telah kami paparkan diatas akan dijabarkan dalam suatu praktik
pembelajaran. Konsep tersebut akan digunakan untuk untuk mentransmisikan
pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani yang terdapat dalam kitab
Athiyaturrahman melalui proses pembelajaran sejarah.
Pembelajaran Sejarah Reflektif dalam Konteks Pemikiran Syeik
Muhammad Azhari Al-Palembani dalam kitab Athiyaturrahman
Pembelajaran sejarah reflektif
Refleksi
Refleksi
Pemikiran
Syeikh
Muhammad
Azhari
Pemikiran
Syeikh
Muhammad
Azhari
Refleksi
Pembelajaran sejarah reflektif
Uraian mendetail dari kerangka pembelajaran sejarah reflektif tersebut
dapat dilihat pada bagan deskripsi langkah pembelajaran pembelajaran berikut
ini:
a. Apersepsi
Fase I: Menyampaikan Motivasi dan Tujuan Belajar
Guru menyampaikan dan menjelaskan kepada siswa tujuan
pembelajaran. Selanjutnya guru memberikan apersepsi dengan
•••
138
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
memberikan gambaran tentang kondisi social, politik, dan budaya di
Palembang pada abad ke 19.
b. Kegiatan Inti
Fase II: Mengamati
Guru membentuk siswa menjadi 5 kelompok dan masing-masing
kelompok beranggotakan 6 orang. Guru menyampaikan materi
mengenai pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani
(SMAP) dalam Kitab Atiyatur-rahman (KAR).
Fase III: Tahap Menanya
Guru membimbing siswa untuk berfikir kritis terhadap pemikiran
SMAP dalam KAR. Guru mengarahkan siswa untuk melihat relevansi
pemikiran SMAP dalam era kontemporer. Siswa memberi tanggapan
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan mengenai pemikiran SMAP pada
abad ke 19.
Fase IV: Tahap Mencoba, Description dan Feeling, dan Valueing
Siswa mendeskripsikan pemikiran SMAP dalam kitab AR secara
berkelompok. Siswa memberikan penilaian terhadap pemikiran SMAP
dalam kitab AR secara berkelompok.
Fase V: Tahap Menalar, Evaluation dan Analyze, dan Menghargai Nilai
Siswa merefleksikan pemikiran SMAP di era kontemporer. Siswa
menyimpulkan temuan analisis mengenai relevansi pemikiran SMAP
di era kontemporer.
Fase VI: Tahap Mengkomunikasi, Menghargai/Menjunjung Tinggi Nilai
Guru mengarahkan siswa untuk mengkomunikasikan hasil penalaran
dan refleksinya terhadap pemikiran SMAP dalam kitab AR dalam
forum kelas. Siswa menyampaikan hasil penalaran dan refleksi
pemikiran SMAP dalam kitab AR dalam forum diskusi kelas.
c. Penutup: Conclusion dan Action, Bertindak
Guru dan siswa menyimpulkan bersama-sama temuan yang didapat
dari proses penalaran dan relfeksi pemikiran SMAP dalam kitab AR.
Siswa mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam pemikiran
SMAP untuk diterapkan di dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani
Muhammad Azhari Al-Palimbani (1811-1874 M) merupakan salah satu
ulama tasawuf yang berpengaruh pada masa Keresidenan Palembang.
Muhammad Azhari Al-Palembani dilahirkan di kampung Pedatu’an, kampung
12 Ulu, Palembang. Beliau adalah putera ke delapan dari Nyimas Rabibah
binti Kemas Hasanuddin bin Kemas Sinda tahun 1811 M. Ibunya wafat saat
melahirkan adiknya, kemudian ia diasuh dan dibesarkan oleh kedua bibinya
yaitu Nyimas Jamilah binti Kemas Hasanuddin dan Nyimas Hajah ‘Aisyah
binti Kemas Haji Ahmad yang kemudian menjadi ibu asuhnya. Ayahandanya
bernama Kemas Haji Abdullah (1755-1848 M) yang merupakan seorang
ulama dan pemuka masyarakat di Palembang.
•••
139
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Muhammad Azhari Al-Palembani merupakan ulama Asia Tenggara yang
pertama kali menerbitkan cetakan mushaf Al-Qur’an. Setelah Azhari tinggal
lama di Mekah, ia singgah di Singapura dan membeli alat cetak litograf.
Selain itu, ia juga membawa seorang ahli litograf ke Palembang. Ketika
sampai di Palembang, Kemas Azhari mencetak dua edisi Al-Qur’an. Edisi
yang pertama pada tahun 1848 dan edisi yang kedua pada tahun 1854. Selain
itu, ia juga menulis berbagai buku keagamaan lainnya yang disalin dengan
tangan ketika di Mekah. Dalam cetakan Al-Qur’an tersebut, ia membubuhkan
stempel dengan menggunakan kutipan ayat; warna merah untuk cetakan
pertama; dan warna emas untuk cetakan kedua (Michael Twyman, 1998).
Di samping itu, bersamaan dengan kedatangannya di Palembang, Syekh
Muhammad Azhari al-Palimbani juga melihat kondisi masyarakat Palembang
yang sedang berada dalam fase krisis jati diri (Abdul Azim Amin, 2009) .
Krisis jati diri ini disebabkan oleh berkuasanya bangsa asing di Palembang.
Dengan alasan tersebut beliau mencari solusi dengan bermusyawarah bersama
teman sejawatnya agar menggerakkan penyuluhan dan pendidikan agama
Islam untuk membina jati diri kaumnya. Selain dalam bidang pendidikan,
melalui kitab Athiyyah ar-Rahman Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani
berusaha menghadirkan solusi untuk membina jati diri kaumnya. Dalam kitab
tersebut menjabarkan keutamaan dari keenam rukun iman, mulai dari iman
kepada Allah SWT., para malaikat-Nya, kitab suci, rasul, hari akhirat dan
qodlo` serta qodar. Dalam Athiyyah ar-Rahman, Syeikh Muhammad Azhari
Al-Palembani tidak hanya menjabarkan enam rukun Iman tetapi juga
menunjukkan praktik dan amalannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
Athiyyah ar-Rahman, juga terdapat penjelasan mengenai bagaimana pahala
orang yang menjalankan aqidah Islamiyah.
Penguatan aqidah Islamiyah akan berdampak secara kolektif yaitu untuk
kesatuan umat muslim di Palembang. Dengan kesamaan aqidah Islamiyah
maka kaum muslim akan memiliki unsur atau elemen pemersatu yaitu Islam.
Oleh karena itu, kedudukan Athiyyah ar-Rahman sangat vital sebagai elemen
pembentuk suatu kesadaran kolektif antar umat muslim di Palembang dan
Nusantara. Pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani dalam kitab
Athiyyah ar-Rahman ini membuktikan adanya pemikiran nasionalisme
berbasis religiousitas di Nusantara pada pertengahan abad 19.
Kesatuan umat muslim ini penting untuk melawan kolonialisme di
Palembang yang telah meruntuhkan kesultanan Palembang. Arah dari
pembentukan aqidah Islamiyah dan kesadaran persaudaraan Islam itu adalah
untuk melawan kolonialisme di Palembang. Kitab Athiyyah ar-Rahman
mendorong kaum muslim untuk memperbaiki aqidah dan mempersatukan diri
dalam persaudaraan Islam untuk melawan kolonialisme dengan basis
pengembangan personal, sosial dan pergerakan.
KESIMPULAN
•••
140
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Konsep pembelajaran sejarah dengan pendekatan VCT yang telah
dikemukakan oleh penulis diatas secara teoretik dapat meminimalisir anakronisme
dalam pembelajaran sejarah. Proses refleksi yang memperhitungkan perbedaan
temporal antara masa lampau dan masa kini serta pendekatan VCT yang
menekankan internalisasi nilai mendorong peserta didik untuk dapat berfikir
kronologis dan menyejarah. Selain itu, pembelajaran reflektif dan pendekatan nilai
yang digunakan juga menopang proses internalisasi nilai dalam pembelajaran
sejarah yang mendorong proses reinvensi atau penemuan kembali nilai-nilai di
masa lalu yang selaras dengan nilai masa kini. Sebagai suatu konsep, tentunya
elaborasi antara pembelajaran sejarah reflektif dan VCT perlu untuk diuji
reliabilitas, kelayakan, dan efektifitasnya. Untuk itu tiga keterbatasan tersebut
menjadi fokus penting bagi penelitian selanjutnya. Dengan demikian, konsepsi ini
dapat didiseminasikan dan digunakan seacara luas dalam praktik pembelajaran
sejarah di Indonesia.
REFERENSI
Abidin, Joebagio, dan Sariyatun. (2017). Model Pembelajaran Indonesia Baru Berbasis Nilai
Asthabrata dengan Pendekatan Dekonstruksi untuk Meningkatkan Sikap Kepemimpinan
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis
Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret.
Adisusilo, Sutarjo. 2014. Pembelajaran Nilai Karakter Kontruktivisme dan VCT:
sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Press.
Amin, Abdul Azim. 2009. Syekh Muhammad Azhari al-Palimbani: Ulama
Panutan Abad ke 19 di Nusantara. Palembang: Rafah Press.
Boud, Keogh, and Walker. 1985. Reflection: Turning Experience Into Learning.
Boyd, E. M. (1981). Reflection in Experiental Learning: Case Studies of
Counsellor. Unpublished Doctorral Dissertation. University of Toronto.
Brockbank, A., & McGill, I. (2007). Facilitating Reflective Learning in Higher
Education: Second Edition. Berkshire: Open University Press.
Burston, W. H. 1963. Principles of History Teaching. Fakenham: Cox & Wyman Ltd.
Foucault, M. (1972). The Archaeology of Knowledge and The Discourse on Language. New York:
Patheon Book.
Ghaye, T. (2010). Teaching and Learning Through Reflective Practive: Practical
Guide for Positive Action. London & New York: Routledge.
Michael Twyman. Commemorating the Bicentenary of The Invention of
Lithography, Lithography at The Crossroads of the East. Journal of the
Printing Historical Society, No. 27, 1998: 113-131.
Munslow, A. (2001). Deconstructing History. London: Routledge.
Northouse, P. G. (2013). Kepemimpinan: Teori dan Praktik, edisi keenam.
Jakarta: Indeks.
Nunberg, G. (2013, Februari 26). Historical Vocab: When We Get it Wrong, Does
it Matter? Retrieved Oktober 17, 2017, from NPR:
http://www.npr.org/2013/02/26/172955182/historical-vocab-when-we-get-it-wrong-does-itmatter
•••
141
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pujiartati, Joebagio, dan Sariyatun. 2016. Model Pembelajaran Sejarah Berbasis
Nilai-nilai Serat Wedhatama untuk Meningkatkan Etika dan Moral Pada
Siswa SMA. Tesis Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret.
Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Suryani, Nunuk. Jurnal Paramhita Vol. 23 No. 2 - Juli 2013. Pengembangan Model Internalisasi
Nilai Karakter dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Model Values Clarification
Techniques (VCT). Hlm. 208-219.
Thorpe, M. (2000). Encouraging students to reflect as part of the assignment
process: students responses and tutor feedback. Active learning in higher
education, 79-92.
•••
142
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
143
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
GERAKAN LITERASI SEKOLAH: STUDI ANALISIS DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH
Rizqa Ayu Ega Winahyu,Leo Agung, Djono
Universitas Sebelas Maret
gaega82@gmail.com
ABSTRAK
Mata pelajaran sejarah adalah salah satu mata pelajaran yang
membutuhkan rutinitas membaca yang berkelanjutan di karenakan sejarah adalah
satu-satunya bidang ilmu yang objek kajiannya diantaranya adalah masa lalu.
Sedangkan produk dari hasil aktivitas seorang sejarawan adalah berupa tulisan
yang sering kita sebut dengan historiografi. Salah satu upaya seorang untuk
mendapatkan informasi tentang kesejarahan adalah melalui banyak melakukan
aktivitas membaca atau pada era dewasa ini aktivitas mencari segala informasi
pada suatu media atau sumber tertentu sering dikenal dengan istilah literasi.
Namun yang menjadi permasalahan utama dalam melakukan literasi ini adalah
menurunnya minat baca yang rendah dikalangan masyarakat kita dan tentunya
siswa atau peserta didik di sekolah juga mengalami fenomena yang serupa.
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi pustaka
(literature review) dengan mencari dan mendiskusikan literatur yang mencakup
sejarah dan gerakan literasi sekolah sebagai sumber kajian literature review dan
dianalis dalam pembelajaran sejarah.Berkaca pada hasil survey mengenai
turunnya minat baca siswa maka adanya penggiatan dalam kegiatan literasi sangat
dibutuhkan guna menangkal dampak-dampak yang lainnya. Hasil dari penelitian
ini adanya progam GLS (gerakan literasi sekolah) baru-baru ini diharapkan
mampu meningkatkan minat baca peserta didik, bersamaan dengan bergulirnya
program GLS tentunya harus dimanfaatkan oleh pendidik mata pelajaran sejarah
sebagai salah satu inovasi dalam pembelajaran sejarah.
Kata Kunci : Minat baca, pembelajaran sejarah, gerakan literasi sekolah, literasi.
Pendahuluan
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka
buta huruf. Data UNDP tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelekanhurufan
masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk
katagori remaja. Capaian ini sebenarnya menunjukan bahwa Indonesia telah
melewati tahapan krisis literasi dalam pengertian kemelekanhurufan. Meskipun
demikian, yang menjadi tantangan saat ini adalah rendahnya minat baca. Selain
ketersedian sarana dan prasarana di Indonesia yang kurang memadai, pemerintah
juga menghadapi rendahnya motivasi membaca dikalangan peserta didik. Hal ini
menjadi memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut
untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks secara
analitis, kritis dan reflektif (Wiedarti dkk, 2016: 1).
pembelajaran di sekolah saat ini belum mampu mewujudkan peserta didik
yang berkemampuan membaca (memahami teks secara analitis, kritis dan
•••
144
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
reflektif. Hal ini kemudian pada suatu kesempatan dibuktikan dengan data, pada
tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik
Indonesia (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk kerja sama
dan pembangunan ekonomi dalam progam PISA (Programme for International
Student Assesment) tahun 2009 peserta didik berada pada peringkat ke-57 dengan
skor 396, sedangkan PISA pada tahun 2012 peserta didik berada pada peringkat
ke-64 dengan skor 396 (OECD, 2013). Hasil tersebut menunjukan bahwa
Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Keterpurukan dalam dunia
pendidikan khususnya pada minat baca peserta didik ditunjukan dengan hasil tes
PISA dari tahun 2009 dan 2012 di mana jumlah peserta PISA terdiri dari 65
negara peserta.
Ketrampilan membaca merupakan hal yang penting dalam kehidupan karena
suatu pengetahuan diperoleh dari membaca sehingga keterampilan membaca
seharusnya dikuasai dengan baik sejak dini. Membaca merupakan bagian dari
proses belajar itu sendiri dan tugas utama seorang peserta didik adalah belajar.
Maka secara tidak langsung peserta didik telah melakukan kegiatan membaca.
Kemudian minat baca menurut Farida Rahim (2008: 28) mengemukakan bahwa
keinginan yang kuat disertai usaha-usaha seseorang untuk membaca. Seseorang
yang mempunyai minat membaca yang kuat akan diwujudkannya dalam
kesediaannya untuk mendapat bahan bacaan dan kemudian membacanya atas
kesadaran sendiri atau dorongan dari luar. Sehingga setiap pembelajaran mata
pelajaran proses kegiatan membaca berlangsung dan hal tersebut tidak terkecuali
pada mata pelajaran sejarah.
Mata pelajaran sejarah merupakan mata pelajaran yang kaya akan literasi
peristiwa masa lalunya. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Widja (1989:
23) menurutnya, pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar
dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau.
Karena mempelajari masa lampau sumber sejarah sebagian besar adalah dari
sumber tertulis (arsip, dokumen, naskah kuno, prasasti, hikayat, babat, serat) dan
selain sumber tertulis sejarah memiliki sumber lain seperti audio visual (film
dokumenter, rekaman pidato, dll).
Sedangkan salah satu upaya seorang untuk mendapatkan informasi tentang
kesejarahan adalah melalui banyak melakukan aktivitas membaca atau pada era
dewasa ini aktivitas mencari segala informasi pada suatu media atau sumber
tertentu sering dikenal dengan istilah literasi. Namun yang menjadi permasalahan
utama dalam melakukan literasi ini adalah menurunya minat baca peserta didik.
Berkaca pada hasil survey mengenai turunnya minat baca siswa maka adanya
penggiatan dalam kegiatan literasi sangat dibutuhkan guna menangkal dampakdampak yang lainnya. Adanya progam GLS (gerakan literasi sekolah) baru-baru
ini diharapkan mampu meningkatkan minat baca peserta didik, bersamaan dengan
bergulirnya program GLS (gerakan literasi sekolah) tentunya harus dimanfaatkan
oleh pendidik mata pelajaran sejarah sebagai salah satu inovasi dalam
pembelajaran sejarah.
Metode
•••
145
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi pustaka
(literature review) dengan mencari dan mendiskusikan literatur yang mencakup
sejarah dan gerakan literasi sekolah sebagai sumber kajian literature review dan
dianalis dalam pembelajaran sejarah. Bagaimana dapat ditemukan data survey
mengenai minat baca rendah kemudian keterkaitan dengan fenomena saat ini
kemudian pentingnya minat baca peserta didik sehingga muncul suatu gerakan
literasi sekolah oleh pemerintah kemudian dianalis dalam suatu pembelajaran
sejarah bagaimana gerakan literasi sekolah bekerja dan apakah hasil yang dapat
dari temuan penelitian ini dapat terungkap.
Hasil
Berdasarkan hasil penelitian, gerakan literasi sekolah merupakan suatu
usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah
(peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah,
komite sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media
massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat mempresentasikan keteladanan,
dunia usaha, dll). Gerakan literasi sekolah merupakan bentuk strategi pemerintah
dalam menjawab kekhawatiran akan menurunnya minat baca khususnya peserta
didik. Sehingga dalam pelaksanaan gerakan literasi sekolah tahapan sampai
evaluasi tertulis dalam sebuah buku panduan.
Gerakan literasi Sekolah
Buku panduan gerakan literasi sekolah secara resmi dikeluarkan oleh
pemerintah sesuai dengan kebutuhan jenjang pendidikan. Mulai dari buku
panduan gerakan literasi sekolah untuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama,
sekolah menengah atas bahkan untuk sekolah menengah kejuruan yang semuanya
memiliki latar belakang dan tujuan yang sama. Secara singkat latar belakang dari
adanya gerakan literasi sekolah adalah kemampuan berliterasi peserta didik masih
kurang dan menurunnya minat baca peserta didik. Pengertian literasi sekolah
dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan
menggunakan sesuatu secara cerdas melali berbagai aktivitas, antara lain
membaca, melihat, menyimak, menulis dan/atau berbicara.
Secara
umum
tujuan
gerakan
literasi
sekolah
adalah
Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan
ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar
mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Selain itu GLS memiliki tujuan
khusus yaitu; (a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah (b)
Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat (c) Menjadikan
sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga
sekolah mampu mengelola pengetahuan (d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran
dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi
membaca.
Sedangkan di sini mata pelajaran sejarah adalah salah satu mata pelajaran
yang membutuhkan rutinitas membaca yang berkelanjutan di karenakan sejarah
adalah satu-satunya bidang ilmu yang objek kajiannya diantaranya adalah masa
lalu. Sedangkan produk dari hasil aktivitas seorang sejarawan adalah berupa
•••
146
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
tulisan yang sering kita sebut dengan historiografi. Salah satu upaya seorang
untuk mendapatkan informasi tentang kesejarahan adalah melalui banyak
melakukan aktivitas membaca atau pada era dewasa ini aktivitas mencari segala
informasi pada suatu media atau sumber tertentu sering dikenal dengan istilah
literasi. Adanya progam GLS (gerakan literasi sekolah) baru-baru ini diharapkan
mampu meningkatkan minat baca peserta didik, bersamaan dengan bergulirnya
program GLS (gerakan literasi sekolah) tentunya harus dimanfaatkan oleh
pendidik mata pelajaran sejarah sebagai salah satu inovasi dalam pembelajaran
sejarah.
Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) dalam Sutrianto (2016)
menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas, literasi dasar, literasi
perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks
Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap
selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
(1) Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk
mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting)
berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan
(calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan,
serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan
pengambilan kesimpulan pribadi.(2) Literasi Perpustakaan (Library
Literacy), antara lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan
fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal,
memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang
memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan
katalog dan pengindeksan hingga memiliki pengetahuan dalam memahami
informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian,
pekerjaan, atau mengatasi masalah.(3) Literasi Media (Media Literacy),
yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda,
seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media
digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya. (4) Literasi
Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami
kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware),
peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan
teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk
mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya,
juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang di
dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan
dan mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak. Sejalan
dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini,
diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang
dibutuhkan masyarakat.(5) Literasi Visual (Visual Literacy), adalah
pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang
mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan
materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap
•••
147
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori,
maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu
dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan
hiburan yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.
•••
148
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Tabel 1. Dalam konteks SMA, contoh kegiatan dipaparkan sebagai berikut.
No
Komponen
1
Literasi Dasar
2
Lliterasi
Perpustakaan
3
Literasi
Media
4
Literasi
Teknologi
5
Literasi
Visual
Tahapan
Pembiasaan
Membaca buku
sejarah 15 menit
sebelum
kegiatan belajar
setiap hari
Mencari bahan
pustaka yang
diminati
kegiatan
membaca 15
menit
Membaca berita
dari media
cetak/ daring
yang
dalam kegiatan
membaca 15
menit
Membaca buku
Elektronik
Membaca film
atau iklan
pendek
Kegiatan
Tahap
Tahap
Pengembangan
Pembelajaran
Mendiskusikan Menuliskan analisis
bacaan
terhadap bacaan
Menggunakan
perpustakaan
sebagai
sumber
informasi
dalam
diskusi tentang
bacaan
Mendiskusikan
berita dari
media
cetak/daring
Mencantumkan
daftar pustaka dalam
laporan tugas/ praktik
setiap mata pelajaran
Membuat komunitas
pembelajaran untuk
diskusi dan berbagi
informasi terkait
pemahaman mata
pelajaran antar teman,
dan guru
Memberikan
Setiap mata pelajaran
Komentar
Memanfaatkan
terhadap buku teknologi (komputerasi,
elektronik
searching, dan share)
dalam mengolah,
menyaji, melaporkan
hasil kegiatan/ laporan
Mendiskusikan Menggunakan aplikasi
film atau iklan video/film dalam
pendek
menyaji dan melaporkan
kegiatan
hasil praktik/diskusi/
observasi melalui
website sekolah,
youtube, dll.
Keterangan. Sumber Buku Panduan GLS SMA (Sutrianto dkk, 2016)
Gerakan Literasi Sekolah Dalam Pembelajaran Sejarah
Sampai pada tahap ini gerakan literasi sekolah dalam pembelajaran sejarah
dapat berjalan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan sesuai dengan buku
•••
149
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
induk atau buku panduan gerakan literasi sekolah. Namun yang sempat menjadi
kendala dalam pelaksanaanya adalah ketika aturan gerakan literasi sekolah hanya
diterapkan pada awal,tengah atau akhir pelajaran. Sehingga tidak semua kelas dan
peserta didik dapat melaksanakan gerakan literasi sekolah dalam pembelajaran
sejarah.
Sebagai pendidik tidak perlu khawatir dan yang hanya perlu dilakukan adalah
pendidik mampu melihat peluang di mana ketika kembali kepada prinsip dari
gerakan literasi sekolah. Prinsip adalah jelas menjadikan pembelajar sepanjang
hayat dengan menerapkan tahap gerakan literasi sekolah (pembiasaan,
pemngembangan, dan pembelajaran). Dan sebagai pendidik atau guru mata
pelajaran sejarah harus pandai-pandai memanfaatkan momentum gerakan literasi
sekolah dengan mengaplikasikan mata pelajaran sejarah dalam suatu
pembelajaran.
•••
150
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Tabel 2. Berikut ini adalah contoh gerakan literasi dalam pembelajaran sejarah:
No
Komponen
Tahapan
Pembiasaan
Membaca buku
sejarah 15 menit
sebelum kegiatan
belajar setiap hari
Mencari bahan
pustaka yang
sesuai dengan
pembelajaran
sejarah untuk
kegiatan membaca
15 menit
Membaca berita
dari media cetak/
daring yang
berhungan dengan
kesejarahan
dalam kegiatan
membaca 15 menit
Kegiatan
Tahap
Pengembangan
Mendiskusikan
bacaan
1
Literasi
Dasar
2
Lliterasi
Perpustakaan
3
Literasi
Media
4
Literasi
Teknologi
Membaca buku
Elektronik
(Web/blog/ebook
yang berhubngan
dengan sejarah)
Memberikan
Komentar terhadap
buku elektronik
(Web/blog/ebook
yang berhubngan
dengan sejarah)
5
Literasi
Visual
Membaca film
atau iklan pendek
yang mengadung
(tentang sejarah)
Mendiskusikan
film atau iklan
pendek (tentang
sejarah)
Tahap
Pembelajaran
Menuliskan
analisis
terhadap bacaan
Menggunakan
perpustakaan
sebagai sumber
informasi dalam
diskusi tentang
bacaan
Mencantumkan
daftar pustaka
dalam
laporan tugas/
praktik setiap
mata pelajaran
Mendiskusikan
berita dari media
cetak/daring
Membuat
komunitas
pembelajaran
untuk
diskusi dan
berbagi
informasi terkait
pemahaman mata
pelajaran antar
teman, dan guru
Setiap mata
pelajaran
Memanfaatkan
teknologi
(komputerasi,
searching, dan
share) dalam
mengolah,
menyaji,
melaporkan hasil
kegiatan/ laporan
Menggunakan
aplikasi video/film
dalam menyaji
dan melaporkan
kegiatan
hasil
praktik/diskusi/
observasi melalui
website sekolah,
youtube, dll.
•••
151
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pembahasan
Berdasarkan hasil deskripsi dan gambar tabel yang disajikan tahap dan
komponen dalam gerakan literasi sekolah maupun dalam pembelajaran sejarah
adalah penggambaran bagaimana langkah serta tahapan dalam melaksanakan
kegiatan.
Tabel 1 mengindikasikan pembelajaran mengunakan tahapan dan komponen
gerakan literasi sekolah secara umum dan tabel 2 adalah bentuk kegiatan gerakan
literasi sekolah yang sudah menggunakan pembelajaran sejarah. Secara jelas dapat
dilihat bahwa tabel 2 menunjukan bahwa dalam pemebelajaran sejarah kaya akan
literasi dan dapat memanfaatkan berbagai komponen literasi seperti literasi dasar,
literasi perpustakaan, literasi visual, literasi teknologi, literasi media.
Pada literasi dasar pendidik dapat memanfaatkan media buku sebagai
pembelajaran sejarah buku dapat berupa biografi tokoh-tokoh (pahlawan, raja, ahli
atau orang penting di dunia, dll) dengan tahapan sama membaca terlebih dahulu
kemudian tahap pengembangan mendiskusikan dengan peserta didik baru pada
tahap selanjutnya pembelajaran siswa dapat diberikan tugas berupa tagihan
pembelajaran berupa penulisan berserta analisnya.
Literasi perpustakan pendidik dan peserta didik dapat memanfaatkan
perpustakaan sebagai kegiatan pembelajaran, pada tahap pembiasaan peserta didik
dapat diberikan arahan untuk mencari buku refrensi terkait dengan yang dapat
menambah pengetahuan pembelajaran, kemudian tahap pengembangan ini hampir
sama dengan literasi dasar yaitu peserta didik mendikusikan bahan bacaan yang
sudah peserta didik baca kemudian ditahap pembelajaran yang dilakukan siswa
adalah sama membuat penugasan namun yang dititik beratkan padatahap ini
adalah penggunaan daftar pustaka dalam membuat tugas.
Literasi Media adalah literasi yang berkaitan dengan pemanfaatan media
(cetak/daring) yang pada tahap pembiasaan peserta didik diharuskan membaca
berita (media cetak/daring) kemudian pada tahap pengembangan untuk
didiskusikan dapat secara berkelompok atau individu kemudian pada tahap
pembelajaran membuat suatu komunitas untuk dapat membagikan informasi
terkait pemahaman mata pelajaran sejarah kepada teman guru maupun sekolah
(tugas yang hasilnya dapat dibagikan kepada warga sekolah seperti tulisan
majalah/mading).
Literasi teknologi pada tahap pembiasaan peserta didik dikenalkan dengan
buku elektronik/ebook/jurnal dll yang berkaitan atau bersumber dari internet.
Kemudian pada tahap pengembangan peserta didik dapat memberikan komentar
atau analisisnya kemudian pada tahap pembelajaran peserta didik dapat membuat
hasil kegiatan atau laporan pembelajaran sejarah dalam bentuk ebook/jurnal/
jurnal yang dapat diunggah di internet (wadah yang sudah disediakan sekolah
misalnya).
•••
152
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Literasi visual adalah literasi tahap literasi paling tinggi karena dalam
pmanfaatanya semua indra yang kita miliki dapat menikmatinya. Pada tahap
pembiasaan peserta didik dapat diberikan sebuah film dokumenter untuk dilihat
kemudian pada tahap pengembangan peserta didik dapat menganalisis film
tersebut untuk kemudian pada tahap pembelajaran peserta didik mampu
menceritakan kembali dengan versinya sendiri dan dapat mengambil
pembelajaran dari film tersebut dan sebagai evaluasinya peserta didik diharapkan
mampu membuat film dokumenter sesuai dengan tema-tema pada pembelajaran
sejarah.
Berdasarkan studi analis dalam pembelajaran sejarah dapat dikatakan
bahwa gerakan literasi sekolah adalah suatu sarana penunjang pembelajaran.
Dalam tahapan pelaksanaanya maupun komponennya sangat sesuai dengan
pemenuhan kebutuhan pembelajaran sejarah. Sejarah adalah mata pelajaran yang
kaya akan sumber literasi dan dapat beragam dalam penyampaianya. Sehingga
progam gerakan literasi sekolah dalam pembelajaran sejarah merupakan suatu
momentum bagi para pendidik untuk memanfaatkan progam ini sebagai
penunjang pembelajaran. Pembiasaan atau secara kasarnya pemaksaan membaca
selama 15 menit menjadi pemaksaan yang berujung kebaikan pada pembelajaran
yaitu peserta didik yang akan terbiasa membaca dan menjadi bagian dari suatu
kebutuhan pembelajar. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Ivan
Pavlov (1849-1936) seorang psikolog Rusia.
Menurut Pavlov kondisi pembiasaan ini sering disebut juga dengan teori
classical Conditioning. Hasil dari percobaan yang di lakukan Pavlov menunjukan
bahwa konsep stimulus-respon. Dalam arti, peserta didik dapat membedakan
stimulus yang disertai dengan penguatan dan stimulus yang tidak disertai dengan
penguatan. Yang menarik disini adalah konsep tentang CS-CR seperti yang
dikemukakan oleh Pavlov dalam hal ini Bapak dan Ibu guru dapat kita
umpamakan pelaksana GLS dan siswa sebagai pembelajar yang literat sepanjang
hayat. Dari penjelasan teori diatas nantinya dapat melihat dan memahami apakah
guru sebagai stimulus yang berkondisi dan siswa sebagai respons berkondisi.
Siegler (1988) dalam Rifa’i & Anni (2011) menyatakan bahwa apakah
aspek-aspek perkembangan itu bersifat continous atau discontinous adalah
tergantung pada cara-cara para pakar mengkaji perkembangan. Teori
perkembangan ini relevan dengan tahap pengembangan yaitu kemampuan akan
berbanding lurus dengan waktu atau kemampuan yang tumbuh seiring berjalannya
waktu juga dalam hal ini suatu usaha untuk melihat dan memahami keberlanjutan
dari tahap pembiasaan yang selanjutnya untuk menuju peningkatan pada tahap
pengembangan. Kemudian pada tahap pembelajaran dapat dilihat pada teori
pembelajaran, menurut aliran behavioristik Bapak atau Ibu guru secara langsung
dan tidak langsung melihat, memahami melaksanakan gerakan literasi sekolah
pada peserta didik pada tahap pembelajaran melalui kegiatan dengan menyuruh
membaca, menyediakan fasilitas atau sarana prasarana, kemudian dengan kegiatan
menggunakan lingkungan fisik, sosial afektif dan akademik untuk membentuk
tingkah laku sebagai pembelajar yang literat sepanjang hayat.
•••
153
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Simpulan
Melalui gerakan literasi sekolah minat baca siswa dapat ditingkatkan
karena dalam gerakan literasi sekolah mewajibkan untuk melakukan kegiatan
membaca selama 15 menit diawal, tengah, atau akhir pembelajaran merupakan
tahap pembiasaan. Kemudian pada tahap pengembangan ini gerakan literasi
sekolah mendiskusikan atau melakukan analisis dalam pembelajaran sejarah.
Sedangkan tahap akhir yaitu pembelajaran peserta didik membuat suatu
penugasan yang berorientasi pembelajaran sejarah. Karena hal ini gerakan literasi
sekolah menjadi penunjang dalam pembelajaran sejarah dan lebih lanjut
berdasarkan hasil temuan bahwa pendidik (mata pelajaran sejarah) memiliki peran
penting dalam memanfaatkan gerakan literasi sekolah sebagai momentum
meningkatkan minat baca peserta didik terutama pada pembelajaran sejarah.
Daftar Pustaka
[1] PIRLS 2011 International Report. Performance at the PIRLS 2011.
International benchmarks timms & PIRLS report international study center
(IEA): Lynch School of Education, Boston College.
[2] Rahim, Farida. (2008b). Pengajaran Membaca Di Sekolah Dasar. Jakarta:
Bumi Aksara
[3] Rifa’i, Achmad & Anni Tri Catharina. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang:
Unnes Press.
[4] Sutrianto, Rahmawan, Hadi & Fitrion. 2016. Panduan Gerakan Literasi di
Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Direktorat Jendaral Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
[5] Wiedarti, Laksono, Retnanigdyah (Ed). 2016. Desain Induk Gerakan Literasi
Sekolah. Jakarta: Direktorat Jendaral Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
[6] Widja, I Gde. 1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode
Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
•••
154
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL MELALUI
MIND MAPING VISITOR UNTUK MENINGKATKAN TANGGUNG
JAWAB MAHASISWA DALAM DISKUSI KELOMPOK
Oleh
Hany Nurpratiwi, M.Pd
IAIN Tulungagung
Email: hany.nurpratiwi13@gmail.com
Abstrak
Pembelajaran sejarah adalah pembelajaran yang sangat menarik dan
seharusnya mampu membangkitkan antusiasme mahasiswa dalam proses
belajar mengajar. Pembelajaran sejarah akan menjadi manarik jika
dikemas dan diramu dengan baik oleh pengajar. Sebagai pengajar kita
tidak perlu pesimis dengan stigma negatif bahwa pembelajaran sejarah
adalah pembelajaran yang membosankan. Tugas kita sebagai pendidik
adalah merubah stigma negatif tersebut dengan menciptakan atau
mengembangkan model pembelajaran yang mampu membangkitkan minat
mahasiswa untuk belajar lebih aktif. Mind-maping visitor dikembangkan
untuk membangkitkan minat mahasiswa belajar aktif sehingga mereka
mampu menyelesaikan tugas kelompok secara mandiri. Dari hasil
perkuliahan mahasiswa Tadris IPS semester 3 di IAIN Tulungagung tahun
ajaran 2017/2018 dapat kita mahasiswa menjadi lebih aktif dalam proses
diskusi ketika menyelesaikan tugas masing-masing kelompok yang
diberikan dosen. Pendapat beberapa mahasiswa setelah mengikuti
perkuliahan dengan model mind-maping visitor sangat positif, mereka
lebih senang dengan model pembelajaran tersebut dari pada perkuliahan
dengan model ceramah atau presentasi.;
Kata Kunci: Pembelajaran, sejarah, mind-maping visitor, mahasiswa,
kemandirian.
1. Pembahasan
a. Pembelajaran
Menurut Oemar Hamalik (239: 2006) pembelajaran adalah suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material
fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi
tercapainya tujuan pembelajaran.Pembelajaran adalah upaya untuk
menciptakan iklim dan pelayanan terhadap potensi, kemampuan, minat
bakat peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi yang baik antara
peserta didik dan pendidik.
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh dosen
sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah kearah yang lebih
baik (Darsono, 2000:24). Pembelajaran juga merupakan satu proses
•••
155
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
interaksi antara guru dan peserta didik melalui proses belajar mengajar
(Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, 1995:6). Jadi pembelajaran merupakan
kegiatan yang sengaja di rancang oleh guru sebagai pendidik dengan
tujuan supaya peserta didik memahami apa yang di ajarkan oleh guru
dengan mudah dan peseta didik dituntun kearah yang lebih baik.
Kemampuan pendidik sangat diperlukan untuk menumbuhkan
karakter peserta didik menjadi lebih baik melalui proses pembelajaran
sejarah. Pengembangan proses pembelajaran perlu diperhatikan untuk
mencapai tujuanpembelajaran sehingga manfaat pembelajaran dapat
dicapai secara optimal. Sehingga proses pembelajaran sejarah mempunyai
makna dan manfaat lain disamping pencapaian nilai akademik yang tinggi.
Melalui pembelajaran sejarah diharapkan mahasiswa dapat terinpirasi dari
proses pembelajaran dan dapat menjadi manusia yang wisdom. Sejarah
merupakan subyek yang menghindarkan manusia pada ilusi yang ada pada
saat manusia tumbuh menjadi dewasa (Roswe,2014: 26). Tugas seorang
pendidik sebelum melaksanakan pembelajaran adalah mempersiapkan
desain atau rancangan pembelajaran. Kegiatan tersebut dilakukan supaya
proses pembelajaran dapat tercapai sesuai tujuan dan memudahkan
pengajar karena telah mengetahui alur pembelajaran yang akan dilakukan
sehingga proses belajar akan efektif. Bahwa perencanaan pembelajaran
adalah rancangan yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian
pembelajaran untuk mencapai suatu kompetensi dasar yang ditetapkan
dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus (Sri Narwati, 2012:23).
Melalui pelajaran sejarah mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan
kompetensi untuk berpola secara kronologis dan memiliki pengetahuan
tentang masa lampau untuk memahami kejadian perubahan masyarakat
baik secara sosial maupun budayanya untuk dapat mencari jati diri bangsa
ditengah era globalisasi seperti saat ini. Sebenarnya pembelajaran sejarah
akan memberikan pemahaman terhadap peserta didik bahwa masyarakat
kita mempunyai keragaman budaya yang sangat kaya dan kita harus
menghormati serta melestarikannya.
b. Model Pembelajaran
Menurut Trianto model pembelajaran sebagai suatu pendekatan
yang luas dan menyeluruh serta dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan
pembelajarannya, sintaks (pola urutannya) dan sifat lingkungan belajarnya
(Trianto, 2009). Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar. Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam
kegiatan pembelajaran.
Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat
digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka
panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran dan membimbing
pembelajaran dikelas (Joyce & Weil dalam Rusman, 2013: 133). Model
•••
156
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pembelajaran sengaja dirancang untuk mempermudah proses pembelajaran
di dalam kelas. Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan dosen
dan mahasiswa, sehingga dalam menyusun model pembelajaran dosen
harus menyesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa. Dalam arti lain model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar, dan berfungsi sebagai perancang pembelajaran
dan para pengajar dalam merencanakan aktifitas belajar mengajar
(Soekanto dalam Trianto, 2007: 5). Setiap model pembelajaran yang
dikembangkan memiliki komponen yang meliputi isi, keterampilaan
peranan-peranan mengajar, hubungan sosial, bentukbentuk kegiatan,
sarana atau fasilitas fisik dan cara penggunaannya (Abdul Azis Wahab,
2007: 52). Komponen dalam model pembelajaraan sacara keseluruhan
membentuk sebuah sistem lingkungan yang bagian-bagiannya saling
berinteraksi dan mendesak perilaku partisipan dalam pembelajaran.
Terdapat berbagai jenis model pembelajaran yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran disesuaikan dengan
materi pelajaran dan keadaan lingkungan setempat, supaya tujuan
pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Jenis model pembelajaran
antara lain: (1) collaborative learning yang menekankan pembelajaran
secara berkelompok dalam memecahkana permasalahan, seperti student
teams achievement division (STAD), teams games tournament (TGT) dan
Jigsaw; (2) contextual teaching and learning yang menekankan proses
pembelajaran dengan mengarahkan siswa untuk membangun dan
mengembangkan pengetahuannya sendiri, seperti problem based learning,
inquiry-based learning dan project based learning; (3) problem solving &
discovery inquiry yang menekankan proses pemecahan masalah melalui
pengetahuan yang ditemukan siswa; (4) experiental learning yang
menekankan pada pengalaman peserta didik dalam proses pembelajaran;
(5) integrated learning atau pembelajaran yang mengkobinasikan beberapa
mata pelajaran untuk mengembangkan konsep yang dipilih guru seperti
projrect based learning; (6) quantum learning berprinsip bahwa sugesti
dapat mempengaruhi hasil belajar; (7) resourced based learning
merupakan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan tenologi dan
komunikasi (Anitah, 2009:46-84).
c. Mind Mapping Visitor
Mind Maping adalah suatu teknik mencatat yang dapat memetakan
pikiran yang kreatif dan efektif serta memadukan dan mengembangkan
potensi kerja otak baik belahan otak kanan atau belahan otak kiri yang
terdapat didalam diri seseorang (Bobby De Porter, Mike Hernacki: 2003;
153). Maksud dari mind maping visitor adalah model pembelajaran yang
dilakukan setelah mahasiswa dalam kelompoknya membuat mind maping
sesuai tema yang ditentukan dan salah satu diantara anggota kelompoknya
•••
157
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
harus menjelaskan kepada tamu yang data dari anggota kelompok lain
untuk memperoleh informasi.
2. Langkah Pembelajaran
- Dosen membuka perkuliahan sejarah lokal
- Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran dan proses pembelajaran
- Dosen membagi mahasiswa dalam enam kelompok
- Dosen membagikan materi dan kertas manila untuk membuat mind
maping
- Mahasiswa berkumpul sesuai kelompok
- Dosen memberikan waktu selama 35 menit untuk mahasiswa dan
kelompoknya mencari sumber atau materi
- Setelah selesai
- Dosen meminta mhahasiswa untuk berpencar kepada kelompok lain untuk
mencari materi, tapi ada satu mahasiswa yang tinggal dikelompok dan
memebrikan penjelasan kepada tamu yang datang
- Setelah selesai, mahasiswa kembali kedalam kelompoknya dan
membagikan materi yang mereka peroleh kedalam kelompok /diskusi
internal.
- Dosen memberikan pertanyaan secara acak untuk dijawab anggota
kelompok lain, kelompok yang berhasil menjawab akan mendapatkan
point
- Dosen melontarkan pertanyaan secara acak kepada kelompok terkait
materi yang didiskusikan sebelumnya, kelompok yang berhasil menjawab
pertanyaan akan mendapatkan point atau nilai.
- Diakhir perkulihan dosen mengumumkan nilai terbaik dari kelompok dan
memberikan reward kepada kelompok yang nilainya paling tinggi.
3. Hasil Penelitian
a. Melalui model pembelajaran ini mahasiswa menjadi lebih aktif
daripada proses pembelajaran dengan diskusi-presentasi.
b. Materi lebih mudah diserap oleh mahasiswa, terbukti ketika dosen
memulai sesi kuis, mahasiswa dan kelompok lebih aktif berebut
menjawab pertanyaan dari dosen.
c. Mahasiswa memiliki rasa tanggung jawab untuk mengetahui dan
mempelajari semua materi yang diberikan selama sesi diskusi.
d. Beberapa mahasiswa memberikan komentar bahwa lebih memilih
metode pembelajaran yang sama untuk pertemuan selanjutnya, karena
dinilai lebih menyenangkan.
Daftar Pustaka
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Anitah, S. 2009. Teknologi Pembelajaran. Surakarta: Inti Media.
Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning: theory, research and practice.
a.b Yusron. London: Allymand Bacon.
•••
158
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Sobry, S. 2014. Metode dan Model-model Pembelajaran Menjadikan
Pembelajaran Lebih Valuatif, Aktif, Inovatif, dan Menyenangkan.
Lombok: Holistica.
Sugiono. 2015. Metode Penelitian dan Pengembangan RnD, Bandung:
Alfabeta.
_______. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung:
Alfabeta.
Thobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Ar-uzz Media.
Trianto. 2011. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta :Bumi Aksara.
Wahab, A. A. 2009. Metode dan Model-Model Mengajar. Bandung:
Alfabeta.
•••
159
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
160
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
BELAJAR SEJARAH MENYENANGKAN KIDS ZAMAN NOW
Dra. Willys Sari Listiyani,M.Pd.
ABSTRAK
Sebagain besar dari siswa menyebut pelajaran sejarah adalah kuno, banyak
hapalan, monoton, membosankan dan gambaran negatif lainnya. Sulit bagi guru
untuk mengajak siswa supaya senang dengan pelajaran sejarah. Lain halnya jika
mengajak siswa untuk diskusi mengenai media sosial atau perkembangan
teknologi. Mereka dengan antusias akan lebih tertarik.. Perkembangan media
sosial yang begitu pesat lebih menarik perhatian siswa daripada belajar sejarah.
Hal ini tidaklah aneh karena siswa yang lahir sebagai generasi abad 21 yang
dibesarkan oleh percepatan informasi dengan kemudahan dan kecanggihan
teknologi menuntut kita untuk ikut mengerti kebutuhan anak. Selanjutnya kita
akan membahas permasalah ini dengan pendekatan deskriptif naratif. Sebagai
guru sejarah kita harus merubah gambaran tersebut dengan cara mengganti
metode dan model belajar sejarah seperti yang mereka harapkan. Model
pembelajaran inovatif mampu mengajak anak untuk menyukai pelajaran sejarah
dalam upaya menciptakan rasa cinta mereka terhadap tanah air lewat pelajaran
sejarah. Sehingga muncul ide untuk menciptakan suasana belajar sejarah
asyik…. ala kids zaman now.
Kata kunci : belajar, sejarah, teknologi
Pendahuluan
Tidak diketahui kapan kalimat ini pertama muncul yang kemudian
dipopolerkan di mediasosial (Medsos) untuk menyebut anak zaman sekarang
dimana ada perbedaan pola pikir serta kebiasaan. Mereka adalah generasi abad 21
yang dibesarkan dengan kemudahan teknologi. Bukan gererasi kita yang masih
mengenal permaian tradisional. Bermaian secara kolektif bukan permaian individu
yang seperti sekarang ini. Generasi yang dibedakan oleh percepatan informasi dan
kecanggihan teknologi.
Dalam hal belajarpun ada perubahan. Belajar adalah semua aktivitas
mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan.Belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja,
kemudian menimbulkan perubahan yang keadaannya berbeda dari perubahan
yang ditimbulkan oleh lainnya. Dengan adanya perkembangan teknologi yang
begitu pesat belajar dapat dilaksanakan dimana saja dan dalam suasana yang
menyenangkan seperti yang dikehendaki oleh generasi Kids Zaman Now.
Hasil Dan Pembahasan
Di sekolah ketika kita bertanya mengenai pelajaran sejarah mereka banyak
menyebut sejarah kuno. Ini tidak bisa kita pungkiri karena Peristiwa sejarah yang
terjadi tidak akan lepas dari masa lalu.Ada sebab akibat. Peristiwa yang saling
berkaitan sebagai proses dari masa sebelumnya, masa sekarang dan masa yang
•••
161
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
akan datang. Kajian dalam sejarah unik, peristiwa sejarah hanya sekali terjadi
(einmalig) peristiwa sejarah abadi perlu kemampuan untuk memaknainya.
Disinilah akan terlihat sejarah sebagai ilmu atau sejarah sebagai kisah.
Pelajaran sejarah dianggap sebagai suatu pembelajaran yang banyak
hapalan, monoton, membosankan dan gambaran negatif lainnya harus kita ubah
menjadi pelajaran sejarah yang dinamis, menyenangkan dan tidak membosankan.
Dinamis artinya hidup antusias dengan banyak energi. Sering dengan
perkembangan IPTEK didukung adanya kecepatan informasi, kecanggihan
tehnologi dan komunikasi kuat untuk berkembang berkat interaksi dengan bangsa
lainnya
Dengan belajar sejarah diharapkan kita dapat merencanakan masa
mendatang lebih bijak. Bijak dalam bertindak dengan melihat masa lalu untuk
masa kini atau masa mendatang. Hal ini akan nampak dari manfaat sejarah bagi
kehidupan manusia:
1. Sebagai panduan moral dan politik
2. Mengenal lebih dekat bangsa sendiri dan bangsa lain
3. Memperkokoh identitas bangsa
4. Melatih berpikir menyeluruh (Holistik) dan multiprespektif
5. Melatih berpikir diakronik dan sinkronik
Dalam kurikulum 13 Sejarah menjadi pelajaran penting di SMA karena
ada Sejarah Wajib yang disebut Sejarah Indonesia dan Sejarah Minat yang disebut
materi Sejarah. Sejarah Wajib 2 jam/ minggu untuk kelas MIPA dan IPS dan
sejarah minat untuk kelas X 3 jam/minggu sedangkan kelas XI dan XII 4
jam/minggu. Dengan adanya jumlah jam yang banyak guru harus dapat
menciptakan trobosan atau inovasi baru dalam hal model pembelajaran.
Kurikulum 13 memberi kesempatan untuk menggali kekritisan siswa. Siswa
menjadi Subyek dan keberadaan guru bukanlah satu-satunya sumber belajar, guru
sebagai fasilitator.
Tugas guru adalah menciptakan suasana proses belajar mengajar di dalam
kelas agar terjadi interaksi kegiatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa
untuk belajar dengan baik. Banyak faktor hambatan yang membuat pengajaran
sejarah tidak maksimal misalnya kondisi guru, siswa dan sarana prasarana.
Salah satu keberhasilan belajar tergantung pada metode pembelajaran yang
diterapkan oleh guru di dalam kelas. Metode pembelajaran dapat dijadikan pola
pilihan artinya guru boleh memilih metode pembelajaran yang sesuai untuk
mencapai tujuan pendidikan. Tujuan Pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa dan membangun manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertakwa
kepada tuhan yang maha Esa.
Guru harus mempunyai strategi tertentu supaya siswa dapatbelajar secara
efektif dan efisien sehingga tujuan belajar dapat tercapai. Efektif adalah membawa
hasil yang tepat. Mencapai tujuan dengan cara tepat sedangkan efisien adalah
tepat sesuai untuk mengunakan sesuatu.
Salah satu langkah untuk memiliki strategi tersebut adalah penguasaan
terhadap teknik-teknik penyajian atau biasa disebut dengan metode mengajar.
•••
162
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Metode adalah cara untuk melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan
pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis. Ada
berbagai metode pengajaran yang digunakan oleh guru dalam penyampaian
materi. Salah satu metode pengajaran yang ada adalah metode pengajaran
kooperatif. Dalam metode pengajaran kooperatif terdapat sejumlah teknik atau
tipe yang dapat digunakan dalam pembelajaran.
Tidak ada metode pembelajaran yang terbaik dari model atau metode
lainnya. Guru sejarah harus makin kreatif dan optimis sejalan dengan
perkembangan IPTEK. Model pembelajaran konvensional harus diubah dengan
model-model pembelajaran sejarah yang inovatif dan kreatif supaya
siswa dapat berpikir kritis dalam memaknai masa lalu bangsanya.
Ada bebrapa contoh model pembelajaran.
1.
Metode
Numbered
Heads Together (NHT)
Salah
satu
dari
tipe
pembelajaran kooperatif itu adalah
NHT yang dikembangkan oleh
Spencer Kagan (1992). Metode
NHT
dikembangkan
dengan
melibatkan para siswa dalam
mereview bahan yang dicakup
dalam
suatu
pelajaran
dan
mengecek
atau
memeriksa
mengenai isi pelajaran tersebut.
Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh siswa, guru
menggunakan struktur 4 langkah sebagai berikut:
a. Penomoran (Numbering) yaitu guru membagi siswa menjadi beberapa
kelompok atau tim yang beranggotakan 3 sampai 5 orang dan memberikan
mereka nomor sehingga setiap siswa dalam kelompok tersebut memiliki
nomor yang berbeda
b. Pengajuan pertanyaan (Questioning) yaitu guru mengajukan pertanyaan
kepada siswa
c. Berpikir bersama (Heads Together) yaitu para siswa berpikir bersama untuk
menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap siswa mengetahui jawaban
tersebut
d. Pemberian jawaban (Answering) yaitu guru menyebut satu nomor dan para
siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tengan dan
menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas
•••
163
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
2. Gallery Walk (Pameran berjalan)
Model pembelajaran gallery walk
atau galeri belajar, merupakan salah satu
model pembelajaran kelompok atau
cooperative learning methods. Dimana
menurut Slavin cooperative learning atau
pembelajaran
kooperatif
adalah
pembelajaran dimana sistem belajar dan
bekerja
kelompok-kelompok
kecil
berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif
sehingga dapat merangsang peserta didik
lebih bergairah dalam belajar. Gallery Walk
apat memotivasi keaktivan siswa dalam
proses belajar sebab bila sesuatu yang baru ditemukan berbeda antara satu
dengan yang lainnya maka dapat saling mengkoreksi antara sesama siswa baik
kelompok maupun antar siswa itu sendiri.
Langkah-langkah penerapan metode gallery walk yaitu sebagai berikut:
a. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok
b. Kelompok diberi kertas plano/ flip chart
c. Tentukan topik/tema pelajaran
d. Hasil kerja kelompok ditempel di dinding
e. Masing-masing kelompok berputar mengamati hasil kerja kelompok lain
f. Salah satu wakil kelompok menjawab setiap apa yang ditanyakan oleh
kelompok lain
g. Koreksi bersama-sama
h. Klarifikasi dan penyimpulan
Sekolah SMA Muhammadiyah 1 Surakarta
juga mengembangkan
pembelajaran dengan
Quipper dan E-Learning, aplikasi dari WEB
sekolah.Bahkan di sekolah lain sudah dicoba pembuatan video oleh siswa dan
hasilnya tidak mengecewakan. Misalnya tugas pelajaran materi kerajaan Singosari
siswa membuat kelompok untuk bermain peran sebagai Ken Arok, Ken Dedes,
Empu Gandring dan sebagainya. Siswa dengan kritis berusaha menggambarkan
masing-masing tokoh dan rekamannya untuk menjadi film.
Untuk menggambarkan sebuah peristiwa sejarah diperlukan metode yang
tepat untuk mendukung historiografi harus berpedoman 5 W dan 1 H yaitu :
a. What, apa (peristiwa apa) yang terjadi
b. When, kapan peristiwa itu
c. Where, dimana terjadinya peritiwa itu
d. Who, siapa saja yang trelibat dalam peristiwa itu
e. Why, mengapa peristiwa itu terjadi, apa latar belakangnya
f. How, bagaimana proses terjadinya peristiwa itu
Lewat karya-karya mereka akan muncul kekritisandalam karya yang
mereka hasilkan. Melalui pembelajaran sejarah siswa mengaitkan peristiwa
•••
164
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sejarah menganalisis dengan situasi ke-kinian tidak akan lepas dari kemajuan Ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan teknologi didukung globalisasi yang
semakin cepat menuntut adanya persiapan yang lebih optimal dalam segala
bidang, termasuk dalam pembelajaran sejarah. Dengan demensi waktu lampau,
sekarang dan akan datang siswa diharapkan memiliki visi yang jauh melampaui
batas geografis lokal dan nasional.
Penutup
Menggingat pentingnya pelajaran sejarah karena ada sejarah wajib dan
sejarah minat serta untuk menciptakan kecintaan terhadap pelajaran sejarah guru
harus dapat menciptakan trobosan atau inovasi baru sehingga pelajaran sejarah
yang monoton menjadi dinamis. Beri kepercayaan anak untuk berkembang
berkarya dengan cara memanfaatkan teknologi yang ada. Setiap orang dapat
menulis sejarah. Tetapi untuk pembeda dapat dilihat dari metodologi. Dengan
metode yang tepat beri kesempatan generasi muda menulis sejarah menurut
interpretasinya untuk merekontruksi masa lalu. Setiap generasi berhak menulis
sejarah, memandang sejarah dengan kekinian sesuai dengan zamannya…. Kids
Zaman Now
•••
165
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
166
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
DISCOVERY LEARNING DALAM KERANGKA PEMBELAJARAN
SEJARAH HUMANITARIAN
Gusti Garnis Sasmita, Hermanu Joebagio, Sariyatun
Universitas Sebelas Maret Surakarta
gustigarnis@gmail.com
ABSTRAK
Urgensi pembelajaran humanitarian dalam merespon global culture yang tengah
mempengaruhi setiap sendi kehidupan manusia, terutama pendidikan merupakan
salah satu bentuk kontrol sosial baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mencetak tenaga-tenaga ahli yang
berguna di era kapitalisme global, karena pada hakikatnya pendidikan juga harus
memperhatikan aspek psikologi peserta didik. Maka pembelajaran humanitarian
merupakan usaha dalam memanusiakan manusia dalam proses pembelajaran itu
sendiri. Yang mana pendekatan humanis akan tampak pada model pembelajaran,
salah satu diantaranya ialah digunakannya Discovery Learning dalam
Pembelajaran. Tujuan pembelajaran Sejarah bukan hanya terbatas transfer of
knowledge tetapi juga transfer of value. Maka kebermaknaan sejarah tidak dapat
tercipta hanya dengan kegiatan membaca, dan menganalisis, tetapi dibutuhkan
pula tindakan aktif siswa dalam menemukan fakta sejarah tersebut. Maka
discovery learning merupakan metode yang tepat digunakan dalam pembelajaran
sejarah. dengan menggunakan metode ini, siswa akan terlibat langsung dalam
penemuan fakta, maupun konsep sejarah sehingga siswa akan merasa memiliki
sejarah. discovery learning dalam kerangka pembelajaran sejarah humanitarian
adalah bagaimana diakuiinya kebebasan siswa dalam menemukan dan
mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan analisis deskriptif terhadap studi literatur. Hasil yang ditemukan ialah
konsep discovery learning dalam kerangka pembelajaran sejarah humanitarian
yang menekankan kebermaknaan, keaktifan siswa, kebebasan belajar serta
pengakuan terhadap konstruksi pengetahuan yang didapat oleh peserta didik.
Sehingga pembelajaran bertitik tumpu pada sudut pandang peserta didik dalam
upaya mengoptimalkan kemampuannya.
Kata kunci : Pembelajaran sejarah, humanitarian, discovery learning
PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan proses yang berfungsi membimbing para peserta
didik didalam kehidupannya, yakni membimbing dan mengembangkan diri sesuai
dengan tugas perkembangan yang harus dijalani. Proses edukatif memiliki ciri
adanya tujuan yang ingin dicapai, ada pesan yang akan ditransfer, ada pelajar,
guru, metode, dituasi dan penilaian (Majid, 2013). Sehingga sebuah keberhasilan
proses pembelajaran dapat dicapai salah satunya ialah dengan pengembangan
model-model pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan intensitas
keterlibatan siswa secara efektif dalam proses pembelajaran. Pengembangan
•••
167
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
model pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan
kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar secara aktif dan
menyenangkan sehingga dapat meraih hasil belajar dan prestasi optimal.
(Aunnurrahman, 2014)
Kerangka pemikiran gagne menegaskan 3 kemampuan manusia yang
merupn adalah ketrampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal,
ketrampilan motorik, sikap dan nilai (Aunnurrahman, 2014). Maka pembelajaran
yang baik adalah ketika pembelajaran mampu mengembembangkan 3 kemampuan
dasar, baik kognitif, afektif maupun psikomotor. Sebagaimana keberagaman
karakteristik peserta didik berimplikasi bahwa guru harus sadar sepenuhnya
bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan kelebihan di bidang Intelektual
yang berbeda-beda. Dengan ketiga sasaran pembelajaran dalam ranah afektif,
kognitif dan psikomotor maka diharapkan pembelajaran akan mampu
mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal. Maka model
pembelajaran yang digunakan oleh guru harus mampu merangkul ketiganya.
Seiring berjalannya waktu, globalisasi yang berimplikasi terhadap
modernisasi suatu masyarakat sebaliknya memberikan dampak cukup
memprihatinkan terutama pada masyarakat Indonesia yang notabene ialah realitas
masyarakat multikultural. Dehumanisasi yang tengah menjadi perbincangan
publik akhir-akhir ini merupakan sebuah representasi dari penyeragaman budaya
yang biasa disebut global culture. Hibridasisasi sebuah budaya dalam masyarakat
jika tidak disikapi melalui strategi yang tepat akan memberikan dampak yang
cukup serius yakni tergerusnya budaya minoritas suatu masyarakat.
Hibridasisasi global culture inilah yang kemudian menjadi perhatian
pendidikan kita saat ini. Kecenderungan pendidikan dalam bingkai globalisasi
ialah menyiapkan para tenaga ahli yang mampu mengisi tempat dalam kancah
kapitalisme. Maka proses pembelajaran bukan lagi menjadi sesuatu yang penting
dalam kacamata globalisasi. Padahal jika kita tinjau bersama, urgensi pendidikan
secara langsung maupun tak langsung merupakan kontrol sosial suatu masyarakat.
Gejala intoleransi akan mampu dicegah atau diminimalisir tat kala pendidikan
mampu merevitalisasi nilai-nilai tertentu dalam pembelajaran. Maka diharapkan
pembelajaran seharusnya dilaksanakan dalam pendekatan yang lebih humanis.
Pengakuan dan freedom of learn terhadap peserta didik merupakan poros utama
yang menjadi perhatian suatu proses pembelajaran. Disinilah kemudian
pembelajaran sejarah yang bukan hanya sebagai pembelajaran transfer of
knowledge tetapi juga transfer of value memiliki fungsi strategis dalam bingkai
pendidikan humanis. Salah satu solusi yang dapat diberikan ialah dengan model
pembelajaran discovery learning yang dirasa sangat cocok digunakan dalam
pembelajaran sejarah kerangka humanitarian.
ANALISIS PEMECAHAN MASALAH
Penelitian ini merupakan studi literatur yang merespon permasalah sosial melalui
kerangka pendidikan. Analisis data mengunakan kualitatif deskribtif dengan
triangulasi dala berdasarkan sumber literatur dengan masalah dilapangan. Analisis
•••
168
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pemecahan masalah yang didapatkan ialah pendidikan merupakan kontrol sosial
suatu masyarakat karena fungsi pendidikan yang merupakan long life learning
sehingga pembelajaran harus mampu merespon berbagai permasalah sosial yang
ada. Termasuk dehumanisasi, dan intoleransi, sebagai dampak dari global culture.
Pembelajaran sejarah dalam kerangka humanitarian diharapkan mampu
maminimalisir maslaha tersebut. Salah satunya dengan menggunakan model
discovery learning yang dirasa memiliki fungsi strategis jika digunakan dalam
pembelajaran sejarah.
HASIL
Pembelajaran Humanitarian
Pendidikan dan pengajaran di Indonesia berdasarkan Pasal 4 UUSPN No.
2 tahun 1989, bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam mencapai tujuan tersebut guru sebagai kunci kesuksesan suatu
pembelajaran harus menggunakan strategi yang tepat. Berbagai permasalahan
sosial di era globalisasi ini selanjutnya menjadi tantangan tersendiri terutama bagi
tenaga pendidik kita. Maka pendidikan berbasis masyrakatharuslah berbentuk
suatu usaha mengarah pada cita-cita ideal dan positif bagi masyarakat. Ia
berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap ideologi dominan ke arah
transformasi sosial (Nurhayati, 2011). Maka pendidikan yang kristis harus mampu
merespon permasalahan sosial dewasa ini.
Paradigma pendidikan di era globalisasi menurut Nurhayati antara lain;
berorientasi pada pengetahuan bergeser menjadi pengembangan ke segala potensi
yang seimbang; dari keseragaman pembelajaran bersama yang sentralistik
menjadi keberagaman yang terdesentralisasi dan terindividualisasikan;
pembelajaran dengan model penjejangan yang terbatas menjadi pembelajaran
sumur hidup (long life learning) (Nurhayati, 2011). Maka pendidikan dalam
pendekatan humanitarian merupakan jawaban terhadap paradigma pendidikan
tersebut. Teori belajar dalam pendekatan humanitarian memahami perilaku belajar
dari sudut pandang pelakunya, bukan pengamatnya. Tujuan utamanya yakni
membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, sebagai individu yang
diakui dengan bergai keunikan yang dimiliki dan membantu meningkatkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam teori belajar humanitarian
muara utama ialah manusia itu sendiri sebagai proses belajar. Teori ini lebih
banyak berbicara mengenai pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang
paling ideal yaitu “memanusiakan manusia” dalam meningkatkan potensi diri
Menurut piaget sejak lahir sampai mencapai kematangan, proses berfikir
berubah secara radikal, meskipun lamban, karena kita secara konstan berusaha
memahami tentang dunia.piaget mengidentifikasi empat faktor yang
mempengaruhi perubahan dalam berfikir, kematangan biologis, aktivitas,
•••
169
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pengalaman sosial dan equilibriasi.zone proximal development adalah wilayah
diantara tingkat perkembangan anak saat ini yang ditentukan oleh kemampuan
mengatasi masalah sacara mandiri dan tingkat perkembangan yang dapat dicapai
anak melalui bimbingan orang dewasa atau berkolaborasi dg teman sebaya yang
lebih mampu (Wolfolk, 2009). Sehingga pembelajaran humanitarian harus mampu
mendayagunakan peran serta sosiokultural sebagai bentuk scalfolding peserta
didik dalam meningkatkan zone proximal development
Teori humanitarian memiliki perhatian yang berbeda-beda tetapi saling
berkonfergensi dari para ahli. Menurut Carl R. Rogers dalam Hadis, Belajar
dipandang sebagai fungsi keseluruhan pribadi. Mereka berpendapat bahwa belajar
yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual
maupun emosional peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar
humanisme bahwa motifasi belajar harus bersumber pada diri peserta didik
(Hadis, 2006). Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu: (1) belajar yang
bermakna dan (2) belajar yang tidak bermakna. Belajar yang bermakna terjadi jika
dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik,
dan belajar yang tidak bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran
melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta
didik. Peranan guru dalam kegiatan belajar peserta didik menurut pandangan teori
humanisme adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif dalam : (1) membantu
menciptakan iklim kelas yang kondusif agar peserta didik bersikap positif
terhadap belajar, (2) membantu peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya
dan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar, (3) membantu
peserta didik untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai
kekuatan pendorong belajar, (4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada
peserta didik, dan (5) menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari
berbagai peserta didik sebagaimana adanya. (Hadis, 2006)
Belajar yang bermakna bagi peserta didik adalah bagaimana fleksibilitas
sebuah materi pembelajaran diberikan guru sebagai bentuk kebebasan dalam
belajar. Paradigma guru terhadap persepsi kemampuan peserta didik harus diubah.
Karena kecerdasan tak dapat di nilai dari satu bidang saja. Dengan demikian,
pemahaman guru terhadap perilaku peserta didik ialah ketika guru mencoba
memahami dunia persepsi peserta didik. Maka perubahan perilaku baik kognitif,
afektif dan psikomotor harus berdasar cara pandang peserta didik. A whole person
dalam pendekatan humanitarian merupakan anggapan bagaimana peserta didik
mengembangkan diri mereka sebagai manusia. Pendekatan humanitarian
mengutamakan peranan peserta didik dan berorientasi pada kebutuhan. Sehingga
menurut pendekatan ini, materi ajar harus dilihat sebagai suatu totalitas yang
melibatkan peserta didik secara utuh, bukan sekedar sebagai sesuatu yang
intelektual semata-mata.
Teori humanistik yang diterapkan dalam pembelajaran yang bersifat
konstruktif dan menekankan kogniitf dan mempengaruhi proses membahas
kemampuan dan potensi orang saat memilih dan mencari kontrol atas hidup
mereka. Maka dalam proses aktualisasi diri, berbagai kebutuhan dasar, fisiologi,
•••
170
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
keamanan, kebersamaan dan keyakinan harus tercukupi (Schunk, 2012). Maka
dalam hal fisiologi manusia belajar alami yakni belajar bukan hanya terbatas pada
idealisme konseptual. Melainkan juga aktif dalam penyelesaikan persoalan dengan
melalukan penemuan baru. kemudian ranah keamanan maka kebebasan peserta
didik harus diakui oleh guru dalam kebebasan yang bertanggung jawab. Maka
kesetaraan merupakan perhatian utama. Keyakinan dalam belajar signifikan
terjadi apabila materi plajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan
maksud tertentu maka belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi
mengenai dirinya. Kebersamaan dalam belajar adalah ketika proses pembelajaran
mampu mensetting suasana kelas yang interaktif antara peserta didik dengan
sebaya maupun dengan guru sebagai fasilitator.
Aspek Kemanusiaan Pembelajaran Humanitarian adalah makhluk
multidimensional yang ditelaah dari berbagai sudut pandang. Manusia akan
menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani
(nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian,
ekonomi, kemasyarakatan dan politik. Howard Gardner menelaah manusia dari
sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan).
Menurutnya, manusia memiliki 7 macam kecerdasan (Gardner, New York) yaitu:
1. Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah,
penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi pelajaran di sekolah
berhubungan dengan kecerdasan ini)
3. Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan badan,
memahami sesuatu berdasar gerakan
5. Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola
nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan
penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan
menciptakan gambaran mental.
7. Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal
rohani.
Ki Hajar Dewantara, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya yang memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Maka pendidikan dalam kerangka humanitarian selain harus mampu
mengembangkan 7 kecerdasan diatas juga menyangkut 3 aspek yang saling
berhubungan satu sama lain yakni cipta, rasa dan karsa. Kenyataan yang ada
mayoritas pendidikan dewasa ini cenderung menekankan pada pengembangan
daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika
berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Maka
•••
171
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
totalitas manusia yang dimengerti sebagai manusia itu sendiri dalam ranah
pendidikan harus bertitik tolak pada dalam psikologi humanistik.
Secara singkat, pendekatan humanitarian dalam pendidikan menekankan
pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia
untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan
mengembangkan kemampuan tersebut akan efektif ketika peserta didik
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya melalui sudut pandang pelaku pebelajar.
Discovery Learning dalam Kerangka Pembelajaran Sejarah Humanitarian
Menurut Kuntowijoyo, sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu yang
diartikan sebagai apa yang telah terjadi dalam kaitanntya dengan manusia dan
tindakan yang direkontruksi dalam bentuk kisah sejarah (Kuntowijoyo, 2005).
Sedangkan Mohammad Ali memandang sejarah sebagai jumlah perubahanperubahan, kejadian-kejadian, dan peristiwa-peristiwa dalam kenyataan sekitar
kita, cerita tentang perubahan-perubahan itu, dan ilmu yang bertugas menyelidiki
perubahan dan sebagainya. (Ali, 2005). Maka sejarah secara pragmatis sangat
berguna untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagaimana sejarah dipahami
sebagai konsep masalalu sebagai refleksi masa kini dan perencanaan masa depan
yang lebih baik. Maka tujuan pembelajaran sejarah adalah membentuk kearifan
dalam menyikapi berbagai fenomena sosial sejara bijak serta mampu menariknya
sebgai pembelajaran yang bermakna sepanjang masa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Habib Mustopo mengenai kegunaan sejarah dalam kehidupan
masyarakat antara lain: (1) memberikan kesadaran waktu; (2) memberikan
pelajaran yang baik; (3) memperkokoh rasa kebangsaan (nasionalisme); (4)
memberikan kecerdasan identitas nasional dan kepribadian suatu bangsa; (5)
sumber inspirasi; dan (6) sarana rekreatif (Mustopo, 2006).
Berdasarkan uraian diatas, pembelajaran sejarah bukan hanya sebagai
transfer of knowledge tetapi juga sebagai bentuk transfer of value. Maka
pembelajaran sejarah harus dapat menumbuhkan kebermaknaan terhadap peserta
didik sehingga peserta didik akan merasa memiliki sejarah. urgensi pembelajaran
sejarah di era globalisasi memiliki nilai strategis tatkala ditemukan pada ranah
pencapaian pendidikan yang humanis. Pembelajaran sejarah sebagai media
penanaman nilai akan efektif jika dikemas dalam bentuk pembelajaran aktif dan
kritis. maka pendekatan humanitarian dalam pembelajaran sejarah adalah fokus
utama sebagai kajian. Pembelajaran sejah dalam kerangka humanis tercipta tatkala
guru melihat persepsi siswa terhadap sejarah dan melalui persepsi tersebutlah guru
akan mampu mendorong dan membimbing peserta didik dalam belajar sejarah.
maka pengakuan terhadap kemampuan peserta didik yang berbagai macam harus
diberikan oleh guru sebagai kebebasan dalam belajar. Guru akan senantiasa
membimbing terciptanya pembelajaran sesuai arah tujuan tetapi tidak mematikan
karakteristik peserta didik. Maka dalam proses pembelajaran sejarah, peserta didik
harus ditempatkan sebagai penyelidik sejarah yang melakukan penelitian.
•••
172
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Disinilah kemudian kerangka pembelajaran sejarah humanitarian akan
berintegrasi dengan model pembelajaran discovery learning yang mana peserta
didik akan disuguhkan dengan beberapa permasalahan terkini dan peristiwa
sejarah sebagai konsep dasar. Peserta didik akan secara bebas mencari dan
menemukan konsep maupun fakta sejarah serta menganalisisnya sesuai dengan
sudut pandang masing-masing. Hal ini senada dengan keyakinan Bruner bahwa
belajar penemuan (discovery learning) adalah proses belajar di mana guru harus
menciptakan situasi belajar yang problematik, menstimulus siswa dengan
pertanyaan-pertanyaan, mendorong siswa mencari jawaban sendiri, dan
melakukan eksperimen.
Model belajar mengajar adalah kerangka konseptual dan prosedur yang
sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran, serta para
guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar. (Majid,
2013).Dalam model discovery learning siswa didorong untuk terlibat aktif
dalam pembelajaran dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, sehingga guru
mendorong siswa memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang
memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka
sendiri.Pengertian model discovery learning menurut Jerome Bruner adalah
metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik
kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang
menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner
memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana
murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk
akhir.Dalam model discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan jalan
dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri.Hal ini sejalan dengan pendapat
Maier dalam Winddiharto yang menyatakan bahwa, apa yang ditemukan,
jalan,atau proses semata–mata ditemukan oleh siswa sendiri (Winddiaharto,
2004).
Menurut Syah dalam mengaplikasikan metode discovery learning di
kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum sebagai berikut (Syah, 2004):
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama pelajar dihadapkan pada fenomena yang mengandung
permasalahan, sesuatu yang menimbulkan kebingungannya dan timbul
keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai kegiatan
pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan
aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi
interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam
mengeksplorasi bahan. Sebagaimana pembelajaran sejarah humanitarian,
maka stimulasi pembelajaran tidak boleh menyinggung unsur sara,
sehingga pengajuan pertanyaan sifatnya universal tetapi fital.
•••
173
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulation guru memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam
bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah). Dalam
pembelajaran sejarah tahap ini merespon gejala-gejala permasalah sosial
yang berkembang dimasyarakat, terutama lingkungan peserta didik.
Permasalah sosial ini kemudian dikaitkan dengan analisis suatu peristiwa
sejarah yang kontekstual. Maka peserta didik diberikan sebuah gambaran
umum tentang peristiwa sejarah yang kontrofersial. Walaupun kendala
yang ada ialah tidak semua sub mata pelajaran sejarah dapat dimasukkan
dalam discovery learning kerangka humanitarian, tetapi hal ini erupakan
sebuah terobosan menciptakan pembelajaran sejarah kritis yang akan
mengarah pula terhadap suatu kesadaran kritis peserta didik terhadap
peristiwa sejarah yang diaktualisasikan konsepnya dalam ranah kekinian.
c. Data collection (pengumpulan data)
Pada saat peserta didik melakukan eksperimen atau eksplorasi, guru
memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi
sebanyakbanyaknyayang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya
hipotesis.Data dapat diperoleh melalui membaca literatur, mengamati
objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya. Pengumpulan data dalam pembelajaran sejarah dapat berupa
studi observasi maupun studi literatur. Jika observasi maka guru perlu
melakukan persiapan yang cukup matang apakah yang dipilih adalah
observasi ke situs bersejarah atau observasi melalui online, baik berupa
mengunjungi situs youtube mengenai gambaran sejarah maupun mencari
sumber-sumber tertulis lainnya.
d. Data processing (pengolahan data ) merupakan kegiatan mengolah data
dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara,
observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Disinilah kemudian guru
berfungsi membimbing dan mengarahkan peserta didik dalam mengolah
informasi, tentunya dengan sudut pandang peserta didik sebagai poros
utama. Guru akan dapat membimbing dengan menyampaikan konsep
umum sebuah peristiwa sejarah. sehingga penafsiran secara subyektif ada
pada cara pandang peserta didik sendiri.
e. Verification (pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan
benar
atau
tidaknya
hipotesis
yang
telah
ditetapkan,dihubungkan dengan hasil data processing. Maka verifikasi
disini merupakan tahapan kritik dalam penelitian sejarah.
f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk
semuakejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil
•••
174
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
verifikasi.Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip
yang mendasari generalisasi. Walaupun sejarah merupakan peristiwa yang
unik, namun generalisasi disini mengungkap bagaimana konsep sejarah
masih relefan digunakan dalam permasalahan yang aktual. Maka
hubungan interpretasi sebuah peristiwa akan dilihat melalui kacamata
pendidikan dan kondisi masalah kekinian dengan perkembangan teoritis
sebagai dasarnya.
Kelebihan discovery learning menurut Kemendikbud berdasarkan
implementasi kurikulum 2013adalah sebagai berikut (Kemendikbud, 2014);
1. Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan
keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan
merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.
2. Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
3. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki
dan berhasil.
4. Strategi ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai
dengan kecepatannya sendiri.
5. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6. Strategi ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena
memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
7. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan
sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
8. Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena
mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
9. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
10. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi
proses belajar yang baru.
11. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
12. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
13. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
14. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
15. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada
pembentukan manusia seutuhnya.
16. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
17. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber
belajar.
18. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
Tetapi dalam pelaksanaannya, pada penemuan (discovery) ini mempunyai
juga memiliki kelemahan. Adapun beberapa kelemahannya yaitu sebagai berikut
(Djamarah, 2002):
•••
175
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
1. Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental
2. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya
dengan baik
3. Metode ini kurang berhasil digunakan di kelas besar
4. Bagi guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan
pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila di ganti dengan
metode penemuan (discovery)
5. Dengan menggunakan metode penemuan (discovery) ini proses mental
terlalu mementingkan proses pengertian saja atau pembentukan sikap dan
keterampilan siswa.
SIMPULAN
Pendidikan sebagai respon global culture, dehumanisasi, intoleran dan
sebagainya baik secara langsung maupun tidak merupakan kontrol sosial dalam
usaha mencegah, dan meminimalisir dampak permasalahan sosial yang ada.
Pendekatan humanitarian dalam pendidikan mengutamakan peran peserta didik
yang berorientasi pada kebutuhan. Sehingga totalitas keterlibatan peserta didik
secara utuh, bukan sekedar sebagai sesuatu yang intelektual semata-mata. Maka
pembelajaran dilihat dari sudut pandang siswa sebagai obyek pebelajar dengan
mengembangkan secara optimal kecerdasan siswa memallui pemenuhan
kebutuhan dasar. pembelajaran humanitarian sebagai usaha memanusiakan
manusia harus dikemas melalui model pembelajaran yang tepat. Salah satu
diantaranya ialah digunakannya Discovery Learning dalam Pembelajaran Sejarah.
Pembelajaran Sejarah sebagai transfer of knowledge dantransfer of valueakan
lebih bermakna menjadi long life learning tatkala dikemas melalui pendekatan
humanitarian. Sedangkan discovery learning merupakan tahapan model dalam
kerangka humanis yang akan meningkatkan kebermaknaan terhadap pembelajaran
sejarah sehingga siswa akan mampu dengan aktif terlibat dalam pembelajaran,
merasa memiliki sejarah serta mampu menganalisis konsep sejarah dan
menggunakannya sebagai respon masalah secara aktual atau zone proximal
development. Kebebasan proses pembelajaran dan pengakuan terhadap
kemampuan peserta didik adalah ciri khas dari pembelajarah humanitarian itu
sendiri. Sehingga materi sejarah yang disajikan membidik tema-tema sejarah
kontroversial yang mendorong kesadaran peserta didik dalam berfikir kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: LkiS.
Aunnurrahman. (2014). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Djamarah. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Gardner, H. (New York). Frame of Mind-The Theory of Multiple Intelegence . 1983: Basic Book.
Hadis, A. (2006). Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Kemendikbud. (2014). Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 SMP. Jakarta: Badan
Pengembangan Sumberdaya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kuntowijoyo. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah . Yogyakarta: Bentang.
•••
176
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mustopo, H. (2006). Sejarah SMA X. Jakarta: Yudhistira.
Nurhayati. (2011). Psikologi Pendidikan Inovatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schunk. (2012). Learning Theories an Educational Perspective- Teori-teori Pembelajaran
Perspektif pPendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syah, M. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Winddiaharto. (2004). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Media Tama.
Wolfolk, A. (2009). Educational Psychology Active Learning Edition. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
•••
177
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PERAN MUSEUM KERIS NUSANTARA SEBAGAI MEDIA
PEMBELAJARAN SEJARAH
Mpu Tabah C. A., Nunuk Suryani, Akhmad Arif M.
Program Studi S2 Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret
mputabahca@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini membahas peran Museum Keris Nusantara sebagai media
pembelajaran sejarah berdasarkan kajian tentang Museum Keris Nusantara dan
kebutuhan akan media pembelajaran alternatif bagi siswa. Museum Keris
Nusantara ialah salah satu museum yang saat ini sedang berkembang di Surakarta.
Museum ini menyimpan berbagai koleksi keris lengkap dengan diorama proses
pembuatannya serta video visual mengenai sejarah keris di Indonesia. Pemahaman
tentang museum keris ini dapat semakin menumbuhkan kesadaran budaya siswa,
khususnya tentang keris yang sarat akan nilai kearifan lokal.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan
mengumpulkan data terkait subjek penelitian. Sumber data diperoleh melalui
kajian dokumen, wawancara, serta observasi di Museum Keris Nusantara.
Hasil penelitian menjelaskan, bahwa Museum Keris Nusantara dapat dijadikan
salah satu alternatif bagi guru sejarah sebagai media belajar siswa. Sejarah keris
yang sarat akan makna simbolis dan filosofi memiliki peran yang besar dalam
kaitannya untuk menumbuhkan kesadaran budaya siswa.
Kata Kunci: Museum Keris Nusantara, Media Belajar, Kesadaran Budaya.
Pendahuluan
Dewasa ini, museum-museum baik di Indonesia maupun di dunia telah
mengalami suatu perkembangan. Museum tidak lagi ingin disebut sebagai
’gudang’ tempat menyimpan barang-barang antik seperti anggapan masyarakat
pada umumnya, tetapi museum berusaha untuk menjadi tempat dimana
pengunjung dapat merasakan suatu suasana dan pengalaman yang berbeda, yang
hanya akan mereka dapatkan jika mereka berkunjung ke museum. Perubahan ini
membuat peran museum berkembang menjadi tempat preservasi, penelitian dan
komunikasi, yang tujuannya untuk menyampaikan misi edukasi sekaligus rekreasi
kepada masyarakat (Weil, 1990; Hooper-Greenhill, 1994:140).
Perubahan tersebut juga membuat misi edukasi yang diemban oleh
museum mengalami pergeseran. Selama ini, peran edukasi museum adalah untuk
menyampaikan misi pendidikan mereka kepada anak-anak, namun, dengan
perubahan paradigma, maka museum juga harus dapat menyampaikan misi
edukasinya itu kepada semua lapisan masyarakat. Museum tidak hanya sekadar
menjadi tempat untuk mendidik masyarakat, tetapi menjadi tempat pembelajaran,
yang termasuk di dalamnya tempat di mana pengunjung dapat memperoleh
pengalaman (Ambrose dan Paine, 2006:46-48).
•••
178
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Salah satu museum yang saat ini sedang berkembang ialah Museum Keris
Nusantara yang terletak di Surakarta. Museum ini menyimpan berbagai koleksi
keris lengkap dengan diorama proses pembuatannya serta video visual mengenai
sejarah keris di Indonesia. Melalui pemahaman tentang museum keris ini
diharapkan dapat semakin menumbuhkan kesadaran budaya siswa, khususnya
tentang keris yang sarat akan nilai kearifan lokal.
Museum keris Nusantara ini dapat dijadikan media pembelajaran sejarah
Indonesia kelas X hingga kelas XII. Kaitannya dengan materi siswa kelas X yaitu
tentang materi animisme dan dinamisme. Keris dipercaya oleh sebagian
masyarakat memiliki kekuataan gaib dan mistis. Hal ini berkaitan dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa. Selain itu, Museum
Keris Nusantara juga dapat dijadikan media pembelajaran sejarah Indonesia masa
Hindu-Buddha dan Islam. Keris di Jawa telah dikenal sejak zaman Kerajaan
Mataram Hindu. Keris dianggap dapat menambah nilai kebesaran seorang raja.
Keris juga dianggap sebagai pusaka yang dapat memberikan kekuatan gaib
(kesaktian) raja. Keris mulai berkembang sejak zaman Sultan Agung tahun 16131645, waktu itu raja memberikan perintah supata prajurit yang berprestasi diberi
hadiah berupa keris. (Poerwanto, R.S., 1990) Peran penting Museum Keris
Nusantara sebagai sumber dan media pembelajaran ialah makna simbolik keris
yang memiliki nilai-nilai filosofi adi luhung yang harus dipahami generasi muda
agar budaya yang sarat akan nilai ini tidak pudar tergerus oleh zaman.
Gambaran Umum Museum Keris Nusantara
Museum Keris Nusantara merupakan museum yang diresmikan oleh
Presiden Jokowi pada tanggal 9 Agustus 2017. Hal ini merupakan tindak lanjut
dari diakuinya Keris Indonesia oleh UNESCO, sebagai warisan budaya dunia.
Museum Keris berlokasi di Jalan Bhayangkara, Sriwedari, Surakarta.Museum ini
mempunyai empat lantai dengan satu lantai basement. Di museum ini dapat dilihat
berbagai koleksi senjata tradisional khususnya keris dari berbagai wilayah di
Nusantara lengkap dengan diorama proses pembuatannya serta video visual
mengenai sejarah keris di Indonesia. Pada lantai satu disuguhkan gambar-gambar
senjata tradisional dari berbagai penjuru dunia. Konon penyebaran senjata di
dunia terjadi melalui jalur damai maupun peperangan. Sebaliknya, keris tersebar
melalui jalur perdagangan dan diplomasi. Berdasarkan jenis bahan, senjata
tradisional dapat dipilah menjadi senjata logam dan senjata non logam. Senjata
yang digunakan masyarakat di wilayah Amerika, Australia dan Oceania umumnya
berbahan dasar kayu, tulang hewan serta batu. Penggunaan senjata tradisional
berupa kapak batu mendominasi wilayah Amerika saat itu, sedangkan masyarakat
Australia dan Oceania cenderung menggunakan senjata yang berefek memar yaitu
batu dan bumerang.
Senjata berupa besi dan baja banyak digunakan di Asia, Afrika dan Eropa,
mulai dari Mambele di Afrika Tengah hingga Naginata di Jepang. Budaya senjata
berpisau sangat berkembang di tiga benua ini. Ternyata senjata juga mengalami
evolusi, beberapa faktor dapat mengubah bentuk, teknik penggunaan serta fungsi
•••
179
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
senjata. Perubahan pedang besar menjadi pedang rapier di Eropa disebabkan oleh
masuknya mesiu yang melenyapkan pertarungan jarak dekat. Kelincahan
memainkan pedang besar di era Carolingian berubah menjadi kelincahan tari
pedang di era Rennaissance dan Victorian. Pengenalan kuda ke Amerika
menyebabkan panah besar menghilang digantikan panah kecil yang lebih mudah
digunakan saat menunggangi kuda.
Di lantai ini juga dapat dilihat tipe pamor keris. Pamor berasal dari
kata amor atau awor (dari bahasa Jawa) yang artinya berpadu atau
paduan. Pamor mempunyai dua pengertian, pertama mendeskripsikan gambaran
tertentu berupa garis, lengkungan, lingkaran, noda, titik atau motif belang-belang
yang tampak pada permukaan bilah keris, tombak dan tosan aji lainnya. Kedua,
dimaksudkan sebagai bahan pembuat pamor itu sendiri. Dalam seni budaya tosan
aji, pamor menempati fungsi fisik sebagai tulang dari tosan aji sedangkan baja
berfungsi sebagai penajam bilah. Selain sebagai tulang dari tosan aji, pamor juga
merupakan hiasan dan memberikan simbol metafisik. Pada zaman dahulu, pamor
juga menunjukkan simbol kedudukan atau prestasi tertentu.
Pada masa kepemimpinan Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusuma di
zaman Kerajaan Mataram, para lurah prajurit atau prajurit biasa yang berprestasi
mendapat hadiah berupa keris atau tombak yang dihiasi serasah emas
dengan pamor Sada Sakler atau motif trisula dan Sapit Landak. Untuk prajurit
perwira diberi hadiah berupa tosan aji berserasah emas, dengan motif kepala singa
dan gajah. Untuk para wedana, berupa serasah lung-lungan dan untuk putera dan
kerabat keraton atau patih dalem berupa serasah emas dengan motif bunga
anggrek.Motif atau pola gambaran pamor terbentuk pada permukaan bilah keris
karena adanya perbedaan warna dan perbedaan nuansa dari bahan-bahan logam
yang digunakan. Dengan teknik tempa tertentu, logam bahan baku keris akan
menyatu dalam bentuk lapisan-lapisan tipis, tetapi bukan bersenyawa atau lebur
satu dengan yang lainnya. Proses penyayatan pada permukaan bilah keris
membentuk gambaran pamor.
Pengetahuan mengenai keris ini tak luput dari jasa Bapak pelopor
Ilmu/Studi Keris Modern yaitu KGPH. Hadiwidjojo, putra Sinuwun Susuhunan
Pakubuwono X. Putera lulusan Universitas Leiden Belanda ini aktif mengadakan
kajian budaya Jawa sejak berdirinya Radya Pustaka melalui Komite Kebudayaan
Surakarta. Beliau menjadi ketua ke-4 Museum Radya Pustaka dan memangku
jabatan ini selama 49 tahun. Beliau menulis ulang manuskrip “Dhapur Dhuwung”
salinan dari pratelan “Dhapur Dhuwung Saha Waos” yang berisi dhapur keris
Surakarta.Beliau juga mengutus empu keris Ngabei Wirasukadga menulis tentang
“Pamecahing Kyai Pamor”, rekonstruksi kembali cara memecah pamor meteor
Keraton Surakarta. Konon meteor ini dipecah pada tahun 1800, setelah 50 tahun
ditemukan. Pengetahuan mengenai pembuatan warangka ditulis oleh
Nayawirangka II dalam “Kawruh Sasarungan”.
Selain itu, beliau juga mengutus Ngabei Jararaga untuk mendeskripsikan
“Kawruh Jejeran” yaitu tentang pembuatan hulu keris. Berkat ketekunan beliau
yang mumpuni di bidang kebudayaan, pendidikan dan ilmu pengetahuan serta
•••
180
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
mencurahkan seluruh hidupnya penuh pengabdian untuk memajukan budaya
Jawa, beliau dinobatkan pada pencapaian tertinggi dengan gelar kehormatan
Kanjeng Gusti Panembahan Hadiwidjojo.
Lantai dua Museum Keris Nusantara berisi koleksi keris lengkap dengan
deskripsinya. Keris tidak dapat dipisahkan dari perabotnya (bagian-bagian
pelengkapnya). Fungsi utama keris (bilah keris) sebagai senjata dibalut dengan
perabotnya yaitu bagian hulu (pangkal keris) atau istilahnya “jejeran”, bagian
antara hulu dan keris yaitu “mendhak dan selut” serta warangka(sarung keris)
lengkap dengan pendhok-nya. Bahan jejeran keris dapat berupa logam, kayu,
tanduk atau tulang hewan, serta gading dan cula.
Bahan dipilih yang keras, kilaunya bagus dan berserat indah. Bilah keris
terdiri dari dua macam, yaitu keris luk dan keris lurus. Pada bagian bilah keris
terdapat dari 3 bagian yaitu pucukan atau ujung, awak-awakan atau badan,
serta sor-soran atau bagian paling bawah. Pada sor-soran terdapat gonja dan pasi,
bagian sor-soran merupakan tempat ricikan keris. Komposisi ricikan yang dipakai
pada bilah akan menentukan nama dhapur keris tersebut, misalnya dhapur
spaner, dhapur tilam upih, dhapur surapati.
Penjelasan mengenai bilah keris diuraikan dalam Serat Centhini. Tiap
bagian keris mempunyai berbagai tipe tersendiri, serta ada tipe-tipe tertentu yang
hanya boleh digunakan untuk kalangan kelas atas pada masa itu. Ketentuan
tersebut ditulis oleh Pakubuwono IV dalam Serat “Anger Awisan”. Di lantai ini
juga dapat diketahui bagaimana eksistensi keris di masyarakat serta bagaimana
cara mewariskan keris.
Ilmu keris pada zaman dahulu merupakan “Kawruh Sinengker” yang
artinya ilmu yang dirahasiakan. Ilmu ini baru boleh diajarkan oleh ahlinya jika
seorang anak mencapai usia akil balig. Keris dan ilmunya merupakan salah satu
simbol pencapaian pria Jawa pada jaman dahulu. Keris juga dianggap sebagai
“adek-adeking bale somah”, pusaka yang diturunkan orang tua kepada anaknya,
serta salah satu penopang tegaknya budaya Jawa.
Selanjutnya, pada lantai 3 dapat dilihat diorama proses pembuatan keris
serta beberapa gambaran proses pembuatan keris dari acara do’a lengkap dengan
sesajennya. Sebelum pembuatan keris dilakukan upacara do’a lengkap dengan
berbagai jenis sesajennya.Ritual ini dilakukan oleh orang yang punya hajat
membuat keris sebagai bentuk permohonan restu kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta alam semesta agar pemesanannya terkabul sesuai yang diharapkan. Selain itu
juga dimaksudkan agar empu serta para sabatnya dapat mencurahkan tenaganya
dengan tenang serta menumbuhkan hati yang teguh, diberi rasa sabar dan hati-hati
sehingga dapat menumbuhkan daya ciptanya guna menghasilkan kerja yang baik.
Sesaji dilakukan oleh empu pada saat pertama kali menempa atau masuh.
Yang kedua adalah saat menyepuh pada akhir pembuatan keris. Beberapa
sesajen di antaranya berupa sekul asahan; tumpeng janganan; tumpeng
robyong; sekul golong; jajan pasar; degan ayu, kembang boreh, lengo
wangi; sinjang warna-warni, mori, lawe, jungkat, pengilon serta ayam. Ada
beberapa tahap pembuatan keris dari tahap menipiskan pamor, pasang pamor,
•••
181
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
membuat kodokan, membuat wilahan, nyilak waja, membuat luk, mepeh, mecah
perabot, menyempurnakan pasikon, membuat gonja, mengasah bilah, membuat
greneng, menerapkan gonja, nyepuh, marangi. Gambaran proses tersebut dapat
kita lihat pada diorama pembuatan keris. Di museum ini juga terdapat
perpustakaan kecil yang berisi buku seputar pengetahuan tentang keris.
Pentingnya Pemahaman Tentang Keris Bagi Siswa
Semenjak ditetapkannya keris sebagai Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity atau mahakarya warisan kemanusiaan yang berwujud tak
benda oleh UNESCO pada tahun 2005, pengetahuan tentang keris maupun tosan
aji lainnya belum pernah diajarkan di sekolah-sekolah, baik tingkat dasar,
menengah, maupun atas. Hal ini terjadi karena pengetahuan tentang tosan aji tidak
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Padahal keris atau tosan
aji yang lain misalnya tombak maupun pedang yang diciptakan dengan
menggunakan teknik tempa lipat telah dibuat hampir di seluruh wilayah Indonesia
mulai zaman proto sejarah.
Penyebaran pengetahuan tentang keris selama ini didapat melalui berbagai
workshop, internet, pameran ataupun diskusi yang diselenggarakan oleh
komunitas-komunitas pecinta tosan aji secara mandiri yang biasanya hanya
dihadiri oleh pecinta tosan aji. Sebagai kebanggaan bangsa dan salah satu cara
agar pengetahuan tentang keris tidak punah dan semakin dicintai oleh masyarakat
maka sangat perlu pengetahuan tentang keris dikenalkan dan diajarkan di sekolah
formal, hal ini juga sebagai perwujudan cinta tanah air dalam hal seni dan budaya.
Banyak hal yang bisa kita pelajari dari keris, misalnya tentang teknik dan
bahan-bahan pembuatan keris, sejarah, estetika, etika, ekonomi, maupun nilainilai filosofi yang diajarkan melalui simbol-simbol tertentu pada keris. Tentunya
hal itu tergantung dari sisi mana kita mempelajarinya.
Walaupun kepercayaan tentang kekuatan gaib dari keris terkadang
bertentangan dengan kepercayaan agama Islam. Namun, pemahaman tentang keris
tetap diperlukan bagi siswa untuk melatih siswa berpikir kritis serta untuk
menghargai budaya leluhur kita. Sebagaimana semboyan yang sering didengungdengungkan bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang menghormati dan
melestarikan budayanya sendiri, maka sudah selayaknya pengetahuan tentang
keris yang merupakan hasil budaya asli bangsa kita mulai dikenalkan dan
diajarkan di sekolah formal, baik sebagai muatan lokal atau sub materi dari mata
pelajaran.
Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela
diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun
kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu
berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai
kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun
dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang
terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai
kebanggaan pemakainya.. Ada pepatah yang menyatakan : “Penghargaan pada
•••
182
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
seseorang tergantung karena busananya.” Mungkin pepatah itu lahir dari
pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang
dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang
itu.
Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu
perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus
mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap). Dan kewajiban itu
harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai
busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala
(kuluk) dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris?
Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol
“kejantanan.” Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya
berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris.
Keris merupakan lambang pusaka.Yang menarik hati adalah keris yang dipakai
untuk kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan
untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata
itu bukan hanya sekedar hiasan, melainkan mengandung makna untuk
mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah,
adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri.
Keris juga tidak bisa dipisahkan dari sarungnya (warangka). Hubungan
keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara
filosofi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di
dunia. Maka lahirlah filosofi “manunggaling kawula – Gusti”, bersatunya abdi
dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan penciptanya, bersatunya rakyat
dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia,
sehat sejahtera. Selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing
juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masingmasing secara benar.
Pemahaman tentang keris kiranya perlu untuk diketahui bagi siswa
maupun generasi muda, hal ini terkait dengan nilai-nilai adi luhung yang
terkandung dalam pemaknaan keris pada masa lalu dan perubahan maknanya
hingga kini. Sehingga generasi sekarang tidak akan kehilangan jati diri nya
sebagai masyarakat Jawa di era globalisasi seperti sekarang.
Peran Museum Keris Nusantara Sebagai Media Pembelajaran Sejarah
Salah satu media pembelajaran dalam pendidikan sejarah yang terpenting
adalah museum. Melalui museum diharapkan pendidikan sejarah dalam kerangka
menanamkan kesadaran sejarah kepada generasi muda dapat tercapai. Karena
museum diharapkan pendidikan sejarah dalam rangka menanamkan kesadaran
sejarah kepada generasi muda dapat tercapai. Karena museum merupakan jendela
dunia yang mampu membuka mata kita terhadap sejarah kehidupan bangsa
(Kreasi Maret 2005) Melalui museum kita bisa mengetahui bagaimana perjalanan
panjang dari bangsa kita, yaitu Indonesia.
•••
183
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Museum keris Nusantara dapat dijadikan sumber dan media pembelajaran
sejarah Indonesia kelas X hingga kelas XII. Kaitannya dengan materi siswa kelas
X yaitu tentang materi animisme dan dinamisme. Keris dipercaya oleh sebagian
masyarakat memiliki kekuataan gaib dan mistis. Hal ini berkaitan dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa. Animisme dan
dinamisme telah muncul sejak zaman Pra-Aksara. Keris sendiri dipercaya telah
dikenal Bangsa Indonesia sejak dahulu. Sebagai hasil teknologi, keris telah
mengalami perkembangan, hal ini sesuai dengan pendapat Gardner dan Bernet
Kempers yang dikutip Joko Sukiman (1983), Gardner berpendapat bahwa keris
merupakan perkembangan dari senjata penusuk pada zaman prasejarah. Waktu itu
alat penusuk terbuat dari tulang atau sengat ikan pari yang dibalut dengan kain
sebagai tangkainya. Sedangkan Kempers dalam buku yang sama berpendapat
bahwa keris adalah pertumbuhan dari senjata penusuk zaman kebudayaan
Dongson.
Selain itu, Museum Keris Nusantara juga dapat dijadikan media
pembelajaran sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha dan Islam. Keris di Jawa
telah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu. Keris dianggap dapat
menambah nilai kebesaran seorang raja. Keris juga dianggap sebagai pusaka yang
dapat memberikan kekuatan gaib (kesaktian) raja. Keris mulai berkembang sejak
zaman Sultan Agung (1613-1645), waktu itu raja memberikan perintah supata
prajurit yang berprestasi diberi hadiah berupa keris. (Poerwanto, R.S., 1990) Peran
penting Museum Keris Nusantara sebagai sumber dan media pembelajaran ialah
makna simbolik keris yang memiliki nilai-nilai filosofi adi luhung yang harus
dipahami generasi muda agar budaya yang sarat akan nilai ini tidak pudar tergerus
oleh zaman.
Pada masa lalu, keris bagi orang Jawa khususnya merupakan bagian
penting dalam kehidupan seseorang. Manusia Jawa dahulu menilai kehidupan
seseorang sudahlah komplit apabila memiliki rumah, istri, kuda atau kendaraan,
burung atau sarana menikmati keindahan, dan juga keris untuk bisa melindungi
diri, keluarga, dan juga bangsa. Keris oleh orang Jawa juga dilihat sebagai bentuk
benda seni yang bersejarah, menjadi pusaka, azimat, yang melambangkan sifatsifat agung seperti kejujuran, keberanian, kesatria, menepati janji, pantang
menyerah, dan sebagainya. Pada konteks sejarah, banyak pahlawan nasional yang
mengenakan keris pada baju kebesarannya ketika memimpin peperangan seperti
Pangeran Diponegoro dan juga Jenderal Soedirman juga dengan pahlawanpahlawan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa keris kemudian juga
memberikan inspirasi bagi para pejuang untuk terus berjuang dan
mempertahankan tanah airnya dengan melawan kolonialisme karena tidak sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh bangsanya dan juga tidak sesuai dengan ajaran
leluhur yang terpatri dalam pemaknaan dari keris.
Kesimpulan
Melalui penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa museum keris
nusantara memiliki peran yang signifikan sebagai sumber dan media pembelajaran
•••
184
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sejarah Indonesia. Keris dalam sejarah Indonesia telah berkembang dari senjata
penusuk pada zaman praaksara hingga menjadi keris seperti yang dikenal
sekarang. Keris juga mengalami kontemporerisasi dari segi fungsi dan
pemaknaan. Hal ini perlu dipahami oleh siswa selain untuk penunjang materi
dalam pembelajaran, juga untuk meningkatkan kesadaran budaya siswa. Sehingga
untuk mengenalkan museum keris nusantara bagi siswa perlu ada kunjungan
wisata, pengembangan media, ataupun bahan ajar yang berkaitan dengan museum
keris nusantara.
Daftar Pustaka
Ambrose, Timothy dan Crispin Paine (2006). Museum Basics. Edisi II. London dan
New York: Routledge.
Hamzuri. (1988). Keris. Jakarta: Djambatan
Hooper-Greenhill, Eilean (1994). The Educational Role of the Museum. 2nd edition.
London : Routledge.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Poerwanto RS. (1990). Keris Dudu Tembung Asli Jawa. Dalam Mekar Sari. h. 13
Sutopo, H.B. (1988). Konsep-konsep Dasar Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS
Press
Wibowo, Dony Satryo. (2014). Keris, Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
•••
185
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
MODEL PROJECT BASED LEARNING SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI SEJARAH LOKAL SISWA
Nia Ulfia Krismawati1, Warto2, Nunuk Suryani3
Pascasarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Niaulfia5544@gmail.com
ABSTRAK
Literasi merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan
mendekonstruksi melalui membaca, menulis, dan sebagainya. Kemampuan literasi
dibutuhkan siswa untuk menguasai sejarah lokal sehingga mampu menganalisis
dan mengaplikasikannya dalam bentuk tulisan. Dalam realitanya literasi sejarah
lokal masih sangatlah rendah dibuktikan dengan minimnya kegiatan literasi baik
membaca maupun penelitian dan publikasi sejarah lokal. Maka dari itu diperlukan
strategi pembelajaran sebagai sarana bagi siswa dalam penguasaan kemampuan
literasi sejarah lokal. Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dengan
menggunakan sumber yang relevan. Tujuan dari penelitian ini adalah berusaha
memberikan alternatif pembelajaran sejarah melalui model project based learning
(PjBL) sebagai upaya untuk meningkatkan literasi sejarah lokal siswa. Hal
tersebut didasarkan pada model pembelajaran yang menekankan pada kegiatan
literasi yaitu membaca dan menulis yang berupa penugasan penelitian sederhana
terkait sejarah lokal. Kegiatan ini dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis dan
mampu mengaktulisasikan pemahaman dalam bentuk tulisan. Diharapkan,
penulisan ini dapat berkontribusi dan menambah referensi terhadap strategi
pembelajaran sejarah lokal sebagai upaya peningkatan budaya literasi sejarah
lokal.
Keywords: PjBL, Pembelajaran Sejarah, Kemampuan Literasi Sejarah
Lokal.
Pendahuluan
Kemampuan literasi merupakan salah satu hal yang harus dimiliki oleh
setiap siswa pada era sekarang. Semakin tinggi keahlian literasi yang dimiliki,
maka akan semakin baik kualitas dari siswa. Literasi merupakan sarana untuk
mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapat, baik dibangku
sekolah, rumah, maupun lingkungan (Nurchaili, 2016). Literasi erat kaitanya
dengan mata pelajaran sejarah yang menitikberatkan pada kemampuan membaca
dan menulis. Kunci penguasaan materi sejarah adalah membaca sumber-sumber
sejarah. Literasi dalam hal sejarah atau dikenal dengan historical literacy
merupakan kemampuan negosiasi, interpretasi, dan memahami arsip, dokumen
sejarah, dan artefak (Nokes, 2013). Kemampuan ini mengharuskan siswa untuk
berpikir kritis, mempunyai pemahaman tinggi, dan mampu mengaplikasikannya
dalam bentuk tulisan. Kegiatan menulis akan membantu mendapatkan dan
•••
186
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
mengingat informasi yang telah didapatkan dan dapat membuat ingatan semakin
tajam serta tidak gampang lupa (Kalida, 2014).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat literasi rendah baik
dalam hal membaca maupun menulis. Data dari Program For International
Student Assessment menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 57 dari
65 negara terkait budaya literasi. Studi PISA melaporkan bahwa 25%-34% dari
siswa Indonesia masuk dalam tingkatan literasi-1 yang berarti siswa hanya
mampu membaca teks sederhana. Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa
siswa berada pada tahap mampu menemukan informasi sederhana,
mengidentifikasi tema utama, dan menghubungkan informasi sederhana dengan
pengetahuan sehari-hari (Wahyuni, 2009). Berdasarkan uraian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa budaya literasi yang terdapat di negara ini sangatlah rendah.
Permasalahan terkait literasi membutuhkan sebuah trobosan dalam pendidikan
yang berupa strategi dalam pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan
yang dilakukan oleh pengajar dengan sedemikian rupa sehingga tingkah laku
siswa berubah kearah yang lebih baik (Darsono, 2000). Tujuan akhir dari
pembelajaran adalah untuk merubah tingkah laku siswa dalam hal ini adalah
budaya literasi sejarah lokal.
Permasalahan terkait rendahnya budaya dan kemampuan literasi
khususnya literasi sejarah lokal, terlihat pada antusias siswa dalam membaca.
Rendahnya kegiatan membaca dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain sarana
dan prasarana perpustakaan sekolah yang belum memadai, kurangnya sekolah
dalam mengapresiasi kegiatan membaca sebagai bagian dari prestasi siswa, dan
sosok guru yang juga memiliki kemampuan literasi yang cukup rendah (Kalida,
2014). Selain itu guru hanya terpaku pada buku teks dari pemerintah dan kurang
mengeksplor sumber-sumber yang lain. Melihat permasalahan tersebut, maka
lembaga pendidikan mempunyai peran penting dalam peningkatan budaya literasi
pada diri siswa. Sehingga perlu untuk dilakukan inovasi baru dan perbaikan dalam
pembelajaran baik dari segi kurrikulum, materi, bahan ajar, strategi, dan guru
sebagai fasilitator. Perbaikan yang dilakukan tentunya terfokus pada kebutuhan
dan kendala yang dialami oleh siswa.
Peningkatkan kemampuan literasi sejarah lokal dapat dilakukan dengan
memanfaatkan model Project Based Learning (PjBL) berdasarkan tahap-tahap
tertentu. Melalui model ini, pengajar dapat mengantarkan siswa pada penguasaan
kemampuan literasi sejarah lokal dalam bentuk pembuatan proyek. Salah satu
bentuk dari literasi sejarah lokal adalah penelitian terkait sejarah dari suatu daerah
yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Kegiatan ini akan mengantarkan
siswa pada peningkatan kemampuan menulis sebagai bentuk budaya literasi.
penelitian yang dilakukan, mencoba memberikan alternatif pembelajaran sejarah
melalui model Project Based Learning (PjBL) untuk meningkatkan kemampuan
literasi sejarah lokal siswa. Artikel ini akan berfokus hakikat pembelajaran
sejarah, tahap-tahap pelaksanaan model Project Based Learning (PjBL), dan
langkah-langkah penerapan pembelajaran sejarah lokal melalui model yang telah
ditentukan.
•••
187
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi
literatur. Peneliti menggunakan beberapa sumber yang relevan untuk memberikan
wacana keberfungsian model project based learning (PjBL) dalam pembelajaran
sejarah khususnya sejarah lokal. Studi literature ditekankan pada, hakikat
pembelajaran sejarah, konsep dan penerapan model project based learning (PjBL)
dan konsep literasi sejarah lokal. Pada artikel ini, peneliti berusaha memberikan
sintak pembelajaran yang dapat dijadikan contoh acuan pada pelaksaan model
project based learning (PjBL) di kelas.
Hasil dan Pembahasan
1. Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pengajar
sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah kearah yang lebih baik
(Darsono, 2000:24). Pembelajaran juga merupakan satu proses interaksi antara
guru dan peserta didik melalui proses belajar mengajar (Ahmad Rohani dan Abu
Ahmadi, 1995:6). Jadi pembelajaran merupakan kegiatan yang sengaja di rancang
oleh guru sebagai pendidik. Tujuan pembelajaran adalah supaya peserta didik
memahami apa yang di ajarkan oleh guru dengan untuk menuju kearah yang lebih
baik. Dalam kegiatan belajar, pada dasarnya terdapat kategori utama yaitu,
bagaimana menyerap informasi dengan mudah dan bagaimana mengatur dan
mengelola informasi tersebut sehingga berguna dalam kehidupan (Hamid A. R.,
2014). Proses penyerapan informasi dapat dipengaruhi oleh cara yang dilakukan
guru dalam memfasilitasi siswa pada kegiatan belajar.
Kegiatan belajar dan pembelajaran dikatakan berhasil, jika siswa mampu
mencapai kompetensi yang diinginkan. Berpijak pada konsep tentang belajar,
maka terdapat gagasan utama terkait berhasilnya sebuah pembelajaran. Pertama,
Belajar itu membawa perubahan baik dalam hal perilaku maupun potensial.
Kedua, dalam kegiatan belajar, maka akan didapatkannya sebuah kecakapan baru.
Ketiga, perubahan dapat terjadi jika terdapat sebuah usaha baik dari siswa sebagai
pembelajar maupun guru sebagai fasilitator melakukan usaha bersama secara
sengaja (Suryabrata, 2013). Selain faktor guru dan usaha dari diri siswa, terdapat
faktor yang turut memberikan pengaruh pada kegiatan belajar yaitu lingkungan.
Faktor ini mencakup beberapa aspek yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Baik dari segi keadaan fisik maupun psikologi keluarga dalam
keluarga sangat mempengaruhi perkembangan belajar anak (Sukmadinata, 2003).
Sejarah merupakan sebuah ilmu yang dikatakan sebagai pengetahuan
peristiwa yang telah berlalu dan dipelajari secara kronologis. Menurut Roeslan
(1963) sejarah merupakan salah satu cabang ilmu yang meneliti dan menyelidiki
secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat, kejadian masa lampau,
dan menilai secara kritis hasil dari penelitian tersebut (Hamid A. R., 2015).
Pembelajaran sejarah merupakan gambaran dari peristiwa masa lalu yang dibawa
dan diajarkan kepada siswa dalam suatu kelas. Terdapat beberapa ciri-ciri
pembelajaran yang di ungkapkan oleh Gagne yaitu, (1) mengaktifkan motivasi;
•••
188
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
(2) memberitahu tujuan belajar; (3) mengarahkan perhatian; (4) merangsang
ingatan; (5) menyediakan bimbingan belajar; (6) meningkatkan retensi
(kemampuan untuk mengingat pengetahuan yang telah dipelajari); (7)
melancarkan transfer belajar; serta (8) memperlihatkan penampilan dan
memberikan umpan balik (Sutikno, 2014).
Dalam proses pembelajaran sejarah, guru diharapkan mampu memberikan
motivasi dan pemahaman terkait tujuan pembelajaran sejarah yang berarti kepada
siswa. Dengan mempelajari sejarah maka terdapat dua manfaat yaitu, siswa dapat
mengekstrapolasikan fakta-fakta yang berperan di masa lampau dan membuat
proyeksi masa depan (Hamid A. R., 2014). Belajar sejarah bukan sekedar
menghafal fakta dan angka tahun, namun harus mampu memahami, mengkritisi,
dan menjadikannya sebagai pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah
memiliki potensi dalam menjadikan manusia yang berprikemanusiaan yang tidak
dilakukan oleh semua mata pelajaran (Wineburg, 2006). Dipertagas kembali
bahwa sejarah menyiapkan depot pengetahuan masa lalu berikut saripatinya ihwal
nilai-nilai utama kehidupan, yang dapat ditransformasikan kepada generasi muda
melalui pendidikan (Hamid A. R., 2015).
Untuk mencapai hasil yang diinginkan makan guru diharuskan membuat
perencanaan pembelajaran baik dari segi materi, media, strategi mengajar, dan
model yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Perencanaan disini dianggap penting
karena beberapa hal, antara lain, pertama, pembelajaran merupakan proses yang
bertujuan sesederhana apapun yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Kedua,
pembelajaran adalah proses kerjasama yang melibatkan guru dan peserta didik
sehingga diperlukan strategi yang tepat dalam pelaksanaannya. Ketiga, proses
pembelajaran adalah proses yang kompleks dengan tidak hanya sekedar
menyapaikan materi, melainkan membentuk perilaku siswa dan mengantarkannya
pada pencapaian ketrampilan tertentu. Keempat, proses pembelajaran yang efektif
apabila memanfaatkan berbagao sarana dan prasarana yang tersedia termasuk
sumber belajar (Agung, 2013).
2. Literasi Sejarah Lokal
Literasi merupakan kemampuan dalam membaca dan memahami teks secara
kritis serta mampu menuangkan dalam bentuk tulisan (Sari, 2016). Literasi dalam
hal sejarah atau dikenal dengan historical literacy merupakan kemampuan
negosiasi, interpretasi, dan memahami arsip, dokumen sejarah, dan artefak
(Nokes, 2013). Kegiatan menulis penelitian sejarah merupakan salah satu bentuk
dari literasi sejarah. Menulis merupakan kegiatan keberlanjutan dari membaca
dimana melalui kegiatan ini siswa dapat menyampaikan ide yang merupakan
kritik sosial (Kalida, 2014). Dr. Pennebaker menemukan berbagai manfaat
menulis antara lain, pertama, menulis dapat menjernihkan pikiran. kegiatan
menulis dapat membantu seseorang untuk berpikir jernih dalam menyelesaikan
masalah yang ada. Kedua, menulis dapat mengatasi trauma. Ketiga, menulis akan
membantu mendapatkan dan mengingat informasi. Kegiatan ini dapat membuat
ingatan semakin tajam dan tidak gampang lupa (Kalida, 2014).
•••
189
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Sejarah lokal sebagai micro unit merupakan unit histori yang mempunyai ciri
khas sebagai kesatuan etnis dan kultural satu dimensi dari sejarah nasional
Indonesia (Priyadi, 2012). Sejarah lokal merupakan pengisi kekosongan sejarah
nasional yangmana faktanya tidak dapat merangkul semua sejarah yang bersifat
lokal. Pada pengerjaannya, sejarah lokal memiliki ruang yang dapat dibatasi oleh
para sejarawan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian antara kelompok
lokal masyarakat tidak dapat diwakilkan dengan satu peristiwa saja karena
latarbelakang yang berbeda. Dalam melakukan penelitian terkait sejarah lokal,
dapat menggunakan micro analisis yang mencakup interaksi-micro-unit yang
unik. Penelitian sejarah lokal diharapkan mampu mengungkapkan peristiwa dari
setiap daerah, sehingga dapat diketahui oleh masyarakat luas.
Kegiatan literasi sejarah lokal perlu digalakkan karena sejarah yang
bersifat kedaerahan mempunyai keunikan dan perlu untuk dipelajari. Literasi
sejarah lokal dapat dimulai dengan kegiatan penelitian sederhana terkait sejarah
itu sendiri. Dalam melakukan penelitian sejarah, calon peneliti harus memahami
terlebih dahulu metode yang akan digunakan. Metode sejarah merupakan cara
atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahapan
kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (baik dari sumber
external/bahan dan internal/isi), interpretasi (penafsiran) dan historiografi
(penulisan kisah sejarah masa lampau) (Hamid A. R., 2015). Tahapan-tahapan
tersebut harus dipahami terlebih dahulu, sehingga siswa mampu menulis sejarah
dengan menggunakan metode yang tepat dan dilakukan secara sistematis.
3. Model Project Based Learning (PjBL)
Dalam proses pembelajaran guru diharuskan mempunyai strategi baik
berupa metode maupun model pembelajaran, sehingga dapat mencapai hasil
belajar yang maksimal. Salah satu model yang dapat diterapkan adalah Project
Based Learning(PjBL) yang mendasarkan pembelajaran pada pengerjaan sebuah
proyek. Keil, et. Al (2009) mendefinisikan model PjBL sebagai model yang
mengantarkan siswa pada penguasaan materi dengan menggunakan proyek
sebagai bentuk penugasan sekaligus evaluasi pemahanaman terkait materi yang
disampaikan. Model ini memberikan ruang bagi siswa untuk berfikir secara luas
dan mengeksplor sumber dari berbagai media. Selain itu siswa dituntut aktif baik
dalam hal mencari pemahaman terkait permasalahan yang ada dan memberikan
solusi dengan bentuk tulisan seperti melakukan penelitian sederhana. Model ini
menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru (Hosnan, 2014).
Model pembelajaran berbasis proyek mempunyai karakteristik tersendiri
dalam pelaksanaannya. Adapun karakteristik dari model ini adalah, (1) siswa
mengambil keputusan sendiri dalam kerangka kerja yang telah ditentukan bersama
sebelumnya, (2) siswa berusaha memecahkan masalah yang ada, (3) siswa
merancang proses yang akan ditempuh dalam mencari solusi, (4) siswa didorong
untuk berfikir kritis, (5) siswa bertanggugjawab dalam mencari informasi, (6)
evaluasi dilakukan secara terus menerus, (7) siswa secara regular merenungkan
proses dan hasil belajarnya sendiri, (8) produk akhir dari proyek dipresentasikan
•••
190
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
didepan umum, (9) di dalam kelas dikembangkan suasana yang penuh toleransi
(Hosnan, 2014). Berdasarkan karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran berbasis proyek ini, menutut siswa untuk lebih aktif dan
mandiri dalam belajar
Menurut Thomas (2000) pembelaran dengan menggunakan PjBL memiliki
prinsip dalam pelaksanaannya antara lain, pertama adalah, keterpuasan, proyek
dalam PBL adalah inti kurrikulum yaitu strategi pembelajaran, pelajar mengalami
dan belajar konsep-konsep inti. Kedua, berfokus pada pertanyaan atau masalah,
prinsi ini medorong pelajar untuk memahami konsep inti secara jelas melalui
pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Ketiga, investigasi konstruktif, pada prinsip ini
berupa proses desain, pengambilan keputusan, pemenuhan masalah, pemecahan
masalah, diskoveri, dan proses pembangunan model. Keempat, otonomi, prinsip
ini menerangkan bahwa pembelajaran berbasis proyek bukanlah ciptaan guru
naum mengutamakan pilihan dan tanggung jawab siswa. Kelima, realism, proyek
yang diberikan kepada siswa meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan
pelajar, konteks dimana kerja dilakukan, dan berfokus pada pertanyaan dan
pemecahannya dilapangan (Hosnan, 2014).
4. Penyusunan Perencanaan Pembelajaran Melalui Model Project Based
Learning (PjBL)
Perencanaan pelaksanaan pembelajaran harus dibuat oleh seorang guru
sebagai acuan dalam proses pembelajaran. Penyusunan perencanaan pembelajaran
merupakan suatu keharusan karea didorong oleh kebutuhan agar pelaksanaan
pembelajaran sejarah terarah (Agung, Perencanaan Pembelajaran Sejarah, 2013).
Dalam membuat sebuah perencanaan pembelajaran guru harus memperhatikan
beberapa hal sehingga sesuai dengan kritera yang ada. Menurut sanjaya kriteria
penyusunan perencanaan pembelajaran adalah sebagai berikut, (1) Signifikansi,
perencanaan pembelajaran hendaknya bermakna agar proses pembelajaran
berjalan efektif dan efisien, (2) Relevan, perencanaan pembelajaran yang disusun
memiliki nilai kesesuaian, baik internal, maupun eksternal, (3) Adaptibilitas,
perencanaan pembelajaran hendaknya bersifat lentur sehingga dapat
diimplementasikan manakala memiliki syarat-syarat tertentu, (4) Kesederhanaan,
perencanaan pembelajaran harus bersifat sederhana sehingga mudah
diterjemahkan dan mudah diimplementasikan, (5) Prediktif, perencanaan dapat
menggambarkan apa yang terjadi (Agung, Perencanaan Pembelajaran Sejarah,
2013).
Setelah memahami kriteria terkait perencanaan pembelajaran, guru dapat
membuat perencanaan dengan melakukan langkah-langkah penyusunan yang
baik. Terdapat beberapa langkah dalam penyusunan perencanaan pembelajaran
antara lain, pertama, merumuskan tujuan pembelajaran, guru dianjurkan untuk
merumuskan tujuan umum pembelajaran ke dalam tujuan khusus. Tujuan yang
spesifik dirumuskan sebagai indikator hasil belajar. Kedua, pengalaman belajar,
guru dapat memilih pengalaman belajar siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Ketiga, Kegiatan belajar mengajar, kegiatn belajar dan mengajar yang sesuai pada
dasarnya dapat dirancang melalui pendekatan kelompok maupun individual.
•••
191
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Keempat, bahan dan alat, menentukan bahan dan alat yang sesuai dengan
keberagaman siswa, tujuan pembelajaran khusus,tipe media , alternatif
pengalaman belajar, dan fasilitas fisik yang tersedia (Agung, Perencanaan
Pembelajaran Sejarah, 2013).
Melalui karya tulis siswa mampu menuangkan pemikiran terkait peristiwa
yang terjadi, solusi dari masalah yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut, dan
menjadikannya sebagai pelajaran dalam hidup. Karya tulis dapat digalakkan
melalui penugasan proyek oleh pengajar yang dikenal dengan Project Based
Learning (PjBL). Project Based Learning (PjBL) yang berorientasi pada
pengerjaan proyek (Sani, 2015). Terdapat beberapa karakteristik terkait model ini
antara lain: 1) Peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja, 2)
terdapat sebuah permasalahan yang disuguhkan, 3) diharapkan peserta didik
mampu memberikan solusi terkait permasalahan yang ada, 4) peserta didik
bertanggung jawab dalam pengaksesan informasi sebagai solusi pemecahan
masalah, 5) proses evaluasi dijalankan secara berkelanjutan, 6) peserta didik
secara berkala melakukan refleksi atau aktivitas yang sudah dijalankan, 7) produk
akhir aktifitas belajar kemudian dievaluasi secara kolektif, dan 8) situasi
pembelajran sangat toleren terhadap kesalahan atau perubahan (Nurpratiwi, 2017).
5. Sintak ModelProject Based Learning (PjBL) Sebagai Upaya Meningkatkan
Kemampuan Literasi Sejarah Lokal Siswa
Pembelajaran sejarah dalam prakteknya dapat menggunakan berbagai
strategi yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Melalui model Project
Based Learning (PjBL) pengajar dapat melaksanakan dengan beberapa tahapan
antara lain, 1) penyajian permasalahan terkait relita yang ada sehingga
membutuhkan proses investigasi, 2) membuat perencanaan dengan menentukan
kompetensi dan konsep penting dalam kurrikulum, 3) menyusun penjadwalan bagi
peserta didik terkait proyek yang akan dikerjakan, 4) memonitor pembuatan
proyek dengan menetapkan acuan laporan, 5) melakukan penilaian terkait hasil
kerja peserta didik, dan 6) evaluasi (Sani, 2015). Berdasarkan acuan yang telah
ada maka akan mempermudah pengajar dalam melaksanakan pembelajaran
sejarah dengan efektif. Tujuan dari pemanfataan model project based learning
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan literasi sejarah peserta didik.
Adapun rancangan pelaksanaan dalam pembelajaran dapat dilakukan pada
empat kali pertemuan dengan materi yang telah ditentukan. Pertemuan pertama
adalah penyampaian materi secara keseluruhan dengan menyuguhkan kronologis
suatu peristiwa dan permasalahan yang terjadi sehingga peserta didik harus
menemukan solusi. Pengajar dapat menggunakan metode ceramah dengan teacher
centered sehingga guru dapat menjelaskan materi secara gamblang sehingga dapat
memberikan pemahaman pada peserta didik. Pada pertemuan ini disuguhkan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat esensial untuk menarik perhatian siswa dan
motivasi dalam belajar. Permasalahan yang disuguhkan adalah terkait peristiwa
nyata yang terjadi disekitar lingkungan peserta didik, sehingga akan terdapat
ikatan emosional yang mendorong untuk berkontribusi dalam pemecahan masalah
daerah asal. Peserta didik ditugaskan untuk melakukan penelitian dengan
•••
192
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
invsetigasi dan mencari informasi sebanyak-banyaknya. Tugas dari pengajar
adalah memastikan bahwa permasalahan yang ada relevan sehingga aspek
kedekatan emosional dapat mendorong siswa untuk terlibat secara emosi.
Pada pertemuan kedua guru dapat menggunakan metode tanya jawab dan
diskusi terkait topik permasalahan yang disampaikan. Proses tanya jawab
memberikan ruang bagi siswa untuk menanyakan terkait materi yang disampaikan
oleh guru. Sedangkan pada proses diskusi siswa diberikan kesempatan untuk
mengungkapkan ide atau gagasan yang akan ditanggapi oleh siswa lainnya. Pada
pertemuan ini, kegiatan siswa adalah mengidentifikasi masalah yang ada dan
solusi terkait masalah tersebut. Peserta secara mandiri dapat leluasa berkreasi
dengan pemahaman mereka sehingga setelah proses perumusan masalah dapat
dilanjutkan dengan mendesain perancangan. Pada tahap ini peserta didik dibagi
menjadi beberapa kelompok untuk mendiskusi terkait permasalahan yang ada.
