F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA
PENGALAMAN INDONESIA MENCARI TITIK-TEMU
BAGI MASYARAKAT MAJEMUK
Oleh Nurcholish Madjid
“Indonesia bukanlah negara teokratis bukan pula negara sekular;
ia adalah negara yang berlandaskan Pancasila.” Ungkapan itu,
meskipun mengandung arti yang membingungkan bagi kebanyakan orang, selalu diulang-ulang oleh para pejabat kita, dan
sangat ditekankan oleh Presiden Soeharto sendiri. Mengatakan
bahwa negara ini bukanlah negara sekular bukan pula negara
teokratis atau negara agamis, bagi mereka yang tidak memahami
problem ideologis bangsa ini, akan terdengar absurd. Namun pada
kenyataannya, itulah “cara yang tepat” bagi mayoritas masyarakat
Indonesia, secara ideologis, dalam memandang negerinya sendiri.
Bagi mereka yang memahami masalah ini, ungkapan tersebut di
atas, menyiratkan adanya kompromi dan kesepakatan yang rumit
diantara para pendiri Republik ini, yaitu kompromi yang rumit
antara nasionalis muslim dan nasionalis sekular menyangkut
ideologi nasional yang resmi. Hal ini mengingatkan kita pada
peristiwa beberapa bulan sebelum dan sesudah Kemerdekaan
Nasional, 17 Agustus 1945, yakni tatkala pasukan Jepang, yang
disponsori Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia memperdebatkan mengenai landasan
filosofis yang akan dijadikan pijakan republik ini.
Nasionalis Muslim atau, setidaknya, yang secara islami mengilhami orang-orang nasionalis, menginginkan Indonesia yang
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
merdeka berlandaskan Islam, dan itu berarti mengimplikasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia (Islamic State of Indonesia).
Akan tetapi nasionalis sekular, yang kebanyakan dari mereka adalah
penganut Islam sendiri dan non-Muslim, menolak gagasan di atas,
sehubungan dengan kenyataan bahwa, ada juga non-Muslim yang
turut berjuang melawan kolonialis. Nasionalis sekular itu juga
mengingatkan bahwa menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara
Islam sama saja dengan merendahkan, secara tidak adil, penganut
agama lain ke dalam warga negara kelas dua.
Soekarno, nasionalis sekular paling terkemuka, yang menjadi
presiden pertama Republik ini, menawarkan suatu kompromi
dengan merujuk, secara bersama-sama, pada unsur-unsur kecenderungan ideologis manusia, dan beliaulah yang memperkenalkan ide
Pancasila, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi,
dan keadilan sosial. Tanggal 5 Juni 1945, hari ketika Soekarno
menyampaikan pidatonya yang terkenal di depan PPKI guna
menjelaskan secara terperinci kelima sila di atas, kemudian oleh
sebagian bangsa Indonesia dianggap sebagai “hari lahirnya Pancasila”.
Namun, sebenarnya baru pada tanggal 22 Juli 1945-lah Pancasila
menemukan bentuknya yang paling sempurna, yakni tatkala PPKI
merumuskan konsep Deklarasi Kemerdekaan Indonesia, yang
dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam piagam itu disebutkan bahwa
Indonesia berdasarkan pada (1) Kepercayaan kepada Tuhan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
(2) Kemanusiaan yang beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4)
Kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam sila pertama,
hal terpenting menyangkut Piagam Jakarta adalah yang menyatakan
ketentuan bahwa hukum Islam atau syariat akan dijalankan oleh
negara. Dengan demikian pada hakikatnya Islam adalah agama
negara Indonesia. Dokumen ini ditandatangani oleh 9 pemimpin
Indonesia yang paling terkemuka, delapan diantaranya beragama
Islam dan seorang beragama Kristen, yaitu A.A. Maramis.
D2E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
Piagam Jakarta ini sebenarnya dimaksudkan sebagai teks deklarasi kemerdekaan bangsa tepat pada waktunya masih harus
dirumuskan, dan ia dimasukkan ke dalam mukaddimah dari
Konstitusi Indonesia yang diusulkan. Namun, tatkala Soekarno
dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini, 17 Agustus
1945, mereka tidak menggunakan piagam ini. Sebaliknya, mereka
merumuskan sebuah dokumem baru, yang kemudian dikenal
sebagai teks proklamasi, sebuah dokumen yang sangat ringkas
yang di dalamnya tidak disebutkan secara rinci apa yang akan
dijadikan nature dari negara Indonesia merdeka ini, dan di dalamnya
tidak pula disebutkan sesuatu menyangkut agama Islam ataupun
agama lainnya.
Keesokan harinya, 18 Agustus 1945, suatu alasan yang jelasjelas menentang berdirinya negara Islam muncul dengan sendirinya.
Tatkala berlangsung rapat PPKI untuk merumuskan konstitusi, sehari
setelah kemerdekaan Indonesia itu diumumkan, ada informasi yang
menyatakan bahwa orang-orang Kristen yang berasal dari Sulawesi
Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis, secara serius menolak satu
ungkapan dalam piagam tersebut yang menyatakan: “Ketuhanan
dengan ketetapan tertentu kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi para pemeluknya”. Muhammad Hatta, yang memimpin
rapat itu, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan
dan Kasman Singodimedjo, dua pemimpin Muslim terkemuka,
menghapus ungkapan tujuh kata dari Piagam Jakarta yang
menjadi keberatan dimaksud. Sebagai gantinya, atas usul Ki Bagus
Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua gerakan pembaharu
Islam Muhammadiyah), ditambahkan sebuah ungkapan baru dalam
sila Ketuhanan itu, sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pada hakikatnya, ungkapan ini, bagi kebanyakan orang-orang
Muslim, mengandung tekanan khusus menyangkut kualitas monoteistik prinsip keesaan Tuhan yang sesuai dengan ajaran Islam,
yaitu tauhid. Dan bagi mayoritas rakyat Indonesia, konstitusi
ini, dipandang dari sudut agama, cukup netral, untuk tidak
mengatakan sekular. PPKI mengadopsi versi piagam yang telah
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
direvisi ini sebagai Mukaddimah Konstitusi Republik ini. Sejak
saat itu, konstitusi ini dikenal sebagai “Undang-undang Dasar
1945” (yang sering disingkat UUD ‘45). Pancasila dan UUD ‘45
inilah dua serangkai yang lebih sering disebutkan dalam retorika
politik Indonesia. Namun demikian, apa yang terkandung dalam
“Undang-undang 1945” dan “Pancasila” bukanlah titik akhir dari
kontroversi ideologis di Indonesia. Walaupun undang-undang ini
oleh mayoritas rakyat, dari sudut agama, telah dianggap netral,
orang-orang Islam terbiasa memandangnya sebagai bentuk lain dari
kompromi antara mereka dengan orang-orang sekularis. Walaupun,
dilihat dari perspektif orang-orang Muslim, hal itu diakui sebagai
kompromi yang lemah, tapi sedikit banyaknya undang-undang ini
tetap memberikan tempat yang utama bagi status Islam di negara
ini. Dan sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang pasal
29 bahwa “Negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Mahaesa”
dan bahwa “Negara menjamin seluruh penganut agama untuk
menjalankan ajaran-ajaran yang sesuai dengan agamanya”, maka
tidaklah salah jika orang-orang Islam dapat dengan bebas dan
sepenuhnya melakukan berbagai macam cara untuk menegakkan
syariat Islam sebagai bagian dari religiusitas Islam. Hal ini menyeret
republik yang masih muda ini ke dalam fase kompromi yang
lain. Sehingga, pada masa itu pula yaitu pada bulan September 1945,
Parlemen Indonesia sementara memutuskan perlunya didirikan
Departemen Agama. Keputusan ini baru dapat diimplementasikan
pada tanggal 3 Januari 1946, yaitu hari ketika didirikannya kementerian ini. Muhammad Rasjidi, seorang alumnus Universitas
al-Azhar Kairo, ditunjuk sebagai Menteri pertama (12 Maret
1946), dengan tugas utama, sebagaimana telah disebutkan di atas,
yaitu menjamin kebebasan beragama dalam pengertian kebebasan
dari setiap penganut agama untuk hidup sesuai dengan semangat
keimanan mereka. Dalam konteks Islam, misi Departemen Agama
ini adalah untuk memudahkan dan mengawasi implementasi
hukum Islam, khususnya Hukum Keluarga Islam (Islamic Family
Law). Karenanya, tidak mengherankan jika orang-orang Kristen
D4E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
— yaitu masyarakat Indonesia yang telah begitu mendalam terilhami dengan konsep sekular, negara modern sebagaimana dilambangkan oleh sistem politik Barat — melihat Departemen Agama
hanya sekadar bentuk lain dari kesadaran yang diam-diam bahwa
Islam adalah agama negara Republik ini. Karena itu berdirinya
Departemen ini adalah untuk meng-counter konsep negara yang
berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini, Walter Bonar Sidjabat, salah
satu intelektual Protestan terkemuka Indonesia, berkenaan dengan
berdirinya Departemen Agama ini menyatakan:
Fakta ini membawa kita pada sebuah observasi bahwa berdirinya Departemen Agama adalah untuk mempersiapkan mayoritas
rakyat Indonesia pada suatu pandangan hidup yang, meskipun hal
ini secara khusus tidak disebutkan dalam undang-undang, melihat
Islam sebagai agama negara. Segala sesuatu selain daripada konsep
Negara Islam Indonesia, lebih lanjut, tidak akan memuaskan orangorang Muslim, karena mereka lebih sering berada dalam situasi
yang memperlihatkan besarnya peran Islam dalam masyarakat.
Karena itu, “Ketuhanan Yang Mahaesa”, terutama dipahami dan
diinterpretasikan sebagai konsep Islam mengenai Allah.1
Masalah Departemen Agama yang didominasi Islam ini juga
menjadi perhatian Jend. T.B. Simatupang (purnawirawan). Beliau
adalah seorang pejuang kemerdekaan yang beberapa kali, selama
revolusi fisik Indonesia, memegang jabatan sebagai komandan
angkatan darat. Beliau juga beberapa kali memegang jabatan
sebagai ketua Dewan Gereja Indonesia. Simatupang mempunyai
reputasi sebagai pemimpin Kristen beraliran sosialis-demokratis
yang telah berjuang bagi terwujudnya toleransi-beragama dalam
konteks politik Indonesia dalam arti yang sesungguhnya. Karena
1
Water Bonar Sidjabat, Religious Tolerance and the Christian Faith, A Study
concerning the Concept of Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in
the Light of Islam and Christianity (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung
Mulia, 1982), h. 75.
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
itu, sepanjang pemikirannya, berdirinya Departemen Agama adalah
bertentangan dengan prinsip toleransi negara dalam kaitannya
dengan persoalan agama. Dan jika Departemen semacam itu
hendak didirikan, maka dengan berdirinya Departeman itu harus
ada jaminan toleransi. Oleh karenanya “Departemen Keagamaan”
lebih cocok daripada “Departemen Agama” sebagaimana telah
dikenal selama ini. Menurut Simatupang, istilah “Departeman
Agama” secara literal berarti “Departemen Agama (tunggal)”,
yang implikasinya hanya ada satu agama, yakni Islam, yang benarbenar diperhatikan. Menurut beliau, ungkapan ini sebenarnya
berarti sebuah Departemen kepunyaan Islam; sementara ungkapan
“Departemen Keagamaan”, menurut beliau, mempunyai arti yang
dekat dengan ungkapan Inggris “Department of Religios Affairs”
yang memang demikian terjemahan resminya.
Dengan istilah “Departemen Keagamaan”, berarti departemen
bersangkutan adalah kepunyaan semua agama yang diakui secara
resmi di Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha),
tanpa, baik secara implisit atau eksplisit, diskriminasi terhadap salah
satu dari agama-agama tersebut.2
Dengan mengemukakan pandangan umum di antara orangorang non-Muslim Indonesia ini, Simatupang dan Sidjabat sebenarnya tak perlu terlalu membesar-besarkan kekhawatiran mereka
menyangkut dominasi Islam terhadap negara ini. Di sini tampak
bahwa menurut mereka, Pancasila dengan sendirinya bukanlah
satu-satunya alat solusi bagi seluruh problem politik Indonesia dan
keagamaan. Sidjabat dengan tepat melihat bahwa akar masalah
tersebut terletak pada perbedaaan antara orang-orang Muslim dan
orang-orang non-Muslim tentang interpretasi mereka menyangkut,
terutama, apakah arti Pancasila itu, khususnya makna yang terkandung dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa. Pada hakikatnya, sama dengan orang-orang Muslim dalam memandang
2
Tahi Bonar Simatupang, Dari Revolusi ke Pembangunan (Jakarta: Badan
Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1987), h. 573.
D6E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
sila pertama ini sebagai pengulangan dari terminologi Islam
menyangkut tauhid atau, seperti dinyatakan Max Weber, sebagai
“prinsip monoteistik yang tegas” (strictly monotheistic principle),3
orang-orang non-Muslim, terutama
orang-orang Kristen, seharusnya memandang ketuhanan dari sila
pertama Pancasila ini sebagai sebuah formulasi yang netral, yang
merangkul seluruh agama serta valid bagi segala bentuk ketuhanan.
Karena itulah, maka menurut Sidjabat:
Apa yang kita dapati dari studi ini adalah bahwa perbedaan dalam
hakikat “Weltanschauung” Islam dan “Weltanschauung” yang ditampilkan oleh “Pancasila” memunculkan ketidaksepakatan yang
menampakkan diri dalam hubungan antara Islam dan negara.
Ketidaksepakatan ini terutama diperbesar oleh kenetralan prinsip
kemahakuasaan Tuhan di dalam konstitusi serta karakter dasar yang
eksklusif dari kepercayaan Islam.4
Menurut pendapat orang-orang Kristen Indonesia, masalah
sesungguhnya orang-orang Muslim Indonesia adalah bagaimana
agar mereka seiring-sejalan dengan terminolgi semangat Pancasila
sedemikian rupa seperti memandang bahwa semua agama di negara
ini mempunyai hak dan status yang sama. Mereka seharusnya tidak
memandang Islam, meskipun ia telah menjadi agama yang dianut
oleh mayoritas penduduk negeri ini, sebagai agama yang mempunyai
kedudukan yang khusus ketimbang agama-agama lainnya. Selain
itu, dan ini lebih penting, orang-orang Muslim seharusnya tidak
3
According to Max Weber, “Only Judaism and Islam are strictly monotheistic in principle, and even in the latter there are some diviations from
monotheism in the latter cult of saints. Christian Trinitarianism appears to have
monotheistic trend when contrasted with the triheistic forms of Hinduism,
late Buddhism and Taoism”. — Max Weber, The Sociology of Religion, English
translation by Ephraim Fischoff, with an introduction by Talcott Parsons
(Boston: Beacon Press, 1964), 138.
4
Sidjabat, op.cit., h. 91
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
melanjutkan menjunjung tinggi klaim Islam mengenai persatuan
dalam aturannya antara bidang duniawi dan ukhrawi, yang dinyatakan dalam kewajiban mereka menjalankan syariat pada tingkat
negara. Menurut orang-orang Kristen, setiap usaha yang bertujuan
untuk menempatkan syariat pada status yang khusus di negara
ini secara langsung bertentangan dengan prinsip dasar negara
menyangkut kebebasan dan kenetralan beragama, yaitu prinsip
yang mereka pandang berakar pada semangat Pancasila. Dan
Departemen Agama karena sejak didirikannya bertanggung jawab
mengawasi dan mengarahkan implementasi hukum keluarga yang
berlandaskan Islam, pengadilan yang dikenal sebagai Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syariat (Islamic Court), maka orangorang Kristen berkesimpulan bahwa pada hakikatnya Islam,
sebagaimana telah disinggung di atas, adalah agama negara dari
Republik ini. Sejalan dengan ini toleransi beragama di Indonesia
dihadapkan pada masalah yang tidak kecil:
Asumsi Islam tentang teori persatuan antara “gereja” dan negara telah
menjadi pemicu utama ketidaksepakatan. Karena itu masalah pokok
pada dasarnya terletak pada klaim eksklusif dan pluralitas agamaagama. Sebab setiap upaya yang bertujuan untuk menegakkan
satu-satunya konstitusi keagamaan tertentu di negara ini, meskipun
“kebebasan beragama” disebut, hanya menimbulkan intoleransi bagi
yang tidak menganut agama bersangkutan, dan yang tidak dengan
sendirinya mengklaim bahwa hukum agamanya harus diberlakukan
di negara ini. Implikasi kemasyarakatan kodifikasi hukum agama
tak pernah kosong dari hal-hal yang dianggap intoleran oleh mereka
yang tidak menganut agama bersangkutan.5
Semua ini tidak berarti bahwa orang-orang Kristen Indonesia
tidak memahami konsep Islam mengenai toleransi beragama. Mereka mengenal dengan baik konsep Islam mengenai Ahli Kitab
5
ibid.
D8E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
atau Masyarakat Kitab, di samping mereka pun mengenal konsep
Islam yang lain berkenaan dengan ahl al-dzimmah (orang-orang
non-Muslim yang mempunyai kebebasan untuk hidup dalam
sebuah negara Islam). Semua konsep ini memperlihatkan kepada
mereka sikap paling toleran dari orang-orang Muslim kepada nonMuslim, khususnya Yahudi dan Kristen. Bertrand Russel, seorang
yang dikenal karena kritiknya yang sangat tajam terhadap agamaagama, mengakui akan toleransi Islam ini dan menyatakan bahwa
toleransi inilah yang pada hakikatnya menjadi sumber kekuatan
orang-orang Muslim klasik dalam mengendalikan orang-orang
non-Muslim yang merupakan mayoritas penduduk di negeri-negeri
Islam. Russel menulis:
Agama Nabi (maksudnya Islam — ed.) merupakan monoteisme
sederhana, yang tidak dibuat rumit oleh teologi Trinitas dan inkarnasi. Nabi tidak pernah mengklaim bahwa dirinya adalah tuhan,
demikian pula para pengikutnya... Sudah menjadi kewajiban
orang-orang beriman untuk menguasai dunia sebanyak mungkin demi Islam, akan tetapi tak ada satu penganiayaan pun
terhadap Kristen,Yahudi, atau Zoroaster — “Masyarakat Kitab”(Ahl
al-Kitāb), demikian istilah al-Qur’an terhadap mereka — yaitu para
pengikut ajaran suatu Kitab Suci. Dan dikarenakan oleh fanatisme
mereka yang tidak begitu kolotlah maka para pejuang mereka mampu
memerintah, tanpa banyak kesukaran, penduduk yang lebih luas dari
peradaban yang lebih tinggi dan dari bangsa-bangsa asing.6
Namun demikian umat Kristen Indonesia berhak untuk menilai
bahwa konsep toleransi beragama dalam Islam berbeda dengan
konsep toleransi beragama di dunia modern, yaitu negara sekular
dengan sistem sosial dan politik Barat. Toleransi beragama dalam
Islam harus dipahami dalam kerangka kerja cara pandang Islam
6
Bertrand Russel, A History of Western Philosophy (New York: Simon and
Schuster, 1959), h. 420-421.
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
dalam melihat agama-agama sehubungan dengan tinggi-rendahnya
agama-agama itu; dalam hal ini Islam yang tertinggi daripada agama-agama lainnya. Meskipun pada kenyataannya Islam dengan
gamblang mengakui utang budinya terhadap Yahudi dan Kristen,
yang dilambangkan pada kepercayaannya terhadap validitas agamaagama ini dan para Nabi mereka, Islam tetap memaksakan perlunya
para pengikut agama Yahudi dan Kristen untuk melakukan konversi
ke dalam agama Islam, walaupun paksaan, setidaknya menurut
al-Qur’an, adalah perbuatan yang dilarang. Lagi-lagi Sidjabat-lah
orang Kristen Indonesia yang paling memahami permasalahan
toleransi beragama dalam Islam. Observasinya adalah gabungan
antara pemahaman yang fair terhadap Islam dan kegelisahan yang
biasa dimiliki orang-orang Kristen mengenai kegagalan orangorang Muslim dalam menerima dan mengadopsi konsep modern
menyangkut toleransi beragama. Penjelasannya yang begitu panjang
menyangkut permasalahan yang sepenuhnya menjadi minat beliau
dalam hal ini, kami kutipkan di sini:
Toleransi dan kebebasan beragama dalam Islam, sejauh ini, merupakan asumsi yang tidak beralasan terutama mengenai inferioritas
agama selain Islam. Islam terperangkap dalam epistemologi dasar
struktur keberagamaannya. Pertama, asumsi akan superioritas
Muhammad daripada para pendahulunya mengakibatkan orangorang Muslim beranggapan bahwa agama-agama di dunia ini
harus dipandang sehubungan dengan tinggi-rendahnya agama
bersangkutan. Sejalan dengan itu, kegagalan untuk mencapai
solusi yang lebih dapat diterima menyangkut masalah di atas
juga dialami oleh kalangan Kristen yang lain seperti Hegel,
Schleiermacher, dan bahkan dialami pula oleh para sarjana Kristen
di masa kini. Jika skema pemikiran keberagamaan ini dipraktikkan
dalam suatu masyarakat, maka kesediaan untuk menerima fakta
bahwa semua agama adalah sama (secara sakral) akan luput dari
pembicaraan. Dalam konsep dan sejumlah peristiwa toleransi dan
D 10 E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
kebebasan beragama hal ini sebaliknya, akan terefleksikan kepada
yang lain secara meluas.
Kedua, kecenderungan Islam untuk terlalu terlibat dalam
politik, terutama memaksa Islam untuk menawarkan politik dan
toleransi agama yang terbatas kepada para penganut agama nonMuslim. Adalah hak Islam dalam mengemukakan idenya untuk
mewujudkan Kerajaan Allah di muka bumi, hal itu sejalan dengan
janji Islam bahwa seseorang akan mendapatkan ganjaran di hari
kiamat sesuai dengan pengorbanannya di muka bumi. Maksudnya,
walaupun Islam yakin kepada dokrin takdir, konsep sinergetik Islam
mengenai syafaat yang membawa orang-orang Muslim terutama
untuk mengamalkan agama mereka di dalam masyarakat yang
cenderung melupakan klaim senada yang dilontarkan para pengikut
agama lain. Semua ini pada akhirnya akan membatasi toleransi dan
kebebasan beragama terhadap yang lain secara meluas.7
Kontroversi sekitar hubungan agama dan negara ini di Indonesia, oleh karena itu, terus berlangsung tanpa ada satu cara pun
untuk mengakhirinya. Keadaan semacam ini pada kenyataannya
sangat dikhawatirkan oleh orang-orang non-Muslim, khususnya
orang-orang Kristen.
Tak hanya cukup sampai di sini kontroversi antara orang-orang
non-Muslim dengan orang-orang Muslim, yaitu menyangkut
perbedaan interpretasi mengenai Pancasila serta konsep yang menyangkut kebebasan dan toleransi beragama, tapi juga orang-orang
non-Muslim pun dihadapkan pada permasalahan keinginan pemerintah yang secara resmi hendak melembagakan Pengadilan Agama
atau Mahkamah Syar‘īyah.
Menurut hukum, Rencana Undang-undang Peradilan Agama
(RUUPA) — the Draft of the Act for Religious (Islamic) Court
— dimaksudkan untuk mengimplementasikan Undang-Undang
No. 14 tahun 1970, menyangkut peraturan dasar mengenai
7
Sidjabat, op.cit., h. 140-141.
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
otoritas pengadilan sosial. Di dalam undang-undang itu disebutkan
bahwa negera ini memiliki 4 pengadilan: (1) Pengadilan Umum,
(2) Pengadilan Militer, (3) Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar‘īyah, serta, (4) Pengadilan Negara. Pengadilan Agama diberikan wewenang untuk menangani kasus-kasus pengadilan yang
meliputi perkawinan, warisan, surat wasiat, dana bantuan, zakat,
dan wakaf.
Draft ini oleh pemerintah diajukan kepada DPR. Pemerintah
dimaksud dalam hal ini adalah Menteri Agama dibantu oleh
Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Departemen Kehakiman,
serta mendapat dukungan pribadi Presiden Soeharto. Di DPR,
draft ini beroleh angin segar karena mendapat dukungan dari
semua golongan yang ada, kecuali PDI — partai politik terkecil
di Indonesia yang muncul karena adanya peleburan dari beberapa
partai politik sekular, nasionalis, dan Kristen. Sebanding dengan
keanggotaan yang ada di DPR antara Muslim dan non-Muslim,
dari 500 total suara yang terkumpul, PDI hanya mendapat 40
suara.
Meresponi draft ini, para wakil PDI mengajukan 6 butir
keprihatinan mereka atas isi draft tersebut. Keenam butir keprihatinan itu adalah: (1) draft itu tidak sejalan dengan pluralitas
bangsa Indonesia sebagaimana diekspresikan dan dinyatakan dalam
motto nasional Bhineka Tunggal Ika, (2) ia mengandung hal-hal
yang kontradiktif dengan prinsip keanggotaan dan kedudukan
yang sederajat dari segenap warga negara Indonesia di hadapan
hukum dan pemerintah, tanpa memandang agama mereka, sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945; (3) ia menghambat proses
pembangunan sebuah sistem legal persatuan nasional yang sesungguhnya bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi; (4) Pengesahan draft ini pada dasarnya hanya menggantikan Hukum Adat
yang sampai kini masih dijalankan secara meluas oleh penduduk
Indonesia; (5) dalam masalah politis-psikologis draft ini lahir karena
superioritas agama tertentu (Islam) terhadap agama lain yang diakui secara resmi; (6) implimentasi draft ini sangat kontradiktif
D 12 E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
dengan prinsip Wawasan Nusantara atau “Archipellegic Insights”
yang memandang seluruh kepulauan Indonesia sebagai kesatuan
teritorial yang utuh dengan mempersatukan sistem legal yang
berguna bagi kepentingan nasional.8
Menanggapi keberatan yang diajukan golongan PDI ini, pemerintah menjelaskan bahwa keberatan semacam itu tidak beralasan,
karena seluruh isi dan semangat draft tersebut sebenarnya telah terpatri di dalam nilai-nilai Pancasila dan ia sepenuhnya sesuai dengan
apa yang termaktub dalam UUD 1945. Presiden juga waktu itu
menekankan bahwa draft ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan dari
Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan
pada semangat ketuhanan Yang Mahaesa dan sepenuhnya menjamin
kebebasan beragama seluruh warga negara. Pada kesempatan itu
pun Presiden menyatakan bahwa draft tersebut tidak mengandung
maksud suatu apa pun jua selain untuk melaksanakan ketentuan
yang digariskan UU No. 14 tahun 1970 mengenai sistem pengadilan
di negeri ini.9
Oposisi yang dilakukan pihak Kristen, menyangkut draft di
atas, sangat mengejutkan karena selama pembicaraan draft itu
di DPR sidang berjalan dengan lancar dan lebih cepat dari yang
diharapkan. Namun di luar persidangan pembicaraan mengenai
draft ini beserta implikasinya terus berlangsung. Konsekuensi
yang tak diharapkan dari polemik dan pertimbangan ini tampak
menjadi rethinking yang lebih serius mengenai arti Islam yang
sebenarnya dalam kaitannya dengan Undang-undang ideologi
negara Pancasila. Di antara para sarjana Muslim, hanya Munawir
Syadzali, yang berkapasitas ketika itu sebagai Menteri Agama,
sendirilah yang memulai rethinking tersebut dengan jernih. Sejak
pertama kali menduduki jabatannya, Munawir Syadzali telah
terlibat dalam polemik di sekitar isu akan perlunya mereaktualisasi
8
Lihat “Bonus” (Special Supplement), Forum Keadilan, No. 09, 1989, h.
9
Ibid., h. 44.
38.
D 13 E
F NURCHOLISH MADJID G
ajaran Islam, yakni, menanamkan pengertian dan mengimplementasikan Islam dalam kerangka kerja yang aktual dan riil sesuai dengan
tuntutan ruang dan waktu. Menurut beliau hal ini tidak berarti
mengompromikan ajaran-ajaran Islam, dalam berbagai macam cara,
dengan kesempatan yang ada. Hal itu berarti keperluan terhadap
reinterpretasi Islam dalam konteks sejarah. Hal ini membawa
beliau kepada perhatian yang besar terhadap relevansi Islam dengan
kehidupan modern, bukan dalam pandangan “fundamentalis”,
melainkan melalui ijtihad (metode penafsiran Islam secara rasional
dan realistik) dalam prinsip maslahat (kepentingan umum). Sebagai
ketua Persatuan Sarjana Hukum Islam Indonesia, Munawir Syadzali
mengetengahkan modernisme Islam yang bercirikan politik dan
sosial. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Marshall Hodgson:
Pada hakekatnya, perhatian terlalu cepat para modernis bersifat
politis. Jika sesuatu yang khas Muslim dimaksudkan sebagai
tenaga pendorong pertahanan dan perubahan sosial, maka Islam
tentu berorientasi politis dan sosial. Hanya mereka yang syariat
minded-lah yang, secara tradisional mengekspresikan perhatian
terhadap sejarah dan tatanan sosial sedemikian rupa. Memang,
mereka yang paling hadis minded-lah yang paling tegar mengkritik
status quo — seperti para pembaru, semisal kaum Hambalis, atau
bahkan para pemberontak. Lagi pula, sisi Islam yang tampak paling
konsisten dengan tatanan masyarakat modern — yaitu yang paling
mencerminkan kosmopolitanisme merkantil, induvidualistis, dan
pragmatis, bertentangan dengan norma-norma aristokratis tatanan
masyarakat agraris pramodern — telah dibawa ulama syar’i.10
Sama dengan para modernis Muslim Indonesia lainnya, pada
dasarnya Munawir Syadzali pun berpandangan liberal dalam masalah keagamaan. Penekanannya pada prinsip maslahat bertolak dari
10
Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 volumes (Chicago: The
University of Chicago Press, 1974), Vol. 3, h. 387.
D 14 E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
paham liberalismenya tersebut. Sehubungan dengan ini, Malkom
H. Kerr menyatakan:
Inilah ujian bagi konsep penting kaum modernis tentang maslahat...,
sehingga kita dapat menilai perhatian para idealis ini secara lebih baik,
karena ajaran istislah (keadilan berdasarkan kesejahteraan atau asas
manfaat) merupakan prinsip penafsiran legal yang lebih liberal pada
masa tradisional, dan satu-satunya cara di mana penilaian manusia
memainkan peranan yang sangat besar.11
Usaha orang-orang Muslim untuk “meliberalisasi” pemahaman
agama mereka ini memakan waktu yang panjang dan menjemukan.
Meskipun begitu, langkah pertama, dalam bentuk kompilasi hukum Islam, berlandaskan pada pandangan dan pendapat yang
bervariasi dari mazhab Syafi’i, telah dilakukan Menteri Munawir
Syadzali, dengan kontribusi para ulama dan ahli hukum “sekular”
Indonesia. Akibat dari upaya liberalisasi dari kompilasi hukum
Islam ini adalah sederhana, karena ia merupakan pandangan ahli
hukum Islam Indonesia pada khususnya dan masyarakat Muslim
pada umumnya. Langkah selanjutnya adalah kebutuhan akan
pendekatan komparatif dalam melihat hukum Islam yang tidak
hanya terbatas pada satu mazhab tertentu semisal mazhab Syafi’i
saja, melainkan meliputi seluruh mazhab hukum Islam yang ada,
bahkan langkah yang ril dan final ini harus melibatkan upaya reinterpretasi pesan Islam dalam makna yang sesungguhnya yang
tentu saja menuntut orang-orang Muslim untuk lebih responsif
terhadap tantangan Zaman Modern. Langkah semacam ini tidak
cukup hanya dengan upaya “memodernisasi” Islam, sesuatu yang
tidak dapat diterima bahkan sangat memuakkan bagi sebagian
orang-orang Muslim, walaupun hal itu bagi sebagian orang-orang
11
Malkom H. Kerr, Islamic Reform: the Political and Legal Theories of
Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkely: University of California Press,
1966), h. 55-56.
D 15 E
F NURCHOLISH MADJID G
Muslim yang lain sah-sah saja, selama ia tidak mengandung maksudmaksud tertentu selain daripada upaya mewujudkan prinsip-prinsip
Islam agar lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan modern. Sering
kali orang-orang Muslim ini mendapati banyak para sarjana Barat
modern memberikan kontribusi yang terlalu berlebihan dari apa
yang mereka harapkan dan yakini akan agama mereka. Marshall
Hodgson, Robert N. Bellah, dan Ernest Gellner adalah di antara
para sarjana Barat yang membicarakan Islam dengan nada baik.
Ernest Gellner, misalnya, menyatakan pendapatnya tentang Islam
yang membesarkan hati orang-orang Muslim:
...Adanya pelbagai kriteria yang nyata — universalisme, skripturalisme,
egalitarianisme spiritual, perluasan partisipasi sepenuhnya pada
masyarakat yang suci bukan hanya bagi satu atau beberapa masyarakat tertentu saja, melainkan bagi seluruh masyarakat, dan sistematisasi kehidupan sosial yang rasional — maka Islam-lah, dibandingkan
dengan monoteisme Barat yang besar sekalipun, satu-satunya yang
paling dekat dengan modernitas.12
Tak kurang menariknya dari apa yang telah disampaikan Gellner, bahkan ini merupakan acuan Islam “ideal” masa klasik, adalah
Robert N. Bellah, di dalam penilaiannya terhadap sistem politik
yang dibangun oleh Nabi Muhammad, menyatakan bahwa ia
merupakan sesuatu yang pada masa dan tempatnya “sangat modern”,
bahkan sesuatu yang paling modern untuk bisa berhasil:
Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa di bawah (Nabi) Muhammad
masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam
kecanggihan sosial dan kapasitas politik. Tatkala struktur yang telah
terbentuk di bawah Nabi dikembangkan oleh para khalifah pertama
untuk menyediakan prinsip penyusunan suatu emperium dunia,
12
Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University
Press, 1981), h. 7.
D 16 E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
hasilnya sesuatu yang untuk masa dan tempatnya sangat modern.
Ia modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan,
dan partisipasi yang diharapkan dari kalangan rakyat jelata sebagai
anggota masyarakat. Ia modern dalam hal keterbukaan kedudukan
kepemimpinannya untuk dinilai kemampuan mereka menurut
landasan-landasan universalistis dan dilambangkan dalam upaya
melembagakan kepemimpinan yang tidak bersifat turun-temurun.
Meskipun pada saat-saat yang paling dini muncul hambatanhambatan tertentu yang menghalangi masyarakat untuk sepenuhnya
melaksanakan prinsip-prinsip tersebut, namun masyarakat telah
melaksanakannya sedemikian cukup dekatnya untuk menampilkan
suatu model bagi susunan masyarakat nasional modern yang lebih
baik daripada yang dapat dibayangkan. Upaya orang-orang Muslim
modern untuk melukiskan masyarakat dini tersebut sebagai contoh
sesungguhnya nasionalisme partisipatif dan egaliter sama sekali
bukanlah pemalsuan ideologis yang tidak historis. Dari satu segi,
kegagalan masyarakat dini tersebut, dan kembalinya mereka pada
prinsip organisasi sosial pra-Islam, merupakan bukti tambahan
untuk kemodernan eksperimen dini tersebut. Eksperimen itu
terlalu modern untuk bisa berhasil. Belum ada prasarana sosial yang
diperlukan untuk mendukungnya.13
Jika hal di atas benar, sebagaimana dikemukakan Bellah,
bahwa orang-orang Muslim dapat mengambil beberapa inspirasi
atau teladan dari pengalaman-pengalaman Islam klasik untuk
memecahkan masalah yang mereka hadapi di masa modern,
maka sudah selayaknya bagi mereka untuk menengok kembali
pada fase awal perkembangan politik Islam. Hal ini bertambah
penting sebab, sebagaimana telah kami katakan di atas, orangorang non-Muslim mendapati bahwa sistem politik Islam sangat
kaku dikarenakan tidak adanya pemisahan antara agama dan
13
Robert N. Bellah, Beyond Belief (New York: Harper and Row, 1970),
150-1.
D 17 E
F NURCHOLISH MADJID G
politik. Mungkin benar jika dikatakan bahwa bidang yang “suci”
dan yang “sekular” tidak harus terpisahkan, namun demikian pasti
benar jika dikatakan bahwa kedua bidang itu dapat dipisahkan
satu sama lain dengan cara mengidentifikasi sifat-sifat dasar dan
hukum dari masing-masing bidang tersebut. Term Islam al-umūr
al-dunyāwīyah (masalah duniawi) sebagai lawan dari al-umūr alukhrāwīyah (masalah agama atau, secara harfiah masalah ukhrawi)
dapat diinterpretasi dengan mudah selama kedua bidang yang
berbeda tersebut menunjukkan validitas yang dapat diidentifikasi.
Sebenarnya beberapa aksioma teori jurisprudensi Islam (‘ilm ushūl
al-fiqh) mengandung indikasi semacam sebagaimana ditunjukkan
dalam aksioma “al-ashl fī al-‘ibādah al-tahrīm illā idzā mā dalla aldalīl ‘alā khilāfihī” (pada dasarnya ibadat (formal) adalah terlarang,
kecuali jika ada petunjuk sebaliknya), sebaliknya, “al-ashl fī ghayr
al-‘ibādah al-ibāhah illā idzā mā dalla al-dalīl ‘alā khilāfihī” (pada
dasarnya sesuatu yang bukan menyangkut ibadat adalah dibolehkan,
kecuali jika ada petunjuk sebaliknya), atau, secara umum “al-ashl
fī al-ashyā’ al-ibāhah” (pada dasarnya segala sesuatu dibolehkan).
Kita boleh saja mengatakan bahwa kontroversi di sekitar permasalahan imam (dalam segala pengertiannya sebagaimana suatu
peraturan duniawi) dari masa yang paling dini sejak wafat Muhammad berakar pada kontroversi di sekitar bagaimana membedakan,
bukan memisahkan, persoalan-persoalan duniawi dengan persoalanpersoalan ukhrawi (keagamaan). Sebagaimana ditunjukkan dalam
kedua konsep itu sehubungan dengan apakah yang merupakan
inti dari menjadi seorang imam, Muslim Syi’i tampak berpegang
pada pandangan penyatuan yang sempurna antara masalah duniawi
dengan ukhrawi, karena mereka yakin bahwa prinsip imamah adalah
sebagian dari iman. Sedangkan Muslim Sunni, meskipun mereka
mempunyai beragam pandangan dalam hal ini, rupanya lebih
condong pada pandangan yang membedakan — walaupun, lagi-lagi,
tanpa memisahkan — kedua bidang tersebut dengan cukup jelas.
Karena itu, Ibn Taimiyah — seorang pembela mazhab Sunni yang
taat dari Damaskus yang hidup pada abad ke-14 dan nenek moyang
D 18 E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
dokrin Wahabi di Saudi Arabia abad ini — menekankan bahwa Nabi
Muhammad bukanlah seorang imam, melainkan seorang utusan
Tuhan:
Kewajiban umat manusia untuk taat kepada Nabi Muhammad
bukanlah disebabkan karena beliau adalah seorang imam, melainkan
karena beliau adalah utusan Tuhan kepada seluruh umat manusia.
Pandangan ini valid, baik selama masa hidup Nabi ataupun setelah kematiannya. Kadar ketaatan kepada beliau bagi mereka
yang hidup setelah kematiannya tak jauh berbeda dengan kadar
ketaatan orang-orang yang hidup di zaman beliau... Para khalifah
sesudah beliau sehubungan dengan ketaatan mereka pada perintah
dan larangannya tak jauh berbeda dengan para pendahulu mereka
di zaman beliau (yakni tatkala mereka diminta, atas nama beliau,
untuk bertindak pada bidang dan tempat tertentu). Dengan demikian setiap penguasa yang memutuskan segala sesuatu yang
hasilnya adalah kewajiban manusia untuk menaati nabi — yakni
seseorang yang memerintah dengan adil dan bijaksana — merupakan
wali atas perintah Rasulallah (saw) karena Tuhan telah mengirim
beliau kepada seluruh umat manusia dan kewajiban umat manusia
untuk menaatinya bukan dikarenakan beliau adalah seorang imam
dengan kekuasaan yang efektif (shawkah) dan letnan (a’wan) bukan
pula dikarenakan bahwa seseorang mempercayainya karena beliau
memiliki sifat-sifat seorang imam dan lain-lainnya.14
Ibn Taimiyah juga menyatakan, ketika beliau menguraikan perbedaan antara ketaatan pada utusan Tuhan dan ketatatan kepada
imam:
14
Ibn Taimiyah, Minhāj al-Sunnah fī Naqd Kalām al-Syī‘ah wa alQadarīyah, 4 volumes (Riyad: Maktabah al-Riyad al-Hadisah, n.d.), vol. 1,
h. 22-23.
D 19 E
F NURCHOLISH MADJID G
...jika dikatakan bahwa dia (Nabi) ditaati karena beliau adalah
seorang imam sebagai implikasi dari kerasulannya, gagasan sedemikian tidak berpengaruh, sebab secara sederhana kerasulan beliau saja
sudah cukup memberi beliau hak agar ditaati. Hal ini berbeda dengan
imam, karena seseorang dapat menjadi imam jika dia berpangkat
letnan guna menjalankan kekuasaannya. Jika tidak demikian maka
ia sama saja dengan ilmuwan atau agamawan biasa... Jika dinyatakan
bahwa sesudah beliau (nabi) memiliki otoritas politik yang efektif
di Madinah maka dengan otomatis, di samping sebagai utusan
Tuhan, ia menjadi imam yang adil, maka hal sebenarnya adalah
bahwa beliau adalah seorang utusan sekaligus letnan dan pendukung
yang kesemuanya berguna bagi beliau untuk mengeluarkan perintah
dan bertempur melawan penentangnya. Dengan demikian adanya
para pendukung tidak berarti bahwa beliau terlindungi dari apa
yang dilekatkan kepadanya, oleh para pendukungnya, di samping
kerasulannya, seperti kedudukan beliau sebagai seorang imam, atau
penguasa, karena kesemuanya (kewajiban menaatinya) merupakan
implikasi dari kerasulannya.15
Tujuan kita di sini bukanlah untuk mengadakan penilaian
terhadap teori mana yang paling benar — Sunni atau Syi’i — menyangkut kedudukan seorang imam. Perhatian kita lebih tertuju
pada fakta bahwa ada polemik, kontroversi, dan bahkan pandanganpandangan yang berlawanan di sekitar masalah hubungan antara
agama dan politik bahkan pada masa Islam klasik sekalipun. Dan
satu di antara teori-teori tersebut, sebagaimana yang diyakini Ibn
Taimiyah, akan membawa kita pada kesimpulan yang cukup aman
yakni, sebenarnya hubungan antara agama dan politik dalam Islam
tidak begitu jelas, sebagaimana dinyatakan beberapa golongan
Muslim tertentu. Di sini tampak bahwa politik merupakan aspek
konsekuensi yang sangat penting dari ajaran Islam, namun demikian
ia bukanlah satu-satunya aspek yang terpenting. Dan tampak jelas
15
Ibid., vol. 1, h. 24.
D 20 E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
bahwa politik, setidaknya sejalan dengan argumen Ibn Taimiyah,
bukanlah bagian yang absolut dari inti agama Islam. Ibn Taimiyah
jelas lebih menyukai pandangan bahwa sistem politik yang istimewa
lebih membutuhkan keputusan yang rasional dari sekadar perintah
agama yang langsung:
Jika Imam Syi’i mengatakan bahwa pengangkatan seorang imam
merupakan suatu kebutuhan yang diperlukan secara akal (kewajiban
akal [wujūb ‘aql]) — yaitu daripada sekadar sesuatu yang diperlukan
oleh kewajiban agama (wujūb dīn)... maka, sebenarnya, kebutuhan
yang secara rasional diperlukan itu adalah sesuatu yang kontroversial.
Sebagaimana pandangan yang menyatakan bahwa pengangkatan
seorang imam adalah sesuatu yang secara rasional diperlukan, maka
pengangkatan semacam itu dengan demikian adalah satu-satunya
dari banyak hal yang diperlukan secara rasional, padahal masih ada
hal-hal lain yang lebih penting daripada pengangkatan seorang imam
yang juga memerlukan pertimbangan rasional, seperti kebutuhan
akan monoteisme (tawhīd), kejujuran, dan keadilan.16
Argumen semacam di atas, seperti kebutuhan untuk membedakan, tanpa memisahkan, masalah agama/ukhrawi dengan masalah
sekular/duniawi tercermin dalam pemikiran Ahmad Zaki Yamani,
seorang mantan menteri perminyakan Arab:
Hakikat dan nilai keagamaan Syariat sama sekali tidak boleh
dilebih-lebihkan. Kebanyakan orientalis Barat yang menulis tentang
Syariat gagal membedakan antara apa yang benar-benar murni agama
dan apa yang merupakan prinsip transaksi sekular. Meski keduanya
berasal dari sumber yang sama, yang kedua harus dilihat sebagai
sebuah sistem dari hukum sipil (duniawi), sesuatu yang berlandaskan
pada kepentingan dan manfaat umum, dan oleh karenanya selalu
berubah menuju yang terbaik dan ideal... Nabi sendiri bahkan
16
Ibid., vol. 1, h. 24-25.
D 21 E
F NURCHOLISH MADJID G
lebih mengutamakan hubungan religius-sekular tatkala beliau
bersabda, “Aku hanyalah manusia biasa, jika kuperintahkan sesuatu
yang menyangkut agama, taatilah, dan jika kuperintahkan sesuatu
berdasarkan pendapatku sendiri, maka pertimbangkanlah hal itu
dengan mengingat bahwa aku hanyalah seorang manusia biasa”. Atau,
tatkala beliau bersabda, “Kamu lebih mengetahui tentang urusan
duniamu.”17
Kembali kepada permasalahan agama dan negara di Indonesia
tepat kiranya jika kita mengutip Muhammad Hatta, figur kedua
terpenting setelah Soekarno. Secara kebetulan tulisan Hatta-lah
yang menjadi acuan favorit Sidjabat, intelektual Kristen, dalam
usahanya memperoleh petunjuk bagi solusi permasalahan agama
dan negara. Bagi Sidjabat, Hatta adalah salah seorang dari sedikit
pemikir Indonesia yang paling berhasil di dalam menangkap semangat yang benar dari toleransi beragama. Pandangan Hatta
mengenai Islam dan negara terefleksi dalam pernyataannya:
Keadilan yang digaungkan agama Islam yaitu keadilan sosial
hanya dapat dirasakan jika umat manusia bebas dari segala tekanan.
Tambahan lagi, dikarenakan persaudaraan dan kehidupan yang
saling menolong hanya dapat dirasakan dalam kehidupan sosial,
maka para pemimpin Islam merasakan bahwa “adalah misi Islam
untuk membangun sebuah masyarakat sosialis di Indonesia.”18
Dengan perkataan lain Hatta tidak melihat perlunya didirikan
sebuah negara agama atau negara yang secara resmi berlandaskan
agama. Bagi beliau masalah yang terpenting adalah substansinya,
yaitu keadilan, yang harus diperjuangkan untuk dilaksanakan oleh
sebuah negara. Dan orang-orang Muslim, tanpa perlu menamakan
17
Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary Issues (Jeddah: The
Saudi Publishing House 1388 AH), h. 13-14.
18
Sidjabat, op.cit., h. 51.
D 22 E
F ISLAM DAN NEGARA ISLAM INDONESIA G
negara mereka sebagai “Negara Islam”, mungkin akan mendapati
basis etis substansi ini dalam ajaran Islam. Hatta, sebagaimana
diakui oleh kalangan luas, adalah seorang patriot di samping orang
kedua setelah Soekarno, yang mengorbankan jiwa raganya demi
negara, namun dalam hal bidang pemikiran politik dan sosial
beliaulah yang paling konsisten. Beliau hidup dalam lingkungan
keluarga dengan latar belakang keagamaan sufisme Islam yang kuat.
Dengan mengiktuti apa yang telah dicontohkan Muhammad Hatta
ini, Indonesia mungkin akan mendapati solusi terhadap masalah
religio-politis yang kini sedang dihadapinya. Hatta, dihormati dan
disanjung oleh seluruh rakyat Indonesia, baik Muslim atau nonMuslim, benar-benar tampil sebagai personifikasi yang menggagas
ide Bhineka Tunggal Ika.
Tidak diragukan bahwa Indonesia adalah negara Muslim. Ada
kesamaan antara Indonesia dengan negara-negara Muslim yang
lain, tetapi ada pula perbedaannya. Dan, istimewanya, perbedaanperbedaan tersebut notable. Karena itu, pemikiran Ahmad Zaki
Yamani sangat cocok bagi Indonesia tatkala beliau menyarankan
bahwa:
Negara-negara itu dapat menetapkan hukum penyelesaian baru bagi
masalah baru, dengan mengambil cara penyelesaian itu dari prinsipprinsip umum syariat dan mempertimbangkan kepentingan umum
dan kesejahteraan masyarakat.19
Karena itu, kini bangsa Indonesia sangat comfortable dengan
gagasan mereka berkenaan dengan hubungan antara agama dan
negara, yang didasarkan Pancasila sebagai titik-temu antara seluruh
golongan. Demikianlah fakta ini memperlihatkan dan kita yakin,
bahwa segala sesuatu berada dalam proses menjadi. []
19
Ahmad Zaki Yamani, op.cit., h. 6-7.
D 23 E
F POTRET PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA DALAM KONTEKS ISLAM UNIVERSAL G
POTRET PEMIKIRAN
ISLAM INDONESIA DALAM
KONTEKS ISLAM UNIVERSAL
Oleh Nurcholish Madjid
Membahas potret pemikiran Islam Indonesia dalam konteks Islam
universal memang menyulitkan, karena diperlukan perangkat yang
cukup lengkap dan yang mampu mewakili semua segi obyek pemotretan itu. Dalam keadaan metodologis yang sulit itu, kontribusi
ini terpaksa membatasi diri pada segi-segi yang akan secara absah
dapat disebut sebagai “potret”, yaitu melihat wujud-wujud nyata
dunia pemikiran Islam yang sedapat mungkin “khas” Indonesia,
tapi yang sekaligus dengan jelas menunjukkan konteksnya dengan
dunia Islam pada umumnya, atau dengan pemikiran Islam yang
telah mendunia (universal).
Tetapi jika dinamakan “potret”, maka pengertiannya boleh
jadi berupa sebuah gambar mati. Pemikiran Islam Indonesia, sama
halnya dengan semua pemikiran, adalah suatu realita yang dinamis,
terus bergerak, tumbuh, dan berkembang. Oleh karena itu sosok
pemikiran Islam Indonesia akan dapat diperoleh gambarannya secara
lebih tepat jika tidak sekadar hanya membuat “moment opname” atau
foto mati guna membuat gambar mati, sehingga seolah-olah masalah
pemikiran adalah masalah yang statis. Pendekatan statis akan banyak
menimbulkan salah paham atau membawa kepada kesimpulan yang
keliru. Sebaliknya, ibarat membuat gambar video atau “movie pictures”,
kita menelusuri dimensi dinamis dari sejarah pemikiran itu yang lebih
panjang. Ini berarti kita dituntut untuk membuat refleksi secukupnya
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
atau tinjauan sekilas tentang sejarah masa lampau, khususnya yang
langsung berkenaan dengan masalah pemikiran itu. Kemudian diikuti
dengan proyeksi dan antisipasi ke masa depan.
Kedatangan Islam dan Dampak Dinamiknya
Dengan jumlah pengikut sekitar 90%, Islam di negeri kita praktis
merupakan agama nasional. Indonesia adalah sebuah bangsa
Muslim, tanpa mengingkari golongan minoritas non-Muslim yang
ada. Pertanyaan timbul, mengapa pengislaman Indonesia begitu
sukses, dan bagaimana hal itu terjadi?
Kawasan-kawasan tertentu Asia Tenggara, seperti Aceh dan
Malaka, agaknya telah dikenal oleh orang-orang Arab dan Persia
yang Muslim sejak masa-masa yang cukup dini dari zaman Islam.
Dan dari kawasan-kawasan itu Islam menyebar ke berbagai tempat
di Asia Tenggara, termasuk daerah-daerah pantai utara Jawa Timur
yang saat-saat itu merupakan daerah depan Majapahit. Kotakota pantai yang juga menjadi pusat-pusat perdagangan menjadi
tempat-tempat pijakan pertama pengislaman Jawa. Pola kehidupan
warga kota-kota dagang yang kosmopolit (meliputi banyak bangsa)
menyebabkan mereka berpandangan terbuka dan lebih demokratis.
Keadaan itu menyiapkan penerimaan mereka akan agama Islam.
Majapahit jatuh pada tahun 1478 (“Sirna Ilang Kertaning
Bumi”), kemudian diikuti oleh berdirinya beberapa kesultanan
Islam di Jawa, khususnya Demak. Ini merupakan titik mula pengislaman Jawa secara ekstensif. Dan pengislaman ini juga terjadi pada
kawasan Asia Tenggara pada umumnya, yang prosesnya dipercepat
dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Sebab
jatuhnya Malaka ke tangan bangsa bukan Islam itu menyebabkan
para ulama, saudagar, artisan, dan lain-lain, dari kerajaan itu
keluar dan menyebar ke seluruh pelosok Asia Tenggara. Mereka
membawa agama Islam, dan menyebarkan semangat perlawanan
kepada orang-orang Barat yang datang hendak menjajah.
D2E
F POTRET PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA DALAM KONTEKS ISLAM UNIVERSAL G
Jadi penyebaran Islam secara besar-besaran di kawasan Asia
Tenggara ini terjadi bersamaan dengan kedatangan para penjajah
Barat: silih berganti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris.
Maka wajar bahwa pusat perhatian Islam diarahkan kepada perjuangan membendung atau melawan orang-orang Barat itu. Karena
kesibukan itu umat Islam Asia Tenggara tidak banyak mempunyai
kesempatan mengadakan konsolidasi di bidang budaya pada
umumnya dan pemikiran pada khususnya. Cukup sebagai indikasi
ke arah itu, antara lain adanya kenyataan bahwa arsitektur masjid,
misalnya (padahal arsitektur masjid adalah wahana ekspresi estetis
dan seni Islam yang paling penting), di Asia Tenggara bergaya sangat
lokal, kecuali di Aceh dan Sumatra Utara (yang sudah menampilkan
gaya arsitektur masjid yang lebih universal seperti terdapat di dunia
Islam pada umumnya). Demikian pula seni tulisan indah (kaligrafi,
khathth) dan arabesk (arabesque, yaitu zukhrufah ‘Arabīyah atau nasq
‘Arabī, suatu jenis seni dekorasi geometris dan abstrak), tidak dikenal
di Indonesia kecuali sedikit sekali dan baru mulai akhir-akhir ini
saja. Padahal kedudukan khath dan arabesk itu dalam budaya Islam
dapat dibandingkan dengan kedudukan seni lukis dalam budaya
Barat (yang merupakan kelanjutan budaya Romawi-Yunani). Khath
dan arabesk menjadi media ekspresi seni Islam karena ajaran Islam
pada awalnya tidak mengizinkan pelukisan makhluk hidup, baik
manusia maupun binatang, karena asosiasi pelukisan makhluk
hidup dengan mitologi atau syirik. Semangat anti gambar makhluk
hidup atau ikonoklasme ini telah mengilhami para seniman Islam
untuk menggunakan medium khath Arab dan arabesk sebagai
ekspresi seni Islam. Maka kekurangan dalam hal ini sudah cukup
menunjukkan kekurangan dari segi budaya.
Orientasi Kesufian Pemikiran Islam Indonesia
Corak pemikiran Islam Indonesia terkenal sangat berwarna kesufian yang pekat. Ini tentunya tidak mengherankan jika dilihat dari
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
beberapa sudut. Pertama, datangnya Islam ke kawasan ini, seperti
juga yang ke Asia Tengah dan Afrika Hitam, banyak ditangani oleh
kaum sufi sekaligus pedagang. Jaringan gilda-gilda perdagangan
mereka yang luas (yang berpusat pada tempat-tempat penginapan
mereka dekat masjid sekaligus padepokan-padepokan kesufian
mereka yang disebut zāwiyah, khāniqah, ribāth, dan funduq
— “pondok”) telah memberi mereka fasilitas menyebarkan Islam
melalui perembesan damai (pénétration pacifique). Karena watak
kesufian yang banyak mengandalkan intuisi pribadi dan perasaan
(dzawq), pemikiran Islam yang diwarnainya tampil dengan sikap
yang cukup reseptif (berpembawaan mudah menerima) unsurunsur budaya lokal. Melalui kebijakan para “wali” (khususnya
Wali Songo), gaya pemikiran Islam di Indonesia umumnya dan
di Jawa khususnya menjadi mudah sekali diterima rakyat banyak.
Maka Islam dalam tempo singkat menjadi agama mayoritas bangsa
kita.
Dalam pemikiran Islam yang bercorak kesufian itu pengaruh
Imam al-Ghazali sangat kuat terasa dan dinyatakan dalam berbagai
dokumen dan karya tulis. Berkenaan dengan ini patut kita ingat
bahwa pemikir Islam yang hebat itu wafat pada 1111 M., yaitu
empat abad sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang
telah disinggung di atas. Dan Kerajaan Hindu Majapahit baru
berdiri pada tahun 1295, hampir dua abad setelah wafatnya
al-Ghazali. Karena itu mudah dibayangkan bahwa berbagai karya
pemikir besar itu sangat luas beredar di kalangan cendekiawan
Islam di Indonesia, dan sangat mempengaruhi pemikiran mereka.
Meskipun kebiasaan menulis dan mengarang di negeri kita saat
itu (mungkin sampai sekarang) jauh sekali ketinggalan oleh dunia
Islam dari India ke barat, kita beruntung ada satu-dua peninggalan
nenek moyang kita yang dapat dijadikan contoh bukti pengaruh
ajaran kesufian Imam al-Ghazali. Salah satunya ialah dokumen
tentang kode etik Islam Jawa yang mula-mula, yang diperkirakan
ditulis pada abad ke-17 atau ke-16 Masehi. Menurut penelitinya,
Drewes, dokumen yang berbahasa Jawa itu diketemukan sekitar
D4E
F POTRET PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA DALAM KONTEKS ISLAM UNIVERSAL G
Sedayu. Bagian pembukaan dari dokumen itu terjemahannya
terbaca demikian:
Inilah jubah agama: meninggalkan dunia, tepat dalam memilih
teman, menjauhi kerumunan orang banyak. Benteng orang mukmin
yang zuhud ialah: tinggal di masjid, menjalankan sembahyang
lima waktu, dan mengaji al-Qur’an. Benteng tokoh agama adalah
tiga: puas (qanā‘ah), bangun malam, dan menyendiri. Pahala puas
ialah terangnya hati, pahala bangun malam ialah cahaya, pahala
menyendiri ialah mudah merendahkan (kehidupan) dunia. Benteng
setan ialah tidur setelah makan kenyang; rumah setan ialah orang
yang makan kenyang; makanan setan ialah orang yang memakan
makanan haram. Inilah cara mengetahui Tuhan, tindakan menjauhi
maksiat, yang ditulis oleh seorang khalifah, dan diambil dari isi
(kitab) Bidāyah oleh Imam al-Ghazali dan diperluas dengan bahan-bahan yang diambil dari kitab Masadullāh, misalnya, masalah
tentang (Nabi) Isa; juga dari kitab Masabeh Mafateh dan Rawdlat
al-‘Ulamā’; dari kitab-kitab tafsir dan ushul, dan dari kitab Salāmah.
Agar jelas semuanya ini dikumpulkan dan dibuat cerita tentang
tingkah laku yang benar dari masing-masing kelompok yang
disebutkan tadi, begitu rupa sehingga mantap dan teguh berpegang
kepada sabda Allah.1
Penulis dokumen itu tampak mengerti bahasa Arab dengan
baik, terbukti dari keterangannya sendiri bahwa dia menulis dengan
merujuk kepada kitab-kitab berbahasa Arab, khususnya karya-karya
Imam al-Ghazali. Kitab Bidāyah yang disebutkannya tidak lain ialah
kitab Bidāyat al-Hidāyah yang merupakan ringkasan dari kitab
Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn yang amat terkenal. Kitab Rawdlat al-‘Ulamā’
adalah karya seorang ulama, al-Zandawaisiti (wafat 382 H/922
M), pendahulu Imam al-Ghazali. Kitab itu merupakan kumpulan
1
G.W.J. Drewes, penyunting dan penerjemah, An Early Javanese Code of
Muslim Ethics (The Hague: Martinus Nijhoff, 1978), h. 14.
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
ajaran-ajaran keakhlakan yang diambil dari al-Qur’an, Sunnah, dan
ucapan-ucapan para sufi. Sedangkan kitab Masabeh Mafateh boleh
jadi ialah kitab Mafātīh al-Rajā’ fī Syarh Mashābīh al-Dujā, yaitu
kitab syarah oleh al-Aquli al-Wasithi (wafat 797 H/1394 M) atas
kitab karangan al-Baghawī (wafat 516 H / 1122 M) yang berjudul
Mashābīh al-Dujā yang merupakan kitab kumpulan hadis.22
Pengaruh al-Ghazali juga tampak jelas dalam berbagai pembahasan akidah atau ilmu kalam. Dalam sistem akidah Asy‘ari
terdapat persoalan yang rumit tentang teori kegiatan manusia
(af‘āl al-‘ibād), dalam dinamika tarik-menarik antara pahampaham Jabariyah dan Qadariyah yang terkenal. Akidah Asy‘ari
bermaksud menengahi antara ujung-ujung ekstrem dari kedua
paham itu, dan ia menawarkan teori kasb atau “perolehan” (Inggris:
acquisition) yang tidak sederhana. Dalam kaitannya dengan ajaran
tawakal dalam tasawuf, ternyata teori kasb dari Asy‘ari itu masih
menimbulkan masalah, dan tampaknya para ulama dalam hal ini
banyak merujuk kepada uraian-uraian al-Ghazali. Contohnya ialah
pembahasan berikut ini, yang diambil dari sebuah kitab berbahasa
Jawa huruf Pego, yang dikarang oleh Kiai Muhammad Shalih ibn
Umar Samarani (terkenal dengan sebutan Kiai Saleh Darat), dari
Pesantren Meranggen, Semarang. Kitab ini merupakan syarah dalam
bahasa Jawa dari kitab Jawharat al-Tawhīd karangan Syeikh Ibrahim
al-Laqqani yang terkenal dan yang banyak digunakan sebagai kitab
pelajaran akidah di pesantren dan madrasah. Uraian Kiai Saleh
Darat tentang kasb (usaha) dan tawakal yang menunjukkan kuatnya
orientasi kepada pemikiran al-Ghazali adalah demikian:
Berkenaan dengan keutamaan bekerja dan tawakal itu para ulama
Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah berbeda pendapat. Adapun menurut
pendapat yang unggul perkara tersebut harus dilihat rinciannya
menurut sumber yang diketahui dari kitab para ulama pembukti
kebenaran seperti kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn dan Risālat al-Qusyayrīyah.
2
Ibid., h. 6.
D6E
F POTRET PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA DALAM KONTEKS ISLAM UNIVERSAL G
Periksalah itu! Artinya, para ulama pembukti kebenaran berselisih
pendapat tentang kasb (usaha) dan tawakal dengan meninggalkan
usaha. Dalam perselisihan tentang mana yang lebih utama itu
sebagian para ulama mengatakan lebih utama usaha, yaitu bekerja
untuk memperoleh kehidupan, seperti berdagang, bertani, menjahit,
ataupun menjadi tukang kayu. Sebab jika seseorang bekerja, ia tidak
menjadi tamak terhadap milik orang lain, dan tidak merendahkan
diri terhadap orang lain, serta dapat leluasa bertindak sebagai hamba
Allah dengan bersedekah dan bersilaturrahmi.3
Pembahasan tentang usaha dan tawakal itu masih diteruskan,
dengan nada hendak mencari titik tengah antara keduanya — sebagaimana telah disinggung tentang akidah Asy‘ari — tapi juga
akhirnya dengan semacam penegasan tidak langsung bahwa usaha
adalah lebih utama, demikian:
Adapun menurut pendapat sebagian besar para ahli, tawakal tidak
berarti menghilangkan kerja (kasb). Ada orang bekerja (aktif) dan tetap
bertawakal, dan tawakalnya itu tidak rusak karena kerja. Sebab makna
tawakal ialah percaya kepada Allah swt. dan berpegang kepada-Nya,
meskipun disertai tindakan menempuh cara-cara kerja. Kesimpulannya, pada zaman sekarang lebih baik kerja, malah wajib, karena iman
orang umum dan keislaman mereka tidak sempurna kecuali dengan
adanya harta. Hadis riwayat Anas menceritakan bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Sebaik-baik penopang bagi takwa kepada Allah ialah
harta.” Sabdanya lagi, “Kemiskinan bagi sahabat-sahabatku adalah
kebahagiaan, dan kekayaan bagi orang-orang beriman di akhir zaman
adalah kebahagiaan,” (Diriwayatkan oleh Jabir). Beliau juga bersabda,
“Kemuliaan seorang mukmin ialah kemandiriannya dari orang lain.”4
3
H. Muhammad Shalih ibn Umar Samarani, Tarjamah Sabīl al-‘Abīd
‘alā Jawharat al-Tawhīd, sebuah terjemah Jawa, disertai uraian, dari kitab
Syeikh Ibrahim al-Laqqani, Jawharat al-Tawhīd), tanpa data penerbitan, h.
316-317.
4
Ibid., h. 318-319.
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
Di atas telah disebutkan bahwa proses pengislaman besar-besaran Jawa khususnya dan Indonesia umumnya baru benar-benar
terjadi empat abad setelah wafat Imam al-Ghazali. Jadi para wali
Jawa tampil sekitar 400 tahun setelah wafat pemikir besar itu. Maka
tidak mengherankan bahwa pemikiran al-Ghazali juga sudah sangat
kuat terasa pada pandangan para wali. Ini terbukti dari terjadinya
peristiwa yang menyangkut Syeikh Lemah Abang (Siti Jenar). Sejalan dengan pemikiran al-Ghazali yang hendak menggabungkan
dengan serasi antara syariat dan tarekat (antara orientasi lahiri dan
orientasi batini), para wali tampak tidak dapat menenggang pemikiran batini yang ekstrem atau eksesif sebagaimana ditunjukkan
oleh Syeikh Lemah Abang. Sebuah laporan (atau, setidaknya,
penuturan) tentang sidang para wali mengadili Syeikh Lemah Abang
menggambarkan peristiwa tersebut, demikian:
Para wali mengadakan musyawarah di Girigajah, di Gunung Kadaton.
