[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Manakala Local Heroes Masuk Kelas Sejarah

2017, Seminar Nasional: Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis

Dialektika tentang pembelajaran sejarah di Abad 21 ini dibuka dengan iklim akademik yang memicu inovasi dalam berbagai aspek pendidikan. Materi ajar adalah satu diantaranya. Nitisemito, yang merupakan Raja Kretek dari Kota Kudus adalah salah satu Pahlawan Lokal (Local Heroes) yang kisah hidupnya berpotensi untuk membangkitkan gairah wirausaha dan kebangsaan bagi para siswa. Menjadikannya materi ajar adalah sebuah langkah konkret untuk dapat mentransmisikan nilai dan mentransformasikan kepribadian siswa ke arah yang lebih baik. Penelitian ini dikaji menggunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus. Temuan di lapangan menunjukan, setelah Nitisemito masuk kelas sejarah dengan diajarkan menggunakan model dialog interaktif, siswa lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran. Terbukti dari banyaknya siswa yang menanyakan siapa sebenarnya Nitisemito dan bagaimana kisah hidupnya. Di balik itu, untuk mencegah mitologisasi tokoh Nitisemito, pendidikan adalah jalan yang tepat karena di dalamnya terdapat unsur saintifik dan rasionalitas. Penulis menilai ketauladanan seorang Nitisemito yang ulet, kreatif, dan berkepribadian kuat sebagai wirausahawan adalah bahan ajar sejarah yang memenuhi kriteria untuk dibawa masuk ke dalam Kelas Sejarah. Selain itu siswa juga bisa memaknai apa itu nasionalisme dan sikap kebangsaan dari sudut pandang yang lain, dari Pahlawan Lokal Nitisemito.

••• i Prosiding Seminar Nasional PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN DAN PENULISAN SEJARAH KRITIS Surakarta, 16 November 2017 ••• i SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1 Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2 Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ••• ii SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PENGEMBANGAN DAN PENULISAN SEJARAH KRITIS Copyright © Sariyatun, dkk. 2018 Penyunting: Sariyatun Penulis: Sariyatun, dkk Editor: Renny Pujiartati Manggara Bagus Wijaya Layout: Bayu Anggoro Alfian Singgih Desain Cover: Taufik Harpan Adila Cetakan pertama, Maret 2018 Diterbitkan oleh: Magister Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Penerbit Pramudita Press, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telp. 0271-646994 psw.341 Website: www.tp.fkip.uns.ac.id Telp. (0271) 669124 ext. 182 | Fax. (0271) 648939 ISBN: 978-602-60035-7-7 hal 535+ xv Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak karya ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin dari penerbit. © All Right Reserved ••• iii SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) KATA PENGANTAR Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, prosiding seminar nasional ini dapat diterbitkan. Seminar Nasional bertajuk “Pengembangan Pembelajaran dan Penulisan Sejarah Kritis” merupakan salah satu bentuk nyata kepedulian Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana UNS dalam mengembangkan budaya riset dan ide-ide baru dalam ranah pengembangan pembelajaran dan penulisan Sejarah di Indonesia. Seminar ini mempertemukanpara ahli, akademisi, praktisi dan pemerintah untuk membicarakan berbagai hasil riset dan mendiskusikankemajuan-kemajuan dalam dunia riset. Dalam seminar ini berbagai elemen yang terlibat saling berbagiwawasan dan pengalaman yang dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas keilmuwan para pesertanya.Dengan demikian, keikutsertaan dalam konferensi ini menjadi hal yang sangat baik untuk berperan serta dalam memperbaiki kualitas pembelajaran dan penulisan sejarah di Indonesia. Pengembangan Pembelajaran dan Penulisan Sejarah Kritis” merupakan seminar tingkat nasional yang diadakan oleh Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS). Seminar ini mempertemukan akademisi, peneliti, mahasiswa dan pejabat pemerintah untuk mempresentasikan dan mendengarkan hasil riset yang telah dilakukan dari berbagai elemen di seluruh Indonesia. Dalam seminar ini akan mempresentasikan hasil riset terkini tentang berbagai permasalahan, resolusi, ide, dan kreasi dari berbagai elemen dalam ranah pengembangan pembelajaran dan kepenulisan pada bidang kesejarahan. Hasil seminar ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam rangka mendorong lahirnya generasi-generasi intelektual pengembangan kemajuan pendidikan nasional. Seminar nasional ini mengundang narasumber berasal dari pakar bidang pendidikan dan sejarah yaitu: (1) Prof. Dr. Sariyatun, M. Pd, M. Hum; (2) Dr. Agus Mulyana, M.Pd dan (3) Dra. Willys Sari M.Pd. Semua ini dapat terlaksana tidak lepas dari bantuan semua pihak, karena itu dalam kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada: 1. Ketua Prodi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bantuan baik morilmaupun materiil sehingga kegiatan ini dapat berlangsung dengan baik. 2. Bapak/Ibu dosen Jurusan Sejarah di lingkungan Universitas Sebelas Maret yang telah mendukung mulai tahap persiapanhingga pelaksanaan seminar internasional. 3. Para peserta yang telah berpartisipasi dalam seminar nasional dan berbagi pengalaman serta ilmu dalam bentuk artikel ilmiah maupun diskusi sehinggapelaksanaan kegiatan inilebih dinamis. 4. Semua panitia, termasuk mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Sebelas maret yang sejak awalberpartisipasi dari persiapan sampai pada pelaksanaan berjalan sesuai denganrencana. Kami sangat menyadari bahwa pelaksanaan seminar nasional ini masih banyak kekuranganya. Oleh karena itu kami atas nama panitia mohon maaf yang sebesarbesarnyaapabila ada hal-hal yang tidak berkenan, dan besar harapan agar kegiatanini bermanfaat sertadapat ditindaklanjuti dalam kegatan akademik lain. Surakarta, Januari 2018 Panitia ••• iv SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) DAFTAR ISI Judul ..................................................................................................................... Pengantar ............................................................................................................ Daftar Isi ............................................................................................................. i iv v Pembelajaran Sejarah di Abad Ke-21 Sarityatun ............................................................................................................ 1 Model Evaluasi Kreativitas Lomba Kompetensi Peserta Didik SMK Nursyamsinar Nursiti ........................................................................................ 11 Model Pembelajaran Berbasis Nilai Nilai Manuskrip Syech Abduurauf As-Singkili Untuk Meningkatkan Kesadaran Kesetaraan Gender Siswa Mawardy As, Ary Putra T ................................................................................... 21 Model Pembelajaran Sejarah Terintegrasi Nilai Tradisi Tunggul Wulung Untuk Penguatan Jati Diri Bangsa Lany Susanti ........................................................................................................ 31 Penggunaan Media Kreatif Lukis Pasir Sejarah Riyadi Aris ........................................................................................................... 39 Pengembangan Model dan Metode Pembelajaran Sejarah Netty Novitasari ................................................................................................... 51 Peranan Media dalam Pembelajaran Sejarah Abad ke-21 Aksa Asnar .......................................................................................................... 59 Membangun Critical Thingking Siswa Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning Sebagai Solusi dalam Pembelajaran Sejarah Mhd Fadhil Al Hakim, Sariyatun, Sudiyanto ..................................................... 71 Analisis Kebutuhan Media pembelajaran Sejarah di SMA Negeri Kota Samarinda Jamil, Muhammad Azmi, Muhammad Sopyan ................................................. 81 Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Serat Sabdajati Sebagai Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Fida Indra Fauziyya ............................................................................................ 87 Nilai Historis Candi Cetho sebagai Sumber dan Materi pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal Musa Pelu ............................................................................................................ 99 ••• v SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Permainan Tradisional Sebagai Alternatif Games Berbasis Budaya di Era Terbuka Suriyanti Siagian ................................................................................................. 107 Pemanfaatan Potensi Sejarah Lokal dalam Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Hendro Martono .................................................................................................. 121 Revitalisasi Nilai-Nilai Kepemimpinan Ratu Safiatuddin dalam Pembelajaran Sejarah Untuk Meningkatkan Sikap Emansipasi Widia Munira, Muhammad Akhyar, Djono ....................................................... 131 Reinvensi Pemikiran Muhammad Azhari Al-Palembani melalui Pembelajaran Sejarah Reflektif dengan Pendekatan Values Clarification Technique (VCT): Suatu Kajian Konseptual Maya Yunita ........................................................................................................ 143 Menumbuhkembangkan Minat Baca Melalui Gerakan Literasi Sekolah Dalam Pembelajaran Sejarah Rizqa Ayu Ega Winahyu, S.Pd ........................................................................... 153 Pengembangan Pembelajaran sejarah Melalui Mind-mapping Visitor untuk Meningkatkan Kemandirian Mahasiswa dalam Menyesuaikan Tugas Diskusi Kelompok Hany Nur Pratiwi ................................................................................................ 159 Belajar Sejarah Menyenangkan Kids Jaman Now Willys Sari Listiyani ............................................................................................ 165 Discovery Learning Dalam Kerangka Pembelajaran Sejarah Humanitarian Gusti Garnis Sasmita .......................................................................................... 175 Peran Museum Keris Nusantara Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Mpu Tabah Chalifatah Aji .................................................................................. 183 Model Project Based Learning Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Literasi Sejarah Lokal Siswa Nia Ulfia Krismawati .......................................................................................... 193 Urgensi Pengembangan Model PembelajaranEtnopedagogi Perencanaan Pembelajaran Sejarah Berbasis Pemikiran Tunggul Wulung Sebagai Alternatif Solusi Meningkatkan Sikap Kepemimpinan Reni Dikawati ...................................................................................................... 205 Melatih Siswa Berpikir Kritis dengan Model Pembelajaran Project Based Learning (Pjbl) Saifuddin Alif Nurdianto .................................................................................... 213 ••• vi SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pengembangan Media Pembelajaran Sejarah Berbasis Visual Infografis Taufiq harpan Aldila ........................................................................................... 223 Literasi dan Historiografi Dalam Pembelajaran 350 Tahun di Jajah: Pembangkit Semangat Patriotisme dan Nasionalisme atau Pembelotan Sejarah Gadis Anastasia ................................................................................................... 233 Analisis Pembelajaran Sejarah di Perbatasan Indonesia-Timor Leste Yohanis Kristianus Tampani .............................................................................. 239 Toleransi, Pendidikan Multikultural, dan Pembelajaran Sejarah Yusuf P, Djono, Suryo Ediyono .......................................................................... 247 Pembelajaran Sejarah Dalam Kajian Pedagogi Kritis Piki Setri Pernantah ............................................................................................ 253 Reorientasi Aksiologi dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Contextual Teaching And Learning (CTL) Lila Pangestu Hadiningrum ............................................................................... 261 Internalisasi Wawasan Bahari Dalam Pembelajaran Sejarah di SMK Pelayaran Rembang Avif Arfianto Purwoko Utomo ............................................................................ 273 Toleransi dalam Buku Teks Sejarah Shinta Murti Melida Yashi ................................................................................. 281 Pendidikan Multikultural : Konstruksi Sikap Toleransi Siswa Terhadap Keberagaman Di Indonesia Muhammad Sahal ............................................................................................... 289 Manakala “Local Heroes” Masuk Kelas Sejarah Ganda Febri K ..................................................................................................... 299 Revitalisasi Nilai-Nilai Qanun Aceh dan Sikap Toleransi Dalam Dunia Pendidikan Masa Kini Abdul A, Hermanu J, Sudiyanto ........................................................................ 309 Bona Pasogit (Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar) Tri Pesar Jhon Tuan Panjaitan .......................................................................... 321 Seni Dongkrek & PKI Madiun : Antara Budaya dan Sejarah Shafirna Amalia .................................................................................................. 345 ••• vii SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Kesenian Didong: Kebudayaan dan Tradisi suku Gayo sebagai Sumber Penulisan Sejarah Jona Erwenta, Leo agung, Sunardi ................................................................... 355 Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Sebagai Alternatif Sumber Belajar Sejarah Ilham Rohman Ramadhan; Djono; Nunuk Suryani ......................................... 366 Urgensi Nilai Kearifan Lokal Rumah Adat dalam Pembelajaran Sejarah Mario Yosef, Hermanu, Susanto ........................................................................ 377 Transformasi Nilai-Nilai Wayang beber Pacitan sebagai Strategi Meningkatkan Ketahanan Local Geneous. Antar Budiarto .................................................................................................... 385 Arsitektur Rumah Kapitan dalam Bingkai Nilai Nilai Kearifan Lokal sebagai Alternatif Sumber Belajar Sejarah Eva Febriana, Sariyatun, Nunuk Suryani ......................................................... 399 Peranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Johan Setiawan ................................................................................................... 407 Delta Brantas dalam Narasi Sejarah Sunariyadi Maskurin .......................................................................................... 419 Historiografi sebagai Media Pembelajaran Nilai-Nilai Multikulturalisme Y.d Britto Wirajati ............................................................................................... 427 Analisis Wacana: Pendidikan Karakter Dalam Tembang Lir-Ilir Karya Sunan Kalijaga Agung Wibowo .................................................................................................... 437 SUKARNO MENGGUGAT (Membongkar Wacana Kediktatoran Sukarno Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1966) Sahru Romadloni, I Wayan Pardi ...................................................................... 447 Siger Sebagai Historiografi Kebudayaan Lampung Dan Pendidikan Karakter. Hanriki Dongorau, Akhmad Arif M, Cicilia D S .............................................. 455 Integrasi Nilai-Nilai Dharma Gita dalam Pembelajaran Sejarah Sebagai Strategi Menciptakan Harmoni Sosial Pada Siswa SMA. I Putu Adi Saputra, Sariyatun, Akhmad Arif Musadad ..................................... 463 Manfaat Pemahaman Sejarah Terhadap Materi dan Nilai-Nilai Sejarah Lokal Alfian Singgih Widianto ..................................................................................... 471 ••• viii SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Relief Candi Menggung Dan Plagatan Dalam Pemikiran Sejarah Jawa Kuno Bayu Anggoro ...................................................................................................... 478 Willem Iskander: Bapak Pendidikan Mandailing Kartika Siregar .................................................................................................... 485 Reaktualisasi Manuskrip Jawa Sebagai Sumber Penulisan Sejarah Lokal: Studi Semiotika Pada Serat Cebolek Manggara Bagus Wijaya .................................................................................... 493 Konsep Ekosentrisme Dalam Tradisi Wahyu Kliyu (Studi Kasus Tradisi Wahyu Kliyu Pada Masyarakat Dusun Kendal, Desa Jatipuro, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar) Watsiqotul Mardliyah .......................................................................................... 499 Membentuk Kesadaran Budaya Melalui Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-Nilai Seni Turonggo Yakso Nenin Al Alaz ...................................................................................................... 507 Penerapan Model Student Teams Achievement Division (STAD) Pada Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Ais Mujiyanti ...................................................................................................... 519 ••• ix PEMBELAJARAN SEJARAH DI ABAD KE-21 Oleh Prof. Dr. Sariyatun, M.Pd., M.Hum Program Studi Magister Pendidikan Sejarah UNS email: sari_fkip_uns@yahoo.co.id ABSTRAK Abad ke 21 merupakan abad yang penuh tantangan dan ketidakpastian, sehingga dibtuhkan serangkaian keterampilan khsus untuk bisa tetap bertahan-dan disinilah kemudian peran dunia pendidikan sebagai media untuk membekali peserta didik dengan berbagai keterampilan hidup menjadi sangat penting. Pembelajaran sejarah sebagai salah mata pelajaran wajib dalam kurikulum nasional juga mengemban tugas tersebut sehingga juga menjadi penting untuk melakukan berbagai terobosan, dimana salah satunya adalah dengan mengembangkan pembelajaran sejarah kritis atau pembelajaran sejarah dengan paradigma pedagogi kritis. Melalui pembelajaran sejarah kritis, pembelajaran sejarah tidak hanya tentang menghafal nama tokoh, peristiwa, tempat tahun kejadian di masa lalu, tetapi juga tentang berbagai permasalahan sosial yang sedang dihadapi. Karena itu, maka berbagai kompetensi kunci kehidupan abad 21 seperti pemecahan masalah, berpikir kritis-analistis, kreatifitas, kerja tim, manajemen kerja, kemampuan membaca tantangan zaman, dll menjadi dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah. Kata kunci:Pembelajaran Sejarah, Ketarampilan Abad 21, Pedagogi Kritis. A. Pendahuluan: Sekarang ini kita sedang hidup di abad 21, sebuah masa dimana laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, infomasi, dan komunikasi melaju dengan sangat cepat. Cepatnya laju perkembangan IPTEK tersebut kemudian juga berdampak pada berbagai aspek lain dalam kehidupan manusia, yakni berupa semakin kompetitifnya persaingan, baik persaingan antar individu ataupun persaingan antar bangsa. Abad 21 juga sering disebut sebagai abad pengetahuan atau knowledge age, yakni sebuah masa dimana pengetahuan menjadi basis utama dalam pemenuhan berbagai kebutuhan kehidupan manusia, baik pada bidang ekonomi dan industri, pemberdayaan masyarakat dan pendidikan, dan lain sebagainya. Penelitian yang dilakukan oleh Redecker dkk (2011:12) mengidentifikasi enam tantangan utama di abad 21, yakni: 1) integrasi multikultural untuk mengakomodasi perubahan demografi dan imigrasi; 2) mengurangi jumlah masyarakat yang putus sekolah; 3) memperkuat potensi setiap individu untuk mengembangkan ekonomi cerdas pengetahuan dan inovasi; 4) mempercepat transisi dari dunia pendidikan menuju dunia kerja; 5) memfasilitasi kembali kesempatan masuk ke dunia kerja untuk menghindari pengangguran yang berkepanjangan; 6) berfokus pada pengembangan kembali kemampuan permanen ••• 1 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) yang menjadikan seluruh warga negara terhadap keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan dan dengan cepat merespon perubahan lingkungan dunia kerja. Untuk bisa bertahan di tengah kompleksitas dan rumitnya kehidupan di abad 21 dan juga berbagai tantangan sebagaimana diseutkan di atas, maka ada beberapa kopetensi yang harus dimiliki. Wagner (2010) berpendapat bahwa ada tujuh kompetensi dan keterampilan yang penting untuk dikuasai di abad ke-21 ini, yakni: 1) pemikiran kritis dan pemecahan masalah; 2) kolaborasi dan kepemimpinan; 3) ketangkasan dan kemampuan beradaptasi; 4) inisiatip dan kewiraswastaan; 5) komunikasi lisan dan tulisan yang efektif; 6) mengakses dan menganalsis informasi; dan 7) keingintahuan dan imajinasi. Lebih lanjut, Trilling & Hood (1999:8) mengidentifikasi tujuh keterampilan kunci di abad 21 beserta komponen-komponennya sebagai berikut: Table 1. Tujuh Keterampilan Kunci untuk Bertahan di Abad pengetahuan: Component Skills Seven Cs Pemecahan masalah, penelitian, analisis, manajemen Critical thinking and doing kerja, dll. Menciptakan pengetahuan baru, merancang solusi, Creativity kemampuan bercerita, dll. Kerjasama, negosiasi, kesepakatan, membangun Collaboration komunitas, dll. Across diverse ethnic, knowledge and organizational Cross-cultural understanding cultures, dll. Menyampaikan pesan dan menggunakan media secara Communication efektif. Penggunaan alat informasi dan pengetahuan elektronik Computing yang efektif. Mengelola perubahan, pembelajaran seumur hidup dan Career and learning selfredefinisi karir. reliance Sumber: Trilling & Hood. 1998. Hlm. 8 Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar, ada empat hal yang setidaknya harus dimiliki oleh generasi abad ke-21. Pertama, way of thinking atau terkait dengan bagaimana cara berpikir, yakni kemampuan berpikir kreatif, kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan pembelajar. Kedua, way of working atau kemampuan begaimana mereka harus bekerja. Ketiga, tools for working atau memiliki dan menguasai alat untuk bekerja. Adapun terkait dengan abad ke-21 ini, maka penguasaan terhadap teknologi informasi dan komnikasi (ICT) merupakan sebuah keharusan. Keempat, skills for living in the world, yang meliputi kewarganegaraan, karir, serta tanggung jawab personal dan sosial. Berbagai keterampilan seagaimana dibahas di atas merupakan keterampilanketerampilan yang sangat penting untuk dimiliki oleh generasi yang hidup di abad 21. Adapun dalam dalam upaya untuk membekali generasi muda dengan berbagai keterampilan di atas, maka dunia pendidikan memainkan peran penting dan strategis. Pendidikan, melalui program-program yang ada harus pekah dan tanggap dengan kompetensi-kompetensi di atas. Dengan kata lain bahwa pendidikan harus mampu membekali para peserta diidk dengan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan menjadi problem solver dari berbagai permasalahan yang ada. Selain itu, pendidikan juga dituntut untuk mampu melahirkan peserat ••• 2 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) didik yang siap untuk bertarung di tengah ketatnya persaingan dunia kerja. Dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa pendidikan juga dituntut untuk mampu mempersiapkan para peserta didik untuk menjadi warga negara dunia. Pembelajaran sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang juga memainkan peran penting dalam proses membekali siswa dengan beragai kompetensi di atas. Sebagaimana disebutkan oleh Partnership for 21ST Century Learning bhawa sejarah merupakan satu diantara sembilan mata pelajaran kunci dalam pembelajaran abad 21, (P21, 2015:2). Namun, sebagaimana banyak disinggung dalam berbagai duiskusi dan hasil-hasil riset, bahwa kualitas dari pembelajaran sejarah di Indonesia hari ini maish banyak mengalami persoalan, termasuk dalam hal membekali peserta didik dengan berbagai keterampilan sebagaimana dibahas di awal. Kerana itu, melalui artikel ini penulis akan secara khsus mendiskusikan tentang bagaimana desain pendidikan secara umum dan pembelajaran sejarah secara lebih khsus dalam menjawab tantangan keterampilan abad 21 tersebut. B. Pembahasan 1. Paradigma Pendidikan Abad 21 Dalam upaya membekali peserta didik dengan berbagai keterampilan abd 21 sebagaimana dibahsa di atas, maka dibutuhkan sebuah desain pendidikan yang juga sesuai dengan konteks yang ada, yang dalam hal ini adalah kehidupan abad 21. Karena itu, harus dilakukan perubahan paradigma dari pendidikan yang selama ini berlangsung. Berkenaan dengan hal tersebut, Wagner dkk (2006) menekankan pada pentingnya pengembangan kurikulum dengan prinsif baru yang disebut dengan istilah The New 3 Rs (Rigor, Relevance, & Respect). Rigor berarti bahwa pembelajaran yang dilaksanakan harus bersifat fleksibel, tidak kaku dan monoton. Relevance berarti bahwa pembelajaran yang dilaksanakan harus memperhatikan relevansinya dengan dunia nyata dan tuntutan dunia di masa depan. Dengan kata laian bahwa tujuan dari suatu pembelajaran harus bermula dari apa yang dibutuhkan oleh siswa, baik kebutuhan dalam menghadapi dunia kerja ataupun kebuthan lian di luar itu. Adapun respect ialah prinsif yang berkenaan dengan hubungan interaksi antara guru dan siswa, yakni pola interaksi yang membina kompetensi akadmeik dan sosial. Senada dngan pendapat di atas, Prensky (2012) menganjurkan untuk mengembangkan kurikulum yang berpusat pada siswa dengan komponen The 3 Ps. Ps yang pertama adalah passion, yakni bahwa pendidikan harus mampu melairkan peserta didik yang memiliki keterampilan-keterampilan khsus yang membuat peserta didik tersebut berbeda dengan yang lainnya. Ps yang kedua adalah problem solving atau pemecahan masalah. Maksudnya adalah bahwa kurikulum harus mengarahkan subjek didik, dalam hal ini siswa untuk memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah. Adapun Ps yang ketiga adalah producing what is required creativity and skill, yakni bahwa pendidikan harus mampu memproduksi atau menghasilkan peserta didik yang memiliki keterampilan dan kreativitas yang edang dibtuhkan oleh dunia kerja atau masyarakat. Karena itu, pendidikan yang di selenggarakan harus benar-benar memahamu kebutuhna atau apa yang sedang dibtuhkan di masyarkat. Dengan begitu, maka lulusan yang dihasilkan kemudian diharapkan akan dapat secara langsung diserap dalam dunia kerja. ••• 3 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Selain beberapa pendapat di atas, P21 atau Partnership for 21st Century Learning mengembangkan sebuah framework pembelajaran di abad 21 yang menuntut peserta didik untuk memiliki keterampilan, pengetahuan dan kemampuan dibidang teknologi, media dan informasi, keterampilan pembelajaran dan inovasi serta keterampilan hidup dan karir (P21, 2015). Framework ini juga menjelaskan tentang keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang harus dikuasai agar siswa dapat sukses dalam kehidupan dan pekerjaannya. Berikut adalah framework pembelajaran abad 21 yang dikembangkan oleh P21: Sumber: P21. 2015. P21 Framework Definitions. Hlm. 1 Berbagai prinsif di atas juga menunrut untuk dilakukan perubahan paradigma dalam pembelajaran abad 21. Pertama, terkait dengan informasi. Pada abad ke 21 ini, informasi bukanlah sesuatu yang sulit dicari, melainkan tersedia dimana saja dan kapan saja. Karena itu, pembelajaran haruslah diarahkan untuk mendorong peserta didik untuk mencari tahu dari berbagai sumber, bukan diberi tahu sebagaimana pendidikan konvensional. Kedua, dengan semakin pesatnya perkembangan tekologi informasi, maka pembelajaran harus diarahkan untuk mampu merumuskan masalah atau menanya, bukan menyelesiakan masalah. Ketiga, pembelajaran harus diarahkan untuk melatih kemampuan berpikir analistis (pengambilan keputusan) bukan berpikir mekanistis (rutin). Keempat, pembelajaran menekankan pada pentingnya kolaborasi dan kerjeasma dalam menyelesaikan masalah. Beberapa perubahan paradigma ini dapat di lihat pada table beikut ini: ••• 4 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Tebel 2. Pergeseran Paraidigma Belajar Abad 21: 2. Pembelajaran Sejarah untuk Keterampilan Abad 21: Sebagai bagian dari pendidikan, pembelajaran sejarah merupakan salah stau mata pelajaran yang memegang peran penying dalam membakali para peserta didik dengan serangkaian kompetensi sebagaimana dibahas di atas. Pembelajaran sejarah, sejatinya memang tidak hanya terkait dengan pengetahuan kesejarahan seperti nama tokoh, tanggal kejadian, dan peristiwa, tetapi juga terkait dengan keterampilan berpikir kritis-analitis, berpikir kreatif, dan pemecahan masalah. Pembelajaran sejarah juga terkait dengan pembentukan karakter peserta didik sebagai pribadi yang arif dan bijaksana, punya kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, sadar akan perbedaan, serta sadar akan eksistensinya sebagai warga negara Indonesia. Namun, dalam realitanya di lapangan, pembelajaran sejarah belum mampu memberikan sumbangan yang berarti dalam berbagai kompetensi yang diharapkan. Dalam prakteknya, pembelajaran sejarah yang dilakukan masih sangat knowledge oriented dan teacher centered, dimana peserta didik dihadapkan pada kegiatan menghapal, mendengar serta mencatat apa yang dijelaskan oleh guru. Dengan demikian, maka peserta didik menjadi seperti botol kosong yang tidak memiliki apa-apa. Karena itu pula, berbagai kompeteni seperti berpikir kritis-analitis, kemampuan mmecahkan masalah, dan karakter menjadi terabaikan dalam pembeljara sejarah. padahal, hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting di abad 21 ini. Karena itu, maka perlu dilakukan perubahan cara pendang dalam penyelanggaraan pembelajaran sejarah di sekolah, yakni dengan menerapkan pembelajaran sejarah kritis atau pembelajaran sejarah dengan paradigma pedagogi kritis. Dalam pandangan pedagogi kritis, pendidikan adalah sebuah proses penyadaran atau usaha untuk belajar memahami berbagai kontradiksi, hegemoni dan penindasan, (Freire, 2008:2; Monchinski, 2011:10). McKernan (2013:245) berargumen bahwa pedagogi kritis adalah pergerakan yang melibatkan pembelajaran dan pengajaran sehingga siswa mencapai kesadaran kritis, kesadaran sosial, dan mampu mengambil tindakan yang tepat dalam melawan penindasan. ••• 5 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Lebih lanjut, Fobes & Kaufman (2008:26-27) mengidentifikasi empat prinsif utama pedagogi kritis. Pertama, menghilangkan kontradiksi hubungan antara guru dan siswa, dimana guru diposisikan sebagai pengajar dan siswa sebagai yang di ajar, guru menjelaskan dan siswa mendenbarkan, guru tau segalanya dan siswa tidak tahu apa-apa. Kedua, mengutamakan dialog tentang permasalahan yang dihadapi. Ketiga, memacu keingintahuan epistimologis atau hal-hal yang sifatnya mendasar. Keempat, melakukan refleksi dan aksi ke arah transformasi social. Adapun dalam hubungannya dengan keterampilan abad 21, maka pembelajaran yang dilaksanakan tidak hanya berorientasi pada masa lalu melainkan juga masa kini dan persoalan kontemporer. Sebagaimana diungkapkan oleh Supriatna (2012:122) bahwa pembelajaran sejarah kritis tidak hanya menonjolkan atau mengagungkan kebesaran masa lalu melainkan juga tentang kegagalan dan kelemahan bangsa pada masa yang telah dilewati yang harus diperbaiki pada masa kini. Pembelajaran seperti ini harus dapat memasukkan semua kelompok masyarakat sebagai tokoh sejarah, termasuk para siswa di dalamnya. Sejarah tidak hanya menekankan pada perkembangan nasional, tetapi juga memasukkan isu-isu lokal yang lebih relevan dengan kepentingan siswa. Pembelajaran sejarah seperti ini dapat disajikan dengan menggunakan beragam pendekatan dengan cara menjadikan siswa sebagai pembelajar yang aktif sekaligus sebagai pelaku sejarah pada jamannya, (Supriatna. 2012:122) Selain itu, dalam upaya pengemabngan praksis pembelajaran sejarah kritis, perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum pembelajaran sejarah yang berdasar pada unsure 4 R (richness, recursion, relations, & rigor) yang dikembangkan oleh Doll dalam bukunya yang berjudul A Post-Modern Perspective on Curriculum. Adapun penjelasan dari empat unsure tersebut adalah sebagai berikut: 1. Unsur Richness: Unsur richness merujuk pada kedalaman kurikulum, keragaman makna dan memberi peluang pada guru dan siswa atau pihak terkait untuk mengembangkan atau memasukkan beragam interpretasi. Mengakomodasi beragam interpretasi pendidikan sejarah sebagai materi kurikulum. Pembelajaran merupakan konteks sosial dan pengetahuan sebagai konstruksi sosial dan karena itu kurikulum merupakan proses kontekstual sosial. Pandangan ini memungkinkan guru untuk mengakomodasi keragaman lingkungan social budaya peserta didik ke dalam ruang kelas untuk memenuhi unsur recursion, yakni memperkaya kedalaman kurikulum agar tidak terlepas dari konsteks sosial budaya peserta didik. Selain itu juga menyiratkan agar guru fleksibel dan terbuka terhadap pengetahuan baru dan bersedia menerima kritik untuk meninjau kembali sistem pengetahuannya. Dengan demikian proses pembelajaran sejarah bukan otoritas pengetahuan guru tetapi juga mempertimbangkan pengalaman sehari-hari guru dan siswa di sekolah. Selain itu, unsur riechnes juga memungkinkan guru dan siswa berfikir kritis reflektif melalui berbagai cara untuk memperoleh pemahaman makna dari berbagai perspektif. Hal ini dapat dilakukan melalui dialog kritis, multi interpretasi, pembuktian hipotesis dan pola-pola bermain (role playing). Kegiatan ini dapat diterapkan untuk semua tingkat sekolah. Untuk mencapai tujuan ini ruang kelas sejarah harus diubah menjadi ruang atau arena pengambilan keputusan yang melibatkan para siswa dan guru melalui dialog kritis dan analitis dengan menggunakan bahan tradisional, buku teks, surat dan ••• 6 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) peristiwa kontemporer di lingkungan siswa. Kemampuan untuk menganalisis peristiwa sejarah maupun peristiwa kontemporer saat ini berdasarkan pada bukti yang dikumpulkan masing-masing anggota kelas merupakan elemen dasar dalam pengambilan keputusan. 2. Unsur Recursion: Setelah unsure kedalaman, maka kurikulum yang dikemangkan juga harus mempertimbangkan unsure kekayaan. Artinya, pembelajaran sejarah yang dilangsungkan tidak hanya terbatas pada materi yang ada dalam buku teks semata, melainkan juga dengan memasukkan pengalaman sosial sebagai materi pembelajaran sejarah. Prinsip recursion dalam kurikulum sebagai sebuah praksis memungkinkan isu sosial atau kenyataan-kenyataan hidup menjadi bagian dari materi pembelajaran sejarah. Karena itu pula, pembelajaran sejarah tidak berakhir pada tes yang dilaksanakan atau tugastugas dikumpulkan melainkan kegiatan tersebut harus dianggap sebagai awal untuk refleksi serta memulai dan mengembangkan sesuatu yang baru dalam praksis kurikulum yang bersifat terbuka. Kurikulum ini menantang siswa untuk memasuki masalah atau isu-isu sosial bukan hanya mengamati dari jauh. Karena itu guru harus memulai studi sosial dengan melibatkan siswa dalam proses ini. Rekursi bertujuan untuk mengembang-kan kompetensi kemampuan untuk mengatur, menggabungkan, bertanya dan melakukan interpretasi secara heuristik. Untuk memperjelas konsep ini dapat dicontohkan karya Jennifer Terry tentang historiografi dari kaum lesbian dan gay yang secara subyektif dianggap sebagai penyimpangan. Hal ini menunjukan bahwa teks-teks sejarah dibangun dengan menempatkan subyek yang secara normatif dianggap menyimpang. Dengan menggabungkan analisis kritis dan penyimpangan historiografi, Cary mengeksplorasi bagaimana konstruksi identitas perempuan dalam era progresif sebagai ”gadis yang baik” warga negara, anak remaja, peserta didik lembaga pendidikan dan sosial dalam wacana populis yang eksklusif dan reduktif. Pelanggaran norma oleh remaja putri dalam perpektif sejarah telah dikonstruksi sebagai tindakan menyimpang atau amoral. Dalam konteks kurikulum postmodern perilaku agresif dapat dipahami dan dianalisis sebagai kecenderungan maskulin. 3. Unsur Relations: Menurut Doll (1993: 179) prinsip relations merupakan hal penting dalam kurikulum postmodernism sebagai kurikulum yang bersifat transformatif. Prinsip relations dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu aspek pedagogi dan budaya. Secara pedagogis, prinsip relations berkenaan dengan hal-hal yang ada dalam struktur kurikulum yang berlaku dalam bentuk matrik (matrix) atau jaringan (network) sehingga isi (contents) kurikulum menjadi kaya. Secara kultural, prinsip relations berkenaan dengan hubungan kosmologis atau budaya yang terletak di luar kurikulum yang kemudian membentuk sebuah matrik yang besar yang melekat di dalamnya. Hubungan tersebut bersifat dialogis antara dokumen kurikulum (yang berlaku dengan pengalaman budaya para peserta didik yang tidak tertulis dalam dokumen kurikulum). ••• 7 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Dalam pembelajaran sejarah merujuk pada struktur kurikulum yang berlaku, materi sejarah telah diberlakukan oleh otoritas pemegang kuasa dengan nama Pokok Bahasan, Pengalaman Belajar, Standar Isi, Standar Kompetensi atau Kompetensi Dasar. Dengan prinsip relation materi pelajaran tersebut menjadi sarana dialog antara guru dan siswa serta antara mereka dengan isi (contents) kurikulum. 4. Unsur Rigor: Unsur ke empat dalam pengembangan kurikulum potmodern adalah Rigor merupakan unsur yang paling penting dari empat kriteria. Kurikulum transformative dibangun berdasar kualitas “interpretasi dan ketidakpastian” dalam konteks ini interpretasi untuk memperkaya kurikulum tergantung dari diskusi kritis dan reflektif antara guru dan peserta didik. Unsur Rigor diterapkan agar kurikulum transformatif tidak jatuh dalam baik "relativisme yang berlebihan" atau solipsisme sentimental. Agar rigor dapat memasuki dunia yang dapat diukur dan dimanipulasi, diperlukan dukungan dari komunitas yang kritis pula. Konsepsi kurikulum memungkinkan guru dan peserta didik menciptakan ruang pengetahuan mereka sendiri, meminjam istilah Pinar (2004) disebut sebagai kurikulum sebagai “currere”. Melalui diskusi kritis dan reflektif dengan mengacu pada: (1) apa yang dilakukan di dalam ruang kelas; (2) bagaimana kita berpikir tentang apa yang akan dilakukan. Hal itu adalah currere dalam arti yang paling jelas sebagai kata kerja meliputi otobiografi, pengalaman hidup, realitas sosial dan sejarah. Implikasinya dalam proses belajar dan mengajar bahwa pengajaran harus menyediakan akses ke berbagai bentuk wacana yang memungkinkan individu untuk mendefinisikan diri dengan cara aktif dan menentang. Proses pendidikan dengan pemberdayaan peserta didik menjadikan mereka tidak hanya belajar tentang materi sejarah tetapi juga juga menjadi orang sukses yang percaya diri dan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan Negara. Peserta didik tidak hanya belajar studi literature tetapi juga menyuarakan pendapat memberikan kontribusi bagi diskusi kelas, mendapatkan kembali rasa percaya diri, memuaskan kebutuhan dan mencapai tujuan mereka. Kualitas ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Karena itu kurikulum harus mengarahkan tujuan belajar dan mengajar melalui suatu kerangka kerja yang koheren dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan siswa yang beragam dan mampu menyesuaikan dengan perubahan. Kurikulum sekolah abad ke-21 didefinisikan sebagai pengalaman belajar yang harus diberikan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. C. Kesimpulan: Kompleksitas tantangan di kehidupan abad 21 juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan secara umum dan pembelajaran sjarah secara lebih khsus. Karena itu, berbagai kompetensi yang disebut-sebut sebagai kunci sukses dalam kehidupan abad 21 juga harus menjadi perhatian dunia pendidikan dan pembelajaran sejarah. Beberapa keterampilan yang perlu dikembangkan dalam pendidikan di abad 21 tersebut diantaranya adalah Kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis-analisis, kreatifitas, manajemen kerja, menciptakan ••• 8 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pengetahuan baru, merancang solusi, kerjasama (team work), memahami perbedaan budaya, kemampuan dalam komunikasi, menguasai ICT, adaptasi terhadap perubahan, dll. Untuk mengembangkan keterampilan tersebut, maka perlu dilakukan perubahan dalam paradigma pendidikan yang selama ini berlangsung. Adapun untuk pembelajaran sejarah, perlu untuk dikembangkan pembelajaran sejarah kritis. Untuk mengembangkan pembelajaran sejarah kritis, dapat dilakukan dengan melakukan rekonstruksi kurikulum yang berdasar pada 4R yang dikemukakan oleh Doll, yakni richness, recursion, relevance dan rigor. Adapun implikasinya terhadap praksis pembelajaran sejarah adalah sebagai berikut: 1. Proses belajar dan mengajar bahwa pengajaran harus menyediakan akses ke berbagai bentuk wacana yang memungkinkan individu untuk mendefinisikan diri dengan cara aktif dan menantang. 2. Proses pendidikan dengan pemberdayaan peserta didik menjadikan mereka tidak hanya belajar tentang materi Sejarah tetapi juga juga menjadi orang sukses yang percaya diri dan mampu memberikan kontribusi masy. 3. Peserta didik tidak hanya belajar studi literature tetapi juga menyuarakan pendapat memberikan kontribusi bagi diskusi kelas, mendapatkan kembali rasa percaya diri, memuaskan kebutuhan dan mencapai tujuan mereka. 4. Kurikulum harus mengarahkan tujuan belajar dan mengajar melalui suatu kerangka kerja yang koheren dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan siswa yang beragam dan mampu menyesuaikan dengan perubahan. Daftar Pustaka: Doll, W. E. (1993). A Post-modern Perspective on Curriculum. New York: Teachers College Press. Fobes, C & Kaufman, P. (2008). Critical Pedagogy in the Sociology Classroom: Challenges and Concerns. Teaching Sociology, 36 (1), 26-33. Freire, P. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES. McKernen, J.A. (2013). The Origins of Critical Theory in Education: Fabian Socilism as Social Recostructionism in Nineteenth-Century Britain. British Journal of Educational Studies, 61 (4), 417-433. Monchinski, T. (2011). Engaged Pedagogy, Enraged Pedagogy: Reconciling Politics, Emotion, Religion, and Scince for Critical Pedagogy. Roterdam: Sense Publishers. Pinar, W. F. (2004). What is Curriculum Theory. New Jersey, London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Prensky, M. (2012). From Digital Natives to Digital Wisdom: Hopeful Essays for 21st Century Learning. Thousand Oaks, CA: Corwin Press. P21. (2015). P21 Framwork Definitions. Washington DC: Partnership for 21st Century Skills. Redecker, C, dkk. (2011). The Future of Learning: Preparing for Change. Luxembourg: Publications Office of the European Union. ••• 9 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Supriatna, N. (2012). Penggunaan Konsep Ilmu Sosial dalam Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. PARAMITA: Historical Studies Journal, 17 (1), 122-130. Trilling, B & Hood, P. (1999). Learning, Technology and Education Reform in the Knowledge Age. Educational and Technology, 39 (3), 5-18. Wagner, T. (2010). The Global Avheivement Gap: Why Even Our Best Schools Don't Teach the New Survival Skills Our Children Need and What We Can Do About It. New York: Basic Books. ••• 10 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Model Evaluasi Kreativitas Lomba Kompetensi Peserta Didik SMK Nursyamsinar Nursiti Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Barat nursiti_19@yahoo.com ABSTRAK Model evaluasi kreativitas sejak lama didominasi oleh tes-tes kemampuan berpikir kreatif yang dikembangkan maupun diadopsi dari Torrance Tests Of Creative Thinking. Kelemahan tes ini terutama dalam hal: (1) berbagai jenis tes kreativitas bertolak dari definisi, konstruk, dan indikator yang berlainan tentang kreativitas; (2) hasil skor tinggi tes kreativitas belum jaminan memiliki kemampuan profesional dengan prestasi tinggi; dan (3) sistem penskoran masih subjektif karena tergantung pertimbangan memberi skor. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh derajat kreativitas subjek berdasarkan rumusan “Four P’s of Creativity“ yaitu:creative person, creative product, creative process, dancreative press.Penelitian ini masuk dalam penelitian evaluasi. Data dikumpulkan melalui survei dengan menggunakan tiga alat pengumpul data yaitu: (1) skala untuk dimensi pribadi dan pendorong kreatif; (2) tes kemampuan berpikir kreatif verbal untuk dimensi proses kreatif; dan (3) lembar penilaianuntuk dimensi produk kreatif. Dilihat dari proses pengumpulan data menggunakan pendekatan retrospective dengan desain ex post facto yaitu, berusaha mengumpulkan data dari fenomena yang telah muncul tanpa ada intervensi dari peneliti. Subjek penelitian adalahpeserta Lomba Kompetensi Peserta Didik SMK tingkat Propinsi Jawa Barat tahun 2016/2017 sebanyak 143 orang, yang tersebar pada 22 sekolah di lima kabupaten/kota (Kabupaten Majalengka, Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Indramayu).Analisis data menggunakan software SPSS for Windows 15.0, dan software LISREL 8.71, yang diawali dengan uji normalitas/linieritas, dan secara multivariat data ditunjukkan normal dan linier. Validitas konstruk kreativitas termasuk baik berdasarkan nilai muatan faktor standar (  ) berturut-turut sebesar 0,94; 0,77; 0,98, dan 0,62 (semua  ≥ 0,5), serta nilai t muatan faktor berturut-berturut sebesar 13,42; 9,95; 14,50; dan 7,45 (semua t ≥ 1,96). Reliabilitas konstruknya baik berdasarkan komposit konstruk (  k ) = 0,78 dan ekstrak varian konstruk (  e ) = 0,71.Hasil penelitian ini adalah: 1) Model pengukuran dan model evaluasi kreativitas Lomba Kompetensi Peserta Didik SMK yang terdiri atas dimensi pribadi, proses, pendorong, dan produk kreatif cocok dan sesuai digunakan; (2) derajat kreativitas subjek menurut dimensi-dimensinya berdasarkan kriteria dan norma kategorial masuk dalam kategori tinggi; dan (3) kualitas interaksi antara anak dengan orang tua dalam lingkungan keluarga, dan kualitas interaksi antara peserta didik dengan guru di lingkungan sekolah berkontribusi lebih besar bagi pertumbuhan kreativitas. Kata kunci: Model evaluasi, model pengukuran, model fit, pribadi kreatif, proses kreatif, pendorong kreatif, dan produk kreatif. ••• 11 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) A. Pendahuluan Pendidikan sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan pembangunan suatu bangsa, sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi bangsa itu sendiri. Pembangunan yang dilakukan di Indonesia saat ini memerlukan orang yang mempunyai kemampuan-kemampuan tinggi dalam bidang ilmu dan teknologi, dan untuk mencapai kemampuan tersebut diperlukan sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif (Toto Kuwato, 1994: 1). Peranan kreativitas menjadi sangat penting dalam menghadapi persaingan di era globalisasi saat ini, ketika adanya kesepakatan diberlakukannya AFTA (Asean Free Trade Area), dan AFLA (Asean Free Labour Area) yang tidak hanya menuntut kemampuan kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan lainnya (Pujiati Suyata dkk, 2005: 1-2). Globalisasi menuntut lembaga pendidikan untuk memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, di antaranya adalah tenaga kerja yang profesional dan berkualitas sehingga dapat sebanding dengan kualitas tenaga kerja asing. Kompetensi yang sepadan dengan kompetensi para tenaga kerja di luar negeri merupakan salah satu faktor yang penting diperhatikan agar daya saing global sauatu negara dapat menguat. Pengembangan kreativitas dari sudut pandang pendidikan paling tidak mempunyai makna sebagai: Pertama, pada tingkat makro kreativitas itu merupakan unsur kekuatan sumber daya manusia yang handal untuk menggerakkan pembangunan melalui perannya dalam penelusuran, pengembangan, dan penemuan ilmu dan teknologi (IPTEK) yang termanifestasikan dalam kebudayaan dan peradaban. Kreativitas telah terbukti sangat membantu usaha pembangunan menjadi lebih progresif, yang dimaknai bahwa kemajuan suatu bangsa sangat tergantung pada produk kreativitas warganegaranya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa keberhasilan bangsa Jepang, bukan karena sumber alamnya yang melimpah, melainkan apa yang disebut satori, yaitu tingkat kemampuan berpikir kreatif tinggi dalam menghadapi lingkungan, senang terhadap hal-hal baru dan orisinil, serta semangat bekerja yang tinggi. Demikian pula halnya Malaysia mengalami kemajuan pembangunan yang pesat karena pemerintahnya mampu dengan baik mengelola pemikir-pemikir kreatif (Suharman, 1998: 2). Persoalan di atas mengisyaratkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia perlu memberikan perhatian yang sungguh-sungguh, terencana, dan sistematis terhadap upaya pengaktualisasian potensi kreatif peserta didik, di antaranya dengan cara mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif bagi pengembangan kreativitas secara optimal. Kedua, pada tingkat mikro, kebermaknaan kreativitas dikaitkan dengan pendidikan terletak pada hakikat dan perannya sebagai dimensi yang memberi ciri keunggulan bagi pertumbuhan manusia yang efektif dan produktif yang wujudnya tampak dalam produk dan karya-karya kreatif. Berdasarkan pengamatan selama ini, potensi kreatif belum sepenuhnya teraktualisasikan dalam berbagai lingkup, satuan, dan kegiatan pendidikan. Keadaan ini tampak pada beberapa kondisi dan kecenderungan proses pelaksanaan pendidikan yang: 1) dalam proses pembelajaran belum mendorong pengembangan potensi diri peserta didik; 2) dalam mengelola respon peserta didik cenderung bersifat evaluatif; 3) kurang peduli terhadap gagasan-gagasan yang ••• 12 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) orisinal peserta didik; 4) kurang menghargai ide-ide yang imajinatif; 5) pengkondisian pembelajaran dengan norma perilaku tertentu yang sifatnya represif dan evaluatif, dan 6) dalam pembelajaran mengutamakan pengembangan kemampuan otak sebelah kiri (left hemisphere) yang berciri logis, rasional, serta analitis dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan otak belahan kanan (right hemisphere) yang mempunyai ciri kreatif, divergen, dan homolistik (Conny Semiawan, 1999: 25). Bertolak dari anggapan bahwa kreativitas itu adalah suatu proses dan hasil belajar yang disengaja, maka berbagai pakar berupaya mengembangkan modelmodel intervensi untuk meningkatkan perilaku kreatif terutama pada adeganadegan di sekolah. Model untuk mengembangkan/meningkatkan kreativitas didominasi oleh model-model pembelajaran kreatif, dalam bentuk rumusan dan sasaran kegiatan belajarnya. Pengembangan model-model pembelajaran kreatif pada umumnya disesuaikan dengan nama pengembangnya antara lain: 1) Model Struktur Intelek dari J. P. Guilford, melalui pola berpikir divergen dengan aspek-aspek kelancaran, kelenturan, keaslian, dan kerincian dalam berpikir dapat dilatih; 2) Model Talenta Berganda dari Taylor, terutama dalam bidang kreatif-produktif mengembangkan keterampilan berpikir kreatif; 3) Model Treffinger untuk mendorong belajar kreatif, yang dalam belajarnya mengunakan fase belajar tiga tingkat (mulai dari teknik kreatif dasar sampai majemuk); 4) Model Enrichment Triad dari Renzulli, yang memberi kesempatan pengayaan pengalaman (menyelidiki masalah nyata), dan menyuguhkan tantangan bagi anak sekaligus memupuk kreativitas; 5) Model Williams, mengenai perilaku kognitif-afektif di dalam kelas untuk menumbuhkan sikap-sikap afektif dari unsur kreativitas; dan 6) Model Pendidikan Integratif dari Clark, mengajukan konsep yang terpadu tentang kreativitas dan memerlukan perpaduan antara fungsi berpikir, perasaan, penginderaan, dan intuisi.Namun demikian perkembangan model pembelajaran kreatif itu, kurang diimbangi dengan model-model penilaian (evaluasinya). Sejauh ini penilaian mengenai kreativitas didominasi oleh tes-tes kemampuan berpikir kreatif yang dikembangkan maupun yang diadopsi dari Torrance Tests Of Creative Thinking (1974: 96). Selain memiliki beberapa kelebihan juga beberapa kelemahan antara lain: a) berbagai jenis tes kreativitas bertolak dari definisi, konstruk, dan indikator yang berbeda-beda tentang kreativitas; b) apa yang diungkap oleh tes sangat peka terhadap hasil belajar; dan c) sistim penyekoran yang objektif dalam tes pada dasarnya adalah subjektif karena sangat tergantung atas pertimbangan penyekor. Berkaitan dengan upaya meningkatkan kreativitas peserta didik SMK, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan sejak tahun 1992 melaksanakan Lomba Uji Kompetensi Siswa (LUKS) SMK. Tujuan utama lomba ini adalah untuk mengukur kualitas kompetensi peserta didik SMK, apakah sudah sesuai dengan standar dunia usaha/industri. Dalam perjalanannya kegiatan ini banyak mengalami perkembangan, baik penggunaan istilah lomba (dari Lomba Uji Kompetensi Peserta Didik, menjadi Lomba Keterampilan Peserta Didik, selanjutnya Pekan Kompetensi Peserta Didik, Promosi Kompetensi Peserta Didik, dan Lomba Kompetensi Peserta Didik), maupun bidang lomba yang dikompetisikan. ••• 13 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Evaluasi (penilaian) yang digunakan pada bidang lomba disesuaikan dengan kriteria dan standar yang diacu masing-masing lomba. Studi analisis format penilaian yang digunakan dewan juri pada bidang lomba bahasa dan KIS, di dalamnya selalu ada komponen penilaian tentang kreativitas, meskipun belum dilengkapi dengan unsur, indikator atau kriteria-kriteria yang diperlukan dalam menilai kreativitas. Sehingga pemberian skor kreativitas (yang bobotnya mencapai 15-20 % dari total bobot komponen penilaian suatu bidang lomba) sangat menyulitkan dewan juri. Melakukan evaluasi mengenai kreativitas seseorang tidaklah semudah mengevaluasi prestasi belajarnya, karena kreativitas pada diri seseorang lebih bersifat laten (dimensi pribadi kreatif, proses kreatif, pendorong kreatif, dan produk kreatif) sehingga pada pelaksanaannya evaluasi kreativitas dilakukan melalui pengukuran kreativitas secara tidak langsung, yakni melalui alat ukur tertentu yang selanjutnya dijustifikasi dengan norma atau kriteria tertentu yang digunakan bagi kepentingan pengambilan keputusan. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian kreativitas untuk dimensi produk kreatif pada umumnya adalah dengan analisis objektif dan pertimbangan subjektif. Pendekatan analisis objektif dimaksudkan untuk melakukan penilaian secara langsung kreativitas suatu produk berupa benda atau karya-karya kreatif lain yang dapat diamati wujud fisiknya. Pada prakteknya pendekatan ini sulit diterapkan dan kurang diminati karena ketidakjelasan rambu-rambu metodologis tentang makna sesungguhnya penilaian objektif, memiliki kompleksitas yang tinggi, dan kesulitan mendiskripsikan kualitas produk yang beragam secara matematis untuk menilai kualitas intrinsik suatu produk atau karya kreatif yang dihasilkan. Sedangkan pendekatan penilaian kreativitas melalui pertimbangan subjektif (subjective judgment) diarahkan kepada orang atau produk kreatif. Dengan kata lain menggunakan pertimbangan subjektivitas penilai (evaluator) terhadap orang atau produk/karya kreatif. B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian evaluasi yang secara sistematik dirancang untuk menjawab pertanyaan dan menguji atau membuktikan suatu hipotesis. Menurut Kratchwohl (Nana, 2005:120-121) penelitian evaluasi bersifat hypothesis driven. Penelitian mencoba menemukan suatu sebab dari sesuatu yang sudah terjadi, hubungan kausal antar variabel tidak dimanipulasi, dan memfokuskan apa yang sudah terjadi pada subjek, sehingga digunakan disain penelitian ini adalah menggunakan penelitian ex post facto. Subjek penelitian adalah peserta Lomba Kompetesi Peserta Didik SMK tingkat Propinsi Jawa Barat tahun 2016/2017bidang lomba Bahasa dan Karya Ilmiah Peserta Didik berjumlah 143 orang, yang tersebar di 22 SMK di lima kabupaten/kota. Instrumen pengumpul data terdiri atas: 1) skala untuk dimensi pribadi dan pendorong kreatif, 2) tes kemampuan berpikir kreatif verbal untuk dimensi proses kreatif, dan (3) lembar penilaian untuk dimensi produk kreatif. Uji coba skala pribadi dan pendorong kreatif diberikan kepada 80 orang peserta didik SMK di Kota Cimahi(secara acak) di luar subjek penelitian. Hasil analisis faktor diperoleh nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin Measure of Sampling) sebesar 0, 629 (untuk pribadi kreatif) dan 0, 627 (untuk pendorong kreatif) ke- ••• 14 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) duanya cukup baik, sehingga butir-butir pernyataan dapat menjelaskan pengelompokan indikator-indikator berdasarkan justifikasi teori. Nilai Chi Square pada Bartlett’s Test of Sphericity sebesar 4608,222 dengan probabilitas 0,00 (pribadi kreatif) dan 4262,591 dengan probabilitas 0, 00 (pendorong kreatif) ke-duanya signifikan. Jumlah faktor terbentuk ditunjukkan oleh banyaknya komponen yang ada, sedangkan butir pernyataan pembentuknya ditunjukkan oleh pengelompokan serta besarnya faktor loading (muatan faktor) pada setiap butir. Dari hasil pengujian (baik untuk pribadi maupun pendorong kreatif) ditunjukkan sebanyak 6 faktor terbentuk, dan semuanya memiliki faktor loading ≥ 0, 3 sehingga valid dalam membentuk faktor. 1. Variabel Penelitian a. Variabel laten pribadi kreatif dengan variabel manifes yaitu: rasa ingin tahu, kemauan untuk merespon, keterbukaan terhadap pengalaman, keberanian mengambil resiko, kepekaan terhadap masalah, dan kepercayaan diri. b. Variabel laten proses kreatif dengan variabel manifes yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian, dan kerincian. c. Variabel laten pendorong kreatifdengan variabel manifes yaitu: partisipasi dan keterlibatan dalam keluarga, keterbukaan sikap orang tua, kebebasan untuk mengadakan eksplorasi, partisipasi dan kerjasama dalam KBM, keterbukaan sikap guru, dan kebebasan untuk mengadakan eksplorasi dan refleksi. d. Variabel laten produk kreatif dengan variabel manifes yaitu: kebaruan, keaslian, pemecahan masalah, dan elaborasi dan sintesis. 2. Instrumen Pengumpul Data Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data pada penelitian ini terdiri atas: (1) skala, untuk dimensi pribadi dan pendorong kreatif; (2) tes kemampuan berpikir kreatif verbal, untuk dimensi proses kreatif; dan (3) lembar penilaian, untuk dimensi produk kreatif. 3. Analisis Data a. Statistik deskriptif, dengan bantuan software SPSS for Windows 13.0digunakan terutama untuk menganalisis data yang diperoleh dari biodata responden yaitu: (1) karakteristik biografis (posisi kelahiran, peringkat atau rangking di kelas) dan (2) karakteristik lingkungan (jumlah saudara, pendidikan ayah, dan pendidikan ibu). b. Analisis data kuantitatif, digunakan untuk menganalisis validitas, reliabilitas, dan uji kecocokan model pengukuran (measurement model) dari evaluasi kreativitas peserta lomba kompetensi SMK yang dikembangkan. Instrumen dianalis dengan CFA (Confirmatory Factor Analysis), menggunakan bantuan software LISREL 8.71 dimana ukuran sampel yang disarankan untuk penggunaan estimasi Maximum Likelihood adalah sebesar 100 sampai 200 (Imam Ghozali & Fuad, 2005: 36). Analisis dengan menggunakan CFA dalam penentuan validitas setiap butir masing-masing instrumen didasarkan pada nilai t (t-value) muatan faktor dengan ketentuan, apabila nilai t kurang dari ttabel yaitu sebesar 1,96 (pada diagram jalur menunjukkan warna merah) berarti nomor butir yang bersangkutan dianggap tidak valid dan harus didrop, sebaliknya kalau lebih besar dari ttabel ••• 15 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sebesar 1,96 (pada diagram jalur menunjukkan warna hitam), maka nomor butir tersebut dianggap valid. Suatu variabel dikatakan mempunyai validitas yang baik terhadap variabel latennya, adalah apabila: (a) nilai t muatan faktornya (loading factors) lebih besar dari nilai kritis (atau ≥ 1,96) dan (b) muatan faktor standarnya ≥ 0,7 (Wijanto, 2008: 65). Semakin besar nilai t menunjukkan bahwa nomor butir tersebut semakin baik, begitu juga sebaliknya. Untuk menguji kecocokan atau kesesuaian antara model teoritis dengan model dari data empiris, baik model evaluasi maupun model pengukuran didasarkan pada empat kriteria, yaitu: 1) Statistik Chi-Square; 2) Significance Probability; 3) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA); dan4) Goodness of Fit Index (GFI). Jöreskog & Sörbom sebagai pengembang sofware LISREL menetapkan kriteria utama model fit adalah GFI. Adapun standar uji kecocokan model disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Goodness of fit Indices Goodness of fit index Chi-Square Sig. Probability RMSEA GFI Cut-of Value Diharapkankecil  0,05  0,08  0,90 Keterangan Semakin kecil semakin baik RMSEA < 0,08 adalahgood fit 0,9 ≤GFI <1,00 adalahgood fit C. Hasil Pembahasan Model evaluasi kreativitas lomba kompetensi peserta didik SMK dapat dibagankan seperti Gambar 1. Kreativitas Pribadi Pendorong Proses Produk Model Fit Model Fit Model Fit Model Fit Skor Skor Skor Skor Kriteria Kriteria Kriteria Kriteria Keterangan:Model fit terdiriatasmeasurement model fitdanoverall model fit. 1. Measurement model fit Validitas konstruk kreativitas adalah baik berdasarkan nilai muatan faktor standar (  )berturut-turut sebesar 0,94; 0,77; 0,98, dan 0,62 (semua  ≥ 0,5), serta nilai t muatan faktor berturut-berturut sebesar 13,42; 9,95; 14,50; dan 7,45 (semua t ≥ 1,96). Reliabilitas konstruk kreativitas disimpulkan baik berdasarkan reliabilitas komposit konstruk (  k ) sebesar 0,78 dan ekstrak varian konstruk (  e ) sebesar 0,71. Rumus-rumus yang digunakan untuk mendapatkan: • Reliabilitas komposit suatu konstruk (  k ) ••• 16 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ( std .loading ) = ( std .loading ) +   2 k • ; dimana  k  0,7 2 j Ekstrak varian suatu konstruk (  e ) e =  std .loading  std .loading 2 2 +  j atau  e  std .loading = N 2 dimana  e  0,5 std. Loading = faktor muatan standar = measurement error dan N = banyaknya variabel manifes/indikator dari variabel laten yang bersesuaian.  2. Overall model fit Hasil analisis print out software Lisrel 8.71konstruk kreativitas diperoleh nilai-nilai sebagai berikut: (1) Chi-Square = 0,26 dengan df = 2; (2) P-Value = 0, 87; (3) RMSEA = 0,00; dan (4) GFI = 0,99. 3. Model Pengukuran Konstruk Kreativitas Persamaan pengukuran untuk konstruk kreativitas menggunakan persamaan pengukuran second order CFA, dengan persamaan umum: X =  x  +  (Jöreskog & Sörbom, 1996: 2). Berdasarkan printed ouput hasil analisis skor konstruk kreativitas dengan menggunakan software LISREL 8.71diperoleh diagram jalur model pengukuran konstruk kreativitas seperti disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Diagram Jalur Model Pengukuran Konstruk Kreativitas Berdasarkannilai-nilai measurement model fit dan overall model fit dapat disimpulkan model sudah fit. ••• 17 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 4. Skor Pribadi, Pendorong, dan Produk Kreatif Skor-skor dianalisis untuk melihat kecenderungan distribusi data kemudian dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan, untuk selanjutnya dilakukan judgment. Distribusi data (bentuk skor) yang ada, dibagi yang dalam 7 SDi, kemudian dijadikan 6 kategori dengan kriteria seperti berikut (mengacu kepada standar norma umum taraf inteligensi): • Mi - 3,50 SDi < skor <= Mi - 2,33 SDi→ rendah sekali • Mi – 2,33 SDi < skor <= Mi - 1,17 SDi→rendah • Mi – 1,17 SDi < skor <= Mi + 0,00 SDi→sedang • Mi + 0,00SDi < skor <= Mi + 1,17 SDi→cukup • Mi + 1,17 SDi <skor <= Mi + 2,33 SDi→tinggi • Mi + 2,33 SDi < skor <= Mi + 3,50 Sdi →sangat tinggi Keterangan: Mi= rerata ideal (skor harapan tertinggi + skor harapan terendah)/2 dan SDi = simpangan baku ideal (skor harapan tertinggi – skor harapan terendah)/7 Tabel 2 Distribusi Kategori Pribadi Kreatif Kategori Frekuensi Persen Rentang Skor Sangat rendah 0 0 57 – 86 Rendah 0 0 87 – 114 Sedang 0 0 115 – 143 Cukup 22 18,2 144 – 171 Tinggi 69 57 172 – 199 Sangat Tinggi 30 24,8 200 – 228 Jumlah 121 100 Tabel 3 Distribusi Kategori Pendorong Kreatif Kategori Frekuensi Persen Rentang Skor Sangat rendah 0 0 58 - 87 Rendah 0 0 88 - 115 Sedang 0 0 116 - 145 Cukup 29 24 146 - 174 Tinggi 72 59,5 175 - 202 Sangat Tinggi 20 16,5 202 - 232 Jumlah 121 100 Tabel 4 Distribusi Kategori Produk Kreatif Kategori Frekuensi Persen Rentang Skor Sangat rendah 0 0 0 - 17 Rendah 0 0 18 – 33 Sedang 17 14 34 – 50 Cukup 47 38,1 51 – 67 Tinggi 50 41,3 68 – 83 Sangat Tinggi 7 6,6 84 - 100 Jumlah 121 100 ••• 18 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 5. SkorProses Kreatif Skor mentah (raw score)masing-masing subtes, dikonversikan ke skor skala (scala score). Skor skala dijumlahkan, kemudian dikonversi untuk mendapatkan creativity quotient (CQ). Menurut Dedi Supriadi (1994: 28), analog dengan Intelligence Quotient (IQ). Skor-skor creativity quotient dianalisis untuk melihat kecenderungan distribusi data kemudian dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan, untuk selanjutnya dilakukan judgment. Norma umum untuk taraf kreativitas analog dengan inteligensi yaitu norma Intelligence Structure Test disajikan seperti Tabel 5 Tabel 5 Norma Umum Taraf Kreativitas Rentang Skor Kategori 119 – ke atas Sangat tinggi (very superior) 105 – 118 Tinggi 100 – 104 Cukup 95 – 99 Sedang 81 – 94 Rendah 80 – ke bawah Rendah sekali Rentang Skor 119 – ke atas 105 - 118 100 – 104 95 - 99 81 - 94 80 – ke bawah Jumlah Tabel 6 Distribusi Kategori Dimensi Proses Kreatif Frekuensi Persen Kategori 12 10,2 Sangat tinggi 58 47,4 Tinggi 18 15,3 Cukup 13 10,1 Sedang 20 17 Rendah 0 0 Rendah sekali 121 100 D. Kesimpulan 1. Kualitas interaksi antara anak dengan orang tua dalam lingkungan keluarga, dan kualitas interaksi antara peseta didik dengan guru di sekolah berkontribusi lebih besar bagi pertumbuhan kreativitas. 2. Derajat kreativitas dari dimensi pribadi, pendorong, proses, dan produk kreatif peserta lomba kompetensi peserta didik SMK tingkat Propinsi Jawa Barat tahun 2016/2017 masuk dalam kategori tinggi. 3. Variabel manifes dimensi pribadi kreatif (rasa ingin tahu, kemauan untuk merespon, keterbukaan terhadap pengalaman, keberanian mengambil resiko, kepekaan terhadap masalah, dan kepercayaan diri), dan variabel manifes pendorong kreatif (partisipasi dan keterlibatan dalam keluarga, keterbukaan sikap orang tua, kebebasan untuk mengadakan eksplorasi, partisipasi dan kerjasama dalam KBM, keterbukaan sikap guru, dan kebebasan untuk mengadakan eksplorasi dan refleksi, mengukur baik konstruknya. ••• 19 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 4. Variabel manifes dimensi proses kreatif (kelancaran, keluwesan, keaslian, dan kerincian), dan variabel manifes produk kreatif (kebaruan, keaslian, pemecahan masalah, serta elaborasi dan sintesis) mengukur baik konstruknya. E. DAFTAR PUSTAKA Brockman, J. (1993). Creativity. New York: Published by Simon & Schuster. Conn, Semiawan dkk. (1984). Memupuk bakat dan kreativitas siswa sekolah menengah. Jakarta: PT. Gramedia. DediSupriadi. (1994). Bandung: Alfabeta. Kreativitaskebudayaan&perkembanganiptek. Jöreskop, K. G., & Sörbom, D. (1996): LISREL 8. User’s reference guide.Chicago: Scientific Software International. Madaus, G.F., Scriven, M.S., Stuffebeam, D.L. (1993). Evaluation models, viewpoints on educational and human services evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing. Nana Syaodih. S. (2005). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Posavac, E. J. & Carey, R. G. (1985). Program evaluation: method and case study. USA: Prentice-Hall, Inc. Ruindungan, M. G. (1996). Model bimbingan peningkatan kreativitas siswa SMU. Disertasi Doktor, tidak diterbitkan, IKIP, Bandung. S.H. Wijanto. (2008). Structural 8.8.Yogyakarta: GrahaIlmu. equation modelingdenganlisrel Singgih, S. (2003). SPSS Statistik multivariat. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo. Solimun, M. S. (2001). Structural equation modeling (Sem) and LISREL. Malang: Brawijaya. Stark, J. S. & Thomas, A. (1994). Assessment and program evaluation. NeedhamHeights: Simon & Schuster Custom Publishing. Toto Kuwato. (1994). Sex-role dan kreativitas. Disertasi Doktor, Tidak diterbitkan, Psikologi UGM, Yogyakarta. Utami Munandar, dkk. (1977). Creativity and Education: A studi of the relationship between measures of creative thinking and a number of educational variables in Indonesien primary and junior secondary schools. Jakarta: Balitbang, Depdikbud. ••• 20 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI NILAI MANUSKRIP SYECH ABDURAUF AS-SINGKILI UNTUK MENINGKATKANKESADARAN KESETARAAN GENDER SISWA Oleh Mawardy As Ary Putra T Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UNS mawardyasaryputra@gmail.com Abstrak Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Ruang lingkupnya mencakup seluruh pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan, apabila kita mempelajari karya tulis yang membahas pendidikan, baik sains pendidikan (science of educations) maupun filsafah pendidikan (philoshopy of educations), maka akan kita temukan berbagai macam pengertian atau uraian yang beraneka ragam tentang pendidikan.Pendidikan berbasis budaya lokal, mempunyai peran penting dalam penanaman karakter kepada siswa, hal ini dikarenakan pendidikan berbasis budaya lokal dapat menggali dan mengembangkan pendidikan berbasis budaya lokal, salah satunya dengan cara mengenal tokoh yang berpengaruh pada suatu daerah. Di dalam sebuah peninggalan ilmu pengetahuan terdapat nilai-nilai kearifan yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai kearifan ini tercermin di dalam sebuah karya dari seorang ulama Aceh yang bernama Syech Abdurrauf as Singkili, yang kemudian di tulis dalam beberapa kitab Manuskrip yaitu kitab Mir’atul Thulab fi Tas-hili Ma’ritah Ahkamisy Syar’iyah lil Mulkil Wahhab dan Turjumanul Mustafid. Untuk itu, dikembangkan suatu model pembelajaran sejarah berbasis nilai manuskrip Syech Abdurrauf as Singkili. Dengan merancang suatu desain pembelajaran, sintak pembelajaran dan RPP. Pengembangan ini diharapkan akan meningkatkan rasa pemahaman dan kesadaran siswa terhadap kesetaraan gender. Dari nilai nilai yang tertuang dalam manuskrip Syech Abdurrauf As Singkili diharapkan siswa mampu : mengetahui nilai nilai kearifan sejarah lokal, mengembangkan pola pemahaman kesadaran kesetaraan gender baik dalam ruang lingkup sekolah maupun masyarakat, serta meningkatkan kesadaran kesetaran dalam Islam. Hasil penelitian : n= 28 dan (α) = 0,05,nilai pos-tes sebesar 0,913,Uji T sebesar 2,279, n =200> 0,05,post test 0,430. Terdapat kenaikan signifikansi dalam penelitian pengembagan model ini, diharapkan dengan model ini pembelajaran sejarah mampu untuk, mengembangkan kesadaran kesetaraan gender siswa. Kata Kunci : Model pembelajaran sejarah, Manuskrip, Syech Abduurauf As Singkili, Kesadaran kesetaraan Gender. 1. Pendahuluan. Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Ruang lingkupnya mencakup seluruh pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan, apabila kita mempelajari karya tulis yang membahas pendidikan, baik sains pendidikan (science of educations) maupun filsafah pendidikan (philoshopy of educations), maka akan kita temukan berbagai macam pengertian atau uraian yang beranika ragam tentang pendidikan. Pembahsan tersebut pada umumnya berkisar ••• 21 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sekitar dasar dan tujuan pendidikan, proses pendidikan, materi pendidikan, dan kebijakan kebijakan ideal maupun kebijakan operasional pendidikan. Dinamika pemahaman pendidikan berproses melalui tiga momen yaitu momen history, momen refletif, dan momen praktis. Momen history yaitu usaha merefleksikan pengalaman umat manusia yang bergulat dalam menghidupi konsep dan praktis pendidikan khususnnya, dalam jatuh bangun mengembangkan pendidikan berkarakter bagi anak didik sesuai dengan konteks zamannya. Momen reflektif sebuah moment yang melalui pemahaman intelektualknya manusia mencoba mendefenisikan pengalamannya mencoba melihat pengalamannya , mencoba melihat persoalan metodologi, filosofis, dan prinsipil yang berlaku bagi pendidikan karakter. Momen praktis, yaitu dengan bakal pemahaman teoritis konseptual itu, manusia mencoba menemukan secara efektif agar proyek pendidikan karekter dapat efektif terlaksanan di lapangan ( Koesoma, 2007 : 308 ). Pendidikan dan pengajaran ini merupakan tugas dan kewajiban mulai bagi insan-insan yang peduli terhadap kualitas anak bangsa. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, berbagai langkah dilakukan oleh dunia pendidikan, terutama terkait dengan sumber daya manusia yang menangani langsung kegiatan pendidikan dan pembelajaran, yaitu guru.Guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Pendapat lain menyatakan bahwa guru pada hakikatnya merupakan tenaga kependidikan yang memikul berat tanggung jawab kemanusiaan, khususnya berkaitan dengan proses pendidikan generasi penerus bangsa menuju gerbang pencerahan dalam melepaskan diri dari belenggu kebodohan (Trianto, 2009:i). Eksistensi dari seorang tokoh dapat dilihat dari bagaimana Pengaruh tokoh atau kontribusi tokoh tersebut dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. Dalam arti ada sesuatu yang sangat berguna dari seseorang tokoh yang menjadi panutan dalam masyarakat, Seperti penngaruh tokoh dalam perkembangan Islam, atau perkembangan Pendidikan. Dalam hal ini Pernanan atau Kotribusi yang di lakukan menjadikan tokoh tersebut menjadi orang yang sangat penting dalam kehidupan seseorang maupun masyarakat. Dalam pembentukan karakter baik kebudayaan maupun pendidikan harus saling berkaitan dan saling mendukung. Kebudayaan memiliki nilai nilai budaya yang berfungsi dan mampu membentuk karate manusia pendukungnya. Para pendidik harus mampu menggali nilai nilai kebudayaan yang dibutuhkan untuk membangun karaterter yang dibutuhkan bangsa. Namun yang paling utama adalah pendidikan harus mampu membentuk kepribadian yang memang keras untuk memiliki karakter yang baik dan berguna bagi bangsa. Karater yang dilandasi moral baik. Moral yang diperoleh dari nilai nilai budaya, dan terutama mendapat dukungan dari ajaran agama dan kepercayaan yang dianut insan manusia Indonesia (Simanjuntak, 2014 : 20) Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi dilapangan, saat ini terdapat kecenderungan bahwa mata pelajaran sejarah kurang diminati peserta didik, hal ini disebabkan karena guru sejarah masih banyak terfokus pada model ••• 22 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pembelajaran konvensional, kurang ditunjang dengan penggunaan model dan media pembelajaran yang inovatis, proses pembelajaran sejarah kurang menyentuh aspek nilai sosial dan keterampilan sosial, serta selama ini pembelajaran sejarah cenderung menggunakan kemampuan menghafal mater pembelajaran. Kurang nya kemampuan guru untuk mengintegrasikan materi pelajaran melalui kearifan lokal yang ada dilingkungan siswa sehingga guru kurang dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan siswa. Dan dari pengamatan tersebut pula penulis melihat masalah masalah yang terjadi di sekolah yaitu, masih kurangnya pemahaman di lingkungan sekolah akan permasalahan kesetaraan dalam pendidikan, seperti permasalahan kesetaraan gender atau kesamaan dalam pembelajaran tanpa harus pilih-pilih jenis kelamin dalam pembelajaran. Melalui pengembangan model pembelajaran sejarah diharapkan siswa mampu memperoleh pengalam secara empirik dan dapat mengaplikasikan nilai nilai yang didapat didalam mata pelajaran ke dalam kehidupan nyata serta dapat ,melestarikan budaya lokal yang siswa miliki sehingga dapat meningkatkan hasil hasil belajar dan keterampilan sosial siswa. Naskah tulisan tangan (manuscript) merupakan salah satu bentuk khazanah budaya, yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat masa lalu. Dibandingkan dengan bentuk bentuk peninggalan budaya material non-indonesia di Indonesia, seperti candi, istana, masjid, dan lain lain, jumlah peninggalan budaya dalam bentuk naskah jelas jauh lebih besar (Ikram 1997 : 24 ). Kesadaran bahwa manuskrip atau naskah kuno merupakan sumber pengetahuan yang paling otentik tentang jatidiri umat manusia dan latar budaya yang dimiliki pendahulunya dapat diwujudkan dalam usaha untuk menjaga, mengkaji, dan melestarikannya (Jabali, 2010:30). Manuskrip sesungguhnya adalah tradisi yang hidup di tengah masyarakat yang merefleksikan kemajuan peradaban (civilization) anak bangsa yang memilikinya. Manuskrip-manuskrip itu berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, ceritera rakyat (dongeng, legenda), teknologi tradisional, mantra, silsilah, jimat, syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, hikayat, dan sebagainya. Naskah adalah karangan dengan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Baried dkk., 1994: 55). Kata naskah diambil dari bahasa Arab, yakni kata al-naskhah yang memiliki padanan bahasa Indonesia berupa kata manuskrip (Fathurahman, 2010:4-5). Kata naskah juga merupakan terjemahan dari kata Latin, yaitu ‘codex‘ (bentuk tunggal; bentuk jamak codies‘) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi naskah‘bukan menjadi kodeks‘. Kata codex‘ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti teras batang pohon‘. Kata ‘codex‘ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Sejauh penelusuran yang telah dilakukan beberapa Negara dipastikan menyimpan koleksi naskah naskah Nusantara, seperti Belanda, Inggris, Malaysia, Perancis, Jerman, Rusia, Afrika, Selatan, Sri Langka dan dibeberapa Negara yang lain. Selain itu, tampaknya masih ada lembaga diduga memiliki koleksi naskah ••• 23 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Nusantara, karena pernah mempunyai hubungan sejarah keilmuan seperti perpustakaan Dar al-Kutub dan perpustakaan al Azhar di Kairo. Di antara berbagai kategori naskah Nusantara, naskah keagaaman (Islam) merupakan salah satu katagori naskah yang relative banyak. Hal ini tidak terlalu menghenrankan, mengngat kenyataan bahwa ketika Islam dengan segala kekayaan budayanya masuk ke wilayah Nusantara pada umumnya dan wilayah Melayu – Indonesia pada khususnya, budaya tulis menulis sudah relatif mapan, sehingga ketika terjadi persentuhan antara Islam dan budaya tulis menulis tersebut, maka munculah aktifitas penulisan naskah nasakah keagamaan yang memang menjadi media paling efektif dalam proses transmisi keilmuan Islam tersebut. Selain itu, banyaknya naskah keagamaan terutama unsur tasawuf juga kaitannya dengan kenyataan bahwa kebudayaan memiliki bangsa Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam. Secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia Indonesia oleh peradaban Islam yang menurut Edi Sedyawati disebut sebagai satu dari tiga pengalaman besar dalam akulturasi di Indonesia. (Edi Sedyawati “ Menyikapi Warisan Budaya “ dalam Media Indonesia, 25 Maret 2000). Apalagi, diketahui bahwa sejak abad ke 13, bangsa indonesia telah di datangi oleh para ulama sufi yang dalam proses penyebaran islam banyak pula menghasilkan tulisan, yang kini tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran ajaran tasawuf yang mereka sampaikan kepada masyarakat setempat (Azra 1994:32). Dalam konteks naskah keagamaan ini, proses transmisi keilmuan seperti telah disebutkan di atas pada gilirannya membentuk dua kelompok bahasa naskah : pertama, naskah naskah yang di tulis menggunakan bahasa Arab ; dan kedua, naskah naskah yang ditulis dalam bahasa daerah. Secara keilmuan naskah nasakah keagamaan tersebut mengandung bidang yang sangat beragam, seperti fiqih, tasawuf, tafsir, hadist, dan lain lain. Di antara bahasa daerah di dua Melayu Indonesia menjadi sarana transmisi berbagai ajaran ajaran islam melalui naskah naskahnya, bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang paling luas pemakainnya. Hal ini dimungkinkan karena pada abad ke 14 – abad 15 ketika proses islamisasi berlangsung, bahasa Melayu menjadi bahasa lingua franca di wilayah ini. Selain bahasa Melayu, bahasa Jawa, juga tidak kalah pentingnya bahasa yang belakangan banyak memperkaya khazanah keilmuan Islam ketika bahasa ini digunakan untuk menuliskan ajaran Islam yang semua disampaikan secara lisan (Ikram, 1997:139). Seiring berjalannya waktu, dan dengan semakin luasnya cakupan wilayah dan dengan semakin luasnya cakupan wilayah Islamisasi, distribusi naskah nasakah keagamaa tersebut pun makin luas. Pada gilirannya, ketika naskah naskah tersebut dibaca, dipahami, dan diresepsi kandungan isisnya oleh masyarakat di berbagai wilayah, maka muncul pula berbagai bentuk apresiasi dan resepsi dari masyarakat pembacanya, yang kemudian di tuangkan dalam bentuk penulisan naskah yang kemudian di tuangkan juga dalam penulisan naskah, yang dalam hal ini disebut sebagai “ naskah naskah lokal “ untuk membendekan antara naskah naskah yang dibuat dengan bahasa arab yang diantaranya di tulis dengan ulama non – Melayu Indonesia dengan naskah naskah yang ditulis menggunakan bahasa daerah. Naskah nasakah tersebut metupakan khazanah naskah Nusantara. Naskah naskah ••• 24 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) lokal yang di tulis berbagai bahasa daerah seperti, Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, dan Wolio (Fathurrahman 2008:18 ). Adapun kitab yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah kitab Mir’atul Thulab fi Tas-hili Ma’ritah Ahkamisy Syar’iyah lil Mulkil Wahhab dan Turjumanul Mustafid. Dua kitab mahakarya Syech Abdurrauf ini merupakan kitab yang hingga kini menjadi pembelajaran tentang Silam di dunia. Kitab Mir-atul Thullab terdiri atas 3 bab/pembahasan: a Hukum Fiqih, baik persoalan muamalah, nikah dan segala permasalahan keluarga, termasuk didalamnya permasalahan warisan (faraidh: pembagian harta pusaka), termasuk hukum warisan tanah negara, dan segala hasil bumi di dalamnya. b Hukum Ba’i (persoalan jual beli dan segala perkara yang terkandung di dalamnya, hukum laba dan bunga). c Hukum Jinayah (penegakan hukum syariat, termasuk di dalamnya hukum perdata dan kriminal atau permasalahan kontemporer). Islam adalah sebuah agama yang mengatur hampir keseluruhan permasalahan hidup manusia. Penafsiran yang dilakukan oleh Abdurrauf dalam Tafsir Tarjuman al-Mustafid dan Mir’atul Thulab fi Tas-hili Ma’ritah Ahkamisy Syar’iyah lil Mulkil Wahhabtentang beberapa ayat Gender dianggap perpanjangan tangan penafsiran klasik (patriarki), hal ini bisa kita lihat dalam menafsirkan ayat-ayat dengan pemahaman bahwa laki-laki mempunyai hak otoriter terhadap perempuan pandapat ini bertolak belakang dengan perannya dalam perpolitikan beliau melakukan kritik-dekontruksi terhadap tradisi yang berkembang dalam hal kepemimpinan yang lebih mensuperiorkan peran laki-laki dan sebagai bukti adalah bentuk dukungan yang diberikan oleh Abdurrauf terhadap Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah yang ketika itu ditolak kepemimpiannya oleh para ulama di Aceh dan pada saat itu juga muncul dukungan ulama besar untuk mendukungnya yakni Syah Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf as-Singkil sehingga Sultanah semakin kuat dalam perpolitikan. Disini terjadi sebuah perbedaan pemikiran pada tahapan teologisnormatif dengan realitas faktual terlihat adanya kontroversi Abdurrauf as-Singkili dalam mengemukakan pendapatnya dan dampak yang muncul dari hal ini, seakan-akan al-Quran sebagai grand texs tidak mampu menjawab persoalan realitas yang terjadi. Inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk menelaah penafsiran ayat gender dalam Tarjuman al-Mustafid serta menghubungkan pemikiran tersebut dengan realitas yang ada pada masa Abdurrauf as-Singkili hidup dan mengaplikasikan berbagai ide-ide gendernya. Apalagi sosok Abdurrauf as-Singkili sebagai Qadhi Malikul Adil tentu perkataan dan pemikirannya dapat menjadi konsensus dalam membentuk wacana perkembangan pemikiran terhadap kepemimpinan wanita. Abdurrauf as-Singkili, sebagai mufasir yang menjadi fokus penelitian ini, menafsirkan kata "awliya'" dengan "mengimpun (bekerja sama)". Secara sempurna penafsiran Abdurrauf as-Singkili adalah: Bermula segala mu’min lakilaki dan dan segala mu’min perempuan itu setengah mereka itu menghimpun kan setengahnya menyuruh mereka itu akan pekerjaan yang baik dan menegah mereka itu dari pada pekerjaan yang jahat .mereka itulah yang lagi akan dikasihani allah ta’ala bahwasanya yang amat kuasa tiada dihantarkannya suatu dari pada memutuskan janjinya lagi hakim tiada dihantarkan suatu melainkan pada tempatnya .Jika penafsiran Abdurrauf as-Singkili dibandingkan dengan penafsiran ••• 25 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sebelumnya terkait persoalan kepemimpinan, posisi penafsiran Abdurrauf asSingkili merupakan perpanjangan tangan tafsir-tafsir Timur Tengah dengan pengecualian tafsir Baidhawi dan Jalalain. Pandangan Abdurrauf as-Singkili terlihat lebih moderat dan toleran, ia tidak meninggalkan penafsiran kata “awliya”sebagai kata kunci dalam penyamaan hak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan kedua tafsir (Baidhawi dan Jalalain) yang terlihat tidak terlalu memperhatikan kata “awliya” dalam penafsirannya. Sehingga fokus penafsiran keduanya pada persoalan menelaah perbedaan dengan kondisi orang-orang munafik pada ayat sebelumnya. B. METODOLOGI PENELITIAN Subjek penelitiannya adalah siswa kelas X SMA N 1 Gunung Meriah Kec. Gunung Meriah, serta guru mata pelajaran sejarah. Dalam hal ini penelitian berkolaborasi dengan guru dan siswa untuk mengembangkan model pembelajaran Sejarah berbasis Manuskrip Syech Abdurrauf As Singkili yang telah disesuaikan dengan standart kopetensi mengenai masuknya islam di nusantara dan kepetensi dasarnya adalah mengenai kerajaan kerajaan islam di nusantara. Borg and Gall (2003:569) mendefinisikan penelitian pengembangan sebagai berikut: Educational Research and development (R & D) is a process used to develop and validate educational products. The steps of this process are usually referred to as the R & D cycle, which consists of studying research findings pertinent to the product to be developed, developing the products based on these findings, field testing it in the setting where it will be used eventually, and revising it to correct the deficiencies found in the filed-testing stage. In more rigorous programs of R&D, this cycle is repeated until the field-test data indicate that the product meets its behaviorally defined objectives. Teknik analisis data ini dilakukan untuk menarik kesimpulan tentang data yang diperlukan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisisi data kualitatif dengan pendekatan induktif . Maksudnya adalah peneliti memulai penelitian ini berawal dari faksta bahwa kemampuan peserta didik masih belum sepenuhnya paham tentang manuskrip Syech Abdurrauf as Singkili. Dengan demikian diperlukan sebuah teori bahwa pembelajaran sejarah memerlukan sarana agar hasil yang dicapai dapat maksimal, tidak hanya kemampuan akademik, melainkan juga kopetensi sosial baik dalam maupun luar sekolah. Dari data yang diperoleh akan dikelompokan menjadi tiga yaitu (1) data wawancara, (2), arsip sekolah, dan (3) data kelas. 1. Instrumen Penelitian Pendahuluan Dalam proses pengumpulan data, peneliti memmbutuhkan beberapa instrument penunjang, antara lain angket, lembar wawancara, dan lembar observasi. Untuk menunjang instrument tersebut diperlukan beberapa alat bantu misalnya kamera / video, alat perekam suara, dan catatan lapangan. 2. Trianggulasi Data. Menurut Sugiyono (2012:330) trianggulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Terdapat dua macam trianggulasi. Pertama, yaitu trianggulasi teknik yang berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda beda untuk mendapatkandata dari sumber ••• 26 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) yang sama. Kedua, trianggulasi sumber yang berarti untuyk mendapatkan data dari sumber yang berbeda beda dengan teknik yang sama. 3. Hasil Penelitian Uji kesetaraan, Uji peningkatan dan Uji efektivitas model pembelajaran ini dilakukan dengan melakukan uji kompetensi di dua kelas berbeda, yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pembelajaran yang dilakukan di kelas kontrol menggunakan metode biasa, atau dengan kata lain tidak diberikan perlakuan. Sementara itu pembelajaran yang dilakukan di kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran sejarah berbasis pemikiran Syech Abdurauf As Singkili yang telah disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Selain tes prestasi,uji efektifitas terhadap model juga dilakukan dengan mengukur sikap siswa melalui angket yang telah disebarkan oleh peneliti dan berkolaborasi dengan guru. Adapun syarat- syarat yang digunakan dalam menghitung statistiknya adalah sebagai berikut: a) Hipotesis - Ho : Adanya kesetaraan kemampuan dari nilai prestasi siswa diantara kelas X IPS 1 dengan kelas X IPS 3. - H1 : Tidak adanya kesetaraan kemampuan dari nilai prestasi siswa antara kelas X IPS 1 dengan kelas X IPS 3. b) Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi α = 0,05 c) Keputusan Uji - Ho diterima jika signifikansi > 0,05 - Ho ditolak jika signifikansi < 0,05 1) Tes Kognitif a. Hasil Uji Normalitas Simpulan dari hasil uji normalitas kelompok kontrol dan kelompok ekperimen menggunakan SPSS dengan jumlah n= 28 dan (α) = 0,05, maka diperoleh data sebagai berikut: Hasil uji statistik SPSS dengan teknik Kolmogorov-Smirnov bahwa pre-tes prestasi kelas eksperimen memiliki sig 0, 226> 0,05 dan sedangkan hasil pos-tes prestasi kelas eksperimen memiliki nilai sig 0, 107> 0,05, maka data dari kelompok eksperimen dapat diartikan berdistribusi normal. b. Hasil Uji Homogenitas Dari perhitungan tes of homogeneity of variances diatas, dapat diketahui nilai sig data pre-tes sebesar 0,000 dan nilai pos-tes sebesar 0,913. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari pada 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data nilai pre-test dan pos-tes kelas kontrol dan eksperimen adalah homogenitas (lihat lampiran). c. Hasil Uji T Dengan SPSS 17 menggunakan Independen T Tes untuk mencari ratarata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontroldan Kelas Eksperimen Berikut simpulan hasil Ujinya: Analisis Uji dengan SPSS menggunakan Independen -Sample T Tes untuk mencari rata-rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil uji statistik diatas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas kontrol yaitu sebelum perlakuan 51,43 dan setelah perlakuan 58,57 Sedangkan ••• 27 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Uji T sebesar 2,279 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025 maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas kontrol tidak sama. 2. Uji Peningkatan ( Pre Test Kelas Eksperimen dan Post Tes Kelas Eksperimen.) a. Hasil Uji Normalitas Simpulan dari hasil uji normalitas kelompok kontrol dan kelompok ekperimen menggunakan SPSS dengan jumlah n= 28 dan (α) = 0,05, maka diperoleh data sebagai berikut: Hasil uji statistik SPSS dengan teknik Kolmogorov-Smirnov bahwa pre-tes prestasi kelas eksperimen memiliki sig 0, 200> 0,05 dan sedangkan hasil pos-tes prestasi kelas eksperimen memiliki nilai sig 0, 77> 0,05, maka data dari kelompok eksperimen dapat diartikan berdistribusi normal. b. Hasil Uji Homogenitas Dari perhitungan tes of homogeneity of variances diatas, dapat diketahui nilai sig data pre-tes sebesar dan nilai pos-tes sebesar 0,430. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari pada 0,900, maka dapat disimpulkan bahwa data nilai pre-test dan pos-tes kelas kontrol dan eksperimen adalah homogenitas . c. Hasil Uji T Dengan SPSS 17 menggunakan paired Sample T Tes untuk mencari rata- rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas control dan Kelas Eksperimen Berikut simpulan hasil Ujinya: Analisis Uji dengan SPSS menggunakan Independen -Sample T Tes untuk mencari rata-rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil uji statistik diatas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas kontrol yaitu sebelum perlakuan 29,64 dan setelah perlakuan 72,86 Sedangkan Uji T sebesar 0,711 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025 maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas kontrol tidak sama. 3. Uji Efektivitas a. Uji Normalitas efektivitas. Simpulan dari hasil uji normalitas kelompok kontrol dan kelompok ekperimen menggunakan SPSS dengan jumlah n= 28 dan (α) = 0,05, maka diperoleh data sebagai berikut: Hasil uji statistik SPSS dengan teknik Kolmogorov-Smirnov bahwa pre-tes prestasi kelas eksperimen memiliki sig 0, 625> 0,05 dan sedangkan hasil pos-tes prestasi kelas eksperimen memiliki nilai sig 0, 085> 0,05, maka data dari kelompok eksperimen dapat diartikan berdistribusi normal. b. Hasil Uji Homogenitas Dari perhitungan tes of homogeneity of variances diatas, dapat diketahui nilai sig data pre-tes sebesar 0,140 dan nilai pos-tes sebesar 0,480 Karena nilai signifikansi lebih kecil dari pada 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data nilai pre-test dan pos-tes kelas kontrol dan eksperimen adalah homogenitas. c. Hasil Uji T Dengan SPSS 17 menggunakan paired Sample T Tes untuk mencari rata- rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas control ••• 28 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dan Kelas Eksperimen Berikut simpulan hasil Ujinya: Analisis Uji dengan SPSS menggunakan Paired -Sample T Tes untuk mencari rata-rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil uji statistik diatas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas kontrol yaitu sebelum perlakuan 66,42 dan setelah perlakuan 73,92 Sedangkan Uji T sebesar 0,037 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025 maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas kontrol tidak sama. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diambil kesimpulan penelitian terhadap pengembanga model pembalajaran sejarah berbasis manuskrip Syech Abdurrauf As Singkili utuk kesadaran kesetaraan gender siswa di SMA N 1 Gunung Meriah . peneliti membagi kesimpulan menjadi yaitu ; (1) Hasil penelitian pendahuluan ; (2) Hasil pengembangan Model ; (3) Saran dengan rinci sebagai berikut 1. Hasil Penelitian Pedahuluan Berdasarkan hasil observasi, guru lebih banyak menggunakan ceramah, sehingga pembelajaran banyak berpusat pada guru ( teacher centered ). Selaian itu, dalam beberapa pertemuan guru juga mengadaka diskusi atau kerja kelompok kepada siswa. Namu hal ini masih belum efektif karea belum optimalnya peran siswa kurang kondusifnya siswa dalam memperhatikan jalannya diskusi. Adapun tingkan pemahaman kesadaran kesetaraan gender siswa masih tergolong rendah. Siswa cenderung mengesampingkan nilai nilai kesetaraan didalam kelas semisal perempuan tidak boleh jadi ketua kelas, pembagian kelompok masih berbetuk kelompok laki laki dengan laki laki dan perempuan dengan perempuan saja. Dari hasil angket juga menunjkan bahwa siswa faham dalam kesetaraan gender namun pada peng-aplikasian-nya masih jauh dari harapan. Padaha kesetaraan gender sangan bermanfaat tidak hanya dalam lingkungan sekolah tetapi masyarakat. Pengetahuan siswa terhadap ulama dari Aceh Singkil yaitu Syech Abdurrauf As Singkili cukup baik. Dikarenakan beberapa guru sudah mengajari nilai nilai keraifan lokal terhadap siswa. Apalagi Syech Abdurrauf As Singkili adalah ulama pertama yang membuat A Quran Arab melayu dan sebagai pendakwah tareqat di nusantara. Dengan demikian sebagai ulama kharismatik Aceh tentunya tulisan kitab dari Syech Abdurrauf As Singkili menjadi ilmu bermanfaat terutama masalah kesetaraan gender. 2. Hasil Pengembangan Model Pembalajaran. Desain awal pegembangan model pembelajaran sejarah yag disusun oleh peneliti dan berkolaborasi degan guru. Diharapkan melalui model pembelajaran sejarah berbasis Nilai nilai Manuskrip Syech Abdurrauf diharapkan mampu memberi pengetahuan siswa terdahadap kesadaran kesetaraan Gender baik lingkungan sekolah maupun masyarakat. Sebelum dilakukan pengembangan terhadap model maka peneliti melakukan uji validitas instrumen kepada pakar/ahli. Analisis data oleh ahli pembelajaran adalah berujuan untuk mengetahui kelayakan model yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan penilaian dari aspek penilaian teori ••• 29 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pendukung, sintak, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dampak pengiring, dan pelaksanaan pembelajaran dengan 31 indikator diperoleh hasil rerata adalah 4,6. ini menunjukan model pembelajaran yang dikembangkan mempunyai katagori Baik. Analisis data oleh ahli pembelajaran adalah betujuan untuk mengetahui RPP yang digunakan layak akan digunakan model yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan penilaian dari berbagai aspek di atas dengan 14 indikator yang ada di dalam format RPP disimpulkan secara umum instrument bisa digunakan dengan catatan harus direvisi tentang metode yang digunakan harus disesuaikan lagi. Hasil rerata adalah 4,78.Ini menunjukan model pembelajaran yang dikembangkan mempunyai katagori sangat Baik Berdasarkan hasil penilaian di atas, kesimpulan yang diperoleh adalah materi atau bahan ajar dapat digunakan dengan merevisi bagian- bagian yang telah ditentukan oleh pakar. Secara umum, kriteria penilaian tersebut dapat dilihat pada tabel presentase dan diagram hasil uji validasi bahan ajar/ materi yang akan dijadikan model dalam pembelajaran sejarah. Berdasarkan hasil penilaian yang telah dilakukan, secara umum soal dapat digunakan tanpa merevisi. Hasil rerata adalah 4,3. Ini menunjukan soal pembelajaran yang dikembangkan mempunyai katagori Baik. ••• 30 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH TERINTEGRASI NILAI TRADISI TUNGGUL WULUNG UNTUK PENGUATAN JATI DIRI BANGSA Lany Susanti, , Hermanu Joebagio, Sri Yamtinah Prodi S2 Pendidikan Sejarah UNS Surakarta lanieysusanti@gmail.com ABSTRAK Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi mengakibatkan degradasi moral dalam masyarakat. Generasi muda sangat rentan dengan adanya dampak negatif dari globalisasi tersebut yang menyebabkan munculnya banyak konflik dalam diri generasi muda dan lingkungannya. Sikap individualis dan homogen yang membentuk individu egois dan non toleran yang bertolak belakang bahkan memudarkan jati diri bangsa Indonesia yang terkenal dengan keramahan, kesantunan, gotong royong dan toleransi yang tinggi. Penanaman nilai-nilai sebagai benteng dari dampak globalisasi dapat dilakukan melalui pembelajaran formal di sekolah salah satunya adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang dapat menumbuhkan jati diri bangsa siswa. Model Pembelajaran teritegrasi nilai tradisi tunggul wulung merupakan model pembelajaran sejarah yang didalamnya memuat nilai-nilai sebagai penguat jati diri bangsa siswa. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Model pembelajaran ini memuat nilainilai yang ada pada tradisi tunggul wulung yang dapat menguatkan jati diri bangsa siswa diantaranya adalah toleransi, gotong royong, kekeluargaan,dan pelestarian budaya. Kata Kunci: Model Pembelajaran, Tradisi Tuggul Wulung, Jati Diri Bangsa A. Pendahuluan Jati diri bangsa merupakan identitas yang dimiliki oleh suatu bangsa yang menjadi ciri khusus. Jati diri bangsa merupakan suatu kebanggaan bahkan menjadi daya tarik tersendiri yang harus tetap dijaga dan dilestarikan secara turun temurun pada generasi muda penerus bangsa. Jati diri bangsa akan terlihat dalam karakter bangsa yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur bangsa. Akan tetapi akhir-akhir ini kita mulai di khawatirkan dengan melemahnya jati diri bangsa dalam masyarakat salah satunya disebabkan oleh dampak negatif berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan degradasi moral pada masyarakat. Masyarakat cenderung individualis karena segala sesuatu dapat dilakukan dengan mudah dan tanpa bantuan orang lain yang pada akhirnya melunturkan nilai-nilai sosial yang selama ini berkembang dan berlaku di masyarakat seperti kekeluargaan, gotong royong, dan toleransi. Kearifan lokal sebagai pusaka budaya memiliki peranan penting sebagai inspirasi dalam penguatan jati diri atau identitas bangsa. Penguatan jati diri suatu bangsa menjadi sangat penting pada era globalisasi dengan tujuan agar tidak luntur atau tercabutnya akar budaya yang diwarisi dari para pendahulu ditengah-tengah kecenderungan homogenitas kebudayaan sebagai akibat dari globalisasi. Bangsa Indonesia mewarisi berbagai kekayaan alam, kekayaan hayati dan kekayaan keragaman sosiokultural. Kekayaan ini merupakan modal dasar yang harus di olah untuk kesejahteraan warga indonesia. Kearifan lokal merupakan modal budaya ••• 31 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) yang harus dikelola dan dikembangkan yang nantinya akan memperkuat identitas ke-indonesiaan. Salah satu cara untuk dapat memperkuat jati diri bangsa adalah melalui pembelajaran formal di sekolah, penguatan jati diri bangsa sangat penting dilakukan guna menjaga generasi penerus bangsa ini tidak tergerus jiwa ke Indonesiaannya akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penanaman dan penguatan jati diri bangsa pada peserta didik harus dilakukan sejak mereka pada jenjang pendidikan formal karena guru ataupun orang tua dapat dengan mudah untuk memberikan pengawasan dan nasehat. Sangat penting bagi kita calon pendidik untuk menciptakan suatu model, media, ataupun alat ntuk dapat memprermudah proses pembelajaran sehingga tujuan dapat tercapai dan pembelajaran dapat terlaksana secara efektif. Maka dalam penelitian ini peneliti melakukan pengembangan model pembelajaran sejarah terintegrasi nilai Tradisi Tunggul Wulung untuk penguat jati diri bangsa. B. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan pengembangan atau RnD. Metode penelitian Kulaitatif dimaksudkan untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang terdapat pada tradisi tunggul wulung selain itu juga digunakan pada proses Penelitian pengembangan yaitu pada saat uji coba untuk mendeskripsikan hasil atau proses uji coba model pembelajaran. Desain penelitian pengembangan yang digunakan mengacu pada model pada model Borg and Gall. Penelitian dan pengembangan ini bertujuan menghasilkan model pembelajaran sejarahyang menggunakan sumber utama berupa Peninggalan Tunggul Wulung.Sehingga hasil yang akan dihasilkan adalah model pembelajaran sejarah yang terintegrasi nilai Tradisi Tunggul Wulung untuk penguatan Jati Diri Bangsa. C. Hasil Dan Pembahasan Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : Melakukan pengumpulan informasi mengenai pembelajaran sejarah dan jati diri bangsa siswa di beberapa sekolah yang ada di Kabupaten Wonogiri. Pada penelitian ini dilakukan tiga jenis analisis pendahuluan yaitu sebagai berikut : a) Studi Lapangan Penentuan produk yang akan dikembangkan berdasarkan atas permasalahan dan kebutuhan yang ada di lapangan. Melalui wawancara yang telah dilakukan pada guru Mata pelajaran sejarah di 8 SMA Negeri di Kabupaten Wonogiri didapatkan beberapa informasi dan permasalahan diantaranya adalah mengenai model pembelajaran sejarah yang sering digunakan guru serta kendala nya, proses pembelajaran yang belum maksimal, tujuan pembelajaran yang belum tercapai secara penuh, kurang aktifnya siswa pada saat pembelajaran, adanya perubahan sikap siswa dari tahun ke tahun yang mengalami penurunan, rasa nasionalisme siswa yang menurun, kurangnya sikap sosial siswa. Permasalahan yang ada tersebut dialami oleh 5 dari 8 sekolah yang telah di lakukan studi lapangan. Wawancara pada siswa juga dilakukan untuk mengetahui seperti apa proses pembelajaran sejarah di kelas. Rata-rata siswa kurang memahami materi yang diberikan karena mereka cenderung pasif tidak aktif bertanya dan berbicara di kelas bahkan diantara mereka merasa bahwa teman yang sering ••• 32 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) bertanya pada guru dianggap mencari perhatian guru, bagi siswa yang aktif mereka cenderung bersikap individual dalam kelompok diskusi karena mereka sangat menonjol diantara yang lain, banyak siswa yang tidak memahami kebudayaan yang ada didaerahnya, selain itu banyak siswa juga tidak dapat menyebutkan secara urutan dan lambang yang ada pada pancasila. Selain itu juga dilakukan Observasi pada saat proses pembelajaran sejarah. Melalui observasi tersebut didapatkan beberapa informasi yang sama dengan hasil wawancara yang dilakukan pada guru diantaranya adalah siswa dalam proses pembelajaran cenderung pasif walaupun sudah dilakukan diskusi karena siswa yang aktif hanya siswa yang berani berbicara dan memiliki pengetahuan yang lebih dari teman lainnya sedangkan yang lainnya cenderung pasif, siswa lebih individual dan tidak menghargai pendapat teman, sebagian siswa kurang memahami identitas bangsa seperti sila dan lambang dalam pancasila, tidak mengetahui tentang kebudayaan daerah masing-masing. b) Studi Literatur Setelah memperoleh informasi dari hasil wawancara dan observasi. Selanjutnya dilakukan studi literatur untuk menemukan konsep-konsep teoritis yang memperkuat suatu produk dan mendapatkan solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Studi literatur yang dilakukan diperoleh hasil bahwa harus adanya inovasi pada pembelajaran sejarah. Berdasarkan permasalahan yang ada maka inovasi yang dianggap sesuai adalah pengembangan model pembelajaran yang dapat memperkuat jati diri bangsa pada diri siswa dengan mengintegrasikan nilai local genius dari sejarah lokal. Sejarah lokal yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang mendukung dalam penguatan jati diri bangsa salah satu nya adalah Tradisi Tunggul Wulung yang ada pada Dusun Jurang Desa Pijiharjo Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri. Nilai dalam Tradisi Tunggul Wulung sangat banyak di antara nya adalah nilai kekeluargaan, toleransi, tanggung jawab, religiusitas, kerja sama, gotong royong yang sangat mencerminkan jati diri bansa Indonesia. Tahap II : Tahap Pengembangan Model a) Model Pengembangan (Desain Produk) Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan ini mengacu pada model Borg and Gall. Penelitian dan pengembangan ini bertujuan menghasilkan model pembelajaran sejarah yang menggunakan sumber utama berupa Peninggalan Tunggul Wulung. Penelitian dan pengembangan model pembelajaran ini bertujuan untuk penguatan Jati Diri Bangsa. Dalam pelaksanaan desain penelitian dan pengembangan Borg anda Gall (1989) terdapat sepuluh langkah sebagai berikut : (1) Penelitian dan Pengumpulan data (Research and Information Collecting). Tahap ini mencakup kegiatan studi lapangan, studi literatur, wawancara dan observasi lapangan yang digunakan untuk mengetahui permasalahan dan pengukuran kebutuhan dilapangan sebagai dasar dalam pengembangan model pembelajaran dan meyusun kerangka kerja penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan. (2) Perencanaan (Planning). ••• 33 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Tahapan ini merupakan penyusunan rencana penelitian mencakup pendefinisian model pembelajaran yang akan dikembangkan, perumusan tujuan, perkiraan waktu penelitian dan pengembangan, penentuan prosedur kerja dan bentuk partisipasi yang dibutuhkan dalam penelitian dan pengembangan, dan uji kelayakan. (3) Pengembangan draft produk (develop premiliminar for of product). Tahapan kegiatan pengembangan bentuk awal atau draf awal model pembelajaran yang akan di uji cobakan, termasuk sarana prasarana, bahan ajar, instrument penilaian dan lainnya yang dipergunakan dalam uji coba tersebut. (4) Uji coba lapangan awal (Preliminary field testing). Tahap uji coba lapangan produk awal yang dilakukan dengan skala terbatas pada 2 subjek uji coba di satu sekolah. Pada tahap ini selama uji coba dilakukan data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, angket. Data tersebut dianalisis untuk menemukan berbagai kekurangan dan kelemahan. (5) Merevisi hasil uji coba (Main Product revision). Merupakan tahap penyempurnaan atau perbaikan draft model pembelajaran yang sudah di uji cobakan sebelumnya berdasarkan data yang diperoleh pada tahap uji coba sebelumnya melaui wawancara, observasi dan angket. Pelaksanaaan tahap ini bisa dilakukan beberapa kali sehingga memperoleh produk yang lebih baik yang disebut produk utama, yang siap di uji cobakan kembali dengan skala yang lebih luas. (6) Uji coba lapangan (Main field testing). Tahap uji lapangan produk utama pada skala lebih luas pada 4 subjek uji coba di dua sekolah. Pada tahap ini selain data kualitatif tentang proses pelaksanaan uji coba lapangan, data secara kuantitatf dari subyek penelitian (siswa) baik sebelum maupun sesudah proses pengembangan dikumpulkan, berdasarkan itu hasilnya di evaluasi, dilihat signifikansi peningkatan dan dibandingkan dengan kelompok lain. (7) Penyempurnaan produk hasil uji coba (Operational product revision). Tahapan untuk merevisi atau memperbaiki produk yang telah di ujicobakan berdasarkan data yang diperoleh secara kuantitatif maupun kualitatif pada proses uji coba lapangan pada skala luas sehingga diperoleh produk hipotetis yang siap di validasi. (8) Uji Pelaksanaan lapangan (Operational field testing). Tahapan ujicoba mn nnnnnnnn lapangan operasional atau uji empiris dilakukan pada 6 subjek penelitian di tiga sekolah. Kegiatan ini dilakukan untuk menguji validitas produk hipotetis. Uji coba lapangan empiris ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen. Pada tahap ini baik sebelum maupun sesudah pemberian perlakuan, data dari subyek penelitian pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dikumpulkan secara kuantitatif, hasilnya di evaluasi dan dibandingkan untuk melihat kelebihan serta kekurangan, untuk melihat apakah model pembelajaran yang dikembangkan cukup efektif. (9) Penyempurnaan produk akhir (Final revisi products). Tahap revisi akhir pada model pembelajaran yang dihasilkan berdasarkan masukan uji pelaksanaan lapangan, sehingga diperoleh model pembelajaran yang siap didesiminasikan. ••• 34 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) (10) Diseminasi dan Implementasi (Dissemination and Implemetation). Tahap melaporkan produk yang dihasilkan pada pertemuan ilmiah atau dipublikasikan melalui jurnal ilmiah. Sukmadinata (2007:190) menyederhanakan model penelitian pengembangan Borg and Gall pada 3 tahapan yaitu studi pendahuluan, pengembangan model dan validasi, Studi pndahuluan meliputi dua kegiatan yaitu studi kepustakaan dan observasi lapangan. Tahapan pengembangan terdiri dari 3 kegiatan yaitu penyusunan draf awal, uji coba terbatas dan uji coba luas. Yang terakhir adalah validasi yang merupakan kegiatan eksperimen untuk menguji validitas produk yang dihasilkan. b) Validasi Desain Validasi desain model pembelajaran yang dikembangkan ini dirancanakan akan dilakukan validasi oleh 10 orang ahli yaitu ahli model pembelajaran sejarah, materi pelajaran sejarah tingkat SMA, pendidikan, evaluasi, sejarah lokal, nasionalisme dengan rincian sebagai berikut: (1) Ahli Model Pembelajaran Sejarah Merupakan seseorang yang memahami model pembelajaran sejarah khususnya model pembelajaran sejarah untuk jenjang pendidikan SMA dengan latar belakang pendidikan S3 Jurusan Model Pembelajaran. Validasi ini dilakukan dengan 1orang ahli model pembelajaran sejarah. (2) Ahli Materi pelajaran Sejarah untuk SMA Merupakan orang yang memahami materi pembelajaran sejarah khususnya model pembelajaran sejarah untuk jenjang pendidikan SMA dengan latar belakang pendidikan minimal S2 ahli ini bisa diambil dari guru mata pelajaran sejarah di SMA. Validasi ini dilakukan dengan 2 orang ahli materi pelajaran sejarah untuk SMA pembelajaran sejarah Validasi desain menggunakan validitas Aiken sebagai berikut (Azwar, 2012:134) : Dimana: V : indeks validitas dari Aiken ni : banyaknya penilai (raters) yang memilih kriteria i c : banyaknya kategori/criteria r : kriteria ke i ℓo : kategori terendah n : jumlah seluruh penilai c) Revisi Desain Model pembelajaran yang dikembangkan yang telah di validasi desain oleh para ahli akan mendapatkan masukan serta saran untuk dilakukan perbaikan terhadap model pembelajaran sebelum dilakukan uji coba produk. d) Uji Coba Produk (1) Desain Uji Coba Berdasarkan langkah metode penelitian dan pengembangan Borg and Gall, uji coba produk dilakukan dalam 3 tahapan yaitu : (a) Uji Coba Skala Kecil Uji coba skala kecil ini dilakukan pada 2 kelas di satu sekolah, yaitu 1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol. ••• 35 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) (b) Uji Coba Skala Menengah Uji coba skala menengah ini dilakukan pada 4 kelas pada 2 sekolah, yaitu pada masing-masing sekolah terdapat 1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol. (c) Uji Coba Skala Luas Uji coba skala luas ini dilakukan pada 6 kelas pada 3 sekolah, yaitu pada masing-masing sekolah terdapat 1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol (2) Subjek Uji Coba Subjek dalam uji coba penelitian ini dipilih menggunakan teknik Nonprobability sampling jenis Purposive sampling, yakni pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu yang memiliki kriteria-kriteria tertentu berdasarkan tujuan penelitian. Pada penelitian pengembangan ini produk yang akan dikembangkan adalah model pembelajaran sejarah yang megintegrasi nilai tradisi tunggul wulung dengan tujuan penguatan jati diri bangsa. Sampel yang diambil adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut: (a) Memiliki permasalahan dalam pembelajaran sejarah (b) Adanya permasalahan jati diri bangsa dalam diri siswa rendah (c) Kelas yang digunakan sebagai sampel terdiri dari 1 kelas eksperimen dan kelas kontrol dari masing-masing sekolah (d) 3 sekolah yang menjadi tempat penelitian memiliki tingkatan kualitas rendah, sedang dan tinggi. Subjek penelitian pengembangan ini terdiri atas 6 kelas dari 3 sekolah, masing-masing SMA terdapat 1 kelas eksperimen dan kelas kontrol. Ketiga sekolah SMA tersebut telah diambil dengn kualifikasi sekolah memiliki kualitas atau prestasi tinggi, sedang dan rendah untuk melihat lebih dalam mengenai efektifitas dari produk yang dikembangkan, berikut tabel subjek penelitian pengembangan: Tabel.01: subjek penelitian Nama Status Dalam Jumlah No Kualifikasi Sekolah Ekspermen Kelas 1. Tinggi SMA Kelas 1 Negeri A Eksperimen Kelas Kontrol 1 2. Sedang SMA Kelas 1 Negeri B Eksperimen Kelas Kontrol 1 3. Rendah SMA Kelas 1 Negeri C Eksperimen Kelas Kontrol 1 (3) Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa nilai hasil pembelajaran sejarah serta hasil penilaian angket mengenai jati diri bangsa. Data kualitatif didapatkan dari wawancara, observasi, validasi ••• 36 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) produk dan hasil uji coba produk berupa masukan untuk perbaikan produk. Hasil Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh model pembelajaran ejarah yang terintegrasi nilai tradisi Tunggul Wulung seperti dalam tabel berikut : Tabel.02 : Tabel Langkah-langkah Model Pembelajaran Sejarah Terintegrasi Nilai Tradisi Tunggul Wulung Kegiatan Deskripsi Pendahuluan ❖ Mereview materi sebelumnya dan mengaitkannya atau menyinggung dengan materi baru yang akan dipelajari ❖ Menyampaikan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang akan dicapai (SFAE) ❖ Menyampaikan tahapan pembelajaran yang akan dilakukan ❖ Menyampaikan garis besar materi pembelajaran yang akan dipelajari (SFAE) ❖ Membagi kelompok dan nomor pada setiap anggota kelompok (NHT) Inti ❖ Memberikan tugas pada masing-masing kelompok untuk mendiskusikan dan membuat bagan atau peta konsep mengenai proses masuknya Hindu Buddha di Indonesia dan bukti-bukti seperti candi ataupun kebudayaan yang masih ada hingga saat ini (NHT) ❖ Masing-masing kelompok memastikan semua anggota kelompok memahami materi yang didiskusikan (NHT, dalam proses ini setiap peserta didik memiliki tanggung jawab kepada semua anggota kelompok selain itu dapat mempererat kekeluargaan dan kebersamaan dalam kelompok dengan rasa peduli) ❖ Memanggil nomor anggota kelompok dari salah satu kelompok (NHT) ❖ Memberikan kartu pertanyaan pada peserta didik, peserta didik memilih kartu secara acak (Memilih (VCT) dalam proses ini peserta didik memiliki tanggung jawab dengan pilihannya) ❖ Peserta didik menjawab pertanyaan pada kartu dan menjelaskannya di depan kelas melalui bagan ataupun peta konsep (Peserta didik memiliki tanggung jawab ubtuk dapat menyelesaikan tugas yang diperolehnya dengan sebaik mungkin (SFAE)) ❖ Tanya jawab antar kelompok (Menghargai : presenter menerima masukan dan pertanyaan dari audiens, Berbuat : presenter menjawab pertanyaan dari audiens, (VCT) Pada proses ini terjadi timbal balik yang menunjukkan rasa menghargai, toleransi dan kerja sama dalam kelompok) ❖ Meluruskan ide atau pendapat dari peserta didik dari presenter ataupun audiens ❖ Menjelaskan materi secara keseluruhan ••• 37 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Penutup ❖ Menyimpulkan hasil diskusi bersama peserta didik (SFAE) ❖ Guru melakukan evaluasi untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran D. KESIMPULAN Jati diri bangsa merupakan identitas suatu bangsa yang menjadi kekayaan kebanggaan tersendiri. Jati diri bangsa akan terlihat dalam karakter bangsa yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur bangsa. Kearifan lokal sebagai pusaka budaya memiliki peranan penting sebagai inspirasi dalam penguatan jati diri atau identitas kltural atau bangsa. Penguatan jati diri suatu kelompok etnik atau bangsa menjadi sangat penting pada era globalisasi dengan tujuan agar tidak luntur atau tercabutnya akar budaya yang diwarisi dari para pendahulu ditengahtengah kecenderungan homogenitas kebudayaan sebagai akibat dari globalisasi. Bangsa Indonesia mewarisi berbagai kekayaan alam, kekayaan hayati dan kekayaan keragaman sosiokultural. Kekayaan ini merupakan modal dasar yang harus dioleh untuk kesejahteraan warga Indonesia. Kearifan lokal merupakan modal budaya yang harus dikelola dan dikembangkan yang nantinya akan memperkuat identitas ke-Indonesiaan. DAFTAR PUSTAKA Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan: Bandung PT Remaja Rosdakarya. Borg, W.R. & Gall, M.D. Gall. 1989. Educational Research: An Introduction, (5th ed.). New York: Longman. Azwar (20112). Metode Penelitian. Yogyakarta :P ustaka Pelajar. ••• 38 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PENGGUNAAN MEDIA KREATIF LUKIS PASIR SEJARAH Aris Riyadi, S.Pd., M.Pd. PPPPTK PKn dan IPS, Batu, Jawa Timur ararisriyadi196@gmail.com ABSTRAK Mulai lunturnya semangat nasionalisme generasi muda saat ini merupakan masalah serius yang harus dicari solusinya. Guru harus keratif dan berinovasi dalam menyampaikan pelajaran sejarah. Untuk itu penulis menciptakan media pembelajaran baru yang di sebut media "Lukis Pasir Sejarah". Tujuan dari penelitian ini untuk memaparkan proses penggabungan kreatifiatas seni dan IT sehingga menghasilkan media pembelajaran IPS sejarah yang menarik dan menyenangkan.. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan kajian pustaka di mana penulis berusaha mendiskripsikan media lukis pasir sejarah sekaligus penerapannya di dalam kelas. Hasil dari kreatifitas penerapan media kratif ini adalah penerapan media Lukis Pasir Sejarah di dalam kelas. Yaitu guru membuat lukisan pasir diatas meja kaca sambil menceritakan peristiwaperistiwa sejarah diiringi alunan musik. Proses melukis direkam dengan kamera yang dihubungkan laptop selanjutnya di tayangkan ke layar monitor melalui LCD. Lukis Pasir Sejarah dapat di saksikan dalam bentuk live maupun pemutaran ulang dari hasil rekaman video. Selanjutnya secara berkelompok siswa mempresentasikan isi dari peristiwa sejarah tersebut di depan kelas dan kelompok lain menanggapi. Implikasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelajaran Sejarah yang selama dianggap membosankan dapat diubah menjadi pembelajaran yang menyenangkan dengan media Lukis Pasir Sejarah. Nilai-nilai karakter semangat kebangsaan dan cinta tanah air dapat dihayati dan disampaikan secara menarik dan menyenangkan (Joyfull Learning). Kata Kunci: Media, Kreatif Lukis Pasir, Sejarah Pendahuluan Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Pembentukan karakter bangsa terutama pada pembentukan semangat nasionalisme adalah hal yang mendesak yang harus dilakukan pada generasi muda saat ini. Banyak siswa-siswa kita memperoleh penghargaan di tingkat dunia, namun banyak pula dari mereka yang pulang “membangun” bangsa lain dengan bekerja, jadi konsultan, di negeri orang dan sejenisnya. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Mulai dari sikap pemerintah, kepedulian individu, latar belakang dan motivasi dan masih banyak lagi. Lunturnya semangat nasionalisme (mencitai bangsa sendiri) semakin terlihat manakala siswa kurang memahami dan memaknai peristiwa sejarah. Hal ini diperparah pada anggapan bahwa pembelajaran sejarah adalah pelajaran yang membosankan. Padahal, dalam pembelajaran sejarah sangat penting artinya bagi generasi muda untuk bagaimana meneladani apa yang telah di lakukan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan ini. Bagaimana generasi sekarang mengambil hikmah dari peristiwa masa lalu untuk mengisi kemerdekaan di masa depan. ••• 39 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Masalah yang ditemukan Masalah yang ditemukan dilapangan, banyak dijumpai di sekolah-sekolah pembelajaran IPS utamanya sejarah masih kurang inovatif dan cenderung membosankan. Akibatnya minat siswa terhadap pembelajaran sejarah saat ini sangat berkurang. Pemahaman akan peristiwa sejarah yang seharusnya mampu menjadi sauri tauladan generasi muda tidak dapat tersampaikan. Apalagi untuk memaknai sejarah yang terkandung didalamnya, tentunya juga akan sulit dilakukan. Konsep Pemecahan Masalah Ketika ada acara Indonesia Mencari Bakat (IMB) di salah satu program stasiun televisi, salah satu kontestan yang bernama Vina Candrawati begitu memukau para pemirsa dengan mengilustrasikan cerita-cerita menarik melalui Lukisan pasirnya. Karena penulis seorang pendidik, langsung terlintas dipikiran penulis, apa jadinya jika lukisan pasir tersebut digunakan pada proses pembelajaran IPS sejarah di kelas. Karena pada prinsipnya sejarah juga ingin menyampaikan peristiwa-peristiwa sejarah pada siswa. Dengan inspirasi tersebut dan ditambah dengan sentuhan imajinasi, seni dan teknologi (IT), maka maka penulis ciptakan media khusus untuk pembelajaran sejarah yang bernama Media Lukis Pasir Sejarah. Dengan media khusus ini penulis mencoba mendesain bagaimana pembelajaran sejarah mampu menumbuhkan semangat nasionalisme, dalam menceritakan kembali peristiwa sejarah dengan penuh penghayatan. Dengan menggabungkan teknologi (IT) dan sentuhan seni, pembelajaran sejarah akan lebih menarik, dihayati dan menyenangkan "Joyfull learning". Pembahasan Penulis sebagai pendidik memfokuskan pada pembahasan dari sudut pandang pendidikan. Pada makalah ini penulis akan langsung fokus pada pembahasan tentang bagaimana penggabungan teknologi (IT) dan kreatifiatas seni mampu menciptakan Media Pembelajaran IPS Sejarah yang menyenangkan yaitu Media Lukis Pasir Sejarah. Bagaimanakah penerapan Media Lukis Pasir Sejarah pada proses pembelajaran di kelas dan sejauh mana hasil yang diperoleh. Tujuan Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk memaparkan proses penggabungan teknologi (IT) dan kreatifiatas seni mampu menghasilkan media pembelajaran IPS sejarah yang menarik dan menyenangkan. Selain itu juga ingin memaparkan penerapan Media Lukis Pasir Sejarah pada proses pembelajaran di kelas serta hasilnya. Ruang Lingkup Pembahasan Ruang lingkup dalam pembahasan makalah ini adalah meliputi pemanfaatan teknologi (IT) yang di miliki guru di sekolah dengan daya kreatifitas seni sehingga menciptakan media belajar yang menyenangkan. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang tidak muluk-muluk tetapi alat yang dimiliki guru sehari-hari dalam melaksanakan pembelajaran di kelas seperti laptop, LCD, audio dan lain-lain yang di desain secara khusus sehingga mampu menciptakan Media Lukis Pasir Sejarah pada proses pembelajaran kelas. Sedangkan kreatifitas seni yang dimaksud adalah bagaimana guru mendekatkan isi materi dengan dunia siswa melalui imajinasi karya seni yang ada, baik secara mandiri maupun dengan berkolaborasi. Telaah Pustaka 1. Media Pembelajaran Pengertian media pembelajaran menurut Oemar Hamalik (1989:12) adalah alat, media, dan teknik yang digunakan dalam rangka untuk mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa di dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. ••• 40 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Selanjutnya Wibawa (2001:75) memberikan kesimpulan bahwa yang dimaksud media pembelajaran adalah segala jenis sarana pembelajaran yang digunakan sebagai perantara dalam proses belajar mengajar baik di dalam kelas maupun diluar kelas dalam rangka untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi guna mencapai tujuan pembelajaran agar diperoleh hasil seoptimal mungkin. Adapun ciri – ciri umum media pembelajaran (Oemar Hamalik, 1989:12) adalah (a) identik artinya suatu benda yang dapat diraba, dilihat, didengar, dan diamati melalui panca indra, (b) tekanan utama terletak pada hal – hal yang bisa dilihat dan didengar, (c) digunakan dalam rangka hubungan (komunikasi) dalam pengajaran, antara guru dan siswa, (d) semacam alat bantu belajar mengajar, baik di luar kelas maupun di dalam kelas, (e) merupakan suatu alat perantara (medium) media dan digunakan dalam rangka pendidikan, (f) mengandung aspek sebagai alat dan sebagai teknik yang sangat erat kaitannya dengan Media mengajar. Untuk mencapai hasil yang maksimal dan dapat berjalan dengan lancar, disini terdapat beberapa prinsip yang harus dipahami dalam penggunaan media. Menurut Arsyad, (2002:10) sedidaknya ada lima yang menjadi titik fokusnya, antara lain; (a) relevansi media dengan tujuan pembelajaran , (b) alokasi waktu yang tersedia , (c) bersifat ekonomis, praktis, dan fleksibel, (d) situasi / kondisi sekolah, (e) kemampuan pemakai dalam hal keilmuan dan teknik mendesain media. Dengan beberapa pengertian tentang media pembelajaran tersebut dan juga ciri– ciri umumnya, maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala jenis sarana pembelajaran yang digunakan sebagai perantara dalam mempermudah tercapainya tujuan pembelajaran. Media pembelajaran digunakan sebagai perantara guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa dengan harapan untuk memudahkan pemahaman siswa terhadap materi yang digunakan. Diharapkan dengan menggunakan media pembelajaran proses belajar mengajar akan lancar dan dapat mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Berdasarkan prinsip penggunaan media, kiranya jelas sekali bahwa seorang guru dituntut mempunyai kemampuan mendesain media yang cocok dan pas digunakan dalam membantu kelancaran proses pembelajaran di kelas. Untuk itu, langkah awal yang harus diambil adalah menganalisa media dan jenis materi yang akan diajarkan oleh guru sesuai materi. Kemudian dari setiap pokok bahasan yang ada, nantinya akan didefinisikan dengan menggunakan media yang cocok dan memadai. Namun demikian, ada satu hal yang harus selalu diingat oleh guru bahwa tidak semua pokok bahasan harus disampaikan menggunakan media yang sama, melainkan setiap pokok bahasan mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda sehingga penggunaan medianyapun juga harus disesuaikan. 2. Information Teknology (IT) dalam Pembelajaran. Teknologi Informasi (TI), atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Information technology (IT) adalah istilah umum untuk teknologi apa pun yang membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan dan/atau menyebarkan informasi. TI menyatukan komputasi dan komunikasi berkecepatan tinggi untuk data, suara, dan video. Contoh dari Teknologi Informasi bukan hanya berupa komputer saja, namun perangkat seperti telepon, TV, peralatan rumah tangga elektronik dan piranti genggam modern (misalnya ponsel), serta penggunaan akses internet termasuk di dalamnya.Istilah dalam pengertian modern pertama kali muncul dalam sebuah artikel 1958 yang diterbitkan dalam Harvard Business Review, di mana penulis Leavitt dan Whisler berkomentar bahwa "teknologi baru belum memiliki nama tunggal yang resmi. Kita akan menyebutnya teknologi informasi (TI)". Teknologi Informasi merupakan elemen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peranan teknologi informasi pada aktivitas manusia pada saat ini memang begitu besar. Teknologi informasi telah menjadi fasilitas utama bagi kegiatan berbagai ••• 41 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sektor kehidupan dimana memberikan andil besar terhadap perubahan-perubahan yang mendasar pada struktur operasi dan manajemen organisasi, pendidikan, trasportasi, kesehatan dan penelitian. Oleh karena itu sangatlah penting peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM), mulai dari keterampilan dan pengetahuan, perencanaan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan, serta peningkatan kemampuan TI para pimpinan di lembaga pemerintahan, lebih lebih di dunia pendidikan. (Pikiran Rakyat, 2005:Mei). Perkembangan teknologi informasi (TI) telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2006), dengan berkembangnya penggunaan IT ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, email, dan sebagainya. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut (Rosenberg, 2001). Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk mempermudah dalam pembelajaran maka penggunaan teknologi informasi (IT) sangatlah dibutuhkan. Begitupun dengan penggunaan media yang penulis ciptakan yaitu media lukis pasir sejarah. Ketika acara IMB berlangsung, penulis tidak mengetahui bagaimana teknologi Indosiar yang canggih tersebut digunakan. Penulis hanya memanfaatkan teknologi yang dipunyai guru di sekolah. Misalnya ada laptop, LCD proyektor dan peralatan audio dan sejenisnya. Perangkat IT sederhana itulah yang penulis rangkai sedemikian rupa sehingga menghasilkan Media Lukis Pasir Sejarah. Walaupun dengan perangkat sederhana namun jika mampu di terapkan oleh guru di kelas akan lebih efektif dalam mempermudah tujuan pembelajaran, namun sebaliknya dengan teknologi yang canggih namun di sekolah tidak tersedia maka juga tidak akan berjalan. 3. Sentuhan Seni dalam Pembelajaran Seni adalah ide, gagasan, persasaan, suara hati, gejolak jiwa, yang diwujudkan atau di ekspresikan, melalui unsur-unsur tertentu, yang bersifat indah untuk memenuhi kebutuhan manusia, walaupun banyak juga karya seni yang digunakan untuk binatang. I Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisan Dasar-dasar Kesenian Bali mengatakan bahwa seni berasal dari bahasa Sansekerta sani yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian yang jujur. Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecapakan yang luar biasa seperti sajak, lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan sesuatu yang elok dan indah. Adapun cakupan seni tidak terbatas pada seni rupa atau lukis saja, namun bisa meliputi seni grafis atau komunikasi visual, desain industri atau desain produk, desain interior atau arsitektur interior, desain tekstil, seni keramik, seni patung dan kriya kayu, logam, kulit, keramik, dan akir-akhir ini yang menjadi booming adalah seni lukis pasir. Seni memiliki peran sebagai media pendidikan salah satunya yaitu sebagai alat peraga atau media untuk memperlancar proses belajar supaya lebih mudah memahaminya. Seni memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional. Pada perkembangan yang lebih modern, seni sangat berfariatif dalam perkembangan dengan teknologi. Salah satunya adalah seni lukis pasir yang mampu ••• 42 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) mewakili penikmat seni dalam berbagai even intertainmen, baik sebagai media iklan, dongeng bahkan dakwah. Penulis sebagai pendidik melihat fenomena tersebut sebagai suatu peluang dalam mendekatkan imajinasi siswa dengan tujuan pembelajaran. Penulis mengembangkan seni lukis pasir dalam proses pembelajaran di kelas, dengan teknologi yang dipunyai guru di sekolah. Dengan perangkat IT yang ada dan sentuhan seni dari guru maka media pembelajaran dengan lukis pasir sejarah dapat diterapkan. 4. Media Lukis Pasir Sejarah. Medial Lukis Pasir Sejarah merupakan penggabungan antara penggunaan teknologi (IT) dengan sentuhan imajinasi seni untuk menceritakan peristiwa peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia sehingga dinamakan Media Lukis Pasir Sejarah. Bentuk media ini didesain khusus agar dapat dipresentasikan dalam proses pembelajaran di kelas baik oleh siswa maupun guru. Media ini berbasis IT (Information Teknology), yang dimaksud adalah penerapan pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi yang dimiliki guru sehari-hari dalam mengajar seperti komputer/laptop, cam/kamera digital, LCD proyektor maupun Audio Visual. Sedangkan berbasis Seni adalah penggunaan sentuhan seni lukis pasir yang menggambarkan peristiwa-peristiwa sejarah perjuangan bangsa agar siswa tertarik dengan pembelajaran sejarah. Perangkat teknologi yang dimiliki guru seperti Laptop/Komputer digunakan sebagai alat penyimpan data dan operator IT dengan media Lukis Pasir Sejarah. Camp/Kamera digunakan sebagai alat perekam ilustrasi lukisan pasir sejarah yang selanjutnya dapat ditampilkan secara live pada layar monitor di depan kelas maupun proses editing dengan menggunakan video maker. LCD proyektor digunakan menampilkan ilustrasi lukis pasir sejarah baik secara live maupun siaran ulang di depan kelas. Audio/Musik digunakan untuk mengiringi kronologis peristiwa sejarah pada saat prektek lukis pasir sejarah baik oleh guru maupun saat siswa presentasi. Sedangkan aplikasi pada proses pembuatan media ini menggunakan aplikasi Video Maker, PhotoShop dan Paint. Analisis Pemecahan Masalah 1. Ide Penciptaan Karya Media ini terinspirasi dari salah satu kontestan acara Indonesia Mencari Bakat (IMB) di televisi yang bernama Vina Candrawati. Ia begitu memukau para pemirsa dengan mengilustrasikan cerita-cerita menarik melalui lukisan pasirnya. Karena penulis seorang pendidik, langsung terlintas dalam pikiran, apa jadinya jika lukisan pasir tersebut diterapkan dalam proses pembelajaran sejarah di kelas. Karena pada prinsipnya juga sama, sejarah juga ingin menyampaikan peristiwa sejarah. Jika guru mampu menyampaikan peristiwa sejarah dengan lukisan pasir di kelas, alangkah menariknya pembelajaran tersebut. Dan samapi saat ini belum ada di Indonesia yang memanfaatkan lukisan pasir sebagai media pembelajaran di kelas. Dari ide itulah maka terciptalah Media Lukis Pasir Sejarah. ••• 43 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pelukis pasir IMB, Vina Candrawati yang menjadi inspirasi Aris Riyadi dalam menciptakan Media Lukis Pasir Sejarah. 2. Proses Pembuatan Media Proses pembuatan media lukis pasir sejarah dapat di lakukan jauh sebelum pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan teknologi yang telah banyak dimiliki oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari di kelas. Ada beberapa langkah dalam proses pembuatannya antara lain: 1) Langkah 1: Membuat Box Media Membuat Box Media meja lukis pasir, dari steroform tebal 5 cm, dengan ukuran meja 75x100 cm. Bahan meja terbuat dari stereform agar lebih ringan dan mudah di pindahpindahkan. Potong steroform sesuai ukuran. Pasang Lampu dalam Box. Gabungkan stereform dengan lem menjadi bentuk box. Pasang Kaca bening diatas Box. Dibawah kaca juga dilapisi kertas, agar sinar dapar tersebar merata. Pasang Kertas tipis berwarna putih diatas Box, dengan tujuan pengaturan sinar menuju pasir. 2) Langkah 2: Pemasangan Tiang Penyangga dan Kamera Selain kotak juga diperlukan tiang penyangga untuk tempat kamera yang berfungsi untuk merekam semua proses pembuatan lukisan pasir sejarah. Posisi camp/kamera diletakkan persis diatas kotak media, agar ketika proses melukis, kamera dapat merekam dengan fokus. Perekaman video dikendalikan dari laptop dan di tayangkan melalui LCD pada layar monitor di depan kelas, sehingga semua siswa dapat melihat ••• 44 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) gambar dengan jelas dan besar. Selain menayangkan secara live/langsung, fungsi laptop juga untuk menyimpan file video lukisan pasir, agar dapat di putar ulang. Pasang Tiang penyangga 1,5 m untuk tempat Camera. Pasang Camera sesuai Fokus. 3) Langkah 3: Merangkai Alat Hidupkan lampu di dalam box media dengan aliran listrik. Hubungkan cam/kamera dengan laptop dan pastikan aplikasi cam telah conec dengan laptopnya. Atur jarak kamera dengan box media agar posisi gambar tetap fokus. Pasang kabel LCD pada laptop. Hubungkan pula kabel tape/musik pada laptop. Alat siap digunakan. Box media dan Cam/kamera dihu bungkan dengan laptop, dengan jarak yang sesuai. 4) LCD proyektor dan Audio/Music dihubungkan dengan laptop. PENERAPAN MEDIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN Penerapan Media Lukis Pasir Sejarah dalam proses pembelajaran di kelas terbagi menjadi beberapa langkah berikut ini: a. Mempersiapkan Alat Sebelum pelaksanaan pembelajaran, dilakukan persiapan segala perangkat pembelajaran, mulai dari Silabus, RPP, Lembar Kerja Siswa sampai dengan mempersiapkan alat Lukis Pasir Sejarah yang akan digunakan. b. Menjelaskan Skenario Pembelajaran Agar pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan lancar maka Guru perlu memberikan penjelasan tentang tema dan skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan. Jika ••• 45 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) skenario pembelajaran telah dipahami oleh semua siswa maka pembelajaran dapat dimulai. c. Melukis Pasir Sejarah Guru membuat lukisan pasir sejarah di atas box media sambil menceritakan peristiwaperistiwa sejarah, diiringi alunan musik yang sesuai. Cara melukisnya dengan menaburkan pasir diatas box media lalu dibentuk dengan jari maupun cotton bad, sehingga tergambar peristiwa sejarah. Pola gambar dapat berpedom pada contoh gambar di internet/buku sejarah maupun daya imajinasi dan seni pelukis. Siswa mengamati dan menghayati alur cerita sambil membuat catatan-catatan penting. Contoh peristiwa yang dapat di ilustrasikan antara lain peristiwa Rengasdengklok, peristiwa pembacaan teks Proklamasi, peristiwa pertempuran 10 November dan seterusnya. Untuk itu perlu adanya keahlian khusus dalam menggabungkan antara teknologi IT dengan sentuhan seni dalam mempraktekkan media ini. Namun jangan kuatir, bagi guru yang tidak ahli dalam menggambar dapat menggunakan file hasil proses gambar yang telah penulis sediakan. Guru dan siswa tinggal ber ekspresi pada cerita sejarahnya. Semua proses Lukis pasir sejarah diatas direkam dengan kamera yang terhubung dengan laptop. Dari laptop selanjutnya di tayangkan ke layar monitor melalui LCD secara live maupun disimpan dalam bentuk file, untuk ditayangkan kembali di akhir pembelajaran. Proses Melukis Pasir Sejarah dengan Tema Peristiwa Pertempuran 10 November di Surabaya di jadikan sebagai Hari Pahlawan. d. Diskusi Kelompok Siswa membentuk kelompok-kelompok kecil. Masing-masing kelompok mendapatkan lembar kerja siswa yang berisi tentang langkah-langkah kegiatan siswa dalam menanggapi ilustrasi lukisan pasir sejarah yang telah berlangsung. Dengan buku literatur dan bimbingan guru, siswa memadukan catatan kecil dan mendiskusikan alur cerita serta menyimpulkan kronologis cerita dalam lembar kerja. Siswa juga membuat ulasan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah tersebut. ••• 46 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Siswa menyususn kronologis peristiwa sejarah, sementara Guru membimbingnya. Siswa berdiskusi untuk menyimpulkan kronologis peristiwa sejarah. e. Presentasi Kelompok dan Tanya Jawab Masing-masing kelompok siswa presentasi di depan kelas dengan menceritakan kembali kronologis peristiwa sejarah serta mengambil hikmah dari peristiwa tersebut untuk bekal masa mendatang. Ketika presentasi, kelompok mencoba membuka file dari laptop untuk menampilkan kembali lukisan pasir sejarah di layar monitor. Setelah presentasi selesai, kelompok lain diberikan kesempatan untuk menanggapi presentasi dengan tanya jawab sehingga terjadi komunikasi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Kelompok mempresentasikan hasil diskusi,sementara siswa lain memutar ulang file video lukis pasir di laptop. Setelah presentasi, kelompok lain memberikan tanggapan dengan membuka tanya jawab. f. Kesimpulan dan Refleksi Hasil presentasi kelompok merupakan argumentasi sementara yang harus di luruskan dan disimpulkan. Guru membuat kesimpulan dengan cara menceritakan kronologis peristiwa sejarah dengan menampilkan kembali di layar monitor lukisan pasir sejarah. Guru juga merefleksi nilia-nilai semangat nasionalisme yang terkandung dalam peristiwa sejarah tersebut untuk diambil hikmah sebagai bekal masa mendatang. Diakhir pembelajaran, Guru juga merefleksi bagaimana kemampuan siswa dalam menyampaiakan kembali kronologi peristiwa sejarah, serta membuka polling untuk memilih siswa teraktif dalam pembelajaran hari itu. ••• 47 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Guru menyimpulkan kronologis peristiwa sejarah, dengan memutar ulang video lukis pasir dari laptop diiringi musik yang sesuai. Hasil Pembelajaran dengan Media Lukis Pasir Sejarah Krisis kebangsaan yang dialami generasi muda sekarang, yakni kurangnya menempatkan kepentingan bangsanya dari kepentingan diri sendiri/kelompok, akan dapat berangsur-angsur teratasi, manakala generasi muda bangsa ini mencintai sejarah perjuangan bangsa. Akan sulit bagi siswa jika peristiwa yang mereka sendiri tidak pernah mengalaminya, harus mereka pahami dengan khayalan belaka dan sederetan huruf-huruf yang kurang bermakna. Maka sudah selayaknya peristiwa sejarah tersebut, diilustrasikan dalam bentuk gambar. Dengan melihat lukisan pasir sejarah, siswa akan lebih tertarik dan menghayati peristiwa. Nilai-nilai karakter bangsa terutama nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air yang diamanatkan dalam kurikulum 2013 akan dapat tersampaikan. Melalui Media Pembelajaran Lukis Pasir Sejarah berbasis IT dan Seni, Siswa memperoleh pengalaman belajar yang menakjubkan, bahwa jika teknologi IT di gabung dengan seni akan menghasilkan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan (Joyfull Learning). Siswa juga terlatih berfikir kritis dalam menyikapi peristiwa sejarah untuk dijadikan bekal masa mendatang. Siswa akan berusaha bekerjasama dengan teman dan kelompok dalam menyusun peirstiwa sejarah. Agar memperoleh polling terbanyak, siswa juga berusaha keras untuk berkomunikasi secara aktif melalui kegiatan presentasi dan tanya jawab. Siswa diberi kesempatan mengembangkan kreatifitasnya, dengan menceritakan kembali kronologis peristiwa sejarah dengan gaya dan cara mereka sendiri. Hasil angket yang telah penulis sebarkan pada siswa diakhir pembelajaran menunjukkan 98% siswa menyatakan tertarik, 2 % tidak menjawab. Hasil evaluasi melalui ulangan harian pun juga menunjukkan adanya ketuntasan belajar secara klasikal mencapai 82% dari seluruh siswa. Hasil lukisan pasir sejarah yang telah dibuat di dokumentasikan dalam bentuk file dan dapat diputar ulang sebagai CD pembelajaran IPS dikelas. Saat ini sudah beberapa peristiwa sejarah yang telah dibuat. Antara lain peristiwa Rengasdengklok, peristiwa pembacaan teks Proklamasi, peristiwa kobaran semangat Bung Tomo, pertempuran 10 November di Surabaya. Rencananya penulis akan membuat semua peristiwa sejarah yang penting di Indonesia dan di buat dalam bentuk CD pembelajaran, agar dapat di gunakan guru-guru di seluruh Indonesia. Simpulan dan Rekomendasi Mulai lunturnya semangat nasionalisme (mencitai bangsa sendiri) pada generasi muda saat ini merupakan masalah serius yang harus dicari solusinya. Mata pelajaran sejarah sebagai ujung tombak penanaman sikap nasionalisme sangat berperan penting dalam membentuk karakter generasi muda. Sebagai solusinya, penulis menciptakan ••• 48 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sebuah media yang menarik dan menyenangkan yang di sebut dengan Media Lukis Pasir Sejarah. Media ini merupakan penggabungan penggunaan teknologi (IT) dengan kreatifitas seni. Media ini di buat dengan teknologi yang telah dimiliki guru-guru disekolah. Dengan meanfaatkan Laptop, LCD, Audio, dan box media lukis pasir, media ini dapat diterapkan dikelas. Hasil angket setelah pembelajaran juga menunjukkan adanya ketertarikan siswa terhadap media ini dengan ketuntasan belajar yang signifikan. Pembelajaran sejarah yang selama dianggap membosankan dapat diubah menjadi pembelajaran yang menyenangkan. Melalui media ini pula nilai-nilai karakter semangat kebangsaan dan cinta tanah air dapat dihayati dan disampaikan secara menarik dan menyenangkan (Joyfull Learning). Rekomendasi Apapun disekitar kita apabila guru mau kreatif dan inovatif maka lukisan pasir yang selama ini untuk hiburan di media televisi, dapat diterapkan dalam pembelajaran dan menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam memperbaiki permasalahan yang ada di sekolah. Untuk itu penulis merekomendasikan kepada guru-guru sejarah untuk terus berinovasi dan berkreasi. Predikat pembelajaran sejarah yang selama ini membosankan dan tidak diminati siswa akan berubah menjadi pembelajaran yang menyenangkan.Penulis juga merekomendasikan agar Guru IPS hendaknya senantiasa selalu mengikuti perkembangan teknologi dan mampu berkolaborasi dengan disiplin ilmu yang lain (misalnya kemampuan IT dan seni) agar mampu memecahkan permasalahanpermasalahan dilungkup terkecilnya sendiri yakni kelas. Penggunaan Media Lukis Pasir Sejarah yang berbasiskan IT dan Seni ini tidak hanya sampai disini saja, dengan simposium guru ini, penulis berharap media yang penulis ciptakan dapat tersosialisasikan dan sekaligus penyempurnaan dari media ini. Daftar Rujukan Ahzar Arsyad, Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Basuki Wibawa,Media Pengajaran. Jakarta: Depdikbud. 2001. https://www.youtube.com/watch?v=T_RMIL8ZhIY http://www.arisriyadi.blogspot.com. http://dictionary.oed.com/, diakses tanggal 20 November 2010Missing or empty |title= (bantuan)"information technology", Oxford English Dictionary (2 ed.), Oxford University Press, 1989. I gusti Bagus Sugirwa, Dasar Dasar Kesenian Bali. Bali: IGB Percetakan Bali, 1957. Longley, Dennis; Shain, Michael, Dictionary of Information Technology (2 ed.), Macmillan Press, p. 164, ISBN 0-333-37260-3, 1985. Oemar Hamalik, Media Belajar dan Kesulitan Belajar. Bandung : Tarsito, 1989. Poerwadarminta WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Pikiran Rakyat, 2005. edisi Mei 2005. Rosenberg. Marc J, Beyond E-Learning – Approaches andTechnologies to Enhance Organizational Knowledge, Learning, and Performance.Pteiffer. Amerika, 2006. ••• 49 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 50 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PERANAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH ABAD KE-21 Asnar, Aksa aksa131288@gmail.com Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unmul ABSTRAK Terlaksananya pembelajaran dalam kelas dengan baik abad ke-21 ditentukan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah tersedianya media pembelajaran. Dilihat dari segi kedudukan, media Pembelajaran memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses belajar mengajar. Peristiwa dalam sejarah bisa bawa ke dalam ruang kelas melalui media pembelajaran, sehingga guru dan siswa bisa menyaksikan dengan kasat mata melalui perantaraan gambar, potret, slide, dan sejenisnya. Dengan adanya media, maka posisi guru dalam pembelajaran sejarah bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Media pembelajaran sangat membantu dalam proses pembelajaran sejarah. Oleh karena itu, dengan melihat posisi, fungsi dan peranan media pembelajaran, maka penerapan dan penggunaan media pembelajaran menjadi sangat penting untuk mengoptimalkan proses pembelajaran sejarah di berbagai sekolah di seluruh Indonesia. Kata Kunci: Fungsi Media, Media Pembelajaran Sejarah, A. PENDAHULUAN Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan (isi atau materi ajar) dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan (siswa/pebelajar atau mungkin juga guru). Penyampaian pesan ini bisa dilakukan melalui simbol-simbol komunikasi berupa simbol-simbol verbal dan non-verbal atau visual, yang selanjutya ditafsirkan oleh penerima pesan (Criticos, 1996:67). Adakalanya proses penafsiran tersebut berhasil dan terkadang mengalami kegagalan. Kegagalan ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya adanya hambatan psikologis (yang menyangkut minat, sikap, kepercayaan, inteligensi, dan pengetahuan), hambatan fisik berupa kelelahan, keterbatasan daya alat indera, dan kondisi kesehatan penerima pesan. Faktor lain yangjuga berpengaruh adalah hambatan kultural (berupa perbedaan adat istiadat, norma-norma sosial, kepercayaan dan nilai-nilai panutan), dan hambatan lingkungan yaitu hambatan yang ditimbulkan oleh situasi dan kondisi keadaan sekitar (Sadiman, dkk, 1990:79). Untuk mengatasi kemungkinan hambatan-hambatan yang terjadi selama proses penafsiran dan agar Pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, maka sedapat mungkin dalam penyampaian pesan (isi/materi ajar) dibantu dengan menggunakan media Pembelajaran. Dengan memanfaatkan sumber belajar berupa media Pembelajaran, proses komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar berlangsung lebih efektif dan efisien (Gagne, 1985:79). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin mendorong usaha-usaha ke arah pembaharuan dalam memanfaatkan hasil-hasil teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran. Dalam melaksanakan tugasnya, guru (pengajar) diharapkan dapat menggunakan alat atau bahan pendukung proses Pembelajaran, dari alat yang sederhana sampai alat yang canggih (sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman). Bahkan mungkin lebih dari itu, guru diharapkan mampu mengembangkan keterampilan membuat media Pembelajarannya sendiri. Oleh karena itu, guru (pengajar) harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media Pembelajaran, yang meliputi: a, media sebagai alat komunikasi agar lebih mengefektifkan proses belajar mengajar; b, fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan; c, hubugan antara metode mengajar dengan media yang digunakan; d, nilai atau manfaat media dalam ••• 51 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pembelajaran; e, pemilihan dan penggunaan media Pembelajaran; f, berbagai jenis alat dan teknik media Pembelajaran; dan g, usaha inovasi dalam pengadaan media pembelajaran (Hamalik, 1994: 65). Pada kenyataannya bahwa saat ini Indonesia memasuki era informasi yaitu suatu era yang ditandai dengan makin banyaknya medium informasi, tersebarnya informasi yang makin meluas dan seketika, serta informasi dalam berbagai bentuk yang bervariasi tersaji dalam waktu yang cepat. Penyajian pesan pada era informasi ini akan selalu menggunakan media, baik elektronik maupun non elektronik. Terkait dengan kehadiran media ini, Dimyati dan Mudjiono menjelaskan bahwa suatu media yang terorganisasi secara rapi memengaruhi secara sistematis lembaga-lembaga pendidikan seperti lembaga keluarga, agama, sekolah, dan pramuka. Dari uraian tesebut menunjukkan bahwa kehadiran media telah memengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem pendidikan kita, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda (Dimyati dan Mudjiono, 1996:73). Dengan demikian hasil belajar seseorang ditentukan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Salah satu faktor yang ada di luar individu adalah tersedianya media pembelajaran yang memberi kemudahan bagi individu untuk mempelajari materi pembelajaran, sehingga menghasilkan belajar yang lebih baik. Selain itu juga gaya belajar atau learning style merupakan suatu karakteristik kognitif, afektif dan perilaku psikomotoris, sebagai indikator yang bertindak relatif stabil bagi pebelajar yang merasa saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar. Mempelajari sejarah harus dipahami secara menyeluruh dan mendalam. Hal ini yang menjadikan pelajaran sejarah sangat urgen diajarkan disekolah-sekolah terutama di sekolah menengah. Siswa diharapkan mampu menguasai semua aspek kesejarahandengan baik, siswa mampu menjelaskan sejarah berdasarkan kronologisnya, sehingga mereka mampu mengetahui sebab musabab dari setiap kejadian yang dipelajarinya. Menguasai materi ajar seperti pada semua pembelajaran sejarah tidaklah semudah yang dibayangkan. Diperlukan keseriusan dan kemauan yang keras oleh semua stek holder yang ada. Untuk memperoleh hasil yang maksimal pada proses pembelajaran, semua unsur yang terlibat didalamnya harus mantap. Mulai dari kesiapan siswa sampai pada kemampuan guru menyampaikan materinya seperti pada pelajaran sejarah. Dengan demikian, apabila seorang guru dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan penuh kreativitas seperti pemanfaatan media pembelajaran yang lebih variatif, maka dapat dipastikan prosespembelajaran dapat berjalan dengan lancar (Arfah, 2010: 25).Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa media pembelajaran sangat membantu dalam proses pembelajaran sejarah. Oleh karena itu, dengan melihat posisi, fungsi dan peranan media pembelajaran, maka penerapan dan penggunaan media pembelajaran menjadi sangat penting untuk mengoptimalkan proses pembelajaran sejarah di berbagai sekolah di seluruih Indonesia. B. PEMBAHASAN PENGERTIAN MEDIA PEMBELAJARAN Media (bentuk jamak dari kata medium), merupakan kata yang berasal dari bahasa latin medius, yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’ Arsyad, 2002; (dalam Sadiman, dkk., 1990:57). Oleh karena itu, media dapat diartikan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Media dapat berupa sesuatu bahan (software) dan/atau alat (hardware). Sedangkan menurut Gerlach dan Ely (dalam Arsyad, 2002), bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini, guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi seorang siswa merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan yang disampaikan oleh Gagne ••• 52 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) (1985:77), yang menyatakan bahwa media merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar. Secara khusus, pengertian media dalam proses pembelajaran cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual dan verbal. Media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pembelajaran (Djamarah, 1994: 137). Sedangkan pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan yang menjadikan orang atau makhluk hidup belajar (KBBI, 2002: 17). Jadi, media Pembelajaran adalah media yang digunakan pada proses Pembelajaran sebagai penyalur pesan antara guru dan siswa agar tujuan Pembelajaran tercapai. Banyak batasan tentang media, Association of Education and Communication Technology (AECT) memberikan pengertian tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi. Dalam hal ini terkandung pengertian sebagai medium (Gagne, 1985:52) atau mediator, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar siswa dan isi pelajaran. Sebagai mediator, dapat pula mencerminkan suatu pengertian bahwa dalam setiap sistem Pembelajaran, mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih dapat disebut sebagai media. Heinich memberikan istilah medium, yang memiliki pengertian yang sejalan dengan batasan di atas yaitu sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima (Heinich, 1993:99). Dalam dunia pendidikan, sering kali istilah alat bantu atau media komunikasi digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah media pendidikan (Pembelajaran). Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1994:42) bahwa dengan penggunaan alat bantu berupa media komunikasi, hubungan komunikasi akan dapat berjalan dengan lancar dan dengan hasil yang maksimal. Batasan media seperti ini juga dikemukakan oleh Reiser dan Gagne (dalam Criticos, 1996; Gagne, et al., 1988:33), yang secara implisit menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang digunakan untuk menyampaikan isi materi Pembelajaran. Dalam pengertian ini, buku/modul, tape recorder, kaset, video recorder, camera video, televisi, radio, film, slide, foto, gambar, dan komputer adalah merupakan media Pembelajaran. Menurut National Education Association -NEA (dalam Sadiman, dkk, 1990:70), media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik yang tercetak maupun audio visual beserta peralatannya. Berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa media Pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar (individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar (di dalam/di luar kelas)menjadi lebih efektif. KEDUDUKAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Dalam teorinya, Bruner (1966:49) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, seperti: enactive (pengalaman langsung), iconic (pengalaman piktorial atau gambar), dan symbolic (pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya melalui proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk memahami apa dan bagaimana mencangkok. Dalam tingkatan pengalaman langsung, untuk memperoleh pemahaman pebelajar secara langsung mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua, iconic, pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa memahaminya lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan pengalaman melihat orang mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri. ••• 53 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Berdasarkan uraian di atas, maka dalam proses pembelajaran sebaiknya diusahakan agar terjadi variasi aktivitas yang melibatkan semua alat indera pebelajar. Semakin banyak alat indera yang terlibat untuk menerima dan mengolah informasi (isi pelajaran), semakin besar kemungkinan isi pelajaran tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan pebelajar. Jadi agar pesan-pesan dalam materi yang disajikan dapat diterima dengan mudah (Pembelajaran berhasil dengan baik), maka pengajar harus berupaya menampilkan stimulus yang dapat diproses dengan berbagai indera pebelajar. Pengertian stimulus dalam hal ini adalah suatu “perantara” yang menjembatani antara penerima pesan (pebelajar) dan sumber pesan (pengajar) agar terjadi komunikasi yang efektif. Media pembelajaran merupakan suatu perantara seperti apa yang dimaksud pada pernyataan di atas. Dalam kondisi ini, media yang digunakan memiliki posisi sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu alat bantu mengajar bagi guru (teaching aids). Misalnya alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses, dan menyususn kembali informasi visual atau verbal. Sebagai alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Sehingga alat bantu yang banyak dan sering digunakan adalah alat bantu visual, seperti gambar, model, objek tertentu, dan alatalat visual lainnya. Oleh karena dianggap sebagai alat bantu, guru atau orang yang membuat media tersebut kurang memperhatikan aspek disainnya, pengembangan Pembelajarannya, dan evaluasinya. Kedudukan media pengajaran dalam proses belajar mengajar itu memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses belajar mengajar ditandai dengan adanya beberapa unsur antara lain: tujuan, bahan, metode, dan alat serta evaluasi. Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi komunikasi dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki posisi sentral dalam proses belajar dan bukan semata-mata sebagai alat bantu. Media Pembelajaran memainkan peran yang cukup penting untuk mewujudkan kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu dilakukan oleh guru (atau guru melakukannya kurang efisien). Dengan kehadiran media Pembelajaran maka posisi guru bukan lagi sebagai satusatunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Bahkan pada saat ini media telah diyakini memiliki posisi sebagai sumber belajar yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkret) berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian melalui benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal (abstrak). Untuk kondisi seperti inilah kehadiran media Pembelajaran sangat bermanfaat. Dalam posisinya yang sedemikian rupa, media akan dapat merangsang keterlibatan beberapa alat indera. Di samping itu, memberikan solusi untuk memecahkan persoalan berdasarkan tingkat keabstrakan pengalaman yang dihadapi pebelajar. FUNGSI DAN PERANAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Efektivitas proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh faktor metode dan media Pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran sejarah. Keduanya saling berkaitan, di mana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh terhadap jenis media yang akan digunakan. Dalam arti bahwa harus ada kesesuaian di antara keduanya untuk mewujudkan tujuan dari Pembelajaran sejarah. Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik pebelajar, dan tugas atau respon yang diharapkan dari pebelajar (Arsyad, 2002:37). Sedangkan menurut Criticos (1996:47), tujuan pembelajaran, hasil belajar, isi materi ajar, rangkaian dan strategi pembelajaran adalah kriteria untuk seleksi dan produksi media. ••• 54 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Dengan demikian, penataan Pembelajaran (iklim, kondisi, dan lingkungan belajar) yang dilakukan oleh seorang pengajar dipengaruhi oleh peran media yang digunakan. Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan berpengaruh secara psikologis kepada siswa (Hamalik, 1986:57). Selanjutnya diungkapkan bahwa penggunaan media pembelajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian informasi (pesan dan isi pelajaran) pada saat itu. Kehadiran media dalam pembelajaran sejarah juga dapat membantu meningkatkan pemahaman siswa, penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini bahwa fungsi media adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar. Fungsi media (media pendidikan) secara umum menurut Sadiman,dkk (1990:35) adalah sebagai berikut: a, memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual; b, mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misal objek yang terlalu besar untuk dibawa ke kelas dapat diganti dengan gambar, slide, dsb., peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat film, video, fota atau film bingkai; c, meningkatkan kegairahan belajar, memungkinkan siswa belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif siswa; dan d, memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan pengalaman dan persepsi siswa terhadap isi pelajaran. Unsur metode dan alat atau media merupakan unsur yang tidak bisa dilepaskan dari unsur lainnya yang berfungsi sebagai cara atau teknik untuk mengantarkan bahan pelajaran agar sampai kepada tujuan. Dalam pengajaran, tujuan, media atau alat memegang peranan yang sangat penting, sebab dengan adanya media tersebut bahan pelajaran dapat dengan mudah dipahami oleh siswa.Sejalan dengan fungsi media pembelajaran, Sudhana berpendapat: Ada enam fungsi pokok dari media pengajaran, yaitu, a. Sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif, b. Salah satu unsur yang harus dikembangkan guru, c. Penggunaannya integral dengan tujuan dan isi pelajaran, d.Sebagai alat hiburan untuk menarik minat siswa, d. Untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan oleh guru, e. Untuk mempertinggi mutu belajar mengajar (Sudhana, 1987:100). Fungsi media, khususnya media visual juga dikemukakan oleh Levie dan Lentz dalam Arsyad (2002:57) bahwa media tersebut memiliki empat fungsi yaitu: fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris. Dalam fungsi atensi, media visual dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran. Fungsi afektif dari media visual dapat diamati dari tingkat “kenikmatan” siswa ketika belajar (membaca) teks bergambar. Dalam hal ini gambar atau simbol visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. Berdasarkan temuan-temuan penelitian diungkapkan bahwa fungsi kognitif media visual melalui gambar atau lambang visual dapat mempercepat pencapaian tujuan Pembelajaran untuk memahami dan mengingat pesan/informasi yang terkandung dalam gambar atau lambang visual tersebut. Fungsi kompensatoris media Pembelajaran adalah memberikan konteks kepada siswa yang kemampuannya lemah dalam mengorganisasikan dan mengingat kembali informasi dalam teks. Dengan kata lain bahwa media Pembelajaran ini berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dalam bentuk teks (disampaikan secara verbal). Dengan menggunakan istilah media Pembelajaran, Sudjana dan Rivai mengemukakan beberapa manfaat media dalam proses belajar siswa, yaitu: pertama, dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa karena pembelajaran akan lebih menarik perhatian mereka; kedua, makna bahan Pembelajaran akan menjadi lebih jelas sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan terjadinya ••• 55 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) penguasaan serta pencapaian tujuan pembelajaran; ketiga.metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui katakata; dan keempat, siswa lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung, dan memerankan (Sudjana dan Rivai, 1992: 40). Kehadiran media pembelajaran terutama dalam pembelajaran sejarah sebagai media antara guru sebagai pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif, khususnya untuk obyek secara visualisasi. Dalam pembelajaran sejarahmasing-masing media mempunyai keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang sesuai dengan karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan pengajar dalam Pembelajaran. Secara rinci fungsi media memungkinkan siswa menyaksikan obyek yang ada tetapi sulit untuk dilihat dengan kasat mata melalui perantaraan gambar, potret, slide, dan sejenisnya mengakibatkan siswa memperoleh gambaran yang nyata (Degeng, 1997: 19). Menurut Gerlach dan Ely (dalam Arsyad, 2002: 11) ciri media pendidikan yang layak digunakan dalam pembelajaran, termasuk pembelajaran sejarah adalah sebagaiberikut; Pertama. Fiksatif (fixative property). Media Pembelajaran mempunyai kemampuan untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa/objek.Kedua. Manipulatif (manipulatif property). Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar time-lapse recording.Ketiga. Distributif (distributive property). Memungkinkan berbagai objek ditransportasikan melalui suatu tampilan yang terintegrasi dan secara bersamaan objek dapat menggambarkan kondisi yang sama pada siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama tentang kejadian itu (Arsyad, 2002: 11). C. KESIMPULAN Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi dari media pembelajaran yaitu media yang mampu menampilkan serangkaian peristiwa secara nyata terjadi dalam waktu lama dan dapat disajikan dalam waktu singkat dan suatu peristiwa yang digambarkanharus mampu mentransfer keadaan sebenarnya, sehingga tidak menimbulkan adanya verbalisme. Proses belajar mengajar dapat berhasil dengan baik jika siswa berinteraksi dengan semua alat inderanya. Guru berupaya menampilkan rangsangan (stimulus) yang dapat diproses dengan berbagai indera. Semakin banyak alat indera yang digunakan untuk menerima dan mengolah informasi, semakin besar pula kemungkinan informasi tersebut dimengerti dan dapat dipertahankan dalam ingatan siswa. Siswa diharapkan akan dapat menerima dan menyerap dengan mudah dan baik pesan-pesan dalam materi yang disajikan. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dengan penggunaan media pembelajaran diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih konkret kepada siswa, dan dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran sebagai contoh yaitu media pembelajaran komputer interaktif. DAFTAR PUSTAKA [1] Arfah, Muhammad. Meningkatkan Kemampuan Menulis Narasi melalui Penggunaan Media Gambar Siswa Kelas VII SMP Negeri I Majalengka: PTK .Tidak diterbitkan, 2010. [2] Arsyad, A. Media Pengajaran, edisi 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. [3] Bruner, J. S. Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Harvad University, 1996. ••• 56 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) [4] Criticos, C. 1996. Media Sellection. Plomp, T & Ely, D.P (Eds): International Encyclopedia of Educational Technology, 2nd ed. UK: Cambridge University Press. pp. 182 - 185. [5] Degeng, I.N.S. Strategi Pengajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: IKIP dan IPTDI, 1989a. [6] Degeng.Nyoman Sudana. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Jakarta: Departemen P & K Dirjen Dikti, 1989b. [7] Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. [8] Djamarah. Strategi Belajar Mengajar.Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994 [9] Gagne, R. M. The Condition of Learning and Theory of Instruction, 4thed. New York: CBS College Publishing, 1985. [10] Hamalik, O. Media Pendidikan, cetakan ke-7. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bak, 1994. [11] Heinich, R., Molenda, M., & Russel, J.D. Instructional Media and the New Technologies of Instruction, 4thed. New York: Macmillan Publishing Company, 1993. [12] Herianto. Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Rineka Cipta, 2008. [13] Lamudji. Pengaruh Penggunaan OHP terhadap Hasil Belajar Matematikan pada Siswa Sekolah Menengah Pertama yang Bermotivasi Tinggi dan Rendah. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 2005. [14] Miarso, Y. Teknologi Komunikasi Pendidikan, Pengertian dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1984. [15] Ratnasari. Meningkatkan Hasil Belajar Sejarah Menggunakan Media Gambar Seri Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Makassar. Skripsi. UNM, 2009. [16] Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, edisi 1. Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990. [17] Sudjana, Nana dan Ibrahim. 2004. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung. Sinar Baru Algensindo. [18] Sudjana, N. & Rivai, A. Media Pengajaran. Bandung: Penerbit CV Sinar Baru Bandung, 1992. ••• 57 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 58 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) MEMBANGUN CRITICAL THINGKING SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING SEBAGAI SOLUSI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Mhd Fadhil Al Hakim, Sariyatun, Sudiyanto Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta hakimifadhil13@gmail.com ABSTRAK Suatu masalah ketika pembelajaran sejarah berlangsung adalah peserta didik hanya dapat mengetahui isi materi sejarah tanpa memahaminya secara mendalam, keadaan demikian menjadikan peserta didik kurang mampu untuk berpikir secara kritis dalam memaknai peristiwa sejarah. Model Contextual Teaching and Learning adalahhal yang berusaha membangun dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Model pembelajaran kontekstual tidak bersifat ekslusif akan tetapi dapat digabung dengan model-model pembalajaran yang lain, misalnya: penemuan, keterampilan proses, eksperimen, demonstrasi, diskusi, dan lain-lain. Penerapan kegiatan mengkonstruk atau membangun sendiri pengetahuan pada siswa, membuat siswa terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis melalui kegiatan inquiry atau menemukan sendiri masalah, kebebasan bertanya (questioning), penerapan masyarakat belajar (learning community). Artikel ini mengkaji tentang bagaimanaModel Contextual Teaching and Learning ini menjadi solusi untuk membangun kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran sejarah. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi kepada beberapa sekolah dan guru sebagai data primer. Data sekunder diambil dari beberapa jurnal, buku dan beberapa sumber lainnya yang dianggap reliable. Kata Kunci:Model Contextual Teaching and learning, Critical Thingking, Pembelajaran sejarah A. Pendahuluan. Pendidikan merupakan wahana untuk membangun dan meningkatkan martabat bangsa. Pendidikan yang baik akan menciptakan manusia yang cerdas, masyarakat yang berkualitas dan bangsa yang unggul dengan beragam keahlian. Dengan keunggulan itu dapat mengantarkan bangsa ke dalam kehidupan bermartabat yang memiliki ciri antara lain maju, makmur dan sejahtera. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Sejalan dengan tujuan pendidikan di atas, maka perlu dikembangkan bentuk pembelajaran yang konstruktif yang dilandasi dengan pemahaman tentang ••• 59 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ilmu pengetahuan dan teknologi serta implikasinya dalam pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi serta implikasinya dalam kegiatan belajar mengajar bagi para pengajar di sekolah.Hal ini selain mencapai tujuan pendidikan juga untuk melihat keberhasilan pembelajaran di sekolah. Pada masa sekarang inin dunia pendidikan mulai difokuskan pada suatu upaya untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan berpikir dari pada hanya mengajarkan isi dari materi pelajaran. Tujuannya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir kritis dalam merespon berbagai informasi yang diterima akibat derasnya arus globalisasi tersebut. Berpikir kritis merupakan suatu bentuk berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi dimana berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir yang terarah dan jelas, yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi (Elaine B. Johnson 2011:183). Dengan kemampuan berpikir kritis yang dimiliki oleh peserta didik, tentu saja peserta didik akan lebih mudah untuk memikirkan secara mendalam dan sungguhsungguh masalah yang dihadapi peserta didik, masalah kehidupan yang fundamental khususnya di era Globalisasi. Di dalam kegiatan belajar mengajar, sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan disekolah-sekolah khususnya sekolah formal. Belajar sejarah berarti belajar tentang kehidupan atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Materi dalam pelajaran sejarah berupa kejadian, kenyataan, atau aktualisasi dimasa lalu. Tujuannya adalah untuk memahami sebuah hubungan sebab akibat kehidupan masa lampau. Dengan pemahaman yang dimiliki oleh siswa terhadap peritiwa sejarah, siswa memperoleh bahan refleksi untuk bertindak dimasa sekarang dan masa yang akan datang, untuk memahami peristiwa sejarah, diperlukan kemampuan berpikir kritis. Pembelajaran sejarah merupakan suatu kegiatan mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan keberlanjutan dan berfungsi sebagai saranan untuk menanamkan kesadaran akan adanya perubahan dalam kehidupan masyarakat melalui dimensi waktu (Djoko Suryo, 2005:4) Akhir-akhir ini, upaya menanamkan kemampuan berpikir kritis peserta didik menjadi popular dalam bidang pendidikan khususnya di Indonesia, namun gagasan demikian bertolak belakang dengan pelaksanaanya dibanyak sekolah diberbagai tempat. Dikelas, pembelajaran sejarah oleh peserta didik terkesan membosankan dan tidak bermakna. Salah satu fenomena yang sering muncul ketika proses pembelajaran sejarah berlangsung adalah lemahnya daya tarik peserta didik dalam mengikuti pelajaran sejarah. Banyak yang berpendapat bahwa sejarah merupakan pendidikan moral dan nilai. Sejarah membuat masyarakat menjadi bijaksana. Sejarah dapat membantu melatih negarawan menjadi terampil dan warga negara menjadi cerdas dan berguna. Sejarah melatih kemampuan mental seperti berpikir kritis serta menyimpan ingatandan imajinasi. Persepsi siswa yang menganggap bahwa sejarah merupakan pelajaran yang membosankan dan tidak menarik karena gurunya hanya menceritakan peristiwa masa lampau dan menutut siswa untuk menghapal nama dan tahun sehingga kemampuan siswa hanya sebatas itu. Kemampuan guru dalam yang terbatas dalam menjelaskan pelajaran sejarah juga menjadi salah satu factor ••• 60 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) lemahnya penguasaan siswa terhadap pelajaran sejarah.Sehingga guru di tuntut untuk dapat mengembangkan pelajaran yang menarik yang dapat menambah kegairahan siswa dalam mempelejari sejarah. R. Boyce dalam Kochar (2008 : 397) , “Guru sejarah harus memiliki kemampuan untuk merealisasikan kejadian masa lalu pada masa sekarang, harus memiliki imajinasi yang tinggi serta berbagai jenis pengetahuan yang positif. Sejarah adalah subjek yang sangat sulit untuk diajarkan.Di tangan seorang guru yang berkualitas, seperti semua subjek lainnya, sejarah dapat menjadi alat pendidikan yang nyata.” Mengingat guru sebagai garda terdepan serta fasilitator dalam mengakomodir kebutuhan peserta didik untuk menjadi berkualitas, berprestasi, dan memiliki kemampuan berpikir dan bertindak, maka fenomena pembelajaran yang terkesan membosankan haruslah menjadi bahan refleksi bagi guru dalam menggunakan model pembelajaran yang dapat menimbulkan suasana pembelajaran yang aktif demi tercapainya peserta didik yang berkualitas dan memiliki kemampuan berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi. Pengembangan model-model pembelajaran merupakan suatu keniscayaan yang harus dipersiapkan dan dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan ujung tombak keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah/madrasah yang terlibat langsung dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Kualitas pembelajaran yang dilakukan sangat bergantung pada perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran guru. Tugas guru bukan semata-mata mengajar (teacher centered), akan tetapi lebih kepada membelajarkan siswa (student centered). Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu siswa. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkankepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman belajar yang dirancang dan dipersiapkan oleh guru. Belajar juga dapat dipandang sebagai proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu yang ada di sekitas siswa. Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh guru dan siswa. Perilaku guru adalah membelajarkan dan perilaku siswa adalah belajar. Perilaku pembelajaran tersebut terkait dengan mendesain dan menerapkan model-model pembelajaran. Model pembelajaran kontekstual (contekstual teaching and learning) adalah merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. B. Metode Penelitian 1. Analisis Pemecahan masalah Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain (Moleong, 2007:6). Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis atau metode sejarah. Metode sejarah merupakan suatu ••• 61 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) usaha untuk memberikan interpretasi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status keadaan di masa yang lampau untuk memperoleh suatu generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang (Nazir, 2005:48). 2. Teknik Pengumpulan Data a. Metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu pengumpulan data dengan menggunakan buku yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, artikel dan situs website yang berkaitan dengan topik pembahasan. Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan bahan-bahan sebagai landasan teoritis bagi penelitian ini. Umumnya ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia secara langsung dengan melakukan observasi, namun ilmu sejarah mempelajarinya dengan menggunakan dokumen. Banyak diantara para ahli antropologi dan sosiologi mengabaikan bahan sejarah. Mereka tidak mengingat bahwa sebenarnya sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam tubuh pengetahuan sejarah dan dokumen-dokumen sebagai bahan utama dari penelitian sejarah (Koentjaraningrat, 1997:45). b. Metode Field Research (penelitian lapangan), yaitu untuk mempelajari secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial atau individu, kelompok, lembaga atau masyarakat yaitu dengan cara : 1. Observasi yaitu metode untuk menganalisis data dengan mengadakan pencatatan secara sistematis dengan melihat dan mengamati individu atau kelompok secara langsung. 2. Wawancara. Dalam penelitian ini wawancara merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh hasil penelitian yang dilakukan secara lisan dan melakukan tanya jawab dengan narasumber. Menurut (Nazir, 2005:194) walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk Tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. C. Hasil Pembahasan Sesuai dengan permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang standart proses pendidikan dasar dan menengah telah mengisyaratkan tentang perlunya proses pembelajaran yang dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan saintifik atau ilmiah. Upaya penerpan pendekatan saintifik atau ilmiah dalam proses pembelajaran ini sering disebut-sebut sebagai ciri khas dan menjadi kekuatan tersendiri dari keberadaan kurikulum 2013 (kurniasih, 2014:29). Pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang di rancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang di “temukan” (Hosnan, 2014:34) Pada saat penerapannya pendekatan saintifik bertujuan untuk menuntut peserta didik lebih aktif dalam setiap pembelajaran yang di laksanakan dalam kelas, sementara guru perannya semakin diperkecil dalam pembelajaran yang di lakukan karena guru hanya bertugas sebagai fasilitator dalam pembelajaran yang di lakukan, sehingga peserta didiklah yang harus aktif dalam ••• 62 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pembelajaran.Hosnan (2014:34) menyatakan, penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses, seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan dan menyimpulkan. Bantuan guru dalam penrapan pendekatan ini diperlukan, namun dengan semakin tingginya jenjang pendikan peserta didik, maka semakin berkuranglah peranan guru dalam penerapan pendekatan saintifik ini, Sehingga peserta didik di tuntut untuk lebih aktif. Dalam penerapan pembelajaran saintifik memiliki karakter yang berbeda dengan penerapan pembelajaran lainnya, adapaun karakteristik penerapan pembelajaran saintifik menurut Hosnan (2014:36) adalah: 1. Berpusat pada peserta didik. 2. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip. 3. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan tingkat tinggi peserta didik. 4. Dapat mengembangkan karakter peserta didik. 1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual. Contexstual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu sistem pembelajan dalam pendidikan yang melakukan lebih dari pada sekedar menuntun para peserta didik dalam belajar. Belajar dengan menggunakan CTL adalah merupakan sebuah konsep belajar yang didalamnya memuat sebuah proses pencarian makna lewat konteks oleh individu itu sendiri. Proses pencarian makna menjadikan proses pembelajaran menjadi hidup. Proses pembelajaran yang hidup tentunya akan menarik peserta didik untuk aktif dalam belajar. inilah yang menjadi keistimewaan CTL dalam pembelajaran. Menurut Elaine B. Johnson (2011:67), bahwa Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para peserta didik melihat makna didalam materi akademik yang peserta didik pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya peserta didik. Dengan merujuk pada proses pencarian makna, dalam CTL guru berperan sebagai Fasilitator yang membantu peserta didik untuk menemukan pengetahuannya. Keinginan untuk menemukan makna sangat mendasar dalam diri manusia. Untuk itu tugas utama pendidik adalah memberdayakan potensi (keinginan manusia) ini sehingga peserta didik terlatih dalam menangkap makna dari materi yang diajarkan. Senada dengan itu, menurut Trianto (2008:10), Contextual Teaching and Learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan peserta didik sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Langkah-langkah pembelajaran model kontekstual ini di kelas secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut (Depdiknas: 2005:10) : a. Konstruktivisme (Contructivism); Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Pengetahuan ••• 63 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) b. c. d. e. f. g. terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk mengiterpretasi objek tersebut (Wina Sanjaya, 2012:265). Inkuiri (Inquiry); Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Kegiatan inkuri menyarankan sebuah proses pembelajaran yang berbasis penemuan masalah. Dalam Inkuiri pengetahuan yang diperoleh dari peserta didik diharapkan bukan dari hasil mengingat sebuah informasi, akan tetapi merupakan hasil temuan sendiri oleh peserta didik. Bertanya (Questioning); Kembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya. Kegiatan bertanya dimaksudkan untuk mengembangkan rasa ingin tahu peserta didik. Dengan memberikan berbagai pertanyaan maka peserta didik diajarkan untuk menggunakan nalar dalam menindaklanjuti informasi yang masuk. Kegiatan pembelajaran tanpa pertanyaan merupakan sebuah kegiatan mematikan komunikai (komunikasi satu arah). Jika pembelajaran merupakan komunikasi satu arah, tentu saja hal itu merupakan kegiatan transfer ilmu dimana guru sebagai objek pembelajaran dan buka lagi peserta didik. Dengan demikian peserta didik hanya mendengar materi yang disampaikan guru. Masyarakat belajar (Learning Community); Ciptakan ‘masyarakat belajar’ (diskusi dalam kelompok). Hasil temuan peserta didik merupakan yang benar menurut cara pandang masing-masing peserta didik. akan tetapi, melalui proses diskusi tersebut yang didalamnya terdapat berbagai macam argumentasi dari proses penalaran dan kesimpulan. Kebenaran-kebenaran tersebut secara terus menerus diuji sepanjang diskusi itu berlangsung. Pemodelan (Modelling); Pemodelan merupakan suatu komponen dalam CTL dengan menghadirkan model dalam pembelajaran. Memodelkan berarti pembelajaran terasa dekat dengan realitas. Jika dikatakan lingkungan sebagai arsitek bangunan otak, maka menghadirkan model dalam pembelajaran merupakan sebuah upaya memperkaya lingkungan belajar, sehingga terciptanya suasana belajar yang aktif dan kontekstual yang berpotensi merangsang otak untuk menyusun suatu pola tertentu untuk memahami sebuah informasi. Ketika para guru melibatkan murid dalam kegiatan fisik untuk mendukung suatu pelajaran ,maka peserta didik tersebut kemungkinan besar untuk mengingat apa yang peserta didik pelajari (Elaine B. Johson, 2009:57). Refleksi (Reflection); Dengan Refleksi, maka pengalaman belajar peserta didik akan direnungkan dan kemudian dimasukkan dalam struktur kognif peserta didik sehingga pada akhirnya akan membentuk pengetahuan baru pada peserta didik . memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menafsirkan pengalamannya berarti memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyimpulkan mengenai pengalaman yang diperoleh dari hasil belajarnya. Penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).; penilaian autentik mengajak para peserta didik untuk menggunakan pengetahuan akademik dalam konteks dunia nyata untuk tujuan yang bermakna serta mempertajam keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat peserta didik menganalisis, memadukan, mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi, dan mengikuti hubungan sebab akibat (Elaine B. Johson, 2011:289). Jika ketujuh komponen diatas disertakan dalam proses pembelajaran, maka setiap materi yang disajikan memiliki makna yang berkualitas. Makna yang ••• 64 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) berkualitas adalah makna yang kontekstual, yakni dengan menghubungkan materi ajar dengan lingkungan personal dan sosial. Kontekstual berarti teralami oleh peserta didik (Elaine B. Johnson. 2011:20). Dengan demikian penerapan model CTL ini nantinya akan menciptakan suasana belajar yang menarik dan berharap mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dengan mengaitkan materi pelajaran (instructional content) dengan kontekskehidupan dan kebutuhan siswa akan meningkatkan motivasi belajarnya serta akanmenjadikan proses belajar mengajar lebih efisien dan efektif. Pendekatan belajar inidisebut pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning). Proses belajarkontekstual terjadi dalam situasi kompleks dan hal ini berbeda dengan pendekatanbehaviorist yang lebih menekankan pada latihan. Menurut Nurhadi dalam Mundilarto(2004: 70) contextual teaching and learning merupakan konsep belajar mengajaryang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan di kelas dengansituasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antarapengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupannya sebagaiindividu, anggota keluarga, dan masyarakat.Pendekatan kontekstual sebenarnya berakar dari pendekatan konstruktivistikyang menyatakan bahwa seseorang atau siswa melakukan kegiatan belajar tidak lainadalah membangun pengetahuan melalui interaksi dan interpretasi dilingkungannya. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan konteks dibangunoleh siswa sendiri bukan oleh guru. Menurut Priyatni dalam Krisnawati dan Madya (2004: 56) pembelajaran yangdilaksanakan dengan menggunakan metode kontekstual memiki karakteristiksebagai berikut: 1) Pembelajaran yang dilaksanakan dalam konteks yang otentik, artinyapembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkanmasalah nyata yang dihadapi. 2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas tugas yang bermakna. 3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. 4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok , berdiskusi, dan saling mengoreksi. 5) Kebersamaan, kerjasama, dan saling memahami satu dengan yang lain secara mendalam merupakan aspek pembelajaran yang menyenangkan. 6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif dan memetingkan kerjasama. 7) Pembelajaran dilaksanakan dengan cara menyenangkan. 2. Implementasi Pembelajaran Kontekstual di Kelas Pembelajaran berbasis konstekstual dengan sendirinya akan membawa implikasi implikasi tertentu ketika guru menerapkannya di dalam kelas. Menurut Zahorik (Nurhadi, 2002: 7) terdapat lima elemen penting yang harus diperhatikan oleh guru dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu: ➢ Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge) ••• 65 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ➢ Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge), yaitu dengan cara memperlajari secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian memperhatikan detailnya. ➢ Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun konsep sementara atau hipotesis, melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan atau validasi dan atas dasar tanggapan itu konsep tersebut direvisi atau dikembangkan. ➢ Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). ➢ Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, program pembelajaran kontekstual hendaknya: 1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar. 2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum pembelajarannya. 3. Uraikan secara terperinci media dan sumber pembelajaran yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang diharapkan. 4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan siswa dalam melakukan proses pembelajarannya. 5. Rumuskan dan lakukan sistem penilaian dengan memfokuskan pada kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada saat berlangsungnya proses maupun setelah siswa tersebut selesai belajar. 3. Kemampuan Berpikir Kritis a. Definisi Berpikir Kritis Berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Ini sering kali dilakukan untuk membentuk konsep, bernalar, dan berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah (Santrock,2001: 357). Dalam beberapa tahun terakhir, “berpikir kritis” telah menjadi suatu istilah yang ‘sangat populer’ dalam dunia pendidikan. Karena banyak alasan, para pendidik menjadi lebih tertarik mengajarkan ‘keterampilan-keterampilan berpikir’ dengan berbagai corak daripada mengajarkan informasi dan isi. Berpikir kritis menurut Elaine B. Johnson (2007: 183) merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang terorganisasi. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahaman membuat kita mengerti maksud di balik ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari. Pemahaman mengungkapkan makna di balik suatu kejadian. Menurut Robert Ennis (Fisher, 2008:4) berpikir kritis ialah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan yang dikerjakan. Reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun, dan hati-hati terhadap segala alternatif sebelum mengambil keputusan. Jika dikaitkan dengan ••• 66 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) taksonomi Bloom, berpikir kritis didefinisikan sebagai tiga tahapan tertinggi dalam taksonomi kognitifnya Bloom yang meliputi proses analisis, sintesis dan evaluasi. Maka, berpikir kritis dalam penelitian ini menggunakan indikator: 1) kemampuan menganalisis 2) kemampuan mensintesis 3) kemampuan mengevaluasi. Berpikir kritis memang sebuah keniscayaan yang mutlak dikuasai oleh setiap warga negara karena hanya dengan keterampilan berpikir kritis inilah bangsa yang adil dan beradab bisa terwujud. Masyarakat yang mampu dengan sehat dan cerdas bersikap kritis terhadap lingkungannya tidak akan mudah terpengaruh oleh gelombang ketidakpastian ataupun provokasi dari pihak-pihak yang saling berebut kepentingan. Realitias negara kita saat ini mengindikasikan kecenderungan mudahnya timbul konflik antar individu, kelompok, atau golongan, suku, ras, atau bahkan agama yang tersulut hanya karena masalahmasalah sepele. Saat ini, dalam kerangka reformasi nasional dalam berbagai segi termasuk pendidikan, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat substansial jika kita mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi akar permasalahan yang tengah kita hadapi dan mencari serta mengembangkan alternatif pemecahan bagi permasalahan tersebut.Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa berpikir merupakan suatu proses kerja otak dimana didalamnya menyangkut tentang suatu proses yang aktif dalam mencoba merumuskan dan mengarahkan sebuah informasi kepada tujuan tertentu sebagai bentuk respon dari informasi yang diterima sehingga menjadi suatu gambaran baru (ide) tentang apa yang akan dituju. b. Karakteristik Berpikir Kritis Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Brownie (2012 : 15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu: 1. Watak (dispositions) Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik. 2. Kriteria (criteria) Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan, fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang. 3. Argumen (argument) Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen. 4. Pertimbangan atau pemikiran (reasoning) ••• 67 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Reasoning yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data. 5. Sudut pandang (point of view) Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda. 6. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria) Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan. D. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas tentang pembelajaran kontekstual, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendekatan kontekstual merupakan wahana yang sangat tepat bagi guru untuk memberdayakan potensi siswa sesuai dengan kebutuhan serta lingkungan sekolah dan kehidupannya. Model pembelajaran kontekstual tidak bersifat ekslusif akan tetapi dapat digabung dengan model-model pembalajaran yang lain, misalnya: penemuan, keterampilan proses, eksperimen, demonstrasi, diskusi, dan lain-lain. Agar pendekatan kontekstual dapat diimplementasikan dengan baik, dituntut adanya kemampuan guru yang inovatif, kreatif, dinamis, efektif dan efisien guna menciptakan pembelajaran yang kondusif. 2. Penggunaan metode pembelajaran dari metode behaviorisme ke metode yang konstruktivisme dapat mengubah paradigma guru tentang metode pembelajaran. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya narasumber dalam pembelajaran dan kegiatan telah beralih menjadi siswa sebagai pusat kegiatan pembelajaran serta peran guru hanya sebagai motivator dan fasilitator, maka semangat siswa dapat meningkat dalam hal kemampuan berpikir kritis dengan menggunakan metode, materi, dan media yang bervariasi. 3. Penerapan kegiatan mengkonstruk atau membangun sendiri pengetahuan pada siswa, membuat siswa terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis melalui kegiatan inquiry atau menemukan sendiri masalah, kebebasan bertanya (questioning), penerapan masyarakat belajar (learning community) yaitu melatih siswa untuk bekerjasama, sharing idea, saling berbagi pengalaman, pengetahuan, saling berkomunikasi sehingga terjadi interaksi yang positif antar siswa dan pada akhirnya siswa terlibat secara aktif belajar bersama-sama. 4. Dalam pembelajaran kontekstual juga terdapat pemberian reward dalam bentuk pujian, tepuk tangan dan memajang hasil karya siswa untuk meningkatkan semangat dan tanggung jawab siswa karena hasil karyanya dihargai oleh guru orang disekitarnya. Implikasi Dari hasil analisis dan observasi, diketahui bahwa pembelajaran model Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan solusi dalam model pembelajaran yang mampu dalam menunjang kemampuan berpikir kritis peserta didik. untuk itu maka seorang pendidik setidaknya memilih model pembelajaran ••• 68 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) CTL ini. seorang guru juga harus mampu menumbuhkan semangat dan motivasi siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan kemampuan guru masing-masing. Dengan memfokuskan pada pembelajaran yang aktif, maka membuat pembelajaran menjadi menyenangkan, kurangnya rasa jemuh peserta didik, sehingga akan meningkatkan perhatian dan keseriusan peserta didik untuk memahami dan memaknai materi yang dibicarakan. ••• 69 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Daftar Pustaka Browne, Neil M., Pemikiran Kritis; Panduan untuk Mengajukan dan Menjawab Pertanyaan kritis. Jakarta: Indeks,2012. Depdiknas,Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning. Jakarta: Dirjendikdasmen.2005 Fisher,Alec, Berpikir Kritis ; Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga.2008. Hasan, Hamid,Format Metodologi Pengajaran Sejarah Dalam Transformasi Nilai Dan Pengetahuan. Yogyakarta: IKIP Yokyakarta,2010. Hosnan, M.,PendekatanSaintifikdanKontekstualDalamPembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia,2014. Johnson, Elaine B, Contextual Teaching & Learning ; Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung : Kaifa Learning,2011. Kochhar , S.K., Pembelajaran Sejarah Teaching of History. Jakarta: PT Grasindo,2008. Krisnawati, Yulia. & Swarsih, Madya. (2004). Jurnal Penelitian dan Evaluasi: Pengelolaan Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Menggunakan Metode Kontekstual di SLTP N egeri 25 Surabaya. Yogyakarta: PPS UNY. Nurhadi, Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah. Direktorat Pendidikan LanjutanPertama,2002. Santrock, John W,Psikologi Pendidikan (jilid 1). Jakarta : Salemba Humanika,2009. Suryo, Djoko,Paradigma Sejarah di Indonesia dan Kurikulum Sejarah ; dalam makalah seminar nasional dan temu alumni PPS UNS. Surakarta : PPS UNS,2005. Trianto.,Mendesain Pembelajaran Kontekstual (CTL) di Kelas. Jakarta: Publisher,2008. ••• 70 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ANALISIS KEBUTUHAN MEDIA PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA NEGERI KOTA SAMARINDA Jamil, Muhammad Azmi, dan Muhamad Sopyan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Mulawarman jamil@fkip.unmul.ac.id ABSTRAK Pembelajaran sejarah seringkali dianggap membosankan, karena cenderung monoton dalam pembahasannya, sehingga membuat minat belajar siswa rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan minat belajar siswa melalui penggunaan media pembelajaran sejarah. Namun, pada kenyataannya media pembelajaran yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi di lapangan, sehingga pemanfaatannya menjadi efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan media pembelajaran sejarah di SMA Negeri Kota Samarinda. Analisis kebutuhan tersebut meliputi kondisi lingkungan pembelajaran, proses pembelajaran sejarah dan penggunaan media pembelajaran sejarah. Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, lembar observasi dan lembar ceklis. Teknik analisis data yang digunakan adalah Model Analisis Interaktif (Interactive Analysis Models), yaitu pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (display data), dan penarikan kesimpulan (verification). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang ada di SMA Negeri Kota Samarinda sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas, diantaranya ruangan yang dilengkapi dengan sarana penunjang pembelajaran, laboratorium ilmu pengetahuan dan komputer, akses internet dan sarana-prasarana penunjang lainnya. Dukungan fasilitas memungkinkan untuk menggunakan media pembelajaran, baik yang berbasis offline, seperti power point, prezi dan mind mapping, maupun berbasis online seperti Google Suite dan Edmodo. Kata Kunci: media pembelajaran, pembelajaran sejarah, Samarinda A. PENDAHULUAN Sejarah merupakan mata pelajaran yang dianggap penting oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan adanya mata pelajaran sejarah di setiap kurikulum yang berlaku di Indonesia. Meskipun pada kenyataannya, porsi waktu yang diberikan berbeda-beda dalam penyajiannya di setiap kurikulum. Nampaknya pemerintah mulai kembali memberikan perhatian penuh terhadap mata pelajaran sejarah di dalam Kurikulum 2013. Hal ini dapat dilihat dari pemberian porsi waktu yang dapat lebih banyak dibandingkan kurikulum yang berlaku sebelumnya. Kota Samarinda dapat dianggap sebagai jantung dari Propinsi Kalimantan Timur. Tak dapat dipungkiri, Samarinda didaulat sebagai ibukota dikarenakan sebagai pusat dari kegiatan pemerintahan dan pendidikan di propinsi ini. Pendidikan di ibukota dapat dijadikan tolok ukur dalam kemajuan pendidikan di sebuah propinsi. Dengan kata lain, kemajuan pendidikan di Kota Samarinda merupakan sebuah cerminan dari pendidikan di Propinsi Kalimantan Timur. Dengan demikian, sudah semestinya pendidikan di Samarinda menjadi sebuah prototype dari pendidikan di seluruh propinsi Kalimantan Timur. ••• 71 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Sekolah Menengah Atas Negeri di Samarinda memiliki kebijakan dan ciri khas yang berbeda satu dengan yang lainnya. Meskipun kurikulum yang digunakan merujuk kepada peraturan yang berlaku di kementerian terkait, tetapi kenyataannya terdapat perbedaan dalam proses pembelajaran di lapangan. Hal ini dikarenakan berbagai faktor, antara lain latar belakang pendidik dan peserta didik, kondisi lingkungan sekolah dan sarana dan prasarana pendukung proses pembelajaran di sekolah. Dalam proses pembelajaran, tentunya sarana dan prasarana menjadi faktor pendukung proses pembelajaran yang memberikan kontribusi besar dalam keberhasilan tujuan pembelajaran di kelas, salah satunya adalah media pembelajaran. Proses pembelajaran sejarah memang tidak hanya melakukan transfer of knowledge dari pendidik kepada peserta didik saja. Namun, pembelajaran sejarah juga merupakan transfer of value dari pemahaman seorang pendidik terhadap peristiwa sejarah yang diajarkan di kelas. Dalam mata pelajaran sejarah, media pembelajaran dapat dijadikan sebagai perantara untuk menyajikan peristiwa di masa lalu ke hadapan peserta didik. Pendidik tidak hanya menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi secara verbal, tetapi dengan menggunakan sebuah media pembelajaran dapat membantu peserta didik dalam memahami sebuah peristiwa sejarah secara komprehensif. Selain itu, media pembelajaran juga diharapkan dapat mengurangi kebosanan peserta didik dalam mata pelajaran sejarah. Penggunaan media pembelajaran sejarah di hadapan peserta didik diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pemahaman materi yang disajikan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Secara harfiah, pembelajaran sejarah terdiri dari dua kata, yaitu pembelajaran dan sejarah. Menurut Majid (2013: 4), istilah pembelajaran bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan. Adapun sejarah menurut Kochhar (2008: 3-5) pada hakikatnya sejarah adalah sebuah ilmu yang membahas tentang manusia dalam lingkup ruang dan waktu yang merupakan dialog antara peristiwa masa lampau dan perkembangan masa depan dengan menjelaskan masa kini. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah adalah kegiatan pendidik yang menciptakan sebuah situasi yang membuat peserta didik melakukan kegiatan belajar tentang peristiwa di masa lalu. Sasaran dalam pembelajaran adalah sesuatu yang ingin dicapai dengan dilaksanakannya pembelajaran tersebut. Menurut Porda (2009:18), pembelajaran sejarah memiliki berperan mengaktualisasikan dua unsur, yaitu pembelajaran dan pendidikan. Unsur pembelajaran yang diaktualisasikan adalah unsur pembelajaran dan pendidikan intelektual, sedangkan unsur pendidikan yang diaktualisasikan adalah pembelajaran dan pendidikan moral bangsa yang demokratis dan bertanggung jawab kepada masa depan. Sasaran umum dalam pembelajaran sejarah sebagaimana yang dijabarkan oleh Kochhar (2008: 27-38) diantaranya adalah mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri, memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat, dan menanamkan sikap intelektual. Secara etimologis, kata media berasal dari bahasa latin yang merupakan jamak dari medium yang berarti perantara atau pengantar. Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication ••• 72 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Technology) di Amerika, media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association) mendefinisikan media sebagai bentuk-bentuk komunikasi, baik tercetak maupun audiovisual, serta peralatannya yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim kepada penerima yang merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. (Sadiman, dkk, 2009: 6-7). Pembelajaran dapat didefiniskan sebagai suatu proses interaksi komunikasi antara sumber belajar, guru dan siswa, baik secara langsung dengan tatap muka maupun tidak langsung dengan menggunakan media yang telah ditentukan sebelumnya dengan model pembelajaran tertentu. (Rusman, Kurniawan dan Riyana, 2011: 16). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah sebuah perantara yang digunakan dalam proses pembelajaran. Menurut Kochhar (2008: 214), media pembelajaran adalah perlengkapan yang menyajikan satuan-satuan pengetahuan melalui stimulasi pendengaran atau penglihatan atau keduanya untuk membantu pembelajaran. Media tersebut dapat membuat pengetahuan yang disampaikan menjadi nyata, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar yang nyata, hidup dan vital bagi peserta didik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah sebuah alat bantu yang memunculkan proses komunikasi antara siswa, guru dan sumber belajar. Menurut konsep dan kawasan teknologi pendidikan, media termasuk dalam sumber belajar. Sumber belajar meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan sesuai dengan definisi dari kawasan teknologi pendidikan pada tahun 1977 (Gafur, 2012: 104). Dilihat dari bentuknya, media dapat dibagi menjadi tiga, yaitu teks, audio dan visual. Menurut Sadiman, dkk (2009:84), dilihat dari kesiapan pengadaannya media dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu media jadi yang merupakan komoditi yang dijual bebas di pasaran dalam keadaan siap pakai (media by utilization) dan media yang dirancang sesuai dengan kebutuhan (media by design). Media apabila dipandang sebagai sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber belajar yang direncanakan (learning resources by design) dan sumber belajar yang digunakan (Gafur, 2012: 104). Menurut Gerlach & Ely (Arsyad, 2010), tiga ciri utama media yang merupakan petunjuk ketidakmampuan guru dalam melakukannya, sehingga menggunakan media adalah fiksaftif, manipulatif, dan distributif. Pertama, ciri fiksatif menggambarkan kemampuan media dalam merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek. Kedua, ciri manipulatif media adalah kemampuan untuk melakukan transformasi terhadap suatu kejadian atau objek. Ketiga, ciri distributif media adalah kemampuannya untuk melakukan transportasi terhadap kejadian atau objek melalui ruang. Secara umum, Sadiman (2009:17) menjelaskan bahwa media mempunyai berfungsi untuk memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal, mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, dan memberikan perangsangan dan pemgalaman yang sama. Senada dengan hal tersebut Hamalik (2010: 65-66) menyatakan bahwa penggunaan media dalam pembelajaran mampu mengatasi enam aspek yang menghambat proses belajar dan mengajar, yaitu verbalisme, kekacauan dalam penafsiran, perhatian anak didik ••• 73 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) yang bercabang, kurangnya respon, kurang perhatian, dan keadaan lingkungan belajar yang tidak menyenangkan. B. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, lembar observasi dan lembar ceklis. Teknik analisis data yang digunakan adalah Model Analisis Interaktif (Interactive Analysis Models), yaitu pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (display data), dan penarikan kesimpulan (verification). C. HASIL Kondisi Lingkungan Pembelajaran di SMA Negeri Kota Samarinda Pembelajaran akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh berbagai sarana fasilitas penunjang dalam suatu pembelajaran Sekolah Menengah Atas Negeri Kota Samarinda. Sarana yang dimaksud adalah kelengkapan ruang belajar, ruang praktik atau laboratorium yang dimiliki oleh sekolah seperti laboratorium IPA, Laboratorium Bahasa, dan Laboratorium Komputer. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1. Fasilitas/ Sarana dan Prasarana No Nama Sekolah Ruang Kelas Siswa Guru Lab IPTEK Perpustakaan dan Komputer 8 1 7 1 Akses Internet 1 2 SMAN 1 SMAN 2 38 30 1039 1137 38 30 3 SMAN 3 28 991 28 5 1 4 SMAN 4 34 1250 34 3 1 5 SMAN 5 30 1058 30 5 1 6 SMAN 6 21 751 21 5 1 7 SMAN 7 21 725 21 2 1 8 9 SMAN 8 SMAN 9 SMAN 10 SMAN 11 SMAN 12 SMAN 13 SMAN 14 19 19 636 621 19 19 3 3 1 1 Ada Ada Belum ada Ada Belum ada Ada Tidak ada Ada Ada 36 917 36 6 1 Ada 20 693 20 5 1 Ada 6 155 6 2 1 Ada 15 502 15 0 0 Belum ada 13 404 13 0 1 Ada 10 11 12 13 14 ••• 74 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 15 16 17 SMAN 15 SMAN 16 SMAN 17 8 237 8 3 2 Ada 8 501 8 1 1 Ada 13 422 13 0 0 Ada 338 10544 338 58 16 - Tabel. 1 Fasilitas SMA Negeri Kota Samarinda Sumber: Analisis Hasil Penelitian Dalam menunjang pembelajaran yang efektif diperlukan suatu metode dan media yang tapat dalam pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah, karena tidak sesuainya metode dan media pembelajaran menyebabkan suasana pembelajaran khusunya pembelajaran sejarah menjadi kurang menyenangkan, siswa kurang termotivasi untuk belajar dan akhirnya menyebakan hasil belajar siswa menjadi rendah. Oleh karena itu, pemilihan dan penggunaan metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran sejarah dan dukungan sarana dan prasarana mutlak diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana penunjang untuk pemilihan dan penggunaan media pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah di SMA Negeri yang ada di Kota Samarinda, sudah cukup mendukung seperti adanya Laboratorium khusunya laboratorium Komputer, perpustakaan, ruang kelas yang refresentatif serta berbagai peralatan penunjang untuk penggunaan media pembelajaran baik yang sifatnya manual/ offline atau penggunaan media pembelajaran yang berbasis online. Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri Kota Samarinda Proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tentunya terlebih dahulu kita harus mengetahui bahwa suatu pembelajaran, metode dan media yang akan digunakan tergantung dari tujuan dan karakteristik dari kurikulum yang dijalankan oleh Sekolah. Berdasarkan kenyataan tersebut di sebagian besar sekolah menengah atas (SMA) yang ada di Samarinda sudah menerapkan kurikulum 2013 dan beberapa sekolah masih menggunakan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan. Mempelajari Sejarah tidak ada artinya bila tidak disertai akan nilai yang terkandung, fungsi dan manfaatnya. Selama ini pembelajaran sejarah diidentikkan dengan pembelajaran yang membosankan di kelas, baik strategi, metode, media maupun teknik pembelajaran lebih banyak bertumpu pada pendekatan berbasis guru yang monoton, dan meminimalkan partisipasi siswa. Guru diposisikan sebagai satu-satunya sumber informasi, siswa dijadikan sebagai obyek sehingga guru hanya mengajar dengan ceramah dan tanya jawab. Kenyataan yang sulit dibantahkan bahwa dalam proses pembelajaran sejarah guru lebih senang menggunakan pembelajaran yang jarang memanfaatkan media pembelajaran, padahal guru dalam pembelajaran sejarah dalam kurikulum 2013 siswa memerlukan sumber selain yang ada di buku, sumber yang paling mudah tentunya adalah dari internet. ••• 75 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi permasalahan jika di sekolah terdapat banyak siswa yang tidak bisa mengakses internet, apalagi ada sekolah yang tidak mempunyai sarana dan fasilitas internet. Berdasarkan uraian tersebut, maka media pembelajaran terutama media pembelajaran yang berbasis teknologi dan online sangat bergantung fasilitas, sarana dan prasarana yang ada. Dalam menyiapkan media pembelajaran sejarah, guru mengalami kesulitan apabila tidak didukung oleh sarana dan prasarana penunjang. Guru sejarah menganggap bahwa sejarah itu unik dan media yang dibuat tidak mudah untuk ditiru atau dibuatkan miniatur benda peninggalannya. Menurut mereka, apabila dibuatkan miniature benda peninggalan sejarah dan bentuknya tidak sesuai dengan aslinya, maka bisa jadi pemahaman siswa menjadi berbeda. Namun, di sisi lain menyisihkan waktu untuk membawa siswa dibawa ke obyeknya atau ke museum memerlukan biayayang cukup mahal dan waktu luang yang banyak. Berdasarkan keadaan tersebut, guru senantiasa dituntut untuk memaksimalkan media pembelajaran yang lain sebagai solusi dalam permasalahan pembelajaran seperti halnya memanfaatkan media gambar, video dan internet sebagai media pembelajaran sejarah, karena selain lebih mudah penggunaannya dan dapat menunjukkan bentuk asli suatu obyek benda. Dalam pembelajaran sejarah, metode dan media yang digunakan tergantung dari tujuan dan karakteristik dari kurikulum yang dijalankan oleh sekolah. Kebanyakan guru yang mengajar divkelas masih menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sebagai metode utama, meskipun ada sedikitguru yang sudah menggunakan media pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sejarah, guru lebih senang menggunakan pembelajaran dan jarang memanfaatkan media pembelajaran.Padahal, dalam Kurikulum 2013 guru dituntut untuk memandu siswa dalam menggali sumber belajar selain yang ada di buku.Sumber yang paling mudah tentunya adalah dari internet, dan perangkat teknologi lainnya. Media pembelajaran yang berbasis teknologi dan online sangat penting sekali dalam pembelajaran, apalagi dalam pembelajaran sejarah. Berdasarkan keadaan tersebut, guru harus senantiasa memaksimalkan media pembelajaran yang lain sebagai solusi dalam permasalahan pembelajaran seperti halnya memanfaatkan media gambar, video dan internet sebagai media pembelajaran sejarah, sebab lebih mudah penggunaannya dan menunjukkan bentuk asli suatu obyek benda secara nyata. Kebutuhan Media Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri Kota Samarinda Kebutuhan media dalam suatu pembelajaran, khususnya pembelajaran sejarah terdapat beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan. Pertama, situasi dan kondisi pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran sebaiknya memperhatikan dengan situasi dan kondisi yang pembelajaran yang ada. Berdasarkan jenis perilaku dan isi materi, media pembelajaran sejarah sebaiknya disesuaikan dengan kompetensi yang dikehendaki untuk dikuasai oleh peserta didik. Kompetensi merupakan standar kemampuan yang harus dikuasai untuk menunjukkan bahwa hasil mempelajari bidang studi atau mata pelajaran yang berupa penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus dikuasai siswa, dan menyangkut isi dan penampilan. Berdasarkan isi materi yang termuat dalam pembelajaran sejarah, maka sangat dimungkinkan untuk menggunakan media pembelajaran ••• 76 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dalam proses pembelajaran baik yang masih manual dan berbasis offline maupun media pembelajaran yang berbasis online. Pengalaman dan kegiatan belajar merupakan aktivitas belajar yang perlu dilakukan oleh siswa dalam rangka mencapai penguasaan kemampuan dasar dan materi pembelajaran. Berbagai alternative pengalaman dapat dipilih sesuai dengan teknis kompetensi serta materi yang dipelajari. Pengalaman belajar yang telah diidentifikasikan dalam silabus dapat dipakai sebagai acuan dalam mengembangkan strategi, pendekatan, atau metode pembelajaran bahkan media apa saja yang sesuai dengan pengalaman belajar yang dimaksud. Untuk itu pengalaman belajar di dalam kelas dilaksanakan dengan jalan mengadakan interaksi antara siswa dengan sumber belajar dan media yang sesuai dengan uraian materi pembelajaran yang telah dirumuskan. Pengalaman di luar kelas dilakukan dengan jalan mengamati, dan melakukan observasi. Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa dalam menentukan kebutuhan media pembelajaran paling banyak ditentukan berdasarkan uraian materi pembelajaran dan tidak menutup kemungkinan didasarkan juga atas pengalaman belajar yang biasanya memerlukan sumber belajar ataupun alat bantu pembelajaran. Hal ini dilakukan berdasarkan atas prinsip relevansi dan konsistensi antara kompetensi dasar, materi pembelajaran, karakteristik siswa, dan media itu sendiri. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan media yang dirancang untuk mencapai kompetensi dasar. Oleh sebab itu, dalam memilih media pembelajaran perlu memperhatikan kompetensi dasar baik yang berkaitan dengan standar penampilan yang berdampak pada sarana pencapaian kompetensi dasar. Penggunaan media dalam suatu pembelajaran tidaklah mudah, karena harus memperhatikan banyak faktor seperti seberapa besar kegiatan pembelajaran memerlukan benda nyata, media apa yang paling praktis yang dapat digunakan sesuai dengan rencana pembelajaran, dan prestasi apa saja yang harus dicapai dalam menentukan media apa yang tepat digunakan dalam pembelajaran, dan yang tidak kalah pentingnya adalah sarana dan prasarana sekolah yang ingin menggunakan media pembelajran tertentu. Pelaksanaan pembelajaran sejarah yang bersifat unik dari mata pelajaran lainnya membuat pemanfaatan media pembelajaran sangat diperlukan. Materi yang seringkali membahas hal-hal yang abstrak di masa lalu, membuat media pembelajaran sangat diperlukan. Penggunaan media dalam pembelajaran sejarah harus sesuai dengan karakteristik dan kurikulum yang diterapkan di sekolah. Oleh karena itu, kurikulum dalam isi dan materi yang ada menentukan media yang digunakan dalam pembelajaran. Selain kurikulum, jenis perilaku siswa turut menentukan media pembelajaran yang cocok diterapkan, karena jangan sampai media yang digunakan tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan siswa dalam proses pembelajaran sejarah. D. SIMPULAN Media pembelajaran pada dasarnya telah dimanfaatkan oleh setiap guru, khususnya pada pembelajaran sejarah di seluruh SMA Negeri yang ada di Kota Samarinda. Namun, pemanfaatan media tersebut masih terbatas dikarenakan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran di kelas yang terbatas. Meskipun sebagian besar sudah memiliki fasilitas laboratorium, tetapi penggunaan fasilitas tersebut masih terbatas pada mata pelajaran dan jam tertentu saja, sehingga ••• 77 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pemanfaatan failitas tersebut tidak dapat sepenuhnya digunakan untuk pembelajaran sejarah. Sebagian besar sekolah sudah memiliki fasilitas internet, sehingga pembelajaran sejarah di kelas dapat memanfaatkan jaringan internet dalam proses pembelajaran. Namun, beberapa sekolah, terutama yang berada di daerah pinggiran kota belum memiliki koneksi internet, sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan pembelajaran berbasis online. Beberapa situs yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah secara online adalah Edmodo dan Google Suite. Adapun perangkat lunak yang dapat digunakan dalam membuat media pembelajaran sejarah secara offline adalah power point, prezi dan mind mapping. ••• 78 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) DAFTAR PUSTAKA [1] Arsyad, A. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. [2] Gafur, A. 2012. Desain Pembelajaran: Konsep, Model dan Aplikasinya dalam Perencanaan Pelaksanaan Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Ombak. [3] Hamalik, O. 2010. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo [4] Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Terj. H. Purwanta dan Yovita Hardiwati. Jakarta: Grasindo. [5] Majid, A. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. [6] Porda, H., N. P. 2009. Pembelajaran Sejarah. Banjarmasin: C.V. Batur Raya. [7] Rusman, Kurniawan, D. dan Riyana, C. 2012. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi: Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta: Rajawali Pers [8] Sadiman, A., Rahardjo, R., Haryono, A. dan Rahardjito. 2009. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Pers. ••• 79 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 80 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS SERAT SABDAJATI SEBAGAI REVITALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL Fida Indra Fauziyyah1, Warto2, Sariyatun3 Department of History Education, Universitas Sebelas Maret Email: fidafauziyyah80@gmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah model pembelajaran sejarah sebagai revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal. Indonesia adalah negara yang majemuk, yang memiliki 1.340 suku bangsa dan 1.211 bahasa, dan Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia dengan presentase 41%. Salah satu hasil kebudayaan Jawa adalah kesusasteraan. Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Salah satu bentuknya adalah Serat Sabdajati. Serat Sabdajati merupakan sebuah serat yang ditulis oleh Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ronggowarsito. Serat Sabdajati mengandung nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan sebagai petuah hidup. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Serat Sabdajati ini bisa dikategorikan dalam dua hal, yaitu; Pertama, berhubungan dengan kepercayaan terhadap Tuhan, dan Kedua, berhubungan dengan etika. Kearifan lokal inilah yang perlu untuk diaktivasi kembali untuk nantinya bisa diajarkan kepada generasi milenial, khususnya dalam proses pembelajaran sejarah. Untuk itulah perlu dikembangkan sebuah model pembelajaran yang berbasis pada kearifan lokal, agar nilai-nilai luhur tersebut bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menggunakan metode study pustaka, yaitu dengan mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan Serat Sabdajati baik buku, majalah, manuskrip atau dokumen lain yang berhubungan dengan obyek penelitian, dan kemudian dianalisis melalui pendekatan deskriptif. Kata Kunci: Serat Sabdajati, kearifan lokal, pembelajaran sejarah. A. Pendahuluan Indonesia menghadapi berbagai masalah kompleks yang terkait dengan pendidikan. Salah satunya adalah pendidikan karakter. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya remaja usia sekolah yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan karakter yang baik, misalnya makin meningkatnya tawuran antar pelajar, pemerasan atau kekerasan (bullying), kecenderungan dominasi senior terhadap junior, dan penggunaan narkoba (Samani, 2012). Kultur di satuan pendidikan juga belum mencerminkan napas lingkungan pendidikan, seperti senioritas, pendisiplinan dengan cara kekerasan, bahkan orientasi sekolah bermuatan kekerasan masih mudah ditemukan di sejumlah sekolah. (www.kpai.go.id, akses 4 April 2017) Pembelajaran yang tidak menanamkan nilai-nilai karakter menjadi salah satu penyebab semakin buruknya tingkah-laku yang dimiliki para pelajar tersebut. Untuk itulah, perlu adanya pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Pengembangan karakter suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis dalam membangun karakter bangsa. (Wagiran, 2012) ••• 81 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pengembangan karakter yang berbasis pada kearifan lokal perlu untuk dimasukkan dalam proses pembelajaran, salah satunya pada mata pelajaran sejarah. Sejarah memiliki peran yang sangat besar,yaitu menyandang sebagai pembelajaran yang berbasis pada nilai dan karakter. Materi dan proses pendidikan sejarah dipercaya mampu mengembangkan berbagai aspek potensi kemanusiaan peserta didik menjadi kualitas yang tercermin dalam kemampuan-kemampuan mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi-budaya-agama, dan pemanfaatan teknologi yang bernilai positif bagi kehidupan. (Hasan, Handbook, tanpa tahun) Pada realitasnya, pembelajaran sejarah yang ada di sekolah masih belum sesuai dengan harapan. Pembelajaran sejarah di sekolah terlalu menekankan pada aspek kognitif (pengetahuan), ketimbang aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Guru sejarah dalam proses pembelajaran di kelas lebih dominan “mengajar” (transfer of knowledge) ketimbang “mendidik” (transfer of values). Dengan demikian peserta didik kurang berminat belajar sejarah, sehingga tidak mampu mengambil nilai-nilai kearifan dari masa lampau dalam meningkatkan karakter peserta didik itu sendiri. (Wirawan, 2014) Salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia yang banyak mengandung nilai-nilai karakter adalah Serat. Serat merupakan salah satu bentuk kesusasteraan Jawa Kuno yang sarat akan nilai-nilai luhur. Salah satu karya sastra yang ditulis dalam bentuk serat adalah Serat Sabdajati yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsito. Dalam serat tersebut, banyak mengandung pesan dan makna luhur untuk kita cermati yang nantinya bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Model pembelajaran sejarah yang berpijak pada pendidikan karakter sangatlah diperlukan. Di sinilah, peran Pascasarjana Pendidikan Sejarah untuk bisa mengakomodasi kebutuhan peserta didik akan pendidikan karakter tersebut, dengan menciptakan model pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan nilainilai kearifan lokal. Semakin banyak pengembangan model pembelajaran sejarah yang terintegrasi dengan budaya lokal, maka semakin baik pula transfer nilai kepada peserta didik, sehingga dapat menciptakan karakter bangsa yang lebih kuat. B. Metodolgi Penelitian ini menggunakan metode study pustaka, yaitu dengan mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan model pembelajaran sejarah dan kearifan lokal, baik dari buku, majalah, manuskrip-manuskrip atau dokumen lain yang berhubungan dengan obyek penelitian, dan kemudian dianalisis melalui pendekatan deskriptif. Kemudian dalam penerapan model yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal di sekolah maka bisa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Grub Investigasi dengan pendekatan VCT (Value Clarification Technique). C. Pembahasan Sejarah sering disebut sebagai “ratu” atau “ibu” ilmu-ilmu sosial. Sejarah juga merupakan dasar kajian filsafat, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan bahkan seni dan agama/ religi (Kochhar, 2008). Menurut Murtadha Mutahhari (dalam Siska, 2015), sejarah dapat didefinisikan dalam tiga cara, yaitu: 1) Pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan kejadian-kejadian masa kini. 2) Pengetahuan ••• 82 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau, yang diperoleh melalui penyelidikan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. 3) Didasarkan pada pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat bergerak dari satu tahap ke tahap yang lain. Menurut Hamid Hassan selaku Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013 menyatakan bahwa pendidikan sejarah tidak hanya meninggalkan pemahaman cerita dan hafalan fakta, akan tetapi juga diperluas menjadi pengetahuan dan pemahaman mengenai cara berfikir sejarah, keterampilan sejarah, dan eksplorasi nilai terpilih sebagai pembelajaran di masa depan. Pada penerapannya pembelajaran sejarah diharapkan dapat membentuk jati diri bangsa melalui rekonstruksi sejarah nasional dengan menghubungkannya dengan sejarah lokal, sehingga generasi muda bangsa Indonesia mampu memahami sejarah daerahnya. Oleh karena itu, pendidikan sejarah memiliki fungsi yang strategis dalam mengembangkan jiwa dan karakter bangsa dan membangun kehidupan masa depan yang lebih baik. Sehingga untuk meningkatkan ranah afektif siswa, salah satu alternatifnya dengan mengembangkan pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal. Siswa tidak hanya menghafal saja, namun bisa mengambil nilai-nilai yang ada dalam materi pembelajaran sejarah dan nantinya bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga diharapkan akan dapat mempengaruhi karakter siswa menjadi lebih baik. Model dan materi termasuk materi sejarah merupakan dua hal yang saling berkaitan untuk menciptakan iklim pembelajaran yang hidup. Terlebih lagi dalam pelajaran sejarah yang materinya adalah masa lalu. Maka sangat diperlukan model yang dapat “menghidupkan” materi supaya peserta didik antusias dalam belajar. Ungkapan “banyak jalan menuju Roma” menarik direnungkan. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, banyak jalan yang ditembuh. Dengan kata lain, guru punya banyak cara yang dapat dipilih dan dilakukan untuk mencapai tujuan (Hamid, 2014). Untuk mencapai tujuan pembelajaran sejarah tersebut, maka diperlukanlah model pembelajaran yang menarik, kreatif dan tentu saja berkarakter. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengekplorasi budaya lokal yang nantinya bisa dijadikan sebagai model pembelajaran. Budaya lokal yang bisa dijadikan sebagai model pembelajaran sangatlah banyak, mengingat Indonesia adalah negara majemuk dengan beragam budaya dan adat istiadat. Salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia yang banyak mengandung nilai-nilai karakter adalah Serat. Serat merupakan salah satu bentuk dari kesusastraan Jawa. Serat adalah karya-karya sastra yang berisi tentang ajaran-ajaran dari leluhur untuk sebuah kebaikan dan biasanya berbentuk tembang. Salah satu karya sastra yang ditulis dalam bentuk serat adalah Serat Sabdajati yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsito. Raden Ngabehi Ranggawarsito adalah pujangga terkenal dari Kraton Surakarta, beliau dilahirkan pada 18 Maret 1802. SeratSabdajati ditulis dalam bentuk megatruh yang terdiri dari 19 gatra (bait). Di dalam SeratSabdajati, banyak mengandung nilai-nilai yang bisa diambil sebagai proses pembelajaran. Nilai-nilai tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu ajaran tentang Ketuhanan dan Etika. Ajaran tentang Ketuhanan diantaranya adalah anjuran untuk percaya kepada Tuhan, ajaran tentang pertolongan Tuhan, ajaran tentang larangan untuk menyekutukan Tuhan. Sedangkan ajaran tentang Etika diantaranya adalah ajaran tentang rendah hati, ••• 83 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) mawas diri dan introspeksi serta ajaran tentang kesabaran. (Nurwibowo, Skripsi, 2008). Serat Sabdajati inilah yang nantinya diekplorasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk kemudian nilai-nilai tersebut dimasukkan dalam pembelajaran dengan suatu pendekatan nilai. Salah satu pendekatan nilai yang bisa digunakan adalah VCT (Value Clarification Technique). Menurut Adisusilo (2013: 141) VCT adalah pendekatan pendidikan nilai dimana peserta didik dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, memutuskan, mengambil sikap sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya. Tabel 1. Teknik Pendekatan VCT 1. Memilih 1) Memilih dengan bebas 2) Memilih dari berbagai alternatif 3) Memilih dari berbagai alternatif setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya 2. Menghargai/ menjunjung 4) Menghargai dan merasa tinggi bangga dengan pilihannya 5) Bersedia mengakui/ menegaskan pilihannya itu di depan umum 3. Bertindak 6) Berbuat/ berperilaku sesuatu sesuai dengan pilihannya 7) Berulang-ulang bertindak sesuai dengan pilihannya itu hingga akhirnya merupakan pola hidupnya Sumber: Adisusilo (2013:147) Setelah menentukan pendekatan nilai yang digunakan, kemudian langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah dengan menentukan metode pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang bisa diterapkan adalah metode pembelajaran kooperatif. Terdapat beberapa metode dalam pembelajaran kooperatif, misalnya metode STAD (Student Teams Achievement division), Jigsaw (model tim ahli), GI (Group Investigation) dll. Salah satu jenis metode kooperatif yang bisa dilakukan adalah GI (Group Investigation). Menurut Slavin (2005: 218-219), dalam GI (Group Investigation), para murid bekerja melalui enam tahap, yaitu: 1) Mengidentifikasikan topik dan mengatur murid ke dalam kelompok, 2) Merencanakan tugas yang akan dipelajari, yaitu para siswa merencanakan bersama mengenai apa yang yang dipelajari, bagaimana mempelajarinya, siapa melakukan apa, dan untuk tujuan apa menginvestigasi topik ini, 3) Melaksanakan investigasi, yaitu dengan mengumpulkan informasi, menganalisis data dan membuat kesimpulan, 4) Menyiapkan laporan akhir, yaitu anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan, dan bagaimana mereka akan membuat presentasi mereka, 5) Mempresentasikan laporan akhir, 6) Evaluasi, yaitu guru dan murid berkolaborasi dalam mengevaluasi pembelajaran siswa. ••• 84 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Simpulan Peran pascasarjana pendidikan sejarah dalam kontribusinya terhadap iptek yang berpijak pada karakter bangsa, bisa dilakukan dengan menciptakan model pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal. Budaya lokal yang bisa digunakan sebagai model pembelajaran sangatlah beragam, mengingat beragam pula adat istiadat dan budaya yang dimiliki Indonesia. Salah satu contoh kearifan lokal yang bisa digunakan dalam model pembelajaran adalah Serat Sabdajati. Nilai-nilai dari Serat Sabdajati tersebut dimasukkan dalam pembelajaran melalui pendekatan nilai, salah satunya adalah VCT. Sedangkan metode pembelajaran yang bisa digunakan adalah dengan metode pembelajaran kooperatif tipe Grub Investigasi. Daftar Rujukan Adisusilo, Sutarjo. 2013. Pembelajaran Nilai Karakter konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Pers. Hamid, Abdul Rahman. 2014. Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak Hasan, Hamid. Tanpa tahun. “Problematika Pendidikan Sejarah”. Handbook. FPIPS-Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Kochhar, S.K. 2008.Pembelajaran Sejarah, Penerjemah Purwanta dan Yovita Hardiwati. Jakarta: PT Grasindo. Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2017. www.kpai.go.id. (diakses tanggal 4 April 2017). Nurwibowo,Dasid. 2008. “Pesan-Pesan Dakwah Serat Sabdajati (Kajian Teks Terhadap Buku Lima Karya Pujangga Ranggawarsito Karya Kamajaya)”. Skripsi. IAIN Walisongo. Semarang. Samani, M. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Siska, Yulia. 2015. Manusia dan Sejarah (Sebuah Tinjauan Filosofis). Yogyakarta: Garudhawaca. Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Wagiran. 2012. “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis Budaya).” Jurnal Pendidikan Karakter, No. 3, pp. 330. Wirawan, I. k. 2014. “Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus pada Peserta Didik di SMA N 1 Marga Tabanan).” eJournal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, Vol. 5, pp. 2. ••• 85 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 86 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) NILAI HISTORIS CANDI CETHO SEBAGAI SUMBER DAN MATERI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BERBASIS BUDAYA LOKAL Musa Pelu Dosen Peneliti Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui nilai-nilai historis candi Cetho yang mengandung isi atau muatan budi pekerti dalam budaya dan tradisi lokal yang dapat dipergunakan sebagai sumber dan materi pendidikan budi pekerti di sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan penelitian selama satu tahun. Penelitian ini dilakukan secara eksploratif, yang mejadi tekanan adalah: 1). Nilai budi pekerti dalam latar belakang historis Candi Cetho, 2) Nilai budi pekerti dalam kebudayaan fisikCandi Cetho, 3) nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho Penelitian ini merupakan studi eksplorasi yang bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan naturalistik dan eksplorasi. Teknik pengumpulkan data dengan pengamatan langsung (observasi), wawancara mendalam, kajian arsip, analisis historis, serta FGD. Analisis data digunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu menganalisis isi atau muatan budi pekerti dari nilai historis candi Cetho yang dapat dijadikan sumber dan materi pendidikan budi pekerti berbasis budaya lokal di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) nilai budi pekerti dalam latar belakang historis Candi Cetho terdiri dari: mengembangkan potensi diri, mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajarannya, mentaati ajaran agama. (2) Nilai budi pekerti dalam kebudayaan fisik Candi Cetho terdiri dari:meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaranya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, menumbuhkan kejujuran, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa tanggung jawab, mampu mengendalikan diri, memiliki sikap saling menghormati. (3) Nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho terdiri dari: meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaran-Nya, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki kebersamaan dan gotong royong, mentaati ajaran agama, memiliki rasa malu. Kata kunci: Candi Cetho, Pendidikan Budi Pekerti, Budaya Lokal ••• 87 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) A. PENDAHULUAN Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilainilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/ psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama) (Zuriah Nurul, 2007). Pendidikan Budi Pekerti (PBP) diberikan dalam kurikulum sekolah mengingat semakin meningkatnya perilaku menyimpang di kalangan remaja yang kebanyakan anak-anak usia sekolah. Penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa PBP di sekolah belum optimal. PBP dalam KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dilaksanakan dengan mengintegrasikan PBP dalam seluruh mata pelajaran khususnya mata pelajaran Sejarah di SMA dan SMK serta mata pelajaran IPS Terpadu di SD dan SMP. Sumber materi pelajaran dan pengayaan (enrichment) materi PBP dalam mata pelajaran Sejarah salah satunya berasal dari budaya lokal. Basis budaya lokal dalam PBP ini memiliki beberapa tujuan yang cukup strategis, antara lain: (1) dari perspektif pendidikan, terutama pendidikan nilai, dengan memanfaatkan budaya lokal sebagai sumber pembelajaran, maka peserta didik semakin disekatkan dengan realitas kehidupan sebenarnya. Dengan demikian, peserta didik semakin didekatkan dengan realitas kehidupan sebenarnya. Dampaknya, peserta didik memiliki bekal keterampilan sosial, untuk hidup dalam masyarakat yang sesungguhnya sesuai dengan tujuan pendidikan agar dapat memberikan keterampilan hidup (life skill), (2) dari perspektif strategi kebudayaan, semakin meningkatnya pengaruh globalisasi telah mereduksi nilai-nilai budaya lokal maupun nasional. Budaya lokal memiliki potensi dan peran sebagai budaya tandingan (counter culture) bagi dominasi budaya global yang dimitoskan sebagai sesuatu tidak bisa dielekkan, (3) dari perspektif desentralisasi kebudayaan, ketika budaya nasional sudah semakin tidak berdaya, budaya lokal memiliki potensi dikembangkan sebagai bagian dari desentralisasi kebudayaan dalam otonomi daerah (Joko Sutarso dan Bambang Murtiyoso,2008:119). Candi Cetho merupakan bangunan bersejarah peninggalan Kerajaaan Majapahit pada masa Raja Brawijaya V (wawancara dengan Bp Cipto, 17 Agustus 2013). Candi Cetho sebagai hasil budaya manusia memiliki banyak sekali maknamakna normatis dan religius yang terkandung dalam struktur fisiknya. Termasuk tradisi dan adat istiadat yang berlaku pada masyarakat Dusun Cetho sebagai implementasi dan pengaruh dari makna-makna normatis dan religius dari candi Cetho tersebut. Makna-makna normatis dan religius serta tradisi masyarakat Cetho tersebut merupakan potensi nilai yang dapat dijadikan sumber dan meteri pendidikan budi pekerti. Berdasarkan pemaparan latar belakang maka dilakukan penelitia terhadap nilai budi pekerti dalam latar belakang historis Candi Cetho, nilai budi pekerti dalam kebudayaan fisik Candi Cetho, nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nilai budi pekerti dalam latar belakang historis Candi Cetho, nilai budi pekerti dalam kebudayaan ••• 88 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) fisik Candi Cetho, nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho B. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan kawasan Candi Cetho di Dukuh Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah. Waktu penelitian secara efektif sekitar 8 bulan, sejak disetujui dan disahkan proposal penelitian sebagai dasar dalam pelaksanaan penelitian. Jenis penelitian ini adalah studi eksplorasi yang bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan naturalistik dan eksplorasi. Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Dusun Cetho dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar, dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar. Objek penelitian ini adalah nilai historis Candi Cetho yang mengandung muatan budi pekerti. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan (1) wawancara mendalam, (2) pengamatan langsung, dan (3) analisis isi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive dan snowball. Validitas data dilakukan dengan teknik trianggulasi, recheck dan peerdebriefing. Analisis penelitian dilakukan dengan teknik interaktif dan motode analisis isi (content analysis). C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Nilai Budi Pekerti dalam Latar Belakang Historis Candi Cetho Pembangunan Candi Cetho sebagai salah satu hasil budaya manusia mempunyai faktor- faktor yang melatarbelakanginya, yaitu: a. Aspek Politik Candi Cetho dibangun pada tahun 1475 Masehi (Stutterheim terjemahan Marto Subroto, 1930) pada massa pemerintahan Bhre Kertabhumi atau Brawijaya V Kerajaan Majapahit dengan ditemukannya lambang Kerajaan Majapahit (bintang bersegi). Pembangunan Candi Cetho bertujuan untuk membuat rakyat jelata tunduk dan patuh pada perintah raja dengan memasukkan nilai-nilai mistis ke dalam pola kehidupan rakyat Majapahit. b. Aspek Sosial Pada saat kekuasaan kerajaan Majapahit berada di tangan Bhre Kertabhumi atau sekitar tahun 1475 Masehi, agama Islam telah tersebar di wilayah pesisir nusantara (Slamet Mulyono, 1979: 199). Kedatangan agama Islam disambut baik oleh rakyat Majapahit. Perkembangan agama Islam dalam Kerajaan Majapahit membawa pengaruh bagi kestabilan dan keutuhan wilayah Majapahit yang berakibat lemahnya keyakinan rakyat Majapahit terhadap Kultus Dewa Raja ini berarti lemah pula kekuasaan politik Majapahit. Melihat fenomena tersebut, Bhre Kertabhumi berusaha untuk menghambat meluasnya ajaran agama Islam. Salah satu usaha yang dilakukannya untuk tetap menjaga masyarakat yang berpola Hinduisme adalah dengan melalui cara seni budaya, dengan membuat dan melestarikan tempat-tempat peribadatan yang berlatar belakang unsur-unsur Hinduisme, seperti Candi Cetho. c. Aspek Agama Susunan fisik Candi Cetho menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dan pada teras yang ketiga belas sebagai simbol akhir dari ••• 89 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) perjalanan manusia (wawancara dengan Bp. Cipto, 17 Agustus 2013). Digambarkan untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus melewati berbagai macam rintangan dan cobaan dalam kehidupannya. Orang harus benar-benar bersih dan suci untuk mencapai moksa atau kesejahteraan umat manusia dalam beragama Hindu. Latar belakang historis Candi Cetho memiliki nilai-nilai edukatif. Nilai merupakan standar atau sifat utama yang sudah mendarah daging dan dianggap penting atau diinginkan menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang yang menjadi sumber kekuatan seseorang untuk berkehendak dan bersifat mendalam, serta sering kali sulit untuk dirubah dan dijadikan sebagai patokan sekaligus sebagai tujuan hidup. Nilai yang terdapat dalam latar belakang historis Candi Cetho terdiri dari: mengembangkan potensi diri, yang ditunjukkan Brawijaya V dalam membuat karya seni budaya religius untuk melegitimasi kekuasaannya dihadapan rakyat Majapahit; mengembangkan etos kerja dan belajar yang ditunjukkan rakyat Majapahit selalu mematuhi dan melaksanakan semua perintah dan larangan raja; keterbukaan, yang ditunjukkan dalam sikap rakyat Majapahit dalam menerima kedatangan agama Islam; penggendalian diri yang ditunjukkan atas masuknya Islam dalam kehidupan Kerajaan Majapahit sejak tahun 1448 ketika majapahit diperintah Kertawijaya melalui cara-cara sembunyi; toleransi, yang ditunjukkan dalam terbentuknya masyarakat muslim; keyakinan terhadap Tuhan, yang ditunjukkan dalam sikap keyakinan terhadap Allah; mengembangkan potensi diri, yang ditunjukkan dalam sikap dalam mencapai tujuan manusia harus berusaha; bertaqwa kepada Tuhan, yang ditunjukkan dalam sikap umat Hindu dalam menjalankan ajaran agama untuk mencapai moksa; keterbukaan, yang ditunjukkan dalam sikap bangsa Indonesia dalam menerima budaya Hindu yang terlihat dalam struktur bangunan candi. Nilai-nilai yang terdapat dalam latar belakang historis Candi Cetho berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia sehingga nilai-nilai ini mengalami transformasi atau perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya (Rustopo, 2007). Nilai yang terdapat dalam latar belakang histories Candi Cetho yang terdiri dari mengembangkan potensi diri, mengembangkan etos kerja dan belajar, rasa keterbukaan, mengendalikan diri, toleransi, yakin terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki kesesuaian dengan 18 nilai-nilai budi pekerti yang dikemukakan Depdikbud yang terdiri dari meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaran-Nya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri, mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berpikir positif, mengembangkan potensi diri, menumbuhkan cinta dan kasih sayang, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetikawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa malu, menumbuhkan kejujuran, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu pengembangan nilai budi pekerti. Transformasi atau perubahan nilai dalam latar belakang historis Candi Cetho sebagai pengembangan nilai budi pekerti dapat di identifikasi nilai budi ••• 90 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pekerti yang terdiri dari: mengembangkan potensi diri, mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaranya, mentaati ajaran agama. 2. Nilai Budi Pekerti dalam Kebudayaan Fisik Candi Cetho Kebudayaan fisik pada Candi Cetho terdiri dari susunan bangunan dan relief. Candi Cetho mempunyai bentuk dan susunan bangunan yang menyerupai bangunan Candi Sukuh, yaitu dibangun dalam bentuk teras-teras bersusun, yang semakin ke belakang semakin ke atas. Jumlah teras pada Candi Cetho ada 13 buah. Hal ini sesuai dengan mistik orang Jawa yang menganggap bahwa bilangan ganjil adalah bilangan yang disakralkan dalam kehidupan religius (wawancara dengan Bp. Cipto, 17 Agustus 2013). Teras-teras ini disusun berderet dari arah Barat ke Timur dengan pintu masuk di sebelah Barat, makin ke belakang makin tinggi terasnya dan teras tertinggi (paling belakang) merupakan teras yang terpenting dan dianggap paling suci. Antara teras yang satu dengan teras yang lain dihubungkan oleh gapura. Masingmasing halaman teras dipisahkan menjadi dua (kiri dan kanan) oleh jalan setapak dari teras pertama menuju teras terakhir. Jalan masuk antar teras dilapisi dengan susunan batuan terutama pada anak tangga dan ambang pintu masuk. Sedangkan jalan yang membelah setiap teras hanya berupa jalan tanah kecuali di teras-teras atas yang seluruh permukaan halaman dilapisi susunan batuan (Observasi 24 Agustus 2013). Pada teras VII merupakan teras yang terdapat banyak peninggalan baik berupa gapura, arca maupun bentukan tatanan batu dan prasasti. Teras ini mempunyai pintu masuk berupa gapura bentar dengan dinding di kirikanannya. Pada sisi kanan gapura terdapat tulisan Jawa kuno. Masing-masing gapura dihiasi meru yang berjumlah tiga. Sebelum memasuki gapura di sisi kanan dan kiri anak tangga paling bawah terdapat patung dwarapala. Terdapat 8 buah arca di teras ini yang terletak di belakang gapura VII, di depan gapura teras VIII dan di belakang fitur. Terdapat juga alas kaki tangga berbentuk kurakura di bawah gapura masuk teras VIII. Di tengah halaman, berurutan dari depan ke belakang, terdapat fitur yang terbuat dari batu-batu yang disusun mendatar (rebah) yang membentuk pola tertentu. Pada Teras XIII merupakan teras yang terakhir dan merupakan teras paling suci. Pada teras ini terdapat bangunan induk yang berbentuk seperti tugu atau warga sekitar menyebut stupa (wawancara dengan Bp. Cipto, tanggal 17 Agustus 2013). Relief yang terdapat dalam Candi Cetho yaitu Relief Sudamala dan Garudeya. Relief Sudamala menceritakan tentang Sadewa yang telah membebasan Durga Ra Nini yang dikutuk Hyang Guru, sedangkan relief Garudeya menceritakan tentang Garudeya yang membebaskan Dewi Winata atas perbudakan Dewi Kadru (wawancara dengan Bp. Cipto, tanggal 17 Agustus 2013). Kebudayaan fisik yang terdapat pada Candi Cetho memiliki nilai-nilai edukatif. Nilai merupakan standar atau sifat utama yang sudah mendarah daging dan dianggap penting atau diinginkan menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang yang menjadi sumber kekuatan seseorang untuk ••• 91 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) berkehendak dan bersifat mendalam, serta sering kali sulit untuk dirubah dan dijadikan sebagai patokan sekaligus sebagai tujuan hidup. Nilai yang terdapat dalam struktur bangunan Candi Cetho yaitu: keyakinan terhadap Tuhan, yang ditunjukkan dalam bilangan ganjil yang terdapat dalam jumlah teras Candi Cetho, yaitu 13 buah; religius, yang ditunjukkan dalam pemujaan Kyai Krincing Wesi dan pemujaan lingga; toleransi, yang ditunjukkan dalam sikap saling menghormati terhadap seseorang yang bersemedi di teras X dan XI Candi Cetho. Nilai yang terdapat dalam relief Sudamala di Candi Cetho yaitu: religius, yang ditunjukkan sikap Sadewa yang menyerahkan keadaan pada Hyang Widi dan membebaskan kutukan Durga Ra Nini dan Begawan Tambapetra; jujur, yang ditunjukkan dalam sikap Sadewa yang tidak sanggup untuk membebaskan kutukan Durga Ra Nini; kebersamaan dan gotong royong, yang ditunjukkan dalam sikap Pandawa dalam melawan Kalantaka dan Kalanjaya; toleransi, yang ditunjukkan dalam sikap Nakula dan Sadewa dalam menghargai pendapat kakak-kakaknya. Nilai yang terdapat dalam relief Garudeya di Candi Cetho yaitu: tanggung jawab, yang ditunjukkan dalam sikap Garudeya dalam mencari Tirta Amerta; sabar, yangditunjukkan dalam sikap Garudeya yang belum memakan Wibawasu dan Supratika; saling menghormati, yang ditunjukkan dalam sikap Garudeya terhadap Dewa Wisnu; kebersamaan dan gotong royong, yang ditunjukkan dalam sikap kerja sama antara para dewa dan raksasa dalam menemukan Tirta Amerta. Nilai-nilai yang terdapat kebudayaan fisik Candi Cetho berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia sehingga nilai-nilai ini mengalami transformasi atau perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) dan atau struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya (Rustopo, 2007). Nilai yang terdapat dalam kebudayaan fisik Candi Cetho terdiri dari keyakinan terhadap Tuhan, religius, toleransi, jujur, kebersamaan dan gotong royong, tanggung jawab, sabar, saling menghormati, memiliki kesesuaian dengan 18 nilai-nilai budi pekerti yang dikemukakan Depdikbud yang terdiri dari meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaran-Nya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri, mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berpikir positif, mengembangkan potensi diri, menumbuhkan cinta dan kasih sayang, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetikawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa malu, menumbuhkan kejujuran,sehingga dapat digunakan sebagai salah satu pengembangan nilai budi pekerti. Transformasi atau perubahan nilai dalam kebudayaan fisik Candi Cetho sebagai pengembangan nilai budi pekerti dapat di identifikasi nilai budi pekerti yang terdiri dari: meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaranya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, menumbuhkan kejujuran, memiliki kebersamaan dan gotong royong, ••• 92 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) memiliki rasa tanggung jawab, mampu mengendalikan diri, memiliki sikap saling menghormati. 3. Nilai Budi Pekerti dalam Tradisi dan Budaya Lokal Masyarakat Dusun Cetho sebagai Pengaruh Keberadaan Candi Cetho Dalam kehidupan masyarakat sekitar Candi Cetho, terdapat banyak tradisi dan budaya lokal yang dilakukan warga Dukuh Cetho akibat pengaruh keberadaan Candi Cetho, diantaranya yaitu: a. Upacara Galungan Upacara Galungan merupakan hari raya umat Hindu untuk memperingati kemenangan Dharma melawan a-dharma. Hari raya Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan. Dharma mengandung pengertian terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan yang baik. Masyarakat Dusun Cetho melaksanakan upacara Galungan pada teras ke sembilan Candi Cetho. b. Upacara Dawuhan Upacara Dawuhan biasa dilaksanakan masyarakat Dusun Cetho, pelaksanaanya diadakan pagi hari setiap hari Sabtu Kliwon bulan Sura setahun sekali. Upacara ini merupakan upacara persembahan sesaji kepada sumber air agar ia tidak marah dan tetap memberi kemakmuran pada masyarakat Dusun Cetho(wawancara dengan Bp. Cipto, tanggal 17 Agustus 2013). Urut-urutan upacara Dawuhan masyarakat Cetho sebagai berikut: 1) Seluruh kaum laki-laki dewasa berkumpul di sendang dan masingmasing membawa sesaji yang sudah menjadi ketentuan 2) Kepala agama atau Sesepuh Dusun Cetho membakar dupa sambil membaca mantra-mantra untuk memulai upacara 3) Peserta upacara Dawuhan meditasi sambi berdoa, seperti membaca mantra berlangsung kurang lebih tiga puluh menit 4) Kepala agama atau Kepala Dusun yang memimpin upacara menyiramkan air kembang setaman ke dalam sendang 5) Sesaji yang dibawa peserta dimakan bersama-sama di sekitar sendang dan ada yang dibawa pulang. c. Upacara Panca Wali Krama Upacara tersebut dilaksanakan oleh masyarakat hindu di sekitar candi. Upacara Panca Walikrama Candi Ceto, merupakan upaya mengharmoniskan alam semesta, buwana agung, dengan diri manusia, buwana alit, sekaligus untuk memohon keselamatan dan kerahajengan negeri ini. Ritual ini dilangsungkan bersamaan dengan upacara Modosiyo, satu jenis ritual yang dilaksanakan tiap enam bulan di Candi Cetho oleh warga Hindu Karangayar dan sekitarnya, sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat yang selama ini diberikan kepada warga sekitar Gunung Lawu. Saat berlangsung upacara, untuk memudahkan warga meletakkan sesaji, maka pada tiap teras didirikan tempat sembahyang berbahan bambu. Lewat upacara seperti ini, tentu diharapkan semua manusia menjadi kembali sadar. Menyadari siapa dirinya sekaligus mampu memaknai setiap kejadian sebagai wahana merenung sekaligus melakukan koreksi diri. ••• 93 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) d. Medang Siang Setiap hari selasa kliwon umat hindu di sekitar Candi Cetho selalu melakukan “Medang Siang” di dalam komplek Candi Cetho atau berdoa di Candi Cetho. Upacara tersebut tidak hanya diikuti oleh umat hindu di sekitar Candi Cetho tetapi juga umat islam, kristen dan yang lainya untuk melakukan doa bersama di Candi Cetho. Meski yang berdoa di Candi Cetho adalah dari berbagai umat beragama, mereka berdoanya tetap kepada Tuhan Nya masing-masing sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut(wawancara dengan Bp. Cipto, tanggal 17 Agustus 2013). Tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho memiliki nilai-nilai edukatif. Nilai merupakan standar atau sifat utama yang sudah mendarah daging dan dianggap penting atau diinginkan menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang yang menjadi sumber kekuatan seseorang untuk berkehendak dan bersifat mendalam, serta sering kali sulit untuk dirubah dan dijadikan sebagai patokan sekaligus sebagai tujuan hidup. Nilai yang terdapat dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho yaitu: keyakinan terhadap Tuhan, yang ditunjukkan dalam hari raya umat Hindu untuk memperingati kemenangan Dharma melawan a-dharma; tanggung jawab, yang ditunjukkan oleh Umat Hindu yang telah melaksanakan kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan; keyakinan terhadap Tuhan, yang ditunjukkan dalam upacara persembahan sesaji kepada sumber air agar ia tidak marah dan tetap memberi kemakmuran pada masyarakat Dusun Cetho; kebersamaan dan gotong royong, yang ditunjukkan oleh kaum laki-laki berkumpul di sendang memakan sesaji bersama-sama; religius, yang ditunjukkan oleh Kepala agama atau Sesepuh Dusun Cetho yang membaca mantra-mantra untuk memulai upacara dan peserta upacara Dawuhan meditasi sambi berdoa; keyakinan terhadap Tuhan, yang ditunjukkan dalam upaya mengharmoniskan alam semesta, buwana agung, dengan diri manusia, buwana alit, sekaligus untuk memohon keselamatan dan kerahajengan negeri ini; memiliki rasa malu, yang ditunjukkan melalui upacara Panca Wali Krama diharapkan semua manusia menjadi kembali sadar dan melakukan koreksi diri: religius, yang ditunjukkan atas sikap Umat hindu yang berdoa di Candi Cetho setiap selasa kliwon; toleransi, yang ditunjukkan sikap umat islam, kristen dan yang lainya untuk melakukan doa bersama di Candi Cetho sesuai keyakinan masing-masing Nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi dan budaya lokal Dusun Cetho berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia sehingga nilai-nilai ini mengalami transformasi atau perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) dan atau struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsurunsurnya (Rustopo, 2007). Nilai yang terdapat dalam tradisi dan budaya lokal Dusun Cetho terdiri dari keyakinan terhadap Tuhan, religius, tanggung jawab, kebersamaan dan gotong royong memiliki rasa malu, toleransi, memiliki kesesuaian dengan 18 nilai-nilai budi pekerti yang dikemukakan Depdikbud yang terdiri dari meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaran-Nya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri, mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa tanggung jawab, ••• 94 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berpikir positif, mengembangkan potensi diri, menumbuhkan cinta dan kasih sayang, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetikawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa malu, menumbuhkan kejujuran,sehingga dapat digunakan sebagai salah satu pengembangan nilai budi pekerti. Transformasi atau perubahan nilai dalam tradisi dan budaya lokal Dusun Cetho sebagai pengembangan nilai budi pekerti dapat di identifikasi nilai budi pekerti yang terdiri dari: meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaran-Nya, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki kebersamaan dan gotong royong, mentaati ajaran agama, memiliki rasa malu. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai budi pekerti dalam latar belakang historis Candi Cetho terdiri dari: mengembangkan potensi diri, mengembangkan etos kerja dan belajar, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaranya, mentaati ajaran agama. 2. Nilai budi pekerti dalam Kebudayaan fisik Candi Cetho terdiri dari: meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaranya, mentaati ajaran agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, menumbuhkan kejujuran, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa tanggung jawab, mampu mengendalikan diri, memiliki sikap saling menghormati. 3. Nilai budi pekerti dalam tradisi dan budaya lokal masyarakat Dusun Cetho sebagai pengaruh keberadaan Candi Cetho terdiri dari: meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mentaati ajaran-Nya, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki kebersamaan dan gotong royong, mentaati ajaran agama, memiliki rasa malu. 2. Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang diperoleh dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Bagi guru IPS-Sejarahdi SMP dan SMA untuk dapat memanfaatkan hasil penelitian ini terkait dengan nilai historis Candi Cetho sebagai sumber dan materi pendidikan budi budi pekerti dan karakter. 2. Bagi Pemerintah (Depdikbud)di Kabupaten Karanganyar khususnya dan pemerintah kota dan kabupaten di karesidenan Surakarta pada umumnya, dapat lebih memanfaatkan budaya lokal sebagai sumber referensi dalam mensukseskan kurikulum 2013 yang sangat menekankan pada pendidikan budi pekerti dan karakter, melalui program-program dan kebijaknnya. ••• 95 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) DAFTAR PUSTAKA Abdul Hamid. (2010). Model Penelitian Evaluasi Pendidikan Moral di Universitas Muslim Indonesia Makasar. Disertasi doctor, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta Abd.Rahman. (2004). Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipelogi kondisi, Kasus dan Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Conny Semiawan dkk. (2003). Tata Krama Pergaulan. Jakarta: Balai Pustaka. Cucu Lisnawati. (2009). Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Budi Pekerti, dalam Jurnal Pendidikan dan Budaya: Educare, Edisi Agustus. Dikpora Kota Surakarta. (2009). Pendidikan Budi Pekerti untuk SMP/MTs kelas VII. Surakarta: Dikpora Kota Surakarta. Ernan Rustiadi, dkk. (2011). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Franz Magnis Suseno. (1999). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup. Geertz, Clifford. (1992). Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Goleman, Daniel. (1999). Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Kuntowijoyo. (2000). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Miles & Huberman. (1992). Analisis data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press Moleong, L. J. (2000). Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Mulder, Niels. (1996). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muthohar, M. Aries Muthohar. (2001). Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Surabaya: Penerbit SIC. Noeng Muhadjir. (2011). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Rake Sarasin Nurul Zuriah. (2007). Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara. Pemerintah Kota Surakarta. (2004). Pendidikan Budi Pekerti Pada SMP di Kota Surakarta. Surakarta: Pemerintah Kota Surakarta. Poerwodarminto. (1984). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Projohutomo. (1953). Kebudayaan Hindu di Indonesia. Jakarta: JB. Wolters Putnam, R.D. (1993). The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. The American Prospect. Vol.4, No.13. Slamet Mulyono. (1979). Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Soekmono. (1981).Pengantar Sejarah Indonesia II. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Sri Agus. (2000). Sikap dan Perilaku Masyarakat Surakarta Pasca Kerusuhan Mei 1989. Surakarta : Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret. Stuterheim. (1930). Petunjuk ke Candi Sukuh dan Cetho. Terjemahan Marto Subroto. Surakarta: De Bloksom. ••• 96 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Sulasmi,S. (2003). Kontribusi Perilaku Kelompok, karakteristik Anggota Kelompok, dan Kepemimpinan pada Usaha Membangun Kualitas Sinergi. Disertasi (draf). Bandung: ITB. Tjakraatmaja, J.H. (2002). Manajemen Transformasi Pengetahuan Dalam Tim dan Organisasi Belajar. Disertasi. Bandung: ITB. Udin S. Winataputra dkk. (2011). Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Wojowasito. (1952). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta. ••• 97 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 98 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PERMAINAN TRADISIONAL SEBAGAI ALTERNATIF GAMES BERBASIS BUDAYA DI ERA TERBUKA Suriyanti Siagian Magister Sains Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan Suriyantisiagian@gmail.com Abstrak Permainan tradisional di era terbuka sekarang sedikit demi sedikit mulai menghilang seiring merebaknya berbagai jenis games berbasis teknologi digital. Hal ini tentu mengkhawatirkan mengingat permainantradisional seperti marsimbak, marsimonjab, yeye, dan lainnya mempunyai cukup banyak manfaat bagi generasi muda. Permainan tradisional sebagai alternatif games berbasis budaya perlu diupayakan agar generasi masa kini tidak kehilangan akar budayanya. Kata kunci: permainan tradisional, games berbasis budaya, akar budaya A. PENDAHULUAN Kemajuan teknologi di zaman modern sekarang telah banyak merubah perilaku masyarakat Indonesia terutama anak-anak. Permainan tradisional seperti marsimbak, marsimonjab, yeye‘bermain kelereng’, layangan ‘bermain layanglayang’, egrang, dan lainnya yang dulu sering kita jumpai di setiap sudut kampung kini tak ada lagi karena tergantikan dengan permainan modern berbasis hi-tech. Padahal permainan tradisional tersebut memiliki Nilai budaya tinggi dan bermanfaat bagi perkembangan emosi sekaligus pertumbuhan anak-anak. Hal menarik dari sejumlah dolanan tradisional diantaranya selalu melahirkan suasana suka cita, kekompakan dan kerukunan pada anak-anak. Di dalam permainan tradisional tersebut jiwa anak akan terlihat secara penuh lantaran ada ekspresi dan luapan natural apa adanya. Suasana suka cita yang dibangun dalam permainan tradisional melahirkan dan menghasilkan kebersamaan dan keguyuban yang tidak dimiliki olehberbagai games modern saat sekarang. Baik permainan atau dolanan tradisional yang menggunakan alat seperti egrang, bentik, bekelan,layangan dan lainnya maupun tanpa alat seperti marsimbak, marsimonjabdan lainnya tetap saja memberikan banyak pengaruh positif bagi perkembangan emosi dibanding dengan berbagai permainan modern yang ada saat sekarang. Meski berbagai dolanan tradisional berbasis budaya ini ditengarai memiliki kemanfaatan dan pengaruh positif bagi perkembangan emosi pada anak, ternyata tidak mudah mempopularkan kembali permainan tersebut sebagaimana jaman dulu lantaran jaman sekarang merebak berbagai games berbasis digital yang dianggap lebih praktis dan modern. Bagaimanapun kondisinya permainan tradisional yang merupakan warisan luhur tetap harus diupayakan kelestariannya agar generasi yang akan datang tidak kehilangan akar budayanya. Permasalahan yang ada sekarang, bagaimana caranya untuk mempopulerkan kembali permainan tradisional tersebut sebagai salah satu pilihan games meski kondisi saat ini dikepung dengan berbagai games berbasis hi-tech. Masalah lain, apa manfaat dari bermain masing-masing dari permainan tradisional berbasisbudaya tersebut. ••• 99 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) B. PEMBAHASAN Secara umum dapat didefinisikan bahwa permainan tradisional merupakan media bermain yang sudah ada sejak jaman dulu dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya. Pengertian lain permainan tradisional adalah permainan yang dimiliki oleh suatu daerah,yang pada umumnya berasal dari latar belakang, tujuan atau dari legenda yangberkaitan dengan kehidupan sosial. Dalam konteks ini yang dibicarakan adalah permainan tradisional khususnya yang ada di daerah Jawa. Aktivitas bermain khususnya bermain permainan tradisional dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak, semisal kemampuan bersosialisasi dengan orang lain, kemampuan untuk berperilaku jujur, berkreativitas, mengembangkan daya nalarpikir, bertanggungjawab, dan kemampuan positif lain. Istilah bermain diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan mempergunakan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian, memberikan informasi, memberikan kesenangan, dan dapat mengembangkan imajinasi anak. Lain halnya dengan games berbasis teknologi canggih yang cenderung dimainkan secara individu akan mempengaruhi aspek sosial emosionalnya. Jika kebablasan memainkan games dengan menggunakan gadged bias menyebabkan anak bersifat individualis, tidak mau berbagi dan tidak belajar memahami orang lain dan kurang atau tidak bisa berempati. Lebih disayangkan lagi, kini jenis-jenis permainan tradisional tersebut sudahjarang dimainkan anak-anak pada jaman modern sekarang.Kalaupun masih ada yangmemainkan permainan tradisional tersebut, jenis permainannya pun tertentu semisal nekeran karena popular digandrungi anak-anak dan kebanyakan anak-anak di pedesaan yang memainkannya. Anak-anak jaman sekarang tidak lagi tertarik dengan permainan-permainan tradisional, mereka lebih memilih permainan modern yang bentuknya lebih menarik tetapi memiliki manfaat yang lebih sedikit daripada permainan tradisional.Pada umumnya permainan modern melatih anak menjadi individualis karena sebagian besar permainan modern hanya dimainkan oleh satu orang.Selain itu permainan modern juga melatih anak untuk menjadi konsumtif karena apabila mainan tersebut rusak, mereka harus membeli mainan baru lagi.Maka, menjadi hal yang cukup menantang pada kondisi saat sekarang untuk menjadikan permainan tradisional menjadi salah satu pilihan permainan di jaman permainan yang berteknologi tinggi.Berikut paparannya lebih lanjut. 1. Mempopulerkan Permainan Tradisional di Era Games Berbasis Hi-Tech Smartphone, tablet, gadget dan berbagai perangkat canggih lain telah menjadi bagian hidup dari masyarakat baik di pedesaan terlebih juga di perkotaan. Sebagaimana yang diberitakan oleh majalah NAKITA (2013: 22), hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan anak usia sekolah menghabiskan paling tidak 7,5 jam sehari di depan televisi, komputer, smartphones atau jenis gadged lainnya. Mereka mengakses gadged di jalan ke sekolah, di ruang tunggu dokter, di kendaraan atau di tempat umum lainnya. Dari hasil penelitian itu juga terungkap, di usia prasekolah (3 dan 4 tahun), ketika mereka mampu membaca, saat bersamaan mereka juga ulai mengoperasikan tablet atau iPad. Kondisi tersebut juga tidak jauh berbeda dengan anak-anak di Indonesia yang secara otomatis langsung akrab dengan berbagai games yang bisa dimainkan dari perangkat ••• 100 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) canggih tersebut. Alhasil, tidak heran jika banyak kita temukan anak-anak Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang tidak tahu apalagi mengenal dengan adanya games atau permainan tradisional yang merupakan bagian dari budayanya. Anak-anak jaman sekarang lebih popular dan familiar dengan games berbasis teknologi canggih ketimbang mengenal budayanya. Pertanyaan selanjutnya, apa yang bisa kita lakukan untuk mempopulerkan permainan tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia khususnya Jawa di era games online berbasis hi-tech tersebut? Karena bagaimanapun membutuhkan upaya tersendiri untuk memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anak generasi masa kini meski serbuan games dengan teknologi tinggi mengelilingi. Tujuannya agar anak memiliki alternative permainan lain, sehingga tidak hanya permainan dengan teknologi audio visual gadged canggih yang mereka ketahui tetapi juga mau memainkan permainan tradisional yang menjadi bagian dari budaya luhur bangsa. Cara yang bisa dilakukan untuk mempopulerkan permainan tradisional di era games berbasis hitech diantaranya melalui basis keluarga, masyarakat dan instansi terkait semisal instansi sekolah yang lebih banyak memiliki kewenangan terkait dengan penyebaran keilmuan dan kebudayaan. Lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut. 1) Berbasis Keluarga Keluarga merupakan lingkungan terkecil yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah (disebut anggota keluarga).Keluarga sebagai institusi pertama dan utama dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak memegangperanan penting dalam mengenalkan dan mengajarkan kebudayaan asli Indonesia –dalam hal ini permainan tradisional- kepada anggota keluarganya.Pempopuleran permainan tradisional ini bisa bermula dari keluarga.Dalam hal ini, peran orang tua untuk mengenalkannya pada anakanaknya dapat dilakukan secara efektif. Harapannya dengan orang tua berperan aktif memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anaknya, keberlangsungan permainan tradisional akan tetap terjaga. Hal yang dapat dilakukan oleh orang tua kaitannya dengan permainan tradisional ini adalah dengan mengajarkan pola permainan dan nilai serta manfaat yang terkandung dalam masing-masing permainan tradisional tersebut. 2) Berbasis Masyarakat Pempopuleran permainan tradisional berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan memasifkan dan memunculkan grup-grup permainan tradisional yang berakar dari komunitas masyarakat sehingga kesinambungan keberadaan permainan tradisional terjaga dari generasi ke generasi (lintas generasi).Hal ini tidak bisa terlepas dari kekompakan dan kebersamaan masyarakat dalam mempopulerkan jenis-jenis permainan tradisional yang ada kepada penerus generasi.Tokoh masyarakat dan pihakpihak yang terkait secara langsung berkenaan dengan pengembangan kebudayaan daerah dalam bentuk permainan tradisional memegang peranan yang cukup penting dalam pengupayaannya.Ini semata-mata karena di masyarakat, para tokoh ataupun penggerak masyarakat masih menjadi kunci utama dalam pelaksanaan kegiatan apapun dalam masyarakat. 3) Berbasis Sekolah ••• 101 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pengenalan dan pengajaran permainan tradisional bisa dilakukan melalui institusi formal yakni sekolah.Karena bagaimanapun, basis sekolah bisa menjadi pintu utama dalam mengenalkan dan mengajarkan apapun termasuk upaya untuk memperkenalkan dan mengajarkan budaya daerah yang dimiliki bangsa Indonesia khususnya dalam bentuk permainan tradisional. 2. Beberapa Jenis Permainan Tradisional dan Manfaatnya Banyak permainan tradisional yang dimiliki masyarakat Jawa, diantaranya seperti marsimbak, marsimonjab, yeye, egrang dan lainnya. Berikut akan dijelaskan mengenai masing-masing permainan tradisional tersebut beserta manfaatnya. 1) Lompat Tali (Yeye) Lompat tali adalah permainan tradisional yang populer dimainkan anak perempuan.tetapi banyak juga anak laki-laki yang bisa memainkan lompat tali ini.Permainan lompat tali di mainkan oleh minimal tiga anak.Dua anak memegang tali dan seorang lainnya bermain terlebih dulu.Level ketinggian tali bervariasi, dimulai dari ketinggian yang rendah kemudian semakin tinggi apabila mampu melompat melewati tali. 2) Egrang Egrang merupakan tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam jarak tertentu di atas tanah.Egrang berjalan adalah egrang yang diperlengkapi dengan tangga sebagai tempat berdiri, atau tali pengikat untuk diikatkan ke kaki, untuk tujuan berjalan selama naik di atas ketinggian normal (http://id.wikipedia.org/wiki/Egrang).Permainan tradisional egrang membutuhkan peralatan yakni bambu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa digunakan untuk bermain atau berjalan. Dalam bermain egrang ini bisa dilakukan secara individu dan bisa juga dilakukan secara berkelompok yang biasanya berlomba cepat-cepatan untuk mencapai garis finishyang ditentukan. Permainan egrang membutuhkan keahlian khusus sehingga diperlukan latihan terlebih dahulu sebelum memainkan atau bertanding dengan yang lainnya.Selainkan keahlian khusus, diperlukan juga keseimbangan tidak terjatuh dari egrang tersebut. ••• 102 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 3) Permainan bekel (Marsimbak) Umumnya dimainkan oleh anak-anak perempuan tapi permainan ini juga bisa dimainkan oleh anak laki-laki. Bekel merupakan permainan melontarkan bola ke atas dan menangkapnya kembali.Tetapi pada saat bersamaan harus mengambil atau mengubah posisi biji-biji yang ada sesuai peraturan tingkat kesulitan yang dijalankan.Setelah menentukan giliran siapa yang mulai lebih dulu, permainan dimulai dengan melemparkan bola keatas dan menghamparkan biji.Setelah bola memantul sekali, bola harus diambil kembali. Kemudian, pemain harus mengambil satu per satu biji yang terhampar secara langsung.Setelah terambil semua, biji dihamparkan kembali dan diambil kali ini sekaligus dua buah biji.Begitu selanjutnya sampai sejumlah biji yang dimainkan.Setalah mengambil biji secara langsung selesai, maka kini pemain harus mengubah biji menjadi bentuk tertentu sebelum diambil.Urutan posisinya adalah pit (bentuk seperti kursi), ro (kebalikan posisi pit), cin (singkatan licin yaitu posisi miring tanpa ada bintik di permukaan biji) dan peng (singkatan bopeng yaitu posisi miring dengan ada bintik di permukaan biji).Biji yang dipergunakan umumnya berjumlah 6 sampai 10 biji.Pemain akan kehilangan gilirannya apabila bola memantul lebih dari sekali, tidak dapat menangkap bola, lupa mengubah salah satu biji menjadi posisi tertentu saat sudah mencapai tahap pit, ro, cin atau peng, atau menyentuh biji lain saat mengambil biji yang harus diambil. Pemenangnya adalah yang mencapai tahap paling tinggi. 4) Petak Umpet Satu orang pemain yang kalah akan menutup matanya pada salah satu tempat yang dianggap sebagai benteng, sementara yang lain mencari tempat untuk bersembunyi. Setelah menghitung sampai jumlah tertentu, maka mulailah pemain yang menutup mata tersebut mencari tiap orang yang bersembunyi.Bila telah menemukan orang yang bersembunyi, pencari ini harus cepat-cepat berlari ke benteng sambil menyebut nama orang yang ketahuan persembunyiannya. Begitu juga dengan anak yang ketahuan, karena bila berhasil lebih dulu menyentuh benteng, maka pada tahap selanjutnya dia tidak akan jaga. Anak lain yang bersembunyi dapat pula menyentuh benteng agar tidak jaga pada tahap selanjutnya, asalkan tidak ketahuan dengan pencari. Setelah semua telah ketahuan persembunyiannya, maka pencari akan menutup matanya kembali pada benteng dan anak-anak lain membentuk barisan di belakangnya. Pencari akan menyebut salah satu nomor. Anak yang ada di urutan nomor yang disebut akan menjadi pihak yang kalah bila tadi dia tidak berhasil lebih dulu mencapai benteng. Sedangkan bila anak pada urutan yang disebut ternyata adalah anak yang berhasil mencapai benteng lebih dulu pada saat ketahuan tempat persembunyiannya, maka si pencari tetap dalam posisi kalah dan permainan dilanjutkan. ••• 103 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 4) dan lain-lain Selain dalam bentuk permainan tradisional juga ada pilihan permainan tradisional yang diwujudkan dalam bentuk tembang dolanan yang juga bisa dijadikan sebagai alternatif permainan bagi anak-anak jaman sekarang.Contohnya gundul-gundul pacul,jamuran, padhang mbulan, dan lain sebagainya.Berikut tembang syairnya. Gundul-gundul pacul..cul, gemelelengan Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul , besar kepala (sombong, angkuh)’ Nyunggi-nyunggi wakul...kul, gemelelengan ‘Membawa bakul, dengan gayanya yang besar kepala (sombong, angkuh)’ Wakul ngglimpang, segane dadi sakratanWakul ngglimpang, segane dadi sakratan ‘Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan tidak bermanfaat lagi’ Tembang Gundul-gundul Paculini dinyanyikan dan dimainkan secara bersamasama, biasanya di pelataran sambil memegang kepala (gundul) dan bergoyang badannya.Permainan dalam bentuk tembang tersebut menggambarkan seorang anak yang nakal, bandel, sombong, angkuh, dan tidak bertanggung jawab. Dia beranggapan bahwa dirinya orang yang paling benar, paling bisa, dan paling pintar, sehingga dia bersikap sombong, dan tak tahu diri. Akibat dari kesombongan dan keangkuhannya itu maka kesejahteraan dan keadilan yang semestinya berhasil diraih akhirnya menjadi hancur berantakan. Nilai makna yang terkandung bahwasanya sebagai manusia kita tidak boleh sombong, angkuh dan merasa paling hebat karena dalam hal ini terlihat bahwa orang yang sombong, angkuh, dan ceroboh akan membawa kehancuran dan kegagalan, jika dipercaya maka jalankan amanah itu sebaikbaiknya agar membawa kemanfaatan. Tembang dolanan lain yang biasanya juga dimainkan oleh anak-anak di pelataran secara bersama-sama pada waktu terang bulan atau bulan purnama adalah tembang Padhang Mbulan. Berikut syair dan makna yang terkandung di dalamnya. C. PENUTUP Dari paparan di atas atas disimpulkan bahwa cara untuk mempopulerkan permainan tradisional dapat dilakukan melalui basis keluarga, basis masyarakat dan basis sekolah. Berikutnya, jenis-jenis permainan tradisional yang memiliki nilai dan manfaat bagi perkembangan anak diantaranya permainan Marsimbak, marsimonjab, yeye, egrang dan lainnya.Selain dalam bentuk permainan juga bisa melalui tembang dolanan yang dimainkan secara bersama-sama.Manfaat dari permainan tradisional diantaranya melatih kesabaran, kejujuran, konsentrasi, melatih emosional, bersosialisasi, dan lainnya. ••• 104 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Daftar Pustaka http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/06/11/memahami-lagu-cublaksuweng-yang-saratmakna564025.html (diakses November 2013). http://id.wikipedia.org/wiki/Egrang (diakses bulan November 2013) Mariani, Devi Ari. 2008. Bermain dan Kreativitas Anak pada Usia Dini, (Online), (http:// deviarimariani.wordpress.com/2008/06/12/bermain-dan-kreativitas-anak-usiadini/, diakses tanggal 3 November 2013) Nakita. 2013 (No. 763/th.XV/11-17 November 2013). Meet My New Friend: Gadget. Jakarta: Kompas Gramedia. Tim. 2012.Keragaman Bahasa Ibu sebagai Penanda Kebhinekaan Budaya. Bandung: Penerbit Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat. ••• 105 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 106 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PEMANFAATAN POTENSI SEJARAH LOKAL DALAM PENULISAN BUKU PELAJARAN SEJARAH Hendro Martono SMK Negeri 1 Temanggung hendromasmarto@gmail.com Abstrak Buku pelajaran “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X Semester 1” edisi 2014 maupun “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X” edisi 2016 menyajikan narasi sejarah Mataram Kuno secara sepintas. Sajian ini dipandang dari sudut kepentingan nasional mungkin dianggap memadai. Akan tetapi dihadapkan dengan data artefaktual dan tekstual yang tersedia di Temanggung, narasi sejarah nasional kurang memberi ruang. Masalah yang perlu dikemukakan bagaimanakah memanfaatkan potensi sejarah lokal dalam penulisan sejarah yang digunakan dalam pembelajaran? Makalah ini mengetengahkan gagasan untuk menyediakan suplemen berupa bahan penulisan sejarah lokal yang dapat dijadikan materi penunjang dalam pelajaran sejarah. Suplemen dipilih berdasarkan kajian narasi sejarah dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia (terutama jilid II, edisi 2009), Buku Pelajaran “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X” (edisi 2016), dan potensi kekayaan sejarah lokal khususnya di wilayah Kabupaten Temanggung. Menggunakan kerangka kedua buku tersebut sebagai perbandingan terdapat narasi yang rumpang pada materi buku pelajaran. Buku “Sejarah Nasional Indonesia Jilid II” memuat kerangka penulisan sejarah Mataram Kuno yang meliputi bidang politik pemerintahan dan keadaan masyarakat. Keadaan masyarakat mencakupi landasan kosmogonis, struktur birokrasi, sumber penghasilan kerajaan, ekonomi, hukum, dan kesenian sepanjang 150 halaman lebih. Buku pelajaran “Sejarah Indonesia Kelas X” hanya memuat narasi sepanjang 15 halaman. Pada bagian yang rumpang itulah potensi sejarah lokal Temanggung dapat dimasukkan. Walaupun tidak dapat selengkap narasi SNI, data tekstual prasasti dari Temanggung dapatlah mengisi ruang-ruang kosong pada buku pelajaran. Prasasti-prasasti Mantyasih (907), Rukam (907), dan Wanua Tengah III (908) menyediakan data cukup memadai. Dengan demikian potensi kekayaan sejarah lokal Temanggung dapat ditawarkan sebagai alternatif dalam penulisan buku pelajaran sejarah yang akan digunakan dalam pembelajaran sejarah di wilayah Kabupaten Temanggung. Kata kunci : sejarah lokal, penulisan buku pelajaran A. Latar Belakang Masalah Konsiderans Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan menyatakan bahwa buku yang digunakan oleh satuan pendidikan baik buku teks pelajaran maupun buku nonteks pelajaran harus sejalan dengan nilai Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan norma positif yang berlaku di masyarakat; dan bahwa buku teks pelajaran merupakan perangkat operasional utama atas pelaksanaan kurikulum; sedangkan buku nonteks pelajaran merupakan ••• 107 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sarana pendukung untuk memfasilitasi pelaksanaan, penilaian, dan pengembangan pembelajaran bagi peserta didik dan pendidik sehingga harus memenuhi kriteria buku yang layak digunakan satuan pendidikan. Buku merupakan salah satu sumber belajar. Buku teks pelajaran khususnya buku pelajaran sejarah dijadikan sumber belajar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran (Permendikbud No 22 Tahun 2016). Keberadaan buku pelajaran sejarah dengan demikian menjadi salah satu faktor penunjang keberhasilan kegiatan pembelajaran. Untuk mencapai keberhasilan itu diperlukan buku pelajaran yang memenuhi syarat atau kriteria tertentu. Misalnya wajib memenuhi nilai/norma positif yang berlaku di masyarakat, antara lain tidak mengandung unsur pornografi, paham ekstrimisme, radikalisme, kekerasan, SARA, bias gender, dan tidak mengandung nilai penyimpangan lainnya (Permendikbud no. 8 tahun 2016 pasal 2 ayat (2)). Selain memenuhi nilai/norma positif yang berlaku di masyarakat buku teks pelajaran maupun buku nonteks pelajaran wajib memenuhi kriteria penilaian sebagai buku yang layak digunakan oleh satuan pendidikan (Permendikbud no. 8 Tahun 2016 pasal 2 ayat (3)). Kriteria buku teks pelajaran maupun buku nonteks pelajaran yang layak digunakan oleh satuan pendidikan wajib memenuhi unsur a. kulit buku; b. bagian awal; c. bagian isi; dan d. bagian akhir. Kulit buku pada buku teks pelajaran dan buku nonteks pelajaran wajib memenuhi kulit depan buku, kulit belakang buku, dan punggung buku. Bagian awal buku pada buku teks pelajaran wajib memenuhi halaman judul, halaman penerbitan, halaman kata pengantar, halaman daftar isi, halaman daftar gambar, halaman tabel, dan penomoran halaman. Bagian isi buku pada buku teks pelajaran wajib memenuhi aspek materi, aspek kebahasaan, aspek penyajian materi, dan aspek kegrafikaan. Bagian akhir buku pada buku teks pelajaran wajib memenuhi informasi tentang pelaku perbukuan, glosarium, daftar pustaka, indeks, dan lampiran. Buku pelajaran “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X” terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena sudah melalui penilikan Tim Penelaah dan Tim Penyelia Penerbitan dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemendikbud dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat fisik buku seperti kulit depan dan belakang, serta punggung buku. Begitu pun bagian awal buku seperti halaman judul (ada), halaman penerbitan (ada), halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi, serta penomoran halaman. Hanya halaman daftar gambar dan halaman tabel yang tidak ada pada buku ini. Bagian akhir buku sebagaimana keharusan di atas juga dipenuhi buku ini seperti pelaku perbukuan (dicantumkan profil penulis, penelaah, dan editor), glosarium, dan daftar pustaka. Sayang buku ini tidak mencantumkan indeks. Begitu pula, lampiran juga tidak ada. Mungkin karena dianggap tidak diperlukan sehingga tidak disertakan. Sebenarnya lebih penting indeks dicantumkan, sebab di samping menyusunnya mudah, juga karena manfaatnya yang memudahkan pembaca mencari kata-kata yang diperlukan dengan cepat. Akan halnya bagian isi buku pelajaran, ada keharusan memenuhi aspek materi, kebahasaan, penyajian materi, dan aspek kegrafikaan. Dari empat keharusan tersebut tampaknya hanya dua aspek yang dipenuhi, yaitu penyajian materi dan kegrafikaan. Aspek materi, khususnya yang akan dijadikan fokus ••• 108 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) kajian dalam makalah ini dapat dinyatakan kurang memadai. Begitu pula aspek kebahasaan berdasarkan telaah sepintas menemukan kesalahan-kesalahan bahasa. Materi bab II dibagi dalam empat subbab yaitu A) Pengaruh Budaya India; B) Kerajaan-Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha; C) Terbentuknya Jaringan Nusantara; dan D) Akulturasi Kebudayaan. Pada bagian subbab B) khususnya nomor 5 dimuat pembahasan tentang Kerajaan Mataram Kuno yang ternyata kurang memberi tempat bagi kepentingan pembelajaran sejarah lokal. Mengingat kekayaan potensi sejarah lokal (dalam hal ini Temanggung), masalah yang perlu dikemukakan bagaimanakah memanfaatkan potensi sejarah lokal dalam penulisan sejarah yang digunakan dalam pembelajaran? B. Pembahasan Mataram Kuno dalam Buku Pelajaran Sejarah Buku pelajaran Sejarah Indonesia yang digunakan di SMK Negeri 1 Temanggung, khususnya untuk kelas X adalah “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X” (Lestariningsih dkk, 2016). Buku tersebut merupakan edisi gabungan dari dua jilid penerbitan sebelumnya (Lestariningsih dkk, 2014). Materi yang disajikan masih sesuai dengan Standar Isi (Permendikbud. No. 24 Tahun 2016 Lampiran 46, hal. 1-2), meskipun belum dapat mengakomodasi perubahan spektrum kurikulum pendidikan menengah kejuruan. Berkaitan dengan keberadaan Temanggung sebagai salah satu entitas daerah yang menyumbang narasi sejarah, buku pelajaran “Sejarah Indonesia” belum menyediakan ruang yang cukup. Khusus mengenai materi perkembangan “Kerajaan Mataram Kuno”, buku pelajaran “Sejarah Indonesia” menyajikan narasi secara sepintas. Sajian ini dipandang dari sudut kepentingan nasional mungkin dianggap memadai karena harus berbagi tempat dengan 10 kerajaan lain di tanah air. Akan tetapi dihadapkan dengan data artefaktual dan tekstual yang tersedia di Temanggung, narasi dalam buku pelajaran “Sejarah Indonesia” kurang memberi ruang. Lebih dari itu uraian dalam buku pelajaran juga mengundang kritik. Beberapa telaah mengenai isi buku pelajaran yang membahas Kerajaan Mataram Kuno yang perlu dicermati misalnya pencantuman foto situs Liangan. Keterangan gambar nomor 2.25 itu hanya tertulis “salah satu situs liangan, sisa peninggalan Mataram Kuno” (Lestariningsih dkk, 2016: 111). Selain penulisan ejaan yang tidak diperhatikan, keterangan gambar itu juga tidak lengkap karena hanya menyebut nama tempat “Liangan”. Peserta didik maupun guru sejarah dari luar wilayah Temanggung mungkin bingung mencari tempat yang disebut “Liangan”. Ini sekaligus kerugian bagi Temanggung karena nama “Temanggung” tidak disebut dalam buku. Kritik berikutnya terdapat pada halaman yang sama (Lestariningsih dkk, 2016: 111). Paragraf pertama kalimat ke-2 tertulis, “Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura (k), Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung”. Penyebutan empat prasasti sebagai contoh sumber sejarah Mataram Kuno bisa dianggap kurang memadai, namun dapat juga berarti memberi peluang bagi setiap daerah untuk memperkaya daftar prasastinya. Klaten, Sleman, Magelang, Banjarnegara, Wonosobo, di samping Temanggung dapat menambahkan daftar. ••• 109 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Paragraf ketiga pada halaman 112 terdapat kesalahan penulisan yang bisa dinilai fatal. Kalimatnya tertulis, “Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 – 780 M”. Jika penulisan ini mencantumkan sumber atau acuannya maka kebenaran maupun ketidakbenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Jika tidak, penulisannya perlu merujuk pada sumber yang otentik. Prasasti Wanua Tengah III (Kamis Pahing, 1 Oktober 908 M) memberitakan bahwa Rakai Panangkaran naik tahta pada tanggal 4 Oktober 746 M. Jadi, tidak mungkin Sanjaya memerintah sampai tahun 780 M. Deskripsi berikutnya paragraf pertama pada halaman 114 sebenarnya sudah mencerminkan kehati-hatian dalam menempatkan keluarga Syailendra yang beragama Budha dan yang masih beragama Hindu sebagai satu keluarga. Tegasnya, penulis buku agaknya setuju bahwa di Jawa Tengah hanya ada satu dinasti yang berkuasa yakni Dinasti Syailendra. Ini sejalan dengan narasi yang terdapat pada buku babon sejarah nasional (Poesponegoro, Jilid II, 2009: 150)1. Akan tetapi, penulis buku melakukan kesalahan pada waktu menuliskan soal Uji Kompetensi nomor 1. Soal yang ditulis pada bagian uji kompetensi itu tertera, “Carilah dari kliping koran atau juga dari internet, peninggalan candi-candi pada masa Sanjaya maupun Syailendra dan ceritakan!” (Lestariningsih dkk, 2016: 119). Kalimat soal ini selain salah nalar sehubungan dengan susunan kalimatnya, juga menimbulkan pertentangan pendapat karena menempatkan nama Sanjaya dan Syailendra secara diametral. Meskipun penghadapan nama “Sanjaya” dan “Syailendra” vis a vis tidak tepat, kalimat tersebut juga menunjukkan ketidakkonsistenan penulis dalam mengemukakan konsep sejarah. Ketidakkonsistenan penulis dalam mengetengahkan konsep “dinasti” juga tampak pada kalimat, “Candi Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra pada abad ke-9” (Lestariningsih dkk, 2016: 115). Penyebutan dinasti asal bagi raja mengesankan bahwa jika tidak disebut demikian akan menimbulkan dugaan Samaratungga berasal dari dinasti lain. Padahal dinasti lain tidak ada, sejauh pendapat yang dikemukakan dalam buku babon sejarah nasional (SNI). Catatan berikutnya adalah mengenai nama diri raja. Dalam buku pelajaran tertulis nama “Pikatan”; “Rakai Pikatan”; dan “Raja Pikatan” (Lestariningsih dkk, 2009: 114); serta “Kayuwangi atau Dyah Lokapala” (Lestariningsih dkk, 2009: 118). Penyebutan nama “Pikatan” atau “Rakai Pikatan” atau “Raja Pikatan” mengesankan bahwa nama itu adalah nama pribadi raja. Salah kaprah ini ternyata tidak hanya ada dalam buku ini. Penulis artikel sejarah tentang asal-usul Temanggung di laman http://temanggungkab.go.id pun menulis kalimat pembuka, “Sejarah Temanggung selalu dikaitkan dengan raja Mataram Kuno yang bernama Rakai Pikatan”. Berdasarkan telaah atas asal-usul “rakai” dan atau “kerakaian” didapat keterangan bahwa nama “Rakai Pikatan” bukanlah nama pribadi (garbhanama) ataupun namabhiseka melainkan nama jabatan dan daerah lungguhnya yang disebut watak. Kartakusuma (1983: 7) yang mengutip Damais menyebutkan ada 52 orang pemegang gelar rakai, 26 di antaranya menjadi penguasa daerah. Di 1) Meskipun dalam buku SNI telah dinyatakan hanya ada satu dinasti di Jawa Tengah, gagasan keberadaan dua dinasti masih berkembang. Lihat, misalnya Santiko (2013) ••• 110 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) antara 26 pemegang gelar rakai terdapat nama kerakaian Pikatan, Kayuwangi, Watuhumalang, Watukura, Panangkaran, Panunggalan, Warak, dan Garung. Jika “Pikatan”; “Rakai Pikatan”; maupun “Raja Pikatan” bukan garbhanama, siapakah nama pribadinya? Data prasasti dari Temanggung yakni Prasasti Wanua Tengah I (Kode D81 di Museum Nasional Jakarta, bertarikh 7 November 863 M) menyebutkan, “//Swasti sakawarsatita 785 jistamasa tithi pancami krsnapaksa. pa.ka.wr.wara hana yy umahnya tatkala rakai pikatan pu manuku manusuk sima ri wanua tangngah” (Martono, 2017: 244). Berdasarkan keterangan tersebut ternyata yang menjabat rakai di Pikatan pada masa itu bernama Pu Manuku. Menariknya, nama Pu Manuku lebih dahulu muncul dalam Prasasti Munduan (Kamis Legi, 21 Januari 807 M). Apakah kedua nama (Pu Manuku) tersebut berasal dari satu pribadi ataukah dua pribadi namun dengan nama yang “nunggak semi”, menarik untuk diteliti. Jika selisih masa dua prasasti (Munduan dan Wanua Tengah 1) tersebut berjangka 56 tahun, mungkinkah orangnya sama? Yang jelas, ada nama “Pikatan” lain selain Pu Manuku, yakni Sri Maharaja Rakai Pikatan (dalam Prasasti Mantyasih) atau Rake Pikatan Dyah Saladu (dalam Prasasti Wanua Tengah III). Penyebutan “Kayuwangi atau Dyah Lokapala” (Lestariningsih dkk, 2016: 118) sebenarnya juga perlu dibetulkan. Penulisan itu mengesankan seolah-olah “Kayuwangi” adalah nama lain dari “Dyah Lokapala”. Berdasarkan telaah nama “Kayuwangi” lebih mungkin menunjuk nama daerah lungguh atau nama watak (Kartakusuma, 1983: 8).Dengan demikian nama “Dyah Lokapala” itulah yang menjadi nama pribadi. Ini misalnya dapat dilihat dalam Prasasti Wanua Tengah 3 yang menyebutkan, “…. Mangdiri rake kayuwangi dyah lokapala mataher tan uwah…” (Kusen, 1989; Boechari, 2012). Kritik berikutnya tertuju pada deskripsi yang dimuat pada halaman 118. Tertulis kalimat, “… Tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung…” (Lestariningsih, 2016: 118). Penulisan buku sejarah dalam posisi sebagai buku pelajaran yang dipakai di seluruh Indonesia benar-benar ceroboh. Walaupun bukunya terbitan 2016 rupanya belum ada usaha mereviu isi buku sehingga tetap ada kesalahan yang berulang. III Mataram Kuno di Temanggung Kerajaan Mataram Kuno dibahas secara luas dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (Poesponegoro dkk, 2009, jilid II, edisi pemutakhiran). Berada pada bab IV dan terbagi dalam tiga subbab mulai dari halaman 113 sampai dengan 278. Jadi sekitar 165 halaman. Subbab A tentang Wangsa Sailendra dengan pembahasan meliputi asal-usul Wangsa Sailendra, Kerajaan Ho-ling dan Kanjuruhan, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, serta Rakai Panangkaran dan pengganti-penggantinya. Subbab B tentang Wangsa Isana dengan pembahasan tentang asal-usul Wangsa Isana, Dharmmawangsa Teguh, dan Airlangga. Subbab C digunakan untuk membahas dimensi sosial yaitu keadaan masyarakat. Keadaan masyarakat ditinjau dari segi landasan kosmogonis, struktur birokrasi, sumber penghasilan, ekonomi, hukum, dan kesenian. Bagian pertama bab IV tersebut, oleh karena mengupas dinamika politik dan pemerintahan para raja Mataram Kuno, hampir tidak ada tempat bagi ••• 111 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Temanggung untuk turut berbicara. Meskipun begitu karena beberapa sumber sejarah (prasasti) berasal dari Temanggung mau tidak mau akan menyebutkan juga nama Temanggung seperti Prasasti Gondosuli 1 dan 2. Demikian pula, Prasasti Kayumwungan (D27 & D34), Prasasti Mantyasih (D40 dan E19), Prasasti Tulang Air 1 dan 2 (D7 dan D30), Prasasti Tru i Tpussan 1 dan 2 (D39 dan D107), Prasasti Alih Tinghal (D83), di samping prasasti koleksi BPCB Prambanan yakni Prasasti Airpulyan (866 M), Prasasti Rukam (907 M), dan Prasasti Wanua Tengah 3 (908 M). Tidak kurang dari 24 buah prasasti ditemukan di Temanggung. Di samping menggambarkan dinamika politik yang tinggi dalam persoalan internal istana Mataram Kuno, misalnya soal suksesi, identifikasi tokoh raja-raja Mataram Kuno sebenarnya juga belum dapat dikatakan memuaskan. Ini disebabkan oleh keterbatasan sumber data pada periode-periode tertentu, misalnya sepeninggal Sanjaya dan kemudian Rakai Panangkaran, masa selanjutnya merupakan masa yang kering data untuk mengetahui lebih banyak tentang Rakai Panaraban, Rakai Warak, Dyah Gula, dan Rakai Garung. Bagian kedua dari Bab IV SNI membahas Dinasti Isyana. Meskipun Pu Sindok masih kerabat istana Mataram Kuno dengan menduduki jabatan Hino dan Halu, ia dianggap mendirikan kulawangsa baru. Karena periode ini Mataram berpindah ke Jawa bagian timur yang berarti juga bergesernya pusat pemerintahan, Temanggung tidak ada lagi dalam diskusi topik ini. Akan menarik membicarakan bagian ketiga Bab IV ini yaitu tentang keadaan masyarakat. Ini pun dengan catatan bahwa kajian-kajian tentang landasan kosmogonis juga tidak akan berkaitan dengan keberadaan Temanggung. Kabupaten Temanggung mempunyai tempat sendiri dalam khasanah sejarah nasional. Temanggung menyumbang narasi sejarah sejak masa praaksara hingga pascakemerdekaan (Wulandari, 2017). Temuan artefak yang mewakili zaman kebudayaan megalitikum seperti lumpang batu, sarkofagus (Martono, 2017), dan arca yang bersifat antropomorfis (Suhadi, 2009), terdapat di wilayah Kabupaten Temanggung. Penemuan nekara perunggu dari Desa Tanurejo Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung (Poesponegoro dkk, 2009: 298) menegaskan keberadaan Temanggung dalam panggung sejarah nasional, khususnya dalam periode zaman praaksara. Penemuan fragmen tengkorak individu F1 Liangan (menurut kode data penelitian situs) yang disimpulkan sebagai individu yang diperkirakan berusia antara 18 dan 22 tahun; kemungkinan berjenis kelamin perempuan; mengalami caries pada giginya; giginya sudah dipangur; dengan afinitas populasi individu Liangan F1 berdasarkan penilaian pada karakter morfologi tersebut memiliki ciri rasial campuran yaitu karakter Mongoloid yang kuat dengan beberapa karakter Australo-Melanesid Berdasarkan hasil pengelompokan cluster analysis, dapat diketahui bahwa individu Liangan F1 berada di percabangan antara populasi Mongoloid di Asia Tenggara Kepulauan dan Daratan, dengan populasi AustraloMelanesoid di Pasifik dan Asia Tenggara Kepulauan (Noerwidi, 2014: 307-311). Secara umum dapat dinyatakan bahwa persebaran artefak dari masa praaksara di Temanggung tidak terlalu merata. Temuan-temuan seperti yang disebutkan di atas baru tercatat di Kecamatan Bansari, Kranggan, Tlogomulyo, Temanggung, Kandangan, Kedu, dan Bulu. Sarkofagus baru ditemukan di Kecamatan Kaloran, arca ditemukan di Kecamatan Ngadirejo. Dengan demikian ••• 112 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Temanggung baru 40% yang sudah diketahui. Keadaannya berbeda dengan peninggalan / artefak dari masa Hindu. Dari 20 kecamatan di wilayah Kabupaten Temanggung, 18 kecamatan menyimpan artefak. Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia jika Indonesia dinyatakan memasuki masa aksara (masa sejarah) pada abad V menyusul penemuan Prasasti Yupa dari Kutei, Temanggung memasuki masa sejarahnya pada abad IX. Ini berkat penemuan Prasasti Munduan yang bertarikh Kamis Legi, 21 Januari 807. Untuk pertama kali termuat dalam prasasti gelar “Rakai”. Pencantuman gelar rakai pada prasasti ini lebih tua daripada yang diduga oleh Kartakusuma (1983:2) yang menyebut Prasasti Kayumwungan (Kamis Legi, 26 Mei 824). Nama tokoh yang memberi perintah penerbitan prasasti adalah Rakai Patapan Pu Manuku (Kuntayamah, 2009). Suplemen Sejarah Lokal Mempertimbangkan kekayaan potensi sejarah lokal di Temanggung akan menjadi sayang jika tidak dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran sejarah. Dasar pertimbangannya ada dua, yang pertama, peninggalan purbakala di Temanggung meskipun sudah banyak yang didaftarkan sebagai benda cagar budaya atau struktur, bangunan, dan situs cagar budaya namun pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya masih rendah. Sementara benda-benda peninggalan itu rawan mengalami kerusakan atau bahkan hilang, dan pengetahuan masyarakat yang masih terbatas jika tidak segera dikenalkan akan semakin jauh jarak antara masyarakat dan kekayaan sejarah di daerahnya sendiri. Pertimbangan kedua, sebenarnya pernah muncul gagasan dalam bentuk konsep tentang prinsip-prinsip pembelajaran sejarah dalam dokumen awal pemberlakuan Kurikulum 2013. Dalam prinsip-prinsip tersebut dinyatakan : a) Mengembangkan proses pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan di semester awal (pertama dan kedua) sehingga peserta didik memahami konsep-konsep utama sejarah, menguasai keterampilan dasar sejarah, dan memantapkan penggunaan konsep utama dan keterampilan dasar ketika mereka mempelajari berbagai peristiwa sejarah di semestersemester berikutnya (semester ketiga – keenam); b) Setiap peristiwa sejarah dirancang sebagai kegiatan pembelajaran satu semester dan bukan kegiatan satu pokok bahasan. Untuk itu maka peserta didik secara kelompok atau individual dapat memilih mempelajari satu atau lebih peristiwa sejarah secara mendalam. Hasil pendalaman tersebut dipaparkan di depan kelas sehingga peserta didik lain memiliki pengetahuan dan pemahaman peristiwa sejarah lainnya secara garis besar berdasarkan laporan kelas peserta didik; c) Proses pembelajaran sejarah memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan berbagai sumber seperti buku teks, buku referensi, dokumen, narasumber, atau pun artefak serta memberi kesempatan yang luas untuk menghasilkan “her or his own histories” (Borries, 2000); d) Peserta didik diberi kebebasan dalam memilih peristiwa sejarah nasional untuk setiap strands dan peristiwa sejarah daerah yang terkait dengan strands yang dibahas. Sejak awal tahun, guru sejarah di SMA/MA, SMK/MAK sudah harus menentukan berapa banyak peristiwa sejarah tingkat nasional dan ••• 113 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) tingkat daerah yang harus dipelajari peserta didik dalam satu rancangan keseluruhan pendidikan sejarah. Pada prinsip yang keempat itulah sebenarnya gagasan ini didasarkan, yaitu pada topik-topik sejarah nasional, dalam hal ini mengambil topik sejarah Kerajaan Mataram Kuno, dapat ditambahkan materi sejarah lokal. Ini dapat dimulai dari pengidentifikasian Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Perlu diketahui bahwa mulai tahun pelajaran 2017/2018 terjadi perubahan spektrum kurikulum SMK sehingga mengubah peta pembelajaran sejarah Indonesia. Perubahannya sangat mendasar karena pembelajaran sejarah Indonesia sebelumnya diberikan dari kelas X sampai dengan kelas XII dengan total KD sebanyak 28 (8+11+9), sekarang dipangkas hanya sampai di kelas X meskipun dengan penambahan 1 jam pelajaran (menjadi 3 x 45 menit) dengan jumlah KD mencapai 13 poin. ••• 114 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Kompetensi Dasar (pengetahuan, KI-3) setelah mengalami perubahan spektrum dan kemungkinan menambahkan suplemen sejarah lokal Temanggung dapat diperiksa tabel berikut. No Kompetensi Dasar Suplemen Materi Sejarah Lokal 1 3.1 Memahami konsep dasar sejarah (berpikir kronologis, diakronik, sinkronik, ruang dan waktu serta perubahan dan keberlanjutan) 2 3.2 Menganalisis kehidupan manusia Kehidupan masa praaksara di dan hasil-hasil budaya masyarakat Temang-gung berdasarkan temuan artefak lumpang batu (di Pra Aksara Indonesia Temanggung, Bansari, Kranggan, Kandangan, Tlogomulyo), sarkofagus (Kaloran), arca (Ngadirejo), nekara (Tanureja Bansari) 3 3.3 Menganalisis berbagai teori Kehidupan masa klasik (Hindutentang proses masuknya agama Buddha) berdasarkan temuan dan kebudayaan Hindu dan Buddha benda cagar budaya di 18 serta pengaruhnya terhadap kecamatan, struktur cagar budaya kehidupan masyarakat Indonesia di Bulu dan Ngadirejo, dan situs (pemerintahan, budaya) cagar budaya di Ngadirejo di samping temuan prasasti-prasasti dari Temanggung 4 3.4 Menganalisis berbagai teori Persebaran dan perkembangan tentang proses masuknya agama Islam di Temanggung berdasarkan dan kebudayaan Islam serta temuan benda cagar budaya, dan pengaruhnya terhadap kehidupan bangunan cagar budaya masyarakat Indonesia (ekonomi, pemerintahan, budaya) Pengidentifikasian sumber-sumber sejarah, dalam hal ini sejarah Mataram Kuno, dapat dilakukan dengan membuat dua irisan. Irisan pertama, jika prasastiprasasti Gondosuli, Tulang Air, Tru i Tpussan, Mantyasih, Rukam, dan Wanua Tengah telah dipakai sebagai referensi dalam penulisan sejarah nasional, sejarah lokal Temanggung dapat memakai prasasti yang belum digunakan, misalnya Prasasti Munduan, Prasasti Sucen, Prasasti Tlasri (Vangkud), dan lain-lain. Akan tetapi cara ini akan berakibat mengesampingkan prasasti-prasasti yang telah disinggung di atas sedangkan prasasti itu lebih penting. ••• 115 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) No 1 2 3 4 Prasasti Konteks Politik (Raja naik tahta) 1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (716 M) 2. Rakai Panaṅkaran ( 4 Oktober 746 M) 3. Rakai Panaraban ( 6 Maret 784 M) 4. Rakai Warak dyah Manara ( 3 Maret 803 M) P. Munduan (21-01-807 M) P. Gondosuli II (823 M) P. Kayumwungan (26-05-824 M) P. Gondosuli I (07-05-827 M) 5. Dyah Gula (26 Juli 827 M) 6. Rakai Garuṅ (14 Februari 829 M) 5 6 7 8 9 P. Tru i Tpussan I (11-11-842 M) P. Tru i Tpussan II (11-11-842 M) P. Sucen I (19-03-843 M) P. Sucen II (19-03-843 M) P. Sucen III (19-03-843 M) 10 11 12 P. Lurah (E14) (850 M) P. Tulang Air I (15-06-850 M) P. Tulang Air II (15-06-850 M) 13 14 P. Wanua Tengah I (10-06-863 M) P. Wanua Tengah II (10-06-863 M) P. Tlasri (28-06-864 M) P. Airpulyan (10-10-866 M) P. Kuncen Wetan (06-12-878 M) P. Alih Tinghal (883 M) 15 16 17 18 7. Rakai Pikatan dyah Salaḍū (6 Maret 847 M) 8. Rake Kayuwaṅi dyah Lokapāla (27 April 855 M) 9. Dyah Tagwas (17 Februari 885 M) 10. Rake Panumwaṅan dyah Dewendra (25-08885) 11. Rake Gurunwaṅi dyah Bhadra (18 Januari 887) 12. Rakai Wuṅkalhumalaṅ dyah Jǝbaṅ (894 M) 13. Rakai Watukura dyah Balituṅ (10 Mei 898 M) 19 20 21 P. Telahap (11-03-899 M) P. Mantyasih I (11-04-907 M) P. Mantyasih II (D.40) (11-04-907 M) 22 P. Mantyasih III (E.19) (11-04907 M) 23 P. Rukam (19-10-907 M) 24 P. Wanua Tengah III (01-10-908 M) Sumber: Hendro Martono, 2016 ••• 116 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Oleh karena itu irisan kedua lebih baik dilakukan, yaitu dengan mengupas bagian prasasti yang belum dikaji dalam penulisan sejarah nasional. Seperti pada contoh, buku pelajaran sejarah menitikberatkan penyajian aspek politik dan budaya, sehingga sejarah lokal dapat mengenalkan aspek lain seperti aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Sebagai ilustrasi, Prasasti Rukam (Senin Pahing, 19 Oktober 907) yang berisi tentang peresmian desa Rukam sebagai desa sima, dalam perspektif sejarah nasional mungkin hanya akan dilihat dari sisi raja yang memerintahkan menerbitkan prasasti, siapa pejabat kerajaan yang hadir, dan apa konteks politiknya bagi raja. Dalam perspektif sejarah lokal, Prasasti Rukam tidak hanya menarik dari sisi politik, aspek-aspek lain ternyata juga perlu dipertimbangkan. Misalnya, pada waktu dilaksanakan upacara penetapan sima tentu selain pejabat kerajaan juga diundang para pejabat dari tingkat watak maupun wanua. Lebih-lebih juga diundang para saksi dari desa-desa yang berbatasan (wanua i tpi siring). Dalam hal ini, penggalian data tentang desa itu ternyata tidak hanya menghasilkan daftar para pejabat desa namun juga keletakan desa-desa itu. Kartakusuma (1981: 103-109) dalam upaya melokasikan Desa Rukam (desa yang dijadikan sima) juga memulai dengan mengidentifikasi desa-desa perbatasannya. Ada 8 desa perbatasan Desa Rukam, yaitu :1) Desa Patapan; 2) Desa Pamigaran; 3) Desa Mantyasih; 4) Desa Wanua Galuh; 5) Desa Wunut; 6) Desa Wuat Gunung; 7) Desa Wungkal Anak; dan 8) Desa Kedu. Berdasarkan sistem pemukiman yang menganut pola panyatur desa ataupun pangasta desa maka ke-8 desa perbatasan tersebut termasuk dalam pola pangasta desa. Berdasarkan pola keletakan desa tersebut, Prasasti Gondosuli memberitakan bahwa desa-desa perbatasan itu disebut secara berurutan, dan dimulai dari arah timur kemudian mengikuti pola arah pradaksina. Kartakusuma sampai pada simpulan bahwa Desa Rukam terletak di antara Desa Kedu dan Desa Mantyasih. Karena Desa Rukam itu pada dasarnya wanua i Rukam wanua i Jro Kartakusuma menyimpulkan bahwa pusat kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Dyah Balitung berada di Kedu. Aspek lain dari desa-desa yang telah disebut adalah pejabatnya. Disebutkan dalam prasasti bahwa utusan dari Desa Patapan yang datang adalah seorang kalima yang bernama Dawa, ayah Dewara. Parujarnya bernama si Hyun, ayah Mupu. Dari Desa Pamigaran yang datang adalah seorang kalima bernama si Gahat, ayah Simpuh. Datang bersama si Gahata ini adalah seorang gusti dari Desa Pamigaran bernama si Siwangita, ayah Satyaka. Dari Desa Mantyasih yang datang adalah seorang kalima bernama si Punjang, ayah Bahad, bersama gustinya yang bernama si Kara, ayah Labdha, dan lain-lain (Kartakusuma, 1981:35). Bahan suplemen yang berbasis sejarah lokal ini apabila telah diterapkan dalam kegiatan pembelajaran dapat pula dicobakan dalam kegiatan evaluasi. Dalam dua tahun ini, beberapa soal sejarah yang bersifat lokal telah diujikan kepada peserta didik. Contoh soal seperti di bawah. No Kelas Soal Kunci 1 X Indonesia memasuki zaman sejarah (mengenal tulisan) pada abad V. Temanggung memasuki zaman sejarah pada abad …. A. ke-5 (403) B. ke-6 (504) C. ke-7 (605) ••• 117 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) D. ke-8 (706) E. ke-9 (807) Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat digunakan sumber berupa prasasti. Salah satu prasasti yang berasal dari Temanggung ialah …. A.Prasasti Telahap B.Prasasti Candiroto C.Prasasti Ngadirejo D.Prasasti Wonoboyo E.Prasasti Tlogomulyo Salah satu raja Mataram Kuno yang diperkirakan berasal dari Temanggung ialah …. A.Rakai Pikatan Pu Manuku B.Rakai Pikatan Dyah Jbang C.Rakai Pikatan Dyah Saladu D.Rakai Pikatan Dyah Manara E.Rakai Pikatan Dyah Dewendra Salah satu bangunan peninggalan zaman Kerajaan Mataram Kuno yang masih berdiri tegak di Temanggung ialah …. A.Candi Pawon B.Candi Selagriya C.Candi Pringapus D.Candi Gandasuli E.Candi Gedong Songo Salah satu desa kuno yang disebut dalam prasasti dan desa itu masih ada hingga sekarang ialah …. A.Kedu B.Kaloran C.Kledung D.Kranggan E.Karang Gedong C. Simpulan dan Saran Buku pelajaran sejarah terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memuat standar minimal materi pelajaran sesuai dengan kompetensi dasar yang telah digariskan. Karena hanya memuat materi minimal, di samping kesalahan yang memerlukan pembetulan, materi buku tersebut kurang memiliki nuansa kedaerahan sebagaimana karakteristik buku sebagai buku pelajaran yang berlaku secara nasional. Oleh sebab itu dimungkinkan untuk menambah materi dalam bentuk suplemen. Suplemen berasal dari penggalian kekayaan sejarah lokal. Dalam konteks Temanggung, materi tersebut antara lain dapat mengambil tema masa Kerajaan Mataram Kuno. Apabila sejarah lokal selama ini belum mendapat perhatian dari guru, peserta didik, maupun masyarakat, kini ada kesempatan yang baik untuk mendekatkan kedua bahan sejarah. Sejarah nasional yang diperkaya dengan materi sejarah lokal akan semakin mengakrabkan para pihak dalam mempelajari sejarah. Untuk ukuran daerah-daerah di Pulau Jawa, terdapat buku inventaris peninggalan kuno di Pulau Jawa karangan Verbeek (1891) yang menarik. Lebih ••• 118 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) khusus, di Jawa Tengah sekurang-kurangnya catatan inventaris peninggalan kuno tersebut ada di Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Kemudian Semarang, Jepara, dan Banyumas. Begitu pun eks-Karesidenan Kedu, dan Surakarta. Daftar tersebut dapat dimanfaatkan untuk menggali potensi sejarah lokal. Daftar Pustaka Kartakusuma, Richadiana. 1981. “Prasasti Rukam”. Skripsi. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kartakusuma, Richadiana. 1983. “Rakai”. Makalah disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III di Ciloto, tanggal 23 s.d. 28 Mei 1983. Kuntayamah. 2009. “Prasasti Munduan 728 S: Suatu Tinjauan Ulang”. Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Lestariningsih, Amurwani Dwi, dkk. 2016. Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Martono, Hendro. 2016. “Membayangkan Temanggung Kuno”. Makalah. Disajikan dalam seminar sehari dengan tema “Situs Liyangan sebagai Rumah Peradaban” diselenggarakan atas kerjasama Balai Arkeologi Yogyakarta dan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Temanggung, di Temanggung, 3 November 2016 Martono, Hendro. 2017a. “Peranan Sejarah Lokal dalam Pengembangan Literasi di Sekolah”. Makalah dalam Seminar Nasional Event Kesejarahan kerjasama antara Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Yayasan Cendekia Mandiri, dan Forum Ikatan Kadang Temanggungan. Temanggung, 2 Oktober 2017. Martono, Hendro. 2017b. Penelusuran Sumber Sejarah Kuna di Temanggung. Temanggung: Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata; Yayasan Cendekia Mandiri, dan Forum Ikatan Kadang Temanggungan. Noerwidi, Sofwan. 2014. “Sisa Rangka Manusia dari Situs Permukiman Mataram Kuna-Liangan, Temanggung Jawa Tengah (Human Skeleton Remain from LianganSettlement Site of Old Mataram Kingdom, Temanggung, Central Java)” dalam Abbas, Novida (Ed.). Liangan Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro. Yogyakarta: Kepel Press. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Poesponegoro, Marwati Djoenoed dkk. 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoenoed dkk. 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Suhadi, Machi dan Kusnin Asa. 2009. “Hasil Penelitian Penyusunan Bahan Sejarah Budaya Masa Klasik Syailendra-Islam da Kolonial Kabupaten Temanggung”. Laporan Penelitian. Temanggung: Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Temanggung. Wulandari, Triana. 2017. “Peran Temanggung dalam Sejarah Nasional”. Bahan presentasi. Disampaikan dalam seminar nasional event kesejarahan ••• 119 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) kerjasama antara Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Temanggung, Yayasan Cendekia Mandiri, dan Forum Ikatan Kadang Temanggungan. Temanggung, 2 Oktober 2017. ••• 120 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) REVITALISASI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN RATU SAFIATUDDIN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH UNTUK MENINGKATKAN SIKAP EMANSIPASI SISWA Widia Munira, Muhammad Akhyar, Djono Magister Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Email: munirawidia@yahoo.com ABSTRAK Kepemimpinan tidaklah hanya berguna bagi pemimpin tetapi berguna bagi setiap orang yang dipimpin. Artinya dengan memahami konsep kepemimpinan dengan baik, seorang pemimpin akan mampu memimpin dengan baik dan bijaksana serta menciptakan loyalitas dari rakyat yang dipimpinnya. Ratu Safiatuddin merupakan seorang perempuan yang pernah bertahta dalam kerajaan Aceh Darussalam. Safiatuddin menjadi sultanah pada tahun 1641-1675. Selama masa pemerintahannya tersebut Ratu Safiatuddin berkontribusi dibidang pendidikan terutama dalam mensejahterakan kaum perempuan di Aceh. Salah satunya dengan melibatkan kaum wanita dalam administrasi Negara dengan meresposisi jumlah wanita di parlemen. Untuk itu, mengingat begitu pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam kepemimpinan Ratu Safiatuddin, maka perlu di revitalisasi dalam pendidikan, salah satunya dalam pembelajaran sejarah untuk meningkatkan sikap emansipasi siswa. Tulisan ini bertujuan untuk merevitalisasi nilai-nilai kepemimpinan Ratu Safiatuddin dalam pembelajaran sejarah ditingkat SMA. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi, kajian pustaka, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa nilai-nilai Kepemimpinan Ratu Safiatuddin terintegrasi dalam materi pembelajaran sejarah. Nilai-nilai Kepemimpinan Ratu Safiatuddin penting diintegrasikan dalam pembelajaran sejarah agar peserta didik tidak kehilangan nilai-nilai emansipasi dalam kepemimpinan Ratu Safiatuddin serta sebagai langkah untuk merekontruksikan kembali sejarah Kerajaan Aceh Darussalam pada masa kepemimpinan Ratu Safiatuddin. Kata Kunci: Revitalisasi, Kepemimpinan Ratu Safiatuddin, Pembelajaran Sejarah. Pendahuluan Wanita sebagai seorang pemimpin formal pada mulanya banyak yang meragukan mengingat penampilan wanita yang berbeda dengan laki-laki, tetapi keraguan ini dapat diatasi dengan keterampilan dan prestasi yang dicapai. Didalam kepemimpinan baik dilkukan oleh wanita maupun laki-laki memiliki tujuan yang sama hanya saja yang berbeda dilihat dari segi fisik semata-mata, sebagaimna dikemukakan Kartono Kartini (2012: 40) bahwa, kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat yang tepat bagi situasi khusus.. Pemimpin yang memiliki kemampuan khusus dan diakui oleh kelompoknya termasuk ke dalam pemimpon informal, karena kepemimpinan tersebut lebih menekankan pada kekhususan tertentu terutama tempat dan individunya, sehingga seorang peimmpin terjadi atas dasar kemampuan atau ••• 121 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) keahlian tertentu, bukannya atas dasar kemampuan memimpin, misalnya kelompok wanita yang terampil dalam bidang pembuatan batik, sehingga yang paling ahli akan menjadi pemimpinnya, begitu pula kelompok wanita yang bekerja sebagai pembuat kain tenun, maka yang paling terampil akan diangkat sebagai pemimpin, dan seterusnya. Pemimpin yang berada pada organisasi formal akan memiliki kekuasaan manajeman yang didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen pula, sehingga kekuasaan yang dimilikinya bersiafat institusional dan tidak dihubungkan dengan sifat-sifat pribadi misalnya, seorang wanita yang menjadi kepala sekolah, kemudian bawahannya baik guru-guru atau staf tata usaha dan tunduk keapdanya bukan pada pribadi melainkan pada kepemimpinannya karena ia dapat mensejajarkn dirinya dengan laki-laki apabila yang bersangkutan memiliki kebutuhan untuk mencapai prestasi. Pembelajaran sejarah terutama pembelajaran sejarah nasional adalah salah satu di antara sejumlah pembelajaran yang terdapat di berbagai tingkat pendidikan dari sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Pembelajaran sejarah berfungsi untuk menanamkan semangat berbangsa dan bertanah air. Tugas pokok sejarah adalah dalam rangka character building siswa. Pembelajaran sejarah akan membangkitkan kesdaran empati di kalangan peserta didik, yakni empati dan toleransi terhadap orang lain serta dengan kemmampuan mental dan sosial untuk mengembangkan imajinasi dan sikap kreatif, inovatif, serta partisipatif (Aman, 2011: 2). Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang jika diajarkan dengan benar akan menimbulkan budi pekerti siswa. Belajar sejarah berarti mengajarkan manusia akan rasa ketidaktahuannya dan keterbatasannya didalam lingkungan hidep yang begitu luas dan detail. Melalui mata pelajaran sejarah yang penyajiannya dideskripsikan dalam bentuk peristiwa, kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut, sehingga dapat kita jdikan bekal yang ampuh untuk bertindak dihari ini maupun memproyeksikannya dihari yang akan datang. Dengan demikian, belajar sejarah akan menjadikan seseorang lebih bijak dan lebih dewasa. Sejarah yang dirangkai kedalam bahan ajar akan menjadi paduan siswa untuk dipelajaru, sehingga mereka akan merasa lebih dekat terhadap peristiwa masa lampau dan nilai-nilai kesejarahannya akan menjadi dasar pijakan masa kini dan masa yang akan datang (Buwang, 2010: 216). Mata pelajaran sejarah di SMA paling tidak mengandung dua misi yakni pertama untuk pendidikan intelektual. Kedua, pendidikan nilai, pendidikan kemanusiaan, pendidikan pembinaan moralitas, jati diri, nasionalisme dan identitas bangsa. Pendidikan sejarah di SMA lebih menekankan pada perspektif kritis-logis dengan pendekatan historis-sosiologis (Sayono: 9). Pembelajaran sejarah dalam proses belajar, memiliki peran penting dan terlihat jelas bukan hanya sebagai proses transfer ide, akan tetapi juga sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk memahami identitas, jati diri dan kepribadian bangsa melalui pemahaman terhadap peristiwa sejarah. Pembelajaran sejarah hendaklah berorientasi pada pendekatan nilai. Menyampaikan fakta yang memang sangat penting dalam pembelajaran sejarah, akan tetatpi yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengupas fakta-fakta tersebut dan mengambil intisari nilai yang terdapat di dalamnya sehingga si pembelajar akan menjadi lebih mawas diri sebagai akibat dari pemahaman nilai tersebut (Susanto, 2014: 56-57). ••• 122 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pengajaran nilai dalam ilmu sejarah melalui proses pemberian nilai (internalisasi nilai) dengan melalui tahapan yaitu penerimaan nilai, penanggapan atas nilai, penilaian atas nilai, penghargaan atas nilai, pengorganisasian nilai-nilai dan pemelukan nilai (karakterisasi nilai). Namun harus diingat mengajarkan nilai hanya akan berhasil jika di pihak peserta didik (siswa) ada disposisi batin yang benar, yang anatara lain adalah sikap terbuka dan percaya, jujur, rendah hati, bertanggungjawab, berniat baik, setia, dan taat melaksanakan nilai-nilai disertai budi yang ceriah. Nilai-nilai itu tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan masuk ke hati kita secara lembut ketika hati secara bebas membuka diri (Atmadi, 2000: 38). Nilai-nilai yang ditumbuh-kembangkan dalam pendidikan nilai akan menjadi pegangan dan diyakini kebenarannya yang pada akhirnya akan menentukan sikap, dan sikap akan membentuk tingkah laku seseorang. Untuk mengetahui nilai-nilai yang diyakini seseorang dan menjadi sikap hidupnya dapat dilihat melalui indikator yang dapat memeberi petunjuk adanya nilai yang dimiliki. Oleh J.R. Fraenkel (1973), menyebutkan delapan indikator petunjuk adanya nilai, yaitu : (1) Tujuan yang dikerjakan (2) Aspirasinya sikapnya (3) Minatnya (interes) (4) perasaan (feeling) (5) Kepercayaan (belief) (6) Perbuatannya (7) Kekuatirannya (warries). Realitas keseharian (zaman modern) mengenai adanya perempuan yang mampu memerankan fungsi kepemimpinan dalam berbagai sektor kehidupan yang menandakan adanya potensi yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagaimana adanya laki-laki yang tidak mampu melaksanakan peran kepemimpinan. Artinya, laki-laki dan perempuan tidak bisa dikatakan memiliki kelebihan potensi kepemimpinan semata-mata dari jenis kelaminnya saja (Syarifuddin, 2005: 123). Salah satu upaya untuk meningkatkan sikap emansipasi adalah melalui pendidikan. Pendidikan sebagai suatu lembaga yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk turut berpatisipasi dalam usaha meningkatkan sikap emansipasi dengan cara mengintegrasikannya dalam pembelajaran sejarah, karena mata pelajaran sejarah dianggap penting sebab melalui pembelajaran ini, peran seorang tokoh daerah dapat diangkat dan digali kembali. Aceh merupakan sebuah wilayah yang terletak di ujung Sumatra.Dalam perjalanan sejarahnya, di kawasan ini terdapat beberapa kerajaan Islam, seperti Pasai, Pedir (Pidie), Daya, Lamuri dan Aceh Darussalam.Semua kerajaan ini telah memainkan peran penting dalam bidang sosial, politik, agama dan ekonomi. Hal ini berbeda dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang memberikan kepada kaum perempuan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Ratu Safiatuddin merupakan Sultanah perempuan pertama di tahta Kerajaan Aceh Darussalam.Ia dinobatkan sebagai ratu menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani yang memerintah pada tahun 1636-1641. Ratu Safiatuddin (1641-1675) dalam khasanah sejarah Kerajaan Aceh Darussalam dikenal dengan nama Sultanah Taju Alam Safiatuddin Syah. Pada saat Ratu Safiatuddin memerintah kerajaan Aceh Darussalam agama Islam menjadi dasar negara, AlQur’an serta Hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam, maka sesuatu yang logis kalau kedudukan perempuan disetarakan dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan, dalam Qanun Meukuta Alam ••• 123 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) membolehkan perempuan menduduki segala jabatan dalam lembaga negara, termasuk Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen). Menurut Harsja W Bachtiar , Ratu Safiatuddin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia juga menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu yang membuktikan dia sangat mencintai ilmu pengetahuan. Tidak heran jika Ratu Safiatuddin sangat menginginkan kerajaan Aceh Darussalam berkembang dan maju dengan cara mendorong para ulama untuk terus menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan mengarang berbagai kitab, untuk memajukan rakyat khususnya yang menyangkut hukum Islam.Selain memperhatikan ilmu pengetahuan, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin juga memperhatikan pembangunan pertahanan militer dengan membentuk barisan khusus wanita yang bertugas mengawal istana sekaligus sebagai pasukan elite kerajaan.Dibandingkan dengan militer, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin lebih fokus pada pembangunan pendidikan, ekonomi, dan sosial terutama pengembangan agama di Masyarakat. Nilai-nilai yang diterapkan dalam pembelajaran ini bersumber pada nilainilai kepemimpinan ratu Safiatuddin antara lain: (1) Religius; (2) Integritas; (3) Bijaksana; (4) Nilai kemasyarakatan; (5) Adil. