PEMIKIRAN TEOLOGI ASY’ARIYAH
MATA KULIAH SEJARAH PEMIKIRAN KALAM
Oleh :
Ramadina Sabila Firdausi (1904026041)
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri
Walsisongo, Semarang
A. Pendahuluan
Sebelum timbulnya madzhab Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah,
dan Mu’tazilah, dalam dunia Islam belum mengkhususkan sebuah madzhab
dengan istilah ahl al Sunnah wa al Jama’ah. Sebab semua umat Islam secara pasif
dapat disebut sebagai ahl al Shunnah wa al Jama’ah. Kemunculan madzhab
Asy’ariyah yang mencoba mengatasi berbagai faham yang berkembang di
kalangan umat Islam dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat
menyebabkan Asy’ariyah disebut sebagai madzhab Ahli Sunnah yang mula-mula.
Term Ahli Sunnah dan Jama'ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi
terhadap paham- paham golongan Mu'tazilah yang telah dijelaskan dalam
makalah sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran
itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaranajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan untuk menentang serangan
musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtadha, Wasil mengirim murid-muridnya
ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain. Kelihatannya, muridmurid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut Yaqut, di Thahart
(suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko) terdapat kurang lebih 30 ribu
pengikut Wasil.1
Abu al-Hasan al Asy’ari pernah menganut paham Mu’tazilah dan bahkan
menjadi murid kesayangan Abu Ali al-Jaba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Oleh
karena, itulah beliau memiliki kemampuan berbicara dan berdebat yang tidak
1
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), h.
62.
kalah dengan gurunya. Namun kemudian beliau berbalik menjauhkan diri dari
Mu’tazilah. Seruan yang bernada penentangan terhadap pemikiran mu’tazilah
pertama kali dilakukan di masjid Bashrah pada suatu hari Jumat. Diantara
seruannya antara lain beliau menyatakan diri telah bertaubat dari pemikiran
Mu’tazilah yang menyakini bahwa Alquran adalah makhluk.
Dalam salah satu risalahnya Abu al-Hasan al-Asy’ari menyatakan bahwa
banyak di antara pengikut Mu’tazilah dan ahli Qadar (madzhab Qadariyah) telah
salah menempatkan sikap dengan mengikuti pemimpin yang masih hidup maupun
yang telah mati secara taklid buta. Abu al Hasan mengkoreksi kesalahan
metodologis yang digunakan oleh kedua kalangan tersebut dalam menafsirkan
maksud petunjuk Allah dalam Al Quran dan menjelaskan penyimpangan
pemikiran yang disebabkan oleh kesalahan metodologis tersebut.
B. Pembahasan
1.
Pengertian Asy’ariyah
Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak.
Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut
mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama AlAsy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang
dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M.2 Pada awalnya AlAsy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali
Al-Jubai.
Dalam
beberapa
waktu
lamanya
ia
merenungkan
dan
mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih
dan hadist.
Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari
untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid
Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah.
Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku,
sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku
mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa
Alquran adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata,
maka perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri yang yang membuatnya. Aku
2
Soekama Karya. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Logos, Jakarta, 1996). h. 25.
bertaubat, bertaubat dan mencabut paham-paham Mu’tazillah dan keluar
daripadanya".3
Al-Asy’ari menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai lapangan
yang bisa dibaca oleh orang banyak. dia menolak pendapat Aristoteles, golongan
Jahamiyah dan golongan Murji’ah. Akan tetapi fokus kegiatan Al-Asy’ari adalah
ditujukan pada orang- orang Mu’tazilah seperti Ali Al-Jubai, Abul Hudzail dan
lain-lain.
2.
Sejarah berdirinya Asy’ariyah
Teologi Asy’ariyah muncul karena tidak terlepas dari, atau malah dipicu
oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi Asy’ariyah
muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak rasionil.