Siswa dituntut untuk merumuskan pertanyaan yang ensensial terkait proyek yang
akan dilaksanakan. Tahapan selanjutnya adalah mendesain perencanaan terkait
proyek yang akan dilakukan. Dalam situasi ini pengajar bertugas untuk
mengawasi kegiatan siswa sehingga proyek dapat dirancang secara rasional dan
bermanfaat bagi pembelajaran.
Pertemuan ketiga adalah siswa bersama guru merencanakan pengerjaan
proyek artikelsejarah lokal. Pada tahap ini penulisan artikel dapat dilakukan
dengan tiga tahapan sebagai berikut: pertemuan ke-I, siswa membuat kerangka
penulisan terkait tema permasalahan sejarah lokal, pertemuan ke-II, siswa
membuatartikel sesuai perintah yang telah diinstruksikan oleh guru, pertemuan
ke-III, finishing yaitu siswa diinstruksikan untuk mengumpulkan artikel yang telah
diselesaikan. Selanjutnya pada pertemuan keempat, siswa dibagi menjadi
beberapa kelompok dengan tema permasalahan yang telah disampaikan oleh guru.
Pada tahap ini tema dapat dibagi menjadi 3-4 sub tema, dan guru memberikan
kesempatan bagi siswa untuk mengerjakan proyek di rumah. Pada pertemuan
terakhir, siswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan artikel yang telah
dikerjakan didepan kelas.
Kesimpulan
Budaya literasi mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas
siswa pada semua jenjang. Permasalahan yang menunjukkan rendahnya budaya
literasi dapat terlihat pada pengisian waktu luang siswa. Terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi rendahnya budaya literasi yaitu sarana dan prasarana
sekolah, budaya sekolah, apresiasi sekolaj terhadap budaya literasi, dan faktor
rendahnya literasi guru itu sendiri. Literasi erat kaitannya dengan mata pelajaran
yang hampir semua kegiatan pembelajaran adalah bagian dari literasi baik
membaca maupun menulis. Sejarah lokal merupakan bagian dari sejarah nasional
yang dikatakan minim sebagai bntuk literasi sejarah lokal. Maka dari itu perlu
dilakukan inovasi dalam pembelajaran baik dari segi sarana dan prasarana, media,
bahan ajar, dan strategi seperti penggunaan model pembelajaran.
•••
193
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Model project based learning (PjBL) merupakan salah satu model yang
menekankan pada kegiatan literasi seperti membaca, memahami materi, dan
menulis artikel. Model ini dapat digunakan sebagai upaya peningkatan literasi
sejarah lokal siswa melalui beberapa tahapan. Tahapan pelaksanaan dari model ini
adalah sebagai berikut: pertama, adalah penyampaian materi terkait peristiwa dan
permasalahan
yang
terjadi
dengan
pendekatanteacher
centered.Kedua,merencanakan pengusan berupa proyek yang berbentuk artikel.
Guru memberikan ruang bagi siswa untuk menanyakan materi yang telah
disampaikan.Selain itu diberikan kesempatan untuk diskusi agar dapat
mengungkapkan ide atau yang dimiliki.Ketiga,siswa bersama guru merencanakan
pengerjaan proyek artikelsejarah lokal. Pada pertemuan terakhir, siswa diberikan
kesempatan untuk mempresentasikan artikel yang telah selesai didepan kelas.
Daftar Rujukan
Agung, L. &. (2013). Perencanaan Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta : Ombak.
Darsono. (2000). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Press.
Gilbahar, Y. T. ( 2006). Implementeting Project Based Learning and E-Portofolio
Assesment In An Undergradutae Course. . Journal of Research on
Thchnology in Education, No. 38, 38.
Gufron, A. (2010). Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa Pada Kegiatan
Pembelajaran. Jurnal Cakrawala Pendidikan, Edisi Dies Natalis UNY ,
13-24.
Hamid, A. R. (2015). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran
Abad 21, Kunci Sukses Implementasi Kurrikulum 2013. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Kalida, M. (2014). Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Nokes, J. (2013). Building Students' Historical literacies: Leraning to read and
reason with historical texts and evidence. New York: Routledge.
Nurchaili. (2016). Menumbuhkan Budaya Literasi Melalui Buku Digital. LIBRIA
Volume 8, No.2, 197-209.
Nurpratiwi, H. ( 2017). Model Project Based Learning untuk meningkatkan
ketrampilan menulis sejarah wanita pada mahasiswa. Sejarah dan Budaya,
tahun kesebelas, No. 1, 1-8.
Priyadi, S. (2012). Sejarah Lokal, Konsep, Metode, dan Tantangannya.
Yogyakarta: Ombak.
Sani, R. ( 2015). Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurrikulum 2013.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sari, U. A. (2016). Integrasi Ilmu Sejarah Dengan Ilmu Geografi Dalam
Meningkatkan Kemampuan Literasi Sejarah Mahasiswa Pendidikan IPS
Melalui Eksplorasi Sejarah Lokal Candi Badut. Jurnal Teori dan Praksis
Pembelajaran IPS, Vol 1, No.2, 130-135.
Sukmadinata, N. S. (2003). Landasan Psikologis Proses Pendidikan. Bandung:
Remada Rosdakarya.
•••
194
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Suryabrata, S. (2013). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutikno, S. (2014). Metode dan Model-Model Pembelajaran Menjadikan Proses
Pembelajaran Lebih Variatif, Aktif, Inovatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Lombok : Holistica.
Wahyuni, S. (2009). Menumbuhkankembangkan Minat Baca Menuju Masyarakat
Literat. Jurnal Diksi, Vol16, No.2, 179-189.
Wineburg, S. (2006). Berpikir Historis, Memetakan Masa Depan, Memetakan
Masa Lalu . Jakarta: Obor.
•••
195
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
URGENSI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARA
•••
196
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
NETNOPEDAGOGI PERENCANAAN PEMBELAJARAN SEJARAH
BERBASIS PEMIKIRAN TUNGGUL WULUNG SEBAGAI ALTERNATIF
SOLUSI MENINGKATKAN SIKAP KEPEMIMPINAN
Reni Dikawati, Sariyatun, Warto
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
renydika31@gmail.com
ABSTRAK
Meningkatnya hubungan manusia kearah sensitifitas, kecurigaan, konflik,
etnosentrisme, hingga sektearisme, imagine communities kelompok-kelompok
sublim yang tidak sesuai ideologi bangsa, mendorong lahirnya pedagogik
transformatif, seperti ethnopedagogi untuk menumbuhkan kembali nilai kearifan
lokal yang relevan sebagai solusi krisis di masyarakat. Identifikasi terhadap
persolan krisis sosial, menunjukkan kegagalan individu maupun pemimpin dalam
mengakomodasi pola kepemimpinan sebagai pemicu krisis multidimensional.
Seminasi pemaknaan pemimpin dan kepemimpinan mengarahkan pentingnya
peran pemimpin dalam proses perubahan,dan kesinambungan pola-pola
kehidupan kearah terjadi/tidaknya disintegrasi di masyarakat. Realitasnya, sikap
dan gaya transaksional dalam pemilihan maupun pola kepemimpinan, menjadi
masalah urgent di era globalasisasi. Konteks ini menggambarkan adanya krisis
kepemimpinan di era kontemporer. Perlu solusi aplikatif dengan menciptakan
proses pembelajaran ethnopedagogy berbasis figur tokoh lokal, seperti pemikiran
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung sebagai bekal modal Kultural kepemimpinan
kontemporer. Perencanaan Pembelajaran Sejarah menjadi mata kuliah yang efektif
mewujudkan tujuan tersebut, tidak hanya model kepemimpinan lokal yang akan
direposisi dan adopsi oleh mahasiswa sebagai aktualisasi sikap kepemimpinan
dalam daily life, melainkan juga sebagai bekal menjadi tenaga pendidik sejarah di
masa depan, melalui peningkatan kompetensi merancang rencana pelaksanaan
pembelajaran yang menumbuhkan sikap kepemimpinan peserta didiknya.
Kata Kunci: Model pembelajaran, ethnopedagogy, pemikiran Tunggulwulung,
sikap kepemimpinan.
Pendahuluan
Postmodern melahirkan inferiority complex, subaltern, ketimpangan sosial,
ekslusivitas kelas sosial, kegaulan identitas dan standart idealglobal yang secara
ekstrem bersifat destruktif terhadap nilai lokal. Postmodern menggambarkan
kondisi individu-individu yang mulai kehilangan sisi humanisnya, karena bentuk
pertukaran sosial transaksional. Konteks ini sering muncul di negara berkembang
seperti Indonesia. Buktinya, dapat di identifikasikan dengan gejala krisis kapasitas
dan kompetensi pemimpin secara individu, maupun secara kelompok baik dalam
takaran tradisional maupun modern. Secara tradisional, krisis kepemimpinan
tampak dari dasar legitimasi yang digunakan sebagai tonggak struktur
kepemimpinannya, misalnya dengan mengandalkan kekuatan adikodrati,
•••
197
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
penciptaan mitos pulung, karisma, juga budaya patron-klien yang terus mengarah
pada resiprositas, hingga budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Secara modern krisis kepemimpinan di Indonesia, diidentifikasi dengan
pemanfaatan modal sosial berlebihan dan persemaian budaya politik tidak sehat,
di ranah domestik maupun publik. Sesuai dengan teori agency, bahwa bakat
memimpin sebenarnya dimiliki oleh setiap individu yang kemudian menjadi
kompetensi dan kapasitas kepemimpinannya. Namun, melihat realitasnya
kepemimpinan bukan saja dipengaruhi oleh faktor keturunan, melainkan dapat
terbentuk melalui pengkondisian, pembelajaran, sosialisasi, dan pembangunan
konsepsi baru. Sebagai renungan, pola konsumsi berkembang sesuai semangat
zaman hingga menimbulkan kegalauan identitas, yang menunjukkan bahwa
individu tidak dapat memimpin dirinya sendiri pada takaran perubahan, yaitu
memproduksi sistem baru, sehingga hanya menjadi objek terkendalikan. Lebih
ekstrem dalam konteks sosial, kelompok-kelompok sublim melahirkan imagine
communities, akibat kegagalan pemimpin menampung aspirasinya, dan
pragmatisme pemilihan pemimpin berdasarkan kriteria seberapa lurus kandidat
dengan komunitasnya.
Krisis kepemimpinan yang dihadapi masyarakat Indonesia, menunjukkan
bahwa pola pikir, nalar, latar belakang struktur sosial mempengaruhi pemimpin
dan model kepemimpinannya. Identifikasi beberapa penelitian terdahulu,
menunjukkan pentingnya lingkungan sosial dalam membentuk karakter individu
sebagai pemimpin dimensi personal dan publiknya. Persemaian makna pemimpin
dan kepemimpinan yang terus dimaknai dengan semangat zaman membutuhkan
internalisasi nilai-nilai lokal, sebagai modal kultural tipe kepemimpinan ideal di
era kontemporer. Proses pembelajaran nilai lokal untuk menangani krisis di
masyarakat, juga sejalan dengan hakekat pendidikan, yaitu sebagai upaya sadar
pengkondisian kompetensi dan potensi individu kearah yang lebih baik.
Pengkondisian melalui proses pembelajaran akan menumbuhkan kapasitas
kepemimpinan generasi penerus. Reposisi dan adopsi nilai lokal ke dalam
pembelajaran sebagai bentuk sosialisasi model kepemimpinan lokal ideal,
sehingga menjadi pondasi kepemimpinan berdasarkan tata nilai sosial budaya
Indonesia, bukan standar ideal pola managerial kepemimpinan Barat.
Pengembangan model pembelajaran ethnopedagogi berbasis figure lokal
dapat dilakukan dengan mereposisi dan mengadopsi pemikiran Kyai Ibrahim
Tunggul wulung, sebagai instruktusional matters pembelajaran sejarah yang
memuat nilai-nilai universal kehidupan dan sikap kepemimpinan spiritual. Sesuai
paradigma postmodern, kurikulum nasional merupakan wacana yang dapat
dinegosiasi tenaga pendidik dalam menyusun rencana pembelajaran (Tilaar, 2012:
94). Nilai lokal dapat diintegrasikan dalam bahan ajar. Telaah dan diskusi
mengenai Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memiliki relevansi dengan urgensi krisis
multidimensional di masyarakat. Sebagai tokoh beragama Kristen diterima oleh
komunitas pendukungnya, bahkan memperoleh gelar Kyai dari masyarakat. Tidak
sekedar tipe kepemimpinan situsional, pemikiran Tunggul Wulung memiliki nilainilai arif kasih. Tidak sekedar melakukan dogma agama, namun mengembangkan
•••
198
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dinamika kehidupan masyarakat yang saat itu terhimpit oleh kesengsaraan
penjajahan Belanda. Pemikiran Tunggul Wulung mampu menjadikannya seorang
tokoh yang ketokohannya di akui oleh masyarakat setempat, dan di tengah
mencuatnya intoleransi dalam pemilihan pemimpin, tindakan rillnya dapat
menjadi teladan.
Penelitian ini memfokuskan diskusi mengenai paparan urgensi
pengembangan model pembelajaran etnopedagogi rencana pelaksanaan
pembelajaran berbasis pemikiran tokoh lokal untuk meningkatkan sikap
kepemimpinan di tingkat perguruan tinggi, program studi pendidikan sejarah.
Model pembelajaran ini berdasarkan beberapa studi terdahulu memiliki kapasitas
untuk meningkatkan sikap kepemimpinan, kerangka berfikir ke arah kognitif,
afektif, dan psikomotorik yang kritis terhadap pemimpin dan berbagai model
kepemimpinan (NASSP, 2013: 3). Konsepsi baru yang dibangun peserta didik
dapat menjadi agen perubahan pola kepemimpinan yang telah ada, maupun
penciptaan sikap kepemimpinan baru yang lebih sesuai dengan situasi, kondisi,
dan ideologi bangsa. Proses pembelajran etnopedagogi rencana pelaksanaan
pembelajaran sejarah berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dapat
menumbuhkan kesadaran kritis, dan nalar sebagai self regulation dan self control
dimensi personalnya, dan sebagai pendukung tujuan pembelajaran sejarah
ditingkat perguruan tinggi, program studi pendidikan sejarah yaitu menganalisis,
mengolah, menilai, mencipta, dan melakukan penulisan sejarah dan praktek
kompetensi professional tenaga pendidik sebagai tenaga pendidik sejarah masa
depan.
Hasil dan Pembahasan
1. Urgensi Sikap Kepemimpinan dan Pembebelajaran Sejarah dengan
Etnopedagogi di Era Kontemporer.
Dinamika perubahan sosial masyarakat, berimbas positif dan negatif di
berbagai lini kehidupan masyarakat. Sistemisasi global yang ditandai dengan
interdependensi, interkoneksi dan integrasi secara global, menciptakan standar
ideal baru (Lerner, 1958: 23). Perubahan positif, dari globalisasi dapat dilihat dari
adanya hak dan kewajiban yang berlaku universal di berbagai belahan dunia,
sehingga menjamin Hak Asasi Manusia dalam pergaulan dunia. Namun,
kenyataannya dampak negatif, globalisasi melahirkan permasalahn fundamental
yang mengharuskan perhatian khusus di era postmodern, yaitu ekstrimisme global
yang ditandai kesenjangan antara negara berkembang dan adikuasa secara
ekonomi, dominasi ideologi dalam hal politik, standar ideal dalam ranah budaya,
dan agama (Smith, 1974: 3). Implikasinya, membentuk pola penjajahan baru,
destruktif terhadap budaya tertentu,hegemoni sudut pandang ideal, pembangunan
dan managerial kepemimpinan Barat sebagai standar modern, serta marginalisasi
terhadap minoritas pendukung budayayang menguntungkandominasi kelompok
yang diidealkan.
Pola pemikiran manusia juga berubah mengikuti perkembangan zaman,
sehingga dalam takaran ekstrim mengubah substansi identitas individu menjadi
•••
199
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pabrikasi, Individu banyak mengejar standar modern hanya untuk menjadi
manusia modern. Menggambarkan, bahwa seseorang telah kehilangan kapasitas
managerial kepemimpinan untuk mengendalikan dirinya, sehingga mudah terbawa
arus global. Tuntutan dunia modern, juga menyebabkan pragmatisme pemilihan
pemimpin, dengan cara transaksional, yaitu kondisi dimana antara kandidat dan
pemilih masing-masing memiliki resiprositas yang ditawarkan. Secara umum
dikenal dengan istilah patron-klien, patron menawarkan pekerjaan, perlindungan
pada klien. Sedangkan Klien, menawarkan dukungan politik dan penghormatan
pada patron(Burke, 2015: 105). Dasar legitimasi kepemimpinan yang pragmatis,
menunjukkan krisis kepemimpinan yang selalu ada setiap zaman. Tidak hanya di
masa tradisional, dengan memanfaatkan simbol-simbol adikodrati diluar diri
manusia untuk memperoleh pengakuan, atau korupsi di ranah domestik.
Krisis kepemimpinan berkembang di era modern dengan pola kontrak
politik, etnosentrisme dengan hanya memilih pemimpin berdasarkan kelurusan
dengan komunitasnya, bukan kemampuan kepemimpinannya. Sifat ideal
pemimpin yang seharusnya mampu mengayomi, membuat kebijakan secara
otonom dan bertanggunh jawab demi kesejahteran masyarakat tidak akan
terwujud karena krisis kepemimpinan. Konteks ini, melahirkan perasaan yang lain
dari kelompok tertentu, hingga memunculkan upaya resistensi, imagine
communities dan konflik sosial karena perbedaan ideologi, sektearisme, perasaan
sublim. Seperti pernyataan Wes Sharlock, yaitu:
Pandangan konflik dibangun atas dasar asumsi bahwa… setiap masyarakat..
dapat memberikan kehidupan baik luar biasa bagi sebagian orang tetapi hal ini
biasanya hanya mungkin karena kebanyakan orang tertindas dan ditekan … oleh
sebab itu, perbedaan kepentingan dalam masyarakat sama pentingnya dengan
kesepakatan atas aturan dan nilai-nilai, dan sebagain besar masyarakat
diorganisasi sedemikian sehingga masyarakat tersebut tidak hanya memberikan
manfaat lebih besar bagi sebagian warga lainnya. Manfaat lebih besar bagia
sebagian warga berarti ketidaknyamanan bagi sebagian warga lain yang tidak
mendapatka kemudahan (Wes Sharlock, 1977: 515-516).
Krisis kepemimpinan dapat diatasi dengan meningkatkan kompetensi dan
kapasitaspemimpin,
kepemimpinan
individu
masih
dapat
diubah
denganmengkondisikannya pada proses pembelajaran.
Etnopedagogi, menjadi tranformasi pendidikan yang memungkinkan
peserta didik berinteraksi dengan nilai-nilai lokal, dan membangun kompetensi
etnis serta toleransi, termasuk di dalamnya model kepemimpinan yang ada di
masyarakat (Alwasih, 2009:12). Kearifan lokal sebagai bentuk kecerdasan
manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui
pengalaman masyarakat. Nilai-nilai tersebut melekat sangat kuat dalam
masyarakat, melalui perjalanan yang sangat panjang, sepanjang keberadaan
masyarakat tersebut. Belajar dengan kearifan lokal, akan membentuk interaksi
antara kehidupan tradional dan kontemporer, hingga memunculkan kearifan.
Kearifan
membuat
individu
dalam
mengambil
keputusan
selalu
mempertimbangan berbagai dampak yang mengiringi, mampu mempertanggung
jawabkan keputusannya. Etnopedagogi, dengan muatan nilai-nilai kepemimpinan
•••
200
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
akan mengantarkan peserta didik pada imajinasi, menghadirkan proses dialog
antara pengetahuan awal, pengetahuan baru dengan unsur lokal dan modern,
sehingga tumbuhlah menjadi suatu konsepsi baru sebagai dasar pengambilan
keputusan dan tindakan.
Etnopedagogi, memungkinkan pengetahuan tentang kepemimpinan
dihasilkan, disimpan, dikelola, dan di wujudkan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Kepemimpinan etnopedagogi mengadopsi beberapa nilai-nilai dari
kepemimpinan, dan budaya lokal. Penelitian ini menawarkan pemikiran Kiai
Ibrahim Tunggul Wulung dengan menyajikan diskusi mengenai kemungkinan
mengadopsi pemikiran lokal dalam kegiatan belajar mengajar, dengan output
harapan dapat diadaptasi dalam pola kepemimpinan modern generasi penerus.
Transformasi konsep ideal pemimpin dan kepemimpinan yang disertai dengan
sinergitas dengan pola pemikiran lokal, akan membentuk harmonisasi kehidupan
berbagai etnis, penghargaan, kesadaran, dan tindakan solutif permasalahan akibat
krisis kepemimpinan dengan meningkatnya sikap kepemimpinan dari peserta
didik sebagai generasi penerus bangsa. Proses pembelajaran etnopedagogi dapat
diserap dengan dikembangkannya model pembelajaran di Perguruan tinggi,
khususnya LPTK, sebagai pembentuk tenaga-tenaga pendidik masa depan.
Salah satu mata kuliah di perguruan tinggi yang bertujuan untuk
menciptakan profesionalisme tenaga pendidik, melalui mata kuliah perencanaan
pembelajaran sejarah (RPP). RPP, memberikan bekal pada calon tenaga pendidik
cara membuat perencanaan proses belajar mengajar sejarah sesuai dengan
kurikulum yang berlaku sebagai acuan nasional, dan pengintegrasian materi
pembelajaran berdasarkan urgensi di masayrakat yang berkaitan dengan peserta
didik. Proses belajar mengajar pada mata kuliah RPP akan memberikan
pengalaman yang kemudian menjadi ciri tenaga pendidik kelak melaksanakan
proses belajar mengajar setelah menempuh program strata satu kependidikan.
Menarik untuk kemudian mengingat istilah “guru iku digugu lan di tiru”,
maksudnya tenaga pedidik itu dijadikan teladan dan di contoh, maka pengalaman
pembelajaran yang diberikan akan berpengaruh pada peserta didik, sehingga
apabila dalam penerapan pembelajarannya menumbuhkan kesadaran kritis, hingga
memunculkan sikap kepemimpinan. Asumsinya, dalam perencanaan
pembelajaran sejarah yang dibuat oleh calon tenaga pendidik akan memiliki
kualitas yang sama, atau bahkan meningkat.
2. Pembelajaran Etnopedagogi dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) Sejarah di Perguruan Tinggi, Program Studi Pendidikan Sejarah.
Pembelajaran Sejarah dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang
menitik beratkan proses pembawaan peristiwa masa lalu oleh pendidik ke dalam
kelas, untuk dimaknai oleh peserta didik (Widja, 1998: 95). Grant Bage (1999:
33-39) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah bermanfat untuk mendorong nilai
karakter, menghubungkan pada kehidupan sekarang, menghubungkan dengan
masalalu, membantu membangun ketrampilan, dan menginspirasi melakukan
kebaikan. Pengertian dan pernyataan tersebut menguatkan peranan pembelajaran
•••
201
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sejarah sebagai upaya penanaman nilai, selain pencapaian nilai akademik yang
tinggi. Pembelajaran sejarah ini dituntut untuk mengikuti perkembangan peserta
didik, dan kebutuhan yang diharapkan dari output pendidikan. Pembelajaran
sejarah harus bersifat adaptif, atau dapat direposisi sebagai pengajaran untuk
menyusun kehidupan di masa sekarang, dan masa depan. Tujuan ini akan tercapai,
apabila dalam perencanaan pembelajaran sejarah tenaga pendidik menggunakan
model pembelajaran yag efektif dan efisien.
Menurut Rosenshine, Stevens, dan Shuell, beberapa prinsip pengajaran
sejarah menekankan berbagai faktor untuk mendapatkan ketrampilan, strategi, dan
perilaku dari peserta didik (Schunk, 2012: 28). Faktor-faktor tersebut meliputi
pengorganisasian materi yang harus diajarkan, penyajian materi dalam langkahlangkah pendek (sintak), kesempatan-kesempatan untuk praktik, pemberian
penguatan sebagai koreksi, dan pengulangan, serta penarikan hikmah yang dapat
diambil dari peristiwa sejarah. Faktor tersebut dalam pembelajaran sejarah di
Perguruan tinggi, prodi pendidikan sejarah, bukan hanya untuk menuntut peserta
didik memiliki kedalaman terhadap penulisan sejarah, melainkan juga kompetensi
professional tenaga pendidik yang harus dimiliki sebagai bekal menjadi guru masa
depan. Salah satunya, yaitu dengan materi perkuliahan perencanaan pembelajaran
sejarah (RPP) yang menuntut peserta didik memiliki kemampuan merencanakan,
menyusun, dan mempraktekannya di lapangan.
Tuntutan pembelajaran sejarah untuk dapat mengatasi persoalan
multidimensional di masyarakat, terutama urgensi mengenai krisis kepemimpinan
menjadi tantangan baru bagi tenaga pendidik. Sudah seharusnya, tenaga pendidik
melakukan inovasi dengan mengembangkan model pembelajaran yang dapat
menjadi solusi dan mendukung perbaikan kondisi di masyarakat. Pembaharuan ini
sejalan dengan pernyataan Bandura dalam (Schunk, 2012: 205) bahwa
pengetahuan dan tindakan dibangun melalui proses pembelajaran dengan bantuan
keteladanan untuk membangun konsepsi baru dari pengetahuan awalnya, sehingga
peserta didik setelah proses pembelajaran mampu mencapai kebebasan, kesadaran
untuk tetap mempertahankan konsepnya, atau memodifikasi, mengembangkan
pengetahuan dan mewujudkan tindakan baru. Inovasi inilah yang ditekankan
untuk dikembangkan, dan seharusnya dilakuka oleh tenaga pendidik dengan
mengintegrasikan memuat nilai-nilai lokal yang sesuai dengan struktur dan
budaya bangsa, sehingga kepemimpinan kontemporer dapat berkesinambungan
dengan nilai-nilai lokalnya.
Sejalan dengan fokus penelitian untuk, mengatasi permasalahan krisis
kepemimpinan di masyarakat pembelajaran sejarah di tingkat universitas sudah
seharusnya mengembangkan calon tenaga pendidik yang memiliki kapasitas
menjadi seorang pemimpin. Bahkan, dalam hal ini merencanakan proses
pembelajaran sejarah yang dapat menumbuhkan sikap kepemimpinan peserta
didiknya. Konteks yang dimaksud dalam penyataan tersebut, yaitu ketika model
pembelajaran etnopedagogi rencana pelaksanaan pembelajaran sejarah dengan
mengntegrasikan nilai-nilai kepemimpinan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, maka
peserta didik sebagai calon tenaga pendidik dapat dikondisikan untuk membuat
•••
202
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
penugasan yang sejalan dengan tujuan pembelajaran, yaitu menumbuhkan sikap
kepemimpinan. Berdasarkan model pembelajaran inilah, nantinya permasalahan
krisis kepemimpinan menjadi sebuah siklus yang tidak terputus, karena
kesinambungan dari universitas dalam membentuk calon tenaga pendidik yang
kompeten. Sisilain, selain dituntut untuk membuat RPP sejarah dalam mata kuliah
ini, proses mengkomunikasikan hasil RPP dengan salah satu pihak sekolah
diharuskan, sehingga dapat sekaligus mensosialisasikan model pembelajaran pada
tenaga pendidik di tingkat SMA/SMK dan Sederajatnya.
Model pembelajaran berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung
dalam pembelajaran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan pendekatan
etnopedagogi, memungkinkan niai-nilai dari pemikiran Tunggul wulung menjadi
bahan pembelajaran yang diadopsi dalam pembuatan tugas RPP calon tenaga
pendidik. Selan itu, model pembelajaran yang di tawarkan oleh peneliti dalam hal
ini memungkinkan adanya proses pembelajaran yang lebih kreatif, membangun
paradigma baru bahwa proses pembelajaran dengan perencanaan yang lebih
bersifat humanis dengan menggunakan nilai-nilai lokal, untuk kepentingan
kepemimpinan. Proses pembelajaran mata kuliah RPS di perguruan tinggi dapat
membangun pola pemikiran dan konsep baru dari calon tenaga pendidik untuk
merencanakan RPP berbasis pemikiran Tunggul Wulung di kemudian hari dengan
paradigma yang sama.
Model pembelajaran etnopedagogi RPP sejarah berbasis pemikiran Kiai
Ibrahim Tunggul wulung, memungkinkan peserta didik sebaai calon tenaga
pendidik mengkonsepsikan dan mereduksi nilai-nilai negatif yangg terdapat dalam
pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung untuk kepentingan pendidikan. Model
yang diterapkan dalam proses belajar mengajar akan membantuk karakteristik
calon tenaga pendidik membangun model pembelajaran untuk peserta didiknya
kemudian hari. Pada tataran paling rendah, calon tenaga pendidik memiliki bekal
untuk merancang pembelajaran dalam microteaching, Praktek Pengalaman
Lapangan (PPL) di sekolah, dan menambah kompetensi profesionalnya dalam
merancang pembelajaran ketika benar-benar menjadi tenaga pendidik.Model
etnopedagogi perencanaan pembelajaran sejarah dengan pemikiran Kiai Ibrahim
Tunggul Wulung dapat meningkatkan sikap kepemimpinan spiritual peserta didik.
Kepemimpinan spiritual ini sesuai dengan teori kepemiminan spirtual Fry,
sehingga dalam kehidupan bermasyarakat keberagaman dapat dibangun,
intoleransi dapat diminimalisir, serta kesadaran untuk tidak sekedar melakukan
pemilihan pemimpin secara transaksional.
Sejalan dengan gagasan A Chaedar Alwasih (2008, 2009) sebagai langkah
pertama pengenalan etnopedaggi di pendidikan Indonesia, pemikiran Kiai Ibrahim
Tunggul wulung harus terlebih dahulu direkontruksi dan direduksi nilai-nilai
magis negatif, sektearisme, atau bahkan nilai-nilai yang cenderung dinilai sebagai
tindakan ke arah murtad, pada penyadara tentang konteks semangat zaman,
kemampuan menalar pada masa itu, sehingga menurut Alwasih etnopedagogi
berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dapat di pandang sebagai
sumber inovasi dan ketrampilan yang dapat diberdayakan demi mengatasi
•••
203
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
permasalahan sosial. Oleh karena itulah, jelas dalam penerapannya di mata kuliah
RPP Sejarah di tingkat perguruan tinggi dapat menjadi usaha ke arah
pengembangan, perbaikan dan penyaring. Nilai positif, yang kemudian dapat di
ambil dari penerapan model pembelajaran etnopedagogi RPP Sejarah, mampu
membangun pengaturan diri ke arah kepemimpinan ideal yang harus
dikembangkan oleh dirinya sebagai individu, dan masyarakat/sosial, serta
menyusun proses pembelajaran yang sejalan dengan tujuan tersebut, sehinga
kepemimpinan ideal berdasarkan pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung terus
dapat diseminasi, modifikasi sejalan dengan semangat zaman.
3. Model Pembelajaran Etnopedagogi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Sejarah Berbasis Pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung untuk
Meningkatkan Kepemimpinan Peserta Didik.
Model Pembelajaran menurut Joyce &Weil dalam (Rusman, 2013: 133)
merupakan kerangka konseptual yang digunakan untuk merancang bahan-bahan
pembelajaran dan melaksanakan proses pembelajaran. Model pembelajaran
menjadi acuan sistematis yang dapat digunakan oleh tenaga pendidik
melaksanakan tahapan langkah-langkah pembelajaran, sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai melalui aktivitas dalam pengalaman pembelajaran.
Model pembelajaran yang digunakan oleh guru akan tampak pada proses interaksi
tenaga pendidik dan peserta didik, mengarahkan pola dialek dalam ruang kelas.
Tentu saja dalam hal ini, interaksi antara komponen satu dengan lainnya tidak
akan dapat dipisahkan, muatan isi, ketrampilan mengajar, bentuk kegiatan, sarana,
prasarana dan cara penerapannya akan saling mempengaruhi ketercapaiann tujuan.
Pengembangan model harus di sesuaikan dengan kebutuhan peserta didik,
sehingga pendekatan psikologi pendidikan, strategi pembelajaran, perlu dilakukan
untuk mengintegrasikan pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dalam materi
pembelajaran.
Draf model teoritik kajian pembelajaran etnopedagogi rencana
pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul
Wulung melalui Self Regulated Learning (EPPIS) untuk meningkatkan sikap
kepemimpinan peserta didik, terdiri dari proses desain, implementasi, dan
evaluasi. Pada desain, beberapa tahapan langkah-langkah yang harus dilakukan,
yaitu: (1) perumusan tujuan perkuliahan, (2). Penentuan topik bahasan/materi
perkuliahan, (3). Penentuan prosedur perkuliahan dengan langkah-langkah
berdasarkan metode Self Regulated Learning, (4). Pemilihan, penetapan media
dan sumber belajar, (5). Penetapan alat evaluasi baik proses maupun hasil. Self
regulated learning, dipilih oleh peneliti karena kaitannya dengan paradigm
pendidikan yang digunakan oleh peneliti, yang memposisikan peserta didik
sebagai individu yang aktif, memiliki pengetahuan awal, dan proses pembelajaran
akan lebih bermakna apabila peserta didik memahami tujuannya sendiri, cara
pembelajarannya, dan mampu menilai kemampuannya sendiri. Self Regulated
Learning, sejalan dengan paradigm kognitif behavior.Menurut zimmerman
(1990:6)SRL melibatkan tiga aspek, pertama, peserta didik mampu mengatur
•••
204
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
strategi pembelajaran yang mandiri, tanggap terhadap umpan balik mengenai
orientasi diri tentang efektivitas belajar, kedua,peserta didik saling terkait dalam
hal saling memotivasi. Ketiga, secara mandiri peserta didik memilih dan
menggunakan strategi pembelajaran secara mandiri untuk mencapai hasil
akademik yang diinginkan berdasarkan ketrampilan dan proses belajar.
Langkah-langkah yang dapat digunakan oleh tenaga pendidik dalam
menerapkan model EPPIS, yaitu Implementasi dilakukan dengan beberapa
langkah, yaitu; (1) membangun kesadaran peserta didik mengenai tujuan (goal
setting), sehingga peserta didik memahami tujuan yang ingin dicapaiya. Peserta
didik mengaitkan tujuan dalam mengerjakan serangkaian proses dalam
mengerjakan suatu aktivitas pembelajaran dengan tujuan dan cita-cita jangka
panjang. Penegasan, dalam hal ini tidak hanya terkait tujuan dari mata kuliah RPP
Sejarah, melainkan juga pembangunan kesadaran dan refleksi diri dari peserta
didik, mengenai pemimpin dan kepemimpinan. (2). Planning, Peserta didik
mengatur sendiri cara pembelajaran, menggunakan waktu dan sumber belajar,
tenaga, waktu yan dimiliki untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas. Konteks
ini menekankan pentingnya peran tenaga pendidik sebagai fasilitator dengan
memberikan penguatan terhadap pilihan peserta didik, planning yang dibuat oleh
peserta didik sendiri membuatnya belajar tanpa tekanan.(3). Moivasi diri, peserta
didik menguatkan pengaturan dirinya sehingga memiliki efficiacy yang tinggi
akan kemampuannya menyelesaikan persoalan dalam pembelajaran. (4). Kontrol
Atensi, tahapan yang mengkondisikan peserta didik ke arah fokus pada hal-hal
yang penting, dan menghindari hal yang mengganggu, dalam konteks EPPIS,
Kontrol Atensi membantu peserta didik memfokuskan pada pola kepemimpinan
ideal yang dapat diadopsi dan reposisi dalam keseharian peserta didik dan
tercermin dalam RPS yang dibuatnya.
Selanjutnya pada langkah ke (5). Peserta didik dibiasakan menggunakan
strategi belajar yang fleksibel, dengan kondisi ini peserta didik akan terbiasa dan
terbangun konsep mencipatakan model pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan kepemimpinan, sehingga sebagai calon tenaga pendidik bekal yang
dimilikinya mengantar pada profesionalisme. (6). Self Monitoring, menjadi proses
SRL yang mendorong peserta didik memonitor perkembangan dirinya, mengubah
strategi belajar dan memodifikasi tujuan yang dibutuhkan. (7). Mencari bantuan
dengan tepat, SRL mengkondisikan peserta didik sebagai individu yang mandiri,
namun juga memiliki kesadaran sebagai mahluk sosial yang tidak dapat
melakukan segalanya, sehingga butuh bantuan orang lain, pengkondisian ini
menciptakan kerjasama antara peserta didik dan tenaga pendidik, peserta didik
dengan teman sebaya, dan peserta didik dengan orang yan lebih tua, sehingga
setelah menggunakan bantuan kemampuan peserta didik akan meningkat, dan
secara mandiri mampu melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain lagi. Terakhir,
(8) evaluasi diri, dalam EPPIS menekankan adanya penilaian dari tenaga
pendidik, peserta didik, dan teman sejawat. Sehingga, dalam hal ini benar-benar
terjadi kesadaran untuk mejadi seseorang dengan jiwa lapang, penyadaran untuk
mempercayai orang lain, dan menilai sikap kepemimpinan serta pemimpin ideal di
•••
205
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
masa kontemporer, yang idealnya dalam mengadopsi nilai-nilai kepemimpinan
lokal dari pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung.
Model EPPIS yang dikembangkan menjadi komponen integral terhadap
fungsi formatif belajar.Fungsi ini membantu peserta didik melatih strategi
pengaturan diri ketika mengambil bagian dalam suatu kegiatan, hal ini tentu saja
membantu membangun sikap kepemimpinan individu tersebut, melalui tanggung
jawab.Pengembangan EPPIS diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu strategi
kognitif dan metakognisi. Strategi kognitif, memfokuskan proses informasi seperti
latihan (rehersal), perluasan (elaboration), dan organisasi. Sedangkan
Metakognisi, merupakan kesadaram, pengetahuan, kontrol terhadap kognisi,
sehingga belajar dalam situasi tenang. Penysusunan model pembelajaran ini
berpijak pada mahasiswa pendidikan Sejarah, penyajian model yang berpijak pada
kajian pustaka, dan kesesuaian dengan karakteristik model, dengan dasar sintak,
sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak pengiring. Asumsi
keterbatasan dari model EPPIS, yaitu proses rekontruksi pemikiran Kiai Ibrahim
Tunggul Wulung memerlukan upaya untuk disesuaikan dengan mata kuliah RPS
di perguruan tinggi, urgensinya ketika nilai-nilai negatif dari suatu pemikiran
tidak direduksi agar tampak latar belakang, situasi kondisi yang melingkupi, justru
yang terjadi penyajian bahan ajar yang mengarah pada bentuk-bentuk sektearisme.
Keterbatasan ini dapat diatasi, hanya jika dalam proses penggunaan media EPPIS,
tenaga pendidik memerankan perannya sebagai fasilitator dengan baik.
Kesimpulan dan Saran
Pembelajaran Sejarah di Universitas, khususnya mata kuliah Sejarah dapat
menggunakan media pembelajaran etnopedagogi berbasis pemikiran Tunggul
Wulung untuk mengatasi permasalahan krisis kepemimpinan. Model sesuai
dengan urgensi, tujuan, dan filosofis pembelajaran sejarah, yaitu membangun
solusi permasalahan sosial, dalam hal ini krisis kepemimpinan. Pembelajaran
etnopedagogi RPS dengan integrasi nilai-nilai kepemimpinan Tunggul Wulung,
membangun konsepsi peserta didik mengenai pemimpin dan sikap kepemimpinan,
sehingga dapat diadopsi, direposisi, dan bahan refleksi terhadap sikap
kepemimpinannya melalui pengalaman pembelajaran. Model juga, membangun
upaya pembelajaran sejarah yang kreatif, inovatif, serta meningkatkan sikap
kepemimpinan spiritual peserta didik. Pembelajaran etnopedagogi RPS sejarah
berbasis pemikiran Tunggul Wulung mendorong upaya pencipataan RPS sejarah
dari calon tenaga pendidik untuk menjadi bekal peningkatan kompetensi
profesionalismenya. Sehingga pembaharuan tidak hanya pada ranah perguruan
tinggi, namun juga di ranah pendidikan Menengah dan Sederajatnya.
Implikasi
Urgensi dari pengembangan etnopedagogi pembelajaran sejarah berbasis
pemikiran Tunggul Wulung melalui metode Self Regulated Learning perlu di
tindak lanjuti dengan cara pengembangan, produksi, seminasi di lembaga
pendidikan tinggi, khususnya program studi pendidikan sejarah, mata kuliah
•••
206
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah. Perlu pula studi lebih lanjut terkait
efektivitas Model EPPIS dalam meningkatkan sikap kepemimpinan peserta didik.
Saran
Sinergitas, dan sosialisasi dari perguruan Tinggi dengan Tenaga Pendidik
di tingkat Jenjang Pendidikan perlu di bangun sebagai upaya menyebarluaskan
pembaharuan model pembelajaran, perencanaan dan proses beajar mengajar,
sehingga permasalahan krisis identitas dapat ditanggulangi dengan siklus yang
tidak terputus dari setiap generasi.
Daftar Rujukan
Alexander, R. (2000). Culture and Pedagogy: International Comparisons in
Primary Education. London: Blackwell
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan
Praktek
Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku
Utama.
Burger G Henry. (1968). Etno-Pedagogy: a Manual in Cultural Sensitivity, with
Techniques for Improving Cross-cultural Teaching by Fitting Ethnic
Patterns. Maryland: Maryland Publications.
Barry Z Posner. (2012). Effectivelly Measuring Student Leadhership.
Administrative Sciences Journal. Oktober 2012.
Elliott, S. N., & Clifford, M. (2014). Principal assessment: Leadership behaviors
known to influence schools and the learning of all students (Document No.
LS-5). Retrieved from University of Florida, Collaboration for Effective
Educator, Development, Accountability, and Reform Center website:
http://ceedar.education.ufl.edu/tools/literature-syntheses/
Eti Nurhayati. (2011). Psikologi Pendidikan Inovatif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Guzaliya Zh. (2016). Etho-Pedagogical factor of Polycultural Training.
International Journal Of Environmental & Science Education, April 2016.
H.A.R Tilaar. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Penghantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
John.C Maxwell. (2013).The 5 Levels of Leadership.Surabaya: PT Menuju Insan
Cemerlang.
Kozhakhmetova K, etc. (2015). Ethnic Pedagogy as an Integrative, Developing
Branch Of Pedagogy. Mediterranean Journal Of Social Sciences, Vol.6,
No.1, Januari 2015.
Leo Agung, Sri Wahyuni. (2013). Perencanaan Pembelajaran Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
Lerner. (1958). The Passing of Traditional Society. United States Of Amerika:
The Free Press.
Mubbin, Syah. (2010). Psikologi Pendidikan: dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Rosda Karya.
•••
207
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Nassp. (2013). Leadership Matters: What The Researches Says About The
Important of Principal Leadhership. Virginia: National Assosiation Of
Secondary School Principals.
Schunk, Dale H. (2012). “Learning Theories an Educational Perspective”. Terj,
Eva Hamdiah. Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smith. (1974). Becoming Modern, Individual Change in six Developing Contries.
London: Heinemann.
Toto Kasmara. (2011). Spiritual Centered Leadership. Solo: Gema Insani.
•••
208
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
209
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
MELATIH SISWA BERPIKIR KRITIS DENGAN
MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED LEARNING (PjBL)
Saifuddin Alif Nurdianto, Hermanu Joebagio, dan Djono
Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Program Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret
email: saifuddinalif2@gmail.com
ABSTRAK
Pembelajaran sejarah terus mengalami perkembangan. Pembelajaran dengan
metode konservatif mungkin masih bisa digunakan, tetapi beban guru tentu cukup
berat mengingat banyaknya jam yang dialokasikan untuk mata pelajaran sejarah di
kurikulum 2013. Selain itu, perkembangan zaman menuntut guru untuk melatih
siswa untuk berpikir kritis. Tuntutan ini tentunya akan sulit apabila metode
konvensional seperti ceramah masih dilakukan. Oleh karena itu, ada baiknya
apabila kita menggunakan model-model pembelajaran yang sudah dikembangakan
oleh para ahli, salah satunya adalah pembelajaran berbasis proyek atau project
based learning (PjBL). PjBL adalah model pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan
melibatkan kerja proyek. Salah satu aplikasi dari PjBL dalam pembelajaran
sejarah adalah penugasan untuk memproduksi film sejarah. Produksi film sejarah
sendiri memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah: pembelajaran sejarah
lebih efektif dan efisien karena dapat menanamkan dasar-dasar ilmu sejarah
kepada para siswa, dari penentuan topik sampai ke historiografi. Selain itu,
produksi film juga bisa membawa siswa untuk merasakan suasana yang terjadi
pada saat terjadinya peristiwa sejarah tersebut, dengan memerankan tokoh-tokoh
yang berperan didalamnya.
Kata Kunci: Berpikir kritis, PjBL, film sejarah
Pendahuluan
Sejarah merupakan rekonstruksi dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di
masa lalu. Hasil dari rekonstruksi bisa bermuatan positif maupun negatif untuk
kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga bisa dipahami oleh masyarakat. Sisi
positif dari sejarah merupakan pembelajaran untuk bisa ditiru dan sisi negatif
merupakan pembelajaran agar bisa dihindari sehingga kita tidak melakukan
kesalahan yang sama. Pada titik inilah kemudian dikatakan bahwa sejarah akan
menjadikan orang menjadi bijaksana.
Sejarah memiliki fungsi dan tujuan yang mulia. Sejarah mengenalkan kita
kepada kondisi bangsa-bangsa terdahulu dalam segi perilaku serta moral politik
raja-raja dan penguasa. Dari sejarah pula kita mengenal peristiwa-peristiwa masa
lampau dalam rangka memahami masa yang akan datang(Khaldun &
Abdurrahman, 2011). Oleh karena itulah sejarah perlu dipahami secara holistik
dan komperhensif.
•••
210
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pemahaman sejarah yang holistik dan komperhensif hanya dapat dilakukan
dengan mamahami sejarah tersebut secara kritis. Pemahaman sejarah yang parsial
hanya akan menjadikan orang bersikap anakronis terhadap sejarah. Anakronisme
inilah yang kemudian memunculkan narsisisme historis dengan perdebatan
tentang siapa yang paling benar dalam menafsirkan sejarah. Narsisime sendiri
adalah kepercayaan diri terlalu berlebihan sehingga orang tersebut seringkali
bersikap arogan dan menganggap hanya dirinya saja yang paling benar(Jean M.
Twenge, 2010). Adapun narsisisme historis adalah sebutan yang saya gunakan
untuk menyebut arogansi pemahaman secara sepihak dalam bidang sejarah.
Narsisisme historis dapat dihindari dengan pemahaman secara yang matang.
Pemahaman sejarah yang matang dilakukan dengan memahami secara holistik dan
komperhensif, tidak parsial dan fragmentatif. Memahami sejarah secara matang
akan menjadikan kita lebih bijak, melangkah lebih jauh dari kehidupan kita yang
singkat, dan melangkah lebih jauh dari saat yang singkat dalam sejarah manusia
(Wineburg, 2006).
Untuk mengatasi hal-hal yang telah disebutkan tadi, masyarakat perlu
diberikan pemahaman sejak dini tentang bagaimana menyikapi sejarah. Perlu
dilakukan transformasi keilmuan dari para agen intelektual sejarah kepada
masyarakat. Di sinilah para guru sejarah memainkan peran yang strategis dalam
upaya memberikan pemahaman kesejarahan kepada generasi muda. Upaya ini
juga didukung pemerintah dengan memberikan porsi yang besar untuk mata
pelajaran sejarah dalam kurikulum 2013. Porsi yang besar juga berarti amanat
yang besar kepada para pendidik sejarah untuk menjalankan visi misi pemerintah
menguatkan karakter siswa.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana cara menyampaikan
pembelajaran sejarah yang baik? Pembelajaran sejarah yang baik tentu harus
memamparkan semua aspek, baik sisi positif maupun sisi negatif dari peristiwa
sejarah yang akan dikaji. Siswa harus dilatih untuk melihat segala sesuatu,
termasuk peristiwa sejarah, dari dua sisi, baik dan buruk. Pembelajaran seperti
inilah yang dimaksud dengan pembelajaran sejarah yang kritis. Adapun model
pembelajaran yang bisa digunakan salah satunya adalah pembejaran berbasis
proyek atau project based learning (PjBL).
Project based learning (PjBL) adalah inti dari PjBL adalah model
pembelajaran dengan strategi memberikan proyek yang harus diselesaikan oleh
siswa (Basjaruddin, 2016). Dalam artikel ini, saya ingin memaparkan tentang
aplikasi dari model PjBL melalui proyek film sejarah.
Pembahasan
A. Berpikir Kritis
1. Definisi Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik dengan cara merenungkan dan
memahami bahwa proses berpikir itu sendiri merupakan bagian dari berpikir
dengan baik(Johnson, 2007). Berpikir kritis adalah memberdayakan
keterampilan atas strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut
•••
211
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dilalui setelah menentukan tujuan pembelajaran, mempertimbangkan dan
langsung kepada sasaran yaitu mengembangkan bentuk berpikir melalui
kegiatan memecahkan masalah, menyimpulkan, mengumpulkan berbagai
kemungkinan dan membuat keputusan (Santoso, 2016). Jadi berpikir kritis
dapat kita simpulkan sebagai cara berpikir yang teliti, dengan
mempertimbangkan sebab dan akibat sehingga muncul pemahaman yang
holistik dan komperhensif terhadap suatu peristiwa. Dalam etika Jawa, cara
berpikir seperti ini dilakukan dengan metode sangkan paran, yaitu dari mana
sesuatu itu berasal dan kemana sesuatu tersebut akan menuju.
Berpikir kritis merupakan cara berpikir yang berangkat dari sesuatu yang
kecil, dari yang sudah ada dulu, dari tahapan yang paling mungkin untuk untuk
dikerjakan(Latuconsina, 2017). Dari sini kemudian kita dapat mengambil subsistem dari berpikir kritis yaitu: (1) Open-minded, yang dilakukan dengan cara
berpikir multidimensional dan menghindari cara berpikir satu arah; (2)
Intellectual curiosity, ditunjukkan dengan kebiasaan mengidentifikasi,
memahami, bertanya, menyelidiki, dan meneliti (3) Planning and strategy,
menentukan tujuan, menyusun rencana, mencari arah untuk menciptakan hasil;
(4) Intellectual awareness, adanya tindakan memeriksa ketidakakuratan atau
kesalahan, bersikap cermat dan sistematis(Afriantoni, 2016).
2. Pentingnya Proses Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah
Sejarah merupakan pelajaran yang menuntut siswa untuk berpikir kritis.
Berpikir kritis dalam sejarah berarti mengkaji suatu peristiwa masa lalu dengan
melihat sebab dan akibat dari berbagai macam perspektif. Hasil dari kajian
tersebut kemudian dipikirkan secara mendalam untuk selanjutnya diputuskan
kesimpulan yang paling masuk akal berdasarkan observasi yang telah
dilakukan.
Berpikir kritis penting diajarkan kepada siswa-siswa di sekolah khususnya
dalam mata pelajaran sejarah. Sejarah sebagai peristiwa masa lalu perlu
dipahami dari berbagai macam perspektif dengan cara berpikir yang
multidimensional. Proses ini menuntut siswa berpikir logis dan obyektif
tentang sesuatu itu apakah masuk akal, memutuskan tentang apa yang diyakini
dilakukan, serta refleksi secara sadar kesalahan yang telah diperbuat(Wibawa,
2016).
Narsisisme historis yang telah dibahas di atas juga bisa diatasi dengan
berpikir kritis ini. Klaim sepihak tentan peristiwa sejarah merupakan suatu hal
yang tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu berpikir kritis perlu ditekankan
sejak dini, karena proses berpikir kritis pada siswa berarti melatih untuk terusmenerus mengevaluasi argumen-arguman yang mengklaim dirinya paling
benar. Seorang yang berpikir kritis tidak akan mudah menggenggam suatu
kebenaran sebelum kebenaran itu dipersoalkan dan benar-benar diuji terlebih
dahulu. Dan yang paling penting adalah bahwa berpikir kritis merupakan salah
satu ciri dari berpikir secara rasional (Rapar, 1996).
•••
212
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
B. Project Based Learning (PjBL)
PjBL merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang menganut
paradigma konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran
yang melibatkan peserta didik untuk melakukan rekonstruksi secara aktif, baik
secara individu maupun kelompok, sesuai dengan materi yang telah disiapkan
(Mabrouk, 2007). Adapun paradigma konstruktivisme dalam pembelajaran
merupakan pengembangan dari gagasan Piaget. Dalam paradigma kontruktivis,
pengetahuan tidak dapat ditransmisikan dari satu individu ke individu yang
lain. Pengetahuan dimaknai sebagai proses kognitif internal dari individu yang
didapat dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh. Hasilnya adalah suatu
sikap yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada
dalam kehidupan nyata (Michael & Modell, 2003).
Pembelajaran berbasis proyek atau project based learning (PjBL) adalah
pendekatan pembelajaran yang menumbuhkan kemampuan abstraksi serta
berbagai tugas intelektual untuk menggali masalah yang kompleks. PjBL
adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai
media. Siswa melakukan ekspolrasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan
informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. PJBL merupakan
model pembelajarandengan cara memberikan masalah kepada siswa untuk
diselesaikan dengan bentuk karya. Pembelajaran PJBL dirancang untuk
digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan siswa dalam
melakukan investigasi dan memahaminya (Darmadi, 2017). PjBL merupakan
model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk
mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Hal ini
banyak digunakan untuk menggantikan metode pembelajaran tradisional di
mana pembelajaran berpusat pada guru(Sumar & Razak, 2016).
Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan
penuntun dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif yang
mengintegrasikan berbagai subyek dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan
terjawab, siswa menuangkan kesimpulannya ke dalam proyek yang sudah
disepakati sebelumnya. PjBL merupakan investigasi mendalam tentang sebuah
topik di dunia nyata, hal ini akan berharga bagi perhatian dan usaha siswa
dalam memahami permasalahan (Darmadi, 2017). Menurut Darmadi, PjBL
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja
2) Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa
3) Siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau
tantangan yang diajukan
4) Siswa berkolaborasi untuk bertanggungjawab memecahkan masalah
5) Proses evaluasi dijalankan secar kontinyu
6) Siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah
dijalankan
7) Produk akhir aktifitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif
8) Situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan
•••
213
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
9) Peran guru dalam pembelajaran sebaiknya sebagai fasilitator
Dari sisi guru, PjBL juga memiliki kelebihan dalam penilaian. Model PjBL
dapat digunakan untuk melihat kemampuan siswa dalam menunjukkan
kinerjanya secara individual maupun kelompok. Dari sinilah kemudian
penilaian terhadap kinerja siswa dapat dilakukan dengan otentik dan
obyektif(Baedowi, 2015). Adapun langkah-langkah PjBL dalam (Shobirin,
2016)adalah sebagai berikut:
1) Penentuan pertanyaan mendasar
2) Menyusun perencanaan proyek
3) Menyusun jadwal
4) Monitoring
5) Menguji hasil
6) Evaluasi pengalaman
C. Aplikasi Model PJBL melalui Proyek Film Sejarah
Dalam artikel ini, saya ingin memaparkan aplikasi dari model
pembelajaran berbasis proyek melalui penugasan memproduksi film sejarah.
Produksi film sejarah dipilih bukan tanpa alasa. Proyek untuk membuat fim
sejarah memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan proyek-proyek yang
lain. Beberapa kelebihan tersebut adalah:
1) Siswa dilatih untuk mencari sumber-sumber sejarah secara akurat yang
nantinya akan ditampilkan di film yang mereka produksi.
2) Siswa dilatih untuk melakukan penelitian sejarah, mulai dari penentuan
topik sampai ke historiografi. Bedanya produk akhir dari penelitian
mereka bukan dalam bentuk tulisan tetapi dalam bentuk film.
3) Bisa membawa siswa untuk merasakan suasana yang terjadi pada saat
terjadinya peristiwa sejarah tersebut, dengan memerankan tokoh-tokoh
yang berperan didalamnya.
Jan Herrington melakukan penelitian kepada 14 guru sekolah atas untuk
mengetahui respon siswa terhadap proyek film yang ditugaskan kepada
mereka. Awalnya siswadiarahkan secara berkelompok untuk menyusun cerita
dan mengolah cerita tersebut dalam bentuk video dengan menggunakan
aplikasi video editing seperti movie maker, pinnacle, adobe premiere, ataupun
software-software yang lain. Metode ini digunakan Herrington dalam rangka
membangun jiwa sosial siswa, di samping membangun pengetahuan mereka
(Stevens & Kitchenham, 2011, hal. 11).
Sebelum memulai metode seperti di atas, siswa diberikan kesempatan
untuk mencari tahu tentang cara penggunaan fitur-fitur umum dalam
penyusunan narasi digital. Selanjutnya siswa diarahkan untuk mencari tahu
tentang metode narasi digital, seperti menulis story board, mengunduh audio
dan video dari smartphone, sampai mengolahnya menggunakan video editing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa pada awalnya akan terbebani
dengan tugas yang diberikan. Akan tetapi ketika para siswa sudah melakukan
apa yang diperintahkan oleh guru, mereka merasa terkejut dengan diri mereka
•••
214
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sendiri karena pengolahan narasi digital ternyata tidaklah sesulit yang
dibayangkan. Sebagian besar siswa juga setuju untuk menggunakan metode ini
untuk tugas-tugas selanjutnya.
Metode yang dikemukakan oleh Herrington ini cocok untuk revolusi
pembelajaran sejarah di era digital. Penyusunan narasi digital oleh siswa
memungkinkan pembelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan tidak lagi
dianggap sebagai pelajaran “pengantar tidur”. Selain itu, metode ini juga
menjadikan pembelajaran sejarah lebih efektif dan efisien karena dapat
menanamkan dasar-dasar ilmu sejarah kepada para siswa, seperti latihan untuk
berpikir secara kronologis.
Kesimpulan
1. Pembelajaran berbasis proyek atau project based learning (PjBL)
memiliki beberapa karakteristik, diantarnya adalah: Siswa membuat
keputusan tentang sebuah kerangka kerja, adanya permasalahan atau
tantangan yang diajukan kepada siswa, siswa mendesain proses untuk
menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan, siswa
berkolaborasi untuk bertanggungjawab memecahkan masalah, proses
evaluasi dijalankan secar kontinyu, siswa secara berkala melakukan
refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan, produk akhir aktifitas belajar
akan dievaluasi secara kualitatif, situasi pembelajaran sangat toleran
terhadap kesalahan dan perubahan, dan peran guru dalam pembelajaran
sebaiknya sebagai fasilitator
2. Ada banyak aplikasi dari model PjBLdalam pembelajaran sejarah,
diantaranya adalah pembelajaran berbasis produksi film. Penyusunan
narasi digital oleh siswa memungkinkan pembelajaran sejarah menjadi
lebih menarik dan tidak lagi dianggap sebagai pelajaran “pengantar tidur”.
Selain itu, metode ini juga menjadikan pembelajaran sejarah lebih efektif
dan efisien karena dapat menanamkan dasar-dasar ilmu sejarah kepada
para siswa, dari penentuan topik sampai ke historiografi. Bedanya produk
akhir dari penelitian mereka bukan dalam bentuk tulisan tetapi dalam
bentuk film. Selain itu, produksi film juga bisa membawa siswa untuk
merasakan suasana yang terjadi pada saat terjadinya peristiwa sejarah
tersebut, dengan memerankan tokoh-tokoh yang berperan didalamnya
Daftar Rujukan
[1] Afriantoni, d. (2016). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Tinggi: Sebuah
Tinjauan Aktual terhadap Praktik Pendidikan Tinggi di Indonesia.
Sleman: Deepublish.
[2] Baedowi, A. (2015). Manajemen Sekolah Efektif: Pengalaman Sekolah
Sukma Bangsa. Tangerang: Pustaka Alvabet.
[3] Basjaruddin, N. C. (2016). Pembelajaran Mekatronika Berbasis Proyek.
Sleman: Deepublish.
[4] Darmadi. (2017). Pengembangan Model dan Metode Pembelajaran dalam
Dinamika Belajar Siswa. Sleman: Deepublish.
•••
215
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
[5] Jean M. Twenge, W. K. (2010). The Narcissism Epidemic: Living in the Age
of Entitlement. New York: Simon and Schuster.
[6] Johnson, E. B. (2007). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan
Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna (III ed.). (I.
Setiawan, Trans.) Bandung: Mizan.
[7] Khaldun, M. b., & Abdurrahman, A.-A. (2011). المق ّدمة. (M. N. Ridwan, Ed.,
M. Irham, M. Supar, & A. Zuhri, Trans.) Jakarta: Al-Kautsar.
[8] Latuconsina, H. (2017). Kreativitas Pendobrak Belenggu. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
[9] Mabrouk, P. A. (2007). Active Learning: Models from the Analytical
Sciences. Washington: American Chemical Society.
[10] Michael, J. A., & Modell, H. I. (2003). Active Learning in Secondary and
College Science Classrooms: A Working Model for Helping the Learner to
Learn. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates .
[11] Rapar, J. H. (1996). PENGANTAR FILSAFAT. Yogyakarta: Kanisius.
[12] Santoso, W. M. (2016). Ilmu Sosial di Indonesia: Perkembangan dan
Tantangan. Jakarta: Obor.
[13] Shobirin, M. (2016). Konsep dan Implementasi Kurikulum 2013 di Sekolah
Dasar. Sleman: Deepublish.
[14] Stevens, D., & Kitchenham, A. (2011). An Analysis of Mobile Learning in
Education, Business, and Medicine. In A. Kitchenham, Models for
Interdisciplinary Mobile Learning: Delivering Information to Students (p.
2). New York: Information Science Reference .
[15] Sumar, W. T., & Razak, I. A. (2016). Strategi Pembelajaran dalam
Implementasi Kurikulum Berbasis Soft Skill. Sleman: Deepublish.
[16] Wibawa, K. A. (2016). Defragmenting Struktur Berpikir Pseudo dalam
Memecahkan Masalah Matematika. Sleman: Deepublish.
[17] Wineburg, S. (2006). Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan,
Mengajarkan Masa Lalu. (M. Maris, Trans.) Jakarta: Obor.
•••
216
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
217
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
BAHAN AJAR SEJARAH PAHLAWAN NASIONAL BERBASIS
INFOGRAFIS
Taufiq Harpan Aldila, Akhmad Arif Musadad, Susanto
Sebelas Maret University
Aldila911@gmail.com
Abstrak
Fondasi sebuah kesadaran akan sikap adalah dari pemahaman akan sebuah konten atau
permasalahan, tidak terkecuali sejarah. Role model dari karakter nasionalisme selalu
dihubungkan dengan para tokoh pahlawan. Namun demikian untuk meneladani nilai –
nilai tersebut perlu adanya pemahaman mengenai sosok tersebut. Bahan ajar yang
terdapat disekolah menjadi sebuah rujukan bagi para siswa untuk memahami peristiwa
sejarah tidak terkecuali para tokoh pahlawan. Bahan ajar sejarah yang diterbitkan oleh
pemerintah memberikan gambaran mengenai tokoh pahlawan dengan menitiberatkan
pada rentetan peristiwa. Terdapat bias dimana tokoh tidak dimunculkan menjadi titik
pusat perhatian kisah. Juga tidak terdapat sebuah bab khusus yang menitiberatkan pada
pembahasan menyeluruh mengenai tokoh pahlawan. Sikap dan kesadaran tumbuh
berawal dari pemahaman. Namun pada pembelajaran sejarah siswa sering mendapat
masalah untuk memahami. Untuk memberikan alternatif lain guna memahami tokoh –
tokoh pahlawan tersebut harus disusun sebuah media yang mengakomodasi antara
kekuatan narasi dan ilustrasi. Bahan ajar berbasis Infografis merupakan alternative media
komunikasi yang variatif, interaktif dan juga mudah dipahami.
Kata Kunci : Kesadaran Sejarah, Bahan Ajar, Biografi pahlawan, Infografis
PENDAHULUAN
Pembelajaran sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang bersama
dengan mata pelajaran Agama dan PKN memiliki tanggung jawab akan
pembentukan sikap. Berbeda dengan mata pelajaran lain sejarah mengambil peran
agar siswa tumbuh sikap nasionalisme, toleransi, dan juga sadar akan sejarah
bangsanya. Dalam konteks sejarah, kesadaran diartikan sebagai sikap menghargai,
memahami dan mengerti akan peristiwa masa lampau. Prasyarat ini mutlak harus
dipenuhi dikarenakan akan sangat berhubungan dengan akuisisi identitas. Sadar
akan sejarah sama dengan sadar akan masa lalu, sadar akan apa yang telah
dimiliki oleh bangsanya sendiri. Kesadaran sejarah memiliki luaran yang hampir
tidak beda jauh dari konsep dasarnya yaitu terciptanya sebuah sikap akan mengerti
lalu kemudian menjaga sejarah (Kochhar, 2008).
Landasan dasar suatu sikap untuk berbuat atau untuk melakukan sesuatu
adalah adanya sebuah konsep pemahaman. Pemahaman yang kemudian
menciptakan sebuah konsepsi yang akhirnya termanifestasi menjadi sebuah gerak
yang
terkadang
tidak
disadari.
Pembelajaran
sejarah
bertujuan
menumbuhkembangkan sikap toleransi, nasionalisme dan sadar akan sejarah,
•••
218
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
maka sudah seharusnya hal terebut dibangun juga dari fondasi dasarnya terlebih
dahulu yaitu adanya pemahaman. peristiwa sejarah mampu menjadi pedoman
dalam kehdupan bermasyarakat. Masyarakat diharapkan mampu memahami dan
mengerti sejarah dari bangsanya sendiri. Hal ini bertujuan agar munculnya sikap
nasionalisme, kesaadaran sejarah, dan juga patriotism (Kochhar, 2008).
Pemahaman dari sebuah peristiwa yang didapatkan salah satunya adalah dengan
menyimak, menyaksikan dan membaca. Akan tumbuh sebuah konsepsi untuk
bersikap menjadi warga yang baik ketika kita meneladani tokoh para pahlawan.
Dalam konteks sejarah, kesadaran diartikan sebagai sikap menghargai,
memahami dan mengerti akan peristiwa masa lampau. Prasyarat ini mutlak harus
dipenuhi dikarenakan akan sangat berhubungan dengan akuisisi identitas. Sadar
akan sejarah sama dengan sadar akan masa lalu, sadar akan apa yang telah
dimiliki oleh bangsanya sendiri. Kesadaran sejarah memiliki luaran yang hampir
tidak beda jauh dari konsep dasarnya yaitu terciptanya sebuah sikap akan mengerti
lalu kemudian menjaga sejarah (Kochhar, 2008)
Proses pembentukan sebuah sikap sadar akan sejarah harus disikapi dan
dipahami menjadi salah satu urgensi kehidupan bemasyarakat dan harus terus
ditumbuh kembangkan. Jika melihat pada urgensi penanaman sikap tersebebut
terhadap masyarakat maka kesadaran sejarah harus dimulai disisipkan ke dalam
aspek kehidupan. Hubungannya dengan kesadaran sejarah (kartodirdjo,
2003)menjelaskan bahwa kesadaran terhadap sesuatu mengandung artis adar akan
apa yang diamati dan sadar akan proses pengamatannya.
Kesadaran sejarah merupakan kondisi kejiwaan yang menunjukkan tingkat
penghayatan pada makna dan hakikat sejarah bagi masa kini dan bagi masa yang
akan datang, menyadari dasar pokok bagi berfungsinya makna sejarah dalam
proses pendidikan. Sementara itu, Soedjatmoko dalam Aman (2011), menjabarkan
kesadaran sejarah sebagai orientasi intelektual.
Pembahasan mengenai tokoh pahlawan yang disajikan di buku paket
maupun buku terbitan swasta memiliki keunggulan dan kekurangan masing –
masing, pada buku ssiswa sejarah kelas XI keluaran pemerintah pendekatan
penulisan yang dilakukan adalah pendekatan kisah peristiwa atau tragedi,
penekanan tokoh bias dikarenakan penulis menceritakan peristiwa sejarah dengan
sudu pandang peristiwa. Pada buku keluaran swasta mili Erlangga yang dituliskan
oleh Ratna Hapsari dan M.Adil memiliki jabaran khusus bab mengenai pahlawan
namun demikian pada penjelasannya terdapat ketidakruntutuan kisah dan minim
ilustrasi bahkan gambar pahlawan.
Keterkaitan dengan keadaan masyarakat saat ini. Teknologi internet
merupakan teknologi yang tidak dapat dihindarkan lagi dari masyarakat sekarang.
Jika ditarik dari segi permasalahan yang ada dalam penelitian ini, bahw di sekolah
tersebut juga mengizinkan siswanya untuk kemudian dapat mengakses
mobile/gadget mereka dalam pemelajaran. Memang diakui oleh Ulil Fachrudin
•••
219
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
selaku guru sejarah kelas XI bahwa sekolah mengizinkan siswanya membawa
gadget ke sekolah dan tidak jarang mereka mengaksesnya untuk menemukan
materi – materi dalam pembelajaran tidak terkecuali ejarah.
Pembelajaran sejarah terfokus pada inti pemahaman siswa terhadap sebuah
materi. Ketika siswa diharapkan memahami konten materi, muncul sebuah
permasalahan. Permasalahan pemahaman siswa disebutkan oleh (Wulandari,
2012) dalam jurnal yang diterbitkan Jurnal Didaktika Dwija Indria Solo.
Dibutuhkan sebuah metode untuk membantu siswa untuk memahami sebuah
konten materi yang cukup rumit. Wulandari menggunakan metode Mind Mapping
sebagai metode pembantu dalam memahami konten materi yang cukup kompleks.
Pada penelitian (Yunita, 2014) ia menggunakan Peta konsep untuk mempermudah
mengaplikasikan pemahaman pada siswa mengenai materi konsep senyawa. Peta
konsep Peta konsep dalam proses belajar mengajar memperjelas pemahaman guru
dan siswa dalam menfokuskan konsep-konsep dalam beberapa ide utama (Novak
& Gowin, 2006).
Peta konsep merupakan ide atau konsep dasar pengembangan Infografis.
Menurut Fisher (Asan: 2007), secara tradisional peta konsep hanya dapat dibuat
dengan menggunakan bantuan kertas dan pensil. Penggabungan antara Shape
(bentuk) dan Text (Teks) merupakan kekuatan Peta Konsep. Pada
pengembangannya infografis lebih dikenal di kalangan masyarakat sekarang.
Peran Infografis tidak hanya dimanfaatkan pada bagian Advertising namun juga
telah merambah pada dunia Pendidikan. Pada penelitian Aldila di tahun 2016
yang mengangkat mengenai pengembangan Infografis untuk meningkatkan hasil
belajar, didapati sebuah fakta pada analisis kebutuhan dimana siswa selain ingin
dapat memahami juga ingin mendapatkan kemudahan dalam memahami sebuah
materi. Beberapa permasalahan yang sering muncul siswa diberikan materi yang
begitu kompleks namun tidak jarang guru juga tidak memberikan sebuah metode,
cara ataupun trik dalam memahami materi tersebut sehingga memberikan
kesulitan pada siswa.
Menurut Lankow et al.(2014) dalam bukunya Infografis: Kedahsyatan
Cara Bercerita Visual, mengatakan keunggulan komunikasi visual melalui
infografis antara lain: visualisasi gambar mampu menggantikan penjelasan yang
terlalu panjang, serta menggantikan tabel yang rumit dan penuh angka. Melalui
visualisasi grafis data yang menarik, pesan - pesan kebijakan yang ingin
disampaikan Bank Indonesia diharapkan lebih mudah mendapat perhatian dari
publik. Hal ini mengacu kepada beberapa hasil penelitian terdahulu yang
menyebutkan bahwa mata manusia lebih cepat menangkap informasi yang tersaji
dalam bentuk visual (grafis) daripada dalam bentuk tekstual, lalu kemudian
cenderung menaruh atensi lebih besar untuk membaca isi pesan yang
disampaikan.
•••
220
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Marshall McLuhan dalam bukunya yang berjudul (1964), dalam Yaros
(2006), memperkenalkan kepada dunia sebuah paradoks yaitu, medium is the
message. McLuhan mengatakan bahwa media itu sendiri lebih penting daripada isi
pesan yang disampaikan oleh media tersebut. Media mempengaruhi masyarakat,
dimana yang berperan bukanlah semata - mata konten yang disampaikan melalui
media, melainkan oleh karakteristik dari media itu sendiri. Inti dari kajian medium
is the message oleh McLuhan adalah bagaimana individu/publik dalam
memahami media, termasuk didalamnya efek dari media terhadap individu/publik
tersebut (Arigia, 2016). .
Perlu adanya sebuah inovasi dalam penyusunan bahan ajar pendamping
buku paket yang merupakan suplemen dari buku pemerintah. Dalam hal ini guru
juga harus ikut andil dalam penyusunan tersebut, hal ini dikarenakan guru yang
paling memahami situasi dan kondisi di dalam kelas. Menurut (Musadad, 2008)
Kadar kualitas guru dipandang sebagai penyebab kualitas lulusan sekolah. Rendah
dan merosotnya mutu pendidikan sebagaimana yang sering disinyalir oleh banyak
media massa, hampir selalu disertai dengan menuding gurunya. Karena itu
sangatlah disadari perlunya pembinaan profesional guru secara terarah dan
terprogram untuk meningkatkan efektivitas mengajarnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode pengembangan (Research and Development)
untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah penelitian. Metode penelitian
dan pengembangan (Resarch and Development) ialah metode penelitian yang
digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk
tersebut (Sugiyono, 2011: 407). pengembangan bahan ajar sejarah Tokoh
Pahlawan sejarah berbasis infografis mengikuti desain ADDIE. Langkahlangkahnya meliputi: analisis, desain/perancangan, pengembangan, implementasi,
dan evaluasi ((R. Heinich, M. Molenda, J. D Russell dan S. E. Smaldino, 2002:
107-109).
Subjek penelitian ini dilaksanakan di kelas XI IPS dan IPA SMAN 2 Ungaran.
Pengambilan kelas/custer bertujuan untuk dilaksanakannya uji efektivitas produk.
Sedangkan pada tahap pengembangan bahan ajar dilakukan validasi oleh
validator/expert untuk kemudian direvis. Dilakukan juga uji satu – satu, uji kecil,
hingga uj besar yang juga dilaksanakan di kelas XI SMAN 2 Ungaran.
Adapun jabarannya adalah
a. Analisis Kebutuhan Siswa
Pada tahap pengembangan, tahapan analisis sangatlah dibutuhkan untuk
melihat sebagian permasalahan yang dihadapi oleh siswa dan kemudian
diharapkan setelah muncul sebuah masalah peneliti mampu
mengidentifikasi apa yang dibutuhkan oleh siswa dalam pembelajaran,
sehingga penliti mampu memetakan alternatif metode dalam
pembelajaran, dalam penelitian ini adalah alternatif bahan ajar.
•••
221
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
b. Analisis Bahan Ajar
Hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti
dan pihak sekolah telah menghasilkan sebuah rumusan masalah yang akan
menjadi dasar peneltian pengembangan. Bahwa disepakati masalah yang
sering muncul adalah sering terjadinya ketimpangan antara banyaknya
materi dengan jam mengajar, hal ini juga memaksa guru terkadang
melewati materi yang sebenarnya juga memiliki esensi yang tinggi, salah
satunya tokoh pahlawan kemerdekaan, perlawanan dan pergerakan. pada
tahap ini disepakati untuk melakukan sebuah terobosan untuk kemudian
memberikan sebuah akternatif pembelajaran pada pemberian materi ajar
pada kompetensi dasar tersebut. Hal ini juga diperkuat dengan angket
siswa yang memiliki kecenderungan menginginkan pemahaman materi
yang to the point yang tentunya agar mudah dpahami.
c. Analisis Media Ajar
Hasil dari analysis media ajar yang dilakukan pada awal observasi
adalah, guru sejarah di SMAN 2 ungaran telah menerapkan berbagai
media seperti media flm sejarah, power point, dan juga buku teks. namun
demikian ketiganya memiliki kelemahan dan kelebihan masing – masing.
seperti yang telah disampaikan bahwa dengan menggunakan media
audiovisual seperti film memang dapat memberi ketertarikan sendiri
terhadap siswa, namun demikian memiliki kelemahan yaitu durasi film
yang tidak mampu disesuaikan oleh guru, sehingga terkadang tidak sesuai
dengan rancangan pembelajaran yang ada.
Pada tahap ini peneliti dan juga guru mencoba mengakomodasi
kekurangan tersebut, penelit dan guru mendapat titik temu untuk kemudian
melakukan pengembangan media yang memperhatikan beberapa aspek
seperti komunikatif, memiliki aksesiilitas tinggi, modern, dan mampu
mengakomodasi beberapa materi dalam satu kemasan.
d. Merumuskan alat pengukur keberhasilan
Pada tahap selanjutnya adalah merumuskan alat pengukur bagi
variabel yang akan diteliti. Pada penelitian ini kesadaran sejarah menjadi
variabel yang harus diteliti. Indikator yang telah dirumuskan menjadi
sebuah acuan untuk melihat sebuah keberhasilan penelitian atau tidak. Alat
pengukuran keberhasilan dalam hal ini adalah untuk mengukur tingkat
kesadaran sejarah siswa dengan menggunakan angket kesadaran sejarah
tes objektif berbentuk uraian. .
e. Merumuskan bahan ajar
Naskah atau materi yang terdapat dalam bahan ajar disusun dari
berbagai referensi Tokoh Pahlawan – tokoh sejarah. Guna terdapat sebuah
pemahaman yang runtut bahan ajar akan diselaraskan dengan kronologi
•••
222
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
waktu dengan mencakup kinerja tokoh dan sumbangsihnya terhadap
bangsa Indonesia dar lahir hingga wafat. Setelah materi terkumpul,
langkah selanjutnya adalah membuat sebuah layout yang kemudian
disesuaikan dengan pengembangan media pendukungnya yaitu Infografis.
Layout Infografis disusun dan disesuaikan dengan naskah materi yang
telah dibuat sebelumnya.
d. Validasi
Pada tahap validasi bahan ajar yang telah disusun kemudian akan
diuji oleh validator untuk melihat kesesuaian dan kelayakan bahan ajar
sebelum diujikan. Validasi dilakukan dengan menekankan pada dua aspek
yaitu materi dan juga penyajian bahan ajar. Validasi dilakukan oleh
beberapa validator ahli materi dan validator dari ahli media.
Acuan penilaian pada bahan ajar tersebut peneliti akan menggunakan penilaian
buku pengayaan yang diterbitkan oleh KEMDIKBUD yang terfokus pada
penekanan bahan rujukan alternatif selain buku teks. Penilaian tersebut mengacu
pada penilaian materi dan juga cara penyajian.
Instrumen penelitin yang digunkan dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga
Instrumen menurut tahapannya. Pada tahap awa atau menganaisis analisis
kebutuhan, maka digunakannlah lembar angket untuk melihat tingkat kesadaran
siswa hingga kebutuhannya terhadap bahan ajar. Tahap pengembangan yang
dilakukan setelah merumuskan kebutuhan dilapangan, adalah perancangan bahan
ajar. Instrumen yang digunakan untuk memvalidasi adalah lembar validasi dari
buku pengayaan dari Kemendikbud. Dalam instrumen tesebut validator meninjau
dan menilai mengenai kelayakan teks, peyajian dan grafis.
PEMBAHASAN
Berdasarkan observasi yang dilaksanakan di tempat penelitian yaitu SMAN 2
Ungaran, peneliti menemukan beberpa potensi yang tersedia. Seperti buku Sejarah
wajib kelas X untuk SMA/SMK/MA/MAK yang diterbitkan oleh pemerintah,
Lembar Kerja Siswa, film – film yang diunduh melalui jaringan internet, dan
lokasi – lokasi bersejarah yang terdapat di wilayah Ungaran yang dijadikan
sumber pembelajaran lsngsung para siswa.
Permasalahan yang ditemukan adalah di SMAN 2 Ungaran dapa
dirumuskan menjadi tiga poin. Poin pertama berhubungan dengan waktu belajar.
Padatnya materi yang diajarkan terkadang tidak sesuai dengan jam belajar yang
diberikan, hal ini dikarenakan menurut guru Sejarah Ulil Fachrudin, ada materi
yang memang harus mendapatkan treatment khusus sehingga membutuhkan
sedikit waktu. Permasalahan yang kedua adalah pemahaman, dikarenaan waktu
yang begitu terbatas dengan jumlah materi yang cukup kompleks maka terjadi
sebuah permasalahan mengenai pemahaman sejarah yang kadang sering timbul di
kelas. Tidak jarang ketika guru kelas ingin mengejar materi, beberapa siswa justru
•••
223
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
akan mengalami kesulitan. Poin yang ketiga adalah mengenai minat. Ketika
pemahaman sejarah menjadi sebuah tuntutan maka yang perlu dikembangkan
adalah ketercapaian kognitif siswa dalam pembelajaran. Namun kemampuan
kognitif siswa tidak akan terbentuk jika minat belajar rendah. Dari beberapa siswa
yang diwawancara terdapat sebuah fakta bahwa pembelajaran sejarah yang
mereka idam – idamkan adalah dengan melihat real viual, film, gambar, atau
ensiklopedi. Temuan ini coba dikembangkan dan menemui satu fakta jenuh bahwa
siswa memang lebih tertarik pada pembelajaran dengan bantuan media grafis, hal
ini disampaikan juga oleh Ulil Fachrudin selakuku guru Sejarah SMAN 2
Ungaran.
Setelah didapati sebuah data mengenai keadaan siswa dan kebutuhan serta
melihat dari hasil observasi meengenai bahan ajar yang digunakan di sekolah.
Peneliti melakukan tahap selanjutnya dengan merancang bahan ajar dengan acuan
pengembangan sebagai berikut.
Gambar 1 Langkah – langkah pengembangan bahan ajar
Pengembangan bahan ajar pada penelitian yang dilakukan berbentuk
Infografis pada materi sejarah Pergerakan pemuda hingga kemerdekaan. Sebelum
dilaksanakannya uji coba produk dilapangan, bahan ajar terlebih dahulu harus
mendapatkan validasi dari para ahli, baik dari ahli materi maupun ahli media
pembelajaran. Validator dilakukan oleh 4 orang ahli, 2 orang dosen dan 2 orang
guru. Satu dosen merupakan pengampu mata kuliah sejarah Kontemporer
sehingga kemudian peneliti posisikan sebagai validator materi bahan ajar,
sedangkan dua dosen lainnya merupakan validator media bahan ajar. hal ini
•••
224
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dikarenakan keduanya merupakan dosen pengampu mata kuliah media
pembelajaran.
Berikut tabel rentang kelayakan bahan ajar.
•••
225
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Rentang persentase (%)
81,25% < x ≤ 100%
Interpretasi
Sangat setuju / baik sekali
62,50% < x ≤ 81,25%
Setuju / baik
43,75% < x ≤ 62,50%
Ragu-ragu / tidak baik
Tidak setuju / sangat tidak
25% < x ≤ 43,75%
baik
Tabel 1 rentang kelayakan bahan ajar
Pada tahap pengembangan bahan ajar dilakukan validasi baik dari segi
materi penyajian maupun dari segi media. validasi tersebut dilaksanakan sebanyak
dua tahap. Pada penilaian tahap I validasi materi menunjukkan nilai 82,9% dan
materi 91,2%. Pada tahap pertama bahan ajar telah dinyatakan sangat baik atau
minimal layak dan bisa digunakan, namun demikian ada beberapa saran dan
catatan perbaikan yang harus dilakukan baik dari segi materi maupun media.
Setelah revisi tahap I dilaksanakan kemudian dilaksanakan validasi tahap II. Pada
validasi tahap II dari segi materi menunjukan nilai 90,1% dan media 91,1%. Hasil
validasi tahap II mendapat kriteria sangat baik, meskipun terdapa sedikit catatan
namun bahan ajar telah dinyatakan Layak oleh ahli materi maupun media dan
dapat digunakan untuk diterapkan dalam penelitian. .
Tahap
evaluasi
dilakukan untuk melihat apakah bahan ajar memiliki pengaruh terhadap hasil
belajar siswa atau tidak. Menurut Hamalik (2015:159) evaluasi hasil belajar
adalah keseluruhan kegiatan pengukuran pengumpulan data dan informasi,
pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan tingkat hasil
belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Pengukuran hasil belajar dilakukan sebanyak dua kali pada dua kelas
kontrol dan kelas emsperimen. Tes pertama (pretest) dilaksanakan pada kedua
kelas sebelum adanya penerapan bahan ajar. Pretest berfungsi sebagai acuan
peneliti untuk melihat apakah kelas tersebut sama(homogen) atau tidak.
Penerapan bahan ajar dilaksanakan pada kelas eksperimen dan pada kelas kontrol
tidak menggunakan bahan ajar tersebut. Setelah penerapan bahan ajar tersebut
kemudian peneliti melakukan tes akhir atau posttest untuk melihat perbedaan hasil
belajar dari kelas yang menggunakan bahan ajar dan yang tidak.
Pada penelitian ini keefektifan proses pembelajaran salah satunya adalah
kesempurnaan menyampaikan materi pada peserta didik. Peneliti menggunakan
dua kelas dalam penelitian untuk membandingkan dan melihat perbedaan antara
kelas yang menerapkan stimulus pada proses pembelajarannya dengan yang tidak.
Pada akhirnya, secara garis besar kita akan mampu melihat perbedaan dua kelas
tersebut. Pada bagian ini bahan ajar merupakan elemen yang penting dalam
pembelajaran, karena diposisikan sebagai stimulan (referensi) dalam
•••
226
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pembelajaran. Bahan ajar yang diterapkan oleh penliti adalah bahan ajar Sejarah
Biografi pahlawan dari pergerakan hingga kemerdekaan.
Keefektifan bahan ajar berupa kumpulan infografik tersebut telah
dibuktikan dengan hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sebelum
dilakukan uji produk bahan ajar terhadap kelas eksperimen, terlebih dahulu
produk tersebut mendapat validasi dari para ahli baik dari segi materi maupun dari
segi media. Setelah dilakukannya validasi oleh para ahli, terdapat sebuah
kesimpulan bahwa bahan ajar tersebut sangat baik dan laya untuk digunankan
dalam penelitian peningkatan hasil belajar siswa.
Penerapan produk bahan ajar tersebut hanya dilakukan di kelas eksperimen
atau kelas uji coba, sedangan kelas kontrol tidak. Keefektifan produk bahan ajar
dapat dilihat dari hasil belajar siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Guna melihat kesetaraan kemampuan, peneliti memberikan pretesti kepada kelas
kontrol dan kelas eksperimen dan setelah dikoreksi maka rata – rata kelas kontrol
52,4 sedangkan kelas eksperimen 59,4. Namun demikian setelah kelas eksperimen
mendapatkan perlakuan berupa penerapan produk pengembangan bahan ajar
kumpulan infografik maka rata – rata nya berubah. Setelah proses pembelajaran
dilaksanakan peneliti memberikan tes terakhir atau posttest. Pada hasil posttest
dari kelas kontrol maupun kelas eksperimen didapati nilai rata – rata 62,3 untuk
kelas kontrol dan 85,3 untuk kelas eksperimen. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata
– rata hasil belajar kelas yang menggunakan produk pengembangan bahan ajar
Biografi pahlawan dari pergerakan hingga kemerdekaan terdapat perbedaan yang
lebih baik dari kelas yang tidak menggunakan produk bahan ajar tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dengan demikian penggunaan produk
pengembangan bahan ajar kumpulan infografik pada materi sejarah kerajaan Islam
di Jawa dan bentuk akulturasinya dalam pembelajaran sejarah Indonesia pada
kelas eksperimen memberikan pengaruh yang cukup berarti.
SIMPULAN
Kondisi bahan ajar yang ada di SMAN 2 Ungaran belum pernah
dikembangkan sebelumnya, hal ini dibuktikan dari hasil wawancara kepada guru
SMAN 2 Ungaran. Kebutuhan akan bahan ajar dinilai sangat perlu dan
dibutuhkan. Angket siswa menunjukkan presentase 70% setuju agar bahan ajar
yang ada sekarang dikembangan terutama pada materi sejarah Biografi pahlawan
dari pergerakan hingga kemerdekaan.
Bahan ajar yang disusun oleh peneliti dinyatakan telah layak digunakan
oleh para ahli baik dari ahli materi maupun media dibuktikan dengan validasi
yang telah dilaksanakan sebanyak dua tahap dan keduanya memperoleh nilai
kriteria sangat baik atau sangat layak digunakan untuk penelitian.
Pengembangan bahan Biografi pahlawan dari pergerakan hingga
kemerdekaan dapat disimpulkan sangat berarti untuk meningkatkan hasil belajar
siswa. Pada penelitian mengenai evaluasi hasil belajar, dapat diperoleh fakta
bahwa nilai rata – rata kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Buku
•••
227
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
kumpulan infografik materi sejarah kerajaan Islam di Jawa dan bentuk akulturasi
efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran sejarah Indonesia, hal ini dibuktikan
dari rata – rata hasil belajar peserta didik pada kelas eksperimen 25,8789 jauh
lebih baik dari rata-rata kelas kontrol 11,1328.kelas eksperimen di SMAN 2
Ungaran.
Secara garis besar penelitian pengembangan bahan ajar berupa kumpulan
infografik dapat juga dikembangkan di sekolah lain. Pengembangan bahan ajar
yang dilakukan pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi cetak biru guna
mengembangkan materi-materi lain yang serupa guna memberikan materi yang
benar-benar dibutuhkan siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arigia, M. B. (2016). Infografis Sebagai Media Dan Keterlibatan Pokitik Bank
Indonesia. Jurnal Komunikasi, 120 - 133.
Hosnan, M. (2014). PENDEKATAN SAINTIFIK DAN KONTEKSTUAL DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH ABAD 21. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
kartodirdjo, S. (2003). Pendekatan Ilmu Sosial Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kochhar, S. (2008). Teaching Of History . Jakarta: Grasindo.
Musadad, A. A. (2008). OPTIMALISASI PEMBINAAN GURU BARU DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH. PAEDAGOGIA, 51 - 61.
Wulandari, T. (2012). PENERAPAN METODE MIND MAPPING UNTUK
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP TANAH DAN BATUAN
. Jurnal Didaktika Dwija Indria (SOLO) .
Yunita, L. (2014). PEMANFAATAN PETA KONSEP (CONCEPT MAPPING)
UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA TENTANG
KONSEP SENYAWA HIDROKARBON . EDUSAINS, 2-8.
Fatturohman, muhammad.2015. Paradigma Pembelajaran Kurikulum 2013.
Yogyakarta: KALIMEDIA
Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya.
Prastowo, Andi. 2013. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.
Yogyakarta: Diva Press.
Margono, S. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
•••
228
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
229
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
230
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PERANAN ARSIP-ARSIP STUDIO MUSIK LOKANANTA DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH
Muhammad Isnaedhi
Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret (UNS)
muhammadisnaedhi@gmail.com
Abstrak
Dewasa ini, manfaat dari arsip khususnya arsip statis dapat dinikmati oleh
masyarakat dari berbagai kalangan dan usia. Selain sebagai memori kolektif dan warisan
dokumenter, arsip statis merupakan sumber primer dalam penulisan sejarah sebuah
bangsa. Arsip juga dijadikan sumber bahan pembelajaran di dunia pendidikan utamanya
terkait mata pelajaran sejarah. biasanya arsip kurang mendapat perhatian yang wajar
bahkan sering dimarginalkan.Banyak instansi/lembagapemerintahan maupun swasta,
berbagai organisasi, dan individu mengabaikan pentingnya arsip. Akibatnya akan
kehilangan sumber informasi penting, baik untuk kepentingan praktis sejaman maupun
sebagai sumber penelitian. Sehebat apapun kebesaran masa lampau suatu bangsa,
organisasi, maupun tokoh jika tidak ada dokumen yang menjadi bukti dan sumber
sejarah, maka tidak akan dapat ditulis dalam sejarah. Berbagai permasalahan yang ada
mengenai peran dan fungsi arsip yang teramat penting dalam sejarah, terutama berkaitan
dengan urgensi dan integritas arsip dalam konteks kebangsaan dan kesadaran sejarah,
dikarenakan kurangnya kesadaran dalam pengelolaan arsip yang baik. Siahaan (2013)
dalam tulisannya menyebutkan bahwa arsip dapat digunakan sebagai media pembentukan
dan pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran arsip, antara lain yang pertama,
arsip yang ditulis menjadi sejarah dapat mengajarkan nilai-nilai luhur, kebaikan, dan
nasionalisme. Yang kedua, arsip yang ditulis menjadi sejarah mengajarkan kita untuk
mencontoh nilai-nilai perjuangan para pahlawan nasional untuk membebaskan diri dari
penindasan bangsa asing.
Keyword : Arsip, Studio Musik, Lokananta, Pembelajaran Sejarah
Pendahuluan
Ilmu kearsipan merupakan suatu istilah yang telah digunakan sekitar
ratusan tahun silam,khususnya di wilayah Eropa. Kearsipan lahir bersamaan
dengan lahirnya peradaban manusia, yaitu ketika manusia mengenal tulisan.
Dengan diketahuinya bangsa Mesir dan Mesopotamia pertama kali melakukan
transaksi arsip (dinamis) karena alasan administrasi dan kebuktian, hal ini dicatat
sejarah sebagai faktor utama ditemukannya tulisan. Pada saat yang bersamaan,
juga lahir berbagai tulisan mengenai agama atau kepercayaan maupun literatur
ceritera sekitar 3000 tahun SM. Kegiatan kearsipan pada saat itu masih sederhana,
yaitu dengan penerapan metode pengawasan dan penataan arsip, sehingga dapat
dikatakan bahwa ilmu kearsipan sudah mulai lahir pada saat itu.
Selanjutnya arsip sebagai bahan pertanggungjawaban nasional, artinya
setiap peristiwa atau kegiatan akan menimbulkan arsip. Semua jejak rekam
perjalanan bangsa ini direkam oleh arsip. Semua kegiatan akan
dipertanggungjawabkan. Apabila tidak ada bahan pertanggung jawaban maka
pemerintah dianggap tidak transparan dan otoriter, yang berakibat pada hilangnya
•••
231
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
serpihan sejarah sebuah bangsa dan perpecahan. Namun yang terjadi adalah peran
dan fungsi arsip di negeri ini belum dapat diterapkan secara maksimal. Hal ini
terbukti dari masih terjadi kemelut inkonsistensi arsip negara dalam sejarah. Tidak
dapat dipungkiri bahwa arsip memang memiliki peran penting tersendiri dalam
penulisan sejarah, kepemerintahan, sampai kepada menjadi sumber utama dalam
penulisan sejarah. Hal ini disadari masyarakat karena arsip adalah memori kolektif
sebagai jati diri warga negara bahkan bangsa, warisan bangsa dan aset bagi
pemerintah yang sangat bernilai tinggi. Menjadi tanggung jawab bersama bagi
kita sebagai warga negara untuk menjaga arsip dan mendayagunakannya dalam
membangun karakter bangsa.
Dewasa ini, manfaat dari arsip khususnya arsip statis dapat dinikmati oleh
masyarakat dari berbagai kalangan dan usia. Selain sebagai memori kolektif dan
warisan dokumenter, arsip statis merupakan sumber primer dalam penulisan
sejarah sebuah bangsa. Arsip juga dijadikan sumber bahan pembelajaran di dunia
pendidikan utamanya terkait mata pelajaran sejarah.biasanya arsip kurang
mendapat perhatian yang wajar bahkan sering dimarginalkan.Banyak
instansi/lembagapemerintahan maupun swasta, berbagai organisasi, dan individu
mengabaikan pentingnya arsip. Akibatnya akan kehilangan sumber informasi
penting, baik untuk kepentingan praktis sejaman maupun sebagai sumber
penelitian. Sehebat apapun kebesaran masa lampau suatu bangsa, organisasi,
maupun tokoh jika tidak ada dokumen yang menjadi bukti dan sumber sejarah,
maka tidak akan dapat ditulis dalam sejarah.
Berbagai permasalahan yang ada mengenai peran dan fungsi arsip yang
teramat penting dalam sejarah, terutama berkaitan dengan urgensi dan integritas
arsip dalam konteks kebangsaan dan kesadaran sejarah, dikarenakan kurangnya
kesadaran dalam pengelolaan arsip yang baik. Siahaan (2013) dalam tulisannya
menyebutkan bahwa arsip dapat digunakan sebagai media pembentukan dan
pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran arsip, antara lain yang
pertama, arsip yang ditulis menjadi sejarah dapat mengajarkan nilai-nilai luhur,
kebaikan, dan nasionalisme. Yang kedua, arsip yang ditulis menjadi sejarah
mengajarkan kita untuk mencontoh nilai-nilai perjuangan para pahlawan nasional
untuk membebaskan diri dari penindasan bangsa asing.
Pengertian Arsip
Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan
media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga
pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan
perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara (Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan pasal 1 ayat
2). Menurut Betty R. Ricks (1992:123), arsip adalah “record information,
regardless of medium or characteristic, made or receival by anorganization that
is useful inte operation of the organization”. Dari pernyataan tersebut, arsip
•••
232
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
adalah rekam informasi, terlepas dari media atau karakteristik, dibuat atau
diterima oleh suatu organisasi yang berguna dalam operasi organisasi.
Menurut Duranti (1997), ilmu kearsipan merupakan tubuh pengetahuan
mengenai ciri dan karakteristik arsip dan pekerjaan arsip, yang terorganisasi
secara sistematis ke dalam teori, metodologi dan praktek. Teori kearsipan
merupakan keseluruhan ide para arsiparis tentang apa itu materi kearsipan,
sementara metodologi kearsipan merupakan keseluruhan ide para arsiparis tentang
bagaimana memperlakukan materi kearsipan, dan praktek merupakan aplikasi
kedua ide teoritis dan metodologis tersebut ke dalam situasi yang nyata dan
konkrit. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu kearsipan
adalah ilmu yang mempelajari suatu proses mulai dari penciptaan, penerimaan,
pengumpulan, pengaturan, pengendalian, pemeliharaan dan perawatan serta
penyimpanan dokumen menurut sistem tertentu.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan,
kearsipan adalah hal-hal yang berkenaan dengan arsip. Di Indonesia, sejak zaman
VOC sampai sekarang sekurang-kurangnya terdapat lima sistem kearsipan yang
pernah diterapkan, antara lain Sistem Agenda, Sistem Verbal, Sistem Kaulbach
dan Sistem Pola Baru. Sistem kearsipan adalah menerapkan seluruh elemen atau
subsistem dari sistem tersebut secara konsisten. Apabila salah satu unsur dari
suatu sistem kearsipan tidak diterapkan secara konsisten dan menyeluruh maka
mustahil tujuan dari manajemen kearsipan dapat dicapai. Kenyataan yang ada
sekarang, dalam konteks penerapan sistem kearsipan di negara kita, adalah
ketidak konsistenan tersebut, terutama pada era setelah kemerdekaan. Ini dapat
dibuktikan bahwa kondisi kearsipan pada masa setelah kemerdekaan lebih tidak
teratur dibandingkan dengan ketika masa kolonial dan barangkali begitu juga
dengan tertib administrasinya (Effendhie, 2008).
Selanjutnya dalam Undang-undang Pokok Kearsipan (UUPK) Pasal 2
disebutkan bahwa fungsi arsip membedakan arsip dinamis yang dipergunakan
secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kehidupan
kebangsaan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung dalam
penyelenggaraan administrasi negara; dan arsip-arsip yang tidak dipergunakan
secara langsung untuk perencanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada
umumnya maupun untuk penyelenggaraan sehari-hari administrasi negara.
Kemudian tujuan kearsipan disebutkan dalam UUPK pasal 3 yaitu untuk
menjamin keselamatan bahan pertanggungjawaban nasional tentang perencanaan,
pelaksanaan dan penyelenggaraan kehidupan kehidupan kebangsaan serta untuk
menyediakan bahan pertanggungjawaban tersebut bagi kegiatan Pemerintah.
Tulisan Prof. Dr. Kuntowijoyo mengatakan bahwa mitos dan sejarah
berguna
untuk
mengetahui masa lampau. Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan
mitos dan yang sudah mengenal tulisan pada umumnya mengandalkan sejarah.
Sejarah berguna untuk melestarikan masa lampau, karena masa lampau dipandang
penuh makna. Dengan pengetahuan sejarah kita dapat melihat tidak hanya masa
sekarang tetapi juga masa depan dengan rasa lebih mantap karena sudah ada arah
•••
233
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
garis tertentu. Seseorang yang tidak mengenal sejarahnya atau masa lampaunya,
maka akan kehilangan identitasnya.
Begitu pentingnya rekaman sejarah untuk membangkitkan sadar arsip bagi
masyarakat dan memperkuat identitas bangsa kita sangat dirasakan nyata baik
bagi pemerintah, organisasi dan masyarakat. Masyarakat perlu aspirasi pemimpin
penjuang masa lampau dari rekaman sejarah, yang dapat menunjukkan pada kita
saat sekarang ini perjuangan negara dalam memajukan negara dan lepas dari masa
penjajahan. Jika rekaman ataupun tulisan sejarah masa lampau sudah tidak terjaga
lagi maka sangat disayangkan sekali bagi kita sebagai generasi penerus, tidak
akan mengetahui sejarah yang terjadi di masa lampau. Pemerintah tanpa ada arsip
sejarah tentu akan kehilangan sumber informasi penting akan perjuangan, ide
pejuang, dan strategi kepemerintahan yang dapat membantu membangun
kebangkitan bangsa.
Kearsipan
a) Jenis-Jenis Arsip
Menurut Prof. Dr. A. Sartono Kartodirdjo dokumen merupakan pangkal
tolak sejarah, senada dengan ucapan Louis Gottschalk yang mengatakan : no
document no history. Sementara itu Langlois dan Seignobos mengatakan bahwa
sejarah disusun atau direkonstruksi dari dokumen. Dokumen atau arsip
merupakan sumber primer untuk penulisan sejarah karena menyimpan rekaman
peristiwa dan memori kolektif yang menjadi bukti adanya peristiwa yang terjadi
masa lampau. Penulisan sejarah tidak akan dapat dihasilkan jika tidak tersedia
dokumen. Ketidaklengkapan dokumen acapkali menjadi penghalang penulisan
sejarah dari suatu peristiwa, lembaga, organisasi, tokoh, dan sebagainya.
Arsip sangat penting karena merupakan suatu bukti dari suatu peristiwa
atau kegiatan yang direkam dalam bentuk yang nyata atau bersifat tangible
sehingga memungkinkan untuk ditemukan kembali. Terdapat beberapa
pemahaman dasar yang mendasarkan pada pentingnya arsip. Pertama, arsip harus
merupakan bukti (evidence) dari suatu peristiwa yang berisi data dalam
pengertian secara`sosial. Data dalam konteks ini seringkali diartikan sebagai basis
untuk pengambilan keputusan, pengukuran,
penghitungan, dan sumber
informasi.(Lundgen and Terry D,1989)
Kedua, arsip harus disimpan di dalam bentuk yang nyata. Tiga bentuk
media arsip secara umum terdiri dari arsip dengan media elektronik yang meliputi
disk magnetik, diskettes, pita magnetik, dan disk optik. Umumnya media
elektronik digunakan untuk menyimpan informasi arsip dalam jenis dan jumlah
yang besar. Media elektronik seperti komputer menawarkan kemudahan,
kecepatan, dan ketepatan dalam mengolah, menyimpan, dan menemukan kembali
informasi. Ada lagi arsip berbentuk kertas atau hard-copy berisi data, teks,
statistik, gambar, dan sebagainya. Keuntungan bentuk ini adalah dapat
menyediakan informasi untuk referensi jangka pendek dan seringkali digunakan
untuk arsip vital. Arsip film merupakan data gambar atau teks yang disimpan
pada film, termasuk microfilm. Sementara arsip media magnetik merupakan data,
gambar, atau teks yang disimpan dan ditemukan kembali melalui penulisan kode
•••
234
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
secara magnetik dan khusus berkaitan dengan komputer. Di samping itu ada
media video atau suara atau biasa dikenal dengan audio-visual media.
Ketiga, bahwa arsip dalam bentuk apa pun harus dapat ditemukan kembali
baik secara fisik mau pun informasinya. Arsip dapat dibedakan dengan non arsip,
karena non arsip merupakan keseluruhan informasi dalam bentuk yang tidak
nyata. Contoh dari non arsip adalah pembicaraan biasa yang tidak penting.
Menurut Undang-Undang No 07 tahun 1971 tentang Pokok-Pokok
Kearsipan fungsi arsip sebagai infornmasi terekam mempunyai pengertian
peranan yang dapat dibedakan atas dua yaitu arsip dinamis dan arsip statis. Arsip
dinamis adalah arsip yang dapat diperguinakan secara langsung di dalam
perencanaan, pelaksanaan penyelenggaraan kehidupan kebangsaan dan
pemerintahan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung di dalam
penyelenggaraan administrasi negara.
Sementara itu arsip statis tidak dipergunakan secara langsung untuk
perencanaan dan penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya maupun
pada penyelenggaraan sehari-hari administrasi Arsip statis tidak lagi dipergunakan
di dalam fungsi-fungsi manajemen organisasi pencipta tetapi dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Dengan demikian arsip statis sudah
tidak lagi disimpan di setiap organisasi pencipta arsip (unit pengolah maupun unit
kerja) akan tetapi telah disimpan di Arsip Nasional atau Badan Arsip dan
Perpustakaan Daerah.
Di dalam lembaga, organisasi, atau perusahaan yang dikelola oleh swasta
atau masyarakat, perlu Unit Kearsipan yang mengelola arsip dinamis dan statis,
agar kearsipan didalam organisasi
dapat optimal dalam memberikan
pemeliharaan, perlindungan, dan pelayanan arsip dalam pelaksanaan kegiatan
organisasi untuk mencapai tujuannnya. Di Pusat Kearsipan ini disimpan arsip
statis. Jika organisasi atau perusahaan swasta tidak mampuuntuk mengelola arsip
statisnya, sebaiknya menyerahkan pengelolaannya kepada Arsip Nasional atau
Badan Arsip Daerah sesuai dengan Pasal 9 ayat 3 UU Nomor7 Tahun 1971.
Arsip dinamis berdasarkan pada kepentingan penggunaannya dapat
dibedakan menjadi dua yaitu arsip dinamis aktif dan arsip dinamis inaktif. Arsip
dinamis aktif merupakan arsip yang secara langsung dan terus menerus
dibutuhkan dan dipergunakan di dalam penyelenggaraanadministrasi. Ada pun
arsip dinamis inaktif merupakan arsip-arsip yang frekwensi penggunaannya untuk
penyelenggaraan administrasi sudah semakin berkurang;
Di dalam sistem kearsipan atau sistem penyimpanan arsip metode
penyimpanan merupakan bagian dari proses kegiatan kearsipan. Beberapa metode
penyimpanan arsip dilakukan dengan menggunakan metode tertentu. Beberapa
metode penyimpanan arsip dasar yang dikenal adalah menurut pokok masalah,
menurut urutan nama (orang, wilayah, organisasi, barang) berdasarkan urutan
abjad, berdasarkan urutan tanggal, berdasarkan urutan nomor. (Yohannes Suraja,
2006)
Penyimpanan arsip dibedakan atas dasar arsip aktif, inaktif (dinamis), dan
permanen (statis) sesuai dengan jadual retensi arsip. Pastikan ruang penyimpanan
•••
235
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
arsip bebas dari jamur dan hewan yang dapat merusak arsip, lingkungannya
bersih, suhu antara 22-24 derajad Celcius dengan kelembaban udara 50-65% yang
dapat diatur dengan menggunakan AC. Penyimpanan arsip jangan dicampur
bahan-bahan non arsip. Pemeliharaan arsip menyangkut upaya wujud fisik arsip
agar tidak rusak karena pengaruh dari dalam dan faktor luar yaitu dengan cara
menyimpan arsip dengan baik, tidak berdesak-desakan, memperhitungkan ukuran
besar arsip, melakukan pemeliharaan lingkungan penyimpanan yang bersih. Agar
arsip yang rusak tetapi masih mempunyai nilai guna tetap dapat digunakan, maka
dilakukan upaya perbaikan dengan restorasi atau pembuatan rekaman seperti
microfilm.
b) Peran Arsip dalam Penulisan Sejarah
Arsip pada hakikatnya adalah saksi kunci tertulis yang telah menyaksikan
kemerdekaan, pertumbuhan, kemenangan, keberhasilan bahkan kegagalan bangsa
secara nyata dan konkrit baik itu pemerintah, politik maupun kesejarahan. Setiap
kegiatan memori Negara direkam secara jelas dengan apapun bentuknya sebagai
sebuah arsip sebagai bahan informasi yang begitu penting dan vital bagi negara
dalam bukti perencanaan dan pelaksanaan sebagai bukti kehidupan bangsa.
Informasi yang terekam dalam arsip sangat berpengaruh pada pelaksanaan dan
keberlangsungan kegiatan negara sebagai landasan informasi dalam membuat
keputusan, untuk itu tanpa adanya arsip keputusan yang dibuat seolah tidak
mempunyai landasan atau memory corporatesebagai acuan dan tidak akuntabilitas
(World Bank, 2002a dalam Galus, 2008).
Arsip merupakan rekaman sejarah suatu bangsa, pada kenyataannya
mengalami intervensi yang terlalu banyak dari pihak penguasa. Hal tersebut
mengindikasikan pengelolaan arsip hanya diregulasikan untuk menyokong
kepentingan tertentu. Kelompok rezim ini kemudian seolah tidakmemperhatikan
atau bahkan tidak memberikan tempat pada jenis arsip yang plural dan variatif
serta mengontrol kegiatan pengarsipan agar dapat melanggengkan kekuasaannya
(Ratnawati, 2002).
Arsip mempunyai peran signifikan sebagai saksi sejarah, bagaimana arsip
dalam kontekskenegaraan mempunyai posisi penting sebagai teks endapan
memori bangsa, menunjukkan identitas bangsa dan menjaga regulasi keamanan
dan politik negara. Posisi arsip sebagai saksi sejarah terlihat jika arsip yang ada
semakin lengkap maka akan memudahkan negara dalam penulisan sejarah dan
posisi arsip dalam menjaga regulasi politik bangsa adalah sebagai arsip vital yang
bersifat rahasia. Penjagaannya tergantung pada jenis arsip, apakah arsip bersifat
terbuka atau tertutup tergantung dari isi informasinya. Jika arsip tertutup diakses
oleh sembarang orang maka akan menimbulkan permasalahan politik dan
keamanan.
Arsip merupakan memori bangsa yang mengandung bukti sejarah, bahkan
dapat mendidik generasi yang akan datang untuk melihat sejauh mana
keberhasilan, kegagalan, pertumbuhan dan kejayaan suatu bangsa. Arsip sebagai
memori bangsa memberi gambaran tentang perjalanan sejarah bangsa dari masa
ke masa. Memori tersebut juga sebagai identitas dan harkat sebuah bangsa.
•••
236
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Kesadaran akademis yang dilandasi oleh beban moral untuk menyelamatkan arsip
sebagai bukti pertanggungjawaban sekaligus sebagai warisan budaya bangsa,
dapat menghindari hilangnya informasi sejarah perjalanan sebuah bangsa serta
harkat sebagai bangsa yang berbudaya. Kegunaan arsip bagi kehidupan
kebangsaan diantaranya bukti pertanggungjawaban/akuntabilitas nasional,
rekaman budaya nasional sebagai memori kolektif dan prestasi intelektual bangsa,
dan bukti sejarah. Arsip merupakan komponen yang utama bahkan begitu
besarnya peran arsip dalam penulisan sejarah sehingga terdapat pemahaman
bahwa apabila tidak ada dokumen (arsip) maka tidak ada sejarah.
Meskipun arsip memiliki substansi yang teramat penting dalam penulisan
sejarah, namun di negeri ini tampaknya belum diikuti oleh kesadaran pengelolaan
arsip yang baik. Sebagai gambaran umum bisa dilihat dari banyaknya dokumen
atau arsip vital negara yang hilang, sulitnya menemukan bahan arsip untuk
penelitian, banyaknya institusi, lembaga, instansi yang tidak memiliki pusat arsip,
dan masih banyak persoalan seputar dunia kearsipan di Indonesia. Dari beberapa
permasalahan tersebut, kita melihat bahwa kesadaran untuk mengumpulkan,
menyimpan, maupun menata berbagai dokumen atau arsip yang dinilai berharga
belum banyak dilakukan. Bahkan, jika dikaitkan dengan persoalan kultur,kegiatan
mengarsip dan kepedulian terhadap pentingnya arsip di negeri ini tergolong
rendah. Sadar akan keterbatasan ingatan manusia, maka kesadaran untuk merekam
segala aktivitas dalam wujud arsip dengan segala bentuknya menjadi sebuah
keharusan. Apabila aktivitas untuk mendokumentasikan atau mengarsipkan segala
aktivitas kehidupan sudah menjadi kesadaran maka berarti kita telah berupaya
menghimpun pengetahuan, dan bagaimana memanfaatkan himpunan pengetahuan
tersebut bagi kemajuan peradaban manusia. Pengelolaan arsip yang baik akan
berdampak pada kemudahan proses heuristik dalam kajian sejarah. Dengan
melihat kenyataan di Indonesia saat ini, urgensi membangkitkan kesadaran sejarah
seperti yang telah dikemukakan diatas perlu segera dimulai. Hal yang sederhana
namun menjadi kunci untuk memulai langkah tersebut adalah memupuk
kepedulian terhadap kearsipan atau sadar akan pentingnya arsip sebagai sumber
sejarah.
c) Peran Arsip-Arsip Studio Musik Lokananta dalam Pembelajaran
Sejarah
Di Indonesia terdapat banyak Museum baik yang dikelola oleh swasta
ataupun pemerintah. Museum-museum tersebut memiliki koleksi yang sangat
beragam dari masa purba hingga masa-masa kemerekaan Negara Indonesia.
Museum merupakan bukti sejarah disuatu tempat dan museum dapat menceritakan
bagaimana terjadinya sebuah hal yang tidak diketahui pada zaman dahulu. Jawa
Tengah sebagai central kebudayaan di Jawa memiliki banyak museum yang
menggambarkan terbentuknya kebudayaan di Jawa. Baik kebudayaan zaman
dahulu yang masih dibawa hingga sekarang ataupun cikal bakal sebuah gaya
hidup yang berkembang dengan seiring perkembangan zaman.
Kota Surakarta memiliki sebuah bukti sejarah berkembangnya musik di
Indonesia yaitu Lokananta. Lokananta yang menjadi salah satu bagian
•••
237
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
penginggalan sejarah yang dikelola oleh Perum Percetakan Negara Republik
Indonesia (PNRI) memiliki nilai budaya yang tinggi dan telah menghasilkan
suara-suara emas yang tersimpan dalam kepingan piringan hitam. Lokananta
merupakan perusahaan rekaman musik (label) pertama di Indonesia yang
didirikan pada tahun 1956 dan berlokasi di Solo, Jawa Tengah. Sejak berdirinya,
Lokananta mempunyai dua tugas besar, yaitu produksi dan duplikasi piringan
hitam dan kemudian cassette audio. Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai
dicoba untuk dipasarkan kepada umum melalui RRI dan diberi label Lokananta
yang kurang lebih berarti "Gamelan di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh".
Semenjak tahun 1983 Lokananta juga pernah mempunyai unit produksi
penggadaan film dalam format pita magnetik Betamax.
Melihat potensi penjualan piringan hitam maka melalui PP Nomor 215
Tahun 1961 status Lokananta menjadi Perusahaan Negara. Lokananta sekarang
menjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan Negara RI. Sebagai Perum
Percetakan Negara Republik Indonesia cabang Surakarta kegiatannya antara lain :
1. Recording
2. Music Studio
3. Broadcasting
4. Percetakan dan Penerbitan
Lokananta sampai sekarang masih mempunyai koleksi ribuan lagu-lagu
daerah dari seluruh Indonesia (Ethnic/World Music/foklor) dan lagu-lagu pop
lama termasuk di antaranya lagu-lagu keroncong. Selain itu Lokananta
mempunyai koleksi lebih dari 5.000 lagu rekaman daerah bahkan rekaman pidatopidato kenegaraan Presiden Soekarno. Koleksinya antara antara lain terdiri musik
gamelan Jawa, Bali, Sunda, Sumatera Utara (Batak) dan musik daerah lainnya
serta lagu lagu folklore ataupun lagu rakyat yang tidak diketahui penciptanya.
Rekaman gending karawitan gubahan dalang kesohor Ki Narto Sabdo, dan
karawitan Jawa Surakarta dan Yogya merupakan sebagian dari koleksi yang ada
di Lokananta. Tersimpan juga master lagu berisi lagu-lagu dari penyanyi
legendaris seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam
Saimun. Lokananta telah melahirkan beberapa penyanyi ternama di Indonesia.
Salah satu karya musik produksi Lokananta adalah merekam lagu Rasa
Sayange bersama dengan lagu daerah lainnya dalam satu piringan hitam. Piringan
hitam ini kemudian dibagikan kepada kontingen Asian Games pada tanggal 15
Agustus 1962. Lagu Rasa Sayange yang merupakan lagu foklore dari Maluku
yang telah menjadi musik rakyat Indonesia.
Melihat potensi yang ada di Studio Musik Lokananta ini, tentu saja
lokananta sangat bisa digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran di
tingkat sekolah ataupun di universitas. Lokananta yang menyimpan banyak arsip
yang penting seperti rekaman pidato presiden Sukarno, rekaman lagu-lagu daerah,
dan masih banyak lagi arsip yang penting di studio yang legendaris ini.
Setidaknya nilai nasionalisme yang juga terdapat di mata pelajaran sejarah, juga
dapat didapat di lokananta ini. Dengan mendengarkan pidato-pidato presiden
Sukarno, dan mendengarkan lagu-lagu daerah seperti lagu Rasa Sayange yang
•••
238
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sempat diklaim oleh Malaysia, hal ini pasti akan menumbuhkan nilai nasionalisme
dalam diri peserta didik.
Simpulan
Peranan arsip sangat penting dalam manajemen organisasi, bukti
akuntabilitas kinerja organisasi, alat bukti sah secara hukum, dan sumber perimer
untuk menulis sejarah. Arsip menjadi memori kolektif dan jati diri warga
masyarakat/bangsa, warisan organisasi dan aset organisasi yang sangat strategis
dan sangat bernilai tinggi. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab bersama untuk
menyelamatkan, melestarikan, dan mendayagunakan arsip untuk kemaslahatan
masyarakat. teknik penyajian arsip tidak hanya mempertimbangkan aspek
estetika. Aspek utama yang harus diperhatikan adalah penyajian informasi arsip.
Hal yang perlu diperhatikan adalah arsip tidak dapat bercerita ketika ia berdiri
sendiri tanpa disertai konteks. Oleh karena itu, biasanya arsip ditampilkan beserta
keterangan yang memberikan pengetahuan.
Memaknai urgensi dan integritas arsip dalam konteks kebangsaan dan
kesadaran
sejarah
bukanlah hal mudah namun sudah menjadi kewajiban bagi warga negara
Indonesia khususnya arsiparis sebagai tonggak dalam pengelolaan arsip terutama
pada arsip yang memiliki nilai penting. Perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara hingga saat ini tidak luput menyadarkan kita bahwa kegiatan apapun
yang dilaksanakan sudah tidak bisa lagi mengandalkan ingatan seutuhnya bagi
pelaksana karena benar kata pepatah bahwa “memori bisa gagal, tapi apa yang
dicatat akan tetap ada”. Lokananta yang menyimpan banyak arsip yang penting
seperti rekaman pidato presiden Sukarno, rekaman lagu-lagu daerah, dan masih
banyak lagi arsip yang penting di studio yang legendaris ini. Setidaknya nilai
nasionalisme yang juga terdapat di mata pelajaran sejarah, juga dapat didapat di
lokananta ini. Dengan mendengarkan pidato-pidato presiden Sukarno, dan
mendengarkan lagu-lagu daerah seperti lagu Rasa Sayange yang sempat diklaim
oleh Malaysia, hal ini pasti akan menumbuhkan nilai nasionalisme dalam diri
peserta didik.
Daftar Pustaka
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 30-31.
Lundgren, Terry D, and Carol A. Lundgren, Records Managements in The
Computer Age (Boston : Kent Publishing, 1989), hlm. 4.
Yohannes Suraja, Manajemen Kearsipan (Malang : Penerbit Dioma,
2006), hlm.57.
Galus, B Senang. 2008. Urgensi dan Relevansi Arsip Kearsipan bagi
Negara. Dinas Pendidikan Provinsi DIY.
•••
239
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Ricks, Betty R., et al. 1992. Information and Image Management: A
Records System Approach. Cincinati: South-Western Publishing Co.
Duranti, L. 1997. “The archival bond”. Archives and Museum Informatics
11/3-4. 213-218.http://arsiparis.blogspot.com/2008/07/ilmu-kearsipan-sebagaidisiplin.html
•••
240
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
241
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
350 TAHUN DI JAJAH: PEMBANGKIT SEMANGAT
PATRIOTISME DAN NASIONALISME ATAU PEMBELOTAN
SEJARAH
Gadis Anastasia
Magister Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan
gadisanastasia30@gmail.com
ABSTRAK
Banyak gambaran masa lalu yang mulai hilang dari ingatan, hal ini
menjadi sangat penting karena sejarah kemerdekaan merupakan suatu
jati diri bangsa. Kebiasaan masyarakat yang menerima sejarah secara
lisan serta pengajaran yang kita dapatkan dari beberapa buku dan
sumber tertentu membuat kita hanya melihat suatu peristiwa dari sisi
yang di suguhkan tanpa pernah tau tentang kebenaran sejarah serta apa
yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Hal ini semakin ditekankan
dengan hanya menekankan sudut pandangan jawasentris dalam setiap
pengajaran yang ada di Indonesia. Dari pembelokan sejarah ini agaknya
para sejarawan masih gagal dalam memberikan pemahaman lebih
terhadap masa penjajahan Belanda di nusantara. Mungkin karena
banyaknya data-data historis yang hanya berasal dari Jawa, sehingga
melupakan pulau-pulau lain juga bahagian dari Indonesia. Para guru
khususnya guru sejarah seharusnya mulai memberikan penekanan lebih
jika membahas masa kolonial Belanda, melihat fakta-fakta yang ada
bahwa Nusantara tidak di kuasai Belanda selama 350 tahun. Hal ini
bisa di hilangkan dengan merevitalisasi kembali cara pandang dan
pengenalan sejarah, atau menjadikan sejarah sebagai kritik, menambah
wacana serta seminar-seminar pemersatu bangsa. Karena untuk
menemukan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang masih
belum jelas titik terangnya ini hanyalah dengan membuka lembaran
lampau yang sebenarnya tentang peristiwa pendudukan belanda yang
jelas di Nusantara.
Kata kunci: 350 Tahun dijajah, Patriotisme dan Nasionalisme,
Pembelotan Sejarah.
Abstract : A lot of the image of the past that began to disappear
frommemory, this becomes very important because the historyof the
independence of a nation's identity. The custom of the society which
accepts history orally as well as teaching that we get from a few books
and a specific source we only see an event from the side on the serve
without ever know about the truth of history as well as what actually
happened at that time. It is increasingly emphasized by only emphasizes
the point of view of jawasentris in any teaching that is in Indonesia.
From the bending of this history it appears that historians still fail in
giving more understanding towards the Netherlands colonial rule in the
archipelago. Perhaps because of the many historical data only comes
•••
242
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
from Java, so forget about the other islands also part of Indonesia.
Teachers particularly history teachers should start giving more
emphasis if discussing colonial Netherlands, see the facts that exist that
the archipelago is not in Ahold Netherlands for 350 years. This can be
in the right hip by way of looking back and revitalize the introduction
to history, or make history ascriticism, adding to the discourse as well
as unifying the nation seminars. Because in order to find the answers to
all the questions that are still not clear on this point in light of its simply
by opening the sheet past the truth about the events of the occupation of
the Netherlands, is clearly in the archipelago.
Keywords: 350 Years of Dutch occupation, Patriotism and
Nationalism, History of Defection.
Pendahuluan
Terlalu banyak orang memberikan defenisi sejarah. Tentunya terdapat
perbedaan pandangan, antara orang awam dengan para ahli sejarah sendiri tentang
arti atau definisi sejarah. E.H. Carr, seorang cendikiawan yang telah lama
bergelut dengan ilmu sejarah berpendapat, sejarah merupakan proses perhubungan
yang tiada hentinya, di antara ahli sejarah dengan sumber-sumber dan merupakan
dialog yang tidak putus-putus antara masa lalu dan masa kini.
Ahli sejarah dalam mencari kebenaran sesuatu pristiwa lazimnya di
hadapkan dengan beberapa kesulitan. Proses-proses pertimbangan yang betul,
fakta-fakta yang relevan, menghilangkan rasa berpihak pada kelompok, individu.
Etnis adalah merupakan bagian dari kesulitan untuk mencapai kesahihan di dalam
penulisan sejarah. Sesuai dengan pandangan Toynbee yang melukiskan bahwa,
dunia adalah proses menuju pengadilan dengan memperhatikan tingkah laku
manusia sebagai rantai pengalaman yang penuh dengan pelbagai tafsiran.
Menurut Purwanto (2013) penulisan sejarah di Indonesia diawali oleh para
penulis ilmuwan asal Belanda untuk memberikan interpretasi atas kondisi
Indonesia selama dijajah oleh Belanda. Kaum terpelajar di Indonesia mau tidak
mau mendapatkan informasi dan pelajaran tentang sejarah Indonesia berasal dari
sekolah Belanda, sehingga berkembang aliran Eropasentris dan Indosentris.
Eropasentris melihat bagaimana Indonesia dari kacamata ilmuwan Eropa yang
mendarat di Indonesia, melihat Indonesia yang kala itu menjadi beberapa bagian
kerajaan dan posisi bangsa Indonesia sebagai wilayah jajahan. Sedangkan
Indosentris melihat bagaimana perkembangan Indonesia dari kaca mata penduduk
Indonesia. Indonesia yang terbagi berbagai macam kerajaan tetapi tepat bekerja
sama antar kerajaan yang membentuk sistem kerajaan yang baik. Sebagian besar
penduduk Indonesia ketika Belanda sudah menguasai Indonesia mendapatkan
pelajaran dari Belanda berdasarkan aliran Eropasentris.
Peranan buku-buku pelajaran yang berkembang kala itu membentuk
generasi muda Indonesia pasca kemerdekaan. Generasi muda era 1920-an dan
1930-an merupakan generasi yang akan memimpin Indonesia setelah merdeka.
Alhasil, pidato-pidato mereka akan banyak terpengaruh oleh buku-buku yang
•••
243
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
diterbitkan oleh pemerintah kolonial. Salah satunya pidato Bung Karno untuk
membakar semangat Indonesia dengan menyebutkan Indonesia dijajah Belanda
selama 350 tahun. Penulisan para sejarawan Belanda harus mulai ditinggalkan,
karena bernuansa generalisasi yang berdampak mitos-mitos muncul dan syarat
kepetingan akan masa kolonial. Bangsa ini benar-benar harus serius menuliskan
sejarahnya, karena mitos sejarah yang lahir dari penulisan sejarah di masa lalu dan
hidup dalam penghayatan sejarah masa kini, kelak akan mati dalam penulisan
sejarah di masa depan bersama kebudayaan dan generasi yang mendukungnya
Berbagai bukti menunjukkan telah terjadi kesalahan yang fundamental
dalam proses ahli ilmu selama ini, sehingga pengetahuan dan prinsip dasar dari
ilmu sejarah yang disampaikan mengalami distorsi dari generasi ke generasi. Para
sejarawan penerus itu mencoba mereproduksi apa yang telah di lakukan oleh para
sejarawan penerus itu mencoba mereproduksi apa yang telah di lakukan oleh para
sejarawan sebelumnya, namun sebenarnya mereka tidak pernah mengalami
dengan benar tentang sesuatu yang ingin mereka reproduksi itu. Kalaupun di
pahami, mereka hanya menyimpan pengetahuan dan kerangka berfikir yang telah
di wariskan seperti sebuah koleksi yang harus di jaga dengan baik agar tidak
berubah. Sebaliknya, mereka tidak menggunakanya untuk menghasilkan tujuan
sejarah yang menarik dan kritis walaupun kadang-kadang terkesan bertentangan
dengan ide dasar yang telah di wariskan. Sementara itu, keberhasilan yang dicapai
oleh beberapa orang dari generasi penerus sejarawan indonesia lebih bersifat
individual, dan tidak mencerminkan kemajuan intelektual yang sesungguhnya dari
Historiografi indonesia.
Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah perlu didukung oleh suatu metode
penelitian.Fungsi dari pada metode penelitian tersebut sangatlah penting karena
merupakan faktor penentu dari proses pengumpulan informasi dan berperan
penting terhadap berhasil tidaknya suatu penelitian.
Menurut Gilbert J. Garraghan, S.J. (1969) dalam bukunya A Guide to
Historical Method mendefinisikan metode sejarah sebagai perangkat asas dan
aturan yang sistematik yang di desain guna membantu secara efektif untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan
sintesis hasil-hasil yang dicapainya, yang pada umumnya dalam bentuk tertulis.
Jenis penelitiannya adalah deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawanya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel
sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan
dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Namun, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan data – data secara
•••
244
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
objektif berdasarkan hasil tulisan-tulisan yang berhubungan denganpenjajahan
bangsa belanda dan kemerdekaan Indonesia.
Pembahasan
Menurut Sinuhaji (2004) pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka,
sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina.
Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan
rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku.
Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempahrempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sunda
Kelapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu
tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di
Ternate.
Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng.
Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan
pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka
juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu,
Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam dunia
perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik
Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493.
Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat
Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan
rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.
Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil
menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke16. Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van
Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin
oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh
perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil
mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.
Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan
konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak
mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri
(1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang
di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok
(1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904),
Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912).
Peperangan di seluruh Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya
Perang Aceh. Jadi baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh
wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor
Timur). Jangan lupa pula bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda
sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah
Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
•••
245
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda
pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5
tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara
hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga akhir abad ke-19,
beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa
Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara
hukum internasional) dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang
Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan
yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun
saja.
Rekontruksi melalui historiografi sudah tentu bertujuan untuk mengenang,
mengilhami, dan mengimplementasikan rasa hayat terhadap ilmu sejarah baik
sebagai perisiwa, pengalaman, didaktif, rekreasi, atau ada juga sifatnya yang
berguna untuk pengembangan diri dan negara. Lantas rasa hayat sejarah adalah
kesungguhan untu memahami, mengerti, akan setiap kejadian di dalam suatu
peristiwa. Memahami tidak hanya sekedar ingin tahu, mengerti tidak hanya
sekedar menganggukkan kepala, tetapi adalah bertujuan dalam suatu skala yang
pragmatis dan sanggup membangun dan mencari perubahan dalam arah
pembangunan berbangsa dan bernegara.
Akhir-akhir ini, sejarawan indonesia harus menghadapi kenyataan adanya
gugatan terhadap konstruksi sejarah indnesia yang mereka bangun selama ini.
Berbagai konstruk dan konsep yang selama ini di pahami sebagai kebenaran tidak
lagi dapat di terima oleh masyaraat yang telah memiliki jiwa zaman yang berbeda
(Abdullah 2006). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada yang berpendapat
bahwa historiografi indonesia saat ini berada di persimpangan jalan atau bahkan
berada di ujung tanduk. Hal itu nampaknya berkaitan erat dengan kenyataan
bahwa hampir lima puluh tahun setelah para perintis penulisan sejarah indonesia
meletakkkan dasar filosofis dan metodologis dalam kajian sejarah indonesia,
tradisi historiografi indonesia yang ada selama ini di anggap tetap belum mampu
membangun citra dirinya sebagai tradisi keilmuan yang benar-benar dapat
dibanggakan dan diapresiasikan masyarakat secara umum sebagai sebuah media
pencerahan. Sebaliknya, historiografi indonesia lebih sering di anggap sebagai
beban yang menjerumuskan dan bagian dari sebuah sistem yang mengakibatkan
berkembangnya cara berfikir yang sempit. Diantara berbagai faktor yang
mempengaruhi kondisi itu, sejarawan akademik merupakan salah satu unsur yang
sangat berperan dalam pembentukan tradisi historiografi yang di gugat itu, dan
penulis merupakan salah satu orang yang ada di dalamnya.
Menurut Kartodirdjo (2004) historiografi eropasentris dalam sejarah
Indonesia ternyata telah melanggengkan mitos yang bertahan lama: “Belanda
menjajah Indonesia 350 tahun”. Mitos yang sengaja diciptakan sebab pemerintah
kolonial Belanda membutuhkan legitimasi historis politis untuk mempertahankan
dan memperluas daerah jajahannya. Mitos penjajahan ratusan tahun ini seperti
hendak mengafirmasi arogansi Gubernur Jenderal BC de Jonge tahun 1936 yang
berkata, “kami akan tinggal di sini 300 tahun lagi”
•••
246
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Kita sama-sama tau bahwa mitos itu tidak pernah terbukti. Namun
celakanya, mitos yang dibuat oleh sejarawan kolonial tersebut direproduksi rezim
penguasa pascakolonial yang tuna sejarah. Terutama di era Orde Baru, sejarah
hanya dipahami sebagai perkara waktu dan peristiwa seperti tercantum dalam
buku-buku pelajaran maupun teks pidato para pejabat. Tak perlu heran jika
masyarakat memahami peristiwa sejarah sebagai teks yang beku dan tak ada
relevansinya dengan kondisi kekinian.
Disini, melalui tulisanResink (2016) dalam buku nya yang terdiri dari 14
tulisan ini sebagai pencerah rejarah dalam meruntuhkan mitos tersebut.Sejak
pengakuan kedaulatan Belanda terhadap Indonesia tahun 1949, Reesink memilih
mempertahankan kewarganegaraan Indonesia dengan segenap konsekuensinya.
Pengabaian terhadap fakta-fakta hukum tersebut membuat mitos
penjajahan 350 tahun bertahan sangat lama. Apalagi, perspektif historiografi
indonesiasentris belum menjadi arus utama. Peneliti sejarah malas mencari
sumber-sumber baru dan lebih banyak mengandalkan sumber-sumber lawas. Bias
eropasentris yang melanggengkan supremasi kolonial begitu terlihat dalam
sumber-sumber tersebut.
Hal ini bisa di hilangkan dengan merevitalisasi kembali cara pandang dan
pengenalan sejarah, atau menjadikan sejarah sebagai kritik, menambah wacana
serta seminar-seminar pemersatu bangsa. Karena untuk menemukan jawaban atas
semua pertanyaan-pertanyaan yang masih belum jelas titik terang nya ini,
hanyalah dengan membuka lembaran lampau yang sebenarnya tentang peristiwa
pendudukan belanda yang jelas di Nusantara.
Penutup
Histografi di Indonesia selama ini dianggap masih belum mampu
membangun citra baik sebagai tradisi keilmuan yang dapat dibanggakan dan
diapresiasikan sebagai media penerapan. Terbukti dari dari histrografi eropasentris
yang ada di dalam sejarah Indonesia yang telah melanggengkan mitos yang dapat
bertahan lama, yakni yang mengatakan bahwa Belanda telah menjajah Indonsia
selama 350 tahun. Hal ini juga tentunya sesuai dengan pidato Soekarno yang
mengatakan bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun dengan maksud
untuk membangkitkan semnagat nasionalisme bangsa Indonesia.
Untuk itulah mitos-mitos tersebut harus dihilangkan dengan cara
merevitaslisasi paradigma yang telah berkembang selama ini dengan cara
mengkritik setiap tulisan sejarah, mencari kebenaran-kebenaran sejarah, dan juga
menambah wacana dengan diakannya seminar-seminar yang berkaitan dengan
pembenaran sejarah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 2016. Ilmu Sejarrah dan Historiografi. Yogyakarta : Penerbit
Ombak
Gilbert J. Garraghan, S.J. 1969. A Guide to Historical Method. New York :
Fordham University Press
•••
247
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Kartodirdjo, Sartono. 2014. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi
Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Purwanto, Bambang & Warman, Asvi. 2013. Menggugat Historiografi Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Ombak
Resink, G.J. 2016. Bukan 350 Tahun Dijajah. Depok : Komunitas Bambu
Sinuhaji, Wara. 2004. Dinamika Perjuangan Bangsa Indonesia. Medan : USU
Press
•••
248
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
ANALISIS PEMBELAJARAN SEJARAH
DI PERBATASAN INDONESIA-TIMOR LESTE
Akhmad Arif Musadad, Susanto, Yohanis Kristianus Tampani
Pascasarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
tampanijohn@gmail.com
ABSTRAK
Daerah perbatasan adalah beranda terdepan suatu negara. Sebagai sebuah wilayah
terdepan, tentunya wilayah perbatasan tersebut menjadi indikator atau kriteria
sejauh mana perkembangan kemajuan suatu negara dalam hal pembangunan
ekonomi, pendidikan, dan mampu melindungi atau menjamin keamanan (security)
dan kemakmuran (prosperity) penduduk yang berada di dalam lingkungan
wilayah kedaulatan negara bersangkutan. Nasionalisme merupakan suatu paham
kebangsaan yang timbul karena adanya perasaan senasib dan sejarah serta
kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu,
berdaulat, dan maju dalam satu kesatuan bangsa, Negara dan cita-cita bersama
guna mencapai dan memelihara serta mengabdikan identitas persatuan
kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan Negara kebangsaan yang
bersangkutan. Di sini pendidikan sejarah memiliki peran yang sangat penting
dalam menumbuh-kembangkan dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Oleh
karena itu, penting kiranya melihat kembali proses pendidikan di wilayah
perbatasan Indonesia-Timor Leste terutama mengenai pembelajaran sejarah.
Pembelajaran sejarah sebagai upaya pembangunan integrasi bangsa, karakter
bangsa bahkan lebih jauh lagi nasionalisme dan pembentukan nation-state.
Dengan pembelajaran sejarah diharapkan agar siswa mendapat wawasan
kebangsaan dan membangun karakter (nation and character building) yang akan
menjadi tonggak terciptanya sikap nasionalisme. Dengan demikian setidaknya
pertahanan wilayah di perbatasan dapat meningkat dan tidak mudah disusupi oleh
kepentingan luar. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini yakni
dengan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
kepustakaan dengan mengumpulkan literatur yang relevan.
Kata Kunci:
Nasionalisme
Pembelajaran
Sejarah,
Nation
and
Character
Building,
Pendahuluan
Jika dulu yang sering terdengar dalam keseharian adalah ungkapan untuk
menyebut wilayah Indonesia hanya “dari Sabang sampai Merauke” saja, maka
sekarang tidaklah sempurna kecuali dengan tambahan “dari Miangas hingga
Rote”. Ungkapan ini meliputi tiga pengertian yakni mengenai suatu penerapan,
penegasan, dan pemberdayaan terhadap wilayah sebuah negara yang memiliki
potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah untuk dimanfaatkan bagi
•••
249
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
perwujudan cita-cita bangsa. Dengan karakteristik luas wilayah belasan ribu pulau
serta keragaman masyarakat dan kebudayaan yang begitu unik, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dihadapkan pada berbagai masalah yang tidak ringan
terutama dalam upaya membangun dan membina integrasi bangsa dan solidaritas
sosial untuk memperkokoh Indonesia sebagai negara kesatuan.
Kondisi geografis Indonesia dengan 17. 504 pulau serta kedaulatan di darat,
laut, dan udara, berbatasan daratan secara langsung dengan Malaysia, Timor
Leste, dan Papua Nugini. Kondisi seperti ini memberi peluang tetapi juga
sekaligus membawa konsekuensi permasalahan berat untuk diatasi. Wilayah
perbatasan dimiliki bukan hanya keunikan tetapi juga sifat strategis bagi suatu
negara yang berfungsi militer, ekonomis, konstitutif, identitas, kesatuan nasional,
pembangunan negara dan kepentingan domestik. Wilayah perbatasan dapat
disebut sebagai indikator atau kriteria sejauh mana suatu negara mampu
melindungi atau menjamin keamanan (security) dan kemakmuran (prosperity)
penduduk yang berada di dalam lingkungan wilayah kedaulatan negara
bersangkutan (Zuhdi, 2017: 8-9).
Dengan melihat pada realitas objektif itu, maka suatu keutuhan wilayah
dalam NKRI harus dilandasi oleh cara pandang yang bersifat komprehensif dan
holistik yang didukung oleh sistem pertahanan negara yang kuat melalui
pendidikan untuk meretas ketertinggalan serta berkarakter kebangsaan (nation
building). Pendidikan adalah suatu proses yang didesain untuk memindahkan atau
menularkan pengetahuan dan keahlian atau kecakapan serta kemampuan
(Panjaitan dkk, 2014: 22).
Dalam Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) menyebutkan bahwa, pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat,
dan pemerintah melalui bimbingan, pengajaran, dan/ atau latihan yang
berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranannya dalam berbagai lingkungan hidup
secara tepat di masa yang akan datang (Triwiyanto, 2014: 22).
Panjaitan dkk (2014: 57) menjelaskan bahwa, pendidikan melalui
pembelajaran di sekolah dapat menjadi media untuk mentransfer nilai-nilai
kebudayaan kepada generasi penerus. Dengan demikian keberadaan nilai-nilai
budaya masyarakat dalam pembelajaran yang dapat diwariskan kepada peserta
didik melalui pendidikan. Nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan dikaitkan
dengan pengalaman keseharian mereka (peserta didik) untuk meransang
tumbuhnya solidaritas sosial (social solidarity), bukan sikap individualisme
(Paulo Freire, 2008: 56). Pendidikan dilaksanakan untuk meningkatkan sumber
daya manusia yang berdaya saing, dalam konteks persaingan global dewasa ini.
•••
250
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Salah satu cara yang dapat ditempuh guru dalam mengembangkan pendidikan
adalah melalui pembelajaran di sekolah.
Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “instruction” yang dalam
bahasa Yunani disebut instructus atau “intruere” yang berarti menyampaikan
pikiran, dengan demikian arti instruksional adalah menyampaikan pikiran atau ide
yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran (Warsita, 2008: 265).
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan
maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh
pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau
murid (Sagala, 2009 :61). Hal senada ditambahkan oleh Asrori (2009: 6) bahwa
pembelajaran berlangsung melalui lima alat indra, yaitu berupa: (1) penglihatan
(visual) seperti melihat kejadian suatu peristiwa, (2) pendengaran (Auditory)
seperti mendengar suatu bunyi, (3) pembauan (olvactory) seperti bau makan yang
membuat kita lapar, (4) rasa/pengecap (taste) seperti lidah kita merasa dan dapat
membedakan antara asin dan masam, serta (5) sentuhan (tactile) seperti kulit kita
merasa sentuhan dan dapat membedakan antara permukaan licin dan permukaan
kasan.
Selanjutnya konsep pembelajaran menurut Corey dikutip oleh Sagala (2009:
61), adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola
untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisikondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran
merupakan subjek khusus dari pendidikan. Pembelajaran adalah proses
menjadikan orang agar mau belajar dan mampu (kompeten) belajar melalui
berbagai pengalamannya agar tingkah lakunya berubah menjadi lebih baik lagi
(Wiyani, 2014: 20).
Menurut Hamalik (2001: 48) menjelaskan bahwa, proses belajar mengajar
adalah suatu kegiatan yang di dalamnya terjadi proses belajar siswa dan guru
mengajar dalam konteks interaktif dan terjadi interaksi edukatif antara guru dan
siswa sehingga terdapat perubahan dalam diri siswa baik perubahan pada tingkat
pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan atau sikap.
Pendidikan sejarah yang diajarkan di sekolah memiliki posisi yang strategis
dalam membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam
pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah
air. Hal tersebut tertuang dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006 yang
menyebutkan bahwa sejarah mengajarkan pada siswa tentang pengetahuan masa
lampau yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih
kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik.
Pendidikan sejarah dewasa ini menghadapi tantangan dan dituntut untuk
dapat lebih menumbuhkan kesadaran sejarah baik pada posisinya sebagai anggota
masyarakat maupun warga Negara. Pendidikan sejarah juga digunakan untuk
mempertebal semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air. Dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang
standar isi yang tercantum dalam lampiran peraturan menteri untuk satuan
•••
251
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
pendidikan dasar dan menengah dijelaskan terkait materi dan tujuan dari
pembelajaran sejarah mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam
pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam
pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah
air.
Kabupaten Malaka adalah salah satu kabupaten di wilayah Timor Barat
Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan Negara Republik
Demokratik Timor Leste (RDTL). Sebagai beranda terdepan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), perlu kiranya suatu pendidikan yang memadai
sehingga para siswa diajarkan tentang pentingnya hidup berbangsa dan bernegara
di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Penting kiranya untuk melihat
kembali proses pendidikan yang diselenggarakan di wilayah perbatasan terutama
mengenai pembelajaran sejarah.
Menurut Azyumardi Azra (2011), sejarah dapat berfungsi sebagai salah satu
factor integrasi, karakter bangsa, bahkan lebih jauh lagi nasionalisme dan
pembentukan nation-state. Dengan pembelajaran sejarah di sekolah diharapkan
agar siswa mendapat wawasan kebangsaan yang akan menjadi tonggak
terciptanya sikap nasionalisme dan rasa solidaritas sosial.
Secara umum materi sejarah mengandung nilai-nilai kepahlawanan,
keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang yang
mendasari proses pembentukan karakter dan kehidupan berbangsa (nation and
character building) peserta didik. Materi pelajaran sejarah berguna untuk
menanamkan kesadaran persatuan, persaudaraan, dan solidaritas untuk menjadi
perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa serta untuk
menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Sebagai tindak lanjut pembangunan jati diri bangsa melalui revitalisasi
pendidikan, maka sebagai upaya untuk melihat dan menganalisis pembelajaran
sejarah di sekolah khususnya di daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste agar
memperoleh gambaran yang lengkap dan rinci.
Metode Penelitian
Adapun metode penulisan dalam makalah ini yakni melalui pendekatan
kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan sumber literatur,
observasi, dan wawancara terkait dengan penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
a. Evaluasi Pembelajaran Sejarah
Evaluasi merupakan kegiatan terencana untuk mengetahui keadaan
suatu obyek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan
dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan (Thoha, 1991: 1).
Menurut Arikunto (1996: 3), evaluasi merupakan istilah dalam bahasa
Indonesia untuk evaluation yang artinya adalah penilaian. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa evaluasi melingkupi dua kegiatan yaitu proses mengukur
dan menilai. Mengukur adalah kegiatan yang lebih bersifat kuantitatif
sedangkan menilai adalah kegiatan yang bersifat kualitatif. mengevaluasi
•••
252
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sesuatu berarti runtutan proses mengukur sesuatu tersebut terlebih dahulu
baru kemudian memberikan penilaian. Penilaian ini bertujuan untuk melihat
apakah usaha pembelajaran yang dilakukan sudah mencapai tujuan ataukah
belum.
Evaluasi memiliki banyak kegunaan sebagai berikut: 1) untuk
mengetahui penguasaan peserta didik mengenai materi pelajaran yang
disampaikan oleh guru; 2) untuk mengetahui bahasan-bahasan yang belum
dikuasai oleh peserta didik sebagai acuan untuk perbaikan; 3) sebagai
penguatan bagi peserta didik sehingga menjadi motivasi untuk
mempertahankan dan belajar lebih baik lagi; 4) sebagai alat untuk
mendiagnosis kondisi peserta didik; 5) sebagai bahan acuan untuk
memperbaiki metode pembelajaran oleh guru.
Narwanti dan Somadi (2012: 119) mengatakan bahwa evaluasi
merupakan salah satu alat guna menilai keprofesionalan seorang guru. Karena
penilaian merupakan bagian penting dalam pembelajaran. Dengan melakukan
penilaian seorang guru yang profesional dapat mengetahui sejauh mana
keberhasilan peserta didik dalam meraih kompetensi yang telah ditetapkan
maupun untuk menilai keberhasilan guru sendiri. Berdasarkan hasil evaluasi,
guru dapat menentukan langkah apa yang harus diambil untuk peserta didik
agar diperoleh prestasi yang lebih baik.
Evaluasi pembelajaran Sejarah dilakukan dengan menilai tiga aspek
meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Evaluasi atau penilaian
aspek kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: penugasan
terstruktur, tugas mandiri, post test, tanya jawab, dan penilaian proses. Guru
Sejarah melakukan penilaian kognitif dengan cara melakukan penilaian post
testdalam bentuk soal uraian. Kegiatan post test dilaksanakan untuk
mengukur ketercapaian materi. Perilaku atau sikap dapat dijadikan sebagai
kriteria penilaian bagi guru.
Penilaian aspek afektif dilakukan dengan cara mengamati perilaku atau
sikap peserta didik selama pembelajaran berlangsung. Penilaian terhadap
aspek afektif peserta didik dilakukan guru dengan cara penilaian sikap.
Penilaian aspek afektif sangat penting, mengingat bahwa pembelajaran
bukan semata-mata hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, namun juga
sebuah upaya penanaman nilai-nilai, termasuk nilai-nilai kerohanian, nilai
spiritual, nilai kehidupan, dan nilai kebangsaan kepada peserta didik. Wujud
dari penanaman nilai-nilai dalam mengevaluasi pembelajaran adalah terjadi
perubahan sikap atau perilaku peserta didik yang mengarah pada
perilaku yang berakhlak mulia seperti, religius, jujur, adil, tanggung jawab,
santun, membentuk sikap kebangsaan (nation and character building) dan
lain sebagainya. Dengan melakukan penilaian sikap, guru mampu
menggambarkan secara umum tentang perilaku siswa yang bersangkutan.
Aspek psikomotorik merupakan sebuah penggambaran kemampuan yang
dimiliki oleh peserta didik yang dapat ditunjukkan melalui tes tertulis
seperti penugasan, ulangan, ujian tengah semester, dan ujian akhir. Penilaian
•••
253
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
keterampilan peserta didik dalam pembelajaran Sejarah berupa penilaian
terhadap kemampuan peserta didik dalam diskusi dan presentasi dalam
kelas.
Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran sejarah dapat ditentukan
melalui evaluasi kualitas proses dan hasil pembelajaran. Kualitas proses yang
dimaksudkan berkaitan dengan kualitas proses pembelajaran maupun
penerapannya di dalam maupun di luar kelas. Hal yang dimaksud mencakup
kinerja guru sejarah, materi pembelajaran sejarah, metode pembelajaran,
sarana pembelajaran, keadaan kelas, sikap peserta didik, dan motivasi belajar
sejarah. Hasil pembelajaran sejarah adalah berupa kecakapan akademik,
kesadaran sejarah serta nasionalisme.
b. Nasionalisme di Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Mengenai apa itu nasionalisme sendiri sangat beragam. Seorang
sejarawan, Hans Kohn (1965) memberikan terminology mengenai
nasionalisme, yaitu “Nationalism is a state of mind in which the supreme
loyalty of individual is felt to be due the nation state”. Bahwa nasionalisme
merupakan suatu faham yang memandang kesetian tertinggi individu harus
diserahkan kepada Negara kebangsaan. Sedangkan Ernest Renan memandang
nasionalsime sebagai keinginan hidup bersama, keinginan untuk eksis
bersama, bertumpu pada kesadaran akan adanya jiwa dan prinsip spiritual
yang berakar pada kepahlawanan masa lalu yang tumbuh karena kesamaan
penderitaan dan kemuliaan di masa lalu (Kian, 2012: 10).
Pendapat lain menyatakan bahwa nasionalisme merujuk pada
sekelompok kayakinan mengenai bangsa. Bangsa tertentu akan memiliki
pandangan berbeda mengenai karakternya karenanya untuk sembarang
bangsa ada nada keyakinan berbeda dan saling berkompetensi mengenainya
yang sering kali bermanifestasi sebagai perbedaan politik (Grosby, 2011: 6).
Peran pembelajaran sejarah sebagai media untuk menanamkan nilainilai nasionalsime. Dalam konsep nasionalisme, sejarah memberi peringatan
kepada kita tentang pentingnya memahami identitas kebangsaan yang kita
miliki dengan cara menengok kembali pada masa lalu pada waktu identitas
tersebut terbentuk. Hal ini menjadi pandangan Toffler, dalam pandangannya
pendidikan sejarah pada dasarnya adalah penanaman rasa waktu (timesense)
yang tanpanya orang akan kehilangan orientasi temporal (Widja, 2007).
Dengan konsep ini peserta didik akan memahami bagaimana gerak dan corak
jiwa kebangsaan pada tiap zaman dan akan menjadi lebih bijak untuk melihat
keberadaannya dalam sebuah konstruksi kebangsaan dan diharapkan akan
menjadi generasi yang tidak mudah terprovokasi.
Merujuk pada sikap nasionalisme siswa di perbatasan Indonesia-Timor
Leste, kecenderungan pengaruh dari negara Timor Leste tidak ada. Walaupun
beberapa sekolah di perbatasan Indonesia-Timor Leste masih terdapat siswasiswi imigrasi (pengungsi) dari negara Timor Leste.
•••
254
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya
perasaan senasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai
suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan maju dalam satu kesatuan
bangsa, Negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta
mengabdikan identitas persatuan kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan
Negara kebangsaan yang bersangkutan. Di sini pendidikan sejarah memiliki
peran yang sangat penting dalam menumbuh-kembangkan dan menanamkan
nilai-nilai nasionalisme.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, evaluasi
pembelajaran Sejarah dilakukan dengan menilai tiga aspek meliputi aspek
kognitif, afektif dan psikomotor. Evaluasi atau penilaian aspek kognitif dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti: penugasan terstruktur, tugas mandiri,
post test, tanya jawab, dan penilaian proses. Guru Sejarah melakukan penilaian
kognitif dengan cara melakukan penilaian post testdalam bentuk soal uraian.
Kegiatan post test dilaksanakan untuk mengukur ketercapaian materi. Perilaku
atau sikap dapat dijadikan sebagai kriteria penilaian bagi guru.
Wujud dari penanaman nilai-nilai dalam mengevaluasi pembelajaran adalah
terjadi perubahan sikap atau perilaku peserta didik yang mengarah pada
perilaku yang berakhlak mulia seperti, religius, jujur, adil, tanggung jawab,
santun, membentuk sikap kebangsaan dan lain sebagainya. Dengan penanaman
sikap kebangsaan (nation and character building), diharapkan siswa akan
memperoleh suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya perasaan
senasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa
yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan maju dalam satu kesatuan bangsa, Negara
dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabdikan identitas
persatuan kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan Negara kebangsaan yang
bersangkutan. Di sini pendidikan sejarah memiliki peran yang sangat penting
dalam menumbuh-kembangkan dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik
Jakarta : Rineka Cipta
Asrori, Mohammad. (2009). Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Azyumardi, Azra. (2011). Sejarah, Demokrasi, Integrasi Dan Karakter Bangsa.
Seminar nasional FISE UNY Yogyakarta: 10 september 2011
Friere, Paulo. (2008). Pendidikan Sebagai Proses. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Hamalik, O. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara
Narwanti, & Somadi. (2012). Panduan Menyusun Silabus Dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran. Yogyakarta : Familia
•••
255
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Panjaitan, Ade Putra dkk. (2014). KORELASI KEBUDAYAAN & PENDIDIKAN:
Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta : Yayasan Pustaka
Obor Indonesia
Peraturan Menteri Pendidikan Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Nomor 69 Tahun 2013 Tentang “Kerangka Dasar Dan Struktur
Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah”.
Sagala, H. Syaiful. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Triwiyanto, Teguh. (2014). Pengantar pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Wangsa. (2011). Pendidikan Menjamin Pewarisan Kebudayaan Dari
Generasi Ke Generasi.
Thoha, M. Chabib. (1991). Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta : CV Rajawali
Press
Warsita, Bambang. (2008). Teknologi Pembelajaran: Landasan dan Aplikasinya.
Jakarta: Rineka Cipta.
Wiyani, Novan A. (2014). Desain Pembelajaran Pendidikan: Tata Rancang
Pembelajaran Menuju Pencapaian Kompetensi. Yogyakarta: ARRUZZMEDIA.
Zuhdi, Susanto. (2017). INTEGRASI BANGSA DALAM BINGKAI
KEINDONESIAAN. Jakarta : WEDATAMA SURYA SASTRA
•••
256
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
257
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
TOLERANSI, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL,
DAN PEMBELAJARAN SEJARAH
Yusuf Perdana,Djono, Suryo Ediyono
Pascasarjana FKIP Universitas Sebelas Maret
yusufperdana116@gmail.com
ABSTRAK
Paper ini didiskusikan untuk menyoroti masalah sikap toleransi siswa di
lingkungan sekolah. Tilaar menyatakan multikultural mengandung konsep yang
sama dengan toleransi yaitu pengakuan adanya keberagaman kultur. Capaian
pembelajaran sejarah di sekolah umumnya berfokus pada pemahaman kognitif,
namun tidak diimbangi dengan pemahaman nilai afektif yang optimal dalam diri
siswa. Tujuan paper ini untuk mengetahui adanya rasa toleransi siswa dalam
proses pembelajaran sejarah. Metode penelitian ini menggunakan wawancara.
Hasil penelitian menggambarkan adanya rasa toleransi antar siswa yang dibangun
melalui proses diskusi dalam pembelajaran sejarah agar dapat menghargai
perbedaaan pendapat dengan cara menerapkan nilai-nilai multikultural. Di sisi lain
untuk mencegah sikap diskriminasi dalam ruang pembelajaran harus dibekali
pendidikan multikultural secara optimal. Implikasinya siswa harus dibekali
pemahaman pendidikan multikultural untuk meningkatkan sikap toleransi dalam
pembelajaran sejarah.
Kata kunci : toleransi, pendidikan multikultural, pembelajaran sejarah
PENDAHULUAN
Penerapan pendidikan multikultural di sekolah memiliki posisi yang sangat
penting untuk mencegah terjadinya konflik yang terjadi diantara siswa di
lingkungan sekolah. Di era modern ini kecanggihan teknologi berdampak negatif
pada perkembangan sosial siswa di sekolah, salah satunya merosotnya tingkat
toleransi antar siswa pada saat pembelajaran sejarah karena kurangnya
pemahaman pendidikan multikultural pada siswa. H.A.R Tilaar yang dikutip
(Choirul Mahfud, 2011: 178). Mengungkapkan dalam program pendidikan
multikultural , fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial,
agama dan cultural domain atau mainstream. Sejalan dengan itu, Suryana &
Rusdiana mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai ide, gerakan,
pembaharuan pendidikan, dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah
untuk mengubah struktur lembaga pendidikan yang tujuan utamanya adalah
untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa laki-laki dan perempuan,
siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok
ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam memiliki kesempatan yang sama
untuk mencapai prestasi akademis di sekolah (Suryana & Rusdiana, 2015: 196).
Dari definisi diatas ternyata terdapat kesamaan fenomena yang terjadi di
sekolah yakni rasa toleransi sangat diperlukan siswa untuk mencapai pengakuan
keberagaman antar siswa. Merujuk pendapat Bahari toleransi adalah sikap
menerima berbagai pandangan dan pendirian beraneka ragam meskipun tidak
•••
258
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sependapat dengannya (Bahari, 2010 : 51) sedangkan Poerwadarminta
menyatakan toleransi berarti menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian
pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain
atau yang bertentangan dengan pendirinya sendiri, misalnya agama, ideology, ras
(Poerwadarminta, 1976 : 829).
Dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah sikap seseorang dimana mampu
membiarkan dengan lapang dada, menghargai, menghormati perbedaan
pandangan kepercayaan dan kebiasaan yang berbeda-beda pada siswa di
lingkungan belajar.
Arifudin menyatakan Pendidikan multikultural sementara ini masih
diartikan sebagai hal yang sangat beragam pada setiap masyarakat, serta belum
ada kesepakatan yang jelas untuk mengartikannya. Setiap orang mengartikan
pendidikan multikultural sangatlah beragam. Arifudin dalam Jurnal 2007
”Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah” menyatakan bahwa
ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural :
1) Perubahan paradigma dalam memandang pendidikan (education) dengan
persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan programprogram sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai
pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari
asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan
kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik. Hal ini semata-mata
berada di tangan mereka dan justru seharusnya semakin banyak pihak
yang bertanggung jawab karena program-program sekolah terkait dengan
pembelajaran informal di luar sekolah.
2) Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan
kelompok etnik, yang dimaksud adalah tidak perlu lagi mengasosiasikan
kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana
yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik
mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial
yang relatif self sufficient daripada dengan sejumlah orang yang secara
terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau
lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini
diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program
pendidikan multikultural untuk menghilangkan kecenderungan
memandang peserta didik secara stereotype menurut identitas etnik
mereka, dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar
mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta didik dari
berbagai kelompok etnik.
3) Karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru bisa
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah
memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat jelas bahwa upaya-upaya
untuk mendukung sekolah-sekolah yang secara etnik adalah antithesis
terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan
memperluas solidaritas kelompok adalah mengahmbat sosialisasi ke
•••
259
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dalam kebudayaan dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan
secara logis.
4) Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa
kebudayaan. Adapun kebudayaan mana yang akan diadopsi itu
ditentukan oleh situasi yang ada di sekitarnya.
Pendidikan multikultural, baik dalam sekolah maupun luar sekolah maupun
luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa
kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya
atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat
membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan.
Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengelam
moral manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan
multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan
apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri
peserta didik.
Sedangkan Hilda Hernandez yang dikutip (Choirul Mahfud, 2011: 176).
Mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas
politik, sosial daan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam
pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secar kultur, dan merefleksiakn
pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas agama, status sosial,
ekonomi dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
Dapat disimpulkan bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat dan
memiliki peranan yang sangat penting untuk membekali peserta didik untuk saling
bertoleransi antar siswa karena satu-satunya cara untuk menekan gesekan dari
permasalahan yang timbul dalam konteks kultur serta dapat mempersatukan
berbagai perbedaan dari masyarakat yang multikultur untuk hidup berdampingan
secara harmonis dan damai dalam suatu tempat atau lokalitas tertentu.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara, untuk mendapatkan data
yang heuristic peneliti mewawancari beberapa guru sejarah di beberapa tempat
yang berbeda, serta peneliti mengamati langsung siswa sebagai objek penelitian.
HASIL
Peran guru sejarah dalam penerapan pendidikan multikultural
Sekolah merupakan sebuah lembaga yang berfungsi menanamkan
kesadaran bermasyarakat akan kemajemukan terutama di lingkungan belajar
siswa. Selain itu sekolah berkewajiban untuk mendidik siswanya agar menjadi
warga negara yang baik dan terpelajar pada masyarakat yang majemuk dalam
bernegara. Sementara guru juga berkewajiban untuk memberi pendidikan,
kedislipinan, pendidikan moral dan agama serta menanamkan jiwa nasionalisme
untuk menjadi warga Negara yang baik dengan kesadaran multikulturalisme lewat
toleransi anatar sesama.
Namun, dalam prakteknya guru dihadapkan pada berbagai masalah dalam
memprediksi masyarakat yang akan datang. Fenomena ini tidak lepas dari
•••
260
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
kemajuan ilmu pengetahuan hingga teknologi serta sumber daya masyarakat yang
tidak merata. Dari fenomena tersebut memerlukan sekolah sebagai lingkungan
belajar hingga guru yang memiliki peran dan kesadaran multikultural, yaitu
kesadaran untuk memberikan pelayanan pendidikan ke siswa dengan kebutuhan
yang berbeda-beda di setiap siswa. Beberapa peran guru dan sekolah dalam
lingkungan belajar untuk memenuhi kebutuhan peserta didik di antara lain :
a. Membangun paradigma kebersamaan artinya guru harus bisa membangun
sikap demokratis, yakni segala perkataan maupun perbuatan tidak boleh
mendiskriminasikan maupun pilih kasih atau berat di salah satu pihak.
Selain itu guru harus mempunyai sikap empati yang tinggi pada saat ada
peristiwa-peristiwa tertentu.
b. Menghargai keragaman bahasa artinya guru harus memiliki sikap
menghargai “keragaman bahasa” dan mempraktikan nilai-nilai tersebut di
lingkungan belajar sehingga dapat membangun sikap toleransi dengan
mengahrgai bahasa yang berbeda karena lingkungan yang multikultural.
c. Membangun civitas gender artinnya guru sangat berperan penting dalam
membangun peserta didik dalam lesetaraan gender dan menjunjung tinggi
hak-hak perempuan, yakni guru harus memberikan contoh yang baik dlam
menyetarakan pandangan kepada perempuan di lingungan sekolah.
d. Membangun sikap kepedulian sosial artinya guru harus mempunyai
wawasan maupun kepekaan sosial baik lingkungan masyarakat di sekitar
mapun di lingkungan tertentu. Dalam hal ini berkaitan dengan kemiskinan,
pengangguran serta kasus putus sekolah hingga korupsi dengan
memberikan arahan agar tidak terjadi pada siswa. Selain itu dengan
menganjurkan sikap toleransi pada siswa akan menurunkan tingkat
diskriminasi dalam lingkungan belajar yakni dengan cara bersikap adil ke
seluruh siswa tanpa mengistimewakan salah satu dari mereka meskipun
latar belakang status sosial mereka berbeda.
e. Membangun sikap diskriminasi etnis artinya guru harus memiliki
pengalaman serta pengetahuan yang luas untuk memberikan contoh yang
baik serta menghindari sikap yang memperlakukan diskriminatif terhadap
latar belakang etnis tertentu, namun menyetarakan semua etnis dan ras
tertentu dengan hak yang sama serta rasa toleransi yang tinggi.
f. Membangun sikap anti diskriminasi terhadap perbedaan kemampuan
artinya guru harus memberikan pengarahan maupun pemahaman agar
tidak melakukan diskriminatif pada di antara siswa yang mempunyai latar
belakang khusus maupun kemampuan yang berbeda.
g. Membangun diskriminasi umur artinya diantara baik semua umur maupun
tingkatan yang lain jangan memandang berbeda. Selain itu siswa harus
memberikan toleransi yang tinggi kepada semua siswa.
Persepsi guru sejarah terhadap toleransi siswa pada pembelajaran sejarah
Peneliti menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan sumber
tentang data adanya toleransi antar siswa. Peneliti mewawancarai guru sejarah di
•••
261
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
beberapa tempat yang berbeda, yakni Pak Robert 24 tahun guru sejarah di Kota
Surabaya, Pak Bisrul 24 tahun guru sejarah di Kabupaten Tuban dan Pak Septian
25 tahun guru sejarah di Kabupaten Ponorogo.
Pak Robert mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran sejarah
terdapat rasa toleransi yang sangat besar, karena dengan menggunakan
pendekatan diskusi dalam pembelajaran sejarah misalnya pada tema-tema
kronologis BPUPKI, maka siswa akan tahu betapa pentingnya toleransi dalam
perbedaan sebagai bentuk persatuan dan kesatuan untuk masa depan bangsa
Indonesia menuju cita-cita yang luhur, yakni adil dan makmur. Pendidikan
multikultural dalam pembelajaran sejarah untuk meningkatkan rasa toleransi antar
siswa sangat penting, mengingat pelajaran sejarah berisi pengalaman jati diri
bangsa yang beraneka ragam atau multikultur yakni berbhineka tunggal ika,
meskpun berbeda-beda namun tetap satu jua.
Pak bisrul beranggapan bahwa dari pembelajaran sejarah banyak mengenai
pluralism karena melihat sejarah budaya bangsa. Bangsa dan Negara ini ada
berdasarkan sejarah rasa senasip sepenanggungan, bukan karena persamaan suku,
budaya dan bahas. Akhirnya timbul toleransi dan sikap saling menghargai
terhadap teman. Pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah untuk
meningkatkan toleransi sangatlah efektif, karena sejarah merupakan kunci
identitas bangsa yang beraneka ragam seperti Indonesia.
Sejalan dengan pernyataan kedua guru tersebut Pak Septian
mengungkapkan bahwa rasa toleransi yang timbul karena pembelajaran sejarah di
setiap siswa pasti ada, ada beberapa macam toleransi yang terjadi. Yang mencolok
diantaranya adalah yang merespon pembelajaran sejarah dengan begitu siswa akan
mempunyai rasa toleransi yang tinggi karena mengingat materi sejarah erat
dengan perjuangan bangsa. Disamping itu ada yang cuek yakni siswa yang kurang
aktif maupun merespon pembelajaran sejarah.
Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada nilai gotong-royong dan
musyawarah untuk membangun nilai keberagaman dalam pengembangan sikap
sosial siswa. Hal senada dipertegas UU Sisdiknas (2003: Pasal 3) menjelaskan
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab membutuhkan pengembangan dan peningkatan dalam sikap spiritual, sikap
sosial, pengetahuan dan keterampilan dengan tujuan akhir yaitu memanusiakan
manusia. Makna Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk
karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi maupun
kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setia warga
sebagai satu kesatuan (Gurniwan Kamil Pasha, sosiologi.upi.edu). asal usul kata
gotong royong sendiri berasal dari bahasa jawa yang berarti Gotong adalah
memikul beban, sedangkan royong adalah bersama. Jadi kesimpulannya gotong
royong adalah memikul beban secara bersama-sama.
SIMPULAN
•••
262
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Sekolah merupakan tempat yang paling tepat untuk mendapatkan
pendidikan yang paling optimal dan efektif. Dengan banyaknya kasus disintegrasi
bangsa pada akhir-akhir ini, diharapkan dari sebuah pembelajaran sejarah dapat
meminimalisir bahkan meniadakan kasus-kasus semacam itu yakni kasus yang
mengancam kebhinekaan tunggal ika.
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan di sekolah-sekolah,
mengingat keadaan bangsa Indonesia yang beragam kultur, budaya, bahasa,
agama, ras dan sebagainya. Dalam lingkungan belajar terutama sekolah, guru
merupakan objek penting dalam tercapainya tujuan pembelajaran sejarah. Dalam
hal ini guru sejarah haruslah paham secara optimal akan toleransi yang terjadi
dalam pembelajaran sejarah. Karena salah satu indikator pendidikan multikultural
adalah rasa toleransi yang terjadi diantara siswa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru sejarah melihat adanya rasa
toleransi yang terjadi diantara siswa. Guru sejarah sadar akan pentingnya
pendidikan multikultural pada saat ini mengingat latar belakang Indonesia sendiri
yang bermultikultur yakni bermacam-macam agama, ras, suku, budaya dan
sebagainya. Diharapkan dari pendidikan multikultural yang optimal maka rasa
toleransi yang terjadi di antara siswa akan semakin meningkat. Dengan begitu
maka kasus-kasus disintegrasi maupun konflik-konflik yang disebabkan oleh
primordialisme akan terus menurun dan dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
[1] Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.
[2] Naim,N. dan Sauqi, A. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi.
Jogjakarta : Ar-Ruzz Media Grup.2010
[3] Saidah. U.H, Pengantar Pendidikan Telaah pendidikan secara global dan
nasional. Depok : PT. Raja Grafindo Persada. 2016
[4] Suryana, Yaya & Rusdiana H.A. Pendidikan Multikultural suatu upaya
penguatan jati diri bangsa Konsep – Prinsip – Implementasi. Bandung : CV.
Pustaka Setia. 2015
[5] Tilaar, H. A. R. Multikulturalisme (Tantangan-tantangan global masa depan
dalam transformasi Pendidikan Nasional). Jakarta: PT. Widiasarana
Indonesia. 2004
[6] Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural : Cross-Cultural Understanding
Untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. 2005
Jurnal
[1] Arifudin, Iis. (2007). Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di
Sekolah.
Purwokerto:
P3M
STAIN.
JURNAL
PEMIKIRAN
ALTERNATIFPENDIDIKAN INSANIA│Vol. 12│No. 2│P3M STAIN
Purwokerto │ Iis Arifudin 1 Mei-Ags 2007│220-223
Wawancara
•••
263
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
[1] Wawancaradengan Pak Septian (25) pada05November2017.
[2] Wawancara dengan PakRobert (24) pada 06November 2017.
[3] Wawancaradengan Pak Bisrul (24) pada07November 2017.
•••
264
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PEMBELAJARAN SEJARAH DALAM KAJIAN PEDAGOGI KRITIS
Piki Setri Pernantah
Magister Pendidikan Sejarah UNS, Surakarta
pikisetripernantah@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini bersifat kajian konseptual dengan metode literacy study.
Bertujuan untuk mendiskusikan mengenai pembelajaran sejarah dari perspektif
baru. Pembelajaran sejarah hendaklah berorientasi untuk memberikan
pengetahuan sejarah dan mem-perkenal nilai-nilai luhur bangsa. Sebab, kedua hal
itu tidak akan memiliki arti bagi kehidupan peserta didik apabila peserta didik
tidak memahami maknanya. Upaya mewujudkan pembelajaran sejarah yang
bermakna, tidak terlepas dari tindakan peserta didik untuk berpikir reflektif.
Suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pedagogi kritis adalah pemikiran
reflektif. Menerapkan pedagogi kritis dalam pembelajaran sejarah artinya
menekankan teori kritis sebagai alat analisis untuk membaca berbagai fenomena
sejarah dalam pembelajaran. Diharapkan peserta didik mampu untuk saling
berinteraksi dan mengkaji berbagai fenomena sejarah agar mampu merefleksi diri
dan berpikir kritis terhadap berbagai fenomena tersebut. Mengkaji pembelajaran
sejarah dalam konsep pedagogi kritis merupakan suatu pendekatan yang berupaya
membantu peserta didik dalam proses pembelajaran sejarah yang
mempertanyakan dan mengkritisi setiap materi yang ada dalam pembelajaran
sejarah sehingga melahirkan suatu pemikiran reflektif yang membuat peserta
didik mampu belajar dan memaknai setiap fenomena dan materi pembelajaran
sejarah di sekolah.
Kata kunci: pembelajaran sejarah, pedagogi kritis
PENDAHULUAN
Pembelajaran sejarah pada hakekatnya merupakan mata pelajaran yang
termasuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang bersumber dari kehidupan
sosial masyarakat dan diseleksi dengan menggunakan bantuan teori-teori atau
konsep-konsep dari ilmu sosial lainnya. Sayono (2006: 9) menjelaskan bahwa
mata pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas mengandung dua misi yaitu:
Pertama, untuk pendidikan intelektual. Kedua, untuk pendidikan nilai, pendidikan
kemanusian, pendidikan pembinaan moralitas, jati diri, nasionalisme, dan identitas
bangsa. Senada yang diungkapkan Agung & Wahyuni (2013: 55), mata pelajaran
sejarah adalah mata pelajaran yang memanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai
mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia
dari masa lampau hingga masa kini.
Pembelajaran sejarah di sekolah menengah di Indonesia pada dasarnya
bersandar pada prinsip “filosofis-ideologis”, sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional, yaitu untuk membangun semangat kebangsaan, memupuk jiwa
nasionalisme dan keberagaman serta rasa bangga para peserta didik terhadap hasil
karya nenek moyang di masa lalu, sehingga pembelajaran sejarah diharapkan
mampu menjadi wahana pendidikan, yang memungkinkan para peserta didik
memainkan peran yang bertanggung jawab dalam masyarakat. Dengan peranan
penting yang demikian, maka pembelajaran sejarah saat ini mulai memiliki posisi
•••
265
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
penting dan menjadi pusat perhatian bangsa. Hal itu dibuktikan dengan mata
pelajaran sejarah menjadi salah satu mata pelajaran wajib di sekolah menengah.
(Pernantah, 2016: 4)
Pembelajaran sejarah juga berperan penting dalam menyiapkan warga
negara muda untuk menghadapi tantangan dan perubahan zaman yang sesuai
dengan jiwa zamannya masing-masing. Pembelajaran sejarah perlu dikonstruksi
secara humanis, dialogis, kritis, dan mengedepankan sikap yang baik untuk
membangun kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam kehidupan
masyarakat Indonesia demokratis. Namun, pada kenyataannya yang terjadi di
sekolah hari ini masih banyak dilihat guru dalam mengajarkan materi sejarah yang
jauh dari realitas kehidupan peserta didik dan memberikan stimulus agar peserta
didik dapat berpikir lebih kritis. Para peserta didik masih dihadapkan pada
serangkaian fakta-fakta sejarah dan bersifat hapalan. Sehingga hal tersebut
menimbulkan perspektif lain terhadap pembelajaran sejarah sebagai pembelajaran
yang terkesan kaku dan monoton serta dianggap membosankan. Materi masih
terkesan untuk mengejar peningkatan di ranah kognitif saja sedangkan di ranah
afektif dan psikomotor belum terlalu mendapat perhatian lebih oleh para guru.
Seharusnya pembelajaran sejarah mampu berkontribusi dalam memberikan
sumbangsih untuk pembentukan kharakter peserta didik dan kemampuan berpikir
kritisnnya, ternyata hal itu belum mampu terwujud secara signifikan.
Pembelajaran sejarah masih terasa kering dan seolah-olah sumber sejarah
bukanlah kenyataan yang bisa dirasakan atau diamati dari lingkungan sekitar. Hal
ini terjadi dikarenakan materi yang diajarkan terlalu tertumpu pada uraian buku
teks.
Berbagai fenomena di atas menunjukkan bahwa saat ini permasalahan
pembelajaran sejarah begitu cukup kompleks. Hal ini didasarkan oleh kasus-kasus
yang terjadi di lapangan yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah di
sekolah. Guna menghadapi tantangan tersebut, maka menempatkan pembelajaran
sebagai topik penting untuk dilakukan inovasi dalam pembelajaran dengan
pendekatan baru, dan mendesak para guru sejarah untuk terus belajar dan
memperbaruhi pembelajaran sejarah ke arah yang lebih baik. Hal ini tidak lain
adalah untuk menghadapi tantangan tersebut menuju pembelajaran sejarah yang
sesuai dengan tujuan kompetensi dalam kurikulum 2013.
Kurikulum pembelajaran sejarah juga diharapkan dapat membantu peserta
didik membangun landasan untuk memahami kenyataan masyarakat dengan
belajar dari setiap peristiwa masa lalu. Kecintaan terhadap bangsa bukanlah
merupakan doktrin ideologi yang bersifat pasif dan dogmatis, tetapi bersifat
dinamis. Artinya, senantiasa menghadapi perubahan yang sedang akan terjadi. Hal
ini perlu ditanamkan dengan harapan ketahanan diri sebagai warga negara dapat
terpelihara terutama ketika menghadapi gelombang perubahan yang menembus
berbagai sendi kehidupan peserta didik jangan sampai tercerabut rasa
kebangsaannya. Maka dari itu, peran pembelajaran sejarah sangat berkontribusi
dalam meningkatkan rasa cinta atas bangsanya sendiri.
•••
266
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pada konteks inilah, penting kiranya menelaah diskursus pendidikan kritis
melalui critical pedagogy dan rasionalitas dalam kajian pembelajaran sejarah di
sekolah untuk mewujudkan peserta didik yang kritis dan berpikir reflektif
sehingga dapat merespon perkembangan dan tuntutan zaman untuk menjadikan
diri sebagai warga negara yang baik. Hal yang tak kalah penting adalah
bagaimana peran guru dalam mewujudkan kebijakan pembelajaran yang
berorientasi pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik, kreatif, dan
bermakna.
Ulasan di atas sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam dalam
pembelajaran sejarah sehingga dapat diperoleh hasil kajian yang komprehensif
tentang diskursus pendidikan kritis (critical pedagogy) dalam kajian pembelajaran
sejarah untuk dapat mewujudkan peserta didik yang memiliki kemampuan
berpikir kritis dan reflektif. Oleh karena itu, pada pembahasan artikel ini akan
memfokuskan kajian pada pembelajaran sejarah dalam kajian pedagogi kritis.
Dimana pedagodi kritis berupaya untuk membantu peserta didik dalam proses
pembelajaran sejarah yang mempertanyakan dan mengkritisi setiap materi yang
ada dalam pendidikan sejarah sehingga akan melahirkan suatu pemikiran reflektif
(reflektive thinking) yang membuat peserta didik mampu belajar dan memaknai
setiap peristiwa sejarah dan materi yang ada dalam pendidikan sejarah.
METODE PENELITIAN
Artikel ini bersifat kajian konseptual dengan metode deskriptif-kualitatif
dengan pendekatan studi kepustakaan atau literacy study. Bertujuan untuk
mendiskusikan mengenai pembelajaran sejarah dari perspektif baru. Data
bersumber dari berbagai jurnal, buku, makalah, dan artikel ilmiah lainnya yang
dikumpulkan melalui teknik dokumentasi, identifikasi konsep dan wacana dari
berbagai buku, jurnal, makalah, artikel online, majalah, surat kabar, dan sumber
bacaan lain yang relevan dan berhubungan dengan diskursus pedagogi kritisdalam
kajian pembelajaran sejarah. Sementara, teknik analisis data yang digunakan
dalam artikel ini mengacu pada teknik analisis isi dengan mengorganisasikan dan
mengkategorikan data untuk menemukan hasil penelitian yang akan menjadi
kesimpulan dalam tulisan ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut Sadulloh (2011: 1) pedagogik merupakan ilmu yang membahas
pendidikan, yaitu ilmu yang berfokus pada pendidikan anak. Jadi, pedagogik
mencoba menjelaskan tentang seluk-beluk pendidikan anak dan merupakan teori
pendidikan anak. Daryanto dan Tantrial (2012: 1) menambahkan pendapat dari
Uyoh, bahwa pada pedagogi, pengajar merupakan tokoh utama yang berperan
penting dalam pembelajaran. Sebab seorang pengajar dalam proses pembelajaran
tersebut akan mengatur segala proses mengajar, mulai dari perencanaan,
pemilihan materi dan penentuan metode pembelajaran. Dengan proses belajar
pedagogi, peserta didik akan tergantung kepada guru sebagai pengajar dan
•••
267
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
komunikasi dalam proses pembelajaran akan bersifat satu arah atau direktif serta
pengalaman pengajar merupakan satu-satunya sumber bagi anak didik.
Istilah ‘Pedagogi’ secara literatur juga dapat dipahami sebagai sebuah seni
atau pengetahuan untuk mengajar anak-anak (the art or science of teaching
children). Kata ‘pedagogik’ berasal dari bahasa Yunani ‘Paidagogos’ yang terdiri
dari kata “paidos” (child) dan “agogos” (lead). Maksudnya adalah, memimpin
anak dalam belajara. Dari berbagai referensi dapat dijelaskan bahwa secara
historis dalam sejarah Yunani Kuno, fenomena ini dialami leh para budak yang
mengawasi dan memberikan instruksi anak majikannya. Budak ini mendampingi
dan mengajarkan anak majikanya hingga setiap hari mengantarkan ke sekolah.
Budak ini juga membawa peralatan anak majikannya itu seperti alat musik dan
alat pelajaran lainnya. Istilah ‘pedagogi’ juga dalam bahasa latin berasal dari kata:
anak-instruksi, sedang digunakan modern dalam bahasa Inggris untuk merujuk
pada konteks seluruh pengajaran, pembelajaran, dan operasi yang sebenarnya
yang terlibat di dalamnya, meskipun kedua kata memiliki kira-kira makna aslinya
yang sama. Dalam bahasa Inggris, istilah pedagogi digunakan untuk merujuk
kepada teori insruktif; guru peserta pelatihan mempelajari subjek mereka dan juga
pedagogi yang sesuai untuk mengajar subjek (Hidayat 2013: 01).
Selain konsep pedagogi juga terdapat konsep andragogi. Konsep andragogi
lebih membahasa orang dewasa belajara dan mengajar. Ia disebut andragogi
sebagai seni dan ilmu mengajar orang dewasa. Oleh karena itu, istilah pedagogi
kemudian dipahami secara lebih luas sebagai seni pengajaran secara umum.
Dalam perkembanganya pedagogi sering dimaknai sebagai pendidikan/ilmu
mendidik (ilmu mendidik anak yang belum dewasa), sedangkan mendidik/ilmu
mendidik orang dewasa disebut andragogi. Meskipun demikian penggunaan
istilah pedagogi sering dimaksudkan sebagai pendidikan dalam arti umum/luas
tanpa membedakan tingkatan usia kematangan seseorang. Hidayat (2013: 02)
menambahkan bahwa beberapa kalangan membedakan istilah ‘pedagogi’ dalam
‘andragogi’. Istilah andragogi ini awalnya dugunakan oleh Alexander Kapp,
seorang pendidik dari Jerman, di tahun 1833. Istilah ini dikembangkan menjadi
teori pendidikan orang dewasa (adult education). Andragogi mempelajari sifat
fisik, psikis dan karakter orang dewasa.
Gagasan pedagogi kritis sangat dipengaruhi oleh pemikir sekaligus praktisi
pendidikan dari Brazil yaitu Paulo Freire (1921-1997). Pedagogi kritis sangat
prihatin dengan konfigurasi relasi antara guru dan murid dengan menggunakan
dialog yang bermakna. Konsep pedagogi kritis dilahirkan dari refleksi dan
pengalaman hidup Paulo Freire. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah
di recife, Brazil. Namun, ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada
masa depresi besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya
terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang
khas. Pengalaman ini akan membentuk keprihatinanya terhadap kaum miskin dan
akan membantu untuk membangun pemahaman pendidikan berdasarkan
pengalamanya. Freire menyatakan bahwa kemiskinan dan kelaparan sangat
mempengaruhi keputusan untuk belajar. (Hidayat, 2013: 03). Paulo Freire
•••
268
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
menerbitkan buku yang berjudul pedagogy of the oppressed, yang diterbitkan
dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku Freire tersebut mengukuhkan
gagasan agresifnya tentang pedagogi kritis. Gagasan Freire itu kemudian
mengispirasi berbagai kalangan untuk melakukan perubahan sosial pada ranah
pendidikan menuju pendidikan yang lebih humanis dan demokratis. Pedagogi
kritis didefinisikan sebagai teori pendidikan dan praktik pembelajaran yang di
desain untuk membangun kesadaran kritis mengenai kondisi sosial yang
menindas. Pedagogi kritis merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya
membantu murid mempertanyakan dan menentang dominasi serta keyakinan dan
praktik-praktik yang mendominasi.
Pedagogi kritis pada dasarnya juga dapat dipahami dalam dua makna.
Pertama, pedagogi kritis sebagai paradigma berpikir. Dalam hal ini pedagogi kritis
dibangun atas dasar critical thinking untuk selalu mempertanyakan dan
mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan
baik dalam tatanan filosofis, teori, sistem kebijakan maupun implementasi. Kedua,
pedagogi kritis sebagai gerakan sosial. Tujuan akhir pedagogi kritis adalah
melahirkan praksis pendidikan yang egaliter, humanis, demokratis berbasis
critical thinking dikalangan peserta didiknya. (Hidayat 2013: 08).
Pedagogi kritis sesungguhnya merupakan konsep yang tidak sulit. Namun
ketika konsep ini diterapkan di bidang pendidikan sejarah akan menjadi kompleks.
Di dalam teori pendidikan, menurut MacDonald (2002: 168) pedagogi secara
tipikal merujuk pada ”seni” atau ”ilmu” mengajar. Dalam konteks pedagogi kritis
pedagogi tidak semata berhenti pada hal-hal teknis pengajaran seperti perencanaan
instruksional, pembelajaran dan kurikulum, tetapi lebih ke arah pengertian bahwa
pedagogi di konstruksi secara sosial dan merupakan proses dan praktek budaya
tertentu.
Pedagogi Kritis dipahami sebagai teori dan praktek pendidikan yang di desain
untuk membangun critical awareness peserta didik.Pedagogi kritis berpandangan
bahwa pendidikan harus dikembalikan pada hakikatnya, mengembangkan potensi
kemanusian peserta didik. Sehingga pendidikan tidak dapat diselenggarakan
hanya untuk memenuhi kepala peserta didik dengan pengetahuan tanpa makna.
Suatu hal yang juga tidak bisa dipisahkan dari pedagogi kritis adalah
pemikiran reflektif (reflektive thinking). Menerapkan pedagogi kritis dalam
pembelajaran sejarah artinya menekankan teori kritis sebagai alat analisis untuk
membaca setiap peristiwa sejarah dalam pembelajaran. Hal ini tentu sangat
berkaitan erat dengan kajian pembelajaran sejarah untuk mewujudkan
pembelajaran yang bermakna. Diharapkan para peserta didik untuk mampu saling
berinteraksi dan aktif untuk mengkaji setiap peristiwa sejarah agar mampu
merefleksi diri dan berpikir kritis terhadap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
untuk dipetik setiap hikmah dan pelajaran di dalamnya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Sayono (2006: 9) menjelaskan bahwa
mata pelajaran sejarah di SMA mengandung dua misi yaitu: Pertama, untuk
pendidikan intelektual. Kedua, untuk pendidikan nilai, pendidikan kemanusian,
pendidikan pembinaan moralitas, jati diri, nasionalisme, dan identitas bangsa.
•••
269
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Senada yang diungkapkan Agung & Wahyuni (2013: 55) Mata pelajaran sejarah
adalah mata pelajaran yang memanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai mengenai
proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa
lampau hingga masa kini. Susanto (2014: 57) juga mengungkapkan bahwa
pembelajaran sejarah hendaklah berorientasi pada pendekatan nilai.
Menyampaikan fakta memang sangat penting dalam pembelajaran sejarah, tetapi
yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengupas fakta-fakta tersebut dan
mengambil intisari nilai atau hikmah yang terdapat di dalamnya sehingga peserta
didik lebih mawas diri dalam setiap aktivas kehidupan sehari-hari.
Permendiknas No. 22 Tahun 2006, menjelaskan bahwa mata pelajaran sejarah
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; a) membangun
kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan
sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan, b) melatih daya
kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan
pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan, c) Menumbuhkan apresiasi dan
penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban
bangsa Indonesia di masa lampau, d) Menumbuhkan pemahaman peserta didik
terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan
masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang, e) Menumbuhkan
kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang
memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam
berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.
Selain itu, pembelajaran sejarah juga berfungsi untuk menyadarkan peserta
didik akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam
dimensi waktu dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam
menentukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini,
masa depan di tengah-tengah perubahan dunia. (Agung & Wahyuni, 2013: 56)
Peserta didik membutuhkan nilai-nilai dan strategi untuk menafsirkan setiap
peristiwa sejarah yang pernah terjadi sehingga dapat dikaitkan dengan fenomena
di sekitarnya. Maka akan berkembang pula pemikiran kritis dan sikap sosial dari
peserta didik tersebut. Peserta didik juga dapat belajar menggunakan keterampilan
dan alat-alat studi sosial dalam pembelajaran sejarah, misalnya mencari bukti
dengan berpikir ilmiah, keterampilan mempelajari masyarakat, dan sebagainya.
Berdasarkan tujuan dan hakekat pembelajaran sejarah di atas, maka
pembelajaran sejarah dapat dikembangkan dengan menggunakan kajian atau
pendekatan pedagogi kritis. Pembelajaran sejarah dalam kajian pedagogi kritis
merupakan suatu pendekatan yang berupaya membantu peserta didik dalam proses
pembelajaran sejarah yang mempertanyakan dan mengkritisi setiap materi dan
peristiwa sejarah yang ada sehingga akan melahirkan suatu pemikiran reflektif
(reflektive thinking) yang membuat peserta didik mampu belajar dan memaknai
setiap peristiwa sejarah dan materi yang ada dalam pembelajaran sejarah di
sekolah. Hal tersebut juga sangat relevan dengan pendekatan saintifik yang
digunakan dalam kurikulum 2013 untuk pembelajaran sejarah. Dalam kajian
pedagogi kritis, bagaimana proses pembelajaran sejarah mampu berupaya
•••
270
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
membimbing peserta didik untuk dapat menjalani dan memahami kehidupan.
Dalam kerangka ini, tujuan yang harus dicapai para anak didik adalah kemampuan
untuk dapat menghidupi diri sendiri, kemampuan untuk dapat hidup secara
bermakna, dan kemampuan untuk dapat turut memuliakan kehidupan dan orang
lain. Hal ini sangat relevan dengan tujuan pembelajaran sejarah yang berupaya
membentuk peserta didik agar menjadi warga negara maupun warga dunia yang
baik.
KESIMPULAN
Konsep dasar pembelajaran sejarah pada hakekatnya merupakan mata
pelajaran yang termasuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang bersumber dari
kehidupan sosial masyarakat dan diseleksi dengan menggunakan bantuan teoriteori atau konsep-konsep dari ilmu sosial lainnya. Setiap guru sejarah mestinya
paham hakikat keterpaduan dalam mata pelajaran sejarah dengan kajian ilmu
sosial. Pembelajaran sejarah juga berupaya untuk menyadarkan peserta didik akan
adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu
dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menentukan,
memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini, masa depan
di tengah-tengah perubahan dunia.
Dalam pembelajaran sejarah tidak hanya mengajarkan pendidikan kognitif
tetapi juga adanya pendidikan nilai yang berasal dari hasil refleksi yang dilakukan
atas setiap peristiwa sejarah yang dipelajari. Namun, ternyata masih banyak guru
ejarah yang kurang memahami pembelajaran sejarah sebagai mata pelajaran yang
penting dalam pembentukan critical thinking dan character building. Masih
belum banyak juga yang melakukan pembelajaran sejarah secara bermakna agar
peserta didik lebih memahami nilai dan peristiwa sejarah, terutama yang berkaitan
dengan fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Bahwasanya dapat
dikembangkan dengan menggunakan kajian atau pendekatan pedagogi kritis.
Pembelajaran sejarah dalam kajian pedagogi kritis merupakan suatu pendekatan
yang berupaya membantu peserta didik dalam proses pembelajaran sejarah yang
mempertanyakan dan mengkritisi setiap materi dan peristiwa sejarah yang ada
sehingga akan melahirkan suatu pemikiran reflektif (reflektive thinking) yang
membuat peserta didik mampu belajar dan memaknai setiap peristiwa sejarah dan
materi yang ada dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Kajian pedagodi kritis
sangat relevan dengan pembelajaran sejarah yang juga berupaya membentuk
peserta didik agar menjadi pribadi yang lebih kritis dan berusaha menjadi warga
negara yang baik (good citizenship).
Terlepas dari dimensi politik ideologi dan teori yang rumit, implementasi
pembelajaran sejarah di kelas dapat mengambil manfaat dari kajian pedagogi
kritis ini untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan/ pembelajaran dalam
membantu peserta didik memiliki kharakter yang baik serta kapabilitas produktif
yang tinggi dengan basis nilai yang dapat menjadikan manusia manusiawi.
•••
271
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Leo. & Wahyuni, Sri. 2013. Perencanaan Pembelajaran Sejarah.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Daryanto dan Tatrial. 2012. Konsep Pembelajaran Kreatif. Yoyakarta: Penerbit
Gava Media.
Hidayat, Rahmat. 2013. Pedagogi Kritis:Sejarah, perkembangan dan
pemikiran. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
MacDonald, Doune. 2002. Critical Pedagogy: What It Might Look Like and Why
does It Matter?. Dalam Laker, Anthony (ed). The Sociology of Sport and
Physical Education: An Introductory Reader. London: Routledge Falmer.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Pernantah, Piki Setri. 2016. “Internalisasi Nilai-Nilai Multikultural dalam
Pembelajaran Sejarah di Sekolah.” Prosiding Seminar Nasional Program
Studi Sejarah Se-Indonesia.Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Sadulloh, Uyoh, dkk. 2011. Pedagogik. Bandung: Alfabeta.
Sayono. “Pembelajaran Sejarah di Sekolah: Dari Pragmatis Ke Idealis.”Jurnal
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh,
Nomor 1, Juni 2013, UM
Malang. (2013)
Susanto, H. 2014. Seputar Pembelajaran Sejarah: Isu, Gagasan, dan
Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
•••
272
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
REORIENTASI AKSIOLOGI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
MELALUI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
Lila Pangestu Hadiningrum
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta
Email: lilahadiningrum@gmail.com
ABSTRAK
Kajian ini berangkat dari fenomena pembelajaran sejarah dengan persepsi
siswa yang kurang baik, rendahnya minat dan motivasi belajar sejarah.
Pembelajaran sejarah merupakan wahana pewarisan nilai-nilai keunggulan
bangsa untuk membangun kebanggaan bangsa. Reoroentasi aksiologi dalam
pembelajaran sejarah akan mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau
kepada generasi muda khususnya penanaman nilai-nilai. Pembelajaran sejarah
diharapkan mampu mengikuti tuntutan zaman globalisasi yang sarat dengan
modernisasi untuk menghadirkan insan penerus bangsa yang “melek sejarah”
melalui pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang
akan menghadirkan kebermaknaan pembelajaran. Kajian ini menggunakan
penelitan kepustakaan (library research). Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan filosofis dan pedagogis. Metode pengumpulan data yang digunakan
dalam kajian ini adalah metode dokumentasi dengan mencari atau menggali data
dari literatur yang terkait dengan reorientasi aksiologi pembelajaran sejarah
dengan Contextual Teaching and Learning (CTL). Dengan reorientasi aksiologi
pembelajaran sejarah melalui Contextual Teaching and Learning (CTL) akan
meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah yang meliputi berpikir kronologis,
pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan
penelitian sejarah, serta peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan.
Kata Kunci: reorientasi, aksiologi, CTL
PENDAHULUAN
Pembentukan insan yang berkualitas melalui pendidikan menekankan pada
pembentukan sumber daya pembangunan yang memiliki etos kerja, produktivitas,
memiliki profesionalisme serta mampu menguasai maupun memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pendidikan akan merangsang kreativitas seseorang
agar sanggup menghadapi tantangan- tantangan alam, masyarakat, teknologi serta
kehidupan yang semakin kompleks. Tantangan global dan modernisasi yang
rentan dengan degradasi moral membutuhkan peran dari pembelajaran sejarah
dalam pembentukan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan kegunaan. Aksiologi
memberikan jawaban untuk apa ilmu itu dipergunakan. Namun saat ini peran
pendidikan sejarah patut dipertanyakan, sikap nasionalisme yang dimiliki
bangsa menunjukkan kerapuhan. Konflik antar suku dan agama karena
perbedaan nilai, dan upaya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bukti bahwa kesatuan
•••
273
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
nasional masih rapuh (Ibnu Hizam: 2007:288).Pemerintah sebagai pemegang
otoritas pendidikan berpendapat tentang tujuan dari mata pelajaran sejarah
melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang tercantum dalam lampiran
Peraturan Menteri ini, bahwa mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Membangun kesadaran peserta didik
tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa
lampau, masa kini, dan masa depan (2) Melatih daya kritis peserta didik untuk
memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah
dan metodologi keilmuan (3) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta
didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di
masa lampau (4) Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses
terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses
hingga masa kini dan masa yang akan datang (5) Menumbuhkan kesadaran dalam
diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga
dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang
kehidupan baik nasional maupun internasional.
Hal di atas sejalan dengan reorientasi aksiologi (membuka kembali
wawasan nilai guna) pembelajaran sejarah. Reorientasi aksiologi merupakan
upaya agar pembelajaran sejarah mampu menjadi “ transmission of culture”,
meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan analitis yang diarahkan pada kajian
yang mengangkut kehidupan masa kini dengan problema masa kini.
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, kata axios(nilai, value: Inggris) dan
logos berarti teori atau ilmu (Suwardi, 2015: 136). Jadi, aksiologi berarti ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang pada umumnya ditinjau dari
sudut pandang kefilsafatan.Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas
bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang
apa yang dinilai (Suwardi, 2015:139).
Secara istilah historis, aksiologi adalah etika (ethics) atau moral (morals).
Akan tetapi saat ini istilah aksios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai
dalam dialog filosofis. Jadi aksiologi bisa disebut the theory of value (Hamdani,
2011:24)
Di Indonesia, aksiologi belum mendapatkan tempat yang sejajar dengan
bidang lainnya. Kadangkala masalah nilai dianggap urusan agama sehingga cukup
dibicarakan oleh agama. Dalam kenyataannya agamapun belum mampu menjadi
penyeimbang terhadap dampak ilmu terapan bagi masyarakat dan peradapan.
Dari hal di atas aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai
dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial,
kawasan simbolik atau pun fisik material. Aksiologi pembelajaran sejarah terdiri
dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam
rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai dari pembelajaran sejarah.
•••
274
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Konteks aksiologi ini sejalan dengan CTL yang terdiri dari delapan
komponen yaitu : hubungan yang bermakna, pekerjaan yang sesuai, belajar
mandiri, kolaborasi, berfikir kritis dan kreatif, pencapaian standar tinggi, dan
menggunakan penilaian otentik.
Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep mengajar dan
belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan bahan ajar mata
pelajarannya dengan situasi nyata dan yang memotivasi siswa untuk dapat
menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari
siswa sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat (US.
Departement of Education, dalam Suyanto, 2005:3).
Peserta didik merupakan fokus utama kegiatan pembelajaran. Sebagai
fokus utama, peserta didik harus terlibat aktif dalam keseluruhan proses atau
kegiatan pembelajaran agar mereka langsung dapat memperoleh pengalaman
sekaligus sebagai penerima manfaat dari proses dan hasil pembelajaran tersebut.
Terjadinya proses belajar pada diri peserta didik merupakan pertanda keberhasilan
pembelajaran. Hasil jangka panjang yang terpenting dari sebuah pembelajaran
adalah diperolehnya peningkatan kemampuan belajar secara lebih mudah dan
lebih efektif di masa depan sebagai akibat telah dikuasainya dengan baik
pengetahuan dan ketrampilan dari proses pembelajaran yang telah diikutinya
tersebut. Guru yang berhasil adalah guru yang mampu membawa peserta didik
untuk mendidik diri mereka sendiri, mampu memberdayakan peserta didik secara
efektif, mampu memdorong peserta didik menggunakan sumber-sumber belajar
secara efektif, sehingga mereka mampu menggunakan seluruh hasil belajar
tersebut secara produktif (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 6-7). Untuk dapat
mewujudkan hal tersebut maka guru harus mendesain strategi pembelajaran aktif
sehingga pembelajaran berlangsung secara efektif.
Suyanto (2005:4) menyatakan bahwa strategi pendekatan kontektual
meliputi :
1) Menekankan pentingnya pemecahan masalah
2) Mengakui perlunya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dalam
berbagai konteks seperti rumah, masyarakat, dan tempat kerja
3) Mengajar siswa memantau dan mengarahkan pembelajaran mereka agar
menjadi siswa yang dapat belajar mandiri
4) Menekankan pelajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
5) Mendorong siswa belajar dari sesama teman dan belajar bersama
6) Menggunakan penilaian otentik
Center for Occupational Research di Amerika menyingkat kelima konsep
Contextual Teaching and Learning dalam akronim REACT yang jabarannya
adalah sebagai berikut:
Relating
: belajar dalam konteks kehidupan nyata
Experiencing : belajar dalam konteks eksplorasi, penemuan dan penciptaan
Applying
: belajar dengan memadahkanpengetahuan dan kegunaannya
Cooperating : belajar dalam konteks interaksi kelompok
Transfering : belajar dengan menggunakan pengetahuan dalam konteks
•••
275
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
baru
Dalam pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memberikan
kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana
dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi
pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan belajar
kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual, dan
keberhasilan secara keseluruhan. Nurhadi (2002:4) mengemukakan pentingnya
lingkungan belajar dalam pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
1) Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada
siswa. Dari “guru acting di depan kelas, siswa menonton” ke “siswa aktif
bekerja dan berkarya, guru mengarahkan”.
2) Pembelajaran harus berpusat pada “ bagaimana cara’ siswa menggunakan
pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan
dibandingkan hasilnya.
3) Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian
(assessment) yang benar.
4) Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu
penting.
Dari uraian di atas strategi kontekstual merupakan strategi pembelajaran
yang dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif
dan bermakna. Berdasarkan pengamatan, sejauh ini pembelajaran sejarah masih
didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai seperangkat fakta-fakta
yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama
pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama stategi belajar. Untuk itu
diperlukan sebuah strategi belajar “baru” yang lebih memberdayakan siswa.
Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta
tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan
dibenak mereka sendiri. Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL
dipromosikan menjadi alternative strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL
siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ bukan ‘menghafal’ dan
mengkontruksi aksiologi peristiwa masa lampau (aspek diakronis) untuk
memecahkan permasalahan sosial budaya kekinian di mana para siswa menjadi
pelaku sejarah, dengan menggunakan analisa sinkronis.
Permasalahannya, bagaimana reorientasi aksiologi dalam konteks kekinian
dan kebermaknaan pembelajaran sejarah di tengah arus degradasi moral era
globalisasi? Variabel yang penting dalam permasalahan ini adalah kesiapan dan
kemampuan guru dalam memasukkan nilai-nilai (aksiologi) dalam strategi
pembelajaran sejarah. Oleh karena itu berikut ini disajikan reorientasi aksiologi
pembelajaran sejarah melalui strategi pembelajaran CTL.
ANALISIS PEMECAHAN MASALAH
Kajian ini menggunakan kajian kepustakaan (library research), yaitu
serangkaian yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, atau
penelitian yang obyek penelitiannya digali melalui beragam informasi
•••
276
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
kepustakaan (buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah, dan
dokumen)(Nana Syaodih, 2009:52).
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan filosofis
dan pedagogis. Pendekatan filosofis merupakan pendekatan yang dilakukan
untuk melakukan penalaran dan penyusunan suatu data secara sistematis
berdasarkan sudut pandang tertentu (dalam hal ini sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang aksiologi dalam pembelajaran Sejarah.
Sedangkan pendekatan pedagogis merupakan pendekatan untuk menjelaskan
data secara lebih rinci dengan menggunakan Contextual Teaching and Learning
(CTL) dalam pembelajaran sejarah. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah
data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan dari
pengamatan langsung. Akan tetapi data tersebut diperoleh dari hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sumber data sekunder yang
dimaksud berupa buku dan laporan ilmiah primer atau asli yang terdapat di
dalam artikel atau jurnal (tercetak dan/atau non-cetak) berkenaan dengan
reorientasi aksiologi dalam pembelajaran sejarah melalui CTL.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah
metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan
data dengan mencari atau menggali data dari literatur yang terkait dengan apa
yang dimaksudkan dalam rumusan masalah. Analisis data merupakan upaya
mencari dan menata secara sistematis data yang telah terkumpul untuk
meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan
mengkajinya sebagai temuan bagi orang lain. Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis anotasi. Anotasi berarti suatu
kesimpulan sederhana dari suatu artikel, buku, jurnal, atau beberapa sumber
tulisan yang lain. Terdapat empat prosedur yang digunakan dalam kajian ini
yakni: (1) Organize, yakni mengorganisasi literatur yang akan ditinjau/di-review;
(2) Synthesize, yakni menyatukan hasil organisasi literatur menjadi suatu
ringkasan agar menjadi satu kesatuan yang padu, dengan mencari keterkaitan
antar literatur; (3) Identify, yakni mengidentifikasi isu-isu kontroversi
dalam
literatur dan (4) Formulate, yakni merumuskan pertanyaan yang
membutuhkan penelitian lebih lanjut (Dena Taylor.TheLiterature Review: A Few
Tips Conducting It (http://www.writing.utoronto.ca/advice/specific-types-ofwriting/literature review diakses tanggal 20 Juni 2017).
HASIL
a. Reorientasi Aksiologi dalam Pembelajaran Sejarah
Aksiologi diatikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh (Jujun Suriasumantri, 2013: 234). Menurut Bramel
dalam Suwardi (2015: 138) aksiologi terbagi menjadi tiga bagian yaitu : (1) moral
conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika
dan (2) Estetic expression (ekspresi keindahan, (3) Sosio political life yaitu
kehidupan sosial politik.
•••
277
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Nilai adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar baik merupakan sifatsifat maupun sikap, perilaku perbuatan seseorang atau kelompok yang dalam
perjalannya perlu diimbangi dengan etika. Etika sebagi bangunan nilai melahirkan
pemikiran kritis dan mendasar agar manusia mengetahui dan mampu bertanggung
jawab atas yang dia lakukan. Nilai pengalaman sejarah dimunculkan untuk
membangkitkan dinamika sosial di masa lalu.
b. Strategi Pembelajaran Kontekstual
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang sangat erat kaitannya. Faktor-faktor tersebut bisa datang dari
dalam diri peserta didik (internal) dan dari luar dirinya atau dari lingkungan
sekitarnya (eksternal).
Johnson (2002: 45-46) menyatakan ada delapan komponen dalam
pembelajaran kontekstual yaitu:
1) Membuat hubungan yang bermakna (making meaningful connections) antara
sekolah dan konteks kehidupan nyata sehingga siswa merasakan bahwa belajar
penting untuk masa depannya.
2) Melakukan pekerjaan yang siginifikan (doing significant work). Pekerjaan yang
memiliki suatu tujuan, memiliki kepedulian terhadap orang lain, ikut serta dalam
menentukan pilihan, dan menghasilkan produk.
3) Pembelajaran mandiri (self-regulated learning) yang membangun minat
individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam rangka mencapai
tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi ajar dan konteks
kehidupan sehari-hari.
4) Bekerjasama (collaborating) untuk membantu siswa bekerja secara efektif dalam
kelompok,
membantu
mereka
untuk
mengerti
bagaimana
berkomunikasi/berinteraksi dengan yang lain dan dampak apa yang
ditimbulkannya.
5) Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking): Siswa diwajibkan
untuk memanfaatkan model berpikir kritis dan kreatifnya dalam pengumpulan,
analisis dan sitensis data, memahami suatu isu/fakta dan pemecahan masalah.
6) Pendewasaan individu (nurturing individual) dengan mengenalnya, memberikan
perhatian, mempunyai harapan tinggi terhadap siswa dan memotivasinya.
7) Pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards) melalui
pengidentifikasian tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya.
8) Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment) yang menantang
siswa agar dapat menggunakan informasi akademis baru dan keterampilannya ke
dalam situasi nyata untuk tujuan yang signifikan.
Dalam menerapkan pembelajaran sejarah guru dapat memilih sejumlah
strategi pembelajaran aktif dalam menerapkan pendekatan kontekstual diantaranya
(1) pengalaman penting / critical incident, (2) tebak pelajaran / prediction guide,
(3) teks acak, (4)panduan membaca / reading guide, (5) resume kelompok / group
resume, (6)prediksi kawan, (7) mencari kelas / assessment search, (8) pertanyaan
dari siswa / questions students have, (9)penilaian instan / instant assessment,
•••
278
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
(10)saling tukar pengetahuan / active knowledge sharing, (11) benar apa salah /
true or false, (12) benar salah berantai, (13) bangkitkan minat / inguiring minds
wants to know, (14) tim pendengar / listening team, (15) catatan terbimbing /
guided note taking, (16) pengajaran sinergis / synergetic teaching, (17) panduan
mengajar / guided teaching, (18) debat aktif / active debate, (19) debat pendapat /
point-counterpoint, (20)membaca keras / reading aloud, (21) pelajaran dimulai
dengan pertanyaan / learning starts with a question, (22) pertanyaan rekayasa /
planted questions, (23) mencari informasi / information search, (24) sortir kartu /
card sort, (25) kekuatan dua kepala / the power of two, (26) kuis kelompok / team
quiz, (27) belajar model jigsaw / jigsaw learning, (28) bola salju / snow balling,
(29) setiap orang adalah guru / everyone is a teacher here, (30) belajar dari teman/
peer lessons, (31) inquiry, (32) PBL dan masih banyak lagi.
c. Implementasi Reorientasi Aksiologi Pembelajaran Sejarah melalui
CTL
Adanya reorientasi aksiologi pembelajaran sejarah melalui CTL akan
dapat mengakomodasi gerakan “The New History” yang dipopulerkan sejarawan
Amerika James Harvey Robinson (1912), yang memberi penekanan kepada
sejarah sosial yang berbicara tentang semua dimensi kehidupan manusia dengan
menggunakan ilmu-ilmu bantu (inter dan
multidisipliner). Reorientasi
aksiologi Pembelajaran Sejarah melalui CTL akan melibatkan siswa sebagai
subjek pembelajaran, dan guru sebagai fasilitator dengan pilihan-pilihan topik
yang melibatkan siswa, tetapi tetap berada dalam mainstream (arus utama)
kurikulum yang didisain para pengembang kurikulum. Reorientasi aksiologi
pembelajaran sejarah melalui CTL, para siswa dilibatkan dalam menganalisis
sebuah peristiwa sejarah dan mengaitkannya dengan situasi masyarakat
kontemporer, bahkan pada unit-unit sejarah yang secara konvensional tidak
menjadi bagian dari peristiwa yang “besar” dan “monumental”. Prinsip yang
digunakan dalam reorientasi aksiologi dalam pembelajaran sejarah melalui CTL
adalah relating, experiencing, applying, cooperating, and transferring. Melalui
pengalaman belajar yang demikian, fakta, konsep, prinsip, dan prosedur sebagai
materi pelajaran diinternalisasikan melalui proses penemuan, penguatan,
keterkaitan, dan keterpaduan.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu: kontruktivisme
(Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat
belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan
penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Adapun penjabaran masingmasing adalah sebagai berikut:
1) Constructivism merupakan landasan filosofis CTL yang mengisyaratkan
bahwa pengetahuan dikonstruk sendiri oleh pembelajar, secara bertahap,
dengan melalui interaksi yang intensif antara pembelajar dan obyek belajar
dengan menggunakan sebanyak mungkin indera.
2) Proses bertanya-tanya (questioning) merupakan proses awal lahirnya suatu
pengetahuan, siswa bertanya dalam mengkonstruk pengetahuan yang ingin
•••
279
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dikuasainya. Bagi guru pertanyaan dalam CTL secara umum dapat berfungsi
sebagai prompting dan leading-in.
3) Pengetahuan yang diperoleh siswa hendaknya merupakan hasil pencarian
siswa sendiri melalui suatu siklus inquiry sebagai berikut: pengamatan
(observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hipothesizing),
pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion drawing).
4) Masyarakat belajar dalam CTL berarti bahwa sebisa mungkin dalam KBM
siswa diberi kesempatan yang luas untuk dapat menggali pengetahuan dengan
cara berdiskusi dan berinteraksi dengan teman lain baik dalam bentuk
berpasangan, kelompok kecil ataupun berdiskusi dengan nara sumber.
5) Pemberian model sangat diperlukan dalam PBM, terutama untuk mata
pelajaran ketrampilan tertentu. Model harus mengandung unsur kebenaran dan
presisi yang tinggi. Guru bukanlah satu-satunya model dalam PBM.
6) Refleksi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar dengan
memikirkan kembali apa yang telah dipelajari dan apa yang telah dikuasainya.
Bagi guru refleksi bermanfaat untuk meningkatkan kualitas PBM diwaktu
yang akan dating.
7) Assessment merupakan upaya guru untuk memeroleh data selengkaplengkapnya tentang hasil belajar dan perkembangan konsep siswa sebagai
dasar penilaian yang dilakukan. Assessment sebaiknya berdasarkan data
otentik tentang siswa dan dilakukan secara berkelanjutan. Assessment yang
otentik dapat dilakukan tidak hanya melalui tes tetapi juga melalui
pengamatan, portofolio, dan data lainnya (Depdiknas, 2002:10).
Berikut ini adalah contoh tahapan reorientasi aksiologi dalam
pembelajaran sejarah melalui CTL materi tentang Proklamasi. Elemen yang harus
diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual meliputi: pembelajaran harus
memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik, pembelajaran
dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari
umum ke khusus), Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara:
menyusun konsep sementara, melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan
tanggapan dari orang lain, merevisi dan mengembangkan konsep; pembelajaran
ditekankan pada upaya mempraktekkan secara langsung apa-apa yang dipelajari,
adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan
yang dipelajari. Dari contoh materi tentang proklamasi,issue yang ditawarkan
paling tidak mengandung antara lain :
(1) Dua konsep ataulebih
(2) Banyakalternatif
(3) Mengundang pengambilan keputusan. Contohnya:
(a) Bagaimana proses terjadinya proklamasi ?
(b) Nilai-nilai apa didapatkan dari peristiwa rengas dengklok?
(c) Mengapa yang menculik dari Ir. Sukarno dan Moh.hatta dari golongan
pemuda?
(d) Mengapa terjadi perbedaan pendapat dari golongan tua dan golongan
pemuda?
•••
280
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Terhadap permasalahan yang dikemukakan dalam contoh di atas, ada
baiknya guru mengajukan pertanyaan yang mengarahkan para siswa sebagai
pengkaji. Pada tahap berikutnya, para siswa mencoba memformulasikan jawaban
sementara atau hipotesis dalam bentuk pernyataan terhadap masalah di atas.
Kemudian peserta didik dapat menguji hipotesis dengan kegiatan inkuiri
bercirikan pencarian data dan informasi. Pencarian data tersebut dapat dilakukan
melalui kajian literatur (buku ataupun ebook) sebagai tahap awal, kemudian
dilanjutkan ke perpustakaan, musium, arsip dan lain-lain. Mewawancarai
sejarawan, atau nara sumber yang relevan, mempelajari biografi/memoir para
tokoh terkenal, memutar film, slide, video, mempelajari gambar/foto dan lain-lain.
Informasi yang terkumpul tersebut kemudian ditelaah melalui langkah
validitas data, analisis dan sintesis, sampai kepada pengujian hipotesa. Jika
validitas dan reliabilitas data memiliki kwalifikasi yang kredibel, maka jawaban
atas pertanyaan dan pernyataan issue tersebut akan dapat dipertanggungjawabkan.
Dari materi ini dapat juga dilakukan modelling (dengan sosiodrama)
dengan tindak lanjutnya berupa refleksi. Dalam kegiatan refleksi siswa dapat
diberi tugas menganalisis peristiwa sejarah di masa lalu, apa segi positifnya dan
apa segi negatifnya, dan bagaimana kesimpulannya. Nilai-nilai bersejarah tadi
dihubungkan dalam permasalahan saat ini, sehingga apabila menemui
permasalahan yang sama atau hampir sama akan lebih bijak dalam
menghadapinya.
Contoh lain peradaban prasejarah di Indonesia (Materi klas X SMA),
khususnya jaman Megalitikum, tentang konsep punden berundak-undak yang
mengatakan bahwa tempat yang paling tinggi merupakan tempat yang paling suci,
ternyata konsep ini masih dipakai saat ini, dalam kenyataan hidup sehari-hari
siswa bisa melihat arsitektur bangunan masjid di Indonesia yang sebagian
menggunakan arsitektur atap tumpang (bertingkat). Sehingga dengan kenyataan
itu siswa bisa mengkonstruksi pengetahuannya kembali tentang konsep
megalitikum dan arsitektur masjid, ternyata arsitektur masjid di Indonesia berbeda
dengan negara asalnya, di Indonesia terjadi proses akulturasi (perpaduan budaya).
Bagaimana nilai-nilai yang ada dalam proses akulturasi? Bagaimana proses
akulturasi budaya jika dikaikan dengan era globalisasi dan modernisasi? Langkahlangkah apa yang bisa diambil untuk mengantisipasinya? Dan sebagainya. Begitu
juga kalau kita melihat tata kota di Indonesia khususnya di pulau jawa,
kebanyakan masih menggunakan tata kota tradisional yang mengacu pada
Mocopat, di mana di tengah ada tanah lapang (alun-alun), pusat pemerintahan di
sebelah utara alun-alun, tempat ibadah di sebelah barat alun-alun, dan sekeliling
lainnya ada pasar dan tempat penjara. Semua konsep lama masih dipakai sampai
saat ini. Dari hal diatas dapat dikaji penjelasan filosofis (ontologis, epistemologis
dan aksiologis) dari sejarah dan tata kota yang digunakan. Contoh lain dalam
pembelajaran filsafat ilmu (mahasiswa) dengan materi sejarah perkembangan
ilmu. Materi sejarah perkembangan ilmu mengkaji perkembanngan keilmuan
zaman pra yunani sampai zaman kontemporer. Dari materi di atas dapat dikaji
aksiologi/nilai dari keilmuan yang dihasilkan disetiap zaman atau tokoh yang ada
•••
281
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
disetiap zaman ataupun manuskrip yang ada, melalui inquiry, mahasiswa
menganalisis kemudian merefleksi nilai yang dapat digunakan dalam menghadapi
persoalan di masa kini dan mendatang.
Penyusunan program pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah
sebagai berikut:
1) Menyatakan kegiatan utama pembelajaran
2) Menyatakan tujuan umum pembelajaran
3) Merinci media untuk mendukung kegiatan itu
4) Membuat skenario tahap demi tahap kegiatan siswa
5) Menyatakan authentic assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat
diamati partisipasinya dalam pembelajaran.
(Depdiknas, 2002: 23).
Evaluasi dalam implementasi pendekatan kontekstual menggunakan
penilaian authentic yang bersumber pada penilaian berbasis kelas dengan
mengumpulkan feedback, seawal dan sesering mungkin mengenai seberapa baik
siswa belajar, mengenai apa yang sedang siswa fikirkan, dan mengenai apa yang
sedang siswa kerjakan. Ada dua pertanyaan fundamental sehubungan dengan
penilaian berbasis kelas ini, ialah: (1) bagaimana siswa memperoleh hasil belajar
lebih tinggi? Dan (2) bagaimana guru mengajar lebih efektif?
Instrumen tes dan non tes dibedakan atas dasar pengertian, bahwa tes
berkaitan dengan benar dan salah, sedangkan non-tes tidak berkaitan dengan benar
dan salah, melainkan berkaitan dengan baik dan buruk, suka dan tidak suka, setuju
dan tidak setuju, dan sebagainya. Tes formal dan non formal, lebih dibedakan atas
dasar struktur atau konstruksi instrumen, ialah untuk tes formal, sudah ada
struktur yang dapat dikatakan “baku” atau dibakukan. Bentuk-bentuk intrumen
untuk tes formal, antara lain adalah sebagai berikut:pilihan ganda, asosiasi pilihan
ganda, sebab akibat, melengkapi (isian singkat), uraian objektif, uraian non
objektif (essay) dan menjodohkan. Bentuk-bentuk intrumen untuk tes Non-formal,
antara lain adalah sebagai berikut:
a). Lembar observasi Unjuk Kerja
b). Lembar penilaian kinerja psikomotor atau kognitif lainnya
c). Tes alternatif yang meliputi : paper, presentation, participation, project,
practice, performance, pre-test, proposal writing, portofolio, presence (Asmawi
Zainul, 2001:11-12). Instrumen non-tes dapat pula dilakukan dengan
angket/kuisioner dan lembar penilaian afektif.
Dari uraian di atas evaluasi dan penyempurnaan perlu dilakukan sebagai
suatu proses yang kontinu untuk memperbaiki pembelajaran sejarah dan
membimbing pertumbuhan peserta didik. Berbagai teknik pengukuran dan
evaluasi baik dengan menggunakan instrument tes dan maupun teknik evaluasi
lain seperti penilaian portofolio harus dipahami guru agar dapat dipergunakan
secara tepat. Dalam kaitannya dengan pembelajaran berdasarkan pendekatan
kompetensi, evaluasi dilakukan untuk menggambarkan perilaku hasil belajar
(behavioral outcomes) dengan respon peserta didik yang dapat diberikan
berdasarkan apa yang diperoleh dari belajar. Evaluasi dan behavioral outcomes
•••
282
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
ini mengandung nilai-nilai (aksiologi) yang dapat digunakan untuk menentukan
kualitas atau derajat pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
SIMPULAN
CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan
antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata,
sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi
hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sejarah sebagai landasan
nilai yang bersifat confluent (membentuk sikap secara keseluruhan) berfokus dari
fungsi pembelajaran sejarah dalam proses penanaman nilai maka aspek
pembelajaran sejarah perlu memperhatikan strategi dan metode pembelajaran
yang bermakna.
Reorientasi aksiologi dalam pembelajaran sejarah melalui CTL perlu
memperhatikan:
1. Menelaah pendekatan secara lokosentris,konsentris, temasentris dan kronologi
2. Melakukan analisis secara keseluruhan
3. Mengkaji sejarah secara komprehensif
4. Menemukan nilai-nilai pada materi pembelajaran sejarah dalam konteks
hubungan antar nilai secara parsial atau secara kontemporer untuk
memecahkan masalah dimasa depan
5. Modelling tokoh sejarah sebagai sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda
6. Perlunya pengkajian secara mendalam pembelajaran sejarah berbasis kearifan
lokal (local wisdom).
Daftar Pustaka
Asmawi Zainul. Alternative Assesment. Jakarta: PAU-PPAI,Universitas Terbuka.
2001
Departemen Pendidikan Nasional. Pendekatan Kontekstual (CTL). Direktorat
Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Pendidikan
Lanjutan Pertama. 2002
Dena Taylor. The Literature Review: A Few Tips Conducting It
(http://www.writing.utoronto.ca/advice/specific-types-of writing/literaturereview diakses tanggal 20 Juni 2017
Hamdani.Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia. 2011
Ibnu Hizam. “Kontribusi Minat Belajar dan Kemampuan Klarifikasi Nilai Sejarah
dalam Pembentukan Sikap Nasionalisme” dalam Jurnal Penelitian
Keislaman, Vol. 3, No. 2, Juni 2007.
Joyce, Bruce & Marsha Weil with Emily Calhaoun. Models of Teaching. Sixth
Edition. London: Prentice-Hall International, Inc. 2000
Johnson, Elaine B. Contextual Teaching and Learning. California : A Sage
Publications Company. 2002
Jujun S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Penngantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. 2013
Nana Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. 2005
Nurhadi. Pendekatan Kontekstual. Malang : Universitas Negeri Malang. 2002
•••
283
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Suyanto. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual : Sebuah Pengantar.
Disajikan pada Workshop Tim Pengembang
Kurikulum SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005
Suwardi Endraswara. 2015. Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan
Metode Ilmiah. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing
Servise). 2015
•••
284
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
285
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
INTERNALISASI WAWASAN BAHARI DALAM PEMBELAJARAN
SEJARAH DI SMK PELAYARAN REMBANG
Avif Arfianto Purwoko Utomo
Program Pasca Sarjana Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret
Email: avifapu14@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui internalisasi wawasan bahari di pembelajaran
sejarah. Dalam mengembangkan pendidikan karakter kesadaran mendalam tentang bahari
sangatlah penting. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain
studi kasus. Data penelitian di peroleh dengan menggunakan lembar bentuk observasi,
wawancara dan pertanyaan. Hasilnya menunjukkan bahwa guru sejarah di SMK
Pelayaran Rembang mengintegrasika nilai-nilai (kejujuran, kedisiplinan, kepercayaan
diri, bertanggung jawab, bekerja sama, mandiri dan menghormati pendapat) dengan
karakter wawasan bahari di proses pembelajaran.
Kata Kunci: Internalisasi, Wawasan Bahari, Pembelajaran Sejarah
PENDAHULUAN
Globalisasi dapat diartikan sebagai proses saling berhubungan yang
mendunia antar individu, bangsa dan negara, serta berbagai organisasi
kemasyarakatan. Globalisasi selain memberi beragam harapan juga memunculkan
berbagai masalah. Salah satunya adalah kecenderungan masyarakat kehilangan
jatidirinya akibat pergaulan global. Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang
kehidupan global di atas, diperlukan paradigma baru pendidikan. Upaya untuk
melakukan reformulasi pendidikan adalah dengan menguatkan pendidikan
karakter.
Pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut
pendekatan ini, tujuannya adalah diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa
dan berubahnya nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial diinginkan.
Menurut pendekatan ini, metode yang digunakan dalam proses pembelajaran
antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan
peranana dan lain-lain Berkaitan dengan pembelajaran nilai-nilai, terutama
wawasan bahari di SMK Pelayaran Rembang belum maksimal menunjukkan
internalisasi nilai-nilai karakter walaupun guru sudah mengintegrasikan
pembelajaran sejarah materi kedatangan bangsa barat dengan media pembelajaran
seperti power point dan lain-lain, namun siswa belum begitu mengerti secara
mendetail, serta mengimplementasikan atau menerapkan nilai-nilai karakter dalam
kehidupan sehari-hari.
Dipandang dari wawasan itu, pengajaran sejarah berkedudukan strategis
dalam pendidikan nasional sebagai saka guru dalam pembangunan nasional.
Pengajaran sejarah perlu dilengkapai agar dapat berfungsi lebih efektif, yaitu
sebagai penyadaran generasi muda dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
dalam rangka membangun bangsa. Sejarah pula yang mempu mengungkapkan
asal-mula dan perkembangan segala macam warisan dari leluhur berupa nilai•••
286
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
nilai, lembaga, teknologi, dan lain-lain. Kesemuanya itu telah menuntut usaha dan
perjuangan yang terus-menerus dari generasi terdahulu untuk mempertahankan
eksistensinya serta secara terus-menerus pula mencurahkan perhatian kearah
pembangunan kehidupan yang lebih baik lagi.
Di dalam pembelajaran sejarah di SMK Pelayaran Rembang, pembentukan
karakter tidak semudah diucapkan, karena mengubah dan membina karakter tidak
cukup hanya dengan omongan, ceramah, omelan, sindiran, kritikan atau cara-cara
lain yang serba verbalisme. Selain itu menurut adanya keteladanan dari peserta
didik baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembelajaran sejarah dapat
dijadikan suatu cerminan positif terhadap karakter pemuda pada masa lampau.
Pembentukan karakter dapat dilakukan oleh guru dengan cara memberikan meteri
yang didalamnya terdapat nilai-nilai karakter yang tepat bagi peserta didik.
Salah satu mata pelajaran yang memiliki muatan karakter adalah sejarah.
Merujuk dari pendapat Sartono Kartodirjo (1998) bahwa dalam rangka
pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk
memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi
juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran
sejarahnya.
Internalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat bahasa
departemen pendidikan nasional, kamus besar bahasa Indonesia 2005: 439),
internalisasi dapat diartikan sebagai penghayatan, proses falsafah Negara secara
mendalam berlangsung lewat penyuluhan, penataran, dan sebagainya.
Penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan
keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan
dalam sikap dan perilaku. Proses mendarah-dagingkan atau Internalisasi perlu
dilaksanakan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui rangkaian kegiatan
pengenalan, pemahaman dan pendalaman dengan bimbingan dan melalui dialog
aktif, sehingga akhirnya menimbulkan dorongan untuk mewujudkannya
(Wahyono, 1984: 37).
Studi sejarah Indonesia hingga sekarang lebih banyak mementingkan
peristiwa yang terjadi di darat, walaupun sesungguhnya lebih dari separuh wilayah
Republik Indonesa terdiri dari laut (Lapian B. Adrian, 2009: 1). Seperti diketahui,
Nusantara adalah wilayah kepulauan di satu pihak dan wilayah perairan di lain
pihak, dimana perairan merupakan 2/3 dari seleruh wilayah. Ketika masyarakat
Nusantara masih terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil yang menyebar di seluruh
wilayah tersebut, ada beberapa kerajaan yang rakyatnya termasuk bangsa laut
berwawasan bahari dan merupakan pelaut handal dari nelayan (Anshoriy Ch.
Nasruddin, 2008: 8).
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan permasalahan dalam penelitian
ini yaitu Bagaimana Internalisasi Wawasan Bahari dalam Pembelajaran Sejarah di
SMK Pelayaran Rembang? Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka
tujuan ini yaitu (1) Untuk Mengetahui Internalisasi Wawasan Bahari dalam dalam
Pembelajaran Sejarah di SMK Pelayaran Rembang.
•••
287
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Lokasi penelitian
yaitu di SMK Pelayaran Rembang. Tanggung jawab merupakan nilai karakter
yang sulit sekali ditanamkan dalam diri peserta didik, sehingga pembentukan
karakter dapat diberikan dengan contoh perilaku sehari-hari. Peneliti ingin
mengetahui bagaimana pembentukan karakter wawasan bahari dalam
pembelajaran sejarah. Bertitik tolak dari permasalahan dan juga uraian tersebut,
maka mata pelajaran sejarah berusaha dengan strateginya untuk dapat
mengupayakan bagaimana cara agar bisa dan mampu membentuk karakter peserta
didik pada SMK Pelayaran Rembang.
Dalam penelitian ini terfokus pada 1 permasalahan yaitu Bagaimana
internalisasi wawasan bahari dalam pembelajaran sejarah. Karena pentingnya
pembentukan karakter dalam pembelajaran sejarah, maka yang dikaji adalah
bagaimana cara guru membentuk karakter dalam pembelajaran sejarah. Sumber
data penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data
penelitian ini menggunakan wawancara, dokumentasi, observasi, dan evaluasi.
Keabsahan data dengan metode triangulasi. Analisis data dilaksanakan secara
induktif dengan langkah-langkah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data
dan kesimpulan.
HASIL
Pengembangan karakter dalam suatu system pendidikan adalah keterkaitan
antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang
dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara
pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk
melaksanakannya, terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan
Negara serta dunia internasional (Sudrajat 2010: www.wordpress.com).
Pemerintah secara intensif berusaha untuk mengimpletasikan pendidikan
karakter dalam system pendidikan. Pendidikan karakter ini diintegrasikan dalam
kegiatan belajar mengajar di setiap mata pelajaran untuk kemudian agar adanya
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari disatuan pendidikan atau budaya di
sekolah sehingga pada akhirnya dapat menjadi suatu kebiasaan yang baik.
Pendidikan karakter merupakan proses untuk menuntun peserta didik menjadi
manusia seutuhnya yang berkarakter dalam hati, raga, pikir, serta rasa dan karsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara
apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati (Samani 2011: 45).
Pembentukan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun bangsa. Dalam proses
penanaman nilai di sekolah semua komponen harus dilibatkan diantaranya yaitu
•••
288
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
kurikulum, proses pembelajaran, kualitas hubungan, pengelolaan sekolah,
kegiatan ektrakulikuler, pemberdayaan sarana dan prasarana dan etos kerja
seluruh warga dan lingkungan sekolah (Narwanti, 2011: 14).
Internalisasi wawasan bahari dalam pembelajaran sejarah di SMK Pelayaran
Rembang sudah dilaksanakan oleh guru sejarah dengan cara mengintegrasikan ke
dalam proses pembelajaran. Guru Gejarah tidak hanya menyampaikan nilai-nilai
karakter kepada peserta didik dalam bentuk pengetahuan saja akan tetapi juga
dengan membiasakan kepada peserta didik untuk melaksanakan nilai-nilai
karakter yang dapat diambil dari proses pembelajaran sejarah. Materi pelajaran
sejarah banyak memuat nilai-nilai karakter yang baik dalam diri peserta didik dan
guru mengupayakan agar niali-nilai tersebut benar-benar tersampaikan kepada
pesrta didik. Pendidikan karakter tidak akan tercapai tujuannya apabila hanya
membuat pesrta didik sekadar tahu saja akan tetapi harus dibiasakan. Karena sikap
dapat berubah apabila sesudah terbiasa.
Guru Sejarah memanfaatkan proses belajar mengajar sejarah untuk
mengembangkan nilai-nilai karakter wawasan bahari. Nilai-nilai yang relevan
dengan materi serta lingkungan peserta didik dimasukkan ke dalam silabus dan
RPP. Adapun metode dan model pembelajaran juga disesuaikan untuk
mengembangkan karakter siswa. Terdapat beberapa metode yang bisanya
digunakan mengembangkan karakter sisiwa. Metode yang pertama adalah dengan
ceramah. Melalui ceramah guru dapat menyampaikan materi dengan disisipi nilainilai karakter yang sesuai dengan materi pelajaran. Ceramah disampaikan dengan
dibuat semenarik mungkin sehingga tidak membosankan dan membuat pesrta
didik merasa ingin tahu. Materi dihubungkan pula dengan kondisi saat ini seingga
mudah dipahami oleh peserta didik dan dapat dikaitkan dengan kehidupan saat ini.
Metode selanjutnya adalah dengan diskusi, dalam metode ini kelas dibagi
menjadi beberapa kelompok kecil. Guru Sejarah tidak lagi sebagai sumber utama
dalam proses pembelajaran. Peserta didik yang sudah diberi tugas sesuai dengan
kelompoknya masing-masing dapat mengekplor sendiri melalui berbagai
referensi. Dengan diskusi kelompok maka membantu peserta agar terbiasa
mengemukakan pendapatnya, lebih mengenal dan mendalami suatu masalah,
membuat suasana pembelajaran yang santai dan terarah. Selain itu dapat
menciptakan keakraban antar peserta didik, bekerja sama dalam menyelesaikan
suatu permasalahan dan melatih untuk dapat menghargai pendapat orang lain.
Nilai karakter wawasan bahari dikembangkan melalui mata pelajaran sejarah
di SMK Pelayaran Rembang disesuaikan dengan materi dan lingkungan peserta
didik. Adapaun nilai-nilai karakter tersebut antara lain jujur, harus disiplin, harus
memiliki rasa percaya diri, harus memiliki rasa tanggung jawab, berani,
bekerjasama, dan menghargai pendapat. Adapun nilai-nilai wawasan bahari antara
lain adalah jujur. Jujur dapat diartikan kesatuan antara ucapan dengan perilaku
sehingga menjadi pribadi yang dapat dipercaya, kejujuran sangat penting untuk
dimiliki oleh setiap peserta didik karena kejujuran ini akan mengantarkan maereka
menjadi sesorang yang mempunyai integritas dan tanggung jawab tinggi yang
sudah terwujud dengan cara siswa mendapat tugas untuk berdiskusi dan
•••
289
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
mempresentasikan hasilnya. Selanjutnya nilai disiplin, disiplin diartikan sebagai
tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan. Guru selalu mengingatkan peserta didik untuk bisa berlaku disiplin
dimanapun berada. Nilai berani, menjadikan peserta didik berani untuk
mendiskripsikan proses masuk bangsa barat ke Indonesia serta berani bertanya
dalam setiap pelajaran maupun berdiskusi.
Dalam proses ini kebiasaan disiplin adalah siswa selalu berangkat pagi untuk
datang ke sekolah sebelum jam 7 pagi dan bersalaman dengan guru yang berjejer
dipintu gerbang. Rasa percaya diri adalah nilai yang berikutnya, rasa percaya diri
muncul dalam diri siswa saat melakukan presentasi didepan kelas untuk
memaparkan hasil diskusi dengan teman dalam mengejakan tugas yang diberikan
oleh guru. Nilai karakter yang terakhir adalah memiliki rasa tanggung jawab.
Dalam hal ini siswa di wajibkan untuk mengumpulkan tugas tidak hanya
kelompok saja namun tugas individu juga. Nilai kerjasama, peserta didik dapat
memahami materi yang ada dengan berdiskusi bersama teman kelompok dan
memecahkan masalah bersama yang ada di dalam tugas yang diberikan oleh guru.
Nilai menghargai pendapat orang lain ini perlu karena untuk membiasakan sopan
terhadap orang dengan tidak memaksakan kehendak sendiri dalam berbagai
macam aktifitas ini khususnya saat berdiskusi.
Adapun pelaksanaan pendidikan karakter dalam rangka untuk
mengembangakan wawasan bahari baik dalam diri peserta didik di SMK
Pelayaran Rembang di dukung pula oleh semua komponen di sekolah.
Diantaranya adalah cukup lengkapnya sarana dan prasarana yang terdapat di
sekolah untuk menunjang kegiatan baik ketika proses belajar meupun diluar jam
pelajaran untuk mengembangkan karakter siswa.
Faktor pendukung berikutnya ialah bahwa guru sejarah pun sudah sangat
menyadari mengajar itu bukan hanya mentransfer pengetahuan yang telah dimiliki
oleh guru kepada peserta didik akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana
seorang guru dapat memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai halhal yang dapat peserta didik terapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
memunculkan kebahagiaan dan kenyamanan dalam kehidupan. Dalam proses
pembelajaran disisipi motivasi yang dapat menggugah peserta didik sehingga
benar-benar meresapi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pelajaran
kemudian dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal yang mendukung pengembangan karakter peserta didik terkait wawasan
bahari tersedianya berbagai macam kegiatan ektrakurikuler diberbagai bidang.
Melalui bermacam-macam kegiatan ektrakurikuler yang diadakan di luar jam
pelajaran ini maka peserta didik dapat menyalurkan bakat dan minat, disamping
itu dapat juga bersosialisasi dengan baik. Kemudian poster-poster menarik buatan
pesrta didik yang bermuatan nilai-nilai dan ditempelkan di setiap tembok kelas
dengan jelas dapat dilihat oleh siswa sehingga diharapkan peserta didik selalu
diingatkan melalui poster dan papan motivasi. Selain itu bimbingan konseling
(BK) dan kesiswaan melalui program-programnya juga turut andil dalam
membina karakter peserta didik.
•••
290
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pelaksanaan pendidikan karakter wawasan bahari dalam pembelajaran
sejarah tidak serta merta berjalan lancar. Terdapat beberapa faktor yang
menghambat pengembangan karakter peserta didik ke arah yang lebih baik.
Adapun hambatan tersebut selain dari dalam diri siswa juga dari luar lingkungan
sekolah.
SIMPULAN
Pengembangan nilai-nilai karakter yang baik berkenaan dengan wawasan
bahari kepada peserta didik menjadi hal yang penting. Penyelenggaraan
pendidikan karkater menjadi keharusan karena pendidikan karakter tidak hanya
menjadikan peserta didik cerdas, tetapi juga mempunyai budi pekerti dan sopan
santun, sehingga keberadaanya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna
bagi dirinya maupun bagi orang lain karena manusia tidak hanya dituntut untuk
dapat menjadi pribadi mandiri namun juga pribadi yang berkonstribusi bagi
orang-orang disekitarnya. Materi pokok kedatangan bangsa barat dalam
pembelajaran sejarah sangat strategis untuk mengembangkan karakter yang baik
berkaitan dengan wawasan bahari karena wilayah Indonesia sangat luas dan
stategis sekali lautanya. Kurikulum 2013 berwawasan bahari perlu dilengkapkan
seperti contoh-contoh, fakta-fakta kejadian yang sifatnya daerah di Rembang.
Hasil penelitian mengenai internalisasi wawasan bahari dalam pembelajaran
sejarah SMK Pelayaran Rembang antara lain:(1) Pendidikan karakter melalui
pembelajaran sejarah di SMK Pelayaran Rembang berkaitan dengan wawasan
bahari sudah dilaksanakan yakni dengan menyampaikan nilai-nilai karakter yang
dapat diambil hikmahnya melalui pembelajaran sejarah. Proses pembelajaran
sejarah dikemas sedemikian rupa dari proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
dan refleksi dengan metode dan media yang disesuaikan dengan nilai yang
dikembangkan dalam diri siswa. Nilai-nilai karakter tersebut kemudian diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari yang bisa juga dilihat dalam berbagai kegiatan di
sekolah.(2) Nilai-nilai karakter berwawasan bahari yang dikembangkan dalam diri
siswa banyak sekali tapi dalam penelitian ini nilai-nilai karakter yang
dikembangkan disesuaikan dengan pembelajaran sejarah. Nilai-nilai karakter yang
dikembangkan melalui pembelajaran sejrah di SMK Pelayaran Rembang antara
lain adalah jujur, disiplin, percaya diri, tanggung jawab, berani, bekerjasama, dan
menghargai pendapat. Nilai-nilai tersebut ditanamkan dan dikembangkan dalam
diri siswa melalui proses pembelajaran sejarah dimana materi sejarah banyak
sekali memuat nilai-nilai yang dapat diambil maknanya.(3) Pelaksanaan
pendidikan karakter wawasan bahari di SMK Pelayaran Rembang didukung oleh
beberapa faktor diantaranya adanya sarana dan prasarana yang memadai, guru
sejarah yang selalu memotivasi peserta didik untuk mengembangkan karakter
yang baik khususnya wawasan bahari, berbagai macam kegiatan ektrakurikuler,
kemudian poster atau papan motivasi dan slogan bermuatan niali-nilai karakter.
Selain itu terdapat pula faktor-faktor yang menghambat perkembangan karakter
peserta didik yaitu minimnya materi yang didapat dan terkadang pelajaran sejarah
•••
291
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
terdapat pada akhir-akhir jam pulang sehingga pembelajaran tentang materi yang
masuk tidak maksimal karena kurang konsentrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anshory, Nasrudin, dkk. 2008. Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang
Terhapus. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Denzim, Norman dan Lincoln, Yvonna. 2009. Hand of Qualitative Research.
Terjemahan Dariyanto dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lapian, B Adrian. 2011. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut. Depok: Komunitas
Bambu.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter, Pengintegrasian 20 Nilai Pembentuk
Karakter dalam Mata Pelajran. Jogjakarta: Familia.
Sudrajat, Akhmad. 2010. Pengembangan Karakter.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/12/26/pengembangankarakter/
diunduh pada 28 januari 2015.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wahjono, Padmo. 1984. Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila. Jakarta: Aksara Baru Jakarta.
•••
292
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
293
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
NILAI-NILAI TOLERANSI DALAM BUKU TEKS
Shinta Murti Melida Yasi
Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret
Shintamelida@gmail.com
ABSTRAK
Toleransi merupakan salah satu unsur terpenting bagi terbentuknya Indonesia
dengan masyarakatnya yang begitu plural. Nilai-nilai toleransi dapat
dikembangakan melalui pembelajaran sejarah terutama sejarah Indonesia yang
memiliki fungsi utama sebagai pembentuk karakter kebangsaan. Pembelajaran
sejarah sendiri tidak dapat dilepaskan dari penggunaan buku teks. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukan
bahwa toleransi dalam buku teks sejarah direpresentasikan dalam berbagai tema
seperti keberagaman, perbedaan, integrasi, kesatuan dan sebagainya. Toleransi
perlu dipahami sebagai hasil maupun proses yang berkelanjutan.
Kata kunci: Toleransi, Buku Teks, Sejarah Indonesia
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara majemuk dengan berbagai keberagaman suku,
bahasa, adat kebiasaan, kebudayaan dan agama di dalamnya. Keberagaman
tersebut berpotensi menjadi suatu kekuatan yang dapat mempersatukan dan
memperkaya bangsa Indonesia. Tetapi disisi lain keberagaman tersebut juga
memiliki potensi konflik yang besar yang mengancam integrasi bangsa Indonesia
jika tidak dikelola dengan baik.
Salah satu syarat terwujudnya masyarakat yang multikultur adalah adanya
sikap toleransi yang diterapkan oleh setiap warganya. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia toleransi adalah sifat atau sikap toleran, yaitu bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras,
dan sebagainya) (W.J.S. Poerwadarminta, 2005: 1204). Toleransi juga dapat
diartikan sebagai peraturan atau sikap terhadap sesuatu yang belum diakui dan
juga tidak ditolak. John Christian Laursen dalam Talib (2012: 50). Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan sikap menghargai,
membiarkan dann menghormati segala bentuk perbedaan baik dalam bentuk
keyakinan, pemikiran, budaya, kepercayaan dan sebagainya. Toleransi berarti
tidak mengganggu apa yang diyakini dan di junjung tinggi oleh orang lain.
Bentuk toleransi yang harus ditegakkan yaitu: toleransi agama dan
toleransi sosial. Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut tentang
keyakinan. Berkaitan tentang sikap lapang dada untuk memberi kesempatan
pemeluk agama lain untuk beribadah menurut ketentuan agama yang diyakininya.
Sedangkan, toleransi sosial berorientasi terhadap toleransi kemasyarakatan. Dalam
masyarakat terdapat berbagai macam perbedaan seperti perbedaan etnis, budaya,
•••
294
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
cara hidup, dan pemikiran
yang beragam. Untuk itu dianjurkan untuk
menegakkan kedamaian dan melakukan kerjasama dengan orang-orang yang
memiliki berbagai macam perbedaan dalam batas-batas yang telah ditentukan
(Lely Nisvilyah, 2013 :384).
Berbagai konflik yang terjadi belakangan ini diantaranya banyak yang
disebabkan karena rendahnya toleransi antar sesama warga Indonesia. Kasuskasus seperti yang terjadi menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta
menunjukan adanya sikap intoleransi yang mengancam kesatuan Indonesia.
Berbagai kasus lainpun seakan menunjukan adanya krisis toleransi dalam
masyarakat. Segala bentuk perbedaan seringkali dianggap sebagi musuh yang
mengancam dan harus di hancurkan. Hal ini jika terus dibiarkan akan dapat
merusak keutuhan bangsa Indonesia.
Untuk mencegah dan mengatasi munculnya masalah-masalah yang
berkaitan dengan perbesaan maka diperlukan kesadaran dari masing-masing
warga negara untuk menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Sikap toleran dalam
implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi juga harus dilakukan terhadap
aspek yang luas, termasuk aspek ideologi dan politik yang berbeda (Naim, 2013:
32). Sikap toleran sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa. Apalagi
Indonesia merupakan negara dengan pluralitas yang tinggi. Maka semboyan
Bhineka Tunggal Ika yang mempertegas bahwa keragaman suku, budaya, dan
agama harus dihayati agar tercipta kehidupan berbangsa yang damai.
Dibutuhkan upaya strategis untuk membangun sikap toleran terhadap
setiap perbedaan. Dan pendidikan merupakan wadah yang paling tepat dalam
menumbuhkan sikap toleransi terutama bagi generasi muda yang akan menjadi
penerus bangsa. Pendidikan, selain berperan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa juga memiliki peran penting untuk membentuk karater bangsa. dapat
dikatakan bahwa masa depan bangsa tergantung pada generasi muda dan kualitas
pendidikannya.
Dalam kerangkan inilah pelajaran Sejarah terutama Sejarah Indonesia
seharusnya dapat dijadikan sarana penanaman nilai-nilai toleransi. Sejarah
mencatat bahwa bangsa ini dibangun diatas berbagai macam perbedaan di
dalamnya. Namun, para founding fathers bangsa ini mampu menjunjung tinggi
toleransi sehingga dapat menyatukan bangsa dibawah naungan NKRI.
Buku teks merupakan salah satu sarana penunjang proses pembelajaran
yang sampai saat ini masih memegang peranan penting. Meskipun teknologi
informasi telah berkembang dengan begitu pesat, namun buku teks masih menjadi
kebutuhan primer bagi guru maupun peserta didik. Buku teks masih dijadikan
sebagai sumber utama dalam belajar.
Dalam pemanfaatannya Buku teks banyak memberikan bantuan bagi guru
maupun bagi siswa. Bagi para guru untuk merencakan kegiatan belajar mengajar
yang akan dilakukan. Selain itu buku teks juga sebagai referensi bagi guru saat
melakukan pengajaran di kelas. Sedangkan bagi siswa, buku teks memberikan
pengarahan tentang materi yang apa yang akan dipelajari sehingga siswa dapat
•••
295
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
belajar secara mandiri di luar jam pelajaran. Secara keseluruhan, buku teks juga
berfungsi sebagai patokan standarisasi materi pembelajaran. Buku teks membatu
menerjemahkan silabus yang telah disusun dan memberikan patokan-patokan
yang jelas mengenai materi yang akan di ajarkan oleh guru.
Buku teks memegang peranan yang sangat penting terutama dalam
pelajaran sejarah. Menurut Helius Sjamsuddin (2000:103) buku teks memiliki
kedudukan, fungsi dan peranan yang strategis karena menyangkut aspek-aspek
kognitif dan afektif peseta didik dalam setiap jenjang pendidikan. Akan tetapi,
dari keseluruhan buku teks sejarah yang telah diterbitkan terutama oleh
Kemendikbud sudahkah termuat penguatan nilai-nilai toleransi? Ataukan hanya
semata-mata berisi cerita-cerita dan teori-teori?
Sangat penting untuk mengetahui bagaimana muatan tolerasi yang
terkandung dalam buku teks sejarah terutama Sejarah Indonesia. Sejarah
indonesia berfungsi sebagai pembentuk jati diri ke-Indonesiaan. Maka nilai-nilai
toleransi juga sangat perlu untuk ditanamkan melalui pelajaran sejarah Indonesia.
Karena tanpa adanya toleransi, tidak akan tercipta Indonesia dengan
masyarakatnya yang sangat plural. Segala bentuk perbedaan yang ada di dalam
masyarakat Indonesia hanya dapat disatukan dengan toleransi.
Pembelajaran sejarah Indonesia dirancang untuk menumbuhkan kesadaran
dan mengembangkan nasionalisme bagi peserta didik. Mata pelajaran Sejarah
Indonesia merupakan kajian dari berbagai peristiwa sejarah di Indonesia yang
ditujukan untuk membangun memori kolektif sebagai bangsa agar mengenal jati
diri bangsanya dan menjadikannya sebagai landasan dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kini dan masa yang akan datang
(Kemendikbud, 2016: 2).
Pada abad ke-21 ini, Indonesia menghadapi berbagai tantangan baik dari
dalam maupun dari luar. Dari dalam, berbagai konflik yang menyangkut masalah
Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan banyak bermunculan. Krisis kepercayaan
terhadap aparatur dan institusi negara akibat korupsi yang merajalela dan masih
banyak lagi permasalahan yang berpontensi menimbulkan perpecahan. Sedangkan
dari luar, Indonesia telah mendapat pengaruh barbagai budaya asing yang dapat
masuk secara bebas sebagai konsekuensi dari globalisasi. Liberalisme,
materialisme, sekulerisme, hedonisme, dan konsumersme mempengaruhi pola
pikir dan perilaku masyarakat. Sayangnya masyarakat kita enggan belajar dari
sejarah mengenain bagaimana para pendiri bangsa yang telah melewati proses
yang panjang untuk dapat mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Kemendikbud, 2016: 2). Persoalan mengenai toleransi semakin kompleks karena
toleransi juga mencakup beberapa tataran, yaitu sebagai warga negara bangsa
(walau batas-batas teritorialnya semakin kabur), sebagai anggota kelompok
primordial (yang ikatannya semakin hilang), maupun sebagai pribadi yang
majemuk, fragmentaris, tidak pernah utuh dan tunggal (Trisno Sutanto, 2007:
352). Untuk itu penguatan nilai-nilai kebangsaan dipandang perlu untuk
ditingkatkan kembali melalui pelajaran sejarah terutama sejarah Indonesia.
•••
296
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Indonesia terbentuk dengan berbagai perbedaan di dalamnya.
Keberagaman etnis, suku, budaya, bahasa dan agama mewarnai kehidupan
masyarakat Indonesia. dan dengan toleransilah segala bentuk perbedaan tersebut
dapat dipersatukan. Dalam sejarah telah dijelaskan bahwa negara ini terbentuk
setelah melawati proses panjang untuk dapat mempersatukan perbedaan yang ada.
Salah satunya dapat terlihat dari peristiwa sumpah pemuda. Para pemuda
Indonesia pada saat itu berhasil mengesampingkan berbagai perbedaan untuk
dapat mewujudkan persatuan atas dasar perasaan senasib sepenanggungan.
Disinilah peran pelajaran sejarah Indonesia yang dianggap sebagai
pembangun nilai-nilai kebangsaan seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai
toleransi kepada generasi muda. Melalui masa lalu bangsa Indonesia yang
dibentuk diatas berbagai macam perbedaan. Maka seharusnya sejarah mampu
membetuk generasi muda yang tidak lagi memandang perbedaan sebagai
ancaman, tetapi sebagai potensi yang dapat memperkaya bangsa Indonesia.
B. METODE PENELITIAN
Sesuai dengan judul yang diangkat, penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan
kualitas atau keistimewaan dari pengeruh sosial yang tidak dapat dijelaskan,
diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif (Saryono, 2010: 1).
Menurut Sugiyono, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara
purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2011:15).
Dalam penelitian ini peneliti akan melaporkan hasil penelitian tentang
kandungan nilai-nilai toleransi dalam buku teks sejarah wajib SMA kurikulum
2013. Terdapat enam jilid buku dalam rangkaian buku teks sejarah wajib SMA ini
yang terdiri dari dua jilid untuk kelas X, dua jilid untuk kelas XI dan dua Jilid
untuk kelas XII. Maka dalam penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa
tahapan, yaitu: pengumpulan data, informasi atau keterangan mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan nilai-nilai toleransi dalam buku teks sejarah wajib
SMA.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi
dokumentasi dan wawancara. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik
pengumpulan dokumen data atau disebut dengan studi dokumentasi. Menurut
Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasati, notulen, Legger,
agenda dan sebagainya (Arikunto, 2006: 236). Dokumen disini berupa Buku siswa
Sejarah Indonesia SMA kelas X, XI dan XII kurikulum 2013 yang diterbitkan
oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.
•••
297
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti
ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang
lebih mendalamdalam jumlah reponden yang sedikit/kecil. Dalam penelitian ini
akan menggunakan teknik wawancar mendalam. Wawancara akan bersifat terbuka
dan fleksibel
Validitas data menggunakan triangualasi data, sedangkan analisis data
menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data,
penyajian data, dan penarikan simpulan/ verifikasi yang berinteraksi dengan
pengumpulan data secara siklus.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti yang telah dijelaskan diatas, buku teks masih memegang peranan
penting dalam proses pembelajaran meskipun saat ini telah banyak media dan
sumber yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Buku teks memiliki ciri-ciri
antara lain sebagai sumber belajar, menjadi referensi baku untuk mata pelajaran
tertentu, disususn secara sistematis dan sederhana, serta disertai petunjuk
pembelajaran (Akbar, 2013: 33). Selain sebagai sumber belajar, buku teks juga
berfungsi sebagai media pembelajaran. Selain memuat materi, buku teks
dilengkapi berbagai macam instrumen dari peta konsep, gambar-gambar sampai
alat evaluasi yang dapat membatu guru dalam meyampaikan pelajaran dan juga
membantu siswa untuk belajar secara mandiri.