Masalah yang dibicarakan ialah pengertian makrifat. Pertama ialah
Pangeran Bonang, kedua Pangeran Majagung, ketiga Pangeran
Cirebon, keempat Pangeran Kalijaga, kelima Syekh Bonthang,
keenam Maulana Maghribi, ketujuh Syeikh Lemah Abang, dan
kedelapan Pangeran Girigajah di Gunung Kadaton. Musyawarah itu
berlangsung pada hari Jumat tanggal lima Ramadan tahun Waw.
Pangeran Girigajah berkata kepada para wali, “Saya mohon
kepada kalian, kawan-kawanku, untuk bertukar pikiran tentang
makna makrifat. Carilah kesepakatan dalam masalah ini. Jangan
bertengkar tentang hal itu melainkan hendaknya minta petunjuk
satu sama lain. Sebab harus ada pendapat yang mufakat dalam
perkara ini. Dengan adanya pengetahuan itu hendaknya tidak lagi
ada kekaburan. Karena itu, kalian harus mencapai pandangan yang
jelas mengenai Hakikat Tuhan.”
Pangeran Bonang berkata, “Hakikat pengetahuan iman dan
tauhid itu tidak lagi dikenal oleh orang ahl al-ma‘rifah yang telah
waspada pengetahuannya, yang telah tenggelam dalam makrifat.
Mengenai jasad ini, seluruh geraknya bersumber dari sikap pasrah
D8E
F POTRET PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA DALAM KONTEKS ISLAM UNIVERSAL G
ruh kepada Allah; yang disebut hati itu ialah kewaspadaan, karena
diterangi oleh Allah, sedangkan hakikat yang disebut Allah itu ialah
bahwa Dia sendiri menyebutkan nama-Nya, Yang Maha Terpuji,
tidak lain dari Allah Yang Mahatahu, yang tak tergambarkan, yang
tidak terikat oleh ruang. Iman dan tauhid itu tidak dapat dipisahkan
dari makrifat, tidak pula dapat disamakan begitu saja, namun
merupakan kesatuan antara iman, tauhid, dan makrifat.”
Pangeran Majagung berkata: “Pendapat saya ialah bahwa di
akhirat nanti tidak lagi ada persoalan iman dan tauhid, sebab penyembahan dan pengagungan sudah tidak ada lagi, karena pandangan
yang jelas (melihat Allah?) sudah mantap di sana. Iman dan tauhid
itu urusan kebaktian (kepada Tuhan) sekarang ini, merupakan
kenyataan dari adanya hamba dan Tuhan, yaitu ketika ruh telah
mantap. Kalau pengetahuan manusia itu tidak demikian, yaitu yang
masih mendua, maka pengetahun orang itu kosong. Kalau masih
juga ia berpegang kepada pandangan mendua, ia adalah musyrik,
yang tidak mampu (memahami) kalimat syahadat karena ia tidak
menangkap hakikat kesatuan.”
Pangeran Cirebon berkata: “Yang disebut kaum makrifat ialah
jika orang itu termasuk golongan beriman (ahl al-īmān), ia akan terbimbing ke arah wewenang dan kekuasaan (Tuhan). Makrifat yang
sempurna berarti tidak lagi memandang sasaran pandangan, juga
tidak lagi memuji yang dipuji (karena pelaku dan sasaran pandangan
dan pujian itu adalah satu dan sama).”
Pangeran Kalijaga berkata: “Mengenai makrifat itu, tidaklah
seperti... Tuhan adalah Yang Mahasempurna dalam pengetahuan-Nya,
dan orang yang tidak keliru dalam pengertiannya tentang Ketuhanan,
ia tidak lagi mengenal ruh, karena Tuhan jugalah yang Lahir dan
yang Batin.”
Syeikh Bonthang berkata: “Yang disebut Allah ialah Allah sendiri, dengan dua pola wujud (Lahir dan Batin), namun tidak berarti
Dia itu dua adanya.”
Maulana Maghribi berkata: “Benar, begitulah orang mengatakan,
tapi bukankah yang ini, di sini, disebut ‘jasad’?”
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
Syeikh Lemah Abang berkata: “Sayalah Allah. Siapa lagi saya
ini, sebab tidak ada sesuatu kecuali Saya.”
Maulana Maghribi bekata: “Baiklah ... itukah nama (jasad) yang
ada di sini ini?!”
Syeikh Lemah Abang menjawab: “Saya tidak mau membicarakan
masalah jasad. Mengapa saya harus, padahal semestinya bukanlah
jasad yang harus dibicarakan lebih lanjut. Mari kita bicarakan tanpa
ragu, karena kita semua telah menyingkap tabir ini. Mari kita menuju
ke pandangan kesepakatan.”
Maulana Maghribi berkata: “Anda ini memang benar, tapi Anda
tidak mempertimbangkan, kalau Anda ucapkan itu akan didengar
orang banyak. Janganlah sampai diketahui orang lain!”
Pangeran Giri Gajah berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa orang
yang menamakan dirinya Allah ini adalah gambuh (?) yang mencoba
membuat taruhan dan berkata, ‘Siapa yang tahu namaku jika tidak
aku sebutkan sendiri namaku itu? Orang ini sungguh ‘amat tahu’,
karena saya pun bergelar Prabu Satmata.’”
Semua wali itu sangat memperhatikan masalah ini, tapi mereka
menentang ucapan Syeikh Lemah Abang, namun dia ini tidak
menghiraukan tantangan yang mufakat itu.
Pangeran Cirebon berkata: “Jangan Anda teruskan masalah ini.
Anda akan dibunuh besuk, menjalani hukuman!”
Syeikh Lemah Abang tidak dapat dicegah lagi. Ia pun mohon
diri, sambil berkata, “Siapa lagi (yang ada kecuali Saya). Janganlah
berpandangan mendua!”5
Peristiwa yang menyangkut Syeikh Lamah Abang (Siti Jenar)
sudah sangat umum diketahui dalam masyarakat Islam Jawa.
Dan penuturan di atas itu menggambarkan dengan cukup jelas
ketegangan yang terjadi antara para wali (pemuka Islam saat itu)
dalam menangani kasus paham wahdat al-wujūd seperti dianut
oleh Syeikh Siti Jenar, mengikuti contoh beberapa tokoh kesufian
5
Drewes, op. cit., h. 45-46.
D 10 E
F POTRET PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA DALAM KONTEKS ISLAM UNIVERSAL G
dari dunia Islam sendiri, seperti al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, Dzu al-Nun
al-Mishri, dan lain-lain. Lepas dari persoalan apakah peristiwa
Syeikh Siti Jenar itu benar-benar ada secara historis ataukah ia
hanya merupakan legenda belaka, namun adanya penuturan dan
cerita tentang hal itu jelas menunjukkan bahwa di Indonesia pun,
khususnya di Jawa, ketegangan antara para penganut eksoterisisme
(ahl al-zhawāhir) dan para penganut esoterisisme (ahl al-bawāthin)
mewarnai proses perkembangan pemikiran keislaman yang ada.
Peristiwa yang mirip dengan peristiwa Syeikh Siti Jenar juga
terjadi di Aceh, suatu kawasan Nusantara yang termasuk sangat
dini mengenal Islam. Seorang tokoh pemikir kesufian yang menunjukkan gejala paham wahdat al-wujūd, yaitu Hamzah Fansuri,
menulis beberapa karya dalam pemikiran Islam sufi. Karena pahamnya yang dianggap membahayakan syariat itu maka Hamzah
Fansuri mengalami kesulitan besar, antara lain oleh seorang ulama
“pemburu bidah”, Syeikh al-Raniri. Hamzah Fansuri tidak sampai
mengalami hukum bunuh seperti Syeikh Siti Jenar, tetapi alam
pikirannya yang berat ke arah kesufian itu sangat melemah, dan
dapat dikatakan akhirnya menghilang dari tanah Aceh.
Daerah Aceh, sebagai daerah yang mula-mula sekali mengenal
Islam, mempunyai tradisi intelektual klasik yang lebih mapan daripada daerah lain. Pengaruhnya juga terasa di Jawa, seperti terbukti
dari adanya terjemah bahasa Jawa dari salah satu karya Fansuri,
Syarāb al-‘Asyiqīn.
Menuju Masa Depan
Di muka telah disebutkan bahwa orientasi kesufian akan pemikiran
Islam lebih dapat menerima pola budaya luar, sebagian besar
yang positif, tapi juga tidak jarang tersusup yang negatif. Tapi
sesungguhnya keadaan ini sangat umum di seluruh dunia Islam,
sehingga pada dasarnya tidak perlu sangat dipersoalkan. Dan hal
itu menyangkut masalah, seberapa jauh dibenarkan terjadinya
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
akulturasi atau penyesuaian nuktah-nuktah universal ajaran Islam
dengan unsur-unsur budaya lokal, justru untuk membuat nuktahnuktah universal itu terlaksana. Karena itu sesungguhnya adanya
unsur budaya lokal dalam dunia pemikiran Islam di suatu tempat
tidaklah sedikit pun mengurangi nilai keabsahan pemikiran Islam
itu.
Dalam proses perkembangan pemikiran Islam lebih lanjut,
orientasi pemikiran yang berat ke kesufian itu mendapatkan tantangan yang semakin deras. Lebih-lebih setelah kaum Muslim Indonesia, berkat kapal-kapal modern yang dijalankan dengan mesin
uap, semakin mudah dan semakin banyak pergi ke Tanah Suci,
maka kontak dengan kalangan dari paham dan pemikiran Islam
yang lebih “murni” ke arah syariat semakin kuat. Ini menimbulkan
gelombang gerak pemikiran yang lebih berat ke arah syariat atau
fiqih, serta berbahasa Arab, yang kemudian melembaga dalam sistem dan kurikulum pendidikan dunia pesantren.
Gelombang gerak ke arah syariat yang lebih murni itu menjadi
semakin besar dengan adanya sebagian kaum Muslim Indonesia
yang berhasil mengadakan kontak dengan para ulama Arabia dari
aliran pemikiran Syeikh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (yang
lalu demi mudahnya sering disebut kaum Wahhabi), di Tanah
Suci. Sumatera Barat merupakan ajang paling seru perbenturan
antara “kaum muda” dan “kaum tua”. Perbenturan itu menyulut
peperangan patriotik karena melibatkan penguasa kolonial
Belanda.
Apa yang terjadi di Sumatera Barat itu mempunyai dampak
nasional, dengan bukti bahwa daerah-daerah lain, langsung atau
tidak langsung, juga mulai memperkenalkan ide-ide “kaum muda”.
Dan dengan adanya pengaruh pemikiran reformatif dari Mesir
yang lebih sistematis, yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridla, gerakan “kaum muda” itu muncul dalam
organisasi-organisasi sosial-keagamaan modern.
Tetapi, saat ini, ketika kesadaran kaum Muslim Indonesia
semakin luas dan lengkap akan ajaran dan semangat agama Islam,
D 12 E
F POTRET PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA DALAM KONTEKS ISLAM UNIVERSAL G
potret pemikiran Islam di Indonesia mulai memasuki jenjang peningkatan yang lebih tinggi, yang tidak lagi hanya semata-mata
bercorak “kaum muda”, tapi juga menyaksikan tampilnya kembali
secara kreatif corak-corak “kaum tua”. Maka semakin banyak
terdengar pernyataan, bahwa sementara pemikiran Islam itu terus
diusahakan untuk responsif atau mampu menjawab tantangan
zaman, ia juga harus berakar secara mendalam dalam tradisi dan
warisan kultural umat Islam, yang universal dan yang lokal. Ini
disadari justru untuk mendorong pengayaan intelektual dan
kultural, serta untuk mencegah terjadinya pemiskinan di bidang itu.
Agaknya masa depan Islam di tanah air kita akan ditentukan oleh
kecenderungan-kecenderungan terakhir tesebut. Semua itu tidak
lain merupakan perwujudan dari ungkapan bijak (hikmah) para
ulama sendiri, “Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil
yang baru yang lebih baik.” []
D 13 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
MASALAH TRADISI DAN INOVASI
KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN,
SERTA TANTANGAN DAN HARAPANNYA
DI INDONESIA
Oleh Nurcholish Madjid
Hikmah:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan,
‘Kalimah’ yang baik adalah bagaikan pohon yang baik: akarnya kukuh
menghunjam, dan cabangnya berkembang di langit,” (Q 14:24).
“Mempertahankan yang lama yang baik, dan mengambil yang baru
yang lebih baik.”
Usaha memperkenalkan budaya Islam (atau Islam dan budaya) yang
khas Indonesia kepada masyarakat umum, termasuk masyarakat luar
negeri, yang sebagian besarnya melalui pariwisata, selain diharapkan
mempunyai dampak peningkatan kesadaran kultural Islam, juga
diharapkan menumbuhkan pengakuan dan penerimaan umum pada
taraf internasional, khususnya taraf dunia Islam sendiri, bahwa suatu
bentuk budaya Islam seperti di negeri kita ini adalah sepenuhnya
absah, dan tidak dapat dipandang sebagai “kurang Islami” dibanding
dengan bentuk budaya Islam di tempat-tempat lain.
Mungkin pernyataan serupa itu bagi sebagian orang terasa
berlebihan, karena dalam penglihatannya tidak ada masalah dalam pengakuan keabsahan bagi suatu bentuk budaya Islam yang
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
spesifik daerah tertentu atau kawasan tertentu. Jika memang demikian halnya, tentu sangat menyenangkan. Tetapi betapa sering
pengalaman pribadi orang Muslim Indonesia yang harus menerangkan dan membela kekhasan budaya Islamnya berhadapan
dengan sikap tidak mengesahkan dan tidak mengakui dari sesama
saudara Muslimnya dari tempat, negara atau bangsa lain.
Agama dan Budaya: Tak Terpisah tapi Berbeda
Lebih dari itu, di kalangan kaum Muslim Indonesia sendiri pun
pandangan mengenai masalah agama dan budaya itu kebanyakan
belum jelas benar. Ketidakjelasan itu dengan sendirinya berpengaruh
langsung kepada bagaimana penilaian tentang absah atau tidaknya
suatu ekspresi kultural yang khas Indonesia, bahkan mungkin khas
daerah tertentu Indonesia. Seperti telah menjadi kesadaran kebanyakan orang Muslim, antara agama dan budaya tidaklah dapat
dipisahkan. Tetapi juga sebagaimana telah diinsafi oleh banyak
ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidaklah dibenarkan mencampur-aduk
antara keduanya. Agama an sich bernilai mutlak, tidak berubah
menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun
yang berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan
dari tempat ke tempat. Sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama
berdasarkan budaya. Sekurangnya begitulah menurut keyakinan
berdasarkan kebenaran wahyu Tuhan kepada para Nabi dan para
Rasul. Oleh karena itu agama adalah primer, dan budaya adalah
sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan,
karena itu sub-ordinate terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.
Maka sementara agama adalah absolut, berlaku untuk setiap ruang
dan waktu, budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan waktu.
Pembicaraan di atas itu membawa kita kepada masalah agama
dan budaya yang sangat penting. Yaitu, sekali lagi, bahwa antara
D2E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
keduanya, dalam banyak hal, mungkin tidak terpisahkan, namun
tetap ada perbedaan. Dan cara berpikir yang benar, dalam kaitannya
dengan masalah tradisi dan inovasi, menghendaki kemampuan
untuk membedakan antara keduanya itu. Tapi masalahnya ialah,
seperti telah disinggung, bagi kebanyakan orang sulit sekali, atau
cukup sulit, membedakan mana yang agama yang mutlak, dan
mana yang budaya yang menjadi wahana ekspresinya dan yang nisbi
itu. Kekurangjelasan itu dapat mengakibatkan kekacauan tertentu
dalam pengertian tentang susunan atau hirarki nilai, yaitu berkenaan
dengan persoalan mana nilai yang lebih tinggi dan mana yang lebih
rendah. Dan kekacauan ini dapat, dan amat sering, berakibat sulitnya
membuat kemajuan, akibat resistensi orang terhadap perubahan.
Sebagai sebuah contoh, suatu kasus sederhana di negeri kita,
dan yang kini sudah menjadi sebuah cerita klasik, dapat diajukan
di sini: soal bedug (dan kentungan). Sebelum orang Indonesia
mampu membuat menara yang tinggi sehingga suara azan dapat
terdengar cukup jauh, panggilan kepada sembahyang dengan
memukul bedug dan kentungan yang merupakan pinjaman dari
budaya Hindu-Budha itu adalah yang paling mungkin. Dan harus
kita perhatikan juga bahwa radius jangkauan suara azan dalam
lingkungan daerah tropis yang subur dan penuh pepohonan, seperti
di Tanah Air ini, adalah jauh lebih pendek dan sempit daripada
dalam lingkungan padang pasir yang tidak bertetumbuhan. Tetapi
ketika orang sudah dapat membuat menara tinggi, dan apalagi
setelah adanya pengeras suara (meskipun “made in Japan”[!]), maka
bedug sebenarnya menjadi tidak relevan, dan harus di-“devaluasi”
dan di-“desakralisasi” (dicopot dari nilai kesuciannya dengan ditegaskan bahwa semua itu tidak termasuk agama, melainkan masalah
budaya belaka). Gerakan reformasi Islam di negeri kita awal abad ini,
seperti Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad, umumnya menganut
pandangan demikian itu, dalam kerangka tema besar mereka untuk
“memurnikan” agama dan memerangi “bidah” dan “khurafat”.
Namun kenyataannya, upaya “pemurnian” tersebut tidaklah bisa
diterima secara mudah. Bagi kebanyakan orang di masyarakat kita,
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
bedug merupakan bagian integral dari masjid, dan masjid tanpa
bedug bagi mereka hampir tidak masuk akal, bagaikan “sayur
tanpa garam”. Dan ini memberi ilustrasi sederhana namun cukup
substantif tentang bagaimana sulitnya orang umum menempatkan
nilai-nilai hidup dalam susunan atas-bawah, tinggi-rendah, primersekunder, universal-partikular yang tepat dan benar, dan bagaimana
kekacauan itu dapat berakibat pembelengguan mental, sampai
kepada sikap menghadapi hal-hal yang amat sederhana seperti bedug
dan kentungan. Bagi mereka simbol menjadi lebih penting daripada
fungsi atau substansi, dan makna telah digantikan oleh kerangka.
Dialog Islam dengan Ruang dan Waktu
Sekali lagi, persoalan kita bukanlah pada isu-isu ad hoc seperti
kubah, bedug, dan kentungan, dan lain-lain. Persoalan sederhana itu
hanya melambangkan sesuatu yang lebih besar, yang hendak dicoba
bahas di sini. Adanya arsitektur “neo-modern”, “neo-klasik” atau
“pasca-modern” serta konsep estetiknya yang terkait, melambangkan
kemungkinan solusi atas problema itu, yaitu kemungkinan tetap
dapat diterimanya kehadiran kelembagaan tradisional seperti kubah,
bedug, kentungan, dan lain-lain, meskipun, demi konsistensi dalam
beragama, diperlukan kesadaran yang tegas akan kenisbian nilainya.
Maka masjid Istiqlal, misalnya, bukan saja merupakan masjid terbesar di Asia Timur, tapi juga masjid dengan kubah terbesar di dunia
serta menara yang menjulang amat tinggi dan, sungguh menarik,
juga dengan bedug yang ukurannya rekor di dunia, mungkin di
seluruh jagad raya yang kasat mata (syahādah, bukan yang gaib)
— jika memang di planet-planet lain juga ada bedug!
Persoalan kita dengan contoh-contoh tadi ialah adanya kecenderungan orang Islam untuk memutlakkan sesuatu yang nilai
sesungguhnya adalah nisbi belaka, meskipun sesuatu itu memang
memiliki arti penting dilihat dari sudut pandangan kultural dan
historis. Jika soal kubah, bedug, dan kentungan tidak terlalu nyaring
D4E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
menggetarkan gendang telinga kita (karena sederhananya fenomena
itu terkesan dalam pikiran), maka gantilah itu semua dengan halhal yang lebih abstrak dan “prinsipil”, yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Islam seperti konsep-konsep,
ajaran-ajaran, dan paham-paham tertentu, malah “akidah-akidah”
tertentu pula. Banyak dari hal-hal itu yang sesungguhnya tidak
lebih daripada hasil interaksi dan dialog antara Islam yang universal
dengan situasi nyata ruang dan waktu yang partikular.
Sudut pandang persoalan itu dapat ditukar: apakah setiap ekspresi
keagamaan (biar pun dibatasi hanya kepada yang bersifat lahiriah saja
seperti cara berpakaian tertentu, misalnya) yang datang dari tempat
lain, apalagi dari Timur Tengah, harus dianggap sebagai ekspresi
keagamaan yang serta-merta mesti bernilai mutlak sehingga mesti
pula berlaku di semua tempat? Bagaimana dengan kemungkinannya
melihat bahwa itu semua adalah tidak lebih daripada hasil dialog
Islam yang universal (yang datang dari Tuhan dan diperuntukkan bagi
seluruh umat manusia di mana saja dan sepanjang zaman) dengan
situasi konkret budaya dalam konteks ruang dan waktu tertentu yang
relevan dan partikular (seperti partikularitas Jazirah Arabia, kawasan
Timur Tengah, dan abad ke-7 samapi abad ke-8 Masehi)?
Barangkali masih harus ditegaskan lagi di sini bahwa persoalan
yang dicoba kemukakan itu bukanlah perkara apakah suatu hasil
dialog kultural antara keuniversalan Islam dan kekhasan suatu
kawasan dan zaman itu absah atau tidak. Justru alur argumen
yang hendak dicoba kembangkan dalam makalah ini diarahkan
kepada kesimpulan bahwa setiap hasil dialog kultural dari kedua
aspek, universal-partikular atau kullī-juz’ī tidak saja absah, tapi
juga merupakan kreativitas kultural yang amat berharga. Dengan
kreativitas itulah suatu sistem ajaran universal seperti agama menemukan relevansinya dengan tuntutan khusus dan nyata para
pemeluknya, menurut ruang dan waktu, dan dengan begitu menemukan dinamika dan vitalitasnya.
Jadi memang, persoalannya ialah apakah suatu hasil dialog
kultural dalam format universal-partikular itu mesti dianggap mutlak
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
dan berlaku selama-lamanya? Apakah tidak dari waktu ke waktu
perlu ditinjau seberapa kuat relevansinya dengan tuntutan dasar
zaman dan tempat dengan kemungkinan meningkatkannya, atau
mengubahnya, atau menggantinya sama sekali, dalam semangat
kesadaran akan kenisbian spasial dan temporalnya, ruang dan waktunya? Bagi mereka yang benar-benar mengerti permasalahan ini, dan
mempunyai kesiapan psikologis yang diperlukan, akan cukup mudah
tiba kepada jawaban yang positif-afirmatif (ījābī-itsbātī). Tetapi bagi
kebanyakan anggota masyarakat, atau masyarakat itu sendiri secara
keseluruhan, persoalan tentu sangat rumit, padahal pemecahannya
jelas merupakan suatu urgensi bagi umat Islam di mana saja pada
persimpangan zaman ini. Dan kalau kita umat Islam Indonesia
termasuk yang secara cukup dini menyadari permasalahannya, maka
kita harus menerimanya sebagai rahmat dan amanat Allah, dan kita
mengemban tugas dan tanggung jawab mewujudkannya.
Sebagaimana tersimpul dalam kata-kata hikmah pada awal
makalah ini, suatu “Kalimah” (dalam arti seluas-luasnya, yang
meliputi sejak dari ungkapan sehari-hari sampai kepada “ideologi”,
pemikiran, dan pandangan hidup yang lebih mendalam) yang
benar-benar baik ialah yang berakar kukuh, dan yang bercabang
dan beranting subur, menjulang ke angkasa bagaikan mencakar
langit. Dengan kata-kata lain, setiap ide yang baik memerlukan
otentisitas, dengan memiliki dasar-dasar pemikiran yang berasal
dari sumber-sumber pokok ajaran, dan dengan kesadaran akan
dimensi sejarah dalam usaha-usaha yang telah dilakukan untuk
mewujudkan ajaran-ajaran itu berkaitan dengan kehidupan nyata.
Kemudian diperlukan kecakapan menggunakan bahan-bahan
sumber itu, termasuk yang bersifat kesejarahan, dengan daya cipta
begitu rupa sehingga dapat menjabarkan kembali ide-ide itu secara
relevan dengan zaman dan menjawab tantangannya.
Oleh karena itu kepada kita tidak saja dituntut adanya kemampuan memahami dan menggunakan sumber-sumber suci, tapi
juga dikehendaki adanya kecakapan menangkap pesan-pesan sejarah
masa lalu yang akan bermanfaat untuk memperkaya wawasan guna
D6E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
lebih mampu menangkap pesan-pesan masa kini dan nanti. Jadi ada
unsur kontinuitas dan kreativitas, unsur keotentikan dan kezamanan
(al-ashālah wa al-mu‘āsharah), berturut-turut ialah tuntutan untuk
belajar dari masa lalu dalam kerangka mempertahankan mana saja
unsur-unsur yang positif dan membuang mana saja unsur-unsur
yang negatif, kemudian digunakan untuk meningkatkan kecakapan
mengambil apa saja unsur-unsur yang lebih baik dari masa kini dan
dari masa depan yang diperkirakan. Dengan begitu suatu pandangan
memiliki tidak saja keabsahan yang diperlukan sebagai sumber
dinamika pengembangannya, tapi juga keterkaitan dengan tuntutan
nyata menurut perkembangan zaman. Dan hanya dengan begitu
klaim tentang suatu sistem ajaran seperti Islam sebagai “cocok untuk
segala zaman dan tempat” (shālih li kull-i zamān wa makān) dapat
dibuktikan. Dan karena suatu ajaran tidak pernah bereksistensi nyata
sebagai kesatuan wujud terpisah yang ibaratkan terbang melayang
di angkasa, melainkan tentu “hinggap” di pikiran manusia dan
menyatakan diri dalam tingkah lakunya, maka yang bertanggung
jawab membuktikan bahwa ajaran itu “cocok untuk segala zaman
dan tempat” bukanlah ajaran itu sendiri, melainkan manusia para
penganutnya yang menyejarah dan terkena oleh hukum-hukum
kepastian dari Tuhan (sunnat-u ’l-Lāh [sunnatullāh]) untuk sejarah
itu, di samping terkena oleh hukum kenisbian manusia sendiri yang
membuatnya bisa benar dan bisa salah.
Jadi memang diperlukan kesadaran akan kekayaan tradisi,
sekaligus kemampuan untuk senantiasa membuat inovasi. Sudah
banyak dilakukan pembicaraan tentang masalah ini dari berbagai
segi. Namun kita masih berharap dapat memberi sumbangan
secukupnya dari suatu segi yang lain.
Tradisi Pemikiran Islam
Sebelum melangkah lebih jauh, mungkin ada baiknya diusahakan
adanya kejelasan tentang pengertian “pemikiran” itu. Sementara
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
kita tahu bahwa membuat definisi akan melibatkan kesulitan
yang tidak kecil. “Pemikiran” dapat kita pahami sebagai sesuatu
yang dimaksud dengan kalimat “apa yang ada dalam diri mereka”
dalam firman Allah yang banyak dikutip: “Sesungguhnya Allah tidak
mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah
apa yang ada dalam diri mereka sendiri,” (Q 13:11).
Jadi bidang pemikiran menyangkut suatu wujud batiniah (ada
dalam diri manusia) yang sangat eksistensial (cogito ergo sum — aku
berpikir maka aku ada, kata Descartes) yang berperan membentuk,
mempertahankan atau mengembangkan “apa yang ada pada
suatu kaum (kelompok manusia)” seperti kejayaan, keruntuhan,
keadaan masa depan, dan seterusnya. Formula bahwa pemikiran
mempengaruhi kehidupan adalah hal yang sudah sangat terkenal
dan merupakan dalil yang kebenarannya telah diterima umum. Jika
tidak, tentu menjadi muspralah semua pertikaian ideologi-ideologi,
termasuk pertikaian agama. Manusia bertikai sesamanya dan terlibat
dalam berbagai peperangan antara lain adalah karena pandangan
mereka bahwa ideologi atau agama mereka sedemikian pentingnya
sehingga harus diterima oleh orang lain dengan keyakinan akan
membawa perubahan pada kehidupannya menuju kepada yang lebih
baik. Dan jika pertikaian itu dapat berlangsung dalam kerangka
pandangan yang berkemutlakan (seperti tercermin dalam dalil
“mati syahid” membela agama, misalnya), maka gambaran tentang
betapa pentingnya “apa yang ada dalam diri manusia”, termasuk
di antaranya ialah pemikiran, menjadi sangat jelas dan tegas. Oleh
karena itu, jika memang diinginkan adanya perubahan “nasib” suatu
kelompok manusia, seperti umat atau bangsa, maka salah satu yang
amat penting ialah usaha ke arah terjadinya perubahan dalam cara
berpikir atau pemikiran kelompok itu. Dan inilah kiranya yang
dimaksud dengan “inovasi dalam bidang pemikiran”.
Untuk sampai kepada persepsi yang sebaik-baiknya tentang
persoalan tradisi pemikiran Islam dan kemungkinan inovasinya
— dan agar kita tidak meloncat kepada kesimpulan yang gampang
— maka dirasa perlu memperoleh gambaran secukupnya tentang
D8E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
tradisi pemikiran Islam itu dan menginsafi benar-benar apa dampaknya kepada masyarakat dunia, yang Islam dan yang bukan Islam.
Tidak mustahil bahwa salah satu sumber hambatan inovasi di
kalangan umat Islam ialah tidak adanya kesadaran sebagian besar
mereka, termasuk kaum intelektualnya, tentang sejarah pemikiran
Islam sendiri, yang kemudian mendorong mereka kepada anggapan
sebagai “taken for granted” apa saja yang kini mereka warisi dari
generasi terdahulu. Akibatnya ialah kecenderungan kuat untuk
mempertahankan apa yang ada, dan menentang setiap kemungkinan perubahan, apalagi penggantian.
Tradisi Pemikiran Islam dan Pengaruhnya kepada
Pemikiran Yahudi
Berikut ini — dengan maksud memperoleh relevansi yang paling
langsung dengan tema pokok bahasan ini — akan dikemukakan
suatu aspek dari dunia pemikiran Islam klasik (“salaf ” — dalam
istilah yang maknanya senantiasa diperebutkan oleh berbagai golongan Islam), yaitu aspek dampak kemanfaatannya kepada umat
manusia umumnya. Contoh-contoh di sini diambil dari pengalaman kaum Yahudi bergaul dengan kaum Muslim, karena beberapa
alasan. Pertama, ialah alasan bahwa orang-orang Yahudi adalah
kelompok di antara golongan bukan Islam yang paling bersedia
berbicara positif tentang pengalaman sejarah mereka hidup dalam
dunia Islam. Kedua, hal itu telah terungkapkan dalam banyak
karya ilmiah yang ditulis oleh yang berotoritas dari kalangan para
sarjana mereka sendiri. Ketiga, yang membuat hal ini lebih menarik,
kaum Yahudi di Jazirah Arabia dahulu adalah yang paling memusuhi kaum beriman dan paling sengit sesudah kaum musyrik,
sebagaimana direkam dalam al-Qur’an, sementara kaum Nasrani
disebut sebagai yang paling dekat rasa kasih sayangnya kepada kaum
beriman (Q 5:82). Alasan keempat dan terakhir mengambil kasus
kaum Yahudi sebagai contoh golongan yang banyak mendapatkan
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
manfaat dari Islam ialah bahwa mereka itu, pada zaman sekarang
ini, pada dataran politik internasional, adalah golongan yang paling
banyak menjadi sumber kejengkelan Umat Islam, disebabkan oleh
berdirinya “negara” Israel yang mereka paksakan secara zhālim
dengan bantuan kaum imperialis Eropa.
“Negara” Israel itu oleh banyak ahli Barat sendiri seperti
Marshall G. Hodgson, seorang ahli Islam terkenal dari Universitas
Chicago, dinilai anakronistis dan tidak relevan kepada dunia dan
kepada sejarah, apalagi kepada sejarah bangsa Yahudi sendiri.
Oleh banyak para sarjana, “negara” Israel juga dipandang sebagai
kelanjutan permusuhan dan usaha penaklukan Barat kepada
bangsa-bangsa Arab. Max I. Dimont, misalnya, memberi kesan
penyesalan atas usaha penaklukan itu:
One cannot help wonder if the subsequent subjugation of the
Arab world by the West, which crushed its spirit, was not more
devastating than the Mongol depredation which destroyed only its
physical assets.1
(Orang tentu bertanya-tanya, apakah penaklukan dunia Arab oleh
Barat yang kemudian terjadi itu, yang meremukkan sukmanya, tidak
lebih merusak daripada penyerbuan bangsa Mongol dahulu yang
menghancurkan hanya aset-aset fisiknya saja).
Dimont mengetahui bahwa bangsa-bangsa Arab sekarang sedang
bangkit kembali, namun ia tetap menyesalkan sikap permusuhan
Barat kepada bangsa-bangsa Arab. Dan permusuhan itu antara
lain terkait dengan masalah Palestina. Disesalkan, sebab agama
Yahudi tidak terhapus dari muka bumi ini antara lain adalah berkat
perlindungan yang diberikan oleh Islam, seperti dapat disimpulkan
dari berbagai kutipan dari para sarjana dalam pembahasan berikut
ini. Karena itu cukup mengesankan, dan menimbulkan respek,
1
Max I. Dimont, The Indestructible Jews (New York: New American
Library, 1973), h. 209.
D 10 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
bahwa kebijakan para pejuang Palestina bukanlah anti Yahudi,
baik sebagai bangsa atau, apalagi, sebagai agama. Mereka hanya
anti kepada Zionisme dan “negara” Israel (dan bukan kepada nama
“Israel” sendiri sebagai nama kehormatan Nabi Ya’qub, yang artinya
“Hamba Allah”). Karena itu yang berjuang untuk pembebasan
Palestina bukan hanya orang-orang Palestina Muslim, tapi juga
yang beragama lain, terutama Kristen, termasuk tokoh Palestina
Kristen yang paling keras, George Habash.
Pesan yang diinginkan tersimpul dari pembahasan berikut
ialah, dalam ungkapan seder hananya, “kalau kaum Yahudi
yang demikian itu kualifikasinya dapat dan telah dengan nyata
memperoleh manfaat dari Islam yang begitu besar dan mendalam,
maka apalagi tentunya — dan memang begitu kenyataannya
— kaum-kaum yang lain, yang meliputi seluruh umat manusia.
Pastilah mereka ini juga memperoleh manfaat yang besar dan
mendalam, langsung ataupun tidak langsung, dari kehadiran
agama Islam”. Justru inilah, dalam suatu refleksi tentang sejarah
masa lalu itu, dan dalam proyeksinya kepada keadaan sekarang,
yang kiranya menjadi tantangan utama umat Islam di seluruh dunia. Yaitu tantangan untuk menampilkan kembali Islam sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Suatu tantangan, bahkan harapan, yang
secara simpatik juga dikemukakan oleh banyak ahli yang bukan
Islam, termasuk Dimont. Kemampuan menjawab tantangan ini
akan sangat banyak tergantung kepada pemikiran dan cara berpikir
umat Islam yang benar menurut agama Islam sendiri (jadi, suatu
cara berpikir yang benar-benar “Islami” — kata sebuah jargon
yang kini banyak digunakan para aktivis Islam). Jadi masalahnya
bukanlah mencari dominasi di dunia, tetapi, sejalan dengan pesan
Kitab Suci, mencegah kerusakan di bumi dan mengusahakan
perbaikannya (ishlāh al-ardl), serta perbaikan antara sesama umat
manusia (ishlāh bayn al-nās).2
2
Lihat tema-tema itu dalam al-Qur’an surat al-Nisā’/4:114; Hūd/11:88;
dan al-A‘rāf/7:56 dan 58.
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
Kembali kepada masalah pemikiran, maka tradisi dalam
pemikiran Islam adalah keseluruhan buah pikiran yang masa
pertumbuhan dan perkembangannya telah berjalan lebih dari
empat belas abad. Jika kita gunakan tolok ukur dari jalur argumen
yang telah dipaparkan terdahulu, maka tradisi Islam di bidang
pemikiran itu adalah dengan sendirinya suatu budaya Islam yang
merupakan hasil dialog antara keuniversalan Islam dengan kepartikularan tuntutan ruang dan waktu, melalui para pemeluknya.
Dari perspektif itu harus diakui adanya daya cipta luar biasa
kaum Muslim terdahulu dalam menjawab tantangan zamannya
berdasarkan agama. Meskipun bukan di sini tempatnya untuk
membuat pembahasan lebih jauh, tapi patut disebutkan bahwa
modernitas yang kini dialami dunia — melalui rintisan bangsabangsa Eropa Barat Laut — dari segi pemikiran ilmiah, teknologi,
dan ekonominya (semangat merkantilismenya), menurut banyak
sarjana modern, dapat dilihat sebagai kelanjutan budaya Islam
klasik. Untuk contoh simbolik dapat kita kemukakan beberapa
istilah ilmiah, teknologi, dan ekonomi modern yang berasal dari
budaya Islam dan menjadi kosa kata bahasa-bahasa Barat modern:
alchemi (chemistry), alcohol, alcove, algebra, algorithm, azimuth,
carat, cashmere, check, chemise (“kemeja”), cipher, cube, duane, elixir,
muslin, nadir, safari, sherbet, soap (savon), sofa, syrup, tariff, zenith,
zero, dan lain sebagainya.
Demikian pula dalam soal pemikiran keagamaan an sich. Sekarang ini dalam dunia kajian Islam modern di Barat semakin diakui
bahwa Islam telah meninggalkan pengaruhnya yang cukup besar
dalam sistem pandangan keagamaan tertentu agama-agama Yahudi
dan Kristen (dua agama Semitik yang paling banyak terkait dan
“bergaul” dengan Islam). Austryn Wolfson menulis buku “Repercussion of Kalam in Jewish Philosophy” (Pengaruh Ilmu Kalam
dalam Filsafat Yahudi). Sebesar-besar pemikir Yahudi sepanjang
zaman ialah Musa ibn Maymun (Moses the Maimonides) yang
menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab dan menggunakan
argumen dan logika Islam (termasuk menggunakan al-Qur’an)
D 12 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
untuk mendukung tesis-tesisnya. Karena itu seorang sarjana Yahudi
terkemuka, Abraham S. Halkin, bicara tentang adanya “Fusi Besar
(The Great Fusion) dalam sejarah agama dan pemikiran Yahudi,
yaitu fusi atau percampuran besar yang terjadi dalam sistem ajaran
Yahudi dengan pemikiran Islam. Kata Schweitzer, melukiskan
pengalaman menarik agama Yahudi selama dalam zaman Islam itu
dan menuturkan kembali pandangan Halkin:
Asimilasi orang Yahudi dalam masyarakat Islam sedemikian hebatnya
sehingga Abraham S. Halkin, seorang otoritas terkemuka tentang
periode itu, bicara tentang “Fusi Besar”. Menurut Profesor Halkin,
sementara otonomi mengizinkan adanya kelangsungan cara hidup
Yahudi dan pemeliharaan ilmu tradisional, dampak intelektual
dan kultural berabad-abad dominasi Islam adalah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan “terciptanya tipe baru orang Yahudi”.3
Bagaimana wujud “Fusi Besar” sehingga menghasilkan “tipe
baru orang Yahudi” itu (yaitu orang Yahudi yang sudah terpengaruh
oleh Islam), kita dapatkan ilustrasinya dalam keterangan Halkin
sendiri, demikian:
Tidak semua, tapi sejumlah minoritas Yahudi mengembangkan
selera yang tak tertahankan kepada sastra dalam bahasa Arab, tidak
hanya bagiannya yang diimpor, tapi juga Qur’an, serta puisi, filologi,
biografi, dan sejarah Islam. Dengan begitu mereka menjadi warga
dari dunia yang besar. Naturalisasi dalam budaya lingkungan mereka
ini adalah amat penting. Kosa kata keimanan Islam masuk ke dalam
buku-buku Yahudi; Qur’an pun menjadi sumber dalil.4
3
Frederick M. Schweitzer, A History of the Jews (New York: The Macmillan
Company, 1972), h. 55-56.
4
Abraham S. Halkin, “The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion”, dalam
Leo W. Schwartz, ed., Great Ages and Ideas of the Jewish People (New York: The
Modern Library, 1956), h. 219.
D 13 E
F NURCHOLISH MADJID G
Pengalaman kaum Yahudi dalam “asuhan” Islam yang oleh
para sarjana mereka sendiri tidak saja diakui, bahkan dinilai amat
positif itu, adalah salah satu bukti dari benarnya klaim bahwa Islam
adalah risalah suci dari Tuhan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
rahmat bagi seluruh alam, termasuk seluruh umat manusia. Dalam
kasus pengalaman kaum Yahudi itu terlihat kemungkinan adanya
kelompok manusia yang memperoleh manfaat dari Islam tanpa
mereka sendiri menjadi Muslim. Dan hal ini dimungkinkan karena
dalam pemikiran, umat Islam klasik adalah kaum universalis dan
kosmopolitan sejati, yaitu kaum yang melihat diri mereka sebagai
bagian dari seluruh kemanusiaan universal, dan yang berada dalam
lingkungan kewargaan dunia. Karena itu mereka memiliki kesiapan
psikologis yang besar dan alami untuk mengambil dan menggunakan
apa saja warisan kemanusiaan yang baik dan bermanfaat, dan tidaklah
relevan bagi mereka persoalan dari mana “hikmah” itu datang. Inilah
semangat yang dapat ditangkap dari sabda Nabi yang sering dikutip
tentang perintah kita belajar atau mencari ilmu “sekalipun di negeri
Cina”, juga sabda beliau: “Ambillah hikmah, dan tidak berbahaya
kepadamu dari bejana apa pun hikmah itu keluar,” serta penegasan
beliau bahwa “Hikmah adalah barang hilangnya kaum beriman; maka
siapa saja yang mendapatinya, hendaknya ia memungutnya.” Dalam
wujud historisnya, keterbukaan kaum Muslim yang universalis dan
kosmopolitan itu digambarkan oleh Halkin, demikian:
Adalah pujian untuk orang-orang Arab, bahwa meskipun mereka
menjadi pemenang secara militer dan politik namun tidak memandang hina peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan. Kekayaan budaya Syria, Persia, dan Hindu mereka adaptasi ke bahasa
Arab segera setelah mereka temukan. Para khalifah, gubernur, dan
lain-lain menjadi pelindung para sarjana yang melakukan kegiatan
penerjemahan, sehingga sejumlah sangat luas ilmu bukan-Islam
dapat diperoleh dalam bahasa Arab.5
5
Ibid., h. 218-219.
D 14 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
Bergandengan dengan semangat universalis dan kosmopolitan
yang mantap itu, umat Islam klasik juga menularkan dan menyebarkan hikmah dan ilmu pengetahuan kepada siapa saja yang
bersedia menerima. Dalam hal ini kaum Yahudi juga tidak terkecuali.
Malah disebabkan beberapa hal, kaum Yahudi memperoleh manfaat
sedemikian besarnya dari Islam sehingga mereka mencapai “Zaman
Emas”-nya justru di masa kejayaan Islam. Menurut Halkin, zaman
itu zaman yang (sangat) kaya dan beraneka ragam, sedemikian menonjolnya sehingga periode itu dinamakan “Zaman Emas”, sementara dunia Barat modern tidak punya apa-apa yang sebanding dengan
itu sebagai pujian baginya.6
Demikianlah pengaruh amat positif pemikiran Islam kepada
pemikiran Yahudi, menurut penuturan dari para sarjana yang berwenang. Sekarang mari kita lihat bagaimana pemikiran Islam klasik
telah mempengaruhi agama Kristen. Meskipun mengenai kaum
Kristen di Barat itu lebih sulit daripada mengenai kaum Yahudi,
namun ada beberapa indikasi mulai adanya pengakuan utang budi
mereka kepada Islam dalam pemikiran keagamaan. Tentu saja
dalam pemikiran ilmiah umum, pengakuan itu sudah banyak dan
cukup diketahui.
Tradisi Pemikiran Islam dan Pengaruhnya kepada
Pemikiran Kristen
Pengaruh pemikiran Islam kepada pemikiran Kristen sebagian
dibahas oleh William Craig dalam bukunya, Kalam Cosmological
Arguments. Polemik posthumous antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd,
misalnya, mendapatkan pantulannya dalam pemikiran Bonaventura
dan Thomas Aquinas. Sekalipun di bawah bayangan inkuisisi
mereka tidak akan mengakui adanya pengaruh itu, namun para
sarjana modern menemukan bahwa pengaruh itu memang ada, dan
6
Ibid., h. 262.
D 15 E
F NURCHOLISH MADJID G
cukup substansial. Demikian pula, sekarang ini mulai ada perhatian
kepada kemungkinan adanya pengaruh pemikiran Islam dalam
teologi Reformasi Kristen. Misalnya, ajaran Reformasi Kristen
bahwa Kitab Suci terbuka untuk semua pemeluk (dan tidak perlu
dibatasi wewenang membaca dan menafsirkannya hanya kepada
kelas pendeta saja), dan bahwa setiap pribadi manusia bertanggung
jawab langsung kepada Tuhan.
Mengingat bahwa ajaran serupa itu hampir tidak dikenal di
kalangan Kristen sebelumnya, maka sulit sekali membayangkan
bahwa para pemikir reformasi tidak terpengaruh oleh ajaran
Islam yang relevan. Lebih-lebih karena bukan rahasia lagi bahwa
bahan-bahan pemikiran Islam diketahui telah lama sampai ke
banyak negeri Kristen, termasuk Jerman, sebagaimana terbukti
dari banyak tulisan Goethe. Menurut para ahli, keinginan
lebih banyak tahu tentang peradaban Timur Islam itulah yang
mendorong lahirnya Orientalisme di Jerman, sebelum kegiatan
serupa menular ke negara-negara imperialis lalu banyak digunakan
untuk kepentingan imperialisme. Juga jika kita lihat ajaran Calvin
tentang predeterminisme (takdir), misalnya, dapat dengan mudah
kita temukan padanannya dengan yang ada dalam sistem kalam
Asy’ari yang telah berkembang ratusan tahun sebelumnya. Doktrin
Calvinisme tentang “grace” dalam kaitannya dengan doktrin predeterminisme atau takdir itu mengajarkan bahwa masing-masing
orang telah ditakdirkan Tuhan apakah dia bakal masuk surga atau
masuk neraka, sehingga sebenarnya tidak ada peran apa-apa bagi
amal kebajikan. Jika seseorang masuk surga, maka itu adalah berkat
“grace” atau “kemurahan” (Arab: fadll)dari Allah, bukan karena
amal perbuatannya. Dan dalam hidup di dunia ini sudah ada tanda-tanda apakah seseorang bakal masuk surga atau masuk neraka,
yaitu, sukses atau gagal dalam hidupnya. Maka sementara manusia
harus percaya kepada takdir — dan tidak bisa tidak — Calvinisme
mengajarkan supaya setiap orang berusaha meraih tanda-tanda
bakal masuk surga itu, dengan kerja keras dan mencapai sukses.
Menurut Max Weber, inilah yang mendorong Eropa Barat maju ke
D 16 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
depan dan masuk ke zaman modern yang bercirikan kapitalisme itu.
Doktrin Calvin itu dapat dipandang sebagai sepenuhnya carbon copy
doktrin Asy’ariyah tentang al-fadll dalam kaitannya dengan doktrin
al-kasb (usaha; Inggris: acquisition) yang penjabarannya terdapat
di mana-mana dalam kitab-kitab klasik (“kuning”) dalam cabang
ilmu keislaman tradisional yang membahas masalah keimanan,
yang sering dinamakan ‘Ilm al-‘Aqa’id (Ilmu Akidah-akidah), ‘Ilm
Ushūl al-Dīn (Ilmu Pokok-pokok Agama), ‘Ilm al-Tawhīd (Ilmu
Ketuhanan Yang Mahaesa), ‘Ilm al-Kalām (Ilmu Ketuhanan
Dialektis), dan seterusnya. Bandingkan Calvinisme itu dengan
yang dapat kita baca dalam kitab Jawharat al-Tawhīd, berbentuk
nazham (semacam puisi) yang terjemahnya sebagai berikut:
Keberuntungan orang yang bahagia sudah ada pada-Nya di zaman
azali, demikian pula orang yang sengsara, dan tidak berubah lagi.
Bagi kita (kaum Asy’ari) hamba (manusia) dibebani kasb (usaha),
namun usaha itu tidak akan mempunyai dampak, ketahuilah!
Jadi manusia tidaklah terpaksa (tanpa daya) tapi juga tidak bebas,
juga tidaklah masing-masing berbuat atas pilihannya. Bila Dia
(Allah) memberi kita pahala (kebahagiaan), maka hal itu adalah
semata-mata karena kemurahan (fadll)-Nya.
Dan bila Dia menyiksa (kita), maka hal itu adalah semata-mata
karena keadilan-Nya.7
Tapi, dalam pemikiran Islam sendiri, doktrin “kasb” dan
“fadll” dari ilmu kalam Asy’ari ini ditentang oleh sebagian pemikir
Muslim aliran lain, misalnya Ibn Taimiyah dari mazhab Hanbali
yang memang anti filsafat dan ilmu kalam. Ia menyunting nazham
sebagai tandingan yang di atas itu:
7
Ibrahim al-Laqqani, Jawharat al-Tawhīd, dengan terjemah dan penjelasan
dalam bahasa Jawa oleh Kiai Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani (dari
Semarang), Sabīl al-‘Abīd (tanpa data penerbitan), h. 149-156.
D 17 E
F NURCHOLISH MADJID G
Tiadalah jalan lari bagi seorang hamba dari apa yang diputuskan-Nya,
tapi hamba itu tetap mampu memilih yang baik dan yang jahat.
Maka tidaklah hamba itu terpaksa tanpa kemauan apa-apa, melainkan
ia itu berkehendak dengan kemauan yang diciptakan-Nya.
Dibanding dengan kaum Yahudi, kaum Kristen (Barat) jauh
lebih enggan mengakui utang budi mereka kepada Islam. Hanya
akhir-akhir ini saja, di kalangan mereka yang “liberal”, dan biasanya
hanya terbatas kepada kaum sarjana, yang memberi pengakuan sekadarnya tentang pengaruh Islam kepada bagian tertentu paham
Kristen. Tetapi, para sarjana Yahudi, seperti tercermin dari yang
telah dikutip di atas, jauh lebih besar kesediaan mereka dalam
memberi pengakuan itu. Ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
agaknya orang Yahudi merasa “satu rumpun” dengan orang
Arab, yaitu sama-sama kelompok bangsa Semit. Ini dinyatakan
oleh adanya harapan Max I. Dimont bahwa di masa yang akan
datang bangsa Arab dan bangsa Yahudi akan kembali lagi rukun
dan bekerja sama untuk sekali lagi menciptakan peradaban yang
gemilang sebagai jawaban terhadap harapan umat manusia.8 Kedua,
karena memang mereka dahulu, di masa kejayaan Islam, adalah
partisipan penuh dalam peradaban dan budaya bermilieu Islam,
yang oleh Marshall Hodgson dinamakan “Islamicate Culture” (ia
namakan demikian, dan tidak dinamakannya “Islamic Culture”,
karena pendukung atau partisipan budaya itu tidak hanya orang
Islam, tapi semua warga masyarakat dengan aneka ragam agama
mereka yang masa itu berada dalam lingkungan negeri-negeri
Muslim, sampai sekarang ini pun sebenarnya di Timur Tengah
masih demikian keadaannya).
Sedangkan kaum Kristen Barat, mungkin karena rasa lebih
mereka sebagai kelompok ras Arya atau Indo-Eropa, ditambah lagi
dengan anggapan tidak pada tempatnya tentang keunggulan warna
kulit (putih) sehingga mereka itu, khususnya yang dari Eropa Utara
8
Dimont, op. cit., h. 209.
D 18 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
(Nordik, Anglo-Sakson) menjadi sumber utama paham rasial di
dunia zaman modern ini (dengan puncaknya, Naziisme Jerman),
maka mereka memiliki keseganan besar untuk mengakui kelebihan
suatu kelompok lain di suatu bidang, apalagi mengakui suatu utang
budi.
Jika semua itu masih kurang relevan, maka barangkali pengalaman sejarah bangsa-bangsa Barat menghadapi Islam dan menerima
dampak kehadiran militer Islam yang lebih unggul dan menang
(di Spanyol dan di Balkan), serta berbagai pengalaman konfrontasi
lainnya, membuat mereka sampai akhir-akhir ini mengidap rasa
permusuhan yang pahit kepada bangsa-bangsa Muslim. Masa penjajahan yang mereka lakukan dengan penuh semangat dan fanatik
itu pun juga disertai dengan sikap penuh permusuhan kepada
Umat Islam di mana saja. Ini dicontohkan oleh Spanyol sebagai
bangsa penjajah seberang laut pertama yang besar dari Eropa saat
permulaan penjajahan (ironisnya justru dengan menggunakan
ilmu dan teknologi pelayaran Islam yang baru saja mereka rebut),
yang serta-merta menyebut kaum Muslim Mindanao sebagai
orang-orang “Moro”, dalam asosiasi mereka dengan kaum Muslim
Spanyol yang juga mereka sebut orang-orang “Moro”, yang mereka
musuhi, mereka bunuh, mereka paksa masuk Kristen atau mereka
usir keluar Spanyol. Hal itu semua menghasilkan suatu pandangan
umum di Barat tentang Islam dan sejarahnya yang serba-negatif
dan penuh permusuhan, sampai lahirnya masa demokrasi liberal
sekarang ini yang membuat mereka lebih terbuka dan obyektif. Dan
masa liberal sekarang ini, dalam gandengannya dengan masa-masa
Renaissance dan Reformasi sebelumnya, langsung ataupun tidak
langsung adalah akibat persentuhan Eropa waktu itu dengan Islam
dan adaptasi beberapa segi ajaran Islam, khususnya humanisme dan
ilmu pengetahuannya. Karena itu Prof. Sutan Takdir Alisjahbana
sering menerangkan bahwa kebangkitan kembali Barat adalah berkat
sentuhannya dengan dunia pemikiran Islam (atau Yunani yang telah
dijinakkan oleh Islam — kata Max I. Dimont) melalui karya-karya
Ibn Rusyd. Malah Prof. Takdir juga pernah mengatakan bahwa yang
D 19 E
F NURCHOLISH MADJID G
mengajari orang Barat untuk menghargai martabat manusia dan
membawa mereka ke humanisme adalah orang-orang Arab Muslim,
seperti diakui, kata Prof. Takdir, oleh Nico dela Mirandola, seorang
pemikir Renaissance. Jadi dapat dikatakan bahwa Barat sekarang yang
humanis dan liberal itu adalah Barat “tipe baru” (kalau dibenarkan
meminjam istilah Halkin dan Schweitzer untuk kaum Yahudi).
Tradisi Pemikiran Islam sebagai Rahmat untuk Semua
Dunia Kristen Barat menerima ilmu pengetahuan yang datang dari
Islam itu pun baru terjadi lima-enam abad setelah tampilnya Islam.
Memang lebih pendek daripada masa penantian kaum Yahudi yang
sepuluh abad (sejak masa Iskandar Agung sampai masa Islam),
namun kenyataan sejarah itu menunjukkan betapa problematisnya
ilmu pengetahuan dan dogma di sana, dan merupakan bukti bagaimana sambutan agama mereka di sana yang dogmatis itu terhadap
ilmu pengetahuan yang penuh curiga dan akhirnya menerima
dengan amat sulit, hampir sama dengan sikap agama Yahudi yang
harus menanti satu milenium. Sementara Islam, begitu keluar dari
Jazirah Arabia dan mendapati kekayaan peradaban dan budaya
yang lebih tinggi, tanpa banyak membuang waktu diadaptasi dan
dijadikan seperti milik sendiri. Malah ada sebuah penuturan bahwa
sejak masa Nabi saw. pun kegiatan mencari ilmu “duniawi” itu sudah
dimulai, yaitu dengan diutusnya beberapa sahabat untuk belajar
ilmu kedokteran di Jundishapur, Persia, yang waktu itu menjadi
salah satu pusat kajian Hellenisme. Kebenaran penuturan itu sangat
besar, mengingat Nabi saw. mengajarkan agar kaum Muslim mencari
ilmu meskipun jauh ke negeri Cina (dan Jundishapur relatif dekat
sekali), juga mengingat bahwa Nabi juga memerintahkan beberapa
sahabat untuk mempelajari bahasa Ibrani (Hebrew).
Peranan beberapa sarjana Kristen pada masa-masa permulaan
kegiatan penerjemahan filsafat dan ilmu pengetahuan ke dalam
bahasa Arab sebenarnya cukup besar, sama dengan peranan para
D 20 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
sarjana Yahudi. Hanya saja, umumnya mereka tidak menghayati
sendiri filsafat dan ilmu pengetahuan itu secara cukup mendalam,
sehingga peranan mereka hanyalah melakukan penerjemahan secara
teknis belaka karena kebetulan mereka mengetahui bahasa-bahasa
yang diperlukan seperti bahasa Suryani (Syriac), bahasa Yunani,
dan lain-lain.
Dalam Islam klasik, filsafat dan ilmu pengetahuan bukannya
tidak menimbulkan masalah sama sekali. Polemik dan kontroversi
telah terjadi, dan sikap menentang juga timbul, terutama dari kaum
konservatif yang berada dalam naungan kelompok Sunnah Ahmad
ibn Hanbal. Tetapi polemik, kontroversi, dan penentangan itu
berlangsung dalam suasana yang relatif sangat beradab dan lunak,
tidak seperti yang kelak terjadi di Eropa yang kemudian melahirkan
kekejaman, kezaliman, dan kebiadaban inkuisisi. Rasionalisme dan
humanisme di Barat yang datang secara subversif dari Islam (antara
lain melalui pikiran-pikiran Ibn Rusyd — Averroisme) itu memang
bertabrakan frontal dengan gereja. Untuk memperoleh gambaran
tentang betapa kejamnya inkuisisi di Barat akan terbaca melalui
nasib sarjana-sarjana terkemuka seperti Scotus Erigena, Albertus
Magnus, Roger Bacon, Giordano Bruno, Galileo, Campanella,
Fichte, La Mettrie, Holbach, Strauss, dan lain-lain. Tapi akhirnya
secara garis besar perjuangan itu dimenangkan oleh rasionalisme dan
humanisme. Keduanya itu kini di sana terpisah jauh dari agama,
tidak seperti dalam Islam yang tetap menyatu sebagaimana diwakili
antara lain oleh filsafat Ibn Rusyd.
Tetapi pengakuan jujur para ahli di kalangan Yahudi yang
telah banyak dikutip di atas kiranya sudah cukup untuk memberi
substansi kepada keyakinan kaum Muslim bahwa risalah Nabi
Muhammad saw. memang merupakan kasih (rahmah — “rahmat”)
Tuhan untuk seluruh alam, termasuk dengan sendirinya untuk
seluruh umat manusia, dengan kemungkinan bahwa manusia itu
memperoleh manfaat dari Islam tanpa menjadi Muslim sendiri.
Maka jika kita berbicara tentang inovasi Islam di bidang pemikiran,
barangkali termasuk yang pertama-tama harus diusahakan ialah
D 21 E
F NURCHOLISH MADJID G
menampilkan ulang peran Islam sebagai rahmat untuk semua,
dengan lebih dahulu membenahi dan meluruskan cara berpikir
kaum Muslim saat ini ke suatu format yang mendukung risalah suci
itu. Sudah tentu hal ini bukanlah perkara mudah. Apalagi umat
Islam sekarang secara psikologis berada dalam posisi yang kurang
menguntungkan, disebabkan oleh adanya dominasi dunia yang sejak
sekitar dua atau tiga abad yang lalu lepas sama sekali dari tangan
mereka dan berpindah ke tangan bekas musuh-musuh mereka,
yaitu bangsa-bangsa Barat (sampai-sampai Maulana Muhammad
Ali, seorang penafsir al-Qur’an, mengidentifikasi bangsa-bangsa
Barat imperialis itu sebagai Ya’jūj wa Ma’jūj [Gog and Magog]
seperti disebutkan dalam Bibel dan al-Qur’an, yang merajalela dan
membuat kerusakan di seluruh muka bumi!).9 Karena itu, sampai
dengan munculnya Komunisme yang sekarang ini telah runtuh itu,
tidak ada retorika anti Barat yang sekeras retorika sebagian para
aktifis Muslim, termasuk mereka yang berpendidikan Barat.
Juga ada orang Barat dari kalangan kaum konservatif dan fundamentalis yang masih menyimpan dendam kepada Islam dan kaum
Muslim. Saya sedikit cerita tentang pengalaman, yaitu sewaktu saya
— dan teman-teman — pada tahun 1990 yang lalu berkunjung ke
Salt Lake City, Utah, Amerika Serikat, untuk melihat pusat Kristen
sekte Mormon, dua orang dari kalangan penganutnya bersukarela
bergantian menemani kami. Yang pertama mengesankan sebagai
seorang “liberal” yang tampaknya tidak begitu percaya lagi kepada
faedah agama, termasuk agama yang dianutnya. Tetapi yang kedua,
barangkali inilah sosok seorang fundamentalis. Ia meyakini bahwa
dunia sudah dekat dengan kiamatnya, Isa al-Masih akan segera
datang kembali (the second coming is near), dan “orang-orang yang
selamat”, yakni mereka yang seperti dia, akan berkuasa di bumi, dan
9
Dalam al-Qur’an, penyebutan tentang Ya’jūj dan Ma’jūj ada dalam
rangkaian kisah mengenai ekspedisi Dzu al-Qarnayn dalam surat al- Kahf/18:94.
Lihat tafsir ayat itu oleh Maulana Muhammad Ali dalam Holy Quran, Arabic
Text, English Translation and Commentary (Lahore: Ahmadiyah Anjuman Ishacat
Islam, 1985), hh. 588-590.
D 22 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
yang lain — yang berbeda dengannya — akan binasa. Dan pertanda
bagi kebenaran itu semua ialah kemenangan Israel atas bangsabangsa Arab, yang kemenangan itu ia percayai sebagai mukjizat
dari Tuhan, mengingat Israel yang bagaikan pulau mini itu dapat
mengalahkan bangsa-bangsa Arab dan Islam yang bagaikan lautan
yang mengepungnya! Ia juga bercerita bahwa gerejanya mempunyai
proyek di Yerusalem guna menyongsong kedatangan kembali Isa
al-Masih itu. Hanya saja, katanya sambil menyayangkan, orangorang Yahudi di sana dan pemerintah Israel tidak menyukainya!
Tradisi Pemikiran Islam dan Sikap Terbuka kepada Ilmu
Pengalaman kaum Yahudi yang dipaparkan di atas tadi juga sangat
menarik dari sudut pandang perbandingan antara agama Islam
dan agama Yahudi dalam sikap masing-masing terhadap ilmu
pengetahuan. Seperti ternyata dari keterangan Halkin, sikap kaum
Muslim terhadap ilmu pengetahuan ialah spontan menghargai,
mengadaptasi, dan memanfaatkan. Telah dikatakan bahwa hal
ini terjadi akibat universalisme dan kosmopolitanisme Islam yang
benar-benar dihayati oleh kaum Muslim klasik (Salaf ). Lebih jauh,
sikap serba positif-optimis kaum Muslim terdahulu itu juga dapat
ditelusuri dalam banyak ajaran spesifik Islam. Misalnya, bahwa
orang yang beriman tidak perlu merasa takut atau khawatir; bahwa
mereka yang benar-benar beriman tidak perlu “minder” atau kurang
yakin menghadapi orang lain, karena mereka membawa misi perdamaian (silm, salām, salāmah [“selamat”]), sehingga mereka sesungguhnya adalah unggul terhadap golongan lain, dan seterusnya.10
Rasa percaya diri yang besar kaum Muslim terdahulu itu memang ditunjang oleh keunggulan politik dan ekonomi, seperti sering
dikemukakan orang, namun terutama karena penghayatan akan
10
Penegasan serupa itu dalam Kitab Suci cukup banyak. Lihat, misalnya,
Q 3:139 dan 47:35.
D 23 E
F NURCHOLISH MADJID G
ajaran agama mereka sendiri itu. Dalam soal budaya (duniawi),
orang-orang Arab dari Jazirah, dari banyak segi dan ukuran, adalah
kurang daripada bangsa-bangsa di sekitarnya seperti Persia dan
Byzantium, dua adikuasa “barat dan timur” saat itu. Tetapi mereka
menghadapi keduanya dengan penuh percaya diri berdasarkan iman.
Jadi benar-benar kaum Muslim itu “tidak takut dan tidak khawatir”
kepada mereka, termasuk dalam bidang pemikiran dan budaya
pada umumnya, sehingga mereka dengan bebas dan tanpa beban
psikologis apa pun mengambil mana saja yang baik dan membuang
mana saja yang buruk dari budaya asing itu. Karena itu, sebagai
contoh, para filsuf Muslim tidak segan-segan mengambil dan menggunakan unsur-unsur budaya Yunani yang “netral” seperti sebagian
besar filsafat dan ilmu pengetahuan, tetapi mereka menyingkirkan
unsur-unsur yang tidak sejalan dengan pokok-pokok ajaran Islam
seperti mitologi-mitologi yang kebanyakan menjadi tema sastra
Yunani. Maka sementara kaum Muslim mengenal hampir semua
warisan pemikiran Yunani di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan,
mereka tidak banyak mengetahui sastra Yunani seperti yang ada
di balik nama-nama Homerus, Sophocles, Euripides, Aesop,
Herodotus, dan lain-lain. Bagi kaum Muslim, mitologi Yunani
yang banyak mewarnai tema sastra mereka itu termasuk jenis
kemusyrikan. Juga tema panggung mereka yang berkisar pada
“tragedi”, misalnya, dipandang tidak cocok dengan semangat Islam
yang optimis dan positif terhadap hidup ini.