Aliran Mu’tazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisionil Islam
terutama golongan Hanbaali. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada tahun 827 M. Khalifah Abbasiyah, al-Makmun, menerima doktrin
Mu’tazilah secara resmi, dan dilanjutkan pada pemerintahan dua khalifah
setelahnya. Orang-orang yang teguh memegang tradisi, khususnya Ahmad bin
Hanbal disiksa bahkan lebih dari itu, orang-orang yang tidak memahami defenisi
dogmatis Mu’tazilah yang cerdas atau menolak menerima mereka, dan kadangkadang sebagian besar dianggap kafir.4
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, serangan Mu’tazilah
terhadap para fuqahaa’ dan muhaddisiin semakin gencar. Tak seorang pun pakar
fiqh yang populer dan pakar hadis yang mashur luput dari gempuran mereka.
Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa
dalam bentuk suasana al-mihnah (inkuisisi).5 Banyak tokoh dan ulama yang
menjadi panutan umat menjadi korban gerakan mihnah, mulai dari penyiksaan
fisik, pemenjaraan bahkan sampai pada hukuman mati.6
Sebagai akibat dari hal itu, timbul kebencian masyarakat terhadap
Mu’tazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang
3
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 177.
Annemarie Schimmel, Islam Interpretatif. (Cet. I; Depok: Inisiasi Press, 2003), h. 100.
5
Kata al-mihnah berasal dari bahasa Arab yang bermakna cobaan, bencana. Lihat A. W. Munawwir,
Kamus Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1315.
6
Nukman Abbas, al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan (Jakarta: Penerbit Erlangga,
t.th), h. 103.
4
dengan hasutanhasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap
setiap imam dan ahli hadis yang bertaqwa. Isu sentral yang menjadi topik mihnah
waktu itu adalah tentang “Alquran sebagai mahluk bukan kalamullah yang
qadîm”.
Keadaan berbalik setelah Al-Mutawakkil naik menduduki tahta
kekhalifahan. Setelah kurun pemerintahan khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim dan
al-Wasiq dari Dinasti Abbasiyah (813M-847M) paham Mu’tazilah mencapai
puncaknya. Akhirnya al-Mutawakkil membantalkan pemakaian aliran Mu’tazilah
sebagai mazhab negara di tahun 848 M. Dengan demikian selesailah riwayat
mihnah yang ditimbulkan kaum Mu’tazilah dan dari ketika itu mulailah menurun
pengaruh dan arti kaum Mu’tazilah.7
Beliau sebagai
khalifah menjauhkan pengaruh Mu’tazilah dari
pemerintahan. Sebaliknya dia mendekati lawan-lawan mereka, dan membebaskan
para ulama yang dipenjarakan oleh khalifah terdahulu. Pada akhir abad ke 3
Hijriah muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di
Bashrah dan Abu Mansur al-Maturidi di Samarkand. Keduanya bersatu dalam
melakukan bantahan terhadap Mu’tazilah, kendatipun diantara mereka terdapat
pula perbedaan.
3.
Pemikiran dalam teologi Asy’ariyah
Adapun pokok-pokok ajaran Abu Hasan al-Asy’ary adalah sebagai berikut:
1.
Zat dan sifat-sifat Tuhan Persoalan sifat-sifat Allah
Merupakan masalah yang banyak dibicarakan oleh ahli teologi Islam.
Berkaitan dengan itu berkembang dua teori yaitu: teori isbat al-sifat dan naïf alsifat. Teori pertama mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti,
mendengar, melihat dan berbicara. Teori inilah yang dianut oleh kaum
Asy’ariyah. Sementara teori kedua mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki
sifat-sifat. Teori tersebut dianut oleh kaum Mu’tazilah dan para ahli ahli falsafah.
Paham kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah. golongan
Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat di antaranya, al-‘ilm,
alqudrat, al-sama’ al-basar, al-hayah, iradah, dan lainnya. Namun semua ini
7
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.V; Jakarta: UI Press),h.
64
dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan
batasnya).