Pelajaran sejarah Indonesia sangat erat kaitannya dengan upaya untuk
menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan. Dalam pelajaran
sejarah Indonesia, termuat berbagai macam informasi tentang masa lalu bangsa
Indonesia beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sejarah panjang
bangsa Indonesia dari zaman pra aksara sampai dengan zaman kontemporer saling
terhubung satu sama lain dan tidak dapat berdiri sendiri. Maka diperlukan suatu
sarana yang mampu memuat berbagai informasi sejarah tersebut secara padat dan
berkesinambungan dan disesuaikan dengan kebutuhan pengajaran. Dalam hal ini
buku teks memiliki kesesuian dengan kebutuhan tersebut.
Dalam pendidikan dan pembelajaran sejarah, buku teks dapat berfungsi
sebagai sumber dan media belajar yang dapat membangun visualisasi, interpretasi,
dan generalisasi siswa terhadap peristiwa dan faktafakta sejarah. Dengan
demikian, pembelajaran sejarah dapat menjadi bermakna karena siswa mampu
mengambil makna dari peristiwa yang terjadi pada masa lampau (Darwati, 2011:
76). Sesuai dengan fungsi pelajaran sejarah Indonesia sebagai pembentuk karakter
kebangsaan, di dalam buku teks sejarah Indonesia seharusnya termuat Instrumeninstrumen yang berkaitan dengan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Dalam hal ini
penulis akan memfukoskan pada kandungan toleransi di dalam buku teks sejarah
Indonesia.
Toleransi dalam buku teks Sejarah banyak direpresentasikan dalam tematema seperti akulturasi, keberagaman, persatuan dan nasionalisme. Tema-tema
akulturasi dan keberagaman banyak di jelaskan pada dua Jilid pertama buku teks
•••
298
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Sejarah Indonesia yaitu buku teks untuk kelas X semester gasal dan semester
genap. Buku kelas XI semester gasal dan semester genap banyak menuangkan
nilai-nilai toleransi dalam tema keberagaman dan nasionalisme.
Tema akulturasi banyak dimuat pada materi sejarah masuk dan
berkembangnya agama dan kebuyaan Hindu-buddha hingga Islam ke Nusantara.
Nusantara memperoleh pengaruh budaya Hindu-Buddha dan Islam melalui jalur
pelayaran dan perdagangan. Pelayaran dan perdagangan masa kuno ini merupakan
bentuk awal dari globalisasi. Menurut Chaubet, dalam hal ini globalisasi
merupakan hubungan dan sirkulasi antara sejumlah wilayah geografis yang sangat
kuno dan silih berganti. Pada masa ini pertukaran budaya dan peminjaman budaya
menjadi umum (Utami, 2016: 111). Para pedagang baik lokal maupun asing
menjadi agen penting dalam pertukaran dan peminjaman budaya.
Buku Teks Kelas X baik semester gasal maupun genap banyak
menjelaskan letak geografis kepulauan Nusantara yang strategis diantara jalur
perdagangan Internasional. Hal ini menjadikan kepulauan Nusantara banyak
dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing terutama dari China dan India. Para
pedagang asing ini membawa serta kebudayaan mereka ke nusantara diantara
interaksi perdagangan yang mereka lakukan.
Buku teks menggambarkan penduduk nusantara sebagai masyarakat yang
terbuka namun tidak begitu saja menerima pengaruh asing tersebut. Masyarakat
Nusantara memiliki kemampuan yang disebut sebagai Local Genius untuk
mengolah budaya asing yang masuk. Hal ini mengakibatkan terjadinya akulturasi
maupun sinkretisme antara kebudayaan lokal dengan budaya asing yang masuk ke
nusantara. Bentuk dari Local Genius ini ditunjukan buku teks salah satunya dalam
bangunan Candi Borobudur yang memiliki stupa dan relief Buddha sebagai
pengaruh budaya India dan memilik bentuk dasar punden berundak yang
merupakan tradisi masyarakat lokan dari zaman megalithikum.
Contoh diatas menunjukan bahwa dalam kehidupan masyarakat Nusantara
pada masa lampau telah tertanam nilai-nilai toleransi. Sebab Akulturasi
kebudayaan hanya akan terjadi dalam masyarakat yang toleran. Masyarakat
Nusantara pada masa lampau digambarkan dalam buku teks telah mampu
menerima sesuatu yang berbeda dengan yang ada pada diri dan kelompoknya.
Toleransi merupakan pemberian tempat yang luas bagi keberagaman dan
perbedaan yang ada pada individu atau kelompok. Toleransi adalah
penghormatan, penerimaan dan penghargaan tentang keragaman yang kaya akan
kebudayaan dunia, bentuk ekspresi dan tata cara sebagai manusia. Hal itu
dipelihara oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi dan kebebasan pemikiran,
kata hati dan kepercayaan. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan (Unesco
Apnieve, 2005: 54). Toleransi menjadikan setiap individu mampu menghargai dan
menerima segala bentuk perbedaan yang diterapkan kelompok lain.
Dalam materi masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam
yang dijabarkan dalam buku teks, masyarakat Nusantara yang telah lama hidup
dengan pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha masih dapat menerima
kebudayaan yang berbeda yaitu Islam. Ketika Islam telah berkembang pesatpun
•••
299
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
kebudayaan Hindu-Buddha tidak disingkirkan begitu saja. Masyarakat Nusantara
yang telah memeluk Islam masih menghargai kebudayaan dan kepercayaan
terdahulunya dan mengakomodasikannya dalam dakwah. Proses penyebaran
Islam yang digabungkan dengan tradisi pra-Islam seperti pada acara kenduri
menunjukan adanya penghargaan terhadap budaya sebelumnya. Bentuk lain
penghargaan masyarakai Islam terhadap tradisi pra-Islam juga digambarkan pada
arsitektur Masjid-masjid kuno yang atapnya bebentuk Meru.
Dalam dua jilid buku teks Sejarah Indonesia untuk kelas XI lebih
menekankan pada konsep persatuan dan Nasionalisme. Tema dapat dilihat salah
satunya dalam materi sumpah pemuda. Buku teks menjelaskan bahwa penjajahan
yang dilakukan oleh bangsa barat telah memberikan penderitaan yang besar bagi
warga Indonesia. Kemudian pendidikan barat yang diterima masyarakat Indonesia
ternyata mampu menumbuhkan perasaan senasib dan sepenanggungan di antara
penduduk di berbagai wilayah di Indonesia. Perjuangan yang sebelumya bersifata
kedaerahan kemudian dirubah menjadi gerakan nasional. Keinginan para pemuda
untuk bersatu melahirkan peristiwa sumpah pemuda yang menyatukan pemuda
dari berbagai wilayah di Indonesia. Dalam peristiwa ini digambarkan bahwa
pemuda Indonesia telah mampu menerima dan menghargai berbagai bentuk
perbedaann yang ada demi mewujudkan persatuan dan kesatuan. Dalam materi
pergerakan nasional sampai pada upaya mempertahankan Kemerdekaan
dijelaskan bahwa para toko dari berbagai latar belakang suku dan agama saling
bekerja sama bahu membahu demi memperjuangkan dan menjaga kemerdekaan
Indoneia.
Buku teks sejarah Indonesia juga menekankan nilai toleransi dalam materi
perumusan konsep Pancasila. Sila pertama dasar negara yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kemudian atas prakarsa
dari Moh. Hatta kalimat tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Rumusan tersebut telah dikonsultasikan Moh. Hatta kepada para pemuka Islam
seperti, Ki Bagoes Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan
Tengku Moh. Hasan. Pertimbangan tersebut diambil karena dasar negara yang
hanya menyangkut identitas sebagian dari rakyat Indonesia sekalipun merupakan
bagian yang terbesar dianggap tidak tepat. Hal ini juga menunjukan adanya
pengakuan dan penghargaan terhadap komunitas lain yang berbeda.
Selain dari isi materi, buku teks Sejarah Indonesia ini sebenarnya sudah
memuat instrumen-instrumen yang secara tidak langsung mengarah pada
penanaman toleransi. Setiap cerita sejarah disispi dengan instrumen yang
merangsang siswa untuk berpikir kritis. Dengan bimbingan dari guru, instrumen
tersebut akan merangsang siswa untuk dapat mengemukakan pendapatnya.
Dengan berbagai pendapat yang muncul dari setiap siswa, siswa akan belajar
untuk menghargai seriap perbedaan pendapat yang ada.
D. KESIMPULAN
•••
300
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Toleransi menjadi kebutuhan mendesak bagi Indonesai sebagai negara majemuk.
Toleransi ini dapat kembangkan salah satunya melalui pelajaran sejarah
Indonesia. Pembelajaran sejarah tidak dapat dilepaskan dari penggunaan buku
teks sehingga penting untuk mengetahui kandungan nilai toleransi dalam buku
teks sejarah Indonesia. Dalam buku teks sejarah Indonesia nilai-nilai toleransi
banyak direpresentasikan dalam tema-tema akutlurasi, persatuan, nasionalisme
dan sebagianya. Toleransi telah tertanam dan diterapkan oleh nenek moyang
bangsa Indonesia yang terbuka terhadap kebudayaan asing yang masuk.
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tidak terlepas dari adanya
sikap menerima dan menghargai berbagi perbedaan yang ada dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang plural. Selain dari sisi materi, Buku teks sejarah
Indonesia ini secara keseluruhan sudah menampilkan intrusmen pengembangan
nilai toleransi.
•••
301
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Sa’dun. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2013.
Anonim. Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah
Aliyah/Madrasah
Aliyah
Kejuruan
(Sma/Smk/Ma/Mak). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
2016.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta. 2006.
Darwati. “Pemanfaatan Buku Teks Oleh Guru Dalam Pembelajaran Sejarah: Studi
Kasus Di Sma Negeri Kabupaten Semarang”. Paramita Vol. 21 No. 1.
(Januari 2011): 75-89
Naim, Ngainun. “Membangun Toleransi dalam Masyarakat Majemuk Telaah
Pemikiran Nurcholis Madjid”. Dalam Jurnal Multikultural & Multireligius
Vol 12 edisi Mei-Agustus 2013.
Nisvilyah, Lely. “Toleransi Antarumat Beragama Dalam Memperkokoh Persatuan
Dan Kesatuan Bangsa (Studi Kasus Umat Islam Dan Kristen Dusun
Segaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto)” dalam Kajian Moral
dan Kewargenegaraan Nomor 1 Volume 2 Tahun 2013
Saryono. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Alfabeta. 2010
Sjamsuddin, Helius. “Penulisan Buku Teks Sejarah: Kriteria dan
Permasalahannya”, Historia, No. I. Vol. I, tahun 2000. Bandung: Jurusan
Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. 2000
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta . 2010
Sutanto, Trisno. “Melampaui Toleransi?: Merenung Bersama Walzer”. Dalam
Demi Toleransi Demi pluralisme; Esai-esai untuk Merayakan 65 Tahun
M. Dawam Rajardjo. Jakarta: Paramadina. 2007.
Talib, A.T & Sarjit S. Gill. “Socio-Religious Tolerance: Exploring the Malaysian
Experience”. Global Journal of Human Social Science. Volume 12 Issue 8
Version 1.0 (May 2012): 49-54.
UNESCO-APNIEVE. 2000. Belajar Untuk Hidup Bersama dalam damai dan
Harmoni. Kantor Prinsipal Unesco untuk kawasan Asia Pasifik, bangkok
dan Universitas Pendidikan Indonesia.
Utami, Indah Wahyu Puji & Aditya Nugroho Widiadi. “Wacana Bhineka Tunggal
Ika dalam Buku Teks Sejarah”. Paramitha Vol. 26 No. 1. 2016: 106-117.
•••
302
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL : KONSTRUKSI SIKAP TOLERANSI
SISWA TERHADAP KEBERAGAMAN DI INDONESIA
Muhammad Sahal, Akhmad Arief Musadad, Muhammad Akhyar
Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Email: m.sahal83@gmail.com
ABSTRAK
Pendidikan multikultural merupakan suatu wacana lintas batas, karena terikat
dengan masalah-masalah keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia.
penelitian ini menggunakan metode kualitatif diskriptif yang memberikan
sumbagan ilmu terhadap siswa guna untuk konstruksi sikap seorang siswa dan
pola pikir dalam berinteraksi sosial yang mengedepankan sikap toleransi, dan
menghargai sesama. Indonesia merupakan negara multikultur terbesar di dunia,
yang sangat rentan terjadinya konflik antar perbedaan ras, suku, etnis, dan agama,
konflik yang timbul disebabkan oleh rendahnya sikap toleransi dalam
bermasyarakat. Oleh sebeb itu pendidikan multikultural sangat dibutuhkan dalam
pembelajaran di sekolah guna untuk memberikan wawasan terhadap siswa dalam
berinteraksi sosial.Untuk itu berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah guna
mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama, baik melalui pendidikan,
penyuluhan, maupun pembinaan dan berbagai cara lainnya, karena kerukunan
merupakan syarat mutlak bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan.
Pendidikan multikultural sangat mengedepankan sikap saling menghargai
keberagaman dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Sikap toleransi adalah
salahsatu sikap yang harus dimiliki oleh generasi penerus bangsa untuk
mengurangi terjadijanya gesekan antar pelajar dan masyarakat luas yang
menimbulkan perpecahan guna untuk mempererat hubungan antar manusia.
Kata kunci : Pendidikan Multikultural, Toleransi, Keberagaman.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk sekitar 250 juta penduduk
yang beragam dan memiliki letak wilayah yang luas, sumber daya alam yang
melimpah hingga budaya dan adat istiadatnya. Dilihat dari penduduknya,
penduduk indonesia yang keempat terbesar di dunia, setelah cina, india, dan
amerika.
Masyarakat indonesia yang multikultur, multiras, dan multiagama memiliki
potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama, dan suku
bangsa. Indikasi kearah itu yang terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi
kemasyarakatan, profesi, dan organisasi lainnya. Selain itu, muncul juga berbagai
macam aliran keagamaan.
Sebahian dari kita mungkin menyaksikan bagaimana berbagai belahan bumi
terkoyak-koyak oleh konflik dengan kekerasan yang sara dengan sentimen latar
belakang agama dan etnis. Kita juga bertanya-tanya mengapa mengapa reformsi
•••
303
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
yang digulirkan sejak 1998 di negri kita malah diiringi oleh persetruan berdarah
sesama anak bangsa. Contohnya seperti konflik Poso yang dilatar belakangi oleh
agama, politik, dan ekonomi. Ambon juga dilatar belakangi oleh konflik agama
dan politik, munculnya konflik Kalimantan Barat disebabkan oleh perbadaan
suku, politik, dan ekonomi. Konflik poso berawal dari Ketegangan komunal
dengan dalih sentimen agama sesungguhnya kerap teradi di Poso, jauh sejak
konflik antar warga yang terjadi pada tahun 1998. Pada tahun 1995 seorang Imam
Masjid di Taripa pernah dipukul oleh anak muda (Kristen). Kejadian lainnya
ditahun 1992 sekelompok anak Muda Islam hampir saja menganiyaya Rusli
Labolo Monoarfa. Dia adalah seorang mahasiswa Sekolah Tiggi Theologia (STTGKST) Tentena yang sebelumnya penganut Islam. Dia beralih agam dari Isalam
ke Kristen karena masalah keyakinan dia. Peristiwa ini bermula dari beredarnya
lembaran foto copy karya ilmiah dia yang di anggap menghujat islam, seperti
diutarakan seorang responden, “waktu itu, foto copy skripsinya tertinggal di
sebuah toko di Poso. Dalam skripsi itu banyak hal yang menyinggung umat islam.
Ketegangan saat itu memang tidak sampai menimbulakan bentrokan antar
pemeluk beragama di Poso. Masyarakat akhinya bisa menahan diri, setelah
masyarakat melaporkan hal tersebuat kepada Kapolres Poso. Pemuda itu
kemudian diadili dan divonis emapat tahun penjara oleh hakin pengadilan Negeri
Poso, (Tamrin Amal Tomagola dkk, 2007:211-212).
Ramirez mengatakan “The construct of the multicultural personality was
established to better understand the traits that allow people to effectively function
in the multicultural setting. (Dani Cosme, Chrissy Pepino, Brandon Brown,
2010:1)”. Artinya adalah konstruk kepribadian multikultural didirikan untuk lebih
memahami sifat-sifat yang memungkinkan orang untuk secara efektif berfungsi
dalam pengaturan multikultural. Dapat pula diartikan bahwa kepribadian
multikultural sangat diperlukan dalam masyarakat multikultural, hal tersebut
bertujuan untuk memahami sifat-sifat orang lain sehingga dapat menyikapi
keadaan multikultural.
Dari per-spektif pembangunan demokrasi, kebebasan-kebebasan tersebut
bisa dilihat sebagai “kebaikan di dalam kebebasan itu sendiri” (good in
themselves). Tapi, memang kebe-basan juga menimbulkan persoalan. Pada zaman
dulu, yang bisa disebut sebagai zaman rahasia dan bisikan, pasti kita bisa
memikirkan bahwa orang-orang yang berbeda agama atau berbeda etnik, memiliki
pendapat dan kehidupan yang lain dengan diri kita. Tapi, tidak jelas apa saja atau
seberapa jauh perbedaan itu. Sekarang, semuanya bisa mengerti bahwa ada
banyak sekali perbedaan pendapat dan keyakinan di dalam masyarakat Indonesia.
Apalagi perbedaan pendapat bukan hanya dibandingkan oleh garisan etnik atau
agama. Memang, dilihat dari kebebasan cara berbicara dan media masa, banyak
perbedaan pendapat terlihat di dalam setiap kaum dalam masyarakt Indonesia
(Margaret Sutton, 2006: 54-55).
Sebagai contoh, lihatlah diskursus yang terjadi di masyarakat Indonesia
tentang pemakaian jilbab. Siapa saja yang memerlukan dan terbataskah
penggunaan itu? Di tempat mana dan sebagai apa saja? Memang harus diakui ada
•••
304
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
banyak perspektif terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kalau per-soalan
seperti itu dan persoalan mirip diputuskan secara „demokrasi liberal‟, demokrasi
murni, atau komuni-tarianisme, semuanya tergantung kepada keinginan
masyarakat Indonesia itu sendiri. Tetapi secara demokrasi sebagaimana yang
diikuti oleh masyarakat Indonesia, pasti akan terdapat peluang untuk mengemukakan banyak pikiran dan pendapat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam
perbedaan ini nilai toleransi menjadi paling penting. Demokrasi itu tidak bisa
jalan tanpa toleransi. Supaya masyarakat bisa memilih peraturan yang legitimis,
seharusnya seluruh anggota dapat kesempatan menjelaskan pendapatnya dan
kepri-hatinan masing-masing.
Konflik yang bernuansa agama tampaknya berkorelasi kuat dengan faktor
nonagama. Agama biasanya merupakan faktor pemicu kerusuhan yang di dahului
dengan konflik yang bernuansa ekonomi, seperti perebutan lahan parkir, rebutan
wilayah, dan faktor lainya yang lebih ekonomis daripada politis. Dengan kata lain,
konflik kecil sering terjadi menjadi masalah besar (Suryana, 2015:1).
Multikultural menurut Tilaar mengandung dua pengertian yang sangat
kompleks yaitu “multi” yang berarti majemuk kultural berisi pengertian kultur
atau budaya. Istilah majemuk memiliki arti yang berjenis-jenis tetapi juga
pengakuan tersebut mempunyai damapak politis, sosial, ekonomi. Oleh sebab itu
pluralisme ternyata berkenaan dengan hal hidup kelompok-kelompok masyarakat
yang ada dalam satu kelompok. Klompok tersebut memiliki budayanya masingmasing (Tilaar dan Rusdiana, 2004:82).
Sedangkan multikulturalisme Naim dan sauqi yaitu sebuh tentang kultur
yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman,
saling pengertian, toleransi, dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang
damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan (Naim dan Suqi,
2008:125).
Berdasarkan pembahasan diatas menggunakan penelitian kualitatif deskriptif
yang di kaitkan dengan pendidikan multikultural dan bertujuan untuk konstruksi
sikap toleransi siswa terhadap keberagaman di indonesia pembahasan diatas juga
dapat disimulkan bahwa sikap toleransi merupakan kunci terciptanya suasana
damai dan nyaman disetiap kehidupan umat manusia yang multikultural di dalam
alam semesta ini. Sebab toleransi sebagai suatu media yang dapat mempersatukan
setiap perbedaan yang memiliki oleh setiap kelompok manusia pada suatu tempat.
Dengan toleransi manusia akan sepenuhnya mendapatkan hak hidupnya serta
mampu mengekpresikan setiap ciri khas yang dimilikinya sejauh tidak
mengganggu ketenangan kelompok atau sesama manusia lainnya.
TOLERANSI DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata
“toleran” berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya,
(Poerwadarminto, 1986: 184).
•••
305
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi UNESCO dinyatakan bahwa
toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman
budaya dunia yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara menjadi
manusia. Toleransi adalah kerukunan dalam perbedaan.
Jadi dengan demikian ”tole-ransi” adalah kemampuan dan kemauan orang
itu sendiri dan masyarakat umum untuk berhati-hati terhadap hak-hak orang
golongan kecil/minoritas dimana mereka hidup dalam peraturan yang
dirumuskan oleh mayoritas- yang memang adalah arti dasar demokrasi itu.
Semoga pentingnya toleransi untuk melakukan pelatihan demo-krasi adalah
cukup jelas dari pembahasan terdahulu. Tanpa tole-ransi, masyarakat tidak bisa
berbicara luas dan secara bebas. Hal ini dapat membuat kemungkinan kesulitan
dalam praktik pelaksanaan demokrasi. Pelaksanaan praktik demokrasi tergantung
kemauan orang-orang untuk berbicara luas dan ikut serta berpartisipasi yang
disebut oleh seorang filsafat Amy Gutman sebagai “deliberative democracy”.
Maksud konsep itu adalah bahwa pilihan apa saja yang dibuat masyarakat dalam
demokrasi haruslah berdasarkan pembicaraan yang luas tentang etika yang berasal
dari pendapat mereka dan memper-timbangkan juga akibat-akibat yang mungkin
ditimbulkan dari pilihan yang dibuat itu. Jadi, seharusnya pembicaraan tersebut
dapat mema-sukkan pendapat seluruh kelompok yang ada dalam masyarakat ini,
walaupun terdapat perbedaan agama, gender, ideologi, etnik, umur, dan lain-lain
(Margaret Sutton,2006:55-56).
Adapun sikap toleransi menurut Sullivan, Pierson dan Marcus sebagaimana
dikutip Saiful Mujani, menjelaskan toleransi didevinisikan sebagai a willingness
to put up with those things one rejects or opposes, yakni “kesediaan untuk
menghargai, menerima atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau
ditentang oleh seseorang” (Saiful Mujani, 2007: 162).
Gintha Nursavitri mengambil pendapat Michael Walzer dalam Zuhairi
Misrawi, (2010: 10), memandang toleransi sebagai “Keniscayaan dalam ruang
individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun
hidup damai (peaceful coexsistance) di antara berbagai kelompok masyarakat dari
berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas”. Dalam
pendapat tersebut dikemukakan tujuan toleransi, yaitu membangun hidup yang
damai di masyarakat walaupun terdapat berbagai perbedaan dalam masyarakat
tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan salah satu faktor
penting dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa sikap toleransi merupakan suatu sikap yang saling
menghargai, menghormati, dan tidak membeda-bedakan antara orang satu dengan
orang yang lain.
Sikap toleransi memiliki peran penting dalam setiap kehidupan dalam
masayarakat majemuk, sikap toleransi banyak memberikan keseimbangan sosial
dalam berinteraksi dalam hidup bermasyarakat. Sikap toleransi juga dapat
mengurangi terjadinya konflik dalam masyarakat, karena sikap toleransi memiliki
banyak nilai-nilai yang perlu di terapkan dalam kehidupan yang majemuk dalam
masyarakat agar masyarakat lebih mengedepankan sikap toleransi, saling
•••
306
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
menghargai, saling menghormati dibandingkan mengedepankan sikap anarkis dan
main hakim sendiri.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa
pendidikan adalah sebuah proses yang di sengaja dipikirkan secara matang (proses
kerja intelektual). Oleh karena itu, disetiap level mana pun, kegiatan pendidikan
harus secara sadar direncanakan, mulai dari tingkat nasional (makroskopik),
regional/provinsi dan kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah
(mikroskopik), maupun secara operasional (proses pembelajaran oleh guru).
(Suryana & rusdiana, 2015:78).
Adapun pendapat lain menyatakan pendidikan ialah suatu bimbingan yang
diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai
tujuan, yaitu kedewasaan. Selain itu definisi pendidikan dikemukakan oleh Ki
Hajar Dewantara dalam kongres taman siswa yang pertama pada 1930 ia
menyebutkan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti yang (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan
tubuh anak.dalam taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu
agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya, (Choirul Mahfud, 2011:3133).
Menurut Mahfud (2011:75), mutikultural adalah kebudayaan. Secara
etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya),
dan isme (aliran/paham). secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan
akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan
masing-masing yang unik.
Menurut Tilaar (2004:83), pengertian tradisional multikulturalisme yang di
sebut juga gelombang pertama aliran multikulturalisme, mempunyai dua ciri
utama, yaitu: 1) Kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition), 2)
Legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya.
Pendidikan multikultural yang muncul pada hari ini adalah sebagai sebuah
persamaan persepsi dari perbedaan pandangan terhadap kultur yang dimiliki oleh
setiap warga masyarakat. Sehingga dapat menghilangkan dan merubah stigma
rasisme atau etnosentrisme menjadi suatu kesatuan integrasi dari satu kesatuan
integrasi dari seluruh lapisan masyarakat indonesia. Pendidikan multikultural
memiliki posisi yang strategis dalam penenaman nilai-nilai nasionalisme terhadap
diri setiap anak bangsa sejak dini dibangku pendidikan agar mampu bersikap
toleran terhadap setiap anak bangsa.
Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang
peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran
kepercayaan) dan budaya (kultur) (Mashadi Imron, 2009: 48).
Pendidikan Multikultural adalah pola pendidikan yang berbasiskan pada
tumbuhnya sikap tenggang rasa akan kemajemukan budaya dan toleransi terhadap
perbedaan sehingga membentuk semangat inklusivitas sosial bagi sivitas
akademika. Model pendidikan seperti ini menjadi sangat urgen dan signifikan
•••
307
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dalam konteks Indonesia yang heterogen. Semangat multikulturalisme yang
mengakui adanya perbedaan dan menghormatinya sebagai keanekaragaman
penting untuk diterapkan sejak masa pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Hal tersebut mengingat dalam nuansa heterogenitas acap kali memunculkan
adanyapotensi gesekan dan konflik secara kompulsif. Kondisi tersebut sangat
rawan untuk memunculkan adanya kontestasi mayoritas melawan minoritas dalam
kerangka multikulturalisme. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila potensi
gesekan, konflik, hingga berujung pada segregasi dalam masyarakat selalu saja
ada, baik bersifat laten maupun manifest. Berkaitan dengan hal tersebut, urgensi
diaplikasikannya pendidikan multikultural adalah sebagai kunci untuk menekan
adanya konflik tersebut, Wasisto Raharjo Jati, (2004: 72-73).
Menurut Santrock mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadai perbedaan perspektif dari
berbagai kelompok kultural. Para pendukungnya pecaya bahawa anak-anak kulit
berwarna harus di berdayakan dan pendidikan multikultural harus akan memiliki
manfaat yang besar pada setiap murid. Tujuan penting penting dari pendidikan
multikultural adalah pemerataan bagi setiap murid (Santrock, 2010: 184).
Bank (1993:24) menjelaskan bahwa terdapat lima dimensi dalam pendidikan
multikultural sebagai berikut. Pertama, adanya integrasipendidikan dalam
kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam
satu kultur pendidikan yang bertujuan untuk menghapus prasangka. Kedua,
konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan dengan
mengetahui dan memahami secara komprehensif keragaman yang ada. Ketiga,
pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi
antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan
manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama
kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah
(empowering school culture), yaitu bahwa sekolahadalah elemen pengentas sosial
dari strukturmasyarakat yang timpang ke struktur masyarakatyang berkeadilan.
Pendidikan multikultural merupa-kan suatu wacana yang lintas batas, karena
terkait dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokrasi dan
hak asasi manusia. (H.A.R Tilaar, 2003:167) Azyumardi azra mende-finisikan
pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan demi secara keseluruhan.
Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan bahawa dalam pendidikan
multikultural setiap individu diberikan kesempatan dan kebebasan dalam
menentukan pilihan, dalam pendidikan multikultural memiliki peran penting
dalam pengaplikasian nilai-nilai sikap salaing menghargai dan toleransi dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Pendidikan multikultural tidak diajarkan sebagai satu mata pelajaran terpisah
di sekolah. Pada konteks pembelajaran disekolah, pendidikan multikultural dapat
diintegrasikan melalui materi pelajaran, strategi pembelajaran, metode
pembelajaran, bahan ajar, media pembelajaran, dan pembiasaan di sekolah.
•••
308
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pendidikan multikultural pada siswa dapat diintegrasikan melalui materi yang ada
pada setiap mata pelajaran dan tidak terfokus pada satu atau dua mata pelajaran
saja. Guru dapat memberikan contoh dan mengaitkan materi pada suatu mata
pelajaran dengan bentuk-bentuk keragaman pada siswa terutama siswa
berkebutuhan khusus. Misalnya, perbedaan dalam hal kemampuan akademik
maupun fisik.
Integrasi materi tersebut tentunya tidak terlepas dari konsep dari materi yang
diajarkan. Integrasi pendidikan multikultural melalui strategi dan metode
pembelajaran dapat dilakukan salah satunya dengan diskusi dengan kelompok
yang terdiri dari beberapa siswa yang diantaranya merupakan siswa berkebutuhan
khusus. Integrasi pendidikan multikultural melalui bahan ajar dan media pada
siawa dapat dilakukan melalui variasi bahan ajar dan media yang digunakan serta
dapat mendukung siswa berkebutuhan khusus ketika belajar. Cara tersebut dapat
membangun sikap toleran dan menghargai antar siswa terutama kepada siswa
berkebutuhan khusus.
Pembiasaan di sekolah juga dapat menajadi salah satu cara dalam
mengintegrasikan pendidikan multikultural di sekolah. Pembiasaan tersebut dapat
dilakukan misalnya siswa normal dibiasakan untuk berkawan, berkomunikasi, dan
membantu siswa-siswa berkebutuhan khusus sehingga terwujud sikap menerima
perbedaan di antara mereka.
KONSTRUKSI SIKAP TOLERANSI DI SEKOLAH
Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks.
Pemebelajaran diartikan sebagai interaksi antara pengembangan dan pengalaman
hidup. Pembelajaran adalah usaha sadar dari sorang pendidik untuk
membelajarakan peserta didiknya mengarahkan interaksi peserta didik dengan
sumber belajar lainnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Trianto 2011:17).
Pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme menurut santrock (2008) adalah
pembelajaran yang menekankan bahwa individu belajar secara aktif
menkonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Pembelajaran adalah suatu
serangkaian usaha yang memiliki tujuan untuk membelajarkan peserta didik.
Pembelajaran adalah membelajarakan peserta didik dalam menggunakan
asas atau pendidikan maupun teori belajar dimana kedua hal tersebut merupakan
penentu utama keberhasilan pendidikan dalam pendidikan. Pembelajaran
merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar yang di lakukan oleh guru
sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid
(Sagala, 2008:26).
Tujuan pembelajaran menurut kurikulum 2013 adalah adalah
mempersiapkan manusia indonesia agar memiliki kemampuan hidup dan seagai
pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inofatif, dan afektif
serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara,
dan peradaban dunia.
Seiring berjalannya waktu kurikulum semakin berkembang dari tahun
ketahun, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kurikulum yang diterapkan
•••
309
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
sudah mengalami beberapa pergantian yang di kelompokkan berdasarkan tiga
kelompok kurikulum, yakni rencana pelajaran, kurikulum berbasis tujuan dan
kurikulum berorientasi kompetensi.
Mentri pendidikan dan kebudayaan, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA mengatakan
bahwa kurikulum 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran
kompetensi berbasis sikap, keterampiln dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum
2013 yang paling mendasar ialah:
a. Menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu
pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah
mudah mencari informsi dan bebas melalui perkembangan teknologi dan
informasi.
b. Siswa lebih di dorong untuk memiliki tanggung jawab kepada lingkungan,
kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan
berpikir kritis.
c. Memiliki tujuan agar terbentuknya generasi produktif, kreatif, inofatif, dan
afektif.
d. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema
dalam berbagai mata pelajaran.
e. Matapelajaran IPA dan IPS diajarkan dalam mata pelajaran bahasa
indonesia.
Terdapat empat aspek yang menjadi fokus dalam rencana implementasi dan
keterlaksanaan kurikulum 2013.
a. Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar yang
menyangkut motodologi pelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji
kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46
b. Kompetensi akademik yang dimana guru harus menguasai metode
penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa.
c. Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asocial
kepada siswa dan kepada teman sejawat lainnya.
d. Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang
yang akan digugu dan ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan dan penerapan kurikulum
2013 ini. Kesiapan guru ini kan berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong
memiliki kemampuan lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, menalar,
dan mengomunikasiakan apayang telah mereka peroleh setelah mereka menerima
materi pelajaran (Kurniasih dkk, 2014:21-23).
Dalam pendidikan guru memiliki peran penting dalam mendidik dan
menyampaikan pembelajaran, guru juga di tuntut mampu memahami karakter
seorang siswa yang berbeda, contohnya seperti siswa yang memiliki kebutuhan
khusus, Siswa berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dengan siswa
normal terutama pada aspek pendidikan. IDEA (Individuals with Disabilities
Education Act) sebagai peraturan peruandangan federal pendidikan khusus
•••
310
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
memiliki enam prinsip pokok bagi pelayanan penididkan siswa disabilitas yang
meliputi:
a. Siswa disabilitas berkesempatan mengikuti sekolah negeri dan menerima
layananpendidikan yang dirancang khusus menangani kebutuhan khusus
yang dimiliki.
b. Siswa disabilitas harus diajar di tengah ranah pendidikan menyerupai
situasipendidikan siswa normal yang dilengkapi ketersediaan bantuan
yang sesuai danmemadai. Artinya, diharapkan siswa disabilitas tidak
diikutkan ke dalam kelas atausekolah terpisah yang membuat mereka
minim akses terhadap teman sebaya.
c. Layanan pengajaran dan pendampingan siswa disabilitas harus dirancang
sehinggadapat memenuhi kebutuhan mereka.
d. Siswa harus dinilai dengan alat ukur yang sama tanpa membeda-bedakan
suku, etnis,ras, budaya ataupun disabilitas.
e. Apabila terjadi perselisihan terkait kelayakan siswa atas pendidikan
khusus,penempatan dan pelayanan pendidikan yang diterima, maka harus
diselesaikan melaluiprosedur formal maupun informal dan tidak diizinkan
merubah apapun sebelumperselisihan diselesaikan.
f. Tidak boleh ada siswa yang dikecualikan dari pendidikan negeri atas
landasanpenyandang disabilitas (Aron & Loprest dalam Friend dan
Bursuck, 2015: 9-11).
Anak berkebutuhan khusus berhak memperoleh pendidikan di sekolah umum
dan belajar bersama anak-anak normal lain. anak berkebutuhan khusus
memperoleh fasilitas dan bantuan khusus di sekolah umum. Tujuannya agar siswa
berkebutuhan khusus mampu belajar dan bersosialisasi dengan anak normal
meskipun dengan beberapa alat bantu sesuai kebutuhannya. Anak berkebutuhan
khusus memperoleh pembelajaran yang sama dengan anak normal lain. Perbedaan
terletak pada tingkat kecakapan dan kemampuan yang harus dicapai anak
berkebutuhan khusus, yaitu lebih rendah dibandingkan anak normal sesuai dengan
kemampuan maksimal yang dapat dicapai anak berkebutuhan khusus tersebut.
Toleransi bersumber dari niat dan semangat menghargai dan menghormati
sesama dengan keyakinan bahwa semua manusia pada hakikatnya sama dan
setara. Toleransi berarti kesediaan memberikan ruang dan kesempatan kepada
orang lain untuk menjalankan sesuatu yang menjadi keyakinan dan pendapatnya
(Rusyan, 2013: 161). Dalam ruang lingkup pendidikan merupakan salah satu
lingkungan yang heterogen. dari berbagai latar belakang siswa diajak belajar
bersama. Toleransi memiliki peran untuk menciptakan sikap saling mneghormati
dan menghargai di tengah perbedaan antar siswa tersebut.
KESIMPULAN
Konstruksi sikap toleransi sangat penting ditanamkan di sekolah. Generasi
bangsa perlu diberikan pendidikan mengenai keberagaman salaing menghargai
dan tolong menolong dan membangun sikap toleransi untuk masadepan bangsa
yang damai. Dalam ruang lingkup Sekolah memiliki keberagaman dengan
•••
311
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
menempatkan dalam satu lingkungan siswa berkebutuhan khusus dengan siswa
normal. Kondisi tersebut menjadikan toleransi penting di tanamkan di sekolah
dasar inklusi untuk menciptakan sikap saling mneghormati dan menghargai
perbedaan antar siswa. Salah satu alternatif untuk menjembatani permasalahan
tersebut adalah melalui pembelajaran berbasis multikultural.
Pendidikan multikultural sesuai untuk diimplementasikan dalam lingkungan
sekolah. Pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk membangun sikap
toleransi, peduli lingkungan, saling menghormati perbedaan baik perbedaan
agama, etnis, suku, ras, bahasa, tolong menolong satu sama lain saling
menghormati dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan, maupun
kemampuan serta toleran terhadap siswa lain.
•••
312
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa
Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Yaya Suryana. (2015). Pendidikan multikultural. Bandung: CV PUSTAKA
SETIA.
Naim, Ngainun & sauqi, Ahmad. (2008). Pendidikan Multikultural: Konsep dan
Aplikasi. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA GROUP.
W. J. S. Poerwadarminto, (1986). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2007.
Santrock, Jhon W. (2010) Educational Psychology 2en Edition, Teori-teori
pembelajaran: perspektif pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Choirul Mahfud, (2011) Pendidikan multikultural. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Suryana & Rusdiana. 2015. Pendidikan Multikultural. CV Pustaka Setia.
Tilaar H. A. R. (2004). Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa
Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Trianto, (2011) Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi
Pendidikan Dan Tenaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenanda Media
Group.
Sagala, Syaiful, (2008) Konsep Dan Makna Pembelajaran. Jakarta. Alfabeta
Bandung.
Imas Kurniasih S.Pd.I & Berlin Sani, (2014) Implementasi kurikulum 2013 konsep
& penerapan. Surabaya. Kata Pena.
Dani Cosme, Chrissy Pepino, Brandon Brown. 2010. E- Research A Journal of
Undegraduate Work vol.1 no.2
Margaret Sutton, DEMOKRASI Vol. V No. 1 Th. 2006
Zuhairi Misrawi. 2010. Pandangan Muslim Moderat : Toleransi, Terorisme, dan
Oase Perdamaian. Jakarta : Kompas.
Wasisto Raharjo Jati, Toleransi Beragama Dalam Pendidikan Multikulturalisme
Siswa Sma Katolik Sang Timur Yogyakarta Cakrawala Pendidikan,
Februari 2014, Th. Xxxiii, No. 1
Banks, James A. 1993. Teaching Strategies for Ethnic Studies. Boston: Allyn and
BaconInc.
Friend, Marilyn dan William D. Bursuck. (2015). Menuju Pendidikan Inklusi.
Terj. Annisa Nuriowandari. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusyan, H. A. Tabrani. (2013). Membangun Disiplin Karakter Anak Bangsa.
Jakarta: Pustaka Dinamika.
Tamrin Amal Tomagola, John Haba. dkk. (2007). REVITALISASI KEARIFAN
LOKAL Studi Resolusi Konflik Di Kalimantan Barat, Maluku, Dan Poso.
International center for islam and pluralism Jakarta:ICiP.
•••
313
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
MANAKALA “LOCAL HEROES” MASUK KELAS SEJARAH
Ganda Febri Kurniawan, Romadi, R. Suharso
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
gandafk4@gmail.com
ABSTRAK
Dialektika tentang pembelajaran sejarah di Abad 21 ini dibuka dengan iklim
akademik yang memicu inovasi dalam berbagai aspek pendidikan. Materi ajar
adalah satu diantaranya. Nitisemito, yang merupakan Raja Kretek dari Kota
Kudus adalah salah satu Pahlawan Lokal (Local Heroes) yang kisah hidupnya
berpotensi untuk membangkitkan gairah wirausaha dan kebangsaan bagi para
siswa. Menjadikannya materi ajar adalah sebuah langkah konkret untuk dapat
mentransmisikan nilai dan mentransformasikan kepribadian siswa ke arah yang
lebih baik. Penelitian ini dikaji menggunakan metode kualitatif dengan desain
studi kasus. Temuan di lapangan menunjukan, setelah Nitisemito masuk kelas
sejarah dengan diajarkan menggunakan model dialog interaktif, siswa lebih
antusias dalam mengikuti pembelajaran. Terbukti dari banyaknya siswa yang
menanyakan siapa sebenarnya Nitisemito dan bagaimana kisah hidupnya. Di balik
itu, untuk mencegah mitologisasi tokoh Nitisemito, pendidikan adalah jalan yang
tepat karena di dalamnya terdapat unsur saintifik dan rasionalitas. Penulis menilai
ketauladanan seorang Nitisemito yang ulet, kreatif, dan berkepribadian kuat
sebagai wirausahawan adalah bahan ajar sejarah yang memenuhi kriteria untuk
dibawa masuk ke dalam Kelas Sejarah. Selain itu siswa juga bisa memaknai apa
itu nasionalisme dan sikap kebangsaan dari sudut pandang yang lain, dari
Pahlawan Lokal Nitisemito.
Kata Kunci: Local Heroes, Nitisemito, Kelas Sejarah
Pendahuluan
Pembelajaran sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai suatu
petualangan bersama dari pengajar maupun yang diajar. Maka konsepsinya bukan
hafalan fakta, melainkan riset bersama antara guru dan siswa. (Soedjatmoko
dalam Depdikbud, 1989:11). Konsepsi tersebut sesuai dengan Permendiknas No.
22 Tahun 2006 yang bertujuan agar siswa mampu membangun daya kritis untuk
memahami fakta sejarah secara benar dengan dasar pendekatan ilmiah dan metode
yang benar, juga bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi dan penghargaan siswa
terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti masa lalu.
Sejarah lokal sebagai salah satu cabang dari ilmu sejarah kini tengah naik
daun. Dibuktikan dengan beberapa Jurusan Sejarah di beberapa Universitas di
Indonesia telah mengadakan seminar yang bertajuk sejarah lokal dalam tinjauan
pendidikan maupun keilmuan. Terbaru adalah seminar yang diselenggarakan oleh
•••
314
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Asosiasi Pendidik dan Peneliti Sejarah (APPS) pada 13-15 Juli 2017 di
Universitas Negeri Medan. Tema yang diangkat cukup faktual yaitu Pendidikan
Sejarah dalam Pembentukan Karakter Bangsa di Masa Depan. Faktualitas dari
tema tersebut terletak pada pendidikan karakter yang saat ini sedang digencarkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Pendidikan sejarah pada masa reformasi seperti sekarang harus lebih
serius dengan tujuan untuk membuat peserta didik menjadi cinta dan memahami
sejarah. Dari sana kemudian peserta didik akan memahami akar budaya mereka.
Dalam cabang ilmu sejarah yang relevan dalam hal tersebut adalah sejarah lokal.
Urgensinya saat ini memang sejarah lokal harus lebih sering masuk kelas sejarah.
Mengingat Kochhar (2008:6) menerangkan bahwa sejarah merupakan cerita
tentang perkembangan kesadaran manusia, baik dalam aspek individual maupun
kolektif, perkembangan dari zaman klasik hingga modern, dari tingkat lokal,
nasional, hingga multinasional.
Universitas Negeri Malang melalui Jurusan Sejarahnya terlebih dahulu
menyelenggarakan acara seminar nasional bertemakan Sejarah Lokal: Tantangan
dan Masa Depan pada 26 April 2017. Di sana, sejarah lokal dikaji secara aktual
dengan melibatkan para pakar dibidangnya. Hariyono (2017:4), yang juga salah
satu Guru Besar Sejarah di UM, sebutan bagi Universitas Negeri Malang,
menerangkan bahwa sejarah lokal di sekolah harus diajarkan secara kritis,
terlebih dalam membangun sikap dan karakter peserta didik agar lebih sadar
sejarah dan mengerti nilai nasionalisme dan kebangsaan secara rasional.
Sejarah lokal, kata Warto (2017:128), yang juga Guru Besar dari
Universitas Sebelas Maret dalam acara yang sama, adalah sebuah cabang ilmu
sejarah yang dapat dijadikan satu alternatif dalam membina sikap nasionalisme
peserta didik. Terlebih, di era seperti sekarang ini, dimana sikap kebangsaan kita
tengah diuji oleh adanya beberapa event yang menghiasi panggung politik
nasional. Sejarah lokal dapat memberikan satu wawasan budaya, sosial, politik,
juga ekonomi di tingkat lokal yang akan menumbuhkan sifat behaviorisme,
dimana nature of human being akan hidup di dalam Kelas-kelas sejarah.
Lebih jauh, sejarah lokal, kata Rochiati Wiraatmaja, apabila ditangani
secara serius oleh para peneliti, penulis dan pendidiknya akan menduduki posisi
yang terhormat, jika menyajikan karya sejarah tematik yang integratif dengan
cerdas dan sungguh-sungguh (Mulyana: 2007:214). Berpangkal dari pernyataan
di atas dan mengimplikasikannya terhadap realitas, Hamid Hasan (dalam
Mulyana, 2007:128-129) menjelaskan pendidikan sejarah di dalam bentuknya
yang paling ekstrim tidak menjadikan sejarah sebagai wahana pendidikan tetapi
sejarah adalah tujuan itu sendiri. Dengan demikian tujuan lain di luar menguasai
disiplin ilmu sejarah dianggap tidak layak dan bahkan merupakan penyimpangan
dari pendidikan sejarah. Tujuan yang mengandung nilai dan berkenaan dengan
ranah efektif adalah bukan menjadi tugas pendidikan sejarah.
Widja (1991:38) menerangkan, meskipun sejarah nasional dan sejarah
lokal memiliki kategori unit historis sendiri-sendiri, tapi tidak bisa dipungkiri
•••
315
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
adanya keterkaitan antara peristiwa-peristiwa dalam konteks nasional dan
konteks lokal. Dengan kata lain, realitas peristiwa sejarah di kedua level hanya
bisa dimengerti lebih baik, apabila ditarik dalam perspektif makro dan mikronya.
Bukan hanya dalam lingkup ilmu sejarah, di dalam lingkup pendidikan
sejarahpun demikian. Realitas antara peristiwa nasional dan peristiwa lokal
secara prinsip memiliki korelasi yang tegas, baik itu dalam aspek pengaruh
maupun latar belakang persoalannya.
Nitisemito lahir di Kudus pada tahun 1863. Nama pemberian orangtuanya
adalah Rusdi. Rusdi lahir dari Ayah Haji Sulaiman, seorang lurah Desa
Janggalan Kudus, dan Ibu bernama Markanah. Rusdi kecil tidak ingin seperti
Ayahnya untuk menjadi lurah. Ia ingin menjadi pedagang. Rusdi tidak pernah
mengecam pendidikan, sebab itu Rusdi dapat dikatakan buta huruf (Nitisemito,
1980:11). Namun hal lain dibalik kekurangan pendidikan yang diperoleh Rusdi
adalah sebuah pemikiran besar pengusaha pribumi dikemudian hari. Menurut
cucu Nitisemito, Nusjirwan, eyang sapaan akrab keluarga Nitisemito adalah
seorang visioner dan berpikiran maju melebihi jamannya.
Menurut data yang ada pada Museum Kretek Kudus, Nitisemito memulai
industri rokok pada 1908 dengan sistem abon memproduksi rokok yang
disebarkan ke rumah-rumah warga untuk diproduksi, setelah jadi kemudian
disetorkan kembali yang dapat menghasilkan modal tambahan untuk
mengembangkan usahanya. Pada 1914, Nitisemito mendirikan pabrik rokok Bal
Tiga di daerah Jati dengan luas tanah mencapai 6 hektar, dengan jumlah
karyawan kurang lebih sudah mencapai 10.000 orang. Keberhasilan Bal Tiga
didukung oleh keuletan Nitisemito dalam menggunakan media promosi, sponsor
tunggal, dan metode doorprize bagi setiap pembelian rokok yang beruntung. Ia
selalu menjadi sponsor tunggal dalam setiap acara besar di Kudus dan kota-kota
lainnya.
Tokoh Nitisemito tidak menempatkan diri sebagai yang paling berharga
dan berjasa di mata rakyat, akan tetapi bangsa, masyarakat, dan negara yang
menilai, mengkritisi secara cermat dan cerdas, apakah ia layak menjadi
pahlawan, atau sekadar orang terkenal yang hidup di masa lalu yang juga
terkenal di masa sekarang (Kasmadi, 2005: 12). Di balik itu, Nitisemito adalah
catatan sejarah lokal yang mempunyai pengaruh pada sejarah nasional,
khususnya sejarah pergerakan nasional. Nitisemito lahir pada tahun 1863. Dan
wafat pada Sabtu Kliwon, 17 Maret 1953 di Kudus dalam usia 90 tahun
(Erlangga Ibrahim & Syahrizal Budi, 2015:37).
Studi pendahuluan yang dilakukan di SMA N 1 Kudus menunjukan bahwa
sebelumnya dalam pembelajaran sejarah materi tentang Nitisemito sudah
disisipkan dalam rangkaian materi sejarah pergerakan nasional Indonesia. Modul
ajar hasil penelitian pengembangan dijadikan bahan mengajar dalam materi
tersebut. Peneliti coba mendalami proses pembelajaran itu dengan
memperhatikan pandangan guru dan respon siswa terhadap materi ajar sejarah
Pahlawan Lokal Nitisemito. Mengingat Nitisemito merupakan tokoh penting di
•••
316
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Kota Kudus dari dulu dan namanya masih dikenang hingga saat ini di mata
masyarakat.
Nampaknya penulis sepakat dengan apa yang diungkapkan oleh Louis
Gottschalk dalam bukunya yang terkenal itu, “Understanding of History”
(1986:2), bahwa patriotisme sebagai norma bagi penilaian penulisan sejarah
harus selalu dicurigai oleh pembaca secara kritis. Bukan saja dalam dunia
penulisan sejarah, dalam pendidikan sejarahpun harusnya demikian. Narasi
sejarah kepahlawanan Nitisemito adalah corak patriotisme yang anti-mainstream.
Di mana yang ditulis dan diajarkan bukanlah soal perjuangan angkat senjata,
melainkan perjuangan dengan cara berniaga, memupuk ekonomi kelas menengah
yang bercorak kerakyatan.
Keberhasilan dan kemajuan pola berpikir Nitisemito dipandang sudah
cukup untuk dijadikan aspek dalam pembelajaran sejarah. Lebih jauh, tokoh
Nitisemito bagi masyarakat Kota Kudus adalah heroes yang mengharumkan
nama masyarakat Kudus itu sendiri. Kecanggihan berpikir, keuletan, dan
kemapanan dalam mengambil sikap dagang menjadikan Nitisemito sebagai
Pahlawan Lokal yang tidak diragukan lagi peranannya dalam menumbuhkan
industri kelas menengah di Kota Kudus. Lalu bagaimana ketika Pahlawan Lokal
Nitisemito masuk ke dalam Kelas Sejarah?, artikel ini akan mengupas hal
tersebut secara sistematis dan penjabarannya akan difokuskan pada aspek materi
dan juga penerimaan siswa.
Metode Penelitian
Penelitian ini dikaji menggunakan metode kualitatif dengan desain studi
kasus. Data penelitian berupa wawancara bersama guru, observasi lapangan, serta
studi dokumen dari RPP, Silabus serta bahan ajar di Sekolah. Yin (1994: 21) tidak
cukup jika pertanyaan Studi Kasus hanya menanyakan “apa”, (what), tetapi juga
“bagaimana” (how) dan “mengapa” (why). Pertanyaan “apa” dimaksudkan untuk
memperoleh pengetahuan deskriptif (descriptive knowledge), “bagaimana” (how)
untuk memperoleh pengetahuan eksplanatif (explanative knowledge), dan
“mengapa” (why) untuk memperoleh pengetahuan eksploratif (explorative
knowledge). Yin menekankan penggunaan pertanyaan “bagaimana” dan
“mengapa”, karena kedua pertanyaan tersebut dipandang sangat tepat untuk
memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang gejala yang dikaji. Selain itu,
bentuk pertanyaan akan menentukan strategi yang digunakan untuk memperoleh
data.
Hasil dan Pembahasan
1. Nitisemito dalam Pembelajaran Sejarah
Sejak awal dilakukannya penelitian, rasa penasaran peneliti adalah
tentang pengasumsian Nitisemito sebagai pahlawan lokal yang diajarkan di
dalam kelas sejarah. Proses itu diawali dengan penyusunan perencanaan
pembelajaran sejarah pergerakan nasional, materi mengenai Nitisemito adalah
•••
317
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
materi sisipan di dalamnya. Lebih dari itu, guru beranggapan bahwa materi ini
penting diajarkan pada generasi baru masyarakat Kota Kudus. Sebelum ada
industri besar seperti sekarang, Nitisemito sudah merumuskan dan mengasah
potensi dagang masyarakat lokal untuk memperkuat sektor ekonomi
kerakyatan.
Pendekatan yang menghubungkan peristiwa dan tokoh nasional dengan
peristiwa dan tokoh lokal merupakan inovasi dalam pendidikan sejarah (Hasan,
2015:7). Masuknya narasi Pahlawan Lokal akan menambah gairah dalam
memahami sejarah. Apalagi jika hal itu dipadukan dengan metode
pembelajaran yang inovatif. Lengkap sudah, retorika dan gestur guru yang
akan menentukan keberhasilan pembelajaran tersebut. Nitisemito merupakan
tokoh lokal yang digandrungi oleh kalangan pedagang hingga politisi di
zamannya. Perannya sangat besar bagi masyarakat Kudus dan Indonesia.
Masuknya narasi tentang pahlawan lokal merupakan sesuatu yang baru
dalam pembelajaran sejarah di era kontemporer. Mengingat, selama ini
pembelajaran sejarah hanya berkutat pada narasi tentang sejarah nasional saja.
Padahal potensi pahlawan lokal sangatlah besar, selain menanamkan identitas
sosial, juga nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi inspirasi bagi siswa
terkandung dalam narasi sejarah tersebut. Oleh karena itu, langkah memasukan
narasi sejarah Pahlawan Lokal Nitisemito oleh guru sejarah di SMA N 1 Kudus
merupakan satu inovasi yang patut di contoh oleh guru-guru di daerah lain.
Berdasarkan potensi sejarah lokal dari Nitisemito, penulis berasumsi
bahwa ia akan masuk ruang kelas sejarah dengan metode dan model
pembelajaran apapun selama mampu menjadi sisipan dalam kerangka belajar
satu semester. Ini merujuk pada pembelajaran sejarah lokal. Sedari dulu
pembelajaran sejarah lokal belum menemukan titik temu. Padahal potensi
historis-kultural seorang tokoh akan dapat merasuk pada penilaian siswa secara
lebih komprehensif, karena faktor kesamaan daearah. (Kasmadi, 2005: 16).
Pembahasan dari Wasino, yang juga seorang Guru Besar sejarah sosial
dari Universitas Negeri Semarang mengenai sejarah tokoh Nitisemito di dalam
Jurnal Paramita Vol.17, No.1-Januari 2007, Wasino menjelaskan degan judul
Menjadi Kapitalis Di Tengah Negara Kolonialis: Nitisemito Membangun
Perusahaan Rokok Kretek di Kudus Pada Awal Hingga Pertengahan Abad XX.
Disebutkan bahwa Nitisemito jika dikaitkan dengan etos kerja Islam, ia
dibentuk atas dasar nilai-nilai kedisiplinan dan ketekunan dalam agama Islam.
Hal itu diperkuat lagi, ia sama sekali tidak mengeyam pendidikan formal ala
Barat. Dari sini siswa dapat memperoleh makna bahwa etos kerja adalah
penting dalam kehidupan, dan pendidikan bukanlah jalan satu-satunya untuk
sukses. Di balik itu, tokoh Nitisemito mengajarkan keuletan dan keberanian
dalam menghadapi problematika sosial yang berkecamuk zaman penjajahan.
Rokok jenis kretek dimulai atau dirintis oleh Haji Djamhari yang
merancang cengkeh dan dicampurkan dalam tembakau yang akan dilintingnya
menjadi rokok sekitar tahun 1880. Namun pada 1906, langkah ditempuh
Nitisemito lebih serius dalam menyelami bisnis kretek yang sangat ditentukan.
•••
318
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Keberhasilannya menyelami dunia usaha kretek tersebut telah mengangkatnya
sebagai “Raja Kretek” dari Kudus. Pada 1938, perusahaannya memiliki 10.000
orang pegawai dan memproduksi 10 juta batang (Surjadi, 2013:90). Lagi-lagi
Nitisemito memang sumber inspirasi bagi siswa, semangat dagangnya
melampaui zaman, sehingga sebagai pribumi namanya cukup disegani oleh
bangsa barat pada waktu itu. Hal tersebut sangat relevan jika dijadikan media
dalam memantapkan identitas sosial siswa.
Nitisemito adalah cermin pribumi yang bersemangat dan memiliki etos
kerja tinggi. Ketokohannya di mata masyarakat Kudus Kulon merupakan
sebuah kebanggaan. Bagi guru sejarah di SMA N 1 Kudus Nitisemito adalah
pahlawan lokal, kemampuannya lepas dari lubang jarum kolonialisme dengan
mendirikan pabrik rokok milik pribumi pertama adalah langkah yang out of the
box dan patut dicontoh. Selain itu, Nitisemito dengan perjalanan hidupnya yang
sangat heroik itu (bukan dalam pengertian politis), telah memberikan inspirasi
bagi masyarakat Kudus untuk membuka usaha dagang di level menengah.
Nilai sosial yang terkandung dalam perjalanan hidup tokoh Nitisemito
adalah modal bagi guru untuk mengajar. Sudah tidak diragukan lagi
kemahsyurannya, Nitisemito adalah simbol kebesaran pengusaha pribumi yang
ulet, tekun, disipli, dan memiliki etos kerja tinggi. Selain itu yang patut
dicontoh dari Nitisemito adalah jiwa sosialnya, bagi sebagian kalangan yang
hidup se zaman dengan Nitisemito, ketokohannya adalah gambaran umum
masyarakat Kota Kudus yang dermawan dan diilhami oleh nilai-nilai islami.
2. Pandangan Guru
Masuknya Local Heroes ke dalam kelas sejarah merupakan sebuah
kemajuan dalam dunia pendidikan nasional Indonesia di era reformasi. Di
samping menambah wawasan, special impact dari hal tersebut adalah
pembentukan identitas sosial siswa. Diharapkan kemudian siswa akan paham
asal usul siapa sebenarnya diri mereka itu. Lalu sikap kepahlawanan dari narasi
Local Heroes tentu akan memicu siswa untuk dapat berpikir kritis terhadap
fenomena sosial. Nitisemito telah mengajarkan bagaimana bertahan hidup
dalam segala keterbatasan dan keterpurukan zaman kolonial.
Masalah pembelajaran sejarah lokal terhadap tokoh Nitisemito ini telah
lama menjadi perhatian guru-guru sejarah. Terhitung dari acara seminar
MGMP Sejarah Kab.Kudus dan Jurusan Sejarah Unnes tahun 2005. Namun
demikian, disini kita dapat menemukan rumusan sederhana dalam pemecahan
sejarah Nitisemito menjadi sejarah lokal pada sekolah. Menurut I Gde Widja
(1989:19) sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah
dalam lingkup tertentu yang meliputi lokalitas terbatas. Biasanya dikaitkan
dengan unsur wilayah. Oleh karena itu guru sejarah SMA N 1 Kudus
bersepakat dengan pihak sekolah bahwakisah dan kenyataan sejarah Nitisemito
relevan dan mampu dibawa oleh guru untuk diajarkan ke dalam kelas sejarah.
Eksplanasi sejarah bukan hanya berkaitan dengan penjelasan kausalitas
suatu kejadian tetapi berkaitan dengan banyak hal. Ada enam kaidah
•••
319
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
penjelasan sejarah yaitu regularitas, generalisasi, memakai inferensi statistik,
pembagian waktu, sejarah naratif, dan perspektif sejarawan (Kuntowijoyo,
2008:10-18). Rasanya dalam mengajarkan sejarah kepahlawanan Nitisemito,
guru cukup menggunakan metode naratif. Di balik itu, metode naratif akan
memberikan kesan bahwa Nitisemito itu hidup dalam imajinasi masyarakat
Kota Kudus, terutama di kalangan kelas menengah. Nama Nitisemito harum
dan akan selalu dikenang, kata guru pada peneliti.
Guru melihat bahwa kepahlawanan Nitisemito memiliki ciri khusus.
Ketokohannya tidak lahir dari berpolitik melainkan dari jalan berdagang.
Narasi seperti ini yang luput dari pencatatan sejaran nasional Indonesia.
Akhirnya sejauh ini kebanyakan sejarah hanya diajarkan secara politis, ada
pula yang menganggap sejarah itu sebagai doktrin. Berbeda halnya ketika
melihat sejarah perjalanan hidup Nitisemito. Nilai-nilai sosial seperti ulet,
disiplin, tekun dan dermawan memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk
dapat melihat kehidupan di masa yang akan datang secara optimis. Nilai-nilai
itu dapat ditransmisikan melalui pembelajaran sejarah, selama ini materi
tentang Nitisemito diselipkan dalam narasi sejarah pergerakan nasional
Indonesia.
Sejarah lokal, kata Hariyono (2017:10) menjadi salah satu tema sejarah
yang menarik baik dalam proses penelitian maupun pembelajaran di level
pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Perlu terus digalakan
kemampuan membaca dan memahami sumber lokal (Warto, 2017:128), hal itu
akan berpengaruh pada penguasaan guru terhadap materi sejarah lokal, salah
satunya materi ajar Nitisemito. Guru menyatakan bahwa sumber sejarah lisan
menjadi acuan dalam menyusun sumber belajar, ditambah ada beberapa
sumber tertulis yang ada di Museum Kretek Kudus. Semua sumber diramu
untuk menjadikan pembelajaran sejarah lebih menarik.
Hendaknya pembelajaran sejarah itu dapat mengispirasi siswa untuk
bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik. Guru melihat penguasaan
teori akan memudahkan proses pembelajaran di Kelas, termasuk dalam
mengajarkan materi Pahlawan Lokal Nitisemito, guru mencoba terus
memegang kuat teori konstruktivisme. Dewey (2002:70) menguatkan teori
konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus
melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau
membina pengalaman secara berkesinambungan.
3. Respon Siswa
Pembelajaran sejarah kisah Pahlawan Lokal Nitisemito menggunakan
model diskusi kelompok. Sebelum itu guru terlebih dahulu menerangkan
dengan alat bantu modul ajar hasil penelitian R & D siapa sebenarnya
Nitisemito itu. Lalu dalam proses menerangkan itu, guru dinilai sudah cukup
demokratis dan sistematis. Terbukti oleh sikap siswa yang sering merespon
guru dengan bertanya mengenai materi kepahlawanan Nitisemito. Terutama
mengenai perspektif kepahlawanan yang berbeda. Semula pahlawan selalu
•••
320
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
identik dengan langkah politik, tetapi berbeda dengan Nitisemito yang identik
dengan usaha dagang
Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang
digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan
memberi petunjuk kepada pengajar di dalam kelas dalam setting pengajaran
(Joyce, 2009:56). Untuk menetapkan model mengajar yang tepat, merupakan
suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena memerlukan pemahaman yang
mendalam mengenai materi yang akan diberikan dan model mengajar yang
dikuasai. Dalam pembelajaran sejarah materi kepahlawanan Nitisemito, model
pembelajaran yang diterapkan guru sudah tepat. Dengan dialog dalam skema
diskusi seperti itu, siswa terpicu untuk mengetahui lebih jauh ketokohan
Nitisemito. Sejarah lokal menarik manakala membasiskan dirinya pada
pengalaman hidup komunitas maupun seseorang yang memiliki pengaruh
dalam komunitas sosialnya. Nitisemito adalah bagian dari pengalaman hidup
masyarakat Kota Kudus. Munculnya industri besar saat ini seperti Djarum,
adalah buah inspirasi dari seorang Nitisemito. Selebihnya Nitisemito telah
dijuluki “Raja Kretek”. Siswa merespon hal itu dengan menanyakan maksud
dari istilah “Raja Kretek”. Dalam pandangan guru, istilah itu bukan hal yang
biasa, melainkan sebuah penghormatan masyarakat Kota Kudus terhadap peran
dan kedermawanan Nitisemito dalam mengisnpirasi pengusaha kelas
menengah di Kudus.
Sejarah, kata Gazalba (1981:viii) meskipun sejarah membicarakan masa
yang lampau tetapi yang menjadi perhatian sesungguhnya adalah masa kini,
dan tujuannya adalah masa yang akan datang. Untuk mencapai kesadaran
sejarah bagi para siswa, materi mengenai Nitisemito sangatlah penting.
Terutama muatan sejarah lokal di dalamnya akan memberikan imajinasi yang
tidak terlalu jauh bagi para siswa. Mengingat sejarah lokal sendiri memiliki
kelebihan yaitu membantu siswa memahami sejarah secara lebih dekat.
Transformasi peserta didik menjadi pembahasan yang menarik di Abad
21 ini. Proses mendidik tidak lagi diartikan secara dikdaktis, melainkan
kolaborasi antara guru dan siswa dalam memecahkan sebuah masalah. Masalah
itu bisa berupa pembahasan mengenai tema-tema khusus dalam pembelajaran
sejarah maupun tema sisipan seperti ketokohan Nitisemito. Walaupun
sebenarnya materi tentang Nitisemito tergolong sebagai tema khusus dalam
pembelajaran. Salah satu siswa mengasumsikan Nitisemito sebagai Super
Hero. Siswa setelah mendengar narasi tentang Nitisemito menjadi tahu siapa
sebenarnya Saudagar Nitisemito itu, terbukti dari hasil wawancara yang
menyebutkan Nitisemito adalah orang yang menginspirasi, dia adalah
pahlawan bagi masyarakat Kota Kudus.
Eksistensi sejarah sebagai ilmu yang logis dan empiris menjadi penting
dalam mengajarkan sejarah lokal (Hariyono, 2017:6). Tidak terkecuali tentang
Pahlawan Lokal Nitisemito. Guru harus memberikan pemahaman kepada siswa
supaya siswa tidak terjebak dalam mitos. Kerangka struktural penting
diungkapkan dalam narasi yang lunak dan mudah diterima supaya siswa dapat
•••
321
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
melakukan analitis-kritis terhadap suatu peristiwa sejarah (Sartono Kartodirdjo,
1992:114-115 dalam Warto, 2017:126). Siswa yang terpicu oleh narasi tersebut
tentu seketika akan memberikan respon seperti bertanya atu memberikan
argumentasi yang logis dan juga rasional (bisa diterima akal sehat).
Guru, siswa, dan para sejarawan yang pernah meneliti Nitisemito
berpendapat bahwa kisah Nitisemito adalah narasi sejarah yang cukup relevan
untuk diajarkan. Kelas sejarah sebagai arena tentu bisa mewadahi materi
tersebut. Begitu pula tentang Nitisemito-Nitisemito lain di daerah-daerah yang
lain. Kelas sejarah akan lebih semarak dengan masuknya materi-materi yang
tidak pernah terduga sebelumnya, seperti contoh kasus materi Nitisemito, siswa
antusias dibuktikan dengan pertanyaan dan sikap kritis siswa terhadap sosok
Nitisemito. Peneliti juga beranggapan bahwa pendidikan cukup efektif untuk
membendung mitologisasi tokoh-tokoh di daerah karena di sana diajarkan
sikap rasional dalam melihat fenomena kesejarahan.
Simpulan
Di mata masyarakat, nama Nitisemito sudah mencerminkan seorang
pahlawan. Perannya dalam membangun sektor dagang kelas menengah masih bisa
dirasakan hingga saat ini di Kota Kudus. Untuk mencegah mitologisasi namanya
dibutuhkan wadah yang tepat bagi proses transmisi nilai sosial dari sejarah hidup
seorang Nitisemito. Pembelajaran sejarah adalah media yang tepat akan hal ini.
Guru menilai kisah hidup Nitisemito sudah lebih dari cukup untuk dijadikan
materi ajar sejarah yang disisipkan dalam narasi sejarah pergerakan nasional
Indonesia. Siswa merespon hal itu dengan cukup antusias dengan lontaranlontaran pertanyaan yang kritis mengenai ketokohan Nitisemito. Dengan
diajarkannya materi tersebut, diharapkan nama besar Nitisemito akan selalu hidup
di tengah masyarakat Kudus, lagkah itu dilakukan sebagai upaya melawan lupa
terhadap sejarah lokal yang selama ini masih dikesampingkan perannya dalam
membangun generasi baru Indonesia melalui bidang pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran
Sejarah. Jakarta. Depdikbud, 1989.
Dewey, John. Experience and Education. Terjemajan John de Santo. Yogyakarta:
Kepel Press, 2002.
Diknas. Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta. Diknas, 2014.
Gazalba, Sidi. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya Aksara,
1981.
Gottschalk, Louis. Understanding of History. Depok: UI Press, 1986.
Hariyono. “Sejarah Lokal: Mengenal yang Dekat, Memperluas Wawasan”.
Makalah Seminar Sejarah Lokal: Tantangan dan Masa Depan. Malang:
Universitas Negeri Malang, 2017. 1-11.
Hasan, Hamid. “Pendidikan Sejarah dalam Mempersiapkan Generasi Emas: Suatu
Perubahan Paradigma Pendidikan Sejarah dengan Referensi pada
•••
322
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Kurikulum 2013”. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Asosiasi
Pendidik dan Peneliti Sejarah (APPS). Banjarmasin: Universitas Lambung
Mangkurat,2015. 1-26.
Ibrahim,Erlangga & Syahrizal Budi.Raja KretekM.Nitisemito: Pengusaha
Pribumi Terkaya Sebelum Kemerdekaan. Jakarta. Batara Media, 2015.
Joyce, Bruce. Models of Teaching: Advance Organizer. New Jersey: Pearson
education Inc. 2009.
Kasmadi, Hartono. “M.Nitisemito: Sebagai Lokal Hero dalam Kelas Sejarah”.
Paper Disajikan Pada FGD MGMP Sejarah Kabupaten Kudus dan
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Semarang.Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2005. 1-17.
Kochhar, S. K. Pembelajaran Sejarah: Teaching of History. Jakarta: PT Grasindo,
2008.
Kuntowijoyo.Penjelasan Sejarah: Historical Explanation. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008.
Mulyana, Agus dan Gunawan, Restu. Sejarah Lokal Penulisan dan Pembeajaran
di Sekolah. Bandung: Salamena Press, 2007.
Nitisemito, Alex Soemadji. Raja Kretek Nitisemito. Kudus: Indie, 1980.
Radjab, Surjadi. Dampak Pengendalian TembakauTerhadap Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya. Jakarta. Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) dan
Center For Law and Order Studies (CLOS), 2013.
Warto. “Tantangan Penulisan Sejarah Lokal”. Jurnal Sejarah dan Budaya. Vol.
11, No. 1 (Juni 2017): 123-159.
Wasino.Menjadi Kapitalis Di Tengah Negara Kolonialis: Nitisemito Membangun
Perusahaan Rokok Kretek di Kudus Pada Awal Hingga Pertengahan Abad
XX. Jurnal Paramita: Historical Studies Journal.Vol.17, No. 1 (Januari
2007).
Widja, I Gde. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan.
Semarang: Satya Wacana, 1989.
Widja, I Gde. Sejarah Lokal: Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah.
Bandung: Penerbit Angkasa, 1991.
Yin, Robert. K. Case Study Research: Design and Methods, Second Edition.
USA: Sage Publications, 1994.
•••
323
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
HUBUNGAN PEMAHAMAN WAWASAN KEBANGSAAN DAN
KESADARAN SEJARAHDENGAN SIKAP DEMOKRASI
SISWA SMA NEGERI DI BANDA ACEH
Abdul Azis1; Hermanu Joebagio2; Sudiyanto3
¹Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret,
²Guru Besar Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
³Doktor Pendidikan Akutansi, FKIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
abdazys5@gmail..com
ABSTRAK
Sikap demokrasi merupakan unsur penting dalam menunjang kelangsungan hidup sebagai
sebuah bangsa, terutama pada Era reformasi. Oleh sebab itu, kemerosotan sikap
demokrasi siswa dewasa ini patut mendapat perhatian antara lain dengan menanamkan
pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dalam proses pembelajaran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis: (1) pemahaman wawasan
kebangsaan dengan sikapdemokrasi siswa di SMA Negeri Banda Aceh, (2) hubungan
kesadaran sejarah dengan sikapdemokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh, (3) hubungan
pemahamanwawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi siswa di
SMA Negeri Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif expost facto dengan desain penelitian korelasional. Populasi penelitian ini adalah siswa
SMA Negeri Banda Aceh sebesar 1015. Sampel penelitian ini berjumlah 265 siswa yang
diambil dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Untuk menentukan besar
sampel tersebut menggunakan table Fernanded. Proses pengumpulan data menggunakan
instrument angket pemahaman wawasan kebangsaan (X1), angket kesadaran sejarah (X2),
dan angketdemokrasi (Y).Teknik Analisis data menggunakan analisis korelasi, regresi
sederhana, dan regresi ganda pada taraf signifikansi 5%.Dengan perhitungan
menggunakan SPSS 22. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat hubungan
positif yang signifikan antara pemahaman wawasan kebangsaan
dengan sikap
demokrasisiswa. Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar
rx1y= 0,955 dan p. value (sig) sebesar 0,0001 sehingga p<0,05 menunjukkan bahwa
hubungan antara X1 dengan Y merupakan hubungan yang positif dan signifikan. (2)
terdapat hubungan positif antara kesadaran sejarah. Hasil analisis menunjukkan bahwa
nilai koefisien korelasi sebsar rx2y= 0, 929dan P. value (sig) sebesar 0,0001< 0,05, dan (3)
terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman wawasankebangsaan dan
kesadaran sejarah, secara bersama-sama dengan sikap demokrasi. Hasil penelitian
diperoleh bahwa regresi b untuk pemahaman wawasan kebangsaan0.676 dan kesadaran
sejarah sebesar 0,328 konstanta a sebesar 10,506. Dengan demikian bentuk hubungan
antara variabel bebas dan terikat dapat digambarkan oleh persamaan regresi Y= 10,506 +
0.676 X1 + 0,328X2. Nilai koefisien regresi pemahaman wawasan kebangsaan (X1)
sebesar 0,676 dengan tanda Positif.Nilai koefisien regresi variabel kesadaran sejarah
sebesar 0,328 dengan tanda Positif.
Kata kunci: pemahaman wawasan kebangsaan, kesadaran sejarah, sikap demokrasi,
pembelajaran Sejarah
•••
324
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kekuatan besar yang mampu mengarahkan manusia
untuk mencapai hasil yang diharapkan melalui berbagai upaya baik pengajaran
maupun pelatihan, sehingga terjadi proses perubahan pada sikap seseorang.
Pendidikan diharapkan mampu membentuk masyarakat Indonesia menjadi
individu yang memiliki potensi tidak hanya secara akademik tetapi juga memiliki
karakter yang kuat dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur bangsa. Penting
untuk memahami pendidikan yang menjadi kebutuhan bangsa ini, sebagaimana
yang dikemukakan (Fedyani, 2008) bahwa pendidikan bukan sekedar proses
transfuse ilmu pengetahuan, tetapi juga proses yang strategis menanamkan nilai
dalam rangka kebudayaan anak manusia. Maksud pendidikan tersebut sesuai
dengan pendapat (Dewantara, 1977) bahwa yang di angan-angankan sang
pendidik tidak lain adalah mencari tertib damainya tingkah laku terbawa dari patut
pantasnya sifat lahir seseorang. Sehingga melalui pendidikan sejarah terbentuk
generasi muda Indonesia yang menentukan dan mengambil sikap terhadap
berbagai arus yang sedang berkembang baik politik, ekonomi, maupun sosial
berdasarkan pemahaman dan wawasan yang dimilikinya.
(Nugroho Putro, 1995)mengatakan“Many educators and lawmakers
believe that history should be taught in the public schools because it contributes
to the development of patriotism and democratic attitudes”. Pemahaman sejarah
diperlukan untuk menentukan alternative masa yang akan datang yang berakar
dalam realitas sejarah pada masa lalu dan masa sekarang. Dalam hal ini nilai
utama belajar sejarah adalah membantu peserta didik mengembangkan wawasan
dan pemahaman terhadap fakta sejarah.Sebagaimana perubahan mendasar yang
terjadi pada awal abad XX, yaitu terdapat perbedaan strategi dalam melawan
penjajahan.Pada abad XVII, XVII, dan XIX perlawanan dilakukan dalam bentuk
strategi otot seperti berkelahi atau perang.Memasuki abad XX, dengan latar
belakang pendidikan yang ada, amak orang-orang terdidik berpikir dan mengubah
strategi.Strategi perlawanan tidak hanya dengan menggunakan otot, tetapi dengan
otak yang dikenal dengan pergerakan nasional (Gonggong dalam (Fedyani,
2008)).
Sejarah pergerakan nasional Indonesia dipelopori oleh kelompok pemuda
yang pada puncaknya melahirkan Sumpah Pemuda.Kelompok ini diwakili oleh
mahasiswa yang tergabung dalam organisasi pemuda.Demikian juga pada masa
kemerdekaan, terutama Era Reformasi, organisasi gerakan mahasiswa mampu
mempengaruhi perkembangan dan praktik demokrasi bahkan mempengaruhi
kebijakan pemerintahan melalui aksi atau demo yang terkadang bersifat anarkis.
Hakikat dari gerakan politik mahasiswa pada umunya adalah perubahan,
yaitu mengubah kondisi kehidupanya yang ada untuk digantikan dengan situasi
yang di anggap lebih memenuhi harapan (Albatbach, 1998). Keinginan akan
perubahan biasanya muncul karena adanya pemahaman terhadap situasi dan
•••
325
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
kondisi yang sedang berlangsung, terutama yang erat kaitanya dengan keresahan
masyarakat.
Sejarah menunjukkan bahwa pemuda Indonesia selalu menjadi bagian dari
pilar demokrasi, sebagai pelopor, pergerakan, bahkan pengambil keputusan. Hal
ini terbukti melalui sumpah pemuda 1928, pergerakan 1945, angkatan 1966 yang
membidani Tritura, malaria 1974, 1978 dan reformasi 1998. Namun, seiring
perkembangan politik yang dilatarbelakangi demokrasi sebagai system politi,
peran pemuda mulai dihadapkan pada persimpangan pemikiran dan gerakan,
sehigga tujuan untuk membangun perubahan menuju situasi yang lebih baik justru
yang terjadi sebaliknya (Fadhilah, 2011).
Berbagai aksi demontrasi yang dianggap suatu bentuk gerakan yang
dilakukan mahasiswa sebagai wujud kritik terhadap pemerintah akhir-akhir ini
mulai mengalami kemorosotan kepercayaan dari masyarakat.Bahkan aksi
demontrasi seringkali disinyalir sudah dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan
elit berkuasa.Gerakan mahasiswa sudah mulai kehilangan nilai-nilai idealism, dan
tidak jarang di anggap sebagai perpanjangan tangan dari partai politik yang
sedang berkuasa.
Ketika suatu negara tidak menaruh perhatian terhadap pendidikan, maka
negara tersebut tidak membangun sumber kekuatan, sumber kemajuan, sumber
kesejahteraan dan sumber martabatnya yang bias diperbaharui, yaitu kualitas
manusia.Kualitas ini ditentukan oleh tingkat kecerdasan dan kekuatan karakter
rakyatnya (Raka, 2011). Dalam hal ini, pendidikan sejarah mempunyai peran
penting dalam membangun kepribadian dan sikap mental serta dapat
mengakibatkan kesadaran akan suatu dimensi yang amat fundamental dalam
eksistensi umat manusia. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan sarana yang tepat
untuk menjembatani pemahaman. Bloom (Azwar, 2012) mengemukakan
comprehension: Translation from symbolic from to another form, or vice virsa.
Pemahaman erat kaitanya dengan kemampuan menterjemahkan bentuk symbol ke
bentuk lain atau sebaliknya atau kemampuan mengungkap makna tersirat dari
sebuah peristiwa.
Sikap demokrasi sangat penting dalam menunjang kelangsungan hidup
sebagai sebuah bangsa, terutama pada Era Reformasi sekarang ini.Oleh sebab itu
kemorosotan sikap Demokrasi pemuda terutama siswa dewasa ini sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas patut mendapat perhatian.Salah satunya dengan
menanamkan pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah kepada
mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara pemahaman wawasan
kebangsaan dengan sikap demokrasi siswa SMA Negeri di Banda Aceh.
2. Untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara kesadaran sejarah
dengan sikap Demokrasi siswa SMA Negeri di Banda Aceh
•••
326
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
3. Untuk menemukan ada tidaknya hubungan secara bersama antara
pemahman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap
demokrasi siswa SMA Negeri di Banda Aceh.
4. Untuk menentukan Reliabilitas Angket dan menentukan rangkuman data
variabel penelitian setelah diubah dalam skala interval.
5. Untuk menentukan normalitas dengan metode Lilliofors, serta uji
Multiokoleniaritas dan uji linearitas.
6. Untuk menentukan analisis korelasi parsial uji Korelasi Rho Spearman
Hipotesis 1 dan 2
7. Untuk menentukan analisis korelasi berganda, regresi linear berganda Non
Parametrik, uji signifikansi model, perhitungan koefisien determinasi,
sumbangan relative dan sumbangan efektif, penafsiran hipotesis dan
kesimpulan pengujian hipotesis.
METHODOLOGI
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kwantitatif deskriptif
korelasional. Penelitian kwantitatif deskriptif korelasional bertujuan untuk
menentukan kecenderungan atau pola dua variabel atau lebih untuk bervariasi
secara konsisten (Cresswell, 2015). Penelitian ini melihat bagaimana keterkaitan
antara variabel-variabel yang akan diteliti, dengan menggunakan uji statistik
korelasional guna mendeskripsikan dan mengukur derajat keterkaitan atau
hubungan variabel-variabel penelitian yang telah ditentukan. Penelitian ini
menggunakan desain korelasional eksplanatorik. Desain korelasional
eksplanatorik bertujuan untuk melihat sejauh mana dua variabel (atau lebih
bervariasi, artinya, perubahan yang terjadi pada salah satu variabel itu terefleksi
dalam perubahan variabel lainnya (Cresswell, 2015). Penelitian ini melihat
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dimana, variabel bebas
pertama (X1) pemahaman wawasan kebangsaan, variabel bebas kedua (X2)
kesadaran sejarah, dan variabel terikat (Y) sikap Demokrasi diasumsikan
berkovariasi secara linear.
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan ditarik kesimpulanya (Sugiyono, 2012). Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas XI bidang ilmu-ilmu sosial SMA negeri di
Banda Aceh tahun akademik 2017/2018, yaitu sebanyak 1016 orang. Sampel
terstratifikasi dilakukan dengan membagi populasi berdasarkan ciri khusus
tertentu (Cresswell, 2015). Dalam penelitian ini keseluruhan sample di stratifikasi
berdasarkan sekolah dengan rangking tinggi, sedang dan rendah berdasarkan
penilaian Dinas Kependidikan dan Olahraga, peneliti menetapkan sample
berjumlah 365 responden dari 4 sekolah negeri berdasarkan kelompok strata
sesuai rangking dinas yaitu SMA Negeri 1, SMA Negeri 2, SMA Negeri 3, SMA
Negeri 4. Ke empat sekolah tersebut sudah di ambil berdasarkan strata rangking
tertinggi, sedang dan rendah secara acak.
PENEMUAN PENELITIAN
•••
327
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Artikel ini terdiri dari satu kelompok yaitu kelompok Kuantitatif. yang
dalam paparannya akan disampaikan menjadi beberapa subbab, berikut ini;
A. Temuan data Penelitian kuantitatif
Temuan data kuantitatif dalam penelitian ini terdiri dari; (1) reliabilitas
Angket dan rangkuman data variabel penelitian setelah diubah dalam skala
interval. (2) Normalitas dengan metode Lilliofors, serta uji Multiokoleniaritas dan
uji linearitas. (3)Analisis korelasi parsial uji Korelasi Rho Spearman Hipotesis 1
dan 2. (4) Analisis korelasi berganda, regresi linear berganda Non Parametrik, uji
signifikansi model, (5) perhitungan koefisien determinasi, sumbangan relative dan
sumbangan efektif, (6) penafsiran hipotesis dan kesimpulan pengujian hipotesis.
1.
Menentukan Reliabilitas Instrumen
Berdasarkan perhitungan sesuai dengan rumus didapatkan nilai alpha
untuk masing-masing variabel peneitian seperti terlihat pada table dibawah ini:
No
1.
2.
3.
Tabel 1: Reliabelitas Angke
Kuisioner
Nilai Alpha C >
0.70
Pemahaman
0,808
Wawasan
kebangsaan
Kesadaran Sejarah
0,807
Sikap Demokrasi
0,739
Keterangan
Reliabel
Reliabel
Reliabel
2. Data variabel setelah di ubah dalam skala interval
Rangkuman deskripsi data variabel setelah di ubah dalam skala interval
dapat dilihat table berikut ini:
Table 2: Rangkuman deskripsi data variabel penelitian
Variabel
N
Nilai
Nilai
Rata-rata
Penelitian
Tertinggi Terendah
Pemahaman
265 122, 885
80,481
101,051
Wawasan
kebangsaan
Kesadaran
265
104,448
63,890
84,012
sejarah
Sikap Demokrasi 265 126, 307
86,549
106,385
Standar
Deviasi
10,232
11,071
10,748
3. Pengujian Prasyarat Analisis.
Sebelum melakukan analisis statistic terhadap data baik korelasi maupun
regresi maka terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis mengenai varian
populasi. Adapun uji prasyarat analisis antara lain:
a. Uji Normalitas
Tabel 3; Normalitas dengan metode Lilliofors
Variabel
PAlpha
Keterangan
Value
0.05
•••
328
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Pemahaman wawasan
kebangsaan
Kesadaran Sejarah
Sikap Demokrasi
0,034
<
Tidak Normal
0,0001
0,001
<
<
Tidak Normal
Tidak Normal
b. Uji Multikolonearitas
Tabel 4; Uji Mutikoleniaritas
Model
Pemahaman Wawasan
Kebanbangsaan
Kesadaran Sejarah
Colenearity Statistics
Tolerance
VIF
0, 161
6, 215
0, 161
6, 215
c. Uji Linearitas
Tabel 5; Analisis Uji Linearitas
Variabel
Sig.
X1*Y
X2*Y
0.156
0.119
Kondisi
(Probability 0,05)
>0.05
>0.05
Kesimpulan
Linear
Linear
4. Pengujian Hipotesis
Berdasarkan karakteristik data masing-masing variabel yang diperoleh dari
uji prasyarat analisis, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian
hipotesis terhadap variabel variabel penelitian.Tahapan tersebut secara terperinci
terdiri dari analisis korelasi parsial dengan product moment, analisis korelasi
berganda, dan juga menentukan regresi linear berganda, seterusnya uji signifikansi
model (keberartian koefidien korelasi ganda). Satu persatu pengujian hipotesis
sebagai berikut;
1. Analisis Korelasi parsial
Tabel 6; Uji Korelasi Rho Spearman Hipotesis 1 dan 2
No
1.
Hubungan
Pemahaman Wawasan
kebangsaan dangan sikap
demokrasi
Rxy
,955
P(Sig)
,0001
2.
Kesadaran Sejarah dengan
sikap demokrasi
,955
,0001
Keterangan
Ada hubungan
dan signifikan
(Hipotesis
diterima)
Ada hubungan
dan signifikan
(Hipotesis
diterima)
2. Analisis Korelasi Berganda
Hasil uji korelasi berganda antara pemahaman wawasan kebangsaan dan
kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi diperoleh nilai Ry12 sebesar 0,927
dengan p. Value 0,000 sehingga p. Value <0.05 menunjukkan bahwa terdapat
•••
329
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
hubungan yang signifikan antara wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah
dengan sikap demokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh. Dengan demikian
hipotesis diterima.
3. Regresi Linear Berganda Non Parametrik
Hasil uji korelasi berganda antara pemahaman wawasan kebangsaan dan
kesedaran sejarah dengan sikap demokrasi diperoleh nilai Ry12 sebesar 0,927
dengan p. Value 0.000 sehingga p.Value <0,05 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kemampuan wawasan kebangsaan dan kesadaran
sejarah dengan sikap demokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh.
4. Uji Signifikansi Model
Hasil uji F diperoleh nilai F sebesar 1661,481 dengan p,value (sig) sebesar
0,0001 sehingga p < 0.05 menunjukan bahwa regresi berbentuk linear yang
artinya dapat dipergunakan untuk membuat kesimpulan mengenai hubungan
sejumlah variabel yang sedang dipelajari, yaitu hubungan antara pemahaman
wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi siswa SMA
Negeri Banda Aceh.
5. Perhitungan koefisien determinasi
Koefisien determinasi merupakan kuadrat dari koefisien korelasi antara
variabel variabel bebas (X1,X2) terhadap variabel (Y) yang ditunjukkan oleh nilai
(ry1)2 = 0,911 dan (ry2)2= 0,862 sementara koefisien determinasi X1 dan X2
dengan Y yaitu sebesar 0,990.
6. Sumbangan Relativ dan sumbangan Efektif
Tabel 7; Sumbangan Efektifdan Sumbangan relative
Variabel
Sumbangan Efektif
XI dengan Y
X2 dengan Y
Total
61,50%
31,40 %
92,90 %
Sumbangan
Relatif
66.20%
33.80%
100%
7. Penafsiran hipotesis
Tabel 8; Penafsiran Hipotesis
No
Variabel
1.
2,
3
X1 dengan Y
X2 dengan Y
X1,X2 dengan Y
Nilai koefisien korelasi
(Ry1)
0,955
0,929
0,927
8. Kesimpulan Pengujian hipotesis
Berdasarkan hasil analisis data dan penarikan kesimpulan terhadap
perhitungan-perhitungan hipotesis maka dapat dilihat kesimpulan hipotesis
bahwa:
1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman
wawasan kebangsaan dengan sikap demokrasi. Hal ini menunjukkan
oleh perhitungan koefisien korelasi sebesar 0,955dengan p.value (sig.)
•••
330
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
0.0001 <0,005 dan adanya koefisien determinasi yang menyatakan
sumbangan pemahaman wawasan kebangsaan terhadap sikap
demokrasi sebesar 6150%.
2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kesadaran sejarah
dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitngan koefisien
korelasi sebesar 0,929 dengan p,value (sig,) 00001 <0,005 serta adanya
koefisien determinasi yang menyatakan sumbangan kesadaran sejarah
terhadap sikap demokrasi sebesar 33,41 %.
3. Terdapat hubungan positif yang signifikan secara bersama-sama
dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan
koefisien regresi pemahaman wawasan kebangsaan sebesar 0, 676 dan
kesadaran sejarah dan koefisien regresi sebesar 0328 kemudian dengan
menggunakan uji F diperoleh kriteria yang dikehendaki yaitu Fhit
161481> dari Ftab 1.224 dengan taraf signifikansi 5% serta adanya
koefisien determinasi yang menyatakan sumbangan pemahaman
wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah terhadap sikap demokrasi
sebesar 92,90 %.
PEMBAHASAN
Bagian ini membahas jenis temuan penelitian kuantitatif yang sebelumnya
dipaparkan dalam table di atas, dengan mengumpulkan data penelitian, peneliti
memperoleh 8 tujuan penelitian.Tujuan penelitian pertama bersadarkan tabel 1,
Ialah menentukan reliabelitas angket/kuisioner. Yaitu pertama pemahaman
wawasan kebangsaan berjumlah r11= 0,808 dan kuisioner kedua kesadaran sejarah
berjumlah r11= 0,807 dan kuisioner ketiga sikap demokrasi berjumlah r11= 0,739.
Suatu instrumen dikatagorikan reliabel apabila mempunyai indeks reliabelitas ≥
0,70 (Budiyono, 2003).
Tujuan kedua membahas tentang deskripsi dan masing-masing variabel
penelitian berdasarkan table 2, erhitungan analisis korelasional menggunakan
product moment dan regresi linear berganda yang digunakan merupakan analisis
data jenis data skala interval. Oleh sebab itu, terlebih dahulu data hasil penelitian
diubah ke dalam skala interval. Melalui metode MSI (mensucsessive interval)
menggunakan software ExcelStat 97 (Cresswell,333-335). dapat dilihat sebagai
berikut;
a) Pemahaman wawasan kebangsaan (X1) merupakan variabel bebas pertama
dalam penelitian ini, data yang diperoleh melalui instrument angket. Data
yang diperoleh 265 siswa sebagai responden dengan menggunakan 30
butir angket menunjukkan skor tertinggi= 122,885, skor terendah=80,481,
mean= 101.051, median (Me)= 100,847, range= 42,404, standart deviasi=
10, 232 dan standart error of mean (SE)= 0.630.
b) Kesadaran sejarah (X2) merupakan variabel bebas kedua dalam penelitian
ini, data yang diperoleh melalui instrument angket. Data yang diperoleh
dari 266 siswa sebagai responden dengan menggunakan 30 butir angket
menunjukkan skor tertinggi= 104,448, skor terendah= 63,890, mean = 84,
•••
331
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
012, media (Me)= 85, 30,68191, range= 40,558, standart deviasi= 11,071
dan standart error of mean (SE)= 0,681.
c) Sikap demokrasi (Y) merupakan variabel terikat dalam penelitian ini, data
yang diperoleh melalui instrument angket. Data yang diperoleh dari 265
siswa sebagai responden dengan menggunakan 30 butir angket
menunjukkan skor tertinggi= 126,307, skor terendah= 86,549 mean (X) =
106,385 range= 39,758, median (Me)= 106, 019, stndart deviasi = 10,748,
dan standart error of mean (SE)= 0,661.
Tujuan ketiga membahas tentang Pengujian Prasyarat analisis mengenai
varian populasi, yang terdiri dari uji Normalitas, uji multikolenearitas dan uji
linearitas (lihat table 3,4 dan 5).
a) Table 3. Menunjukkan bahwa variabel X1 P-value=0,034, X2 P-Value=
0,0001, Y P-value= 0,001. Interprestasi analisis; Ho= variabel berasal dari
sampel yang berdistribusi normal, Ha= variabel berasal yang tidak
berdistribusi normal, tingkat signifikansi= 0,05. Kesimpulan uji Ho ditolak
dan Ha diterima. Uji normalitas liliofors memperlihatkan bahwa sampel
dalam penelitian tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hal
tersebut akan mempengaruhi pengujian hipotesis menjadi perhitungan
dengan statistic nonparametric.
b) Table 4. Menunjukkan bahwa tidak ada variabel bebas yang memiliki
tolerance lebih besar dari 1 dan tidak ada varibael bebas memiliki nilai
VIF lebih besar dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
multikolinearitas antara variabel bebas dalam model regresi atau dengan
kata lain variabel bebas masing-masing independen trhadap variabel
terikat
c) Table 5. Menunjukkan bahwa hasil pengujian yang diperoleh sebagaimana
terlihat pada table diatas menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear
antara variabel bebas pertama yaitu pemahaman wawasan kebangsaan
(X1) dengan variabel terikat yaitu sikap demokrasi (Y) yang ditunjukkan
dengan P = 0,156 > a = 0,05, variabel bebas kedua yaitu kesadaran sejarah
(X2) dengan variabel terikat yaitu sikap demokrasi (y) yang ditunjukkan
dengan P = 0,119< a = 0,05.
Tujuan keempat membahas tetang analisis korelasi parsial antara
hubungan variabel bebas (pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran
sejarah ) dengan sikap demokrasi siswa SMA negeri Banda Aceh. Dalam
penelitian ini dihitung menggunakan rumus korelasi product moment Rho
spearman dengan bantuan ExcelStat 2017. Berdasarkan table 6. Menunjukkan
bahwa;
a) Hubungan signifikan antara variabel pemahaman wawasan kebangsaan
(X1) dengan sikap demokrasi (Y) ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi
sebesar rxly= 0,955dan p. value (sig.) sebesar 0.0001 sehingga p<0,05
menunjukkan bahwa hubungan antara X1 dengan Y merupakan hubungan
yang positif dan signifikan. Artinya pemahaman wawasan kebangsaan
•••
332
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
memiliki kekuatan untuk menumbuhkan sikap demokrasi siswa SMA
Negeri Banda Aceh.
b) Hubungan signifikan antara variabel kesadaran sejarah (X2) dengan sikap
demokrasi (Y) ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi sebesar rx2y=
0,929 dan p.value (sig.) sebesar 0,0001< 0,005 dengan demikian terdapat
hubungan positif dan signifikan antara kesadaran sejarah dan sikap
demokrasi siswa. Artinya kesadaran sejarah memiliki kekuatan untuk
menumbuhkan sikap dmokrasi siswa. Semakin tinggi kesadaran sejarah
siswa maka semakin tinggi pula nilai sikap demokrasi siswa.
Tujuan kelima membahas tentang sumbangan relative sumbangan efektif,
perhitungan koefisien determinasi regresi ganda menunjukkan sumbangan
variabel-variabel bebas (X1 dan X2) terhadap variabel terikat (Y) sebesar 92,
60%.Namun, disamping itu perlu diketahui sumbangan masing-masing variabel
bebas terhadap variabel terikat berupa sumbangan relative dan sumbangan efektif
dapat dilihat pada table 7.Sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel
pemahaman wawasan kebangsaan terhadap sikap demokrasi sebesar 61.50% dan
sumbangan efektif variabel kesadaran sejarah sebesar 31.40%.total keseluruhan
sumbangan variabel bebas ke variabel terikat sebesar 92,90%, sedangkan sisanya
yaitu 7,10 % dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam
model penelitian ini yang juga mempengaruhi variabel terikat. Disamping itu,
table teraebut juga memperlihatkan bahwa sumbangan efektif pemahaman
wawasan kebangsaan angkanya lebih tinggi dibandingkan sumbangan efektif
kesadaran sejarah.Dengan demikian variabel pemahaman wawasan kebangsaan
mempunyai peran yang besar dalam pningkatan sikap demokrasi siswa SMA
Negeri Banda Aceh.
Sumbangan efektife pemahaman wawasan kebangsaan menunjukkan
bahwa mempengaruhi sikap demokrasi siswa.Dngan demikian pemahaman
wawasan kebangsaan sebagai salah satu pengetahuan yang harus ada dalam materi
sejarah dan disampaikan kepada siswa mmberikan pengaruh dalam bentuk sikap
siswa.Adapun sumbangan relative yang diberikan oleh variabel pemahaman
wawasan kebangsaan terhadap sikap demokrasi sebesar 66,20 % dan sumbangan
relative variabel kesadaran sejarah terhadp sikap demokrasi sebesar 33,80%,
dengan demikian total dari sumbangan relative kedua variabel bebas terhadap
variabel terikat sebesar 100%.
Tujuan keenam membahas tentang penafsiran hipotesis berdasarkan table
8. Menjelaskan bahwa pengujian hipotesis antar variabel pemahaman wawasan
kebangsaan (X1) dengan variabel sikap demokrasi (Y).variabel kesadaran sejarah
(X2) dengan variabel sikap deokrasi (Y), serta variabel pemahaman wawasan
kebangsaan (X1) dan variabel kesadaran sejarah (X2) dengan variabel sikap
demokrasi (Y). hubungan dari variabel tersebut dapat dilihat sebagai berikut;
a) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara variabel X1 dengan
variabel Y yang ditunjukkan oleh niai koefisien koorelasi (ry1)= 0,955.
b) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara variabel X2 dengan
variabel Y yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (ry2) = 0,929
•••
333
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
c)
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara variabel bebas (X1 dan
X2) dengan variabel terikat (Y) yang ditunjukkan oleh nilai koefisien
korelasi (ry12)= 0,927.
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian teori, hasil penelitian dan pembahasan dalam bab
sebelumnya maka penelitian ini dapa disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman wawasan
kebangsaan dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan
koefisien korelasi sebesar 0,955 serta, adanya koefisien determinasi yang
menyatakan sumbangan pemahaman wawasan kebangsaan terhadap sikap
demokrasi sebesar 61,50%.
2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kesadaran sejarah
dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan koefisien
korelasi sebesar 0,926 serta adanya koefisien determinasi yang
menyatakan sumbangan kesadaran sejarah terhadap sikap demokrasi
sebesar 31,40%.
3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman wawasan
kebangsaan dan kesadaran sejarah secara bersama-sama dengan sikap
demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan koefisien regresi
pemahaman wawasan kebangsaan sebesar 0,676 dan kesadaran sejarah
sebesar 0,328 kemudian dengan mengunakan uji F diperoleh kriteria yang
dikehendaki yaitu Fhit 1661,481 > dari Ftab 1.224 dengan taraf
signifikansi 5%, serta adanya koefisien determinasi yang menyatakan
sumbangan pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah
terhadapa sikap demokrasi sebesar 92,90%.
DAFTAR PUSTAKA
Albatbach, P. (1998). Politik Mahasiswa: Perspektif dan Kecenderungan Masa
Kini. Jakarta: Gramedia.
Azwar, S. (2012). Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cresswell, W. J. (2015). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed. Jakarta: Gramedia.
Dewantara, K. H. (1977). Bagian Pertama; Pendidikan. yogyakarta: Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa.
Fadhilah, N. (2011). Penerapan Demokrasi di Lingkungan Gerakan Mahasiswa
UNISMA Bekasi. Kybernan, Vol. 2, No. 2.
Fedyani, a. (2008). Refleksi Karakter Bangsa. Bogor: Forum kajian antropologi
Indonesia.
Nugroho Putro, H. P. (1995). Kontribusi Pemahaman Makna sejarah Indonesia
abd XIX dan kesadaran sejarah terhadap sikap kepemimpinan mahasiswa
pendidikan sejarah. Surakarta: Pps IKIP Jakarta KPK UNS Surakarta.
Raka, G. (2011). Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: PT Alex Media
Kumputindo.
•••
334
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan (Pnelitian Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
•••
335
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
•••
336
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Bona Pasogit (Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat
Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)
Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan
Magister Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan
Tripanjaitan16@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji mengenai bagaimana proses pewarisan budaya
berlangsung di dalam keluarga marga Panjaitan, khususnya keluarga Turunan
Raja Hasoge Panjaitan. Adanya kebutuhan masyarakat Batak Toba untuk dapat
memahami seluk-beluk silsilah keluarganya dengan baik dan benar, dengan
mencari identitas kebatakan mereka yang nantinya sebagai sejarah keidupan.
Seperti kita lihat banyak saat ini masyarakat Batak Toba kembali peduli terhadap
bona pasogitnya bukan semata hanya mencari tanah makam, melainkan mencari
tahu tentang tarombo mereka dan akhir membentuk network sejalan dengan
tarombo tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai
proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga
Panjaitan. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana proses-proses pewarisan
budaya yang berlangsung, serta apa yang menyebabkan masyarakat kembali
peduli terhadap kampung halamannya. Dengan mengetahui proses pewarisan
budaya tersebut maka dalam hal ini suku Batak Toba tidak lagi mengalami
kegalauan dalam menetukan identitasnya. Berdampak positif terhadap upaya
revitalisasi nilai-nilai kebatakan tersebut sebagai sumber sejarah.
Kata Kunci : Bona pasogit, pewarisan budaya, revitalisasi nilai-nilai
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Indonesia merupakan Negara yang memiliki beragam suku bangsa, dan
mempunyai ciri-ciri tersendiri masing-masing daerahnya.Perkembangan
teknologi sangat mendukung penyebaran suku-suku bangsake daerahdaerahlain dengan meninggalkan daerah asalnya. Difusi kebudayaan pun
terjadi karena interaksi antar suku bangsa berlangsung. Didukung juga
nasionalisme yang tinggi dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa
Indonesia.Generasi muda sekarang telah mengenal beragam corak kebudayaan
yang dapat mengkaburkan budaya sukunya sendiri.
Kekaburan budaya yang dimaksud seperti, terjadinya pemakaian
bahasa Indonesia di rumah, dan tidak lagi mengerti tentang bahasa
daerahnya,tidak mengenal lagi asal usul sukunya,tidak lagi mengenal
kekerabatan seperti hal pemanggilan terhadap keluarga telah menggunakan
bahasa Indonesia, dalam suku bangsa Batak Toba memanggil“BapaUda”
dengan panggilan“Om”. Perubahan kebudayaan ini membuat kalangan orang
tua berusaha agar generasi muda tetap memahami kebudayaan
sukunya.Didalam kalangan generasi muda suku bangsa Batak Toba dalam hal
•••
337
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
partuturan banyak yang tidak paham. Bila ditanya dari mana marganya itu
berasal kebanyakan tidak mengetahuinya.Walaupun orang tua berusaha agar
anaknya mengetahui hal tersebut. Berbagai cara dilakukan orang tua agar
generasi muda tidak menghilangkan identitas ke Batakannya. Para orang tua
menganggap penting budaya Batak Toba itu diwariskan dan berupaya
mempertahakan kebudayaan Batak Toba. Satu diantara keluarga Batak
Tobamarga Panjaitan yang tinggal dikota Pematang siantar melakukan proses
pewarisan budaya. Keluarga Panjaitan ini kembali peduli terhadap Bona
Pasogit.
Kepedulian kembali keluarga marga Panjaitan terhadap Bona Pasogitnya teraplikasi melalui ritual adat seperti pesta Mangokal Holi, pendirian
tambak, melakukanr enovasi ruma-ruma, sopo, melakukan rapat-rapat
organisasi marga dalam usaha pengajuan nenek moyang sebagai pahlawan
nasional, acara mangojakhon harajaon (mewariskankerajaan) dan juga
berlibur.Dan juga pengenalan terhadap budaya Batak Toba seperti peningalanpeninggalan nenek moyang keluarga marga Panjaitan, tarombo (silsilah
keluarga), menceritakan perjalanan hidup nenek moyang kepada generasi
muda. Keluarga marga Panjaitan melakukan hal itu untuk mengetahui tentang
Bona Pasogit, yang telah lama ditinggalkan sejak melakukan migrasi ke
Pematang siantar.
Bona Pasogit marga Panjaitan ini terletak di Sitorang IBanjar Ganjang
Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Kawasan ini merupakan
tanah marga Panjaitan yang khususnya keturunan Raja Sijorat Paraliman
Panjaitan.Menurut Vergouwen (1986) tanah marga ini disebut juga bonani
pinasa (tempat asal leluhur) atau bonanipasogit(daerahleluhur).BonaPasogit
yang merupakan suatu daerah tempat tinggal nenek moyang orang Batak Toba,
yang disebut dengan huta. Para warga desa Banjar Ganjang ini diikat oleh
hubungan darah dan merupakan turunan dari satu leluhur yaitu Raja Sijorat
Paraliman Panjaitan.Dalam satu desa tersebut umumnya bermukim marga.
Panjaitan,hanya sebagian kecil marga lain berada dalam desa Banjar
Ganjang. Dalam desa itu terdapat ruma-ruma adat Batak, Tugumarga, tambak
(Kubur batu), Sopo maupun ruma-ruma (rumah), organisasi-organisasi salah
satu keturunan nenek moyang, yang mendapatkan kembali perawatan dan juga
pembuatan baru yang dilakukan para perantau saat ini telah bermigrasi ke
berbagai daerah. Satu diantara Sopo danTugu keturunan marga tersebut
merupakan milik dari keluarga marga Panjaitan keturunan Raja Hasoge
Panjaitan, keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini memiliki beberapa generasi
dan satu Sopo, tambak yang telah didirikan baru-baru ini dan peninggalanpeninggalan nenek moyang seperti alat-alat tenun, juga tongkat. Perhatian
terhadap bona pasogit semakin meningkat, walaupun keturunan Raja Hasoge
Panjaitan ini tidak satupun yang tinggal di Sopo itu, karena menetap di tanah
rantau dengan alas an pekerjaan dan juga beberapa Sopo juga mulai diperbaiki
oleh penduduk setempat.
•••
338
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Keluarga Raja Hasoge Panjaitan ini merupakan satu diantara suku
bangsa BatakToba yang bermigrasi ataupun merantau dari Tapanuli Utara ke
kota Pematang siantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Sitalasari. Kota
Pematang siantar merupakan kota yang heterogen yang memiliki suku yang
berbagai, yaitu Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, Melayu, Tionghoa.
Interaksi antar suku pun terjadi yang memungkinkan difusi kebudayaan juga
terjadi. Namun dengan kesadaran Keluarga Panjaitan ini terhadap pentingnya
budaya Batak Toba tersebut, sehingga mereka berusaha mempertahankan
kebudayaannya, mengenal kembali bona pasogit.
Seperti wakil Bupati Toba Samosir Liberty Pasaribu, mengatakan
bahwa pembangunan di bonapasogit melalui pendirian makam keluarga
(tambak) merupakan kepedulian dalam pelestarian budaya serta mengetahui
asal-usul silsilah dan upaya memahami budaya leluhur sambut beliau saat
menghadiri acara peresmian makam keluarga Tri Medya Panjaitan (DPR-RI)
pada 25 Juni 2011. Kabag Humas Toba Samosir Arwanto H. Ginting juga
mengatakan budaya ziarah menjadi wisata makam sebagai pelestarian budaya
di bonapasogit (http://humastobasa.wordpress.com) penulis juga turut hadir
dalam acara tersebut. Simanjuntak (2010:173) mengatakan nilai budaya
tradisional itu masih punya tempat dikalangan orang Batak masa kini, bahkan
sebagian masih sangat kuat kedudukannya dan mengharapkan hasil analisa
yang lebih dalam tentang budaya Batak Toba. Mantan Gubernur Sumatera
Utara Raja Inal Siregar, berusaha menghimbau para perantau Sumatera Utara,
terutama yang berasal dari Tapanuli untuk memperhatikan kembali kampung
halaman,dengan gerakan “Marsipature HutanaBe” (MHB) yang artinya mari
membangun desa masing-masing (Pelly292: 1994). MHB ini berfalsafah dasar
melestarikan nilai-nilai luhur di pedesaan (Ritonga 107:2000). Nilai-nilai
leluhur bisa berupa siapa sebenarnya nenek moyang mereka,dimana
makamnya, seperti apa perjalanan hidup nenek moyang mereka.Suku bangsa
Batak Toba berusaha menggalis silsilah kekeluargaan mereka yang dalam
bahasa Batak Toba “Tarombo”.
Hal diatas yang mendasari peneliti untuk meneliti proses pewarisan
budaya yang dilakukan dalam keluarga Panjaitan di Pematangsiantar. Karena
keluarga ini berusaha mempertahankan serta mencari tahu identitas ke Batakan
mereka. Selain itu juga penelitiakan melihat seperti apa proses pewarisan
budaya itu terjadi di Bona Pasogit mereka.
2. Tinjauan Pustaka
Suku bangsa Batak adalah Proto Malayan samaseperti bangsa Toraja,
bukan Neo Malayansepertibangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda,
Madura. Suku Bangsa Batak semula adalah satu dari Proto Malayan Tribes,
dipegunungan perbatasan Burma (Thailand). Disitu suku Bangsa Batak ribuan
tahun lamanya bertempat tinggal dengan suku-suku Bangsa Proto Malayan
Tribes lainya (Parlindungan 1964 : 19). Dan Parlindungan (1964 : 19-22)
berpendapat suku bangsa Proto Malayan Tribes ada 8 suku yaitu:suku bangsa
•••
339
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Karen, suku bangsa Ranau, suku bangsa I gorot, suku bangsa Meo, suku
bangsa Toraja, suku bangsa Tayal, suku bangsa Botoc, suku bangsa Wadjo.
Suku bangsa Igorotlah mendarat di Pantai Barat Pulau Andalas
berangkat bermigrasi dari Burma karena serangan Bangsa Mongol. Disitu suku
bangsa Batak terpisah ada yang mendarat dipulau Simalur, Nias, Batu,
Mentawai. Dan juga ada yang mendarat di Sungai Simpang,yang sekarang
adalah Singkil, Aceh. Dan terakhir mendarat di muara sungai Sorkam, antara
Barus dan Sibolga. Memasuki pedalaman sampai di kaki Gunung Pusuk Buhit,
ditepi Danau Toba sebelah Barat, di seberang Pangururan,Kab.Toba Samosir.
Menurut Bruner(dalam Nainggolan 2006:44) Orang Batak sendiri yang
menyebut diri mereka sebagai halakhita (orang kita).‘orang kita’berasal dari
nenek moyang yang sama: Si Raja Batak. Mereka mengindifikasi diri mereka
atas dasar hubungan keluarga. Menurut Sang ti (1977:26) suku bangsa Batak
sebagai satu diantara suku bangsa dari rumpun Melayu. Asal
kata‘Batak’berasal dari kata ‘Bataha’sebagaina masa tuantara kampong di
Burma,yang merupakan asal orang Batak sebelum menyebar kepulauan
Nusantara.
Vergouwen (1986:43) menyebutkan golat adalah tanah wilayah suatu
marga, yang saat digunakan sebagai tempat upacara persembahan disebut bius.
Menurut Vergouwen warisan dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari tanah
milikorang yang sudah meninggal, serta kekayaannya yang lainya itu rumah,
lumbung padi (sopo), ternak, pepohonan, barang bergerak, hutang-piutang, dan
uangnya (Masinambow 2000:288). Setelah menyebar di berbagai daerah dan
berusaha beradaptasi didaerah masing-masing orang Batak membutuhkan
bantuan sesama orang Batak sehingga terbentuklah network. Network
merupakan hubungan pribadi yang mempunyai ikatan satu sama lain. Ikatan ini
dapat terjadi diantara individu, rumah tangga, keluarga, tetangga, kolega,
teman sekelompok social lainnya. Keuntungan masuk network dapat meminta
bantuan dari orang lain, tetapi juga harus memenuhi kewajiban moral untuk
saling bertukar dan berbagi bersama (Schweizer dalamNainggolan 2006 : 141).
Cavalli-Sforza dan Felman (dalam Jhon W. Berry 1999)
mengistilahkan pewarisan budaya satu generasi kegenerasi ini sebagai
“pewarisan tegak”, karena melibatkan penurunan ciri-ciri budayaorang tua ke
anak cucu. Pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai budaya, keterampilan,
keyakinan, motif budaya, dan sebaginya kepada anak-cucunya. Pewarisan
budaya memiliki dua bentuk , mendatar dan miring. Dalam bentuk miring
pewarisan budaya bersumber dari orang dewasa lainnya, bias dari
kelompoknya sendiri, serta kelompok lainya. Dalam bentuk mendatar
pewarisan budaya tersebut bersumber dari teman sebaya.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana marga Panjaitan melakukan proses pewarisan
budaya.Dan bagaimana marga Panjaitan menemukan kembali identitas
•••
340
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
lamanya yang telah mengalami kekaburan. Rumusan tersebut diuraikan dalam
pertanyaan penelitian berikut :
1.Apa arti Bona Pasogitbagi orang Batak Toba?
2.Bagaimana proses pewarisan budaya Batak Toba di Bona Pasogit tersebut
berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan?
4.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pewarisan budaya yang
berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Dan mengetahui tujuan proses
pewarisan budaya tersebut dilakukan. Manfaat penelitian secara akademis adalah
untuk memperkaya literatur mengenai kehidupan marga panjaitan tersebut dalam
persepektif Antropologi. Sedangkan manfaat secara praktis yaitu berguna bagi
masyarakat umum dan akademis secara khusus, sebagai salah satu sumber
informasi tentang Bona Pasogit marga Panjaitan. Selain itu menghimbau
masyarakat Batak Toba berusaha mencari Bona Pasogit keluarga mereka.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Peneliti akan menggunakannative’spointofve mengenai proses-proses
pewarisan budaya tersebut. Dengan memakai metode penelitian kualitatif
diharapkan akan dapat membantu dalam menggali informasi sebanyak mungkin di
lapangan mengenai proses pewarisan budaya yang ada dalam kehidupan
keturunan Raja Hasoge Panjaitan, sehingga didapat data yang diinginkan tentunya
berdasarkan observasi dan wawancara di lapangan. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian guna mendapatkan data-data dilapangan antara
lain:
1.5.1.Teknik Observasi Partisipasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati berbagai hal seperti tempat, siapa
pelaku yang terlibat, benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam proses
pewarisan budaya yang dilakukan keluarga keturunan Raja Hasoge Panjaitan.
Dalam hal ini peneliti mengikuti proses yang berjalan dalam proses pewarisan
tersebut karena penulis sendiri juga keturunan Raja Hasoge Panjaitan. Proses
pewarisan ini diikuti penulis sendiri dengan cara mengikutiacara-acara organisasi
marga yang dibentuk oleh marga Panjaitan itu sendiri. Rapat-rapat organisasi
marga tersebut selalu diikuti oleh penulis setiap hari minggunya yang
dilaksanakan ditempat penelitian penulis di sitorang. Dan juga rapat-rapat
organisasi marga yang dilakukan secara formal maupun tidak formal yang
diadakan di Pematang siantar. Penulis juga memberikan ide-ide didalam rapat
tersebut sebagai partisipasi penulis mengikuti rapat-rapat tersebut. Dan juga
penulis mengamati cara-cara sangayah sendiri dalam mewariskan budaya Batak
Toba itu terhadap generasi-generasi muda Panjaitan baik di Pematang siantar dan
juga Sitorang, KabTobasa. Dan juga dalam renovasi sopo penulis juga turut aktif
•••
341
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
dalam kegiatan ini. Penulis ikut membantu dan juga sambil mengobservasi
bagian-bagian sopo dan apa-apa saja yang masih tertinggal didalam sopo tersebut.
Dengan cara tersebut peneliti dapat memperoleh informasi awal untuk lebih
mendalami tentang cara-cara pewarisan budaya yang dilakukan. Dari hasil
pengamatan atau observasi, peneliti menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan
sekaligus menyimpan dan mengarsipkan data yang dilakukan dengan dalam
bentuk foto dan video. Sumber dan jenis data itu berupa kata-kata dan tindakan,
sumbertertulisberupadokumen-dokumen pribadi, foto-foto dan data statistic
(Moleong 2006: 157-162)
1.5.2.Teknik Wawancara Lapangan
Wawancara adalah komunikasi dua atau lebih orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui Tanya jawab,sehingga dapat dikonstruksikan mana
dalam topic tertentu.Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam,dimana peneliti dan informan saling berkomunikasi,
berdiskusi didalam kehidupan social keluarga keturunan Raja Hasoge Panjaitan
setiap harinya. Peneliti juga dibantu dengan pedoman wawancara (interview
guide). Semua orang yang terlibat dalam proses pewarisan budaya tersebut dapat
dijadikan informan agar mendapatkan data yang lebih akurat. Dan dalam rapatrapat organisasi marga penulis juga melakukan wawancara sebelum rapatdimulai,
yang mana akan menjadi informasi awal dalam pembahasan tentang informasi
bonapasogit itu sendiri. Dalam renovasi sopo peneliti juga mempertanyakan
latarbelakang sopo itu dibangun dan untuk apa sopo itu direnovasi.Dengan
demikian peneliti dapat lebih akurat mendapatkan data-data yang dibutuhkan
dalam penulisan laporan penelitian ini.
Selain itu peneliti juga akan menggunakan data kepustakaan guna
melengkapi informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data
kepustakaan dapat diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti berkasberkas, buku-buku, majalah koran, dan sumber elektronik seperti televisi, radio,
internet. Data tersebut digunakan sebagai pelengkap dan penyempurna hasil dari
observasi dan wawancara. Peralatan visual juga akan sangat membantu dalam
pengumpulan data-data dalam penelitian ini. Seperti alat rekam dan kamera yang
penggunaannya terlebih dahulu harus disetujui oleh informan.
HASIL
Penelitian ini merupakan pengalaman penulis saat mengikuti penyelesai
sengketa tanah di kampung halamannya di Desa Sitorang pada tahun 2002.
Sengketa tanah ini terjadi karena seorang warga desa mengaku bahwa tanah yang
merupakan hak milik dari keluarga penulis adalah kepemilikan oleh warga desa
tersebut. Dan dalam penyelesaiannya yang sampai pada kantor Kecamatan Silaen.
Penulis yang merupakan anak laki-laki tunggal dalam keluargatersebutmengikuti
setiap tindakan dalam hal penyelesaian masalahnya. Pada tahun 2010 akhir
sengketa tanah tersebut berakhir dan keluarga penulis mensepakati merenovasi
tambak yang ada disekitar tanah sengketa tersebut dan melakukan acara
•••
342
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
mangokalholi. Pada saat itu penulis masih duduk di semester II Antropologi Sosial
di Universitas Sumatera Utara. Dalam mengikuti kuliah-kuliahnya sebagai
mahasiswa Antropologi, penulis berusaha ingin menulis hal-hal yang terjadi di
kampung halamannya ini, penulis mulai mengumpulkan data melalui obeservasi
partisipasi. Dan pada tahun 2013 penulis diberi ijin melakukan penelitian ke
kampung halamannya tentang proses-proses pewarisan budaya yang ada di Bona
Pasogit.
Pada awalnya penulis memberikan surat ijin penelitian terhadap ketua
organisasi marga Panjaitan sektor jalan Bali kota Pematang siantar, yaitu bapak
Raja Hasoge II Timbul Panjaitan IXV. Beliau merupakan ayah penulis sendiri,
dengan mengetahui hal tersebut beliau bertanya :“mau seperti apa nantinya isi
skripsimu itu? Penulis menerangkan dengan singkat tujuan penelitian ini nantinya.
Dan beliau membantu member jalan dalam penelitian ini. Beliau mengajak peneliti
untuk ikut dalam rapat organisasi KTRSPPB (Kesatuan Turunan Raja Sijorat
Panjaitan dan Boru) yang saat itu diadakan di Hutanamora Kab.Tobasa rumah
bapak Kol. Purn. Busisa Panjaitan. KTRSPPB ini merupakan network orang Batak
marga Panjaitan yang dihubungankan melalui sebuah kerajaan yang ada pada
masa nenek moyang dan turun-temurun bergenerasi. Penulis merasa senang karena
desa tersebut dekat dengan lokasi penelitian penulis. Sampai di desa tersebut
beliau memperkenalkan penulis dengan Kepala desa Hutan amora dan kepala
Desa Sitorang 1,yang bernama Binahar Panjaitan dan Gosen Panjaitan. Beliau
menerangkan bahwa desa Hutanamora itu dulunya termasuk desa Sitorang. Desa
Sitorang pada saat ini terbagi menjadi empat desa, dan desa Sitorang masih dalam
pengusulan menjadi sebuah kecamatan. Penulis pun menjadi bingung karena surat
ijin penelitian penulis ditujukan kepada Kepala Desa Sitorang, dan desa Sitorang
terbagi menjadi empat desa. Kepala desa Hutan amora member solusi, dan
mengijinkan saya melakukan penelitian di tempat bonapasogit penulis. Dan dalam
rapat tersebut juga hadir keempat kepala desa yang dulunya desa Sitorang, mereka
mengijinkan saya melakukan penelitian, karena dulunya semua desa ini memang
kekuasaan Raja Panjaitan, demikian mereka menjelaskan. Rapat pun dimulai
ternyata rapat tersebut menjawab pertanyaan penelitian penulis secara umum,
KTRSPPB akan dibentuk sebagai wadah penyaluran informasi-informasi tentang
nenek moyang khususnya Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. KTRSPPB ini
digagasi oleh Ir. Pandapotan Panjaitan, Abdul Panjaitan dan St.Raja. Hasoge
Panjaitan KTRSPPB ingin mempertahankan identitas ke Batakan mereka dan
mereka berusaha mencari tahu silsilah nenek moyang mereka yang sebenarnya
dari turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan tujuan utama KTRSPPB
memperjuangkan Raja Sijorat ke VIII Tua Raja Panjaitan menjadi pahlawan
nasional. Dalam benak penulis menyatakan inilah proses pewarisan budaya
tersebut, karena sang ayah membawa penulis mengikuti rapat-rapat organisasi
marga agar mengetahui ide-ide dan tujuan organisasi tersebut. Kemudian para
penggagas KTRSPPB melakukan pembentukan kepanitian untuk melaksanakan
Pesta Deklarasi KTRSPP se-Sumatera Utara. Binahar Panjaitan terpilih menjadi
ketua pesta deklarasi ini. Setelah itu penentuan program kerja pengumpulan dana
•••
343
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
untuk pesta ini nantinya. Gagasan pun muncul rencana melakukan penerbitan
buku. Buku itu merupakan isi dari sejarah kegiatan hidup Raja Sijorat Paraliman
Panjaitan semasa menduduki kerajaanSijorat.Penulis memberi pendapat dirapat
tersebut: “Amang apakah buku ini nantinya berbahasa Indonesia, saya piker jika
berbahasa Indonesia sebaiknya kita urus ISBNnya agar lebih terjaga buku ini tidak
dicopy sebarang oleh orang lain ujar penulis. Ketua KTSPPB yaitu Ir. Pandapotan
Panjaitanpun menyatakan:“Homa anon pahopu na mambaen igabe bahasa
Indonesia, ai marbahasa Batak dope bukku taianon. molo ho kan nungga
maloanon mambahasa Indonesiakan i” , artinya“ kamulah nanti cucuku yang
mengubahnya itu menjadi bahasa Indonesia, nantinya buku ini akan terbit
berbahasa Indonesia. Kamu kan nantinya lebih pintar menyusun buku ini menjadi
bahasa Indonesia”. Penulis pun semangat mendengar hal tersebut, dan berencana
akan melakukan hal tersebut. Keesokan harinya penulis diajak para panitia pesta
mendatangi Tugu Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Penulispun mengendara mobil
menuju ke tugu tersebut, selama di perjalanan penulis melihat hamparan padi yang
hijau yang dilindungi oleh perbukit-bukitan. Penulispun bertanya “Luas juga
Sitorang ini amang”, seseorang berbicara, penulis melihat ke kaca spion dalam
ternyata Penasehat KTRSPPB selaku orang yang tinggal di Desa Sitorang
St.Malatang Panjaitan.“Sitorang on nunggu pas gabe Kecamatan molo i ida sian
luas na, ida ho ma bukit i disi ma Desa sibide, i desa i ma Raja Sijorat mambaen
banteng pertahan tingki bolanda nnungga sahat tu sitorangon, sian sibidei boita
ida tao toba, PT.PULP Lestari, Sungai Asahan, molo mardalan torus 2 borngin
sahat ma i tutanjung balai, ai sian ni do rajai ma nohor si ratu tanjung balai
tinggi muara i kuasai bolanda”. “ Sitorang ini sudah cocok dijadikan sebuah
kecamatan bila dilihat dari luasnya, kamu lihatlah perbukitan disana, itulah yang
bernama desa Sibide letak dari benteng pertahanan Raja Sijorat Paraliman
Panjaitan ketika Belanda telah masuk ke Sitorang. Dari desa Sibide itu bisa kita
memandang Danau Toba, PT.PULPLESTARI, Sungai Asahan, dan jika berjalan
di malam hari bias sampai ke Tanjung balai, itu adalah jalur Raja Sijorat
Paraliman Panjaitan menuju Tanjung Balai melakukan perdagangan membeli
garam. Tidak beberapa lama kemudian sampailah ditugu Raja Sijorat Paraliman
Panjaitan Lumban Tor Sitorang. Acara ritual ziarahpun dilaksanakan 9 lembar
daun sirih dan 9 jeruk purut diletakkan di masing-masing cawan yang terbuat dari
tanah liat, dan penulis bertanya “Amang kenapa harus sembilan? Abdul Panjaitan
pun menyebutkan karena di tugu ini ada delapan Raja Sijorat dan 1 lagi masih di
Bandung belum dipindahkan yang bernama “Raja Sijorat Raja Saidi Tudo Tua
Panjaitan”. Kesembilan Raja itu adalah :
1. Raja Sijorat Paraliman Panjaitan
2. Raja Sijorat Rahi Sumodung (1625-1685)
3. Raja Sijorat Puraja Pane (1685-1745)
4. Raja Sijorat Somba Debata (1745-1805)
5. Raja Sijorat Pahutar (1805-1845)
6. Raja Sijorat Si Mumbol-Umbol (1845-1865)
7. Raja Sijorat Pun Sohalompoan (1865-1880)
•••
344
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
8. Raja Sijorat Pun Tua Radja (1880-1988)
9. Raja Sijorat Radja Saidi Todo Tua (1988- sekarang)
Setelah beberapa hari dekat dengan kepanitian pesta deklarasi
tugu KTRSPPB. Sosialisasi pesta pun diadakan ke berbagai
kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara.Penulis hanya mengikuti ke
beberapa kabupaten/kota, yakni Tarutung, Sipahutar, Sibaha-ulu,
Simalungun, dan Pematang siantar. Dalam sosialisasi yang diikuti,
penulis melihat beberapa orang tua yang sudah berumur sekitar 40an
masih banyak yang tidak mengetahui silsilah, dan kisah-kisah nenek
moyangnya.