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif. Menurut Jane Richie dalam Moleong Laxy (2007: 6), penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti. Senada dengan itu Maleong Laxy sendiri mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Metode yang digunakan adalah metode sejarah. Suhartono W.Pranoto (2006:11), mengemukakan metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan objek atau dengan kata lain metode merupakan cara untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Karena penelitian ini bertujuan merekonstruksi masa lalu, maka metode yang digunakan metode sejarah. Gilbert J. Garragahan dalam Dudung Abdurrahman (1999:43) mengemukakan bahwa metodesejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sistesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk yang tertulis. Dalam proses pengumpulan data peneliti memperoleh berbagai informasi terkait objek yang menjadi pembahasan dalam makalah ini. Studi kepustakaan digunakan terutama untuk memperoleh data-data sekunder seperti buku, jurnal, majalah dan laporan terkait objek pembahasan. Studi kepustakaan ini dilakukan di berbagai perpustakaan seperti, Perpustakaan Universitas Sebelas Maret, perpustakaan FKIP UNS, Monumen Pers, dan ISI Surakarta. Hasil dan pembahasan Kepemimpinan Ratu Safiatuddin Model kepemimpinan Ratu Safiatuddin didorong oleh beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain karena Ratu Safaituddin adalah seornag perempuan yang dipandang telah sukses dalam memimpin kesultanannya. Semangat bakat yang ••• 124 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dimiliki oleh Ratu Safiatuddin teriuntegrasi dalam model kepemimpinannya, sehingga model kepemimpinan Ratu Safiatuddin akan dibandingkan dengan faktafakta yang terjadi pada proses kepemimpinan yang dijalankan oleh pemerintah Aceh saat ini sebagai indikator-indikator untuk mendeteksi pergeseran nilai-nilai kepemimpinan dalam sejarah perkembangan kepemimpinan di Aceh. Tidak hanya mengkomparasikan model kepemimpinan Ratu Safiatuddin dengan model kepemimpinan Aceh saat ini secara akademik, namun terdapat faktor sebab akibat yang dapat membedakan proses kepemimpinan tersebut dalam meninjau hal-hal yang bersifat prestasi (A. Hasjmi, 1985: 70). Kepemimpinan Ratu Safiatuddin sangat penting untuk dipahami oleh generasi muda terkhususnya siswa yang ada di Aceh karena nilai-nilai yang terkandung di dalam kepemimpinan Ratu Safiatuddin tersirat banyak makna kehidupan yang dapat meningkatkan sikap emansipasi siswa untuk diterapkan dalam kehidupan serta bahan pembelajaran sejarah. Nilai-nilai dalam Kepemimpinan Ratu Safiatuddin Berdasarkan uraian diatas, maka nilai-nilai yang terdapat dalam masa kepemimpinan Ratu Safiatuddin adalah: a. Religius Agama sendiri, mengikuti penjelasan intelektual muslim, bukan hanya kepercayaan kepada yang ghaib dan melaksanakan ritual-ritual tertentu. Agama adalah keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridha Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusi dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur, ats dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian (Naim, 2012: 123). Model kepemimpinan yang diterapkan oleh Ratu Safiatuddin adalah model kepemimpinan spritualitas, artinya bahwa sistem kerajaan yang dianut oleh Ratu Safiatuddin berlandaskan pada azas-azas ajaran agama sebagai indikator untuk menerapkan kebijakkebijakan terhadap rakyatnya. Unsur-unsur spritualitas tersebut juga terdapat pada setiap kebijakan atau qanun yang dirumuskan oleh Ratu Safiatuddin, sehingga segala kreatifitas kebijaknnya tentang perempuan, militer, ekonomi, budaya di masyarakat Aceh mengandung makna-makna keagamaan yang diteladani oleh Ratu Safiatuddin. Proses spritualitas dalam kepemimpinan Ratu Safaituddin tersebut disinyalir telah tumbuh dan mengkristral dalam tumbuhnya sejak usia mudanya, karena latar belakang kehidupan Ratu Safiatuddin telah ditanamkan pemahamanpemahaman tentang agama Islam, sehingga pada usia dewasa secara otomatis teraplikasikan dalam kepribadiannya. b. Integritas Prestasi kepemimpinan Ratu Safiatuddin juga terlihat pada perkembangan dunia pada masa itu, bahwa Ratu Safiatuddin masih mampu untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam, dan kerajaan Aceh Darussalam pada masa itu sangat disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya di dunia, sehingga tidak jarang ditemukan argumen para cendiakiawan yang menyatakan bahwa Ratu Safiatuddin sering disandingkan kesuksesannya dengan Ratu Elizabet yang memimpin kerajaan Inggris pada masa itu (Muhammad Said, 2002: 192). Pada masa pemerintahan Ratu safiatuddin, para ulama besar di Aceh menulis dan ••• 125 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) mangabadikan melalui karyanya yang berisikan sebagai pengungkapan rasa kagumnya atas kesuksesannya yang telah dicapai olah Ratu Safiatuddin. Kesuksesan Ratu Safiatuddin dalam memimpin juga terlihat adalah pelestarian perpustakaan kerajaan yang dilakukannya.Syeikh Nuruddin Arraniry juga menjelaskan kekagumannya terhadap kepribadian Ratu Safiatuddin yang dituangkan ke dalam karyanya yang berjudul Bustanul Salatin sebagai berikut (A. Hasyimi, 1977: 49) : Banda Aceh Darussalam pada masa itu (masa Ratu Safiatuddin) terlalu makmur, dan makananpun sangat murah, dan segalam barang sabdanna, dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya dan tawakkal pada segala barang pekerjaannya, dan sabar pada segala barang halnya, bagi yang mengerasi segala yang durhaka dan aialah hebat pada segala kelakuannya dan bijaksana pada segala barang perkataannya, dan lagi halim perangainya, dan pengasih akan segala rakyatnya dan lagi syafaat akan segala fakir dan miskin. c. Bijaksana Ratu Safiatuddin terkenal dengan kebijaksanaanya dalam melanjutkan penerapan Qanun Meukuta Alam, berikut adalah poin-poin kesuksesan Ratu Safiatuddin dalam kepemimpinannya (Ismail Sofya, dkk, 1994: 54). 1. Pengembangan kehidupan beragama dalam konteks sosial. 2. Meningkatkan persatuan rakyat. 3. Menerbitkan mata uang emas secara besar-besaran (dirham), sebagai nilai tukar yang sah di kawasan kerajaan dan sekitarnya. 4. Mata uang emas (dirham) yang beredar sebelumnya semuanya diturunkan kadar emasnya dengan cara meleburkan kembali koin emas tersebut dengan tujuan untuk menertibkan perputaran ekonomi di kawasan kerajaan sehingga rakyat tidak mengalami tekanan ekonomi secara abstrak. 5. Cap kerajaan Aceh didekorasi dengan bentuk Cap sikureng, yakni sembilan nama sultan-sultanah kerajaan Darussalam dan tepat ditengahnya terdapat nama Ratu Safiatuddin. 6. Pembuatan batu nisan Iskandar Muda Thani dengan dilapiskan emas. 7. Dekorasi Mesjid Baiturrahman dengan pernak pernik kerajaan Darussalam. 8. Mengutip pajak kepada pedagang asing, yang masuk ke wilayah kerajaan Darussalam sebanyak 5% dari hasil perdagangannya. 9. Segala kebijakan yang berhubungan dengan perdagangan diatur oleh pihak kerajaan Darussalam. 10. Setiap pedagang yang masuk ke kawasan kerajaan wajib memberi hadiah kepada sultanah, peristiwa ini dibuktikan dengan redaksi salah satu dari Qanun Meukuta Alam, adalah sebagai berikut: Adapun orang luwaran yang Islam lain dari pada bangsa Atjeh seperti orang Arab, Melayu, dan Djawa atau seumpamanya, masuk ke dalam Negeri Atjeh Bandar Darussalam pekerjaannya berniaga tetapi ketika dibaru berdagang ada menghantarkan persembahan kepada raja supayah boleh kenal dengan raja. 11. Pengelompokkan lembaga-lembaga kerajaan untuk membantu tugas kerajaan dalam menjalankan misinya, lembaga tersebut diantaranya : Balai ••• 126 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Meukuta Alam, Balai Laksamana, Balai Furdhah, Balai Musyawarah, Balai Rong Sari dan Balai Majelis Mahkamah. d. Nilai Kemasyarakatan Prestasi kepemimpinan Ratu Safiatuddin dapat dipahami melalui kebijakan tentang adat yang masih berkembang saat ini di Aceh Besar dan sebagian kota lainnya di Aceh adalah tentang adat pemberian rumah kepada anak perempuan. Berdasarkan pengalaman bagi masyarakat Aceh, seorang istri setelah menikah terus dibawa ke rumah suamianya, namun hal itu dipandang rentan diskriminasi dalam keluarga menurut Ratu Safiatuddin, sehingga Ratu Safiatuddin membuat kebijakan bahwa setiap masyarakat Aceh yang hendak menikahkan anak perempuannya harus terlebih dahulu menyediakan rumah bagi anak perempuannya tersebut dengan alasan sebagai penghormatan kepada anak perempuan selain sebagai antisipasi persoalan perceraian dalam keluarga. Berikut penjelasan undang-undang yang diperintahkan oleh Ratu Safaituddin tantang kelestarian keluarga: 1. Tiap-tiap orang tua haruslah menyediakan sebuah rumah (seadanya) kepada anak perempuan jika hendak dipersuamikan. 2. Selain rumah, anak perempuan tersebut harus diberikan sepetak sawah (umong peunaweu) sebidang kebun dan seutas emas. 3. Suami harus membawa sepetak sawah kepada istrinya dan menjadi hak milik istrinya. 4. Selama mereka masih hidup rukun dan damai, maka segala harta yang berasal dari kedua belah pihak akan menjadi milik bersama. 5. Harta kekayaan yang diperoleh selama masa dalam perkawinan menjadi milik bersama, artinya 50% menjadi milik suami dan 50% menjadi milik istri. 6. Apabila terjadi perceraian, maka harta-harta bawaan suami harus tinggal menjadi milik istrinya, sementara harta yang didapatinya selama masa perkawinan dibawa sebanyak 50%. 7. Selama masa iddah setelah percerian, segala nafkah hidup istri menjadi tanggungan mantan suami. Ratu Safiatuddin juga dikenal sebagai ratu yang sangat menjunjung nilai kebudayaan Adat di Aceh, argumen tersebut dapat dipahami melalui peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahannya yang telah melegalkan kebudayaan yang berkenaan denga upacara kematian, dengan diawali dengan kematian suaminya. Sebelum upacara pemakaman berlangsung, terlebih dahulu dilakukan pawai mengiringi keranda jenazah yang terbuat dari suasa yang ditutupi dengan kain beludru dan emas menuju tempat pemakaman. Tidak kurang dari 260 ekor gajah tunggangan untuk diikut sertakan dalam pawai pergerakan tersebut, semua gajah dibajui dengan beludru dan gading serta dibelakangnya dipasang anjung empat segi yang sekelilingnya dibalut dengan emas dan perak. Deskripsi di atas menjelaskan bahwa Ratu Safiatuddin sangat mencintai suami dan para rakyatnya serta konsisten dalam menjalankan adat istiadat yang telah diberlakukan oleh kerajaan, tidak hanya itu, seiring penggiringan ••• 127 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) jenazah Sultan Iskandar Muda pihak kerajaan melakukan kegiatan sedekah dalam bentuk uang, kepada masyarakat Aceh dengan jumlah yang sangat besar. Banyak bentuk kebudayaan yang berkembang pada masa Ratu Safiatuddin yang cenderung masih dilaksanakan dalam kebudayaan di daerah Aceh Besar, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Said bahwa pengaruh kebijakan Ratu Safiatuddin sulit untuk dilupakan atas sikapnya yang bersungguh-sungguh mempertahankan kebudayaan ganti tikar atau di Aceh lebih dikenal sebagai Meutukar Bantai, maksudnya adalah ketika adik atau abang dari seorang suami yang meninggal akan digantikan oleh adik atau abangnya untuk mengawini janda yang ditinggal tersebut, perilaku tersebut dilakukan bukan hanya untuk mempertahankan harta agar tidak jatuh ke tangan orang lain, namun perilaku tersebut dilakukan untuk mempertahankan nilai-nilai kekeluargaan yang sudah tertanan di kalangan masyarakat bahwa perempuan harus dipertimbangkan, termasuk dalam hal kematian dalam tatanan kekeluargaan seperti yang telah dijelaskan di atas. e. Adil Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin telah mengembangkan Qanun Meukuta Alam mejadi lebih baik, dalam hal ini Ratu Safiatuddin mengatur tentang dasar negara, sistem pemerintahannya, pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara dan lain-lainnya (Ali Hasyimi, 1977: 129). Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin dan ratu-ratu sesudahnya adalah sebagai berikut: Bentuk dan dasar Negara Qanun Meukuta Alam menetapkan bahwa bentuk negara adalah kerajaan dan dasar-dasar negara adalah Islam, berikut penjelasan singkat tentang hal tersebut. 1. Negara berbentuk kerajaan, dimana kepada negara bergelar sultan yang diangkat secara turun-temurun, dalam keadaan keturuan tertentu tidak memenuhi syarat-syarat boleh diangkat dari bukan keturunan raja. 2. Kerajaan bernama kerajaan Aceh Darusslam dengan ibu kota negara Banda Aceh Darussalam. 3. Kepala negara bergelar Sulthan Imam Adil, yang dibantu oleh sekretaris negara dengan gelar Ratna Setia Kerukun Katobul Muluk 4. Orang kedua dalam kerajaan adalah Qadhi Malikul Adil, dengan empat orang pembantunya yang bergelar mufti empat 5. Untuk membantu Sulthan dalam menjalankan pemerintahan negara, kaum menetapkan beberapa penjabat tinggi yang bergelar Wazir. Kesimpulan dan Saran Nilai-nilai yang ditumbuh-kembangkan dalam pendidikan nilai akan menjadi pegangan dan diyakini kebenarannya yang pada akhirnya akan menentukan sikap, dan sikap akan membentuk tingkah laku seseorang. Untuk mengetahui nilai-nilai yang diyakini seseorang dan menjadi sikap hidupnya dapat ••• 128 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dilihat melalui indikator yang dapat memberi petunjuk adanya nilai yang dimiliki. Nilai dalam pembelajaran sejarah proses pemberian nilai (internalisasi nilai) dengan melalui tahapan yaitu penerimaan nilai, penanggapan atas nilai, penilaian atas nilai, penghargaan atas nilai, pengorganisasian nilai-nilai dan pemelukan nilai (karakterisasi nilai). Namun harus diingat mengajarkan nilai akan berhasil jika di pihak peserta didik (siswa) ada disposisi batin yang benar. Revitalisasi nilai-nilai kepemimpinan Ratu Safiatuddin penting diintegrasikan dalam pembelajaran sejarah agar peserta didik tidak kehilangan nilai-nilai emansipasi dalam kepemimpinan Ratu Safiatuddinserta sebagai langkah untuk merekontruksikan kembali sejarah Kerajaan Aceh Darussalam pada masa kepemimpinan Ratu Safiatuddin. Daftar Rujukan Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Aman. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011. Faisal. Nilai-Nilai Kepemimpinan Tradisional Dalam Komunitas Adat Kajang. di Sulawesi Selatan. Walasuji, Vol. 6, No. 1, 2015. Hasyimi, Ali. Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima Perang. Jakarta: Bulan Bintang, 1996. _______. Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pengembangan Tamaddun Bangsa. Jakarta: Bulan Bintang, 1997. _______. Semangat Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang, 1985. _______. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Ratu. Jakarta: Bulan Bintang, 1997. Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012. Moleong, Laxy 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Marzuki. Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Ulama Pesantren Di Aceh. Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, AKADEMIKA, Vol. 19, No. 01, 2014 Naim, Ngainun. Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu & Karakter Bangsa. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. 2012 Susanto, Heri. Seputar Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Aswaja, 2014. Syarifuddin, Amir. Meretas kebekuan Ijtihad. Jakarta: Ciputat Press, 2005. Wertheim. Gelombang Pasang Emansispasi (terjemahan Ira Armanto). Garba Budaya, 1976. ••• 129 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 130 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) REINVENSI PEMIKIRAN MUHAMMAD AZHARI AL-PALEMBANI MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH REFLEKTIF DENGAN PENDEKATAN VALUES CLARIFICATION TECHNIQUE (VCT): SUATU KAJIAN KONSEPTUAL Maya Yunita, Nunuk Suryani, Sariyatun Pascasarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Anakronisme dalam pembelajaran sejarah menyebabkan kesalahan pemahaman peserta didik terhadap kondisi faktual dan nilai-nilai yang dapat ditarik dari masa lampau. Hal ini menjadi tantangan dalam proses pembelajaran sejarah, khususnya dalam usaha untuk menghadirkan kembali pemikiran, nilai dan konsep di masa lampau kedalam konteks masa kini. Salah satu upaya untuk meminimalisir anakronisme dalam pembelajaran sejarahadalah mengembangkan konsep pembelajaran sejarah reflektif dengan pendekatan Values Clarification Technique (VCT). Metode yang digunakan adalah kajian literatur (literature review) dengan mencari dan mendiskusikan literatur yang mencakup pembelajaran reflektif dan pendekatan VCT sebagai sumber kajian literatur review. Hasil kajian menghasilkan: (1) pembelajaran reflektif dan pendekatan VCT saling bersinggungan, pembelajaran reflektif ditujukan untuk memperkuat dan melahirkan ide atau temuan yang berkaitan dengan kesejarahan dan pendekatan VCT menekankan internalisasi nilai untuk membantu siswa memilih, memutuskan dan mengambil sikap terhadap suatu ide atau temuan, (2) kedua pendekatan tersebut dielaborasikan dan menghasilkan konsepsi dalam bentuk langkahpembelajaran sejarah melalui tahapan scientific Kurikulum 2013 (apersepsi, mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasi), dan (3) konsep tersebut digunakan untuk mentransmisikan pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani melalui praktik pembelajaran sejarah. Secara teoretis, konsepsi langkah pembelajaran tersebut dapat meminimalisir anakronisme sejarah sekaligus mendorong reinvensi (penemuan kembali) nilainilai di masa lalu yang selaras dengan nilai-nilai masa kini. Keywords: pembelajaran sejarah, pembelajaran reflektif, pendekatan Values Clarification Technique (VCT), reinvensi. ••• 131 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PENDAHULUAN Anakronisme adalah ketidaktepatan dalam menganalisis suatu peristiwa dan nilai di masa lampau dengan menggunakan asumsi dan perspektif masa kini (Nunberg, 2013). Salah satu tantangan dalam proses pembelajaran sejarah adalah menghadirkan kembali pemikiran, nilai, dan konsep di masa lampau ke dalam konteks masa kini. Tantangan ini bersumber dari akronisme sejarah yang menyebabkan kesalahan pemahaman peserta didik terhadap kondisi faktual masa lampau dan nilainilai yang dapat ditarik dari masa lampau (Burston, 1963). Salah satu bentuk kasus anakronisme dalam pembelajaran sejarah dapat ditemukan dalam materi yang membahas pemikiran tokoh-tokoh atau nilai-nilai dari suatu budaya. Dalam membahas pemikiran tokoh-tokoh masa lampau, peserta didik dan guru cenderung memahami pemikiran masa lalu dengan asumsi dan persepsi di masa kini. Akibatnya, peserta didik dapat secara maksimal memahami dan mengambil nilai-nilai dari peristiwa tersebut. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan suatu konsep pembelajaran yang dapat meminimalisir anakronisme sejarah. Dengan melihat kajian dan analisis yang dilakukan para peneliti dan pengembang di bidang pendidikan sejarah, terdapat dua pendekatan dalam meminimalisir anakronisme sejarah yaitu interpretasi dan dekonstruksi. Kajian yang menggunakan pendekatan interpretasi misalnya dilakukan oleh Pujiartati, Joebagio, dan Sariyatun (2016) yang mengembangkan model pembelajaran sejarah yang mendorong peserta didik untuk menginterpretasikan nilai-nilai dari serat Wedhatama. Sementara itu, pendekatan dekonstruksi dipengaruhi oleh filsafat modernism yang secara kritis melihat adanya perbedaan suatu nilai masa kini dan masa lalu (Foucault, 1972). Pendekatan ini juga didasarkan pada sifat ilmiah skeptik terhadap suatu nilai yang telah mapan dalam masyarakat. Pendekatan dekonstruksi digunakan dalam kajian Abidin, Joebagio, dan Sariyatun (2017) dengan mengembangkan model pembelajaran sejarah yang mendorong peserta didik untuk memahami nilai-nilai asthabrata melalui pendekatan dekonstruksi dalam pembelajaran sejarah. Berdasarkan uraian tersebut, fokus dari makalah ini adalah mengembangkan suatu kajian konseptual mengenai pembelajaran sejarah reflektif dengan pendekatan nilai, khususnya dalam materi mengenai pemikiran dan nilai-nilai yang dikembangkan oleh Muhammad Azhari AlPalembani. Tulisan ini menjadi penting sebagai bagian dari upaya meminimalisir permasalahan anakronisme sejarah dan mendorong reinvensi melalui pembelajaran sejarah reflektif. METODE PENELITIAN Untuk mengembangkan suatu konsep pembelajaran sejarah reflektif, peneliti melakukan studi literatur (literature review) dengan menekankan diskusi mengenai perkembangan pendekatan dalam proses pembelajaran sejarah. Berdasarkan American Psychological Association, penelitian literaturreview dilakukan dengan melakukan:(1)penelusuranliteratur,(2) mendiskusikan berbagai teori, pendekatan, dan argumentasi pembelajaran dari berbagai pakar/ahli pendidikan dan pembelajaran, dan (3) ••• 132 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) menyimpulkan temuan dari proses diskusi literatur ke dalam suatu bentuk konseptual. Dengan demikian, dalam penelitian ini peneliti mencari dan mendiskusikan literaturyang mencakup pembelajaran reflektif dan pendekatan nilai sebagai sumber kajian literatur review. PEMBAHASAN 1. Pembelajaran Sejarah Reflektif Pembelajaran reflektif didefinisikan sebagai self-learning yang melibatkan pengalaman dan kontemplasi diri yang menghasilkan perubahan persepsi konseptual dari seorang individu (Boyd, 1981). Boud (1985) menambahkan bahwa pembelajaran reflektif adalah proses pembelajaran yang mengeksplorasi pengalaman dengan tujuan untuk mencapai pemahaman baru. Dalam perkembangan selanjutnya, pembelajaran reflektif tidak hanya melibatkan proses individual saja, tetapi juga melibatkan proses social yang mendorong peserta didik secara aktif berelasi dan terbuka dengan peserta didik lain sehingga menghasilkan transformasi diri dan social dari peserta didik (Brockbank & McGill, 2007). Pembelajaran reflektif terdiri dari dua proses yang saling berkaitan dan berelasi timbal balik satu sama lain: (1) refleksi dan (2) praktik. Pembelajaran reflektif mendorong peserta didik untuk mengetahui kelemahan kemampuan dan bagaimana melalui refleksi. Refleksi dapat didorong oleh beberapa pertanyaan meliputi: awareness, appreciation, imagine, design and judgement. Refleksi tersebut kemudian digunakan untuk mengembangkan atau memperbaiki kelemahan yang dimiliki oleh peserta didik (Ghaye, 2010). Dua proses tersebut dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini: Pembelajaran Reflektif Praksis Refleksi ••• 133 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pada dua proses tersebut terdapat fase-fase pembelajaran yaitu sebagai berikut: (1) description atau deskripsi mengenai apa yang terjadi; (2) feeling; (3) evaluation; (4) analysis; (5) conclusion; (6) action. Setidaknya, dalam ke enam fase tersebut dibutuhkan unsur-unsur relasi (relationship), dialog (dialogue), kedekatan social (social engagement), dan contoh (modeling). Selain itu, juga dibutuhkan pembelajaran reflektif idealnya dilakukan dalam bentuk proses pembelajaran naratif (narrative), interaktif (interactive), media yang adaptif dan komunikatif (adaptive and communicative media), dan diskusi (discussion) (Brockbank & McGill, 2007). Manfaat dari pembelajaran reflektif adalah: (1) affective learning yaitu membantu mempertajam perasaan dan emosi; (2) cognitive learning yaitu mendorong peserta didik untuk berfikir secara berbeda dengan pemikiran sebelumnya; (3) positive action learning yaitu mendorong peserta didik untuk berperilaku positif sesuai dengan etika dan moral; dan (4) social learning yaitu membantu peserta didik untuk belajar dari peserta didik yang lain (Ghaye, 2010). Dalam konteks pembelajaran sejarah, pembelajaran reflektif tidak terfokus pada peningkatan dan efektifitas praktik. Pembelajaran relfektif ditujukan untuk memperkuat dan melahirkan (promoting) ide-ide atau temuantemuan berkaitan dengan kesejarahan. Dengan demikian, pembelajaran sejarah reflektif cenderung menggunakan perspektif transformative (perspective transformation) dan pengembangan kognitif (cognitive monitoring and metalearning) (Thorpe, 2000). Pembelajaran Reflektif dalam Konteks Pembelajaran Sejarah Pembelajaran sejarah reflektif Refleksi Manfaat masa kini dan masa depan Narasi sejarah masa lampau Refleksi Pembelajaran sejarah reflektif 2. Pendekatan Value Clarification Technique (VCT) Teknik Klarifikasi Nilai merupakan salah satu model pembelajaran yang mengarah pada pembentukan sikap dan nilai tersebut. Teknik klarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa (Wina Sanjaya, 2011). Sedangkan menurut Adisusilo (2014) ••• 134 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) menyatakan VCT adalah pendekatan pendidikan nilai di mana peserta didik dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, memutuskan, mengambil sikap sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya. Peserta didik dibantu menjernihkan, memperjelas atau mengklarifikasi nilai-nilai hidupnya, lewat values problem solving, diskusi, dialog dan presentasi. Menurut Adisusilo (2014), yang ditekankan dalam klarifikasi nilai adalah proses pemilihan dan penentuan nilai (the proses of valuing) serta sikap terhadapnya dan bukan isi nilai-nilai atau daftar nilai-nilai hidup. Juga bukan untuk melatih peserat didik untuk berproses menghargai dan melaksanakan nilai-nilai yang dipilih secara bebas. Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran VCT adalah suatu teknik pengajaran untuk membantu siswa memahami dan menganalisis suatu nilai yang baik atau buruk untuk kemudian mereka dapat memilih, memutuskan, dan mengambil sikap sendiri berdasarkan nilai-nilai hidup. Hall dan Simon dalam Adisusilo (2014) menjelaskan ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan VCT. Adapun proses pelaksanaan dalam pendekatan VCT sebagai berikut: Fase Pembelajaran Pendekatan VCT 1. Memilih 1) Memilih dengan bebas 2) Memilih dari berbagai alternatif. 2. Menghargai/menjunj ung tinggi 3. Bertindak 3) Memilih dari berbagai alternatif setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya 4) Menghargai dan merasa bahagia dengan pilihannya 5) Bersedia mengaku / menegaskan pilihannya itu di depan umum 6) Berbuat/ berperilaku sesuatu sesuai dengan pilihannya 7) Berulang-ulang bertindak sesuai dengan pilihannya itu hingga akhirnya merupakan pola hidupnya Hall dan Raths, dalam Adisusilo (2014), menjelaskan masing-masing sub-proses diperjelaskan secara singkat berikut ini: a. Memilih dengan bebas.Memilih nilai secara bebas berarti bebas dari segala bentuk tekanan. Lingkungan dapat memaksakan sesuatu nilai pada seseorang yang sebanarnya tidak disukainya. Adakalanya lingkungan menuntut kita untuk melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan keyakinan kita. Hal yang demikian belum merupakan nilai yang sesungguhnya. Nilai yang sesungguhnya adalah nilai yang kita pilih secara bebas. Karena itu nilai-nilai yang ditanamkan pada masa kanak-kanan belum merupakan nilai yang sesungguhnya bagi anak yang bersangkutan; itu baru indikator ••• 135 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) b. c. d. e. f. g. nilai atau benih yang dapat berkembang menajadi nilai yang sesungguhnya. Memilih dari berbagai alternatif.Memilih secara bebas mengandaikan ada berbagai alternatif. Kalau tidak ada alternatif pilihan, maka tidak ada kebebasan memilih. Memilih sesudah mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing alternatif.Memilih nilai berarti menentukan suatu nilai sesudah mempertimbangkan konsekuensi dari semua alternatif yang ada. Tidak mengetahui akibat suatu alternatif berarti tidak mengetahui apa yang akan terjadi dan apa akibatnya; jika demikian seseorang tidak bebas memilih. Sebaliknya jika seseorang mengetahui akibat-akibat dari alternatif yang ada, maka dia dapat memilih dengan lebih tepat. Dapat terjadi bahwa akibat pilihan tidak diketahui sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa tidak ada pilihan bebas, tetapi apabila orang sudah menyadari akibat-akibat pilihannya, maka dia harus mempertimbangkan pilihannya kembali. Menghargai dan senang dengan pilihan yang dibuat.Nilai adalah sesuatu yang dianggap positif: dihargai, dihormati, dijunjung tinggi, diagungkan, dipelihara. Nilai membuat orang senang, gembira, bersyukur. Kalau menentukan pilihannya dan ternyata sesudah melakukan atau mengalami pilihannya itu dia menjadi gembira atau senang maka dia menemukan nilai bagi dirinya. Tetapi kalau orang menjadi murung, sedih karena pilihannya, maka kiranya dia telah keliru dalam menentukan pilihannya. Jadi, kalau seseorang memilih sesuatu nilai, seharusnya dia merasa bahagia, senang atas pilihannya, dan memelihara sebagai sesuatu yang berharga baginya. Bersedia mengakui pilihan di muka umum. Kalau nilai dijunjung tinggi, dihargai dan membuat orang bahagia atau senang maka orang tentu bersedia mengakui, menyatakan kepada orang lain. Kalau orang menjunjung tinggi suatu nilai, maka orang yang bersangkutan bisa diharapkan akan mengkomunikasikan kepada orang lain. Berperilaku sesuai dengan pilihan.Agar sesuatu benar-benar merupakan nilai bagi seseorang, maka sikap hidup, tindakan yang bersangkutan harus berdasarkan nilai itu; nilai itu harus diwujudkan atau tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya. Dengan klarifikasi nilai, orang dibantu untuk dapat membedakan apa yang dilakukannya dan apa yang diinginkannya, dirasakannya atau dipikirkannya. Tindakan seseorang mencerminkan nilai yang dianut, yang diyakininya; dia bertindak dan mengambil keputusan sesuai dengan nilainya. Dengan demikian, nilai itu memberikan arah pada hidupnya. Bobot suatu nilai dapat juga diukur dengan melihat berapa banyak waktu yang digunakan untuk memperhatikan nilai tertentu, berapa banyak tenaga yang dicurahkan demi nilai yang dianutnya, dan seberapa banyak hartanya yang dikorbankan demi nilai yang diyakini. Berulang-ulang berperilaku sesuai dengan pilihan sehingga terbentuk suatu pola hidup.Agar sesuatu sungguh-sungguh merupakan nilai bagi seseorang, maka tindakannya dalam berbagai situasi harus sesuai dengan ••• 136 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) nilai itu. Dia bertindak berdasarkan nilai yang diyakininya, dan ini berulang-ulang sehingga merupakan pola hidupnya. Dalam tahap ini nilai bukan saja dipahami, dimengerti (kognitif), diyakini kebenarannya (afektif), tetapi diwujudkan (psikomotoris) dalam perbuatan atau tindakan hidup. Jadi ketujuh subproses atau aspek tersebut harus ada agar sesuatu benar-benar merupakan nilai bagi seseorang. Dengan kata lain, ketujuh subproses itulah yang dipandang sebagai kriteria untuk menentukan apakah sesuatu itu merupakan nilai yang sesungguhnya (true value) bagi orang yang bersangkutan. Kalau ada yang kurang, maka itu belum merupakn nilai (a value indicator). Pada prosesnya VCT berfungsi untuk: (1) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; (2) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya; dan (3) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya (Suryani, 2013). Berdasarkan paparan deskripsi mengenai VCT diatas kemudian dielaborasikan dengan pembelajaran sejarah reflektif. Elaborasi ini ditujukan untuk menghasilkan suatu konsepsi mengenai pembelajaran sejarah reflektif dengan pendekatan VCT. 3. Pembelajaran Sejarah Reflektif dengan pendekatan VCT Pembelajaran sejarah reflektif dengan pendekatan VCT secara teoretis dapat dilakukan. Berdasarkan pada pendekatan dan langkah-langkah pembelajarannya, pembelajaran sejarah relfektif dan pendekatan VCT saling bersinggungan. Persinggungan pembelajaran sejarah reflektif dan VCT dapat dilihat pada table di bawah ini Persinggungan Pembelajaran Reflektif dan VCT Pembelajaran Reflektif VCT 1. Deskripsi 1. Memilih nilai 2. Feeling 3. Evaluation 2. Menghargai/menjunjung tinggi 4. Analyze nilai 5. Conclusion 3. Bertindak 6. Action Persinggungan ini memberikan peluang bagi elaborasi pembelajaran reflektif dan VCT. Peneliti kemudian mengelaborasikan kedua pendekatan tersebut menjadi konsepsi pembelajaran dalam bentuk langkah pembelajaran sebagai berikut: Tabel elaborasi pembelajaran reflektif dan VCT Elaborasi Pembelajaran Unsur Reflektif Unsur VCT Reflektif dan VCT ••• 137 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tahap Apersepsi Tahap Mengamati Tahap Menanya Tahap Mencoba Tahap Menalar Tahap Mengkomunikasikan Deskripsi Feeling Feeling Analyze Evaluation Conclusion & Action Memilih nilai Memilih nilai Menghargai nilai Menghargai nilai Tahap bertindak Tahap bertindak Konsep langkah pembelajaran tersebut akan dijabarkan secara lebih mendalam dalam konteks pembelajaran sejarah dalam materi pemikiran Muhammad Azhari Al-Palembani. 4. Reinvensi Pemikiran Muhammad Azhari Al Palembani melalui Pembelajaran Sejarah Reflektif dan pendekatan VCT Pada bagian ini, konseptualisasi pembelajaran sejarah reflektif dan VCT yang telah kami paparkan diatas akan dijabarkan dalam suatu praktik pembelajaran. Konsep tersebut akan digunakan untuk untuk mentransmisikan pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani yang terdapat dalam kitab Athiyaturrahman melalui proses pembelajaran sejarah. Pembelajaran Sejarah Reflektif dalam Konteks Pemikiran Syeik Muhammad Azhari Al-Palembani dalam kitab Athiyaturrahman Pembelajaran sejarah reflektif Refleksi Refleksi Pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Refleksi Pembelajaran sejarah reflektif Uraian mendetail dari kerangka pembelajaran sejarah reflektif tersebut dapat dilihat pada bagan deskripsi langkah pembelajaran pembelajaran berikut ini: a. Apersepsi Fase I: Menyampaikan Motivasi dan Tujuan Belajar Guru menyampaikan dan menjelaskan kepada siswa tujuan pembelajaran. Selanjutnya guru memberikan apersepsi dengan ••• 138 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) memberikan gambaran tentang kondisi social, politik, dan budaya di Palembang pada abad ke 19. b. Kegiatan Inti Fase II: Mengamati Guru membentuk siswa menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok beranggotakan 6 orang. Guru menyampaikan materi mengenai pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani (SMAP) dalam Kitab Atiyatur-rahman (KAR). Fase III: Tahap Menanya Guru membimbing siswa untuk berfikir kritis terhadap pemikiran SMAP dalam KAR. Guru mengarahkan siswa untuk melihat relevansi pemikiran SMAP dalam era kontemporer. Siswa memberi tanggapan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan mengenai pemikiran SMAP pada abad ke 19. Fase IV: Tahap Mencoba, Description dan Feeling, dan Valueing Siswa mendeskripsikan pemikiran SMAP dalam kitab AR secara berkelompok. Siswa memberikan penilaian terhadap pemikiran SMAP dalam kitab AR secara berkelompok. Fase V: Tahap Menalar, Evaluation dan Analyze, dan Menghargai Nilai Siswa merefleksikan pemikiran SMAP di era kontemporer. Siswa menyimpulkan temuan analisis mengenai relevansi pemikiran SMAP di era kontemporer. Fase VI: Tahap Mengkomunikasi, Menghargai/Menjunjung Tinggi Nilai Guru mengarahkan siswa untuk mengkomunikasikan hasil penalaran dan refleksinya terhadap pemikiran SMAP dalam kitab AR dalam forum kelas. Siswa menyampaikan hasil penalaran dan refleksi pemikiran SMAP dalam kitab AR dalam forum diskusi kelas. c. Penutup: Conclusion dan Action, Bertindak Guru dan siswa menyimpulkan bersama-sama temuan yang didapat dari proses penalaran dan relfeksi pemikiran SMAP dalam kitab AR. Siswa mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam pemikiran SMAP untuk diterapkan di dirinya dalam kehidupan sehari-hari. 5. Pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani Muhammad Azhari Al-Palimbani (1811-1874 M) merupakan salah satu ulama tasawuf yang berpengaruh pada masa Keresidenan Palembang. Muhammad Azhari Al-Palembani dilahirkan di kampung Pedatu’an, kampung 12 Ulu, Palembang. Beliau adalah putera ke delapan dari Nyimas Rabibah binti Kemas Hasanuddin bin Kemas Sinda tahun 1811 M. Ibunya wafat saat melahirkan adiknya, kemudian ia diasuh dan dibesarkan oleh kedua bibinya yaitu Nyimas Jamilah binti Kemas Hasanuddin dan Nyimas Hajah ‘Aisyah binti Kemas Haji Ahmad yang kemudian menjadi ibu asuhnya. Ayahandanya bernama Kemas Haji Abdullah (1755-1848 M) yang merupakan seorang ulama dan pemuka masyarakat di Palembang. ••• 139 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Muhammad Azhari Al-Palembani merupakan ulama Asia Tenggara yang pertama kali menerbitkan cetakan mushaf Al-Qur’an. Setelah Azhari tinggal lama di Mekah, ia singgah di Singapura dan membeli alat cetak litograf. Selain itu, ia juga membawa seorang ahli litograf ke Palembang. Ketika sampai di Palembang, Kemas Azhari mencetak dua edisi Al-Qur’an. Edisi yang pertama pada tahun 1848 dan edisi yang kedua pada tahun 1854. Selain itu, ia juga menulis berbagai buku keagamaan lainnya yang disalin dengan tangan ketika di Mekah. Dalam cetakan Al-Qur’an tersebut, ia membubuhkan stempel dengan menggunakan kutipan ayat; warna merah untuk cetakan pertama; dan warna emas untuk cetakan kedua (Michael Twyman, 1998). Di samping itu, bersamaan dengan kedatangannya di Palembang, Syekh Muhammad Azhari al-Palimbani juga melihat kondisi masyarakat Palembang yang sedang berada dalam fase krisis jati diri (Abdul Azim Amin, 2009) . Krisis jati diri ini disebabkan oleh berkuasanya bangsa asing di Palembang. Dengan alasan tersebut beliau mencari solusi dengan bermusyawarah bersama teman sejawatnya agar menggerakkan penyuluhan dan pendidikan agama Islam untuk membina jati diri kaumnya. Selain dalam bidang pendidikan, melalui kitab Athiyyah ar-Rahman Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani berusaha menghadirkan solusi untuk membina jati diri kaumnya. Dalam kitab tersebut menjabarkan keutamaan dari keenam rukun iman, mulai dari iman kepada Allah SWT., para malaikat-Nya, kitab suci, rasul, hari akhirat dan qodlo` serta qodar. Dalam Athiyyah ar-Rahman, Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani tidak hanya menjabarkan enam rukun Iman tetapi juga menunjukkan praktik dan amalannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Athiyyah ar-Rahman, juga terdapat penjelasan mengenai bagaimana pahala orang yang menjalankan aqidah Islamiyah. Penguatan aqidah Islamiyah akan berdampak secara kolektif yaitu untuk kesatuan umat muslim di Palembang. Dengan kesamaan aqidah Islamiyah maka kaum muslim akan memiliki unsur atau elemen pemersatu yaitu Islam. Oleh karena itu, kedudukan Athiyyah ar-Rahman sangat vital sebagai elemen pembentuk suatu kesadaran kolektif antar umat muslim di Palembang dan Nusantara. Pemikiran Syeikh Muhammad Azhari Al-Palembani dalam kitab Athiyyah ar-Rahman ini membuktikan adanya pemikiran nasionalisme berbasis religiousitas di Nusantara pada pertengahan abad 19. Kesatuan umat muslim ini penting untuk melawan kolonialisme di Palembang yang telah meruntuhkan kesultanan Palembang. Arah dari pembentukan aqidah Islamiyah dan kesadaran persaudaraan Islam itu adalah untuk melawan kolonialisme di Palembang. Kitab Athiyyah ar-Rahman mendorong kaum muslim untuk memperbaiki aqidah dan mempersatukan diri dalam persaudaraan Islam untuk melawan kolonialisme dengan basis pengembangan personal, sosial dan pergerakan. KESIMPULAN ••• 140 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Konsep pembelajaran sejarah dengan pendekatan VCT yang telah dikemukakan oleh penulis diatas secara teoretik dapat meminimalisir anakronisme dalam pembelajaran sejarah. Proses refleksi yang memperhitungkan perbedaan temporal antara masa lampau dan masa kini serta pendekatan VCT yang menekankan internalisasi nilai mendorong peserta didik untuk dapat berfikir kronologis dan menyejarah. Selain itu, pembelajaran reflektif dan pendekatan nilai yang digunakan juga menopang proses internalisasi nilai dalam pembelajaran sejarah yang mendorong proses reinvensi atau penemuan kembali nilai-nilai di masa lalu yang selaras dengan nilai masa kini. Sebagai suatu konsep, tentunya elaborasi antara pembelajaran sejarah reflektif dan VCT perlu untuk diuji reliabilitas, kelayakan, dan efektifitasnya. Untuk itu tiga keterbatasan tersebut menjadi fokus penting bagi penelitian selanjutnya. Dengan demikian, konsepsi ini dapat didiseminasikan dan digunakan seacara luas dalam praktik pembelajaran sejarah di Indonesia. REFERENSI Abidin, Joebagio, dan Sariyatun. (2017). Model Pembelajaran Indonesia Baru Berbasis Nilai Asthabrata dengan Pendekatan Dekonstruksi untuk Meningkatkan Sikap Kepemimpinan Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret. Adisusilo, Sutarjo. 2014. Pembelajaran Nilai Karakter Kontruktivisme dan VCT: sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Press. Amin, Abdul Azim. 2009. Syekh Muhammad Azhari al-Palimbani: Ulama Panutan Abad ke 19 di Nusantara. Palembang: Rafah Press. Boud, Keogh, and Walker. 1985. Reflection: Turning Experience Into Learning. Boyd, E. M. (1981). Reflection in Experiental Learning: Case Studies of Counsellor. Unpublished Doctorral Dissertation. University of Toronto. Brockbank, A., & McGill, I. (2007). Facilitating Reflective Learning in Higher Education: Second Edition. Berkshire: Open University Press. Burston, W. H. 1963. Principles of History Teaching. Fakenham: Cox & Wyman Ltd. Foucault, M. (1972). The Archaeology of Knowledge and The Discourse on Language. New York: Patheon Book. Ghaye, T. (2010). Teaching and Learning Through Reflective Practive: Practical Guide for Positive Action. London & New York: Routledge. Michael Twyman. Commemorating the Bicentenary of The Invention of Lithography, Lithography at The Crossroads of the East. Journal of the Printing Historical Society, No. 27, 1998: 113-131. Munslow, A. (2001). Deconstructing History. London: Routledge. Northouse, P. G. (2013). Kepemimpinan: Teori dan Praktik, edisi keenam. Jakarta: Indeks. Nunberg, G. (2013, Februari 26). Historical Vocab: When We Get it Wrong, Does it Matter? Retrieved Oktober 17, 2017, from NPR: http://www.npr.org/2013/02/26/172955182/historical-vocab-when-we-get-it-wrong-does-itmatter ••• 141 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pujiartati, Joebagio, dan Sariyatun. 2016. Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-nilai Serat Wedhatama untuk Meningkatkan Etika dan Moral Pada Siswa SMA. Tesis Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret. Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Suryani, Nunuk. Jurnal Paramhita Vol. 23 No. 2 - Juli 2013. Pengembangan Model Internalisasi Nilai Karakter dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Model Values Clarification Techniques (VCT). Hlm. 208-219. Thorpe, M. (2000). Encouraging students to reflect as part of the assignment process: students responses and tutor feedback. Active learning in higher education, 79-92. ••• 142 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 143 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) GERAKAN LITERASI SEKOLAH: STUDI ANALISIS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Rizqa Ayu Ega Winahyu,Leo Agung, Djono Universitas Sebelas Maret gaega82@gmail.com ABSTRAK Mata pelajaran sejarah adalah salah satu mata pelajaran yang membutuhkan rutinitas membaca yang berkelanjutan di karenakan sejarah adalah satu-satunya bidang ilmu yang objek kajiannya diantaranya adalah masa lalu. Sedangkan produk dari hasil aktivitas seorang sejarawan adalah berupa tulisan yang sering kita sebut dengan historiografi. Salah satu upaya seorang untuk mendapatkan informasi tentang kesejarahan adalah melalui banyak melakukan aktivitas membaca atau pada era dewasa ini aktivitas mencari segala informasi pada suatu media atau sumber tertentu sering dikenal dengan istilah literasi. Namun yang menjadi permasalahan utama dalam melakukan literasi ini adalah menurunnya minat baca yang rendah dikalangan masyarakat kita dan tentunya siswa atau peserta didik di sekolah juga mengalami fenomena yang serupa. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi pustaka (literature review) dengan mencari dan mendiskusikan literatur yang mencakup sejarah dan gerakan literasi sekolah sebagai sumber kajian literature review dan dianalis dalam pembelajaran sejarah.Berkaca pada hasil survey mengenai turunnya minat baca siswa maka adanya penggiatan dalam kegiatan literasi sangat dibutuhkan guna menangkal dampak-dampak yang lainnya. Hasil dari penelitian ini adanya progam GLS (gerakan literasi sekolah) baru-baru ini diharapkan mampu meningkatkan minat baca peserta didik, bersamaan dengan bergulirnya program GLS tentunya harus dimanfaatkan oleh pendidik mata pelajaran sejarah sebagai salah satu inovasi dalam pembelajaran sejarah. Kata Kunci : Minat baca, pembelajaran sejarah, gerakan literasi sekolah, literasi. Pendahuluan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Data UNDP tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelekanhurufan masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk katagori remaja. Capaian ini sebenarnya menunjukan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis literasi dalam pengertian kemelekanhurufan. Meskipun demikian, yang menjadi tantangan saat ini adalah rendahnya minat baca. Selain ketersedian sarana dan prasarana di Indonesia yang kurang memadai, pemerintah juga menghadapi rendahnya motivasi membaca dikalangan peserta didik. Hal ini menjadi memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks secara analitis, kritis dan reflektif (Wiedarti dkk, 2016: 1). pembelajaran di sekolah saat ini belum mampu mewujudkan peserta didik yang berkemampuan membaca (memahami teks secara analitis, kritis dan ••• 144 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) reflektif. Hal ini kemudian pada suatu kesempatan dibuktikan dengan data, pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik Indonesia (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi dalam progam PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2009 peserta didik berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396, sedangkan PISA pada tahun 2012 peserta didik berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (OECD, 2013). Hasil tersebut menunjukan bahwa Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Keterpurukan dalam dunia pendidikan khususnya pada minat baca peserta didik ditunjukan dengan hasil tes PISA dari tahun 2009 dan 2012 di mana jumlah peserta PISA terdiri dari 65 negara peserta. Ketrampilan membaca merupakan hal yang penting dalam kehidupan karena suatu pengetahuan diperoleh dari membaca sehingga keterampilan membaca seharusnya dikuasai dengan baik sejak dini. Membaca merupakan bagian dari proses belajar itu sendiri dan tugas utama seorang peserta didik adalah belajar. Maka secara tidak langsung peserta didik telah melakukan kegiatan membaca. Kemudian minat baca menurut Farida Rahim (2008: 28) mengemukakan bahwa keinginan yang kuat disertai usaha-usaha seseorang untuk membaca. Seseorang yang mempunyai minat membaca yang kuat akan diwujudkannya dalam kesediaannya untuk mendapat bahan bacaan dan kemudian membacanya atas kesadaran sendiri atau dorongan dari luar. Sehingga setiap pembelajaran mata pelajaran proses kegiatan membaca berlangsung dan hal tersebut tidak terkecuali pada mata pelajaran sejarah. Mata pelajaran sejarah merupakan mata pelajaran yang kaya akan literasi peristiwa masa lalunya. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Widja (1989: 23) menurutnya, pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau. Karena mempelajari masa lampau sumber sejarah sebagian besar adalah dari sumber tertulis (arsip, dokumen, naskah kuno, prasasti, hikayat, babat, serat) dan selain sumber tertulis sejarah memiliki sumber lain seperti audio visual (film dokumenter, rekaman pidato, dll). Sedangkan salah satu upaya seorang untuk mendapatkan informasi tentang kesejarahan adalah melalui banyak melakukan aktivitas membaca atau pada era dewasa ini aktivitas mencari segala informasi pada suatu media atau sumber tertentu sering dikenal dengan istilah literasi. Namun yang menjadi permasalahan utama dalam melakukan literasi ini adalah menurunya minat baca peserta didik. Berkaca pada hasil survey mengenai turunnya minat baca siswa maka adanya penggiatan dalam kegiatan literasi sangat dibutuhkan guna menangkal dampakdampak yang lainnya. Adanya progam GLS (gerakan literasi sekolah) baru-baru ini diharapkan mampu meningkatkan minat baca peserta didik, bersamaan dengan bergulirnya program GLS (gerakan literasi sekolah) tentunya harus dimanfaatkan oleh pendidik mata pelajaran sejarah sebagai salah satu inovasi dalam pembelajaran sejarah. Metode ••• 145 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi pustaka (literature review) dengan mencari dan mendiskusikan literatur yang mencakup sejarah dan gerakan literasi sekolah sebagai sumber kajian literature review dan dianalis dalam pembelajaran sejarah. Bagaimana dapat ditemukan data survey mengenai minat baca rendah kemudian keterkaitan dengan fenomena saat ini kemudian pentingnya minat baca peserta didik sehingga muncul suatu gerakan literasi sekolah oleh pemerintah kemudian dianalis dalam suatu pembelajaran sejarah bagaimana gerakan literasi sekolah bekerja dan apakah hasil yang dapat dari temuan penelitian ini dapat terungkap. Hasil Berdasarkan hasil penelitian, gerakan literasi sekolah merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat mempresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll). Gerakan literasi sekolah merupakan bentuk strategi pemerintah dalam menjawab kekhawatiran akan menurunnya minat baca khususnya peserta didik. Sehingga dalam pelaksanaan gerakan literasi sekolah tahapan sampai evaluasi tertulis dalam sebuah buku panduan. Gerakan literasi Sekolah Buku panduan gerakan literasi sekolah secara resmi dikeluarkan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan jenjang pendidikan. Mulai dari buku panduan gerakan literasi sekolah untuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas bahkan untuk sekolah menengah kejuruan yang semuanya memiliki latar belakang dan tujuan yang sama. Secara singkat latar belakang dari adanya gerakan literasi sekolah adalah kemampuan berliterasi peserta didik masih kurang dan menurunnya minat baca peserta didik. Pengertian literasi sekolah dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melali berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis dan/atau berbicara. Secara umum tujuan gerakan literasi sekolah adalah Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Selain itu GLS memiliki tujuan khusus yaitu; (a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah (b) Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat (c) Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan (d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca. Sedangkan di sini mata pelajaran sejarah adalah salah satu mata pelajaran yang membutuhkan rutinitas membaca yang berkelanjutan di karenakan sejarah adalah satu-satunya bidang ilmu yang objek kajiannya diantaranya adalah masa lalu. Sedangkan produk dari hasil aktivitas seorang sejarawan adalah berupa ••• 146 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) tulisan yang sering kita sebut dengan historiografi. Salah satu upaya seorang untuk mendapatkan informasi tentang kesejarahan adalah melalui banyak melakukan aktivitas membaca atau pada era dewasa ini aktivitas mencari segala informasi pada suatu media atau sumber tertentu sering dikenal dengan istilah literasi. Adanya progam GLS (gerakan literasi sekolah) baru-baru ini diharapkan mampu meningkatkan minat baca peserta didik, bersamaan dengan bergulirnya program GLS (gerakan literasi sekolah) tentunya harus dimanfaatkan oleh pendidik mata pelajaran sejarah sebagai salah satu inovasi dalam pembelajaran sejarah. Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) dalam Sutrianto (2016) menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut: (1) Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.(2) Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.(3) Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya. (4) Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.(5) Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap ••• 147 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan. ••• 148 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Tabel 1. Dalam konteks SMA, contoh kegiatan dipaparkan sebagai berikut. No Komponen 1 Literasi Dasar 2 Lliterasi Perpustakaan 3 Literasi Media 4 Literasi Teknologi 5 Literasi Visual Tahapan Pembiasaan Membaca buku sejarah 15 menit sebelum kegiatan belajar setiap hari Mencari bahan pustaka yang diminati kegiatan membaca 15 menit Membaca berita dari media cetak/ daring yang dalam kegiatan membaca 15 menit Membaca buku Elektronik Membaca film atau iklan pendek Kegiatan Tahap Tahap Pengembangan Pembelajaran Mendiskusikan Menuliskan analisis bacaan terhadap bacaan Menggunakan perpustakaan sebagai sumber informasi dalam diskusi tentang bacaan Mendiskusikan berita dari media cetak/daring Mencantumkan daftar pustaka dalam laporan tugas/ praktik setiap mata pelajaran Membuat komunitas pembelajaran untuk diskusi dan berbagi informasi terkait pemahaman mata pelajaran antar teman, dan guru Memberikan Setiap mata pelajaran Komentar Memanfaatkan terhadap buku teknologi (komputerasi, elektronik searching, dan share) dalam mengolah, menyaji, melaporkan hasil kegiatan/ laporan Mendiskusikan Menggunakan aplikasi film atau iklan video/film dalam pendek menyaji dan melaporkan kegiatan hasil praktik/diskusi/ observasi melalui website sekolah, youtube, dll. Keterangan. Sumber Buku Panduan GLS SMA (Sutrianto dkk, 2016) Gerakan Literasi Sekolah Dalam Pembelajaran Sejarah Sampai pada tahap ini gerakan literasi sekolah dalam pembelajaran sejarah dapat berjalan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan sesuai dengan buku ••• 149 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) induk atau buku panduan gerakan literasi sekolah. Namun yang sempat menjadi kendala dalam pelaksanaanya adalah ketika aturan gerakan literasi sekolah hanya diterapkan pada awal,tengah atau akhir pelajaran. Sehingga tidak semua kelas dan peserta didik dapat melaksanakan gerakan literasi sekolah dalam pembelajaran sejarah. Sebagai pendidik tidak perlu khawatir dan yang hanya perlu dilakukan adalah pendidik mampu melihat peluang di mana ketika kembali kepada prinsip dari gerakan literasi sekolah. Prinsip adalah jelas menjadikan pembelajar sepanjang hayat dengan menerapkan tahap gerakan literasi sekolah (pembiasaan, pemngembangan, dan pembelajaran). Dan sebagai pendidik atau guru mata pelajaran sejarah harus pandai-pandai memanfaatkan momentum gerakan literasi sekolah dengan mengaplikasikan mata pelajaran sejarah dalam suatu pembelajaran. ••• 150 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Tabel 2. Berikut ini adalah contoh gerakan literasi dalam pembelajaran sejarah: No Komponen Tahapan Pembiasaan Membaca buku sejarah 15 menit sebelum kegiatan belajar setiap hari Mencari bahan pustaka yang sesuai dengan pembelajaran sejarah untuk kegiatan membaca 15 menit Membaca berita dari media cetak/ daring yang berhungan dengan kesejarahan dalam kegiatan membaca 15 menit Kegiatan Tahap Pengembangan Mendiskusikan bacaan 1 Literasi Dasar 2 Lliterasi Perpustakaan 3 Literasi Media 4 Literasi Teknologi Membaca buku Elektronik (Web/blog/ebook yang berhubngan dengan sejarah) Memberikan Komentar terhadap buku elektronik (Web/blog/ebook yang berhubngan dengan sejarah) 5 Literasi Visual Membaca film atau iklan pendek yang mengadung (tentang sejarah) Mendiskusikan film atau iklan pendek (tentang sejarah) Tahap Pembelajaran Menuliskan analisis terhadap bacaan Menggunakan perpustakaan sebagai sumber informasi dalam diskusi tentang bacaan Mencantumkan daftar pustaka dalam laporan tugas/ praktik setiap mata pelajaran Mendiskusikan berita dari media cetak/daring Membuat komunitas pembelajaran untuk diskusi dan berbagi informasi terkait pemahaman mata pelajaran antar teman, dan guru Setiap mata pelajaran Memanfaatkan teknologi (komputerasi, searching, dan share) dalam mengolah, menyaji, melaporkan hasil kegiatan/ laporan Menggunakan aplikasi video/film dalam menyaji dan melaporkan kegiatan hasil praktik/diskusi/ observasi melalui website sekolah, youtube, dll. ••• 151 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pembahasan Berdasarkan hasil deskripsi dan gambar tabel yang disajikan tahap dan komponen dalam gerakan literasi sekolah maupun dalam pembelajaran sejarah adalah penggambaran bagaimana langkah serta tahapan dalam melaksanakan kegiatan. Tabel 1 mengindikasikan pembelajaran mengunakan tahapan dan komponen gerakan literasi sekolah secara umum dan tabel 2 adalah bentuk kegiatan gerakan literasi sekolah yang sudah menggunakan pembelajaran sejarah. Secara jelas dapat dilihat bahwa tabel 2 menunjukan bahwa dalam pemebelajaran sejarah kaya akan literasi dan dapat memanfaatkan berbagai komponen literasi seperti literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi visual, literasi teknologi, literasi media. Pada literasi dasar pendidik dapat memanfaatkan media buku sebagai pembelajaran sejarah buku dapat berupa biografi tokoh-tokoh (pahlawan, raja, ahli atau orang penting di dunia, dll) dengan tahapan sama membaca terlebih dahulu kemudian tahap pengembangan mendiskusikan dengan peserta didik baru pada tahap selanjutnya pembelajaran siswa dapat diberikan tugas berupa tagihan pembelajaran berupa penulisan berserta analisnya. Literasi perpustakan pendidik dan peserta didik dapat memanfaatkan perpustakaan sebagai kegiatan pembelajaran, pada tahap pembiasaan peserta didik dapat diberikan arahan untuk mencari buku refrensi terkait dengan yang dapat menambah pengetahuan pembelajaran, kemudian tahap pengembangan ini hampir sama dengan literasi dasar yaitu peserta didik mendikusikan bahan bacaan yang sudah peserta didik baca kemudian ditahap pembelajaran yang dilakukan siswa adalah sama membuat penugasan namun yang dititik beratkan padatahap ini adalah penggunaan daftar pustaka dalam membuat tugas. Literasi Media adalah literasi yang berkaitan dengan pemanfaatan media (cetak/daring) yang pada tahap pembiasaan peserta didik diharuskan membaca berita (media cetak/daring) kemudian pada tahap pengembangan untuk didiskusikan dapat secara berkelompok atau individu kemudian pada tahap pembelajaran membuat suatu komunitas untuk dapat membagikan informasi terkait pemahaman mata pelajaran sejarah kepada teman guru maupun sekolah (tugas yang hasilnya dapat dibagikan kepada warga sekolah seperti tulisan majalah/mading). Literasi teknologi pada tahap pembiasaan peserta didik dikenalkan dengan buku elektronik/ebook/jurnal dll yang berkaitan atau bersumber dari internet. Kemudian pada tahap pengembangan peserta didik dapat memberikan komentar atau analisisnya kemudian pada tahap pembelajaran peserta didik dapat membuat hasil kegiatan atau laporan pembelajaran sejarah dalam bentuk ebook/jurnal/ jurnal yang dapat diunggah di internet (wadah yang sudah disediakan sekolah misalnya). ••• 152 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Literasi visual adalah literasi tahap literasi paling tinggi karena dalam pmanfaatanya semua indra yang kita miliki dapat menikmatinya. Pada tahap pembiasaan peserta didik dapat diberikan sebuah film dokumenter untuk dilihat kemudian pada tahap pengembangan peserta didik dapat menganalisis film tersebut untuk kemudian pada tahap pembelajaran peserta didik mampu menceritakan kembali dengan versinya sendiri dan dapat mengambil pembelajaran dari film tersebut dan sebagai evaluasinya peserta didik diharapkan mampu membuat film dokumenter sesuai dengan tema-tema pada pembelajaran sejarah. Berdasarkan studi analis dalam pembelajaran sejarah dapat dikatakan bahwa gerakan literasi sekolah adalah suatu sarana penunjang pembelajaran. Dalam tahapan pelaksanaanya maupun komponennya sangat sesuai dengan pemenuhan kebutuhan pembelajaran sejarah. Sejarah adalah mata pelajaran yang kaya akan sumber literasi dan dapat beragam dalam penyampaianya. Sehingga progam gerakan literasi sekolah dalam pembelajaran sejarah merupakan suatu momentum bagi para pendidik untuk memanfaatkan progam ini sebagai penunjang pembelajaran. Pembiasaan atau secara kasarnya pemaksaan membaca selama 15 menit menjadi pemaksaan yang berujung kebaikan pada pembelajaran yaitu peserta didik yang akan terbiasa membaca dan menjadi bagian dari suatu kebutuhan pembelajar. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) seorang psikolog Rusia. Menurut Pavlov kondisi pembiasaan ini sering disebut juga dengan teori classical Conditioning. Hasil dari percobaan yang di lakukan Pavlov menunjukan bahwa konsep stimulus-respon. Dalam arti, peserta didik dapat membedakan stimulus yang disertai dengan penguatan dan stimulus yang tidak disertai dengan penguatan. Yang menarik disini adalah konsep tentang CS-CR seperti yang dikemukakan oleh Pavlov dalam hal ini Bapak dan Ibu guru dapat kita umpamakan pelaksana GLS dan siswa sebagai pembelajar yang literat sepanjang hayat. Dari penjelasan teori diatas nantinya dapat melihat dan memahami apakah guru sebagai stimulus yang berkondisi dan siswa sebagai respons berkondisi. Siegler (1988) dalam Rifa’i & Anni (2011) menyatakan bahwa apakah aspek-aspek perkembangan itu bersifat continous atau discontinous adalah tergantung pada cara-cara para pakar mengkaji perkembangan. Teori perkembangan ini relevan dengan tahap pengembangan yaitu kemampuan akan berbanding lurus dengan waktu atau kemampuan yang tumbuh seiring berjalannya waktu juga dalam hal ini suatu usaha untuk melihat dan memahami keberlanjutan dari tahap pembiasaan yang selanjutnya untuk menuju peningkatan pada tahap pengembangan. Kemudian pada tahap pembelajaran dapat dilihat pada teori pembelajaran, menurut aliran behavioristik Bapak atau Ibu guru secara langsung dan tidak langsung melihat, memahami melaksanakan gerakan literasi sekolah pada peserta didik pada tahap pembelajaran melalui kegiatan dengan menyuruh membaca, menyediakan fasilitas atau sarana prasarana, kemudian dengan kegiatan menggunakan lingkungan fisik, sosial afektif dan akademik untuk membentuk tingkah laku sebagai pembelajar yang literat sepanjang hayat. ••• 153 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Simpulan Melalui gerakan literasi sekolah minat baca siswa dapat ditingkatkan karena dalam gerakan literasi sekolah mewajibkan untuk melakukan kegiatan membaca selama 15 menit diawal, tengah, atau akhir pembelajaran merupakan tahap pembiasaan. Kemudian pada tahap pengembangan ini gerakan literasi sekolah mendiskusikan atau melakukan analisis dalam pembelajaran sejarah. Sedangkan tahap akhir yaitu pembelajaran peserta didik membuat suatu penugasan yang berorientasi pembelajaran sejarah. Karena hal ini gerakan literasi sekolah menjadi penunjang dalam pembelajaran sejarah dan lebih lanjut berdasarkan hasil temuan bahwa pendidik (mata pelajaran sejarah) memiliki peran penting dalam memanfaatkan gerakan literasi sekolah sebagai momentum meningkatkan minat baca peserta didik terutama pada pembelajaran sejarah. Daftar Pustaka [1] PIRLS 2011 International Report. Performance at the PIRLS 2011. International benchmarks timms & PIRLS report international study center (IEA): Lynch School of Education, Boston College. [2] Rahim, Farida. (2008b). Pengajaran Membaca Di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara [3] Rifa’i, Achmad & Anni Tri Catharina. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang: Unnes Press. [4] Sutrianto, Rahmawan, Hadi & Fitrion. 2016. Panduan Gerakan Literasi di Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Direktorat Jendaral Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [5] Wiedarti, Laksono, Retnanigdyah (Ed). 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktorat Jendaral Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [6] Widja, I Gde. 1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud. ••• 154 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL MELALUI MIND MAPING VISITOR UNTUK MENINGKATKAN TANGGUNG JAWAB MAHASISWA DALAM DISKUSI KELOMPOK Oleh Hany Nurpratiwi, M.Pd IAIN Tulungagung Email: hany.nurpratiwi13@gmail.com Abstrak Pembelajaran sejarah adalah pembelajaran yang sangat menarik dan seharusnya mampu membangkitkan antusiasme mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran sejarah akan menjadi manarik jika dikemas dan diramu dengan baik oleh pengajar. Sebagai pengajar kita tidak perlu pesimis dengan stigma negatif bahwa pembelajaran sejarah adalah pembelajaran yang membosankan. Tugas kita sebagai pendidik adalah merubah stigma negatif tersebut dengan menciptakan atau mengembangkan model pembelajaran yang mampu membangkitkan minat mahasiswa untuk belajar lebih aktif. Mind-maping visitor dikembangkan untuk membangkitkan minat mahasiswa belajar aktif sehingga mereka mampu menyelesaikan tugas kelompok secara mandiri. Dari hasil perkuliahan mahasiswa Tadris IPS semester 3 di IAIN Tulungagung tahun ajaran 2017/2018 dapat kita mahasiswa menjadi lebih aktif dalam proses diskusi ketika menyelesaikan tugas masing-masing kelompok yang diberikan dosen. Pendapat beberapa mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan dengan model mind-maping visitor sangat positif, mereka lebih senang dengan model pembelajaran tersebut dari pada perkuliahan dengan model ceramah atau presentasi.; Kata Kunci: Pembelajaran, sejarah, mind-maping visitor, mahasiswa, kemandirian. 1. Pembahasan a. Pembelajaran Menurut Oemar Hamalik (239: 2006) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran.Pembelajaran adalah upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap potensi, kemampuan, minat bakat peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi yang baik antara peserta didik dan pendidik. Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh dosen sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah kearah yang lebih baik (Darsono, 2000:24). Pembelajaran juga merupakan satu proses ••• 155 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) interaksi antara guru dan peserta didik melalui proses belajar mengajar (Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, 1995:6). Jadi pembelajaran merupakan kegiatan yang sengaja di rancang oleh guru sebagai pendidik dengan tujuan supaya peserta didik memahami apa yang di ajarkan oleh guru dengan mudah dan peseta didik dituntun kearah yang lebih baik. Kemampuan pendidik sangat diperlukan untuk menumbuhkan karakter peserta didik menjadi lebih baik melalui proses pembelajaran sejarah. Pengembangan proses pembelajaran perlu diperhatikan untuk mencapai tujuanpembelajaran sehingga manfaat pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Sehingga proses pembelajaran sejarah mempunyai makna dan manfaat lain disamping pencapaian nilai akademik yang tinggi. Melalui pembelajaran sejarah diharapkan mahasiswa dapat terinpirasi dari proses pembelajaran dan dapat menjadi manusia yang wisdom. Sejarah merupakan subyek yang menghindarkan manusia pada ilusi yang ada pada saat manusia tumbuh menjadi dewasa (Roswe,2014: 26). Tugas seorang pendidik sebelum melaksanakan pembelajaran adalah mempersiapkan desain atau rancangan pembelajaran. Kegiatan tersebut dilakukan supaya proses pembelajaran dapat tercapai sesuai tujuan dan memudahkan pengajar karena telah mengetahui alur pembelajaran yang akan dilakukan sehingga proses belajar akan efektif. Bahwa perencanaan pembelajaran adalah rancangan yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai suatu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus (Sri Narwati, 2012:23). Melalui pelajaran sejarah mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan kompetensi untuk berpola secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami kejadian perubahan masyarakat baik secara sosial maupun budayanya untuk dapat mencari jati diri bangsa ditengah era globalisasi seperti saat ini. Sebenarnya pembelajaran sejarah akan memberikan pemahaman terhadap peserta didik bahwa masyarakat kita mempunyai keragaman budaya yang sangat kaya dan kita harus menghormati serta melestarikannya. b. Model Pembelajaran Menurut Trianto model pembelajaran sebagai suatu pendekatan yang luas dan menyeluruh serta dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya) dan sifat lingkungan belajarnya (Trianto, 2009). Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran dan membimbing pembelajaran dikelas (Joyce & Weil dalam Rusman, 2013: 133). Model ••• 156 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pembelajaran sengaja dirancang untuk mempermudah proses pembelajaran di dalam kelas. Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan dosen dan mahasiswa, sehingga dalam menyusun model pembelajaran dosen harus menyesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa. Dalam arti lain model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, dan berfungsi sebagai perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktifitas belajar mengajar (Soekanto dalam Trianto, 2007: 5). Setiap model pembelajaran yang dikembangkan memiliki komponen yang meliputi isi, keterampilaan peranan-peranan mengajar, hubungan sosial, bentukbentuk kegiatan, sarana atau fasilitas fisik dan cara penggunaannya (Abdul Azis Wahab, 2007: 52). Komponen dalam model pembelajaraan sacara keseluruhan membentuk sebuah sistem lingkungan yang bagian-bagiannya saling berinteraksi dan mendesak perilaku partisipan dalam pembelajaran. Terdapat berbagai jenis model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran disesuaikan dengan materi pelajaran dan keadaan lingkungan setempat, supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Jenis model pembelajaran antara lain: (1) collaborative learning yang menekankan pembelajaran secara berkelompok dalam memecahkana permasalahan, seperti student teams achievement division (STAD), teams games tournament (TGT) dan Jigsaw; (2) contextual teaching and learning yang menekankan proses pembelajaran dengan mengarahkan siswa untuk membangun dan mengembangkan pengetahuannya sendiri, seperti problem based learning, inquiry-based learning dan project based learning; (3) problem solving & discovery inquiry yang menekankan proses pemecahan masalah melalui pengetahuan yang ditemukan siswa; (4) experiental learning yang menekankan pada pengalaman peserta didik dalam proses pembelajaran; (5) integrated learning atau pembelajaran yang mengkobinasikan beberapa mata pelajaran untuk mengembangkan konsep yang dipilih guru seperti projrect based learning; (6) quantum learning berprinsip bahwa sugesti dapat mempengaruhi hasil belajar; (7) resourced based learning merupakan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan tenologi dan komunikasi (Anitah, 2009:46-84). c. Mind Mapping Visitor Mind Maping adalah suatu teknik mencatat yang dapat memetakan pikiran yang kreatif dan efektif serta memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak baik belahan otak kanan atau belahan otak kiri yang terdapat didalam diri seseorang (Bobby De Porter, Mike Hernacki: 2003; 153). Maksud dari mind maping visitor adalah model pembelajaran yang dilakukan setelah mahasiswa dalam kelompoknya membuat mind maping sesuai tema yang ditentukan dan salah satu diantara anggota kelompoknya ••• 157 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) harus menjelaskan kepada tamu yang data dari anggota kelompok lain untuk memperoleh informasi. 2. Langkah Pembelajaran - Dosen membuka perkuliahan sejarah lokal - Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran dan proses pembelajaran - Dosen membagi mahasiswa dalam enam kelompok - Dosen membagikan materi dan kertas manila untuk membuat mind maping - Mahasiswa berkumpul sesuai kelompok - Dosen memberikan waktu selama 35 menit untuk mahasiswa dan kelompoknya mencari sumber atau materi - Setelah selesai - Dosen meminta mhahasiswa untuk berpencar kepada kelompok lain untuk mencari materi, tapi ada satu mahasiswa yang tinggal dikelompok dan memebrikan penjelasan kepada tamu yang datang - Setelah selesai, mahasiswa kembali kedalam kelompoknya dan membagikan materi yang mereka peroleh kedalam kelompok /diskusi internal. - Dosen memberikan pertanyaan secara acak untuk dijawab anggota kelompok lain, kelompok yang berhasil menjawab akan mendapatkan point - Dosen melontarkan pertanyaan secara acak kepada kelompok terkait materi yang didiskusikan sebelumnya, kelompok yang berhasil menjawab pertanyaan akan mendapatkan point atau nilai. - Diakhir perkulihan dosen mengumumkan nilai terbaik dari kelompok dan memberikan reward kepada kelompok yang nilainya paling tinggi. 3. Hasil Penelitian a. Melalui model pembelajaran ini mahasiswa menjadi lebih aktif daripada proses pembelajaran dengan diskusi-presentasi. b. Materi lebih mudah diserap oleh mahasiswa, terbukti ketika dosen memulai sesi kuis, mahasiswa dan kelompok lebih aktif berebut menjawab pertanyaan dari dosen. c. Mahasiswa memiliki rasa tanggung jawab untuk mengetahui dan mempelajari semua materi yang diberikan selama sesi diskusi. d. Beberapa mahasiswa memberikan komentar bahwa lebih memilih metode pembelajaran yang sama untuk pertemuan selanjutnya, karena dinilai lebih menyenangkan. Daftar Pustaka Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Anitah, S. 2009. Teknologi Pembelajaran. Surakarta: Inti Media. Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning: theory, research and practice. a.b Yusron. London: Allymand Bacon. ••• 158 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Sobry, S. 2014. Metode dan Model-model Pembelajaran Menjadikan Pembelajaran Lebih Valuatif, Aktif, Inovatif, dan Menyenangkan. Lombok: Holistica. Sugiono. 2015. Metode Penelitian dan Pengembangan RnD, Bandung: Alfabeta. _______. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Thobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-uzz Media. Trianto. 2011. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta :Bumi Aksara. Wahab, A. A. 2009. Metode dan Model-Model Mengajar. Bandung: Alfabeta. ••• 159 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 160 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) BELAJAR SEJARAH MENYENANGKAN KIDS ZAMAN NOW Dra. Willys Sari Listiyani,M.Pd. ABSTRAK Sebagain besar dari siswa menyebut pelajaran sejarah adalah kuno, banyak hapalan, monoton, membosankan dan gambaran negatif lainnya. Sulit bagi guru untuk mengajak siswa supaya senang dengan pelajaran sejarah. Lain halnya jika mengajak siswa untuk diskusi mengenai media sosial atau perkembangan teknologi. Mereka dengan antusias akan lebih tertarik.. Perkembangan media sosial yang begitu pesat lebih menarik perhatian siswa daripada belajar sejarah. Hal ini tidaklah aneh karena siswa yang lahir sebagai generasi abad 21 yang dibesarkan oleh percepatan informasi dengan kemudahan dan kecanggihan teknologi menuntut kita untuk ikut mengerti kebutuhan anak. Selanjutnya kita akan membahas permasalah ini dengan pendekatan deskriptif naratif. Sebagai guru sejarah kita harus merubah gambaran tersebut dengan cara mengganti metode dan model belajar sejarah seperti yang mereka harapkan. Model pembelajaran inovatif mampu mengajak anak untuk menyukai pelajaran sejarah dalam upaya menciptakan rasa cinta mereka terhadap tanah air lewat pelajaran sejarah. Sehingga muncul ide untuk menciptakan suasana belajar sejarah asyik…. ala kids zaman now. Kata kunci : belajar, sejarah, teknologi Pendahuluan Tidak diketahui kapan kalimat ini pertama muncul yang kemudian dipopolerkan di mediasosial (Medsos) untuk menyebut anak zaman sekarang dimana ada perbedaan pola pikir serta kebiasaan. Mereka adalah generasi abad 21 yang dibesarkan dengan kemudahan teknologi. Bukan gererasi kita yang masih mengenal permaian tradisional. Bermaian secara kolektif bukan permaian individu yang seperti sekarang ini. Generasi yang dibedakan oleh percepatan informasi dan kecanggihan teknologi. Dalam hal belajarpun ada perubahan. Belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan.Belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kemudian menimbulkan perubahan yang keadaannya berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya. Dengan adanya perkembangan teknologi yang begitu pesat belajar dapat dilaksanakan dimana saja dan dalam suasana yang menyenangkan seperti yang dikehendaki oleh generasi Kids Zaman Now. Hasil Dan Pembahasan Di sekolah ketika kita bertanya mengenai pelajaran sejarah mereka banyak menyebut sejarah kuno. Ini tidak bisa kita pungkiri karena Peristiwa sejarah yang terjadi tidak akan lepas dari masa lalu.Ada sebab akibat. Peristiwa yang saling berkaitan sebagai proses dari masa sebelumnya, masa sekarang dan masa yang ••• 161 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) akan datang. Kajian dalam sejarah unik, peristiwa sejarah hanya sekali terjadi (einmalig) peristiwa sejarah abadi perlu kemampuan untuk memaknainya. Disinilah akan terlihat sejarah sebagai ilmu atau sejarah sebagai kisah. Pelajaran sejarah dianggap sebagai suatu pembelajaran yang banyak hapalan, monoton, membosankan dan gambaran negatif lainnya harus kita ubah menjadi pelajaran sejarah yang dinamis, menyenangkan dan tidak membosankan. Dinamis artinya hidup antusias dengan banyak energi. Sering dengan perkembangan IPTEK didukung adanya kecepatan informasi, kecanggihan tehnologi dan komunikasi kuat untuk berkembang berkat interaksi dengan bangsa lainnya Dengan belajar sejarah diharapkan kita dapat merencanakan masa mendatang lebih bijak. Bijak dalam bertindak dengan melihat masa lalu untuk masa kini atau masa mendatang. Hal ini akan nampak dari manfaat sejarah bagi kehidupan manusia: 1. Sebagai panduan moral dan politik 2. Mengenal lebih dekat bangsa sendiri dan bangsa lain 3. Memperkokoh identitas bangsa 4. Melatih berpikir menyeluruh (Holistik) dan multiprespektif 5. Melatih berpikir diakronik dan sinkronik Dalam kurikulum 13 Sejarah menjadi pelajaran penting di SMA karena ada Sejarah Wajib yang disebut Sejarah Indonesia dan Sejarah Minat yang disebut materi Sejarah. Sejarah Wajib 2 jam/ minggu untuk kelas MIPA dan IPS dan sejarah minat untuk kelas X 3 jam/minggu sedangkan kelas XI dan XII 4 jam/minggu. Dengan adanya jumlah jam yang banyak guru harus dapat menciptakan trobosan atau inovasi baru dalam hal model pembelajaran. Kurikulum 13 memberi kesempatan untuk menggali kekritisan siswa. Siswa menjadi Subyek dan keberadaan guru bukanlah satu-satunya sumber belajar, guru sebagai fasilitator. Tugas guru adalah menciptakan suasana proses belajar mengajar di dalam kelas agar terjadi interaksi kegiatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik. Banyak faktor hambatan yang membuat pengajaran sejarah tidak maksimal misalnya kondisi guru, siswa dan sarana prasarana. Salah satu keberhasilan belajar tergantung pada metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru di dalam kelas. Metode pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan artinya guru boleh memilih metode pembelajaran yang sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan Pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha Esa. Guru harus mempunyai strategi tertentu supaya siswa dapatbelajar secara efektif dan efisien sehingga tujuan belajar dapat tercapai. Efektif adalah membawa hasil yang tepat. Mencapai tujuan dengan cara tepat sedangkan efisien adalah tepat sesuai untuk mengunakan sesuatu. Salah satu langkah untuk memiliki strategi tersebut adalah penguasaan terhadap teknik-teknik penyajian atau biasa disebut dengan metode mengajar. ••• 162 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Metode adalah cara untuk melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis. Ada berbagai metode pengajaran yang digunakan oleh guru dalam penyampaian materi. Salah satu metode pengajaran yang ada adalah metode pengajaran kooperatif. Dalam metode pengajaran kooperatif terdapat sejumlah teknik atau tipe yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Tidak ada metode pembelajaran yang terbaik dari model atau metode lainnya. Guru sejarah harus makin kreatif dan optimis sejalan dengan perkembangan IPTEK. Model pembelajaran konvensional harus diubah dengan model-model pembelajaran sejarah yang inovatif dan kreatif supaya siswa dapat berpikir kritis dalam memaknai masa lalu bangsanya. Ada bebrapa contoh model pembelajaran. 1. Metode Numbered Heads Together (NHT) Salah satu dari tipe pembelajaran kooperatif itu adalah NHT yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Metode NHT dikembangkan dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang dicakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh siswa, guru menggunakan struktur 4 langkah sebagai berikut: a. Penomoran (Numbering) yaitu guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 3 sampai 5 orang dan memberikan mereka nomor sehingga setiap siswa dalam kelompok tersebut memiliki nomor yang berbeda b. Pengajuan pertanyaan (Questioning) yaitu guru mengajukan pertanyaan kepada siswa c. Berpikir bersama (Heads Together) yaitu para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap siswa mengetahui jawaban tersebut d. Pemberian jawaban (Answering) yaitu guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tengan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas ••• 163 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 2. Gallery Walk (Pameran berjalan) Model pembelajaran gallery walk atau galeri belajar, merupakan salah satu model pembelajaran kelompok atau cooperative learning methods. Dimana menurut Slavin cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja kelompok-kelompok kecil berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang peserta didik lebih bergairah dalam belajar. Gallery Walk apat memotivasi keaktivan siswa dalam proses belajar sebab bila sesuatu yang baru ditemukan berbeda antara satu dengan yang lainnya maka dapat saling mengkoreksi antara sesama siswa baik kelompok maupun antar siswa itu sendiri. Langkah-langkah penerapan metode gallery walk yaitu sebagai berikut: a. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok b. Kelompok diberi kertas plano/ flip chart c. Tentukan topik/tema pelajaran d. Hasil kerja kelompok ditempel di dinding e. Masing-masing kelompok berputar mengamati hasil kerja kelompok lain f. Salah satu wakil kelompok menjawab setiap apa yang ditanyakan oleh kelompok lain g. Koreksi bersama-sama h. Klarifikasi dan penyimpulan Sekolah SMA Muhammadiyah 1 Surakarta juga mengembangkan pembelajaran dengan Quipper dan E-Learning, aplikasi dari WEB sekolah.Bahkan di sekolah lain sudah dicoba pembuatan video oleh siswa dan hasilnya tidak mengecewakan. Misalnya tugas pelajaran materi kerajaan Singosari siswa membuat kelompok untuk bermain peran sebagai Ken Arok, Ken Dedes, Empu Gandring dan sebagainya. Siswa dengan kritis berusaha menggambarkan masing-masing tokoh dan rekamannya untuk menjadi film. Untuk menggambarkan sebuah peristiwa sejarah diperlukan metode yang tepat untuk mendukung historiografi harus berpedoman 5 W dan 1 H yaitu : a. What, apa (peristiwa apa) yang terjadi b. When, kapan peristiwa itu c. Where, dimana terjadinya peritiwa itu d. Who, siapa saja yang trelibat dalam peristiwa itu e. Why, mengapa peristiwa itu terjadi, apa latar belakangnya f. How, bagaimana proses terjadinya peristiwa itu Lewat karya-karya mereka akan muncul kekritisandalam karya yang mereka hasilkan. Melalui pembelajaran sejarah siswa mengaitkan peristiwa ••• 164 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sejarah menganalisis dengan situasi ke-kinian tidak akan lepas dari kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan teknologi didukung globalisasi yang semakin cepat menuntut adanya persiapan yang lebih optimal dalam segala bidang, termasuk dalam pembelajaran sejarah. Dengan demensi waktu lampau, sekarang dan akan datang siswa diharapkan memiliki visi yang jauh melampaui batas geografis lokal dan nasional. Penutup Menggingat pentingnya pelajaran sejarah karena ada sejarah wajib dan sejarah minat serta untuk menciptakan kecintaan terhadap pelajaran sejarah guru harus dapat menciptakan trobosan atau inovasi baru sehingga pelajaran sejarah yang monoton menjadi dinamis. Beri kepercayaan anak untuk berkembang berkarya dengan cara memanfaatkan teknologi yang ada. Setiap orang dapat menulis sejarah. Tetapi untuk pembeda dapat dilihat dari metodologi. Dengan metode yang tepat beri kesempatan generasi muda menulis sejarah menurut interpretasinya untuk merekontruksi masa lalu. Setiap generasi berhak menulis sejarah, memandang sejarah dengan kekinian sesuai dengan zamannya…. Kids Zaman Now ••• 165 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 166 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) DISCOVERY LEARNING DALAM KERANGKA PEMBELAJARAN SEJARAH HUMANITARIAN Gusti Garnis Sasmita, Hermanu Joebagio, Sariyatun Universitas Sebelas Maret Surakarta gustigarnis@gmail.com ABSTRAK Urgensi pembelajaran humanitarian dalam merespon global culture yang tengah mempengaruhi setiap sendi kehidupan manusia, terutama pendidikan merupakan salah satu bentuk kontrol sosial baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mencetak tenaga-tenaga ahli yang berguna di era kapitalisme global, karena pada hakikatnya pendidikan juga harus memperhatikan aspek psikologi peserta didik. Maka pembelajaran humanitarian merupakan usaha dalam memanusiakan manusia dalam proses pembelajaran itu sendiri. Yang mana pendekatan humanis akan tampak pada model pembelajaran, salah satu diantaranya ialah digunakannya Discovery Learning dalam Pembelajaran. Tujuan pembelajaran Sejarah bukan hanya terbatas transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Maka kebermaknaan sejarah tidak dapat tercipta hanya dengan kegiatan membaca, dan menganalisis, tetapi dibutuhkan pula tindakan aktif siswa dalam menemukan fakta sejarah tersebut. Maka discovery learning merupakan metode yang tepat digunakan dalam pembelajaran sejarah. dengan menggunakan metode ini, siswa akan terlibat langsung dalam penemuan fakta, maupun konsep sejarah sehingga siswa akan merasa memiliki sejarah. discovery learning dalam kerangka pembelajaran sejarah humanitarian adalah bagaimana diakuiinya kebebasan siswa dalam menemukan dan mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif terhadap studi literatur. Hasil yang ditemukan ialah konsep discovery learning dalam kerangka pembelajaran sejarah humanitarian yang menekankan kebermaknaan, keaktifan siswa, kebebasan belajar serta pengakuan terhadap konstruksi pengetahuan yang didapat oleh peserta didik. Sehingga pembelajaran bertitik tumpu pada sudut pandang peserta didik dalam upaya mengoptimalkan kemampuannya. Kata kunci : Pembelajaran sejarah, humanitarian, discovery learning PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan proses yang berfungsi membimbing para peserta didik didalam kehidupannya, yakni membimbing dan mengembangkan diri sesuai dengan tugas perkembangan yang harus dijalani. Proses edukatif memiliki ciri adanya tujuan yang ingin dicapai, ada pesan yang akan ditransfer, ada pelajar, guru, metode, dituasi dan penilaian (Majid, 2013). Sehingga sebuah keberhasilan proses pembelajaran dapat dicapai salah satunya ialah dengan pengembangan model-model pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan intensitas keterlibatan siswa secara efektif dalam proses pembelajaran. Pengembangan ••• 167 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) model pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar secara aktif dan menyenangkan sehingga dapat meraih hasil belajar dan prestasi optimal. (Aunnurrahman, 2014) Kerangka pemikiran gagne menegaskan 3 kemampuan manusia yang merupn adalah ketrampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, ketrampilan motorik, sikap dan nilai (Aunnurrahman, 2014). Maka pembelajaran yang baik adalah ketika pembelajaran mampu mengembembangkan 3 kemampuan dasar, baik kognitif, afektif maupun psikomotor. Sebagaimana keberagaman karakteristik peserta didik berimplikasi bahwa guru harus sadar sepenuhnya bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan kelebihan di bidang Intelektual yang berbeda-beda. Dengan ketiga sasaran pembelajaran dalam ranah afektif, kognitif dan psikomotor maka diharapkan pembelajaran akan mampu mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal. Maka model pembelajaran yang digunakan oleh guru harus mampu merangkul ketiganya. Seiring berjalannya waktu, globalisasi yang berimplikasi terhadap modernisasi suatu masyarakat sebaliknya memberikan dampak cukup memprihatinkan terutama pada masyarakat Indonesia yang notabene ialah realitas masyarakat multikultural. Dehumanisasi yang tengah menjadi perbincangan publik akhir-akhir ini merupakan sebuah representasi dari penyeragaman budaya yang biasa disebut global culture. Hibridasisasi sebuah budaya dalam masyarakat jika tidak disikapi melalui strategi yang tepat akan memberikan dampak yang cukup serius yakni tergerusnya budaya minoritas suatu masyarakat. Hibridasisasi global culture inilah yang kemudian menjadi perhatian pendidikan kita saat ini. Kecenderungan pendidikan dalam bingkai globalisasi ialah menyiapkan para tenaga ahli yang mampu mengisi tempat dalam kancah kapitalisme. Maka proses pembelajaran bukan lagi menjadi sesuatu yang penting dalam kacamata globalisasi. Padahal jika kita tinjau bersama, urgensi pendidikan secara langsung maupun tak langsung merupakan kontrol sosial suatu masyarakat. Gejala intoleransi akan mampu dicegah atau diminimalisir tat kala pendidikan mampu merevitalisasi nilai-nilai tertentu dalam pembelajaran. Maka diharapkan pembelajaran seharusnya dilaksanakan dalam pendekatan yang lebih humanis. Pengakuan dan freedom of learn terhadap peserta didik merupakan poros utama yang menjadi perhatian suatu proses pembelajaran. Disinilah kemudian pembelajaran sejarah yang bukan hanya sebagai pembelajaran transfer of knowledge tetapi juga transfer of value memiliki fungsi strategis dalam bingkai pendidikan humanis. Salah satu solusi yang dapat diberikan ialah dengan model pembelajaran discovery learning yang dirasa sangat cocok digunakan dalam pembelajaran sejarah kerangka humanitarian. ANALISIS PEMECAHAN MASALAH Penelitian ini merupakan studi literatur yang merespon permasalah sosial melalui kerangka pendidikan. Analisis data mengunakan kualitatif deskribtif dengan triangulasi dala berdasarkan sumber literatur dengan masalah dilapangan. Analisis ••• 168 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pemecahan masalah yang didapatkan ialah pendidikan merupakan kontrol sosial suatu masyarakat karena fungsi pendidikan yang merupakan long life learning sehingga pembelajaran harus mampu merespon berbagai permasalah sosial yang ada. Termasuk dehumanisasi, dan intoleransi, sebagai dampak dari global culture. Pembelajaran sejarah dalam kerangka humanitarian diharapkan mampu maminimalisir maslaha tersebut. Salah satunya dengan menggunakan model discovery learning yang dirasa memiliki fungsi strategis jika digunakan dalam pembelajaran sejarah. HASIL Pembelajaran Humanitarian Pendidikan dan pengajaran di Indonesia berdasarkan Pasal 4 UUSPN No. 2 tahun 1989, bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam mencapai tujuan tersebut guru sebagai kunci kesuksesan suatu pembelajaran harus menggunakan strategi yang tepat. Berbagai permasalahan sosial di era globalisasi ini selanjutnya menjadi tantangan tersendiri terutama bagi tenaga pendidik kita. Maka pendidikan berbasis masyrakatharuslah berbentuk suatu usaha mengarah pada cita-cita ideal dan positif bagi masyarakat. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap ideologi dominan ke arah transformasi sosial (Nurhayati, 2011). Maka pendidikan yang kristis harus mampu merespon permasalahan sosial dewasa ini. Paradigma pendidikan di era globalisasi menurut Nurhayati antara lain; berorientasi pada pengetahuan bergeser menjadi pengembangan ke segala potensi yang seimbang; dari keseragaman pembelajaran bersama yang sentralistik menjadi keberagaman yang terdesentralisasi dan terindividualisasikan; pembelajaran dengan model penjejangan yang terbatas menjadi pembelajaran sumur hidup (long life learning) (Nurhayati, 2011). Maka pendidikan dalam pendekatan humanitarian merupakan jawaban terhadap paradigma pendidikan tersebut. Teori belajar dalam pendekatan humanitarian memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan pengamatnya. Tujuan utamanya yakni membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, sebagai individu yang diakui dengan bergai keunikan yang dimiliki dan membantu meningkatkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam teori belajar humanitarian muara utama ialah manusia itu sendiri sebagai proses belajar. Teori ini lebih banyak berbicara mengenai pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal yaitu “memanusiakan manusia” dalam meningkatkan potensi diri Menurut piaget sejak lahir sampai mencapai kematangan, proses berfikir berubah secara radikal, meskipun lamban, karena kita secara konstan berusaha memahami tentang dunia.piaget mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi perubahan dalam berfikir, kematangan biologis, aktivitas, ••• 169 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pengalaman sosial dan equilibriasi.zone proximal development adalah wilayah diantara tingkat perkembangan anak saat ini yang ditentukan oleh kemampuan mengatasi masalah sacara mandiri dan tingkat perkembangan yang dapat dicapai anak melalui bimbingan orang dewasa atau berkolaborasi dg teman sebaya yang lebih mampu (Wolfolk, 2009). Sehingga pembelajaran humanitarian harus mampu mendayagunakan peran serta sosiokultural sebagai bentuk scalfolding peserta didik dalam meningkatkan zone proximal development Teori humanitarian memiliki perhatian yang berbeda-beda tetapi saling berkonfergensi dari para ahli. Menurut Carl R. Rogers dalam Hadis, Belajar dipandang sebagai fungsi keseluruhan pribadi. Mereka berpendapat bahwa belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual maupun emosional peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar humanisme bahwa motifasi belajar harus bersumber pada diri peserta didik (Hadis, 2006). Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu: (1) belajar yang bermakna dan (2) belajar yang tidak bermakna. Belajar yang bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik, dan belajar yang tidak bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta didik. Peranan guru dalam kegiatan belajar peserta didik menurut pandangan teori humanisme adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif dalam : (1) membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif agar peserta didik bersikap positif terhadap belajar, (2) membantu peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya dan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar, (3) membantu peserta didik untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar, (4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada peserta didik, dan (5) menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai peserta didik sebagaimana adanya. (Hadis, 2006) Belajar yang bermakna bagi peserta didik adalah bagaimana fleksibilitas sebuah materi pembelajaran diberikan guru sebagai bentuk kebebasan dalam belajar. Paradigma guru terhadap persepsi kemampuan peserta didik harus diubah. Karena kecerdasan tak dapat di nilai dari satu bidang saja. Dengan demikian, pemahaman guru terhadap perilaku peserta didik ialah ketika guru mencoba memahami dunia persepsi peserta didik. Maka perubahan perilaku baik kognitif, afektif dan psikomotor harus berdasar cara pandang peserta didik. A whole person dalam pendekatan humanitarian merupakan anggapan bagaimana peserta didik mengembangkan diri mereka sebagai manusia. Pendekatan humanitarian mengutamakan peranan peserta didik dan berorientasi pada kebutuhan. Sehingga menurut pendekatan ini, materi ajar harus dilihat sebagai suatu totalitas yang melibatkan peserta didik secara utuh, bukan sekedar sebagai sesuatu yang intelektual semata-mata. Teori humanistik yang diterapkan dalam pembelajaran yang bersifat konstruktif dan menekankan kogniitf dan mempengaruhi proses membahas kemampuan dan potensi orang saat memilih dan mencari kontrol atas hidup mereka. Maka dalam proses aktualisasi diri, berbagai kebutuhan dasar, fisiologi, ••• 170 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) keamanan, kebersamaan dan keyakinan harus tercukupi (Schunk, 2012). Maka dalam hal fisiologi manusia belajar alami yakni belajar bukan hanya terbatas pada idealisme konseptual. Melainkan juga aktif dalam penyelesaikan persoalan dengan melalukan penemuan baru. kemudian ranah keamanan maka kebebasan peserta didik harus diakui oleh guru dalam kebebasan yang bertanggung jawab. Maka kesetaraan merupakan perhatian utama. Keyakinan dalam belajar signifikan terjadi apabila materi plajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud tertentu maka belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya. Kebersamaan dalam belajar adalah ketika proses pembelajaran mampu mensetting suasana kelas yang interaktif antara peserta didik dengan sebaya maupun dengan guru sebagai fasilitator. Aspek Kemanusiaan Pembelajaran Humanitarian adalah makhluk multidimensional yang ditelaah dari berbagai sudut pandang. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik. Howard Gardner menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurutnya, manusia memiliki 7 macam kecerdasan (Gardner, New York) yaitu: 1. Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak. 2. Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini) 3. Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi 4. Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasar gerakan 5. Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme 6. Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran mental. 7. Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani. Ki Hajar Dewantara, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya yang memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Maka pendidikan dalam kerangka humanitarian selain harus mampu mengembangkan 7 kecerdasan diatas juga menyangkut 3 aspek yang saling berhubungan satu sama lain yakni cipta, rasa dan karsa. Kenyataan yang ada mayoritas pendidikan dewasa ini cenderung menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Maka ••• 171 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) totalitas manusia yang dimengerti sebagai manusia itu sendiri dalam ranah pendidikan harus bertitik tolak pada dalam psikologi humanistik. Secara singkat, pendekatan humanitarian dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut akan efektif ketika peserta didik memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya melalui sudut pandang pelaku pebelajar. Discovery Learning dalam Kerangka Pembelajaran Sejarah Humanitarian Menurut Kuntowijoyo, sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu yang diartikan sebagai apa yang telah terjadi dalam kaitanntya dengan manusia dan tindakan yang direkontruksi dalam bentuk kisah sejarah (Kuntowijoyo, 2005). Sedangkan Mohammad Ali memandang sejarah sebagai jumlah perubahanperubahan, kejadian-kejadian, dan peristiwa-peristiwa dalam kenyataan sekitar kita, cerita tentang perubahan-perubahan itu, dan ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan dan sebagainya. (Ali, 2005). Maka sejarah secara pragmatis sangat berguna untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagaimana sejarah dipahami sebagai konsep masalalu sebagai refleksi masa kini dan perencanaan masa depan yang lebih baik. Maka tujuan pembelajaran sejarah adalah membentuk kearifan dalam menyikapi berbagai fenomena sosial sejara bijak serta mampu menariknya sebgai pembelajaran yang bermakna sepanjang masa. Hal ini sesuai dengan pendapat Habib Mustopo mengenai kegunaan sejarah dalam kehidupan masyarakat antara lain: (1) memberikan kesadaran waktu; (2) memberikan pelajaran yang baik; (3) memperkokoh rasa kebangsaan (nasionalisme); (4) memberikan kecerdasan identitas nasional dan kepribadian suatu bangsa; (5) sumber inspirasi; dan (6) sarana rekreatif (Mustopo, 2006). Berdasarkan uraian diatas, pembelajaran sejarah bukan hanya sebagai transfer of knowledge tetapi juga sebagai bentuk transfer of value. Maka pembelajaran sejarah harus dapat menumbuhkan kebermaknaan terhadap peserta didik sehingga peserta didik akan merasa memiliki sejarah. urgensi pembelajaran sejarah di era globalisasi memiliki nilai strategis tatkala ditemukan pada ranah pencapaian pendidikan yang humanis. Pembelajaran sejarah sebagai media penanaman nilai akan efektif jika dikemas dalam bentuk pembelajaran aktif dan kritis. maka pendekatan humanitarian dalam pembelajaran sejarah adalah fokus utama sebagai kajian. Pembelajaran sejah dalam kerangka humanis tercipta tatkala guru melihat persepsi siswa terhadap sejarah dan melalui persepsi tersebutlah guru akan mampu mendorong dan membimbing peserta didik dalam belajar sejarah. maka pengakuan terhadap kemampuan peserta didik yang berbagai macam harus diberikan oleh guru sebagai kebebasan dalam belajar. Guru akan senantiasa membimbing terciptanya pembelajaran sesuai arah tujuan tetapi tidak mematikan karakteristik peserta didik. Maka dalam proses pembelajaran sejarah, peserta didik harus ditempatkan sebagai penyelidik sejarah yang melakukan penelitian. ••• 172 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Disinilah kemudian kerangka pembelajaran sejarah humanitarian akan berintegrasi dengan model pembelajaran discovery learning yang mana peserta didik akan disuguhkan dengan beberapa permasalahan terkini dan peristiwa sejarah sebagai konsep dasar. Peserta didik akan secara bebas mencari dan menemukan konsep maupun fakta sejarah serta menganalisisnya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Hal ini senada dengan keyakinan Bruner bahwa belajar penemuan (discovery learning) adalah proses belajar di mana guru harus menciptakan situasi belajar yang problematik, menstimulus siswa dengan pertanyaan-pertanyaan, mendorong siswa mencari jawaban sendiri, dan melakukan eksperimen. Model belajar mengajar adalah kerangka konseptual dan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran, serta para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar. (Majid, 2013).Dalam model discovery learning siswa didorong untuk terlibat aktif dalam pembelajaran dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, sehingga guru mendorong siswa memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.Pengertian model discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir.Dalam model discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan jalan dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri.Hal ini sejalan dengan pendapat Maier dalam Winddiharto yang menyatakan bahwa, apa yang ditemukan, jalan,atau proses semata–mata ditemukan oleh siswa sendiri (Winddiaharto, 2004). Menurut Syah dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut (Syah, 2004): a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) Pertama pelajar dihadapkan pada fenomena yang mengandung permasalahan, sesuatu yang menimbulkan kebingungannya dan timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Sebagaimana pembelajaran sejarah humanitarian, maka stimulasi pembelajaran tidak boleh menyinggung unsur sara, sehingga pengajuan pertanyaan sifatnya universal tetapi fital. ••• 173 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah) Setelah dilakukan stimulation guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah). Dalam pembelajaran sejarah tahap ini merespon gejala-gejala permasalah sosial yang berkembang dimasyarakat, terutama lingkungan peserta didik. Permasalah sosial ini kemudian dikaitkan dengan analisis suatu peristiwa sejarah yang kontekstual. Maka peserta didik diberikan sebuah gambaran umum tentang peristiwa sejarah yang kontrofersial. Walaupun kendala yang ada ialah tidak semua sub mata pelajaran sejarah dapat dimasukkan dalam discovery learning kerangka humanitarian, tetapi hal ini erupakan sebuah terobosan menciptakan pembelajaran sejarah kritis yang akan mengarah pula terhadap suatu kesadaran kritis peserta didik terhadap peristiwa sejarah yang diaktualisasikan konsepnya dalam ranah kekinian. c. Data collection (pengumpulan data) Pada saat peserta didik melakukan eksperimen atau eksplorasi, guru memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknyayang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis.Data dapat diperoleh melalui membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Pengumpulan data dalam pembelajaran sejarah dapat berupa studi observasi maupun studi literatur. Jika observasi maka guru perlu melakukan persiapan yang cukup matang apakah yang dipilih adalah observasi ke situs bersejarah atau observasi melalui online, baik berupa mengunjungi situs youtube mengenai gambaran sejarah maupun mencari sumber-sumber tertulis lainnya. d. Data processing (pengolahan data ) merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Disinilah kemudian guru berfungsi membimbing dan mengarahkan peserta didik dalam mengolah informasi, tentunya dengan sudut pandang peserta didik sebagai poros utama. Guru akan dapat membimbing dengan menyampaikan konsep umum sebuah peristiwa sejarah. sehingga penafsiran secara subyektif ada pada cara pandang peserta didik sendiri. e. Verification (pembuktian) Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan,dihubungkan dengan hasil data processing. Maka verifikasi disini merupakan tahapan kritik dalam penelitian sejarah. f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semuakejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil ••• 174 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) verifikasi.Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Walaupun sejarah merupakan peristiwa yang unik, namun generalisasi disini mengungkap bagaimana konsep sejarah masih relefan digunakan dalam permasalahan yang aktual. Maka hubungan interpretasi sebuah peristiwa akan dilihat melalui kacamata pendidikan dan kondisi masalah kekinian dengan perkembangan teoritis sebagai dasarnya. Kelebihan discovery learning menurut Kemendikbud berdasarkan implementasi kurikulum 2013adalah sebagai berikut (Kemendikbud, 2014); 1. Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya. 2. Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer. 3. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil. 4. Strategi ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri. 5. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri. 6. Strategi ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya. 7. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi. 8. Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti. 9. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik. 10. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru. 11. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri. 12. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri. 13. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik. 14. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang. 15. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya. 16. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa. 17. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar. 18. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu. Tetapi dalam pelaksanaannya, pada penemuan (discovery) ini mempunyai juga memiliki kelemahan. Adapun beberapa kelemahannya yaitu sebagai berikut (Djamarah, 2002): ••• 175 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 1. Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental 2. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik 3. Metode ini kurang berhasil digunakan di kelas besar 4. Bagi guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila di ganti dengan metode penemuan (discovery) 5. Dengan menggunakan metode penemuan (discovery) ini proses mental terlalu mementingkan proses pengertian saja atau pembentukan sikap dan keterampilan siswa. SIMPULAN Pendidikan sebagai respon global culture, dehumanisasi, intoleran dan sebagainya baik secara langsung maupun tidak merupakan kontrol sosial dalam usaha mencegah, dan meminimalisir dampak permasalahan sosial yang ada. Pendekatan humanitarian dalam pendidikan mengutamakan peran peserta didik yang berorientasi pada kebutuhan. Sehingga totalitas keterlibatan peserta didik secara utuh, bukan sekedar sebagai sesuatu yang intelektual semata-mata. Maka pembelajaran dilihat dari sudut pandang siswa sebagai obyek pebelajar dengan mengembangkan secara optimal kecerdasan siswa memallui pemenuhan kebutuhan dasar. pembelajaran humanitarian sebagai usaha memanusiakan manusia harus dikemas melalui model pembelajaran yang tepat. Salah satu diantaranya ialah digunakannya Discovery Learning dalam Pembelajaran Sejarah. Pembelajaran Sejarah sebagai transfer of knowledge dantransfer of valueakan lebih bermakna menjadi long life learning tatkala dikemas melalui pendekatan humanitarian. Sedangkan discovery learning merupakan tahapan model dalam kerangka humanis yang akan meningkatkan kebermaknaan terhadap pembelajaran sejarah sehingga siswa akan mampu dengan aktif terlibat dalam pembelajaran, merasa memiliki sejarah serta mampu menganalisis konsep sejarah dan menggunakannya sebagai respon masalah secara aktual atau zone proximal development. Kebebasan proses pembelajaran dan pengakuan terhadap kemampuan peserta didik adalah ciri khas dari pembelajarah humanitarian itu sendiri. Sehingga materi sejarah yang disajikan membidik tema-tema sejarah kontroversial yang mendorong kesadaran peserta didik dalam berfikir kritis. DAFTAR PUSTAKA Ali, M. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: LkiS. Aunnurrahman. (2014). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Djamarah. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Gardner, H. (New York). Frame of Mind-The Theory of Multiple Intelegence . 1983: Basic Book. Hadis, A. (2006). Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Kemendikbud. (2014). Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 SMP. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kuntowijoyo. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah . Yogyakarta: Bentang. ••• 176 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mustopo, H. (2006). Sejarah SMA X. Jakarta: Yudhistira. Nurhayati. (2011). Psikologi Pendidikan Inovatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Schunk. (2012). Learning Theories an Educational Perspective- Teori-teori Pembelajaran Perspektif pPendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syah, M. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Winddiaharto. (2004). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Media Tama. Wolfolk, A. (2009). Educational Psychology Active Learning Edition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ••• 177 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PERAN MUSEUM KERIS NUSANTARA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SEJARAH Mpu Tabah C. A., Nunuk Suryani, Akhmad Arif M. Program Studi S2 Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret mputabahca@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini membahas peran Museum Keris Nusantara sebagai media pembelajaran sejarah berdasarkan kajian tentang Museum Keris Nusantara dan kebutuhan akan media pembelajaran alternatif bagi siswa. Museum Keris Nusantara ialah salah satu museum yang saat ini sedang berkembang di Surakarta. Museum ini menyimpan berbagai koleksi keris lengkap dengan diorama proses pembuatannya serta video visual mengenai sejarah keris di Indonesia. Pemahaman tentang museum keris ini dapat semakin menumbuhkan kesadaran budaya siswa, khususnya tentang keris yang sarat akan nilai kearifan lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan mengumpulkan data terkait subjek penelitian. Sumber data diperoleh melalui kajian dokumen, wawancara, serta observasi di Museum Keris Nusantara. Hasil penelitian menjelaskan, bahwa Museum Keris Nusantara dapat dijadikan salah satu alternatif bagi guru sejarah sebagai media belajar siswa. Sejarah keris yang sarat akan makna simbolis dan filosofi memiliki peran yang besar dalam kaitannya untuk menumbuhkan kesadaran budaya siswa. Kata Kunci: Museum Keris Nusantara, Media Belajar, Kesadaran Budaya. Pendahuluan Dewasa ini, museum-museum baik di Indonesia maupun di dunia telah mengalami suatu perkembangan. Museum tidak lagi ingin disebut sebagai ’gudang’ tempat menyimpan barang-barang antik seperti anggapan masyarakat pada umumnya, tetapi museum berusaha untuk menjadi tempat dimana pengunjung dapat merasakan suatu suasana dan pengalaman yang berbeda, yang hanya akan mereka dapatkan jika mereka berkunjung ke museum. Perubahan ini membuat peran museum berkembang menjadi tempat preservasi, penelitian dan komunikasi, yang tujuannya untuk menyampaikan misi edukasi sekaligus rekreasi kepada masyarakat (Weil, 1990; Hooper-Greenhill, 1994:140). Perubahan tersebut juga membuat misi edukasi yang diemban oleh museum mengalami pergeseran. Selama ini, peran edukasi museum adalah untuk menyampaikan misi pendidikan mereka kepada anak-anak, namun, dengan perubahan paradigma, maka museum juga harus dapat menyampaikan misi edukasinya itu kepada semua lapisan masyarakat. Museum tidak hanya sekadar menjadi tempat untuk mendidik masyarakat, tetapi menjadi tempat pembelajaran, yang termasuk di dalamnya tempat di mana pengunjung dapat memperoleh pengalaman (Ambrose dan Paine, 2006:46-48). ••• 178 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Salah satu museum yang saat ini sedang berkembang ialah Museum Keris Nusantara yang terletak di Surakarta. Museum ini menyimpan berbagai koleksi keris lengkap dengan diorama proses pembuatannya serta video visual mengenai sejarah keris di Indonesia. Melalui pemahaman tentang museum keris ini diharapkan dapat semakin menumbuhkan kesadaran budaya siswa, khususnya tentang keris yang sarat akan nilai kearifan lokal. Museum keris Nusantara ini dapat dijadikan media pembelajaran sejarah Indonesia kelas X hingga kelas XII. Kaitannya dengan materi siswa kelas X yaitu tentang materi animisme dan dinamisme. Keris dipercaya oleh sebagian masyarakat memiliki kekuataan gaib dan mistis. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa. Selain itu, Museum Keris Nusantara juga dapat dijadikan media pembelajaran sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha dan Islam. Keris di Jawa telah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu. Keris dianggap dapat menambah nilai kebesaran seorang raja. Keris juga dianggap sebagai pusaka yang dapat memberikan kekuatan gaib (kesaktian) raja. Keris mulai berkembang sejak zaman Sultan Agung tahun 16131645, waktu itu raja memberikan perintah supata prajurit yang berprestasi diberi hadiah berupa keris. (Poerwanto, R.S., 1990) Peran penting Museum Keris Nusantara sebagai sumber dan media pembelajaran ialah makna simbolik keris yang memiliki nilai-nilai filosofi adi luhung yang harus dipahami generasi muda agar budaya yang sarat akan nilai ini tidak pudar tergerus oleh zaman. Gambaran Umum Museum Keris Nusantara Museum Keris Nusantara merupakan museum yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 9 Agustus 2017. Hal ini merupakan tindak lanjut dari diakuinya Keris Indonesia oleh UNESCO, sebagai warisan budaya dunia. Museum Keris berlokasi di Jalan Bhayangkara, Sriwedari, Surakarta.Museum ini mempunyai empat lantai dengan satu lantai basement. Di museum ini dapat dilihat berbagai koleksi senjata tradisional khususnya keris dari berbagai wilayah di Nusantara lengkap dengan diorama proses pembuatannya serta video visual mengenai sejarah keris di Indonesia. Pada lantai satu disuguhkan gambar-gambar senjata tradisional dari berbagai penjuru dunia. Konon penyebaran senjata di dunia terjadi melalui jalur damai maupun peperangan. Sebaliknya, keris tersebar melalui jalur perdagangan dan diplomasi. Berdasarkan jenis bahan, senjata tradisional dapat dipilah menjadi senjata logam dan senjata non logam. Senjata yang digunakan masyarakat di wilayah Amerika, Australia dan Oceania umumnya berbahan dasar kayu, tulang hewan serta batu. Penggunaan senjata tradisional berupa kapak batu mendominasi wilayah Amerika saat itu, sedangkan masyarakat Australia dan Oceania cenderung menggunakan senjata yang berefek memar yaitu batu dan bumerang. Senjata berupa besi dan baja banyak digunakan di Asia, Afrika dan Eropa, mulai dari Mambele di Afrika Tengah hingga Naginata di Jepang. Budaya senjata berpisau sangat berkembang di tiga benua ini. Ternyata senjata juga mengalami evolusi, beberapa faktor dapat mengubah bentuk, teknik penggunaan serta fungsi ••• 179 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) senjata. Perubahan pedang besar menjadi pedang rapier di Eropa disebabkan oleh masuknya mesiu yang melenyapkan pertarungan jarak dekat. Kelincahan memainkan pedang besar di era Carolingian berubah menjadi kelincahan tari pedang di era Rennaissance dan Victorian. Pengenalan kuda ke Amerika menyebabkan panah besar menghilang digantikan panah kecil yang lebih mudah digunakan saat menunggangi kuda. Di lantai ini juga dapat dilihat tipe pamor keris. Pamor berasal dari kata amor atau awor (dari bahasa Jawa) yang artinya berpadu atau paduan. Pamor mempunyai dua pengertian, pertama mendeskripsikan gambaran tertentu berupa garis, lengkungan, lingkaran, noda, titik atau motif belang-belang yang tampak pada permukaan bilah keris, tombak dan tosan aji lainnya. Kedua, dimaksudkan sebagai bahan pembuat pamor itu sendiri. Dalam seni budaya tosan aji, pamor menempati fungsi fisik sebagai tulang dari tosan aji sedangkan baja berfungsi sebagai penajam bilah. Selain sebagai tulang dari tosan aji, pamor juga merupakan hiasan dan memberikan simbol metafisik. Pada zaman dahulu, pamor juga menunjukkan simbol kedudukan atau prestasi tertentu. Pada masa kepemimpinan Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusuma di zaman Kerajaan Mataram, para lurah prajurit atau prajurit biasa yang berprestasi mendapat hadiah berupa keris atau tombak yang dihiasi serasah emas dengan pamor Sada Sakler atau motif trisula dan Sapit Landak. Untuk prajurit perwira diberi hadiah berupa tosan aji berserasah emas, dengan motif kepala singa dan gajah. Untuk para wedana, berupa serasah lung-lungan dan untuk putera dan kerabat keraton atau patih dalem berupa serasah emas dengan motif bunga anggrek.Motif atau pola gambaran pamor terbentuk pada permukaan bilah keris karena adanya perbedaan warna dan perbedaan nuansa dari bahan-bahan logam yang digunakan. Dengan teknik tempa tertentu, logam bahan baku keris akan menyatu dalam bentuk lapisan-lapisan tipis, tetapi bukan bersenyawa atau lebur satu dengan yang lainnya. Proses penyayatan pada permukaan bilah keris membentuk gambaran pamor. Pengetahuan mengenai keris ini tak luput dari jasa Bapak pelopor Ilmu/Studi Keris Modern yaitu KGPH. Hadiwidjojo, putra Sinuwun Susuhunan Pakubuwono X. Putera lulusan Universitas Leiden Belanda ini aktif mengadakan kajian budaya Jawa sejak berdirinya Radya Pustaka melalui Komite Kebudayaan Surakarta. Beliau menjadi ketua ke-4 Museum Radya Pustaka dan memangku jabatan ini selama 49 tahun. Beliau menulis ulang manuskrip “Dhapur Dhuwung” salinan dari pratelan “Dhapur Dhuwung Saha Waos” yang berisi dhapur keris Surakarta.Beliau juga mengutus empu keris Ngabei Wirasukadga menulis tentang “Pamecahing Kyai Pamor”, rekonstruksi kembali cara memecah pamor meteor Keraton Surakarta. Konon meteor ini dipecah pada tahun 1800, setelah 50 tahun ditemukan. Pengetahuan mengenai pembuatan warangka ditulis oleh Nayawirangka II dalam “Kawruh Sasarungan”. Selain itu, beliau juga mengutus Ngabei Jararaga untuk mendeskripsikan “Kawruh Jejeran” yaitu tentang pembuatan hulu keris. Berkat ketekunan beliau yang mumpuni di bidang kebudayaan, pendidikan dan ilmu pengetahuan serta ••• 180 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) mencurahkan seluruh hidupnya penuh pengabdian untuk memajukan budaya Jawa, beliau dinobatkan pada pencapaian tertinggi dengan gelar kehormatan Kanjeng Gusti Panembahan Hadiwidjojo. Lantai dua Museum Keris Nusantara berisi koleksi keris lengkap dengan deskripsinya. Keris tidak dapat dipisahkan dari perabotnya (bagian-bagian pelengkapnya). Fungsi utama keris (bilah keris) sebagai senjata dibalut dengan perabotnya yaitu bagian hulu (pangkal keris) atau istilahnya “jejeran”, bagian antara hulu dan keris yaitu “mendhak dan selut” serta warangka(sarung keris) lengkap dengan pendhok-nya. Bahan jejeran keris dapat berupa logam, kayu, tanduk atau tulang hewan, serta gading dan cula. Bahan dipilih yang keras, kilaunya bagus dan berserat indah. Bilah keris terdiri dari dua macam, yaitu keris luk dan keris lurus. Pada bagian bilah keris terdapat dari 3 bagian yaitu pucukan atau ujung, awak-awakan atau badan, serta sor-soran atau bagian paling bawah. Pada sor-soran terdapat gonja dan pasi, bagian sor-soran merupakan tempat ricikan keris. Komposisi ricikan yang dipakai pada bilah akan menentukan nama dhapur keris tersebut, misalnya dhapur spaner, dhapur tilam upih, dhapur surapati. Penjelasan mengenai bilah keris diuraikan dalam Serat Centhini. Tiap bagian keris mempunyai berbagai tipe tersendiri, serta ada tipe-tipe tertentu yang hanya boleh digunakan untuk kalangan kelas atas pada masa itu. Ketentuan tersebut ditulis oleh Pakubuwono IV dalam Serat “Anger Awisan”. Di lantai ini juga dapat diketahui bagaimana eksistensi keris di masyarakat serta bagaimana cara mewariskan keris. Ilmu keris pada zaman dahulu merupakan “Kawruh Sinengker” yang artinya ilmu yang dirahasiakan. Ilmu ini baru boleh diajarkan oleh ahlinya jika seorang anak mencapai usia akil balig. Keris dan ilmunya merupakan salah satu simbol pencapaian pria Jawa pada jaman dahulu. Keris juga dianggap sebagai “adek-adeking bale somah”, pusaka yang diturunkan orang tua kepada anaknya, serta salah satu penopang tegaknya budaya Jawa. Selanjutnya, pada lantai 3 dapat dilihat diorama proses pembuatan keris serta beberapa gambaran proses pembuatan keris dari acara do’a lengkap dengan sesajennya. Sebelum pembuatan keris dilakukan upacara do’a lengkap dengan berbagai jenis sesajennya.Ritual ini dilakukan oleh orang yang punya hajat membuat keris sebagai bentuk permohonan restu kepada Tuhan Yang Maha Esa serta alam semesta agar pemesanannya terkabul sesuai yang diharapkan. Selain itu juga dimaksudkan agar empu serta para sabatnya dapat mencurahkan tenaganya dengan tenang serta menumbuhkan hati yang teguh, diberi rasa sabar dan hati-hati sehingga dapat menumbuhkan daya ciptanya guna menghasilkan kerja yang baik. Sesaji dilakukan oleh empu pada saat pertama kali menempa atau masuh. Yang kedua adalah saat menyepuh pada akhir pembuatan keris. Beberapa sesajen di antaranya berupa sekul asahan; tumpeng janganan; tumpeng robyong; sekul golong; jajan pasar; degan ayu, kembang boreh, lengo wangi; sinjang warna-warni, mori, lawe, jungkat, pengilon serta ayam. Ada beberapa tahap pembuatan keris dari tahap menipiskan pamor, pasang pamor, ••• 181 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) membuat kodokan, membuat wilahan, nyilak waja, membuat luk, mepeh, mecah perabot, menyempurnakan pasikon, membuat gonja, mengasah bilah, membuat greneng, menerapkan gonja, nyepuh, marangi. Gambaran proses tersebut dapat kita lihat pada diorama pembuatan keris. Di museum ini juga terdapat perpustakaan kecil yang berisi buku seputar pengetahuan tentang keris. Pentingnya Pemahaman Tentang Keris Bagi Siswa Semenjak ditetapkannya keris sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau mahakarya warisan kemanusiaan yang berwujud tak benda oleh UNESCO pada tahun 2005, pengetahuan tentang keris maupun tosan aji lainnya belum pernah diajarkan di sekolah-sekolah, baik tingkat dasar, menengah, maupun atas. Hal ini terjadi karena pengetahuan tentang tosan aji tidak dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Padahal keris atau tosan aji yang lain misalnya tombak maupun pedang yang diciptakan dengan menggunakan teknik tempa lipat telah dibuat hampir di seluruh wilayah Indonesia mulai zaman proto sejarah. Penyebaran pengetahuan tentang keris selama ini didapat melalui berbagai workshop, internet, pameran ataupun diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas-komunitas pecinta tosan aji secara mandiri yang biasanya hanya dihadiri oleh pecinta tosan aji. Sebagai kebanggaan bangsa dan salah satu cara agar pengetahuan tentang keris tidak punah dan semakin dicintai oleh masyarakat maka sangat perlu pengetahuan tentang keris dikenalkan dan diajarkan di sekolah formal, hal ini juga sebagai perwujudan cinta tanah air dalam hal seni dan budaya. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari keris, misalnya tentang teknik dan bahan-bahan pembuatan keris, sejarah, estetika, etika, ekonomi, maupun nilainilai filosofi yang diajarkan melalui simbol-simbol tertentu pada keris. Tentunya hal itu tergantung dari sisi mana kita mempelajarinya. Walaupun kepercayaan tentang kekuatan gaib dari keris terkadang bertentangan dengan kepercayaan agama Islam. Namun, pemahaman tentang keris tetap diperlukan bagi siswa untuk melatih siswa berpikir kritis serta untuk menghargai budaya leluhur kita. Sebagaimana semboyan yang sering didengungdengungkan bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang menghormati dan melestarikan budayanya sendiri, maka sudah selayaknya pengetahuan tentang keris yang merupakan hasil budaya asli bangsa kita mulai dikenalkan dan diajarkan di sekolah formal, baik sebagai muatan lokal atau sub materi dari mata pelajaran. Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya.. Ada pepatah yang menyatakan : “Penghargaan pada ••• 182 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) seseorang tergantung karena busananya.” Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu. Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap). Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol “kejantanan.” Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekedar hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri. Keris juga tidak bisa dipisahkan dari sarungnya (warangka). Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara filosofi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi “manunggaling kawula – Gusti”, bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera. Selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masingmasing secara benar. Pemahaman tentang keris kiranya perlu untuk diketahui bagi siswa maupun generasi muda, hal ini terkait dengan nilai-nilai adi luhung yang terkandung dalam pemaknaan keris pada masa lalu dan perubahan maknanya hingga kini. Sehingga generasi sekarang tidak akan kehilangan jati diri nya sebagai masyarakat Jawa di era globalisasi seperti sekarang. Peran Museum Keris Nusantara Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Salah satu media pembelajaran dalam pendidikan sejarah yang terpenting adalah museum. Melalui museum diharapkan pendidikan sejarah dalam kerangka menanamkan kesadaran sejarah kepada generasi muda dapat tercapai. Karena museum diharapkan pendidikan sejarah dalam rangka menanamkan kesadaran sejarah kepada generasi muda dapat tercapai. Karena museum merupakan jendela dunia yang mampu membuka mata kita terhadap sejarah kehidupan bangsa (Kreasi Maret 2005) Melalui museum kita bisa mengetahui bagaimana perjalanan panjang dari bangsa kita, yaitu Indonesia. ••• 183 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Museum keris Nusantara dapat dijadikan sumber dan media pembelajaran sejarah Indonesia kelas X hingga kelas XII. Kaitannya dengan materi siswa kelas X yaitu tentang materi animisme dan dinamisme. Keris dipercaya oleh sebagian masyarakat memiliki kekuataan gaib dan mistis. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa. Animisme dan dinamisme telah muncul sejak zaman Pra-Aksara. Keris sendiri dipercaya telah dikenal Bangsa Indonesia sejak dahulu. Sebagai hasil teknologi, keris telah mengalami perkembangan, hal ini sesuai dengan pendapat Gardner dan Bernet Kempers yang dikutip Joko Sukiman (1983), Gardner berpendapat bahwa keris merupakan perkembangan dari senjata penusuk pada zaman prasejarah. Waktu itu alat penusuk terbuat dari tulang atau sengat ikan pari yang dibalut dengan kain sebagai tangkainya. Sedangkan Kempers dalam buku yang sama berpendapat bahwa keris adalah pertumbuhan dari senjata penusuk zaman kebudayaan Dongson. Selain itu, Museum Keris Nusantara juga dapat dijadikan media pembelajaran sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha dan Islam. Keris di Jawa telah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu. Keris dianggap dapat menambah nilai kebesaran seorang raja. Keris juga dianggap sebagai pusaka yang dapat memberikan kekuatan gaib (kesaktian) raja. Keris mulai berkembang sejak zaman Sultan Agung (1613-1645), waktu itu raja memberikan perintah supata prajurit yang berprestasi diberi hadiah berupa keris. (Poerwanto, R.S., 1990) Peran penting Museum Keris Nusantara sebagai sumber dan media pembelajaran ialah makna simbolik keris yang memiliki nilai-nilai filosofi adi luhung yang harus dipahami generasi muda agar budaya yang sarat akan nilai ini tidak pudar tergerus oleh zaman. Pada masa lalu, keris bagi orang Jawa khususnya merupakan bagian penting dalam kehidupan seseorang. Manusia Jawa dahulu menilai kehidupan seseorang sudahlah komplit apabila memiliki rumah, istri, kuda atau kendaraan, burung atau sarana menikmati keindahan, dan juga keris untuk bisa melindungi diri, keluarga, dan juga bangsa. Keris oleh orang Jawa juga dilihat sebagai bentuk benda seni yang bersejarah, menjadi pusaka, azimat, yang melambangkan sifatsifat agung seperti kejujuran, keberanian, kesatria, menepati janji, pantang menyerah, dan sebagainya. Pada konteks sejarah, banyak pahlawan nasional yang mengenakan keris pada baju kebesarannya ketika memimpin peperangan seperti Pangeran Diponegoro dan juga Jenderal Soedirman juga dengan pahlawanpahlawan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa keris kemudian juga memberikan inspirasi bagi para pejuang untuk terus berjuang dan mempertahankan tanah airnya dengan melawan kolonialisme karena tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh bangsanya dan juga tidak sesuai dengan ajaran leluhur yang terpatri dalam pemaknaan dari keris. Kesimpulan Melalui penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa museum keris nusantara memiliki peran yang signifikan sebagai sumber dan media pembelajaran ••• 184 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sejarah Indonesia. Keris dalam sejarah Indonesia telah berkembang dari senjata penusuk pada zaman praaksara hingga menjadi keris seperti yang dikenal sekarang. Keris juga mengalami kontemporerisasi dari segi fungsi dan pemaknaan. Hal ini perlu dipahami oleh siswa selain untuk penunjang materi dalam pembelajaran, juga untuk meningkatkan kesadaran budaya siswa. Sehingga untuk mengenalkan museum keris nusantara bagi siswa perlu ada kunjungan wisata, pengembangan media, ataupun bahan ajar yang berkaitan dengan museum keris nusantara. Daftar Pustaka Ambrose, Timothy dan Crispin Paine (2006). Museum Basics. Edisi II. London dan New York: Routledge. Hamzuri. (1988). Keris. Jakarta: Djambatan Hooper-Greenhill, Eilean (1994). The Educational Role of the Museum. 2nd edition. London : Routledge. Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Poerwanto RS. (1990). Keris Dudu Tembung Asli Jawa. Dalam Mekar Sari. h. 13 Sutopo, H.B. (1988). Konsep-konsep Dasar Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press Wibowo, Dony Satryo. (2014). Keris, Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Pelajar. ••• 185 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) MODEL PROJECT BASED LEARNING SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI SEJARAH LOKAL SISWA Nia Ulfia Krismawati1, Warto2, Nunuk Suryani3 Pascasarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Niaulfia5544@gmail.com ABSTRAK Literasi merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi melalui membaca, menulis, dan sebagainya. Kemampuan literasi dibutuhkan siswa untuk menguasai sejarah lokal sehingga mampu menganalisis dan mengaplikasikannya dalam bentuk tulisan. Dalam realitanya literasi sejarah lokal masih sangatlah rendah dibuktikan dengan minimnya kegiatan literasi baik membaca maupun penelitian dan publikasi sejarah lokal. Maka dari itu diperlukan strategi pembelajaran sebagai sarana bagi siswa dalam penguasaan kemampuan literasi sejarah lokal. Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dengan menggunakan sumber yang relevan. Tujuan dari penelitian ini adalah berusaha memberikan alternatif pembelajaran sejarah melalui model project based learning (PjBL) sebagai upaya untuk meningkatkan literasi sejarah lokal siswa. Hal tersebut didasarkan pada model pembelajaran yang menekankan pada kegiatan literasi yaitu membaca dan menulis yang berupa penugasan penelitian sederhana terkait sejarah lokal. Kegiatan ini dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mampu mengaktulisasikan pemahaman dalam bentuk tulisan. Diharapkan, penulisan ini dapat berkontribusi dan menambah referensi terhadap strategi pembelajaran sejarah lokal sebagai upaya peningkatan budaya literasi sejarah lokal. Keywords: PjBL, Pembelajaran Sejarah, Kemampuan Literasi Sejarah Lokal. Pendahuluan Kemampuan literasi merupakan salah satu hal yang harus dimiliki oleh setiap siswa pada era sekarang. Semakin tinggi keahlian literasi yang dimiliki, maka akan semakin baik kualitas dari siswa. Literasi merupakan sarana untuk mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapat, baik dibangku sekolah, rumah, maupun lingkungan (Nurchaili, 2016). Literasi erat kaitanya dengan mata pelajaran sejarah yang menitikberatkan pada kemampuan membaca dan menulis. Kunci penguasaan materi sejarah adalah membaca sumber-sumber sejarah. Literasi dalam hal sejarah atau dikenal dengan historical literacy merupakan kemampuan negosiasi, interpretasi, dan memahami arsip, dokumen sejarah, dan artefak (Nokes, 2013). Kemampuan ini mengharuskan siswa untuk berpikir kritis, mempunyai pemahaman tinggi, dan mampu mengaplikasikannya dalam bentuk tulisan. Kegiatan menulis akan membantu mendapatkan dan ••• 186 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) mengingat informasi yang telah didapatkan dan dapat membuat ingatan semakin tajam serta tidak gampang lupa (Kalida, 2014). Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat literasi rendah baik dalam hal membaca maupun menulis. Data dari Program For International Student Assessment menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 57 dari 65 negara terkait budaya literasi. Studi PISA melaporkan bahwa 25%-34% dari siswa Indonesia masuk dalam tingkatan literasi-1 yang berarti siswa hanya mampu membaca teks sederhana. Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa siswa berada pada tahap mampu menemukan informasi sederhana, mengidentifikasi tema utama, dan menghubungkan informasi sederhana dengan pengetahuan sehari-hari (Wahyuni, 2009). Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa budaya literasi yang terdapat di negara ini sangatlah rendah. Permasalahan terkait literasi membutuhkan sebuah trobosan dalam pendidikan yang berupa strategi dalam pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pengajar dengan sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah kearah yang lebih baik (Darsono, 2000). Tujuan akhir dari pembelajaran adalah untuk merubah tingkah laku siswa dalam hal ini adalah budaya literasi sejarah lokal. Permasalahan terkait rendahnya budaya dan kemampuan literasi khususnya literasi sejarah lokal, terlihat pada antusias siswa dalam membaca. Rendahnya kegiatan membaca dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain sarana dan prasarana perpustakaan sekolah yang belum memadai, kurangnya sekolah dalam mengapresiasi kegiatan membaca sebagai bagian dari prestasi siswa, dan sosok guru yang juga memiliki kemampuan literasi yang cukup rendah (Kalida, 2014). Selain itu guru hanya terpaku pada buku teks dari pemerintah dan kurang mengeksplor sumber-sumber yang lain. Melihat permasalahan tersebut, maka lembaga pendidikan mempunyai peran penting dalam peningkatan budaya literasi pada diri siswa. Sehingga perlu untuk dilakukan inovasi baru dan perbaikan dalam pembelajaran baik dari segi kurrikulum, materi, bahan ajar, strategi, dan guru sebagai fasilitator. Perbaikan yang dilakukan tentunya terfokus pada kebutuhan dan kendala yang dialami oleh siswa. Peningkatkan kemampuan literasi sejarah lokal dapat dilakukan dengan memanfaatkan model Project Based Learning (PjBL) berdasarkan tahap-tahap tertentu. Melalui model ini, pengajar dapat mengantarkan siswa pada penguasaan kemampuan literasi sejarah lokal dalam bentuk pembuatan proyek. Salah satu bentuk dari literasi sejarah lokal adalah penelitian terkait sejarah dari suatu daerah yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Kegiatan ini akan mengantarkan siswa pada peningkatan kemampuan menulis sebagai bentuk budaya literasi. penelitian yang dilakukan, mencoba memberikan alternatif pembelajaran sejarah melalui model Project Based Learning (PjBL) untuk meningkatkan kemampuan literasi sejarah lokal siswa. Artikel ini akan berfokus hakikat pembelajaran sejarah, tahap-tahap pelaksanaan model Project Based Learning (PjBL), dan langkah-langkah penerapan pembelajaran sejarah lokal melalui model yang telah ditentukan. ••• 187 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi literatur. Peneliti menggunakan beberapa sumber yang relevan untuk memberikan wacana keberfungsian model project based learning (PjBL) dalam pembelajaran sejarah khususnya sejarah lokal. Studi literature ditekankan pada, hakikat pembelajaran sejarah, konsep dan penerapan model project based learning (PjBL) dan konsep literasi sejarah lokal. Pada artikel ini, peneliti berusaha memberikan sintak pembelajaran yang dapat dijadikan contoh acuan pada pelaksaan model project based learning (PjBL) di kelas. Hasil dan Pembahasan 1. Pembelajaran Sejarah Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pengajar sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah kearah yang lebih baik (Darsono, 2000:24). Pembelajaran juga merupakan satu proses interaksi antara guru dan peserta didik melalui proses belajar mengajar (Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, 1995:6). Jadi pembelajaran merupakan kegiatan yang sengaja di rancang oleh guru sebagai pendidik. Tujuan pembelajaran adalah supaya peserta didik memahami apa yang di ajarkan oleh guru dengan untuk menuju kearah yang lebih baik. Dalam kegiatan belajar, pada dasarnya terdapat kategori utama yaitu, bagaimana menyerap informasi dengan mudah dan bagaimana mengatur dan mengelola informasi tersebut sehingga berguna dalam kehidupan (Hamid A. R., 2014). Proses penyerapan informasi dapat dipengaruhi oleh cara yang dilakukan guru dalam memfasilitasi siswa pada kegiatan belajar. Kegiatan belajar dan pembelajaran dikatakan berhasil, jika siswa mampu mencapai kompetensi yang diinginkan. Berpijak pada konsep tentang belajar, maka terdapat gagasan utama terkait berhasilnya sebuah pembelajaran. Pertama, Belajar itu membawa perubahan baik dalam hal perilaku maupun potensial. Kedua, dalam kegiatan belajar, maka akan didapatkannya sebuah kecakapan baru. Ketiga, perubahan dapat terjadi jika terdapat sebuah usaha baik dari siswa sebagai pembelajar maupun guru sebagai fasilitator melakukan usaha bersama secara sengaja (Suryabrata, 2013). Selain faktor guru dan usaha dari diri siswa, terdapat faktor yang turut memberikan pengaruh pada kegiatan belajar yaitu lingkungan. Faktor ini mencakup beberapa aspek yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Baik dari segi keadaan fisik maupun psikologi keluarga dalam keluarga sangat mempengaruhi perkembangan belajar anak (Sukmadinata, 2003). Sejarah merupakan sebuah ilmu yang dikatakan sebagai pengetahuan peristiwa yang telah berlalu dan dipelajari secara kronologis. Menurut Roeslan (1963) sejarah merupakan salah satu cabang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat, kejadian masa lampau, dan menilai secara kritis hasil dari penelitian tersebut (Hamid A. R., 2015). Pembelajaran sejarah merupakan gambaran dari peristiwa masa lalu yang dibawa dan diajarkan kepada siswa dalam suatu kelas. Terdapat beberapa ciri-ciri pembelajaran yang di ungkapkan oleh Gagne yaitu, (1) mengaktifkan motivasi; ••• 188 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) (2) memberitahu tujuan belajar; (3) mengarahkan perhatian; (4) merangsang ingatan; (5) menyediakan bimbingan belajar; (6) meningkatkan retensi (kemampuan untuk mengingat pengetahuan yang telah dipelajari); (7) melancarkan transfer belajar; serta (8) memperlihatkan penampilan dan memberikan umpan balik (Sutikno, 2014). Dalam proses pembelajaran sejarah, guru diharapkan mampu memberikan motivasi dan pemahaman terkait tujuan pembelajaran sejarah yang berarti kepada siswa. Dengan mempelajari sejarah maka terdapat dua manfaat yaitu, siswa dapat mengekstrapolasikan fakta-fakta yang berperan di masa lampau dan membuat proyeksi masa depan (Hamid A. R., 2014). Belajar sejarah bukan sekedar menghafal fakta dan angka tahun, namun harus mampu memahami, mengkritisi, dan menjadikannya sebagai pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah memiliki potensi dalam menjadikan manusia yang berprikemanusiaan yang tidak dilakukan oleh semua mata pelajaran (Wineburg, 2006). Dipertagas kembali bahwa sejarah menyiapkan depot pengetahuan masa lalu berikut saripatinya ihwal nilai-nilai utama kehidupan, yang dapat ditransformasikan kepada generasi muda melalui pendidikan (Hamid A. R., 2015). Untuk mencapai hasil yang diinginkan makan guru diharuskan membuat perencanaan pembelajaran baik dari segi materi, media, strategi mengajar, dan model yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Perencanaan disini dianggap penting karena beberapa hal, antara lain, pertama, pembelajaran merupakan proses yang bertujuan sesederhana apapun yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Kedua, pembelajaran adalah proses kerjasama yang melibatkan guru dan peserta didik sehingga diperlukan strategi yang tepat dalam pelaksanaannya. Ketiga, proses pembelajaran adalah proses yang kompleks dengan tidak hanya sekedar menyapaikan materi, melainkan membentuk perilaku siswa dan mengantarkannya pada pencapaian ketrampilan tertentu. Keempat, proses pembelajaran yang efektif apabila memanfaatkan berbagao sarana dan prasarana yang tersedia termasuk sumber belajar (Agung, 2013). 2. Literasi Sejarah Lokal Literasi merupakan kemampuan dalam membaca dan memahami teks secara kritis serta mampu menuangkan dalam bentuk tulisan (Sari, 2016). Literasi dalam hal sejarah atau dikenal dengan historical literacy merupakan kemampuan negosiasi, interpretasi, dan memahami arsip, dokumen sejarah, dan artefak (Nokes, 2013). Kegiatan menulis penelitian sejarah merupakan salah satu bentuk dari literasi sejarah. Menulis merupakan kegiatan keberlanjutan dari membaca dimana melalui kegiatan ini siswa dapat menyampaikan ide yang merupakan kritik sosial (Kalida, 2014). Dr. Pennebaker menemukan berbagai manfaat menulis antara lain, pertama, menulis dapat menjernihkan pikiran. kegiatan menulis dapat membantu seseorang untuk berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah yang ada. Kedua, menulis dapat mengatasi trauma. Ketiga, menulis akan membantu mendapatkan dan mengingat informasi. Kegiatan ini dapat membuat ingatan semakin tajam dan tidak gampang lupa (Kalida, 2014). ••• 189 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Sejarah lokal sebagai micro unit merupakan unit histori yang mempunyai ciri khas sebagai kesatuan etnis dan kultural satu dimensi dari sejarah nasional Indonesia (Priyadi, 2012). Sejarah lokal merupakan pengisi kekosongan sejarah nasional yangmana faktanya tidak dapat merangkul semua sejarah yang bersifat lokal. Pada pengerjaannya, sejarah lokal memiliki ruang yang dapat dibatasi oleh para sejarawan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian antara kelompok lokal masyarakat tidak dapat diwakilkan dengan satu peristiwa saja karena latarbelakang yang berbeda. Dalam melakukan penelitian terkait sejarah lokal, dapat menggunakan micro analisis yang mencakup interaksi-micro-unit yang unik. Penelitian sejarah lokal diharapkan mampu mengungkapkan peristiwa dari setiap daerah, sehingga dapat diketahui oleh masyarakat luas. Kegiatan literasi sejarah lokal perlu digalakkan karena sejarah yang bersifat kedaerahan mempunyai keunikan dan perlu untuk dipelajari. Literasi sejarah lokal dapat dimulai dengan kegiatan penelitian sederhana terkait sejarah itu sendiri. Dalam melakukan penelitian sejarah, calon peneliti harus memahami terlebih dahulu metode yang akan digunakan. Metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (baik dari sumber external/bahan dan internal/isi), interpretasi (penafsiran) dan historiografi (penulisan kisah sejarah masa lampau) (Hamid A. R., 2015). Tahapan-tahapan tersebut harus dipahami terlebih dahulu, sehingga siswa mampu menulis sejarah dengan menggunakan metode yang tepat dan dilakukan secara sistematis. 3. Model Project Based Learning (PjBL) Dalam proses pembelajaran guru diharuskan mempunyai strategi baik berupa metode maupun model pembelajaran, sehingga dapat mencapai hasil belajar yang maksimal. Salah satu model yang dapat diterapkan adalah Project Based Learning(PjBL) yang mendasarkan pembelajaran pada pengerjaan sebuah proyek. Keil, et. Al (2009) mendefinisikan model PjBL sebagai model yang mengantarkan siswa pada penguasaan materi dengan menggunakan proyek sebagai bentuk penugasan sekaligus evaluasi pemahanaman terkait materi yang disampaikan. Model ini memberikan ruang bagi siswa untuk berfikir secara luas dan mengeksplor sumber dari berbagai media. Selain itu siswa dituntut aktif baik dalam hal mencari pemahaman terkait permasalahan yang ada dan memberikan solusi dengan bentuk tulisan seperti melakukan penelitian sederhana. Model ini menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Hosnan, 2014). Model pembelajaran berbasis proyek mempunyai karakteristik tersendiri dalam pelaksanaannya. Adapun karakteristik dari model ini adalah, (1) siswa mengambil keputusan sendiri dalam kerangka kerja yang telah ditentukan bersama sebelumnya, (2) siswa berusaha memecahkan masalah yang ada, (3) siswa merancang proses yang akan ditempuh dalam mencari solusi, (4) siswa didorong untuk berfikir kritis, (5) siswa bertanggugjawab dalam mencari informasi, (6) evaluasi dilakukan secara terus menerus, (7) siswa secara regular merenungkan proses dan hasil belajarnya sendiri, (8) produk akhir dari proyek dipresentasikan ••• 190 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) didepan umum, (9) di dalam kelas dikembangkan suasana yang penuh toleransi (Hosnan, 2014). Berdasarkan karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis proyek ini, menutut siswa untuk lebih aktif dan mandiri dalam belajar Menurut Thomas (2000) pembelaran dengan menggunakan PjBL memiliki prinsip dalam pelaksanaannya antara lain, pertama adalah, keterpuasan, proyek dalam PBL adalah inti kurrikulum yaitu strategi pembelajaran, pelajar mengalami dan belajar konsep-konsep inti. Kedua, berfokus pada pertanyaan atau masalah, prinsi ini medorong pelajar untuk memahami konsep inti secara jelas melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Ketiga, investigasi konstruktif, pada prinsip ini berupa proses desain, pengambilan keputusan, pemenuhan masalah, pemecahan masalah, diskoveri, dan proses pembangunan model. Keempat, otonomi, prinsip ini menerangkan bahwa pembelajaran berbasis proyek bukanlah ciptaan guru naum mengutamakan pilihan dan tanggung jawab siswa. Kelima, realism, proyek yang diberikan kepada siswa meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan pelajar, konteks dimana kerja dilakukan, dan berfokus pada pertanyaan dan pemecahannya dilapangan (Hosnan, 2014). 4. Penyusunan Perencanaan Pembelajaran Melalui Model Project Based Learning (PjBL) Perencanaan pelaksanaan pembelajaran harus dibuat oleh seorang guru sebagai acuan dalam proses pembelajaran. Penyusunan perencanaan pembelajaran merupakan suatu keharusan karea didorong oleh kebutuhan agar pelaksanaan pembelajaran sejarah terarah (Agung, Perencanaan Pembelajaran Sejarah, 2013). Dalam membuat sebuah perencanaan pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa hal sehingga sesuai dengan kritera yang ada. Menurut sanjaya kriteria penyusunan perencanaan pembelajaran adalah sebagai berikut, (1) Signifikansi, perencanaan pembelajaran hendaknya bermakna agar proses pembelajaran berjalan efektif dan efisien, (2) Relevan, perencanaan pembelajaran yang disusun memiliki nilai kesesuaian, baik internal, maupun eksternal, (3) Adaptibilitas, perencanaan pembelajaran hendaknya bersifat lentur sehingga dapat diimplementasikan manakala memiliki syarat-syarat tertentu, (4) Kesederhanaan, perencanaan pembelajaran harus bersifat sederhana sehingga mudah diterjemahkan dan mudah diimplementasikan, (5) Prediktif, perencanaan dapat menggambarkan apa yang terjadi (Agung, Perencanaan Pembelajaran Sejarah, 2013). Setelah memahami kriteria terkait perencanaan pembelajaran, guru dapat membuat perencanaan dengan melakukan langkah-langkah penyusunan yang baik. Terdapat beberapa langkah dalam penyusunan perencanaan pembelajaran antara lain, pertama, merumuskan tujuan pembelajaran, guru dianjurkan untuk merumuskan tujuan umum pembelajaran ke dalam tujuan khusus. Tujuan yang spesifik dirumuskan sebagai indikator hasil belajar. Kedua, pengalaman belajar, guru dapat memilih pengalaman belajar siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran. Ketiga, Kegiatan belajar mengajar, kegiatn belajar dan mengajar yang sesuai pada dasarnya dapat dirancang melalui pendekatan kelompok maupun individual. ••• 191 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Keempat, bahan dan alat, menentukan bahan dan alat yang sesuai dengan keberagaman siswa, tujuan pembelajaran khusus,tipe media , alternatif pengalaman belajar, dan fasilitas fisik yang tersedia (Agung, Perencanaan Pembelajaran Sejarah, 2013). Melalui karya tulis siswa mampu menuangkan pemikiran terkait peristiwa yang terjadi, solusi dari masalah yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut, dan menjadikannya sebagai pelajaran dalam hidup. Karya tulis dapat digalakkan melalui penugasan proyek oleh pengajar yang dikenal dengan Project Based Learning (PjBL). Project Based Learning (PjBL) yang berorientasi pada pengerjaan proyek (Sani, 2015). Terdapat beberapa karakteristik terkait model ini antara lain: 1) Peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja, 2) terdapat sebuah permasalahan yang disuguhkan, 3) diharapkan peserta didik mampu memberikan solusi terkait permasalahan yang ada, 4) peserta didik bertanggung jawab dalam pengaksesan informasi sebagai solusi pemecahan masalah, 5) proses evaluasi dijalankan secara berkelanjutan, 6) peserta didik secara berkala melakukan refleksi atau aktivitas yang sudah dijalankan, 7) produk akhir aktifitas belajar kemudian dievaluasi secara kolektif, dan 8) situasi pembelajran sangat toleren terhadap kesalahan atau perubahan (Nurpratiwi, 2017). 5. Sintak ModelProject Based Learning (PjBL) Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Literasi Sejarah Lokal Siswa Pembelajaran sejarah dalam prakteknya dapat menggunakan berbagai strategi yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Melalui model Project Based Learning (PjBL) pengajar dapat melaksanakan dengan beberapa tahapan antara lain, 1) penyajian permasalahan terkait relita yang ada sehingga membutuhkan proses investigasi, 2) membuat perencanaan dengan menentukan kompetensi dan konsep penting dalam kurrikulum, 3) menyusun penjadwalan bagi peserta didik terkait proyek yang akan dikerjakan, 4) memonitor pembuatan proyek dengan menetapkan acuan laporan, 5) melakukan penilaian terkait hasil kerja peserta didik, dan 6) evaluasi (Sani, 2015). Berdasarkan acuan yang telah ada maka akan mempermudah pengajar dalam melaksanakan pembelajaran sejarah dengan efektif. Tujuan dari pemanfataan model project based learning diharapkan mampu meningkatkan kemampuan literasi sejarah peserta didik. Adapun rancangan pelaksanaan dalam pembelajaran dapat dilakukan pada empat kali pertemuan dengan materi yang telah ditentukan. Pertemuan pertama adalah penyampaian materi secara keseluruhan dengan menyuguhkan kronologis suatu peristiwa dan permasalahan yang terjadi sehingga peserta didik harus menemukan solusi. Pengajar dapat menggunakan metode ceramah dengan teacher centered sehingga guru dapat menjelaskan materi secara gamblang sehingga dapat memberikan pemahaman pada peserta didik. Pada pertemuan ini disuguhkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat esensial untuk menarik perhatian siswa dan motivasi dalam belajar. Permasalahan yang disuguhkan adalah terkait peristiwa nyata yang terjadi disekitar lingkungan peserta didik, sehingga akan terdapat ikatan emosional yang mendorong untuk berkontribusi dalam pemecahan masalah daerah asal. Peserta didik ditugaskan untuk melakukan penelitian dengan ••• 192 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) invsetigasi dan mencari informasi sebanyak-banyaknya. Tugas dari pengajar adalah memastikan bahwa permasalahan yang ada relevan sehingga aspek kedekatan emosional dapat mendorong siswa untuk terlibat secara emosi. Pada pertemuan kedua guru dapat menggunakan metode tanya jawab dan diskusi terkait topik permasalahan yang disampaikan. Proses tanya jawab memberikan ruang bagi siswa untuk menanyakan terkait materi yang disampaikan oleh guru. Sedangkan pada proses diskusi siswa diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ide atau gagasan yang akan ditanggapi oleh siswa lainnya. Pada pertemuan ini, kegiatan siswa adalah mengidentifikasi masalah yang ada dan solusi terkait masalah tersebut. Peserta secara mandiri dapat leluasa berkreasi dengan pemahaman mereka sehingga setelah proses perumusan masalah dapat dilanjutkan dengan mendesain perancangan. Pada tahap ini peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendiskusi terkait permasalahan yang ada. Siswa dituntut untuk merumuskan pertanyaan yang ensensial terkait proyek yang akan dilaksanakan. Tahapan selanjutnya adalah mendesain perencanaan terkait proyek yang akan dilakukan. Dalam situasi ini pengajar bertugas untuk mengawasi kegiatan siswa sehingga proyek dapat dirancang secara rasional dan bermanfaat bagi pembelajaran. Pertemuan ketiga adalah siswa bersama guru merencanakan pengerjaan proyek artikelsejarah lokal. Pada tahap ini penulisan artikel dapat dilakukan dengan tiga tahapan sebagai berikut: pertemuan ke-I, siswa membuat kerangka penulisan terkait tema permasalahan sejarah lokal, pertemuan ke-II, siswa membuatartikel sesuai perintah yang telah diinstruksikan oleh guru, pertemuan ke-III, finishing yaitu siswa diinstruksikan untuk mengumpulkan artikel yang telah diselesaikan. Selanjutnya pada pertemuan keempat, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan tema permasalahan yang telah disampaikan oleh guru. Pada tahap ini tema dapat dibagi menjadi 3-4 sub tema, dan guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengerjakan proyek di rumah. Pada pertemuan terakhir, siswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan artikel yang telah dikerjakan didepan kelas. Kesimpulan Budaya literasi mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas siswa pada semua jenjang. Permasalahan yang menunjukkan rendahnya budaya literasi dapat terlihat pada pengisian waktu luang siswa. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya budaya literasi yaitu sarana dan prasarana sekolah, budaya sekolah, apresiasi sekolaj terhadap budaya literasi, dan faktor rendahnya literasi guru itu sendiri. Literasi erat kaitannya dengan mata pelajaran yang hampir semua kegiatan pembelajaran adalah bagian dari literasi baik membaca maupun menulis. Sejarah lokal merupakan bagian dari sejarah nasional yang dikatakan minim sebagai bntuk literasi sejarah lokal. Maka dari itu perlu dilakukan inovasi dalam pembelajaran baik dari segi sarana dan prasarana, media, bahan ajar, dan strategi seperti penggunaan model pembelajaran. ••• 193 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Model project based learning (PjBL) merupakan salah satu model yang menekankan pada kegiatan literasi seperti membaca, memahami materi, dan menulis artikel. Model ini dapat digunakan sebagai upaya peningkatan literasi sejarah lokal siswa melalui beberapa tahapan. Tahapan pelaksanaan dari model ini adalah sebagai berikut: pertama, adalah penyampaian materi terkait peristiwa dan permasalahan yang terjadi dengan pendekatanteacher centered.Kedua,merencanakan pengusan berupa proyek yang berbentuk artikel. Guru memberikan ruang bagi siswa untuk menanyakan materi yang telah disampaikan.Selain itu diberikan kesempatan untuk diskusi agar dapat mengungkapkan ide atau yang dimiliki.Ketiga,siswa bersama guru merencanakan pengerjaan proyek artikelsejarah lokal. Pada pertemuan terakhir, siswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan artikel yang telah selesai didepan kelas. Daftar Rujukan Agung, L. &. (2013). Perencanaan Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta : Ombak. Darsono. (2000). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Press. Gilbahar, Y. T. ( 2006). Implementeting Project Based Learning and E-Portofolio Assesment In An Undergradutae Course. . Journal of Research on Thchnology in Education, No. 38, 38. Gufron, A. (2010). Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa Pada Kegiatan Pembelajaran. Jurnal Cakrawala Pendidikan, Edisi Dies Natalis UNY , 13-24. Hamid, A. R. (2015). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21, Kunci Sukses Implementasi Kurrikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia. Kalida, M. (2014). Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Nokes, J. (2013). Building Students' Historical literacies: Leraning to read and reason with historical texts and evidence. New York: Routledge. Nurchaili. (2016). Menumbuhkan Budaya Literasi Melalui Buku Digital. LIBRIA Volume 8, No.2, 197-209. Nurpratiwi, H. ( 2017). Model Project Based Learning untuk meningkatkan ketrampilan menulis sejarah wanita pada mahasiswa. Sejarah dan Budaya, tahun kesebelas, No. 1, 1-8. Priyadi, S. (2012). Sejarah Lokal, Konsep, Metode, dan Tantangannya. Yogyakarta: Ombak. Sani, R. ( 2015). Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurrikulum 2013. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Sari, U. A. (2016). Integrasi Ilmu Sejarah Dengan Ilmu Geografi Dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi Sejarah Mahasiswa Pendidikan IPS Melalui Eksplorasi Sejarah Lokal Candi Badut. Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS, Vol 1, No.2, 130-135. Sukmadinata, N. S. (2003). Landasan Psikologis Proses Pendidikan. Bandung: Remada Rosdakarya. ••• 194 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Suryabrata, S. (2013). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sutikno, S. (2014). Metode dan Model-Model Pembelajaran Menjadikan Proses Pembelajaran Lebih Variatif, Aktif, Inovatif, Efektif, dan Menyenangkan. Lombok : Holistica. Wahyuni, S. (2009). Menumbuhkankembangkan Minat Baca Menuju Masyarakat Literat. Jurnal Diksi, Vol16, No.2, 179-189. Wineburg, S. (2006). Berpikir Historis, Memetakan Masa Depan, Memetakan Masa Lalu . Jakarta: Obor. ••• 195 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) URGENSI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARA ••• 196 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) NETNOPEDAGOGI PERENCANAAN PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS PEMIKIRAN TUNGGUL WULUNG SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI MENINGKATKAN SIKAP KEPEMIMPINAN Reni Dikawati, Sariyatun, Warto Universitas Sebelas Maret, Surakarta. renydika31@gmail.com ABSTRAK Meningkatnya hubungan manusia kearah sensitifitas, kecurigaan, konflik, etnosentrisme, hingga sektearisme, imagine communities kelompok-kelompok sublim yang tidak sesuai ideologi bangsa, mendorong lahirnya pedagogik transformatif, seperti ethnopedagogi untuk menumbuhkan kembali nilai kearifan lokal yang relevan sebagai solusi krisis di masyarakat. Identifikasi terhadap persolan krisis sosial, menunjukkan kegagalan individu maupun pemimpin dalam mengakomodasi pola kepemimpinan sebagai pemicu krisis multidimensional. Seminasi pemaknaan pemimpin dan kepemimpinan mengarahkan pentingnya peran pemimpin dalam proses perubahan,dan kesinambungan pola-pola kehidupan kearah terjadi/tidaknya disintegrasi di masyarakat. Realitasnya, sikap dan gaya transaksional dalam pemilihan maupun pola kepemimpinan, menjadi masalah urgent di era globalasisasi. Konteks ini menggambarkan adanya krisis kepemimpinan di era kontemporer. Perlu solusi aplikatif dengan menciptakan proses pembelajaran ethnopedagogy berbasis figur tokoh lokal, seperti pemikiran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung sebagai bekal modal Kultural kepemimpinan kontemporer. Perencanaan Pembelajaran Sejarah menjadi mata kuliah yang efektif mewujudkan tujuan tersebut, tidak hanya model kepemimpinan lokal yang akan direposisi dan adopsi oleh mahasiswa sebagai aktualisasi sikap kepemimpinan dalam daily life, melainkan juga sebagai bekal menjadi tenaga pendidik sejarah di masa depan, melalui peningkatan kompetensi merancang rencana pelaksanaan pembelajaran yang menumbuhkan sikap kepemimpinan peserta didiknya. Kata Kunci: Model pembelajaran, ethnopedagogy, pemikiran Tunggulwulung, sikap kepemimpinan. Pendahuluan Postmodern melahirkan inferiority complex, subaltern, ketimpangan sosial, ekslusivitas kelas sosial, kegaulan identitas dan standart idealglobal yang secara ekstrem bersifat destruktif terhadap nilai lokal. Postmodern menggambarkan kondisi individu-individu yang mulai kehilangan sisi humanisnya, karena bentuk pertukaran sosial transaksional. Konteks ini sering muncul di negara berkembang seperti Indonesia. Buktinya, dapat di identifikasikan dengan gejala krisis kapasitas dan kompetensi pemimpin secara individu, maupun secara kelompok baik dalam takaran tradisional maupun modern. Secara tradisional, krisis kepemimpinan tampak dari dasar legitimasi yang digunakan sebagai tonggak struktur kepemimpinannya, misalnya dengan mengandalkan kekuatan adikodrati, ••• 197 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) penciptaan mitos pulung, karisma, juga budaya patron-klien yang terus mengarah pada resiprositas, hingga budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Secara modern krisis kepemimpinan di Indonesia, diidentifikasi dengan pemanfaatan modal sosial berlebihan dan persemaian budaya politik tidak sehat, di ranah domestik maupun publik. Sesuai dengan teori agency, bahwa bakat memimpin sebenarnya dimiliki oleh setiap individu yang kemudian menjadi kompetensi dan kapasitas kepemimpinannya. Namun, melihat realitasnya kepemimpinan bukan saja dipengaruhi oleh faktor keturunan, melainkan dapat terbentuk melalui pengkondisian, pembelajaran, sosialisasi, dan pembangunan konsepsi baru. Sebagai renungan, pola konsumsi berkembang sesuai semangat zaman hingga menimbulkan kegalauan identitas, yang menunjukkan bahwa individu tidak dapat memimpin dirinya sendiri pada takaran perubahan, yaitu memproduksi sistem baru, sehingga hanya menjadi objek terkendalikan. Lebih ekstrem dalam konteks sosial, kelompok-kelompok sublim melahirkan imagine communities, akibat kegagalan pemimpin menampung aspirasinya, dan pragmatisme pemilihan pemimpin berdasarkan kriteria seberapa lurus kandidat dengan komunitasnya. Krisis kepemimpinan yang dihadapi masyarakat Indonesia, menunjukkan bahwa pola pikir, nalar, latar belakang struktur sosial mempengaruhi pemimpin dan model kepemimpinannya. Identifikasi beberapa penelitian terdahulu, menunjukkan pentingnya lingkungan sosial dalam membentuk karakter individu sebagai pemimpin dimensi personal dan publiknya. Persemaian makna pemimpin dan kepemimpinan yang terus dimaknai dengan semangat zaman membutuhkan internalisasi nilai-nilai lokal, sebagai modal kultural tipe kepemimpinan ideal di era kontemporer. Proses pembelajaran nilai lokal untuk menangani krisis di masyarakat, juga sejalan dengan hakekat pendidikan, yaitu sebagai upaya sadar pengkondisian kompetensi dan potensi individu kearah yang lebih baik. Pengkondisian melalui proses pembelajaran akan menumbuhkan kapasitas kepemimpinan generasi penerus. Reposisi dan adopsi nilai lokal ke dalam pembelajaran sebagai bentuk sosialisasi model kepemimpinan lokal ideal, sehingga menjadi pondasi kepemimpinan berdasarkan tata nilai sosial budaya Indonesia, bukan standar ideal pola managerial kepemimpinan Barat. Pengembangan model pembelajaran ethnopedagogi berbasis figure lokal dapat dilakukan dengan mereposisi dan mengadopsi pemikiran Kyai Ibrahim Tunggul wulung, sebagai instruktusional matters pembelajaran sejarah yang memuat nilai-nilai universal kehidupan dan sikap kepemimpinan spiritual. Sesuai paradigma postmodern, kurikulum nasional merupakan wacana yang dapat dinegosiasi tenaga pendidik dalam menyusun rencana pembelajaran (Tilaar, 2012: 94). Nilai lokal dapat diintegrasikan dalam bahan ajar. Telaah dan diskusi mengenai Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memiliki relevansi dengan urgensi krisis multidimensional di masyarakat. Sebagai tokoh beragama Kristen diterima oleh komunitas pendukungnya, bahkan memperoleh gelar Kyai dari masyarakat. Tidak sekedar tipe kepemimpinan situsional, pemikiran Tunggul Wulung memiliki nilainilai arif kasih. Tidak sekedar melakukan dogma agama, namun mengembangkan ••• 198 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dinamika kehidupan masyarakat yang saat itu terhimpit oleh kesengsaraan penjajahan Belanda. Pemikiran Tunggul Wulung mampu menjadikannya seorang tokoh yang ketokohannya di akui oleh masyarakat setempat, dan di tengah mencuatnya intoleransi dalam pemilihan pemimpin, tindakan rillnya dapat menjadi teladan. Penelitian ini memfokuskan diskusi mengenai paparan urgensi pengembangan model pembelajaran etnopedagogi rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis pemikiran tokoh lokal untuk meningkatkan sikap kepemimpinan di tingkat perguruan tinggi, program studi pendidikan sejarah. Model pembelajaran ini berdasarkan beberapa studi terdahulu memiliki kapasitas untuk meningkatkan sikap kepemimpinan, kerangka berfikir ke arah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang kritis terhadap pemimpin dan berbagai model kepemimpinan (NASSP, 2013: 3). Konsepsi baru yang dibangun peserta didik dapat menjadi agen perubahan pola kepemimpinan yang telah ada, maupun penciptaan sikap kepemimpinan baru yang lebih sesuai dengan situasi, kondisi, dan ideologi bangsa. Proses pembelajran etnopedagogi rencana pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dapat menumbuhkan kesadaran kritis, dan nalar sebagai self regulation dan self control dimensi personalnya, dan sebagai pendukung tujuan pembelajaran sejarah ditingkat perguruan tinggi, program studi pendidikan sejarah yaitu menganalisis, mengolah, menilai, mencipta, dan melakukan penulisan sejarah dan praktek kompetensi professional tenaga pendidik sebagai tenaga pendidik sejarah masa depan. Hasil dan Pembahasan 1. Urgensi Sikap Kepemimpinan dan Pembebelajaran Sejarah dengan Etnopedagogi di Era Kontemporer. Dinamika perubahan sosial masyarakat, berimbas positif dan negatif di berbagai lini kehidupan masyarakat. Sistemisasi global yang ditandai dengan interdependensi, interkoneksi dan integrasi secara global, menciptakan standar ideal baru (Lerner, 1958: 23). Perubahan positif, dari globalisasi dapat dilihat dari adanya hak dan kewajiban yang berlaku universal di berbagai belahan dunia, sehingga menjamin Hak Asasi Manusia dalam pergaulan dunia. Namun, kenyataannya dampak negatif, globalisasi melahirkan permasalahn fundamental yang mengharuskan perhatian khusus di era postmodern, yaitu ekstrimisme global yang ditandai kesenjangan antara negara berkembang dan adikuasa secara ekonomi, dominasi ideologi dalam hal politik, standar ideal dalam ranah budaya, dan agama (Smith, 1974: 3). Implikasinya, membentuk pola penjajahan baru, destruktif terhadap budaya tertentu,hegemoni sudut pandang ideal, pembangunan dan managerial kepemimpinan Barat sebagai standar modern, serta marginalisasi terhadap minoritas pendukung budayayang menguntungkandominasi kelompok yang diidealkan. Pola pemikiran manusia juga berubah mengikuti perkembangan zaman, sehingga dalam takaran ekstrim mengubah substansi identitas individu menjadi ••• 199 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pabrikasi, Individu banyak mengejar standar modern hanya untuk menjadi manusia modern. Menggambarkan, bahwa seseorang telah kehilangan kapasitas managerial kepemimpinan untuk mengendalikan dirinya, sehingga mudah terbawa arus global. Tuntutan dunia modern, juga menyebabkan pragmatisme pemilihan pemimpin, dengan cara transaksional, yaitu kondisi dimana antara kandidat dan pemilih masing-masing memiliki resiprositas yang ditawarkan. Secara umum dikenal dengan istilah patron-klien, patron menawarkan pekerjaan, perlindungan pada klien. Sedangkan Klien, menawarkan dukungan politik dan penghormatan pada patron(Burke, 2015: 105). Dasar legitimasi kepemimpinan yang pragmatis, menunjukkan krisis kepemimpinan yang selalu ada setiap zaman. Tidak hanya di masa tradisional, dengan memanfaatkan simbol-simbol adikodrati diluar diri manusia untuk memperoleh pengakuan, atau korupsi di ranah domestik. Krisis kepemimpinan berkembang di era modern dengan pola kontrak politik, etnosentrisme dengan hanya memilih pemimpin berdasarkan kelurusan dengan komunitasnya, bukan kemampuan kepemimpinannya. Sifat ideal pemimpin yang seharusnya mampu mengayomi, membuat kebijakan secara otonom dan bertanggunh jawab demi kesejahteran masyarakat tidak akan terwujud karena krisis kepemimpinan. Konteks ini, melahirkan perasaan yang lain dari kelompok tertentu, hingga memunculkan upaya resistensi, imagine communities dan konflik sosial karena perbedaan ideologi, sektearisme, perasaan sublim. Seperti pernyataan Wes Sharlock, yaitu: Pandangan konflik dibangun atas dasar asumsi bahwa… setiap masyarakat.. dapat memberikan kehidupan baik luar biasa bagi sebagian orang tetapi hal ini biasanya hanya mungkin karena kebanyakan orang tertindas dan ditekan … oleh sebab itu, perbedaan kepentingan dalam masyarakat sama pentingnya dengan kesepakatan atas aturan dan nilai-nilai, dan sebagain besar masyarakat diorganisasi sedemikian sehingga masyarakat tersebut tidak hanya memberikan manfaat lebih besar bagi sebagian warga lainnya. Manfaat lebih besar bagia sebagian warga berarti ketidaknyamanan bagi sebagian warga lain yang tidak mendapatka kemudahan (Wes Sharlock, 1977: 515-516). Krisis kepemimpinan dapat diatasi dengan meningkatkan kompetensi dan kapasitaspemimpin, kepemimpinan individu masih dapat diubah denganmengkondisikannya pada proses pembelajaran. Etnopedagogi, menjadi tranformasi pendidikan yang memungkinkan peserta didik berinteraksi dengan nilai-nilai lokal, dan membangun kompetensi etnis serta toleransi, termasuk di dalamnya model kepemimpinan yang ada di masyarakat (Alwasih, 2009:12). Kearifan lokal sebagai bentuk kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Nilai-nilai tersebut melekat sangat kuat dalam masyarakat, melalui perjalanan yang sangat panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut. Belajar dengan kearifan lokal, akan membentuk interaksi antara kehidupan tradional dan kontemporer, hingga memunculkan kearifan. Kearifan membuat individu dalam mengambil keputusan selalu mempertimbangan berbagai dampak yang mengiringi, mampu mempertanggung jawabkan keputusannya. Etnopedagogi, dengan muatan nilai-nilai kepemimpinan ••• 200 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) akan mengantarkan peserta didik pada imajinasi, menghadirkan proses dialog antara pengetahuan awal, pengetahuan baru dengan unsur lokal dan modern, sehingga tumbuhlah menjadi suatu konsepsi baru sebagai dasar pengambilan keputusan dan tindakan. Etnopedagogi, memungkinkan pengetahuan tentang kepemimpinan dihasilkan, disimpan, dikelola, dan di wujudkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kepemimpinan etnopedagogi mengadopsi beberapa nilai-nilai dari kepemimpinan, dan budaya lokal. Penelitian ini menawarkan pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dengan menyajikan diskusi mengenai kemungkinan mengadopsi pemikiran lokal dalam kegiatan belajar mengajar, dengan output harapan dapat diadaptasi dalam pola kepemimpinan modern generasi penerus. Transformasi konsep ideal pemimpin dan kepemimpinan yang disertai dengan sinergitas dengan pola pemikiran lokal, akan membentuk harmonisasi kehidupan berbagai etnis, penghargaan, kesadaran, dan tindakan solutif permasalahan akibat krisis kepemimpinan dengan meningkatnya sikap kepemimpinan dari peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Proses pembelajaran etnopedagogi dapat diserap dengan dikembangkannya model pembelajaran di Perguruan tinggi, khususnya LPTK, sebagai pembentuk tenaga-tenaga pendidik masa depan. Salah satu mata kuliah di perguruan tinggi yang bertujuan untuk menciptakan profesionalisme tenaga pendidik, melalui mata kuliah perencanaan pembelajaran sejarah (RPP). RPP, memberikan bekal pada calon tenaga pendidik cara membuat perencanaan proses belajar mengajar sejarah sesuai dengan kurikulum yang berlaku sebagai acuan nasional, dan pengintegrasian materi pembelajaran berdasarkan urgensi di masayrakat yang berkaitan dengan peserta didik. Proses belajar mengajar pada mata kuliah RPP akan memberikan pengalaman yang kemudian menjadi ciri tenaga pendidik kelak melaksanakan proses belajar mengajar setelah menempuh program strata satu kependidikan. Menarik untuk kemudian mengingat istilah “guru iku digugu lan di tiru”, maksudnya tenaga pedidik itu dijadikan teladan dan di contoh, maka pengalaman pembelajaran yang diberikan akan berpengaruh pada peserta didik, sehingga apabila dalam penerapan pembelajarannya menumbuhkan kesadaran kritis, hingga memunculkan sikap kepemimpinan. Asumsinya, dalam perencanaan pembelajaran sejarah yang dibuat oleh calon tenaga pendidik akan memiliki kualitas yang sama, atau bahkan meningkat. 2. Pembelajaran Etnopedagogi dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Sejarah di Perguruan Tinggi, Program Studi Pendidikan Sejarah. Pembelajaran Sejarah dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang menitik beratkan proses pembawaan peristiwa masa lalu oleh pendidik ke dalam kelas, untuk dimaknai oleh peserta didik (Widja, 1998: 95). Grant Bage (1999: 33-39) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah bermanfat untuk mendorong nilai karakter, menghubungkan pada kehidupan sekarang, menghubungkan dengan masalalu, membantu membangun ketrampilan, dan menginspirasi melakukan kebaikan. Pengertian dan pernyataan tersebut menguatkan peranan pembelajaran ••• 201 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sejarah sebagai upaya penanaman nilai, selain pencapaian nilai akademik yang tinggi. Pembelajaran sejarah ini dituntut untuk mengikuti perkembangan peserta didik, dan kebutuhan yang diharapkan dari output pendidikan. Pembelajaran sejarah harus bersifat adaptif, atau dapat direposisi sebagai pengajaran untuk menyusun kehidupan di masa sekarang, dan masa depan. Tujuan ini akan tercapai, apabila dalam perencanaan pembelajaran sejarah tenaga pendidik menggunakan model pembelajaran yag efektif dan efisien. Menurut Rosenshine, Stevens, dan Shuell, beberapa prinsip pengajaran sejarah menekankan berbagai faktor untuk mendapatkan ketrampilan, strategi, dan perilaku dari peserta didik (Schunk, 2012: 28). Faktor-faktor tersebut meliputi pengorganisasian materi yang harus diajarkan, penyajian materi dalam langkahlangkah pendek (sintak), kesempatan-kesempatan untuk praktik, pemberian penguatan sebagai koreksi, dan pengulangan, serta penarikan hikmah yang dapat diambil dari peristiwa sejarah. Faktor tersebut dalam pembelajaran sejarah di Perguruan tinggi, prodi pendidikan sejarah, bukan hanya untuk menuntut peserta didik memiliki kedalaman terhadap penulisan sejarah, melainkan juga kompetensi professional tenaga pendidik yang harus dimiliki sebagai bekal menjadi guru masa depan. Salah satunya, yaitu dengan materi perkuliahan perencanaan pembelajaran sejarah (RPP) yang menuntut peserta didik memiliki kemampuan merencanakan, menyusun, dan mempraktekannya di lapangan. Tuntutan pembelajaran sejarah untuk dapat mengatasi persoalan multidimensional di masyarakat, terutama urgensi mengenai krisis kepemimpinan menjadi tantangan baru bagi tenaga pendidik. Sudah seharusnya, tenaga pendidik melakukan inovasi dengan mengembangkan model pembelajaran yang dapat menjadi solusi dan mendukung perbaikan kondisi di masyarakat. Pembaharuan ini sejalan dengan pernyataan Bandura dalam (Schunk, 2012: 205) bahwa pengetahuan dan tindakan dibangun melalui proses pembelajaran dengan bantuan keteladanan untuk membangun konsepsi baru dari pengetahuan awalnya, sehingga peserta didik setelah proses pembelajaran mampu mencapai kebebasan, kesadaran untuk tetap mempertahankan konsepnya, atau memodifikasi, mengembangkan pengetahuan dan mewujudkan tindakan baru. Inovasi inilah yang ditekankan untuk dikembangkan, dan seharusnya dilakuka oleh tenaga pendidik dengan mengintegrasikan memuat nilai-nilai lokal yang sesuai dengan struktur dan budaya bangsa, sehingga kepemimpinan kontemporer dapat berkesinambungan dengan nilai-nilai lokalnya. Sejalan dengan fokus penelitian untuk, mengatasi permasalahan krisis kepemimpinan di masyarakat pembelajaran sejarah di tingkat universitas sudah seharusnya mengembangkan calon tenaga pendidik yang memiliki kapasitas menjadi seorang pemimpin. Bahkan, dalam hal ini merencanakan proses pembelajaran sejarah yang dapat menumbuhkan sikap kepemimpinan peserta didiknya. Konteks yang dimaksud dalam penyataan tersebut, yaitu ketika model pembelajaran etnopedagogi rencana pelaksanaan pembelajaran sejarah dengan mengntegrasikan nilai-nilai kepemimpinan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, maka peserta didik sebagai calon tenaga pendidik dapat dikondisikan untuk membuat ••• 202 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) penugasan yang sejalan dengan tujuan pembelajaran, yaitu menumbuhkan sikap kepemimpinan. Berdasarkan model pembelajaran inilah, nantinya permasalahan krisis kepemimpinan menjadi sebuah siklus yang tidak terputus, karena kesinambungan dari universitas dalam membentuk calon tenaga pendidik yang kompeten. Sisilain, selain dituntut untuk membuat RPP sejarah dalam mata kuliah ini, proses mengkomunikasikan hasil RPP dengan salah satu pihak sekolah diharuskan, sehingga dapat sekaligus mensosialisasikan model pembelajaran pada tenaga pendidik di tingkat SMA/SMK dan Sederajatnya. Model pembelajaran berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dalam pembelajaran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan pendekatan etnopedagogi, memungkinkan niai-nilai dari pemikiran Tunggul wulung menjadi bahan pembelajaran yang diadopsi dalam pembuatan tugas RPP calon tenaga pendidik. Selan itu, model pembelajaran yang di tawarkan oleh peneliti dalam hal ini memungkinkan adanya proses pembelajaran yang lebih kreatif, membangun paradigma baru bahwa proses pembelajaran dengan perencanaan yang lebih bersifat humanis dengan menggunakan nilai-nilai lokal, untuk kepentingan kepemimpinan. Proses pembelajaran mata kuliah RPS di perguruan tinggi dapat membangun pola pemikiran dan konsep baru dari calon tenaga pendidik untuk merencanakan RPP berbasis pemikiran Tunggul Wulung di kemudian hari dengan paradigma yang sama. Model pembelajaran etnopedagogi RPP sejarah berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul wulung, memungkinkan peserta didik sebaai calon tenaga pendidik mengkonsepsikan dan mereduksi nilai-nilai negatif yangg terdapat dalam pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung untuk kepentingan pendidikan. Model yang diterapkan dalam proses belajar mengajar akan membantuk karakteristik calon tenaga pendidik membangun model pembelajaran untuk peserta didiknya kemudian hari. Pada tataran paling rendah, calon tenaga pendidik memiliki bekal untuk merancang pembelajaran dalam microteaching, Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di sekolah, dan menambah kompetensi profesionalnya dalam merancang pembelajaran ketika benar-benar menjadi tenaga pendidik.Model etnopedagogi perencanaan pembelajaran sejarah dengan pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dapat meningkatkan sikap kepemimpinan spiritual peserta didik. Kepemimpinan spiritual ini sesuai dengan teori kepemiminan spirtual Fry, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat keberagaman dapat dibangun, intoleransi dapat diminimalisir, serta kesadaran untuk tidak sekedar melakukan pemilihan pemimpin secara transaksional. Sejalan dengan gagasan A Chaedar Alwasih (2008, 2009) sebagai langkah pertama pengenalan etnopedaggi di pendidikan Indonesia, pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul wulung harus terlebih dahulu direkontruksi dan direduksi nilai-nilai magis negatif, sektearisme, atau bahkan nilai-nilai yang cenderung dinilai sebagai tindakan ke arah murtad, pada penyadara tentang konteks semangat zaman, kemampuan menalar pada masa itu, sehingga menurut Alwasih etnopedagogi berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dapat di pandang sebagai sumber inovasi dan ketrampilan yang dapat diberdayakan demi mengatasi ••• 203 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) permasalahan sosial. Oleh karena itulah, jelas dalam penerapannya di mata kuliah RPP Sejarah di tingkat perguruan tinggi dapat menjadi usaha ke arah pengembangan, perbaikan dan penyaring. Nilai positif, yang kemudian dapat di ambil dari penerapan model pembelajaran etnopedagogi RPP Sejarah, mampu membangun pengaturan diri ke arah kepemimpinan ideal yang harus dikembangkan oleh dirinya sebagai individu, dan masyarakat/sosial, serta menyusun proses pembelajaran yang sejalan dengan tujuan tersebut, sehinga kepemimpinan ideal berdasarkan pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung terus dapat diseminasi, modifikasi sejalan dengan semangat zaman. 3. Model Pembelajaran Etnopedagogi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Berbasis Pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung untuk Meningkatkan Kepemimpinan Peserta Didik. Model Pembelajaran menurut Joyce &Weil dalam (Rusman, 2013: 133) merupakan kerangka konseptual yang digunakan untuk merancang bahan-bahan pembelajaran dan melaksanakan proses pembelajaran. Model pembelajaran menjadi acuan sistematis yang dapat digunakan oleh tenaga pendidik melaksanakan tahapan langkah-langkah pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai melalui aktivitas dalam pengalaman pembelajaran. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru akan tampak pada proses interaksi tenaga pendidik dan peserta didik, mengarahkan pola dialek dalam ruang kelas. Tentu saja dalam hal ini, interaksi antara komponen satu dengan lainnya tidak akan dapat dipisahkan, muatan isi, ketrampilan mengajar, bentuk kegiatan, sarana, prasarana dan cara penerapannya akan saling mempengaruhi ketercapaiann tujuan. Pengembangan model harus di sesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, sehingga pendekatan psikologi pendidikan, strategi pembelajaran, perlu dilakukan untuk mengintegrasikan pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dalam materi pembelajaran. Draf model teoritik kajian pembelajaran etnopedagogi rencana pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung melalui Self Regulated Learning (EPPIS) untuk meningkatkan sikap kepemimpinan peserta didik, terdiri dari proses desain, implementasi, dan evaluasi. Pada desain, beberapa tahapan langkah-langkah yang harus dilakukan, yaitu: (1) perumusan tujuan perkuliahan, (2). Penentuan topik bahasan/materi perkuliahan, (3). Penentuan prosedur perkuliahan dengan langkah-langkah berdasarkan metode Self Regulated Learning, (4). Pemilihan, penetapan media dan sumber belajar, (5). Penetapan alat evaluasi baik proses maupun hasil. Self regulated learning, dipilih oleh peneliti karena kaitannya dengan paradigm pendidikan yang digunakan oleh peneliti, yang memposisikan peserta didik sebagai individu yang aktif, memiliki pengetahuan awal, dan proses pembelajaran akan lebih bermakna apabila peserta didik memahami tujuannya sendiri, cara pembelajarannya, dan mampu menilai kemampuannya sendiri. Self Regulated Learning, sejalan dengan paradigm kognitif behavior.Menurut zimmerman (1990:6)SRL melibatkan tiga aspek, pertama, peserta didik mampu mengatur ••• 204 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) strategi pembelajaran yang mandiri, tanggap terhadap umpan balik mengenai orientasi diri tentang efektivitas belajar, kedua,peserta didik saling terkait dalam hal saling memotivasi. Ketiga, secara mandiri peserta didik memilih dan menggunakan strategi pembelajaran secara mandiri untuk mencapai hasil akademik yang diinginkan berdasarkan ketrampilan dan proses belajar. Langkah-langkah yang dapat digunakan oleh tenaga pendidik dalam menerapkan model EPPIS, yaitu Implementasi dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu; (1) membangun kesadaran peserta didik mengenai tujuan (goal setting), sehingga peserta didik memahami tujuan yang ingin dicapaiya. Peserta didik mengaitkan tujuan dalam mengerjakan serangkaian proses dalam mengerjakan suatu aktivitas pembelajaran dengan tujuan dan cita-cita jangka panjang. Penegasan, dalam hal ini tidak hanya terkait tujuan dari mata kuliah RPP Sejarah, melainkan juga pembangunan kesadaran dan refleksi diri dari peserta didik, mengenai pemimpin dan kepemimpinan. (2). Planning, Peserta didik mengatur sendiri cara pembelajaran, menggunakan waktu dan sumber belajar, tenaga, waktu yan dimiliki untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas. Konteks ini menekankan pentingnya peran tenaga pendidik sebagai fasilitator dengan memberikan penguatan terhadap pilihan peserta didik, planning yang dibuat oleh peserta didik sendiri membuatnya belajar tanpa tekanan.(3). Moivasi diri, peserta didik menguatkan pengaturan dirinya sehingga memiliki efficiacy yang tinggi akan kemampuannya menyelesaikan persoalan dalam pembelajaran. (4). Kontrol Atensi, tahapan yang mengkondisikan peserta didik ke arah fokus pada hal-hal yang penting, dan menghindari hal yang mengganggu, dalam konteks EPPIS, Kontrol Atensi membantu peserta didik memfokuskan pada pola kepemimpinan ideal yang dapat diadopsi dan reposisi dalam keseharian peserta didik dan tercermin dalam RPS yang dibuatnya. Selanjutnya pada langkah ke (5). Peserta didik dibiasakan menggunakan strategi belajar yang fleksibel, dengan kondisi ini peserta didik akan terbiasa dan terbangun konsep mencipatakan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan, sehingga sebagai calon tenaga pendidik bekal yang dimilikinya mengantar pada profesionalisme. (6). Self Monitoring, menjadi proses SRL yang mendorong peserta didik memonitor perkembangan dirinya, mengubah strategi belajar dan memodifikasi tujuan yang dibutuhkan. (7). Mencari bantuan dengan tepat, SRL mengkondisikan peserta didik sebagai individu yang mandiri, namun juga memiliki kesadaran sebagai mahluk sosial yang tidak dapat melakukan segalanya, sehingga butuh bantuan orang lain, pengkondisian ini menciptakan kerjasama antara peserta didik dan tenaga pendidik, peserta didik dengan teman sebaya, dan peserta didik dengan orang yan lebih tua, sehingga setelah menggunakan bantuan kemampuan peserta didik akan meningkat, dan secara mandiri mampu melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain lagi. Terakhir, (8) evaluasi diri, dalam EPPIS menekankan adanya penilaian dari tenaga pendidik, peserta didik, dan teman sejawat. Sehingga, dalam hal ini benar-benar terjadi kesadaran untuk mejadi seseorang dengan jiwa lapang, penyadaran untuk mempercayai orang lain, dan menilai sikap kepemimpinan serta pemimpin ideal di ••• 205 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) masa kontemporer, yang idealnya dalam mengadopsi nilai-nilai kepemimpinan lokal dari pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Model EPPIS yang dikembangkan menjadi komponen integral terhadap fungsi formatif belajar.Fungsi ini membantu peserta didik melatih strategi pengaturan diri ketika mengambil bagian dalam suatu kegiatan, hal ini tentu saja membantu membangun sikap kepemimpinan individu tersebut, melalui tanggung jawab.Pengembangan EPPIS diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu strategi kognitif dan metakognisi. Strategi kognitif, memfokuskan proses informasi seperti latihan (rehersal), perluasan (elaboration), dan organisasi. Sedangkan Metakognisi, merupakan kesadaram, pengetahuan, kontrol terhadap kognisi, sehingga belajar dalam situasi tenang. Penysusunan model pembelajaran ini berpijak pada mahasiswa pendidikan Sejarah, penyajian model yang berpijak pada kajian pustaka, dan kesesuaian dengan karakteristik model, dengan dasar sintak, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak pengiring. Asumsi keterbatasan dari model EPPIS, yaitu proses rekontruksi pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memerlukan upaya untuk disesuaikan dengan mata kuliah RPS di perguruan tinggi, urgensinya ketika nilai-nilai negatif dari suatu pemikiran tidak direduksi agar tampak latar belakang, situasi kondisi yang melingkupi, justru yang terjadi penyajian bahan ajar yang mengarah pada bentuk-bentuk sektearisme. Keterbatasan ini dapat diatasi, hanya jika dalam proses penggunaan media EPPIS, tenaga pendidik memerankan perannya sebagai fasilitator dengan baik. Kesimpulan dan Saran Pembelajaran Sejarah di Universitas, khususnya mata kuliah Sejarah dapat menggunakan media pembelajaran etnopedagogi berbasis pemikiran Tunggul Wulung untuk mengatasi permasalahan krisis kepemimpinan. Model sesuai dengan urgensi, tujuan, dan filosofis pembelajaran sejarah, yaitu membangun solusi permasalahan sosial, dalam hal ini krisis kepemimpinan. Pembelajaran etnopedagogi RPS dengan integrasi nilai-nilai kepemimpinan Tunggul Wulung, membangun konsepsi peserta didik mengenai pemimpin dan sikap kepemimpinan, sehingga dapat diadopsi, direposisi, dan bahan refleksi terhadap sikap kepemimpinannya melalui pengalaman pembelajaran. Model juga, membangun upaya pembelajaran sejarah yang kreatif, inovatif, serta meningkatkan sikap kepemimpinan spiritual peserta didik. Pembelajaran etnopedagogi RPS sejarah berbasis pemikiran Tunggul Wulung mendorong upaya pencipataan RPS sejarah dari calon tenaga pendidik untuk menjadi bekal peningkatan kompetensi profesionalismenya. Sehingga pembaharuan tidak hanya pada ranah perguruan tinggi, namun juga di ranah pendidikan Menengah dan Sederajatnya. Implikasi Urgensi dari pengembangan etnopedagogi pembelajaran sejarah berbasis pemikiran Tunggul Wulung melalui metode Self Regulated Learning perlu di tindak lanjuti dengan cara pengembangan, produksi, seminasi di lembaga pendidikan tinggi, khususnya program studi pendidikan sejarah, mata kuliah ••• 206 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah. Perlu pula studi lebih lanjut terkait efektivitas Model EPPIS dalam meningkatkan sikap kepemimpinan peserta didik. Saran Sinergitas, dan sosialisasi dari perguruan Tinggi dengan Tenaga Pendidik di tingkat Jenjang Pendidikan perlu di bangun sebagai upaya menyebarluaskan pembaharuan model pembelajaran, perencanaan dan proses beajar mengajar, sehingga permasalahan krisis identitas dapat ditanggulangi dengan siklus yang tidak terputus dari setiap generasi. Daftar Rujukan Alexander, R. (2000). Culture and Pedagogy: International Comparisons in Primary Education. London: Blackwell Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama. Burger G Henry. (1968). Etno-Pedagogy: a Manual in Cultural Sensitivity, with Techniques for Improving Cross-cultural Teaching by Fitting Ethnic Patterns. Maryland: Maryland Publications. Barry Z Posner. (2012). Effectivelly Measuring Student Leadhership. Administrative Sciences Journal. Oktober 2012. Elliott, S. N., & Clifford, M. (2014). Principal assessment: Leadership behaviors known to influence schools and the learning of all students (Document No. LS-5). Retrieved from University of Florida, Collaboration for Effective Educator, Development, Accountability, and Reform Center website: http://ceedar.education.ufl.edu/tools/literature-syntheses/ Eti Nurhayati. (2011). Psikologi Pendidikan Inovatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Guzaliya Zh. (2016). Etho-Pedagogical factor of Polycultural Training. International Journal Of Environmental & Science Education, April 2016. H.A.R Tilaar. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Penghantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo. John.C Maxwell. (2013).The 5 Levels of Leadership.Surabaya: PT Menuju Insan Cemerlang. Kozhakhmetova K, etc. (2015). Ethnic Pedagogy as an Integrative, Developing Branch Of Pedagogy. Mediterranean Journal Of Social Sciences, Vol.6, No.1, Januari 2015. Leo Agung, Sri Wahyuni. (2013). Perencanaan Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Lerner. (1958). The Passing of Traditional Society. United States Of Amerika: The Free Press. Mubbin, Syah. (2010). Psikologi Pendidikan: dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosda Karya. ••• 207 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Nassp. (2013). Leadership Matters: What The Researches Says About The Important of Principal Leadhership. Virginia: National Assosiation Of Secondary School Principals. Schunk, Dale H. (2012). “Learning Theories an Educational Perspective”. Terj, Eva Hamdiah. Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Smith. (1974). Becoming Modern, Individual Change in six Developing Contries. London: Heinemann. Toto Kasmara. (2011). Spiritual Centered Leadership. Solo: Gema Insani. ••• 208 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 209 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) MELATIH SISWA BERPIKIR KRITIS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED LEARNING (PjBL) Saifuddin Alif Nurdianto, Hermanu Joebagio, dan Djono Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret email: saifuddinalif2@gmail.com ABSTRAK Pembelajaran sejarah terus mengalami perkembangan. Pembelajaran dengan metode konservatif mungkin masih bisa digunakan, tetapi beban guru tentu cukup berat mengingat banyaknya jam yang dialokasikan untuk mata pelajaran sejarah di kurikulum 2013. Selain itu, perkembangan zaman menuntut guru untuk melatih siswa untuk berpikir kritis. Tuntutan ini tentunya akan sulit apabila metode konvensional seperti ceramah masih dilakukan. Oleh karena itu, ada baiknya apabila kita menggunakan model-model pembelajaran yang sudah dikembangakan oleh para ahli, salah satunya adalah pembelajaran berbasis proyek atau project based learning (PjBL). PjBL adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Salah satu aplikasi dari PjBL dalam pembelajaran sejarah adalah penugasan untuk memproduksi film sejarah. Produksi film sejarah sendiri memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah: pembelajaran sejarah lebih efektif dan efisien karena dapat menanamkan dasar-dasar ilmu sejarah kepada para siswa, dari penentuan topik sampai ke historiografi. Selain itu, produksi film juga bisa membawa siswa untuk merasakan suasana yang terjadi pada saat terjadinya peristiwa sejarah tersebut, dengan memerankan tokoh-tokoh yang berperan didalamnya. Kata Kunci: Berpikir kritis, PjBL, film sejarah Pendahuluan Sejarah merupakan rekonstruksi dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. Hasil dari rekonstruksi bisa bermuatan positif maupun negatif untuk kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga bisa dipahami oleh masyarakat. Sisi positif dari sejarah merupakan pembelajaran untuk bisa ditiru dan sisi negatif merupakan pembelajaran agar bisa dihindari sehingga kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Pada titik inilah kemudian dikatakan bahwa sejarah akan menjadikan orang menjadi bijaksana. Sejarah memiliki fungsi dan tujuan yang mulia. Sejarah mengenalkan kita kepada kondisi bangsa-bangsa terdahulu dalam segi perilaku serta moral politik raja-raja dan penguasa. Dari sejarah pula kita mengenal peristiwa-peristiwa masa lampau dalam rangka memahami masa yang akan datang(Khaldun & Abdurrahman, 2011). Oleh karena itulah sejarah perlu dipahami secara holistik dan komperhensif. ••• 210 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pemahaman sejarah yang holistik dan komperhensif hanya dapat dilakukan dengan mamahami sejarah tersebut secara kritis. Pemahaman sejarah yang parsial hanya akan menjadikan orang bersikap anakronis terhadap sejarah. Anakronisme inilah yang kemudian memunculkan narsisisme historis dengan perdebatan tentang siapa yang paling benar dalam menafsirkan sejarah. Narsisime sendiri adalah kepercayaan diri terlalu berlebihan sehingga orang tersebut seringkali bersikap arogan dan menganggap hanya dirinya saja yang paling benar(Jean M. Twenge, 2010). Adapun narsisisme historis adalah sebutan yang saya gunakan untuk menyebut arogansi pemahaman secara sepihak dalam bidang sejarah. Narsisisme historis dapat dihindari dengan pemahaman secara yang matang. Pemahaman sejarah yang matang dilakukan dengan memahami secara holistik dan komperhensif, tidak parsial dan fragmentatif. Memahami sejarah secara matang akan menjadikan kita lebih bijak, melangkah lebih jauh dari kehidupan kita yang singkat, dan melangkah lebih jauh dari saat yang singkat dalam sejarah manusia (Wineburg, 2006). Untuk mengatasi hal-hal yang telah disebutkan tadi, masyarakat perlu diberikan pemahaman sejak dini tentang bagaimana menyikapi sejarah. Perlu dilakukan transformasi keilmuan dari para agen intelektual sejarah kepada masyarakat. Di sinilah para guru sejarah memainkan peran yang strategis dalam upaya memberikan pemahaman kesejarahan kepada generasi muda. Upaya ini juga didukung pemerintah dengan memberikan porsi yang besar untuk mata pelajaran sejarah dalam kurikulum 2013. Porsi yang besar juga berarti amanat yang besar kepada para pendidik sejarah untuk menjalankan visi misi pemerintah menguatkan karakter siswa. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana cara menyampaikan pembelajaran sejarah yang baik? Pembelajaran sejarah yang baik tentu harus memamparkan semua aspek, baik sisi positif maupun sisi negatif dari peristiwa sejarah yang akan dikaji. Siswa harus dilatih untuk melihat segala sesuatu, termasuk peristiwa sejarah, dari dua sisi, baik dan buruk. Pembelajaran seperti inilah yang dimaksud dengan pembelajaran sejarah yang kritis. Adapun model pembelajaran yang bisa digunakan salah satunya adalah pembejaran berbasis proyek atau project based learning (PjBL). Project based learning (PjBL) adalah inti dari PjBL adalah model pembelajaran dengan strategi memberikan proyek yang harus diselesaikan oleh siswa (Basjaruddin, 2016). Dalam artikel ini, saya ingin memaparkan tentang aplikasi dari model PjBL melalui proyek film sejarah. Pembahasan A. Berpikir Kritis 1. Definisi Berpikir Kritis Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik dengan cara merenungkan dan memahami bahwa proses berpikir itu sendiri merupakan bagian dari berpikir dengan baik(Johnson, 2007). Berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atas strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut ••• 211 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dilalui setelah menentukan tujuan pembelajaran, mempertimbangkan dan langsung kepada sasaran yaitu mengembangkan bentuk berpikir melalui kegiatan memecahkan masalah, menyimpulkan, mengumpulkan berbagai kemungkinan dan membuat keputusan (Santoso, 2016). Jadi berpikir kritis dapat kita simpulkan sebagai cara berpikir yang teliti, dengan mempertimbangkan sebab dan akibat sehingga muncul pemahaman yang holistik dan komperhensif terhadap suatu peristiwa. Dalam etika Jawa, cara berpikir seperti ini dilakukan dengan metode sangkan paran, yaitu dari mana sesuatu itu berasal dan kemana sesuatu tersebut akan menuju. Berpikir kritis merupakan cara berpikir yang berangkat dari sesuatu yang kecil, dari yang sudah ada dulu, dari tahapan yang paling mungkin untuk untuk dikerjakan(Latuconsina, 2017). Dari sini kemudian kita dapat mengambil subsistem dari berpikir kritis yaitu: (1) Open-minded, yang dilakukan dengan cara berpikir multidimensional dan menghindari cara berpikir satu arah; (2) Intellectual curiosity, ditunjukkan dengan kebiasaan mengidentifikasi, memahami, bertanya, menyelidiki, dan meneliti (3) Planning and strategy, menentukan tujuan, menyusun rencana, mencari arah untuk menciptakan hasil; (4) Intellectual awareness, adanya tindakan memeriksa ketidakakuratan atau kesalahan, bersikap cermat dan sistematis(Afriantoni, 2016). 2. Pentingnya Proses Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah Sejarah merupakan pelajaran yang menuntut siswa untuk berpikir kritis. Berpikir kritis dalam sejarah berarti mengkaji suatu peristiwa masa lalu dengan melihat sebab dan akibat dari berbagai macam perspektif. Hasil dari kajian tersebut kemudian dipikirkan secara mendalam untuk selanjutnya diputuskan kesimpulan yang paling masuk akal berdasarkan observasi yang telah dilakukan. Berpikir kritis penting diajarkan kepada siswa-siswa di sekolah khususnya dalam mata pelajaran sejarah. Sejarah sebagai peristiwa masa lalu perlu dipahami dari berbagai macam perspektif dengan cara berpikir yang multidimensional. Proses ini menuntut siswa berpikir logis dan obyektif tentang sesuatu itu apakah masuk akal, memutuskan tentang apa yang diyakini dilakukan, serta refleksi secara sadar kesalahan yang telah diperbuat(Wibawa, 2016). Narsisisme historis yang telah dibahas di atas juga bisa diatasi dengan berpikir kritis ini. Klaim sepihak tentan peristiwa sejarah merupakan suatu hal yang tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu berpikir kritis perlu ditekankan sejak dini, karena proses berpikir kritis pada siswa berarti melatih untuk terusmenerus mengevaluasi argumen-arguman yang mengklaim dirinya paling benar. Seorang yang berpikir kritis tidak akan mudah menggenggam suatu kebenaran sebelum kebenaran itu dipersoalkan dan benar-benar diuji terlebih dahulu. Dan yang paling penting adalah bahwa berpikir kritis merupakan salah satu ciri dari berpikir secara rasional (Rapar, 1996). ••• 212 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) B. Project Based Learning (PjBL) PjBL merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang menganut paradigma konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk melakukan rekonstruksi secara aktif, baik secara individu maupun kelompok, sesuai dengan materi yang telah disiapkan (Mabrouk, 2007). Adapun paradigma konstruktivisme dalam pembelajaran merupakan pengembangan dari gagasan Piaget. Dalam paradigma kontruktivis, pengetahuan tidak dapat ditransmisikan dari satu individu ke individu yang lain. Pengetahuan dimaknai sebagai proses kognitif internal dari individu yang didapat dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh. Hasilnya adalah suatu sikap yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam kehidupan nyata (Michael & Modell, 2003). Pembelajaran berbasis proyek atau project based learning (PjBL) adalah pendekatan pembelajaran yang menumbuhkan kemampuan abstraksi serta berbagai tugas intelektual untuk menggali masalah yang kompleks. PjBL adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Siswa melakukan ekspolrasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. PJBL merupakan model pembelajarandengan cara memberikan masalah kepada siswa untuk diselesaikan dengan bentuk karya. Pembelajaran PJBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan siswa dalam melakukan investigasi dan memahaminya (Darmadi, 2017). PjBL merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Hal ini banyak digunakan untuk menggantikan metode pembelajaran tradisional di mana pembelajaran berpusat pada guru(Sumar & Razak, 2016). Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subyek dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, siswa menuangkan kesimpulannya ke dalam proyek yang sudah disepakati sebelumnya. PjBL merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik di dunia nyata, hal ini akan berharga bagi perhatian dan usaha siswa dalam memahami permasalahan (Darmadi, 2017). Menurut Darmadi, PjBL memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja 2) Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa 3) Siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan 4) Siswa berkolaborasi untuk bertanggungjawab memecahkan masalah 5) Proses evaluasi dijalankan secar kontinyu 6) Siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan 7) Produk akhir aktifitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif 8) Situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan ••• 213 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 9) Peran guru dalam pembelajaran sebaiknya sebagai fasilitator Dari sisi guru, PjBL juga memiliki kelebihan dalam penilaian. Model PjBL dapat digunakan untuk melihat kemampuan siswa dalam menunjukkan kinerjanya secara individual maupun kelompok. Dari sinilah kemudian penilaian terhadap kinerja siswa dapat dilakukan dengan otentik dan obyektif(Baedowi, 2015). Adapun langkah-langkah PjBL dalam (Shobirin, 2016)adalah sebagai berikut: 1) Penentuan pertanyaan mendasar 2) Menyusun perencanaan proyek 3) Menyusun jadwal 4) Monitoring 5) Menguji hasil 6) Evaluasi pengalaman C. Aplikasi Model PJBL melalui Proyek Film Sejarah Dalam artikel ini, saya ingin memaparkan aplikasi dari model pembelajaran berbasis proyek melalui penugasan memproduksi film sejarah. Produksi film sejarah dipilih bukan tanpa alasa. Proyek untuk membuat fim sejarah memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan proyek-proyek yang lain. Beberapa kelebihan tersebut adalah: 1) Siswa dilatih untuk mencari sumber-sumber sejarah secara akurat yang nantinya akan ditampilkan di film yang mereka produksi. 2) Siswa dilatih untuk melakukan penelitian sejarah, mulai dari penentuan topik sampai ke historiografi. Bedanya produk akhir dari penelitian mereka bukan dalam bentuk tulisan tetapi dalam bentuk film. 3) Bisa membawa siswa untuk merasakan suasana yang terjadi pada saat terjadinya peristiwa sejarah tersebut, dengan memerankan tokoh-tokoh yang berperan didalamnya. Jan Herrington melakukan penelitian kepada 14 guru sekolah atas untuk mengetahui respon siswa terhadap proyek film yang ditugaskan kepada mereka. Awalnya siswadiarahkan secara berkelompok untuk menyusun cerita dan mengolah cerita tersebut dalam bentuk video dengan menggunakan aplikasi video editing seperti movie maker, pinnacle, adobe premiere, ataupun software-software yang lain. Metode ini digunakan Herrington dalam rangka membangun jiwa sosial siswa, di samping membangun pengetahuan mereka (Stevens & Kitchenham, 2011, hal. 11). Sebelum memulai metode seperti di atas, siswa diberikan kesempatan untuk mencari tahu tentang cara penggunaan fitur-fitur umum dalam penyusunan narasi digital. Selanjutnya siswa diarahkan untuk mencari tahu tentang metode narasi digital, seperti menulis story board, mengunduh audio dan video dari smartphone, sampai mengolahnya menggunakan video editing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa pada awalnya akan terbebani dengan tugas yang diberikan. Akan tetapi ketika para siswa sudah melakukan apa yang diperintahkan oleh guru, mereka merasa terkejut dengan diri mereka ••• 214 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sendiri karena pengolahan narasi digital ternyata tidaklah sesulit yang dibayangkan. Sebagian besar siswa juga setuju untuk menggunakan metode ini untuk tugas-tugas selanjutnya. Metode yang dikemukakan oleh Herrington ini cocok untuk revolusi pembelajaran sejarah di era digital. Penyusunan narasi digital oleh siswa memungkinkan pembelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan tidak lagi dianggap sebagai pelajaran “pengantar tidur”. Selain itu, metode ini juga menjadikan pembelajaran sejarah lebih efektif dan efisien karena dapat menanamkan dasar-dasar ilmu sejarah kepada para siswa, seperti latihan untuk berpikir secara kronologis. Kesimpulan 1. Pembelajaran berbasis proyek atau project based learning (PjBL) memiliki beberapa karakteristik, diantarnya adalah: Siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja, adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa, siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan, siswa berkolaborasi untuk bertanggungjawab memecahkan masalah, proses evaluasi dijalankan secar kontinyu, siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan, produk akhir aktifitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif, situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan, dan peran guru dalam pembelajaran sebaiknya sebagai fasilitator 2. Ada banyak aplikasi dari model PjBLdalam pembelajaran sejarah, diantaranya adalah pembelajaran berbasis produksi film. Penyusunan narasi digital oleh siswa memungkinkan pembelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan tidak lagi dianggap sebagai pelajaran “pengantar tidur”. Selain itu, metode ini juga menjadikan pembelajaran sejarah lebih efektif dan efisien karena dapat menanamkan dasar-dasar ilmu sejarah kepada para siswa, dari penentuan topik sampai ke historiografi. Bedanya produk akhir dari penelitian mereka bukan dalam bentuk tulisan tetapi dalam bentuk film. Selain itu, produksi film juga bisa membawa siswa untuk merasakan suasana yang terjadi pada saat terjadinya peristiwa sejarah tersebut, dengan memerankan tokoh-tokoh yang berperan didalamnya Daftar Rujukan [1] Afriantoni, d. (2016). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Tinggi: Sebuah Tinjauan Aktual terhadap Praktik Pendidikan Tinggi di Indonesia. Sleman: Deepublish. [2] Baedowi, A. (2015). Manajemen Sekolah Efektif: Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa. Tangerang: Pustaka Alvabet. [3] Basjaruddin, N. C. (2016). Pembelajaran Mekatronika Berbasis Proyek. Sleman: Deepublish. [4] Darmadi. (2017). Pengembangan Model dan Metode Pembelajaran dalam Dinamika Belajar Siswa. Sleman: Deepublish. ••• 215 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) [5] Jean M. Twenge, W. K. (2010). The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement. New York: Simon and Schuster. [6] Johnson, E. B. (2007). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna (III ed.). (I. Setiawan, Trans.) Bandung: Mizan. [7] Khaldun, M. b., & Abdurrahman, A.-A. (2011). ‫المق ّدمة‬. (M. N. Ridwan, Ed., M. Irham, M. Supar, & A. Zuhri, Trans.) Jakarta: Al-Kautsar. [8] Latuconsina, H. (2017). Kreativitas Pendobrak Belenggu. Jakarta: Gramedia Pustaka. [9] Mabrouk, P. A. (2007). Active Learning: Models from the Analytical Sciences. Washington: American Chemical Society. [10] Michael, J. A., & Modell, H. I. (2003). Active Learning in Secondary and College Science Classrooms: A Working Model for Helping the Learner to Learn. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates . [11] Rapar, J. H. (1996). PENGANTAR FILSAFAT. Yogyakarta: Kanisius. [12] Santoso, W. M. (2016). Ilmu Sosial di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan. Jakarta: Obor. [13] Shobirin, M. (2016). Konsep dan Implementasi Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar. Sleman: Deepublish. [14] Stevens, D., & Kitchenham, A. (2011). An Analysis of Mobile Learning in Education, Business, and Medicine. In A. Kitchenham, Models for Interdisciplinary Mobile Learning: Delivering Information to Students (p. 2). New York: Information Science Reference . [15] Sumar, W. T., & Razak, I. A. (2016). Strategi Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Soft Skill. Sleman: Deepublish. [16] Wibawa, K. A. (2016). Defragmenting Struktur Berpikir Pseudo dalam Memecahkan Masalah Matematika. Sleman: Deepublish. [17] Wineburg, S. (2006). Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. (M. Maris, Trans.) Jakarta: Obor. ••• 216 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 217 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) BAHAN AJAR SEJARAH PAHLAWAN NASIONAL BERBASIS INFOGRAFIS Taufiq Harpan Aldila, Akhmad Arif Musadad, Susanto Sebelas Maret University Aldila911@gmail.com Abstrak Fondasi sebuah kesadaran akan sikap adalah dari pemahaman akan sebuah konten atau permasalahan, tidak terkecuali sejarah. Role model dari karakter nasionalisme selalu dihubungkan dengan para tokoh pahlawan. Namun demikian untuk meneladani nilai – nilai tersebut perlu adanya pemahaman mengenai sosok tersebut. Bahan ajar yang terdapat disekolah menjadi sebuah rujukan bagi para siswa untuk memahami peristiwa sejarah tidak terkecuali para tokoh pahlawan. Bahan ajar sejarah yang diterbitkan oleh pemerintah memberikan gambaran mengenai tokoh pahlawan dengan menitiberatkan pada rentetan peristiwa. Terdapat bias dimana tokoh tidak dimunculkan menjadi titik pusat perhatian kisah. Juga tidak terdapat sebuah bab khusus yang menitiberatkan pada pembahasan menyeluruh mengenai tokoh pahlawan. Sikap dan kesadaran tumbuh berawal dari pemahaman. Namun pada pembelajaran sejarah siswa sering mendapat masalah untuk memahami. Untuk memberikan alternatif lain guna memahami tokoh – tokoh pahlawan tersebut harus disusun sebuah media yang mengakomodasi antara kekuatan narasi dan ilustrasi. Bahan ajar berbasis Infografis merupakan alternative media komunikasi yang variatif, interaktif dan juga mudah dipahami. Kata Kunci : Kesadaran Sejarah, Bahan Ajar, Biografi pahlawan, Infografis PENDAHULUAN Pembelajaran sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang bersama dengan mata pelajaran Agama dan PKN memiliki tanggung jawab akan pembentukan sikap. Berbeda dengan mata pelajaran lain sejarah mengambil peran agar siswa tumbuh sikap nasionalisme, toleransi, dan juga sadar akan sejarah bangsanya. Dalam konteks sejarah, kesadaran diartikan sebagai sikap menghargai, memahami dan mengerti akan peristiwa masa lampau. Prasyarat ini mutlak harus dipenuhi dikarenakan akan sangat berhubungan dengan akuisisi identitas. Sadar akan sejarah sama dengan sadar akan masa lalu, sadar akan apa yang telah dimiliki oleh bangsanya sendiri. Kesadaran sejarah memiliki luaran yang hampir tidak beda jauh dari konsep dasarnya yaitu terciptanya sebuah sikap akan mengerti lalu kemudian menjaga sejarah (Kochhar, 2008). Landasan dasar suatu sikap untuk berbuat atau untuk melakukan sesuatu adalah adanya sebuah konsep pemahaman. Pemahaman yang kemudian menciptakan sebuah konsepsi yang akhirnya termanifestasi menjadi sebuah gerak yang terkadang tidak disadari. Pembelajaran sejarah bertujuan menumbuhkembangkan sikap toleransi, nasionalisme dan sadar akan sejarah, ••• 218 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) maka sudah seharusnya hal terebut dibangun juga dari fondasi dasarnya terlebih dahulu yaitu adanya pemahaman. peristiwa sejarah mampu menjadi pedoman dalam kehdupan bermasyarakat. Masyarakat diharapkan mampu memahami dan mengerti sejarah dari bangsanya sendiri. Hal ini bertujuan agar munculnya sikap nasionalisme, kesaadaran sejarah, dan juga patriotism (Kochhar, 2008). Pemahaman dari sebuah peristiwa yang didapatkan salah satunya adalah dengan menyimak, menyaksikan dan membaca. Akan tumbuh sebuah konsepsi untuk bersikap menjadi warga yang baik ketika kita meneladani tokoh para pahlawan. Dalam konteks sejarah, kesadaran diartikan sebagai sikap menghargai, memahami dan mengerti akan peristiwa masa lampau. Prasyarat ini mutlak harus dipenuhi dikarenakan akan sangat berhubungan dengan akuisisi identitas. Sadar akan sejarah sama dengan sadar akan masa lalu, sadar akan apa yang telah dimiliki oleh bangsanya sendiri. Kesadaran sejarah memiliki luaran yang hampir tidak beda jauh dari konsep dasarnya yaitu terciptanya sebuah sikap akan mengerti lalu kemudian menjaga sejarah (Kochhar, 2008) Proses pembentukan sebuah sikap sadar akan sejarah harus disikapi dan dipahami menjadi salah satu urgensi kehidupan bemasyarakat dan harus terus ditumbuh kembangkan. Jika melihat pada urgensi penanaman sikap tersebebut terhadap masyarakat maka kesadaran sejarah harus dimulai disisipkan ke dalam aspek kehidupan. Hubungannya dengan kesadaran sejarah (kartodirdjo, 2003)menjelaskan bahwa kesadaran terhadap sesuatu mengandung artis adar akan apa yang diamati dan sadar akan proses pengamatannya. Kesadaran sejarah merupakan kondisi kejiwaan yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakikat sejarah bagi masa kini dan bagi masa yang akan datang, menyadari dasar pokok bagi berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan. Sementara itu, Soedjatmoko dalam Aman (2011), menjabarkan kesadaran sejarah sebagai orientasi intelektual. Pembahasan mengenai tokoh pahlawan yang disajikan di buku paket maupun buku terbitan swasta memiliki keunggulan dan kekurangan masing – masing, pada buku ssiswa sejarah kelas XI keluaran pemerintah pendekatan penulisan yang dilakukan adalah pendekatan kisah peristiwa atau tragedi, penekanan tokoh bias dikarenakan penulis menceritakan peristiwa sejarah dengan sudu pandang peristiwa. Pada buku keluaran swasta mili Erlangga yang dituliskan oleh Ratna Hapsari dan M.Adil memiliki jabaran khusus bab mengenai pahlawan namun demikian pada penjelasannya terdapat ketidakruntutuan kisah dan minim ilustrasi bahkan gambar pahlawan. Keterkaitan dengan keadaan masyarakat saat ini. Teknologi internet merupakan teknologi yang tidak dapat dihindarkan lagi dari masyarakat sekarang. Jika ditarik dari segi permasalahan yang ada dalam penelitian ini, bahw di sekolah tersebut juga mengizinkan siswanya untuk kemudian dapat mengakses mobile/gadget mereka dalam pemelajaran. Memang diakui oleh Ulil Fachrudin ••• 219 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) selaku guru sejarah kelas XI bahwa sekolah mengizinkan siswanya membawa gadget ke sekolah dan tidak jarang mereka mengaksesnya untuk menemukan materi – materi dalam pembelajaran tidak terkecuali ejarah. Pembelajaran sejarah terfokus pada inti pemahaman siswa terhadap sebuah materi. Ketika siswa diharapkan memahami konten materi, muncul sebuah permasalahan. Permasalahan pemahaman siswa disebutkan oleh (Wulandari, 2012) dalam jurnal yang diterbitkan Jurnal Didaktika Dwija Indria Solo. Dibutuhkan sebuah metode untuk membantu siswa untuk memahami sebuah konten materi yang cukup rumit. Wulandari menggunakan metode Mind Mapping sebagai metode pembantu dalam memahami konten materi yang cukup kompleks. Pada penelitian (Yunita, 2014) ia menggunakan Peta konsep untuk mempermudah mengaplikasikan pemahaman pada siswa mengenai materi konsep senyawa. Peta konsep Peta konsep dalam proses belajar mengajar memperjelas pemahaman guru dan siswa dalam menfokuskan konsep-konsep dalam beberapa ide utama (Novak & Gowin, 2006). Peta konsep merupakan ide atau konsep dasar pengembangan Infografis. Menurut Fisher (Asan: 2007), secara tradisional peta konsep hanya dapat dibuat dengan menggunakan bantuan kertas dan pensil. Penggabungan antara Shape (bentuk) dan Text (Teks) merupakan kekuatan Peta Konsep. Pada pengembangannya infografis lebih dikenal di kalangan masyarakat sekarang. Peran Infografis tidak hanya dimanfaatkan pada bagian Advertising namun juga telah merambah pada dunia Pendidikan. Pada penelitian Aldila di tahun 2016 yang mengangkat mengenai pengembangan Infografis untuk meningkatkan hasil belajar, didapati sebuah fakta pada analisis kebutuhan dimana siswa selain ingin dapat memahami juga ingin mendapatkan kemudahan dalam memahami sebuah materi. Beberapa permasalahan yang sering muncul siswa diberikan materi yang begitu kompleks namun tidak jarang guru juga tidak memberikan sebuah metode, cara ataupun trik dalam memahami materi tersebut sehingga memberikan kesulitan pada siswa. Menurut Lankow et al.(2014) dalam bukunya Infografis: Kedahsyatan Cara Bercerita Visual, mengatakan keunggulan komunikasi visual melalui infografis antara lain: visualisasi gambar mampu menggantikan penjelasan yang terlalu panjang, serta menggantikan tabel yang rumit dan penuh angka. Melalui visualisasi grafis data yang menarik, pesan - pesan kebijakan yang ingin disampaikan Bank Indonesia diharapkan lebih mudah mendapat perhatian dari publik. Hal ini mengacu kepada beberapa hasil penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa mata manusia lebih cepat menangkap informasi yang tersaji dalam bentuk visual (grafis) daripada dalam bentuk tekstual, lalu kemudian cenderung menaruh atensi lebih besar untuk membaca isi pesan yang disampaikan. ••• 220 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Marshall McLuhan dalam bukunya yang berjudul (1964), dalam Yaros (2006), memperkenalkan kepada dunia sebuah paradoks yaitu, medium is the message. McLuhan mengatakan bahwa media itu sendiri lebih penting daripada isi pesan yang disampaikan oleh media tersebut. Media mempengaruhi masyarakat, dimana yang berperan bukanlah semata - mata konten yang disampaikan melalui media, melainkan oleh karakteristik dari media itu sendiri. Inti dari kajian medium is the message oleh McLuhan adalah bagaimana individu/publik dalam memahami media, termasuk didalamnya efek dari media terhadap individu/publik tersebut (Arigia, 2016). . Perlu adanya sebuah inovasi dalam penyusunan bahan ajar pendamping buku paket yang merupakan suplemen dari buku pemerintah. Dalam hal ini guru juga harus ikut andil dalam penyusunan tersebut, hal ini dikarenakan guru yang paling memahami situasi dan kondisi di dalam kelas. Menurut (Musadad, 2008) Kadar kualitas guru dipandang sebagai penyebab kualitas lulusan sekolah. Rendah dan merosotnya mutu pendidikan sebagaimana yang sering disinyalir oleh banyak media massa, hampir selalu disertai dengan menuding gurunya. Karena itu sangatlah disadari perlunya pembinaan profesional guru secara terarah dan terprogram untuk meningkatkan efektivitas mengajarnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode pengembangan (Research and Development) untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah penelitian. Metode penelitian dan pengembangan (Resarch and Development) ialah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011: 407). pengembangan bahan ajar sejarah Tokoh Pahlawan sejarah berbasis infografis mengikuti desain ADDIE. Langkahlangkahnya meliputi: analisis, desain/perancangan, pengembangan, implementasi, dan evaluasi ((R. Heinich, M. Molenda, J. D Russell dan S. E. Smaldino, 2002: 107-109). Subjek penelitian ini dilaksanakan di kelas XI IPS dan IPA SMAN 2 Ungaran. Pengambilan kelas/custer bertujuan untuk dilaksanakannya uji efektivitas produk. Sedangkan pada tahap pengembangan bahan ajar dilakukan validasi oleh validator/expert untuk kemudian direvis. Dilakukan juga uji satu – satu, uji kecil, hingga uj besar yang juga dilaksanakan di kelas XI SMAN 2 Ungaran. Adapun jabarannya adalah a. Analisis Kebutuhan Siswa Pada tahap pengembangan, tahapan analisis sangatlah dibutuhkan untuk melihat sebagian permasalahan yang dihadapi oleh siswa dan kemudian diharapkan setelah muncul sebuah masalah peneliti mampu mengidentifikasi apa yang dibutuhkan oleh siswa dalam pembelajaran, sehingga penliti mampu memetakan alternatif metode dalam pembelajaran, dalam penelitian ini adalah alternatif bahan ajar. ••• 221 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) b. Analisis Bahan Ajar Hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti dan pihak sekolah telah menghasilkan sebuah rumusan masalah yang akan menjadi dasar peneltian pengembangan. Bahwa disepakati masalah yang sering muncul adalah sering terjadinya ketimpangan antara banyaknya materi dengan jam mengajar, hal ini juga memaksa guru terkadang melewati materi yang sebenarnya juga memiliki esensi yang tinggi, salah satunya tokoh pahlawan kemerdekaan, perlawanan dan pergerakan. pada tahap ini disepakati untuk melakukan sebuah terobosan untuk kemudian memberikan sebuah akternatif pembelajaran pada pemberian materi ajar pada kompetensi dasar tersebut. Hal ini juga diperkuat dengan angket siswa yang memiliki kecenderungan menginginkan pemahaman materi yang to the point yang tentunya agar mudah dpahami. c. Analisis Media Ajar Hasil dari analysis media ajar yang dilakukan pada awal observasi adalah, guru sejarah di SMAN 2 ungaran telah menerapkan berbagai media seperti media flm sejarah, power point, dan juga buku teks. namun demikian ketiganya memiliki kelemahan dan kelebihan masing – masing. seperti yang telah disampaikan bahwa dengan menggunakan media audiovisual seperti film memang dapat memberi ketertarikan sendiri terhadap siswa, namun demikian memiliki kelemahan yaitu durasi film yang tidak mampu disesuaikan oleh guru, sehingga terkadang tidak sesuai dengan rancangan pembelajaran yang ada. Pada tahap ini peneliti dan juga guru mencoba mengakomodasi kekurangan tersebut, penelit dan guru mendapat titik temu untuk kemudian melakukan pengembangan media yang memperhatikan beberapa aspek seperti komunikatif, memiliki aksesiilitas tinggi, modern, dan mampu mengakomodasi beberapa materi dalam satu kemasan. d. Merumuskan alat pengukur keberhasilan Pada tahap selanjutnya adalah merumuskan alat pengukur bagi variabel yang akan diteliti. Pada penelitian ini kesadaran sejarah menjadi variabel yang harus diteliti. Indikator yang telah dirumuskan menjadi sebuah acuan untuk melihat sebuah keberhasilan penelitian atau tidak. Alat pengukuran keberhasilan dalam hal ini adalah untuk mengukur tingkat kesadaran sejarah siswa dengan menggunakan angket kesadaran sejarah tes objektif berbentuk uraian. . e. Merumuskan bahan ajar Naskah atau materi yang terdapat dalam bahan ajar disusun dari berbagai referensi Tokoh Pahlawan – tokoh sejarah. Guna terdapat sebuah pemahaman yang runtut bahan ajar akan diselaraskan dengan kronologi ••• 222 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) waktu dengan mencakup kinerja tokoh dan sumbangsihnya terhadap bangsa Indonesia dar lahir hingga wafat. Setelah materi terkumpul, langkah selanjutnya adalah membuat sebuah layout yang kemudian disesuaikan dengan pengembangan media pendukungnya yaitu Infografis. Layout Infografis disusun dan disesuaikan dengan naskah materi yang telah dibuat sebelumnya. d. Validasi Pada tahap validasi bahan ajar yang telah disusun kemudian akan diuji oleh validator untuk melihat kesesuaian dan kelayakan bahan ajar sebelum diujikan. Validasi dilakukan dengan menekankan pada dua aspek yaitu materi dan juga penyajian bahan ajar. Validasi dilakukan oleh beberapa validator ahli materi dan validator dari ahli media. Acuan penilaian pada bahan ajar tersebut peneliti akan menggunakan penilaian buku pengayaan yang diterbitkan oleh KEMDIKBUD yang terfokus pada penekanan bahan rujukan alternatif selain buku teks. Penilaian tersebut mengacu pada penilaian materi dan juga cara penyajian. Instrumen penelitin yang digunkan dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga Instrumen menurut tahapannya. Pada tahap awa atau menganaisis analisis kebutuhan, maka digunakannlah lembar angket untuk melihat tingkat kesadaran siswa hingga kebutuhannya terhadap bahan ajar. Tahap pengembangan yang dilakukan setelah merumuskan kebutuhan dilapangan, adalah perancangan bahan ajar. Instrumen yang digunakan untuk memvalidasi adalah lembar validasi dari buku pengayaan dari Kemendikbud. Dalam instrumen tesebut validator meninjau dan menilai mengenai kelayakan teks, peyajian dan grafis. PEMBAHASAN Berdasarkan observasi yang dilaksanakan di tempat penelitian yaitu SMAN 2 Ungaran, peneliti menemukan beberpa potensi yang tersedia. Seperti buku Sejarah wajib kelas X untuk SMA/SMK/MA/MAK yang diterbitkan oleh pemerintah, Lembar Kerja Siswa, film – film yang diunduh melalui jaringan internet, dan lokasi – lokasi bersejarah yang terdapat di wilayah Ungaran yang dijadikan sumber pembelajaran lsngsung para siswa. Permasalahan yang ditemukan adalah di SMAN 2 Ungaran dapa dirumuskan menjadi tiga poin. Poin pertama berhubungan dengan waktu belajar. Padatnya materi yang diajarkan terkadang tidak sesuai dengan jam belajar yang diberikan, hal ini dikarenakan menurut guru Sejarah Ulil Fachrudin, ada materi yang memang harus mendapatkan treatment khusus sehingga membutuhkan sedikit waktu. Permasalahan yang kedua adalah pemahaman, dikarenaan waktu yang begitu terbatas dengan jumlah materi yang cukup kompleks maka terjadi sebuah permasalahan mengenai pemahaman sejarah yang kadang sering timbul di kelas. Tidak jarang ketika guru kelas ingin mengejar materi, beberapa siswa justru ••• 223 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) akan mengalami kesulitan. Poin yang ketiga adalah mengenai minat. Ketika pemahaman sejarah menjadi sebuah tuntutan maka yang perlu dikembangkan adalah ketercapaian kognitif siswa dalam pembelajaran. Namun kemampuan kognitif siswa tidak akan terbentuk jika minat belajar rendah. Dari beberapa siswa yang diwawancara terdapat sebuah fakta bahwa pembelajaran sejarah yang mereka idam – idamkan adalah dengan melihat real viual, film, gambar, atau ensiklopedi. Temuan ini coba dikembangkan dan menemui satu fakta jenuh bahwa siswa memang lebih tertarik pada pembelajaran dengan bantuan media grafis, hal ini disampaikan juga oleh Ulil Fachrudin selakuku guru Sejarah SMAN 2 Ungaran. Setelah didapati sebuah data mengenai keadaan siswa dan kebutuhan serta melihat dari hasil observasi meengenai bahan ajar yang digunakan di sekolah. Peneliti melakukan tahap selanjutnya dengan merancang bahan ajar dengan acuan pengembangan sebagai berikut. Gambar 1 Langkah – langkah pengembangan bahan ajar Pengembangan bahan ajar pada penelitian yang dilakukan berbentuk Infografis pada materi sejarah Pergerakan pemuda hingga kemerdekaan. Sebelum dilaksanakannya uji coba produk dilapangan, bahan ajar terlebih dahulu harus mendapatkan validasi dari para ahli, baik dari ahli materi maupun ahli media pembelajaran. Validator dilakukan oleh 4 orang ahli, 2 orang dosen dan 2 orang guru. Satu dosen merupakan pengampu mata kuliah sejarah Kontemporer sehingga kemudian peneliti posisikan sebagai validator materi bahan ajar, sedangkan dua dosen lainnya merupakan validator media bahan ajar. hal ini ••• 224 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dikarenakan keduanya merupakan dosen pengampu mata kuliah media pembelajaran. Berikut tabel rentang kelayakan bahan ajar. ••• 225 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Rentang persentase (%) 81,25% < x ≤ 100% Interpretasi Sangat setuju / baik sekali 62,50% < x ≤ 81,25% Setuju / baik 43,75% < x ≤ 62,50% Ragu-ragu / tidak baik Tidak setuju / sangat tidak 25% < x ≤ 43,75% baik Tabel 1 rentang kelayakan bahan ajar Pada tahap pengembangan bahan ajar dilakukan validasi baik dari segi materi penyajian maupun dari segi media. validasi tersebut dilaksanakan sebanyak dua tahap. Pada penilaian tahap I validasi materi menunjukkan nilai 82,9% dan materi 91,2%. Pada tahap pertama bahan ajar telah dinyatakan sangat baik atau minimal layak dan bisa digunakan, namun demikian ada beberapa saran dan catatan perbaikan yang harus dilakukan baik dari segi materi maupun media. Setelah revisi tahap I dilaksanakan kemudian dilaksanakan validasi tahap II. Pada validasi tahap II dari segi materi menunjukan nilai 90,1% dan media 91,1%. Hasil validasi tahap II mendapat kriteria sangat baik, meskipun terdapa sedikit catatan namun bahan ajar telah dinyatakan Layak oleh ahli materi maupun media dan dapat digunakan untuk diterapkan dalam penelitian. . Tahap evaluasi dilakukan untuk melihat apakah bahan ajar memiliki pengaruh terhadap hasil belajar siswa atau tidak. Menurut Hamalik (2015:159) evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran pengumpulan data dan informasi, pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Pengukuran hasil belajar dilakukan sebanyak dua kali pada dua kelas kontrol dan kelas emsperimen. Tes pertama (pretest) dilaksanakan pada kedua kelas sebelum adanya penerapan bahan ajar. Pretest berfungsi sebagai acuan peneliti untuk melihat apakah kelas tersebut sama(homogen) atau tidak. Penerapan bahan ajar dilaksanakan pada kelas eksperimen dan pada kelas kontrol tidak menggunakan bahan ajar tersebut. Setelah penerapan bahan ajar tersebut kemudian peneliti melakukan tes akhir atau posttest untuk melihat perbedaan hasil belajar dari kelas yang menggunakan bahan ajar dan yang tidak. Pada penelitian ini keefektifan proses pembelajaran salah satunya adalah kesempurnaan menyampaikan materi pada peserta didik. Peneliti menggunakan dua kelas dalam penelitian untuk membandingkan dan melihat perbedaan antara kelas yang menerapkan stimulus pada proses pembelajarannya dengan yang tidak. Pada akhirnya, secara garis besar kita akan mampu melihat perbedaan dua kelas tersebut. Pada bagian ini bahan ajar merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran, karena diposisikan sebagai stimulan (referensi) dalam ••• 226 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pembelajaran. Bahan ajar yang diterapkan oleh penliti adalah bahan ajar Sejarah Biografi pahlawan dari pergerakan hingga kemerdekaan. Keefektifan bahan ajar berupa kumpulan infografik tersebut telah dibuktikan dengan hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sebelum dilakukan uji produk bahan ajar terhadap kelas eksperimen, terlebih dahulu produk tersebut mendapat validasi dari para ahli baik dari segi materi maupun dari segi media. Setelah dilakukannya validasi oleh para ahli, terdapat sebuah kesimpulan bahwa bahan ajar tersebut sangat baik dan laya untuk digunankan dalam penelitian peningkatan hasil belajar siswa. Penerapan produk bahan ajar tersebut hanya dilakukan di kelas eksperimen atau kelas uji coba, sedangan kelas kontrol tidak. Keefektifan produk bahan ajar dapat dilihat dari hasil belajar siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Guna melihat kesetaraan kemampuan, peneliti memberikan pretesti kepada kelas kontrol dan kelas eksperimen dan setelah dikoreksi maka rata – rata kelas kontrol 52,4 sedangkan kelas eksperimen 59,4. Namun demikian setelah kelas eksperimen mendapatkan perlakuan berupa penerapan produk pengembangan bahan ajar kumpulan infografik maka rata – rata nya berubah. Setelah proses pembelajaran dilaksanakan peneliti memberikan tes terakhir atau posttest. Pada hasil posttest dari kelas kontrol maupun kelas eksperimen didapati nilai rata – rata 62,3 untuk kelas kontrol dan 85,3 untuk kelas eksperimen. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata – rata hasil belajar kelas yang menggunakan produk pengembangan bahan ajar Biografi pahlawan dari pergerakan hingga kemerdekaan terdapat perbedaan yang lebih baik dari kelas yang tidak menggunakan produk bahan ajar tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dengan demikian penggunaan produk pengembangan bahan ajar kumpulan infografik pada materi sejarah kerajaan Islam di Jawa dan bentuk akulturasinya dalam pembelajaran sejarah Indonesia pada kelas eksperimen memberikan pengaruh yang cukup berarti. SIMPULAN Kondisi bahan ajar yang ada di SMAN 2 Ungaran belum pernah dikembangkan sebelumnya, hal ini dibuktikan dari hasil wawancara kepada guru SMAN 2 Ungaran. Kebutuhan akan bahan ajar dinilai sangat perlu dan dibutuhkan. Angket siswa menunjukkan presentase 70% setuju agar bahan ajar yang ada sekarang dikembangan terutama pada materi sejarah Biografi pahlawan dari pergerakan hingga kemerdekaan. Bahan ajar yang disusun oleh peneliti dinyatakan telah layak digunakan oleh para ahli baik dari ahli materi maupun media dibuktikan dengan validasi yang telah dilaksanakan sebanyak dua tahap dan keduanya memperoleh nilai kriteria sangat baik atau sangat layak digunakan untuk penelitian. Pengembangan bahan Biografi pahlawan dari pergerakan hingga kemerdekaan dapat disimpulkan sangat berarti untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Pada penelitian mengenai evaluasi hasil belajar, dapat diperoleh fakta bahwa nilai rata – rata kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Buku ••• 227 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) kumpulan infografik materi sejarah kerajaan Islam di Jawa dan bentuk akulturasi efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran sejarah Indonesia, hal ini dibuktikan dari rata – rata hasil belajar peserta didik pada kelas eksperimen 25,8789 jauh lebih baik dari rata-rata kelas kontrol 11,1328.kelas eksperimen di SMAN 2 Ungaran. Secara garis besar penelitian pengembangan bahan ajar berupa kumpulan infografik dapat juga dikembangkan di sekolah lain. Pengembangan bahan ajar yang dilakukan pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi cetak biru guna mengembangkan materi-materi lain yang serupa guna memberikan materi yang benar-benar dibutuhkan siswa. DAFTAR PUSTAKA Arigia, M. B. (2016). Infografis Sebagai Media Dan Keterlibatan Pokitik Bank Indonesia. Jurnal Komunikasi, 120 - 133. Hosnan, M. (2014). PENDEKATAN SAINTIFIK DAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH ABAD 21. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. kartodirdjo, S. (2003). Pendekatan Ilmu Sosial Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kochhar, S. (2008). Teaching Of History . Jakarta: Grasindo. Musadad, A. A. (2008). OPTIMALISASI PEMBINAAN GURU BARU DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH. PAEDAGOGIA, 51 - 61. Wulandari, T. (2012). PENERAPAN METODE MIND MAPPING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP TANAH DAN BATUAN . Jurnal Didaktika Dwija Indria (SOLO) . Yunita, L. (2014). PEMANFAATAN PETA KONSEP (CONCEPT MAPPING) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA TENTANG KONSEP SENYAWA HIDROKARBON . EDUSAINS, 2-8. Fatturohman, muhammad.2015. Paradigma Pembelajaran Kurikulum 2013. Yogyakarta: KALIMEDIA Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Prastowo, Andi. 2013. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press. Margono, S. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. ••• 228 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 229 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 230 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PERANAN ARSIP-ARSIP STUDIO MUSIK LOKANANTA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Muhammad Isnaedhi Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret (UNS) muhammadisnaedhi@gmail.com Abstrak Dewasa ini, manfaat dari arsip khususnya arsip statis dapat dinikmati oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan usia. Selain sebagai memori kolektif dan warisan dokumenter, arsip statis merupakan sumber primer dalam penulisan sejarah sebuah bangsa. Arsip juga dijadikan sumber bahan pembelajaran di dunia pendidikan utamanya terkait mata pelajaran sejarah. biasanya arsip kurang mendapat perhatian yang wajar bahkan sering dimarginalkan.Banyak instansi/lembagapemerintahan maupun swasta, berbagai organisasi, dan individu mengabaikan pentingnya arsip. Akibatnya akan kehilangan sumber informasi penting, baik untuk kepentingan praktis sejaman maupun sebagai sumber penelitian. Sehebat apapun kebesaran masa lampau suatu bangsa, organisasi, maupun tokoh jika tidak ada dokumen yang menjadi bukti dan sumber sejarah, maka tidak akan dapat ditulis dalam sejarah. Berbagai permasalahan yang ada mengenai peran dan fungsi arsip yang teramat penting dalam sejarah, terutama berkaitan dengan urgensi dan integritas arsip dalam konteks kebangsaan dan kesadaran sejarah, dikarenakan kurangnya kesadaran dalam pengelolaan arsip yang baik. Siahaan (2013) dalam tulisannya menyebutkan bahwa arsip dapat digunakan sebagai media pembentukan dan pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran arsip, antara lain yang pertama, arsip yang ditulis menjadi sejarah dapat mengajarkan nilai-nilai luhur, kebaikan, dan nasionalisme. Yang kedua, arsip yang ditulis menjadi sejarah mengajarkan kita untuk mencontoh nilai-nilai perjuangan para pahlawan nasional untuk membebaskan diri dari penindasan bangsa asing. Keyword : Arsip, Studio Musik, Lokananta, Pembelajaran Sejarah Pendahuluan Ilmu kearsipan merupakan suatu istilah yang telah digunakan sekitar ratusan tahun silam,khususnya di wilayah Eropa. Kearsipan lahir bersamaan dengan lahirnya peradaban manusia, yaitu ketika manusia mengenal tulisan. Dengan diketahuinya bangsa Mesir dan Mesopotamia pertama kali melakukan transaksi arsip (dinamis) karena alasan administrasi dan kebuktian, hal ini dicatat sejarah sebagai faktor utama ditemukannya tulisan. Pada saat yang bersamaan, juga lahir berbagai tulisan mengenai agama atau kepercayaan maupun literatur ceritera sekitar 3000 tahun SM. Kegiatan kearsipan pada saat itu masih sederhana, yaitu dengan penerapan metode pengawasan dan penataan arsip, sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu kearsipan sudah mulai lahir pada saat itu. Selanjutnya arsip sebagai bahan pertanggungjawaban nasional, artinya setiap peristiwa atau kegiatan akan menimbulkan arsip. Semua jejak rekam perjalanan bangsa ini direkam oleh arsip. Semua kegiatan akan dipertanggungjawabkan. Apabila tidak ada bahan pertanggung jawaban maka pemerintah dianggap tidak transparan dan otoriter, yang berakibat pada hilangnya ••• 231 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) serpihan sejarah sebuah bangsa dan perpecahan. Namun yang terjadi adalah peran dan fungsi arsip di negeri ini belum dapat diterapkan secara maksimal. Hal ini terbukti dari masih terjadi kemelut inkonsistensi arsip negara dalam sejarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa arsip memang memiliki peran penting tersendiri dalam penulisan sejarah, kepemerintahan, sampai kepada menjadi sumber utama dalam penulisan sejarah. Hal ini disadari masyarakat karena arsip adalah memori kolektif sebagai jati diri warga negara bahkan bangsa, warisan bangsa dan aset bagi pemerintah yang sangat bernilai tinggi. Menjadi tanggung jawab bersama bagi kita sebagai warga negara untuk menjaga arsip dan mendayagunakannya dalam membangun karakter bangsa. Dewasa ini, manfaat dari arsip khususnya arsip statis dapat dinikmati oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan usia. Selain sebagai memori kolektif dan warisan dokumenter, arsip statis merupakan sumber primer dalam penulisan sejarah sebuah bangsa. Arsip juga dijadikan sumber bahan pembelajaran di dunia pendidikan utamanya terkait mata pelajaran sejarah.biasanya arsip kurang mendapat perhatian yang wajar bahkan sering dimarginalkan.Banyak instansi/lembagapemerintahan maupun swasta, berbagai organisasi, dan individu mengabaikan pentingnya arsip. Akibatnya akan kehilangan sumber informasi penting, baik untuk kepentingan praktis sejaman maupun sebagai sumber penelitian. Sehebat apapun kebesaran masa lampau suatu bangsa, organisasi, maupun tokoh jika tidak ada dokumen yang menjadi bukti dan sumber sejarah, maka tidak akan dapat ditulis dalam sejarah. Berbagai permasalahan yang ada mengenai peran dan fungsi arsip yang teramat penting dalam sejarah, terutama berkaitan dengan urgensi dan integritas arsip dalam konteks kebangsaan dan kesadaran sejarah, dikarenakan kurangnya kesadaran dalam pengelolaan arsip yang baik. Siahaan (2013) dalam tulisannya menyebutkan bahwa arsip dapat digunakan sebagai media pembentukan dan pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran arsip, antara lain yang pertama, arsip yang ditulis menjadi sejarah dapat mengajarkan nilai-nilai luhur, kebaikan, dan nasionalisme. Yang kedua, arsip yang ditulis menjadi sejarah mengajarkan kita untuk mencontoh nilai-nilai perjuangan para pahlawan nasional untuk membebaskan diri dari penindasan bangsa asing. Pengertian Arsip Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan pasal 1 ayat 2). Menurut Betty R. Ricks (1992:123), arsip adalah “record information, regardless of medium or characteristic, made or receival by anorganization that is useful inte operation of the organization”. Dari pernyataan tersebut, arsip ••• 232 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) adalah rekam informasi, terlepas dari media atau karakteristik, dibuat atau diterima oleh suatu organisasi yang berguna dalam operasi organisasi. Menurut Duranti (1997), ilmu kearsipan merupakan tubuh pengetahuan mengenai ciri dan karakteristik arsip dan pekerjaan arsip, yang terorganisasi secara sistematis ke dalam teori, metodologi dan praktek. Teori kearsipan merupakan keseluruhan ide para arsiparis tentang apa itu materi kearsipan, sementara metodologi kearsipan merupakan keseluruhan ide para arsiparis tentang bagaimana memperlakukan materi kearsipan, dan praktek merupakan aplikasi kedua ide teoritis dan metodologis tersebut ke dalam situasi yang nyata dan konkrit. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu kearsipan adalah ilmu yang mempelajari suatu proses mulai dari penciptaan, penerimaan, pengumpulan, pengaturan, pengendalian, pemeliharaan dan perawatan serta penyimpanan dokumen menurut sistem tertentu. Menurut Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, kearsipan adalah hal-hal yang berkenaan dengan arsip. Di Indonesia, sejak zaman VOC sampai sekarang sekurang-kurangnya terdapat lima sistem kearsipan yang pernah diterapkan, antara lain Sistem Agenda, Sistem Verbal, Sistem Kaulbach dan Sistem Pola Baru. Sistem kearsipan adalah menerapkan seluruh elemen atau subsistem dari sistem tersebut secara konsisten. Apabila salah satu unsur dari suatu sistem kearsipan tidak diterapkan secara konsisten dan menyeluruh maka mustahil tujuan dari manajemen kearsipan dapat dicapai. Kenyataan yang ada sekarang, dalam konteks penerapan sistem kearsipan di negara kita, adalah ketidak konsistenan tersebut, terutama pada era setelah kemerdekaan. Ini dapat dibuktikan bahwa kondisi kearsipan pada masa setelah kemerdekaan lebih tidak teratur dibandingkan dengan ketika masa kolonial dan barangkali begitu juga dengan tertib administrasinya (Effendhie, 2008). Selanjutnya dalam Undang-undang Pokok Kearsipan (UUPK) Pasal 2 disebutkan bahwa fungsi arsip membedakan arsip dinamis yang dipergunakan secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung dalam penyelenggaraan administrasi negara; dan arsip-arsip yang tidak dipergunakan secara langsung untuk perencanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya maupun untuk penyelenggaraan sehari-hari administrasi negara. Kemudian tujuan kearsipan disebutkan dalam UUPK pasal 3 yaitu untuk menjamin keselamatan bahan pertanggungjawaban nasional tentang perencanaan, pelaksanaan dan penyelenggaraan kehidupan kehidupan kebangsaan serta untuk menyediakan bahan pertanggungjawaban tersebut bagi kegiatan Pemerintah. Tulisan Prof. Dr. Kuntowijoyo mengatakan bahwa mitos dan sejarah berguna untuk mengetahui masa lampau. Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan mitos dan yang sudah mengenal tulisan pada umumnya mengandalkan sejarah. Sejarah berguna untuk melestarikan masa lampau, karena masa lampau dipandang penuh makna. Dengan pengetahuan sejarah kita dapat melihat tidak hanya masa sekarang tetapi juga masa depan dengan rasa lebih mantap karena sudah ada arah ••• 233 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) garis tertentu. Seseorang yang tidak mengenal sejarahnya atau masa lampaunya, maka akan kehilangan identitasnya. Begitu pentingnya rekaman sejarah untuk membangkitkan sadar arsip bagi masyarakat dan memperkuat identitas bangsa kita sangat dirasakan nyata baik bagi pemerintah, organisasi dan masyarakat. Masyarakat perlu aspirasi pemimpin penjuang masa lampau dari rekaman sejarah, yang dapat menunjukkan pada kita saat sekarang ini perjuangan negara dalam memajukan negara dan lepas dari masa penjajahan. Jika rekaman ataupun tulisan sejarah masa lampau sudah tidak terjaga lagi maka sangat disayangkan sekali bagi kita sebagai generasi penerus, tidak akan mengetahui sejarah yang terjadi di masa lampau. Pemerintah tanpa ada arsip sejarah tentu akan kehilangan sumber informasi penting akan perjuangan, ide pejuang, dan strategi kepemerintahan yang dapat membantu membangun kebangkitan bangsa. Kearsipan a) Jenis-Jenis Arsip Menurut Prof. Dr. A. Sartono Kartodirdjo dokumen merupakan pangkal tolak sejarah, senada dengan ucapan Louis Gottschalk yang mengatakan : no document no history. Sementara itu Langlois dan Seignobos mengatakan bahwa sejarah disusun atau direkonstruksi dari dokumen. Dokumen atau arsip merupakan sumber primer untuk penulisan sejarah karena menyimpan rekaman peristiwa dan memori kolektif yang menjadi bukti adanya peristiwa yang terjadi masa lampau. Penulisan sejarah tidak akan dapat dihasilkan jika tidak tersedia dokumen. Ketidaklengkapan dokumen acapkali menjadi penghalang penulisan sejarah dari suatu peristiwa, lembaga, organisasi, tokoh, dan sebagainya. Arsip sangat penting karena merupakan suatu bukti dari suatu peristiwa atau kegiatan yang direkam dalam bentuk yang nyata atau bersifat tangible sehingga memungkinkan untuk ditemukan kembali. Terdapat beberapa pemahaman dasar yang mendasarkan pada pentingnya arsip. Pertama, arsip harus merupakan bukti (evidence) dari suatu peristiwa yang berisi data dalam pengertian secara`sosial. Data dalam konteks ini seringkali diartikan sebagai basis untuk pengambilan keputusan, pengukuran, penghitungan, dan sumber informasi.(Lundgen and Terry D,1989) Kedua, arsip harus disimpan di dalam bentuk yang nyata. Tiga bentuk media arsip secara umum terdiri dari arsip dengan media elektronik yang meliputi disk magnetik, diskettes, pita magnetik, dan disk optik. Umumnya media elektronik digunakan untuk menyimpan informasi arsip dalam jenis dan jumlah yang besar. Media elektronik seperti komputer menawarkan kemudahan, kecepatan, dan ketepatan dalam mengolah, menyimpan, dan menemukan kembali informasi. Ada lagi arsip berbentuk kertas atau hard-copy berisi data, teks, statistik, gambar, dan sebagainya. Keuntungan bentuk ini adalah dapat menyediakan informasi untuk referensi jangka pendek dan seringkali digunakan untuk arsip vital. Arsip film merupakan data gambar atau teks yang disimpan pada film, termasuk microfilm. Sementara arsip media magnetik merupakan data, gambar, atau teks yang disimpan dan ditemukan kembali melalui penulisan kode ••• 234 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) secara magnetik dan khusus berkaitan dengan komputer. Di samping itu ada media video atau suara atau biasa dikenal dengan audio-visual media. Ketiga, bahwa arsip dalam bentuk apa pun harus dapat ditemukan kembali baik secara fisik mau pun informasinya. Arsip dapat dibedakan dengan non arsip, karena non arsip merupakan keseluruhan informasi dalam bentuk yang tidak nyata. Contoh dari non arsip adalah pembicaraan biasa yang tidak penting. Menurut Undang-Undang No 07 tahun 1971 tentang Pokok-Pokok Kearsipan fungsi arsip sebagai infornmasi terekam mempunyai pengertian peranan yang dapat dibedakan atas dua yaitu arsip dinamis dan arsip statis. Arsip dinamis adalah arsip yang dapat diperguinakan secara langsung di dalam perencanaan, pelaksanaan penyelenggaraan kehidupan kebangsaan dan pemerintahan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung di dalam penyelenggaraan administrasi negara. Sementara itu arsip statis tidak dipergunakan secara langsung untuk perencanaan dan penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya maupun pada penyelenggaraan sehari-hari administrasi Arsip statis tidak lagi dipergunakan di dalam fungsi-fungsi manajemen organisasi pencipta tetapi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Dengan demikian arsip statis sudah tidak lagi disimpan di setiap organisasi pencipta arsip (unit pengolah maupun unit kerja) akan tetapi telah disimpan di Arsip Nasional atau Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah. Di dalam lembaga, organisasi, atau perusahaan yang dikelola oleh swasta atau masyarakat, perlu Unit Kearsipan yang mengelola arsip dinamis dan statis, agar kearsipan didalam organisasi dapat optimal dalam memberikan pemeliharaan, perlindungan, dan pelayanan arsip dalam pelaksanaan kegiatan organisasi untuk mencapai tujuannnya. Di Pusat Kearsipan ini disimpan arsip statis. Jika organisasi atau perusahaan swasta tidak mampuuntuk mengelola arsip statisnya, sebaiknya menyerahkan pengelolaannya kepada Arsip Nasional atau Badan Arsip Daerah sesuai dengan Pasal 9 ayat 3 UU Nomor7 Tahun 1971. Arsip dinamis berdasarkan pada kepentingan penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu arsip dinamis aktif dan arsip dinamis inaktif. Arsip dinamis aktif merupakan arsip yang secara langsung dan terus menerus dibutuhkan dan dipergunakan di dalam penyelenggaraanadministrasi. Ada pun arsip dinamis inaktif merupakan arsip-arsip yang frekwensi penggunaannya untuk penyelenggaraan administrasi sudah semakin berkurang; Di dalam sistem kearsipan atau sistem penyimpanan arsip metode penyimpanan merupakan bagian dari proses kegiatan kearsipan. Beberapa metode penyimpanan arsip dilakukan dengan menggunakan metode tertentu. Beberapa metode penyimpanan arsip dasar yang dikenal adalah menurut pokok masalah, menurut urutan nama (orang, wilayah, organisasi, barang) berdasarkan urutan abjad, berdasarkan urutan tanggal, berdasarkan urutan nomor. (Yohannes Suraja, 2006) Penyimpanan arsip dibedakan atas dasar arsip aktif, inaktif (dinamis), dan permanen (statis) sesuai dengan jadual retensi arsip. Pastikan ruang penyimpanan ••• 235 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) arsip bebas dari jamur dan hewan yang dapat merusak arsip, lingkungannya bersih, suhu antara 22-24 derajad Celcius dengan kelembaban udara 50-65% yang dapat diatur dengan menggunakan AC. Penyimpanan arsip jangan dicampur bahan-bahan non arsip. Pemeliharaan arsip menyangkut upaya wujud fisik arsip agar tidak rusak karena pengaruh dari dalam dan faktor luar yaitu dengan cara menyimpan arsip dengan baik, tidak berdesak-desakan, memperhitungkan ukuran besar arsip, melakukan pemeliharaan lingkungan penyimpanan yang bersih. Agar arsip yang rusak tetapi masih mempunyai nilai guna tetap dapat digunakan, maka dilakukan upaya perbaikan dengan restorasi atau pembuatan rekaman seperti microfilm. b) Peran Arsip dalam Penulisan Sejarah Arsip pada hakikatnya adalah saksi kunci tertulis yang telah menyaksikan kemerdekaan, pertumbuhan, kemenangan, keberhasilan bahkan kegagalan bangsa secara nyata dan konkrit baik itu pemerintah, politik maupun kesejarahan. Setiap kegiatan memori Negara direkam secara jelas dengan apapun bentuknya sebagai sebuah arsip sebagai bahan informasi yang begitu penting dan vital bagi negara dalam bukti perencanaan dan pelaksanaan sebagai bukti kehidupan bangsa. Informasi yang terekam dalam arsip sangat berpengaruh pada pelaksanaan dan keberlangsungan kegiatan negara sebagai landasan informasi dalam membuat keputusan, untuk itu tanpa adanya arsip keputusan yang dibuat seolah tidak mempunyai landasan atau memory corporatesebagai acuan dan tidak akuntabilitas (World Bank, 2002a dalam Galus, 2008). Arsip merupakan rekaman sejarah suatu bangsa, pada kenyataannya mengalami intervensi yang terlalu banyak dari pihak penguasa. Hal tersebut mengindikasikan pengelolaan arsip hanya diregulasikan untuk menyokong kepentingan tertentu. Kelompok rezim ini kemudian seolah tidakmemperhatikan atau bahkan tidak memberikan tempat pada jenis arsip yang plural dan variatif serta mengontrol kegiatan pengarsipan agar dapat melanggengkan kekuasaannya (Ratnawati, 2002). Arsip mempunyai peran signifikan sebagai saksi sejarah, bagaimana arsip dalam kontekskenegaraan mempunyai posisi penting sebagai teks endapan memori bangsa, menunjukkan identitas bangsa dan menjaga regulasi keamanan dan politik negara. Posisi arsip sebagai saksi sejarah terlihat jika arsip yang ada semakin lengkap maka akan memudahkan negara dalam penulisan sejarah dan posisi arsip dalam menjaga regulasi politik bangsa adalah sebagai arsip vital yang bersifat rahasia. Penjagaannya tergantung pada jenis arsip, apakah arsip bersifat terbuka atau tertutup tergantung dari isi informasinya. Jika arsip tertutup diakses oleh sembarang orang maka akan menimbulkan permasalahan politik dan keamanan. Arsip merupakan memori bangsa yang mengandung bukti sejarah, bahkan dapat mendidik generasi yang akan datang untuk melihat sejauh mana keberhasilan, kegagalan, pertumbuhan dan kejayaan suatu bangsa. Arsip sebagai memori bangsa memberi gambaran tentang perjalanan sejarah bangsa dari masa ke masa. Memori tersebut juga sebagai identitas dan harkat sebuah bangsa. ••• 236 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Kesadaran akademis yang dilandasi oleh beban moral untuk menyelamatkan arsip sebagai bukti pertanggungjawaban sekaligus sebagai warisan budaya bangsa, dapat menghindari hilangnya informasi sejarah perjalanan sebuah bangsa serta harkat sebagai bangsa yang berbudaya. Kegunaan arsip bagi kehidupan kebangsaan diantaranya bukti pertanggungjawaban/akuntabilitas nasional, rekaman budaya nasional sebagai memori kolektif dan prestasi intelektual bangsa, dan bukti sejarah. Arsip merupakan komponen yang utama bahkan begitu besarnya peran arsip dalam penulisan sejarah sehingga terdapat pemahaman bahwa apabila tidak ada dokumen (arsip) maka tidak ada sejarah. Meskipun arsip memiliki substansi yang teramat penting dalam penulisan sejarah, namun di negeri ini tampaknya belum diikuti oleh kesadaran pengelolaan arsip yang baik. Sebagai gambaran umum bisa dilihat dari banyaknya dokumen atau arsip vital negara yang hilang, sulitnya menemukan bahan arsip untuk penelitian, banyaknya institusi, lembaga, instansi yang tidak memiliki pusat arsip, dan masih banyak persoalan seputar dunia kearsipan di Indonesia. Dari beberapa permasalahan tersebut, kita melihat bahwa kesadaran untuk mengumpulkan, menyimpan, maupun menata berbagai dokumen atau arsip yang dinilai berharga belum banyak dilakukan. Bahkan, jika dikaitkan dengan persoalan kultur,kegiatan mengarsip dan kepedulian terhadap pentingnya arsip di negeri ini tergolong rendah. Sadar akan keterbatasan ingatan manusia, maka kesadaran untuk merekam segala aktivitas dalam wujud arsip dengan segala bentuknya menjadi sebuah keharusan. Apabila aktivitas untuk mendokumentasikan atau mengarsipkan segala aktivitas kehidupan sudah menjadi kesadaran maka berarti kita telah berupaya menghimpun pengetahuan, dan bagaimana memanfaatkan himpunan pengetahuan tersebut bagi kemajuan peradaban manusia. Pengelolaan arsip yang baik akan berdampak pada kemudahan proses heuristik dalam kajian sejarah. Dengan melihat kenyataan di Indonesia saat ini, urgensi membangkitkan kesadaran sejarah seperti yang telah dikemukakan diatas perlu segera dimulai. Hal yang sederhana namun menjadi kunci untuk memulai langkah tersebut adalah memupuk kepedulian terhadap kearsipan atau sadar akan pentingnya arsip sebagai sumber sejarah. c) Peran Arsip-Arsip Studio Musik Lokananta dalam Pembelajaran Sejarah Di Indonesia terdapat banyak Museum baik yang dikelola oleh swasta ataupun pemerintah. Museum-museum tersebut memiliki koleksi yang sangat beragam dari masa purba hingga masa-masa kemerekaan Negara Indonesia. Museum merupakan bukti sejarah disuatu tempat dan museum dapat menceritakan bagaimana terjadinya sebuah hal yang tidak diketahui pada zaman dahulu. Jawa Tengah sebagai central kebudayaan di Jawa memiliki banyak museum yang menggambarkan terbentuknya kebudayaan di Jawa. Baik kebudayaan zaman dahulu yang masih dibawa hingga sekarang ataupun cikal bakal sebuah gaya hidup yang berkembang dengan seiring perkembangan zaman. Kota Surakarta memiliki sebuah bukti sejarah berkembangnya musik di Indonesia yaitu Lokananta. Lokananta yang menjadi salah satu bagian ••• 237 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) penginggalan sejarah yang dikelola oleh Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) memiliki nilai budaya yang tinggi dan telah menghasilkan suara-suara emas yang tersimpan dalam kepingan piringan hitam. Lokananta merupakan perusahaan rekaman musik (label) pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1956 dan berlokasi di Solo, Jawa Tengah. Sejak berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas besar, yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam dan kemudian cassette audio. Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai dicoba untuk dipasarkan kepada umum melalui RRI dan diberi label Lokananta yang kurang lebih berarti "Gamelan di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh". Semenjak tahun 1983 Lokananta juga pernah mempunyai unit produksi penggadaan film dalam format pita magnetik Betamax. Melihat potensi penjualan piringan hitam maka melalui PP Nomor 215 Tahun 1961 status Lokananta menjadi Perusahaan Negara. Lokananta sekarang menjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan Negara RI. Sebagai Perum Percetakan Negara Republik Indonesia cabang Surakarta kegiatannya antara lain : 1. Recording 2. Music Studio 3. Broadcasting 4. Percetakan dan Penerbitan Lokananta sampai sekarang masih mempunyai koleksi ribuan lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia (Ethnic/World Music/foklor) dan lagu-lagu pop lama termasuk di antaranya lagu-lagu keroncong. Selain itu Lokananta mempunyai koleksi lebih dari 5.000 lagu rekaman daerah bahkan rekaman pidatopidato kenegaraan Presiden Soekarno. Koleksinya antara antara lain terdiri musik gamelan Jawa, Bali, Sunda, Sumatera Utara (Batak) dan musik daerah lainnya serta lagu lagu folklore ataupun lagu rakyat yang tidak diketahui penciptanya. Rekaman gending karawitan gubahan dalang kesohor Ki Narto Sabdo, dan karawitan Jawa Surakarta dan Yogya merupakan sebagian dari koleksi yang ada di Lokananta. Tersimpan juga master lagu berisi lagu-lagu dari penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun. Lokananta telah melahirkan beberapa penyanyi ternama di Indonesia. Salah satu karya musik produksi Lokananta adalah merekam lagu Rasa Sayange bersama dengan lagu daerah lainnya dalam satu piringan hitam. Piringan hitam ini kemudian dibagikan kepada kontingen Asian Games pada tanggal 15 Agustus 1962. Lagu Rasa Sayange yang merupakan lagu foklore dari Maluku yang telah menjadi musik rakyat Indonesia. Melihat potensi yang ada di Studio Musik Lokananta ini, tentu saja lokananta sangat bisa digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran di tingkat sekolah ataupun di universitas. Lokananta yang menyimpan banyak arsip yang penting seperti rekaman pidato presiden Sukarno, rekaman lagu-lagu daerah, dan masih banyak lagi arsip yang penting di studio yang legendaris ini. Setidaknya nilai nasionalisme yang juga terdapat di mata pelajaran sejarah, juga dapat didapat di lokananta ini. Dengan mendengarkan pidato-pidato presiden Sukarno, dan mendengarkan lagu-lagu daerah seperti lagu Rasa Sayange yang ••• 238 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sempat diklaim oleh Malaysia, hal ini pasti akan menumbuhkan nilai nasionalisme dalam diri peserta didik. Simpulan Peranan arsip sangat penting dalam manajemen organisasi, bukti akuntabilitas kinerja organisasi, alat bukti sah secara hukum, dan sumber perimer untuk menulis sejarah. Arsip menjadi memori kolektif dan jati diri warga masyarakat/bangsa, warisan organisasi dan aset organisasi yang sangat strategis dan sangat bernilai tinggi. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab bersama untuk menyelamatkan, melestarikan, dan mendayagunakan arsip untuk kemaslahatan masyarakat. teknik penyajian arsip tidak hanya mempertimbangkan aspek estetika. Aspek utama yang harus diperhatikan adalah penyajian informasi arsip. Hal yang perlu diperhatikan adalah arsip tidak dapat bercerita ketika ia berdiri sendiri tanpa disertai konteks. Oleh karena itu, biasanya arsip ditampilkan beserta keterangan yang memberikan pengetahuan. Memaknai urgensi dan integritas arsip dalam konteks kebangsaan dan kesadaran sejarah bukanlah hal mudah namun sudah menjadi kewajiban bagi warga negara Indonesia khususnya arsiparis sebagai tonggak dalam pengelolaan arsip terutama pada arsip yang memiliki nilai penting. Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini tidak luput menyadarkan kita bahwa kegiatan apapun yang dilaksanakan sudah tidak bisa lagi mengandalkan ingatan seutuhnya bagi pelaksana karena benar kata pepatah bahwa “memori bisa gagal, tapi apa yang dicatat akan tetap ada”. Lokananta yang menyimpan banyak arsip yang penting seperti rekaman pidato presiden Sukarno, rekaman lagu-lagu daerah, dan masih banyak lagi arsip yang penting di studio yang legendaris ini. Setidaknya nilai nasionalisme yang juga terdapat di mata pelajaran sejarah, juga dapat didapat di lokananta ini. Dengan mendengarkan pidato-pidato presiden Sukarno, dan mendengarkan lagu-lagu daerah seperti lagu Rasa Sayange yang sempat diklaim oleh Malaysia, hal ini pasti akan menumbuhkan nilai nasionalisme dalam diri peserta didik. Daftar Pustaka Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 30-31. Lundgren, Terry D, and Carol A. Lundgren, Records Managements in The Computer Age (Boston : Kent Publishing, 1989), hlm. 4. Yohannes Suraja, Manajemen Kearsipan (Malang : Penerbit Dioma, 2006), hlm.57. Galus, B Senang. 2008. Urgensi dan Relevansi Arsip Kearsipan bagi Negara. Dinas Pendidikan Provinsi DIY. ••• 239 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Ricks, Betty R., et al. 1992. Information and Image Management: A Records System Approach. Cincinati: South-Western Publishing Co. Duranti, L. 1997. “The archival bond”. Archives and Museum Informatics 11/3-4. 213-218.http://arsiparis.blogspot.com/2008/07/ilmu-kearsipan-sebagaidisiplin.html ••• 240 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 241 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 350 TAHUN DI JAJAH: PEMBANGKIT SEMANGAT PATRIOTISME DAN NASIONALISME ATAU PEMBELOTAN SEJARAH Gadis Anastasia Magister Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan gadisanastasia30@gmail.com ABSTRAK Banyak gambaran masa lalu yang mulai hilang dari ingatan, hal ini menjadi sangat penting karena sejarah kemerdekaan merupakan suatu jati diri bangsa. Kebiasaan masyarakat yang menerima sejarah secara lisan serta pengajaran yang kita dapatkan dari beberapa buku dan sumber tertentu membuat kita hanya melihat suatu peristiwa dari sisi yang di suguhkan tanpa pernah tau tentang kebenaran sejarah serta apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Hal ini semakin ditekankan dengan hanya menekankan sudut pandangan jawasentris dalam setiap pengajaran yang ada di Indonesia. Dari pembelokan sejarah ini agaknya para sejarawan masih gagal dalam memberikan pemahaman lebih terhadap masa penjajahan Belanda di nusantara. Mungkin karena banyaknya data-data historis yang hanya berasal dari Jawa, sehingga melupakan pulau-pulau lain juga bahagian dari Indonesia. Para guru khususnya guru sejarah seharusnya mulai memberikan penekanan lebih jika membahas masa kolonial Belanda, melihat fakta-fakta yang ada bahwa Nusantara tidak di kuasai Belanda selama 350 tahun. Hal ini bisa di hilangkan dengan merevitalisasi kembali cara pandang dan pengenalan sejarah, atau menjadikan sejarah sebagai kritik, menambah wacana serta seminar-seminar pemersatu bangsa. Karena untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang masih belum jelas titik terangnya ini hanyalah dengan membuka lembaran lampau yang sebenarnya tentang peristiwa pendudukan belanda yang jelas di Nusantara. Kata kunci: 350 Tahun dijajah, Patriotisme dan Nasionalisme, Pembelotan Sejarah. Abstract : A lot of the image of the past that began to disappear frommemory, this becomes very important because the historyof the independence of a nation's identity. The custom of the society which accepts history orally as well as teaching that we get from a few books and a specific source we only see an event from the side on the serve without ever know about the truth of history as well as what actually happened at that time. It is increasingly emphasized by only emphasizes the point of view of jawasentris in any teaching that is in Indonesia. From the bending of this history it appears that historians still fail in giving more understanding towards the Netherlands colonial rule in the archipelago. Perhaps because of the many historical data only comes ••• 242 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) from Java, so forget about the other islands also part of Indonesia. Teachers particularly history teachers should start giving more emphasis if discussing colonial Netherlands, see the facts that exist that the archipelago is not in Ahold Netherlands for 350 years. This can be in the right hip by way of looking back and revitalize the introduction to history, or make history ascriticism, adding to the discourse as well as unifying the nation seminars. Because in order to find the answers to all the questions that are still not clear on this point in light of its simply by opening the sheet past the truth about the events of the occupation of the Netherlands, is clearly in the archipelago. Keywords: 350 Years of Dutch occupation, Patriotism and Nationalism, History of Defection. Pendahuluan Terlalu banyak orang memberikan defenisi sejarah. Tentunya terdapat perbedaan pandangan, antara orang awam dengan para ahli sejarah sendiri tentang arti atau definisi sejarah. E.H. Carr, seorang cendikiawan yang telah lama bergelut dengan ilmu sejarah berpendapat, sejarah merupakan proses perhubungan yang tiada hentinya, di antara ahli sejarah dengan sumber-sumber dan merupakan dialog yang tidak putus-putus antara masa lalu dan masa kini. Ahli sejarah dalam mencari kebenaran sesuatu pristiwa lazimnya di hadapkan dengan beberapa kesulitan. Proses-proses pertimbangan yang betul, fakta-fakta yang relevan, menghilangkan rasa berpihak pada kelompok, individu. Etnis adalah merupakan bagian dari kesulitan untuk mencapai kesahihan di dalam penulisan sejarah. Sesuai dengan pandangan Toynbee yang melukiskan bahwa, dunia adalah proses menuju pengadilan dengan memperhatikan tingkah laku manusia sebagai rantai pengalaman yang penuh dengan pelbagai tafsiran. Menurut Purwanto (2013) penulisan sejarah di Indonesia diawali oleh para penulis ilmuwan asal Belanda untuk memberikan interpretasi atas kondisi Indonesia selama dijajah oleh Belanda. Kaum terpelajar di Indonesia mau tidak mau mendapatkan informasi dan pelajaran tentang sejarah Indonesia berasal dari sekolah Belanda, sehingga berkembang aliran Eropasentris dan Indosentris. Eropasentris melihat bagaimana Indonesia dari kacamata ilmuwan Eropa yang mendarat di Indonesia, melihat Indonesia yang kala itu menjadi beberapa bagian kerajaan dan posisi bangsa Indonesia sebagai wilayah jajahan. Sedangkan Indosentris melihat bagaimana perkembangan Indonesia dari kaca mata penduduk Indonesia. Indonesia yang terbagi berbagai macam kerajaan tetapi tepat bekerja sama antar kerajaan yang membentuk sistem kerajaan yang baik. Sebagian besar penduduk Indonesia ketika Belanda sudah menguasai Indonesia mendapatkan pelajaran dari Belanda berdasarkan aliran Eropasentris. Peranan buku-buku pelajaran yang berkembang kala itu membentuk generasi muda Indonesia pasca kemerdekaan. Generasi muda era 1920-an dan 1930-an merupakan generasi yang akan memimpin Indonesia setelah merdeka. Alhasil, pidato-pidato mereka akan banyak terpengaruh oleh buku-buku yang ••• 243 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) diterbitkan oleh pemerintah kolonial. Salah satunya pidato Bung Karno untuk membakar semangat Indonesia dengan menyebutkan Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Penulisan para sejarawan Belanda harus mulai ditinggalkan, karena bernuansa generalisasi yang berdampak mitos-mitos muncul dan syarat kepetingan akan masa kolonial. Bangsa ini benar-benar harus serius menuliskan sejarahnya, karena mitos sejarah yang lahir dari penulisan sejarah di masa lalu dan hidup dalam penghayatan sejarah masa kini, kelak akan mati dalam penulisan sejarah di masa depan bersama kebudayaan dan generasi yang mendukungnya Berbagai bukti menunjukkan telah terjadi kesalahan yang fundamental dalam proses ahli ilmu selama ini, sehingga pengetahuan dan prinsip dasar dari ilmu sejarah yang disampaikan mengalami distorsi dari generasi ke generasi. Para sejarawan penerus itu mencoba mereproduksi apa yang telah di lakukan oleh para sejarawan penerus itu mencoba mereproduksi apa yang telah di lakukan oleh para sejarawan sebelumnya, namun sebenarnya mereka tidak pernah mengalami dengan benar tentang sesuatu yang ingin mereka reproduksi itu. Kalaupun di pahami, mereka hanya menyimpan pengetahuan dan kerangka berfikir yang telah di wariskan seperti sebuah koleksi yang harus di jaga dengan baik agar tidak berubah. Sebaliknya, mereka tidak menggunakanya untuk menghasilkan tujuan sejarah yang menarik dan kritis walaupun kadang-kadang terkesan bertentangan dengan ide dasar yang telah di wariskan. Sementara itu, keberhasilan yang dicapai oleh beberapa orang dari generasi penerus sejarawan indonesia lebih bersifat individual, dan tidak mencerminkan kemajuan intelektual yang sesungguhnya dari Historiografi indonesia. Metode Penelitian Dalam suatu penelitian ilmiah perlu didukung oleh suatu metode penelitian.Fungsi dari pada metode penelitian tersebut sangatlah penting karena merupakan faktor penentu dari proses pengumpulan informasi dan berperan penting terhadap berhasil tidaknya suatu penelitian. Menurut Gilbert J. Garraghan, S.J. (1969) dalam bukunya A Guide to Historical Method mendefinisikan metode sejarah sebagai perangkat asas dan aturan yang sistematik yang di desain guna membantu secara efektif untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesis hasil-hasil yang dicapainya, yang pada umumnya dalam bentuk tertulis. Jenis penelitiannya adalah deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawanya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Namun, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan data – data secara ••• 244 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) objektif berdasarkan hasil tulisan-tulisan yang berhubungan denganpenjajahan bangsa belanda dan kemerdekaan Indonesia. Pembahasan Menurut Sinuhaji (2004) pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku. Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempahrempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate. Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol. Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke16. Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara. Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912). Peperangan di seluruh Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh. Jadi baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor Timur). Jangan lupa pula bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. ••• 245 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja. Rekontruksi melalui historiografi sudah tentu bertujuan untuk mengenang, mengilhami, dan mengimplementasikan rasa hayat terhadap ilmu sejarah baik sebagai perisiwa, pengalaman, didaktif, rekreasi, atau ada juga sifatnya yang berguna untuk pengembangan diri dan negara. Lantas rasa hayat sejarah adalah kesungguhan untu memahami, mengerti, akan setiap kejadian di dalam suatu peristiwa. Memahami tidak hanya sekedar ingin tahu, mengerti tidak hanya sekedar menganggukkan kepala, tetapi adalah bertujuan dalam suatu skala yang pragmatis dan sanggup membangun dan mencari perubahan dalam arah pembangunan berbangsa dan bernegara. Akhir-akhir ini, sejarawan indonesia harus menghadapi kenyataan adanya gugatan terhadap konstruksi sejarah indnesia yang mereka bangun selama ini. Berbagai konstruk dan konsep yang selama ini di pahami sebagai kebenaran tidak lagi dapat di terima oleh masyaraat yang telah memiliki jiwa zaman yang berbeda (Abdullah 2006). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada yang berpendapat bahwa historiografi indonesia saat ini berada di persimpangan jalan atau bahkan berada di ujung tanduk. Hal itu nampaknya berkaitan erat dengan kenyataan bahwa hampir lima puluh tahun setelah para perintis penulisan sejarah indonesia meletakkkan dasar filosofis dan metodologis dalam kajian sejarah indonesia, tradisi historiografi indonesia yang ada selama ini di anggap tetap belum mampu membangun citra dirinya sebagai tradisi keilmuan yang benar-benar dapat dibanggakan dan diapresiasikan masyarakat secara umum sebagai sebuah media pencerahan. Sebaliknya, historiografi indonesia lebih sering di anggap sebagai beban yang menjerumuskan dan bagian dari sebuah sistem yang mengakibatkan berkembangnya cara berfikir yang sempit. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi itu, sejarawan akademik merupakan salah satu unsur yang sangat berperan dalam pembentukan tradisi historiografi yang di gugat itu, dan penulis merupakan salah satu orang yang ada di dalamnya. Menurut Kartodirdjo (2004) historiografi eropasentris dalam sejarah Indonesia ternyata telah melanggengkan mitos yang bertahan lama: “Belanda menjajah Indonesia 350 tahun”. Mitos yang sengaja diciptakan sebab pemerintah kolonial Belanda membutuhkan legitimasi historis politis untuk mempertahankan dan memperluas daerah jajahannya. Mitos penjajahan ratusan tahun ini seperti hendak mengafirmasi arogansi Gubernur Jenderal BC de Jonge tahun 1936 yang berkata, “kami akan tinggal di sini 300 tahun lagi” ••• 246 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Kita sama-sama tau bahwa mitos itu tidak pernah terbukti. Namun celakanya, mitos yang dibuat oleh sejarawan kolonial tersebut direproduksi rezim penguasa pascakolonial yang tuna sejarah. Terutama di era Orde Baru, sejarah hanya dipahami sebagai perkara waktu dan peristiwa seperti tercantum dalam buku-buku pelajaran maupun teks pidato para pejabat. Tak perlu heran jika masyarakat memahami peristiwa sejarah sebagai teks yang beku dan tak ada relevansinya dengan kondisi kekinian. Disini, melalui tulisanResink (2016) dalam buku nya yang terdiri dari 14 tulisan ini sebagai pencerah rejarah dalam meruntuhkan mitos tersebut.Sejak pengakuan kedaulatan Belanda terhadap Indonesia tahun 1949, Reesink memilih mempertahankan kewarganegaraan Indonesia dengan segenap konsekuensinya. Pengabaian terhadap fakta-fakta hukum tersebut membuat mitos penjajahan 350 tahun bertahan sangat lama. Apalagi, perspektif historiografi indonesiasentris belum menjadi arus utama. Peneliti sejarah malas mencari sumber-sumber baru dan lebih banyak mengandalkan sumber-sumber lawas. Bias eropasentris yang melanggengkan supremasi kolonial begitu terlihat dalam sumber-sumber tersebut. Hal ini bisa di hilangkan dengan merevitalisasi kembali cara pandang dan pengenalan sejarah, atau menjadikan sejarah sebagai kritik, menambah wacana serta seminar-seminar pemersatu bangsa. Karena untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang masih belum jelas titik terang nya ini, hanyalah dengan membuka lembaran lampau yang sebenarnya tentang peristiwa pendudukan belanda yang jelas di Nusantara. Penutup Histografi di Indonesia selama ini dianggap masih belum mampu membangun citra baik sebagai tradisi keilmuan yang dapat dibanggakan dan diapresiasikan sebagai media penerapan. Terbukti dari dari histrografi eropasentris yang ada di dalam sejarah Indonesia yang telah melanggengkan mitos yang dapat bertahan lama, yakni yang mengatakan bahwa Belanda telah menjajah Indonsia selama 350 tahun. Hal ini juga tentunya sesuai dengan pidato Soekarno yang mengatakan bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun dengan maksud untuk membangkitkan semnagat nasionalisme bangsa Indonesia. Untuk itulah mitos-mitos tersebut harus dihilangkan dengan cara merevitaslisasi paradigma yang telah berkembang selama ini dengan cara mengkritik setiap tulisan sejarah, mencari kebenaran-kebenaran sejarah, dan juga menambah wacana dengan diakannya seminar-seminar yang berkaitan dengan pembenaran sejarah. Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. 2016. Ilmu Sejarrah dan Historiografi. Yogyakarta : Penerbit Ombak Gilbert J. Garraghan, S.J. 1969. A Guide to Historical Method. New York : Fordham University Press ••• 247 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Kartodirdjo, Sartono. 2014. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak Purwanto, Bambang & Warman, Asvi. 2013. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak Resink, G.J. 2016. Bukan 350 Tahun Dijajah. Depok : Komunitas Bambu Sinuhaji, Wara. 2004. Dinamika Perjuangan Bangsa Indonesia. Medan : USU Press ••• 248 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ANALISIS PEMBELAJARAN SEJARAH DI PERBATASAN INDONESIA-TIMOR LESTE Akhmad Arif Musadad, Susanto, Yohanis Kristianus Tampani Pascasarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta tampanijohn@gmail.com ABSTRAK Daerah perbatasan adalah beranda terdepan suatu negara. Sebagai sebuah wilayah terdepan, tentunya wilayah perbatasan tersebut menjadi indikator atau kriteria sejauh mana perkembangan kemajuan suatu negara dalam hal pembangunan ekonomi, pendidikan, dan mampu melindungi atau menjamin keamanan (security) dan kemakmuran (prosperity) penduduk yang berada di dalam lingkungan wilayah kedaulatan negara bersangkutan. Nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya perasaan senasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan maju dalam satu kesatuan bangsa, Negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabdikan identitas persatuan kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan Negara kebangsaan yang bersangkutan. Di sini pendidikan sejarah memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh-kembangkan dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Oleh karena itu, penting kiranya melihat kembali proses pendidikan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste terutama mengenai pembelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah sebagai upaya pembangunan integrasi bangsa, karakter bangsa bahkan lebih jauh lagi nasionalisme dan pembentukan nation-state. Dengan pembelajaran sejarah diharapkan agar siswa mendapat wawasan kebangsaan dan membangun karakter (nation and character building) yang akan menjadi tonggak terciptanya sikap nasionalisme. Dengan demikian setidaknya pertahanan wilayah di perbatasan dapat meningkat dan tidak mudah disusupi oleh kepentingan luar. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini yakni dengan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan mengumpulkan literatur yang relevan. Kata Kunci: Nasionalisme Pembelajaran Sejarah, Nation and Character Building, Pendahuluan Jika dulu yang sering terdengar dalam keseharian adalah ungkapan untuk menyebut wilayah Indonesia hanya “dari Sabang sampai Merauke” saja, maka sekarang tidaklah sempurna kecuali dengan tambahan “dari Miangas hingga Rote”. Ungkapan ini meliputi tiga pengertian yakni mengenai suatu penerapan, penegasan, dan pemberdayaan terhadap wilayah sebuah negara yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah untuk dimanfaatkan bagi ••• 249 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) perwujudan cita-cita bangsa. Dengan karakteristik luas wilayah belasan ribu pulau serta keragaman masyarakat dan kebudayaan yang begitu unik, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dihadapkan pada berbagai masalah yang tidak ringan terutama dalam upaya membangun dan membina integrasi bangsa dan solidaritas sosial untuk memperkokoh Indonesia sebagai negara kesatuan. Kondisi geografis Indonesia dengan 17. 504 pulau serta kedaulatan di darat, laut, dan udara, berbatasan daratan secara langsung dengan Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Kondisi seperti ini memberi peluang tetapi juga sekaligus membawa konsekuensi permasalahan berat untuk diatasi. Wilayah perbatasan dimiliki bukan hanya keunikan tetapi juga sifat strategis bagi suatu negara yang berfungsi militer, ekonomis, konstitutif, identitas, kesatuan nasional, pembangunan negara dan kepentingan domestik. Wilayah perbatasan dapat disebut sebagai indikator atau kriteria sejauh mana suatu negara mampu melindungi atau menjamin keamanan (security) dan kemakmuran (prosperity) penduduk yang berada di dalam lingkungan wilayah kedaulatan negara bersangkutan (Zuhdi, 2017: 8-9). Dengan melihat pada realitas objektif itu, maka suatu keutuhan wilayah dalam NKRI harus dilandasi oleh cara pandang yang bersifat komprehensif dan holistik yang didukung oleh sistem pertahanan negara yang kuat melalui pendidikan untuk meretas ketertinggalan serta berkarakter kebangsaan (nation building). Pendidikan adalah suatu proses yang didesain untuk memindahkan atau menularkan pengetahuan dan keahlian atau kecakapan serta kemampuan (Panjaitan dkk, 2014: 22). Dalam Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) menyebutkan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui bimbingan, pengajaran, dan/ atau latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranannya dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Triwiyanto, 2014: 22). Panjaitan dkk (2014: 57) menjelaskan bahwa, pendidikan melalui pembelajaran di sekolah dapat menjadi media untuk mentransfer nilai-nilai kebudayaan kepada generasi penerus. Dengan demikian keberadaan nilai-nilai budaya masyarakat dalam pembelajaran yang dapat diwariskan kepada peserta didik melalui pendidikan. Nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan dikaitkan dengan pengalaman keseharian mereka (peserta didik) untuk meransang tumbuhnya solidaritas sosial (social solidarity), bukan sikap individualisme (Paulo Freire, 2008: 56). Pendidikan dilaksanakan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berdaya saing, dalam konteks persaingan global dewasa ini. ••• 250 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Salah satu cara yang dapat ditempuh guru dalam mengembangkan pendidikan adalah melalui pembelajaran di sekolah. Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “instruction” yang dalam bahasa Yunani disebut instructus atau “intruere” yang berarti menyampaikan pikiran, dengan demikian arti instruksional adalah menyampaikan pikiran atau ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran (Warsita, 2008: 265). Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Sagala, 2009 :61). Hal senada ditambahkan oleh Asrori (2009: 6) bahwa pembelajaran berlangsung melalui lima alat indra, yaitu berupa: (1) penglihatan (visual) seperti melihat kejadian suatu peristiwa, (2) pendengaran (Auditory) seperti mendengar suatu bunyi, (3) pembauan (olvactory) seperti bau makan yang membuat kita lapar, (4) rasa/pengecap (taste) seperti lidah kita merasa dan dapat membedakan antara asin dan masam, serta (5) sentuhan (tactile) seperti kulit kita merasa sentuhan dan dapat membedakan antara permukaan licin dan permukaan kasan. Selanjutnya konsep pembelajaran menurut Corey dikutip oleh Sagala (2009: 61), adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisikondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subjek khusus dari pendidikan. Pembelajaran adalah proses menjadikan orang agar mau belajar dan mampu (kompeten) belajar melalui berbagai pengalamannya agar tingkah lakunya berubah menjadi lebih baik lagi (Wiyani, 2014: 20). Menurut Hamalik (2001: 48) menjelaskan bahwa, proses belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang di dalamnya terjadi proses belajar siswa dan guru mengajar dalam konteks interaktif dan terjadi interaksi edukatif antara guru dan siswa sehingga terdapat perubahan dalam diri siswa baik perubahan pada tingkat pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan atau sikap. Pendidikan sejarah yang diajarkan di sekolah memiliki posisi yang strategis dalam membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal tersebut tertuang dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa sejarah mengajarkan pada siswa tentang pengetahuan masa lampau yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik. Pendidikan sejarah dewasa ini menghadapi tantangan dan dituntut untuk dapat lebih menumbuhkan kesadaran sejarah baik pada posisinya sebagai anggota masyarakat maupun warga Negara. Pendidikan sejarah juga digunakan untuk mempertebal semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi yang tercantum dalam lampiran peraturan menteri untuk satuan ••• 251 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) pendidikan dasar dan menengah dijelaskan terkait materi dan tujuan dari pembelajaran sejarah mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Kabupaten Malaka adalah salah satu kabupaten di wilayah Timor Barat Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Sebagai beranda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), perlu kiranya suatu pendidikan yang memadai sehingga para siswa diajarkan tentang pentingnya hidup berbangsa dan bernegara di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Penting kiranya untuk melihat kembali proses pendidikan yang diselenggarakan di wilayah perbatasan terutama mengenai pembelajaran sejarah. Menurut Azyumardi Azra (2011), sejarah dapat berfungsi sebagai salah satu factor integrasi, karakter bangsa, bahkan lebih jauh lagi nasionalisme dan pembentukan nation-state. Dengan pembelajaran sejarah di sekolah diharapkan agar siswa mendapat wawasan kebangsaan yang akan menjadi tonggak terciptanya sikap nasionalisme dan rasa solidaritas sosial. Secara umum materi sejarah mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang yang mendasari proses pembentukan karakter dan kehidupan berbangsa (nation and character building) peserta didik. Materi pelajaran sejarah berguna untuk menanamkan kesadaran persatuan, persaudaraan, dan solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa serta untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Sebagai tindak lanjut pembangunan jati diri bangsa melalui revitalisasi pendidikan, maka sebagai upaya untuk melihat dan menganalisis pembelajaran sejarah di sekolah khususnya di daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste agar memperoleh gambaran yang lengkap dan rinci. Metode Penelitian Adapun metode penulisan dalam makalah ini yakni melalui pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan sumber literatur, observasi, dan wawancara terkait dengan penelitian ini. Hasil dan Pembahasan a. Evaluasi Pembelajaran Sejarah Evaluasi merupakan kegiatan terencana untuk mengetahui keadaan suatu obyek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan (Thoha, 1991: 1). Menurut Arikunto (1996: 3), evaluasi merupakan istilah dalam bahasa Indonesia untuk evaluation yang artinya adalah penilaian. Lebih lanjut dijelaskan bahwa evaluasi melingkupi dua kegiatan yaitu proses mengukur dan menilai. Mengukur adalah kegiatan yang lebih bersifat kuantitatif sedangkan menilai adalah kegiatan yang bersifat kualitatif. mengevaluasi ••• 252 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sesuatu berarti runtutan proses mengukur sesuatu tersebut terlebih dahulu baru kemudian memberikan penilaian. Penilaian ini bertujuan untuk melihat apakah usaha pembelajaran yang dilakukan sudah mencapai tujuan ataukah belum. Evaluasi memiliki banyak kegunaan sebagai berikut: 1) untuk mengetahui penguasaan peserta didik mengenai materi pelajaran yang disampaikan oleh guru; 2) untuk mengetahui bahasan-bahasan yang belum dikuasai oleh peserta didik sebagai acuan untuk perbaikan; 3) sebagai penguatan bagi peserta didik sehingga menjadi motivasi untuk mempertahankan dan belajar lebih baik lagi; 4) sebagai alat untuk mendiagnosis kondisi peserta didik; 5) sebagai bahan acuan untuk memperbaiki metode pembelajaran oleh guru. Narwanti dan Somadi (2012: 119) mengatakan bahwa evaluasi merupakan salah satu alat guna menilai keprofesionalan seorang guru. Karena penilaian merupakan bagian penting dalam pembelajaran. Dengan melakukan penilaian seorang guru yang profesional dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan peserta didik dalam meraih kompetensi yang telah ditetapkan maupun untuk menilai keberhasilan guru sendiri. Berdasarkan hasil evaluasi, guru dapat menentukan langkah apa yang harus diambil untuk peserta didik agar diperoleh prestasi yang lebih baik. Evaluasi pembelajaran Sejarah dilakukan dengan menilai tiga aspek meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Evaluasi atau penilaian aspek kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: penugasan terstruktur, tugas mandiri, post test, tanya jawab, dan penilaian proses. Guru Sejarah melakukan penilaian kognitif dengan cara melakukan penilaian post testdalam bentuk soal uraian. Kegiatan post test dilaksanakan untuk mengukur ketercapaian materi. Perilaku atau sikap dapat dijadikan sebagai kriteria penilaian bagi guru. Penilaian aspek afektif dilakukan dengan cara mengamati perilaku atau sikap peserta didik selama pembelajaran berlangsung. Penilaian terhadap aspek afektif peserta didik dilakukan guru dengan cara penilaian sikap. Penilaian aspek afektif sangat penting, mengingat bahwa pembelajaran bukan semata-mata hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, namun juga sebuah upaya penanaman nilai-nilai, termasuk nilai-nilai kerohanian, nilai spiritual, nilai kehidupan, dan nilai kebangsaan kepada peserta didik. Wujud dari penanaman nilai-nilai dalam mengevaluasi pembelajaran adalah terjadi perubahan sikap atau perilaku peserta didik yang mengarah pada perilaku yang berakhlak mulia seperti, religius, jujur, adil, tanggung jawab, santun, membentuk sikap kebangsaan (nation and character building) dan lain sebagainya. Dengan melakukan penilaian sikap, guru mampu menggambarkan secara umum tentang perilaku siswa yang bersangkutan. Aspek psikomotorik merupakan sebuah penggambaran kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik yang dapat ditunjukkan melalui tes tertulis seperti penugasan, ulangan, ujian tengah semester, dan ujian akhir. Penilaian ••• 253 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) keterampilan peserta didik dalam pembelajaran Sejarah berupa penilaian terhadap kemampuan peserta didik dalam diskusi dan presentasi dalam kelas. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran sejarah dapat ditentukan melalui evaluasi kualitas proses dan hasil pembelajaran. Kualitas proses yang dimaksudkan berkaitan dengan kualitas proses pembelajaran maupun penerapannya di dalam maupun di luar kelas. Hal yang dimaksud mencakup kinerja guru sejarah, materi pembelajaran sejarah, metode pembelajaran, sarana pembelajaran, keadaan kelas, sikap peserta didik, dan motivasi belajar sejarah. Hasil pembelajaran sejarah adalah berupa kecakapan akademik, kesadaran sejarah serta nasionalisme. b. Nasionalisme di Perbatasan Indonesia-Timor Leste Mengenai apa itu nasionalisme sendiri sangat beragam. Seorang sejarawan, Hans Kohn (1965) memberikan terminology mengenai nasionalisme, yaitu “Nationalism is a state of mind in which the supreme loyalty of individual is felt to be due the nation state”. Bahwa nasionalisme merupakan suatu faham yang memandang kesetian tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan. Sedangkan Ernest Renan memandang nasionalsime sebagai keinginan hidup bersama, keinginan untuk eksis bersama, bertumpu pada kesadaran akan adanya jiwa dan prinsip spiritual yang berakar pada kepahlawanan masa lalu yang tumbuh karena kesamaan penderitaan dan kemuliaan di masa lalu (Kian, 2012: 10). Pendapat lain menyatakan bahwa nasionalisme merujuk pada sekelompok kayakinan mengenai bangsa. Bangsa tertentu akan memiliki pandangan berbeda mengenai karakternya karenanya untuk sembarang bangsa ada nada keyakinan berbeda dan saling berkompetensi mengenainya yang sering kali bermanifestasi sebagai perbedaan politik (Grosby, 2011: 6). Peran pembelajaran sejarah sebagai media untuk menanamkan nilainilai nasionalsime. Dalam konsep nasionalisme, sejarah memberi peringatan kepada kita tentang pentingnya memahami identitas kebangsaan yang kita miliki dengan cara menengok kembali pada masa lalu pada waktu identitas tersebut terbentuk. Hal ini menjadi pandangan Toffler, dalam pandangannya pendidikan sejarah pada dasarnya adalah penanaman rasa waktu (timesense) yang tanpanya orang akan kehilangan orientasi temporal (Widja, 2007). Dengan konsep ini peserta didik akan memahami bagaimana gerak dan corak jiwa kebangsaan pada tiap zaman dan akan menjadi lebih bijak untuk melihat keberadaannya dalam sebuah konstruksi kebangsaan dan diharapkan akan menjadi generasi yang tidak mudah terprovokasi. Merujuk pada sikap nasionalisme siswa di perbatasan Indonesia-Timor Leste, kecenderungan pengaruh dari negara Timor Leste tidak ada. Walaupun beberapa sekolah di perbatasan Indonesia-Timor Leste masih terdapat siswasiswi imigrasi (pengungsi) dari negara Timor Leste. ••• 254 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya perasaan senasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan maju dalam satu kesatuan bangsa, Negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabdikan identitas persatuan kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan Negara kebangsaan yang bersangkutan. Di sini pendidikan sejarah memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh-kembangkan dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, evaluasi pembelajaran Sejarah dilakukan dengan menilai tiga aspek meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Evaluasi atau penilaian aspek kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: penugasan terstruktur, tugas mandiri, post test, tanya jawab, dan penilaian proses. Guru Sejarah melakukan penilaian kognitif dengan cara melakukan penilaian post testdalam bentuk soal uraian. Kegiatan post test dilaksanakan untuk mengukur ketercapaian materi. Perilaku atau sikap dapat dijadikan sebagai kriteria penilaian bagi guru. Wujud dari penanaman nilai-nilai dalam mengevaluasi pembelajaran adalah terjadi perubahan sikap atau perilaku peserta didik yang mengarah pada perilaku yang berakhlak mulia seperti, religius, jujur, adil, tanggung jawab, santun, membentuk sikap kebangsaan dan lain sebagainya. Dengan penanaman sikap kebangsaan (nation and character building), diharapkan siswa akan memperoleh suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya perasaan senasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan maju dalam satu kesatuan bangsa, Negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabdikan identitas persatuan kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan Negara kebangsaan yang bersangkutan. Di sini pendidikan sejarah memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh-kembangkan dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik Jakarta : Rineka Cipta Asrori, Mohammad. (2009). Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Azyumardi, Azra. (2011). Sejarah, Demokrasi, Integrasi Dan Karakter Bangsa. Seminar nasional FISE UNY Yogyakarta: 10 september 2011 Friere, Paulo. (2008). Pendidikan Sebagai Proses. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Hamalik, O. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara Narwanti, & Somadi. (2012). Panduan Menyusun Silabus Dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Yogyakarta : Familia ••• 255 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Panjaitan, Ade Putra dkk. (2014). KORELASI KEBUDAYAAN & PENDIDIKAN: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia Peraturan Menteri Pendidikan Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 69 Tahun 2013 Tentang “Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah”. Sagala, H. Syaiful. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Triwiyanto, Teguh. (2014). Pengantar pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Wangsa. (2011). Pendidikan Menjamin Pewarisan Kebudayaan Dari Generasi Ke Generasi. Thoha, M. Chabib. (1991). Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta : CV Rajawali Press Warsita, Bambang. (2008). Teknologi Pembelajaran: Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Wiyani, Novan A. (2014). Desain Pembelajaran Pendidikan: Tata Rancang Pembelajaran Menuju Pencapaian Kompetensi. Yogyakarta: ARRUZZMEDIA. Zuhdi, Susanto. (2017). INTEGRASI BANGSA DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN. Jakarta : WEDATAMA SURYA SASTRA ••• 256 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 257 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) TOLERANSI, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, DAN PEMBELAJARAN SEJARAH Yusuf Perdana,Djono, Suryo Ediyono Pascasarjana FKIP Universitas Sebelas Maret yusufperdana116@gmail.com ABSTRAK Paper ini didiskusikan untuk menyoroti masalah sikap toleransi siswa di lingkungan sekolah. Tilaar menyatakan multikultural mengandung konsep yang sama dengan toleransi yaitu pengakuan adanya keberagaman kultur. Capaian pembelajaran sejarah di sekolah umumnya berfokus pada pemahaman kognitif, namun tidak diimbangi dengan pemahaman nilai afektif yang optimal dalam diri siswa. Tujuan paper ini untuk mengetahui adanya rasa toleransi siswa dalam proses pembelajaran sejarah. Metode penelitian ini menggunakan wawancara. Hasil penelitian menggambarkan adanya rasa toleransi antar siswa yang dibangun melalui proses diskusi dalam pembelajaran sejarah agar dapat menghargai perbedaaan pendapat dengan cara menerapkan nilai-nilai multikultural. Di sisi lain untuk mencegah sikap diskriminasi dalam ruang pembelajaran harus dibekali pendidikan multikultural secara optimal. Implikasinya siswa harus dibekali pemahaman pendidikan multikultural untuk meningkatkan sikap toleransi dalam pembelajaran sejarah. Kata kunci : toleransi, pendidikan multikultural, pembelajaran sejarah PENDAHULUAN Penerapan pendidikan multikultural di sekolah memiliki posisi yang sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik yang terjadi diantara siswa di lingkungan sekolah. Di era modern ini kecanggihan teknologi berdampak negatif pada perkembangan sosial siswa di sekolah, salah satunya merosotnya tingkat toleransi antar siswa pada saat pembelajaran sejarah karena kurangnya pemahaman pendidikan multikultural pada siswa. H.A.R Tilaar yang dikutip (Choirul Mahfud, 2011: 178). Mengungkapkan dalam program pendidikan multikultural , fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan cultural domain atau mainstream. Sejalan dengan itu, Suryana & Rusdiana mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai ide, gerakan, pembaharuan pendidikan, dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa laki-laki dan perempuan, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah (Suryana & Rusdiana, 2015: 196). Dari definisi diatas ternyata terdapat kesamaan fenomena yang terjadi di sekolah yakni rasa toleransi sangat diperlukan siswa untuk mencapai pengakuan keberagaman antar siswa. Merujuk pendapat Bahari toleransi adalah sikap menerima berbagai pandangan dan pendirian beraneka ragam meskipun tidak ••• 258 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sependapat dengannya (Bahari, 2010 : 51) sedangkan Poerwadarminta menyatakan toleransi berarti menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendirinya sendiri, misalnya agama, ideology, ras (Poerwadarminta, 1976 : 829). Dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah sikap seseorang dimana mampu membiarkan dengan lapang dada, menghargai, menghormati perbedaan pandangan kepercayaan dan kebiasaan yang berbeda-beda pada siswa di lingkungan belajar. Arifudin menyatakan Pendidikan multikultural sementara ini masih diartikan sebagai hal yang sangat beragam pada setiap masyarakat, serta belum ada kesepakatan yang jelas untuk mengartikannya. Setiap orang mengartikan pendidikan multikultural sangatlah beragam. Arifudin dalam Jurnal 2007 ”Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah” menyatakan bahwa ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural : 1) Perubahan paradigma dalam memandang pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan programprogram sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik. Hal ini semata-mata berada di tangan mereka dan justru seharusnya semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah. 2) Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik, yang dimaksud adalah tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient daripada dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk menghilangkan kecenderungan memandang peserta didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka, dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik. 3) Karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru bisa membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang secara etnik adalah antithesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah mengahmbat sosialisasi ke ••• 259 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dalam kebudayaan dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis. 4) Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Adapun kebudayaan mana yang akan diadopsi itu ditentukan oleh situasi yang ada di sekitarnya. Pendidikan multikultural, baik dalam sekolah maupun luar sekolah maupun luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengelam moral manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik. Sedangkan Hilda Hernandez yang dikutip (Choirul Mahfud, 2011: 176). Mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial daan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secar kultur, dan merefleksiakn pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas agama, status sosial, ekonomi dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Dapat disimpulkan bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat dan memiliki peranan yang sangat penting untuk membekali peserta didik untuk saling bertoleransi antar siswa karena satu-satunya cara untuk menekan gesekan dari permasalahan yang timbul dalam konteks kultur serta dapat mempersatukan berbagai perbedaan dari masyarakat yang multikultur untuk hidup berdampingan secara harmonis dan damai dalam suatu tempat atau lokalitas tertentu. Penelitian ini menggunakan metode wawancara, untuk mendapatkan data yang heuristic peneliti mewawancari beberapa guru sejarah di beberapa tempat yang berbeda, serta peneliti mengamati langsung siswa sebagai objek penelitian. HASIL Peran guru sejarah dalam penerapan pendidikan multikultural Sekolah merupakan sebuah lembaga yang berfungsi menanamkan kesadaran bermasyarakat akan kemajemukan terutama di lingkungan belajar siswa. Selain itu sekolah berkewajiban untuk mendidik siswanya agar menjadi warga negara yang baik dan terpelajar pada masyarakat yang majemuk dalam bernegara. Sementara guru juga berkewajiban untuk memberi pendidikan, kedislipinan, pendidikan moral dan agama serta menanamkan jiwa nasionalisme untuk menjadi warga Negara yang baik dengan kesadaran multikulturalisme lewat toleransi anatar sesama. Namun, dalam prakteknya guru dihadapkan pada berbagai masalah dalam memprediksi masyarakat yang akan datang. Fenomena ini tidak lepas dari ••• 260 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) kemajuan ilmu pengetahuan hingga teknologi serta sumber daya masyarakat yang tidak merata. Dari fenomena tersebut memerlukan sekolah sebagai lingkungan belajar hingga guru yang memiliki peran dan kesadaran multikultural, yaitu kesadaran untuk memberikan pelayanan pendidikan ke siswa dengan kebutuhan yang berbeda-beda di setiap siswa. Beberapa peran guru dan sekolah dalam lingkungan belajar untuk memenuhi kebutuhan peserta didik di antara lain : a. Membangun paradigma kebersamaan artinya guru harus bisa membangun sikap demokratis, yakni segala perkataan maupun perbuatan tidak boleh mendiskriminasikan maupun pilih kasih atau berat di salah satu pihak. Selain itu guru harus mempunyai sikap empati yang tinggi pada saat ada peristiwa-peristiwa tertentu. b. Menghargai keragaman bahasa artinya guru harus memiliki sikap menghargai “keragaman bahasa” dan mempraktikan nilai-nilai tersebut di lingkungan belajar sehingga dapat membangun sikap toleransi dengan mengahrgai bahasa yang berbeda karena lingkungan yang multikultural. c. Membangun civitas gender artinnya guru sangat berperan penting dalam membangun peserta didik dalam lesetaraan gender dan menjunjung tinggi hak-hak perempuan, yakni guru harus memberikan contoh yang baik dlam menyetarakan pandangan kepada perempuan di lingungan sekolah. d. Membangun sikap kepedulian sosial artinya guru harus mempunyai wawasan maupun kepekaan sosial baik lingkungan masyarakat di sekitar mapun di lingkungan tertentu. Dalam hal ini berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran serta kasus putus sekolah hingga korupsi dengan memberikan arahan agar tidak terjadi pada siswa. Selain itu dengan menganjurkan sikap toleransi pada siswa akan menurunkan tingkat diskriminasi dalam lingkungan belajar yakni dengan cara bersikap adil ke seluruh siswa tanpa mengistimewakan salah satu dari mereka meskipun latar belakang status sosial mereka berbeda. e. Membangun sikap diskriminasi etnis artinya guru harus memiliki pengalaman serta pengetahuan yang luas untuk memberikan contoh yang baik serta menghindari sikap yang memperlakukan diskriminatif terhadap latar belakang etnis tertentu, namun menyetarakan semua etnis dan ras tertentu dengan hak yang sama serta rasa toleransi yang tinggi. f. Membangun sikap anti diskriminasi terhadap perbedaan kemampuan artinya guru harus memberikan pengarahan maupun pemahaman agar tidak melakukan diskriminatif pada di antara siswa yang mempunyai latar belakang khusus maupun kemampuan yang berbeda. g. Membangun diskriminasi umur artinya diantara baik semua umur maupun tingkatan yang lain jangan memandang berbeda. Selain itu siswa harus memberikan toleransi yang tinggi kepada semua siswa. Persepsi guru sejarah terhadap toleransi siswa pada pembelajaran sejarah Peneliti menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan sumber tentang data adanya toleransi antar siswa. Peneliti mewawancarai guru sejarah di ••• 261 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) beberapa tempat yang berbeda, yakni Pak Robert 24 tahun guru sejarah di Kota Surabaya, Pak Bisrul 24 tahun guru sejarah di Kabupaten Tuban dan Pak Septian 25 tahun guru sejarah di Kabupaten Ponorogo. Pak Robert mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran sejarah terdapat rasa toleransi yang sangat besar, karena dengan menggunakan pendekatan diskusi dalam pembelajaran sejarah misalnya pada tema-tema kronologis BPUPKI, maka siswa akan tahu betapa pentingnya toleransi dalam perbedaan sebagai bentuk persatuan dan kesatuan untuk masa depan bangsa Indonesia menuju cita-cita yang luhur, yakni adil dan makmur. Pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah untuk meningkatkan rasa toleransi antar siswa sangat penting, mengingat pelajaran sejarah berisi pengalaman jati diri bangsa yang beraneka ragam atau multikultur yakni berbhineka tunggal ika, meskpun berbeda-beda namun tetap satu jua. Pak bisrul beranggapan bahwa dari pembelajaran sejarah banyak mengenai pluralism karena melihat sejarah budaya bangsa. Bangsa dan Negara ini ada berdasarkan sejarah rasa senasip sepenanggungan, bukan karena persamaan suku, budaya dan bahas. Akhirnya timbul toleransi dan sikap saling menghargai terhadap teman. Pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah untuk meningkatkan toleransi sangatlah efektif, karena sejarah merupakan kunci identitas bangsa yang beraneka ragam seperti Indonesia. Sejalan dengan pernyataan kedua guru tersebut Pak Septian mengungkapkan bahwa rasa toleransi yang timbul karena pembelajaran sejarah di setiap siswa pasti ada, ada beberapa macam toleransi yang terjadi. Yang mencolok diantaranya adalah yang merespon pembelajaran sejarah dengan begitu siswa akan mempunyai rasa toleransi yang tinggi karena mengingat materi sejarah erat dengan perjuangan bangsa. Disamping itu ada yang cuek yakni siswa yang kurang aktif maupun merespon pembelajaran sejarah. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada nilai gotong-royong dan musyawarah untuk membangun nilai keberagaman dalam pengembangan sikap sosial siswa. Hal senada dipertegas UU Sisdiknas (2003: Pasal 3) menjelaskan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab membutuhkan pengembangan dan peningkatan dalam sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan dengan tujuan akhir yaitu memanusiakan manusia. Makna Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setia warga sebagai satu kesatuan (Gurniwan Kamil Pasha, sosiologi.upi.edu). asal usul kata gotong royong sendiri berasal dari bahasa jawa yang berarti Gotong adalah memikul beban, sedangkan royong adalah bersama. Jadi kesimpulannya gotong royong adalah memikul beban secara bersama-sama. SIMPULAN ••• 262 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Sekolah merupakan tempat yang paling tepat untuk mendapatkan pendidikan yang paling optimal dan efektif. Dengan banyaknya kasus disintegrasi bangsa pada akhir-akhir ini, diharapkan dari sebuah pembelajaran sejarah dapat meminimalisir bahkan meniadakan kasus-kasus semacam itu yakni kasus yang mengancam kebhinekaan tunggal ika. Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan di sekolah-sekolah, mengingat keadaan bangsa Indonesia yang beragam kultur, budaya, bahasa, agama, ras dan sebagainya. Dalam lingkungan belajar terutama sekolah, guru merupakan objek penting dalam tercapainya tujuan pembelajaran sejarah. Dalam hal ini guru sejarah haruslah paham secara optimal akan toleransi yang terjadi dalam pembelajaran sejarah. Karena salah satu indikator pendidikan multikultural adalah rasa toleransi yang terjadi diantara siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru sejarah melihat adanya rasa toleransi yang terjadi diantara siswa. Guru sejarah sadar akan pentingnya pendidikan multikultural pada saat ini mengingat latar belakang Indonesia sendiri yang bermultikultur yakni bermacam-macam agama, ras, suku, budaya dan sebagainya. Diharapkan dari pendidikan multikultural yang optimal maka rasa toleransi yang terjadi di antara siswa akan semakin meningkat. Dengan begitu maka kasus-kasus disintegrasi maupun konflik-konflik yang disebabkan oleh primordialisme akan terus menurun dan dapat diminimalisir. DAFTAR PUSTAKA Buku [1] Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. [2] Naim,N. dan Sauqi, A. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media Grup.2010 [3] Saidah. U.H, Pengantar Pendidikan Telaah pendidikan secara global dan nasional. Depok : PT. Raja Grafindo Persada. 2016 [4] Suryana, Yaya & Rusdiana H.A. Pendidikan Multikultural suatu upaya penguatan jati diri bangsa Konsep – Prinsip – Implementasi. Bandung : CV. Pustaka Setia. 2015 [5] Tilaar, H. A. R. Multikulturalisme (Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi Pendidikan Nasional). Jakarta: PT. Widiasarana Indonesia. 2004 [6] Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural : Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. 2005 Jurnal [1] Arifudin, Iis. (2007). Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah. Purwokerto: P3M STAIN. JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIFPENDIDIKAN INSANIA│Vol. 12│No. 2│P3M STAIN Purwokerto │ Iis Arifudin 1 Mei-Ags 2007│220-223 Wawancara ••• 263 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) [1] Wawancaradengan Pak Septian (25) pada05November2017. [2] Wawancara dengan PakRobert (24) pada 06November 2017. [3] Wawancaradengan Pak Bisrul (24) pada07November 2017. ••• 264 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PEMBELAJARAN SEJARAH DALAM KAJIAN PEDAGOGI KRITIS Piki Setri Pernantah Magister Pendidikan Sejarah UNS, Surakarta pikisetripernantah@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini bersifat kajian konseptual dengan metode literacy study. Bertujuan untuk mendiskusikan mengenai pembelajaran sejarah dari perspektif baru. Pembelajaran sejarah hendaklah berorientasi untuk memberikan pengetahuan sejarah dan mem-perkenal nilai-nilai luhur bangsa. Sebab, kedua hal itu tidak akan memiliki arti bagi kehidupan peserta didik apabila peserta didik tidak memahami maknanya. Upaya mewujudkan pembelajaran sejarah yang bermakna, tidak terlepas dari tindakan peserta didik untuk berpikir reflektif. Suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pedagogi kritis adalah pemikiran reflektif. Menerapkan pedagogi kritis dalam pembelajaran sejarah artinya menekankan teori kritis sebagai alat analisis untuk membaca berbagai fenomena sejarah dalam pembelajaran. Diharapkan peserta didik mampu untuk saling berinteraksi dan mengkaji berbagai fenomena sejarah agar mampu merefleksi diri dan berpikir kritis terhadap berbagai fenomena tersebut. Mengkaji pembelajaran sejarah dalam konsep pedagogi kritis merupakan suatu pendekatan yang berupaya membantu peserta didik dalam proses pembelajaran sejarah yang mempertanyakan dan mengkritisi setiap materi yang ada dalam pembelajaran sejarah sehingga melahirkan suatu pemikiran reflektif yang membuat peserta didik mampu belajar dan memaknai setiap fenomena dan materi pembelajaran sejarah di sekolah. Kata kunci: pembelajaran sejarah, pedagogi kritis PENDAHULUAN Pembelajaran sejarah pada hakekatnya merupakan mata pelajaran yang termasuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang bersumber dari kehidupan sosial masyarakat dan diseleksi dengan menggunakan bantuan teori-teori atau konsep-konsep dari ilmu sosial lainnya. Sayono (2006: 9) menjelaskan bahwa mata pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas mengandung dua misi yaitu: Pertama, untuk pendidikan intelektual. Kedua, untuk pendidikan nilai, pendidikan kemanusian, pendidikan pembinaan moralitas, jati diri, nasionalisme, dan identitas bangsa. Senada yang diungkapkan Agung & Wahyuni (2013: 55), mata pelajaran sejarah adalah mata pelajaran yang memanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini. Pembelajaran sejarah di sekolah menengah di Indonesia pada dasarnya bersandar pada prinsip “filosofis-ideologis”, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk membangun semangat kebangsaan, memupuk jiwa nasionalisme dan keberagaman serta rasa bangga para peserta didik terhadap hasil karya nenek moyang di masa lalu, sehingga pembelajaran sejarah diharapkan mampu menjadi wahana pendidikan, yang memungkinkan para peserta didik memainkan peran yang bertanggung jawab dalam masyarakat. Dengan peranan penting yang demikian, maka pembelajaran sejarah saat ini mulai memiliki posisi ••• 265 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) penting dan menjadi pusat perhatian bangsa. Hal itu dibuktikan dengan mata pelajaran sejarah menjadi salah satu mata pelajaran wajib di sekolah menengah. (Pernantah, 2016: 4) Pembelajaran sejarah juga berperan penting dalam menyiapkan warga negara muda untuk menghadapi tantangan dan perubahan zaman yang sesuai dengan jiwa zamannya masing-masing. Pembelajaran sejarah perlu dikonstruksi secara humanis, dialogis, kritis, dan mengedepankan sikap yang baik untuk membangun kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam kehidupan masyarakat Indonesia demokratis. Namun, pada kenyataannya yang terjadi di sekolah hari ini masih banyak dilihat guru dalam mengajarkan materi sejarah yang jauh dari realitas kehidupan peserta didik dan memberikan stimulus agar peserta didik dapat berpikir lebih kritis. Para peserta didik masih dihadapkan pada serangkaian fakta-fakta sejarah dan bersifat hapalan. Sehingga hal tersebut menimbulkan perspektif lain terhadap pembelajaran sejarah sebagai pembelajaran yang terkesan kaku dan monoton serta dianggap membosankan. Materi masih terkesan untuk mengejar peningkatan di ranah kognitif saja sedangkan di ranah afektif dan psikomotor belum terlalu mendapat perhatian lebih oleh para guru. Seharusnya pembelajaran sejarah mampu berkontribusi dalam memberikan sumbangsih untuk pembentukan kharakter peserta didik dan kemampuan berpikir kritisnnya, ternyata hal itu belum mampu terwujud secara signifikan. Pembelajaran sejarah masih terasa kering dan seolah-olah sumber sejarah bukanlah kenyataan yang bisa dirasakan atau diamati dari lingkungan sekitar. Hal ini terjadi dikarenakan materi yang diajarkan terlalu tertumpu pada uraian buku teks. Berbagai fenomena di atas menunjukkan bahwa saat ini permasalahan pembelajaran sejarah begitu cukup kompleks. Hal ini didasarkan oleh kasus-kasus yang terjadi di lapangan yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah. Guna menghadapi tantangan tersebut, maka menempatkan pembelajaran sebagai topik penting untuk dilakukan inovasi dalam pembelajaran dengan pendekatan baru, dan mendesak para guru sejarah untuk terus belajar dan memperbaruhi pembelajaran sejarah ke arah yang lebih baik. Hal ini tidak lain adalah untuk menghadapi tantangan tersebut menuju pembelajaran sejarah yang sesuai dengan tujuan kompetensi dalam kurikulum 2013. Kurikulum pembelajaran sejarah juga diharapkan dapat membantu peserta didik membangun landasan untuk memahami kenyataan masyarakat dengan belajar dari setiap peristiwa masa lalu. Kecintaan terhadap bangsa bukanlah merupakan doktrin ideologi yang bersifat pasif dan dogmatis, tetapi bersifat dinamis. Artinya, senantiasa menghadapi perubahan yang sedang akan terjadi. Hal ini perlu ditanamkan dengan harapan ketahanan diri sebagai warga negara dapat terpelihara terutama ketika menghadapi gelombang perubahan yang menembus berbagai sendi kehidupan peserta didik jangan sampai tercerabut rasa kebangsaannya. Maka dari itu, peran pembelajaran sejarah sangat berkontribusi dalam meningkatkan rasa cinta atas bangsanya sendiri. ••• 266 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pada konteks inilah, penting kiranya menelaah diskursus pendidikan kritis melalui critical pedagogy dan rasionalitas dalam kajian pembelajaran sejarah di sekolah untuk mewujudkan peserta didik yang kritis dan berpikir reflektif sehingga dapat merespon perkembangan dan tuntutan zaman untuk menjadikan diri sebagai warga negara yang baik. Hal yang tak kalah penting adalah bagaimana peran guru dalam mewujudkan kebijakan pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik, kreatif, dan bermakna. Ulasan di atas sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam dalam pembelajaran sejarah sehingga dapat diperoleh hasil kajian yang komprehensif tentang diskursus pendidikan kritis (critical pedagogy) dalam kajian pembelajaran sejarah untuk dapat mewujudkan peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan reflektif. Oleh karena itu, pada pembahasan artikel ini akan memfokuskan kajian pada pembelajaran sejarah dalam kajian pedagogi kritis. Dimana pedagodi kritis berupaya untuk membantu peserta didik dalam proses pembelajaran sejarah yang mempertanyakan dan mengkritisi setiap materi yang ada dalam pendidikan sejarah sehingga akan melahirkan suatu pemikiran reflektif (reflektive thinking) yang membuat peserta didik mampu belajar dan memaknai setiap peristiwa sejarah dan materi yang ada dalam pendidikan sejarah. METODE PENELITIAN Artikel ini bersifat kajian konseptual dengan metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan atau literacy study. Bertujuan untuk mendiskusikan mengenai pembelajaran sejarah dari perspektif baru. Data bersumber dari berbagai jurnal, buku, makalah, dan artikel ilmiah lainnya yang dikumpulkan melalui teknik dokumentasi, identifikasi konsep dan wacana dari berbagai buku, jurnal, makalah, artikel online, majalah, surat kabar, dan sumber bacaan lain yang relevan dan berhubungan dengan diskursus pedagogi kritisdalam kajian pembelajaran sejarah. Sementara, teknik analisis data yang digunakan dalam artikel ini mengacu pada teknik analisis isi dengan mengorganisasikan dan mengkategorikan data untuk menemukan hasil penelitian yang akan menjadi kesimpulan dalam tulisan ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Sadulloh (2011: 1) pedagogik merupakan ilmu yang membahas pendidikan, yaitu ilmu yang berfokus pada pendidikan anak. Jadi, pedagogik mencoba menjelaskan tentang seluk-beluk pendidikan anak dan merupakan teori pendidikan anak. Daryanto dan Tantrial (2012: 1) menambahkan pendapat dari Uyoh, bahwa pada pedagogi, pengajar merupakan tokoh utama yang berperan penting dalam pembelajaran. Sebab seorang pengajar dalam proses pembelajaran tersebut akan mengatur segala proses mengajar, mulai dari perencanaan, pemilihan materi dan penentuan metode pembelajaran. Dengan proses belajar pedagogi, peserta didik akan tergantung kepada guru sebagai pengajar dan ••• 267 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) komunikasi dalam proses pembelajaran akan bersifat satu arah atau direktif serta pengalaman pengajar merupakan satu-satunya sumber bagi anak didik. Istilah ‘Pedagogi’ secara literatur juga dapat dipahami sebagai sebuah seni atau pengetahuan untuk mengajar anak-anak (the art or science of teaching children). Kata ‘pedagogik’ berasal dari bahasa Yunani ‘Paidagogos’ yang terdiri dari kata “paidos” (child) dan “agogos” (lead). Maksudnya adalah, memimpin anak dalam belajara. Dari berbagai referensi dapat dijelaskan bahwa secara historis dalam sejarah Yunani Kuno, fenomena ini dialami leh para budak yang mengawasi dan memberikan instruksi anak majikannya. Budak ini mendampingi dan mengajarkan anak majikanya hingga setiap hari mengantarkan ke sekolah. Budak ini juga membawa peralatan anak majikannya itu seperti alat musik dan alat pelajaran lainnya. Istilah ‘pedagogi’ juga dalam bahasa latin berasal dari kata: anak-instruksi, sedang digunakan modern dalam bahasa Inggris untuk merujuk pada konteks seluruh pengajaran, pembelajaran, dan operasi yang sebenarnya yang terlibat di dalamnya, meskipun kedua kata memiliki kira-kira makna aslinya yang sama. Dalam bahasa Inggris, istilah pedagogi digunakan untuk merujuk kepada teori insruktif; guru peserta pelatihan mempelajari subjek mereka dan juga pedagogi yang sesuai untuk mengajar subjek (Hidayat 2013: 01). Selain konsep pedagogi juga terdapat konsep andragogi. Konsep andragogi lebih membahasa orang dewasa belajara dan mengajar. Ia disebut andragogi sebagai seni dan ilmu mengajar orang dewasa. Oleh karena itu, istilah pedagogi kemudian dipahami secara lebih luas sebagai seni pengajaran secara umum. Dalam perkembanganya pedagogi sering dimaknai sebagai pendidikan/ilmu mendidik (ilmu mendidik anak yang belum dewasa), sedangkan mendidik/ilmu mendidik orang dewasa disebut andragogi. Meskipun demikian penggunaan istilah pedagogi sering dimaksudkan sebagai pendidikan dalam arti umum/luas tanpa membedakan tingkatan usia kematangan seseorang. Hidayat (2013: 02) menambahkan bahwa beberapa kalangan membedakan istilah ‘pedagogi’ dalam ‘andragogi’. Istilah andragogi ini awalnya dugunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, di tahun 1833. Istilah ini dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa (adult education). Andragogi mempelajari sifat fisik, psikis dan karakter orang dewasa. Gagasan pedagogi kritis sangat dipengaruhi oleh pemikir sekaligus praktisi pendidikan dari Brazil yaitu Paulo Freire (1921-1997). Pedagogi kritis sangat prihatin dengan konfigurasi relasi antara guru dan murid dengan menggunakan dialog yang bermakna. Konsep pedagogi kritis dilahirkan dari refleksi dan pengalaman hidup Paulo Freire. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di recife, Brazil. Namun, ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa depresi besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas. Pengalaman ini akan membentuk keprihatinanya terhadap kaum miskin dan akan membantu untuk membangun pemahaman pendidikan berdasarkan pengalamanya. Freire menyatakan bahwa kemiskinan dan kelaparan sangat mempengaruhi keputusan untuk belajar. (Hidayat, 2013: 03). Paulo Freire ••• 268 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) menerbitkan buku yang berjudul pedagogy of the oppressed, yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku Freire tersebut mengukuhkan gagasan agresifnya tentang pedagogi kritis. Gagasan Freire itu kemudian mengispirasi berbagai kalangan untuk melakukan perubahan sosial pada ranah pendidikan menuju pendidikan yang lebih humanis dan demokratis. Pedagogi kritis didefinisikan sebagai teori pendidikan dan praktik pembelajaran yang di desain untuk membangun kesadaran kritis mengenai kondisi sosial yang menindas. Pedagogi kritis merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya membantu murid mempertanyakan dan menentang dominasi serta keyakinan dan praktik-praktik yang mendominasi. Pedagogi kritis pada dasarnya juga dapat dipahami dalam dua makna. Pertama, pedagogi kritis sebagai paradigma berpikir. Dalam hal ini pedagogi kritis dibangun atas dasar critical thinking untuk selalu mempertanyakan dan mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik dalam tatanan filosofis, teori, sistem kebijakan maupun implementasi. Kedua, pedagogi kritis sebagai gerakan sosial. Tujuan akhir pedagogi kritis adalah melahirkan praksis pendidikan yang egaliter, humanis, demokratis berbasis critical thinking dikalangan peserta didiknya. (Hidayat 2013: 08). Pedagogi kritis sesungguhnya merupakan konsep yang tidak sulit. Namun ketika konsep ini diterapkan di bidang pendidikan sejarah akan menjadi kompleks. Di dalam teori pendidikan, menurut MacDonald (2002: 168) pedagogi secara tipikal merujuk pada ”seni” atau ”ilmu” mengajar. Dalam konteks pedagogi kritis pedagogi tidak semata berhenti pada hal-hal teknis pengajaran seperti perencanaan instruksional, pembelajaran dan kurikulum, tetapi lebih ke arah pengertian bahwa pedagogi di konstruksi secara sosial dan merupakan proses dan praktek budaya tertentu. Pedagogi Kritis dipahami sebagai teori dan praktek pendidikan yang di desain untuk membangun critical awareness peserta didik.Pedagogi kritis berpandangan bahwa pendidikan harus dikembalikan pada hakikatnya, mengembangkan potensi kemanusian peserta didik. Sehingga pendidikan tidak dapat diselenggarakan hanya untuk memenuhi kepala peserta didik dengan pengetahuan tanpa makna. Suatu hal yang juga tidak bisa dipisahkan dari pedagogi kritis adalah pemikiran reflektif (reflektive thinking). Menerapkan pedagogi kritis dalam pembelajaran sejarah artinya menekankan teori kritis sebagai alat analisis untuk membaca setiap peristiwa sejarah dalam pembelajaran. Hal ini tentu sangat berkaitan erat dengan kajian pembelajaran sejarah untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna. Diharapkan para peserta didik untuk mampu saling berinteraksi dan aktif untuk mengkaji setiap peristiwa sejarah agar mampu merefleksi diri dan berpikir kritis terhadap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi untuk dipetik setiap hikmah dan pelajaran di dalamnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sayono (2006: 9) menjelaskan bahwa mata pelajaran sejarah di SMA mengandung dua misi yaitu: Pertama, untuk pendidikan intelektual. Kedua, untuk pendidikan nilai, pendidikan kemanusian, pendidikan pembinaan moralitas, jati diri, nasionalisme, dan identitas bangsa. ••• 269 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Senada yang diungkapkan Agung & Wahyuni (2013: 55) Mata pelajaran sejarah adalah mata pelajaran yang memanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini. Susanto (2014: 57) juga mengungkapkan bahwa pembelajaran sejarah hendaklah berorientasi pada pendekatan nilai. Menyampaikan fakta memang sangat penting dalam pembelajaran sejarah, tetapi yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengupas fakta-fakta tersebut dan mengambil intisari nilai atau hikmah yang terdapat di dalamnya sehingga peserta didik lebih mawas diri dalam setiap aktivas kehidupan sehari-hari. Permendiknas No. 22 Tahun 2006, menjelaskan bahwa mata pelajaran sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; a) membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan, b) melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan, c) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau, d) Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang, e) Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. Selain itu, pembelajaran sejarah juga berfungsi untuk menyadarkan peserta didik akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menentukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini, masa depan di tengah-tengah perubahan dunia. (Agung & Wahyuni, 2013: 56) Peserta didik membutuhkan nilai-nilai dan strategi untuk menafsirkan setiap peristiwa sejarah yang pernah terjadi sehingga dapat dikaitkan dengan fenomena di sekitarnya. Maka akan berkembang pula pemikiran kritis dan sikap sosial dari peserta didik tersebut. Peserta didik juga dapat belajar menggunakan keterampilan dan alat-alat studi sosial dalam pembelajaran sejarah, misalnya mencari bukti dengan berpikir ilmiah, keterampilan mempelajari masyarakat, dan sebagainya. Berdasarkan tujuan dan hakekat pembelajaran sejarah di atas, maka pembelajaran sejarah dapat dikembangkan dengan menggunakan kajian atau pendekatan pedagogi kritis. Pembelajaran sejarah dalam kajian pedagogi kritis merupakan suatu pendekatan yang berupaya membantu peserta didik dalam proses pembelajaran sejarah yang mempertanyakan dan mengkritisi setiap materi dan peristiwa sejarah yang ada sehingga akan melahirkan suatu pemikiran reflektif (reflektive thinking) yang membuat peserta didik mampu belajar dan memaknai setiap peristiwa sejarah dan materi yang ada dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Hal tersebut juga sangat relevan dengan pendekatan saintifik yang digunakan dalam kurikulum 2013 untuk pembelajaran sejarah. Dalam kajian pedagogi kritis, bagaimana proses pembelajaran sejarah mampu berupaya ••• 270 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) membimbing peserta didik untuk dapat menjalani dan memahami kehidupan. Dalam kerangka ini, tujuan yang harus dicapai para anak didik adalah kemampuan untuk dapat menghidupi diri sendiri, kemampuan untuk dapat hidup secara bermakna, dan kemampuan untuk dapat turut memuliakan kehidupan dan orang lain. Hal ini sangat relevan dengan tujuan pembelajaran sejarah yang berupaya membentuk peserta didik agar menjadi warga negara maupun warga dunia yang baik. KESIMPULAN Konsep dasar pembelajaran sejarah pada hakekatnya merupakan mata pelajaran yang termasuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang bersumber dari kehidupan sosial masyarakat dan diseleksi dengan menggunakan bantuan teoriteori atau konsep-konsep dari ilmu sosial lainnya. Setiap guru sejarah mestinya paham hakikat keterpaduan dalam mata pelajaran sejarah dengan kajian ilmu sosial. Pembelajaran sejarah juga berupaya untuk menyadarkan peserta didik akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menentukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini, masa depan di tengah-tengah perubahan dunia. Dalam pembelajaran sejarah tidak hanya mengajarkan pendidikan kognitif tetapi juga adanya pendidikan nilai yang berasal dari hasil refleksi yang dilakukan atas setiap peristiwa sejarah yang dipelajari. Namun, ternyata masih banyak guru ejarah yang kurang memahami pembelajaran sejarah sebagai mata pelajaran yang penting dalam pembentukan critical thinking dan character building. Masih belum banyak juga yang melakukan pembelajaran sejarah secara bermakna agar peserta didik lebih memahami nilai dan peristiwa sejarah, terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Bahwasanya dapat dikembangkan dengan menggunakan kajian atau pendekatan pedagogi kritis. Pembelajaran sejarah dalam kajian pedagogi kritis merupakan suatu pendekatan yang berupaya membantu peserta didik dalam proses pembelajaran sejarah yang mempertanyakan dan mengkritisi setiap materi dan peristiwa sejarah yang ada sehingga akan melahirkan suatu pemikiran reflektif (reflektive thinking) yang membuat peserta didik mampu belajar dan memaknai setiap peristiwa sejarah dan materi yang ada dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Kajian pedagodi kritis sangat relevan dengan pembelajaran sejarah yang juga berupaya membentuk peserta didik agar menjadi pribadi yang lebih kritis dan berusaha menjadi warga negara yang baik (good citizenship). Terlepas dari dimensi politik ideologi dan teori yang rumit, implementasi pembelajaran sejarah di kelas dapat mengambil manfaat dari kajian pedagogi kritis ini untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan/ pembelajaran dalam membantu peserta didik memiliki kharakter yang baik serta kapabilitas produktif yang tinggi dengan basis nilai yang dapat menjadikan manusia manusiawi. ••• 271 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) DAFTAR PUSTAKA Agung, Leo. & Wahyuni, Sri. 2013. Perencanaan Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Daryanto dan Tatrial. 2012. Konsep Pembelajaran Kreatif. Yoyakarta: Penerbit Gava Media. Hidayat, Rahmat. 2013. Pedagogi Kritis:Sejarah, perkembangan dan pemikiran. Depok: PT Rajagrafindo Persada. MacDonald, Doune. 2002. Critical Pedagogy: What It Might Look Like and Why does It Matter?. Dalam Laker, Anthony (ed). The Sociology of Sport and Physical Education: An Introductory Reader. London: Routledge Falmer. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pernantah, Piki Setri. 2016. “Internalisasi Nilai-Nilai Multikultural dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah.” Prosiding Seminar Nasional Program Studi Sejarah Se-Indonesia.Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Sadulloh, Uyoh, dkk. 2011. Pedagogik. Bandung: Alfabeta. Sayono. “Pembelajaran Sejarah di Sekolah: Dari Pragmatis Ke Idealis.”Jurnal SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 1, Juni 2013, UM Malang. (2013) Susanto, H. 2014. Seputar Pembelajaran Sejarah: Isu, Gagasan, dan Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. ••• 272 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) REORIENTASI AKSIOLOGI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH MELALUI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) Lila Pangestu Hadiningrum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta Email: lilahadiningrum@gmail.com ABSTRAK Kajian ini berangkat dari fenomena pembelajaran sejarah dengan persepsi siswa yang kurang baik, rendahnya minat dan motivasi belajar sejarah. Pembelajaran sejarah merupakan wahana pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa untuk membangun kebanggaan bangsa. Reoroentasi aksiologi dalam pembelajaran sejarah akan mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada generasi muda khususnya penanaman nilai-nilai. Pembelajaran sejarah diharapkan mampu mengikuti tuntutan zaman globalisasi yang sarat dengan modernisasi untuk menghadirkan insan penerus bangsa yang “melek sejarah” melalui pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang akan menghadirkan kebermaknaan pembelajaran. Kajian ini menggunakan penelitan kepustakaan (library research). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis dan pedagogis. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah metode dokumentasi dengan mencari atau menggali data dari literatur yang terkait dengan reorientasi aksiologi pembelajaran sejarah dengan Contextual Teaching and Learning (CTL). Dengan reorientasi aksiologi pembelajaran sejarah melalui Contextual Teaching and Learning (CTL) akan meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah yang meliputi berpikir kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian sejarah, serta peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan. Kata Kunci: reorientasi, aksiologi, CTL PENDAHULUAN Pembentukan insan yang berkualitas melalui pendidikan menekankan pada pembentukan sumber daya pembangunan yang memiliki etos kerja, produktivitas, memiliki profesionalisme serta mampu menguasai maupun memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan akan merangsang kreativitas seseorang agar sanggup menghadapi tantangan- tantangan alam, masyarakat, teknologi serta kehidupan yang semakin kompleks. Tantangan global dan modernisasi yang rentan dengan degradasi moral membutuhkan peran dari pembelajaran sejarah dalam pembentukan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan kegunaan. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa ilmu itu dipergunakan. Namun saat ini peran pendidikan sejarah patut dipertanyakan, sikap nasionalisme yang dimiliki bangsa menunjukkan kerapuhan. Konflik antar suku dan agama karena perbedaan nilai, dan upaya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bukti bahwa kesatuan ••• 273 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) nasional masih rapuh (Ibnu Hizam: 2007:288).Pemerintah sebagai pemegang otoritas pendidikan berpendapat tentang tujuan dari mata pelajaran sejarah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini, bahwa mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan (2) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan (3) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau (4) Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang (5) Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. Hal di atas sejalan dengan reorientasi aksiologi (membuka kembali wawasan nilai guna) pembelajaran sejarah. Reorientasi aksiologi merupakan upaya agar pembelajaran sejarah mampu menjadi “ transmission of culture”, meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan analitis yang diarahkan pada kajian yang mengangkut kehidupan masa kini dengan problema masa kini. Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, kata axios(nilai, value: Inggris) dan logos berarti teori atau ilmu (Suwardi, 2015: 136). Jadi, aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai (Suwardi, 2015:139). Secara istilah historis, aksiologi adalah etika (ethics) atau moral (morals). Akan tetapi saat ini istilah aksios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi aksiologi bisa disebut the theory of value (Hamdani, 2011:24) Di Indonesia, aksiologi belum mendapatkan tempat yang sejajar dengan bidang lainnya. Kadangkala masalah nilai dianggap urusan agama sehingga cukup dibicarakan oleh agama. Dalam kenyataannya agamapun belum mampu menjadi penyeimbang terhadap dampak ilmu terapan bagi masyarakat dan peradapan. Dari hal di atas aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Aksiologi pembelajaran sejarah terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai dari pembelajaran sejarah. ••• 274 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Konteks aksiologi ini sejalan dengan CTL yang terdiri dari delapan komponen yaitu : hubungan yang bermakna, pekerjaan yang sesuai, belajar mandiri, kolaborasi, berfikir kritis dan kreatif, pencapaian standar tinggi, dan menggunakan penilaian otentik. Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan bahan ajar mata pelajarannya dengan situasi nyata dan yang memotivasi siswa untuk dapat menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari siswa sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat (US. Departement of Education, dalam Suyanto, 2005:3). Peserta didik merupakan fokus utama kegiatan pembelajaran. Sebagai fokus utama, peserta didik harus terlibat aktif dalam keseluruhan proses atau kegiatan pembelajaran agar mereka langsung dapat memperoleh pengalaman sekaligus sebagai penerima manfaat dari proses dan hasil pembelajaran tersebut. Terjadinya proses belajar pada diri peserta didik merupakan pertanda keberhasilan pembelajaran. Hasil jangka panjang yang terpenting dari sebuah pembelajaran adalah diperolehnya peningkatan kemampuan belajar secara lebih mudah dan lebih efektif di masa depan sebagai akibat telah dikuasainya dengan baik pengetahuan dan ketrampilan dari proses pembelajaran yang telah diikutinya tersebut. Guru yang berhasil adalah guru yang mampu membawa peserta didik untuk mendidik diri mereka sendiri, mampu memberdayakan peserta didik secara efektif, mampu memdorong peserta didik menggunakan sumber-sumber belajar secara efektif, sehingga mereka mampu menggunakan seluruh hasil belajar tersebut secara produktif (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 6-7). Untuk dapat mewujudkan hal tersebut maka guru harus mendesain strategi pembelajaran aktif sehingga pembelajaran berlangsung secara efektif. Suyanto (2005:4) menyatakan bahwa strategi pendekatan kontektual meliputi : 1) Menekankan pentingnya pemecahan masalah 2) Mengakui perlunya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dalam berbagai konteks seperti rumah, masyarakat, dan tempat kerja 3) Mengajar siswa memantau dan mengarahkan pembelajaran mereka agar menjadi siswa yang dapat belajar mandiri 4) Menekankan pelajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda 5) Mendorong siswa belajar dari sesama teman dan belajar bersama 6) Menggunakan penilaian otentik Center for Occupational Research di Amerika menyingkat kelima konsep Contextual Teaching and Learning dalam akronim REACT yang jabarannya adalah sebagai berikut: Relating : belajar dalam konteks kehidupan nyata Experiencing : belajar dalam konteks eksplorasi, penemuan dan penciptaan Applying : belajar dengan memadahkanpengetahuan dan kegunaannya Cooperating : belajar dalam konteks interaksi kelompok Transfering : belajar dengan menggunakan pengetahuan dalam konteks ••• 275 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) baru Dalam pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan belajar kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual, dan keberhasilan secara keseluruhan. Nurhadi (2002:4) mengemukakan pentingnya lingkungan belajar dalam pembelajaran kontekstual sebagai berikut: 1) Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari “guru acting di depan kelas, siswa menonton” ke “siswa aktif bekerja dan berkarya, guru mengarahkan”. 2) Pembelajaran harus berpusat pada “ bagaimana cara’ siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. 3) Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. 4) Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. Dari uraian di atas strategi kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Berdasarkan pengamatan, sejauh ini pembelajaran sejarah masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai seperangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama stategi belajar. Untuk itu diperlukan sebuah strategi belajar “baru” yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL dipromosikan menjadi alternative strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ bukan ‘menghafal’ dan mengkontruksi aksiologi peristiwa masa lampau (aspek diakronis) untuk memecahkan permasalahan sosial budaya kekinian di mana para siswa menjadi pelaku sejarah, dengan menggunakan analisa sinkronis. Permasalahannya, bagaimana reorientasi aksiologi dalam konteks kekinian dan kebermaknaan pembelajaran sejarah di tengah arus degradasi moral era globalisasi? Variabel yang penting dalam permasalahan ini adalah kesiapan dan kemampuan guru dalam memasukkan nilai-nilai (aksiologi) dalam strategi pembelajaran sejarah. Oleh karena itu berikut ini disajikan reorientasi aksiologi pembelajaran sejarah melalui strategi pembelajaran CTL. ANALISIS PEMECAHAN MASALAH Kajian ini menggunakan kajian kepustakaan (library research), yaitu serangkaian yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang obyek penelitiannya digali melalui beragam informasi ••• 276 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) kepustakaan (buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah, dan dokumen)(Nana Syaodih, 2009:52). Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan filosofis dan pedagogis. Pendekatan filosofis merupakan pendekatan yang dilakukan untuk melakukan penalaran dan penyusunan suatu data secara sistematis berdasarkan sudut pandang tertentu (dalam hal ini sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang aksiologi dalam pembelajaran Sejarah. Sedangkan pendekatan pedagogis merupakan pendekatan untuk menjelaskan data secara lebih rinci dengan menggunakan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran sejarah. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan dari pengamatan langsung. Akan tetapi data tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sumber data sekunder yang dimaksud berupa buku dan laporan ilmiah primer atau asli yang terdapat di dalam artikel atau jurnal (tercetak dan/atau non-cetak) berkenaan dengan reorientasi aksiologi dalam pembelajaran sejarah melalui CTL. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan mencari atau menggali data dari literatur yang terkait dengan apa yang dimaksudkan dalam rumusan masalah. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis data yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan mengkajinya sebagai temuan bagi orang lain. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis anotasi. Anotasi berarti suatu kesimpulan sederhana dari suatu artikel, buku, jurnal, atau beberapa sumber tulisan yang lain. Terdapat empat prosedur yang digunakan dalam kajian ini yakni: (1) Organize, yakni mengorganisasi literatur yang akan ditinjau/di-review; (2) Synthesize, yakni menyatukan hasil organisasi literatur menjadi suatu ringkasan agar menjadi satu kesatuan yang padu, dengan mencari keterkaitan antar literatur; (3) Identify, yakni mengidentifikasi isu-isu kontroversi dalam literatur dan (4) Formulate, yakni merumuskan pertanyaan yang membutuhkan penelitian lebih lanjut (Dena Taylor.TheLiterature Review: A Few Tips Conducting It (http://www.writing.utoronto.ca/advice/specific-types-ofwriting/literature review diakses tanggal 20 Juni 2017). HASIL a. Reorientasi Aksiologi dalam Pembelajaran Sejarah Aksiologi diatikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun Suriasumantri, 2013: 234). Menurut Bramel dalam Suwardi (2015: 138) aksiologi terbagi menjadi tiga bagian yaitu : (1) moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika dan (2) Estetic expression (ekspresi keindahan, (3) Sosio political life yaitu kehidupan sosial politik. ••• 277 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Nilai adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar baik merupakan sifatsifat maupun sikap, perilaku perbuatan seseorang atau kelompok yang dalam perjalannya perlu diimbangi dengan etika. Etika sebagi bangunan nilai melahirkan pemikiran kritis dan mendasar agar manusia mengetahui dan mampu bertanggung jawab atas yang dia lakukan. Nilai pengalaman sejarah dimunculkan untuk membangkitkan dinamika sosial di masa lalu. b. Strategi Pembelajaran Kontekstual Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat erat kaitannya. Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dalam diri peserta didik (internal) dan dari luar dirinya atau dari lingkungan sekitarnya (eksternal). Johnson (2002: 45-46) menyatakan ada delapan komponen dalam pembelajaran kontekstual yaitu: 1) Membuat hubungan yang bermakna (making meaningful connections) antara sekolah dan konteks kehidupan nyata sehingga siswa merasakan bahwa belajar penting untuk masa depannya. 2) Melakukan pekerjaan yang siginifikan (doing significant work). Pekerjaan yang memiliki suatu tujuan, memiliki kepedulian terhadap orang lain, ikut serta dalam menentukan pilihan, dan menghasilkan produk. 3) Pembelajaran mandiri (self-regulated learning) yang membangun minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi ajar dan konteks kehidupan sehari-hari. 4) Bekerjasama (collaborating) untuk membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka untuk mengerti bagaimana berkomunikasi/berinteraksi dengan yang lain dan dampak apa yang ditimbulkannya. 5) Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking): Siswa diwajibkan untuk memanfaatkan model berpikir kritis dan kreatifnya dalam pengumpulan, analisis dan sitensis data, memahami suatu isu/fakta dan pemecahan masalah. 6) Pendewasaan individu (nurturing individual) dengan mengenalnya, memberikan perhatian, mempunyai harapan tinggi terhadap siswa dan memotivasinya. 7) Pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards) melalui pengidentifikasian tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. 8) Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment) yang menantang siswa agar dapat menggunakan informasi akademis baru dan keterampilannya ke dalam situasi nyata untuk tujuan yang signifikan. Dalam menerapkan pembelajaran sejarah guru dapat memilih sejumlah strategi pembelajaran aktif dalam menerapkan pendekatan kontekstual diantaranya (1) pengalaman penting / critical incident, (2) tebak pelajaran / prediction guide, (3) teks acak, (4)panduan membaca / reading guide, (5) resume kelompok / group resume, (6)prediksi kawan, (7) mencari kelas / assessment search, (8) pertanyaan dari siswa / questions students have, (9)penilaian instan / instant assessment, ••• 278 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) (10)saling tukar pengetahuan / active knowledge sharing, (11) benar apa salah / true or false, (12) benar salah berantai, (13) bangkitkan minat / inguiring minds wants to know, (14) tim pendengar / listening team, (15) catatan terbimbing / guided note taking, (16) pengajaran sinergis / synergetic teaching, (17) panduan mengajar / guided teaching, (18) debat aktif / active debate, (19) debat pendapat / point-counterpoint, (20)membaca keras / reading aloud, (21) pelajaran dimulai dengan pertanyaan / learning starts with a question, (22) pertanyaan rekayasa / planted questions, (23) mencari informasi / information search, (24) sortir kartu / card sort, (25) kekuatan dua kepala / the power of two, (26) kuis kelompok / team quiz, (27) belajar model jigsaw / jigsaw learning, (28) bola salju / snow balling, (29) setiap orang adalah guru / everyone is a teacher here, (30) belajar dari teman/ peer lessons, (31) inquiry, (32) PBL dan masih banyak lagi. c. Implementasi Reorientasi Aksiologi Pembelajaran Sejarah melalui CTL Adanya reorientasi aksiologi pembelajaran sejarah melalui CTL akan dapat mengakomodasi gerakan “The New History” yang dipopulerkan sejarawan Amerika James Harvey Robinson (1912), yang memberi penekanan kepada sejarah sosial yang berbicara tentang semua dimensi kehidupan manusia dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu (inter dan multidisipliner). Reorientasi aksiologi Pembelajaran Sejarah melalui CTL akan melibatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, dan guru sebagai fasilitator dengan pilihan-pilihan topik yang melibatkan siswa, tetapi tetap berada dalam mainstream (arus utama) kurikulum yang didisain para pengembang kurikulum. Reorientasi aksiologi pembelajaran sejarah melalui CTL, para siswa dilibatkan dalam menganalisis sebuah peristiwa sejarah dan mengaitkannya dengan situasi masyarakat kontemporer, bahkan pada unit-unit sejarah yang secara konvensional tidak menjadi bagian dari peristiwa yang “besar” dan “monumental”. Prinsip yang digunakan dalam reorientasi aksiologi dalam pembelajaran sejarah melalui CTL adalah relating, experiencing, applying, cooperating, and transferring. Melalui pengalaman belajar yang demikian, fakta, konsep, prinsip, dan prosedur sebagai materi pelajaran diinternalisasikan melalui proses penemuan, penguatan, keterkaitan, dan keterpaduan. Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu: kontruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Adapun penjabaran masingmasing adalah sebagai berikut: 1) Constructivism merupakan landasan filosofis CTL yang mengisyaratkan bahwa pengetahuan dikonstruk sendiri oleh pembelajar, secara bertahap, dengan melalui interaksi yang intensif antara pembelajar dan obyek belajar dengan menggunakan sebanyak mungkin indera. 2) Proses bertanya-tanya (questioning) merupakan proses awal lahirnya suatu pengetahuan, siswa bertanya dalam mengkonstruk pengetahuan yang ingin ••• 279 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dikuasainya. Bagi guru pertanyaan dalam CTL secara umum dapat berfungsi sebagai prompting dan leading-in. 3) Pengetahuan yang diperoleh siswa hendaknya merupakan hasil pencarian siswa sendiri melalui suatu siklus inquiry sebagai berikut: pengamatan (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hipothesizing), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion drawing). 4) Masyarakat belajar dalam CTL berarti bahwa sebisa mungkin dalam KBM siswa diberi kesempatan yang luas untuk dapat menggali pengetahuan dengan cara berdiskusi dan berinteraksi dengan teman lain baik dalam bentuk berpasangan, kelompok kecil ataupun berdiskusi dengan nara sumber. 5) Pemberian model sangat diperlukan dalam PBM, terutama untuk mata pelajaran ketrampilan tertentu. Model harus mengandung unsur kebenaran dan presisi yang tinggi. Guru bukanlah satu-satunya model dalam PBM. 6) Refleksi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar dengan memikirkan kembali apa yang telah dipelajari dan apa yang telah dikuasainya. Bagi guru refleksi bermanfaat untuk meningkatkan kualitas PBM diwaktu yang akan dating. 7) Assessment merupakan upaya guru untuk memeroleh data selengkaplengkapnya tentang hasil belajar dan perkembangan konsep siswa sebagai dasar penilaian yang dilakukan. Assessment sebaiknya berdasarkan data otentik tentang siswa dan dilakukan secara berkelanjutan. Assessment yang otentik dapat dilakukan tidak hanya melalui tes tetapi juga melalui pengamatan, portofolio, dan data lainnya (Depdiknas, 2002:10). Berikut ini adalah contoh tahapan reorientasi aksiologi dalam pembelajaran sejarah melalui CTL materi tentang Proklamasi. Elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual meliputi: pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik, pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus), Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: menyusun konsep sementara, melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain, merevisi dan mengembangkan konsep; pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekkan secara langsung apa-apa yang dipelajari, adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari. Dari contoh materi tentang proklamasi,issue yang ditawarkan paling tidak mengandung antara lain : (1) Dua konsep ataulebih (2) Banyakalternatif (3) Mengundang pengambilan keputusan. Contohnya: (a) Bagaimana proses terjadinya proklamasi ? (b) Nilai-nilai apa didapatkan dari peristiwa rengas dengklok? (c) Mengapa yang menculik dari Ir. Sukarno dan Moh.hatta dari golongan pemuda? (d) Mengapa terjadi perbedaan pendapat dari golongan tua dan golongan pemuda? ••• 280 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Terhadap permasalahan yang dikemukakan dalam contoh di atas, ada baiknya guru mengajukan pertanyaan yang mengarahkan para siswa sebagai pengkaji. Pada tahap berikutnya, para siswa mencoba memformulasikan jawaban sementara atau hipotesis dalam bentuk pernyataan terhadap masalah di atas. Kemudian peserta didik dapat menguji hipotesis dengan kegiatan inkuiri bercirikan pencarian data dan informasi. Pencarian data tersebut dapat dilakukan melalui kajian literatur (buku ataupun ebook) sebagai tahap awal, kemudian dilanjutkan ke perpustakaan, musium, arsip dan lain-lain. Mewawancarai sejarawan, atau nara sumber yang relevan, mempelajari biografi/memoir para tokoh terkenal, memutar film, slide, video, mempelajari gambar/foto dan lain-lain. Informasi yang terkumpul tersebut kemudian ditelaah melalui langkah validitas data, analisis dan sintesis, sampai kepada pengujian hipotesa. Jika validitas dan reliabilitas data memiliki kwalifikasi yang kredibel, maka jawaban atas pertanyaan dan pernyataan issue tersebut akan dapat dipertanggungjawabkan. Dari materi ini dapat juga dilakukan modelling (dengan sosiodrama) dengan tindak lanjutnya berupa refleksi. Dalam kegiatan refleksi siswa dapat diberi tugas menganalisis peristiwa sejarah di masa lalu, apa segi positifnya dan apa segi negatifnya, dan bagaimana kesimpulannya. Nilai-nilai bersejarah tadi dihubungkan dalam permasalahan saat ini, sehingga apabila menemui permasalahan yang sama atau hampir sama akan lebih bijak dalam menghadapinya. Contoh lain peradaban prasejarah di Indonesia (Materi klas X SMA), khususnya jaman Megalitikum, tentang konsep punden berundak-undak yang mengatakan bahwa tempat yang paling tinggi merupakan tempat yang paling suci, ternyata konsep ini masih dipakai saat ini, dalam kenyataan hidup sehari-hari siswa bisa melihat arsitektur bangunan masjid di Indonesia yang sebagian menggunakan arsitektur atap tumpang (bertingkat). Sehingga dengan kenyataan itu siswa bisa mengkonstruksi pengetahuannya kembali tentang konsep megalitikum dan arsitektur masjid, ternyata arsitektur masjid di Indonesia berbeda dengan negara asalnya, di Indonesia terjadi proses akulturasi (perpaduan budaya). Bagaimana nilai-nilai yang ada dalam proses akulturasi? Bagaimana proses akulturasi budaya jika dikaikan dengan era globalisasi dan modernisasi? Langkahlangkah apa yang bisa diambil untuk mengantisipasinya? Dan sebagainya. Begitu juga kalau kita melihat tata kota di Indonesia khususnya di pulau jawa, kebanyakan masih menggunakan tata kota tradisional yang mengacu pada Mocopat, di mana di tengah ada tanah lapang (alun-alun), pusat pemerintahan di sebelah utara alun-alun, tempat ibadah di sebelah barat alun-alun, dan sekeliling lainnya ada pasar dan tempat penjara. Semua konsep lama masih dipakai sampai saat ini. Dari hal diatas dapat dikaji penjelasan filosofis (ontologis, epistemologis dan aksiologis) dari sejarah dan tata kota yang digunakan. Contoh lain dalam pembelajaran filsafat ilmu (mahasiswa) dengan materi sejarah perkembangan ilmu. Materi sejarah perkembangan ilmu mengkaji perkembanngan keilmuan zaman pra yunani sampai zaman kontemporer. Dari materi di atas dapat dikaji aksiologi/nilai dari keilmuan yang dihasilkan disetiap zaman atau tokoh yang ada ••• 281 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) disetiap zaman ataupun manuskrip yang ada, melalui inquiry, mahasiswa menganalisis kemudian merefleksi nilai yang dapat digunakan dalam menghadapi persoalan di masa kini dan mendatang. Penyusunan program pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut: 1) Menyatakan kegiatan utama pembelajaran 2) Menyatakan tujuan umum pembelajaran 3) Merinci media untuk mendukung kegiatan itu 4) Membuat skenario tahap demi tahap kegiatan siswa 5) Menyatakan authentic assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran. (Depdiknas, 2002: 23). Evaluasi dalam implementasi pendekatan kontekstual menggunakan penilaian authentic yang bersumber pada penilaian berbasis kelas dengan mengumpulkan feedback, seawal dan sesering mungkin mengenai seberapa baik siswa belajar, mengenai apa yang sedang siswa fikirkan, dan mengenai apa yang sedang siswa kerjakan. Ada dua pertanyaan fundamental sehubungan dengan penilaian berbasis kelas ini, ialah: (1) bagaimana siswa memperoleh hasil belajar lebih tinggi? Dan (2) bagaimana guru mengajar lebih efektif? Instrumen tes dan non tes dibedakan atas dasar pengertian, bahwa tes berkaitan dengan benar dan salah, sedangkan non-tes tidak berkaitan dengan benar dan salah, melainkan berkaitan dengan baik dan buruk, suka dan tidak suka, setuju dan tidak setuju, dan sebagainya. Tes formal dan non formal, lebih dibedakan atas dasar struktur atau konstruksi instrumen, ialah untuk tes formal, sudah ada struktur yang dapat dikatakan “baku” atau dibakukan. Bentuk-bentuk intrumen untuk tes formal, antara lain adalah sebagai berikut:pilihan ganda, asosiasi pilihan ganda, sebab akibat, melengkapi (isian singkat), uraian objektif, uraian non objektif (essay) dan menjodohkan. Bentuk-bentuk intrumen untuk tes Non-formal, antara lain adalah sebagai berikut: a). Lembar observasi Unjuk Kerja b). Lembar penilaian kinerja psikomotor atau kognitif lainnya c). Tes alternatif yang meliputi : paper, presentation, participation, project, practice, performance, pre-test, proposal writing, portofolio, presence (Asmawi Zainul, 2001:11-12). Instrumen non-tes dapat pula dilakukan dengan angket/kuisioner dan lembar penilaian afektif. Dari uraian di atas evaluasi dan penyempurnaan perlu dilakukan sebagai suatu proses yang kontinu untuk memperbaiki pembelajaran sejarah dan membimbing pertumbuhan peserta didik. Berbagai teknik pengukuran dan evaluasi baik dengan menggunakan instrument tes dan maupun teknik evaluasi lain seperti penilaian portofolio harus dipahami guru agar dapat dipergunakan secara tepat. Dalam kaitannya dengan pembelajaran berdasarkan pendekatan kompetensi, evaluasi dilakukan untuk menggambarkan perilaku hasil belajar (behavioral outcomes) dengan respon peserta didik yang dapat diberikan berdasarkan apa yang diperoleh dari belajar. Evaluasi dan behavioral outcomes ••• 282 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ini mengandung nilai-nilai (aksiologi) yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas atau derajat pencapaian kompetensi yang ditetapkan. SIMPULAN CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sejarah sebagai landasan nilai yang bersifat confluent (membentuk sikap secara keseluruhan) berfokus dari fungsi pembelajaran sejarah dalam proses penanaman nilai maka aspek pembelajaran sejarah perlu memperhatikan strategi dan metode pembelajaran yang bermakna. Reorientasi aksiologi dalam pembelajaran sejarah melalui CTL perlu memperhatikan: 1. Menelaah pendekatan secara lokosentris,konsentris, temasentris dan kronologi 2. Melakukan analisis secara keseluruhan 3. Mengkaji sejarah secara komprehensif 4. Menemukan nilai-nilai pada materi pembelajaran sejarah dalam konteks hubungan antar nilai secara parsial atau secara kontemporer untuk memecahkan masalah dimasa depan 5. Modelling tokoh sejarah sebagai sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda 6. Perlunya pengkajian secara mendalam pembelajaran sejarah berbasis kearifan lokal (local wisdom). Daftar Pustaka Asmawi Zainul. Alternative Assesment. Jakarta: PAU-PPAI,Universitas Terbuka. 2001 Departemen Pendidikan Nasional. Pendekatan Kontekstual (CTL). Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Pendidikan Lanjutan Pertama. 2002 Dena Taylor. The Literature Review: A Few Tips Conducting It (http://www.writing.utoronto.ca/advice/specific-types-of writing/literaturereview diakses tanggal 20 Juni 2017 Hamdani.Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia. 2011 Ibnu Hizam. “Kontribusi Minat Belajar dan Kemampuan Klarifikasi Nilai Sejarah dalam Pembentukan Sikap Nasionalisme” dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 3, No. 2, Juni 2007. Joyce, Bruce & Marsha Weil with Emily Calhaoun. Models of Teaching. Sixth Edition. London: Prentice-Hall International, Inc. 2000 Johnson, Elaine B. Contextual Teaching and Learning. California : A Sage Publications Company. 2002 Jujun S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Penngantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2013 Nana Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2005 Nurhadi. Pendekatan Kontekstual. Malang : Universitas Negeri Malang. 2002 ••• 283 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Suyanto. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual : Sebuah Pengantar. Disajikan pada Workshop Tim Pengembang Kurikulum SMP. Departemen Pendidikan Nasional. 2005 Suwardi Endraswara. 2015. Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Servise). 2015 ••• 284 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 285 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) INTERNALISASI WAWASAN BAHARI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMK PELAYARAN REMBANG Avif Arfianto Purwoko Utomo Program Pasca Sarjana Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret Email: avifapu14@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui internalisasi wawasan bahari di pembelajaran sejarah. Dalam mengembangkan pendidikan karakter kesadaran mendalam tentang bahari sangatlah penting. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Data penelitian di peroleh dengan menggunakan lembar bentuk observasi, wawancara dan pertanyaan. Hasilnya menunjukkan bahwa guru sejarah di SMK Pelayaran Rembang mengintegrasika nilai-nilai (kejujuran, kedisiplinan, kepercayaan diri, bertanggung jawab, bekerja sama, mandiri dan menghormati pendapat) dengan karakter wawasan bahari di proses pembelajaran. Kata Kunci: Internalisasi, Wawasan Bahari, Pembelajaran Sejarah PENDAHULUAN Globalisasi dapat diartikan sebagai proses saling berhubungan yang mendunia antar individu, bangsa dan negara, serta berbagai organisasi kemasyarakatan. Globalisasi selain memberi beragam harapan juga memunculkan berbagai masalah. Salah satunya adalah kecenderungan masyarakat kehilangan jatidirinya akibat pergaulan global. Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diperlukan paradigma baru pendidikan. Upaya untuk melakukan reformulasi pendidikan adalah dengan menguatkan pendidikan karakter. Pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut pendekatan ini, tujuannya adalah diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa dan berubahnya nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial diinginkan. Menurut pendekatan ini, metode yang digunakan dalam proses pembelajaran antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranana dan lain-lain Berkaitan dengan pembelajaran nilai-nilai, terutama wawasan bahari di SMK Pelayaran Rembang belum maksimal menunjukkan internalisasi nilai-nilai karakter walaupun guru sudah mengintegrasikan pembelajaran sejarah materi kedatangan bangsa barat dengan media pembelajaran seperti power point dan lain-lain, namun siswa belum begitu mengerti secara mendetail, serta mengimplementasikan atau menerapkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Dipandang dari wawasan itu, pengajaran sejarah berkedudukan strategis dalam pendidikan nasional sebagai saka guru dalam pembangunan nasional. Pengajaran sejarah perlu dilengkapai agar dapat berfungsi lebih efektif, yaitu sebagai penyadaran generasi muda dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam rangka membangun bangsa. Sejarah pula yang mempu mengungkapkan asal-mula dan perkembangan segala macam warisan dari leluhur berupa nilai••• 286 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) nilai, lembaga, teknologi, dan lain-lain. Kesemuanya itu telah menuntut usaha dan perjuangan yang terus-menerus dari generasi terdahulu untuk mempertahankan eksistensinya serta secara terus-menerus pula mencurahkan perhatian kearah pembangunan kehidupan yang lebih baik lagi. Di dalam pembelajaran sejarah di SMK Pelayaran Rembang, pembentukan karakter tidak semudah diucapkan, karena mengubah dan membina karakter tidak cukup hanya dengan omongan, ceramah, omelan, sindiran, kritikan atau cara-cara lain yang serba verbalisme. Selain itu menurut adanya keteladanan dari peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembelajaran sejarah dapat dijadikan suatu cerminan positif terhadap karakter pemuda pada masa lampau. Pembentukan karakter dapat dilakukan oleh guru dengan cara memberikan meteri yang didalamnya terdapat nilai-nilai karakter yang tepat bagi peserta didik. Salah satu mata pelajaran yang memiliki muatan karakter adalah sejarah. Merujuk dari pendapat Sartono Kartodirjo (1998) bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Internalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat bahasa departemen pendidikan nasional, kamus besar bahasa Indonesia 2005: 439), internalisasi dapat diartikan sebagai penghayatan, proses falsafah Negara secara mendalam berlangsung lewat penyuluhan, penataran, dan sebagainya. Penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Proses mendarah-dagingkan atau Internalisasi perlu dilaksanakan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui rangkaian kegiatan pengenalan, pemahaman dan pendalaman dengan bimbingan dan melalui dialog aktif, sehingga akhirnya menimbulkan dorongan untuk mewujudkannya (Wahyono, 1984: 37). Studi sejarah Indonesia hingga sekarang lebih banyak mementingkan peristiwa yang terjadi di darat, walaupun sesungguhnya lebih dari separuh wilayah Republik Indonesa terdiri dari laut (Lapian B. Adrian, 2009: 1). Seperti diketahui, Nusantara adalah wilayah kepulauan di satu pihak dan wilayah perairan di lain pihak, dimana perairan merupakan 2/3 dari seleruh wilayah. Ketika masyarakat Nusantara masih terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil yang menyebar di seluruh wilayah tersebut, ada beberapa kerajaan yang rakyatnya termasuk bangsa laut berwawasan bahari dan merupakan pelaut handal dari nelayan (Anshoriy Ch. Nasruddin, 2008: 8). Berdasarkan latar belakang di atas rumusan permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana Internalisasi Wawasan Bahari dalam Pembelajaran Sejarah di SMK Pelayaran Rembang? Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan ini yaitu (1) Untuk Mengetahui Internalisasi Wawasan Bahari dalam dalam Pembelajaran Sejarah di SMK Pelayaran Rembang. ••• 287 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Lokasi penelitian yaitu di SMK Pelayaran Rembang. Tanggung jawab merupakan nilai karakter yang sulit sekali ditanamkan dalam diri peserta didik, sehingga pembentukan karakter dapat diberikan dengan contoh perilaku sehari-hari. Peneliti ingin mengetahui bagaimana pembentukan karakter wawasan bahari dalam pembelajaran sejarah. Bertitik tolak dari permasalahan dan juga uraian tersebut, maka mata pelajaran sejarah berusaha dengan strateginya untuk dapat mengupayakan bagaimana cara agar bisa dan mampu membentuk karakter peserta didik pada SMK Pelayaran Rembang. Dalam penelitian ini terfokus pada 1 permasalahan yaitu Bagaimana internalisasi wawasan bahari dalam pembelajaran sejarah. Karena pentingnya pembentukan karakter dalam pembelajaran sejarah, maka yang dikaji adalah bagaimana cara guru membentuk karakter dalam pembelajaran sejarah. Sumber data penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan wawancara, dokumentasi, observasi, dan evaluasi. Keabsahan data dengan metode triangulasi. Analisis data dilaksanakan secara induktif dengan langkah-langkah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. HASIL Pengembangan karakter dalam suatu system pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan Negara serta dunia internasional (Sudrajat 2010: www.wordpress.com). Pemerintah secara intensif berusaha untuk mengimpletasikan pendidikan karakter dalam system pendidikan. Pendidikan karakter ini diintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar di setiap mata pelajaran untuk kemudian agar adanya pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari disatuan pendidikan atau budaya di sekolah sehingga pada akhirnya dapat menjadi suatu kebiasaan yang baik. Pendidikan karakter merupakan proses untuk menuntun peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam hati, raga, pikir, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Samani 2011: 45). Pembentukan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, dan tindakan untuk melaksanakan nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun bangsa. Dalam proses penanaman nilai di sekolah semua komponen harus dilibatkan diantaranya yaitu ••• 288 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) kurikulum, proses pembelajaran, kualitas hubungan, pengelolaan sekolah, kegiatan ektrakulikuler, pemberdayaan sarana dan prasarana dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah (Narwanti, 2011: 14). Internalisasi wawasan bahari dalam pembelajaran sejarah di SMK Pelayaran Rembang sudah dilaksanakan oleh guru sejarah dengan cara mengintegrasikan ke dalam proses pembelajaran. Guru Gejarah tidak hanya menyampaikan nilai-nilai karakter kepada peserta didik dalam bentuk pengetahuan saja akan tetapi juga dengan membiasakan kepada peserta didik untuk melaksanakan nilai-nilai karakter yang dapat diambil dari proses pembelajaran sejarah. Materi pelajaran sejarah banyak memuat nilai-nilai karakter yang baik dalam diri peserta didik dan guru mengupayakan agar niali-nilai tersebut benar-benar tersampaikan kepada pesrta didik. Pendidikan karakter tidak akan tercapai tujuannya apabila hanya membuat pesrta didik sekadar tahu saja akan tetapi harus dibiasakan. Karena sikap dapat berubah apabila sesudah terbiasa. Guru Sejarah memanfaatkan proses belajar mengajar sejarah untuk mengembangkan nilai-nilai karakter wawasan bahari. Nilai-nilai yang relevan dengan materi serta lingkungan peserta didik dimasukkan ke dalam silabus dan RPP. Adapun metode dan model pembelajaran juga disesuaikan untuk mengembangkan karakter siswa. Terdapat beberapa metode yang bisanya digunakan mengembangkan karakter sisiwa. Metode yang pertama adalah dengan ceramah. Melalui ceramah guru dapat menyampaikan materi dengan disisipi nilainilai karakter yang sesuai dengan materi pelajaran. Ceramah disampaikan dengan dibuat semenarik mungkin sehingga tidak membosankan dan membuat pesrta didik merasa ingin tahu. Materi dihubungkan pula dengan kondisi saat ini seingga mudah dipahami oleh peserta didik dan dapat dikaitkan dengan kehidupan saat ini. Metode selanjutnya adalah dengan diskusi, dalam metode ini kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Guru Sejarah tidak lagi sebagai sumber utama dalam proses pembelajaran. Peserta didik yang sudah diberi tugas sesuai dengan kelompoknya masing-masing dapat mengekplor sendiri melalui berbagai referensi. Dengan diskusi kelompok maka membantu peserta agar terbiasa mengemukakan pendapatnya, lebih mengenal dan mendalami suatu masalah, membuat suasana pembelajaran yang santai dan terarah. Selain itu dapat menciptakan keakraban antar peserta didik, bekerja sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan dan melatih untuk dapat menghargai pendapat orang lain. Nilai karakter wawasan bahari dikembangkan melalui mata pelajaran sejarah di SMK Pelayaran Rembang disesuaikan dengan materi dan lingkungan peserta didik. Adapaun nilai-nilai karakter tersebut antara lain jujur, harus disiplin, harus memiliki rasa percaya diri, harus memiliki rasa tanggung jawab, berani, bekerjasama, dan menghargai pendapat. Adapun nilai-nilai wawasan bahari antara lain adalah jujur. Jujur dapat diartikan kesatuan antara ucapan dengan perilaku sehingga menjadi pribadi yang dapat dipercaya, kejujuran sangat penting untuk dimiliki oleh setiap peserta didik karena kejujuran ini akan mengantarkan maereka menjadi sesorang yang mempunyai integritas dan tanggung jawab tinggi yang sudah terwujud dengan cara siswa mendapat tugas untuk berdiskusi dan ••• 289 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) mempresentasikan hasilnya. Selanjutnya nilai disiplin, disiplin diartikan sebagai tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Guru selalu mengingatkan peserta didik untuk bisa berlaku disiplin dimanapun berada. Nilai berani, menjadikan peserta didik berani untuk mendiskripsikan proses masuk bangsa barat ke Indonesia serta berani bertanya dalam setiap pelajaran maupun berdiskusi. Dalam proses ini kebiasaan disiplin adalah siswa selalu berangkat pagi untuk datang ke sekolah sebelum jam 7 pagi dan bersalaman dengan guru yang berjejer dipintu gerbang. Rasa percaya diri adalah nilai yang berikutnya, rasa percaya diri muncul dalam diri siswa saat melakukan presentasi didepan kelas untuk memaparkan hasil diskusi dengan teman dalam mengejakan tugas yang diberikan oleh guru. Nilai karakter yang terakhir adalah memiliki rasa tanggung jawab. Dalam hal ini siswa di wajibkan untuk mengumpulkan tugas tidak hanya kelompok saja namun tugas individu juga. Nilai kerjasama, peserta didik dapat memahami materi yang ada dengan berdiskusi bersama teman kelompok dan memecahkan masalah bersama yang ada di dalam tugas yang diberikan oleh guru. Nilai menghargai pendapat orang lain ini perlu karena untuk membiasakan sopan terhadap orang dengan tidak memaksakan kehendak sendiri dalam berbagai macam aktifitas ini khususnya saat berdiskusi. Adapun pelaksanaan pendidikan karakter dalam rangka untuk mengembangakan wawasan bahari baik dalam diri peserta didik di SMK Pelayaran Rembang di dukung pula oleh semua komponen di sekolah. Diantaranya adalah cukup lengkapnya sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah untuk menunjang kegiatan baik ketika proses belajar meupun diluar jam pelajaran untuk mengembangkan karakter siswa. Faktor pendukung berikutnya ialah bahwa guru sejarah pun sudah sangat menyadari mengajar itu bukan hanya mentransfer pengetahuan yang telah dimiliki oleh guru kepada peserta didik akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana seorang guru dapat memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai halhal yang dapat peserta didik terapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memunculkan kebahagiaan dan kenyamanan dalam kehidupan. Dalam proses pembelajaran disisipi motivasi yang dapat menggugah peserta didik sehingga benar-benar meresapi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pelajaran kemudian dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang mendukung pengembangan karakter peserta didik terkait wawasan bahari tersedianya berbagai macam kegiatan ektrakurikuler diberbagai bidang. Melalui bermacam-macam kegiatan ektrakurikuler yang diadakan di luar jam pelajaran ini maka peserta didik dapat menyalurkan bakat dan minat, disamping itu dapat juga bersosialisasi dengan baik. Kemudian poster-poster menarik buatan pesrta didik yang bermuatan nilai-nilai dan ditempelkan di setiap tembok kelas dengan jelas dapat dilihat oleh siswa sehingga diharapkan peserta didik selalu diingatkan melalui poster dan papan motivasi. Selain itu bimbingan konseling (BK) dan kesiswaan melalui program-programnya juga turut andil dalam membina karakter peserta didik. ••• 290 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pelaksanaan pendidikan karakter wawasan bahari dalam pembelajaran sejarah tidak serta merta berjalan lancar. Terdapat beberapa faktor yang menghambat pengembangan karakter peserta didik ke arah yang lebih baik. Adapun hambatan tersebut selain dari dalam diri siswa juga dari luar lingkungan sekolah. SIMPULAN Pengembangan nilai-nilai karakter yang baik berkenaan dengan wawasan bahari kepada peserta didik menjadi hal yang penting. Penyelenggaraan pendidikan karkater menjadi keharusan karena pendidikan karakter tidak hanya menjadikan peserta didik cerdas, tetapi juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaanya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna bagi dirinya maupun bagi orang lain karena manusia tidak hanya dituntut untuk dapat menjadi pribadi mandiri namun juga pribadi yang berkonstribusi bagi orang-orang disekitarnya. Materi pokok kedatangan bangsa barat dalam pembelajaran sejarah sangat strategis untuk mengembangkan karakter yang baik berkaitan dengan wawasan bahari karena wilayah Indonesia sangat luas dan stategis sekali lautanya. Kurikulum 2013 berwawasan bahari perlu dilengkapkan seperti contoh-contoh, fakta-fakta kejadian yang sifatnya daerah di Rembang. Hasil penelitian mengenai internalisasi wawasan bahari dalam pembelajaran sejarah SMK Pelayaran Rembang antara lain:(1) Pendidikan karakter melalui pembelajaran sejarah di SMK Pelayaran Rembang berkaitan dengan wawasan bahari sudah dilaksanakan yakni dengan menyampaikan nilai-nilai karakter yang dapat diambil hikmahnya melalui pembelajaran sejarah. Proses pembelajaran sejarah dikemas sedemikian rupa dari proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan refleksi dengan metode dan media yang disesuaikan dengan nilai yang dikembangkan dalam diri siswa. Nilai-nilai karakter tersebut kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang bisa juga dilihat dalam berbagai kegiatan di sekolah.(2) Nilai-nilai karakter berwawasan bahari yang dikembangkan dalam diri siswa banyak sekali tapi dalam penelitian ini nilai-nilai karakter yang dikembangkan disesuaikan dengan pembelajaran sejarah. Nilai-nilai karakter yang dikembangkan melalui pembelajaran sejrah di SMK Pelayaran Rembang antara lain adalah jujur, disiplin, percaya diri, tanggung jawab, berani, bekerjasama, dan menghargai pendapat. Nilai-nilai tersebut ditanamkan dan dikembangkan dalam diri siswa melalui proses pembelajaran sejarah dimana materi sejarah banyak sekali memuat nilai-nilai yang dapat diambil maknanya.(3) Pelaksanaan pendidikan karakter wawasan bahari di SMK Pelayaran Rembang didukung oleh beberapa faktor diantaranya adanya sarana dan prasarana yang memadai, guru sejarah yang selalu memotivasi peserta didik untuk mengembangkan karakter yang baik khususnya wawasan bahari, berbagai macam kegiatan ektrakurikuler, kemudian poster atau papan motivasi dan slogan bermuatan niali-nilai karakter. Selain itu terdapat pula faktor-faktor yang menghambat perkembangan karakter peserta didik yaitu minimnya materi yang didapat dan terkadang pelajaran sejarah ••• 291 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) terdapat pada akhir-akhir jam pulang sehingga pembelajaran tentang materi yang masuk tidak maksimal karena kurang konsentrasi. DAFTAR PUSTAKA Anshory, Nasrudin, dkk. 2008. Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus. Yogyakarta: Tiara Wacana. Denzim, Norman dan Lincoln, Yvonna. 2009. Hand of Qualitative Research. Terjemahan Dariyanto dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lapian, B Adrian. 2011. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut. Depok: Komunitas Bambu. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter, Pengintegrasian 20 Nilai Pembentuk Karakter dalam Mata Pelajran. Jogjakarta: Familia. Sudrajat, Akhmad. 2010. Pengembangan Karakter. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/12/26/pengembangankarakter/ diunduh pada 28 januari 2015. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wahjono, Padmo. 1984. Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Jakarta: Aksara Baru Jakarta. ••• 292 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 293 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) NILAI-NILAI TOLERANSI DALAM BUKU TEKS Shinta Murti Melida Yasi Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Shintamelida@gmail.com ABSTRAK Toleransi merupakan salah satu unsur terpenting bagi terbentuknya Indonesia dengan masyarakatnya yang begitu plural. Nilai-nilai toleransi dapat dikembangakan melalui pembelajaran sejarah terutama sejarah Indonesia yang memiliki fungsi utama sebagai pembentuk karakter kebangsaan. Pembelajaran sejarah sendiri tidak dapat dilepaskan dari penggunaan buku teks. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa toleransi dalam buku teks sejarah direpresentasikan dalam berbagai tema seperti keberagaman, perbedaan, integrasi, kesatuan dan sebagainya. Toleransi perlu dipahami sebagai hasil maupun proses yang berkelanjutan. Kata kunci: Toleransi, Buku Teks, Sejarah Indonesia A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara majemuk dengan berbagai keberagaman suku, bahasa, adat kebiasaan, kebudayaan dan agama di dalamnya. Keberagaman tersebut berpotensi menjadi suatu kekuatan yang dapat mempersatukan dan memperkaya bangsa Indonesia. Tetapi disisi lain keberagaman tersebut juga memiliki potensi konflik yang besar yang mengancam integrasi bangsa Indonesia jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu syarat terwujudnya masyarakat yang multikultur adalah adanya sikap toleransi yang diterapkan oleh setiap warganya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia toleransi adalah sifat atau sikap toleran, yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya) (W.J.S. Poerwadarminta, 2005: 1204). Toleransi juga dapat diartikan sebagai peraturan atau sikap terhadap sesuatu yang belum diakui dan juga tidak ditolak. John Christian Laursen dalam Talib (2012: 50). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan sikap menghargai, membiarkan dann menghormati segala bentuk perbedaan baik dalam bentuk keyakinan, pemikiran, budaya, kepercayaan dan sebagainya. Toleransi berarti tidak mengganggu apa yang diyakini dan di junjung tinggi oleh orang lain. Bentuk toleransi yang harus ditegakkan yaitu: toleransi agama dan toleransi sosial. Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut tentang keyakinan. Berkaitan tentang sikap lapang dada untuk memberi kesempatan pemeluk agama lain untuk beribadah menurut ketentuan agama yang diyakininya. Sedangkan, toleransi sosial berorientasi terhadap toleransi kemasyarakatan. Dalam masyarakat terdapat berbagai macam perbedaan seperti perbedaan etnis, budaya, ••• 294 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) cara hidup, dan pemikiran yang beragam. Untuk itu dianjurkan untuk menegakkan kedamaian dan melakukan kerjasama dengan orang-orang yang memiliki berbagai macam perbedaan dalam batas-batas yang telah ditentukan (Lely Nisvilyah, 2013 :384). Berbagai konflik yang terjadi belakangan ini diantaranya banyak yang disebabkan karena rendahnya toleransi antar sesama warga Indonesia. Kasuskasus seperti yang terjadi menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta menunjukan adanya sikap intoleransi yang mengancam kesatuan Indonesia. Berbagai kasus lainpun seakan menunjukan adanya krisis toleransi dalam masyarakat. Segala bentuk perbedaan seringkali dianggap sebagi musuh yang mengancam dan harus di hancurkan. Hal ini jika terus dibiarkan akan dapat merusak keutuhan bangsa Indonesia. Untuk mencegah dan mengatasi munculnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perbesaan maka diperlukan kesadaran dari masing-masing warga negara untuk menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Sikap toleran dalam implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi juga harus dilakukan terhadap aspek yang luas, termasuk aspek ideologi dan politik yang berbeda (Naim, 2013: 32). Sikap toleran sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan pluralitas yang tinggi. Maka semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mempertegas bahwa keragaman suku, budaya, dan agama harus dihayati agar tercipta kehidupan berbangsa yang damai. Dibutuhkan upaya strategis untuk membangun sikap toleran terhadap setiap perbedaan. Dan pendidikan merupakan wadah yang paling tepat dalam menumbuhkan sikap toleransi terutama bagi generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa. Pendidikan, selain berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa juga memiliki peran penting untuk membentuk karater bangsa. dapat dikatakan bahwa masa depan bangsa tergantung pada generasi muda dan kualitas pendidikannya. Dalam kerangkan inilah pelajaran Sejarah terutama Sejarah Indonesia seharusnya dapat dijadikan sarana penanaman nilai-nilai toleransi. Sejarah mencatat bahwa bangsa ini dibangun diatas berbagai macam perbedaan di dalamnya. Namun, para founding fathers bangsa ini mampu menjunjung tinggi toleransi sehingga dapat menyatukan bangsa dibawah naungan NKRI. Buku teks merupakan salah satu sarana penunjang proses pembelajaran yang sampai saat ini masih memegang peranan penting. Meskipun teknologi informasi telah berkembang dengan begitu pesat, namun buku teks masih menjadi kebutuhan primer bagi guru maupun peserta didik. Buku teks masih dijadikan sebagai sumber utama dalam belajar. Dalam pemanfaatannya Buku teks banyak memberikan bantuan bagi guru maupun bagi siswa. Bagi para guru untuk merencakan kegiatan belajar mengajar yang akan dilakukan. Selain itu buku teks juga sebagai referensi bagi guru saat melakukan pengajaran di kelas. Sedangkan bagi siswa, buku teks memberikan pengarahan tentang materi yang apa yang akan dipelajari sehingga siswa dapat ••• 295 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) belajar secara mandiri di luar jam pelajaran. Secara keseluruhan, buku teks juga berfungsi sebagai patokan standarisasi materi pembelajaran. Buku teks membatu menerjemahkan silabus yang telah disusun dan memberikan patokan-patokan yang jelas mengenai materi yang akan di ajarkan oleh guru. Buku teks memegang peranan yang sangat penting terutama dalam pelajaran sejarah. Menurut Helius Sjamsuddin (2000:103) buku teks memiliki kedudukan, fungsi dan peranan yang strategis karena menyangkut aspek-aspek kognitif dan afektif peseta didik dalam setiap jenjang pendidikan. Akan tetapi, dari keseluruhan buku teks sejarah yang telah diterbitkan terutama oleh Kemendikbud sudahkah termuat penguatan nilai-nilai toleransi? Ataukan hanya semata-mata berisi cerita-cerita dan teori-teori? Sangat penting untuk mengetahui bagaimana muatan tolerasi yang terkandung dalam buku teks sejarah terutama Sejarah Indonesia. Sejarah indonesia berfungsi sebagai pembentuk jati diri ke-Indonesiaan. Maka nilai-nilai toleransi juga sangat perlu untuk ditanamkan melalui pelajaran sejarah Indonesia. Karena tanpa adanya toleransi, tidak akan tercipta Indonesia dengan masyarakatnya yang sangat plural. Segala bentuk perbedaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia hanya dapat disatukan dengan toleransi. Pembelajaran sejarah Indonesia dirancang untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan nasionalisme bagi peserta didik. Mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan kajian dari berbagai peristiwa sejarah di Indonesia yang ditujukan untuk membangun memori kolektif sebagai bangsa agar mengenal jati diri bangsanya dan menjadikannya sebagai landasan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kini dan masa yang akan datang (Kemendikbud, 2016: 2). Pada abad ke-21 ini, Indonesia menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, berbagai konflik yang menyangkut masalah Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan banyak bermunculan. Krisis kepercayaan terhadap aparatur dan institusi negara akibat korupsi yang merajalela dan masih banyak lagi permasalahan yang berpontensi menimbulkan perpecahan. Sedangkan dari luar, Indonesia telah mendapat pengaruh barbagai budaya asing yang dapat masuk secara bebas sebagai konsekuensi dari globalisasi. Liberalisme, materialisme, sekulerisme, hedonisme, dan konsumersme mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat. Sayangnya masyarakat kita enggan belajar dari sejarah mengenain bagaimana para pendiri bangsa yang telah melewati proses yang panjang untuk dapat mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kemendikbud, 2016: 2). Persoalan mengenai toleransi semakin kompleks karena toleransi juga mencakup beberapa tataran, yaitu sebagai warga negara bangsa (walau batas-batas teritorialnya semakin kabur), sebagai anggota kelompok primordial (yang ikatannya semakin hilang), maupun sebagai pribadi yang majemuk, fragmentaris, tidak pernah utuh dan tunggal (Trisno Sutanto, 2007: 352). Untuk itu penguatan nilai-nilai kebangsaan dipandang perlu untuk ditingkatkan kembali melalui pelajaran sejarah terutama sejarah Indonesia. ••• 296 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Indonesia terbentuk dengan berbagai perbedaan di dalamnya. Keberagaman etnis, suku, budaya, bahasa dan agama mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. dan dengan toleransilah segala bentuk perbedaan tersebut dapat dipersatukan. Dalam sejarah telah dijelaskan bahwa negara ini terbentuk setelah melawati proses panjang untuk dapat mempersatukan perbedaan yang ada. Salah satunya dapat terlihat dari peristiwa sumpah pemuda. Para pemuda Indonesia pada saat itu berhasil mengesampingkan berbagai perbedaan untuk dapat mewujudkan persatuan atas dasar perasaan senasib sepenanggungan. Disinilah peran pelajaran sejarah Indonesia yang dianggap sebagai pembangun nilai-nilai kebangsaan seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda. Melalui masa lalu bangsa Indonesia yang dibentuk diatas berbagai macam perbedaan. Maka seharusnya sejarah mampu membetuk generasi muda yang tidak lagi memandang perbedaan sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi yang dapat memperkaya bangsa Indonesia. B. METODE PENELITIAN Sesuai dengan judul yang diangkat, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengeruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif (Saryono, 2010: 1). Menurut Sugiyono, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2011:15). Dalam penelitian ini peneliti akan melaporkan hasil penelitian tentang kandungan nilai-nilai toleransi dalam buku teks sejarah wajib SMA kurikulum 2013. Terdapat enam jilid buku dalam rangkaian buku teks sejarah wajib SMA ini yang terdiri dari dua jilid untuk kelas X, dua jilid untuk kelas XI dan dua Jilid untuk kelas XII. Maka dalam penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: pengumpulan data, informasi atau keterangan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai toleransi dalam buku teks sejarah wajib SMA. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumentasi dan wawancara. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan dokumen data atau disebut dengan studi dokumentasi. Menurut Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasati, notulen, Legger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2006: 236). Dokumen disini berupa Buku siswa Sejarah Indonesia SMA kelas X, XI dan XII kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. ••• 297 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalamdalam jumlah reponden yang sedikit/kecil. Dalam penelitian ini akan menggunakan teknik wawancar mendalam. Wawancara akan bersifat terbuka dan fleksibel Validitas data menggunakan triangualasi data, sedangkan analisis data menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/ verifikasi yang berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Seperti yang telah dijelaskan diatas, buku teks masih memegang peranan penting dalam proses pembelajaran meskipun saat ini telah banyak media dan sumber yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Buku teks memiliki ciri-ciri antara lain sebagai sumber belajar, menjadi referensi baku untuk mata pelajaran tertentu, disususn secara sistematis dan sederhana, serta disertai petunjuk pembelajaran (Akbar, 2013: 33). Selain sebagai sumber belajar, buku teks juga berfungsi sebagai media pembelajaran. Selain memuat materi, buku teks dilengkapi berbagai macam instrumen dari peta konsep, gambar-gambar sampai alat evaluasi yang dapat membatu guru dalam meyampaikan pelajaran dan juga membantu siswa untuk belajar secara mandiri. Pelajaran sejarah Indonesia sangat erat kaitannya dengan upaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan. Dalam pelajaran sejarah Indonesia, termuat berbagai macam informasi tentang masa lalu bangsa Indonesia beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sejarah panjang bangsa Indonesia dari zaman pra aksara sampai dengan zaman kontemporer saling terhubung satu sama lain dan tidak dapat berdiri sendiri. Maka diperlukan suatu sarana yang mampu memuat berbagai informasi sejarah tersebut secara padat dan berkesinambungan dan disesuaikan dengan kebutuhan pengajaran. Dalam hal ini buku teks memiliki kesesuian dengan kebutuhan tersebut. Dalam pendidikan dan pembelajaran sejarah, buku teks dapat berfungsi sebagai sumber dan media belajar yang dapat membangun visualisasi, interpretasi, dan generalisasi siswa terhadap peristiwa dan faktafakta sejarah. Dengan demikian, pembelajaran sejarah dapat menjadi bermakna karena siswa mampu mengambil makna dari peristiwa yang terjadi pada masa lampau (Darwati, 2011: 76). Sesuai dengan fungsi pelajaran sejarah Indonesia sebagai pembentuk karakter kebangsaan, di dalam buku teks sejarah Indonesia seharusnya termuat Instrumeninstrumen yang berkaitan dengan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Dalam hal ini penulis akan memfukoskan pada kandungan toleransi di dalam buku teks sejarah Indonesia. Toleransi dalam buku teks Sejarah banyak direpresentasikan dalam tematema seperti akulturasi, keberagaman, persatuan dan nasionalisme. Tema-tema akulturasi dan keberagaman banyak di jelaskan pada dua Jilid pertama buku teks ••• 298 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Sejarah Indonesia yaitu buku teks untuk kelas X semester gasal dan semester genap. Buku kelas XI semester gasal dan semester genap banyak menuangkan nilai-nilai toleransi dalam tema keberagaman dan nasionalisme. Tema akulturasi banyak dimuat pada materi sejarah masuk dan berkembangnya agama dan kebuyaan Hindu-buddha hingga Islam ke Nusantara. Nusantara memperoleh pengaruh budaya Hindu-Buddha dan Islam melalui jalur pelayaran dan perdagangan. Pelayaran dan perdagangan masa kuno ini merupakan bentuk awal dari globalisasi. Menurut Chaubet, dalam hal ini globalisasi merupakan hubungan dan sirkulasi antara sejumlah wilayah geografis yang sangat kuno dan silih berganti. Pada masa ini pertukaran budaya dan peminjaman budaya menjadi umum (Utami, 2016: 111). Para pedagang baik lokal maupun asing menjadi agen penting dalam pertukaran dan peminjaman budaya. Buku Teks Kelas X baik semester gasal maupun genap banyak menjelaskan letak geografis kepulauan Nusantara yang strategis diantara jalur perdagangan Internasional. Hal ini menjadikan kepulauan Nusantara banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing terutama dari China dan India. Para pedagang asing ini membawa serta kebudayaan mereka ke nusantara diantara interaksi perdagangan yang mereka lakukan. Buku teks menggambarkan penduduk nusantara sebagai masyarakat yang terbuka namun tidak begitu saja menerima pengaruh asing tersebut. Masyarakat Nusantara memiliki kemampuan yang disebut sebagai Local Genius untuk mengolah budaya asing yang masuk. Hal ini mengakibatkan terjadinya akulturasi maupun sinkretisme antara kebudayaan lokal dengan budaya asing yang masuk ke nusantara. Bentuk dari Local Genius ini ditunjukan buku teks salah satunya dalam bangunan Candi Borobudur yang memiliki stupa dan relief Buddha sebagai pengaruh budaya India dan memilik bentuk dasar punden berundak yang merupakan tradisi masyarakat lokan dari zaman megalithikum. Contoh diatas menunjukan bahwa dalam kehidupan masyarakat Nusantara pada masa lampau telah tertanam nilai-nilai toleransi. Sebab Akulturasi kebudayaan hanya akan terjadi dalam masyarakat yang toleran. Masyarakat Nusantara pada masa lampau digambarkan dalam buku teks telah mampu menerima sesuatu yang berbeda dengan yang ada pada diri dan kelompoknya. Toleransi merupakan pemberian tempat yang luas bagi keberagaman dan perbedaan yang ada pada individu atau kelompok. Toleransi adalah penghormatan, penerimaan dan penghargaan tentang keragaman yang kaya akan kebudayaan dunia, bentuk ekspresi dan tata cara sebagai manusia. Hal itu dipelihara oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi dan kebebasan pemikiran, kata hati dan kepercayaan. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan (Unesco Apnieve, 2005: 54). Toleransi menjadikan setiap individu mampu menghargai dan menerima segala bentuk perbedaan yang diterapkan kelompok lain. Dalam materi masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam yang dijabarkan dalam buku teks, masyarakat Nusantara yang telah lama hidup dengan pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha masih dapat menerima kebudayaan yang berbeda yaitu Islam. Ketika Islam telah berkembang pesatpun ••• 299 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) kebudayaan Hindu-Buddha tidak disingkirkan begitu saja. Masyarakat Nusantara yang telah memeluk Islam masih menghargai kebudayaan dan kepercayaan terdahulunya dan mengakomodasikannya dalam dakwah. Proses penyebaran Islam yang digabungkan dengan tradisi pra-Islam seperti pada acara kenduri menunjukan adanya penghargaan terhadap budaya sebelumnya. Bentuk lain penghargaan masyarakai Islam terhadap tradisi pra-Islam juga digambarkan pada arsitektur Masjid-masjid kuno yang atapnya bebentuk Meru. Dalam dua jilid buku teks Sejarah Indonesia untuk kelas XI lebih menekankan pada konsep persatuan dan Nasionalisme. Tema dapat dilihat salah satunya dalam materi sumpah pemuda. Buku teks menjelaskan bahwa penjajahan yang dilakukan oleh bangsa barat telah memberikan penderitaan yang besar bagi warga Indonesia. Kemudian pendidikan barat yang diterima masyarakat Indonesia ternyata mampu menumbuhkan perasaan senasib dan sepenanggungan di antara penduduk di berbagai wilayah di Indonesia. Perjuangan yang sebelumya bersifata kedaerahan kemudian dirubah menjadi gerakan nasional. Keinginan para pemuda untuk bersatu melahirkan peristiwa sumpah pemuda yang menyatukan pemuda dari berbagai wilayah di Indonesia. Dalam peristiwa ini digambarkan bahwa pemuda Indonesia telah mampu menerima dan menghargai berbagai bentuk perbedaann yang ada demi mewujudkan persatuan dan kesatuan. Dalam materi pergerakan nasional sampai pada upaya mempertahankan Kemerdekaan dijelaskan bahwa para toko dari berbagai latar belakang suku dan agama saling bekerja sama bahu membahu demi memperjuangkan dan menjaga kemerdekaan Indoneia. Buku teks sejarah Indonesia juga menekankan nilai toleransi dalam materi perumusan konsep Pancasila. Sila pertama dasar negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kemudian atas prakarsa dari Moh. Hatta kalimat tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan tersebut telah dikonsultasikan Moh. Hatta kepada para pemuka Islam seperti, Ki Bagoes Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Tengku Moh. Hasan. Pertimbangan tersebut diambil karena dasar negara yang hanya menyangkut identitas sebagian dari rakyat Indonesia sekalipun merupakan bagian yang terbesar dianggap tidak tepat. Hal ini juga menunjukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap komunitas lain yang berbeda. Selain dari isi materi, buku teks Sejarah Indonesia ini sebenarnya sudah memuat instrumen-instrumen yang secara tidak langsung mengarah pada penanaman toleransi. Setiap cerita sejarah disispi dengan instrumen yang merangsang siswa untuk berpikir kritis. Dengan bimbingan dari guru, instrumen tersebut akan merangsang siswa untuk dapat mengemukakan pendapatnya. Dengan berbagai pendapat yang muncul dari setiap siswa, siswa akan belajar untuk menghargai seriap perbedaan pendapat yang ada. D. KESIMPULAN ••• 300 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Toleransi menjadi kebutuhan mendesak bagi Indonesai sebagai negara majemuk. Toleransi ini dapat kembangkan salah satunya melalui pelajaran sejarah Indonesia. Pembelajaran sejarah tidak dapat dilepaskan dari penggunaan buku teks sehingga penting untuk mengetahui kandungan nilai toleransi dalam buku teks sejarah Indonesia. Dalam buku teks sejarah Indonesia nilai-nilai toleransi banyak direpresentasikan dalam tema-tema akutlurasi, persatuan, nasionalisme dan sebagianya. Toleransi telah tertanam dan diterapkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia yang terbuka terhadap kebudayaan asing yang masuk. Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tidak terlepas dari adanya sikap menerima dan menghargai berbagi perbedaan yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Selain dari sisi materi, Buku teks sejarah Indonesia ini secara keseluruhan sudah menampilkan intrusmen pengembangan nilai toleransi. ••• 301 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) DAFTAR PUSTAKA Akbar, Sa’dun. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2013. Anonim. Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah/Madrasah Aliyah Kejuruan (Sma/Smk/Ma/Mak). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2006. Darwati. “Pemanfaatan Buku Teks Oleh Guru Dalam Pembelajaran Sejarah: Studi Kasus Di Sma Negeri Kabupaten Semarang”. Paramita Vol. 21 No. 1. (Januari 2011): 75-89 Naim, Ngainun. “Membangun Toleransi dalam Masyarakat Majemuk Telaah Pemikiran Nurcholis Madjid”. Dalam Jurnal Multikultural & Multireligius Vol 12 edisi Mei-Agustus 2013. Nisvilyah, Lely. “Toleransi Antarumat Beragama Dalam Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa (Studi Kasus Umat Islam Dan Kristen Dusun Segaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto)” dalam Kajian Moral dan Kewargenegaraan Nomor 1 Volume 2 Tahun 2013 Saryono. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Alfabeta. 2010 Sjamsuddin, Helius. “Penulisan Buku Teks Sejarah: Kriteria dan Permasalahannya”, Historia, No. I. Vol. I, tahun 2000. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. 2000 Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta . 2010 Sutanto, Trisno. “Melampaui Toleransi?: Merenung Bersama Walzer”. Dalam Demi Toleransi Demi pluralisme; Esai-esai untuk Merayakan 65 Tahun M. Dawam Rajardjo. Jakarta: Paramadina. 2007. Talib, A.T & Sarjit S. Gill. “Socio-Religious Tolerance: Exploring the Malaysian Experience”. Global Journal of Human Social Science. Volume 12 Issue 8 Version 1.0 (May 2012): 49-54. UNESCO-APNIEVE. 2000. Belajar Untuk Hidup Bersama dalam damai dan Harmoni. Kantor Prinsipal Unesco untuk kawasan Asia Pasifik, bangkok dan Universitas Pendidikan Indonesia. Utami, Indah Wahyu Puji & Aditya Nugroho Widiadi. “Wacana Bhineka Tunggal Ika dalam Buku Teks Sejarah”. Paramitha Vol. 26 No. 1. 2016: 106-117. ••• 302 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PENDIDIKAN MULTIKULTURAL : KONSTRUKSI SIKAP TOLERANSI SISWA TERHADAP KEBERAGAMAN DI INDONESIA Muhammad Sahal, Akhmad Arief Musadad, Muhammad Akhyar Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Email: m.sahal83@gmail.com ABSTRAK Pendidikan multikultural merupakan suatu wacana lintas batas, karena terikat dengan masalah-masalah keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia. penelitian ini menggunakan metode kualitatif diskriptif yang memberikan sumbagan ilmu terhadap siswa guna untuk konstruksi sikap seorang siswa dan pola pikir dalam berinteraksi sosial yang mengedepankan sikap toleransi, dan menghargai sesama. Indonesia merupakan negara multikultur terbesar di dunia, yang sangat rentan terjadinya konflik antar perbedaan ras, suku, etnis, dan agama, konflik yang timbul disebabkan oleh rendahnya sikap toleransi dalam bermasyarakat. Oleh sebeb itu pendidikan multikultural sangat dibutuhkan dalam pembelajaran di sekolah guna untuk memberikan wawasan terhadap siswa dalam berinteraksi sosial.Untuk itu berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah guna mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama, baik melalui pendidikan, penyuluhan, maupun pembinaan dan berbagai cara lainnya, karena kerukunan merupakan syarat mutlak bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan. Pendidikan multikultural sangat mengedepankan sikap saling menghargai keberagaman dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Sikap toleransi adalah salahsatu sikap yang harus dimiliki oleh generasi penerus bangsa untuk mengurangi terjadijanya gesekan antar pelajar dan masyarakat luas yang menimbulkan perpecahan guna untuk mempererat hubungan antar manusia. Kata kunci : Pendidikan Multikultural, Toleransi, Keberagaman. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk sekitar 250 juta penduduk yang beragam dan memiliki letak wilayah yang luas, sumber daya alam yang melimpah hingga budaya dan adat istiadatnya. Dilihat dari penduduknya, penduduk indonesia yang keempat terbesar di dunia, setelah cina, india, dan amerika. Masyarakat indonesia yang multikultur, multiras, dan multiagama memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama, dan suku bangsa. Indikasi kearah itu yang terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan, profesi, dan organisasi lainnya. Selain itu, muncul juga berbagai macam aliran keagamaan. Sebahian dari kita mungkin menyaksikan bagaimana berbagai belahan bumi terkoyak-koyak oleh konflik dengan kekerasan yang sara dengan sentimen latar belakang agama dan etnis. Kita juga bertanya-tanya mengapa mengapa reformsi ••• 303 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) yang digulirkan sejak 1998 di negri kita malah diiringi oleh persetruan berdarah sesama anak bangsa. Contohnya seperti konflik Poso yang dilatar belakangi oleh agama, politik, dan ekonomi. Ambon juga dilatar belakangi oleh konflik agama dan politik, munculnya konflik Kalimantan Barat disebabkan oleh perbadaan suku, politik, dan ekonomi. Konflik poso berawal dari Ketegangan komunal dengan dalih sentimen agama sesungguhnya kerap teradi di Poso, jauh sejak konflik antar warga yang terjadi pada tahun 1998. Pada tahun 1995 seorang Imam Masjid di Taripa pernah dipukul oleh anak muda (Kristen). Kejadian lainnya ditahun 1992 sekelompok anak Muda Islam hampir saja menganiyaya Rusli Labolo Monoarfa. Dia adalah seorang mahasiswa Sekolah Tiggi Theologia (STTGKST) Tentena yang sebelumnya penganut Islam. Dia beralih agam dari Isalam ke Kristen karena masalah keyakinan dia. Peristiwa ini bermula dari beredarnya lembaran foto copy karya ilmiah dia yang di anggap menghujat islam, seperti diutarakan seorang responden, “waktu itu, foto copy skripsinya tertinggal di sebuah toko di Poso. Dalam skripsi itu banyak hal yang menyinggung umat islam. Ketegangan saat itu memang tidak sampai menimbulakan bentrokan antar pemeluk beragama di Poso. Masyarakat akhinya bisa menahan diri, setelah masyarakat melaporkan hal tersebuat kepada Kapolres Poso. Pemuda itu kemudian diadili dan divonis emapat tahun penjara oleh hakin pengadilan Negeri Poso, (Tamrin Amal Tomagola dkk, 2007:211-212). Ramirez mengatakan “The construct of the multicultural personality was established to better understand the traits that allow people to effectively function in the multicultural setting. (Dani Cosme, Chrissy Pepino, Brandon Brown, 2010:1)”. Artinya adalah konstruk kepribadian multikultural didirikan untuk lebih memahami sifat-sifat yang memungkinkan orang untuk secara efektif berfungsi dalam pengaturan multikultural. Dapat pula diartikan bahwa kepribadian multikultural sangat diperlukan dalam masyarakat multikultural, hal tersebut bertujuan untuk memahami sifat-sifat orang lain sehingga dapat menyikapi keadaan multikultural. Dari per-spektif pembangunan demokrasi, kebebasan-kebebasan tersebut bisa dilihat sebagai “kebaikan di dalam kebebasan itu sendiri” (good in themselves). Tapi, memang kebe-basan juga menimbulkan persoalan. Pada zaman dulu, yang bisa disebut sebagai zaman rahasia dan bisikan, pasti kita bisa memikirkan bahwa orang-orang yang berbeda agama atau berbeda etnik, memiliki pendapat dan kehidupan yang lain dengan diri kita. Tapi, tidak jelas apa saja atau seberapa jauh perbedaan itu. Sekarang, semuanya bisa mengerti bahwa ada banyak sekali perbedaan pendapat dan keyakinan di dalam masyarakat Indonesia. Apalagi perbedaan pendapat bukan hanya dibandingkan oleh garisan etnik atau agama. Memang, dilihat dari kebebasan cara berbicara dan media masa, banyak perbedaan pendapat terlihat di dalam setiap kaum dalam masyarakt Indonesia (Margaret Sutton, 2006: 54-55). Sebagai contoh, lihatlah diskursus yang terjadi di masyarakat Indonesia tentang pemakaian jilbab. Siapa saja yang memerlukan dan terbataskah penggunaan itu? Di tempat mana dan sebagai apa saja? Memang harus diakui ada ••• 304 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) banyak perspektif terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kalau per-soalan seperti itu dan persoalan mirip diputuskan secara „demokrasi liberal‟, demokrasi murni, atau komuni-tarianisme, semuanya tergantung kepada keinginan masyarakat Indonesia itu sendiri. Tetapi secara demokrasi sebagaimana yang diikuti oleh masyarakat Indonesia, pasti akan terdapat peluang untuk mengemukakan banyak pikiran dan pendapat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam perbedaan ini nilai toleransi menjadi paling penting. Demokrasi itu tidak bisa jalan tanpa toleransi. Supaya masyarakat bisa memilih peraturan yang legitimis, seharusnya seluruh anggota dapat kesempatan menjelaskan pendapatnya dan kepri-hatinan masing-masing. Konflik yang bernuansa agama tampaknya berkorelasi kuat dengan faktor nonagama. Agama biasanya merupakan faktor pemicu kerusuhan yang di dahului dengan konflik yang bernuansa ekonomi, seperti perebutan lahan parkir, rebutan wilayah, dan faktor lainya yang lebih ekonomis daripada politis. Dengan kata lain, konflik kecil sering terjadi menjadi masalah besar (Suryana, 2015:1). Multikultural menurut Tilaar mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti majemuk kultural berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah majemuk memiliki arti yang berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai damapak politis, sosial, ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme ternyata berkenaan dengan hal hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam satu kelompok. Klompok tersebut memiliki budayanya masingmasing (Tilaar dan Rusdiana, 2004:82). Sedangkan multikulturalisme Naim dan sauqi yaitu sebuh tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi, dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan (Naim dan Suqi, 2008:125). Berdasarkan pembahasan diatas menggunakan penelitian kualitatif deskriptif yang di kaitkan dengan pendidikan multikultural dan bertujuan untuk konstruksi sikap toleransi siswa terhadap keberagaman di indonesia pembahasan diatas juga dapat disimulkan bahwa sikap toleransi merupakan kunci terciptanya suasana damai dan nyaman disetiap kehidupan umat manusia yang multikultural di dalam alam semesta ini. Sebab toleransi sebagai suatu media yang dapat mempersatukan setiap perbedaan yang memiliki oleh setiap kelompok manusia pada suatu tempat. Dengan toleransi manusia akan sepenuhnya mendapatkan hak hidupnya serta mampu mengekpresikan setiap ciri khas yang dimilikinya sejauh tidak mengganggu ketenangan kelompok atau sesama manusia lainnya. TOLERANSI DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya, (Poerwadarminto, 1986: 184). ••• 305 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi UNESCO dinyatakan bahwa toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya dunia yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara menjadi manusia. Toleransi adalah kerukunan dalam perbedaan. Jadi dengan demikian ”tole-ransi” adalah kemampuan dan kemauan orang itu sendiri dan masyarakat umum untuk berhati-hati terhadap hak-hak orang golongan kecil/minoritas dimana mereka hidup dalam peraturan yang dirumuskan oleh mayoritas- yang memang adalah arti dasar demokrasi itu. Semoga pentingnya toleransi untuk melakukan pelatihan demo-krasi adalah cukup jelas dari pembahasan terdahulu. Tanpa tole-ransi, masyarakat tidak bisa berbicara luas dan secara bebas. Hal ini dapat membuat kemungkinan kesulitan dalam praktik pelaksanaan demokrasi. Pelaksanaan praktik demokrasi tergantung kemauan orang-orang untuk berbicara luas dan ikut serta berpartisipasi yang disebut oleh seorang filsafat Amy Gutman sebagai “deliberative democracy”. Maksud konsep itu adalah bahwa pilihan apa saja yang dibuat masyarakat dalam demokrasi haruslah berdasarkan pembicaraan yang luas tentang etika yang berasal dari pendapat mereka dan memper-timbangkan juga akibat-akibat yang mungkin ditimbulkan dari pilihan yang dibuat itu. Jadi, seharusnya pembicaraan tersebut dapat mema-sukkan pendapat seluruh kelompok yang ada dalam masyarakat ini, walaupun terdapat perbedaan agama, gender, ideologi, etnik, umur, dan lain-lain (Margaret Sutton,2006:55-56). Adapun sikap toleransi menurut Sullivan, Pierson dan Marcus sebagaimana dikutip Saiful Mujani, menjelaskan toleransi didevinisikan sebagai a willingness to put up with those things one rejects or opposes, yakni “kesediaan untuk menghargai, menerima atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang” (Saiful Mujani, 2007: 162). Gintha Nursavitri mengambil pendapat Michael Walzer dalam Zuhairi Misrawi, (2010: 10), memandang toleransi sebagai “Keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexsistance) di antara berbagai kelompok masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas”. Dalam pendapat tersebut dikemukakan tujuan toleransi, yaitu membangun hidup yang damai di masyarakat walaupun terdapat berbagai perbedaan dalam masyarakat tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap toleransi merupakan suatu sikap yang saling menghargai, menghormati, dan tidak membeda-bedakan antara orang satu dengan orang yang lain. Sikap toleransi memiliki peran penting dalam setiap kehidupan dalam masayarakat majemuk, sikap toleransi banyak memberikan keseimbangan sosial dalam berinteraksi dalam hidup bermasyarakat. Sikap toleransi juga dapat mengurangi terjadinya konflik dalam masyarakat, karena sikap toleransi memiliki banyak nilai-nilai yang perlu di terapkan dalam kehidupan yang majemuk dalam masyarakat agar masyarakat lebih mengedepankan sikap toleransi, saling ••• 306 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) menghargai, saling menghormati dibandingkan mengedepankan sikap anarkis dan main hakim sendiri. Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang di sengaja dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual). Oleh karena itu, disetiap level mana pun, kegiatan pendidikan harus secara sadar direncanakan, mulai dari tingkat nasional (makroskopik), regional/provinsi dan kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik), maupun secara operasional (proses pembelajaran oleh guru). (Suryana & rusdiana, 2015:78). Adapun pendapat lain menyatakan pendidikan ialah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan. Selain itu definisi pendidikan dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam kongres taman siswa yang pertama pada 1930 ia menyebutkan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti yang (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.dalam taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya, (Choirul Mahfud, 2011:3133). Menurut Mahfud (2011:75), mutikultural adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Menurut Tilaar (2004:83), pengertian tradisional multikulturalisme yang di sebut juga gelombang pertama aliran multikulturalisme, mempunyai dua ciri utama, yaitu: 1) Kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition), 2) Legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Pendidikan multikultural yang muncul pada hari ini adalah sebagai sebuah persamaan persepsi dari perbedaan pandangan terhadap kultur yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat. Sehingga dapat menghilangkan dan merubah stigma rasisme atau etnosentrisme menjadi suatu kesatuan integrasi dari satu kesatuan integrasi dari seluruh lapisan masyarakat indonesia. Pendidikan multikultural memiliki posisi yang strategis dalam penenaman nilai-nilai nasionalisme terhadap diri setiap anak bangsa sejak dini dibangku pendidikan agar mampu bersikap toleran terhadap setiap anak bangsa. Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan) dan budaya (kultur) (Mashadi Imron, 2009: 48). Pendidikan Multikultural adalah pola pendidikan yang berbasiskan pada tumbuhnya sikap tenggang rasa akan kemajemukan budaya dan toleransi terhadap perbedaan sehingga membentuk semangat inklusivitas sosial bagi sivitas akademika. Model pendidikan seperti ini menjadi sangat urgen dan signifikan ••• 307 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dalam konteks Indonesia yang heterogen. Semangat multikulturalisme yang mengakui adanya perbedaan dan menghormatinya sebagai keanekaragaman penting untuk diterapkan sejak masa pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Hal tersebut mengingat dalam nuansa heterogenitas acap kali memunculkan adanyapotensi gesekan dan konflik secara kompulsif. Kondisi tersebut sangat rawan untuk memunculkan adanya kontestasi mayoritas melawan minoritas dalam kerangka multikulturalisme. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila potensi gesekan, konflik, hingga berujung pada segregasi dalam masyarakat selalu saja ada, baik bersifat laten maupun manifest. Berkaitan dengan hal tersebut, urgensi diaplikasikannya pendidikan multikultural adalah sebagai kunci untuk menekan adanya konflik tersebut, Wasisto Raharjo Jati, (2004: 72-73). Menurut Santrock mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadai perbedaan perspektif dari berbagai kelompok kultural. Para pendukungnya pecaya bahawa anak-anak kulit berwarna harus di berdayakan dan pendidikan multikultural harus akan memiliki manfaat yang besar pada setiap murid. Tujuan penting penting dari pendidikan multikultural adalah pemerataan bagi setiap murid (Santrock, 2010: 184). Bank (1993:24) menjelaskan bahwa terdapat lima dimensi dalam pendidikan multikultural sebagai berikut. Pertama, adanya integrasipendidikan dalam kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang bertujuan untuk menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komprehensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture), yaitu bahwa sekolahadalah elemen pengentas sosial dari strukturmasyarakat yang timpang ke struktur masyarakatyang berkeadilan. Pendidikan multikultural merupa-kan suatu wacana yang lintas batas, karena terkait dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokrasi dan hak asasi manusia. (H.A.R Tilaar, 2003:167) Azyumardi azra mende-finisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan demi secara keseluruhan. Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan bahawa dalam pendidikan multikultural setiap individu diberikan kesempatan dan kebebasan dalam menentukan pilihan, dalam pendidikan multikultural memiliki peran penting dalam pengaplikasian nilai-nilai sikap salaing menghargai dan toleransi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pendidikan multikultural tidak diajarkan sebagai satu mata pelajaran terpisah di sekolah. Pada konteks pembelajaran disekolah, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan melalui materi pelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, media pembelajaran, dan pembiasaan di sekolah. ••• 308 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pendidikan multikultural pada siswa dapat diintegrasikan melalui materi yang ada pada setiap mata pelajaran dan tidak terfokus pada satu atau dua mata pelajaran saja. Guru dapat memberikan contoh dan mengaitkan materi pada suatu mata pelajaran dengan bentuk-bentuk keragaman pada siswa terutama siswa berkebutuhan khusus. Misalnya, perbedaan dalam hal kemampuan akademik maupun fisik. Integrasi materi tersebut tentunya tidak terlepas dari konsep dari materi yang diajarkan. Integrasi pendidikan multikultural melalui strategi dan metode pembelajaran dapat dilakukan salah satunya dengan diskusi dengan kelompok yang terdiri dari beberapa siswa yang diantaranya merupakan siswa berkebutuhan khusus. Integrasi pendidikan multikultural melalui bahan ajar dan media pada siawa dapat dilakukan melalui variasi bahan ajar dan media yang digunakan serta dapat mendukung siswa berkebutuhan khusus ketika belajar. Cara tersebut dapat membangun sikap toleran dan menghargai antar siswa terutama kepada siswa berkebutuhan khusus. Pembiasaan di sekolah juga dapat menajadi salah satu cara dalam mengintegrasikan pendidikan multikultural di sekolah. Pembiasaan tersebut dapat dilakukan misalnya siswa normal dibiasakan untuk berkawan, berkomunikasi, dan membantu siswa-siswa berkebutuhan khusus sehingga terwujud sikap menerima perbedaan di antara mereka. KONSTRUKSI SIKAP TOLERANSI DI SEKOLAH Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks. Pemebelajaran diartikan sebagai interaksi antara pengembangan dan pengalaman hidup. Pembelajaran adalah usaha sadar dari sorang pendidik untuk membelajarakan peserta didiknya mengarahkan interaksi peserta didik dengan sumber belajar lainnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Trianto 2011:17). Pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme menurut santrock (2008) adalah pembelajaran yang menekankan bahwa individu belajar secara aktif menkonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Pembelajaran adalah suatu serangkaian usaha yang memiliki tujuan untuk membelajarkan peserta didik. Pembelajaran adalah membelajarakan peserta didik dalam menggunakan asas atau pendidikan maupun teori belajar dimana kedua hal tersebut merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan dalam pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar yang di lakukan oleh guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Sagala, 2008:26). Tujuan pembelajaran menurut kurikulum 2013 adalah adalah mempersiapkan manusia indonesia agar memiliki kemampuan hidup dan seagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inofatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Seiring berjalannya waktu kurikulum semakin berkembang dari tahun ketahun, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kurikulum yang diterapkan ••• 309 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) sudah mengalami beberapa pergantian yang di kelompokkan berdasarkan tiga kelompok kurikulum, yakni rencana pelajaran, kurikulum berbasis tujuan dan kurikulum berorientasi kompetensi. Mentri pendidikan dan kebudayaan, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA mengatakan bahwa kurikulum 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap, keterampiln dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling mendasar ialah: a. Menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informsi dan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. b. Siswa lebih di dorong untuk memiliki tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berpikir kritis. c. Memiliki tujuan agar terbentuknya generasi produktif, kreatif, inofatif, dan afektif. d. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative memberi kesempatan kepada siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. e. Matapelajaran IPA dan IPS diajarkan dalam mata pelajaran bahasa indonesia. Terdapat empat aspek yang menjadi fokus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013. a. Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar yang menyangkut motodologi pelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46 b. Kompetensi akademik yang dimana guru harus menguasai metode penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa. c. Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asocial kepada siswa dan kepada teman sejawat lainnya. d. Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan digugu dan ditiru siswa. Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan dan penerapan kurikulum 2013 ini. Kesiapan guru ini kan berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong memiliki kemampuan lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, menalar, dan mengomunikasiakan apayang telah mereka peroleh setelah mereka menerima materi pelajaran (Kurniasih dkk, 2014:21-23). Dalam pendidikan guru memiliki peran penting dalam mendidik dan menyampaikan pembelajaran, guru juga di tuntut mampu memahami karakter seorang siswa yang berbeda, contohnya seperti siswa yang memiliki kebutuhan khusus, Siswa berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dengan siswa normal terutama pada aspek pendidikan. IDEA (Individuals with Disabilities Education Act) sebagai peraturan peruandangan federal pendidikan khusus ••• 310 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) memiliki enam prinsip pokok bagi pelayanan penididkan siswa disabilitas yang meliputi: a. Siswa disabilitas berkesempatan mengikuti sekolah negeri dan menerima layananpendidikan yang dirancang khusus menangani kebutuhan khusus yang dimiliki. b. Siswa disabilitas harus diajar di tengah ranah pendidikan menyerupai situasipendidikan siswa normal yang dilengkapi ketersediaan bantuan yang sesuai danmemadai. Artinya, diharapkan siswa disabilitas tidak diikutkan ke dalam kelas atausekolah terpisah yang membuat mereka minim akses terhadap teman sebaya. c. Layanan pengajaran dan pendampingan siswa disabilitas harus dirancang sehinggadapat memenuhi kebutuhan mereka. d. Siswa harus dinilai dengan alat ukur yang sama tanpa membeda-bedakan suku, etnis,ras, budaya ataupun disabilitas. e. Apabila terjadi perselisihan terkait kelayakan siswa atas pendidikan khusus,penempatan dan pelayanan pendidikan yang diterima, maka harus diselesaikan melaluiprosedur formal maupun informal dan tidak diizinkan merubah apapun sebelumperselisihan diselesaikan. f. Tidak boleh ada siswa yang dikecualikan dari pendidikan negeri atas landasanpenyandang disabilitas (Aron & Loprest dalam Friend dan Bursuck, 2015: 9-11). Anak berkebutuhan khusus berhak memperoleh pendidikan di sekolah umum dan belajar bersama anak-anak normal lain. anak berkebutuhan khusus memperoleh fasilitas dan bantuan khusus di sekolah umum. Tujuannya agar siswa berkebutuhan khusus mampu belajar dan bersosialisasi dengan anak normal meskipun dengan beberapa alat bantu sesuai kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus memperoleh pembelajaran yang sama dengan anak normal lain. Perbedaan terletak pada tingkat kecakapan dan kemampuan yang harus dicapai anak berkebutuhan khusus, yaitu lebih rendah dibandingkan anak normal sesuai dengan kemampuan maksimal yang dapat dicapai anak berkebutuhan khusus tersebut. Toleransi bersumber dari niat dan semangat menghargai dan menghormati sesama dengan keyakinan bahwa semua manusia pada hakikatnya sama dan setara. Toleransi berarti kesediaan memberikan ruang dan kesempatan kepada orang lain untuk menjalankan sesuatu yang menjadi keyakinan dan pendapatnya (Rusyan, 2013: 161). Dalam ruang lingkup pendidikan merupakan salah satu lingkungan yang heterogen. dari berbagai latar belakang siswa diajak belajar bersama. Toleransi memiliki peran untuk menciptakan sikap saling mneghormati dan menghargai di tengah perbedaan antar siswa tersebut. KESIMPULAN Konstruksi sikap toleransi sangat penting ditanamkan di sekolah. Generasi bangsa perlu diberikan pendidikan mengenai keberagaman salaing menghargai dan tolong menolong dan membangun sikap toleransi untuk masadepan bangsa yang damai. Dalam ruang lingkup Sekolah memiliki keberagaman dengan ••• 311 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) menempatkan dalam satu lingkungan siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal. Kondisi tersebut menjadikan toleransi penting di tanamkan di sekolah dasar inklusi untuk menciptakan sikap saling mneghormati dan menghargai perbedaan antar siswa. Salah satu alternatif untuk menjembatani permasalahan tersebut adalah melalui pembelajaran berbasis multikultural. Pendidikan multikultural sesuai untuk diimplementasikan dalam lingkungan sekolah. Pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk membangun sikap toleransi, peduli lingkungan, saling menghormati perbedaan baik perbedaan agama, etnis, suku, ras, bahasa, tolong menolong satu sama lain saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan, maupun kemampuan serta toleran terhadap siswa lain. ••• 312 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) DAFTAR PUSTAKA Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Yaya Suryana. (2015). Pendidikan multikultural. Bandung: CV PUSTAKA SETIA. Naim, Ngainun & sauqi, Ahmad. (2008). Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA GROUP. W. J. S. Poerwadarminto, (1986). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka. Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Santrock, Jhon W. (2010) Educational Psychology 2en Edition, Teori-teori pembelajaran: perspektif pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Choirul Mahfud, (2011) Pendidikan multikultural. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Suryana & Rusdiana. 2015. Pendidikan Multikultural. CV Pustaka Setia. Tilaar H. A. R. (2004). Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Trianto, (2011) Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan Dan Tenaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group. Sagala, Syaiful, (2008) Konsep Dan Makna Pembelajaran. Jakarta. Alfabeta Bandung. Imas Kurniasih S.Pd.I & Berlin Sani, (2014) Implementasi kurikulum 2013 konsep & penerapan. Surabaya. Kata Pena. Dani Cosme, Chrissy Pepino, Brandon Brown. 2010. E- Research A Journal of Undegraduate Work vol.1 no.2 Margaret Sutton, DEMOKRASI Vol. V No. 1 Th. 2006 Zuhairi Misrawi. 2010. Pandangan Muslim Moderat : Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian. Jakarta : Kompas. Wasisto Raharjo Jati, Toleransi Beragama Dalam Pendidikan Multikulturalisme Siswa Sma Katolik Sang Timur Yogyakarta Cakrawala Pendidikan, Februari 2014, Th. Xxxiii, No. 1 Banks, James A. 1993. Teaching Strategies for Ethnic Studies. Boston: Allyn and BaconInc. Friend, Marilyn dan William D. Bursuck. (2015). Menuju Pendidikan Inklusi. Terj. Annisa Nuriowandari. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rusyan, H. A. Tabrani. (2013). Membangun Disiplin Karakter Anak Bangsa. Jakarta: Pustaka Dinamika. Tamrin Amal Tomagola, John Haba. dkk. (2007). REVITALISASI KEARIFAN LOKAL Studi Resolusi Konflik Di Kalimantan Barat, Maluku, Dan Poso. International center for islam and pluralism Jakarta:ICiP. ••• 313 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) MANAKALA “LOCAL HEROES” MASUK KELAS SEJARAH Ganda Febri Kurniawan, Romadi, R. Suharso Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang gandafk4@gmail.com ABSTRAK Dialektika tentang pembelajaran sejarah di Abad 21 ini dibuka dengan iklim akademik yang memicu inovasi dalam berbagai aspek pendidikan. Materi ajar adalah satu diantaranya. Nitisemito, yang merupakan Raja Kretek dari Kota Kudus adalah salah satu Pahlawan Lokal (Local Heroes) yang kisah hidupnya berpotensi untuk membangkitkan gairah wirausaha dan kebangsaan bagi para siswa. Menjadikannya materi ajar adalah sebuah langkah konkret untuk dapat mentransmisikan nilai dan mentransformasikan kepribadian siswa ke arah yang lebih baik. Penelitian ini dikaji menggunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus. Temuan di lapangan menunjukan, setelah Nitisemito masuk kelas sejarah dengan diajarkan menggunakan model dialog interaktif, siswa lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran. Terbukti dari banyaknya siswa yang menanyakan siapa sebenarnya Nitisemito dan bagaimana kisah hidupnya. Di balik itu, untuk mencegah mitologisasi tokoh Nitisemito, pendidikan adalah jalan yang tepat karena di dalamnya terdapat unsur saintifik dan rasionalitas. Penulis menilai ketauladanan seorang Nitisemito yang ulet, kreatif, dan berkepribadian kuat sebagai wirausahawan adalah bahan ajar sejarah yang memenuhi kriteria untuk dibawa masuk ke dalam Kelas Sejarah. Selain itu siswa juga bisa memaknai apa itu nasionalisme dan sikap kebangsaan dari sudut pandang yang lain, dari Pahlawan Lokal Nitisemito. Kata Kunci: Local Heroes, Nitisemito, Kelas Sejarah Pendahuluan Pembelajaran sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai suatu petualangan bersama dari pengajar maupun yang diajar. Maka konsepsinya bukan hafalan fakta, melainkan riset bersama antara guru dan siswa. (Soedjatmoko dalam Depdikbud, 1989:11). Konsepsi tersebut sesuai dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 yang bertujuan agar siswa mampu membangun daya kritis untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan dasar pendekatan ilmiah dan metode yang benar, juga bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi dan penghargaan siswa terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti masa lalu. Sejarah lokal sebagai salah satu cabang dari ilmu sejarah kini tengah naik daun. Dibuktikan dengan beberapa Jurusan Sejarah di beberapa Universitas di Indonesia telah mengadakan seminar yang bertajuk sejarah lokal dalam tinjauan pendidikan maupun keilmuan. Terbaru adalah seminar yang diselenggarakan oleh ••• 314 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Asosiasi Pendidik dan Peneliti Sejarah (APPS) pada 13-15 Juli 2017 di Universitas Negeri Medan. Tema yang diangkat cukup faktual yaitu Pendidikan Sejarah dalam Pembentukan Karakter Bangsa di Masa Depan. Faktualitas dari tema tersebut terletak pada pendidikan karakter yang saat ini sedang digencarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan sejarah pada masa reformasi seperti sekarang harus lebih serius dengan tujuan untuk membuat peserta didik menjadi cinta dan memahami sejarah. Dari sana kemudian peserta didik akan memahami akar budaya mereka. Dalam cabang ilmu sejarah yang relevan dalam hal tersebut adalah sejarah lokal. Urgensinya saat ini memang sejarah lokal harus lebih sering masuk kelas sejarah. Mengingat Kochhar (2008:6) menerangkan bahwa sejarah merupakan cerita tentang perkembangan kesadaran manusia, baik dalam aspek individual maupun kolektif, perkembangan dari zaman klasik hingga modern, dari tingkat lokal, nasional, hingga multinasional. Universitas Negeri Malang melalui Jurusan Sejarahnya terlebih dahulu menyelenggarakan acara seminar nasional bertemakan Sejarah Lokal: Tantangan dan Masa Depan pada 26 April 2017. Di sana, sejarah lokal dikaji secara aktual dengan melibatkan para pakar dibidangnya. Hariyono (2017:4), yang juga salah satu Guru Besar Sejarah di UM, sebutan bagi Universitas Negeri Malang, menerangkan bahwa sejarah lokal di sekolah harus diajarkan secara kritis, terlebih dalam membangun sikap dan karakter peserta didik agar lebih sadar sejarah dan mengerti nilai nasionalisme dan kebangsaan secara rasional. Sejarah lokal, kata Warto (2017:128), yang juga Guru Besar dari Universitas Sebelas Maret dalam acara yang sama, adalah sebuah cabang ilmu sejarah yang dapat dijadikan satu alternatif dalam membina sikap nasionalisme peserta didik. Terlebih, di era seperti sekarang ini, dimana sikap kebangsaan kita tengah diuji oleh adanya beberapa event yang menghiasi panggung politik nasional. Sejarah lokal dapat memberikan satu wawasan budaya, sosial, politik, juga ekonomi di tingkat lokal yang akan menumbuhkan sifat behaviorisme, dimana nature of human being akan hidup di dalam Kelas-kelas sejarah. Lebih jauh, sejarah lokal, kata Rochiati Wiraatmaja, apabila ditangani secara serius oleh para peneliti, penulis dan pendidiknya akan menduduki posisi yang terhormat, jika menyajikan karya sejarah tematik yang integratif dengan cerdas dan sungguh-sungguh (Mulyana: 2007:214). Berpangkal dari pernyataan di atas dan mengimplikasikannya terhadap realitas, Hamid Hasan (dalam Mulyana, 2007:128-129) menjelaskan pendidikan sejarah di dalam bentuknya yang paling ekstrim tidak menjadikan sejarah sebagai wahana pendidikan tetapi sejarah adalah tujuan itu sendiri. Dengan demikian tujuan lain di luar menguasai disiplin ilmu sejarah dianggap tidak layak dan bahkan merupakan penyimpangan dari pendidikan sejarah. Tujuan yang mengandung nilai dan berkenaan dengan ranah efektif adalah bukan menjadi tugas pendidikan sejarah. Widja (1991:38) menerangkan, meskipun sejarah nasional dan sejarah lokal memiliki kategori unit historis sendiri-sendiri, tapi tidak bisa dipungkiri ••• 315 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) adanya keterkaitan antara peristiwa-peristiwa dalam konteks nasional dan konteks lokal. Dengan kata lain, realitas peristiwa sejarah di kedua level hanya bisa dimengerti lebih baik, apabila ditarik dalam perspektif makro dan mikronya. Bukan hanya dalam lingkup ilmu sejarah, di dalam lingkup pendidikan sejarahpun demikian. Realitas antara peristiwa nasional dan peristiwa lokal secara prinsip memiliki korelasi yang tegas, baik itu dalam aspek pengaruh maupun latar belakang persoalannya. Nitisemito lahir di Kudus pada tahun 1863. Nama pemberian orangtuanya adalah Rusdi. Rusdi lahir dari Ayah Haji Sulaiman, seorang lurah Desa Janggalan Kudus, dan Ibu bernama Markanah. Rusdi kecil tidak ingin seperti Ayahnya untuk menjadi lurah. Ia ingin menjadi pedagang. Rusdi tidak pernah mengecam pendidikan, sebab itu Rusdi dapat dikatakan buta huruf (Nitisemito, 1980:11). Namun hal lain dibalik kekurangan pendidikan yang diperoleh Rusdi adalah sebuah pemikiran besar pengusaha pribumi dikemudian hari. Menurut cucu Nitisemito, Nusjirwan, eyang sapaan akrab keluarga Nitisemito adalah seorang visioner dan berpikiran maju melebihi jamannya. Menurut data yang ada pada Museum Kretek Kudus, Nitisemito memulai industri rokok pada 1908 dengan sistem abon memproduksi rokok yang disebarkan ke rumah-rumah warga untuk diproduksi, setelah jadi kemudian disetorkan kembali yang dapat menghasilkan modal tambahan untuk mengembangkan usahanya. Pada 1914, Nitisemito mendirikan pabrik rokok Bal Tiga di daerah Jati dengan luas tanah mencapai 6 hektar, dengan jumlah karyawan kurang lebih sudah mencapai 10.000 orang. Keberhasilan Bal Tiga didukung oleh keuletan Nitisemito dalam menggunakan media promosi, sponsor tunggal, dan metode doorprize bagi setiap pembelian rokok yang beruntung. Ia selalu menjadi sponsor tunggal dalam setiap acara besar di Kudus dan kota-kota lainnya. Tokoh Nitisemito tidak menempatkan diri sebagai yang paling berharga dan berjasa di mata rakyat, akan tetapi bangsa, masyarakat, dan negara yang menilai, mengkritisi secara cermat dan cerdas, apakah ia layak menjadi pahlawan, atau sekadar orang terkenal yang hidup di masa lalu yang juga terkenal di masa sekarang (Kasmadi, 2005: 12). Di balik itu, Nitisemito adalah catatan sejarah lokal yang mempunyai pengaruh pada sejarah nasional, khususnya sejarah pergerakan nasional. Nitisemito lahir pada tahun 1863. Dan wafat pada Sabtu Kliwon, 17 Maret 1953 di Kudus dalam usia 90 tahun (Erlangga Ibrahim & Syahrizal Budi, 2015:37). Studi pendahuluan yang dilakukan di SMA N 1 Kudus menunjukan bahwa sebelumnya dalam pembelajaran sejarah materi tentang Nitisemito sudah disisipkan dalam rangkaian materi sejarah pergerakan nasional Indonesia. Modul ajar hasil penelitian pengembangan dijadikan bahan mengajar dalam materi tersebut. Peneliti coba mendalami proses pembelajaran itu dengan memperhatikan pandangan guru dan respon siswa terhadap materi ajar sejarah Pahlawan Lokal Nitisemito. Mengingat Nitisemito merupakan tokoh penting di ••• 316 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Kota Kudus dari dulu dan namanya masih dikenang hingga saat ini di mata masyarakat. Nampaknya penulis sepakat dengan apa yang diungkapkan oleh Louis Gottschalk dalam bukunya yang terkenal itu, “Understanding of History” (1986:2), bahwa patriotisme sebagai norma bagi penilaian penulisan sejarah harus selalu dicurigai oleh pembaca secara kritis. Bukan saja dalam dunia penulisan sejarah, dalam pendidikan sejarahpun harusnya demikian. Narasi sejarah kepahlawanan Nitisemito adalah corak patriotisme yang anti-mainstream. Di mana yang ditulis dan diajarkan bukanlah soal perjuangan angkat senjata, melainkan perjuangan dengan cara berniaga, memupuk ekonomi kelas menengah yang bercorak kerakyatan. Keberhasilan dan kemajuan pola berpikir Nitisemito dipandang sudah cukup untuk dijadikan aspek dalam pembelajaran sejarah. Lebih jauh, tokoh Nitisemito bagi masyarakat Kota Kudus adalah heroes yang mengharumkan nama masyarakat Kudus itu sendiri. Kecanggihan berpikir, keuletan, dan kemapanan dalam mengambil sikap dagang menjadikan Nitisemito sebagai Pahlawan Lokal yang tidak diragukan lagi peranannya dalam menumbuhkan industri kelas menengah di Kota Kudus. Lalu bagaimana ketika Pahlawan Lokal Nitisemito masuk ke dalam Kelas Sejarah?, artikel ini akan mengupas hal tersebut secara sistematis dan penjabarannya akan difokuskan pada aspek materi dan juga penerimaan siswa. Metode Penelitian Penelitian ini dikaji menggunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus. Data penelitian berupa wawancara bersama guru, observasi lapangan, serta studi dokumen dari RPP, Silabus serta bahan ajar di Sekolah. Yin (1994: 21) tidak cukup jika pertanyaan Studi Kasus hanya menanyakan “apa”, (what), tetapi juga “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why). Pertanyaan “apa” dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan deskriptif (descriptive knowledge), “bagaimana” (how) untuk memperoleh pengetahuan eksplanatif (explanative knowledge), dan “mengapa” (why) untuk memperoleh pengetahuan eksploratif (explorative knowledge). Yin menekankan penggunaan pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”, karena kedua pertanyaan tersebut dipandang sangat tepat untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang gejala yang dikaji. Selain itu, bentuk pertanyaan akan menentukan strategi yang digunakan untuk memperoleh data. Hasil dan Pembahasan 1. Nitisemito dalam Pembelajaran Sejarah Sejak awal dilakukannya penelitian, rasa penasaran peneliti adalah tentang pengasumsian Nitisemito sebagai pahlawan lokal yang diajarkan di dalam kelas sejarah. Proses itu diawali dengan penyusunan perencanaan pembelajaran sejarah pergerakan nasional, materi mengenai Nitisemito adalah ••• 317 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) materi sisipan di dalamnya. Lebih dari itu, guru beranggapan bahwa materi ini penting diajarkan pada generasi baru masyarakat Kota Kudus. Sebelum ada industri besar seperti sekarang, Nitisemito sudah merumuskan dan mengasah potensi dagang masyarakat lokal untuk memperkuat sektor ekonomi kerakyatan. Pendekatan yang menghubungkan peristiwa dan tokoh nasional dengan peristiwa dan tokoh lokal merupakan inovasi dalam pendidikan sejarah (Hasan, 2015:7). Masuknya narasi Pahlawan Lokal akan menambah gairah dalam memahami sejarah. Apalagi jika hal itu dipadukan dengan metode pembelajaran yang inovatif. Lengkap sudah, retorika dan gestur guru yang akan menentukan keberhasilan pembelajaran tersebut. Nitisemito merupakan tokoh lokal yang digandrungi oleh kalangan pedagang hingga politisi di zamannya. Perannya sangat besar bagi masyarakat Kudus dan Indonesia. Masuknya narasi tentang pahlawan lokal merupakan sesuatu yang baru dalam pembelajaran sejarah di era kontemporer. Mengingat, selama ini pembelajaran sejarah hanya berkutat pada narasi tentang sejarah nasional saja. Padahal potensi pahlawan lokal sangatlah besar, selain menanamkan identitas sosial, juga nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi inspirasi bagi siswa terkandung dalam narasi sejarah tersebut. Oleh karena itu, langkah memasukan narasi sejarah Pahlawan Lokal Nitisemito oleh guru sejarah di SMA N 1 Kudus merupakan satu inovasi yang patut di contoh oleh guru-guru di daerah lain. Berdasarkan potensi sejarah lokal dari Nitisemito, penulis berasumsi bahwa ia akan masuk ruang kelas sejarah dengan metode dan model pembelajaran apapun selama mampu menjadi sisipan dalam kerangka belajar satu semester. Ini merujuk pada pembelajaran sejarah lokal. Sedari dulu pembelajaran sejarah lokal belum menemukan titik temu. Padahal potensi historis-kultural seorang tokoh akan dapat merasuk pada penilaian siswa secara lebih komprehensif, karena faktor kesamaan daearah. (Kasmadi, 2005: 16). Pembahasan dari Wasino, yang juga seorang Guru Besar sejarah sosial dari Universitas Negeri Semarang mengenai sejarah tokoh Nitisemito di dalam Jurnal Paramita Vol.17, No.1-Januari 2007, Wasino menjelaskan degan judul Menjadi Kapitalis Di Tengah Negara Kolonialis: Nitisemito Membangun Perusahaan Rokok Kretek di Kudus Pada Awal Hingga Pertengahan Abad XX. Disebutkan bahwa Nitisemito jika dikaitkan dengan etos kerja Islam, ia dibentuk atas dasar nilai-nilai kedisiplinan dan ketekunan dalam agama Islam. Hal itu diperkuat lagi, ia sama sekali tidak mengeyam pendidikan formal ala Barat. Dari sini siswa dapat memperoleh makna bahwa etos kerja adalah penting dalam kehidupan, dan pendidikan bukanlah jalan satu-satunya untuk sukses. Di balik itu, tokoh Nitisemito mengajarkan keuletan dan keberanian dalam menghadapi problematika sosial yang berkecamuk zaman penjajahan. Rokok jenis kretek dimulai atau dirintis oleh Haji Djamhari yang merancang cengkeh dan dicampurkan dalam tembakau yang akan dilintingnya menjadi rokok sekitar tahun 1880. Namun pada 1906, langkah ditempuh Nitisemito lebih serius dalam menyelami bisnis kretek yang sangat ditentukan. ••• 318 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Keberhasilannya menyelami dunia usaha kretek tersebut telah mengangkatnya sebagai “Raja Kretek” dari Kudus. Pada 1938, perusahaannya memiliki 10.000 orang pegawai dan memproduksi 10 juta batang (Surjadi, 2013:90). Lagi-lagi Nitisemito memang sumber inspirasi bagi siswa, semangat dagangnya melampaui zaman, sehingga sebagai pribumi namanya cukup disegani oleh bangsa barat pada waktu itu. Hal tersebut sangat relevan jika dijadikan media dalam memantapkan identitas sosial siswa. Nitisemito adalah cermin pribumi yang bersemangat dan memiliki etos kerja tinggi. Ketokohannya di mata masyarakat Kudus Kulon merupakan sebuah kebanggaan. Bagi guru sejarah di SMA N 1 Kudus Nitisemito adalah pahlawan lokal, kemampuannya lepas dari lubang jarum kolonialisme dengan mendirikan pabrik rokok milik pribumi pertama adalah langkah yang out of the box dan patut dicontoh. Selain itu, Nitisemito dengan perjalanan hidupnya yang sangat heroik itu (bukan dalam pengertian politis), telah memberikan inspirasi bagi masyarakat Kudus untuk membuka usaha dagang di level menengah. Nilai sosial yang terkandung dalam perjalanan hidup tokoh Nitisemito adalah modal bagi guru untuk mengajar. Sudah tidak diragukan lagi kemahsyurannya, Nitisemito adalah simbol kebesaran pengusaha pribumi yang ulet, tekun, disipli, dan memiliki etos kerja tinggi. Selain itu yang patut dicontoh dari Nitisemito adalah jiwa sosialnya, bagi sebagian kalangan yang hidup se zaman dengan Nitisemito, ketokohannya adalah gambaran umum masyarakat Kota Kudus yang dermawan dan diilhami oleh nilai-nilai islami. 2. Pandangan Guru Masuknya Local Heroes ke dalam kelas sejarah merupakan sebuah kemajuan dalam dunia pendidikan nasional Indonesia di era reformasi. Di samping menambah wawasan, special impact dari hal tersebut adalah pembentukan identitas sosial siswa. Diharapkan kemudian siswa akan paham asal usul siapa sebenarnya diri mereka itu. Lalu sikap kepahlawanan dari narasi Local Heroes tentu akan memicu siswa untuk dapat berpikir kritis terhadap fenomena sosial. Nitisemito telah mengajarkan bagaimana bertahan hidup dalam segala keterbatasan dan keterpurukan zaman kolonial. Masalah pembelajaran sejarah lokal terhadap tokoh Nitisemito ini telah lama menjadi perhatian guru-guru sejarah. Terhitung dari acara seminar MGMP Sejarah Kab.Kudus dan Jurusan Sejarah Unnes tahun 2005. Namun demikian, disini kita dapat menemukan rumusan sederhana dalam pemecahan sejarah Nitisemito menjadi sejarah lokal pada sekolah. Menurut I Gde Widja (1989:19) sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup tertentu yang meliputi lokalitas terbatas. Biasanya dikaitkan dengan unsur wilayah. Oleh karena itu guru sejarah SMA N 1 Kudus bersepakat dengan pihak sekolah bahwakisah dan kenyataan sejarah Nitisemito relevan dan mampu dibawa oleh guru untuk diajarkan ke dalam kelas sejarah. Eksplanasi sejarah bukan hanya berkaitan dengan penjelasan kausalitas suatu kejadian tetapi berkaitan dengan banyak hal. Ada enam kaidah ••• 319 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) penjelasan sejarah yaitu regularitas, generalisasi, memakai inferensi statistik, pembagian waktu, sejarah naratif, dan perspektif sejarawan (Kuntowijoyo, 2008:10-18). Rasanya dalam mengajarkan sejarah kepahlawanan Nitisemito, guru cukup menggunakan metode naratif. Di balik itu, metode naratif akan memberikan kesan bahwa Nitisemito itu hidup dalam imajinasi masyarakat Kota Kudus, terutama di kalangan kelas menengah. Nama Nitisemito harum dan akan selalu dikenang, kata guru pada peneliti. Guru melihat bahwa kepahlawanan Nitisemito memiliki ciri khusus. Ketokohannya tidak lahir dari berpolitik melainkan dari jalan berdagang. Narasi seperti ini yang luput dari pencatatan sejaran nasional Indonesia. Akhirnya sejauh ini kebanyakan sejarah hanya diajarkan secara politis, ada pula yang menganggap sejarah itu sebagai doktrin. Berbeda halnya ketika melihat sejarah perjalanan hidup Nitisemito. Nilai-nilai sosial seperti ulet, disiplin, tekun dan dermawan memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk dapat melihat kehidupan di masa yang akan datang secara optimis. Nilai-nilai itu dapat ditransmisikan melalui pembelajaran sejarah, selama ini materi tentang Nitisemito diselipkan dalam narasi sejarah pergerakan nasional Indonesia. Sejarah lokal, kata Hariyono (2017:10) menjadi salah satu tema sejarah yang menarik baik dalam proses penelitian maupun pembelajaran di level pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Perlu terus digalakan kemampuan membaca dan memahami sumber lokal (Warto, 2017:128), hal itu akan berpengaruh pada penguasaan guru terhadap materi sejarah lokal, salah satunya materi ajar Nitisemito. Guru menyatakan bahwa sumber sejarah lisan menjadi acuan dalam menyusun sumber belajar, ditambah ada beberapa sumber tertulis yang ada di Museum Kretek Kudus. Semua sumber diramu untuk menjadikan pembelajaran sejarah lebih menarik. Hendaknya pembelajaran sejarah itu dapat mengispirasi siswa untuk bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik. Guru melihat penguasaan teori akan memudahkan proses pembelajaran di Kelas, termasuk dalam mengajarkan materi Pahlawan Lokal Nitisemito, guru mencoba terus memegang kuat teori konstruktivisme. Dewey (2002:70) menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan. 3. Respon Siswa Pembelajaran sejarah kisah Pahlawan Lokal Nitisemito menggunakan model diskusi kelompok. Sebelum itu guru terlebih dahulu menerangkan dengan alat bantu modul ajar hasil penelitian R & D siapa sebenarnya Nitisemito itu. Lalu dalam proses menerangkan itu, guru dinilai sudah cukup demokratis dan sistematis. Terbukti oleh sikap siswa yang sering merespon guru dengan bertanya mengenai materi kepahlawanan Nitisemito. Terutama mengenai perspektif kepahlawanan yang berbeda. Semula pahlawan selalu ••• 320 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) identik dengan langkah politik, tetapi berbeda dengan Nitisemito yang identik dengan usaha dagang Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di dalam kelas dalam setting pengajaran (Joyce, 2009:56). Untuk menetapkan model mengajar yang tepat, merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai materi yang akan diberikan dan model mengajar yang dikuasai. Dalam pembelajaran sejarah materi kepahlawanan Nitisemito, model pembelajaran yang diterapkan guru sudah tepat. Dengan dialog dalam skema diskusi seperti itu, siswa terpicu untuk mengetahui lebih jauh ketokohan Nitisemito. Sejarah lokal menarik manakala membasiskan dirinya pada pengalaman hidup komunitas maupun seseorang yang memiliki pengaruh dalam komunitas sosialnya. Nitisemito adalah bagian dari pengalaman hidup masyarakat Kota Kudus. Munculnya industri besar saat ini seperti Djarum, adalah buah inspirasi dari seorang Nitisemito. Selebihnya Nitisemito telah dijuluki “Raja Kretek”. Siswa merespon hal itu dengan menanyakan maksud dari istilah “Raja Kretek”. Dalam pandangan guru, istilah itu bukan hal yang biasa, melainkan sebuah penghormatan masyarakat Kota Kudus terhadap peran dan kedermawanan Nitisemito dalam mengisnpirasi pengusaha kelas menengah di Kudus. Sejarah, kata Gazalba (1981:viii) meskipun sejarah membicarakan masa yang lampau tetapi yang menjadi perhatian sesungguhnya adalah masa kini, dan tujuannya adalah masa yang akan datang. Untuk mencapai kesadaran sejarah bagi para siswa, materi mengenai Nitisemito sangatlah penting. Terutama muatan sejarah lokal di dalamnya akan memberikan imajinasi yang tidak terlalu jauh bagi para siswa. Mengingat sejarah lokal sendiri memiliki kelebihan yaitu membantu siswa memahami sejarah secara lebih dekat. Transformasi peserta didik menjadi pembahasan yang menarik di Abad 21 ini. Proses mendidik tidak lagi diartikan secara dikdaktis, melainkan kolaborasi antara guru dan siswa dalam memecahkan sebuah masalah. Masalah itu bisa berupa pembahasan mengenai tema-tema khusus dalam pembelajaran sejarah maupun tema sisipan seperti ketokohan Nitisemito. Walaupun sebenarnya materi tentang Nitisemito tergolong sebagai tema khusus dalam pembelajaran. Salah satu siswa mengasumsikan Nitisemito sebagai Super Hero. Siswa setelah mendengar narasi tentang Nitisemito menjadi tahu siapa sebenarnya Saudagar Nitisemito itu, terbukti dari hasil wawancara yang menyebutkan Nitisemito adalah orang yang menginspirasi, dia adalah pahlawan bagi masyarakat Kota Kudus. Eksistensi sejarah sebagai ilmu yang logis dan empiris menjadi penting dalam mengajarkan sejarah lokal (Hariyono, 2017:6). Tidak terkecuali tentang Pahlawan Lokal Nitisemito. Guru harus memberikan pemahaman kepada siswa supaya siswa tidak terjebak dalam mitos. Kerangka struktural penting diungkapkan dalam narasi yang lunak dan mudah diterima supaya siswa dapat ••• 321 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) melakukan analitis-kritis terhadap suatu peristiwa sejarah (Sartono Kartodirdjo, 1992:114-115 dalam Warto, 2017:126). Siswa yang terpicu oleh narasi tersebut tentu seketika akan memberikan respon seperti bertanya atu memberikan argumentasi yang logis dan juga rasional (bisa diterima akal sehat). Guru, siswa, dan para sejarawan yang pernah meneliti Nitisemito berpendapat bahwa kisah Nitisemito adalah narasi sejarah yang cukup relevan untuk diajarkan. Kelas sejarah sebagai arena tentu bisa mewadahi materi tersebut. Begitu pula tentang Nitisemito-Nitisemito lain di daerah-daerah yang lain. Kelas sejarah akan lebih semarak dengan masuknya materi-materi yang tidak pernah terduga sebelumnya, seperti contoh kasus materi Nitisemito, siswa antusias dibuktikan dengan pertanyaan dan sikap kritis siswa terhadap sosok Nitisemito. Peneliti juga beranggapan bahwa pendidikan cukup efektif untuk membendung mitologisasi tokoh-tokoh di daerah karena di sana diajarkan sikap rasional dalam melihat fenomena kesejarahan. Simpulan Di mata masyarakat, nama Nitisemito sudah mencerminkan seorang pahlawan. Perannya dalam membangun sektor dagang kelas menengah masih bisa dirasakan hingga saat ini di Kota Kudus. Untuk mencegah mitologisasi namanya dibutuhkan wadah yang tepat bagi proses transmisi nilai sosial dari sejarah hidup seorang Nitisemito. Pembelajaran sejarah adalah media yang tepat akan hal ini. Guru menilai kisah hidup Nitisemito sudah lebih dari cukup untuk dijadikan materi ajar sejarah yang disisipkan dalam narasi sejarah pergerakan nasional Indonesia. Siswa merespon hal itu dengan cukup antusias dengan lontaranlontaran pertanyaan yang kritis mengenai ketokohan Nitisemito. Dengan diajarkannya materi tersebut, diharapkan nama besar Nitisemito akan selalu hidup di tengah masyarakat Kudus, lagkah itu dilakukan sebagai upaya melawan lupa terhadap sejarah lokal yang selama ini masih dikesampingkan perannya dalam membangun generasi baru Indonesia melalui bidang pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Depdikbud. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta. Depdikbud, 1989. Dewey, John. Experience and Education. Terjemajan John de Santo. Yogyakarta: Kepel Press, 2002. Diknas. Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta. Diknas, 2014. Gazalba, Sidi. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981. Gottschalk, Louis. Understanding of History. Depok: UI Press, 1986. Hariyono. “Sejarah Lokal: Mengenal yang Dekat, Memperluas Wawasan”. Makalah Seminar Sejarah Lokal: Tantangan dan Masa Depan. Malang: Universitas Negeri Malang, 2017. 1-11. Hasan, Hamid. “Pendidikan Sejarah dalam Mempersiapkan Generasi Emas: Suatu Perubahan Paradigma Pendidikan Sejarah dengan Referensi pada ••• 322 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Kurikulum 2013”. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Asosiasi Pendidik dan Peneliti Sejarah (APPS). Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat,2015. 1-26. Ibrahim,Erlangga & Syahrizal Budi.Raja KretekM.Nitisemito: Pengusaha Pribumi Terkaya Sebelum Kemerdekaan. Jakarta. Batara Media, 2015. Joyce, Bruce. Models of Teaching: Advance Organizer. New Jersey: Pearson education Inc. 2009. Kasmadi, Hartono. “M.Nitisemito: Sebagai Lokal Hero dalam Kelas Sejarah”. Paper Disajikan Pada FGD MGMP Sejarah Kabupaten Kudus dan Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2005. 1-17. Kochhar, S. K. Pembelajaran Sejarah: Teaching of History. Jakarta: PT Grasindo, 2008. Kuntowijoyo.Penjelasan Sejarah: Historical Explanation. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Mulyana, Agus dan Gunawan, Restu. Sejarah Lokal Penulisan dan Pembeajaran di Sekolah. Bandung: Salamena Press, 2007. Nitisemito, Alex Soemadji. Raja Kretek Nitisemito. Kudus: Indie, 1980. Radjab, Surjadi. Dampak Pengendalian TembakauTerhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta. Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) dan Center For Law and Order Studies (CLOS), 2013. Warto. “Tantangan Penulisan Sejarah Lokal”. Jurnal Sejarah dan Budaya. Vol. 11, No. 1 (Juni 2017): 123-159. Wasino.Menjadi Kapitalis Di Tengah Negara Kolonialis: Nitisemito Membangun Perusahaan Rokok Kretek di Kudus Pada Awal Hingga Pertengahan Abad XX. Jurnal Paramita: Historical Studies Journal.Vol.17, No. 1 (Januari 2007). Widja, I Gde. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana, 1989. Widja, I Gde. Sejarah Lokal: Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung: Penerbit Angkasa, 1991. Yin, Robert. K. Case Study Research: Design and Methods, Second Edition. USA: Sage Publications, 1994. ••• 323 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) HUBUNGAN PEMAHAMAN WAWASAN KEBANGSAAN DAN KESADARAN SEJARAHDENGAN SIKAP DEMOKRASI SISWA SMA NEGERI DI BANDA ACEH Abdul Azis1; Hermanu Joebagio2; Sudiyanto3 ¹Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, ²Guru Besar Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta ³Doktor Pendidikan Akutansi, FKIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta abdazys5@gmail..com ABSTRAK Sikap demokrasi merupakan unsur penting dalam menunjang kelangsungan hidup sebagai sebuah bangsa, terutama pada Era reformasi. Oleh sebab itu, kemerosotan sikap demokrasi siswa dewasa ini patut mendapat perhatian antara lain dengan menanamkan pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dalam proses pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis: (1) pemahaman wawasan kebangsaan dengan sikapdemokrasi siswa di SMA Negeri Banda Aceh, (2) hubungan kesadaran sejarah dengan sikapdemokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh, (3) hubungan pemahamanwawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi siswa di SMA Negeri Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif expost facto dengan desain penelitian korelasional. Populasi penelitian ini adalah siswa SMA Negeri Banda Aceh sebesar 1015. Sampel penelitian ini berjumlah 265 siswa yang diambil dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Untuk menentukan besar sampel tersebut menggunakan table Fernanded. Proses pengumpulan data menggunakan instrument angket pemahaman wawasan kebangsaan (X1), angket kesadaran sejarah (X2), dan angketdemokrasi (Y).Teknik Analisis data menggunakan analisis korelasi, regresi sederhana, dan regresi ganda pada taraf signifikansi 5%.Dengan perhitungan menggunakan SPSS 22. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman wawasan kebangsaan dengan sikap demokrasisiswa. Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar rx1y= 0,955 dan p. value (sig) sebesar 0,0001 sehingga p<0,05 menunjukkan bahwa hubungan antara X1 dengan Y merupakan hubungan yang positif dan signifikan. (2) terdapat hubungan positif antara kesadaran sejarah. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebsar rx2y= 0, 929dan P. value (sig) sebesar 0,0001< 0,05, dan (3) terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman wawasankebangsaan dan kesadaran sejarah, secara bersama-sama dengan sikap demokrasi. Hasil penelitian diperoleh bahwa regresi b untuk pemahaman wawasan kebangsaan0.676 dan kesadaran sejarah sebesar 0,328 konstanta a sebesar 10,506. Dengan demikian bentuk hubungan antara variabel bebas dan terikat dapat digambarkan oleh persamaan regresi Y= 10,506 + 0.676 X1 + 0,328X2. Nilai koefisien regresi pemahaman wawasan kebangsaan (X1) sebesar 0,676 dengan tanda Positif.Nilai koefisien regresi variabel kesadaran sejarah sebesar 0,328 dengan tanda Positif. Kata kunci: pemahaman wawasan kebangsaan, kesadaran sejarah, sikap demokrasi, pembelajaran Sejarah ••• 324 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) PENDAHULUAN Pendidikan merupakan kekuatan besar yang mampu mengarahkan manusia untuk mencapai hasil yang diharapkan melalui berbagai upaya baik pengajaran maupun pelatihan, sehingga terjadi proses perubahan pada sikap seseorang. Pendidikan diharapkan mampu membentuk masyarakat Indonesia menjadi individu yang memiliki potensi tidak hanya secara akademik tetapi juga memiliki karakter yang kuat dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur bangsa. Penting untuk memahami pendidikan yang menjadi kebutuhan bangsa ini, sebagaimana yang dikemukakan (Fedyani, 2008) bahwa pendidikan bukan sekedar proses transfuse ilmu pengetahuan, tetapi juga proses yang strategis menanamkan nilai dalam rangka kebudayaan anak manusia. Maksud pendidikan tersebut sesuai dengan pendapat (Dewantara, 1977) bahwa yang di angan-angankan sang pendidik tidak lain adalah mencari tertib damainya tingkah laku terbawa dari patut pantasnya sifat lahir seseorang. Sehingga melalui pendidikan sejarah terbentuk generasi muda Indonesia yang menentukan dan mengambil sikap terhadap berbagai arus yang sedang berkembang baik politik, ekonomi, maupun sosial berdasarkan pemahaman dan wawasan yang dimilikinya. (Nugroho Putro, 1995)mengatakan“Many educators and lawmakers believe that history should be taught in the public schools because it contributes to the development of patriotism and democratic attitudes”. Pemahaman sejarah diperlukan untuk menentukan alternative masa yang akan datang yang berakar dalam realitas sejarah pada masa lalu dan masa sekarang. Dalam hal ini nilai utama belajar sejarah adalah membantu peserta didik mengembangkan wawasan dan pemahaman terhadap fakta sejarah.Sebagaimana perubahan mendasar yang terjadi pada awal abad XX, yaitu terdapat perbedaan strategi dalam melawan penjajahan.Pada abad XVII, XVII, dan XIX perlawanan dilakukan dalam bentuk strategi otot seperti berkelahi atau perang.Memasuki abad XX, dengan latar belakang pendidikan yang ada, amak orang-orang terdidik berpikir dan mengubah strategi.Strategi perlawanan tidak hanya dengan menggunakan otot, tetapi dengan otak yang dikenal dengan pergerakan nasional (Gonggong dalam (Fedyani, 2008)). Sejarah pergerakan nasional Indonesia dipelopori oleh kelompok pemuda yang pada puncaknya melahirkan Sumpah Pemuda.Kelompok ini diwakili oleh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi pemuda.Demikian juga pada masa kemerdekaan, terutama Era Reformasi, organisasi gerakan mahasiswa mampu mempengaruhi perkembangan dan praktik demokrasi bahkan mempengaruhi kebijakan pemerintahan melalui aksi atau demo yang terkadang bersifat anarkis. Hakikat dari gerakan politik mahasiswa pada umunya adalah perubahan, yaitu mengubah kondisi kehidupanya yang ada untuk digantikan dengan situasi yang di anggap lebih memenuhi harapan (Albatbach, 1998). Keinginan akan perubahan biasanya muncul karena adanya pemahaman terhadap situasi dan ••• 325 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) kondisi yang sedang berlangsung, terutama yang erat kaitanya dengan keresahan masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa pemuda Indonesia selalu menjadi bagian dari pilar demokrasi, sebagai pelopor, pergerakan, bahkan pengambil keputusan. Hal ini terbukti melalui sumpah pemuda 1928, pergerakan 1945, angkatan 1966 yang membidani Tritura, malaria 1974, 1978 dan reformasi 1998. Namun, seiring perkembangan politik yang dilatarbelakangi demokrasi sebagai system politi, peran pemuda mulai dihadapkan pada persimpangan pemikiran dan gerakan, sehigga tujuan untuk membangun perubahan menuju situasi yang lebih baik justru yang terjadi sebaliknya (Fadhilah, 2011). Berbagai aksi demontrasi yang dianggap suatu bentuk gerakan yang dilakukan mahasiswa sebagai wujud kritik terhadap pemerintah akhir-akhir ini mulai mengalami kemorosotan kepercayaan dari masyarakat.Bahkan aksi demontrasi seringkali disinyalir sudah dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan elit berkuasa.Gerakan mahasiswa sudah mulai kehilangan nilai-nilai idealism, dan tidak jarang di anggap sebagai perpanjangan tangan dari partai politik yang sedang berkuasa. Ketika suatu negara tidak menaruh perhatian terhadap pendidikan, maka negara tersebut tidak membangun sumber kekuatan, sumber kemajuan, sumber kesejahteraan dan sumber martabatnya yang bias diperbaharui, yaitu kualitas manusia.Kualitas ini ditentukan oleh tingkat kecerdasan dan kekuatan karakter rakyatnya (Raka, 2011). Dalam hal ini, pendidikan sejarah mempunyai peran penting dalam membangun kepribadian dan sikap mental serta dapat mengakibatkan kesadaran akan suatu dimensi yang amat fundamental dalam eksistensi umat manusia. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk menjembatani pemahaman. Bloom (Azwar, 2012) mengemukakan comprehension: Translation from symbolic from to another form, or vice virsa. Pemahaman erat kaitanya dengan kemampuan menterjemahkan bentuk symbol ke bentuk lain atau sebaliknya atau kemampuan mengungkap makna tersirat dari sebuah peristiwa. Sikap demokrasi sangat penting dalam menunjang kelangsungan hidup sebagai sebuah bangsa, terutama pada Era Reformasi sekarang ini.Oleh sebab itu kemorosotan sikap Demokrasi pemuda terutama siswa dewasa ini sebagaimana yang telah dipaparkan di atas patut mendapat perhatian.Salah satunya dengan menanamkan pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah kepada mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara pemahaman wawasan kebangsaan dengan sikap demokrasi siswa SMA Negeri di Banda Aceh. 2. Untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara kesadaran sejarah dengan sikap Demokrasi siswa SMA Negeri di Banda Aceh ••• 326 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 3. Untuk menemukan ada tidaknya hubungan secara bersama antara pemahman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi siswa SMA Negeri di Banda Aceh. 4. Untuk menentukan Reliabilitas Angket dan menentukan rangkuman data variabel penelitian setelah diubah dalam skala interval. 5. Untuk menentukan normalitas dengan metode Lilliofors, serta uji Multiokoleniaritas dan uji linearitas. 6. Untuk menentukan analisis korelasi parsial uji Korelasi Rho Spearman Hipotesis 1 dan 2 7. Untuk menentukan analisis korelasi berganda, regresi linear berganda Non Parametrik, uji signifikansi model, perhitungan koefisien determinasi, sumbangan relative dan sumbangan efektif, penafsiran hipotesis dan kesimpulan pengujian hipotesis. METHODOLOGI Jenis penelitian ini merupakan penelitian kwantitatif deskriptif korelasional. Penelitian kwantitatif deskriptif korelasional bertujuan untuk menentukan kecenderungan atau pola dua variabel atau lebih untuk bervariasi secara konsisten (Cresswell, 2015). Penelitian ini melihat bagaimana keterkaitan antara variabel-variabel yang akan diteliti, dengan menggunakan uji statistik korelasional guna mendeskripsikan dan mengukur derajat keterkaitan atau hubungan variabel-variabel penelitian yang telah ditentukan. Penelitian ini menggunakan desain korelasional eksplanatorik. Desain korelasional eksplanatorik bertujuan untuk melihat sejauh mana dua variabel (atau lebih bervariasi, artinya, perubahan yang terjadi pada salah satu variabel itu terefleksi dalam perubahan variabel lainnya (Cresswell, 2015). Penelitian ini melihat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dimana, variabel bebas pertama (X1) pemahaman wawasan kebangsaan, variabel bebas kedua (X2) kesadaran sejarah, dan variabel terikat (Y) sikap Demokrasi diasumsikan berkovariasi secara linear. Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulanya (Sugiyono, 2012). Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas XI bidang ilmu-ilmu sosial SMA negeri di Banda Aceh tahun akademik 2017/2018, yaitu sebanyak 1016 orang. Sampel terstratifikasi dilakukan dengan membagi populasi berdasarkan ciri khusus tertentu (Cresswell, 2015). Dalam penelitian ini keseluruhan sample di stratifikasi berdasarkan sekolah dengan rangking tinggi, sedang dan rendah berdasarkan penilaian Dinas Kependidikan dan Olahraga, peneliti menetapkan sample berjumlah 365 responden dari 4 sekolah negeri berdasarkan kelompok strata sesuai rangking dinas yaitu SMA Negeri 1, SMA Negeri 2, SMA Negeri 3, SMA Negeri 4. Ke empat sekolah tersebut sudah di ambil berdasarkan strata rangking tertinggi, sedang dan rendah secara acak. PENEMUAN PENELITIAN ••• 327 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Artikel ini terdiri dari satu kelompok yaitu kelompok Kuantitatif. yang dalam paparannya akan disampaikan menjadi beberapa subbab, berikut ini; A. Temuan data Penelitian kuantitatif Temuan data kuantitatif dalam penelitian ini terdiri dari; (1) reliabilitas Angket dan rangkuman data variabel penelitian setelah diubah dalam skala interval. (2) Normalitas dengan metode Lilliofors, serta uji Multiokoleniaritas dan uji linearitas. (3)Analisis korelasi parsial uji Korelasi Rho Spearman Hipotesis 1 dan 2. (4) Analisis korelasi berganda, regresi linear berganda Non Parametrik, uji signifikansi model, (5) perhitungan koefisien determinasi, sumbangan relative dan sumbangan efektif, (6) penafsiran hipotesis dan kesimpulan pengujian hipotesis. 1. Menentukan Reliabilitas Instrumen Berdasarkan perhitungan sesuai dengan rumus didapatkan nilai alpha untuk masing-masing variabel peneitian seperti terlihat pada table dibawah ini: No 1. 2. 3. Tabel 1: Reliabelitas Angke Kuisioner Nilai Alpha C > 0.70 Pemahaman 0,808 Wawasan kebangsaan Kesadaran Sejarah 0,807 Sikap Demokrasi 0,739 Keterangan Reliabel Reliabel Reliabel 2. Data variabel setelah di ubah dalam skala interval Rangkuman deskripsi data variabel setelah di ubah dalam skala interval dapat dilihat table berikut ini: Table 2: Rangkuman deskripsi data variabel penelitian Variabel N Nilai Nilai Rata-rata Penelitian Tertinggi Terendah Pemahaman 265 122, 885 80,481 101,051 Wawasan kebangsaan Kesadaran 265 104,448 63,890 84,012 sejarah Sikap Demokrasi 265 126, 307 86,549 106,385 Standar Deviasi 10,232 11,071 10,748 3. Pengujian Prasyarat Analisis. Sebelum melakukan analisis statistic terhadap data baik korelasi maupun regresi maka terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis mengenai varian populasi. Adapun uji prasyarat analisis antara lain: a. Uji Normalitas Tabel 3; Normalitas dengan metode Lilliofors Variabel PAlpha Keterangan Value 0.05 ••• 328 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Pemahaman wawasan kebangsaan Kesadaran Sejarah Sikap Demokrasi 0,034 < Tidak Normal 0,0001 0,001 < < Tidak Normal Tidak Normal b. Uji Multikolonearitas Tabel 4; Uji Mutikoleniaritas Model Pemahaman Wawasan Kebanbangsaan Kesadaran Sejarah Colenearity Statistics Tolerance VIF 0, 161 6, 215 0, 161 6, 215 c. Uji Linearitas Tabel 5; Analisis Uji Linearitas Variabel Sig. X1*Y X2*Y 0.156 0.119 Kondisi (Probability 0,05) >0.05 >0.05 Kesimpulan Linear Linear 4. Pengujian Hipotesis Berdasarkan karakteristik data masing-masing variabel yang diperoleh dari uji prasyarat analisis, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian hipotesis terhadap variabel variabel penelitian.Tahapan tersebut secara terperinci terdiri dari analisis korelasi parsial dengan product moment, analisis korelasi berganda, dan juga menentukan regresi linear berganda, seterusnya uji signifikansi model (keberartian koefidien korelasi ganda). Satu persatu pengujian hipotesis sebagai berikut; 1. Analisis Korelasi parsial Tabel 6; Uji Korelasi Rho Spearman Hipotesis 1 dan 2 No 1. Hubungan Pemahaman Wawasan kebangsaan dangan sikap demokrasi Rxy ,955 P(Sig) ,0001 2. Kesadaran Sejarah dengan sikap demokrasi ,955 ,0001 Keterangan Ada hubungan dan signifikan (Hipotesis diterima) Ada hubungan dan signifikan (Hipotesis diterima) 2. Analisis Korelasi Berganda Hasil uji korelasi berganda antara pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi diperoleh nilai Ry12 sebesar 0,927 dengan p. Value 0,000 sehingga p. Value <0.05 menunjukkan bahwa terdapat ••• 329 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) hubungan yang signifikan antara wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh. Dengan demikian hipotesis diterima. 3. Regresi Linear Berganda Non Parametrik Hasil uji korelasi berganda antara pemahaman wawasan kebangsaan dan kesedaran sejarah dengan sikap demokrasi diperoleh nilai Ry12 sebesar 0,927 dengan p. Value 0.000 sehingga p.Value <0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh. 4. Uji Signifikansi Model Hasil uji F diperoleh nilai F sebesar 1661,481 dengan p,value (sig) sebesar 0,0001 sehingga p < 0.05 menunjukan bahwa regresi berbentuk linear yang artinya dapat dipergunakan untuk membuat kesimpulan mengenai hubungan sejumlah variabel yang sedang dipelajari, yaitu hubungan antara pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh. 5. Perhitungan koefisien determinasi Koefisien determinasi merupakan kuadrat dari koefisien korelasi antara variabel variabel bebas (X1,X2) terhadap variabel (Y) yang ditunjukkan oleh nilai (ry1)2 = 0,911 dan (ry2)2= 0,862 sementara koefisien determinasi X1 dan X2 dengan Y yaitu sebesar 0,990. 6. Sumbangan Relativ dan sumbangan Efektif Tabel 7; Sumbangan Efektifdan Sumbangan relative Variabel Sumbangan Efektif XI dengan Y X2 dengan Y Total 61,50% 31,40 % 92,90 % Sumbangan Relatif 66.20% 33.80% 100% 7. Penafsiran hipotesis Tabel 8; Penafsiran Hipotesis No Variabel 1. 2, 3 X1 dengan Y X2 dengan Y X1,X2 dengan Y Nilai koefisien korelasi (Ry1) 0,955 0,929 0,927 8. Kesimpulan Pengujian hipotesis Berdasarkan hasil analisis data dan penarikan kesimpulan terhadap perhitungan-perhitungan hipotesis maka dapat dilihat kesimpulan hipotesis bahwa: 1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman wawasan kebangsaan dengan sikap demokrasi. Hal ini menunjukkan oleh perhitungan koefisien korelasi sebesar 0,955dengan p.value (sig.) ••• 330 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 0.0001 <0,005 dan adanya koefisien determinasi yang menyatakan sumbangan pemahaman wawasan kebangsaan terhadap sikap demokrasi sebesar 6150%. 2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitngan koefisien korelasi sebesar 0,929 dengan p,value (sig,) 00001 <0,005 serta adanya koefisien determinasi yang menyatakan sumbangan kesadaran sejarah terhadap sikap demokrasi sebesar 33,41 %. 3. Terdapat hubungan positif yang signifikan secara bersama-sama dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan koefisien regresi pemahaman wawasan kebangsaan sebesar 0, 676 dan kesadaran sejarah dan koefisien regresi sebesar 0328 kemudian dengan menggunakan uji F diperoleh kriteria yang dikehendaki yaitu Fhit 161481> dari Ftab 1.224 dengan taraf signifikansi 5% serta adanya koefisien determinasi yang menyatakan sumbangan pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah terhadap sikap demokrasi sebesar 92,90 %. PEMBAHASAN Bagian ini membahas jenis temuan penelitian kuantitatif yang sebelumnya dipaparkan dalam table di atas, dengan mengumpulkan data penelitian, peneliti memperoleh 8 tujuan penelitian.Tujuan penelitian pertama bersadarkan tabel 1, Ialah menentukan reliabelitas angket/kuisioner. Yaitu pertama pemahaman wawasan kebangsaan berjumlah r11= 0,808 dan kuisioner kedua kesadaran sejarah berjumlah r11= 0,807 dan kuisioner ketiga sikap demokrasi berjumlah r11= 0,739. Suatu instrumen dikatagorikan reliabel apabila mempunyai indeks reliabelitas ≥ 0,70 (Budiyono, 2003). Tujuan kedua membahas tentang deskripsi dan masing-masing variabel penelitian berdasarkan table 2, erhitungan analisis korelasional menggunakan product moment dan regresi linear berganda yang digunakan merupakan analisis data jenis data skala interval. Oleh sebab itu, terlebih dahulu data hasil penelitian diubah ke dalam skala interval. Melalui metode MSI (mensucsessive interval) menggunakan software ExcelStat 97 (Cresswell,333-335). dapat dilihat sebagai berikut; a) Pemahaman wawasan kebangsaan (X1) merupakan variabel bebas pertama dalam penelitian ini, data yang diperoleh melalui instrument angket. Data yang diperoleh 265 siswa sebagai responden dengan menggunakan 30 butir angket menunjukkan skor tertinggi= 122,885, skor terendah=80,481, mean= 101.051, median (Me)= 100,847, range= 42,404, standart deviasi= 10, 232 dan standart error of mean (SE)= 0.630. b) Kesadaran sejarah (X2) merupakan variabel bebas kedua dalam penelitian ini, data yang diperoleh melalui instrument angket. Data yang diperoleh dari 266 siswa sebagai responden dengan menggunakan 30 butir angket menunjukkan skor tertinggi= 104,448, skor terendah= 63,890, mean = 84, ••• 331 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 012, media (Me)= 85, 30,68191, range= 40,558, standart deviasi= 11,071 dan standart error of mean (SE)= 0,681. c) Sikap demokrasi (Y) merupakan variabel terikat dalam penelitian ini, data yang diperoleh melalui instrument angket. Data yang diperoleh dari 265 siswa sebagai responden dengan menggunakan 30 butir angket menunjukkan skor tertinggi= 126,307, skor terendah= 86,549 mean (X) = 106,385 range= 39,758, median (Me)= 106, 019, stndart deviasi = 10,748, dan standart error of mean (SE)= 0,661. Tujuan ketiga membahas tentang Pengujian Prasyarat analisis mengenai varian populasi, yang terdiri dari uji Normalitas, uji multikolenearitas dan uji linearitas (lihat table 3,4 dan 5). a) Table 3. Menunjukkan bahwa variabel X1 P-value=0,034, X2 P-Value= 0,0001, Y P-value= 0,001. Interprestasi analisis; Ho= variabel berasal dari sampel yang berdistribusi normal, Ha= variabel berasal yang tidak berdistribusi normal, tingkat signifikansi= 0,05. Kesimpulan uji Ho ditolak dan Ha diterima. Uji normalitas liliofors memperlihatkan bahwa sampel dalam penelitian tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hal tersebut akan mempengaruhi pengujian hipotesis menjadi perhitungan dengan statistic nonparametric. b) Table 4. Menunjukkan bahwa tidak ada variabel bebas yang memiliki tolerance lebih besar dari 1 dan tidak ada varibael bebas memiliki nilai VIF lebih besar dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinearitas antara variabel bebas dalam model regresi atau dengan kata lain variabel bebas masing-masing independen trhadap variabel terikat c) Table 5. Menunjukkan bahwa hasil pengujian yang diperoleh sebagaimana terlihat pada table diatas menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear antara variabel bebas pertama yaitu pemahaman wawasan kebangsaan (X1) dengan variabel terikat yaitu sikap demokrasi (Y) yang ditunjukkan dengan P = 0,156 > a = 0,05, variabel bebas kedua yaitu kesadaran sejarah (X2) dengan variabel terikat yaitu sikap demokrasi (y) yang ditunjukkan dengan P = 0,119< a = 0,05. Tujuan keempat membahas tetang analisis korelasi parsial antara hubungan variabel bebas (pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah ) dengan sikap demokrasi siswa SMA negeri Banda Aceh. Dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus korelasi product moment Rho spearman dengan bantuan ExcelStat 2017. Berdasarkan table 6. Menunjukkan bahwa; a) Hubungan signifikan antara variabel pemahaman wawasan kebangsaan (X1) dengan sikap demokrasi (Y) ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi sebesar rxly= 0,955dan p. value (sig.) sebesar 0.0001 sehingga p<0,05 menunjukkan bahwa hubungan antara X1 dengan Y merupakan hubungan yang positif dan signifikan. Artinya pemahaman wawasan kebangsaan ••• 332 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) memiliki kekuatan untuk menumbuhkan sikap demokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh. b) Hubungan signifikan antara variabel kesadaran sejarah (X2) dengan sikap demokrasi (Y) ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi sebesar rx2y= 0,929 dan p.value (sig.) sebesar 0,0001< 0,005 dengan demikian terdapat hubungan positif dan signifikan antara kesadaran sejarah dan sikap demokrasi siswa. Artinya kesadaran sejarah memiliki kekuatan untuk menumbuhkan sikap dmokrasi siswa. Semakin tinggi kesadaran sejarah siswa maka semakin tinggi pula nilai sikap demokrasi siswa. Tujuan kelima membahas tentang sumbangan relative sumbangan efektif, perhitungan koefisien determinasi regresi ganda menunjukkan sumbangan variabel-variabel bebas (X1 dan X2) terhadap variabel terikat (Y) sebesar 92, 60%.Namun, disamping itu perlu diketahui sumbangan masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat berupa sumbangan relative dan sumbangan efektif dapat dilihat pada table 7.Sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel pemahaman wawasan kebangsaan terhadap sikap demokrasi sebesar 61.50% dan sumbangan efektif variabel kesadaran sejarah sebesar 31.40%.total keseluruhan sumbangan variabel bebas ke variabel terikat sebesar 92,90%, sedangkan sisanya yaitu 7,10 % dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini yang juga mempengaruhi variabel terikat. Disamping itu, table teraebut juga memperlihatkan bahwa sumbangan efektif pemahaman wawasan kebangsaan angkanya lebih tinggi dibandingkan sumbangan efektif kesadaran sejarah.Dengan demikian variabel pemahaman wawasan kebangsaan mempunyai peran yang besar dalam pningkatan sikap demokrasi siswa SMA Negeri Banda Aceh. Sumbangan efektife pemahaman wawasan kebangsaan menunjukkan bahwa mempengaruhi sikap demokrasi siswa.Dngan demikian pemahaman wawasan kebangsaan sebagai salah satu pengetahuan yang harus ada dalam materi sejarah dan disampaikan kepada siswa mmberikan pengaruh dalam bentuk sikap siswa.Adapun sumbangan relative yang diberikan oleh variabel pemahaman wawasan kebangsaan terhadap sikap demokrasi sebesar 66,20 % dan sumbangan relative variabel kesadaran sejarah terhadp sikap demokrasi sebesar 33,80%, dengan demikian total dari sumbangan relative kedua variabel bebas terhadap variabel terikat sebesar 100%. Tujuan keenam membahas tentang penafsiran hipotesis berdasarkan table 8. Menjelaskan bahwa pengujian hipotesis antar variabel pemahaman wawasan kebangsaan (X1) dengan variabel sikap demokrasi (Y).variabel kesadaran sejarah (X2) dengan variabel sikap deokrasi (Y), serta variabel pemahaman wawasan kebangsaan (X1) dan variabel kesadaran sejarah (X2) dengan variabel sikap demokrasi (Y). hubungan dari variabel tersebut dapat dilihat sebagai berikut; a) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara variabel X1 dengan variabel Y yang ditunjukkan oleh niai koefisien koorelasi (ry1)= 0,955. b) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara variabel X2 dengan variabel Y yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (ry2) = 0,929 ••• 333 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) c) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara variabel bebas (X1 dan X2) dengan variabel terikat (Y) yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (ry12)= 0,927. KESIMPULAN Berdasarkan kajian teori, hasil penelitian dan pembahasan dalam bab sebelumnya maka penelitian ini dapa disimpulkan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman wawasan kebangsaan dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan koefisien korelasi sebesar 0,955 serta, adanya koefisien determinasi yang menyatakan sumbangan pemahaman wawasan kebangsaan terhadap sikap demokrasi sebesar 61,50%. 