[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
PEMIKIRAN TEOLOGI ASY’ARIYAH MATA KULIAH SEJARAH PEMIKIRAN KALAM Oleh : Ramadina Sabila Firdausi (1904026041) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Walsisongo, Semarang A. Pendahuluan Sebelum timbulnya madzhab Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah, dalam dunia Islam belum mengkhususkan sebuah madzhab dengan istilah ahl al Sunnah wa al Jama’ah. Sebab semua umat Islam secara pasif dapat disebut sebagai ahl al Shunnah wa al Jama’ah. Kemunculan madzhab Asy’ariyah yang mencoba mengatasi berbagai faham yang berkembang di kalangan umat Islam dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat menyebabkan Asy’ariyah disebut sebagai madzhab Ahli Sunnah yang mula-mula. Term Ahli Sunnah dan Jama'ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham- paham golongan Mu'tazilah yang telah dijelaskan dalam makalah sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaranajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan untuk menentang serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtadha, Wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain. Kelihatannya, muridmurid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut Yaqut, di Thahart (suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko) terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut Wasil.1 Abu al-Hasan al Asy’ari pernah menganut paham Mu’tazilah dan bahkan menjadi murid kesayangan Abu Ali al-Jaba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Oleh karena, itulah beliau memiliki kemampuan berbicara dan berdebat yang tidak 1 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 62. kalah dengan gurunya. Namun kemudian beliau berbalik menjauhkan diri dari Mu’tazilah. Seruan yang bernada penentangan terhadap pemikiran mu’tazilah pertama kali dilakukan di masjid Bashrah pada suatu hari Jumat. Diantara seruannya antara lain beliau menyatakan diri telah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah yang menyakini bahwa Alquran adalah makhluk. Dalam salah satu risalahnya Abu al-Hasan al-Asy’ari menyatakan bahwa banyak di antara pengikut Mu’tazilah dan ahli Qadar (madzhab Qadariyah) telah salah menempatkan sikap dengan mengikuti pemimpin yang masih hidup maupun yang telah mati secara taklid buta. Abu al Hasan mengkoreksi kesalahan metodologis yang digunakan oleh kedua kalangan tersebut dalam menafsirkan maksud petunjuk Allah dalam Al Quran dan menjelaskan penyimpangan pemikiran yang disebabkan oleh kesalahan metodologis tersebut. B. Pembahasan 1. Pengertian Asy’ariyah Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama AlAsy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M.2 Pada awalnya AlAsy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist. Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah. Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Alquran adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, maka perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri yang yang membuatnya. Aku 2 Soekama Karya. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Logos, Jakarta, 1996). h. 25. bertaubat, bertaubat dan mencabut paham-paham Mu’tazillah dan keluar daripadanya".3 Al-Asy’ari menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai lapangan yang bisa dibaca oleh orang banyak. dia menolak pendapat Aristoteles, golongan Jahamiyah dan golongan Murji’ah. Akan tetapi fokus kegiatan Al-Asy’ari adalah ditujukan pada orang- orang Mu’tazilah seperti Ali Al-Jubai, Abul Hudzail dan lain-lain. 2. Sejarah berdirinya Asy’ariyah Teologi Asy’ariyah muncul karena tidak terlepas dari, atau malah dipicu oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi Asy’ariyah muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak rasionil. Aliran Mu’tazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisionil Islam terutama golongan Hanbaali. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pada tahun 827 M. Khalifah Abbasiyah, al-Makmun, menerima doktrin Mu’tazilah secara resmi, dan dilanjutkan pada pemerintahan dua khalifah setelahnya. Orang-orang yang teguh memegang tradisi, khususnya Ahmad bin Hanbal disiksa bahkan lebih dari itu, orang-orang yang tidak memahami defenisi dogmatis Mu’tazilah yang cerdas atau menolak menerima mereka, dan kadangkadang sebagian besar dianggap kafir.4 Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, serangan Mu’tazilah terhadap para fuqahaa’ dan muhaddisiin semakin gencar. Tak seorang pun pakar fiqh yang populer dan pakar hadis yang mashur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-mihnah (inkuisisi).5 Banyak tokoh dan ulama yang menjadi panutan umat menjadi korban gerakan mihnah, mulai dari penyiksaan fisik, pemenjaraan bahkan sampai pada hukuman mati.6 Sebagai akibat dari hal itu, timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang 3 Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 177. Annemarie Schimmel, Islam Interpretatif. (Cet. I; Depok: Inisiasi Press, 2003), h. 100. 5 Kata al-mihnah berasal dari bahasa Arab yang bermakna cobaan, bencana. Lihat A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1315. 6 Nukman Abbas, al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan (Jakarta: Penerbit Erlangga, t.th), h. 103. 4 dengan hasutanhasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertaqwa. Isu sentral yang menjadi topik mihnah waktu itu adalah tentang “Alquran sebagai mahluk bukan kalamullah yang qadîm”. Keadaan berbalik setelah Al-Mutawakkil naik menduduki tahta kekhalifahan. Setelah kurun pemerintahan khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq dari Dinasti Abbasiyah (813M-847M) paham Mu’tazilah mencapai puncaknya. Akhirnya al-Mutawakkil membantalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara di tahun 848 M. Dengan demikian selesailah riwayat mihnah yang ditimbulkan kaum Mu’tazilah dan dari ketika itu mulailah menurun pengaruh dan arti kaum Mu’tazilah.7 Beliau sebagai khalifah menjauhkan pengaruh Mu’tazilah dari pemerintahan. Sebaliknya dia mendekati lawan-lawan mereka, dan membebaskan para ulama yang dipenjarakan oleh khalifah terdahulu. Pada akhir abad ke 3 Hijriah muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Mansur al-Maturidi di Samarkand. Keduanya bersatu dalam melakukan bantahan terhadap Mu’tazilah, kendatipun diantara mereka terdapat pula perbedaan. 3. Pemikiran dalam teologi Asy’ariyah Adapun pokok-pokok ajaran Abu Hasan al-Asy’ary adalah sebagai berikut: 1. Zat dan sifat-sifat Tuhan Persoalan sifat-sifat Allah Merupakan masalah yang banyak dibicarakan oleh ahli teologi Islam. Berkaitan dengan itu berkembang dua teori yaitu: teori isbat al-sifat dan naïf alsifat. Teori pertama mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti, mendengar, melihat dan berbicara. Teori inilah yang dianut oleh kaum Asy’ariyah. Sementara teori kedua mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Teori tersebut dianut oleh kaum Mu’tazilah dan para ahli ahli falsafah. Paham kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah. golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat di antaranya, al-‘ilm, alqudrat, al-sama’ al-basar, al-hayah, iradah, dan lainnya. Namun semua ini 7 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.V; Jakarta: UI Press),h. 64 dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya). Menurut al-Asy’ari, Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan demikian teratur, alam tidak akan ada kecuali diciptakan oleh Allah yang memiliki ilmu. Argumen ini antara lain diperkuat oleh firman Allah dalam QS. al-Nisa/ 4: 166. Menurut al-Asy’ari ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah itu zat-Nya. Jika Allah mengetahui dengan zat-Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Dan mustahil al-‘ilm (pengetahuan) merupaka ‘Alim (Yang Mengetahui), atau al’Alim (Yang Mengetahui) merupakan al-‘ilm (pengetahuan) atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifatnya. Oleh karena mustahil Allah mengetahui dengan zat-Nya sendiri, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengeathuan. Allah bukan pengetehuan (‘ilm) tetapi yang Mengetahui (‘Alim). Dengan demikian menurut alAsy’ari, Allah mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zatNya.8 2. Kebebasan dalam berkehendak Pada dasarnya al-Asy'ari, menggambarkan manusia sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan absolut mutlak.9 Karena manusia dipandang lemah, maka paham alAsy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will). Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asy’ari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Menurut para ahli bahasa, kata kasb mempunyai makna dasar yang meliputi “menginginkan, mencari, dan memperoleh”. Dari sini kemudian muncul, makna “mencari rezeki (usaha), “berjalan untuk mencari rezeki”, dan “mencari sesuatu yang diduga mendatangkan manfaat (keuntungan), dan ternyata Sulesana, Al-Asy’ariyah (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-doktrin Teologinya, Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014 9 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 122. 8 mendatangkan mudharat (kerugian)”. Anak juga disebut kasb karena bapaknya menginginkannya dan berusaha untuk mendapatkannya.10 Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). Al-Kasb dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang faham kasb ini, alAsy'ari memberi penjelasan yang sulit ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi, dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya. Kasb, kata al-Asy'ari, adalah sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan. 3. Akal dan Wahyu Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu.11 Namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Mu’tazilah memandang bahwa mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat diketahui lewat akal tanpa membutuhkan wahyu.12 Sementara dalam pandangan al-Asya’ariyah semua kewajiban agama manusia hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Akal menurut alAsya’ariyah tidak mampu menjadikan sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Wajib mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu hanyalah sebagai alat untuk mengenal, sedangkan yang mewajibkan mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu. Bahkan dengan wahyu pulalah untuk dapat mengetahui ganjaran kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat ketaatan, serta ganjaran keburukan bagi M. Quraish Shihab, et.al (Ed.), Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 431. 11 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, h. 122. 12 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 83-84. 10 yang tidak melakukan ketaatan.13 Dalil yang dikemukakan al-Asy’ariyah dalam melegitimasi argumen ini, antara lain adalah firman Allah dalam QS. al-Isra’/17: 15. Berdasarkan konsepsi di atas, dapat dipahami bahwa dalam teologi Asy’ariyah, institusi akal tidak memilki otoritas dalam mengetahui semua kewajiab manusia. Oleh karena itu, otoritas wahyulah dalam menjelaskan semua itu, atau dengan kata lain lewat wahyulah semua kewajiban keagamaan manusia itu diketahui. 4. Kebaikan dan Keburukan Menurut al-Asy`arī (w. 324/935) yang disebut kebaikan adalah seluruh yang diperintahkan, dianjurkan maupun diperbolehkan oleh Allah swt. Kebaikan bukanlah semata-mata kewajiban atau anjuran, tetapi juga segala sesuatu yang tidak ada larangan secara tegas (ibahah) dari Allah swt. Sebaliknya, yang disebut keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah swt. Dengan demikian, kebaikan dan keburukan sangat ditentukan oleh ada atau tidak adanya pemberitahuan oleh Allah, bukan ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri karena manusia sangat dipengaruhi dan diliputi dengan hawa nafsu. Wilayah kebaikan jika dibandingkan dengan wilayah keburukan ternyata jauh lebih luas wilayah kebaikan. Pandangan ini didasarkan kepada Q.S. al-Ĥasyr (59): 7 yang menyatakan wa mā ātākum al-rasūl fakhudzūhu wa mā nahākum `anhu fantahū (apa yang diberikan kepada Rasul hendaklah diambil oleh manusia dan apa yang dilarangnya hendaklah manusia meninggalkannya). Berdasarkan ini, maka kebaikan dan keburukan yang menjadi standard dalam praktik politik umat Islam seharusnya adalah apa yang telah digariskan oleh Allah.14 5. Qadimnya Kalam Allah Masalah Qadimnya al-Qur’an golongan Asy’ariyah memiliki pandangan tersendiri. Asy’ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Allah (al-Qur’an) ini dibedakannya menjadi dua, Kalam Nafsi yakni firman Allah yang bersifat abstrak 13 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia), h. 85-86. 