Sikap serba-percaya diri kaum Muslim klasik itu berlawanan
sekali dengan sikap serba-khawatir dari kaum Yahudi kuna, yang
membuat mereka ini enggan, malah menolak, untuk meminjam
budaya asing karena takut dan khawatir menjadi larut atau mengalami pengotoran sehingga mengancam “kemurnian” ajaran mereka
yang mereka warisi turun-temurun. Berkenaan dengan filsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani, misalnya, sesungguhnya kaum Yahudi
telah berkenalan dengan itu sekitar seribu tahun sebelum Islam(!),
yaitu sejak saat permulaan Hellenisasi Timur Tengah oleh ekspansi
militer-politik dan budaya Iskandar Agung dari Macedonia, seorang
D 24 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
murid filsuf Yunani kuna terkemuka, Aristoteles. Namun pada
saat itu kaum Yahudi enggan, segan dan akhirnya menolak untuk
meminjam dan menggunakan apa yang bermanfaat dari budaya
Yunani itu, dan harus menunggu seribu tahun sampai tampilnya
para ilmuwan dan filsuf Muslim, karena keterbukaan Islam dan
toleransinya yang amat besar. Sampai dengan kesempatan mereka
belajar dari orang-orang Islam itu, kaum Yahudi termasuk golongan
paling terkebelakang dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Kata
Max I. Dimont, seorang ahli peradaban Yahudi:
Ketika kaum Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam,
mereka adalah bangsa yang telah berumur 2500 tahun... Tidak
ada yang lebih terasa asing bagi kaum Yahudi daripada peradaban
Islam yang fantastis ini, yang tumbuh dari debu padang pasir
pada abad ketujuh. Tetapi juga tidak ada yang dapat lebih mirip.
Meskipun mewakili suatu peradaban baru, suatu agama baru, dan
suatu lingkungan sosial baru yang dibangun di atas dasar-dasar
ekonomi baru, namun Islam mirip dengan “prinsip kebahagiaan
intelektual” yang dikemas dan disajikan kepada kaum Yahudi seribu
tahun sebelumnya ketika Iskandar Agung membuka pintu-pintu
masyarakat Hellenis kepada mereka. Sekarang masyarakat Islam
membuka pintu masjid-masjidnya, sekolah-sekolahnya, dan kamarkamar tidurnya, (berturut-turut) untuk konversi, pendidikan, dan
asimilasi.11
Sudah tentu kaum Yahudi mencapai zaman keemasan dalam
masa kebesaran Islam itu tanpa menjadi Muslim, seperti telah disinggung di atas — sebab jika mereka telah menjadi Muslim, maka
tidak lagi relevan, bahkan tidak dibenarkan, untuk berbicara tentang
mereka sebagai orang Yahudi. Sebagian besar kaum Muslim di seluruh dunia sekarang ini adalah keturunan bangsa-bangsa yang semula
memeluk berbagai agama. Dan di Timur Tengah sebagian besar dari
11
Dimont, op. cit., h. 189.
D 25 E
F NURCHOLISH MADJID G
mereka adalah bekas bangsa-bangsa Kristen atau Yahudi. Karena
itu yang diambil oleh orang Yahudi dari kaum Muslim, dalam hal
ini Muslim Arab, bukanlah agama mereka atau kearaban mereka
(kecuali bahasa dan adat-istiadat lahiriah seperti pakaian, makanan,
dan lain-lain), melainkan bagian dari peradaban Islam yang “netral”
dan dapat disertai oleh kelompok-kelompok lain di luar Islam.
Dalam hal ini yang paling penting ialah ilmu pengetahuan dan
filsafat. Dan karena kedua bidang intelektual itu memang sebagian
cukup besar dipinjam dan dikembangkan umat Islam dari warisan
Yunani, maka kebangkitan kaum Yahudi dalam asuhan Islam itu
dapat dikatakan banyak menggunakan unsur budaya atau pemikiran
Yunani yang “netral” itu.
Sekalipun demikian, tetap menarik untuk ditelaah, mengapa
kaum Yahudi, sebagaimana dikemukakan di atas, harus menunggu
selama satu milenium sampai datangnya Islam untuk bersedia belajar
dan memanfatkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani? Padahal
mereka dahulu sedemikian takutnya kepada kemungkinan terkena
“polusi” dari “bahaya” peradaban asing dari Utara itu? Jawabnya
ialah, menurut Max I. Dimont, bahwa “bahaya” peradaban asing
dari Yunani itu telah dijinakkan oleh orang Islam, dan dibuatnya
ibaratkan “virus yang mati”. Virus itu masih mampu berfungsi,
namun sudah tidak lagi mampu memproduksi racun ataupun
penyakit. Maka kaum Yahudi belajar dan mengambil filsafat dan
ilmu pengetahuan dari umat Islam itu ibarat menyuntikkan, ke
dalam tubuh sistem agama mereka, virus “penyakit” dari Yunani
yang oleh peradaban Islam telah dibuat menjadi virulen. Injeksi
virus dengan menggunakan “jarum suntik” peradaban Islam itu
menghasilkan dampak imunisasi tubuh agama Yahudi dari bahaya
budaya asing. Suatu metafor yang mengesankan dari Dimont, yang
selengkapnya ia katakan sebagai berikut:
Kebangkitan Yahudi di Islam Barat (Spanyol), bagaimanapun,
didasarkan kepada pemikiran Yunani, bukan Arab. Kebangkitan itu,
sebenarnya, adalah penyudahan yang sukses dari suatu perputaran
D 26 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
intelektual yang seharusnya sudah berlangsung seribu tahun
sebelumnya dalam masa Hellenistik sejarah Yahudi, namun tidak
terjadi. Mengapa orang-orang Yahudi tidak menghasilkan sastrawan,
filsuf dan ilmuwan dalam Masa Hellenistik? Mengapa sejarah
Yahudi harus menunggu satu milenium sebelum Hellenisme itu
dapat berkembang dalam jiwa orang Yahudi? Jawabnya ialah bahwa
kaum Yahudi dahulu dalam masa-masa Yunani takut bahwa suatu
dosis budaya Yunani yang orisinal, tak terkotori, dan lebih unggul
dapat menyapu bersih pemikiran Yahudi dalam suatu konfrontasi
intelektual yang langsung. Sekarang penyuntikan hama Hellenisme
yang telah berumur seribu tahun dan tidur (dormant) itu melalui
jarum peradaban Islam adalah seperti penyuntikan virus mati yang
menjamin adanya kekebalan.12
Jadi, jelasnya, kaum Yahudi merasa aman terhadap filsafat dan
ilmu pengetahuan setelah kedua-duanya itu lebih dahulu diislamkan. Sedemikian rupa rasa aman kaum Yahudi itu sehingga mereka
tidak pernah merasakan permusuhan sama sekali terhadap budaya
“asing” itu, juga tidak lagi curiga kepada kemungkinan bahayanya.
Padahal yang mereka pelajari dari umat Islam itu adalah juga
“hikmah Yunani” yang dahulu, para pemimpin agama mereka,
memperingatkan jangan sampai mempelajarinya kecuali jika “sudah
tidak ada lagi siang ataupun malam” (yakni, sampai kiamat!).13
Tetapi, menurut Halkin, dan sama dengan pandangan Austryn
Wolfson yang telah disinggung di muka, kaum Yahudi mengambil
dari umat Islam tidak hanya bidang-bidang yang mereka anggap
“netral” agama saja seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, melainkan
juga hal-hal yang bersifat keagamaan, malah keimanan dan akidah.
Ini dapat dilihat, menurut Halkin, dari kenyataan bagaimana para
sarjana Yahudi, terutama di Timur, mempelajari ilmu kalam dan
menggunakannya. Ilmu Kalam itu premis-premisnya pada mulanya
12
13
Ibid., h. 208
Halkin, dalam Schwartz, loc. cit.
D 27 E
F NURCHOLISH MADJID G
juga dipinjam dari luar (yakni, dari Yunani, khususnya berkenaan
dengan silogisme atau ilmu mantiq Aristoteles sebagai dukungan
kepada argumen-argumen yang dikembangkannya). Tetapi premispremis itu telah mengalami transformasi menyeluruh begitu rupa
sehingga para pemikir Muslim sesungguhnya telah menciptakan
disiplin ilmu yang sama sekali baru.14 Maka lahirlah ilmu kalam
yang bukan sekadar sebuah “teologi” seperti yang ada dalam
berbagai agama, melainkan sebuah “Ketuhanan Dialektis” atau
“Ketuhanan Falsafi”, dan bersifat khas Islam. Kini kaum Yahudi
menggunakan ilmu kalam itu seperti milik sendiri, dan mereka
mendapatkannya sangat berguna, antara lain dalam rangka polemik
mereka dengan kaum Kristen tentang monoteisme lawan trinitarianisme. Telah pula disebutkan bagaimana para filsuf Yahudi tidak
hanya menggunakan kosa kata ilmu kalam dalam pembahasanpembahasan keagamaan mereka, bahkan juga menjadikan alQur’an sebagai sumber pembuktian.
Inovasi Pemikiran: Tantangan dan Harapan
Pengertian “inovasi” yang digunakan dalam bahasan ini harus dipahami sebagai pembaruan, yang kata-kata padanannya dalam bahasa
Arab ialah “tajdīd,” bukan “bidah,” “ibdā‘” atau “ibtidā‘”. Sebab
meskipun kata-kata (bidah, ibdā‘ atau ibtidā‘) ini juga mengandung
makna kebaruan, pembaruan ataupun pembuatan hal baru (dalam
bahasa Inggris acapkali diterjemahkan sebagai “innovation”),
namun konotasinya negatif, karena secara semantik mengandung
arti pembuatan hal baru dalam agama an sich. Secara kebahasaan
sebetulnya kata-kata “bidah” dan tashrīf-nya itu mempunyai arti
kreativitas atau daya cipta. Maka Tuhan pun disebutkan dalam
al-Qur’an sebagai al-Badī‘, Mahakreatif atau Maha Berdayacipta
(lihat Q 2:59 dan 6:101). Dan jika Nabi saw. bersabda agar kita
14
Ibid., h. 247-248.
D 28 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
berbudi dengan mencontoh budi Tuhan (hadis termasyhur:
“Takhallaqū bi akhlāq-i ’l-Lāh), maka kreativitas atau daya cipta
adalah hal yang sangat terpuji. Namun, sudah dikatakan, tentu
saja yang terpuji itu bukanlah kreativitas atau daya cipta dalam
hal agama itu sendiri, seperti, misalnya, kreativitas dan daya cipta
dalam masalah ibadat murni (‘ibādah mahdlah). Maka sama sekali
tidak dapat dibenarkan, misalnya, menambah jumlah rakaat dalam
shalat atau memandang dan memasukkan sesuatu yang sebenarnya
hanya budaya belaka menjadi bagian dari agama murni. Dalam hal
ini berlaku peringatan dalam Kitab Suci, “Ketahuilah, hanya bagi
Allah agama yang murni,” (Q 39:3) dan firman penegasan, “Mereka
tidaklah diperintah melainkan untuk beribadat kepada Allah, dengan
memurnikan agama bagi-Nya saja, dan dengan semangat mencari
kebenaran...,” (Q 98:5). Agama adalah milik Allah semata. Hanya
Dia-lah yang berwenang, yang kemudian disampaikan kepada kita
melalui Rasul-Nya sebagai pemilik ajaran (shāhib al-syarī‘ah). Maka
“kreativitas” atau “daya cipta” dalam hal keagamaan murni (artinya,
bukan dalam hal budaya keagamaan) adalah sama dengan tindakan
mengambil wewenang Allah dan Rasul-Nya. Suatu perbuatan yang
sesungguhnya tidak mungkin, sehingga yang memaksa melakukannya juga, menurut sabda Nabi saw., adalah sesat.
Sejalan dengan itu, dalam ilmu pokok-pokok pemahaman
agama (ushūl al-fiqh) ada kaedah yang berbunyi: “al-ashl fī al-‘ibādah
al-tahrīm illā idzā mā dalla al-dalīl ‘alā khilāfihī (Pada dasarnya
ibadat adalah terlarang, kecuali jika ada petunjuk sebaliknya)”.
Ini artinya, kita dilarang membuat dan menciptakan cara ibadat
sendiri. Kita harus hanya melihat dan mempelajari, apakah ada
bukti dalam sumber-sumber agama, yaitu Kitab Suci dan Sunnah
Nabi, bahwa suatu bentuk ibadat memang dibolehkan, dianjurkan,
atau malah diwajibkan. Maka masalah ibadat murni itu harus
ditempuh dengan seketat dan sebersih mungkin, dilakukan hanya
menurut Kitab dan Sunnah (sejauh-jauh pengertian kita melalui
usaha sungguh-sungguh untuk memahaminya, yaitu, ijtihad), tidak
boleh ditambah atau dikurangi.
D 29 E
F NURCHOLISH MADJID G
Tapi, sebaliknya, dalam masalah bukan ibadat kita tidak saja
dibolehkan, bahkan dianjurkan, untuk berdaya cipta dan berkreasi
sebanyak-banyaknya. Karena itu kaedah yang berlaku: “al-ashl fī
ghayr al-‘ibādah al-ibāhah, illā idzā mā dalla al-dalīl ‘alā khilāfihī
(Pada dasarnya dalam hal bukan ibadat adalah diperbolehkan,
kecuali jika ada petunjuk sebaliknya)”.
Dengan demikian, suatu perkara di luar ibadat pada dasarnya
diperkenankan (halal) untuk dijalankan, kecuali jika ada bukti
larangan dari sumber agama (Kitab dan Sunnah). Karena itu kita
tidak dibenarkan melarang sesuatu yang dibolehkan Allah,15 sebagaimana, dengan sendirinya, tidak dibenarkan membolehkan sesuatu
yang dilarang Allah.
Pola, Format, dan Agenda
Jika prinsip-prinsip itu telah kita pahami, kemudian kita mampu
memproyeksikannya kepada yang telah terjadi dalam tradisi pemikiran Islam sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka kiranya
menjadi jelas apa pola, format, dan agenda inovasi keislaman dalam
bidang pemikiran. Dan bila kita sudah mengerti bahwa suatu pemikiran (oleh manusia, dengan sendirinya) adalah bidang budaya,
bukan agama dalam bentuknya yang murni (meskipun pemikiran
Islam ialah hasil budi daya manusia Muslim untuk memahami
agamanya melalui kegiatan berpikir), maka dengan sendirinya
inovasi dalam bidang pemikiran itu selalu dimungkinkan, bahkan
dituntut dari masa ke masa. Jadi diperlukan pola berpikir yang
mengenal dengan jelas apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan
tersebut tadi, dalam suatu format yang mengenal dengan jelas pula
15
Berkaitan dengan ini, sangat menarik bahwa Nabi sendiri pun pernah
mendapat teguran dari Allah, karena beliau mengharamkan sesuatu yang
dibolehkan-Nya: “Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan Allah untukmu, hanya karena hendak memperoleh kesenangan hati
istri-istrimu?!,” (Q 66:1).
D 30 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
mana yang agama murni dan mana yang budaya. Dengan kata lain,
format inovasi itu menjadi kurang lebih sebuah penggantian kalimat
dari kaedah-kaedah ushul fiqih tadi: Inovasi dalam agama tidak
dibenarkan, sedangkan inovasi dalam budaya dianjurkan. Meskipun
format serupa itu sesungguhnya sangat standar dalam Islam, namun,
menurut pengamatan dan pengalaman, untuk kebanyakan orang
tidaklah begitu jelas. Dan ini, seperti sudah diisyaratkan di muka,
merupakan tantangan inovasi.
Sebenarnya negeri kita memberi kesempatan dan harapan yang
sangat baik untuk berlangsungnya inovasi-inovasi. Kesempatan
dan harapan itu antara lain merupakan hikmah dari kenyataan
bahwa pemikiran Islam di Indonesia belum terlalu “established”
atau mapan. Dari satu segi, tidak adanya warisan pola pemikiran
yang mapan itu memang dapat dipandang sebagai kerugian, karena berarti kemiskinan intelektual. Tetapi, dari segi lain, dapat
merupakan faktor yang menguntungkan, karena berarti terbuka
lebar kemungkinan mengembangkan pikiran-pikiran baru dan
segar. Sebab, jika kita salah mempersepsi masa lalu, suatu warisan
pemikiran yang mapan dapat mempunyai efek pembelengguan dan
pembatasan inovasi dan kreativitas, seperti dengan mudah dapat
disaksikan wujudnya pada banyak masyarakat negeri Muslim.
Tentu amat ideal kalau suatu masyarakat Islam memiliki warisan
intelektual yang mapan, lalu mampu mengembangkannya secara
kreatif seperti dikehendaki oleh kata-kata hikmah pada permulaan
bahasan ini, “Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil
yang baru yang lebih baik”.
Kesempatan dan harapan tadi juga disebabkan oleh adanya
berbagai gerakan pembaruan dalam Islam pada awal abad ini. Sejak
Haji Miskin pulang dari Makkah dan mendorong lahirnya gerakan
Padri di Sumatera Barat, kemudian munculnya gerakan-gerakan
reformasi dengan pembentukan lembaga dan organisasi modern
(model Barat) seperti Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad, ideide inovasi sudah cukup dikenal di negeri kita. Karena itu agenda
inovasi keislaman di negeri kita di segala bidang, termasuk di
D 31 E
F NURCHOLISH MADJID G
bidang pemikiran, tidak akan terlalu jauh dari pengulangan agenda
berbagai gerakan reformasi yang lalu, dengan beberapa penekanan,
penegasan, dan peningkatan beberapa segi yang sebelum ini agaknya
luput dari penglihatan, atau kurang mendapat perhatian, dengan
tekanan yang lebih kuat akan pentingnya kesadaran mengapresiasi
kekayaan intelektual Islam internasional. Garis besar agenda itu
kira-kira demikian:
1. Kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Ini adalah dalil
klasik para pembaru sejak masa Ibn Taimiyah mengumandangkannya dengan lantang tujuh abad yang lalu. Seruan itu mengisyaratkan penegasan bahwa agama yang benar ialah hanya yang
ada dalam, atau sesuai dengan, ajaran Kitab dan Sunnah. Maka
dalil itu juga membawa akibat program usaha memberantas
bidah, yaitu sesuatu yang sebenarnya bukan agama tapi
dianggap agama.
2. Mempertegas dengan jelas mana perkara yang benar-benar
agama, dan mana pula yang sesungguhnya aspek kultural dari
agama. Persoalan mutlak-nisbi yang telah dibahas di atas ada
dalam kaitannya dengan hal ini.
3. Menggunakan sejarah sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sehingga setiap penemuan dari orang-orang terdahulu menjadi
dasar untuk melanjutkan dan mengembangkan lebih maju.
Belajar dari sejarah ini merupakan perintah langsung dari
Allah untuk memperhatikan sunatullah. Termasuk di sini ialah
keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual Islam.
4. Mempertegas inti agama Islam, yaitu tauhid. Sehingga implikasinya yang amat prinsipil seperti pembebasan dari mitologi,
pemusatan kesucian (tasbīh atau taqdīs) hanya kepada Allah
(hanya Dia yang bersifat Subbūh, Quddūs, Mahasuci, Mahasakral), kemudian memandang alam raya sebagai obyek yang
terbuka, yang merupakan ayat-ayat kawnīyah yang harus dibaca, benar-benar bisa dijalankan. Dengan demikian selain
D 32 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
Allah, harus didemitologisasi, didesakralisasi, dan didevaluasi.
Sebagai misal, lambang Garuda bagi negara dan Ganesha bagi
ITB, yang “bekas” mitologi Hindu, yang telah didevaluasi dan
menjadi hanya bernilai dekoratif-ornamental belaka.
5. Bergandengan dengan itu ialah kesadaran bahwa Allah adalah
Mahamutlak, maka tidak mungkin hakikat-Nya dipahami oleh
manusia yang nisbi ini. Penegasan dalam Kitab Suci bahwa
Allah itu tidak sebanding atau analog dengan apa pun adalah
sentral sekali dalam sistem paham ketuhanan Islam. Karena itu
harus disadari implikasinya yang jauh dan mendalam, yaitu
bahwa manusia tidak boleh memutlakkan sesuatu kecuali
Allah. Memutlakkan sesuatu selain Allah adalah sama dengan
mengangkat sesuatu itu setaraf dengan Allah, jadi jelas suatu
kemusyrikan (lihat Q 112:4); 42:11; dan 16:74).
6. Allah adalah asal dan tujuan hidup manusia (innā li ’l-Lāh-i
wa innā ilayhi rāji‘ūn). Karena itu Allah harus menjadi pusat
pandangan hidup manusia dan orientasi kegiatannya. Tetapi
karena Allah tidak mungkin diketahui, maka orientasi hidup
kepada-Nya itu tidak untuk “mengetahui” secara “gnostik”
akan hakikat-Nya, melainkan demi memperoleh perkenan
atau rida-Nya belaka. Maka persoalannya ialah bagaimana
manusia terus-menerus mendekati Allah (taqarrub ilā ’l-Lāh)
dengan menempuh jalan (shirāth, sabīl, syarī‘ah, tharīqah,
minhāj, mansak, yang kesemuanya mengandung makna “jalan”)
menuju kepada-Nya. Jadi seorang Muslim harus terus bergerak,
dinamis, tidak kenal berhenti. Sebab berhenti berarti anggapan
diri telah “mencapai” Kebenaran Yang Mutlak.
7. Mencapai derajat takwa kepada Allah dan rida-Nya, yang juga
dinamakan jiwa rabbānīyah, ribbīyah — semangat Ketuhanan.
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa takwa sebagai asas yang
benar bagi bangunan kehidupan manusia, individual maupun
sosial. Semua kegiatannya dalam berbudi-daya haruslah berasaskan semangat kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam
D 33 E
F NURCHOLISH MADJID G
hidup dan keinginan mencapai perkenan-Nya (lihat Q 9:108109).16
8. Menggalakkan ijtihad sebagai suatu kemestian. Jika ijtihad
merupakan usaha terus-menerus dengan penuh kesungguhan
untuk menangkap pesan agama dan bagaimana mewujudkan
pesan itu dalam kaitannya dengan kenyataan ruang dan waktu,
maka meninggalkan ijtihad berarti menganggap persoalan sudah selesai dan kita semua “sudah sampai”. Dengan perkataan
lain, itu berarti suatu klaim kemutlakan tentang apa yang telah
dicapai dan ada di tangan, padahal semuanya hasil usaha manusia sendiri yang nisbi belaka.
(9) Menyadari bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit), sebab
batas ilmu ialah ilmu Allah swt yang tak terjangkau oleh siapa
pun dari makhluk-Nya (lihat Q18:109 dan 31:27). Yang ada
pada manusia ialah “perbatasan” (frontier) dari ilmu yang
dikembangkan manusia sendiri. Oleh karena itu, sesuai dengan
prinsip ijtihad, manusia harus selalu berusaha untuk menembus
perbatasan itu, dengan temuan-temuan baru dan kreasi-kreasi
baru. Manusia harus inovatif dan kreatif, walaupun harus tetap
diiringi dengan penuh kesadaran akan kenisbiannya sehingga
membuatnya selalu mungkin salah. Tetapi dengan niat yang
tulus guna mencapai rida Allah, suatu kegiatan ijtihad harus
dilakukan tanpa takut salah, sebab takut salah adalah justru
kesalahan yang lebih berbahaya. Penting sekali menghayati
sabda Nabi yang terkenal, bahwa orang yang berijtihad, jika
benar, akan mendapat dua pahala; dan jika salah, masih akan
mendapat satu pahala. Ini adalah dorongan yang amat kuat
untuk berkreasi dan berinovasi.
10. Mengembangkan ide-ide keterbukaan, yang sangat terkait
dengan prinsip amat penting, yaitu keharusan seseorang senan16
Q 9:108-9. Di sinilah, dalam Kitab Suci, ada sebutan tentang asas
(asās), yang artinya, tentu saja, dasar atau fondasi, dalam hal ini ialah dasar
atau fondasi hidup yang benar, yaitu takwa kepada Allah dan mencari perkenan
atau rida-Nya.
D 34 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
tiasa bersedia mendengarkan pendapat orang lain dengan hati
terbuka. Apalagi disebutkan dalam Kitab Suci bahwa sikap
terbuka itu merupakan indikasi adanya hidayah dari Allah.17
Dan karena “keharusan mendengar” merupakan suatu sisi
yang mensyaratkan adanya sisi yang lain, yaitu “hak untuk
berbicara”, maka gabungan antara keduanya itu menghasilkan
prinsip musyawarah dalam semangat memberi dan menerima,
saling berpesan tentang kebenaran, dan saling berpesan tentang
ketabahan menegakkan kebenaran itu.
11. Mempertegas prinsip kenisbian ke dalam (relativisme internal).
Karena itu harus ada toleransi dan sikap menahan diri dari merendahkan orang seiman, yaitu sikap yang dalam Kitab Suci
disebut sebagai tindakan pertama dalam rangka menegakkan
persaudaraan berdasarkan iman.18
17
“...maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka
yang mendengarkan (dengan perhatian — istimā‘) perkataan (pendapat, ajaran,
dan lain-lain), kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orangorang yang diberi hidayah oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berakal
mendalam (ulū al-albāb,” (Q 39:17-18).
18
Lihat Q 49:10-13. Perhatikan juga penegasan Ibn Taimiyah tentang
betapa sulitnya masalah pengkafiran:
“....bahwa orang yang melakukan interpretasi (ta’wīl) yang tujuannya
ialah mengikuti Rasulullah tidak boleh dikafirkan atau dikatakan fasiq jika ia
berijtihad lalu membuat kesalahan. Ini sudah terkenal di kalangan orang banyak
berkenaan dengan masalah-masalah praktis. Adapun dalam masalah ‘aqā’id
(akidah-akidah), banyak orang yang mengkafirkan mereka yang membuat
kesalahan di bidang itu. Pendapat serupa ini tidak pernah dikenal dari seorang
pun di kalangan para sahabat dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan
baik, juga tidak dikenal dari salah seorang para imam kaum Muslim... Dan
Nabi saw tidak pernah mengeluarkan mereka itu dari Islam. Bahkan tetap
menjadikan mereka itu tergolong umat beliau juga, dan beliau tidak mengatakan
bahwa mereka itu bakal kekal di neraka. Ini adalah prinsip yang agung, yang
harus dijaga. Sebab banyak orang yang mengaku pengikut Sunnah namun pada
mereka terdapat bidah dari jenis bidahnya kaum Rafidlah dan Khawarij. Dan
para sahabat Rasulullah saw, seperti Ali ibn Abi Thalib, dan lain-lain, tidak
mengkafirkan kaum Khawarij yang mereka perangi. Bahkan kepada mereka
(kaum Khawarij) yang pertama memberontak kepadanya dan menyingkir ke
Harura, dan menolak untuk taat dan bergabung dengan jamā‘ah, Alī ibn Abi
D 35 E
F NURCHOLISH MADJID G
12. Dan sesuai dengan prinsip Islam tentang kemanusiaan, maka
dalam lingkup masyarakat yang meliputi pula golongangolongan bukan Muslim, paham kemajemukan masyarakat
harus dijaga sebaik-baiknya, dengan menumbukan toleransi,
sikap menghargai orang lain, dan mengakui hak masingmasing untuk bereksistensi menurut keyakinannya. Itulah
prinsip agung yang diletakkan Nabi dalam dokumen yang
terkenal sebagai “Konstitusi Madinah”, diteruskan Umar
dalam Dokumen Aelia untuk Yerusalem dan Syria pada
umumnya, kemudian diterapkan dengan baik sekali oleh para
Khalifah. Sangat mewakili pelaksanaan prinsip ini adalah pola
kebijaksanaan pluralistik para Khalifah di Spanyol, yang oleh
Ibn Taimiyah dipuji sebagai pengikut mazhab ahl al-Madīnah,
mazhab yang paling absah.19
13. Terakhir, karena kita tidak mungkin mengetahui Kebenaran
Mutlak yang ialah Allah itu sendiri, namun juga tidak mungkin
hidup tanpa rasa makna kemudian berada dalam keraguan
Thalib berkata, “Kamu tetap punya hak atas kami, yaitu bahwa kami tidak
akan melarang kamu dari masjid-masjid kami, juga kami tidak akan mencegah
hakmu dalam hal harta rampasan perang.” (Ibn Taimiyah, Minhāj al-Sunnah,
4 jilid [Riyadl: Makatabat al-Riyadl al-Hadisah, t.th.], jilid 3, h. 60).
19
Para Khalifah Andalusia dipuji Ibn Taimiyah sebagai penganut mazhab
Ahl al-Madīnah (Minhāj, 3:258), yang pluralisme Islamnya dicatat dengan
simpatik oleh Dimont, dibandingkan dengan kekejaman para penguasa Spanyol
ketika merebut kembali Semenanjung Iberia itu, demikian:
The Arab conquest of Spain in 711 had put an end to the forcible
conversion of Jews to Christianity begun by King Recared in the sixth century.
Under the subsequent 500-year rule of the Moslems emerged the Spain of three
religions and “one bedroom”. Mohammedans, Christians, and Jews shared the
same brilliant civilization, an intermingling that affected “bloodlines” even
more than religious affiliation (Dimont, h. 203).
During the reconquest of Spain from Mohammedans, the soldiers of
the Cross at first had difficulty recognizing the difference between Jew and
Moslem, as both dressed alike and spoke the same tongue. Reconquistadores
understandably killed Jew and Arab with impartial prejudice... Once Spain
was safely back in the Christian column, however, a national conversion drive
was launched (Ibid., h. 221).
D 36 E
F MASALAH TRADISI DAN INOVASI KEISLAMAN DALAM BIDANG PEMIKIRAN G
terus-menerus, maka kebenaran yang kita tangkap dalam diri
kita harus diterima sebagai kebenaran wujudi atau eksistensial
yang secara nyata menyatu dengan diri kita, dan harus difungsikan sebagai pangkal usaha mendekatkan diri kepada
Kebenaran Mutlak (Allah) dalam suatu jalan lurus yang dijaga
dan diterangi oleh hati nurani (nūrānī, bersifat cahaya). Jadi
kebenaran wujudi itu harus dijadikan titik-tolak bagi gerak
mendekat (taqarrub) kepada Tuhan demi perkenan-Nya. Maka
wujud spesifik kebenaran yang nisbi itu dengan sendirinya
tidak boleh dihayati sebagai final, dan dituntut adanya usaha
terus-menerus dan bersungguh-sungguh (mujāhadah) untuk
menemukan berbagai jalan menuju kepada-Nya dan kepada
kedamaian-Nya (lihat Q 29:69 dan 5:16). []
D 37 E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
REOREINTASI
WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN
MENCARI ALTERNATIF BENTUK PERAN TEPAT
UMAT ISLAM INDONESIA DI ABAD XXI
Oleh Nurcholish Madjid
Sejalan dengan “musim”-nya sekarang, bahasan ini menyangkut
masalah bagaimana kita menyongsong abad XXI. Sesungguhnya,
jika dipikirkan kembali, abad XXI tidak akan banyak berbeda dari
abad sekarang. Apalagi, dalam hitungan tahun, abad XXI itu hanya
beberapa tahun lagi. Secara sederhana dapat dipertanyakan: Apakah
dalam jangka waktu beberapa tahun ini bakal terjadi peristiwa perubahan sedemikian besar dan mendasarnya, sehingga abad XXI
harus dihadapi dengan penuh persiapan?
Walaupun begitu, ada beberapa alasan untuk memberi perhatian yang sungguh-sungguh kepada kurun waktu setelah berakhirnya abad XX ini. Yang pertama-tama barangkali bersifat psikologis. Bagaimanapun, peralihan dari satu abad ke abad yang lain
mempunyai dampak kejiwaan tersendiri bagi kebanyakan kita. Dan
adanya dampak kejiwaan itu tentunya akan berpengaruh kepada
persepsi kita terhadap abad XXI itu. Kenyataan ini sudah tercermin
dalam ramainya pembicaraan serius sekitar masalah menghadapi
abad itu di seluruh dunia.
Tapi barangkali alasan yang lebih riil untuk menyiapkan diri
menghadapi abad mendatang dengan penuh kesungguhan ialah
kenyataan tentang adanya banyak perubahan besar dan fundaD1E
F NURCHOLISH MADJID G
mental pada dua dasawarsa terakhir ini. Keruntuhan dramatis
sistem komunis di Eropa Timur adalah salah satunya yang paling
menonjol. Bersamaan dengan itu ialah tampilnya Barat sebagai
pihak “pemenang”, dengan Amerika yang muncul sebagai negara
adikuasa yang tak tertandingi. Kita sekarang sedang menyaksikan,
apakah Amerika yang adidaya itu akan tampil secara dewasa, dan
dengan bijak menggunakan kemampuannya untuk meningkatkan
nilai-nilai positif kemanusiaan sejagad (yang notabené konon merupakan cita-cita konstitusionalnya sendiri)? Ataukah akan tampil
menjadi “adigang-adigung-adiguna” dan tumbuh menjadi kekuatan
imperialis (baru)?
Proses pertumbuhan Eropa menjadi sebuah negara serikat
juga tidak dapat diremehkan dari segi dampak globalnya. Sudah
banyak terdengar suara-suara yang mengkhawatirkan Eropa yang
bersatu akan memberi stimulasi bagi bangkitnya proteksionisme
ekonomi, berhadapan dengan Amerika Serikat (yang juga dalam
proses penyatuan dengan Kanada dan Meksiko), serta Jepang dan
Asia Timur pada umumnya.
Asia Timur, selain Jepang, barangkali memang belum tampil
sepenuhnya sebagai padanan Barat, baik Eropa maupun Amerika
Utara. Tetapi dengan tampilnya Negara-negara Industri Baru
(Newly Industrializing Countries — NIC’s) seperti Korea Selatan,
Taiwan, Hongkong, dan Singapura (yang oleh pers Barat biasa disebut negeri-negeri “Little Dragons”), yang kamudian konon akan
segera disusul oleh Thailand, Malaysia, dan Indonesia (yang oleh
majalah TIME disebut “The Super Seven”, atau “The Seven Dragons
of East Asia”),1 maka tidak mustahil sama sekali bahwa kawasan
ini akan menjadi “hot pot” perubahan global yang lebih penting
lagi, mengingat potensi sumber daya manusianya yang demikian
besar. Lebih-lebih jika kepada negeri-negeri “The Super Seven” itu
ditambahkan RRC, sebuah negeri dengan laju pertumbuhan ekonomi yang juga cukup mengesankan, yang barangkali dapat disebut
1
TIME International, 14 September 1992, No. 37
D2E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
sebagai “The Giant Dragon”. Dengan kemampuan teknologinya
yang antara lain dibuktikan dalam kecanggihan persenjataan peluru
kendali Silkworm dan roket-roket peluncur satelitnya Long March
(yang dalam pasaran dunia ternyata sangat kompetitif ), RRC benar-benar harus diperhitungkan. Menyebut RRC sebagai sumber
ancaman dari utara barangkali tidak terlalu relevan sekarang ini.
Tetapi jika gap tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi menjadi
lebar antara RRC dan negeri-negeri tetangganya, khususnya
Indonesia, maka suatu tingkat tertentu kewaspadaan kiranya perlu
dipertimbangkan.
Perubahan Bidang Sosial-Keagamaan
Kita harus juga berbicara tentang perubahan-perubahan mondial
di bidang agama. Disebut oleh sebagian pemikir sebagai “abad keruhanian”, abad XXI agaknya akan menyaksikan tingkat kegairahan baru umat manusia dalam meyakini dan mengamalkan agama.
Kecenderungan kembali ke agama ini bagi banyak orang mendukung kebenaran pandangan keseimbangan hidup manusia antara
yang material dan yang spiritual. Seolah-olah sebuah pendulum
yang sedang berayun ke arah lain dari gejala umum kehidupan
modern yang serba-material, yaitu berayun ke arah yang lebih spiritual, kecenderungan kehidupan manusia abad XXI sedang menuju
kepada keseimbangan yang telah lama didambakan.
Indikasi ke arah itu sudah banyak terlihat, dalam bentuk
“bangkit”-nya agama-agama: Protestan, Katolik Roma, Katolik
Ortodoks, Yahudi, Islam, Hindu, Budha, bahkan agama-agama
Jepang (Tenrikyo, misalnya). Tetapi bangkitnya agama-agama
itu, kita ketahui, membawa serta eksesnya masing-masing, seperti
fundamentalisme Moral Majority di Amerika, kekerasan konflik
Katolik-Protestan di Irlandia Utara, reaksi-reaksi fanatik dan penuh
kebencian kepada para pekerja tamu (yang kebanyakan Muslim)
di Eropa (yang sering menyatu dengan gerakan-gerakan NeoD3E
F NURCHOLISH MADJID G
Nazi atau semacam itu), kekerasan kaum Yahudi fundamentalis
dan tekad mereka untuk mendirikan “The Third Temple” (dengan
kemungkinan merobohkan monumen-monumen Islam dan Kristen di Yerusalem atau Bait Maqdis) di Israel, kecenderungan radikal
dan revolusioner pada sebagian kelompok Islam di Timur Tengah,
fanatisme kaum Hindu dari Partai Janata serta radikalisme kaum
Sikh dan Islam di India, sikap-sikap ingin saling menghancurkan
antara kaum Hindu (Tamil) dan kaum Budhis (Sinhala) di Sri
Lanka, bentrok-bentrok sengit etnis dan keagamaan (Budhisme
terhadap Islam) di Myanmar, sisa-sisa hubungan sulit antara
minoritas-minoritas Muslim dengan pemerintahan yang Budhis
di Thailand dan dengan yang Katolik di Pilipina, dan seterusnya.
Dari semuanya itu, perubahan yang terjadi di kalangan bangsabangsa Muslim tampaknya muncul dalam skala yang lebih besar
dan dimensi yang lebih mendasar daripada yang terjadi di kalangan
lain. Disebabkan oleh hubungan dengan bangsa-bangsa (Kristen)
Barat yang hampir tidak pernah sepi dari rasa permusuhan sepanjang
sejarah, bangsa-bangsa Muslim memandang dominasi Barat terhadap dunia sekarang ini dengan tingkat kepahitan yang lebih
menggigit daripada pandangan bangsa-bangsa lain. Ini menjadi salah
satu sebab bahwa bangsa-bangsa Muslim praktis merupakan “pendatang paling akhir” dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi,
menyusul kaum Hindu (India), Budhis-Taois-Konfusianis (Jepang
dan NIC’s), Konfusianis-Komunis (Cina), Yahudi (Israel), Katolik
Ortodoks (Eropa Timur), Katolik Roma (Eropa Selatan), dan Protestan (Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru).
Jadi dalam sains dan teknologi, bangsa-bangsa Muslim praktis
merupakan papan bawah dunia. Dengan perkataan lain, tidak satu
pun umat agama non-Islam yang dalam sains dan teknologi lebih
rendah daripada umat Islam. Umat Islam adalah yang terendah dari
semuanya.
Dalam bidang kemakmuran ekonomi, beberapa negeri Muslim
jauh berada di atas banyak negeri-negeri non-Muslim, hampir
semata-mata karena rahmat Allah, melalui kekayaan minyak.
D4E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
Sebagian dari negeri-negeri petro-dollar ini berusaha memanfaatkan
kekayaan yang melimpah untuk menopang program-program
investasi sumber daya manusia melalui pendidikan seperti, misalnya, yang dilakukan oleh almarhum Raja Faisal di Saudi Arabia.
Beberapa negeri Teluk lain seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, dan
Oman juga tampak mampu dengan bijaksana memanfaatkan
kekayaan minyak yang melimpah itu untuk mendorong prosesproses modernisasi bangsanya dalam cara yang lebih bermakna.
Walaupun begitu, kemakmuran yang tinggi (yang antara lain
membuat mereka punya kemudahan lebih besar untuk mengenal
dunia luar) yang tidak diimbangi oleh human development yang
memadai (karena investasi sumber daya manusianya belum seluruhnya menghasilkan, mengingat jangka waktu pelaksanaannya
yang relatif masih singkat), telah menunjukkan akibat-akibatnya
yang kurang menguntungkan, berupa krisis-krisis sosial-politik yang
gawat. Peristiwa pendudukan dan penyanderaan Masjid Haram di
Makkah oleh suatu kelompok Islam radikal beberapa tahun yang
lalu, juga kecenderungan semakin banyaknya kelompok-kelompok
Islam radikal di berbagai negeri Muslim di Timur Tengah dapat
dipandang dan dinilai antara lain dari sudut pandangan ini. Kesenjangan tersebut akhirnya tidak hanya dirasakan oleh kalangan
penduduk negeri besangkutan saja (misalnya, intern Saudi Arabia
saja), tapi merambah ke seluruh kawasan Timur Tengah. Krisis
Irak-Kuwait dan bagaimana dunia Arab memberi reaksi kepadanya
merupakan salah satu konsekuensi dari situasi hubungan antarnegara Arab yang penuh kesenjangan itu.
Perubahan di Kalangan Umat Islam Indonesia
Perubahan di dunia Islam secara keseluruhan di atas itu sudah tentu
berpengaruh dan mendorong kepada perubahan-perubahan di
kalangan umat Islam Indonesia. Pada abad yang lalu telah terjadi
bahwa Haji Miskin dan rombongannya berkenalan dan menyerap
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
ide-ide pembaruan dan pemurnian pemahaman Islam di Tanah
Suci, kemudian membawanya ke Sumatera Barat yang kemudian
berpengaruh luar biasa besarnya ke seluruh tanah air. Maka demikian pula sekarang, perkenalan, pengenalan, dan penyerapan pikiran-pikiran pembaruan, pemurnian, dan reorientasi pemikiran
Islam di seluruh dunia yang sangat dipermudah oleh adanya teknik
pencetakan buku dan terbitan berkala, media komunikasi dan
transportasi, tentu akan, dan memang sedang dan sudah, berpengaruh kepada keadaan umat Islam Indonesia. Kita tidak mungkin
mengingkari ini semua.
Sementara itu, dinamika perkembangan negara kita sendiri juga
sedemikian dahsyatnya sehingga mau tidak mau juga berpengaruh
kepada keadaan umat Islam Indonesia. Apalagi jika diingat bahwa
umat Islam merupakan bagian terbesar rakyat (hampir 90%), dan
bahwa pembangunan itu pun adalah untuk kepentingan rakyat,
maka pengaruh dan dampak dinamika perkembangan nasional itu
kepada umat Islam adalah identik dengan pengaruh dan dampaknya kepada rakyat Indonesia. Karena itu tidak berlebihan jika kita
katakan bahwa berbicara tentang umat Islam Indonesia adalah
identik atau 90% sama dengan berbicara tentang bangsa Indonesia,
sehingga setiap pemikiran tentang umat Islam adalah sebenarnya
sekaligus pemikiran tentang bangsa.
Berkaitan dengan itu, di sini kita harus dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan tekad bangsa kita, melalui para pemimpin
yang berwenang, untuk terus melaksanakan pembangunan nasional dan memasuki tinggal landas. Pembangunan Jangka Panjang
Tahap Kedua (PJPT II) senantiasa dicanangkan dalam kaitannya
dengan tekad nasional itu.
Kita wajib bersyukur kepada Allah swt atas kemajuan bangsa
yang telah tercapai sekarang ini, yang secara mudahnya dapat disebut
sebagai bernilai berpuluh kali lipat daripada keadaan kita sekitar 30
tahun yang lalu (1965). Bahkan, menurut Prof. BJ Habibie dalam
ceramahnya di sidang pleno Dewan Pers di Solo, 22 Januari yang
lalu, dalam jangka waktu 1965 sampai 1989, bangsa Indonesia
D6E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
praktis mengalami kemajuan dengan laju pertumbuhan yang lebih
tinggi daripada negara-negara mana pun di Asia Timur, kecuali
Korea Selatan dan Singapura (yang berturut-turut mengalami ratio
kemajuan 4,4 % dan 147 % [!] lebih tinggi daripada Indonesia.
Kenyataan itu, menurut Prof. Habibie, menjadi landasan untuk
penuh optimisme bagi masa depan bangsa kita, asalkan disertai
usaha-usaha yang tepat dalam pengembangan sumber daya manusianya. Tentunya setiap warga Indonesia menyertai Prof. Habibie
dalam optimismenya itu, dan ingin melihat proyeksinya tentang
pengembangan sumber daya manusia tersebut akan menjadi kenyataan, guna mempertahankan laju pertumbuhan yang tetap tinggi
di masa datang.
Demikian itu tadi adalah tinjauan dalam angka-angka nisbi.
Sedangkan dalam angka-angka mutlak, kita harus melihat kenyataan bahwa Indonesia masih merupakan “buntut” dari “The Super
Seven”, dengan pendapatan perkepala (income percapita) yang
hanya seperlima dari Malaysia atau kurang dari seperduapuluh
dari Singapura, misalnya. Dan untuk mengejar ketertinggalan yang
masih amat jauh itu agaknya bangsa kita masih akan memerlukan
pengerahan dana dan daya yang besar di masa mendatang, untuk
meningkatkan produktivitas dan mendukung pertumbuhan yang
lebih tinggi berlipat ganda daripada negara-negara tetangga. Inilah
tampaknya yang menjadi salah satu logika yang mendasari tekad
untuk terus membangun, menuju Era Tinggal Landas. Jika tujuan
itu tidak berhasil, maka dapat terjadi kemungkinan negara kita
dalam keadaan rawan di tengah-tengah dunia yang semakin maju
dan khususnya Asia Timur yang berkembang pesat.
Kemungkinan Peran Tepat Umat Islam
Oleh karena umat dan rakyat adalah identik, maka suatu pemikiran
tentang peranan yang tepat dari umat Islam dengan sendirinya
berarti juga peranan rakyat. Dikaitkan dengan tidak adanya pilihan
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
lain dari bangsa Indonesia kecuali mesti mengembangkan dirinya
menjadi negara maju itu, maka peran tepat rakyat ialah mendukung
dan berpartisipasi dalam segenap usaha pembangunan bangsa. Jika
ungkapan itu terdengar seperti klisé dan stereotipikal, kita hanya
harus ingat betapa kita tidak mungkin membiarkan diri atau — lebihlebih lagi — memilih menjadi negara terkebelakang atau ketinggalan
oleh dunia pada umumnya, Asia Timur pada khususnya.
Dan jika kita kembalikan lagi kepada kenyataan bahwa bangsa
Indonesia sebagian besar beragama Islam (sehingga benar-benar
absah disebut “bangsa Muslim” [Muslim Nation], meskipun bukan
“Negara Islam” [Islamic State]), maka maju atau mundurnya bangsa
ini tentu akan mempunyai dampak positif atau negatif kepada Islam
dan umat Islam. Kemajuan bangsa Indonesia akan berdampak
“kredit” kepada umat Islam Indonesia (yang akan berpengaruh
positif kepada situasi dakwah yang lebih luas), dan kemunduran
bangsa Indonesia akan berdampak “diskredit” kepada umat Islam
Indonesia (yang juga akan berpengaruh negatif kepada situasi
dakwah). Jadi bagi umat Islam, yang identik dengan rakyat itu, tidak
ada pilihan lain kecuali berpartisipasi dan mendukung pembangunan nasional. Ini menyangkut pemikiran tentang suatu peran yang
tepat bagi umat Islam Indonesia, yang kurang lebih berpusat kepada
tiga hal:
(1) Dukungan kepada negara nasional, yaitu Republik Indonesia.
Ungkapan ini cukup sederhana, dan hampir-hampir dapat
dipandang secara “taken for granted”, tapi akan segera tampak
serius jika kita ingat bahwa mendukung negara nasional
Republik Indonesia berarti memandang prinsip-prinsip kenegaraan Republik Indonesia, khususnya segi filsafat dasarnya,
yaitu Pancasila, dan konstitusionalnya, yaitu UUD 45, sebagai
telah sah (legitimate) sepenuhnya dan “final” (menurut ungkapan almarhum K. H. Ahmad Shiddiq, Ra’is Am NU). Dari
sudut pandangan Islam, Pancasila dapat dinilai, melalui kias
atau analogi, sebagai “kalimat persamaan” (kalīmah sawā’) yang
D8E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
Allah, melalui teladan Nabi-Nya, memerintahkan umat Islam
untuk mengajak golongan-golongan lain menuju kepadanya (Q
3:64). Sedangkan Pancasila itu sendiri bersama UUD 45 dapat
dipandang sebagai “social contract” atau, menurut al-Mawardi,
‘aqd yang mengikat seluruh masyarakat untuk mendirikan
sebuah negara.2
(2) Mengembangkan pemahaman agama Islam sebagai sumber
kesadaran makna hidup yang tangguh bagi masyarakat yang
sedang mengalami perubahan pesat dan menjadi industriil.
Perubahan dari masyarakat agraris yang berpola hubungan
paguyuban (gemeinschaft) menuju kepada masyarakat industriil
yang berpola hubungan patembayan (gesellschaft) pasti akan
menimbulkan krisis yang tidak kecil, dan ini memerlukan penanggulangan yang tidak mudah.
(3) Mengembangkan prasarana sosio-kultural guna mendukung
proses pembangunan menuju masyarakat industriil yang maju.
Suatu pemahaman keagamaan Islam yang akan datang mau
tidak mau akan dihadapkan kepada tantangan ini, yang jika
tantangan itu berhasil dijawab maka secara timbal-balik akan
menghasilkan proses saling menguatkan antara agama dan
masyarakat.
Kita mencoba membahas masing-masing dari tiga tantangan
itu secara lebih rinci.
(1) Pancasila sebagai Kalīmah Sawā’
Perkara kalimat persamaan atau common platform bangsa ini, yaitu
Pancasila dengan kelengkapan konstitusionalnya kiranya sekarang
Al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulthānīyah (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 5.
Dalam bab pertama pembahasannya tentang teori politik dalam Islam ini alMawardi memulai dengan mengetengahkan pendapat keharusan mendirikan
negara dan menegakkan sistem pemerintahan dari dua sudut pandang: rasional
dan agama. Dalam keduanya masalah ‘aqd, yaitu “kontrak sosial”-nya Rousseau,
adalah titik-tolak pendirian sebuah negara atau pemerintahan.
2
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
sudah tidak ada masalah, antara lain berkat sikap-sikap yang tepat
dari berbagai organisasi keislaman semisal NU dan Muhammadiyah.
Hanya perlu kita ingat kembali bahwa masalahnya sekarang adalah
bagaimana mengisi dan menjalankan nilai-nilai Pancasila dan UUD
45 itu secara lebih baik dan konsisten (istiqāmah). Mengingat bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka (sebagaimana pernah
dinyatakan oleh Presiden dan Wakil Presiden), maka berarti terbuka
lebar kesempatan untuk semua kelompok sosial guna mengambil
bagian secara positif dalam pengisian dan pelaksanaannya. Maka
para pemuka Islam pun harus tanggap kepada masalah ini.
(2) Masalah Makna Hidup
Perkara makna hidup sendiri pun sesungguhnya tidak ada masalah.
Setiap orang, dan setiap kelompok (melalui pribadi-pribadi para
anggotanya) tentu mempunyai kesadaran akan makna hidup tertentu. Kesadaran itulah yang membuat mereka “betah” hidup, yaitu
karena adanya dukungan harapan-harapan yang bersumber kepada
makna hidup itu. Karena memang adanya harapan itulah yang
membuat kita kuat dan tangguh menempuh berbagai tantangan
hidup, seperti kata pepatah Arab mengatakan, “Alangkah sempitnya
hidup ini seandainya tidak karena lapangnya harapan-harapan”.
Tetapi belum tentu suatu keinsafan makna hidup pada masyarakat dengan pola hubungan sosial paguyuban akan bertahan dalam
masyarakat dengan pola hubungan sosial patembayan. Maka
menyongsong dan menghadapi masyarakat industriil maju yang
kita hendak tuju, kita ditantang untuk mengembangkan suatu
pemahaman dan orientasi keagamaan yang responsif terhadap
perubahan sosial itu. Ini sama sekali bukanlah suatu klaim orisinal.
Sejarah Islam yang telah berjalan selama hampir 15 abad ini penuh
dengan contoh-contoh pengembangan pemikiran yang lebih
responsif kepada tuntutan zaman, lepas dari persoalan apakah
seseorang setuju atau tidak setuju kepada suatu hasil ijtihad meresponsi tantangan zaman itu. Ini dengan mudah dapat dilihat
D 10 E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
pada tampilnya tokoh-tokoh seperti Umar ibn Abd al-Aziz, Ja’far
al-Shadiq, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi‘i, Imam
Ahmad ibn Hanbal, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Imam al-Ghazali,
Ibn Taimiyah, dan seterusnya.
Walaupun demikian, mereka itu semuanya bertemu dalam
suatu garis lurus atau benang merah yang membuat mereka pada
prinsipnya adalah sama saja, yaitu sama-sama orang yang tunduk
patuh kepada Allah dan berkehendak untuk menegakkan ajaranNya. Mereka adalah semuanya orang-orang Muslim, yaitu orangorang yang melakukan dan mempraktikkan Islam. Sebab Islam
itulah inti hidup keagamaan, yaitu sikap tunduk (dīn, dari kata
kerja dāna—yadīnu) kepada Allah swt yang menghasilkan salām
(damai) dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia, dan alam sekelilingnya. Maka Islam menghasilkan salāmah (selamat), sejahtera
dan sentosa.
Karena itu dalam menghadapi dan memasuki masyarakat dengan pola patembayan itu menjadi lebih penting lagi memahami
dan menghayati asal-usul makna keagamaan dan intinya sepanjang
sejarah agama Allah sejak dari Nabi pertama sampai ke Nabi
Muhammad saw. Seperti ditegaskan Nabi sendiri, Islam adalah
dīn, dan tidak ada dīn tanpa Islam, sebagaimana, menurut Ibn
Taimiyah, dijelaskan Nabi saw.:
Sesungguhnya “al-Islām” ialah “al-dīn” (dari dāna — yadīnu — dīn,
yang artinya ialah tunduk-patuh) sebagaimana dijelaskan Nabi saw.,
hendaknya seseorang memasrahkan diri dan kalbunya kepada Allah,
dan memurnikan sikap tunduk-patuh hanya kepada Allah itulah
“Islam”. Ini tidak cukup hanya dengan sikap membenarkan [tashdīq],
sebab Islam tersebut adalah jenis amalan kalbu, sedangkan tashdīq
adalah jenis pengetahuan kalbu.3
Lihat Ibn Taimiyah, al-Īmān, editing oleh Dr. Muhammad Khalil Harras
(Kairo: Dar al Thiba‘ah al-Muhammadiyah, t.th.), h. 320.
3
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
Dalam hadis Jibril yang sangat terkenal, disebutkan dan
dijelaskan tentang islām, īmān, dan ihsān. Banyak pembahasan
tentang ketiga nilai keagamaan itu mengemukakan tentang adanya
semacam “jenjang” naik-turun: ihsān sebagai tingkat tertinggi
dengan sendirinya mencakup īmān dan islām, dan īmān sebagai
yang pertengahan mencakup islām tapi mungkin tanpa ihsān,
dan islām sebagai tingkat paling rendah tidak dengan sendirinya
mencakup īmān, apalagi ihsān. Hal ini, misalnya, diterangkan oleh
Ibn Taimiyah sebagai berikut:
Maka yang benar dalam hal ini ialah yang dijelaskan Nabi dalam
hadis Jibril, yang menjadikan agama dan para pemeluknya tiga
tingkat: yang pertama islâm, yang tengah īmān, dan yang tertinggi
ihsān. Jika orang mencapai tingkat yang lebih tinggi maka ia juga
telah mencapai tingkat di bawahnya: seorang muhsin (pelaku ihsān]
adalah mu’min (pelaku īmān), dan seorang mu’min adalah muslim
(pelaku islâm), tapi seorang muslim belum tentu seorang mu’min.4
Karena itu dalam al-Qur’an disebutkan tentang adanya orangorang Arab Badui yang mengaku telah ber-īmān (beriman) tapi
Nabi diperintah Allah untuk mengatakan bahwa mereka itu baru
dalam tahap “ber-islâm”, sebab īmān belum masuk ke dalam hati
mereka (Q 49:14).
Tetapi Ibn Taimiyah juga mengingatkan kita bahwa yang
tersebutkan dalam al-Qur’an ialah “Sesungguhnya agama di sisi
Allah ialah al-islâm,” (Q 3:19 ), dan tidak ada sama sekali sebutan
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah al-īmān”.5 Karena itu
Ibn Taimiyah mengatakan bahwa perkataan “islâm”, jika disebut
sendirian (bi al-tajrīd), pengertiannya mencakup īmān dan ihsān,
tetapi jika disebut bersama dengan yang lain itu (bi al-iqtirān),
4
5
Ibid., h. 309.
Ibid., h. 227.
D 12 E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
maka pengertiannya menjadi khusus “islâm” seperti semangat hadis
Jibril.6 Ditegaskan oleh Ibn Taimiyah,
Kata benda (ism [mashdar]) “al-islâm” juga mencakup pangkal
al-īmān yaitu sikap membenarkan (tash dīq), dan mencakup
pangkal thā‘ah (ketaatan), sebab semuanya itu adalah istislâm (sikap
memasrahkan diri atau tunduk, dalam hal ini kepada Allah).7
Berdasarkan pokok-pokok pengertian itu, maka menurut Ibn
Taimiyah hakikat sebenarnya dari agama ialah Islam, yaitu sikap
tunduk dan pasrah kepada Allah dengan tulus, dan tidak ada agama
yang bakal diterima oleh Allah, Tuhan Yang Mahaesa, kecuali Islam
dalam pengertian ini. Tunduk dan patuh dengan tulus kepada Allah
dalam semangat penuh pasrah dan tawakal serta percaya itulah inti
makna hidup kita. Karena pentingnya masalah ini untuk kita hayati
kembali sebagai sikap keagamaan yang benar sepanjang sejarah, dan
karena itu juga pasti benar dalam zaman modern dengan ilmu dan
teknologinya serta pola ekonomi industiilnya, maka patut sekali
kita memahami lebih mendalam masalah ini, dengan memeriksa
keterangan para pemegang otoritas di kalangan kaum ulama, seperti
Ibn Taimiyyah. Tentang hakikat agama itu, Ibn Taimiyah menjelaskan cukup panjang demikian:
Sebenarnya, hakikat agama, yaitu agama Tuhan Seru sekalian alam,
ialah apa (inti ajaran) yang disepakati (ajaran yang sama) antara
para Nabi dan Rasul, sekalipun bagi setiap Nabi dan Rasul itu ada
syir‘ah dan minhāj (tersendiri). Syir‘ah adalah syariat; firman Allah
Ta‘ālā: “Untuk setiap (kelompok) dari antara kamu sekalian telah
Kami tetapkan syir‘ah dan minhāj,” (Q 5:48). Dan Allah berfirman,
“Kemudian Kami tetapkan engkau (Muhammad) di atas sebuah syariat
dari perkara (agama) itu, maka ikutilah dia dan janganlah engkau
6
7
Ibid., h. 211. Perhatikan juga catatan kaki oleh Dr. Khalil Harras.
Ibid., h. 312.
D 13 E
F NURCHOLISH MADJID G
mengikuti keinginan mereka yang tidak mengerti. Mereka itu tidak
akan membuatmu lepas dari (azab) Allah sedikit pun, dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu menjadi pelindung sesama mereka
sendiri, dan Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang bertakwa,”
(Q 45:18). Dan “minhāj” artinya adalah “tharīq”, seperti firman
Allah, “Kalau saja mereka itu teguh berjalan di atas ‘tharīqah’ maka
pasti bakal Kami limpahkan pada mereka air (rahmat) yang melimpah
ruah, agar Kami uji mereka berkenaan dengan rahmat itu. Barangsiapa
berpaling dari peringatan Tuhannya, maka Dia akan mendorongnya
ke azab yang berat,” (Q 72:16). Syir‘ah adalah sebanding dengan
syarī‘ah (air mengalir) pada sungai, dan minhāj adalah jalan yang
dilalui oleh air itu. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai itulah
hakikat agama, yaitu penyembahan (ibadat) hanya kepada Allah semata, tanpa sekutu. Itulah hakikat Islam, yaitu hendaknya seorang
hamba berpasrah diri (yastaslimu) hanya kepada Allah Seru sekalian
alam, dan tidak berpasrah diri kepada yang lain. Barangsiapa pasrah
kepada yang lain maka ia adalah orang musyrik. Dan Allah tidak
mengampuni jika Dia dipersekutukan. Barangsiapa tidak pasrah
kepada Allah, bahkan ia menjadi sombong dari beribadat kepadaNya, maka ia termasuk yang difirmankan Allah, “Sesungguhnya
mereka yang sombong dari beribadat kepada-Ku, mereka akan masuk
jahanam dalam keadaan terhina,” (Q 40:60).
Agama Islam adalah agama orang-orang terdahulu dari kalangan
para Nabi dan Rasul, dan firman Allah, “Barangsiapa menganut
selain Islam sebagai dīn maka ia tidak akan diterima”, adalah bersifat
umum untuk segala zaman dan tempat. Maka Nuh, Ibrahim, Ya‘qub,
al-asbāth (para Nabi dari suku-suku Bani Israil), Musa, Isa, kaum
Hawārîyūn (para Sahabat Nabi Isa) semua mereka itu, agama mereka
adalah al-Islâm, yaitu ibadat kepada Allah semata tanpa sekutu bagiNya. Tentang Nuh Allah berfirman, “Wahai kaumku! Jika terasa berat
atas kamu kedudukanku dan peringatanku tentang ayat-ayat Allah ini
maka aku hanya bertawakal kepada Allah. Karena itu kumpulkanlah
kekuatanmu...,” (Q 10:71). Firman Allah lagi, “Tidak ada yang benci
kepada agama Ibrahim kecuali orang yang membodohi dirinya sendiri.
D 14 E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
Dan Kami telah memilihnya di dunia, dan di akhirat pastilah dia
termasuk orang-orang saleh. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya,
‘Pasrahlah engkau (aslim)!’ Ia menjawab, ‘Aku pasrah (aslamtu) kepada
Tuhan Seru sekalian alam.’ Dengan ajaran itu Ibrahim dan Ya‘qub
berpesan kepada anak-anaknya, ‘Wahai anak-anakku, sesungguhnya
Allah telah memilihkan agama untukmu sekalian. Maka janganlah
kamu sampai mati kecuali sebagai orang-orang yang pasrah (melakukan
islâm, muslimūn,’” (Q 2:130). Juga firman Allah, “Musa berkata
kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku, jika benar-benar beriman kepada
Allah maka bertawakallah kepada-Nya, kalau kamu memang orangorang yang pasrah (muslimūn) kepada-Nya’,” (Q 10:84). Para ahli
sihir (musuh Nabi Musa di Mesir, yang kemudian beriman) berkata, “Wahai Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami ketabahan,
dan wafatkanlah kami sebagai orang-orang yang pasrah (muslim),”
(Q 7:126). Yusuf as berkata, “(Ya Tuhan), Wafatkanlah aku sebagai
orang yang pasrah (muslim-an) (kepada Engkau), dan pertemukanlah
aku dengan orang-orang yang saleh,” (Q 12:101). Bilqis (Ratu Saba’)
berkata, “Bersama Sulaiman aku pasrah kepada Tuhan seru sekalian
alam,” (Q 27:44). Allah berfirman (tentang kitab Taurat), “Dengan
dia (Taurat) itu para Nabi yang pasrah (aslamū) untuk mereka
yang beragama Yahudi, begitu pula para pendeta dan para sarjana
(Yahudi),” (Q 5:44). Kaum Hawārîyūn berkata, “Kami beriman
kepada Allah dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang
pasrah (muslimūn),” (Q 3:52).
Jadi agama para Nabi adalah satu, meskipun syariatnya berbedabeda, sebagaimana disebutkan dalam hadis shahîhayn (BukhariMuslim), dari Nabi saw “Sesungguhnya kami para Nabi, agama
kami adalah satu.” Allah berfirman, “Dia (Allah) mensyariatkan
bagi kamu, tentang agama, apa yang dipesankan kepada Nuh, dan
yang Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad), dan yang Kami
pesankan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu, tegakkanlah olehmu
semua agama itu, dan janganlah kamu berpecah-belah mengenainya.
Terasa berat bagi kaum musyrik apa yang engkau (Muhammad) serukan
ini,” (Q 42:13). Dan Allah berfirman, “Wahai para Rasul, makanlah
D 15 E
F NURCHOLISH MADJID G
rezeki yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Aku
mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini (semua)
umatmu adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu sekalian,
maka bertakwalah kamu kepada-Ku. Kemudian mereka (para pengikut
para Rasul itu) terpecah-belah menjadi berbagai golongan, setiap
golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka,” (Q 23:53).8
Jadi para Nabi itu semuanya, beserta para pengikut mereka,
tanpa kecuali disebutkan oleh Allah Ta‘ālā bahwa mereka itu adalah
orang-orang yang pasrah (muslimūn). Ini merupakan penjelasan
bahwa firman Allah, “Dan barangsiapa menganut selain al-Islâm
sebagai agama maka tidak akan diterima daripadanya dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang merugi,” (Q 3:58), dan firman
Allah, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah al-Islâm,” (Q 3:19),
(semuanya itu) tidaklah khusus untuk (golongan) manusia yang
Nabi Muhammad saw diutus kepada mereka, melainkan hal itu
merupakan hukum umum tentang golongan yang terdahulu dan
yang kemudian. Karena itulah Allah berfirman, “Dan siapalah
yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang memasrahkan
(asalama) dirinya kepada Allah dan dia itu berbuat baik, serta mengikuti agama Ibrahim secara hanīf (mengikuti naluri kesucian). Allah
mengangkat Ibrahim itu sebagai kawan dekat (khalīl),” (Q 4:125).
Allah juga berfirman, “Mereka berkata, tidak akan masuk surga
kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani. Katakan (Muhammad),
‘Berikan buktimu kalau kamu memang benar.’ Sungguh orang yang
memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah dan dia itu berbuat
baik, maka ia mendapat pahalanya di sisi Tuhannya, dan tiada takut
pada mereka [yang seperti itu] dan tidak pula mereka khawatir,” (Q
2:111-112).9
Ibn Taimîyah, al-Furqân bayna Awliyâ’ al-Rahmân wa Awliyâ’ al-Syaythân
(Riyadl: Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Da‘wah wa al-Irsyâd, t.th.), h. 9799.