KESIMPULAN
Bonapasogit merupakan sebuah tanah nenek moyang yang diwariskan secara
turun-temurun sebagai bukti keberadaan sebuah marga dizaman kehidupan
nenek moyang yang dikenalkan kegenerasi berikutnya. Juga bona pasogit
bermanfaat sebagai wadah pembentukan organisasi-organisasi marga, wadah
pencarian tarombo turunan marga. Dalam mempertahankan budaya Batak
Toba khususnya marga Panjaitan, para orang tua melakukan pembentukanpembentukan kesatuan turunan nenek moyang. Kesatuan ini nantinya
berfungsi mempererat sistem kekerabatan yang ada, menjadi wadah belajar
bagi generasi muda dalam mengetahui seluk beluk nenek moyang mereka dan
mengetahui sistem kekerabatan yang ada dalam budaya Batak Toba.
Berdasarkan pengalaman penelitian penulis selama dilapangan dan
berdasarkan pengalaman dalam menyelesaikan tulisan ini maka penulis
memiliki saran sebagi berikut :
• Para generasi muda marga Panjaitan agar lebih menanam rasa ingin tahu
terhadap asal-usul marganya tersebut, mengetahui Panjaitan generasi
keberapa dirinya. Agar dapat membantu melestarikan kebudayaan marga
Panjaitan, dan tidak disebut orang sebagai Panjaitan “Dalle” (dang lengkap
=Tidak Lengkap).
• Para orang tua marga Panjaitan agar lebih peduli terhadap generasi muda,
dan melibatkan generasi muda dalam menjalankan program network
Panjaitan di KTRSPPB wilayah masing-masing kordinator.
•••
345
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Berry, Jhon W, et al. (1999). Psikologilintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gultom Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta. PT. Bumi Aksara
Hasselgren,Johan. (2008). Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas EtnoReligius Batak Toba Di Medan (1912-1965). Medan : Bina Media Perintis
Hutauruk, J.R. (2013). Menjadi Manusia Mandiri: Johannes Warneck di
Pansurnapitu dan Sipoholon 1896-1906. Medan:Lembaga Pemberdayaan
Media dan Komunikasi (LAPiK)
Ihromi, TO. (2006). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta. Yayasan Obor
Indonesia
Kuntjoro-Jakti Dorodjatun. (1986). Kemiskinan di Indonesia. Jakarta. Yayasan
Obot Indonesia.
Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Pt. Rineka Cipta
Masinambow, K.M. (2000). Hukum Dan Kemajemukan Budaya. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia
Moleong, Lexy .J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Pt. Remaja
Rosdakarya.
Nainggolan, Tagor. (2006). BATAK TOBA DI JAKARTA; Kontinuitas dan
Perubahan Identitas. Medan : Bina Media Perintis
________ (2012). Batak Toba; Sejarah dan Transformasi Religi, Medan : Bina
Media Perintis
Panjaitan, Radja Musa, et al. (1971). Riwayat Radja Pandjaitan: Putera Batak
Tokoh Nasional, Medan Panitia Tugu Raja Panjaitan
Parlindungan, Mangaradja Onggang. (1964).TUAN KU RAO, Tandjung
Pengharapan
Pelly Usman. (1994).Urbanisasi dan Adaptasi “Peran Misi Budaya Minangkabau
dan Mandailing”, Jakarta, PT Pustaka LP3ES Indonesia
Purba O.H.S, Elvis F. Purba. (1998).Migran Batak Toba di luar Tapanuli Utara :
Suatu Deskriptif. Medan, CV Monora
Ritonga Jhon Tafbu. (2000).MHB “Marsipature Hutana Be” Pembangunan Desa
Menuju Otonomi Daerah, Jakarta, PUSTAKA QUANTUM
Sangti Batara. (1977).Sejarah Batak, Balige Karl Sianipar Company
Saragih, Sortaman. (2008).Orang Simalungun, Depok CV CITAMA VIGORA
Siahaan, Nalom. (1982). Adat Dalihan Na Tolu Prinsip dan
Pelaksanaanya,Jakarta: Grafina
Sihombing,T.M. (1986).FILSAFAT BATAK “Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat
Istiadat”. Jakarta:Balai Pustaka
Simanjuntak, Bungaran Antonius. (2002). Konflik Status & Kekuasaan Orang
Batak Toba, Yogyakarta: Jendela
______ .(2010). Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya),
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
______ (2011)Pemikiran tentang Batak ; Setelah 150 Tahun Agama Kristen
diSumatera Utara, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia
SinagaAnicetus B. (2012).TAMAN MONUMEN DALIHAN NATOLU BATAK,
Medan. Bina Media Perintis.
•••
343
SEMINAR NASIONAL
Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis
Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017)
Tampubolon, D.P. (2005).Kesaksianku sebagai guru anak bangsa, Medan
Universitas Negeri Medan (UNIMED).
Tinambunan, Djapiter (2010)Orang Batak Kasar?; Membangun Citra dan
Karakter, Jakarta. PT Elex Media Komputindo
Vergouwen J.C. (1986).Masyarakat dan hukumadat Batak Toba. Jakarta: Pustaka
Azet.
Sumber lainnya :
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Pematangsiantar (diakses tanggal 18Maret
2013, pukul 08.29 WIB)
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak (diakses tanggal 15 maret2013,
pukul 19.30 WIB)
http://humastobasa.wordpress.com/2001/06/30/wabup-“terima-kasih- untukingat-dan-peduli-bona-pasogit” (diakses tanggal 08 April 2013)
http://www.slideshare.net/thousandmark/profil-kecamatan-silaen-2011 (Diakses
tanggal 21 Juni 2013)
•••
344
SENI DONGKREK & PKI MADIUN: ANTARA BUDAYA DAN SEJARAH
Sharfina Nur Amalina, Djono, Leo Agung S.
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
sharfinaamalina@gmail.com
ABSTRAK
Madiun merupaka kota yang memiliki sejarah dalam ancaman disintegrasi bangsa
yakni pemberontakan PKI Madiun. PKI sendiri telah berdampak pada kehidupan
masyarakat Madiun. Dampak yang ditimbulkannya yakni pada bidang sosial,
ekonomi, juga terhadap bidang budaya. Dalam bidang budaya disini yang
dimaksud adalah kesenian khas Madiun yakni seni Dongkrek. Tentu mengenai
sejarah pemberontakan tersebut telah diketahui oleh masyarakat secara luas,
namun disini Madiun memiliki sejarah lokal sendiri selain pemberontakan PKI.
Seni Dongkrek meiliki sejarah yang panjang di daerah Madiun. Dongkrek
merupakan kesenian asli daerah Madiun yang lahir pada tahun 1987 yang
didirikan oleh R. Ngabei Lo. Prawirodipuro. Sebelum dianggap sebagai seni,
Dongkrek merupakan upacara ritual untuk mengusir pagebluk atau nasib buruk
pada masa itu. Selain menjadi sebuah seni khas Madiun, Dongkrek dalam
sejarahnya memiliki perjalanan yang cukup panjang yang terjadi di Madiun.
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan local genius seni Dongkrek yang
dalam perkembangannya sempat dipengruhi oleh PKI. Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Metode pengumpulan data dalam
riset ini adalah dengan melakukan wawancara dan observasi data yang diambil
dari beberapa literatur baik itu berupa jurnal, buku, dan beberapa sumber lainnya
yang dianggap reliable. Penelitian ini menunjukkan local genius seni Dongkrek
yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah serta sejarahnya dengan
pemberontakana PKIdi Madiun.
Kata Kunci : Budaya, Dongkrek, PKI Madiun,
Pendahuluan
Ancaman disintegrasi atau perpecahan bangsa memang bukan persoalan
yang kecil. Disintegrasi bangsa adalah keadaan tidak bersatu padu yang
menghilangnya keutuhan atau persatuan serta menyebabkan perpecahan,
disintegrasi bangsa disebabkan karena rasa tidak puas dan ketidakadilan
masyarakat terhadap pemerintah yang mengakibatkan pemberontakan atau
separatisme. Tidak hanya merupakan masalah di masa lalu saja. Potensi
disintegrasi pada masa kinipun bukan tidak mungkin terjadi kembali. Karena
itulah kita harus terus dan selalu memahami betapa berbahanya proses disintegrasi
bangsa bila terjadi bagi bangsa Indonesia. Sejarah di masa lalu telah menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki sejarah kelam mengenai ancaman disintegrasi bangsa.
Beberapa wilayah di Indonesia terjadi berbagai pemberontakan. Penyebab
dari pemberontakan bisa dkategorikan karena ideologi yang dianut, kepentingan
kelompok tertentu, yang kemudian pergolakan dikarenakan perbedaan sistem
pemerintahan. Salah satu wilayah yang pernah mengalami pemberontakan adalah
Madiun. Pada tahun 1948 ditandai dengan pecahnya pemberontakan besar
•••
345
pertama setelah Indonesia merdeka, yaitu pemberontakan PKI yang berada di
Madiun. Sedangkan di tahun 1965 merupakan tahun dimana berlangsung
peristiwa G30S/PKI yang berusaha merebut kekuasaan dan mengganti ideologi
pancasila.
Sejarah mengenai Partai Komunis Indonesia memang menjadi salah satu
sejarah yang cukup sensitif hingga saat ini. Sejarah pemberontakan PKI Madiun
telah menjadi masa lalu yang kelam bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia
terutama bagi masyarakat di wilayah Madiun. Upaya-upaya PKI untuk
melaksanakan kepentingan kelompoknya yang tak lepas dari kekejaman telah
dikenal oleh masyarakat secara luas. PKI sendiri telah banyak mempengaruhi
berbagai bidang kehidupan dalam masyarakat terutama bagi masyarakat Madiun.
Begitu pula berpengaruh terhadap perkembangan kesenian khas Madiun
Dongkrek.
Seni Dongkrek merupakan kesenian yang lahir pada tahun 1867 yang
diciptakan oleh Raden Bei Lo Prawirodipuro. Dongkrek terdiri dari perpaduan
antara seni tari, seni musik, seni drama, dan seni topeng. Pada awal penciptaannya
kesenian tersebut bukanlah difungsikan sebagai sebuah seni pertunjukan
melainkan sebagai sebuah upacara ritual untuk mengusir pagebluk atau yang juga
diartikan sebagai sebuah nasib buruk. Pagebluk yang menimpa wilayah Madiun,
khusunya daerah Mejayan pada saat itu membuat khawatir masyarakat. Oleh
sebab peritiwa yang melanda masyarakat Madiun tersebut diciptakanlah sebuah
ritual upacara untuk mengusir bala. Yang kemudian dalam perkembangannya
telah beralih fungsi menjadi sebuah kesenian yang sangat terkenal dan digemari
oleh masyarakat Madiun dan sekitarnya. Dongkrek sebagai sebuah upacara ritual
yang kemudian menjadi sebuah pertunjukan seni yang memukau ternyata dalam
perkembangannya juga sempat beralih fungsi kembali. Dongkrek sebagai sebuah
pertunjukan
mampu menggerakkan massa yang cukup besar karena
keberadaannya sangat dekat dan sangat dinikmati sebagai sebuah seni yang sangat
menghibur masyarakat Madiun dan sekitarnya. Kemampuan seni Dongkrek untuk
menggerakkan massa dalam jumlah besar tersebut mengundang ketakutan PKI
yang khawatir apabila massa tersebut bisa digunakan untuk mengumpulkan
kekuatan melawan mereka.. Sehingga, disekitar tahun 1965 hingga tahun 1975
seni Dongkrek telah dilarang dan mengalami kemunduran.
Artikel ini memiliki perbedaan dari beberapa penelitian sebelumnya yang
sama-sama mengangkat tema mengenai kesenian Dongkrek dan hubungannya
dengan PKI. Dalam penelitian oleh Jaecken MP dengan judul Seni Dongkrek
Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun tahun 1965-1981 merupakan artikel
yang lebih cenderung membahan tentang perkembangan seni Dongkrek.
Kemudian artikel oleh Wahyuni Suryaningsih dkk yang berjudul Dongkrek
Madiun : Menari di Atas Tradisi dan Identitas PKI Tahun 1867-19488, dalam
artikel penelitian tersebut memang membahas adanya keterkaitan antara seni
Dongkrek dan PKI Madiun namun tidak membahas secara mendalam mengenai
bentuk strategi politik yang dilakukan PKI melalui seni Dongkrek. Tulisan
tersebut cenderung lebih banyak menjelaskan mengenai kesenian Dongkrek yang
dimanfaatkan oleh PKI di Madiun untuk tujuan politik. Dari penelitian-penelitian
sebelumnya mengenai seni Dongkrek kemudian juga hubungan antara keduanya
•••
346
memiliki perbedaan dalam penelitian ini yang lebih condong terhadap pengenalan
salah satu sejarah lokal Madiun selain PKI Madiun serta pengaruh PKI yang
membuat kesenian daerah tersebut mandeg selama beberapa tahun lamanya.
PKI Madiun dan kesenian Dongkrek keduanya merupakan sejarah lokal
yang berada di kota Madiun yang masing-masing sangat penting dalam perjalanan
kehidupan masyarakat di wilayah Madiun. Sebagai sebuah sejarah lokal yang
belum banyak diketahui oleh masyarakat secara luas, bahwa salah satu kesenian
khas Madiun tersebut aktifitas dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia pada
sekitar tahun 1965-1975, hal tersebut membuat penulis tertarik dan terdorong
untuk menHasil dan Pembahasanuliskannya terutama untuk mengenalkan seni
dongkrek sebagai salah satu sejarah lokal yang berada di madiun serta potensinya
yang dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah.
Analisis Pemecahan Masalah
Artikel penelitian ini merupakan hasil dari studi literatur yang mana
penulisannya bersumber dari beberapa literatur penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti lain. Adapun permasalahan yang dikaji melalui studi literatur dalam
penelitian ini adalah : 1) Bagaimana dampak PKI Madiun terhadap masyarakat
Madiun, 2) Seni Dongkrek sebuah budaya dan tradisi lokal sebagai sumber
penulisan sejarah
Hasil dan Pembahasan
1. Dampak PKI terhadap masyarakat Madiun (Sosial, Ekonomi, Budaya)
Pemberontakan PKI di Madiun terjadi pada bulan September 1948.
Pemberontakan dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat PKI (FDR/PKI)
berhasil menguasai Madiun dan mendirikan Republik Soviet Indonesia pada
tanggal 18 Sepetember 1948. Dampak dari PKI yang berada di Madiun telah
dirasakan oleh masyarakat Madiun, baik itu di bidang Sosial, Ekonomi
maupun juga dalam bidang budaya. Dalam bidang sosial tentu dapat diketahui
bahwa peristiwa Madiun tersebut telah menelan banyak korban jiwa.
Berdasarkan ringkasan laporan pertanggal 9 November 1948 dapat diketahui
bahwa banyak korban jiwa yang berjatuhan selain kerugian materiil akibat
Peristiwa Madiun tersebut, (Ratnasari, Vol : XXII, No :2, Juli 2015, hal. 146).
Pamong Pradja yang terdiri dari berpangkat pembantu A.W. sampai Bupati
sebanyak 18 orang dilaporkan hilang dan gugur, bagian Penerangan 15 orang
gugur dan hilang. Pendidikan pengajaran dan kebudayaan 25 orang gugur dan
hilang, guru sekolah Rakyat agama dan kepala SMP. Bengkel KA 3 orang
gugur, pegawai dan opzicther. Kesehatan 2 orang mantri kesehatan gugur.
Cukai 1 orang hilang, Perburuan sosial 3 orang hilang. BPR orang gugur,
pengadilan 2 orang gugur, kepolisian Negara 94 orang gugur dan hilang
berpangkat agen sampai komisari. Puluhan mayat ditemukan di desa Dungus,
ratusan rumah telah dibakar. (Ratnasari, Vol : XXII, No :2, Juli 2015, hal.
146). Menurut Ried dalam Ratnasari, peristiwa Madiun merupakan suatu
tragedi besar, bukan hanya karena menelan banyak korban jiwa, melainkan
juga karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara Kiri dan Kanan
(Ratnasari, Vol : XXII, No :2, Juli 2015, hal. 147).
•••
347
Peristiwa yang terjadi di Madiun tersebut memang meninggalkan
cerita tersendiri dalam kehidupan terutama bagi masyarakat Madiun.
Masyarakat ketakutan akibat kekejaman dan ancaman dari pihak PKI.
Masyarakat juga lebih memilih untuk menutup mata mengenai peristiwa yang
mereka saksikan. Masyarakat lebih memilih diam dan tidak banyak yang
bercerita tentang Peristiwa Madiun. Masyarakat lebih memilih untuk
cenderung tertutup apabila ditanya mengenai apa yang terjadi pada saat
persitiwa PKI Madiun. Peristiwa tersebut sepertinya memang sangat
membekas dan menimbulkan trauma yang cukup dalam di antara masyarakat
Madiun. Adanya rasa ketakutan dari masyarakat yang dikhawatirkan apabila
mereka ikut campur akan berdampak pada kehidupannya sendiri maupun
pada anak cucu mereka. Sehingga sebagaian masyarakat enggan untuk untuk
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, sebgaian besar masyarakat yang
berada di sekitar Kresek yang mengetahui tentang peristiwa pembunuhan
massal lebih memilih diam. Meskipun demikian memang masih ada warga
masyarakat yang mau menjadi saksi sejarah.
Di bidang lain peristiwa pemberontakan PKI Madiun membawa
dampak yang juga ikut memperngaruhi aktifitas masyarakat di Madiun.
Dalam bidang Ekonomi yang mana mayarakat Madiun sebagaian besar
merupakan petani pada saat itu berdampak pada terganggunya pendistribusian
hasil pertanian. Pihak PKI aktif melakukan sabotase terhadap beberapa media
transportasi seperti jembatan dan rel kereta api. Hal tersebut kemudian
mengakibatkan jalur transportasi terganggu yang berdampak pula pada
terganggunya pendistribusian hasil pertanian. Dampak lain juga berimbas
terhadap barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, padi, gaplek, gula,
minyak tanah, minyak kelapa, di wilayah Madiun sempat mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan harga-harga kebutuhan pokok di
berbagai kota seperti Surabaya, Malang, Bojonegoro, dan Kediri. Wilayah
Madiun yang sebagaian besar merupakan wilayah pertanian dan tidak
menjual hasil pertaniannya ke kota lain tetapi untuk dikonsumsi sendiri.
Masyarakat takut untuk mendistribusikan ke daerah lain karena gangguan
keamanan akibat dari operasi-oprasi militer yang diambil pemerintah untuk
membersihkan Madiun dari PKI dan keamanan di daerah lain yang juga
belum stabil, (Ratnasari, Vol : XXII, No :2, Juli 2015, hal. 149).
Selain berdampak pada bidang sosial dan ekonomi, PKI memberikan
pengaruhnya pada bidang budaya. Budaya disini adalah kesenian Dongkrek
Madiun. Kesenian yang dalam perkembangannya berdinamika dan memiliki
beberapa pergeseran fungsi, dari yang semula merupakan upacara ritual yang
bernilai sakral menjadi sebuah kesenian yang disenangi oleh masyarakat luas.
Kemampuan seni Dongkrek menjadi kesenian yang menghibur mampu
menarik massa dalam jumlah yang besar. Pada saat pertunjukan atau arakarakan berlangsung mengelilingi kampung disitulah banyak massa berkumpul
untuk melakukan dan menyaksikan ritual tolak bala. Berkumpulnya massa
dalam jumlah yang besar membuat pihak PKI merasa terancam dan khawatir
kalau perkumpulan tersebut digunakan untuk menggalang kekuatan melawan
PKI. Oleh sebab itu PKI melarang diadakannya pertunjukan Dongkrek di
•••
348
tahun 1965. Masyarakat yang merasa ketakutan dengan PKI kemudian tidak
berani mempertunjukkan seni daerah tersebut lagi. Karena hal tersebutlah
kemudian mulai tahun tersebut kesenian Dongkrek mengalami kemunduran
yang kemudian benar-benar vakum hingga sekitar tahun 1975, (Walgito,
2017).
2.
Seni Dongkrek sebuah budaya dan tradisi lokal sebagai sumber
penulisan sejarah
Dongkrek merupakan seni tradisi yang berbentuk seni pertunjukkan,
yang telah mendapat tempat di hati warganya sebagai kesenian khas daerah
Madiun, Jawa Timur (Rohman, Vol. 8, No. 01, 2013, hal. 83). Kesenian yang
lahir dari dampak dinamika sosial serta politik membuat masa lalunya
menyejarah dan perkembangan yang besar membuat kesenian khas Madiu ini
memberikan dua pesan yakni seni Dongkrek sebagai sebuah tontonan
sekaligus sebagai sebuah tuntunan. Sebagai sebuah tontonan seni Dongkrek
memberikan pertunjukan yang menghibur masyarakat pecintanya, sedangkan
sebagai sebuah tuntunan seni tersebut mencoba menghadirkan sebuah
pengetahuan tradisi di masa lalu yang memiliki nilai etika serta nilai moral
yang mampu memberikan tuntunan sikap dan perilaku manusia untuk
menjadi yang lebih baik.
Kesenian Dongkrek merupakan kesenian asli daerah Madiun yang
muncul pada tahun 1867 yang didirikan oleh R. Ngabei Lo Prawirodipuro.
Pada awal kemunculannya tidak dianggap sebagai “seni” melainkan sebagai
bentuk upacara “ritual”, (Kutanegara, et al., 2012, hal. 150). Seni Dongkrek
muncul di daerah Mejayan dan juga berkembang di daerah tersebut. Dalam
kehidupan masyarakat Madiun, Dongkrek digunakan sebagai ritual yang
ditujukan untuk mengusir pagebluk yang pada saat itu melanda Mejayan.
Dahulu pagebluk dikenal sebagai penyakit atau bencana yang tidak jelas asalusul kedatangannya (gaib). Pada masa itu di daerah Mejayan banyak tersebar
penyakit menular yang tidak jelas asal usulnya dan sangat mengganggu warga
yang berakibat pada kematian. R. Bei Lo Prawirodipuro yang pada saat itu
menjabat sebagai Palang di daerah Mejayan mencoba mencari jalan keluar
untuk mengatasi masalah tersebut. Palang adalah seorang pemimpin untuk
suatu jabatan yang membawahi 4-5 Kepala Desa yang bertanggung jawab
langsung kepada Wadana sebagai atasannya.
Raden Ngabei merenung untuk mencari solusi yang tepat untuk
penyelesaian masalah wabah penyakit yang menimpa rakyatnya. Setelah
melakukan perenungan, meditasi, dan bertapa di Gunung kidul Caruban, dia
mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang
mampu mengusir bala tersebut. Dongkrek kemudian digunakan oleh R. Bei
sebagai upacara ritual pengusir bala.
Istilah Dongkrek itu merupakan representasi kolektif masyarakat
Mejayan terhadap “citra” bunyi yang dibangun dari beberapa perlengkapan
sajian. Perlengkapan yang dimaksud adalah instrumen bedug dan korek.
Kedua instrumen tersebut di dalam sajian Dongkrek dinilai sebagai instrumen
yang cukup dominan dengan bunyi “dung” (suara bedug) dan “krek” (suara
•••
349
korek), (Kutanegara, et al., 2012, hal. 151). Seni Dongkrek menampilkan
pertunjukkan dengan tiga kelompok tokoh pemeran yaitu Genderuwo sebagai
pengganggu warga masyarakat yang membawa wabah penyakit (pageblug),
pemeran kedua adalah warga masyarakat uang diperankan oleh dua orang
perempuan (Roro Ayu dan Roro Perot), dan peran pemimpin (palang) atau
tokoh masyarakat yang diperankan oleh seorang kakek sakti. Ketiga
kelompok peran ini semuanya diperankan dengan maenggunakan topeng.
Kesenian Dongkrek yang memadukan antara seni musik, seni tari, seni drama
dan seni topeng dipertunjukkan dengan cara arak-arakan berjalan
mengelilingi kampung.
Dalam perkembangannya kesenian khas Madiun tersebut telah
mengalami periode kesejarahan yang sangat panjang. Periode kesejarahan
tersebut dibagi kedalam lima masa berdasarkan dinamika tumbuh kembang
kesenian ini dari jaman ke jaman. Pada awal kemunculanya (1867-1915)
kesenian dongkrek difungsikan sebagai seni sakral, pada masa transisi (19151975) dan kebangkitan (1975-1980) sebagai seni rakyat, dan pada masa
perkembangan (1980-2009) samai masa kejayaan (2009-2012) difungsikan
sebagai seni sakral sekaligus seni pertunjukan yang membawa pesan
tuntunan, (Rohman, Vol. 8, No. 01, 2013, hal. 84).
Nilai budaya adalah salah satu bagian adat yang paling tinggi dan
paling abstrak. Sistem nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa
yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidupnya,
sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang dapat memberi arah
dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat. Nilai budaya yang
terkandung dalam kesenian Dongkrek adalah Nilai Kesenian dan Nilai
Tradisi. Nilai budaya kesenian adalah karena Dongkrek merupakan kesenian
rakyat kebupaten Madiun khususnya di kelurahan Mejayan yang telah
diwariskan secara turun temurun. Nilai budaya tradisi karena Dongkrek
merupakan kegiatan tradisi masyarakat Mejayan yang tidak pernah
ditinggalkan setiap tahunnya yakni pada tanggal 1 Suro, kesenian Dongkrek
sebagai ritual tolak bala dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Mejayan
dengan arak arakan keliling kampung/desa. Berikut merupakan nilai budaya
Seni Dongkek, (hanif, Volume 1, No. 2, 2016) :
a. Nilai Religius/kerohanian
Kesakralan seni Dongkrek dapat dikatakan sebagai suatu
kepercayaan, dan mengandung unsur keagamaan. Nilai ini ditunjukkan
pada prosesi kesenian Dongkrek yakni untuk pengusiran padebluk/tolak
bala, yang dilakukan dengan cara : a) para parogo pilihan, yang dipandang
mampu untuk melakukan upacara ritual tersebut didatangkan lebih dahulu
di pendopo palangan, untuk mendapatkan petunjuk dari eyang palang; b)
para parogo mulai lelampah menurut petunjuk yang telah ditentukan; c)
pada malam yang telah ditentukan, yaitu malam jumat legi, semua parogo
berkumpul di pendopo mengadakan selamatan untuk memohon berkah
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas telah terjadinya perbuatan gendruwo;
dan d) saat tepat tengah malam dengan iringan mantra dan puji pujian,
diberangkatkanlah serombongan prosesi ritual pengusiran pegbluk itu di
•••
350
pendopo dalem palangan, berjalan pelan-pelan menyusuri jalan-jalan di
seluruh pelosok desa Mejayan, sampai waktu menjelang pagi. Sedangkan
nilai magisnya ditunjukkan pada prosesi ritual keliling desa ini para
parogo Dongkrek khususnya parogo gendrowon wajib untuk tidak
mengenakan busana (semua parogo terdiri dari kaum laki-laki). Adapun
aturan prosesi ritual adalah : a) obor terbuat dari bambu, b) dupa yang
selalu mengepulkan asap bau kemennyan yang dibawa oleh pembaca
mantra; c) pusaka palangan yang dibawa oleh waris terpilih dibawah
Payung Agung (pusaka palangan); d) beberapa syarat tolak bala yang lain,
bermacam-macam tumbal dan takhir plontang yang berisi bermacam
bubur beras dan ditanam di tempat-tempat yang telah ditentukan, seperti di
perempatan jalan, pertigaan dan di sudut-sudut desa; e) gendruwon dan
peralatan lainnya; dan f) para sesepuh yang gamben-gamben (berilmu
tinggi).
b. Nilai Moral
Konsep moral itu sendiri dapat berarti suatu ajaran tentang baik
buruknya yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
akhlak, budi pekerti atau susila. Kesenian Dongkrek mengandung unsur
spiritual/moral yang memuat nilai-nilai Jawa yang adiluhung. Kesenian ini
menjadi tontonan yang sekaligus tuntunan bagi masyarakat dengan pesan
sura dira jaya ningrat, ngasta tekad darmastuti yang artinya setiap
kejahatan pada akhirnya akan kalah juga dengan kebaikan dan kebenaran.
Selain itu pendidikan nilai dalam seni Dongkrek diungkapkan pada setiap
pertunjukan terdapat upaya membangun jiwa kebersamaan, kerukunan,
dan kegotongroyongan.
c. Nilai Kepemimpinan
Konsep kempemimpinan dapat berarti perihal pemimpin atau cara
memimpin. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai kepemimpinan dalam
seni Dongkrek adalah suatu yang baik dan benar, yang dimiliki seorang
pemimpin agar dapat memimpin anak buahnya dengan atau rakyatnya
secara baik, jujur, adil, arif, dan bijaksana yang terdapat dalam seni
dongkrek. Nilai kepemimpinan dalam seni ini digambarkan oleh eyang
palang sebagai pemeran R. Tumenggung Prawirodipoero yang memimpin
rakyat Desa Mejayan dengan arif, penuh tanggung jawab, dan bijaksana.
d. Nilai Kepahlawanan
Konsep kepahlawanan dapat berarti orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang
gagah berani. Sedangkan yang dimaksud dengan nila kepahlawanan dalam
seni Dongkrek adalah sesuatu yang baik dan benar yang dimiliki oleh
seseorang tokoh yang menonjol karena keberaniannya dan pengobanannya
dalam membela kebenaran yang terdapat dalam seni dongkrek. Nilai
kepahlawanan dalam seni ini digambarkan oleh eyang palang sebagai
pemeran tokoh Raden Tumenggung Prawirodipuero yang berani berjuang
melawan buto/gendruwo untuk menyelamatkan rakyatnya dari padeblug.
•••
351
e. Nilai Keadilan
Dongkrek terdapat pada hakikat yang menjadi tujuan kesenian ini
yakni menerapkan keadilan dalam bermasyarakat dengan pemenuhan hak
dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban menurut hakikat dan
kodratnya sebagai makhluk individu, mahkluk sosial dan makhluk Tuhan.
f. Nilai Kesejahteraan
Nilai ini Dongkrek dimaknai dengan kehidupan yang tenteram,
makmur, dan damai.
g. Nilai Estetika
Konsep estetika dapat diartikan sebagai filsafat tentang keindahan
baik yang terdapat di alam maupun dalam aneka benda seni buatan
manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai estetika dalam seni
Dongkrek dapat dilihat dan di dengar lewat suara alat musiknya, bentuk
alat musiknya, tata rias dalam topeng, tariannya dan unsur drama atau
cerita yang terkandung dalam kesenian dongkrek.
h. Nilai Simbolik
Nilai simbolik dalam kesenian Dongkrek ditunjukan dari simbol
perlawanan kejahatan dan keangkaramurkaan yang dapat dilihat pada
frakmen arti cerita pertunjukkan, topeng pemain lakon, dan juga alat
musik pengiring pertunjukkan. Berikut merupakan nilai simbolik topeng
dalam seni dongkrek.
1) Butha Topeng Genderuwo Merah : menggambarkan sifat dan watak
yang jahat. Genderuwo merah menunjukkan perangai yang seram,
mudah marah, emosional, dan kasar. Topeng Buto Merah,
menggambarkan mahkluk halus yangs ering mengganggu manusia
dengan merasuk ke dalam aliran darah manusia dan senang meminum
darah.
2) Butha Topeng Genderuwo Hitam : melambangkan sifat dan watak
yang buruk. Genderuwo hitam menunjukkan watak pemalas, rakus,
beringasan angkuh dan sombong, serakah dan ingin berkuasa serta ingin
menang sendiri. Topeng Buto Hitam menggambarkan mahkluk halus
yang senang mengganggu dengan menyerang tulang belulang manusia.
3) Butha Topeng Genderuwo Putih : menunjukkan gambaran yang
memiliki watak yang baik. Genderuwo putih menggambarkan sikap
yang memiliki tatakrama dan manusiawi. Warna putih diwariskan dari
sumber kehidupan seperti air, yang mengalir bening, bersih, jernih dan
menyucikan.
4) Butha Topeng Genderuwo Kuning : menggambarkan mahkluk halus
yang mengganggu dengan menyerang daging dan kulit manusia.
Misalnya daging pada tubuh manusia (semakin lama tampak kurus),
penyakit kulit (kudis, gatal dan melepuh)
5) Topeng Roro Ayu : menggambarkan seorang wanita cantik putri
pejabat) yang anggun, sopan dalam berbicara, perilaku, dan selalu
berbuat kebaikan.
6) Topeng Roro Perot : menggambarkan seorang abdi kinasih yang
mendampingi untuk memenuhi kebutuhan/leperluan sehari-hari roro
•••
352
ayu. Dengan topeng ini, dapat pula digambarkan bila seseorang yang
selalu membicarakan kejelekan orang lain, maka bibirnya akan perot.
7) Topeng Roro Ayu : menggambarkan seorang wanita yang cantik (putri
pejabat) yang anggun, sopan dalam berbicara, perilaku, dan selalu
berbuat kebaikan.
Nilai-nilai budaya Seni Dongkrek sebagaimana disampaikan diatas
ternyata memiliki nilai yang adiluhung, maka perlu diinternalisasikan agar
generasi muda dapat mencintai dan mentransformaskan nilai untuk bersikap dan
bertindak. Nilai-nilai kesenian Dongkrek yang ditemukan jika ditelaah lebih
dalam nilai-nilai tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yakni : 1)
Kepercayaan dan Religius yang sesuai dengan nilai ketuhanan, 2) Nilai
kepribadian sesuai dengan nilai kemanusiaan, 3) Nilai hiburan/ pertunjukkan/
estetika sesuai dengan nilai persatuan, 4) Nilai sosial atau kerukunan sesuai
dengan nilai kerakyatan, 5) Nilai kesejahteraan dan kelestarian sesuai dengan nilai
keadilan, (hanif, Volume 1, No. 2, 2016, hal. 140)
Selain itu, merujuk pada kompoenen sosial budaya yang telah ada dalam
masyarakat Indonesia sejak dulu yakni budaya musyawarah, budaya gotong
royong dan budaya Paternalisme juga terdapat dalam nilai-nilai yang terkandung
dalam seni Dongkrek. Budaya musyawarah ini terkandung dalam nilai keadilan
seni dongkrek yakni menerapkan keadilan dalam bermasyarakat dengan
pemenuhan hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban menurut hakikat
dan kodratnya sebagai makhluk individu, mahkluk sosial dan makhluk Tuhan.
Kemudian budaya Paternalisme atau budaya kepemimpinan ini tercermin dalam
nilai kepemimpinan dan nilai kepahlawan yang terdapat dalam seni dongkrek.
Dan terakhir, budaya gotong royong ini tercermin dalam nilai moral pada
pertunjukkan seni dongkrek yang diungkapkan pada setiap pertunjukan terdapat
upaya membangun jiwa kebersamaan, kerukunan, dan kegotongroyongan
Simpulan
Setiap pemberontakan memang berdampak tersendiri pada kehidupan
masyarakat. Termasuk juga pemberontakan yang sempat terjadi di Madiun yang
didalangi oleh pihak PKI. PKI memberikan dampak tersendiri bagi kehidupan
masyarakat Madiun pada waktu itu. Dampak yang ditimbulkan disini berupa
dampak sosial, ekonomi serta dampak di bidang budaya. Pada bidang sosial tentu
telah banyak diketahui bahwa PKI telah membuat keributan dengan banyak
mengorbankan puluhan nyawa tak bersalah. Kekejaman yang dilakukan PKI
tersebut kemudian berdampak pada rasa trauma dan ketakutan yang mendalam
bagi warga masyarakat Madiun. Dalam bidang ekonomi akibat dari
pemberontakan tersebut telah membuat masyarakat kesulitan untuk menjual hasil
pertanian yang mana mayoritas masyarakat Madiun bekerja sebagai petani. Hal
tersebut dikarenakan PKI telah merusak beberapa bidang trasnportasi yang
kemudian menghambat masyarakat untuk menjual hasil pertaniannya. Dalam
bidang budaya PKI telah mempengaruhi perkembangan sebuah kesenian Daerah,
Seni Dongkrek yang merupakan kesenian bernilai sakral sempat dilarang oleh PKI
karena keberadannya yang membuat PKI khawatir mampu menggalang kekuatan
untuk melawan pihaknya.
•••
353
Pada tahun 1965 hingga 1975 seni dongkrek mengalami kevakuman akibat
masyarakat yang ketakutan akan larang PKI tersebut. Dalam perjalanannya
kesenian Dongkrek merupakan kesenian yang memiliki sejarah yang cukup
panjang. Kesenian ini memiliki nilai budaya yang adiluhung yang dapat
dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Sehingga sejarah
lokal seni Dongkrek juga nilai yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan
sebagai sumber penulisan sejarah maupun sebagai sumber pembelajaran sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Hanif, M. (Volume 1, No. 2, 2016). Kesenian Dongkrek (Studi Nilai Budaya dan
Potensinya Sebagai Sumber Pendidikan Karakter). Gulawentah : Jurnal
Studi Sosial, 138-139.
Jaecken, M. (2011). Seni Dongkrek Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun
tahun 1965-1981. Surakarta: Hasil Penelitian Metodologi Sejarah Jurusan
Ilmu Sejarah FSSR UNS.
Kutanegara, P. M., Susilantini, E., Nuwarni, Y. H., Suyami, Rohman,
Suryadmaja, G., et al. (2012). Revitalisasi Kesenian Dongkrek dalam
Rangka Penguatan Budaya Lokal : Studi Kesenian Dongkrek Desa Mejayan
Kecamatan Mejayan Madiun. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya
(BPNB).
Poeze, Harry A. 2012. Madiun 1948 PKI Bergerak, Jakarta : Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Ratnasari, S. D. (Vol : XXII, No :2, Juli 2015). Dampak Peristiwa Madiun 1948
Terhadap Masyarakat Kota Madiun. Majalah Ilmiah Pawiyatan, 146.
Rohman. (Vol. 8, No. 01, 2013). Kesenian Dongkrek, Pandangan Dunia, dan Nilai
Kebijaksanaan. Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya, 83.
Sari, U. &. (2015). Dongkrek Madiun : Menari di Atas Tradisis dan Identiras PKI Tahun
1867-1948. Surabaya: KTI Youth Historian Competition, Jurusan Ilmu Sejarah, FIB
UNAIR.
Walgito. (2017, November 13). Perkembangan Dongkrek yang dipengaruhi oleh
PKI. (S. N. Amalina, Pewawancara)
•••
354
KESENIAN DIDONG, KEBUDAYAAN DAN TRADISI SUKU GAYO
SEBAGAI SUMBER PENULISAN SEJARAH
Jona Erwenta, Leo Agung, Sunardi
Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Sejarah
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
E-Mail : Jonaerwenta@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian yang berjudul “Kesenian Didong, Kebudayaan dan Tradisi Suku
Gayo Sebagai Sumber Penulisan Sejarah”. Didong adalah sebuah kesenian
masyarakat suku Gayo yang memadukan unsur vokal, sastra dan tari. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui kesenian Didong sebagai kebudayaan dan tradisi
suku Gayo serta bagaimana kesenian Didong tersebut dapat menjadi sumber
penulisan sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif dan menggunakan metode penelitian sejarah. Pengumpulan
data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa : (1) Kesenian didong merupakan kebudayaan
dan juga tradisi yang telah lama ada dan hidup bersama masyarakat suku Gayo
yang mendiami wilayah tengah provinsi Aceh (2) kesenian Didong yang
menonjolkan syair dalam setiap pementasannya, dapat dijadikan sebagai sumber
sejarah lisan. Di dalam pementasannya, syair kesenian Didong yang dilantunkan
berhubungan dengan nilai-nilai religius, pendidikan, adat istiadat, norma, karakter,
moral, kekompakan, kebersamaan dan juga tentunya sejarah. Sebagai sumber
penulisan sejarah, Seorang Ceh atau orang yang melantunkan syair dalam
kesenian Didong sering kali menjadikan sejarah sebagai isi dari setiap syair yang
mereka lantunkan, baik itu sejarah sebagai tragedi maupun peristiwa.
Kata kunci: Kesenian Didong, Kebudayaan, Tradisi, Sumber Penulisan
Sejarah.
A. PENDAHULUAN
Manusia memiliki peran penting dalam suatu peristiwa sejarah, banyak
aktivitas manusia yang tercatat dalam suatu peristiwa sejarah. Baik itu yang
berkenaan dengan politik, ekonomi, agama, sosial, kebudayaan dan lain
sebagainya. Manusia sebagai makhluk sejarah mampu menciptakan berbagai hal,
salah satunya adalah kebudayaan, dan dalam setiap fase-fase kehidupan manusia,
manusia tidak pernah melepaskan diri dari kebudayaannya karena masyarakat
turut mengambil andil dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat,
2009:144). Artinya, kegiatan berbudayaan adalah sebuah kegiatan manusia dalam
menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman
sehari-hari. Manusia melakukan ini melalui proses kognitif untuk memproduksi
dan mengkonsumsi simbol. Sehingga, dapat dikatakan bahwa, dasar dari budaya
adalah proses produksi dan konsumsi simbol oleh masyarakat tersebut.
Budaya di dalam masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu
mentifak, sosiofak, dan artefak. Mentifak berkaitan dengan pemikiran dan falsafah
•••
355
dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku sosial dan penerapan nyata
mentifak dalam kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah
kebudayaan yang dapat berupa barang, tarian, teks, atau lagu. Ketiga aspek dari
budaya berkaitan antara satu lainnya dan membentuk sebuah kesatuan budaya
karena penggunaan dan pembuatan artefak membutuhkan sebuah sosiofak tertentu
dengan landasan mentifak masyarakat tersebut. Menurut (Koentjaraningrat,
2009:165) bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua
bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat disebut sebagai isi pokok dari tiap
kebudayaan di dunia itu adalah:
1. Bahasa,
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi,
7. Kesenian,
Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Kesenian
merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki suatu negara, termasuk
Indonesia. Bagaimana tidak, kesenian yang ada di negara ini merupakan salah satu
hal yang membuat Indonesia dikenal ke seluruh penjuru dunia. Hampir di setiap
daerah di Indonesia memiliki kesenian yang memiliki ciri dan menjadi kebanggan
bagi masyarakatnya. Salah satu kesenian yang telah dikenal luas oleh masyarakat
adalah saman. Keunikan dan keindahannya membuat tarian ini banyak dikenal
bahkan di pelajari oleh orang-orang di belahan bumi ini. Tarian yang berasal dari
provinsi Aceh ini telah terdaftar sebagai warisan dunia di UNESCO. Aceh
merupakan salah satu daerah yang memiliki kesenian yang menonjol. Kesenian
daerah Aceh lebih bernuansa Islami. Hal ini tampak pada alat-alat musiknya, lagulagu yang biasa dipentaskan bahkan cara pertunjukkannya (Syahroni, 2008:6).
Di provinsi Aceh keseniannya menyebar di beberapa wilayah, salah
satunya adalah di kabupaten Aceh Tengah. Kabupaten Aceh Tengah yang berada
di dataran tinggi Gayo memiliki suku tersendiri yaitu suku Gayo yang menjadi
mayoritas penduduk di wilayah tersebut. Suku Gayo mempunyai kebudayaan
sendiri yang berbeda dengan kebudayaan suku Aceh, mempunyai bahasa sendiri,
adat istiadat yang berbeda dengan adat istiadat suku Aceh. Perbedaan itu membuat
suku Gayo memiliki kesenian tersendiri dan berbeda dengan kesenian suku Aceh.
Salah satu kesenian yang ada di kabupaten Aceh Tengah adalah Didong.
Kesenian yang mengkolaborasikan seni vokal, sastra dan tari ini adalah kesenian
yang sangat digemari masyarakat setempat. Syair-syair yang dilantukan oleh Ceh
Didong memiliki nilai-nilai yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat
banyak. Karena syair dalam kesenian Didong biasanya mengandung nilai religius,
adat istiadat, agama, pendidikan, sejarah dan lain sebagainya. Mengenai nilai
sejarah, kesenian Didong juga dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah.
Bagaimana tidak, syair-syair Didong yang berhubungan dengan sejarah telah
melalui proses ataupun metode yang dapat diterima keabsahannya. Sehingga
syair-syair tersebut dapat dijadikan sebagai sumber peulisan sejarah.
•••
356
B. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain (Moleong, 2007:6).
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah metode historis atau metode sejarah. Metode sejarah merupakan
suatu usaha untuk memberikan interpretasi dari bagian trend yang naik turun
dari suatu status keadaan di masa yang lampau untuk memperoleh suatu
generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah,
membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan
yang akan datang (Nazir, 2005:48). Sebagaimana dikemukakan Gottschalk,
metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman
dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 2006: 39).
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu pengumpulan data
dengan menggunakan buku yang dilakukan dengan cara mengkaji bukubuku, artikel dan situs website yang berkaitan dengan topik pembahasan.
Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan bahan-bahan sebagai
landasan teoritis bagi penelitian ini. Umumnya ilmu-ilmu sosial
mempelajari manusia secara langsung dengan melakukan observasi, namun
ilmu sejarah mempelajarinya dengan menggunakan dokumen. Banyak
diantara para ahli antropologi dan sosiologi mengabaikan bahan sejarah.
Mereka tidak mengingat bahwa sebenarnya sejumlah besar fakta dan data
sosial tersimpan dalam tubuh pengetahuan sejarah dan dokumen-dokumen
sebagai bahan utama dari penelitian sejarah (Koentjaraningrat, 1997:45).
b. Metode Field Research (penelitian lapangan), yaitu untuk mempelajari
secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan
suatu unit sosial atau individu, kelompok, lembaga atau masyarakat yaitu
dengan cara :
1) Observasi yaitu metode untuk menganalisis data dengan mengadakan
pencatatan secara sistematis dengan melihat dan mengamati individu
atau kelompok secara langsung.
2) Wawancara. Dalam penelitian ini wawancara merupakan suatu
kegiatan untuk memperoleh hasil penelitian yang dilakukan secara
lisan dan melakukan tanya jawab dengan narasumber. Menurut (Nazir,
2005:194) walaupun wawancara adalah proses percakapan yang
berbentuk Tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu
proses pengumpulan data untuk suatu penelitian.
C. PEMBAHASAN
1. Awal Mula Kesenian Didong
Pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah salah satu kesenian
yang paling populer adalah Didong. Didong yang berkembang di Gayo
•••
357
memiliki berbagai versi cerita kemunculannya. Ada yang berpendapat bahwa
kesenian ini sama tuanya dengan adanya orang Gayo itu sendiri. Namun
banyak yang mempercayai didong muncul pertama sekali saat Kerajaan Linge
masih eksis di Gayo dan di pimpin oleh Raja yang ke 14.
Awal mula adanya tari guel bermula dari pertemuan rutin kerajaankerajaan Aceh di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam, Kutaraja. Ketika itu,
Kerajaan Aceh Darusalam dipimpin oleh Sultan ke 13, yaitu Alaidin Ri’ayat
Syah Al-Qanhar yang memerintah pada tahun 1539-1571 Masehi. Saat itu
Sengeda yang merupakan anak Raja Linge yang ke 13 ikut serta dalam
rombongan Kerajaan asal Tanoh Gayo tersebut. Di dalam satu kesempatan,
Sengeda melukis gambar gajah yang secara tidak sengaja di lihat oleh Putri
Kerajaan. Putri Kerajaan bertanya gambar apa itu, Sengeda menjawab ini
adalah gambar gajah putih. Merasa tertarik dengan gambar dan penjelasan
Sengeda, lalu Putri Kerajaan bertanya di mana keberadaan Gajah Putih
tersebut, sengeda pun kemudian menjawab Gajah Putih yang ia gambarkan ada
di Hutan Belantara Gayo. Dan selanjutnya Sengeda diperintahkan untuk
mencari sosok Gajah Putih untuk dipersembahkan kepada Putri Kerajaan.
Sesampainya di hutan belantara Gayo yang merupakan wilayah kerajaan
Linge, dengan dilakukan kenduri dan berdoa di sekitar makam Bener Meria
oleh penduduk sekitar dan juga Sengeda, akhirnya dengan ganasnya Gajah
Putih keluar dari persembunyiaannya. Masyarakat yang hadir pun panik dan
atas intruksi dari Sengeda seluruh warga yang hadirpun memukul benda-benda
yang ada di sekitar mereka. Selanjutnya Gajah Putih kembali tenang dan di
bawa ke pusat kerajaan Linge. Singkat cerita Gajah Putih di bawa ke Kutaraja.
Pada saat itulah awal mula munculnya didiong, karena pada saat di bawa ke
Pusat Kerajaan Aceh Darussalam tersebut Gajah Putih berhenti dan enggan
melanjutkan perjalanan. Orang-orang yang membawa Gajah Putih tersebut
mengatakan enti dong, enti dong yang berarti jangan berhenti, jangan berhenti
sambil menepukkan tangan yang berirama dan melantunkan syair-syair agar
Gajah Putih kembali jalan dan melanjutkan perjalanan. Dari peristiwa inilah
dipercaya masyarakat Gayo awal mula dari lahirnya kesenian didong.
Sesampainya di Kutaraja Gajah Putih diberikan kepada Raja Linge ke 14 untuk
selanjutnya diserahkan kepada Raja Aceh Darussalam. Pada saat diserahkan
Gajah Putih mengamuk dan tidak bisa ditenangkan. Oleh Sengeda, dimintalah
kepada orang-orang yang hadir di Istana Kerajaan untuk memukul alat-alat
yang ada di sekitar mereka, dan kemudian Sengeda menari untuk menenangkan
Gajah Putih.
Menurut Zulfikar atau yang lebih dikenal dengan nama Ama Zul Bayakku
(Wawancara tanggal 18 November 2017) beliau mengatakan dan berpendapat
kurang lebih sama dengan pernyataan di atas. Ia mengatakan didong berasal
dari kata enti dong, enti dong yang artinya jangan berhenti. Kata-kata enti
dong, enti dong ditujukan kepada Gajah Putih saat di bawa oleh Sengeda ke
pusat kerajaan Aceh di Kutaraja. Saat itu Sengeda dengan menggunakan seni
tari dan sastra serta dilengkapi dengan beberapa jenis instrument seni
tradisional mengalunkan lagu dengan kata-kata : enti dong, enti dong yang juga
•••
358
diikuti oleh rombongan Kerajaan Linge dalam perjalanan mengantar Gajah
Putih dari Negeri Lingga ke Kutaraja yang terletak di ujung pesisir negeri Aceh
Menurut salah satu tokoh yang juga pernah melakukan penelitian tentang
didong, yakni yakni M. Yunus Melalatoa dalam bukunya Didong Pentas
Kreativitas Gayo mengatakan bahwa Arti harafiah dari kosa kata didong tidak
begitu jelas. Barangkali didong ada kaitan pengertiannya dengan beberapa
kosakata lainnya dalam bahasa Gayo, seperti denang atau donang yang
maknanya sama dengan “dendang” dalam bahasa Indonesia. Namun, didong
memuat pengertian yang lebih luas, artinya bukan hanya sekedar “berdendang”
(Melalatoa, 2001:9). Lain halnya dengan pendapat di atas, salah seorang
sastrawan Nasional yang berasal dari gayo mengatakan Didong adalah
kesenian tradisional atau tradisi lisan yang merupakan konfigurasi seni suara,
seni sastra, dan seni tari berasal dari Dataran Tinggi Tanoh Gayo, Aceh
Tengah. Kesenian ini merupakan kesenian yang dipertandingkan antara dua
grub yang mewakili satu klen atau kampung, kecamatan, bahkan secara
terselubung mewakili satu mewakili satu “paroh-masyarakat (Ara L.K,
(2008:131). Pendapat lain yang diutarakan seorang budayawan Gayo
mengatakan didong adalah kumpulan puisi-puisi yang tergolong puitis. Lewat
bahasa didong terungkaplah kepermukaan berbagai rasa yang ada didalam hati
para seniman. Apakah itu disebut rasa haru, sedih, duka, gembira, seiring bisa
juga terbawa berbentuk protes, anjuran, sindiran, nasehat, larangan dan
sebagainya
(Pinan,
2003:185).
Didong
adalah
kesenian
yang
mengkolaborasikan seni suara, seni sastra dan seni tari sehingga memunculkan
suatu tampilan yang indah. Suryo, (2011:8) mengatakan di dalam kesenian
didong terdapat sejumlah unsur seni bertutur yang terangkum, seperti
Kekitiken/Ure-ure (seni berteka-teki), yaitu seni dalam berteka-teki yang
biasanya dilakukan oleh anak-anak menjelang tidur. Dari segi bahasa dan
kalimat yang digunakan dalam teka-teki ini lebih mementingkan tata bunyi dan
irama dengan pola persajakan a-b a-b. kekeberen (prosa lisan). Kekeberen
adalah salah satu bentuk prosa yang disampaikan secara lisan yang mendapat
tempat luas dalam masyarakat Gayo di masa silam. Seperti halnya dengan
didong, prosa ini biasanya dituturkan pada malam hari menjelang tidur. Si
pencerita mungkin seorang nenek kepada cucunya atau oleh orang senior
lainnya. Di antara tema-tema itu adalah tentang cinta, patuh kepada orang tua,
akal bulus, ketauladanan dan lain sebagainya. Melengkan (seni pidato adat)
merupakan pidato-pidato adat dalam berbagai kesempatan upacara, masyarakat
Gayo melahirkan rasa seninya dalam bentuk kata-kata puitis. Pidato adat ini ini
dilakukan secara berbalas-balasan dan oleh pendengarnya dapat dirasakan
kalah atau menang. Sebuku (seni meratap) adalah pengungkapan perasaan yang
terjalin di dalam puisi-puisi tertentu yang umumnya hanya dilakukan oleh
kamu wanita. Isi dari puisi sebuku biasanya mengungkapkan hal-hal yang
bersifat sedih.
Dari pendapat di atas bisa disimpulkan bahwa didong merupakan kesenian
yang telah lama ada di dataran tinggi Gayo dan jika kata didong diartikan ke
dalam bahasa Indonesia maka akan memiliki makna ‘berdendang’. Kesenian
ini juga merupakan kesenian yang menggabungkan beberapa unsur kesenian
•••
359
lain di dalamnya seperti seni suara, seni sastra, seni tari dan lain sebagainya.
Melalui didong seorang seniman dapat menuangkan berbagai rasa yang ada di
hatinya, mulai dari rasa haru, sedih, gembira, sindiran, nasehat, larangan dan
lain sebagainya dan biasanya pendengar akan terbawa dengan perasaanperasaan yang dilantunkan oleh seniman-seniman tersebut melalui syair-syair
yang dilantunkan.
2. Fungsi Didong Bagi Masyarakat Gayo
Seiring berjalannya waktu, didong terus berkembang sesuai keadaan
zaman. Termasuk dari segi fungsinya yang terus mengalami perubahan. Seperti
yang dikatakan oleh Melalatoa (2001:57), Fungsi didong bagi masyarakat
Gayo terus berubah dalam ragam dan luasnya, mengikuti irama perkembangan
pandangan masyarakatnya, oleh perubahan teknologi dan pengetahuan yang
berkembang di luar sana. Yang datang dari luar itu ada yang sudah sempat
merasuk, tetapi ada pula yang belum sempat masuk secara langsung ke dalam
masyarakat ini. Fungsi-fungsi itu adalah misalnya : (a) fungsi hiburan, (b)
fungsi pemenuhan kebutuhan akan keindahan dan estetik, (c) pelestarian
budaya, (d) pencari dana sosial, (e) sarana penerangan, (f) kritik dan kontrol
sosial, dan (g) wahana mempertahankan struktur sosial.
Menurut Samsul Bahri (wawancara tanggal 19 November 2017) awal
kemerdekaan didong memiliki fungsi yang sangat signifikan terhadap
pembangunan, baik itu pembangunan masjid, jalan, sekolah, jembatan dan lain
sebagainya. Karena pemerintah pada saat itu tidaklah seperti saat ini yang
memiliki dana melimpah. Inisiatif dari aparatur desa pada saat itu sangat
menetukan dalam pembangunan, didong sebagai kesenian yang sangat
digemari oleh berbagai kalangan pun menjadi alternatif untuk pembangunan.
Saat itu menonton didong menggunakan sistem karcis, hasil dari penjualan
karcis inilah yang dipergunakan untuk pembangunan. Saat itu masyarakat yang
menyaksikan pertandingan didong ini bukan hanya dari desa-desa yang ada di
sekitar tempat dipertandingkannya didong, tetapi banyak juga yang berasal dari
desa-desa yang berbeda kecamatan dari desa yang menyelenggarakan
pertandingan didong tersebut. Tertariknya masyarakat dikarenakan syair-syair
didong yang mengandung nasehat baik itu dari segi agama, kehidupan
masyarakat dan nasehat-nasehat yang berhubungan dengan adat istiadat serta
adanya syair-syair yang didendangkan dengan cara berbalas pantun.
Sepanjang sejarahnya didong memang selalu menampilkan dua kelop
dalam sebuah penampilan. Kedua kelop ini saling mengadu ketangkasan kata.
Seiring berjalannya waktu, didong terus berkembang sesuai dengan keadaan
zaman. Dewasa ini hal yang sangat berbeda dari didong tersebut adalah katakata ataupun syairnya, khususnya saat berbalas pantun. Didong dahulu lebih
menggunakan kata-kata tamsil atau menggunakan kata minsalkan ataupun
sindiran secara tidak langsung. Sindiran-sindiran yang memang lumrah di
dalam didong yang dijadikan sebagai bumbu penyedap kini sangat berbeda
cara penyampaiannya. Menurut Zulfikar (wawancara tanggal 18 November
2017) didong dahulu dalam pementasannya, sindiran-sindiran yang digunakan
itu menggunakan istilah-istilah halus yang di dalam bahasa Gayo disebut
•••
360
tamsil. Namun saat ini keadaannya sudah berbeda, jika tidak secara tak tulen
teridah usi (terang-terangan) maka penonton yang menyaksikan pementasan
didong kurang tertarik untuk menyaksikan pementasan didong tersebut dan
berjalan datar serta monoton.
3. Kesenian Didong Sebagai Sumber Penulisan Sejarah
Pada saat ini sumber-sumber sejarah selain sumber-sumber tertulis
semakin beragam, seperti foto, film, peninggalan budaya materi (material
culture), dapat dijadikan sumber informasi yang dapat melengkapi gambaran
masa lalu lebih komprehensif. Foto dan film juga akan membantu menggali
sejarah lisan lebih kaya, karena dapat membangkitkan memori individu,
keluarga maupun komunitas dan mungkin sekali memori mengenai tempat,
peristiwa dan sebagainya.
Suku Gayo merupakan masyarakat yang memiliki banyak cerita sejarah.
Namun sejarah yang ada pada masyarakat Gayo belumlah kuat, sejarahsejarah yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini belum banyak yang
dibukukan. Artinya masyarakat Gayo dalam perkembangannya mengenal dan
memahami sejarah masihlah mengandalkan sejarah lisan atau di dalam
masyarakat Gayo dikenal dengan istilah ari awah ku awah yang jika diartikan
memiliki pemahaman dari mulut ke mulut.
Sejarah lisan masih terus bertahan hingga sekarang di lingkungan
masyarakat Gayo. Sejarah lisan adalah salah satu sumber informasi bagi para
sejarawan atau bagi para ilmuwan sosial lain yang menggunakan pendekatan
sejarah untuk objek studinya (Erwiza Erman, 2011 : 13). Menurut Ahmad
(1987) (di dalam Sri Roudhah, 2012 : 66) sejarah lisan merupakan satu kaedah
atau teknik penyelidikan modern yang bertujuan untuk memelihara
pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan. Kaedah ini melibatkan
proses wawancara dan merekam ke dalam pita tentang keterangan-keterangan
orang yang mengetahui sesuatu peristiwa sejarah sama ada melalui
penglibatannya secara langsung dalam peristiwa itu atau sekadar
menyaksikannya. Jadi sejarah Iisan adalah suatu cara yang penting dalam
merekam peristiwa masa lalu yang pernah dilalui oleh seseorang. Melalui
sejarah lisan, penelitian-penelitian sejarah yang berkaitan dengan suatu
peristiwa dapat dilengkapi karena sebahagian peristiwa masih tersimpan di
dalam memori individu yang terlibat dalam kejadian di masa lalu.
Bertahannya sejarah lisan di dalam masyarakat Gayo hingga saat ini
dikarenakan telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat secara turun
temurun meskipun upaya untuk menuangkan peristiwa-peristiwa sejarah ke
dalam buku terus dilakukan. Penulisan sejarah dapat dilakukan salah satunya
adalah melalui kesenian Didong Gayo. Kesenian yang menonjolkan syair
dalam pementasannya sering kali melantunkan syair-syair yang berhubungan
dengan peristiwa sejarah, khususnya sejarah ataupun peristiwa yang berkaitan
dengan suku Gayo. Seorang Ceh atau orang yang melantunkan syair dalam
kesenian Didong Gayo merupakan mereka yang memiliki kemampuan lebih
dalam banyak hal, seperti pengetahuan tentang agama, budaya, adat istiadat,
nilai-nilai kehidupan, sejarah dan lain sebagainya.
•••
361
Syair-syair yang berhubungan dengan sejarah dan dilantunkan oleh Ceh di
dalam pementasan Didong tentunya bukanlah sembarangan syair yang
diciptakan begitu saja. Syair-syair tersebut telah melalui banyak tahap sehingga
setelah itu dialunkan melalui nada-nada yang telah disesuaikan dan diiringi
dengan tepukan tangan yang dibawakan oleh Penepok atau pengiring dalam
kesenian Didong. Salah satu Kelop (grub) kesenian Didong yang ada di Tanoh
Gayo adalah Tawar Jaya. Tawar Jaya dalam setiap penampilannya dalam
pentas kesenian Didong, terkadang melantunkan syair yang berhubungan
dengan Aman Dimot. Aman Dimot merupakan pejuang kemerdekaan dari
kabupaten Aceh Tengah yang mengusir penjajah Belanda pada masa Agresi
Militer II. Berikut merupakan sebahagian lirik dari syair Didong kelop Tawar
Jaya tentang Aman Dimot.
Ini male bercerak Tawar Jaya ni (Ini mau bercerita Tawar Jaya)
Riwayat ni aman Dimot male kami cari (Kisah Aman Dimot mau kami
ceritakan)
Gere mehat kase kami salah peri (jika nanti kata-kata kami salah)
Kami tiro tabi se ku ama ine (kami minta maaf kepada bapak dan
ibu/hadirin)
Cube ipenge mulo impel biak (Coba di dengar dulu saudara-saudara)
1900 ike menurut cerak (Tahun 1900 jika menurut cerita)
Aman dimot lahir ikampung tenamak (Aman Dimot lahir di kampung
Tenamak)
Oya i bagin isak kecamatan linge (Itu di bagian Isak kecamatan Linge)
Abu bakar gerale aseli (Abu Bakar nama aslinya)
Tape aman Dimot wae i rasi (Tapi Aman Dimot nama panggilannya)
Asal megah pedeh wae berani (Dia hebat dan juga berani)
Ari kucak ke mi enge ara tene (Sejak kecil sudah ada tandanya)
Memang genacing murebut merdeka (Memang sulit merebut merdeka)
Beremeh jiwe bertaruh nyawa (Habis-habisan jiwa bertaruh nyawa)
Dele penjajah nge emeh muserpa (Banyak penjajah sudah dikalahkah)
Baro luah mara tun opat lime (Baru lepas kesulitan tahun empat lima)
Ben ilen rede mulewen penjajah (Baru saja berhenti melawan penjajah)
Keber ni merdeka ben ilen sawah (Babar kemerdekaan baru saja
terdengar)
Gere ilen kering alak si basah (Belum kering keringat yang basah)
Dabuh murulah mien e Belene (Sudah datang lagi Belanda)
Renye aman dimot mugabungen diri (Setelah itu Aman Dimot bergabung)
Urum pasuken berani mati (Dengan pasukan berani mati)
Tengku Ilyes leube le kin ulu kudi (Tengku Ilyas Leube sebagai pemimpin)
Ara sarami Raman Ari Gayo (Ada satu lagi Raman Ari Gayo)
•••
362
Belene mayo renyel ku medan (Setelah itu tiba Belanda di Kota Medan)
Pahlawan gayo renye i berangkaten (Pahlawan Gayo terus
diberangkatkan)
Tengku Ilyes Leube nosah pengarahan (Tengku Ilyas Leube memberi
pengarahan)
Pangkalan Beranda turah luwah ken kite (Pangkalan Berandan mesti
menjadi milik kita)
Benteng ni Belene bejerjak besi (Benteng Belanda berjeruji besi)
Aman Dimot bebuet abang orom engi (Aman Dimot melakukannya dengan
abang dan adik)
Tamsil ni Belene le renye i gari (Seandainya Belanda di borgol)
Orom pedang berkunci Belene pe cimo (Dengan pedang berkunci Belanda
dikalahkan)
Pasuken ulak mien ku Takengon (Pasukan kembali ke Takengon)
Aman Dimot selalu renye ku Remesen (Aman Dimot langsung ke Remesen)
Karena i sone we berkeduduken (Karena dia tinggal di sana)
Ngenal perempusen mien orom ume (Mengurus kebun dan sawah)
A kene si tetue ton opat sembilen (Kata orang tua saat itu tahun emoat
lima)
Orom Belene kite perang mien (Dengan Belanda kita kembali berperang)
Penulisan syair kesenian Didong mengenai pahlawan Gayo, yakni Aman
Dimot yang dibawakan oleh grub Didong Tawar Jaya telah melalui proses
observasi dan wawancara mendalam. Begitulah menurut Ceh Didong grup
Tawar Jaya, Ujang yang juga sebagai pencipta syair Didong Aman Dimot.
Menurut pengakuanya Ia menghabiskan waktu 6 bulan sebelum hasil observasi
dan wawancara disusun sedemikian rupa hingga tercipta sebuah sebuah syair
dengan sajak dan irama yang indah.
Menurut penulis yang juga sebagai penikmat Kesenian Didong,
mendengarkan sejarah melalui syair-syair merupakan sebuah hal yang baru.
Bagaimana tidak, jika selama ini sejarah di dapatkan dari membaca, melihat
gambar, artefak, foto, film dan lain sebagainya, namun dengan mendengarkan
syair kita lebih dapat mengerti dan memahami peristiwa sejarah. Terlebih syair
tersebut disusun dengan sajak-sajak yang indah, sehingga siapa pun yang
mendengar akan tertarik dengan peristiwa yang diceritakan di dalam sajak.
Begitulah kesenian Didong menjadi sumber dalam penulisan sejarah, terlebih
jika syair-syair yang dilantunkan dalam pementasan telah melalui metodemetode yang mendukung dalam penulisan sejarah.
D. KESIMPULAN
Di Kabupaten Aceh Tengah yang mayoritas penduduknya merupakan
Suku Gayo memiliki kesenian tradisional yang telah ada sejak lama yaitu didong,
bahkan banyak yang beranggapan kesenian ini sama tuanya dengan orang gayo
•••
363
sendiri. Kesenian didong merupakan kesenian yang telah lama ada di dataran
tinggi Gayo dan jika kata didong diartikan ke dalam bahasa Indonesia maka akan
memiliki makna ‘berdendang’. Didong adalah kesenian tradisional atau tradisi
lisan yang merupakan konfigurasi seni suara, seni sastra, dan seni tari berasal dari
Dataran Tinggi Tanoh Gayo, Aceh Tengah.Didong biasanya dimainkan pada
acara-acara perkawinan atau pada upacara-upacara pertemuan dan juga
dipertunjukkan secara khusus dalam bentuk pertandingan sebagai media dakwah,
silaturrahmi dan juga pencarian dana. Didong ini dimainkan dalam keadaan duduk
bersila, pembawa lagu dalam didong disebut ceh. Setiap lagu yang didendangkan
selalu dimulai oleh seorang ceh, baru kemudian diikuti secara serentak oleh
pemain yang disertai dengan iringan tepuk tangan yang gemuruh. Fungsi-fungsi
didong antara lain sebagai fungsi hiburan, fungsi pemenuhan kebutuhan akan
keindahan dan estetik, pelestarian budaya, pencari dana sosial, sarana penerangan,
kritik dan kontrol sosial, dan wahana mempertahankan struktur sosial.
Didong terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, terlebih saat
ini dalam hal penampilannya namun tidak meninggalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam syairnya seperti adat istiadat, nasehat, dakwah, pantun, sejarah
dan lain sebagainya. Kesenian Didong juga dapat dijadikan sebagai sumber
penulisan sejarah, karena tidak jarang Ceh yang melantukan syair-syair dalam
pementasan kesenian Didong membawakan tema tentang peristiwa-peristiwa di
masa lalu. Kejadian masa lalu yang telah menjadi sejarah tersebut di tuang dalam
bentuk syair oleh penciptanya dan telah melalui metode-metode yang mendukung
syair-syair tersebut untuk dilantunkan di depan khalayak ramai serta dapat di uji
keabsahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ara, L.K. 2008. Ensiklopedi Aceh Adat, Hikayat dan Sastra. Banda Aceh:
Yayasan Mata Air Jernih (YMAJ).
Erwiza Erman. 2011. Penggunaan Sejarah Lisan Dalam Historiografi Indonesia.
Vol. 13 No. 1. Jurnal Masyarakat dan Budaya
Gottschalk, Louis. 2006. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Koenjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Melalatoa, M.J. 1982. 2001. Didong Pentas Kreativitas Gayo. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Moleong, J. Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Pinan, Aman, AR Hakim. 2003. Pesona Tanoh Gayo. Aceh Tengah: Pemerintah
Kabupaten Aceh Tengah.
Siti Roudhah Saad, Radia Banu Jan Mohamad, dkk. 2012. Penukilan Ilmu Baharu
Melalui Sejarah Lisan. Vol.6. Jurnal PPM. Universiti Sains Malaysia.
•••
364
Syahroni. 2008. Aplikasi Praktis Pengajaran Seni Musik. Bandung: Karsa
Mandiri Persada.
•••
365
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN
CIPTAGELAR SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BELAJAR SEJARAH
Ilham Rohman Ramadhan, Djono, Nunuk Suryani
Universitas Sebelas Maret
Ilham.rodhan@student.uns.ac.id
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) Mengetahui sejarah dan bentuk kearifan
lokal yang ada pada masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar; 2) Memperoleh
nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran Sejarah;
3) Menjadikan kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sebagai alternatif
sumber belajar Sejarah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Kualitatif Deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan 1) Kearifan lokal yang ada
pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar berbentuk Tangible (berbentuk
nyata)dan Intangible (tidak berwujud); (2) nilai-nilai kearifan lokal didalamnya
meliputi solidaritas sosial, peduli lingkungan, demokratis, Jujur, tanggung jawab
dan kreatif, (3) Nilai-nilai kearifan lokal tersebut dapat diintegrasikan dalam mata
pelajaran dikelas X, Sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada masyarakat
adat Kasepuhan Ciptagelar dapat dijadikan sebagai alternatif sumber belajar
sejarah.
Kata kunci: Kearifan Lokal, Kasepuhan Ciptagelar, Pembelajaran Sejarah
Pendahuluan
Indonesia terkenal akan keragaman Budaya dan Tradisinya. Budaya dan
tradisi luhur ini berasal dari ratusan suku yang mendiami nusantara. Setiap suku
tadi memiliki ragam adat istiadat, cara hidup, nilai, bahasa, dan kehidupan
spiritual yang berbeda-beda, yang tertuang dalam berbagai bentuk baik berupa
artefak (tangible) maupun tradisi (intangible) yang terungkap dalam masyarakat
adat. Tradisi-tradisi lokal dipelihara dalam masyarakat sebagai identitas yang
khas, dimana nilai-nilai budaya lokal yang terkandung didalam tradisi tersebut
dijadikan sebagai pegangan dan diyakini kebenaran serta kesakralannya oleh
masyarakat. Nilai budaya tersebut kemudian membentuk kearifan lokal yang
tercermin dalam konsep kesetiakawanan dan solidaritas sosial masyarakat dalam
melakukan aktivitasnya.
Beberapa dekade terakhir ini nilai-nilai yang berakar dari kearifan lokal
tersebut semakin ditinggalkan oleh masyarakat yang menganggap bahwa hal
tersebut tidak ada relevansinya dengan kehidupan masa sekarang atau masa
depan. Masuknya budaya luar juga merupakan ancaman yang serius bagi bangsa
Indonesia, khususnya budaya asli yang mencitrakan lokalitas khas dari tiap daerah
yang ada di negeri ini.
Kesalahan dalam merespons globalisasi dapat berakibat terkikisnya
budaya lokal yang ada di Nusantara. Eksistensi budaya lokal cepat atau lambat
akan terpengaruh oleh arus globalisasi yang masuk di Indonesia. Salah satu cara
agar budaya lokal dapat bertahan adalah menanamkan nilai-nilainya melalui
pendidikan. Menurut Tilaar (2002: 9) bahwa pendidikan adalah suatu proses
•••
366
menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang hidup dan dihidupi
oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan dalam suatu
masyarakat. Adapun hakikat dari pendidikan budaya dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pendidikan nilai, yaitu tentang nilai-nilai yang bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian generasi
muda.
Salah satu contoh komunitas yang masih mempertahankan nilai-nilai
kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari adalah masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar. Eksistensi tradisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ditengah arus
globalisasi, menarik untuk dilihat dari sudut pandang pendidikan. Dalam hal ini
terkait dengan memaknainya sebagai warisan budaya yang bisa dijadikan
alternatif sumber pembelajaran Sejarah di wilayah Sukabumi dan sekitarnya yang
disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di sekolah.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: untuk 1) Mengetahui sejarah dan
bentuk kearifan lokal yang ada pada masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar; 2)
Memperoleh nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam mata
pelajaran Sejarah; 3) Menjadikan kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
sebagai alternatif sumber belajar Sejarah.
A. KEARIFAN LOKAL
Secara etimologi kearifan lokal atau dalam istilah asingnya disebut local
wisdom terdiri dari kata Wisdom: Kearifan/Kebijaksanaan dan local: area/objek.
Secara umum kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat
(lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang terpatri dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya. kearifan lokal tidaklah sama pada tempat,
waktu dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan
kebutuhan hidupnya yang berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik
yang berhubungan dengan lingkungan sosial.
Kearifan lokal memiliki banyak fungsi, seperti yang diungkapkan oleh
Sartini (2006), bahwa fungsi dari kearifan lokal adalah (1) konservasi dan
pelestarian sumber daya alam; (2) pengembangan sumber daya manusia; (3)
pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) petuah, kepercayaan, sastra
dan pantangan; (5) bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat;
(6) bermakna etika dan moral; (7) bermakna politik.
Atmodjo dalam Ayatrohaedi (1986: 37) mengungkapkan bahwa kearifan
lokal merupakan kemampuan penyerapan kebudayaan asing yang datang secara
selektif, artinya disesuaikan dengan suasana dan kondisi setempat. Kemampuan
demikian sangat relevan dengan tujuan pembelajaran Sejarah. Peserta didik dapat
memilih dan memilah budaya mana yang sesuai dengan karakteristik budaya
sendiri, melalui kemampuan yang telah dikembangkan. Kemampuan penyerapan
kebudayaan asing yang datang secara selektif tentu memerlukan pengalaman
langsung dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Hal itu dapat dilakukan
dengan menggunakan budaya masyarakat adat sebagai sumber belajar
Kearifan Lokal Sebagai Sumber Alternatif Belajar Sejarah
•••
367
Pengimplementasian nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran Sejarah
didasari dari konsep filsafat pendidikan, yaitu Perenialisme. Perenialisme
memandang pendidikan sebagai proses yang sangat penting dalam pewarisan nilai
budaya terhadap peserta didik. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat
sangat penting untuk ditransformasikan dalam pendidikan, sehingga nantinya
peserta didik dapat mengetahui, menerima dan menghayati nilai yang ada.
Perenialisme memandang bahwa masa lalu adalah sebuah mata rantai kehidupan
umat manusia yang tidak mungkin diabaikan. Masa lalu adalah bagian penting
dari perjalanan waktu manusia dan memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian
masa kini dan masa yang akan datang. Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah
hal yang berharga untuk diwariskan kepada generasi muda. Sumber belajar dalam
mata pelajaran sejarah tidak hanya berupa buku, tetapi perilaku masyarakat sekitar
dan kearifan lokal yang ada di sekitarnya dapat dijadikan sumber alternatif
belajar. Terkait dengan kearifan lokal, pemanfaatannya sebagai sumber belajar
dapat pula dijadikan bagian dalam pendidikan karakter yang hendak
dikembangkan guru
Kondisi Geografis Kasepuhan Ciptagelar
Secara administratif Kasepuhan Ciptagelar masuk kedalam wilayah
pemerintahan Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. Kawasan adat ini terletak di lereng bukit bagian selatan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS). Secara geografis, keseluruhan kawasan
Kasepuhan dikelilingi oleh pegunungan, di sisi utara terdapat gunung Kendeng,
sedangkan disisi barat terdapat Gunung Halimun dan di sisi timur terdapat gunung
Bongkok. Wilayah Kasepuhan rata-rata memiliki ketinggian sekitar 800-1.200 mdpl.
Jarak Kasepuhan Ciptagelar dari Pelabuhan Ratu (ibukota kabupaten Sukabumi)
adalah sekitar 33 kilometer. Secara adat, area sebaran wilayah Incu-Putu (keturunan)
Kasepuhan Ciptagelar tersebar di tiga kabupaten yaitu kabupaten Lebak, Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Sukabumi.
Sejarah Kasepuhan Ciptagelar
Ciptagelar merupakan lembur, sekaligus Kampung Gede, dan pusat
Kasepuhan bagi tari kolot (Kasepuhan lama) di sekitarnya yang terikat secara
kultural. Lembur adalah himpunan beberapa kepala keluarga yang tinggal
berdekatan menjadi lingkungan permukiman atau kampung kecil, sedangkan
Kampung gede (besar), yaitu pusat pemerintahan Kasepuhan dan Kasepuhan sendiri
adalah suatu himpunan dari banyak lembur dan kampung-kampung kecil dan besar
yang terikat secara adat dan budaya. Secara sederhana, kata Kasepuhan dapat
mengacu pada kelompok masyarakat atau komunitas yang masih hidup dan
bertingkah-laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Secara etimologi,
Kasepuhan dari kata “sepuh” yang bermakna Tua (dihormati dan dituakan)
(Kusdiwanggo, 2010: 310).
Leluhur Ciptagelar sudah tercatat sejak tahun 1368 lalu. Saat ini Ciptagelar
merupakan penerus Kasepuhanke-19, sebagai pusat Kasepuhan terkini yang resmi
dihuni pada tanggal 7 Muharam 1421 H atau 12 April 2000 lalu. Kedepan, sesepuh
Ciptagelar dipercaya akan memindahkan pusat pemerintahannya ke permukiman
•••
368
baru lagi, tetapi dalam waktu yang belum bisa ditentukan secara pasti karena masih
harus menunggu turunnya wangsit karuhun. Pola kehidupan masyarakat Ciptagelar
masih menjalankan ajaran dan tradisi nenek moyang leluhur/karuhun yang
berasaskan pada budaya padi. Masyarakat budaya padi adalah masyarakat yang
memiliki seperangkat nilai dan kepercayaan supernatural terhadap entitas padi.
Kepercayaan tersebut masih tetap bertahan dan terus berkembang sampai sekarang.
Bagi masyarakat Ciptagelar, kepercayaan akan entitas padi tidak hanya terpatri
dalam ranah tata nilai dan pikir semata, melainkan tercermin dalam tata laku ritual
dan kehidupan sehari-hari. Wujud nyata atas tata nilai, pikir, dan laku mereka adalah
pertanian. Usaha pertanian dianggap sebagai aktivitas ibadah. Kegiatan pertanian
tidak terlepas dari upacara ritual kesakralan dan mitos. Pertanian di Ciptagelar saat
ini diselenggarakan secara akulturatif dalam dua cara, yaitu berhuma dan bersawah.
Dalam penyelenggaraan pertanian tersebut, setidaknya terdapat 32 rangkaian ritual
budaya padi selama satu siklus masa tanam padi. Dulunya, pertanian hanya
diselenggarakan dengan berhuma saja.
Masyarakat Kampung Ciptagelar menyebut diri mereka sebagai “Kasepuhan
Pancer Pangawinan“. Dari kata pancer yang bisa diartikan sumber atau asal-usul
dan pangawinan yang berasal dari kata ngawin, yang artinya “pembawa tombak
dalam upacara perkawinan”. Kata “pangawinan” oleh Adimihardja (1992)
dihubungkan dengan bareusan pangawinan (barisan tombak), yaitu pasukan khusus
bersenjata tombak Kerajaan Sunda. Arti dari kata Ciptagelar sendiri kurang lebih
terbuka atau pasrah. Asal usul penduduk Ciptagelar sering dihubungkan dengan
keturunan Prabu Siliwangi dan atau merupakan salah satu tempat pelarian keturunan
dan pengikut Kerajaan Sunda Pajajaran.
Masyarakat Ciptagelar merupakan masyarakat kesehariannya menjalankan
sosio-budaya berdasarkan tatali paranti karuhun (adat istiadat warisan nenek
moyang). Masyarakat Kasepuhan adalah masyarakat terbuka, mereka tidak menutup
diri dari pola-pola hidup budaya modern selama tidak bertentangan dengan tatali
paranti karuhun sebagai dasar budaya mereka. Pemahaman makna hidup terletak
pada sikap berhati-hati dalam berbicara dan bertindak mampu berbuat baik,
bertanggung jawab, dan menepati janji. Pola hidup gotong royong, rukun, ramah,
berbudaya, beradab, dan konsisten terhadap nilai-nilai warisan budaya leluhur
merupakan karakteristik masyarakat Kasepuhan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Tempat penelitian
yaitu di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara,
observasi, dan analisis dokumen. Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif
melalui tiga proses yang bersifat siklik, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan
simpulan.
•••
369
Hasil dan Pembahasan
Kearifan Lokal Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
A. Tata Kelola Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar masih sangat lekat dan menjunjung
tinggi nilai-nilai dan tradisi leluhur mereka. Menjunjung tinggi nilai-nilai adat ini
tidak menyebabkan mereka enggan mematuhi peraturan yang ada di negara kesatuan
Republik Indonesia. Masyarakat Kasepuhan mengenal konsep tilu sapamulu dua
sakarupa, nu hiji eta keneh (Tiga berbarengan, dua serupa, yang satu itu juga).
Konsep ini diartikan sebagai pemerintah (nagara), agama (sarang) dan adat
(mokaha) harus berjalan beriringan. Hal ini tercermin didalam tatanan kehidupan
masyarakat kasepuhan. Pada tatanan masyarakat kasepuhan, disamping terdapat
struktur pengelolaan masyarakat secara adat, juga terdapat struktur pengelolaan
secara pemerintahan secara formal yang meliputi Kepala Desa, Ketua Rukun Warga
(RW) dan Ketua Rukun Tetangga (RT).
Pengelolaan masyarakat secara adat dipimpin oleh seorang pemimpin adat
yang disebut sesepuh girang. Pada saat ini Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh
Abah Ugi. Keberadaan sesepuh girang sebagai pemangku adat ini mendapatkan
pengakuan dari pemerintah daerah. Untuk menunjang tugas pemimpin adat dan
mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat kasepuhan, terdapat beberapa baris
kolot (kepala urusan) yang setara dengan Menteri dengan tugasnya masing-masing.
Dibawah baris kolot terdapat kokolot lembur (sesepuh kampung) yang bertugas
sebagai wakil dari sesepuh girang di kampung-kampung kecil (lembur) yang berada
dibawah naungan Kasepuhan Ciptagelar.
Baris kolot Bersama enam orang lainnya yang disebut 7 rorokan menjadi
Struktur terkecil pengelolaan adat yang terdapat di Kasepuhan Ciptagelar. 7 rorokan
memiliki tugasnya masing-masing yaitu: (1) Rorokan Kadukunan (Aki Karma),
bertugas untuk memimpin berbagai ritual, syukuran dan acara lainnya; (2) Rorokan
Pamakayaan (Aki Koyod), bertugas untuk mengontrol lahan pertanian memberantas
hama-hama yang mengganggu dan urusan pertanian lainnya; (3) Kokolot
Kapanghuluan (Aki Amil Rahman), bertugas untuk, membimbing warga dalam
keagamaan, memimpin acara syukuran dan menjalankan acara-acara yang
berhubungan dengan keagamaan seperti Rajaban, Mauludan dan Nadaran; (4)
Rorokan Bengkong (Aki Sanuki dan Ema Uwok) bertugas untuk, melaksanakan
khitan dan mengatur hajatan disemua warga kasepuhan. Bengkong terbagi dua, yaitu
untuk laki-laki dan perempuan. (5) Indung Beurang (Nini Upa) bertugas sebagai
paraji atau dukun beranak, selain itu tugasnya adalah sebagai wakil emak yang
mengatur dapur Imah Gede dan juga menyiapkan sesaji yang diperlukan oleh abah;
(6) Rorokan Pamageran (Aki Urna) bertugas untuk, menjaga keamanan kampung
baik secara fisik maupun gaib; dan (7) kokolot lembur (Aki Arsan) bertugas sebagai
wakil abah di lembur, hal ini termasuk sebagai penyambung lidah masyarakat
kepada abah di kampung gede.
B. Sistem Nilai Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Sistem nilai adalah tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas
masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk atau benar•••
370
salah. Dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sendiri system nilai diwariskan
dalam dua bentuk, yaitu tangible (tampak) dan intangible (tidak tampak).
Pertama, sistem nilai berbentuk tangible diwariskan dalam bentuk:
1) Bangunan/arsitektur. Semua bangunan yang ada di Kasepuhan Ciptagelar
dibangun dari bahan-bahan yang ada di alam yang didapat dari hutan di sekitar
kasepuhan. Pemanfaatan kayu hutan untuk bangunan ini tidak sembarangan dan
harus melalui izin sesepuh girang terlebih dahulu. Secara sederhana, setiap
pohon yang ditebang harus diganti dengan ditanami kembali dengan jenis yang
sama dan jumlah yang sama pula. Beberapa bangunan utama yang ada di
Kasepuhan adalah Imah gede, Leuit si jimat, bale sosial, musholla, ajeg wayang
golek dan Rumah tinggal sesepuh girang. Arsitektur semua bangunan yang ada
di Kasepuhan Ciptagelar mengadopsi gaya tradisional local sunda.
2) Benda Tradisional, yaitu lesung, tungku tanah liat, semprong, kentongan, beduk,
dan atap dari rumbia.
3) Kesenian, tradisi kesenian di Kasepuhan Ciptagelar tidak hanya digunakan
sebagai hiburan, tetapi juga juga digunakan dalam setiap ritual adat yang
dilaksanakan, diantaranya adalah Angklung Dogdog Lojor. Angklung
dimainkan sebagai salah media do’a atau syukuran atas hasil bumi dan
keseimbangan
alamnya.
Kepercayaan
masyarakat
Kasepuhan
Ciptagelarterhadap kehadiran sesuatu yang gaib sangat kental, terutama pada
kehadiran para karuhun (leluhur)-nya. Kesenian ini dimainkan pada saat acaraacara atau ritual besar yang dilaksanakan di Kasepuhan Ciptagelar. Keberadaan
seni Angklung Dogdog Lojor dalam masyarakat Kasepuhan dapat hidup,
bertahan, dan berkembang, karena memiliki fungsi-fungsi sosial dalam
masyarakatnya. Mengenai hal tersebut Mulyadi (1984: 4) mengatakan bahwa
satu unsur kebudayaan akan tetap bertahan apabila memiliki fungsi atau peranan
dalam kehidupan masyarakatnya. Sebaliknya unsur kebudayaan tersebut akan
punah apabila tidak berfungsi lagi. Pertunjukan Angklung Dogdog Lojor dapat
hidup, bertahan, dan berkembang karena telah menjadi kelengkapan hidup,
ekspresi jiwa, rasa, dan karsa bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Selain
kesenian angklung, di Kasepuhan Ciptagelar juga terdapat kesenian Wayang
Golek yang ditampilkan di sebuah panggung yang disebut ajeg wayang golek.
Lokasi panggung ini tepat berada di muka imah gede, sehingga jika ada acara
besar tamu yang sedang berada di imah gede bias langsung menyaksikan
pertunjukan wayang golek.
Kedua, sistem nilai berbentuk intangible, yaitu diwariskan dalam bentuk tidak
berwujud, biasanya berupa petuah yang disampaikan secara oral atau lisan, turun
temurun dari generasi ke generasi. Berikut adalah beberapa petuah yang hidup pada
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar: (1) tekad, ucap jeung lampah (kemauan/niat,
perkataan dan perilaku), ketiga unsur tersebut dijadikan pedoman hidup oleh warga
kasepuhan, mereka selalu berusaha menyelaraskan ketiga unsur tersebut agar
mencapai hidup yang seimbang; (2) ngaji diri (mawas diri); (3) Nyaur kudu diukur,
nyabda kudu di tanggung, bekasna bisi nyalahan (berbicara harus benar, ucapan
harus tepat jangan salah berbicara karena dapat mencelakakan); (4) Mipit kudu amit,
ngala kudu menta, make suci, dahar halal ulah maen kartu, maen dadu, madat,
jinah, ngrinah tanpa wali (memetik harus ijin, mengambil harus meminta pakai apa
•••
371
saja harus suci atau bersih, memakan yang halal, jangan berjudi, madat, berjinah
sebelum adanya perkawinan; (5) kudu boga rasa, rumasa, ngarasa kudu hate tekad,
ucap jeung lampah, kudu akur jeung dulur, hade carek jeung saderek, kabatur
tinggal makena (harus rukun dengan saudara, berbicara baik dengan orang, terhadap
orang lain tinggal menerapkan); (6) kudu sarende, saigel, saabad, sapihancan
(ringan sama dijinjing berat sama dipikul) dan (7) kudu jadi takeucik saleuwi, kudu
jadi buyar sacingkrung (harus jadi satu wadah tujuan dan haluan).
3. Bentuk Akulturasi Kebudayaan Lokal dan Hindu-Buddha pada Masyarakat
Adat Kasepuhan Ciptagelar
Akulturasi kebudayaan adalah sebuah proses percampuran antara unsurunsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk
kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masingmasing tidak kehilangan kepribadian atau ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat
berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk
kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli dari Indonesia.
Bentuk-bentuk akulturasi antara kebudayaan lokal dan Hindu-Buddha dapat
dilihat contohnya di Kasepuhan Ciptagelar. Umur Kasepuhan yang telah lebih dari 6
abad berdiri menyimpan berbagai bentuk perpaduan antara budaya lokal dan HinduBuddha. Bentuk akulturasi ini diantaranya terlihat pada:
a) Seni Pertunjukan
Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari wiracarita
Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang di
Nusantara. Pertunjukan wayang di Indonesia telah mendarah daging,
begitupun di Kasepuhan Ciptagelar. Pertunjukan wayang golek khas
Sunda seakan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
setiap kegiatan yang ada di kasepuhan. Isi dan cerita pertunjukan wayang
banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (Pendidikan). Cerita
dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya itu sendiri
berasal dari Indonesia. Seni pahat dan ragam hias yang ada pada wayang
disesuaikan dengan seni yang ada di Indonesia. Pada pertunjukan wayang
golek sendiri terdapat tokoh asli yang tidak ada dalam cerita asli
Mahabarata maupun Ramayana, yaitu Cepot. Tokoh berpembawaan
jenaka ini selalu menjadi hiburan sendiri bagi setiap pertunjukan wayang
golek.
b) Sistem Kepercayaan
Sejak masa sebelum masuknya kebudayaan Hindu-Buddha ke Nusantara,
masyarakat di kepulauan ini telah mengenal simbol-simbol yang
bermakna filosofis, serta kepercayaan animisme dan dinamisme. Setelah
masuknya pengaruh India kepercayaan sebelumnya tidak hilang, tetapi
melebur menjadi satu membuat suatu sistem kepercayaan yang unik.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat berbasis
budaya padi. Masyarakat Kasepuhan percaya akan adanya ibu bumi, yaitu
Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Dewi Sri sangat dihormati oleh masyarakat
Kasepuhan, mereka percaya bahwa lumbung atau leuit merupakan tempat
bersemayamnya Dewi Sri. Dewi Sri merupakan kepercayaan local yang
•••
372
terdapat di beberapa masyarakat berbudaya padi, konsep ini telah ada
sebelum pengaruh Hindu masuk. Leluhur masyarakat Kasepuhan yang
dipercaya berasal dari kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu
menyebabkan terjadinya sinkretisme antara kebudayaan Hindu dan Lokal,
sehingga dalam setiap prosesi yang dilakukan di Kasepuhan mengandung
unsur-unsur Lokal maupun Hindu.
c) Sistem Pemerintahan
Sebelum datangnya pengaruh Hindu-Buddha ke Nusantara, di kepulauan
ini telah dikenal konsep pemerintahan sederhana, yaitu adanya kepala
suku di daerah atau suku tertentu. Orang yang dipilih sebagai pemimpin
biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing,
berwibawa serta memiliki kekuatan gaib. Setelah masuknya kebudayaan
Hindu-Buddha konsep kepala suku ini tidak banyak berubah tetapi
bentuknya lebih sistematis dan rapi dengan hadirnya orang-orang yang
menangani bidang-bidang tertentu untuk kelangsungan kehidupan
komunitas atau kerajaan tersebut. Raja atau pemimpin adat di Kasepuhan
Ciptagelar sendiri dipimpin oleh seorang Abah yang merupakan seorang
Sesepuh Girang. Pengangkatan sesepuh girang biasanya berdasarkan
wangsit, tetapi tetap dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan para tetua.
Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang Relevan
sebagai Sumber Belajar Sejarah Alternatif bagi Siswa SMA
Berikut adalah nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar.
1. Peduli Lingkungan, kepedulian masyarakat atas lingkungan hidupnya tampak
dengan adanya zonasi hutan di Kasepuhan. Hutan di lingkungan Kasepuhan
Ciptagelar dibagi atas 3 zona, yaitu leuweung tutupan (hutan tertutup) yang tidak
sembarang dimasuki oleh orang, hutan ini sama sekali tidak boleh diambil
kayunya untuk dimanfaatkan menjadi apapun. Lalu ada leuweung titipan, zona ini
merupakan sabuk pembatas atas hutan tertutup dan hutan garapan, kayu di zona
hutan ini boleh dimanfaatkan oleh masyarakat melalui seizin ketua adat, dan yang
terakhir leuweung garapan (hutan garapan), hutan ini boleh digarap oleh warga.
Kepedulian warga juga terlihat dari tidak digunakannya sama sekali pupuk kimia
dalam menanam padi maupun bercocok tanam. Penanaman padi-pun hanya
dilakukan setahun sekali, hal ini bertujuan agar tanah atau bumi dapat beristirahat
sejenak, lalu siap ditanami kembali pada masa tanam tahun berikutnya.
2. Solidaritas Sosial, masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar selalu mengutamakan
solidaritas sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini tercermin dari setiap
kegiatan yang mereka lakukan. Di Kasepuhan tidak ada tanah milik pribadi, baik
itu tanah untuk rumah maupun sawah dan lading. Semua tanah didalam kawasan
Kasepuhan merupakan tanah adat yang penggunaannya diatur oleh adat. Oleh
karena itu, setiap kegiatan, baik itu pertanian maupun kebutuhan pribadi seperti
membangun rumah ataupun hajatan, dilakukan dengan Bersama-sama dan
bergotong royong. semua warga Kasepuhan saling mengenal satu sama lain, dan
tidak akan keberatan apabila dimintai tolong oleh tetangga maupun kerabatnya.
Masyarakat Kasepuhan tidak pernah memandang status sosial berdasarkan harta
•••
373
3.
4.
5.
6.
yang dimiliki, tetapi mereka mengukurnya dengan kebaikan dan kedermawanan
terhadap sesama.
Demokratis, walaupun sesepuh girang memiliki kekuasaan dan hak dalam
menentukan sebuah keputusan, tetapi tidak serta merta beliau dapat secara
sepihak memutuskan sesuatu hal. Dalam pemutusan sebuah keputusan, dalam
masyarakat Kasepuhan selalu didiskusikan terlebih dahulu dan dimusyawarahkan
dengan adil. Bersama dengan sesepuh Kasepuhan. Peran sesepuh Kasepuhan atau
yang disebut baris kolot sangan dihormati oleh warga kasepuhan.
Jujur, nilai kejujuran sangat dijunjung tinggi oleh warga Kasepuhan. Warga
Kasepuhan sangat percaya akan pantangan dan larangan yang berlaku dalam adat.
Masyarakat Kasepuhan sangat percaya akan kabendon atau kualat. Di Kasepuhan
Ciptagelar tidak ada hukum tertulis disini hanya terdapat hukum lisan turun
temurun. Tetapi, dalam pelaksanaannya semua masyarakat menghormati hukum
yang ada. Jika ada warga yang melakukan pelanggaran hukum biasanya langsung
akan dibalas dan terasa oleh individu yang bersangkutan, misalnya jatuh sakit
atau tertimpa musibah. Dikawasan Ciptagelar sendiri jarang sekali terjadi
tindakan kriminal, seperti pencurian misalnya. Jikapun ada, biasanya pelaku
adalah warga diluar kasepuhan.
Tanggung Jawab, sebagai bagian dari warga adat kasepuhan, setiap individu
mematuhi segala aturan adat yang berlaku. Tanggung jawab juga terlihat dalam
hal menjaga lingkungan sekitar dengan selalu dilakukannya penanaman pohon
masal setiap tanggal 1 Januari. Selain itu warga Kasepuhan selalu bertanggung
jawab dengan mengikuti semua peraturan yang berlaku di pemerintahan, seperti
memiliki kartu tanda penduduk, mengikuti pemilu dan sebagainya.
Kreatif, bentuk kreativitas warga terlihat dari adanya aneka kerajinan yang
diproduksi, kerajinan-kerajinan ini mayoritas berbahan dasar alami, misanya
kaneron, tas yang dibuat dari daun pandan yang dianyam dan dibentuk
sedemikian rupa, tas ini biasanya digunakan warga untuk beraktivitas sehari hari
seperti ketika pergi ke sawah ataupun ladang. Selain itu semua perkakas dapur
yang warga miliki adalah hasil produksi sesawa warga, misalnya boboko (bakul),
hihid (kipas), Torombol, Aseupan dan sebagainya. Beberapa tahun belakangan ini
juga warga Kasepuhan mengembangkan usaha kopi khas Kasepuhan dengan
memanfaatkan pohon kopi yang tumbuh di kawasan kasepuhan. Warga
Kasepuhan tidak menolak modernisasi, sebaliknya warga memanfaatkan
teknologi modern untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Misalnya, Kasepuhan
sudah sejak lama memanfaatkan turbin air untuk menyuplai kebutuhan listrik
warga, beberapa panel surya juga digunakan untuk hal pemasokan listrik. Selain
itu, Kasepuhan memanfaatkan teknologi Drone untuk memantau wilayah
kasepuhan, alat ini juga digunakan untuk pemetaan wilayah kasepuhan.
Kearifan Lokal Masyarakat sebagai Alternatif Sumber Belajar Sejarah
Berdasarkan kajian atas kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada
kurikulum 2013, maka nilai-nilai dalam kearifan lokal masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar dapat diintegrasikan dalam Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada
jenjang kelas X, pada mata pelajaran Sejarah Indonesia, Semester 1, pada materi
Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu Buddha. Pemilihan materi Akulturasi
•••
374
karena melihat di Kasepuhan Ciptagelar sendiri terdapat contoh yang dapat diamati
langsung oleh siswa mengenai bentuk-bentuk akulturasi kebudayaan Nusantara dan
Hindu-Buddha di Indonesia yang masih berlaku pada kehidupan masyarakat
Indonesia masa kini. Penyajian hasil penalaran pada KD 4.1 dapat dilakukan guru
melalui model pembelajaran berbasis Project Based Learning, dengan hasil akhir
proyek berupa tulisan siswa. Berikut adalah rinciannya:
Kompetensi Inti
1. Menghayati dan
mengamalkan ajaran agama
yang dianutnya.
2. Menunjukkan perilaku jujur,
disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai),
santun, responsif, dan proaktif sebagai bagian dari
solusi atas berbagai
permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial
dan alam serta
menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan,
menganalisis pengetahuan
faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa
ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni,
budaya, dan humaniora
dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena
dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang
kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya
untuk memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar dan
menyaji dalam ranah
konkret dan ranah abstrak
terkait dengan
Kompetensi Dasar
3.6 Menganalisis perkembangan
kehidupan masyarakat,
pemerintahan, dan budaya pada
masa kerajaan-kerajaan Hindu dan
Buddha di Indonesia serta
menunjukkan contoh bukti-bukti
yang masih berlaku pada kehidupan
masyarakat Indonesia masa kini
4.1 Menyajikan hasil penalaran
dalam bentuk tulisan tentang nilainilai dan unsur budaya yang
berkembang pada masa kerajaan
Hindu dan Buddha yang masih
berkelanjutan dalam kehidupan
bangsa Indonesia pada masa kini
•••
375
pengembangan dari yang
dipelajarinya di sekolah
secara mandiri, dan mampu
menggunakan metode sesuai
kaidah keilmuan
Mencermati relevansi tersebut, maka nilai-nilai kearifan lokal pada
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat dijadikan alternatif sumber belajar
sejarah, terutama di wilayah Sukabumi dan Lebak Banten, yang secara geografis
berdekatan dengan daerah tersebut.
Kesimpulan dan Saran
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu masyarakat
di Indonesia yang hidup dalam nilai-nilai kearifan lokal yang mereka pegang
dengan teguh. Kearifan local tersebut peneliti amati melalui tata kelola, sistem
nilai adat dan bentuk-bentuk akulturasi dalam masyarakat. Nilai-nilai ini
berbentuk nyata (tangible) maupun tidak berbentuk (intangible).Nilai-nilai
kearifan lokal yang muncul dalam masyarakat adalah solidaritas sosial, peduli
lingkungan, demokratis,, jujur, tanggung jawab dan kreatif. Nilai-nilai tersebut
cocok dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 pada
Jenjang SMA kelas X, Semester 1, pada mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Dengan demikian, kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat menjadi
sumber belajar alternatif bagi siswa kelas X, terutama dalam mata pelajaran
Sejarah.
Daftar Rujukan
[1] Adimiharja, Kusnaka. Kasepuhan yang Tumbuh diatas yang Luruh:
Pengelolaan Lingkungan secara tradisional di kawasan Gunung Halimun Jawa
Barat. Bandung: Tarsito, 1992.
[2] Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1986.
[3]S. Kusdiwanggo, “Sakuren : Konsep Spasial sebagai Prasyarat Keselamatan
Masyarakat Budaya Padi di Kasepuhan Ciptagelar,” vol. 26, no. 3, pp. 309–322,
2016.
[4] Mulyadi, Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumen Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.
[5] Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati”.
[Online]. Available: http://filsafat.ugm.ac.id. [Accessed: Nop. 19, 2017].
[6] Tilaar, H.A.R, Membenah Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
•••
376
URGENSI NILAI KEARIFAN LOKAL RUMAH ADAT DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH
Mario Yosef Kabosu, Hermanu Joebagio, Susanto
Universitas Sebelas Maret Surakarta
mariomars32@gmail.com
ABSTRAK
Kearifan lokal rumah adat merukapan wujud kreativitas akal dan budi yang
terpola serta memuat nilai dan norma moral sebagai bentuk etika yang saling
berkaitan dan melekat pada lingkungan kelompok masyarakat tertentu. Rumah
adat merupakan hasil karya manusia yang sangat vital peranannya dalam
menjalankan kehidupan selain itu juga sebagai tempat penyimpanan benda-benda
pusaka sebagai warisan nenek moyang dari kelompok masyarakat tertentu. Rumah
adat sebagai warisan budaya nenek moyang yang telah diwariskan dari generasi
satu ke generasi berikutnya sangat kaya akan nilai-nilai luhur. Nilai kearifan lokal
yang terkandung dalam rumah adat dapat diimplementasikan ke dalam dunia
pendidikan, sebab penggalian nilai-nilai kearifan lokal merupakan langkah
strategis dalam upaya pembangunan karakter peserta didik, salah satunya melaui
pembelajaran sejarah. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi
kepustakaan dengan pendekatan kualitatif.
Kata Kunci: Kearifan Lokal, Rumah Adat dan Pembelajaran Sejarah
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai
suku bangsa yang masing-masing dari suku-suku ini memiliki hasil kebudayaan.
Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia
dalam menjalani kehidupannya, sebagaimana kebudayaan dan manusia tak bisa di
pisahkan sebab kebudayaan tak akan ada tanpa manusia, begitupun sebaliknya
manusia tanpa kebudayaan tak bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan.
Penduduk Indonesia seharusnya bersyukur atas anugerah yang begitu besar yang
diterimanya karena setiap penduduk di wilayah Indonesia masing-masing
memiliki warisan budaya sebagai peninggalan peradaban dari leluhurnya.
Kemajuan zaman yang terjadi saat ini, yang awalnya dipandang akan
memudahkan pekerjaan manusia, kenyataannya juga menimbulkan keresahan dan
ketakutan bagi manusia, diantaranya kesepian dan keterasingan baru, yang
ditandai dengan lunturnya rasa solidaritas, kebersamaan, dan silaturrahim. Untuk
itu sangatlah penting bagi generasi saat ini agar menggali nilai-nilai dan keunikan
dalam kebudayaan yang pernah ada. Hal ini diperjelas oleh Wangiran yang
mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter kuat
bersumber dari nilai-nilai yang digali dari budaya masyarakatnya. Nilai-nilai
kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan di era global, namun menjadi
kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia sebagai modal keunggulan kompetetif dan komparatif suatu bangsa.
Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai kearifan lokal merupakan langkah strategis
dalam upaya membangun karakter bangsa (Wangiran, 2012: 329).
•••
377
Rumah adat merupakan salah satu dari hasil kebudayaan yang pernah ada
dan hingga saat ini masih nampak sebagai lambang pemersatu dan kebersamaan.
Mengingat banyak hasil kebudayaan yang mulai terlupakan di kehidupan pada
masa kini maka perlu adanya upaya menggali lagi budaya tersebut sebagai sarana
pembelajaran bagi generasi penerus yang saat ini maupun yang akan datang. Salah
satu cara yang ditempuh oleh sekolah yakni dengan cara mengintegrasikan nilainilai kearifan lokal yang terkandung dalam rumah adat ke dalam pembelajaran.
Hal ini dirasa tepat sebab sekolah merupakan tempat untuk mempersiapkan
generasi muda untuk menghadapi masa depan dan secara personal dapat
membangun kreatifitas dan intelektualitasnya.
Pendidikan melalui pembelajaran di sekolah dapat menjadi media dalam
mentrasfer nilai-nilai kebudayaan kepada generasi penerus. Sebab kesempatan
bagi para generasi penerus untuk dapat mengenal kebudayaan leluhurnya yakni
melalui pendidikan. Hal ini sejalan dengan Basyari (2013: 112) yang mengatakan
bahwa pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal merupakan upaya strategis
untuk menanamkan dan menjunjung tinggi identitas bangsa dan negara agar tetap
melekat di kalangan generasi muda Indonesia. Dengan demikian pendidikan
nasional akan memberikan kontribusi yang memadai terhadap pembentukan
manusia Indonesia yang berbudaya, beradab, bermartabat dan beridentitas keIndonesiaan. Penelitian ini mencoba mengeksplorasi urgensi nilai kearifan lokal
rumah adat dalam pembelajaran sejarah.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Dalam proses pengumpulan data, peneliti memperoleh berbagai
informasi terkait objek yang menjadi pembahasan dalam artikel ini. Studi
kepustakaan digunakan dalam memperoleh data yang meliputi buku, jurnal dan
majalah yang terkait objek penelitian.
Hasil dan Pembahasan
1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal
(ocal). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertannam dan diikuti oleh anggota masyarakat (Panjaitan,
dkk., 2014: 115).
Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang
tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan
perspektif teologis, kosmologis dan sosiologisnya (Musanna, 2011: 589).
Sedangkan menurut Haryati Soebadio (dalam Ayatrohaedi, 1986: 18-19) kearifan
lokal merupakan sebuah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengelola kebudayaan
yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri.
Kearifan lokal sifatnya menyatu dengan karakter masyarakat, karena
keberadaannya selalu laksanakan dan dilestarikan- dalam kondisi tertentu malah
sangat dihormati.
•••
378
Rahyono (2009: 7) menguraikan kearifan lokal sebagai sebuah kecerdasaan
yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu, yang diperoleh melalui pengalaman
etnis tersebut bergulat dengan lingkungan hidupnya. Sesuai defenisi Rahyono
dapat kita ketahui bahwa kearifan lokal merupakan buah atau hasil dari
masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh
masyarakat lain. Sedangkan Suhartini (2009: 1 dalam Wibobo dan Gunawan
2015: 17) mendefenisikan kearifam lokal sebagai sebuah warisan nenek moyang
yang berkaitan dengan tata nilai kehidupan. Tata nilai kehidupan ini menyatu
tidak hanya dalam bentuk religi, tetapi juga dalam budaya dan adat istiadat.
Kearifan adalah proses dan produk budaya manusia, dimanfaatkan untuk
mempertahankan hidup. Pengertian demikian, mirip pula dengan gagasan Geertz
(1973): "Local wisdom is part of culture. Local wisdom is traditional culture
element that deeply rooted in human life and community that related with human
resources, source of culture, economic, security and laws. lokal wisdom can be
viewed as a tradition that related with farming activities, livestock, build house
etc"(dalam Wangiran, 2012: 330).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipertegas bahwa kearifan lokal
merupakan sebuah produk budaya masa lalu yang seharusnya secara terusmenerus dijadikan sebagai pegangan hidup.
2. Rumah Adat
Menurut Said (2004: 49) rumah adat merupakan suatu bangunan dimana
struktur, cara pembuatan, bntuk, fungsi dan ragam hiasnya mempunyai cirri khas
sendiri yang diwariskan secara turun temurun serta dipakai oleh masyarakat
setempat untuk melakukan aktifitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan
menurut Rambu (2011: 15) mengatakan bahwa rumah adat merupakan suatu
wadah dimana tempat untuk berkumpulnya masyarakat dalam melakukan
berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti upacara-upacara, adat-istiadat dan
pertemuan anatar kerabat-kerabatannya.
Rumah adat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat, karena rumah adat juga menjadi lambang
kebanggaan atau identitas suatu suku bangsa (Yufiza & Sumarheni, 2014: 112).
Lebih lanjut Gelebet dalam Puling ( 2012: 10) mengemukakan bahwa rumah adat
merupakan banguna tradisional yang dipandang sebagai suatu kehidupan, juga
menjalani serangkaian upacara dalam masa persiapan, selama proses membangun
dan setelah membangun.
Rumah adat merupakan bangunan rumah yang mencirikan kekhasan
bangunan suatu daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan dan ciri
khas masyarakat setempat menyangkut dengan kepribadian masyarakat daerah
tersebut. Rumah Adat adalah merupakan bangunan rumah yang mencirikan atau
khas bangunan suatu daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan dan
ciri khas masyarakat setempat. Indonesia dikenal seagai negara yang memiliki
keragaman dan kekayaan budaya, beraneraka ragam bahasa dan suku dari sabang
ampai merauke sehingga Indonesia memiliki banyak koleksi rumah-rumah adat (
Molbang & Nurcahyo, 2016: 53).
•••
379
Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipertegas bahwa rumah adat
merupakan salah satu bangunan tradisional yang yang mempunyai fenomena
menarik apabila dilihat dari wujud fisikserta segala hal yang melatrbelakanginya.
3. Pembelajaran Sejarah
Menurut Schunk (2012: 5) mengatakan bahwa pembelajaran merupakan
perubahan yang bertahan lama dalam perilaku, atau dalam kapasitas berprilaku
dengan cara tertentu yang dihasilkan dari praktek atau bentuk pengalaman
lainnya. Selanjutnya Nana Sudjana (2003: 6) mengatakan bahwa pembelajaran
merupakan upaya guru untuk membantu para peserta didik melakukan kegiatan
belajar.
Menurut Agung dan Wahyuni (2013: 55) mengatakan bahwa sejarah
merupakan mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan, sikap dan nilai-nilai
mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia
dari masa lampau hingga kini. Selanjutnya pembelajaran sejarah menurut
Joebagio (dalam Garvey & Krug, 2015: ix) adalah proses internalisasi nilai-nilai
peristiwa masa lalu, berupa asal-usul, silsilah, pengalaman kolektif, keteladanan
pelaku sejarah. Pembelajaran itu dirancang untuk membentuk pribadi yang arif
dan bijaksana, karena itu pembelajaran sejarah menuntut desain yang akan
menghasilkan kualitas output yang meliputi pemahaman peristiwa sejarah bangsa,
meneladani kearifan dan sikap bijak pelaku sejarah.
Pembelajaran sejarah merupakan proses perpaduan antara aktivitas belajar
dan mengajar yang didalamnya mempelajari peristiwa masa lampau yang erat
kaitannya dengan masa kini. Untuk itu pembelajaran sejarah pada dasarnya
merupakan suatu usaha dalam mengorganisasikan proses pembelajaran tentang
peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang telah terjadi (Setianto,
2012: 479).
4. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Rumah Adat
Rumah adat merupakan sebuah bangunan hasil kebudayaan yang tidak
hanya menyimpan makna tersendiri tetapi juga memiliki nilai-nilai tertentu.
Berikut ini adalah nilai-nilai yang terkandung dalam rumah adat, antara lain:
a. Nilai Religius
Nilai religius merupakan hal yang sangat substansial dimana mengatur
tentang hubungan manusia dengan sang pencipta. Beberapa peran rumah adat
dalam mengatur kehidupan manusia dari aspek religius, yakni; 1) memberikan
pedoman kepada manusia dalam beribadah kepada Tuhan, 2) memberikan
pedoman kepada manusia dalam hubungan sendiri dengan masyarakat, 3)
menghindari manusia dari perilaku yang menyimpang.
b. Nilai Pendidikan
Saat ada adat/tradisi yang dilaksanakan dalam rumah adat tentunya
masyarakat yang bersangkutan harus selalu patuh sebab setiap upacara
memberikan nilai tersendiri yang secra tidak langsung mengajarkan kepada
masyarakat tentang cara bersyukur, cara makan, cara berpikir dan bertindak
sesuai aturan dan norma yang berlaku. Hal ini jelas bahwa salah satu bentuk
•••
380
pendidikan non formal yang dapat diperoleh dari rumah adat yakni sopan santun
dalam bertindak.
c. Nilai Sosial Budaya
Sistem nilai sosial budaya merupakan sesuatu yang abstrak dari adat istiadat
karena merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
masyarakat. Sistem nilai ini berfungsi sebagi pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia. Setiap masyarakat adat dibatasi oleh nilai dan norma adat yang berlaku
di masyarakat, dimana segala perilaku dan perbuatannya dibatasi oleh budaya.
d. Nilai Gotong Royong
Ketika menyelesaikan suatu pekerjaan seperti dalam pembuatan rumah adat
selalu diselesaikan secara bersama-sama atau bergotong-royong sehingga
mempermudah dalam menyelesaikan pekerjaannya; karena melalui gotong
royong, suatu pekerjaan dapat dengan muda diselessaikan dan tidak
membutuhkan waktu dan yang biaya tinggi. Disamping itu, nilai gotng royong
telah tertanam kuat dalam masyarakat karena gotong royong dipandang sebagai
sesuatu yang baik dan mempunyai arti atau nilai yang bermanfaat seperti nilai
demokratis, kekeluargaan, persatuan, dan niali solidaritas.
5. Urgensi Nilai Kearifan Lokal Rumah Adat dalam Pembelajaran Sejarah
Sejatinya pendidikan merupakan proses memanusikan manusia. Untuk itu
penyelenggaraan pendidikan harus dimulai dari bagaimana cara memaknai
pendidikan sebagai suatu proses memanusiakan manusia. Kehidupan manusia
dikelilingi oleh budaya, hal ini dikarenakan manusia selalu berupaya
mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan yang mengharuskannya selalu
bersinggungan dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik ataupun non
fisik.
Dewasa ini arus penetrasi kebudayaan yang dating dari luar semakin gencar
mewarnai sistem kehidupan sosiokultur masyarakat Indonesia. Hal ini sangat jelas
bila melihat fenomena yang ada seperti maraknya pergaulan bebas, kasus narkoba
dan bahkan tawuran antarpelajar, dan lain sebagainya. Dengan keadaan fenomena
yang seperti ini membuat kehilangan ruang gerak dari lembaga pendidikan dan
juga semakin menipisnya pemahaman peserta didik tentang sejarah lokal serta
tradisi budaya yang ada dalam masyarakat. Agar anekaragam kebudayaan yang
telah dimiliki tetap terjaga dan dilestarikan maka di upayakan bagaimanapun
caranya supaya bisa tetap eksis.
Melalui pendidikan, khususnya pembelajaran di sekolah maka para peserta
didik akan dibentuk menjadi manusia yang berintegrasi tinggi dan berkarakter
sehingga mampu melahirkan generasi bangsa yang hebat serta bermartabat. Salah
satu nilai yang dijadikan pijakan untuk pembangunan karakter peserta didik
adalah nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari kearifan lokal rumah adat. Rumah
adat sebagai tawaran yang menarik dalam pengembangan pendidikan karakter,
sebab pada dasarnya pengembangan karakter haruslah diikuti dengan
pengintegrasian jati diri kebangsaan pada diri peserta didik dengan jejaring
kebudayaan banga yang menjadi basis kebudayaan nasional.
•••
381
Rumah adat merupakan warisan budaya yang sangat kaya akan nilai-nilai
luhur. Selain itu rumah adat pun terbentuk sebagai hasil karya masyarakat
setempat dengan keunikannya tersendiri sesuai kondisi lingkungan masyarakat
yang bersangkutan. Rumah adat sebagai produk masa lalu seharusnya tetap di jaga
kelestariannya. Kendati bernilai lokal tapi nilai yang terkandung didalamnya di
anggap sangat universal. Oleh karena itu dengan mengintegrasikan nilai kearifan
lokal rumah adat dalam pembelajaran sejarah secara tidak langsung para peserta
didik akan mendapatkan gambaran yang utuh atad identitas dirinya sebagai
individu, selain itu juga identitasnya sebagai anggota masyarakat yang terikat
dengan warisan budaya para pendahulunya.
Melalui pembelajaran sejarah, kita dapat menggali serta menanamkan
kembali warisan budaya dari daerah sendiri, selain itu juga sebagi bagian dari
upaya membangun identitas bangsa dan sebagai filter dalam menyeleksi pengaruh
budaya lain. Nilai-nilai kearifan lokal rumah adat dapat dijadikan sebagai
pembentukan karakter dan identitas bangsa, oleh karena itu sekolah sangatlah
berperan penting didalamnya agar muncullah sikap yang santun, kreatif, serta
mandiri.
Dalam pembelajaran sejarah yang terjadi harusnya guru sejarah memulai
memunculkan serta menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal rumah adat
kedalam pembelajaran. Dengan hal seperti ini jelas bahwa guru akan menjadi
seorang fasilitator yang baik dalam menginternalisasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam rumah adat pada peserta didik yang terlibat langsung dalam
proses pembelajaran.
Untuk mengintegrasikan nilai kearifan lokal rumah adat dalam pembelajaran
sejarah, sebagai seorang guru jelas harus mampu menyiapkan segala bentuk
perlengkapan dalam pembelajaran agar pembelajaran natinya bisa lebih
tersitematis dan efesien.
Kesimpulan
Dalam rangka menggali dan menanamkan kembali rumah adat sebagi
warisan budaya leluhur yang kaya akan nilai-nilai budaya maka sudah seharusnya
sekolah untuk terus memperkenalkan agar tetap eksis sehingga para generasi
penerus tidak lupa akan warisan budaya dari daerah sendiri. Pembelajaran sejarah
merupakan salah satu mata pelajaran yang tepat untuk memperkenalkan kembali
dan mepertahankan nilai budaya bangsa yang telah ada. Karena nilai yang
terkandung dalam rumah adat dapat dijadikan sebagai pembentuk karakter para
peserta didik. Hal ini tidak berarti bahwa hanya nilai-nilai kearifan lokal yang
terkandung dalam rumah adat saja yang mampuu membentuk karakter para
peserta didik melainkan ada begitu banyak budaya yang seharusnya digunakan
sebagai landasan pembentukan karakter peserta didik.
•••
382
Daftar Rujukan
Ayatrohaedi. 1986. “Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya.
BasyariIin Wariin. “Menanamkan Identitas Kebangsaan Melalui Pendidikan
Berbasis Nilai-Nilai Budaya Lokal.” dalam Edunomic, Jurnal Ilmiah Pend.
Ekonomi. Volume 1 Nomor 2, September 2013: 112-118.
Garvey Brian & Krug Mary. 2015. “ Model-Model Pembelajaran Sejarah di
Sekolah Menengah.” Yogyakarta: Ombak.
Molbang Amir & NurcahyoAbraham. “Rumah Adat Lakatuil di Desa Bampalola,
Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor NTT (Kajian Historis, Nilai
Filosofi, Serta Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah).” Jurnal
Agastya. Volume 6 Nomor 2, Juli 2016: 51-74.
Musanna, Al. “ Rasionalitas dan aktualitas kearifan lokal sebagai basis pendidikan
karakter.” dalam Jurnal Pendidikan dan kebudayaan. Volume 17 Nomor 6,
November 2011: 588- 597.
Puling, E. E. 2012. “ Makna dan Nilai Rumah Adat Suku Manunut di Desa Alas
Kecamatan Kobalima Timur Kabupaten Belu.” Skripsi FKIP Undana
Kupang: Tidak Terbit.
Rahyono F. X. 2009. “ Kearifan Budaya dalam Kata.” Jakarta: Wedatama Widta
Sastra.
Rambu, Hermina K. Tamu. 2011. “Rumah Adat (Uma) Sebagai Warisan Budaya
Lokal Masyarakat Desa Kananggar Kecamatan Paberiwai Kabupaten Sumba
Timur.” Skripsi FKIP Undana Kupang: Tidak Terbit.
Said, Abdul Azis. 2004. “ Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja
dan Perubahan Aplikasinya Pada Desain Modern.” Yogyakarta: Ombak.
Schunk, D. 2012. “Learning Theories an Educational Perspective: Teori-teori
Pembelajaran: Perspektif Pendidikan.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjana, Nana. 2003. “Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar.”
Bandung: Sinar Baru.
Wagiran. 2012. ” Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu
Hayuning Bawana(Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Berbasis Budaya)”.
dalam Jurnal Pendidikan Karakter. Volume 2 Nomor 3, Oktober 2012: 329339.
Wibowo Agus & Gunawan. 2015. “ Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal
di Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi.” Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
•••
383
•••
384
TRANSFORMASI NILAI-NILAI WAYANG BEBER PACITAN
SEBAGAI STRATEGI MENINGKATKAN KETAHANAN
LOCAL GENIUS
Antar Budiarto1 Muhammad Akhyar2 Sariyatun3
1
2
Pendidikan Sejarah, FKIP,Universitas SebelasMaret
Pendidikan Teknik Mesin, FKIP, Universitas Sebelas Maret
3
Pendidikan Sejarah, FKIP,Universitas SebelasMaret
budiartoantar1993@gmail.com
ABSTRAK.
Local genius merupakan ciri-ciri budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia sebagai
pengalaman hidup yang mereka alami. Unsur budaya daerah potensial sebagai local geniuskarena
telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai saat ini. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh
keberadaan dan keragaman nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia belum optimal
dalam upaya meningkatkan ketahanan local genius. Penulisan ini bertujuan untuk menggali,
mengkaji dan memperoleh gambaran secara deskriptif tentang proses transformasi nilai-nilai
Wayang Beber Pacitan sebagai strategi meningkatkan ketahanan local genius. Pendekatan
penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan data melalui studi
literature. Temuan penulisan menunjukan bahwa Wayang Beber Pacitan mengandung nilai-nilai
luhuryang dapat dijadikan sebagai strategi meningkatkan ketahanan local genius.
Kata Kunci:Transformasi Nilai, Wayang Beber, Local Genius
PENDAHULUAN
Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, tapak demi tapak,
bahkan dengan trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi
warisan budaya.Pada hakikatnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa
diwariskan, ditafsirkan, dan dilaksanakan seiring dengan perubahan proses sosial
kemasyarakatan. Manifestasi dan legitimasi masyarakat terhadap budaya adalah
dengan melaksanakan nilai-nilai budaya tersebut. Keragaman nilai-nilai luhur
kebudayaan bangsa Indonesia merupakan sarana dalam membangun karakter
warga negara, baik karakter privat maupun karakter publik.Dengan kerifan lokal
manusia tidak hanyut oleh pengaruh negatif globalisasi, tapi manusia juga bisa
menjawab tantangan itu dengan sopan berdasarkan budaya sendiri. Kearifan lokal
menjadi jembatan antara nilai-nilai lokal dan global(Wardani & Widiyastuti,
2013)
Permasalahan kearifan lokal sebagai falsafah hidup yang ada jauh sebelum
lahirnya Pancasila dan karakter bangsa saat ini telah banyak menjadi sorotan
tajam oleh masyarakat. Sorotan tersebut mengenai sikap dan perilaku masyarakat
Indonesia yang semakin meninggalkan budaya dan kearifan lokal sebagai ciri
khasnya. Masuknya nilai-nilai budaya dari luar semakin mendorong tergerusnya
nilai-nilai dari budaya Indonesia sendiri. Yang paling menonjol adalah perilaku
konsumtif dan kurangnya kreatifitas generasi muda.
Salah satu nilai-nilai budaya yang masih relevan dengan masa sekarang
adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Wayang Beber Pacitan. Wayang Beber
merupakan salah satu bentuk hasil kebudayaan yang langka, sampai dengan tahun
1980an diketahui hanya terdapat di dua tempat yaitu di Dusun Karangtalun, Desa
•••
385
Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dan di Desa
Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo (Wonosari), Gunung
Kidul, Yogyakarta. Dalam Wayang Beber Pacitan menceritakan cerita Panji yaitu
kisah pencarian jati diri Panji Asmarabangun dengan Dewi Sekartaji. Dalam
pertunjukan Wayang Beber Pacitan juga dilengkapi dengan uborampe diantaranya
kemenyan dan sesajen.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Wayang Beber Pacitan
merupakan bentuk kepandaian masyarakat pada zaman dahulu dalam menyikapi
perkambangan sosial budaya. Sebelum adanya pengaruh Hindu-Budha,
masyarakat nusantara telah mengenal kepercayaan terhadap roh nenek moyang.