Menurut al-Asy’ari, Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan
demikian teratur, alam tidak akan ada kecuali diciptakan oleh Allah yang memiliki
ilmu. Argumen ini antara lain diperkuat oleh firman Allah dalam QS. al-Nisa/ 4:
166. Menurut al-Asy’ari ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mengetahui
dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah itu zat-Nya. Jika Allah
mengetahui dengan zat-Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Dan
mustahil al-‘ilm (pengetahuan) merupaka ‘Alim (Yang Mengetahui), atau al’Alim
(Yang Mengetahui) merupakan al-‘ilm (pengetahuan) atau zat Allah diartikan
sebagai sifat-sifatnya. Oleh karena mustahil Allah mengetahui dengan zat-Nya
sendiri, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Allah sendiri
adalah pengeathuan. Allah bukan pengetehuan (‘ilm) tetapi yang Mengetahui
(‘Alim). Dengan demikian menurut alAsy’ari, Allah mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zatNya.8
2.
Kebebasan dalam berkehendak
Pada dasarnya al-Asy'ari, menggambarkan manusia sebagai seorang yang
lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan
kekuasaan absolut mutlak.9 Karena manusia dipandang lemah, maka paham
alAsy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme) dari faham
Qadariyah (Free Will). Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asy’ari memakai istilah al-kasb
(acquisition, perolehan).
Menurut para ahli bahasa, kata kasb mempunyai makna dasar yang
meliputi “menginginkan, mencari, dan memperoleh”. Dari sini kemudian muncul,
makna “mencari rezeki (usaha), “berjalan untuk mencari rezeki”, dan “mencari
sesuatu yang diduga mendatangkan manfaat (keuntungan), dan ternyata
Sulesana, Al-Asy’ariyah (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-doktrin Teologinya, Volume 9
Nomor 2 Tahun 2014
9
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 122.
8
mendatangkan mudharat (kerugian)”. Anak juga disebut kasb karena bapaknya
menginginkannya dan berusaha untuk mendapatkannya.10
Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah
adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala
sesuatu (termasuk keinginan manusia). Al-Kasb dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan
oleh Allah. Tentang faham kasb ini, alAsy'ari memberi penjelasan yang sulit
ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia dalam perbuatannya.
Namun dalam penjelasannya tertangkap bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah
ciptaan Tuhan. Jadi, dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. Kasb, kata al-Asy'ari, adalah sesuatu yang timbul dari yang
berbuat (al-muhtasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan.
3.
Akal dan Wahyu
Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah mengakui pentingnya
akal dan wahyu.11 Namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi persoalan
yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari
mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Mu’tazilah
memandang bahwa mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan,
mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk adalah dapat diketahui lewat akal tanpa membutuhkan wahyu.12
Sementara dalam pandangan al-Asya’ariyah semua kewajiban agama
manusia hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Akal menurut alAsya’ariyah tidak mampu menjadikan sesuatu menjadi wajib dan tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib
bagi manusia. Wajib mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu hanyalah sebagai
alat untuk mengenal, sedangkan yang mewajibkan mengenal Allah ditetapkan
melalui wahyu. Bahkan dengan wahyu pulalah untuk dapat mengetahui ganjaran
kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat ketaatan, serta ganjaran keburukan bagi
M. Quraish Shihab, et.al (Ed.), Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.
431.
11
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, h. 122.
12
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 83-84.
10
yang tidak melakukan ketaatan.13 Dalil yang dikemukakan al-Asy’ariyah dalam
melegitimasi argumen ini, antara lain adalah firman Allah dalam QS. al-Isra’/17:
15. Berdasarkan konsepsi di atas, dapat dipahami bahwa dalam teologi
Asy’ariyah, institusi akal tidak memilki otoritas dalam mengetahui semua
kewajiab manusia. Oleh karena itu, otoritas wahyulah dalam menjelaskan semua
itu, atau dengan kata lain lewat wahyulah semua kewajiban keagamaan manusia
itu diketahui.
4.