9
Ibn Taimîyah, al-Jawâb al-Shahîh li man Baddala Dîn al-Masîh, 4 jilid
(Jeddah: Mathabi’ al-Majd al-Tijariyah, t.th.), jil. 1, h. 228-229.
8
D 16 E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
Karena itulah Nabi saw bersabda dalam hadis sahih, “Kami, golongan para Nabi, agama kami adalah satu, dan para Nabi adalah
saudara tunggal ibu, dan bahwa yang paling berhak atas (Isa) Putra
Maryam adalah aku, dan sesungguhnya tidak ada Nabi antara dia
dan aku.”10
... Banyak orang bertikai pendapat tentang golongan terdahulu dari
kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orangorang muslim? Ini adalah pertikaian segi lafal (nizā‘ lafzhī) saja. Sebab
“Islam khusus” (al-Islâm al-khāshsh) yang untuk membawanya Allah
telah mengutus Nabi Muhammad saw, dan yang mencakup syariat
al-Qur’an tidaklah berlaku kecuali untuk umat Nabi Muhammad
saw. “Islam” pada hari ini secara mutlak ada dalam pengertian itu.
Sedangkan “Islam umum” (al-Islâm al-‘āmm) yang meliputi setiap
syariat yang oleh Allah diutus seorang Nabi, maka mencakup Islamnya
setiap umat yang mengikuti seorang Nabi mana pun dari kalangan
para Nabi itu. Dan pangkal Islam (baik yang khusus maupun yang
umum) ialah persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (Tuhan
Yang Sebenarnya, Satu-satunya yang boleh dan harus disembah), dan
dengan persaksian itulah semua Rasul dibangkitkan, sebagaimana
firman Allah: “Sungguh Kami (Allah) telah bangkitkan dalam setiap
umat seorang Rasul, (untuk menyerukan), ‘Hendaknya kamu semua
hanya menyembah Allah, dan hindarkanlah kekuatan jahat (thāghūt),’”
(Q 16:36), dan firman-Nya: “Dan Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang Rasul pun melainkan Kami
wahyukan kepada mereka bahwasanya tidak ada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku saja,” (Q 21:25).11
.... Akan tetapi Nabi Muhammad saw dilebihkan oleh Allah atas
segala para Nabi, dan umatnya dilebihkan atas sekalian umat, tanpa
Ibn Taimîyah, al-Risâlah al-Tadammurîyah (Kairo: al-Mathba‘ah alSalafiyah, 1387 H), h. 53.
11
Ibid., h. 55.
10
D 17 E
F NURCHOLISH MADJID G
sikap mencela kepada seorang pun dari para Nabi itu, tidak juga
kepada umat-umat yang mengikuti mereka.12
Begitulah beberapa kutipan tentang makna Islâm sebagai hakikat dīn-u ’l-Lāh. Kiranya keterangan itu mempertegas untuk
kita apa makna dan tujuan hidup kita dengan Islam itu, yaitu
Allah, demi perkenan dan rida-Nya. Dalam rangka usaha menuju
kepada kehidupan beragama yang lebih mendalam, prinsipil, dan
esensial, pengertian-pengertian itu agaknya sangat perlu direnungkan dan diresapkan kembali. Ini sejalan dengan “gugatan” dalam
al-Qur’an, “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman
untuk menjadi khusyū‘ hati mereka dengan ingat (dzikr) kepada
Allah, dan (untuk merenungkan) kebenaran yang telah turun?!” (Q
57:16).
(3) Prasarana Sosio-Kultural
Pembangunan bangsa kita untuk menuju kepada taraf hidup yang
lebih tinggi dan maju di segala bidang memerlukan prasarana
sosial dan kultural tertentu yang bakal menopang terjaminnya
keberhasilan proses-proses pembangunan itu sendiri. Prasarana itu
juga harus bersifat mendukung pola-pola hubungan sosial yang
menjadi akibat logis masyarakat industrial, yaitu pola hubungan
patembayan (gesellschaft). Ekses-ekses negatif pola hubungan sosial
serupa sudah sering dibicarakan, seperti, misalnya, mengendornya
“gotong royong” dan meningkatnya “individualisme.” Tetapi
karena merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindari, maka
hubungan sosial tersebut justru harus diusahakan pengarahannya
begitu rupa sehingga ekses negatifnya dapat diminimalkan dan
segi positifnya dapat dikembangkan. Di sini akan dibuat tinjauan
singkat tentang apa yang kiranya dapat dilakukan oleh umat Islam
dan para pemukanya berkenaan dengan partisipasi mereka dalam
menciptakan prasarana sosio-kultural yang dikehendaki itu.
12
Ibn Taimiyah, al-Îmân, h. 298.
D 18 E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
a. Pengembangan Kesadaran Hukum
Tidak ada bangsa yang maju tanpa kesadaran hukum yang tinggi dari seluruh warganya. Berkenaan dengan ini, ada semacam
optimisme pada bangsa kita, berdasarkan kenyataan bahwa
sebagian besar bangsa kita adalah Muslim. Sebab Islam adalah
agama yang sejak dari semula mengajarkan taat kepada hukum,
dengan berpangkal dari ketaatan kepada hukum keagamaan,
dan ketaatan kepada hukum dari Allah adalah bagian dari sikap
pasrah (Islâm) kepada-Nya. Semangat ajaran yang menaati
hukum itu dapat dikembangkan secara modern, sehingga mencocoki tuntutan zaman sekarang.
Harapan dalam hal ini menjadi semakin besar karena
para tokoh ahli hukum kita seperti Dr. Baharuddin Lopa,
Prof. Bustanul Arifin, Bismar Siregar, Ismail Saleh (ketika itu
sebagai Menteri Kehakiman), Padmo Wahyono (almarhum)
pernah dalam caranya masing-masing menyatakan bahwa
pembangunan hukum nasional Indonesia harus memperhatikan
aspirasi kehukuman yang hidup dalam masyarakat luas, dan
itu berarti aspirasi hukum Islam. Dr. Baharuddin Lopa,
misalnya, pernah menyatakan bahwa KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana) nasional yang akan datang akan
berdasarkan unsur-unsur hukum Islam sebanyak 70 persen.13
Dan kedudukan Pengadilan Agama yang diperbaiki, kemudian
usaha kompilasi hukum Islam yang dilakukan pemerintah kita,
dan pendidikan para ahli hukum Islam yang terus ditingkatkan,
merupakan titik-titik perkembangan ke arah terwujudnya suatu
kesadaran hukum di kalangan masyarakat luas, yang kesadaran
itu akan menjadi lebih mendalam dan tulus daripada yang ada
sekarang.
Lihat berita di koran berbahasa Inggris, Jakarta Post, 5 Oktober 1987,
dengan judul “Future Penal Court Mostly Based on Islamic Tenets” (Hukum
pidana yang akan datang sebagian be¬sar akan berdasarkan ajaran-ajaran
Islam).
13
D 19 E
F NURCHOLISH MADJID G
Untuk memperoleh orientasi hukum yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman namun tetap setia kepada semangat asasi
ajarannya, umat Islam perlu menggali kembali perbendaharaan
intelektual Islam di bidang hukum itu untuk kemudian dijadikan bahan penyusunan hukum yang lebih relevan terhadap
zaman dan bersifat nasional. Hal itu dapat dilakukan dengan
mempelajari segi dinamis perbendaharaan hukum itu, yaitu
segi yang melatarbelakangi dan melandasi prinsip berpikir dan
metodologinya dalam pendekatan kepada masalah-masalah
kehukuman itu, yang dahulu telah dirintis oleh para mujtahid
besar seperti Imam Syafi‘i dengan idenya tentang ushūl al-fiqh
(prinsip-prinsip yurisprudensi) dalam Islam. Maka sungguh
relevan dengan masalah ini ide Syuriah NU dalam pertemuan
di Tambakberas, Jombang, beberapa waktu yang lalu, yang
hendak mengembangkan penganutan suatu mazhab yang tidak
lagi menitikberatkan kepada qawl (pendapat ad hoc), melainkan
lebih menekankan segi metodologis (manhaj) yang dinamis.
Melalui pendekatan ushul fiqih maka proses abstraksi dan
generalisasi bahan-bahan spesifik hukum Islam dapat dilakukan
sehingga mencapai tingkat yang tinggi, dan dengan begitu juga
menjadi universal (dalam arti dapat berlaku dan bermanfaat
untuk semua orang dan semua kelompok, tanpa memandang
perbedaan agama mereka). Contoh untuk ini ialah ajaran atau
hukum musyawarah, yang sekalipun merupakan ajaran atau
hukum yang berasal dari Islam namun kini diterima sebagai
nilai nasional yang tinggi dan memberi manfaat kepada semua
warga negara tanpa peduli agama yang dianutnya.
Dalam soal kajian hukum Islam atau fiqih, masalah manhaj
adalah dengan sendirinya masalah ushul fiqih. Suatu temuan
yang benar-benar kreatif dan orisinal, ushul fiqih dapat dikembangkan menjadi dasar teori tindakan praktis dan realistis.
Berpikir dan bertindak dengan menuruti garis filsafat hukum
seperti terumuskan dalam kaedah-kaedah ushul fiqih akan
membuat umat Islam, khususnya para ahli hukumnya, menjadi
D 20 E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
dinamis dan progresif, serta senantiasa mampu menemukan
jalan pemecahan bagi masalah-masalah sesulit apa pun. Sudah
tentu masalah ini adalah kompleks sekali dan menyangkut pemahaman yang mendalam. Namun demikian, jika kita coba
telaah secara serius, rumusan ushul fiqih yang menjadi filsafat
pembentukan fiqih ternyata memiliki relevansi yang amat
tinggi dengan tuntutan kehidupan di zaman modern.14
b. Pengembangan Etos Kerja
Banyak sudah pembahasan mengenai etos kerja di negeri kita
ini yang cenderung bernada memprihatinkan. Berbagai ilustrasi
dikemukakan orang tentang rendahnya etos kerja bangsa kita
secara keseluruhan. Tentu saja banyak teori tentang etos kerja
ini, dan perbedaan pendapat tentang masalah itu juga sering
muncul. Tampaknya memang masalah ini tidaklah sederhana.
Tetapi di antara kita yang merasa ikut memikul beban tanggung
jawab dalam masalah ini secara moral dituntut untuk berbuat
sesuatu dalam menyumbang mencari pemecahannya.
Barangkali kita dapat memulai pembicaraan dengan
menegaskan kembali apa yang sudah kita ketahui bersama,
yaitu bahwa Islam adalah agama amal atau kerja (praxis).
Intinya ialah ajaran bahwa hamba mendekati dan berusaha
memperoleh rida Allah melalui kerja baik atau amal saleh, dan
dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya
(Q 18:110). Berkaitan dengan itu adalah penegasan tentang
adanya tanggung jawab pribadi yang mutlak kelak di akhirat
tanpa ada kemungkinan pelimpahan “pahala” atau “dosa”
kepada orang lain, dan berdasarkan apa yang telah diperbuat
oleh diri perorangan yang bersangkutan sendiri. Firman Allah,
“Belumkah disampaikan berita tentang apa yang ada dalam
14
Kaedah-kaedah ushul fiqih yang memiliki relevansi yang sangat tinggi
di zaman modern ini bisa dilihat dalam al-Syaikh Ahmad ibn al-Syaikh
Muhammad al-Zarqâ’, Syarh al-Qawâ‘id al-Fiqhîyah (Damaskus: Dar al Qalam,
1989 M/1409 H).
D 21 E
F NURCHOLISH MADJID G
lembaran-lembaran suci Musa, dan Ibrahim yang setia? Yaitu
bahwa tidak seorang pun yang berdosa bakal menanggung dosa
orang lain, dan bahwa tidaklah seseorang mendapatkan sesuatu
apa pun kecuali yang ia sendiri usahakan,” (Q 53:38). Jadi, dalam
jargon modern, Islam adalah “achievement-oriented”. Tetapi,
berlawanan dengan itu semua, sering dikemukakan penilaian
negatif bahwa umat Islam menderita penyakit fatalisme
atau paham nasib. Jelas sekali bahwa membuat generalisasi
penilaian serupa itu untuk seluruh umat Islam tidaklah dapat
dibenarkan. Hanya saja, dalam rangka polemik klasik antara
paham “jabariyah” dan “qadariyah” yang di banyak kalangan
Islam masih berlangsung sampai sekarang, sikap-sikap yang
mengarah kepada jabariyah memang sering diketemukan.15
Akan tetapi di kalangan kaum Sunni, para pengikut mazhab
Hanbali menunjukkan kecenderungan lebih “qadari”.16
Dari berbagai literatur yang banyak dikenal dalam kitabkitab menunjukkan bahwa dalam masyarakat kita terdapat
suatu potensi fatalisme, sebagaimana juga tersedia bahan yang
dapat digunakan untuk menghapus potensi itu. Sudah tentu
akan merupakan kesimpulan yang gegabah jika kita katakan
bahwa karena adanya bahan-bahan tersebut maka masyarakat
kita bersifat fatalis. Seringkali terdapat kesenjangan antara
ajaran yang tercantum dalam teks dan kenyataan sosial. Maka
sekalipun teks menyatakan hal-hal yang fatalistis itu, namun
tidak mustahil masyarakat tetap aktif, tidak terpengaruh
oleh doktrin yang membuat orang menjadi pasif itu. Dan
harus ditambahkan kepada kenyataan ini adanya berbagai
tafsiran terhadap teks serupa itu, yang tasiran itu kemudian
Ibrahim al-Laqqani, Jawharat aliTawhîd (dengan terjemah dan syarah
dalam bahasa Jawa oleh K.H. Muhammad Shalih ibn Umar Samarani), tanpa
data penerbitan, h. 149-150.
16
Ibn Taimiyah, dikutip oleh ‘Abd al-Salâm Hasyim Hafizh, al-Imâm Ibn
Taimiyah (Kairo: al-Halabi, 1969 M/1389 H), h. 15.
15
D 22 E
F REORIENTASI WAWASAN PEMIKIRAN KEISLAMAN G
menghasilkan pandangan hidup yang lebih aktif dan kurang
fatalis.17
Para pemuka Islam, dalam rangka reorientasi wawasan
pemikiran keislaman yang lebih responsif kepada tantangan
zaman, dituntut untuk mampu menemukan, mengemukakan,
dan mengembangkan tafsiran-tafsiran dinamis serupa itu.
c. Menanggulangi Ekses Perubahan Sosial
Indonesia adalah negeri yang sedang mengalami perubahan
sosial yang amat cepat, bahkan dengan laju perkembangan yang
lebih cepat daripada negara-negara tetangganya, sebagaimana
dikemukakan oleh Prof. Habibie yang telah dikutip di atas.
Dan perubahan sosial di Indonesia dapat juga dipandang
sebagai tidak lain dari kelanjutan perubahan yang melanda
dunia, akibat globalisasi. Perubahan ini akan berlangsung terus,
bahkan dengan laju yang mungkin semakin cepat dan ukuran
atau sekala yang semakin besar.
Setiap perubahan sosial dengan laju dan skala yang besar
tentu akan mengakibatkan krisis yang besar pula. Krisis itu
antara lain bersumber dari goyahnya sistem nilai yang selama
ini diterima dan dihayati sebagai dengan sendirinya absah dan
tidak perlu dipersoalkan lagi (misalnya, nilai-nilai masyarakat
agraris yang paguyuban). Kegoyahan itu terjadi karena sistem
nilai itu dirasakan tidak lagi relevan atau responsif terhadap
keadaan yang telah berubah (misalnya, terhadap pola hubungan
sosial masyarakat industrial yang sudah menjadi patembayan,
dengan ciri-ciri hubungan zaklijk atau business like).
Di negeri-negeri Barat krisis-krisis itu mendorong terjadinya
arus pencarian makna hidup yang lebih spiritualistik, sehingga
tumbuh bermacam-macam “aliran kepercayaan”, sebagian dari
hal itu ialah apa yang disebut “Go East”, mencari pola-pola penghayaan spiritual yang Indic. Karena watak Islam yang berbeda
17
Ibid., h. 319-320.
D 23 E
F NURCHOLISH MADJID G
dari agama-agama di sana, maka mungkin dapat diharap bahwa
gelombang “Go East” itu tidak akan terjadi di Indonesia.
Namun tidak berarti bahwa keperluan semakin banyak orang
Muslim ke arah penghayatan keagamaan yang lebih esoterik itu
tidak ada. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya orang yang
tertarik kepada ajaran-ajaran tasawuf. Karena itu ajaran-ajaran
yang lebih esoterik ini sekarang harus diberi porsi perhatian
yang lebih besar, sehingga dapat diharapkan akan menjadi
faktor pengimbang bagi pola kehidupan masyarakat industrial
modern yang serba-materialistik.
Sebagai catatan terakhir perlu kiranya kita tegaskan kembali
beberapa hal yang menjadi orientasi wawasan pemikiran keislaman sebagai suatu upaya mencari kemungkinan bentuk
peran tepat — terutama — bagi umat Islam Indonesia di abad
XXI yang beberapa tahun lagi akan tiba. []
D 24 E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
KERUKUNAN DAN KERJASAMA
ANTARUMAT BERAGAMA DALAM
PENGEMBANGAN UNSUR ETIKA
SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA
Oleh Nurcholish Madjid
Sebelum judul di atas ini menyesatkan, rasanya perlu dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan unsur etika dalam sumber daya manusia di sini bukanlah bagaimana membina sumber daya manusia
secara etis dan berakhlak — meski hal ini pun sungguh amat penting
— tetapi apa peranan etika dalam hakikat sumber-daya-manusia
atau “ke-SDM-an”. Dengan kata lain, sub-bab ini akan mencoba
membahas bahwa dalam hakikat sumber daya manusia tidak hanya
penting diperhatikan masalah keahlian sebagaimana yang telah
umum dipahami dan diterima, tetapi juga penting diperhatikan
masalah etika atau akhlak dan keimanan pribadi-pribadi yang bersangkutan. Jadi, sebagaimana benar bahwa SDM yang bermutu
ialah yang mempunyai tingkat keahlian yang tinggi, juga tidak
kurang benarnya bahwa SDM tidak akan mencapai tingkat yang
diharapkan jika tidak memiliki pandangan dan tingkah laku etis
dan moral yang tinggi berdasarkan keimanan yang teguh.
Biar pun pernyataan seperti di atas itu tentu terdengar sebagai
klisé (dan orang barangkali akan segera berasosiasi dengan khutbahkhutbah di tempat-tempat ibadat), namun kiranya masih tetap
harus sempat dibicarakan dengan serius dan mendalam. Berkenaan
dengan ini barangkali para cendekiawan dengan aspirasi keagamaan
mempunyai posisi yang sedikit lebih memungkinkan daripada yang
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
lain-lain, satu dan lain hal karena masalah etika dan moral yang
kukuh biasanya menyangkut masalah makna dan tujuan hidup,
atau apa yang disebut “the problem of ultimacy.” Dan makna dan
tujuan hidup itu, tidak lagi dapat dibantah, untuk sebagian besar
umat manusia bersumber dalam ajaran-ajaran keagamaan, melalui
sistem keimanan dan amal perbuatan yang dibawanya.
Asas Kerukunan Antarumat Beragama
Mendiskusikan masalah asas kerukunan antarumat beragama, berarti langsung atau tidak langsung kita telah mengasumsikan adanya kemungkinan berbagai penganut agama bertemu dalam suatu
landasan bersama (common platform). Maka sekarang pertanyaannya
ialah, adakah titik-temu agama-agama itu?
Pertanyaan yang hampir harian itu kita ketahui mengundang
jawaban yang bervariasi dari ujung ke ujung, sejak dari yang tegas
mengatakan “ada”, kemudian yang ragu dan tidak tahu pasti secara
skeptis atau agnostis, sampai kepada yang tegas mengingkarinya.
Mungkin, mengikuti wisdom lama, yang benar ada di suatu posisi
antara kedua ujung itu, berupa suatu sikap yang tidak secara simplistik meniadakan atau mengadakan, juga bukan sikap ragu dan
penuh kebimbangan.
Karena kita bangsa Indonesia sering membanggakan — atau
dibanggakan — sebagai bangsa yang bertoleransi dan berkerukunan
agama yang tinggi, maka barangkali cukup logis jika jawaban atas
pertanyaan di atas kita mulai dengan suatu sikap afirmatif. Sebab
logika toleransi, apalagi kerukunan, ialah saling pengertian dan
penghargaan, yang pada urutannya mengandung logika titik-temu,
meskipun, tentu saja, terbatas hanya kepada hal-hal prinsipil. Halhal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik, tentu
sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya
masing-msing kelompok intern suatu agama tertentu sendiri, mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat esoterik, yakni, “hanya
D2E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
berlaku secara intern”. Karena itulah ikut-campur oleh seorang
penganut agama dalam urusan rasa kesucian orang dari agama lain
adalah tidak rasional dan absurd. Sebagai misal, agama Islam melarang para penganutnya berbantahan dengan para penganut kitab
suci yang lain melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk
menjaga kesopanan dan tenggang rasa — disebutkan kecuali terhadap yang bertindak zalim — dan orang Islam diperintahkan untuk
menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang
berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Mahaesa
dan sama-sama pasrah kepada-Nya.1 Bahkan biarpun sekiranya
kita mengetahui dengan pasti bahwa seseorang lain menyembah
sesuatu obyek sesembahan yang tidak semestinya, bukan Tuhan
Yang Mahaesa (sebagai sesembahan yang benar), kita tetap dilarang
untuk berlaku tidak sopan terhadap mereka itu. Sebab, menurut
al-Qur’an, sikap demikian itu akan membuat mereka berbalik
berlaku tidak sopan kepada Tuhan Yang Mahaesa, sesembahan
yang benar, hanya karena dorongan rasa permusuhan dan tanpa
pengetahuan yang memadai.2 Terhadap mereka ini pun pergaulan
1
Dalam al-Qur’an larangan itu lengkapnya diungkapkan demikian:
“Kamu janganlah berbantahan dengan para penganut kitab suci (yang lain)
melainkan dengan sesuatu (cara) yang lebih baik (sopan, tenggang rasa, dan lainlain), terkecuali terhadap orang-orang yang zalim dari mereka. Dan nyatakanlah,
‘Kami beriman dengan ajaran [kitab suci] yang diturunkan kepada kami dan
yang diturunkan kepada kamu. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Satu, dan kita
(semua) pasrah (muslimûn) kepada Nya,’” (Q 29:46).
Dalam konteks al-Qur’an para penganut kitab suci yang lain itu ialah
kaum Yahudi dan Nasrani. Tetapi Nabi saw dan para sahabat, kemudian
diteruskan oleh para ulama, sejak dari yang klasik sampai yang modern,
memberlakukan ketentuan itu untuk para penganut agama lain seperti para
pemeluk Zoroastrianisme, Hinduisme, Budhisme, Konfusianisme, Shintoisme,
dan lain-lain. Sebab Tuhan telah mengutus utusan ke setiap bangsa atau umat,
yaitu para pengajar kebenaran atau kearifan (wisdom, hikmah) sebagian dari
para utusan dituturkan dalam al-Qur’an dan sebagian tidak.
2
Tentang hal amat penting ini, yang tidak banyak disadari oleh para penganut agama sendiri, dijelaskan dalam al Qur’ân demikian:
“Kamu janganlah mencela mereka yang menyeru selain Allah (al-Lâh, alIlâh, Sesembahan yang sebenarnya), sebab mereka akan mencela Allah karena rasa
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
duniawi yang baik tetap harus dijaga, dan di sini berlaku adagium
“bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”3 Ungkapan ini bukanlah
pernyataan yang tanpa peduli dan rasa putus asa, melainkan karena
kesadaran bahwa agama tidak dapat dipaksakan, dan bahwa setiap
orang, lepas dari soal agamanya apa, tetap harus dihormati sebagai manusia sesama makhluk Tuhan Yang Mahaesa. Sebab Tuhan
sendiri pun menghormati manusia, anak cucu Adam di mana saja
(ihat Q 7:70).
Sementara demikian itu ajaran tentang hubungan dan pergaulan
antarumat beragama — suatu hubungan dan pergaulan berdasarkan
pandangan bahwa setiap agama dengan idiom atau syir‘ah dan minhāj
masing-masing mencoba berjalan menuju kebenaran4 — maka para
permusuhan tanpa dasar pengetahuan. Begitulah Kami (Allah) buat indah (dibuat
indah bagaikan perhiasan) untuk setiap umat segala perbuatan mereka, kemudian
kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka semua, dan Dia (Tuhan) akan
menjelaskan segala sesuatu yang telah mereka kerjakan,” (Q 6:108). Dengan
demikian, untuk setiap umat, perbuatan mereka, khususnya yang berkenaan
dengan keagamaan, akan selalu nampak dan dirasakan sebagai indah, baik-baik
saja, meskipun sesungguhnya — jika dilihat dari kacamata Islam — salah.
Maka ajakan kepada kebenaran, jika kita merasa yakin memiliki kebenaran
itu, harus dilakukan hanya dengan cara-cara yang penuh kebijakan, kearifan,
tutur kata yang baik, dan argumentasi yang masuk akal dan sopan—lihat juga
Q 16:125.
3 Lihat QS. al Kâfirûn/109:1-6.
4
Pandangan dasar bahwa Tuhan Yang Mahaesa telah menetapkan idiom,
metode, cara, dan jalan untuk masing-masing kelompok manusia sehingga
antara sesama mereka tidak dibenarkan terjadi saling menyalahkan dan
memaksa satu atas lainnya untuk mengikuti idiom, cara, metode, dan jalannya
sendiri, melainkan mereka hendaknya, berangkat dari posisi masing-masing,
berlomba-lomba meraih dan mewujudkan berbagai kebaikan, ditegaskan dalam
al Qur’ân demikian:
“Dan Kami (Tuhan) turunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci (alQur’an) sebagai pendukung kebenaran kitab suci yang ada sebelumnya dan untuk
menopang kitab suci itu. Maka jalankanlah hukm (ajaran bijak) antara mereka
menurut yang diturunkan Allah, dan janganlah mengikuti keinginan mereka
menjauh dari kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk masing-masing
dari antara kamu (umat manusia) telah Kami buatkan syir‘ah (jalan menuju
kebenaran) dan minhâj (metode pelaksanaannya). Seandainya Allah menghendaki
D4E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
penganut agama diharapkan dengan sungguh-sungguh menjalankan
agamanya itu dengan baik. Agaknya sikap yang penuh inklusivisme
ini harus kita pahami betul, demi kebaikan kita semua.
Bahwa setiap pemeluk agama diharapkan mengamalkan ajaran
agamanya dengan sungguh-sungguh, dari sudut pandang Islam
dapat dipahami dari sederetan firman Tuhan tentang kaum Yahudi,
Nasrani, dan Muslim sendiri. Kemudian untuk umat-umat yang
lain, seperti telah diteladankan oleh para ulama dan umara Islam
zaman klasik, dapat diterapkan penalaran analogis.
Untuk kaum Yahudi telah diturunkan Kitab Taurat yang
memuat petunjuk dan jalan terang, dan yang digunakan sebagai
sumber hukum bagi kaum Yahudi oleh mereka yang pasrah kepada
Tuhan, dan oleh para pendeta dan sarjana keagamaan mereka.
Mereka harus menjalankan ajaran bijak atau hukum itu. Kalau
tidak, mereka akan tergolong kaum yang menolak kebenaran (kafir)
(lihat Q 5:44). Juga diturunkan hukum yang rinci kepada kaum
Yahudi, seperti mata harus dibalas dengan mata, hidung dengan
hidung, dan telinga dengan telinga, dan mereka harus menjalankan
itu semua. Kalau tidak, mereka adalah orang-orang yang zalim
(lihat juga rangkaian ayat di atas, yaitu Q 5:45).
Kitab Taurat diturunkan Tuhan kepada kaum Yahudi lewat
Nabi Musa as. Sesudah Nabi Musa as dan para Nabi yang lain yang
langsung meneruskannya, Tuhan mengutus Isa al-Masih as dengan
Kitab Injil (Kabar Gembira). Para pengikut Isa al-Masih as menyebut
Injil itu “Perjanjian Baru”, berdampingan dengan Kitab Taurat
yang mereka sebut “Perjanjian Lama”. Kaum Yahudi, karena tidak
mengakui Isa al-Masih as dengan Injilnya, menolak ide perjanjian
“lama” dan “baru” itu, namun al-Qur’an mengakui keabsahan
tentulah Dia jadikan kamu sekalian (umat manusia) umat yang tunggal. Tetapi
(dibuat bermacam-macam) agar Dia uji kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal
(jalan dan metode) yang telah dianugerahkan kepada kamu itu. Maka berlombalombalah kamu sekalian menuju kepada berbagai kebaikan. Kepada Allah tempat
kembalimu sekalian, maka Dia akan menjelaskan kepadamu tentang hal-hal yang
telah pernah kamu perselisihkan,” (Q 5:48).
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
kedua-duanya sekaligus. Al-Qur’an juga mengatakan bahwa Injil
yang diturunkan kepada Isa al-Masih as itu menguatkan kebenaran
Taurat, dan memuat petunjuk dan cahaya serta nasehat bagi kaum
yang bertakwa. Para pengikut Injil diharuskan menjalankan ajaran
dalam Kitab Suci itu, sesuai dengan yang diturunkan Tuhan. Kalau
tidak, mereka adalah fâsiq (berkecenderungan jahat).5
Asas Kerjasama Antarumat Agama
Jika para penganut agama itu semua mengamalkan dengan sungguhsungguh ajaran agama mereka, maka Allah menjanjikan hidup
penuh kebahagiaan, baik di dunia ini maupun dalam kehidupan
sesudah mati nanti, di Akhirat. Suatu firman yang secara umum
ditujukan kepada semua penduduk negeri menjanjikan bahwa kalau
memang mereka itu benar-benar beriman dan bertakwa, maka
Tuhan akan membukakan berbagai berkah-Nya dari langit (atas)
dan dari bumi (bawah) (Q 7:96). Dan sebuah firman yang ditujukan
kepada para penganut kitab suci mana saja menyatakan bahwa
kalau mereka benar-benar beriman dan bertakwa maka Allah akan
mengampuni segala kejahatannya dan akan memasukkan mereka ke
dalam surga-surga kebahagiaan abadi (Q 5:65). Kemudian sebuah
firman yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan Kristen — yang
langsung atau tidak langsung menunjukkan pengakuan akan hak
eksistensi agama dan ajaran mereka — menjanjikan kemakmuran
yang melimpah-ruah “dari atas mereka [langit] dan dari bawah
kaki mereka [bumi]” jika mereka benar-benar menegakkan ajaran
Taurat dan Injil dan ajaran yang diturunkan kepada mereka dari
Tuhan (Q 5:66). Sementara itu, kaum Muslim — yang di negeri
Jadi setelah dituturkan perihal Nabi Musa as dan Kitab Taurat serta kaum
Yahudi, dituturkan pula perihal Nabi Isa al-Masih as dengan Kitab Injil-nya
dan kaum Nasrani yang menganutnya. Lalu ditegaskan bahwa kaum Nasrani
harus menjalankan ajaran kebenaran yang ada dalam Injil itu, sesuai dengan
yang telah diturunkan Tuhan (Q 5:46-47).
5
D6E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
ini kebetulan merupakan golongan terbesar — diajari untuk
beriman kepada kitab-kitab Taurat dan Injil, ditambah Zabur
Nabi Dawud as, dan kepada kitab suci mana pun. Hal ini dapat
disimpulkan dari suatu penegasan kepada Nabi Muhammad saw
bahwa beliau harus menyatakan beriman kepada kitab apa saja
yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Sikap ini ada dalam
rangkaian petunjuk dasar hubungan beliau dengan agama-agama
yang ada, yang berdasarkan kitab suci (Q 42:15).
Logika beriman kepada kitab suci mana pun yang telah diturunkan Tuhan ialah karena Tuhan telah mengutus Utusan yang
membawa ajaran kebenaran kepada setiap umat (Q 16:26), dan
sebagian dari para Utusan itu dituturkan dalam al-Qur’an, sebagian
lagi tidak (Q 40:78). Kemudian ajaran kebenaran itu memang
sebagian besar disampaikan secara lisan (sehingga kebanyakan Nabi
dan Rasul yang dituturkan dalam al-Qur’an pun tidak disebutkan
punya kitab suci), tapi sebagian lagi disampaikan dengan ditopang
kitab-kitab suci. Dan sebagaimana tidak semua Rasul dituturkan
dalam al-Qur’an, maka logis saja bahwa begitu pula halnya dengan
kitab-kitab suci, tidak semuanya disebutkan dalam al-Qur’an.
Pandangan serupa ini telah dikembangkan oleh para ulama Islam,
klasik maupun modern, seperti Rasyid Ridla yang mengatakan:
Yang tampak ialah bahwa al-Qur’an menyebut para penganut agamaagama terdahulu, kaum Sabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut
kaum Brahma (Hindu), Budha, dan para pengikut Konfusius karena
kaum Sabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi
sasaran mula-mula address al-Qur’an, karena kaum Sabi’in dan
Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain,
dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke
India, Jepang, dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan
yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan
agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu
membuat keterangan yang terasa asing (ighrāb) dengan menyebut
golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi address
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
pembicaraan itu di masa turunnya al-Qur’an, berupa penganut
agama-agama yang lain. Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka
(orang Arab) yang menjadi address pembicaraan (wahyu) itu bahwa
Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma,
Budha, dan lain-lain.6
Di zaman klasik, Ibn Taimiyah juga sudah terlibat dalam usaha
menjelaskan kepada anggota masyarakatnya masalah para pengikut
kitab suci ini, dengan penjelasannya yang sejalan dengan apa yang
kemudian dipertegas oleh Rasyid Ridla di atas itu.7 Tetapi lebih
6
Lihat pembahasan ini dalam rangkaian pembahasan yang cukup lengkap
oleh al-Sayyid Muhammad Rasyîd Ridla, dalam kitab tafsirnya yang terkenal,
Tafsîr al-Manâr, 12 jilid (Dar al-Fikr, t.th.), jil. 6, h. 185-190.)
7
Untuk pembahasan lebih lengkap tentang argumen Ibn Taimiyah ini,
lihat Ibn Taimiyah, Ahkâm al-Zawâj (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1408
H/1988 M), h. 188-190, sebagai berikut:
Sesungguhnya Ahli Kitab tidaklah termasuk ke dalam kaum musyrik.
Menjadikan (memandang) Ahli Kitab sebagai bukan kaum musyrik dengan
dalil firman Allah: “Sesungguhnya mereka yang beriman, dan mereka yang
menjadi Yahudi, kaum Sabi’in, kaum Nasrani, dan kaum Majusi serta mereka
yang melakukan syirik....,” (Q 22:17). Kalau dikatakan bahwa Allah telah
menyifati mereka itu dengan syirik dalam firman-Nya, “Mereka (Ahli Kitab)
itu mengangkat para ulama dan pendeta-pendeta mereka, serta Isa putra Maryam,
sebagai tuhan-tuhan selain Allah, padahal mereka tidaklah diperintah melainkan
agar hanya menyembah Tuhan Yang Mahaesa yang tiada tuhan selain Dia.
Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu,” (Q 9:31), maka karena
(Allah) menyifati mereka bahwa mereka telah melakukan syirik, dan karena
syirik itu adalah suatu hal yang mereka ada-adakan (sebagai bidah) yang tidak
diperintahkan oleh Allah, wajiblah mereka itu dibedakan dari kaum musyrik,
sebab asal-usul agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan (dari
Allah) yang membawa ajaran tauhid, bukan ajaran syirik. Jadi jika dikatakan
bahwa Ahli Kitab itu dengan alasan ini bukanlah kaum musyrik, karena
kitab suci yang berkaitan dengan mereka itu tidak mengandung syirik, sama
dengan jika dikatakan bahwa kaum Muslim dan umat Muhammad tidaklah
terdapat pada mereka itu [syirik] dengan alasan ini, juga tidak ada paham
ittihâdîyah (monisme), rafdlîyah (paham politik yang menolak keabsahan tiga
khalifah pertama), penolakan paham qadar (paham kemampuan manusia
untuk memilih, dapat juga yang dimaksudkan ialah qadar dalam arti takdir),
ataupun bidah-bidah yang lain. Meskipun sebagian mereka yang tergolong
D8E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
penting lagi ialah pendapat Ibn Taimiyah bahwa dalam kitab-kitab
suci terdahulu itu, di luar perubahan oleh tangan manusia yang
mungkin menyimpangkannya, sampai sekarang masih terdapat
unsur-unsur ajaran yang berlaku, termasuk untuk umat Islam.8
Ayatullah Khumaeni, pemimpin Revolusi Iran, juga berpendapat
sama, dengan menegaskan bahwa beriman kepada para Nabi
terdahulu tidak berarti sekadar mengetahui adanya para Nabi itu
dan membenarkan tugas mereka sebagai pengemban syariat, tetapi
jelas mengandung arti memikul atau menerima dan melaksanakan
umat [Islam] menciptakan bidah-bidah itu, namun umat Muhammad saw
tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Karena itu selalu ada dari mereka
orang yang mengikuti ajaran tauhid, lain dari kaum Ahli Kitab. Dan Allah
‘azzâ wa jallâ tidak pernah memberitakan tentang Ahli Kitab itu dengan nama
“musyrik”....).
8
Keterangan yang amat menarik dari Ibn Taimiyah itu demikian:
Jadi al-Qur’an itu dijadikan pelindung, dan pelindung itu ialah saksi
pemutus yang terpercaya. Maka dia (Nabi Muhammad saw) menjalankan hukm
dengan yang ada dalam (kitab-kitab suci terdahulu) itu selama belum di-naskh
(diganti) oleh Allah, dan dia bersaksi dengan menerima kebenaran ajaran yang
ada di dalamnya, selama belum diganti. Karena itulah Allah berfirman, “Untuk
masing-masing dari antara kamu sekalian telah Kami tetapkan syir‘ah (jalan) dan
minhâj (metode),” (Q 5:48).
... Pendek kata, Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung telah memberitakan
bahwa dalam Taurat yang ada setelah (Isa) al-Masih as terdapat hukm (ajaran
bijak) Allah....
... Hal itu menunjukkan bahwa dalam Taurat yang ada sesudah (Isa)
al-Masih terdapat hukm yang diturunkan Allah, yang mereka diperintahkan
untuk berhukum dengan hal itu. Demikian pula dapat dikatakan berkenaan
dengan Injil (yaitu bahwa di dalamnya terhadapat hukum dari Allah)... Karena
itu mazhab sebagian besar kaum salaf dan para imam ialah bahwa syara’ kaum
sebelum kita adalah juga syara’ bagi kita selama tidak terdapat syara’ kita yang
berbeda (Ibn Taimiyah, al-Jawâb al-Shahîh li man Baddala Dîn al-Masîh, 4
jilid [Beirut: Mathabi‘ al-Majd al-Tijariyah], jil. 1, h. 271-275.)
Dan kitab-kitab Injil yang ada di tangan kaum Nasrani sama dengan hal
itu, karena itu mereka (kaum Nasrani) diperintahkan untuk menjalankan
hukum yang ada di dalamnya. Sebab di dalamnya terdapat berbagai hukum
Allah, dan sebagian besar hukum-hukum yang ada di dalamnya itu lafalnya
tidak diubah, tetapi yang diubah ialah sebagian lafal-lafal berita dan sebagian
makna dari perintah-perintah....(Ibid., jil. 2, h. 18).
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
syariat mereka juga, sepanjang syariat itu bukan bagian yang
diabrogasikan oleh al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw.9
Masalah Etika:
dari Bukit Sinai ke Bukit Zaitun, terus ke Makkah
Kami merasa, dan khawatir, telah melakukan penjelajahan terlalu
jauh dalam wilayah teologis tentang asas-asas kerukunan, saling penghargaan, dan kerjasama antarumat berbagai agama. Tapi semoga
itu dibenarkan oleh perlunya membahas secukupnya hal tersebut,
mengingat hal yang amat mendasar itu tidak disadari oleh umat
beragama sendiri di zaman akhir ini, akibat masing-masing menjadi
tawanan (the captives) dari kepentingan-kepentingan jangka pendek
atau expediency, dan terlupa dari prinsip-prinsip. Penjelajahan di atas
itu pun dilakukan dengan cukup kesadaran tentang adanya sikapsikap skeptis terhadap peranan agama dalam kehidupan modern,
yaitu bila dipandang secara empiris-historis dalam abad-abad
terakhir ini. Kecenderungan apologetik mengatakan bahwa yang
salah bukanlah agamanya, melainkan para pemeluknya. Dengan
perkataan lain, para pemeluk agama telah mengalami alienasi dari
agamanya sendiri, atau agama menjadi terasa asing karena tidak
cocok dengan harapan penuh nafsunya (nafsu memusuhi, membenci,
menyerang, dan lain-lain akibat salah pengertian, kurangnya saling
berkomunikasi, atau karena warisan-warisan masa lalu yang tidak
terlalu jauh seperti zaman kolonial, dan seterusnya). Dalam Islam
9
Ayatullah Khumaeni mengatakan:
Sesungguhnya beriman kepada para Nabi tidaklah sekadar mengetahui
adanya mereka para Nabi itu semata dan mengakui kebenaran mereka sebagai
pembawa syariat, tetapi yang jelas dari hal itu ialah (keharusan) memikul syariat
mereka, sebagaimana hal itu tidak diragukan (Ayatullah Khumaeni, Ta‘lîqât
‘alâ Syarh Fushûsh al-Hikam wa Mishbâh al-Uns [Qum: Padâr é Islâm, 1410
H)], h. 184).
D 10 E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
sendiri, menurut sebuah sabda Nabi (hadis) juga ada peringatan
bahwa agama itu datang sebagai “hal yang aneh” dan nanti akan
kembali menjadi “hal yang aneh” lagi seperti semula. Maka para
pemikir Islam seperti Muhammad Abduh mengatakan bahwa “Islam
tertutup oleh kaum Muslim sendiri”, atau seperti dikatakan oleh
Karen Armstrong, berkenaan dengan kedudukan kaum wanita
dalam Islam sekarang, Islam, sama dengan agama Kristen, telah
“dibajak” oleh para pemeluknya sendiri dengan memberi tafsian
dan penalaran yang sesungguhnya tidak dimaksudkan oleh Kitab
Suci al-Qur’an.10 Kalau itu semua betul, maka bagaimana dengan
ide “memperkenalkan kembali” ajaran agama kepada para pemeluknya sendiri? Suatu kegiatan yang salah-salah akan tampil sangat
pretensius, namun tentu tidak ada jeleknya jika dicoba.
Di atas tadi disebutkan bahwa, menurut Ibn Taimiyah dan
Ayatullah Khumaeni — yang masing-masing mewakili secara
berturut-turut dunia pemikiran Islam Sunni-Hanbali dari zaman
klasik dan dunia pemikiran Islam Syi’i-Ja’fari dari zaman modern
— beriman kepada para Nabi berarti menerima dan mengikuti
ajaran mereka (“yang masih absah”, yakni, tidak terkena pembatalan
atau abrogasi, naskh). Maka yang langsung terkait dengan persoalan
etika sumber daya manusia di sini ialah inti ajaran agama-agama,
yang secara simbolik-representatif dicerminkan pada kontinuum
inti ajaran tiga agama Semitik (atau Abrahamik) Yahudi, Kristen,
dan Islam, dan yang secara prinsipil analog dengan inti ajaran
agama-agama yang lain di kalangan umat manusia. Inti ajaran
agama Semitik itu, setidaknya demikian menurut banyak ahli tafsir
al-Qur’an, menjadi dasar bagi adanya sumpah Ilahi dengan pohon
tin (Arab: tīn; Inggris: fig), pohon zaitun, bukit Sinai, dan negeri
yang sangat aman, Makkah.11
Karen Armstrong, A History of God (London: Mandarin, 1993), h.
184-185.
11
Sumpah Ilahi itu merupakan ayat pertama dalam al-Qur’an surat alTîn/95: “Demi (pohon) tîn, zaitun, bukit Sinai, dan negeri yang sangat aman
ini....”
10
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
Pohon tin adalah pohon yang umum tumbuh di sekitar daerah
Laut Tengah bagian timur, khususnya Palestina. Tuhan menyebutkan pohon itu sebagai isyarat kepada negeri itu, khususnya
Kanaan, sebagai negeri tempat Ibrahim memantapkan dirinya
dalam mengemban tugas membawa paham Ketuhanan Yang
Mahaesa kepada umat manusia (yang oleh Ibrahim, dengan
meminjam istilah masyarakat setempat saat itu, Tuhan Yang
Mahaesa itu disebut El — yakni, Tuhan atau Sesembahan — atau
El Elyon — yakni, Tuhan Yang Mahatinggi, Al-Lāh Ta‘ālā).12 Di
negeri itu pula Ibrahim, dalam usianya yang lanjut, dianugerahi dua
orang putra dari dua orang istri, yaitu Isma’il (Ishma-El, “Tuhan
telah mendengar”) dan Ishaq (Izaak, “Ketawa”), dan dari Ishaq
kemudian Ya‘qub (Israil, Isra-El, “hamba Tuhan”) tampil para
Nabi (al-Asbāth). Dan masih di Palestina pula — tempat banyak
tumbuh pohon zaitun — Isa al-Masih as tampil, dengan sari ajaran
yang disampaikannya dalam khutbah dari atas bukit Zaitun. Inilah
relevansi sumpah Allah dengan pohon atau bukit Zaitun itu.
Bukit Sinai (Arab: Thūr Sīnā) adalah bukit atau gunung tempat
Nabi Musa as menerima Sepuluh Perintah (The Ten Commandments,
al-Kalimāt al-‘Asyr) dari Tuhan yang merupakan perjanjian antara
Tuhan dengan kaum Israil (anak turun Israil atau Ya‘qub), dan
menjadi inti Kitab Taurat. Inilah inti dari apa yang oleh orang
Barat sering dinamakan pandangan hidup Judeo-Christian (YahudiKristen), yang dinilai sebagai dasar pandangan etis dan moral
peradaban Barat pada umumnya (mengenai isi “Sepuluh Perintah”
Tuhan, kami akan bahas di bagian kedua buku ini, berikut hubungannya dengan “Sepuluh Wasiat” Allah dalam al-Qur’an).
Sedangkan “negeri yang sangat aman”, yaitu Makkah, disebutkan sebagai acuan kepada kerasulan Nabi Muhammad saw. Agama
yang diajarkannya, sepanjang pandangan al-Qur’an sendiri, adalah
kelanjutan agama-agama sebelumnya, dan berhubungan dengan
semua agama Tuhan bagi seluruh umat manusia. Sebanding dengan
12
Armstrong, op. cit., h. 22.
D 12 E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
“Sepuluh Perintah” Tuhan lewat Nabi Musa as tersebut, al-Qur’an
memuat “Sepuluh Wasiat” (al-Washāyā al-‘Asyr) dari Tuhan kepada
umat manusia.
Unsur Etika dalam SDM Indonesia
Kita bangsa Indonesia biasa menyebutkan bahwa Pancasila adalah
sumber segala sumber pandangan kemasyarakatan dan kenegaraan
kita, karena ia adalah dasar negara. Sejajar dengan itu, kita juga
suka mengatakan bahwa sumber daya manusia Indonesia adalah
sumber daya manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
Lepas dari kenyataan bahwa ungkapan-ungkapan serupa
itu, lagi-lagi, terdengar sloganistik dan klise, namun jelas tetap
mengandung kebenaran. Masalahnya di sini ialah bagaimana
kita melihatnya secara relevan. Ini kita mulai dengan menyadari
bahwa nilai-nilai Pancasila adalah “titik-temu” semua pandangan
hidup yang ada di negeri kita, termasuk pandangan hidup yang
dirangkum oleh agama-agama. Dan nilai-nilai Pancasila itu, baik
potensial maupun aktual, telah terkandung dalam ajaran semua
agama yang ada (jika tidak, maka bagaimana mungkin kita
yang mendapatkan makna dan tujuan hidup dalam agama itu
dapat menerima nilai-nilai Pancasila). Oleh karena itu Pancasila
dapat dipandang sepenuhnya sebagai titik-temu agama-agama di
Indonesia juga. Dan karena mencari, menemukan, dan mengajak
kepada titik-temu antara umat yang berbeda-beda itu sendiri adalah
perintah agama,13 maka menemukan dan mengajak bersatu dalam
Pancasila adalah juga perintah agama.
13
Dalam al-Qur’an, perintah untuk menuju kepada titik-temu itu
dinyatakan dalam surat Âlu ‘Imrân/3:64, yang artinya ialah: “Katakanlah
(wahai Muhammad): ‘Wahai para pengikut kitab suci, marilah menuju ajaran
yang sama (kalîmah sawâ’) antara kami dan kamu sekalian, yaitu bahwa kita
tidak menyembah selain Allah, dan tidak memperserikatkan-Nya dengan apa pun
D 13 E
F NURCHOLISH MADJID G
Berdasarkan nuktah-nuktah yang telah dicoba paparkan di
atas tadi, maka kiranya jelas bahwa SDM tidaklah cukup hanya
menekankan keahlian dan keterampilan teknis semata. Betapa
pun pentingnya segi keterampilan dan keahlian teknis itu — dan
memang mustahil terwujud SDM dengan kemampun optimal
tanpa itu semua — namun, ditinjau dari sudut manusia secara
utuh keseluruhan, yang menjadi subyek pembangunan dan tidak
menjadi obyek pembangunan, maka keterampilan dan keahlian itu
semua nilainya adalah instrumental, bukan intrinsik. Karenanya
nilai yang bersifat instrumental itu semua harus “mengabdi” kepada
yang bernilai intrinsik, yaitu diwujudkan demi nilai kemanusiaan
itu sendiri, dan bukan sebaliknya, yaitu manusia dipandang sebagai
“berharga” hanya karena unsur keahlian dan keterampilannya
semata.
Bertitik tolak dari hal itu, dan berdasarkan bahwa semua penganut agama harus mengamalkan agamanya dengan baik, maka segi
etika SDM Indonesia, yaitu menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Keimanan dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Ini berarti
bahwa SDM Indonesia terwujud dari manusia Indonesia yang
menyadari tentang adanya asal dan tujuan hidup yang lebih
tinggi daripada pengalaman hidup duniawi atau terrestrial ini.
Asal dan tujuan hidup itu melambung dan menembus petalapetala langit yang tujuh, menuju kepada perkenan atau rida
Allah, mencapai penyatuan eksistensi nisbi manusia dengan
Eksistensi mutlak Ilahi. Dengan menyadari tentang asal dan
tujuan hidup itu, berarti setiap manusia Indonesia akan selalu
bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan atas segala
perbuatannya.
2. Karena dasar keimanan dan takwa itu maka SDM Indonesia
bekerja tidak atas dasar keyakinan keliru bahwa kebahagiaannya
juga, dan bahwa kita tidak mengangkat sebagian dari kalangan kita sendiri (umat
manusia) menjadi tuhan-tuhan selain Allah.”
D 14 E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
sebagai manusia yang utuh terletak dalam ekspediensi fisik dan
material, tetapi dalam peningkatan kualitas jiwa dan ruhani.
Dengan begitu ia tidak tersesat masuk ke dalam sikap-sikap
mementingkan diri sendiri dan memenuhi keinginan rendah diri
sendiri. Sehingga mampu mengingkari diri sendiri (melakukan
self denial), bebas dari dorongan mencari kenikmatan hidup
lahiri semata (pleasure seeking), juga bebas dari sifat-sifat tamak,
loba, rakus, dan mementingkan diri sendiri.
3. Karena itu SDM Indonesia berpangkal dari semangat dan kemampuan menunda kesenangan sementara. Ia berpegang teguh
kepada prinsip “deferred gratification” atau ganjaran kenikmatan
yang tertunda, karena yakin di belakang hari, dalam jangka
panjang, ada kebahagiaan yang lebih besar dan lebih hakiki.
Dengan kata lain, SDM Indonesia adalah SDM yang mampu
berpikir dan mengembangkan tingkah laku atas dasar prinsip
“Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian”. Yaitu prinsip, dalam
bahasa Jawa, “Wani ngalah duwur wekasané” (Berani mengalah,
namun akhirnya menang), yang seperti juga dikatakan dalam
bahasa Inggris, “You may lose the battle, but you should win the
war”.
4. SDM Indonesia adalah manusia yang tabah, gigih, tahan menderita, karena yakin kepada masa depan. Karena keimanan dan
takwanya, ia senantiasa berpengharapan kepada Tuhan Yang
Mahaesa, sehingga sesuatu yang dikehendakinya jika toh tidak
terwujud sekarang, ia yakin akan terwujud besok, atau lusa, atau
minggu depan, atau bulan depan, atau tahun depan, bahkan
atau dalam kehidupan akhirat sesudah kematian. Hidup penuh
harapan itulah yang menjadi dorongan batin atau motivasi
yang tinggi dan kuat. Sehingga ia tekun, rajin, produktif, dan
senantiasa menggunakan waktu lowong untuk kerja keras yang
menghasilkan sesuatu. Ia bukanlah tipe manusia yang mencari
“apa énaknya”, tapi menutut “apa baiknya”.
D 15 E
F NURCHOLISH MADJID G
5. SDM Indonesia tidak memiliki dorongan untuk hidup mewah
dan berlebihan (hidup berlebihan adalah ciri kepribadian yang
tidak tenang dan selalu mencari kompensasi). Sebaliknya, ia
hidup sederhana, penuh kepuasan positif (yaitu [Arab] qanā‘ah,
bukan [Inggris] complacency), hemat, rendah hati dan bebas
dari nafsu pamer atau penyakit “demonstration effect”.
6. SDM Indonesia adalah SDM yang mampu besikap dan berlaku
adil, jujur dan fair meskipun terhadap diri sendiri, kerabat dan
handai taulan. Ia tidak mudah tenggelam dalam rasa cinta
sehingga buta terhadap kekurangan orang, tidak pula dirasuk
habis oleh rasa benci sehingga tetutup dari kebaikan orang.
Karenanya jika seorang SDM Indonesia berhasil atau sukses, ia
tidak dengan gegabah mengaku kebehasilan dan kesuksesannya
adalah berkat kemampuan dirinya sendiri. Ia sadar bahwa “tidak
ada daya dan tidak pula kemampuan kecuali dengan Allah
yang Mahaagung”. Dalam keadaan rendah hati itu ia melihat
apa pun yang menjadi bagian keberhasilannya sebagai amanat
Tuhan Yang Mahaesa, lalu ia baktikan kepada-Nya melalui
kesadaran pemenuhan fungsi sosial harta kekayaan.
Itulah kira-kira segi-segi etika sumber daya manusia Indonesia.
Berbagai kajian ilmiah tentang masyarakat manusia mengatakan
bahwa kualitas-kualitas pribadi seperti itu, kurang lebih, adalah
faktor yang amat penting, dan jauh lebih penting daripada
banyak yang lain, yang menentukan kemampuan optimal kinerja
sumber daya manusia, termasuk produktivitas, yang diperlukan
bagi kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara. Karena itu para
ahli mengamati bahwa negara yang maju, atau yang dalam proses
serius menuju kemajuan, senantiasa menunjukkan ciri-ciri orientasi
etis yang kuat atau tegar (ethically tough, yakni, masalah benarsalah, baik-buruk mampu dilihat dan disikapi dengan jelas, tegas
dan tidak kenal kompromi), sedangkan negara yang tertinggal
umumnya berwawasan etika yang lemah (ethically soft, yakni,
masalah benar-salah dan baik-buruk tidak mampu dilihat dan
D 16 E
F KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA G
disikapi dengan tegas, melainkan cenderung untuk diremehkan
atau diabaikan, “toned down”, “played down”). (Berkenaan dengan
inilah sungguh amat disayangkan, dan merupakan pertanyaan
besar, mengapa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa dengan jiwa
keagamaan yang bergairah ini justru dalam masalah etika dikenal
sebagai bangsa yang lembek atau lunak, soft).
Sebagai catatan perlu disadari bahwa semua yang dicobajabarkan di atas itu ada dalam bingkai apa yang seharusnya, yang
normatif. Pengetahuan tentang yang normatif belaka tidak cukup,
dan tidak membawa hasil nyata. Yang diperlukan adalah juga segisegi yang operatif, yang praktis. Sudut pandang ini benar semata.
Tetapi juga dapat dipertanyakan, jika kita tidak tahu, dan tidak
menyadari, apa yang seharusnya, yang normatif, maka apakah
kita masih punya ruang untuk bicara tentang pedoman, prinsip,
dan nilai-nilai asasi? Semuanya ini perlu, karena semuanya akan
menuntun manusia, jika memang mengandung kebenaran.
Di sinilah peranan dari agama-agama di Indonesia. Yaitu
mempertinggi dan memperkukuh kesadaran akan nilai-nilai asasi
itu, agar masyarakat tidak jatuh kepada godaan pragmatisme yang
tak terkendali seperti sering terdengar mulai dikhawatirkan orang.
Tapi sikap skeptis pun masih tetap selalu muncul, seberapa jauhkah
agama memang benar-benar berperan, mengingat kenyataan sering
mendemonstrasikan kesenjangan antara keadaan dan klaim-klaim
peran agama itu. Barangkali jawabnya dapat kita temukan dalam apa
yang oleh Armstrong, sebagaimana dikutip pada bagian terdahulu,
bahwa agama sering dibajak (hijacked) oleh pemeluknya sendiri. Salah
satu bentuk hijacking terhadap agama itu ialah jika para pemeluk
menjadi lebih mementingkan bentuk daripada isi, simbol daripada
substansi. Tampaknya persoalan ini bukan hanya muncul di zaman
mutakhir, melainkan sudah menjadi masalah manusia sepanjang
masa. Di zaman Palestina purba, Nabi Isaiah pernah dengan gemas
menyampaikan firman Yahweh (nama Tuhan Yang Mahaesa menurut
Nabi Musa sebagaimana ia dapatkan dari mertuanya, Syu‘aib, seorang
nabi dari negeri Madyan) yang penuh kemurkaan:
D 17 E
F NURCHOLISH MADJID G
Kamu boleh sembahyang banyak-banyak,
Aku tak kan dengarkan!
Tanganmu berlumuran darah,
cucilah dan bersihkan dirimu!
Singkirkan kejahatanmu itu dari pandangan-Ku!
Berhentilah berbuat keji!
Belajarlah berbuat baik!
Cari keadilan!
Bantu kaum tertindas!
Perhatikan anak-anak yatim
Santuni janda-janda miskin.14
Dalam Islam pun peringatan agar orang tidak hanya mementingkan simbul dan formalitas, melainkan lebih memperhatikan
isi dan substansi, dinyatakan sebagai berikut:
“Kebajikan itu bukanlah kamu menghadapkan wajah-wajahmu ke
arah timur atau barat, melainkan kebajikan itu ialah orang yang
beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab-kitab
suci, dan para Nabi. Dan orang itu mendermakan hartanya, betapa
pun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak
yatim, kaum miskin, orang terlantar di jalan, orang meminta-minta,
dan orang yang terbelenggu perbudakan. Dan orang itu menegakkan
shalat, menunaikan zakat. Dan orang itu menepati janji jika mereka
mengikat janji, tabah dalam kesulitan, kesusahan, dan bencana.
Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa,” (Q 2:177).
Begitulah barangkali gambaran sederhana bentuk tantangan
para agmawan Indonesia dalam mengembangkan unsur etika
sumber daya manusia.
14
Dikutip oleh Armstrong, op. cit., h. 56.
D 18 E
F PASCAMODERNISME DAN DILEMA ISLAM INDONESIA G
PASCAMODERNISME
DAN DILEMA ISLAM INDONESIA
Oleh Nurcholish Madjid
Motto:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama itu secara hanīf, sesuai
dengan fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu.
Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah. Itulah agama yang tegaklurus, namun kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (Q 30:30).
Sudah sejak Giovanni Pico della Mirandola, seorang filsuf zaman
Renaisans, mulai merasakan perlawanan yang sengit dari gereja
terhadap pandangan kemanusiaannya yang ia katakan ia pelajari
dari seorang Muslim bernama Abdala (‘Abd-Allāh).1 Memang
1
Giovanni Pico della Mirandola adalah salah seorang pemikir humanis
terkemuka zaman Renaisans Eropa. Ia mengucapkan sebuah orasi ilmiah
tentang harkat dan martabat manusia di depan para pemimpin gereja, dan ia
membuka orasinya itu dengan kalimat: “I have read in the records of Arabians,
reverend Fathers, that Abdala (‘Abd-Allâh) the Saracen, when questioned as
to what on this stage of the world, as it were, could be seen most worthy of
wonder, replied: ‘There is nothing to be seen more wonderful than man.’ In
agreement with this opinion is the saying of Hermes Trismegistus: ‘A great
miracle, Asclepius, is man,’” (Ernst Cassirer, et. al., penyunting, The Renaissance
Philosophy of Man (Chicago: The University of Chicago Press, 1948), h. 223).
Menurut Paul Oskar Kristeller dalam buku itu, kemungkinan ‘Abd-Allâh itu
adalah keluarga Nabi. Boleh jadi dia adalah salah seorang tokoh Syi’ah seperti
‘Abd-Allah ibn Ja‘far al-Shadiq atau ‘Abd-Allah al-Mahdi yang pernah menjadi
Khalifah di Maghrib (909-934 M).
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
masalah humanisme di Barat tidak pernah sepenuhnya bebas dari
polemik dan kontroversi. Maka zaman modern yang merupakan
hasil masa Renaisans kemudian masa Pencerahan (Englightenment,
Aufklarung) ini, humanisme Barat lepas dari agama dan merupakan
bagian integral dari sekularisme. Lalu terakhir ini muncul gagasangagasan pascamodern, suatu kritik kepada modernitas. Pascamodernisme tumbuh lebih-lebih di kalangan bangsa-bangsa Barat
sendiri, sehingga pada hakikatnya ia merupakan suatu bentuk
otokritik di bidang pemikiran kemanusiaan atau humaniora.
Harus diakui bahwa budaya Barat, sebagaimana orang Barat
sering mengakunya, adalah sebuah budaya yang selalu terbuka
untuk otokritik dan eksperimentasi. Argumen ini sering dikemukakan pada tataran sistem politik, yaitu demokrasi, sebuah sistem
politik yang mampu mengoreksi diri sendiri, disebabkan sifatnya
sebagai ideologi yang berujung terbuka (“open-ended”). Karena itu
agaknya orang akan mampu mengkritik budaya modern Barat, jadi
termasuk akan mampu berpikir dalam kerangka pascamodernisme,
kalau ia sudah menjadi modern sendiri, atau sudah ikut serta
sepenuhnya dalam budaya modern. Ini tentu berarti bahwa yang
mampu melakukannya ialah mereka yang berasal dari masyarakat
modern sendiri, yaitu kalangan orang-orang Barat. Maka, dari
sudut pandang itu pembicaraan tentang pascamodernisme oleh
seseorang dari kalangan kita, bangsa Indonesia — suatu bangsa
yang masih terhitung terkebelakang, biar pun menurut ukuran
lingkungannya sendiri di Asia Timur — akan mengundang
pertanyaan segi otentisitasnya. Tapi itu tidak perlu mengecilkan
hati kita, karena di Indonesia yang secara keseluruhan masih
terkebelakang ini sudah ada sektor-sektor kehidupan modern
dengan partisipan yang substansial. Para partisipan itu hidup
dalam suasana budaya yang lebih kosmopolit, sehingga mereka
menjumpai titik-temu yang lebih besar dengan pola budaya
dunia yang dominan, yaitu Barat. Mereka adalah orang-orang
Indonesia modern, jika tidak dalam mentalitasnya maka dalam
fakta kehidupan materialnya.
D2E
F PASCAMODERNISME DAN DILEMA ISLAM INDONESIA G
Dari sinilah kita melihat segi dilematis Indonesia untuk masa
depan. Sebab Indonesia adalah sebuah masyarakat dengan mozaik
yang belum semuanya tertata rapi dan serasi, setara dan sepadan.
Keberhasilan dalam membangun rasa kebangsaan, yang antara lain
ditunjang oleh keberhasilan mengembangkan bahasa nasional, telah
mewujud nyata dalam negara kesatuan yang cukup kukuh, yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke seperti dari London sampai
Teheran, dan mencakup pulau-pulau yang jumlahnya belasan
ribu. Suatu prestasi yang luar biasa. Apalagi keanekaragaman itu
diapresiasi secara positif, dan dibingkai dalam motto Bhinneka
Tunggal Ika, suatu dasar yang kuat bagi paham kemajemukan
masyarakat (kebetulan motto itu, lepas bagaimana dahulu ditemukan atau diciptakan, mirip sekali dengan motto Amerika Serikat
“E Pluribus Unum” dan memiliki makna yang identik).
Tetapi keanekaragaman juga dapat menjadi sumber kerawanan.
Dilihat dari segi tingkat perkembangan komponen-komponen
bangsa, negeri kita mencakup komponen-komponen yang — meminjam istilah Alfin Toffler — sudah masuk gelombang ketiga
(abad informatika, dengan indikasi lahiriah penggunaan peralatan
elektronik untuk komunikasi dan memperoleh serta mengumpulkan
informasi), sebagaimana juga sebelum itu sudah ada yang masuk
dalam gelombang kedua (masyarakat industrial). Namun jumlah
mereka sendikit sekali. Secara keseluruhan masyarakat Indonesia
masih berpola budaya agraris yang refleksinya dalam budaya politik
nasional sangat kuat dirasakan semua orang. Jadi masih berada
dalam gelombang pertama, dan masih pada tingkat sedikit saja di
atas garis tingkat perkembangan masyarakat Sumeria 5.000 tahun
yang lalu (bangsa Sumeria adalah “penemu” peradaban, perintis
abad pertanian). Lebih dari itu, untuk kita insafi bersama, dari
kalangan bangsa kita masih cukup banyak komponen kemasyarakatan yang bahkan belum memasuki gelombang pertama, alias
belum mengenal sistem pertanian teratur menurut budaya agraris.
Jadi masih dalam tahap perkembangan “pra-gelombang”, jika istilah
itu dapat dibenarkan.
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
Karena itu bagi Indonesia memang ada dilema berkenaan dengan
adanya arus kesadaran baru internasional, yaitu pascamodernisme.