2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kesadaran sejarah dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan koefisien korelasi sebesar 0,926 serta adanya koefisien determinasi yang menyatakan sumbangan kesadaran sejarah terhadap sikap demokrasi sebesar 31,40%. 3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah secara bersama-sama dengan sikap demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan koefisien regresi pemahaman wawasan kebangsaan sebesar 0,676 dan kesadaran sejarah sebesar 0,328 kemudian dengan mengunakan uji F diperoleh kriteria yang dikehendaki yaitu Fhit 1661,481 > dari Ftab 1.224 dengan taraf signifikansi 5%, serta adanya koefisien determinasi yang menyatakan sumbangan pemahaman wawasan kebangsaan dan kesadaran sejarah terhadapa sikap demokrasi sebesar 92,90%. DAFTAR PUSTAKA Albatbach, P. (1998). Politik Mahasiswa: Perspektif dan Kecenderungan Masa Kini. Jakarta: Gramedia. Azwar, S. (2012). Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cresswell, W. J. (2015). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Jakarta: Gramedia. Dewantara, K. H. (1977). Bagian Pertama; Pendidikan. yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Fadhilah, N. (2011). Penerapan Demokrasi di Lingkungan Gerakan Mahasiswa UNISMA Bekasi. Kybernan, Vol. 2, No. 2. Fedyani, a. (2008). Refleksi Karakter Bangsa. Bogor: Forum kajian antropologi Indonesia. Nugroho Putro, H. P. (1995). Kontribusi Pemahaman Makna sejarah Indonesia abd XIX dan kesadaran sejarah terhadap sikap kepemimpinan mahasiswa pendidikan sejarah. Surakarta: Pps IKIP Jakarta KPK UNS Surakarta. Raka, G. (2011). Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: PT Alex Media Kumputindo. ••• 334 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan (Pnelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. ••• 335 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) ••• 336 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Bona Pasogit (Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar) Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan Magister Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan Tripanjaitan16@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini mengkaji mengenai bagaimana proses pewarisan budaya berlangsung di dalam keluarga marga Panjaitan, khususnya keluarga Turunan Raja Hasoge Panjaitan. Adanya kebutuhan masyarakat Batak Toba untuk dapat memahami seluk-beluk silsilah keluarganya dengan baik dan benar, dengan mencari identitas kebatakan mereka yang nantinya sebagai sejarah keidupan. Seperti kita lihat banyak saat ini masyarakat Batak Toba kembali peduli terhadap bona pasogitnya bukan semata hanya mencari tanah makam, melainkan mencari tahu tentang tarombo mereka dan akhir membentuk network sejalan dengan tarombo tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana proses-proses pewarisan budaya yang berlangsung, serta apa yang menyebabkan masyarakat kembali peduli terhadap kampung halamannya. Dengan mengetahui proses pewarisan budaya tersebut maka dalam hal ini suku Batak Toba tidak lagi mengalami kegalauan dalam menetukan identitasnya. Berdampak positif terhadap upaya revitalisasi nilai-nilai kebatakan tersebut sebagai sumber sejarah. Kata Kunci : Bona pasogit, pewarisan budaya, revitalisasi nilai-nilai PENDAHULUAN 1. Latar belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki beragam suku bangsa, dan mempunyai ciri-ciri tersendiri masing-masing daerahnya.Perkembangan teknologi sangat mendukung penyebaran suku-suku bangsake daerahdaerahlain dengan meninggalkan daerah asalnya. Difusi kebudayaan pun terjadi karena interaksi antar suku bangsa berlangsung. Didukung juga nasionalisme yang tinggi dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.Generasi muda sekarang telah mengenal beragam corak kebudayaan yang dapat mengkaburkan budaya sukunya sendiri. Kekaburan budaya yang dimaksud seperti, terjadinya pemakaian bahasa Indonesia di rumah, dan tidak lagi mengerti tentang bahasa daerahnya,tidak mengenal lagi asal usul sukunya,tidak lagi mengenal kekerabatan seperti hal pemanggilan terhadap keluarga telah menggunakan bahasa Indonesia, dalam suku bangsa Batak Toba memanggil“BapaUda” dengan panggilan“Om”. Perubahan kebudayaan ini membuat kalangan orang tua berusaha agar generasi muda tetap memahami kebudayaan sukunya.Didalam kalangan generasi muda suku bangsa Batak Toba dalam hal ••• 337 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) partuturan banyak yang tidak paham. Bila ditanya dari mana marganya itu berasal kebanyakan tidak mengetahuinya.Walaupun orang tua berusaha agar anaknya mengetahui hal tersebut. Berbagai cara dilakukan orang tua agar generasi muda tidak menghilangkan identitas ke Batakannya. Para orang tua menganggap penting budaya Batak Toba itu diwariskan dan berupaya mempertahakan kebudayaan Batak Toba. Satu diantara keluarga Batak Tobamarga Panjaitan yang tinggal dikota Pematang siantar melakukan proses pewarisan budaya. Keluarga Panjaitan ini kembali peduli terhadap Bona Pasogit. Kepedulian kembali keluarga marga Panjaitan terhadap Bona Pasogitnya teraplikasi melalui ritual adat seperti pesta Mangokal Holi, pendirian tambak, melakukanr enovasi ruma-ruma, sopo, melakukan rapat-rapat organisasi marga dalam usaha pengajuan nenek moyang sebagai pahlawan nasional, acara mangojakhon harajaon (mewariskankerajaan) dan juga berlibur.Dan juga pengenalan terhadap budaya Batak Toba seperti peningalanpeninggalan nenek moyang keluarga marga Panjaitan, tarombo (silsilah keluarga), menceritakan perjalanan hidup nenek moyang kepada generasi muda. Keluarga marga Panjaitan melakukan hal itu untuk mengetahui tentang Bona Pasogit, yang telah lama ditinggalkan sejak melakukan migrasi ke Pematang siantar. Bona Pasogit marga Panjaitan ini terletak di Sitorang IBanjar Ganjang Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Kawasan ini merupakan tanah marga Panjaitan yang khususnya keturunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan.Menurut Vergouwen (1986) tanah marga ini disebut juga bonani pinasa (tempat asal leluhur) atau bonanipasogit(daerahleluhur).BonaPasogit yang merupakan suatu daerah tempat tinggal nenek moyang orang Batak Toba, yang disebut dengan huta. Para warga desa Banjar Ganjang ini diikat oleh hubungan darah dan merupakan turunan dari satu leluhur yaitu Raja Sijorat Paraliman Panjaitan.Dalam satu desa tersebut umumnya bermukim marga. Panjaitan,hanya sebagian kecil marga lain berada dalam desa Banjar Ganjang. Dalam desa itu terdapat ruma-ruma adat Batak, Tugumarga, tambak (Kubur batu), Sopo maupun ruma-ruma (rumah), organisasi-organisasi salah satu keturunan nenek moyang, yang mendapatkan kembali perawatan dan juga pembuatan baru yang dilakukan para perantau saat ini telah bermigrasi ke berbagai daerah. Satu diantara Sopo danTugu keturunan marga tersebut merupakan milik dari keluarga marga Panjaitan keturunan Raja Hasoge Panjaitan, keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini memiliki beberapa generasi dan satu Sopo, tambak yang telah didirikan baru-baru ini dan peninggalanpeninggalan nenek moyang seperti alat-alat tenun, juga tongkat. Perhatian terhadap bona pasogit semakin meningkat, walaupun keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini tidak satupun yang tinggal di Sopo itu, karena menetap di tanah rantau dengan alas an pekerjaan dan juga beberapa Sopo juga mulai diperbaiki oleh penduduk setempat. ••• 338 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Keluarga Raja Hasoge Panjaitan ini merupakan satu diantara suku bangsa BatakToba yang bermigrasi ataupun merantau dari Tapanuli Utara ke kota Pematang siantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Sitalasari. Kota Pematang siantar merupakan kota yang heterogen yang memiliki suku yang berbagai, yaitu Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, Melayu, Tionghoa. Interaksi antar suku pun terjadi yang memungkinkan difusi kebudayaan juga terjadi. Namun dengan kesadaran Keluarga Panjaitan ini terhadap pentingnya budaya Batak Toba tersebut, sehingga mereka berusaha mempertahankan kebudayaannya, mengenal kembali bona pasogit. Seperti wakil Bupati Toba Samosir Liberty Pasaribu, mengatakan bahwa pembangunan di bonapasogit melalui pendirian makam keluarga (tambak) merupakan kepedulian dalam pelestarian budaya serta mengetahui asal-usul silsilah dan upaya memahami budaya leluhur sambut beliau saat menghadiri acara peresmian makam keluarga Tri Medya Panjaitan (DPR-RI) pada 25 Juni 2011. Kabag Humas Toba Samosir Arwanto H. Ginting juga mengatakan budaya ziarah menjadi wisata makam sebagai pelestarian budaya di bonapasogit (http://humastobasa.wordpress.com) penulis juga turut hadir dalam acara tersebut. Simanjuntak (2010:173) mengatakan nilai budaya tradisional itu masih punya tempat dikalangan orang Batak masa kini, bahkan sebagian masih sangat kuat kedudukannya dan mengharapkan hasil analisa yang lebih dalam tentang budaya Batak Toba. Mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, berusaha menghimbau para perantau Sumatera Utara, terutama yang berasal dari Tapanuli untuk memperhatikan kembali kampung halaman,dengan gerakan “Marsipature HutanaBe” (MHB) yang artinya mari membangun desa masing-masing (Pelly292: 1994). MHB ini berfalsafah dasar melestarikan nilai-nilai luhur di pedesaan (Ritonga 107:2000). Nilai-nilai leluhur bisa berupa siapa sebenarnya nenek moyang mereka,dimana makamnya, seperti apa perjalanan hidup nenek moyang mereka.Suku bangsa Batak Toba berusaha menggalis silsilah kekeluargaan mereka yang dalam bahasa Batak Toba “Tarombo”. Hal diatas yang mendasari peneliti untuk meneliti proses pewarisan budaya yang dilakukan dalam keluarga Panjaitan di Pematangsiantar. Karena keluarga ini berusaha mempertahankan serta mencari tahu identitas ke Batakan mereka. Selain itu juga penelitiakan melihat seperti apa proses pewarisan budaya itu terjadi di Bona Pasogit mereka. 2. Tinjauan Pustaka Suku bangsa Batak adalah Proto Malayan samaseperti bangsa Toraja, bukan Neo Malayansepertibangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda, Madura. Suku Bangsa Batak semula adalah satu dari Proto Malayan Tribes, dipegunungan perbatasan Burma (Thailand). Disitu suku Bangsa Batak ribuan tahun lamanya bertempat tinggal dengan suku-suku Bangsa Proto Malayan Tribes lainya (Parlindungan 1964 : 19). Dan Parlindungan (1964 : 19-22) berpendapat suku bangsa Proto Malayan Tribes ada 8 suku yaitu:suku bangsa ••• 339 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Karen, suku bangsa Ranau, suku bangsa I gorot, suku bangsa Meo, suku bangsa Toraja, suku bangsa Tayal, suku bangsa Botoc, suku bangsa Wadjo. Suku bangsa Igorotlah mendarat di Pantai Barat Pulau Andalas berangkat bermigrasi dari Burma karena serangan Bangsa Mongol. Disitu suku bangsa Batak terpisah ada yang mendarat dipulau Simalur, Nias, Batu, Mentawai. Dan juga ada yang mendarat di Sungai Simpang,yang sekarang adalah Singkil, Aceh. Dan terakhir mendarat di muara sungai Sorkam, antara Barus dan Sibolga. Memasuki pedalaman sampai di kaki Gunung Pusuk Buhit, ditepi Danau Toba sebelah Barat, di seberang Pangururan,Kab.Toba Samosir. Menurut Bruner(dalam Nainggolan 2006:44) Orang Batak sendiri yang menyebut diri mereka sebagai halakhita (orang kita).‘orang kita’berasal dari nenek moyang yang sama: Si Raja Batak. Mereka mengindifikasi diri mereka atas dasar hubungan keluarga. Menurut Sang ti (1977:26) suku bangsa Batak sebagai satu diantara suku bangsa dari rumpun Melayu. Asal kata‘Batak’berasal dari kata ‘Bataha’sebagaina masa tuantara kampong di Burma,yang merupakan asal orang Batak sebelum menyebar kepulauan Nusantara. Vergouwen (1986:43) menyebutkan golat adalah tanah wilayah suatu marga, yang saat digunakan sebagai tempat upacara persembahan disebut bius. Menurut Vergouwen warisan dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari tanah milikorang yang sudah meninggal, serta kekayaannya yang lainya itu rumah, lumbung padi (sopo), ternak, pepohonan, barang bergerak, hutang-piutang, dan uangnya (Masinambow 2000:288). Setelah menyebar di berbagai daerah dan berusaha beradaptasi didaerah masing-masing orang Batak membutuhkan bantuan sesama orang Batak sehingga terbentuklah network. Network merupakan hubungan pribadi yang mempunyai ikatan satu sama lain. Ikatan ini dapat terjadi diantara individu, rumah tangga, keluarga, tetangga, kolega, teman sekelompok social lainnya. Keuntungan masuk network dapat meminta bantuan dari orang lain, tetapi juga harus memenuhi kewajiban moral untuk saling bertukar dan berbagi bersama (Schweizer dalamNainggolan 2006 : 141). Cavalli-Sforza dan Felman (dalam Jhon W. Berry 1999) mengistilahkan pewarisan budaya satu generasi kegenerasi ini sebagai “pewarisan tegak”, karena melibatkan penurunan ciri-ciri budayaorang tua ke anak cucu. Pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai budaya, keterampilan, keyakinan, motif budaya, dan sebaginya kepada anak-cucunya. Pewarisan budaya memiliki dua bentuk , mendatar dan miring. Dalam bentuk miring pewarisan budaya bersumber dari orang dewasa lainnya, bias dari kelompoknya sendiri, serta kelompok lainya. Dalam bentuk mendatar pewarisan budaya tersebut bersumber dari teman sebaya. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana marga Panjaitan melakukan proses pewarisan budaya.Dan bagaimana marga Panjaitan menemukan kembali identitas ••• 340 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) lamanya yang telah mengalami kekaburan. Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian berikut : 1.Apa arti Bona Pasogitbagi orang Batak Toba? 2.Bagaimana proses pewarisan budaya Batak Toba di Bona Pasogit tersebut berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan? 4.Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Dan mengetahui tujuan proses pewarisan budaya tersebut dilakukan. Manfaat penelitian secara akademis adalah untuk memperkaya literatur mengenai kehidupan marga panjaitan tersebut dalam persepektif Antropologi. Sedangkan manfaat secara praktis yaitu berguna bagi masyarakat umum dan akademis secara khusus, sebagai salah satu sumber informasi tentang Bona Pasogit marga Panjaitan. Selain itu menghimbau masyarakat Batak Toba berusaha mencari Bona Pasogit keluarga mereka. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Peneliti akan menggunakannative’spointofve mengenai proses-proses pewarisan budaya tersebut. Dengan memakai metode penelitian kualitatif diharapkan akan dapat membantu dalam menggali informasi sebanyak mungkin di lapangan mengenai proses pewarisan budaya yang ada dalam kehidupan keturunan Raja Hasoge Panjaitan, sehingga didapat data yang diinginkan tentunya berdasarkan observasi dan wawancara di lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian guna mendapatkan data-data dilapangan antara lain: 1.5.1.Teknik Observasi Partisipasi Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati berbagai hal seperti tempat, siapa pelaku yang terlibat, benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam proses pewarisan budaya yang dilakukan keluarga keturunan Raja Hasoge Panjaitan. Dalam hal ini peneliti mengikuti proses yang berjalan dalam proses pewarisan tersebut karena penulis sendiri juga keturunan Raja Hasoge Panjaitan. Proses pewarisan ini diikuti penulis sendiri dengan cara mengikutiacara-acara organisasi marga yang dibentuk oleh marga Panjaitan itu sendiri. Rapat-rapat organisasi marga tersebut selalu diikuti oleh penulis setiap hari minggunya yang dilaksanakan ditempat penelitian penulis di sitorang. Dan juga rapat-rapat organisasi marga yang dilakukan secara formal maupun tidak formal yang diadakan di Pematang siantar. Penulis juga memberikan ide-ide didalam rapat tersebut sebagai partisipasi penulis mengikuti rapat-rapat tersebut. Dan juga penulis mengamati cara-cara sangayah sendiri dalam mewariskan budaya Batak Toba itu terhadap generasi-generasi muda Panjaitan baik di Pematang siantar dan juga Sitorang, KabTobasa. Dan juga dalam renovasi sopo penulis juga turut aktif ••• 341 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) dalam kegiatan ini. Penulis ikut membantu dan juga sambil mengobservasi bagian-bagian sopo dan apa-apa saja yang masih tertinggal didalam sopo tersebut. Dengan cara tersebut peneliti dapat memperoleh informasi awal untuk lebih mendalami tentang cara-cara pewarisan budaya yang dilakukan. Dari hasil pengamatan atau observasi, peneliti menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan sekaligus menyimpan dan mengarsipkan data yang dilakukan dengan dalam bentuk foto dan video. Sumber dan jenis data itu berupa kata-kata dan tindakan, sumbertertulisberupadokumen-dokumen pribadi, foto-foto dan data statistic (Moleong 2006: 157-162) 1.5.2.Teknik Wawancara Lapangan Wawancara adalah komunikasi dua atau lebih orang untuk bertukar informasi dan ide melalui Tanya jawab,sehingga dapat dikonstruksikan mana dalam topic tertentu.Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam,dimana peneliti dan informan saling berkomunikasi, berdiskusi didalam kehidupan social keluarga keturunan Raja Hasoge Panjaitan setiap harinya. Peneliti juga dibantu dengan pedoman wawancara (interview guide). Semua orang yang terlibat dalam proses pewarisan budaya tersebut dapat dijadikan informan agar mendapatkan data yang lebih akurat. Dan dalam rapatrapat organisasi marga penulis juga melakukan wawancara sebelum rapatdimulai, yang mana akan menjadi informasi awal dalam pembahasan tentang informasi bonapasogit itu sendiri. Dalam renovasi sopo peneliti juga mempertanyakan latarbelakang sopo itu dibangun dan untuk apa sopo itu direnovasi.Dengan demikian peneliti dapat lebih akurat mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan laporan penelitian ini. Selain itu peneliti juga akan menggunakan data kepustakaan guna melengkapi informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data kepustakaan dapat diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti berkasberkas, buku-buku, majalah koran, dan sumber elektronik seperti televisi, radio, internet. Data tersebut digunakan sebagai pelengkap dan penyempurna hasil dari observasi dan wawancara. Peralatan visual juga akan sangat membantu dalam pengumpulan data-data dalam penelitian ini. Seperti alat rekam dan kamera yang penggunaannya terlebih dahulu harus disetujui oleh informan. HASIL Penelitian ini merupakan pengalaman penulis saat mengikuti penyelesai sengketa tanah di kampung halamannya di Desa Sitorang pada tahun 2002. Sengketa tanah ini terjadi karena seorang warga desa mengaku bahwa tanah yang merupakan hak milik dari keluarga penulis adalah kepemilikan oleh warga desa tersebut. Dan dalam penyelesaiannya yang sampai pada kantor Kecamatan Silaen. Penulis yang merupakan anak laki-laki tunggal dalam keluargatersebutmengikuti setiap tindakan dalam hal penyelesaian masalahnya. Pada tahun 2010 akhir sengketa tanah tersebut berakhir dan keluarga penulis mensepakati merenovasi tambak yang ada disekitar tanah sengketa tersebut dan melakukan acara ••• 342 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) mangokalholi. Pada saat itu penulis masih duduk di semester II Antropologi Sosial di Universitas Sumatera Utara. Dalam mengikuti kuliah-kuliahnya sebagai mahasiswa Antropologi, penulis berusaha ingin menulis hal-hal yang terjadi di kampung halamannya ini, penulis mulai mengumpulkan data melalui obeservasi partisipasi. Dan pada tahun 2013 penulis diberi ijin melakukan penelitian ke kampung halamannya tentang proses-proses pewarisan budaya yang ada di Bona Pasogit. Pada awalnya penulis memberikan surat ijin penelitian terhadap ketua organisasi marga Panjaitan sektor jalan Bali kota Pematang siantar, yaitu bapak Raja Hasoge II Timbul Panjaitan IXV. Beliau merupakan ayah penulis sendiri, dengan mengetahui hal tersebut beliau bertanya :“mau seperti apa nantinya isi skripsimu itu? Penulis menerangkan dengan singkat tujuan penelitian ini nantinya. Dan beliau membantu member jalan dalam penelitian ini. Beliau mengajak peneliti untuk ikut dalam rapat organisasi KTRSPPB (Kesatuan Turunan Raja Sijorat Panjaitan dan Boru) yang saat itu diadakan di Hutanamora Kab.Tobasa rumah bapak Kol. Purn. Busisa Panjaitan. KTRSPPB ini merupakan network orang Batak marga Panjaitan yang dihubungankan melalui sebuah kerajaan yang ada pada masa nenek moyang dan turun-temurun bergenerasi. Penulis merasa senang karena desa tersebut dekat dengan lokasi penelitian penulis. Sampai di desa tersebut beliau memperkenalkan penulis dengan Kepala desa Hutan amora dan kepala Desa Sitorang 1,yang bernama Binahar Panjaitan dan Gosen Panjaitan. Beliau menerangkan bahwa desa Hutanamora itu dulunya termasuk desa Sitorang. Desa Sitorang pada saat ini terbagi menjadi empat desa, dan desa Sitorang masih dalam pengusulan menjadi sebuah kecamatan. Penulis pun menjadi bingung karena surat ijin penelitian penulis ditujukan kepada Kepala Desa Sitorang, dan desa Sitorang terbagi menjadi empat desa. Kepala desa Hutan amora member solusi, dan mengijinkan saya melakukan penelitian di tempat bonapasogit penulis. Dan dalam rapat tersebut juga hadir keempat kepala desa yang dulunya desa Sitorang, mereka mengijinkan saya melakukan penelitian, karena dulunya semua desa ini memang kekuasaan Raja Panjaitan, demikian mereka menjelaskan. Rapat pun dimulai ternyata rapat tersebut menjawab pertanyaan penelitian penulis secara umum, KTRSPPB akan dibentuk sebagai wadah penyaluran informasi-informasi tentang nenek moyang khususnya Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. KTRSPPB ini digagasi oleh Ir. Pandapotan Panjaitan, Abdul Panjaitan dan St.Raja. Hasoge Panjaitan KTRSPPB ingin mempertahankan identitas ke Batakan mereka dan mereka berusaha mencari tahu silsilah nenek moyang mereka yang sebenarnya dari turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan tujuan utama KTRSPPB memperjuangkan Raja Sijorat ke VIII Tua Raja Panjaitan menjadi pahlawan nasional. Dalam benak penulis menyatakan inilah proses pewarisan budaya tersebut, karena sang ayah membawa penulis mengikuti rapat-rapat organisasi marga agar mengetahui ide-ide dan tujuan organisasi tersebut. Kemudian para penggagas KTRSPPB melakukan pembentukan kepanitian untuk melaksanakan Pesta Deklarasi KTRSPP se-Sumatera Utara. Binahar Panjaitan terpilih menjadi ketua pesta deklarasi ini. Setelah itu penentuan program kerja pengumpulan dana ••• 343 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) untuk pesta ini nantinya. Gagasan pun muncul rencana melakukan penerbitan buku. Buku itu merupakan isi dari sejarah kegiatan hidup Raja Sijorat Paraliman Panjaitan semasa menduduki kerajaanSijorat.Penulis memberi pendapat dirapat tersebut: “Amang apakah buku ini nantinya berbahasa Indonesia, saya piker jika berbahasa Indonesia sebaiknya kita urus ISBNnya agar lebih terjaga buku ini tidak dicopy sebarang oleh orang lain ujar penulis. Ketua KTSPPB yaitu Ir. Pandapotan Panjaitanpun menyatakan:“Homa anon pahopu na mambaen igabe bahasa Indonesia, ai marbahasa Batak dope bukku taianon. molo ho kan nungga maloanon mambahasa Indonesiakan i” , artinya“ kamulah nanti cucuku yang mengubahnya itu menjadi bahasa Indonesia, nantinya buku ini akan terbit berbahasa Indonesia. Kamu kan nantinya lebih pintar menyusun buku ini menjadi bahasa Indonesia”. Penulis pun semangat mendengar hal tersebut, dan berencana akan melakukan hal tersebut. Keesokan harinya penulis diajak para panitia pesta mendatangi Tugu Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Penulispun mengendara mobil menuju ke tugu tersebut, selama di perjalanan penulis melihat hamparan padi yang hijau yang dilindungi oleh perbukit-bukitan. Penulispun bertanya “Luas juga Sitorang ini amang”, seseorang berbicara, penulis melihat ke kaca spion dalam ternyata Penasehat KTRSPPB selaku orang yang tinggal di Desa Sitorang St.Malatang Panjaitan.“Sitorang on nunggu pas gabe Kecamatan molo i ida sian luas na, ida ho ma bukit i disi ma Desa sibide, i desa i ma Raja Sijorat mambaen banteng pertahan tingki bolanda nnungga sahat tu sitorangon, sian sibidei boita ida tao toba, PT.PULP Lestari, Sungai Asahan, molo mardalan torus 2 borngin sahat ma i tutanjung balai, ai sian ni do rajai ma nohor si ratu tanjung balai tinggi muara i kuasai bolanda”. “ Sitorang ini sudah cocok dijadikan sebuah kecamatan bila dilihat dari luasnya, kamu lihatlah perbukitan disana, itulah yang bernama desa Sibide letak dari benteng pertahanan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan ketika Belanda telah masuk ke Sitorang. Dari desa Sibide itu bisa kita memandang Danau Toba, PT.PULPLESTARI, Sungai Asahan, dan jika berjalan di malam hari bias sampai ke Tanjung balai, itu adalah jalur Raja Sijorat Paraliman Panjaitan menuju Tanjung Balai melakukan perdagangan membeli garam. Tidak beberapa lama kemudian sampailah ditugu Raja Sijorat Paraliman Panjaitan Lumban Tor Sitorang. Acara ritual ziarahpun dilaksanakan 9 lembar daun sirih dan 9 jeruk purut diletakkan di masing-masing cawan yang terbuat dari tanah liat, dan penulis bertanya “Amang kenapa harus sembilan? Abdul Panjaitan pun menyebutkan karena di tugu ini ada delapan Raja Sijorat dan 1 lagi masih di Bandung belum dipindahkan yang bernama “Raja Sijorat Raja Saidi Tudo Tua Panjaitan”. Kesembilan Raja itu adalah : 1. Raja Sijorat Paraliman Panjaitan 2. Raja Sijorat Rahi Sumodung (1625-1685) 3. Raja Sijorat Puraja Pane (1685-1745) 4. Raja Sijorat Somba Debata (1745-1805) 5. Raja Sijorat Pahutar (1805-1845) 6. Raja Sijorat Si Mumbol-Umbol (1845-1865) 7. Raja Sijorat Pun Sohalompoan (1865-1880) ••• 344 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) 8. Raja Sijorat Pun Tua Radja (1880-1988) 9. Raja Sijorat Radja Saidi Todo Tua (1988- sekarang) Setelah beberapa hari dekat dengan kepanitian pesta deklarasi tugu KTRSPPB. Sosialisasi pesta pun diadakan ke berbagai kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara.Penulis hanya mengikuti ke beberapa kabupaten/kota, yakni Tarutung, Sipahutar, Sibaha-ulu, Simalungun, dan Pematang siantar. Dalam sosialisasi yang diikuti, penulis melihat beberapa orang tua yang sudah berumur sekitar 40an masih banyak yang tidak mengetahui silsilah, dan kisah-kisah nenek moyangnya. KESIMPULAN Bonapasogit merupakan sebuah tanah nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun sebagai bukti keberadaan sebuah marga dizaman kehidupan nenek moyang yang dikenalkan kegenerasi berikutnya. Juga bona pasogit bermanfaat sebagai wadah pembentukan organisasi-organisasi marga, wadah pencarian tarombo turunan marga. Dalam mempertahankan budaya Batak Toba khususnya marga Panjaitan, para orang tua melakukan pembentukanpembentukan kesatuan turunan nenek moyang. Kesatuan ini nantinya berfungsi mempererat sistem kekerabatan yang ada, menjadi wadah belajar bagi generasi muda dalam mengetahui seluk beluk nenek moyang mereka dan mengetahui sistem kekerabatan yang ada dalam budaya Batak Toba. Berdasarkan pengalaman penelitian penulis selama dilapangan dan berdasarkan pengalaman dalam menyelesaikan tulisan ini maka penulis memiliki saran sebagi berikut : • Para generasi muda marga Panjaitan agar lebih menanam rasa ingin tahu terhadap asal-usul marganya tersebut, mengetahui Panjaitan generasi keberapa dirinya. Agar dapat membantu melestarikan kebudayaan marga Panjaitan, dan tidak disebut orang sebagai Panjaitan “Dalle” (dang lengkap =Tidak Lengkap). • Para orang tua marga Panjaitan agar lebih peduli terhadap generasi muda, dan melibatkan generasi muda dalam menjalankan program network Panjaitan di KTRSPPB wilayah masing-masing kordinator. ••• 345 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) DAFTAR PUSTAKA Berry, Jhon W, et al. (1999). Psikologilintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama. Gultom Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta. PT. Bumi Aksara Hasselgren,Johan. (2008). Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas EtnoReligius Batak Toba Di Medan (1912-1965). Medan : Bina Media Perintis Hutauruk, J.R. (2013). Menjadi Manusia Mandiri: Johannes Warneck di Pansurnapitu dan Sipoholon 1896-1906. Medan:Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK) Ihromi, TO. (2006). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia Kuntjoro-Jakti Dorodjatun. (1986). Kemiskinan di Indonesia. Jakarta. Yayasan Obot Indonesia. Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Pt. Rineka Cipta Masinambow, K.M. (2000). Hukum Dan Kemajemukan Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Moleong, Lexy .J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Pt. Remaja Rosdakarya. Nainggolan, Tagor. (2006). BATAK TOBA DI JAKARTA; Kontinuitas dan Perubahan Identitas. Medan : Bina Media Perintis ________ (2012). Batak Toba; Sejarah dan Transformasi Religi, Medan : Bina Media Perintis Panjaitan, Radja Musa, et al. (1971). Riwayat Radja Pandjaitan: Putera Batak Tokoh Nasional, Medan Panitia Tugu Raja Panjaitan Parlindungan, Mangaradja Onggang. (1964).TUAN KU RAO, Tandjung Pengharapan Pelly Usman. (1994).Urbanisasi dan Adaptasi “Peran Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing”, Jakarta, PT Pustaka LP3ES Indonesia Purba O.H.S, Elvis F. Purba. (1998).Migran Batak Toba di luar Tapanuli Utara : Suatu Deskriptif. Medan, CV Monora Ritonga Jhon Tafbu. (2000).MHB “Marsipature Hutana Be” Pembangunan Desa Menuju Otonomi Daerah, Jakarta, PUSTAKA QUANTUM Sangti Batara. (1977).Sejarah Batak, Balige Karl Sianipar Company Saragih, Sortaman. (2008).Orang Simalungun, Depok CV CITAMA VIGORA Siahaan, Nalom. (1982). Adat Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanaanya,Jakarta: Grafina Sihombing,T.M. (1986).FILSAFAT BATAK “Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat”. Jakarta:Balai Pustaka Simanjuntak, Bungaran Antonius. (2002). Konflik Status & Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta: Jendela ______ .(2010). Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia ______ (2011)Pemikiran tentang Batak ; Setelah 150 Tahun Agama Kristen diSumatera Utara, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia SinagaAnicetus B. (2012).TAMAN MONUMEN DALIHAN NATOLU BATAK, Medan. Bina Media Perintis. ••• 343 SEMINAR NASIONAL Pengembangan dan Penulisan Sejarah Kritis Magister Pendidikan Sejarah FKIP-UNS (Surakarta, 16 November 2017) Tampubolon, D.P. (2005).Kesaksianku sebagai guru anak bangsa, Medan Universitas Negeri Medan (UNIMED). Tinambunan, Djapiter (2010)Orang Batak Kasar?; Membangun Citra dan Karakter, Jakarta. PT Elex Media Komputindo Vergouwen J.C. (1986).Masyarakat dan hukumadat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet. Sumber lainnya : http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Pematangsiantar (diakses tanggal 18Maret 2013, pukul 08.29 WIB) http://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak (diakses tanggal 15 maret2013, pukul 19.30 WIB) http://humastobasa.wordpress.com/2001/06/30/wabup-“terima-kasih- untukingat-dan-peduli-bona-pasogit” (diakses tanggal 08 April 2013) http://www.slideshare.net/thousandmark/profil-kecamatan-silaen-2011 (Diakses tanggal 21 Juni 2013) ••• 344 SENI DONGKREK & PKI MADIUN: ANTARA BUDAYA DAN SEJARAH Sharfina Nur Amalina, Djono, Leo Agung S. Universitas Sebelas Maret, Surakarta sharfinaamalina@gmail.com ABSTRAK Madiun merupaka kota yang memiliki sejarah dalam ancaman disintegrasi bangsa yakni pemberontakan PKI Madiun. PKI sendiri telah berdampak pada kehidupan masyarakat Madiun. Dampak yang ditimbulkannya yakni pada bidang sosial, ekonomi, juga terhadap bidang budaya. Dalam bidang budaya disini yang dimaksud adalah kesenian khas Madiun yakni seni Dongkrek. Tentu mengenai sejarah pemberontakan tersebut telah diketahui oleh masyarakat secara luas, namun disini Madiun memiliki sejarah lokal sendiri selain pemberontakan PKI. Seni Dongkrek meiliki sejarah yang panjang di daerah Madiun. Dongkrek merupakan kesenian asli daerah Madiun yang lahir pada tahun 1987 yang didirikan oleh R. Ngabei Lo. Prawirodipuro. Sebelum dianggap sebagai seni, Dongkrek merupakan upacara ritual untuk mengusir pagebluk atau nasib buruk pada masa itu. Selain menjadi sebuah seni khas Madiun, Dongkrek dalam sejarahnya memiliki perjalanan yang cukup panjang yang terjadi di Madiun. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan local genius seni Dongkrek yang dalam perkembangannya sempat dipengruhi oleh PKI. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Metode pengumpulan data dalam riset ini adalah dengan melakukan wawancara dan observasi data yang diambil dari beberapa literatur baik itu berupa jurnal, buku, dan beberapa sumber lainnya yang dianggap reliable. Penelitian ini menunjukkan local genius seni Dongkrek yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah serta sejarahnya dengan pemberontakana PKIdi Madiun. Kata Kunci : Budaya, Dongkrek, PKI Madiun, Pendahuluan Ancaman disintegrasi atau perpecahan bangsa memang bukan persoalan yang kecil. Disintegrasi bangsa adalah keadaan tidak bersatu padu yang menghilangnya keutuhan atau persatuan serta menyebabkan perpecahan, disintegrasi bangsa disebabkan karena rasa tidak puas dan ketidakadilan masyarakat terhadap pemerintah yang mengakibatkan pemberontakan atau separatisme. Tidak hanya merupakan masalah di masa lalu saja. Potensi disintegrasi pada masa kinipun bukan tidak mungkin terjadi kembali. Karena itulah kita harus terus dan selalu memahami betapa berbahanya proses disintegrasi bangsa bila terjadi bagi bangsa Indonesia. Sejarah di masa lalu telah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sejarah kelam mengenai ancaman disintegrasi bangsa. Beberapa wilayah di Indonesia terjadi berbagai pemberontakan. Penyebab dari pemberontakan bisa dkategorikan karena ideologi yang dianut, kepentingan kelompok tertentu, yang kemudian pergolakan dikarenakan perbedaan sistem pemerintahan. Salah satu wilayah yang pernah mengalami pemberontakan adalah Madiun. Pada tahun 1948 ditandai dengan pecahnya pemberontakan besar ••• 345 pertama setelah Indonesia merdeka, yaitu pemberontakan PKI yang berada di Madiun. Sedangkan di tahun 1965 merupakan tahun dimana berlangsung peristiwa G30S/PKI yang berusaha merebut kekuasaan dan mengganti ideologi pancasila. Sejarah mengenai Partai Komunis Indonesia memang menjadi salah satu sejarah yang cukup sensitif hingga saat ini. Sejarah pemberontakan PKI Madiun telah menjadi masa lalu yang kelam bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia terutama bagi masyarakat di wilayah Madiun. Upaya-upaya PKI untuk melaksanakan kepentingan kelompoknya yang tak lepas dari kekejaman telah dikenal oleh masyarakat secara luas. PKI sendiri telah banyak mempengaruhi berbagai bidang kehidupan dalam masyarakat terutama bagi masyarakat Madiun. Begitu pula berpengaruh terhadap perkembangan kesenian khas Madiun Dongkrek. Seni Dongkrek merupakan kesenian yang lahir pada tahun 1867 yang diciptakan oleh Raden Bei Lo Prawirodipuro. Dongkrek terdiri dari perpaduan antara seni tari, seni musik, seni drama, dan seni topeng. Pada awal penciptaannya kesenian tersebut bukanlah difungsikan sebagai sebuah seni pertunjukan melainkan sebagai sebuah upacara ritual untuk mengusir pagebluk atau yang juga diartikan sebagai sebuah nasib buruk. Pagebluk yang menimpa wilayah Madiun, khusunya daerah Mejayan pada saat itu membuat khawatir masyarakat. Oleh sebab peritiwa yang melanda masyarakat Madiun tersebut diciptakanlah sebuah ritual upacara untuk mengusir bala. Yang kemudian dalam perkembangannya telah beralih fungsi menjadi sebuah kesenian yang sangat terkenal dan digemari oleh masyarakat Madiun dan sekitarnya. Dongkrek sebagai sebuah upacara ritual yang kemudian menjadi sebuah pertunjukan seni yang memukau ternyata dalam perkembangannya juga sempat beralih fungsi kembali. Dongkrek sebagai sebuah pertunjukan mampu menggerakkan massa yang cukup besar karena keberadaannya sangat dekat dan sangat dinikmati sebagai sebuah seni yang sangat menghibur masyarakat Madiun dan sekitarnya. Kemampuan seni Dongkrek untuk menggerakkan massa dalam jumlah besar tersebut mengundang ketakutan PKI yang khawatir apabila massa tersebut bisa digunakan untuk mengumpulkan kekuatan melawan mereka.. Sehingga, disekitar tahun 1965 hingga tahun 1975 seni Dongkrek telah dilarang dan mengalami kemunduran. Artikel ini memiliki perbedaan dari beberapa penelitian sebelumnya yang sama-sama mengangkat tema mengenai kesenian Dongkrek dan hubungannya dengan PKI. Dalam penelitian oleh Jaecken MP dengan judul Seni Dongkrek Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun tahun 1965-1981 merupakan artikel yang lebih cenderung membahan tentang perkembangan seni Dongkrek. Kemudian artikel oleh Wahyuni Suryaningsih dkk yang berjudul Dongkrek Madiun : Menari di Atas Tradisi dan Identitas PKI Tahun 1867-19488, dalam artikel penelitian tersebut memang membahas adanya keterkaitan antara seni Dongkrek dan PKI Madiun namun tidak membahas secara mendalam mengenai bentuk strategi politik yang dilakukan PKI melalui seni Dongkrek. Tulisan tersebut cenderung lebih banyak menjelaskan mengenai kesenian Dongkrek yang dimanfaatkan oleh PKI di Madiun untuk tujuan politik. Dari penelitian-penelitian sebelumnya mengenai seni Dongkrek kemudian juga hubungan antara keduanya ••• 346 memiliki perbedaan dalam penelitian ini yang lebih condong terhadap pengenalan salah satu sejarah lokal Madiun selain PKI Madiun serta pengaruh PKI yang membuat kesenian daerah tersebut mandeg selama beberapa tahun lamanya. PKI Madiun dan kesenian Dongkrek keduanya merupakan sejarah lokal yang berada di kota Madiun yang masing-masing sangat penting dalam perjalanan kehidupan masyarakat di wilayah Madiun. Sebagai sebuah sejarah lokal yang belum banyak diketahui oleh masyarakat secara luas, bahwa salah satu kesenian khas Madiun tersebut aktifitas dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia pada sekitar tahun 1965-1975, hal tersebut membuat penulis tertarik dan terdorong untuk menHasil dan Pembahasanuliskannya terutama untuk mengenalkan seni dongkrek sebagai salah satu sejarah lokal yang berada di madiun serta potensinya yang dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Analisis Pemecahan Masalah Artikel penelitian ini merupakan hasil dari studi literatur yang mana penulisannya bersumber dari beberapa literatur penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Adapun permasalahan yang dikaji melalui studi literatur dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana dampak PKI Madiun terhadap masyarakat Madiun, 2) Seni Dongkrek sebuah budaya dan tradisi lokal sebagai sumber penulisan sejarah Hasil dan Pembahasan 1. Dampak PKI terhadap masyarakat Madiun (Sosial, Ekonomi, Budaya) Pemberontakan PKI di Madiun terjadi pada bulan September 1948. Pemberontakan dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat PKI (FDR/PKI) berhasil menguasai Madiun dan mendirikan Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 Sepetember 1948. Dampak dari PKI yang berada di Madiun telah dirasakan oleh masyarakat Madiun, baik itu di bidang Sosial, Ekonomi maupun juga dalam bidang budaya. Dalam bidang sosial tentu dapat diketahui bahwa peristiwa Madiun tersebut telah menelan banyak korban jiwa. Berdasarkan ringkasan laporan pertanggal 9 November 1948 dapat diketahui bahwa banyak korban jiwa yang berjatuhan selain kerugian materiil akibat Peristiwa Madiun tersebut, (Ratnasari, Vol : XXII, No :2, Juli 2015, hal. 146). Pamong Pradja yang terdiri dari berpangkat pembantu A.W. sampai Bupati sebanyak 18 orang dilaporkan hilang dan gugur, bagian Penerangan 15 orang gugur dan hilang. Pendidikan pengajaran dan kebudayaan 25 orang gugur dan hilang, guru sekolah Rakyat agama dan kepala SMP. Bengkel KA 3 orang gugur, pegawai dan opzicther. Kesehatan 2 orang mantri kesehatan gugur. Cukai 1 orang hilang, Perburuan sosial 3 orang hilang. BPR orang gugur, pengadilan 2 orang gugur, kepolisian Negara 94 orang gugur dan hilang berpangkat agen sampai komisari. Puluhan mayat ditemukan di desa Dungus, ratusan rumah telah dibakar. (Ratnasari, Vol : XXII, No :2, Juli 2015, hal. 146). Menurut Ried dalam Ratnasari, peristiwa Madiun merupakan suatu tragedi besar, bukan hanya karena menelan banyak korban jiwa, melainkan juga karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara Kiri dan Kanan (Ratnasari, Vol : XXII, No :2, Juli 2015, hal. 147). ••• 347 Peristiwa yang terjadi di Madiun tersebut memang meninggalkan cerita tersendiri dalam kehidupan terutama bagi masyarakat Madiun. Masyarakat ketakutan akibat kekejaman dan ancaman dari pihak PKI. Masyarakat juga lebih memilih untuk menutup mata mengenai peristiwa yang mereka saksikan. Masyarakat lebih memilih diam dan tidak banyak yang bercerita tentang Peristiwa Madiun. Masyarakat lebih memilih untuk cenderung tertutup apabila ditanya mengenai apa yang terjadi pada saat persitiwa PKI Madiun. Peristiwa tersebut sepertinya memang sangat membekas dan menimbulkan trauma yang cukup dalam di antara masyarakat Madiun. Adanya rasa ketakutan dari masyarakat yang dikhawatirkan apabila mereka ikut campur akan berdampak pada kehidupannya sendiri maupun pada anak cucu mereka. Sehingga sebagaian masyarakat enggan untuk untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, sebgaian besar masyarakat yang berada di sekitar Kresek yang mengetahui tentang peristiwa pembunuhan massal lebih memilih diam. Meskipun demikian memang masih ada warga masyarakat yang mau menjadi saksi sejarah. Di bidang lain peristiwa pemberontakan PKI Madiun membawa dampak yang juga ikut memperngaruhi aktifitas masyarakat di Madiun. Dalam bidang Ekonomi yang mana mayarakat Madiun sebagaian besar merupakan petani pada saat itu berdampak pada terganggunya pendistribusian hasil pertanian. Pihak PKI aktif melakukan sabotase terhadap beberapa media transportasi seperti jembatan dan rel kereta api. Hal tersebut kemudian mengakibatkan jalur transportasi terganggu yang berdampak pula pada terganggunya pendistribusian hasil pertanian. Dampak lain juga berimbas terhadap barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, padi, gaplek, gula, minyak tanah, minyak kelapa, di wilayah Madiun sempat mengalami penurunan jika dibandingkan dengan harga-harga kebutuhan pokok di berbagai kota seperti Surabaya, Malang, Bojonegoro, dan Kediri. Wilayah Madiun yang sebagaian besar merupakan wilayah pertanian dan tidak menjual hasil pertaniannya ke kota lain tetapi untuk dikonsumsi sendiri. Masyarakat takut untuk mendistribusikan ke daerah lain karena gangguan keamanan akibat dari operasi-oprasi militer yang diambil pemerintah untuk membersihkan Madiun dari PKI dan keamanan di daerah lain yang juga belum stabil, (Ratnasari, Vol : XXII, No :2, Juli 2015, hal. 149). Selain berdampak pada bidang sosial dan ekonomi, PKI memberikan pengaruhnya pada bidang budaya. Budaya disini adalah kesenian Dongkrek Madiun. Kesenian yang dalam perkembangannya berdinamika dan memiliki beberapa pergeseran fungsi, dari yang semula merupakan upacara ritual yang bernilai sakral menjadi sebuah kesenian yang disenangi oleh masyarakat luas. Kemampuan seni Dongkrek menjadi kesenian yang menghibur mampu menarik massa dalam jumlah yang besar. Pada saat pertunjukan atau arakarakan berlangsung mengelilingi kampung disitulah banyak massa berkumpul untuk melakukan dan menyaksikan ritual tolak bala. Berkumpulnya massa dalam jumlah yang besar membuat pihak PKI merasa terancam dan khawatir kalau perkumpulan tersebut digunakan untuk menggalang kekuatan melawan PKI. Oleh sebab itu PKI melarang diadakannya pertunjukan Dongkrek di ••• 348 tahun 1965. Masyarakat yang merasa ketakutan dengan PKI kemudian tidak berani mempertunjukkan seni daerah tersebut lagi. Karena hal tersebutlah kemudian mulai tahun tersebut kesenian Dongkrek mengalami kemunduran yang kemudian benar-benar vakum hingga sekitar tahun 1975, (Walgito, 2017). 2. Seni Dongkrek sebuah budaya dan tradisi lokal sebagai sumber penulisan sejarah Dongkrek merupakan seni tradisi yang berbentuk seni pertunjukkan, yang telah mendapat tempat di hati warganya sebagai kesenian khas daerah Madiun, Jawa Timur (Rohman, Vol. 8, No. 01, 2013, hal. 83). Kesenian yang lahir dari dampak dinamika sosial serta politik membuat masa lalunya menyejarah dan perkembangan yang besar membuat kesenian khas Madiu ini memberikan dua pesan yakni seni Dongkrek sebagai sebuah tontonan sekaligus sebagai sebuah tuntunan. Sebagai sebuah tontonan seni Dongkrek memberikan pertunjukan yang menghibur masyarakat pecintanya, sedangkan sebagai sebuah tuntunan seni tersebut mencoba menghadirkan sebuah pengetahuan tradisi di masa lalu yang memiliki nilai etika serta nilai moral yang mampu memberikan tuntunan sikap dan perilaku manusia untuk menjadi yang lebih baik. Kesenian Dongkrek merupakan kesenian asli daerah Madiun yang muncul pada tahun 1867 yang didirikan oleh R. Ngabei Lo Prawirodipuro. Pada awal kemunculannya tidak dianggap sebagai “seni” melainkan sebagai bentuk upacara “ritual”, (Kutanegara, et al., 2012, hal. 150). Seni Dongkrek muncul di daerah Mejayan dan juga berkembang di daerah tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Madiun, Dongkrek digunakan sebagai ritual yang ditujukan untuk mengusir pagebluk yang pada saat itu melanda Mejayan. Dahulu pagebluk dikenal sebagai penyakit atau bencana yang tidak jelas asalusul kedatangannya (gaib). Pada masa itu di daerah Mejayan banyak tersebar penyakit menular yang tidak jelas asal usulnya dan sangat mengganggu warga yang berakibat pada kematian. R. Bei Lo Prawirodipuro yang pada saat itu menjabat sebagai Palang di daerah Mejayan mencoba mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Palang adalah seorang pemimpin untuk suatu jabatan yang membawahi 4-5 Kepala Desa yang bertanggung jawab langsung kepada Wadana sebagai atasannya. Raden Ngabei merenung untuk mencari solusi yang tepat untuk penyelesaian masalah wabah penyakit yang menimpa rakyatnya. Setelah melakukan perenungan, meditasi, dan bertapa di Gunung kidul Caruban, dia mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang mampu mengusir bala tersebut. Dongkrek kemudian digunakan oleh R. Bei sebagai upacara ritual pengusir bala. Istilah Dongkrek itu merupakan representasi kolektif masyarakat Mejayan terhadap “citra” bunyi yang dibangun dari beberapa perlengkapan sajian. Perlengkapan yang dimaksud adalah instrumen bedug dan korek. Kedua instrumen tersebut di dalam sajian Dongkrek dinilai sebagai instrumen yang cukup dominan dengan bunyi “dung” (suara bedug) dan “krek” (suara ••• 349 korek), (Kutanegara, et al., 2012, hal. 151). Seni Dongkrek menampilkan pertunjukkan dengan tiga kelompok tokoh pemeran yaitu Genderuwo sebagai pengganggu warga masyarakat yang membawa wabah penyakit (pageblug), pemeran kedua adalah warga masyarakat uang diperankan oleh dua orang perempuan (Roro Ayu dan Roro Perot), dan peran pemimpin (palang) atau tokoh masyarakat yang diperankan oleh seorang kakek sakti. Ketiga kelompok peran ini semuanya diperankan dengan maenggunakan topeng. Kesenian Dongkrek yang memadukan antara seni musik, seni tari, seni drama dan seni topeng dipertunjukkan dengan cara arak-arakan berjalan mengelilingi kampung. Dalam perkembangannya kesenian khas Madiun tersebut telah mengalami periode kesejarahan yang sangat panjang. Periode kesejarahan tersebut dibagi kedalam lima masa berdasarkan dinamika tumbuh kembang kesenian ini dari jaman ke jaman. Pada awal kemunculanya (1867-1915) kesenian dongkrek difungsikan sebagai seni sakral, pada masa transisi (19151975) dan kebangkitan (1975-1980) sebagai seni rakyat, dan pada masa perkembangan (1980-2009) samai masa kejayaan (2009-2012) difungsikan sebagai seni sakral sekaligus seni pertunjukan yang membawa pesan tuntunan, (Rohman, Vol. 8, No. 01, 2013, hal. 84). Nilai budaya adalah salah satu bagian adat yang paling tinggi dan paling abstrak. Sistem nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidupnya, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang dapat memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat. Nilai budaya yang terkandung dalam kesenian Dongkrek adalah Nilai Kesenian dan Nilai Tradisi. Nilai budaya kesenian adalah karena Dongkrek merupakan kesenian rakyat kebupaten Madiun khususnya di kelurahan Mejayan yang telah diwariskan secara turun temurun. Nilai budaya tradisi karena Dongkrek merupakan kegiatan tradisi masyarakat Mejayan yang tidak pernah ditinggalkan setiap tahunnya yakni pada tanggal 1 Suro, kesenian Dongkrek sebagai ritual tolak bala dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Mejayan dengan arak arakan keliling kampung/desa. Berikut merupakan nilai budaya Seni Dongkek, (hanif, Volume 1, No. 2, 2016) : a. Nilai Religius/kerohanian Kesakralan seni Dongkrek dapat dikatakan sebagai suatu kepercayaan, dan mengandung unsur keagamaan. Nilai ini ditunjukkan pada prosesi kesenian Dongkrek yakni untuk pengusiran padebluk/tolak bala, yang dilakukan dengan cara : a) para parogo pilihan, yang dipandang mampu untuk melakukan upacara ritual tersebut didatangkan lebih dahulu di pendopo palangan, untuk mendapatkan petunjuk dari eyang palang; b) para parogo mulai lelampah menurut petunjuk yang telah ditentukan; c) pada malam yang telah ditentukan, yaitu malam jumat legi, semua parogo berkumpul di pendopo mengadakan selamatan untuk memohon berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa atas telah terjadinya perbuatan gendruwo; dan d) saat tepat tengah malam dengan iringan mantra dan puji pujian, diberangkatkanlah serombongan prosesi ritual pengusiran pegbluk itu di ••• 350 pendopo dalem palangan, berjalan pelan-pelan menyusuri jalan-jalan di seluruh pelosok desa Mejayan, sampai waktu menjelang pagi. Sedangkan nilai magisnya ditunjukkan pada prosesi ritual keliling desa ini para parogo Dongkrek khususnya parogo gendrowon wajib untuk tidak mengenakan busana (semua parogo terdiri dari kaum laki-laki). Adapun aturan prosesi ritual adalah : a) obor terbuat dari bambu, b) dupa yang selalu mengepulkan asap bau kemennyan yang dibawa oleh pembaca mantra; c) pusaka palangan yang dibawa oleh waris terpilih dibawah Payung Agung (pusaka palangan); d) beberapa syarat tolak bala yang lain, bermacam-macam tumbal dan takhir plontang yang berisi bermacam bubur beras dan ditanam di tempat-tempat yang telah ditentukan, seperti di perempatan jalan, pertigaan dan di sudut-sudut desa; e) gendruwon dan peralatan lainnya; dan f) para sesepuh yang gamben-gamben (berilmu tinggi). b. Nilai Moral Konsep moral itu sendiri dapat berarti suatu ajaran tentang baik buruknya yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti atau susila. Kesenian Dongkrek mengandung unsur spiritual/moral yang memuat nilai-nilai Jawa yang adiluhung. Kesenian ini menjadi tontonan yang sekaligus tuntunan bagi masyarakat dengan pesan sura dira jaya ningrat, ngasta tekad darmastuti yang artinya setiap kejahatan pada akhirnya akan kalah juga dengan kebaikan dan kebenaran. Selain itu pendidikan nilai dalam seni Dongkrek diungkapkan pada setiap pertunjukan terdapat upaya membangun jiwa kebersamaan, kerukunan, dan kegotongroyongan. c. Nilai Kepemimpinan Konsep kempemimpinan dapat berarti perihal pemimpin atau cara memimpin. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai kepemimpinan dalam seni Dongkrek adalah suatu yang baik dan benar, yang dimiliki seorang pemimpin agar dapat memimpin anak buahnya dengan atau rakyatnya secara baik, jujur, adil, arif, dan bijaksana yang terdapat dalam seni dongkrek. Nilai kepemimpinan dalam seni ini digambarkan oleh eyang palang sebagai pemeran R. Tumenggung Prawirodipoero yang memimpin rakyat Desa Mejayan dengan arif, penuh tanggung jawab, dan bijaksana. d. Nilai Kepahlawanan Konsep kepahlawanan dapat berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani. Sedangkan yang dimaksud dengan nila kepahlawanan dalam seni Dongkrek adalah sesuatu yang baik dan benar yang dimiliki oleh seseorang tokoh yang menonjol karena keberaniannya dan pengobanannya dalam membela kebenaran yang terdapat dalam seni dongkrek. Nilai kepahlawanan dalam seni ini digambarkan oleh eyang palang sebagai pemeran tokoh Raden Tumenggung Prawirodipuero yang berani berjuang melawan buto/gendruwo untuk menyelamatkan rakyatnya dari padeblug. ••• 351 e. Nilai Keadilan Dongkrek terdapat pada hakikat yang menjadi tujuan kesenian ini yakni menerapkan keadilan dalam bermasyarakat dengan pemenuhan hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban menurut hakikat dan kodratnya sebagai makhluk individu, mahkluk sosial dan makhluk Tuhan. f. Nilai Kesejahteraan Nilai ini Dongkrek dimaknai dengan kehidupan yang tenteram, makmur, dan damai. g. Nilai Estetika Konsep estetika dapat diartikan sebagai filsafat tentang keindahan baik yang terdapat di alam maupun dalam aneka benda seni buatan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai estetika dalam seni Dongkrek dapat dilihat dan di dengar lewat suara alat musiknya, bentuk alat musiknya, tata rias dalam topeng, tariannya dan unsur drama atau cerita yang terkandung dalam kesenian dongkrek. h. Nilai Simbolik Nilai simbolik dalam kesenian Dongkrek ditunjukan dari simbol perlawanan kejahatan dan keangkaramurkaan yang dapat dilihat pada frakmen arti cerita pertunjukkan, topeng pemain lakon, dan juga alat musik pengiring pertunjukkan. Berikut merupakan nilai simbolik topeng dalam seni dongkrek. 1) Butha Topeng Genderuwo Merah : menggambarkan sifat dan watak yang jahat. Genderuwo merah menunjukkan perangai yang seram, mudah marah, emosional, dan kasar. Topeng Buto Merah, menggambarkan mahkluk halus yangs ering mengganggu manusia dengan merasuk ke dalam aliran darah manusia dan senang meminum darah. 2) Butha Topeng Genderuwo Hitam : melambangkan sifat dan watak yang buruk. Genderuwo hitam menunjukkan watak pemalas, rakus, beringasan angkuh dan sombong, serakah dan ingin berkuasa serta ingin menang sendiri. Topeng Buto Hitam menggambarkan mahkluk halus yang senang mengganggu dengan menyerang tulang belulang manusia. 3) Butha Topeng Genderuwo Putih : menunjukkan gambaran yang memiliki watak yang baik. Genderuwo putih menggambarkan sikap yang memiliki tatakrama dan manusiawi. Warna putih diwariskan dari sumber kehidupan seperti air, yang mengalir bening, bersih, jernih dan menyucikan. 4) Butha Topeng Genderuwo Kuning : menggambarkan mahkluk halus yang mengganggu dengan menyerang daging dan kulit manusia. Misalnya daging pada tubuh manusia (semakin lama tampak kurus), penyakit kulit (kudis, gatal dan melepuh) 5) Topeng Roro Ayu : menggambarkan seorang wanita cantik putri pejabat) yang anggun, sopan dalam berbicara, perilaku, dan selalu berbuat kebaikan. 6) Topeng Roro Perot : menggambarkan seorang abdi kinasih yang mendampingi untuk memenuhi kebutuhan/leperluan sehari-hari roro ••• 352 ayu. Dengan topeng ini, dapat pula digambarkan bila seseorang yang selalu membicarakan kejelekan orang lain, maka bibirnya akan perot. 7) Topeng Roro Ayu : menggambarkan seorang wanita yang cantik (putri pejabat) yang anggun, sopan dalam berbicara, perilaku, dan selalu berbuat kebaikan. Nilai-nilai budaya Seni Dongkrek sebagaimana disampaikan diatas ternyata memiliki nilai yang adiluhung, maka perlu diinternalisasikan agar generasi muda dapat mencintai dan mentransformaskan nilai untuk bersikap dan bertindak. Nilai-nilai kesenian Dongkrek yang ditemukan jika ditelaah lebih dalam nilai-nilai tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yakni : 1) Kepercayaan dan Religius yang sesuai dengan nilai ketuhanan, 2) Nilai kepribadian sesuai dengan nilai kemanusiaan, 3) Nilai hiburan/ pertunjukkan/ estetika sesuai dengan nilai persatuan, 4) Nilai sosial atau kerukunan sesuai dengan nilai kerakyatan, 5) Nilai kesejahteraan dan kelestarian sesuai dengan nilai keadilan, (hanif, Volume 1, No. 2, 2016, hal. 140) Selain itu, merujuk pada kompoenen sosial budaya yang telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak dulu yakni budaya musyawarah, budaya gotong royong dan budaya Paternalisme juga terdapat dalam nilai-nilai yang terkandung dalam seni Dongkrek. Budaya musyawarah ini terkandung dalam nilai keadilan seni dongkrek yakni menerapkan keadilan dalam bermasyarakat dengan pemenuhan hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban menurut hakikat dan kodratnya sebagai makhluk individu, mahkluk sosial dan makhluk Tuhan. Kemudian budaya Paternalisme atau budaya kepemimpinan ini tercermin dalam nilai kepemimpinan dan nilai kepahlawan yang terdapat dalam seni dongkrek. Dan terakhir, budaya gotong royong ini tercermin dalam nilai moral pada pertunjukkan seni dongkrek yang diungkapkan pada setiap pertunjukan terdapat upaya membangun jiwa kebersamaan, kerukunan, dan kegotongroyongan Simpulan Setiap pemberontakan memang berdampak tersendiri pada kehidupan masyarakat. Termasuk juga pemberontakan yang sempat terjadi di Madiun yang didalangi oleh pihak PKI. PKI memberikan dampak tersendiri bagi kehidupan masyarakat Madiun pada waktu itu. Dampak yang ditimbulkan disini berupa dampak sosial, ekonomi serta dampak di bidang budaya. Pada bidang sosial tentu telah banyak diketahui bahwa PKI telah membuat keributan dengan banyak mengorbankan puluhan nyawa tak bersalah. Kekejaman yang dilakukan PKI tersebut kemudian berdampak pada rasa trauma dan ketakutan yang mendalam bagi warga masyarakat Madiun. Dalam bidang ekonomi akibat dari pemberontakan tersebut telah membuat masyarakat kesulitan untuk menjual hasil pertanian yang mana mayoritas masyarakat Madiun bekerja sebagai petani. Hal tersebut dikarenakan PKI telah merusak beberapa bidang trasnportasi yang kemudian menghambat masyarakat untuk menjual hasil pertaniannya. Dalam bidang budaya PKI telah mempengaruhi perkembangan sebuah kesenian Daerah, Seni Dongkrek yang merupakan kesenian bernilai sakral sempat dilarang oleh PKI karena keberadannya yang membuat PKI khawatir mampu menggalang kekuatan untuk melawan pihaknya. ••• 353 Pada tahun 1965 hingga 1975 seni dongkrek mengalami kevakuman akibat masyarakat yang ketakutan akan larang PKI tersebut. Dalam perjalanannya kesenian Dongkrek merupakan kesenian yang memiliki sejarah yang cukup panjang. Kesenian ini memiliki nilai budaya yang adiluhung yang dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Sehingga sejarah lokal seni Dongkrek juga nilai yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah maupun sebagai sumber pembelajaran sejarah. DAFTAR PUSTAKA Hanif, M. (Volume 1, No. 2, 2016). Kesenian Dongkrek (Studi Nilai Budaya dan Potensinya Sebagai Sumber Pendidikan Karakter). Gulawentah : Jurnal Studi Sosial, 138-139. Jaecken, M. (2011). Seni Dongkrek Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun tahun 1965-1981. Surakarta: Hasil Penelitian Metodologi Sejarah Jurusan Ilmu Sejarah FSSR UNS. Kutanegara, P. M., Susilantini, E., Nuwarni, Y. H., Suyami, Rohman, Suryadmaja, G., et al. (2012). Revitalisasi Kesenian Dongkrek dalam Rangka Penguatan Budaya Lokal : Studi Kesenian Dongkrek Desa Mejayan Kecamatan Mejayan Madiun. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB). Poeze, Harry A. 2012. Madiun 1948 PKI Bergerak, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Ratnasari, S. D. (Vol : XXII, No :2, Juli 2015). Dampak Peristiwa Madiun 1948 Terhadap Masyarakat Kota Madiun. Majalah Ilmiah Pawiyatan, 146. Rohman. (Vol. 8, No. 01, 2013). Kesenian Dongkrek, Pandangan Dunia, dan Nilai Kebijaksanaan. Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya, 83. Sari, U. &. (2015). Dongkrek Madiun : Menari di Atas Tradisis dan Identiras PKI Tahun 1867-1948. Surabaya: KTI Youth Historian Competition, Jurusan Ilmu Sejarah, FIB UNAIR. Walgito. (2017, November 13). Perkembangan Dongkrek yang dipengaruhi oleh PKI. (S. N. Amalina, Pewawancara) ••• 354 KESENIAN DIDONG, KEBUDAYAAN DAN TRADISI SUKU GAYO SEBAGAI SUMBER PENULISAN SEJARAH Jona Erwenta, Leo Agung, Sunardi Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta E-Mail : Jonaerwenta@gmail.com ABSTRAK Penelitian yang berjudul “Kesenian Didong, Kebudayaan dan Tradisi Suku Gayo Sebagai Sumber Penulisan Sejarah”. Didong adalah sebuah kesenian masyarakat suku Gayo yang memadukan unsur vokal, sastra dan tari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesenian Didong sebagai kebudayaan dan tradisi suku Gayo serta bagaimana kesenian Didong tersebut dapat menjadi sumber penulisan sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan menggunakan metode penelitian sejarah. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : (1) Kesenian didong merupakan kebudayaan dan juga tradisi yang telah lama ada dan hidup bersama masyarakat suku Gayo yang mendiami wilayah tengah provinsi Aceh (2) kesenian Didong yang menonjolkan syair dalam setiap pementasannya, dapat dijadikan sebagai sumber sejarah lisan. Di dalam pementasannya, syair kesenian Didong yang dilantunkan berhubungan dengan nilai-nilai religius, pendidikan, adat istiadat, norma, karakter, moral, kekompakan, kebersamaan dan juga tentunya sejarah. Sebagai sumber penulisan sejarah, Seorang Ceh atau orang yang melantunkan syair dalam kesenian Didong sering kali menjadikan sejarah sebagai isi dari setiap syair yang mereka lantunkan, baik itu sejarah sebagai tragedi maupun peristiwa. Kata kunci: Kesenian Didong, Kebudayaan, Tradisi, Sumber Penulisan Sejarah. A. PENDAHULUAN Manusia memiliki peran penting dalam suatu peristiwa sejarah, banyak aktivitas manusia yang tercatat dalam suatu peristiwa sejarah. Baik itu yang berkenaan dengan politik, ekonomi, agama, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya. Manusia sebagai makhluk sejarah mampu menciptakan berbagai hal, salah satunya adalah kebudayaan, dan dalam setiap fase-fase kehidupan manusia, manusia tidak pernah melepaskan diri dari kebudayaannya karena masyarakat turut mengambil andil dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009:144). Artinya, kegiatan berbudayaan adalah sebuah kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Manusia melakukan ini melalui proses kognitif untuk memproduksi dan mengkonsumsi simbol. Sehingga, dapat dikatakan bahwa, dasar dari budaya adalah proses produksi dan konsumsi simbol oleh masyarakat tersebut. Budaya di dalam masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak, sosiofak, dan artefak. Mentifak berkaitan dengan pemikiran dan falsafah ••• 355 dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku sosial dan penerapan nyata mentifak dalam kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat berupa barang, tarian, teks, atau lagu. Ketiga aspek dari budaya berkaitan antara satu lainnya dan membentuk sebuah kesatuan budaya karena penggunaan dan pembuatan artefak membutuhkan sebuah sosiofak tertentu dengan landasan mentifak masyarakat tersebut. Menurut (Koentjaraningrat, 2009:165) bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat disebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: 1. Bahasa, 2. Sistem pengetahuan, 3. Organisasi sosial, 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup, 6. Sistem religi, 7. Kesenian, Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Kesenian merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki suatu negara, termasuk Indonesia. Bagaimana tidak, kesenian yang ada di negara ini merupakan salah satu hal yang membuat Indonesia dikenal ke seluruh penjuru dunia. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki kesenian yang memiliki ciri dan menjadi kebanggan bagi masyarakatnya. Salah satu kesenian yang telah dikenal luas oleh masyarakat adalah saman. Keunikan dan keindahannya membuat tarian ini banyak dikenal bahkan di pelajari oleh orang-orang di belahan bumi ini. Tarian yang berasal dari provinsi Aceh ini telah terdaftar sebagai warisan dunia di UNESCO. Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki kesenian yang menonjol. Kesenian daerah Aceh lebih bernuansa Islami. Hal ini tampak pada alat-alat musiknya, lagulagu yang biasa dipentaskan bahkan cara pertunjukkannya (Syahroni, 2008:6). Di provinsi Aceh keseniannya menyebar di beberapa wilayah, salah satunya adalah di kabupaten Aceh Tengah. Kabupaten Aceh Tengah yang berada di dataran tinggi Gayo memiliki suku tersendiri yaitu suku Gayo yang menjadi mayoritas penduduk di wilayah tersebut. Suku Gayo mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan suku Aceh, mempunyai bahasa sendiri, adat istiadat yang berbeda dengan adat istiadat suku Aceh. Perbedaan itu membuat suku Gayo memiliki kesenian tersendiri dan berbeda dengan kesenian suku Aceh. Salah satu kesenian yang ada di kabupaten Aceh Tengah adalah Didong. Kesenian yang mengkolaborasikan seni vokal, sastra dan tari ini adalah kesenian yang sangat digemari masyarakat setempat. Syair-syair yang dilantukan oleh Ceh Didong memiliki nilai-nilai yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat banyak. Karena syair dalam kesenian Didong biasanya mengandung nilai religius, adat istiadat, agama, pendidikan, sejarah dan lain sebagainya. Mengenai nilai sejarah, kesenian Didong juga dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah. Bagaimana tidak, syair-syair Didong yang berhubungan dengan sejarah telah melalui proses ataupun metode yang dapat diterima keabsahannya. Sehingga syair-syair tersebut dapat dijadikan sebagai sumber peulisan sejarah. ••• 356 B. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain (Moleong, 2007:6). Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis atau metode sejarah. Metode sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan interpretasi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status keadaan di masa yang lampau untuk memperoleh suatu generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang (Nazir, 2005:48). Sebagaimana dikemukakan Gottschalk, metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 2006: 39). 2. Teknik Pengumpulan Data a. Metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu pengumpulan data dengan menggunakan buku yang dilakukan dengan cara mengkaji bukubuku, artikel dan situs website yang berkaitan dengan topik pembahasan. Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan bahan-bahan sebagai landasan teoritis bagi penelitian ini. Umumnya ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia secara langsung dengan melakukan observasi, namun ilmu sejarah mempelajarinya dengan menggunakan dokumen. Banyak diantara para ahli antropologi dan sosiologi mengabaikan bahan sejarah. Mereka tidak mengingat bahwa sebenarnya sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam tubuh pengetahuan sejarah dan dokumen-dokumen sebagai bahan utama dari penelitian sejarah (Koentjaraningrat, 1997:45). b. Metode Field Research (penelitian lapangan), yaitu untuk mempelajari secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial atau individu, kelompok, lembaga atau masyarakat yaitu dengan cara : 1) Observasi yaitu metode untuk menganalisis data dengan mengadakan pencatatan secara sistematis dengan melihat dan mengamati individu atau kelompok secara langsung. 2) Wawancara. Dalam penelitian ini wawancara merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh hasil penelitian yang dilakukan secara lisan dan melakukan tanya jawab dengan narasumber. Menurut (Nazir, 2005:194) walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk Tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. C. PEMBAHASAN 1. Awal Mula Kesenian Didong Pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah salah satu kesenian yang paling populer adalah Didong. Didong yang berkembang di Gayo ••• 357 memiliki berbagai versi cerita kemunculannya. Ada yang berpendapat bahwa kesenian ini sama tuanya dengan adanya orang Gayo itu sendiri. Namun banyak yang mempercayai didong muncul pertama sekali saat Kerajaan Linge masih eksis di Gayo dan di pimpin oleh Raja yang ke 14. Awal mula adanya tari guel bermula dari pertemuan rutin kerajaankerajaan Aceh di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam, Kutaraja. Ketika itu, Kerajaan Aceh Darusalam dipimpin oleh Sultan ke 13, yaitu Alaidin Ri’ayat Syah Al-Qanhar yang memerintah pada tahun 1539-1571 Masehi. Saat itu Sengeda yang merupakan anak Raja Linge yang ke 13 ikut serta dalam rombongan Kerajaan asal Tanoh Gayo tersebut. Di dalam satu kesempatan, Sengeda melukis gambar gajah yang secara tidak sengaja di lihat oleh Putri Kerajaan. Putri Kerajaan bertanya gambar apa itu, Sengeda menjawab ini adalah gambar gajah putih. Merasa tertarik dengan gambar dan penjelasan Sengeda, lalu Putri Kerajaan bertanya di mana keberadaan Gajah Putih tersebut, sengeda pun kemudian menjawab Gajah Putih yang ia gambarkan ada di Hutan Belantara Gayo. Dan selanjutnya Sengeda diperintahkan untuk mencari sosok Gajah Putih untuk dipersembahkan kepada Putri Kerajaan. Sesampainya di hutan belantara Gayo yang merupakan wilayah kerajaan Linge, dengan dilakukan kenduri dan berdoa di sekitar makam Bener Meria oleh penduduk sekitar dan juga Sengeda, akhirnya dengan ganasnya Gajah Putih keluar dari persembunyiaannya. Masyarakat yang hadir pun panik dan atas intruksi dari Sengeda seluruh warga yang hadirpun memukul benda-benda yang ada di sekitar mereka. Selanjutnya Gajah Putih kembali tenang dan di bawa ke pusat kerajaan Linge. Singkat cerita Gajah Putih di bawa ke Kutaraja. Pada saat itulah awal mula munculnya didiong, karena pada saat di bawa ke Pusat Kerajaan Aceh Darussalam tersebut Gajah Putih berhenti dan enggan melanjutkan perjalanan. Orang-orang yang membawa Gajah Putih tersebut mengatakan enti dong, enti dong yang berarti jangan berhenti, jangan berhenti sambil menepukkan tangan yang berirama dan melantunkan syair-syair agar Gajah Putih kembali jalan dan melanjutkan perjalanan. Dari peristiwa inilah dipercaya masyarakat Gayo awal mula dari lahirnya kesenian didong. Sesampainya di Kutaraja Gajah Putih diberikan kepada Raja Linge ke 14 untuk selanjutnya diserahkan kepada Raja Aceh Darussalam. Pada saat diserahkan Gajah Putih mengamuk dan tidak bisa ditenangkan. Oleh Sengeda, dimintalah kepada orang-orang yang hadir di Istana Kerajaan untuk memukul alat-alat yang ada di sekitar mereka, dan kemudian Sengeda menari untuk menenangkan Gajah Putih. Menurut Zulfikar atau yang lebih dikenal dengan nama Ama Zul Bayakku (Wawancara tanggal 18 November 2017) beliau mengatakan dan berpendapat kurang lebih sama dengan pernyataan di atas. Ia mengatakan didong berasal dari kata enti dong, enti dong yang artinya jangan berhenti. Kata-kata enti dong, enti dong ditujukan kepada Gajah Putih saat di bawa oleh Sengeda ke pusat kerajaan Aceh di Kutaraja. Saat itu Sengeda dengan menggunakan seni tari dan sastra serta dilengkapi dengan beberapa jenis instrument seni tradisional mengalunkan lagu dengan kata-kata : enti dong, enti dong yang juga ••• 358 diikuti oleh rombongan Kerajaan Linge dalam perjalanan mengantar Gajah Putih dari Negeri Lingga ke Kutaraja yang terletak di ujung pesisir negeri Aceh Menurut salah satu tokoh yang juga pernah melakukan penelitian tentang didong, yakni yakni M. Yunus Melalatoa dalam bukunya Didong Pentas Kreativitas Gayo mengatakan bahwa Arti harafiah dari kosa kata didong tidak begitu jelas. Barangkali didong ada kaitan pengertiannya dengan beberapa kosakata lainnya dalam bahasa Gayo, seperti denang atau donang yang maknanya sama dengan “dendang” dalam bahasa Indonesia. Namun, didong memuat pengertian yang lebih luas, artinya bukan hanya sekedar “berdendang” (Melalatoa, 2001:9). Lain halnya dengan pendapat di atas, salah seorang sastrawan Nasional yang berasal dari gayo mengatakan Didong adalah kesenian tradisional atau tradisi lisan yang merupakan konfigurasi seni suara, seni sastra, dan seni tari berasal dari Dataran Tinggi Tanoh Gayo, Aceh Tengah. Kesenian ini merupakan kesenian yang dipertandingkan antara dua grub yang mewakili satu klen atau kampung, kecamatan, bahkan secara terselubung mewakili satu mewakili satu “paroh-masyarakat (Ara L.K, (2008:131). Pendapat lain yang diutarakan seorang budayawan Gayo mengatakan didong adalah kumpulan puisi-puisi yang tergolong puitis. Lewat bahasa didong terungkaplah kepermukaan berbagai rasa yang ada didalam hati para seniman. Apakah itu disebut rasa haru, sedih, duka, gembira, seiring bisa juga terbawa berbentuk protes, anjuran, sindiran, nasehat, larangan dan sebagainya (Pinan, 2003:185). Didong adalah kesenian yang mengkolaborasikan seni suara, seni sastra dan seni tari sehingga memunculkan suatu tampilan yang indah. Suryo, (2011:8) mengatakan di dalam kesenian didong terdapat sejumlah unsur seni bertutur yang terangkum, seperti Kekitiken/Ure-ure (seni berteka-teki), yaitu seni dalam berteka-teki yang biasanya dilakukan oleh anak-anak menjelang tidur. Dari segi bahasa dan kalimat yang digunakan dalam teka-teki ini lebih mementingkan tata bunyi dan irama dengan pola persajakan a-b a-b. kekeberen (prosa lisan). Kekeberen adalah salah satu bentuk prosa yang disampaikan secara lisan yang mendapat tempat luas dalam masyarakat Gayo di masa silam. Seperti halnya dengan didong, prosa ini biasanya dituturkan pada malam hari menjelang tidur. Si pencerita mungkin seorang nenek kepada cucunya atau oleh orang senior lainnya. Di antara tema-tema itu adalah tentang cinta, patuh kepada orang tua, akal bulus, ketauladanan dan lain sebagainya. Melengkan (seni pidato adat) merupakan pidato-pidato adat dalam berbagai kesempatan upacara, masyarakat Gayo melahirkan rasa seninya dalam bentuk kata-kata puitis. Pidato adat ini ini dilakukan secara berbalas-balasan dan oleh pendengarnya dapat dirasakan kalah atau menang. Sebuku (seni meratap) adalah pengungkapan perasaan yang terjalin di dalam puisi-puisi tertentu yang umumnya hanya dilakukan oleh kamu wanita. Isi dari puisi sebuku biasanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat sedih. Dari pendapat di atas bisa disimpulkan bahwa didong merupakan kesenian yang telah lama ada di dataran tinggi Gayo dan jika kata didong diartikan ke dalam bahasa Indonesia maka akan memiliki makna ‘berdendang’. Kesenian ini juga merupakan kesenian yang menggabungkan beberapa unsur kesenian ••• 359 lain di dalamnya seperti seni suara, seni sastra, seni tari dan lain sebagainya. Melalui didong seorang seniman dapat menuangkan berbagai rasa yang ada di hatinya, mulai dari rasa haru, sedih, gembira, sindiran, nasehat, larangan dan lain sebagainya dan biasanya pendengar akan terbawa dengan perasaanperasaan yang dilantunkan oleh seniman-seniman tersebut melalui syair-syair yang dilantunkan. 2. Fungsi Didong Bagi Masyarakat Gayo Seiring berjalannya waktu, didong terus berkembang sesuai keadaan zaman. Termasuk dari segi fungsinya yang terus mengalami perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Melalatoa (2001:57), Fungsi didong bagi masyarakat Gayo terus berubah dalam ragam dan luasnya, mengikuti irama perkembangan pandangan masyarakatnya, oleh perubahan teknologi dan pengetahuan yang berkembang di luar sana. Yang datang dari luar itu ada yang sudah sempat merasuk, tetapi ada pula yang belum sempat masuk secara langsung ke dalam masyarakat ini. Fungsi-fungsi itu adalah misalnya : (a) fungsi hiburan, (b) fungsi pemenuhan kebutuhan akan keindahan dan estetik, (c) pelestarian budaya, (d) pencari dana sosial, (e) sarana penerangan, (f) kritik dan kontrol sosial, dan (g) wahana mempertahankan struktur sosial. Menurut Samsul Bahri (wawancara tanggal 19 November 2017) awal kemerdekaan didong memiliki fungsi yang sangat signifikan terhadap pembangunan, baik itu pembangunan masjid, jalan, sekolah, jembatan dan lain sebagainya. Karena pemerintah pada saat itu tidaklah seperti saat ini yang memiliki dana melimpah. Inisiatif dari aparatur desa pada saat itu sangat menetukan dalam pembangunan, didong sebagai kesenian yang sangat digemari oleh berbagai kalangan pun menjadi alternatif untuk pembangunan. Saat itu menonton didong menggunakan sistem karcis, hasil dari penjualan karcis inilah yang dipergunakan untuk pembangunan. Saat itu masyarakat yang menyaksikan pertandingan didong ini bukan hanya dari desa-desa yang ada di sekitar tempat dipertandingkannya didong, tetapi banyak juga yang berasal dari desa-desa yang berbeda kecamatan dari desa yang menyelenggarakan pertandingan didong tersebut. Tertariknya masyarakat dikarenakan syair-syair didong yang mengandung nasehat baik itu dari segi agama, kehidupan masyarakat dan nasehat-nasehat yang berhubungan dengan adat istiadat serta adanya syair-syair yang didendangkan dengan cara berbalas pantun. Sepanjang sejarahnya didong memang selalu menampilkan dua kelop dalam sebuah penampilan. Kedua kelop ini saling mengadu ketangkasan kata. Seiring berjalannya waktu, didong terus berkembang sesuai dengan keadaan zaman. Dewasa ini hal yang sangat berbeda dari didong tersebut adalah katakata ataupun syairnya, khususnya saat berbalas pantun. Didong dahulu lebih menggunakan kata-kata tamsil atau menggunakan kata minsalkan ataupun sindiran secara tidak langsung. Sindiran-sindiran yang memang lumrah di dalam didong yang dijadikan sebagai bumbu penyedap kini sangat berbeda cara penyampaiannya. Menurut Zulfikar (wawancara tanggal 18 November 2017) didong dahulu dalam pementasannya, sindiran-sindiran yang digunakan itu menggunakan istilah-istilah halus yang di dalam bahasa Gayo disebut ••• 360 tamsil. Namun saat ini keadaannya sudah berbeda, jika tidak secara tak tulen teridah usi (terang-terangan) maka penonton yang menyaksikan pementasan didong kurang tertarik untuk menyaksikan pementasan didong tersebut dan berjalan datar serta monoton. 3. Kesenian Didong Sebagai Sumber Penulisan Sejarah Pada saat ini sumber-sumber sejarah selain sumber-sumber tertulis semakin beragam, seperti foto, film, peninggalan budaya materi (material culture), dapat dijadikan sumber informasi yang dapat melengkapi gambaran masa lalu lebih komprehensif. Foto dan film juga akan membantu menggali sejarah lisan lebih kaya, karena dapat membangkitkan memori individu, keluarga maupun komunitas dan mungkin sekali memori mengenai tempat, peristiwa dan sebagainya. Suku Gayo merupakan masyarakat yang memiliki banyak cerita sejarah. Namun sejarah yang ada pada masyarakat Gayo belumlah kuat, sejarahsejarah yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini belum banyak yang dibukukan. Artinya masyarakat Gayo dalam perkembangannya mengenal dan memahami sejarah masihlah mengandalkan sejarah lisan atau di dalam masyarakat Gayo dikenal dengan istilah ari awah ku awah yang jika diartikan memiliki pemahaman dari mulut ke mulut. Sejarah lisan masih terus bertahan hingga sekarang di lingkungan masyarakat Gayo. Sejarah lisan adalah salah satu sumber informasi bagi para sejarawan atau bagi para ilmuwan sosial lain yang menggunakan pendekatan sejarah untuk objek studinya (Erwiza Erman, 2011 : 13). Menurut Ahmad (1987) (di dalam Sri Roudhah, 2012 : 66) sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan modern yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan. Kaedah ini melibatkan proses wawancara dan merekam ke dalam pita tentang keterangan-keterangan orang yang mengetahui sesuatu peristiwa sejarah sama ada melalui penglibatannya secara langsung dalam peristiwa itu atau sekadar menyaksikannya. Jadi sejarah Iisan adalah suatu cara yang penting dalam merekam peristiwa masa lalu yang pernah dilalui oleh seseorang. Melalui sejarah lisan, penelitian-penelitian sejarah yang berkaitan dengan suatu peristiwa dapat dilengkapi karena sebahagian peristiwa masih tersimpan di dalam memori individu yang terlibat dalam kejadian di masa lalu. Bertahannya sejarah lisan di dalam masyarakat Gayo hingga saat ini dikarenakan telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat secara turun temurun meskipun upaya untuk menuangkan peristiwa-peristiwa sejarah ke dalam buku terus dilakukan. Penulisan sejarah dapat dilakukan salah satunya adalah melalui kesenian Didong Gayo. Kesenian yang menonjolkan syair dalam pementasannya sering kali melantunkan syair-syair yang berhubungan dengan peristiwa sejarah, khususnya sejarah ataupun peristiwa yang berkaitan dengan suku Gayo. Seorang Ceh atau orang yang melantunkan syair dalam kesenian Didong Gayo merupakan mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam banyak hal, seperti pengetahuan tentang agama, budaya, adat istiadat, nilai-nilai kehidupan, sejarah dan lain sebagainya. ••• 361 Syair-syair yang berhubungan dengan sejarah dan dilantunkan oleh Ceh di dalam pementasan Didong tentunya bukanlah sembarangan syair yang diciptakan begitu saja. Syair-syair tersebut telah melalui banyak tahap sehingga setelah itu dialunkan melalui nada-nada yang telah disesuaikan dan diiringi dengan tepukan tangan yang dibawakan oleh Penepok atau pengiring dalam kesenian Didong. Salah satu Kelop (grub) kesenian Didong yang ada di Tanoh Gayo adalah Tawar Jaya. Tawar Jaya dalam setiap penampilannya dalam pentas kesenian Didong, terkadang melantunkan syair yang berhubungan dengan Aman Dimot. Aman Dimot merupakan pejuang kemerdekaan dari kabupaten Aceh Tengah yang mengusir penjajah Belanda pada masa Agresi Militer II. Berikut merupakan sebahagian lirik dari syair Didong kelop Tawar Jaya tentang Aman Dimot. Ini male bercerak Tawar Jaya ni (Ini mau bercerita Tawar Jaya) Riwayat ni aman Dimot male kami cari (Kisah Aman Dimot mau kami ceritakan) Gere mehat kase kami salah peri (jika nanti kata-kata kami salah) Kami tiro tabi se ku ama ine (kami minta maaf kepada bapak dan ibu/hadirin) Cube ipenge mulo impel biak (Coba di dengar dulu saudara-saudara) 1900 ike menurut cerak (Tahun 1900 jika menurut cerita) Aman dimot lahir ikampung tenamak (Aman Dimot lahir di kampung Tenamak) Oya i bagin isak kecamatan linge (Itu di bagian Isak kecamatan Linge) Abu bakar gerale aseli (Abu Bakar nama aslinya) Tape aman Dimot wae i rasi (Tapi Aman Dimot nama panggilannya) Asal megah pedeh wae berani (Dia hebat dan juga berani) Ari kucak ke mi enge ara tene (Sejak kecil sudah ada tandanya) Memang genacing murebut merdeka (Memang sulit merebut merdeka) Beremeh jiwe bertaruh nyawa (Habis-habisan jiwa bertaruh nyawa) Dele penjajah nge emeh muserpa (Banyak penjajah sudah dikalahkah) Baro luah mara tun opat lime (Baru lepas kesulitan tahun empat lima) Ben ilen rede mulewen penjajah (Baru saja berhenti melawan penjajah) Keber ni merdeka ben ilen sawah (Babar kemerdekaan baru saja terdengar) Gere ilen kering alak si basah (Belum kering keringat yang basah) Dabuh murulah mien e Belene (Sudah datang lagi Belanda) Renye aman dimot mugabungen diri (Setelah itu Aman Dimot bergabung) Urum pasuken berani mati (Dengan pasukan berani mati) Tengku Ilyes leube le kin ulu kudi (Tengku Ilyas Leube sebagai pemimpin) Ara sarami Raman Ari Gayo (Ada satu lagi Raman Ari Gayo) ••• 362 Belene mayo renyel ku medan (Setelah itu tiba Belanda di Kota Medan) Pahlawan gayo renye i berangkaten (Pahlawan Gayo terus diberangkatkan) Tengku Ilyes Leube nosah pengarahan (Tengku Ilyas Leube memberi pengarahan) Pangkalan Beranda turah luwah ken kite (Pangkalan Berandan mesti menjadi milik kita) Benteng ni Belene bejerjak besi (Benteng Belanda berjeruji besi) Aman Dimot bebuet abang orom engi (Aman Dimot melakukannya dengan abang dan adik) Tamsil ni Belene le renye i gari (Seandainya Belanda di borgol) Orom pedang berkunci Belene pe cimo (Dengan pedang berkunci Belanda dikalahkan) Pasuken ulak mien ku Takengon (Pasukan kembali ke Takengon) Aman Dimot selalu renye ku Remesen (Aman Dimot langsung ke Remesen) Karena i sone we berkeduduken (Karena dia tinggal di sana) Ngenal perempusen mien orom ume (Mengurus kebun dan sawah) A kene si tetue ton opat sembilen (Kata orang tua saat itu tahun emoat lima) Orom Belene kite perang mien (Dengan Belanda kita kembali berperang) Penulisan syair kesenian Didong mengenai pahlawan Gayo, yakni Aman Dimot yang dibawakan oleh grub Didong Tawar Jaya telah melalui proses observasi dan wawancara mendalam. Begitulah menurut Ceh Didong grup Tawar Jaya, Ujang yang juga sebagai pencipta syair Didong Aman Dimot. Menurut pengakuanya Ia menghabiskan waktu 6 bulan sebelum hasil observasi dan wawancara disusun sedemikian rupa hingga tercipta sebuah sebuah syair dengan sajak dan irama yang indah. Menurut penulis yang juga sebagai penikmat Kesenian Didong, mendengarkan sejarah melalui syair-syair merupakan sebuah hal yang baru. Bagaimana tidak, jika selama ini sejarah di dapatkan dari membaca, melihat gambar, artefak, foto, film dan lain sebagainya, namun dengan mendengarkan syair kita lebih dapat mengerti dan memahami peristiwa sejarah. Terlebih syair tersebut disusun dengan sajak-sajak yang indah, sehingga siapa pun yang mendengar akan tertarik dengan peristiwa yang diceritakan di dalam sajak. Begitulah kesenian Didong menjadi sumber dalam penulisan sejarah, terlebih jika syair-syair yang dilantunkan dalam pementasan telah melalui metodemetode yang mendukung dalam penulisan sejarah. D. KESIMPULAN Di Kabupaten Aceh Tengah yang mayoritas penduduknya merupakan Suku Gayo memiliki kesenian tradisional yang telah ada sejak lama yaitu didong, bahkan banyak yang beranggapan kesenian ini sama tuanya dengan orang gayo ••• 363 sendiri. Kesenian didong merupakan kesenian yang telah lama ada di dataran tinggi Gayo dan jika kata didong diartikan ke dalam bahasa Indonesia maka akan memiliki makna ‘berdendang’. Didong adalah kesenian tradisional atau tradisi lisan yang merupakan konfigurasi seni suara, seni sastra, dan seni tari berasal dari Dataran Tinggi Tanoh Gayo, Aceh Tengah.Didong biasanya dimainkan pada acara-acara perkawinan atau pada upacara-upacara pertemuan dan juga dipertunjukkan secara khusus dalam bentuk pertandingan sebagai media dakwah, silaturrahmi dan juga pencarian dana. Didong ini dimainkan dalam keadaan duduk bersila, pembawa lagu dalam didong disebut ceh. Setiap lagu yang didendangkan selalu dimulai oleh seorang ceh, baru kemudian diikuti secara serentak oleh pemain yang disertai dengan iringan tepuk tangan yang gemuruh. Fungsi-fungsi didong antara lain sebagai fungsi hiburan, fungsi pemenuhan kebutuhan akan keindahan dan estetik, pelestarian budaya, pencari dana sosial, sarana penerangan, kritik dan kontrol sosial, dan wahana mempertahankan struktur sosial. Didong terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, terlebih saat ini dalam hal penampilannya namun tidak meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam syairnya seperti adat istiadat, nasehat, dakwah, pantun, sejarah dan lain sebagainya. Kesenian Didong juga dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah, karena tidak jarang Ceh yang melantukan syair-syair dalam pementasan kesenian Didong membawakan tema tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu. Kejadian masa lalu yang telah menjadi sejarah tersebut di tuang dalam bentuk syair oleh penciptanya dan telah melalui metode-metode yang mendukung syair-syair tersebut untuk dilantunkan di depan khalayak ramai serta dapat di uji keabsahannya. DAFTAR PUSTAKA Ara, L.K. 2008. Ensiklopedi Aceh Adat, Hikayat dan Sastra. Banda Aceh: Yayasan Mata Air Jernih (YMAJ). Erwiza Erman. 2011. Penggunaan Sejarah Lisan Dalam Historiografi Indonesia. Vol. 13 No. 1. Jurnal Masyarakat dan Budaya Gottschalk, Louis. 2006. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Koenjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Melalatoa, M.J. 1982. 2001. Didong Pentas Kreativitas Gayo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moleong, J. Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Pinan, Aman, AR Hakim. 2003. Pesona Tanoh Gayo. Aceh Tengah: Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah. Siti Roudhah Saad, Radia Banu Jan Mohamad, dkk. 2012. Penukilan Ilmu Baharu Melalui Sejarah Lisan. Vol.6. Jurnal PPM. Universiti Sains Malaysia. ••• 364 Syahroni. 2008. Aplikasi Praktis Pengajaran Seni Musik. Bandung: Karsa Mandiri Persada. ••• 365 NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN CIPTAGELAR SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BELAJAR SEJARAH Ilham Rohman Ramadhan, Djono, Nunuk Suryani Universitas Sebelas Maret Ilham.rodhan@student.uns.ac.id ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) Mengetahui sejarah dan bentuk kearifan lokal yang ada pada masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar; 2) Memperoleh nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran Sejarah; 3) Menjadikan kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sebagai alternatif sumber belajar Sejarah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif Deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan 1) Kearifan lokal yang ada pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar berbentuk Tangible (berbentuk nyata)dan Intangible (tidak berwujud); (2) nilai-nilai kearifan lokal didalamnya meliputi solidaritas sosial, peduli lingkungan, demokratis, Jujur, tanggung jawab dan kreatif, (3) Nilai-nilai kearifan lokal tersebut dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran dikelas X, Sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dapat dijadikan sebagai alternatif sumber belajar sejarah. Kata kunci: Kearifan Lokal, Kasepuhan Ciptagelar, Pembelajaran Sejarah Pendahuluan Indonesia terkenal akan keragaman Budaya dan Tradisinya. Budaya dan tradisi luhur ini berasal dari ratusan suku yang mendiami nusantara. Setiap suku tadi memiliki ragam adat istiadat, cara hidup, nilai, bahasa, dan kehidupan spiritual yang berbeda-beda, yang tertuang dalam berbagai bentuk baik berupa artefak (tangible) maupun tradisi (intangible) yang terungkap dalam masyarakat adat. Tradisi-tradisi lokal dipelihara dalam masyarakat sebagai identitas yang khas, dimana nilai-nilai budaya lokal yang terkandung didalam tradisi tersebut dijadikan sebagai pegangan dan diyakini kebenaran serta kesakralannya oleh masyarakat. Nilai budaya tersebut kemudian membentuk kearifan lokal yang tercermin dalam konsep kesetiakawanan dan solidaritas sosial masyarakat dalam melakukan aktivitasnya. Beberapa dekade terakhir ini nilai-nilai yang berakar dari kearifan lokal tersebut semakin ditinggalkan oleh masyarakat yang menganggap bahwa hal tersebut tidak ada relevansinya dengan kehidupan masa sekarang atau masa depan. Masuknya budaya luar juga merupakan ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia, khususnya budaya asli yang mencitrakan lokalitas khas dari tiap daerah yang ada di negeri ini. Kesalahan dalam merespons globalisasi dapat berakibat terkikisnya budaya lokal yang ada di Nusantara. Eksistensi budaya lokal cepat atau lambat akan terpengaruh oleh arus globalisasi yang masuk di Indonesia. Salah satu cara agar budaya lokal dapat bertahan adalah menanamkan nilai-nilainya melalui pendidikan. Menurut Tilaar (2002: 9) bahwa pendidikan adalah suatu proses ••• 366 menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan dalam suatu masyarakat. Adapun hakikat dari pendidikan budaya dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yaitu tentang nilai-nilai yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Salah satu contoh komunitas yang masih mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari adalah masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Eksistensi tradisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ditengah arus globalisasi, menarik untuk dilihat dari sudut pandang pendidikan. Dalam hal ini terkait dengan memaknainya sebagai warisan budaya yang bisa dijadikan alternatif sumber pembelajaran Sejarah di wilayah Sukabumi dan sekitarnya yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di sekolah. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: untuk 1) Mengetahui sejarah dan bentuk kearifan lokal yang ada pada masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar; 2) Memperoleh nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran Sejarah; 3) Menjadikan kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sebagai alternatif sumber belajar Sejarah. A. KEARIFAN LOKAL Secara etimologi kearifan lokal atau dalam istilah asingnya disebut local wisdom terdiri dari kata Wisdom: Kearifan/Kebijaksanaan dan local: area/objek. Secara umum kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang terpatri dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. kearifan lokal tidaklah sama pada tempat, waktu dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya yang berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan sosial. Kearifan lokal memiliki banyak fungsi, seperti yang diungkapkan oleh Sartini (2006), bahwa fungsi dari kearifan lokal adalah (1) konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2) pengembangan sumber daya manusia; (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; (5) bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat; (6) bermakna etika dan moral; (7) bermakna politik. Atmodjo dalam Ayatrohaedi (1986: 37) mengungkapkan bahwa kearifan lokal merupakan kemampuan penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif, artinya disesuaikan dengan suasana dan kondisi setempat. Kemampuan demikian sangat relevan dengan tujuan pembelajaran Sejarah. Peserta didik dapat memilih dan memilah budaya mana yang sesuai dengan karakteristik budaya sendiri, melalui kemampuan yang telah dikembangkan. Kemampuan penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif tentu memerlukan pengalaman langsung dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan budaya masyarakat adat sebagai sumber belajar Kearifan Lokal Sebagai Sumber Alternatif Belajar Sejarah ••• 367 Pengimplementasian nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran Sejarah didasari dari konsep filsafat pendidikan, yaitu Perenialisme. Perenialisme memandang pendidikan sebagai proses yang sangat penting dalam pewarisan nilai budaya terhadap peserta didik. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat sangat penting untuk ditransformasikan dalam pendidikan, sehingga nantinya peserta didik dapat mengetahui, menerima dan menghayati nilai yang ada. Perenialisme memandang bahwa masa lalu adalah sebuah mata rantai kehidupan umat manusia yang tidak mungkin diabaikan. Masa lalu adalah bagian penting dari perjalanan waktu manusia dan memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian masa kini dan masa yang akan datang. Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah hal yang berharga untuk diwariskan kepada generasi muda. Sumber belajar dalam mata pelajaran sejarah tidak hanya berupa buku, tetapi perilaku masyarakat sekitar dan kearifan lokal yang ada di sekitarnya dapat dijadikan sumber alternatif belajar. Terkait dengan kearifan lokal, pemanfaatannya sebagai sumber belajar dapat pula dijadikan bagian dalam pendidikan karakter yang hendak dikembangkan guru Kondisi Geografis Kasepuhan Ciptagelar Secara administratif Kasepuhan Ciptagelar masuk kedalam wilayah pemerintahan Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kawasan adat ini terletak di lereng bukit bagian selatan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Secara geografis, keseluruhan kawasan Kasepuhan dikelilingi oleh pegunungan, di sisi utara terdapat gunung Kendeng, sedangkan disisi barat terdapat Gunung Halimun dan di sisi timur terdapat gunung Bongkok. Wilayah Kasepuhan rata-rata memiliki ketinggian sekitar 800-1.200 mdpl. Jarak Kasepuhan Ciptagelar dari Pelabuhan Ratu (ibukota kabupaten Sukabumi) adalah sekitar 33 kilometer. Secara adat, area sebaran wilayah Incu-Putu (keturunan) Kasepuhan Ciptagelar tersebar di tiga kabupaten yaitu kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Sejarah Kasepuhan Ciptagelar Ciptagelar merupakan lembur, sekaligus Kampung Gede, dan pusat Kasepuhan bagi tari kolot (Kasepuhan lama) di sekitarnya yang terikat secara kultural. Lembur adalah himpunan beberapa kepala keluarga yang tinggal berdekatan menjadi lingkungan permukiman atau kampung kecil, sedangkan Kampung gede (besar), yaitu pusat pemerintahan Kasepuhan dan Kasepuhan sendiri adalah suatu himpunan dari banyak lembur dan kampung-kampung kecil dan besar yang terikat secara adat dan budaya. Secara sederhana, kata Kasepuhan dapat mengacu pada kelompok masyarakat atau komunitas yang masih hidup dan bertingkah-laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Secara etimologi, Kasepuhan dari kata “sepuh” yang bermakna Tua (dihormati dan dituakan) (Kusdiwanggo, 2010: 310). Leluhur Ciptagelar sudah tercatat sejak tahun 1368 lalu. Saat ini Ciptagelar merupakan penerus Kasepuhanke-19, sebagai pusat Kasepuhan terkini yang resmi dihuni pada tanggal 7 Muharam 1421 H atau 12 April 2000 lalu. Kedepan, sesepuh Ciptagelar dipercaya akan memindahkan pusat pemerintahannya ke permukiman ••• 368 baru lagi, tetapi dalam waktu yang belum bisa ditentukan secara pasti karena masih harus menunggu turunnya wangsit karuhun. Pola kehidupan masyarakat Ciptagelar masih menjalankan ajaran dan tradisi nenek moyang leluhur/karuhun yang berasaskan pada budaya padi. Masyarakat budaya padi adalah masyarakat yang memiliki seperangkat nilai dan kepercayaan supernatural terhadap entitas padi. Kepercayaan tersebut masih tetap bertahan dan terus berkembang sampai sekarang. Bagi masyarakat Ciptagelar, kepercayaan akan entitas padi tidak hanya terpatri dalam ranah tata nilai dan pikir semata, melainkan tercermin dalam tata laku ritual dan kehidupan sehari-hari. Wujud nyata atas tata nilai, pikir, dan laku mereka adalah pertanian. Usaha pertanian dianggap sebagai aktivitas ibadah. Kegiatan pertanian tidak terlepas dari upacara ritual kesakralan dan mitos. Pertanian di Ciptagelar saat ini diselenggarakan secara akulturatif dalam dua cara, yaitu berhuma dan bersawah. Dalam penyelenggaraan pertanian tersebut, setidaknya terdapat 32 rangkaian ritual budaya padi selama satu siklus masa tanam padi. Dulunya, pertanian hanya diselenggarakan dengan berhuma saja. Masyarakat Kampung Ciptagelar menyebut diri mereka sebagai “Kasepuhan Pancer Pangawinan“. Dari kata pancer yang bisa diartikan sumber atau asal-usul dan pangawinan yang berasal dari kata ngawin, yang artinya “pembawa tombak dalam upacara perkawinan”. Kata “pangawinan” oleh Adimihardja (1992) dihubungkan dengan bareusan pangawinan (barisan tombak), yaitu pasukan khusus bersenjata tombak Kerajaan Sunda. Arti dari kata Ciptagelar sendiri kurang lebih terbuka atau pasrah. Asal usul penduduk Ciptagelar sering dihubungkan dengan keturunan Prabu Siliwangi dan atau merupakan salah satu tempat pelarian keturunan dan pengikut Kerajaan Sunda Pajajaran. Masyarakat Ciptagelar merupakan masyarakat kesehariannya menjalankan sosio-budaya berdasarkan tatali paranti karuhun (adat istiadat warisan nenek moyang). Masyarakat Kasepuhan adalah masyarakat terbuka, mereka tidak menutup diri dari pola-pola hidup budaya modern selama tidak bertentangan dengan tatali paranti karuhun sebagai dasar budaya mereka. Pemahaman makna hidup terletak pada sikap berhati-hati dalam berbicara dan bertindak mampu berbuat baik, bertanggung jawab, dan menepati janji. Pola hidup gotong royong, rukun, ramah, berbudaya, beradab, dan konsisten terhadap nilai-nilai warisan budaya leluhur merupakan karakteristik masyarakat Kasepuhan. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Tempat penelitian yaitu di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif melalui tiga proses yang bersifat siklik, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan. ••• 369 Hasil dan Pembahasan Kearifan Lokal Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar A. Tata Kelola Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar masih sangat lekat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan tradisi leluhur mereka. Menjunjung tinggi nilai-nilai adat ini tidak menyebabkan mereka enggan mematuhi peraturan yang ada di negara kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Kasepuhan mengenal konsep tilu sapamulu dua sakarupa, nu hiji eta keneh (Tiga berbarengan, dua serupa, yang satu itu juga). Konsep ini diartikan sebagai pemerintah (nagara), agama (sarang) dan adat (mokaha) harus berjalan beriringan. Hal ini tercermin didalam tatanan kehidupan masyarakat kasepuhan. Pada tatanan masyarakat kasepuhan, disamping terdapat struktur pengelolaan masyarakat secara adat, juga terdapat struktur pengelolaan secara pemerintahan secara formal yang meliputi Kepala Desa, Ketua Rukun Warga (RW) dan Ketua Rukun Tetangga (RT). Pengelolaan masyarakat secara adat dipimpin oleh seorang pemimpin adat yang disebut sesepuh girang. Pada saat ini Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Ugi. Keberadaan sesepuh girang sebagai pemangku adat ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah. Untuk menunjang tugas pemimpin adat dan mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat kasepuhan, terdapat beberapa baris kolot (kepala urusan) yang setara dengan Menteri dengan tugasnya masing-masing. Dibawah baris kolot terdapat kokolot lembur (sesepuh kampung) yang bertugas sebagai wakil dari sesepuh girang di kampung-kampung kecil (lembur) yang berada dibawah naungan Kasepuhan Ciptagelar. Baris kolot Bersama enam orang lainnya yang disebut 7 rorokan menjadi Struktur terkecil pengelolaan adat yang terdapat di Kasepuhan Ciptagelar. 7 rorokan memiliki tugasnya masing-masing yaitu: (1) Rorokan Kadukunan (Aki Karma), bertugas untuk memimpin berbagai ritual, syukuran dan acara lainnya; (2) Rorokan Pamakayaan (Aki Koyod), bertugas untuk mengontrol lahan pertanian memberantas hama-hama yang mengganggu dan urusan pertanian lainnya; (3) Kokolot Kapanghuluan (Aki Amil Rahman), bertugas untuk, membimbing warga dalam keagamaan, memimpin acara syukuran dan menjalankan acara-acara yang berhubungan dengan keagamaan seperti Rajaban, Mauludan dan Nadaran; (4) Rorokan Bengkong (Aki Sanuki dan Ema Uwok) bertugas untuk, melaksanakan khitan dan mengatur hajatan disemua warga kasepuhan. Bengkong terbagi dua, yaitu untuk laki-laki dan perempuan. (5) Indung Beurang (Nini Upa) bertugas sebagai paraji atau dukun beranak, selain itu tugasnya adalah sebagai wakil emak yang mengatur dapur Imah Gede dan juga menyiapkan sesaji yang diperlukan oleh abah; (6) Rorokan Pamageran (Aki Urna) bertugas untuk, menjaga keamanan kampung baik secara fisik maupun gaib; dan (7) kokolot lembur (Aki Arsan) bertugas sebagai wakil abah di lembur, hal ini termasuk sebagai penyambung lidah masyarakat kepada abah di kampung gede. B. Sistem Nilai Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Sistem nilai adalah tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk atau benar••• 370 salah. Dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sendiri system nilai diwariskan dalam dua bentuk, yaitu tangible (tampak) dan intangible (tidak tampak). Pertama, sistem nilai berbentuk tangible diwariskan dalam bentuk: 1) Bangunan/arsitektur. Semua bangunan yang ada di Kasepuhan Ciptagelar dibangun dari bahan-bahan yang ada di alam yang didapat dari hutan di sekitar kasepuhan. Pemanfaatan kayu hutan untuk bangunan ini tidak sembarangan dan harus melalui izin sesepuh girang terlebih dahulu. Secara sederhana, setiap pohon yang ditebang harus diganti dengan ditanami kembali dengan jenis yang sama dan jumlah yang sama pula. Beberapa bangunan utama yang ada di Kasepuhan adalah Imah gede, Leuit si jimat, bale sosial, musholla, ajeg wayang golek dan Rumah tinggal sesepuh girang. Arsitektur semua bangunan yang ada di Kasepuhan Ciptagelar mengadopsi gaya tradisional local sunda. 2) Benda Tradisional, yaitu lesung, tungku tanah liat, semprong, kentongan, beduk, dan atap dari rumbia. 3) Kesenian, tradisi kesenian di Kasepuhan Ciptagelar tidak hanya digunakan sebagai hiburan, tetapi juga juga digunakan dalam setiap ritual adat yang dilaksanakan, diantaranya adalah Angklung Dogdog Lojor. Angklung dimainkan sebagai salah media do’a atau syukuran atas hasil bumi dan keseimbangan alamnya. Kepercayaan masyarakat Kasepuhan Ciptagelarterhadap kehadiran sesuatu yang gaib sangat kental, terutama pada kehadiran para karuhun (leluhur)-nya. Kesenian ini dimainkan pada saat acaraacara atau ritual besar yang dilaksanakan di Kasepuhan Ciptagelar. Keberadaan seni Angklung Dogdog Lojor dalam masyarakat Kasepuhan dapat hidup, bertahan, dan berkembang, karena memiliki fungsi-fungsi sosial dalam masyarakatnya. Mengenai hal tersebut Mulyadi (1984: 4) mengatakan bahwa satu unsur kebudayaan akan tetap bertahan apabila memiliki fungsi atau peranan dalam kehidupan masyarakatnya. Sebaliknya unsur kebudayaan tersebut akan punah apabila tidak berfungsi lagi. Pertunjukan Angklung Dogdog Lojor dapat hidup, bertahan, dan berkembang karena telah menjadi kelengkapan hidup, ekspresi jiwa, rasa, dan karsa bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Selain kesenian angklung, di Kasepuhan Ciptagelar juga terdapat kesenian Wayang Golek yang ditampilkan di sebuah panggung yang disebut ajeg wayang golek. Lokasi panggung ini tepat berada di muka imah gede, sehingga jika ada acara besar tamu yang sedang berada di imah gede bias langsung menyaksikan pertunjukan wayang golek. Kedua, sistem nilai berbentuk intangible, yaitu diwariskan dalam bentuk tidak berwujud, biasanya berupa petuah yang disampaikan secara oral atau lisan, turun temurun dari generasi ke generasi. Berikut adalah beberapa petuah yang hidup pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar: (1) tekad, ucap jeung lampah (kemauan/niat, perkataan dan perilaku), ketiga unsur tersebut dijadikan pedoman hidup oleh warga kasepuhan, mereka selalu berusaha menyelaraskan ketiga unsur tersebut agar mencapai hidup yang seimbang; (2) ngaji diri (mawas diri); (3) Nyaur kudu diukur, nyabda kudu di tanggung, bekasna bisi nyalahan (berbicara harus benar, ucapan harus tepat jangan salah berbicara karena dapat mencelakakan); (4) Mipit kudu amit, ngala kudu menta, make suci, dahar halal ulah maen kartu, maen dadu, madat, jinah, ngrinah tanpa wali (memetik harus ijin, mengambil harus meminta pakai apa ••• 371 saja harus suci atau bersih, memakan yang halal, jangan berjudi, madat, berjinah sebelum adanya perkawinan; (5) kudu boga rasa, rumasa, ngarasa kudu hate tekad, ucap jeung lampah, kudu akur jeung dulur, hade carek jeung saderek, kabatur tinggal makena (harus rukun dengan saudara, berbicara baik dengan orang, terhadap orang lain tinggal menerapkan); (6) kudu sarende, saigel, saabad, sapihancan (ringan sama dijinjing berat sama dipikul) dan (7) kudu jadi takeucik saleuwi, kudu jadi buyar sacingkrung (harus jadi satu wadah tujuan dan haluan). 3. Bentuk Akulturasi Kebudayaan Lokal dan Hindu-Buddha pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Akulturasi kebudayaan adalah sebuah proses percampuran antara unsurunsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masingmasing tidak kehilangan kepribadian atau ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli dari Indonesia. Bentuk-bentuk akulturasi antara kebudayaan lokal dan Hindu-Buddha dapat dilihat contohnya di Kasepuhan Ciptagelar. Umur Kasepuhan yang telah lebih dari 6 abad berdiri menyimpan berbagai bentuk perpaduan antara budaya lokal dan HinduBuddha. Bentuk akulturasi ini diantaranya terlihat pada: a) Seni Pertunjukan Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari wiracarita Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang di Nusantara. Pertunjukan wayang di Indonesia telah mendarah daging, begitupun di Kasepuhan Ciptagelar. Pertunjukan wayang golek khas Sunda seakan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari setiap kegiatan yang ada di kasepuhan. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (Pendidikan). Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya itu sendiri berasal dari Indonesia. Seni pahat dan ragam hias yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni yang ada di Indonesia. Pada pertunjukan wayang golek sendiri terdapat tokoh asli yang tidak ada dalam cerita asli Mahabarata maupun Ramayana, yaitu Cepot. Tokoh berpembawaan jenaka ini selalu menjadi hiburan sendiri bagi setiap pertunjukan wayang golek. b) Sistem Kepercayaan Sejak masa sebelum masuknya kebudayaan Hindu-Buddha ke Nusantara, masyarakat di kepulauan ini telah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis, serta kepercayaan animisme dan dinamisme. Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan sebelumnya tidak hilang, tetapi melebur menjadi satu membuat suatu sistem kepercayaan yang unik. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat berbasis budaya padi. Masyarakat Kasepuhan percaya akan adanya ibu bumi, yaitu Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Dewi Sri sangat dihormati oleh masyarakat Kasepuhan, mereka percaya bahwa lumbung atau leuit merupakan tempat bersemayamnya Dewi Sri. Dewi Sri merupakan kepercayaan local yang ••• 372 terdapat di beberapa masyarakat berbudaya padi, konsep ini telah ada sebelum pengaruh Hindu masuk. Leluhur masyarakat Kasepuhan yang dipercaya berasal dari kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu menyebabkan terjadinya sinkretisme antara kebudayaan Hindu dan Lokal, sehingga dalam setiap prosesi yang dilakukan di Kasepuhan mengandung unsur-unsur Lokal maupun Hindu. c) Sistem Pemerintahan Sebelum datangnya pengaruh Hindu-Buddha ke Nusantara, di kepulauan ini telah dikenal konsep pemerintahan sederhana, yaitu adanya kepala suku di daerah atau suku tertentu. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing, berwibawa serta memiliki kekuatan gaib. Setelah masuknya kebudayaan Hindu-Buddha konsep kepala suku ini tidak banyak berubah tetapi bentuknya lebih sistematis dan rapi dengan hadirnya orang-orang yang menangani bidang-bidang tertentu untuk kelangsungan kehidupan komunitas atau kerajaan tersebut. Raja atau pemimpin adat di Kasepuhan Ciptagelar sendiri dipimpin oleh seorang Abah yang merupakan seorang Sesepuh Girang. Pengangkatan sesepuh girang biasanya berdasarkan wangsit, tetapi tetap dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan para tetua. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang Relevan sebagai Sumber Belajar Sejarah Alternatif bagi Siswa SMA Berikut adalah nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. 1. Peduli Lingkungan, kepedulian masyarakat atas lingkungan hidupnya tampak dengan adanya zonasi hutan di Kasepuhan. Hutan di lingkungan Kasepuhan Ciptagelar dibagi atas 3 zona, yaitu leuweung tutupan (hutan tertutup) yang tidak sembarang dimasuki oleh orang, hutan ini sama sekali tidak boleh diambil kayunya untuk dimanfaatkan menjadi apapun. Lalu ada leuweung titipan, zona ini merupakan sabuk pembatas atas hutan tertutup dan hutan garapan, kayu di zona hutan ini boleh dimanfaatkan oleh masyarakat melalui seizin ketua adat, dan yang terakhir leuweung garapan (hutan garapan), hutan ini boleh digarap oleh warga. Kepedulian warga juga terlihat dari tidak digunakannya sama sekali pupuk kimia dalam menanam padi maupun bercocok tanam. Penanaman padi-pun hanya dilakukan setahun sekali, hal ini bertujuan agar tanah atau bumi dapat beristirahat sejenak, lalu siap ditanami kembali pada masa tanam tahun berikutnya. 2. Solidaritas Sosial, masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar selalu mengutamakan solidaritas sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini tercermin dari setiap kegiatan yang mereka lakukan. Di Kasepuhan tidak ada tanah milik pribadi, baik itu tanah untuk rumah maupun sawah dan lading. Semua tanah didalam kawasan Kasepuhan merupakan tanah adat yang penggunaannya diatur oleh adat. Oleh karena itu, setiap kegiatan, baik itu pertanian maupun kebutuhan pribadi seperti membangun rumah ataupun hajatan, dilakukan dengan Bersama-sama dan bergotong royong. semua warga Kasepuhan saling mengenal satu sama lain, dan tidak akan keberatan apabila dimintai tolong oleh tetangga maupun kerabatnya. Masyarakat Kasepuhan tidak pernah memandang status sosial berdasarkan harta ••• 373 3. 4. 5. 6. yang dimiliki, tetapi mereka mengukurnya dengan kebaikan dan kedermawanan terhadap sesama. Demokratis, walaupun sesepuh girang memiliki kekuasaan dan hak dalam menentukan sebuah keputusan, tetapi tidak serta merta beliau dapat secara sepihak memutuskan sesuatu hal. Dalam pemutusan sebuah keputusan, dalam masyarakat Kasepuhan selalu didiskusikan terlebih dahulu dan dimusyawarahkan dengan adil. Bersama dengan sesepuh Kasepuhan. Peran sesepuh Kasepuhan atau yang disebut baris kolot sangan dihormati oleh warga kasepuhan. Jujur, nilai kejujuran sangat dijunjung tinggi oleh warga Kasepuhan. Warga Kasepuhan sangat percaya akan pantangan dan larangan yang berlaku dalam adat. Masyarakat Kasepuhan sangat percaya akan kabendon atau kualat. Di Kasepuhan Ciptagelar tidak ada hukum tertulis disini hanya terdapat hukum lisan turun temurun. Tetapi, dalam pelaksanaannya semua masyarakat menghormati hukum yang ada. Jika ada warga yang melakukan pelanggaran hukum biasanya langsung akan dibalas dan terasa oleh individu yang bersangkutan, misalnya jatuh sakit atau tertimpa musibah. Dikawasan Ciptagelar sendiri jarang sekali terjadi tindakan kriminal, seperti pencurian misalnya. Jikapun ada, biasanya pelaku adalah warga diluar kasepuhan. Tanggung Jawab, sebagai bagian dari warga adat kasepuhan, setiap individu mematuhi segala aturan adat yang berlaku. Tanggung jawab juga terlihat dalam hal menjaga lingkungan sekitar dengan selalu dilakukannya penanaman pohon masal setiap tanggal 1 Januari. Selain itu warga Kasepuhan selalu bertanggung jawab dengan mengikuti semua peraturan yang berlaku di pemerintahan, seperti memiliki kartu tanda penduduk, mengikuti pemilu dan sebagainya. Kreatif, bentuk kreativitas warga terlihat dari adanya aneka kerajinan yang diproduksi, kerajinan-kerajinan ini mayoritas berbahan dasar alami, misanya kaneron, tas yang dibuat dari daun pandan yang dianyam dan dibentuk sedemikian rupa, tas ini biasanya digunakan warga untuk beraktivitas sehari hari seperti ketika pergi ke sawah ataupun ladang. Selain itu semua perkakas dapur yang warga miliki adalah hasil produksi sesawa warga, misalnya boboko (bakul), hihid (kipas), Torombol, Aseupan dan sebagainya. Beberapa tahun belakangan ini juga warga Kasepuhan mengembangkan usaha kopi khas Kasepuhan dengan memanfaatkan pohon kopi yang tumbuh di kawasan kasepuhan. Warga Kasepuhan tidak menolak modernisasi, sebaliknya warga memanfaatkan teknologi modern untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Misalnya, Kasepuhan sudah sejak lama memanfaatkan turbin air untuk menyuplai kebutuhan listrik warga, beberapa panel surya juga digunakan untuk hal pemasokan listrik. Selain itu, Kasepuhan memanfaatkan teknologi Drone untuk memantau wilayah kasepuhan, alat ini juga digunakan untuk pemetaan wilayah kasepuhan. Kearifan Lokal Masyarakat sebagai Alternatif Sumber Belajar Sejarah Berdasarkan kajian atas kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada kurikulum 2013, maka nilai-nilai dalam kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat diintegrasikan dalam Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada jenjang kelas X, pada mata pelajaran Sejarah Indonesia, Semester 1, pada materi Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu Buddha. Pemilihan materi Akulturasi ••• 374 karena melihat di Kasepuhan Ciptagelar sendiri terdapat contoh yang dapat diamati langsung oleh siswa mengenai bentuk-bentuk akulturasi kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha di Indonesia yang masih berlaku pada kehidupan masyarakat Indonesia masa kini. Penyajian hasil penalaran pada KD 4.1 dapat dilakukan guru melalui model pembelajaran berbasis Project Based Learning, dengan hasil akhir proyek berupa tulisan siswa. Berikut adalah rinciannya: Kompetensi Inti 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. 2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 4. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan Kompetensi Dasar 3.6 Menganalisis perkembangan kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan budaya pada masa kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia serta menunjukkan contoh bukti-bukti yang masih berlaku pada kehidupan masyarakat Indonesia masa kini 4.1 Menyajikan hasil penalaran dalam bentuk tulisan tentang nilainilai dan unsur budaya yang berkembang pada masa kerajaan Hindu dan Buddha yang masih berkelanjutan dalam kehidupan bangsa Indonesia pada masa kini ••• 375 pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan Mencermati relevansi tersebut, maka nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat dijadikan alternatif sumber belajar sejarah, terutama di wilayah Sukabumi dan Lebak Banten, yang secara geografis berdekatan dengan daerah tersebut. Kesimpulan dan Saran Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang hidup dalam nilai-nilai kearifan lokal yang mereka pegang dengan teguh. Kearifan local tersebut peneliti amati melalui tata kelola, sistem nilai adat dan bentuk-bentuk akulturasi dalam masyarakat. Nilai-nilai ini berbentuk nyata (tangible) maupun tidak berbentuk (intangible).Nilai-nilai kearifan lokal yang muncul dalam masyarakat adalah solidaritas sosial, peduli lingkungan, demokratis,, jujur, tanggung jawab dan kreatif. Nilai-nilai tersebut cocok dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 pada Jenjang SMA kelas X, Semester 1, pada mata pelajaran Sejarah Indonesia. Dengan demikian, kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat menjadi sumber belajar alternatif bagi siswa kelas X, terutama dalam mata pelajaran Sejarah. Daftar Rujukan [1] Adimiharja, Kusnaka. Kasepuhan yang Tumbuh diatas yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan secara tradisional di kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: Tarsito, 1992. [2] Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1986. [3]S. Kusdiwanggo, “Sakuren : Konsep Spasial sebagai Prasyarat Keselamatan Masyarakat Budaya Padi di Kasepuhan Ciptagelar,” vol. 26, no. 3, pp. 309–322, 2016. [4] Mulyadi, Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984. [5] Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati”. [Online]. Available: http://filsafat.ugm.ac.id. [Accessed: Nop. 19, 2017]. [6] Tilaar, H.A.R, Membenah Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. ••• 376 URGENSI NILAI KEARIFAN LOKAL RUMAH ADAT DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Mario Yosef Kabosu, Hermanu Joebagio, Susanto Universitas Sebelas Maret Surakarta mariomars32@gmail.com ABSTRAK Kearifan lokal rumah adat merukapan wujud kreativitas akal dan budi yang terpola serta memuat nilai dan norma moral sebagai bentuk etika yang saling berkaitan dan melekat pada lingkungan kelompok masyarakat tertentu. Rumah adat merupakan hasil karya manusia yang sangat vital peranannya dalam menjalankan kehidupan selain itu juga sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka sebagai warisan nenek moyang dari kelompok masyarakat tertentu. Rumah adat sebagai warisan budaya nenek moyang yang telah diwariskan dari generasi satu ke generasi berikutnya sangat kaya akan nilai-nilai luhur. Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam rumah adat dapat diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan, sebab penggalian nilai-nilai kearifan lokal merupakan langkah strategis dalam upaya pembangunan karakter peserta didik, salah satunya melaui pembelajaran sejarah. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Kata Kunci: Kearifan Lokal, Rumah Adat dan Pembelajaran Sejarah Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa yang masing-masing dari suku-suku ini memiliki hasil kebudayaan. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya, sebagaimana kebudayaan dan manusia tak bisa di pisahkan sebab kebudayaan tak akan ada tanpa manusia, begitupun sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tak bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan. Penduduk Indonesia seharusnya bersyukur atas anugerah yang begitu besar yang diterimanya karena setiap penduduk di wilayah Indonesia masing-masing memiliki warisan budaya sebagai peninggalan peradaban dari leluhurnya. Kemajuan zaman yang terjadi saat ini, yang awalnya dipandang akan memudahkan pekerjaan manusia, kenyataannya juga menimbulkan keresahan dan ketakutan bagi manusia, diantaranya kesepian dan keterasingan baru, yang ditandai dengan lunturnya rasa solidaritas, kebersamaan, dan silaturrahim. Untuk itu sangatlah penting bagi generasi saat ini agar menggali nilai-nilai dan keunikan dalam kebudayaan yang pernah ada. Hal ini diperjelas oleh Wangiran yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter kuat bersumber dari nilai-nilai yang digali dari budaya masyarakatnya. Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan di era global, namun menjadi kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai modal keunggulan kompetetif dan komparatif suatu bangsa. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai kearifan lokal merupakan langkah strategis dalam upaya membangun karakter bangsa (Wangiran, 2012: 329). ••• 377 Rumah adat merupakan salah satu dari hasil kebudayaan yang pernah ada dan hingga saat ini masih nampak sebagai lambang pemersatu dan kebersamaan. Mengingat banyak hasil kebudayaan yang mulai terlupakan di kehidupan pada masa kini maka perlu adanya upaya menggali lagi budaya tersebut sebagai sarana pembelajaran bagi generasi penerus yang saat ini maupun yang akan datang. Salah satu cara yang ditempuh oleh sekolah yakni dengan cara mengintegrasikan nilainilai kearifan lokal yang terkandung dalam rumah adat ke dalam pembelajaran. Hal ini dirasa tepat sebab sekolah merupakan tempat untuk mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi masa depan dan secara personal dapat membangun kreatifitas dan intelektualitasnya. Pendidikan melalui pembelajaran di sekolah dapat menjadi media dalam mentrasfer nilai-nilai kebudayaan kepada generasi penerus. Sebab kesempatan bagi para generasi penerus untuk dapat mengenal kebudayaan leluhurnya yakni melalui pendidikan. Hal ini sejalan dengan Basyari (2013: 112) yang mengatakan bahwa pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal merupakan upaya strategis untuk menanamkan dan menjunjung tinggi identitas bangsa dan negara agar tetap melekat di kalangan generasi muda Indonesia. Dengan demikian pendidikan nasional akan memberikan kontribusi yang memadai terhadap pembentukan manusia Indonesia yang berbudaya, beradab, bermartabat dan beridentitas keIndonesiaan. Penelitian ini mencoba mengeksplorasi urgensi nilai kearifan lokal rumah adat dalam pembelajaran sejarah. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dalam proses pengumpulan data, peneliti memperoleh berbagai informasi terkait objek yang menjadi pembahasan dalam artikel ini. Studi kepustakaan digunakan dalam memperoleh data yang meliputi buku, jurnal dan majalah yang terkait objek penelitian. Hasil dan Pembahasan 1. Kearifan Lokal Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (ocal). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertannam dan diikuti oleh anggota masyarakat (Panjaitan, dkk., 2014: 115). Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif teologis, kosmologis dan sosiologisnya (Musanna, 2011: 589). Sedangkan menurut Haryati Soebadio (dalam Ayatrohaedi, 1986: 18-19) kearifan lokal merupakan sebuah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengelola kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri. Kearifan lokal sifatnya menyatu dengan karakter masyarakat, karena keberadaannya selalu laksanakan dan dilestarikan- dalam kondisi tertentu malah sangat dihormati. ••• 378 Rahyono (2009: 7) menguraikan kearifan lokal sebagai sebuah kecerdasaan yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu, yang diperoleh melalui pengalaman etnis tersebut bergulat dengan lingkungan hidupnya. Sesuai defenisi Rahyono dapat kita ketahui bahwa kearifan lokal merupakan buah atau hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat lain. Sedangkan Suhartini (2009: 1 dalam Wibobo dan Gunawan 2015: 17) mendefenisikan kearifam lokal sebagai sebuah warisan nenek moyang yang berkaitan dengan tata nilai kehidupan. Tata nilai kehidupan ini menyatu tidak hanya dalam bentuk religi, tetapi juga dalam budaya dan adat istiadat. Kearifan adalah proses dan produk budaya manusia, dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Pengertian demikian, mirip pula dengan gagasan Geertz (1973): "Local wisdom is part of culture. Local wisdom is traditional culture element that deeply rooted in human life and community that related with human resources, source of culture, economic, security and laws. lokal wisdom can be viewed as a tradition that related with farming activities, livestock, build house etc"(dalam Wangiran, 2012: 330). Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipertegas bahwa kearifan lokal merupakan sebuah produk budaya masa lalu yang seharusnya secara terusmenerus dijadikan sebagai pegangan hidup. 2. Rumah Adat Menurut Said (2004: 49) rumah adat merupakan suatu bangunan dimana struktur, cara pembuatan, bntuk, fungsi dan ragam hiasnya mempunyai cirri khas sendiri yang diwariskan secara turun temurun serta dipakai oleh masyarakat setempat untuk melakukan aktifitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan menurut Rambu (2011: 15) mengatakan bahwa rumah adat merupakan suatu wadah dimana tempat untuk berkumpulnya masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti upacara-upacara, adat-istiadat dan pertemuan anatar kerabat-kerabatannya. Rumah adat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, karena rumah adat juga menjadi lambang kebanggaan atau identitas suatu suku bangsa (Yufiza & Sumarheni, 2014: 112). Lebih lanjut Gelebet dalam Puling ( 2012: 10) mengemukakan bahwa rumah adat merupakan banguna tradisional yang dipandang sebagai suatu kehidupan, juga menjalani serangkaian upacara dalam masa persiapan, selama proses membangun dan setelah membangun. Rumah adat merupakan bangunan rumah yang mencirikan kekhasan bangunan suatu daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan dan ciri khas masyarakat setempat menyangkut dengan kepribadian masyarakat daerah tersebut. Rumah Adat adalah merupakan bangunan rumah yang mencirikan atau khas bangunan suatu daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan dan ciri khas masyarakat setempat. Indonesia dikenal seagai negara yang memiliki keragaman dan kekayaan budaya, beraneraka ragam bahasa dan suku dari sabang ampai merauke sehingga Indonesia memiliki banyak koleksi rumah-rumah adat ( Molbang & Nurcahyo, 2016: 53). ••• 379 Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipertegas bahwa rumah adat merupakan salah satu bangunan tradisional yang yang mempunyai fenomena menarik apabila dilihat dari wujud fisikserta segala hal yang melatrbelakanginya. 3. Pembelajaran Sejarah Menurut Schunk (2012: 5) mengatakan bahwa pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam perilaku, atau dalam kapasitas berprilaku dengan cara tertentu yang dihasilkan dari praktek atau bentuk pengalaman lainnya. Selanjutnya Nana Sudjana (2003: 6) mengatakan bahwa pembelajaran merupakan upaya guru untuk membantu para peserta didik melakukan kegiatan belajar. Menurut Agung dan Wahyuni (2013: 55) mengatakan bahwa sejarah merupakan mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan, sikap dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini. Selanjutnya pembelajaran sejarah menurut Joebagio (dalam Garvey & Krug, 2015: ix) adalah proses internalisasi nilai-nilai peristiwa masa lalu, berupa asal-usul, silsilah, pengalaman kolektif, keteladanan pelaku sejarah. Pembelajaran itu dirancang untuk membentuk pribadi yang arif dan bijaksana, karena itu pembelajaran sejarah menuntut desain yang akan menghasilkan kualitas output yang meliputi pemahaman peristiwa sejarah bangsa, meneladani kearifan dan sikap bijak pelaku sejarah. Pembelajaran sejarah merupakan proses perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang didalamnya mempelajari peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Untuk itu pembelajaran sejarah pada dasarnya merupakan suatu usaha dalam mengorganisasikan proses pembelajaran tentang peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang telah terjadi (Setianto, 2012: 479). 4. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Rumah Adat Rumah adat merupakan sebuah bangunan hasil kebudayaan yang tidak hanya menyimpan makna tersendiri tetapi juga memiliki nilai-nilai tertentu. Berikut ini adalah nilai-nilai yang terkandung dalam rumah adat, antara lain: a. Nilai Religius Nilai religius merupakan hal yang sangat substansial dimana mengatur tentang hubungan manusia dengan sang pencipta. Beberapa peran rumah adat dalam mengatur kehidupan manusia dari aspek religius, yakni; 1) memberikan pedoman kepada manusia dalam beribadah kepada Tuhan, 2) memberikan pedoman kepada manusia dalam hubungan sendiri dengan masyarakat, 3) menghindari manusia dari perilaku yang menyimpang. b. Nilai Pendidikan Saat ada adat/tradisi yang dilaksanakan dalam rumah adat tentunya masyarakat yang bersangkutan harus selalu patuh sebab setiap upacara memberikan nilai tersendiri yang secra tidak langsung mengajarkan kepada masyarakat tentang cara bersyukur, cara makan, cara berpikir dan bertindak sesuai aturan dan norma yang berlaku. Hal ini jelas bahwa salah satu bentuk ••• 380 pendidikan non formal yang dapat diperoleh dari rumah adat yakni sopan santun dalam bertindak. c. Nilai Sosial Budaya Sistem nilai sosial budaya merupakan sesuatu yang abstrak dari adat istiadat karena merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran masyarakat. Sistem nilai ini berfungsi sebagi pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Setiap masyarakat adat dibatasi oleh nilai dan norma adat yang berlaku di masyarakat, dimana segala perilaku dan perbuatannya dibatasi oleh budaya. d. Nilai Gotong Royong Ketika menyelesaikan suatu pekerjaan seperti dalam pembuatan rumah adat selalu diselesaikan secara bersama-sama atau bergotong-royong sehingga mempermudah dalam menyelesaikan pekerjaannya; karena melalui gotong royong, suatu pekerjaan dapat dengan muda diselessaikan dan tidak membutuhkan waktu dan yang biaya tinggi. Disamping itu, nilai gotng royong telah tertanam kuat dalam masyarakat karena gotong royong dipandang sebagai sesuatu yang baik dan mempunyai arti atau nilai yang bermanfaat seperti nilai demokratis, kekeluargaan, persatuan, dan niali solidaritas. 5. Urgensi Nilai Kearifan Lokal Rumah Adat dalam Pembelajaran Sejarah Sejatinya pendidikan merupakan proses memanusikan manusia. Untuk itu penyelenggaraan pendidikan harus dimulai dari bagaimana cara memaknai pendidikan sebagai suatu proses memanusiakan manusia. Kehidupan manusia dikelilingi oleh budaya, hal ini dikarenakan manusia selalu berupaya mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan yang mengharuskannya selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik ataupun non fisik. Dewasa ini arus penetrasi kebudayaan yang dating dari luar semakin gencar mewarnai sistem kehidupan sosiokultur masyarakat Indonesia. Hal ini sangat jelas bila melihat fenomena yang ada seperti maraknya pergaulan bebas, kasus narkoba dan bahkan tawuran antarpelajar, dan lain sebagainya. Dengan keadaan fenomena yang seperti ini membuat kehilangan ruang gerak dari lembaga pendidikan dan juga semakin menipisnya pemahaman peserta didik tentang sejarah lokal serta tradisi budaya yang ada dalam masyarakat. Agar anekaragam kebudayaan yang telah dimiliki tetap terjaga dan dilestarikan maka di upayakan bagaimanapun caranya supaya bisa tetap eksis. Melalui pendidikan, khususnya pembelajaran di sekolah maka para peserta didik akan dibentuk menjadi manusia yang berintegrasi tinggi dan berkarakter sehingga mampu melahirkan generasi bangsa yang hebat serta bermartabat. Salah satu nilai yang dijadikan pijakan untuk pembangunan karakter peserta didik adalah nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari kearifan lokal rumah adat. Rumah adat sebagai tawaran yang menarik dalam pengembangan pendidikan karakter, sebab pada dasarnya pengembangan karakter haruslah diikuti dengan pengintegrasian jati diri kebangsaan pada diri peserta didik dengan jejaring kebudayaan banga yang menjadi basis kebudayaan nasional. ••• 381 Rumah adat merupakan warisan budaya yang sangat kaya akan nilai-nilai luhur. Selain itu rumah adat pun terbentuk sebagai hasil karya masyarakat setempat dengan keunikannya tersendiri sesuai kondisi lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Rumah adat sebagai produk masa lalu seharusnya tetap di jaga kelestariannya. Kendati bernilai lokal tapi nilai yang terkandung didalamnya di anggap sangat universal. Oleh karena itu dengan mengintegrasikan nilai kearifan lokal rumah adat dalam pembelajaran sejarah secara tidak langsung para peserta didik akan mendapatkan gambaran yang utuh atad identitas dirinya sebagai individu, selain itu juga identitasnya sebagai anggota masyarakat yang terikat dengan warisan budaya para pendahulunya. Melalui pembelajaran sejarah, kita dapat menggali serta menanamkan kembali warisan budaya dari daerah sendiri, selain itu juga sebagi bagian dari upaya membangun identitas bangsa dan sebagai filter dalam menyeleksi pengaruh budaya lain. Nilai-nilai kearifan lokal rumah adat dapat dijadikan sebagai pembentukan karakter dan identitas bangsa, oleh karena itu sekolah sangatlah berperan penting didalamnya agar muncullah sikap yang santun, kreatif, serta mandiri. Dalam pembelajaran sejarah yang terjadi harusnya guru sejarah memulai memunculkan serta menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal rumah adat kedalam pembelajaran. Dengan hal seperti ini jelas bahwa guru akan menjadi seorang fasilitator yang baik dalam menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam rumah adat pada peserta didik yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Untuk mengintegrasikan nilai kearifan lokal rumah adat dalam pembelajaran sejarah, sebagai seorang guru jelas harus mampu menyiapkan segala bentuk perlengkapan dalam pembelajaran agar pembelajaran natinya bisa lebih tersitematis dan efesien. Kesimpulan Dalam rangka menggali dan menanamkan kembali rumah adat sebagi warisan budaya leluhur yang kaya akan nilai-nilai budaya maka sudah seharusnya sekolah untuk terus memperkenalkan agar tetap eksis sehingga para generasi penerus tidak lupa akan warisan budaya dari daerah sendiri. Pembelajaran sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang tepat untuk memperkenalkan kembali dan mepertahankan nilai budaya bangsa yang telah ada. Karena nilai yang terkandung dalam rumah adat dapat dijadikan sebagai pembentuk karakter para peserta didik. Hal ini tidak berarti bahwa hanya nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam rumah adat saja yang mampuu membentuk karakter para peserta didik melainkan ada begitu banyak budaya yang seharusnya digunakan sebagai landasan pembentukan karakter peserta didik. ••• 382 Daftar Rujukan Ayatrohaedi. 1986. “Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. BasyariIin Wariin. “Menanamkan Identitas Kebangsaan Melalui Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Budaya Lokal.” dalam Edunomic, Jurnal Ilmiah Pend. Ekonomi. Volume 1 Nomor 2, September 2013: 112-118. Garvey Brian & Krug Mary. 2015. “ Model-Model Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah.” Yogyakarta: Ombak. Molbang Amir & NurcahyoAbraham. “Rumah Adat Lakatuil di Desa Bampalola, Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor NTT (Kajian Historis, Nilai Filosofi, Serta Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah).” Jurnal Agastya. Volume 6 Nomor 2, Juli 2016: 51-74. Musanna, Al. “ Rasionalitas dan aktualitas kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter.” dalam Jurnal Pendidikan dan kebudayaan. Volume 17 Nomor 6, November 2011: 588- 597. Puling, E. E. 2012. “ Makna dan Nilai Rumah Adat Suku Manunut di Desa Alas Kecamatan Kobalima Timur Kabupaten Belu.” Skripsi FKIP Undana Kupang: Tidak Terbit. Rahyono F. X. 2009. “ Kearifan Budaya dalam Kata.” Jakarta: Wedatama Widta Sastra. Rambu, Hermina K. Tamu. 2011. “Rumah Adat (Uma) Sebagai Warisan Budaya Lokal Masyarakat Desa Kananggar Kecamatan Paberiwai Kabupaten Sumba Timur.” Skripsi FKIP Undana Kupang: Tidak Terbit. Said, Abdul Azis. 2004. “ Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan Perubahan Aplikasinya Pada Desain Modern.” Yogyakarta: Ombak. Schunk, D. 2012. “Learning Theories an Educational Perspective: Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudjana, Nana. 2003. “Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar.” Bandung: Sinar Baru. Wagiran. 2012. ” Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana(Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Berbasis Budaya)”. dalam Jurnal Pendidikan Karakter. Volume 2 Nomor 3, Oktober 2012: 329339. Wibowo Agus & Gunawan. 2015. “ Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ••• 383 ••• 384 TRANSFORMASI NILAI-NILAI WAYANG BEBER PACITAN SEBAGAI STRATEGI MENINGKATKAN KETAHANAN LOCAL GENIUS Antar Budiarto1 Muhammad Akhyar2 Sariyatun3 1 2 Pendidikan Sejarah, FKIP,Universitas SebelasMaret Pendidikan Teknik Mesin, FKIP, Universitas Sebelas Maret 3 Pendidikan Sejarah, FKIP,Universitas SebelasMaret budiartoantar1993@gmail.com ABSTRAK. Local genius merupakan ciri-ciri budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia sebagai pengalaman hidup yang mereka alami. Unsur budaya daerah potensial sebagai local geniuskarena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai saat ini. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh keberadaan dan keragaman nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia belum optimal dalam upaya meningkatkan ketahanan local genius. Penulisan ini bertujuan untuk menggali, mengkaji dan memperoleh gambaran secara deskriptif tentang proses transformasi nilai-nilai Wayang Beber Pacitan sebagai strategi meningkatkan ketahanan local genius. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan data melalui studi literature. Temuan penulisan menunjukan bahwa Wayang Beber Pacitan mengandung nilai-nilai luhuryang dapat dijadikan sebagai strategi meningkatkan ketahanan local genius. Kata Kunci:Transformasi Nilai, Wayang Beber, Local Genius PENDAHULUAN Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, tapak demi tapak, bahkan dengan trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya.Pada hakikatnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan, dan dilaksanakan seiring dengan perubahan proses sosial kemasyarakatan. Manifestasi dan legitimasi masyarakat terhadap budaya adalah dengan melaksanakan nilai-nilai budaya tersebut. Keragaman nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia merupakan sarana dalam membangun karakter warga negara, baik karakter privat maupun karakter publik.Dengan kerifan lokal manusia tidak hanyut oleh pengaruh negatif globalisasi, tapi manusia juga bisa menjawab tantangan itu dengan sopan berdasarkan budaya sendiri. Kearifan lokal menjadi jembatan antara nilai-nilai lokal dan global(Wardani & Widiyastuti, 2013) Permasalahan kearifan lokal sebagai falsafah hidup yang ada jauh sebelum lahirnya Pancasila dan karakter bangsa saat ini telah banyak menjadi sorotan tajam oleh masyarakat. Sorotan tersebut mengenai sikap dan perilaku masyarakat Indonesia yang semakin meninggalkan budaya dan kearifan lokal sebagai ciri khasnya. Masuknya nilai-nilai budaya dari luar semakin mendorong tergerusnya nilai-nilai dari budaya Indonesia sendiri. Yang paling menonjol adalah perilaku konsumtif dan kurangnya kreatifitas generasi muda. Salah satu nilai-nilai budaya yang masih relevan dengan masa sekarang adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Wayang Beber Pacitan. Wayang Beber merupakan salah satu bentuk hasil kebudayaan yang langka, sampai dengan tahun 1980an diketahui hanya terdapat di dua tempat yaitu di Dusun Karangtalun, Desa ••• 385 Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dan di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo (Wonosari), Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam Wayang Beber Pacitan menceritakan cerita Panji yaitu kisah pencarian jati diri Panji Asmarabangun dengan Dewi Sekartaji. Dalam pertunjukan Wayang Beber Pacitan juga dilengkapi dengan uborampe diantaranya kemenyan dan sesajen. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Wayang Beber Pacitan merupakan bentuk kepandaian masyarakat pada zaman dahulu dalam menyikapi perkambangan sosial budaya. Sebelum adanya pengaruh Hindu-Budha, masyarakat nusantara telah mengenal kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Dari kepercayaan terhadap roh nenek moyang inilah kepandaian masyarakat masa lalu yang telah menemukan prinsip dasar permainan wayang untuk mendatangkan roh. Hal ini menjadi salah satu hasil akulturasilocal genius bangsa Indonesia dengan pengaruh luar yang saat ini telah diakui oleh dunia internasional yaitu Wayang. Wayang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral ang Intangible Heritage of Humanity) pada tanggal 7 Nopember 2003. Dalam Wayang Beber Pacitan mengandung nilai diantaranya keteladanan, nilai ini dapat ditransformasikan kepada generasi muda untuk dapat mengambil nilai adiluhung dari generasi pendahulunya. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang lues dan mampu beradaptasi dengan budaya luar tanpa menghilangkan unsur lokal. Soegondho menyatakan bahwa local genius mempunyai peran penting dalam proses akulturasi budaya, tanpa dasar kepribadian (kebudayaan) yang kuat dari pihak yang dipengaruhi, proses akulturasi itu akan menjadi tidak berimbang(Ayatrohaedi, 1986:91). Bertahannya unsur lokal terhadap pengaruh budaya asing merupakan bentuk kepandaian masyarakat untuk mengolah dan mempertahankan nilai-nilai yang telah terbentuk dan menjadi sebuah kesepakatan bersama.Akan tetapi saat ini kemampuan local genius bangsa tidak lagi berjalan dengan semestinya. Masyarakat cenderung menjadi konsumtif, kurang selektif terhadap nilai-nilai dari luar, dan kurang produktif terhadap perkembangan sosial budaya. Jika hal ini terjadi terus-menerus, maka dikhawatirkan akan memudarkan nilai-nilai adiluhung yang telah diwariskan oleh leluhur bangsa Indonesia serta kemampuan local genius masyarakat akan tergerus oleh budaya-budaya instan. Jika hal ini terjadi maka bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya. Sebagai suatu bangsa, Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Dampak yang mengarah pada arah negatif adalah nilai-nilai tradisi yang mulai memudar. Bersamaan dengan semakin memudarnya ikatan tradisi mereka, banyak kekayaan budaya lokal terdesak atau bahkan punah akibat desakan budaya asing. Masyarakat tradisi kehilangan identitasnya karena tercerabut dari akar budayanya (Warto, 2012:57) Sifat perekonomian yang kapitalis ditandai dengan beberapa kriteria, yakni produksi masal berdasarkan pasaran kerja yang bebas, sistem keuangan yang memungkinkan arus perdagangan pasar, dan terjadinya persaingan bebas. Perdagangan Barat ini lambat laun dan secara langsung akan dapat mempengaruhi struktur kehidupan masyarakat, sehingga akulturasi tidak senantiasa ••• 386 menumbuhkan local genius yang berlaku dalam tradisi atau bahkan mungkin akan menghilangkan nilai-nilai mendasar masyarakat tempatan (Lestari, 2000:32). Penanaman nilai-nilai adiluhung yang terdapat di dalam hasil-hasil budaya masyarakat zaman dahulu sangatlah penting, hal ini berguna sebagai filter dalam menerima nilai-nilai budaya luar dan sekaligus menjadi ciri khas bangsa Indonesia sendiri. Melalui tulisan ini, penulisan ini bertujuan untuk memberikan gagasan penanaman nilai budaya lokal untuk memperkuat local genius. TRANSFORMASI NILAI-NILAI WAYANG BEBER PACITAN SEBAGAI STRATEGI MENINGKATKAN KETAHANANLOCAL GENIUS 1. Transformasi Nilai Transformasi adalah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Karena dengan memahami perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan pra perubahan dan keadaan pasca perubahan (Kuntowijoyo, 2005:56). Transformasi bisa didefinisikan sebagai perpindahan atau pergeseran suatu hal ke arah yang lain tanpa mengubah struktur yang ada di dalamnya, meskipun ada kebaharuan bentuk.Menurut Mardimin (1994:14), tranformasi budaya adalah proses perubahan sosial budaya yang direncanakan dengan suatu tujuan tertentu. Mardimin juga menjelaskan bahwa terdapat dua arah transformasi budaya; pertama, transformasi yang dilakukan dengan sengaja bahwa orang Jawa menganggap perlu adanya suatu perubahan dalam hidup mereka yang disesuaikan dengan kondisi atau perkem-bangan zaman. Kedua, transformasi tanpa adanya unsur kesengajaan yaitu bahwa proses tersebut terjadi diluar kehendak mereka dan cenderung karena faktor lingkungan. Capra menerangkan bahwa transformasi melibatkan perubahan jaringjaring hubungan sosial dan ekologis. Apabila struktur jaring-jaring tersebut diubah, maka akan terdapat didalamnya sebuah trenasformasi lembaga sosial, nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran (Pujileksono, 2009:143).Proses transformasi erat kaitannya dengan lingkungan dan sosial masyarakat. Transformasi nilai yang bersumber pada budaya lokal merupakan usaha yang dilakukan untuk melestarikan budaya lokal dengan memberikan pengetahuan kandungan nilai dari suatu budaya agar nilai-nilai tersebut dapat diwarisi oleh generasi penerus guna menjadi warga negara yang baik yang mempunyai jatidiri. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermanfaat (Susilo, 2013:56). Nilai-nilai berlokasi dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Nilai berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tata kelakuan manusia dalam rangka menjaga keteraturan sosial masyarakat. Nilai menjadi acuan dalam menentukan sikap, dan sikap menajdi acuan bertingkah laku. Seperti yang diungkapkan Koentjaraningrat (1984, 25) bahwa suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nasution, S. (2015:63) menyatakan, dengan nilai-nilai kebudayaan anggota masyarakat mengetahui apakah yang layak, pantas, baik atau seharusnya. ••• 387 Transformasi nilai yang bersumber pada budaya sangatlah penting, hal ini selain sebagai bentuk menjaga kelastarian budaya juga sebagai sarana penyadaran pada masyarakat akan nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan. Soeprapto dan Jirzanah menjelaskan, proses penyadaran berfungsi amat penting untuk menjembatani proses pemahaman dan motivasi yang melandasi tindakan. Penyadaran individual memang penting, tetapi untuk melangkah ke perbuatan seringkali perlu dicakup dalam sejarah kolektif (2009:163). 2. Wayang Beber Pacitan Wayang adalah jenis seni pertunjukan yang mengisahkan seorang tokoh atau kerajaan dalam dunia pewayangan. Wayang berasal dari kata Ma Hyang yang berarti menuju kepada roh spiritual, dewa atau Tuhan Yang Maha Esa. Cerita wayang diambil dari buku Mahabarata atau Ramayana (Lisbijanto, 2013:1).Wayang sudah ditetapkan oleh UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, sebagai sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral ang Intangible Heritage of Humanity) pada tanggal 7 Nopember 2003. Terdapat berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia, yang paling dikenal adalah Wayang Kulit (Purwa). Wayang Beber merupakan salah satu jenis wayang yang ada di Indonesia, akan tetapi keberadaannya kurang begitu dikenal. Wayang Beber merupakan salah satu bentuk hasil kebudayaan yang langka, sampai dengan tahun 1980an diketahui hanya terdapat di dua tempat yaitu di Dusun Karangtalun, Desa Gedompol, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dan di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo (Wonosari), Gunung Kidul, Yogyakarta. Wayang Beber merupakan representasi lukisan Jawa masa lalu sebelum datangnya pengaruh Barat. Wayang Beber layaknya komik pada masa lalu dan terdiri atas serangkaian gambar yang dilukis pada gulungan kertas dan melukiskan secara berurutan episode-episode sebuah cerita. Wayang beber dipertunjukkan dengan mengomentari gambar demi gambar dengan iringan gamelan. Suharyono (2005:2) mendefinisikan, Wayang Beber adalah jenis pertunjukan wayang dengan gambar-gambar sebagai objek pertunjukan. Gambargambar tersebut dilukiskan pada selembar kertas atau kain, gambar dibuat dari satu adegan menyusul adegan lain, berurutan sesuai dengan narasi. Wayang Beber Pacitanmuncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang baik Mahabarata maupun Ramayana. Wayang Beber Pacitan dibuat pada sesudah pemerintahan Amangkurat II (1677-1678) dan sebelum pemerintahan Amangkurat III (1703-1704) di Kartasura. Wayang Beber Pacitan melukiskan cerita panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji (Gozali & Cahyana, 2015:15).Wayang beber Pacitan dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai warisan dari zaman Majapahit. Wayang “pusaka” Majapahit ini dihadiahkan beber) dari Karang Talun, Gedompol, Pacitan, karena telah berhasil menyembuhkan putri sang Raja yang sakit (Warto, 2012: 60). Dalang pertama Wayang Beber ini adalah Ki Nala Derma kemudian ••• 388 diwariskan kepada anak cucunya. Mbah mardi Guna Carita (dalang ke-13) tidak memiliki anak laki-laki, pewarisan kemudian terputus dan Wayang Beber asli tersimpan di rumah kakak Mbah Mardi di Gedompol. Wayang Beber Pacitan jagong-jagongnya dominan menggunakan warna hitam, merah, dan kuning dari jagong awal sampai akhir sehingga tampak magis. Materi Wayang Beber Pacitan menggunakan alat dan warna-warna klasik dan ornamen pada background seperti tumbuhan, hewan, senjata, genting, dan bangunan seperti pendapa.Cerita Wayang Beber, terdiri dari enam gulung. Satu gulung berisi empat adegan yang disajikan satu persatu. Jadi dalam pertunjukan Wayang Beber Pacitan, gambar dalam gulungan disajikan seperempat demi seperempat. Wayang Beber Pacitan mengisahkan tentang Cerita Panji. Terdapat berbagai pendapat mengenai Panji, yaitu seperti dalam tabel berikut ini: Tabel 1.1Data Ringkas tentang Kisah Panji Menurut BerbagaiKajian C.C.BERG R.M.Ng. W.H.RASSERS AGUS ARIS (1927) POERBATJARAKA (1982) MUNANDAR (1957 & 1968) (2005) SETTING Setting sejarah dari Tidak Setting sejarah dari SEJARAH masaKerajaan Kadiri diungkapkan keruntuhan Singhasari, Setting sejarah (abadke-11). perihal setting awal Majapahit berasal dari sejarah dari pemerintahan Raden zaman kejayaan kisah Panji. Wijaya, Jayanagara, Majapahit Trbhuwanottunggadew dalam era i, hingga akhir Hayam Wuruk pemerintahan Hayam Wuruk tahun 1389 M. TOKOH Tokoh Panji mengacu Tokoh Panji Acuan tokoh Panji Acuan tokoh kepada raja mungkin dapat adalah Raden Wijaya, cerita Panji Kameswara dan Sekar dihubungkan Jayanagara, dan adalah Taji mengacu kepada dengan tokoh Hayam Wuruk. Acuan Rajasanagara permaisuri Ken Angrok Dewi (Hayam Kameswara, yaitu Sri yang mendirikan Angreni/Martalangu Wuruk), dialah Kiranaratu. kerajaan ialah Putri Sunda, tokoh Raden Singhasari pada Sekar Taji adalah Indu Inu/Hino sang tahun 1222 M Dewi atau Paduka putera mahkota, dan juga Raden Sori. namun tidak Wijaya. dijelaskan acuan tokoh-tokoh lainnya. PENCIPTAAN Digubah pada zaman Merupakan Digubah setelah Sebelum tahun Kejayaan atau akhir tuturan lisan dari terjadinya Pabubat1277 sudah kejayaan Majapahit masa purba Sunda, dikembangkan dikenal cerita (sekitar tahun 1400sebelum dalam varian-varian Panji. an) masuknya hingga pertengahan budaya India abad ke-15. PENYEBARAN Penyebaran Kisah Tidak ada Penyebaran ke luar Penyebaran Panji terjadi dalam penjelasan Jawa Timur terjadi ••• 389 awal Kisah Panji terjadi bersamaan dengan peristiwa Pamalayu tahun 1277 dan berakhir sekitar tahun 1400 M periode surutnya kuasa Majapahit, bahkan sampai era penyebaran Islam di Jawa tentang penyebaran kisah Panji keluar Jawa Timur. dalam abad ke-15-16, dalam masa pemerintahan rajaraja pengganti Hayam Wuruk. (Sumber: Munandar, 2014:7) Cerita Panji tidak hanya ada di wilayah Jawa namun menyebar ke berbagai wilayah. Nilai-nilai yang ada di dalam Cerita Panji tidak menjurus pada satu agama, daerah, atau etnis tertentu, tetapi mengandung nilai universal yang berguna bagi manusia pada umumnya. Adanya corak nilai universal inilah yang membuat cerita ini dapat menyebar luas ke berbagai wilayah Nusantara (Bali, Sunda, Lombok, Kalimantan, Palembang, dan Melayu), serta berbagai negara di daratan Asia Tenggara (Manuaba, dkk. 2013:58). Dalam Wayang Beber Pacitan cerita yang dikisahkan adalah cerita Panji. Isinya mengenai kepahlawanan dan percintaan yang berpusat pada dua tokoh utama, yaitu raden Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun, dan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana (Sawega, 2013: 19). Secara keseluruhan lukisan wayang beber itu menggambarkan perjalanan cinta Dewi Sekar Taji dan Panji Asmara Bangun, yang dalam versi wayang beber Pacitan dirangkum dalam cerita Jaka Kembang Kuning (Warto, 2012:60). Cerita Panji dapat dikisah-singkatkan sebagai cerita yang berkisar mengenai percintaan Raden Panji Asmarabangun (Inu Kertapati atau Panji Kudawanengpati), putera mahkota kerajaan Jenggala, dengan Dewi Sekartadji (Galuh Candrakirana), puteri kerajaan Panjalu atau Kadiri. Arkeolog M. Dwi Cahyono berpendapat, bahwa yang dimaksud Cerita Panji adalah berbagai kisah dalam beragam ekspresi dengan tokoh sentral Panji. Disebut Cerita Panji karena memiliki pola-pola tertentu, yaitu (1) tokohnya kekesatriaan, (2) memiliki pola integrasi-distegrasi-reintegrasi atau ketemu-pisah-ketemu lagi dan mengalami siklus berulang. (3) Ada kesan bermusuhan tetapi bersatu, seperti Romeo Yuliet, ada upaya penyatuan. (4) Ada balada yang segenerasi tapi bisa lintas generasi (Makalah Henri Nurcahyo yang dimuat dalam budayapanji.com). Nilai kepahlawanan yang diajarkan dalam Kisah Panji meliputi beberapa aspek positif, yaitu :1) Pelaga yang pantang mundur di medan perang; 2) Berani mengorbankan diri demi harga diri sebagai pahlawan; 3) Setia kepada janji yang diucapkan; 4) Melaksanakan etika susila dan kesopansantunan; 5) Cinta kepada keluarga hormat kepada orang tua, kakak, dan saudara; 6) Setia kepada kawan; 7) Siap membalas budi, dan siap membantu; 8) Tidak pernah merampas hak orang lain; 9) Manis rupanya, halus budi bahasanya (Baried dkk 1987: 86). Secara ringkas cerita dalam Wayang Beber Pacitan adalah menceritakan Dewi Sekartaji melarikan diri dari kerajaan karena menolak untuk menikah dengan raden Klana Sewandana dari Kerajaan Seberang. Raja mengadakan sayembara bagi siapa saja yang dapat menemukan Dewi Sekartaji, tanpa memandang derajat atau pangkat, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, ••• 390 apabila dia perempuan akan dijadikannya saudara dari Dewi Sekartaji dan apabila laki-laki akan dijadikannya suami dari Dewi Sekartaji. Panji Asmara Bangun datang untuk mengikuti sayembara dan menyamar sebagai jaka kembang Kuning. Jaka Kembang Kuning mohon diri untuk segera mencari keberadaan Dewi Sekartaji bersama dua orang abdinya, yaitu Ki Tawang Alun dan Ki Naladerma. Dalam perjalanan mencari Dewi Sekartaji, Jaka Kembang Kuning bertemu dengan tiga orang ksatria, yaitu: Ganggawercitra, Jaladara, dan Gendrayuda. Ketiga ksatria ini mengajukan keinginannya pada Jaka Kembang Kuning agar dirinya dijadikan sebagai abdi. Namun Jaka Kembang Kuning menolaknya. Ki Tawang Alun menyarankan Jaka Kembang Kuning cara untuk mencari Dewi Sekartaji, dengan mengadakan pertunjukan Barong Terbang (semacam kesenian terbangan) di Pasar Katumenggungan. Jaka Kembang Kuning bertemu Dewi Sekartaji. Jaka Kembang Kuning kemudian mengutus Ki Tawang Alun untuk menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa Jaka Kembang Kuning telah menemukan putrinya, Dewi Sekartaji. Sedangkan Ki Naladerma diutus untuk memberikan cincin tunangan kepada Dewi Sekartaji. Terjadilah adu mulut antara Ki Tawang Alun dan Raden Klana Sewandana. Jaka Kembang Kuning riang gembira setelah mengetahui bahwa lamarannya diterima oleh Dewi Sekartaji. Jaka Kembang Kuning yang melihat Ki Tawang Alun dikalahkan oleh Patih Kebo Loro dan akhirnya mengambil alih posisi Ki Tawang Alun. Patih Kebo Lorodan bertarung dengan Jaka Kembang Kuning. Pada pertarungan ini, Patih Kebo Lorodan mati. Raden Klana Sewandana mundur, mengatur kekuatan untuk menyerang Kerajaan Kediri. Raden Klana Sewandana berubah menjadi Raden Gandarepa palsu untuk melamar Dewi Sekartaji. Karena gerak geriknya yang mencurigakan, Dewi Sekartaji menolaknya. Raden Klana Sewandana akhirnya dibunuh oleh Ki Tawang Alun dengan menggunakan Keris Pasopati. Jaka Kembang Kuning memboyong para tawanan putri, termasuk Retno Tenggaron, ke hadapan Prabu Brawijaya di Keraton Kerajaan Kediri. Jaka Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji meminta doa restu kepada Prabu Brawijaya. Dilaksanakan pernikahan Jaka Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji. Manuaba (2013:63) dalam jurnal Litera, Keberadaan dan Bentuk Transformasi Cerita Panji menyatakan, terdapat sepuluh nilai yang terkandung dalam cerita Panji. Kesepuluh nilai tersebut, yaitu (a) kesejarahan, (b) edukatif, (c) keteladanan, (d) kepahlawanan, (e) budaya, (f) estetika, (g) kearifan lokal, (h) ekologis, (i) politis, dan (j) moral. Tabel 1.2 Nilai-Nilai Cerita Panji dan Wayang Beber Pacitan Nilai Cerita Panji Kesejarahan Edukatif Cerita Wayang Beber Pacitan Cerita Panji memiliki nilai kesejarahan yang dapat diketahui dari keberadaan cerita ini yang terkait dengan Kerajaan Kediri dan Jenggala. Cerita ini merupakan sumber cerita yang melahirkan banyak cerita turunan, dan memiliki peran dalam pengembangan sastra dan budaya Jawa. ••• 391 Keteladanan Kepahlawanan Budaya Estetika Kearifan Lokal Ekologis Politis Moral Nilai keteladanan yang dapat diketahui dari kisahkisah pengembaraan, penyamaran, dan pencarian Panji. Panji selalu menunjukkan sikap baik, arif bijaksana, dan hampir tidak pernah dikisahkan sebagai tokoh atau sosok yang tidak baik. Panji memang dalam berbagai kisah digambarkan sebagai idola, tokoh sentral yang selalu identitik dengan nilainilai kebaikan. Nilai kepahlawanan yang dapat diketahui dari cerita Panji adalah ketika ia tidak kenal menyerah dan selalu berani untuk menghadapi tantangan apa pun untuk menemukan Dewi Candrakirana yang sering dikisahkan ada dalam penyamaran dan terpisah dengan dirinya. Dalam masa penyamaran, pencarian, dan keterpisahan, Panji menghadapi tantangan yang banyak membahayakan jiwanya, namun ia selalu dikisahkan berhasil dalam menghadapinya. Nilai budaya dapat diketahui melalui karya-karya budaya sebagai hasil transformasinya. Nilai-nilai ini terlukiskan dalam arca, relief, dan naskah-naskah kuno yang mengungkap kearifan budaya pada masanya. Nilai estetika intens terungkap dalam karya sastra, seni, dan budaya Panji. Semua kisah yang diceritakan dan dilukiskan dalam karyakarya budaya memperlihatkan estetika yang tinggi, yang membuat karya karya Panji beserta turunannya dinilai sebagai karya yang patut disimak oleh masyarakat untuk peningkatan kehalusan budi dan laku manusia. Cerita Panji mengungkap cerita yang khas daerah, dengan sendirinya juga mengandung nilai kearifan lokal daerah. Karya Panji mengungkap tentang kearifan lokal Kediri, dan kisah-kisah turunannya juga sudah mendapat varian nilai kearifan lokal tempat karya itu dituturkan atau dikisahkan dalam masyarakat setempat. Nilai ekologis dalam cerita Panji ditunjukkan melalui busana Jawa yang digunakan, perhatian pada alam sekitar, dan lingkungan seni yang dikembangkannya dalam budaya Jawa. Nilai politis tidak dipahami sebagai yang negatif tetapi positif. Nilai politis cukup intens karena Panji sendiri adalah putera mahkota Kerajaan diidentikkan dengan Raden Inu Kartapati yang banyak mengelola kerajaan. Politis berkait dengan pengelolaan pemerintahan dan birokrasi kerajaan pada masa itu. Cerita Panji, sebagai cerita klasik dan lampau, nilai moral dijunjung tinggi. Nilai ini dapat diketahui melalui sikap dan perilaku tokoh-tokoh cerita yang ada dalam cerita Panji, terutama Panji Asmorobangun ••• 392 dan Galuh Candrakirana, yang secara keseluruhannya digambarkan sebagai manusia yang memiliki moralitas yang sangat tinggi. 3. Local Genius Perjalanan sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas dari keadaaan yang simultan, ketika kita menghadapi teknologi yang lebih maju, contohnya adalah dari teknologi prasejarah ke teknologi Hindu-Budha, kemudian ke teknologi Islam, lalu akhirnya menghadapi teknologi barat. Dari perjalanan sejarah ini, terutama pada pertemuan antara teknologi prasejarah dengan teknologi HinduBudha, dapat dikenal suatu kemampuan yang disebut sebagai local genius. Kemampuan ini merupakan kemampuan untuk menyesuaikan teknologi maju dengan nilai-nilai kebudayaan yang ada, lalu akhirnya menciptakan hal yang baru. Mundardjito secara implisit menerangkan hakikat local genius yaitu; 1) Mampu bertahan terhadap budaya luar; 2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur daya luar; 3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli; 4) memiliki kemampuan mengendalikan; dan 5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya (Ayatrohaedi, 1986:40). Dengan mengacupendapat Wales (1951: 2 – 32), sebenarnya local genius secara luas dapatdiartikan sebagai proses cultural characteristics, yakni perkembangan dariproses fenomenologis ke sifat kognitif, memiliki dasar; 1)Menunjukkan pandangan hidup dan sistem nilai dari masyarakat (orientation); 2) Menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap dunia luar(perception); 3) Mewujudkan tingkah laku masyarakat sehari-hari (attitude danpattern of life); 4) Mewarisi pola kehidupan masyarakat (life style). Sifat terbuka Indonesia telah membawa konsekuensi bahwa sepanjang sejarah keadaan sosial budaya kita selalu berbenturan, bersentuhan, berkenalan dan dipengaruhi oleh sosial budaya asing. Situasi generasi muda juga tidak dapat terlepas dari keadaan tersebut. Secara histroris budaya lokal yang dimiliki bangsa Indonesia telah mampu menjaga eksistensinya terhadap budaya luar dan budayabudaya lokal di Indonesia telah menjadi pemersatu bangsa. Hal ini tidak terlepas dari kepandaian generasi pendahulu dalam menyikapi dan mengolah adanya kontak budaya antara budaya lokal dengan budaya luar. Tingginya kreatifitas dalam mengolah kontak budaya, kemampuan menyeleksi unsur-unsur budaya yang sesuai, tingginya rasa cinta budaya, dan tentunya mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Kebudayaan asli Indonesia yang belum dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan India adalah kebudayaan pada masa prasejarah. Unsur-unsur kebudayaan asli tersebut terwujud dalam bahasa, teknologi, organisasi sosial, religi, dan kesenian bangsa pra sejarah. Sebelum masuknya pengaruh bahasa Sansekerta, bangsa Indonesia telah mempunyai bahasa ibu yaitu bahasa Austronesia, bahasa Austronesia berkembang di Indonesia sejalan berkembangnya budaya bercocok tanam. Bukti dari kuatnya ketahanan bahasa lokal adalah meskipun masuknya bahasa Sansekerta namun hanya pada golongan tertentu saja. Dalam unsur teknologi ditunjukkan dan dimulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan (tingkat sederhana). Hal ini ditunjukkan dari kemahiran dalam memilih bahan batuan hingga cara ••• 393 mengerjakannya untuk alat-alat keperluan sehari-hari. Selain itu juga kemampuan membuat bangunan-bangunan megalitik dengan bernagai fungsinya. Pada masa perundagian telah mengenal pembagian kerja, dalam sistem pengetahuan mengenal cara pengobatan (dukun), pada religi telah mengenal pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan pada kesenian ditunjukkan diantaranya seni lukis pada goa-goa. Masuknya budaya India justru menambah pengetahuan.Daya cipta masyarakat selalu mengalami peningkatan, kemudian disusul dengan masuknya pengaruh baru yaitu Islam dan sampai pada pengaruh yang lebih modern. Local genius, yang sering juga disebutkan sebagai pencipta kebudayaan pribumi dengan demikian merupakan konsep budaya suatu sistem yang mencakup berbagai dimensi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Salah satu faktor penggeraknya adalah ethos, yang dipandang sebagai suatu faktor yang meresap dalam kompleksitas kebudayaan sehingga dapat menciptakan suatu koherensi antar berbagai unsur, yang selanjutnya menjiwai kebudayaan tersebut dan menimbulkan struktur tersendiri dengan membentuk identitas tersendiri pula (Lestari, 2000:30). 