14 Nasihun Amin, Sejarah Pemikiran Kalam, h. 127 tidak berbentuk yang ada pada Zat (Diri) Tuhan, Ia bersifat Qadim dan Azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah kalam Allah yang diturunkan kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf atau kata-kata yang dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadist (baru) dan termasuk makhluk.15 Sebagai reaksi atas pandangan Mu’tazilah, yang mengatakan bahw kalam Allah tidak bersifat kekal tetapi bersifat baru dan diciptakan Allah, maka alAsy’ari berpendapat bahwa kalam Allah tidaklah diciptakan, sebab kalau diciptakan, maka bertentangan dengan firman Allah QS. Al-Nahl/16:40. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa kalam Allah, menurut aliran Asy’ariyah adalah sifat, dan sebagai sifat Allah, maka mestilah ia kekal. Namun, untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak boleh bersifat kekal atau qadim, seperti yang dikemukakan Mu’tazilah, alAsy’ariyah memberikan dua defiisi yang berbeda. Kalam yang tersusun disebut sebagai firman dalam arti kiasan (kalam lafdzi). Sedangkan kalam yang sesungguhnya adalah apa yang terletak di balik yang tersusun tersebut (kalam nafsi). 6. Melihat Allah Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak digambarkan. Karena boleh saja itu terjadi bila Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat sesuai kehendaknya. Firman Allah dalam QS. Al-Qiyamah/75: 22 dan 23: dapat dilihat sesuai kehendaknya. Firman Allah dalam QS. AlQiyamah/75: 22 dan 23. Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihatNya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada. Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet. Ke-7; Jakarta: Lantabora Press, 2005), 37-38. 15 orang yang beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya. Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian gunung pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat dilihat.16 7. Keadilan Asy’ary tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah penguasa mutlak. Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakanNya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Zat-Nya.17 Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah. Keadilan dalam pandangan al-Asy’ariyah sebagaimana dikutip alSyahrastani, adalah menempatkan ssuatu pada tempat yang sebenarnya. Oleh karena alam dan segala yang ada di dalamnya adalah milik Allah, maka Dia dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya meskipun dalam pandangan manusia tidak adil. Dengan demikian, jika Allah menambah beban yang telah ada pada manusia, atau menguranginya, dalam pandangan al-Asya’ariyah, Allah tetap adil. Bahkan Dia tetap adil walaupun memasukkan semua orang ke dalam surga atau 16 17 Abu Hasan Al-Asya’ari, al-Ibanah Buku Putih Imam Al-Asy’ari, h. 87-93. Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz 4 (Cet. V; Beirut: Dar al-Misriah, 1965), h. 81. nerakanya, baik yang jahat maupun yang taat dan banyak amalnya.18 Dan hal ini tidak memberi kesan bahwa Allah berlaku zalim pada hamba-Nya, karena yang dinamakan zalim ialah mempergunakan sesuatu yang bukan haknya atau meletakkkan sesuatu bukan pada tempatnya. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa keadilan Allah menurut pemahaman Asy’ariyah adalah bersifat absolut, Dia memberi hukuman menurut kehendak mutlak-Nya, tidak terikat pada sesuatu kekuasan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. 8. Kebaruan Alam Bagi al-Asy`arī (w. 324/935) alam ini adalah sesuatu yang baru. Tidak ada yang qadim selain Tuhan. Ia menolak para filosof yang berpendapat bahwa alam adalah qadim. Baginya, alam diciptakan dari yang tidak ada menjadi ada (al-ijād min al-`adam, creatio ex nihilo). Adanya kenyataan bahwa terjadi banyak perbedaan antara berbagai benda dan bahwa benda–benda tersebut selalu mengalami perubahan, menurut al-Asy`arī (w. 324/935), merupakan suatu bukti kebaruan alam. Segala sesuatu yang mengalami perubahan adalah baru. Oleh karena itu, sesuatu yang berubah tentu saja tidak mungkin berasal dari maupun menjadi bersifat qadīm. Seluruh benda di alam ini terlihat dengan jelas dari tidak ada kemudian menjadi ada dan akan kembali menjadi tidak ada.19 9. Esensi Iman Iman, menurut al-Asy`arī (w. 324/935) adalah pembenaraan oleh hati karena tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Sedangkan batasan iman adalah: al-tashdiq bi-Allah20 yaitu menerima adanya kebenaran khabar tentang adanya Tuhan. Orang yang hatinya meyakini keesaan Allah dan kerasulan Muhammad dan setia mengerjakan amal saleh, disebut mukmin sempurna. Mereka berhak mendapat balasan surga. Sebaliknya, apabila mukmin banyak berdosa besar maka balasannya terserah Allah swt. Seorang mukmin mungkin saja melakukan berbagai amal saleh, tetapi juga mungkin melakukan dosa besar. Keadaan iman sifatnya adalah fluktuatif. Suatu saat bisa 18 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia), h. 85 19 Nasihun Amin, Sejarah Pemikiran Islam, h.138 20 Ibid bertambah karena ketaatannya kepada Allah dan di saat lain keimanan tersebut bisa berkurang karena berbagai 10. Kedudukan orang yang berbuat dosa. Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akandijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkanNya kedalam surga. Dalam hal ini, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.21 Berdasarkan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah, maka ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut: a. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran itu. b. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar. c. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlakNya. 4. Tokoh-tokoh dari aliran Asy’ariyah Salah satu unsur utama kemajuan aliran Asy’ariyah ialah karena banyak di antara pengikut-pengikutnya yang terkemuka dan mengonstruksikan ajaranajarannya atas dasar filsafat metafisika, antara lain al-Baqillani, al-Juwaini dan alGazali. 1. Al-Baqillani (403 H/ 1013 M) Namanya Abu Bakar Muhamman bin Tayyib, ia adalah orang yang takwa, rajin beribadah, jenius, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama di Duga kota Basharah tempat kelahiran gurunya Asy’arii. Kitabnya yang terkenal ialah alTahmid. Al-Baqillani teolog Islam pertama membahas pengantar Ilmu pengetahuan, syarat-syaratnya, dan sarana-sarana penalaran secara khusus dalam berbagai karyanya. Al-Baqillani diakui sebagai peletak dasar paradigm aliran 21 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, h. 124. Asy’ariyah karena dia tidak hanya sekedar menyampaikan pesan-pesan warisan intelektual kaum Asy’ariyah dari generasi klasik, tetapi dia juga dikenal sebagai tokoh yang sanggup memberikan penjelasan-penjelasan lebih sempurna dan lebih tegas beragam persoalan serta batasan-batasan definisi berbagai istilah yang digunakan di kalangan Asy’ariyah pada tingkat yang lebih seimbang dalam beberapa hal.22 Meski menjadi salah satu eksponen Asy’ariyah terpenting, al-Baqillani dianggap berbeda pendapat dengan al-Asy’ari pada beberapa hal. Pertama, mengenai sifat Tuhan, tidak seperti al-Asy’ari, al-Baqillani menganggap bahwa apa yang kita anggap sebagai sifat Allah bukanlah sifat tetapi modus (hal), akan tetapi pengertian modus al-Asy’ari ditolak oleh al-Baqillani. Ia berkeyakinan bahwa, mengetahui bagi Tuhan bukanlah melalui sifat dan bukan pula dengan zat. Apabila Tuhan mengetahui dengan sifat-Nya, maka berarti Tuhan bergantung pada sifat dan segala kemampuan sifat. Jikalau Tuhan mengetahui melalui zat-Nya, maka sudah barang tentu zat-Nya terbagi-bagi, dalam hal itu tidak mungkin terjadi. Jika al-Asy’ari menganggap bahwa sifat-sifat Allah adalah modus di mana setiap kata yang menggambarkan sifat tersebut hanya merefleksikan satu makna dalam pikiran, bagi al-Baqillani sifat-sifat tersebut adalah entitas-entitas yang ada dalam Zat Tuhan, bukan modus.23 Kedua, tentang perbuatan manusia, tidak seperti al asy’ari yang dengan teori kasb-nya berhasil mempertahankan kehendak mutlak Allah atas ciptaan, alBaqillani memiliki sejenis revisi terhadap teori kasb gurunya. Menurut alBaqillani ada perbuatan yang terjadi berdasarkan pilihan manusia dan ada perbuatan yang manusia terpaksa melakukannnya. Pada perbuatan yang manusia memiliki kemerdekaan melakukannya, kemerdekaan tersebut tidak bisa di maknai sebagaimana kaum Mu’tazilah memaknai kemerdekaan. Manusia hanya mampu berbuat dengan qudrah atau daya yang di ciptakan padanya. Manusia hanya mampu berbuat ketika terjadi perbuatan, sebab ia tidak diberi daya sebelumnya.24 2. 