Suatu bangsa yang belum sepenuhnya mengalami proses modernisasi
dihadapkan kepada kemungkinan melihat atau malah menerapkan
tahap sesudahnya, tahap pasca modern. Tapi ini mungkin tidak
dapat dihindari. Bukan karena bangsa Indonesia harus meloncat dari
tahap agraris (kondisi Indonesia sekarang ini secara keseluruhan) ke
tahap pascamodern, tapi karena Indonesia tidak lain adalah bagian
tak terpisahkan dari sistem pergaulan global. Seperti kata orang,
dunia sedang menuju kepada pola hubungan antarmanusia menurut
gaya paguyuban sebuah “desa buwana” (global village). Kita ketahui
bahwa ini adalah akibat ciri kemajuan teknologi, yang menghasilkan
kemudahan luar biasa dalam komunikasi dan transportasi. Karena
globalisasi itu, kita tidak perlu berkhayal akan mampu mengisolasi
diri. Mau tidak mau kita terjerat dalam jaringan komunikasi dan
informasi yang menguasai jagad, dan kita harus berbuat sebisabisanya: pertama, untuk bertahan; kedua, untuk menyesuaikan diri,
justru agar dapat bertahan itu.
Pascamodernisme sebagai Kritik2
Tadi telah dikatakan bahwa pascamodernisme adalah kritik orang
modern terhadap modernitas. Atau, dalam ungkapan yang lebih
kuat, kritik orang Barat terhadap kebudayaan Barat. Karena kebudayaan Barat itu telah sedemikian dominannya di bumi sehingga
tidak satu pun segmen masyarakat manusia yang tidak terkena
dampaknya, maka kritik terhadapnya adalah sebenarnya relevan
untuk semua umat manusia, tidak terbatas hanya untuk orangorang Barat sendiri. Lebih-lebih jika dibalik kritik itu terselip
2
Bagian dari pembahasan berikut dibuat berdasarkan uraian Karlis
Racevskis dalam Postmodernism and the Search for Enlightenment (Charlottesville:
The University Press of Virginia, 1993), h. 65-78.
D4E
F PASCAMODERNISME DAN DILEMA ISLAM INDONESIA G
harapan bahwa suatu perbaikan akan terjadi, sehingga segi-segi
negatif dari kebudayaan Barat — yang segi negatif itu telah banyak
menjadi bahan retorika kaum agamawan, budayawan, dan politisi
— dapat dikurangi, jika tidak dihilangkan.
Sayangnya, pascamodernisme sebagai kritik tidak hanya memberi
harapan, tapi juga sering terasa tampil dengan gaya apokaliptik dan
kataklismik yang mengancam. Budaya manusia akan hancur! Dunia
akan segera kiamat! Begitu kira-kira jika bombasme diizinkan ikut
mewarnai diskursus tentang pascamodernisme.
The paradigm of Western thought known as modernity is unraveling.
In fact, modernity has been unraveling for some time, but signs of
the disintegration have been especially noticeable of late and can
be observed in almost all areas of intellectual and artistic activity.
.....its dissolution was made inevitable by a flaw attributable to its
very core and essence.3
Tapi justru karena segi negatifnya itu — segi yang dapat
membuat orang putus harapan — maka diskursus tentang pascamodernisme, sejauh ia benar akan menyangkut manusia sejagad
dan menentukan nasib mereka, tidak boleh dibatasi hanya pada
kalangan kaum Barat saja. Pascamodernisme sendiri mengandung
bibit ke arah kemungkinan dibukanya dialog yang benar-benar
mondial, dan ini adalah segi positifnya yang memberi harapan.
Karena ada kekhawatiran terhadap adanya kungkungan struktural
bagi diskursus-diskursus, sehingga diskursus oleh kalangan Barat
pun akan tidak mungkin, atau sulit sekali, lepas dari konteks budaya
mapan mereka sendiri, maka dialog tentang pascamodernisme tidak
dapat diizinkan berkembang menjadi dialog tertutup. Bagaimana
caranya seseorang dari suatu pola budaya tertentu dapat menjadi
“orang lain”? Tentu sulit sekali. Keperluan mengikutkan semua
unsur penduduk bumi itu lebih-lebih dirasakan jika memang dalam
3
Racevskis, op. cit., h. 1.
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
pascamodernisme terselip bibit penghargaan kepada pandanganpandangan hidup perennial yang kini mulai banyak mewarnai
berbagai renungan serius kaum intelektual dunia.
Perennialisme adalah juga primordialisme (dalam arti positif ),
karena ia berarti keyakinan bahwa sesungguhnya manusia, di mana
saja dan kapan saja, membawa dalam dirinya sejak dilahirkan,
bahkan mungkin sejak sebelum itu, potensi kebaikan yang sama
dan kemungkinan pencerahan yang sama. Potensi ini selalu ada
secara abadi, maka disebut perennial. Dan atas dasar keyakinan
tentang potensi perennial itu kita dapat sepenuhnya dibenarkan
untuk berbicara mengenai adanya Kemanusiaan Semesta. Dari
sudut ini, harapan kepada pascamodernisme dikukuhkan oleh
adanya fasilitas komunikasi dan transportasi, sehingga ada alasan
untuk memandang bahwa pascamodernisme adalah kelanjutan
wajar kemajuan teknologi itu sendiri.
Sasaran utama kirik pascamodernisme ialah rasio yang merupakan buah terpenting tanaman Zaman Pencerahan (Englightenment, Aufklärung) di Eropa Barat. Rasio adalah “mesin” modernitas.
Namun sekarang, pada tahap perkembangan manusia modern
mutakhir, rasio telah terbukti secara fundamental tidak memadai.
Lebih-lebih karena rasio itu tampak berpusat pada dirinya sendiri
(self-centered) dan tak punya dasar kuat karena keabsahannya
terbukti hanya bersandar kepada klaim tentang dirinya sebagai
sangat kukuh. Sekarang timbul kesadaran bahwa rasio tidak pernah
merupakan penafsir universal dan obyektif tentang kenyataan seperti
dikemukakan oleh para tokoh Pencerahan. Pada waktu orang sangat
bergairah dengan rasio di zaman Pencerahan itu, mereka lupa bahwa
rasio selalu memerlukan dukungan sistem kekuasaan dan pelembagaan yang diciptakannya sendiri. Maka cita-cita yang dikembangkan
oleh Pencerahan itu dari semula sudah rawan terhadap kooptasi
oleh kepentingan-kepentingan sosial-ekonomi, dan rasio dapat
berkembang menjadi hak prerogatif kelas, ras, jenis, atau bangsa
— yaitu suatu lingkungan kepentingan politik dan ekonomi yang
terbatas, yang berusaha mewujudkan tujuannya sendiri seolah-olah
D6E
F PASCAMODERNISME DAN DILEMA ISLAM INDONESIA G
tujuan itu suatu nilai kemanusiaan yang abadi dan sejati. Padahal
hakikatnya ialah tidak lebih daripada kepentingan-kepentingan
lingkungan terbatas itu sendiri.
Karena kita tampaknya sudah mencapai tahap perkembangan yang
sampai di situ pretensi tersebut di atas tidak lagi mempan, sebagian
dari rame-rame pascamodernisme sekarang ini jelas dapat dikaitkan
dengan kesadaran bahwa pandangan tentang pengertian jalan sejarah
dalam kerangka suatu ide tentang Aufklärung, kemenangan oleh rasio
dengan mengalahkan sisa-sisa pengetahuan yang bersifat mitos telah
kehilangan keabsahannya. Sebab demistifikasi menurut ideologi
Aufklärung ternyata merupakan mitos sendiri. Tujuan akhir rasio
Pencerahan, yang antara lain untuk membuat masyarakat menjadi
transparan kepada dirinya, dengan begitu sekarang terungkap merupakan ilusi belaka. Yang membuat kita mengalami jalan buntu
ini ialah kegagalan untuk memperhitungkan kekuasaan — suatu
unsur amat penting yang melengkapi dan bersaing dengan rasio.
Rasio tidak mampu menjamin keutuhan tujuan Pencerahan karena
ia tidak dapat mengendalikan bekerjanya kekuasaan. Lebih buruk
lagi, rasio itu hanya mengabdi untuk memudahkan beroperasinya
kekuasaan dengan membantu mempertahankan kedok humanisme
yang nyaman dan menyenangkan.
Karena ilusi yang telah bertindak sebagai pendukung rasa
percaya diri pemikiran modern telah menguap, maka yang
tersisa ialah kontradiksi yang menjadi ciri masyarakat modern.
Secara khusus kritik pascamodern membuat kita sadar bahwa
peradaban Barat telah menjadi tempat bagi kontradiksi yang
besar antara nilai-nilainya dan politiknya, antara filsafat dan tindakannya, antara keyakinan persamaan manusianya di hadapan
hukum dengan aktualitas ketidaksamaan di hadapan kenyataan.
Berkenaan dengan warisan Pencerahan, kesadaran serupa itu
tidak-bisa-tidak melahirkan keinsafan bahwa tujuan-tujuan dan
nilai-nilai yang selama ini sangat sentral bagi peradaban Eropa
Barat tidak lagi dapat dianggap universal, dan bahwa proyek
modernitas yang terkait dengan itu tidak dapat dirampungkan,
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
karena perampungan itu menjadi tidak masuk akal dan nilainya
sendiri dipertanyakan.
Pada waktu yang sama, penanyaan kembali tentang nilai modernitas ini penuh dengan kesulitan yang asasi: semakin pascamodernisme melakukan penanyaan-penanyaan, semakin pula ia insaf
tentang ketergantungannya kepada sasaran yang dikritiknya itu,
yaitu modernitas itu sendiri. Karena itu, salah satu ciri penting
pendekatan kritis pascamodernisme ialah ketidakjelasan yang
diperlihatkannya berhadapan dengan modernitas. Strateginya
tidak dapat lain kecuali suatu kritik dengan keikutsertaan dalam
kesalahan itu sendiri, karena pascamodernisme tidak dapat sepenuhnya bersikap meragukan modernitas tanpa melepaskan sifat
dan asal-usulnya sendiri — suatu “silsilah” yang membuat pascamodernisme itu bagian integral dari sejarah dan evolusi modernitas
sendiri. Jadi dorongan jiwa kritis pascamodernisme berujung pada
kesadarannya sendiri sebagai suatu sempalan dalam modernitas,
sebagai suatu imbangan kritis terhadap keteguhan percaya diri
modernitas, suatu imbangan pengaruh yang menghambat dan dengan penuh kemauan memperlemah aktivisme modernitas yang
agresif dan kolonialistik.
Berkenaan dengan ini, Michel Foucault adalah yang pertama
menangkap dengan meyakinkan dilema kritik pascamodern terhadap Pencerahan. Barangkali lebih daripada siapa pun, Foucault
mampu memahami kemestian paradoksal dalam penjabaran suatu
kritik tentang jalan pikiran yang justru memberi konfigurasi aksiologisnya kepada kemampuan kita untuk melancarkan kritik.
Kesadaran tentang ketergantungan kritis kita ini juga mengetengahkan perlunya mempertanyakan alasan penanyaan kita sendiri
tentang rasio Pencerahan: Apa jenis rasio yang kita gunakan? Apa
pengaruhnya dalam sejarah yang lalu? Apa batasnya, dan apa pula
bahayanya? Bagaimana kita dapat tampil sebagai makhluk rasional,
yang beruntung meyakini perlunya bertindak atas dasar rasio,
namun yang tidak beruntung karena bertindak rasional itu penuh
dengan jebakan-jebakan bahaya yang nyata?
D8E
F PASCAMODERNISME DAN DILEMA ISLAM INDONESIA G
Lebih jauh, Foucault juga menunjukkan bahwa pertimbangan
apa pun tentang Pencerahan menuntut agar kita semua sekarang ini
tidak saja mengenali utang budi kita kepada etos Zaman Pencerahan
tapi kita juga harus mengakui relevansinya yang tetap berlanjut bagi
keperluan kita saat ini. Di atas semuanya Foucault mengakui adanya
dampak yang pasti yang telah dan akan terus diberikan oleh pemikiran Pencerahan kepada pandangan Barat. Baginya tampak bahwa Pencerahan itu, baik dipandang sebagai kejadian tunggal yang
mengabsahkan modernitas ataupun sebagai proses permanen yang
menyatakan dirinya dalam sejarah penggunaan rasio, juga dalam ia
mengembangkan dan mengembalikan bentuk-bentuk rasionalitas
dan teknik, dalam otonomi dan otoritas ilmu, tidaklah sekadar
sebuah episode dalam sejarah pemikiran. Ia merupakan pertanyaan
kefilsafatan yang diukir sejak abad ke-18 dalam pemikiran Barat.
Ia adalah segi modernitas yang perlu selalu dipersoalkan dengan
cara membedakan dengan jelas sifatnya sebagai peristiwa tunggal
dalam sejarah dari daya tarik universal muatan ideologisnya. Karena
itu Foucault percaya bahwa persoalannya bukanlah memelihara
sisa-sisa Pencerahan. Yang harus selalu diingat dan terus dipikirkan
ialah penanyaan kembali kajadian zaman Pencerahan itu sendiri
dan apa maknanya, suatu penanyaan kembali mengenai keabsahan
historis tentang pemikiran universal.
Menurut Foucault, untuk memahami makna Pencerahan sekarang ini, pertama-tama perlu memisahkannya dari tema-tema
humanisme yang selalu dikaitkan dengan Pencerahan itu sejak abad
ke-19. Berarti, pertanyaan kritis hari ini harus diubah menjadi
sesuatu yang positif, yaitu pertanyaan: dalam apa yang diyakini
sebagai universal, berkemestian, dan wajib itu di mana letak bagi
adanya segi-segi yang singular, nisbi, dan merupakan hasil pertimbangan sewenang-wenang? Dengan begitu maka diharap tercegah
dari persoalan pro-kontra Pencerahan. Sikap pro-kontra yang
merupakan argumen tentang ada tidaknya faedah suatu sistem
nilai bersifat mengelabui karena ia mengesampingkan pertanyaan
tentang status ontologis sistem itu sendiri dengan menganggapnya
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
telah nyata dan telah berwujud secara efektif serta bekerja sejalan
dengan bagaimana ia menampilkan dirinya sendiri. Padahal
semuanya tidaklah demikian, atau, paling kurang, tidak sepenuhnya
demikian.
Untuk mengembangkan ontologi yang kritis tentang manusia
modern sendiri, Foucault melanjutkan dengan mempertanyakan
skema-skema penjelasan yang selama ini dianut. Dengan cara itu
Foucault mengikuti metode yang digunakan para filsuf sendiri
ketika mereka mengembangkan kritik terhadap dogma mapan.
Maksud mereka ialah mempermasalahkan hubungan kekuasaan
(power relations) yang tumbuh dari klaim adanya kebenaran kewahyuan dan untuk menyerang dogmatisme yang tampak jelas
dalam kewenangan menyatakan kebenaran wahyu itu. Para filsuf
memperlihatkan bahwa ajaran “taatilah kemauan Tuhan” selalu
berarti “taatilah kemauan mereka yang mengklaim berbicara atas
nama Tuhan.” Pada saat bicara atas nama rasio, para filsuf menanamkan kembali kapasitas untuk bicara tentang kebenaran dalam
pribadi perorangan yang rasional dan berpencerahan. Tetapi, berkenaan dengan ini, taktik mereka menampakkan keterbatasan-keterbatasan historisnya, dan di sinilah pendekatan Foucault menempuh
jalan yang berbeda secara radikal. Kritik Foucault tidaklah bersandar kepada kepercayaan tentang kemampuan rasio untuk menghasilkan kebenaran, tetapi mengantarkan kita kepada perhatian
terhadap masalah hubungan kekuasaan yang digerakkan oleh
penggunaan tindakan yang berorientasi rasio. Dalam klaim tentang
kemampuan rasio untuk menentukan jalannya peristiwa itulah
Foucault melihat bahaya dogmatisme. Ia menunjukkan bahwa para
pemikir Pencerahan gagal memahami jangkauan bahwa percobaan
untuk menguniversalkan nilai-nilai dan untuk memberi rasio dan
pemikiran ilmiah suatu keabsahan global yang tak bersyarat adalah
pada hakikatnya permainan kekuasaan, merupakan teknik-teknik
untuk mendesakkan rasionalisasi kepentingan-kepentingan khusus
dan untuk mengabsahkan hak-hak istimewa dan sikap-sikap menindas. Foucault beranggapan bahwa idealisasi diskursus dan penD 10 E
F PASCAMODERNISME DAN DILEMA ISLAM INDONESIA G
dasarannya dalam pengertian-pengertian abstrak serta tema-tema
serba-tinggi menghasilkan rezim kekuasaan yang membuatnya
dapat mengabaikan kekuatan yang lain berupa strategi-strategi
yang secara resminya tidak diteorikan dan tidak diakui namun
semuanya itu berlaku dalam konteks historis tertentu. Yang akhir
ini meliputi strategi-strategi yang diletakkan oleh jaringan-jaringan
institusional dan kedisiplinan tertentu (seperti ordo-ordo Katolik
dan persaudaraan sufi Islam). Karena dampak hubungan kekuasaan
yang tidak diakui seperti ini tidak muncul dalam representasi resmi
tujuan-tujuan dan capaian-capaian masyarakat, orang kemudian
tergiring untuk memercayai bahwa eksistensi kita ditentukan oleh
kebenaran-kebenaran transendental yang didukung masyarakat,
dan lupa bahwa orang sebenarnya dipaksa (atau terpaksa) mewujudkan kebenaran kekuasaan yang diminta oleh masyarakat dan
yang diperlukan agar kekuasaan itu dapat berjalan. Orang pun
diajari untuk mengatakan, kita harus bicara tentang kebenaran,
yakni kebenaran yang berlaku umum, yang mapan, yang menyatu
dengan atau mengabsahkan kekuasaan. Kemudian orang pun
didorong tanpa mampu melawan untuk mengakui kebenaran itu
dan menemukannya. Ideologi yang diletakkan oleh Pencerahan
adalah mekanisme yang diperlukan oleh tatanan sosial baru untuk
menghasilkan kebenaran-kebenaran dan untuk mengembangkan
alasan-alasan pengabsahannya.
Dilema Indonesia
Jika pascamodernisme adalah sebuah kritik tandas kepada klaimklaim hasil rasionalitas Zaman Pencerahan, sementara Indonesia
adalah sebuah “negara modern” (sesuai dengan milieu abad ke-20
dan setia kepada keinginan para pendiri republik), maka dilema
Indonesia adalah suatu kenyataan. Ide-ide kenegaraan kita sebagian
besar didasarkan kepada beberapa segi terbaik hasil Zaman Pencerahan, meskipun dengan keinsafan tertentu bahwa tidak semua segi
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
itu dapat diterapkan di negeri kita tanpa sikap cadangan. Dinamika pemikiran para pendiri republik adalah dinamika pemikiran
Pencerahan, dengan polemik dan kontroversi yang keras di sekitar
ide-ide tentang demokrasi, keadilan sosial, dan keperluan menegakkan negara hukum. Referensi dibuat kepada hampir semua karya
Barat modern, dengan tingkat penguasaan yang acapkali cukup
mencengangkan.
Adalah suatu kebaikan tersendiri bahwa para pendiri republik
menyadari adanya segi-segi kekurangan dalam pemikiran kenegaraan
Barat. Kesadaran itu memberi peluang bagi adanya kesadaran berikutnya, yaitu kesadaran tentang kenisbian budaya. Tapi karena
sering membuka kesempatan untuk terjadinya manipulasi berupa
strategi untuk menawar ketegaran nilai-nilai yang dianggap umum
berlaku di dunia — semisal hak-hak asasi manusia menurut formulasi-formulasi resmi internasional seperti Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia — maka penggunaan argumen kenisbian
budaya sering ditanggapi dengan curiga. Menghadapi suasana curiga
itu — yang biasanya datang dari kalangan bangsa-bangsa maju
berhadapan dengan bangsa-bangsa berkembang — kita biasanya
tidak berdaya. Persyaratan-persyaratan pergaulan internasional
sebagian besar ditetapkan secara arbitrer oleh bangsa-bangsa maju
atas dasar klaim mereka yang kini mulai menjadi “kolot” tentang
universalitas rasio yang berpangkal pada Pencerahan.
Pascamodernisme membuka peluang bagi dilancarkannya
kritik-kritik mendasar terhadap klaim-klaim universalitas nilainilai modernitas yang kini dijunjung tinggi oleh Barat dan, karenanya, oleh dunia. Namun, seperti para pemikir pascamodernisme
sendiri telah mengakui dan memang mustahil mengingkari, ada
kesinambungan organik antara modernitas dan pascamodernitas. Garis kelanjutan itu telah terlebih dahulu melahirkan situasi
dilematis di kalangan mereka sendiri, karena mereka, sementara
berkehendak untuk melakukan “dekonstruksi” kemapanan-kemapanan, kemampuan melakukan dekonstruksi itu sendiri masih
merupakan fungsi dari modernitas. Dengan kata lain, sebagaimana
D 12 E
F PASCAMODERNISME DAN DILEMA ISLAM INDONESIA G
telah diisyaratkan pada bagian permulaan, agaknya hanya orang,
komunitas atau bangsa modern yang mampu mengembangkan
pascamodernisme sebagai suatu kelanjutan wajarnya, mereka yang
telah menyertai pandangan Humaniora Pencerahan.
Tetapi mengingkari sama sekali adanya suatu bentuk universalitas, terutama dalam nilai-nilai kemanusiaan, adalah hal yang tidak
mungkin. Manusia disebut manusia, sebelum adanya perbedaan
antara mereka secara spesifik, adalah karena nilai kemanusiaannya
yang meskipun belum tentu, dan pascamodernisme membuktikan
tidak, merupakan hasil perumusan Pencerahan, namun pasti ada
titik universalitasnya yang merupakan titik-temu semua umat manusia. Segi kemanusiaan yang universal itu adalah segi kemanusiaan
yang perennial. Agama Islam, misalnya, mempunyai penegasan
tentang hal itu dalam Kitab Sucinya, al-Qur’an, dan yang perennial
itu ialah nilai kemanusiaan yang berpangkal pada kejadian asal
manusia yang suci (fitrah; Arab: fithrah), yang membuatnya
berwatak kesucian dan kebaikan atau hanīf.4
Fitrah yang hanīf itu merupakan kelanjutan dari perjanjian
primordial antara Tuhan dan ruh manusia, sehingga, menurut
pengkalimatan Martin Lings (Abu Bakr Sirajuddin) ruh manusia
dijiwai oleh sesuatu yang boleh disebut kesadaran tentang yang
Mutlak dan Mahasuci (Transenden, Munazzah), kesadaran tentang
Kekuatan Yang Mahatinggi yang merupakan Asal dan Tujuan
semua yang ada dan yang berada di atas alam raya itu. Kesadaran
ini merupakan kemampuan Intelek (‘Aql), sebuah piranti pada
manusia untuk mempersepsi sesuatu yang ada di atas dan di luar
4
Hanîf ialah sifat kecenderungan alami manusia kepada yang benar, baik,
dan wajar. Para ulama Islam berbahasa Inggris menerjemahkannya sebagai “as
man by nature upright” — Muhammad Marmaduke Pickthall; “inclined to
right opinion, orthodox [in the literal meaning of the Greek words], firm in
faith, sound and well-balanced, true” — A. Yusuf Ali; “inclined towards a right
state or tendency” — Muhammad Asad). Fitrah yang hanîf tetap ada selamanya
pada manusia, pangkal kebijakan abadi (sophia perennis, perennial wisdom
— Arab: al-hikmah al-‘atîqah, al-hikmah al-khâlidah; Persi: jâwidâné khard).
D 13 E
F NURCHOLISH MADJID G
dataran jagad ini. Meskipun kekuatan penuh Intelek ini berkurang
oleh kejatuhan manusia dari surga, namun yang tersisa dari sinarnya
cukup kuat sehingga tidak mungkin diingkari, seperti ditunjukkan
dalam al-Qur’an.5 Pencerahan tidak dengan tulus mengakui adanya kemanusiaan primordial berdasarkan penciptaan asal yang
suci dari Tuhan itu, sehingga humanisme Barat sekarang, menurut
pascamodernisme, telah berubah menjadi “a screen and an alibi for
barbarism” (sebuah tabir dan alibi untuk kebiadaban).6 []
5
Lihat Martin Lings, The Eleventh Hour, The Spiritual Crisis of the Modern
World in the Light of Tradition and Prophecy (Longmead, Inggris: Elements
Book, 1987), h. 1. Firman yang dimaksud ialah “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu
mengambil dari anak turun Adam, dari tulang punggung mereka, keturunan
mereka, dan meminta mereka persaksian atas diri mereka sendiri: ‘Bukankah
Aku ini Tuhanmu sekalian?!’ Mereka berkata: ‘Benar, kami bersaksi!’ (Ini agar
janganlah) kamu nanti berkata pada hari Kiamat: ‘Sesungguhnya kami lupa akan
hal itu,’” (Q 7:172).
6
Racevskis, op. cit., h. 4.
D 14 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
DI INDONESIA UNTUK GENERASI
MENDATANG
Oleh Nurcholish Madjid
Kita mulai pembahasan ini dengan sebuah pertanyaan: Apakah ada
harapan baik bagi kehidupan beragama di masa depan? Atau, lebih
prinsipil lagi: Adakah kebaikan dalam kehidupan keagamaan bagi
generasi yang akan datang? Kiranya pertanyaan-pertanyaan serupa
itu adalah absah, mengingat adanya pandangan banyak orang bahwa Zaman Modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya
akan merongrong kehidupan keagamaan. Dalam beberapa segi,
pandangan yang pesimis terhadap peran agama itu mengandung
unsur kebenaran; tetapi secara keseluruhan, pengalaman dua abad
umat manusia memasuki Zaman Modern tidak menunjukkan
bahwa agama-agama akan runtuh begitu saja. Orang malah mulai
menunjuk ambruknya sistem Komunis sebagai bukti paling akhir
keteguhan agama-agama menghadapi zaman.
Walaupun begitu, pertanyaan-pertanyaan di atas cukup baik
untuk kita jadikan titik-tolak perenungan ini. Bagi mereka yang
telah dari semula percaya kepada agama, jawab atas pertanyaanpertanyaan itu jelas dan tegas. Agama berlaku untuk segala zaman:
yang lalu, kini, dan mendatang. Karena itu selalu ada harapan baik
bagi kehidupan agama di masa depan, sebagaimana demikian itulah
yang telah terjadi di masa silam dan yang sedang terjadi di masa
sekarang. Dan agama adalah untuk kebaikan manusia. Karena
itu akan selalu ada kebaikan bagi kehidupan keagamaan di masa
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
mendatang. Tidak ada ragu, dan tidak ada persoalan. Maka untuk
kelompok yang yakin ini jawab atas pertanyaan itu tentu bersifat
peneguhan, yaitu “ya.” Karena bangsa Indonesia, sebagaimana
sering digambarkan, sangat berjiwa keagamaan, maka sebagian
besar kita, jika bukan semua kita, barangkali juga akan menjawab
pertanyaan tersebut dengan “ya.”
Tetapi di antara kita mungkin ada yang secara pribadi berpendapat sama sekali kebalikan dari kaum percaya yang optimis itu.
Dalam berbagai forum diskusi, antara lain di Paramadina (karena di
sana orang bebas menyatakan diri dan pendapatnya), sering muncul
sikap yang meragukan faedah agama, atau faedah suatu bentuk
tertentu amalan keagamaan, baik diungkapkan terang-terangan
maupun tersamar. Pembicaraan kita di sini harus dilakukan dengan
memperhatikan kaum pesimis itu. Perhatian itu perlu, jika bukan
karena pesimisme mereka itu sendiri maka karena fungsi pesimisme
sebagai faktor pengecek atas optimisme yang mungkin berlebihan
atau tidak realistis.
Adalah seorang novelis dan wartawan dari Inggris, bernama
A. N. Wilson. Ia menulis sebuah buku berjudul Against Religion:
Why We Should Try to Live Without It (Melawan Agama: Mengapa
Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia). Dilihat dari judul dan
isinya, buku itu tidak cocok untuk bangsa Indonesia yang terkenal
bersemangat keagamaan ini. Tapi dilihat dari percobaannya sebagai
orang luar memandang agama, dan untuk bahan perbandingan
bagi mereka yang yakin kepada kebaikan agama, maka beberapa
pernyataan dalam buku itu patut sekali kita telaah dan kaji bersama.
Pada bagian permulaan sekali buku itu, kita dapat membaca pernyataan keras — dan dapat dikata bersemangat penghujatan kepada
agama — seperti ini:
It is said in the Bible that the love of money is the root of all evil. It
might be truer to say that the love of God is the root of all evil. Religion
is the tragedy of mankind. It appeals that is noblest, purest, loftiest in
the human spirit, and yet there scarcely exists a religion which has not
D2E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
been responsible for wars, tyrannies and suppression of the truth. Marx
described it as the opium of the people; but it is much deadlier than
opium. It does not send people to sleep. It excites them to persecute
one another, to exalt their own feelings and opinions above those of
others, to claim for themselves a possession of the truth.1
(Dalam Alkitab [Bibel] dikatakan bahwa cinta uang adalah akar
segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa
cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat
manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling
tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama
yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani,
dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai
candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu.
Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang
untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan
pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk
mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.)
Sungguh suatu pandangan yang sangat pesimis, dan patut dipertanyakan, mengapa pesimisme semacam itu muncul? Mengapa pandangan yang amat negatif kepada agama itu justru tampil (kembali)
ketika sistem Soviet runtuh, yang — keruntuhan sistem tersebut
— sebenarnya sekaligus menunjukkan vitalitas agama-agama di
bekas negeri-negeri komunis itu?
Ketika kutipan di atas saya kemukakan dalam dialog tentang
agama dan pluralisme yang diselenggarakan oleh PGI di Evergreen,
Puncak, pada tahun 1992, seorang tokoh Kristen yang hadir dengan
sungguh-sungguh mempertanyakan, mengapa saya menyempatkan
diri mengutip suatu pendapat yang demikian keras mencela agama?
Mengapa harus mengingat lagi ungkapan Marx, ketika sistemnya
sendiri sekarang terbukti ambruk?
A. N. Wilson, Against Religion: Why We Should Try to Live Without It
(London: Chatto and Windus, 1992), h. 1.
1
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
Wilson kita kutip sebagai peringatan kepada kita bahwa dalam
agama-agama, atau, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut
agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang
amat berbahaya. Sinyalemen serupa itu biasanya disanggah oleh
para penganut agama, sambil mengakui bahwa keonaran memang
senantiasa muncul di kalangan para penganut agama, namun agama
tidak dapat dipersalahkan. Yang salah ialah para penganutnya, karena tidak memahami sekaligus mempraktikkan ajaran agama secara
benar. Tapi seorang yang kritis akan membalik argumen itu dengan
mengatakan: kalau agama itu memang benar namun tidak mampu
mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan
kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun
tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Sydney Hook, misalnya,
pernah mengajukan argumen sanggahan serupa itu.
Karena itu, sebagai seorang novelis terkenal dan wartawan yang
produktif, Wilson mengamati dengan penuh keprihatinan, bagaimana masyarakatnya di Inggris dicabik-cabik oleh masalah agama.
Ia tidak setuju dengan keputusan almarhum Ayatullah Khomaeni
menghukum mati Salman Rushdi. Maka ia menjadi gusar karena
Observatore Romano termasuk salah satu jurnal yang menyatakan
solidaritas kepada Khomaeni. Padahal Paus sendiri, kata Wilson,
menganjurkan toleransi, termuat dalam pesannya pada Hari Perdamaian Dunia, 3 Februari 1991. Paus mengatakan: “Adalah esensial
bahwa hak menyatakan keyakinan keagamaan masing-masing di
depan umum dan dalam semua bidang kehidupan kewargaan
tetap terpelihara kalau umat manusia memang harus hidup dalam
kedamaian.” Selanjutnya Paus berkata, “Ancaman gawat terhadap
perdamaian datang dari sikap tidak toleran, yang menyatakan diri
dalam sikap menolak kebebasan nurani pada orang lain. Ekses yang
diakibatkan oleh sikap tidak toleran merupakan salah satu pelajaran
paling pahit dalam sejarah.” Tetapi, kata Wilson, beberapa waktu
yang lalu Paus menghalangi orang yang tak bersalah dan banyak
dicintai masyarakat menjadi Uskup Agung Cologne hanya karena
uskup itu berani mengisyaratkan bahwa persoalan moral yang
D4E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
menyangkut pembatasan kelahiran (KB) bukan persoalan yang
paling penting yang dihadapi umat manusia. Di banyak universitas
Katolik di Eropa, kata Wilson, banyak guru besar terkemuka, seperti Hans Kung, tidak diberi hak mengajar karena mereka berani
mempersoalkan perkara Paus yang tidak dapat salah (infallible),
atau karena mereka menyuarakan pendekatan ilmiah dan terbuka
kepada kajian Bibel. “Di seluruh Jerman, Negeri Belanda, Spanyol,
Prancis, dan Amerika Serikat, orang-orang Katolik harus membaca
seruan Bapak Suci kepada toleransi agama. Tapi mereka bertanyatanya, mengapa dia (Paus) tidak menerapkan toleransi itu kepada
dirinya sendiri,” kata Wilson penuh keheranan. Jawabnya ialah, kata
Wilson lagi, bahwa Paus “mengutuk sikap tidak toleran di kalangan
kaum Komunis dan kaum Muslim dan di kalangan kelompok
manusia yang lain karena mereka itu tidak lebih daripada sekadar
manusia. Dia tidak mengutuk sikap tidak toleran dalam dirinya
sendiri karena dia adalah jurubicara Tuhan; dan dia tidak hanya
diizinkan, malah diwajibkan, berkat jabatannya, untuk menganiaya
kekeliruan di mana pun ia temukan.”2
Bagi Wilson, pernyataan Paus pada Hari Perdamaian Dunia
menggambarkan dilema seorang agamawan yang baik hati, apakah
dia itu Katolik, Hindu, Muslim, Protestan, Buddhis, atau lain-lainnya. Wilson pernah mendengar seorang uskup Ortodoks Yunani
dalam suatu khutbah, bahwa seorang agamawan yang baik ialah
orang yang punya cukup iman untuk dapat menganiaya orang lain
karena kekeliruan keagamaan. Jadi, sementara seorang agamawan
yang baik acapkali mencela sikap sempit pikiran dan tidak toleran
pada orang lain yang ingin menganiayanya, namun mereka
sendiri mempertahankan hak untuk memaksa dan menyerang
orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan ada kalanya
mereka menganggap membunuh orang menyimpang itu sebagai
kewajiban.3
2
3
Ibid., h. 4-7.
Ibid.
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
Kita semuanya mengetahui bahwa sebelum Zaman Industri,
perang banyak terjadi atas dorongan agama. Setelah Zaman Industri
tiba, perang banyak didorong oleh rebutan harta. Dan kita tidak
dapat begitu saja menilai bahwa perang atas nama agama adalah
lebih mulia daripada perang atas nama harta, kecuali jika kita
termasuk dan ada dalam pihak golongan agama yang berperang
itu sendiri. Jika kita berada dalam agama ketiga, di luar dua agama
yang sedang berperang, kita akan tersenyum mengejek karena memandang bahwa peperangan yang terjadi antara dua agama (yang
bukan agama kita itu) adalah suatu ironi dan tragedi, karena perang itu merupakan usaha saling menghancurkan oleh dua pihak
yang (dalam pandangan kita) sama-sama palsu (karena kedua
agama itu bukan agama kita sendiri dan tidak seperti agama kita
sendiri). Jadi perang itu adalah suatu perang atas nama kepalsuan,
dari kedua pihak, yang membuat perang semacam itu tidak masuk
akal! Karena itu perang atas nama harta tentunya masih lumayan
lebih baik, karena masih lebih masuk akal! Suatu logika yang tidak
terlalu buruk!
Tapi jika kita termasuk dan berada di pihak suatu agama yang
berperang dengan agama lain, maka dengan sendirinya perang itu
adalah perjuangan sebuah kebenaran melawan dan menghancurkan
kepalsuan. Adakah nilai hidup yang lebih tinggi daripada perjuangan menegakkan kebenaran melawan kepalsuan? Kita pun akan
meyakini adanya unsur kesucian dalam perang serupa itu, sehingga
mati di dalamnya adalah kehormatan yang besar, sebagai syahid
atau martir. Hanya saja kita harus ingat, bahwa mereka yang ada
di pihak lawan agama kita juga berpendapat persis sama, tapi
dengan nilai yang terbalik: benar menjadi palsu, dan palsu menjadi benar, seperti bayangan kita dalam kaca cermin. Kemudian
kita juga harus ingat bahwa mereka yang berada di pihak ketiga,
yang tidak beragama seperti agama kita atau agama lawan kita,
akan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan
antara kedua kepalsuan! Dan inilah “dilema Wilson” tersebut tadi.
Yaitu dilema bahwa agama mengajak kepada kebaikan, dan semakin
D6E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
orang yakin kepada agamanya, adalah semakin baik; tapi justru
“orang baik” itu semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak
toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak mengejar-ngejar
orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber
keonaran sendiri.
Jika kita perhatikan, peta dunia sekarang sedang ditandai
oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Meskipun agama
bukanlah satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya
sangat banyak memainkan peranan. Di ujung paling utara, di
Irlandia, ialah pertentangan tidak berkesudahan antara kaum
Katolik dan kaum Protestan. Dan di tengah-tengah Eropa, sekitar
Prancis dan Jerman, sedang terjadi konflik-konflik yang malu-malu
disebut bersifat keagamaan (karena akan menodai “liberalisme”
mereka) dan terbungkus oleh rasialisme atau kepentingan ekonomi
terhadap para pekerja asing yang kebanyakan beragama Islam.
Sedikit ke selatan, dan masih dalam wilayah Eropa, kita mendapati
bentuk paling baru konflik dengan banyak warna keagamaan,
yaitu di Bosnia-Herzegovina. Kemudian di Cyprus, betapa pun
juga pertentangan antara mereka yang keturunan Turki dan yang
keturunan Yunani tetap sedikit banyak diwarnai oleh sentimen
keagamaan. Konflik-konflik di Palestina khususnya dan Timur Dekat umumnya yang melibatkan kaum-kaum Yahudi, Muslim, dan
Kristen, dengan faksi masing-masing yang cukup membingungkan,
hampir merupakan anomali bagi sebuah tempat buaian peradaban
manusia yang paling berpengaruh, dan jelas anakronistik bahwa
kaum Yahudi hendak mendirikan negara agama di zaman modern
dan atas bantuan negara-negara modern. Dan di Afrika Hitam
pun konflik-konflik dengan warna keagamaan juga tidak mudah
disembunyikan. Di Sudan ada konflik antara Islam yang “Arab”
di sebelah utara dan Kristen yang “Negro” di sebelah selatan. Belum lagi konflik-konflik karena rasialisme dan paham apartheid,
yang juga mengundang keterlibatan berbagai tokoh keagamaan
(Kristen). Negeri-negeri Timur Tengah yang lain juga diramaikan
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
oleh kon flik-konflik dengan warna keagamaan, sebagian
daripadanya sungguh dramatis. Tidak saja konflik antara Irak
dan Iran merupakan konflik antara pemerintahan yang berturutturut didominasi oleh Islam Sunni dan Islam Syi‘i, bahkan juga
masing-masing pihak dengan jelas menggunakan simbol-simbol
keagamaan, seperti heroisme Qadisiyah dari pihak Irak dan
jihad melawan thāghūt (tiran) yang ateis dari pihak Iran. Perang
Teluk yang dahsyat itu secara resmi terhindar dari pewarnaan
keagamaan, namun tidak luput terjadi persepsi populer yang aneh
di sementara kalangan bahwa perang itu adalah perang antara
Islam (Irak) melawan kekafiran (Kuwait, Saudi, Syria, Mesir, yang
dibantu negeri-negeri Barat, khususnya Amerika)! Dan jika kita
teruskan ke timur, kita melewati Afghanistan yang masih dalam
kemelut konflik-konflik politik dengan tema perebutan keabsahan
menurut jenis penganut keagamaan (Islam) mereka. Anak Benua
dan sekitarnya juga meriah dengan percekcokan keagamaan:
Islam Sunnah lawan Islam Syi‘ah di Pakistan, Hindu lawan Islam
di India, Hindu lawan Budhisme (dan Islam) di Srilangka, dan
Budhisme lawan Islam di Burma dan Thailand. Di Filipina kita
sudah lama mengetahui adanya konflik berlarut-larut antara Katolik dan Islam. Di tempat-tempat lain, konflik keagamaan itu
jelas selalu merupakan potensi, yang syukurlah belum, tidak, atau
malah tidak akan, terbuka.
Konflik-konflik tersebut memang mengandung hal-hal di luar
masalah keagamaan sebagai faktor penyebab, utama atau tidak
utama, seperti faktor kebangsaan, kesukuan, kebahasaan, kesenjangan ekonomi, kesejarahan, kekuasaan teritorial, dan seterusnya.
Namun jelas sekali bahwa warna keagamaan tidak dapat diabaikan,
bahkan sedikit banyak mengandung semangat kebencian atas nama
sebuah agama menghadapi agama yang lain, seperti yang amat
tampak pada gejala konflik di bekas Yugoslavia. Dan setiap warna
keagamaan dalam suatu konflk tentu melibatkan agama formal
atau agama terorganisir (organized religion).
D8E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
Kultus dan Fundamentalisme
Sekitar dua puluh tahun yang lalu kami memperkenalkan semboyan:
“Islam, Yes; Partai Islam, No.” Meskipun ungkapan itu kami letakkan dalam sebuah tanda tanya, namun kami berpendapat bahwa
semangat di balik semboyan itu benar adanya, dan pendapat itu
kami pertahankan sampai kini. Sebagian dari keadaan sekarang
berjalan sesuai dengan semboyan itu.
Ternyata, setelah selang dua dasawarsa ini, semboyan yang
mirip sekali diperkenalkan oleh dua orang futurolog, John Naisbitt
dan Patricia Aburdene, berkenaan dengan masalah kehidupan
agama. Mereka berkata: Spirituality, Yes; Organized Religion, No.4
Semboyan ini mengandung makna yang jauh lebih prinsipil
daripada semboyan kami di atas. Dan kami mendapati diri kami
mengalami kesulitan besar, bahkan kemustahilan, untuk dapat
menerima kebenarannya.
Semangat di balik semboyan Naisbitt-Aburdene itu sesungguhnya
sudah lama ada di kalangan masyarakat tertentu, di Barat maupun
di Timur. Mereka ini menginsafi perlunya spiritualisme dalam hidup manusia, namun mereka sangat kritis kepada agama-agama
mapan, bahkan menolaknya. Einstein pernah menyatakan hal
serupa, dan jauh sebelumnya Thomas Jefferson juga menganut
pendangan serupa. Jefferson mengaku sebagai percaya kepada
Tuhan (Deisme), kepada Kemahaesaan Tuhan (Unitarianisme),
dan kepada Kebenaran Universal (Universalisme), tanpa merasa
perlu mengikatkan diri kepada salah satu dari agama-agama formal
yang ada. Jefferson bahkan meramalkan bahwa pahamnya itu akan
menjadi agama seluruh umat manusia, dan dalam jangka waktu
200 tahun akan menggeser agama-agama formal.
Memang betul spiritualisme Jefferson akhirnya masuk ke dalam
perumusan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, dan diungkapkan
John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrends 2000, Ten New Directions
For the 1990’s (New York: Avon Books, 1991), h. 295.
4
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
tidak dalam jargon keagamaan yang berlaku dan dikenal di sana
saat itu, melainkan dalam jargon-jargon Deisme alami seperti
ungkapan Laws of Nature dan Nature’s God. Tapi ramalannya bahwa
Deisme-Unitarianisme-Universalismenya akan menggeser agamaagama formal ternyata meleset sama sekali. Justru, berlawanan
dengan ramalan Jefferson, agama-agama formal sekarang ini bangkit
kembali, sehingga tidak kurang dari seorang pemikir kita yang besar,
almarhum Sudjatmoko, yang mengatakan bahwa abad mendatang
ini adalah abad spiritualitas melalui agama-agama. Oleh karena itu
semboyan “Spirituality, Yes. Organized Religion, No” agaknya tidak
memiliki pijakan yang kuat.
Walaupun begitu menarik sekali menyimak uraian NaisbittAburdene mengenai kehidupan keagamaan di bawah semboyan
tersebut. Pada pokoknya kedua futurolog itu mengemukakan,
berdasarkan hasil-hasil pengumpulan pendapat, adanya indikasi
menaiknya spiritualisme di kalangan masyarakat Amerika, lebih
tinggi daripada masa-masa sebelumnya. Sebagian besar mereka
percaya bahwa “Tuhan adalah kekuatan spiritual yang positif dan
aktif,” meskipun gejala itu disertai dengan menurunnya peran
agama-agama formal. Kalangan muda yang terpelajar di sekolahsekolah tinggi adalah yang pertama-tama bersikap sangat kritis
kepada agama-agama formal. Mereka menilai bahwa gereja dan
sinagog “sibuk dengan masalah-masalah keorganisasian, dengan
mengesampingkan isu-isu teologis dan spiritual.” Maka, kata
Naisbitt-Aburdene, mereka kaum muda itu bukannya manusia
“beragama” (religious), melainkan “berkeruhanian” (spiritual).55
Mungkin sekali bahwa apa yang diamati oleh NaisbittAburdene itu tidak lain ialah apa yang diamati oleh Alvin Toffler
sebagai gejala kultus (cult), yaitu bentuk gerakan spiritual (dan
keagamaan) dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh
disiplin, absolutistik, dan, dengan sendirinya, kurang toleran kepada
kelompok lain. Kultus biasanya berpusat kepada ketokohan seorang
5
Ibid., h. 295-296.
D 10 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
pribadi yang menarik, berdaya pikat retorik yang memukau, dan
dengan sederhana, namun dengan penuh keteguhan, menjanjikan
keselamatan dan kebahagiaan. Contoh yang paling sering disebut
untuk gerakan kultus ini ialah Unification Church, Divine Light
Mission, Hare Krishna, the Way, People’s Temple, Yahweh ben
Yahweh, New Age, Aryan Nation, Christian Identity, the Order,
Scientology, Jehovah Witnesses, Child ren of God, gerakan
Bhagawan Shri Rajneesh, dan lain-lain. Semuanya di Amerika,
namun hal yang serupa dan yang analog dengan itu juga muncul
di mana-mana, termasuk akhir-akhir ini di negeri kita.
Bagi Toffler, merajalelanya kultus adalah gejala sosial yang
membingungkan, yang hanya dapat diterangkan jika kita melihat
gejala-gejala negatif masyarakat industri, yaitu kesepian, hilangnya struktur kemasyarakatan yang kukuh, dan ambruknya makna
yang berlaku.6 Dalam kata-kata lain, masyarakat industri telah
mengakibatkan alienasi atau keterasingan pada diri pribadi para
anggotanya, yang inti pengertian alienasi itu dijelaskan oleh seorang
psikoanalis terkenal, Eric Fromm, demikian:
Alienation as we find in modern society is almost total; it pervades
the relationship of man to his work, to the things he consumes, to
the state, to his fellow man, and to himself. Man has created a world
of man-made things as it never existed before. He has constructed a
complicated social machine to administer the technical machine he
built. Yet this whole creation of his stands over and above him. He
does feel himself as a creator and center, but as a servant of a Golem,
which his hands have built. The more powerful and gigantic the
forces are which he unleashes, the more powerless he feels himself as
a human being. He confronts himself with his own forces embodied
in things he has created, alienated from himself. He is owned by
his own creation, and has lost ownership of himself. He has built a
6
Alvin Toffler, The Third Wave (New York: Bantam Books, 1990), h. 374.
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
golden calf, and says, Sthese are your gods who have brought you
out of Egypt.7
(Alienasi yang kita temukan dalam masyarakat modern adalah
hampir total; ia meliputi hubungan manusia dengan pekerjaannya,
ke benda-benda yang ia konsumsi, ke negara, ke sesamanya, dan
ke dirinya sendiri. Manusia telah menciptakan suatu dunia dari
barang-barang buatan manusia yang tidak pernah ada sebelumnya.
Ia telah membangun permesinan sosial yang ruwet untuk mengatur permesinan teknis yang ia bangun. Namun seluruh kreasinya
itu tegak di atas dan mengatasi dirinya sendiri. Memang ia merasa
dirinya sebagai pencipta dan pusat, tapi juga sebagai budak sebuah
berhala Golem yang ia buat dengan tangannya sendiri. Semakin
kuat dan besar kekuatan yang ia lepaskan, semakin ia merasa dirinya
tak berdaya sebagai manusia. Ia menghadapi dirinya sendiri dengan
kekuatan dirinya yang dikandung dalam benda-benda yang ia ciptakan, yang terasing dari dirinya sendiri. Ia dikuasai oleh kreasinya
sendiri, dan telah kehilangan kekuasaan terhadap dirinya sendiri. Ia
telah membuat sebuah patung anak sapi emas, dan berkata, “inilah
dewamu yang membawa kamu keluar dari Mesir.”)
Alienasi itulah yang menyebabkan orang tertarik kepada
kultus-kultus. Sebab alienasi menimbulkan rasa kesepian yang
mencekam, yang merindukan perkawanan akrab dan hangat, yang
mendambakan suatu penjelasan tentang apa dan ke mana hidup
ini. Toffler menjelaskan kenyataan ini sebagai berikut:
Untuk orang-orang yang kesepian, kultus-kultus menawarkan, pada
permulaannya, persahabatan yang merata. Kata seorang petugas
Unification Church: “Kalau ada orang kesepian, kita bicara kepada
mereka. Banyak orang kesepian di sekitar kita.” Pendatang baru itu
dikelilingi oleh orang-orang yang menawarkan persahabatan dan
Erich Fromm, The Sane Society (New York: Holt, Reinehart and Winston,
1964), h. 124-125.
7
D 12 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
isyarat dukungan kuat. Banyak kultus yang menghendaki kehidupan
komunal. Kehangatan dan perhatian yang tiba-tiba ini sedemikian
kuatnya memberi rasa kebaikan sehingga anggota-anggota kultus
sering bersedia untuk memutuskan hubungan dari keluarga dan
teman-teman lama mereka, untuk mendermakan penghasilannya
kepada kultus, (kadang-kadang) menerima narkotika dan bahkan
seks sebagai imbalan.
Tetapi kultus menawarkan lebih banyak daripada sekadar perkumpulan. Ia juga menawarkan struktur yang banyak dibutuhkan.
Kultus-kultus menyodorkan ketentuan-ketentuan yang ketat pada
tingkah laku. Mereka menuntut dan menciptakan disiplin yang
amat kuat, sebagian tampaknya bertindak begitu jauh sehingga
memaksakan disiplin itu melalui penyiksaan, kerja paksa, dan
bentuk-bentuk kurungan dan penjara yang mereka buat sendiri.8
Tetapi sejauh-jauh ketenangan batin yang ditawarkan oleh
sebuah kultus lewat janji-janji keselamatan yang diberikan dengan
tegas dan lugu, namun ketenangan itu bersifat sementara belaka,
yang berfaedah hanya dalam menjawab secara sementara persoalan
makna hidup yang lebih mendalam dan asasi. Karena itu disebut
bahwa efek sebuah kultus adalah palliative, yakni, memberi hiburan
cepat dan jangka pendek, jadi ada unsur kepalsuan di dalamnya.
Maka sebuah kultus, meskipun diberi label keagamaan formal
(Budhisme, Hinduisme, Islam, Kristen, dan lain-lain), adalah sesungguhnya sebuah religio illicita, atau erzats religion, agama palsu.
Kultus merupakan bentuk pelarian spiritual karena kebingungan
dan kesepian yang tidak dapat diselesaikan oleh agama formal atau
terorganisasi.
Sebagai pelarian, fundamentalisme keagamaan pun tidak begitu
jauh dari kultus. Unsur-unsur yang menjadi ciri utama kultus juga
merupakan unsur-unsur yang menjadi ciri utama fundamentalisme,
seperti ketertutupan, pemaksaan disiplin yang keras, hasutan
8
Alvin Toffler, op.cit., h. 375
D 13 E
F NURCHOLISH MADJID G
kepada pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional,
absolutisme dan janji-janji keselamatan yang diberikan dengan
tegas dan sederhana. Seperti dicontohkan oleh peristiwa bunuh
diri massal para pengikut kultus People’s Temple pimpinan James
Jones setelah pindah dari Amerika ke Guyana dan pengikut kultus
pimpinan David Koresh di Waco, Texas, sebuah kultus dapat
berkembang menjadi sangat anti-sosial, bahkan menjerumuskan
para pengikutnya kepada psikologi “ingin mati” (death wish).
Dan fundamentalisme pun dapat menunjukkan sikap-sikap antisosial serupa itu, meskipun mungkin dengan kadar yang lebih
rendah. Adalah tidak kurang dari Jerry Falwell, seorang tokoh
kelompok fundamentalis Moral Majority, yang mengutuk kaum
liberal karena pandangan mereka bahwa manusia pada dasarnya
adalah baik. Menurut Jerry Falwell, pandangan itu keliru, sebab,
katanya, “menurut Bibel manusia pada dasarnya adalah jahat.”9
Jelas pandangan kemanusiaan Falwell yang negatif-pesismis seperti
ini adalah sangat anti-sosial dan berbahaya, dan dengan mudah
dapat ditransformasi menjadi dasar pembenaran untuk tindakantindakan penganiayaan kepada sesama manusia, lebih-lebih jika
berbeda paham dan pandangan.
Paham bahwa manusia pada dasarnya jahat adalah jelas palsu.
Dan adanya paham serupa itu pada suatu kelompok, seperti yang
dipimpin oleh Falwell, adalah juga petunjuk kepalsuan paham
kelompok itu secara menyeluruh. Pandangan pesimis-negatif
kepada manusia itu, jika pun di Barat pernah ada (dan memang
tidak saja pernah ada tapi sungguh sangat kuat) sudah lama diganti
dengan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif, yang nanti
akan semakin kukuh dalam Humanisme modern.10
9
Termuat dalam sebuah rekaman video tentang kaum fundamentalis yang
dibuat oleh perkumpulan “Fundamentalist Anonymous”, New York, 1989.
10
Seperti halnya dengan dasar-dasar ilmu pengetahun dan teknologi
modern berasal dari perkenalan bangsa-bangsa Barat dengan ilmu pengetauan
dan teknologi Islam, dasar-dasar Humanisme modern pun berasal dari perkenalan mereka dengan ajaran-ajaran kemanusiaan Islam. Ini tergambarkan
D 14 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
Kepalsuan fundamentalisme di Amerika juga terungkap oleh
terjadinya skandal-skandal para pemimpinnya sendiri. Satu persatu
para milyarder berkat jaringan televisi evangelik, dari Jimmy
Swaggart (lawan Ahmad Deedad dari Afrika Selatan dalam debat
televisi), Oral Roberts, Jim dan Tammy Baker, terlibat dalam
skandal-skandal, dan meruntuhkan klaim-klaim kesucian mereka.
Namun karena pada dasarnya fundamentalisme menawarkan
jawaban dan penyelesaian (betapa pun sementaranya dan palsunya)
kepada masalah-masalah kesepian dan alienasi kejiwaan, maka ia
tetap menarik untuk banyak orang, sehingga juga tetap mempunyai
potensi penyesatan kepada masyarakat, entah sampai kapan.11
Kultus dan fundamentalisme merupakan ciri amat menonjol
di Amerika. Menurut Toffler di Amerika terdapat sekitar 1000
dalam pikiran kemanusiaan Giovanni Pico della Mirandola, seorang pemikir
Eropa zaman Renaisans, yang dalam memulai sebuah ceramah kefilasafatannya
tentang manusia mengatakan: “I have read in the records of the Arabians, reverend
Fathers, that Abdala the Saracen, when questioned as to what on this stage of the
world, as it were, could be seen most worthy of wonder, replied: ‘There is nothing
to be seen more wonderful than man.’” (Saya telah membaca dalam buku-buku
orang Arab, wahai para Bapak yang mulia, bahwa Abdala [Abdullah] orang
Saracen [Muslim zaman Perang Salib—NM], ketika ditanya tentang apa di atas
panggung dunia ini, seperti yang ada, dapat dipandang paling mengagumkan,
menjawab: ‘Tidak suatu apa pun yang dapat dipandang lebih mengagumkan
daripada manusia’). (Ernst Cassirer, et. al. The Renaissance Philosophy of Man
[Chicago: The University of Chicago Press, 1948], h. 223). Seperti kita ketahui,
pandangan dasar Islam tentang manusia ialah (1) manusia itu baik, karena
diciptakan dalam fitrah; (2) fitrah itu membuat manusia berkecenderungan
alami kepada kesucian, kebenaran, dan kebaikan (hanîf); (3) manusia adalah
makhluk yang tertinggi; (4) Allah memuliakan manusia; (5) Allah mengangkat
manusia sebagai khalifah-Nya di bumi. Implikasi pandangan kemanusiaan Islam
itu sungguh luas dan prinsipil, yang melahirkan antara lain pandangan yang
optimis-positif kepada manusia (prinsip “prasangka baik” atau husn al-zhann,
bukan “prasangka buruk” atau sû’ al-zhann). Jadi sama dengan pandangan
kemanusiaan kaum liberal Barat yang dikutuk Falwell, namun lebih unggul
daripada humanisme liberal karena humanisme Islam tetap dibimbing oleh
iman yang benar kepada Tuhan.
11
Lihat pembahasan menarik tentang hal ini dalam Naisbitt dan Aburdene,
op. cit., h. 301.
D 15 E
F NURCHOLISH MADJID G
kultus keagamaan.12 Namun, seperti telah dikemukakan, kultus
dan fundamentalisme bukanlah monopoli Amerika. Dalam hal ini,
Amerika hanyalah mendahului tempat-tempat lain sekitar 20-an
tahun.13 Dan di negeri kita ini pun, sebagaimana sudah disinggung,
juga terdapat gejala-gejala kultus dan fundamentalisme (yakni,
fundamentalisme dalam arti gejala kefanatikan dan ketertutupan
dalam corak penganutan agama). Sebab meskipun Indonesia masih
amat jauh dari keadaan Amerika sebagai negeri industri maju,
namun kondisi-kondisi sosial-psikologis yang menyediakan lahan
untuk tumbuhnya kultus dan fundamentalisme tidaklah terlalu
berbeda dengan di Amerika, yaitu gejala sosial-psikologis kesepian
dan alienasi. Di negeri kita ini gejala negatif itu adalah akibat
perubahan sosial yang cepat, bahkan amat cepat. Dan dampak
sampingan yang negatif dari perubahan sosial yang cepat dan besar
dalam batas-batas nasional itu masih ditambah dengan dampak
sampingan negatif dari perubahan sosial seluruh dunia akibat globalisasi informasi dan transportasi.
Gejala seperti dislokasi kejiwaan, disorientasi (kehilangan
pegangan hidup karena runtuh atau goyahnya nilai-nilai lama)
dan deprivasi relatif (perasaan teringkari atau tersingkirkan dalam
bidang-bidang kehidupan tertentu) selalu menyertai perubahan
sosial yang cepat dan besar, dan merupakan sumber berbagai krisis.
Dalam hal ini justru Indonesia yang masih sedang berkembang
mungkin tidak lebih beruntung daripada Amerika yang maju. Sebab
dalam masyarakat maju seperti Amerika, dislokasi, disorientasi dan
deprivasi relatif dapat dikurangi dengan meratanya pendidikan
dan pendapatan, serta dengan terbukanya mobilitas, baik vertikal
maupun horizontal. Menurut para ahli sosiologi perubahan sosial, pemerataan adalah faktor yang paling banyak mengurangi
prasangka sosial, baik yang mengikuti jalur keagamaan, kesukuan,
12
13
Alvin Toffler, op.cit., h. 374.
Ibid., h. 375.
D 16 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
kedaerahan, maupun jalur mana saja yang lain.14 Padahal prasangka
adalah pangkal keonaran sosial yang paling berbahaya.
Tapi di Indonesia, sampai dengan saat sekarang ini, justru ketidakmerataan dan ketikdaksamaan masih merupakan ciri yang
amat menonjol dalam distribusi informasi, pendapatan, dan kesempatan. Maka krisis di sini sebenarnya jauh lebih hebat daripada
di Amerika, kalau saja tidak karena adanya faktor-faktor tertentu
lainnya yang berfungsi meredamnya. Krisis itu dapat muncul
dengan ekspresi dalam berbagai bentuk. Salah satunya mungkin
dalam bentuk yang dapat mengancam, sekurangnya mengganggu,
stabilitas dan keamanan nasional (yang bukan di sini tempat membahasnya). Dan bentuk lainnya lagi ialah menggejalanya kultus dan
fundamentalisme. Mengutip beberapa sumber, buku Megatrends
2000 menyebutkan bahwa fundamentalisme adalah “suatu gerakan
emosional-reaksioner yang berkembang dalam budaya-budaya yang
sedang mengalami krisis sosial,” dan bersifat “otoriter, tidak toleran,
dan bersemangat memaksa dalam menampilkan dirinya terhadap
masyarakat yang lain. Fundamentalisme adalah sikap jiwa yang
melihat segala sesuatu secara hitam-putih, yang untuk itu tidak
dikenal adanya kompromi.”15
Lalu mengapa fundamentalisme, selain kultus, begitu populer?
Karena “pada saat-saat terjadinya perubahan sosial yang besar, yang
juga saat-saat gerakan milenial (harapan pertolongan “dari langit”)
muncul, agama fundamentalis menyuarakan keluar jawaban untuk banyak orang — sehingga mereka ini tidak perlu membuat
14
The trends of advanced industrialization are generally considered to
imply social change in the direction of less prejudice because of three sets of
variables: higher level of education, growth of middle-income occupations and
professions, and increased urbanization.
(Dengan kata-kata lain, tiga variabel perubahan sosial yang mampu mengurangi prasangka ialah: [1] meratanya pendidikan, [2] merata dan meningkatnya
pendapatan, [3] kebebasan bergerak). (Bruno Bettelheim & Morris Janowitz,
Social Change and Prejudice [New York: The Free Press, 1975], h. 3).
15
Naisbitt & Aburdene, op. cit., h. 300.
D 17 E
F NURCHOLISH MADJID G
keputusan-keputusan sendiri.”16 Jadi sesungguhnya kultus dan
fundamentalisme adalah gejala sosial-psikologis yang oleh Eric
Fromm disebut gejala “Lari dari Kebebasan” (Escape from Freedom).
Dalam keadaan orang tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat
karena bingung akibat perubahan sosial yang besar, orang tidak
berani membuat keputusan sendiri, dan ingin menyerahkan segala
sesuatu kepada keputusan “sang pemimpin”. Inilah salah satu
basis sosial-psikologis bagi munculnya totalitarianisme. “Freedom
can be frightening; Totalitarianism can be tempting,” (Kebebasan
dapat menakutkan; Totalitarianisme dapat menggiurkan), kata
Eric Fromm.17
Oleh karena itu bagaimanapun kultus dan fundamentalisme
hanyalah pelarian dalam keadaan tidak berdaya. Sebagai sesuatu
yang hanya memberi hiburan ketenangan semu atau palliative,
kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan
narkotika. Tetapi narkotika menampilkan bahaya hanya melalui
pribadi yang tidak memiliki kesadaran penuh (“teler”), baik secara
perorangan maupun kelompok (sehingga tidak akan menghasilkan
suatu “gerakan” sosial dengan suatu bentuk kedisiplinan keanggotaan para pengguna narkotika — bukan keanggotaan sindikat
para penjualnya). Sedangkan kultus dan fundamentalisme dengan
sendirinya melahirkan gerakan dengan disiplin yang tinggi. Maka
penyakit yang terakhir ini adalah jauh lebih berbahaya daripada
yang pertama.
Beberapa kalangan masyarakat industri maju, khususnya
Amerika yang memang paling dahsyat dilanda oleh kultus dan
fundamentalisme, telah menyadari masalah ini dan membentuk
perkumpulan-perkumpulan guna memberi peringatan kepada
umum. Di Chicago berdiri perkumpulan Cult Awareness Network
16
“In times of great social change, the same times when millenial movements spring up, fundamentalist religion spells out the answers for people — so
they need not make decisions alone,” (Ibid., h. 301).
17
Begitulah bunyi subjudul buku Eric Fromm, Escape from Freedom (New
York: Avon Books, 1965).
D 18 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
(CAN), dan di New York dibentuk gerakan Fundamentalists Anonymous (perhatikan nama gerakan itu yang dibuat mirip dengan
gerakan Alcoholics Anonymous, karena pandangan bahwa fundamentalisme adalah sejenis alkohol atau narkotik, yaitu samasama bersifat palliative tersebut di atas tadi). Sebagaimana mereka
memandang narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman kepada
kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga berkeyakinan bahwa
kultus dan fundamentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak
kurang gawatnya. Dan sementara mereka para anggota sebuah
kultus atau aliran fundamentalis sendiri tentu mengingkari, namun
bahaya yang terkandung dalam ajaran serupa itu telah berkali-kali
terbukti, yang paling dramatis ialah peristiwa bunuh diri massal
People’s Temple di Guyana dan bakar diri massal pengikut kultus
pimpinan David Koresh di Waco, Texas.
Makna dan Tujuan Hidup
Oleh karena kultus dan fundamentalisme adalah akibat bekerjanya
berbagai faktor dalam masyarakat yang sedang berubah cepat,
maka usaha mengatasi dan menyelesaikan permasalahannya
menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia: sosial, ekonomi,
politik, ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, psikologi, dan
seterusnya. Tetapi karena kultus dan fundamentalisme lebih-lebih
merupakan gejala keagamaan atau keruhanian, maka salah satu cara
mengatasinya ialah mencari bentuk penganutan dan penghayatan
nilai keagamaan, jika mungkin yang lebih sehat, jika tidak mungkin
maka sekurang-kurangnya yang dapat menjadi alternatif bagi kultus
atau fundamentalisme tanpa akibat-akibat buruk suatu kultus atau
fundamentalisme.
Premis pertama dan utama dalam perkara ini ialah bahwa manusia tidak mungkin hidup dengan kejiwaan yang aman tenteram
(sebutlah, bahagia), tanpa keinsafan akan makna dan tujuan hidup
itu sendiri. Ini ditegaskan, bahkan oleh seorang ateis radikal, filsuf
D 19 E
F NURCHOLISH MADJID G
Bertrand Russel, ketika dia terpaksa, dan dengan keseganan luar
biasa, mengatakan bahwa manusia memerlukan rasa cinta seperti
diajarkan agama Kristen, sebagai salah satu bentuk makna hidup.