4. Transformasi Nilai-Nilai Wayang Beber Pacitan sebagai Strategi Meningkatkan Ketahanan Local Genius Masyarakat Indonesia memiliki sifat yang cenderung pada sikap eksoteris dan mudah berorientasi pada alam transdental. Dan jika orientasi ini tidak diimbangi dengan keterbukaan ke dunia luar, suatu eksoteris, dan ke arah dunia nyata dan konkrit, akan ditemui kesulitan dalam mendorong masyarakat untuk brsikap produktif, maju, dan positif terhadap teknologi (Lestari, 33:2000).Unsurunsur budaya barat yang masuk dan mempengaruhi budaya kehidupan di Indonesia sering dirasakan berhadapan dengan permasalahan disorientasi, disintegrasi, dan disfungsi dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat. Indonesia dihadapkan pada tantangan modernisasi, untuk itu masyarakat harus mempunyai kemampuan untuk merespon tantangan tersebut. Kemampuan merespon ini akan terbentuk jika local genius dalam unsur-unsur kehidupan seperti orientasi, persepsi, sikap dan pola hidup dihidupkan kembali. Untuk menghidupkan unsur-unsur di atas dapat dilakukan dengan mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya yaitu Wayang Beber Pacitan.Suharyono (2005:7-8) menyatakan Ada tiga alasan pentingnya mengkaji Wayang Beber yaitu, pertama Wayang Beber adalah suatu kesenian yang langka dan mempunyai gejala perkembangan surut menuju kematian. Kedua, para narasumber dan para pakar wayang yang betul-betul mengetahui tentang Wayang Beber, umumnya sudah lanjut usia. Ketiga, pada masa sekarang ini perlu digalakan penulisan sejarah lokal dan sejarah kesenian sebagai perwujudan identitas nasional. Cerita dalam wayang mengandung makna yang beragam yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Jika makna yang terkandung dalam cerita wayang ini dapat dipahami dengan baik maka digunakan sebagai falsafah kehidupan. Pembentukan dan pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya ••• 394 merupakan proses transformasi dan dalam proses transformasi inilah pendidikan berfungsi. Proses pendidikan sendiri merupakan transformai kebudayaan. Terkait nilai dan sistem pendidikan terdapat hubungan yang saling melengkapi. Hal tersebut dapat dirinci sebagai berikut: 1) Setiap masyarakat atau bangsa memiliki sistem nilai ideal yang dipandang sebagai suatu yang benar; 2) Nilai-nilai tersebut perlu dipertahankan sebagai suatu pandangan hidup atau filsafat hidup mereka; 3) Agar nilai-nilai tersebut dapat dipelihara secara lestari, perlu diwariskan kepada generasi muda; 4) Usaha pelestarian melalui pewarisan ini efektifnya melalui pendidikan; 5) Untuk menyelaraskan pendidikan yang diselenggarakan dengan muatan yangterkandung dalam nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup tersebut, maka secarasistematis program pendidikan harus menempatkan nilai-nilai tadi sebagai landasandasar muatan dan tujuan yang akan dicapai (Jalaluddin & Idi, 2012:188-189). Pendidikan tidak hanya sebagai pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skliss) tetapi juga meliputi pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and socialnorms), dalam hal ini adalah nilai-nilai dalam cerita Wayang Beber Pacitan. Proses transformasi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi, dan sosialisasi. Imitasi adalah meniru tingkah laku dari sekitar. Yang diimitasi adalah nilai-nilai cerita Wayang Beber Pacitan. Transmisi nilai-nilai ini diperlukan seorang penghubung karena tidak semua orang atau generasi muda mampu menangkap nilai yang terkandaung dalam Wayang Beber Pacitan. Untuk itu dibutuhkan penghubung nilai yaitu guru ataupun pendidik. Nilai-nilai tersebut harus diidentifikasi, proses identifikasi ini berjalan sepanjang hayat sesuai tingkat kemampuan manusianya. Kemudian nilai-nilai itu disosialisasikan dalam kehidupan nyata, artinya harus diwujudkan dalam kehidupan nyata di dalam lingkungan yang semakin luas. Cara mentransformasikan nilai-nilai cerita Wayang Beber Pacitan bisa melalui bimbingan. Bimbingan ini dapat berupa instruksi, persuasi, rangsangan, dan hukuman. Dalam proses transformasi nilai-nilai Wayang Beber Pacitan, pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kepribadian yang mempunyai jiwa kreatif dan dapat memilih nilai-nilai serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.Lembaga-lambaga pendidikan haruslah mengkondisikan pengenalan, pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan. Selain itu di dalam lembagalembaga pendidikan harus mengembangkan sikap penghargaan terhadap budaya daerah dan nasional serta daya kritis dan analitis terhadap budaya luar. SIMPULAN Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman nilai-nilai yang terkandung di dalam Wayang Beber Pacitan sangat urgen dalam rangka meningkatkan ketahanan local genius. Dikatakan demikian karena Wayang Beber Pacitan dan cerita di dalamnya mengandung nilai-nilai adiluhung yang sesuai dengan kehidupan masa kini. Jika nilai-nilai ini ditrnasformasikan kepada generasi penerus maka selain memahami budaya juga akan meningkatkan kemampuan local geniusnya. Dalam transfromasi nilai ini dapat melalui pendidikan dengan memberikan penanaman nilai dalam setiap ••• 395 kegiatan pembelajaran yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Selain untuk menanamkan nilai, hal ini merupakan sarana pelestararian budaya. DAFTAR PUSTAKA [1] A. A. Munandar. Panji dan para Kadeyan Mengembara dalam Kebudayaan Nusantara.Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok. Prosiding Seminar Panji dalam Berbagai Tradisi Nusantara di Hotel Inna Garuda Yogyakarta, 8 Mei 2014. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN: 978-602-14898-1-9, Mei 2014 [2]A. Gozali, Agung Cahyana. Anatomi Wayang Beber Gaya Pacitan. Laporan Akhir Program Penelitian Dosen Pemula. FSRD ISI Surakarta. DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat, 2015 [3]A. M. Sawega . Wayang Beber Antara Inspirasi dan Transformasi . Surakarta: Bentara Budaya Balai Soedjatmoko, 2013 [4]Ayatrohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya, 1986 [5]H. G. Wales. “Cultural Change in Greater India”, in Jurnal of Royal Asiatic Society, 1951 [6] H. Lisbijanto. Wayang. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013 [7]H. Nurcahyo. Lokakarya Revitalisasi Kesenian Berbasis Cerita Panji, Makalah dalam Lokakarya diselenggarakan oleh UPT Laboratorium Pelatihan dan Pengembangan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, di Regent Park Hotel, Malang, 25-26 Oktober 2016, Tersedia: [Online] http://budayapanji.com/informasi/?p=500#comment-3431, [diakses Rabu, 15 November 2017] [8]I. Bagus Putera Manuba, Adi Setijowati, Puji Karyanto. Keberadaan dan Bentuk Transformasi Cerita Panji. LITERA Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor 1, April 2013, hal. 53-67, 2013 [9]Jalaluddin, Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012 [10]Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006 [11]N. Wardani, Endang Widiyastuti. Mapping Wayang Traditional Theatre As a From of Local Wisdom of Surakarta Indonesia. Asian Journal of Social Sciences & Humanities, II, May 2013 ••• 396 [12] S. A. Susilo. Pembelajaran Nilai Karakter Konstruksi dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013 [13]S. B. Baried, dkk. Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987 [14] S. Bagyo. Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Pustaka, 2005 [15] S. Nasution. Sosiologi Pendekatan. Jakarta: Bumi Aksara, 2015 [16]S. Pujileksono. Antropologi (Edisi Revisi). Malang: UMM Press, 2009 [17]S. Soeprapto dan Jirzanah. Transformasi Nilai-Nilai dan Alam Pemikiran Wayang Bagi Masa Depan Jati Diri Bangsa Indonesia. Jurnal Filsafat Vol.19, Nomor 2, Agustus 2009, hlm. 147-164 [18]W. Lestari. 2000. PERAN LOKAL GENIUS DALAM KESENIAN LOKAL (The Role of Local Genius in The Local Art). Vol. 1 No. 2/September – Desember 2000. Department of Drama, Dance, and Musik (Sendratasik), Semarang State University. [Online]. Tersedia: www.portalgaruda.org[diakses Rabu, 15 November 2017] [19]Warto. Wayang Beber Pacitan: Fungsi, Makna, dan Usaha Revitalisasi. Paramitha Vol. 22 No. 1, ISSN: 0854-0039, hlm. 56-58, Januari 2012 [20]Y. Mardimin (ed.). Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius, 1992. ••• 397 ••• 398 ARISTEKTUR RUMAH KAPITAN DALAM BINGKAI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BELAJAR SEJARAH Eva Febriani, Nunuk Suryani, Sariyatun Universitas Sebelas Maret evafebriani672@gmail.com ABSTRAK Tujuan dalam penelitian ini, menghadirkan arsitektur rumah Kapitan sebagai alternatif sumber belajar sejarah dalam nilai kearifan lokal untuk membentuk generasi muda dan penggerak bangsa yang berkarakter serta yang paham akan keberagaman budaya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ; 1). Arsitektur rumah Kapitan merupakan warisan sejarah lokalitas yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal 2). Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam arsitektur rumah Kapitan berupa nilai solidaritas, nilai budaya, nilai gotong royong dan nilai toleransi 3). Nilai-nilai kearifan lokal dalam aristektur rumah Kapitan sebagai alternatif sumber belajar dapat diimplementasikan dalam pembelajaran sejarah di SMA N 8 Palembang. Rumah Kapitan dalam kontribusi bidang arsitektur melalui pendekatan visual skill, mampu membangun sejarah arsitektur di tanah air khususnya di wilayah Palembang untuk menghadirkan nilai-nilai kebajikan dari setiap simbol bangunan sejarah sehingga dapat mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan peserta didik sebagai generasi bangsa yang berkarakter. Kata Kunci : Arsitektur Rumah Kapitan, Kearifan Lokal, Sumber Belajar Sejarah PENDAHULUAN Potensi kearifan lokal dalam lembaga pendidikan menjadi wacana yang harus diperhitungkan ditengah arus globalisasi terkini. Kearifan lokal yang merupakan produk budaya masa lalu, membawa pesan kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa dalam memberikan penekanan bahwa kearifan lokal adalah produk budaya yang dapat menyatukan tatanan kehidupan agar lebih serasi. Kearifan lokal perlu diperkenalkan kepada peserta didik agar permasalahan sosial seperti keberagaman pendapat dan pemikiran renta terhadap konflik. Dalam ruang lingkup kehidupan sosial secara universal, konflik atau permasalahan sosial muncul disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola keberagaman suku bangsa dan masing-masing individual memiliki pandangan yang berbeda-beda. Permasalahan sosial biasanya muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, budaya, agama dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap integrasi sosial ditengah perkembangan masyarakat yang begitu plural. Bukan hanya dalam kehidupan bermasyarakat saja, permasalahan sosial juga tumbuh dalam dunia pendidikan di lingkungan sekolah yang seharusnya sekolah menjadi wadah untuk pengembangan kreatifitas dan imajinasi demi membentuk karakter generasi penerus bangsa. Dalam realitasnya hal seperti ini kurang mendapatkan perhatian sehingga para pelajar masih saja sering melakukan tawuran, tidak ada rasa hormat terhadap guru, saling mengejek sesama teman dan melakukan tindak bulying secara verbal maupun fisik. ••• 399 Solusi agar tidak bertambahnya angka terhadap konflik dan permasalahan sosial yang terjadi oleh generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam lingkungan sekolah dimulai dari peran pendidikan untuk mengaplikasikan nilai keraifan lokal kepada peserta didik. Pendidikan harus berupaya menanamkan nilai-nilai sosial kepada peserta didik, sebagai bekal dalam menghadapi kompleknya konflik yang terjadi dalam masyarakat kontemporer. Lebih dari itu juga, peran pendidikan harus mampu mengembangkan masyarakat Indonesia yang multicultural, menuju kepada masyarakat yang sosialis, dinamis, pluralis, toleransi, patriotism dan demokratisasi. Dalam mengurangi angka terjadinya permasalahan dalam kehidupan sosial tersebut, mengembangkan nilai kearifan lokal sebagai sumber belajar merupakan langkah awal yang kecil untuk perubahan karakter generasi muda yang besar. Perasaan saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas, perasaan saling menghargai dan memperhatikan kepentingan bersama akan menjawab tantangan permasalahan sosial yang semakin memprihatinkan dalam dunia pendidikan maupun lingkungan bermasyarakat. Nilai kearifan lokal yang digali dalam pembelajaran dapat ditumbuhkan melalui sumber belajar sejarah yang dihadirkan melalui warisan budaya lokalitas. Djuwita (2009) menyatakan bahwa sangat efektif jika pembelajaran untuk mencari nilai-nilai kehidupan atau kebajikan (wisdom) membantu peserta didik untuk menjelajah dan mengeksplorasi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar bisa berbuat bijak. Baik itu nilai dalam dirinya sendiri, maupun nilai-nilai budaya mereka. Dari alasan tersebut, menjadi ketertarikan peneliti untuk menyelami nilainilai kearifan lokal diberbagai wilayah khusunya di wilayah palembang dengan sumber belajar sejarah yaitu arsitektur rumah Kapitan. Jika ditelusuri secara mendalam, banyak sekali terdapat nilai-nilai kebajikan yang dapat diambil dari arsitektur rumah Kapitan dengan bingkai nilai kearifan lokalnya. Nilai-nilai kearifan lokal dalam arsitektur rumah Kapitan dapat dijadikan falsafah hidup pedoman peserta didik agar memiliki sifat dan perilaku yang selaras dengan nilai kearifan lokal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. METODE PENELITIAN Penelitian arsitektur rumah Kapitan dalam nilai kearifan lokal sebagai alternatif sumber belajar sejarah ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian deskriptif kualiatif, peneliti berusaha untuk menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang lengkap sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah. Metode penelitian ini melalui tahap-tahap seperti menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi kemudian menyelidiki dengan teknik survey, interview, angket, observasi, atau dengan teknik tes; studi kasus, studi komperatif, studi waktu dan gerak, , studi kooperatif atau operasional. Peneliti dapat menyimpulkam bahwa metode deskriptif ini merupakan metode yang menuturkan ••• 400 dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi atau keadaan yang dialami, satu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang sedang muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing, dan sebagainya. Menurut Sutopo (2006:36), penelitian kualitatif mengarahkan kegiatannya secara dekat pada masalah kekinian. Kepentingan pokoknya diletakan pada peristiwa nyata dalam dunia aslinya, bukan sekedar pada laporan yang ada. Tujuan utamanya adalah memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan kepada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji dari pada memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Harapannya ialah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk selanjutnya dihasilkan sebuah teori. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini juga akan berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti itu sendiri bertindak sebagai instrumen penelitiannya, yang mana sebagai instrumen penelitian peneliti haruslah memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret dan mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna. Hal ini juga diperkuat oleh Margono (2004) yang menyatakan bahwa dengan karakteristik penelitiannya yang menyeluruh, peneliti dalam penelitian kualitatif memerlukan ketajaman analis, objektifitas, sistematik dan sistemik sehingga diperoleh ketepatan dalam interpretasi. Sebab, hakikat dari suatu fenomena atau gejala bagi penganut penelitian kualitatif adalah totalitast. HASIL 1. Kearifan Lokal Kearifan lokal dideriviasi dari dua kata yaitu kearifan atau Wisdom, yang artinya kebijaksanaandan lokal atau local yaitu setempat. Menurut Ridwan (dalam Haryanto, 2014:4) kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal dan pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Dalam skala niskala kearifan lokal baik yang berwujud kearifan sosial maupun ekologi berfungsi sebagai resep bertindak bagi manusia di lingkungan sosial dan lingkungan alam. Merangkum tulisan Gidden (2013), kearifan lokal memiliki beberapa karakteristik yaitu : a. Kearifan lokal adalah milik kelompok, komunitas, atau kolektifitas tertentu yang melokal. Hal ini sejalan dengan proses pembentukannya, yakni bersumber pada pengetahuan pengalaman dalam konteks ruang dimana mereka berada. ••• 401 b. Kearifan lokal bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya dengan alam semesta. c. Kearifan lokal tidak mencakup aspek praksis,tetapi juga tata kelakuan, oleh karena itu pengaktualisasian kearifan lokal pada dasarnya merupakan aktivitas moral. d. Kearifan lokal seringkali ada penjaganya, yakni orang bijak, pemimpin agama atau guru, karena itulah kearifan lokal bisa bertahan lama dan mentradisi. Berdasarkan ciri-ciri ataupun karakteristik tersebut, wajar bila kearifan lokal bisa bertahan lama sehingga menjadi kearifan tradional. Hal ini ditinjau dari kefungsionalannya, dan juga berkat para penjaganya dan seringkali dikaitkan dengan aspek agama yang berbasis moralitas sehingga moralitas dan dayanya semakin kuat. Menurut Iqbal dan Sariyatun (2014), setiap kearifan lokal yang ada didaerah mengandung nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu lembaga yang juga bertanggung jawab untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal tersebut adalah lembaga pendidikan. Karena itu, wacana kearifan lokal dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting untuk dijadikan sumber belajar ditengah arus globalisasi terkini. 2. Sejarah Rumah Kapitan Sejarah berdirinya rumah Kapitan diawali dengan permukiman penduduk Tionghoa yang dialihkan ke wilayah daratan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang sebelumya pada masa kesultanan Palembang ditempatkan dirumah-rumah rakit pinggiran sungai Musi. Pasca Kesultanan, peraturan pembagian lahan atau tanah tidak lagi diperuntukan hanya untuk keluarga keraton dan masyarakat asli Palembang saja. Pemerintahan Kolonial Belanda di Palembang mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan semua permukiman masyarakat Tionghoa yang berada di rumah-rumah Rakituntuk pindah dan membangun permukiman di ruang darat. Permukiman masyarakat Tionghoa di daratanditandai dengan berdirinya rumah pemimpin masyarakat Tionghoa (Kampung Kapitan) yang berada di Kelurahan 7 Ulu Palembang. Pada periode pemerintahan Kolonial Belanda di Palembang, permukimanmasyarakat Tionghoayang berpindah ke wilayah daratan ditempatkan pada suatu perkampungan tersendiri yang disebut dengan “Wijkenstesel”. Permukiman masyarakat Tionghoa dari hunian di atas air berpindah ke ruang daratan berangsur-angsur memenuhi kapasitasnya seiring dengan arus migrasi Tionghoa yang terjadi secara besar-besaran pada abad ke16 hingga pertengahan abad ke-19. Derasnya rus migrasi dari imigran-imigran Tionghoa tersebut membanjiri permukiman Tionghoa yang berada di Palembang (Zubir, 2012:36). Disinilah dimulainya sejarah perkampungan Kapitan atau rumah kapitan sebagai bukti permukiman awal masyarakat Tionghoa di wilayah daratan. Rumah Kapitan berada di distrik Seberang Ulu, tepatnya di Kelurahan 7 Ulu Palembang yang merupakan rumah pemimpin masyarakat Tionghoa yang diangkat pemerintah Belanda sebagai Kapitan Tionghoa. Tugas utama Kapitan ••• 402 Tionghoa adalah mengurus dan menjaga kebutuhan penduduk di perkampungannya. Kapitan Tionghoa yang diangkat olehKolonial-Belanda pada tahun 1855 adalah Tjoa Him Hin. Asal usul nama rumah Kapitan diangkat dari pangkat dari pemerintahan Kolonial Belanda sebagai orang yang diberi kebebasan untuk mengatur pemerintahan di daerahnya sendiri dan setiap daerah yang diatur harus selalu memberikan upeti. Keberadaan permukiman rumah Kapitan ini tepat berada di sisi selatan sungai Musi dan beseberangan sungai dengan rumah Keresidenan Belanda yang berada di sebelah utara sungai Musi (Novita, 2006:41) Menurut penuturan Bapak Mulyadi yang merupakan keturunan ke-13 dari Kapiten Tjoa Han Him yang sekaligus menjaga warisan leluhurnya, menurut mendiang orang tuanya dahulu ada sekitar 15 bangunan rumah tradisonal Tionghoa yang masih tersisa di wilayah Kampung Kapiten. Setiap rumah tersebut dibangun melingkar menghadap sebuah lapangan atau ruangan yang sengaja terbuka (courtyard), ruangan ini menurut leluhurnya berfungsi sebagai penghawaan dan ruang masuknya cahaya. Bangunan yang tersisa saat ini ialah rumah abu dan rumah dinas. Rumah abu difungsikan sebagai tempat tinggal atau sebagai tempat sembahyang, sedangkan dinas merupakan kantor dinas Kapiten Tionghoa yang bekerja pada masa Kolonial Belanda di Palembang (Mulyadi, 24 Mei 2017). 3. Arsitektur Rumah Kapitan dalam Bingkai Kearifan Lokal sebagai Alternatif Sumber Belajar Sejarah Arsitektur rumah Kapitan hadir sebagai lukisankebudayaan indis di Nusantara dalam arus kedatangan bangsa Eropa (Belanda). Kepemilikan rumah Kapitan ialah bangsa Tionghoa yang menetap di wilayah Palembang. Disebut sebagai rumah Kapitan karena rumah tersebut milik seorang pemimpin Tionghoa yang diangkat oleh pemerintah Koloni Belanda dan diberi pangkat seorang Kapitan. Tokoh Kapitan ini berfungsi sebagai perwakilan dan perantara antara penguasa kolonial dengan komunitas tionghoanya di perkampungan. Adiyanto (2006:14) menambahkan bahwa, tugas seorang Kapitan yang diberikan kepada keturunan Tionghoa adalah menjaga keamanan wilayah dan perdagangan candu. Tiga unsur kebudayaan tersebut untuk menjadi satu pondasi tentunya secara explicit knowledge memiliki proses aditif yang sangat multikultur. Budaya pemerintahan yang berkuasa (Belanda) beradaptasi dengan gaya bangunan lokal (Palembang) dan disesuaikan dengan siapa yang menjadi kepemilikan rumah (Tionghoa) melukiskan nilai-nilai kebajikan yang terbungkus dalam bingkai kearifan lokal di Palembang. Atap Limas Atap Limas Courtyard Courtyard Kayu Batu Pilar Beton Rumah ••• 403 Rumah Gambar 1. Rumah Abu (Rumah Pertama) dan Rumah Dinas Secara umum, arsitektur rumah Kapitan terdiri dari atap rumah Limas dan bentuk tangga kembar yang merupakan bangunan tradisional Palembang, kemudian kontruksi kayu (rumah pertama) adalah kontruksi utama dalam bangunan tradisional Tionghoa dan Courtyardyang merupakan ruangan terbuka pada hunian tradisional Tionghoa berada pada rumah pertama dan kedua. Selanjutnya kontruksi batu (rumah kedua) adalah kontruksi utama bangunan Eropa atau Belanda (rumah kedua) dan disusul dengan pilar yang berfungsi sebagai penyangga bangunan pada rumah. Pilar pada rumah kedua yang berbentuk balok-balok besar dan terbuat dari bahan beton merupakan cirikhas arsitektur tradisional Eropa (Belanda). Secara khusus, ketiga kebudayaan tersebut yang terbungkus dalam nilainilai kearifan lokal memiliki makna filosofis yang tentunya sangat efektif sebagai alternatif sumber belajar sejarah. Seni bangunan rumah Kapitan yang tersirat, kaya akan nilai akulturasi, budaya, kerjasama, gotong royong, tanggung jawab dan toleransi. Nilai-nilai ini kemudian dapat dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari di dalam lingkup masyarakat secara lokal dan global. Peneliti merangkum kemegahan arsitektur rumah Kapitan sebagai lambang akulturasi budaya dan perpaduan gaya hidup yang terbungkus dalam nilai kearifan lokal di Palembang. Nilai-nilai yang bisa diaplikasikan dari nilai arsitektur rumah kapitan adalah: a. Nilai Akulturasi Perpaduan budaya lokal, Tionghoa dan Belanda tidak akan pernah terjadi apabila mereka tidak mau menerima perbedaan budaya pendatang. Dalam artian, proses aditif ketiga kebudayaan tersebut bejalan dengan baik sehingga dapat menghasilkan nilai akulturasi sebagai proses perpaduan budaya baru namun tidak menghilangkan budaya lokalitas. b. Nilai Budaya Nilai budaya yang tekandung tidak hanya satu unsur saja. Budaya Lokal yang mengedepankan limas sebagai bentuk rumah tradisonal lokal, budaya Tionghoa yang mengunggulkan penggunaan interior warna merah yang khas kemudian Belanda yang menghiasi pilar-pilar bangunan rumah. Ketiga unsur budaya tersebut menjadi satu kekuatan dalam bentuk rumah tinggal dan rumah dinas. c. Nilai Kerjasama dan Gotong Royong Pada proses kontruksi rumah Kapitan sendiri dilakukan secara beramairamai oleh penduduk lokal dan juga para tukang dari orang Tionghoa dan dilegatori oleh orang Belanda yang membantu proses pembangunan rumah Kapitan. d. Nilai Toleransi Sikap masyarakat Palembang memang sejak dahulu sudah mampu menerima dan berinteraksi dengan baik dengan masyarakat pendatang yang tujuannya untuk berdagang maupun yang memilih untuk menetap. Dalam kehidpan sosial dan berbudaya, hampir tidak ada konflik yang terjadi diantara mereka kecuali bagi masyarakat pendatang yang hanya bertujuan untuk menjajah dan merebut kekuasaan. Baik warga lokal ••• 404 maupun pendatang , satu sama lain saling menghormati dan menerima perbedaan suku,agama dan budaya dengan baik. Sebagai alternatif sumber pembelajaran sejarah yang dihadirkan dalam bentuk nilai kearifan lokal dalam arsitekur rumah Kapitan menjadi cerminan bagi peserta didik untuk merefleksikan dirinya agar meresapi nilai kearifan lokal tersebut sehingga meminimalisir angka pertumbuhan kesenjangan sosial yang terjadi dalam dunia pendidik dan lingkungan masyarakat. Nilai kearifan lokal yang yang tercermin melalui persamaan dalam perbedaan pendapat, gotong royong dalam kegiatan sekolah, kerjasama untuk mencipatkan kenyamanan dan ketertiban di sekolah dan bertoleransi dalam beragama menjadi cerminan nilai yang sangat penting dimiliki oleh setiap peserta didik. SIMPULAN Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Arsitektur rumah Kapitan dalam bingkai nilai kearifan lokal dapat menghadirkan sumber belajar sejarah yang lebih didasarkan kepada pengayaan nilai-nilai kebajikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapai sehari-hari. Kemegahan arsitektur rumah Kapitan sebagai lambang akulturasi budaya mempunyai niali kearifan lokal yang yang tercermin melalui persamaan dalam perbedaan. Nilai-nilai seperti nilaiakulturasi, nilai budaya, nilai gotong royong, nilai kerjasama dan nila toleransi menjadi cerminan nilai yang sangat penting yang dapat di ambil dari arsitektur rumah Kapitan. Sebagai alternatif sumber belajar sejarah tersebut, ada harapan bahwa peserta didik sebagai generasi bangsa yang berkarakter dapat menjadikan nilai kearifan lokal tersebut sebagai falsafah dalam kehidupan sehari-hari agar punya bekal dalam menumbuhkan nilai-nilai kehidupan yang sehat dan arif /bijak dari cerminan yang ada pada arsitektur Rumah Kapitan. DAFTAR PUSTAKA Djuwita, Puspa. 2009. Peningkatan Kemampuan Guru dalam Pembelajaran PKN dengan Pendekatan Pendidikan Nilai yang Inovatif. Jurnal Kependidikan TRIADIK. Vol. 12 No.1 Giddens, A.2003. The Constitution of society. Teori Strukturasi untuk analisis Sosial. Pasuruan Pdati Novita, Aryandini. 2006. Permukiman Etnis Arab. Palembang: Balai Arkeologi Palembang. Margono.2004. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta : PT RinekeSutopo, H.B. 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Zubir, dkk. 2012. Bunga Rampai: Sejarah Sumatera Selatan Dalam Kajian Sosial dan Ekonomi. Padang: Padang Press. ••• 405 Jurnal Adiyanto, Johannes. 2006. “Kampung Kapitan Interpretasi ‘JeJak’ Perkembangan Permukiman dan Elemen Arsitektural”.Dimensi Teknik Arsitektur Vo. 34 No. 1 Juli 2006 . Iqbal dan Sariyatun.20113.Model Pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai kearifan lokal tardisi petik laut untuk meningkatkan solidaritas siswa di SMA N 1 Kencong Kabupaten Jember. Jurnal Agastya Vol 3, No 3 (2014 Informan Wawancara dengan Bapak Mulyadi, tanggal 24 Mei 2017 di Rumah Kapitan, Kelurahan 7 Ulu, Palembang. ••• 406 PERANAN KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENDUKUNG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Johan Setiawan Program Studi Pendidikan sejarah Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta johansetiawan767@gmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja Peranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Hasil yang didapat oleh peneliti mengenai Peranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu memberi dukungan secara diplomatis dan melucuti senjata Jepang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Peranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu memberi dukungan secara diplomatis dan melucuti senjata Jepang dalam rangka mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Hasil penelitian ini memberikan sebuah implikasi yaitu ada peranan sangat besar yang dilakukan Kasunanan Surakarta dalam mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia khususnya disepanjang tahun 1945, yang dapat diajarkan untuk mengambil nilai-nilai sejarah dalam peristiwa itu di Sekolah. Kata kunci: Peranan, Kasunanan Surakarta, Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945. Pendahuluan Pencapaian kemerdekaan Republik Indonesia memerlukan perjuangan yang sangat gigih dari para pahlawan yang ditandai dengan Proklamasi. Kemerdekaan yang diraih oleh Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta merta mendapatkan pengakuan dari negara-negara di seluruh dunia. Beberapa ancaman setelah kemerdekaan Indonesia diumumkan masih dirasakan oleh bangsa Indonesia sehingga masih harus berjuang untuk mendukung dan mempertahankannya. Di daerah Surakarta, pada 18 Agustus 1945 Sri Susuhunan Pakubuwono XII dan KGPAAMangkunegara VIII menyampaikan telegram dan ucapan selamat atas kemerdekaanIndonesia, di ikuti Maklumat dukungan berdiri di belakang Republik Indonesia pada1 September 1945 (Imam Samroni dkk, 2010 : 295-296). Demikian pula yang terjadi di daerah Yogyakarta, Sri SultanHamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyambutnya dengan gembira danmengucapkan selamat kepada Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan WakilPresiden Republik Indonesia ketika keduanya memproklamasikan kemerdekaanbangsa Indonesia. Dua hari kemudian Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam mengirim telegramke Jakarta bahwa dirinya siap berdiri di belakang Soekarno-Hatta (Kustiniyah Mochtar, 1982 : 64-65). ••• 407 Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia menyambut hangat tindakanSri Susuhunan Pakubuwono XII, KGPAA Mangkunegara VIII, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Sri Paku Alam VIII. Bahkansatu hari sesudah mereka mengirim ucapan selamat, Presiden Soekarno sudah mengeluarkan PiagamKedudukan yang menetapkan Susuhunan Pakubuwono XII, KGPAAMangkunegara VIII, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII padakedudukannya masing-masing. Dengan piagam termaksud kepada beliau-beliauitu ditaruhkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerahnyasebagai bagian dari Republik Indonesia (Ni’matul Huda, 2013 : 140). Dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia, Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XII memberikan dukungan lebih awal dibandingkan dengan yang lainnya, mengeluarkan maklumat yang berisikan memberikan selamat atas kemerdekaan Indonesia dan memperjelas posisinya sebagai kerajaan yang memihak atas kemerdekaan Republik Indonesia. Hal inilah yang menarik bagi peneliti untuk mendalami lebih lanjut mengenai Peranan Kasunanan Surakarta dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini mengangkat permasalahan apa sajakah Peranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945? Dan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian historis, karena penelitian ini mengambil objek dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Menurut Nugroho Notosusanto langkah-langkah dalam penelitian historis, yaitu: 1. Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber sejarah. 2. Kritik adalah menyelidiki apakah jejak sejarah itu asli atau palsu. 3. Interpretasi adalah setelah mendapatkan fakta-fakta yang diperlukan maka kita harus merangkaikan fakta-fakta itu menjadi keseluruhan yang masuk akal. 4. Historiografi adalah suatu kegiatan penulisan dalam bentuk laporan hasil penelitian (Nugroho Notosusanto, 1984 : 11). Berdasarkan langkah-langkah penelitian historis, maka langkahlangkahkegiatan penelitian yang di lakukan adalah : 1. Heuristik Peneliti mencoba mencari serta mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang diperlukan dan berhubungan dengan judul penelitian yang diajukan. Kegiatan heuristik juga difokuskan untuk mencari buku-buku literatur yang sudah ditulis oleh sejarawan, buku tersebut dijadikan gambaran bagi penulis serta acuan dalam penelitian. 2. Kritik sejarah dibedakan menjadi dua, yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern merupakan penilaian terhadap kealsian dan ••• 408 kebenaran isi suatu data yang sudah didapat, kritik intern ini dilakukan dengan cara membandingkan sumber sejarah yang berbeda-beda. Kritik ekstern merupakan proses penilaian kealsiannya terhadap bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kisah sejarah. 3. Langkah berikutnya adalah langkah interpretasi atau penafsiran faktafakta sejarah. Menginterpretasikan fakta sejarah dalam rangkaian suatu kesatuan yang harmonis dapat dipercaya dan masuk akal. 4. Dalam langkah Historiografi ini, penulis mencoba untuk mengerahkan seluruh daya pemikiran untuk membuat dan menyusunnya menjadi kisah sejarah berdasarkan dengan sumber-sumber yang ada. Teknik Analisis Data Penelitian ini adalah data kualitatif, dengan demikian teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif. Proses analisis data kualitatif terdapat beberapa tahapan, yaitu : 1. Reduksi Data, ialah memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian, kemudian dicari temanya. Data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya jika sewaktu-waktu diperlukan. Reduksi dapat pula membantu dalam memberikan kode-kode pada aspekaspek tertentu. 2. Display Data/Penyajian Data, adalah menyajikan data dalam bentuk matrik, network chart, atau grafik dan sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat menguasai data dan tidak terbenam dengan setumpuk data. Dengan penyajian data tersebut akan dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan, sehingga dalam menganalisis atau mengambil tindakan nantinya akan berdasarkan pemahaman yang didapat dari penyajian tersebut. 3. Verifikasi Data adalah usaha untuk mencari pola, model, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya untuk diambil kesimpulan. Mula-mula kesimpulan itu kabur, tetapi lamakelamaan semakin jelas karena data yang diperoleh semakin banyak dan mendukung. Verifikasi Data dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan cara mengumpulkan data baru (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2003 : 87). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini pertama Reduksi data, yaitu memilih pokok-pokok yang sesuai dengan fokus penelitian, contoh mengenaiPeranan Kasunanan Surakarta Dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya penyajian data, penyajian data ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam menentukan mana yang lebih mendekati kebenaran apakah ada Peranan Kasunanan Surakarta dalam konstribusinya untuk kemerdekaan Indonesia, yang selama ini diketahui hanya Kesultanan Yogyakarta yang mendukung Indonesia Merdeka. Ketika membandingkan antara sumber-sumber yang diperoleh, maka peneliti menyimpulkan bahwa Kasunanan Surakarta yang pertama dalam mendukung Indonesia Merdeka dan memberikan konstribusinya yang besar dalam mendukung ••• 409 kemerdekaan Indonesia,hal ini didapatkan melalui Penyajian Data. Selanjutnya Verifikasi Data yaitu mencari hubungan antara sumber yang satu dengan yang lainnya, menjadi satu kesatuan yang dirangkai menjadi peristiwa sejarah. Hasil 1. Sejarah Singkat Kasunanan Surakarta Kasunanan Surakarta didirikan pada masa Susuhunan Pakubuwono II (1725-1749) pada tahun 1746, Setelah Keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran akibat perang perebutan tahta. Keraton Surakarta ini disebut sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur akibat dari peristiwa Geger Pecinan, yaitu pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh orang-orang Cina sebagai bentuk protes pada VOC yang telah membantai orangorang Cina yang ada di Batavia. Atas dasar itulah sehingga Pakubuwono II memutuskan untuk meninggalkan Istana Kartasura yang sudah kacau dan hancur. Sekitar 12 kilometer ke arah timur, di tepi Sungai Sala, dia mendirikan sebuah istana baru, yaitu Surakarta Hadiningrat, yang nantinya akan tetap didiami oleh keturunannya. Bangunan baru ini selesai pada tahun 1745, dan kepindahan resminya terjadi pada Februari 1746. Kesunanan Surakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram. Pusat Kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Awalnya berada di Kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, lalu ke Kartasura, dan terakhir di Surakarta hingga saat ini. Kerajaan Mataram sendiri terbagi menjadi dua kerajaan yang memiliki kedaulatan tersendiri. Dengan adanya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, menyebabkan pemerintahan Kasunanan Surakarta berpusat di Surakarta, yang dipimpin oleh Pakubuwono III. Sedangkan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta berpusat di Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono I. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Surakarta adalah bagian dari Vorstenlanden atau daerah Swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri (zelfbesturende landscappen) merupakan bagian dari wilayah Hindia-Belanda yang berstatus khusus, Surakarta dibagi dua wilayah yang hampir sama besarnya, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaraan (Ibrahim Julianto, 2013 : 19). Daerah Swapraja adalah daerah yang berhak memerintah sendiri atau tidak diatur oleh Undang-undang seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan penguasa setempat. Ada dua macam kontrak politik yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia-Belanda yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan kasunanan dengan Hindia-Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Hindia-Belanda. Dalam hal ini Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaraan diatur dalam pernyataan pendek (Imam Samroni, dkk. 2010 : 99). Pada tahun 1942, menandakan akhir masa penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia yang diakibatkan dengan menyerahnya pemerintahan Hindia-Belanda kepada Jepang dalam sutau peperangan yang dikenal dengan nama Perang AsiaPasifik. Pada masa penjajahan Jepang, daerah Surakarta tetap menjadi daerah yang otonom atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri dan diakui oleh ••• 410 pemerintahan Jepang. Pemerintahan sipil di daerah Surakarta merupakan pemerintahan otonom. Bentuk pemerintahan lama dengan hukum dan perundangundangan dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan pemerintahan Jepang. Juga dalam hubungan dengan Swapraja di Surakarta tidak ada perubahan yang berarti, hanya nama raja diganti dengan “KO” (Moeljono, dkk. 1978-1980 : 10) Status ini dipegang oleh Kasunanan Surakarta hingga Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. 2. Peranan Kasunanan Surakarta Dalam MendukungKemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 a. Dukungan Secara Diplomasi Kota Surakarta memiliki peran yang sangat penting dalam masa pergerakan Indonesia. Organisasi-organisasi dalam pergerakan Indonesia seperti Sarekat Dagang Islam yang pada akhirnya berubah menjadi Sarekat Islam dan Budi Utomo adalah organisasi yang gerakannya berkembang di Surakarta. Sarekat Islam dan Budi Utumo menjadi suatu organisasi besar yang memiliki masa yang banyak, hal itu terjadi salah satunya karena mendapatkan dukungan dari Kasunanan Surakarta di bawah pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X. Sri Susuhunan Pakubuwono X merangkul kaum nasionalis untuk memulai gerakan-gerakan membangkitkan dan menanam jiwa nasionalis pada rakyat. Ini dilakukan melalui pendidikan atau melalui gerakan kebangsaan, seperti yang dilakukan oleh Budi Utomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam (Karno, 1990 : 159). Dilihat sejak masa pergerakan nasional di Indonesia Peranan Kasunanan Surakarta sangat besar dalam medukung pergerakan Indonesia, hingga terlihat pada saat Jepang hampir mengalami kekalahan terhadap sekutu. Jepang membentuk suatu badan yang bernama BPUPKI (Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) BPUPKI di dirikan pada tanggal 29 April 1945 (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notususanto, 1993 : 67). Berdirinya BPUPKI bertujuan untuk mempelajari apa saja hal-hal yang penting mengenai kelengkapan suatu negara dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Anggota BPUPKI yang berasal dari Surakarta termasuk masih kerabat dari Kasunanan Surakarta antara lain Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widyodiningrat. Mereka sangat berjasa dalam menyumbangkan pikirannya mengenai dasar-dasar negara Republik Indonesia dalam berbagai siding BPUPKI. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Kasunanan Surakarta memberikan dukungan yang dikeluarkan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyampaikan kawat dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia yang selanjutnya diikuti oleh maklumat resmi dukungan Surakarta yang berdiri di belakang Republik Indonesia pada tanggal 1 September 1945 yang berisi antara lain : ••• 411 1. Beliau Pakubuwono XII dan Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia yang berdiri di belakang pemerintahan pusat Republik Indonesia. 2. Segala kekuasaan di Surakarta adalah di tangan Susuhunan Surakarta, maka kekuasaan yang tadinya diambil oleh penjajah kembali dengan sendirinya setelah proklamasi kemerdekaan. 3. Kami menyatakan bahwa hubungan antara Surakarta dan pemerintah pusat bersifat langsung. 4. Kami memerintahkan dan percaya kepada seluruh penduduk Kasunanan Surakarta bahwa bersikap sesuai dengan apa yang kami tersebut diatas (Arsip Reksapustaka Mangkunegara, 1945 : 376). Dengan keluarnya maklumat tersebut, memiliki arti bahwa Kasunanan Surakarta yang bersifat sebagai kerajaan mendukung berdirinya negara Republik Indonesia. Dengan memiliki suatu pemerintahan yang sendiri dan status antara Kasunanan Surakarta dengan Indonesia adalah sejajar, yang dalam arti antara Kasunanan Surakarta dengan Negara Republik Indonesia tidak ada yang lebih tinggi dan keduanya saling menghormati serta saling memberi dukungan antara satu dengan yang lainnya. Pernyataan dari Susuhunan Pakubuwono XII tidak serta merta hanya ucapan saja, tetapi hal ini dilaksanakan dalam praktiknya yang dibuktikan dengan berbagai tindakan Susuhunan Pakubuwono XII yang secara langsung turun dalam mengamankan kemerdekaan Indonesia. Sri Susuhunan Pakubuwono XII yang berjuang di wilayah Surakarta dan wilayah sekitarnya yang berada di dalam wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Berbagai perjuangan dilakukan rakyat Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Indonesia, bahkan Pakubuwono XII turun langsung dalam beberapa momen perjuangan dan memberi semangat kepada rakyatnya. Sebagai pemimpin kerajaan, Susuhunan Pakubuwono XII bisa saja hanya memerintah langsung, akan tetapi beliau justru langsung berjuang dan turun langsung dalam mendukung dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Atas dasar maklumat tersebut yang dikeluarkan oleh Raja Kasunanan Surakarta yaitu Sri Susuhunan Pakubuwana XII , Presiden Soekarno memberikan piagam kedudukan kepada Susuhunan Pakubuwono XII pada kedudukan sebagai Kepala Daerah Istimewa. Penetapan status istimewa ini juga sebagai balas jasa atas pengakuan raja Kasunanan Surakarta yang menyatakan wilayahnya adalah bagian dari Republik Indonesia yang merdeka dan konstribusinya dalam membawa pengaruh yang besar terhadap berlangsungnya kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam hal ini Presiden Soekarno juga memberikan piagam kedudukan kepada Sri Mangkunegara VIII sebagai wakil kepala daerah Surakarta. Surat keputusan Presiden Soekarno yaitu sebagai berikut : 1. Presiden Republik Indonesia, kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati ing Ngalogo, Abdurahman Sayidin Panotogomo, Ingkang kaping XII Ing Surakarta Hadiningrat. ••• 412 2. Pada kedudukannya dengan kepercayaan, bahwa Seri Paduka Kanjeng Susuhunan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Surakarta sebagai bagian dari pada Republik Indonesia.(Purwadi dan Djoko Dwiyanto, 2008 : 805) Dengan keluarnya surat keputusan Presiden Soekarno inilah, maka Kasunanan Surakarta bertanggung jawab atas keberlangsungan pemerintahan dareah Surakarta. Mencakup segala hal yang menjadi wilayah Kasunanan Surakarta dan wilayah Mangkunegara. Mereka diharapkan dapat bekerja sama sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah Surakarta dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Keistimewaan Surakarta saat itu dibawa dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang membahas tentang pembagian wilayah di Indonesia yang menetapkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa yang berhak memerintah daerahnya sendiri yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Keistimewaan ini hanya sama dengan Kesultanan Yogyakarta yang saat itu juga diberi sebagai daerah istimewa. b. MENDUKUNG DALAM MELUCUTI SENJATA JEPANG Menyusul perubahan-perubahan yang cukup mendasar dalam bidang pemerintahan pada tingkat pusat, perubahan yang sama juga dilakukan di Surakarta dengan cara menyesuaikan diri dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Salah satu keputusan penting berdasarkan amanat UUD 1945 adalah pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) sebagai sebuah lembaga membantu presiden menjalankan pemerintahan sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung. Pembentukan Komite Nasional Indonesia berdasarkan UUD 1945 dalam Aturan Peralihan Pasal IV. Komite Nasional Indonesia dibentuk di tingkat pusat dan tingkat daerah. Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X, Komite Nasional Indonesia diberi kekuasaan legislatif. Sejak bulan September 1945, di daerah-daerah dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Di Surakarta, segera sesudah KNIP dibentuk, maka para pemuka di daerah Surakarta berusaha sekuat tenaga untuk membentuk KNI daerah Surakarta. Usaha ini berhasil dan sidang pertama diadakan di Pendopo Woerjaningratan pada bulan September 1945. KNI Surakarta diketuai oleh Mr. Soemodiningrat, seorang bangsawan yang pernah menjabat opsir dalam pasukan PETA. Program yang ditetapkan pada waktu itu adalah sederhana sekali yaitu : 1. Melucuti senjata Jepang 2. Memindah kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNI daerah (Soetono, dkk. Hal 3). Mulai tanggal 1 Oktober 1945 pemerintahan selanjutnya diselenggarakan oleh sebuah pucuk pimpinan yang terdiri dari: 1. Soeprapto (ketua Pengadilan Negeri Surakarta) 2. Soetopo Adisapoetro 3. Soemantri ••• 413 Ketiga beliau ini yang melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari. Kantor Kochi diganti dengan nama KPPRI (Kantor Pusat Pemerintahan Republik Indonesia). Nama ini dipandang kurang tepat lalu diganti lagi dengan KDPRI (Kantor Daerah Pemerintahan Republik Indonesia). Setelah pengoperan pemerintah dapat berhasil maka KNI harus melaksanakan tugas kedua yaitu melucuti senjata tentara Jepang.Tugas inilah yang sangat berbahaya, apalagi jika ingat mereka pada saat itu masih bersenjata komplit dengan tank-tanknya yang berada di rumah sakit Ziekenzorg (Soetono, dkk. Hal 3). Perjuangan dan dukungan yang dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XII dalam mendukung kemerdekaan Indonesia banyak yang ia lakukan. Sebagai seorang pemimpin Kasunanan Surakarta yang lebih tepatnya sebagai raja Surakarta, Pakubuwono XII juga menjalankan perannya sebagai seorang panglima dengan pangkat kehormatan Letnan Jenderal. Berbagai usaha dilakukan saat mendukung dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia seperti saat perjuangannya dalam melawan Jepang dan melucuti senjatanya serta mempulangkannya kenegeri asalnya. Pertempuran melawan Jepang berlangsung dengan hebat sepanjang bulan September hingga Oktober 1945. Pelucutan senjata tentara Jepang yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Indonesia menyebabkan terjadinya pertempuran demi pertempuran (Chusnul Hajati, dkk. 1997 : 2). Di Surakarta terjadi pertempuran antara pihak Indonesia dengan tentara Jepang, bahkan tanggal 12-13Oktober1945, Pakubuwana XII sendiri ikut serta menyerbu markas Kenpetai Jepang di Kemlayan. Ia juga berkenan ikut melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran. Sewaktu melakukan penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali dengan selamat. Penyerbuan ini bertujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang yang telah kalah dalam Perang Dunia II, keikutsertaan Pakubuwona XII jelas memperlihatkan dirinya mendukung kemerdekaan Indonesia dan memperlihatkan dirinya kepada rakyat Surakarta bahwa dirinya sangat peduli dengan keamanan dalam wilayah kekuasaan tentang hal terjadinya suatu pergolakan dalam mewujudkan ketentraman dan ketertiban. Hal ini juga tugas dari KNID Surakarta yang salah satu tujuan program kerjanya yaitu melucuti senjata Jepang, disinilah adanya peran dari seorang Sri Susuhunan Surakarta dalam ikut serta mendukung kemerdekaan Indonesia khususnya ia lakukan didaerah Surakarta sebagai daerah wilayah kekuasaannya. Selama kurun pergolakan bersenjata mendukung dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Pakubuwono XII yang dalam jajaran ketentaraan diberi suatu pangkat kehormatan oleh Presiden Soekarno yang berpangkat Letnan Jenderal Kehormatan, sering diajak mendampingi Presiden Soekarno meninjau garis depan pertempuran antara pihak Indonesia melawan Jepang bahkan saat melawan Belanda, diantaranya front di Surabaya, Pati, Bojonegoro, dan Kalimantan. Selain itu, Kasunanan juga terus mengalirkan ••• 414 bantuan logistik dan peralatan yang diminta oleh satuan-satuan kelaskaran maupun TNI dalam mendukung keberhasilan. Logistik berupa makanan-makanan yang diperlukan oleh kelaskaran dan TNI dalam mendukung penyerangan terhadap Jepang maupun dengan Belanda. Tanpa bantuan logistik, pasukan Indonesia mengalami kekurangan makanan dan akan membuat semangat pasukan Indonesia menurun. Hal ini akan berbahaya dengan keselamatan tentara nasional Indonesia. Pihak Kasunanan Surakarta setidaknya memberikan dua mobil sedan direlakan demi mendukung jalannya roda pemerintahan, puluhan kuda tunggang serta berbagai jenis barang dan uang. Kuda yang semasa perang mempertahankan kemerdekaan dipakai Panglima Besar Jenderal Soedirman bergerilya juga berasal dari pemberian Kasunanan Surakarta. Selain segala jenis barang yang sengaja disumbangkan, sebagian besar inventaris yang dipinjamkan tersebut sering tidak dikembalikan atau diminta kembali. Bahkan, hingga Indonesia memiliki kedaulatan dan berdiri tegak, Pakubuwono XII tetap tidak memiliki mobil pribadi. Hampir seluruh kekayaan kasunanan diikhlaskan tanpa sisa untuk kepentingan perjuangan nasional (Bram Setiadi, Qomarul Hadi, dan Trihandayani, 2000:75) khususnya dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini untuk mendukung kemerdekaan Indonesia agar dapat digunakan untuk kepentingan militer maupun kepentingan yang lainnya dalam rangka menjaga jalannya roda pemerintahan Indonesia. Pakubuwono XII juga berusaha mencegah meluasnya pembakaran Dusun Banaran, Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten yang dicurigai Belanda sebagai sarang pasukan gerilya. Penjegahan ini dilakukan dengan cara mengirim TNI untuk mengadapi Belanda agar tidak berbuat semena-mena terhadap wilayah yang dipimpin oleh Pakubowono XII. Sehingga akan tercapai keamanan di Surakarta pada saat terjadinya gejolak antara TNI dalam meluuti senjata Jepang maupun dengan menghadapi tentara Belanda. KESIMPULAN Peranan Kasunanan Surakarta dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia terlihat sejak pergerakan Nasional Indonesia dalam mendukung gerakan organisasi Budi Utomo dan Sarekat Islam. Hingga akhir pendudukan tentara Jepang dalam suatu Badan BPUPKI banyak anggotanya berasal dari Surakarta. Ketika Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 Kasunanan Surakarta memberikan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia tahun 1945 antara lain : 1. Memberikan dukungan secara diplomatis diantaranya Sri Susuhunan Pakubuwono XII mengeluarkan maklumat bahwa Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan berdiri dibawah pemerintahan pusat RI, segala kekuasaan di Surakarta yang tadinya diambil oleh penjajah dikembalikan lagi kepada Pemerintahan RI serta beliau menyatakan bahwa hubungan Surakarta dan Pemerintah RI bersifat langsung. 2. Lalu mendukung dalam melucuti senjata-senjata tentara Jepang yang masih menduduki Surakarta dengan melibatkan rakyat dari beberepa unsur ••• 415 diantaranya KNI, pemuda, tokoh, bangsawan dan Sri Susuhunan Pakubuwono XII sendiri serta memindahkan kekuasaan penjajah ke tangan KNI daerah. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, peneliti menekankan bahwa selama ini penelitian yang ada tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak ada yang membahas mengenai Peranan Kasunanan Surakarta dalam mendukung kemerdekaan Indonesia khusus di tahun 1945. Penelitian yang didapat adalah adanya suatu konstribusi yang diberikan oleh Kasunanan Surakarta dalam rangka memberikan dukungan secara diplomasi dan dukungan melucuti senjata tentara Jepang yang termasuk cara untuk mendukung kemerdekaan Indonesia Tahun 1950. DAFTAR PUSTAKA Bram Setiadi, Qomarul Hadi, dan Trihandayani. Raja di Alam Republik: Keraton Kasunanan Surakarta dan Pakubuwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara. 2000. Chusnul Hajati, dkk, Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah Dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 : Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1997. Djoened Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka. 1993. Ibrahim Julianto,. Opinium dan Revolusi : Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2013. Imam Samroni dkk. Daerah Istimewa Surakarta, Wacana Pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Surakarta Ditinjau dari Perspektif Historis, Sosiologis, Filosofis, & Yuridis, Yogyakarta : Pura Pustaka. 2010. Karno. Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939. Jakarta. 1990. Kustiniyah Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa”, dalam Atmakusumah (Penyunting), Tahta untuk Rakyat, Jakarta : Gramedia. Maklumat Sri Susuhunan Paku Buwono XII, tanggal 1 September 1945, Arsip Reksapustaka Mangkunegara. Katalog Mangkunegaran VIII, volume 2, No. 376. Moeljono, dkk. Monografi Surakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Balai Penelitian Sejarah dan Budaya Yogyakarta. 1978-1980. Ni’matul Huda, DIY dalam Perdebatan Konstitusi dan Peraturan Perundangundangan di Indonesia, Bandung : Nusa Media. 2013. Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Suatu Pengalaman). Jakarta : Yayasan Penerbit UI. 1984. ••• 416 Purwadi dan Djoko Dwiyanto. Kraton Surakarta. Sejarah, Pemerintahan, Konstitusi, Kesustraan, dan Kebudayaan. Yogyakarta : Panji Pustaka. 2008. Soetono, dkk. Kenang-kenangan Besar Surakarta (1945-1953). Surakarta: Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta. ••• 417 ••• 418 DELTA BRANTAS DALAM NARASI SEJARAH Sunariyadi Maskurin Program Magister Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) smaskurin7@gmail.com ABSTRAK Pasca otonomi daerah membuat geliat penulisan sejarah semakin meningkat. Beberapa daerah berupaya menggali masa lalu yang di daerahnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui masa lalu suatu daerah dan legitimasi kewilayahan daerah. Aspek kesejarahan tersebut memberikan gambaran pada generasi saat ini bahwa daerah tersebut dimasa lalu sudah terbentuk pemerintahan. Tentunya pemerintahan tersebut masih bersifat tradisional (Hindu-Budha dan Islam) dan modern (kolonial). Hal tersebut juga terjadi di Sidoarjo, wilayah yang merupakan hasil endapan sungai Brantas (Delta). Wilayah tersebut di masa lalu mempunyai peranan penting dalam perkembangan kerajaan kuno namun tidak banyak diulas dalam narasi sejarah saat ini. Metode dalam penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kepustakaan. Metode kepustakaan digunakan untuk mengkaji beberapa sumber sejarah yang menyebutkan daerah atau perannya dalam perkembangan kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sumber sejarah di Delta Brantas peninggalan masa kerajaan Kahuripan (Airlangga) dan Majapahit. Sumber-sumber tersebut seperti prasasti. Selain itu terdapat pula peninggalan candi dan situs, namun candi dan situs di Delta Brantas tidak ditemukan sumber pendukung untuk menggungkapkan peninggalan tersebut. Kata kunci: Delta Brantas, Narasi Sejarah dan Permasalahannya. Pendahuluan Pasca otonomi daerah membuat geliat penulisan sejarah daerah atau lokal semakin meningkat. Beberapa daerah berupaya menggali masa lalu yang di daerahnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui masa lalu suatu daerah dan legitimasi kewilayahan daerah (Kasdi, 2003:3). Aspek kesejarahan tersebut memberikan gambaran pada generasi saat ini bahwa daerah tersebut pada masa lalu sudah ada kehidupan. Tentunya kehidupannya masih bersifat tradisional (Hindu-Budha) dan modern (kolonial). Narasi sejarah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan historiografi. Berbagai macam historiografi karya sejarawan beredar di luas di masyarakat. Penulisan sejarah penting artinya, namun bagaimana menulis sebuah narasi sejarah tersebut dapat dipahami para pembaca dari berbagai kalangan. Narasi sejarah tidak hanya untuk menarik minat kalangan non sejarah membacanya. Namun yang lebih utama adalah bagaimana pesan dari masa lalu tersebut dapat dimengerti oleh para pembaca yang tidak mengerti sejarah. solusinya tentu dengan menggunakan bahasa yang komunikatif namun tidak menghilangkan unsur metodologis sejarahnya. Berkaitan hal tersebut, mengapa dan ada apa dengan Delta Brantas sehingga menarik untuk dibahas. Seperti daerah yang lain, Sidoarjo ingin menggali jatidiri dan masa lalunya. Penggalian sejarah tersebut selain untuk legitimasi kekuasaan juga untuk memberikan gambaran msa lalu Sidoarjo seperti ••• 419 apa dan mengapa ditemukan beberapa sumber dan peninggalan sejarah di Sidoarjo. Delta sungai Brantas diapit oleh sungai Porong yang mengalir ke arah Timur (bermuara di Selat Madura) dan Sungai Mas (Kencana) yang mengalir ke Timur laut kemudian bermuara di Surabaya (Daldjoeni, 1984:69). Aliran sungai Brantas dapat dibagi atas tiga bagian: a. Hilir atas, menempati dataran tinggi Malang sekarang, yang dulunya ditempati wilayah Tumapel sampai bertahtanya Kertajaya b. Hilir tengah, disini terletak kota Daha (Gelang-Gelang atau Kediri) c. Hilir bawah, dataran ini membujur Barat Timur dari Kertosono sampai Delta sungai Brantas (Daljoeni, 1984:84). Kondisi tanah di Delta pada awalnya tidak terlalu baik. Daerah tersebut penuh rawa-rawa dan semak berukar. Keadaan tersebut dirasakan oleh Raden Wijaya saat membersikan kawasan hutan di Tarik untuk mendirikan pemukiman. Gambar 1: Delta Brantas Sumber: (Satyana, 2007:4) Peran sungai dalam perkembangan peradaban tidak dapat dipisahkan. Sejak masa praaksara, kebutuhan manusia selalu berhubungan dengan sungai. Selain sebagai sumber kehidupan, baik sumber air minum dan irigasi, dengan kata lain sungai simbol kemakmuran. Pada masa kerajaan kuno, peran sungai sebagai jalur transportasi menuju pusat kota teruma bagi kerajaan yang beribukota di pedalaman. Hal serupa juga terjadi pada masa masa kononial, dimana orang-orang Eropa yang berada di Jawa memanfaatkan sungai sedemikian rupa pola pemukimannya menghadap kearah sungai. Lalu bagaimana dengan sungai Brantas di Sidoarjo?. Hal tersebut juga terjadi di Sidoarjo, wilayah yang merupakan hasil endapan sungai Brantas (Delta). Wilayah tersebut di masa lalu mempunyai peranan penting dalam perkembangan kerajaan kuno di Jawa Timur, mulai Kahuripan sampai Majapahit. Beberapa sumber dan peninggalan sejarah baik berupa prasasti maupun candi ditemukan di wilayah Sidoarjo. Sumber dan peninggalan sejarah tersebut ••• 420 membuktikan tentang peran penting Delta Brantas pada masa kuno. Namun apakah peninggalan tersebut hanya sebagai identitas masa lalu saja dan tidak dimanfaatkan atau ditulis dalam narasi. Mengapa harus narasi dan bukan yang lain. Dunia abad 21 menuntut generasi Indonesia untuk bergerak cepat dalam mengejar ketertinggalan dalam segala bidang dari bangsa lain. Maka dari itu salah satu syaratnya adalah dengan membaca. Membaca sangat penting artinya, dengan membaca pengetahuan dan kekuasaan akan diraih oleh seseorang. Keberadaan teks atau narasi sejarah, terutama dalam konteks sejarah lokal sangat bagus. Hal ini bertujuan untuk membuka cakrawala pengetahuan generasi muda akan masa lalu daerah tempat tinggalnya. Berdasarkan ulasan di atas penulis tertarik untuk mengangkat tema “Delta Brantas Dalam Narasi Sejarah”. Beberapa permasalahan yang ingin dikaji peneliti adalah (1) bagaimana aspek kesejarahan yang ada di Delta Brantas dan (2) bagaimana mengangkat kesejarahan Delta Brantas dalam narasi sejarah. Peneliti ingin menuliskan aspek kesejarahan Delta Brantas dalam narasi sejarah dan dimasukkan dalam materi pembelajaran sejarah di sekolah. Hal ini mengangkat sejarah lokal dan potensi yang ada di Delta Brantas. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kepustakaan. Menurut Nazir studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatancatatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988:111). Penulis mengumpulkan beberapa sumber seperti buku, artikel, jurnal dan beberapa sumber relevan yang lain berkaitan dengan tema artikel yaitu Delta Brantas. Beberapa literatur yang dikaji oleh peneliti adalah 1. Oud Javaansche Oorkonden (OJO)yang berisi tentang kumpulan prasasti yang telah dibaca dan diterjemahkan oleh Brandes dan Krom. 2. Buku Jejak Sidoarjo Dari Jenggolo Ke Surinameyang disusun oleh Tim Penelusur Sejarah Sidoarjo pada tahun 2006 yang mengakaji tentang sejarah Sidoarjo era kuno hingga modern. 3. Jurnal tulisan FitrotinKedudukan Daerah Terung (Krian-Sidoarjo) Pada Masa Menjelang Akhir Majapahit (1478-1526). Dalam Avatara Jurnal Pendidikan Sejarah Unesa, Volume 2, No. 1, Maret 2014. 4. Sumber internet dari www.kitlv.nl.penulis mendapatkan beberapa foto penemuan candi di Delta Brantas Hasil dan Pembahasan Berbicara kesejarahan Delta Brantas tidak dapat diragukan lagi. Hal ini diperkuat dengan peninggalan-peninggalan sejarah yang berada di Delta Brantas. Beberapa peninggalan yang ada di Delta Brantas tersebut adalah candi, situs dan prasasti. Peninggalan sejarah berupa candi diantaranya; (1) Candi Pari, (2) Candi Sumur, (3) Candi Dermo, dan (4) Candi Pamotan. ••• 421 Gambar 2: Candi-Candi di Sidoarjo Berbicara tentang candi, tentu ada hal yang menarik. Darimana istilah candi berasal. Menurut Soekmono (1974:19) istilah candi berasal dari kata “Candikagrha” yang berarti tempat tinggal Candika, Dewi Kematian permaisuri Dewa Siwa). Maka dari itu secara harfiah candi dapat ditafsirkan sebagai bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman atau pendharmaan raja yang sudah meninggal. Istilah candi memang tidak secara implinsit tertulis di dalam prasasti. Selain itu istilah candi juga hanya dikenal di wilayah Jawa dan pada perkembangannya juga di Sumatera. Candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan tersebut terlihat dari bentuk, bahan baku, arah hadap, lokasi pendirian dan reliefnya (Mustadji, 1997:34). Hal serupa dikemukakan oleh Keiven, bahwa antara candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat perbedaan yang mendasar yakni filosofi (Kieven, 2014:23). Secara spesifik percandian di Jawa Timur cenderung menunjukkan unsur kearifan lokal “local genius”. Hal ini terlihat dari relief yang terdapat pada candi di Jawa Timur yang menggambarkan cerita-cerita rakyat yang berkembang pada waktu itu. Candi-candi di Delta Brantas memang menunjukkan gaya arsitektur bangunan gaya Majapahit. Selain itu bahan baku yang digunakan untuk membangun candi tersebut adalah batu bata merah. Dari bahan baku yang digunakan membuat candi tersebut tidak ada relief pada bangunan candi. Terdapat permasalahan yang menarik dari candi di kawasan Delta Brantas. Permasalahan tersebut karena tidak ditemukannya sumber pendukung, yaitu prasasti yang menyebut tentang tujuan dari pendirian candi-candi tersebut. Hal ini mengakibatkan pembahasan tentang candi tersebut sedikit gelap. Peninggalan berikutnya yang terdapat di Delta Brantas adalah situs. Terdapat dua situs di Delta Brantas, yaitu situs Tawangalun dan Terung. Pertama adalah situs Tawangalun yang terdapat di desa Buncitan Sedati Sidoarjo hanya meninggalkan tumpukan batu(Sedyawati, dkk. 2013: 235). Tumpukan batu tersebut tanpa motif dan bentuk yang jelas. Hal tersebut yang mengakibatkan situs ini kurang diminati peneliti. ••• 422 Kedua adalah situs Terung yang berada di Kecamatan Krian Sidoarjo. Situs Terung terdapat beberapa peninggalan seperti makam putri Raden Ayu Putri Ontjat Tondho Wurung (Fitrotin, 2014:151). Selain makam di situs Terung juga terdapat Petilasan Adipati Terung (Raden Husen), struktur Candi Terung, Patung, serta dua buah sumur, yaitu sumur Manggis dan Gentong. Gambar 3: Situs Terung di Krian Sidoarjo Sumber: www.news.detik.com. Diakses 10 November 2017 Peninggalan terakhir adalah prasasti. Prasasti yang terdapat di Delta Brantas adalah prasasti Kamalagyan. Prasasti Kamalagyan ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa kuno. Isi dari prasasti ini menyebutkan dibangunnya sebuah bendungan di Wringin Sapta oleh raja Airlangga bersama-sama dengan rakyat. Sebelum bendungan tersebut dibangun, dikatakan bahwa sungai Brantas selalu banjir dan airnya meluap ke beberapa desa dan tanah perdikan (OJO, 1913:134). Untuk menjaga dan memlihara bengunan bendungan tersebut, ditetapkanlah desa Kamalagyan (Kamalagean) untuk menjadi daerah perdikan atau tanah bebas pajak pada tahun 959 Saka (BPPPT, 1989:30). Dengan demikian prasasti Kamalagyan termasuk dalam sumber sejarah tertulis yang menjelaskan tentang wilayah Sidoarjo pada masa Airlangga yang sangat penting dan strategis. ••• 423 Gambar 4: Delta Brantas Sumber: (Satyana, 2007:4) Berdasarkan peninggalan tersebut tentu tidak diragukan lagi tentang kesejarahan Delta Brantas. Namun masih ada pertanyaan berkaitan hal tersebut yaitu bagaimana mengangkat kesejarahan Delta Brantas dalam narasi sejarah?. Selama ini kesulitan utama sejarawan dalam mengangkat kesejarahan Delta Brantas adalah sumber. Sumber yang dimaksud dalam artikel ini adalah prasasti yang membahas tantang peninggalan-peninggalan sejarah di Delta Brantas. Sumber prasasti yang tersedia diantaranya adalah (1) Prasasti Kamalagyan, (2) Prasasti Canggu, dan (3) Prasasti Gunung Butak. Dari ketiga prasasti tersebut hanya Prasasti Kamalagyan yang ditemukan di Sidoarjo. Sedangkan untuk dua prasasti yang lain ditemukan di luar Sidoarjo, namun membahas tentang desa di Delta Brantas. Kajian tentang Delta Brantas selanjutnya pernah dilakukan oleh J.L.A. Brandes. Brandes memfokuskan kajian tentang percandian di Delta Brantas. Candi yang mendapat perhatian dari Brandes adalah Candi Pari dan Candi Sumur yang terletak di daerah Porong, Sidoarjo. Penelitian Brandes hanya memfokuskan tentang corak candi, tidak dapat memastikan peninggalan pada pemerintahan raja siapa. Hal ini dikarenakan tidak ditemukan sumber pendukungnya, yaitu prasasti. Seandainya ada atau ditemukan prasastinya, dapat dipastikan raja siapa yang membangun candicandi di Delta Brantas. Terdapat sisi positif ketika mempelajari maupun menuliskan narasi kesejarahan Delta Brantas bagi siswa maupun pembaca yang lain, diantaranya: 1. Meningkatkan rasa syukur kepada Tuhan 2. Menghargai dan ikut menjaga peninggalan sejarah di lingkungannya 3. Meningkatkan rasa nasionalisme 4. Menjaga kelestarian lingkungan 5. Sebagai identitas dan jatidiri daerah 6. Sebagai saya tarik wisaya (Harian Jawa Pos, Selasa 31 Januari 2017) ••• 424 Gambar 5: Lefleat Potensi Wisata Kab. Sidoarjo Sumber: (Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisaya Kab. Sidoarjo) Walaupun demikian, usaha untuk menulis tentang jejak kesejarahan di Delta Brantas harus tetap dilakukan. Mengapa demikian? Perkembangan abad 21 menuntut agar generasi muda Indonesia mengetahui dan memahami sejarah di Delta Brantas. Hal ini dikarenakan sejauh ini materi sejarah yang ada dalam buku teks maupun LKS, pembahasannya lebih umum. Maka dari itu penulisan sejarah di Delta Brantas perlu dilakukan, walaupun dengan segala keterbatas sumber. Sejauh ini memang ada beberapa narasi yang membahas tentang Delta Brantas. Namun narasi sejarah tersebut masih menggunakan bahasa yang tidak komunikatif. Hal itu tentu sulit dipahami pembaca dari kalangan non akademik atau sejarah. Menuliskan kembali kesejarahan Delta Brantas dengan bahasa yang komunikatif perlu dilakukan seiring dengan pendalaman materi yang ada dalam kurikulum 2013. Kurikulum 2013 telah mengakomodir keinginan pesan-pesan agar generasi muda bangsa Indonesia tidak hanya siap dalam menghadapi persaingan global dengan berkaca dari masa lalu. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan ulasan di atas dapat ketahui bahwa kesejarahan Delta Brantas tidak dapat diragukan lagi. Hal ini dapat diketahui dari sejumlah peninggalan sejarah yang terdapat di Delta Brantas. Peninggalan-peninggalan tersebut seperti candi, situs dan prasasti. Disisi lain kesulitan utama sejarawan dalam menulis tentang kesejarahan Delta Brantas adalah sumber. Sumber yang dimaksud disini adalah sumber tertulis. Untuk sumber sejarah berupa benda memang ada namun tidak dapat diungkap jika tidak didukung dengan sumber tertulis, yaitu prasasti. Namun penulisan kesejarahan Delta Brantas dalam narasi sejarah perlu dilakukan. Hal ini untuk mendukung materi sejarah Indonesia dalam pembelajaran. Siswa tidak hanya diberikan materi sejarah secara umum saja, namun perlu memberikan contoh sejarah dan peninggalannya yang ada di sekitarnya. Penulisan narasi ••• 425 sejarah harus disesuaikan dengan sasarannya. Selain itu penulis seharusnya menggunakan bahasa yang komunikatif agar para pembaca dapat berpikir secara kritis. Dan pada akhirnya diakhir pembahasan tersebut harus disertai refleksi. Tujuan pemberian refleksi tersebut agar siswa atau pembaca dari kalangan nonsejarah dapat mengambil hikmah atau pelajaran dari peristiwa masa lalu yang dipelajari. Hal itu sesuai dengan tujuan utama mempelajari sejarah yaitu membuat seseorang menjadi bijaksana. Bijaksana yang dimaksud di sini adalah bijaksana dalam semua hal yang membuat siswa atau pembaca selalu berpikir positif. Daftar Rujukan [1]Brandes dan N.J. Krom. Oud Javaansche Oorkonden (OJO), Batavia: Albrecht, 1913. [2] Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan, Deskripsi Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak di Wilayah Jawa Timur. Trowulan: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan. [3]Daldjoeni, N. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 1984. [4] Fitrotin, Nur Fadhilah. Kedudukan Daerah Terung (Krian-Sidoarjo) Pada Masa Menjelang Akhir Majapahit (1478-1526). Dalam Avatara Jurnal Pendidikan Sejarah Unesa, Volume 2, No. 1, Maret 2014. [5] Kasdi, Aminuddin. Penulisan Sejarah Lokal Pengungkapan Pengalaman, Jati Diri, Dan Potensi Daerah ; Dalam Spektrum Otonomi. Pidato pengukuhan Guru Besar. Surabaya: Unesa University Press, 2003. [6]Kieven, Lydia. Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman Majapahit. Jakarta: KPG, 2014. [7]Mustadji. Sejarah Kebudayaan Indonesia I (edisi revisi). Surabaya: University Press IKIP Surabaya, 1997. [8] Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. [9]Sedyawati, Edi, dkk. Candi Indonesia Seri Jawa. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud, 2013. [10]Satyana, Awang Harun. Bencana Geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit : Hipotesis Erupsi Gununglumpur Historis Berdasarkan Kitab Pararaton,Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; Folklor Timun Mas; Analogi Erupsi LUSI; dan Analisis Geologi Depresi Kendeng-Delta Brantas. Bali: Joint Convention Bali 2007 The 36th IAGI, The 32nd HAGI, and the 29th IATMI, 2007. [11]Sukmono, Candi, Fungsi, dan Pengertiannya: Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 1974. [12]Tirto Adi. “Kawasan Bersejarah : Antara Memori Kearifan dan Destinasi Wisata” dalam Harian Jawa Pos, Selasa 31 Januari 2017. [13]Tim Penelusur Sejarah Sidoarjo, 2006. Jejak Sidoarjo Dari Jenggolo Ke Suriname. Sidoarjo: Ikatan Alumni Pamong Praja Sidoarjo, 2006. [14] www.kitlv.nl. ••• 426 HISTORIOGRAFI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME Yohanes de Britto Wirajati Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ydbwirajati.mirb@gmail.com ABSTRAK Masyarakat Indonesia yang bersifat multi-kultur sesungguhnya problematis (kekayaan budaya sekaligus pemicu konflik). Indonesia, sebagai negara menghormati betul keberagaman masyarakatnya. Buktinya nilai-nilai multikulturalisme muncul dalam UUD 1945 dan Pancasila. Namun nilai-nilai tersebut kerap kali tidak mewujud dalam realitas kehidupan masyarakat. Indikatornya terlihat jelas dewasa ini. Masyarakat Indonesia menjadi sangat mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA, yang berujung pada melemahnya kohesifitas sosial akibat gesekan-gesekan budaya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai manfaat dari narasi-narasi sejarah (historiografi) Indonesia yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme bagi edukasi pencegahan konflik. Dalam rangka menyusun analisa dalam penelitian makalah ini, digunakan metode kajian pustaka. Buku-buku tentang sejarah Indonesia yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme, baik yang ditulis oleh sejarawan Indonesia ataupun kalangan Indonesianis, akan dianalisa secara kritis menggunakan pendekatan Analisa Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). Berdasarkan analisa terhadap Historiografi Indonesia yang mengandung nilainilai multikulturalisme maka dapat disimpulkan tiga hal; (1)Historiografi Indonesia yang menyoroti aspek multi-kultur dapat mengungkap asal-usul terbentuknya masyarakat Indonesia; (2)Pengetahuan tentang asal-usul masyarakat Indonesia dapat menjadi pintu masuk untuk memahami proses identitas masyarakat tersebut dikonstruksikan; (3)Pengetahuan akan asal-usul dan pola konstruksi identitas masyarakat Indonesia dapat mendorong upaya pencegahan konflik horizontal. KataKunci : Historiografi, Multikulturalisme, Identitas, Pencegahan Konflik. Pendahuluan Indonesia, sebagai sebuah wilayah berdaulat, dihidupi oleh kelompok masyarakat yang multi-kultur. Dalam artikel yang dilansir di laman web bps.go.id, berjudul Mengulik Data Suku di Indonesia,terdapat 633 kelompok suku besar di Idnonesia. Data ini merujuk pada pemutakhiran hasil Sensus Penduduk 2010. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa di wilayah Indonesia terjadi pertemuanpertemuan antar kelompok masyarakat yang memiliki identitas budayanya masing-masing. Kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multi-kultur sesungguhnya problematis. Pada satu sisi, beragamnya identitas budaya masyarakat yang ada di Indonesia merupakan perwujudan dari kekayaan budaya. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut, beserta tradisi dan mentalitasnya masing-masing yang telah terbentuk bertahun-tahun lalu, merupakan lumbung nilai-nilai kearifan, yang sudah pasti bermanfaat bagi pengelolaan negara di masa kini dan yang akan datang. Namun di lain sisi, beragamnya identitias budaya dari kelompok masyarakat di Indonesia juga memiliki potensi besar untuk memicu terjadinya ••• 427 konflik horizontal. Catatan sejarah menunjukkan bahwa, baik semenjak pemerintahan rezim Orde Baru, sampai dengan era Reformasi sekarang ini terjadi beberapa peristiwa konflik horizontal antar kelompok masyarakat dengan identitas budaya yang berbeda. Terlepas dari tarik-ulur atas dampak sosial-budaya masyarakat yang multikultur, dewasa ini masyarakat di Indonesia rentan sekali dengan provokasi SARA. Beberapa fenomena menunjukkan bahwa muncul gesekan-gesekan dalam masyarakat akibat provokasi SARA. Sebagai contoh adalah fenomena Pilkada DKI Jakarta 2017 dan fenomena Teks Pidato Pelantikan Gubernur DKI Jakarta terpilih 2017, Anis Baswedan. Dalam kedua fenomena tersebut masyarakat terkesan sangat reaktif. Begitu mudah komentar positif dan negatif terlontar, dan bahkan berbenturan di ruang publik akibat kedua fenomena tersebut. Hasilnya adalah melemahnya kohesi sosial akibat perbedaan pendapat, bahkan hanya dipicu oleh media sosial. Makalah ini, pertama-tama berangkat dari kajian literatur atas buku yang ditulis oleh H.A.R. Tilaar (2004) berjudul Multikulturalisme : Tantangantantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Pada salah satu bab dalam bukunya, Tilaar (2004: ) dipaparkan hubungan antara Nasionalisme dengan Identitas Nasional. Menurut Tilaar (2004), dengan merujuk kepada teori dari Smith (2003), Nasionalisme adalah sebuah ideologi yang mengandung tiga unsur, yaitu otonomi, kesatuan dan identitas nasional. Identitas nasional itu sendiri, menurut Tilaar (2004), merupakan istilah yang digunakan untuk menggantikan istilah-istilah lain seperti watak nasional dan kesadaran nasional. Masih merujuk pada Smith (2003), prinsip dominan dari definisi identitas nasional menurut Tilaar (2004 :108-109) adalah proses pewarisan budaya bangsa yang unik dan identifikasi tiap-tiap individu terhadap unsur-unsur warisan budaya tersebut. Jika mengaju pada definisi identitas nasional ini, maka pada dasarnya pertemuan dan persilangan tiap-tiap identitas budaya kelompok masyarakat di Indonesia adalah upaya pembentukan karakter kolektif, bukan lagi dipandang sebagai potensi konflik. Paparan Tilaar (2004) diatas menunjukkan bahwa dalam perspektif Multikulturalisme, identitas nasional adalah identifikasi tiap individu terhadap unsur-unsur warisan budaya. Jika diterapkan dalam konteks Indonesia, maka pemahamannya menjadi, identitas nasional Indonesia adalah identifikasi individu (dalam masyarakat Indonesia) terhadap unsur-unsur warisan (beragam) budaya (kelompok masyarakat). Sehingga, pada dasarnya identitas nasional masyarakat Indonesia terbentuk dari kumpulan nilai-nilai kearifan lokal tiap-tiap budaya kelompok masyarakatnya. Referensi literatur kedua yang menjadi titik tolak penulisan makalah ini adalah buku Pembelajaran Sejarah karangan Abd. Rahman Hamid (2016). Dalam buku tersebut, Hamid (2016: 143) menjelaskan fungsi penting pembelajaran Sejarah terkait pendidikan karakter, termasuk karakter kebangsaan. Merujuk kepada Wineburg (2006:6) dan Ki Hadjar Dewantara (2009:3), Hamid (2016:147) menuliskan bahwa “sejarah dan pendidikan bersifat komplementer”. Sejarah menyediakan wawasan dan interpretasi peristiwa di masa lalu dan diajarkan kepada generasi penerus melalui pendidikan karakter. ••• 428 Selain itu Hamid (2016) juga mengingatkan kembali potensi pembelajaran Sejarah sebagai sebuah metodologi untuk memahami kondisi masyarakat yang aktual. Hamid (2016:148) memaparkan kembali arti dari pepatah latin, Historia Magistra Vitae, yang artinya sejarah sebagai guru kehidupan. Peristiwa masa lalu yang sifatnya positif dapat dijadikan pembangkit kesadaran karakter bangsa bagi peserta didik dan peristiwa yang sifatnya negatif dapat menjadi bahan renungan, agar tidak terulang kembali peristiwa serupa (Hamid 2016:148). Terakhir, penulisan makalah ini juga berangkat dari disertasi Katharine E. McGregor (2008) yang berjudul Ketika Sejarah Berseragam : Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Menurut McGregor (2008 : 37), berangkat dari fenomena yang terjadi di Indonesia, rezim Orde Baru dengan pola kepemimpinan militeristiknya, telah berhasil menanamkan ideologinya terhadap masyarakat sipil melalui konstruksi sejarah nasional. Suharto, sebagai presiden Indonesia era Orde Baru, bersama ketiga poros kekuatan politik lainnya (militer, birokrat dan teknokrat) berkomitmen untuk menggunakan sejarah dalam pembinaan bangsa (McGregor, 2008 :73). Munculnya kecenderungan menggunakan sejarah sebagai medium pembinaan bangsa tidak hanya dilakukan oleh rezim Orde Baru. Mekanisme tersebut bukanlah sebuah mekanisme yang baru. McGregor (2008 : 5) berargumen bahwa metode penggunaan sejarah sebagai medium pembinaan bangsa sudah dilakukan semasa kepemimpinan presiden Sukarno. Dari pembacaan terhadap ketiga referensi literatur tersebut maka didapatkan beberapa pemahaman. Pertama, Identitas nasional masyarakat Indonesia yang multi-kultur merupakan proses identifikasi tiap-tiap anggota masyarakatnya terhadap beragam unsur warisan budaya. Kedua, Pembelajaran sejarah berpotensi untuk menyajikan penjelasan ilmiah atas sifat multi-kultur masyarakat di Indonesia sebagai perwujudan pendidikan karakter. Ketiga, narasi sejarah perlu banyak pembaharuan, disebabkan oleh perkembangan masyarakat Indonesia pasca pasca Orde Baru, yang notabene bertransformasi dari kepemimpinan pemerintahan otoriter menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Analisis Pemecahan Masalah 1. Urgensi Memperkaya Narasi Sejarah Multikulturalisme di Indonesia Pasca lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan tahun 1998, sebuah era baru dimulai. Pada era yang kerap disebut sebagai era Reformasi ini berjalan sebuah perubahan. Secara umum, Indonesia sedang bertransformasi, dari bentuk pemerintahan yang otoriter menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis. Konsekuensi dari transformasi tersebut adalah gencarnya upaya penyelesaian kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang menjadi peninggalan rezim otoriter yang pernah berkuasa sebelumnya. Hal ini disebabkan, menurut Richard Goldstone (2004 :V) dalam kata pengantarnya di buku Pieces of the Puzzle : Keywords on Reconciliation and Tansitional Justice, bahwa setiap rezim otoriter pasti meninggalkan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM setelah masa kepemimpinannya. ••• 429 Dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat munculnya kasus kekerasan, saat rezim otoriter orde Baru berkuasa dan semakin terbuka kasusnya ketika era Reformasi bergulir. Kondisi ini kemudian menjadi tantangan bagi seluruh entitas di Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dan konsistensinya dalam berReformasi. Harus segera disusun sebuah strategi untuk menyelesaikan kasuskasus kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut dan, lebih penting lagi, melakukan kajian dan mempelajari kasus-kasus tersebut agar tidak terulang dikemudian hari. Perlu ditegaskan bahwa apa yang dimaksud dengan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM disini bukan sekedar kasus yang menimpa warga sipil akibat kesewenang-wenangan negara (dalam konteks pemerintahan tertentu). Kasuskasus konflik horizontal antar kelompok masyarakat dengan identitas budaya yang berbeda juga termasuk didalamnya. Hal ini perlu diperhitungkan karena dalam kasus-kasus tersebut, kekerasan berbasis identitas terjadi. Merujuk kepada Gogali (2009), dalam konflik Poso misalnya, wacana yang selalu muncul ke permukaan adalah wacana kekerasan, penghancuran sebuah komunitas agama oleh komunitas agama yang lain. Lebih lanjut Gogali (2009:26) menuliskan bahwa wacanawacana kekerasan antar kelompok tersebut kemudian menutup celah bagi munculnya wacana-wacana resolusi konflik. Lantas apa kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendidikan Sejarah dalam situasi yang seperti ini? Menurut saya, jawabannya berkaitan dengan upaya penulisan dan pengajaran sejarah yang berorientasi pada aspek masyarakat yang multi-kultur. Materi pelajaran Sejarah yang diajarkan baik di tingkat pendidikan dasar sampai dengan lanjutan harus mulai diperkaya dengan narasi sejarah multikulturalisme. Hal ini bertujuan untuk membekali peserta didik dengan pemahaman konsep-konsep hidup berdampingan dalam keberagaman. Momentum Reformasi sesungguhnya adalah angin segar bagi upaya memperkaya narasi sejarah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh melemahnya sensor atas tulisan-tulisan ilmiah-sejarah. Beberapa tulisan sejarah, dan juga bentuk tulisan lain yang mengandung aspek sejarah, yang dilarang beredar di era Orde Baru, saat ini dapat beredar bebas di era Reformasi. Kondisi ini jelas bermanfaat bagi penyusunan narasi sejarah Indonesia yang lebih komprehensif. Tentunya dengan tetap mempertimbangkan urgensi dan validitas dari kajian dalam tulisan sejarah tersebut untuk dipublikasikan lebih lanjut. 2. Analisa Wacana Kritis terhadap Historiografi Indonesia Era Orde Baru Pada bagian Pendahuluan, saya telah memaparkan bahwa penelitian dalam makalah ini, salah satunya, berangkat dari pembacaan atas disertasi Katharine E. McGregor (2008) yang telah dibukukan. Inti permasalahan yang ingin dipaparkan oleh McGregor (2008) dalam penelitiannya itu adalah adanya ideologi militer yang disusupkan dalam narasi-narasi sejarah yang diproduksi oleh Orde Baru, dalam rangka menjaga “stabilitas nasional”. Implikasinya, seleksi historiografi yang layak atau tidak untuk dipublikasikan tidak lagi berdasarkan kadar ilmiah dan validitas data sejarah yang digunakan, namun lebih kepada penyesuaian dengan kepentingan dan tujuan politis Orde Baru. ••• 430 Perlu diingatkan kembali, bahwa kita sekarang tidak lagi berada pada era kepemimpinan Orde Baru, kita berada di era Reformasi. Oleh sebab itu narasi sejarah Indonesia juga perlu dibebaskan dari kekangan ideologi Orde Baru. Simbol dari narasi tunggal sejarah Indonesia yang berideologikan Orde Baru adalah Sejarah Nasional Indonesia yang berjumlah 6 jilid. Oleh sebab itu perlu dilakukan analisis wacana kritis terhadap buku babon sejarah Indonesia tersebut, agar dapat dipahami ideologi yang melandasinya. Teori analisis wacana kritis yang akan digunakan dalam pembahasan adalah Discourse-Historical Analysis (DHA) yang dirumuskan oleh Ruth Wodak. Haryatmoko (2016:148), dalam bukunya yang berjudul Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis) Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan, menguraikan bahwa metode DHA menitik beratkan analisanya pada empat aspek, yaitu: (1) Ideologi; (2) Kekuasaan ; (3) Kritis ; (4) Sejarah. Lebih lanjut, Haryatmoko (2016: 148) menjelaskan bahwa “..ideologi, melalui wacana, bisa berfungsi menutupi defisit kepercayaan ketika penguasa tidak mampu merepresentasikan kehendak rakyat”. Pemahaman ini merujuk pada penjelasan Wodak sendiri, bahwa ideologi adalah “perspektif visi...dari kelompok sosial tertentu” (Wodak & Reisigl, 2009:88). Terkait Kekuasan, menurut Haryatmoko (2016:149), Wodak menempatkannya “sebagai bagian dari rezim wacana”, sehingga wacana mampu melegitimasi atau mendelegitimasi kekuasaan. Dalam konteks ini, teks menjadi situs perjuangan sosial, sehingga melalui teks tersebut dapat dibaca pola kontestasi ideologi terkait kuasa untuk mendominasi atau menghegemoni. Terkait aspek Kritis, Haryatmoko (2016: 149) menjelaskan bahwa dalam DHA, Kritis dipahami sebagai pengambilan jarak terhadap sebuah data. Merujuk pada Wodak & Reisigl (2009:8), pengambilan jarak terhadap data perlu dilakukan karena tiga alasan; (1) data berkelindan dengan dengan konteks sosial ; (2)data bisa menjelaskan posisi politik wacana partisipan;(3) data menuntut peneliti untuk terus-menerus melakukan refleksi dalam penelitian. Terakhir, sebagai ciri khas dari DHA Wodak, aspek Sejarah dijelaskan oleh Haryatmoko (2016:149) sebagai penempatan wacana dalam sebuah konteks waktu tertentu. Selanjutnya, Haryatmoko (2016:150) menjelaskan bahwa “konteks waktu dan sosial mengandaikan adanya hubungan-hubungan intertekstualitas...dan interdiskursivitas di antara wacan-wacananya. 3. Membebaskan Historiografi Indonesia dari Kekangan Ideologi Rezim Berdasarkan penelitian McGregor (2008:272), Sejarah Nasional Indonesia disusun oleh sekumpulan sejarawan, yang berganti-ganti ketua tim dalam berbagai jilidnya. Nama yang kerap muncul adalah Nugroho Notosusanto. Menurut McGregor (2008:115-116) Nugroho Notosusanto adalah sosok dibalik penyusunan sejarah nasional Indonesia versi Orde Baru. Dalam bukunya, McGregor (2008: ) menuliskan bahwa Nugroho Notosusanto adalah Sejarawan ABRI (Penamaan TNI pada era Orde Baru) yang memimpin Pusat Sejarah Angkatan Darat. Pengangkatan Nugroho Notosusanto sebagai Ketua Pusat Sejarah Angkatan Darat berdasarkan kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut adalah menyusupkan ideologi militer kedalam narasi sejarah Indonesia. ••• 431 Menurut McGregor (2008:116) Nugroho Notosusanto dipilih untuk memimpin proyek penyusunan sejarah Indonesia semasa Orde Baru berkuasa karena Beliau memiliki pemikiran yang hampir sama dengan Soeharto dan A.H. Nasution. Selain itu, Nugroho juga merupakan pejuang ’45, bersama-sama dengan Soeharto dan A.H. Nasution. Kedekatan-kedekatan ini lah yang menjadi faktor pendorong bagi Nugroho Notosusanto untuk menduduki posisi penting semasa rezim Orde Baru berkuasa. Dalam rangka menyusun sebuah narasi sejarah Indonesia pasca-Orde Baru, perlu dicermati pengaruh-pengaruh ideologi dari rezim yang berkuasa sebelumnya. McGregor telah mencermati bahwa teks-teks sejarah di era Orde Baru telah disusupi oleh ideologi militer. Hal ini bisa dibuktikan dengan menggunakan prinsip-prinsip DHA untuk melihat kecenderungan tulisan-tulisan sejarah di era Orde Baru yang militeristik. Ideologi militer ini diperlukan agar pihak militer memiliki legitimasi untuk terus mempertahankan kekuasaannya, dan berhak untuk mengambil tindakan apapun atas nama “stabilitas nasional”. Sehingga selama Orde Baru berkuasa, narasi-narasi sejarah alternatif yang merupakan hasil kerja penulisan sejarah kritis, tidak memiliki kesempatan untuk muncul ke permukaan karena terlebih dahulu disensor oleh otoritas. Narasi-narasi sejarah alternatif tersebut dianggap subversif. Analisa singkat di atas menunjukkan bahwa kecenderungan munculnya grand narratives dalam sejarah Indonesia merupakan hasil dari rekayasa sejarah nasional era Orde Baru. Kecenderungan ini perlu dihindari di era Reformasi yang demokratis ini, sehingga upaya-upaya penulisan dan pengajaran sejarah kritis dapat berjalan. Harus diingat bahwa sejarah bukan saja perkara harga diri, tapi juga perkara pengungkapan jati diri. 4. Narasi Sejarah Multikulturalisme Sebagai Suplemen Materi Pembelajaran Sejarah Menindaklanjuti permasalahan pengaruh ideologi dan kebutuhan memperkaya narasi sejarah Indonesia, maka dalam sub-bagian ini akan ditawarkan beberapa buku yang kiranya dapat menjadi rujukan bagi upaya realisasi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Beberapa buku ini saya anggap mampu menunjukkan narasi macam apa dan darimana perubahan dan penambahan narasinarasi sejarah tersebut perlu dimulai. 1) Indonesia : People and Histories karangan Jean Gelman Taylor Persepsi melandasi penulisan narasi sejarah Indonesia yang dilakukan oleh Jean Gelman Taylor, seorang Sejarawan dari University of New South Wales, Australia dalam bukunya yang berjudul Indonesia : Peoples and Histories adalah pemahaman bahwa Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari beragam kelompok masyarakat dengan budayanya masing-masing. Keberagaman budaya di Indonesia muncul dari sebuah periode sejarah yang sangat panjang, melalui interaksi sosial antar leluhur orang-orang Indonesia, kemunculan kerajaan-kerajaan lokal, sampai dengan proses kolonialisasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terselenggara sekarang ini merupakan hasil dari proses interaksi sosial budaya tersebut. ••• 432 Buku Indonesia : People and Histories karangan Jean Gelman Taylor adalah sebuah narasi tentang sejarah wilayah Indonesia dari sudut pandang terbentuknya sebuah masyarakat Indonesia. Pada bagian Preface, Taylor menuliskan; “In this book I tried to establish links between Indonesian communities, to show why, historically, they have reasons to live together in one nation and, at the same time, to show histories of difference.” (hal.xvii) Buku Indonesia : People and Histories ditulis dengan tujuan memberikan latar belakang sejarah dari alasan-alasan hidup bersama orang-orang di Indonesia sebagai suatu bangsa, sekaligus menunjukkan sebuah narasi sejarah tentang keragaman. Tema besar dari buku ini adalah mobilitas dan pergerakan dari orangorang di wilayah Indonesia, yang berpengaruh terhadap terbentuknya masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini dituliskannya dalam kutipan berikut; “A major theme of this book is mobility, especially the mobile man. Wandering holy men, traveling scholars, traders, porters, rebelprinces, and thugs (sometimes called local heroes) journey through texts written by Indonesians and outsiders.” (2003:hal.xix) Pada bagian Introduction, Taylor (2003: 2) menuliskan bahwa buku Indonesia : People and Histories adalah sebuah buku sejarah sosial. Buku ini menarasikan tentang sejarah dari interaksi antara orang-orang yang melakukan perjalanannya di wilayah Indonesia. Taylor menuliskan tentang besarnya pengaruh dari pertemuan orang-orang dari Asia dan Eropa di wilayah kepulauan Indonesia dalam membentuk sejarah masyarakat Indonesia moderen. Historiografi Indonesia yang ditulis oleh Taylor ini penting untuk dikaji dan dipelajari secara lebih luas dan mendalam. Mengapa menjadi penting karena argumen yang disusun Taylor dalam bukunya tersebut sangat relevan dengan isuisu pribumi-nonpribumi yang merebak dewasa ini. Melalui pembacaan kritis dan menyeluruh atas karya Taylor ini maka dapat ditemukan perspektif baru mengenai konsep penduduk asli dan pendatang di wilayah Indonesia ini. 2) Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia suntingan Henk S. Nordholt Buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia adalah kumpulan tulisan tentang historiografi di Indonesia yang disunting oleh Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Hapsari. Dalam buku yang terbit tahun 2013 ini terangkum tulisan-tulisan dari sejarawan, baik yang berwarga negara Indonesia ataupun Indonesianis. Terkait kebutuhan untuk memperkaya sumbangan historiografi bagi pembelajaran nilai-nilai Multikulturalisme, dalam buku ini terdapat beberapa tulisan yang dirasa relevan. Saya tertarik dengan artikel yang ditulis oleh Hilmar Farid (2013:79) , berjudul Pramoedya dan Historiografi Indonesia. Dalam tulisannya ini, Farid menyoroti perlunya penulisan sejarah Indonesia mempertimbangkan kajian-kajian karya sastra. Khusus dalam tulisannya tersebut, Farid mengkaji karya-karya dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Menurut Farid (2013:82), karya-karya Pramoedya dapat menjadi simbol dari dekolonisasi pemikiran dan penulisan sejarah Indonesia. ••• 433 Artikel lain yang menarik dalam buku ini adalah artikel yang ditulis oleh Bambang Purwanto yang berjudul Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta : Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia. Dalam artikelnya ini, Bambang Purwanto (2013:246) juga menegaskan perunya memikirkan ulang kemungkinan penggunaan kajian-kajian karya sastra sebagai sumber penulisan sejarah, disamping sumber-sumber konvensional lainnya. Bambang Purwanto melihat potensi dari pusisi, sebagai sebuah karya sastra, untuk memotret kondisi sosial masyarakat tertentu, dalam periode tertentu. Lebih lanjut, Bambang (2013:246) mengutip Sartono Kartodirdjo, bahwa karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi seorang satrawan terhadap kondisi masyarakat yang diamatinya. 3) Kegalauan Identitas suntingan Martin Ramstedt & Fadjar Ibnu Thufail Alasan mendasar mengapa buku ini perlu dibaca adalah kekuatannnya dalam menyajikan data mengenai konflik di tingkat akar rumput secara mendetail. Secara garis besar, konflik yang diangkat dalam buku ini terjadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Lokasi dari peristiwa konflik yang diteliti juga tersebar di beberapa wilayah kepulauan Indonesia. Pada bagian pendahuluan buku Kegalauan Identitas, tercantum bahwa fokus dari buku tersebut adalah “mencoba memahami sisi kelabu dari proses desentralisasi yang bergulir sejak rezim Orde Baru jatuh” (Ramstedt et al. 2011:2). Metode yang dipilih adalah menganalisa secara lebih mendalam perilaku tiap-tiap kelompok masyarakat dalam mempersoalkan dan menegaskan eksistensi mereka melalui sebuaaah proses interaksi yang melibatkan proses dan instrumen hukum dengna wacana-wacana agama dan adat dalam perubahan politik. Buku Kegalauan Identitas berusaha untuk menyoroti salah satu aspek, yang sesungguhnya menonjol, dalam dinamika desentralisasi namun kurang diperhatikan dan dikaji, yaitu merebaknya konflik yang melibatkan identitasbudaya kelompok tertentu. Sehingga, dengan kata lain, buku Kegalauan Identitas ini merupakan sebuah kajian ilmiah atas sebuah fenomena yang merebak, dari sebuah negara yang bertransformasi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis, berupa konflik identitas. Dari buku Kegalauan Identitas ini paling tidak ada dua hal yang bisa dipelajari. Pertama, buku ini menyediakan sebuah analisa sistematis terhadap dampak dari perubahan orientasi politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Kedua, dalam buku ini dipaparkan pola-pola terjadinya konflik di berbagai wilayah di Indonesia, yang berbeda satu sama lain dipengaruhi oleh aspek politik-budaya di tiap-tiap wilayah konflik tersebut. Hasil Berdasarkan pembahasan dan analisa dalam sub-bagian sebelumnya, maka beberapa hasil didapatkan; 1. Taylor memaparkan bahwa masyarakat di wilayah Indonesia terbentuk karena adanya mobilisasi. Hal ini semakin menegaskan bahwa isu pribumi vs. nonpribumi sesungguhnya tidak relevan lagi untuk diperdebatkan di Indonesia. Persoalan siapa yang menjadi penduduk asli dan siapa yang bukan pada dasarnya ••• 434 adalah bentuk pemisahan predikat yang digunakan oleh Kolonialis untuk memberikan jarak terhadap masyarakat di koloni mereka. Persepsi seperti ini perlahan harus ditinggalkan. 2.Perlu dijajaki potensi penelitian sejarah menggunakan kajian-kajian karya sastra. Karya sastra merupakan salah satu bentuk refleksi terhadap kondisi sosial disekitar seorang sastrawan. Oleh sebab itu, didampingi oleh sumber-sumber lain, kajian terhadap karya sastra pada dasarnya berpotensi menjadi sumber atau referensi dari sebuah penulisan sejarah. 3. Pasca-Orde Baru, Indonesia sedang bertransformasi dari era kepemimpinan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. Hal ini ditunjukkan dengan telah banyak bermunculan data tentang peristiwa konflik horizontal antar kelompok masyarakat, dalam periode pasca Orde Baru. Seyogyanya, ketersediaan data ini memantik kajian lebih lanjut atas peristiwa-peristiwa konflik tersebut. Sehingga hasil dari kajian dapat dipelajari, agar konflik serupa tidak berulang dikemudian hari. Kesimpulan Analisa dalam penulisan makalah ini memunculkan beberapa simpulan. Pertama, historiografi Indonesia yang menyoroti aspek multi-kultur dapat mengungkap asal-usul terbentuknya masyarakat Indonesia. Historigrafi semacam ini munncul dalam karya Taylor (2003).Kedua, Pengetahuan tentang asal-usul masyarakat Indonesia dapat menjadi pintu masuk untuk memahami proses identitas masyarakat tersebut dikonstruksikan, sesuai dengan paparan Tilaar (2004), bahwa identitas nasional adalah proses identifikasi tiap-tiap anggota masyarakat terhadap unsur-unsur warisan budaya. Sehingga semestinya identitas nasional Indonesia dikonstruksi berdasarkan nilai-nilai kearifan dari budaya masing-masing kelompok masyarakat.Ketiga, Pengetahuan akan asal-usul dan pola konstruksi identitas masyarakat Indonesia dapat mendorong upaya pencegahan konflik horizontal. Pembelajaran dan kajian atas berbagai konflik horizontal di wilayah Indonesia dapat mereduksi potensi konflik tersebut terulang kembali. Daftar Rujukan Abd. Rahman Hamid.Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta : Ombak, 2014. H.A.R. Tilaar. Multikulturalisme : Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional.Jakarta : Grasindo,2004. Haryatmoko, Dr. Critical Discourse Analysis(Analisis Wacana Kritis) Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan. Jakarta : Rajawali Pers, 2016. Lian Gogali. KONFLIK POSO : Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan. Yogyakarta : Galangpress, 2009. McGregor, Katharine E. Ketika Sejarah Berseragam : Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta : Syarikat, 2008. Nordholt, Henk Schulte. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta : Penerbit Obor & KITLV-Jakarta, 2013. ••• 435 Ramstedt, Martin & Fajar Ibnu Thufail et al. Kegalauan Identitas : Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2013. Taylor, Jean Gelman. Indonesia People and Histories. Oxon : Routledge, 2003. Tri Subagya. Support for Ethno-religious Violence in Indonesia. Yogyakarta : SDUP, 2015. Villa-Vincencio, Charles & Erik Doxtader. Pieces of the Puzzle. Cape Town : Institute for Justice and Reconciliation, 2004. ••• 436 ANALISIS WACANA: PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TEMBANG LIR-ILIR KARYA SUNAN KALIJAGA Agung Wibowo, Prof. Dr. Warto, M.Hum., Prof. Dr. Sariyatun, M.Pd., M.Hum. Universitas Sebelas Maret Surakarta agoengdjoeang@gmail.com ABSTRAK Mengemukanya pendidikan karakter pada dewasa ini di Indonesia adalah sebagai jawaban atas globalisasi yang telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pendidikan karakter selama ini yang telah berjalan hanya berfokus pada pembentukan sikap dan tingkah laku peserta didik, sedangkan nilai-nilai spiritual dan toleransi masih lemah. Pelajaran sejarah memiliki andil dalam menanamkan niai-nilai spiritual kepada peserta didik karena dalam pelajaran sejarah terdapat materi mengenai Islamisasi yang bisa dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual tentang hubungan manusia dengan Tuhan, Alam dan manusia dengan manusia itu sendiri. Salah satu kearifan lokal yang ada di Jawa pada khususnya adalah adanya tembang dolanan sebagai bentuk karya sastra yang digunakan sebagai sarana untuk mengenalkan Islam dan sebagai sarana pendidikan kepada anak-anak, dalam hal ini adalah tembang Lir-ilir gubahan dari Sunan Kalijaga. Nilai-nilai yang terkandung dalam tembang tersebut bisa digunakan sebagai sarana pembelajaran untuk memperkuat spiritualitas peserta didik. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam tembang tersebut, peneliti menggunakan metode dekriptif kualitatif. Penelitian ini menghasilkan deskripsi mengenai makna tembang Lir-ilir yang diteliti berdasarkan teks dan konteks yang diwacanakan. Deskripsi dari tembang tersebut menghasilkan nilainilai yang mempunyai fungsi religius, fungsi edukatif, fungsi sosial, fungsi estetis, dan fungsi etis sebagai upaya untuk menyadarkan peserta didik dalam menghadapi pengaruh global dimasa depan. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Nilai, Tembang Lir-ilir Pendahuluan Proses globalisasi muncul semenjak pasca perang dingin yang mendorong dunia dalam upaya homogenitas dalam sistem internasional. Di era perang dingin inilah dunia dibagi menjadi dua kubu yang antagonistik yaitu kubu Blok Barat dipimpin oleh Amerika dan kubu Blok Timur dipimpin oleh Unisovyet (Tilaar, 2012: 14). Pada abad-21 ini globalisasi identik dengan perubahan yang sangat cepat yang mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan sosial masyarakat. Jika menilik lagi kebelakang bahwa globalisasi sudah terjadi beberapa dekade lalu yang dengan kontinuitasnya berkembang hingga sekarang, hanya saja perbedaannya adalah proses globalisasi sekarang ini terjadi begitu cepat. Penyebab utama dari cepatnya arus globalisasi tersebut adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-alat komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan efisien. Andrew James dalam Tilaar (2012: 15) mengklasifikasikan perubahan tersebut dalam lima bidang yakni bidang ••• 437 ekonomi dan teknologi, bidang politik, bidang sosio-kultural, masalah-masalah lingkungan, dan kritik terhadap globalisasi. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tidak lepas dari proses globalisasi tersebut yakni kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, hal ini dapat dilihat dari kepemilikan gawai (gadget) oleh anak remaja disekolah baik dalam tataran SMP atau SMA. Dalam pengoperasian gawai tersebut terdapat pertukaran informasi yang mempengaruhi pandangan atau gagasan individu baik dari teman sebaya, orangtua, bahkan orang asing. Castells dalam Mubah (2011: 252) mengatakan bahwa meluasnya jejaring komunikasi menyebabkan hubungan antar masyarakat diseluruh dunia berjalan secara cepat dan dekat yang menimbulkan dilema antara tetap bertahan dalam identitas asli atau ikut melebur dalam identitas masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat global. Persaingan dalam proses globalisasi menjadi tidak terelakkan lagi karena terbukanya arus informasi dimana setiap individu mampu melakukan hubungan atau komunikasi tanpa mengenal jarak dan batas geografis. Interaksi yang dilakukan oleh individu-individu memungkinkan mereka melakukan kontak identitas, nilai, dan budaya yang berbeda-beda. Interkonektivitas dalam hubungan komunikasi elektronik baik dalam keadaan tatap muka maupun secara “tertutup” sebagai individu merasa bagian dari dunia ini, sehingga individu merasa cukup bersosialisasi lewat alat-alat komunikasi tanpa harus bertatap muka secara nyata. Ini akan menyebabkan sikap individualisme muncul dalam diri dimana individualisme merupakan salah satu nilai dalam kapitalisme yang termasuk dalam dimensi globalisasi. Terlebih adalah mengenai pemenuhan kebutuhan yang sekarang muncul trend baru yakni toko online dimana semua barang bisa dibeli dengan memesan melalui jaringan internet, hal ini menunjukkan kehidupan yang serba instan sehingga menimbulkan dampak pada konsumerisme yang berlebihan karena mudahnya akses untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Belakangan ini kita banyak menyaksikan diberbagai media mengenai peristiwa yang menunjukkan kemunduran dari perilaku masyarakat, membenarkan kelompok dan menganggap salah kelompok lainnya, masih maraknya kasus-kasus karupsi serta berbagai kerusakan lingkungan di Indonesia. Adanya kemunduran kesadaran sikap sosial generasi bangsa Indonesia tidak lepas dari modernitas yang dibawa oleh globalisasi dan menenggalamkan nilai-nilai yang diajarkan nenek moyang yang kalah populernya dengan nilai global yang belum tentu sesuai dengan keadaan masyarakat. Tentunya pendidikan juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendidik karakter bangsa, pendidikan seharusnya digunakan sebagai wadah untuk mendorong proses humanisasi terhadap peserta didik yang berlandaskan pada kesadaran sikap bahwa pendidikan digunakan untuk menjadikan generasi bangsa sebagai manusia yang berakhlak mulia, berbudi pekerti, cerdas, dan juga terampil. Modernisasi pendidikan yang tanpa meninggalkan nilai-nilai social yang hidup dalam masyarakat perlu dikembangkan untuk menjawab tantangan jaman global sekarang ini. Masyarakat yang semakin besar terhadap pendidikan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat pendidikan tidak mungkin lagi dikelola hanya dengan melalui pola tradisional (Dwi, 2006: 1). Modernisasi ••• 438 dalam pendidikan diperlukan untuk menghasilkan output yang mampu bertahan dan kompetitif dalam arus keterbukaan informasi dan perubahan-perubahan struktur dan masuknya nilai-nilai asing yang tidak sesuai dengan identitas masyarakat Indonesia. Mengemukanya pendidikan karakter pada dewasa ini di Indonesia adalah sebagai jawaban atas globalisasi yang telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pembangunan karakter bangsa harus dilakukan dari membangun individu masyarakat secara berkesinambungan karena sifatnya yang abstrak dan tidak dapat secara langsung dipahami. Selain itu, pendidikan karakter selama ini yang telah berjalan hanya berfokus pada pembentukan sikap dan tingkah laku peserta didik, sedangkan nilai-nilai spiritual dan toleransi masih lemah. Hal ini disebabkan oleh praktik pendidikan yang masih belum menempatkan agama sebagai bagian penting dalam membangun kepribadian peserta didik yang cenderung berada pada tingkatan hafalan dan keterampilan, sedangkan sikap dan nilai spiritual sama sekali tidak tersentuh (Takdir Ilahi, 2014: 40). Indonesia bukan sebuah negara sekular karena negara mengakui keberadaan agama dan aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya dan memberikan ruang untuk melakukan peribadahan sesuai dengan tata cara agama dan aliran kepercayaan masing-masing. Spiritualitas menjadi dasar bagi individu untuk menciptakan individu-individu yang mempunyai keluhuran budi dan adil terhadap sesamanya. Pada sila pertama dari Pancasila disebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti atas dasar kepercayaan dan kesaksian atas kuasa Tuhan akan menciptakan masyarakat yang saling mengasihi dan menyayangi sesamanya. Selain itu, hubungan antara individu, masyarakat dengan masyarakat lainnya yang merupakan representasi dari pengakuannya terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa yang berarti spiritualitas menjadi landasan untuk hidup bersama dengan harmoni. Pendidikan memiliki peranan sentral dalam keberlanjutan peradaban manusia karena pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart (Hasan, 1986: 33). Penanaman sikap dan nilai spiritual dapat dilakukan oleh berbagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah, tidak hanya bertumpu pada pendidikan agama saja. Salah satunya adalah pelajaran sejarah karena sejarah juga berfungsi sebagai pelestarian nilai-nilai moral dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masalalu. Kuntowijoyo (2005: 26) sejarah mempunyai fungsi dalam pendidikan, yaitu sebagai pendidikan (1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan, (7) keindahan, dan (8) ilmu bantu. Sejarah sebagai pendidikan nilai dan moral memberikan contoh untuk kita bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Selama ini pendidikan sejarah di Indonesia sebelum masa kolonial atau bila kita bisa menyebutnya masa penyebaran islam oleh walisongo tidaklah mudah diuraikan karena memang penulisan sejarah atau tulisan mengenai keseharian pada masa itu jarang sekali ditemukan kecuali tulisan dari pujangga yang dipercaya oleh kerajaan untuk menganggungkan tindak dan laku dari seorang raja, kalaupun ada terdapat perbedaan bahasa yang digunakan pada karangannya. Namun daripada itu, sejarah penyebaran islam yang dilakukan oleh ••• 439 walisongo banyak berupa tradisi lisan yang kita ketahuan dari pitutur yang kita ketahui dari turun-temurun, seperti pitutur Molimo yang diungkapkan oleh sunan Bonang, tembang-tembang macapat, tembang dolanan yang diciptakan sebagai sarana penyebaran islam di jawa yang memiliki pesan moral dan pendidikan yang begitu dalam tentang kehidupan. Salah-satu karya tembang yang digunakan untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat baik dipesisir pantai Jawa ataupun dipedalaman adalah tembang Lir-ilir yang merupakan sebuah karya sastra tembang digubah oleh Sunan Kalijaga sebagai media untuk menyebarkan agama Islam di Jawa khususnya Jawa bagian tengah. Tembang ini ditujukan untuk anak-anak sebagai tembang yang digunakan untuk bermain (Tembang dolanan). Sunan Kalijaga merupakan salah satu penyebar Islam di Jawa yang merupakan anggota dari “walisongo” yang merupakan keturunan dari Bupati Tuban yakni Tumenggung Wilatikta yang jika diurutkan akan sampai pada Sayidina Abbas bin Abdul Munthalib, paman Nabi Muhammad SAW (Sunyoto, 2017: 258). Sunan Kalijaga di kenal sebagai tokoh “Walisongo” yang menyebarkan Islam melalui kesenian dan budaya, diantara karya yang digubah oleh Sunan Kalijaga adalah Kidung Rumeksa Ing Wengi dan juga tembang yang lebih sederhana namun memiliki makna spiritual yakni Tembang Lir-ilir. Analisis Pemecahan Masalah Artikel ini menggunakan data verbal berupa kata, ungkapan, kalimat, pernyataan-pernyataan baik dalam bagian paparan teks tembang Ilir-ilir maupun bagian teks yang dikutip dalam bentuk potongan-potongan dengan mempertimbangkan konteks yang dimilikinya. Pengungkapan nilai karakter yang terkandung dalam karya sastra gubahan Sunan Kalijaga yakni Tembang Ilir-ilir salah satu medium yang digunakan untuk menyebarkan Islam Khususnya dibagian pesisir utara Jawa. Tembang (puisi) merupakan salah satu bagian dari sastra (Fananie, 2001: 47-48). Dimana dunia dalam tembang dikonstruksi oleh pengarangnya untuk mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca-indera dalam susunan berirama (Djoko Pradopo, 2000: 8). Penggunaan analisis wacana kritis sebagai cara mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks Tembang Ilir-ilir yang memiliki konteks ketika penciptaan tembang tersebut untuk mendapatkan nilai karakter yang dikandungnya. Pemaknaan dalam tembang tersebut digunakan untuk menemukan tanda-tanda yang menjadi benang merah dalam teks dan menafsirkannya untuk mencari siapa yang diberi status dan peran apa serta bentuk relasi antar individu dalam naskah tersebut (Hamad, 2007: 330). Ruang lingkup analisis wacana berdasarkan penggunaan metode analisisnya pada artikel ini digunakan analisis wacana paradigmatik dengan memperhatikan tanda-tanda tertentu dalam sebuah wacana untuk menemukan makna secara keseluruhan. Penerapan metode analisis wacana paradigmatik adalah dengan menemukan bukti-bukti dalam naskah dan menunjukkan bagianbagian dari naskah sebagai temuan untuk menjawab permasalahan (Hamad, 2007: 331). ••• 440 Critical discourse analysis/ CDA menggunakan model Norman Fairclough yang melibatkan teks (naskah) memiliki konteks. Dalam model ini, CDA memiliki tiga proses dalam analisisnya yakni, deskripsi (analisis teks), interpretasi (analisis proses), eksplanasi (analisis sosial) (Hamad, 2007: 331). Hal ini menunjukkan bahwa Discourse merupakan suatu bentuk praktik sosial yang mengkonstruksi dunia sosial, identitas, dan relasi-relasi sosial. Pengetahuan yang tercipta tentang dunia tidak bersifat benar secara mutlak karena tercipta dari proses sosial sehingga perubahan yang terjadi akan mempengaruhi pengetahuan yang dikonstruksi dan pemahaman akan dunia. Analisis data dalam pelaksanaannya dilakukan dalam suatu proses dan dikerjakan secara intensif dengan mengumpulkan data, melakukan pengkodean dan pengklasifikasian, kemudian penginterpretasian data. Hasil dan Pembahasan Bahasa dalam karya sastra terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan digunakan dalam tradisi sastra lisan lama yang pada kenyataannya di daerah jawa sangat sulit dijumpai tulisan yang ditinggalkan oleh para pencipta karya sastra tembang dan bahkan tidak diketahui penciptanya. karya sastra dalam bentuk tembang hanya dikenal dari lisan ke lisan yang mampu hidup sampai saat ini karena adanya interaksi secara langsung antara pencerita, cerita itu sendiri, dan masyarakat. Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Selain karya sastra yang ditulis, terdapat juga karya sastra yang disebarkan dari mulut ke mulut yakni yang biasa disebut sebagai karya sastra lisan. Sastra lisan merupakan suatu kesusastraan yang mencakup ekspresi atau ungkapan masyarakat suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan. Udin (1996: 1) mengungkapkan bahwa sastra lisan adalah seperangkat pertunjukan penuturan lisan yang melibatkan penutur dan audien menurut tata cara dan tradisi pertunjukan. Bentuk dari karya sastra lisan sendiri dapat berupa prosa (seperti mite, dongeng, dan legenda), puisi rakyat (seperti syair, gurindam, dan pantun), seni pertunjukan (wayang), ungkapan tradisional (seperti pepatah dan peribahasa), dan nyanyian rakyat. Perkembangan sastra lisan di Indonesia dan Jawa pada khususnya dipengaruhi oleh budaya lain seperti budaya Hindhu-Budha, India, Cina, dan Arab yang disebarkan dalam perdagangan, agama, maupun perkawinan. Sastra lisan memiliki unsur didaktis yang digunakan sebagai sarana pendidikan kepada masyarakat yang didalamnya mengandung nilai-nilai moral, agama, dan kehidupan. Sejak masa lampau, Indonesia telah mengenal sastra. Sebagai contoh karya-karya dari para pujangga kerajaan masa Hindu-Budha seperti Pararaton, Nagarakertagama, dan sutasoma. Para pujangga tersebut diperintahkan oleh raja untuk membuat syair-syair yang berisi kejayaan sang raja yang biasa disebut dengan kakawin. Pada masa permulaan penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa sendiri, sastra juga digunakan sebagai media untuk menyebarkan agama ••• 441 Islam dan sebagai sarana pendidikan keagamaan yang berisi tentang hakikat dari kehidupan. Salah satu penyebar agama Islam adalah Raden Syahid atau yang sering dikenal dengan Sunan Kalijaga yang menjadi salah satu anggota dari Walisongo. Sunan Kalijaga melakukan penyebaran Islam dengan menggunakan pendekatan seni budaya seperti penggunaan kesenian wayang yang bernuansa hindu kemudian digubah dengan memasukkan nilai-nilai islami di dalamnya. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga bersifat dinamis dengan mendatangi masyarakat dan menggelar pertunjukan wayang yang terkenal dengan Lakon Dewa Ruci. Selain menciptakan wayang sebagai media dakwah, Sunan Kalijaga juga menciptakan karya sastra suluk dan tembang dolanan sebagai sarana dakwahnya yang ditujukan kepada anak-anak. Tembang dolanan ini biasanya dinyanyikan sembari bermain bersama oleh anak-anak. Selain memberikan hiburan pada masyarakat dan anak-anak, seni dan karya sastra yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga mempunyai makna edukatif didalamnya. Para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan (Sunyoto, 2017: x). Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga menggunakan cara-cara yang halus tanpa adanya konfrontasi ataupun gontokgontokan yang merasa dirinya paling benar. Proses Islamisasi (dakwah) tersebut dilakukan dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendalami ilmu dan menyiarkan agama Islam, selain dakwah Sunan Kalijaga menyebarkan Islam dengan menjadi dalang, penggubah tembang, tukang dongeng keliling, penari topeng, desainer pakaian, perancang alat-alat pertanian, penasihat sultan, dan pelindung ruhani kepala-kepala daerah (Sunyoto, 2017: 272). Tidak mengherankan kalau dijumpai berbagai nama samaran Sunan Kalijaga seperti Ki Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung, Ki Unehan. Penggunaan nama-nama samaran tersebut dimungkinkan untuk menyembunyikan identitas aslinya agar masyarakat yang menyaksikan pertunjukkannya tidak merasa pekewuh dengan gelar Raden yang ada didepan namanya. Akulturasi budaya dalam penggubahan tembang-tembang dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai islami di dalam karya-karyanya tanpa meninggalkan budaya asli dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai karya seni yang diciptakannya tanpa ada unsur dari bahasa arab dimana Islam mulai berkembang, namun daripada itu nilai ketauhidan akan Tuhan terasa sangat kuat di dalamnya. Di antara tembang gubahan Sunan Kalijaga yang masih dikenal oleh masyarakat adalah Kidung Rumeksa Ing Wengi yang syairnya berisi tentang panjatan untuk menolak segala marabaya yang datang. Selain itu, tembang gubahan yang lebih sederhana tetapi memuat ajaran spiritual yang terkenal dengan tembang dolanan dimana tembang tersebut ditujukan untuk anak-anak namun di dalamnya terdapat nilai ketauhidan sebagai sarana untuk mengenalkan Tuhan kepada anak-anak. Tembang (puisi) merupakan salah satu bagian dari sastra (Fananie, 2001: 47-48). Karya sastra berbentuk tembang merupakan genre karya sastra lisan yang berisi kata-kata indah yang telah dikonstruksikan oleh penciptanya dengan mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang ••• 442 imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama (Pradopo, 2000: 8). Selain itu, Hasanuddin mengungkapkan bahwa puisi merupakan pernyataan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan (hal 4). Lewat puisi, perasaan dan pikiran dari penyair yang masih sangat abstrak dapat dimengerti oleh penikmatnya. Ilir-ilir merupakan tembang dolanan yang ditujukan untuk anak-anak sebagai dukungan dalam permainan, tembang dolanan adalah lagu yang dinyanyikan sambil bermain-main (Endraswara, 2005: 99). Dari segi kesastraan, tembang dolanan merupakan nyanyian anak-anak yang memiliki bentuk estetika dan bermakna yang bisa digunakan sebagai bekal dalam kehidupan. Tembang tersebut masuk dalam genre sastra lisan yang memiliki makna dibalik teks-teks didalamnya, keberadaan tembang dolanan sekarang ini mulai ditinggalkan oleh anak-anak dan lebih berorientasi ke tembang (lagu) populer karena mudahnya akses informasi dan merebaknya budaya populer pada masyarakat dewasa ini. Nilai-nilai yang terkandung di dalam tembang Ilir-ilir bisa diintegrasikan dalam pendidikan sebagai sarana untuk menanamkan karakter terhadap peserta didik. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terdapat dalam tembang Ilir-ilir diperlukan deskripsi mengenai teks tembang tersebut, teks dan gubahan dalam bahasa Indonesia tembang Ilir-ilir sebagai berikut: Lir-ilir, lir-ilir tandhure wis sumilir/ sing ijo royo-royo/ tak sengguh penganten anyar/ cah angon cah angon/ penekna blimbing kuwi/ lunyu-lunyu penekna/ kanggo masuh dodotiro/ dodotiro dodotiro/ kumitir bedah ing pingggir/ dondomana jlumatana/ kanggo seba mengko sore/ mumpung padhang rembulane/ mumpung jembar kalangane/ yo surako/ surak hore// (Sunyoto, 2017: 272) ‘Bangunlah, bangunlah’ ‘Tanaman sudah bersemi’ ‘Demikian menghijau’ ‘Bagaikan pengantin baru’ ‘Anak gembala, anak gembala’ ••• 443 ‘Panjatlah (pohon) belimbing itu’ ‘Meskipun licin dan sulit tetaplah kamu panjat’ ‘Untuk membasuh pakaianmu’ ‘Pakaianmu, pakaianmu’ ‘Terkoyak-koyak dibagian samping’ ‘Jahitlah, benahilah’ ‘Untuk menghadap nanti sore’ ‘Selagi bulan bersinar terang’ ‘Selagi banyak waktu luang’ ‘Bersoraklah’ ‘(Dengan) Sorakan iya’ Fungsi yang terdapat dalam tembang ini adalah fungsi religius (Farida, 2012: 63). Lir-ilir dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai sayup-sayup bangun dari tidur, lirik tersebut dapat diartikan bangkitlah dari hidupmu atau sadarlah, landasan dalam tembang ini berada pada kesadaran. Masyarakat diminta untuk sadar akan kesalahannya selama ini, kemudian menuju kejalan yang benar. Kaitannya dengan kehidupan dewasa ini adalah mengenai kesadaran akan arus global yang mampu menggerus kearifan-kearifan local. Penekno berarti panjatkan, ini memberikan makna bahwa terdapat tujuan yang harus diraih, . Lunyu-lunyu penekno (meskipun licin tetap panjatlah) bisa bermakna sebagai sikap pantang menyerah, dalam keadaan apapun tetap berpegang pada kesadaran dan mencoba untuk meraih tujuan tersebut. Dodotiro-dodotiro kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatano, sebagai seorang manusia tidak ada yang sempurna. Kesalahan yang telah diperbuat tidak harus selalu disesali namun harus dibenahi untuk kehidupan yang lebih baik. Tembang ini terdapat ungkapan metafora sinestetik yakni pengalihan tanggapan dari tipe metafora yang umum didasarkan pada pengalaman pengertian satu ke pengertian yang lainnya. Peralihan dari referen tak ijo royo-royo sebagai kelompok warna yang dapat dilihat ke temanten anyar yang menimbulkan pandangan kebahagiaan. Pengantin baru dapat diidentifikasikan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan bermekarnya tumbuh-tumbuhan seperti bunga, padi, rumput yang mulai bersemi (Hesti, 2010:78). Fungsi interaksi dalam tembang ini ada pada cah angon-cah angon yang merupakan sapaan terhadap orang yang sedang menggembala. Dalam pemaknaannya anak gembala tersebut memiliki makna yang tersirat bahwa manusia dalam hidupnya diwajibkan mengendalikan diri dan hawa nafsunya. Nafsu yang ada dalam diri manusia lebih dari satu bentuk maka dari itu terdapat pengulangan cah angon-cah angon sebagai penegasan. Fungsi regulatoris juga terlihat dalam tembang ini, dalam lirik lagu fungsi regilatoris biasanya ditandai dengan adanya kata perintah untuk mengendalikan orang lain. Dalam tembang ini kata perintah dapat dilihat pada kata penekna blimbing kui, dondomana jlumatana, yo surako. Kata perintah tersebut ditandai dengan adanya afiks na dan ana dalam penek-na, dondom-ana, jlumat-ana dan ••• 444 afiks yo dalam yo-surako. Penekna blimbing kui lunyu-lunyu penekna menunjukkan bahwa mengendalikan diri dan hawa nafsu tidaklah mudah, dibutuhkan usaha keras untuk mengendalikannya. Tembang Lir-ilir ini mempunyai fungsi informatif yang disertai dengan ajakan untuk mengikuti perintah-perintah yang terkandung didalamnya. Seperti terlihat dalam dodotiro-dodotiro kumitir bedah ing pinggir, dondomana jlumatana, informasi yang terkandung dalam lirik tersebut adalah pakaianmu terkoyak dibagian pinggir, maka jahitlah benahilah agar terlihat bagus kembali. Ini menunjukkan arti bahwa manusia yang hidup di dunia diibaratkan seperti pakaian yang bisa sobek. Tidak ada kesempurnaan dalam kehidupan maka dari itu selalu perbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat agar kehidupan menjadi baik dan tenang. Tembang Lir-ilir mempunyai pertalian antara bait satu ke bait selanjutnya, dapat dilihat dari makna yang terdapat didalamnya. Bait pertama menunjukkan kesadaran sebagai landasan dalam hidup, bait selanjutnya menunjukkan sikap pantang menyerah yakni kesadaran akan kehidupan bahwa hidup tidak mudah dalam mengendalikan diri dan hawa nafsu maka teruslah berusaha untuk membersihkan diri. Dalam bait selanjutnya terdapat sikap instropeksi diri bahwa manusia tidak bisa lepas dari kesalahan yang harus disadari dengan instropeksi diri apa yang telah dilakukan selama ini, setelah menyadari kesalahan maka perbaikilah. Dan bait terakhir menunjukkan masih banyaknya kesempatan yang ada untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat sehingga pada akhirnya akan mendapatkan kebahagian dalam kehidupan. Simpulan Tembang Lir-ilir mempunyai beberapa fungsi di dalamnya, yakni: fungsi interaksi, fungsi regulatoris, dan fungsi informatif. Selain itu, terdapat juga metafora sinestetik yang mengalihkan makna pada yang lainnya. Terdapat nilainilai karakter yang bisa diwariskan terhadap generasi-generasi selanjutnya sebagai hidupnya nilai tradisi masyarakat. Nilai-nilai yang terdapat dalam tembang Lir-ilir adalah kesadaran sebagai landasaran untuk hidup, usaha pantang menyerah karena pada dasarnya kenyataan tidak selalu sama dengan harapan, instropeksi diri, dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya. Tembang Lir-ilir mempunyai pertalian antara bait satu ke bait selanjutnya, dapat dilihat dari makna yang terdapat didalamnya. Bait pertama menunjukkan kesadaran sebagai landasan dalam hidup, bait selanjutnya menunjukkan sikap pantang menyerah yakni kesadaran akan kehidupan bahwa hidup tidak mudah dalam mengendalikan diri dan hawa nafsu maka teruslah berusaha untuk membersihkan diri. Dalam bait selanjutnya terdapat sikap instropeksi diri bahwa manusia tidak bisa lepas dari kesalahan yang harus disadari dengan instropeksi diri apa yang telah dilakukan selama ini, setelah menyadari kesalahan maka perbaikilah. Dan bait terakhir menunjukkan masih banyaknya kesempatan yang ada untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat sehingga pada akhirnya akan mendapatkan kebahagian dalam kehidupan. ••• 445 Daftar Pustaka Djoko Pradopo, Rachmat. Teori pengkajian puisi.Yogya: UGM Press, 2000. Fananie, Zeenuddin. Telaah sastra. Surakarta: Uns Press. 2001 Farida, Nugrahani. Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa Dalam Rangka Pembentukan Karakter Bangsa (Kajian Semiotik). Kajian linguistik dan sastra 24, no. 1 (June 2012) Fuad Hasan. Apologia: Pidato Pembelaan Socrates yang diabadikan Plato. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986. Hamad, Ibnu. Lebih Dekat dengan Analisis Wacana. 2007: 330. MediaTor 8 no. 2 (Desember 2007): 330-331 Hesti. Kemetaforaan yang terkandung dalam cakepan tembang-tembang jawa. Magistra no. 72 (Th. XXII. 2010): 78 Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005. Mubah. Jurnal Global dan Strategis Ed. Khusus (Desember 2011) Sunyoto, Agus. Atlas Walisongo. Lesbumi dan IIMaN, 2017. Takdir Ilahi, Mohammad. Gagalnya Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2014 Tilaar, H.A.R. Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas, 2012. ••• 446 SUKARNO MENGGUGAT (Membongkar Wacana Kediktatoran Sukarno Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1966) Oleh: Sahru Romadloni1 dan I Wayan Pardi2 Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Jln. Adi Sucipto No. 26 Banyuwangi, e-mail: doni.ideas90@gmail.com Penulisan artikel ini bertujuan untuk membongkar wacana dominan yang menyatakan bahwa pemerintahan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 19591966 ditetapkan dan dijalankan secara diktator dan otoriter. Munculnya wacana tersebut disebabkan oleh beberapa kebijakan Sukarno yang dinilai secara sepihak bertentangan dengan Pancasila, hukum dan asas demokrasi, seperti 1) Mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang meliputi pembubaran konstituante, berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950, 2) Pembubaran DPR hasil pemilu 1955, 3) Kebijakan Ganyang Malaysia, dan 4) Pengangkatannya sebagai Presiden Seumur Hidup. Sementara itu, metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode penulisan sejarah. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa sistem dan kebijakan politik pada masa demokrasi terpimpin lahir setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut didukung oleh kalangan militer dan seluruh rakyak Indonesia, kemudian juga dibenarkan oleh Mahkamah Agung serta berdasarkan kepada Pancasila, UUD 1945 dan aspek hukum yang kuat. Selain itu, Presiden Soekarno menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin sebagai langkah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta melalui Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno juga berhasil menyelamatkan bangsa dan negara, menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945 dari segala macam gangguan di berbagai bidang, yaitu ideologi dan politik, konstitusi serta ekonomi. Kata Kunci: Sukarno, Wacana Diktator dan Demokrasi Terpimpin PENDAHULUAN Pelaksananaan Demokrasi Terpimpin mengedepankan musyawarah mufakat dalam penyelesaian setiap masalah, artinya semua pendapat benar-benar dipertimbangkan secara cermat, sehingga suara minoritas tetap diperhatikan tanpa harus ada unsur pemaksaan (Legge, 1985:325). Konsep yang tegas tentang persatuan pada masa Demokrasi Terpimpin menjadikan Presiden Sukarno sebagai pusat kontrol dan memiliki otoritas dalam menetukan kebijakan-bijakan politik ternyata mengundang banyak anggapan Demokrasi Terpimpin dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno adalah pemerintahan diktator dan otoriter. Pemahaman tersebut tidak sepehunya dapat diterima dengan pandangan sempit sebelum mengungkap aspek-aspek lain yang terkandung dalam Demokrasi Terpimpin. Jiwa jaman pada setiap peristiwa sejarah tidak boleh diabaikan, sebab apakah Presiden Sukarno yang melahirkan situasi politik atau justru situasi politik Indonesia pada masa itu yang membentuk perasaan, pikiran, tindakan dan kebijakan politik Presiden Sukarno. Pertanyaan tersebut sangat penting untuk menjawab, apakah Presiden Sukarno tokoh yang melahirkan sistem Demokrasi Terpimpin kemudian dianggap diktator dan otoriter, atau justru keadaan (situasi ••• 447 dan kondisi politik) yang memaksa dijalankan ketegasan kontrol melalui Demokrasi Terpimpin untuk menjaga integrasi bangsa akibatbermunculan gerakan-gerakan separatis dibeberapa daerah danperbedaan ideologi maupun persaingan politik. Tujuan mendasar dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin adalah mencapai stabilitas politik dan menjaga keutuhan NKRI. Aspek lain dari gagasan Demokrasi Terpimpin adalah sebuah cita-cita revolusi Indonesia menuju sosialisme Indonesia, namun setelah Demokrasi Terpimpin berakhir, mulai bermunculan buku, artikel, bahkan media massa yang menyatakan Demokrasi Terpimpin dibawah Kepemimpian Presiden Sukarno sebagai rezim diktator dan otoriter, sedangkan aspek revolusioner dari Demokrasi Terpimpin tidak pernah tersampaikan dengan utuh, bahkan sengaja dihilangkan dalam pelajaran disekolah dan perkuliahan serta pembaca sejarah (Soyomukti, 2008:145) Ruang lingkup spasial dalam penelitian ini yaitu Indonesia. Ruang lingkup temporal dalam penelitian ini dimulai sejak tahun 1959 sampai tahun 1966. Fokus permasalahan dalam tulisan ini adalah membongkar wacana kediktatoran Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1966. METODE PENELITIAN Metode penulisan yang digunakan adalah metode sejarah yang terdiri dari atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Penulis menggunakan pendekatan politikologis menyoroti kekuasaan sejenis kepemimpinan, hieraki sosioal, petentangan kekuasaan dan lain sebagaianya (Kartodirdjo, 1992:4). Selain menggunakan pendekatan, penulis juga menggunakan teori Dekonstruksi atau ”De-construct” adalah pembongkaran dalam arti dan tujuan membongkar kembali suatu teori yang dianggap kurang benar atau kurang tepat, maupun kurang relevan dan bahkan tidak relevan lagi dengan jamannya (Wirawan, 2012: 284). Tujuan dilakukan usaha membongkar agar dapat mencari dan menunjukkan asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika, dan ”titik-titik gelap” dalam teks. Dekonstruksi berarti positif karena membongkar dan menjungkirbalikkan makna teks tapi bukan dengan tujuan mebongkar saja, akan tetapi membangun teks atau wacana baru dengan makna baru yang berbeda dengan teks yang didekonstruksi (Lubis, 2014: 34). Menurut Wirawan (2012: 285), Derrida tidak menolak makna sebagai makna, tetapi menolak prioritas, dominasi, klaim yang menyebabkan adanya makna ideal, struktur yang menyebabkan adanya makna ideal inilah yang ingin dibongkar, sebab setiap pemberian prioritas sama dengan penindasan (dominasi) oleh yang satu terhadap yang lain. HASIL 1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Kondisi Negara Indonesia yang tidak stabil pada masa demokrasi parlementer menimbulkan sering terjadi pergantian Kabinet, pertentangan dari banyak kalangan yang melakukan pemberontakan diberbagai daerah, pemberontakan-pemberontakan tersebut antara lain DI/TII, Dewan Banteng, Dewan Garuda, Dewan Gajah, Daud Bureuh, PRRI Permesta, Kahar Muzakkar. Pemberontakan tersebut merupakan suatu tindakan ketidakpuasan daerah terhadap ••• 448 pemerintah pusat, sedangkan keinginan lain adalah untuk mengganti ideologi Pancasila. Kalangan militer menggap kondisi tersebut dapat mengacam kesatuan bangsa, tanggal 17 Desember 1957 status keadaan bahaya ditingkatkan menjadi keadaan darurat perang. Peningkatan stastus ini disambut oleh kalangan militer sebagai langkah tegas menanggulangi pemberontakan-pemberontakan didaerah. Faktor kuat lainnya dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 akibat kegagalan Konstituate merumuskan Undang-Undang Dasar semakin membuat kondisi politik tidak stabil. Tanggal 22 April 1959 Presiden Sukarno berpidato didepan sidang Konstituante dan atas nama pemerintah menganjurkan agar dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, Konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi UUD Republik Indonesia yang tetap (Kartodirdjo, 1972:102), namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra dikalangan anggota Konstituante, tindak lanjut dari usulan tersebut kemudian dilakukan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota Konstituante. Pemungutan suara tidak dapat terlaksana akibat jumlah anggota Konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai angka 2/3 dari jumlah keseluruhan anggota, sesuai dengan pasal 137 dalam UUDS 1950. Situasi tersebut diikuti penolakan sebagian besar anggota Konstituante untuk menghadiri kembali sidang, sehingga pada tanggal 3 Juli 1959 penguasa perang pusat mengeluarkan sebuahlarangan kegiatan politik dengan peraturan Nomor PRT/PEPERPU/040/159. Kemacetan politik ini akhirnya mendorong Presiden Sukarno mengambil keputusan mengeluarkan dekrit Presiden, namun sebelum mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 4 Juli 1959 Presiden Sukarno terlebih dahulu mengadakan pembicaraan untuk mencari jalan keluar, pembicaraan tersebut dilakukan dengan Perdana Menteri Djuanda, Wakil Ketua Dewan Nasional Roslan Abdoelgani, KASAD A. H. Nasution, Menteri Negara Moh. Yamin, Ketua Mahkamah Agung Mr. Wiryono dan Direktur Kabinet Presiden Mr. Tamzil. Pertemuan ini menghasilkan keputusan bahwa dekrit yang menetapkan berlakunya UUD 1945 akan diumumkan pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00, dalam suatu upacara resmi di Istana Merdeka, Subtansi dari Dekrit adalah pembubaran konstituante, kembali ke UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dekrit Presiden juga memberikan keterangan tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, yang akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:283). Dekrit 5 Juli 1959 dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat (Budiarjo, 2003: 71). Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit sebagai langkah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan merupakan tonggak sejarah Indonesia karena telah berhasil menyelamatkan bangsa dan negara, menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945 dari segala macam gangguan di berbagai bidang, yaitu ideologi dan politik, konstitusi dan hukum, ekonomi, sosial dan budaya, moral serta agama.Dekrit yang dilaksanakan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia karena menantikan stabilitas politik. Kekuatan dekrit tersebut bukan ••• 449 hanya berasal dari sambutan yang hangat rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung (MA) dan Kepala Satuan Angkatan Darat (KSAD). 2. Pembubaran DPR hasil pemilu 1955 Selama Demokrasi Terpimpin diterapkan, beberapa lembaga pemerintahan telah dibentuk sebagai alat kelengkapan Negara, masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 masih diperkenankan menjalankan tugasnya sebelum dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Seiring waktu berjalan, DPR hasil pemilu 1955 tidak selamanya sejalan dengan Demokrasi Terpimpin sehingga dibubarkan dengan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960 dan tanggal 24 Juni 1960 melalui Penetapan Presiden No. 4 dibentuk DPR-GR. Perselisihan antara Pemerintah dengan DPR hasil pemilu 1955 menurut Budiardjo (2003:192) terkait Penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, usulan sebesar 44 Miliyar yang semula diajukan Pemerintah hanya disetujui sekitar 36 Miliyar sampai 38 Miliyar. Faktor perselisihan tersebut merupakan permasalahan yang muncul dipermukaan, apabila diamati kembali komposisi DPR hasil pemilu 1955 ternyata terdapat beberapa anggota Partai yang tidak sepakat saat penerapan sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapakan oleh Presiden Sukarno, sehingga permasalahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang menjadi perselisihan merupakan tindakan politis bahkan ingin menjatuh pemerintah. Setelah terjadi penolakan oleh DPR hasil pemilu 1955 terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara serta dianggap dapat menghambat jalannya revolusi maka dilakukan retooling total, langkah yang dilakukan Presiden Sukarno tersebut sebenarnya tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas, sehingga oleh sebagai pendapata dianggap sebagai suatu tindakan diktator dan otoriter Presiden Sukarno karena melanggar Undang-Undang. Tindakan Presiden Sukarno ternyata tidak sepenuhnya melanggar UndangUndang, bahkan tindakan tersebut mendapat perlindungan Hukum. Menurut Abdulgani (1964:114) berdasarkan kenyataan, telah terjadi machtsverschuiving kearah Presiden maka Presiden Sukarno dapat membubarkan DPR dan Partai Politik bahkan dapat langsung membentuk DPR baru. Landasan Hukum yang paling kuat adalah saat pembubaran DPR hasil pemilu 1955 Indonesia sedang dalam keadaan darurat perang seperti saat terjadi pembubaran Kontituante dan pelaksanaan Dekrit 5 Juli 1959. Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah DPR hasil pemilu 1955 merupakan DPR yang terbentuk saat diterapkan UUDS 1950 bukan UUD 1945. 3. Kebijakan Politik Ganyang Malaysia Arah kebijakan politik luar negeri Indonesia tercermin dari keputusan Dewan Pertimbangan Agung tentang perincian pedoman pelaksanaan Manifesto Politik No. 2/Kpts/Sd/I/61. Sikap politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif anti imprialisme dan kolonialisme, kebijakan politik luar negeri tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembukaan “Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka ••• 450 penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri-keadilan”. Kemerdekaan adalah hak setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia dan bangsa lain didunia, penjajahan didunia harus dihapuskan, lantas mengapa Indonesia menerapkan kebijakan politik Gayang Malaysia dan ikut campur urusan dalam negeri Negara lain bahkan terkesan akan melakukan imprealisme dan kolonialisme terhadap Malaysia. Permasalahan muncul pada saat tahun 1961 lahir rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia, pembentukan Negara tersebut direncanakan terdri dari persekutuan tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunai, dan Sabah. Gagasan tersebut mengundang pertentangan di Indonesia karena dianggap proyek neokolonialisme Inggris, sebaliknya Presiden Sukarno memberikan simpati terkait rencana pendirian Negara Kesatuan Kalimantan Utara yang diproklamasikan di Manila oleh A.M. Azhari. Indonsia dan Filipina menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia karena menurut Filipina secara Historis dan Yuridis Sabah adalah milik Sutan Sulu yang disewakan kepada Inggris. Langkah diplomasi dilaksanakan melalui pertemuan kenegaraaan oleh Presiden Sukarno dan Perdana Mentri Abdul Rachman dari perserikatan Tanah Melayu di Tokyo tanggal 31 Mei sampai tanggal 1 Juni 1963 dan berhasil membuat situasi ketegangan semakin reda untuk sementara waktu (sekneg 1985:243). Serangkaian pertemuan lain dilaksanakan pada tanggal 7-11 Juni 1963 yang diadakan di Manila, sementara tanggal 9 Juni 1963 perdana menteri Tengku Abdul Racahman di London menandatangani dokumen persetujuan dengan pemerintah Inggris mengenai pembentukan Negara Federasi Malaysia tanggal 31 Agustus 1963, timbulnya dugaan bahwa Federasi Malaysia adalah proyek dari Inggris semakin kuat, kenyataan bahwa setelah konfrontasi dimulai dari konfrontasi politik begeser ke konfrontasi fisik justru dipertahankan oleh pasukan miiter Malaysia yang terdiri dari tentara Inggris. Tindakan dari pihak Inggris menimbulkan ketegangan baru, terbukti hasil KTT Nonblok ke-3 pada bulan Juli-Agustus 1963 di Manila menghasilkan sebuah dokumen yang salah satunya mengenai pembentukan Negara Federasi Malaysia memberikan sebuah pernyataan meminta sekjen PBB menyelidiki keinginan rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam Negara Federasi Malaysia. Federasi Malaysia dinyatakan berdiri pada tanggal 16 September 1963 dengan naskah penggabungan 4 negara bagian, kondisi tersebut mengundang protes keras dari pihak Indonesia pada tanggal 17 September 1963 kemudian Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Keputusan tersebut bukan tanpa alasan, Presiden Sukarno menyampaikan bahwa keputusan sepihak lebih awal dilakukan oleh Inggris, sebab proses pengambilan keputusan rakyat masih belum bulat untuk membentuk Negara Federai Malaysia termasuk rakyat di Kalimantan Utara, bahkan Inggris tidak menunggu hasil penentuan yang dikerjakan oleh PBB. Kondisi tersebut ditentang keras oleh Presiden Sukarno dengan dugaan hanya mengandung unsur ingin menguasai atas sumber daya alam dan kontrol terhadap Federasi Malaysia. Situasi pertentangan Indonesia dengan Malaysia semakin menunjukkan ketegangan setelah PBB tidak lagi mampu memecahkan masalah akibat tindakan duta besar ••• 451 H. Jones menolak untuk melakukan peninjauan ulang terkait status Malaysia, puncaknya berujung Malaysia akan dinyatakan sebagai anggota PBB. Akibat pertentangan tersebut, maka Indoensia bersikap membentuk Komando Gayang Malaysia (Kogam) yang bertujuan menggagalkan pembentukan Negara boneka di Malaysia dengan semboyan “Ganyang Malaysia” kemudian dibentuk Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang dipimpin oleh Omar Dani. Presiden Sukarno juga menilai apabila Malaysia menjadi anggota PBB maka semakin memperkuat posisi Malaysia karena telah diakui oleh negara-negara lain. Lebih parah lagi ternyata Malaysia benar-benar didaulat sebagai anggota dewan keamanan PBB dengan menghindari pemungutan suara atas masuknya Malaysia sebagai anggota PBB. Akibatnya Indonesia memutuskan keluar dari keanggotaan PBB karena dianggap majelis terhormat PBB telah ternoda akibat pelanggaran terhadap kode etik, menurut pendapat Presiden Sukarno: “...sampailah disaat pemilihan Malaysia masuk Dewan Keamanan jang menodai Madjelis jang sutji itu. Pasal 23 menjatakan, bahwa kedudukan anggota-tidak-tetap ditentukan oleh pentingnja suatu negara jang ditjalonkan dan jasa jang telah dibuktikannja dalam memlihara keamanan dan perdamaian didunia. Djasa apa jang telah diberikan oleh negara jang diragukan orang dan jang umurnja baru satu tahun itu? Penolakan jang dilakukan oleh dua dari tiga negara penanda-tangan perdjanjian Manila terhadap kelahiran negara itu sendiri sudah menimbulkan ketidaktenteraman di Asia Tenggara. Bagaimana kami bisa mempertjajakan keamanan dari daerah kami kepada Dewan, dimana duduk suatu Negara jang ditjiptakan setjara paksa oleh kekuatan-kekuatan Kolonial, dari kekuatan mana kami telah membebaskan diri?” (Adams, 1966:451) Demikian alasan kuat Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia tidak semata-mata melakukan “Ganyang Malaysia” melainkan untuk melawan konspirasi pihak imprialisme dan kolonialisme terhadap negara-negara yang memiliki hak atas kemerdekaannya sendiri. 4. Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup Tuduhan lain terhadap Presiden Sukarno diktator dan otoriter akibat Sukarno diangkat menjadi presiden seumur hidup, padahal istilah kata diangkat mengandung makna bahwa sebenarnya Presiden Sukarno diusulkan, dinobatkan bahkan ditetapkan, bukan mengangkat dirinya sendiri sebagai Presiden seumur hidup. Kondisi politik Indonesia memang menuntut Sukarano agar diangkat menjadi Presiden seumur hidup. Kekuatan politik merupakan aspek penggerak dari demokrasi terpimpin, selama pelaksanaan demokrasi terpimpin terdapat tiga unsur kekuatan politik yang mendominasi, ketiga kekuatan politik tersebut adalah militer (Angkatan Darat), PKI dan Presiden Sukarno sebagai pusat kekuataan ((Feith, 1995:31), PKI merupakan partai politik yang kuat, saat pelaksaan Pemilu 1955 di Jawa, PKI mampu memperoleh 27% suara. Antara tahun 1959-1962 PKI dengan bebas melakukan kongres dan konfrensi, memobilisasi massa secara intens, sehingga dalam waktu yang singkat PKI mengklaim anggotanya telah mencapai 11 juta. ••• 452 Menguatnya PKI tidak lepas dari pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960. Pembubaran kedua partai ini terkait dengan keterlibatan beberapa tokoh partai tersebut dalam pemberontakan PRRI-Permesta, seperti Mohammad Natsir, Soemitro Dojohadikoesoemo, Burhanudin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Dalam peristiwa PRRI-Permesta ini, AS melalui CIA ikut serta menyokong dengan harapan dapat menggulingkan kekuasaan Sukarno. Keterlibatan CIA dalam PRRIPermesta terbukti saat ALRI berhasil menembak jatuh pesawat pembom yang dikemudikan Allen Pope, seorang warga negara AS di Teluk Ambon pada 18 Mei 1958. peristiwa ini tidak saja mengejutkan publik AS, tetapi juga masyarakat internasional. Apalagi Allen Pope mengaku bekerja untuk CIA dalam rangka memasok keperluan obat-obatan untuk kaum pemberontak PRRI-Permesta. (Sulastomo, 2006:13-14). Melihat kekuatan PKI yang tumbuh pesat menjadi partai komunis yang terbesar di dunia setelah Soviet dan Tiongkok, maka pihak-pihak yang khawatir jika pemilu digelar, PKI akan menang mutlak dan otomatis presidennya juga dari berasal dari PKI. Strategi pihak Angkatan Darat melalui Jenderal A.H. Nasution dengan mengajak Suwiryo (ketua PNI saat itu) mengusulkan agar Sukarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup, sehingga tidak perlu dilakukan pemilu, dengan demikian tertutup kesempatan bagi orang PKI menjadi presiden, (Taher, 2010:47). Pengangkatan Sukarno sebagai Persiden seumur hidup sebenarnya mengandung unsur persatuan, mengingat akan terjadi perpecahan dan perang saudara akibat saling memperebutkan kekuasaan, Presiden Sukarno juga sempat ragu dan tidak mengharapkan dirinya diangkat sebagai Presiden seumur hidup, bahkan Sukarno meminta kelak dikemudian hari harus diadakan peninjauan kembali terhadap statusnya sebagai Presiden seumur hidup. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan yang sekaligus menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang keluarkan oleh Presiden Sukarno merupakan keputusan yang sah dan bukan sebuah kebijikan yang otoriter serta tindakan diktator. Dekrit tersebut didukung oleh kalangan militer dan seluruh rakyak Indonesia, kemudian juga dibenarkan oleh Mahkamah Agung serta berdasarkan kepada Pancasila, UUD 1945 dan aspek hukum yang kuat. Kebijakan Presiden Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 adalah sebuah keputusan yang tepat sebab Indonesia sedang dalam keadaan darurat perang seperti saat terjadi pembubaran Kontituante dan pelaksanaan Dekrit 5 Juli 1959, apalagi DPR hasil pemilu 1955 merupakan DPR yang terbentuk saat diterapkan UUDS 1950 bukan UUD 1945. Konfrontasi terhadap Malaysia melalui semboyan Gayang Malaysia tidak semata-mata mengarah kepada ambisi pribadi Presiden Sukarno melainkan untuk melawan konspirasi pihak Imprialisme dan Kolonialisme terhadap negara-negara yang memiliki hak atas kemerdekaan. ••• 453 Status Sukarno sebagai Presiden seumur hidup bukan kehendak atau atas permintaan pribadi Sukarno, melainkan atas permintaan dan persetujuan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik, bahkan Sukarno dengan tegas menolak permintaan tersebut, namun karena sifat Sukarno yang gandrung dan konsisten akan persatuan Indonesia akhirnya menerima dengan catatan suatu saat harus dilakukan peninjauan kembali terhadap statusnya sebagai Presiden seumur hidup. DAFTAR PUSTAKA Abdulgani, R. 1964. Hukum Dalam Revolusi Dan Revolusi Dalam Hukum\. Djakarta: Prapantja Adams, C. 2011. Bung KarnoPenyambung Lidah Rakyat Indonesia. Penerjemaholeh Syamsu Hadi. Jakarta: Yayasan Bung Karno Budiardjo, M. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Feith, H. 1995. Soekarno Dan Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Kartodirjo, S. 1972. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Legge, J. D. 1985. Sukarno: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan Lubis, Ahyar Yusuf. 2014.Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pres Poesponegoro , M. D. Dan Notosusanto, N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI.Jakarta: Balai Pustaka Sekretariat Negara R.I. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada Soyomukti, N. 2008. Soekarno & Nasakom: Menguak Sejarah Sang Pencetus Nasakom. Jogjakarta: Garasi Sulastomo,2006. Di Balik Tragedi 1965. Jakarta: Yayasan Pustaka Ummat Wirawan, I.B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group ••• 454 SIGER SEBAGAI HISTORIOGRAFI KEBUDAYAAN LAMPUNG DAN PENDIDIKAN KARAKTER Hanriki Dongoran, Akhmad Arif Musadad,dan Dyah Sulistyaningrum Indrawati FKIP Pascasarjana Universitas Sebelas Maret hanrikidongoran@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini menitikberatkan adanya kohesi antara nilai-nilai filosofis Siger dengan pendidikan karakter, Siger merupakan mahkota pengantin wanita, dan kebudayaan materiil historis masyarakat Lampung serta dijadikan simbol identitas budaya masyarkat Lampung yang memiliki konstruksi sosial-budaya dengan wacana simbolik Siger terhadap masyarakat Lampung dan generasi penerus. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif dan sumber data studi pustaka (literature review) untuk pengumpulan data. Adapun data yang didapat dalam penelitian ini melewati prosedur analisis data yang terjadi secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Data yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan keterkaitan antara nilai-nilai filosofis siger yang merupakan warisan kebudayaan Lampung koheren sebagai modal penguatan pendidikan karakter yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan dan budi pekerti.. Kata kunci:Identitas, Pendidikan Karakter, Siger, Simbol PENDAHULUAN Heterogenitas pada masyarakat Lampung bukan saja dikarenakan adanya masyarakat lokal dan masyarakat pendatang, ulun lappung (masyarakat etnis Lampung) yang merupakan suku masyarakat lokal pun terbagi yakni subsuku/etnis Lampung Saibatin dan Lampung Pepadun. pada dasarnya , suatu komunitas masyarakat dapat diidentifikasi melalui kebudayaan lokalnya, yang merujuk pada dalil-dalil tentang eksistensi komunitas tersebut, termasuk ciri khusus yang digunakan untuk membedakan komunitas yang satu dengan yang lainnya. Ke-budaya-an dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. kebudayaan secara konsep hematnya [1] dijelaskan bahwa kebudayaan berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan-nya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Sedimikian luasnya ruang-lingkup kebudayaan, sehingga seolah-olah konsep kudadayaan itu sendiri tak dapat di batasi atau didefinisikan. Mempertegas penjelasan diatas dengan merumuskan ide pokok tentang kebudayaan merujuk pada Kroeber, A.L., dan Kluckkhohn,C dalam [2] sebagai berikut: Kebudayaan terdiri dari pola-pola yang tersurat dan tersirat, dari dan untuk kelaukuan yang diperoleh dan diteruskan oleh simbol-simbol, yang terdiri dari unsur-unsur prestasi kelompok-kelompok manusia yang penting, termasuk perwujudannya berupa benda-benda; inti pokok kebudayaan terdiri dari ide-ide dan terutama nilai-nilai tradisional didalamnya (yaitu yang diperoleh dan diseleksi secara historis); sistem-sistem kebudayaan dapat, di satu pihak dianggap sebagai produk tingkah laku, dan lain pihak sebagai unsur-unsur yang membentuk tingkah ••• 455 laku. Tentang bagaimana kebudayaan dilihat dari wujudnya yang dikemukakan paling sedikit terdapat tiga wujud, yakni: 1. Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[1] Rangkaian pemaparan singkat berdasarkan wujud kebudayaan diatas diartikulasikan dalam wujud kebudayaan Lampung yang dapat dimengerti yakni: piil pesenggiri sebagai gagasan kebudayaaan ideel bersifat abstrak, esensinya terdapat dalam alam pikiran dari warga masyarakat Lampung (adat Saibatin dan Pepadun), piil pesenggiri dicerminkan sebagai watak masyarakat Lampung. [3]Sesungguhnya, inti piil pesenggiri merujuk pada harga diri atau kehormatan ulun Lampung yang terdiri atas dignity (pesenggiri), keramahtamahan (nemui nyimah), nama besar (juluk adok), kemampuan berbaur dengan semua (nengah nyappor), dan gotong royong (sakai sambayan). Kelima unsur tersebut merupakan nilai yang melingkupi hampir semua aspek kehidupan ulun Lampung dari ritual kelahiran hingga kematian.; masyarakat adat Lampung merupakan masyarakat adat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah (patrilineal), klen kecil (buay) yang anggota-anggotanya terdiri dari para individu yang berada dalam pertalian darah atau pertalian adat (mewari), hubungan ke-buay-an ini ditandai adanya hubungan teritorial dan genealogis serta perkawinan menurut sistem ngejuk ngakuk (ambil-beri) yang bersifat patrilokal. suatu buay biasanya terikat pada satu rumah asal, masih terdapat tanah menyanak (hak pakai kerabat) dalam desa penduduk asli "tanah kerabat yang belum/tidak terbagi-bagi dalam hal ini hak pakai dan hak memanfaatkan saja". adat peminggir(saibatin) dikenal bentuk perkawinan jujur (patrilokal) dan semanda (matrilokal) atau jika sang ayah tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka dari keturunannya yang perempuan mengambil suami/ sang menantu laki-laki tersebut menggantikan kedudukan sang ayah sebagai kepala rumah tangga.; Siger merupakan mahkota yang dikenakan mempelai wanita, dikenakan pula oleh para gadis penari acara adat dan waktu menyambut para tamu agung. Kebudayaan materiil dari pelbagai acara adat kebudayaan Lampung sebagai simbol identitas eksistensi masyarakat Lampung (masyarakat lokal maupun pendatang). Eksistensi peradaban Lampung tentunya didasari adanya keadaran akan sejarah melalui sumber sejarah, siger ialah artefak arkeologis yang yang merepresentasikan masyarakat Lampung sudah tentu memiliki fakta historis mengenai masyarakat Lampung itu sendiri dan korelasinya sebagai historiografi dengan sentuhan cipta,karsa dan rasa yang mungkin akan terlihat etnosentris, akan tetapi siger sebagai historiografi disini ialah kajian identitas historis kebudayaan Lampung teruntuk penguatan pendidikan karakter melalui nilai-nilai yang terkandung dalam siger itu sendiri. Kebudayaan materiil yang terdapat dalam siger hakikatnya merupakan makhota kebesaran mempelai wanita Lampung, direpresentasikan melalui simbol yang kontekstual sifatnya digunakan sebagai atribut identitas masyarakat Lampung yang heterogen dan warisan kebudayaan Lampung yang memiliki nilai••• 456 niai luhur terhadap generasi penerus bagi pembinaan sosial-budaya yang konstriktif dalam rangka menjawab tantangan pembangunan. Pelibatan Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N mengeluarkan surat edaran tentangSiger Lampung. Surat bernomor 503/618/IV.39/2016 tersebut diterbitkan tanggal 18 Mei lalu.Dilansir akun facebook Diskominfo Bandar Lampung, Senin,30/5/2016, isi surat tersebut adalah kewajiban pemilik seluruh bangunan ruko, rumah makan, kantor dan Bank untuk memasang ornamen siger, sebagai mahkota pelambang keagungan adat budaya Lampung. Selain itu, seluruh sanggar dalam setiap penampilan kesenian juga diimbau menggunakan bentuk siger sesuai ketentuan.(Jafar, May 30, 2016). Dengan demikian ada penekanan bagi saya sebagai peneliti bila menyatakan adanya konstruksi sosial-budaya dengan wacana simbolik Siger terhadap masyarakat Lampung dan generasi penerus. Dalam Upaya pelestariannya kebudayaan Lampung khusunya siger sebagai simbol identitas kebudayaan Lampung mendapat perhatian lebih dari masyarakat Lampung khususnya sehingga beberapa peneliti merepresentasikan siger sebagai: Message Platform Atribut Siger Lampung Di Dalam Kebhinekaan Multikultur.[4].; Pelestarian Budaya Piil Pesenggiri Dalam Masyarakat Multikultural Lampung Serta Pengaruh Globalisasi Ditinjau Dari Aspek Pendidikan Kewarganegaraan.[5].; Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi Identitas Ulun Lampung. [3].; Siger Sebagai Wujud Seni Budaya Pada Masyarakat Multietnik di Provinsi Lampung. [6]. Dalam penelitian yang beberapa artikel peneliti ditemukan bentuk bahwa Identitas pola tingkah laku mayarakat Lampung diasosiakan dalam simbol siger dengan dalil-dalil kebudayaan yang tentang baik-buruk, yaitu nilai-nilai filosofis yang mendasari kebudayaan Lampung. Salah satu sarana pelestarian kebudayaan ialah pendidikan, dimana pendidikan ialah fondasi utama untuk membangun peradaban bangsa. mengutip Peter, L. B dalam [7] yang menyebutkan bahwa pembangunan yang dilakukan secara drastis dengan mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal akan menjadi problem karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial-budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat setempat. Reaktualisasi kearifan lokal (nilai-nilai filosofis siger) bukan bagian dari invesi tradisi, melainkan penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat Lampung dengan media interaksi pengantarnya secara simbolik yaitu siger Lampung. Sejalan dengan program pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter, dengan pertimbangan sebagai berikut: a) bahwa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya merupakan negara yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti; b) bahwa dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab, perlu penguatan pendidikan karakter; ••• 457 c) bahwa penguatan pendidikan karakter sebagaimana dimaksud dalam huruf b merupakan tanggung jawab bersama keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat; dan d) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Berdasarkan uraian diatas terdapat ruang dalam sarana pendidikan dengan Peraturan Presiden diatas untuk mereaktualisasikan nilai-nilai filosofis sigerdengan penguatan pendidikan karakter yang reprentasinya menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti. Maka fokus masalah bagaimanakah kohesi antara nilai-nilai filosofis siger dan pendidikan karakter? METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif dan sumber data studi pustaka (literature review) untuk pengumpulan data. Adapun data yang didapat dalam penelitian ini melewati prosedur analisis data yang terjadi secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Kajian ini merupakan bersifat naratif untuk mengurai data nilainilai filosofis yang terdapat pada siger dan untuk penegasan kajian ini menggunakan teori interaksi simbolik, sebagai penguatan teoteris keterkaitan antara siger sebagai symbol identitas masyarakat Lampung dengan penguatan pendidikan karakter. HASIL Siger merupakan simbol identitas masyarakat Lampung, simbol ini dengan sendiri meng-komunikasi-kan masyarakat Lampung yang tercirikan dengan masyarakat lain diluar Lampung dengan adanya interaksi tentunya. Secara fungsi analisis, penggunan siger yang merupakan mahkota mempelai wanita maupun gadis penari dan acara adat Lampung. Masyarakat suku Lampung terbagi menjadi masyarakat sub-suku Saibatin dan Masyarakat sub-suku Pepadun, kaitanya dengan sigersebagai pengkodean ada sedikit perbedaan, akan tetapi kaitanya siger sebagai identitas simbolik memiliki makna yang sama. Penduduk asli atau mayarakat local di provinsi Lampung terdiri dari dua sub-suku/kelompok besar yang mendiami wilayah dengan topografis yang berbeda. Daerah dekat pesisir yang topografisnya didominasi oleh pegunungan yang berbatasan langsung dengan pantai didiami oleh masyarakat adat Saibatin/Peminggir. Sedangkan daerah dataran rendah mayoritas dihuni Suku Lampung Pepadun, biasanya dekat dengan sungai (way) besar seperti way Sekampung, way Seputih, way Pengubuan, way Abung Rarem, way Sungkai, way Kanan, way Tulang Bawang, way Mesuji, dan way Semangka. Watak, tabiat, dan intonasi berbicaranya lebih kasar bila dibanding-kan dengan suku Lampung Saibatin karena tinggal di daerah dataran rendah beriklim panas. Daerahnya antara lain: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Rajabasa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Saibatin, Krui, Ranau (Provinsi Sumatera Selatan), Martapura (Provinsi Sumatera ••• 458 Selatan), Muara Dua (Provinsi Sumatera Selatan), Kayu Agung (Provinsi Sumatera Selatan), Cikoneng (Provinsi Banten), dan Merpas (Pronsi Bengkulu). Keterangan Sujadi dalam [6]. Siger dalam dalam masyarakat adat Lampung Saibatin memiliki tujuh jeruji atau lekuk ini memiliki makna dalam masyarakat adat Lampung Saibatin memiliki tujuh gelar/adok, yaitu: 1. Suttan/Dalom/Pangeran [Kepaksian/ Marga], 2. Khaja Jukuan/Depati,. 