Dari kepercayaan terhadap roh nenek moyang inilah kepandaian masyarakat masa
lalu yang telah menemukan prinsip dasar permainan wayang untuk mendatangkan
roh. Hal ini menjadi salah satu hasil akulturasilocal genius bangsa Indonesia
dengan pengaruh luar yang saat ini telah diakui oleh dunia internasional yaitu
Wayang. Wayang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai sebuah warisan
mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral ang
Intangible Heritage of Humanity) pada tanggal 7 Nopember 2003. Dalam Wayang
Beber Pacitan mengandung nilai diantaranya keteladanan, nilai ini dapat
ditransformasikan kepada generasi muda untuk dapat mengambil nilai adiluhung
dari generasi pendahulunya.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang lues dan mampu beradaptasi dengan budaya luar tanpa menghilangkan unsur
lokal. Soegondho menyatakan bahwa local genius mempunyai peran penting
dalam proses akulturasi budaya, tanpa dasar kepribadian (kebudayaan) yang kuat
dari pihak yang dipengaruhi, proses akulturasi itu akan menjadi tidak
berimbang(Ayatrohaedi, 1986:91). Bertahannya unsur lokal terhadap pengaruh
budaya asing merupakan bentuk kepandaian masyarakat untuk mengolah dan
mempertahankan nilai-nilai yang telah terbentuk dan menjadi sebuah kesepakatan
bersama.Akan tetapi saat ini kemampuan local genius bangsa tidak lagi berjalan
dengan semestinya. Masyarakat cenderung menjadi konsumtif, kurang selektif
terhadap nilai-nilai dari luar, dan kurang produktif terhadap perkembangan sosial
budaya. Jika hal ini terjadi terus-menerus, maka dikhawatirkan akan memudarkan
nilai-nilai adiluhung yang telah diwariskan oleh leluhur bangsa Indonesia serta
kemampuan local genius masyarakat akan tergerus oleh budaya-budaya instan.
Jika hal ini terjadi maka bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi.
Dampak yang mengarah pada arah negatif adalah nilai-nilai tradisi yang mulai
memudar. Bersamaan dengan semakin memudarnya ikatan tradisi mereka, banyak
kekayaan budaya lokal terdesak atau bahkan punah akibat desakan budaya asing.
Masyarakat tradisi kehilangan identitasnya karena tercerabut dari akar budayanya
(Warto, 2012:57)
Sifat perekonomian yang kapitalis ditandai dengan beberapa kriteria, yakni
produksi masal berdasarkan pasaran kerja yang bebas, sistem keuangan yang
memungkinkan arus perdagangan pasar, dan terjadinya persaingan bebas.
Perdagangan Barat ini lambat laun dan secara langsung akan dapat mempengaruhi
struktur kehidupan masyarakat, sehingga akulturasi tidak senantiasa
•••
386
menumbuhkan local genius yang berlaku dalam tradisi atau bahkan mungkin akan
menghilangkan nilai-nilai mendasar masyarakat tempatan (Lestari, 2000:32).
Penanaman nilai-nilai adiluhung yang terdapat di dalam hasil-hasil budaya
masyarakat zaman dahulu sangatlah penting, hal ini berguna sebagai filter dalam
menerima nilai-nilai budaya luar dan sekaligus menjadi ciri khas bangsa Indonesia
sendiri. Melalui tulisan ini, penulisan ini bertujuan untuk memberikan gagasan
penanaman nilai budaya lokal untuk memperkuat local genius.
TRANSFORMASI NILAI-NILAI WAYANG BEBER PACITAN SEBAGAI
STRATEGI MENINGKATKAN KETAHANANLOCAL GENIUS
1. Transformasi Nilai
Transformasi adalah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami
dunia. Karena dengan memahami perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang
dapat diketahui yakni keadaan pra perubahan dan keadaan pasca perubahan
(Kuntowijoyo, 2005:56). Transformasi bisa didefinisikan sebagai perpindahan
atau pergeseran suatu hal ke arah yang lain tanpa mengubah struktur yang ada di
dalamnya, meskipun ada kebaharuan bentuk.Menurut Mardimin (1994:14),
tranformasi budaya adalah proses perubahan sosial budaya yang direncanakan
dengan suatu tujuan tertentu. Mardimin juga menjelaskan bahwa terdapat dua
arah transformasi budaya; pertama, transformasi yang dilakukan dengan sengaja
bahwa orang Jawa menganggap perlu adanya suatu perubahan dalam hidup
mereka yang disesuaikan dengan kondisi atau perkem-bangan zaman. Kedua,
transformasi tanpa adanya unsur kesengajaan yaitu bahwa proses tersebut terjadi
diluar kehendak mereka dan cenderung karena faktor lingkungan.
Capra menerangkan bahwa transformasi melibatkan perubahan jaringjaring hubungan sosial dan ekologis. Apabila struktur jaring-jaring tersebut
diubah, maka akan terdapat didalamnya sebuah trenasformasi lembaga sosial,
nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran (Pujileksono, 2009:143).Proses transformasi
erat kaitannya dengan lingkungan dan sosial masyarakat.
Transformasi nilai yang bersumber pada budaya lokal merupakan usaha
yang dilakukan untuk melestarikan budaya lokal dengan memberikan
pengetahuan kandungan nilai dari suatu budaya agar nilai-nilai tersebut dapat
diwarisi oleh generasi penerus guna menjadi warga negara yang baik yang
mempunyai jatidiri.
Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai,
diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang
menghayatinya menjadi bermanfaat (Susilo, 2013:56). Nilai-nilai berlokasi dalam
alam pikiran sebagian warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan
itu hidup. Nilai berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tata kelakuan manusia
dalam rangka menjaga keteraturan sosial masyarakat. Nilai menjadi acuan dalam
menentukan sikap, dan sikap menajdi acuan bertingkah laku. Seperti yang
diungkapkan Koentjaraningrat (1984, 25) bahwa suatu sistem nilai budaya
biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nasution,
S. (2015:63) menyatakan, dengan nilai-nilai kebudayaan anggota masyarakat
mengetahui apakah yang layak, pantas, baik atau seharusnya.
•••
387
Transformasi nilai yang bersumber pada budaya sangatlah penting, hal ini
selain sebagai bentuk menjaga kelastarian budaya juga sebagai sarana penyadaran
pada masyarakat akan nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan.
Soeprapto dan Jirzanah menjelaskan, proses penyadaran berfungsi amat penting
untuk menjembatani proses pemahaman dan motivasi yang melandasi tindakan.
Penyadaran individual memang penting, tetapi untuk melangkah ke perbuatan
seringkali perlu dicakup dalam sejarah kolektif (2009:163).
2. Wayang Beber Pacitan
Wayang adalah jenis seni pertunjukan yang mengisahkan seorang tokoh
atau kerajaan dalam dunia pewayangan. Wayang berasal dari kata Ma Hyang yang
berarti menuju kepada roh spiritual, dewa atau Tuhan Yang Maha Esa. Cerita
wayang diambil dari buku Mahabarata
atau Ramayana (Lisbijanto,
2013:1).Wayang sudah ditetapkan oleh UNESCO, lembaga yang membawahi
kebudayaan dari PBB, sebagai sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai
dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral ang Intangible Heritage of Humanity)
pada tanggal 7 Nopember 2003.
Terdapat berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia, yang paling
dikenal adalah Wayang Kulit (Purwa). Wayang Beber merupakan salah satu jenis
wayang yang ada di Indonesia, akan tetapi keberadaannya kurang begitu dikenal.
Wayang Beber merupakan salah satu bentuk hasil kebudayaan yang langka,
sampai dengan tahun 1980an diketahui hanya terdapat di dua tempat yaitu di
Dusun Karangtalun, Desa Gedompol, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan,
Jawa Timur dan di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo
(Wonosari), Gunung Kidul, Yogyakarta.
Wayang Beber merupakan representasi lukisan Jawa masa lalu sebelum
datangnya pengaruh Barat. Wayang Beber layaknya komik pada masa lalu dan
terdiri atas serangkaian gambar yang dilukis pada gulungan kertas dan melukiskan
secara berurutan episode-episode sebuah cerita. Wayang beber dipertunjukkan
dengan mengomentari gambar demi gambar dengan iringan gamelan.
Suharyono (2005:2) mendefinisikan, Wayang Beber adalah jenis
pertunjukan wayang dengan gambar-gambar sebagai objek pertunjukan. Gambargambar tersebut dilukiskan pada selembar kertas atau kain, gambar dibuat dari
satu adegan menyusul adegan lain, berurutan sesuai dengan narasi. Wayang Beber
Pacitanmuncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih
berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Dinamakan wayang beber karena
berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam
cerita wayang baik Mahabarata maupun Ramayana.
Wayang Beber Pacitan dibuat pada sesudah pemerintahan Amangkurat II
(1677-1678) dan sebelum pemerintahan Amangkurat III (1703-1704) di
Kartasura. Wayang Beber Pacitan melukiskan cerita panji Asmarabangun dan
Dewi Sekartaji (Gozali & Cahyana, 2015:15).Wayang beber Pacitan dipercaya
oleh sebagian masyarakat sebagai warisan dari zaman Majapahit. Wayang
“pusaka” Majapahit ini dihadiahkan beber) dari Karang Talun, Gedompol,
Pacitan, karena telah berhasil menyembuhkan putri sang Raja yang sakit (Warto,
2012: 60). Dalang pertama Wayang Beber ini adalah Ki Nala Derma kemudian
•••
388
diwariskan kepada anak cucunya. Mbah mardi Guna Carita (dalang ke-13) tidak
memiliki anak laki-laki, pewarisan kemudian terputus dan Wayang Beber asli
tersimpan di rumah kakak Mbah Mardi di Gedompol.
Wayang Beber Pacitan jagong-jagongnya dominan menggunakan warna
hitam, merah, dan kuning dari jagong awal sampai akhir sehingga tampak magis.
Materi Wayang Beber Pacitan menggunakan alat dan warna-warna klasik dan
ornamen pada background seperti tumbuhan, hewan, senjata, genting, dan
bangunan seperti pendapa.Cerita Wayang Beber, terdiri dari enam gulung. Satu
gulung berisi empat adegan yang disajikan satu persatu. Jadi dalam pertunjukan
Wayang Beber Pacitan, gambar dalam gulungan disajikan seperempat demi
seperempat.
Wayang Beber Pacitan mengisahkan tentang Cerita Panji. Terdapat
berbagai pendapat mengenai Panji, yaitu seperti dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.1Data Ringkas tentang Kisah Panji Menurut BerbagaiKajian
C.C.BERG
R.M.Ng.
W.H.RASSERS
AGUS ARIS
(1927)
POERBATJARAKA
(1982)
MUNANDAR
(1957 & 1968)
(2005)
SETTING
Setting sejarah dari
Tidak
Setting sejarah dari
SEJARAH
masaKerajaan Kadiri
diungkapkan
keruntuhan Singhasari,
Setting sejarah
(abadke-11).
perihal setting
awal Majapahit
berasal dari
sejarah dari
pemerintahan Raden
zaman kejayaan
kisah Panji.
Wijaya, Jayanagara,
Majapahit
Trbhuwanottunggadew
dalam era
i, hingga akhir
Hayam Wuruk
pemerintahan Hayam
Wuruk tahun 1389 M.
TOKOH
Tokoh Panji mengacu Tokoh Panji
Acuan tokoh Panji
Acuan tokoh
kepada raja
mungkin dapat
adalah Raden Wijaya,
cerita Panji
Kameswara dan Sekar dihubungkan
Jayanagara, dan
adalah
Taji mengacu kepada dengan tokoh
Hayam Wuruk. Acuan
Rajasanagara
permaisuri
Ken Angrok
Dewi
(Hayam
Kameswara, yaitu Sri yang mendirikan Angreni/Martalangu
Wuruk), dialah
Kiranaratu.
kerajaan
ialah Putri Sunda,
tokoh Raden
Singhasari pada
Sekar Taji adalah Indu
Inu/Hino sang
tahun 1222 M
Dewi atau Paduka
putera mahkota,
dan juga Raden
Sori.
namun tidak
Wijaya.
dijelaskan acuan
tokoh-tokoh
lainnya.
PENCIPTAAN Digubah pada zaman
Merupakan
Digubah setelah
Sebelum tahun
Kejayaan atau akhir
tuturan lisan dari terjadinya Pabubat1277 sudah
kejayaan Majapahit
masa purba
Sunda, dikembangkan
dikenal cerita
(sekitar tahun 1400sebelum
dalam varian-varian
Panji.
an)
masuknya
hingga pertengahan
budaya India
abad ke-15.
PENYEBARAN Penyebaran Kisah
Tidak ada
Penyebaran ke luar
Penyebaran
Panji terjadi dalam
penjelasan
Jawa Timur terjadi
•••
389
awal Kisah
Panji terjadi
bersamaan
dengan
peristiwa
Pamalayu tahun
1277 dan
berakhir sekitar
tahun 1400 M
periode surutnya
kuasa Majapahit,
bahkan sampai era
penyebaran Islam di
Jawa
tentang
penyebaran
kisah Panji
keluar Jawa
Timur.
dalam abad ke-15-16,
dalam masa
pemerintahan rajaraja
pengganti Hayam
Wuruk.
(Sumber: Munandar, 2014:7)
Cerita Panji tidak hanya ada di wilayah Jawa namun menyebar ke berbagai
wilayah. Nilai-nilai yang ada di dalam Cerita Panji tidak menjurus pada satu
agama, daerah, atau etnis tertentu, tetapi mengandung nilai universal yang
berguna bagi manusia pada umumnya. Adanya corak nilai universal inilah yang
membuat cerita ini dapat menyebar luas ke berbagai wilayah Nusantara (Bali,
Sunda, Lombok, Kalimantan, Palembang, dan Melayu), serta berbagai negara di
daratan Asia Tenggara (Manuaba, dkk. 2013:58).
Dalam Wayang Beber Pacitan cerita yang dikisahkan adalah cerita Panji.
Isinya mengenai kepahlawanan dan percintaan yang berpusat pada dua tokoh
utama, yaitu raden Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun, dan Dewi Sekartaji
atau Galuh Candrakirana (Sawega, 2013: 19). Secara keseluruhan lukisan wayang
beber itu menggambarkan perjalanan cinta Dewi Sekar Taji dan Panji Asmara
Bangun, yang dalam versi wayang beber Pacitan dirangkum dalam cerita Jaka
Kembang Kuning (Warto, 2012:60).
Cerita Panji dapat dikisah-singkatkan sebagai cerita yang berkisar
mengenai percintaan Raden Panji Asmarabangun (Inu Kertapati atau Panji
Kudawanengpati), putera mahkota kerajaan Jenggala, dengan Dewi Sekartadji
(Galuh Candrakirana), puteri kerajaan Panjalu atau Kadiri. Arkeolog M. Dwi
Cahyono berpendapat, bahwa yang dimaksud Cerita Panji adalah berbagai kisah
dalam beragam ekspresi dengan tokoh sentral Panji. Disebut Cerita Panji karena
memiliki pola-pola tertentu, yaitu (1) tokohnya kekesatriaan, (2) memiliki pola
integrasi-distegrasi-reintegrasi atau ketemu-pisah-ketemu lagi dan mengalami
siklus berulang. (3) Ada kesan bermusuhan tetapi bersatu, seperti Romeo Yuliet,
ada upaya penyatuan. (4) Ada balada yang segenerasi tapi bisa lintas generasi
(Makalah Henri Nurcahyo yang dimuat dalam budayapanji.com).
Nilai kepahlawanan yang diajarkan dalam Kisah Panji meliputi beberapa
aspek positif, yaitu :1) Pelaga yang pantang mundur di medan perang; 2) Berani
mengorbankan diri demi harga diri sebagai pahlawan; 3) Setia kepada janji yang
diucapkan; 4) Melaksanakan etika susila dan kesopansantunan; 5) Cinta kepada
keluarga hormat kepada orang tua, kakak, dan saudara; 6) Setia kepada kawan; 7)
Siap membalas budi, dan siap membantu; 8) Tidak pernah merampas hak orang
lain; 9) Manis rupanya, halus budi bahasanya (Baried dkk 1987: 86).
Secara ringkas cerita dalam Wayang Beber Pacitan adalah menceritakan
Dewi Sekartaji melarikan diri dari kerajaan karena menolak untuk menikah
dengan raden Klana Sewandana dari Kerajaan Seberang. Raja mengadakan
sayembara bagi siapa saja yang dapat menemukan Dewi Sekartaji, tanpa
memandang derajat atau pangkat, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata,
•••
390
apabila dia perempuan akan dijadikannya saudara dari Dewi Sekartaji dan apabila
laki-laki akan dijadikannya suami dari Dewi Sekartaji. Panji Asmara Bangun
datang untuk mengikuti sayembara dan menyamar sebagai jaka kembang Kuning.
Jaka Kembang Kuning mohon diri untuk segera mencari keberadaan Dewi
Sekartaji bersama dua orang abdinya, yaitu Ki Tawang Alun dan Ki Naladerma.
Dalam perjalanan mencari Dewi Sekartaji, Jaka Kembang Kuning bertemu
dengan tiga orang ksatria, yaitu: Ganggawercitra, Jaladara, dan Gendrayuda.
Ketiga ksatria ini mengajukan keinginannya pada Jaka Kembang Kuning agar
dirinya dijadikan sebagai abdi. Namun Jaka Kembang Kuning menolaknya. Ki
Tawang Alun menyarankan Jaka Kembang Kuning cara untuk mencari Dewi
Sekartaji, dengan mengadakan pertunjukan Barong Terbang (semacam kesenian
terbangan) di Pasar Katumenggungan.
Jaka Kembang Kuning bertemu Dewi Sekartaji. Jaka Kembang Kuning
kemudian mengutus Ki Tawang Alun untuk menghadap Prabu Brawijaya dan
memberitahukan bahwa Jaka Kembang Kuning telah menemukan putrinya, Dewi
Sekartaji. Sedangkan Ki Naladerma diutus untuk memberikan cincin tunangan
kepada Dewi Sekartaji. Terjadilah adu mulut antara Ki Tawang Alun dan Raden
Klana Sewandana. Jaka Kembang Kuning riang gembira setelah mengetahui
bahwa lamarannya diterima oleh Dewi Sekartaji. Jaka Kembang Kuning yang
melihat Ki Tawang Alun dikalahkan oleh Patih Kebo Loro dan akhirnya
mengambil alih posisi Ki Tawang Alun. Patih Kebo Lorodan bertarung dengan
Jaka Kembang Kuning. Pada pertarungan ini, Patih Kebo Lorodan mati. Raden
Klana Sewandana mundur, mengatur kekuatan untuk menyerang Kerajaan Kediri.
Raden Klana Sewandana berubah menjadi Raden Gandarepa palsu untuk
melamar Dewi Sekartaji. Karena gerak geriknya yang mencurigakan, Dewi
Sekartaji menolaknya. Raden Klana Sewandana akhirnya dibunuh oleh Ki
Tawang Alun dengan menggunakan Keris Pasopati. Jaka Kembang Kuning
memboyong para tawanan putri, termasuk Retno Tenggaron, ke hadapan Prabu
Brawijaya di Keraton Kerajaan Kediri. Jaka Kembang Kuning dan Dewi
Sekartaji meminta doa restu kepada Prabu Brawijaya. Dilaksanakan pernikahan
Jaka Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji.
Manuaba (2013:63) dalam jurnal Litera, Keberadaan dan Bentuk
Transformasi Cerita Panji menyatakan, terdapat sepuluh nilai yang terkandung
dalam cerita Panji. Kesepuluh nilai tersebut, yaitu (a) kesejarahan, (b) edukatif, (c)
keteladanan, (d) kepahlawanan, (e) budaya, (f) estetika, (g) kearifan lokal, (h)
ekologis, (i) politis, dan (j) moral.
Tabel 1.2 Nilai-Nilai Cerita Panji dan Wayang Beber Pacitan
Nilai Cerita Panji
Kesejarahan
Edukatif
Cerita Wayang Beber Pacitan
Cerita Panji memiliki nilai kesejarahan yang dapat
diketahui dari keberadaan cerita ini yang terkait
dengan Kerajaan Kediri dan Jenggala.
Cerita ini merupakan sumber cerita yang melahirkan
banyak cerita turunan, dan memiliki peran dalam
pengembangan sastra dan budaya Jawa.
•••
391
Keteladanan
Kepahlawanan
Budaya
Estetika
Kearifan Lokal
Ekologis
Politis
Moral
Nilai keteladanan yang dapat diketahui dari
kisahkisah
pengembaraan,
penyamaran,
dan
pencarian Panji. Panji selalu menunjukkan sikap baik,
arif bijaksana, dan hampir tidak pernah dikisahkan
sebagai tokoh atau sosok yang tidak baik. Panji
memang dalam berbagai kisah digambarkan sebagai
idola, tokoh sentral yang selalu identitik dengan nilainilai kebaikan.
Nilai kepahlawanan yang dapat diketahui dari cerita
Panji adalah ketika ia tidak kenal menyerah dan
selalu berani untuk menghadapi tantangan apa pun
untuk menemukan Dewi Candrakirana yang sering
dikisahkan ada dalam penyamaran dan terpisah
dengan dirinya. Dalam masa penyamaran, pencarian,
dan keterpisahan, Panji menghadapi tantangan yang
banyak membahayakan jiwanya, namun ia selalu
dikisahkan berhasil dalam menghadapinya.
Nilai budaya dapat diketahui melalui karya-karya
budaya sebagai hasil transformasinya. Nilai-nilai ini
terlukiskan dalam arca, relief, dan naskah-naskah
kuno yang mengungkap kearifan budaya pada
masanya.
Nilai estetika intens terungkap dalam karya sastra,
seni, dan budaya Panji. Semua kisah yang diceritakan
dan
dilukiskan
dalam
karyakarya
budaya
memperlihatkan estetika yang tinggi, yang membuat
karya karya Panji beserta turunannya dinilai sebagai
karya yang patut disimak oleh masyarakat untuk
peningkatan kehalusan budi dan laku manusia.
Cerita Panji mengungkap cerita yang khas daerah,
dengan sendirinya juga mengandung nilai kearifan
lokal daerah. Karya Panji mengungkap tentang
kearifan lokal Kediri, dan kisah-kisah turunannya
juga sudah mendapat varian nilai kearifan lokal
tempat karya itu dituturkan atau dikisahkan dalam
masyarakat setempat.
Nilai ekologis dalam cerita Panji ditunjukkan melalui
busana Jawa yang digunakan, perhatian pada alam
sekitar, dan lingkungan seni yang dikembangkannya
dalam budaya Jawa.
Nilai politis tidak dipahami sebagai yang negatif
tetapi positif. Nilai politis cukup intens karena Panji
sendiri adalah putera mahkota Kerajaan diidentikkan
dengan Raden Inu Kartapati yang banyak mengelola
kerajaan. Politis berkait dengan pengelolaan
pemerintahan dan birokrasi kerajaan pada masa itu.
Cerita Panji, sebagai cerita klasik dan lampau, nilai
moral dijunjung tinggi. Nilai ini dapat diketahui
melalui sikap dan perilaku tokoh-tokoh cerita yang
ada dalam cerita Panji, terutama Panji Asmorobangun
•••
392
dan Galuh Candrakirana, yang secara keseluruhannya
digambarkan sebagai manusia yang memiliki
moralitas yang sangat tinggi.
3. Local Genius
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas dari keadaaan yang
simultan, ketika kita menghadapi teknologi yang lebih maju, contohnya adalah
dari teknologi prasejarah ke teknologi Hindu-Budha, kemudian ke teknologi
Islam, lalu akhirnya menghadapi teknologi barat. Dari perjalanan sejarah ini,
terutama pada pertemuan antara teknologi prasejarah dengan teknologi HinduBudha, dapat dikenal suatu kemampuan yang disebut sebagai local genius.
Kemampuan ini merupakan kemampuan untuk menyesuaikan teknologi maju
dengan nilai-nilai kebudayaan yang ada, lalu akhirnya menciptakan hal yang baru.
Mundardjito secara implisit menerangkan hakikat local genius yaitu; 1)
Mampu bertahan terhadap budaya luar; 2) memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur daya luar; 3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur-unsur
budaya luar ke dalam kebudayaan asli; 4) memiliki kemampuan mengendalikan;
dan 5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya (Ayatrohaedi,
1986:40).
Dengan mengacupendapat Wales (1951: 2 – 32), sebenarnya local genius
secara luas dapatdiartikan sebagai proses cultural characteristics, yakni
perkembangan dariproses fenomenologis ke sifat kognitif, memiliki dasar;
1)Menunjukkan pandangan hidup dan sistem nilai dari masyarakat (orientation);
2) Menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap dunia luar(perception); 3)
Mewujudkan tingkah laku masyarakat sehari-hari (attitude danpattern of life); 4)
Mewarisi pola kehidupan masyarakat (life style).
Sifat terbuka Indonesia telah membawa konsekuensi bahwa sepanjang
sejarah keadaan sosial budaya kita selalu berbenturan, bersentuhan, berkenalan
dan dipengaruhi oleh sosial budaya asing. Situasi generasi muda juga tidak dapat
terlepas dari keadaan tersebut. Secara histroris budaya lokal yang dimiliki bangsa
Indonesia telah mampu menjaga eksistensinya terhadap budaya luar dan budayabudaya lokal di Indonesia telah menjadi pemersatu bangsa. Hal ini tidak terlepas
dari kepandaian generasi pendahulu dalam menyikapi dan mengolah adanya
kontak budaya antara budaya lokal dengan budaya luar.
Tingginya kreatifitas dalam mengolah kontak budaya, kemampuan
menyeleksi unsur-unsur budaya yang sesuai, tingginya rasa cinta budaya, dan
tentunya mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Kebudayaan asli Indonesia
yang belum dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan India adalah kebudayaan
pada masa prasejarah. Unsur-unsur kebudayaan asli tersebut terwujud dalam
bahasa, teknologi, organisasi sosial, religi, dan kesenian bangsa pra sejarah.
Sebelum masuknya pengaruh bahasa Sansekerta, bangsa Indonesia telah
mempunyai bahasa ibu yaitu bahasa Austronesia, bahasa Austronesia berkembang
di Indonesia sejalan berkembangnya budaya bercocok tanam. Bukti dari kuatnya
ketahanan bahasa lokal adalah meskipun masuknya bahasa Sansekerta namun
hanya pada golongan tertentu saja. Dalam unsur teknologi ditunjukkan dan
dimulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan (tingkat sederhana). Hal
ini ditunjukkan dari kemahiran dalam memilih bahan batuan hingga cara
•••
393
mengerjakannya untuk alat-alat keperluan sehari-hari. Selain itu juga kemampuan
membuat bangunan-bangunan megalitik dengan bernagai fungsinya.
Pada masa perundagian telah mengenal pembagian kerja, dalam sistem
pengetahuan mengenal cara pengobatan (dukun), pada religi telah mengenal
pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan pada kesenian ditunjukkan diantaranya
seni lukis pada goa-goa. Masuknya budaya India justru menambah
pengetahuan.Daya cipta masyarakat selalu mengalami peningkatan, kemudian
disusul dengan masuknya pengaruh baru yaitu Islam dan sampai pada pengaruh
yang lebih modern.
Local genius, yang sering juga disebutkan sebagai pencipta kebudayaan
pribumi dengan demikian merupakan konsep budaya suatu sistem yang mencakup
berbagai dimensi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Salah satu faktor
penggeraknya adalah ethos, yang dipandang sebagai suatu faktor yang meresap
dalam kompleksitas kebudayaan sehingga dapat menciptakan suatu koherensi
antar berbagai unsur, yang selanjutnya menjiwai kebudayaan tersebut dan
menimbulkan struktur tersendiri dengan membentuk identitas tersendiri pula
(Lestari, 2000:30).
4. Transformasi Nilai-Nilai Wayang Beber Pacitan sebagai Strategi
Meningkatkan Ketahanan Local Genius
Masyarakat Indonesia memiliki sifat yang cenderung pada sikap eksoteris
dan mudah berorientasi pada alam transdental. Dan jika orientasi ini tidak
diimbangi dengan keterbukaan ke dunia luar, suatu eksoteris, dan ke arah dunia
nyata dan konkrit, akan ditemui kesulitan dalam mendorong masyarakat untuk
brsikap produktif, maju, dan positif terhadap teknologi (Lestari, 33:2000).Unsurunsur budaya barat yang masuk dan mempengaruhi budaya kehidupan di
Indonesia sering dirasakan berhadapan dengan permasalahan disorientasi,
disintegrasi, dan disfungsi dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat. Indonesia
dihadapkan pada tantangan modernisasi, untuk itu masyarakat harus mempunyai
kemampuan untuk merespon tantangan tersebut. Kemampuan merespon ini akan
terbentuk jika local genius dalam unsur-unsur kehidupan seperti orientasi,
persepsi, sikap dan pola hidup dihidupkan kembali.
Untuk menghidupkan unsur-unsur di atas dapat dilakukan dengan
mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya yaitu Wayang
Beber Pacitan.Suharyono (2005:7-8) menyatakan Ada tiga alasan pentingnya
mengkaji Wayang Beber yaitu, pertama Wayang Beber adalah suatu kesenian
yang langka dan mempunyai gejala perkembangan surut menuju kematian. Kedua,
para narasumber dan para pakar wayang yang betul-betul mengetahui tentang
Wayang Beber, umumnya sudah lanjut usia. Ketiga, pada masa sekarang ini perlu
digalakan penulisan sejarah lokal dan sejarah kesenian sebagai perwujudan
identitas nasional.
Cerita dalam wayang mengandung makna yang beragam yang dekat
dengan kehidupan masyarakat. Jika makna yang terkandung dalam cerita wayang
ini dapat dipahami dengan baik maka digunakan sebagai falsafah kehidupan.
Pembentukan dan pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya
•••
394
merupakan proses transformasi dan dalam proses transformasi inilah pendidikan
berfungsi. Proses pendidikan sendiri merupakan transformai kebudayaan.
Terkait nilai dan sistem pendidikan terdapat hubungan yang saling
melengkapi. Hal tersebut dapat dirinci sebagai berikut: 1) Setiap masyarakat atau
bangsa memiliki sistem nilai ideal yang dipandang sebagai suatu yang benar; 2)
Nilai-nilai tersebut perlu dipertahankan sebagai suatu pandangan hidup atau
filsafat hidup mereka; 3) Agar nilai-nilai tersebut dapat dipelihara secara lestari,
perlu diwariskan kepada generasi muda; 4) Usaha pelestarian melalui pewarisan
ini efektifnya melalui pendidikan; 5) Untuk menyelaraskan pendidikan yang
diselenggarakan dengan muatan yangterkandung dalam nilai-nilai yang menjadi
pandangan hidup tersebut, maka secarasistematis program pendidikan harus
menempatkan nilai-nilai tadi sebagai landasandasar muatan dan tujuan yang akan
dicapai (Jalaluddin & Idi, 2012:188-189).
Pendidikan tidak hanya sebagai pengalihan pengetahuan dan keterampilan
(transfer of knowledge and skliss) tetapi juga meliputi pengalihan nilai-nilai
budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and
socialnorms), dalam hal ini adalah nilai-nilai dalam cerita Wayang Beber Pacitan.
Proses transformasi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi, dan
sosialisasi. Imitasi adalah meniru tingkah laku dari sekitar. Yang diimitasi adalah
nilai-nilai cerita Wayang Beber Pacitan. Transmisi nilai-nilai ini diperlukan
seorang penghubung karena tidak semua orang atau generasi muda mampu
menangkap nilai yang terkandaung dalam Wayang Beber Pacitan. Untuk itu
dibutuhkan penghubung nilai yaitu guru ataupun pendidik.
Nilai-nilai tersebut harus diidentifikasi, proses identifikasi ini berjalan
sepanjang hayat sesuai tingkat kemampuan manusianya. Kemudian nilai-nilai itu
disosialisasikan dalam kehidupan nyata, artinya harus diwujudkan dalam
kehidupan nyata di dalam lingkungan yang semakin luas. Cara
mentransformasikan nilai-nilai cerita Wayang Beber Pacitan bisa melalui
bimbingan. Bimbingan ini dapat berupa instruksi, persuasi, rangsangan, dan
hukuman.
Dalam proses transformasi nilai-nilai Wayang Beber Pacitan,
pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kepribadian yang mempunyai jiwa
kreatif dan dapat memilih nilai-nilai serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.Lembaga-lambaga pendidikan haruslah mengkondisikan pengenalan,
pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan. Selain itu di dalam lembagalembaga pendidikan harus mengembangkan sikap penghargaan terhadap budaya
daerah dan nasional serta daya kritis dan analitis terhadap budaya luar.
SIMPULAN
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemahaman nilai-nilai yang terkandung di dalam Wayang Beber Pacitan sangat
urgen dalam rangka meningkatkan ketahanan local genius. Dikatakan demikian
karena Wayang Beber Pacitan dan cerita di dalamnya mengandung nilai-nilai
adiluhung yang sesuai dengan kehidupan masa kini. Jika nilai-nilai ini
ditrnasformasikan kepada generasi penerus maka selain memahami budaya juga
akan meningkatkan kemampuan local geniusnya. Dalam transfromasi nilai ini
dapat melalui pendidikan dengan memberikan penanaman nilai dalam setiap
•••
395
kegiatan pembelajaran yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Selain
untuk menanamkan nilai, hal ini merupakan sarana pelestararian budaya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] A. A. Munandar. Panji dan para Kadeyan Mengembara dalam Kebudayaan
Nusantara.Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, Depok. Prosiding Seminar Panji dalam Berbagai Tradisi Nusantara di
Hotel Inna Garuda Yogyakarta, 8 Mei 2014. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Kesenian dan Perfilman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. ISBN: 978-602-14898-1-9, Mei 2014
[2]A. Gozali, Agung Cahyana. Anatomi Wayang Beber Gaya Pacitan. Laporan
Akhir Program Penelitian Dosen Pemula. FSRD ISI Surakarta. DIPA Direktorat
Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat, 2015
[3]A. M. Sawega . Wayang Beber Antara Inspirasi dan Transformasi . Surakarta:
Bentara Budaya Balai Soedjatmoko, 2013
[4]Ayatrohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka
Jaya, 1986
[5]H. G. Wales. “Cultural Change in Greater India”, in Jurnal of Royal Asiatic
Society, 1951
[6] H. Lisbijanto. Wayang. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013
[7]H. Nurcahyo. Lokakarya Revitalisasi Kesenian Berbasis Cerita
Panji, Makalah dalam Lokakarya diselenggarakan oleh UPT Laboratorium
Pelatihan dan Pengembangan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jawa Timur, di Regent Park Hotel, Malang, 25-26 Oktober 2016,
Tersedia:
[Online]
http://budayapanji.com/informasi/?p=500#comment-3431,
[diakses Rabu, 15 November 2017]
[8]I. Bagus Putera Manuba, Adi Setijowati, Puji Karyanto. Keberadaan dan
Bentuk Transformasi Cerita Panji. LITERA Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya Volume 12, Nomor 1, April 2013, hal. 53-67, 2013
[9]Jalaluddin, Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012
[10]Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna). Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006
[11]N. Wardani, Endang Widiyastuti. Mapping Wayang Traditional Theatre As a
From of Local Wisdom of Surakarta Indonesia. Asian Journal of Social Sciences
& Humanities, II, May 2013
•••
396
[12] S. A. Susilo. Pembelajaran Nilai Karakter Konstruksi dan VCT Sebagai
Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013
[13]S. B. Baried, dkk. Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1987
[14] S. Bagyo. Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Pustaka, 2005
[15] S. Nasution. Sosiologi Pendekatan. Jakarta: Bumi Aksara, 2015
[16]S. Pujileksono. Antropologi (Edisi Revisi). Malang: UMM Press, 2009
[17]S. Soeprapto dan Jirzanah. Transformasi Nilai-Nilai dan Alam Pemikiran
Wayang Bagi Masa Depan Jati Diri Bangsa Indonesia. Jurnal Filsafat Vol.19,
Nomor 2, Agustus 2009, hlm. 147-164
[18]W. Lestari. 2000. PERAN LOKAL GENIUS DALAM KESENIAN LOKAL
(The Role of Local Genius in The Local Art). Vol. 1 No. 2/September – Desember
2000. Department of Drama, Dance, and Musik (Sendratasik), Semarang State
University. [Online]. Tersedia: www.portalgaruda.org[diakses Rabu, 15 November
2017]
[19]Warto. Wayang Beber Pacitan: Fungsi, Makna, dan Usaha Revitalisasi.
Paramitha Vol. 22 No. 1, ISSN: 0854-0039, hlm. 56-58, Januari 2012
[20]Y. Mardimin (ed.). Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju
Masyarakat Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
•••
397
•••
398
ARISTEKTUR RUMAH KAPITAN DALAM BINGKAI KEARIFAN
LOKAL SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BELAJAR SEJARAH
Eva Febriani, Nunuk Suryani, Sariyatun
Universitas Sebelas Maret
evafebriani672@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini, menghadirkan arsitektur rumah Kapitan sebagai alternatif
sumber belajar sejarah dalam nilai kearifan lokal untuk membentuk generasi muda dan
penggerak bangsa yang berkarakter serta yang paham akan keberagaman budaya. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukan bahwa ; 1). Arsitektur rumah Kapitan merupakan warisan sejarah lokalitas
yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal 2). Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam
arsitektur rumah Kapitan berupa nilai solidaritas, nilai budaya, nilai gotong royong dan
nilai toleransi 3). Nilai-nilai kearifan lokal dalam aristektur rumah Kapitan sebagai
alternatif sumber belajar dapat diimplementasikan dalam pembelajaran sejarah di SMA N
8 Palembang. Rumah Kapitan dalam kontribusi bidang arsitektur melalui pendekatan
visual skill, mampu membangun sejarah arsitektur di tanah air khususnya di wilayah
Palembang untuk menghadirkan nilai-nilai kebajikan dari setiap simbol bangunan sejarah
sehingga dapat mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan peserta didik
sebagai generasi bangsa yang berkarakter.
Kata Kunci : Arsitektur Rumah Kapitan, Kearifan Lokal, Sumber Belajar Sejarah
PENDAHULUAN
Potensi kearifan lokal dalam lembaga pendidikan menjadi wacana yang harus
diperhitungkan ditengah arus globalisasi terkini. Kearifan lokal yang merupakan
produk budaya masa lalu, membawa pesan kepada peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa dalam memberikan penekanan bahwa kearifan lokal adalah
produk budaya yang dapat menyatukan tatanan kehidupan agar lebih serasi.
Kearifan lokal perlu diperkenalkan kepada peserta didik agar permasalahan
sosial seperti keberagaman pendapat dan pemikiran renta terhadap konflik. Dalam
ruang lingkup kehidupan sosial secara universal, konflik atau permasalahan sosial
muncul disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola
keberagaman suku bangsa dan masing-masing individual memiliki pandangan
yang berbeda-beda. Permasalahan sosial biasanya muncul dengan menggunakan
simbol-simbol etnis, budaya, agama dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi karena
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap integrasi sosial ditengah
perkembangan masyarakat yang begitu plural. Bukan hanya dalam kehidupan
bermasyarakat saja, permasalahan sosial juga tumbuh dalam dunia pendidikan di
lingkungan sekolah yang seharusnya sekolah menjadi wadah untuk
pengembangan kreatifitas dan imajinasi demi membentuk karakter generasi
penerus bangsa. Dalam realitasnya hal seperti ini kurang mendapatkan perhatian
sehingga para pelajar masih saja sering melakukan tawuran, tidak ada rasa hormat
terhadap guru, saling mengejek sesama teman dan melakukan tindak bulying
secara verbal maupun fisik.
•••
399
Solusi agar tidak bertambahnya angka terhadap konflik dan permasalahan
sosial yang terjadi oleh generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat khususnya
dalam lingkungan sekolah dimulai dari peran pendidikan untuk mengaplikasikan
nilai keraifan lokal kepada peserta didik. Pendidikan harus berupaya menanamkan
nilai-nilai sosial kepada peserta didik, sebagai bekal dalam menghadapi
kompleknya konflik yang terjadi dalam masyarakat kontemporer. Lebih dari itu
juga, peran pendidikan harus mampu mengembangkan masyarakat Indonesia yang
multicultural, menuju kepada masyarakat yang sosialis, dinamis, pluralis,
toleransi, patriotism dan demokratisasi.
Dalam mengurangi angka terjadinya permasalahan dalam kehidupan sosial
tersebut, mengembangkan nilai kearifan lokal sebagai sumber belajar merupakan
langkah awal yang kecil untuk perubahan karakter generasi muda yang besar.
Perasaan saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau
komunitas, perasaan saling menghargai dan memperhatikan kepentingan bersama
akan menjawab tantangan permasalahan sosial yang semakin memprihatinkan
dalam dunia pendidikan maupun lingkungan bermasyarakat.
Nilai kearifan lokal yang digali dalam pembelajaran dapat ditumbuhkan
melalui sumber belajar sejarah yang dihadirkan melalui warisan budaya lokalitas.
Djuwita (2009) menyatakan bahwa sangat efektif jika pembelajaran untuk
mencari nilai-nilai kehidupan atau kebajikan (wisdom) membantu peserta didik
untuk menjelajah dan mengeksplorasi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar
bisa berbuat bijak. Baik itu nilai dalam dirinya sendiri, maupun nilai-nilai budaya
mereka.
Dari alasan tersebut, menjadi ketertarikan peneliti untuk menyelami nilainilai kearifan lokal diberbagai wilayah khusunya di wilayah palembang dengan
sumber belajar sejarah yaitu arsitektur rumah Kapitan. Jika ditelusuri secara
mendalam, banyak sekali terdapat nilai-nilai kebajikan yang dapat diambil dari
arsitektur rumah Kapitan dengan bingkai nilai kearifan lokalnya. Nilai-nilai
kearifan lokal dalam arsitektur rumah Kapitan dapat dijadikan falsafah hidup
pedoman peserta didik agar memiliki sifat dan perilaku yang selaras dengan nilai
kearifan lokal tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
METODE PENELITIAN
Penelitian arsitektur rumah Kapitan dalam nilai kearifan lokal sebagai
alternatif sumber belajar sejarah ini menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif. Dalam penelitian deskriptif kualiatif, peneliti berusaha untuk
menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi.
Metode kualitatif ini memberikan informasi yang lengkap sehingga bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada
berbagai masalah.
Metode penelitian ini melalui tahap-tahap seperti menuturkan,
menganalisa, dan mengklasifikasi kemudian menyelidiki dengan teknik survey,
interview, angket, observasi, atau dengan teknik tes; studi kasus, studi komperatif,
studi waktu dan gerak, , studi kooperatif atau operasional. Peneliti dapat
menyimpulkam bahwa metode deskriptif ini merupakan metode yang menuturkan
•••
400
dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi atau keadaan yang
dialami, satu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang
satu proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja, kelainan
yang sedang muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang
meruncing, dan sebagainya.
Menurut Sutopo (2006:36), penelitian kualitatif mengarahkan kegiatannya
secara dekat pada masalah kekinian. Kepentingan pokoknya diletakan pada
peristiwa nyata dalam dunia aslinya, bukan sekedar pada laporan yang ada.
Tujuan utamanya adalah memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih
menitik beratkan kepada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji
dari pada memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait.
Harapannya ialah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk
selanjutnya dihasilkan sebuah teori.
Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini juga akan
berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut
pandang dari objek penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti itu sendiri
bertindak sebagai instrumen penelitiannya, yang mana sebagai instrumen
penelitian peneliti haruslah memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga
mampu bertanya, menganalisis, memotret dan mengkonstruksi situasi sosial yang
diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna. Hal ini juga diperkuat oleh Margono
(2004) yang menyatakan bahwa dengan karakteristik penelitiannya yang
menyeluruh, peneliti dalam penelitian kualitatif memerlukan ketajaman analis,
objektifitas, sistematik dan sistemik sehingga diperoleh ketepatan dalam
interpretasi. Sebab, hakikat dari suatu fenomena atau gejala bagi penganut
penelitian kualitatif adalah totalitast.
HASIL
1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal dideriviasi dari dua kata yaitu kearifan atau Wisdom,
yang artinya kebijaksanaandan lokal atau local yaitu setempat. Menurut
Ridwan (dalam Haryanto, 2014:4) kearifan lokal dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak
dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom dapat
dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal dan
pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap
sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi.
Dalam skala niskala kearifan lokal baik yang berwujud kearifan sosial
maupun ekologi berfungsi sebagai resep bertindak bagi manusia di lingkungan
sosial dan lingkungan alam. Merangkum tulisan Gidden (2013), kearifan lokal
memiliki beberapa karakteristik yaitu :
a. Kearifan lokal adalah milik kelompok, komunitas, atau kolektifitas
tertentu yang melokal. Hal ini sejalan dengan proses pembentukannya,
yakni bersumber pada pengetahuan pengalaman dalam konteks ruang
dimana mereka berada.
•••
401
b. Kearifan lokal bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan
pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya dengan
alam semesta.
c. Kearifan lokal tidak mencakup aspek praksis,tetapi juga tata kelakuan,
oleh karena itu pengaktualisasian kearifan lokal pada dasarnya merupakan
aktivitas moral.
d. Kearifan lokal seringkali ada penjaganya, yakni orang bijak, pemimpin
agama atau guru, karena itulah kearifan lokal bisa bertahan lama dan
mentradisi.
Berdasarkan ciri-ciri ataupun karakteristik tersebut, wajar bila kearifan
lokal bisa bertahan lama sehingga menjadi kearifan tradional. Hal ini ditinjau
dari kefungsionalannya, dan juga berkat para penjaganya dan seringkali
dikaitkan dengan aspek agama yang berbasis moralitas sehingga moralitas dan
dayanya semakin kuat.
Menurut Iqbal dan Sariyatun (2014), setiap kearifan lokal yang ada
didaerah mengandung nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Salah satu lembaga yang juga bertanggung jawab untuk
melestarikan nilai-nilai budaya lokal tersebut adalah lembaga pendidikan.
Karena itu, wacana kearifan lokal dalam bidang pendidikan menjadi sangat
penting untuk dijadikan sumber belajar ditengah arus globalisasi terkini.
2. Sejarah Rumah Kapitan
Sejarah berdirinya rumah Kapitan diawali dengan permukiman penduduk
Tionghoa yang dialihkan ke wilayah daratan oleh pemerintahan kolonial
Belanda yang sebelumya pada masa kesultanan Palembang ditempatkan
dirumah-rumah rakit pinggiran sungai Musi. Pasca Kesultanan, peraturan
pembagian lahan atau tanah tidak lagi diperuntukan hanya untuk keluarga
keraton dan masyarakat asli Palembang saja. Pemerintahan Kolonial Belanda
di Palembang mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan semua permukiman
masyarakat Tionghoa yang berada di rumah-rumah Rakituntuk pindah dan
membangun permukiman di ruang darat. Permukiman masyarakat Tionghoa di
daratanditandai dengan berdirinya rumah pemimpin masyarakat Tionghoa
(Kampung Kapitan) yang berada di Kelurahan 7 Ulu Palembang.
Pada periode pemerintahan Kolonial Belanda di Palembang,
permukimanmasyarakat Tionghoayang berpindah ke wilayah daratan
ditempatkan pada suatu perkampungan tersendiri yang disebut dengan
“Wijkenstesel”. Permukiman masyarakat Tionghoa dari hunian di atas air
berpindah ke ruang daratan berangsur-angsur memenuhi kapasitasnya seiring
dengan arus migrasi Tionghoa yang terjadi secara besar-besaran pada abad ke16 hingga pertengahan abad ke-19. Derasnya rus migrasi dari imigran-imigran
Tionghoa tersebut membanjiri permukiman Tionghoa yang berada di
Palembang (Zubir, 2012:36).
Disinilah dimulainya sejarah perkampungan Kapitan atau rumah kapitan
sebagai bukti permukiman awal masyarakat Tionghoa di wilayah daratan.
Rumah Kapitan berada di distrik Seberang Ulu, tepatnya di Kelurahan 7 Ulu
Palembang yang merupakan rumah pemimpin masyarakat Tionghoa yang
diangkat pemerintah Belanda sebagai Kapitan Tionghoa. Tugas utama Kapitan
•••
402
Tionghoa adalah mengurus dan menjaga kebutuhan penduduk di
perkampungannya. Kapitan Tionghoa yang diangkat olehKolonial-Belanda
pada tahun 1855 adalah Tjoa Him Hin. Asal usul nama rumah Kapitan
diangkat dari pangkat dari pemerintahan Kolonial Belanda sebagai orang yang
diberi kebebasan untuk mengatur pemerintahan di daerahnya sendiri dan
setiap daerah yang diatur harus selalu memberikan upeti. Keberadaan
permukiman rumah Kapitan ini tepat berada di sisi selatan sungai Musi dan
beseberangan sungai dengan rumah Keresidenan Belanda yang berada di
sebelah utara sungai Musi (Novita, 2006:41)
Menurut penuturan Bapak Mulyadi yang merupakan keturunan ke-13 dari
Kapiten Tjoa Han Him yang sekaligus menjaga warisan leluhurnya, menurut
mendiang orang tuanya dahulu ada sekitar 15 bangunan rumah tradisonal
Tionghoa yang masih tersisa di wilayah Kampung Kapiten. Setiap rumah
tersebut dibangun melingkar menghadap sebuah lapangan atau ruangan yang
sengaja terbuka (courtyard), ruangan ini menurut leluhurnya berfungsi sebagai
penghawaan dan ruang masuknya cahaya. Bangunan yang tersisa saat ini ialah
rumah abu dan rumah dinas. Rumah abu difungsikan sebagai tempat tinggal
atau sebagai tempat sembahyang, sedangkan dinas merupakan kantor dinas
Kapiten Tionghoa yang bekerja pada masa Kolonial Belanda di Palembang
(Mulyadi, 24 Mei 2017).
3. Arsitektur Rumah Kapitan dalam Bingkai Kearifan Lokal sebagai
Alternatif Sumber Belajar Sejarah
Arsitektur rumah Kapitan hadir sebagai lukisankebudayaan indis di
Nusantara dalam arus kedatangan bangsa Eropa (Belanda). Kepemilikan
rumah Kapitan ialah bangsa Tionghoa yang menetap di wilayah Palembang.
Disebut sebagai rumah Kapitan karena rumah tersebut milik seorang
pemimpin Tionghoa yang diangkat oleh pemerintah Koloni Belanda dan
diberi pangkat seorang Kapitan. Tokoh Kapitan ini berfungsi sebagai
perwakilan dan perantara antara penguasa kolonial dengan komunitas
tionghoanya di perkampungan. Adiyanto (2006:14) menambahkan bahwa,
tugas seorang Kapitan yang diberikan kepada keturunan Tionghoa adalah
menjaga keamanan wilayah dan perdagangan candu. Tiga unsur kebudayaan
tersebut untuk menjadi satu pondasi tentunya secara explicit knowledge
memiliki proses aditif yang sangat multikultur. Budaya pemerintahan yang
berkuasa (Belanda) beradaptasi dengan gaya bangunan lokal (Palembang) dan
disesuaikan dengan siapa yang menjadi kepemilikan rumah (Tionghoa)
melukiskan nilai-nilai kebajikan yang terbungkus dalam bingkai kearifan lokal
di Palembang.
Atap Limas
Atap Limas
Courtyard
Courtyard
Kayu
Batu
Pilar Beton
Rumah
•••
403
Rumah
Gambar 1. Rumah Abu (Rumah Pertama) dan Rumah Dinas
Secara umum, arsitektur rumah Kapitan terdiri dari atap rumah Limas
dan bentuk tangga kembar yang merupakan bangunan tradisional Palembang,
kemudian kontruksi kayu (rumah pertama) adalah kontruksi utama dalam
bangunan tradisional Tionghoa dan Courtyardyang merupakan ruangan
terbuka pada hunian tradisional Tionghoa berada pada rumah pertama dan
kedua. Selanjutnya kontruksi batu (rumah kedua) adalah kontruksi utama
bangunan Eropa atau Belanda (rumah kedua) dan disusul dengan pilar yang
berfungsi sebagai penyangga bangunan pada rumah. Pilar pada rumah kedua
yang berbentuk balok-balok besar dan terbuat dari bahan beton merupakan
cirikhas arsitektur tradisional Eropa (Belanda).
Secara khusus, ketiga kebudayaan tersebut yang terbungkus dalam nilainilai kearifan lokal memiliki makna filosofis yang tentunya sangat efektif
sebagai alternatif sumber belajar sejarah. Seni bangunan rumah Kapitan yang
tersirat, kaya akan nilai akulturasi, budaya, kerjasama, gotong royong,
tanggung jawab dan toleransi. Nilai-nilai ini kemudian dapat dijadikan acuan
dalam kehidupan sehari-hari di dalam lingkup masyarakat secara lokal dan
global.
Peneliti merangkum kemegahan arsitektur rumah Kapitan sebagai
lambang akulturasi budaya dan perpaduan gaya hidup yang terbungkus dalam
nilai kearifan lokal di Palembang. Nilai-nilai yang bisa diaplikasikan dari nilai
arsitektur rumah kapitan adalah:
a. Nilai Akulturasi
Perpaduan budaya lokal, Tionghoa dan Belanda tidak akan pernah terjadi
apabila mereka tidak mau menerima perbedaan budaya pendatang. Dalam
artian, proses aditif ketiga kebudayaan tersebut bejalan dengan baik
sehingga dapat menghasilkan nilai akulturasi sebagai proses perpaduan
budaya baru namun tidak menghilangkan budaya lokalitas.
b. Nilai Budaya
Nilai budaya yang tekandung tidak hanya satu unsur saja. Budaya Lokal
yang mengedepankan limas sebagai bentuk rumah tradisonal lokal, budaya
Tionghoa yang mengunggulkan penggunaan interior warna merah yang
khas kemudian Belanda yang menghiasi pilar-pilar bangunan rumah.
Ketiga unsur budaya tersebut menjadi satu kekuatan dalam bentuk rumah
tinggal dan rumah dinas.
c. Nilai Kerjasama dan Gotong Royong
Pada proses kontruksi rumah Kapitan sendiri dilakukan secara beramairamai oleh penduduk lokal dan juga para tukang dari orang Tionghoa dan
dilegatori oleh orang Belanda yang membantu proses pembangunan rumah
Kapitan.
d. Nilai Toleransi
Sikap masyarakat Palembang memang sejak dahulu sudah mampu
menerima dan berinteraksi dengan baik dengan masyarakat pendatang
yang tujuannya untuk berdagang maupun yang memilih untuk menetap.
Dalam kehidpan sosial dan berbudaya, hampir tidak ada konflik yang
terjadi diantara mereka kecuali bagi masyarakat pendatang yang hanya
bertujuan untuk menjajah dan merebut kekuasaan. Baik warga lokal
•••
404
maupun pendatang , satu sama lain saling menghormati dan menerima
perbedaan suku,agama dan budaya dengan baik.
Sebagai alternatif sumber pembelajaran sejarah yang dihadirkan dalam
bentuk nilai kearifan lokal dalam arsitekur rumah Kapitan menjadi cerminan
bagi peserta didik untuk merefleksikan dirinya agar meresapi nilai kearifan
lokal tersebut sehingga meminimalisir angka pertumbuhan kesenjangan sosial
yang terjadi dalam dunia pendidik dan lingkungan masyarakat. Nilai kearifan
lokal yang yang tercermin melalui persamaan dalam perbedaan pendapat,
gotong royong dalam kegiatan sekolah, kerjasama untuk mencipatkan
kenyamanan dan ketertiban di sekolah dan bertoleransi dalam beragama
menjadi cerminan nilai yang sangat penting dimiliki oleh setiap peserta didik.
SIMPULAN
Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan
akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa
yang terjadi dalam ruang tertentu. Arsitektur rumah Kapitan dalam bingkai nilai
kearifan lokal dapat menghadirkan sumber belajar sejarah yang lebih didasarkan
kepada pengayaan nilai-nilai kebajikan yang mengajarkan peserta didik untuk
selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapai sehari-hari.
Kemegahan arsitektur rumah Kapitan sebagai lambang akulturasi budaya
mempunyai niali kearifan lokal yang yang tercermin melalui persamaan dalam
perbedaan. Nilai-nilai seperti nilaiakulturasi, nilai budaya, nilai gotong royong,
nilai kerjasama dan nila toleransi menjadi cerminan nilai yang sangat penting
yang dapat di ambil dari arsitektur rumah Kapitan.
Sebagai alternatif sumber belajar sejarah tersebut, ada harapan bahwa peserta
didik sebagai generasi bangsa yang berkarakter dapat menjadikan nilai kearifan
lokal tersebut sebagai falsafah dalam kehidupan sehari-hari agar punya bekal
dalam menumbuhkan nilai-nilai kehidupan yang sehat dan arif /bijak dari
cerminan yang ada pada arsitektur Rumah Kapitan.
DAFTAR PUSTAKA
Djuwita, Puspa. 2009. Peningkatan Kemampuan Guru dalam Pembelajaran PKN
dengan Pendekatan Pendidikan Nilai yang Inovatif. Jurnal Kependidikan
TRIADIK. Vol. 12 No.1
Giddens, A.2003. The Constitution of society. Teori Strukturasi untuk analisis
Sosial. Pasuruan Pdati
Novita, Aryandini. 2006. Permukiman Etnis Arab. Palembang: Balai Arkeologi
Palembang.
Margono.2004. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta : PT RinekeSutopo, H.B.
2006. Metode Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam
Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Zubir, dkk. 2012. Bunga Rampai: Sejarah Sumatera Selatan Dalam Kajian Sosial
dan Ekonomi. Padang: Padang Press.
•••
405
Jurnal
Adiyanto, Johannes. 2006. “Kampung Kapitan Interpretasi ‘JeJak’
Perkembangan Permukiman dan Elemen Arsitektural”.Dimensi Teknik
Arsitektur Vo. 34 No. 1 Juli 2006 .
Iqbal dan Sariyatun.20113.Model Pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai
kearifan lokal tardisi petik laut untuk meningkatkan solidaritas siswa di
SMA N 1 Kencong Kabupaten Jember. Jurnal Agastya Vol 3, No 3 (2014
Informan
Wawancara dengan Bapak Mulyadi, tanggal 24 Mei 2017 di Rumah Kapitan,
Kelurahan 7 Ulu, Palembang.
•••
406
PERANAN KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENDUKUNG
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Johan Setiawan
Program Studi Pendidikan sejarah
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
johansetiawan767@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja Peranan Kasunanan
Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Hasil yang
didapat oleh peneliti mengenai Peranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung
Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu memberi dukungan secara
diplomatis dan melucuti senjata Jepang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa Peranan Kasunanan Surakarta Dalam
Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu memberi
dukungan secara diplomatis dan melucuti senjata Jepang dalam rangka
mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Hasil penelitian ini memberikan
sebuah implikasi yaitu ada peranan sangat besar yang dilakukan Kasunanan
Surakarta dalam mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia khususnya
disepanjang tahun 1945, yang dapat diajarkan untuk mengambil nilai-nilai sejarah
dalam peristiwa itu di Sekolah.
Kata kunci: Peranan, Kasunanan Surakarta, Kemerdekaan Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pendahuluan
Pencapaian kemerdekaan Republik Indonesia memerlukan perjuangan yang
sangat gigih dari para pahlawan yang ditandai dengan Proklamasi. Kemerdekaan
yang diraih oleh Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta merta mendapatkan
pengakuan dari negara-negara di seluruh dunia. Beberapa ancaman setelah
kemerdekaan Indonesia diumumkan masih dirasakan oleh bangsa Indonesia
sehingga masih harus berjuang untuk mendukung dan mempertahankannya.
Di daerah Surakarta, pada 18 Agustus 1945 Sri Susuhunan Pakubuwono XII
dan KGPAAMangkunegara VIII menyampaikan telegram dan ucapan selamat
atas kemerdekaanIndonesia, di ikuti Maklumat dukungan berdiri di belakang
Republik Indonesia pada1 September 1945 (Imam Samroni dkk, 2010 : 295-296).
Demikian pula yang terjadi di daerah Yogyakarta, Sri SultanHamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyambutnya dengan gembira
danmengucapkan selamat kepada Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan
WakilPresiden Republik Indonesia ketika keduanya memproklamasikan
kemerdekaanbangsa Indonesia. Dua hari kemudian Sultan Hamengku Buwono
dan Paku Alam mengirim telegramke Jakarta bahwa dirinya siap berdiri di
belakang Soekarno-Hatta (Kustiniyah Mochtar, 1982 : 64-65).
•••
407
Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia menyambut hangat
tindakanSri Susuhunan Pakubuwono XII, KGPAA Mangkunegara VIII, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, dan Sri Paku Alam VIII. Bahkansatu hari sesudah mereka
mengirim ucapan selamat, Presiden Soekarno sudah mengeluarkan
PiagamKedudukan
yang menetapkan Susuhunan Pakubuwono XII,
KGPAAMangkunegara VIII, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku
Alam VIII padakedudukannya masing-masing. Dengan piagam termaksud kepada
beliau-beliauitu ditaruhkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk
keselamatan daerahnyasebagai bagian dari Republik Indonesia (Ni’matul Huda,
2013 : 140).
Dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia, Kasunanan Surakarta
yang dipimpin oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XII memberikan dukungan lebih
awal dibandingkan dengan yang lainnya, mengeluarkan maklumat yang berisikan
memberikan selamat atas kemerdekaan Indonesia dan memperjelas posisinya
sebagai kerajaan yang memihak atas kemerdekaan Republik Indonesia. Hal inilah
yang menarik bagi peneliti untuk mendalami lebih lanjut mengenai Peranan
Kasunanan Surakarta dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia Tahun
1945. Penelitian ini mengangkat permasalahan apa sajakah Peranan Kasunanan
Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945?
Dan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan Kasunanan Surakarta
Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
historis, karena penelitian ini mengambil objek dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lalu.
Menurut Nugroho Notosusanto langkah-langkah dalam penelitian historis,
yaitu:
1. Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber
sejarah.
2. Kritik adalah menyelidiki apakah jejak sejarah itu asli atau palsu.
3. Interpretasi adalah setelah mendapatkan fakta-fakta yang diperlukan
maka kita harus merangkaikan fakta-fakta itu menjadi keseluruhan yang
masuk akal.
4. Historiografi adalah suatu kegiatan penulisan dalam bentuk laporan
hasil penelitian (Nugroho Notosusanto, 1984 : 11).
Berdasarkan langkah-langkah penelitian historis, maka langkahlangkahkegiatan penelitian yang di lakukan adalah :
1. Heuristik
Peneliti mencoba mencari serta mengumpulkan sumber-sumber sejarah
yang diperlukan dan berhubungan dengan judul penelitian yang
diajukan. Kegiatan heuristik juga difokuskan untuk mencari buku-buku
literatur yang sudah ditulis oleh sejarawan, buku tersebut dijadikan
gambaran bagi penulis serta acuan dalam penelitian.
2. Kritik sejarah dibedakan menjadi dua, yaitu kritik intern dan kritik
ekstern. Kritik intern merupakan penilaian terhadap kealsian dan
•••
408
kebenaran isi suatu data yang sudah didapat, kritik intern ini dilakukan
dengan cara membandingkan sumber sejarah yang berbeda-beda. Kritik
ekstern merupakan proses penilaian kealsiannya terhadap bahan-bahan
yang digunakan untuk membuat kisah sejarah.
3. Langkah berikutnya adalah langkah interpretasi atau penafsiran faktafakta sejarah. Menginterpretasikan fakta sejarah dalam rangkaian suatu
kesatuan yang harmonis dapat dipercaya dan masuk akal.
4. Dalam langkah Historiografi ini, penulis mencoba untuk mengerahkan
seluruh daya pemikiran untuk membuat dan menyusunnya menjadi
kisah sejarah berdasarkan dengan sumber-sumber yang ada.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini adalah data kualitatif, dengan demikian teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif.
Proses analisis data kualitatif terdapat beberapa tahapan, yaitu :
1. Reduksi Data, ialah memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus
penelitian, kemudian dicari temanya. Data yang telah direduksi
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
mempermudah peneliti untuk mencarinya jika sewaktu-waktu diperlukan.
Reduksi dapat pula membantu dalam memberikan kode-kode pada aspekaspek tertentu.
2. Display Data/Penyajian Data, adalah menyajikan data dalam bentuk
matrik, network chart, atau grafik dan sebagainya. Dengan demikian
peneliti dapat menguasai data dan tidak terbenam dengan setumpuk data.
Dengan penyajian data tersebut akan dapat dipahami apa yang terjadi dan
apa yang harus dilakukan, sehingga dalam menganalisis atau mengambil
tindakan nantinya akan berdasarkan pemahaman yang didapat dari
penyajian tersebut.
3. Verifikasi Data adalah usaha untuk mencari pola, model, tema, hubungan
persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya untuk
diambil kesimpulan. Mula-mula kesimpulan itu kabur, tetapi lamakelamaan semakin jelas karena data yang diperoleh semakin banyak dan
mendukung. Verifikasi Data dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan
cara mengumpulkan data baru (Husaini Usman dan Purnomo Setiady
Akbar, 2003 : 87).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini pertama Reduksi
data, yaitu memilih pokok-pokok yang sesuai dengan fokus penelitian, contoh
mengenaiPeranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan
Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya penyajian data, penyajian data ini
dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam menentukan mana yang lebih
mendekati kebenaran apakah ada Peranan Kasunanan Surakarta dalam
konstribusinya untuk kemerdekaan Indonesia, yang selama ini diketahui hanya
Kesultanan Yogyakarta yang mendukung Indonesia Merdeka. Ketika
membandingkan antara sumber-sumber yang diperoleh, maka peneliti
menyimpulkan bahwa Kasunanan Surakarta yang pertama dalam mendukung
Indonesia Merdeka dan memberikan konstribusinya yang besar dalam mendukung
•••
409
kemerdekaan Indonesia,hal ini didapatkan melalui Penyajian Data. Selanjutnya
Verifikasi Data yaitu mencari hubungan antara sumber yang satu dengan yang
lainnya, menjadi satu kesatuan yang dirangkai menjadi peristiwa sejarah.
Hasil
1. Sejarah Singkat Kasunanan Surakarta
Kasunanan Surakarta didirikan pada masa Susuhunan Pakubuwono II
(1725-1749) pada tahun 1746, Setelah Keraton sebelumnya di Kartasura
mengalami kehancuran akibat perang perebutan tahta. Keraton Surakarta ini
disebut sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur akibat dari
peristiwa Geger Pecinan, yaitu pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh
orang-orang Cina sebagai bentuk protes pada VOC yang telah membantai orangorang Cina yang ada di Batavia. Atas dasar itulah sehingga Pakubuwono II
memutuskan untuk meninggalkan Istana Kartasura yang sudah kacau dan hancur.
Sekitar 12 kilometer ke arah timur, di tepi Sungai Sala, dia mendirikan sebuah
istana baru, yaitu Surakarta Hadiningrat, yang nantinya akan tetap didiami oleh
keturunannya. Bangunan baru ini selesai pada tahun 1745, dan kepindahan
resminya terjadi pada Februari 1746.
Kesunanan Surakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram. Pusat
Kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Awalnya
berada di Kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, lalu ke Kartasura, dan terakhir
di Surakarta hingga saat ini. Kerajaan Mataram sendiri terbagi menjadi dua
kerajaan yang memiliki kedaulatan tersendiri. Dengan adanya Perjanjian Giyanti
pada tanggal 13 Februari 1755, menyebabkan pemerintahan Kasunanan Surakarta
berpusat di Surakarta, yang dipimpin oleh Pakubuwono III. Sedangkan
pemerintahan Kasultanan Yogyakarta berpusat di Yogyakarta yang dipimpin oleh
Sultan Hamengkubuwono I.
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Surakarta adalah bagian dari
Vorstenlanden atau daerah Swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah
daerahnya sendiri (zelfbesturende landscappen) merupakan bagian dari wilayah
Hindia-Belanda yang berstatus khusus, Surakarta dibagi dua wilayah yang hampir
sama besarnya, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaraan (Ibrahim Julianto, 2013 :
19).
Daerah Swapraja adalah daerah yang berhak memerintah sendiri atau tidak
diatur oleh Undang-undang seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik
antara Gubernur Jenderal dan penguasa setempat. Ada dua macam kontrak politik
yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia-Belanda yaitu kontrak panjang tentang
kesetaraan kekuasaan kasunanan dengan Hindia-Belanda, dan pernyataan pendek
tentang pengakuan atas kekuasaan Hindia-Belanda. Dalam hal ini Kasunanan
Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaraan diatur dalam
pernyataan pendek (Imam Samroni, dkk. 2010 : 99).
Pada tahun 1942, menandakan akhir masa penjajahan Hindia-Belanda di
Indonesia yang diakibatkan dengan menyerahnya pemerintahan Hindia-Belanda
kepada Jepang dalam sutau peperangan yang dikenal dengan nama Perang AsiaPasifik. Pada masa penjajahan Jepang, daerah Surakarta tetap menjadi daerah
yang otonom atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri dan diakui oleh
•••
410
pemerintahan Jepang. Pemerintahan sipil di daerah Surakarta merupakan
pemerintahan otonom. Bentuk pemerintahan lama dengan hukum dan perundangundangan dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan
pemerintahan Jepang. Juga dalam hubungan dengan Swapraja di Surakarta tidak
ada perubahan yang berarti, hanya nama raja diganti dengan “KO” (Moeljono,
dkk. 1978-1980 : 10) Status ini dipegang oleh Kasunanan Surakarta hingga
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Peranan Kasunanan Surakarta Dalam MendukungKemerdekaan
Republik Indonesia Tahun 1945
a. Dukungan Secara Diplomasi
Kota Surakarta memiliki peran yang sangat penting dalam masa
pergerakan Indonesia. Organisasi-organisasi dalam pergerakan Indonesia
seperti Sarekat Dagang Islam yang pada akhirnya berubah menjadi Sarekat
Islam dan Budi Utomo adalah organisasi yang gerakannya berkembang di
Surakarta. Sarekat Islam dan Budi Utumo menjadi suatu organisasi besar yang
memiliki masa yang banyak, hal itu terjadi salah satunya karena mendapatkan
dukungan dari Kasunanan Surakarta di bawah pemerintahan Sri Susuhunan
Pakubuwono X.
Sri Susuhunan Pakubuwono X merangkul kaum nasionalis untuk
memulai gerakan-gerakan membangkitkan dan menanam jiwa nasionalis pada
rakyat. Ini dilakukan melalui pendidikan atau melalui gerakan kebangsaan,
seperti yang dilakukan oleh Budi Utomo atau melalui gerakan perbaikan
ekonomi dan sosial seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam (Karno, 1990 :
159).
Dilihat sejak masa pergerakan nasional di Indonesia Peranan Kasunanan
Surakarta sangat besar dalam medukung pergerakan Indonesia, hingga terlihat
pada saat Jepang hampir mengalami kekalahan terhadap sekutu. Jepang
membentuk suatu badan yang bernama BPUPKI (Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) BPUPKI di dirikan pada tanggal 29
April 1945 (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notususanto, 1993 :
67).
Berdirinya BPUPKI bertujuan untuk mempelajari apa saja hal-hal yang
penting mengenai kelengkapan suatu negara dalam mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia. Anggota BPUPKI yang berasal dari Surakarta
termasuk masih kerabat dari Kasunanan Surakarta antara lain Wongsonegoro,
Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widyodiningrat. Mereka sangat
berjasa dalam menyumbangkan pikirannya mengenai dasar-dasar negara
Republik Indonesia dalam berbagai siding BPUPKI.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Kasunanan Surakarta
memberikan dukungan yang dikeluarkan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XII
menyampaikan kawat dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia yang
selanjutnya diikuti oleh maklumat resmi dukungan Surakarta yang berdiri di
belakang Republik Indonesia pada tanggal 1 September 1945 yang berisi antara
lain :
•••
411
1. Beliau Pakubuwono XII dan Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan adalah
daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia yang berdiri di belakang
pemerintahan pusat Republik Indonesia.
2. Segala kekuasaan di Surakarta adalah di tangan Susuhunan Surakarta, maka
kekuasaan yang tadinya diambil oleh penjajah kembali dengan sendirinya
setelah proklamasi kemerdekaan.
3. Kami menyatakan bahwa hubungan antara Surakarta dan pemerintah pusat
bersifat langsung.
4. Kami memerintahkan dan percaya kepada seluruh penduduk Kasunanan
Surakarta bahwa bersikap sesuai dengan apa yang kami tersebut diatas
(Arsip Reksapustaka Mangkunegara, 1945 : 376).
Dengan keluarnya maklumat tersebut, memiliki arti bahwa Kasunanan
Surakarta yang bersifat sebagai kerajaan mendukung berdirinya negara
Republik Indonesia. Dengan memiliki suatu pemerintahan yang sendiri dan
status antara Kasunanan Surakarta dengan Indonesia adalah sejajar, yang dalam
arti antara Kasunanan Surakarta dengan Negara Republik Indonesia tidak ada
yang lebih tinggi dan keduanya saling menghormati serta saling memberi
dukungan antara satu dengan yang lainnya. Pernyataan dari Susuhunan
Pakubuwono XII tidak serta merta hanya ucapan saja, tetapi hal ini
dilaksanakan dalam praktiknya yang dibuktikan dengan berbagai tindakan
Susuhunan Pakubuwono XII yang secara langsung turun dalam mengamankan
kemerdekaan Indonesia.
Sri Susuhunan Pakubuwono XII yang berjuang di wilayah Surakarta dan
wilayah sekitarnya yang berada di dalam wilayah kekuasaan Kasunanan
Surakarta. Berbagai perjuangan dilakukan rakyat Indonesia dalam mendukung
kemerdekaan Indonesia, bahkan Pakubuwono XII turun langsung dalam
beberapa momen perjuangan dan memberi semangat kepada rakyatnya.
Sebagai pemimpin kerajaan, Susuhunan Pakubuwono XII bisa saja hanya
memerintah langsung, akan tetapi beliau justru langsung berjuang dan turun
langsung dalam mendukung dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Atas dasar maklumat tersebut yang dikeluarkan oleh Raja Kasunanan
Surakarta yaitu Sri Susuhunan Pakubuwana XII , Presiden Soekarno
memberikan piagam kedudukan kepada Susuhunan Pakubuwono XII pada
kedudukan sebagai Kepala Daerah Istimewa. Penetapan status istimewa ini
juga sebagai balas jasa atas pengakuan raja Kasunanan Surakarta yang
menyatakan wilayahnya adalah bagian dari Republik Indonesia yang merdeka
dan konstribusinya dalam membawa pengaruh yang besar terhadap
berlangsungnya kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam hal ini Presiden
Soekarno juga memberikan piagam kedudukan kepada Sri Mangkunegara VIII
sebagai wakil kepala daerah Surakarta.
Surat keputusan Presiden Soekarno yaitu sebagai berikut :
1. Presiden Republik Indonesia, kami Presiden Republik Indonesia,
menetapkan Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati
ing Ngalogo, Abdurahman Sayidin Panotogomo, Ingkang kaping XII Ing
Surakarta Hadiningrat.
•••
412
2. Pada kedudukannya dengan kepercayaan, bahwa Seri Paduka Kanjeng
Susuhunan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk
keselamatan daerah Surakarta sebagai bagian dari pada Republik
Indonesia.(Purwadi dan Djoko Dwiyanto, 2008 : 805)
Dengan keluarnya surat keputusan Presiden Soekarno inilah, maka
Kasunanan Surakarta bertanggung jawab atas keberlangsungan pemerintahan
dareah Surakarta. Mencakup segala hal yang menjadi wilayah Kasunanan
Surakarta dan wilayah Mangkunegara. Mereka diharapkan dapat bekerja sama
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah Surakarta dalam mendukung
kemerdekaan Republik Indonesia.
Keistimewaan Surakarta saat itu dibawa dalam sidang PPKI tanggal 18
Agustus 1945 yang membahas tentang pembagian wilayah di Indonesia yang
menetapkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa yang berhak memerintah
daerahnya sendiri yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Keistimewaan
ini hanya sama dengan Kesultanan Yogyakarta yang saat itu juga diberi
sebagai daerah istimewa.
b. MENDUKUNG DALAM MELUCUTI SENJATA JEPANG
Menyusul perubahan-perubahan yang cukup mendasar dalam bidang
pemerintahan pada tingkat pusat, perubahan yang sama juga dilakukan di
Surakarta dengan cara menyesuaikan diri dengan yang dilakukan oleh
Pemerintah Republik Indonesia. Salah satu keputusan penting berdasarkan
amanat UUD 1945 adalah pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI)
sebagai sebuah lembaga membantu presiden menjalankan pemerintahan
sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung. Pembentukan Komite Nasional
Indonesia berdasarkan UUD 1945 dalam Aturan Peralihan Pasal IV. Komite
Nasional Indonesia dibentuk di tingkat pusat dan tingkat daerah. Berdasarkan
Maklumat Wakil Presiden No. X, Komite Nasional Indonesia diberi kekuasaan
legislatif. Sejak bulan September 1945, di daerah-daerah dibentuk Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID).
Di Surakarta, segera sesudah KNIP dibentuk, maka para pemuka di
daerah Surakarta berusaha sekuat tenaga untuk membentuk KNI daerah
Surakarta. Usaha ini berhasil dan sidang pertama diadakan di Pendopo
Woerjaningratan pada bulan September 1945. KNI Surakarta diketuai oleh Mr.
Soemodiningrat, seorang bangsawan yang pernah menjabat opsir dalam
pasukan PETA. Program yang ditetapkan pada waktu itu adalah sederhana
sekali yaitu :
1. Melucuti senjata Jepang
2. Memindah kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNI daerah
(Soetono, dkk. Hal 3).
Mulai tanggal 1 Oktober 1945 pemerintahan selanjutnya diselenggarakan
oleh sebuah pucuk pimpinan yang terdiri dari:
1. Soeprapto (ketua Pengadilan Negeri Surakarta)
2. Soetopo Adisapoetro
3. Soemantri
•••
413
Ketiga beliau ini yang melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari.
Kantor Kochi diganti dengan nama KPPRI (Kantor Pusat Pemerintahan
Republik Indonesia). Nama ini dipandang kurang tepat lalu diganti lagi dengan
KDPRI (Kantor Daerah Pemerintahan Republik Indonesia). Setelah
pengoperan pemerintah dapat berhasil maka KNI harus melaksanakan tugas
kedua yaitu melucuti senjata tentara Jepang.Tugas inilah yang sangat
berbahaya, apalagi jika ingat mereka pada saat itu masih bersenjata komplit
dengan tank-tanknya yang berada di rumah sakit Ziekenzorg (Soetono, dkk.
Hal 3).
Perjuangan dan dukungan yang dilakukan oleh Sri Susuhunan
Pakubuwono XII dalam mendukung kemerdekaan Indonesia banyak yang ia
lakukan. Sebagai seorang pemimpin Kasunanan Surakarta yang lebih tepatnya
sebagai raja Surakarta, Pakubuwono XII juga menjalankan perannya sebagai
seorang panglima dengan pangkat kehormatan Letnan Jenderal. Berbagai usaha
dilakukan saat mendukung dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
seperti saat perjuangannya dalam melawan Jepang dan melucuti senjatanya
serta mempulangkannya kenegeri asalnya.
Pertempuran melawan Jepang berlangsung dengan hebat sepanjang bulan
September hingga Oktober 1945. Pelucutan senjata tentara Jepang yang
dilakukan oleh pejuang-pejuang Indonesia menyebabkan terjadinya
pertempuran demi pertempuran (Chusnul Hajati, dkk. 1997 : 2).
Di Surakarta terjadi pertempuran antara pihak Indonesia dengan tentara
Jepang, bahkan tanggal 12-13Oktober1945, Pakubuwana XII sendiri ikut serta
menyerbu markas Kenpetai Jepang di Kemlayan. Ia juga berkenan ikut
melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran. Sewaktu melakukan
penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII
juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali
dengan selamat. Penyerbuan ini bertujuan untuk melucuti senjata tentara
Jepang yang telah kalah dalam Perang Dunia II, keikutsertaan Pakubuwona XII
jelas memperlihatkan dirinya mendukung kemerdekaan Indonesia dan
memperlihatkan dirinya kepada rakyat Surakarta bahwa dirinya sangat peduli
dengan keamanan dalam wilayah kekuasaan tentang hal terjadinya suatu
pergolakan dalam mewujudkan ketentraman dan ketertiban.
Hal ini juga tugas dari KNID Surakarta yang salah satu tujuan program
kerjanya yaitu melucuti senjata Jepang, disinilah adanya peran dari seorang Sri
Susuhunan Surakarta dalam ikut serta mendukung kemerdekaan Indonesia
khususnya ia lakukan didaerah Surakarta sebagai daerah wilayah
kekuasaannya.
Selama kurun pergolakan bersenjata mendukung dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, Pakubuwono XII yang dalam jajaran ketentaraan
diberi suatu pangkat kehormatan oleh Presiden Soekarno yang berpangkat
Letnan Jenderal Kehormatan, sering diajak mendampingi Presiden Soekarno
meninjau garis depan pertempuran antara pihak Indonesia melawan Jepang
bahkan saat melawan Belanda, diantaranya front di Surabaya, Pati,
Bojonegoro, dan Kalimantan. Selain itu, Kasunanan juga terus mengalirkan
•••
414
bantuan logistik dan peralatan yang diminta oleh satuan-satuan kelaskaran
maupun TNI dalam mendukung keberhasilan.
Logistik berupa makanan-makanan yang diperlukan oleh kelaskaran dan
TNI dalam mendukung penyerangan terhadap Jepang maupun dengan Belanda.
Tanpa bantuan logistik, pasukan Indonesia mengalami kekurangan makanan
dan akan membuat semangat pasukan Indonesia menurun. Hal ini akan
berbahaya dengan keselamatan tentara nasional Indonesia.
Pihak Kasunanan Surakarta setidaknya memberikan dua mobil sedan
direlakan demi mendukung jalannya roda pemerintahan, puluhan kuda
tunggang serta berbagai jenis barang dan uang. Kuda yang semasa perang
mempertahankan kemerdekaan dipakai Panglima Besar Jenderal Soedirman
bergerilya juga berasal dari pemberian Kasunanan Surakarta. Selain segala
jenis barang yang sengaja disumbangkan, sebagian besar inventaris yang
dipinjamkan tersebut sering tidak dikembalikan atau diminta kembali. Bahkan,
hingga Indonesia memiliki kedaulatan dan berdiri tegak, Pakubuwono XII tetap
tidak memiliki mobil pribadi. Hampir seluruh kekayaan kasunanan diikhlaskan
tanpa sisa untuk kepentingan perjuangan nasional (Bram Setiadi, Qomarul
Hadi, dan Trihandayani, 2000:75) khususnya dalam mendukung kemerdekaan
Republik Indonesia.
Hal ini untuk mendukung kemerdekaan Indonesia agar dapat digunakan
untuk kepentingan militer maupun kepentingan yang lainnya dalam rangka
menjaga jalannya roda pemerintahan Indonesia. Pakubuwono XII juga
berusaha mencegah meluasnya pembakaran Dusun Banaran, Kecamatan
Kebonarum, Kabupaten Klaten yang dicurigai Belanda sebagai sarang pasukan
gerilya. Penjegahan ini dilakukan dengan cara mengirim TNI untuk mengadapi
Belanda agar tidak berbuat semena-mena terhadap wilayah yang dipimpin oleh
Pakubowono XII. Sehingga akan tercapai keamanan di Surakarta pada saat
terjadinya gejolak antara TNI dalam meluuti senjata Jepang maupun dengan
menghadapi tentara Belanda.
KESIMPULAN
Peranan Kasunanan Surakarta dalam mendukung kemerdekaan Republik
Indonesia terlihat sejak pergerakan Nasional Indonesia dalam mendukung gerakan
organisasi Budi Utomo dan Sarekat Islam. Hingga akhir pendudukan tentara
Jepang dalam suatu Badan BPUPKI banyak anggotanya berasal dari Surakarta.
Ketika Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 Kasunanan
Surakarta memberikan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia tahun 1945
antara lain :
1. Memberikan dukungan secara diplomatis diantaranya Sri Susuhunan
Pakubuwono XII mengeluarkan maklumat bahwa Negeri Surakarta yang
bersifat kerajaan berdiri dibawah pemerintahan pusat RI, segala kekuasaan di
Surakarta yang tadinya diambil oleh penjajah dikembalikan lagi kepada
Pemerintahan RI serta beliau menyatakan bahwa hubungan Surakarta dan
Pemerintah RI bersifat langsung.
2. Lalu mendukung dalam melucuti senjata-senjata tentara Jepang yang masih
menduduki Surakarta dengan melibatkan rakyat dari beberepa unsur
•••
415
diantaranya KNI, pemuda, tokoh, bangsawan dan Sri Susuhunan Pakubuwono
XII sendiri serta memindahkan kekuasaan penjajah ke tangan KNI daerah.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, peneliti menekankan bahwa
selama ini penelitian yang ada tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak ada
yang membahas mengenai Peranan Kasunanan Surakarta dalam mendukung
kemerdekaan Indonesia khusus di tahun 1945. Penelitian yang didapat adalah
adanya suatu konstribusi yang diberikan oleh Kasunanan Surakarta dalam rangka
memberikan dukungan secara diplomasi dan dukungan melucuti senjata tentara
Jepang yang termasuk cara untuk mendukung kemerdekaan Indonesia Tahun
1950.
DAFTAR PUSTAKA
Bram Setiadi, Qomarul Hadi, dan Trihandayani. Raja di Alam Republik: Keraton
Kasunanan Surakarta dan Pakubuwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
2000.
Chusnul Hajati, dkk, Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah Dalam
Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 : Daerah Kendal dan Salatiga.
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1997.
Djoened Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka. 1993.
Ibrahim Julianto,. Opinium dan Revolusi : Perdagangan dan Penggunaan Candu
di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2013.
Imam Samroni dkk. Daerah Istimewa Surakarta, Wacana Pembentukan Provinsi
Daerah Istimewa Surakarta Ditinjau dari Perspektif Historis, Sosiologis,
Filosofis, & Yuridis, Yogyakarta : Pura Pustaka. 2010.
Karno. Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku
Buwono X 1893-1939. Jakarta. 1990.
Kustiniyah Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa”, dalam Atmakusumah
(Penyunting), Tahta untuk Rakyat, Jakarta : Gramedia.
Maklumat Sri Susuhunan Paku Buwono XII, tanggal 1 September 1945, Arsip
Reksapustaka Mangkunegara. Katalog Mangkunegaran VIII, volume 2, No.
376.
Moeljono, dkk. Monografi Surakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan
Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Balai Penelitian Sejarah
dan Budaya Yogyakarta. 1978-1980.
Ni’matul Huda, DIY dalam Perdebatan Konstitusi dan Peraturan Perundangundangan di Indonesia, Bandung : Nusa Media. 2013.
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Suatu
Pengalaman). Jakarta : Yayasan Penerbit UI. 1984.
•••
416
Purwadi dan Djoko Dwiyanto. Kraton Surakarta. Sejarah, Pemerintahan,
Konstitusi, Kesustraan, dan Kebudayaan. Yogyakarta : Panji Pustaka. 2008.
Soetono, dkk. Kenang-kenangan Besar Surakarta (1945-1953). Surakarta:
Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta.
•••
417
•••
418
DELTA BRANTAS DALAM NARASI SEJARAH
Sunariyadi Maskurin
Program Magister Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang (UM)
smaskurin7@gmail.com
ABSTRAK
Pasca otonomi daerah membuat geliat penulisan sejarah semakin meningkat.
Beberapa daerah berupaya menggali masa lalu yang di daerahnya. Hal tersebut
dilakukan untuk mengetahui masa lalu suatu daerah dan legitimasi kewilayahan
daerah. Aspek kesejarahan tersebut memberikan gambaran pada generasi saat ini
bahwa daerah tersebut dimasa lalu sudah terbentuk pemerintahan. Tentunya
pemerintahan tersebut masih bersifat tradisional (Hindu-Budha dan Islam) dan
modern (kolonial). Hal tersebut juga terjadi di Sidoarjo, wilayah yang merupakan
hasil endapan sungai Brantas (Delta). Wilayah tersebut di masa lalu mempunyai
peranan penting dalam perkembangan kerajaan kuno namun tidak banyak diulas
dalam narasi sejarah saat ini. Metode dalam penulisan artikel ini menggunakan
pendekatan kepustakaan. Metode kepustakaan digunakan untuk mengkaji beberapa
sumber sejarah yang menyebutkan daerah atau perannya dalam perkembangan
kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sumber
sejarah di Delta Brantas peninggalan masa kerajaan Kahuripan (Airlangga) dan
Majapahit. Sumber-sumber tersebut seperti prasasti. Selain itu terdapat pula
peninggalan candi dan situs, namun candi dan situs di Delta Brantas tidak ditemukan
sumber pendukung untuk menggungkapkan peninggalan tersebut.
Kata kunci: Delta Brantas, Narasi Sejarah dan Permasalahannya.
Pendahuluan
Pasca otonomi daerah membuat geliat penulisan sejarah daerah atau lokal
semakin meningkat. Beberapa daerah berupaya menggali masa lalu yang di
daerahnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui masa lalu suatu daerah dan
legitimasi kewilayahan daerah (Kasdi, 2003:3). Aspek kesejarahan tersebut
memberikan gambaran pada generasi saat ini bahwa daerah tersebut pada masa
lalu sudah ada kehidupan. Tentunya kehidupannya masih bersifat tradisional
(Hindu-Budha) dan modern (kolonial).
Narasi sejarah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
historiografi. Berbagai macam historiografi karya sejarawan beredar di luas di
masyarakat. Penulisan sejarah penting artinya, namun bagaimana menulis sebuah
narasi sejarah tersebut dapat dipahami para pembaca dari berbagai kalangan.
Narasi sejarah tidak hanya untuk menarik minat kalangan non sejarah
membacanya. Namun yang lebih utama adalah bagaimana pesan dari masa lalu
tersebut dapat dimengerti oleh para pembaca yang tidak mengerti sejarah.
solusinya tentu dengan menggunakan bahasa yang komunikatif namun tidak
menghilangkan unsur metodologis sejarahnya.
Berkaitan hal tersebut, mengapa dan ada apa dengan Delta Brantas
sehingga menarik untuk dibahas. Seperti daerah yang lain, Sidoarjo ingin
menggali jatidiri dan masa lalunya. Penggalian sejarah tersebut selain untuk
legitimasi kekuasaan juga untuk memberikan gambaran msa lalu Sidoarjo seperti
•••
419
apa dan mengapa ditemukan beberapa sumber dan peninggalan sejarah di
Sidoarjo.
Delta sungai Brantas diapit oleh sungai Porong yang mengalir ke arah
Timur (bermuara di Selat Madura) dan Sungai Mas (Kencana) yang mengalir ke
Timur laut kemudian bermuara di Surabaya (Daldjoeni, 1984:69). Aliran sungai
Brantas dapat dibagi atas tiga bagian:
a. Hilir atas, menempati dataran tinggi Malang sekarang, yang dulunya
ditempati wilayah Tumapel sampai bertahtanya Kertajaya
b. Hilir tengah, disini terletak kota Daha (Gelang-Gelang atau Kediri)
c. Hilir bawah, dataran ini membujur Barat Timur dari Kertosono sampai
Delta sungai Brantas (Daljoeni, 1984:84).
Kondisi tanah di Delta pada awalnya tidak terlalu baik. Daerah tersebut
penuh rawa-rawa dan semak berukar. Keadaan tersebut dirasakan oleh Raden
Wijaya saat membersikan kawasan hutan di Tarik untuk mendirikan pemukiman.
Gambar 1: Delta Brantas
Sumber: (Satyana, 2007:4)
Peran sungai dalam perkembangan peradaban tidak dapat dipisahkan.
Sejak masa praaksara, kebutuhan manusia selalu berhubungan dengan sungai.
Selain sebagai sumber kehidupan, baik sumber air minum dan irigasi, dengan kata
lain sungai simbol kemakmuran. Pada masa kerajaan kuno, peran sungai sebagai
jalur transportasi menuju pusat kota teruma bagi kerajaan yang beribukota di
pedalaman. Hal serupa juga terjadi pada masa masa kononial, dimana orang-orang
Eropa yang berada di Jawa memanfaatkan sungai sedemikian rupa pola
pemukimannya menghadap kearah sungai. Lalu bagaimana dengan sungai Brantas
di Sidoarjo?. Hal tersebut juga terjadi di Sidoarjo, wilayah yang merupakan hasil
endapan sungai Brantas (Delta). Wilayah tersebut di masa lalu mempunyai
peranan penting dalam perkembangan kerajaan kuno di Jawa Timur, mulai
Kahuripan sampai Majapahit.
Beberapa sumber dan peninggalan sejarah baik berupa prasasti maupun
candi ditemukan di wilayah Sidoarjo. Sumber dan peninggalan sejarah tersebut
•••
420
membuktikan tentang peran penting Delta Brantas pada masa kuno. Namun
apakah peninggalan tersebut hanya sebagai identitas masa lalu saja dan tidak
dimanfaatkan atau ditulis dalam narasi. Mengapa harus narasi dan bukan yang
lain. Dunia abad 21 menuntut generasi Indonesia untuk bergerak cepat dalam
mengejar ketertinggalan dalam segala bidang dari bangsa lain. Maka dari itu salah
satu syaratnya adalah dengan membaca. Membaca sangat penting artinya, dengan
membaca pengetahuan dan kekuasaan akan diraih oleh seseorang. Keberadaan
teks atau narasi sejarah, terutama dalam konteks sejarah lokal sangat bagus. Hal
ini bertujuan untuk membuka cakrawala pengetahuan generasi muda akan masa
lalu daerah tempat tinggalnya.
Berdasarkan ulasan di atas penulis tertarik untuk mengangkat tema “Delta
Brantas Dalam Narasi Sejarah”. Beberapa permasalahan yang ingin dikaji peneliti
adalah (1) bagaimana aspek kesejarahan yang ada di Delta Brantas dan (2)
bagaimana mengangkat kesejarahan Delta Brantas dalam narasi sejarah. Peneliti
ingin menuliskan aspek kesejarahan Delta Brantas dalam narasi sejarah dan
dimasukkan dalam materi pembelajaran sejarah di sekolah. Hal ini mengangkat
sejarah lokal dan potensi yang ada di Delta Brantas.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kepustakaan.
Menurut Nazir studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatancatatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang
dipecahkan (Nazir, 1988:111).
Penulis mengumpulkan beberapa sumber seperti buku, artikel, jurnal dan
beberapa sumber relevan yang lain berkaitan dengan tema artikel yaitu Delta
Brantas. Beberapa literatur yang dikaji oleh peneliti adalah
1. Oud Javaansche Oorkonden (OJO)yang berisi tentang kumpulan prasasti
yang telah dibaca dan diterjemahkan oleh Brandes dan Krom.
2. Buku Jejak Sidoarjo Dari Jenggolo Ke Surinameyang disusun oleh Tim
Penelusur Sejarah Sidoarjo pada tahun 2006 yang mengakaji tentang
sejarah Sidoarjo era kuno hingga modern.
3. Jurnal tulisan FitrotinKedudukan Daerah Terung (Krian-Sidoarjo) Pada
Masa Menjelang Akhir Majapahit (1478-1526). Dalam Avatara Jurnal
Pendidikan Sejarah Unesa, Volume 2, No. 1, Maret 2014.
4. Sumber internet dari www.kitlv.nl.penulis mendapatkan beberapa foto
penemuan candi di Delta Brantas
Hasil dan Pembahasan
Berbicara kesejarahan Delta Brantas tidak dapat diragukan lagi. Hal ini
diperkuat dengan peninggalan-peninggalan sejarah yang berada di Delta Brantas.
Beberapa peninggalan yang ada di Delta Brantas tersebut adalah candi, situs dan
prasasti. Peninggalan sejarah berupa candi diantaranya; (1) Candi Pari, (2) Candi
Sumur, (3) Candi Dermo, dan (4) Candi Pamotan.
•••
421
Gambar 2: Candi-Candi di Sidoarjo
Berbicara tentang candi, tentu ada hal yang menarik. Darimana istilah
candi berasal. Menurut Soekmono (1974:19) istilah candi berasal dari kata
“Candikagrha” yang berarti tempat tinggal Candika, Dewi Kematian permaisuri
Dewa Siwa). Maka dari itu secara harfiah candi dapat ditafsirkan sebagai
bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman atau pendharmaan raja
yang sudah meninggal. Istilah candi memang tidak secara implinsit tertulis di
dalam prasasti. Selain itu istilah candi juga hanya dikenal di wilayah Jawa dan
pada perkembangannya juga di Sumatera.
Candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai karakteristik yang
berbeda. Perbedaan tersebut terlihat dari bentuk, bahan baku, arah hadap, lokasi
pendirian dan reliefnya (Mustadji, 1997:34). Hal serupa dikemukakan oleh
Keiven, bahwa antara candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat perbedaan
yang mendasar yakni filosofi (Kieven, 2014:23). Secara spesifik percandian di
Jawa Timur cenderung menunjukkan unsur kearifan lokal “local genius”. Hal ini
terlihat dari relief yang terdapat pada candi di Jawa Timur yang menggambarkan
cerita-cerita rakyat yang berkembang pada waktu itu.
Candi-candi di Delta Brantas memang menunjukkan gaya arsitektur
bangunan gaya Majapahit. Selain itu bahan baku yang digunakan untuk
membangun candi tersebut adalah batu bata merah. Dari bahan baku yang
digunakan membuat candi tersebut tidak ada relief pada bangunan candi. Terdapat
permasalahan yang menarik dari candi di kawasan Delta Brantas. Permasalahan
tersebut karena tidak ditemukannya sumber pendukung, yaitu prasasti yang
menyebut tentang tujuan dari pendirian candi-candi tersebut. Hal ini
mengakibatkan pembahasan tentang candi tersebut sedikit gelap.
Peninggalan berikutnya yang terdapat di Delta Brantas adalah situs. Terdapat
dua situs di Delta Brantas, yaitu situs Tawangalun dan Terung. Pertama adalah situs
Tawangalun yang terdapat di desa Buncitan Sedati Sidoarjo hanya meninggalkan
tumpukan batu(Sedyawati, dkk. 2013: 235). Tumpukan batu tersebut tanpa motif dan
bentuk yang jelas. Hal tersebut yang mengakibatkan situs ini kurang diminati peneliti.
•••
422
Kedua adalah situs Terung yang berada di Kecamatan Krian Sidoarjo. Situs Terung
terdapat beberapa peninggalan seperti makam putri Raden Ayu Putri Ontjat Tondho
Wurung (Fitrotin, 2014:151). Selain makam di situs Terung juga terdapat Petilasan
Adipati Terung (Raden Husen), struktur Candi Terung, Patung, serta dua buah sumur,
yaitu sumur Manggis dan Gentong.
Gambar 3: Situs Terung di Krian Sidoarjo
Sumber: www.news.detik.com. Diakses 10 November 2017
Peninggalan terakhir adalah prasasti. Prasasti yang terdapat di Delta Brantas
adalah prasasti Kamalagyan. Prasasti Kamalagyan ditulis dengan huruf dan bahasa
Jawa kuno. Isi dari prasasti ini menyebutkan dibangunnya sebuah bendungan di
Wringin Sapta oleh raja Airlangga bersama-sama dengan rakyat. Sebelum bendungan
tersebut dibangun, dikatakan bahwa sungai Brantas selalu banjir dan airnya meluap
ke beberapa desa dan tanah perdikan (OJO, 1913:134). Untuk menjaga dan
memlihara bengunan bendungan tersebut, ditetapkanlah desa Kamalagyan
(Kamalagean) untuk menjadi daerah perdikan atau tanah bebas pajak pada tahun 959
Saka (BPPPT, 1989:30). Dengan demikian prasasti Kamalagyan termasuk dalam
sumber sejarah tertulis yang menjelaskan tentang wilayah Sidoarjo pada masa
Airlangga yang sangat penting dan strategis.
•••
423
Gambar 4: Delta Brantas
Sumber: (Satyana, 2007:4)
Berdasarkan peninggalan tersebut tentu tidak diragukan lagi tentang
kesejarahan Delta Brantas. Namun masih ada pertanyaan berkaitan hal tersebut yaitu
bagaimana mengangkat kesejarahan Delta Brantas dalam narasi sejarah?. Selama ini
kesulitan utama sejarawan dalam mengangkat kesejarahan Delta Brantas adalah
sumber. Sumber yang dimaksud dalam artikel ini adalah prasasti yang membahas
tantang peninggalan-peninggalan sejarah di Delta Brantas. Sumber prasasti yang
tersedia diantaranya adalah (1) Prasasti Kamalagyan, (2) Prasasti Canggu, dan (3)
Prasasti Gunung Butak. Dari ketiga prasasti tersebut hanya Prasasti Kamalagyan yang
ditemukan di Sidoarjo. Sedangkan untuk dua prasasti yang lain ditemukan di luar
Sidoarjo, namun membahas tentang desa di Delta Brantas.
Kajian tentang Delta Brantas selanjutnya pernah dilakukan oleh J.L.A.
Brandes. Brandes memfokuskan kajian tentang percandian di Delta Brantas. Candi
yang mendapat perhatian dari Brandes adalah Candi Pari dan Candi Sumur yang
terletak di daerah Porong, Sidoarjo. Penelitian Brandes hanya memfokuskan tentang
corak candi, tidak dapat memastikan peninggalan pada pemerintahan raja siapa. Hal
ini dikarenakan tidak ditemukan sumber pendukungnya, yaitu prasasti. Seandainya
ada atau ditemukan prasastinya, dapat dipastikan raja siapa yang membangun candicandi di Delta Brantas.
Terdapat sisi positif ketika mempelajari maupun menuliskan narasi
kesejarahan Delta Brantas bagi siswa maupun pembaca yang lain, diantaranya:
1. Meningkatkan rasa syukur kepada Tuhan
2. Menghargai dan ikut menjaga peninggalan sejarah di lingkungannya
3. Meningkatkan rasa nasionalisme
4. Menjaga kelestarian lingkungan
5. Sebagai identitas dan jatidiri daerah
6. Sebagai saya tarik wisaya (Harian Jawa Pos, Selasa 31 Januari 2017)
•••
424
Gambar 5: Lefleat Potensi Wisata Kab. Sidoarjo
Sumber: (Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisaya Kab. Sidoarjo)
Walaupun demikian, usaha untuk menulis tentang jejak kesejarahan di Delta
Brantas harus tetap dilakukan. Mengapa demikian? Perkembangan abad 21 menuntut
agar generasi muda Indonesia mengetahui dan memahami sejarah di Delta Brantas.
Hal ini dikarenakan sejauh ini materi sejarah yang ada dalam buku teks maupun LKS,
pembahasannya lebih umum. Maka dari itu penulisan sejarah di Delta Brantas perlu
dilakukan, walaupun dengan segala keterbatas sumber.
Sejauh ini memang ada beberapa narasi yang membahas tentang Delta
Brantas. Namun narasi sejarah tersebut masih menggunakan bahasa yang tidak
komunikatif. Hal itu tentu sulit dipahami pembaca dari kalangan non akademik atau
sejarah. Menuliskan kembali kesejarahan Delta Brantas dengan bahasa yang
komunikatif perlu dilakukan seiring dengan pendalaman materi yang ada dalam
kurikulum 2013. Kurikulum 2013 telah mengakomodir keinginan pesan-pesan agar
generasi muda bangsa Indonesia tidak hanya siap dalam menghadapi persaingan
global dengan berkaca dari masa lalu.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan ulasan di atas dapat ketahui bahwa kesejarahan Delta Brantas
tidak dapat diragukan lagi. Hal ini dapat diketahui dari sejumlah peninggalan
sejarah yang terdapat di Delta Brantas. Peninggalan-peninggalan tersebut seperti
candi, situs dan prasasti. Disisi lain kesulitan utama sejarawan dalam menulis
tentang kesejarahan Delta Brantas adalah sumber. Sumber yang dimaksud disini
adalah sumber tertulis. Untuk sumber sejarah berupa benda memang ada namun
tidak dapat diungkap jika tidak didukung dengan sumber tertulis, yaitu prasasti.
Namun penulisan kesejarahan Delta Brantas dalam narasi sejarah perlu dilakukan.
Hal ini untuk mendukung materi sejarah Indonesia dalam pembelajaran. Siswa
tidak hanya diberikan materi sejarah secara umum saja, namun perlu memberikan
contoh sejarah dan peninggalannya yang ada di sekitarnya. Penulisan narasi
•••
425
sejarah harus disesuaikan dengan sasarannya. Selain itu penulis seharusnya
menggunakan bahasa yang komunikatif agar para pembaca dapat berpikir secara
kritis. Dan pada akhirnya diakhir pembahasan tersebut harus disertai refleksi.
Tujuan pemberian refleksi tersebut agar siswa atau pembaca dari kalangan nonsejarah dapat mengambil hikmah atau pelajaran dari peristiwa masa lalu yang
dipelajari. Hal itu sesuai dengan tujuan utama mempelajari sejarah yaitu membuat
seseorang menjadi bijaksana. Bijaksana yang dimaksud di sini adalah bijaksana
dalam semua hal yang membuat siswa atau pembaca selalu berpikir positif.
Daftar Rujukan
[1]Brandes dan N.J. Krom. Oud Javaansche Oorkonden (OJO), Batavia: Albrecht,
1913.
[2] Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan, Deskripsi Benda Cagar
Budaya Tidak Bergerak di Wilayah Jawa Timur. Trowulan: Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Trowulan.
[3]Daldjoeni, N. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni,
1984.
[4] Fitrotin, Nur Fadhilah. Kedudukan Daerah Terung (Krian-Sidoarjo) Pada Masa
Menjelang Akhir Majapahit (1478-1526). Dalam Avatara Jurnal Pendidikan
Sejarah Unesa, Volume 2, No. 1, Maret 2014.
[5] Kasdi,
Aminuddin.
Penulisan
Sejarah
Lokal
Pengungkapan Pengalaman, Jati Diri, Dan Potensi Daerah ;
Dalam Spektrum Otonomi. Pidato pengukuhan Guru Besar. Surabaya: Unesa
University Press, 2003.
[6]Kieven, Lydia. Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman
Majapahit. Jakarta: KPG, 2014.
[7]Mustadji. Sejarah Kebudayaan Indonesia I (edisi revisi). Surabaya: University
Press IKIP Surabaya, 1997.
[8] Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
[9]Sedyawati, Edi, dkk. Candi Indonesia Seri Jawa. Jakarta: Direktorat Pelestarian
Cagar Budaya dan Permuseuman, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud, 2013.
[10]Satyana, Awang Harun. Bencana Geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan
Majapahit : Hipotesis Erupsi Gununglumpur Historis Berdasarkan Kitab
Pararaton,Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; Folklor Timun Mas; Analogi Erupsi
LUSI; dan Analisis Geologi Depresi Kendeng-Delta Brantas. Bali: Joint
Convention Bali 2007 The 36th IAGI, The 32nd HAGI, and the 29th IATMI, 2007.
[11]Sukmono, Candi, Fungsi, dan Pengertiannya: Disertasi Doktor Universitas
Indonesia, 1974.
[12]Tirto Adi. “Kawasan Bersejarah : Antara Memori Kearifan dan Destinasi
Wisata” dalam Harian Jawa Pos, Selasa 31 Januari 2017.
[13]Tim Penelusur Sejarah Sidoarjo, 2006. Jejak Sidoarjo Dari Jenggolo Ke
Suriname. Sidoarjo: Ikatan Alumni Pamong Praja Sidoarjo, 2006.
[14] www.kitlv.nl.
•••
426
HISTORIOGRAFI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN NILAI-NILAI
MULTIKULTURALISME
Yohanes de Britto Wirajati
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
ydbwirajati.mirb@gmail.com
ABSTRAK
Masyarakat Indonesia yang bersifat multi-kultur sesungguhnya problematis
(kekayaan budaya sekaligus pemicu konflik). Indonesia, sebagai negara menghormati
betul keberagaman masyarakatnya. Buktinya nilai-nilai multikulturalisme muncul dalam
UUD 1945 dan Pancasila. Namun nilai-nilai tersebut kerap kali tidak mewujud dalam
realitas kehidupan masyarakat. Indikatornya terlihat jelas dewasa ini. Masyarakat
Indonesia menjadi sangat mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA, yang berujung pada
melemahnya kohesifitas sosial akibat gesekan-gesekan budaya. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai manfaat dari narasi-narasi sejarah (historiografi) Indonesia yang
mengandung nilai-nilai multikulturalisme bagi edukasi pencegahan konflik. Dalam
rangka menyusun analisa dalam penelitian makalah ini, digunakan metode kajian pustaka.
Buku-buku tentang sejarah Indonesia yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme,
baik yang ditulis oleh sejarawan Indonesia ataupun kalangan Indonesianis, akan dianalisa
secara kritis menggunakan pendekatan Analisa Wacana Kritis (Critical Discourse
Analysis). Berdasarkan analisa terhadap Historiografi Indonesia yang mengandung nilainilai multikulturalisme maka dapat disimpulkan tiga hal; (1)Historiografi Indonesia yang
menyoroti aspek multi-kultur dapat mengungkap asal-usul terbentuknya masyarakat
Indonesia; (2)Pengetahuan tentang asal-usul masyarakat Indonesia dapat menjadi pintu
masuk untuk memahami proses identitas masyarakat tersebut dikonstruksikan;
(3)Pengetahuan akan asal-usul dan pola konstruksi identitas masyarakat Indonesia dapat
mendorong upaya pencegahan konflik horizontal.
KataKunci : Historiografi, Multikulturalisme, Identitas, Pencegahan Konflik.
Pendahuluan
Indonesia, sebagai sebuah wilayah berdaulat, dihidupi oleh kelompok
masyarakat yang multi-kultur. Dalam artikel yang dilansir di laman web bps.go.id,
berjudul Mengulik Data Suku di Indonesia,terdapat 633 kelompok suku besar di
Idnonesia. Data ini merujuk pada pemutakhiran hasil Sensus Penduduk 2010. Hal
ini dapat menjadi indikator bahwa di wilayah Indonesia terjadi pertemuanpertemuan antar kelompok masyarakat yang memiliki identitas budayanya
masing-masing. Kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multi-kultur
sesungguhnya problematis.
Pada satu sisi, beragamnya identitas budaya masyarakat yang ada di
Indonesia merupakan perwujudan dari kekayaan budaya. Kelompok-kelompok
masyarakat tersebut, beserta tradisi dan mentalitasnya masing-masing yang telah
terbentuk bertahun-tahun lalu, merupakan lumbung nilai-nilai kearifan, yang
sudah pasti bermanfaat bagi pengelolaan negara di masa kini dan yang akan
datang.
Namun di lain sisi, beragamnya identitias budaya dari kelompok
masyarakat di Indonesia juga memiliki potensi besar untuk memicu terjadinya
•••
427
konflik horizontal. Catatan sejarah menunjukkan bahwa, baik semenjak
pemerintahan rezim Orde Baru, sampai dengan era Reformasi sekarang ini terjadi
beberapa peristiwa konflik horizontal antar kelompok masyarakat dengan identitas
budaya yang berbeda.
Terlepas dari tarik-ulur atas dampak sosial-budaya masyarakat yang multikultur, dewasa ini masyarakat di Indonesia rentan sekali dengan provokasi SARA.
Beberapa fenomena menunjukkan bahwa muncul gesekan-gesekan dalam
masyarakat akibat provokasi SARA. Sebagai contoh adalah fenomena Pilkada
DKI Jakarta 2017 dan fenomena Teks Pidato Pelantikan Gubernur DKI Jakarta
terpilih 2017, Anis Baswedan. Dalam kedua fenomena tersebut masyarakat
terkesan sangat reaktif. Begitu mudah komentar positif dan negatif terlontar, dan
bahkan berbenturan di ruang publik akibat kedua fenomena tersebut. Hasilnya
adalah melemahnya kohesi sosial akibat perbedaan pendapat, bahkan hanya dipicu
oleh media sosial.
Makalah ini, pertama-tama berangkat dari kajian literatur atas buku yang
ditulis oleh H.A.R. Tilaar (2004) berjudul Multikulturalisme : Tantangantantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Pada
salah satu bab dalam bukunya, Tilaar (2004: ) dipaparkan hubungan antara
Nasionalisme dengan Identitas Nasional. Menurut Tilaar (2004), dengan merujuk
kepada teori dari Smith (2003), Nasionalisme adalah sebuah ideologi yang
mengandung tiga unsur, yaitu otonomi, kesatuan dan identitas nasional. Identitas
nasional itu sendiri, menurut Tilaar (2004), merupakan istilah yang digunakan
untuk menggantikan istilah-istilah lain seperti watak nasional dan kesadaran
nasional. Masih merujuk pada Smith (2003), prinsip dominan dari definisi
identitas nasional menurut Tilaar (2004 :108-109) adalah proses pewarisan budaya
bangsa yang unik dan identifikasi tiap-tiap individu terhadap unsur-unsur warisan
budaya tersebut. Jika mengaju pada definisi identitas nasional ini, maka pada
dasarnya pertemuan dan persilangan tiap-tiap identitas budaya kelompok
masyarakat di Indonesia adalah upaya pembentukan karakter kolektif, bukan lagi
dipandang sebagai potensi konflik.
Paparan Tilaar (2004) diatas menunjukkan bahwa dalam perspektif
Multikulturalisme, identitas nasional adalah identifikasi tiap individu terhadap
unsur-unsur warisan budaya. Jika diterapkan dalam konteks Indonesia, maka
pemahamannya menjadi, identitas nasional Indonesia adalah identifikasi individu
(dalam masyarakat Indonesia) terhadap unsur-unsur warisan (beragam) budaya
(kelompok masyarakat). Sehingga, pada dasarnya identitas nasional masyarakat
Indonesia terbentuk dari kumpulan nilai-nilai kearifan lokal tiap-tiap budaya
kelompok masyarakatnya.
Referensi literatur kedua yang menjadi titik tolak penulisan makalah ini
adalah buku Pembelajaran Sejarah karangan Abd. Rahman Hamid (2016). Dalam
buku tersebut, Hamid (2016: 143) menjelaskan fungsi penting pembelajaran
Sejarah terkait pendidikan karakter, termasuk karakter kebangsaan. Merujuk
kepada Wineburg (2006:6) dan Ki Hadjar Dewantara (2009:3), Hamid (2016:147)
menuliskan bahwa “sejarah dan pendidikan bersifat komplementer”. Sejarah
menyediakan wawasan dan interpretasi peristiwa di masa lalu dan diajarkan
kepada generasi penerus melalui pendidikan karakter.
•••
428
Selain itu Hamid (2016) juga mengingatkan kembali potensi pembelajaran
Sejarah sebagai sebuah metodologi untuk memahami kondisi masyarakat yang
aktual. Hamid (2016:148) memaparkan kembali arti dari pepatah latin, Historia
Magistra Vitae, yang artinya sejarah sebagai guru kehidupan. Peristiwa masa lalu
yang sifatnya positif dapat dijadikan pembangkit kesadaran karakter bangsa bagi
peserta didik dan peristiwa yang sifatnya negatif dapat menjadi bahan renungan,
agar tidak terulang kembali peristiwa serupa (Hamid 2016:148).
Terakhir, penulisan makalah ini juga berangkat dari disertasi Katharine E.
McGregor (2008) yang berjudul Ketika Sejarah Berseragam : Membongkar
Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Menurut McGregor (2008 :
37), berangkat dari fenomena yang terjadi di Indonesia, rezim Orde Baru dengan
pola kepemimpinan militeristiknya, telah berhasil menanamkan ideologinya
terhadap masyarakat sipil melalui konstruksi sejarah nasional. Suharto, sebagai
presiden Indonesia era Orde Baru, bersama ketiga poros kekuatan politik lainnya
(militer, birokrat dan teknokrat) berkomitmen untuk menggunakan sejarah dalam
pembinaan bangsa (McGregor, 2008 :73). Munculnya kecenderungan
menggunakan sejarah sebagai medium pembinaan bangsa tidak hanya dilakukan
oleh rezim Orde Baru. Mekanisme tersebut bukanlah sebuah mekanisme yang
baru. McGregor (2008 : 5) berargumen bahwa metode penggunaan sejarah
sebagai medium pembinaan bangsa sudah dilakukan semasa kepemimpinan
presiden Sukarno.
Dari pembacaan terhadap ketiga referensi literatur tersebut maka
didapatkan beberapa pemahaman. Pertama, Identitas nasional masyarakat
Indonesia yang multi-kultur merupakan proses identifikasi tiap-tiap anggota
masyarakatnya terhadap beragam unsur warisan budaya. Kedua, Pembelajaran
sejarah berpotensi untuk menyajikan penjelasan ilmiah atas sifat multi-kultur
masyarakat di Indonesia sebagai perwujudan pendidikan karakter. Ketiga, narasi
sejarah perlu banyak pembaharuan, disebabkan oleh perkembangan masyarakat
Indonesia pasca pasca Orde Baru, yang notabene bertransformasi dari
kepemimpinan pemerintahan otoriter menuju pemerintahan yang lebih
demokratis.
Analisis Pemecahan Masalah
1. Urgensi Memperkaya Narasi Sejarah Multikulturalisme di Indonesia
Pasca lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan tahun 1998, sebuah era
baru dimulai. Pada era yang kerap disebut sebagai era Reformasi ini berjalan
sebuah perubahan. Secara umum, Indonesia sedang bertransformasi, dari bentuk
pemerintahan yang otoriter menuju penyelenggaraan negara yang lebih
demokratis. Konsekuensi dari transformasi tersebut adalah gencarnya upaya
penyelesaian kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang menjadi peninggalan
rezim otoriter yang pernah berkuasa sebelumnya. Hal ini disebabkan, menurut
Richard Goldstone (2004 :V) dalam kata pengantarnya di buku Pieces of the
Puzzle : Keywords on Reconciliation and Tansitional Justice, bahwa setiap rezim
otoriter pasti meninggalkan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM setelah masa
kepemimpinannya.
•••
429
Dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat munculnya kasus kekerasan,
saat rezim otoriter orde Baru berkuasa dan semakin terbuka kasusnya ketika era
Reformasi bergulir. Kondisi ini kemudian menjadi tantangan bagi seluruh entitas
di Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dan konsistensinya dalam berReformasi. Harus segera disusun sebuah strategi untuk menyelesaikan kasuskasus kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut dan, lebih penting lagi,
melakukan kajian dan mempelajari kasus-kasus tersebut agar tidak terulang
dikemudian hari.
Perlu ditegaskan bahwa apa yang dimaksud dengan kasus kekerasan dan
pelanggaran HAM disini bukan sekedar kasus yang menimpa warga sipil akibat
kesewenang-wenangan negara (dalam konteks pemerintahan tertentu). Kasuskasus konflik horizontal antar kelompok masyarakat dengan identitas budaya yang
berbeda juga termasuk didalamnya. Hal ini perlu diperhitungkan karena dalam
kasus-kasus tersebut, kekerasan berbasis identitas terjadi. Merujuk kepada Gogali
(2009), dalam konflik Poso misalnya, wacana yang selalu muncul ke permukaan
adalah wacana kekerasan, penghancuran sebuah komunitas agama oleh komunitas
agama yang lain. Lebih lanjut Gogali (2009:26) menuliskan bahwa wacanawacana kekerasan antar kelompok tersebut kemudian menutup celah bagi
munculnya wacana-wacana resolusi konflik.
Lantas apa kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendidikan Sejarah dalam
situasi yang seperti ini? Menurut saya, jawabannya berkaitan dengan upaya
penulisan dan pengajaran sejarah yang berorientasi pada aspek masyarakat yang
multi-kultur. Materi pelajaran Sejarah yang diajarkan baik di tingkat pendidikan
dasar sampai dengan lanjutan harus mulai diperkaya dengan narasi sejarah
multikulturalisme. Hal ini bertujuan untuk membekali peserta didik dengan
pemahaman konsep-konsep hidup berdampingan dalam keberagaman.
Momentum Reformasi sesungguhnya adalah angin segar bagi upaya
memperkaya narasi sejarah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh melemahnya
sensor atas tulisan-tulisan ilmiah-sejarah. Beberapa tulisan sejarah, dan juga
bentuk tulisan lain yang mengandung aspek sejarah, yang dilarang beredar di era
Orde Baru, saat ini dapat beredar bebas di era Reformasi. Kondisi ini jelas
bermanfaat bagi penyusunan narasi sejarah Indonesia yang lebih komprehensif.
Tentunya dengan tetap mempertimbangkan urgensi dan validitas dari kajian dalam
tulisan sejarah tersebut untuk dipublikasikan lebih lanjut.
2. Analisa Wacana Kritis terhadap Historiografi Indonesia Era Orde
Baru
Pada bagian Pendahuluan, saya telah memaparkan bahwa penelitian dalam
makalah ini, salah satunya, berangkat dari pembacaan atas disertasi Katharine E.
McGregor (2008) yang telah dibukukan. Inti permasalahan yang ingin dipaparkan
oleh McGregor (2008) dalam penelitiannya itu adalah adanya ideologi militer
yang disusupkan dalam narasi-narasi sejarah yang diproduksi oleh Orde Baru,
dalam rangka menjaga “stabilitas nasional”. Implikasinya, seleksi historiografi
yang layak atau tidak untuk dipublikasikan tidak lagi berdasarkan kadar ilmiah
dan validitas data sejarah yang digunakan, namun lebih kepada penyesuaian
dengan kepentingan dan tujuan politis Orde Baru.
•••
430
Perlu diingatkan kembali, bahwa kita sekarang tidak lagi berada pada era
kepemimpinan Orde Baru, kita berada di era Reformasi. Oleh sebab itu narasi
sejarah Indonesia juga perlu dibebaskan dari kekangan ideologi Orde Baru.
Simbol dari narasi tunggal sejarah Indonesia yang berideologikan Orde Baru
adalah Sejarah Nasional Indonesia yang berjumlah 6 jilid. Oleh sebab itu perlu
dilakukan analisis wacana kritis terhadap buku babon sejarah Indonesia tersebut,
agar dapat dipahami ideologi yang melandasinya.
Teori analisis wacana kritis yang akan digunakan dalam pembahasan
adalah Discourse-Historical Analysis (DHA) yang dirumuskan oleh Ruth Wodak.
Haryatmoko (2016:148), dalam bukunya yang berjudul Critical Discourse
Analysis (Analisis Wacana Kritis) Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan,
menguraikan bahwa metode DHA menitik beratkan analisanya pada empat aspek,
yaitu: (1) Ideologi; (2) Kekuasaan ; (3) Kritis ; (4) Sejarah. Lebih lanjut,
Haryatmoko (2016: 148) menjelaskan bahwa “..ideologi, melalui wacana, bisa
berfungsi menutupi defisit kepercayaan ketika penguasa tidak mampu
merepresentasikan kehendak rakyat”. Pemahaman ini merujuk pada penjelasan
Wodak sendiri, bahwa ideologi adalah “perspektif visi...dari kelompok sosial
tertentu” (Wodak & Reisigl, 2009:88).
Terkait Kekuasan, menurut Haryatmoko (2016:149), Wodak
menempatkannya “sebagai bagian dari rezim wacana”, sehingga wacana mampu
melegitimasi atau mendelegitimasi kekuasaan. Dalam konteks ini, teks menjadi
situs perjuangan sosial, sehingga melalui teks tersebut dapat dibaca pola
kontestasi ideologi terkait kuasa untuk mendominasi atau menghegemoni.
Terkait aspek Kritis, Haryatmoko (2016: 149) menjelaskan bahwa dalam
DHA, Kritis dipahami sebagai pengambilan jarak terhadap sebuah data. Merujuk
pada Wodak & Reisigl (2009:8), pengambilan jarak terhadap data perlu dilakukan
karena tiga alasan; (1) data berkelindan dengan dengan konteks sosial ; (2)data
bisa menjelaskan posisi politik wacana partisipan;(3) data menuntut peneliti
untuk terus-menerus melakukan refleksi dalam penelitian.
Terakhir, sebagai ciri khas dari DHA Wodak, aspek Sejarah dijelaskan
oleh Haryatmoko (2016:149) sebagai penempatan wacana dalam sebuah konteks
waktu tertentu. Selanjutnya, Haryatmoko (2016:150) menjelaskan bahwa “konteks
waktu
dan
sosial
mengandaikan
adanya
hubungan-hubungan
intertekstualitas...dan interdiskursivitas di antara wacan-wacananya.
3. Membebaskan Historiografi Indonesia dari Kekangan Ideologi Rezim
Berdasarkan penelitian McGregor (2008:272), Sejarah Nasional Indonesia
disusun oleh sekumpulan sejarawan, yang berganti-ganti ketua tim dalam berbagai
jilidnya. Nama yang kerap muncul adalah Nugroho Notosusanto. Menurut
McGregor (2008:115-116) Nugroho Notosusanto adalah sosok dibalik
penyusunan sejarah nasional Indonesia versi Orde Baru. Dalam bukunya,
McGregor (2008: ) menuliskan bahwa Nugroho Notosusanto adalah Sejarawan
ABRI (Penamaan TNI pada era Orde Baru) yang memimpin Pusat Sejarah
Angkatan Darat. Pengangkatan Nugroho Notosusanto sebagai Ketua Pusat Sejarah
Angkatan Darat berdasarkan kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut adalah
menyusupkan ideologi militer kedalam narasi sejarah Indonesia.
•••
431
Menurut McGregor (2008:116) Nugroho Notosusanto dipilih untuk
memimpin proyek penyusunan sejarah Indonesia semasa Orde Baru berkuasa
karena Beliau memiliki pemikiran yang hampir sama dengan Soeharto dan A.H.
Nasution. Selain itu, Nugroho juga merupakan pejuang ’45, bersama-sama dengan
Soeharto dan A.H. Nasution. Kedekatan-kedekatan ini lah yang menjadi faktor
pendorong bagi Nugroho Notosusanto untuk menduduki posisi penting semasa
rezim Orde Baru berkuasa.
Dalam rangka menyusun sebuah narasi sejarah Indonesia pasca-Orde
Baru, perlu dicermati pengaruh-pengaruh ideologi dari rezim yang berkuasa
sebelumnya. McGregor telah mencermati bahwa teks-teks sejarah di era Orde
Baru telah disusupi oleh ideologi militer. Hal ini bisa dibuktikan dengan
menggunakan prinsip-prinsip DHA untuk melihat kecenderungan tulisan-tulisan
sejarah di era Orde Baru yang militeristik. Ideologi militer ini diperlukan agar
pihak militer memiliki legitimasi untuk terus mempertahankan kekuasaannya, dan
berhak untuk mengambil tindakan apapun atas nama “stabilitas nasional”.
Sehingga selama Orde Baru berkuasa, narasi-narasi sejarah alternatif yang
merupakan hasil kerja penulisan sejarah kritis, tidak memiliki kesempatan untuk
muncul ke permukaan karena terlebih dahulu disensor oleh otoritas. Narasi-narasi
sejarah alternatif tersebut dianggap subversif.
Analisa singkat di atas menunjukkan bahwa kecenderungan munculnya
grand narratives dalam sejarah Indonesia merupakan hasil dari rekayasa sejarah
nasional era Orde Baru. Kecenderungan ini perlu dihindari di era Reformasi yang
demokratis ini, sehingga upaya-upaya penulisan dan pengajaran sejarah kritis
dapat berjalan. Harus diingat bahwa sejarah bukan saja perkara harga diri, tapi
juga perkara pengungkapan jati diri.
4. Narasi Sejarah Multikulturalisme Sebagai Suplemen Materi
Pembelajaran Sejarah
Menindaklanjuti permasalahan pengaruh ideologi dan kebutuhan
memperkaya narasi sejarah Indonesia, maka dalam sub-bagian ini akan
ditawarkan beberapa buku yang kiranya dapat menjadi rujukan bagi upaya
realisasi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Beberapa buku ini saya anggap mampu
menunjukkan narasi macam apa dan darimana perubahan dan penambahan narasinarasi sejarah tersebut perlu dimulai.
1) Indonesia : People and Histories karangan Jean Gelman Taylor
Persepsi melandasi penulisan narasi sejarah Indonesia yang dilakukan oleh
Jean Gelman Taylor, seorang Sejarawan dari University of New South Wales,
Australia dalam bukunya yang berjudul Indonesia : Peoples and Histories adalah
pemahaman bahwa Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari
beragam kelompok masyarakat dengan budayanya masing-masing. Keberagaman
budaya di Indonesia muncul dari sebuah periode sejarah yang sangat panjang,
melalui interaksi sosial antar leluhur orang-orang Indonesia, kemunculan
kerajaan-kerajaan lokal, sampai dengan proses kolonialisasi. Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terselenggara sekarang ini merupakan hasil dari proses
interaksi sosial budaya tersebut.