Kata Russel:
Kalau Anda merasakan cinta ini, Anda mempunyai motif untuk
bereksistensi, suatu tuntunan untuk bertindak, alasan untuk berani,
keharusan yang imperatif untuk kejujuran intelektual. Jika Anda
merasakan ini, Anda akan memiliki semua yang setiap orang harus
memilikinya dalam cara agama. Meskipun Anda tidak mendapatkan
kebahagiaan, Anda tidak akan pernah tahu keputusasaan yang
mendalam pada orang-orang yang hidupnya tanpa tujuan dan
kosong dari makna; sebab senantiasa ada sesuatu yang Anda dapat
lakukan untuk mengurangi tumpukan amat besar kesengsaraan
manusia.18
Dihadapkan kepada kemungkinan banyaknya pilihan konsep
tentang makna dan tujuan hidup, pertanyaannya ialah, seperti
dikemukakan oleh Eric Fromm, makna dan tujuan hidup yang
mana? Manusia merindukan kebahagiaan, kebenaran, keadilan,
cinta, tujuan pengabdian; dapatkah kita memenuhi kerinduan itu?19
Dan melihat kenyataan bahwa manusia tampaknya selalu mempunyai naluri untuk beragama — agama apa pun dia, termasuk
“ersatz religion,” “religio illicita,” dan “religion equivalents” seperti
Fasisme, Nazisme, dan Marxisme — maka persoalannya bukanlah
terutama bagaimana mendorong manusia untuk beragama, melainkan bagaimana manusia dapat menemukan agama atau cara
memeluk agama dan menghayatinya begitu rupa sehingga tidak
membuatnya malah lumpuh secara keruhanian, melainkan yang
Bertrand Russel, The Impact of Science on Society (London: Unwin
Paperbacks, 1985), h. 105.
19
Eric Fromm, Psychoanalysis and Religion (New Haven: Yale University
Press, 1950), h. 3.
18
D 20 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
akan mengembangkan lebih lanjut nilai kemanusiaannya sendiri
dan membuat mekar potensi spesifiknya sebagai manusia.20
Karena itu jenis keagamaan yang jelas sekali tidak dikehendaki
dan tidak dapat diterima ialah agama yang membuat seseorang
tunduk-patuh dan pasrah total kepada sesama manusia, dan yang
membuatnya terasing dari dirinya sendiri, meskipun semuanya
itu ia lakukan dalam kedok menyembah Tuhan.21 Sebab “Tuhan”
dan “Tuhan” pun dapat bermakna macam-macam. Se ba gai
contoh, “Allah”-nya orang Arab sebelum Islam adalah berbeda
dengan “Allah”-nya Islam. Antara lain karena “Allah”-nya orang
Arab sebelum Islam punya anak dan serikat atau associates yang
semuanya minta “dilayani” dalam bentuk sajian dan ketundukan
dari manusia.22 Sedangkan “Allah”-nya Islam ada dalam pengertian
Ibid., h. 26.
Ibid., h. 51.
22
Menurut penelitian sejarah dan arkeologi, sebagaimana dibahas oleh
Isma‘il al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, bangsa Arab sudah kenal dengan
“dewa” yang mereka sebut Allâh atau al-Ilâh, namun dalam makna yang sama
sekali berbeda dengan yang dipahami dalam Islam. Untuk lebih jelasnya, alFaruqi suami-istri itu menerangkan demikian:
South Arabian (Ma’în, Saba’, and Qatabân) as well as North Arabian
(Lihyân, Thamûd, and Safâ) inscriptions give evidence that a supreme deity
called al Ilah or Allah was worshipped from time immemorial. This deity
watered the earth, made the crops grow, the cattle multiply, and the springs
and wells yield their life-giving waters. In Makkah as well as throughout
Peninsular Arabia, “Allah” was acknowledged as “the creator of all,” “the Lord
of the world,” “the Master of heaven and earth,” “the ultimate Controller of
all.” “Allah” was the most frequently mentioned divine name. However, His
wondrous effects were expressed in the sun and the moon, for example. His
qualities were hypostasized and turned into gods and goddesses beside Him.
Thus a whole pantheon came to exist, each member catering either to a special
need or a special tribe and representing a special feature, site, object, or force
that suggested His numinous presence, provision, or might. Allât, a goddess,
was described as the daughter of Allah and identified with the sun by some, with
the moon by others. Al-‘Uzzâ was a second divine daughter, associated with the
planet Venus; Manât, the third daughter, represented fate. Dhû al-Sharâ and
Dhû al-Khalâsah were gods that took the names of places of divination; Dhû
al-Kaffayn and Dhû al-Rijl were associated with bodily organs of some special
20
21
D 21 E
F NURCHOLISH MADJID G
paham Ketuhanan Yang Mahaesa yang murni, atau yang menurut
Max Weber disebut sebagai “monoteisme murni” — strict monotheism,23 sebagaimana tercantum secara ringkas dan padat dalam
al-Qur’an, surat al-Ikhlāsh yang terkenal.24
— though unknown — significance. Wudd, Yaghûth, Ya‘ûq, and Suwâ’ were
gods who took the names of the divine functions of loving, helping, preserving,
and inflicting of hard punishment, respectively. The god Hubal, who had the
most prominent statue in The Ka‘bah, had a hand made of solid gold. Al-Malik
(the King), al-Rahmân (the Merciful), and al-Rahîm (the Always-merciful)
identified gods or perhaps represented supreme divine functions of a god of
another name. (Isma‘il R. dan Lois Lamya’ al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam
[New York: Macmillan, 1986], h. 65-66).
Al-Qur’an sendiri (29:61, 31:135, 39:38, 43:9, 43:87) juga menyebutkan
bahwa orang-orang Arab Jahiliah juga percaya kepada Allah sebagai satu-satunya
pencipta alam semesta beserta seluruh isinya. Namun mereka mempunyai
pengertian sendiri tentang apa atau siapa hakikat Allah yang mereka percayai
itu, dan masih menyembah yang lain juga, yaitu berhala, yang mereka anggap
menjadi perantara dengan Allah (lihat Q 39:3). Jadi pada orang Arab Jahiliah
itu kepercayaan kepada Allah pun (karena kekeliruan pengertiannya) masih
mengakibatkan apa yang oleh Eric Fromm disebut sebagai alienasi, sebab
kepercayaan itu tetap berujung pada sikap tunduk patuh kepada berhala
“Golem.” Karena itu menurut Ibn Taymiyah dan umumnya kaum Hanbali,
orang-orang Arab Jahiliah itu sudah mengenal tauhid, namun hanya jenis
tauhid rubûbîyah (mengakui Allah sebagai satu-satunya Pencipta, namun masih
menyembah yang lain juga), yang kemudian dikoreksi atau disempurnakan
oleh Islam (al-Qur’an) dengan tauhid ulûhîyah (selain mengakui Allah sebagai
satu-satunya Pencipta juga mengakui dan meyakini-Nya sebagai satu-satunya
yang berhak disembah).
23
“Only Judaism and Islam are strictly monotheistic in principle, and
even in the latter there are some deviations from monotheism in the later cult
of saints. Christian trinitarianism appears to have a monotheistic trend when
contrasted with the tritheistic forms of Hinduism, late Buddhism, and Taoism.
Yet in practice, the Roman Catholic cult of masses and saints actually comes
fairly close to polytheism,” (Max Weber, The Sociology of Religion, terjemah
Inggris oleh Ephraim Fischoff, dengan pengantar oleh Talcott Parsons [Boston:
Beacon Press, 1964], h. 138).
24
Yaitu al-Qur’an, surat al-Ikhlâsh/112, yang secara populer disebut surat
“Qul-hu”, yang artinya dalam terjemahan kurang lebih adalah: “Katakan (wahai
Muhammad): ‘Dia, Allah (Tuhan itu), adalah Mahaesa. Allah, awal dan akhir
segala harapan. Yang tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan, Yang tiada
suatu apa pun bagi-Nya bandingan.”
D 22 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
Suatu tujuan pengabdian atau obyek sesembahan (object of
devotion) untuk manusia, yang terdiri dari sesama wujud nisbi
seperti manusia sendiri dan benda-benda alam lainnya, pasti akan
berakibat pembelengguan jiwa dan ruhani manusia bersangkutan.
Dengan perkataan lain suatu tujuan pengabdian yang tidak benar akan selalu berwatak tiranik, menguasai jiwa manusia, dan
merampas kemerdekaan dirinya yang merupakan inti harkat dan
martabatnya selaku makhluk yang tertinggi. Oleh karena itu,
untuk menggambarkan obyek sesembahan yang merampas kemerdekaan inti manusia itu, Kitab Suci al-Qur’an menggunakan istilah
thāghūt,25 dan terdapat penegasan bahwa untuk setiap umat atau
golongan manusia telah pernah dibangkitkan atau diutus seorang
Utusan Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah
kepada Tuhan saja (dalam pengertian paham Ketuhanan Yang
Mahaesa yang murni di atas), dan meninggalkan thāghūt atau
sistem tiranik:
“Sungguh telah Kami bangkitkan dalam setiap umat (golongan manusia)
seorang Rasul, (dengan pesan), ‘(Wahai umatku), sembahlah olehmu
sekalian Allah (Tuhan Yang Mahaesa), dan jauhilah thāghūt!’ Dari
antara mereka (umat itu) ada yang diberi petunjuk Allah, dan dari antara
mereka ada yang jelas menempuh kesesatan. Karena itu mengembaralah
kamu sekalian di muka bumi, dan perhatikanlah bagaimana akibat
mereka yang mendustakan (kepada Rasul) itu,” (Q 16:36).
Dari firman itu, serta firman-firman yang lain, kita mengetahui
bahwa semua agama Nabi dan Rasul yang telah dibangkitkan daPerkataan Arab thâghût adalah kata keterangan pelaku (active participle)
dalam format penegasan berasal dari kata kerja thaghâ yang artinya “bertindak
tiranik” (sebagaimana gambaran tentang diri Fir‘aun dari Mesir — Q 20:24),
dengan kata benda abstraknya, thughyân. Karena setiap kekuatan tiranik tentu
jahat, maka perkataan thâghût juga sering diasosiasikan dan diterangkan sebagai
kekuatan jahat (evil power) atau kekuatan setan (satanic power), malah setan
itu sendiri.
25
D 23 E
F NURCHOLISH MADJID G
lam setiap umat adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan
Rasul itu ialah Ketuhanan Yang Mahaesa dan perlawanan terhadap
kekuatan-kekuatan tiranik. Dengan perkataan lain, Ketuhanan Yang
Mahaesa dan perlawanan terhadap tirani adalah titik-pertemuan,
common platform atau, dalam bahasa al-Qur’an, kalîmat-un sawā’
(kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci. Maka
dalam al-Qur’an ada perintah kepada Nabi saw untuk mengajak
kepada para penganut Kitab Suci agar berpegang teguh kepada
ajaran Ketuhanan Yang Mahaesa, dengan menyembah hanya
kepada-Nya saja, tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apa
pun juga, dan dengan meninggalkan praktik mengangkat sesama
manusia sebagai “tuan-tuan” (arbāb), selain dari Allah, Tuhan Yang
Mahaesa.26
Dan “mengangkat sesama manusia sebagai tuan-tuan” dalam
konteks firman itu ialah menjadikan sesama manusia sebagai
sasaran penyembahan, dedikasi, devosi, atau sikap pasrah yang
total. Maka seruan agar kita semua, para penganut agama kitab
suci (maksudnya, bukan agama alam seperti animisme atau
paganisme), meninggalkan praktik mengangkat sesama kita sebagai
“tuan-tuan” mengandung makna bahwa hendaknya kita berusaha
membebaskan diri dari obyek-obyek yang membelenggu kita dan
menjerat keruhanian kita. Ini adalah sejajar dan identik dengan
semangat dan makna dari bagian pertama kalimat persaksian, “Aku
bersaksi bahwasanya tidak ada suatu tuhan (ilāh)...”, yakni, “aku
menyatakan diri bebas dari kungkungan kepercayaan-kepercayaan
palsu yang membelenggu dan menjerat ruhaniku.” Kemudian,
“Katakan (olehmu, Muhammad): ‘Wahai para pengikut kitab suci,
marilah menuju kepada kalîmat-un sawâ’ (kalimat atau ajaran yang sama)
antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, dan
tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apa pun juga, dan sebagian dari kita
tidak mengangkat sebagian yang lain selaku tuan-tuan selain daripada Allah.’
Jika mereka berpaling (menolak), maka katakanlah olehmu (Muhammad, kepada
mereka): ‘Jadilah kamu semua sebagai saksi bahwa kami adalah orang-orang yang
pasrah (kepada Tuhan),’” (Q 3:64).
26
D 24 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
untuk sempurnanya proses pembebasan itu, pernyataan diteruskan
dengan “...kecuali Allah (al-Ilāh, al-Lāh, yakni Tuhan yang sebenarnya, yang dipahami dalam kerangka semangat ajaran Ketuhanan
Yang Mahaesa atau tauhid ulūhîyah, monoteisme murni — strict
monotheism). Inilah “teologi pembebasan” yang sebenar-benarnya,
jika memang kita harus (dan boleh) menggunakan istilah yang
populer di kalangan para aktivis keagamaan (Katolik) di Amerika
Latin itu. Tidak akan terjadi pembebasan pada diri pribadi manusia
sebelum ia meyakini makna dan semangat seperti yang terkandung dalam kalimat persaksian itu dengan sungguh-sungguh dan
membawanya ke dalam hidup nyata dengan sungguh-sungguh.
Dalam Kitab Suci al-Qur’an bahkan dilukiskan bahwa secara
ruhani pembebasan diri itu harus dilakukan seorang individu
dari lingkungan dirinya yang paling dekat seperti orangtua, anak,
saudara, kerabat, pekerjaan, tempat tinggal, dan seterusnya. Firman
Ilahi yang bekaitan dengan pembebasan itu terbaca (terjemahnya)
demikian:
“Katakan olehmu (Muhammad): ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,
saudara-saudaramu, jodoh-jodohmu, kerabatmu, harta yang kamu
kumpulkan, perdagangan yang kerugiannya kamu khawatirkan, dan
tempat-tempat tinggal yang bagimu menyenangkan, lebih kamu cintai
daripada Allah dan Rasul-Nya serta kesungguhan di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai tiba saatnya Allah memberlakukan keputusan-Nya.
Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik,’” (Q 9:24).
Kitab Injil atau Perjanjian Baru juga mengajarkan pandangan
yang serupa, seperti yang disebutkan sebagai penegasan oleh Nabi
Isa al-Masih, demikian:
Janganlah kamu sangkakan aku datang membawa keamanan di atas
bumi ini. Bukannya aku datang membawa keamanan, melainkan
pedang.
D 25 E
F NURCHOLISH MADJID G
Karena aku datang menceraikan orang dari bapanya, dan anak
yang perempuan dengan ibunya, dan menantu perempuan dengan
mak-mertuanya; dan orang yang serumahnya masing-masing akan
menjadi seterunya.
Siapa yang mengasihi bapanya atau ibunya lebih daripadaku,
tiada ia berlayak kepadaku; dan siapa yang mengasihi anaknya
laki-laki atau anaknya yang perempuan lebih daripadaku, tiada ia
berlayak kepadaku (Injil Matius, 10:34-37).
Firman Allah dalam al-Qur’an tersebut di atas sudah pasti
bukanlah dimaksudkan sebagai ajaran agar kita membenci orangtua
kita, anak-anak kita, saudara-saudara kita, dan keluarga kita.
Juga sudah pasti bukanlah maksudnya memerintahkan agar kita
meninggalkan harta kekayaan kita, pekerjaan kita, dan rumah
kita. Seandainya demikian itu, maka akan bertentangan dengan
berbagai perintah dalam al-Qur’an sendiri agar kita berbuat baik
kepada orangtua, kasih kepada anak, memperhatikan saudara, dan
menjalin cinta kasih (shîlat al-rahm, “silaturrahmi”). Juga akan berlawanan dengan kemurahan Allah bagi para hamba-Nya dalam hal
harta benda yang halal dan dipenuhi kewajiban sosialnya (zakat,
dan lain-lain), perintah untuk bekerja mencari rezeki, dan ajaran
harus dihormatinya rumah tempat tinggal sebagai lingkungan yang
privé. Firman itu menegaskan bahwa agar seseorang dapat dengan
sungguh-sungguh mencapai kebenaran dan cinta yang sejati, maka
ia harus mengalami pembebasan ruhani dari lingkungannya, termasuk lingkungannya yang paling dekat. Ia harus mendahulukan
kebenaran di atas segala-galanya, juga kesungguhan untuk jalan
kebenaran itu di atas segala-galanya. Firman itu sama nada dan
semangatnya dengan firman-firman lain yang mengecam keras
sikap-sikap menerima dan mengikuti begitu saja warisan leluhur,
tanpa sikap kritis dan memeriksa benar-salahnya pola budaya
mereka (lihat, Q 2:170 dan 5:104).
Eric Fromm, berkenaan dengan apa yang tersebut dalam Injil
Matius tersebut di atas tadi, juga mengatakan bahwa maksudnya
D 26 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
bukanlah untuk mengajarkan kebencian kepada orangtua — halmana
adalah mustahil dilakukan oleh seorang Utusan Tuhan — melainkan
Isa al-Masih hanya menyatakan dalam bentuk yang paling tegas dan
drastis prinsip bahwa orang harus melepaskan ikatan kekeluargaannya
dan menjadi bebas agar benar-benar menjadi manusia.27 Jadi sama
maksudnya dengan yang ada dalam al-Qur’an.
Titik-Temu dan Kontinuitas Agama-agama
Adanya persamaan dari sumber agama yang berbeda itu tentunya
tidaklah perlu mengejutkan. Sebab semua yang benar berasal dari
sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Mahabenar (al-Haqq). Dan
semua Nabi dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama
seperti itu. Perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk
responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan
tempatnya. Maka perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran
pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama:
“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagimu, yaitu agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan
kepada engkau (Muhammad), juga apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Ikutilah agama itu dengan
teguh, dan janganlah kamu bercerai-berai mengenainya. Sungguh berat
atas orang-orang musyrik apa yang engkau (Muhammad) serukan.
Allah membimbing ke seruan itu orang yang dikehendaki-Nya, dan
Dia memberi petunjuk ke arah seruan itu siapa saja yang kembali
(kepada-Nya),” (Q 42:13).
“Sesungguhnya Kami telah wahyukan kepada engkau (Muhammad)
sebagaimana Kami telah wahyukan kepada Nuh dan para nabi
sesudahnya, dan (sebagaimana) telah Kami wahyukan kepada Ibrahim,
27
Eric Fromm, Psychoanalysis and Religion, h. 78.
D 27 E
F NURCHOLISH MADJID G
Ismail, Ishaq, Ya‘qub dan anak-cucunya, serta kepada Isa, Ayyub,
Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan kepada Dawud telah Kami berikan
Zabur. Juga kepada rasul-rasul lainnya yang mereka itu telah Kami
kisahkan kepada engkau sebelumnya, dan kepada rasul-rasul yang
mereka itu tidak Kami kisahkan kepada engkau. Dan Allah sungguh
telah berbicara kepada Musa. Mereka itu sebagai rasul-rasul pembawa
kabar gembira dan pemberi peringatan, agar tidak lagi ada alasan bagi
manusia terhadap Allah setelah datangnya rasul-rasul itu. Allah adalah
Mahamulia dan Mahabijaksana,” (Q 4:163-165).
“Katakanlah olehmu sekalian (wahai orang-orang beriman): ‘Kami
beriman kepada Allah dan kepada sesuatu (ajaran) yang diturunkan
untuk kami, dan sesuatu (ajaran) yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya‘qub dan anak-turunnya, dan yang diberikan kepada
Musa dan Isa, serta yang diberikan kepada semua para nabi dari Tuhan
mereka. Kami tidak membeda-bedakan salah seorang pun di antara
mereka, dan kami semua pasrah kepada-Nya,’” (Q 2:136).
“Janganlah kamu berbantah dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dari kalangan
mereka. Dan katakanlah (kepada mereka), ‘Kami beriman kepada
(kitab suci) yang diturunkan (oleh Tuhan) kepada kami dan kepada
(kitab suci) yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan
kamu adalah satu, dan kita semua pasrah kepada-Nya,’” (Q 29:46).
“Oleh karena itu (wahai Nabi) ajaklah, dan tegaklah engkau sebagaimana diperintahkan, serta janganlah engkau mengikuti keinginan
nafsu mereka. Dan katakan kepada mereka, ‘Aku beriman kepada
kitab mana pun yang diturunkan Allah, dan aku diperintahkan untuk
bersikap adil di antara kamu. Allah (Tuhan Yang Mahaesa) adalah
Tuhan kami dan Tuhan kamu sekalian. Bagi kami amal perbuatan
kami, dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Tidak perlu perbantahan
antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua,
dan kepada-Nya itulah semuanya akan kembali,’” (Q 42:15).
D 28 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
Sengaja kita deretkan kutipan firman-firman suci yang menegaskan pandangan kesinambungan, kesatuan, dan persamaan agamaagama para nabi dan rasul Allah itu, karena dalam masyarakat
kita sekarang ini, baik yang Muslim maupun yang bukan, tidak
banyak orang yang menyadari adanya pandangan itu, atau tidak
banyak yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan memikirkan berbagai implikasinya. Kemajuan teknologi informasi dan
transportasi memang sangat memudahkan manusia untuk saling
berhubungan satu sama lain, bahkan saling bertemu, halmana adalah positif. Tetapi juga membuat penghadapan atau konfrontasi
langsung satu dengan lainnya semakin meningkat intensitasnya,
yang mengakibatkan meningkatnya rasa persaingan dan curiga,
akibat bermainnya berbagai faktor masa lalu ataupun masa kini,
sehingga orang mudah tergoda untuk tidak berlaku adil kepada
yang lain. Sedangkan Nabi, seperti terlihat dalam salah satu kutipan di atas, diperintahkan Allah untuk tetap berlaku adil kepada
golongan lain, betapa pun zalimnya perlakuan golongan itu kepada
beliau. Dan Allah pun mengajarkan kepada kita semua:
“Wahai sekalian orang beriman! Jadilah kamu semua orang-orang yang
teguh untuk Allah (Kebenaran), sebagai saksi-saksi dengan keadilan.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kelompok mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil, itulah yang
lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya
Allah Mahateliti atas segala sesuatu yang kamu kerjakan,” (Q 5:8).
Adalah seorang tokoh ulama pembaru dari Padangpanjang,
Sumatera Barat, bernama Abdul Hamid Hakim, yang berpandangan
luas dan mendalam, karena penguasaannya kepada sumber-sumber
keilmuan Islam yang luar biasa. Dalam sebuah kitabnya (yang ditulis dalam bahasa Arab), ia menguraikan pandangannya cukup
panjang lebar, yang menyanggah pendapat suatu kelompok kecil
kalangan umat Islam yang menganggap bahwa kaum penganut
kitab suci (ahl al-kitāb) seperti Yahudi dan Kristen, adalah kaum
D 29 E
F NURCHOLISH MADJID G
musyrik. Akibatnya, bagi mereka yang berpendapat serupa itu,
seorang Muslim (lelaki) tidak dibenarkan kawin dengan seorang
Yahudi atau Kristen (perempuan). Terhadap pandangan itu, ‘AbdulHamīd Hakīm melakukan sanggahan panjang lebar, yang kutipan
dari beberapa bagiannya seperti berikut (terjemahnya):
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan wanita-wanita musyrik dalam ayat (Q 2:221) ialah wanitawanita musyrik Arab yang tidak mempunyai kitab suci. Itulah kebiasaan al-Qur’an dalam menamakan orang musyrik, sebab Islam
mempunyai politik khusus berkenaan dengan orang-orang Arab dan
negeri mereka, yaitu hendaknya Jazirah Arabia merupakan tanah suci
Islam yang terlindungi dan jantung Islam yang dari situ memancar
zat kehidupan (agama) ke semua penjuru, dan perlindungan baginya
yang ia dapat kembali ke sana pada waktu musuh menyulitkannya.
Karena itulah dari orang-orang musyrik Jazirah Arabia tidak diterima
jizyah (pajak pribadi non-Muslim), sehingga tidak ada lagi di sana
tersisa seorang musyrik pun. Bahkan Nabi berwasiat agar di sana
tidak ada dua agama....
Pokoknya, makna ayat tersebut ialah bahwa mereka kaum musyrik itu ialah orang-orang yang antara kamu sekalian dan mereka itu
terdapat perpautan dan perbedaan yang terjauh dalam keyakinan.
Kamu tidak diperkenankan berhubungan dengan mereka melalui
tali perkawinan, tidak dengan mengawinkan seseorang dengan
mereka dan tidak dengan kawin dengan mereka. Sedangkan wanita
Ahli Kitab, maka antara dia dan orang beriman tidak ada perbedaan
yang besar. Sebab dia (wanita Ahli Kitab) itu beriman kepada Allah
dan menyembah-Nya serta beriman kepada para nabi, kepada hari
Akhirat dan kepada adanya balasan (atas amal manusia) di sana,
dan menganut paham bahwa berbuat baik adalah wajib sedangkan
berbuat jahat adalah terlarang.28
Abdul Hamid Hakim, al-Mu‘în al-Mubîn, 4 jilid (Bukittinggi: Nusantara,
1955), jilid 4, h. 45-46.
28
D 30 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
Selanjutnya, Abdul Hamid Hakim, dengan mengutip suatu
jawaban oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridla atas sebuah pertanyaan tentang masalah serupa, mengatakan bahwa yang termasuk pengertian Ahli Kitab tidak hanya orang-orang Yahudi
dan Kristen kemudian Majusi saja, melainkan juga orang-orang
Hindu, Budha, para penganut agama Cina, Jepang, dan lain-lain.
Karena, menurut Abdul Hamid Hakim, mereka itu adalah penganut suatu jenis kitab suci yang memuat ajaran dasar tauhid atau
Ketuhanan Yang Mahaesa, sampai sekarang. Memang benar bahwa mereka kemudian menyimpang dari tauhid itu, dan terjadi
perubahan dalam bagian-bagian tertentu kitab suci mereka, namun
Abdul Hamid Hakim mengisyaratkan bahwa hal itu tidak perlu
mengherankan, sebab hal serupa juga terjadi pada kaum Yahudi
dan Kristen, padahal munculnya agama-agama ini lebih kemudian
daripada agama-agama India dan Cina itu.29
Kalau memang seperti dikatakan oleh Abdul Hamid Hakim
bahwa antara kaum beriman dan kaum Ahli Kitab tidak ada perbedaan yang terlalu jauh, maka sesungguhnya antara mereka itu
dapat saling belajar. Kaum Muslim hendaknya mempelajari dan
menarik hikmah dari kitab-kitab suci lama, dan kaum Ahli Kitab
mempelajari al-Qur’an. Dan inilah persis pandangan yang dicoba
kemukakan oleh Ibn Taimiyah, atau yang dapat disimpulkan dari
pembahasannya yang luas dan mendalam, namun tetap kritis
(seperti lazimnya para ulama Islam) tentang kitab-kitab suci terdahulu, khususnya Taurat dan Injil. Ibn Taimiyah, “moyang” kaum
pembaru Islam di zaman modern, mendasarkan argumennya antara
lain atas firman Allah:
“Dan Kami (Allah) telah turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab
suci dengan membawa kebenaran, untuk mendukung kebenaran yang
ada sebelumnya, yang terdiri dari jenis kitab suci, dan sebagai saksi
(muhaymin) atas kitab-kitab suci itu. Maka jalankan hukum (hukm,
29
Abdul Hamid Hakim, op. cit., jilid 4, h. 48.
D 31 E
F NURCHOLISH MADJID G
dapat berarti ajaran bijaksana atau wisdom) dengan yang diturunkan
Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap
golongan di antara kamu semua (umat manusia) telah Kami buatkan
jalan (syir‘ah, syarī‘ah) dan cara yang terang (minhāj, “metode”). Jika
seandainya Allah menghendaki, maka tentulah kamu (sekalian manusia)
dijadikan umat yang tunggal (satu secara monolitik), tetapi Dia hendak
menguji kamu berkenaan dengan apa-apa yang telah dikaruniakan
kepadamu. Maka berlomba-lombalah untuk berbagai kebaikan. Kepada
Allah kembalimu semua, maka Dia akan menjelaskan kepadamu
tentang apa-apa yang pernah kamu perselisihkan,” (Q 5:48).
Bagi Ibn Taimiyah, firman Allah itu menunjukkan bahwa
al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia untuk mendukung dan melindungi kebenaran kitab-kitab suci yang telah ada
sebelumnya, khususnya bagian-bagian yang jelas tidak dihapus
atau diganti nilainya oleh kitab suci al-Qur’an sendiri. Dan yang
dimaksud bahwa al-Qur’an menjadi “saksi” (muhaymin) untuk
kitab-kitab suci terdahulu ialah bahwa al-Qur’an menjadi saksi dan
hakim yang dapat dipercaya. Al-Qur’an tetap mempertahankan
hukum yang ada dalam kitab-kitab terdahulu, selama tidak dihapus
oleh Allah, dan menjadi saksi untuk membenarkan isi ajarannya,
selama belum diganti. Boleh jadi jalan (syir‘ah) atau metode
(minhāj) kitab-kitab yang lama itu tidak sama dengan jalan dan
metode al-Qur’an, namun hal itu terjadi hanyalah karena tuntutan
khusus ruang dan waktu, jadi tidak mengganggu dan tidak pula
mengurangi keabsahan ajaran yang dibawanya. Inilah, kata Ibn
Taimiyah, yang dimaksudkan oleh bagian firman Allah di atas:
“Untuk setiap golongan di antara kamu semua (umat manusia) telah
Kami buatkan jalan (syir‘ah, syarī‘ah) dan cara yang terang (minhāj,
metode).”30 Ibn Taimiyah kemudian mengutip delapan riwayat atau
Ibn Taimiyah, al-Jawâb al-Shahîh li man Baddala Dîn al-Masîh, 4 jilid
(Beirut: Mathabi‘ al-Majd al-Tijariyah, t.th.), jil. 1, h. 371
30
D 32 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
hadis yang menceritakan bagaimana Nabi saw telah menjalankan
hukum sebagaimana tercantum dalam Kitab Taurat.31
Selanjutnya, Ibn Taimiyah membuat uraian amat penting,
yang menegaskan bahwa kitab-kitab suci terdahulu itu tetap
mengandung ajaran yang diturunkan Allah dan banyak yang masih berlaku, meskipun telah datang rasul-rasul Allah sesudahnya.
Memang telah terjadi beberapa perubahan dalam kitab-kitab suci
itu, namun, menurut Ibn Taimiyah, perubahan itu terjadi hanya
dalam ungkapan-ungkapan yang bersifat berita (seperti berita akan
datangnya Nabi Muhammad saw) dan dalam ungkapan-ungkapan
yang mengandung makna perintah. Kata Ibn Taimiyah:
... Singkatnya keterangan, Allah telah memberitakan bahwa dalam
kitab Taurat yang ada sesudah Nabi Isa al-Masih terdapat hukum
Allah, dan Ahli Kitab, kaum Yahudi, meninggalkan hukum Allah
yang ada dalam Taurat itu berbarengan dengan penolakan mereka
atas Isa al-Masih. Ini cercaan dari Allah kepada mereka karena mereka
meninggalkan hukum-Nya yang termuat dalam kitab suci pertama
(Taurat) dan tidak dihapus oleh Rasul Allah yang berikutnya (Isa
al-Masih).
... Hal itu menunjukkan bahwa dalam kitab Taurat yang ada
setelah kedatangan Isa al-Masih tetap ada hukum yang diturunkan
Allah, dan mereka (kaum Yahudi) diperintahkan untuk tetap menjalankan hukum itu. Hal yang sama dapat dikatakan tentang kitab
Injil. Dan sudah jelas bahwa hukum yang mereka diperintahkan
untuk menjalankannya dari antara hukum-hukum Taurat itu ialah
hukum yang tidak dihapuskan oleh Injil, juga tidak oleh al-Qur’an.
Demikian juga, hukum yang mereka (kaum Kristen) diperintahkan
untuk menjalankannya dari hukum-hukum Injil ialah hukum yang
tidak dihapuskan oleh al-Qur’an. Hal ini demikian, karena agama
universal (al-dīn al-jāmi‘, agama inklusif, yang meliputi semua) ialah
agama yang menyembah Allah semata, dan yang memerintahkan
31
Lihat, ibid., h. 372-374
D 33 E
F NURCHOLISH MADJID G
untuk menjalankan apa saja yang diperintahkan Allah, menjalankan
hukum yang diturunkan Allah. Dalam kitab suci mana pun hukum
itu diturunkan oleh-Nya, dan tidak dinyatakan dihapus, maka harus
dijalankan. Itulah sebabnya mazhab sebagian besar kaum salaf dan
para imam ialah bahwa syara‘ golongan sebelum kita (seperti Yahudi
dan Kristen) adalah juga syara‘ bagi kita, selama syara‘ kita sendiri
tidak menampilkan hal yang berbeda. Orang yang menjalankan
hukum yang telah dihapus, tidaklah menjalankan hukum yang
diturunkan Allah, sebagaimana umat Muhammad saw (kaum
Muslim) diperintahkan untuk menjalankan hukum dengan yang
diturunkan Allah dalam al-Qur’an, dan dalam al-Qur’an itu pun
ada hukum yang menghapus (nāsikh) dan ada pula yang dihapus
(mansūkh, jadi tidak boleh lagi dijalankan).32
Dan Injil-injil yang ada di tangan kaum Nasrani menyerupai hal ini
(yakni, mengandung hukum yang diturunkan Allah). Karena itu
mereka (kaum Nasrani) diperintahkan untuk menjalankan hukum
yang termuat dalam Injil-injil itu, sebab di dalamnya terkandung
hukum-hukum Allah. Dan umumnya hukum-hukum yang ada
dalam Injil-injil itu ungkapan-ungkapannya tidak mengalami perubahan. Yang mengalami perubahan ialah ungkapan-ungkapan
yang bersifat berita (seperti berita tentang akan datangnya Nabi
Muhammad saw — NM) dan pengertian-pengertian ajaran yang
bersifat perintah (seperti perintah meninggalkan makan daging
babi — NM).33
Pandangan-pandangan inklusivistik seperti dikemukakan
Ibn Taimiyah itu amat relevan untuk dikembangkan pada zaman
sekarang, yaitu zaman globalisasi berkat teknologi informasi dan
transportasi, yang membuat umat manusia hidup dalam sebuah
“desa buwana” (global village). Dalam desa buwana itu, seperti
telah disinggung, manusia akan semakin intim dan mendalam
32
33
Ibid., h. 374-375.
Ibid., jilid 2, h. 18.
D 34 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
mengenal satu sama lain, tetapi sekaligus juga lebih mudah
terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi langsung. Karena
itu sangat diperlukan sikap-sikap saling mengerti dan paham,
dengan kemungkinan mencari dan menemukan titik-kesamaan
atau kalîmat-un sawā’ seperti diperintahkan Allah dalam al-Qur’an.
Dengan tegas al-Qur’an melarang pemaksaan suatu agama kepada
orang atau komunitas lain, betapa pun benarnya agama itu, karena
akhirnya hanya Allah yang bakal mampu memberi petunjuk kepada
seseorang, secara pribadi. Namun, demi kebahagiaannya sendiri,
manusia harus terbuka kepada setiap ajaran atau pandangan,
kemudian bersedia mengikuti mana yang terbaik. Itulah pertanda
adanya hidayah Allah kepada mereka (Q 39:17-18). Dan patut kita
camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla
sebagaimana dikutip oleh Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian
sebagai Ahli Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan
Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam al-Qur’an serta kaum
Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah
hadis,34 tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai
suatu bentuk kitab suci. Al-Qur’an pun, sebagaimana dapat dibaca
dari kutipan-kutipan terdahulu, memerintahkan kepada Nabi
untuk menyatakan bahwa beliau memercayai “kitab suci mana
pun”, dan bahwa banyak di antara nabi dan utusan Allah yang
tidak dikisahkan kepada beliau dalam al-Qur’an. Karena itu Ibn
Taimiyah mengisyaratkan bahwa hukum Allah yang diturunkan
dalam kitab suci mana pun, selama tidak dengan jelas berbeda atau
bertentangan dengan hukum al-Qur’an, adalah berlaku untuk kita
kaum Muslim. Sekurang-kurangnya tetap baik bagi kaum Muslim
untuk mempelajarinya dan mengambil hikmah daripadanya, seperti yang telah dilakukan oleh Ibn Taimiyah sendiri dan banyak
kalangan para pemikir Islam klasik.
Yaitu hadis yang artinya: “Perlakukan mereka (kaum Majusi) sama dengan
perlakuan kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen)”.
34
D 35 E
F NURCHOLISH MADJID G
Al-Hanīfīyah al-Samhah sebagai Pangkal Keberagamaan
Pandangan inklusivistik (jāmi‘) seperti diargumenkan oleh Ibn
Taimiyah itu telah mewujud nyata dalam sejarah Islam. Berbeda
dengan perkiraan banyak orang, termasuk sebagian kaum Muslim
sendiri, para khalifah negeri-negeri Muslim terdahulu tidak pernah
memaksakan agama mereka, yaitu Islam, kepada golongan lain,
kecuali kepada kaum musyrik Arab. Karena itu dari kaum musyrik
Arab tidak pernah diterima jizyah, berbeda halnya dengan para
pengikut kitab suci, yang karena diakui akan hak keberadaan
mereka, maka dari mereka ini diterima jizyah (lihat keterangan
Rasyid Ridla di atas). Sebab penerimaan jizyah sebagai imbalan
untuk keamanan yang diberikan oleh Islam, termasuk keamanan
beragama, memang berarti secara langsung mengandung pengakuan
akan hak keberadaan dan perlindungan kaum non-Muslim itu.
Karena itu negeri-negeri Muslim sampai sekarang merupakan
masyarakat majemuk. Kemajemukan atau pluralitas itu, untuk
zaman dan tempatnya, begitu sejati dan tulus, sampai-sampai
Spanyol Islam dilukiskan oleh seorang ahli sejarah sebagai “Spanyol
dari tiga agama” (Spain of three religions), yang di sana kaum Muslim, kaum Yahudi, dan kaum Kristen secara terbuka dan bahagia
menyertai dan mendukung peradaban yang gemilang. Padahal
sebelum Islam datang ke Spanyol pada tahun 711 itu telah terjadi
pemaksaan agama.35 Dan Ibn Taimiyah memuji bahwa para
khalifah di Maghrib, termasuk Andalusia, adalah penganut “mazhab
Madinah.”36
35
The Arab conquest of Spain in 711 had put an end to the forcible
conversion of Jews to Christianity begun by King Recared in the sixth century.
Under the subsequent 500-year rule of the Moslems emerged the Spain of three
religions and “one bedroom”. Mohammedans, Christians, and Jews shared the
same brilliant civilization, an intermingling that affected “bloodlines” even
more than religious affiliation. (Max I. Dimont, The Indestructible Jews [New
York: New American Library, 1973], h. 203).
36
Ibn Taimiyah, Minhâj al-Sunnah, 4 jilid (Riyadl: Maktabah al-Riyadl
al-Hadisah, t.th.), jil. 3, h. 258.
D 36 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
Tetapi pandangan yang inklusivistik itu memerlukan dasar
yang kukuh untuk tumbuh sejati dan tulus. Menurut Eric Fromm
yang telah dikutip, secara psikoanalisa, jika masalahnya ialah kesehatan mental, tidaklah demikian pentingnya apakah seseorang itu
mengaku menyembah Tuhan ataukah tidak. Yang penting ialah
apakah orang itu berbicara dan bersemangat kebenaran dan cinta
sesama atau tidak. Sebab jika soalnya percaya dan menyembah
Tuhan, maka konsep tentang Tuhan itu dapat berbeda-beda,
sama dengan bagaimana konsep tentang “Allah” pada orang Arab
pra-Islam adalah berbeda dengan konsep tentang “Allah” dalam
Islam. Ada orang yang memahami Tuhan begitu rupa sehingga
penyembahan kepada-Nya sebenarnya berada dalam nalar kemustahilan, dan berakibat pembelengguan dirinya secara ruhani. Hal
ini terjadi terutama kalau konsepsinya tentang Tuhan menghasilkan
“penggambaran”, baik visual ataupun sekadar khayal, tentang
Wujud Mahatinggi itu sehingga dalam kenyataannya menjadi
sama dengan diri kita sendiri, dengan manusia sesama kita, dan
dengan suatu gejala alam sekitar kita. Inilah pada hakikatnya yang
disebut berhala. Jadi setiap berhala adalah buatan kita sendiri yang
menguasai dan membelenggu kebebasan asasi kita sebagai manusia,
makhluk yang tertinggi. Maka penyembahan berhala adalah jenis
alienasi, yaitu situasi ketika orang tidak lagi dapat menguasai buatan
tangannya sendiri, atau ditundukkan oleh perbuatannya sendiri.
Dan penyembahan berhala seperti ini adalah pangkal penderitaan
batin karena ruhani yang terkungkung. Maka para nabi dan rasul
diutus memberantas berhala adalah demi pembebasan manusia dari
belenggu itu. Patut pula di sini kita simak pendapat Eric Fromm,
dari sudut psikoanalisa, tentang berhala ini (meskipun dari sudut
pandangan kita sendiri mungkin kuras pas):
The prophets of monotheism did not denounce heathen religions as
idolatrous primarily because they worshipped several gods instead of
one. The essential difference between monotheism and polytheism is
not one of the number of gods, but lies in the fact of self-alienation.
D 37 E
F NURCHOLISH MADJID G
Man spends his energy, his artistic capacities on building an idol,
and then he worships this idol, which is nothing but the result of
his own human effort. His life forces have flown into a “thing,” and
this thing, having become an idol, is not experienced as a result of
his own productive effort, but as something apart from himself, over
and against him, which he worships and to which he submits....
Idolatrous man bows down to the work of his own hands. The idol
represents his own life-force in an alienated form.37
Para nabi monoteisme memberantas agama-agama musyrik sebagai
penyembahan berhala tidaklah terutama karena menyembah beberapa tuhan, sebagai ganti satu tuhan. Perbedaan esensial antara monoteisme dan politeisme bukanlah masalah bilangan tuhan, tetapi
terletak dalam kenyataan alienasi diri. Manusia mengerahkan energinya, kemampuan artistiknya untuk membuat berhala, dan kemudian
dia menyembah berhala itu, yang tidak lebih daripada hasil usaha
kemanusiaannya sendiri. Kekuatan hidup orang itu telah terbang
menjadi sebuah “benda”, dan benda ini, karena sudah menjadi
sebuah berhala, tidaklah dihayati sebagai hasil usaha produktifnya,
melainkan sebagai sesuatu yang terpisah dari dirinya, berada lebih
tinggi dan melawan dirinya, yang ia sembah dan yang kepadanya
ia pasrah... Seorang penyembah berhala tunduk kepada hasil kerja
tangannya sendiri. Berhala menggambarkan kekuatan hidupnya
sendiri dalam sebuah bentuk yang terasing.
Konsep tentang Tuhan yang “hanya” mengikuti imajinasi kita
sendiri adalah juga berhala, karena imajinasi atau khayal itu pun
adalah buatan kita sendiri, sesuai dengan keinginan diri kita sendiri.
Inilah yang dimaksudkan dalam al-Qur’an bahwa di antara manusia
ada yang mengangkat keinginannya sendiri, pandangan subyektifnya
sendiri, sebagai Tuhannya (Q 25:43). Wujud keseharian dari orang
yang mengangkat keinginannya sendiri sebagai Tuhan ialah sikapErich Fromm, The Sane Society (New York: Holt, Reinehart and Winston,
1964), h. 121-122.
37
D 38 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
sikap pemutlakan pendapatnya sendiri dan anggapan bahwa diri
sendiri adalah paling benar. Orang itu tidak sanggup melihat
adanya titik-kesamaan, jangankan antara berbagai agama seperti
dikehendaki dan dijelaskan oleh Ibn Taimiyah dan Rasyid Ridla di
atas, bahkan antara sesama penganut satu agama pun tidak. Maka
al-Qur’an memperingatkan bahwa ketikdaksanggupan melihat
unsur persamaan itu dan kemudian mengambil sikap memisahmisahkan diri disertai sikap membanggakan apa yang ada dalam
kelompoknya sendiri adalah jenis kemusyrikan yang harus dijauhi
oleh orang yang benar-benar beriman (Q 30:31-32).
Telah disebutkan bahwa dalam paham Islam, yang menurut
Max Weber disebut sebagai strict monotheism, Tuhan tidak sebanding dengan apa pun dan tidak dapat diasosiasikan dengan
apa pun. Sepintas lalu ini adalah paham Ketuhanan yang sangat
abstrak. Namun sebenarnya inilah paham Ketuhanan yang masuk
akal, karena justru, sebagai Wujud Mutlak, Tuhan mengatasi dan
jauh berada di atas persepsi manusia sendiri yang serba-nisbi ini.
Sebaliknya, sekali kita mempunyai gambaran tentang Tuhan dalam
benak kita yang kemudian kita anggap sebagai hakikat Tuhan itu
sendiri, maka Tuhan menjadi hanya setaraf dengan kemampuan kita
sendiri untuk berimajinasi. Tuhan seperti itu menjadi mustahil, dan
keimanan kepadanya pun menjadi mustahil. Ini dapat dibuktikan
dengan betapa banyaknya “Tuhan” yang telah mati, ditinggalkan
manusia, dalam sisa-sisa budaya dunia, sejak matinya “Tuhantuhan” dari agama Mesir kuna sampai runtuhnya berbagai sistem
mitologis oleh gempuran ilmu pengetahuan sekarang ini, termasuk
dalam budaya kita sendiri di Indonesia. “Dewa” Ganesha misalnya,
telah menjadi sekadar ornamen dan dekorasi di ITB, dan burung
mitologi Garuda sudah berubah fungsi menjadi sekadar simbol
kenegaraan bagi Republik Indonesia. Maka, kata seorang ahli,
Many men who are intelligent and of good faith imagine they cannot
believe in God because they are unable to conceive Him. An honest
man, endowed with scientific curiosity, should not need to visualize
D 39 E
F NURCHOLISH MADJID G
God, anymore than a physicist needs to visualize electron. Any
attempt at representation is necessarily crude and false, in both cases.
The electron is materially inconceivable and yet, it is more perfectly
known through its effects than a simple piece of wood. If we could
really conceive God we could no longer believe in Him because our
representation, being human, would inspire us with doubts.38
(Banyak orang yang cerdas dan berkemauan baik menggambarkan
bahwa mereka tidak dapat mempercayai adanya Tuhan karena mereka tidak dapat memahami-Nya. Seorang yang jujur, yang diberi
karunia minat ilmiah, tidak merasa perlu membuat visualisasi Tuhan,
seperti halnya seorang ahli fisika tidak merasa perlu menvisualisasikan
elektron. Setiap percobaan membuat gambaran dengan sendirinya
akan kasar dan palsu, dalam kedua perkara itu (perkara Tuhan dan
elektron — NM). Secara material elektron tidak dapat dipahami,
namun, melalui berbagai efeknya, elektron dapat diketahui secara
lebih sempurna daripada sepotong kayu sederhana. Jika kita benarbenar dapat mengerti Tuhan, maka kita tidak akan dapat lagi percaya
kepada-Nya, sebab gambaran kita, karena kemanusiaan kita (yang
nisbi), akan mengilhami kita dengan keraguan.
Kaum Sufi juga menegaskan kemustahilan mengetahui Tuhan,
karena Tuhan memang tidak dapat diasosiasikan dengan apa pun
juga. Oleh sebab itu barangsiapa merasa mengetahui Tuhan, maka
sesungguhnya justru pertanda bahwa ia tidak tahu apa-apa. Kata
Ibn ‘Arabi, dalam sebuah syair:
Barangsiapa mengaku ia tahu Allah bergaul dengan dirinya,
dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu tanda ia tak tahu
apa-apa.
Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri, maka
waspadalah,
Lecomte du Nuy, Human Destiny (New York: The American Library,
1962), h. 99.
38
D 40 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
sebab yang sadar di antara kamu tentulah tidak seperti yang alpa.
Ketiadaan kemampun menangkap pengertian adalah makrifat,
begitulah penilaian akan hal itu bagi yang berakal sehat.
Dia adalah Tuhan yang sebenarnya, yang pujian kepada-Nya tidak
terbilang,
Dia adalah Yang Mahasuci, maka janganlah kamu buat bagi-Nya
perbandingan.39
Kata Ibn ‘Arabi lagi:
Jika matahari ilmu telah terbenam,
maka bingunglah akal-pikiran
yang kemampuannya hanya dalam teori pembuktian.
Kalau seandainya alam gaib itu
dapat disaksikan oleh mata penglihatan,
maka saat meleknya mata itu
adalah juga saat ia terpejam.40
Dengan kata-kata lain, setiap usaha menvisualisasikan Tuhan
akan berakhir dengan berhala dan penyembahannya. Dan yang
berfungsi sebagai berhala itu tidak hanya yang berwujud patung
atau representasi mitologis tentang Tuhan, melainkan juga termasuk
pikiran kita sendiri dan pendapat kita yang kita mutlakkan menjadi seperti Tuhan (padahal yang mutlak hanyalah Tuhan saja).
Dan setiap paham keagamaan yang mencoba menvisualisasikan
Tuhan, cepat atau lambat tentu akan ditinggalkan umat manusia
yang semakin maju ini, dan akan merosot menjadi tidak lebih
daripada sistem mitologis dan dongeng palsu belaka. Dan efek
merosotnya kepercayaan (yang toh palsu) itu akan mempunyai
dampak hilangnya makna hidup pada orang atau umat bersangIbn ‘Arabi, Futûhât al-Makkiyah, 4 jilid (Beirut: Dar Shadir, t.th.), jil.1,
h. 270.
40
Ibid., jil. 3, h. 57.
39
D 41 E
F NURCHOLISH MADJID G
kutan. Mengenai orang yang kehilangan makna hidup ini, Russel
mengatakan, “you will never know the deep despair of those whose life
is aimless and void of purpose” (anda tidak akan pernah tahu rasa
putus asa yang mendalam, yang diderita oleh orang-orang yang
hidupnya tanpa tujuan dan kehilangan makna).41
Oleh karena itu, sekali lagi, menurut Eric Fromm, penyembahan
kita kepada Tuhan haruslah berarti pencarian Kebenaran secara
tulus dan murni, tanpa belenggu dan pembatasan yang kita ciptakan
sendiri, sadar atau tidak. Dan karena masing-masing dari kita
mempunyai potensi untuk terbelenggu oleh kepercayaan palsu
serupa itu, yaitu akibat pengaruh budaya sekeliling kita, maka,
kembali kepada apa yang telah diterangkan pada bagian terdahulu,
kita senantiasa harus berusaha membebaskan diri dari belenggu
itu dengan menyatakan “Lā ilāha...” (“tidak ada suatu tuhan apa
pun...”), kemudian kita harus tetap pada jalan pencarian Kebenaran yang tulus, dengan mengucap “illā ’l-Lāh” (“kecuali Allah,”
yaitu Tuhan yang sebenarnya, yang lepas dari representasi, visualisasi, dan gambaran kita sendiri, yang tidak mungkin diketahui
manusia namun kita dapat dan harus senantiasa berusaha untuk
mendekatkan diri — taqarrub — kepada-Nya, untuk memperoleh
perkenan atau rida-Nya ).
Pencarian Kebenaran yang tulus dan murni ini akan mustahil jika
dilakukan dalam semangat komunal dan sektarian. Ia harus bebas dari
setiap kemungkinan pengungkungan ruhani. Dan adalah pencarian
akan Kebenaran secara tulus dan murni ini yang dimaksudkan dengan
istilah dalam al-Qur’an, hanīf, sikap alami manusia yang memihak
kepada yang benar dan yang baik, sebagai kelanjutan dari fithrah-nya
yang suci-bersih. Menurut al-Qur’an, inilah agama yang tegak-lurus
dan benar, namun kebanyakan manusia tidak tahu:
“Maka luruskanlah dirimu untuk menerima agama secara hanīf. Itulah
fitrah dari Allah yang telah menciptakan manusia di atasnya. Tidak
41
Russel, op. cit., h. 105.
D 42 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
ada perubahan dalam penciptaan Allah. Itulah agama yang tegak lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak tahu,” (Q 30:30).
Pencarian Kebenaran secara murni dan tulus akan dengan
sendirinya menghasilkan sikap pasrah (perkataan Arab Islam dalam
makna generiknya) kepada Kebenaran itu. Tanpa sikap pasrah
itu maka pencarian Kebenaran dan orientasi kepadanya akan
tidak memiliki kesejatian dan otentisitasnya, dan tidak pula akan
membawa kebahagiaan yang dicari. Sehingga, sebagai pandangan
hidup, mencari Kebenaran tanpa kesediaan pasrah kepada-Nya
juga besifat palsu, dan ditolak oleh Kebenaran itu sendiri. Karena
itu ditegaskan bahwa sikap tunduk yang benar (perkataan Arab
dīn dalam makna generiknya) yang diakui oleh Yang Mahabenar,
yaitu Tuhan, ialah sikap pasrah kepada Kebenaran itu (Q 3:19).
Dan karena itu pula ditegaskan bahwa barangsiapa mencari, sebagai
sikap ketundukan, selain daripada sikap pasrah kepada Kebenaran
itu, maka pencariannya itu tidak akan berhasil, dan tidak akan
membawa kebahagiaan abadi yang dikehendakinya (Q 3:85).
Berdasarkan pandangan asasi itu kita dapat mengerti mengapa
Ibrahim, “bapak monoteisme” dan “first patriarch”, disebut dalam
al-Qur’an sebagai seorang yang tidak terikat kepada suatu bentuk
“organized religion”, melainkan seorang pencari kebenaran yang
tulus dan murni (hanīf), dan seorang yang berhasrat untuk pasrah
(seorang muslim, dalam arti generik kata-kata Arab itu) kepada
Kebenaran, yaitu Tuhan (Q 3:67). Kita juga dapat memahami,
mengapa Nabi Muhammad saw diperintahkan Allah untuk mengikuti dan mencontoh agama Nabi Ibrahim yang hanīf dan tidak
musyrik itu (Q 16:123).
Jadi sikap mencari Kebenaran secara tulus dan murni (hanīfîyah,
kehanifan) adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan
kebahagiaan sejati, dan yang tidak bersifat palliative atau menghibur
secara semu dan palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme.
Maka Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah
ialah al-hanīfîyah al-samhah, yaitu semangat mencari Kebenaran
D 43 E
F NURCHOLISH MADJID G
yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak
membelenggu jiwa. Beberapa hadis, yang menyangkut beberapa
sahabat Nabi yang berkecenderungan fanatik dan ekstrem dalam
kehidupan keagamaannya, memberi gambaran tentang apa yang
dimaksudkan dengan al-hanīfīyah al-samhah itu, demikian:42
Istri Utsman ibn Mazh‘un bertandang ke rumah para istri Nabi saw,
dan mereka ini melihatnya dalam keadaan yang buruk. Maka mereka
bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi dengan engkau? Tidak ada di
kalangan kaum Quraisy orang yang lebih kaya daripada suamimu!”
Ia menjawab: “Kami tidak mendapat apa-apa dari dia. Sebab malam
harinya ia beribadat, dan siang harinya ia berpuasa!” Mereka pun
masuk kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut. Maka Nabi pun
menemui dia (Utsman ibn Mazh’un), dan bersabda: “Hai Utsman!
Tidakkah padaku ada contoh bagimu?!” Dia menjawab: “Demi ayahibuku, engkau memang demikian.” Lalu Nabi bersabda: “Apakah
benar engkau berpuasa setiap hari dan tidak tidur (beribadat) setiap malam?” Dia menjawab: “Aku memang melakukannya.” Nabi
bersabda: “Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak
atas engkau, dan keluargamu punya hak atas engkau! Maka sembahyanglah dan tidurlah, puasalah dan makanlah!”
Utsman ibn Mazh’un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di
dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadat. Berita itu datang
kepada Nabi saw, maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya
ke pintu keluar rumah di mana ia tinggal, dan beliau bersabda:
“Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku
dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali,
lalu bersabda lebih lanjut), “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama
di sisi Allah ialah semangat pencarian Kebenaran yang lapang.”
42
Hadis-hadis ini dikutip oleh Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman
ibn al-Jawzi al-Baghdadi (w. 597 H), dalam kitabnya, Talbîs Iblîs (Kairo: Idarat
al-Thiba‘ah al-Muniriyah, 1368), h. 219-220.
D 44 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
Berita sampai kepada Nabi saw bahwa segolongan sahabat beliau
menjauhi wanita dan menghindari makan daging. Mereka berkumpul, dan kami pun bercerita tentang sikap menjauhi wanita dan
makan daging itu. Maka Nabi pun memberi peringatan keras,
dan bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa
ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah semangat
pencarian Kebenaran yang lapang.”
Jika Nabi saw menegaskan bahwa beliau tidak diutus untuk
mengajarkan kerahiban atau monastisisme, yaitu sikap mengingkari
kewajaran hidup sebagai cara pengamalan keagamaan, dan oleh Nabi
saw dikaitkan dengan semangat mencari Kebenaran yang lapang
(al-hanīfîyat al-samhah), karena kerahiban adalah suatu bentuk
pengamalan keagamaan yang tidak wajar, tidak alami, dan tidak
sejalan dengan fitrah manusia, dengan akibat pengingkaran hak
kemanusiaan diri dan orang lain. Oleh karena itu kerahiban dapat
berjalan sejajar dan berhimpit dengan kefanatikan, keekstreman,
dan sikap-sikap pembelengguan diri orang bersangkutan, mungkin
tanpa disadarinya.
Maka jika Eric Fromm, selaku psikoanalis, memandang bahwa
kesehatan jiwa tergantung kepada sikap pemihakan kepada Kebenaran secara tulus, tanpa pembelengguan diri, dan kepada semangat
cinta sesama manusia, hal itu tampaknya akan sulit sekali terjadi jika
tidak didasarkan atas kepercayaan akan adanya Yang Mahakasih dan
Mahasayang, yang Wujud atau Zat-Nya tidak lain adalah Wujud
dan Zat Yang Mahabenar itu sendiri. Sifat Mahakasih dan Mahasayang (al-Rahmān al-Rahīm) adalah sifat Kebenaran Mutlak (Tuhan)
yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Dan sebuah
petunjuk Nabi mengatakan bahwa hendaknya kita mencontoh
akhlak Tuhan itu. Jadi cinta kepada Kebenaran adalah juga cinta
kepada Yang Mahacinta, dengan sikap yang meluber kepada cinta
sesama manusia. Karena itulah, dalam hadis di atas, Nabi saw menegur Utsman ibn Mazh’un karena telah menelantarkan dirinya
sendiri dan keluarganya. Sebab jika seseorang memang mempunyai
D 45 E
F NURCHOLISH MADJID G
hubungan cinta dari Tuhan (habl-un min-a ’l-Lāh) maka ia harus
pula mempunyai hubungan cinta dari sesama manusia (habl-un
min-a ’l-nās), dua nilai hidup yang bakal menjamin keselamatan
manusia (Q 3:112).
Cinta kepada sesama manusia itu sendiri tidak mungkin tanpa
pandangan asasi bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, sebab
manusia diciptakan dalam fitrah atau kejadian asal yang suci-bersih.
Kejahatan pada manusia, yaitu keadaan menyimpang dari fitrahnya
yang suci-bersih, harus dipandang sebagai sesuatu yang datang dari
luar, khususnya dari pengaruh lingkungan budaya, yang sampainya
kepada seseorang, terutama di waktu kecil, terjadi lewat orangtua.
Karena itu Nabi melukiskan bahwa setiap anak yang lahir adalah
lahir dalam kesucian fitrahnya, dan kedua orangtuanyalah yang
membuatnya menyimpang dari fitrah itu, yang membuatnya
berpandangan komunal dan sektarian, yang membelenggu dan
membatasi Kebenaran hanya dalam kategori-kategori historissosiologis belaka. Jadi kejahatan bukanlah bagian dari wujud esensial manusia, melainkan sesuatu yang bersifat luar atau eksternal,
meskipun bergabung dengan kelemahan manusia sendiri. (Sebab
meskipun baik, manusia adalah makhluk yang lemah).
Itulah pandangan yang pada dasarnya benilai positif-optimis
kepada manusia. Dan itulah perikemanusiaan yang sebenarnya,
atau dasar dari semua nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Maka
seorang Jerry Falwell, pemimpin kaum fundamentalis Kristen
Amerika, Moral Majority, tidak mungkin diharapkan akan
memancar dari dia semangat cinta kepada sesama manusia yang
sejati dan tulus. Ia telah mengutuk kaum liberal Amerika karena
mereka ini berpandangan bahwa manusia pada dasarnya baik,
dan ia sendiri menegaskan bahwa menurut Bibel manusia pada
dasarnya jahat. Ini adalah pandangan yang negatif-pesimis kepada
manusia. Dan sejarah telah menunjukkan bahwa pandangan serupa
itu mendasari tindakan-tindakan fanatik, kejam, dan tidak toleran
terhadap perbedaan, seperti terjadinya inkuisisi oleh sementara
tokoh Gereja Kristen di zaman pertengahan yang amat bengis
D 46 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
menyiksa para pencari kebenaran yang tulus, hanya karena khawatir
berbeda dengan paham resmi, biar pun perbedaan itu ibaratkan
hanya selebar rambut. Paus, seperti dikutip di atas, menyesali hal
itu, dan sebagai “tebusannya” mengajarkan toleransi dan sikap
lapang, karena dia menyadari, tentunya, bahwa sikap tidak toleran
akibat pandangan kemanusiaan yang negatif-pesimis itu adalah
bertentangan dengan jiwa dan substansi ajaran Nabi Isa al-Masih
yang lebih otentik.
Sebagaimana diketahui, fundamentalisme Kristen di Amerika
acapkali menyatu dengan gerakan-gerakan rasialis seperti Ku Klux
Klan, Neo-Nazi, dan anti Semitisme. Dan meskipun Giovanni
Pico della Mirandola, belajar tentang nilai kemanusiaan dari kaum
Muslim Arab zaman Perang Salib, namun tampaknya yang sempat
ia pelajari hanyalah paham Islam tentang harkat dan martabat
manusia yang tinggi, bukan ajaran Islam bahwa manusia diciptakan
dalam fitrah yang suci dan bernaluri hanīfîyah, kecenderungan
alami untuk mencari dan memihak kepada yang suci. Jadi Pico
gagal memangkap paham kemanusiaan Islam yang positif-optimis
dari segi moral, dan Eropa harus menempuh beberapa abad lagi
untuk sampai kepada humanisme modern yang mengagumkan
saat ini. Dan sekarang ini kaum fundamentalis mulai mengarahkan
kebencian mereka kepada kaum Muslim yang sedang tumbuh
pesat di sana. Meskipun Jerry Falwell dan kaum fundamentalis
itu mengaku sebagai penganut agama Kristen — dan Falwell
memang diakui sebagai tokoh Kristen Amerika yang amat berpengaruh — namun, dari sudut ajaran al-Qur’an, pandangannya
yang negatif-pesimis kepada manusia, yang kemudian mendasari
sikap-sikap tidak toleran itu adalah bertentangan dengan ajaran
yang lebih otentik dari al-Masih. Sebab, menurut al-Qur’an,
Allah menjadikan dalam hati para pengikut Isa al-Masih rasa santun (ra’fah) dan kasih sayang (rahmah), meskipun mereka juga
mengada-adakan sistem kerahiban yang tidak diajarkan Allah; dan
meskipun banyak dari mereka adalah fasik, namun Allah tetap
memberi balasan kebaikan kepada orang-orang yang beriman dari
D 47 E
F NURCHOLISH MADJID G
kalangan mereka (lihat Q 57:27). Sudah tentu dari kalangan kaum
Kristen sendiri juga banyak yang menyadari bahwa pandangan
yang negatif-pesimis dan kejam kepada sesama manusia ala kaum
fundamentalis dan sementara pemimpin Gereja di masa lalu itu
tidak sejalan dengan ajaran otentik Isa al-Masih atau Yesus Kristus,
seperti yang dikatakan oleh Bernhard Rensch, seorang ahli filsafat
modern.
The practical effect of orthodox Christian views has often been to
lead to events which offer a sad contrast to the ethical standards
of most men. Bertrand Russel (1957) is probably right in calling
Christianity the most intolerant of all religions. We have only to
recall many wars against “pagans” and the destruction of their
cultures such as those of the Mayans and Incas, the destruction of
all who dared to have scruples over doctrinal niceties, the Inquisition
with its barbarous tortures and burnings, or the spiritual agony of
those threatened with hell fire. Intellectual progress has often been
obstructed, and the list of thinkers whom the Christian church
has persecuted is a long one, beginning in the ninth century with
Johannes Scotus Erigena and continuing with Albertus Magnus,
Roger Bacon, Giordano Bruno, Galileo, Campanella, Fichte, La
Mettrie, Holbach, D. Fr. Strauss, and others. Even Kant’s theistic
work Die Religion in den Grenzen der blosson Vernunft (Religion
within the Bound of Mere Reason) (1794) came under censure from
Frederick William II. His order in council denounced it as a misuse of
philosophy and a degradation of the fundamental doctrines of Holy
Writ. The professors of philosophy and theology at the university of
Konigsberg were all forbidden to lecture on the subject. But even
today a certain intolerance which should be incompatible with
Christianity (huruf tebal dari saya—NM) often mars both family
and professional life.43
Bernhard Rensch, Biophilosophy, terjemahan Inggris oleh C.A.M. Sym
(New York: Columbia University Press, 1971), h. 327-328.