Kebaikan dan Keburukan
Menurut al-Asy`arī (w. 324/935) yang disebut kebaikan adalah seluruh
yang diperintahkan, dianjurkan maupun diperbolehkan oleh Allah swt. Kebaikan
bukanlah semata-mata kewajiban atau anjuran, tetapi juga segala sesuatu yang
tidak ada larangan secara tegas (ibahah) dari Allah swt. Sebaliknya, yang disebut
keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah swt. Dengan demikian,
kebaikan dan keburukan sangat ditentukan oleh ada atau tidak adanya
pemberitahuan oleh Allah, bukan ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri
karena manusia sangat dipengaruhi dan diliputi dengan hawa nafsu. Wilayah
kebaikan jika dibandingkan dengan wilayah keburukan ternyata jauh lebih luas
wilayah kebaikan. Pandangan ini didasarkan kepada Q.S. al-Ĥasyr (59): 7 yang
menyatakan wa mā ātākum al-rasūl fakhudzūhu wa mā nahākum `anhu fantahū
(apa yang diberikan kepada Rasul hendaklah diambil oleh manusia dan apa yang
dilarangnya hendaklah
manusia meninggalkannya). Berdasarkan ini, maka
kebaikan dan keburukan yang menjadi standard dalam praktik politik umat Islam
seharusnya adalah apa yang telah digariskan oleh Allah.14
5.
Qadimnya Kalam Allah
Masalah Qadimnya al-Qur’an golongan Asy’ariyah memiliki pandangan
tersendiri. Asy’ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an terdiri atas kata-kata,
huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak
qadim.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Allah (al-Qur’an) ini
dibedakannya menjadi dua, Kalam Nafsi yakni firman Allah yang bersifat abstrak
13
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat
Manusia), h. 85-86.
14
Nasihun Amin, Sejarah Pemikiran Kalam, h. 127
tidak berbentuk yang ada pada Zat (Diri) Tuhan, Ia bersifat Qadim dan Azali serta
tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an
sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzi
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf
atau kata-kata yang dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni
berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini
bersifat hadist (baru) dan termasuk makhluk.15
Sebagai reaksi atas pandangan Mu’tazilah, yang mengatakan bahw kalam
Allah tidak bersifat kekal tetapi bersifat baru dan diciptakan Allah, maka alAsy’ari berpendapat bahwa kalam Allah tidaklah diciptakan, sebab kalau
diciptakan, maka bertentangan dengan firman Allah QS. Al-Nahl/16:40.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa kalam
Allah, menurut aliran Asy’ariyah adalah sifat, dan sebagai sifat Allah, maka
mestilah ia kekal. Namun, untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak
boleh bersifat kekal atau qadim, seperti yang dikemukakan Mu’tazilah, alAsy’ariyah memberikan dua defiisi yang berbeda. Kalam yang tersusun disebut
sebagai firman dalam arti kiasan (kalam lafdzi).
Sedangkan kalam yang
sesungguhnya adalah apa yang terletak di balik yang tersusun tersebut (kalam
nafsi).
6.
Melihat Allah
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
digambarkan. Karena boleh saja itu terjadi bila Allah sendiri yang menyebabkan
dapat dilihat sesuai kehendaknya. Firman Allah dalam QS. Al-Qiyamah/75: 22
dan 23: dapat dilihat sesuai kehendaknya. Firman Allah dalam QS. AlQiyamah/75: 22 dan 23.
Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka
melihatNya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin.
Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias diakui
adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada. Pada hari
kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet. Ke-7;
Jakarta: Lantabora Press, 2005), 37-38.
15
orang yang beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk
melihat-Nya. Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia,
kemudian gunung pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di
akhirat dapat dilihat.16
7.
Keadilan
Asy’ary tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah
berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala
orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun
karena Ia adalah penguasa mutlak.