3. Batin, 4. Kadin, 5. Minak, 6. Kimas dan 7. Mas/Itton. Wawancara yang dilakukan dengan MZ Tokoh Adat Saibatin bergelar adat Khadin Darmawan[6] Bentuk Sigersaibatinyang lebih melengkung ke belakang menyiratkan bahwa watak/atau perangai orang Lampung Saibatin lebih halus/lunak dibandingkan dengan Lampung Pepadun.Hal ini terlihat dari intonasi nada berbicara suku Lampung Saibatin yang lebih halus dan lembut dibandingkan dengan suku Lampung Pepadun, warna kuning emas pada Siger merupakan wujud kebesaran, kemewahan, keagungan, dan berbudi pekerti dari berbudaya masyarakat Lampung yang harus tetap dijaga kelestariannya walaupun terus diterpa arus globalisasi dan modernisasi. Gelar-gelar dalam adat saibatin tersebut hanya dapat disematkan/ digunakan pada orang-orang yang merupakan keturunan lurus keluarga raja, dengan kata lain yang bukan merupakan keturunan raja tidak diperkenankan menggunakannya. Hiasan batang/pohon sekala pada masing masing lekuknya merupakan suatu penanda bahwa ketujuh gelar adat Lampung Saibatin tersebut berasal dari Kerajaan Sekala Brak yang merupakan asal-usul/ nenek moyang mereka.[6] Masyarakat adat/suku Lampung Pepadun dibagi menjadi beberapa subsuku, antara lain: Abung Siwo Mego mendiami daerah: Kota Bumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi. Megow Pak Tulang Bawang mendiami daerah: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga. Pubian Telu Suku mendiami daerah adat: Tanjung Karang, Balau, Buku Jadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedong Tataan, dan Pugung. Sungkay Way Kanan Buay Lima mendiami daerah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui. Keterangan Sujadi dalam [6]. Siger pepadun memiliki lekuk berjumlah sembilan yang diartikan sebagai sembilan marga yang membentuk Abung Siwo Mego yang merupakan garis lurus keturunan Menang Pemuka Baginda (dengan gelar Ratu Dipuncak) raja dari kerajaan Sekala Brak yang menjadi asalusul suku Lampung, baik Pepadun maupun Saibatin . dan sembilan lekuk/ruji pada Siger Pepadun melambangkan sembilan sungai yang mengalir di daerah Lampung yaitu way Sekampung, way Semangka, way Seputih, way Pengubuan, way Abung Rarem, way Sungkai, way Kanan, way Tulang Bawang, dan way Mesuji”.PenjelasanSabaruddin dalam [6]. ••• 459 Menurut Hadikusuma dalam [5]bahwa salah satu prinsip hidup orang lampung yaitu berjuluk adok yang berarti suka dengan nama baik dan dengan gelar yang terhormat. Acara Begawi (acara adat Lampung) untuk memberikan gelar atau adok kepada masyarakat luar Lampung yang berada atau berdomosili di Lampung, dengan maksud diberikannya adok atau gelar secara adat kepada orang yang diluar suku Lampung tersebut dengan harapan dapat menjadi keluarga atau istilah lain di Lampung-kan (penganggkonan). Adok juga bermaksud agar menyatunya orang-orang atau masyarakat Lampung dengan harapan memperkikis adanya suatu konflik di Lampung mengingat Lampung sebagai daerah yang sangat memiliki ragam adat istiadat, dan budaya (negeri ramik ragom). Berdasarkan pemaparan diatas diketahui bahwa siger merupakan pelambang-an terhadap gelar atau berjuluk adok. Dalam adat saibatin didapatpatkan penjelasan bahwa gelar-gelar dalam adat saibatin tersebut hanya dapat dimiliki atau digunakan pada orang-orang yang merupakan keturunan lurus keluarga raja, dengan kata lain yang bukan merupakan keturunan raja tidak diperkenankan menggunakan/memilikinya, sedangkan dalam adat pepadun pemberian gelar atau adok kepada masyarakat luar Lampung yang berada atau berdomosili di Lampung. Adapun maksud diberikannya adok atau gelar secara adat kepada orang yang diluar suku Lampung tersebut dengan harapan dapat menjadi keluarga atau istilah lain di Lampung-kan (penganggkonan). Merujuk [8] bahwa historiografi tradisional mempunyai fungsi social untuk memberikan kohesi, antara lain dengan memperkuat kedudukan dinasti yang menjadi pusat kekuatannya. Dengan demikian siger yang merupakan wujud kebudayaan materiil Lampung dapat dikategorikan sebagai historiografi tradisional karna mendeskripsikan kedudukan dinasti dalam historis sitem social kebudayaaan Lampung. Nilai-nilai filosofis siger Lampung berdasarakan analisis melalui tinjauan pustaka ialah warna kuning emas pada siger merupakan wujud kebesaran, kemewahan,keagungan, dan berbudi pekerti dari berbudaya masyarakat Lampung yang harus tetap dijaga kelestariannya walaupun terus diterpa arus globalisasi dan modernisasi; Siger digambarkan sebagai pohon beringin seperti halnya membangun persatuan dan kesatuan sehingga tidak akan pernah tumbang diterpa angin/badai; keturunan di dalamnya merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh dan bahkan rasa senasib sepenanggungan.[6]; dengan di kategorikannya pemaknaan piil pesenggiri sebagai identitas local [3] maka piil pesenggiri yang merujuk pada harga diri atau kehormatan ulun Lampung yang terdiri atas dignity (pesenggiri) merupakan bagian dari nilai-nilai filosofis siger, keramahtamahan (nemui nyimah), nama besar (juluk adok), kemampuan berbaur dengan semua (nengah nyappor), dan gotong royong (sakai sambayan).; mengutip Kalidjernih dalam [5]Masyarakat Lampung, hari ini telah menjadi sebutan Indonesia mini. Hal ini tentulah menjadi tantangan bagi masyarakat Lampung dalam menjaga keharmonisan dalam bersosial dan bermasyarakat yang multikultural di Lampung.Multikultural adalah sebuah pemahaman agar terciptanya suatu bentuk toleransi dari berbagai kelompok, adat, dan lain-lain, untuk saling menghargai satu sesama lainnya. Menurut Sokefeld (1999), identitas menjadi suatu label yang dipakai atau diberikan untuk mengelompokkan serta membedakan diri (self) dengan yang lain ••• 460 (other).[3]. Salah satu cabang dalam mempelajari maupun menjelaskan teori sosiologi yang memahami diri sendiri (self) dan dunia luarnya merupakan interkasi simbolik, adanya interasi individu dengan individu lainynya membuka ruang untuk memahami satu sama lain. Interkasi antar individu itu melibatkan suatu pertukaran symbol. Konsep diri (self) kemudian diganti dengan beberapa symbol ini muncul karena hasil komunikasi, sehingga bias juga konsep diri diartikan aku, daku, milikku, dan diriku.[9]. Dengan demikian dapat diartikan bahwa identitas symbol siger Lampung ialah symbol sebagai jati diri masyarakat Lampung dan tercirikan-nya konsep diri (self) sehingga dapat dibedakan oleh masyarakat lain. Merujuk Penetapan Peraturan Presiden Tentang Penguatan Pendidikan Karakter Bab 1, Pasal 1 yang berbunyi memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental dan menegaskan dalam Pasal 2 bahwa Penguatan Pendidikan Karakter memiliki tujuan:.a. membangun dan membekali Peserta Didik sebagaigenerasi emas Indonesia Tahun 2045 dengan jiwaPancasila dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan;b. mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi Peserta Didik dengan dukungan pelibatan publik yang dilakukan melalui pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia; dan c. merevitalisasi dan memperkuat potensi dan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, Peserta Didik, masyarakat, dan lingkungan keluarga dalam mengimplementasikan PPK. Dari berbagai uraian diatas dapat di dipaparkan hasil bahwa warisan budaya Lampung nilai-nilai filosofis siger yang merupakan identitas Lampung koheren sebagai modal budaya penguatan pendidikan karakter yang reprentasinya menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti dan dalam pelaksaannya dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meiiputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungiawab. Hal ini tampak terlihat saat nilai-nilai filosofis siger pun SIMPULAN Melalui pemaparan diatas dapat ditarik simpulan bahwa kebudayaan Lampung telah memberikan pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk, kepada masyarakat Lampung dan generasi penerus melalui wacana simbolik siger. Nilai-nilai yang terdapat dalam filosofis siger yakni: membangun persatuan dan kesatuandi dalamnya merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh dan bahkan rasa senasib sepenanggungan; keramahtamahan (nemui nyimah); nama besar (juluk adok); kemampuan berbaur dengan semua (nengah nyappor); dan gotong royong (sakai sambayan);toleransi dari berbagai kelompok, adat, dan lain-lain, untuk saling menghargai satu sesama lainnya. Hal ini mengungkapkan bahwa ••• 461 kebudayaan Lampung menyetujui Pendidikan karakter dan akses terhadap nilainilai tersebut telah menjadi ciri-ciri dari masyarakat Lampung itu sendiri, lewat pemahamannya mengenai simbolik siger. Dikarenakan pengkajian secara kajian pustaka dalam tulisan ini masih merupakan teoretis semata, pemahaman tentang makna simbolik siger tentunya perlu dikaji secara hermeneutic, upayya ini untuk mendalami secara keseluruhan bagaimana masyarakat Lampung berinteraksi dengan symbolic siger, dan pemahaman mendalam masyarakat Lampung tentang nilai-nilai filosofis siger tersebut, dalam konteks ini pula, maka diperlukan re-interpretasi keindonesiaan. Kaitannya dengan Pendidikan yakni kompetensi budaya (cultural competence) sebagai salah satu aspek penting kompetensi guru diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan kebermaknaan program pendidikan pada berbagai jenis dan jenjangnya. interaksi antar budaya mengharuskan guru dengan seperangkat pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk mampu berinteraksi dengan berbagai latar belakang budaya peserta didik dan komunitasnya. Penguatan Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama baik sekolah, lingkungan masyarakat terlebih guru dan keluarga. Penguatan ini dimaksudkan supaya nilai-nilai luhur bangsa tetap junjung tinggi sebagai identitas kebudayaan Lampung yang berdasarkan Pancasila. . DAFTAR PUSTAKA [1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia, 1987. [2] P. Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia Dan Pancasila, Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress), 1988. [3] S. Irianto and R. Margaretha, "Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi Identitas Ulun Lampung," MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, pp. 140-150, 2011. [4] D. Hidayat, E. Kuswarno and F. Zubair, "Message Platform Atribut Siger Lampung Di Dalam Kebhinekaan Multikultur," Jurnal Kajian Komunikasi, pp. 91-101, 2017. [5] E. Siswanto, A. Riyanto and P. Bestari, "Pelestarian Budaya Piil Pesenggiri Dalam Masyarakat Multikultural Lampung Serta Pengaruh Globalisasi Ditinjau Dari Aspek Pendidikan Kewarganegaraan," Civicus, pp. 140-160, 2014. [6] D. Ciciria, "Siger Sebagai Wujud Seni Budaya Pada Masyarakat Multietnik Di Provinsi Lampung," Panggung, pp. 190-199, 2015. [7] A. Nasruddin, Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilimiah Berbasis Multikulturalisme, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2008. [8] S. Kartodirdjo, Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2014. [9] N. Ulfatin, Metode Penelitian Kualitatif Di Bidang Pendidikan, Malang: Media Nusa Creative, 2015. ••• 462 INTEGRASI NILAI-NILAI DHARMA GITA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH SEBAGAI STRATEGI MENCIPTAKAN HARMONI SOSIAL PADA SISWA SMA I Putu Adi Saputra1, Sariyatun2, Akhmad Arif Musadad3 1 Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2 Dosen Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 3 Dosen Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Email: adisaputra053@gmail.com, sariyatun@staff.uns.ac.id, akhmadarifmusadad@staff.uns.ac.id Abstrak Keberagaman ras, suku bangsa, agama, dan budayanya menjadikan suatu identitas tersendiri bagi bangsa Indonesia. Local genius yang bercorak kenusantaraan menjadikan lokalitas sebagai akar dari sejarah nasional. Masyarakat Bali memiliki Dharma Gita sebagai salah satu kekuatan lokalitasnya. Dharma Gita merupakan seni sastra masyarakat Bali dalam menyampaikan cerita dengan menyanyikannya melalui olah vokal (kidung atau kekawin) yang berisi berbagai nilai kehidupan melalui tokoh-tokoh dan dialog-dialognya. Dharma Gita dalam perkembangannya di masyarakat Bali dikenal dengan nama mebebasan. Dharma Gita yang merupakan local genius di Bali dengan tradisi mebebasan menawarkan upaya untuk menciptakan harmoni sosial untuk para generasi penerus bangsa. Menciptakan harmoni sosial merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali, melihat corak masyarakatnya yang beragam. Begitupun prakteknya dalam interaksi para siswa di sekolah, guru harus menjadikan pembelajaran sejarah sebagai resolusi dalam meminimalisir konflik yang disebabkan oleh keberagaman. Integrasi nilai-nilai Dharma Gita dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sejarah diharapkan mampu menciptakan harmoni sosial dalam setiap interaksi para siswa. Selain itu, Dharma Gita yang merupakan local genius di Bali perlu diinternalisasikan pada pembelajaran sejarah agar mampu menumbuhkan kembangkan pola pikir saling menghargai dan sikap toleransi sebagai strategi menciptakan harmoni sosial siswa SMA. Kata Kunci: Dharma Gita, Harmonisasi Sosial, Pembelajaran Sejarah. PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya, dengan keanekaragaman suku bangsa dan budaya. Bahkan Indonesia sebetulnya tidak hanya sebagai „seribu pulau‟ melainkan Negara „seribu budaya‟. Dimana di dalamnya terdapat berbagai corak karakter yang mencerminkan estetika kenusantaraan. Bahkan Indonesia menjadi salah satu Negara yang memiliki keanekaragaman suku bangsa terbesar di dunia. Indonesia memiliki kebudayaan yang beragaman ini merupakan wujud dari persatuan Indonesia yang terbingkai oleh „Bhineka Tunggal Ika‟. Pendidikan sejarah di Indonesia kini sedang gencar-gencarnya menerapkan pembelajaran sejarah yang terintegrasi dengan sejarah lokal atau local genius. ••• 463 Pentingnya pendidikan sejarah yang berlandaskan lokalitas tersebut merupakan suatu formulasi untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan menciptakan suasana belajar aktif dalam proses pembelajaran dan diskusi antar peserta didik. Perlu kita sadari juga, pendidikan sejarah tidaklah hanya proses untuk mengetahui bagaimana peristiwa terjadi, akan tetapi pendidikan sejarah merupakan suatu proses bagaimana kita bisa memahami nilai-nilai yang tersirat dalam peristiwa tersebut. Pembelajaran sejarah yang terintegrasi nilai-nilai sejarah lokal atau local genius kini menjadi tantangan bagi para pendidik untuk aktif berinovasi. Di Bali penerapan nilai-nilai Dharma Gita sebagai local genius dalam pembelajaran sejarah dapat menjadi suatu pijakan yang menjadikan daya rangsang minat dan membangkitkan pemikiran peserta didik untuk belajar sejarah. Dalam mengikuti pelajaran sejarah perserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan sejarah, akan tetapi peserta didik dalam pelajaran sejarah akan dapat berdiskusi dan menerapkan makna dari nilai-nilai yang terdapat dalam suatu peristiwa sejarah dengan saling berinteraksi bersama peserta didik lainnya. Integrasi nilai-nilai Dharma Gita dalam pembelajaran sejarah merupakan strategi untuk menciptakan harmoni sosial dapat memberikan ruang dan kesempatan untuk tradisi mebebasan ini agar eksis dalam perkembangan dunia pendidikan. Pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan nilai-nilai Dharma Gita dengan berbagai cerita dan dialog didalamnya banyak terkandung tuntunan dan ajaran-ajaran dalam bersikap maupun berprilaku sehingga memiliki fungsi yang signifikan untuk pembentukan karakter peserta didik, terutama dalam menciptakan suasana harmoni sosial diantara peserta didik. ••• 464 NILAI-NILAI DHARMA GITA Pulau Bali adalah pulau yang besar di Indonesia, pulau yang besar akan nilainilai tradisi dan budaya yang adiluhung. Berbagai tradisi tumbuh dan berkembang didalam kehidupan masyarakat Bali, salah satu dari berbagai macam local genius tersebut adalah Dharma Gita. Dharma Gita sebagai tradisi mebebasan di Bali merupakan local genius yang dikemas dengan memadukan karya sastra dan olah vokal gending,kidung atau kekawin. Sebagai local genius, Dharma Gita menjadi kekuatan lokal yang memiliki keunikan dalam menyampaikan nilai-nilai kehidupan, baik dalam penyampaian sikap atau budi pekerti dengan tatanan bahasa lokal dari dialog tokoh-tokoh dalam lakon ceritanya. Menurut John Garret pada tahun 1986 dalam Widnya (2017: 106) yang menguraikan Dharma sebagai value, religion, duty, law, moral, and religious truth according to the law and the Vedas. Any peculiar or presscibed practice on duty; thus giving alms, is the dharma of a householder; administering justice is dharma of a king; piety is the dharma of a brahgmana; courage is the dharma of ksatrya. Dan kata Gita berarti nyanyian, di Indonesia ditransformasikan menjadi bentuk gending, kidung, dan sekar. Jadi, dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Dharma Gita membentuk kesatuan makna yang utuh, sehingga tepat apabila Dharma Gitadiartikan sebagai nyanyian yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kesucian, keadilan, kesalehan, aturan wajiban, serta moral yang baik. Dharmagita merupakan nyanyian tentang kebenaran yang secara khusus dinyanyikan pada saat-saat pelaksanaan upacara umat Hindu dan jika dilihat dari tema-tema syair Dharma Gita yang digunakan juga banyak mengandung pendidikan budi pekerti, seperti yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu yakni tattwa, susila dan upacara. Dharma Gita merupakan tembang-tembang atau nyanyi-nyanyian yang dapat digolongkan menjadi 4 golongan (Sugriwa, 1997: 6-12), yaitu: 1) Istilah Bali : Gagending = Istilah Jawa : Dolanan. Bentuk nyanyian Gagending pada umum berdasarkan tebuh gending gong diisi kata-kata yang mengandng kalimat yang dipentingkan. Namun dang, ding, dong, deng, dung suara gong diganti dengan suku kata: a, i, u, e, o dalam kata-kata akhir yang diterapkan kepadanya, misalnya suara gong dang diganti dengan suku kata a, suara gong ding diganti dengan suku kata i, suara gong dung diganti dengan suku kata u,suara gong deng diganti dengan suku kata e, dan suara gong dong diganti dengan suku kata o. 2) Istilah Bali : Pupuh = Istilah Jawa : Macapat, Sekar Alit. Nyanyian pupuh yang dikenal di Bali ada 11 macam, yaitu: 1) Kumambang, 2) Pucung, 3) Mijil, 4) Ginanti, 5) Ginada, 6) Pungkur, 7) Sinom, 8) Durma, 9) Adri, 10) Agal, 11) Demung. Bentuk nyanyian Pupuh tidak berdasarkan gending gong, tetapi berdasarkan “pada lingsa”. Pada, artinya banyak bilangan suku kata bilangan suku kata dalam satu kalimat atau carik (koma); Lingsa, artinya perubahan-perubahan suara a, i, u, e, o pada suku kalimat terakhir. Bentukan nyanyian Pupuh yang 11 macam itu terjadi dari 5 kalimat sampai dengan 11 kalimat. 3) Istilah Bali : Kidung = Istilah Jawa : Sekar Madya. ••• 465 Bentuk nyanyian Kidung (kekidungan) dapat dikenal pada bait permulaannya yang memakai bentuk “kawitan” dua bait. Kemudian menyusul pengawak (nyanyian pendek) dua bait, penawa dua bait, demikian seterusnya sampai satu bab ceritra, kembali lagi “kawitan” untuk bab kedua. Nyanyian kidung pada tiap-tiap baitnya juga memakai aturan “pada lingsa” namun tiap barisnya tidak memakai carik (koma) sebagai nyanyian Pupuh, sebab tembang atau irama nyanyian Kidung itu berjalan terus perlahanlahan, tidaak berhenti pada waktu mengenai pada lingsa. 4) Istilah Bali : Kakawin = Istilah Jawa : Sekar Ageng. Bentukkan nyanyian Kakawin tidak berdasarkan gending gong, tidak juga memakai pada lingsa, tetapi menggunakan wrtta mantra. Wrtta artinya banyak bilangan suku katadalam tiap-tiap carik (koma), yang biasanya terjadi dari 4 carik menjadi satu pada (bait) tetapi ada juga yang satu pada terdiri dari 3 carik, dinamai “Rahi-tiga atau Utgata-Wisama”. Sedangkan Mantra artinya syarat letak guru-laghu dalam tiap-tiap wrrta itu. Sekalipun wrttanya atau banyak bilangan suku kata tiap-tiap carik itu sama, kalau letak gurulaghunya lain, maka lain juga nama dan irama guru laghu Kakawin itu. Nilai-nilai dari Dharma Gita tentunya sangat berperan dalam penbentukan karakter generasi muda. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Yuni Arwani menyatakan, bahwa Dharma Gita merupakan bagian dari kesenian tembang Bali yang sangat berperan dalam menanamkan dan menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan karakter kepada remaja agar mereka memperoleh pengetahuan, keterampilan serta sikap yang ditunjukkan kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Dharma Gita, diantaranya:1)Sifat Religius Religi merupakan perspektif sosiologis karena religi dipandang sebagai bagian dari makna sipnoptik. Dalam dunia pendidikan, karakter religius perlu dikembangkan dalam diri remaja. 2)Kejujuran Jujur merupakan nilai yang harus ditanamkan sejak dini pada remaja khususnya. Karakter jujur adalah karakter yang tidak suka berbohong dan berbuat curang,berkata-kata apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela berkorban untuk kebenaran. Karakter jujur hendaknya dimiliki oleh semua orang tak terkecuali para remaja dalam menuntut ilmu dan mengisi diri serta wawasan. 3)Toleransi Arti toleransi, yaitu kelapangan dada dalam artian suka rukun dan damai kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain tak mau mengganggu kebebasan berfikir dan berkeyakinan lain atau saling menghormati. 4)Kedisiplinan Menurut Titib (2004: 36) disiplin merupakan kesadaran akan sikap dan perilaku yang sudah tertanam dalam diri, sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara berkesinambungan yang diarahkan pada suatu tujuan atau sasaran yang sudah ditentukan. Sikap dan perilaku ini diwujudkan dengan perilaku yang konsisten, taat asas menuju tujuan utama tanpa perlu pengawasan dan dorongan secara terus menerus. 5)Kreatifitas Kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sikap kreatif bertujuan untuk melangkah maju dan mengembangkan ide-ide baru, ••• 466 memanfaatkan segala media yang ada dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. 6)Kemandirian Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang lebih mengandalkan kesadaran akan kehendak, kemampuan, dan tanggungjawab diri sendiri tanpa tergantung kepada orang lain. 7)Bersahabat atau Komunikasi Karakter bersahabat/komunikatif merupakan tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap bersahabat adalah untuk memperakrab atau mengakrabkan suatu hubungan manusia dengan manusia dan antar makhluk hidup lainnya. Melalui sikap komunikatif yang baik akan mampu menciptakan pergaulan yang luas dan bisa menjalin sebuah kerja sama yang terintegrasi secara mutualisme. manusia dituntun untuk senantiasa ramah tamah dan bertindak komunikatif. Dengan tindakan yang senang bergaul dan senantiasa ramah tamah kepada orang lain, maka sesuai dengan hokum karma pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama pula. 8)Peduli Lingkungan Karakter peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitar, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang telah terjadi. Lingkungan yang baik dapat menciptakan suasana yang mendorong tumbuh kembangnya nilai-nilai pendidikan karakter. 9)Peduli Sosial Kepedulian (care) yaitu kemampuan untuk menunjukkan pemahaman terhadap orang lain dengan memperlakukannya secara baik, dengan belas kasih, bersikap dermawan, dan dengan semangat memaafkan 10)Tanggungjawab Karakter tanggungjawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan kerangka pemahaman dinamika kebudayaan, berbagai nilai sikap atau prilaku secara berkelanjutan akan mengalami suatu proses pada suatu sistem nilai dalam masyarakat. Konseptualisasi nilai tersebut merupakan hal yang sangat penting karena seluruh prilaku budaya akan memiliki orientasi yang dipandang "baik" dan "terbaik" dalam kehidupan bermasyarakat. Dharma Gita sebagai wujud dari ide atau gagasan pemikiran memiliki kompleksitas nilai yang diorientasikan sebagai wujud nyata dari prilaku sosial. Selain itu, Dharma Gita juga mempresentasikan kegiatan kehidupan dalam masyarakat dengan dipayungi sistem nilai. PEMBELAJARAN SEJARAH Sejarah sangat penting untuk membangun karakter bangsa. Salah satu manfaat utama sejarah dalam pendidikan menurut Rowse (2015: 153) adalah pengembangan potensi diri berupa kematangan berfikir dan kebijakan berprilaku untuk bersikap kritis. Hal ini dikarenakan sejarah adalah ilmu tentang manusia, sejarah mengkaji manusia dalam lingkup waktu dan ruang; sejarah menjelaskan masa kini; sejarah merupakan dialog antara peristiwa masa lampau dan perkembangan ke masa depan; sejarah merupakan cerita tentang perkembangan kesadaran manusia, baik dalam aspek individual maupun kolektif dan sejarah merupakan kontinuitas dan keterkaitan (Kochhar, 2008: 3-6). Dengan pemikiran ••• 467 tersebut dapat dilhami, bahwa sejarah sebagai ilmu sangat berpengaruh terhadap perkembangan potensi diri manusia dan pembelajaran sejarah merupakan proses pembelajaran yang fundamental untuk mendapatkan perkembangan pemikiran yang saling berkaitan dan berkelanjutan dari masa ke masa. Sejarah sebagai ilmu tentu sangat berkorelasi terhadap dunia pendidikan, Harry Ritter pada tahun 1986 di dalam Daliman (2012:3) menyatakan sejarah memiliki peranan penting dalam pembelajaran moral (moral instruction), bahkan sejarah sering dipandang sebagai filsafat moral (moral philosophy). menambahkan pendapat tersebut, Kartodirdjo pada 1992 dalam Hamid (2014:49) juga menyatakan bahwa ada dua manfaat yang didapat dalam hasil belajar sejarah. Pertama, dari masa dan situasi sekarang kita dapat mengeksplorasikan fakta-fakta atau kekuatan kekuatan yang berperan di masa lampau sehingga banyak dari situasi sekarang yan dapat diterangkan. Kedua, dengan menganalisis situasi masa kini kita dapat berbuat proyeksi masa depan. Tentunya, analisis itu didasarkan pada fakta sejarah. Dengan demikian, pembelajaran sejarah tidak hanya membantu membuat diagnosis masa kini tetapi juga prognosisnya, ini berarti dalam semua proses pembelajaran sejarah tidak serta merta hanya menggali pengetahuan sejarah yang ada akan tetapi pembelajaran sejarah ini juga memproyeksi masa depan. INTEGRASI NILAI-NILAI DHARMA GITA DALAM PEMBELAJARANSEJARAH SEBAGAI STRATEGI MENCIPTAKAN HARMONI SOSIAL Nilai menjadi pedoman tertinggi bagi tata kelakuan manusia dalam menjaga keteraturan sosial. Hal ini dipekuat oleh Purwoko (2013: 6) yang menyatakan bahwa keteraturan sosial tercipta karena adanya kontrol sosial yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan, nilai sebagai pedoman mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat, karena diyakini dalam menentukan dan mempertimbangkan keputusan-keputusan dalam mengambil suatu tindakan. Pemebelajaran sejarah merupakan medium yang sangat tepat untuk menyampaikan nilai-nilai local genius pada siswa. Karena, dari hasil penelitian Hamid Hasan (2012), Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa salah satu fungsi belajar sejarah adalah untuk mengenal siapa diri kita sebagai bangsa. Pengenalan jati diri yang dikemukakan Sartono sangat penting sebagaimana yang dinyatakan oleh Cartwright (1999: 44) bahwa "our personal identity is the most important thing we possess" dan kehilangan jati diri berarti kehilangan eksistensi bangsa. Sebagaimana dikemukakan Cartwright identitas pribadi atau kelompok tersebut "who and what we are. The way we feel about ourselves, the way we express ourselves and the way other people see us are all vital elements in the composition of our individual personality". Artinya, belajaran sejarah adalah hal penting untuk mengetahui siapa kita dan identitas kita sebagai suatu bangsa. Nilai-nilai Dharma Gita sebagai local genius dalam pembelajaran sejarah merupakan upaya agar dapat membentuk karakter peserta didik. Sangat berperan nilai-nilai Dharma Gita di Bali dalam pembentukan karakter, karena di dalam ••• 468 nyanyian atau tembangnya banyak terkandung tuntunan hidup dan nilai budi pekerti yang sangat berfaedah bagi kehidupan. Sehingga, pembelajaran sejarah terintegrasi nilai dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada peserta didik terhadap nilai lokal sebagai strategi untuk menciptakan harmoni sosial. Harmoni merupakan kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Roqib (2007:2) juga berpendapat bahwa harmoni dalam konteks hakikat merujuk pada adanya keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan yang mendalam dengan sepenuh jiwa yang merujuk pada keselarasan lahir batin yang ada pada setiap individu dan sosial. Dapat dipahami, harmoni sosial adalah kehidupan yang mengutamakan kehidupan bermasyarakat yang didasari oleh semangat demokratis dan menjunjung toleransi, sehinnga terpta keserasian, kerukunan dan keterpaduan. Dengan demikian, peranan pembelajaran sejarah sebagai strategi untuk menciptakan harmoni sosial pada siswa mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan generasi bangsa Indonesia yang siap menghadapi arus budaya global dan mempersatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan integrasi nilai-nilai Dharma Gita dalam pembelajaran sejarah sebagai strategi untuk menciptakan harmoni sosial pada siswa yakni, Pertama, akan dilakukannya analisis kesesuaian antara nilai-nilai Dharma Gita dengan materi ajar sesuai dengan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD); Kedua, memasukkan nilai-nilai Dharmagita yang sesuai dalam penyampaian materi ajar; dan Ketiga, melakukan evaluasi pembelajaran, sehingga strategi dalam menciptakan Harmoni sosial pasa siswa dapat tercapai dengan interaksi dan diskusi yang aktif. Dengan demikian, materi pembelajaran sejarah terintegrasi nilai-nilai Dharma Gita sebagai localgenius di Bali mampu mengembangkan memori kolektif peserta didik sebagai bangsa yang memiliki jati diri. Sehingga proses pembelajaran sejarah, peserta didik tidak hanya untuk mengetahui sejarah. Akan tetapi, peserta didik juga memaknai nilai-nilai peristiwa sejarah dan local geniusnya sebagai landasan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik sesuai dengan tujuan dan capaian pembelajaran, serta dengan pengetahuan nilai-nilai Dharma Gita dapat menciptakan harmoni sosial pada siswa. KESIMPULAN Keberagam dalam warna-warni kehidupan dengan kemajemukan dan multikulturnya telah menjadi ciri khas dari Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya berbagai budaya dan tradisi menjadi masing-masing identitas kedaerahan dengan local genius yang dimilikinya. Sejarah adalah medium yang tepat untuk menyampaikan nilai-nilai local genius maupun local history dalam upaya pembentukan karakter siswa. Bali dengan nilai-nilai Dharma Gita diharapkan mampu menjadi strategi menciptakan harmoni sosial pada siswa dalam pembelajaran sejarah. Sehingga, integrasi nilai-nilai Dharma Gita dengan pembelajaran sejarah dapat tersampaikan nilai budi pekerti dan tuntunan dalam bersikap maupun berprilaku yang seyogyanya dapat meciptakan keselarasan, kebersamaan, saling tolong menolong sesama siswa. Seperti yang diungkapkan ••• 469 oleh Adam (2009: 101), “Tatkala sejarah menyadarkan kita tentang perbedaanperbedaan, ia sebetulnya telah mengajarkan toleransi dan kebebasan”. DAFTAR PUSTAKA Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah : Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Daliman, A. 2012. Manusia dan Sejarah.Yogyakarta: Ombak. Hamid, A. Rahman. 2014. Pembelajaran Sejarah.Yogyakarta: Penerbit Ombak. Kochhar, S. K. 2008. Pembelajaran Sejarah: TEACHING OF HISTORY. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Purwoko, Agus. 2013. Gunungan Nilai-nilai Filsafat Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Roqib, Moh. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rowse, A. L. 2015. APA GUNA SEJARAH?. Depok: Komunitas Bambu. Sugriwa, IG. B. 1997. PENUNTUN PELAJARAN KAKAWIN. Denpasar: Sasana Budaya Bali. Gusti Ayu Putu Yuni Arwani. INTERNALISASI NILAI-NILAI KARAKTER HINDU PADA SEKEHA TERUNA TERUNI JAGRA WINANGUN MELALUI PELAKSANAAN DHARMAGITA DI DESA PENYARINGAN KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Hamid Hasan, S. Paramita Vol. 22 No. 1 - Januari 2012 [ISSN: 0854-0039]. PENDIDIKAN SEJARAH UNTUK MEMPERKUAT PENDIDIKAN KARAKTER. (Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung). ••• 470 PEMANFAATAN INTERNET DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM Alfian Singgih Widiyanto Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Alfian_1st@yahoo.co.id ABSTRAK Internet dapat digunakan untuk mengakses berbagai hal yang dibutuhkan oleh pengguna, terlebih lagi kebutuhan dan tuntutan manusia yang semakin kompleks mendorong manusia untuk bergantung pada internet. Dampak penggunaan internet yang masif dapat digunakan untuk keperluan yang lain yaitu untuk pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah kebudayaan Islam, mengingat mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang kaya akan materi, namun sulit untuk mengumpulkan serta mengurutkan materi sehingga menghambat pembelajaran, dengan adanya penggunaan internet yang mudah digunakan untuk mencari informasi diharapkan mampu meningkatkan pemahaman siswa dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka yaitu uraian kajian literatur yang menimbulkan gagasan untuk menyusun kerangka pemecahan masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet memiliki berbagai fitur yang memudahkan pembelajarn sejarah kebudayaan Islam diantaranya fasilitas mesin pencarian, website, situs video dan lainnya. Dapat disimpulkan bahwa media internet cukup berpotensi dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam karena berbagai fasilitas telah tersedia dalam internet sehingga pembelajaran lebih efisien. Adapun hal yang perlu dibenahi adalah pemfokusan sumber internet yang bisa diakses oleh siswa agar materi lebih fokus serta menghemat waktu serta perlunya pengawasan lebih ketat dari guru agar siswa tidak menyalahgunakan internet. Kata Kunci: Pemanfaatan Internet, Pembelajaran, Sejarah Kebudayaan Islam PENDAHULUAN Internet memang membawa begitu banyak kemudahan kepada penggunanya. Beragam akses terhadap informasi dan hiburan dari berbagai penjuru dunia dapat dilakukan melalui satu pintu saja. Internet juga dapat menembus batas dimensi kehidupan penggunanya, waktu, dan bahkan ruang sehingga internet dapat diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Fasilitas situs pencari dapat memberikan informasi kepada pengguna internet sehingga dapat menemukan banyak sekali alternatif dan pilihan informasi yang diperlukannya dengan mengetikkan kata kunci (Elfan, 2014: 3). Fasilitas sekolah sekarang ini menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap, mulai dari buku dan salah satunya yang berkaitan dengan internet, siswa bebas mengakses internet termasuk mengakses terkait materi pembelajaran yang dibutuhkan siswa termasuk pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), selain itu hal ini bertujuan untuk mengeksplorasi kemampuan siswa. Sejarah Kebudayaan Islam adalah salah satu mata pelajaran yang terhimpun dalam pendidikan agama Islam (PAI) yang menjadi ciri khas sekolah Madrasah dari tingkat Ibtidayah setara SD hingga tingkat Aliyah setara SMA. Ciri khas dari mata pelajaran SKI yaitu mempelajari secara spesifik kehidupan serta ••• 471 kebudayaan masyarakat Islam pada era Nabi Muhammand SAW hingga perkembangan Islam di Indonesia. Mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam sangatlah penting untuk penguatan nilai-nilai Islam dan lebih luas dapat digunakan oleh banyak kalangan karena hakikatnya sejarah tidak hanya mengengingat kejadian masa lalu melainkan meliputi juga pembelajaran terkait nilai-nilai. Menurut Kuntowijoyo diharapkan kehidupan sekarang ini dan yang akan datang dapat berkaca pada peristiwa masa lalu (Endang, 2013: 63). Internalisasi nilai-nilai pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam sering kali terhambat yang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kurangnya pemahaman siswa tentang pentingnya pelajaran SKI, kesulitan mengidentifikasi kaitan antar peristiwa sejarah dan kurang jelasnya penjelasan materi yang terdapat dalam buku serta guru, sehingga pelajaran sejarah kebudayaan Islam tidak efektif. Pemanfaatan internet pada mata pelajaran sejarah bisa menjadi salah satu solusi atas permasalahan rendahnya pemahaman sejarah kebudayaan Islam, karena dalam internet tersedia berbagai fasilitas untuk menunjang pelajaran SKI artinya guru tidak perlu memilah materi dalam waktu yang lama, sehingga menghemat waktu dalam pembelajaran. Pemakaian internet untuk pembelajaran sejarah kebudayaan Islam juga akan menemui kendala ketika guru tidak mampu mengatur pola pembelajaran serta terkadang materi yang termuat menggunakan bahasa yang sukar dimengerti siswa, namun kendala dapat diatasi jika ada manajemen pembelajaran yang tepat. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hambatan dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam? 2. Bagaimana dampak pemanfaatan internet dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam? Tujuan Penelitian 1. Menganalisis hambatan dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam. 2. Menganalisis dampak pemanfaatan internet dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam. Analisis Pemecahan Masalah Mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam pada hakikatnya mengalami perubahan paradigma dalam pembelajaran, bermula dari pembelajaran yang memfokuskan pembahasan waktu kejadian suatu peristiwa bergeser menjadi pembelajaran dengan tujuan memahami kronologis serta makna suatu peristiwa sejarah. Perubahan paradigma disebabkan oleh perubahan tuntutan zaman yang menekankan pendidikan yang manusiawi, hal ini dipertegas dalam pelaksanaan kurikulum 2013 baik dari segi alokasi waktu serta tujuan pembelajaran. Pembelajaran sejarah Kebudayaan Islam menekankan pada kemampuan mengambil hikmah dari sejarah Islam dengan meneladani tokoh-tokoh dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari untuk mengembangkan kebudayaan Islam pada masa kini dan masa yang akan datang (Euis, 2016: 51). Pembelajaran sejarah kebudayaan Islam memiliki beberapa tujuan seperti membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya mempelajari Islam, lalu ••• 472 membangun kesadaran tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, kini dan masa depan, kemudian melatih daya kritis siswa untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan pendekatan ilmiah serta untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil hikmah. Siswa yang melaksanakan pembelajaran sejarah kebudayaan Islam dituntut mampu memiliki pemahaman sejarah, adapun tujuh indikator pemahaman sejarah. Pertama, menafsirkan artinya siswa mampu mengubah suatu informasi menjadi sebuah deskriptif. Kedua, mencontohkan yaitu siswa mampu memberikan ciri-ciri pokok suatu peristiwa atau mengilustrasikan. Ketiga, mengklasifikasikan yaitu siswa mampu memasukan suatu contoh peristiwa kedalam kategori-kategori yang lebih terperinci. Keempat, merangkum artinya siswa mampu mengemukakan suatu peristiwa dari informasi yang diterima kemudian disusun menjadi sebuah abstraksi. Kelima, menyimpulkan yaitu siswa mampu menarik sebuah pola hubungan sebuah peristiwa. Keenam, membandingkan yang terkait dengan kemampuan siswa memetakan suatu pola peristiwa sejarah. Ketujuh, menjelaskan ketika pemetaan suatu peristiwa telah dibentuk maka perlu dijelaskan secara deskriptif sehingga terbentuk satu kerangka yang utuh (Anderson, 2001: 106115). Pemahaman sejarah secara sederhana dapat dilihat dari indikator nilai yang diperoleh siswa. Berdasarkan Sudjana (1995: 26), indikator pemahaman dibagi menjadi tiga yaitu tingkat I atau rendah dengan skor perolehan 0-61 artinya siswa mampu mengartikan suatu peristiwa. Tingkat II atau sedang dengan skor perolehan 62-80 artinya siswa mampu menjelaskan suatu peristiwa secara terperinci. Tingkat III atau tinggi dengan skor 81-100 artinya siswa mampu menganalisis suatu peristiwa. Perubahan paradigma pembelajaran sejarah artinya memunculkan sebuah permasalahan baru dalam pembelajaran yang dapat menghambat proses pembelajaran sejarah, secara umum terdapat empat masalah dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam (Ahmad, 2015: 7-8). Pertama adalah komponen tenaga pengajar sejarah yang pada umumnya miskin wawasan kesejarahan. Salah satu penyebab utama dari kemiskinan wawasan ini adalah kemalasan intelektual untuk menggali sumber sejarah, baik yang berupa benda-benda, dokumen, maupun literatur,pengajar sejarah harus kaya informasi, tidak saja tentang masa lampau yang sarat dengan berbagai tafsiran, tetapi juga tentang masa kini yang penuh dinamika dan serba kemungkinan, konstruktif maupun destruktif. Kedua, adalah komponen peserta didik. Sikap maupun persepsi yang kurang positif peserta didik terhadap pengajaran sejarah, akan sangat berpengaruh terhadap hasil tujuan pembelajaran. Tidak sedikit peserta didik yang hanya mengejar nilai dan popularitas, untuk kegunaan sesaat. Padahal substansi yang sesungguhnya adalah khasanah keilmuan yang ia pelajari untuk dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat diinternalisasikan. Sejarah adalah guru kebijaksanaan yang sejati. Ketiga, adalah metode pengajaran sejarah yang pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik. Untuk melibatkan subjek-didik dalam ••• 473 tataran intelektual dan emosional dalam pengajaran sejarah adalah barang tentu bukan jamannya lagi dengan menggunakan metode dongeng yang diselimuti oleh berbagai peristiwa ajaib, mistis, dan supranatural. Kalau metode itu yang digunakan justru bertentangan dengan tujuan pengajaran sejarah itu sendiri. Memang dengan menggunakan metode dongeng peserta didik banyak yang tertarik, tetapi metode itu justru tidak menjadikan dirinya sebagai sosok manusia yang menyejarah, karena menganggap bahwa berbagai pengaruh sejarah berada di luar dirinya. Keempat, adalah komponen bukubuku sejarah dan media pengajaran sejarah. Untuk sejarah Indonesia, telah ada sejarah nasional yang jumlahnya enam jilid. Buku itu sebenarnya dapat menolong, sekalipun di sana sini masih ada celahnya yang perlu dilengkapi dengan sumber-sumber lain. Tetapi pendekatan yang terlalu Indonesia-sentris seperti yang terdapat dalam buku sejarah nasional itu, harus disikapi secara hati-hati. Pendekatan itu dapat menimbulkan kecenderungan “memberhalakan” masa lampau suatu bangsa. Apalagi bila anyaman masa lampau itu sarat oleh mitos yang bisa saja melumpuhkan daya kritis peserta didik. Sebenarnya buku-buku teks lainnya telah bermunculan, tetapi hampir-hampir tidak ada yang menggunakan pendekatan moral-saintifik terhadap perjalanan sejarah bangsa. Berdasarkan permasalahan yang diuraikan maka secara garis besar salah satu problematika yang mendesak adalah keringnya wawasan guru maupun siswa terhadap pemahaman peristiwa sejarah karena kurang menggali lebih dalam suatu peristiwa yang termuat dalam literatur karena kesulitan mencari sebuah sumber serta sumber yang sudah terlampau lama sehingga kurang relevan digunakan masa sekarang. Problematika yang dihadapi mata pelajaran sejarah dapat diatasi dengan adanya perpaduan cara mengajar dan penggunaan media yang tepat sehingga mampu menjawab kebutuhan belajar sejarah kebudayaan Islam. Salah satu media yang memungkinkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi pelajaran sejarah adalah menggunakan media internet. Internet menurut Rahmasariyaitu sebuah jaringan global komputer dunia, di mana setiap komputer saling terhubung satu sama lain dari negara ke negara lainnya di seluruh dunia dan berisi berbagai macam informasi, mulai dari teks, gambar, audio dan lainnya atau dikenal dengan interconnection networking yang berarti hubungan dari banyak jaringan komputer dengan berbagai tipe dan jenis dengan menggunakan tipe komunikasi seperti telepon, satelit dan lainnya (Normi, 2016: 32). Pendapat ahli tentang internet dapat disimpulkan bahwa internet merupakan sebuah jaringan-jaringan yang terhubung antar komputer di berbagai daerah untuk digunakan mendapatkan informasi berupa teks, audio, dan lain-lain sehingga memungkinkan penggunaan yang tidak terbatas waktu dan tempat. Internet dewasa ini telah banyak digunakan sebagai tempat berbagi ilmu dari seluruh penjuru dunia, khusunya di Indonesia telah muncul sebuah kebiasaan baru yaitu memaparkan temuan atau tulisan berupa catatan dalam sebuah web, video maupun jurnal ilmiah yang diunggah ke internet sehingga mudah diakses ••• 474 berbagai pihak yang membutuhkan, terlebih lagi sekarang ini fasilitas laboratorium komputer serta internet mulai merata di setiap jenjang sekolah. Media internet dapat dijalankan karena faktor sumber daya manusia dewasa ini sudah mulai mumpuni untuk mengoperasikannya, terlebih lagi oleh siswa yang sering sekali bersentuhan dengan dunia internet dalam kegiatan seharihari sehingga lumrah menggunakan internet. Manfaat yang ditawarkan oleh internet bagi dunia pendidikan yaitu, pertama, kemampuan dan kecepatan dalam komunikasi sehingga memungkinkan melangsungkan pendidikan jarak jauh dengan biaya relatif murah. Kedua, adanya fasilitas untuk membentuk dan melangsungkan diskusi kelompok sehingga meningkatkan intentitas kajian. Ketiga, melalui website pendidikan, proses belajar dapat dilakukan secara dinamis, tidak bergantung ruang dan waktu serta semua materi pembelajaran dapat diperoleh dengan mudah. Keempat, konsultasi melalui e-mail dapat dilakukan secara pribadi antar siswa maupun guru. Kelima, menyediakan sumber jurnal-jurnal penelitian terbaru yang berguna untuk peneliti (Budi, 2002: 101). Elfan (2014: 7-8) menjelaskan lebih lanjut pemanfaatan internet dalam pembelajaran yaitu sumber bahan pelajaran, memberi informasi baru yang belum diketahui, berbagai jenis informasi tambahan dapat dibaca dan ditelusuri melalui internet dan internet mampu menghadirkan tempat-tempat bersejarah secara visual melalui video dalam pencarian di internet. Fasilitas-fasilitas internet yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran diantaranya mesin pencarian yaitu sebuah layanan online yang digunakan untuk mencari informasi dari seluruh website yang terindeks dalam mesin pencarian, lalu terdapat fasilitas website yaitu sebuah situs yang memuat berbagai informasi dalam bentuk teks, dokumen, gambar dan sebagainya serta saling terhubung dengan halaman lain yang dapat diakses (Diana, 2016: 83-84). Fasilitas yang lain berupa video pembelajaran yang dapat diakses melalui sebuah situs khusus seperti www.youtube.com , kemudian fasilitas e-mail atau surat elektronik yang memungkinkan penggunanya saling berinteraksi dalam internet. HASIL KAJIAN TEORI Adapun cara pemanfaatan media internet dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam dapat dilakukan sesuai dengan kehendak guru, seperti memberikan tugas individu maupun kelompok kepada siswa yang kemudian diarahkan untuk menggunakan fasilitas internet terdapat beberapa cara untuk memanfaatkan internet. Pertama, guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengakses internet sesuai dengan tema tugas yang diberikan, dengan catatan guru harus membatasi waktu penggunaan internet karena kemungkinan siswa akan mengalami kebingungan dalam menyaring informasi dalam internet. Kedua, guru merancang sebuah situs khusus yang merangkum seluruh atau sebagian materi sejarah kebudayaan Islam sehingga siswa langsung diarahkan untuk mengakses situs yang telah dibuat oleh guru, untuk melaksanakan langkah ini maka guru perlu mendesain situsnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa dalam mengolah informasi. ••• 475 Ketiga, guru memberikan siswa kebebasan dalam mengakses situs dengan memberikan arahan terlebih dahulu, materi apa saja dan situs apa saja yang dapat diakses serta berkaitan dengan tema tugas yang telah diberikan kepada siswa, sehingga mampu menghemat waktu serta mencegah terjadinya kebingungan, adapun guru haruslah memiliki referensi situs, video atau e-mail yang terpercaya serta berkaitan dengan materi sejarah kebudayaan Islam dengan maksud informasi yang diterima siswa dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan wacana semata. Fitur yang diperbolehkan diakses oleh siswa sangatlah beragam seperti pemanfaatan melalui mesin pencarian, situs-situs, video dan lainnya yang berhubungan dengan materi pembelajaran sejarah kebudayaan Islam karena pada hakikatnya sebuah informasi sejarah dapat didapatkan melalui beragam hal, namun apabila guru menghendaki sebuah sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka siswa dapat diarahkan untuk mengakses buku siswa atau jurnal dengan catatan guru membantu mengolah informasi karena bukan hal yang mudah mengolah informasi. Informasi yang sudah dikumpulkan oleh siswa maka perlu diolah agar menjadi lebih matang secara materi, kemudian informasi tersebut dipaparkan dalam kelas yang kemudian dikoreksi secara bersama-sama dan yang paling penting adalah guru menggali hikmah suatu peristiwa bersama-sama siswa, sehingga siswa merasa dilibatkan dalam pembelajaran. Ketiga cara pemanfaatan internet tersebut perlu diperhatikan oleh pihak yang akan menggunakan media internet agar pembelajaran lebih terarah serta mudah dikontrol sehingga pembelajaran lebih bermakna karena seringkali ditemukan pembelajaran sejarah hanyalah mengumpulkan materi tanpa sebuah makna peristiwa karena pada hakikatnya sebuah media bukanlah penentu keberhasilan sebuah pembelajaran melainkan manusia sendirilah yang dapat menentukan keberhasilan belajar. Internet bukanlah media yang sempurna, terdapat pula kelemahan dalam media internet diantaranya kebebasan mengakses konten-konten di internet yang seringkali mengandung unsur perjudian dan pornografi serta perlunya biaya tambahan untuk pengadaan komputer dan biaya berlangganan internet. Walaupun demikian efek negatif internet dapat ditanggulangi dengan manajemen kelas yang baik oleh guru serta mulai meratanya distribusi fasilitas internet di sekolah. KESIMPULAN Berdasarkan analisis masalah serta hasil kajian teori maka dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu media internet dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah kebudayaan Islam. Adapun fasilitas yang dapat dimanfaatkan melalui internet diantaranya mesin pencarian, website sejarah, e-mail dan lainnya, serta dapat digunakan untuk meningkatkan aspek tertentu seperti prestasi belajar, pemahaman sejarah dan sebagainya. Adapun cara pemanfaatannya terbagi menjadi tiga cara, pertamaguru memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengakses internet.Kedua, guru merancang sebuah situs khusus yang merangkum seluruh atau sebagian materi sejarah kebudayaan Islam sehingga siswa langsung diarahkan untuk mengakses ••• 476 situs yang telah dibuat oleh guru. Ketiga, guru memberikan siswa kebebasan dalam mengakses situs dengan memberikan arahan terlebih dahulu, materi apa saja dan situs apa saja yang dapat diakses serta berkaitan dengan tema tugas yang telah diberikan kepada siswa. Internet bukanlah media yang sempurna, terdapat pula kelemahan dalam media internet diantaranya kebebasan mengakses konten-konten di internet yang seringkali mengandung unsur perjudian dan pornografi serta perlunya biaya tambahan untuk pengadaan komputer dan biaya berlangganan internet. Walaupun demikian efek negatif internet dapat ditanggulangi dengan manajemen kelas yang baik oleh guru serta mulai meratanya distribusi fasilitas internet di sekolah. Adapun implikasi dari penggunaan media internet sebagai media pembelajaran adalah perlunya penguasaan guru terhadap materi, penguasaan referensi rujukan yang ada dalam internet serta manajemen pembelajaran dalam kelas, sehingga diharapkan penggunaan media internet dapat selaras dengan tujuan pembelajaran sejarah kebudayaan Islam. DAFTAR PUSTAKA [1] Rahardian K. Elfan. Pemanfaatan Internet dan Dampaknya pada Pelajar SMA di Surabaya. Jurnal Libri-Net, Vol. 3 No. 1. 2014 [2] Purwani, Endang. Peningkatan Pemahaman Sejarah Kebudayaan Islam Pada Siswa Kelas VII D Semester 2 MTsN Ngawi Tahun Pelajaran 2011/2012 Melalui Media Audio Visual. Jurnal Ilmiah STKIP PGRI Ngawi, Vol. 12 No. 2, 2013 [3]Euis, Sofi. Pembelajaran Berbasis E-Learning Pada Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri. Jurnal Tanzhim Penelitian Manajemen Pendidikan, Vol. 1 No. 1 tahun 2016 [4]Anderson Lorin W & David R. Krathwohl. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. Pearson [5]Sudjana, Nana. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Rosdakarya: Bandung. [6]Maksum, Ahmad. Interpretasi Sejarah Sebagai Peristiwa dan Masalah Pendidikan. Jurnal At-Turats, Vol 9. No. 2. 2015. [7]Normi Aulia, dkk. Pengaruh Pemanfaatan Internet Terhadap Hasil Belajar Geografi Siswa Kelas XII IPS MAN 2 Kandangan. Jurnal Pendidikan Geografi, Vol. 3 No. 4, 2016. [8]Oetomo Dharma Sutedjo, Budi. 2002. E-ducation Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta [9]Diana. Studi Deskriptif Tentang Pemanfaatan Internet Sebagai Media Pembelajaran. Jurnal Matrik. Vol. 18. No. 1. 2016 ••• 477 Makna relief Ganesha di candi buatan para Rsi Oleh: Bayu Anggoro1, Sariyatun2, Susanto3 Magister Pendidikan Sejarah UNS Surakarta, bayuanggoro6969@gmail.com Bayuanggoro6969@student.uns.ac.id Abstrak Penelitian tentang candi Planggatan belum banyak dilakukan maka dari itu saya harap tulisan saya ini dapat digunakan untuk penelitian di candi Planggatan. Candi Planggatan terletak di desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Candi ini memiliki 3 teras dan menghadap ke arah barat, serta candi ini merupakan tempat yang dibangun oleh para rsi.Tulisan ini diharapkan dapat menelaah lebih lanjut tentang candi Planggatan umunya dan relief dewa Ganesah khususnya. Kata kunci: candi planggatan,rsi,relief dewa ganesha Pendahuluan Pulau Jawa sudah sejak dua abad mempesona para peninjau dan peneliti, baik peneliti asing maupun Indonesia sendiri. Mereka, kata A. Teeuw dalam Supratikno Raharjo mendefinisikan peneliti terpesona pada keragaman budaya Jawa yang begitu mencengangkan. Sepanjang sejarahnya, Jawa memang berada pada persimpangan jalan (Carrefour) dan tidak pernah sempat berkembang tanpa adanya gangguan dan pengaruh dri luar (Rahardjo, 2011). Sekitar seribu tahun lebih, dari abad ke-4 hingga ke-XV, kebudayaan luar terutama India banyak berpengaruh terhadap perkembangan wilayah di Sumatra, Jawa dan Bali. Terutama di pulau Jawa kebudayaan-kebudayaan luar itu berada dalam interaksi dan osmosis yang terus menerus dengan keadaan local, kendati begitu lokalitas dari kebudayaan Nusantara masih tetap mampu dipertahankan keasliannya yang mendalam. Hal ini yang membuat sejarawan Sartono Kartodirjo merujuk sejarah Nusantara merujuk kepulau Jawa dimulai dari pelayaran masyarakat kuno, perdagangan rempah serta pusat kerajaan kerajaan besar, bahkan VOC pun dipilih didirikan dipulau Jawa karena letaknya yang strategis. Disinilah banyak dihasilkan kebudayaan baru dari hasil persilangan interaksi masyarakat masa lampau, sehingga terjadinya akulturasi budaya sangat kental. ••• 478 Banyaknya budaya yang telah dihasilkan dan tidak terawat ini dibuktikan dengan banyaknya tinggalan yang tidak terawat sampai akhir abad ke-XVIII, menurut (Rahardjo, 2011) Sejak Thomas S. Raffles menulis History of Java pada awal abad ke-19 kemudian P.J Veth yang mulai menghimpun seluruh kajian tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa dalam Java, Geographisch, Historsch pada periode 1878-1882, disusul N.J Krom dengan Hindu-Javaansche Geschiedenis-nya pada 1931, lalu Theodore G.Th. Pigeaud dengan Java in the 14th Century: A Study in Cultural History pada kurun 1960-1963 (pada tahun yang sama) 1960 Gertz menulis The Religion of Java dan yang terakhir Denys Lombard yang menulis Le Carrefour Javanis pada 1990. Dan hanya Koentjaraningrat yang menulis antropologi budaya secara lengkap tentang Jawa Javanese Culture pada 1985. Supratikno Rahardjo memusatkan pembahasan pada dinamika peradaban pada perubahan pola dan konfigurasi pranata-pranata (politik,agama dan ekonomi) dari zaman ke zaman. Peradaban merupakan sebuah jalinan dari segala aspek kehidupan manusia yang secara satu kesatuan tidak dapat dipisahkan. Hanya dengan menyatukan semuanya itu kita dapat memahaminya secara lengkap. Disisi lain kebudayaan atau peradaban juga merupakan suatu gejala yang komplek sehingga masalah yang rumit akan dihadapi bila subjek yang sangat luas ini dipilih sebagai sasaran kajian. Tidak terkecuali jawa yang kompleks juga dapat dipecahkan jika pengkajian yang luas ini lebih dikerucutkan dalam kompleksitas Jawa terkait budaya tertentu. Konteks budaya Jawa adalah peradaban yang lahir dari sebuah penciptaan pemikiran yang dibuat menjadi wujud nyata dalam kehidupan. Jawa yang kaya akan hasil peninggalan budaya, tidak dapat dipungkiri adanya campur tangan kebudayaan luar yang hidup didalam. Ini dapat dibuktikan dari hasil peninggalan berupa percandian kuno yang ada di Jawa. Salah satunya di ahir Majapahit yaitu komplek percandian lereng Gunung Lawu. Candi merupakan warisan budaya yang telah ada sejak perkembangan agama Hindu-Budha, fungsi dari candi adalah sebagai tempat pendarmaan raja atau sebagai tempat ritual keagamaan. Sebagian besarcandi tersebar dari Sumatra ••• 479 hingga Jawa karena dulunya kedua pulau ini merupakan pulau utama sebagai tempat persebaran agama Hindu-Buddha. Acap kali terdapat hiasan-hiasan atau ukiran-ukiran pada dinding candi yang menggambarkan suatu kisah, ukiran yang dimaksud adalah relief dan kadang juga ditemukan arca dewa-dewi yang disembah oleh masyarakat pada kala itu. Karena banyaknya candi yang tersebar di Pulau Jawa maka para peniliti membagi candi menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah candi dalam kategori masa Klasik Tua. Kelompok ini berkembang pada abad ke- 8-10 Masehi, ketika pusat kerajaan masih berada di wilayah Jawa Tengah. Kelompok kedua dalam kategori masa Klasik Muda. Kelompok yang kedua ini merupakan bangunan candi yang dibangun sekitarabad ke- 11-15 Masehi. Diketahui pada masa itu pusat kerajaan telah berpindah dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur. Mengenai perpindahan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, sampai saat ini masih menimbulkan berbagai perdebatan, sebagian menyatakan bahwa perpindahan pusat kerajaan tersebut karena adanya wabah penyakit (Munandar 2011: 3). Namun ada pula yang menyatakan bahwa perpindahan pusat kerajaan ini disebabkan oleh faktor politik, mengingat sebelum terjadi perpindahan pusat kerajaan kerap terjadi perebutan kekuasaan di antara keluarga Syailendra di Jawa Tengah. Asumsi itu sebagaimana diungkapkan oleh Coedes (2010: 180) dan Sedyawati dkk. (2012: 185) yang dikutip oleh Riyanto (2016: 11-12) menyatakan bahwa pada masa-masa itu rentetan pertentangan dalam keluarga Syailendra dan perebutan kekuasaan terus-menerus terjadi. Hingga pada akhirnya Mpu Sindok memindah pusat kerajaan ke daerah Jawa Timur dan membentuk wangsa baru yang bernama wangsa Isyana. Perpindahan pusat kerajaan ini juga mempengaruhi perubahan gaya kesenian yang ada dan mempengaruhi bentuk candi-candi yang ada. Para peneliti juga mengelompokan gaya bangunan candi wilayah Jawa Timur menjadi lima kelompok, khusunya yang candi sudah ada sejak abad 13-16 Masehi, oleh Agus Aris Munandar (2011: 20) dibagi menjadi lima gaya, yaitu 1) gaya Singhasari; 2) ••• 480 gaya Candi Brahu; 3) gaya Candi Jago; 4) gaya Candi Batur; dan 5) Punden berundak. Bangunan candi gaya punden berundak rupanya cocok dengan candi yang akan saya bahas di bawah. Candi Plaggatan mempunyai arsitektur berundak tiga dan untuk setiap undakanya dihubungkan oleh anak tangga. Bangunan pundek berundak banyak digunakan di daerah pegunungan. Bangunan candi Planggatan merupakan perpaduan antara bangunan Megalitik dan bangunan hindu, hal ini dapat dilihat dari lokasi candi Planggatan yang terletak di lereng sebelah barat Gunung Lawu. Banyak juga peninggalan situs Megalitik yang ditemukan di lereng ataupun puncak Gunung Lawu, tetapi Candi Planggatan ini tidak murni 100% peninggalan Megalitik, Candi Planggatan merupakan penimggalan Kerjaan Majapahit era akhir. Candi merupakan bangunan suci bagi kaum resi atau disebut juga dengan karsyan. Karsyan berasal dari Bahasa Jawa Kuno ka + rsi + an, vokal i bertemu dengan a luluh menjadi y (Zoutmulder dan Poedjawijatna 1992: 4), dugaan awal bangunan ini dibangun oleh para rsi atau para pertapa, dugaan awal candi Planggatan merupakan bangunan karsyan dengan bentuk mandala kedewaguruan Seperti yang diungkapkan oleh Wahyudi dkk (2014: 110) bahwasanya karysan berbentuk mandala kedewaguruan dapat ditelusuri melalui karakter situsnya. Karakter situs yang mencirikan sebagai mandala sedapat mungkin memenuhi beberapa komponen, diantaranya adalah halaman luas, adanya temuan gerabah, temuan bervariasi dalam konteks agama, jauh dari keramaian, dan diberitakan dalam naskah. Di candi Planggatan terdapat arca Ganesha yang merupakan dewa pengetahuan, hal ini menarik karena seperti apa yang telah saya sampaikan di atas bahwa candi Planggatan merupakan candi yang dibangun oleh para rsi atau para pertapa. Dalam agama hindu khususnya rsi merupakan orang yang dianggap berilmu sehingga biasanya para rsi ditunjuk untuk memimpin acara keagamaan. Apakah ada hubungan antara relief dewa Ganesa dengan candi Planggatan yang merupakan candi yang dibangun oleg ••• 481 Pembahasan Candi Planggatan secara administratif terletak di Dukuh Tambak, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak pada koordinat 1110 07’56,9’’Bujur Timur 070 38’07,5’’ Lintang Selatan dengan ketinggian 1165 meter di atas permukaan air laut. Secara keseluruhan, situs Planggatan menempati daerah yang tinggi. Candi Planggatan merupakan candi yang bisa dibilang cukup luas, karena memiliki 3 halaman berbentuk pundek berundak yang setiap halamanya dihubungkan oleh anak tangga. Teras pertama merupakan teras terendah dan masih banyak ditumbuhi semak belukar dan pepohonan. Di teras kedua terdapat yoni dan beberapa panil relief dan prasasti yang menceritakan siapa pembungun candi ini yaitu Rama Balanggadan ( pembacaan oleh M.M Sukarto K. Atmodjo ), sedangkan Riboet Darmosoetopo membacanya dengan Rama Balanggadawang. Teras ketiga merupakan teras tertinggi. Lebih lanjut terdapat relief dewa Ganesa atau yang lebih dikenal dengan dewa ilmu pengetahuan, relief ini menggambarkan tokoh ganesa yang digambarkan dalam posisi berdiri memakai kain cawat untuk menutupikemaluannya. Belalai menjulur dengan kedua gading panjang menjulang ke atas. Hiasan kepala (mauli) memakai ikat kepala pendeta (sorban) dan kedua tangan memegang bulan bersinar (prabha Majapahit) yang dimasukkan ke bagian mulut. Oleh M. M. Sukarto K. Atmodjo relief ini menggambarkanBhatara Ganaesa sebagairsi yang sedang menangkap (makan) bulan. Lebih lanjut dapat dibaca sebagaisengkalan memet sebagai berikut. 1. Gana wiku nahut sitangsu, 2. Gana rsi nahut sasi, 3. Gana pandita nahut wulan. Perkataan Gana (Ganesa) bernilai enam (sadgana), wiku (pendeta) bernilai tujuh, nahut (menangkap, makan) bernilai tiga, dan sitangsu (bulan) bernilai satu. Jadi angka selengkapnya 6731 dan apabila dibalik membacanya dari kanan ke kiri menjadi tahun 1376 Saka (1454 Masehi), tahun yang terdapat di relief tersebut merupakan tahun pendirian candi Planggatan. Candi Planggatan merupakan bangunan agama hindu yang merupakan tempat untuk memuja dewa Siwa dan dewa Ganesha, pemujaan ••• 482 terhadap Siwa dilambangkan dengan ditemukanya yoni di teras kedua dan pemujaan terhadap Ganesha dapat dilihat dari relief yang ada, hubungan antara Ganesha dan Siwa adalah merupakan ayah dan anak. Ganesa merupakan anak dari Siwa dan Parvati, yang sejak kelahirannya sudah diberi tugas untuk membedakan baik dan buruk bagi seorang pemuja Siwa. Cerita ini diuraikan dalam kitab Skanda Purâna dikisahkan bahwa Siwa tidak memandang baik dan jahat dari pemujaanya, asalkan memuja Siwa secara tekun maka pemuja tersebut akan masuk surga. Kemudian banyaklah para pemuja Siwa merasa kurang puas dan memohon agar Siwa memberikan dewa yang dapat membedakan kebaikan dan kejahatan, serta dapat menentukan siapa yang sebaiknyang dapat masuk surga (Maulana 1984: 77). Selain relief Ganesha terdapat juga terdapat Prasasti yang bertuliskan sebagai berikut. Padamel ira ra Ma balanggadawang Barng hyang punun N dah nrawang Terjemahaan ke dalam Bahasa Indonesia: Pembuatannya rama balanggadawang bersamaan (dengan) hyang Pununduh nrawang (Darmosoetopo 1975/1976: 125). Dari prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa candi Planggatan didirikan oleh 2 orang yaitu Rama Balanggadawang dan Hyang Patuduh Nrawang. Kedua tokoh ini merupakan rsi atau pertapa karena apabila dilihat dari segi nama Rama merupakan sebutan untuk dewaguru sedangkan Hyang dapat diartikan sebagai orang suci atau orang yang dihormati. Tempat Tinggal Para Rsi Bila dilihat dari letaknya candi Planggatan terletak di daerah terpencil dan jauh dari keramaian dan juga letaknya yang tidak jauh dari sumber air, maka dapat disimpulkan bahwa candi Planggatan ini merupakan candi yang dibuat untuk para rsiatau para petapa, karena pada biasnya bangunan suci yang dibangun oleh para rsi atau para pertapa terletak dii lereng gunung atau hutan, jauh dari keramaian dan terletak di dekat sumber air seperti danau,tepi laut dan lain sebagainya. Bila dicermati maka candi Planggatan memenuhi kriteria sebagai candi yang dibangun ••• 483 oleh para rsi atau para partapa. Daerah yang jauh dari keramaian dibutuhkan oleh para rsi atau pertapa untuk bersemedi atau bertapa, selain para rsi, para penduduk biasa atau bahkan para Raja juga kadang datang ke tempat pertapaan seperti candi Planggatan untuk bersemedi atau mendapatkan ketenangan dan melupakan sejenak kehidupan dunia dan memikirkan kehidupan akhirat kelak. Penutup Berdasarkan bentuk bangunan, relief dan ciri-ciri lainya dapat disimpulkan bahwa candi Planggtan merupakan bangunan suci yang dibangun oleh para rsi atau para pertapa. Selain itu dewa yang disembah oleh para rsi adalah dewa Siwa dan Ganesha. Apabila dilihat dari bentuknya candi Planggatan merupakan bangunan Megalitik yang telah berakultrasi dengan agama Hindu. DAFTAR PUSTAKA Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha.Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Sedyawati, Edi, Agus Aris Munandar, Hasan Djafar, Taufik Abdulah, dan Adrian Bernad Lapian. 2012. “Dinasti, Agama, dan Monumen”, Indonesia. Hlm. 171-203 dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha.Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Rahardjo, S. (2011). Peradaban Jawa dari Mataram Kuno hingga Majapahit ahir. Depok: Yayasan Kertagama dan Komunitas Bambu. Riyanto, Sugeng. 2016. Tondowongso: Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi. Yogyakarta: Kepel Press. Santiko, Hariani. 2005a. “Kehidupan Beragama Zoutmulder, P.J., dan I.R. Poedjawijatna. 1992. Bahasa Parwa I.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wahyudi, Deny Yudo, Slamet Sujud P.J., Agus Aris Munandar, Ninny Soesanti. 2014. ‘’Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit”. Jurnal Studi Sosial 6 (2): 107119. Maulana, Ratnaesih. 1984. Ikonografi Hindu. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Darmosoetopo, Riboet. 1975/1976. Peninggalan Peninggalan Kebubayaan di Lereng Barat Lawu ••• 484 WILLEM ISKANDER: BAPAK PENDIDIKAN MANDAILING Kartika Siregar1, Djono2, Leo3 Pascasarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret kartikasiregar88@gmail.com ABSTRAK Pada tahun 1852 Belanda mendirikan Sekolah Bumi Putera (Inlandshe Schoolen) di Panyabungan ibukota Asistensi Residensi Mandailing-Angkola. Tahun 1853 Willem Iskander pada usia 13 tahun masuk ke sekolah tersebut dan pada usia 15 tahun Willem Iskander diangkat menjadi guru dibekas sekolahnya. Karirnya sebagai guru semakin diperdalamnya dengan melanjutkan sekolahnya ke Negeri Belanda untuk bersekolah di sekolah keguruan. Tahun 1862 begitu mendapatkan ijazah guru bantu, dia pulang ke Tanah Air (Mandailing) dan mendirikan Kweekschool Tano Bato. Sekolah yang dibangunnya merupakan pelopor pendidikan di Mandailing Sumatra Utara. Penelitian ini menggunakan metode sejarah kritis yang terdiri dari 5 tahap yaitu (1) pemilihan topik yang disebabkan oleh kedekatan emosional dan intelektual (2) Heuristik dilakukan dengan pencarian dan pengumpulan sumber primer maupun sekunder yang relevan dengan penelitian. (3) Kritik sumber (Verifikasi) dilakukan dengan penilaian dan pengujian terhadap sumber sejarah sehingga dapat ditentukan otentitas dan kredibilitas sumber sejarah secara akumulatif untuk memperoleh fakta sejarah. (4) Interpretasi dilakukan dengan menafsirkan, menganalisis, dan menghubungkan fakta-fakta sejarah. (5) Historiografi menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk karya tulis. Hasil penelitian menunjukkan Willem Iskander adalah seorang pribumi asli Mandailing, nama Kecilnya Sati Nasution gelar Sutan Iskandar. Pada usia 22 tahun Willem Iskander mendirikan sekolah keguruan di Tano Bato (Kweekschool Tano Bato). Sekolah ini merupakan pelopor pendidikan di Mandailing karena pendidikan di Mandailing dan sekitarnya berkembang sangat pesat setelah Sekolah Guru Tano Bato (Kweekschool Tano Bato) didirikannya. Meskipun Willem Iskander meninggal dunia pada usia muda (36 tahun) namun murid dari Kweekschool Tano Bato dan murid dari muridnya banyak yang menjadi penerusnya sebagai guru, pengarang dan penerjemah yang tersebar di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Aceh. Tidak salah jika Willem Iskander dikatakan sebagai seorang pelopor pendidikan di Mandailing Sumnatra Utara. Kata kunci : Willem Iskander, pendidikan, di Mandailing. Pendahuluan Willem Iskander, seorang tokoh pendidikan berskala nasional, jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, beliau sudah mendirikan lembaga pendidikan untuk menghasilkan guru-guru yang berbasis kerakyatan (1862). Selain seorang seniman, penulis dan tokoh publik pada masa itu, beliau juga seorang cendikiawan pertama dari tanah Batak yang menempuh pendidikan formal hingga ke Negeri Belanda (tahun 1857). Dalam sejarah pendidikan nasional, tidak banyak yang mengetahui nama Willem Iskander bahkan di sumatera Utara pun banyak yang tidak mengenal sosok yang satu ini. Mungkin penyebabnya nama beliau tidak dimasukkan dalam kurikulum sejarah nasional ••• 485 sebagai seorang pahlawan nasional, padahal dia merupakan seorang pelopor pendidikan dari Mandailing yang anak muridnya tersebar di daerah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Aceh dan sekitarnya. Ahli sejarah dan tokoh pendidikan terkenal, Dr, Hendrik Kroeskamp, menulis bahwa orang Tapanuli (Mandailing) boleh berbangga hati atas prestasi Willem Iskander sebagai satu di antara orang Indonesia pertama yang telah berhasil membuktikan kemampuannya memimpin lembaga pendidikan yang penting.Pernyataan Kroeskamp ini sejalan dengan isi salah satu tajuk harian De Locomotief bulan Agustus 1876 yang terbit di Semarang, berjudul In Memoriam Willem Iskander, yang menokohkan Willem Iskander sebagi pionir pendidikan bumiputra. Kata pelopor biasa diartikan sebagai pendahulu, perintis sesuatu gerak pembaharuan. Seorang pelopor pasti sudah pasti memiliki keunggulan. Keunggulan itu sendiri adalah suatu keadaan istimewa di atas rata-rata anggota kelompoknya. Beberapa keunggulan dari pelopor biasanya antara lain adalah keberanian, kecerdasan, ketekunan, kreativitas, keteladanan dan lain sebaginya. Pendidikan merupakan suatu proses pembekalan dan pengembangan pengetahuan melalui pelatihan untuk memperoleh keterampilan terutama melalui pembelajaran secara formal. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Medan, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang pembentukan karakter melalui puisi yang ditulis dalam karya tokoh daerah, Willem Iskandar. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Dikatakan deskriptif deskriptif kualitatif karena menggambarkan secara penuh dan mendalam tentang realitas sosial dan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang menjadi subjek penelitian sehingga menggambarkan karakter, karakter, sifat, dan model fenomena tersebut. Dilihat dari aspek yang diteliti, penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus. Studi kasus adalah studi yang ditujukan untuk mengumpulkan data, mengambil makna, mendapatkan pemahaman tentang kasus ini (Sukmadinata & Nana, 2013: 23). Dengan demikian pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode studi kasus adalah menggali sebanyak mungkin informasi dan sedalam dan kemudian menggambarkannya dalam bentuk narasi sehingga memberikan gambaran lengkap tentang fenomena yang terjadi. Hasil Dan Pembahasan 1. Awal Pertumbuhan Pendidikan di Mandailing Setelah mendapat usul dari komisaris Raad van Indie (Dewan Hindia) tahun 1840, pemerintah kolonial Belanda membentuk keresidenan atau Residensi Air Bangis dan Asisten Residen Mandailing-Angkola dengan ibukotanya Panyabungan. Asisten residensi ini Merupakan wilayah administratif yang menjadi bagian dari Keresidenan Air Bangis. Asisten Residensi MandailingAngkola yang awalnya bagian Keresidenan Air Bangis, dijadikan bagian Keresidenan Tapanuli setelah Keresidenan Tapanuli terbentuk tahun 1843. Priode 1844-1848 Asisten Residensi Mandailing-Angkola dipimpin oleh T. J. Willer ••• 486 menggantikan Thomas Alexander Christiaan van Kervel. Willem menyebut dalam laporannya bahwa ketika dia di Mandailing sudah ada sekolah-sekolah yang didirikan sendiri oleh orang Mandailing. Hal ini memperlihatkan bahwa sekolah di Mandailing sudah ada sebelum kolonial Belanda masuk ke Mandailing. Willem tidak menjelaskan secara pasti sekolah apa yang ada di Mandailing. Sekolah umum atau sekolah agama atau pendidikan yang bagaimana yang dilaksanakan di sekolah-sekolah yang didirikan orang Mandailing tersebut, pendidikan ala barat atau tidak, semuanya tidak dijelaskan secara pasti. 2. Pendidikan Ala Barat di Mandailing Akibat Perang Diponegoro (1825-1830) yang menghabiskan banyak biaya serta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839) menyebabkan Negeri Belanda mengalami krisis keuangan. Ide yang dianggap paling ampuh memperoleh keuntungan maksimal untuk mengatasi krisis ini adalah kerja paksa, yang kemudian dikenal dengan nama Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Pelaksanaan tanam paksa tentunya membutuhkan banyak tenaga terampil untuk mengurusi administrasi dan pekerjaan lainnya, Menimbang keuntungan dan kerugiannya apabila pelaksanaan sistem ini harus mendatangkan tenaga-tenaga dari Eropa tentu akan membutuhkan biaya lebih banyak dan biaya akan lebih hemat dan murah apabila menggunakan tenaga dari orang-orang pribumi. Oleh sebab itu pemerintah Hindia-Belanda bersedia memberikan pendidikan bagi orang-orang pribumi. Tahun 1848 pertama kalinya dalam sejarah kolonial memberikan sejumlah biaya sebesar ƒ 25.000, untuk pendirian sekolah bagi anak bumiputera. Sekolah ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pegawai orang bumiputera.6 Tahun 1852 sekolah yang dimaksud ini didirikan di Mandailing. Tahun 1848-1857 T.J. Willer digantikan oleh Alexander Philifus Godon sebagai Asisten Residensi MandailingAngkola. Di saat dan sebelum Godon menjabat sebagai Asisten Residen sebenarnya terjadi gejolak perlawanan antara pemimpin-pemimpin daerah Mandailing kepada Belanda.7 Untuk meredam perlawanan ini Godon mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin setempat dari pertemuan tersebut Godon menyimpulkan bahwa pemimpin pendahulunya tidak menyenangkan bagi masyarakat, itulah yang menyebabkan perlawanan ini. Cara yang dipakai Godon dengan cara yang dilakukan pendahulunya untuk meredam perlawanan pemimpin-pemimpin Mandailing sangat berbeda. Jika pendahulunya melakukan jalur peperangan yang menurutnya tidak berhasil maka sebaliknya dengan Godon, dia lebih memilih lewat cara berdamai. Godon melakukan musyawarah dengan pemimpin-pemimpin Mandailing untuk saling bahu-membahu melakukan pembangunan di Madailing. Dua tahun berada di Mandailing, tahun 1852 Godon mendirikan sekolah di Panyabungan. Sekolah yang didirikannya adalah Sekolah Rendah Dua Tahun dan inilah yang merupakan pelopor pendidikan formal ala barat di Mandailing. 3. Wiilem Iskander Sebagai Guru Desember 1861, setelah pulang dari Belanda Willem sampai ke Batavia untuk menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Sloet van den Beele. Setelah mendapatkan surat dari Menteri Urusan Jajahan mengenai rencana keinginan Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Mandailing, Gubernur ••• 487 Jenderal Hindia Belanda Baron Sloet van den Beele memberikan dukungannnya dengan memberikan intruksi kepada Gubernur Pantai Barat Sumatera van Den Bosche untuk memberikan berbagai kemudahan bagi Willem Iskander. Dalam mendirikan sekolah Guru di Mandailing, Willem mendapatkan dukungan dari berbagai pihak baik petinggi pemerintahan Belanda di Negeri Belanda, petinggi Belanda di Hindia-Belanda, maupun dari pejabat-pejabat di tingkatan setempat, mulai dari Gubernur Pantai Barat Sumatera, Residen Tapanuli, Asisten Residen Mandailing-Angkola, para kontolir sampai ke pejabat desa. Willem Iskander menerima beslit bertanggal 5 Maret 1862, yang mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing. Beslit ke dua bertanggal 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru kepala (Hoofdonderwijzers) dengan gaji 75 gulden perbulan pada Kweekschool Tano Bato yang nama resminya kweeekschool voor Inlandsche Onderwijzers. Sekolah guru ini salah satu dari kepeloporan pendidikan di Mandailing dari Willem Iskander. Bangunan sekolahnya dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat di desa Tano Bato, suatu desa kecil yang sekarang termasuk bagian dari Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara. Bangunannya terbuat dari dinding tepas (Bambu), atap daun rumbia (sejenis pohon salak) dan terdiri dari empat ruangan kelas. Satu di antara empat kelas itu menjadi ruangan kantor Willem dan ruangan lainnya dipakai untuk kelas belajar-megnajar. Sekolah ini didirikan di tanah raja-raja dan biaya gaji gurugurunya menjadi tanggung jawab raja-raja setempat. Perjuangannya sangat berat, hanya sedikit orang yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah guru itu. Kesulitan itu dapat diatasinya dengan kesabaran dan kegigihannya terus -menerus mensosialisasikan gagasan pembaharuannya dari rumah ke rumah. Maka kelangkaan murid itu pun dapat diatasinya. Dia bukan hanya memberikan pendidikan bagi muridnya di kelas, tetapi dia juga secara teratur menyampaikan ceramah umum di halaman sekolahnya yang dihadiri oleh penduduk setempat. Bahkan dia mengajarkan gagasan gagasan pembaharuan ini dari rumah-kerumah para tokoh masyarakat. Baru satu tahun usia Kweekschool Tano Bato, pada bulan September 1863, Gubernur Van den Bosch datang dari Padang melakukan inspeksi ke sekolah ini. Gubernur Pantai Barat Sumatra ini melaporkan kunjungannya kepada Gubernur Jenderal dalam suratnya tanggal 13 September 1863. Ia menyatakan kekagumannya terhadap kepiawaian Willem Iskander. Kesannya dia tulis dengan kata-kata zeer ontwikkeld, hoogst ijverig, yang artinya sangat cerdik, terpelajar, dan sangat rajin dan tekun. Tanggal 11 September 1863 Gubernur Van den Bosch mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia agar didirikan satu sekolah guru di pantai barat Sumatra atau menyatukan sekolah guru Tano Bato dengan sekolah guru Bukit Tinggi. Dia juga mengusulkan Willem Iskander sebagai pimpinan sekolahnya. Gagasan Gubernur Van den Bosche ini dibahas oleh gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pejabat-pejabat department van Eeredienst en Nijverheid dan Raad van Indie (Dewan Hindia) . keputusan pemerintah Hindia Belanda ada pada Dewan Hindia yang kedudukannya sama dengan Dewan Pertimbangan Agung. Raad van Indie akhirnya memutuskan untuk tidak menyatukan kedua sekolah tersebut. Hal di atas sengaja disinggung dalam ••• 488 penelitian ini, karena meskipun usul Van den Bosche itu ditolak tapi kita dapat mengetahui dari sisi lain usul tersebut merupakan pengakuan terhadap reputasi baik Willem Iskander di mata petinggi Hindia Belanda pada masa itu. Empat tahun setelah Willem Iskander mendirikan Kweekschool Tano Bato, Mr. J.A. van der Chijs,18 Inspektur Pendidikan Bumiputera, pernah datang dari Batavia ke Tano Bato 1866. Selama di Tano Bato Van der Chijs menyaksikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah guru ini. Ia mengagumi kepandaian Willem Iskander mengajarkan konsep-konsep ilmu pengetahuan dalam bahasa Mandailing dan bahasa Melayu dan dia juga mengagumi kemampuan berbahasa Belanda para murid Willem Iskander. Van der Chjis menyaksikan Willem Iskander mengajarkan dasar-dasar fisika dalam bahasa Mandailing dengan metode sendiri, memakai alat peraga lokal yang dikenal baik oleh murid-muridnya. Chijs menulis di dalam laporan tahunan pendidikan bumiputra tentang kekagumannya terhadap tiga kemampuan murid-murid Willem Iskande yaitu dalam bidang matematika, bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Van der Chijs menyaksikan mereka membuat esai dan surat-menyurat dalam dua bahasa itu. Sekolah Guru Tano Bato tampil sebagai pusat pendidikan dan pelatihan guru yang paling menonjol di seluruh Hindia Belanda. Dengan melihat kualitas pendidikan di Kweekschool Tano Bato yang sangat baik maka Van der Chijs menetapkan Kweekschool Tano Bato sebagai sekolah percontohan bagi sekolah guru-guru yang ada di Nusantara. Ketika Inspektur Jendral Pendidikan Bumi Putera, Mr. J.A. van der Chijs berkunjung ke Kweekschool Tano Bato, Iskander dan Chijs mendiskusikan caracara terbaik yang harus ditempuh untuk memajukan pendidikan bumiputera. Pada kesempatan ini Willem Iskander banyak mengajukan usul untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah guru bumiputera di Indonesia (Hindia Belanda). Usul-usul itu termasuk peningkatan mutu guruguru muda dengan cara memberikan beasiswa kepada mereka. November 1869 di Batavia pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengadakan Rapat Dewan (Tweede Khamer) untuk menindaklanjuti usul dari Iskander. Dari hasil rapat dewan di Batavia, Hindia-Belanda atas nama Inspektur Jendral Pendidikan Bumiputera, Mr. J.A. van der Chijs membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek untuk meningkatan mutu pendidikan guru bumiputera. Renvanya tersebut antara lain sebagai berikut. a. Dia membuat sejumlah syarat yang harus dipenuhi setiap sekolah guru bumiputera. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah 1. Sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan; 2. Guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran, dan 3. Bahasa daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa. b. Memberitahukan tugas kepada Willem Iskander untuk membawa dan membimbing delapan guru muda untuk meneruskan pendidikan di Negeri Belanda. Dekrit di atas sangat berkaitan dengan gagasan-gagasan Willem Iskander ketika sebelumnya mereka berdua pernah mendiskusikannya.Willem seorang pendidik yang handal, dia selalu berusaha keras agar anak muridnya menjadi pintar. Hanya dalam beberapa tahun setelah dia mengajar dan mendidik guru, usahanya telah menunjukkan hasil yang nyata. Beberapa muridnya tampil sebagai guru, pengarang dan guru sekaligus pengarang. Sebagai perbandingan ••• 489 ketertinggalan Fort de Kock dengan Kweekschool Tano Bato dapat kita lihat dari perbedaan dalam mata pelajaran tahun 1867 dan 1870, seperti daftar di bawah ini. Kweekschool Tano Bato 1867 1) Membaca dan menulis aksara Latin, Melayu dan Mandailing. 2) Menerjemahkan secara tertulis teks bahasa Melayu ke dalam bahasa Mandailing dan sebaliknya 3) Menerjemahkan secara lisan bahasa Belanda ke bahasa Melayu 4) Berhitung luar kepala dengan contoh-contoh praktis 5) Berhitung berdasarkan buku karangan A.L. Boeser 6) Ilmu bumi lima benua termasuk geografi, sosial, ekonomi, tanah, bahasa dan penduduk nusantara berdasarkan buku karangan Dr. De Hollander. 7) Matematika, fisika, teori ilmu ukur tanah, politik pemerintahan Belanda di Hindia Belanda. Kweekschool Fort de Kock 1867 1) Berhitung bahasa Melayu 2) Ilmu bumi dan hukum bahasa Melayu. 3) Membaca karangan Darmowasito berjudul kitab akan dibaca anak-anak di Sekolah Jawa 4) Menak Maya dan Johar Manikam 5) Huruf Melayu dan pengajaran pendek bahasa Melayu 6) Bahasa Melayu dengan huruf latin. Kweekschool Tano Bato 1870 1) Membaca dan memahami pokok soal yang dibaca 2) Lagu rakyat 3) Kemampuan bahasa Melayu dan bahasa Mandailing 4) Menulis huruf sambung, halus kasar 5) Berhitung 6) Aljabar 7) Ilmu bumi 8) Ilmu falak 9) Fisika 10) Ilmu kesehatan diterangkan dalam bahasa Melayu atau bahasa Mandailing 11) Sejarah Hindia Belanda 12) Sejarah orang-orang Belanda di Hindia Belanda 13) Sejarah Belanda secara umum 14) Bahasa Belanda, menghafal kata-kata, membaca buku bacaan dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Mandailing 15) Teori ilmu ukur tanah Kweekschool Fort de Kock 1870 1) Membaca dan menuis bahasa Melayu dengan huruf Latin dan Arab 2) Berhitung 3) Geografi Hindia Belanda, Asia, Eropa, dan Belanda 4) Teori ilmu ukur tanah 5) Membuat peta dan menggambar Dari perbandingan mata pelajaran antara kedua sekolah di atas jelas terlihat bahwa wawasan murid-murid sekolah Tano Bato lebih luas di bandingkan ••• 490 Ford de Kock Bukit tinggi. Banyak anak muridnya yang mengikuti langkahnya menjadi seorang guru dan daerah persebaran murid-muridnya pada masa itu cukup luas. Kesimpulan Willem Iskander adalah seorang anak pribumi yang berasal dari Mandailing, lahir pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang yang ibukotanya Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Pada saat itu berada di bawah daerah administratif Asisten Residensi Mandailing-Angkola. Ayahnya, Raja Tinating, raja dari desa Pidoli Lombang dan Ibunya Si Anggur. Menurut Tarombo (Silsilah Raja-Raja Mandailing ), Willem Iskander termasuk generasi XI Marga (clan) Nasution. Dia adalah anak bungsu dari 4 bersaudara ketiga abangnya adalah Sutan Kumala, Sutan Soripada dan Sutan Kasah. Nama kecil Willem Iskander adalah Sati Nasution gelar Sutan Iskandar. Tanggal 5 Maret 1862 Willem Iskander menerima beslit yang mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing (Kweekschool Tano Bato). Beslit kedua tanggal 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru pada Kweekschool Tano Bato yang nama resminya Kweeekschool Voor Inlandsche Onderwijzers. Perjuangannya sangat berat hanya sedikit orang yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah guru itu. Kesulitan itu dapat diatasinya dengan kesabaran dan kegigihannya yang terus menerus mensosialisasikan gagasan pembaharuannya dari rumah ke rumah. Dengan cara demikian kelangkaan murid itu pun dapat diatasinya. Bangunan sekolahnya terdiri dari empat ruang kelas terbuat dari atap rumbia, dinding tepas (bambu) dan bertiang kayu. Sekolah ini dirikan di tanah raja-raja. Empat tahun berdirinya Kweekschool Tano Bato, Mr. J.A. van der Chijs yang menjabat Inspektur Pendidikan Bumiputera, mengunjungi sekolahnya di tahun 1866. Iskander dan Chijs banyak mendiskusikan cara-cara untuk memajukan pendidikan bumiputera. Pada kesempatan itu Willem Iskander banyak mengajukan usul untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah guru bumi putera di Indonesia (Hindia-Belanda). Peningkatan mutu guru-guru muda dengan cara memberikan beasiswa kepada mereka. Setelah berhasil mengelola dan memimpin Kweekschool Tano Bato selama 12 tahun (1862-1874) Willem Iskander memperoleh beasiswa ke dua dari pemerintah Belanda untuk melanjutkan sekolahnya yang pernah terbengkalai karena sakit. Rencananya dia akan belajar di Belanda selama 2 tahun (1874-1876. Beasiswa yang ke dua kalinya didapatkan Willem Iskander tujuannya untuk naik ke tingkat jabatan Guru Kepala (hoofdonderwijzer). Pemberian beasiswa ini sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan bumiputera yang dikeluarkan oleh Mr.J.A. van der Chijs (Inspecteur van Indlansch Onderwijjs) pada tahun 1871. Willem Iskander adalah seorang pejuang pemikir karena telah berhasil meletakkan dasar-dasar perjuangan untuk meningkatkan martabat bangsa Indonesia melalui pendidikan, dia juga dijadikan sebagai inspirator perjuangan kebangsaan melalui karya-karyanya (Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk). Semasa hidupnya selain dikenal sebagai seorang pelopor pendidikan guru, Willem Iskandar populer juga sebagai penyair Mandailing terkemuka pada abad ke-18. Dia menulis puisi-puisi indah dalam bahasa Mandailing dan juga menulis cerita pendek serta ••• 491 menerjemahkan beberapa buku berbahasa Belanda ke dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Mandailing. Daftar Pustaka ___, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk terbitan ke-4, Jakarta: Puisi Indonesia,1987 Windy A, Floriberta Aning S, dkk. 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Yogyakarta: Narasi,2005. ___, Derap Langkah Mandailing Natal, ( Medan: Himpunan Keluarga Mandailing Parinduri Muhammad Bahksan, Kamus Bahasa Mandailing, Medan:Anggora Simbolon Tahi Parakitri, Menjadi Indonesia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1995. ••• 492 REAKTUALISASI MANUSKRIP JAWA SEBAGAI SUMBER PENULISAN SEJARAH LOKAL: (STUDI SEMIOTIKA PADA SERAT CEBOLEK) Manggara Bagus Satriya Wijaya, Hermanu Joebagio, Sariyatun Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret (UNS), Email: Manggara.B.S.W@gmail.com ABSTRAK Kebangkitan kembali kesusastraan Jawa klasik dimulai sejak masa hegemoni Kasunanan Kartasura berlangsung. Pada era ini peran keraton begitu kentara dalam memulai gubahan karya sastra Jawa Klasik yang menjadi basis kemunculan sastra Jawa Modern. Situasi tersebut tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan para pujangga keraton dalam merintis tradisi penulisan di lingkungan istana. Serat Cebolek merupakan sebuah karya yang ditulis Yasadipura I pada masa Kasunanan Kartasura. Melalui pendekatan Semiotika terungkap bahwa penulis Serat Cebolek ingin mengungkapkan peran raja (Pakubuwono II) dan Ki Demang Urawan dalam mendamaikan pertentangan agama yang terjadi saat itu. Sebagai bagian dari teks Jawa yang telah berumur, Serat Cebolek tentu menyimpan historisitas sehingga memungkinkan untuk ditemukan kesesuaian dengan situasi yang terjadi saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tin yang terungkap dalam Serat Cebolek merupakan wujud aktualisasi sumber-sumber pembelajaran sejarah lokal yang selama ini menghadapi kendala. Keywords: Sejarah Lokal, Serat Cebolek, Semiotika PENDAHULUAN Semenjak berdirinya Surakarta pada pertengahan abad XVII, kota ini kemudian berkembang sebagai jantung budaya Jawa. Surakarta memiliki banyak nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa yang sangat bermafaat untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Menurut Margana (2004:75), “Sastra telah mencari jalanya sendiri untuk tetap hidup di jalan masyarakat”. Kutipan tersebut ialah analogi untuk menggambarkan perkembangan kesusastraan Jawa dari masa ke masa. Bila melihat kebelakang, kesusastraan Jawa telah ada sejak masa kerajaan kediri (Sastra klasik) dan kemudian mencapai era Rennaissance (Sastra Modern) pada periode Kasunanan Kartasura dan Surakarta pada belahan kedua abad XVIII. Era keemasan kesusastraan Jawa merupakan bentuk dari kebangkitan intelektual Jawa (Pradopo, 2001:16). Kreativitas para pujangga Jawa pada masa ini begitu menonjol sehingga sangat produktif dalam menghasilkan karya. Raden Ngabehi Yasadipura I merupakan salah satu pujangga Jawa masa Kasunanan Kartasura yang memelopori kebangkitan kesusastraan Jawa kala itu. Beliau aktif menulis sejak remaja sehingga banyak sekali karya sastra yang dihasilkan. Karya Yasadipura I memang banyak tapi yang menjadi sorotan adalah teks-teks gubahan beliau yang menceritakan kehidupan keagamaan pada masa pemerintahan Sunan ••• 493 Amangkurat IV dan Pakubuwana II. Kala itu memang, situasi kerajaan sedang memanas akibat benturan yang terjadi antara kelompok-kelompok keagamaan sehingga Yasadipura I kemudian mengabadikan seluruh peristiwa sejarah tersebut dalam sebuah karya yang populer di kalangan masyarakat dengan istilah Serat Cebolek. Serat ini digubah sebelum terjadinya peristiwa palihan nagari pada pertengahan abad 18 atau sezaman dengan keberadaan Kasunanan Kartasura kala itu (Bizawie, 2002:24). Didalamnya bercerita mengenai situasi keagamaan pada waktu itu yang diwarnai adanya pertentangan antara Islam syariat dan hakikat (Ahmad & Tajuddin, 2011:56-57). Meski kandungan Serat Cebolek bernuansa politis tetapi bukan perihal tersebut yang menjadi fokus penelitian sebab penulisan artikel ini tidak ditujukan untuk menyentuh ranah kontroversi melainkan diarahkan dalam upaya menemukan unsur-unsur resolusi konflik sehingga memerlukan sebuah pendekatan khusus. Sesudah memahami kandungan isi dari Serat Cebolek kemudian peneliti memutuskan untuk menggunakan pendekatan semiotika yang dikembangkan Julia Kristeva. Kegunaan semiotika dalam pengkajian teks-teks sastra sejatinya bukan merupakan kejadian yang baru. Struktur tanda-tanda dan makna yang diungkapkan pengarang Serat Cebolek sesungguhnya bersifat simbolis sehingga tidak dapat dimengerti secara optimal. Pada fase inilah kebermanfaatan semiotika begitu penting untuk megungkap makna simbolis yang terdapat dalam sebuah teks. Sesungguhnya pencarian makna dalam sebuah teks seperti Serat Cebolek merupakan aktifitas yang memberikan dampak efektif dalam mendukung keberadaan kearifan lokal agar tetap eksis di tengah derasnya arus globalisasi seperti sekarang ini. selain itu, kegiatan tersebut juga selaras dengan situasi pelik dunia pendidikan masa kini yang terbentur dengan kemunculan dehumanisasi di kalangan peserta didik. Masuk akal memang bila kini pengintegrasian kearifan lokal begitu diperlukan dalam mata pelajaran Sejarah sehingga diharapkan mampu mengedukasi peserta didik untuk kembali menemukan jati dirinya sebagai mahluk sosial. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini termasuk dalam lingkup library research yakni penelitian dengan menggunakan data dan informasi denganbantuan bermacammacam referensi yang terdapat di ruangan perpustakaanseperti buku, majalah, dokumen sejarah, catatan, dan lain sebagainya (Mardalis, 2007:28). Situasi ini terjadi karena peneliti fokus pada kajian teks dalam Serat Cebolek. 1. Pendekatan Penelitian Berdasarkan fokus penelitian dan objek yang diteliti, penelitian initermasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yakni penelitian yangbermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami olehsubjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan (Moloeng, 2013:183-187). Kemudian dalam penelitian ini juga digunakan Pendekatan semiotika model Julia Kristeva karena Serat Cebolek sebagai objek kajian mengandung begitu banyak simbol-simbol yang kaya makna. Situasi ini ••• 494 dikarenakan tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap serta mengasosiasikan simbol-simbol dan makna yang terkandung dalam Serat Cebolek. 2. Sumber Data a. Data Primer Sumber primer merupakan sumber yang memberikan data langsung. Adapun sumber data primer yang digunakan dalampenelitian ini adalah Serat Cebolekkarya Yasadipura I yang telah diterjemahkan S.Soebardi. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data pendukung yang masih berkaitan dengan judul. Adapun sumber data sekunder yang mendukung dalampenelitian ini adalah buku-buku, majalah ataupun artike yang berkaitandengan penelitian ini, seperti Perlawanan Kultural Agama Rakyat karyaZainul Milal Bizewai, Suluk Kiai Cebolek Karya Acmad Ubaidillah dan Yuliatun Tajuddin dan buku-buku lain yang masih terkaitdengan penelitian. c. Metode Pengumpulan Data Untuk mencapai penelitian yang valid, maka diperlukan data yangdapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta menggunakan metodeyang sesuai untuk mengmpulkan data. Berdasarkan manfaat empiris,metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen adalahmetode wawancara, observasi partisipasi dan studi bahan dokumenter. Dalam penelitian ini,peneliti menggunakan metode studi bahan dokumentasi, yaknipengumpulan data dengan cara mengkaji isi dokumentasi atau buku-buku yang terkait dengan masalah penelitian. d. Metode Analisis Data Model analisis penelitian kualitatif cenderung menggunakan pendekatan logika induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal khusus atau data di lapangan dan bermuara pada kesimpulan umum. Penelitian menggunakan teknik analisis data teks dan bahasa yang berfokus pada analisis isi atau content analysis, wacana dan interpretasi teks (Serat Cebolek), yang kemudian analisis ini dikemas dalam bentuk deskriptif kualitatif. KAJIAN SEMIOTIK PENGGALAN SERAT CEBOLEK Penelitian ini menggunakan analisis Semiotik Julia Kristeva untuk mengkaji penggalan Serat Cebolek. Penulis melihat kajian Semiotic of Poetrysangat cocok karena membahas sebuah puisi yaitu tembang jawa. Banyakkode yang harus penulis ungkap dari penggalan tersebut. Semiotik puisi (Semiotic of Poetry) Kristeva beranggapan puisi itu sebagai aktivitas bahasa.Maka ciri puisi adalah mengekspresikan konsep-konsep dan benda secaratidak langsung. Puisi menyatakan suatu hal dan memaksudkan hal lain.Dalam pembacaan terhadap sebuah puisi, hal lain inilah yang perlu diungkap,yaitu makna puisi. ••• 495 Pemahaman Kristeva ini ia ungkapkan karena suatu tekspuisi dipandang dari dua sisi, yakni sisi “arti” (meaning) dan sisi “makna”(significance). Berdasarkan sisi “arti” teks puisi dilihat sebagai suatu rangkaiansatuan informasi yang berturut-turut, sedangkan berdasarkan sisi “makna”,teks puisi menyajikan suatu satuan semantik. Bersamaan dengan “ arti” yangtersurat ada “makna” yang tersirat (Kaelan, 2009:34). Pengaruh hasil kerja Kristeva adalahmengubah paham kritik stilistik dengan suatu teori tentang pembacaan danproduksi arti. Kristeva menekankan pada pentingya dialektika antara teks danpembaca dan bukan antara pengarang dan teks. Menurut Kristeva pembacaadalah satu-satunya pencipta pertalian antara teks, interpretan, dan interteks:satu-satunya pihak yang dalam pikirannya terjadi pentransferan semiotik darisuatu tanda ke tanda yang lainnya. Sebuah penggalan Serat Cebolek yang telah diterjemahkan Soebardi berikut didalamnya banyak terdapat simbol-simbol yang mengarah pada upaya resolusi konflik yang dilakukan Demang Urawan (utusan Raja). Selanjutnya, isi penggalan tersebut adalah seperti termuat dalam Serat Cebolek pupuh VII Gambuh Bait 5 dan 6 sebagai berikut: Setiap malam, ia didatangi/oleh Dyan Demang, yang setiap kali pergi (mengunjunginya)/meminta dia untuk mempertunjukkan semua ilmunya./Ki Cabolek berkata:/ “pertama kali saya memeluk ajaran mistik di Yaman, waktu saya belajar/ di bawah seorang guru, yang namanya Ki Syaikh Zain,/ ajaran yang diberikan sama dengan Dewa Ruci,/ itulah ilmu mistik yang diberikan (kepadaku)/ yang sama dengan Bhima Suci (Soebardi, 2004:96). Syair di atas merupakan pengakuan Syaikh Mutamakkin ketika ditanya oleh Raden Demang Uruwan tentang keilmuanya. Kemudian Syaikh mutamakkin menceritakan pertama kali ia belajar ilmu tasawuf di Yaman dan bertemulah dengan gurunya yaitu Syaikh Zayn al-Mizjaji yang mengajarinya ilmu tasawuf. Ajaran Syaikh Zayn pada intinya sama dengan ajaran Dewa Ruci yaitu sama-sama mencari ke Tuhanan. Ditinjau dari permaknaan bahasa, penggalan serat Cebolek diatas mengisahkan lawatan yang dilakukan ki Demang Urawan ke kediaman syaikh Mutamakkin. Peristiwa tersebut bermotif politis sehingga meninggalkan beberapa kode yang memungkinkan dikaji melalui telaah semiotik. Penyelidikan semiotik terhadap tujuan pengarang merekam peristiwa lawatan Ki Demang Urawan dalam Serat Cebolek pupuh VII Gambuh Bait 5 dan 6 merupakan upaya keraton untuk menyelesaikan konflik antara ulama struktural dengan ulama cultural seperti yang terselenggara di dalam dunia pesantren.Polapenyelesaian konflik yang dimaksudadalah tahapan-tahapan penyelesaian konflik yang termaktub dalam kandunganSerat Cebolek. Tahapan-tahapan tersebut adalah negosiasi (keberatankeberatan para ulama di pesisir antara atas metode dakwah yang dilakukanoleh Syaikh Mutamakkin), mediasi (kehadiran Raden Demang Urawanuntuk menyelesaikan kasus Syaikh Mutamakkin), dan mediasi arbitrasi(keputusan yang diambil Paku Buwana II berdasarkan pertimbanganpertimbangan Raden Demang Urawan dalam melakukan mediasi terhadappenyelesaian kasus Syaikh Mutamakkin). ••• 496 PENUTUP Sejarah kepustakaan Jawa yang identik dengan gubahan bahasa Jawa Kuno ke bahasa Jawa Baru. Hal ini dilakukan pihak istana guna melestarikan kesenian, kesusastraan, kebudayaan, dan tradisi Jawa.Istana adalah epicentrum yang menggerakkan segala aspek administrasi negara dan sebagai tempat melindungi bentuk kebudayaan Jawa.Kesusastraan di Jawa juga tidak bisa lepas dari peran tiga tokoh ini Yasadipura I, Yasadipura I, dan Ranggawarsita. Mereka memberikan kontribusi yang banyak terhadap kepustakaan Jawa zaman Surakarta, baik berbentuk gubahan maupun karya mereka sendiri. Karya mereka sangat terkenal dan menjadi bahan rujukan oleh masyarakat Jawa. Ini terbukti dari beberapa karya mereka yang mempunyai banyak salinan salah satunya adalah Serat CebolekYasadipura I. Penggunaan bahasa tulis yang sangat variatif tidak membosankan dengan tutur Jawa yang sopan-santun. Kemudian ajaran-ajaran tentang kehidupan mereka balut dengan bahasa yang indah membuat karya-karya mereka semakin digandrungi para intelektual pada masa dulu hingga sekarang.Penggalan Serat Cebolek yang diterjemahkan S. Soebardi ini hanyalah seklumit kepopuleran karya-karya pujangga Istana Surakarta. Mungkin masih banyak lagi yang belum ditemukan atau dibahas. Kajian ini dibuat untuk memberikan informasi dan mengingatkan kepada masyarakat Surakarta, bahwasanya Surakarta pernah mempunyai sejarah hebat di masa kolonial tentang masa keemasan kesusastraan yang sekarang ini telah dilupakan dan ditinggalkan DAFTAR RUJUKAN Achmad U. dan Tajuddin Y. (2011). Suluk Kiai Cebolek: Dalam Konflik Keberagaman dan Kearifan Lokal. Jakarta: Prenada Bertens, K.. (2001). Filsafat Barat Perancis. Gramedia Pustaka Utama, Yogyakarta Lexy J. Moleong. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Kaelan. (2009). Filsafat Bahasa : Semiotika dan Hermeneutika. Paradigma, Yogyakarta. Margana S. (2004). Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mardalis. (2007). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: PT Bumi Aksara Pradopo S. Widati. (2001). Ikhtisar perkembangan sastra Jawa modern periode prakemerdekaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press S. Soebardi. (2004). Serat Cebolek Kuasa, Agama, Pembebasan Pengadilan K. H. A. Mutamakkin & Fenomena Syaikh Siti Jenar. Yogyakarta: Nuansa ••• 497 ••• 498 KONSEP EKOSENTRISME DALAM TRADISI WAHYU KLIYU (STUDI KASUS TRADISI WAHYU KLIYU PADA MASYARAKAT DUSUN KENDAL, DESA JATIPURO, KECAMATAN JATIPURO, KABUPATEN KARANGANYAR) Watsiqotul mardliyah, Sunardi, dan Leo Agung Universitas Sebelas Maret, Surakarta Viey.elwatsiq@gmail.com ABSTRAK Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan memiliki keberagaman suku, etnis, agama dan sebagainya. Masing-masing etnis dan suku memiliki local wisdom yang khas dan unik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan tradisi wahyu kliyu di Dusun Kendal, Desa Jatipuro, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar dan mendeskripsikan konsep ekosentrisme yang terkandung dalam tradisi wahyu kliyu di Dusun Kendal, Desa Jatipuro, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan strategi studi kasus terpancang tunggal. Untuk menganalisis data menggunakan model analisis interaktif melalui pengumpulan data, reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam tradisi wahyu kliyu adalah sutau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kendal yang dilakukan setiap 15 syuro, dengan pelemparan apem sebanyak 344 biji kedalam area yang sudah disediakan. Tradisi wahyu kliyu dinamakan juga sedekahan apem atau tradisi pelemparan apem. Pelaksanaan tradisi wahyu kliyu sebagai menifestasi rasa syukur masyarakat Dusun Kendal kepada Gusti Allah akan kehidupan rukun, sejahtera, lancer rezeki dan diberi keselamatan hidup. Pelemparan apem yang disebut sebagai tradisi wahyu kliyu ini mengandung nilai-nilai religi yang menjadi prasyarat untuk mengajarkan pemahaman terhadap hubungan antara Tuhan dengan manusia dan lingkungan. Dalam hubungan manusia dan lingkungan, perlunya melestarikan lingkungan untuk menjaga sustanbility, sehingga teraktualisasi konsep ekosentrisme dalam tradisi wahyu kliyu. Kata kunci : ekosentrisme, kearifan lokal, tradisi wahyu kliyu ••• 499 Pendahuluan Indonesia merupakan Negara yang majemuk dengan memiliki keberagaman suku, etnis, agama dan sebagainya. Masing-masing etnis dan suku memiliki local wisdom yang khas dan unik, hal ini berupa bahasa daerah dan logat yang berbeda, serta dalam menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Dalam kronologis sejarah Indonesia kehadiran pendatang seperti etis Arab, Tionghoa, India, Eropa semakin memperkaya kemajemukan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat lokal itu sendiri, yang disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif dan turun-temurun. Kemudian dikembangkan dan diadaptasi, serta tertanam dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana bertahan hidup dan sebuah kepercayaan yang harus dijalankan. Tradisi upacara wahyu kliyu merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Karanganyar, khususnya di Dusun Kendal, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Tradisi upacara wahyu kliyu atau tradisi pelemparan apem yang dipercaya sebagai penolak balak dan sebagai perwujudan manifestasi rasa syukur masyarkat Dusun Kendal terhadap sang penguasa. Secara makrokosmos dalam hal ini terdapat interaksi antara alam, manusia dan pencipta untuk menjaga kesinambungan (sustainability). Teori Darwin(Supriatna, 2016) yaitu survival of the fittest sebagai rialitas siapa yang kuat dialah yang akan mampu bertahan hidup. Implikasi teori Darwin semakin menunjukkan independensi manusia terhadap alam. Manusia tidak lagi menjadi makhluk alami yang menggantungkan hidupnya pada alam. Namun sebaliknya manusia menjadi faktor penentu keberlangsungan alam. Sehingga perlunya dirasa oleh peserta didik untuk menambah wawasan kearifan lokal dan melestarikan budaya disekitar, untuk menjaga keseimbangan alam dan mengubah konsep antoposentris menjadi ekosentrisme. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berkewajiban untuk berpartisipasi dalam pelestarian kebudayaan masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pengembangan pembelajaran sejarah berbasis kearifan lokal (tradisi upacara wahyu kliyu). Hal ini sesuai dengan padangan pendidikan di Indonesia yang menekankan pada pegangan hidup menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berikmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis serta bertanggung jawab. pelajaran sejarah lokal, dengan mengaitkan budaya atau tradisi masyarakat sekitar akan membantu guru dan peserta didik untuk menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan bernilai. Lingkungan (daerah) merupakan salah satu hal penting untuk mendukung pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta didik pada setiap daerah. Kearifan lokal masyarakat menjadi suatu hal yang penting guna memberikan pemahaman dan dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Selain itu perlunya mengubah pandangan antroposentris yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat penentu kehidupan di muka bumi menjadi ekosentrisme yaitu pandangan yang menempatkan alam dengan segala ••• 500 isinya sebagai pusat. Cara pandang ekosentris tidak menyebabkan manusia kehilangan esensinya sebagai manusia melainkan memperkuat posisi mereka sebagai sahabat dengan alam. Dalam posisi tersebut akan terjalin hubungan yang sejajar untuk saling membutuhkan satu sama lain. Kearifan lokal dalam penulisan ini adalah tradisi wahyu kliyu atau sedekahan apem (pelemparana apem). Tradisi wahyu merupakan sebuah tradisi turun-temurun yang dipercayai masyarakat Dusun Kendal sebagai manifestasi rasa syukur warga kepada sang pencipta (Allah) dan juga sebagai tolak belak dari segala bencana. Sehingga untuk menghalangi bencana yang dapat terjadi, warga melakukan menghormatan kepada sang pencipta dan alam dengan melakukan prosesi tardisi wahyu kliyu tersebut. Sehingga dalam hal ini terbentuk kesadaran bahwa manusia dan alam menjadi sahabat untuk menjaga sustanbility. Berdasarkan Latar Belakang Masalah Maka diambillah judul yaitu Konsep Ekosentrisme Dalam Tradisi Wahyu Kliyu (Studi Kasus Tradisi Wahyu Kliyu Pada Masyarakat Dusun Kendal, Desa Jatipuro, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar). Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan strategi studi kasus terpancang tunggal. Penelitian kualitatif adalah suatu bentuk penelitian yang menghasilkan karya ilmiah yang menggunakan data deskriptif yang berupa kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang dapat diamati terhadap status sekelompok orang atau manusia, suatu objek dan suatu kelompok atau kebudayaan (Moleong, 2000). Data yang diperoleh dengan suatu metode yang dilengkapi dan disempurnakan dengan menggunakan teknik pengumpulan data antara lain; wawancara, observasi dan dokumentasi. teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian (Sugiyono, 2005). Dikatakan penelitian studi kasus terpancang tunggal karena hanya mengarah pada satu karakteristik objek penelitian. Sedangkan sumber dalam penelitian ini adalah narasumber sebagai pemberi informasi, tepat/peristiwa dan dokumen/arsip. Selain itu analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif dengan langkah yaitu mengumpulkan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil Dan Pembahasan a. Pengertian Dan Sejarah Tradisi Wahyu Kliyu Tradisi wahyu kliyu adalah optimalisasi kebudayaan yang menurut penuturan para sesepuh merupakan warisan tradisi dan kepercayaan leluhur yang dianggap sakral bagi masyarakat Dusun Kendal. Wahyu kliyu sendiri adalah sebuah upacara adat selametan barupa sedekah apem yang diselenggarakan oleh masyarakat Dusun Kendal setahun sekali. Istilah wahyu kliyu berasal dari bahasa arab “Yaqayu, Yaqayum” pengalan ayat tersebut diambil dari ayat kursi yang terdapat di surat Al-Baqarah ayat 255, yang artinya “memberi kehidupan”, namun karena lidah orang Jawa kesulitan untuk mengucapkan “Yaqayu, Yaqayum” akhirnya menjadi “wahyu kliyu”. Dari pengertian tersebut wahyu kliyu dapat diartikan bahwa upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Kendal untuk ••• 501 memohon keselamatan hidup kepada Allah SWT, dan masyarakat Dusun Kendal mendapat anugrah dari Tuhan YME, selain itu diberi kekuatan lahir batin dan dijaukan dari segala bencana serta mala petaka sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman, tentram dan sejahtera (Mardliyah, 2017). Masyarakat setempat Dusun Kendal tidak mengetahui secara jelas kapan tradisi tersebut mulai dilakukan oleh penduduk sekitar, namun menurut keterangan sesepuh desa menyatakan bahwa tradisi wahyu kliyu telah lahir di dusun kendal sejak zaman sesepuh mereka. Dahulu tradisi ini pernah dihentikan oleh masyarakat sekitar dusun Kendal sehingga terjadi bencana. Menurut penuturan narasumber yaitu terjadi pageblug atau wabah penyakit dimana banyak penduduk yang meninggal tiap harinya, selian itu terjadi paceklik atau kekurangan pangan sehingga perkebunan dan pertanian banyak yang mengalami gagal panen, Dan juga bencana tanah pekarangan warga dan jalan-jalan bongkah/neloartinya retak (wawancara bapak Darto, September 2017). Setelah itu, Warga Kendal mengukur kedalaman dengan bambu yang telah disambung-sambung setelah diangkat terdapat uang gobang di ujung bambu. Kemudian uang yang digunakan sebagai sarat tersebut dibawa ke istana mangkunegaran untuk dilihat dengan mata batin. Dari sinilah kemudian diberikanlah titah dari raja Mangkunegaran berdasarkan petunjuk oleh Sang Pencipta agar penduduk Dusun Kendal melaksanakan kembali tradisi wahyu kliyu dengan menggunakan apem sebanyak 344 biji agar senantiasa diberi keselamatan (wawancara dengan, Rakiman mantan kepala dusun, 2017). Sejak saat itulah Kemudian tradisi wahyu kliyu dilaksanakan dan dilestarikanlah sampai saat ini. Adapun Prosesi utama tradisi ini terletak pada pelemparan apem dengan berdzikir kepada yang kuasa yakni dengan mengucap “wahyu kliyu, wahyu kliyu”. b. Konsepekosentrisme dalam tradisi wahyu kliyu Tumbuh kembang suatu tradisi sesungguhnya tergantung daripada mentalitas setempat. Karena tidak sedikit dari berbagai tradisi yang mulai ditinggalkan atau bahkan kehilangan jatidirinya manakala mentalitas masyarakat telah terjadi pergeseran akibat perkembangan arus modernisasi dan globalisasi. Tingkat pendidikan justru terkadang saling pro-kontra mengenai pelestarian tradisi itu sendiri. Pemikiran yang sedemikian agung penuh dengan pemaknaan dalam sendi-sendi tradisi tak jarang ditepis begitu saja oleh rasionalitas masyarakat dewasa ini. Maka tak ayal jika seringkali banyak kalangan masyarakat yang hanya mewarisi tradisi tanpa memahami makna dari tradisi wahyu kliyu berupa sedekahan apem dengan maksud rasa syukur atas kesejahteraan hidup dan rezeki bagi masyarakat Dusun Kendal. Sehingga dalam hal ini pelemparan apem yang disebut sebagai upacara wahyu kliyu mengandung nilai-nilai religi yang menjadi prasyarat untuk mengajarkan pemahaman terhadap hubungan antara Tuhan dengan manusia dan lingkungan (Sasmita, Al Alaz, & Mardliyah, 2017). Tantangan alam seolah tidak ada habisnya menuntun manusia untuk terus berpikir supaya manusia mampu menghadapi keganasan alam. Dari masa ke masa peradaban manusia berevolusi mulai dari level bergantung ••• 502 hidup dari alam (depend on nature), mengelola alam (manage the nature). Proses tersebut menjadi sebuah keniscayaan bahwa manusia terus berkembang dari kehidupan paling sederhana pada kehidupan yang semakin kompleks. Tindakan ini dilakukan oleh manusia disebut oleh Darwin (2009) dalam teorinya survival of the fittest sebagai realitas siapa yang kuat dialah yang akan mampu bertahan hidup. Manusia tidak lagi ditempatkan sebagai bagian dari alam yang takluk pada ketentuan dan hukum-hukum alam, melainkan manusia ditempatkan sebagai controrllers of the nature atau pengendali alam. Implikasi dari teori Darwin semakin menunjukkan independensi manusia terhadap alam. Manusia tidak lagi menjadi makhluk alami yang menggantungkan hidupnya pada alam. Namun sebaliknya manusia menjadi faktor penentu keberlangsungan alam. Pada tataran praktis, paradigma ini memiliki nilai positif yang menempatkan manusia pada sikap adaptability dengan alam, sehingga mereka tidak tergerus oleh keganasan alam. Namun disisi lain paradigma ini menunjukkan ancaman tersembunyi saat manusia mencapai level tertinggi dalam pengelolaan alam yaitu proses eksploitasi alam. Tanpa disadari lambat laun proses ini menjadi ancaman terhadap munculnya berbagai bencana alam sebagai akibat dari ulah manusia(Supriatna, 2016). Paradigma antroposentris yang diimplementasikan dalam bentuk intervensi manusia terhadap alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menimbulkan difungsi keseimbangan alam dan mendiskreditkan peran alam sebagai elemen kehidupan yang memiliki hak perlindungan. Namun saat ini, perubahan cara pandang tersebut harus dikembalikan dalam posisi sebaliknya, yaitu cara pandang antroposentris ditinggalkan dengan mengadopsi cara pandang baru yaitu, ekosentris. Kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah memiliki posisi penting untuk memberi inspirasi kepada para peserta didik bahwa menjadikan alam sebagai objek untuk dieksploitasi telah menyebabkan manusia terancam juga kehidupannya. Sehingga belajar dari nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur merupakan salah satu cara untuk memperkuat cara pandang ekosentris pada masyarakat kontemporer yang dihadapkan pada beragam persoalan lingkungan hidup termasuk bencana alam yang antara lain disebabkan oleh keserakahan manusia yang berpandangan antroposentris. Antroposentris merupakan pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat penentu kehidupan di muka bumi (Domanska, 2001). Pandagan ekosentrime seharusnya mampu menyadarkan manusia akan keterbatasannya dalam menghadapi dan mengantisipasi kekuatan alam. Cara pandang antroposentris tidak lagi relevan karena manusia bukan semata pengendali kehidupan di planet ini, perlu adanya perubahan cara pandang dari antroposentris menjadi ekosentrisme yaitu pandangan yang menempatkan alam dengan segala isinya sebagai pusat. Manusia hanyalah bagian dari alam dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan kesinambungan atau keberlangsungan hidup, dalam pandangan ini manusia tidak dapat dipisahkan dengan alam tempat tinggalnya. Cara pandang ••• 503 ekosentris tidak menyebabkan manusia kehilangan esensinya sebagai manusia melainkan memperkuat posisi mereka sebagai sahabat dengan alam. Dalam posisi tersebut akan terjalin hubungan yang sejajar untuk saling membutuhkan satu sama lain(Supriatna, 2016). Local genius yang dimiliki oleh masyarakat tradisional memiliki kelebihan untuk beradaptasi dengan lingkungan alam, sehingga alam tidak lagi menjadi musuh mereka melainkan dijadikan sebagai sahabat hidup selaras. Kemampuan manusia dalam membaca tanda-tanda alam menjadi sebuah kekuatan masyarakat lokal sebagai implikasi dari community practice (Goleman, Bennet, & Barlow, 2012). Dalam hal ini salah satu local genius yang mengandung konsep atau cara pandang ekosentrisme adalah tradisi wahyu kliyu, dimana tradisi wahyu kliyu merupakan simbol manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT dan memohon keselamatan atau tola balak (penangkal bencana, seperti; paceklik, pagebluk, gagal panen gempa dan lain-lain) oleh masyarakat dusun Kendal. Optimalisasi kebudayaan yang menurut penuturan para sesepuh merupakan warisan tradisi dan kepercayaan leluhur yang dianggap sakral bagi masyarakat Dusun Kendal. Penyelenggaraan upcara wahyu kliyu merupakan upaya untuk melestarikan tradisi dan budaya warisan leluhur. Upacara wahyu kliyu dilaksanakan sebagai tradisi turun-temurun sehinga masyarakat Dusun Kendal tidak mengetahui secara jelas sejak kapan tradisi tersebut dimulai, nemun meski begitu masyarakat tetap menjalankannya dan melestarikan tradisi upacara wahyu kliyu hingga sekarang. Berdasarkan kisah dari kepercayaan masyarakat bahwa dahulu upacara wahyu kliyu sempat dihentikan karena krisis, yang mengakibatkan masyarakat tidak sanggup membuat apem untuk pelaksanaan wahyu kliyu. Ketika tradisi wahyu kliyu atau selametan apem dihentikan terjadi bencana yang mengerikan di Dusun Kendal, dapat dikatakan sebagai malapetaka bagi masyarakat Kendal. Masyarakat menderita wabah penyakit menular yang disebut pagebluk, seperti contohnya; pagi sakit sore meninggal, sore sakit paginya meninggal (esuk loro sore mati, sore loro esuk mati) sehingga masyarakat menjadi khawatir dan tidak tentram hidupnya. Selain itu terjadi paceklik yang mengakibatkan kekurangan bahan pangan bagi masyarakat karena mengalami gagal panen. Disamping terjadinya pagebluk dan paceklik, Dusun Kendal mengalami keretakan (nelo) yang sangat lebar dan dalam pada jalan utama dan pekarangan penduduk, saat diukur kedalamannya menggunakan bambu tidak dapat hanya menggunakan satu bambu sehingga di sambung dengan dua bambu, setelah diangkat ternyata terdapat uang gobang. Setelah itu uang gobang dibawa ke Mangkunegaran (kerajaan yang menguasai daerah Karanganyar pada saat itu), untuk dilihat menggunakan mata batin, dari sinilah kemudian diberikanlah titah dari raja Mangkunegaran berdasarkan petunjuk oleh Sang Pencipta agar penduduk Dusun Kendal melaksanakan kembali tradisi wahyu kliyu. Sejak saat itulah Kemudian tradisi wahyu kliyu dilaksanakan dan dilestarikan sampai saat ini. Adapun Prosesi utama tradisi ini terletak pada pelemparan apem satu persatu pada tempat yang telah disediakan, dengan berdzikir atau ••• 504 mengucapkan doa “wahyu kliyu…wahyu kliyu…” sampai 344 buah apem habis. Terdapat singkronisasi dalam tradisi wahyu kliyu dan konsep ekosentrisme, masyarakat berusaha menjaga keseimbangan alam berupa sedekahan apem setiap tahunnya sebagai tolak balak, dan hal ini sebagai rasa syukur warga atas kelimpahan rezeki yang diberikan Allah kepada warga, selain itu keselamatan atas kerukunan hidup dan kesejahteraan serta keselamatan dari mala bencana. Sehingga atas kepercayaan dari warisan leluhur sampai saat ini tetap dilestarikan dan menjadi pedoman hidup bagi warga Dusun Kendal. Konsep ekosentrisme ini tercermin dimana manusia menghormati alam setiap tahunnya dengan memperingatinya melalui sebuah tradisi yang disebut wahyu kliyu atau sedekahan apem. Bahkan keberkahan apem yang sudah didoakan dalam wahyu kliyu dapat digunakan untuk menyuburkan tanah. Jadi menurut kepercayaan warga apem yang telah didoakan melalui prosesi tradisi wahyu kliyu, apabila setelah selesai acara dibawa pulang dan dikubur di tanah pekarangan akan menyuburkan tanah. Terlepas dari tradisi wahyu kliyu, masyarakatpun sangat berhati-hati dalam mengelola alam, untuk menjaga dan melestarikannya atau dapat dikatakan idak berlebihan dalam menggunakan alam. Sehingga dalam hal ini berdasar kepercayaan warga, alam memiliki kekuatan dan kekuasaan, dimana manuisa perlu menyadari bahwa mereka tidak dapat serakah dalam mengeksploitasi alam. Dan dalam tardisi wahyu kliyu dapat dipetik pelajaran bahwa tradisi sebagai penghormatan pada alam adalah suatu hal yang penting dan harus, karena akan menjadi pantangan tersendiri apabila tardisi tersebut tidak dilaksanakan. Kesimpulan Kearifan lokal masyarakat menjadi suatu hal yang penting guna memberikan pemahaman dan dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Selain itu perlunya mengubah pandangan antroposentris yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat penentu kehidupan di muka bumi menjadi ekosentrisme yaitu pandangan yang menempatkan alam dengan segala isinya sebagai pusat. Cara pandang ekosentris tidak menyebabkan manusia kehilangan esensinya sebagai manusia melainkan memperkuat posisi mereka sebagai sahabat dengan alam. Dalam posisi tersebut akan terjalin hubungan yang sejajar untuk saling membutuhkan satu sama lain. Salah satu kearifan lokal yang mengandung konsep ekosentrisme yaitu tradisi wahyu kliyu. Tradisi wahyu kliyu dan konsep ekosentrisme, masyarakat berusaha menjaga keseimbangan alam berupa sedekahan apem setiap tahunnya sebagai tolak balak, dan hal ini sebagai rasa syukur warga atas kelimpahan rezeki yang diberikan Allah kepada warga, selain itu keselamatan atas kerukunan hidup dan kesejahteraan serta keselamatan dari mala bencana. Daftar Rujukan [1] Domanska, E. (2001). Beyond antropocentrism in historical studies. USA: journal historein, vol. 10. ••• 505 [2] Goleman, D., Bennet, L., & Barlow, Z. (2012). Eco Literaty. san fransisco: jossey-bass published. [3] Mardliyah, W. (2017). budaya dan tradisi religi dalam halal tourism. Adiwidya 5. Bandung: kamil pascasarjana ITB. [4] Moleong, L. J. (2000). metode penelitian kualitatif. bandung : remaja rosdakarya. [6] Sasmita, G. G., Al Alaz, N., & Mardliyah, W. (2017). Simbolisme Apem Sebagai Manifestasi Rasa Syukur dan Keselamatan . Kearifan Lokal Sebagai Penguat Budaya Nasional (p. 4). Surakarta : Forum Mahasiswa Sejarah UNS. [7] Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alvabeta. [8] Supriatna, N. (2016). Ecopedagogy. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hasil Wawancara [1] Bapak Rakiman, selaku mantan kepala Dusun dan menjadi tempat yang selalu digunakan untuk pelaksanaan tradisi wahyu kliyu. September & Oktober 2017 [2] Bapak Darto, sesepuh Dusun. September 217 ••• 506 MEMBENTUK KESADARAN BUDAYA MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI-NILAI SENI TURONGGO YAKSO Nenin Al Alaz, Nunuk Suryani, Djono Pascasarjana Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret neninalz27@gmail.com ABSTRAK Turonggo yakso sebagai budaya lokal mampu mentrasfer nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman hidup generasi muda era global. Polarisasi budaya yang menyebabkan terjadinya hiruk pikuk kondisi kehidupan masyarakat menyebabkan generasi muda kehilangan identitas budaya. Desain pembelajaran inovatif perlu diberikan dalam pembelajaran sejarah guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah diformulasikan. Problematika pembelajaran sejarah yang dihadapi saat ini banyak dipengaruhi oleh munculnya sikap skeptis terhadap pemahaman akan pentingnya belajar sejarah. Akar kemajuan bangsa terletak pada generasi muda sebagai subyek agent of change. Inovasi pembelajaran dilakukan melalui pemahaman terhadap nilai-nilai budaya seperti nilai-nilai seni turonggo yakso yaitu nilai gotong royong, estetis, seremonial religi dan hiburan. Melalui nilai-nilai tersebut peserta didik diharapkan untuk menjadi pribadi yang tangguh dengan kesadaran budaya yang telah diciptakan oleh nenek moyang. Turonggo yakso merupakan sebuah jenis komunikasi kepada Tuhan yang dimanifestasikan dalam bentuk seni tari mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang bertumpu pada prinsip kehidupan masyarakat lokal trenggalek. Melalui nilai-nilai seni turonggo yakso ini bertujuan untuk mendayagunakan potensi lokal sebagai media penanaman nilai yang sesuai dengan konteks lingkungan budaya sekitar siswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan studi literature sebagai metodenya. Nilai-nilai dalam seni turonggo yakso dianalisis menggunakan pendekatan kontekstual. Kata Kunci: Kesadaran budaya, pembelajaran sejarah, nilai-nilai seni turonggo yakso Pendauluan Imperialisme bangsa barat merembes kedalam lingkungan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Perlu menjadi perhatian bahwa apabila tindakan ini tidak dapat diminimalisasi oleh masyarakat maka identitas dan jati diri bangsa akan semakin terkikis. Era globalisasi nyata tidak membuat masyarakat peduli akan budaya bangsanya. Perkembangan teknologi yang kian pesat mampu membawa arus kebudayaan semakin menipis. Perbedaan yang dimiliki unsurunsur kebudayaan asing membuat masyarakat lupa akan karakter budayanya sendiri. Fanatisme westernisasi di berbagai kalangan masyarakat terjadi saling beriringan. Tidak ada yang mempertahankan budaya yang telah dimiliki tetapi hanya ada upaya untuk menciptakan budaya baru era modern yang kurang sesuai dengan norma-norma yang telah berlaku di lingkup masyarakat. Hakikat ••• 507 pembelajaran merupakan suatu sarana untuk menciptakan manusia yang berwawasan luas, memiliki sikap peduli terhadap lingkungan, beradab, berbudaya dan membentuk kesiapan untuk terjun ke dunia masyarakat. Mengingat pembelajaran sebagai suatu kegiatan yang penting, para praktisi akademis berbondong-bondong untuk memperbaiki sistem pembelajaran melalui serangkaian perangkat-perangkat yang digunakan dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi pebelajar. Pembelajaran menjadi sebuah wahana transformasi dan regenerasi budaya yang terjalin antar generasi. Kemajuan bangsa tidak hanya ditentukan sejauhmana lulusan memiliki kepedulian terhadap negaranya tetapi kemajuan bangsa juga dipengaruhi oleh adanya kepedulian dan pengembangan terhadap kebudayaan yang menjadi identitas bangsa. Pembelajaran yang dilakukan harus memiliki sifat adaptif terhadap perkembangan zaman yang berkaitan dengan karakter siswa. Problematika yang terjadi pada lingkungan masyarakat khususnya Indonesia saat ini adalah kurang adanya kesadaran budaya yang dimiliki oleh generasi muda yang sebagian besar dipengaruhi oleh sikap apatis terhadap budayanya terutama terhadap budaya lokal. Tergesernya budaya lokal tersebut banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang menciptakan westernisasi yang diperluas melalui sosial media. Rendahnya jati diri yang dimiliki terhadap pembentukan budaya lokal dan daerah membuat siswa merasa bahwa kebudayaan, tradisi dan adat istiadat di lingkungannya hanya merupakan kekunoan dan mitos belaka yang tidak masuk akal. Sehingga secara perlahan budaya luar semakin menggerogoti generasi muda melalui kualitas teknologi yang memudahkan siswa berjamah dengan negara lain melalui media dengan mudah dan cepat. Pandangan hidup yang moderat menimbulkan sikap tidak peduli dan menganggap kebudayaan yang ada di lingkungannya tidak relevan. Lunturnya pemahaman budaya menjadi perhatian utama yang harus disikapi oleh semua kalangan masyarakat karena budaya sebagai salah satu identitas yang membawa nama bangsa untuk dikenal dunia. Orang yang patut menjaga budaya adalah generasi muda selaku penerus bangsa dan agent of change yang dalam hal ini bukan merubah tatanan budaya tetapi melestarikan dan mengenalkan budaya agar dikenal dan menjadi penguat jati diri bangsa. Indonesia merupakan negara yang kaya akan budayanya namun budaya yang terkandung didalamnya kerap tidak dilestarikan tetapi menjadi perhatian ketika budaya berupa seni telah di klaim negara lain. Kesadaran budaya digunakan pula sebagai alternatif untuk mencegah munculnya sikap primordialisme yang dapat meretakkan kehidupan bermasyarakat. Dalam sejarah diperlukan kesadaran kolektif untuk membangun sumber kekuatan menghadapi tantangan globalisasi dan menjaga keutuhan negara melalui enkulturasi yang terjalin dalam setiap ruang pendidikan baik formal, informal dan non formal. Cara tersebut dapat diperoleh siswa melalui pengalaman dan dikuatkan dengan konsepkonsep pemahaman keberagaman budaya untuk diintegrasikan dalam konteks kehidupannya. Proses transmisi kebudayaan dalam pembelajaran ini meliputi nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat, seni tari yang memanifestasikan mentalitas masyarakat dan konsep hidup yang mempengaruhi pembentukan pranata-pranata di lingkungan masyarakat. Pandangan terhadap pentingnya pemahaman terhadap ••• 508 adanya nilai-nilai budaya menjadikan siswa memiliki sikap menghargai, dapat mengembangkan, menghindari sikap primordialis dan mengarahkan siswa untuk mengenali dirinya melalui lingkungan dimana mereka tinggal. Kesenian tumbuh dan berkembang sesuai dengan peradaban yang melandasinya dan menjadi dasar manusia dalam memuaskan perasaan akan keindahan (estetis). Nilai-nilai estetis sebagai wadah ekspresi manusia tergambar dalam seni pertunjukan, seni media, seni rupa, seni tari, seni sastra dan seni musik. Fungsi senipun beragam seperti fungsi religi, sosial, komunikasi, rekreasi, artistik, dan fungsi guna. Berbagai macam langkah yang dilakukan masyarakat dalam melestarikan budayanya melalui tradisi, adat istiadat dan upacara sakral yang mengandung makna-makna yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Cara-cara tersebut salah satunya dapat dilestarikan melalui sebuah kesenian yang diciptakan untuk melestarikan suatu kebudayaan. Seni mengandung nilai estetis sejalan dengan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan akan adanya keindahan. Kemunculan seni tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur kebiasaan yang terkandung dalam perilaku-perilaku manusia penggagas seni itu sendiri. Salah satu langkah untuk menghadapi permasalahan-permasalahan rendahnya kesadaran budaya dan sikap apatis siswa terhadap budayanya maka diperlukan alternatif solusi untuk menyikapi permasalahan tersebut yaitu melalui pembelajaran riil yang terdapat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Pembelajaran sejarah menyediakan berbagai macam pembelajaran yang berkaitan dengan isu-isu sosial budaya. Jenis pembelajaran tersebut adalah pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai yang terdapat dalam seni turonggo yakso. Sejarah seni dan budaya memang merupakan pembahasan yang kurang populer dibanding sejarah politik dan ekonomi. Kesadaran budaya sendiri merupakan sebuah pengertian yang luas yaitu pemahaman terhadap keanekaragaman budaya diluar budaya sendiri sehingga mampu mengenali perkembangan budaya yang tidak terbatas dalam lingkup daerah dan tidak berbatas waktu. Tujuan dari pembelajaran ini untuk dapat membentuk jati diri bangsa dalam menghadapi serangan global yang menjangkiti negara bangsa agar dapat menciptakan nation character building. Seni merupakan aspek budaya (Pranoto, 2014: 75). Budaya menjadi jiwa bangsa yang melekatkan dirinya melalui sebuah penciptaan seni yang mampu mengekspresikan mentalitas dan kehidupannya dalam masyarakat. Nilai-nilai seni yang akan diberikan guna mengatasi solusi rendahnya kesadaran budaya yang dimiliki siswa yang diakibatkan adanya globalisasi. Permasalahan tersebut memunculkan budaya dan mentalitas baru bagi kalangan masyarakat yang dikhawatirkan dapat melunturkan budaya dasar yang telah terbentuk sejak puluhan tahun lamanya. Urgensi pembentukan sikap sadar budaya harus dilakukan secara terus menerus dalam bentuk enkulturasi dalam lingkungan sosial. Sekian banyak seni budaya yang ada di Indonesia, ada salah satu seni budaya yang masih eksis dikalangan seniman masyarakat lokal adalah seni turonggo yakso. Seni ini memiliki keunikan dan dapat disebut sebagai avant grade karena seni ini sangat inovatif terlihat adanya modifikasi dalam setiap pertunjukan seni tari ini yang membentuk keunikan tersendiri tanpa menghilangkan esensi, nilai, estetika, dan sakralitas seni turonggo yakso sendiri menjadi hal menarik untuk dapat di integrasikan melalui pembelajaran sejarah. ••• 509 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut Cresswell (2009: 4), proses penelitian kualitatif melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, megumpulkan data spesifik dan para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data. Melalui wawancara kepada penggiat seni tari turonggo yakso, analisis buku seni turonggo yakso dan berbagai buku-buku yang berkaitan dengan judul maka penulis menuangkan asumsi penulis yang diperkuat dengan sumber-sumber referensi. Nilai-nilai seni turonggo yakso diperoleh melalui wawancara dengan sesepuh desa Dongko yang menggeluti seni turonggo yakso yang diikuti dengan penguatan melalui studi literatur yang berkaitan dengan nilai-nilai tersebut untuk mendapatkan indikator-indikator terkait mengetahui langkah mengukur kemampuan siswa sebagai alternatif solusi meningkatkan kesadaran budaya. Sejarah dan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Seni Turonggo Yakso Budaya turun temurun dalam kesenian lokal khas daerah tingkat kabupaten Trenggalek ini lahir dari warisan nenek moyang yang dilakukan oleh masyarakat Dongko. Berawal dari upacara sakral yang dilakukan pada bulan Syura (Muharam) yang ditentukan oleh sesepuh desa. Waktu upacara ini dilaksanakan pukul 11.00 WIB yang diikuti dengan kedatangan para petani yang sudah istirahat dalam mengerjakan pekerjaan menanam padi dan tanaman lain yang disebut dalam istilah orang Dongko dengan “bubar ngarit tanduran” (setelah selesai memanen kemudian menanam tanaman). Berdasarkan istilah tersebut Mbah Karto Sentono memberi nama Baritan. Kepercayaan terhadap makna dari upacara sakral ini di manifestasikan dalam sebuah bentuk tari yang menggambarkan gerakan para petani yang menanam padi di sawah. Kesenian Turonggo Yakso dapat diikuti oleh siapa saja yang menginginkan dan tidak memiliki aturan-aturan khusus bagi para pelaku serta pihak-pihak yang terlibat langsung. Sesepuh desa Dongko terus menggalakkan adanya generasi muda yang menarikan seni turonggo yakso sebagai sarana untuk mengingatkan adanya suatu falsafah yang menjadi pedoman bagi masyarakat sekitar bahwa masyarakat lokal memiliki sebuah tradisi untuk melakukan syukuran terhadap hasil bumi yang melimpah serta menyadarkan kepada generasi muda bahwa binatang ternak merupakan sebuah mitra kerja yang harus dijaga serta dilingdungi agar tetap bisa membantu warga tani untuk menanam tanaman panen di ladang/sawah. Tarian Turonggo Yakso berasal dari desa Dongko yang muncul pada tahun 1966. Kemunculan ini dipengaruhi oleh masyarakat desa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Tumbuhnya seni tari Turonggo Yakso diilhami dari adanya mitos tradisi upacara sakral baritan yang tidak dapat dilaksanakan kembali oleh masyarakat desa Dongko, huru hara yang terjadi pada masa orde baru yang menganggap orang sebagai kelompok PKI apabila ada orang-orang yang bergerombol. Ketakutan akan adanya pembubaran dan anggapan tersebut maka masyarakat desa Dongko mengganti upacara adat sakral baritan dengan melakukan serangkaian seni tari Turonggo Yakso untuk mengingatkan kepada generasi muda yang akan datang berkaitan dengan adanya upacara adat baritan ••• 510 yang dilakukan sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpah ruahnya hasil panen, upacara tersebut bertujuan agar terhindar dari musibah dan mengingatkan bahwa kerbau adalah mitra kerja para petani. Dahulu jaranan Turonggo Yakso kerap digelar di sawah atau ladang yang selesai dipanen. Kesenian rakyat pada umumnya digelar tanpa panggung dan digelar di tempattempat yang terbuka di sebuah tanah lapang atau di tanah persawahan. Namun kebiasaan tersebut berubah sejak adanya kebijakan BPPC yang menjadikan sebagian besar masyarakat desa Dongko menebang pohon cengkeh yang tidak mau kembali menanam cengkeh sehingga seni tari tersebut kerap dilakukan di balai desa. Dalam sekian gerakan Turonggo Yakso diiringi dengan prosesi sembahan gerak ukel bermakna persembahan yang menandakan sebuah bentuk tanda syukur kepada Tuhan. Pada saat ini kesenian rakyat selain menjadi sebuah tradisi seringkali dipertontonkan atau dipentaskan dalam lapangan terbuka atau di sebuah tanah lapang di desa sebagai sebuah hiburan. Seni turonggo yakso memiliki kandungan nilai-nilai yang disampaikan melalui pola gerak tari yang memiliki makna disetiap gerakannya. Nilai-nilai seni turonggo yakso diantaranya adalah hiburan, seremonial religi, estetis, dan gotong royong. Nilai hiburan, bahwa di bentuknya seni Turonggo Yakso ini juga dikaitkan dengan masyarakat desa sekitar Dongko yang sebagian besar adalah petani seringkali membutuhkan sarana hiburan setelah mereka bekerja dan mendapatkan hasil panen, hal tersebut juga untuk menghindari adanya perjudian yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Seremonial religi, seni ini merupakan visualisasi yang dibentuk untuk mengganti upacara adat sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa atas melimpah ruahnya hasil bumi. Estetis adalah seni ini dibentuk atas dasar rasa untuk saling memiliki kesenian dan mendapatkan keselarasan antara seni dan memikat daya tarik masyarakat luas yang dibentuk oleh pegiat seni didaerah lokal. Nilai gotong royong yaitu seni ini dilandasi atas etos gotong royong masyarakat yang kuat dan memiliki sikap saling membutuhkan satu sama lain. Perkembangan Turonggo Yakso didukung oleh lingkup kecil kalangan petani yang kemudian secara lisan mulai dijamah oleh khalayak luas dan dikenal sebagai seni yang memiliki kandungan mistis yang diyakini oleh warga desa Dongko. Pentingnya nilai-nilai seni turonggo yakso ini menggambarkan bahwa tradisi lisan dianggap kurang efektif untuk mengajak generasi muda memahami budaya berupa upacara adat sakral baritan. Menurut Ali dalam Sukatman (2009: 13-14), kepunahan Tradisi Lisan disebabkan oleh dampak keberhasilan pembangunan diiringi merambahnya media audio-visual sehingga anak-anak melupakan esensi tradisi lisan, tidak ada alih cerita dan penutur karena generasi tua yang sudah mulai kehilangan ingatan serta meninggal, generasi muda menganggap tradisi lisan tersebut kuno dan kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk mengembangkan fungsi penting dari tradisi lisan. Sesepuh desa berharap melalui seni ini proses enkulturasi secara spontanitas dapat diberikan melalui seni yang dapat disampaikan dan diajarkan dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Sehingga sesepuh di desa membuat tarian yang dapat menyampaikan pesan tentang falsafah hidup dan sebagai eksistensi perkembangan peradaban masyarakat lokal. ••• 511 Integrasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Seni Turonggo Yakso untuk Meningkatkan Kesadaran Budaya Melalui Pembelajaran Sejarah Tujuan merupakan sebuah aspek peting dalam melakukan proses pembelajaran dengan tujuan agar penyelenggaraan belajar mengajar berjalan dengan terarah untuk menentukkan sejauhmana tujuan dapat tercapai. Untuk menjamin lulusan agar memiliki kompetensi yang diinginkan maka arah pembelajaran ditentukan berdasarkan tujuan umum dan tujuan khusus yang berorientasi pada tujuan sistem pembelajaran. Menurut Sanjaya (2010: 11) dalam Agung (2013: 39), model sistem pembelajaran dimulai dengan tujuan yang harus dicapai, menentukan bagaimana cara siswa mencapai tujuan, evaluasi pembelajaran, fasilitas fisik yang diperlukan hingga mencapai pemerolehan hasil untuk menentukan kekurangan apa yang ada dalam pembelajaran untuk dilakukan perubahan dan sumber belajar yang diperlukan untuk menambah pengalaman belajar. Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan diatas, maka guru akan lebih mudah menganalisis kebutuhan sebagai langkah mengambil keputusan menghadapi proses pembelajaran selanjutnya. Sumber belajar siswa sangat beragam, untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran juga diperlukan suatu alternatif guna mencapai tujuan. Masalah pembelajaran yang sedang diperhatikan oleh berbagai kalangan sekarang adalah munculnya era globalisasi yang menjamah lingkungan pendidikan. Sumber belajar siswa sudah banyak yang bisa langsung diperoleh dari dunia digital sehingga lingkungan tidak lagi menjadi penting karena merasa bahwa tantangan negara luar harus dihadapi melalui serangkaian cerdas teknologi tanpa mengindahkan kekayaan budaya yang ada disekitarnya. Kebudayaan merupakan suatu hasil tingkah laku, aspirasi dan interaksi manusia dengan alam yang membentuk watak suatu masyarakat. Budaya menjadi sebuah identitas suatu komunitas yang daat ditonjolkan melalui karya-karya monumental yang terus menerus dikembangkan. Budaya bukan merupakan sebuah warisan dari keturunan tetapi budaya adalah sebuah penciptaan yang dilakukan atas dasar adanya kesinambungan antara karsa dan rasa. Menurut William A. Haviland (1985) dalam Poerwanto (2000: 76), diantara berbagai unsur dalam suatu kebudayaan, ada yang merupakan inti atau cultural core, yaitu berupa unsur-unsur kebudayaan tertentu yang menentukan berbagai bentuk kehidupan suatu masyarakat. Unsur-unsur tersebut membentuk satu kesatuan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat misalnya lingkungan, alam, dan sosial. Penciptaan sebagai hasil kebudayaan memiliki berbagai macam wujud diantaranya wujud konkret dan wujud abstrak. Adapun wujud konkrit tersebut berupa suatu seni, lagu, dan tradisi, sedangkan wujud abstraknya merupakan ide, nilai dan norma. Sendi-sendi masyarakat terbangun melalui aspek-aspek mentalitas masyarakat yang ada didalamnya makan dari itu pembentukan kesadaran budaya harus dibangun sejak masa kecil sehingga budaya yang dimiliki dapat dilestarikan atau seringkali disebut enkulturasi. Pendidikan menjadi salah satu alternatif penting yang dapat mentransmisikan nilai-nilai kebudayaan. Asumsi tersebut di latar belakangi karena pendidikan adalah sarana pembentukan serta perubahan tingkah laku, sikap, pikiran, sarana memperoleh pengetahuan, wadah penyatu segala macam budaya ••• 512 siswa dalam lingkup kelas, ketrampilan dan kebiasaan. Beberapa aspek tersebut dapat dibentuk dengan pelajaran sosial yang memiliki konteks dekat lingkungan masyarakat. Pelajaran sosial atau istilah social studies berasal dari Amerika ada untuk memenuhi kebutuhan masyarakat guna menjadi warga negara yang baik. Sejarah menjadi bagian social studies yang memaparkan tentang proses perubahan dan perkembangan masa lampau. Melalui pelajaran sejarah maka nilai-nilai dapat diajarkan guna memahami, menemukan dan menjelaskan jati diri bangsa dari masa ke masa. Nilai-nilai yang terkandung dalam seni turonggo yakso diantaranya adalah hiburan, seremonial religi, estetis, dan gotong royong. Nilai hiburan merupakan sebuah nilai yang selalu melekat didalam sendi masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dari keinginan untuk memikat hati penikmat seni agar kadungan pesan dalam seni tersampaikan kepada penonton yang tentunya sebagai sarana edukasi secara implisit. Menurut Zakiyah dan Rusdiana (2014: 112), nilai seremonial religi merupakan sikap dan perilaku yang patuh melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Seni turonggo yakso ini mengajarkan tentang nilai religius yang tingga terlihat dilakukannya upacara sesuai kepercayaan jawa sebelum dan ditengah berlangsungnya pelaksanaan seni.Nilai estetis adalah suatu unsur yang melekat pada seni tari yang kehadirannya untuk memberikan suatu selera yang bersinergi dengan tarian atau memberikan kesan lebih hidup. Untuk mencapai keindahan, tokoh-tokoh dalam seni turonggo yakso dipersiapkan sesuai dengan karakternya. Nilai gotong royong yaitu persoalan akan adanya kesadaran akan hak dan kewajiban saling tolong menolong antar sesama. Menurut Koentjaraningrat (2005: 155), dalam masyarakat yang memiliki jiwa gotong royong, kebutuhan umum dinilai lebih tinggi daripada kebutuhan pribadi, dan kerja bakti merupakan hal yang terpuji. Adanya nilai gotong royong dalam seni turonggo yakso membuat jiwa sosial masyarakat semakin terpupuk apalagi dalam perkembangan era globalisasi saat ini yang identik dengan sikap individualisme akibat kemajuan teknologi. Sejarah lokal memberikan wawasan kepada siswa akan pentingnya mengetahui sejarah daerah sehingga kekayaan alam didalamnya dapat tereksplor dan dapat dikenal di masyarakat luas. Sejarah menunjukkan masing-masing corak budaya yang telah terjalin berabad-abad lamanya. Bahkan kebudayaan yang ada memiliki keramahan dan keakraban dengan lingkungan menjadi kekhasan tersendiri. Kearifan lokal yang tergambar melalui pengenalan sejarah lokal mengandung kebaikan bagi kehidupan siswa. Maka sejarah lokal dapat menumbuhkan pula keberadaan secara nasional yang mengakrabkan siswa dengan nilai-nilai sejarah budaya di lingkungan sekitarnya. Menurut Wasino (2005: 1), dalam konteks pembelajaran sejarah, sejarah lokal diperlukan untuk membangkitkan kesadaran sejarah nasional serta menghindarkan siswa dari ketidaktahuan terhadap nilai sejarah yang ada di sekitarnya. Pembelajaran sejarah hendaknya dimulai dari fakta-fakta yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal anak, baru kemudian pada fakta-fakta yang jauh dari tempat tinggal anak. Substansi yang dapat diajarkan kepada siswa dri sejarah lokal adalah bagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya dan mampu menumbuhkan sikap kritis siswa terhadap fenomena didalam masyarakat. ••• 513 Melalui nilai-nilai seni turonggo yakso, siswa diajak untuk mendekatkan diri pada situasi riil di lingkungan terdekatnya. Guru memberikan peluang pada siswa untuk mengenal budaya dalam lingkungan dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap masyarakat lainnya, khususnya Jawa yang sangat kental dengan budaya-budaya bermasyarakat melalui interaksi sosial yang dilakukan melalui keterhubungan antar kebudayaan. Namun dalam fenomena yang terjadi saat ini kekhasan tersebut sudah mulai luntur bahkan antar masyarakat sudah terlihat tidak saling mengenal, kesibukannya dengan dunia sosial media mengakibatkan kedekatan emosional antar masyarakat hilang. Maka dari itu sebagai alternatif solusi diperlukan penanaman nilai-nilai yang selaras dengan tujuan yang ingin dicapai dan mempertimbangkan kedekatan dengan siswa agar terbentuk kesadaran siswa secara budaya. Adanya kesadaran budaya ditandai dengan pertama, pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku bangsa yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keunggulan-keunggulannya, kedua sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan suku-suku bangsa diluar suku bangsanya sendiri, ketiga pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam dan keempat pengertian bahwa disamping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru yaitu kebudyaan nasional (Sedyawati, 2010:330). Keempat aspek kesadaran budaya diatas merupakan suatu penilaian terhadap mulai terbentuknya kesadaran budaya yang melalui hal ini maka guru dapat memberikan pengukuran berupa tes tertulis untuk mengetahui penilaian pada aspek kognitif siswa terkait dengan hasil belajarnya melalui internalisasi nilai-nilai seni turonggo yakso. Internalisasi nilainilai seni turonggo yakso mengandung makna yang begitu dalam untuk dapat disampaikan kepada masyarakat maka akan sesuai dan tepat sasaran apabila penanaman nilai juga dilakukan di lingkungan sekolah guna membentuk pola berfikir siswa berdasarkan atas pranata yang ada. Cara untuk menumbuhkan kesadaran budaya tersebut sangat sesuai karena sumber pembelajaran dapat diperoleh melalui sumber belajar yang paling dekat dengan siswa. Nilai-nilai tersebut bahkan tidak akan membosankan untuk dapat dipelajari oleh siswa karena disampaikan melalui seni dan guru hanya menyampaikan pokok-pokok yang terkandung dalam makna tarian sehingga siswa dapat melihat langsung pada seni tari dan memperoleh nilai secara tidak langsung. Selain melalui tari, pelajaran sejarah mampu mewadahi pelajaran akan nilai-nilai dalam seni tersebut melalui serangkaian pelajaran nilai yang dapat diintegrasikan dalam materi yang disesuaikan dengan sejarah kemunculan seni dan secara kronolgis menjelaskan terbentuknya nilai dalam seni tari tersebut. Kemudian setelah diberikan siswa akan sadar akan adanya suatu pranata dalam kehidupan yang dapat dibentuk oleh suatu peradaban masyarakat berdasarkan pada mentalitas dan sinergitas dengan lingkungan mereka. ••• 514 Kesimpulan dan Saran Pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai seni turonggo yakso ini merupakan suatu hal masih baru karena beberapa penelitian masih banyak diambil mahasiswa jurusan seni tari. Tetapi yang berbeda dalam pembahasan ini adalah penggunanaan nilai-nilai dalam seni tari diintegrasikan dalam pembelajaran sejarah. Urgensi pembelajaran nilai dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya yaitu munculnya berbagai fenomena-fenomena sosial yang tidak bernilai dan cenderung mengacuhkan nilai-nilai budaya yang ada didalam sendi masyarakat. Westernisasi telah menjadi suatu hal biasa sehingga apabila tidak segera diatasi maka akan memunculkan generasi-generasi muda yang lupa akan sejarah dan makna dari budayanya sendiri. Seni merupakan salah satu bagian dari kebudayaan karena menjadi suatu pengenal peradaban itu sendiri dengan perkiraan sejauhmana suatu masyarakat mengembangkan budayanya agar mereka memiliki esistensinya dalam masyarakat luas. Nilai-nilai yang terkandung dalam seni turonggo yakso menjadi pesan bagi generasi muda karena tujuan adanya seni ini sendiri diciptakan ole masyarakat lokal desa Dongko untuk mengingatkan kepada generasi muda akan adanya tradisi yang harus dijaga agar kehidupan tetap bermakna dengan nilai-nilai yang disampaikan dalam seni dan menjadi pedman bagi kehidupan masyarakat kedepan. Nilai-nilai seni turonggo yakso identik dengan unsur-unsur Jawa yang memiliki hubungan kental antar masyarakatnya dan menjadi identitas bagi bangsa Indonesia. Apabila nilai-nilai dalam seni dapat dikembangkan dan dapat menumbuhkan kesadaran siswa akan budaya pembelajaran akan semakin bermakna serta muncul generasi-generasi yang memiliki wawasan akan budayanya. Daftar Pustaka Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia (Pengantar Teori dan Pembelajarannya). Yogyakarta: LaksBang PressIndo. Agung, Leo & Sri Wahyuni. 2013. Perencanaan Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi Jilid II. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Creswell, John W. 2009. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Terjemahan Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pranoto, Suhartono W. 2014. Teori dan Metodologi Sejarah Umum. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wasino. 2005. Sejarah Lkal dan Pengajaran Sejarah di Sekolah. Dalam Jurnal Paramita. Vol. 15 No. 1 Juni 2005. ••• 515 Zakiyah, Qiqi & Rusdiana. 2014. Pendidikan Nilai Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Pustaka Setia. ••• 516 ••• 517 ••• 518 PENERAPAN MODEL STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) PADA PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) Oleh : Ais Murjianti Pembimbing: (1) Hermanu Joebagio dan (2) Nunuk Suryani Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, FKIP-UNS ABSTRAK Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan suatu model pembelajaran dengan menggunakan diskusi kelompok dengan anggota 5-6 orang dan kelompok lain yang lembar kerjanya sama menanggapi kelompok yang maju ke depan. Kemudian guru beserta siswa menyimpulkan materi pembelajaran.dan siswa secara individu mengerjakan pos test..Tujuan penelitian : mengetahui efektivitas penerapan model STAD dalam pembelajaran IPS Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model STAD dapat dalam pembelajaran IPS dapat mendorong siswa untuk bekerjasama dalam kelompok. Kata kunci : model STAD, pembelajaran IPS Pendahuluan Pada masa sekarang ini pembe lajaran IPS dianggap tidak menarik dan tidak diminati dibandingkan dengan pembelajaran lain misalnya mata pelajaran Matema tika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris . Disamping itu banyak kursus-kursus terutama mata pelajaran yang di jadikan ujian Negara, sedangkan pelajaran IPS dianggap sebelah mata karena tidak dijadikan ujian Negara. Hal ini mengakibatkan rendahnya prestasi belajar IPS. Diharapkan dan diupayakan dalam meningkatkan proses pembela jaran IPS kita tidak lagi memperta hankan model pembelajaran yang konvensional. Tetapi mencari model pembelajaran yang mengedepankan gotong-royong antar peserta didik. Dalam strategi ini pembelajaran yang dilakukan berpusat pada kepentingan siswa atau siswa sentris. Guru hanya sebagai fasilitator. Tehnik kegiatan nya cukup beragam misalnya tanya jawab, diskusi, sosio drama, kerja kelompok, dan sebagainya. Sehingga situasi belajar sangat fleksibel, gembira, demokrasi, lebih hidup, dan diharapkan bisa mengembangkan baik aspek kognitif, afektif, dan psiko motorik. Model pembelajaran yang kurang melibatkan peserta didik akan berakibat menurunnya minat belajar peserta didik, sehingga motivasi belajar akan menurun dan pada akhirnya prestasi belajarpun juga tidak akan mendapatkan hasil belajar yang optimal. Maka model pembelajaran yang digunakan guru sangat berpengaruh terhadap keberha silan atas prestasi belajar peserta didik. Dengan demikian dapat diupayakan guru untuk membangkitkan aktivitas peserta didik dalam proses pembela jaran IPS agar hasilnya meningkat, maka perlu adanya ••• 519 pemecahan masalah tersebut dengan melakukan pengem bangkan pembelajaran kooperatif model Student Teams Achievement Division (STAD).. Berdasarkan Permendikbud No 65 tahun 2013, media pembelajaran merupakan alat bantu proses pembela jaran untuk menyampaikan materi pelajaran. Media pembelajaran yang dimaksud dalam Permendikbud No 65 tahun 2013 tersebut antara lain: gambar diam, rekaman suara, televisi, benda asli atau orang, model dan laboratorium di luar ruangan (out door laboratory), diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar IPS . Metode Pembelajaran Student Team Achievement Division ( STAD) Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Uni versitas John Hopkin (dalam Slavin, 1995) merupakan pembelajaran koo peratif yang paling sederhana, dan merupakan pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif. STAD adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerjanya, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa diberi kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling membantu. Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD merupakan pendekatan Cooperative Learning yang menekan kan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Guru yang menggu nakan STAD mengajukan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu meggunakan presentasi Verbal atau teks. Menurut Slavin (2005:143-146) ada lima komponen utama dalam pembelajaran kooperatif metode STAD, yaitu: 1) Presentasi kelas Presentasi kelas atau penyajian kelas merupakan penyajian materi yang dilakukan guru secara klasikal dengan menggunakan presentasi verbal atau teks. Penyajian difokus kan pada konsep-konsep dari materi yang dibahas. Setelah penyajian materi, siswa bekerja pada kelompok untuk menuntaskan materi pelajaran melalui tutorial, kuis atau diskusi. 2) Tim ( kelompok) Tim (kelompok) menjadi hal yang sangat penting dalam STAD karena di dalam kemampuan akademik yang diharapkan. Fungsi dibentuk nya kelompok adalah untuk saling meyakinkan bahwa setiap anggota kelompok dapat bekerja sama dalam belajar. Lebih khusus lagi untuk mempersiapkan semua anggo ta kelompok dalam menghadapi tes individu. Kelompok yang dibentuk sebaiknya terdiri dari satu siswa dari kelompok atas, satu siswa dari kelompok bawah dan dua siswa dari kelompok sedang. Guru perlu mempertimbangkan agar jangan sampai terjadi pertentangan antar anggota dalam satu kelompok, walaupun ini tidak berarti siswa dapat menentukan sendiri teman sekelompoknya. ••• 520 3) Tes dan Kuis : Siswa diberi tes individual setelah melaksanakan satu atau dua kali penyajian kelas dan bekerja serta berlatih dalam kelompok. Siswa harus me nyadari bahwa usaha dan keberhasilan mereka nantinya akan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesuksesan kelompok. 4) Skor kemajuan (peningkatan) individual Skor kemajuan (peningkatan) individual berguna untuk memotivasi agar bekerja keras memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Skor peningkatan individual dihitung berdasarkan skor dasar dan skor tes. Skor dasar dapat diambil dari skor tes yang paling akhir dimiliki siswa, nilai pretes yang dilakukan oleh guru sebelumnya melaksanakan pembelajaran kooperatif metode STAD. 5) Rekognisi Tim (Pengakuan kelompok) : Rekognisi Tim (Pengakuan kelompok) dilakukan dengan memberikan penghargaan atas usaha yang telah dilakukan kelompok selama belajar. Kelompok dapat diberi sertifikat atau bentuk penghargaan lainnya jika dapat mencapai kriteria yang telah ditetapkan bersama. Pemberian penghar gaan ini tergantung dari kreativitas guru. Pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pelaksanaannya berbeda dengan pembelajaran lainnya. Model ini lebih menekankan pada kerja sama siswa dan penghargaan yang diperoleh siswa dalam kelompok. Langkah-lang kah pembelajaran kooperatif tipe STAD didasarkan pada tahapan pembelajaran kooperatif yang terdiri atas enam langkah atau tahap.Tahap-tahap dalam pembelajaran kooperatif dapat ditunjukkan dalam tabel berikut: Fase-Fase Pembelajaran Kooperatif Thahap-tahap Kegiatan Guru Tahap 1 Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa Tahap 2 Menyajikan/ menyampaikan informasi Tahap 3 Mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar Tahap 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Tahap 5 Evaluasi Tahap 6 Memberikan penghargaan Menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan Menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah diajarkan atau masing-masing kelompok mempresentasiakn hasil kerjanya Mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok (Sumber: Rusman, Model-model pembelajaran, 2012: 211) ••• 521 Dalam pembelajaran model STAD terdapat kelebihan maupun kekurangan Adapun kelebihan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: 1) Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain. 2) Siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan 3) Dalam proses belajar mengajar siswa saling ketergantungan positif 4) Setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain.(Ibrahim, dkk. 2000: 72). Sedangkan kekurangan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah : 1) Membutuhkan waktu yang lama 2) Siswa tidak mau apabila disatukan dengan temannya yang kurang pandai apa bila ia sendiri yang pandai dan yang kurang pandaipun merasa minder apa bila digabung kan dengan teman yang pandai walaupun lama-kelamaan perasaan itu hilang dengan sendirinya. 3) Tes. Siswa diberi kuis dan tes secara perorangan. Pada tahap ini setiap siswa harus memperhatikan kemampuan nya dan menunjukkan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menja wab soal kuis atau tes sesuai dengan kemempuannya. Pada saat mengerja kan kuis atau tes ini, setiap siswa bekerja sendiri, bekerja sama dengan anggota kelompoknya. 4) Penentuan skor. Hasil kuis atau tes diperiksa oleh guru. Setiap skor yang diperoleh siswa dimasukkan dalam daftar skor individual, hal ini untuk melihat peningkatan kemam puan individual, Rata-rata skor peningkatan individual merupakan sumbangan bagi kinerja pencapaian hasil kelompok. 5) Penghargaan terhadap kelompok. Berdasarkan skor peningkatan individu diperoleh skor kelompok. Dengan demikian skor kelompok sangat tergantung dari sumbangan skor individu. Berdasarkan uraian tentang kelebihan dan kekurangan dalam pembelajaran model STAD banyak terdapat kelebihanya yaitu peserta didik: (1) bekerjasama dengan teman lain; (2) dapat menguasai pelajaran; (3) dapat mengisi satu sama lainnya sedangkan kekurangannya yaitu (1) butuh waktu; (2) peserta didik yang pandai tidak mau disatukan dengan teman yang tidak pandai (3) tes harus dikerjakan sendiri; (4) hasil kuis dimasukkan guru dalam daftar skor individu; (5) penghargaan kelompok tergantung pada individu. Kesimpulan Berdasarkan tahap-tahap yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa tahap yang paling menonjol dan merupakan ciri dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu adanya kerja sama dalam kelompok dan adanya penghargaan atau sertifikat kepada kelompok yang memperoleh hasil belajar yang baik dan memuaskan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan bersama. Hal ini merupakan salah satu bentuk motivasi yang diberikan kepada siswa agar siswa dapat menguasai pelajaran. ••• 522 Daftar Pustaka Anita Lie, 2003, Coorperative Leaning Mempraktekkan Coorpertive Leaning di Ruang Ruang Kelas, Jakarta: PT Gramedia Arief S Sardiman, 2012 Media Pendidikan, Pengertian, Pengembanngan, dan Pemanfaatannya, Depok: Rajawali Press E. Kosasih. 2014. Strategi Belajar dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013. Ban dung: Yrama Widya. Etin Solihatin dan Raharjo. 2012. Cooperative Learning Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara. Isjoni. 2011, Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: ALFABETA Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: PT. Ghalia Indonesia. Muslimin Ibarhim,dkk,2000, Pembelajaran Kooperatif. Surakarta: UNS University Press Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Tentang Buku Teks Pelajaran dan Buku Panduan Guru Kurikulum 2013. Permendikbud No 58 tahun 2014, tentang kurikulum SMP Robert E Slavin, 2005, Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media Rusman ,2012, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, Jakarta: PT Raja Grafindo Pustaka Sugiyanto. 2009. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta : FKIP UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ••• 523 ••• 524 ••• 525