43
D 48 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
Sebagai konklusi, kita kembali kepada penegasan Nabi saw
bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfîyah al-samhah,
semangat kebenaran yang lapang dan terbuka. Harapan kepada
agama yang bersemangat kebenaran yang lapang dan terbuka itu
sungguh besar untuk menolong manusia mengatasi persoalan
alienasinya di zaman modern ini, yaitu persoalan bagaimana
menaklukkan kembali ciptaan tangannya sendiri, dan bagaimana
agar manusia tidak terjerembab ke dalam praktik penyembahan
berhala modern, dan bagaimana agar manusia selamat dari cengkeraman thāghūt bentuk baru. Emile Dermenghem, misalnya, mengharapkan bahwa Islam sebagai agama terbuka akan berkembang
dan ikut menjawab tantangan zaman. Sebagai seorang yang mendalami ajaran-ajaran tasawuf, Dermenghem melihat dalam Islam
unsur-unsur keterbukaan itu, yang tinggal terserah kepada para
penganutnya untuk mengembangkannya. Bahkan, menurut penilaiannya, Islam adalah humanisme terbuka. Kata Dermenghem,
penuh harapan kepada para pemeluk Islam:
...and it is up to the living forces of religious thought to provide
an open and dynamic mystique. The bases for it exist. Islam, which
has contributed to the spiritual life of humanity and has enriched
its culture, offers permanent values from which all have profited.
Intermediate nation as the Qur’an says, it has its role to play between
east and west. If it has, like all religions and moral codes, its “closed”
and “static” aspects in the Bergsonian sense, it also has what is needed
for an open religion.44
(...dan terserah kepada kekuatan pemikiran keagamaan yang hidup
untuk menyediakan suatu tasawuf yang dinamis dan terbuka.
Dasar untuk itu sudah ada. Islam, yang telah memberi sumbangan
kepada kehidupan spiritual umat manusia dan telah memperkaya
budayanya, menawarkan nilai-nilai permanen yang dari situ semua
Emile Dermenghem, Muhammad and the Islamic Tradition (New York:
The Overlook Press, 1981), h. 87).
44
D 49 E
F NURCHOLISH MADJID G
pihak akan memperoleh manfaat. Sebagai umat pertengahan, sebagaimana dikatakan al-Qur’an, Islam mempunyai peran untuk
dimainkan antara timur dan barat. Kalau toh ia, seperti halnya semua
agama dan ajaran moral, mempunyai segi-segi tertutup dan statis
menurut pengertian teori Bergson, Islam memiliki sesuatu yang
diperlukan untuk menjadi sebuah agama terbuka.)
Apa makna Islam sebagai agama terbuka itu dapat disimpulkan
dari pendapat Roger Garaudy, seorang filsuf Prancis yang telah
menyatakan diri masuk Islam,45 dan mulai banyak memberi sumbangan pikiran. Ia merasa gusar sekali dengan munculnya fundamenalisme (Prancis: intégrisme; Arab: ushūlîyah) dalam Islam, bersamaan dengan munculnya fundamentalisme agama-agama lain di
seluruh dunia, yang ia nilai sangat merugikan kemanusiaan pada
umumnya. Bagi kaum Muslim, untuk mengatasi fundamentalisme
itu dan memberi sumbangan kepada kemanusiaan masa mendatang,
perlu mereka berusaha kembali menemukan seluruh dimensi Islam
yang dahulu pernah membuatnya demikian agung dan jaya. Rincian pandangan Garaudy adalah sebagai berikut:
Pertama, memahami dan mengembangkan dimensi Qur’ani
Islam, yang tidak membatasi Islam hanya kepada suatu pola budaya
Timur Tengah di masa lalu, dan yang akan melepaskan ketertutupannya sekarang.
Kedua, memahami dan mengembangkan dimensi keruhanian
dan kecintaan Ilahi sebagaimana dikembangkan oleh kaum Sufi
seperti Dzu al-Nun dan Ibn ‘Arabi, untuk melawan paham keagamaan yang formalistik-ritualistik serta literalisme kosong, agar
dihayati makna shalat sebagai penyatuan dengan Allah, zakat
sebagai penyatuan dengan kemanusiaan, haji sebagai penyatuan
45
Bersama dengan beberapa tokoh pemikir Prancis yang lain, seperti
Maurice Boucalille dan Abd al-Magid Jean Marie, Roger Garaudy adalah
seorang tokoh besar yang menyatakan diri masuk Islam secara terbuka. (Lihat
surat kabar Kayhân al-‘Arabî, Teheran, 5 Îlûl/September 1992, h. 6).
D 50 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
dengan seluruh umat, dan puasa sebagai sarana ingat kepada Allah
dan orang kelaparan sekaligus.
Ketiga, memahmi dan mengembangkan dimensi sosial Islam,
guna menanggulangi masalah kepentingan pribadi yang saling
bertentangan, dan untuk mewujudkan pemerataan pembagian
kekayaan.
Keempat, menghidupkan kembali jiwa kritis Islam, setelah
jiwa itu dibendung oleh kaum vested interest dari kalangan ulama
dan penguasa (umarâ’) tertentu dalam sejarah Islam, dengan menghidupkan kembali semangat ijtihad, yang menurut Muhammad
Iqbal merupakan satu-satunya jalan untuk menyembuhkan Islam
dari penyakitnya yang paling utama, yaitu “membaca al-Qur’an
dengan penglihatan orang mati.”
Kelima, secara radikal mengubah program pengajaran agama,
sehingga formalisme keagamaan yang kering dapat diakhiri.
Keenam, meningkatkan kesadaran tanggung jawab pribadi
kepada Tuhan dalam memahami ajaran-ajaran agama, tanpa
mengizinkan adanya wewenang klerikal dan kependetaan, karena
Islam memang tidak mengenal sistem kependetaan.
Ketujuh, mengakhiri mentalitas isolatif, dan membuka diri
untuk kerjasama dengan pihak-pihak lain mana pun dari kalangan
umat manusia, dalam semangat perlombaan penuh persaudaraan,
meskipun dengan mereka yang mengaku ateis, guna meruntuhkan
sistem-sistem totaliter.
Untuk dapat melakukan itu semua amat diperlukan usahausaha pengayaan intelektual (intellectual enrichment), baik tentang
masa lalu, masa kini, maupun perkiraan masa depan. Dan karena
khazanah Islam di masa lalu sedemikian kayanya, maka salah satu
usaha pengayaan intelektual itu ialah dengan membaca kembali,
memahami dan memberi apresiasi yang wajar kepada warisan
budaya umat. Tetapi pembacaan dan pemahaman masa lalu hanya
untuk mencari otoritas adalah tidak benar, sebab masa lalu tidak
selamanya absah dan otentik. Sejarah, temasuk sejarah pemikiran,
harus dipahami secara kritis, dalam kerangka dinamika faktor ruang
D 51 E
F NURCHOLISH MADJID G
dan waktu yang menjadi wadah atau lingkungannya. Pandangan
kepada masa lalu sebagai dengan sendirinya absah dan otentik,
sambil meninggalkan sikap kritis kepada fakta-fakta historisnya,
adalah pangkal sikap-sikap tertutup, konservatif, dan beku yang
justru amat berbahaya. Tetapi pemahaman kepada masa lalu secara
kritis dan dinamis, disertai apresiasi ilmiah yang adil, akan menjadi
pangkal tolak pengayaan intelektual yang subur dan produktif.
Sebab manusia tidak mungkin menciptakan segala sesuatu dalam
budayanya mulai dari nol setiap saat. Manusia bagaimanapun harus
mengembangkan unsur-unsur warisan masa lalu yang sehat, dengan
digabungkan kepada unsur-unsur baru yang lebih sehat lagi. Tidak
adanya kontinuitas kultural dan intelektual masa sekarang dengan
masa lalu akan mengakibatkan pemiskinan (impoverishment)
kultural dan intelektual; dan pemahaman masa lalu secara dinamis,
kritis dan dalam semangat penghargaan yang adil dan wajar adalah
yang amat diperlukan untuk pengayaan kultural dan intelektual
guna memperoleh pijakan konfidensi baru yang kukuh menghadapi
masa depan.
Jadi yang amat kita perlukan ialah kembali kepada makna
dalil lama kaum ulama: “Memelihara yang lama yang baik, dan
mengambil yang baru yang lebih baik.”46 Itulah keterbukaan yang
Yaitu dalil kalangan para ulama: “al-muhâfazhat-u ‘alâ ’l-qadîm-i ’l-shâlih,
wa ’l-akhdz-u bi ’l-jadîd-i ’l-ashlah”.
Dan kini sudah banyak disadari oleh para ahli bahwa orang modern harus
tetap selalu sedia menilai kembali tingkah lakunya di bawah sorotan sumber
ajaran agama yang suci, dan bahwa tradisi adalah penting sekali bagi kemajuan
suatu bangsa, sebagai wahana perubahan:
Moderns may well be taught to bear in mind that however polished and
civilized we may seem to be, there is raw, mean passion at the threshold of our
minds (as Hitler has shown us) and we are not ultimately so very different from
even the seemingly crudest of past generations; we must stand continuously
ready to reassess our practice in the light of the Qur’anic judgment. (Hodgson,
The Venture of Islam, 3 jilid [Chicago: The University of Chicago Press, 1971],
jil. 3, h. 439).
Some time ago dissatisfaction developed with this dichotomy, with this
too narrow conception of tradition, which assumed an equivalence between
46
D 52 E
F KEAGAMAAN DI INDONESIA UNTUK GENERASI MENDATANG G
dinamis, dan itulah jalan untuk membuat sebuah generasi menjadi
kaya gagasan (resourceful) untuk menghadapi segala tantangan
zaman. Dan secara nasional, yaitu dalam konteks Indonesia,
Dengan begitu diharap Islam akan tampil lagi untuk memerankan
dirinya sebagai faktor yang membawa demokratisasi, modernisasi,
dan civilisasi bangsa.47 []
tradition and traditionality. The dissatisfaction stemmed also from the unstated
assumption that modern societies, being oriented to change, were antitraditional
or nontraditional, while traditional societies, by defintion, were necessarily
opposed to change. It was not only that the great variety and changeability
in traditional societies were rediscovered, but there developed also a growing
recognition of the importance of tradition in modern societies — even in its
most modern sectors, be it “rational” economic activity, science and technology.
Tradition was seen not simply as an obstacle to change but as an essential
framework for creativity. (S. N. Eisenstadt, “Intellectuals and Tradition”, dalam
Daedalus [Cambridge, Massachusetts], Spring 1972, h. 3).
47
Yaitu, sebagaimana terungkap dalam sebuah pengakuan yang cukup
jujur dalam sebuah buku tentang negeri kita:
Indonesia is one of the few countries where Islam didn’t supplant the
existing religion purely by military conquest. Its appeal was first and foremost
psychological. Radically egalitarian an possessing a scientific spirit, when Islam
first arrived in these island it was a forcefiul revolutionary concept that freed
the common man from his Hindu feudal bondage. Until Islam arrived, he
lived in a land where the king was an absolute monarch who could take away
his land and even his wife at whim. Islam, on the other hand, taught that all
men in Allah’s eyes are made of the same clay, that no man shall be set apart as
superior. There were no mysterious sacraments or initiation rites, nor was there
a priest class. With its direct and personal relationship between man and God.
Islam possessed great simplicity. Everyone could talk to Allah... Islam is deally
suited to an island nation; it is a trader’s religion which stresses the virtues of
prosperity and hard work. It allows for high individual initiative and freedom
of movement in order to take advantage of trade opportunities everywhere. The
religion is tied to no locality and God can be worshiped anywhere, even on the
deck of a ship. It was (and is) an easy religion to join. All that was needed was
a simple declaration of faith, the shahadat.... It compelled a man to bathe and
to keep clean, encouraged him to travel out to see the world (to Mecca), and,
in short, exerted a democratizing, modernizing, civilizing influence over the
people of the archipelago. (Al Hickey, Complete Guide to Indonesia [Singapore:
Simon and Schuster Asia, 1990], h. 8-9).
D 53 E
F ISLAM DAN ETIKA BANGSA G
ISLAM DAN ETIKA BANGSA
Oleh Nurcholish Madjid
Perkembangan Kepulauan Maluku mempunyai jalinan yang
sangat erat dengan perkembangan Islam di Asia Tenggara. Sebagai
“Kepulauan Rempah-rempah” (Spice Islands) yang legendaris,
Maluku menyimpan daya tarik luar biasa bagi para pedagang prazaman modern. Jauh sebelum orang-orang Eropa, para pedagang
Muslim telah mengenal dengan baik daerah Maluku. Mereka
menjadi makmur berkat perdagangan hasil bumi Maluku yang
mereka bawa ke negeri-negeri Islam, di anak-benua India dan di
Timur Tengah. Bangsa-bangsa Barat berdatangan ke kepulauan
itu adalah karena daya tarik hasil bumi itu, khususnya rempahrempah. Lebih dari itu, perjalanan Christopher Columbus yang
kemudian menemukan “Dunia Baru” Amerika, itu pun pada
mulanya didorong oleh keinginan mencari jalan langsung ke Kepulauan Maluku.
Columbus sendiri tidak berhasil menemukan Maluku. Tetapi
karena ia tidak mau dikatakan gagal, maka tidak saja secara keliru
ia menamakan penghuni asli benua Amerika “Orang India”, malah
ia juga memberi nama “lada” (pepper) untuk bumbu apa saja yang
terasa pedas, seperti cabe (chili), padahal bukan lada, karena di
Amerika saat itu memang tidak ada lada. Yang berhasil mencapai
Maluku ialah bangsa Portugis (1512), kemudian bangsa-bangsa
Barat lainnya, seperti Spanyol, Belanda, dan Inggris.
Sebelum orang-orang Eropa itu datang, orang-orang Muslim
telah terlebih dahulu menguasai Maluku. Kesultanan-kesultanan
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Ternate dan Tidore dikenal dalam sejarah sebagai pusat-pusat
kekuasaan Islam yang berpengaruh saat itu. Orang-orang Portugis
menjalin kerjasama dengan para sultan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, kemudian disusul perebutan antara orangorang Eropa sendiri yang akhirnya dimenangkan oleh Belanda.
Bangsa yang kemudian menjajah seluruh Nusantara itu datang di
Maluku pada tahun 1599, dan setelah berhasil menguasai Maluku
mereka menjadi kaya karena monopoli perdagangan rempah-rempah. Begitu berlangsung terus di zaman penjajahan, sampai akhirnya pada ujung abad ke-18 perdagangan rempah-rempah menjadi
surut, dan Maluku khususnya dan Indonesia Bagian Timur dalam
ekonomi menjadi daerah pinggiran yang agak terlantar.
Kini perhatian nasional mulai diarahkan ke Maluku lagi. Atas
dasar ide prinsipil tentang pemerataan, negara kita telah meletakkan
rencana pembangunan Indonesia Bagian Timur. Berkaitan dengan
pembangunan inilah kita dapat berbicara tentang Islam dan Budaya
Maluku dengan usaha pembangunan nasional.
Masalah Akhlak dan Keadilan
Slogan “tinggal landas” kini telah menjadi bagian dari perbendaharaan
politik pembangunan kita. Di balik jargon itu terkandung keinginan, malah tekad, untuk membangun negara dan bangsa sedemikian rupa sehingga ia memiliki dinamika pertumbuhan dan perkembangan yang lestari, mandiri, dan aman sentosa. Diambil dari
metafor pada gerak pesawat terbang, sesungguhnya “tinggal landas”
adalah saat yang masih memerlukan “tenaga maksimal” mesin
pesawat untuk mendorong ke atas badan pesawat dan muatannya,
setelah tenaga maksimal itu digunakan untuk sekencang-kencangnya meluncurkan pesawat di landasan pacu (runway). Karena itu
sesungguhnya “Era Tinggal Landas” bukanlah masa kita sudah lepas
dari keharusan bekerja keras. Mungkin keharusan kerja keras itu
baru dapat dikendorkan sedikit jika kita telah mencapai ketinggian
D2E
F ISLAM DAN ETIKA BANGSA G
tertentu, dan — pinjam lagi dari metafor gerak pesawat udara
— kita memasuki fase “cruising” (terbang datar pada kecepatan
dan ketinggian maksimal).
Salah satu yang amat diperlukan dalam era tinggal landas itu,
dan juga sebenarnya dalam semua era pembangunan, ialah akhlak
atau moral. Di sini kita dibenarkan untuk mengharap kemungkinan
peranan ajaran Islam secara lebih besar dan kuat. Selain timbul dari
kesadaran keimanan seorang yang “kebetulan” beragama Islam,
harapan kepada peranan Islam itu juga berdasarkan kenyataan
sederhana, yaitu bahwa sebagian besar bangsa Indonesia, sekitar
90 persen, adalah orang-orang Muslim. Maka wajar jika Islam
dipandang mempunyai pengaruh paling besar dan kuat dalam
wawasan etis dan moral bangsa. Dari sinilah kita terdorong untuk
melihat diri sendiri dengan jujur, melalui penanyaan diri: Benarkah
bangsa Indonesia, khususnya umat Islamnya sendiri, telah dijiwai
dan dibimbing oleh akhlak yang mulia? Sudahkah umat Islam memenuhi penegasan Nabi saw bahwa beliau diutus “hanyalah untuk
menyempurnakan berbagai keluhuran akhlak”?
Kita sering membanggakan diri sebagai “Bangsa Timur” (dengan konotasi berbudaya tinggi dan sopan) atau “bangsa yang religius” (yang tentunya juga berarti bangsa yang berakhlak tinggi).
Tetapi dengan jujur kita harus mengakui bahwa kebanggaan di atas
itu sering kosong belaka. Mungkin sekali kita memang bangsa yang
sopan dan ramah. Banyak orang asing yang membawa pulang kesan
baik dan positif demikian itu. Tetapi hal itu tampaknya terbatas
hanya kepada bidang-bidang pergaulan perorangan sehari-hari. Meskipun ini juga penting, namun bukanlah hal yang sangat sentral.
Di sisi lain, banyak dari mereka yang membawa kenangan ke
negerinya betapa bangsa kita adalah bangsa yang “korup”. Mereka
memperhatikan dan mengalami, bagaimana “pungli” terjumpai di
mana-mana, dan bagaimana pula tindakan-tindakan yang di negerinya sudah cukup merupakan skandal, di negeri kita dianggap
biasa saja. Misalnya, memberikan katabelece kepada anak sendiri,
keluarga, atau teman untuk suatu keperluan bisnis, seperti pernah
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
melilit dan menodai nama baik Presiden Ronald Reagan dari
Amerika Serikat. Pengertian tentang “conflict of interest” di negeri kita
masih sedemikian lemahnya atau mungkin malah tidak ada, sehingga
dalam praktik-praktik bisinis dan kegiatan ekonomi lainnya — atau
kegiatan pembagian rezeki — banyak terjadi hal-hal tidak wajar
yang ikut menumbuhkan gejala ketidakadilan dan ketidakmerataan
sosial. Kepincangan dalam kemampuan ekonomi yang sekarang
ini sangat menggejala di tanah air kita sebagian disebabkan oleh
kesalahan kita sendiri yang tidak teguh berpegang kepada ukuranukuran moral dan akhlak sebagaimana dikehendaki oleh ajaran
agama. Tentu saja ada sebab-sebab yang lain, yang dapat kita bahas
dalam kesempatan lain yang relevan. Namun jelas bahwa kesalahan
tidak seluruhnya dapat ditimpakan kepada pihak-pihak tertentu yang
“kebetulan” mengetahui kelemahan moral kita dan menggunakannya
untuk kepentingan kita sendiri. Maka dalam tinjauan hubungan
sebab-akibat, mereka itu hanyalah “akibat”, sedangkan “sebab”-nya
ada pada kita. Dan karena kita diajari untuk berani mengatakan yang
benar meskipun pahit, kita harus berani merasakan pahit-getirnya
koreksi terhadap diri sendiri, sebelum melakukan koreksi kepada
orang lain. Sebab sepahit-pahit mengatakan suatu kebenaran yang
bersifat korektif kepada orang lain, masih tetap jauh lebih pahit
menyadari dan mengatakan suatu kebenaran yang bersifat korektif
kepada diri sendiri. Itulah sebabnya Nabi mengajarkan dalam
sebuah hadis yang cukup terkenal, “Sungguh beruntung orang yang
sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, bukan dengan kesalahan orang
lain”.
Akhlak ini mutlak pentingnya, karena merupakan sendi atau
landasan ketahanan suatu bangsa menghadapi pancaroba. Tanpa
akhlak yang baik, suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair dalam
bahasa Arab sering dikutip orang, menerangkan masalah ini:
Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang
pada) akhlaknya,
bila akhlak mereka rusak, maka rusak-binasa pulalah mereka.
D4E
F ISLAM DAN ETIKA BANGSA G
Dari banyak ketentuan keakhlakan yang paling menentukan bertahan atau hancurnya suatu bangsa ialah akhlak keadilan. Menurut
ajaran Islam (Q 55:7-8), keadilan adalah prinsip yang merupakan
hukum seluruh jagad raya. Oleh karenanya, melanggar keadilan
adalah melanggar hukum kosmis, dan dosa ketidakadilan akan
mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia.
Hal ini tidak peduli, apakah masyarakat itu (secara formal) terdiri
dari masyarakat yang beragama atau tidak, seperti bangsa kita ini.
Suatu ungkapan hikmah yang dikutip Ibn Taimiyah amat relevan
dikutip di sini.
Sesungguhnya Allah menegakkan kekuasaan yang adil sekalipun
kafir, dan tidak menegakkan yang zalim meskipun Muslim.1
Dalam buku yang sama Ibn Taimiyah juga mengungkapkan:
Dunia bertahan bersama keadilan dan kekafiran, tetapi tidak bertahan dengan kezaliman dan Islam.
Al-Qur’an pun (Q 47:38) menegaskan prinsip yang sama,
yaitu bahwa jika ajaran dan seruan-Nya kepada umat Islam, yaitu
menegakkan keadilan, khususnya keadilan sosial berupa usaha
pemerataan dan peringanan penderitaan kaum yang tak berpunya,
maka Allah akan membinasakan umat itu untuk diganti dengan
umat yang lain, yang secara moral dan etika tidak seperti mereka.
Dan dalam al-Qur’an pula (Q 17:16) kita dapatkan ancaman Allah
untuk membinasakan suatu negeri jika di negeri itu tidak lagi ada
rasa keadilan, dengan indikasi leluasanya orang yang hidup mewah
dan tidak peduli dengan keadaan masyarakat sekelilingnya yang
kurang beruntung. []
1
Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma‘rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkâr (Buraidah,
Saudi Arabia: 1989/1409), h. 64.
D5E
F AGAMA, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN G
AGAMA, KEMANUSIAAN,
DAN KEADILAN
Oleh Nurcholish Madjid
Jika keadilan dikaitkan dengan agama, maka yang pertamatama dapat dikatakan ialah bahwa usaha mewujudkan keadilan
merupakan salah satu dari sekian banyak sisi kenyataan tentang
agama. Sudah sejak umat manusia mengenal peradaban di lembah
Sawad (Mesopotamia, Irak sekarang) sekitar 6000 tahun yang lalu,
persoalan keadilan selalu merupakan tantangan hidupnya yang
tidak pernah berhenti diperjuangkan. Diketemukannya sistem
pertanian (sebagai berkah langsung dari dua sungai yang banjir
secara periodik dan pasang-surut) serta dijinakkannya binatang
(yang membuat manusia tidak lagi hanya bersandar kepada
kekuatan fisiknya dalam bertani), maka terjadilah akumulasi
kekayaan pada manusia.
Karena manusia mendapati dirinya, persis karena adanya kemakmuran itu, harus menyusun masyarakat dengan membagi
pekerjaan, termasuk kekuasaan, antara para anggotanya, maka
mulailah masyarakat manusia tersusun menjadi tinggi-rendah,
dengan yang kuat mengalahkan atau menguasai yang lemah.
Pembagian manusia menjadi empat tinggkat (yang kelak setelah
ditiru dan diambil alih oleh bangsa-bangsa Arya melahirkan sistem
kasta), pada mulanya muncul sebagai keharusan pembagian kerja
masyarakat beradab, dan selanjutnya mewujud nyata dalam konsep
kenegaraan. Tetapi serentak dengan itu muncul masalah keadilan.
Maka tampillah para literati — yaitu kelas tertinggi dalam sistem
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
masyarakat yang bersusun itu, yang tugasnya ialah “meneropong
langit” dengan jaminan hidup sepenuh-penuhnya — atau seorang
tokoh dari mereka, yang mampu mengenali adanya ketidakadilan,
kemudian berusaha merombak masyarakat atas dasar “wisdom”
yang diperolehnya.
Padanan fungsional kaum literati itu pada waktu sekarang ialah
kaum intelektual, atau mungkin lebih tepat lagi kaum intelegensia.
Yaitu suatu kelompok dalam masyarakat yang karena tingkat kemampuan inteleknya yang tinggi dan komitmen moralnya yang
kukuh, mampu tetap bertahan untuk tidak “terlibat langsung”
dalam persoalan hidup keseharian. Sikap “detachment” mereka ini
membuat mereka berpeluang lebih baik untuk melihat masalah
hidup secara “obyektif ”, karena itu berotoritas.
Kaum literati zaman Sumeria-Babilonia itu, lebih-lebih dalam
penampilan tokoh-tokohnya yang betul-betul menonjol penuh
wisdom dan karisma, adalah juga padanan fungsional para Nabi dan
Rasul. Jumlah mereka tidak pernah sangat banyak, namun mereka
adalah penentu sebenarnya jalan sejarah umat manusia. Disebabkan
oleh berakarnya wawasan mereka dalam nilai kemanusiaan yang
tinggi dan murni, terdapat kesamaan asasi antara semua mereka
dalam misi dan tugas suci. Perbedaan antara mereka hanyalah dalam segi-segi “teknis” pelaksanaan atau perwujudan misi mereka
itu, yaitu perbedaan akibat tuntutan ruang dan waktu yang berlainan.
Dari situ kita sudah mulai dapat melihat korelasi antara agama dan usaha mewujudkan keadilan (atau, secara negatifnya,
antara agama dan usaha melawan kezaliman). Seorang tokoh dari
mereka itu, yang memiliki tingkat wisdom yang demikian tinggi
dan wawasan kemanusiaan yang demikian luhur, dipandang sebagai “orang yang mendapat berita” (makna asal kata-kata Arab
Nabî). Jika wisdom yang diperolehnya itu tidak hanya untuk diri
sendiri saja, dan tokoh itu mengemban misi suci (risâlah) untuk
disampaikan kepada masyarakat pada umumnya, maka dalam
bahasa Arab disebut “Rasûl” (pengemban atau pemilik misi suci)
D2E
F AGAMA, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN G
sekaligus dipandang sebagai “Utusan” dari Tuhan Mahatinggi.
Maka tidak heran bahwa hampir semua unsur pokok agama dapat dijejaki kembali ke Sumeria-Babilonia. Hal ini antara lain
dibuktikan atau dilambangkan dalam wawasan dan penampilan
Nabi Ibrahim, seorang tokoh dari Ur atau Kaldea di Mesopotamia,
yang kelak berdiam dan wafat di Kanaan atau Palestina Selatan,
setelah meninggalkan negerinya dan terlebih dahulu pergi ke
Harran di daerah hulu lembah Furat-Dajlah.
Wawasan Kemanusiaan Agama
Wawasan Ibrahim itu kelak menjadi dasar ajaran agama-agama
yang amat berpengaruh pada umat manusia, yaitu agama-agama
Semitik: Yahudi, Nasrani, dan Islam, yang juga sering disebut
agama-agama Ibrahimi (dalam bahasa Inggris, Abrahamic religions).
Mengerti masalah ini dirasa sangat penting. Wawasan Ibrahim
itu ialah wawasan kemanusiaan berdasarkan konsep dasar bahwa
manusia dilahirkan dalam kesucian, yaitu konsep yang terkenal
dengan istilah fithrah.
Karena fithrah-nya itu manusia memiliki sifat dasar kesucian,
yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan
baik kepada sesamanya. Sifat dasar kesucin itu disebut hanîfiyah
karena manusia adalah makhluk yang hanîf. Sebagai makhluk yang
hanîf itu manusia memiliki dorongan naluri ke arah kebaikan dan
kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hanîfiyah itu terdapat
dalam dirinya yang paling mendalam dan paling murni, yang disebut
(hati) nûrânî, artinya “bersifat nûr atau cahaya (luminous)”.
Kesucian manusia itu sendiri dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan. Yaitu
suatu perjanjian atau ikatan janji antara manusia sebelum ia lahir
ke dunia dengan Tuhan, bahwa manusia akan mengakui Tuhan
sebagai Pelindung dan Pemelihara (Rabb) satu-satu-Nya baginya.
Maka manusia (dan jinn) pun tidaklah diciptakan Allah melainkan
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
dengan kewajiban tunduk dan menyembah kepada-Nya saja, yaitu
menganut paham Ketuhanan Yang Mahaesa, tawhîd. Maka bertawhîd dengan segala konsekuensinya itulah makna hakiki hidup
manusia, yaitu suatu makna hidup atas dasar keinsafan bahwa
manusia berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Makna hidup
yang hakiki itu melampaui tujuan-tujuan duniawi (terrestrial),
menembus tujuan-tujuan hidup ukhrawi (celestial).
Tetapi manusia tidak dibiarkan mencari sendiri — karena
memang tidak akan mampu — makna hakiki hidupnya itu. Maka
Allah, Tuhan Yang Mahaesa, memberi tuntunan kepada manusia
melalui Rasul-rasul-Nya, dan tuntunan itu merupakan kelanjutan
perjanjian primordial tersebut tadi, dan itulah yang kemudian
dinamakan agama. Karena itu agama disebut “perjanjian” (mîtsâq
atau ‘ahd), dan intinya ialah sikap tunduk (dîn) yang benar kepada
Allah serta sikap penuh pasrah (islâm) kepada-Nya. Perjanjian
Tuhan itu selain secara pribadi masing-masing perorangan manusia
telah terjadi sejak zaman azali, berbentuk perjanjian primordial di
atas, secara sejarah (artinya, dalam konteks hidup manusia dalam
ruang dan waktu di dunia ini) telah pula terjadi melalui para Nabi,
sejak Nabi Adam, terus kepada nabi-nabi sesudahnya sampai kepada
Nabi Muhammad saw.
Di antara nabi-nabi dan rasul-rasul Allah itu lima orang disebut
sebagai yang paling utama, yaitu Muhammad, Ibrahim, Musa,
Isa, dan Nuh, yang kelima tokoh ini kemudian dikenal sebagai
Ulû al-‘Azm, yakni, “mereka yang memiliki jiwa perjuangan yang
kuat”. Nabi Ibrahim adalah bapak sebagian besar para Nabi yang
datang sesudahnya, yang tersebutkan dalam al-Qur’an dan dalam
kitab-kitab Taurat dan Injil (“Perjanjian Lama” dan “Perjanjian
Baru”). Nabi Nuh adalah bapak kedua umat manusia. Nabi Musa
adalah kalâm-u ’l-Lâh (“lawan bicara Allah”). Nabi Isa al-Masih
adalah kalîmat-u ’l-Lâh (sabda Allah) yang disampaikan kepada
Maryam. Dan Nabi Muhammad saw adalah penghabisan segala
Nabi dan Rasul. Semua para Nabi dan Rasul Allah itu mengajarkan
hal yang sama, yaitu tunduk (dîn) yang benar, dengan sikap
D4E
F AGAMA, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN G
pasrah sepenuhnya (islâm) kepada Yang Mahaesa. Semua para
Nabi dan Rasul itu, serta para Nabi dan Rasul Allah lainnya yang
tersebar di antara umat manusia, yang disebutkan dan yang tidak
disebutkan dalam al-Qur’an, begitu pula semua pengikut mereka
yang benar dan setia, adalah orang-orang yang muslim, orang
yang melaksanakan islâm, lagi pula menempuh sikap tunduk (dîn)
yang benar kepada Allah swt atas dasar pandangan tawhîd atau
Ketuhanan Yang Mahaesa.
Sepuluh “Wasiat” Allah
Untuk menyambung perjanjian primordial antara manusia dan
Allah itu, sebagai pedoman dasar sikap pasrah dan tunduk yang
benar kepada-Nya, Allah menurunkan berbagai “wasiat”. (Hendaknya lebih dahulu jelas bahwa yang dimaksud dengan “wasiat”
di sini bukanlah “wasiat” seperti kita gunakan dan pahami dalam
bahasa kita. Aslinya, dalam bahasa Arab washîyah adalah pesan,
pitutur, perintah atau ajaran. Dalam kitab suci al-Qur’an, perkataan
washîyah itu banyak kita dapatkan, termasuk dalam berbagai
derivasinya.)
Dari berbagai “wasiat” Allah kepada umat manusia, dalam
al-Qur’an disebut adanya “Sepuluh Wasiat” Tuhan kepada umat
manusia (dinamakan “Wasiat” karena ayat-ayat suci yang memuatnya diakhiri dengan kalimat, “Demikianlah Allah berwasiat kepada
kamu sekalian”). Kesepuluh “wasiat” Allah itu disebutkan dalam
al-Qur’an (Q 6:151-153): (1) Janganlah memperserikatkan Allah
dengan apa pun juga; (2) Berbuatlah baik kepada kedua orangtua
(ayah-ibu); (3) Tidak membunuh anak karena takut kemiskinan
(seperti praktik banyak orang Jahiliah); (4) Jangan berdekat-dekat
dengan kejahatan, baik yang lahir maupun yang batin; (5) Jangan
membunuh sesama manusia tanpa alasan yang benar; (6) Jangan
berdekat-dekat dengan harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
sebaik-baiknya; (7) Penuhilah dengan jujur takaran dan timbangan;
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
(8) Berkatalah yang jujur (adil), sekalipun mengenai kerabat sendiri;
(9) Penuhilah semua perjanjian dengan Allah; (10) Ikutilah jalan
lurus Allah dengan teguh.
Tafsir al-Manâr yang dikarang oleh Syeikh Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridla, menguraikan panjang lebar “Wasiat” Allah
yang sepuluh itu dalam konteksnya dengan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya. Tafsir al-Manâr juga menyebutkan bahwa “Sepuluh
Wasiat” Allah itu sama semangatnya dengan “Sepuluh Perintah”
(al-Kalimât al-‘Asyr, The Ten Commandments) dari Allah kepada
Nabi Musa as yang diterimanya di atas bukit Sinai. Memang benar
semangat atau ruhnya sama, meskipun nuktah spesifiknya sedikit
berbeda. Dalam Alkitab yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia (Jakarta 1960), “Sepuluh Perintah” Allah itu, dalam
Kitab Keluaran (al-Khurûj, Eksodus, 20:2-17) terbaca, ringkasnya,
sebagai berikut: (1) Jangan menyembah selain Allah; (2) Jangan
membuat patung berhala; (3) Jangan menyembah patung berhala;
(4) Jangan menyebut nama Allah dengan sia-sia; (5) Ingatlah hari
Sabtu (Shabat, Istirahat); (6) Jangan membunuh; (7) Jangan berbuat
zina; (8) Jangan mencuri; (9) Jangan bersaksi palsu dan dusta
kepada sesamamu manusia; (10) Jangan menginginkan rumah
orang lain, istrinya dan barang-barang miliknya.1b
Humanisme Modern (Barat)
“Sepuluh Perintah” yang diterima oleh Nabi Musa as itu menjadi
inti dari Kitab Taurat yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an
sebagai “petunjuk dan cahaya” untuk umat manusia. Dan karena
pentingnya “Sepuluh Perintah” yang disampaikan Allah kepada
Nabi Musa as di atas gunung Sinai itu maka Allah pun, dalam
1
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal ini terdapat sedikit perbedaan dari
yang termuat di Kitab Keluaran itu. “Sepuluh Perintah” yang dimuat dalam
Kitab Ulangan (5:7-21) menambahkan perintah untuk menghormati kedua
orangtua, sehingga jumlah seluruh perintah itu menjadi sebelas.
D6E
F AGAMA, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN G
sebuah firman suci, bersumpah dengan gunung Sinai (Arab: Thûr
Sînâ), di samping dengan pohon tîn (fig), dengan buah atau bukit
Zaitun dan dengan negeri yang aman sentosa, yaitu Makkah.
Cukup sebagai bukti betapa besarnya pengaruh “Sepuluh Perintah”
itu terlihat dari adanya pengakuan para ahli bahwa peradaban Barat
yang dominan sekarang ini merupakan peradaban yang didasarkan
kepada “Sepuluh Perintah” itu melalui tradisi budaya keagamaan
Yahudi-Kristen (Judeo-Christian), selain budaya sosial-politik
Yunani-Romawi (Greeco-Roman).
Namun sesungguhnya tidaklah benar jika dikatakan bahwa
peradaban Barat yang sekarang dominan itu hanya karena tradisi
keagaman Yahudi-Kristen dan tradisi kebudayaan Yunani-Romawi.
Justru jika kita ambil tiga hal yang paling menonjol dalam peradaban
Barat itu, yaitu kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi,
maka dasar-dasarnya harus dicari dalam “Daerah Berperadaban”
(Arab: al-Dâ’irah al-Ma‘mûrah, Yunani: Oikoumene), yaitu kawasan
daratan bumi yang terbentang dari Lautan Atlantik di barat sampai
Lautan Teduh di timur, dengan inti daratan yang terbentang dari
sungai Nil di barat sampai sungai Amudarya (Oksus) di timur. Dan
daerah itu adalah daerah yang peradabannya memuncak dalam
peradaban Islam.
Dari segi paham kemanusiaan, pengaruh peradaban Islam
dapat dilihat pada pikiran-pikiran kefilsafatan tentang manusia
dari Giovanni Pico della Mirandola, salah seorang pemikir humanis
terkemuka zaman Renaisans Eropa, ketika ia menyampaikan orasi
ilmiahnya tentang harkat dan martabat manusia di depan para
pemimpin gereja.2c Pembukaan orasi tersebut berbunyi demikian:
“Saya telah membaca, para Bapak yang suci, bahwa Abdullah
seorang Arab Muslim, ketika ditanya tentang apa kiranya di atas
panggung dunia ini, seperti telah terjadi, yang dapat dipandang
2
Mengenai orasi ilmiahnya tentang harkat dan martabat manusia di depan
para pemimpin gereja, telah dijelaskan dalam bahasan “Pascamodernisme dan
Dilema Islam Indonesia”, tepatnya dalam catatan no. 1.
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
paling menakjubkan, ia menjawab: ‘Tidak ada yang dapat dipandang
lebih menakjubkan daripada manusia’. Sejalan dengan pendapat
ini adalah perkataan Hermes Trismegistus, ‘Sebuah mukjizat yang
hebat, wahai Asclepius, ialah manusia’”.3d
Dengan pangkal tolak itu Giovanni membeberkan paham kemanusiaannya. Meskipun Giovanni kemudian dimusuhi gereja dan
karena tidak tahan kemudian “bertobat”, namun pandangannya itu
merupakan salah satu fondasi paham kemanusiaan dan keadilan
di Barat, yaitu humanisme modern.
Perpisahan atau pertentangan antara agama dan humanisme di
Barat akibat persimpangan jalan antara para pemimpin agama dan
filsuf di masa-masa awal Kebangkitan Kembali (Renaissance) itu
amat disayangkan. Sebab humanisme itu kemudian tumbuh dan
berkembang terlepas dari bimbingan keruhanian. Puncaknya ialah
komunisme, suatu ideologi yang berpangkal dari kegemasan para
humanis menyaksikan berbagai ketidakadilan dalam masyarakat
industri saat-saat permulaan, dan ajaran yang didorong oleh rasa
kemanusiaan yang sangat mendalam dengan program-program
yang ambisius. Pertentangannya dengan agama membawa ajaran
yang sangat kuat bermotifkan rasa keadilan ini kemudian secara
confensional mengajarkan sikap-sikap anti-agama dan ateisme. Dari
situlah ada kemungkinan kita melihat ironi pada komunisme, yaitu
suatu pandangan hidup kelanjutan humanisme, namun ternyata
harus diwujudkan dengan cara-cara yang sangat melanggar prinsipprinsip kemanusiaan (seperti, misalnya, kekejaman Stalin). Ini sangat
disesali oleh Albert Camus, dan menimbulkan kebingungan luar biasa
baginya, sehingga ia pun putus asa dan keluarlah dari ia pandangan
hidup pesimis melalui konsep-konsep “absurditas”. Karena putus asa
itulah, maka Albert Camus terkenal dengan adagiumnya: All that
was is no more, all that will be is not yet, and all that is not sufficient
3
Ernst Cassirer, dan lain-lain, penyunting, The Renaissance Philosophy of
Man (Chicago: The University of Chicago Press, 1948), h. 223.
D8E
F AGAMA, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN G
(Semua yang telah lewat sudah tidak ada, semua yang akan datang
belum terjadi, dan semua yang ada sekarang tidak mencukupi).
Keadilan sebagai Sunatullah
Ketika terjadi polemik antara Nabi Muhammad saw di satu pihak
dan kaum Nasrani serta Yahudi di pihak lain tentang Nabi Ibrahim,
beliau menerima wahyu bahwa Nabi Ibrahim itu bukanlah seorang
Nasrani ataupun Yahudi, melainkan seorang yang hanîf dan muslim.
Apalagi memang secara historis Nabi Ibrahim tampil jauh lebih
dahulu daripada Musa dan Isa. Dan ketika disebutkan bahwa Nabi
Ibrahim adalah seorang yang hanîf dan muslim, maka pengertiannya
ialah bahwa ia hanyalah mengikuti kebenaran jalan hidup yang asli,
yang primordial dan perennial, yang tidak berubah sepanjang masa.
Itu semua berpangkal dari fithrah manusia yang suci, dan itulah
semua agama yang tegak lurus (al-dîn al-qayyim), yang “kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. Kemudian Nabi Muhammad saw
diperintahkan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim itu, dan
ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa sebaik-baik agama ialah agama
yang mengikuti teladan Nabi Ibrahim, dan barangsiapa membenci
agama Nabi Ibrahim maka ia membodohi diri sendiri.4e
Hakikat dasar kemanusiaan, termasuk kemestian menegakkan
keadilan, merupakan bagian dari sunatullah, karena adanya fithrah
manusia dari Allah dan perjanjian primordial antara manusia dan
Allah. Sebagai sunatullah, kemestian menegakkan keadilan adalah
kemestian yang merupakan hukum yang obyektif, tidak tergantung
kepada kemauan pribadi manusia siapa pun juga, dan immutable
(tidak akan berubah). Ia disebut dalam al-Qur’an sebagai bagian
dari hukum kosmis, yaitu hukum keseimbangan (al-mîzân) yang
menjadi hukum jagad raya atau universe.
4
Al-Qur’an banyak berbicara masalah ini, diataranya: Q 30:30; Q 16:123;
Q 3:67-68; Q 6:161-163; Q 4:125; Q 2:130-133.
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
Karena hakikatnya yang obyektif dan immutable itu maka
menegakkan keadilan akan menciptakan kebaikan, siapa pun
yang melaksanakannya, dan pelanggaran terhadapnya akan mengakibatkan malapetaka, siapa pun yang melakukannya. Karena itu
keadilan ditegaskan dalam al-Qur’an harus dijalankan dengan
teguh sekalipun mengenai karib-kerabat dan sanak-famili ataupun
teman-teman sendiri, dan jangan sampai kebencian kepada suatu
golongan membuat orang tidak mampu menegakkan keadilan.
Keadilan juga disebutkan sebagai perbuatan yang paling mendekati
takwa kepada Allah swt.
Maka masyarakat yang tidak menjalankan keadilan, dan sebaliknya membiarkan kemewahan yang anti-sosial, akan dihancurkan
Tuhan. Demikian pula, kewajiban memperhatikan kaum terlantar,
jika tidak dilakukan dengan sepenuhnya, akan mengakibatkan
hancurnya masyarakat bersangkutan, kemudian diganti oleh Tuhan
dengan masyarakat yang lain. Karena itu Nabi saw berpesan dalam
sebuah khutbah beliau agar masyarakat memperhatikan nasib kaum
buruh. Mereka yang tidak memperhatikan kaum buruh itu akan
menjadi musuh Nabi saw secara pribadi di hari kiamat. Dalam
sebuah pidato menjelang wafat, sebagaimana dituturkan oleh Ali
ibn Abi Thalib ra, Nabi saw menegaskan kewajiban majikan kepada
buruh-buruhnya dengan cara yang sangat tandas dan tegas. Kutipan
dari pidato itu demikian:
“Wahai sekalian manusia! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, dalam
agamamu dan amanatmu sekalian. Ingatlah Allah! Ingatlah Allah,
berkenaan dengan orang-orang yang kamu kuasai dengan tangan
kananmu! Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan
berilah mereka pakaian seperti yang kamu pakai! Dan janganlah
kamu bebani mereka dengan beban yang mereka tidak sanggup
D 10 E
F AGAMA, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN G
menaggungnya. Sebab sesungguhnya mereka adalah daging, darah,
dan makhluk seperti halnya kamu sekalian sendiri. Awas, barangsiapa
bertindak zalim kepada mereka, maka akulah musuhnya di hari
kiamat, dan Allah adalah Hakimnya....”5
Demikianlah salah satu dari sekian banyak ajaran Nabi yang
menegaskan kewajiban kita semua menegakkan keadilan. Implikasi
dari usaha menegakkan keadilan itu ialah memperjuangkan golongan yang “tidak beruntung” nasibnya di bumi ini, termasuk
mereka yang dalam al-Qur’an disebutkan hidup berkalang tanah
(dzû matrabah). Dalam ayat terakhir Q 47 ditandaskan bahwa
kalau kita tidak bersedia menyisihkan sebagian dari harta kita untuk
digunakan di jalan Allah, antara lain untuk menolong kaum miskin,
maka Allah akan menghancurkan kita, dan akan mengganti kita
dengan golongan yang lain. Secara kesejarahan, ancaman Allah
ini sudah berkali-kali terbukti, berupa kekalahan umat Islam oleh
bangsa-bangsa lain yang menimbulkan kesengsaraan yang luar
biasa. Allah memang menjanjikan kemenangan bagi mereka “yang
dibuat lemah” (al-mustadl‘afûn), alias kaum tertindas, dan Allah
menjanjikan untuk menjadikan mereka itu para pemimpin dan
penguasa di muka bumi. []
5
Khutab al-Rasûl (sebuah Kitab kumpulan Khutbah-khutbah Nabi),
dikumpulkan dan diberi anotasi oleh Muhammad Khalil al-Khatib (Kairo:
Dar al-Fadlilah, 1373 H), h. 313.
D 11 E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
PRINSIP KEMANUSIAAN
DAN MUSYAWARAH DALAM
POLITIK ISLAM
Oleh Nurcholish Madjid
Pembicaraan tentang Islam dan politik selalu menarik perhatian, karena kenyataan adanya hubungan yang sangat erat antara keduanya
dalam sejarah. Semenjak Nabi saw hijrah dari Makkah ke Yatsrib, yang
kemudian diganti namanya menjadi Madinah, agenda-agenda politik
kerasulan telah diletakkan, dan sejak itulah selain beliau bertindak
sebagai utusan Allah, juga sebagai kepala negara, komandan tentara,
dan pemimpin kemasyarakatan. Semua yang dilakukan oleh Nabi
saw di kota hijrah itu adalah refleksi dari ide yang terkandung dalam
perkataan Arab “Madinah”, yang secara etimologis berarti “tempat
peradaban”, yaitu padanan perkataan Yunani “polis” (seperti dalam
nama kota “Constantinopolis”). Dan “Madinah” dalam arti itu
adalah sama dengan “hadlârah” dan “tsaqâfah”, yang masing-masing
sering diterjemahkan, berturut-turut, “peradaban” dan “kebudayaan”,
tetapi yang secara etimologis mempunyai arti “pola kehidupan
menetap” sebagai lawan “badâwah” yang berarti “pola kehidupan
mengembara”, “nomad”. Karena itu perkataan “Madinah”, dalam
peristilahan modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian
“civil society”, suatu istilah Inggris yang berarti “masyarakat sopan,
beradab, dan teratur” dalam bentuk negara yang baik. Dalam arti
inilah harus dipahami kata-kata hikmah dalam bahasa Arab, alinsân madanîyun bi al-thab‘i “manusia menurut naturnya adalah
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
bermasyarakat budaya”—merupakan padanan adagium terkenal
Yunani bahwa manusia adalah “zoon politicon”.
Para khalifah, selaku para penguasa Islam, kemudian bertindak
mengikuti konsekuensi logis prinsip-prinsip yang telah dirintis
dan diletakkan Nabi. Di tangan para khalifah itu, khususnya
Umar ibn al-Khaththab, khalifah kedua, Islam tampil dengan
keberhasilan politik yang luar biasa, lebih daripada agama lain
mana pun. Setelah khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq,
berhasil melakukan konsolidasi kesatuan politik dengan ibukota
Madinah yang meliputi seluruh Jazirah Arabia (antara lain dengan
menyelesaikan krisis Yamamah), khalifah kedua, yaitu Umar ibn
al-Khaththab, melakukan ekspansi militer, politik, dan peradaban
ke daerah-daerah sekitar Jazirah. Siria, Mesir, dan Persia dibebaskan
dan dibawa ke dalam lingkungan, meminjam ungkapan al-Farabi,
“al-Madinah al-Fadlîlah”. Dengan gerakan pembebasan (Arab: fath)
oleh Islam itu, dan bukannya semata-mata penaklukan (Arab: qahr),
maka daerah-daerah pusat peradaban klasik yang dalam istilah
Arab disebut al-Dâ’irah al-Ma‘mûrah”, dan Yunaninya disebut
Oikoumene, memperoleh landasan baru bagi pertumbuhan dan
pengembangan peradaban yang sejalan dengan prinsip kemanusiaan
universal dan bersemangat kosmopolitan.1 Karena itu karakteristik
agama Islam ialah keberhasilannya yang luar biasa sebagai gerakan
pembebasan manusia dan penciptaan pola peradaban yang adil,
terbuka dan demokratis.2
1
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah bahwa dalam pandangan
kaum Muslim sendiri di kala itu, mereka tidaklah melakukan “penaklukan”
(Arab: qahr) terhadap daerah-daerah sekeliling mereka, melainkan melakukan
“pembebasan” (Arab: fath). Cukup menarik bahwa hal ini diakui oleh para
pengamat modern, seperti, misalnya, Eric J. Lerner, yang kemudian melihat
korelasi gerakan pembebasan itu dengan kemajuan luar biasa peradaban Islam,
termasuk ilmu pengetahuan yang terbuka dan bermanfaat untuk semua.
Pengakuan Lerner yang gamblang dan panjang-lebar itu ia tulis dalam bukunya
The Big Bang Never Happenned (New York: Vintage Books, 1992), h. 90-92.
2
Penyebutan dan kualifikasi masyarakat Islam klasik sebagai masyarakat
yang adil, terbuka, dan demokratis, tentu saja, adalah penyebutan dan kualifikasi
D2E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
Berkaitan dengan hal itulah sering dikemukakan keunikan
Islam di antara agama-agama lain. Dalam telaah perbandingan yang
lebih luas dengan agama-agama lain itu, sesungguhnya keunikan
Islam bukanlah adanya keterkaitan erat antara agama dan politik itu
sendiri. Agama-agama lain juga mengenal keterkaitan yang sangat
erat dengan politik, jika tidak boleh dikatakan menyatu atau tidak
mengenal pemisahan dengan masalah politik. Istilah perpolitikan
“teokrasi” sendiri sudah menunjukkan adanya kemungkinan agama
mana saja untuk menyatu dengan politik, sehingga kekuasaan yang
berlaku dipandang sebagai “kekuatan (politik) Tuhan.”
Masalah sosial-politik merupakan akibat logis saja dari setiap
usaha ajaran atau wawasan secara kelembagaan. Kawasan kita
sendiri, Asia Tenggara, pernah menyaksikan tampilnya dengan
megah negara-negara agama, seperti Sriwijaya yang Budha dan
Majapahit yang Hindu. Sebelum abad ke-18, agama Kristen di
Eropa juga menyatu-padu dengan kekuasaan politik, tercermin
dalam sebutan “Kemaharajaan Romawi Suci”, Holy Roman Empire,
misalnya. Dan agama Yahudi juga mewujud nyata dalam politik
atau kenegaraan, sehingga para pemimpin mereka yang disebut
“Messiah” adalah sekaligus pemimpin agama dan politik.3
Maka sekali lagi, keunikan Islam bukanlah hubungannya
yang sangat erat dengan politik. Keunikan Islam dibanding dengan agama-agama lain berada dalam pandangan-pandangannya
tentang politik yang menurut ukuran kemanusiaan sangat maju
sebagaimana telah disinggung di atas. Bahkan Robert N. Bellah,
dengan menggunakan jargon-jargon modern. Hal ini secara gamblang diakui
oleh Robert N. Bellah dalam Beyond Belief (New York: Harper and Row, edisi
paperback, 1976), h. 150-151.
3
Perkataan Ibrani “messiah” pada mulanya, dalam tradisi Yahudi, mempunyai makna sebagai pemimpin agama sekaligus raja. Karena itu Dawud as dan
Sulaiman as, yang dalam pandangan Islam berdasarkan al-Qur’an adalah nabi,
bagi kaum Yahudi adalah sekaligus nabi dan raja, malahan kedudukannya
sebagai raja lebih sering ditonjolkan, sehingga kedua tokoh itu disebut Raja
Dawud dan Raja Sulaiman. (Lihat, Michael Baigent et. al., The Messianic Legacy
[London: Corgi Book, 1991], h. 41).
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
seorang sarjana sosiologi agama terkemuka, menyebutnya “sangat
modern”, khususnya pandangan dan praktik politik yang berlaku
di zaman para khalifah bijaksana (al-khulafâ’ al-râsyidûn).4 Letak
kemodernan pandangan sosial-politik Islam klasik itu ialah:
Pertama, kedudukan pimpinan kenegaraan yang terbuka terhadap
penilaian berdasarkan kemampuan (sebutlah, suatu penilaian
berdasarkan prestasi “achievment”). Kedua, karena itu pimpinan
diterapkan melalui proses pemilihan terbuka, dengan cara apa pun
pemilihan itu dilakukan dalam kenyataan sejarahnya, sesuai dengan
keadaan. Ketiga, semua warga masyarakat dan negara, yang disebut
umat, mempunyai hak dan kewajiban yang sama berdasarkan
pandangan persamaan manusia (egalitarianisme) di depan Allah
dan hukum-Nya. Keempat, hak-hak tertentu yang luas dan adil
juga diakui ada pada golongan agama-agama lain (konsep tentang
ahl al-kitâb), yang dalam Piagam Madinah dimasukkan menjadi
bagian dari umat, yang kemudian secara konsisten diikuti oleh para
khalifah, di antaranya Umar sebagaimana tercermin dengan baik
sekali dalam “Piagam Aelia”.5
Dasar Tauhid
Jika diinginkan adanya konsistensi, maka dalam membahas segala
sesuatu yang menyangkut masyarakat Islam, kita tidak mungkin
melakukannya tanpa melihat hubungannya dengan tauhid (tawhîd)
atau paham Ketuhanan Yang Mahaesa. Seperti diketahui, tauhid,
atau, lebih tepat lagi, takwa dan keridaan Allah, adalah fondasi bagi
4
Lihat Robert N. Bellah, loc. cit.
Piagam Aelia ialah piagam perjanjian yang dibuat oleh Khalifah Umar ibn
Khaththab dengan patriak Yerusalem (al-Quds) setelah kota itu dibebaskan oleh
kaum Muslim. Salah satu nuktah dalam piagam itu ialah jaminan kebebasan
beragama. Disebut “Piagam Aelia” karena Yerusalem saat itu di kalangan orang
Arab juga dikenal dengan sebutan kota Aelia, sebagai sisa usaha kaum musyrik
Romawi untuk mengubah kota suci itu menjadi pusat penyembahan berhala
Dewi Aelia, dan Yerusalem mereka sebut Aeliacapitolina.
5
D4E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
semua bangunan kemanusiaan yang benar.6 Tauhid adalah bagian
paling inti ajaran semua Nabi dan Rasul (lihat, antara lain, Q 21:7),
dengan sendirinya adalah juga bagian paling inti ajaran Islam.
Karena itu, semua pandangan tentang masyarakat yang “modern” tersebut di atas berpangkal dari pandangan hidup tauhid.
Berkenaan dengan itu, salah satu implikasi pokok tauhid ialah
pemusatan kesucian hanya kepada Allah, Tuhan Yang Mahaesa
(makna tasbîh, ucapan “subhân-a ’l-Lâh”) dan pencopotan kesucian
itu dari segala sesuatu selain Allah. Dalam konteks bangsa Arab
di zaman Nabi saw pandangan ini berakibat dilepaskannya nilai
kesucian dari pandangan kesukuan dan kepemimpinan kesukuan.7
Maka dengan pandangan dasar tauhid itu manusia dibebaskan dari
mitologi-mitologi, sehingga segala sesuatu selain Allah, termasuk
kepemimpinan dalam masyarakat, menjadi sasaran sikap, telaah
dan kajian terbuka. Karena itu seluruh jagad raya adalah “ayat”
untuk orang yang berpikir (antara lain Q. 3:190-191). Demikian
pula umat manusia dengan segala keadaannya, termasuk sejarahnya
— yaitu pola-pola hidup hubungan sesamanya, baik sosial, politik,
ekonomi, dan lain-lain, dalam ruang dan waktu — adalah “ayat”
dan “sunnat-u ’l-Lâh” atau hukum Allah yang harus diperhatikan,
dikaji, dan dipedomani secara terbuka, tanpa mitologi.8
Singkatnya, Islam mengetengahkan pandangan hidup terbuka
sebagai konsekuensi tauhid, sebab, seperti dikatakan Ibn Taymiyah,
tauhid memang berakibat pembebasan manusia dari segala macam
kepercayaan palsu seperti mitologi. Kepercayaan palsu atau mitologi
6
Dalam Kitab Suci al-Qur’an, perbincangan tentang fondasi atau asas
hidup takwa dan keridaan Allah (taqwâ min-a ’l-Lâh-i wa ridlwân-an) sebagai
satu-satunya asas hidup yang benar terdapat dalam kaitannya dengan masalah
masjid dlirâr, sebagaimana termuat dalam surat al-Tawbah/9:109.
7
Berhubungan dengan ini adalah sabda Nabi saw yang cukup terkenal
bahwa “Barangsiapa mati dalam semangat kesukuan (tribalisme) ia mati dalam
kematian Jahiliah.”
8
Antara lain Q 3:137. Juga harus kita perhatikan bahwa malahan perbedaan bahasa dan warna kulit pun disebutkan sebagai “ayat” Allah — lihat Q
30:22.
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
yang secara wataknya sendiri selalu membelenggu manusia itu
biasanya berkisar sekitar praktik pemujaan kepada selain Allah
sehingga tercipta pujaan-pujaan (âlihah, jamak ilâh) yang palsu,
bahkan juga sekitar praktik pemujaan kepada kecenderungan
(hawâ) diri sendiri. Karena itu al-Qur’an menyebutkan tentang
adanya kemungkinan orang menyembah kecenderungan dirinya
sendiri itu, dan menjadi tertutup terhadap kebenaran.9
Keterbukaan kepemimpinan Islam klasik itu banyak dibuktikan
dalam berbagai kejadian anekdotal yang menyangkut para khalifah ketika mereka menghadapi peringatan, bantahan, atau “oposisi” pihak-pihak rakyat kebanyakan. Agaknya disebabkan oleh
keterbukaan yang sangat egaliter itu maka banyak terjadi peristiwaperistiwa tragis, berupa pembunuhan para pemimpin, yang sepintas
lalu tampak menyimpang dari ide-ide Islam. Berkenaan dengan ini
patut diingat bahwa Islam, justru konsisten dengan pandangannya
bahwa segala sesuatu selain Allah tidak boleh dipandang suci (yakni,
sikap penyucian dalam artian dan semangat tasbîh), maka Islam
tidak memandang adanya manusia suci yang lepas dari kesalahan,
dan bahwa menurut al-Qur’an sendiri, sekali lagi, sejarah manusia
dikuasai atau berjalan menurut hukum-hukum obyektif yang tidak
akan berubah, yaitu sunnat-u ’l-Lâh. Karena itu segala kejadian tragis
yang menimpa umat Islam dalam sejarah tidak merupakan gangguan
terhadap kebenaran itu sendiri. Maka sejalan dengan ini Allah
menegaskan dalam al-Qur’an bahwa Nabi saw sendiri pun, sebagai
manusia, dapat mengalami peristiwa tragis, seperti terbunuh, namun
hal itu tidak perlu, dan tidak dibenarkan, untuk disangkutkan
dengan masalah kebenaran ajaran yang dibawanya. Suatu ajaran
9
Ibn Taymiyah membuat pernyataan demikian:
Dan firman Allah “Tiada tuhan selain Engkau” mengandung makna
pembebasan diri dari segala sesuatu selain Allah yang terdiri dari pujaan-pujaan
palsu, baik hal itu dalam arti kecenderungan diri sendiri, atau ketaatan kepada
sesama makhluk, atau lainnya. (Lihat Syaikh Badruddin al-Hanbali (d. 777
AH), Mukhtashar Fatâwâ Ibn Taimiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.), h. 126).
D6E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
yang benar tetap benar, walaupun suatu nasib menyedihkan
menimpa tokoh yang membawa dan menyerukannya.10
Humanisme Islam
Sekarang, dalam tatanan dunia yang didominasi oleh Barat,
khususnya Amerika, orang banyak mengagumi demokrasi. Dalam
sejarahnya, demokrasi adalah kelanjutan dari humanisme seperti
dirintis dan dipahami oleh kalangan para pemikirYunani kuna.
Perkataan “demokrasi” itu sendiri, sebagaimana telah kita ketahui
bersama, berasal dari bahasa Yunani, dan ide tentang demokrasi,
menurut pandangan orang-orang Barat, juga berasal dari pemikiran
orang-orang Yunani. Maka di Amerika demokrasi dilambangkan
dalam arsitektur gedung kapitol seperti yang ada di Washington
D.C. dan di setiap ibukota negara bagian. Pembangunan gedung
model arsitektur kapitol itu merupakan usaha pembangunan
kembali gedung serupa di zaman Yunani kuna.
Tetapi humanisme Yunani telah padam dan mati sejak ribuan
tahun yang lalu. Kemudian ada indikasi bahwa orang-orang Barat
10
Berkaitan dengan ini patut sekali kita renungkan dalam-dalam penegasan
dalam al-Qur’an: “Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya
telah lewat rasul-rasul yang lain. Apakah jika ia mati atau terbunuh kamu akan
kembali ke belakang (menjadi kafir)?! Barangsiapa yang kembali ke belakang, maka
tidak sedikit pun merugikan Allah. Dan Allah akan memberi pahala kepada mereka
yang bersyukur,” (Q 3:144). Tentang “mereka yang bersyukur” itu, dari konteks
firman tersebut dapat dipahami bahwa mereka itu ialah orang-orang yang tetap
bersikap menghargai dan menerima kebenaran yang dibawa dan diserukan
oleh Nabi saw apa pun nasib yang menimpa beliau, termasuk kalaupun beliau
terbunuh (dan Nabi saw memang hampir terbunuh, yaitu pada peristiwa perang
Uhud, ketika gigi depan beliau pecah oleh hantaman musuh). Jika ketentuan
tersebut berlaku untuk Nabi saw maka demikian pula ia berlaku untuk para
sahabat beliau, khususnya para khalifah, bahkan berlaku untuk siapa saja
yang menyerukan kebenaran. Perjalanan sejarah umat manusia penuh dengan
contoh-contoh seperti itu. Semuanya berjalan menurut sunnat-u ’l-Lâh yang
obyektif, tidak tergantung kepada kemauan manusia, dan tidak berubah.
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
menjadi sadar kembali tentang humanisme itu setelah berkenalan
dengan Islam. Hal ini terbukti dari pembukaan orasi ilmiah yang
dibuat oleh Giovanni Pico della Mirandola, seorang filsuf humanisme dan ahli hermeneutika zaman Renaisans Eropa, seperti telah
kami jelaskan terdahulu.
Intinya pidato Mirandolla membandingkan apa yang dibacanya
dalam buku-buku kaum Muslim itu dengan ucapan seorang filsuf
Yunani kuna, Hermes Trimegistus, kepada Asclepius. Keduaduanya menyatakan adanya harkat dan martabat yang amat tinggi
pada manusia, dan itulah pangkal pandangan kemanusiaan atau
humanisme. Eropa (Barat) memang kemudian menganut humanisme
yang berakar dalam filsafat Yunani. Tetapi humanisme itu kemudian
lepas dari bingkai ajaran keagamaan, bahkan mendapat perlawanan
yang amat sengit dari gereja, sama dengan ilmu pengetahuan yang
berasal dari Islam juga berbenturan keras sekali dengan dogmadogma gereja mapan. Maka cukup ironis bahwa humanisme yang
menurut Mirandolla diperoleh dari Islam itu kemudian berkembang
menjadi suatu unsur amat penting dalam pandangan keduniawian
Barat yang anti agama, yaitu sekularisme.
Sekarang humanisme yang sekularistis itu menjadi sasaran
kaum pascamodernis, meskipun mereka ini juga belum menemukan
kejelasan tentang paham alternatifnya, dan masih diliputi oleh
kebingungan besar. Mengenai kebingungan ini seorang pemikir,
filsuf dan ahli perbandingan agama, Huston Smith, mengatakan,
Tidak adanya model untuk dunia adalah definisi paling mendalam
pascamodernisme dan kebingungan zaman kita. Dua hal itu hampirhampir menjadi satu dan sama. Sebuah resensi baru-baru ini atas delapan
buah buku, semuanya mencantumkan perkataan “pascamodernisme”
dalam judul-judulnya, mengalami jalan buntu, dengan kesimpulan
bahwa tidak lagi seorang pun tahu apa arti perkataan itu. Ini benar jika
kita berada bersama orang-orang pandai, tetapi suatu titik-temu yang
sangat bermanfaat melandasi definisi-definisi mereka. Tanyalah kepada
diri Anda sendiri jika Anda memang tahu apa yang sedang terjadi.
D8E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
Kalau jawab Anda ialah tidak, Anda adalah seorang pascamodern.