•••
432
Buku Indonesia : People and Histories karangan Jean Gelman Taylor
adalah sebuah narasi tentang sejarah wilayah Indonesia dari sudut pandang
terbentuknya sebuah masyarakat Indonesia. Pada bagian Preface, Taylor
menuliskan;
“In this book I tried to establish links between Indonesian communities, to show why,
historically, they have reasons to live together in one nation and, at the same time, to show
histories of difference.” (hal.xvii)
Buku Indonesia : People and Histories ditulis dengan tujuan memberikan
latar belakang sejarah dari alasan-alasan hidup bersama orang-orang di Indonesia
sebagai suatu bangsa, sekaligus menunjukkan sebuah narasi sejarah tentang
keragaman.
Tema besar dari buku ini adalah mobilitas dan pergerakan dari orangorang di wilayah Indonesia, yang berpengaruh terhadap terbentuknya masyarakat
Indonesia itu sendiri. Hal ini dituliskannya dalam kutipan berikut;
“A major theme of this book is mobility, especially the mobile man. Wandering holy men,
traveling scholars, traders, porters, rebelprinces, and thugs (sometimes called local
heroes) journey through texts written by Indonesians and outsiders.” (2003:hal.xix)
Pada bagian Introduction, Taylor (2003: 2) menuliskan bahwa buku
Indonesia : People and Histories adalah sebuah buku sejarah sosial. Buku ini
menarasikan tentang sejarah dari interaksi antara orang-orang yang melakukan
perjalanannya di wilayah Indonesia. Taylor menuliskan tentang besarnya
pengaruh dari pertemuan orang-orang dari Asia dan Eropa di wilayah kepulauan
Indonesia dalam membentuk sejarah masyarakat Indonesia moderen.
Historiografi Indonesia yang ditulis oleh Taylor ini penting untuk dikaji
dan dipelajari secara lebih luas dan mendalam. Mengapa menjadi penting karena
argumen yang disusun Taylor dalam bukunya tersebut sangat relevan dengan isuisu pribumi-nonpribumi yang merebak dewasa ini. Melalui pembacaan kritis dan
menyeluruh atas karya Taylor ini maka dapat ditemukan perspektif baru mengenai
konsep penduduk asli dan pendatang di wilayah Indonesia ini.
2) Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia suntingan Henk S. Nordholt
Buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia adalah kumpulan
tulisan tentang historiografi di Indonesia yang disunting oleh Henk Schulte
Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Hapsari. Dalam buku yang terbit tahun
2013 ini terangkum tulisan-tulisan dari sejarawan, baik yang berwarga negara
Indonesia ataupun Indonesianis.
Terkait kebutuhan untuk memperkaya sumbangan historiografi bagi
pembelajaran nilai-nilai Multikulturalisme, dalam buku ini terdapat beberapa
tulisan yang dirasa relevan. Saya tertarik dengan artikel yang ditulis oleh Hilmar
Farid (2013:79) , berjudul Pramoedya dan Historiografi Indonesia. Dalam
tulisannya ini, Farid menyoroti perlunya penulisan sejarah Indonesia
mempertimbangkan kajian-kajian karya sastra. Khusus dalam tulisannya tersebut,
Farid mengkaji karya-karya dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Menurut
Farid (2013:82), karya-karya Pramoedya dapat menjadi simbol dari dekolonisasi
pemikiran dan penulisan sejarah Indonesia.
•••
433
Artikel lain yang menarik dalam buku ini adalah artikel yang ditulis oleh
Bambang Purwanto yang berjudul Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta :
Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia. Dalam artikelnya ini, Bambang
Purwanto (2013:246) juga menegaskan perunya memikirkan ulang kemungkinan
penggunaan kajian-kajian karya sastra sebagai sumber penulisan sejarah,
disamping sumber-sumber konvensional lainnya. Bambang Purwanto melihat
potensi dari pusisi, sebagai sebuah karya sastra, untuk memotret kondisi sosial
masyarakat tertentu, dalam periode tertentu. Lebih lanjut, Bambang (2013:246)
mengutip Sartono Kartodirdjo, bahwa karya sastra dapat dipandang sebagai
refleksi seorang satrawan terhadap kondisi masyarakat yang diamatinya.
3) Kegalauan Identitas suntingan Martin Ramstedt & Fadjar Ibnu Thufail
Alasan mendasar mengapa buku ini perlu dibaca adalah kekuatannnya
dalam menyajikan data mengenai konflik di tingkat akar rumput secara mendetail.
Secara garis besar, konflik yang diangkat dalam buku ini terjadi pasca runtuhnya
rezim Orde Baru. Lokasi dari peristiwa konflik yang diteliti juga tersebar di
beberapa wilayah kepulauan Indonesia.
Pada bagian pendahuluan buku Kegalauan Identitas, tercantum bahwa
fokus dari buku tersebut adalah “mencoba memahami sisi kelabu dari proses
desentralisasi yang bergulir sejak rezim Orde Baru jatuh” (Ramstedt et al.
2011:2). Metode yang dipilih adalah menganalisa secara lebih mendalam perilaku
tiap-tiap kelompok masyarakat dalam mempersoalkan dan menegaskan eksistensi
mereka melalui sebuaaah proses interaksi yang melibatkan proses dan instrumen
hukum dengna wacana-wacana agama dan adat dalam perubahan politik.
Buku Kegalauan Identitas berusaha untuk menyoroti salah satu aspek,
yang sesungguhnya menonjol, dalam dinamika desentralisasi namun kurang
diperhatikan dan dikaji, yaitu merebaknya konflik yang melibatkan identitasbudaya kelompok tertentu. Sehingga, dengan kata lain, buku Kegalauan Identitas
ini merupakan sebuah kajian ilmiah atas sebuah fenomena yang merebak, dari
sebuah negara yang bertransformasi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan
demokratis, berupa konflik identitas.
Dari buku Kegalauan Identitas ini paling tidak ada dua hal yang bisa
dipelajari. Pertama, buku ini menyediakan sebuah analisa sistematis terhadap
dampak dari perubahan orientasi politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Kedua,
dalam buku ini dipaparkan pola-pola terjadinya konflik di berbagai wilayah di
Indonesia, yang berbeda satu sama lain dipengaruhi oleh aspek politik-budaya di
tiap-tiap wilayah konflik tersebut.
Hasil
Berdasarkan pembahasan dan analisa dalam sub-bagian sebelumnya, maka
beberapa hasil didapatkan;
1. Taylor memaparkan bahwa masyarakat di wilayah Indonesia terbentuk karena
adanya mobilisasi. Hal ini semakin menegaskan bahwa isu pribumi vs. nonpribumi sesungguhnya tidak relevan lagi untuk diperdebatkan di Indonesia.
Persoalan siapa yang menjadi penduduk asli dan siapa yang bukan pada dasarnya
•••
434
adalah bentuk pemisahan predikat yang digunakan oleh Kolonialis untuk
memberikan jarak terhadap masyarakat di koloni mereka. Persepsi seperti ini
perlahan harus ditinggalkan.
2.Perlu dijajaki potensi penelitian sejarah menggunakan kajian-kajian karya
sastra. Karya sastra merupakan salah satu bentuk refleksi terhadap kondisi sosial
disekitar seorang sastrawan. Oleh sebab itu, didampingi oleh sumber-sumber lain,
kajian terhadap karya sastra pada dasarnya berpotensi menjadi sumber atau
referensi dari sebuah penulisan sejarah.
3. Pasca-Orde Baru, Indonesia sedang bertransformasi dari era kepemimpinan
otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. Hal ini ditunjukkan dengan telah
banyak bermunculan data tentang peristiwa konflik horizontal antar kelompok
masyarakat, dalam periode pasca Orde Baru. Seyogyanya, ketersediaan data ini
memantik kajian lebih lanjut atas peristiwa-peristiwa konflik tersebut. Sehingga
hasil dari kajian dapat dipelajari, agar konflik serupa tidak berulang dikemudian
hari.
Kesimpulan
Analisa dalam penulisan makalah ini memunculkan beberapa simpulan.
Pertama, historiografi Indonesia yang menyoroti aspek multi-kultur dapat
mengungkap asal-usul terbentuknya masyarakat Indonesia. Historigrafi semacam
ini munncul dalam karya Taylor (2003).Kedua, Pengetahuan tentang asal-usul
masyarakat Indonesia dapat menjadi pintu masuk untuk memahami proses
identitas masyarakat tersebut dikonstruksikan, sesuai dengan paparan Tilaar
(2004), bahwa identitas nasional adalah proses identifikasi tiap-tiap anggota
masyarakat terhadap unsur-unsur warisan budaya. Sehingga semestinya identitas
nasional Indonesia dikonstruksi berdasarkan nilai-nilai kearifan dari budaya
masing-masing kelompok masyarakat.Ketiga, Pengetahuan akan asal-usul dan
pola konstruksi identitas masyarakat Indonesia dapat mendorong upaya
pencegahan konflik horizontal. Pembelajaran dan kajian atas berbagai konflik
horizontal di wilayah Indonesia dapat mereduksi potensi konflik tersebut terulang
kembali.
Daftar Rujukan
Abd. Rahman Hamid.Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta : Ombak, 2014.
H.A.R. Tilaar. Multikulturalisme : Tantangan-tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional.Jakarta : Grasindo,2004.
Haryatmoko, Dr. Critical Discourse Analysis(Analisis Wacana Kritis) Landasan
Teori, Metodologi dan Penerapan. Jakarta : Rajawali Pers, 2016.
Lian Gogali. KONFLIK POSO : Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi
Ingatan. Yogyakarta : Galangpress, 2009.
McGregor, Katharine E. Ketika Sejarah Berseragam : Membongkar Ideologi
Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta : Syarikat, 2008.
Nordholt, Henk Schulte. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta :
Penerbit Obor & KITLV-Jakarta, 2013.
•••
435
Ramstedt, Martin & Fajar Ibnu Thufail et al. Kegalauan Identitas : Agama,
Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru. Jakarta :
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2013.
Taylor, Jean Gelman. Indonesia People and Histories. Oxon : Routledge, 2003.
Tri Subagya. Support for Ethno-religious Violence in Indonesia. Yogyakarta :
SDUP, 2015.
Villa-Vincencio, Charles & Erik Doxtader. Pieces of the Puzzle. Cape Town :
Institute for Justice and Reconciliation, 2004.
•••
436
ANALISIS WACANA: PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TEMBANG
LIR-ILIR KARYA SUNAN KALIJAGA
Agung Wibowo, Prof. Dr. Warto, M.Hum., Prof. Dr. Sariyatun, M.Pd., M.Hum.
Universitas Sebelas Maret Surakarta
agoengdjoeang@gmail.com
ABSTRAK
Mengemukanya pendidikan karakter pada dewasa ini di Indonesia adalah sebagai
jawaban atas globalisasi yang telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat. Pendidikan karakter selama ini yang telah berjalan hanya berfokus
pada pembentukan sikap dan tingkah laku peserta didik, sedangkan nilai-nilai
spiritual dan toleransi masih lemah. Pelajaran sejarah memiliki andil dalam
menanamkan niai-nilai spiritual kepada peserta didik karena dalam pelajaran
sejarah terdapat materi mengenai Islamisasi yang bisa dimanfaatkan untuk
menanamkan nilai-nilai spiritual tentang hubungan manusia dengan Tuhan, Alam
dan manusia dengan manusia itu sendiri. Salah satu kearifan lokal yang ada di
Jawa pada khususnya adalah adanya tembang dolanan sebagai bentuk karya sastra
yang digunakan sebagai sarana untuk mengenalkan Islam dan sebagai sarana
pendidikan kepada anak-anak, dalam hal ini adalah tembang Lir-ilir gubahan dari
Sunan Kalijaga. Nilai-nilai yang terkandung dalam tembang tersebut bisa
digunakan sebagai sarana pembelajaran untuk memperkuat spiritualitas peserta
didik. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam tembang tersebut,
peneliti menggunakan metode dekriptif kualitatif. Penelitian ini menghasilkan
deskripsi mengenai makna tembang Lir-ilir yang diteliti berdasarkan teks dan
konteks yang diwacanakan. Deskripsi dari tembang tersebut menghasilkan nilainilai yang mempunyai fungsi religius, fungsi edukatif, fungsi sosial, fungsi estetis,
dan fungsi etis sebagai upaya untuk menyadarkan peserta didik dalam
menghadapi pengaruh global dimasa depan.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Nilai, Tembang Lir-ilir
Pendahuluan
Proses globalisasi muncul semenjak pasca perang dingin yang mendorong
dunia dalam upaya homogenitas dalam sistem internasional. Di era perang dingin
inilah dunia dibagi menjadi dua kubu yang antagonistik yaitu kubu Blok Barat
dipimpin oleh Amerika dan kubu Blok Timur dipimpin oleh Unisovyet (Tilaar,
2012: 14). Pada abad-21 ini globalisasi identik dengan perubahan yang sangat
cepat yang mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan sosial masyarakat.
Jika menilik lagi kebelakang bahwa globalisasi sudah terjadi beberapa dekade lalu
yang dengan kontinuitasnya berkembang hingga sekarang, hanya saja
perbedaannya adalah proses globalisasi sekarang ini terjadi begitu cepat.
Penyebab utama dari cepatnya arus globalisasi tersebut adalah kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-alat komunikasi dan
transportasi yang semakin canggih dan efisien. Andrew James dalam Tilaar (2012:
15) mengklasifikasikan perubahan tersebut dalam lima bidang yakni bidang
•••
437
ekonomi dan teknologi, bidang politik, bidang sosio-kultural, masalah-masalah
lingkungan, dan kritik terhadap globalisasi.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tidak lepas dari proses
globalisasi tersebut yakni kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, hal ini
dapat dilihat dari kepemilikan gawai (gadget) oleh anak remaja disekolah baik
dalam tataran SMP atau SMA. Dalam pengoperasian gawai tersebut terdapat
pertukaran informasi yang mempengaruhi pandangan atau gagasan individu baik
dari teman sebaya, orangtua, bahkan orang asing. Castells dalam Mubah (2011:
252) mengatakan bahwa meluasnya jejaring komunikasi menyebabkan hubungan
antar masyarakat diseluruh dunia berjalan secara cepat dan dekat yang
menimbulkan dilema antara tetap bertahan dalam identitas asli atau ikut melebur
dalam identitas masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat global.
Persaingan dalam proses globalisasi menjadi tidak terelakkan lagi karena
terbukanya arus informasi dimana setiap individu mampu melakukan hubungan
atau komunikasi tanpa mengenal jarak dan batas geografis. Interaksi yang
dilakukan oleh individu-individu memungkinkan mereka melakukan kontak
identitas, nilai, dan budaya yang berbeda-beda.
Interkonektivitas dalam hubungan komunikasi elektronik baik dalam
keadaan tatap muka maupun secara “tertutup” sebagai individu merasa bagian dari
dunia ini, sehingga individu merasa cukup bersosialisasi lewat alat-alat
komunikasi tanpa harus bertatap muka secara nyata. Ini akan menyebabkan sikap
individualisme muncul dalam diri dimana individualisme merupakan salah satu
nilai dalam kapitalisme yang termasuk dalam dimensi globalisasi. Terlebih adalah
mengenai pemenuhan kebutuhan yang sekarang muncul trend baru yakni toko
online dimana semua barang bisa dibeli dengan memesan melalui jaringan
internet, hal ini menunjukkan kehidupan yang serba instan sehingga menimbulkan
dampak pada konsumerisme yang berlebihan karena mudahnya akses untuk
mendapatkan barang yang diinginkan.
Belakangan ini kita banyak menyaksikan diberbagai media mengenai
peristiwa yang menunjukkan kemunduran dari perilaku masyarakat,
membenarkan kelompok dan menganggap salah kelompok lainnya, masih
maraknya kasus-kasus karupsi serta berbagai kerusakan lingkungan di Indonesia.
Adanya kemunduran kesadaran sikap sosial generasi bangsa Indonesia tidak lepas
dari modernitas yang dibawa oleh globalisasi dan menenggalamkan nilai-nilai
yang diajarkan nenek moyang yang kalah populernya dengan nilai global yang
belum tentu sesuai dengan keadaan masyarakat. Tentunya pendidikan juga
mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendidik karakter bangsa,
pendidikan seharusnya digunakan sebagai wadah untuk mendorong proses
humanisasi terhadap peserta didik yang berlandaskan pada kesadaran sikap bahwa
pendidikan digunakan untuk menjadikan generasi bangsa sebagai manusia yang
berakhlak mulia, berbudi pekerti, cerdas, dan juga terampil.
Modernisasi pendidikan yang tanpa meninggalkan nilai-nilai social yang
hidup dalam masyarakat perlu dikembangkan untuk menjawab tantangan jaman
global sekarang ini. Masyarakat yang semakin besar terhadap pendidikan serta
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat pendidikan tidak mungkin
lagi dikelola hanya dengan melalui pola tradisional (Dwi, 2006: 1). Modernisasi
•••
438
dalam pendidikan diperlukan untuk menghasilkan output yang mampu bertahan
dan kompetitif dalam arus keterbukaan informasi dan perubahan-perubahan
struktur dan masuknya nilai-nilai asing yang tidak sesuai dengan identitas
masyarakat Indonesia.
Mengemukanya pendidikan karakter pada dewasa ini di Indonesia adalah
sebagai jawaban atas globalisasi yang telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat. Pembangunan karakter bangsa harus dilakukan dari membangun
individu masyarakat secara berkesinambungan karena sifatnya yang abstrak dan
tidak dapat secara langsung dipahami. Selain itu, pendidikan karakter selama ini
yang telah berjalan hanya berfokus pada pembentukan sikap dan tingkah laku
peserta didik, sedangkan nilai-nilai spiritual dan toleransi masih lemah. Hal ini
disebabkan oleh praktik pendidikan yang masih belum menempatkan agama
sebagai bagian penting dalam membangun kepribadian peserta didik yang
cenderung berada pada tingkatan hafalan dan keterampilan, sedangkan sikap dan
nilai spiritual sama sekali tidak tersentuh (Takdir Ilahi, 2014: 40).
Indonesia bukan sebuah negara sekular karena negara mengakui
keberadaan agama dan aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya dan
memberikan ruang untuk melakukan peribadahan sesuai dengan tata cara agama
dan aliran kepercayaan masing-masing. Spiritualitas menjadi dasar bagi individu
untuk menciptakan individu-individu yang mempunyai keluhuran budi dan adil
terhadap sesamanya. Pada sila pertama dari Pancasila disebutkan “Ketuhanan
Yang Maha Esa” yang berarti atas dasar kepercayaan dan kesaksian atas kuasa
Tuhan akan menciptakan masyarakat yang saling mengasihi dan menyayangi
sesamanya. Selain itu, hubungan antara individu, masyarakat dengan masyarakat
lainnya yang merupakan representasi dari pengakuannya terhadap Ketuhanan
Yang Maha Esa yang berarti spiritualitas menjadi landasan untuk hidup bersama
dengan harmoni.
Pendidikan memiliki peranan sentral dalam keberlanjutan peradaban
manusia karena pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk membuat
seseorang menjadi good and smart (Hasan, 1986: 33). Penanaman sikap dan nilai
spiritual dapat dilakukan oleh berbagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah,
tidak hanya bertumpu pada pendidikan agama saja. Salah satunya adalah pelajaran
sejarah karena sejarah juga berfungsi sebagai pelestarian nilai-nilai moral dengan
mengacu pada peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masalalu. Kuntowijoyo
(2005: 26) sejarah mempunyai fungsi dalam pendidikan, yaitu sebagai pendidikan
(1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan,
(7) keindahan, dan (8) ilmu bantu.
Sejarah sebagai pendidikan nilai dan moral memberikan contoh untuk kita
bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang benar dan mana
yang salah. Selama ini pendidikan sejarah di Indonesia sebelum masa kolonial
atau bila kita bisa menyebutnya masa penyebaran islam oleh walisongo tidaklah
mudah diuraikan karena memang penulisan sejarah atau tulisan mengenai
keseharian pada masa itu jarang sekali ditemukan kecuali tulisan dari pujangga
yang dipercaya oleh kerajaan untuk menganggungkan tindak dan laku dari
seorang raja, kalaupun ada terdapat perbedaan bahasa yang digunakan pada
karangannya. Namun daripada itu, sejarah penyebaran islam yang dilakukan oleh
•••
439
walisongo banyak berupa tradisi lisan yang kita ketahuan dari pitutur yang kita
ketahui dari turun-temurun, seperti pitutur Molimo yang diungkapkan oleh sunan
Bonang, tembang-tembang macapat, tembang dolanan yang diciptakan sebagai
sarana penyebaran islam di jawa yang memiliki pesan moral dan pendidikan yang
begitu dalam tentang kehidupan.
Salah-satu karya tembang yang digunakan untuk mengenalkan Islam
kepada masyarakat baik dipesisir pantai Jawa ataupun dipedalaman adalah
tembang Lir-ilir yang merupakan sebuah karya sastra tembang digubah oleh
Sunan Kalijaga sebagai media untuk menyebarkan agama Islam di Jawa
khususnya Jawa bagian tengah. Tembang ini ditujukan untuk anak-anak sebagai
tembang yang digunakan untuk bermain (Tembang dolanan). Sunan Kalijaga
merupakan salah satu penyebar Islam di Jawa yang merupakan anggota dari
“walisongo” yang merupakan keturunan dari Bupati Tuban yakni Tumenggung
Wilatikta yang jika diurutkan akan sampai pada Sayidina Abbas bin Abdul
Munthalib, paman Nabi Muhammad SAW (Sunyoto, 2017: 258). Sunan Kalijaga
di kenal sebagai tokoh “Walisongo” yang menyebarkan Islam melalui kesenian
dan budaya, diantara karya yang digubah oleh Sunan Kalijaga adalah Kidung
Rumeksa Ing Wengi dan juga tembang yang lebih sederhana namun memiliki
makna spiritual yakni Tembang Lir-ilir.
Analisis Pemecahan Masalah
Artikel ini menggunakan data verbal berupa kata, ungkapan, kalimat,
pernyataan-pernyataan baik dalam bagian paparan teks tembang Ilir-ilir maupun
bagian teks yang dikutip dalam bentuk potongan-potongan dengan
mempertimbangkan konteks yang dimilikinya. Pengungkapan nilai karakter yang
terkandung dalam karya sastra gubahan Sunan Kalijaga yakni Tembang Ilir-ilir
salah satu medium yang digunakan untuk menyebarkan Islam Khususnya
dibagian pesisir utara Jawa. Tembang (puisi) merupakan salah satu bagian dari
sastra (Fananie, 2001: 47-48). Dimana dunia dalam tembang dikonstruksi oleh
pengarangnya untuk mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan
dan merangsang imajinasi panca-indera dalam susunan berirama (Djoko Pradopo,
2000: 8).
Penggunaan analisis wacana kritis sebagai cara mengungkapkan makna
yang terkandung dalam teks Tembang Ilir-ilir yang memiliki konteks ketika
penciptaan tembang tersebut untuk mendapatkan nilai karakter yang
dikandungnya. Pemaknaan dalam tembang tersebut digunakan untuk menemukan
tanda-tanda yang menjadi benang merah dalam teks dan menafsirkannya untuk
mencari siapa yang diberi status dan peran apa serta bentuk relasi antar individu
dalam naskah tersebut (Hamad, 2007: 330).
Ruang lingkup analisis wacana berdasarkan penggunaan metode
analisisnya pada artikel ini digunakan analisis wacana paradigmatik dengan
memperhatikan tanda-tanda tertentu dalam sebuah wacana untuk menemukan
makna secara keseluruhan. Penerapan metode analisis wacana paradigmatik
adalah dengan menemukan bukti-bukti dalam naskah dan menunjukkan bagianbagian dari naskah sebagai temuan untuk menjawab permasalahan (Hamad, 2007:
331).
•••
440
Critical discourse analysis/ CDA menggunakan model Norman
Fairclough yang melibatkan teks (naskah) memiliki konteks. Dalam model ini,
CDA memiliki tiga proses dalam analisisnya yakni, deskripsi (analisis teks),
interpretasi (analisis proses), eksplanasi (analisis sosial) (Hamad, 2007: 331). Hal
ini menunjukkan bahwa Discourse merupakan suatu bentuk praktik sosial yang
mengkonstruksi dunia sosial, identitas, dan relasi-relasi sosial. Pengetahuan yang
tercipta tentang dunia tidak bersifat benar secara mutlak karena tercipta dari
proses sosial sehingga perubahan yang terjadi akan mempengaruhi pengetahuan
yang dikonstruksi dan pemahaman akan dunia. Analisis data dalam
pelaksanaannya dilakukan dalam suatu proses dan dikerjakan secara intensif
dengan mengumpulkan data, melakukan pengkodean dan pengklasifikasian,
kemudian penginterpretasian data.
Hasil dan Pembahasan
Bahasa dalam karya sastra terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Bahasa lisan digunakan dalam tradisi sastra lisan lama yang pada kenyataannya di
daerah jawa sangat sulit dijumpai tulisan yang ditinggalkan oleh para pencipta
karya sastra tembang dan bahkan tidak diketahui penciptanya. karya sastra dalam
bentuk tembang hanya dikenal dari lisan ke lisan yang mampu hidup sampai saat
ini karena adanya interaksi secara langsung antara pencerita, cerita itu sendiri, dan
masyarakat.
Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran
kehidupan yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan
dalam bentuk tulisan. Selain karya sastra yang ditulis, terdapat juga karya sastra
yang disebarkan dari mulut ke mulut yakni yang biasa disebut sebagai karya sastra
lisan. Sastra lisan merupakan suatu kesusastraan yang mencakup ekspresi atau
ungkapan masyarakat suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara
lisan. Udin (1996: 1) mengungkapkan bahwa sastra lisan adalah seperangkat
pertunjukan penuturan lisan yang melibatkan penutur dan audien menurut tata
cara dan tradisi pertunjukan.
Bentuk dari karya sastra lisan sendiri dapat berupa prosa (seperti mite,
dongeng, dan legenda), puisi rakyat (seperti syair, gurindam, dan pantun), seni
pertunjukan (wayang), ungkapan tradisional (seperti pepatah dan peribahasa), dan
nyanyian rakyat. Perkembangan sastra lisan di Indonesia dan Jawa pada
khususnya dipengaruhi oleh budaya lain seperti budaya Hindhu-Budha, India,
Cina, dan Arab yang disebarkan dalam perdagangan, agama, maupun perkawinan.
Sastra lisan memiliki unsur didaktis yang digunakan sebagai sarana pendidikan
kepada masyarakat yang didalamnya mengandung nilai-nilai moral, agama, dan
kehidupan.
Sejak masa lampau, Indonesia telah mengenal sastra. Sebagai contoh
karya-karya dari para pujangga kerajaan masa Hindu-Budha seperti Pararaton,
Nagarakertagama, dan sutasoma. Para pujangga tersebut diperintahkan oleh raja
untuk membuat syair-syair yang berisi kejayaan sang raja yang biasa disebut
dengan kakawin. Pada masa permulaan penyebaran Islam di Indonesia khususnya
di Jawa sendiri, sastra juga digunakan sebagai media untuk menyebarkan agama
•••
441
Islam dan sebagai sarana pendidikan keagamaan yang berisi tentang hakikat dari
kehidupan. Salah satu penyebar agama Islam adalah Raden Syahid atau yang
sering dikenal dengan Sunan Kalijaga yang menjadi salah satu anggota dari
Walisongo. Sunan Kalijaga melakukan penyebaran Islam dengan menggunakan
pendekatan seni budaya seperti penggunaan kesenian wayang yang bernuansa
hindu kemudian digubah dengan memasukkan nilai-nilai islami di dalamnya.
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga bersifat dinamis dengan
mendatangi masyarakat dan menggelar pertunjukan wayang yang terkenal dengan
Lakon Dewa Ruci. Selain menciptakan wayang sebagai media dakwah, Sunan
Kalijaga juga menciptakan karya sastra suluk dan tembang dolanan sebagai
sarana dakwahnya yang ditujukan kepada anak-anak. Tembang dolanan ini
biasanya dinyanyikan sembari bermain bersama oleh anak-anak. Selain
memberikan hiburan pada masyarakat dan anak-anak, seni dan karya sastra yang
diciptakan oleh Sunan Kalijaga mempunyai makna edukatif didalamnya.
Para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi kebudayaan
secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan
Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan
(Sunyoto, 2017: x). Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
menggunakan cara-cara yang halus tanpa adanya konfrontasi ataupun gontokgontokan yang merasa dirinya paling benar. Proses Islamisasi (dakwah) tersebut
dilakukan dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk
mendalami ilmu dan menyiarkan agama Islam, selain dakwah Sunan Kalijaga
menyebarkan Islam dengan menjadi dalang, penggubah tembang, tukang dongeng
keliling, penari topeng, desainer pakaian, perancang alat-alat pertanian, penasihat
sultan, dan pelindung ruhani kepala-kepala daerah (Sunyoto, 2017: 272). Tidak
mengherankan kalau dijumpai berbagai nama samaran Sunan Kalijaga seperti Ki
Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung, Ki Unehan.
Penggunaan nama-nama samaran tersebut dimungkinkan untuk menyembunyikan
identitas aslinya agar masyarakat yang menyaksikan pertunjukkannya tidak
merasa pekewuh dengan gelar Raden yang ada didepan namanya.
Akulturasi budaya dalam penggubahan tembang-tembang dilakukan
dengan memasukkan nilai-nilai islami di dalam karya-karyanya tanpa
meninggalkan budaya asli dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
karya seni yang diciptakannya tanpa ada unsur dari bahasa arab dimana Islam
mulai berkembang, namun daripada itu nilai ketauhidan akan Tuhan terasa sangat
kuat di dalamnya. Di antara tembang gubahan Sunan Kalijaga yang masih dikenal
oleh masyarakat adalah Kidung Rumeksa Ing Wengi yang syairnya berisi tentang
panjatan untuk menolak segala marabaya yang datang. Selain itu, tembang
gubahan yang lebih sederhana tetapi memuat ajaran spiritual yang terkenal dengan
tembang dolanan dimana tembang tersebut ditujukan untuk anak-anak namun di
dalamnya terdapat nilai ketauhidan sebagai sarana untuk mengenalkan Tuhan
kepada anak-anak.
Tembang (puisi) merupakan salah satu bagian dari sastra (Fananie, 2001:
47-48). Karya sastra berbentuk tembang merupakan genre karya sastra lisan yang
berisi kata-kata indah yang telah dikonstruksikan oleh penciptanya dengan
mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang
•••
442
imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama (Pradopo, 2000: 8). Selain
itu, Hasanuddin mengungkapkan bahwa puisi merupakan pernyataan yang
imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan (hal 4). Lewat puisi, perasaan dan
pikiran dari penyair yang masih sangat abstrak dapat dimengerti oleh
penikmatnya.
Ilir-ilir merupakan tembang dolanan yang ditujukan untuk anak-anak
sebagai dukungan dalam permainan, tembang dolanan adalah lagu yang
dinyanyikan sambil bermain-main (Endraswara, 2005: 99). Dari segi kesastraan,
tembang dolanan merupakan nyanyian anak-anak yang memiliki bentuk estetika
dan bermakna yang bisa digunakan sebagai bekal dalam kehidupan. Tembang
tersebut masuk dalam genre sastra lisan yang memiliki makna dibalik teks-teks
didalamnya, keberadaan tembang dolanan sekarang ini mulai ditinggalkan oleh
anak-anak dan lebih berorientasi ke tembang (lagu) populer karena mudahnya
akses informasi dan merebaknya budaya populer pada masyarakat dewasa ini.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam tembang Ilir-ilir bisa diintegrasikan dalam
pendidikan sebagai sarana untuk menanamkan karakter terhadap peserta didik.
Untuk mengetahui nilai-nilai yang terdapat dalam tembang Ilir-ilir
diperlukan deskripsi mengenai teks tembang tersebut, teks dan gubahan dalam
bahasa Indonesia tembang Ilir-ilir sebagai berikut:
Lir-ilir, lir-ilir
tandhure wis sumilir/
sing ijo royo-royo/
tak sengguh penganten anyar/
cah angon cah angon/
penekna blimbing kuwi/
lunyu-lunyu penekna/
kanggo masuh dodotiro/
dodotiro dodotiro/
kumitir bedah ing pingggir/
dondomana jlumatana/
kanggo seba mengko sore/
mumpung padhang rembulane/
mumpung jembar kalangane/
yo surako/
surak hore//
(Sunyoto, 2017: 272)
‘Bangunlah, bangunlah’
‘Tanaman sudah bersemi’
‘Demikian menghijau’
‘Bagaikan pengantin baru’
‘Anak gembala, anak gembala’
•••
443
‘Panjatlah (pohon) belimbing itu’
‘Meskipun licin dan sulit tetaplah kamu panjat’
‘Untuk membasuh pakaianmu’
‘Pakaianmu, pakaianmu’
‘Terkoyak-koyak dibagian samping’
‘Jahitlah, benahilah’
‘Untuk menghadap nanti sore’
‘Selagi bulan bersinar terang’
‘Selagi banyak waktu luang’
‘Bersoraklah’
‘(Dengan) Sorakan iya’
Fungsi yang terdapat dalam tembang ini adalah fungsi religius (Farida,
2012: 63). Lir-ilir dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai sayup-sayup
bangun dari tidur, lirik tersebut dapat diartikan bangkitlah dari hidupmu atau
sadarlah, landasan dalam tembang ini berada pada kesadaran. Masyarakat diminta
untuk sadar akan kesalahannya selama ini, kemudian menuju kejalan yang benar.
Kaitannya dengan kehidupan dewasa ini adalah mengenai kesadaran akan arus
global yang mampu menggerus kearifan-kearifan local. Penekno berarti
panjatkan, ini memberikan makna bahwa terdapat tujuan yang harus diraih, .
Lunyu-lunyu penekno (meskipun licin tetap panjatlah) bisa bermakna sebagai
sikap pantang menyerah, dalam keadaan apapun tetap berpegang pada kesadaran
dan mencoba untuk meraih tujuan tersebut. Dodotiro-dodotiro kumitir bedah ing
pinggir, dondomono jlumatano, sebagai seorang manusia tidak ada yang
sempurna. Kesalahan yang telah diperbuat tidak harus selalu disesali namun harus
dibenahi untuk kehidupan yang lebih baik.
Tembang ini terdapat ungkapan metafora sinestetik yakni pengalihan
tanggapan dari tipe metafora yang umum didasarkan pada pengalaman pengertian
satu ke pengertian yang lainnya. Peralihan dari referen tak ijo royo-royo sebagai
kelompok warna yang dapat dilihat ke temanten anyar yang menimbulkan
pandangan kebahagiaan. Pengantin baru dapat diidentifikasikan dengan segala
sesuatu yang berhubungan dengan bermekarnya tumbuh-tumbuhan seperti bunga,
padi, rumput yang mulai bersemi (Hesti, 2010:78).
Fungsi interaksi dalam tembang ini ada pada cah angon-cah angon yang
merupakan sapaan terhadap orang yang sedang menggembala. Dalam
pemaknaannya anak gembala tersebut memiliki makna yang tersirat bahwa
manusia dalam hidupnya diwajibkan mengendalikan diri dan hawa nafsunya.
Nafsu yang ada dalam diri manusia lebih dari satu bentuk maka dari itu terdapat
pengulangan cah angon-cah angon sebagai penegasan.
Fungsi regulatoris juga terlihat dalam tembang ini, dalam lirik lagu fungsi
regilatoris biasanya ditandai dengan adanya kata perintah untuk mengendalikan
orang lain. Dalam tembang ini kata perintah dapat dilihat pada kata penekna
blimbing kui, dondomana jlumatana, yo surako. Kata perintah tersebut ditandai
dengan adanya afiks na dan ana dalam penek-na, dondom-ana, jlumat-ana dan
•••
444
afiks yo dalam yo-surako. Penekna blimbing kui lunyu-lunyu penekna
menunjukkan bahwa mengendalikan diri dan hawa nafsu tidaklah mudah,
dibutuhkan usaha keras untuk mengendalikannya.
Tembang Lir-ilir ini mempunyai fungsi informatif yang disertai dengan
ajakan untuk mengikuti perintah-perintah yang terkandung didalamnya. Seperti
terlihat dalam dodotiro-dodotiro kumitir bedah ing pinggir, dondomana
jlumatana, informasi yang terkandung dalam lirik tersebut adalah pakaianmu
terkoyak dibagian pinggir, maka jahitlah benahilah agar terlihat bagus kembali.
Ini menunjukkan arti bahwa manusia yang hidup di dunia diibaratkan seperti
pakaian yang bisa sobek. Tidak ada kesempurnaan dalam kehidupan maka dari itu
selalu perbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat agar kehidupan menjadi
baik dan tenang.
Tembang Lir-ilir mempunyai pertalian antara bait satu ke bait selanjutnya,
dapat dilihat dari makna yang terdapat didalamnya. Bait pertama menunjukkan
kesadaran sebagai landasan dalam hidup, bait selanjutnya menunjukkan sikap
pantang menyerah yakni kesadaran akan kehidupan bahwa hidup tidak mudah
dalam mengendalikan diri dan hawa nafsu maka teruslah berusaha untuk
membersihkan diri. Dalam bait selanjutnya terdapat sikap instropeksi diri bahwa
manusia tidak bisa lepas dari kesalahan yang harus disadari dengan instropeksi
diri apa yang telah dilakukan selama ini, setelah menyadari kesalahan maka
perbaikilah. Dan bait terakhir menunjukkan masih banyaknya kesempatan yang
ada untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat sehingga pada
akhirnya akan mendapatkan kebahagian dalam kehidupan.
Simpulan
Tembang Lir-ilir mempunyai beberapa fungsi di dalamnya, yakni: fungsi
interaksi, fungsi regulatoris, dan fungsi informatif. Selain itu, terdapat juga
metafora sinestetik yang mengalihkan makna pada yang lainnya. Terdapat nilainilai karakter yang bisa diwariskan terhadap generasi-generasi selanjutnya sebagai
hidupnya nilai tradisi masyarakat. Nilai-nilai yang terdapat dalam tembang Lir-ilir
adalah kesadaran sebagai landasaran untuk hidup, usaha pantang menyerah karena
pada dasarnya kenyataan tidak selalu sama dengan harapan, instropeksi diri, dan
menggunakan kesempatan sebaik-baiknya. Tembang Lir-ilir mempunyai pertalian
antara bait satu ke bait selanjutnya, dapat dilihat dari makna yang terdapat
didalamnya. Bait pertama menunjukkan kesadaran sebagai landasan dalam hidup,
bait selanjutnya menunjukkan sikap pantang menyerah yakni kesadaran akan
kehidupan bahwa hidup tidak mudah dalam mengendalikan diri dan hawa nafsu
maka teruslah berusaha untuk membersihkan diri. Dalam bait selanjutnya terdapat
sikap instropeksi diri bahwa manusia tidak bisa lepas dari kesalahan yang harus
disadari dengan instropeksi diri apa yang telah dilakukan selama ini, setelah
menyadari kesalahan maka perbaikilah. Dan bait terakhir menunjukkan masih
banyaknya kesempatan yang ada untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuat sehingga pada akhirnya akan mendapatkan kebahagian dalam
kehidupan.
•••
445
Daftar Pustaka
Djoko Pradopo, Rachmat. Teori pengkajian puisi.Yogya: UGM Press, 2000.
Fananie, Zeenuddin. Telaah sastra. Surakarta: Uns Press. 2001
Farida, Nugrahani. Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa Dalam Rangka
Pembentukan Karakter Bangsa (Kajian Semiotik). Kajian linguistik dan
sastra 24, no. 1 (June 2012)
Fuad Hasan. Apologia: Pidato Pembelaan Socrates yang diabadikan Plato.
Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986.
Hamad, Ibnu. Lebih Dekat dengan Analisis Wacana. 2007: 330. MediaTor 8 no. 2
(Desember 2007): 330-331
Hesti. Kemetaforaan yang terkandung dalam cakepan tembang-tembang jawa.
Magistra no. 72 (Th. XXII. 2010): 78
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005.
Mubah. Jurnal Global dan Strategis Ed. Khusus (Desember 2011)
Sunyoto, Agus. Atlas Walisongo. Lesbumi dan IIMaN, 2017.
Takdir Ilahi, Mohammad. Gagalnya Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-ruzz
Media, 2014
Tilaar, H.A.R. Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan
Nasional. Jakarta: Kompas, 2012.
•••
446
SUKARNO MENGGUGAT
(Membongkar Wacana Kediktatoran Sukarno Pada Masa Demokrasi
Terpimpin Tahun 1959-1966)
Oleh:
Sahru Romadloni1 dan I Wayan Pardi2
Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Jln. Adi
Sucipto No. 26 Banyuwangi, e-mail: doni.ideas90@gmail.com
Penulisan artikel ini bertujuan untuk membongkar wacana dominan yang
menyatakan bahwa pemerintahan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 19591966 ditetapkan dan dijalankan secara diktator dan otoriter. Munculnya wacana tersebut
disebabkan oleh beberapa kebijakan Sukarno yang dinilai secara sepihak bertentangan
dengan Pancasila, hukum dan asas demokrasi, seperti 1) Mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang meliputi pembubaran konstituante, berlakunya kembali UUD 1945, dan
tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950, 2) Pembubaran DPR hasil
pemilu 1955, 3) Kebijakan Ganyang Malaysia, dan 4) Pengangkatannya sebagai Presiden
Seumur Hidup. Sementara itu, metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah
metode penulisan sejarah. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa sistem dan kebijakan
politik pada masa demokrasi terpimpin lahir setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit
tersebut didukung oleh kalangan militer dan seluruh rakyak Indonesia, kemudian juga
dibenarkan oleh Mahkamah Agung serta berdasarkan kepada Pancasila, UUD 1945 dan
aspek hukum yang kuat. Selain itu, Presiden Soekarno menjalankan sistem Demokrasi
Terpimpin sebagai langkah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta melalui
Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno juga berhasil menyelamatkan bangsa dan negara,
menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945 dari segala macam gangguan di berbagai
bidang, yaitu ideologi dan politik, konstitusi serta ekonomi.
Kata Kunci: Sukarno, Wacana Diktator dan Demokrasi Terpimpin
PENDAHULUAN
Pelaksananaan Demokrasi Terpimpin mengedepankan musyawarah
mufakat dalam penyelesaian setiap masalah, artinya semua pendapat benar-benar
dipertimbangkan secara cermat, sehingga suara minoritas tetap diperhatikan tanpa
harus ada unsur pemaksaan (Legge, 1985:325). Konsep yang tegas tentang
persatuan pada masa Demokrasi Terpimpin menjadikan Presiden Sukarno sebagai
pusat kontrol dan memiliki otoritas dalam menetukan kebijakan-bijakan politik
ternyata mengundang banyak anggapan Demokrasi Terpimpin dibawah
kepemimpinan Presiden Sukarno adalah pemerintahan diktator dan otoriter.
Pemahaman tersebut tidak sepehunya dapat diterima dengan pandangan sempit
sebelum mengungkap aspek-aspek lain yang terkandung dalam Demokrasi
Terpimpin.
Jiwa jaman pada setiap peristiwa sejarah tidak boleh diabaikan, sebab
apakah Presiden Sukarno yang melahirkan situasi politik atau justru situasi politik
Indonesia pada masa itu yang membentuk perasaan, pikiran, tindakan dan
kebijakan politik Presiden Sukarno. Pertanyaan tersebut sangat penting untuk
menjawab, apakah Presiden Sukarno tokoh yang melahirkan sistem Demokrasi
Terpimpin kemudian dianggap diktator dan otoriter, atau justru keadaan (situasi
•••
447
dan kondisi politik) yang memaksa dijalankan ketegasan kontrol melalui
Demokrasi Terpimpin untuk menjaga integrasi bangsa akibatbermunculan
gerakan-gerakan separatis dibeberapa daerah danperbedaan ideologi maupun
persaingan politik.
Tujuan mendasar dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin adalah mencapai
stabilitas politik dan menjaga keutuhan NKRI. Aspek lain dari gagasan
Demokrasi Terpimpin adalah sebuah cita-cita revolusi Indonesia menuju
sosialisme Indonesia, namun setelah Demokrasi Terpimpin berakhir, mulai
bermunculan buku, artikel, bahkan media massa yang menyatakan Demokrasi
Terpimpin dibawah Kepemimpian Presiden Sukarno sebagai rezim diktator dan
otoriter, sedangkan aspek revolusioner dari Demokrasi Terpimpin tidak pernah
tersampaikan dengan utuh, bahkan sengaja dihilangkan dalam pelajaran disekolah
dan perkuliahan serta pembaca sejarah (Soyomukti, 2008:145)
Ruang lingkup spasial dalam penelitian ini yaitu Indonesia. Ruang lingkup
temporal dalam penelitian ini dimulai sejak tahun 1959 sampai tahun 1966. Fokus
permasalahan dalam tulisan ini adalah membongkar wacana kediktatoran Sukarno
pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1966.
METODE PENELITIAN
Metode penulisan yang digunakan adalah metode sejarah yang terdiri dari
atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Penulis menggunakan
pendekatan politikologis menyoroti kekuasaan sejenis kepemimpinan, hieraki
sosioal, petentangan kekuasaan dan lain sebagaianya (Kartodirdjo, 1992:4). Selain
menggunakan pendekatan, penulis juga menggunakan teori Dekonstruksi atau
”De-construct” adalah pembongkaran dalam arti dan tujuan membongkar kembali
suatu teori yang dianggap kurang benar atau kurang tepat, maupun kurang relevan
dan bahkan tidak relevan lagi dengan jamannya (Wirawan, 2012: 284).
Tujuan dilakukan usaha membongkar agar dapat mencari dan
menunjukkan asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika, dan ”titik-titik gelap”
dalam teks. Dekonstruksi berarti positif karena membongkar dan
menjungkirbalikkan makna teks tapi bukan dengan tujuan mebongkar saja, akan
tetapi membangun teks atau wacana baru dengan makna baru yang berbeda
dengan teks yang didekonstruksi (Lubis, 2014: 34). Menurut Wirawan (2012:
285), Derrida tidak menolak makna sebagai makna, tetapi menolak prioritas,
dominasi, klaim yang menyebabkan adanya makna ideal, struktur yang
menyebabkan adanya makna ideal inilah yang ingin dibongkar, sebab setiap
pemberian prioritas sama dengan penindasan (dominasi) oleh yang satu terhadap
yang lain.
HASIL
1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Kondisi Negara Indonesia yang tidak stabil pada masa demokrasi
parlementer menimbulkan sering terjadi pergantian Kabinet, pertentangan dari
banyak kalangan yang melakukan pemberontakan diberbagai daerah,
pemberontakan-pemberontakan tersebut antara lain DI/TII, Dewan Banteng,
Dewan Garuda, Dewan Gajah, Daud Bureuh, PRRI Permesta, Kahar Muzakkar.
Pemberontakan tersebut merupakan suatu tindakan ketidakpuasan daerah terhadap
•••
448
pemerintah pusat, sedangkan keinginan lain adalah untuk mengganti ideologi
Pancasila. Kalangan militer menggap kondisi tersebut dapat mengacam kesatuan
bangsa, tanggal 17 Desember 1957 status keadaan bahaya ditingkatkan menjadi
keadaan darurat perang. Peningkatan stastus ini disambut oleh kalangan militer
sebagai langkah tegas menanggulangi pemberontakan-pemberontakan didaerah.
Faktor kuat lainnya dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 akibat kegagalan
Konstituate merumuskan Undang-Undang Dasar semakin membuat kondisi
politik tidak stabil. Tanggal 22 April 1959 Presiden Sukarno berpidato didepan
sidang Konstituante dan atas nama pemerintah menganjurkan agar dalam rangka
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, Konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi
UUD Republik Indonesia yang tetap (Kartodirdjo, 1972:102), namun usulan itu
menimbulkan pro dan kontra dikalangan anggota Konstituante, tindak lanjut dari
usulan tersebut kemudian dilakukan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh
anggota Konstituante.
Pemungutan suara tidak dapat terlaksana akibat jumlah anggota
Konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai angka 2/3 dari
jumlah keseluruhan anggota, sesuai dengan pasal 137 dalam UUDS 1950. Situasi
tersebut diikuti penolakan sebagian besar anggota Konstituante untuk menghadiri
kembali sidang, sehingga pada tanggal 3 Juli 1959 penguasa perang pusat
mengeluarkan sebuahlarangan kegiatan politik dengan peraturan Nomor
PRT/PEPERPU/040/159.
Kemacetan politik ini akhirnya mendorong Presiden Sukarno mengambil
keputusan mengeluarkan dekrit Presiden, namun sebelum mengeluarkan Dekrit
Presiden tanggal 4 Juli 1959 Presiden Sukarno terlebih dahulu mengadakan
pembicaraan untuk mencari jalan keluar, pembicaraan tersebut dilakukan dengan
Perdana Menteri Djuanda, Wakil Ketua Dewan Nasional Roslan Abdoelgani,
KASAD A. H. Nasution, Menteri Negara Moh. Yamin, Ketua Mahkamah Agung
Mr. Wiryono dan Direktur Kabinet Presiden Mr. Tamzil. Pertemuan ini
menghasilkan keputusan bahwa dekrit yang menetapkan berlakunya UUD 1945
akan diumumkan pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00, dalam suatu
upacara resmi di Istana Merdeka, Subtansi dari Dekrit adalah pembubaran
konstituante, kembali ke UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang
Dasar Sementara 1950. Dekrit Presiden juga memberikan keterangan tentang
pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan pembentukan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara, yang akan diselenggarakan dalam waktu
sesingkat-singkatnya (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:283).
Dekrit 5 Juli 1959 dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk mencari jalan
keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat
(Budiarjo, 2003: 71). Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit sebagai langkah
untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan merupakan tonggak sejarah
Indonesia karena telah berhasil menyelamatkan bangsa dan negara,
menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945 dari segala macam gangguan di
berbagai bidang, yaitu ideologi dan politik, konstitusi dan hukum, ekonomi, sosial
dan budaya, moral serta agama.Dekrit yang dilaksanakan oleh Presiden Sukarno
pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik
Indonesia karena menantikan stabilitas politik. Kekuatan dekrit tersebut bukan
•••
449
hanya berasal dari sambutan yang hangat rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam
dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti
Mahkamah Agung (MA) dan Kepala Satuan Angkatan Darat (KSAD).
2. Pembubaran DPR hasil pemilu 1955
Selama Demokrasi Terpimpin diterapkan, beberapa lembaga pemerintahan
telah dibentuk sebagai alat kelengkapan Negara, masa awal pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955
masih diperkenankan menjalankan tugasnya sebelum dibentuk Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Seiring waktu berjalan, DPR hasil pemilu
1955 tidak selamanya sejalan dengan Demokrasi Terpimpin sehingga dibubarkan
dengan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960 dan tanggal 24 Juni 1960 melalui
Penetapan Presiden No. 4 dibentuk DPR-GR.
Perselisihan antara Pemerintah dengan DPR hasil pemilu 1955 menurut
Budiardjo (2003:192) terkait Penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, usulan sebesar 44 Miliyar yang semula diajukan Pemerintah
hanya disetujui sekitar 36 Miliyar sampai 38 Miliyar. Faktor perselisihan tersebut
merupakan permasalahan yang muncul dipermukaan, apabila diamati kembali
komposisi DPR hasil pemilu 1955 ternyata terdapat beberapa anggota Partai yang
tidak sepakat saat penerapan sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapakan oleh
Presiden Sukarno, sehingga permasalahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang menjadi perselisihan merupakan tindakan politis bahkan
ingin menjatuh pemerintah.
Setelah terjadi penolakan oleh DPR hasil pemilu 1955 terhadap anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dianggap dapat menghambat jalannya
revolusi maka dilakukan retooling total, langkah yang dilakukan Presiden
Sukarno tersebut sebenarnya tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945
secara jelas, sehingga oleh sebagai pendapata dianggap sebagai suatu tindakan
diktator dan otoriter Presiden Sukarno karena melanggar Undang-Undang.
Tindakan Presiden Sukarno ternyata tidak sepenuhnya melanggar UndangUndang, bahkan tindakan tersebut mendapat perlindungan Hukum. Menurut
Abdulgani (1964:114) berdasarkan kenyataan, telah terjadi machtsverschuiving
kearah Presiden maka Presiden Sukarno dapat membubarkan DPR dan Partai
Politik bahkan dapat langsung membentuk DPR baru. Landasan Hukum yang
paling kuat adalah saat pembubaran DPR hasil pemilu 1955 Indonesia sedang
dalam keadaan darurat perang seperti saat terjadi pembubaran Kontituante dan
pelaksanaan Dekrit 5 Juli 1959. Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah DPR
hasil pemilu 1955 merupakan DPR yang terbentuk saat diterapkan UUDS 1950
bukan UUD 1945.
3. Kebijakan Politik Ganyang Malaysia
Arah kebijakan politik luar negeri Indonesia tercermin dari keputusan
Dewan Pertimbangan Agung tentang perincian pedoman pelaksanaan Manifesto
Politik No. 2/Kpts/Sd/I/61. Sikap politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif
anti imprialisme dan kolonialisme, kebijakan politik luar negeri tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembukaan “Bahwa
sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
•••
450
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri-keadilan”.
Kemerdekaan adalah hak setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia dan
bangsa lain didunia, penjajahan didunia harus dihapuskan, lantas mengapa
Indonesia menerapkan kebijakan politik Gayang Malaysia dan ikut campur urusan
dalam negeri Negara lain bahkan terkesan akan melakukan imprealisme dan
kolonialisme terhadap Malaysia.
Permasalahan muncul pada saat tahun 1961 lahir rencana pembentukan
Negara Federasi Malaysia, pembentukan Negara tersebut direncanakan terdri dari
persekutuan tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunai, dan Sabah. Gagasan
tersebut mengundang pertentangan di Indonesia karena dianggap proyek
neokolonialisme Inggris, sebaliknya Presiden Sukarno memberikan simpati terkait
rencana pendirian Negara Kesatuan Kalimantan Utara yang diproklamasikan di
Manila oleh A.M. Azhari. Indonsia dan Filipina menentang pembentukan Negara
Federasi Malaysia karena menurut Filipina secara Historis dan Yuridis Sabah
adalah milik Sutan Sulu yang disewakan kepada Inggris.
Langkah diplomasi dilaksanakan melalui pertemuan kenegaraaan oleh
Presiden Sukarno dan Perdana Mentri Abdul Rachman dari perserikatan Tanah
Melayu di Tokyo tanggal 31 Mei sampai tanggal 1 Juni 1963 dan berhasil
membuat situasi ketegangan semakin reda untuk sementara waktu (sekneg
1985:243). Serangkaian pertemuan lain dilaksanakan pada tanggal 7-11 Juni 1963
yang diadakan di Manila, sementara tanggal 9 Juni 1963 perdana menteri Tengku
Abdul Racahman di London menandatangani dokumen persetujuan dengan
pemerintah Inggris mengenai pembentukan Negara Federasi Malaysia tanggal 31
Agustus 1963, timbulnya dugaan bahwa Federasi Malaysia adalah proyek dari
Inggris semakin kuat, kenyataan bahwa setelah konfrontasi dimulai dari
konfrontasi politik begeser ke konfrontasi fisik justru dipertahankan oleh pasukan
miiter Malaysia yang terdiri dari tentara Inggris.
Tindakan dari pihak Inggris menimbulkan ketegangan baru, terbukti hasil
KTT Nonblok ke-3 pada bulan Juli-Agustus 1963 di Manila menghasilkan sebuah
dokumen yang salah satunya mengenai pembentukan Negara Federasi Malaysia
memberikan sebuah pernyataan meminta sekjen PBB menyelidiki keinginan
rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam Negara Federasi
Malaysia. Federasi Malaysia dinyatakan berdiri pada tanggal 16 September 1963
dengan naskah penggabungan 4 negara bagian, kondisi tersebut mengundang
protes keras dari pihak Indonesia pada tanggal 17 September 1963 kemudian
Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Keputusan tersebut bukan tanpa alasan, Presiden Sukarno menyampaikan
bahwa keputusan sepihak lebih awal dilakukan oleh Inggris, sebab proses
pengambilan keputusan rakyat masih belum bulat untuk membentuk Negara
Federai Malaysia termasuk rakyat di Kalimantan Utara, bahkan Inggris tidak
menunggu hasil penentuan yang dikerjakan oleh PBB. Kondisi tersebut ditentang
keras oleh Presiden Sukarno dengan dugaan hanya mengandung unsur ingin
menguasai atas sumber daya alam dan kontrol terhadap Federasi Malaysia. Situasi
pertentangan Indonesia dengan Malaysia semakin menunjukkan ketegangan
setelah PBB tidak lagi mampu memecahkan masalah akibat tindakan duta besar
•••
451
H. Jones menolak untuk melakukan peninjauan ulang terkait status Malaysia,
puncaknya berujung Malaysia akan dinyatakan sebagai anggota PBB.
Akibat pertentangan tersebut, maka Indoensia bersikap membentuk
Komando Gayang Malaysia (Kogam) yang bertujuan menggagalkan pembentukan
Negara boneka di Malaysia dengan semboyan “Ganyang Malaysia” kemudian
dibentuk Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang dipimpin oleh Omar Dani.
Presiden Sukarno juga menilai apabila Malaysia menjadi anggota PBB maka
semakin memperkuat posisi Malaysia karena telah diakui oleh negara-negara lain.
Lebih parah lagi ternyata Malaysia benar-benar didaulat sebagai anggota dewan
keamanan PBB dengan menghindari pemungutan suara atas masuknya Malaysia
sebagai anggota PBB. Akibatnya Indonesia memutuskan keluar dari keanggotaan
PBB karena dianggap majelis terhormat PBB telah ternoda akibat pelanggaran
terhadap kode etik, menurut pendapat Presiden Sukarno:
“...sampailah disaat pemilihan Malaysia masuk Dewan Keamanan jang
menodai Madjelis jang sutji itu. Pasal 23 menjatakan, bahwa kedudukan
anggota-tidak-tetap ditentukan oleh pentingnja suatu negara jang
ditjalonkan dan jasa jang telah dibuktikannja dalam memlihara keamanan
dan perdamaian didunia. Djasa apa jang telah diberikan oleh negara jang
diragukan orang dan jang umurnja baru satu tahun itu? Penolakan jang
dilakukan oleh dua dari tiga negara penanda-tangan perdjanjian Manila
terhadap kelahiran negara itu sendiri sudah menimbulkan ketidaktenteraman di Asia Tenggara. Bagaimana kami bisa mempertjajakan
keamanan dari daerah kami kepada Dewan, dimana duduk suatu Negara
jang ditjiptakan setjara paksa oleh kekuatan-kekuatan Kolonial, dari
kekuatan mana kami telah membebaskan diri?” (Adams, 1966:451)
Demikian alasan kuat Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia
tidak semata-mata melakukan “Ganyang Malaysia” melainkan untuk melawan
konspirasi pihak imprialisme dan kolonialisme terhadap negara-negara yang
memiliki hak atas kemerdekaannya sendiri.
4. Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup
Tuduhan lain terhadap Presiden Sukarno diktator dan otoriter akibat
Sukarno diangkat menjadi presiden seumur hidup, padahal istilah kata diangkat
mengandung makna bahwa sebenarnya Presiden Sukarno diusulkan, dinobatkan
bahkan ditetapkan, bukan mengangkat dirinya sendiri sebagai Presiden seumur
hidup. Kondisi politik Indonesia memang menuntut Sukarano agar diangkat
menjadi Presiden seumur hidup.
Kekuatan politik merupakan aspek penggerak dari demokrasi terpimpin,
selama pelaksanaan demokrasi terpimpin terdapat tiga unsur kekuatan politik yang
mendominasi, ketiga kekuatan politik tersebut adalah militer (Angkatan Darat),
PKI dan Presiden Sukarno sebagai pusat kekuataan ((Feith, 1995:31), PKI
merupakan partai politik yang kuat, saat pelaksaan Pemilu 1955 di Jawa, PKI
mampu memperoleh 27% suara. Antara tahun 1959-1962 PKI dengan bebas
melakukan kongres dan konfrensi, memobilisasi massa secara intens, sehingga
dalam waktu yang singkat PKI mengklaim anggotanya telah mencapai 11 juta.
•••
452
Menguatnya PKI tidak lepas dari pembubaran Partai Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960. Pembubaran kedua
partai ini terkait dengan keterlibatan beberapa tokoh partai tersebut dalam
pemberontakan PRRI-Permesta, seperti Mohammad Natsir, Soemitro
Dojohadikoesoemo, Burhanudin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Dalam
peristiwa PRRI-Permesta ini, AS melalui CIA ikut serta menyokong dengan
harapan dapat menggulingkan kekuasaan Sukarno. Keterlibatan CIA dalam PRRIPermesta terbukti saat ALRI berhasil menembak jatuh pesawat pembom yang
dikemudikan Allen Pope, seorang warga negara AS di Teluk Ambon pada 18 Mei
1958. peristiwa ini tidak saja mengejutkan publik AS, tetapi juga masyarakat
internasional. Apalagi Allen Pope mengaku bekerja untuk CIA dalam rangka
memasok keperluan obat-obatan untuk kaum pemberontak PRRI-Permesta.
(Sulastomo, 2006:13-14).
Melihat kekuatan PKI yang tumbuh pesat menjadi partai komunis yang
terbesar di dunia setelah Soviet dan Tiongkok, maka pihak-pihak yang khawatir
jika pemilu digelar, PKI akan menang mutlak dan otomatis presidennya juga dari
berasal dari PKI. Strategi pihak Angkatan Darat melalui Jenderal A.H. Nasution
dengan mengajak Suwiryo (ketua PNI saat itu) mengusulkan agar Sukarno
diangkat menjadi Presiden seumur hidup, sehingga tidak perlu dilakukan pemilu,
dengan demikian tertutup kesempatan bagi orang PKI menjadi presiden, (Taher,
2010:47).
Pengangkatan Sukarno sebagai Persiden seumur hidup sebenarnya
mengandung unsur persatuan, mengingat akan terjadi perpecahan dan perang
saudara akibat saling memperebutkan kekuasaan, Presiden Sukarno juga sempat
ragu dan tidak mengharapkan dirinya diangkat sebagai Presiden seumur hidup,
bahkan Sukarno meminta kelak dikemudian hari harus diadakan peninjauan
kembali terhadap statusnya sebagai Presiden seumur hidup.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan, maka dapat diperoleh
beberapa kesimpulan yang sekaligus menjawab permasalahan dalam penelitian
ini. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang keluarkan oleh Presiden Sukarno merupakan
keputusan yang sah dan bukan sebuah kebijikan yang otoriter serta tindakan
diktator. Dekrit tersebut didukung oleh kalangan militer dan seluruh rakyak
Indonesia, kemudian juga dibenarkan oleh Mahkamah Agung serta berdasarkan
kepada Pancasila, UUD 1945 dan aspek hukum yang kuat.
Kebijakan Presiden Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 adalah
sebuah keputusan yang tepat sebab Indonesia sedang dalam keadaan darurat
perang seperti saat terjadi pembubaran Kontituante dan pelaksanaan Dekrit 5 Juli
1959, apalagi DPR hasil pemilu 1955 merupakan DPR yang terbentuk saat
diterapkan UUDS 1950 bukan UUD 1945.
Konfrontasi terhadap Malaysia melalui semboyan Gayang Malaysia tidak
semata-mata mengarah kepada ambisi pribadi Presiden Sukarno melainkan untuk
melawan konspirasi pihak Imprialisme dan Kolonialisme terhadap negara-negara
yang memiliki hak atas kemerdekaan.
•••
453
Status Sukarno sebagai Presiden seumur hidup bukan kehendak atau atas
permintaan pribadi Sukarno, melainkan atas permintaan dan persetujuan dari
pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik, bahkan Sukarno dengan tegas
menolak permintaan tersebut, namun karena sifat Sukarno yang gandrung dan
konsisten akan persatuan Indonesia akhirnya menerima dengan catatan suatu saat
harus dilakukan peninjauan kembali terhadap statusnya sebagai Presiden seumur
hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, R. 1964. Hukum Dalam Revolusi Dan Revolusi Dalam Hukum\.
Djakarta: Prapantja
Adams, C. 2011. Bung KarnoPenyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Penerjemaholeh Syamsu Hadi. Jakarta: Yayasan Bung Karno
Budiardjo, M. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Feith, H. 1995. Soekarno Dan Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Kartodirjo, S. 1972. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan
Legge, J. D. 1985. Sukarno: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan
Lubis, Ahyar Yusuf. 2014.Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali
Pres
Poesponegoro , M. D. Dan Notosusanto, N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia
VI.Jakarta: Balai Pustaka
Sekretariat Negara R.I. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Citra
Lamtoro Gung Persada
Soyomukti, N. 2008. Soekarno & Nasakom: Menguak Sejarah Sang Pencetus
Nasakom. Jogjakarta: Garasi
Sulastomo,2006. Di Balik Tragedi 1965. Jakarta: Yayasan Pustaka Ummat
Wirawan, I.B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial,
Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial). Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group
•••
454
SIGER SEBAGAI HISTORIOGRAFI KEBUDAYAAN LAMPUNG DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Hanriki Dongoran, Akhmad Arif Musadad,dan Dyah Sulistyaningrum Indrawati
FKIP Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
hanrikidongoran@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini menitikberatkan adanya kohesi antara nilai-nilai filosofis Siger dengan
pendidikan karakter, Siger merupakan mahkota pengantin wanita, dan kebudayaan
materiil historis masyarakat Lampung serta dijadikan simbol identitas budaya masyarkat
Lampung yang memiliki konstruksi sosial-budaya dengan wacana simbolik Siger
terhadap masyarakat Lampung dan generasi penerus. Metode penelitian yang digunakan
dalam tulisan ini adalah kualitatif dan sumber data studi pustaka (literature review) untuk
pengumpulan data. Adapun data yang didapat dalam penelitian ini melewati prosedur
analisis data yang terjadi secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi. Data yang dihasilkan dalam penelitian ini
menunjukkan keterkaitan antara nilai-nilai filosofis siger yang merupakan warisan
kebudayaan Lampung koheren sebagai modal penguatan pendidikan karakter yang
menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan dan budi pekerti..
Kata kunci:Identitas, Pendidikan Karakter, Siger, Simbol
PENDAHULUAN
Heterogenitas pada masyarakat Lampung bukan saja dikarenakan adanya
masyarakat lokal dan masyarakat pendatang, ulun lappung (masyarakat etnis
Lampung) yang merupakan suku masyarakat lokal pun terbagi yakni subsuku/etnis Lampung Saibatin dan Lampung Pepadun. pada dasarnya , suatu
komunitas masyarakat dapat diidentifikasi melalui kebudayaan lokalnya, yang
merujuk pada dalil-dalil tentang eksistensi komunitas tersebut, termasuk ciri
khusus yang digunakan untuk membedakan komunitas yang satu dengan yang
lainnya.
Ke-budaya-an dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan
akal. kebudayaan secara konsep hematnya [1] dijelaskan bahwa kebudayaan
berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan-nya
dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Sedimikian
luasnya ruang-lingkup kebudayaan, sehingga seolah-olah konsep kudadayaan itu
sendiri tak dapat di batasi atau didefinisikan.
Mempertegas penjelasan diatas dengan merumuskan ide pokok tentang
kebudayaan merujuk pada Kroeber, A.L., dan Kluckkhohn,C dalam [2] sebagai
berikut: Kebudayaan terdiri dari pola-pola yang tersurat dan tersirat, dari dan
untuk kelaukuan yang diperoleh dan diteruskan oleh simbol-simbol, yang terdiri
dari unsur-unsur prestasi kelompok-kelompok manusia yang penting, termasuk
perwujudannya berupa benda-benda; inti pokok kebudayaan terdiri dari ide-ide
dan terutama nilai-nilai tradisional didalamnya (yaitu yang diperoleh dan diseleksi
secara historis); sistem-sistem kebudayaan dapat, di satu pihak dianggap sebagai
produk tingkah laku, dan lain pihak sebagai unsur-unsur yang membentuk tingkah
•••
455
laku. Tentang bagaimana kebudayaan dilihat dari wujudnya yang dikemukakan
paling sedikit terdapat tiga wujud, yakni:
1. Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat,
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[1]
Rangkaian pemaparan singkat berdasarkan wujud kebudayaan diatas diartikulasikan dalam wujud kebudayaan Lampung yang dapat dimengerti yakni:
piil pesenggiri sebagai gagasan kebudayaaan ideel bersifat abstrak, esensinya
terdapat dalam alam pikiran dari warga masyarakat Lampung (adat Saibatin dan
Pepadun), piil pesenggiri dicerminkan sebagai watak masyarakat Lampung.
[3]Sesungguhnya, inti piil pesenggiri merujuk pada harga diri atau kehormatan
ulun Lampung yang terdiri atas dignity (pesenggiri), keramahtamahan (nemui
nyimah), nama besar (juluk adok), kemampuan berbaur dengan semua (nengah
nyappor), dan gotong royong (sakai sambayan). Kelima unsur tersebut
merupakan nilai yang melingkupi hampir semua aspek kehidupan ulun Lampung
dari ritual kelahiran hingga kematian.; masyarakat adat Lampung merupakan
masyarakat adat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah (patrilineal),
klen kecil (buay) yang anggota-anggotanya terdiri dari para individu yang berada
dalam pertalian darah atau pertalian adat (mewari), hubungan ke-buay-an ini
ditandai adanya hubungan teritorial dan genealogis serta perkawinan menurut
sistem ngejuk ngakuk (ambil-beri) yang bersifat patrilokal. suatu buay biasanya
terikat pada satu rumah asal, masih terdapat tanah menyanak (hak pakai kerabat)
dalam desa penduduk asli "tanah kerabat yang belum/tidak terbagi-bagi dalam hal
ini hak pakai dan hak memanfaatkan saja". adat peminggir(saibatin) dikenal
bentuk perkawinan jujur (patrilokal) dan semanda (matrilokal) atau jika sang ayah
tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka dari keturunannya yang perempuan
mengambil suami/ sang menantu laki-laki tersebut menggantikan kedudukan sang
ayah sebagai kepala rumah tangga.; Siger merupakan mahkota yang dikenakan
mempelai wanita, dikenakan pula oleh para gadis penari acara adat dan waktu
menyambut para tamu agung. Kebudayaan materiil dari pelbagai acara adat
kebudayaan Lampung sebagai simbol identitas eksistensi masyarakat Lampung
(masyarakat lokal maupun pendatang).
Eksistensi peradaban Lampung tentunya didasari adanya keadaran akan
sejarah melalui sumber sejarah, siger ialah artefak arkeologis yang yang
merepresentasikan masyarakat Lampung sudah tentu memiliki fakta historis
mengenai masyarakat Lampung itu sendiri dan korelasinya sebagai historiografi
dengan sentuhan cipta,karsa dan rasa yang mungkin akan terlihat etnosentris,
akan tetapi siger sebagai historiografi disini ialah kajian identitas historis
kebudayaan Lampung teruntuk penguatan pendidikan karakter melalui nilai-nilai
yang terkandung dalam siger itu sendiri.
Kebudayaan materiil yang terdapat dalam siger hakikatnya merupakan
makhota kebesaran mempelai wanita Lampung, direpresentasikan melalui simbol
yang kontekstual sifatnya digunakan sebagai atribut identitas masyarakat
Lampung yang heterogen dan warisan kebudayaan Lampung yang memiliki nilai•••
456
niai luhur terhadap generasi penerus bagi pembinaan sosial-budaya yang
konstriktif dalam rangka menjawab tantangan pembangunan. Pelibatan Wali Kota
Bandar Lampung Herman H.N mengeluarkan surat edaran tentangSiger Lampung.
Surat bernomor 503/618/IV.39/2016 tersebut diterbitkan tanggal 18 Mei
lalu.Dilansir akun facebook Diskominfo Bandar Lampung, Senin,30/5/2016, isi
surat tersebut adalah kewajiban pemilik seluruh bangunan ruko, rumah makan,
kantor dan Bank untuk memasang ornamen siger, sebagai mahkota pelambang
keagungan adat budaya Lampung. Selain itu, seluruh sanggar dalam setiap
penampilan kesenian juga diimbau menggunakan bentuk siger sesuai
ketentuan.(Jafar, May 30, 2016). Dengan demikian ada penekanan bagi saya
sebagai peneliti bila menyatakan adanya konstruksi sosial-budaya dengan wacana
simbolik Siger terhadap masyarakat Lampung dan generasi penerus.
Dalam Upaya pelestariannya kebudayaan Lampung khusunya siger
sebagai simbol identitas kebudayaan Lampung mendapat perhatian lebih dari
masyarakat Lampung khususnya sehingga beberapa peneliti merepresentasikan
siger sebagai: Message Platform Atribut Siger Lampung Di Dalam Kebhinekaan
Multikultur.[4].; Pelestarian Budaya Piil Pesenggiri Dalam Masyarakat
Multikultural Lampung Serta Pengaruh Globalisasi Ditinjau Dari Aspek
Pendidikan Kewarganegaraan.[5].; Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi
Identitas Ulun Lampung. [3].; Siger Sebagai Wujud Seni Budaya Pada
Masyarakat Multietnik di Provinsi Lampung. [6]. Dalam penelitian yang beberapa
artikel peneliti ditemukan bentuk bahwa Identitas pola tingkah laku mayarakat
Lampung diasosiakan dalam simbol siger dengan dalil-dalil kebudayaan yang
tentang baik-buruk, yaitu nilai-nilai filosofis yang mendasari kebudayaan
Lampung.
Salah satu sarana pelestarian kebudayaan ialah pendidikan, dimana
pendidikan ialah fondasi utama untuk membangun peradaban bangsa. mengutip
Peter, L. B dalam [7] yang menyebutkan bahwa pembangunan yang dilakukan
secara drastis dengan mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya
masyarakat lokal akan menjadi problem karena kurang mempertimbangkan
dimensi sosial-budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat setempat.
Reaktualisasi kearifan lokal (nilai-nilai filosofis siger) bukan bagian dari
invesi tradisi, melainkan penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan
masyarakat Lampung dengan media interaksi pengantarnya secara simbolik yaitu
siger Lampung. Sejalan dengan program pemerintah melalui Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan
Karakter, dengan pertimbangan sebagai berikut:
a) bahwa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya merupakan negara yang
menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi
pekerti;
b) bahwa dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui
penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab, perlu penguatan
pendidikan karakter;
•••
457
c) bahwa penguatan pendidikan karakter sebagaimana dimaksud dalam huruf
b merupakan tanggung jawab bersama keluarga, satuan pendidikan, dan
masyarakat; dan
d) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang
Penguatan Pendidikan Karakter.
Berdasarkan uraian diatas terdapat ruang dalam sarana pendidikan dengan
Peraturan Presiden diatas untuk mereaktualisasikan nilai-nilai filosofis
sigerdengan penguatan pendidikan karakter yang reprentasinya menjunjung tinggi
akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti. Maka fokus masalah
bagaimanakah kohesi antara nilai-nilai filosofis siger dan pendidikan karakter?
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif dan
sumber data studi pustaka (literature review) untuk pengumpulan data. Adapun
data yang didapat dalam penelitian ini melewati prosedur analisis data yang terjadi
secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan
atau verifikasi. Kajian ini merupakan bersifat naratif untuk mengurai data nilainilai filosofis yang terdapat pada siger dan untuk penegasan kajian ini
menggunakan teori interaksi simbolik, sebagai penguatan teoteris keterkaitan
antara siger sebagai symbol identitas masyarakat Lampung dengan penguatan
pendidikan karakter.
HASIL
Siger merupakan simbol identitas masyarakat Lampung, simbol ini dengan
sendiri meng-komunikasi-kan masyarakat Lampung yang tercirikan dengan
masyarakat lain diluar Lampung dengan adanya interaksi tentunya. Secara fungsi
analisis, penggunan siger yang merupakan mahkota mempelai wanita maupun
gadis penari dan acara adat Lampung. Masyarakat suku Lampung terbagi menjadi
masyarakat sub-suku Saibatin dan Masyarakat sub-suku Pepadun, kaitanya
dengan sigersebagai pengkodean ada sedikit perbedaan, akan tetapi kaitanya siger
sebagai identitas simbolik memiliki makna yang sama.
Penduduk asli atau mayarakat local di provinsi Lampung terdiri dari dua
sub-suku/kelompok besar yang mendiami wilayah dengan topografis yang
berbeda. Daerah dekat pesisir yang topografisnya didominasi oleh pegunungan
yang berbatasan langsung dengan pantai didiami oleh masyarakat adat
Saibatin/Peminggir. Sedangkan daerah dataran rendah mayoritas dihuni Suku
Lampung Pepadun, biasanya dekat dengan sungai (way) besar seperti way
Sekampung, way Seputih, way Pengubuan, way Abung Rarem, way Sungkai, way
Kanan, way Tulang Bawang, way Mesuji, dan way Semangka. Watak, tabiat, dan
intonasi berbicaranya lebih kasar bila dibanding-kan dengan suku Lampung
Saibatin karena tinggal di daerah dataran rendah beriklim panas.
Daerahnya antara lain: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara,
Kalianda, Rajabasa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima,
Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa,
Saibatin, Krui, Ranau (Provinsi Sumatera Selatan), Martapura (Provinsi Sumatera
•••
458
Selatan), Muara Dua (Provinsi Sumatera Selatan), Kayu Agung (Provinsi
Sumatera Selatan), Cikoneng (Provinsi Banten), dan Merpas (Pronsi Bengkulu).
Keterangan Sujadi dalam [6].
Siger dalam dalam masyarakat adat Lampung Saibatin memiliki tujuh
jeruji atau lekuk ini memiliki makna dalam masyarakat adat Lampung Saibatin
memiliki tujuh gelar/adok, yaitu:
1. Suttan/Dalom/Pangeran [Kepaksian/ Marga],
2. Khaja Jukuan/Depati,.
3. Batin,
4. Kadin,
5. Minak,
6. Kimas dan
7. Mas/Itton. Wawancara yang dilakukan dengan MZ Tokoh Adat
Saibatin bergelar adat Khadin Darmawan[6]
Bentuk Sigersaibatinyang lebih melengkung ke belakang menyiratkan
bahwa watak/atau perangai orang Lampung Saibatin lebih halus/lunak
dibandingkan dengan Lampung Pepadun.Hal ini terlihat dari intonasi nada
berbicara suku Lampung Saibatin yang lebih halus dan lembut dibandingkan
dengan suku Lampung Pepadun, warna kuning emas pada Siger merupakan
wujud kebesaran, kemewahan, keagungan, dan berbudi pekerti dari berbudaya
masyarakat Lampung yang harus tetap dijaga kelestariannya walaupun terus
diterpa arus globalisasi dan modernisasi. Gelar-gelar dalam adat saibatin tersebut
hanya dapat disematkan/ digunakan pada orang-orang yang merupakan keturunan
lurus keluarga raja, dengan kata lain yang bukan merupakan keturunan raja tidak
diperkenankan menggunakannya. Hiasan batang/pohon sekala pada masing
masing lekuknya merupakan suatu penanda bahwa ketujuh gelar adat Lampung
Saibatin tersebut berasal dari Kerajaan Sekala Brak yang merupakan asal-usul/
nenek moyang mereka.[6]
Masyarakat adat/suku Lampung Pepadun dibagi menjadi beberapa
subsuku, antara lain: Abung Siwo Mego mendiami daerah: Kota Bumi, Seputih
Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
Megow Pak Tulang Bawang mendiami daerah: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan
Wiralaga. Pubian Telu Suku mendiami daerah adat: Tanjung Karang, Balau, Buku
Jadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedong Tataan, dan Pugung.
Sungkay Way Kanan Buay Lima mendiami daerah adat: Negeri Besar, Ketapang,
Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga,
dan Kasui. Keterangan Sujadi dalam [6].
Siger pepadun memiliki lekuk berjumlah sembilan yang diartikan sebagai
sembilan marga yang membentuk Abung Siwo Mego yang merupakan garis lurus
keturunan Menang Pemuka Baginda (dengan gelar Ratu Dipuncak) raja dari
kerajaan Sekala Brak yang menjadi asalusul suku Lampung, baik Pepadun
maupun Saibatin . dan sembilan lekuk/ruji pada Siger Pepadun melambangkan
sembilan sungai yang mengalir di daerah Lampung yaitu way Sekampung, way
Semangka, way Seputih, way Pengubuan, way Abung Rarem, way Sungkai, way
Kanan, way Tulang Bawang, dan way Mesuji”.PenjelasanSabaruddin dalam [6].
•••
459
Menurut Hadikusuma dalam [5]bahwa salah satu prinsip hidup orang
lampung yaitu berjuluk adok yang berarti suka dengan nama baik dan dengan
gelar yang terhormat. Acara Begawi (acara adat Lampung) untuk memberikan
gelar atau adok kepada masyarakat luar Lampung yang berada atau berdomosili di
Lampung, dengan maksud diberikannya adok atau gelar secara adat kepada orang
yang diluar suku Lampung tersebut dengan harapan dapat menjadi keluarga atau
istilah lain di Lampung-kan (penganggkonan). Adok juga bermaksud agar
menyatunya orang-orang atau masyarakat Lampung dengan harapan memperkikis
adanya suatu konflik di Lampung mengingat Lampung sebagai daerah yang
sangat memiliki ragam adat istiadat, dan budaya (negeri ramik ragom).
Berdasarkan pemaparan diatas diketahui bahwa siger merupakan pelambang-an terhadap gelar atau berjuluk adok. Dalam adat saibatin didapatpatkan
penjelasan bahwa gelar-gelar dalam adat saibatin tersebut hanya dapat dimiliki
atau digunakan pada orang-orang yang merupakan keturunan lurus keluarga raja,
dengan kata lain yang bukan merupakan keturunan raja tidak diperkenankan
menggunakan/memilikinya, sedangkan dalam adat pepadun pemberian gelar atau
adok kepada masyarakat luar Lampung yang berada atau berdomosili di
Lampung. Adapun maksud diberikannya adok atau gelar secara adat kepada orang
yang diluar suku Lampung tersebut dengan harapan dapat menjadi keluarga atau
istilah lain di Lampung-kan (penganggkonan). Merujuk [8] bahwa historiografi
tradisional mempunyai fungsi social untuk memberikan kohesi, antara lain dengan
memperkuat kedudukan dinasti yang menjadi pusat kekuatannya. Dengan
demikian siger yang merupakan wujud kebudayaan materiil Lampung dapat
dikategorikan sebagai historiografi tradisional karna mendeskripsikan kedudukan
dinasti dalam historis sitem social kebudayaaan Lampung.
Nilai-nilai filosofis siger Lampung berdasarakan analisis melalui tinjauan
pustaka ialah warna kuning emas pada siger merupakan wujud kebesaran,
kemewahan,keagungan, dan berbudi pekerti dari berbudaya masyarakat Lampung
yang harus tetap dijaga kelestariannya walaupun terus diterpa arus globalisasi dan
modernisasi; Siger digambarkan sebagai pohon beringin seperti halnya
membangun persatuan dan kesatuan sehingga tidak akan pernah tumbang diterpa
angin/badai; keturunan di dalamnya merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh
dan bahkan rasa senasib sepenanggungan.[6]; dengan di kategorikannya
pemaknaan piil pesenggiri sebagai identitas local [3] maka piil pesenggiri yang
merujuk pada harga diri atau kehormatan ulun Lampung yang terdiri atas dignity
(pesenggiri) merupakan bagian dari nilai-nilai filosofis siger, keramahtamahan
(nemui nyimah), nama besar (juluk adok), kemampuan berbaur dengan semua
(nengah nyappor), dan gotong royong (sakai sambayan).; mengutip Kalidjernih
dalam [5]Masyarakat Lampung, hari ini telah menjadi sebutan Indonesia mini.
Hal ini tentulah menjadi tantangan bagi masyarakat Lampung dalam menjaga
keharmonisan dalam bersosial dan bermasyarakat yang multikultural di
Lampung.Multikultural adalah sebuah pemahaman agar terciptanya suatu bentuk
toleransi dari berbagai kelompok, adat, dan lain-lain, untuk saling menghargai
satu sesama lainnya.
Menurut Sokefeld (1999), identitas menjadi suatu label yang dipakai atau
diberikan untuk mengelompokkan serta membedakan diri (self) dengan yang lain
•••
460
(other).[3]. Salah satu cabang dalam mempelajari maupun menjelaskan teori
sosiologi yang memahami diri sendiri (self) dan dunia luarnya merupakan
interkasi simbolik, adanya interasi individu dengan individu lainynya membuka
ruang untuk memahami satu sama lain. Interkasi antar individu itu melibatkan
suatu pertukaran symbol. Konsep diri (self) kemudian diganti dengan beberapa
symbol ini muncul karena hasil komunikasi, sehingga bias juga konsep diri
diartikan aku, daku, milikku, dan diriku.[9]. Dengan demikian dapat diartikan
bahwa identitas symbol siger Lampung ialah symbol sebagai jati diri masyarakat
Lampung dan tercirikan-nya konsep diri (self) sehingga dapat dibedakan oleh
masyarakat lain.
Merujuk Penetapan Peraturan Presiden Tentang Penguatan Pendidikan
Karakter Bab 1, Pasal 1 yang berbunyi memperkuat karakter peserta didik melalui
harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan
kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian
dari Gerakan Nasional Revolusi Mental dan menegaskan dalam Pasal 2 bahwa
Penguatan Pendidikan Karakter memiliki tujuan:.a. membangun dan membekali
Peserta Didik sebagaigenerasi emas Indonesia Tahun 2045 dengan jiwaPancasila
dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa
depan;b. mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan
pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi
Peserta Didik dengan dukungan pelibatan publik yang dilakukan melalui
pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan
keberagaman budaya Indonesia; dan c. merevitalisasi dan memperkuat potensi
dan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, Peserta Didik, masyarakat, dan
lingkungan keluarga dalam mengimplementasikan PPK.
Dari berbagai uraian diatas dapat di dipaparkan hasil bahwa warisan
budaya Lampung nilai-nilai filosofis siger yang merupakan identitas Lampung
koheren sebagai modal budaya penguatan pendidikan karakter yang reprentasinya
menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti dan
dalam pelaksaannya dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan
karakter terutama meiiputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja
keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungiawab. Hal ini tampak terlihat saat
nilai-nilai filosofis siger pun
SIMPULAN
Melalui pemaparan diatas dapat ditarik simpulan bahwa kebudayaan
Lampung telah memberikan pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk,
kepada masyarakat Lampung dan generasi penerus melalui wacana simbolik siger.
Nilai-nilai yang terdapat dalam filosofis siger yakni: membangun persatuan dan
kesatuandi dalamnya merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh dan bahkan rasa
senasib sepenanggungan; keramahtamahan (nemui nyimah); nama besar (juluk
adok); kemampuan berbaur dengan semua (nengah nyappor); dan gotong royong
(sakai sambayan);toleransi dari berbagai kelompok, adat, dan lain-lain, untuk
saling menghargai satu sesama lainnya. Hal ini mengungkapkan bahwa
•••
461
kebudayaan Lampung menyetujui Pendidikan karakter dan akses terhadap nilainilai tersebut telah menjadi ciri-ciri dari masyarakat Lampung itu sendiri, lewat
pemahamannya mengenai simbolik siger.
Dikarenakan pengkajian secara kajian pustaka dalam tulisan ini masih
merupakan teoretis semata, pemahaman tentang makna simbolik siger tentunya
perlu dikaji secara hermeneutic, upayya ini untuk mendalami secara keseluruhan
bagaimana masyarakat Lampung berinteraksi dengan symbolic siger, dan
pemahaman mendalam masyarakat Lampung tentang nilai-nilai filosofis siger
tersebut, dalam konteks ini pula, maka diperlukan re-interpretasi keindonesiaan.
Kaitannya dengan Pendidikan yakni kompetensi budaya (cultural
competence) sebagai salah satu aspek penting kompetensi guru diperlukan untuk
meningkatkan efektivitas dan kebermaknaan program pendidikan pada berbagai
jenis dan jenjangnya. interaksi antar budaya mengharuskan guru dengan
seperangkat pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk mampu berinteraksi
dengan berbagai latar belakang budaya peserta didik dan komunitasnya.
Penguatan Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama baik sekolah,
lingkungan masyarakat terlebih guru dan keluarga. Penguatan ini dimaksudkan
supaya nilai-nilai luhur bangsa tetap junjung tinggi sebagai identitas kebudayaan
Lampung yang berdasarkan Pancasila.
.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia, 1987.
[2] P. Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia Dan Pancasila, Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress), 1988.
[3] S. Irianto and R. Margaretha, "Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi Identitas Ulun
Lampung," MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, pp. 140-150, 2011.
[4] D. Hidayat, E. Kuswarno and F. Zubair, "Message Platform Atribut Siger Lampung Di Dalam
Kebhinekaan Multikultur," Jurnal Kajian Komunikasi, pp. 91-101, 2017.
[5] E. Siswanto, A. Riyanto and P. Bestari, "Pelestarian Budaya Piil Pesenggiri Dalam Masyarakat
Multikultural Lampung Serta Pengaruh Globalisasi Ditinjau Dari Aspek Pendidikan
Kewarganegaraan," Civicus, pp. 140-160, 2014.
[6] D. Ciciria, "Siger Sebagai Wujud Seni Budaya Pada Masyarakat Multietnik Di Provinsi
Lampung," Panggung, pp. 190-199, 2015.
[7] A. Nasruddin, Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilimiah Berbasis
Multikulturalisme, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2008.
[8] S. Kartodirdjo, Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Yogyakarta: Ombak,
2014.
[9] N. Ulfatin, Metode Penelitian Kualitatif Di Bidang Pendidikan, Malang: Media Nusa Creative,
2015.
•••
462
INTEGRASI NILAI-NILAI DHARMA GITA
DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH SEBAGAI STRATEGI
MENCIPTAKAN HARMONI SOSIAL PADA SISWA SMA
I Putu Adi Saputra1, Sariyatun2, Akhmad Arif Musadad3
1
Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
2
Dosen Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
3
Dosen Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Email: adisaputra053@gmail.com, sariyatun@staff.uns.ac.id,
akhmadarifmusadad@staff.uns.ac.id
Abstrak
Keberagaman ras, suku bangsa, agama, dan budayanya menjadikan suatu
identitas tersendiri bagi bangsa Indonesia. Local genius yang bercorak
kenusantaraan menjadikan lokalitas sebagai akar dari sejarah nasional.
Masyarakat Bali memiliki Dharma Gita sebagai salah satu kekuatan lokalitasnya.
Dharma Gita merupakan seni sastra masyarakat Bali dalam menyampaikan cerita
dengan menyanyikannya melalui olah vokal (kidung atau kekawin) yang berisi
berbagai nilai kehidupan melalui tokoh-tokoh dan dialog-dialognya. Dharma Gita
dalam perkembangannya di masyarakat Bali dikenal dengan nama mebebasan.
Dharma Gita yang merupakan local genius di Bali dengan tradisi mebebasan
menawarkan upaya untuk menciptakan harmoni sosial untuk para generasi
penerus bangsa. Menciptakan harmoni sosial merupakan sesuatu hal yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat Bali, melihat corak masyarakatnya yang
beragam. Begitupun prakteknya dalam interaksi para siswa di sekolah, guru harus
menjadikan pembelajaran sejarah sebagai resolusi dalam meminimalisir konflik
yang disebabkan oleh keberagaman. Integrasi nilai-nilai Dharma Gita dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sejarah diharapkan mampu
menciptakan harmoni sosial dalam setiap interaksi para siswa. Selain itu, Dharma
Gita yang merupakan local genius di Bali perlu diinternalisasikan pada
pembelajaran sejarah agar mampu menumbuhkan kembangkan pola pikir saling
menghargai dan sikap toleransi sebagai strategi menciptakan harmoni sosial siswa
SMA.
Kata Kunci: Dharma Gita, Harmonisasi Sosial, Pembelajaran Sejarah.
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya, dengan keanekaragaman suku
bangsa dan budaya. Bahkan Indonesia sebetulnya tidak hanya sebagai „seribu
pulau‟ melainkan Negara „seribu budaya‟. Dimana di dalamnya terdapat berbagai
corak karakter yang mencerminkan estetika kenusantaraan. Bahkan Indonesia
menjadi salah satu Negara yang memiliki keanekaragaman suku bangsa terbesar
di dunia. Indonesia memiliki kebudayaan yang beragaman ini merupakan wujud
dari persatuan Indonesia yang terbingkai oleh „Bhineka Tunggal Ika‟.
Pendidikan sejarah di Indonesia kini sedang gencar-gencarnya menerapkan
pembelajaran sejarah yang terintegrasi dengan sejarah lokal atau local genius.
•••
463
Pentingnya pendidikan sejarah yang berlandaskan lokalitas tersebut merupakan
suatu formulasi untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan menciptakan
suasana belajar aktif dalam proses pembelajaran dan diskusi antar peserta didik.
Perlu kita sadari juga, pendidikan sejarah tidaklah hanya proses untuk mengetahui
bagaimana peristiwa terjadi, akan tetapi pendidikan sejarah merupakan suatu
proses bagaimana kita bisa memahami nilai-nilai yang tersirat dalam peristiwa
tersebut.
Pembelajaran sejarah yang terintegrasi nilai-nilai sejarah lokal atau local
genius kini menjadi tantangan bagi para pendidik untuk aktif berinovasi. Di Bali
penerapan nilai-nilai Dharma Gita sebagai local genius dalam pembelajaran
sejarah dapat menjadi suatu pijakan yang menjadikan daya rangsang minat dan
membangkitkan pemikiran peserta didik untuk belajar sejarah. Dalam mengikuti
pelajaran sejarah perserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan sejarah,
akan tetapi peserta didik dalam pelajaran sejarah akan dapat berdiskusi dan
menerapkan makna dari nilai-nilai yang terdapat dalam suatu peristiwa sejarah
dengan saling berinteraksi bersama peserta didik lainnya.
Integrasi nilai-nilai Dharma Gita dalam pembelajaran sejarah merupakan
strategi untuk menciptakan harmoni sosial dapat memberikan ruang dan
kesempatan untuk tradisi mebebasan ini agar eksis dalam perkembangan dunia
pendidikan. Pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan nilai-nilai Dharma Gita
dengan berbagai cerita dan dialog didalamnya banyak terkandung tuntunan dan
ajaran-ajaran dalam bersikap maupun berprilaku sehingga memiliki fungsi yang
signifikan untuk pembentukan karakter peserta didik, terutama dalam
menciptakan suasana harmoni sosial diantara peserta didik.
•••
464
NILAI-NILAI DHARMA GITA
Pulau Bali adalah pulau yang besar di Indonesia, pulau yang besar akan nilainilai tradisi dan budaya yang adiluhung. Berbagai tradisi tumbuh dan berkembang
didalam kehidupan masyarakat Bali, salah satu dari berbagai macam local genius
tersebut adalah Dharma Gita. Dharma Gita sebagai tradisi mebebasan di Bali
merupakan local genius yang dikemas dengan memadukan karya sastra dan olah
vokal gending,kidung atau kekawin. Sebagai local genius, Dharma Gita menjadi
kekuatan lokal yang memiliki keunikan dalam menyampaikan nilai-nilai
kehidupan, baik dalam penyampaian sikap atau budi pekerti dengan tatanan
bahasa lokal dari dialog tokoh-tokoh dalam lakon ceritanya.
Menurut John Garret pada tahun 1986 dalam Widnya (2017: 106) yang
menguraikan Dharma sebagai value, religion, duty, law, moral, and religious
truth according to the law and the Vedas. Any peculiar or presscibed practice on
duty; thus giving alms, is the dharma of a householder; administering justice is
dharma of a king; piety is the dharma of a brahgmana; courage is the dharma of
ksatrya. Dan kata Gita berarti nyanyian, di Indonesia ditransformasikan menjadi
bentuk gending, kidung, dan sekar. Jadi, dari uraian tersebut dapat dipahami
bahwa Dharma Gita membentuk kesatuan makna yang utuh, sehingga tepat
apabila Dharma Gitadiartikan sebagai nyanyian yang mengandung nilai-nilai
kebenaran, kesucian, keadilan, kesalehan, aturan wajiban, serta moral yang baik.
Dharmagita merupakan nyanyian tentang kebenaran yang secara khusus
dinyanyikan pada saat-saat pelaksanaan upacara umat Hindu dan jika dilihat dari
tema-tema syair Dharma Gita yang digunakan juga banyak mengandung
pendidikan budi pekerti, seperti yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu yakni
tattwa, susila dan upacara.
Dharma Gita merupakan tembang-tembang atau nyanyi-nyanyian yang dapat
digolongkan menjadi 4 golongan (Sugriwa, 1997: 6-12), yaitu:
1) Istilah Bali : Gagending = Istilah Jawa : Dolanan.
Bentuk nyanyian Gagending pada umum berdasarkan tebuh gending gong
diisi kata-kata yang mengandng kalimat yang dipentingkan. Namun dang, ding,
dong, deng, dung suara gong diganti dengan suku kata: a, i, u, e, o dalam kata-kata
akhir yang diterapkan kepadanya, misalnya suara gong dang diganti dengan suku
kata a, suara gong ding diganti dengan suku kata i, suara gong dung diganti
dengan suku kata u,suara gong deng diganti dengan suku kata e, dan suara gong
dong diganti dengan suku kata o.
2) Istilah Bali : Pupuh = Istilah Jawa : Macapat,
Sekar Alit. Nyanyian pupuh yang dikenal di Bali ada 11 macam, yaitu: 1)
Kumambang, 2) Pucung, 3) Mijil, 4) Ginanti, 5) Ginada, 6) Pungkur, 7) Sinom, 8)
Durma, 9) Adri, 10) Agal, 11) Demung. Bentuk nyanyian Pupuh tidak
berdasarkan gending gong, tetapi berdasarkan “pada lingsa”. Pada, artinya banyak
bilangan suku kata bilangan suku kata dalam satu kalimat atau carik (koma);
Lingsa, artinya perubahan-perubahan suara a, i, u, e, o pada suku kalimat terakhir.
Bentukan nyanyian Pupuh yang 11 macam itu terjadi dari 5 kalimat sampai
dengan 11 kalimat.
3) Istilah Bali : Kidung = Istilah Jawa : Sekar Madya.
•••
465
Bentuk nyanyian Kidung (kekidungan) dapat dikenal pada bait
permulaannya yang memakai bentuk “kawitan” dua bait. Kemudian
menyusul pengawak (nyanyian pendek) dua bait, penawa dua bait, demikian
seterusnya sampai satu bab ceritra, kembali lagi “kawitan” untuk bab kedua.
Nyanyian kidung pada tiap-tiap baitnya juga memakai aturan “pada lingsa”
namun tiap barisnya tidak memakai carik (koma) sebagai nyanyian Pupuh,
sebab tembang atau irama nyanyian Kidung itu berjalan terus
perlahanlahan, tidaak berhenti pada waktu mengenai pada lingsa.
4) Istilah Bali
: Kakawin
= Istilah Jawa : Sekar Ageng.
Bentukkan nyanyian Kakawin tidak berdasarkan gending gong, tidak
juga memakai pada lingsa, tetapi menggunakan wrtta mantra. Wrtta artinya
banyak bilangan suku katadalam tiap-tiap carik (koma), yang biasanya terjadi
dari 4 carik menjadi satu pada (bait) tetapi ada juga yang satu pada terdiri
dari 3 carik, dinamai “Rahi-tiga atau Utgata-Wisama”. Sedangkan Mantra
artinya syarat letak guru-laghu dalam tiap-tiap wrrta itu. Sekalipun wrttanya
atau banyak bilangan suku kata tiap-tiap carik itu sama, kalau letak gurulaghunya lain, maka lain juga nama dan irama guru laghu Kakawin itu.
Nilai-nilai dari Dharma Gita tentunya sangat berperan dalam penbentukan
karakter generasi muda. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Yuni Arwani
menyatakan, bahwa Dharma Gita merupakan bagian dari kesenian tembang Bali
yang sangat berperan dalam menanamkan dan menginternalisasikan nilai-nilai
pendidikan karakter kepada remaja agar mereka memperoleh pengetahuan,
keterampilan serta sikap yang ditunjukkan kepada diri sendiri, keluarga dan
masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Dharma Gita,
diantaranya:1)Sifat Religius
Religi merupakan perspektif sosiologis karena religi dipandang sebagai bagian
dari makna sipnoptik. Dalam dunia pendidikan, karakter religius perlu
dikembangkan dalam diri remaja. 2)Kejujuran
Jujur merupakan nilai yang harus ditanamkan sejak dini pada remaja khususnya.
Karakter jujur adalah karakter yang tidak suka berbohong dan berbuat
curang,berkata-kata apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela
berkorban untuk kebenaran. Karakter jujur hendaknya dimiliki oleh semua orang
tak terkecuali para remaja dalam menuntut ilmu dan mengisi diri serta wawasan.
3)Toleransi
Arti toleransi, yaitu kelapangan dada dalam artian suka rukun dan damai kepada
siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain tak mau
mengganggu kebebasan berfikir dan berkeyakinan lain atau saling menghormati.
4)Kedisiplinan
Menurut Titib (2004: 36) disiplin merupakan kesadaran akan sikap dan perilaku
yang sudah tertanam dalam diri, sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam
suatu keteraturan secara berkesinambungan yang diarahkan pada suatu tujuan atau
sasaran yang sudah ditentukan. Sikap dan perilaku ini diwujudkan dengan
perilaku yang konsisten, taat asas menuju tujuan utama tanpa perlu pengawasan
dan dorongan secara terus menerus. 5)Kreatifitas
Kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sikap kreatif
bertujuan untuk melangkah maju dan mengembangkan ide-ide baru,
•••
466
memanfaatkan segala media yang ada dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat
bagi diri sendiri maupun orang lain. 6)Kemandirian
Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang lebih mengandalkan kesadaran akan
kehendak, kemampuan, dan tanggungjawab diri sendiri tanpa tergantung kepada
orang lain.
7)Bersahabat atau Komunikasi
Karakter bersahabat/komunikatif merupakan tindakan yang memperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap bersahabat
adalah untuk memperakrab atau mengakrabkan suatu hubungan manusia dengan
manusia dan antar makhluk hidup lainnya. Melalui sikap komunikatif yang baik
akan mampu menciptakan pergaulan yang luas dan bisa menjalin sebuah kerja
sama yang terintegrasi secara mutualisme. manusia dituntun untuk senantiasa
ramah tamah dan bertindak komunikatif. Dengan tindakan yang senang bergaul
dan senantiasa ramah tamah kepada orang lain, maka sesuai dengan hokum karma
pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama pula. 8)Peduli Lingkungan
Karakter peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitar, dan mengembangkan
upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang telah terjadi. Lingkungan
yang baik dapat menciptakan suasana yang mendorong tumbuh kembangnya
nilai-nilai pendidikan karakter. 9)Peduli Sosial
Kepedulian (care) yaitu kemampuan untuk menunjukkan pemahaman terhadap
orang lain dengan memperlakukannya secara baik, dengan belas kasih, bersikap
dermawan, dan dengan semangat memaafkan 10)Tanggungjawab
Karakter tanggungjawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara, dan Tuhan Yang
Maha Esa.
Berdasarkan kerangka pemahaman dinamika kebudayaan, berbagai nilai
sikap atau prilaku secara berkelanjutan akan mengalami suatu proses pada suatu
sistem nilai dalam masyarakat. Konseptualisasi nilai tersebut merupakan hal yang
sangat penting karena seluruh prilaku budaya akan memiliki orientasi yang
dipandang "baik" dan "terbaik" dalam kehidupan bermasyarakat. Dharma Gita
sebagai wujud dari ide atau gagasan pemikiran memiliki kompleksitas nilai yang
diorientasikan sebagai wujud nyata dari prilaku sosial. Selain itu, Dharma Gita
juga mempresentasikan kegiatan kehidupan dalam masyarakat dengan dipayungi
sistem nilai.
PEMBELAJARAN SEJARAH
Sejarah sangat penting untuk membangun karakter bangsa. Salah satu
manfaat utama sejarah dalam pendidikan menurut Rowse (2015: 153) adalah
pengembangan potensi diri berupa kematangan berfikir dan kebijakan berprilaku
untuk bersikap kritis. Hal ini dikarenakan sejarah adalah ilmu tentang manusia,
sejarah mengkaji manusia dalam lingkup waktu dan ruang; sejarah menjelaskan
masa kini; sejarah merupakan dialog antara peristiwa masa lampau dan
perkembangan ke masa depan; sejarah merupakan cerita tentang perkembangan
kesadaran manusia, baik dalam aspek individual maupun kolektif dan sejarah
merupakan kontinuitas dan keterkaitan (Kochhar, 2008: 3-6). Dengan pemikiran
•••
467
tersebut dapat dilhami, bahwa sejarah sebagai ilmu sangat berpengaruh terhadap
perkembangan potensi diri manusia dan pembelajaran sejarah merupakan proses
pembelajaran yang fundamental untuk mendapatkan perkembangan pemikiran
yang saling berkaitan dan berkelanjutan dari masa ke masa.
Sejarah sebagai ilmu tentu sangat berkorelasi terhadap dunia pendidikan,
Harry Ritter pada tahun 1986 di dalam Daliman (2012:3) menyatakan sejarah
memiliki peranan penting dalam pembelajaran moral (moral instruction), bahkan
sejarah sering dipandang sebagai filsafat moral (moral philosophy).
menambahkan pendapat tersebut, Kartodirdjo pada 1992 dalam Hamid (2014:49)
juga menyatakan bahwa ada dua manfaat yang didapat dalam hasil belajar sejarah.
Pertama, dari masa dan situasi sekarang kita dapat mengeksplorasikan fakta-fakta
atau kekuatan kekuatan yang berperan di masa lampau sehingga banyak dari
situasi sekarang yan dapat diterangkan. Kedua, dengan menganalisis situasi masa
kini kita dapat berbuat proyeksi masa depan. Tentunya, analisis itu didasarkan
pada fakta sejarah. Dengan demikian, pembelajaran sejarah tidak hanya
membantu membuat diagnosis masa kini tetapi juga prognosisnya, ini berarti
dalam semua proses pembelajaran sejarah tidak serta merta hanya menggali
pengetahuan sejarah yang ada akan tetapi pembelajaran sejarah ini juga
memproyeksi masa depan.
INTEGRASI NILAI-NILAI DHARMA GITA DALAM
PEMBELAJARANSEJARAH SEBAGAI STRATEGI MENCIPTAKAN
HARMONI SOSIAL
Nilai menjadi pedoman tertinggi bagi tata kelakuan manusia dalam menjaga
keteraturan sosial. Hal ini dipekuat oleh Purwoko (2013: 6) yang menyatakan
bahwa keteraturan sosial tercipta karena adanya kontrol sosial yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia.
Dengan demikian dapat disimpulkan, nilai sebagai pedoman mempunyai peranan
yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat, karena diyakini dalam
menentukan dan mempertimbangkan keputusan-keputusan dalam mengambil
suatu tindakan.
Pemebelajaran sejarah merupakan medium yang sangat tepat untuk
menyampaikan nilai-nilai local genius pada siswa. Karena, dari hasil penelitian
Hamid Hasan (2012), Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa salah
satu fungsi belajar sejarah adalah untuk mengenal siapa diri kita sebagai bangsa.
Pengenalan jati diri yang dikemukakan Sartono sangat penting sebagaimana yang
dinyatakan oleh Cartwright (1999: 44) bahwa "our personal identity is the most
important thing we possess" dan kehilangan jati diri berarti kehilangan eksistensi
bangsa. Sebagaimana dikemukakan Cartwright identitas pribadi atau kelompok
tersebut "who and what we are. The way we feel about ourselves, the way we
express ourselves and the way other people see us are all vital elements in the
composition of our individual personality". Artinya, belajaran sejarah adalah hal
penting untuk mengetahui siapa kita dan identitas kita sebagai suatu bangsa.
Nilai-nilai Dharma Gita sebagai local genius dalam pembelajaran sejarah
merupakan upaya agar dapat membentuk karakter peserta didik. Sangat berperan
nilai-nilai Dharma Gita di Bali dalam pembentukan karakter, karena di dalam
•••
468
nyanyian atau tembangnya banyak terkandung tuntunan hidup dan nilai budi
pekerti yang sangat berfaedah bagi kehidupan. Sehingga, pembelajaran sejarah
terintegrasi nilai dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada peserta
didik terhadap nilai lokal sebagai strategi untuk menciptakan harmoni sosial.
Harmoni merupakan kehidupan sosial yang mengedepankan semangat
demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Roqib (2007:2)
juga berpendapat bahwa harmoni dalam konteks hakikat merujuk pada adanya
keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan yang mendalam dengan
sepenuh jiwa yang merujuk pada keselarasan lahir batin yang ada pada setiap
individu dan sosial. Dapat dipahami, harmoni sosial adalah kehidupan yang
mengutamakan kehidupan bermasyarakat yang didasari oleh semangat demokratis
dan menjunjung toleransi, sehinnga terpta keserasian, kerukunan dan keterpaduan.
Dengan demikian, peranan pembelajaran sejarah sebagai strategi untuk
menciptakan harmoni sosial pada siswa mempunyai dua tanggung jawab besar,
yaitu menyiapkan generasi bangsa Indonesia yang siap menghadapi arus budaya
global dan mempersatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam
budaya.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan integrasi nilai-nilai
Dharma Gita dalam pembelajaran sejarah sebagai strategi untuk menciptakan
harmoni sosial pada siswa yakni, Pertama, akan dilakukannya analisis kesesuaian
antara nilai-nilai Dharma Gita dengan materi ajar sesuai dengan standar
kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD); Kedua, memasukkan nilai-nilai
Dharmagita yang sesuai dalam penyampaian materi ajar; dan Ketiga, melakukan
evaluasi pembelajaran, sehingga strategi dalam menciptakan Harmoni sosial pasa
siswa dapat tercapai dengan interaksi dan diskusi yang aktif. Dengan demikian,
materi pembelajaran sejarah terintegrasi nilai-nilai Dharma Gita sebagai
localgenius di Bali mampu mengembangkan memori kolektif peserta didik
sebagai bangsa yang memiliki jati diri. Sehingga proses pembelajaran sejarah,
peserta didik tidak hanya untuk mengetahui sejarah. Akan tetapi, peserta didik
juga memaknai nilai-nilai peristiwa sejarah dan local geniusnya sebagai landasan
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik sesuai dengan tujuan dan capaian
pembelajaran, serta dengan pengetahuan nilai-nilai Dharma Gita dapat
menciptakan harmoni sosial pada siswa.
KESIMPULAN
Keberagam dalam warna-warni kehidupan dengan kemajemukan dan
multikulturnya telah menjadi ciri khas dari Indonesia. Tumbuh dan
berkembangnya berbagai budaya dan tradisi menjadi masing-masing identitas
kedaerahan dengan local genius yang dimilikinya. Sejarah adalah medium yang
tepat untuk menyampaikan nilai-nilai local genius maupun local history dalam
upaya pembentukan karakter siswa. Bali dengan nilai-nilai Dharma Gita
diharapkan mampu menjadi strategi menciptakan harmoni sosial pada siswa
dalam pembelajaran sejarah. Sehingga, integrasi nilai-nilai Dharma Gita dengan
pembelajaran sejarah dapat tersampaikan nilai budi pekerti dan tuntunan dalam
bersikap maupun berprilaku yang seyogyanya dapat meciptakan keselarasan,
kebersamaan, saling tolong menolong sesama siswa. Seperti yang diungkapkan
•••
469
oleh Adam (2009: 101), “Tatkala sejarah menyadarkan kita tentang
perbedaanperbedaan, ia sebetulnya telah mengajarkan toleransi dan kebebasan”.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah : Kontroversi
Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Daliman, A. 2012. Manusia dan Sejarah.Yogyakarta: Ombak.
Hamid, A. Rahman. 2014. Pembelajaran Sejarah.Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kochhar, S. K. 2008. Pembelajaran Sejarah: TEACHING OF HISTORY. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Purwoko, Agus. 2013. Gunungan Nilai-nilai Filsafat Jawa. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Roqib, Moh. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rowse, A. L. 2015. APA GUNA SEJARAH?. Depok: Komunitas Bambu.
Sugriwa, IG. B. 1997. PENUNTUN PELAJARAN KAKAWIN. Denpasar: Sasana
Budaya Bali.
Gusti Ayu Putu Yuni Arwani. INTERNALISASI NILAI-NILAI KARAKTER
HINDU PADA SEKEHA TERUNA TERUNI JAGRA WINANGUN
MELALUI PELAKSANAAN DHARMAGITA DI DESA PENYARINGAN
KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA. Institut Hindu
Dharma Negeri Denpasar.
Hamid Hasan, S. Paramita Vol. 22 No. 1 - Januari 2012 [ISSN: 0854-0039].
PENDIDIKAN SEJARAH UNTUK MEMPERKUAT PENDIDIKAN
KARAKTER. (Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung).
•••
470
PEMANFAATAN INTERNET DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
KEBUDAYAAN ISLAM
Alfian Singgih Widiyanto
Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret
Alfian_1st@yahoo.co.id
ABSTRAK
Internet dapat digunakan untuk mengakses berbagai hal yang dibutuhkan oleh
pengguna, terlebih lagi kebutuhan dan tuntutan manusia yang semakin kompleks
mendorong manusia untuk bergantung pada internet. Dampak penggunaan internet yang
masif dapat digunakan untuk keperluan yang lain yaitu untuk pembelajaran khususnya
pembelajaran sejarah kebudayaan Islam, mengingat mata pelajaran sejarah kebudayaan
Islam merupakan mata pelajaran yang kaya akan materi, namun sulit untuk
mengumpulkan serta mengurutkan materi sehingga menghambat pembelajaran, dengan
adanya penggunaan internet yang mudah digunakan untuk mencari informasi diharapkan
mampu meningkatkan pemahaman siswa dalam pembelajaran sejarah kebudayaan
Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka yaitu uraian kajian
literatur yang menimbulkan gagasan untuk menyusun kerangka pemecahan masalah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet memiliki berbagai fitur yang memudahkan
pembelajarn sejarah kebudayaan Islam diantaranya fasilitas mesin pencarian, website,
situs video dan lainnya. Dapat disimpulkan bahwa media internet cukup berpotensi dalam
pembelajaran sejarah kebudayaan Islam karena berbagai fasilitas telah tersedia dalam
internet sehingga pembelajaran lebih efisien. Adapun hal yang perlu dibenahi adalah
pemfokusan sumber internet yang bisa diakses oleh siswa agar materi lebih fokus serta
menghemat waktu serta perlunya pengawasan lebih ketat dari guru agar siswa tidak
menyalahgunakan internet.
Kata Kunci: Pemanfaatan Internet, Pembelajaran, Sejarah Kebudayaan
Islam
PENDAHULUAN
Internet memang membawa begitu banyak kemudahan kepada
penggunanya. Beragam akses terhadap informasi dan hiburan dari berbagai
penjuru dunia dapat dilakukan melalui satu pintu saja. Internet juga dapat
menembus batas dimensi kehidupan penggunanya, waktu, dan bahkan ruang
sehingga internet dapat diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Fasilitas
situs pencari dapat memberikan informasi kepada pengguna internet sehingga
dapat menemukan banyak sekali alternatif dan pilihan informasi yang
diperlukannya dengan mengetikkan kata kunci (Elfan, 2014: 3).
Fasilitas sekolah sekarang ini menyediakan sarana dan prasarana yang
lengkap, mulai dari buku dan salah satunya yang berkaitan dengan internet, siswa
bebas mengakses internet termasuk mengakses terkait materi pembelajaran yang
dibutuhkan siswa termasuk pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), selain itu
hal ini bertujuan untuk mengeksplorasi kemampuan siswa.
Sejarah Kebudayaan Islam adalah salah satu mata pelajaran yang
terhimpun dalam pendidikan agama Islam (PAI) yang menjadi ciri khas sekolah
Madrasah dari tingkat Ibtidayah setara SD hingga tingkat Aliyah setara SMA. Ciri
khas dari mata pelajaran SKI yaitu mempelajari secara spesifik kehidupan serta
•••
471
kebudayaan masyarakat Islam pada era Nabi Muhammand SAW hingga
perkembangan Islam di Indonesia.
Mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam sangatlah penting untuk
penguatan nilai-nilai Islam dan lebih luas dapat digunakan oleh banyak kalangan
karena hakikatnya sejarah tidak hanya mengengingat kejadian masa lalu
melainkan meliputi juga pembelajaran terkait nilai-nilai. Menurut Kuntowijoyo
diharapkan kehidupan sekarang ini dan yang akan datang dapat berkaca pada
peristiwa masa lalu (Endang, 2013: 63).
Internalisasi nilai-nilai pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam sering kali
terhambat yang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kurangnya pemahaman
siswa tentang pentingnya pelajaran SKI, kesulitan mengidentifikasi kaitan antar
peristiwa sejarah dan kurang jelasnya penjelasan materi yang terdapat dalam buku
serta guru, sehingga pelajaran sejarah kebudayaan Islam tidak efektif.
Pemanfaatan internet pada mata pelajaran sejarah bisa menjadi salah satu
solusi atas permasalahan rendahnya pemahaman sejarah kebudayaan Islam,
karena dalam internet tersedia berbagai fasilitas untuk menunjang pelajaran SKI
artinya guru tidak perlu memilah materi dalam waktu yang lama, sehingga
menghemat waktu dalam pembelajaran. Pemakaian internet untuk pembelajaran
sejarah kebudayaan Islam juga akan menemui kendala ketika guru tidak mampu
mengatur pola pembelajaran serta terkadang materi yang termuat menggunakan
bahasa yang sukar dimengerti siswa, namun kendala dapat diatasi jika ada
manajemen pembelajaran yang tepat.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana hambatan dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam?
2. Bagaimana dampak pemanfaatan internet dalam pembelajaran sejarah
kebudayaan Islam?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis hambatan dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam.
2. Menganalisis dampak pemanfaatan internet dalam pembelajaran sejarah
kebudayaan Islam.
Analisis Pemecahan Masalah
Mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam pada hakikatnya mengalami
perubahan paradigma dalam pembelajaran, bermula dari pembelajaran yang
memfokuskan pembahasan waktu kejadian suatu peristiwa bergeser menjadi
pembelajaran dengan tujuan memahami kronologis serta makna suatu peristiwa
sejarah. Perubahan paradigma disebabkan oleh perubahan tuntutan zaman yang
menekankan pendidikan yang manusiawi, hal ini dipertegas dalam pelaksanaan
kurikulum 2013 baik dari segi alokasi waktu serta tujuan pembelajaran.
Pembelajaran sejarah Kebudayaan Islam menekankan pada kemampuan
mengambil hikmah dari sejarah Islam dengan meneladani tokoh-tokoh dan
mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari untuk mengembangkan kebudayaan
Islam pada masa kini dan masa yang akan datang (Euis, 2016: 51).
Pembelajaran sejarah kebudayaan Islam memiliki beberapa tujuan seperti
membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya mempelajari Islam, lalu
•••
472
membangun kesadaran tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan
sebuah proses dari masa lampau, kini dan masa depan, kemudian melatih daya
kritis siswa untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan pendekatan ilmiah
serta untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil hikmah.
Siswa yang melaksanakan pembelajaran sejarah kebudayaan Islam dituntut
mampu memiliki pemahaman sejarah, adapun tujuh indikator pemahaman sejarah.
Pertama, menafsirkan artinya siswa mampu mengubah suatu informasi menjadi
sebuah deskriptif. Kedua, mencontohkan yaitu siswa mampu memberikan ciri-ciri
pokok suatu peristiwa atau mengilustrasikan. Ketiga, mengklasifikasikan yaitu
siswa mampu memasukan suatu contoh peristiwa kedalam kategori-kategori yang
lebih terperinci.
Keempat, merangkum artinya siswa mampu mengemukakan suatu
peristiwa dari informasi yang diterima kemudian disusun menjadi sebuah
abstraksi. Kelima, menyimpulkan yaitu siswa mampu menarik sebuah pola
hubungan sebuah peristiwa. Keenam, membandingkan yang terkait dengan
kemampuan siswa memetakan suatu pola peristiwa sejarah. Ketujuh, menjelaskan
ketika pemetaan suatu peristiwa telah dibentuk maka perlu dijelaskan secara
deskriptif sehingga terbentuk satu kerangka yang utuh (Anderson, 2001: 106115).
Pemahaman sejarah secara sederhana dapat dilihat dari indikator nilai yang
diperoleh siswa. Berdasarkan Sudjana (1995: 26), indikator pemahaman dibagi
menjadi tiga yaitu tingkat I atau rendah dengan skor perolehan 0-61 artinya siswa
mampu mengartikan suatu peristiwa. Tingkat II atau sedang dengan skor
perolehan 62-80 artinya siswa mampu menjelaskan suatu peristiwa secara
terperinci. Tingkat III atau tinggi dengan skor 81-100 artinya siswa mampu
menganalisis suatu peristiwa.
Perubahan paradigma pembelajaran sejarah artinya memunculkan sebuah
permasalahan baru dalam pembelajaran yang dapat menghambat proses
pembelajaran sejarah, secara umum terdapat empat masalah dalam pembelajaran
sejarah kebudayaan Islam (Ahmad, 2015: 7-8). Pertama adalah komponen tenaga
pengajar sejarah yang pada umumnya miskin wawasan kesejarahan. Salah satu
penyebab utama dari kemiskinan wawasan ini adalah kemalasan intelektual untuk
menggali sumber sejarah, baik yang berupa benda-benda, dokumen, maupun
literatur,pengajar sejarah harus kaya informasi, tidak saja tentang masa lampau
yang sarat dengan berbagai tafsiran, tetapi juga tentang masa kini yang penuh
dinamika dan serba kemungkinan, konstruktif maupun destruktif.
Kedua, adalah komponen peserta didik. Sikap maupun persepsi yang
kurang positif peserta didik terhadap pengajaran sejarah, akan sangat berpengaruh
terhadap hasil tujuan pembelajaran. Tidak sedikit peserta didik yang hanya
mengejar nilai dan popularitas, untuk kegunaan sesaat. Padahal substansi yang
sesungguhnya adalah khasanah keilmuan yang ia pelajari untuk dikembangkan
dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya dapat diinternalisasikan. Sejarah adalah guru kebijaksanaan yang
sejati.
Ketiga, adalah metode pengajaran sejarah yang pada umumnya kurang
menantang daya intelektual peserta didik. Untuk melibatkan subjek-didik dalam
•••
473
tataran intelektual dan emosional dalam pengajaran sejarah adalah barang tentu
bukan jamannya lagi dengan menggunakan metode dongeng yang diselimuti oleh
berbagai peristiwa ajaib, mistis, dan supranatural. Kalau metode itu yang
digunakan justru bertentangan dengan tujuan pengajaran sejarah itu sendiri.
Memang dengan menggunakan metode dongeng peserta didik banyak yang
tertarik, tetapi metode itu justru tidak menjadikan dirinya sebagai sosok manusia
yang menyejarah, karena menganggap bahwa berbagai pengaruh sejarah berada di
luar dirinya.
Keempat, adalah komponen bukubuku sejarah dan media pengajaran
sejarah. Untuk sejarah Indonesia, telah ada sejarah nasional yang jumlahnya enam
jilid. Buku itu sebenarnya dapat menolong, sekalipun di sana sini masih ada
celahnya yang perlu dilengkapi dengan sumber-sumber lain. Tetapi pendekatan
yang terlalu Indonesia-sentris seperti yang terdapat dalam buku sejarah nasional
itu, harus disikapi secara hati-hati. Pendekatan itu dapat menimbulkan
kecenderungan “memberhalakan” masa lampau suatu bangsa. Apalagi bila
anyaman masa lampau itu sarat oleh mitos yang bisa saja melumpuhkan daya
kritis peserta didik. Sebenarnya buku-buku teks lainnya telah bermunculan, tetapi
hampir-hampir tidak ada yang menggunakan pendekatan moral-saintifik terhadap
perjalanan sejarah bangsa.
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan maka secara garis besar salah
satu problematika yang mendesak adalah keringnya wawasan guru maupun siswa
terhadap pemahaman peristiwa sejarah karena kurang menggali lebih dalam suatu
peristiwa yang termuat dalam literatur karena kesulitan mencari sebuah sumber
serta sumber yang sudah terlampau lama sehingga kurang relevan digunakan masa
sekarang.
Problematika yang dihadapi mata pelajaran sejarah dapat diatasi dengan
adanya perpaduan cara mengajar dan penggunaan media yang tepat sehingga
mampu menjawab kebutuhan belajar sejarah kebudayaan Islam. Salah satu media
yang memungkinkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi pelajaran sejarah
adalah menggunakan media internet.
Internet menurut Rahmasariyaitu sebuah jaringan global komputer dunia,
di mana setiap komputer saling terhubung satu sama lain dari negara ke negara
lainnya di seluruh dunia dan berisi berbagai macam informasi, mulai dari teks,
gambar, audio dan lainnya atau dikenal dengan interconnection networking yang
berarti hubungan dari banyak jaringan komputer dengan berbagai tipe dan jenis
dengan menggunakan tipe komunikasi seperti telepon, satelit dan lainnya (Normi,
2016: 32).
Pendapat ahli tentang internet dapat disimpulkan bahwa internet
merupakan sebuah jaringan-jaringan yang terhubung antar komputer di berbagai
daerah untuk digunakan mendapatkan informasi berupa teks, audio, dan lain-lain
sehingga memungkinkan penggunaan yang tidak terbatas waktu dan tempat.
Internet dewasa ini telah banyak digunakan sebagai tempat berbagi ilmu
dari seluruh penjuru dunia, khusunya di Indonesia telah muncul sebuah kebiasaan
baru yaitu memaparkan temuan atau tulisan berupa catatan dalam sebuah web,
video maupun jurnal ilmiah yang diunggah ke internet sehingga mudah diakses
•••
474
berbagai pihak yang membutuhkan, terlebih lagi sekarang ini fasilitas
laboratorium komputer serta internet mulai merata di setiap jenjang sekolah.
Media internet dapat dijalankan karena faktor sumber daya manusia
dewasa ini sudah mulai mumpuni untuk mengoperasikannya, terlebih lagi oleh
siswa yang sering sekali bersentuhan dengan dunia internet dalam kegiatan seharihari sehingga lumrah menggunakan internet.
Manfaat yang ditawarkan oleh internet bagi dunia pendidikan yaitu,
pertama, kemampuan dan kecepatan dalam komunikasi sehingga memungkinkan
melangsungkan pendidikan jarak jauh dengan biaya relatif murah. Kedua, adanya
fasilitas untuk membentuk dan melangsungkan diskusi kelompok sehingga
meningkatkan intentitas kajian. Ketiga, melalui website pendidikan, proses belajar
dapat dilakukan secara dinamis, tidak bergantung ruang dan waktu serta semua
materi pembelajaran dapat diperoleh dengan mudah. Keempat, konsultasi melalui
e-mail dapat dilakukan secara pribadi antar siswa maupun guru. Kelima,
menyediakan sumber jurnal-jurnal penelitian terbaru yang berguna untuk peneliti
(Budi, 2002: 101).
Elfan (2014: 7-8) menjelaskan lebih lanjut pemanfaatan internet dalam
pembelajaran yaitu sumber bahan pelajaran, memberi informasi baru yang belum
diketahui, berbagai jenis informasi tambahan dapat dibaca dan ditelusuri melalui
internet dan internet mampu menghadirkan tempat-tempat bersejarah secara visual
melalui video dalam pencarian di internet.
Fasilitas-fasilitas internet yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran
diantaranya mesin pencarian yaitu sebuah layanan online yang digunakan untuk
mencari informasi dari seluruh website yang terindeks dalam mesin pencarian,
lalu terdapat fasilitas website yaitu sebuah situs yang memuat berbagai informasi
dalam bentuk teks, dokumen, gambar dan sebagainya serta saling terhubung
dengan halaman lain yang dapat diakses (Diana, 2016: 83-84).
Fasilitas yang lain berupa video pembelajaran yang dapat diakses melalui
sebuah situs khusus seperti www.youtube.com , kemudian fasilitas e-mail atau
surat elektronik yang memungkinkan penggunanya saling berinteraksi dalam
internet.
HASIL KAJIAN TEORI
Adapun cara pemanfaatan media internet dalam pembelajaran sejarah
kebudayaan Islam dapat dilakukan sesuai dengan kehendak guru, seperti
memberikan tugas individu maupun kelompok kepada siswa yang kemudian
diarahkan untuk menggunakan fasilitas internet terdapat beberapa cara untuk
memanfaatkan internet. Pertama, guru memberikan kebebasan kepada siswa
untuk mengakses internet sesuai dengan tema tugas yang diberikan, dengan
catatan guru harus membatasi waktu penggunaan internet karena kemungkinan
siswa akan mengalami kebingungan dalam menyaring informasi dalam internet.