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah
keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang
dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan buruk
logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakanNya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan
(Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena
ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim
dan juga menafikan ikhtiar dari Zat-Nya.17
Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan
Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk
menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan
manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Keadilan dalam pandangan al-Asy’ariyah sebagaimana dikutip alSyahrastani, adalah menempatkan ssuatu pada tempat yang sebenarnya. Oleh
karena alam dan segala yang ada di dalamnya adalah milik Allah, maka Dia dapat
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya meskipun dalam pandangan manusia
tidak adil. Dengan demikian, jika Allah menambah beban yang telah ada pada
manusia, atau menguranginya, dalam pandangan al-Asya’ariyah, Allah tetap adil.
Bahkan Dia tetap adil walaupun memasukkan semua orang ke dalam surga atau
16
17
Abu Hasan Al-Asya’ari, al-Ibanah Buku Putih Imam Al-Asy’ari, h. 87-93.
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz 4 (Cet. V; Beirut: Dar al-Misriah, 1965), h. 81.
nerakanya, baik yang jahat maupun yang taat dan banyak amalnya.18 Dan hal ini
tidak memberi kesan bahwa Allah berlaku zalim pada hamba-Nya, karena yang
dinamakan zalim ialah mempergunakan sesuatu yang bukan haknya atau
meletakkkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa keadilan Allah
menurut pemahaman Asy’ariyah adalah bersifat absolut, Dia memberi hukuman
menurut kehendak mutlak-Nya, tidak terikat pada sesuatu kekuasan, kecuali
kekuasaan-Nya sendiri.
8.
Kebaruan Alam
Bagi al-Asy`arī (w. 324/935) alam ini adalah sesuatu yang baru. Tidak ada
yang qadim selain Tuhan. Ia menolak para filosof yang berpendapat bahwa alam
adalah qadim. Baginya, alam diciptakan dari yang tidak ada menjadi ada (al-ijād
min al-`adam, creatio ex nihilo). Adanya kenyataan bahwa
terjadi banyak
perbedaan antara berbagai benda dan bahwa benda–benda tersebut selalu
mengalami perubahan, menurut al-Asy`arī (w. 324/935), merupakan suatu bukti
kebaruan alam. Segala sesuatu yang mengalami perubahan adalah baru.
Oleh karena itu, sesuatu yang berubah tentu saja tidak mungkin berasal
dari maupun menjadi bersifat qadīm. Seluruh benda di alam ini terlihat dengan
jelas dari tidak ada kemudian menjadi ada dan akan kembali menjadi tidak ada.19
9.
Esensi Iman
Iman, menurut al-Asy`arī (w. 324/935) adalah pembenaraan oleh hati
karena tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya.
Sedangkan batasan iman adalah: al-tashdiq bi-Allah20 yaitu menerima adanya
kebenaran khabar tentang adanya Tuhan. Orang yang hatinya meyakini keesaan
Allah dan kerasulan Muhammad dan setia mengerjakan amal saleh, disebut
mukmin sempurna. Mereka berhak mendapat balasan surga. Sebaliknya, apabila
mukmin banyak berdosa besar maka balasannya terserah Allah swt. Seorang
mukmin mungkin saja melakukan berbagai amal saleh, tetapi juga mungkin
melakukan dosa besar. Keadaan iman sifatnya adalah fluktuatif. Suatu saat bisa
18
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat
Manusia), h. 85
19
Nasihun Amin, Sejarah Pemikiran Islam, h.138
20
Ibid
bertambah karena ketaatannya kepada Allah dan di saat lain keimanan tersebut
bisa berkurang karena berbagai
10.
Kedudukan orang yang berbuat dosa.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan
tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung
masuk syurga atau akandijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkanNya kedalam surga.
Dalam hal ini, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa
besar adalah mukmin yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa
selain kufur.21
Berdasarkan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah, maka ciri-ciri orang yang
menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
a. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-undang alam dan mereka juga
mempelajari ajaran itu.
b. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban
untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak mengkafirkan
orang yang berdosa besar.
c. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlakNya.
4.