“Siapa saja yang pada zaman ini tidak bingung,” kata Simone Weil,
“dia semata-mata tidak berpikir dengan benar.”11
Jadi kebingungan dan keadaan tidak lagi tahu apa yang sedang
terjadi adalah ciri utama zaman kita sekarang. Inilah zaman yang
banyak disebut orang sebagai zaman pascamodernisme. Maka
jika pascamodernisme itu merupakan sebuah indikasi, pada tahap
perkembangan sekarang ini umat manusia secara keseluruhan
tampaknya memerlukan pegangan baru. Tetapi pegangan “baru”
itu, demi otentisitasnya sendiri, haruslah “orisinil” manusia, artinya
sejalan dan serasi dengan asal-usul manusia yang tidak akan berubah
sepanjang masa. Dengan kata-kata lain, manusia hanyalah harus
kembali kepada “nature”-nya, yaitu fithrah-nya yang suci. Dari sini
kita dapat mulai mendaftar kembali nuktah-nuktah pandangan
dasar kemanusiaan Islam, yaitu:
1. Manusia diikat dalam suatu perjanjian primordial dengan
Tuhan, yaitu bahwa manusia, sejak dari kehidupannya dalam
alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Mahaesa
sebagai pusat orientasi hidupnya (Q 7:172);
2. Hasilnya ialah kelahiran manusia dalam kesucian asal (fithrah),
dan diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu jika
seandainya tidak ada pengaruh lingkungan (Q 30:30);12
3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nûrânî,
artinya bersifat cahaya terang), yang mendorongnya untuk
senantiasa mencari, berpihak, dan berbuat yang baik dan benar
(sifat hanîfîyah). Jadi setiap pribadi mempunyai potensi untuk
benar;13
11
Huston Smith, Forgotten Truth (San Francisco: Harper Collins, 1992),
h. vi-vii.
12
Juga sabda Nabi saw, “Setiap anak dilahirkan dalam kesucian....”
13
Q 33:4: “Allah tidak membuat untuk seseorang dua hati dalam rongga
dadanya,” Artinya, hati atau kalbu manusia, selama ia masih bersifat terang
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
4. Tetapi karena manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang
lemah (antara lain, berpandangan pendek, cenderung tertarik
kepada hal-hal yang bersifat segera), maka setiap pribadinya
mempunyai potensi untuk salah, karena “tergoda” oleh hal-hal
menarik dalam jangka pendek (lihat Q 4:28, dikaitkan dengan
antara lain, Q 75:20.);
5. Maka, untuk hidupnya, manusia dibekali dengan akal-pikiran,
kemudian agama, dan terbebani kewajiban terus-menerus
mencari dan memilih jalan hidup yang lurus, benar, dan
baik;14
6. Jadi manusia adalah makhluk etis dan moral, dalam arti bahwa
perbuatan baik-buruknya harus dapat dipertanggungjawabkan,
baik di dunia ini sesama manusia, maupun di akhirat di hadapan Tuhan Yang Mahaesa (lihat antara lain, Q 99:7-8);
7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yang nisbi
sehingga masih ada kemungkinan manusia menghindarinya,
pertanggungjawaban di akhirat adalah mutlak, dan sama sekali
tidak mungkin dihindari (l ihat antara lain, Q 40:16). Selain
itu, pertanggungjawaban mutlak kepada Tuhan di akhirat
itu bersifat sangat pribadi, sehingga tidak ada pembelaan,
hubungan solidaritas, dan perkawanan, sekalipun antara sesama
teman, karib kerabat, anak. dan ibu-bapak (lihat antara lain,
Q 2:48, Q 6:94, Q 19:55, dan Q 31:33.);
8. Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia,
dalam hidupnya di dunia ini, mempunyai hak dasar untuk memilih dan menentukan sendiri perilaku moral dan etisnya (tanpa
atau nûrânî, hanya menyuarakan satu hal saja, yaitu kebenaran dan kesucian,
sesuai dengan fitrah Allah sebagaimana manusia diciptakan oleh-Nya.
14
Karena itu kewajiban mengerjakan shalat, yang di dalamnya harus dibaca
surat al-Fâtihah. Dalam surat itu ada doa yang harus dihayati dengan sepenuh
hati dan di-“âmîn”-kan, yaitu doa untuk ditunjukkan jalan yang lurus. Mencari,
menemukan, memahami, dan mengikuti jalan yang lurus adalah perjalanan
yang tidak kenal berhenti. Maka shalat yang mencakup doa tersebut juga tidak
pernah berhenti, terus-menerus sepanjang hayat.
D 10 E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban
moral dan etis, dan manusia akan sama derajat dengan makhluk
yang lain, jadi tidak akan mengalami kebahagiaan sejati);15
9. Karena hakikat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan
sebagai puncak segala makhluk Allah, yang diciptakan oleh-Nya
dalam sebaik-baik ciptaan, yang menurut asalnya berharkat
dan martabat yang setinggi-tingginya (Q. 95:4);
10. Karena Allah pun memuliakan anak-cucu Adam ini, dan
melindungi serta menanggungnya di daratan maupun di lautan
(Q 17:70);
11. Setiap pribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan
sejagad. Maka barangsiapa merugikan seorang pribadi, seperti
membunuhnya, tanpa alasan yang sah maka ia bagaikan
merugikan seluruh umat manusia, dan barangsiapa berbuat
baik kepada seseorang, seperti menolong hidupnya, maka
ia bagaikan berbuat baik kepada seluruh umat manusia (Q
5:32);
12. Oleh karena itu setiap pribadi manusia harus berbuat baik
kepada sesamanya, dengan memenuhi kewajiban diri pribadi
terhadap pribadi yang lain, dan dengan menghormati hak-hak
orang lain, dalam suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yang
damai dan terbuka. (Inilah salah satu makna amal saleh, yang
terkandung dalam makna dan semangat ucapan salâm, yakni
al-salâm-u ‘alaykum warahmat-u ’l-Lâh-i wa barakâtuh, dengan
menengok ke kanan dan ke kiri pada akhir shalat).16
15
Antara lain Q 18:29, “Katakanlah (olehmu, Muhammad), ‘Kebenaran
(datang) dari Tuhanmu. Maka siapa yang mau, hendaknya ia beriman (menerima
kebenaran itu), dan siapa yang mau, biarlah ia ingkar (bersikap kafir, menolak
kebenaran itu)”.
16
Wajib mengucapkan salâm dan dianjurkan menengok ke kanan dan ke
kiri adalah jelas peingatan kepada orang yang telah menghadap Allah (lewat
shalat) untuk memperhatikan sesama manusia, bahkan sesama makhluk, dan
semangat budi pekerti luhur. Berkaitan dengan ini, patut kita renungkan sabda
Nabi saw: “Yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga ialah takwa
kepada Allah dan keluhuran budi”.
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
Makna Dasar Musyawarah
Dari deretan titik-titik pandang tentang manusia di atas itu dapat
dilihat konsitensi ajaran Islam tentang musyawarah. Karena adanya
tanggung jawab pribadi setiap orang kelak di hadapan Tuhan,
maka setiap orang mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya
dan tindakannya sendiri. Bahkan kebenaran agama pun tidak
boleh dipaksakan kepadanya. Hak yang amat asasi ini kemudian
bercabang menjadi berbagai hak yang tidak boleh diingkari. Di
antaranya ialah hak untuk menyatakan pendapat dan pikiran. Ini
harus ditambah dengan prinsip kesucian asal manusia (fithrah)
yang membuatnya selalu berpotensi untuk benar dan baik (hanîf),
dengan akibat bahwa setiap orang mempunyai hak untuk didengar.
Dan adanya hak setiap orang untuk didengar menghasilkan adanya
kewajiban orang lain untuk mendengar. Karena itu sikap terbuka
sangat dipujikan dalam sistem ajaran Islam (Q 39:17-18).
Hak setiap orang untuk memilih dan menyatakan pendapat
dan pikiran serta kewajiban setiap orang untuk mendengar pendapat dan pikiran orang lain itu membentuk inti ajaran tentang
musyawarah (dan perkataan “musyâwarah” sendiri secara etimologis
mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni, saling memberi
isyarat tentang apa yang benar dan baik; jadi bersifat “reciprocal”
dan “mutual”). Sebab jika potensi setiap orang untuk benar dan
baik mengakibatkan adanya hak untuk memilih dan menyatakan
pendapat, potensi setiap orang untuk salah dan keliru (karena
kelemahannya sebagaimana dikemukakan di atas) mengakibatkan
adanya kewajiban untuk mendengar pendapat orang lain. Dan
sekali seseorang merasa tidak perlu mendengar pendapat orang lain,
yang berarti ia sengaja melepaskan diri dari ikatan sosial berdasarkan
hak dan kewajiban saling memberi isyarat tentang kebaikan dan
kebenaran, maka ia akan terjerembab ke dalam lembah kezaliman
seorang thâghût (tiran, despot, diktator, dan seterusnya) (Q 96:7).
Dalam keadaan seperti itu ia akan berkembang menjadi musuh
masyarakat, disebabkan dorongan pada dirinya untuk bertindak
D 12 E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
sewenang-wenang karena merasa diri sendiri paling baik dan
benar.
Berkenaan dengan ini, jika kita telaah firman-firman Allah
tentang musyawarah akan tampak pada kita adanya sangkutan
dengan prinsip-prinsip kelapangan dada dan kerendahan hati
pada setiap orang. Artinya, musyawarah tidak akan terwujud
dengan baik jika tidak disertai kelapangan dada, kerendahan hati,
dan keterbukaan. Prinsip ini dapat kita simpulkan dari perintah
Allah kepada Nabi saw untuk bermusyawarah dengan para sahabat
beliau, demikian:
“Adalah karena rahmat dari Allah, maka kau (Muhammad) berlaku
lemah-lembut kepada mereka (para sahabatmu). Sekiranya kau kejam
dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari lingkunganmu.
Maka maafkanlah mereka, dan mohonkan ampun untuk mereka,
serta bermusyawarahlah dengan mereka dalam (segala) urusan. Jika
kemudian kau telah ambil keputusan, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah cinta kepada mereka yang bertawakal,”
().ac
Dari ayat suci itu tampak jelas bahwa perintah Allah kepada
Nabi saw untuk bermusyawarah dikaitkan dengan: (1) adanya
rahmat Allah kepada beliau; (2) dengan rahmat Allah itu Nabi saw
senantiasa menunjukkan sikap-sikap lemah-lembut, lapang dada,
dan penuh pengertian kepada orang lain; (3) beliau tidak kejam,
dan tidak pula kasar; (4) perintah untuk memaafkan kesalahan
orang lain; (5) perintah untuk memohonkan ampun kepada Allah
bagi orang lain; (6) perintah musyawarah, sebagai kelanjutan wajar
semua hal itu; (7) menyandarkan diri (tawakal) kepada Allah jika
sudah membuat keputusan.
Dari ayat itu juga jelas bahwa semuanya dimulai dengan adanya rahmat atau kasih Allah kepada Nabi saw suatu petunjuk
adanya korelasi positif antara rahmat Allah itu dengan nilai-nilai
lainnya yang langsung berkaitan dengan musyawarah. Tegasnya,
D 13 E
F NURCHOLISH MADJID G
musyawarah yang memerlukan sikap-sikap dasar keterbukaan,
penuh pengertian dan toleransi kepada orang lain itu memerlukan
adanya rahmat Allah untuk dapat terlaksana dengan baik. Atau,
dari sudut lain, tanpa adanya rahmat Allah kepada seseorang,
maka ia tidak dapat, sekurangnya mungkin sulit sekali, melakukan
musyawarah, mengakui hak orang lain untuk berpartisipasi dalam
proses-proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak dalam masyarakat.
Pluralitas dan Kedaulatan Rakyat
Sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam
masyarakat yang majemuk, yaitu masyarakat yang tidak monolitik.
Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. Jadi tidak
ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama dan sebangun dalam
segala segi. Adanya korelasi positif antara rahmat Allah dengan
sikap-sikap penuh pengertian dalam masyarakat majemuk atau
plural itu ditegaskan dalam Kitab Suci, demikian:
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia jadikan manusia ini umat
yang tunggal (monolitik). Namun (Tuhanmu menghendaki) mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang yang mendapat rahmat
Tuhanmu. Dan memang untuk itulah Allah menciptakan mereka,”
(Q 11:118-119).
Jika kita renungkan lebih jauh firman suci ini, maka kita memperoleh beberapa penegasan, yaitu: (1) pluralitas atau kemajemukan
masyarakat manusia sudah merupakan kehendak dan keputusan
Allah; (2) pluralitas itu membuat manusia senantiasa berselisih
pendapat dengan sesamanya; (3) namun orang yang mendapat
rahmat Allah tidak akan mudah berselisih karena, sebagaimana
telah dikemukakan di atas, ia akan bersikap penuh pengertian,
D 14 E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
lemah-lembut, dan rendah hati kepada sesamanya; (4) persetujuan
sesama anggota masyarakat majemuk karena adanya rahmat Allah
ini pun ditegaskan sebagai kenyataan diciptakannya manusia,
jadi merupakan sebuah hukum Ilahi. Dari sudut pandang inilah
kita dapat memahami lebih mendalam makna peristilahan politik
Indonesia “musyawarah-mufakat”, atau musyawarah untuk mencapai kesepakatan (muwâfaqah), sejalan dengan makna ungkapan
bijak, “bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat”.
Memang sering terdengar keluhan tentang penyalahgunaan
prinsip musyawarah-mufakat untuk justru memaksakan kehendak
sekelompok orang kepada orang lain. Ini merupakan akibat suatu
bentuk kekeliruan dalam mengartikan kata-kata “mufakat” (berasal
dari kata-kata Arab “muwâfaqah” atau “muwâfaqât”), sehingga
berat mengarah kepada pengertian “konsensus”. Sesungguhnya
secara harfiah makna “muwâfaqah” tidak lain ialah “persetujuan”,
dan ini tidak selalu berarti “konsensus”. Sebab suatu persetujuan
dapat terjadi lewat suara terbanyak, yang secara teknis mungkin
harus dibuktikan dengan pemungutan suara. Maka “bulat kata di
mufakat” yang bagaikan “bulat air di pembuluh” itu sebenarnya
lebih mengacu kepada adanya keharusan satu keputusan sebagai
hasil musyawarah (dan memang justru untuk mencapai keputusan
itulah musyawarah diadakan), namun dengan tetap membuka
pintu bagi kemungkinan keputusan itu terjadi karena suara
terbanyak. Dan itulah yang diteladankan oleh Nabi saw dalam
beberapa peristiwa, sebagaimana banyak dimuat dalam kitabkitab biografi (sîrah) Nabi. Tidak jarang dalam musyawarah itu
Nabi saw mengikuti suara terbanyak. Beliau sendiri pun bersabda,
“Hendaknya kamu mengikuti bagian terbesar manusia” (yakni, dalam
membuat keputusan melalui musyawarah, jika tidak diperoleh
konsensus atau ijmâ‘). Berhubungan dengan ini, beliau juga
bersabda, “Tangan (kekuasaan) Allah beserta jamâ‘ah (kelompok
terbesar masyarakat).
Musyawarah antara sesama warga masyarakat merupakan
bagian dari gambaran dalam al-Qur’an tentang hakikat kaum
D 15 E
F NURCHOLISH MADJID G
beriman. Maka untuk renungan lebih lanjut tentang hal ini dengan
implikasinya bagi kedaulatan rakyat, berikut ini dikutip firmanfirman yang terkait, dari surat Musyawarah (Syûrâ). Sebab dalam
firman-firman itu dijelaskan bahwa suatu kebahagiaan yang lebih
baik dan lebih lestari akan dianugerahkan Allah kepada kaum yang
beriman dan, antara lain, yang menempuh jalan musyawarah dalam
mengambil keputusan:
“Maka apa pun yang diberikan kepadamu, hanyalah guna kesenangan
hidup di dunia ini. Tapi yang ada pada Allah, lebih baik dan lebih
lestari bagi mereka yang bertawakal kepada Tuhan mereka, dan bagi
mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan
keji, dan jika mereka marah tetap mampu memberi maaf, dan bagi
mereka yang menyahut (menerima dengan baik) seruan Tuhan mereka,
lagi pula menegakkan shalat, dan urusan sesama mereka adalah
musyawarah sesama mereka, dan mereka mendermakan sebagian dari
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan bagi mereka yang
bila ditimpa kezaliman, mereka membela diri.
Balasan bagi suatu kejahatan adalah kejahatan setimpal, tetapi
barangsiapa memberi maaf dan berdamai maka pahalanya ada pada
Allah. Sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang-orang yang zalim.
Tapi barangsiapa membela diri setelah diperlakukan secara zalim, maka
tidak ada jalan (untuk menimpakan kesalahan) terhadap mereka.
Jalan (menimpakan kesalahan) hanyalah ada terhadap orang-orang
yang berlaku zalim kepada sesama manusia, dan bertindak melanggar
di bumi tanpa alasan yang benar (otoriter). Mereka itulah yang bakal
mendapat azab yang pedih.
Namun barangsiapa sabar dan tetap memberi maaf, maka itulah
perbuatan yang amat terpuji,” (Q 42:36-43).
Cobalah kita perhatikan rentetan ayat-ayat suci itu. Di situ
dapat kita lihat bahwa gambaran tentang kaum yang bermusyawarah
sebagai golongan yang bakal mendapatkan anugerah kebaikan Ilahi
yang lebih baik dan lebih lestari diletakkan dalam kerangka gambaran
D 16 E
F PRINSIP KEMANUSIAAN DAN MUSYAWARAH DALAM POLITIK ISLAM G
tentang komunitas manusia yang: (1) beriman;(2) bertawakal; (3)
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, yakni,
memiliki kepekaan moral dan etik yang tinggi; (4) pemaaf; (5)
bersemangat Ketuhanan; (6) senantiasa berbakti kepada Tuhan;
(7) selalu memutuskan perkara bersama melalui musyawarah; (8)
sadar akan haknya untuk membela diri terhadap setiap perlakuan
tidak adil dan melancarkan atau menuntut balasan yang setimpal;
(9) namun ia tetap bersedia memberi maaf dan berdamai; (10)
ikut membela golongan yang dizalimi terhadap golongan lain yang
melakukan kezaliman; dan (11) di atas itu semua, tetap mampu
menunjukkan budi luhur dengan menerapkan ketabahan hati dan
memberi maaf.
Dengan demikian, dari uraian di atas kita memahami bahwa
apa yang dimaksud dengan “kedaulatan rakyat” tidak lain ialah hak
dan kewajiban manusia, melalui masing-masing pribadi anggota
masyarakatnya, untuk berpartisipasi dan mengambil bagian dalam
proses-proses menentukan kehidupan bersama, terutama di bidang
politik atau sistem kekuatan mengatur masyarakat itu. Partisipasi
ini sendiri merupakan kelanjutan wajar dari hak setiap orang untuk
memilih dan menentukan jalan hidup dan perbuatannya yang
kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Penciptanya, yaitu
Allah, Tuhan Yang Mahaesa, secara pribadi. Sebab dari pilihan
dan penentuannya sendiri itulah seorang pribadi akan mengalami
kebahagiaan atau kesengsaraan abadi dalam kehidupan setelah mati.
Karena itu, semua hal tersebut bermuara pada adanya hak-hak yang
sangat asasi pada setiap pribadi manusia.
Namun karena manusia adalah makhluk sosial, maka tekanan
yang terlalu berat kepada hak pribadi akan berakibat tumbuhnya
sikap-sikap dan pandangan hidup yang menyalahi naturnya sebagai
makhluk sosial itu. Maka egoisme, otoritarianisme, tiranisme, dan
lain-lain yang serba berpusat kepada kepentingan diri sendiri dengan
mengabaikan kepentingan orang lain, adalah sangat tercela, justru
sikap-sikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian, dan kesediaan
untuk senantiasa memberi maaf secara wajar dan pada tempatnya,
D 17 E
F NURCHOLISH MADJID G
adalah sangat terpuji. Gabungan serasi antara hak pribadi dan
kewajiban sosial itu menghasilkan ajaran tentang “jalan tengah”
(wasath), wajar, dan fair (qisth) serta adil (‘adl), yaitu sikap-sikap
yang secara berulang-ulang ditekankan dalam kitab suci. []
D 18 E
F MASALAH KESADARAN TENTANG HAK HAK ASASI MANUSIA G
MASALAH KESADARAN
TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA
DALAM MASYARAKAT LUAS
BEBERAPA GAGASAN TENTANG USAHA PENINGKATANNYA
MELALUI SALURAN-SALURAN NON-FORMAL
Oleh Nurcholish Madjid
Pertama-tama harus diakui bahwa kesadaran tentang hak-hak asasi
manusia di kalangan masyarakat luas memang masih merupakan
masalah. Yakni, hak-hak asasi itu merupakan suatu hal yang masih
belum dipahami secara merata, dan karena itu juga belum disadari
secara semestinya. Ini tercermin dalam banyaknya pengaduan dari
masyarakat (kepada Komnas HAM, misalnya) tentang perilaku pihakpihak tertentu yang melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hakhak asasi, agaknya tanpa sedikit pun rasa salah dari yang bersangkutan.
Kemudian pengalaman menunjukkan bahwa jika yang bersangkutan
itu diperingatkan dengan penjelasan-penjelasan yang memadai,
banyak dari mereka yang kemudian menyadari dan mengakui
pelanggarannya, di samping ada pula yang tetap tidak dapat mengerti
dan bersikukuh dengan sikapnya yang bebas dari rasa salah. Ini tidak
saja menyangkut tindakan-tindakan yang tergolong apa yang disebut
“gross violation” seperti penyiksaan badan dan perlakuan tidak wajar
lainnya, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yeng lebih tersamar
seperti dorongan dan tindakan untuk melarang atau membatasi
kebebasan menyatakan pikiran dan menganut keyakinan pribadi.
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Tentang apa sebabnya sehingga terjadi gejala rendahnya pengertian dan kesadaran akan hak-hak asasi itu, tentu dapat bermacammacam. Jika hasil pengamatan boleh dijadikan petunjuk, tampak
agak jelas bahwa pengertian hak-hak asasi dan kesadarannya pada
masyarakat tidak selalu sejajar atau berkorelasi positif dengan
tingkat pendidikan formal orang bersangkutan. Ini dari satu segi
barangkali terdengar aneh. Namun jika kita ingat bahwa masalah
kesadaran tentang hak-hak asasi sesungguhnya lebih merupakan
suatu pandangan atau nilai hidup dan komitmen pribadi kepada
pandangan dan nilai itu daripada sekadar pengetahuan yang
bersifat kognitif saja. Maka memang pendidikan formal — apalagi
yang sangat berorientasi kepada peningkatan keahlian profesional
semata — tidak menjamin kesadaran tentang hak-hak asasi
manusia yang merupakan bagian dari nilai-nilai kemanusiaan
itu.
Dengan demikian berarti bahwa usaha penyebaran dan peningkatan kesadaran akan hak-hak asasi itu harus dilakukan secara
ekstra, yakni, selain melalui saluran-saluran resmi sebagaimana
semestinya juga melalui saluran-saluran tidak resmi (dalam arti
“non-formal” atau “non-governmental”). Sebab umumnya lembagalembaga non-formal itu tumbuh dan berkembang atas dasar
dorongan batin kejuangan (cause) yang menyangkut komitmen
kepada pandangan dan nilai hidup tertentu. Motivasi yang
biasanya sangat tinggi pada para aktivis badan-badan swadaya
(LSM-LSM) itu dapat dipahami hanya dari sudut komitmen
mereka kepada nilai-nilai tertentu kemanusiaan yang mereka
pilih.
Maka ikatan batin yang mendalam kepada hak-hak asasi
manusia tidak akan terjadi jika ia tidak dihayati sebagai nilai
dan pandangan hidup. Dan sebagai nilai dan pandangan hidup,
kesadaran tentang hak-hak asasi menuntut kemampuan pribadi
bersangkutan untuk menerima, meyakini dan menghayatinya
sebagai bagian dari rasa makna dan tujuan (sense of meaning and
purpose) hidup pribadinya. Rasanya sulit dibayangkan terjadinya
D2E
F MASALAH KESADARAN TENTANG HAK HAK ASASI MANUSIA G
komitmen yang tulus kepada pengukuhan, pelaksanaan, dan
pembelaan hak-hak asasi tanpa dikaitkan dengan keinsafan akan
makna dan tujuan hidup pribadi.
Karena itu sesungguhnya masalah hak-hak asasi bersangkutan
dengan “perkara pungkasan” (the problem of ultimacy), yaitu perkara
yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar:
Siapa manusia itu? Apa makna dan tujuan kehadirannya di dunia
ini? Dan bagaimana seharusnya pola-pola hubungan yang benar
antara ia dan sesamanya, ia dan sesama makhluk hidup lainnya, ia
dan lingkungan yang lebih luas, dan seterusnya. Juga apa hakikat
kebahagiaan dan kesengsaraannya yang sejati dan abadi?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan serupa itu biasanya disediakan oleh sistem kepercayaan dan ideologi, termasuk di antaranya
agama-agama. Maka dari sudut pandang ini pemahaman, penerimaan dan penghayatan hak-hak asasi manusia, untuk memperoleh
keteguhan komitmen pribadi kepadanya, sebaiknya dicari akarnya
dalam sistem ideologi nasional yang diakui sah dan diterima oleh
semua, juga oleh agama-agama.
Hak Asasi dan Ideologi Nasional
Bagi bangsa Indonesia, sudah tentu persoalan hak-hak asasi
harus dicari dan dikaitkan akar-akarnya dengan ideologi nasional
Pancasila. Dalam hal ini, lepas dari berbagai usaha yang telah
dijalankan untuk memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila itu (seperti,
misalnya, melalui penataran P4 dan mata pelajaran Pancasila di
sekolah-sekolah), agaknya masih banyak yang harus dikerjakan agar
Pancasila itu benar-benar bermakna dan mewujud-nyata dalam
kehidupan bangsa, tidak sekadar menjadi ungkapan kosong dan
bersifat cliche yang dikemukakan berulang-ulang. Agaknya harus
kita sadari bahwa di masyarakat sekarang ini berkembang sikapsikap skeptis, bahkan sinis, kepada berbagai usaha indoktrinasi
Pancasila, disebabkan kenyataan banyaknya kesenjangan antara
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
yang diucapkan secara lisan dengan yang dilakukan dalam tindakantindakan. Jika kita batasi pengamatan kita hanya kepada kenyataan
ini saja — dengan sedikit mengesampingkan kenyataan-kenyataan
lain yang barangkali bernilai positif — maka dapat dilihat adanya
indikasi kontraproduktif dari usaha-usaha indoktrinasi. Apalagi
dalam masyarakat sering dirasakan bahwa Pancasila lebih banyak
digunakan sebagai “pentung sakti” untuk memukul siapa saja yang
sikap sosial politiknya kurang berkenan, dengan mencapnya sebagai
“anti Pancasila” atau cap lain serupa itu.
Sudah tentu Pancasila jauh lebih banyak daripada hal tersebut
itu. Sebagai bangsa yang telah dipersatukan oleh ideologi nasional
itu tentu kita harus memberi apresiasi yang wajar kepada Pancasila
sebagai common platform kehidupan sosial-politik nasional kita.
Cita-cita persatuan Indonesia seperti diungkapkan dalam sila
ketiga dapat dikatakan telah terwujud secara optimal. Sebuah
negara yang terdiri dari 17.000 pulau, yang terbentang sejak dari
Sabang sampai Merauke sejauh bentangan dari London sampai
Teheran dapat dipersatukan dengan mantap dan wajar, dengan
tingkat stabilitas dan keamanan yang tinggi. Itu semua adalah
prestasi yang bukan main, dan jelas tidak dapat disikapi secara
taken for granted.
Tetapi membatasi penilaian terhadap Pancasila hanya kepada
efektivitasnya sebagai faktor pemersatu bangsa — betapa pun amat
pentingnya persatuan itu — akan sama dengan memperlakukan
Pancasila sebagai ideologi yang hanya bernilai instrumental. Dengan perlakuan seperti itu maka ada bahaya bahwa Pancasila —
seperti halnya apa saja yang bernilai instrumental belaka — dapat
dikesampingkan atau malah dibuang segera setelah tujuan tercapai,
seperti, misalnya, persatuan tersebut itu.
Karena itu harus ada pendekatan kepada Pancasila sebagai
rangkuman nilai-nilai intrinsik, yang menjadi tujuan dalam dirinya sendiri (the end in itself). Berkenaan dengan inilah melihat
masalah hak-hak asasi manusia dalam kerangka Pancasila atau
melihat Pancasila sebagai dasar bagi ide-ide tentang hak-hak asasi
D4E
F MASALAH KESADARAN TENTANG HAK HAK ASASI MANUSIA G
manusia menjadi sangat relevan dan urgen. Ini dapat kita mulai
dengan sila yang paling erat terkait dengan masalah hak-hak
asasi manusia, yaitu sila Perikemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam hal ini sungguh absah untuk kita mempertanyakan:
Seberapa jauh kita telah melaksanakan paham dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab? Atau, seberapa jauh perlakuan sesama
manusia dalam masyarakat kita telah memenuhi rasa keadilan
dan keberadaban? Atau, jika mau ungkapan yang keras: Apakah
perilaku kemanusiaan dalam masyarakat kita tidak justru banyak
unsur kezalimannya dan kebiadabannya? Di sini segera terbayang
dalam benak, bagaimana pasar Ciputat, di sebelah selatan Jakarta,
yang dihuni oleh pedagang-pedagang kecil pada pertengahan
bulan Oktober 1994 “terbakar” dengan memusnahkan samasekali
aset-aset para pedagang kecil itu, tidak lama setelah terpampang
papan besar yang memberi tahu semua orang bahwa di tempat
itu akan didirikan sebuah pusat belanja yang serba-modern! Dari
kasus semacam itu, muncul pertanyaan, siapa yang bertugas
membela dan melindungi rakyat kecil itu? Jawabnya semua
orang tahu siapa mereka. Tetapi kemudian apakah mereka mau
dan mampu melakukan tugasnya itu, jawabnya barangkali tidak
seorang pun tahu!
Mungkin sekali bahwa tipisnya komitmen pribadi (dan sosial)
dalam masyarakat pada umumnya kepada nilai-nilai kemanusiaan
seperti hak-hak asasi ini adalah akibat dari verbalisme yang sering
terdengar disinyalir oleh para ahli. Dengan verbalisme itu seseorang
merasa telah berbuat sesuatu hanya karena telah mengatakan,
mengucapkan atau menghafal rumusan-rumusan. Dan verbalisme
ini memperoleh warna keresmiannya karena ujian-ujian atau tes-tes
tentang ideologi negara (malah juga agama) terbatas hanya kepada
seberapa jauh orang hafal di luar kepala rumusan-rumusan dan
ungkapan-ungkapan baku yang telah “disahkan” secara resmi, tanpa
peduli apakah yang bersangkutan benar-benar mengerti maknanya
dan memahami substansinya.
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
Suatu Kemungkinan Permulaan:
Penyadaran Dimensi Historis Ide-ide
dan Perjuangan tentang Hak-hak Asasi
Setiap kali kita menyebut hak-hak asasi manusia, dengan sendirinya
rujukan paling baku kita ialah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia dari PBB. Ini wajar, dan merupakan keharusan, karena
kita adalah anggota PBB, dengan akibat bahwa kita menerima
dokumen yang memuat wawasan fundamentalnya itu. Namun
perlu ditambahkan untuk diingat bahwa Deklarasi Universal itu
hanyalah suatu titik, mungkin titik yang sangat akhir, dari perjalanan
perjuangan umat manusia untuk menemukan jati dirinya dan untuk
menghormati serta melindungi jati diri itu. Deklarasi Universal
adalah suatu “hasil bersih” atau “hasil akhir” proses pertumbuhan
yang panjang, yang telah ditempuh umat manusia dengan susah
payah. Ini harus diketahui, diakui dan disadari bersama.
Adalah mustahil mengingkari bahwa nilai-nilai nasional yang
kemudian dirumuskan sebagai Pancasila itu merupakan bagian dari
hasil interaksi terbuka budaya bangsa kita dengan budaya-budaya
bangsa lain. Dan juga mustahil mengingkari bahwa sebagian dari
interaksi itu terjadi dengan hasil-hasil pemikiran kemanusiaan
yang paling modern atau mutakhir, semisal Deklarasi Universal
tadi, bahkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat buah
pikiran seorang humanis besar, Thomas Jefferson. Lebih dari itu,
jika kita percaya kepada Bung Karno, salah seorang tokoh paling
instrumental bagi perumusan resmi Pancasila, nilai-nilai dasar
negara itu juga merupakan hasil interaksi terbuka budaya kita
dengan Manifesto Komunis, sekalipun interaksi itu berlangsung
kritis dan tidak sekadar menerima “nilai permukaan” dokumen
warisan Karl Marx itu. Namun interaksi itu jelas ikut memberi
“flavour” kepada ide-ide tentang keadilan sosial seperti yang
dirumuskan pada sila terakhir Pancasila.
Dengan menyadari sejarah panjang kemanusiaan sejagad dan
dinamika interaksi terbuka bangsa kita dengan bangsa-bangsa
D6E
F MASALAH KESADARAN TENTANG HAK HAK ASASI MANUSIA G
lain itu kita juga menyadari bahwa ide-ide tentang hak-hak asasi
bukanlah hal yang muncul begitu saja tanpa ongkos perjuangan dan
pengorbanan yang amat mahal. Maka kita tidak dapat menyikapinya
sebagai sesuatu yang bernilai “terima jadi” untuk kita, sehingga
kita menjadi cenderung untuk meremehkan persoalannya dan
menganggap ringan implikasinya. Bersama dengan umat manusia
sejagad, kita harus menghayati sejarah pertumbuhan konsepkonsep hak-hak asasi itu, dan merasakan denyut jantung sejarah
itu dengan mencamkan irama turun-naik dan jatuh-bangunnya
bangsa-bangsa dan rakyat-rakyat yang memperjuangkannya. Sila
“Perikemanusiaan yang adil dan beradab” bisa dipahami dimensi
keluasan dan kedalamannya hanya jika telaah di bawah sorotan
semangat kemanusiaan universal itu.
Berdasarkan hal-hal di atas itu, salah satu kemungkinan
yang dapat ditempuh dalam usaha menanamkan dan meluaskan
pengertian dan penghayatan akan hak-hak asasi manusia ialah
menanamkan kesadaran tentang sejarah panjang dan penuh onak
duri tumbuhnya ide-ide tentang nilai-nilai kemanusiaan itu pada
berbagai bangsa di dunia. Oleh karena hak-hak asasi manusia
sesungguhnya merupakan bagian dari hakikat kemanusiaan yang
paling intrinsik, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya
dan perjuangan menegakkannya sekaligus menyatu dengan sejarah manusia dan kemanusiaan itu sendiri semenjak dikenalnya
peradaban. Ini dapat dilihat dari ajaran agama-agama. Dalam
agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam), misalnya, salah
satu persoalan kemanusiaan yang paling dini diungkapkan melalui
penuturan tentang peristiwa pembunuhan yang menyangkut dua
anak lelaki Adam dan Hawa, yaitu Qabil (Cain) dan Habil (Abel).
Peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia ini (oleh Qabil
terhadap Habil) menghasilkan dekrit Tuhan, “Bahwa barangsiapa
membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa yang
lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka ia bagaikan
membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menolong
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
hidup suatu jiwa maka ia bagaikan menolong hidup umat manusia
seluruhnya.”1
Salah satu kewajiban seorang Muslim ialah pergi haji, berziarah
ke tempat-tempat suci yang menjadi “monumen-monumen” Tuhan
(sya‘â’ir-u ’l-Lâh) di Makkah dan sekitarnya. Ini adalah ibadat yang
sebagian besar merupakan tindakan menapak-tilas pengalaman
ruhani tiga manusia: Nabi Ibrahim, Hajar (istrinya), dan Nabi Ismail
(putranya) dalam merintis ditegakkannya nilai-nilai kemanusiaan
universal berdasarkan Ketuhanna Yang Mahaesa. Dalam mewariskan
dan melestarikan upacara-upacara suci itu, Nabi Muhammad saw
menegaskan bahwa akhirnya, inti ibadat haji ialah berdiam (wukuf )
kurang lebih seharian di padang Arafah. Berkenaan dengan ini
terkenal sekali sabda Nabi saw, “al-hajj-u ‘Arafah” — haji ialah
Arafat. Hanya sayang, kebanyakan umat Islam yang menjalankan
ibadat haji tidak memahami mengapa Nabi membuat penegasan
serupa itu. Dengan penegasan beliau itu, Nabi sebenarnya hendak
meminta perhatian kaum Muslim kepada isi pidato beliau pada
waktu di Arafah dalam satu-satunya kesempatan beliau berhaji.
Dalam pidato itulah Nabi menegaskan tugas suci beliau untuk
menyeru umat manusia kepada jalan Tuhan Yang Mahaesa dan
menghormati hak-hak suci sesama manusia, lelaki dan perempuan.
Dalam pidato itu antara lain Nabi saw menegaskan: “Sesungguhnya
darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci atas
kamu seperti sucinya hari (haji)-mu ini, dalam bulanmu (bulan
suci Zulhijjah) ini dan di negerimu (tanah suci) ini”. Dan sesekali
di celah-celah pidatonya itu dari atas mimbar Nabi bertanya
kepada lautan manusia yang hadir: “Bukankah aku telah sampaikan
(pesan-pesan) ini?” Dan semuanya menjawab: “Benar! Engkau telah
sampaikan”. Lalu Nabi berpesan agar yang hadir menyampaikan isi
pidato beliau itu kepada yang tidak hadir.
Pidato di Arafah itu, yang menurut Nabi sendiri merupakan
inti ibadat haji, jelas-jelas merupakan pidato tentang nilai-nilai
1
Lihat al-Qur’an surat al-Mâidah/5:27-32; juga Kitab Kejadian 4.1-16.
D8E
F MASALAH KESADARAN TENTANG HAK HAK ASASI MANUSIA G
kemanusiaan, yang sebagian di antaranya sekarang dikenal sebagai
hak-hak asasi manusia. Pidato itu sendiri umumnya disebut sebagai
“Pidato Perpisahan”, karena tidak lama setelah itu, selang tiga bulan,
Nabi wafat. Tetapi sesungguhnya menjelang wafat itu beliau banyak
meninggalkan pesan tentang prinsip-prinsip kemanusiaan yang
harus dijaga, sejalan dengan ajaran kitab suci bahwa setiap pribadi
(individu) manusia harus dihormati hak-haknya, karena setiap
pribadi itu mempunyai nilai kemanusiaan sejagad (universal). Salah
satu pidato beliau memuat pesan yang amat penting tentang hakhak asasi budak dan kaum buruh: “Wahai manusia, ingatlah Allah!
Ingatlah Allah, berkenaan dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah
Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang yang kamu kuasai
dengan tangan kananmu (budak, buruh, dan lain-lain). Berilah
mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah pakaian
seperti yang kamu kenakan! Janganlah mereka kamu bebani dengan
beban yang mereka tidak mampu memikulnya, sebab mereka adalah
daging, darah, dan makhluk seperti kamu! Ketahuilah, bahwa orang
yang bertindak zalim kepada mereka, maka akulah musuh orang
itu di hari kiamat, dan Allah adalah Hakim mereka”.2
Paham kemanusiaan yang diajarkan oleh agama-agama itu
dipercayai, dihayati, dan diamalkan sebagai bagian penting dari
religiusitas masyarakat. Pandangan yang sangat tinggi dan hormat
kepada harkat dan martabat manusia itu melalui beberapa saluran
juga menular di Eropa dan tumbuh serta berkembang di sana.
Salah seorang yang paling mula-mula mengetengahkan paham
kemanusiaan ini di Eropa pada zaman Renaisans, seperti sudah
kami jelaskan terdahulu, ialah Giovanni Pico della Mirandola.
Sejak masa Giovanni itu perbincangan dan perjuangan sekitar
hak-hak asasi manusia serta nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya
terus berkembang di Barat, sampai akhirnya memuncak dalam
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia PBB pada Desember
2
Kitab Khutbat-u ’l-Rasûl (Pidato-pidato Rasul), hasil kompilasi
Muhammad al-Khathib (Kairo: Dar al-Fadlilah, 1317 H), h. 313.
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
tahun 1948. Deklarasi itu, ditambah dengan berbagai instrumen
lainnya yang datang susul-menyusul telah memperkaya umat manusia tentang hak-hak asasi, dan menjadi bahan rujukan yang tidak
mungkin diabaikan. Seperti telah disinggung, kita pun tentu saja
berpegang kepada dokumen-dokumen internasional itu.
Menuju Deklarasi Universal
Sebagaimana argumennya telah dicoba kemukakan di atas, pemahaman, penerimaan, dan penghayatan kepada nilai-nilai hak asasi
hanya dapat meluas dan mendalam jika masyarakat disadarkan
tentang dimensi kesejarahannya yang panjang dan sulit. Karena
itu perjuangan menegakkan hak-hak asasi yang ada sekarang
ini hendaknya janganlah dipandang sebagai gejala baru semata,
tanpa akar sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dengan perkataan
lain, perjuangan hak-hak asasi adalah benar-benar bernilai asasi,
merupakan bagian tak terpisahkan dari keinsafan akan nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab, yang mengatasi ruang dan
waktu (universal, menjagad).
Namun demikian, juga harus disadari bahwa rumusan-rumusan
tentang hak-hak asasi sekarang ini adalah hasil pemikiran manusia
modern. Rumusan-rumusan itu menjadi lengkap, sistematis, dan
padu atau kompak (sebagaimana layaknya rumusan modern),
dengan memuat isi dan substansi dasar seperti dikemukakan dalam
agama-agama dan tradisi-tradisi dalam berbagai budaya umat manusia sepanjang sejarah dan di semua tempat.
Sebuah kenyataan sejarah menunjukkan bahwa zaman modern
ini bermula dari pengalaman beberapa bangsa Eropa Barat
Laut, khususnya Inggris dan Prancis. Maka karena segi historis
modernitas itu, mau tidak mau dalam rangka penghayatan yang
luas dan mendalam tentang hak-hak asasi, kita harus pula sedikit
banyak mengenal sejarah pertumbuhan perjuangan menegakkan
nilai-nilai kemanusiaan itu di Barat. Jika kita coba catat garis besar
D 10 E
F MASALAH KESADARAN TENTANG HAK HAK ASASI MANUSIA G
urutan pertumbuhan kesadaran itu di Barat, tonggak-tonggak
sosialisasinya, adalah sebagai berikut:
Pertama, dimulai yang paling dini, yaitu munculnya “Perjanjian
Agung” (Magna Carta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian
dari pemberontakan para baron Inggris terhadap Raja John (saudara
Raja Richard Berhati Singa, seorang pemimpin tentara Salib).
Isi pokok dokumen itu ialah hendaknya raja tidak melakukan
pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorang
pun dari rakyat. Pendorong pemberontakan para baron itu sendiri
antara lain ialah dikenakannya pajak yang sangat besar oleh raja,
dan dipaksakannya para baron untuk membolehkan anak-anak
perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa.
Kedua, keluarnya Bill of Rights pada 1628, yang berisi penegasan
tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja
untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapa pun, atau untuk
memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan tentara, secara semena-mena tanpa dasar hukum.
Ketiga, deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli
1776, yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam
persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar
kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.
Keempat, deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga negara
(Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen) dari Prancis,
pada 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada lima hak asasi:
pemilikan harta (propiété), kebebasan (liberté), persamaan (egalité),
keamanan (securité), dan perlawanan terhadap penindasan (resistence
á Poppression).
Kelima, deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, pada
Desember 1948, yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan,
persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan,
hak kerja, dan kebebasan beragama (termasuk pindah agama).
Tentu kita sadar bahwa tidak mungkin menggarap secara
rampung persoalan bagaimana menumbuhkan dan menyebarkan
D 11 E
F NURCHOLISH MADJID G
kesadaran akan hak-hak asasi itu dalam masyarakat luas. Badanbadan non-formal begitu banyak ragamnya, masing-masing dengan
tekanan programnya yang spesifik. Maka kiranya tidak mungkin
melakukan pendekatan secara ad hoc kepada masing-masing badan
itu. Yang dapat dilakukan ialah mencoba mendapatkan titik-temu
dari semuanya, dan barangkali titik-temu itu ialah pentingnya
memiliki kesadaran historis tentang perjuangan menegakkan hakhak asasi yang melibatkan seluruh umat manusia sejagad.
Dimensi ideologis nasional Pancasila tentu tidak dapat diabaikan. Tetapi mungkin akan sia-sia untuk mengisolasi ideologi itu
dari konteks mondialnya, setidaknya sebagaimana tercermin dalam
dialog-dialog besar para pendiri Republik. Ini lebih-lebih lagi
tidak mungkin terjadi berkenaan dengan nilai-nilai kemanusiaan,
sebab nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, by definition, senantiasa
berdimensi universal.
Karena kita sering menyaksikan selalu saja ada faktor kebaruan
(novelty) dalam perkara perjuangan hak-hak asasi di negeri ini, maka
proses-proses pertumbuhannya tentu menyangkut persoalan “coba
dan salah”. Tetapi jika perjalanan perjuangan yang sekarang mulai
ditapaki itu dapat berlangsung konsisten dan tanpa terganggu,
maka harapan bahwa suatu saat akan menemukan format yang
pas untuk situasi Indonesia tetap beralasan. Berhubung dengan
ini, dalam masyarakat mana pun, tentu saja termasuk masyarakat
kita sendiri, selalu terdapat orang-orang yang beritikad baik (good
intentioned) untuk masyarakatnya, dan mereka itu, melalui caranya
masing-masing, merupakan sumber kekuatan moral dan inspirasi
bagi usaha-usaha penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Maka ada
keperluan, bahkan kewajiban, menggalang semua kekuatan itu
untuk menghadapi hambatan yang tidak pernah ringan dalam usaha
bersama memenuhi suatu segi cita-cita kemerdekaan ini. []
D 12 E
F ETOS KERJA DALAM ISLAM DI TENGAH IDEOLOGI-IDEOLOGI LAIN G
ETOS KERJA DALAM ISLAM
DI TENGAH IDEOLOGI-IDEOLOGI LAIN
Oleh Nurcholish Madjid
Masalah etos kerja memang cukup rumit. Tampaknya tidak ada
teori tunggal yang dapat menerangkan segala segi gejalanya, juga
bagaimana menumbuhkannya dari yang lemah ke arah yang lebih
kuat atau lebih baik. Kadang-kadang tampak behwa etos kerja
dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, seperti agama, kadangkadang tampak seperti tidak lebih dari hasil tingkat perkembangan
ekonomi tertentu masyarakat saja.
Kesan bahwa etos kerja terkait dengan sistem kepercayaan
diperoleh karena pengamatan bahwa masyarakat tertentu dengan
sistem kepercayaan tertentu memiliki etos kerja lebih baik (atau
lebih buruk) daripada masyarakat lain dengan sistem kepercayaan
lain. Misalnya, yang paling terkenal ialah pengamatan Max Weber
terhadap masyarakat Protestan aliran Calvinisme, yang kemudian
ia angkat menjadi dasar dari apa yang terkenal dengan “Etika
Protestan”. Para peneliti lain juga melihat gejala yang sama pada
masyarakat-masyarakat dengan sistem-sistem kepercayaan yang
berbeda seperti masyarakat Tokugawa di Jepang (oleh Robert
Bellah), Santri di Jawa (oleh Geertz) dan Hindu Brahmana di Bali
(juga oleh Geertz), dan seorang peneliti mengamati hal serupa
untuk kaum Isma’ili di Afrika Timur.
Kesan bahwa etos kerja terkait dengan tingkat perkembangan
ekonomi tertentu, juga merupakan hasil pengamatan terhadap
masyarakat-masyarakat tertentu yang etos kerjanya menjadi baik
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
setelah mencapai kemajuan ekonomi tertentu, seperti umumnya
Negara-negara Industri Baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan,
Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Kenyataan bahwa Singapura,
misalnya, menunjukkan peningkatan etos kerja warga negaranya
setelah mencapai tingkat perkembangan ekonomi yang cukup
tinggi. Peningkatan etos kerja di sana kemudian mendorong laju
perkembangan yang lebih cepat lagi sehingga negara kota itu menjadi seperti sekarang.
Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti kita menggunakan
dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan,
tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap
masalah etos kerja. Relevansi pembicaraan ini kepada masalah
nasional ialah kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia
beragama Islam. Jadi suatu pendekatan dari sudut keislaman
dapat diharapkan mempunyai dampak yang langsung kepada
penanggulangan masalah etos kerja itu, jika memang pada bangsa
kita di bidang etos kerja itu ada masalah.
Karena agama bertitik-tolak dari keimanan, maka setiap percobaan menjawab suatu masalah dari sudut pandangan keagamaan
juga bertitik-tolak dari keimanan. Ini berarti pertama-tama kita
berbicara dari sudut ajaran agama itu. Kenyataan empirik dapat
terjadi mendukung klaim dari segi ajaran, tapi juga dapat terjadi
tidak mendukung. Karena kenyataan empirik tidak berdiri sendiri
melainkan merupakan akibat dari berbagai faktor, maka penjelasan
tentang kenyataan empirik itu tidak dapat diberikan hanya dari
satu sudut pertimbangan saja, seperti pertimbangan ajaran (yang
“murni”) semata, tetapi juga melibatkan sudut pertimbangan
historis, sosiologis, dan faktor-faktor lingkungan lain, baik dari
luar diri manusia maupun dalam dirinya sendiri.
Satu hal barangkali cukup jelas. Yaitu bahwa adanya etos
kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan
tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih
menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan
akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang
D2E
F ETOS KERJA DALAM ISLAM DI TENGAH IDEOLOGI-IDEOLOGI LAIN G
agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika
pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan
dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak
langsung.
Maka etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan
seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan
hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah swt. Berkaitan dengan
ini kita dapat memulai pembicaraan mengenai etos kerja ini dengan
menegaskan kembali apa yang sudah kita ketahui bersama, yaitu
bahwa Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Inti ajarannya
ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh rida
Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap
penyembahan hanya kepada-Nya (Q 18:110).
Berhubungan dengan itu adalah penegasan tentang adanya
tanggung jawab pribadi yang mutlak kelak di akhirat tanpa ada
kemungkian pelimpahan “pahala” atau “dosa” kepada orang lain,
dan berdasarkan apa yang telah diperbuat oleh diri perorangan
yang bersangkutan sendiri. Al-Qur’an menegaskan, “Belumkah
disampaikan berita tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran
suci Musa, dan Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa tidak seorang pun
yang berdosa bakal menanggung dosa orang lain, dan bahwa tidaklah
seseorang mendaptkan sesuatu apa pun kecuali yang ia sendiri
usahakan,” (Q 53:38). Jadi Islam adalah agama yang mengajarkan
“orientasi kerja” (achievement-orientation), sebagaimana juga
dinyatakan dalam ungkapan bahwa “Penghargaan dalam Jahiliah
berdasarkan keturunan, dan penghargaan dalam Islam berdasarkan
amal”.
Tetapi, berlawanan dengan itu semua, secara empirik sering
dikemukakan penilaian negatif bahwa umat Islam menderita
penyakit fatalisme atau paham nasib, yang kemudian membuat
mereka pasif dan “nerimo ing pandum”. Jelas sekali bahwa membuat
generalisasi penilaian serupa untuk seluruh umat Islam tidaklah
dapat dibenarkan. Hanya saja, dalam rangka polemik klasik antara
paham Jabariah (predeterminisme) dan Qadariah (kebebasan
D3E
F NURCHOLISH MADJID G
manusia) yang di banyak kalangan Islam masih berlangsung sampai
sekarang, sikap-sikap yang mengarah kepada Jabariah memang
sering diketemukan. Misalnya, seperti yang tercermin dalam beberapa bait Jawharat al-Tawhîd, sebuah kitab “kuning” di bidang
akidah yang populer, seperti berikut:
Bagi kita seorang hamba dibebani kewajiban untuk berusaha, namun
usahanya itu, ketahuilah, tak berpengaruh apa-apa.
Jadi ia hamba itu tidaklah terpaksa namun tidak pula mampu
membuat pilihan, dan tidak seorang pun dapat berbuat menurut
pilihannya.
Keberuntungan orang yang bahagia sudah ada pada-Nya sejak zaman
azali, begitu pula nasib orang yang celaka, dan tidak berubah lagi.
Jika Dia memberi kita pahala, maka itu adalah karena kemurahan-Nya, dan jika Dia menyiksa kita, maka itu adalah karena
keadilan-Nya.1
Tapi di kalangan para pengikut mazhab Hanbali menunjukkan
kecenderungan lebih “qadari” daripada yang tersebut di atas itu. Ini
dicerminkan, misalnya, dalam nazham yang dinisbatkan kepada
Ibn Taimiyah, yang merupakan bantahan atas semangat nazham
terdahulu:
Tidaklah seorang hamba dapat lari dari yang telah ditentukan-Nya,
namun ia tetap mampu memilih mana yang baik dan mana yang
buruk.
Jadi ia tidaklah terpaksa tanpa punya kemauan, melainkan ia
itu berkehendak karena ada kemauan yang diciptakan.2.d
Ibrahim al-Laqqani, Jawharat al-Tawhîd (dengan terjemah dan syarah
dalam bahasa Jawa oleh K.H. Muhammad Shalih ibn Umar Samarani), tanpa
data penerbitan, h. 149-150.
2
Ibn Taimiyah, dikutip oleh Abd al-Salam Hasyim Hafidz, al-Îmân (Kairo:
al-Halabi, 1969 M/1389 H), h. 15.
1
D4E
F ETOS KERJA DALAM ISLAM DI TENGAH IDEOLOGI-IDEOLOGI LAIN G
Dari bahan-bahan di atas itu diketahui bahwa dalam masyarakat
kita terdapat potensi fatalisme. Namun merupakan kesimpulan
yang gegabah jika kita katakan bahwa karena adanya bahan-bahan
tekstual dari sebuah kitab ilmu Akidah tersebut maka masyarakat
kita bersifat fatalis. Seringkali terdapat kesenjangan antara ajaran
yang tercantum dalam sebuah teks kitab dan kenyataan sosial. Maka
sekalipun teks menyatakan hal-hal yang fatalistis, namun tidak
mustahil masyarakat tetap aktif, tidak terpengaruh oleh doktrin
yang membuat orang menjadi pasif itu.
Di samping itu, juga tersedia bahan yang dapat digunakan
untuk menghapus potensi fatalis tersebut, jika memang ada gejala
itu. Maka kita harus memperhatikan kenyataan adanya berbagai
tafsiran terhadap teks. Banyak dari tafsiran itu kemudian menghasilkan pandangan hidup yang lebih aktif dan kurang fatalis. Contohnya ialah tafsiran yang diberikan oleh Kiai Shalih dari pesantren
Meranggen Semarang (terkenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat),
dalam kitabnya, Sabîl al-‘Abîd fî Tarjamah Jawharat al-Tawhîd,
demikian:
Rasulullah saw bersabda: “Telah kuperintahkan kepada umatku jangan
sampai berpegang kepada takdir”. Seorang sahabat menyahut: “Apakah
kami tidak boleh berpegang kepada takdir dan meninggalkan
kerja?” Rasulullah menjawab: “Jangan! Bekerjalah, sebab setiap
orang dimudahkan menuju takdir dan kepastiannya.” (Dituturkan
oleh al-Bukhari). Kalau takdirnya sengsara (masuk neraka) maka
ia mudah bermaksiat; dan jika takdirnya bahagia (masuk surga),
maka ia mudah taat (kepada Allah); kalau takdirnya kaya, maka
mudah usahanya; dan kalau takdirnya miskin, maka sulit usahanya.
Rasulullah saw bersabda: “Mencari rezeki yang halal itu wajib atas
setiap orang Islam”. Jadi hadis ini menunjukkan bahwa mencari rezeki
dengan usaha itu wajib, supaya tidak mengemis, sebab mengemis
itu haram.3
3
Ibrahim al-Laqqani, op. cit., h. 319-320.
D5E
F NURCHOLISH MADJID G
Jadi, dengan kutipan ini kita memperoleh contoh suatu kemungkinan tafsiran yang dinamis, serta tetap absah, untuk suatu
butir akidah yang sepintas lalu seperti mengajarkan fatalisme. Para
pemuka Islam dituntut untuk mampu menemukan, mengemukakan, dan mengembangkan tafsiran-tafsiran dinamis. Tidak saja
karena perkembangan masyarakat memerlukan tafsiran serupa itu,
tapi lebih prinsipil lagi karena yang diterangkan oleh Kiai Sholeh
Darat itu lebih sejalan dengan ajaran al-Qur’an seperti telah dikutip
di atas.
Untuk itu, mungkin sangat berguna jika kita sejenak melihat
kembali masalah etos kerja ini, sebagaimana telah disinggung di
muka berkenaan dengan kontroversi Qadariah-Jabariah, dengan
mengaitkannya kepada masalah “takdir” (taqdîr, sebagai istilah
ilmu Kalam) dan “ikhtiar” (ikhtiyâr). Dalam hal ini penting sekali
kita telaah bahwa sesungguhnya firman Allah yang dijadikan
acuan untuk paham takdir atau penentuan nasib (predesterminism)
berbicara tentang hal sudah terjadi pada seorang manusia, baik atau
pun buruk, dan mengajarkan agar manusia menerima hal yang
sudah terjadi itu sebagai sesuatu yang sudah lewat sesuai dengan
kehendak Allah, yang harus diterima dengan penuh ketulusan dan
pasrah, tanpa keluh kesah jika ditimpa kemalangan, dan tanpa
menjadi congkak jika mengalami keberhasilan.
Sedangkan untuk hal yang belum terjadi, yaitu sesuatu yang
masih berada di masa depan, maka sikap yang diajarkan agama
bukanlah kepasifan menunggu nasib, melainkan keaktifan memilih
(makna kata Arab ikhtiyâr) yang terbaik dari segala kemungkinan
yang tersedia, demi mencapai tujuan yang baik. Iman dan takwa
dikaitkan dengan keaktifan menyiapkan diri menghadapi masa
depan itu, dan bukannya sikap pasif dan nerimo karena menunggu
nasib. Pribadi yang beriman dan bertakwa harus menyiapkan diri
untuk hari esok.
Dalam rangka ikhtiar itulah manusia diperintahkan untuk
memperhatikan hukum-hukum (dari Tuhan) yang berlaku pada
alam secara keseluruhan (yang dalam al-Qur’an hukum-hukum
D6E
F ETOS KERJA DALAM ISLAM DI TENGAH IDEOLOGI-IDEOLOGI LAIN G
itu disebut taqdîr, seperti juga diperintahkan agar manusia
memperhatikan hukum-hukum [dari Tuhan] yang berlaku pada
masyarakat manusia dalam sejarah) yang dalam al-Qur’an hukumhukum ini disebut sunatullah (sunnat-u ’l-Lâh).
Hasil pengamatan manusia kepada alam dan sejarah membuahkan ilmu pengetahuan, yaitu, kurang lebih, pengetahuan alam
dan pengetahuan sosial. Dengan ilmu inilah manusia memiliki
kemampuan melakukan ikhtiar atau pilihan alternatif yang sebaik-baiknya guna mencapai efektivitas dan efisiensi kerja yang
setinggi-tingginya. Maka ilmu merupakan faktor keunggulan yang
amat penting. Bersama dengan iman yang mendasari motivasi kerja
(karena terkait dengan keinsafan akan makna dan tujuan hidup yang
tinggi di atas), ilmu merupakan faktor yang membuat seseorang
atau kelompok menjadi lebih unggul daripada yang lain.
Sampai di sini diperoleh kejelasan bahwa kemajuan suatu
bangsa atau masyarakat akan mempunyai dampak positif kepada
peningkatan etos kerja para warganya. Sebab dalam kemajuan
suatu bangsa itu tentu langsung atau tidak langsung terbawa serta
perkembangan dan kemajuan ilmu. Dan ilmu itu, dalam ungkapan
yang lebih operatif, tidak lain ialah kepahaman manusia akan
situasi, kondisi, dan lingkungan yang terkait dan mempengaruhi
kerjanya untuk berhasil atau tidak. Ilmu memfasilitasi kerja, dan
fasilitas itu, pada urutannya, mempertinggi motivasi kerja dan
memperkuat etos kerja. Sebagaimana disabdakan Nabi saw, ilmu,
setelah iman, adalah jaminan utama keberhasilan di dunia, di
akhirat, dan di dunia-akhirat sekaligus.
Mengenai persoalan takdir dan ikhtiar di atas, tampaknya
ideologi-ideologi lain di luar Islam juga membahasnya. Dalam
Marxisme, V. Afanasyev, dengan ajaran Kristen seperti dipahami
dalam benaknya, mengatakan bahwa “Materialisme dialektika
menolak pengertian idealis tentang hukum-hukum (alam) dan
menampik fatalisme, yaitu, penyembahan buta kepada hukumhukum (alam), serta tidak adanya kepercayaan kepada akal manusia
D7E
F NURCHOLISH MADJID G
dan kepada kemampuan manusia untuk memahami hukumhukum itu dan menggunakannya”.4
Dari segi akibat lahiriahnya, pernyataan Afanasyev itu tidaklah
berbeda dengan apa yang telah dikemukakan di atas dari sudut
pandangan Islam: yaitu manusia perlu, dan mampu, memahami
hukum-hukum lingkungan kerjanya dan dapat menggunakan
hukum-hukum itu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
kerjanya. Tapi ketika seorang Marxis menolak kepercayaan kepada
Tuhan, maka ia juga menolak adanya makna hidup yang transendental, dengan membatasi makna hidupnya hanya kepada yang
“terrestrial” (terbatas kepada kehidupan di bumi saja).
Digabung dengan paham kebendaan (materialisme, dalam arti
filsafat), penolakan kepada wujud gaib tampaknya telah menggiring
kaum Marxis kepada sikap hidup yang mengandalkan hanya kepada
pengawasan moral lahiriah belaka. Maka ciri utama masyarakatmasyarakat Marxis, sebagimana ditemukan pada sistem-sistem
totaliter lainnya, ialah menguatnya usaha pengawasan kepada
rakyat melalui jaringan polisi rahasia atau alat-alat pengawasan
elektronik. Ini berdampak kepada menurunnya ketulusan kerja
dan menjuruskan orang untuk berbuat pura-pura.
Menurunnya ketulusan itu, pada urutannya, terkait dengan
melemahnya motivasi pribadi dalam bekerja. Agaknya hal ini
menjadi salah satu sebab ambruknya sistem sosial atau Marxis,
ketika pintu keluar dibuka dengan cukup lebar oleh Gorbachev.
Kegagalan ini membuktikan betapa pentingnya motivasi pribadi
dalam etos kerja. Maka ketika di RRC dibuka kesempatan untuk
warga masyarakat menanami halaman mereka dengan tanaman
yang mereka boleh nikmati sendiri hasilnya, konon, produktivitas
orang dalam pertanian halaman itu secara pukul rata lebih tinggi
daripada produktivitasnya di komun-komun.
V. Afanasyev, Marxist Philosophy, terjemahan Leo Lampart dan suntingan
George Hanna (Moscow: Progress Publishers, 1965), h. 90-91.
4
D8E
F ETOS KERJA DALAM ISLAM DI TENGAH IDEOLOGI-IDEOLOGI LAIN G
Dari sudut motivasi pribadi ini, kapitalisme adalah kebalikan
total dari sosialisme. Dengan kredo ekonomi yang berasaskan
pencarian keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya serta bersandar kepada dinamika dan kekuatan pasar, kapitalisme telah
terbukti berhasil mendorong produktivitas yang sangat tinggi,
yang membuat dunia kapitalis mengalami kemakmuran seperti
sekarang. Berkaitan dengan ini, Milton Friedman, seorang ekonom
keonservatif pemenang hadiah Nobel, menulis buku Free to Choose
(Bebas Memilih), yang mengutarakan kepercayaan yang tak tergoyahkan kepada kekuatan, dinamika, dan logika pasar.
Sampai sekarang kapitalisme masih menunjukkan vitalitasnya
yang luar biasa. Walaupun begitu tidak berarti kapitalisme bebas
dari kritik. Mereka yang lebih memperhatikan segi kemanusiaan
dan keadilan, mendapati kapitalisme sebagai sistem yang tidak
adil. Malah ada yang mengatakan bahwa kapitalisme adalah suatu
“Darwinisme” dalam ekonomi, yang mengandung prinsip hukum
evolusi di mana yang kuat adalah yang menang (hukum “rimba”),
atau pihak yang memiliki kecocokan tertinggi (the fittest) adalah
yang bakal bertahan hidup (survive).
Segi kekurangan sistem kapitalis (dengan segala implikasinya
dalam bidang-bidang lain seperti sosial-politik) ditunjukkan oleh
adanya, misalnya, kaum gelandangan (homeless) di kota-kota besar
Amerika. Ada suatu absurditas dalam masyarakat kapitalis: di
samping adanya orang-orang yang super kaya, masih banyak orang
yang harus makan dengan mengais sampah.
Karena sistem kapitalis dengan liberalismenya adalah juga
sistem masyarakat terbuka, maka keterbukaan merupakan tulang
punggung kekuatannya dan kemampuannya untuk bertahan.
Keterbukaan merupakan sarana bagi terjaminnya koreksi kepada
kesalahan dalam sistem, atau, dengan kata lain, dengan keterbukaan
pula sistem itu senantiasa menemukan jalan untuk memperbaiki
dirinya sendiri. Ini melahirkan prinsip eksperimentasi, dengan
keyakinan bahwa sesuatu yang memang baik untuk masyarakat
tentu akan bertahan, dan yang tidak baik tentu akan sirna dengan
D9E
F NURCHOLISH MADJID G
sendirinya. Contoh yang bisa diangkat, misalnya, organisasi Yahudi
Amerika, Anti-Defamation League dari B’nai Brith membiarkan,
kalau perlu melindungi, hak kaum Neo-Nazi di sana untuk berorganisasi.
Secara empirik, kita belum dapat memastikan ke mana arah
perkembangan kapitalisme itu untuk masa depan, baik ataupun
buruk. Tetapi suatu komitmen kepada nilai kemanusiaan yang
lebih tinggi tentu tidak membenarkan sikap pasif menghadapi
kecenderungan zalim dan sikap tak peduli kepada harkat dan
martabat manusia dari sistem ideologis atau “isme” apa pun di muka
bumi ini. Kaum Muslim karena keislamannya memikul beban
kewajiban pelaksanaan komitmen itu, begitu pula seorang warga
Indonesia karena Pancasilanya. Dan, seperti telah dikemukakan
pada bagian terdahulu, persyaratan yang diperlukan ialah adanya
iman dan ilmu. []
D 10 E