Kedua, guru merancang sebuah situs khusus yang merangkum seluruh atau
sebagian materi sejarah kebudayaan Islam sehingga siswa langsung diarahkan
untuk mengakses situs yang telah dibuat oleh guru, untuk melaksanakan langkah
ini maka guru perlu mendesain situsnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
siswa dalam mengolah informasi.
•••
475
Ketiga, guru memberikan siswa kebebasan dalam mengakses situs dengan
memberikan arahan terlebih dahulu, materi apa saja dan situs apa saja yang dapat
diakses serta berkaitan dengan tema tugas yang telah diberikan kepada siswa,
sehingga mampu menghemat waktu serta mencegah terjadinya kebingungan,
adapun guru haruslah memiliki referensi situs, video atau e-mail yang terpercaya
serta berkaitan dengan materi sejarah kebudayaan Islam dengan maksud informasi
yang diterima siswa dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan wacana
semata.
Fitur yang diperbolehkan diakses oleh siswa sangatlah beragam seperti
pemanfaatan melalui mesin pencarian, situs-situs, video dan lainnya yang
berhubungan dengan materi pembelajaran sejarah kebudayaan Islam karena pada
hakikatnya sebuah informasi sejarah dapat didapatkan melalui beragam hal,
namun apabila guru menghendaki sebuah
sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka siswa dapat diarahkan untuk
mengakses buku siswa atau jurnal dengan catatan guru membantu mengolah
informasi karena bukan hal yang mudah mengolah informasi.
Informasi yang sudah dikumpulkan oleh siswa maka perlu diolah agar
menjadi lebih matang secara materi, kemudian informasi tersebut dipaparkan
dalam kelas yang kemudian dikoreksi secara bersama-sama dan yang paling
penting adalah guru menggali hikmah suatu peristiwa bersama-sama siswa,
sehingga siswa merasa dilibatkan dalam pembelajaran.
Ketiga cara pemanfaatan internet tersebut perlu diperhatikan oleh pihak
yang akan menggunakan media internet agar pembelajaran lebih terarah serta
mudah dikontrol sehingga pembelajaran lebih bermakna karena seringkali
ditemukan pembelajaran sejarah hanyalah mengumpulkan materi tanpa sebuah
makna peristiwa karena pada hakikatnya sebuah media bukanlah penentu
keberhasilan sebuah pembelajaran melainkan manusia sendirilah yang dapat
menentukan keberhasilan belajar.
Internet bukanlah media yang sempurna, terdapat pula kelemahan dalam
media internet diantaranya kebebasan mengakses konten-konten di internet yang
seringkali mengandung unsur perjudian dan pornografi serta perlunya biaya
tambahan untuk pengadaan komputer dan biaya berlangganan internet. Walaupun
demikian efek negatif internet dapat ditanggulangi dengan manajemen kelas yang
baik oleh guru serta mulai meratanya distribusi fasilitas internet di sekolah.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis masalah serta hasil kajian teori maka dapat diambil
sebuah kesimpulan yaitu media internet dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran
sejarah kebudayaan Islam. Adapun fasilitas yang dapat dimanfaatkan melalui
internet diantaranya mesin pencarian, website sejarah, e-mail dan lainnya, serta
dapat digunakan untuk meningkatkan aspek tertentu seperti prestasi belajar,
pemahaman sejarah dan sebagainya.
Adapun cara pemanfaatannya terbagi menjadi tiga cara, pertamaguru
memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengakses internet.Kedua, guru
merancang sebuah situs khusus yang merangkum seluruh atau sebagian materi
sejarah kebudayaan Islam sehingga siswa langsung diarahkan untuk mengakses
•••
476
situs yang telah dibuat oleh guru. Ketiga, guru memberikan siswa kebebasan
dalam mengakses situs dengan memberikan arahan terlebih dahulu, materi apa
saja dan situs apa saja yang dapat diakses serta berkaitan dengan tema tugas yang
telah diberikan kepada siswa.
Internet bukanlah media yang sempurna, terdapat pula kelemahan dalam
media internet diantaranya kebebasan mengakses konten-konten di internet yang
seringkali mengandung unsur perjudian dan pornografi serta perlunya biaya
tambahan untuk pengadaan komputer dan biaya berlangganan internet. Walaupun
demikian efek negatif internet dapat ditanggulangi dengan manajemen kelas yang
baik oleh guru serta mulai meratanya distribusi fasilitas internet di sekolah.
Adapun implikasi dari penggunaan media internet sebagai media
pembelajaran adalah perlunya penguasaan guru terhadap materi, penguasaan
referensi rujukan yang ada dalam internet serta manajemen pembelajaran dalam
kelas, sehingga diharapkan penggunaan media internet dapat selaras dengan
tujuan pembelajaran sejarah kebudayaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Rahardian K. Elfan. Pemanfaatan Internet dan Dampaknya pada Pelajar SMA
di Surabaya. Jurnal Libri-Net, Vol. 3 No. 1. 2014
[2] Purwani, Endang. Peningkatan Pemahaman Sejarah Kebudayaan Islam Pada
Siswa Kelas VII D Semester 2 MTsN Ngawi Tahun Pelajaran 2011/2012
Melalui Media Audio Visual. Jurnal Ilmiah STKIP PGRI Ngawi, Vol. 12 No. 2,
2013
[3]Euis, Sofi. Pembelajaran Berbasis E-Learning Pada Mata Pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri. Jurnal Tanzhim
Penelitian Manajemen Pendidikan, Vol. 1 No. 1 tahun 2016
[4]Anderson Lorin W & David R. Krathwohl. 2001. A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Assessing. Pearson
[5]Sudjana, Nana. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Rosdakarya:
Bandung.
[6]Maksum, Ahmad. Interpretasi Sejarah Sebagai Peristiwa dan Masalah
Pendidikan. Jurnal At-Turats, Vol 9. No. 2. 2015.
[7]Normi Aulia, dkk. Pengaruh Pemanfaatan Internet Terhadap Hasil Belajar
Geografi Siswa Kelas XII IPS MAN 2 Kandangan. Jurnal Pendidikan Geografi,
Vol. 3 No. 4, 2016.
[8]Oetomo Dharma Sutedjo, Budi. 2002. E-ducation Konsep, Teknologi dan
Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta
[9]Diana. Studi Deskriptif Tentang Pemanfaatan Internet Sebagai Media
Pembelajaran. Jurnal Matrik. Vol. 18. No. 1. 2016
•••
477
Makna relief Ganesha di candi buatan para Rsi
Oleh: Bayu Anggoro1, Sariyatun2, Susanto3
Magister Pendidikan Sejarah UNS Surakarta, bayuanggoro6969@gmail.com
Bayuanggoro6969@student.uns.ac.id
Abstrak
Penelitian tentang candi Planggatan belum banyak dilakukan maka dari itu
saya harap tulisan saya ini dapat digunakan untuk penelitian di candi Planggatan.
Candi Planggatan terletak di desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar. Candi ini memiliki 3 teras dan menghadap ke arah barat, serta
candi ini merupakan tempat yang dibangun oleh para rsi.Tulisan ini diharapkan
dapat menelaah lebih lanjut tentang candi Planggatan umunya dan relief dewa
Ganesah khususnya.
Kata kunci: candi planggatan,rsi,relief dewa ganesha
Pendahuluan
Pulau Jawa sudah sejak dua abad mempesona para peninjau dan peneliti,
baik peneliti asing maupun Indonesia sendiri. Mereka, kata A. Teeuw dalam
Supratikno Raharjo mendefinisikan peneliti terpesona pada keragaman budaya
Jawa yang begitu mencengangkan. Sepanjang sejarahnya, Jawa memang berada
pada persimpangan jalan (Carrefour) dan tidak pernah sempat berkembang tanpa
adanya gangguan dan pengaruh dri luar (Rahardjo, 2011).
Sekitar seribu tahun lebih, dari abad ke-4 hingga ke-XV, kebudayaan luar
terutama India banyak berpengaruh terhadap perkembangan wilayah di Sumatra,
Jawa dan Bali. Terutama di pulau Jawa kebudayaan-kebudayaan luar itu berada
dalam interaksi dan osmosis yang terus menerus dengan keadaan local, kendati
begitu lokalitas dari kebudayaan Nusantara masih tetap mampu dipertahankan
keasliannya yang mendalam. Hal ini yang membuat sejarawan Sartono Kartodirjo
merujuk sejarah Nusantara merujuk kepulau Jawa dimulai dari pelayaran
masyarakat kuno, perdagangan rempah serta pusat kerajaan kerajaan besar,
bahkan VOC pun dipilih didirikan dipulau Jawa karena letaknya yang strategis.
Disinilah banyak dihasilkan kebudayaan baru dari hasil persilangan interaksi
masyarakat masa lampau, sehingga terjadinya akulturasi budaya sangat kental.
•••
478
Banyaknya budaya yang telah dihasilkan dan tidak terawat ini dibuktikan
dengan banyaknya tinggalan yang tidak terawat sampai akhir abad ke-XVIII,
menurut (Rahardjo, 2011) Sejak Thomas S. Raffles menulis History of Java pada
awal abad ke-19 kemudian P.J Veth yang mulai menghimpun seluruh kajian
tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa dalam Java, Geographisch, Historsch
pada periode 1878-1882, disusul N.J Krom dengan Hindu-Javaansche
Geschiedenis-nya pada 1931, lalu Theodore G.Th. Pigeaud dengan Java in the 14th
Century: A Study in Cultural History pada kurun 1960-1963 (pada tahun yang
sama) 1960 Gertz menulis The Religion of Java dan yang terakhir Denys Lombard
yang menulis Le Carrefour Javanis pada 1990. Dan hanya Koentjaraningrat yang
menulis antropologi budaya secara lengkap tentang Jawa Javanese Culture pada
1985. Supratikno Rahardjo memusatkan pembahasan pada dinamika peradaban
pada perubahan pola dan konfigurasi pranata-pranata (politik,agama dan ekonomi)
dari zaman ke zaman.
Peradaban merupakan sebuah jalinan dari segala aspek kehidupan manusia
yang secara satu kesatuan tidak dapat dipisahkan. Hanya dengan menyatukan
semuanya itu kita dapat memahaminya secara lengkap. Disisi lain kebudayaan
atau peradaban juga merupakan suatu gejala yang komplek sehingga masalah
yang rumit akan dihadapi bila subjek yang sangat luas ini dipilih sebagai sasaran
kajian. Tidak terkecuali jawa yang kompleks juga dapat dipecahkan jika
pengkajian yang luas ini lebih dikerucutkan dalam kompleksitas Jawa terkait
budaya tertentu.
Konteks budaya Jawa adalah peradaban yang lahir dari sebuah penciptaan
pemikiran yang dibuat menjadi wujud nyata dalam kehidupan. Jawa yang kaya
akan hasil peninggalan budaya, tidak dapat dipungkiri adanya campur tangan
kebudayaan luar yang hidup didalam. Ini dapat dibuktikan dari hasil peninggalan
berupa percandian kuno yang ada di Jawa. Salah satunya di ahir Majapahit yaitu
komplek percandian lereng Gunung Lawu.
Candi merupakan warisan budaya yang telah ada sejak perkembangan
agama Hindu-Budha, fungsi dari candi adalah sebagai tempat pendarmaan raja
atau sebagai tempat ritual keagamaan. Sebagian besarcandi tersebar dari Sumatra
•••
479
hingga Jawa karena dulunya kedua pulau ini merupakan pulau utama sebagai
tempat persebaran agama Hindu-Buddha. Acap kali terdapat hiasan-hiasan atau
ukiran-ukiran pada dinding candi yang menggambarkan suatu kisah, ukiran yang
dimaksud adalah relief dan kadang juga ditemukan arca dewa-dewi yang
disembah oleh masyarakat pada kala itu.
Karena banyaknya candi yang tersebar di Pulau Jawa maka para peniliti
membagi candi menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah candi dalam
kategori masa Klasik Tua. Kelompok ini berkembang pada abad ke- 8-10 Masehi,
ketika pusat kerajaan masih berada di wilayah Jawa Tengah. Kelompok kedua
dalam kategori masa Klasik Muda. Kelompok yang kedua ini merupakan
bangunan candi yang dibangun sekitarabad ke- 11-15 Masehi. Diketahui pada
masa itu pusat kerajaan telah berpindah dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur.
Mengenai perpindahan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, sampai saat ini
masih
menimbulkan
berbagai
perdebatan,
sebagian
menyatakan
bahwa
perpindahan pusat kerajaan tersebut karena adanya wabah penyakit (Munandar
2011: 3). Namun ada pula yang menyatakan bahwa perpindahan pusat kerajaan ini
disebabkan oleh faktor politik, mengingat sebelum terjadi perpindahan pusat
kerajaan kerap terjadi perebutan kekuasaan di antara keluarga Syailendra di Jawa
Tengah. Asumsi itu sebagaimana diungkapkan oleh Coedes (2010: 180) dan
Sedyawati dkk. (2012: 185) yang dikutip oleh Riyanto (2016: 11-12) menyatakan
bahwa pada masa-masa itu rentetan pertentangan dalam keluarga Syailendra dan
perebutan kekuasaan terus-menerus terjadi. Hingga pada akhirnya Mpu Sindok
memindah pusat kerajaan ke daerah Jawa Timur dan membentuk wangsa baru
yang bernama wangsa Isyana.
Perpindahan pusat kerajaan ini juga mempengaruhi perubahan gaya
kesenian yang ada dan mempengaruhi bentuk candi-candi yang ada. Para peneliti
juga mengelompokan gaya bangunan candi wilayah Jawa Timur menjadi lima
kelompok, khusunya yang candi sudah ada sejak abad 13-16 Masehi, oleh Agus
Aris Munandar (2011: 20) dibagi menjadi lima gaya, yaitu 1) gaya Singhasari; 2)
•••
480
gaya Candi Brahu; 3) gaya Candi Jago; 4) gaya Candi Batur; dan 5) Punden
berundak.
Bangunan candi gaya punden berundak rupanya cocok dengan candi yang
akan saya bahas di bawah. Candi Plaggatan mempunyai arsitektur berundak tiga
dan untuk setiap undakanya dihubungkan oleh anak tangga. Bangunan pundek
berundak banyak digunakan di daerah pegunungan. Bangunan candi Planggatan
merupakan perpaduan antara bangunan Megalitik dan bangunan hindu, hal ini
dapat dilihat dari lokasi candi Planggatan yang terletak di lereng sebelah barat
Gunung Lawu. Banyak juga peninggalan situs Megalitik yang ditemukan di
lereng ataupun puncak Gunung Lawu, tetapi Candi Planggatan ini tidak murni
100% peninggalan Megalitik, Candi Planggatan merupakan penimggalan Kerjaan
Majapahit era akhir.
Candi merupakan bangunan suci bagi kaum resi atau disebut juga dengan
karsyan. Karsyan berasal dari Bahasa Jawa Kuno ka + rsi + an, vokal i bertemu
dengan a luluh menjadi y (Zoutmulder dan Poedjawijatna 1992: 4), dugaan awal
bangunan ini dibangun oleh para rsi atau para pertapa, dugaan awal candi
Planggatan merupakan bangunan karsyan dengan bentuk mandala kedewaguruan
Seperti yang diungkapkan oleh Wahyudi dkk (2014: 110) bahwasanya karysan
berbentuk mandala kedewaguruan dapat ditelusuri melalui karakter situsnya.
Karakter situs yang mencirikan sebagai mandala sedapat mungkin memenuhi
beberapa komponen, diantaranya adalah halaman luas, adanya temuan gerabah,
temuan bervariasi dalam konteks agama, jauh dari keramaian, dan diberitakan
dalam naskah. Di candi Planggatan terdapat arca Ganesha yang merupakan dewa
pengetahuan, hal ini menarik karena seperti apa yang telah saya sampaikan di atas
bahwa candi Planggatan merupakan candi yang dibangun oleh para rsi atau para
pertapa. Dalam agama hindu khususnya rsi merupakan orang yang dianggap
berilmu sehingga biasanya para rsi ditunjuk untuk memimpin acara keagamaan.
Apakah ada hubungan antara relief dewa Ganesa dengan candi Planggatan yang
merupakan candi yang dibangun oleg
•••
481
Pembahasan
Candi Planggatan secara administratif terletak di Dukuh Tambak, Desa
Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak
pada koordinat 1110 07’56,9’’Bujur Timur 070 38’07,5’’ Lintang Selatan dengan
ketinggian 1165 meter di atas permukaan air laut. Secara keseluruhan, situs
Planggatan menempati daerah yang tinggi. Candi Planggatan merupakan candi
yang bisa dibilang cukup luas, karena memiliki 3 halaman berbentuk pundek
berundak yang setiap halamanya dihubungkan oleh anak tangga. Teras pertama
merupakan teras terendah dan masih banyak ditumbuhi semak belukar dan
pepohonan. Di teras kedua terdapat yoni dan beberapa panil relief dan prasasti
yang menceritakan siapa pembungun candi ini yaitu Rama Balanggadan (
pembacaan oleh M.M Sukarto K. Atmodjo ), sedangkan Riboet Darmosoetopo
membacanya dengan Rama Balanggadawang. Teras ketiga merupakan teras
tertinggi.
Lebih lanjut terdapat relief dewa Ganesa atau yang lebih dikenal dengan
dewa ilmu pengetahuan, relief ini menggambarkan tokoh ganesa yang
digambarkan
dalam
posisi
berdiri
memakai
kain
cawat
untuk
menutupikemaluannya. Belalai menjulur dengan kedua gading panjang menjulang
ke atas. Hiasan kepala (mauli) memakai ikat kepala pendeta (sorban) dan kedua
tangan memegang bulan bersinar (prabha Majapahit) yang dimasukkan ke bagian
mulut. Oleh M. M. Sukarto K. Atmodjo relief ini menggambarkanBhatara
Ganaesa sebagairsi yang sedang menangkap (makan) bulan. Lebih lanjut dapat
dibaca sebagaisengkalan memet sebagai berikut. 1. Gana wiku nahut sitangsu, 2.
Gana rsi nahut sasi, 3. Gana pandita nahut wulan. Perkataan Gana (Ganesa)
bernilai enam (sadgana), wiku (pendeta) bernilai tujuh, nahut (menangkap,
makan) bernilai tiga, dan sitangsu (bulan) bernilai satu. Jadi angka selengkapnya
6731 dan apabila dibalik membacanya dari kanan ke kiri menjadi tahun 1376 Saka
(1454 Masehi), tahun yang terdapat di relief tersebut merupakan tahun pendirian
candi Planggatan. Candi Planggatan merupakan bangunan agama hindu yang
merupakan tempat untuk memuja dewa Siwa dan dewa Ganesha, pemujaan
•••
482
terhadap Siwa dilambangkan dengan ditemukanya yoni di teras kedua dan
pemujaan terhadap Ganesha dapat dilihat dari relief yang ada, hubungan antara
Ganesha dan Siwa adalah merupakan ayah dan anak. Ganesa merupakan anak dari
Siwa dan Parvati, yang sejak kelahirannya sudah diberi tugas untuk membedakan
baik dan buruk bagi seorang pemuja Siwa. Cerita ini diuraikan dalam kitab
Skanda Purâna dikisahkan bahwa Siwa tidak memandang baik dan jahat dari
pemujaanya, asalkan memuja Siwa secara tekun maka pemuja tersebut akan
masuk surga. Kemudian banyaklah para pemuja Siwa merasa kurang puas dan
memohon agar Siwa memberikan dewa yang dapat membedakan kebaikan dan
kejahatan, serta dapat menentukan siapa yang sebaiknyang dapat masuk surga
(Maulana 1984: 77). Selain relief Ganesha terdapat juga terdapat Prasasti yang
bertuliskan sebagai berikut.
Padamel ira ra
Ma balanggadawang
Barng hyang punun
N dah nrawang
Terjemahaan
ke
dalam
Bahasa
Indonesia:
Pembuatannya
rama
balanggadawang bersamaan (dengan) hyang Pununduh nrawang (Darmosoetopo
1975/1976: 125). Dari prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa candi
Planggatan didirikan oleh 2 orang yaitu Rama Balanggadawang dan Hyang
Patuduh Nrawang. Kedua tokoh ini merupakan rsi atau pertapa karena apabila
dilihat dari segi nama Rama merupakan sebutan untuk dewaguru sedangkan
Hyang dapat diartikan sebagai orang suci atau orang yang dihormati.
Tempat Tinggal Para Rsi
Bila dilihat dari letaknya candi Planggatan terletak di daerah terpencil dan
jauh dari keramaian dan juga letaknya yang tidak jauh dari sumber air, maka dapat
disimpulkan bahwa candi Planggatan ini merupakan candi yang dibuat untuk para
rsiatau para petapa, karena pada biasnya bangunan suci yang dibangun oleh para
rsi atau para pertapa terletak dii lereng gunung atau hutan, jauh dari keramaian
dan terletak di dekat sumber air seperti danau,tepi laut dan lain sebagainya. Bila
dicermati maka candi Planggatan memenuhi kriteria sebagai candi yang dibangun
•••
483
oleh para rsi atau para partapa. Daerah yang jauh dari keramaian dibutuhkan oleh
para rsi atau pertapa untuk bersemedi atau bertapa, selain para rsi, para penduduk
biasa atau bahkan para Raja juga kadang datang ke tempat pertapaan seperti candi
Planggatan untuk bersemedi atau mendapatkan ketenangan dan melupakan
sejenak kehidupan dunia dan memikirkan kehidupan akhirat kelak.
Penutup
Berdasarkan bentuk bangunan, relief dan ciri-ciri lainya dapat disimpulkan
bahwa candi Planggtan merupakan bangunan suci yang dibangun oleh para rsi
atau para pertapa. Selain itu dewa yang disembah oleh para rsi adalah dewa Siwa
dan Ganesha. Apabila dilihat dari bentuknya candi Planggatan merupakan
bangunan Megalitik yang telah berakultrasi dengan agama Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha.Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia).
Sedyawati, Edi, Agus Aris Munandar, Hasan Djafar, Taufik Abdulah, dan Adrian
Bernad Lapian. 2012. “Dinasti, Agama, dan Monumen”, Indonesia.
Hlm. 171-203 dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha.Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Rahardjo, S. (2011). Peradaban Jawa dari Mataram Kuno hingga Majapahit
ahir. Depok: Yayasan Kertagama dan Komunitas Bambu.
Riyanto, Sugeng. 2016. Tondowongso: Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad
XI-XIII Masehi. Yogyakarta: Kepel Press. Santiko, Hariani. 2005a.
“Kehidupan Beragama
Zoutmulder, P.J., dan I.R. Poedjawijatna. 1992. Bahasa Parwa I.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Wahyudi, Deny Yudo, Slamet Sujud P.J., Agus Aris Munandar, Ninny Soesanti.
2014. ‘’Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit”. Jurnal Studi
Sosial 6 (2): 107119.
Maulana, Ratnaesih. 1984. Ikonografi Hindu. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Darmosoetopo, Riboet. 1975/1976. Peninggalan Peninggalan Kebubayaan di
Lereng Barat Lawu
•••
484
WILLEM ISKANDER: BAPAK PENDIDIKAN MANDAILING
Kartika Siregar1, Djono2, Leo3
Pascasarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
kartikasiregar88@gmail.com
ABSTRAK
Pada tahun 1852 Belanda mendirikan Sekolah Bumi Putera (Inlandshe Schoolen)
di Panyabungan ibukota Asistensi Residensi Mandailing-Angkola. Tahun 1853
Willem Iskander pada usia 13 tahun masuk ke sekolah tersebut dan pada usia 15
tahun Willem Iskander diangkat menjadi guru dibekas sekolahnya. Karirnya
sebagai guru semakin diperdalamnya dengan melanjutkan sekolahnya ke Negeri
Belanda untuk bersekolah di sekolah keguruan. Tahun 1862 begitu mendapatkan
ijazah guru bantu, dia pulang ke Tanah Air (Mandailing) dan mendirikan
Kweekschool Tano Bato. Sekolah yang dibangunnya merupakan pelopor
pendidikan di Mandailing Sumatra Utara. Penelitian ini menggunakan metode
sejarah kritis yang terdiri dari 5 tahap yaitu (1) pemilihan topik yang disebabkan
oleh kedekatan emosional dan intelektual (2) Heuristik dilakukan dengan
pencarian dan pengumpulan sumber primer maupun sekunder yang relevan
dengan penelitian. (3) Kritik sumber (Verifikasi) dilakukan dengan penilaian dan
pengujian terhadap sumber sejarah sehingga dapat ditentukan otentitas dan
kredibilitas sumber sejarah secara akumulatif untuk memperoleh fakta sejarah. (4)
Interpretasi dilakukan dengan menafsirkan, menganalisis, dan menghubungkan
fakta-fakta sejarah. (5) Historiografi menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam
bentuk karya tulis. Hasil penelitian menunjukkan Willem Iskander adalah seorang
pribumi asli Mandailing, nama Kecilnya Sati Nasution gelar Sutan Iskandar. Pada
usia 22 tahun Willem Iskander mendirikan sekolah keguruan di Tano Bato
(Kweekschool Tano Bato). Sekolah ini merupakan pelopor pendidikan di
Mandailing karena pendidikan di Mandailing dan sekitarnya berkembang sangat
pesat setelah Sekolah Guru Tano Bato (Kweekschool Tano Bato) didirikannya.
Meskipun Willem Iskander meninggal dunia pada usia muda (36 tahun) namun
murid dari Kweekschool Tano Bato dan murid dari muridnya banyak yang
menjadi penerusnya sebagai guru, pengarang dan penerjemah yang tersebar di
Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Aceh. Tidak salah jika Willem Iskander
dikatakan sebagai seorang pelopor pendidikan di Mandailing Sumnatra Utara.
Kata kunci : Willem Iskander, pendidikan, di Mandailing.
Pendahuluan
Willem Iskander, seorang tokoh pendidikan berskala nasional, jauh
sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, beliau sudah mendirikan
lembaga pendidikan untuk menghasilkan guru-guru yang berbasis kerakyatan
(1862). Selain seorang seniman, penulis dan tokoh publik pada masa itu, beliau
juga seorang cendikiawan pertama dari tanah Batak yang menempuh pendidikan
formal hingga ke Negeri Belanda (tahun 1857). Dalam sejarah pendidikan
nasional, tidak banyak yang mengetahui nama Willem Iskander bahkan di
sumatera Utara pun banyak yang tidak mengenal sosok yang satu ini. Mungkin
penyebabnya nama beliau tidak dimasukkan dalam kurikulum sejarah nasional
•••
485
sebagai seorang pahlawan nasional, padahal dia merupakan seorang pelopor
pendidikan dari Mandailing yang anak muridnya tersebar di daerah Sumatra
Utara, Sumatra Barat, Aceh dan sekitarnya.
Ahli sejarah dan tokoh pendidikan terkenal, Dr, Hendrik Kroeskamp,
menulis bahwa orang Tapanuli (Mandailing) boleh berbangga hati atas prestasi
Willem Iskander sebagai satu di antara orang Indonesia pertama yang telah
berhasil membuktikan kemampuannya memimpin lembaga pendidikan yang
penting.Pernyataan Kroeskamp ini sejalan dengan isi salah satu tajuk harian De
Locomotief bulan Agustus 1876 yang terbit di Semarang, berjudul In Memoriam
Willem Iskander, yang menokohkan Willem Iskander sebagi pionir pendidikan
bumiputra. Kata pelopor biasa diartikan sebagai pendahulu, perintis sesuatu gerak
pembaharuan. Seorang pelopor pasti
sudah pasti memiliki keunggulan.
Keunggulan itu sendiri adalah suatu keadaan istimewa di atas rata-rata anggota
kelompoknya. Beberapa keunggulan dari pelopor biasanya antara lain adalah
keberanian, kecerdasan, ketekunan, kreativitas, keteladanan dan lain sebaginya.
Pendidikan merupakan suatu proses pembekalan dan pengembangan pengetahuan
melalui pelatihan untuk memperoleh keterampilan terutama melalui pembelajaran
secara formal.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan, Sumatera Utara. Penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan data tentang pembentukan karakter melalui puisi
yang ditulis dalam karya tokoh daerah, Willem Iskandar. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Dikatakan deskriptif deskriptif
kualitatif karena menggambarkan secara penuh dan mendalam tentang realitas
sosial dan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang menjadi subjek
penelitian sehingga menggambarkan karakter, karakter, sifat, dan model fenomena
tersebut.
Dilihat dari aspek yang diteliti, penelitian ini menggunakan jenis
penelitian studi kasus. Studi kasus adalah studi yang ditujukan untuk
mengumpulkan data, mengambil makna, mendapatkan pemahaman tentang kasus
ini (Sukmadinata & Nana, 2013: 23). Dengan demikian pelaksanaan penelitian
dengan menggunakan metode studi kasus adalah menggali sebanyak mungkin
informasi dan sedalam dan kemudian menggambarkannya dalam bentuk narasi
sehingga memberikan gambaran lengkap tentang fenomena yang terjadi.
Hasil Dan Pembahasan
1. Awal Pertumbuhan Pendidikan di Mandailing
Setelah mendapat usul dari komisaris Raad van Indie (Dewan Hindia)
tahun 1840, pemerintah kolonial Belanda membentuk keresidenan atau Residensi
Air Bangis dan Asisten Residen Mandailing-Angkola dengan ibukotanya
Panyabungan. Asisten residensi ini Merupakan wilayah administratif yang
menjadi bagian dari Keresidenan Air Bangis. Asisten Residensi MandailingAngkola yang awalnya bagian Keresidenan Air Bangis, dijadikan bagian
Keresidenan Tapanuli setelah Keresidenan Tapanuli terbentuk tahun 1843. Priode
1844-1848 Asisten Residensi Mandailing-Angkola dipimpin oleh T. J. Willer
•••
486
menggantikan Thomas Alexander Christiaan van Kervel. Willem menyebut dalam
laporannya bahwa ketika dia di Mandailing sudah ada sekolah-sekolah yang
didirikan sendiri oleh orang Mandailing. Hal ini memperlihatkan bahwa sekolah
di Mandailing sudah ada sebelum kolonial Belanda masuk ke Mandailing.
Willem tidak menjelaskan secara pasti sekolah apa yang ada di
Mandailing. Sekolah umum atau sekolah agama atau pendidikan yang bagaimana
yang dilaksanakan di sekolah-sekolah yang didirikan orang Mandailing tersebut,
pendidikan ala barat atau tidak, semuanya tidak dijelaskan secara pasti.
2. Pendidikan Ala Barat di Mandailing
Akibat Perang Diponegoro (1825-1830) yang menghabiskan banyak biaya
serta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839) menyebabkan Negeri
Belanda mengalami krisis keuangan. Ide yang dianggap paling ampuh
memperoleh keuntungan maksimal untuk mengatasi krisis ini adalah kerja paksa,
yang kemudian dikenal dengan nama Cultuurstelsel atau Tanam Paksa.
Pelaksanaan tanam paksa tentunya membutuhkan banyak tenaga terampil untuk
mengurusi administrasi dan pekerjaan lainnya, Menimbang keuntungan dan
kerugiannya apabila pelaksanaan sistem ini harus mendatangkan tenaga-tenaga
dari Eropa tentu akan membutuhkan biaya lebih banyak dan biaya akan lebih
hemat dan murah apabila menggunakan tenaga dari orang-orang pribumi. Oleh
sebab itu pemerintah Hindia-Belanda bersedia memberikan pendidikan bagi
orang-orang pribumi.
Tahun 1848 pertama kalinya dalam sejarah kolonial memberikan sejumlah
biaya sebesar ƒ 25.000, untuk pendirian sekolah bagi anak bumiputera. Sekolah
ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pegawai orang bumiputera.6 Tahun 1852
sekolah yang dimaksud ini didirikan di Mandailing. Tahun 1848-1857 T.J. Willer
digantikan oleh Alexander Philifus Godon sebagai Asisten Residensi MandailingAngkola. Di saat dan sebelum Godon menjabat sebagai Asisten Residen
sebenarnya terjadi gejolak perlawanan antara pemimpin-pemimpin daerah
Mandailing kepada Belanda.7 Untuk meredam perlawanan ini Godon
mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin setempat dari pertemuan
tersebut Godon menyimpulkan bahwa pemimpin pendahulunya tidak
menyenangkan bagi masyarakat, itulah yang menyebabkan perlawanan ini. Cara
yang dipakai Godon dengan cara yang dilakukan pendahulunya untuk meredam
perlawanan pemimpin-pemimpin Mandailing sangat berbeda.
Jika pendahulunya melakukan jalur peperangan yang menurutnya tidak
berhasil maka sebaliknya dengan Godon, dia lebih memilih lewat cara berdamai.
Godon melakukan musyawarah dengan pemimpin-pemimpin Mandailing untuk
saling bahu-membahu melakukan pembangunan di Madailing. Dua tahun berada
di Mandailing, tahun 1852 Godon mendirikan sekolah di Panyabungan. Sekolah
yang didirikannya adalah Sekolah Rendah Dua Tahun dan inilah yang merupakan
pelopor pendidikan formal ala barat di Mandailing.
3. Wiilem Iskander Sebagai Guru
Desember 1861, setelah pulang dari Belanda Willem sampai ke Batavia
untuk menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Sloet van den
Beele. Setelah mendapatkan surat dari Menteri Urusan Jajahan mengenai rencana
keinginan Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Mandailing, Gubernur
•••
487
Jenderal Hindia Belanda Baron Sloet van den Beele memberikan dukungannnya
dengan memberikan intruksi kepada Gubernur Pantai Barat Sumatera van Den
Bosche untuk memberikan berbagai kemudahan bagi Willem Iskander. Dalam
mendirikan sekolah Guru di Mandailing, Willem mendapatkan dukungan dari
berbagai pihak baik petinggi pemerintahan Belanda di Negeri Belanda, petinggi
Belanda di Hindia-Belanda, maupun dari pejabat-pejabat di tingkatan setempat,
mulai dari Gubernur Pantai Barat Sumatera, Residen Tapanuli, Asisten Residen
Mandailing-Angkola, para kontolir sampai ke pejabat desa.
Willem Iskander menerima beslit bertanggal 5 Maret 1862, yang
mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing. Beslit ke dua
bertanggal 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru kepala
(Hoofdonderwijzers) dengan gaji 75 gulden perbulan pada Kweekschool Tano
Bato yang nama resminya kweeekschool voor Inlandsche Onderwijzers. Sekolah
guru ini salah satu dari kepeloporan pendidikan di Mandailing dari Willem
Iskander. Bangunan sekolahnya dibangun secara bergotong royong oleh
masyarakat di desa Tano Bato, suatu desa kecil yang sekarang termasuk bagian
dari Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra
Utara. Bangunannya terbuat dari dinding tepas (Bambu), atap daun rumbia
(sejenis pohon salak) dan terdiri dari empat ruangan kelas. Satu di antara empat
kelas itu menjadi ruangan kantor Willem dan ruangan lainnya dipakai untuk kelas
belajar-megnajar. Sekolah ini didirikan di tanah raja-raja dan biaya gaji gurugurunya menjadi tanggung jawab raja-raja setempat.
Perjuangannya sangat berat, hanya sedikit orang yang mau menyekolahkan
anaknya di sekolah guru itu. Kesulitan itu dapat diatasinya dengan kesabaran dan
kegigihannya terus -menerus mensosialisasikan gagasan pembaharuannya dari
rumah ke rumah. Maka kelangkaan murid itu pun dapat diatasinya. Dia bukan
hanya memberikan pendidikan bagi muridnya di kelas, tetapi dia juga secara
teratur menyampaikan ceramah umum di halaman sekolahnya yang dihadiri oleh
penduduk setempat. Bahkan dia mengajarkan gagasan gagasan pembaharuan ini
dari rumah-kerumah para tokoh masyarakat. Baru satu tahun usia Kweekschool
Tano Bato, pada bulan September 1863, Gubernur Van den Bosch datang dari
Padang melakukan inspeksi ke sekolah ini. Gubernur Pantai Barat Sumatra ini
melaporkan kunjungannya kepada Gubernur Jenderal dalam suratnya tanggal 13
September 1863. Ia menyatakan kekagumannya terhadap kepiawaian Willem
Iskander. Kesannya dia tulis dengan kata-kata zeer ontwikkeld, hoogst ijverig,
yang artinya sangat cerdik, terpelajar, dan sangat rajin dan tekun.
Tanggal 11 September 1863 Gubernur Van den Bosch mengusulkan
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia agar didirikan satu sekolah
guru di pantai barat Sumatra atau menyatukan sekolah guru Tano Bato dengan
sekolah guru Bukit Tinggi. Dia juga mengusulkan Willem Iskander sebagai
pimpinan sekolahnya. Gagasan Gubernur Van den Bosche ini dibahas oleh
gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pejabat-pejabat department van Eeredienst
en Nijverheid dan Raad van Indie (Dewan Hindia) . keputusan pemerintah Hindia
Belanda ada pada Dewan Hindia yang kedudukannya sama dengan Dewan
Pertimbangan Agung. Raad van Indie akhirnya memutuskan untuk tidak
menyatukan kedua sekolah tersebut. Hal di atas sengaja disinggung dalam
•••
488
penelitian ini, karena meskipun usul Van den Bosche itu ditolak tapi kita dapat
mengetahui dari sisi lain usul tersebut merupakan pengakuan terhadap reputasi
baik Willem Iskander di mata petinggi Hindia Belanda pada masa itu. Empat
tahun setelah Willem Iskander mendirikan Kweekschool Tano Bato, Mr. J.A. van
der Chijs,18 Inspektur Pendidikan Bumiputera, pernah datang dari Batavia ke
Tano Bato 1866. Selama di Tano Bato Van der Chijs menyaksikan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah guru ini. Ia mengagumi kepandaian
Willem Iskander mengajarkan konsep-konsep ilmu pengetahuan dalam bahasa
Mandailing dan bahasa Melayu dan dia juga mengagumi kemampuan berbahasa
Belanda para murid Willem Iskander. Van der Chjis menyaksikan Willem
Iskander mengajarkan dasar-dasar fisika dalam bahasa Mandailing dengan metode
sendiri, memakai alat peraga lokal yang dikenal baik oleh murid-muridnya. Chijs
menulis di dalam laporan tahunan pendidikan bumiputra tentang kekagumannya
terhadap tiga kemampuan murid-murid Willem Iskande yaitu dalam bidang
matematika, bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Van der Chijs menyaksikan
mereka membuat esai dan surat-menyurat dalam dua bahasa itu. Sekolah Guru
Tano Bato tampil sebagai pusat pendidikan dan pelatihan guru yang paling
menonjol di seluruh Hindia Belanda. Dengan melihat kualitas pendidikan di
Kweekschool Tano Bato yang sangat baik maka Van der Chijs menetapkan
Kweekschool Tano Bato sebagai sekolah percontohan bagi sekolah guru-guru
yang ada di Nusantara.
Ketika Inspektur Jendral Pendidikan Bumi Putera, Mr. J.A. van der Chijs
berkunjung ke Kweekschool Tano Bato, Iskander dan Chijs mendiskusikan caracara terbaik yang harus ditempuh untuk memajukan pendidikan bumiputera. Pada
kesempatan ini Willem Iskander banyak mengajukan usul untuk meningkatkan
mutu sekolah-sekolah guru bumiputera di Indonesia (Hindia Belanda). Usul-usul
itu termasuk peningkatan mutu guruguru muda dengan cara memberikan beasiswa
kepada mereka. November 1869 di Batavia pemerintah kolonial Hindia-Belanda
mengadakan Rapat Dewan (Tweede Khamer) untuk menindaklanjuti usul dari
Iskander. Dari hasil rapat dewan di Batavia, Hindia-Belanda atas nama Inspektur
Jendral Pendidikan Bumiputera, Mr. J.A. van der Chijs membuat rencana jangka
panjang dan jangka pendek untuk meningkatan mutu pendidikan guru bumiputera.
Renvanya tersebut antara lain sebagai berikut. a. Dia membuat sejumlah syarat
yang harus dipenuhi setiap sekolah guru bumiputera. Syarat-syarat tersebut antara
lain adalah 1. Sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan; 2. Guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran, dan 3.
Bahasa daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa. b.
Memberitahukan tugas kepada Willem Iskander untuk membawa dan
membimbing delapan guru muda untuk meneruskan pendidikan di Negeri
Belanda.
Dekrit di atas sangat berkaitan dengan gagasan-gagasan Willem Iskander
ketika sebelumnya mereka berdua pernah mendiskusikannya.Willem seorang
pendidik yang handal, dia selalu berusaha keras agar anak muridnya menjadi
pintar. Hanya dalam beberapa tahun setelah dia mengajar dan mendidik guru,
usahanya telah menunjukkan hasil yang nyata. Beberapa muridnya tampil sebagai
guru, pengarang dan guru sekaligus pengarang. Sebagai perbandingan
•••
489
ketertinggalan Fort de Kock dengan Kweekschool Tano Bato dapat kita lihat dari
perbedaan dalam mata pelajaran tahun 1867 dan 1870, seperti daftar di bawah ini.
Kweekschool Tano Bato 1867
1) Membaca dan menulis aksara Latin, Melayu dan Mandailing.
2) Menerjemahkan secara tertulis teks bahasa Melayu ke dalam bahasa
Mandailing dan sebaliknya
3) Menerjemahkan secara lisan bahasa Belanda ke bahasa Melayu
4) Berhitung luar kepala dengan contoh-contoh praktis
5) Berhitung berdasarkan buku karangan A.L. Boeser
6) Ilmu bumi lima benua termasuk geografi, sosial, ekonomi, tanah, bahasa dan
penduduk nusantara berdasarkan buku karangan Dr. De Hollander.
7) Matematika, fisika, teori ilmu ukur tanah, politik pemerintahan Belanda di
Hindia Belanda.
Kweekschool Fort de Kock 1867
1) Berhitung bahasa Melayu
2) Ilmu bumi dan hukum bahasa Melayu.
3) Membaca karangan Darmowasito berjudul kitab akan dibaca anak-anak di
Sekolah Jawa
4) Menak Maya dan Johar Manikam
5) Huruf Melayu dan pengajaran pendek bahasa Melayu
6) Bahasa Melayu dengan huruf latin.
Kweekschool Tano Bato 1870
1) Membaca dan memahami pokok soal yang dibaca
2) Lagu rakyat
3) Kemampuan bahasa Melayu dan bahasa Mandailing
4) Menulis huruf sambung, halus kasar
5) Berhitung
6) Aljabar
7) Ilmu bumi
8) Ilmu falak
9) Fisika
10) Ilmu kesehatan diterangkan dalam bahasa Melayu atau bahasa Mandailing
11) Sejarah Hindia Belanda
12) Sejarah orang-orang Belanda di Hindia Belanda
13) Sejarah Belanda secara umum
14) Bahasa Belanda, menghafal kata-kata, membaca buku bacaan dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa Mandailing
15) Teori ilmu ukur tanah
Kweekschool Fort de Kock 1870
1) Membaca dan menuis bahasa Melayu dengan huruf Latin dan Arab
2) Berhitung
3) Geografi Hindia Belanda, Asia, Eropa, dan Belanda
4) Teori ilmu ukur tanah
5) Membuat peta dan menggambar
Dari perbandingan mata pelajaran antara kedua sekolah di atas jelas
terlihat bahwa wawasan murid-murid sekolah Tano Bato lebih luas di bandingkan
•••
490
Ford de Kock Bukit tinggi. Banyak anak muridnya yang mengikuti langkahnya
menjadi seorang guru dan daerah persebaran murid-muridnya pada masa itu
cukup luas.
Kesimpulan
Willem Iskander adalah seorang anak pribumi yang berasal dari
Mandailing, lahir pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang yang ibukotanya
Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Pada saat itu berada di bawah
daerah administratif Asisten Residensi Mandailing-Angkola. Ayahnya, Raja
Tinating, raja dari desa Pidoli Lombang dan Ibunya Si Anggur. Menurut Tarombo
(Silsilah Raja-Raja Mandailing ), Willem Iskander termasuk generasi XI Marga
(clan) Nasution. Dia adalah anak bungsu dari 4 bersaudara ketiga abangnya adalah
Sutan Kumala, Sutan Soripada dan Sutan Kasah. Nama kecil Willem Iskander
adalah Sati Nasution gelar Sutan Iskandar.
Tanggal 5 Maret 1862 Willem Iskander menerima beslit yang
mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing (Kweekschool Tano
Bato). Beslit kedua tanggal 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru
pada Kweekschool Tano Bato yang nama resminya Kweeekschool Voor
Inlandsche Onderwijzers. Perjuangannya sangat berat hanya sedikit orang yang
mau menyekolahkan anaknya di sekolah guru itu. Kesulitan itu dapat diatasinya
dengan kesabaran dan kegigihannya yang terus menerus mensosialisasikan
gagasan pembaharuannya dari rumah ke rumah. Dengan cara demikian
kelangkaan murid itu pun dapat diatasinya.
Bangunan sekolahnya terdiri dari empat ruang kelas terbuat dari atap
rumbia, dinding tepas (bambu) dan bertiang kayu. Sekolah ini dirikan di tanah
raja-raja. Empat tahun berdirinya Kweekschool Tano Bato, Mr. J.A. van der Chijs
yang menjabat Inspektur Pendidikan Bumiputera, mengunjungi sekolahnya di
tahun 1866. Iskander dan Chijs banyak mendiskusikan cara-cara untuk
memajukan pendidikan bumiputera. Pada kesempatan itu Willem Iskander banyak
mengajukan usul untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah guru bumi putera di
Indonesia (Hindia-Belanda). Peningkatan mutu guru-guru muda dengan cara
memberikan beasiswa kepada mereka.
Setelah berhasil mengelola dan memimpin Kweekschool Tano Bato
selama 12 tahun (1862-1874) Willem Iskander memperoleh beasiswa ke dua dari
pemerintah Belanda untuk melanjutkan sekolahnya yang pernah terbengkalai
karena sakit. Rencananya dia akan belajar di Belanda selama 2 tahun (1874-1876.
Beasiswa yang ke dua kalinya didapatkan Willem Iskander tujuannya untuk naik
ke tingkat jabatan Guru Kepala (hoofdonderwijzer). Pemberian beasiswa ini
sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan bumiputera yang dikeluarkan oleh
Mr.J.A. van der Chijs (Inspecteur van Indlansch Onderwijjs) pada tahun 1871.
Willem Iskander adalah seorang pejuang pemikir karena telah berhasil meletakkan
dasar-dasar perjuangan untuk meningkatkan martabat bangsa Indonesia melalui
pendidikan, dia juga dijadikan sebagai inspirator perjuangan kebangsaan melalui
karya-karyanya (Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk). Semasa hidupnya selain
dikenal sebagai seorang pelopor pendidikan guru, Willem Iskandar populer juga
sebagai penyair Mandailing terkemuka pada abad ke-18. Dia menulis puisi-puisi
indah dalam bahasa Mandailing dan juga menulis cerita pendek serta
•••
491
menerjemahkan beberapa buku berbahasa Belanda ke dalam Bahasa Melayu dan
Bahasa Mandailing.
Daftar Pustaka
___, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk terbitan ke-4, Jakarta: Puisi
Indonesia,1987
Windy A, Floriberta Aning S, dkk. 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia:
Biografi Singkat Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah
Indonesia di Abad 20, Yogyakarta: Narasi,2005.
___, Derap Langkah Mandailing Natal, ( Medan: Himpunan Keluarga Mandailing
Parinduri Muhammad Bahksan, Kamus Bahasa Mandailing, Medan:Anggora
Simbolon Tahi Parakitri, Menjadi Indonesia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
1995.
•••
492
REAKTUALISASI MANUSKRIP JAWA SEBAGAI SUMBER
PENULISAN SEJARAH LOKAL:
(STUDI SEMIOTIKA PADA SERAT CEBOLEK)
Manggara Bagus Satriya Wijaya, Hermanu Joebagio, Sariyatun
Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret (UNS),
Email: Manggara.B.S.W@gmail.com
ABSTRAK
Kebangkitan kembali kesusastraan Jawa klasik dimulai sejak masa
hegemoni Kasunanan Kartasura berlangsung. Pada era ini peran keraton begitu
kentara dalam memulai gubahan karya sastra Jawa Klasik yang menjadi basis
kemunculan sastra Jawa Modern. Situasi tersebut tidak bisa dipisahkan dari
kebangkitan para pujangga keraton dalam merintis tradisi penulisan di lingkungan
istana. Serat Cebolek merupakan sebuah karya yang ditulis Yasadipura I pada
masa Kasunanan Kartasura. Melalui pendekatan Semiotika terungkap bahwa
penulis Serat Cebolek ingin mengungkapkan peran raja (Pakubuwono II) dan Ki
Demang Urawan dalam mendamaikan pertentangan agama yang terjadi saat itu.
Sebagai bagian dari teks Jawa yang telah berumur, Serat Cebolek tentu
menyimpan historisitas sehingga memungkinkan untuk ditemukan kesesuaian
dengan situasi yang terjadi saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tin yang
terungkap dalam Serat Cebolek merupakan wujud aktualisasi sumber-sumber
pembelajaran sejarah lokal yang selama ini menghadapi kendala.
Keywords: Sejarah Lokal, Serat Cebolek, Semiotika
PENDAHULUAN
Semenjak berdirinya Surakarta pada pertengahan abad XVII, kota ini kemudian
berkembang sebagai jantung budaya Jawa. Surakarta memiliki banyak nilai-nilai
kearifan lokal budaya Jawa yang sangat bermafaat untuk dikembangkan dalam
proses pembelajaran di sekolah. Menurut Margana (2004:75), “Sastra telah
mencari jalanya sendiri untuk tetap hidup di jalan masyarakat”. Kutipan tersebut
ialah analogi untuk menggambarkan perkembangan kesusastraan Jawa dari masa
ke masa. Bila melihat kebelakang, kesusastraan Jawa telah ada sejak masa
kerajaan kediri (Sastra klasik) dan kemudian mencapai era Rennaissance (Sastra
Modern) pada periode Kasunanan Kartasura dan Surakarta pada belahan kedua
abad XVIII.
Era keemasan kesusastraan Jawa merupakan bentuk dari kebangkitan
intelektual Jawa (Pradopo, 2001:16). Kreativitas para pujangga Jawa pada masa
ini begitu menonjol sehingga sangat produktif dalam menghasilkan karya. Raden
Ngabehi Yasadipura I merupakan salah satu pujangga Jawa masa Kasunanan
Kartasura yang memelopori kebangkitan kesusastraan Jawa kala itu. Beliau aktif
menulis sejak remaja sehingga banyak sekali karya sastra yang dihasilkan. Karya
Yasadipura I memang banyak tapi yang menjadi sorotan adalah teks-teks gubahan
beliau yang menceritakan kehidupan keagamaan pada masa pemerintahan Sunan
•••
493
Amangkurat IV dan Pakubuwana II. Kala itu memang, situasi kerajaan sedang
memanas akibat benturan yang terjadi antara kelompok-kelompok keagamaan
sehingga Yasadipura I kemudian mengabadikan seluruh peristiwa sejarah tersebut
dalam sebuah karya yang populer di kalangan masyarakat dengan istilah Serat
Cebolek.
Serat ini digubah sebelum terjadinya peristiwa palihan nagari pada
pertengahan abad 18 atau sezaman dengan keberadaan Kasunanan Kartasura kala
itu (Bizawie, 2002:24). Didalamnya bercerita mengenai situasi keagamaan pada
waktu itu yang diwarnai adanya pertentangan antara Islam syariat dan hakikat
(Ahmad & Tajuddin, 2011:56-57). Meski kandungan Serat Cebolek bernuansa
politis tetapi bukan perihal tersebut yang menjadi fokus penelitian sebab penulisan
artikel ini tidak ditujukan untuk menyentuh ranah kontroversi melainkan
diarahkan dalam upaya menemukan unsur-unsur resolusi konflik sehingga
memerlukan sebuah pendekatan khusus. Sesudah memahami kandungan isi dari
Serat Cebolek kemudian peneliti memutuskan untuk menggunakan pendekatan
semiotika yang dikembangkan Julia Kristeva. Kegunaan semiotika dalam
pengkajian teks-teks sastra sejatinya bukan merupakan kejadian yang baru.
Struktur tanda-tanda dan makna yang diungkapkan pengarang Serat Cebolek
sesungguhnya bersifat simbolis sehingga tidak dapat dimengerti secara optimal.
Pada fase inilah kebermanfaatan semiotika begitu penting untuk megungkap
makna simbolis yang terdapat dalam sebuah teks.
Sesungguhnya pencarian makna dalam sebuah teks seperti Serat Cebolek
merupakan aktifitas yang memberikan dampak efektif dalam mendukung
keberadaan kearifan lokal agar tetap eksis di tengah derasnya arus globalisasi
seperti sekarang ini. selain itu, kegiatan tersebut juga selaras dengan situasi pelik
dunia pendidikan masa kini yang terbentur dengan kemunculan dehumanisasi di
kalangan peserta didik. Masuk akal memang bila kini pengintegrasian kearifan
lokal begitu diperlukan dalam mata pelajaran Sejarah sehingga diharapkan mampu
mengedukasi peserta didik untuk kembali menemukan jati dirinya sebagai mahluk
sosial.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini termasuk dalam lingkup library research yakni
penelitian dengan menggunakan data dan informasi denganbantuan bermacammacam referensi yang terdapat di ruangan perpustakaanseperti buku, majalah,
dokumen sejarah, catatan, dan lain sebagainya (Mardalis, 2007:28). Situasi ini
terjadi karena peneliti fokus pada kajian teks dalam Serat Cebolek.
1. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian dan objek yang diteliti, penelitian
initermasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yakni penelitian
yangbermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
olehsubjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan
(Moloeng, 2013:183-187). Kemudian dalam penelitian ini juga digunakan
Pendekatan semiotika model Julia Kristeva karena Serat Cebolek sebagai objek
kajian mengandung begitu banyak simbol-simbol yang kaya makna. Situasi ini
•••
494
dikarenakan tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap serta
mengasosiasikan simbol-simbol dan makna yang terkandung dalam Serat
Cebolek.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Sumber primer merupakan sumber yang memberikan data
langsung. Adapun sumber data primer yang digunakan dalampenelitian ini
adalah Serat Cebolekkarya Yasadipura I yang telah diterjemahkan
S.Soebardi.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang masih berkaitan
dengan judul. Adapun sumber data sekunder yang mendukung
dalampenelitian ini adalah buku-buku, majalah ataupun artike yang
berkaitandengan penelitian ini, seperti Perlawanan Kultural Agama Rakyat
karyaZainul Milal Bizewai, Suluk Kiai Cebolek Karya Acmad Ubaidillah
dan Yuliatun Tajuddin dan buku-buku lain yang masih terkaitdengan
penelitian.
c. Metode Pengumpulan Data
Untuk mencapai penelitian yang valid, maka diperlukan data
yangdapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta menggunakan
metodeyang sesuai untuk mengmpulkan data. Berdasarkan manfaat
empiris,metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen
adalahmetode wawancara, observasi partisipasi dan studi bahan
dokumenter.
Dalam penelitian ini,peneliti menggunakan metode studi bahan
dokumentasi, yaknipengumpulan data dengan cara mengkaji isi
dokumentasi atau buku-buku yang terkait dengan masalah penelitian.
d. Metode Analisis Data
Model analisis penelitian kualitatif cenderung menggunakan
pendekatan logika induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada
hal-hal khusus atau data di lapangan dan bermuara pada kesimpulan
umum. Penelitian menggunakan teknik analisis data teks dan bahasa yang
berfokus pada analisis isi atau content analysis, wacana dan interpretasi
teks (Serat Cebolek), yang kemudian analisis ini dikemas dalam bentuk
deskriptif kualitatif.
KAJIAN SEMIOTIK PENGGALAN SERAT CEBOLEK
Penelitian ini menggunakan analisis Semiotik Julia Kristeva untuk
mengkaji penggalan Serat Cebolek. Penulis melihat kajian Semiotic of
Poetrysangat cocok karena membahas sebuah puisi yaitu tembang jawa.
Banyakkode yang harus penulis ungkap dari penggalan tersebut. Semiotik puisi
(Semiotic of Poetry) Kristeva beranggapan puisi itu sebagai aktivitas bahasa.Maka
ciri puisi adalah mengekspresikan konsep-konsep dan benda secaratidak langsung.
Puisi menyatakan suatu hal dan memaksudkan hal lain.Dalam pembacaan
terhadap sebuah puisi, hal lain inilah yang perlu diungkap,yaitu makna puisi.
•••
495
Pemahaman Kristeva ini ia ungkapkan karena suatu tekspuisi dipandang
dari dua sisi, yakni sisi “arti” (meaning) dan sisi “makna”(significance).
Berdasarkan sisi “arti” teks puisi dilihat sebagai suatu rangkaiansatuan informasi
yang berturut-turut, sedangkan berdasarkan sisi “makna”,teks puisi menyajikan
suatu satuan semantik. Bersamaan dengan “ arti” yangtersurat ada “makna” yang
tersirat (Kaelan, 2009:34). Pengaruh hasil kerja Kristeva adalahmengubah paham
kritik stilistik dengan suatu teori tentang pembacaan danproduksi arti. Kristeva
menekankan pada pentingya dialektika antara teks danpembaca dan bukan antara
pengarang dan teks. Menurut Kristeva pembacaadalah satu-satunya pencipta
pertalian antara teks, interpretan, dan interteks:satu-satunya pihak yang dalam
pikirannya terjadi pentransferan semiotik darisuatu tanda ke tanda yang lainnya.
Sebuah penggalan Serat Cebolek yang telah diterjemahkan Soebardi
berikut didalamnya banyak terdapat simbol-simbol yang mengarah pada upaya
resolusi konflik yang dilakukan Demang Urawan (utusan Raja). Selanjutnya, isi
penggalan tersebut adalah seperti termuat dalam Serat Cebolek pupuh
VII Gambuh Bait 5 dan 6 sebagai berikut:
Setiap malam, ia didatangi/oleh Dyan Demang, yang setiap kali pergi
(mengunjunginya)/meminta dia untuk mempertunjukkan semua
ilmunya./Ki Cabolek berkata:/ “pertama kali saya memeluk ajaran
mistik di Yaman, waktu saya belajar/ di bawah seorang guru, yang
namanya Ki Syaikh Zain,/ ajaran yang diberikan sama dengan Dewa
Ruci,/ itulah ilmu mistik yang diberikan (kepadaku)/ yang sama
dengan Bhima Suci (Soebardi, 2004:96).
Syair di atas merupakan pengakuan Syaikh Mutamakkin ketika
ditanya oleh Raden Demang Uruwan tentang keilmuanya. Kemudian Syaikh
mutamakkin menceritakan pertama kali ia belajar ilmu tasawuf di Yaman dan
bertemulah dengan gurunya yaitu Syaikh Zayn al-Mizjaji yang mengajarinya
ilmu tasawuf. Ajaran Syaikh Zayn pada intinya sama dengan ajaran Dewa
Ruci yaitu sama-sama mencari ke Tuhanan.
Ditinjau dari permaknaan bahasa, penggalan serat Cebolek diatas
mengisahkan lawatan yang dilakukan ki Demang Urawan ke kediaman syaikh
Mutamakkin. Peristiwa tersebut bermotif politis sehingga meninggalkan beberapa
kode yang memungkinkan dikaji melalui telaah semiotik. Penyelidikan semiotik
terhadap tujuan pengarang merekam peristiwa lawatan Ki Demang Urawan dalam
Serat Cebolek pupuh VII Gambuh Bait 5 dan 6 merupakan upaya keraton untuk
menyelesaikan konflik antara ulama struktural dengan ulama cultural seperti yang
terselenggara di dalam dunia pesantren.Polapenyelesaian konflik yang
dimaksudadalah tahapan-tahapan penyelesaian konflik yang termaktub dalam
kandunganSerat Cebolek. Tahapan-tahapan tersebut adalah negosiasi
(keberatankeberatan para ulama di pesisir antara atas metode dakwah yang
dilakukanoleh Syaikh Mutamakkin), mediasi (kehadiran Raden Demang
Urawanuntuk menyelesaikan kasus Syaikh Mutamakkin), dan mediasi
arbitrasi(keputusan yang diambil Paku Buwana II berdasarkan pertimbanganpertimbangan Raden Demang Urawan dalam melakukan mediasi
terhadappenyelesaian kasus Syaikh Mutamakkin).
•••
496
PENUTUP
Sejarah kepustakaan Jawa yang identik dengan gubahan bahasa Jawa
Kuno ke bahasa Jawa Baru. Hal ini dilakukan pihak istana guna melestarikan
kesenian, kesusastraan, kebudayaan, dan tradisi Jawa.Istana adalah epicentrum
yang menggerakkan segala aspek administrasi negara dan sebagai tempat
melindungi bentuk kebudayaan Jawa.Kesusastraan di Jawa juga tidak bisa lepas
dari peran tiga tokoh ini Yasadipura I, Yasadipura I, dan Ranggawarsita. Mereka
memberikan kontribusi yang banyak terhadap kepustakaan Jawa zaman Surakarta,
baik berbentuk gubahan maupun karya mereka sendiri. Karya mereka sangat
terkenal dan menjadi bahan rujukan oleh masyarakat Jawa. Ini terbukti dari
beberapa karya mereka yang mempunyai banyak salinan salah satunya adalah
Serat CebolekYasadipura I.
Penggunaan bahasa tulis yang sangat variatif tidak membosankan dengan
tutur Jawa yang sopan-santun. Kemudian ajaran-ajaran tentang kehidupan mereka
balut dengan bahasa yang indah membuat karya-karya mereka semakin
digandrungi para intelektual pada masa dulu hingga sekarang.Penggalan Serat
Cebolek yang diterjemahkan S. Soebardi ini hanyalah seklumit kepopuleran
karya-karya pujangga Istana Surakarta. Mungkin masih banyak lagi yang belum
ditemukan atau dibahas. Kajian ini dibuat untuk memberikan informasi dan
mengingatkan kepada masyarakat Surakarta, bahwasanya Surakarta pernah
mempunyai sejarah hebat di masa kolonial tentang masa keemasan kesusastraan
yang sekarang ini telah dilupakan dan ditinggalkan
DAFTAR RUJUKAN
Achmad U. dan Tajuddin Y. (2011). Suluk Kiai Cebolek: Dalam Konflik Keberagaman
dan Kearifan Lokal. Jakarta: Prenada
Bertens, K.. (2001). Filsafat Barat Perancis. Gramedia Pustaka Utama, Yogyakarta
Lexy J. Moleong. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kaelan. (2009). Filsafat Bahasa : Semiotika dan Hermeneutika. Paradigma, Yogyakarta.
Margana S. (2004). Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Mardalis. (2007). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Pradopo S. Widati. (2001). Ikhtisar perkembangan sastra Jawa modern periode
prakemerdekaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
S. Soebardi. (2004). Serat Cebolek Kuasa, Agama, Pembebasan Pengadilan K. H. A.
Mutamakkin & Fenomena Syaikh Siti Jenar. Yogyakarta: Nuansa
•••
497
•••
498
KONSEP EKOSENTRISME DALAM TRADISI WAHYU KLIYU
(STUDI KASUS TRADISI WAHYU KLIYU PADA MASYARAKAT
DUSUN KENDAL, DESA JATIPURO, KECAMATAN JATIPURO,
KABUPATEN KARANGANYAR)
Watsiqotul mardliyah, Sunardi, dan Leo Agung
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Viey.elwatsiq@gmail.com
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan memiliki keberagaman suku, etnis,
agama dan sebagainya. Masing-masing etnis dan suku memiliki local wisdom yang khas
dan unik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan tradisi wahyu kliyu
di Dusun Kendal, Desa Jatipuro, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar dan
mendeskripsikan konsep ekosentrisme yang terkandung dalam tradisi wahyu kliyu di
Dusun Kendal, Desa Jatipuro, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan strategi studi kasus
terpancang tunggal. Untuk menganalisis data menggunakan model analisis interaktif
melalui pengumpulan data, reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan. Hasil dari
penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam tradisi wahyu kliyu adalah sutau tradisi
yang dilakukan oleh masyarakat Kendal yang dilakukan setiap 15 syuro, dengan
pelemparan apem sebanyak 344 biji kedalam area yang sudah disediakan. Tradisi wahyu
kliyu dinamakan juga sedekahan apem atau tradisi pelemparan apem. Pelaksanaan tradisi
wahyu kliyu sebagai menifestasi rasa syukur masyarakat Dusun Kendal kepada Gusti
Allah akan kehidupan rukun, sejahtera, lancer rezeki dan diberi keselamatan hidup.
Pelemparan apem yang disebut sebagai tradisi wahyu kliyu ini mengandung nilai-nilai
religi yang menjadi prasyarat untuk mengajarkan pemahaman terhadap hubungan antara
Tuhan dengan manusia dan lingkungan. Dalam hubungan manusia dan lingkungan,
perlunya melestarikan lingkungan untuk menjaga sustanbility, sehingga teraktualisasi
konsep ekosentrisme dalam tradisi wahyu kliyu.
Kata kunci : ekosentrisme, kearifan lokal, tradisi wahyu kliyu
•••
499
Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang majemuk dengan memiliki
keberagaman suku, etnis, agama dan sebagainya. Masing-masing etnis dan suku
memiliki local wisdom yang khas dan unik, hal ini berupa bahasa daerah dan logat
yang berbeda, serta dalam menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda satu sama
lain. Dalam kronologis sejarah Indonesia kehadiran pendatang seperti etis Arab,
Tionghoa, India, Eropa semakin memperkaya kemajemukan kearifan lokal
masyarakat Indonesia.
Kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat lokal itu sendiri, yang
disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif dan turun-temurun.
Kemudian dikembangkan dan diadaptasi, serta tertanam dalam cara hidup
masyarakat sebagai sarana bertahan hidup dan sebuah kepercayaan yang harus
dijalankan.
Tradisi upacara wahyu kliyu merupakan salah satu kearifan lokal yang
dimiliki oleh masyarakat Karanganyar, khususnya di Dusun Kendal, Kecamatan
Jatipuro, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Tradisi upacara wahyu kliyu atau
tradisi pelemparan apem yang dipercaya sebagai penolak balak dan sebagai
perwujudan manifestasi rasa syukur masyarkat Dusun Kendal terhadap sang
penguasa. Secara makrokosmos dalam hal ini terdapat interaksi antara alam,
manusia dan pencipta untuk menjaga kesinambungan (sustainability). Teori
Darwin(Supriatna, 2016) yaitu survival of the fittest sebagai rialitas siapa yang
kuat dialah yang akan mampu bertahan hidup. Implikasi teori Darwin semakin
menunjukkan independensi manusia terhadap alam. Manusia tidak lagi menjadi
makhluk alami yang menggantungkan hidupnya pada alam. Namun sebaliknya
manusia menjadi faktor penentu keberlangsungan alam. Sehingga perlunya dirasa
oleh peserta didik untuk menambah wawasan kearifan lokal dan melestarikan
budaya disekitar, untuk menjaga keseimbangan alam dan mengubah konsep
antoposentris menjadi ekosentrisme.
Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berkewajiban
untuk berpartisipasi dalam pelestarian kebudayaan masyarakat. Salah satu cara
yang dapat dilakukan adalah dengan pengembangan pembelajaran sejarah
berbasis kearifan lokal (tradisi upacara wahyu kliyu). Hal ini sesuai dengan
padangan pendidikan di Indonesia yang menekankan pada pegangan hidup
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berikmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara demokratis serta bertanggung jawab.
pelajaran sejarah lokal, dengan mengaitkan budaya atau tradisi masyarakat
sekitar akan membantu guru dan peserta didik untuk menjadikan pembelajaran
lebih bermakna dan bernilai. Lingkungan (daerah) merupakan salah satu hal
penting untuk mendukung pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta
didik pada setiap daerah. Kearifan lokal masyarakat menjadi suatu hal yang
penting guna memberikan pemahaman dan dapat dilestarikan oleh generasi
penerus. Selain itu perlunya mengubah pandangan antroposentris yaitu pandangan
yang menempatkan manusia sebagai pusat penentu kehidupan di muka bumi
menjadi ekosentrisme yaitu pandangan yang menempatkan alam dengan segala
•••
500
isinya sebagai pusat. Cara pandang ekosentris tidak menyebabkan manusia
kehilangan esensinya sebagai manusia melainkan memperkuat posisi mereka
sebagai sahabat dengan alam. Dalam posisi tersebut akan terjalin hubungan yang
sejajar untuk saling membutuhkan satu sama lain. Kearifan lokal dalam penulisan
ini adalah tradisi wahyu kliyu atau sedekahan apem (pelemparana apem). Tradisi
wahyu merupakan sebuah tradisi turun-temurun yang dipercayai masyarakat
Dusun Kendal sebagai manifestasi rasa syukur warga kepada sang pencipta
(Allah) dan juga sebagai tolak belak dari segala bencana. Sehingga untuk
menghalangi bencana yang dapat terjadi, warga melakukan menghormatan kepada
sang pencipta dan alam dengan melakukan prosesi tardisi wahyu kliyu tersebut.
Sehingga dalam hal ini terbentuk kesadaran bahwa manusia dan alam menjadi
sahabat untuk menjaga sustanbility.
Berdasarkan Latar Belakang Masalah Maka diambillah judul yaitu Konsep
Ekosentrisme Dalam Tradisi Wahyu Kliyu (Studi Kasus Tradisi Wahyu Kliyu
Pada Masyarakat Dusun Kendal, Desa Jatipuro, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten
Karanganyar).
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan strategi studi
kasus terpancang tunggal. Penelitian kualitatif adalah suatu bentuk penelitian yang
menghasilkan karya ilmiah yang menggunakan data deskriptif yang berupa kata
tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang dapat diamati terhadap status
sekelompok orang atau manusia, suatu objek dan suatu kelompok atau
kebudayaan (Moleong, 2000). Data yang diperoleh dengan suatu metode yang
dilengkapi dan disempurnakan dengan menggunakan teknik pengumpulan data
antara lain; wawancara, observasi dan dokumentasi. teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian (Sugiyono, 2005).
Dikatakan penelitian studi kasus terpancang tunggal karena hanya mengarah pada
satu karakteristik objek penelitian. Sedangkan sumber dalam penelitian ini adalah
narasumber sebagai pemberi informasi, tepat/peristiwa dan dokumen/arsip. Selain
itu analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif dengan langkah yaitu
mengumpulkan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil Dan Pembahasan
a. Pengertian Dan Sejarah Tradisi Wahyu Kliyu
Tradisi wahyu kliyu adalah optimalisasi kebudayaan yang menurut
penuturan para sesepuh merupakan warisan tradisi dan kepercayaan leluhur
yang dianggap sakral bagi masyarakat Dusun Kendal. Wahyu kliyu sendiri
adalah sebuah upacara adat selametan barupa sedekah apem yang
diselenggarakan oleh masyarakat Dusun Kendal setahun sekali. Istilah
wahyu kliyu berasal dari bahasa arab “Yaqayu, Yaqayum” pengalan ayat
tersebut diambil dari ayat kursi yang terdapat di surat Al-Baqarah ayat 255,
yang artinya “memberi kehidupan”, namun karena lidah orang Jawa
kesulitan untuk mengucapkan “Yaqayu, Yaqayum” akhirnya menjadi
“wahyu kliyu”. Dari pengertian tersebut wahyu kliyu dapat diartikan bahwa
upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Kendal untuk
•••
501
memohon keselamatan hidup kepada Allah SWT, dan masyarakat Dusun
Kendal mendapat anugrah dari Tuhan YME, selain itu diberi kekuatan lahir
batin dan dijaukan dari segala bencana serta mala petaka sehingga
kehidupan masyarakat menjadi aman, tentram dan sejahtera (Mardliyah,
2017).
Masyarakat setempat Dusun Kendal tidak mengetahui secara jelas
kapan tradisi tersebut mulai dilakukan oleh penduduk sekitar, namun
menurut keterangan sesepuh desa menyatakan bahwa tradisi wahyu kliyu
telah lahir di dusun kendal sejak zaman sesepuh mereka. Dahulu tradisi ini
pernah dihentikan oleh masyarakat sekitar dusun Kendal sehingga terjadi
bencana. Menurut penuturan narasumber yaitu terjadi pageblug atau wabah
penyakit dimana banyak penduduk yang meninggal tiap harinya, selian itu
terjadi paceklik atau kekurangan pangan sehingga perkebunan dan pertanian
banyak yang mengalami gagal panen, Dan juga bencana tanah pekarangan
warga dan jalan-jalan bongkah/neloartinya retak (wawancara bapak Darto,
September 2017). Setelah itu, Warga Kendal mengukur kedalaman dengan
bambu yang telah disambung-sambung setelah diangkat terdapat uang
gobang di ujung bambu. Kemudian uang yang digunakan sebagai sarat
tersebut dibawa ke istana mangkunegaran untuk dilihat dengan mata batin.
Dari sinilah kemudian diberikanlah titah dari raja Mangkunegaran
berdasarkan petunjuk oleh Sang Pencipta agar penduduk Dusun Kendal
melaksanakan kembali tradisi wahyu kliyu dengan menggunakan apem
sebanyak 344 biji agar senantiasa diberi keselamatan (wawancara dengan,
Rakiman mantan kepala dusun, 2017). Sejak saat itulah Kemudian tradisi
wahyu kliyu dilaksanakan dan dilestarikanlah sampai saat ini. Adapun
Prosesi utama tradisi ini terletak pada pelemparan apem dengan berdzikir
kepada yang kuasa yakni dengan mengucap “wahyu kliyu, wahyu kliyu”.
b. Konsepekosentrisme dalam tradisi wahyu kliyu
Tumbuh kembang suatu tradisi sesungguhnya tergantung daripada
mentalitas setempat. Karena tidak sedikit dari berbagai tradisi yang mulai
ditinggalkan atau bahkan kehilangan jatidirinya manakala mentalitas
masyarakat telah terjadi pergeseran akibat perkembangan arus modernisasi
dan globalisasi. Tingkat pendidikan justru terkadang saling pro-kontra
mengenai pelestarian tradisi itu sendiri. Pemikiran yang sedemikian agung
penuh dengan pemaknaan dalam sendi-sendi tradisi tak jarang ditepis begitu
saja oleh rasionalitas masyarakat dewasa ini. Maka tak ayal jika seringkali
banyak kalangan masyarakat yang hanya mewarisi tradisi tanpa memahami
makna dari tradisi wahyu kliyu berupa sedekahan apem dengan maksud rasa
syukur atas kesejahteraan hidup dan rezeki bagi masyarakat Dusun Kendal.
Sehingga dalam hal ini pelemparan apem yang disebut sebagai
upacara wahyu kliyu mengandung nilai-nilai religi yang menjadi prasyarat
untuk mengajarkan pemahaman terhadap hubungan antara Tuhan dengan
manusia dan lingkungan (Sasmita, Al Alaz, & Mardliyah, 2017).
Tantangan alam seolah tidak ada habisnya menuntun manusia untuk
terus berpikir supaya manusia mampu menghadapi keganasan alam. Dari
masa ke masa peradaban manusia berevolusi mulai dari level bergantung
•••
502
hidup dari alam (depend on nature), mengelola alam (manage the nature).
Proses tersebut menjadi sebuah keniscayaan bahwa manusia terus
berkembang dari kehidupan paling sederhana pada kehidupan yang semakin
kompleks. Tindakan ini dilakukan oleh manusia disebut oleh Darwin (2009)
dalam teorinya survival of the fittest sebagai realitas siapa yang kuat dialah
yang akan mampu bertahan hidup. Manusia tidak lagi ditempatkan sebagai
bagian dari alam yang takluk pada ketentuan dan hukum-hukum alam,
melainkan manusia ditempatkan sebagai controrllers of the nature atau
pengendali alam. Implikasi dari teori Darwin semakin menunjukkan
independensi manusia terhadap alam. Manusia tidak lagi menjadi makhluk
alami yang menggantungkan hidupnya pada alam. Namun sebaliknya
manusia menjadi faktor penentu keberlangsungan alam. Pada tataran praktis,
paradigma ini memiliki nilai positif yang menempatkan manusia pada sikap
adaptability dengan alam, sehingga mereka tidak tergerus oleh keganasan
alam. Namun disisi lain paradigma ini menunjukkan ancaman tersembunyi
saat manusia mencapai level tertinggi dalam pengelolaan alam yaitu proses
eksploitasi alam. Tanpa disadari lambat laun proses ini menjadi ancaman
terhadap munculnya berbagai bencana alam sebagai akibat dari ulah
manusia(Supriatna, 2016).
Paradigma antroposentris yang diimplementasikan dalam bentuk
intervensi manusia terhadap alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
menimbulkan difungsi keseimbangan alam dan mendiskreditkan peran alam
sebagai elemen kehidupan yang memiliki hak perlindungan. Namun saat ini,
perubahan cara pandang tersebut harus dikembalikan dalam posisi
sebaliknya, yaitu cara pandang antroposentris ditinggalkan dengan
mengadopsi cara pandang baru yaitu, ekosentris.
Kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah memiliki posisi penting
untuk memberi inspirasi kepada para peserta didik bahwa menjadikan alam
sebagai objek untuk dieksploitasi telah menyebabkan manusia terancam juga
kehidupannya. Sehingga belajar dari nilai-nilai kearifan lokal yang
diwariskan oleh leluhur merupakan salah satu cara untuk memperkuat cara
pandang ekosentris pada masyarakat kontemporer yang dihadapkan pada
beragam persoalan lingkungan hidup termasuk bencana alam yang antara
lain disebabkan oleh keserakahan manusia yang berpandangan
antroposentris.
Antroposentris merupakan pandangan yang menempatkan manusia
sebagai pusat penentu kehidupan di muka bumi (Domanska, 2001).
Pandagan ekosentrime seharusnya mampu menyadarkan manusia akan
keterbatasannya dalam menghadapi dan mengantisipasi kekuatan alam. Cara
pandang antroposentris tidak lagi relevan karena manusia bukan semata
pengendali kehidupan di planet ini, perlu adanya perubahan cara pandang
dari antroposentris menjadi ekosentrisme yaitu pandangan yang
menempatkan alam dengan segala isinya sebagai pusat. Manusia hanyalah
bagian dari alam dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan
kesinambungan atau keberlangsungan hidup, dalam pandangan ini manusia
tidak dapat dipisahkan dengan alam tempat tinggalnya. Cara pandang
•••
503
ekosentris tidak menyebabkan manusia kehilangan esensinya sebagai
manusia melainkan memperkuat posisi mereka sebagai sahabat dengan
alam. Dalam posisi tersebut akan terjalin hubungan yang sejajar untuk saling
membutuhkan satu sama lain(Supriatna, 2016).
Local genius yang dimiliki oleh masyarakat tradisional memiliki
kelebihan untuk beradaptasi dengan lingkungan alam, sehingga alam tidak
lagi menjadi musuh mereka melainkan dijadikan sebagai sahabat hidup
selaras. Kemampuan manusia dalam membaca tanda-tanda alam menjadi
sebuah kekuatan masyarakat lokal sebagai implikasi dari community
practice (Goleman, Bennet, & Barlow, 2012).
Dalam hal ini salah satu local genius yang mengandung konsep atau
cara pandang ekosentrisme adalah tradisi wahyu kliyu, dimana tradisi wahyu
kliyu merupakan simbol manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT dan
memohon keselamatan atau tola balak (penangkal bencana, seperti;
paceklik, pagebluk, gagal panen gempa dan lain-lain) oleh masyarakat dusun
Kendal. Optimalisasi kebudayaan yang menurut penuturan para sesepuh
merupakan warisan tradisi dan kepercayaan leluhur yang dianggap sakral
bagi masyarakat Dusun Kendal. Penyelenggaraan upcara wahyu kliyu
merupakan upaya untuk melestarikan tradisi dan budaya warisan leluhur.
Upacara wahyu kliyu dilaksanakan sebagai tradisi turun-temurun sehinga
masyarakat Dusun Kendal tidak mengetahui secara jelas sejak kapan tradisi
tersebut dimulai, nemun meski begitu masyarakat tetap menjalankannya dan
melestarikan tradisi upacara wahyu kliyu hingga sekarang.
Berdasarkan kisah dari kepercayaan masyarakat bahwa dahulu
upacara wahyu kliyu sempat dihentikan karena krisis, yang mengakibatkan
masyarakat tidak sanggup membuat apem untuk pelaksanaan wahyu kliyu.
Ketika tradisi wahyu kliyu atau selametan apem dihentikan terjadi bencana
yang mengerikan di Dusun Kendal, dapat dikatakan sebagai malapetaka bagi
masyarakat Kendal. Masyarakat menderita wabah penyakit menular yang
disebut pagebluk, seperti contohnya; pagi sakit sore meninggal, sore sakit
paginya meninggal (esuk loro sore mati, sore loro esuk mati) sehingga
masyarakat menjadi khawatir dan tidak tentram hidupnya. Selain itu terjadi
paceklik yang mengakibatkan kekurangan bahan pangan bagi masyarakat
karena mengalami gagal panen. Disamping terjadinya pagebluk dan
paceklik, Dusun Kendal mengalami keretakan (nelo) yang sangat lebar dan
dalam pada jalan utama dan pekarangan penduduk, saat diukur
kedalamannya menggunakan bambu tidak dapat hanya menggunakan satu
bambu sehingga di sambung dengan dua bambu, setelah diangkat ternyata
terdapat uang gobang. Setelah itu uang gobang dibawa ke Mangkunegaran
(kerajaan yang menguasai daerah Karanganyar pada saat itu), untuk dilihat
menggunakan mata batin, dari sinilah kemudian diberikanlah titah dari raja
Mangkunegaran berdasarkan petunjuk oleh Sang Pencipta agar penduduk
Dusun Kendal melaksanakan kembali tradisi wahyu kliyu. Sejak saat itulah
Kemudian tradisi wahyu kliyu dilaksanakan dan dilestarikan sampai saat
ini. Adapun Prosesi utama tradisi ini terletak pada pelemparan apem satu
persatu pada tempat yang telah disediakan, dengan berdzikir atau
•••
504
mengucapkan doa “wahyu kliyu…wahyu kliyu…” sampai 344 buah apem
habis.
Terdapat singkronisasi dalam tradisi wahyu kliyu dan konsep
ekosentrisme, masyarakat berusaha menjaga keseimbangan alam berupa
sedekahan apem setiap tahunnya sebagai tolak balak, dan hal ini sebagai rasa
syukur warga atas kelimpahan rezeki yang diberikan Allah kepada warga,
selain itu keselamatan atas kerukunan hidup dan kesejahteraan serta
keselamatan dari mala bencana. Sehingga atas kepercayaan dari warisan
leluhur sampai saat ini tetap dilestarikan dan menjadi pedoman hidup bagi
warga Dusun Kendal. Konsep ekosentrisme ini tercermin dimana manusia
menghormati alam setiap tahunnya dengan memperingatinya melalui sebuah
tradisi yang disebut wahyu kliyu atau sedekahan apem. Bahkan keberkahan
apem yang sudah didoakan dalam wahyu kliyu dapat digunakan untuk
menyuburkan tanah. Jadi menurut kepercayaan warga apem yang telah
didoakan melalui prosesi tradisi wahyu kliyu, apabila setelah selesai acara
dibawa pulang dan dikubur di tanah pekarangan akan menyuburkan tanah.
Terlepas dari tradisi wahyu kliyu, masyarakatpun sangat berhati-hati dalam
mengelola alam, untuk menjaga dan melestarikannya atau dapat dikatakan
idak berlebihan dalam menggunakan alam.
Sehingga dalam hal ini berdasar kepercayaan warga, alam memiliki
kekuatan dan kekuasaan, dimana manuisa perlu menyadari bahwa mereka
tidak dapat serakah dalam mengeksploitasi alam. Dan dalam tardisi wahyu
kliyu dapat dipetik pelajaran bahwa tradisi sebagai penghormatan pada alam
adalah suatu hal yang penting dan harus, karena akan menjadi pantangan
tersendiri apabila tardisi tersebut tidak dilaksanakan.
Kesimpulan
Kearifan lokal masyarakat menjadi suatu hal yang penting guna
memberikan pemahaman dan dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Selain itu
perlunya mengubah pandangan antroposentris yaitu pandangan yang
menempatkan manusia sebagai pusat penentu kehidupan di muka bumi menjadi
ekosentrisme yaitu pandangan yang menempatkan alam dengan segala isinya
sebagai pusat. Cara pandang ekosentris tidak menyebabkan manusia kehilangan
esensinya sebagai manusia melainkan memperkuat posisi mereka sebagai sahabat
dengan alam. Dalam posisi tersebut akan terjalin hubungan yang sejajar untuk
saling membutuhkan satu sama lain. Salah satu kearifan lokal yang mengandung
konsep ekosentrisme yaitu tradisi wahyu kliyu. Tradisi wahyu kliyu dan konsep
ekosentrisme, masyarakat berusaha menjaga keseimbangan alam berupa
sedekahan apem setiap tahunnya sebagai tolak balak, dan hal ini sebagai rasa
syukur warga atas kelimpahan rezeki yang diberikan Allah kepada warga, selain
itu keselamatan atas kerukunan hidup dan kesejahteraan serta keselamatan dari
mala bencana.
Daftar Rujukan
[1] Domanska, E. (2001). Beyond antropocentrism in historical studies. USA: journal historein,
vol. 10.
•••
505
[2] Goleman, D., Bennet, L., & Barlow, Z. (2012). Eco Literaty. san fransisco: jossey-bass
published.
[3] Mardliyah, W. (2017). budaya dan tradisi religi dalam halal tourism. Adiwidya 5. Bandung:
kamil pascasarjana ITB.
[4] Moleong, L. J. (2000). metode penelitian kualitatif. bandung : remaja rosdakarya.
[6] Sasmita, G. G., Al Alaz, N., & Mardliyah, W. (2017). Simbolisme Apem Sebagai Manifestasi
Rasa Syukur dan Keselamatan . Kearifan Lokal Sebagai Penguat Budaya Nasional (p. 4).
Surakarta : Forum Mahasiswa Sejarah UNS.
[7] Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alvabeta.
[8] Supriatna, N. (2016). Ecopedagogy. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hasil Wawancara
[1] Bapak Rakiman, selaku mantan kepala Dusun dan menjadi tempat yang selalu
digunakan untuk pelaksanaan tradisi wahyu kliyu. September & Oktober 2017
[2] Bapak Darto, sesepuh Dusun. September 217
•••
506
MEMBENTUK KESADARAN BUDAYA MELALUI PEMBELAJARAN
SEJARAH BERBASIS NILAI-NILAI SENI TURONGGO YAKSO
Nenin Al Alaz, Nunuk Suryani, Djono
Pascasarjana Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret
neninalz27@gmail.com
ABSTRAK
Turonggo yakso sebagai budaya lokal mampu mentrasfer nilai-nilai
kearifan lokal sebagai pedoman hidup generasi muda era global. Polarisasi budaya
yang menyebabkan terjadinya hiruk pikuk kondisi kehidupan masyarakat
menyebabkan generasi muda kehilangan identitas budaya. Desain pembelajaran
inovatif perlu diberikan dalam pembelajaran sejarah guna mencapai tujuan
pembelajaran yang telah diformulasikan. Problematika pembelajaran sejarah yang
dihadapi saat ini banyak dipengaruhi oleh munculnya sikap skeptis terhadap
pemahaman akan pentingnya belajar sejarah. Akar kemajuan bangsa terletak pada
generasi muda sebagai subyek agent of change. Inovasi pembelajaran dilakukan
melalui pemahaman terhadap nilai-nilai budaya seperti nilai-nilai seni turonggo
yakso yaitu nilai gotong royong, estetis, seremonial religi dan hiburan. Melalui
nilai-nilai tersebut peserta didik diharapkan untuk menjadi pribadi yang tangguh
dengan kesadaran budaya yang telah diciptakan oleh nenek moyang. Turonggo
yakso merupakan sebuah jenis komunikasi kepada Tuhan yang dimanifestasikan
dalam bentuk seni tari mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang bertumpu pada
prinsip kehidupan masyarakat lokal trenggalek. Melalui nilai-nilai seni turonggo
yakso ini bertujuan untuk mendayagunakan potensi lokal sebagai media
penanaman nilai yang sesuai dengan konteks lingkungan budaya sekitar siswa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan studi
literature sebagai metodenya. Nilai-nilai dalam seni turonggo yakso dianalisis
menggunakan pendekatan kontekstual.
Kata Kunci: Kesadaran budaya, pembelajaran sejarah, nilai-nilai seni turonggo
yakso
Pendauluan
Imperialisme bangsa barat merembes kedalam lingkungan kehidupan
masyarakat Indonesia saat ini. Perlu menjadi perhatian bahwa apabila tindakan ini
tidak dapat diminimalisasi oleh masyarakat maka identitas dan jati diri bangsa
akan semakin terkikis. Era globalisasi nyata tidak membuat masyarakat peduli
akan budaya bangsanya. Perkembangan teknologi yang kian pesat mampu
membawa arus kebudayaan semakin menipis. Perbedaan yang dimiliki unsurunsur kebudayaan asing membuat masyarakat lupa akan karakter budayanya
sendiri. Fanatisme westernisasi di berbagai kalangan masyarakat terjadi saling
beriringan. Tidak ada yang mempertahankan budaya yang telah dimiliki tetapi
hanya ada upaya untuk menciptakan budaya baru era modern yang kurang sesuai
dengan norma-norma yang telah berlaku di lingkup masyarakat. Hakikat
•••
507
pembelajaran merupakan suatu sarana untuk menciptakan manusia yang
berwawasan luas, memiliki sikap peduli terhadap lingkungan, beradab, berbudaya
dan membentuk kesiapan untuk terjun ke dunia masyarakat. Mengingat
pembelajaran sebagai suatu kegiatan yang penting, para praktisi akademis
berbondong-bondong untuk memperbaiki sistem pembelajaran melalui
serangkaian perangkat-perangkat yang digunakan dalam menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan bagi pebelajar. Pembelajaran menjadi sebuah wahana
transformasi dan regenerasi budaya yang terjalin antar generasi. Kemajuan bangsa
tidak hanya ditentukan sejauhmana lulusan memiliki kepedulian terhadap
negaranya tetapi kemajuan bangsa juga dipengaruhi oleh adanya kepedulian dan
pengembangan terhadap kebudayaan yang menjadi identitas bangsa. Pembelajaran
yang dilakukan harus memiliki sifat adaptif terhadap perkembangan zaman yang
berkaitan dengan karakter siswa.
Problematika yang terjadi pada lingkungan masyarakat khususnya
Indonesia saat ini adalah kurang adanya kesadaran budaya yang dimiliki oleh
generasi muda yang sebagian besar dipengaruhi oleh sikap apatis terhadap
budayanya terutama terhadap budaya lokal. Tergesernya budaya lokal tersebut
banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang menciptakan westernisasi
yang diperluas melalui sosial media. Rendahnya jati diri yang dimiliki terhadap
pembentukan budaya lokal dan daerah membuat siswa merasa bahwa kebudayaan,
tradisi dan adat istiadat di lingkungannya hanya merupakan kekunoan dan mitos
belaka yang tidak masuk akal. Sehingga secara perlahan budaya luar semakin
menggerogoti generasi muda melalui kualitas teknologi yang memudahkan siswa
berjamah dengan negara lain melalui media dengan mudah dan cepat. Pandangan
hidup yang moderat menimbulkan sikap tidak peduli dan menganggap
kebudayaan yang ada di lingkungannya tidak relevan. Lunturnya pemahaman
budaya menjadi perhatian utama yang harus disikapi oleh semua kalangan
masyarakat karena budaya sebagai salah satu identitas yang membawa nama
bangsa untuk dikenal dunia. Orang yang patut menjaga budaya adalah generasi
muda selaku penerus bangsa dan agent of change yang dalam hal ini bukan
merubah tatanan budaya tetapi melestarikan dan mengenalkan budaya agar
dikenal dan menjadi penguat jati diri bangsa.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budayanya namun budaya
yang terkandung didalamnya kerap tidak dilestarikan tetapi menjadi perhatian
ketika budaya berupa seni telah di klaim negara lain. Kesadaran budaya
digunakan pula sebagai alternatif untuk mencegah munculnya sikap
primordialisme yang dapat meretakkan kehidupan bermasyarakat. Dalam sejarah
diperlukan kesadaran kolektif untuk membangun sumber kekuatan menghadapi
tantangan globalisasi dan menjaga keutuhan negara melalui enkulturasi yang
terjalin dalam setiap ruang pendidikan baik formal, informal dan non formal. Cara
tersebut dapat diperoleh siswa melalui pengalaman dan dikuatkan dengan konsepkonsep pemahaman keberagaman budaya untuk diintegrasikan dalam konteks
kehidupannya. Proses transmisi kebudayaan dalam pembelajaran ini meliputi
nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat, seni tari yang memanifestasikan mentalitas
masyarakat dan konsep hidup yang mempengaruhi pembentukan pranata-pranata
di lingkungan masyarakat. Pandangan terhadap pentingnya pemahaman terhadap
•••
508
adanya nilai-nilai budaya menjadikan siswa memiliki sikap menghargai, dapat
mengembangkan, menghindari sikap primordialis dan mengarahkan siswa untuk
mengenali dirinya melalui lingkungan dimana mereka tinggal.
Kesenian tumbuh dan berkembang sesuai dengan peradaban yang
melandasinya dan menjadi dasar manusia dalam memuaskan perasaan akan
keindahan (estetis). Nilai-nilai estetis sebagai wadah ekspresi manusia tergambar
dalam seni pertunjukan, seni media, seni rupa, seni tari, seni sastra dan seni
musik. Fungsi senipun beragam seperti fungsi religi, sosial, komunikasi, rekreasi,
artistik, dan fungsi guna. Berbagai macam langkah yang dilakukan masyarakat
dalam melestarikan budayanya melalui tradisi, adat istiadat dan upacara sakral
yang mengandung makna-makna yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
Cara-cara tersebut salah satunya dapat dilestarikan melalui sebuah kesenian yang
diciptakan untuk melestarikan suatu kebudayaan. Seni mengandung nilai estetis
sejalan dengan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan akan adanya
keindahan. Kemunculan seni tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur kebiasaan
yang terkandung dalam perilaku-perilaku manusia penggagas seni itu sendiri.
Salah satu langkah untuk menghadapi permasalahan-permasalahan
rendahnya kesadaran budaya dan sikap apatis siswa terhadap budayanya maka
diperlukan alternatif solusi untuk menyikapi permasalahan tersebut yaitu melalui
pembelajaran riil yang terdapat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
Pembelajaran sejarah menyediakan berbagai macam pembelajaran yang berkaitan
dengan isu-isu sosial budaya. Jenis pembelajaran tersebut adalah pembelajaran
yang berbasis pada nilai-nilai yang terdapat dalam seni turonggo yakso. Sejarah
seni dan budaya memang merupakan pembahasan yang kurang populer dibanding
sejarah politik dan ekonomi. Kesadaran budaya sendiri merupakan sebuah
pengertian yang luas yaitu pemahaman terhadap keanekaragaman budaya diluar
budaya sendiri sehingga mampu mengenali perkembangan budaya yang tidak
terbatas dalam lingkup daerah dan tidak berbatas waktu. Tujuan dari pembelajaran
ini untuk dapat membentuk jati diri bangsa dalam menghadapi serangan global
yang menjangkiti negara bangsa agar dapat menciptakan nation character
building. Seni merupakan aspek budaya (Pranoto, 2014: 75). Budaya menjadi jiwa
bangsa yang melekatkan dirinya melalui sebuah penciptaan seni yang mampu
mengekspresikan mentalitas dan kehidupannya dalam masyarakat.
Nilai-nilai seni yang akan diberikan guna mengatasi solusi rendahnya
kesadaran budaya yang dimiliki siswa yang diakibatkan adanya globalisasi.
Permasalahan tersebut memunculkan budaya dan mentalitas baru bagi kalangan
masyarakat yang dikhawatirkan dapat melunturkan budaya dasar yang telah
terbentuk sejak puluhan tahun lamanya. Urgensi pembentukan sikap sadar budaya
harus dilakukan secara terus menerus dalam bentuk enkulturasi dalam lingkungan
sosial. Sekian banyak seni budaya yang ada di Indonesia, ada salah satu seni
budaya yang masih eksis dikalangan seniman masyarakat lokal adalah seni
turonggo yakso. Seni ini memiliki keunikan dan dapat disebut sebagai avant
grade karena seni ini sangat inovatif terlihat adanya modifikasi dalam setiap
pertunjukan seni tari ini yang membentuk keunikan tersendiri tanpa
menghilangkan esensi, nilai, estetika, dan sakralitas seni turonggo yakso sendiri
menjadi hal menarik untuk dapat di integrasikan melalui pembelajaran sejarah.
•••
509
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut
Cresswell (2009: 4), proses penelitian kualitatif melibatkan upaya-upaya penting,
seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, megumpulkan
data spesifik dan para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari
tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data.
Melalui wawancara kepada penggiat seni tari turonggo yakso, analisis buku seni
turonggo yakso dan berbagai buku-buku yang berkaitan dengan judul maka
penulis menuangkan asumsi penulis yang diperkuat dengan sumber-sumber
referensi. Nilai-nilai seni turonggo yakso diperoleh melalui wawancara dengan
sesepuh desa Dongko yang menggeluti seni turonggo yakso yang diikuti dengan
penguatan melalui studi literatur yang berkaitan dengan nilai-nilai tersebut untuk
mendapatkan indikator-indikator terkait mengetahui langkah mengukur
kemampuan siswa sebagai alternatif solusi meningkatkan kesadaran budaya.
Sejarah dan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Seni Turonggo Yakso
Budaya turun temurun dalam kesenian lokal khas daerah tingkat kabupaten
Trenggalek ini lahir dari warisan nenek moyang yang dilakukan oleh masyarakat
Dongko. Berawal dari upacara sakral yang dilakukan pada bulan Syura
(Muharam) yang ditentukan oleh sesepuh desa. Waktu upacara ini dilaksanakan
pukul 11.00 WIB yang diikuti dengan kedatangan para petani yang sudah istirahat
dalam mengerjakan pekerjaan menanam padi dan tanaman lain yang disebut
dalam istilah orang Dongko dengan “bubar ngarit tanduran” (setelah selesai
memanen kemudian menanam tanaman). Berdasarkan istilah tersebut Mbah Karto
Sentono memberi nama Baritan.
Kepercayaan terhadap makna dari upacara sakral ini di manifestasikan
dalam sebuah bentuk tari yang menggambarkan gerakan para petani yang
menanam padi di sawah. Kesenian Turonggo Yakso dapat diikuti oleh siapa saja
yang menginginkan dan tidak memiliki aturan-aturan khusus bagi para pelaku
serta pihak-pihak yang terlibat langsung. Sesepuh desa Dongko terus
menggalakkan adanya generasi muda yang menarikan seni turonggo yakso
sebagai sarana untuk mengingatkan adanya suatu falsafah yang menjadi pedoman
bagi masyarakat sekitar bahwa masyarakat lokal memiliki sebuah tradisi untuk
melakukan syukuran terhadap hasil bumi yang melimpah serta menyadarkan
kepada generasi muda bahwa binatang ternak merupakan sebuah mitra kerja yang
harus dijaga serta dilingdungi agar tetap bisa membantu warga tani untuk
menanam tanaman panen di ladang/sawah.
Tarian Turonggo Yakso berasal dari desa Dongko yang muncul pada tahun
1966. Kemunculan ini dipengaruhi oleh masyarakat desa yang sebagian besar
berprofesi sebagai petani. Tumbuhnya seni tari Turonggo Yakso diilhami dari
adanya mitos tradisi upacara sakral baritan yang tidak dapat dilaksanakan kembali
oleh masyarakat desa Dongko, huru hara yang terjadi pada masa orde baru yang
menganggap orang sebagai kelompok PKI apabila ada orang-orang yang
bergerombol. Ketakutan akan adanya pembubaran dan anggapan tersebut maka
masyarakat desa Dongko mengganti upacara adat sakral baritan dengan
melakukan serangkaian seni tari Turonggo Yakso untuk mengingatkan kepada
generasi muda yang akan datang berkaitan dengan adanya upacara adat baritan
•••
510
yang dilakukan sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
melimpah ruahnya hasil panen, upacara tersebut bertujuan agar terhindar dari
musibah dan mengingatkan bahwa kerbau adalah mitra kerja para petani. Dahulu
jaranan Turonggo Yakso kerap digelar di sawah atau ladang yang selesai dipanen.
Kesenian rakyat pada umumnya digelar tanpa panggung dan digelar di tempattempat yang terbuka di sebuah tanah lapang atau di tanah persawahan. Namun
kebiasaan tersebut berubah sejak adanya kebijakan BPPC yang menjadikan
sebagian besar masyarakat desa Dongko menebang pohon cengkeh yang tidak
mau kembali menanam cengkeh sehingga seni tari tersebut kerap dilakukan di
balai desa. Dalam sekian gerakan Turonggo Yakso diiringi dengan prosesi
sembahan gerak ukel bermakna persembahan yang menandakan sebuah bentuk
tanda syukur kepada Tuhan. Pada saat ini kesenian rakyat selain menjadi sebuah
tradisi seringkali dipertontonkan atau dipentaskan dalam lapangan terbuka atau di
sebuah tanah lapang di desa sebagai sebuah hiburan.
Seni turonggo yakso memiliki kandungan nilai-nilai yang disampaikan
melalui pola gerak tari yang memiliki makna disetiap gerakannya. Nilai-nilai seni
turonggo yakso diantaranya adalah hiburan, seremonial religi, estetis, dan gotong
royong. Nilai hiburan, bahwa di bentuknya seni Turonggo Yakso ini juga
dikaitkan dengan masyarakat desa sekitar Dongko yang sebagian besar adalah
petani seringkali membutuhkan sarana hiburan setelah mereka bekerja dan
mendapatkan hasil panen, hal tersebut juga untuk menghindari adanya perjudian
yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Seremonial religi, seni ini merupakan
visualisasi yang dibentuk untuk mengganti upacara adat sebagai bentuk rasa
syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa atas melimpah ruahnya hasil bumi. Estetis
adalah seni ini dibentuk atas dasar rasa untuk saling memiliki kesenian dan
mendapatkan keselarasan antara seni dan memikat daya tarik masyarakat luas
yang dibentuk oleh pegiat seni didaerah lokal. Nilai gotong royong yaitu seni ini
dilandasi atas etos gotong royong masyarakat yang kuat dan memiliki sikap saling
membutuhkan satu sama lain. Perkembangan Turonggo Yakso didukung oleh
lingkup kecil kalangan petani yang kemudian secara lisan mulai dijamah oleh
khalayak luas dan dikenal sebagai seni yang memiliki kandungan mistis yang
diyakini oleh warga desa Dongko.
Pentingnya nilai-nilai seni turonggo yakso ini menggambarkan bahwa
tradisi lisan dianggap kurang efektif untuk mengajak generasi muda memahami
budaya berupa upacara adat sakral baritan. Menurut Ali dalam Sukatman (2009:
13-14), kepunahan Tradisi Lisan disebabkan oleh dampak keberhasilan
pembangunan diiringi merambahnya media audio-visual sehingga anak-anak
melupakan esensi tradisi lisan, tidak ada alih cerita dan penutur karena generasi
tua yang sudah mulai kehilangan ingatan serta meninggal, generasi muda
menganggap tradisi lisan tersebut kuno dan kurangnya kesadaran masyarakat dan
pemerintah untuk mengembangkan fungsi penting dari tradisi lisan. Sesepuh desa
berharap melalui seni ini proses enkulturasi secara spontanitas dapat diberikan
melalui seni yang dapat disampaikan dan diajarkan dalam lingkungan sekolah dan
masyarakat. Sehingga sesepuh di desa membuat tarian yang dapat menyampaikan
pesan tentang falsafah hidup dan sebagai eksistensi perkembangan peradaban
masyarakat lokal.
•••
511
Integrasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Seni Turonggo Yakso untuk
Meningkatkan Kesadaran Budaya Melalui Pembelajaran Sejarah
Tujuan merupakan sebuah aspek peting dalam melakukan proses
pembelajaran dengan tujuan agar penyelenggaraan belajar mengajar berjalan
dengan terarah untuk menentukkan sejauhmana tujuan dapat tercapai. Untuk
menjamin lulusan agar memiliki kompetensi yang diinginkan maka arah
pembelajaran ditentukan berdasarkan tujuan umum dan tujuan khusus yang
berorientasi pada tujuan sistem pembelajaran. Menurut Sanjaya (2010: 11) dalam
Agung (2013: 39), model sistem pembelajaran dimulai dengan tujuan yang harus
dicapai, menentukan bagaimana cara siswa mencapai tujuan, evaluasi
pembelajaran, fasilitas fisik yang diperlukan hingga mencapai pemerolehan hasil
untuk menentukan kekurangan apa yang ada dalam pembelajaran untuk dilakukan
perubahan dan sumber belajar yang diperlukan untuk menambah pengalaman
belajar. Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan diatas, maka guru akan
lebih mudah menganalisis kebutuhan sebagai langkah mengambil keputusan
menghadapi proses pembelajaran selanjutnya. Sumber belajar siswa sangat
beragam, untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran juga
diperlukan suatu alternatif guna mencapai tujuan. Masalah pembelajaran yang
sedang diperhatikan oleh berbagai kalangan sekarang adalah munculnya era
globalisasi yang menjamah lingkungan pendidikan. Sumber belajar siswa sudah
banyak yang bisa langsung diperoleh dari dunia digital sehingga lingkungan tidak
lagi menjadi penting karena merasa bahwa tantangan negara luar harus dihadapi
melalui serangkaian cerdas teknologi tanpa mengindahkan kekayaan budaya yang
ada disekitarnya.
Kebudayaan merupakan suatu hasil tingkah laku, aspirasi dan interaksi
manusia dengan alam yang membentuk watak suatu masyarakat. Budaya menjadi
sebuah identitas suatu komunitas yang daat ditonjolkan melalui karya-karya
monumental yang terus menerus dikembangkan. Budaya bukan merupakan
sebuah warisan dari keturunan tetapi budaya adalah sebuah penciptaan yang
dilakukan atas dasar adanya kesinambungan antara karsa dan rasa. Menurut
William A. Haviland (1985) dalam Poerwanto (2000: 76), diantara berbagai unsur
dalam suatu kebudayaan, ada yang merupakan inti atau cultural core, yaitu berupa
unsur-unsur kebudayaan tertentu yang menentukan berbagai bentuk kehidupan
suatu masyarakat. Unsur-unsur tersebut membentuk satu kesatuan yang
berhubungan dengan kehidupan masyarakat misalnya lingkungan, alam, dan
sosial. Penciptaan sebagai hasil kebudayaan memiliki berbagai macam wujud
diantaranya wujud konkret dan wujud abstrak. Adapun wujud konkrit tersebut
berupa suatu seni, lagu, dan tradisi, sedangkan wujud abstraknya merupakan ide,
nilai dan norma. Sendi-sendi masyarakat terbangun melalui aspek-aspek
mentalitas masyarakat yang ada didalamnya makan dari itu pembentukan
kesadaran budaya harus dibangun sejak masa kecil sehingga budaya yang dimiliki
dapat dilestarikan atau seringkali disebut enkulturasi.
Pendidikan menjadi salah satu alternatif penting yang dapat
mentransmisikan nilai-nilai kebudayaan. Asumsi tersebut di latar belakangi karena
pendidikan adalah sarana pembentukan serta perubahan tingkah laku, sikap,
pikiran, sarana memperoleh pengetahuan, wadah penyatu segala macam budaya
•••
512
siswa dalam lingkup kelas, ketrampilan dan kebiasaan. Beberapa aspek tersebut
dapat dibentuk dengan pelajaran sosial yang memiliki konteks dekat lingkungan
masyarakat. Pelajaran sosial atau istilah social studies berasal dari Amerika ada
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat guna menjadi warga negara yang baik.
Sejarah menjadi bagian social studies yang memaparkan tentang proses perubahan
dan perkembangan masa lampau. Melalui pelajaran sejarah maka nilai-nilai dapat
diajarkan guna memahami, menemukan dan menjelaskan jati diri bangsa dari
masa ke masa. Nilai-nilai yang terkandung dalam seni turonggo yakso diantaranya
adalah hiburan, seremonial religi, estetis, dan gotong royong. Nilai hiburan
merupakan sebuah nilai yang selalu melekat didalam sendi masyarakat yang tidak
bisa dipisahkan dari keinginan untuk memikat hati penikmat seni agar kadungan
pesan dalam seni tersampaikan kepada penonton yang tentunya sebagai sarana
edukasi secara implisit. Menurut Zakiyah dan Rusdiana (2014: 112), nilai
seremonial religi merupakan sikap dan perilaku yang patuh melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Seni turonggo yakso ini mengajarkan
tentang nilai religius yang tingga terlihat dilakukannya upacara sesuai
kepercayaan jawa sebelum dan ditengah berlangsungnya pelaksanaan seni.Nilai
estetis adalah suatu unsur yang melekat pada seni tari yang kehadirannya untuk
memberikan suatu selera yang bersinergi dengan tarian atau memberikan kesan
lebih hidup. Untuk mencapai keindahan, tokoh-tokoh dalam seni turonggo yakso
dipersiapkan sesuai dengan karakternya. Nilai gotong royong yaitu persoalan akan
adanya kesadaran akan hak dan kewajiban saling tolong menolong antar sesama.
Menurut Koentjaraningrat (2005: 155), dalam masyarakat yang memiliki jiwa
gotong royong, kebutuhan umum dinilai lebih tinggi daripada kebutuhan pribadi,
dan kerja bakti merupakan hal yang terpuji. Adanya nilai gotong royong dalam
seni turonggo yakso membuat jiwa sosial masyarakat semakin terpupuk apalagi
dalam perkembangan era globalisasi saat ini yang identik dengan sikap
individualisme akibat kemajuan teknologi.
Sejarah lokal memberikan wawasan kepada siswa akan pentingnya
mengetahui sejarah daerah sehingga kekayaan alam didalamnya dapat tereksplor
dan dapat dikenal di masyarakat luas. Sejarah menunjukkan masing-masing corak
budaya yang telah terjalin berabad-abad lamanya. Bahkan kebudayaan yang ada
memiliki keramahan dan keakraban dengan lingkungan menjadi kekhasan
tersendiri. Kearifan lokal yang tergambar melalui pengenalan sejarah lokal
mengandung kebaikan bagi kehidupan siswa. Maka sejarah lokal dapat
menumbuhkan pula keberadaan secara nasional yang mengakrabkan siswa dengan
nilai-nilai sejarah budaya di lingkungan sekitarnya. Menurut Wasino (2005: 1),
dalam konteks pembelajaran sejarah, sejarah lokal diperlukan untuk
membangkitkan kesadaran sejarah nasional serta menghindarkan siswa dari
ketidaktahuan terhadap nilai sejarah yang ada di sekitarnya. Pembelajaran sejarah
hendaknya dimulai dari fakta-fakta yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal
anak, baru kemudian pada fakta-fakta yang jauh dari tempat tinggal anak.
Substansi yang dapat diajarkan kepada siswa dri sejarah lokal adalah bagaimana
nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya dan mampu menumbuhkan
sikap kritis siswa terhadap fenomena didalam masyarakat.
•••
513
Melalui nilai-nilai seni turonggo yakso, siswa diajak untuk mendekatkan
diri pada situasi riil di lingkungan terdekatnya. Guru memberikan peluang pada
siswa untuk mengenal budaya dalam lingkungan dan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya. Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki tingkat kepedulian
tinggi terhadap masyarakat lainnya, khususnya Jawa yang sangat kental dengan
budaya-budaya bermasyarakat melalui interaksi sosial yang dilakukan melalui
keterhubungan antar kebudayaan. Namun dalam fenomena yang terjadi saat ini
kekhasan tersebut sudah mulai luntur bahkan antar masyarakat sudah terlihat tidak
saling mengenal, kesibukannya dengan dunia sosial media mengakibatkan
kedekatan emosional antar masyarakat hilang. Maka dari itu sebagai alternatif
solusi diperlukan penanaman nilai-nilai yang selaras dengan tujuan yang ingin
dicapai dan mempertimbangkan kedekatan dengan siswa agar terbentuk kesadaran
siswa secara budaya.
Adanya kesadaran budaya ditandai dengan pertama, pengetahuan akan
adanya berbagai kebudayaan suku bangsa yang masing-masing mempunyai jati
diri beserta keunggulan-keunggulannya, kedua sikap terbuka untuk menghargai
dan berusaha memahami kebudayaan suku-suku bangsa diluar suku bangsanya
sendiri, ketiga pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya
di berbagai tahap masa silam dan keempat pengertian bahwa disamping merawat
dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia
yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru yaitu
kebudyaan nasional (Sedyawati, 2010:330). Keempat aspek kesadaran budaya
diatas merupakan suatu penilaian terhadap mulai terbentuknya kesadaran budaya
yang melalui hal ini maka guru dapat memberikan pengukuran berupa tes tertulis
untuk mengetahui penilaian pada aspek kognitif siswa terkait dengan hasil
belajarnya melalui internalisasi nilai-nilai seni turonggo yakso. Internalisasi nilainilai seni turonggo yakso mengandung makna yang begitu dalam untuk dapat
disampaikan kepada masyarakat maka akan sesuai dan tepat sasaran apabila
penanaman nilai juga dilakukan di lingkungan sekolah guna membentuk pola
berfikir siswa berdasarkan atas pranata yang ada.
Cara untuk menumbuhkan kesadaran budaya tersebut sangat sesuai karena
sumber pembelajaran dapat diperoleh melalui sumber belajar yang paling dekat
dengan siswa. Nilai-nilai tersebut bahkan tidak akan membosankan untuk dapat
dipelajari oleh siswa karena disampaikan melalui seni dan guru hanya
menyampaikan pokok-pokok yang terkandung dalam makna tarian sehingga siswa
dapat melihat langsung pada seni tari dan memperoleh nilai secara tidak langsung.
Selain melalui tari, pelajaran sejarah mampu mewadahi pelajaran akan nilai-nilai
dalam seni tersebut melalui serangkaian pelajaran nilai yang dapat diintegrasikan
dalam materi yang disesuaikan dengan sejarah kemunculan seni dan secara
kronolgis menjelaskan terbentuknya nilai dalam seni tari tersebut. Kemudian
setelah diberikan siswa akan sadar akan adanya suatu pranata dalam kehidupan
yang dapat dibentuk oleh suatu peradaban masyarakat berdasarkan pada
mentalitas dan sinergitas dengan lingkungan mereka.
•••
514
Kesimpulan dan Saran
Pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai seni turonggo yakso ini
merupakan suatu hal masih baru karena beberapa penelitian masih banyak diambil
mahasiswa jurusan seni tari. Tetapi yang berbeda dalam pembahasan ini adalah
penggunanaan nilai-nilai dalam seni tari diintegrasikan dalam pembelajaran
sejarah. Urgensi pembelajaran nilai dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya
yaitu munculnya berbagai fenomena-fenomena sosial yang tidak bernilai dan
cenderung mengacuhkan nilai-nilai budaya yang ada didalam sendi masyarakat.
Westernisasi telah menjadi suatu hal biasa sehingga apabila tidak segera diatasi
maka akan memunculkan generasi-generasi muda yang lupa akan sejarah dan
makna dari budayanya sendiri. Seni merupakan salah satu bagian dari kebudayaan
karena menjadi suatu pengenal peradaban itu sendiri dengan perkiraan
sejauhmana suatu masyarakat mengembangkan budayanya agar mereka memiliki
esistensinya dalam masyarakat luas.
Nilai-nilai yang terkandung dalam seni turonggo yakso menjadi pesan bagi
generasi muda karena tujuan adanya seni ini sendiri diciptakan ole masyarakat
lokal desa Dongko untuk mengingatkan kepada generasi muda akan adanya tradisi
yang harus dijaga agar kehidupan tetap bermakna dengan nilai-nilai yang
disampaikan dalam seni dan menjadi pedman bagi kehidupan masyarakat
kedepan. Nilai-nilai seni turonggo yakso identik dengan unsur-unsur Jawa yang
memiliki hubungan kental antar masyarakatnya dan menjadi identitas bagi bangsa
Indonesia. Apabila nilai-nilai dalam seni dapat dikembangkan dan dapat
menumbuhkan kesadaran siswa akan budaya pembelajaran akan semakin
bermakna serta muncul generasi-generasi yang memiliki wawasan akan
budayanya.
Daftar Pustaka
Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia (Pengantar Teori dan
Pembelajarannya). Yogyakarta: LaksBang PressIndo.
Agung, Leo & Sri Wahyuni. 2013. Perencanaan Pembelajaran Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi Jilid II. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Creswell, John W. 2009. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Terjemahan Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pranoto, Suhartono W. 2014. Teori dan Metodologi Sejarah Umum. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Wasino. 2005. Sejarah Lkal dan Pengajaran Sejarah di Sekolah. Dalam Jurnal
Paramita. Vol. 15 No. 1 Juni 2005.
•••
515
Zakiyah, Qiqi & Rusdiana. 2014. Pendidikan Nilai Kajian Teori dan Praktik di
Sekolah. Bandung: Pustaka Setia.
•••
516
•••
517
•••
518
PENERAPAN MODEL STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT
DIVISION (STAD) PADA PEMBELAJARAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)
Oleh : Ais Murjianti
Pembimbing: (1) Hermanu Joebagio dan (2) Nunuk Suryani
Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, FKIP-UNS
ABSTRAK
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan suatu model
pembelajaran dengan menggunakan diskusi kelompok dengan anggota 5-6 orang
dan kelompok lain yang lembar kerjanya sama menanggapi kelompok yang maju ke
depan. Kemudian guru beserta siswa menyimpulkan materi pembelajaran.dan siswa
secara individu mengerjakan pos test..Tujuan penelitian : mengetahui efektivitas
penerapan model STAD dalam pembelajaran IPS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model STAD dapat dalam
pembelajaran IPS dapat mendorong siswa untuk bekerjasama dalam kelompok.
Kata kunci : model STAD, pembelajaran IPS
Pendahuluan
Pada masa sekarang ini pembe lajaran IPS dianggap tidak menarik dan tidak
diminati dibandingkan dengan pembelajaran lain misalnya mata pelajaran Matema
tika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris . Disamping itu banyak kursus-kursus
terutama mata pelajaran yang di jadikan ujian Negara, sedangkan pelajaran IPS
dianggap sebelah mata karena tidak dijadikan ujian Negara. Hal ini mengakibatkan
rendahnya prestasi belajar IPS.
Diharapkan dan diupayakan dalam meningkatkan proses pembela jaran IPS
kita tidak lagi memperta hankan model pembelajaran yang konvensional. Tetapi
mencari model pembelajaran yang mengedepankan gotong-royong antar peserta
didik. Dalam strategi ini pembelajaran yang dilakukan berpusat pada kepentingan
siswa atau siswa sentris. Guru hanya sebagai fasilitator. Tehnik kegiatan nya cukup
beragam misalnya tanya jawab, diskusi, sosio drama, kerja kelompok, dan
sebagainya. Sehingga situasi belajar sangat fleksibel, gembira, demokrasi, lebih
hidup, dan diharapkan bisa mengembangkan baik aspek kognitif, afektif, dan psiko
motorik. Model pembelajaran yang kurang melibatkan peserta didik akan berakibat
menurunnya minat belajar peserta didik, sehingga motivasi belajar akan menurun
dan pada akhirnya prestasi belajarpun juga tidak akan mendapatkan hasil belajar
yang optimal. Maka model pembelajaran yang digunakan guru sangat berpengaruh
terhadap keberha silan atas prestasi belajar peserta didik.
Dengan demikian dapat diupayakan guru untuk membangkitkan aktivitas peserta
didik dalam proses pembela jaran IPS agar hasilnya meningkat, maka perlu adanya
•••
519
pemecahan masalah tersebut dengan melakukan pengem bangkan pembelajaran
kooperatif model Student Teams Achievement Division (STAD).. Berdasarkan
Permendikbud No 65 tahun 2013, media pembelajaran merupakan alat bantu proses
pembela jaran untuk menyampaikan materi pelajaran. Media pembelajaran yang
dimaksud dalam Permendikbud No 65 tahun 2013 tersebut antara lain: gambar diam,
rekaman suara, televisi, benda asli atau orang, model dan laboratorium di luar
ruangan (out door laboratory), diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar IPS .
Metode Pembelajaran Student Team Achievement Division ( STAD)
Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD)
yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Uni versitas John
Hopkin (dalam Slavin, 1995) merupakan pembelajaran koo peratif yang paling
sederhana, dan merupakan pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru
yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif.
STAD adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana.
Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan
campuran menurut tingkat kinerjanya, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan
pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh
anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa diberi kuis
tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling membantu.
Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD merupakan pendekatan Cooperative
Learning yang menekan kan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling
memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai
prestasi yang maksimal. Guru yang menggu nakan STAD mengajukan informasi
akademik baru kepada siswa setiap minggu meggunakan presentasi Verbal atau teks.
Menurut Slavin (2005:143-146) ada lima komponen utama dalam
pembelajaran kooperatif metode STAD, yaitu:
1) Presentasi kelas
Presentasi kelas atau penyajian kelas merupakan penyajian materi yang dilakukan
guru secara klasikal dengan menggunakan presentasi verbal atau teks. Penyajian
difokus kan pada konsep-konsep dari materi yang dibahas. Setelah penyajian
materi, siswa bekerja pada kelompok untuk menuntaskan materi pelajaran melalui
tutorial, kuis atau diskusi.
2) Tim ( kelompok)
Tim (kelompok) menjadi hal yang sangat penting dalam STAD karena di dalam
kemampuan akademik yang diharapkan. Fungsi dibentuk nya kelompok adalah
untuk saling meyakinkan bahwa setiap anggota kelompok dapat bekerja sama
dalam belajar. Lebih khusus lagi untuk mempersiapkan semua anggo ta
kelompok dalam menghadapi tes individu. Kelompok yang dibentuk sebaiknya
terdiri dari satu siswa dari kelompok atas, satu siswa dari kelompok bawah dan
dua siswa dari kelompok sedang. Guru perlu mempertimbangkan agar jangan
sampai terjadi pertentangan antar anggota dalam satu kelompok, walaupun ini
tidak berarti siswa dapat menentukan sendiri teman sekelompoknya.
•••
520
3) Tes dan Kuis : Siswa diberi tes individual setelah melaksanakan satu atau
dua kali penyajian kelas dan bekerja serta berlatih dalam kelompok. Siswa
harus me nyadari bahwa usaha dan keberhasilan mereka nantinya akan
memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesuksesan kelompok.
4) Skor kemajuan (peningkatan) individual
Skor kemajuan (peningkatan) individual berguna untuk memotivasi agar
bekerja keras memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hasil
sebelumnya. Skor peningkatan individual dihitung berdasarkan skor dasar dan
skor tes. Skor dasar dapat diambil dari skor tes yang paling akhir dimiliki
siswa, nilai pretes yang dilakukan oleh guru sebelumnya melaksanakan
pembelajaran kooperatif metode STAD.
5) Rekognisi Tim (Pengakuan kelompok) :
Rekognisi Tim (Pengakuan kelompok) dilakukan dengan memberikan
penghargaan atas usaha yang telah dilakukan kelompok selama belajar.
Kelompok dapat diberi sertifikat atau bentuk penghargaan lainnya jika dapat
mencapai kriteria yang telah ditetapkan bersama. Pemberian penghar gaan ini
tergantung dari kreativitas guru.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pelaksanaannya berbeda
dengan pembelajaran lainnya. Model ini lebih menekankan pada kerja sama siswa
dan penghargaan yang diperoleh siswa dalam kelompok. Langkah-lang kah
pembelajaran kooperatif tipe STAD didasarkan pada tahapan pembelajaran
kooperatif yang terdiri atas enam langkah atau tahap.Tahap-tahap dalam
pembelajaran
kooperatif
dapat
ditunjukkan
dalam
tabel
berikut:
Fase-Fase Pembelajaran Kooperatif
Thahap-tahap
Kegiatan Guru
Tahap 1
Menyampaikan tujuan dan motivasi
siswa
Tahap 2
Menyajikan/
menyampaikan
informasi
Tahap 3
Mengorganisasikan siswa dalam
kelompok-kelompok belajar
Tahap 4
Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Tahap 5
Evaluasi
Tahap 6
Memberikan penghargaan
Menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa belajar
Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan
mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan
Menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya
membentuk kelompok belajar dan membantu setiap
kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Membimbing kelompok-kelompok belajar pada
saat mereka mengerjakan tugas mereka
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang
telah diajarkan atau masing-masing kelompok
mempresentasiakn hasil kerjanya
Mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya
maupun hasil belajar individu dan kelompok
(Sumber: Rusman, Model-model pembelajaran, 2012: 211)
•••
521
Dalam pembelajaran model STAD terdapat kelebihan maupun kekurangan Adapun
kelebihan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah:
1) Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan siswa
lain.
2) Siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan
3) Dalam proses belajar mengajar siswa saling ketergantungan positif
4) Setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain.(Ibrahim, dkk. 2000: 72).
Sedangkan kekurangan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah :
1) Membutuhkan waktu yang lama
2) Siswa tidak mau apabila disatukan dengan temannya yang kurang pandai apa bila
ia sendiri yang pandai dan yang kurang pandaipun merasa minder apa bila
digabung kan dengan teman yang pandai walaupun lama-kelamaan perasaan itu
hilang dengan sendirinya.
3) Tes. Siswa diberi kuis dan tes secara perorangan. Pada tahap ini setiap siswa harus
memperhatikan kemampuan nya dan menunjukkan apa yang diperoleh pada
kegiatan kelompok dengan cara menja wab soal kuis atau tes sesuai dengan
kemempuannya. Pada saat mengerja kan kuis atau tes ini, setiap siswa bekerja
sendiri, bekerja sama dengan anggota kelompoknya.
4) Penentuan skor. Hasil kuis atau tes diperiksa oleh guru. Setiap skor yang
diperoleh siswa dimasukkan dalam daftar skor individual, hal ini untuk melihat
peningkatan kemam puan individual, Rata-rata skor peningkatan individual
merupakan sumbangan bagi kinerja pencapaian hasil kelompok.
5) Penghargaan terhadap kelompok. Berdasarkan skor peningkatan individu
diperoleh skor kelompok. Dengan demikian skor kelompok sangat tergantung dari
sumbangan skor individu.
Berdasarkan uraian tentang kelebihan dan kekurangan dalam pembelajaran
model STAD banyak terdapat kelebihanya yaitu peserta didik: (1) bekerjasama
dengan teman lain; (2) dapat menguasai pelajaran; (3) dapat mengisi satu sama
lainnya sedangkan kekurangannya yaitu (1) butuh waktu; (2) peserta didik yang
pandai tidak mau disatukan dengan teman yang tidak pandai (3) tes harus dikerjakan
sendiri; (4) hasil kuis dimasukkan guru dalam daftar skor individu; (5) penghargaan
kelompok tergantung pada individu.
Kesimpulan
Berdasarkan tahap-tahap yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan
bahwa tahap yang paling menonjol dan merupakan ciri dalam pembelajaran
kooperatif tipe STAD yaitu adanya kerja sama dalam kelompok dan adanya
penghargaan atau sertifikat kepada kelompok yang memperoleh hasil belajar yang
baik dan memuaskan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan bersama. Hal ini
merupakan salah satu bentuk motivasi yang diberikan kepada siswa agar siswa dapat
menguasai pelajaran.
•••
522
Daftar Pustaka
Anita Lie, 2003, Coorperative Leaning Mempraktekkan Coorpertive Leaning di
Ruang Ruang Kelas, Jakarta: PT Gramedia
Arief S Sardiman, 2012 Media Pendidikan, Pengertian, Pengembanngan, dan
Pemanfaatannya, Depok: Rajawali Press
E. Kosasih. 2014. Strategi Belajar dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum
2013. Ban dung: Yrama Widya.
Etin Solihatin dan Raharjo. 2012. Cooperative Learning Analisis Model
Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara.
Isjoni. 2011,
Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok.
Bandung: ALFABETA
Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad
21. Bogor: PT. Ghalia Indonesia.
Muslimin Ibarhim,dkk,2000, Pembelajaran Kooperatif. Surakarta: UNS
University Press
Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Tentang Buku Teks Pelajaran dan Buku
Panduan Guru Kurikulum 2013.
Permendikbud No 58 tahun 2014, tentang kurikulum SMP
Robert E Slavin, 2005, Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik. Bandung:
Nusa Media
Rusman ,2012, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru, Jakarta: PT Raja Grafindo Pustaka
Sugiyanto. 2009. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta : FKIP
UU
No
20
Tahun
2003
tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional
•••
523
•••
524
•••
525