Tokoh-tokoh dari aliran Asy’ariyah
Salah satu unsur utama kemajuan aliran Asy’ariyah ialah karena banyak
di antara pengikut-pengikutnya yang terkemuka dan mengonstruksikan ajaranajarannya atas dasar filsafat metafisika, antara lain al-Baqillani, al-Juwaini dan alGazali.
1.
Al-Baqillani (403 H/ 1013 M)
Namanya Abu Bakar Muhamman bin Tayyib, ia adalah orang yang takwa,
rajin beribadah, jenius, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama di
Duga kota Basharah tempat kelahiran gurunya Asy’arii. Kitabnya yang terkenal
ialah alTahmid. Al-Baqillani teolog Islam pertama membahas pengantar Ilmu
pengetahuan, syarat-syaratnya, dan sarana-sarana penalaran secara khusus dalam
berbagai karyanya. Al-Baqillani diakui sebagai peletak dasar paradigm aliran
21
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, h. 124.
Asy’ariyah karena dia tidak hanya sekedar menyampaikan pesan-pesan warisan
intelektual kaum Asy’ariyah dari generasi klasik, tetapi dia juga dikenal sebagai
tokoh yang sanggup memberikan penjelasan-penjelasan lebih sempurna dan lebih
tegas beragam persoalan serta batasan-batasan definisi berbagai istilah yang
digunakan di kalangan Asy’ariyah pada tingkat yang lebih seimbang dalam
beberapa hal.22
Meski menjadi salah satu eksponen Asy’ariyah terpenting, al-Baqillani
dianggap berbeda pendapat dengan al-Asy’ari pada beberapa hal.
Pertama, mengenai sifat Tuhan, tidak seperti al-Asy’ari, al-Baqillani
menganggap bahwa apa yang kita anggap sebagai sifat Allah bukanlah sifat tetapi
modus (hal), akan tetapi pengertian modus al-Asy’ari ditolak oleh al-Baqillani. Ia
berkeyakinan bahwa, mengetahui bagi Tuhan bukanlah melalui sifat dan bukan
pula dengan zat. Apabila Tuhan mengetahui dengan sifat-Nya, maka berarti
Tuhan bergantung pada sifat dan segala kemampuan sifat. Jikalau Tuhan
mengetahui melalui zat-Nya, maka sudah barang tentu zat-Nya terbagi-bagi,
dalam hal itu tidak mungkin terjadi. Jika al-Asy’ari menganggap bahwa sifat-sifat
Allah adalah modus di mana setiap kata yang menggambarkan sifat tersebut hanya
merefleksikan satu makna dalam pikiran, bagi al-Baqillani sifat-sifat tersebut
adalah entitas-entitas yang ada dalam Zat Tuhan, bukan modus.23
Kedua, tentang perbuatan manusia, tidak seperti al asy’ari yang dengan
teori kasb-nya berhasil mempertahankan kehendak mutlak Allah atas ciptaan, alBaqillani memiliki sejenis revisi terhadap teori kasb gurunya. Menurut alBaqillani ada perbuatan yang terjadi berdasarkan pilihan manusia dan ada
perbuatan yang manusia terpaksa melakukannnya. Pada perbuatan yang manusia
memiliki kemerdekaan melakukannya, kemerdekaan tersebut tidak bisa di maknai
sebagaimana kaum Mu’tazilah memaknai kemerdekaan. Manusia hanya mampu
berbuat dengan qudrah atau daya yang di ciptakan padanya. Manusia hanya
mampu berbuat ketika terjadi perbuatan, sebab ia tidak diberi daya sebelumnya.24
2.
22
Abd al-Malik al-Juwaini(419-478 H/1028-1085 M)
Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 82-83.
Hamzah Harun, Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan, h.54-55.
24
Nukman Abbas, al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, h. 133.
23
Namanya Abd al-Malik al-Juwaini bin Abdullah, dilahirkan di NisAbur
kemudian pergi ke kota Muaskar dan akhirnya sampai dikota Bagdad. Ia
mengikutu jejak al-Baqillani dan Asy’ariyah dalam menjunjung setinggi-tinginya
kekuatan akal pikiran, suatu hal menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadis. Dan
akhirnya dia sendiri terpaksa meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat
tinggal di Mekkah dan Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu
ia mendapat gelar Imamal Haramain.