22 Abd al-Malik al-Juwaini(419-478 H/1028-1085 M) Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 82-83. Hamzah Harun, Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan, h.54-55. 24 Nukman Abbas, al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, h. 133. 23 Namanya Abd al-Malik al-Juwaini bin Abdullah, dilahirkan di NisAbur kemudian pergi ke kota Muaskar dan akhirnya sampai dikota Bagdad. Ia mengikutu jejak al-Baqillani dan Asy’ariyah dalam menjunjung setinggi-tinginya kekuatan akal pikiran, suatu hal menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadis. Dan akhirnya dia sendiri terpaksa meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar Imamal Haramain. Imam kedua tanah suci Mekah dan Madinah. Setelah Nizam al-Mulk memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah di Nisabur, al-Juwaini diminta kembali ke negerinya tersebut untuk memberikan pelajaran di sana. Al-Baqillani menimbulkan kemarahan ahli-ahli hadis, karena paham-pahamnya dianggap terlalu banyak memberikan kursi kekuatan akal pikiran.25 Hampir sama dengan al-Baqillani, pada masa al-Juwaini, metodologi pemikiran Asy’ariyah dikemas dengan kemasan logika lebih dari sebelumnya. Pada masa ini, terjadi hubungan mesra antara ilmu logika dan ilmu kalam, setelah sebelumnya terjadi perseteruan di antara keduanya. Ini juga yang menjadi salah satu faktor metodologi Asy’ariyah hasil konstruksi al-Juwaini dinilai oleh beberapa pakar, termasuk Ibn Taimiyah sebagai metodologi yang lebih dekat pada Mu’tazilah.26 Ajaran-ajaran yang disampaikan al-Juwani sedikit berbeda dengan ajaran AlAsy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab 25 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 163 26 Hamzah Harun, Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan, h. 59-61. yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. C. Kesimpulan Ahli sunnah wal jama’ah adalah sebuah aliran teologi yang dibangun oleh Abu Hasan al-Asy’ari, teologi ini sering disapa dengan sebutan “Teologi moderat”. Rumusan teologi al-Asy’ari selain menggunakan argument tekstual berupa teks-teks suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah seperti yang dilakukan oleh ahli hadits yang ia dukung, juga menggunakan argument rasional berupa mantik atau logika Aristoteles. Pendekatan yang dipakai al-Asy’ari dalam teologi ahli sunnah waljamaah’ tergolong unik, beliau mengambil yang baik dari pendekatan tekstual Salafiyyah, sehingga ia menggunakan argument akal dan nakal secara kritis, mengeksploitasi akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah, memegang naql dengan kuat tetapi ia juga tidak seketat Hanabilah dalam penolakan mereka terhadap argument logika. Sikap teologi Asy’ariyah terhadap kehidupan kontemporari bersifat terbuka, realistis, pragmatis, (selektif, kritis, dan akomodatif serta responsif) terhadap kemajuan sains dan teknologi, oleh yang demikian menyebabkan aliran Ahl al Sunnah wa al-Jama’ah tetap eksis dan relevan untuk diterapkan dan dipertahankan dalam kehidupan kontemporari. Daftar Pustaka Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press Amin, Nasihun. t.th. Sejarah Pengembangan Pemikiran Islam Karya, Soekama. 1996. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Ahmad, Muhammad. 2009. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia Schimmel, Annemarie. 2003. Islam Interpretif. Depok: Inisiasi Press Munawwir.A.W 1997. Kamus Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif Nukman Abbas, al-Asy’ari. t.th Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan. Jakarta: Penerbit Erlangga Supriadin. 2014. Al-Asy’ariyah Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan DoktrinDoktrin Teologinya. Sulesana No. 2 Vol. 9 Anwar, Rosihan. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia Shihab, M. Quraish. 2007. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia) Zaid, Abu H.N. 2003. Menalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan Harun, Hamzah. 2012. Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan. Makassar: Alauddin Press A. Nasir, Sahilun. 1996. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Hasibuan, Hadi. 2017. Aliran Asy’ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam Asy’ariyah). No 02. Vol. II