Imam kedua tanah suci Mekah dan Madinah. Setelah Nizam al-Mulk
memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah di Nisabur, al-Juwaini diminta
kembali ke negerinya tersebut untuk memberikan pelajaran di sana. Al-Baqillani
menimbulkan kemarahan ahli-ahli hadis, karena paham-pahamnya dianggap
terlalu banyak memberikan kursi kekuatan akal pikiran.25
Hampir sama dengan al-Baqillani, pada masa al-Juwaini, metodologi
pemikiran Asy’ariyah dikemas dengan kemasan logika lebih dari sebelumnya.
Pada masa ini, terjadi hubungan mesra antara ilmu logika dan ilmu kalam, setelah
sebelumnya terjadi perseteruan di antara keduanya. Ini juga yang menjadi salah
satu faktor metodologi Asy’ariyah hasil konstruksi al-Juwaini dinilai oleh
beberapa pakar, termasuk Ibn Taimiyah sebagai metodologi yang lebih dekat pada
Mu’tazilah.26 Ajaran-ajaran yang disampaikan al-Juwani sedikit berbeda dengan
ajaran AlAsy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan,
mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud
Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan
berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih
jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi
efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud
perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu
bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab
25
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 163
26
Hamzah Harun, Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan, h. 59-61.
yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab
yaitu Tuhan.
C.
Kesimpulan
Ahli sunnah wal jama’ah adalah sebuah aliran teologi yang dibangun oleh
Abu Hasan al-Asy’ari, teologi ini sering disapa dengan sebutan “Teologi
moderat”. Rumusan teologi al-Asy’ari selain menggunakan argument tekstual
berupa teks-teks suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah seperti yang dilakukan oleh
ahli hadits yang ia dukung, juga menggunakan argument rasional berupa mantik
atau logika Aristoteles.
Pendekatan yang dipakai al-Asy’ari dalam teologi ahli sunnah waljamaah’
tergolong unik, beliau mengambil yang baik dari pendekatan tekstual Salafiyyah,
sehingga ia menggunakan argument akal dan nakal secara kritis, mengeksploitasi
akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah, memegang naql dengan
kuat tetapi ia juga tidak seketat Hanabilah dalam penolakan mereka terhadap
argument logika.
Sikap teologi Asy’ariyah terhadap kehidupan kontemporari bersifat
terbuka, realistis, pragmatis, (selektif, kritis, dan akomodatif serta responsif)
terhadap kemajuan sains dan teknologi, oleh yang demikian menyebabkan aliran
Ahl al Sunnah wa al-Jama’ah tetap eksis dan relevan untuk diterapkan dan
dipertahankan dalam kehidupan kontemporari.
Daftar Pustaka
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Amin, Nasihun. t.th. Sejarah Pengembangan Pemikiran Islam
Karya, Soekama. 1996. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta: Logos
Ahmad, Muhammad. 2009. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Schimmel, Annemarie. 2003. Islam Interpretif. Depok: Inisiasi Press
Munawwir.A.W 1997. Kamus Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif
Nukman Abbas, al-Asy’ari. t.th Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Supriadin. 2014. Al-Asy’ariyah Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan DoktrinDoktrin Teologinya. Sulesana No. 2 Vol. 9
Anwar, Rosihan. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Shihab, M. Quraish. 2007. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta:
Lentera Hati
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran
Teologi dalam Sejarah Umat Manusia)
Zaid, Abu H.N. 2003. Menalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan
Harun, Hamzah. 2012. Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan.
Makassar: Alauddin Press
A. Nasir, Sahilun. 1996. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Hasibuan, Hadi. 2017. Aliran Asy’ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh
Aliran Kalam Asy’ariyah). No 02. Vol. II